NOTULENSI HASIL PERTEMUAN KOMISI AHLI KESEHATAN HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Bogor, 18-20 Juli 2016 Agenda: 1. Kajian Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang lalu lintas hewan antarpulau dan antarwilayah dalam satu pulau dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. Kajian appropriate level of protections (ALOP) dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang analisis risiko pemasukan hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya; dan 3. Kajian roadmap pemberantasan brucellosis di pulau Jawa. Agenda Tambahan: Justifikasi ilmiah terhadap arahan Menteri Pertanian untuk membuat kajian akademik dalam hal merevisi penjelasan Pasal 36, tepatnya Pasal 36b sampai dengan Pasal 36e UU No. 41 Tahun 2014 juncto UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Agenda 1. Kajian yang membahas Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang lalu lintas hewan antarpulau dan antarwilayah dalam satu pulau dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Acuan diskusi: 1. Risalah diskusi yang membahas Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Lalulintas Hewan Antarpulau dan Antarwilayah Dalam Satu Pulau Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (draft 1, 29 Juni 2016); 2. Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Lalu-lintas Hewan Antarpulau dan Antarwilayah Dalam Satu Pulau Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (draft 2, 30 Juni 2016); 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 4. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan 5. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan. Pendahuluan Pada tanggal 18-19 Juli 2016, telah dilaksanakan pembahasan agenda 1 yang mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Lalu-lintas Hewan Antarpulau dan Antarwilayah Dalam Satu Pulau Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertemuan ini dibuka oleh drh. I Ketut Diarmita, MP (Direktur Kesehatan Hewan), dan dihadiri oleh perwakilan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, narasumber ahli di bidang kesehatan hewan, serta wakil dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat Provinsi se-Pulau Jawa. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengidentifikasi aspek-aspek fundamental di bidang kesehatan hewan yang diperlukan dalam melalu-lintaskan hewan di daerah, khususnya yang diperlukan dalam mengatur lalulintas hewan antarpulau dalam satu wilayah administratif dan antarwilayah dalam satu pulau dalam negara Republik Indonesia. Hasil Pembahasan Berikut ini substansi hasil diskusi yang membahas Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang tentang Lalu-lintas Hewan Antarpulau dan Antarwilayah Dalam Satu Pulau Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah disetujui dalam forum pertemuan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, antara lain: 1. Menyetujui judul, yaitu Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Lalu-lintas Hewan Antarpulau dan Antarwilayah Dalam Satu Pulau Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Menyetujui konsideran Menimbang butir a, dan butir b dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini (draft ke-2, 30 Juni 2016). 3. Menyetujui rumusan Pasal 1 Ketentuan Umum, dengan menyempurnakan rumusan pada angka 13 tentang definisi ‘sertifikat veteriner’. a) Dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini (draft ke-2, 30 Juni 2016), definisi dari ‘sertifikat veteriner’, yaitu surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan. Catatan: Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, definisi sertifikat veteriner adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang yang menyatakan bahwa produk hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan, dan keutuhan. Mengacu pada PP tersebut, maka definisi sertifikat veteriner hanya dibatasi untuk 1 komoditas saja, yaitu produk hewan. Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini ditujukan untuk mengatur lalu-lintas hewan, dan perlu diperluas pemaknaannya dalam mengatur ‘media penyakit hewan lainnya’ sebagaimana diamanahkan dalam PP No. 47 Tahun 2014. Karena itu, perlu menyisipkan kata ‘hewan’ dan ‘media pembawa penyakit hewan lainnya’ dalam definisi sertifikat veteriner dalam Pasal 1 pada ketentuan umum di Rancangan Permentan ini. Landasan filosofis ‘sertifikat veteriner’ dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini hanya mewakili Pasal 85 dalam PP No. 47 Tahun 2014, tetapi tidak mewakili Pasal 43 dalam UU No. 41 Tahun 2014 juncto UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kesimpulan: Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka konsensus forum menyepakati untuk menambah 3 (dua) objek pengawasan dalam hal lalulintas di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, yaitu hewan, media penyakit hewan lainnya dan produk hewan. b) Definisi termutakhir tentang ‘sertifikat veteriner’ tercantum dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam Pasal 58 ayat (4) huruf a (Hal. 207). Dalam penjelasan yang dimaksud dijelaskan bahwa ‘sertifikat veteriner’ adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Otoritas Veteriner yang menyatakan bahwa Hewan dan Produk Hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan dan keutuhan. c) Setelah memperhatikan butir a) dan butir b), maka definisi yang tepat untuk ‘sertifikat veteriner’ dalam Rancangan Peraturan Menteri ini adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Otoritas Veteriner yang menyatakan bahwa Hewan dan Produk Hewan telah memenuhi persyaratan keamanan, kesehatan dan keutuhan. 4. Pemasukan hewan antarpulau dalam satu wilayah dan/atau antar wilayah dalam satu pulau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), serta Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari Gubernur atau Bupati/Walikota daerah penerima sesuai kewenangannya. Kalimat ini mengandung arti implisit bahwa izin pemasukan hewan dan/atau ternak diterbitkan oleh Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah penerima dengan atas nama Gubernur atau Bupati/Walikota. Dalam forum, ada beberapa perwakilan dari Dinas yang menafsirkan arti yang berbeda dengan yang diimplisitkan dalam Pasal tersebut, oleh karena itu kesepakatannya adalah mengeksplisitkan pernyataan ‘setelah mendapat persetujuan pemasukan (rekomendasi) dari Otoritas Veteriner di daerah’ dengan menyempurnakan Pasal 4, Pasal 6 dan Pasal 7, sehingga menjadi: Pasal 4 (1) Pemasukan hewan antarpulau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari Gubernur atau Bupati/Walikota daerah penerima setelah mendapat persetujuan pemasukan (rekomendasi) dari Otoritas Veteriner di daerah sesuai kewenangannya. Pasal 6 (1) Pemasukan hewan Antarpulau Lintas Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari gubernur daerah penerima setelah mendapat persetujuan pemasukan (rekomendasi) dari Otoritas Veteriner. Pasal 7 (1) Pemasukan hewan antarpulau dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dapat dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari bupati/walikota daerah penerima berdasarkan rekomendasi dari otoritas veteriner kabupaten/kota. (2) Rekomendasi dari otoritas veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pertimbangan teknis kesehatan hewan 5. Dalam Pasal 5 dan Pasal 10 pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini, pemasukan dan pengeluaran hewan dilakukan dengan mempertimbangkan jenis hewan, serta status dan situasi penyakit yang telah ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota. Hal ini dimaknai oleh perwakilan Dinas Provinsi, sebagai tindakan sia-sia yang memperlama proses pemasukan dan pengeluaran hewan di daerah. Pembelaan tim pusat (Ditkeswan) bahwa tindakan ini sebenarnya telah disimulasikan dan disetujui di tingkat Biro Hukum dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, dengan maksud bahwa kriteria ‘jenis hewan’ akan terdata dengan baik berdasarkan penggolongan spesies (illustrasi: nanti, data tersebut setiap tahunnya akan ter-registered ke Ditjen. PKH), serta ‘status dan situasi penyakit hewan menular’ selalu terpantau dengan baik, dan diharapkan kedepannya akan dikembangkan sistem informasi yang mampu merekam data lalu lintas ternak nasional. Konsensus dalam forum menyepakati tetap mempertahankan Pasal 5 dan Pasal 10 dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. 6. Secara prinsip, pemasukan hewan khususnya ternak yang ditujukan untuk pemenuhan indeks konsumsi protein hewani di suatu daerah harus telah dilakukan kajian tentang penilaian kebutuhan (need assessment) di daerah tujuan. Substansi ini menjadi dasar untuk menghapus ayat (3) dalam Pasal 9 yang terdapat pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini, karena tidak lazim melakukan penilaian kebutuhan di daerah asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). 7. Perwakilan Dinas Provinsi mengungkapkan bahwa dalam tata niaga ternak tidak lazim untuk melakukan penilaian kebutuhan terhadap standar pemenuhan indeks konsumsi protein hewani di daerah tujuan. Hal ini akan memperlama proses perizinan. Konsensus dalam forum menyepakati akan menghapus ayat (3) dalam Pasal 14 yang terdapat pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. 8. Perwakilan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner mengusulkan untuk menghapus ayat (4) di Pasal 13. Hal ini dikarenakan, norma yang terdapat dalam Pasal 3 kembali terulang menjadi ayat (4) dalam Pasal 13. Konsensus dalam forum menyepakati bahwa makna pengulangan tersebut tanpa makna untuk mengatur persyaratan lalu-lintas antarwilayah dalam 1 (satu) pulau. Usulan tersebut disetujui dalam forum, yaitu menghapus ayat (4) di Pasal 13. Dalam hal mengatur lalu-lintas hewan antarwilayah lintas provinsi, analisis risiko dapat dijadikan alat pengambil keputusan bagi wilayah/daerah penerima dalam hal menolak komoditas hewan/ternak yang diperdagangkan dari daerah asal, berdasarkan pertimbangan dapat muncul, berjangkit dan menyebarnya penyakit hewan menular eksotik dan/atau sedang dilakukan pengendalian di daerah tujuan/penerima. Konsensus dalam forum menyepakati untuk mengkaji ulang Pasal 16 ayat (1) pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. Pasal 16 (1). Pemasukan hewan antarwilayah lintas provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dapat dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari Gubernur daerah penerima setelah mendapat rekomendasi dari otoritas veteriner provinsi daerah penerima berdasarkan analisis risiko pemasukan (import risk analysis). 9. Dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa ‘pemasukan hewan antarwilayah dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dapat dilakukan setelah memperoleh izin pemasukan dari Bupati/Walikota daerah penerima setelah mendapat rekomendasi dari Otoritas Veteriner Kabupaten/Kota’. Perwakilan dari Dinas Provinsi menyatakan keberatannya terhadap pasal 18 ayat (1), karena pengawasan lalu-lintas antar kabupaten/kota dalam 1 daratan (pulau) sulit dilakukan. Countermeasure dari Dr. Sintong, ‘aturan lalu-lintas hewan antar Kabupaten/Kota telah diamanahkan dalam UU No. 18 Tahun 2009’, karena itu ayat dalam pasal ini harus di-pertahankan. Konsensus dalam forum menyepakati untuk mempertahankan ayat (1) dalam Pasal 18 pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. 10. Terdapat pengulangan yang tidak konsisten pada Pasal 20 yang awalnya berbunyi ‘hewan yang dapat dilalu-lintaskan antarwilayah dalam satu provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya’. Hal yang sama diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 10, oleh karena itu konsensus dalam forum menyepakati untuk menghapus Pasal 20 pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. 11. Pada klausul Pasal 21 dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian sebagaimana dimaksud disebutkan bahwa pelaku usaha, instansi pemerintah atau setiap orang yang melakukan pengeluaran hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Dalam diskusi disebutkan bahwa terminologi pelaku usaha tidaklah tepat, karena makna makna pelaku usaha telah terwakili dalam definisi ‘setiap orang’. Setiap orang yang dimaksud dalam UU No. 41 Tahun 2014 juncto UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan adalah‘orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum serta yang melakukan kegiatan di bidang peternakan dan kesehatan hewan’. 12. Dalam forum disepakati bersama bahwa terminologi kata ‘status penyakit hewan menular’ sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 pada Rancangan Peraturan Pertanian ini disempurnakan menjadi ‘status kesehatan hewan individu dan/atau kelompok’. 13. Pada pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini, Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Dr. Tri Satya Naipospos) mengambil inisiatif untuk langsung saja membahas faktor substansial yang harus dibahas oleh komisi ahli tentang persyaratan teknis kesehatan hewan (health protocol) yang harus diterapkan dalam melalu-lintaskan hewan/ternak, yaitu berada di lampiran. Diskusi yang membahas norma pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini, memiliki batas akhir pembahasan di Pasal 25. 14. Komisi Ahli menyepakati bahwa daftar jenis penyakit hewan menular (PHM) yang harus diatur dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini, antara lain: a) Ruminansia Besar (Sapi dan Kerbau) Terdapat 12 (dua belas) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yakni: (1). Brucellosis, (2). Anthrax, (3). Jembrana disease, (4). Septicaemia enzootica, (5). Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), (6). Tuberculosis, (7). Bovine Viral Diarhoea (BVD), (8). Leptospirosis, (9). Anaplasmosis & Babesiosis, (10). Surra, (11). Malignant Catarrhal Fever, dan (12). Johne’s disease. b) Ruminansia Kecil (Kambing dan Domba) Terdapat 8 (delapan) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yakni: (1). Brucellosis, (2). Anthrax, (3). Tuberculosis, (4). Leptospirosis, (5). Anaplasmosis, (6). Toxoplasmosis, (7). Scabies dan (8). Orf. c) Anjing, Kucing dan Hewan Penular Rabies Lainnya Terdapat 1 (satu) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu Rabies. d) Satwa Primata Terdapat 2 (dua) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu (1). Rabies dan (2). Tuberculosis. e) Babi Terdapat 5 (lima) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu (1). Hog cholera dan (2). Anthrax, (3). Porcine Respiratory and Reproductive Syndrome, (4). Erysipelas dan (5). Mycoplasmosis. f) Kuda Terdapat 2 (dua) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu (1). Trypanosomiasis dan (2). Anthrax. g) Unggas Terdapat 3 (tiga) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu (1). Avian Influenza, (2). Salmonellosis dan (3). Campylobacteriosis. h) Reptilia dan Amphibia Terdapat 1 (satu) macam penyakit hewan menular yang diatur pada R. Permentan ini, yaitu Salmonellosis. Agenda 2. Kajian appropriate level of protections (ALOP) dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang analisis risiko pemasukan hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya. Acuan diskusi: Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Analisis Risiko Pemasukan Hewan, Produk Hewan dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya; 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan 4. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan. 1. Pendahuluan Pada tanggal 19 Juli 2016, telah dilaksanakan pembahasan agenda 2 yang mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Analisis Risiko Pemasukan Hewan, Produk Hewan, dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya. Pertemuan ini dibuka oleh drh. I Ketut Diarmita, MP (Direktur Kesehatan Hewan), dan dihadiri oleh perwakilan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, narasumber ahli di bidang kesehatan hewan, serta wakil dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat Provinsi se-Pulau Jawa. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengkaji sejauh mana appropriate level of protections (ALOP) yang ditetapkan oleh Indonesia dapat diterapkan untuk menolak ataupun menerima komoditas hewan, produk hewan dan media penyakit hewan lainnya terkait dapat masuk, berjangkit dan menyebarnya penyakit hewan eksotik dari negara luar, berdasarkan analisis risiko pemasukan (import risk analysis) yang dibuat. Hasil Pembahasan Berikut ini substansi hasil diskusi yang membahas Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang Analisis Risiko Pemasukan Hewan, Produk Hewan, Dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya yang telah disetujui dalam forum pertemuan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, antara lain: 1. Klausul yang membahas tentang appropriate level of protections (ALOP) pada Rancangan Peraturan Menteri Pertanian tentang berada dalam Pasal 15. Norma dalam Pasal tersebut berbunyi: Pasal 15 (1) ALOP ditetapkan untuk mempertahankan status kesehatan hewan di Indonesia (wilayah NKRI); (2) ALOP ditetapkan untuk setiap penyakit hewan menular eksotik dan endemik yang berpotensi merugikan secara ekonomi dan berpengaruh terhadap perdagangan; dan (3) ALOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Otoritas Veteriner Nasional. 2. Berdasarkan Terrestrial Animal Health Code (TAHC) OIE, appropriate level of protections (ALOP) dapat diartikan sebagai ‘tingkat perlindungan yang dianggap sesuai oleh suatu negara, dan telah ditetapkan sebagai tindakan sanitasi (sanitary measure) yang berguna untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan’. Sedangkan definisi ALOP dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini adalah tingkat perlindungan terhadap besarnya risiko yang dapat diterima dalam rangka pemasukan hewan dan produk hewan. Pengertian ALOP menurut rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini maknanya menjadi terkurangi, apabila dibandingkan dengan definisi ALOP yang terdapat dalam TAHC OIE. Oleh karena itu, diusulkan untuk menyempurnakan definisi ALOP yang mengacu pada pengertian ALOP dalam TAHC OIE. 3. Sebagai analogi, dijelaskan oleh Dr. Denny bahwa sejumlah negara anggota OIE memiliki tingkatan perlindungan yang berbeda dalam menetapkan acceptable risk dalam rangka pemasukan hewan dan produk hewan. Dicontohkan, ALOP Negara Australia adalah sangat rendah (very low) untuk memperkenankan pemasukan komoditas hewan dan/atau produk hewan dari negara lain yang telah dilakukan analisis risiko terkait PMK. Dalam hal ini, Negara Australia menggunakan analisis risiko kualitatif. Contoh lain, ALOP Negara Amerika Serikat adalah 0 atau zero untuk memperkenankan pemasukan komoditas hewan dan/atau produk hewan dari negara lain yang telah dilakukan analisis risiko terkait BSE. Dalam hal ini Negara Amerika Serikat menggunakan analisis risiko quatitatif. Dalam diskusi lebih lanjut dilontarkan pertanyaan, model analisis risiko bentuk apa yang tepat dilakukan di Indonesia? Dalam hal pelaksanaan analisis risiko pemasukan (import risk analysis) yang dilakukan oleh suatu negara, dikenal 3 model analisis risiko, antara lain: analisis risiko kualitatif, analisis risiko semi-kuantitatif dan analisis risiko kuantitatif. Menurut Prof. Bambang Soemiarto, model analisis risiko yang tepat dilakukan di Indonesia adalah model analisis risiko semi-kuantitatif. Sedangkan pendapat dari Ketua Komisi Ahli Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (Dr. Tata) menyebutkan bahwa ketiga model analisis risiko yang telah disebutkan di atas adalah baik dan semuanya dapat diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, komisi ahli menyepakati tidak perlu membatasi ruang lingkup model analisis risiko yang tepat dilakukan di Indonesia dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini. 4. Komisi ahli menyepakati bahwa penetapan ALOP dalam Rancangan Peraturan Menteri Pertanian ini hanya ditujukan untuk penyakit hewan menular eksotik. Ada 3 (tiga) jenis penyakit hewan menular eksotik yang ditentukan ALOP-nya berdasarkan pertimbangan: a. Status bebas penyakit hewan menular eksotik, berdasarkan deklarasi bebas yang di recognize OIE ataupun self declaration dari Otoritas Veteriner Nasional dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian; atau b. Negara mempunyai program pengendalian penyakit hewan menular strategis dalam bentuk kebijakan nasional. Berikut ditampilkan tabel tentang kriteria penetapan ALOP berdasarkan status dan situasi penyakit hewan menular di Indonesia, sebagai berikut: No. Nama PHM Eksotik Penetapan ALOP 1. Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) Extremely Low 2. Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE) Negligible 3. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) Negligible Keterangan: Batas penerimaan ALOP, komoditas hewan dan/atau produk hewan dapat diterima apabila acceptable risk (x) yang dihasilkan dalam analisis risiko sama dengan ALOP yang ditetapkan atau berada 1 tingkat di atas ALOP yang telah ditetapkan. Apabila x berada satu tingkat di atas ALOP, maka komoditas hewan dan/atau produk hewan dapat diperkenankan masuk, dengan syarat risk mitigation tambahan dapat dilakukan sesuai dengan risk management yang telah ditetapkan dalam dokumen analisis risiko. Agenda 3. Kajian roadmap pemberantasan brucellosis di pulau Jawa. Acuan diskusi: Presentasi Prof. Dr. drh. Bambang Soemiarto, SU, MSc. Tentang rencana pembebasan brucellosis di Pulau Jawa (19 Juli 2016); 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan 1. 4. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan. Pendahuluan Pada tanggal 19 Juli 2016, telah dilaksanakan pembahasan agenda 3 yang mengkaji roadmap pemberantasan brucellosis di Pulau Jawa. Pertemuan ini dibuka oleh drh. I Ketut Diarmita, MP (Direktur Kesehatan Hewan), dan dihadiri oleh perwakilan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, narasumber ahli di bidang kesehatan hewan, serta wakil dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat Provinsi sePulau Jawa. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk mengkaji rencana strategis pembebasan brucellosis di Pulau Jawa. Hasil Pembahasan Berikut ini rekomndasi komisi ahli yang membahas kajian roadmap pembebasan brucellosis di Pulau Jawa: 1. Arah kebijakan nasional dalam hal membebaskan brucellosis pada sapi dan kerbau (bovine brucellosis) di Indonesia, diidentifikasi ada 4 (empat) elemen penting yang diperlukan dalam memberantas brucellosis di Indonesia, yaitu: o Komitmen bersama antara Ditjen. PKH, Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di Provinsi ataupun Kabupaten/Kota, maupun peternak; o Penyediaan vaksin brucellosis yang berkualitas, dalam hal ini direkomendasikan menggunakan vaksin S19 yang diproduksi oleh Pusat Veteriner Farma (Pusvetma); o Kerjasama intern dan/atau lintas sektoral; dan o Peningkatan kapasitas dan kapabilitas insan veteriner di lingkup Laboratorium Veteriner (BBVet, BVet, Pusvetma, dan Laboratorium Veteriner di daerah), dan petugas veteriner di daerah. 2. Dalam hal memberantas brucellosis di Pulau Jawa, perlu komitmen bersama antara Ditjen. PKH, dan Dinas Provinsi lingkup se-Pulau Jawa untuk dapat memulainya dengan memprioritaskan program pemberantasan brucellosis di tahun anggaran 2016. Kesepakatan dalam forum ini, setiap Dinas Provinsi diwajibkan untuk membuat proposal tentang ‘pemberantasan brucellosis secara terintegrasi se Pulau Jawa Tahun 2027’. 3. Dalam forum ini juga telah dilakukan pengelompokan masalah (inventarisasi masalah) terkait hal apa saja yang menjadi tantangan Dinas Provinsi dalam mewujudkan status Pulau Jawa bebas brucellosis tahun 2027. Beberapa hal tersebut, antara lain: Prov. Jawa Tengah: o o o Lalu lintas hewan utamanya ternak ruminansia besar menjadi faktor kritis dalam menyebarkan brucellosis di Jawa Tengah. Dana kompensasi test & slaughter dianggap sangat kecil oleh peternak, sehingga di level pelaksanaan kebijakan itu sulit dilakukan. Prov. Jawa Tengah menargetkan 2018 bebas brucellosis. Prov. Jawa Barat, o Kebijakan pemerintah daerah dalam membebaskan brucellosis di Jawa Barat adalah dengan pengendalian, belum dalam level pemberantasan. o Tahun 2017, rencananya dilaksanakan forum Mitra Praja Utama yang membahas lalu-lintas hewan se-Pulau Jawa. o Prov. Jawa Barat menargetkan 2025 bebas brucellosis. Prov. DKI Jakarta, o Prevalensi brucellosis di DKI Jakarta >4%. o Prov. DKI Jakarta memiliki premises khsusus untuk menampung sapi siap potong (feedercattle), dalam hal ini premises tersebut ditujukan untuk mengintervensi kedatangan sapi dari luar Prov. DKI Jakarta agar dilakukan tindakan veteriner dengan melakukan uji diagnostik berbasis serologis untuk mendeteksi adanya infeksi brucellosis. Unit premises tersebut terdapat di Pondok Rangoon. o Tindakan test and slaughter tidak bisa dilakukan di wilayah DKI Jakarta. Kebijakan vaksinasi yang dilakukan oleh DKI Jakarta adalah menggunakan vaksin RB51. Coverage vaccination di setiap tahunnya berkisar 70-80% di seluruh wilayah DKI Jakarta. 4. Dalam hal pengendalian dan pemberantasan brucellosis pada sapi di pulau Jawa, identitas ternak yang telah di vaksin menjadi faktor kunci keberhasilan pemberantasan brucellosis se-Pulau Jawa. Khususnya dalam penyediaan identitas ternak, beberapa Provinsi di Pulau Jawa mengusulkan penggunaan microchip sebagai identitas ternak. Terkait penyediaan microchip, ataupun hal lainnya terkait dengan database yang akan terekam dalam microchip akan dibahas lebih lanjut dalam forum selanjutnya. 5. Perlu intervensi dari Ditjen. PKH untuk memfungsikan Pos Pengawasan Lalu Lintas, dan diprioritaskan untuk mendapatkan anggaran operasional pengawasan lalu lintas. 6. Perlu melibatkan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dalam hal mengembangkan sistem dinamik pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Pulau Jawa. 7. Pusat Veteriner Farma, Surabaya diwajibkan untuk memproduksi vaksin S19, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan vaksin berdasarkan data populasi ternak ruminansia besar di Pulau Jawa. 8. Perlu adanya peta lalu lintas ternak, untuk mengidentifikasi pemasukan dan/atau pengeluaran ternak antar wilayah di Pulau Jawa. 9. Laboratorium veteriner yang terlibat dalam kegiatan pengendalian dan pemberantasan brucellosis di Pulau Jawa harus berstatus terakreditasi ISO:IEC 17025. 10. Melakukan sosialisasi dengan unsur komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) secara berkala dan berkelanjutan pada seluruh lapisan masyarakat, utamanya peternak. Serta melakukan advokasi, komunikasi dan kerjasama kepada stakeholder terkait. 11. Perlu ada aspek legalitas yang difasilitasi Ditjen. PKH dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian dalam hal mendukung kebijakan pemberantasan brucellosis di Pulau Jawa. Agenda Tambahan. Justifikasi ilmiah terhadap arahan Menteri Pertanian untuk membuat kajian akademik dalam hal merevisi penjelasan Pasal 36, tepatnya Pasal 36b sampai dengan Pasal 36e UU No. 41 Tahun 2014 juncto UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Acuan diskusi: Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 1. 2. 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; dan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan. Pendahuluan Pada tanggal 19 Juli 2016, telah dilaksanakan pembahasan agenda 3 yang mengkaji roadmap pemberantasan brucellosis di Pulau Jawa. Pertemuan ini dibuka oleh drh. I Ketut Diarmita, MP (Direktur Kesehatan Hewan), dan dihadiri oleh perwakilan komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, narasumber ahli di bidang kesehatan hewan, serta wakil dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat Provinsi sePulau Jawa. Tujuan dari pertemuan ini adalah mengkaji arahan oleh Menteri Pertanian untuk membuat kajian akademik dalam hal mendukung revisi penjelasan Pasal 36, tepatnya Pasal 36b sampai dengan Pasal 36e pada UU No. 41 Tahun 2014. Secara khusus substansi materi adalah membuat inventarisasi masalah terhadap rencana pemasukan sapi siap potong yang berasal dari Australia ataupun negara lainnya ke dalam Republik Indonesia. Hasil Pembahasan Berikut ini substansi hasil diskusi sebagaimana dimaksud di atas: 1. Arahan oleh Menteri Pertanian untuk membuat kajian akademik dalam hal mendukung revisi UU No. 41 Tahun 2014 terkait dengan menyempurnakan penjelasan Pasal 36, tepatnya Pasal 36b sampai dengan Pasal 36e. Oleh karena itu, materi bahasan untuk esok (19 Juli 2016) adalah membuat kajian akademis terhadap: a. Penentuan standar berat sapi potong yang ready slaughter; b. Penentuan berat hidup minimalsapi bakalan sampai ke Indonesia; Catatan: Komisi ahli berpendapat bahwa dalam hal penetapan standar berat sapi potong yang ready slaughter dan penetapan berat hidup minimal sapi bakalan sampai di Indonesia bukanlah ranah komisi ahli dalam memberikan pertimbangan teknis di bidang kesehatan hewan. c. Kajian tentang tindakan fattening selama 4 bulan dapat menghilangkan residual hormon dalam daging? Catatan: Komisi ahli berpendapat bahwa terkait isu pemasukan sapi siap potong, peternak lokal merasa dirugikan karena dampak ekonomi yang ditimbulkan dalam hal pemasukan sapi tersebut ke Indonesia. Selain itu, dibahas isu lainnya bahwa adanya penggunaan hormone growth promoter (HGP) di negara asal pemasukan siap potong. Hal ini tentunya akan membahayakan masyarakat yang mengonsumsi daging yang berasal dari sapi tersebut. Komisi ahli menyepakati, apabila sapi siap potong diperkenankan masuk, maka tindakan sanitasi apa yang diperlukan dalam hal memperhatikan kepentingan nasional. Teknis mitigasi risiko: o Sapi siap potong boleh dilakukan pemasukannya ke Indonesia, tetapi mempersyaratkannya bebas residual hormon dan penggunaan antibiotik minimal 2 (dua) minggu sebelum pengiriman. o Membuat persyaratan kesehatan hewan (health requirement) bahwa Pihak Otoritas Veteriner Australia mencantumkan tanggal dan tahun penggunaan hormon dan antibiotik terakhir. d. Bagaimana istilah ‘sapi siap potong’ dapat muncul dalam revisi UU 41 Tahun 2014; Catatan: Perwakilan komisi ahli berpendapat bahwa dalam hal menyisipkan istilah ‘sapi siap potong’ dalam revisi UU No. 41 Tahun 2014, yaitu: Dr. AAG Putra berpendapat bahwa untuk mengenalkan istilah sapi siap potong dalam UU No. 41 Tahun 2014, yaitu dengan merevisi Pasal 36e dalam hal tertentu, untuk boleh mengimpor sapi siap potong dari negara atau zona dalam suatu negara dengan exception dalam hal tertentu. Dr. Sintong berpendapat bahwa untuk mengenalkan istilah sapi siap potong dalam UU No. 41 Tahun 2014, yaitu merevisi Pasal 36b dengan menyisipkan istilah sapi siap potong dalam Pasal tersebut, tetapi nantinya revisi ini akan mengakibatkan norma yang mengatur tindakan fattening selama 4 bulan hilang dalam Pasal 36b. 2. Komisi ahli kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, dalam hal ini diwakili oleh drh. Tri Satya Naipospos, M.Phill, PhD (Ketua) menyampaikan rekomendasinya, yaitu: a. perlu pembahasan lebih lanjut tentang penulisan naskah akademik terkait dengan usulan merevisi UU No. 41 Tahun 2014. b. Pembahasan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam butir a. dilakukan oleh tim khusus.