133 BAB V PENUTUP 1. KESIMPULAN Pada bab terakhir ini akan menyampaikan kesimpulan penelitian pada rumusan masalah yang ada. Pembahasan dan temuan mengenai ekspresivitas permainan cello yang direpresentasikan melalui gestur tubuh, dan bentuk femininitas yang ditampilkan Tina Guo beserta pengaruhnya terhadap identitas perempuan dalam pertunjukan musik yang dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, yang pertama adalah bahwa tubuh dipersepsi, dibentuk, dan dipresentasikan sebagai media pendukung visualisasi artistik musik, disamping audio musikal yang diperdengarkan. Dengan demikian, sebagai performer, Tina Guo memiliki kemampuan mengkondisikan diri untuk menciptakan pesona dirinya melalui gestur tubuh. Kedua, Tina Guo turut mempertahankan nilai feminin dari kedua genre musik dan budaya tersebut. Disamping itu, pilihan akan dua genre musik sebagai ruang ekspresi permainan cellonya membawa Tina Guo menjadi subjek atas tubuhnya. Disini, Tina Guo memiliki pilihan untuk menghadirkan tubuhnya pada identitas yang diinginkan dan disesuaikan di dalam sebuah nilai budaya yang melingkupinya. Kehadiran Tina Guo sebagai perempuan pemain cello, solist, dan berkiprah dalam bermacam genre musik klasik dan metal, membawa eksistensi Tina Guo atas „dirinya sendiri‟ dan pada kondisi tertentu juga mengantarkan subjektivitasnya pada ranah kultural. 134 2. REFLEKSI TEORETIS Kajian seni pertunjukan musik tidak dalam satu perspektif saja melainkan dari berbagai perspektif antara lain melalui gender. Perempuan kurang mendapatkan ruang pengakuan mengenai kemampuannya bermain musik. Namun kehadiran Tina Guo menjadi salah satu fakta bahwa perempuan juga mampu hadir dan menghidupi seni musik, dan bahkan mampu bersaing seperti laki-laki untuk menjadi seorang soloist. Bukan terbatas pada pengiring dalam pemain orkestra. Selain itu, kajian tentang musik juga tidak tebatas pada bentuk musikalnya saja, namun bentuk visual juga merupakan perihal penting yang harus dipertimbangkan seorang pemain musik. Terutama perhatian pada tubuh. Sebab tubuh merupakan katalisator yang mendasar pengalaman seni seseorang, baik dalam interaksi untuk dirinya sendiri maupun dengan yang lain. Serta melalui tubuh pula esensi dari seni yakni estetika, dialami. Seni merupakan peristiwa yang dinamis. Bagaimana seseorang mengalaminya akan tidak akan pernah sama, antara waktu sekarang dengan waktu yang lain, kondisi sekarang dengan kondisi yang lain, dan sudah pasti setiap orang akan mengalami seni yang berbeda meskipun memandang objek seni yang sama. Pengalaman seni tergantung pada peristiwa yang dialami dalam satu moment dalam sebuah interaksi, bukan terbatas pada pelaku seni seorang, atau audiens seorang, dan bahkan seni itu sendiri namun kesatuan dari semua itu. Artinya, mengkaji seni bisa 135 dilakukan dari bermacam pandangan, baik dari pelaku, audiens, maupun seni itu sendiri. Dalam ekspresivitas seni, Patrick N. Juslin menyuarakan keresahannnya pada artikel berjudul Five Myths About Expressivity in Music Performance and What To Do about Them. Juslin beranggapan bahwa asumsi pemain musik mengenai ekspresi sudara pada pemahaman yang salah. Khususnya di Indonesia, banyak pemain musik yang kurang begitu memperhatikan pentingnya mengolah tubuh sebagai bentuk ekspresi musik. Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa musikalitas merupakan yang terpenting dalam permainan musik. Namun faktanya, jarang sekali pemain musik Indonesia yang diakui secara internasional sebagai penampil musik yang bagus, dan bahkan tidak ada. Hal ini dikarenakan oleh metode pembelajaran musik di Indonesia berbeda. Pembelajaran musik klasik di Eropa dimana banyak soloist kelas internasional khususnya pada instrumen cello belajar musik, melakukan latihan secara khusus untuk mengolah tubuh disamping mengolah kemampuan musikal. Sejalan dengan pendapat Juslin, bahwa musikal dan visual merupakan hal yang sama pentingnya dalam permainan musik. Pengkaji aspek visual musik perlu memahami logika produksi suara yang dihasilkan sehingga secara kritis mampu melihat aspek-aspek sensualisasi, komodifikasi dalam visualisasinya. Kehadiran Tina Guo dalam dunia musik menjadi sebuah penyadaran baru bagi musisi lain, khususnya pemain cello. Tina Guo memperlihatkan bahwa cello tidak hanya dapat dimainkan dalam satu 136 genre musik klasik saja namun juga pada musik non-klasik dan perkembangan jenis instrumen cello menjadi elektrik juga memberikan pemain cello pada ruang yang lebih luas. Dengan demikian pemain cello sudah tidak lagi „dibayangi‟ terbatas pada tradisi budaya musik klasik saja. Dalam permainan masing-masing genre musik Tina Guo menunjukkan totalitasnya. Hal ini ditampilkan dari kedua unsur yang mendasari nilai artistik musik yang dipresentasikannya, yakni unsur musikal dan visual. Kedua unsur tersebut dikemas sebagai ekspresi seni, dan dimediai langsung oleh tubuh. Melalui performativitas tubuhnya, Tina guo memperlihatkan kualitas diri sebagai pemain cello, baik dari segi kemampuan musikal maupun visual. Tina Guo mempertahankan dikotomi femininitas yang sudah diidealisasikan, berkaitan dengan penampilannya pada genre musik klasik maupun metal. Hal ini justru diperlihatkan dari perbedaan bentuk femininitas yang ditampilkan. Tina Guo menjalankan femininitas dalam budaya musik klasik sesuai dengan apa yang dikategorikan feminin dalam budayanya, begitu juga dalam musik metal. Estetika musikal maupun visual dalam sebuah permainan, diwujudkan dari ekspresi tubuh yang dibentuk dan dilatih yang kemudian disesuaikan dengan nilai atau dikotomi tertentu agar dapat dimaknai. Dengan demikian pada bagian ini Tina Guo menjadi subjek atas tubuhnya, atas dirinya sendiri. Namun pada konteks lain, pembentukan gestural tersebut dikotomi tatanan budaya yang ada. masih berada di dalam 137 Tina Guo merupakan perempuan yang menjalankan kebebasannya sebagai pemain cello. Tina Guo membuka ruang lain bagi permainan cellonya tidak terbatas pada tradisi musik klasik, namun juga musik yang lain. Tina Guo berani memainkan genre musik non-klasik (metal) dengan kemampuan musikal yang ada pada dirinya diantara asumsi pemain cello klasik bahwa musik selain klasik merupakan musik yang „tidak berkelas‟. Artinya Tina Guo siap menurunkan status sosial dalam budaya pertunjukan musik sebagai solis cello dengan memainkan musik „tidak berkelas‟ tersebut. Namun karena itu Tina Guo justru mendapatkan pengakuan secara internasional sebagai cellist yang inovatif yang memperlihatkan kemampuannya musikalitasnya pada lebih banyak ruang. Dan penyimpangan ini dibuktikan Tina Guo dengan terpilihnya dirinya sebagai penerima „Innovation Award‟ dari Asian Heritage Awards tahun 2015, dan predikat „Instrumentalis of The Year‟ yang diberikan oleh Los Angeles Music Awards pada tahun 2015. Artinya, kehadiran Tina Guo dalam perkembangan pertunjukan musik memiliki andil yang cukup besar. Dari berbagai dokumentasi yang dianalisis memperlihatkan bahwa tidak hanya terbatas pada jenis genre musik saja yang menjadi bahan pertimbangan ekspresi gestur tubuhnya, melainkan juga jenis instrumen cellonya yang kemudian juga berpengaruh pada penampilan dan bentuk ekspresi gestural Tina Guo. Penyesuaian terhadap genre musik, jenis cello, penampilan, gestur tubuh, menjadi bagian dari interpretasi yang mendukung ekspresi permainan cello Tina Guo, untuk sebuah totalitas. 138 Berkiprah tidak hanya dalam satu genre musik, yakni klasik dan non-klasik seperti yang dilakukan Tina Guo menjadi hal yang baru bagi tradisi pemain cello pada umumnya. Hal ini cukup menjadikan kesadaran bagi cellist lain bahwa masih ada ranah lain untuk berkesenian dan tidak hanya terbatas pada musik orkestra. Hal ini dapat dilihat dari berkiprahnya Tina Guo dalam genre musik non-klasik, sekalipun Tina Guo dikenal sebagai pemain cello klasik profesional dan menempuhnya melalui pendidikan formal. Kenyataan ini justru memberikan peluang baru bagi cellist lain untuk lebih terbuka pada sesuatu yang baru, dan tidak terbatas pada satu pemahaman tradisi saja. Dengan demikian, seorang musisi dapat mengekspresikan keseniannya dalam ruang yang lebih luas. Perempuan bisa memanfaatkan kesempatan atas kepemilikan tubuhnya. Dan bahkan perempuan dapat memperlihatkan tubuhnya sebagai rasa percaya diri atas apa yang dimilikinya. Perempuan berhak memilih berperilaku sensual, maupun tidak dalam berkesenian. Perempuan memiliki kebebasan atas seksualitasnya sebagai penampil musik. Seperti gestur tubuh sensual beserta pakaian „terbuka‟ yang diperlihatkan Tina Guo dalam mengekspresikan musik metal yang dibawakan, menjadikan posisi Tina Guo tidak sebatas menjadi objek kontrol sosial seperti agama maupun budaya dalam berkesenian. Memajang tubuh perempuan di tengah masyarakat dengan batasan agama dan budaya memang menjadikan identitas perempuan itu sendiri rentan. Tubuh perempuan dinikmati sebagai objek fantasi, dan hiburan. Namun, dalam ranah seni pandangan tersebut akan lebih sedikit bergeser. 139 Dalam seni, segala bentuk ekspresi tubuh sekalipun berwujud sensual ataupun terkesan saru, apabila dikembalikan pada esensinya dapat memiliki makna lain, mungkin „indah‟ atau „menawan. Dengan demikian tubuh perempuan dapat dikembalikan tempatnya ke dalam ranah ekspresi artistik. Oleh karena seni diciptakan, dan dicitrakan atas konsep, konseptual inilah yang membedakan identitas tubuh perempuan