kebutuhan pembelajaran bahasa bali siswa sekolah dasar di

advertisement
Halaman 54
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
KEBUTUHAN PEMBELAJARAN BAHASA BALI
SISWA SEKOLAH DASAR
DI DAERAH TINGKAT I PROVINSI BALI1)
Ni Luh Sutjiati Beratha
Fakultas Sastra Universitas Udayana
Abstract
This article discusses the needs of studying and learning processes of Balinese for primary
student in Bali Province. From the research findings, it was discovered that the Balinese
primary students’ proficiency is very poor and the goal of teaching Balinese is very urgent
since its usage is getting rare. The scope of using Balinese involves the society, household,
schools,, and psychosocial backgrounds like religions, brotherhood, relax, formal, politics,
and ethics. Further, from the three domains of Balinese usage, it could be identified the
communicants who speak Balinese and the social relations of those speakers, that is, high x
low, and parallel. The communication instrumentality of primary students in rural areas, 1st
– 4th classes are very productive at spoken language and written language for primary
students of 1st and 3rd classes are receptive. For primary students at urban areas, the spoken
language of 1st and 2nd classes is receptive and it is more productive for 3rd -4th classes. For
written language its result is the same with the primary students in the country, that is,
receptive on 1st – 3rd classes and it is getting more productive after the 4th classes. The
communication mode of Balinese consists of monolog and dialogue and its communication
channel is divided into three categories, that is, very important, important, and unimportant.
The Balinese style that needs to be taught to primary students is standard style. The
communication events consist of speech situation and speech acts that involve the society,
household and school domains.
Key words: studying and learning process, domain, spoken and written language,
productive, reseptive
1. PENDAHULUAN
Makalah ini akan menguraikan pokok-pokok
bahasan yang terkait dengan kebutuhan
pembelajaran bahasa Bali siswa SD kelas I sampai
dengan kelas VI di daerah Tingkat I Provinsi Bali
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada
tiga kabupaten dan satu pemerintahan kota di Bali.
Pembahasan mengenai pemerolehan bahasa I dan
II mengawali makalah ini mengingat posisi bahasa
Bali saat ini bisa sebagai bahasa I dan II.
Ketidakpahaman seseorang terhadap bahasa Bali
sangat erat kaitannya dengan apakah sebuah
bahasa diperoleh sebagai bahasa I atau II (dengan
kata lain bagaimanakah suatu bahasa diperoleh),
dan tampaknya posisi bahasa Bali di Bali saat ini
pada beberapa ranah pemakaian bahasa Bali
diambil alih oleh bahasa Indonesia (Arnati 1996).
Menurut Richard dkk. (1985:3), proses seseorang
dalam mempelajari suatu bahasa disebut dengan
istilah pemerolehan bahasa, bukan pembelajaran
bahasa. Istilah pemerolehan bahasa berkembang
karena adanya kepercayaan para ahli bahasa bahwa
perkembangan sebuah bahasa pertama pada
seorang anak merupakan suatu proses khusus.
Pendapat Richard dkk tampaknya sejalan dengan
Chomsky yang menyatakan bahwa:
1. anak-anak lahir dengan kemampuan
khusus dalam pembelajaran bahasa,
2. mereka tidak harus dipaksa untuk belajar
bahasa atau memperbaiki kesalahankesalahan mereka,
3. mereka belajar bahasa dengan menjelaskan
secara rinci (membedah) hal-hal yang
terkait dengan bahasa tersebut, dan
4. kaidah-kaidah bahasa berkembang secara
tidak disadari.
Seorang anak dikatakan memperoleh
kaidah bahasa ibu mereka apabila mereka mampu
membedah bahasa tersebut dengan cara memberi
contoh-contoh, dan menggunakan bahasa itu untuk
berkomunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Halaman 55
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
Berdasarkan hasil wawancara dengan
para guru SD di desa dan di kota, dengan para
budayawan dan pemerhati bahasa, secara umum
anak-anak di perkotaan berbahasa Indonesia dalam
berkomunikasi karena mereka belum mampu
berbahasa Bali. Ini menunjukkan bahwa bahasa
pertama mereka adalah bahasa Indonesia. Pada
masyarakat pedesaan adalah sebaliknya, bahasa
Bali merupakan bahasa pertama mereka. Dalam
konteks seperti ini bahasa Bali di Bali adalah
sebagai bahasa pertama di satu sisi dan sebagai
bahasa kedua di sisi lain. Dalam kenyataan,
pemerolehan bahasa I sangat berbeda dengan
bahasa II, baik ditinjau dari karakteristik pribadi
maupun kondisi dalam mempelajari suatu bahasa.
Oleh sebab itu, hal seperti ini perlu mendapatkan
perhatian, khususnya untuk menyamakan persepsi
dalam rangka pembelajaran bahasa Bali, baik
untuk pengembangan maupun untuk pelestarian
bahasa Bali. Berikut disajikan ciri-ciri seorang
anak yang belajar bahasa I dan kondisi
pembelajarannya.
Ciri-ciri pembelajaran bahasa I:
1. Seorang anak yang mempelajari suatu
bahasa sebagai bahasa I tidak memiliki
cognitive maturity (yaitu kemampuan
untuk ikut serta memecahkan suatu
masalah deduksi dan yang terkait dengan
memori kompleks). Di samping itu,
mereka tidak memiliki kesadaran
metabahasa, yaitu suatu kemampuan
untuk memperlakukan bahasa sebagai
bahasa sebuah objek, dan
2. Pengetahuan tentang bahasa-bahasa lain
dapat mengantarkan pembelajaran untuk
membuat terkaan yang tidak benar
tentang bagaimana kedua bahasa tersebut
berinteraksi, dan ini dapat memungkinkan
terjadinya penyimpangan (error) yang
semestinya tidak perlu dibuat oleh
pembelajar bahasa I.
Kondisi pembelajaran bahasa I:
1. Pembenaran penyimpangan cenderung
terbatas pada perbaikan makna termasuk
di dalamnya penyimpangan dalam
pemilihan kosakata. Akan tetapi, untuk
pemerolehan bahasa II kondisi seperti ini
tidak terjadi sebab secara formal
penyimpangan
tidak
berpengaruh
terhadap makna, namun ini sering
diperhatikan
secara
berlebihan.
Penyimpangan terhadap tata bahasa,
ucapan (pelafalan) jarang terjadi;
2.
3.
Kondisi yang tampaknya umum terjadi di
dalam pemerolehan bahasa I dan II adalah
akses
terhadap
masukan
yang
termodifikasi;
Anak-anak yang memperoleh kondisi
pembelajaran bahasa yang baik di rumah
menerima langsung umpan balik,
sedangkan kondisi seperti ini sulit
dilaksanakan dengan segera.
Di samping itu, bahasa I umumnya
diperoleh secara normal di dalam lingkungan
keluarga (rumah) tanpa intervensi pedagogik,
sedangkan bahasa II diperoleh melalui lingkungan
sekolah di bawah penguasaan langsung seorang
guru. Bahasa II mengizinkan pembangunan sebuah
teori atas bahasa II dalam kaitannya dengan bahasa
I tanpa melewati tahapan pemerolehan bahasa I.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini
akan mengidentifikasi kebutuhan belajar bahasa
Bali untuk siswa SD yang meliputi (1) pengukuran
terhadap kemampuan berbahasa Bali, (2) tujuan
belajar bahasa Bali, (3) latar penggunaan bahasa
Bali, (4) interaksi dalam komunikasi, (5) ragam
bahasa bali dan tingkat penguasaan berbahasa dan,
(6) peristiwa komunikasi. Keenam materi tersebut
akan diuraikan secara rinci berikut ini.
2. KEBUTUHAN PEMBELAJARAN
BAHASA BALI SISWA SEKOLAH
DASAR
2.1 Kemampuan Berbahasa Bali
Menurut Chomsky (1965), kemampuan adalah
pengetahuan tentang penguasaan bahasa seseorang
yang umum disebut dengan istilah linguistic
competence,
yaitu
kemampuan
dalam
menggunakan bahasa secara memadai apabila
dilihat dari sistem bahasa. Dalam studi ini
kemampuan berbahasa adalah kemampuan untuk
menggunakan bahasa untuk tujuan berkomunikasi,
baik secara lisan maupun tulisan dalam konteks
sosial sehingga dapat dimengerti (diterima) karena
sudah sesuai dengan fungsi-fungsi bahasa dalam
komunikasi, karena sudah sesuai dengan latar
penggunaan bahasa, karakteristik penutur,
peristiwa tutur, pelibat dalam tuturan, saluran
komunikasi, dan situasi sosial-emosional tuturan.
Ada tiga jenis kemampuan berbahasa Bali yang
diukur dalam penelitian ini, yaitu (1) kemampuan
berbahasa Bali lisan, (2) kemampuan berbahasa
Bali sesuai dengan aras-tutur, dan (3) kemampuan
berbahasa Bali tulis, baik dengan huruf Latin
maupun huruf Bali.
Universitas Sumatera Utara
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
2.1.1 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali
Lisan
Seorang anak akan memperoleh bahasa
lisan terlebih dahulu sebab pada hakikatnya bahasa
adalah bahasa lisan, diikuti oleh kemampuan
berbahasa tulis. Bahasa dianggap sebagai gejala
sosial, yaitu sebagai produk kehidupan manusia
dalam masyarakat. Kemampuan berbahasa lisan
siswa SD kelas I—VI di Daerah Tingkat I Provinsi
Bali sangat beraneka ragam, baik mereka yang
tinggal di pedesaan maupun di perkotaan.
Dari pengamatan secara mendalam
terhadap anak-anak yang memiliki kemampuan
berbahasa Bali lisan pada kelompok nihil
khususnya pada masyarakat pedesaan, mereka
tampaknya hanya memiliki pemahaman secara
pasif. Ini artinya bahwa apabila ayah dan ibu atau
guru mereka berbahasa Bali, mereka dapat
memahaminya,
namun
tidak
dapat
menggunakannya secara verbal, serta semua
respon atas pertanyaan yang diberikan kepada
mereka akan selalu dijawab dengan bahasa
Indonesia.
Ini sangat berbeda dengan siswa yang
tergolong pada kelompok nihil di perkotaan:
mereka sama sekali tidak mengerti bahasa Bali.
Hasil penelitian ini mengisyaratkan bahwa bahasa
I yang mereka peroleh adalah bahasa Indonesia,
dan bahasa Bali baru dipelajari di sekolah, bukan
dari lingkungan keluarga yang semestinya
merupakan komunitas kecil untuk mengawali
pelestarian bahasa daerah, khususnya dengan
mengajarkan bahasa Bali di rumah tangga.
Pada masyarakat pedesaan, terdapat
peningkatan kemampuan berbahasa lisan yang
sangat tajam. Akan tetapi, pada masyarakat
perkotaan peningkatan kemampuan berbahasa
lisan adalah tidak seperti pada masyarakat
pedesaan. Ini mungkin disebabkan oleh
penggunaan bahasa Bali di rumah sangat kurang
pada masyarakat perkotaan dibandingkan dengan
masyarakat pedesaan. Di samping itu, kemampuan
pemahaman berbahasa Bali lisan siswa SD pada
masyarakat pedesaan dan perkotaan belum disertai
oleh penggunaan aras-tutur (unda-usuk) yang
cukup memadai. Aras-tutur adalah ragam yang
merupakan ciri khas bahasa Bali, dan kemampuan
penggunaan aras-tutur dibahas secara rinci berikut
ini.
2.1.2 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali
Sesuai dengan Aras-Tutur
Menurut statistik (1997), penduduk Bali
saat ini berjumlah 2.906.582 jiwa, yang terdiri atas
laki-laki 1.446.822 dan perempuan 1.459.760.
Sekitar 10% dari seluruh penduduk saat ini adalah
Halaman 56
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
dari kalangan Triwangsa dan selebihnya dari
kalangan kebanyakan (sudra). Masyarakat Bali
terdiri atas dua kelompok masyarakat: (1)
kelompok non-Triwangsa menduduki jumlah
banyak sehingga sering disebut pula sebagai
kalangan kebanyakan; dan (2) kelompok
Triwangsa terdiri atas Brahmana, Ksatria, dan
Wesya. Tingkatan-tingkatan masyarakat Bali
seperti ini memunculkan aras-tutur bahasa Bali,
seperti bentuk hormat dan lepas hormat (Bagus,
1976:109; Tinggen, 1995).
Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa
SD di Bali, baik di desa maupun di kota belum
memiliki kemampuan penggunaan aras-tutur yang
cukup memadai. Salah satu faktor penyebab
tingkat kemampuan penggunaan aras-tutur yang
belum memadai adalah karena rumit (‘sulit’)
penggunaannya, dan siswa SD belum mampu
untuk memahaminya; dengan berbahasa Indonesia
tampaknya lebih mudah dan netral tanpa harus
mengetahui pelibat dalam suatu peristiwa
komunikasi berasal dari kelompok yang mana. Di
samping itu, tampaknya sejauh ini belum tersedia
materi yang khusus terkait dengan pengajaran arastutur bahasa Bali.
Secara umum, siswa SD di desa dari kelas
III sampai dengan kelas VI belum menguasai
penggunaan aras-tutur dengan cukup baik.
Berdasarkan pengamatan pada saat pelaksanaan tes
(pengisian instrumen) yang dilakukan terhadap
anak SD kelas I—VI, khususnya pada sekolah
pedesaan, para siswa tersebut sangat lambat di
dalam menjawab semua pertanyaan yang
berbahasa Bali, apabila dibandingkan dengan
siswa SD di kota. Apabila kemampuan siswa SD
yang
berasal
dari
kalangan
Triwangsa
dibandingkan dengan mereka dari Sudra tampak
jelas bahwa siswa SD dari Triwangsa jauh lebih
mampu menggunakan aras-tutur daripada mereka
dari kalangan non-Triwangsa. Anak-anak dari
Triwangsa
(khususnya
Brahmana)
selalu
berkomunikasi dengan nenek/kakek (apabila
mereka adalah pendeta Hindu) menggunakan
bahasa Bali bentuk hormat. Di Bali, jarang
ditemukan seorang pendeta mau berkomunikasi
dengan lawan tuturnya dengan bahasa lain, kecuali
bahasa Bali.
Pada siswa SD di pedesaan dapat
dipahami dengan jelas bahwa kemampuan
menggunakan aras-tutur semakin mantap setelah
siswa SD berada di kelas IV ke atas. Siswa kelas
IV dan V yang menguasai aras-tutur dalam
kategori lanjut adalah 75% untuk kelas IV dan
87,5% pada kelas V. Setelah mereka di kelas VI,
penguasaan aras-tutur pada kategori lanjut menjadi
93,7%. Dari 75% siswa kelas IV yang memiliki
Universitas Sumatera Utara
Halaman 57
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
kemampuan dalam kategori lanjut 50% adalah
wanita dan selebihnya 25% adalah laki-laki.
Demikian juga halnya untuk siswa kelas V: 47%
wanita dan 40% laki-laki, dan pada kelas VI: 50%
wanita dan 43,7% laki-laki.
Secara umum wanita dianggap selalu
lebih rendah (subordinate) daripada pria. Menurut
Smith (1992:59), wanita memiliki sifat lemah
lembut, tidak langsung, dan kurang memiliki
kekuasaan. Hal ini sudah mulai tampak jelas pada
siswa SD, baik di desa maupun di kota, sehingga
penelitian ini mendukung pendapat Smith bahwa
wanita Bali memiliki status sosial lebih rendah
daripada pria. Hal ini berimplikasi terhadap
penggunaan bahasa Bali siswa SD wanita; mereka
berbahasa Bali bentuk hormat lebih sering dan
lebih terampil daripada laki-laki. Ini mungkin
dikarenakan wanita memiliki sifat halus, modest,
pendiam (reticence), sopan. Sifat seperti ini jarang
ditemukan pada pria. Sifat yang dimiliki oleh
wanita tercermin melalui gaya atau tingkah laku
berbahasa yang selalu tampak sopan dan formal
sehingga bahasa Bali wanita lebih baik daripada
pria. Untuk siswa SD kelas IV, wanita memiliki
kemampuan
penguasan
aras-tutur
37,5%,
sedangkan prianya 18,7%. Di samping itu, siswa
wanita cenderung menggunakan kalimat kompleks
pada ketiga ranah pemakaian bahasa. Temuan ini
mendukung sifat formal yang dimiliki wanita.
Bahasa formal lebih lengkap, utuh, sesuai dengan
kaidah penggunaannya.
Kenyataan ini sudah disadari para guru
mereka, dan bahkan mereka mengalami kesulitan
dalam mengajar bahasa Bali. Kesulitan itu
dirasakan makin bertambah berat karena belum
tersedianya materi pengajaran aras-tutur bahasa
Bali yang sesuai sebagai materi pelajaran untuk
siswa SD di Bali. Walaupun Tinggen (1995) telah
menulis Sor Singgih Bahasa Bali, buku tersebut
diperuntukan bagi siswa SLTP dan SLTA. Di
samping itu, guru bahasa Bali tidak memiliki
kualifikasi dalam bidang studi yang diajarkan.
Semua guru bahasa Bali di SD adalah guru agama
(kualifikasi/latar belakang pendidikannya adalah
agama Hindu), namun mereka diminta untuk
mengajarkan bahasa Bali.
2.1.3 Kemampuan Menggunakan Bahasa Bali
Tulis
Bahasa Bali tulis dalam penelitian ini
terdiri atas (a) bahasa Bali tulis yang berhuruf
Latin dan (b) bahasa Bali tulis yang berhuruf Bali
(hanacaraka).
(a) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan
huruf Latin
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Penelitian ini menunjukkan bahwa
kemampuan berbahasa Bali dengan huruf Latin
siswa SD kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I
Provinsi Bali adalah seperti dijelaskan berikut ini.
Menurut data penelitian ini, siswa SD kelas I baru
diajarkan menulis dengan huruf Latin, dan pada
Semester I baru diperkenalkan huruf balok. Oleh
sebab itu, kemampuan mereka berbahasa Bali tulis
dengan huruf Latin boleh dikategorikan nihil.
(b) Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan
huruf Bali
Hasil wawancara dengan informan kunci
menunjukkan bahwa pelajaran menulis Bali
(dengan huruf Bali) baru diperkenalkan di kelas
tiga pada Semester III, yaitu dengan mengajarkan
alfabet bahasa Bali yang disebut dengan
anacaraka. Pelajaran membaca dan menulis huruf
Bali diberikan sampai dengan kelas VI. Penelitian
ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis
mereka dikategorikan sangat minim. Salah satu
penyebabnya adalah materi yang digunakan
sebagai pegangan guru untuk mengajar penulisan
huruf Bali di SD belum ada sampai saat ini. Buku
pegangan guru untuk mengajar menulis (uger-uger
pasang sastra aksara Bali) diambil dari Tinggen
(1984). Buku ini tampaknya belum memadai sebab
buku tersebut memiliki level tinggi, dan terasa
sangat sulit bagi siswa SD. Buku Purwa Aksara,
Pasang Aksara dan Pacraken digunakan untuk
belajar menulis siswa SD kelas III—VI. Menurut
pengakuan mereka menulis dengan aksara Bali
sangat sulit. Pada akhir Semester II, siswa kelas VI
belum mampu menggunakan dengan baik aturan
(uger-uger) Pasang Aksara Bali. Hasil evaluasi
akhir menunjukkan bahwa nilai rata-rata mereka
adalah 75% cukup, dan hanya sebagian kecil yang
memperoleh nilai 7 atau 8.
2.3 Tujuan Belajar Bahasa Bali
Belajar suatu bahasa harus disertai dengan tujuan
yang jelas. Apabila tidak jelas, sasaran yang
hendak dicapai akan tidak terarah. Secara umum
tujuan pengajaran bahasa Bali menjadi sangat
urgen sebab kedudukan dan fungsi bahasa Bali
tampaknya makin terdesak. Dengan memahami
kenyataan itu, tujuan pengajaran bahasa hendaknya
sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai pada
akhir pengajaran suatu bahasa. Tujuan ini sangat
terkait dengan jenis-jenis keterampilan yang
diajarkan, fungsi bahasa, aktivitas tutur, peristiwa
tutur yang semuanya harus disesuaikan dengan
jenjang/tingkatannya. Misalnya, apabila seseorang
ingin
belajar
bahasa
untuk
berbelanja,
keterampilan yang perlu diajarkan adalah
bercakap-cakap. Akan tetapi, jika seseorang ingin
Universitas Sumatera Utara
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
belajar bahasa untuk tujuan menulis surat,
keterampilan yang diajarkan adalah menulis. Oleh
sebab itu, tujuan yang hendak dicapai di dalam
mempelajari suatu bahasa harus diketahui terlebih
dahulu sebelum latar penggunaan bahasa sebab
tujuan pembelajaran suatu bahasa sangat terkait
dengan keterampilan yang mendukung proses
pembelajaran agar sasaran yang ingin dicapai
terpenuhi dengan baik.
Penelitian yang telah dilakukan adalah
dalam rangka pelestarian bahasa Bali seperti
digariskan dalam GBHN 1993 dan UUD 1945,
dengan tujuan agar orang Bali tetap memiliki
identitas, dan tidak tercabut dari akar dan
budayanya. Dalam instrumen penelitian ada lima
keterampilan yang diusulkan sebab kelima
keterampilan ini sangat umum digunakan dalam
pengajaran bahasa, baik untuk pengajaran bahasa I,
II, ataupun bahasa asing. Keterampilan tersebut
adalah (1) keterampilan membangun kosakata, (2)
keterampilan bercakap-cakap, (3) keterampilan
menyimak, (4) keterampilan membaca, dan (5)
keterampilan menulis.
Kemampuan berbahasa seseorang akan
tampak dalam kelima keterampilan di atas. Hasil
penelitian sudah sesuai dengan filosofis bahasa
bahwa seseorang belajar sebuah bahasa adalah
melalui kata (leksikon), selanjutnya dengan
menggabungkan kata dengan kata lainnya,
dibentuk frasa, klausa (kalimat tunggal), kemudian
kalimat (kalimat kompleks). Dalam kenyataannya,
bahasa lisan diperoleh terlebih dahulu kemudian
diikuti oleh bahasa tulis.
Untuk SD kelas I, tampaknya mereka
baru diperkenalkan huruf Balok sehingga jenis
keterampilan berbahasa Bali yang perlu diajarkan
adalah (1) membangun kosakata dan (2) bercakapcakap. Keterampilan yang diajarkan untuk siswa
SD kelas II adalah (1) membangun kosakata, (2)
bercakap-cakap, dan (3) menyimak. Data studi ini
menunjukkan bahwa keterampilan menyimak
tampaknya mulai penting diajarkan pada siswa
kelas II. Realisasi pelajaran menyimak untuk siswa
kelas II ini adalah guru bercerita di depan kelas
dan siswa mendengarkan sambil memahami isi
cerita tersebut. Materi yang dipilih adalah yang
sarat akan pesan dan berisikan pendidikan budi
pekerti.
Siswa SD kelas III mulai diperkenalkan
keterampilan menulis huruf Bali pada semester II.
Pada kelas III, jenis-jenis keterampilan yang perlu
diajarkan adalah (1) membangun kosakata, (2)
bercakap-cakap, (3) menyimak, dan (4) menulis
dengan huruf latin dan Bali. Pada siswa SD kelas
IV keterampilannya adalah (1) membangun
kosakata, (2) bercakap-cakap, (3) menyimak, (4)
Halaman 58
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
menulis dengan huruf Latin dan Bali, dan (5)
membaca. Keterampilan huruf Bali tampaknya
penting diajarkan mulai kelas IV Semester I sebab
pengenalan huruf Bali sudah diajarkan pada kelas
III semester II. Pelajaran membaca tampaknya
perlu diajarkan seintensif mungkin pada saat itu,
dan akan berlanjut sampai ke kelas V dan VI.
Pada siswa kelas V dan VI, semua
keterampilan perlu diajarkan secara terintegrasi
sebab keterampilan yang satu akan mendukung
yang lain, dan kemampuan siswa sudah semakin
meningkat. Penguatan atas semua keterampilan
perlu diberikan di kelas IV mulai Semester II
dalam rangka mempersiapkan siswa menghadapi
EBTADA (EvaIuasi Belajar Tahap Akhir Daerah),
di mana bahasa Bali merupakan salah satu mata
pelajaran yang harus diujikan.
Perlu dikemukakan di sini bahwa teks untuk
keterampilan membaca diambil dari buku cerita
rakyat Bali yang kaya akan pesan untuk
mengajarkan budi pekerti kepada siswa. Untuk
pelajaran menyimak, siswa SD diajarkan
menyajikan lagu-lagu Bali, yaitu “Sekar Alit”
terdiri atas: “Pupuh Ginanti”, “Mijil”, “Mas
Kumambang”, “Pucung”, “Semaran Dana”,
“Sinom”, “Ginada”, “Durma”, “Pangkur”, dan
“Dangdang”. Untuk Kidung (khususnya “Kidung
Dewa Nyadnya”) meliputi “Kidung Warga Sari”
dan “Magatruh”. Keterampilan menyimak ini
sekaligus dikaitkan dengan pelajaran apresiasi
seni. Siswa juga diajarkan beberapa hal yang
terkait dengan bidang kesusastraan seperti pepatah
(sesonggan),
ibarat
(sasenggakan),
tamsil
(wewangsalan),
seloka
(bidal),
metafora
(beladbadan), pantun (peparikan), perumpamaan
(papindan), perumpamaan (sesawangan), teka-teki
(cacimpedan), syair teka-teki (cecangkriman),
olok-olokan
(cecangkitan),
lawakan
(raos
ngempelin), sindiran (sasimbing), sindiran halus
(sasemon), dan alamat (sipta).
2.4 Latar Penggunaan Bahasa Bali
Ranah (domain) merupakan salah satu faktor
penting untuk menentukan kehadiran bahasa atau
ragam bahasa dalam komunikasi verbal. SchmidtRohr (1932) adalah orang pertama yang
menyarankan konfigurasi ranah (domain) dan
membedakannya menjadi sembilan ranah:
keluarga, tempat bermain, jalan, sekolah, gereja,
kesusatraan, pers, militer, pengadilan, dan
administrasi pemerintah (dalam Pride dan Holmes,
1972:18). Menurut Fasold (1985) dan Romaine
(1995:30), ranah merupakan konstelasi dari topik,
situasi, latar, dan hubungan antarpelibat. Akan
tetapi, Fishman (1979:18) mengemukakan bahwa
ranah merupakan konteks dalam lingkungan sosial
Universitas Sumatera Utara
Halaman 59
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
di mana terjadinya peristiwa tutur. Pemakaian satu
bahasa dapat terjadi pada ranah keluarga, adat,
pendidikan, dan lain-lain.
Ranah dalam konteks ini terkait dengan
latar (setting) penggunaan bahasa Bali yang dalam
studi ini terdiri atas:
1. lokasi penggunaan hahasa,
2. waktu penggunaan bahasa, dan
3. latar psiko-sosial penggunaan bahasa
2.4.1 Lokasi Penggunaan Bahasa Bali
Objek penelitian ini adalah siswa SD
kelas I—kelas VI di Daerah Tingkat I Provinsi
Bali. Dengan didasari atas asumsi bahwa mereka
sekurang-kurangnya berada pada tiga lokasi dalam
keseharian mereka di Bali, dalam studi ini
diusulkan tiga lokasi penggunaan bahasa Bali,
yaitu (a) pada masyarakat luas, (b) di rumah
(tangga), dan (c) di sekolah.
a. Pada masyarakat luas
Ada sejumlah lokasi yang dapat
dikategorikan ke dalam masyarakat luas, di mana
bahasa Bali dianggap memiliki potensi untuk
digunakan. Bahasa dalam ranah ini digunakan oleh
anggota masyarakat luas dalam interaksi verbal
dengan kelompok sosial, lingkungan peribadatan,
permainan, dan rekreasi.
b. Di rumah tangga
Siswa SD hampir sebagian besar
waktunya dihabiskan di rumah sehingga keluarga
sebagai komunitas kecil sudah sewajarnya
menggunakan bahasa Bali, dan rumah tangga
digunakan sebagai tempat untuk memulai
pengajaran bahasa Bali. Bahasa pada ranah
keluarga digunakan oleh semua anggota keluarga,
yaitu antara orang tua dengan anak-anak, atau
sebaliknya. Pada SD pedesaan semua aktivitas
tampaknya mampu diwahanai oleh bahasa Bali. Ini
artinya bahwa mereka menganggap penggunaan
bahasa Bali potensial atau sangat potensial, kecuali
pada ruang belajar dan kamar mandi. Pada
masyarakat perkotaan, potensi penggunaan bahasa
Bali sangat bervariasi. Khusus untuk lokasi yang
berkaitan dengan kegiatan adat istiadat, bahasa
Bali dikatakan sangat potensial, serta untuk lokasi
di dapur, ruang makan, ruang keluarga, ruang tidur
penggunaan bahasa Bali masih potensial, namun
untuk halaman rumah, sumur, ruang belajar, dan
kamar mandi, penggunaan bahasa Bali tidak
potensial.
c. Di sekolah
Sekolah juga merupakan salah satu lokasi
siswa SD beraktivitas sehari-hari. Dalam ranah
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
sekolah bahasa Bali juga digunakan apabila guru
berkomunikasi dengan siswa, pagawai dengan
siswa, antarsiswa, pedagang dengan siswa.
Pada SD pedesaan, bahasa Bali mampu
mewahanai semua aktivitas di luar kelas, dan dapat
dikategorikan masih potensial, tetapi kenyataan ini
tidak berlaku untuk aktivitas tutur di dalam kelas,
baik di perpustakaan, ruang kelas, atau ruang guru.
Tampaknya untuk semua aktivitas di sekolah
diwahanai oleh bahasa Indonesia, dan bahasa Bali
dianggap tidak potensial apabila digunakan di
sekolah, terutama pada SD perkotaan.
Menurut para budayawan, pemerhati
bahasa, dan para guru SD, penggunaan bahasa
pada ranah sekolah masih terkait dengna
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan resmi negara karena bahasa
Indonesia selalu digunakan untuk mewahanai halhal yang bersifat resmi (Halim,1980). Jadi, pada
ranah ini bahasa Bali tidak digunakan sebab situasi
pada ranah tersebut tampaknya resmi. Akan tetapi,
mereka mengimbau bahasa Bali digunakan sebagai
bahasa pengantar di kelas apabila mengajarkan
bahasa Bali. Di samping itu, bahasa Bali
digunakan pula sebagai bahasa pengantar pada SD
kelas I apabila siswa tersebut belum memiliki
kemampuan untuk memahami bahasa Indonesia
dengan baik. Keadaan seperti ini ditemukan
khususnya pada SD di pedesaan di mana guru
kelas menggunakan bahasa Bali pada saat
menjelaskan semua mata pelajaran.
Perlu juga untuk diungkapkan di sini
bahwa penguasaan bahasa dan variasi bahasa
mempengaruhi keterampilan berbahasa sesuai
dengan fungsi dan tingkat penguasaannya,
termasuk di dalamnya kemampuan memahami
(comprehension) secara lisan dan tulisan, dan
kemampuan berbicara dan menulis (expression).
2.4.2 Waktu Penggunaan Bahasa Bali
Fungsi bahasa ditentukan oleh rentang
waktu pemakaian (durasi), kekerapan, dan
penekanan. Bahasa Bali yang diajarkan di SD saat
ini adalah sebagai muatan lokal dalam Kurikulum
Nasional, dan hanya diajarkan dua jam setiap
minggu, termasuk teori dan praktik. Jumlah jam ini
tampaknya masih sangat kurang sehingga perlu
ditambah, sekurang-kurangnya 3-4 jam per
minggu, baik untuk praktik maupun teori. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa bahasa Bali
sering digunakan pada masyarakat pedesaan untuk
semua ranah, sedangkan pada masyarakat
perkotaan penggunaan bahasa Bali dianggap kuna
(Sukendra 1996).
Universitas Sumatera Utara
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
2.4.3 Latar Psiko-Sosial Penggunaan Bahasa
Bali
Fungsi bahasa memiliki kaitan yang
sangat erat dengan latar psiko-sosial penggunaan
bahasa. Untuk ketiga lokasi/ranah di atas, latar
psiko-sosial penggunaan bahasa Bali terdiri atas
(a) etis, (b) santai, (c) politis, (d) resmi, dan (e)
religius.
Suasana sosio-psikologi etis artinya
suasana terjadi dalam komunikasi verbal penutur
dengan lawan tutur di masyarakat luas dengan
penuh keseriusan di mana salah satu lawan
tuturnya tidak mengerti bahasa Bali. Suasana
sosio-psikologi politis artinya suasana terjadi
dalam rumah/di luar rumah dalam keadaan santai.
Suasana sosio-psikologi politis artinya suasana
terjadi di masyarakat luas dengan serius dan penuh
perhatian untuk tujuan politik. Suasana sosiopsikologi formal artinya suasana terjadi di
masyarakat luas, sekolah dan rumah dengan penuh
perhatian dan keseriusan. Suasana sosio-psikologis
religius artinya suasana terjadi di tempat-tempat
peribadatan dengan serius dan memiliki kaitan
dengan kegiatan keagaman (band. Pride, 1971:4-8)
Pada semua ranah, penggunaan bahasa
Bali dalam suasana sosio-psikologi politis
dianggap tidak penting, baik pada masyarakat kota
maupun desa. Pada masyarakat luas, dan rumah
tangga di desa, suasana santai dan kekeluargaan
penggunaan bahasa Bali masih tetap dianggap
penting, dan bahkan pada ranah rumah tangga pada
suasana formal, kekeluargaan dan religius
penggunaan bahasa Bali sangat penting. Akan
tetapi, pada ranah sekolah, hanya pada suasana
kekeluargaan dan religius tampaknya penggunaan
bahasa Bali penting, sedangkan untuk suasana
lainnya dianggap tidak penting.
Untuk masyarakat perkotaan, ranah
masyarakat luas yang dianggap penting berbahasa
Bali adalah apabila suasananya santai, dan
kekeluargaan, serta menjadi penting sekali untuk
suasana religius. Pada ranah rumah tangga suasana
santai, formal, dan kekeluargaan penting
menggunakan bahasa Bali, sedangkan pada
suasana religius penggunaan bahasa Bali menjadi
penting sekali. Pada ranah sekolah hanya suasana
religius yang menganggap penggunaan bahasa Bali
penting sekali, sedangkan pada suasana lainnya
penggunaan bahasa Bali tidak penting.
2.5 Interaksi dan Instrumentalitas Komunikasi
Suatu komunikasi verba yang baik memiliki
pelibat dalam peristiwa tutur pada ranah-ranah
pemakaian bahasa sebab latar selalu dihubungkan
dengan tempat terjadinya peristiwa tutur. Posisi
komunikan yang realistik diperankan oleh penutur.
Halaman 60
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Oleh sebab itu, pokok bahasan tentang interaksi
dan komunikasi serta hubungan sosial antarpelibat
akan mengawali uraian ini, dan selanjutnya diikuti
dengan pembahasan tentang instrumentalitas
komunikasi.
2.5.1 Interaksi dalam Komunikasi
Posisi komunikan dalam komunikasi
perlu dibicarakan untuk mengetahui dengan siapa
para komunikan biasanya berbahasa Bali pada
ketiga ranah di atas. Pada masyarakat luas,
penggunaan bahasa Bali menjadi penting bila
digunakan oleh anggota banjar dengan klian
banjar, antaranggota banjar, dan bahkan sangat
penting bila komunikasi dengan bahasa Bali
dilakukan oleh klian banjar dengan prajuru desa
adat. Akan tetapi, tidak penting bila komunikasi itu
terjadi antarkelompok masyarakat.
Di rumah tangga, penggunaan bahasa Bali
penting bila komunikasi itu dilaksanakan
antarsaudara, paman/bibi dengan kemenakan,
orang tua dengan paman/bibi, dan sangat penting
apabila anak dengan orang tua, kakek/nenek
dengan cucu, ayah dengan ibu, orang tua dengan
kakek/nenek, tetapi tidak penting apabila anak
dengan pembantu. Di sekolah, posisi komunikan
dalam komunikasi menjadi penting antarsiswa, dan
siswa dengan orang tuanya, tetapi tidak penting
jika guru dengan siswa, siswa dengan pegawai,
dan siswa dengan pedagang di kantin.
2.5.2 Hubungan Sosial Antarpelibat
Menurut Haugen (1972:329), pemakaian
bahasa dalam masyarakat dikaitkan dengan
kekuasaan dan solidaritas seseorang dalam
masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, Bown dan
Gilman (1972:256) menyatakan bahwa kekuasaan
mengacu kepada hubungan pelibat yang tidak
sejajar karena jabatan, kedudukan, atau posisi lebih
tinggi di masyarakat daripada penutur lain dalam
masyarakat bahasa. Misalnya, hubungan guru
dengan siswa, pengurus desa adat dengan anggota
banjar, dan lain-lain. Solidaritas mengacu kepada
hubungan antara penutur yang akrab dan sejajar,
seperti hubungan antarteman akrab dan
antaranggota banjar.
Berdasarkan konsep yang dikemukakan
oleh Brown dan Gilman (1972), parameter yang
digunakan untuk memahami hubungan sosial
antarpelibat pada ranah masyarakat luas, rumah
tangga, dan sekolah adalah (a) tinggi vs rendah,
dan (b) sejajar. Kedua hubungan ini sangat penting
dalam komunikasi sebab masyarakat Bali
berstratifikasi sosial yang dilatari oleh sistem
Universitas Sumatera Utara
Halaman 61
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
warna atau klen, dan di Bali dikenal dengan istilah
caturwarga yang terdiri atas Brahmana, Ksatriya,
Wesia, dan Sudra. Pemilihan dan penggunaan
ragam bahasa apakah bentuk hormat atau lepas
hormat sangat ditentukan oleh hubungan sosial
antarpelibat.
2.5.3 Instrumentalitas Komunikasi
Sifat keterampilan berbahasa dapat
dikategorikan sebagai reseptif atau produktif.
Produktif artinya kemampuan untuk menghasilkan
ungkapan (berupa frasa, klausa, atau kalimat) yang
dapat dipahami dengan baik oleh penutur bahasa
yang sama. Reseptif adalah kemampuan seseorang
untuk memahami ungkapan yang disampaikan
oleh penutur suatu bahasa, namun belum sanggup
menghasilkan suatu ungkapan.
2.5.4 Modus Komunikasi
Modus komunikasi bisa bersifat monolog:
komunikasi terjadi satu arah yang hanya dimiliki
pembicara, dan pendengar tidak terlibat langsung.
Misalnya, pembaca berita pada TV, pencerita, dan
sebagainya. Dialog adalah komunikasi dua arah,
terdiri atas pembicara dan pendengar yang keduaduanya aktif dan terlibat langsung dalam
komunikasi verbal, seperti diskusi dalam seminar,
rapat, dan lain-lain. Kedua modus ini bisa
dituliskan dan dilisankan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa modus komunikasi yang
dikategorikan penting sekali untuk siswa SD di
desa dan di kota adalah (a) monolog yang ditulis
untuk didengarkan dan dituliskan, dan (b) dialog
yang ditulis untuk didengar dan dituliskan. Yang
dianggap penting adalah (a) monolog yang
dilisankan untuk didengar dan dituliskan, dan (b)
dialog yang dilisankan untuk didengar dan
dituliskan.
Dalam materi pembelajaran bahasa Bali
terdapat keterampilan yang bermodus monolog
dan dialog yang direalisasikan ke dalam jenis
keterampilan yang akan diajarkan dengan
pendekatan pragmatik yang lebih mementingkan
kelancaran berkomunikasi (fluency) daripada
ketepatan (accuracy). Misalnya, untuk siswa SD
kelas III, guru harus mengajarkan siswa
keterampilan menyimak. Pada keterampilan
tersebut, siswa diminta mendengar dengan
sungguh-sungguh cerita yang diucapkan oleh guru,
selanjutnya siswa disuruh menyarikan cerita itu
dengan kata-kata sendiri dengan ragam tulis,
kemudian diminta bercerita di dalam kelas, dengan
tujuan apakah telah terjadi pemahaman terhadap
apa yang disampaikan guru.
2.5.5 Saluran Komunikasi
Jenis-jenis komunikasi berbahasa Bali
yang dianggap tepat digunakan di siswa SD dibagi
menjadi tiga kategori yaitu:
a.
b.
c.
Saluran komunikasi yang termasuk ke
dalam kategori penting sekali adalah tatap
muka bilateral, barang cetakan, gambargambar.
Saluran komunikasi yang termasuk ke
dalam kategori penting adalah tatap muka
unilateral, TV dan radio
Saluran komunikasi yang termasuk ke
dalam kategori tidak penting adalah
telepon dan video.
2.6 Ragam Bahasa Bali dan Tingkat Penguasaan
Bahasa Bali
Ragam bahasa Bali untuk siswa SD kelas I sampai
dengan kelas VI meliputi ragam standar dan
nonstandar, serta penggunaan aras-tutur yang tepat
dalam berkomunikasi. Di samping itu, tingkat
penguasaan kemampuan berbahasa Bali yang
terdiri atas ukuran teks, kompleksitas ujaran,
rentang bentuk untuk fungsi mikro dan makro,
kecepatan, serta fleksibilitas bentuk ujaran juga
dibahas dan dipadukan dengan medium
komunikasi lisan dan tulisan, baik yang bersifat
reseptif maupun produktif.
2 6.1 Ragam Bahasa Bali
Bahasa Bali memiliki beraneka ragam
variasi dialektal (variasi geografis). Menurut Bawa
(1983), yang dianggap sebagai dialek standar
adalah dialek Klungkung. Pemilihan tersebut
didasari atas latar belakang sejarah dialek tersebut.
Studi ini tidak mengacu pada salah satu dialek
yang ada di Bali untuk menentukan standar
tidaknya ragam bahasa Bali sebab untuk tujuan
pembelajaran suatu bahasa, pertama-tama harus
diketahui apa yang dimaksud dengan ragam
standar.
Ragam bahasa Bali standar adalah ragam
bahasa Bali yang mengikuti atau sesuai dengan
kaidah bahasa Bali, meliputi fungsi bahasa dan
aras-tutur, baik untuk bahasa lisan maupun tulisan.
Ragam nonstandar adalah kebalikan dari ragam
standar, yaitu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah
penggunaan bahasa Bali, baik untuk tujuan tulis
dan lisan. Pemilihan ragam ini penting diajarkan
sejak dini sebab kesalahan dalam pemilihan ragam
bahasa dalam berkomunikasi dapat menyesatkan.
Misalnya, bisa membuat seseorang tersinggung
atau marah, dan bahkan tidak dapat mengerti pesan
atau amanat yang disampaikan dalam komunikasi
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
Penggunaan aras-tutur menunjukkan
bahwa bahasa Bali Kepara tampaknya tidak perlu
diajarkan pada siswa SD di Bali. Bahasa Bali
Kepara dapat diperoleh dengan cepat dari
lingkungan tetangga ataupun sekolah (hasil
wawancara dengan para informan kunci). Bahasa
Bali Alus perlu diajarkan kepada siswa kelas I dan
II, bahkan guru bahasa Bali tampaknya
menggunakan bahasa Bali Alus sebagai bahasa
pengantar siswa SD kelas I dan II di desa. Untuk
itu, materi pelajaran untuk siswa SD I dan II
sebaiknya menggunakan bahasa Bali Alus. Bahasa
Bali ragam Alus mulai diajarkan dari kelas III
sampai dengan kelas VI baik untuk materi
pelajaran ataupun bahasa pengantar di kelas. Hasil
ini sudah sesuai dengan kenyataan bahwa pada
masyarakat Bali, apabila ada orang ingin menyapa
seseorang yang belum jelas stratifikasi sosialnya,
dia akan disapa dengan bahasa Alus dengan
ungkapan seperti ti/tiang nunasang antuk linggih
(yang artinya ‘bolehkan saya mengetahui status
sosial Anda’). Mengajarkan seseorang berbahasa
Bali ragam Alus jauh lebih baik daripada
mengajarkan bahasa Kepara sebab seseorang yang
belum dikenal lebih senang jika disapa dengan
bahasa Alus daripada bahasa Kepara. Penggunaan
bahasa Bali Kepara, terlebih-lebih dengan orang
yang usianya lebih tua atau belum dikenal dapat
membuat orang tersinggung sebab tidak sesuai
dengan tata krama adat Bali.
2.6.2 Tingkat Penguasaan Kemampuan Berbahasa
Bali
Parameter
yang digunakan untuk
mengukur tingkat penguasaan kemampuan
berbahasa Bali adalah (a) ukuran ujaran/bahasa,
(b) kompleksitas ujaran, (c) rentang bentuk fungsi
mikro dan makro, (d) kecepatan, dan (e)
fleksibilitas bentuk ujaran. Parameter di atas akan
dikombinasikan dengan medium komunikasi, baik
lisan maupun tulisan, serta sifat keterampilan
berbahasa, yaitu reseptif dan produktif.
2.7 Peristiwa Komunikasi
2.7.1 Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur sangat penting dalam
berkomunikasi, terutama dalam kaitannya dengan
aktivitas tutur yang akan memunculkan fungsi
bahasa. Peristiwa tutur dalam suatu komunikasi
harus dipahami terlebih dahulu sebelum memilih
jenis fungsi bahasa yang tepat dalam komunikasi
tersebut.
Pada ranah komunikasi di masyarakat
luas, peristiwa tutur dapat di kategorikan penting
sekali, dan bahasa Bali dapat mewahanai peristiwa
tutur seperti (a) menyucikan pratima ke laut
Halaman 62
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
(melasti), (b) membuat sesajen, (c) membuat
makanan tradisional Bali (mebat) di banjar, (d)
gotong royong (ngaturang ayah) di pura, dan (e)
melayat (majenukkan), atau kundangan. Semua
peristiwa tutur di atas dianggap sangat penting
sebab pemakaian bahasa Bali sangat erat
hubungannya dengan adat-istiadat (budaya) Bali,
yang memiliki sifat gotong royong.
Peristiwa tutur yang termasuk ke dalam
kategori penting adalah (a) piknik dengan keluarga
dan (b) nonton kesenian Bali. Pada ranah rumah
tangga, peristiwa komunikasi yang termasuk
kategori tidak penting adalah menjawab dan
menerima telepon, tetapi yang termasuk ke dalam
kategori penting adalah (a) memberi informasi diri,
(b) memberi perintah, (c) menunjuk arah mata
angin, (d) menghitung, (e) bersenda gurau, (f)
menanyakan menu makanan, (g) menjelaskan
kesehatan, dan (h) meninggalkan pesan.
Yang termasuk kategori penting sekali,
artinya bahasa Bali harus digunakan adalah pada
peristiwa komunikasi (a) peristiwa tutur yang
berhubungan dengan upacara keagamaan, (b)
membantu orang tua, dan (c) kegiatan sehari-hari
di rumah. Pada ranah sekolah, bahasa Bali tidak
perlu mewahanai peristiwa tutur sebagai berikut:
(a) belajar dan (b) berolahraga. Yang
dikategorikan penting adalah (a) bermain, (b)
berkebun, (c) berbelanja, dan (d) bertengkar.
2.7.2 Aktivitas Tutur
Aktivitas tutur merupakan unsur dasar
untuk menginterpretasikan kata, frasa, klausa, dan
kalimat dalam sebuah bahasa sebab fungsi bahasa
memuat makna dan berisikan faktor isyarat
kecocokan (appropriacy condition) dari sebuah
aktivitas tutur (Kempson 1980). Konsep syarat
kecocokan kondisi dapat digeneralisasi pada
semua tuturan dalam masyarakat bahasa dan
pikiran manusia.
Fungsi bahasa adalah fungsi yang sesuai
dengan penggunaan bahasa. Berikut disajikan
fungsi-fungsi bahasa yang tepat diajarkan kepada
siswa SD kelas I sampai VI, yang sesuai dengan
ranah (lokasi) penggunaan bahasa. Fungsi bahasa
dalam penggunaan sering tumpang tindih. Ini
sangat tergantung pada peristiwa tuturnya.
a. Ranah masyarakat luas
Pada ranah masyarakat luas ada sejumlah
fungsi bahasa apabila dikaitkan dengan
peristiwa tutur, yaitu (i) menanyakan harga,
(ii) menjelaskan arah, (iii) membandingkan
dan mengontraskan, (iv) menyatakan setuju,
(v) mengklasifikasikan, (vi) mendeskripsikan,
(vii) memberi contoh, (viii) menyangkal, (ix)
memberikan informasi, (x) memberi perintah,
Universitas Sumatera Utara
Halaman 63
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
(xi) menyatakan sebab akibat, (xii)
mendeskripsikan proses, (xiii) menyatakan
kualifikasi, (xiv) memberi saran dan nasihat,
(xv) menginterpretasikan, (xvi) memberikan
pendapat,
(xvii)
mengakui,
(xviii)
mengidentifikasi,
dan
(xix)
memberi
penilaian.
b
c.
b.
Ranah rumah tangga
Fungsi bahasa yang terkait dengan ranah
rumah tangga adalah (i) menyangkal, (ii)
memerintah, (iii) melarang, (iv) menyatakan
sebab akibat, (v) mengandaikan, (vi)
menjelaskan,
(vii)
mengakui,
(viii)
mendeskripsikan, (ix) menjelaskan, (x)
menerka, (xi) menyimpulkan, (xii) bertanya,
(xiii) memberikan penilaian, (xiv) memberi
saran atau nasihat, (xv) bercerita, (xvi)
memberikan informasi, (xvii) membandingkan
dan mengontraskan, (xviii) menyatakan setuju
dan tidak setuju, (xix) menyatakan pendapat,
dan (xx) menyatakan kualifikasi.
Ranah sekolah
Fungsi bahasa yang bertalian dengan ranah
sekolah
meliputi
(i)
mengidentifikasi
orang/benda dan tempat, (ii) mendeskripsikan
orang, bangunan, proses, dan waktu, (iii)
mengikuti perintah, (iv) bertanya, (v)
memberikan informasi, (vi) memberikan
penilaian,
(vii)
membandingkan
dan
mengontraskan, (viii) menyatakan sesuatu,
(ix) memperingati, (x) memberi contoh, (xi)
mendefinisikan, (xii) mengkalisifikasikan,
(xiii) menggeneralisasi, dan (xiv) menyatakan
kualifikasi.
Semua fungsi bahasa yang dikemukakan
di atas memiliki kata kerja performatif (Austin
1962; Searle 1969). Menurut Searle (1969), teori
tindak tutur yang dikembangkannya adalah untuk
membicarakan penggunaan bahasa, kondisi
penggunaan, serta kaidah yang menyertai dan
sekaligus turut menjelaskan tindak tutur dalam
ujaran.
3. SIMPULAN
Beberapa simpulan yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan berbahasa Bali siswa SD di
Provinsi Bali yang terdiri atas kemampuan
berbahasa lisan, unda-usuk, dan bahasa tulis
adalah sebagai berikut:
a. Kemampuan merekam dalam berbahasa
lisan sangat bervariasi, baik di pedesaan
maupun di perkotaan. Siswa SD di
c.
2.
pedesaan memiliki kemampuan berbahasa
lisan lebih baik daripada mereka yang
tinggal di perkotaan. Hal ini disebabkan
oleh penggunaan bahasa Bali di desa
lebih intensif daripada di kota;
Kemampuan menggunakan unda-usuk
siswa SD belum memadai. Menurut
mereka, penggunaan unda-usuk adalah
rumit (’sulit’), serta belum tersedianya
materi yang baik untuk mengajarkan
unda-usuk bahasa Bali di SD; dan
Kemampuan berbahasa Bali tulis dengan
huruf Latin untuk siswa SD kelas I adalah
nihil, kelas II dan III pemula, kelas IV
menengah, serta untuk kelas V dan VI
lanjut. Kemampuan berbahasa Bali tulis
dengan dengan huruf Bali sangat rendah
sebab sampai dengan kelas VI mereka
belum menguasai dengan baik Pasang
Sastra Aksara Bali (tata cara penulisan
huruf Bali). Menurut pengakuan guru,
mereka hanya menggunakan buku acuan
yang sifatnya masih umum, dan belum
berisikan aturan yang pasti tentang tata
cara penulisan huruf Bali.
Tujuan belajar bahasa Bali siswa SD dapat
dikatagorikan sangat urgensi mengingat
kemampuan berbahasa Bali mereka sangat
rendah, dan penggunaan bahasa Bali semakin
dihindari. Dalam rangka pengembangan dan
pelestarian bahasa Bali perlu dicarikan jalan
pemecahannya, yaitu mengajarkan mereka
keterampilan yang disesuaikan dengan jenjang
mereka. Penelitian ini menunjukan bahwa
keterampilan yang perlu diajarkan sesuai
dengan tujuan belajar tersebut adalah sebagai
berikut:
Kelas I
: membangun kosakata, dan
bercakap-cakap,
Kelas II
: membangun kosakata, bercakapcakap, dan menyimak,
Kelas III
: membangun kosakata, bercakapcakap, menyimak, dan
menulis dengan huruf Latin
dan Bali,
Kelas IV
: membangun kosakata, bercakapcakap, menyimak, menulis
dengan huruf Latin dan
Bali, dan membaca huruf
Bali.
Kelas V dan VI : semua keterampilan diajarkan
secara terintegrasi.
Universitas Sumatera Utara
Halaman 64
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
3.
4.
Latar penggunaan bahasa Bali terdiri atas:
(a) Lokasi penggunaan bahasa Bali bagi
siswa SD dalam kesehariannya berada
pada tiga lokasi, yaitu (i) di masyarakat
luas: pura, banjar, sawah, sungai, pasar
tradisional, supermarket, laut, tempat
hiburan, dan kolam renang, (ii) di rumah
tangga: sanggah, Bali Gede, dapur, ruang
makan, ruang keluarga, ruang tidur,
halaman rumah, kebun, sumur, ruang
belajar, dan kamar mandi, serta (iii) di
sekolah: kantin sekolah, halaman sekolah,
lapangan olahraga, perpustakaan, kamar
mandi, kelas, dan ruang guru.
(b) Waktu penggunaan bahasa Bali untuk di
SD perkotaan masih perlu ditingkatkan
sebab siswa berbahasa Bali pada saat
diajarkan bahasa Bali di kelas. Bahasa
Bali perlu digunakan pada semua ranah
pakai yang bersifat kedaerahan. Di desa
bahasa Bali secara umum digunakan
setiap saat.
(c) latar psiko-sosial penggunaan bahasa
meliputi (i) religius, (ii) kekeluargaan,
(iii) santai, (iv) formal, (v) politis, dan
(vi) etis.
Bentuk interaksi dan instrumentalitas dalam
komunikasi meliputi:
a. Interaksi dalam komunikasi: dengan siapa
para komunikan menggunakan bahasa
Bali pada ketiga ranah di atas: (i) di
masyarakat luas: anggota banjar dengan
klian banjar, antaranggota banjar, klian
banjar
dengan
prajuru
desa,
antarkelompok masyarakat; (ii) di rumah
tangga: anak dengan orang tua,
antarsaudara, kakek/nenek dengan cucu,
paman/bibi dengan kemanakan, ayah dan
ibu, orang tua dengan kakek/nenek, anak
dengan pembantu, dan orang tua dengan
paman/bibi; (iii) di sekolah: antarsiswa,
guru dan siswa, siswa dengan pegawai,
siswa dengan pegawai di kantin, dan
siswa dengan orang tuanya;
b. Hubungan sosial antarpelibat pada ketiga
ranah di atas adalah tinggi x rendah, dan
sejajar;
c. Instrumentalitas komunikasi mereka
adalah pada SD di pedesaan kelas I—VI
bahasa lisan mereka sangat produktif, dan
bahasa tulis untuk siswa SD kelas I dan
III adalah reseptif, tetapi makin produktif
setelah di kelas IV sampai dengan kelas
VI. Pada SD di kota, bahasa lisan kelas I
dan II adalah reseptif, dan lebih produktif
setelah di kelas III dan berlanjut sampai
d.
e.
dengan kelas VI. Untuk bahasa tulis
hasilnya sama dengan SD di pedesaan,
yaitu reseptif pada kelas I sampai dengan
III, dan makin produktif setelah di kelas
IV;
Modus komunikasi bahasa Bali terdiri
atas (i) monolog yang dituliskan untuk
didengar dan dituliskan, serta dialog yang
dilisankan untuk didengar dan dituliskan
termasuk kategori penting sekali; dan (ii)
monolog yang dilisankan untuk didengar
dan dituliskan, serta dialog yang
dituliskan untuk didengar dan dituliskan
termasuk kategori penting;
Saluran komunikasi siswa SD dibagi
menjadi 3 kategori: (i) penting sekali:
tatap muka bilateral, barang cetakan, dan
gambar-gambar; (ii) penting: tatap muka
unilateral, TV, dan radio; (iii) tidak
penting: telepon dan video.
5.
Ragam bahasa Bali yang perlu diajarkan untuk
siswa SD adalah ragam standar, yaitu bahasa
Bali yang baik dan benar (karena sudah sesuai
dengan kaedah penggunaan bahasa). Dan hasil
penelitian ini menunjukan ragam bahasa untuk
siswa SD dimulai dengan mengajarkan
mereka bahasa Bali Madya dan Halus, sebab
bahasa Bali kasar akan di pahami secara cepat
dari pergaulan baik dengan tetangga maupun
dengan teman sekelas.
6.
Peristiwa komunikasi terdiri atas peristiwa
tutur dan aktivitas tutur.
(a) Peristiwa tutur yang berbahasa Bali
meliputi (i) masyarakat luas: menyucikan
pratima ke laut (melasti), membuat
sesajen, membuat makanan tradisional
Bali,
gotong
royong
di
pura,
melayat/kundangan, piknik, dan nonton
kesenian tradisioanal Bali, (ii) rumah
tangga: semua peristiwa tutur yang
berhubungan dengan kegiatan upacara
keagamaan, membantu orang tua,
aktivitas sehari-hari, memberi informasi
diri, memberi perintah, menunjukan arah
mata angin, menghitung, bersenda gurau,
menanyakan menu makanan, menjelaskan
kesehatan, dan meninggalkan pesan, (iii)
ranah sekolah: bermain, berkebun,
berbelanja, bertengkar.
(b) Sejumlah aktivitas tutur yang digunakan
pada ketiga ranah adalah (i) di masyarakat
luas: menanyakan harga, menjelaskan
arah, membandingkan dan mengontraskan,
menyatakan setuju/kualifikasi, meng-
Universitas Sumatera Utara
Halaman 65
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
klasifikasikan, mendeskripsikan orang/
tempat/proses, memberi contoh/saran/
nasihat, menyangkal, memberi informasi/
perintah/pendapat/ penilaian, menyatakan
sebab akibat: menginterpretasikan dan
mengakui, (ii) di rumah tangga: menyangkal,
memerintah,
melarang,
menyatakan
setuju/sebab akibat/ pendapat/kualifikasi,
menjelaskan, mengakui, mendeskripsikan,
menerka,
menyimpulkan,
memberi
penilian, memberi informasi diri/saran
dan nasehat, bercerita, membandingkan
dan mengontraskan, (iii) di sekolah:
mengindentifikasi orang, benda/tempat,
mendeskripsikan
orang,
bangunan,
proses, mengikuti perintah, bertanya,
memberi informasi/penilaiaan, membandingkan dan mengontraskan, menyatakan setuju/kualifikasi, memperingati,
memberi
contoh,
mendefinisikan,
mengklarifikasikan, dan menjederalisasi.
--------------------------------1
Makalah ini telah dipresentasikan pada
Lokakarya Bahasa Bali yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Bahasa, Aksara, dan
Sastra Bali Provinsi Bali pada tanggal 29 – 31
Oktober 2007 di Denpasar dan disunting sesuai
keperluan LOGAT tanpa mengubah isi.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Pengajaran Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
1975. Kurikulum Sekolah Dasar 1975
Garis-Garis Besar Program Pengajaran
Bidang Studi Bahasa Bali Untuk Kelas III,
IV, V, VI. Denpasar: Dinas Pengajaran
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1995. Kusumasari 1, 4,
5. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali
Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1997. Kusumasari 2, 3,
6. Denpasar: Kantor Wilayah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Bali.
Arnati, Ni Wayan. 1996. Kedwibahasaan di
Kalangan Karyawan Etnis Bali di Bali.
Tesis Program Studi Magister (S2)
Linguistik, Universitas Udayana.
Austin, J.L. 1962. “How to Do Thing with
Words.” Dalam J.O. Urmson (ed). New
York: Oxford University Press.
Azies, F., A. C. Alwasilah. 1996. Pengajaran
Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Bagus, I Gusti Ngurah. “Perubahan Bentuk
Hormat dalam Masyarakat Bali: Sebuah
Pendekatan Etnografi Berbahasa.” Disertasi
untuk Universitas Indonesia.
Barbar, C.C. 1977. “A Grammar of the Balinese.”
Language, Vol. 1 dan 2. Arberdeen:
Arberdeen University.
Blum-Kulka, Shosana, dkk., 1989. Cross-Cultural
Pragmatics: Request and Apologies. New
Jersey: Ablex.
Brown dan A. Gilman. 1960. “The Pronouns of
Power and Solidarity’ dalam Language and
Social Context.” Dalam Pierpaolo (eds.)
1972.
Brumfit, C. J. 1986. The Practice of
Communicative
Teaching.
Oxford:
Pergamon Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi
Bali. 1994. Lampiran II Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Propinsi Bali Nomor 22/I
19 C/Kep/I.94 Tanggal 17 Januari 1994,
Kurikulum Muatan Lokal Pendidikan
Dasar,
Garis-Garis
Besar
Program
Pengajaran (GBPP) Sekolah Dasar, Mata
Pelajaran: Bahasa Daerah Bali. Denpasar:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kantor Wilayah Propinsi Bali.
Dulay, Heide, Marina Burt, dan Stephen Krashen.
1982. Language Two. New York: Oxford
University Press.
Anom, I Gusti Ketut, dkk. 1983 Tatabahasa Bali.
Denpasar: Dinas Pengajaran Daerah Tingkat
I Bali.
Ellis, G. dan Barmara Sinclair. 1989. Learning to
Learn English. Cambridge: Cambridge
University Press.
Coates, J. 1986. Women, Men, and Language: A
Sosiolinguistic Account of Sex Differences
in Language. London: Longmn.
Universitas Sumatera Utara
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
Finocchiro, M. 1979. “The Funcional-national
Syllabus: Problems, Practices, Problems.”
Dalam English Teaching Forum 17 (1979),
11-20.
Fishman, 1972. “Language Maintenance and
Language Shift.” Dalam J.A. Fishman,
Language in the Sosiocultural Change.
Stanford: Stanford University Press.
Granoka, Ida Wayan, dkk. 1984/1985. Tatabahasa
Bali. Denpasar: Proyek Penelitian Bahasa
dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gumperz, J.J. dan D.H. Hymes (eds.) 1972.
Direction
in
Sosiolinguistics:
The
Ethnography of Communication. Oxford:
basil Blackwell.
Halaman 66
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
Kersten SVD, J. 1984. Bahasa Bali, Tatabahasa,
Kamus Bahasa Balu Lumrah. Ende: Nusa
Indah.
Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik.
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Littlewood, W.T. 1985. “Integrating the New and
the Old Communicative Approach.” Das
(ed), 1985:1—13.
Mackey, W.E. 1968. “The Description.” Dalam
Joshua H. Fishman (ed). Reading in the
Sociology.
Madera, I Gede. 1967. Sari Basa Bali. Denpasar:
Gema.
Moleong, L.J. 1991. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: PT remaja Indonesia.
Gumperz, J.J. 1982a. Discourse Strategies.
Cambridge: Cambridge University Press.
Muhadjir. N. 1992. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta: Raka sarasin.
Gumperz, J.J. 1982b. Language and Social
Identity. Cambridge: Cambridge University
Press.
Munby, J. 1978. Communicativ Syllabus Design.
Cambridge: Cambridge University Press.
Halim, A. (ed). 1980/1981. Politik Bahasa
nasional 1 dan 2. Jakarta: Bali Pustaka.
D.
1991.
Language
Teaching
Nunan,
Methodology. Hertfordshire: Prentice Hall
International Ltd.
Halliday, M.A.K. 1997. Exploration in the
Function of Language. London: Edward
Arnold.
Poedjosoedarmo, S. 1982. Javanese Influence on
Indonesian, Canberra.: Pasific Linguistic,
D-38. The Australian National University.
Hynes, D. H. 1962. “The Ethnography of
Speaking.” Dalam Readings on Sosiology of
Language. The Hagua: Mounton.
Hymes, D.H. 1972. “On Communicative
Competence.” Dalam Pride dan Holmes
(eds.) 1972. London: Penguin Book.
Putra, I Ketut Adnyana. 1994. “Kesulitan Siswa
dalam Belajar Membaca Permulaan di
Sekolah Dasar” (Laporan Penelitian).
Singaraja: Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Seni, Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
Harmer, J. 1991. The Practice of English
Language. London: Longman Group Ltd.
Raka, A.A. Gde, dkk. Titi Basa Bali I-VI.
Denpasar: Upada Sastra.
Haugen, E. 1972. The Ecology of Language.
California: Standard University Press.
Rasmi, Ni Nengah, dkk. “Efek Psikologis dan
Sikap Komunikan Atas Penggunaan Ragam
Bahasa
Komunikator
dalam
Proses
Komunikasi pada Masyarakat Etnik Bali,
Sebuah Kajian Psiko-sosio-etnolinguistik
dalam Eksistensi Bahasa Bali Halus antara
Peninggalan dan Pemertahanan.” (Laporan
Penelitian). Singaraja: Program Studi
Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesian,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Jorden, R.R. 1990. Academiv Writing Course.
London: Collins.
Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. Pragmatik dan
Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum
1984. Yogyakarta: Kanisius.
Universitas Sumatera Utara
Halaman 67
Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Siswa Sekolah Dasar
di Daerah Tingkat I Provinsi Bali
❏ Ni Luh Sutjiati Beratha
Redman, S. 1990. A Way with Words: Vocabulary
Development Activities for Learners of
English. Cambridge: Cambridge University
Press.
Remen, I Ketut. 1982. Penuntun Mempelajari
Sekar Alit. Denpasar: Upada Sastra.
Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1996. Beberapa
Pemikiran
tentang
Pemantapan
Kedwibahasaan Masyarakat Bali di Bali.
Makalah disajikan pada Pesamuhan Agung
Basa Bali IV dan Kongres Bahsa Bali II,
Denpasar7—9 November 1996.
Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Acts.” Dalam
The Philosophy of Language. Oxford:
Oxford University Press.
Sutjiati Beratha, Ni Luh. dkk. 1998/1999. “Buku
Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah
Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun I.
Searle, J.R. 1971. “Indirect Speech Act”. Dalam P
Cole dan J. Morgon (eds). Syntax and
Semantics Vol. 3. New York: Academic
Press.
Sutjiati Beratha, Ni Luh. Dkk. 1999/2000. “Buku
Pelajaran Bahasa Bali untuk Siswa Sekolah
Dasar.” Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun II.
Simpen, A.B. I Wayan. 1996. Purwa Aksara I-IV.
Denpasar: Upada Sastra.
Tama,
Smith, J.S. 1992. “Women in Charge Politeniss
and Directives in the Speech of Javanese
Women.” Dalam Language in Society, 21:
59—82. Cambridge: Cambridge University
Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik
Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian
Wahana Kebudayaan secara Linguistis.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sukarta, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan
Masyarakat di Kawasan Wisata di Bali.”
Tesis Program Studi Magister (S2)
Linguistik, Universitas Udayana.
Sukendra, I Nyoman. 1996. “Kedwibahasaan
generasi Muda pada Masyarakat Desa dan
Kota di Bali.” Tesis Program Studi Magister
(S2) Linguistik, Universitas Udayana.
Sulaga, I Nyoman, dkk. 1996. Tata Bahasa Baku
Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
I Wayan. 1996. “Kedwibahasaan
Masyarakat Desa dan Kota di Bali.” Tesis
Program Studi Magister (S2) Linguistik,
Universitas Udayana.
Taro, Made. 1993. Mari Bermain. Denpasar:
Upada Sastra.
Taro, Made. 1993. Gending-Gending Pelalian
Bali. Denpasar: Yaysan Sabha Sastra Bali.
Tinggen, I Nengah, 1984. Tata Basa Bali Ringkas.
Singaraja: Rhika.
Tinggen, I Nengah, 1995. Sor Singgih Basa Bali.
Singaraja: Rhika Dewata.
Wilkins.. D.A. 1976. National Syllabus: A
Taxonomy and Its Relevance to Foreign.
Language
Curriculum
Development,
London: Oxford University Press.
Wierzbicka. A. 1996. Semantics: Primes and
Universal. Oxford: Oxford University Press.
Yule, G. dan G. Brown. 1985. Discourse Analysis.
Cambridge: Cambridge University Press.
Suparka, I Wayan dan I Gusti Ketut Anom. 1993.
Tata Bahasa Bali Anyar. Denpasar: Upada
Sastra.
Universitas Sumatera Utara
Download