BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak usia sekolah terutama sekolah dasar adalah investasi bangsa, karena anak usia tersebut adalah generasi penerus bangsa. Tumbuh kembang anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar. Masa untuk tumbuh kembang, pemberian nutrisi tersebut atau asupan zat gizi pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan sempurna. Banyak sekali masalah yang ditimbulkan dalam pemberian makanan yang tidak benar dan menyimpang. Penyimpangan ini mengakibatkan gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak (Judarwanto, 2007). Gangguan pada banyak organ dan sistem tubuh anak bisa menyebabkan anak mengalami pertumbuhan abnormal salah satunya adalah autis. Dikdasmen Depdiknas (dalam Putra Kembara 2005) mengatakan bahwa autis adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial yang biasanya muncul pada usia 1 – 3 tahun. Sedangkan menurut Judarwanto Widodo dalam Pencegahan http://mamaabram.multiply.com/journal/item/22), Autis autis pada adalah Anak gangguan (2007, yang dipengaruhi oleh multifaktorial yang masih belum terdapat kejelasan secara pasti mengenai penyebab dan faktor resikonya. 1 Penelitian ini akan dilakukan pada siswa autis SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Kendala yang dihadapi guru dalam proses belajar mengajar saat ini adalah kendala komunikasi. Menurut Adriana Soekandar Ginanjar dalam jurnalnya yang berjudul Memahami Spektrum Autistik secara Holistik (2007), salah satu ciri utama pada gangguan autistik adalah hambatan yang besar dalam berkomunikasi dan berbicara. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting karena dapat membantu mengerti apa yang diinginkan dan dirasakan oleh anak autis, mengetahui kemampuan dan kecerdasan yang sebenarnya, dan orangtua bisa mengembangkan hubungan emosional yang dekat dengan anak autis. Peneliti dari University of Cambridge menemukan bahwa ada bagian otak penderita autis yang tidak mengenali kesadaran tentang dirinya sendiri. Akibatnya, jangankan untuk berkomunikasi, untuk mengenali kesadaran terhadap pribadinya saja penderita autis merasa sangat kesulitan (http://bacaankesehatan.blogspot.com/2013/01/anak-autis-kenapa-mereka-sulit.html ). Gangguan-gangguan dalam berkomunikasi ini menjadi penyebab terjadinya hambatan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sehingga terapi komunikasi menjadi hal penting bagi penyembuhan anak yang mengalami gejala atau menderita autis. Komunikasi yang dapat membangun konsentrasi pada anak autis akan menjadi terapi yang signifikan dengan tingkat penyembuhan. Komunikasi terapetik menjadi salah satu solusi dalam menangani anak autis sehingga anak autis mempunyai kemungkinan sembuh lebih cepat apabila diketahui lebih dini dan diasuh di sekolah khusus penyandang autis. 2 Menurut Hermawan A.H proses interaktif antara anak autis dan guru dapat membantu anak autis mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mengatasi hambatan psikologis. Proses ini disebut komunikasi terapeutik (dalam jurnal Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat Dalam Asuhan keperawatan Pada Pasien Di Unit Gawat Darurat RS. Mardi Rahayu Kudus, 2009). Sedangkan menurut Ibnu Dermawan komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan dan dilakukan bertujuan untuk membantu penyembuhan atau pemulihan dari penyakit atau kondisi abnormal (dalam jurnal Hubungan Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Dengan Kepuasan Klien Dalam Pelayanan Keperawatan di Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Soedarso Pontianak Kalimantan Barat, 2009). Komunikasi terapeutik berbeda dari komunikasi sosial, yaitu pada komunikasi terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terencana. Komunikasi paling terapeutik berlangsung ketika murid dan guru keduanya menunjukkan sikap hormat akan individualitas dan harga diri. Guru harus memiliki ketrampilan komunikasi yang bersifat profesional dan bertujuan untuk menyembuhkan muridnya. Guru yang memiliki ketrampilan komunikasi terapeutik akan lebih mudah menjalin hubungan saling percaya dengan murid, sehingga akan lebih efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran dan memberikan kepuasan dalam pembelajarannya. 3 Guru sebagai tenaga pendidik yang profesional mempunyai kesempatan besar untuk memberikan pelayanan pendidikan khususnya pembelajaran yang komprehensif dengan membantu murid memenuhi kebutuhan dasar yang holistik. Untuk menjalankan perannya dengan baik, guru perlu memiliki keterampilan dalam mengklarifikasi nilai, konseling, dan komunikasi (Hamid, 2009:20). Berdasarkan observasi di lapangan, terdapat siswa yang mengalami gangguan perkembangan pervasive yang desertai dengan perilaku deficit (berkekurangan). Perilaku deficit (berkekurangan) tersebut yaitu anak yang mengalami kurangnya keinginan untuk bergerak. Anak cenderung diam/pasif dan menyendiri serta kurang berinteraksi sosial dengan temannya. Apabila siswa tersebut terus mengalami perilaku berkekurangan (kurangnya kemampuan gerak) maka ini akan berakibat pada system syarafnya, diantara organ geraknya akan menjadi kaku, bila hal ini terus terjadi maka berakibat pada kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi sosialnya semakin buruk. Setelah melihat permasalahan yang terdapat di SLB Negeri Pembina Yogyakarta, untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi serta berinteraksi sosial pada siswa autis diperlukan suatu rangsangan yang dapat membuat anak terdorong untuk melakukan gerakan motorik dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam sebuah jurnal penelitian yang berjudul “Permainan ‘Bakiak Race’ Untuk Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Anak Autis Hipoaktif” menjelaskan bahwa permainan adalah suatu aktifitas yang dapat dilakukan oleh semua orang dari anak-anak hingga orang dewasa, tidak terkecuali bagi penderita autis. Permainan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dan merupakan kebutuhan 4 dasar. Para ahli pendidikan juga mengatakan bahwa anak-anak identik dengan bermain karena hampir seluruh waktunya di habiskan untuk bermain. Banyak media yang dapat merangsang anak untuk tetap bersemangat dalam mengikuti pendidikan. Walaupun bukan media utama dalam menyampaikan materi, namun media –media tersebut dapat menjadi selingan yang membuat anak tetap fokus dalam menerima pelajaran. Anak autis merupakan anak yang memiliki kemampuan rendah untuk berkonsentrasi, mereka adalah anak-anak dengan tipe visual learner. Namun siswa autis memiliki kemampuan dalam mengamati benda –benda tertentu, misalnya televisi ataupun memainkan game, mereka akan cenderung hiperfokus ketika sedang melakukan kegiatan dengan media-media tersebut, karenanya mereka lebih peka dengan gerakan, cahaya dan sesuatu yang dapat digerakan. Oleh sebab itu mereka lebih menyukai game, animasi, dan acara televisi. Game merupakan sebuah multimedia interaktif yang disukai oleh anak-anak penyandang autis. Game juga dapat diadaptasi sebagai media pendidikan untuk anak autis. Pembelajaran dengan media game, animasi, audio, dan video merupakan penyampaian yang dapat membuat anak autis tertarik serta berkonsentrasi lebih lama, bisa menjadi salah satu cara yang disukai dan mudah digunakan dalam penyampaian materi. Di SLB Negeri Pembina Yogyakarta guru mempunyai teknik tersendiri dalam usaha meningkatkan ketrampilan berkomunikasi siswa, antara lain melalui permainan edukasi dengan media komputer. Menurut Eva Handriyantini (dalam jurnal Permainan Edukatif ( Educational Games ) Berbasis Komputer untuk Siswa 5 Sekolah Dasar, 2009) permainan edukatif adalah permainan yang dirancang dan dibuat untuk merangsang daya pikir anak termasuk meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dan memecahkan masalah. Permainan edukasi yang digunakan di SLB Negeri Pembina Yogyakarta menggunakan program permainan dari IBM KidSmart Easy Learning Program, yang pada tahun 2009 memberikan bantuan berupa beberapa unit komputer dengan tujuan membantu proses belajar mengajar bagi anakanak berkebutuhan khusus. Permainan dalam program KidSmart merupakan permainan sederhana yang mudah dimainkan oleh siapapun, aplikasi permainan pada media komputer sangat efektif melatih siswa berbicara dan menggunakan tangannya secara bersamaan. Selain itu dalam beberapa permainan para siswa autis juga diajak berinteraksi dengan tokoh virtual yang ada di dalam permainan, bersama tokoh virtual yang ada di dalam permainan mereka mempelajari kemampuan sosial, sehingga bisa mengaplikasikannya dalam dunia nyata. Dalam memainkan permainan dengan media komputer siswa didampingi oleh guru, siswa berkomunikasi dengan guru untuk mengerti perintah yang disampaikan dalam permainan. Jadi beberapa permainan yang diberikan guru selain bertujuan merangsang kemampuan motorik dan sensorik siswa autis sekaligus juga melatihnya berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Komunikasi efektif membutuhkan usaha sadar guru dalam mencari cara untuk membantu murid dan keluarganya mengkomunikasikan pemikiran dan perasaan dengan lebih efektif. Selain itu pemberian intervensi dan teknik komunikasi yang sesuai dengan latar belakang budaya, dan umur murid juga harus diperhatikan. 6 Keberhasilan dalam meningkatkan kemampuan murid dalam berkomunikasi juga tergantung pada partisipasi murid dalam menentapkan keberhasilan, tetapi juga pada gaya pendidik melakukan komunikasi dan kemampuan untuk menetapkan hubungan yang membantu. Penggunaan kemampuan komunikasi akan membantu guru merasakan, bereaksi, dan menghargai kekhasan muridnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul ”Teknik Komunikasi Terapetik Guru dengan Menggunakan Game Komputer dalam Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi Siswa Autis di SLB Negeri Pembina Yogyakarta”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan suatu rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Teknik Komunikasi Terapeutik Guru dengan Menggunakan Game Komputer dalam Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi Siswa Autis di SLB Negeri Pembina Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik yang digunakan guru dalam meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa autis di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. 7 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui seberapa berhasil teknik komunikasi terapeutik yang dilakukan guru di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. b. Untuk mengetahui keterampilan berkomunikasi siswa autis di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. c. Untuk mengetahui lebih mendalam seperti apa teknik komunikasi terapeutik menggunakan permainan edukasi dengan media komputer yang diberikan guru untuk meningkatkan ketrampilan berkomunikasi siswa autis. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Peneliti Meningkatkan pemahaman tentang teknik-teknik komunikasi terapeutik guru untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi siswa autis. 2. Untuk Masyarakat Sebagai bahan rujukan informasi mengenai salah satu cara komunikasi terapeutik untuk anak autis. 3. Peneliti lain Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian sehingga dapat melaksanakan penelitian yang lebih baik dari penelitian ini. 8 E. Kajian Teori Secara garis besar dalam tinjauan pustaka ini peneliti akan memberikan gambaran tentang komunikasi terapeutik, teknik-teknik komunikasi terpeutik dan dimensi respon. Seorang guru tidak akan mengetahui kondisi siswanya jika tidak ada kemampuan menghargai keunikan siswanya. Tanpa mengetahui keunikan masingmasing kebutuhan siswa, guru juga akan kesuliatan memberikan bantuan kepada siswa dalam mengatasi masalah siswa, sehingga perlu dicari metode yang tepat dalam mengakomodasi agar mampu mendapatkan pengetahuan yang tepat tentang siswa. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan guru dapat menghadapi, mempersepsikan, bereaksi dan menghargai siswa. 1. Pengertian Komunikasi Terapeutik Budi Anna Keliat (1999:22), dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Terpeutik Perawat dan Klien menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik pada hakekatnya merupakan bentuk dari komunikasi interpersonal yang secara khusus ditujukan untuk proses pemulihan atau terapi tertentu. Sehingga dalam prakteknya komunikasi terapeutik digunakan dalam lingkup yang terbatas. Menurut Budi Anna Keliat (1999:23) berdasarkan pernyataanya dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik menjadi bagian dari proses terapi yang sedang dijalankan sehingga diharapkan mampu mempercepat proses pemulihan dari pasien terutama dari sisi psikologis/kejiwaan. 9 Komunikasi terapeutik menurut Heri Purwanto (1994:20), adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Pada dasarnya komunikasi terpeutik merupakan komunikasi professional yang mengarah pada tujuanya yaitu penyembuhan pasien, karena siswa penyandang autis adalah siswa yang memiliki kelainan pada mentalnya atau pada kejiwaanya sehingga tujuannyapun sama dengan menyembuhkan. Komunikasi terpeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara terapis dengan pasien yang dalam hal ini adalah guru dan siswa autis menyerupai hubungan terapis dengan pasien. Persoalan mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling kebutuhan antara guru dan siswa, sehingga dapat dikategorikan kedalam komunikasi pribadi diantara guru dan siswa, guru membantu dan siswa menerima bantuan. Sedangkan menurut Reusch seperti dikutip Jalaludin Rakhmat (2003:5), komunikasi terapeutik dewasa ini banyak digunakan untuk teknik penyembuhan jiwa, dimana dengan menggunakan metode komunikasi terapeutik seorang terapis mampu mengarahkan bentuk komunikasi sedemikian rupa sehingga pasien dengan gangguan jiwa dihadapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat. Lebih jelasnya komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, yakni terletak pada ketidak mampuan pasien untuk mengungkapakan dirinya. Secarasingkat, bahwa meluruskan jiwa seseorang bisa dicapai dengan cara meluruskan caranya berkomunikasi. 10 Berarti dalam hal ini untuk membantu peningkatan kesadaran dan kemampuan siswa autis sangat diperlukan terapi komunikasi dan tidak bisa dipungkiri bahwa terapi komunikasi sebenarnya dominan menjadi solusi bagi peningkatan kemampuan siswa dengan gangguan mental atau autis. Kualitas berhasil atau tidaknya suatu terapi komunikasi juga tergantung pada sejauh mana kualitas guru dalam memahami permasalahan siswa, baik secara faktor internal maupun eksternal. 2. Fungsi Komunikasi Terapeutik Menurut Heri Purwanto (1994:20), fungsi dari komunikasi terpeutik adalah untuk mendorong dan mengajarkan kerjasama antara terapis dengan pasien. Guru berusaha mengungkapkan perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan dalam proses terapi. Proses komunikasi terapi yang baik dapat memberikan pengertian tingkah laku siswa dan membantu siswa untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pada tahap terapi. Sedangkan pada tahap preventif kegunaanya adalah mencegah adanya tindakan yang negatif terhadap pertahanan diri siswa. 3. Tujuan Komunikasi Terapeutik Selain dalam menjalankan fungsinya, hal yang terpenting dalam komunikasi terapeutik adalah memiliki tujuan. Menurut Mundakir (2007:119) bahwa komunikasi 11 terpeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi: a. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal yang diperlukan. b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan mempertahankan kekuatan egonya. c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri dalam hal peningkatan derajat kesehatan d. Mempererat hubungan atau interaksi antara klien dengan terapis secara professional dalam rangka membantu penyelesaian masalah klien. Untuk mencapai tujuan ini, berbagai aspek pengalaman hidup siswa dikaji selama berlangsungnya komunikasi terapeutik. Guru memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan persepsi, pikiran, dan perasaanya serta menghubungkan hal-hal tersebut untuk mengamati dan melaporkan tindakan-tindakan yang dilakukan siswa. Guru menggunakan kemampuan komunikasi ketika menetapkan hubungan terapeutik. Setiap orang berkomunikasi secara unik dan setiap siswa membutuhkan teknik komunikasi yang berbeda. 4. Manfaat Komunikasi Terapeutik Dengan profesinya sebagai terapis, maka menjadi menjalankan komunikasi terapeutik adalah suatu hal yang wajib dilakukan dan diharapkan akan memberikan kontribusi dalam melakukan pelayanan kesehatan kepada masyarakat (Nurjannah, 2005:33). Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerjasama antara terapis dan pasien melalui hubungan terapis dan 12 pasien. Mengklarifikasi, mengungkap perasaan dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh terapis. 5. Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik Dalam menanggapi pesan yang disampaikan siswa, seorang guru dapat menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Adapun beberapa teknik-teknik komunikasi terapeutik menurut Stuart dan Sundeen yang dikuti oleh Heri Purwanto (1999:25) adalah: a. Mendengar (Listening) Merupakan dasar utama dalam berkomunikasi. Dengan mendengarkan seorang guru dapat mengetahui perasaan siswa. Guru dituntut untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada siswa untuk bebicara dan menjadi pendengar yang baik. b. Pertanyaan Terbuka (broad opening) Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan perasaanya sesuai kehendak siswa tanpa membatasi. c. Mengulang (restarting) Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan siswa. Hal ini dimaksudkan untuk menguatka ungkapan siswa dan member indikasi bahwa guru mengikuti pembicaraan siswa. d. Klarifikasi 13 Dilakukan bila guru ragu, tidak jelas, tidak mendengar atau siswa berhenti karena malu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. e. Refleksi Refleksi merupakan reaksi guru dan siswa selama berlangsungnya komunikasi. Refleksi ini dibedakan menjadi dua yaitu, refleksi isi, yang bertujuan untuk memvalidasi apa yang didengar. Klarifikasi ide yang diekspresikan siswa dengan pengertian guru. Refleksi perasaan, yang bertujuan memberi respon pada perasaan siswa terhadap isi pembicaraan agar siswa mengetahui dan menerima perasaanya. Teknik ini berfungsi untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaan, mengoreksi dan memberi keterangan secara lebih jelas. Namun tehnik ini memiliki kelemahan yaitu, mengualng teralu sering dan sama serta dapat menimbulkan kemarahan, iritasi dan frustasi. f. Memfokuskan Membantu siswa berbicara pada topik yang telah dipilih dan bersifat penting serta menjaga pembicaraan tetap menuju tujuan yang lebih spesifik, lebih jelas dan berfokus pada realitas. g. Membagi Persepsi Terapis dalam hal ini guru meminta pendapat siswa tentang hal yang guru rasakan dan pikirkan. Dengan cara ini guru dapat meminta umpan balik dan member informasi. 14 h. Identifikasi Tema Mengidentifikasi latar belakang masalah yang dialami siswa yang muncul selam percakapan. Funsinya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi masalah yang penting. i. Diam (Silence) Cara yang biasanya sukar dilakukan setelah mengajukan pertanyaan. Tujuannya adalah member kesempatan berfikir dan memotivasi pasien (siswa) untuk berbicara. Pada pasien (siswa) yang menarik diri, teknik diam berarti terapis (guru) menerima pasien. j. Informing Memberi informasi dan fakta untuk proses pendidikan dan pembelajaran. k. Saran Memberi alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan. Dengan menggunakan teknik-teknik komunikasi terapeutik, maka akan mengembangkan hubungan komunikasi yang terjalin antara guru dan siswa autis, apa yang dialami oleh siswa, guru dapat mengerti serta memahaminya, sehingga siswa akan merasa dihargai sepenuhnya. 15 6. Tahapan Komunikasi Terapeutik Menurut Stuart dan Laraia (2001:135), ada empat tahapan komunikasi terapeutik adalah sebagai berikut: a) Tahap preinteraksi Tahap preinteraksi dimulai sebelum terapis bertemu dengan klien. Terapis mengumpulkan data tentang klien, mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutan diri dan membuat rencana pertemuan dengan klien. b) Tahap orientasi Tahap ini dimulai denga pertemuan dengan klien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan klien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan terapis-klien. Hubungan tugas pertama adalah membina hubungan percaya, penerimaan dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan klien. Pada tahap ini terapis melakukan kegiatan sebagai berikut: member salam dan senyum pada klien, melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif), memperkenalkan diri, menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk untuk melakukan kegiatan, menjelaskan kerahasiaan. c) Tahap kerja 16 Pada tahap kerja dalam komunikasi terpeutik, kegiatan yang dilakukan adalah memberi kesempatan pada klien untuk bertanya, menanyakan keluhan utama, mulai kegiatan dengan cara yang baik, melakukan kegiatan sesuai rencana. d) Tahap terminasi Pada tahap terminasi dalam komunikasi terapeutik kegiatan yang dilakukan oleh terapis adalah menyimpulkan hasil wawancara, tindak lanjut dengan klien, melakukan kontrak (tempat, waktu dan topik), mengakhiri wawancara dengan cara yang baik. 7. Sikap dalam Melakukan Komunikasi Terapeutik Seorang guru hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu berkomunikasi dengan siswa. Guru tidak hanya mengetahui teknik komunikasi dan isi komunikasi tetapi yang sangat penting adalah sikap atau penampilan dalam komunikasi. Menurut Egan (Mundakir 2006:125-128) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik, yaitu: a. Berhadapan, arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu anda”. b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai siswa dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi. Sikap ini juga dapat menciptakan perasaan nyaman bagi pasien. 17 c. Membungkuk ke arah siswa. Posisi ini menunjukan kepedulian dan keinginan guru untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang dialami siswa. d. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan menunjukan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka guru ini meningkatkan kepercayaan siswa kepada guru. e. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respon terhadap siswa. Sikap fisik dapat pula disebut sebagai perilaku non verbal yang perlu dipelajari pada setiap tindakan terapeutik. Beberapa perilaku non verbal yang perlu diketahui : a. Gerakan mata. Gerakan mata dipakai untuk memberikan perhatian. Kontak mata berkembang pada anak sejak lahir. Kontak mata antara ibu dan bayi merupakan cara interaksi dan kontak social. Seorang guru perlu mengetahui perkembangan kontak mata, misalnya usia 2 bulan bayi tersenyum jika melakukan kontak mata dengan ibu. Bayi dan anak memperlihatkan reaksi yang tinggi terhadap rangsangan visual. Kontak mata dan ekspresi muka merupakan alat pertama yang dipakai untuk pendidikan dan sosialisasi. Anak sangat mengerti ekspresi ibu yang marah, sedih dan tidak setuju. 18 b. Ekspresi muka umumnya dipakai sebagai bahasa non verbal, namun banyak dipengaruhi oleh budaya. Orang yang tidak percaya pasti akan tampak dari ekspresi muka tanpa ia sadari. c. Sentuhan, sentuhan merupakan cara interaksi mendasar. Konsep diri didasari oleh asuha ibu yang memperlihatkan perasaan menerima dan mengakui. Ikatan kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian. Sentuhan sangat penting bagi anak sebagai alat komunikasi dalam pembentukan ego, perpisahan dan kemandirian. Menurut Carl Rogers (Mundakir 2006:121-122) untuk mengembangkan proses komuniksi terapeutik hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang terapis atau dalam hal ini guru antara lain : a. Terapis harus mengenal dirinya sendiri yang berarti menghayati, memahami dirinya sendiri serta nilai yang dianut. b. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan saling menghargai. c. Terapis harus menghargai pentingnya kebutuhan pasien (siswa) baik fisik maupun mental. d. Terapis harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien (siswa) bebas berkembang tanpa rasa takut serta memungkinkan pasien (siswa) memiliki motivasi untuk mengubah 19 dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh maki matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. e. Memahami betul arti empati sebagai tindakan terapeutik. f. Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik. g. Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukan dan meyakinkan orang lain tentang kesehatan , oleh karena itu terapis perlu mempertahankan suatu keadaan sehat fisik, mental, spiritual dan gaya hidup. h. Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan umat. i. Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain. 8. Dimensi Respon dalam Komunikasi Terapeutik Didalam komunikasi terapeutik terdapat dimensi respon. Dimensi respon merupakan sikap guru secara psikologis dalam berkomunikasi kepada siswa. Dimensi respon sangat penting pada awal hubungan dengan siswa untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi terbuka. Respon ini harus terus dipertahankan sampai akhir hubungan. Adapun dimensi respon tersebut menurut Truax, Carkhoff dan Benerson (Mundakir 2006:126-127): 20 a. Keikhlasan Sikap ikhlas guru dapat dinyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan dan berperan aktif dalam berhubungan dengan siswa. Guru berespon tulus, tidak berpura-pura, mengekspresikan perasaan yang sebenarnya dan spontan. Guru bertindak sepenuh hatinya sesuai dengan tanggung jawab dan wewenangnya. b. Menghargai Guru menerima siswa apa adanya. Sikap guru harus tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak menghina dan tidak mengejek. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui duduk diam bersama siswa yang menangis. Sikap ini secara psikologis dapat menimbulkan perasaan nyaman bagi siswa. c. Empati Empati merupakan kemampuan masuk kedalam kehidupan siswa agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Guru memandang melalui pandangan siswa, merasakan melalui perasaan siswa dan kemudian mengidentifikasi masalah siswa serta membantu siswa mengatasi masalah tersebut. d. Kongkrit Guru menggunakan istilah yang khusus dan jelas, bukan yang abstrak. Hal ini perlu untuk menghindari keraguan dan ketidakjelasan komunikasi. 21 9. Hubungan Komunikasi Terapeutik dan Autisme Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi yang sudah dirancang sedemikian rupa dalam rangka mendukung proses percepatan terapi atau pemulihan pasien menuju kondisi normal. Berkaitan dengan hal tersebut, autisme sebagai salah satu bentuk gangguan (sindrom) perkembangan mental, emosional, pikiran, perbuatan dan kemampuan berbahasa juga sangat membutuhkan adanya komunikasi terapeutik tersebut. Terlebih lagi pada kondisi autisme, seorang anak mengalami kesuliatan atau keterbatasan dalam berkomunikasi dengan orang lain atau lingkungannya. Sehingga adanya komunikasi terapeutik ini akan sangat membantu anak penyandang autis dalam proses pemulihan menuju pada kondisi normal atau setidaknya mendekatinya. Dengan demikian, komunikasi terapeutik sangat diperlukan dalam proses pemulihan atau terapi autisme. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian kualitatif adalah penelitian yang mengunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus (Moleong, 2007:3). Penelitian kualitatif hanya mempersoalkan dua aspek, yaitu pendekatan penelitian yang digunakan adalah naturalistik, sedang upaya dan tujuannya adalah 22 memahami suatu fenomena dalam suatu konteks khusus. Sehingga penelitian ini tidak menggunakan prosedur analisis statistic atau kuantifikasi lainnya. Lexy J. Moleong dalam bukunya yang berjudul Metodologi Penelitian Kualitatif menyatakan bahwa penelitian kualitatif ialah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi. Sehingga penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode ini dianggap sangat tepat untuk upaya memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu yang akan menjadi informan nantinya melalui wawancara terbuka dengan lebih detail, merinci serta juga tak menutup kemungkinan memanfaatkan pengamatan dan dokumen-dokumen terkait. Fenomena-fenomena yang merupakan fakta dari hal-hal yang terkait dalam penelitian ini tentunya semakin lebih baik dan mudah untuk dipahami secara lebih mendalam. Melalui metode ini pun, peneliti menjadi lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan adanya pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai 23 yang dihadapi karena penelitian ini mempercayai akan fenomena yang benarbenar ada dan terlihat sehingga peneliti berusaha untuk sejauh mungkin dari subyaktifitas dan menjadi netral, selain itu metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antar peneliti dengan informan, sehingga nantinya pada analisis dapat menguraikan latar secara penuh dan dapat memberikan kesimpulan yang tajam. Data-data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan sesuai dengan metode penelitian kualitatif ini maka lebih banyak mementingkan segi proses daripada hasil. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Penelitian kualitatif menyusun desain secara terus menerus disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, jadi penelitian inii tidak menggunakan desain yang telah disusun secara ketat dan kaku sehingga tidak dapat diubah lagi. Dengan demikian, desain khususunya masalah yang telah ditetapkan terlebih dahulu apabila peneliti ke lapangan dapat saja diubah, sehingga metode ini dinilai sangat luwes. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah SLB Negeri Pembina Yogyakarta. 24 3. Pengambilan Informan Teknik informan dalam penelitian ini adalah menggunakan rancangan non probabilitas, pengambilan informan dilakukan dengan teknik purposif sampling (sampel bertujuan). Purposive sampling, artinya cara pengambilan informan dengan pertimbangan tertentu (Moleong, 2007:90). Pengambilan informan purposif sampling berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai hubungan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada populasi yang sudah ditentukan sebelumnya sehingga diperlukan seleksi untuk memilih informan. Pada dasarnya dalam purposif sampling digunakan karena unit analisa penelitian yang tidak homogen. 4. Informan Penelitian Dalam penelitian kualitatif, sumber data penelitian adalah subjek penelitian atau informan. Informan yang akan memberikan berbagai macam pertanyaan yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi dua macam, yaitu informan utama disini adalah guru atau pengajar di SLB Negeri Pembina Yogyakarta, dan informan tambahan yaitu siswa penyandang autism di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Informan utama adalah mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti. Sedangkan informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang diteliti. 25 Informan yang dijadikan sumber informasi dalam penelitian ini adalah guru di SLB Negeri Pembina Yogyakarta dan siswanya. Dalam hal ini peneliti mengambil 2 pasang informan, yaitu para guru dan siswanya. Para guru yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Bu Am dan Pak Mh, keduanya dipilih karena merupakan guru serta wali kelas yang mendampingi siswa autis ketika melakukan terapi disekolah. Sedangkan informan siswa diambil dari siswa autis pada tingkat Sekolah Menengah Pertama dan siswa tingkat Sekolah Menengah Atas yang masih intens melakukan terapi menggunakan game komputer, sehingga bisa dilihat teknik yang digunakan guru dalam meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. 5. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui beberapa cara, antara lain: a. Wawancara mendalam (in depth interview) Wawancara merupakan alat untuk mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang dipikirkan atau dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan. Melalui tanya jawab kita dapat memasuki alam pikiran orang lain, sehingga kita memperoleh gambaran tentang dunia mereka. Jadi wawancara dapat berfungsi deskriptif, yaitu melukiskan dunia kenyataan seperti dialami orang lain (Nasution, 2006:14). Wawancara diartikan percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak yang bertindak sebagai 26 pewawancara dan yang diwawancarai dengan maksud untuk mendapatkan informasi yang valid dan reliable. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan jenis wawancara tertentu akan mempersempit ruang lingkup atau upaya eksplorasi sekaligus elaborasi data dari responden, sehingga harus disesuaikan (fleksibel) dengan kondisi lapangan (situasional) dan individual (Moleong, 2007:93). Wawancara secara garis besar dibagi dua, yaitu wawancara terstruktur dan tak tersruktur (Mulyana, 2002:180). Wawancara terstruktur disebut juga wawancara baku (standardized interview) merupakan wawancara dengan pertanyaan- pertanyaan yang telah disusun sebelumnya berikut dengan pilihan jawaban yang juga telah disediakan. Wawancara tak terstruktur disebut juga wawancara mendalam, merupakan teknik pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Hal ini didasari oleh keuntungannya, yaitu kebebasan yang menjiwainya, sehingga responden secara spontan dapat mengeluarkan segala sesuatu yang ingin diungkapkannya. Wawancara tak terstruktur mirip dengan percakapan informal yang bertujuan menggali sebanyak mungkin informasi dari semua responden. Dalam wawancara semacam ini, peneliti mencatat pokok-pokok penting yang akan dibicarakan sebagai pegangan untuk mencapai tujuan wawancara, dan responden bebas menjawab menurut isi hati dan pikirannya. Lama wawancara juga tidak dibatasi dan diakhiri menurut keinginan 27 peneliti. Dengan demikian, peneliti dapat memperoleh gambaran yang lebih luas karena setiap responden bebas meninjau berbagai aspek menurut pendirian dan masing-masing, sehingga dapat memperkaya pandangan peneliti (Nasution, 2006:119). Wawancara tak terstruktur bersifat fleksibel, susunan pertanyaan dan kata-kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat berlangsungnya wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial budaya (agama, suku, gender, tingkat pendidikan, pekerjaan) responden. b. Observasi Dalam penelitian ini, salah satu alat pengumpul data (pendukung) yang digunakan adalah observasi. Observasi merupakan salah satu usaha pengumpulan data yang dilakukan dengan pengamatan secara langsung yang berupa data deskriptif aktual, cermat, dan terperinci tentang keadaan lapangan kegiatan manusia dan situasi sosial serta konteks di mana kegiatan itu terjadi (Nasution, 2006:52). Manfaat metode observasi terutama adalah peneliti akan memahami konteks data secara keseluruhan situasi. Pengalaman langsung memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif yang dapat membuka kemungkinan melakukan penemuan, misalnya menemukan hal-hal yang sedianya tidak akan diungkapkan oleh subyek karena bersifat sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan diri sendiri. Selain itu, 28 peneliti dapat menemukan hal-hal di luar persepsi peneliti dan memperoleh kesan-kesan pribadi, misalnya merasakan situasi sosial (Nasution, 2006:62). Observasi dimaksudkan untuk melihat apakah subjek memilih berperilaku dengan cara tertentu agar sesuai dengan situasi yang ada. (Mulyana, 2002:163). Dalam observasi ini diusahakan mengamati keadaan yang wajar yang sebenarnya tanpa usaha yang disengaja mempengaruhi, observasi mengatur menurut atau memanipulasikannya. untuk Mengadakan kenyataan, melukiskannya dengan kata-kata secara cermat dan tepat apa yang diamati, mencatatnya dan kemudian mengolahnya dalam rangka masalah yang diteliti secara ilmiah bukanlah hal yang mudah. Selalu akan ada persoalan seberapa valid dan reliabelkah hasil pengamatan itu atau seberapa representatifkah obyek pengamatan itu bagi gejala yang muncul bersamaan (Nasution, 2006:83). c. Dokumentasi dan artikel Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang tersedia adalah berbentuk surat, catatan lapangan, laporan, foto, dan sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang pernah terjadi di waktu silam. 29 6. Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif adalah kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pasca pengumpulan data di lapangan. Data berupa informasi yang telah diperoleh dari observasi maupun wawancara dikumpulkan menjadi satu dan kemudian dilakukan pengorganisasian data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengsintesiskan dan menemukan pola yang kemudian dapat membantu peneliti untuk menentukan mana data yang penting atau yang tidak penting untuk dipelajari (Moleong, 2007:284). Proses analisis data kualitatif berlangsung selama dan pasca pengumpulan data. Proses analisis mengalir dari tahap awal hingga tahap penerikan kesimpulan hasil studi. Karenanya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Miles dan Huberman, analisis data kualitatif dikatakan sebagai model alir yang mengikuti keseluruhan dari proses penelitian untuk kemudian ditafsirkan untuk dihubungkan dengan masalah yang sedang diteliti. Analisis data yang dilakukan peneliti menggunakan teknik sebagai berikut: a. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung melalui pengamatan, wawancara dan pengumpulan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. b. Reduksi Data Data yang telah dihimpun pada proses penelitian kemudian direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal pokok yang menjadi tema kajian penelitian. 30 Dengan cara ini peneliti memudahkan peneliti untuk melakukan analisis data hasil penelitian. c. Display Data Agar dapat melihat bagian tertentu dalam penelitian, peneliti menyajikan dalam bentuk matrik atau grafik. Dengan cara ini peneliti tidak saja memaparkan segala temuan lapangan dalam tulisan detail, tetapi dapat ditampilkan dalam bentuk matrik atau gambar yang memudahkan dalam analisis data. d. Mengambil Kesimpulan dan Verifikasi Data yang telah dikumpulkan selama proses penelitian dan selesai melalui tahap reduksi atau pemilahan, kemudian saling diambil hubungan antar data yang sesuai dengan tema penelitian sehingga memunculkan satu hipotesis dan dapat diambil satu kesimpulan. Kesimpulan tersebut kemudian difrivikasi selama penelitian berlangsung, dengan mencari data baru yang mendukung agar menjamin validitas. Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini di dasarkan pada pendekatan yang peneliti gunakan untuk mencapai akhir dari kegiatan analisis data kualitatif yang terletak pada pelukisan atau peraturan tentang apa yang berhasil dimengerti berkenaan dengan sesuatu masalah yang diteliti, dan dari sinilah lahir kesimpulan-kesimpulan yang bobotnya mendalam. Dalam penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan pendekatan studi kasus. 31 Dalam studi kasus ini terinci pada langkah-langkah analisis data sebagai berikut : 1) Mengumpulkan dan mengorganisir informasi. 2) Membaca ulang, rekap dan mereduksi data dari keseluruhan informasi. 3) Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya. 4) Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori. 5) Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain. 6) Menyajikan data dan menarik kesimpulan secara naratif. 7. Validitas Data Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secara terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang kredibel akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan oleh penulis diantaranya adalah sebagai berikut: 32 a. Triangulasi Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan melalui sumber lainnya (Moleong, 2007:330). Triangulasi dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu: 1) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data wawancara. 2) Membandingkan perkataan di depan umum dengan perkataan secara pribadi. 3) Membandingkan perkataan orang-orang tentang situasi penelitian dengan perkataannya sepanjang waktu. 4) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dngan berbagai derajad dan pandangan orang, seperti rakyat biasa, orang berada, orang berpendidikan menengah dan tinggi atau orang pemerintahan. 5) Membandingkan hasil wawancara dengan isu dalam satu dokumen berkaitan. b. Konfirmabilitas Konfirmabilitas dilakukan dengan observasi secara mendalam dan bukan hanya sekilas saja, serta dengan melakukan pengecekan terhadap data atau informasi yang cukup. Observasi tidak dilakukan hanya sekilas dalam satu waktu, melainkan dilakukan selama beberapa hari dan memerlukan waktu yang cukup untuk dapat memahami hasil pengamatan. 33 c. Referensi yang Cukup Untuk menghindari kedangkalan kajian, penulis berusaha untuk mencari referensi yang berkaitan dengan masalah yang diangkat oleh penulis. Tidak hanya tergantung pada buku-buku akademik namun peneliti juga menggunakan sumber lain seperti laporan penelitian, skripsi, informasi-informasi yang didapat dari internet maupun media massa baik elektronik maupun media cetak dan sebagainya. Dalam penelitian ini uji validitas data yang digunakan yaitu teknik triangulasi dengan cara membandingkan hasil data pengamatan dengan data wawancara. 8. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini secara keseluruhan akan disajikan dalam sistematika penulisan yang terbagi menjadi empat bab, yakni; bab satu dengan pendahuluan yang akan membuat uraian yang akan menggambarkan permasalahn yang akan diteliti. Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori yang memuat semua teori-teori yang berhubungan dengan permasalahn penelitian untuk dijadikan landasan dalam metodologi penelitian. Bab dua penelitian ini meliputi gambaran umum tentang SLB Negeri Pembina Yogyakarta, yang menggambarkan tentang kondisi lingkungan SLB Negeri Pembina Yogyakarta meliputi letak wilayah, sejarah dan perkembangan, kurikulum pendidikan, tenaga pengajar dan program kerja. 34 Bab tiga akan menjelaskan tentang hasil penelitian dan penjelasan. Di bab ini meliputi pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik guru kepada siswa autism, faktor pendukung dan penghambat dalam proses komunikasi terapeutik antara guru dan siswa autisme dan peran komunikasi terapeutik dalam proses bimbingan/rehabilitasi. Bab selanjutnya adalah bab empat yaitu penutup, bab ini akan memuat tentang kesimpulan yang menyimpulkan semua pembahasan dan hasil penelitian ini serta akan dikemukakan pula saran-saran yang dijadikan dasar untuk kelancaran proses pemulihan pada siswa autisme. 35