pemberian terapi k penurunan intens keperawatan t di ruang igd r

advertisement
PEMBERIAN TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. S DENGAN FRAKTUR
DI RUANG IGD RSUD KARANGANYAR
DI SUSUN OLEH :
ANGGIT BAGASWORO
NIM. P.13004
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN TERAPI KOMPRES DINGIN TERHADAP
PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN
KEPERAWATAN Tn. S DENGAN FRAKTUR
DI RUANG IGD RSUD KARANGANYAR
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
ANGGIT BAGASWORO
NIM. P.13004
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
: Anggit Bagasworo
NIM
: P 13004
Program Studi
: D III Keperawatan
Judul Karya Tulis Ilmiah : Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. S
Dengan Fraktur Di Ruang IGD RSUD Karanganyar.
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini
benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau
pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri.
Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah
hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atau perbuatan tersebut sesuai
dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 12 Mei 2016
Yang Membuat Pernyataan
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Kompres Dingin Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Pada Asuhan Keperawatan Tn. S Dengan Fraktur Di Ruang IGD
RSUD Karanganyar”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada yang terhormat :
1. Allah SWT yang selalu memberikan kemudahan, kelancaran dan petunjuk
dalam mengerjakan Karya Tulis Ilmiah ini,
2. Ibu Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII
Keperawatan dan selaku penguji 1 yang telah memberikan kesempatan untuk
dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ibu Alfyana Nadya Rahmawati S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris
Program Studi DIII Keperawatan yag telah memberikan kesempatan dan
arahan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ibu Anissa Cindy N. A, S.Kep., Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing
sekaligus sebagai penguji 2 yang telah membimbing dengan cermat,
memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan
serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya
serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orangtua saya, yang selalu memberikan kasih sayangnya. Yang selalu
menyebut nama saya disetiap doanya. Yang menjadi penyemangat saya demi
kelancaran, kesuksesan, dan kemudahan untuk menyelesaikan pendidikan ini.
iv
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta terutama kelas 3A yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 12 Mei 2016
Anggit Bagasworo
P.13004
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .....................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................
1
B. Tujuan Penulisan .........................................................................
4
C. Manfaat Penulisan ......................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur .........................................................................................
6
B. Nyeri ............................................................................................
28
C. Kompres Dingin ..........................................................................
38
D. Kerangka Teori ............................................................................
46
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subyek Aplikasi Riset .................................................................
47
B. Tempat dan Waktu ......................................................................
47
C. Media dan Alat yang Digunakan. ................................................
47
D. Prosedur Tindakan Berdasarkan Aplikasi Riset ..........................
47
E. Alat Ukur Evaluasi dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset ..
48
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Pengkajian ..................................................................................
50
B. Perumusan Masalah Keperawatan...............................................
56
C. Perencanaan Keperawatan...........................................................
57
D. Tindakan Keperawatan ................................................................
59
E. Evaluasi Keperawatan .................................................................
60
vi
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ...................................................................................
62
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................
67
C. Intervensi Keperawatan ...............................................................
71
D. Implementasi Keperawatan .........................................................
75
E. Evaluasi Keperawatan .................................................................
78
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan..................................................................................
80
B. Saran ............................................................................................
83
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Gambar 2.1 Skala Nyeri ............................................................................
35
2.
Gambar 2.2 Kerangka Teor.......................................................................
46
3.
Gambar 3.1 Alat Ukur Nyeri Yang Digunakan ........................................
49
4.
Gambar 4.1 Luka Pada Fraktur .................................................................
54
5.
Gambar 4.2 Genogram ..............................................................................
54
6.
Gambar 4.3 Hasil Rontgen ........................................................................
56
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Usulan Judul
Lampiran 2 Lembar Konsultasi Dosen
Lampiran 3 Lembar Konsultasi CI
Lampiran 4 Surat Pernyataan
Lampiran 5 Jurnal Utama
Lampiran 6 Asuhan Keperawatan
Lampiran 7 Log Book
Lambiran 8 Format Pendelegasian
Lampiran 9 Lembar Observasi
Lampiran 10 Diagram Perbandingan
Lampiran 11 SOP Pemberian Kompres Dingin
Lampiran 12 Riwayat Hidup
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Health Organization (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih
dari 5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1,3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Kecelakaan memiliki prevalensi cukup tinggi
yaitu insiden fraktur ekstremitas bawah sekitar 40% (Depkes RI, 2011).
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di bawah
penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Menurut hasil data Riset Kesehatan
Dasar (Rikesdas) tahun 2011, di Indonesia terjadi fraktur yang disebabkan oleh
cidera seperti terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam/tumpul. Riset
Kesehatan Dasar (2011) menemukan ada sebanyak 45.987 peristiwa terjatuh
yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %). Kasus kecelakaan lalu
lintas sebanyak 20.829 kasus, dan yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang
(8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang mengalami fraktur
sebanyak 236 orang (1,7 %).
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum,
fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap
atau tidak lengkap (Helmi, 2012).
1
2
Salah satu manifestasi klinik pada penderita fraktur adalah nyeri.
Nyeri merupakan sensasi ketidaknyamanan yang bersifat individual, Nyeri
tidak lagi dipandang sebagai kondisi alami dari cidera atau trauma yang akan
berkurang secara bertahap seiring waktu, karena nyeri yang tak mereda dapat
menyebabkan komplikasi, peningkatan lama rawat inap di rumah sakit dan
distrees (Helmi, 2013).
Penyebab dari nyeri pada pasien fraktur diakibatkan dari reseptor
nyeri. Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Nyeri merupakan gejala paling sering ditemukan pada
gangguan muskuloskletal. Nyeri pada penderita fraktur bersifat tajam dan
menusuk. Nyeri tajam juga bisa ditimbulkan oleh infeksi tulang akibat
spasme otot atau penekanan pada saraf sensoris (Helmi, 2012). Organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari
syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Potter & Perry,
2005).
Perawat mempunyai peran penting dalam pemberian pereda nyeri
yang adekuat, yang prinsipnya mencakup mengurangi ansietas, mengkaji
3
nyeri secara regular, memberi analgesik dengan tepat untuk meredakan nyeri
secara optimal, dan mengevaluasi keefektifannya (Kneale, 2011). Penanganan
nyeri pada pasien fraktur secara farmakologis yaitu pemberian obat analgesik
seperti keterolac dan ketopain. (Purnamasari dkk, 2014)
Penatalaksanaan nyeri meliputi dua tipe dasar intervensi keperawatan
yaitu keperawatan farmakologi dan non farmakologi. Penatalaksanaan nyeri
secara farmakologi melibatkan penggunaan obat. Penatalaksanaan nyeri
secara non farmakologi meliputi stimulasi kutaneus (Kozier & Erb, 2009)
Salah satu manajemen non farmakologi untuk menurunkan nyeri yang
dirasakan pada pasien fraktur adalah dengan kompres dingin (Potter & Perry,
2005). Pemberian kompres dingin dipercaya dapat meningkatkan pelepasan 2
endorfin yang memblok transmisi stimulus nyeri dan juga menstimulasi
serabut saraf berdiameter besar A-Beta sehingga menurunkan transmisi
implus nyeri melalui serabut kecil A-delta dan serabut saraf C. tindakan
kompres dingin selain memberikan efek menurunkan sensasi nyeri, kompres
dingin juga memberikan efek fisiologis seperti menurunkan respon inflamasi
jaringan, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema (Tamsuri, 2007)
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari dkk, (2014)
menunjukkan bahwa kompres dingin efektif untuk menurunkan intensitas
nyeri pada pasien fraktur. Dan untuk mengetahui nilai nyeri peneliti
menggunakan salah satu alat ukur untuk mengetahui skala nyeri responden
yaitu dengan Numerical Rating Scale. Selain menggunakan Numerical Rating
4
Scale, peneliti juga menggunakan alat ukur skala yg lain yaitu skala
Deskriptif sehingga akan diperoleh hasil penelitian yg lebih baik.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas. penulis tertarik untuk
mengapikasikan kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada
pasien fraktur di Rumah Sakit.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkan pemberian kompres dingin terhadap penurunan intensitas
nyeri pada pasien fraktur
2. Tujuan Khusus
a.
Penulis mampu melakukan pengkajian terhadap pasien fraktur
b.
Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
fraktur
c.
Penulis mampu menyusun intervensi asuhan keperawatan yang tepat
untuk pasien fraktur
d.
Penulis mampu memberikan implementasi keperawatan yang tepat
untuk pasien fraktur
e.
Penulis mampu melakukan evaluasi untuk pasien fraktur
f.
Penulis mampu menganalisa dan mengetahui hasil pemberian
kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien
fraktur
5
C. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Bagi Rumah Sakit
Sebagai Intervensi baru di rumah sakit dalam menurunkan intensitas
nyeri dengan cara non farmakologi.
2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Untuk menambah wawasan dan referensi dalam pemberian kompres
dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan keperawatan
pasien fraktur.
3. Manfaat Bagi Penulis
Untuk menambah pengetahuan dan dapat diaplikasikan saat
menerima pasien fraktur dengan terapi kompres dingin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur
1.
Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut (Prince & Wilson,
2006) Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang,
dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang
terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Kemudian menurut (Bruner &
Sudarth, 2002) yang hampir mirip dengan Smeltzer mengatakan Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung,
gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot
ekstrem.
6
7
2.
Klasifikasi Fraktur
Metode klasifikasi paling sederhana adalah berdasarkan pada
apakah fraktur tertutup atau terbuka. Fraktur terutup memiliki kulit yang
masih utuh diatas lokasi cidera. Sedangkan fraktur terbuka dicirikan oleh
robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas
pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya.
a.
Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm: kontaminasi minimal.
b.
Derajat 2 : Luka lebih dari 1cm: kontaminasi sedang.
c.
Derajat 3 : Luka melebihi 6 sampai 8 cm, ada kerusakan luas pada
jaringan lunak, saraf, dan tendon, dan kontaminasi
banyak. Oleh karena luka berhubungan dengan dunia
luar, risiko infeksi harus segera dikenali dan di tangani.
Klasifikasi sendiri menurut (Brunner & suddarth, 2005), jenis-jenis
fraktur adalah :
a.
Complete Fracture (fracture komplit) : Patah pada seluruh garis
tengah tulang. Luas dan melintang. Biasanya disertai dengan
perpindahan posisi tulang.
b.
Closed Fracture (simple fraktur) : Tidak menyebabkan robeknya
kulit, integritas kulit masih tertutup.
c.
Open
Fracture
(compound
fraktur/komplikata/kompleks)
:
Merupakan fraktur dengan luka pada kulit (integritas kulit rusak dan
ujung tulang menonjol sampai menembus kulit ) atau membrane
mukosa sampai kepatahan tulang.
8
d.
Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang
lainnya membengkok.
e.
Transversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.
f.
Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
g.
Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang.
h.
Komunitif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
i.
Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam.
j.
Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (Terjadi
pada tulang belakang)
k.
Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit
(kista tulang, tumor dll)
l.
Epifisial : Fraktur melalui epifisis
m. Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen
tulang lainnya.
3.
Etiologi
Menurut (Oswari, 2000) penyebab fraktur adalah :
a) Kekerasan langsung : Kekerasan langsung menyebabkan patah
tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering
bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b) Kekerasan
tidak
langsung
:
Kekerasan
tidak
langsung
menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang
paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
9
c) Kekerasan akibat tarikan otot : Patah tulang akibat tarikan otot
sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
4.
Patofisiologi
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur tersebut. Jika ambang fraktur tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak dan bukan patah. Jika gaya nya ekstrim,
seperti pada tabrakan mobil atau luka tembak, tulang dapat hancur
berkeping-keping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung
tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik
framen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat
menciptakan spasme yang kuat dan bahkan mampu menggeser tulang
besar, seperti femur. Walaupun bagian proksimal dari tulang patah tetap
pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena gaya
penyebab patah maupun spasme pada atot-otot sekitar. Fragmen fraktur
dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), ayau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang yang patah juga terganggu. Sering terjadi cidera jaringan
lunak. Perdarahan terjadi karena cidera jaringan lunak atau cidera pada
tulang itu sendiri. Pada saluran sum-sum(medula), hematoma terjadi
10
diantara fragmen-fragmen tulang dan di bawah periosteum. Jaringan
tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan menciptakan respon
peradangan yang hebat. Akan terjadi vasodilatasi, edema, nyeri,
kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit, serta infiltrasi sel darah
putih. Respons patofisiologis ini juga merupakan tahap awal dari
penyembuhantulang.
5.
Manifestasi Klinis
Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien,
riwayat, pemeriksaan fisik, dan hasil radiologis, beberapa fraktur sering
langsung tampak jelas; beberapa lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen
(sinar-x)Pengkajian fisik dapat menemukan beberapa hal berikut :
a.
Deformitas
Pembengkakan
dari
pendarahan
lokal
dapat
menyebabkan
deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan
pemendekan
tungkai,
deformitas
rotasional,
atau
angulasi.
Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
b.
Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasi darah ke jaringan sekitar.
c.
Memar
Memar terjadi karena pendarahan subkutan pada lokasi fraktur.
11
d.
Spasme otot
Sering mengiringi fraktur, spasme otot involuntar sebenarnya
berfungsi sibagai bidai alami untuk mengurangi gerakan lebih lanjut
dari fragmen fraktur.
e.
Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur; intensitas dan keparahan dr nyeri akan berbeda pada masingmasing klien, nyeri biasanya terus-menerus, meningkat jika fraktur
tidak dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme otot, fragmen
fraktur yg bertindih, atau cidera pada struktur sekitarnya.
f.
Ketegangan
Ketegangan di atas lokasi fraktur di sebabkan oleh cidera yang
terjadi.
g.
Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera syaraf
h.
Gerakan Abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau
gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara
deritan.
12
i.
Perubahan Neurovaskular
Cidera neurovaskular terjadi akibat kerusakan syaraf perifer atau
struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur
j.
Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Pendarahan besar
atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
6.
Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Doengoes, 2000) pemeriksaan diagnostik fraktur diantaranya :
a.
Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur.
b.
Scan Tulang, tonogram, scan CT/ MRI : Memperlihatkan fraktur,
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
c.
Anteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d.
Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau meurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh
pada trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon strees
normal setelah trauma.
e.
Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliren
ginjal.
f.
Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
Transfusi multiple, atau cidera hati.
13
7.
Penatalaksanaan
a.
Tatalaksana Kegawatdaruratan pada Fraktur
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk
mempertahankan kehidupan pasien dan yang kedua adalah
mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitas seperti
semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penanganan fraktur yang tepat adalah (1) survey primer yang
meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa
nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan
mencegah sumber- sumber potensial kontaminasi. Ketika semua hal
diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi
sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut.
1) Pengkajian Primer
Setelah pasien sampai di IGD yang pertama kali harus dilakukan
adalah mengamankandan mengaplikasikan prinsip ABCDE
(Airway,
Exposure)
Breathing,
Circulation,
Disabiliti,
Limitation,
14
a) Airway,
Dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah
kelancaranjalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas oleh adanyabenda asing atau fraktus di
bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust
dapat digunakan.Pasien dengan gangguan kesadaran atau
GCS kurang dari 8 biasanya memerlukanpemasangan
airway definitif.
b) Breathing.
Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita
harusmenjamin ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik
meliputi fungsi dari paru paruyang baik, dinding dada dan
diafragma.
Beberapa
sumber
mengatakan
pasien
meminimalisasi komplikasi lebih lanjut dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow
oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir
bag
c) Circulation.
Ketika
mengevaluasi
sirkulasi
maka
yang
harus
diperhatikan disini adalah volume darah, pendarahan, dan
cardiac output. Pendarahan seringmenjadi permasalahan
utama
pada
kasus
patah
tulang,
terutama
patah
15
tulangterbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan
kehilangan darah dalam paha 3 – 4.unit darah dan membuat
syok
kelas
III.
Menghentikan
pendarahan
yang
terbaikadalah menggunakan penekanan langsung dan
meninggikan
lokasi
atau
ekstrimitasyang
mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik
dapatmenurunkan
pendarahan
secara
nyata
dengan
mengurangi gerakan danmeningkatkan pengaruh tamponade
otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka,penggunaan
balut
tekan
steril
umumnya
dapat
menghentikan
pendarahan.Penggantian cairan yang agresif merupakan hal
penting disamping usahamenghentikan pendarahan.
d) Disability.
Menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi
singkatterhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini
adalah tingkat kesadaran, ukurandan reaksi pupil, tandatanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal
e) Exposure.
Pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring
dengan caramenggunting, guna memeriksa dan evaluasi
pasien. setelah pakaian dibuka, pentingbahwa pasien
diselimuti agar pasien tidak hipotermi
16
2) Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cedera
muskuloskeletal adalah anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan
dari pengkajian sekunder adalah mencari cedera cedera lain
yangmungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati.(Parahita dan, Kurniyanta, 2012).
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita
harus mengambil riwayat AMPLE daripasien, yaitu Allergies,
Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event
(kejadianatau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan
penting untuk ditanyakan untukmengetahui dan memperkirakan
cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kitamasih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey,
Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasiensampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang
penting untuk dievaluasi adalah
a) Kulityang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan
infeksi,
b) Fungsi neuromuskular
c) Status sirkulasi,
d) Integritas ligamentum dan tulang. Cara pemeriksaannya
dapatdilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita
17
menilai warna dan perfusi, luka,deformitas, pembengkakan,
dan memar. Penilaian inspeksi dalam tubuh perlu
dilakukanuntuk menemukan pendarahan eksternal aktif,
begitu pula dengan bagian punggung.
Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi
menandakan adanya gangguanvaskularisasi. Ekstremitas
yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan
adanyacrush
injury
dengan
ancaman
sindroma
kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kitamenggunakan
palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi,
dan
krepitasi.Pada
periksaan
Move
kita
memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba
pulsasi bagian distal dari fraktur danjuga memeriksa
capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan
sisi yang sakitdengan sisi yang sehat. Jika hipotensi
mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat digunakanalat
Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas.
Pada pasien denganhemodinamik yang normal, perbedaan
besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi danadanya
gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu
hematoma yangmembesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya traumaarterial.
18
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan
mengingat cedera muskuloskeletaljuga dapat menyebabkan
cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan
fungsisyaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf
perifer yang besar fungsi motoris dansensorisnya perlu
diperiksa secara sistematik
b.
Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan Keperawatan menurut (Mansjoer, 2003) . adalah :
1) Terlebih dahulu perhatikan adanya perdarahan, syok dan
penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang.
2) Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman,
mencegah komplikasi.
3) Pemantauan neurociculatory yang dilakukan setiap jam secara
dini, dan pemantauan neurociculatory pada daerah yang cidera
adalah :
a) Meraba lokasi apakah masih hangat.
b) Observasi Warna
c) Menekan pada akar kuku dan perhatikanpengisian kembali
kapiler.
d) Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang
sensasi pada lokasi cedera.
e) Meraba lokasi cedera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri.
19
f)
Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
4) Pertahankan kekuatan dan pergerakkan
5) Mempertahankan kekuatan kulit
6) Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat.
Anjurkan intake protein 150-300 gr/hari.
7) Memperhatikan immobilisasi fraktur yang telah direduksi
dengan tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah
dihubungkan, tetap pada tempatnya sampai sembuh.
8.
Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut (Price, A dan L.Wilson, 2006) :
a. Malunion : Adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk
sudut atau miring.
b. Delayed Union : Adalah proses penyembuhan yang berjalan terus
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c. Nonunion : Patah tulang yang tidak menyambung kembali.
d. Compartment Syndrome : Adalah suatu keadaan peningkatan
tekanan yang berlebihan didalam satu ruangan yang disebabkan
perdarahan masif pada suatu tempat.
e. Shock
:
Terjadi
karena
kehilangan
banyak
darah
dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
20
f. Fat Embolisme Syndroma : Tetesan lemak masuk ke dalam
pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak, pada
fraktur laki-laki usia 20-40 tahun.
g. Infeksi : Sistem pertahan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit
(Superfisial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan.
h. Refleks Symphathethik Dysthropy : Hal ini disebabkan oleh
hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum
banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik.
9.
Asuhan Keperawatan
a.
Pengkajian
1.
Identitas Klien
Meliputi : Nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,
bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal. MRS, diagnosa medis,
no. Registrasi.
2.
Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut/kronik tergantung dari lamanya
serangan. Unit memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
rasa nyeri pasien digunakan :
21
Provoking Inciden : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
prepitasi nyeri
Quality Of Pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut atau menusuk.
Region Radiation : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar / menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
Saverity Scale Of Pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan pasien, bisa berdasarkan skala nyeri / pasien
menerangkan
seberapa
jauh
rasa
sakit
mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari / siang hari.
3.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma/kecelakaan, degeneratif dan patologis yang didahului
dengan perdarahan, kerusakan jaringan yang menyebabkan
nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubahan warna kulit dan
kesemutan.
4.
Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini (fraktur) atau
pernah mempunyai penyakit menular/menurun sebelumnya.
22
5.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita arthritis dan
tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun dan menular.
6.
Pola Fungsi Kesehatan
a.
Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada fraktur akan mengalami perubahan/gangguan pada
personal higiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian,
BAB dan BAK.
b.
Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan,
meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap
sama sedangkan di RS disesuaikan dengan penyakit dan
diet pasien.
c.
Pola Eliminasi
Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu
defekasi dikarenakan imobilisasi, feses warna kuning dan
konsistensi defekasi. Pada miksi pasien tidak mengalami
gangguan.
d.
Pola istirahat dan tidur
Kebiasaan pola tidur dan istirahat mengalami gangguan
yang disebabkan oleh nyeri, misalnya nyeri akibat fraktur.
23
e.
Pola aktifitas dan latihan
Aktifitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat
dari fraktur. Sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh
perawat atau keluarga.
f.
Pola persepsi dan konsep diri
Pada fraktur akan mengalami gangguan diri karena terjadi
perubahan pada dirinya, pasien takut cacat seumur hidup
atau tidak dapat berkerja lagi.
g.
Pola sensori kognitif
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan, sedang
pada pola kognitif atau cara berpikir pasien tidak
mengalami gangguan.
h.
Pola hubungan peran
Terjadinya perubahan peran yang dapat mengganggu
hubungan interpersonal yaitu pasien merasa tidak berguna
lagi dan menarik diri.
i.
Pola penanggulangan stress
Perlu ditanyakan apakah membuat pasien menjadi stress
dan biasanya masalah di pendam sendiri/dirundingkan
dengan keluarga.
24
j.
Pola reproduksi seksual
Bila pasien sudah berkeluarga dan mempunyai anak, maka
akan mengalami pola seksual dan reproduksi, jika pasien
belum berkeluarga pasien tidak akan mengalami gangguan.
k.
Pola tata nilai dan keyakinan
Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan
pasien meminta perlindungan/mendekatkan diri dengan
Allah SWT.
2.
Diagnosa Keperawatan
MenurutLynda juall dan Carpenito (2006) diagnosa keperawatan yang
dapat di tegakkan pada klien dengan fraktur meliputi :
a.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas
tulang (fraktur).
b.
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak.
c.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktik (imobilisasi tungkai).
d.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen,
kawat, sekrup.
e.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer; kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada
lingkungan.
25
3.
Perencanaan dan Implementasi
a.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kehilangan integritas
tulang (fraktur).
Kriteria hasil :
1) Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur
2) Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkat stabilisasi pada
sisi fraktur.
Intervensi :
1) Pertahankan tirah baring atau ekstremitas sesuai indikasi.
2) Letakan papan dibawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada
tempat tidur ortopedik.
3) Sokong fraktur dengan bantalan atau gulungan selimut.
b.
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang
2) Menunjukkan tindakan santai, maupun beradaptasi dalam
aktivitas hidup
Intervensi :
1) Pertahankan imobilisasi
2) Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena
3) Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh pijatan, pijatan
punggung, perubahan posisi.
26
4) Selidiki adanya keluhan nyeri yang tak biasa atau tiba-tiba atau
dalam, lokasi progesif atau buruk tidak hilang dengan analgetik.
5) Lakukan kompres dingin atau es 24 – 48 jam pertama dan sesuai
keperluan.
6) Berikan obat sesuai indikasi.
c.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi tungkai).Kriteria
hasil :
1) Meningkatkan atau mempertahankan mobilitas pada tingkat
paling tinggi yang mungkin.
2) Mempertahankan posisi fungsional.
3) Meningkatkan
kekuatan
atau
fungsi
yang
sakit
dan
mengkompensasi bagian tubuh.
Intervensi :
1) Kaji derajat imobilitas
2) Dorong partisipasi pada aktivitas terapeutik atau rekreasi.
3) Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai
yang tak sakit.
4) Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan.
5) Auskultasi bising usus.
d.
Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen,
kawat, sekrup.
27
Kriteria hasil :
1) Menyatakan ketidaknyaman hilang
2) Menunjukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan
kulit atau memudahkan penyembuhan sesuai indikasi.
3) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu atau penyembuhan
lesi terjadi.
Intervensi :
1) Kaji kulit untuk luka terbuka.
2) Masase kulit dan penonjolan tulang.
3) Bersihkan kulit dengan menggunakan sabun dan air.
4) Ubah posisi dengan sering.
e.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer; kerusakan kulit; trauma jaringan, terpajan pada
lingkungan.
Kriteria hasil :
1) Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase
purulen atau eritema dan demam.
Intervensi :
1) Inspeksi kulit adanya iritasi atau robekan kontinuitas.
2) Berikan perawatan steril sesuai protokol dan latihan mencuci
tangan.
3) Instruksikan pasien untuk tidak menyebutkan sisi insersi.
4) Awasi pemeriksaan laboratorium.
28
5) Berikan obat sesuai indikasi seperti antibiotika.
B. Nyeri
Menurut InternationalAssociation for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan
Pengalaman nyeri merupakan suatu hal yg komplek, mencangkup
aspek fisik, emosional, dan kognitif. Nyeri adalah suatu hal yang bersifat
subjektif dan personal. Stimulus terhadap timbulnya nyeri merupakan sesuatu
yang bersifat fisik danmental yang terjadi secara alami. Nyeri merupakan
suatu pengalaman yang melelahkan dan membutuhkan enegi. Nyeri dapat
mengganggu hubungan personal dan mempengaruhi makna hidup (Davis,
2002). Kita tidak dapat mengukur nyeri secara objektif. Seperti melalui tes
darah. Hanya klien yang mengetahui kapan nyeri tersebut timbul dan
bagaimana perasaan klien ketika nyeri terjadi. Untuk membuktikan bahwa
mereka sedang dalam keadaan nyeri bukan merupakantanggung jawab klien,
tetapi hal tersebut merupakan tanggung jawab perawat untuk menerima
adanya keluhan nyeri yang di ungkapkan oleh klien (American Pain Society
{APS}, 2003)
29
1.
Jenis Jenis Nyeri
Nyeri dikategorikan dengan durasi atau lamanya nyeri berlangsung (akut
atau kronis), atau dengan kondisi patologis (contoh : kanker atau
neuropatik)
a.
Nyeri Akut/Sementara
Nyeri akut bersifat melindungi, memiliki penyebab yang
dapat diidentifikasi, berdurasi pendek, dan memiliki sedikit
kerusakan jaringan serta respons emosional. Pada akhirnya, nyeri
akut akan ditanganidengan atau tanpa pengobatan setelah jaringan
yang rusak sembuh. Itu
disebabkan karena nyeri akut dapat
diprediksikan waktu penyembuhannya dan penyebabnya dapat
diidentifikasi, hal ini akan membuat para anggota tim medis merasa
termotivasi untuk segera menangani nyeri tersebut. Penting untuk
menyadari bahwa nyeri akut yang tidak terobati dapat berkembang
menjadi kronis (Cousins dan Power, 2003; Kehlet et al., 2006)
b.
Nyeri Kronis/Menetap
Perbadaan utama pada nyeri kronis dan nyeri akut adalah
nyeri kronis bukanlah suatu hal yang bersifat protektif, sehingga
menjadi tag bertujuan. Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari
yang diharapkan. Tidak selalu memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi, dan dapat memicu penderitaan yang teramat sangat
bagi seseorng. Nyeri kronis bisa merupakan hal yang bersifat kanker
atau bukan. Contoh dari nyeri yang bukan bersifat kanker , nyeri
30
punggung, artitis. Nyeri kronis yg bukan bersifat kanker biasanya
tidak mengancam hidup
c.
Nyeri Kronis yang Tak Teratur
Nyeri yang sekali terjadi dalam jangka waktu tertentu disebut
nyeri episodik. Nyeri berlangsung selama beberapa jam, hari, atau
minggu.
Sebagai
contoh.
Sakit
kepala
sebelah.
Nyeri
yg
berhubungan dengan penyakit talasemia (Gruener dan Lande, 2006)
d.
Nyeri Akibat Proses Patologis
Mengidentifikasi
penyebab
nyeri
merupakan
langkah
pertama untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan nyeri.
Nyeri nosiseptif mencakup nyeri somatik(muskuloskeletal) dan
nyeri viseral (organ dalam). Nyeri neuropatik timbul dari adanya
syaraf nyeri yang abnormal atau rusak. Proses proses patofisiologis
tersebut memiliki karakter nyeri yang berbeda beda satu sama lain.
2.
Fisiologis Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah
ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga
nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada
juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
31
somatic),
dan
pada
daerah
viseral,
Oleh
karena
perbedaan
letaknosireseptor inilah menyebabkannyeri yang timbul juga memiliki
sensasi yang berbeda.
Nosireceptor (kutaneus) berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan
(Porth, 2004).
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen
yaitu :
a.
Reseptor A delta
Serabut nyeri aferen cepat dengan kecepatan transmisi 6-30 m/detik
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang
apabila penyebab nyeri dihilangkan. Dan impuls yang dihasilkan oleh
serabut ini sifatnya tajam dan memberikan sensasi yang akut.
b.
Serabut C
Serabut nyeri aferen lambat dengan kecepatan tranmisi 0,5
m/detik yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya
lebih tumpul dan sulit dilokalisasi. Nyeri biasanya pertama kali
dirasakan sebagai sensasi tertusuk tajam yang singkat dan mudah
diketahui lokasinya, sensasi tersebut melibatkan serabut delta A atau
jalur cepat. Perasaan tersebut akan diikuti dengan sensasi yang tumpul
yang lokasinya tidak jelas dan menetap lebih lama disertai rasa tidak
nyaman, sensasi tersebut melibatkan serabut delta C sebagai jalur
lambat (Sherwood, 2011)
32
3.
Teori pengontrolan nyeri
Terdapat
berbagai
teori
yang
berusaha
menggambarkan
bagaimana nosireseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat
ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri
dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007)
Menjelaskan teori gerbang kendali nyeri yang menyatakan
terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau
memperlambat transmisi sinyal nyeri. Secara umum dapat dijelaskan
bahwa didalam tubuh manusia terdapat dua macam transmitter impuls
nyeri. Reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C) berfungsi untuk
mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras dan reseptor ini biasanya
berupa ujung syaraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit
dan pada struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organorgan interna. Sementara transmitter yang berdiameter besar (serabut
beta A) memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan
berfungsi sebagai inhibitor, yaitu mentransmisikan sensasi lain seperti
getaran, sentuhan, sensasi hangat dan dingin, serta terhadap tekanan
halus (Joyce & Hawks, 2009)
4.
Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien tentang
nyeri. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang “negatif”
cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan
33
dapat berbalik menjadi rasa marah atau frustasi. Sebaliknya, bagi klien
yang memiliki persepsi yang “positif” cenderung menerima nyeri yang
dialaminya.
Nyeri bagi masing-masing klien mempunyai makna yang berbeda :
a.
Bahaya atau merusak
b.
Komplikasi seperti infeksi
c.
Penyakit baru
d.
Penyakit yang berulang dan fatal
e.
Peningkatan kemampuan
f.
Kehilangan mobilitas
g.
Menjadi tua
h.
Sembuh
i.
Perlu untuk menyembuhkan
j.
Hukuman karna berdosa.
Pemahaman dan pemberian arti nyeri sangat dipengaruhi oleh
tingkat pengetahun, persepsi, pengalaman masa lalu. Dan juga faktor
sosial budaya.
5.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a.
Usia
b.
Jenis kelamin
c.
Kultur
d.
Makna nyeri
e.
Perhatian
34
6.
f.
Ansietas
g.
Pengalaman masa lalu
h.
Keletihan
i.
Pengalaman sebelumnya
j.
Pola koping
k.
Dukungan keluarga dan sosial
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang
berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu
sendiri.Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat
memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
35
1) Skala Intensitas Nyeri Deskritif
2) Skala Numerical Rating Scale
3) Skala Nyeri
yeri menurut Baurbanis
Gambar 2.1 Skala Nyeri
Keterangan :
0 :Tidak nyeri
1-33 : Nyeri ringan : Secara
ecara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
4-66 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,menyeringai,
mendesis,menyeringa dapat
menunjukkan
lokasi
nyeri,
dapat
36
mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah
dengan baik.
7-9 : Nyeri berat
: Secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tapi masih respon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat :
Pasien
sudah
tidak
mampu
lagiberkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat
keparahan atau intensitas nyeri tersebut.Klien seringkali diminta untuk
mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.Namun,
makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien.Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan
nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor
Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima
kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang
garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri
yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
37
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan.Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri.Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik.Apabila
digunakan
skala
untuk
menilai
nyeri,
maka
direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel
subdivisi.VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.Skala
ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan
nyeri.VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian
dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala,
maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan
saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga,
mengevaluasi perubahan kondisi klien.Perawat dapat menggunakan
setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
38
7. Menejemen Nyeri
a. Secara Farmakologis
Pemberian obat analgesik no-opioid
Analgesik non-opioid seperti :
1. Salisilat : Aspirin
2. Turunan p-Aminofenol : Asetaminofen (tylenol)
3. Indoles dan komponen terkait : Indomethacin (Indocin)
4. Fenamat : Meclofenamate (meclofin)
5. Defirat Asam Arilpropionik : Ibuprofen (advil)
Analgesik opioid seperti :
1) Agois kuat
Fenatren : Morfin
2) Agois Rimgan
Fenatren : Kodein
b. Secara Non Farmakologis
1. Pembeian Kompres : Dingin atau panas
2. Distraksi : Visual, pendengaran dan pernafasan
3. Relaksasi Nafas Dalam
C. Kompres Dingin
1. Pengertian
Kompres dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat
menggunakan kain yang dicelupkan pada air es. Sehingga memberikan
39
efek rasa dingin pada daerah tersebut.tujuan diberikan kompres dingin
adalah
menghilangkan
rasa
nyeri
akibat
edema
atau
trauma,
mempersempit pembuluh darah dan mengurangi arus darah
Aplikasi kompres dingin adalah mengurangi aliran darah kesuatu
bagian dan mengurangi pendarahan serta edema. Diperkirakan bahwa
terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat
kecepatan hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih
sedikit.
a.
Penggunan kompres dingin
1) Digunakan untuk cedera tiba-tiba atau yang baru terjadi/ akut.
Jika cedera baru terjadi (dalam waktu 48 jam terakhir) yang lalu
timbul pembengkakan, maka dengan kompres dingin bisa
membantu meminimalkan pembengkakan di sekitar cedera
karena suhu dingin mengurangi aliran darah di daerah cidera
sehingga memperlambat metabolisme sel dan yang paling
penting adalah dapat mengurangi rasa sakit.
2) Untuk keseleo pergelangan kaki, cedera berlebihan pada atlet
atau luka memar.
3) Membantu mengobati luka bakar dan jerawat.
b.
Cara Menggunakan Kompres Dingin
1) Gunakan kantong berisi es batu (cold pack) atau air es, bisa juga
berupa handuk yang dicelupkan ke dalam air dingin.
40
2) Kompres dingin dilakukan didekat lokasi nyeri, disisi tubuh
yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri, atau
dilokasi yang terletak antara otak dan lokasi nyeri.
3) Pemberian kompres dingin dapat dilakukan dalam waktu, <5
menit, 5-10 menit dan 20-30 menit atau setiap 2 jam sekali
tergantung pada tingkat nyeri dan bengkak .
4) Dampak fisiologisnya adalah vasokonstriksi (pembuluh darah
penguncup), penurunan metabolik, membantu mengontrol
perdarahan dan pembengkakan karena trauma, mengurangi nyeri
dan menurunkan aktivitas ujung saraf pada otot,
2. Tujuan
Kompres dingin pada bagian tubuh akan menyerap panas dari area
tersebut
a.
Menurunkan suhu tubuh
b.
Mencegah peradangan meluas
c.
Mengurangi kongesti
d.
Mengurangi perdarahan setempat
e.
Mengurangi rasa sakit pada daerah setempat
3. Persiapan Alat
a. Kompres dingin basah dengan larutan obat anti septic
1) Mangkok bertutup steril
2) Bak steril berisi pinset steril anatomi 2buah
41
3) Cairan anti septic berupa pk 1:4000, revanol 1:1000 sampai
1:3000, larutan betadin
4) Pembalut dan sampiran bila perlu
5) Perlak, pengalas dan kain kasa (bila perlu).
b. Kompres dingin basah dengan air biasa/air es
1) Kom kecil berisi air biasa/air es
2) Perlak, pengalas dan sampiran (bila perlu)
3) Beberapa buah waslap/kain kasa dengan ukuran tertentu.
c. Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap)
1) Kirbat es/eskap dengan sarungnya
2) Kom berisi berisi potongan-potongan kecil es dan satu sendok teh
garam agar es tidak cepat mencair
3) Air dalam kom dan Lap kerja
4) Perlak pengalas selimut bila perlu.
4. Cara Kerja
a.
Kompres dingin basah dengan larutan obat anti septic:
1) Dekatkan alat ke dekat klien
2) Pasang sampiran
3) Cuci tangan
4) Pasang perlak pada area yang akan di kompres
5) Mengocok obat atau larutan bila terdapat endapan
6) Tuangkan cairan kedalam mangok steril
7) Masukkan beberapa potong kasa kedalam mangkok tersebut
42
8) Peras kain kasa trsbt dg menggunkan pingset
9) Bentangkan kain kasa dan letakkan kasa di atas area yang
dikompres dan di balut
10) Rapikan posisi klien
11) Bereskan alat-alat setelah selesai tindakan
12) Cuci tangan
13) Dokumentasikan
b.
Kompres dingin basah dengan air biasa/air es:
1) Dekatkan alat-alat ke klien
2) Pasang sampiran bila perlu
3) Cuci tangan
4) Pasang pengalas pada area yang akan dikompres
5) Masukkan waslap/kain kasa kedalam air biasa atau air es lalu
diperas sampai lembab
6) Letakkan waslap/kain kasa tersebut pada area yang akan
dikompres
7) Ganti waslap/kain kasa tiap kali dengan waslap/kain kasa yang
sudah terendam dalam air biasa atau air es.
8) Diulang-ulang sampai suhu tubuh turun
9) Rapikan klien dan bereskan alat-alat bila prasat ini sudah selesai
10) Cuci tangan
11) Dokumentasikan
c.
Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap):
43
1) Bawa alat-alat ke dekat klien
2) Cuci tangan
3) Masukkan batnan es ke dalam kom air supaya pinggir es tidak
tajam
4) Isi kirbat es dengan potongan es sebanyak kurang lebih setengah
bagian dari kirbat tersebut
5) Keluarkan udara dari eskap dengan melipat bagian yang kosong,
lalu di tutup rapat
6) Periksa skap, adakah kebocoran atau tidak
7) Keringkan eskap dengan lap, lalu masukkan ke dalam sarungnya
8) Buka area yang akan di kompres dan atur yang nyaman pada
klien
9) Pasang perlak pengalas pada bagian tubuh yang akan di kompres
10) Letakkan eskap pada bagian yang memerlukan kompres
11) Kaji keadaan kulit setiap 20 menit terhadap nyeri, mati rasa, dan
suhu tubuh
12) Angkat eskap bila sudah selesai
13) Atur posisi klien kembali pada posisi yang nyaman
14) Bereskan alat setelah selesi melakukan prasat ini
15) Cuci tangan
16) Dokumentasikan
5.
Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan
a.
Kompres dingin basah dengan larutan obat anti septic
44
1) Kain kasa harus sering dibasai agar tetap basah
2) Pada luka bakar kotor kasa diganti tiap 1-2 jam
3) Perhatikan kulit setempat/sekitarnya. Bila terjadi iritasi segera
laporkan
4) Pada malam hari agar kelembapan kompres bertahan lama,
tutupi
5) dengan kapas sublimat
b.
Kompres dingin basah dengan air biasa/air es
1) Bila suhu tubuh 39c/lebih, kompres dilipat paha/ketiak
2) Pada pemberian kompres dilipat paha, selimut diangkat dan
dipasang
3) busur selimut di atas dada dan perut klien agar seprei atas tidak
basah
c.
Kompres dingin kering dengan kirbat es (eskap)
1) Bila klien kedinginan atau sianosis, kirbat es harus segera di
angkat
2) Selama pemberian kirbat es, perhatikan kult klien terhadap
keberadaan iritasi dan lain-lain
3) pemberian kirbat es untuk menurukan suhu tubuh, maka suhu
tubuh harus di control setiap 30-60 menit.bila suhu sudah turun
kompres di hentikan
4) Bila tdak ada kirbat es bias menggunakan kantong plastic
45
5) Bila es dalam kirbat es sudah mencair harus segera diganti (bila
perlu)
d.
Memberikan Kompres Dingin
Hal-hal yang perlu diperhatikan :
1) Jangan gunakan es batu langsung pada luka, gunakan kompres
es, atau tempatkan beberapa es batu dalam kantong plastik, atau
bungkus es dengan handuk dan tempelkan pada daerah cedera.
2) Jika tejadi rasa kebal hentikan pengkompresan.
3) Perhatikan kulit pasien, kalau kulit pasien berwarna merah
jambu masih bisa dilakukan pengkompresan, tapi kalau kulit
pasien berwarna merah gelap metode ini tidak dapat dilakukan.
4) Pemberian metode ini tidak diberikan kepada pasien yang
mempunyai alergi dingin.
5) Melakukan kompres dingin harus hati-hati karena dapat
menyebabkan jaringan kulit mengalami nekrosis (kematian sel).
Untuk itu dianjurkan melakukan kompres dingin tidak lebih dari
30 menit
46
D. Kerangka Teori
Kecelakaan / Jatuh
Trauma Muskuloskeletal
Fraktur / Dislokasi
Terputusnya Kontinuitas Jaringan Tulang
Nyeri
Kerusakan Integritas Kulit
Terapi Farmakologis
Terapi Non Farmakologis
Obat Analgesik
- Relaksasi
- Keterolac
- Kompres Dingin
-Ketopain
- Distraksi
Intensitas Nyeri Menurun
Gambar 2.2 Kerangka Teori
BAB III
METODE APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Jurnal
Subjek dari aplikasi riset keperawatan kegawatdaruratan ini adalah Tn, S
dengan Fraktur digiti IV dan V yang mengalami nyeri.
B. Tempat dan waktu
Aplikasi riset keperawatan kegawatdaruratan dilakukan di IGD RSUD
Karanganyar pada tanggal 9 -11 Januari 2016.
C. Media dan alat yang digunakan
Media dan alat yang digunakan dalam aplikasi riset keperawatan kompres
dingin untuk menurunkan intensitas nyeri ini adalah :
1. Kantung Buli-buli dingin yang diisi dengan air es atau es batu.
2. Skala nyeri yaitu Numerical Rating Scale dan untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik juga digunakan alat ukur skala nyeri lainnya yaitu
skala deskriptif.
3. Lembar Observasi
D. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
Kompres dingin dengan air biasa/air es :
1. Cuci tangan
47
48
2. Dekatkan alat ke klien
3. Pasang pengalas pada area yang akan di kompres
4. Isi buli-buli dengan air dingin atau air es
5. Bersihkan area yang akan di kompres
6. Periksa buli-buli
7. Mengatur posisi yang nyaman untuk klien
8. Letakkan buli-buli pada area yang akan dikompres
9. Kompres selama 10 – 15 menit
10. Berikan secara berulang-ulang atau 2 jam sekali
11. Kaji keadaan kulit setiap 5 menit terhadap nyerinya, mati rasa dan
suhu tubuh
12. Angkat buli-buli bila sudah selesai
13. Rapikan klien dan bereskan alat
14. Cuci tangan
15. Dokumentasikan
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset
Alat ukur evaluasi menggunakan skala Numerical Rating Scale dan skala
deskriptif.
49
1) Skala Intensitas Nyeri Deskritif
2) Skala Numerical Rating Scale
Keterangan :
0
: Tidak Nyeri
1–3
: Nyeri ringan
: Secara obyektif klien dapat berkomunikasi
dengan baik
4–6
: Nyeri Sedang
: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7–9
: Nyeri berat
: Secara obyektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti
perintah
tapi
masih
respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak
dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang
dan distraksi
10
: Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi
berkomunikasi.
BAB IV
LAPORAN KASUS
Bab ini menjelaskan tentang asuhan keperawatan Tn. S dengan fraktur
yang dilaksanankan pada tanggal 9 Januari 2016 di IGD RSUD Karanganyar.
Asuhan keperawatan di mulai dari pengkajian, pengkajian primer dan sekunder,
pemeriksaan fisik, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Pengkajian dimulai tanggal 9 Januari 2016, pukul 09.00 WIB. pada
kasus ini data diperoleh dari alloanamnesa dan autoanamnesa. Pengamatan
dan observasi langsung, menelaah catatan medis, catatan perawat, dan
pengkajian fisik klien.
Dari hasil pengkajian didapatkan identitas klien yaitu Tn. S dengan
umur 55 tahun, Berjenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai buruh, status
sudah menikah, beragama islam dan bertempat tinggal di karangpandan. Tn.
S dirawat di IGD RSUD Karanganyar, tanggal masuk 9 Januari 2016 dengan
diagnosa medis fraktur digiti IV – V . Dan pasien ditemani saudaranya
sebagai penanggung jawab yaitu Tn. S, umur 57 tahun.
Hasil pengkajian yang dilakukan tanggal 9 Januari 2016. Pukul 09.00
WIB. Pasien Tn. S mengalami kecelakaan motor yang mengakibatkan fraktur
pada jari ke 4 dan 5 ditangan kanannya. Kemudian terdapat luka robek pada
kulit di jari ke 4 dan ke 5 pada tangan kanannya. Dan banyak luka sayat di
50
51
tangan, dagu dan pundak. Pasien mengeluh nyeri pada tangan sebelah
kanannya dan tidak dapat menggerakkan jari ke 4 dan ke 5.
Pengkajian primer dilakukan dengan cara ABCD dan E. Dan
didapatkan hasil Airway : Tidak ada sumbatan jalan nafas. Tidak ada lidah
jatuh. Pasien tidak muntah. Dan tidak ada secret. Breathing : keefektifan pola
nafas sangat baik tidak ada masalah. Respirasi 24 x/ menit. Tidak terdengar
bunyi nafas tambahan. Tidak ada penggunaan otot bantu nafas. Tidak ada
nafas cuping hidung. Circulation : tekanan darah pasien 120/80 mmhg. Nadi
kuat dengan frekuensi 80 x/ menit. Akral hangat. Suhu tubuh 36,50 C, warna
kulit sawo matang, kelembaban kulit baik, capilery refile kurang dari 2
detik.dan terdapat perdarahan pada jari manis dan kelingking ditangan
sebelah kanan. Dengan lebar 2 cm dan 3 cm. Disabillity : GCS : E: 4, V: 5,
M: 6 dengan jumlah 15 (composmentis) dan Exposure : Terdapat trauma atau
fraktur pada jari ke 4 dan 5 ditangan sebelah kanan pasien dan terdapat luka
sayat pada dagu dengan panjang 5 cm lebar 1 cm. Pada tangan kanan dengan
panjang 1 cm dan lebar 1 cm. Dan pada pundak dengan panjang 3 cm lebar 5
cm.
Pengkajian sekunder dilakukan dengan cara melihat kesadaran pasien
dan menggunakan history “SAMPLE”. Didapatkan data pada pengkajian
sekunder yaitu keadaan pasien sadar penuh. Subjektif, pasien mengatakan
nyeri pada tangan sebelan kanannya dibagian jari. Dan terdapat oedem pada
tangannya dengan luka sayatan. Pasien juga mengatakan tidak dapat
menggerakkan jari tangannya karena terasa nyeri. dengan pengkajian nyeri P :
52
pasien mengatakan mengeluh nyeri. Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk. R : Pada
tangan dan jari sebelah kanan. S : digunakan 2 skala yaitu NRS : 6 dan
Deskriptif : 6. T : Nyeri terus menerus dirasakan. Alergi, pasien tidak
mempunyai alergi terhadap obat, makanan dan antibiotik.Medikasi, Pasien
juga tidak sedang mengkonsumsi obat dan bila sakit pasien membeli obat
diwarung
dekat
rumahnya.
Riwayat
Penyakit
Sebelumnya,
Pasienmengatakan tidak memiliki penyakit keturunan seperti diabetes,
hipertensi dll. Last Meal, Sebelum terjadi kecelakaan pasien masih
menggunakan tangan kanan nya untuk makan dan minum seperti biasa
dengan nasi, lauk , sayur dan air putih. Event Leading, Pasien mengatakan
setelah makan pasien pergi ke rumah saudara nya dengan menaiki motor.
Kemudian di perjalanan pasien terjatuh dari motor karena tersenggol dengan
pengendara motor lainnya. pasien mengalami luka luka pada dagu, pundak
dan tangan sebelah kanannya. Dan pasien di bawa ke RSUD karanganyar.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan hasil bahwa keadaan umum
pasien dalam keadaan baik, Kesadaran composmentis. Pada pemeriksaan
tanda-tanda vital 120/80 mmhg. Nadi 80 x/ menit. Respirasi 24 x/ menit dan
suhu 36,50C. Bentuk kepala mesochepal. Keadaan rambut bersih tidak ada
ketombe dan tidak ada luka pada kulit kepala. Warna kulit sawo matang.
Turgor kulit baik dan elastis. Pada pemeriksaan muka terdapat luka sayat
didagu. Pada mata didapatkan palpebra tidak oedema. Konjungtiva tidak
53
anemis. Sklera tidak ikterik, pupil isokor. Diameter ka-ki simetris. Reflek
terhadap cahaya positif. Tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Pada
hidung, bentuk simetris. Bersih. Tidak ada polip. Tdk ada cuping hidung dan
tidak menggunakan alat bantu pernafasan. Pada mulut bentuk simetris,
mukosa bibir kering, tidak ada stomatitis. Gigi bersih dan tidak menggunakan
gigi palsu. Pada telinga. Ka-ki simetris. Tidak ada serumen dan pendengaran
baik. Pemeriksaaan leher tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
Pemeriksaan pada dada pasien didapatkan hasil. Untuk pemeriksaan
paru-paru yaitu inspeksi: simetris ka-ki sama dan tidak ada jejas, palpasi:
pengembangan dada ka-ki simetris, vocal premitus ka-ki sama, perkusi: suara
sonor, auskultasi: tidak terdengar suara tambahan. Dan pada pemeriksaan
jantung, inspeksi: simetris, ictus cordis tidak tampak, palpasi: ictus cordis
teraba di sic IV, perkusi: suara pekak dan auskultasi bunyi jantung 1 dan 2
reguler. Pada pemeriksaan abdomen, perkusi: simetris kanan dan kiri sama,
auskultasi: terdengar peristaltik usus 20x/ menit, perkusi: tympani di kuadran
2,3 dan 4 serta perkusi: tidak ada nyeri tekan.
Pada pemeriksaan genetalia bersih serta anus tidak terdapat hemoroid
danpada pemeriksaan ekstremitas atas kekuatan otot dan rom pada tangan kiri
dan kanan masih baik. Akan tetapi jari pada tangan kanan pasien dibagian jari
manis dan kelingking tidak dapat digerakkan karena terjadi fraktur. Pada
pemeriksaan ekstremitas bawah. Kekuatan otot bawah kanan 5 dan kiri 5.
Dapat bergerak bebas, tidak ada perubahan bentuk tulang..
54
Gambaran pada ekstremitas atas pada tangan kanan sebagai
berikut :
Riwayat Kesehatan Keluarga :
a. Genogram
Keterangan :
Laki-laki
55
Perempuan
Meninggal
Pasien
3. Terapi Obat
Terapi yang diberikan berupa cairan intra vena RL 20 tpm yang
berfungsi sebagai penambah cairan. Kemudian inj. Ketorolac 1 amp/12 jam
untuk meringankan nyeri pada pasien. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam sebagai
antibiotik. Inj. Ondansentrone 1 amp/12 jam sebagai anti mual dan muntah.
inj. As. Tranexamat 250 mg untuk menghentikan pendarahan yang dialami
pasien.
4. Pemeriksaan Laboraturium
Pemeriksaan penunjang pada Tn. S dilakukan pada tanggal 9 Januari
salama di IGD dengan hasil:
Hematologi meliputi hemoglobin 13,4 g/dl (nilai normal 14,00 18.00), Hematokrit 39.7% (nilai normal 42.00 - 52.00), Lekosit 15.39 10^3/ul
(nilai normal 5 – 10), Thrombosit 311 10^3/ul (nilai normal 150 – 300),
Eritrosit 5.05 10^6/ul (nilai normal 4.50 – 5.50), MPV 7.1 fl (nilai normal 6.5
– 12.00), PDW 15.7 (nilai normal 9.0 – 17.0).
Indek meliputi MCV 78.6 fl (nilai normal 82.0 – 92.0), MCH 25.5 pg
(nilai normal 27.0 – 31.0), MCHC 33.8 g/dl (nilai normal 32.0 – 37.0).
56
Hitung jenis Gran 88.0% (nilai normal 50.0 – 70.0), Limfosit 8.3%
(nilai normal 25.0 – 40.0), Monosit 2.5% (nilai normal 3.0 – 9.0), Eosinofil
1.1% (nilai normal 0.5 – 5.0), Basofil 0.1% (nilai normal 0.0 – 1.0).
5. Hasil Pemeriksaan Rontgen
B. Perumusan Masalah Keperawatan
Analisa data pada tanggal 9 Januari 2016 jam 09.00 WIB pada Tn. S
diperoleh data diagnosa untuk ditegakkan yaitu keluhan utama adalah nyeri
akut berhubungan dengan agen cidera fisik, di tandai dengan data subyektif
yaitu pasien mengeluh nyeri pada tangan sebelah kanan dan pada jari tangan
kanan yang terjadi fraktur digiti pada jari ke 4 dan 5. Dan data obyektif pasien
tampak meringis menahan nyeri dengan P : pasien mengatakan merasakan
nyeri, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R : pada tangan sebelah kanannya dan
57
dibagian jari, S : digunakan 2 skala yaitu Numerical rating scale dengan hasil
6 dan skala deskriptif dengan hasil 6.
Diagnosa keperawatan kedua yaitu kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan faktor mekanik seperti gaya, tekanan dan gesekan
ditandai dengan data subyektif pasien mengatakan perih dan sakit dibagian
tangan kanan. Dagu dan pundak. Dengan data obyetif terdapat luka sayat
pada bagian pundak. Tangan dan dagu. Dan terdapat juga luka robek dibagian
jari manis dan jari kelingking. Dengan diameter jari kelingking dengan
panjang 3 cm lebar 1 cm, pada jari manis dengan panjang 3 cm lebar 2 cm
dan dalam 2 cm.
Diagnosa keperawatan yang ketiga yaitu resiko infeksi berhubungan
dengan kerusakan integritas kulit. Ditandai dengan data subyektif yaitu pasien
mengatakan terdapat pasir pada luka sayatnya dan luka robeknya. Data
obyektif terdapat pasir pada luka sayat dan luka robek nya di tangan sebelah
kanan.
C. Perencanaan Keperawatan
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Tn. S untuk diagnosa
nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu bertujuan setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 2 jam diharapkan intensitas nyeri dapat
berkurang dengan kriteria hasil skala nyeri berkurang menjadi 2 atau tidak
dirasakan lagi. Dan tindakan yang dilakukan adalah kaji tingkat nyeri
menggunakan skala NRS dan deskriptif dengan rasional untuk mengetahui
perbandingan skala nyeri pada pasien. Kemudian dilakukan
tindakan
58
kompres dingin menggunakan buli-buli non-farmakologi dengan rasional
untuk mengurangi intensitas nyeri secara non-farmakologi pada pasien.
kemudian mengkaji TTV dengan rasional untuk mengetahui vital sign pada
pasien,. Yang terakhir mengkolaborasikan dengan tenaga medis untuk
pemberian obat dengan rasional sebagai obat anti nyeri untuk menurunkan
skala nyeri secara farmakologis.
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Tn. S untuk diagnosa
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik seperti
tekanan, gaya, dan gesekan yaitu bertujuan setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2 jam diharapkan kerusakan integritas kulit dapat teratasi
dengan kriteria hasil integritas kulit yang baik dapat dipertahankan dan
tindakan yang dilakukan yaitu monitor kulit untuk mengetahui daerah mana
saja yang terdapat luka kemudian dilakukan medikasi luka dan menjahit luka
robek dengan rasional untuk membersihkan luka agar terhindar dari infeksi
kemudian menjahitluka robekuntuk meningkatkan proses penyembuhan luka.
Setelah itu anjurkan pasien untuk tetap menjaga kebersihan kulit agar tetap
kering dan bersih dengan rasional menghindari infeksi. kemudian kolaborasi
dengan tenaga medis dalam pemberian obat untuk proses penyembuhan
lukanya.
Rencana keperawatan yang dilakukan pada Tn. S untuk diagnosa
resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit yaitu bertujuan
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 jam diharapkanbebas dari
tanda dan gejala infeksi dengan kriteria hasil tidak terdapat tanda dan gejala
59
infeksi pada pasien. Dengan melakukan tindakan monitor luka yang dapat
menjadi faktor resiko infeksi dengan rasional untuk mengetahui tempat luka
yang dapat menjadi faktor infeksi, setelah itu medikasi luka dengan
membersihkan luka dari pasir yang masuk ke dalam luka nya dengan rasional
agar luka pasien tetap bersih dan terhindar dari infeksi. kemudian
mengajarkan pada pasien untuk menjaga kebersihan lukanya dengan rasional
untuk mencegah timbulnya infeksi dari lingkungan sekitar pasien. Setelah itu
mengkolaborasikan dengan tenaga medis dalam pemberian obat antibiotik
sebagai obat pencegah infeksi.
D. Tindakan Keperawatan
Tindakan yang pertama dilakukan saat pasien datang untuk diagnosa
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik seperti
tekanan, gaya, dan gesekan dan diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan
kerusakan integritas kulit yaitu tindakan medikasi luka dengan respon
subyektif pasien bersedia dan respon obyektif
pasien tampak meringis
menahan sakit saat lukanya diobati dan dibersihkan. Kemudian mengajarkan
kepada pasien untuk merawat lukanya agar tetap bersih. respon subyektif
pasien bersedia dan respon obyektif pasien tampak mengerti dengan apa yang
di jelaskan oleh perawat.
Setelah itu tindakan yang dilakukan untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisikyaitu melakukan kompres dingin pada
tangan sebelah kanan dengan respon subyektif pasien bersedia dan respon
60
obyektif pasien tampak meringis menahannyeri pada tangan sebelah kanan
dengan PQRST. P : tangan sebelah kanan, Q : nyeri seperti ditusuk-tusuk, R :
pada tangan kanan, S : dengan skala 6 pada hasil skala NRS dan hasil 6 pada
skala deskriptif. T : dirasakan terus-menerus.
Tindakan yang terakhir yaitu kolaborasi dengan tenaga medis untuk
pemberian obat. Dan telah masuk injeksi melalui intravena. Yaitu keterolac 1
ampul, ceftriaxone 1 gr, ondansentrone 1 ampul. Dan asam tranexamat 1
ampul.
E. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, hasil evaluasi dilakukan
pada hari sabtu 9 januari 2016 jam 10.30 WIB. Dengan menggunakan metode
SOAP (Subyetif, Obyektif, Analisis, Planning) , untuk diagnosa nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera fisik. Data subyektif pasien mengatakan
nyeri pada tangan sebelah kanan dan tidak dapat menggerakkan jarinya. Data
obyektif pasien terlihat meringis kesakitan. Analisis masalah belum teratasi.
Planning lakukan intervensi, kompres dingin untuk menurunkan intensitas
nyeri. Setelah dilakukan kompres dingin pasien mengatakan nyeri sedikit
berkurang dengan hasil : NRS : 3, dan Deskriptif : 3. Dengan keterangan
skala nyeri : skala deskriptif menunjukkan nyeri ringan dan skala NRS
menunjukkan nyeri sedang.
Evaluasi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan faktor mekanik seperti gaya, tekanan, gesekan dan diagnosa resiko
61
infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit. Data subyektif pasien
mengeluh sakit pada luka nya dan mengatakan terdapat pasir pada lukanya.
Data obyektif terdapat luka sayat pada dagu, pundak dan area sekitar tangan.
Pada area luka terdapat pasir yg masuk . analisis masalah teratasi. Planning
lakukan intervensi yaitu medikasi luka.
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini, Penulis akan membahas tentang proses asuhan keperawatan
pada Tn. S yang dilakukan pada tanggal 9 Januari 2016 di IGD RSUD
Karanganyar. Dengan memperhatikan aspek kehidupan dalam proses keperawatan
yang mana menjadi prinsip dari pembahasan asuhan keperawatan Tn. S yang
terdiri dari tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan,
implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
Langkah pertama yang dilakukan penulis yaitu pengkajian pada
pasien ketika datang ke IGD. Pengkajian keperawatan adalah proses
sistematis dari pengumpulan data primer (pasien) dan sekunder (keluarga,
tenaga kesehatan), dan analis data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan
(Potter dan Perry, 2005). Pengkajian dilakukan dengan 2 metode yaitu
alloanamnesa dan autoanamnesa. Autoanamnesa merupakan pengkajian
kepada pasien langsung tentang keluhan apa yang dirasakannya. Sedangkan
alloanamnesa merupakan pengkajian kepada keluarga atau kerabat terdekat
tentang bagaimana keadaan pasien sebelum di bawa ke rumah sakit.
62
63
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan pada tanggal 9 Januari
2016, Tn. S datang ke IGD RSUD Karanganyar akibat Kecelakaan Lalu
Lintas. Kecelakaan memiliki prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur
ekstremitas bawah sekitar 40% (Depkes RI, 2011).
Pasien datang dengan kesadaran composmentis, GCS E : 4, V : 5, M :
6. TD : 120/80 mmhg. Pasien mengatakan sakit pada bagian luka-luka nya
didaerah tangan, dagu dan pundak. Kemudian pasien juga mengatakan tangan
kanannya nyeri dan nyeri dirasakan menjalar diarea tangan kanan, mengalami
bengkak dan memar, pada jari manis dan jari kelingking mengalami luka
robek dan tidak bisa digerakkan. Diagnosa medis pasien mengalami fraktur
digiti IV dan V.
Fraktur di Indonesia menjadi penyebab kematian terbesar ketiga di
bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis. Menurut hasil data Riset
Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2011, di Indonesia terjadi fraktur yang
disebabkan oleh cidera seperti terjatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma
tajam/tumpul. Riset Kesehatan Dasar (2011) menemukan ada sebanyak 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %). Kasus
kecelakaan lalu lintas sebanyak 20.829 kasus, dan yang mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul, yang
mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %).
Fraktur merupakan istilah dari hilangnya kontinuitas tulang, tulang
rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. Secara ringkas dan umum,
fraktur adalah patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut tenaga fisik, keadaan tulang itu sendiri, serta jaringan
64
lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi lengkap
atau tidak lengkap (Helmi, 2012).
Pengkajian di IGD sendiri dimulai dengan pengkajian primer.
Pengkajian primer adalah pengkajian yang dilakukan untuk memeriksa dan
mengamankan Airway, Breathing, Circulation, Disability dan Exposure.
Hasil pengkajian primer pada Tn. S Airway : Tidak ada sumbatan jalan nafas.
Tidak ada lidah jatuh. Pasien tidak muntah. Dan tidak ada secret. Breathing :
keefektifan pola nafas sangat baik tidak ada masalah. Respirasi 24 x/ menit.
Tidak terdengar bunyi nafas tambahan. Tidak ada penggunaan otot bantu
nafas. Tidak ada nafas cuping hidung. Circulation : tekanan darah pasien
120/80 mmhg. Nadi kuat dengan frekuensi 80 x/ menit. Akral hangat. Suhu
tubuh 36,50 C, warna kulit sawo matang, kelembaban kulit baik, capilery
refile kurang dari 2 detik.dan terdapat perdarahan pada jari manis dan
kelingking ditangan sebelah kanan. Dengan lebar 2 cm dan 3 cm. Disabillity :
GCS : E: 4, V: 5, M: 6 dengan jumlah 15 (composmentis) dan Exposure :
Terdapat trauma atau fraktur pada jari ke 4 dan 5 ditangan sebelah kanan
pasien dan terdapat luka sayat pada dagu dengan panjang 5 cm lebar 1 cm.
Pada tangan kanan dengan panjang 1 cm dan lebar 1 cm. Dan pada pundak
dengan panjang 3 cm lebar 5 cm.
Setelah pengkajian primer. Dilakukan juga pengkajian sekunder.
Pengkajian sekunder adalah pengkajian kepada pasien dengan pemeriksaan
fisiknya. Tujuannya mencari cidera lain yang mungkin terjadi pada pasien
sehingga tidak satupun terlewatkan dn tidak terobati. Pengkajian sekunder
65
pada Tn. S dilakukan dengan cara melihat kesadaran pasien dan
menggunakan history “SAMPLE”. Didapatkan data pada pengkajian
sekunder yaitu keadaan pasien sadar penuh. Subjektif, pasien mengatakan
nyeri pada tangan sebelan kanannya dibagian jari. Dan terdapat oedem pada
tangannya dengan luka sayatan. Pasien juga mengatakan tidak dapat
menggerakkan jari tangannya karena terasa nyeri. dengan pengkajian nyeri P :
pasien mengatakan mengeluh nyeri. Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk. R : Pada
tangan dan jari sebelah kanan. S : digunakan 2 skala yaitu NRS : 6 dan
Deskriptif : 6. T : Nyeri terus menerus dirasakan. Alergi, pasien tidak
mempunyai alergi terhadap obat, makanan dan antibiotik. Medikasi, Pasien
juga tidak sedang mengkonsumsi obat dan bila sakit pasien membeli obat
diwarung
dekat
rumahnya.
Riwayat
Penyakit
Sebelumnya,
Pasien
mengatakan tidak memiliki penyakit keturunan seperti diabetes, hipertensi
dll. Last Meal, Sebelum terjadi kecelakaan pasien masih menggunakan tangan
kanan nya untuk makan dan minum seperti biasa dengan nasi, lauk, sayur dan
air putih. Event Leading, Pasien mengatakan setelah makan pasien pergi ke
rumah saudara nya dengan menaiki motor. Kemudian di perjalanan pasien
terjatuh dari motor karena tersenggol dengan pengendara motor lainnya.
pasien mengalami luka luka pada dagu, pundak dan tangan sebelah kanannya.
Dan pasien di bawa ke RSUD Karanganyar.
Pengkajian SAMPLE dapat dilakukan jika pasien sadar dan dapat
berbicara. Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan agar mengetahui
dan memperkirakan cidera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita
66
masih curiga ada cidera yang belum diketahui saat pengkajian primer. Selain
riwayat SAMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai
penanganan sebelum pasien dibawa ke rumah sakit.
Hasil pengkajian SAMPLE pada point secara subjektif pasien
mengeluhkan nyeri. Biasanya pada pasien post KLL yang mengalami cidera
akibat tekanan, gesekan atau gaya yang dialami dapat menimbulkan nyeri.
Seperti fraktur, akan muncul nyeri. Nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan
yang bersifat individual. Nyeri tidak lagi dipandang sebagai kondisi alami
dari cidera atau trauma yang akan berkurang secara bertahap seiring waktu.
Karena nyeri yang tak mereda dapat menyebabkan komplikasi (Helmi, 2013).
Pada pengkajian nyeri penulis menggunakan 2 skala nyeri yaitu
deskriptif dan numerical rating scale untuk perbandingan. dengan hasil skala
nyeli 6 pada alat ukur nyeri deskriptif yang menandakan nyeri sedang dan
skala nyeri 6 pada alat ukur nyeri numerical rating scale yang juga
menandakan nyeri sedang. hal ini seperti teori dari Smeltzer, Bare (2002)
bahwa skala 6 pada alat ukur nyeri deskriptif dan numerical rating scale
menandakan nyeri sedang pada pasien. Selain nyeri pasien juga mengalami
oedem, memar, spasme otot, ketegangan, kehilangan fungsi dan perdarahan
akibat dari tulang yang keluar kemudian menusuk dan merobek jaringan
sekitar atau karena gesekan yang membuat jaringan kulit robek.
Setelah seluruh pengkajian primer dan sekunder
dilakukan
pemeriksaan laboraturium. Hasil pemeriksaan laboraturium pada Tn. S sesuai
dengan bab 4. Hematologi meliputi hemoglobin 13,4 g/dl (nilai normal 14,00
67
- 18.00), Hematokrit 39.7% (nilai normal 42.00 - 52.00), Lekosit 15.39
10^3/ul (nilai normal 5 – 10), Thrombosit 311 10^3/ul (nilai normal 150 –
300), Eritrosit 5.05 10^6/ul (nilai normal 4.50 – 5.50), MPV 7.1 fl (nilai
normal 6.5 – 12.00), PDW 15.7 (nilai normal 9.0 – 17.0). Indek meliputi
MCV 78.6 fl (nilai normal 82.0 – 92.0), MCH 25.5 pg (nilai normal 27.0 –
31.0), MCHC 33.8 g/dl (nilai normal 32.0 – 37.0). Hitung jenis Gram 88.0%
(nilai normal 50.0 – 70.0), Limfosit 8.3% (nilai normal 25.0 – 40.0), Monosit
2.5% (nilai normal 3.0 – 9.0), Eosinofil 1.1% (nilai normal 0.5 – 5.0), Basofil
0.1% (nilai normal 0.0 – 1.0).
Hasil
pemeriksaan
laboraturium
secara
keseluruhan
normal.
Pemeriksaan laboraturium fungsinya untuk mengetahui hematokrit dan
kreatinin. Hematokrit yang rendah umumnya akibat dari pendarahan dan
pendarahan menyebabkan shok hipovolemik. Dan pada kreatinin biasanya
pada pasien ginjal, trauma otot meningkatkan beban kreatinin.(Nurhay dkk,
2005).
Dari data pengkajian di atas dapat dilihat bahwa tanda dan gejala pada
klien sesuai referensi yang menyebutkan bahwa gambaran secara umum pada
pasien fraktur yaitu nyeri, memar, hilangnya fungsi, pembengkakkan lokal
(Brunner & Suddarth, 2005).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar
68
seleksi intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan
sesuai dengan kewenangan perawat (Nanda, 2012).
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons
aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat
mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan
potensial klien didapatkan dari data dasar pengkajian. Tinjauan literatur yang
berkaitan, catatan medis klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional
lain, yang kesemuanya dikumpulkan selama pengkajian. Hal terakhir adalah,
respon aktual atau potensial klien yang membutuhkan intervensi dari domain
praktik keperawatan (Potter Perry, 2006)
Penentuan prioritas masalah keperawatan pada pasien umumnya
ditentuasn berdasarkan hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow.
Namun pada kondisi emergency, prioritas masalah didasarkan pada gangguan
airway, breathing, sirculation pasien. Selain itu disesuaikan juga dengan
kondisi life threatening. Seperti kondisi nyeri yang mengancam nyawa.
(Jones, Marsden, dan Windle, 2005)
Diagnosa keperawatan yang diangkat oleh penulis untuk Tn. S dalam
menangani kasus ini adalah nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik,
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik “gaya, tekanan
dan gesekan”, dan resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas
kulit.
Diagnosa keperawatan
pada pasien kecelakaan lalu lintas yang
mengalami fraktur umumnya adalah nyeri akut, kerusakan integritas kulit,
69
hambatan mobilitas fisik, resiko infeksi, resiko syok, dan ketidakefektifan
perfusi jaringan. (Nanda, 2012)
Prioritas diagnosa keperawatan yang pertama adalah nyeri akut.
Karena gejala yang pertama kali dirasakan pasien fraktur adalah nyeri dan
nyeri yang dirasakan oleh pasien dengan skala 6. Maka penulis menegakkan
nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik sesuai dengan apa yang
dialami pasien. Batasan karakteristik subjektif untuk diagnosa nyeri
berhubungan dengan agen cidera fisik adalah melaporkan nyeri secara verbal
dan secara obyektif pasien tampak meringis menahan nyeri, pasien
mengatakan bahwa tangannya mengalami nyeri yang menjalar. (Nanda, 2012)
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang
didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau
menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. (American Pain Society, 2003)
Nyeri
merupakan
suatu
pengalaman
yang
melelahkan
dan
membutuhkan enegi. Nyeri dapat mengganggu hubungan personal dan
mempengaruhi makna hidup (Davis, 2002). Kita tidak dapat mengukur nyeri
secara objektif. Seperti melalui tes darah. Hanya klien yang mengetahui
kapan nyeri tersebut timbul dan bagaimana perasaan klien ketika nyeri terjadi.
Untuk membuktikan bahwa mereka sedang dalam keadaan nyeri bukan
merupakantanggung jawab klien, tetapi hal tersebut merupakan tanggung
jawab perawat untuk menerima adanya keluhan nyeri yang di ungkapkan oleh
klien (American Pain Society, 2003)
70
Nyeri timbul dari rusaknya jaringan disekitar fraktur dan organ tubuh
yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit
yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari
syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan
dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam
(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda
inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda (Potter & Perry,
2006).
Pengalaman nyeri merupakan suatu hal yg komplek, mencangkup
aspek fisik, emosional, dan kognitif. Nyeri adalah suatu hal yang bersifat
subjektif dan personal. Stimulus terhadap timbulnya nyeri merupakan sesuatu
yang bersifat fisik dan mental yang terjadi secara alami. (Potter & Perry,
2006).
Pada diagnosa kedua penulis menengakkan kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan faktor mekanik seperti gaya, gesekan dan tekanan.
Kerusakan integritas kulit adalah perubahan atau gangguan pada lapisan
epidermis yang menyebabkan trauma jaringan pada kulit dengan batasan
karakteristik kerusakan lapisan kulit seperti data obyektif yang dialami pasien
yaitu terjadi luka robek pada kulit di bagian jari kelingking dengan panjang 3
cm, lebar 1 cm. Dan pada jari manis dengan panjang 3 cm. Lebar 2 cm dan
dalam 2 cm. Ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko
71
terjadi kerusakan kulit lebih lanjut pada klien diantaranya adalah gaya gesek
dan fiksi, kelembaban, infeksi, gangguan sirkulasi perifer, usia (Potter &
Perry, 2006).
Pada diagnosa yang ketiga penulis menegakkan resiko infeksi
berhubungan dengan kerusakan integritas kulit ditandai dengan data obyektif
pada luka robek pasien terdapat kotoran yang dapat menyebabkan infeksi.
Resiko infeksi sendiri adalah keadaan dimana pasien mengalami peningkatan
resiko terserang organisme patogenik. (Nanda, 2012).
Kerusakan integritas kulit terjadi akibat terputusnya kontinuitas kulit
pada lapisan epidermis, dermis dan hipodermis.
Kerusakan integritas kulit pada Tn. S terjadi akibat adanya luka. Luka
adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis
yang berasal dari internal maupun eksternal yang mengenai organ tertentu.
Ada beberapa cara menentukan klasifikasi luka. Sistem klasifikasi luka
memberikan gambaran tentang status integritas kulit, penyebab luka,
keparahan atau luasnya cedera dan kerusakan jaringan, kebersihan luka atau
gambaran kualitas luka misalnya warna (Potter & Perry, 2006)
C. Intervensi
Intervensi adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan
yang berpusat pada klien dan hasil yang diperkirakan ditetapkan dan
intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut. Intervensi
merupakan langkah awal dalam menentukan apa yang dilakukan untuk
72
membantu klien dalam memenuhi serta mengatasi masalah keperawatan yang
telah ditentukan. Tahap perencanaan keperawatan adalah menentukan
prioritas diagnosa keperawatan, penetapan kriteria evaluasi dan merumuskan
intervensi keperawatan. (Potter dan Perry, 2005)
Dalam pengambilan keputusan pemecahan masalah keperawatan
hendaknya sesuai dengan NIC (Nursing Interventions Classification) dan
NOC (Nursing Outcomes Classifications) sehingga tindakan yang dilakukan
dapat sesuai dengan jelas (spesific), dapat diukur (measurable), acceptance,
rasional, dan timming (Perry & Potter, 2005)
Prioritas
masalah
keperawatan
yang
pertama
adalah
nyeri
berhubungan dengan agen cidera fisik. Maka penulis memberikan rencana
tindakan keperawatan selama 2 jam diharapkan intensitas nyeri dapat
berkurang. Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri
yang dirasakan oleh individu . Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif
dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007) dengan kriteria
hasil skala nyeri menjadi 3 atau tidak dirasakan lagi. Intervensi yang pertama
adalah mengkaji tingkat nyeri dengan menggunakan 2 skala yaitu deskriptif
dan numerical rating skale dengan rasional untuk mengetahui perbandingan
skala nyeri pada pasien.
Intervensi yang kedua yaitu melakukan kompres dingin menggunakan
buli buli es dengan rasional untuk mengurangi intensitas nyeri. Dalam bidang
keperawatan kompres dingin banyak digunakan untuk mengurangi rasa nyeri.
73
Pada aplikasi dingin memberikan efek fisiologis yakni menurunkan respon
inflamasi, menurunkan aliran darah dan mengurangi edema, mengurangi rasa
nyeri lokal (Tamsuri, 2007). Kompres dingin akan menimbulkan efek
analgetik dengan memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga impuls
nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Mekanisme lain yang mungkin
bekerja bahwa persepsi dingin menjadi dominan dan mengurangi persepsi
nyeri (Price & Wilson, 2006).
Intervensi yang ketiga yaitu mengkaji tanda tanda vital pada pasien.
Komponen pengukuran tanda tanda vital pada pasien meliputi frekuensi
pernafasan, frekuensi nadi, suhu dan tekanan darah. Pengkajian tanda tanda
vital secara berulang dimaksudkan untuk mengontrol dan mengevaluasi
kondisi pasien ataupun memprediksi kondisi yang akan datang untuk
mengetahui vital sign klien. Ketika perawat menemui adanya perubahan pada
tanda tanda vital dan mengenali hubungan antara perubahan tanda vital dan
kondisi yang ditunjukkan pasien, masalah kesehatan pasien dapat ditentukan
dengan tepat. (Potter & Perry, 2006).
Dan berkolaborasi dengan tenaga medis untuk pemberian obat sebagai
penurun intensitas nyeri. Obat adalah alat utama terapi yang digunakan dokter
untuk mengobati pasien yang memiliki masalah kesehatan. Sehingga dalam
hal ini perawat memiliki peran untuk memahami kerja obat dan efek samping
yang ditimbulkan, memantau respon pasien. Dan membantu pasien
menggunakannya dengan benar dan tepat. (Potter & Perry, 2006)
74
Intervensi yang ketiga yaitu mengkaji tanda-tanda vital dengan
rasional untuk mengetahui vital sign pasien. Kemudian intervensi yang
terakhir untuk diagnosa nyeri akut yaitu mengkolaborasikan dengan tenaga
medis untuk pemberian obat anti nyeri dengan rasional untuk menurukan
skala nyeri pasien
Prioritas keperawatan yang kedua adalah kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan faktor mekanik seperti gaya, tekanan dan gesekan.
Dengan memberikan tindakan keperawatan selama 2 jam dengan harapan
integritas kulit yang baik dapat dipertahankan. Intervensi yang dilakukan
pertama kali yaitu monitor kulit dengan rasional untuk mengetahui area yang
terluka.
Terdapat 2 macam luka yang biasa terjadi pada pasien kecelakaan lalu
lintas, yaitu luka abrasi dimana terdapat permukaan kulit dan disertai sedikit
perdarahan. Luka akan terlihat basah akibat keluarnya plasma dari kapiler
yang rusak. Kemudian luka laserasi, luka laserasi adalah luka yang
mengalami perdarahan yang lebih banyak. Bergantung pada kedalaman dan
lokasi luka. Misalnya luka laserasi dengan panjang lebih dari 5 cm atau
kedalaman lebih dari 2,5 cm dapat menyebabkan pendarahan yang serius.
(Potter & Perry, 2006)
Kemudian melakukan
intervensi
medikasi luka dengan rasional
untuk membersihkan luka agar terhindar dari infeksi dan untuk meningkatkan
proses penyembuhan luka. Setelah itu intervensi kepada pasien untuk
menjaga kebersihan kulit agar tetap kering dan bersih. Selanjutnya lakukan
75
intervensi kolaborasi dengan tenaga medis dalam pemberian obat untuk luka
nya dengan rasional sebagai obat untuk proses penyembuhan luka.
Prioritas keperawatan yang ketiga adalah resiko infeksi berhubungan
dengan kerusakan integritas
kulit. Dengan
memberikan
tindakan
keperawatan selama 2 jam dengan harapan tidak terdapat tanda dan gejala
infeksi pada pasien. Dengan intervensi yg pertama yaitu medikasi luka dan
membersihkan luka dari pasir yang masuk kedalam lukanya dengan rasional
agar luka pasien tetap bersih dan terhindar dari infeksi. Kemudian intervensi
yang kedua yaitu mengajarkan pada pasien agar tetap menjaga kebersihan
pada lukanya untuk mencegah timbulnya infeksi dari lingkungan sekitar
pasien. Dan intervensi yang terakhir mengkolaborasikan dengan tenaga medis
dalam pemberian obat antibiotik dengan rasional sebagai obat pencegah
infeksi.
Status integritas kulit karena adanya luka. Pada Tn. S terdapat luka
terbuka. Luka terbuka melibatkan robekan pada kulit atau membran mukosa.
Penyebabnya adalah benda tajam atau tumpul dan implikasi penyembuhan
robekan kulit memudahkan masuknya mikroorganise. Trjadi kehilangan
darah dan cairan tubuh melalui luka. (Potter & Perry, 2006)
D. Implementasi
Tindakan
keperawatan
atau
implementasi
adalah
serangkaian
pelaksanaan rencana tindakan keperawatan oleh perawat untuk membantu
klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang
76
lebih baik dan menggambarkan kriteria hasil dalam rentang yang di harapkan
(Dermawan, 2012)
Implementasi yang pertama dilakukan penulis dengan melihat
keadaan pasien yaitu medikasi luka, sesuai dengan diagnosa kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik seperti gaya, tekanan dan
gesekan dan resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.
Dengan respon subyektif pasien bersedia dan respon obyektif pasien tampak
meringis menahan sakit saat lukanya diobati dan dibersihkan.
Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk
membersihkan luka dan menggunakan cara cara mekanik yang tepat untuk
memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cidera pada jaringan luka.
(Potter & Perry, 2006)
Pada diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor
mekanik seperti gaya, tekanan dan gesekan dan resiko infeksi berhubungan
dengan kerusakan integritas kulit. Perawat menginspeksi adanya benda asing
atau bahan bahan yang dapat mengkontaminasi pada luka. Sebagian besar
luka traumatik dalam kondisi kotor, terdapat tanah, pecahan kaca, sobekan
kain dan benda asing yang menempel pada benda yang menusuk tubuh dapat
tertanam pada luka.(Potter & Perry, 2006)
Untuk luka abrasi, laserasi minor dan luka tusuk kecil. pertama tama
perawat mencuci luka dengan air yang mengalir, membersihkannya dengan
sabun yang lembut dan air serta memberi antiseptik (Potter & Perry, 2006)
77
Kemudian implementasi yang kedua yaitu melakukan kompres dingin
disekitar tangan pasien yang mengalami nyeri selama 15 menit. Kompres
dingin adalah memberi rasa dingin pada daerah setempat menggunakan kain
yang dicelupkan pada air es. Sehingga memberikan efek rasa dingin pada
daerah tersebut.
Tujuan diberikan kompres dingin adalah menghilangkan rasa nyeri
akibat edema atau trauma, mempersempit pembuluh darah dan mengurangi
arus darah Aplikasi kompres dingin adalah mengurangi aliran darah kesuatu
bagian dan mengurangi pendarahan serta edema. Diperkirakan bahwa terapi
dingin menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan
hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit. Dan
penggunaan kompres dingin digunakan untuk cedera tiba-tiba atau yang baru
terjadi/ akut. Jika cedera baru terjadi (dalam waktu 48 jam terakhir) yang lalu
timbul pembengkakan, maka dengan kompres dingin bisa membantu
meminimalkan pembengkakan di sekitar cedera karena suhu dingin
mengurangi aliran darah di daerah cidera sehingga memperlambat
metabolisme sel dan yang paling penting adalah dapat mengurangi rasa sakit.
dengan respon subjektif pasien bersedia dan respon objejektif
pasien
mengatakan nyeri berkurang. Dengan pengkajian P : Pada tangan kanan. Q :
Seperti ditusuk-tusuk. R : Tangan kanan, S :. Yang awal nya 6 menjadi 3 pada
masing masing alat ukur nyeri yaitu numerical rating scale dengn intensitas
nyeri sedang. Dan pada deskriptif dengan intensitas nyeri ringan. Hal ini
sesuai dengan teori dari Smeltzer, Bare (2002). T : Terus menerus dan
78
menjalar. Kompres dingin dilakukan sebelum pemberian terapi obat, hal ini
untuk menghindari adanya bias pada terapi obat.
Implementasi yang ke tiga yaitu melakukan TTV dengan respon
subjektif pasien bersedia dan respon objektif. TD : 120/80 mmhg, RR : 24
x/menit. Hal ini menunjukkan bahwa status hemodinamika pasien dalam
kondisi stabil.
Implementasi yang terakhir yaitu memberikan obat melalui intravena
dan telah masuk Injeksi IV dengan inj. Ketorolac 1 amp/12 jam untuk
meringankan nyeri pada pasien. Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam sebagai
antibiotik. Inj. Ondansentrone 1 amp/12 jam sebagai anti mual dan muntah.
inj. As. Tranexamat 250 mg untuk menghentikan pendarahan yang dialami
pasien. (Iso, 2012)
E. Evaluasi
Evaluasi adalah keputusan dari efektifitas dari asuhan keperawatan
antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon
perilaku klien yang telah ditetapkan dengan respon perilaku klien yang
tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk menentukan perkembangan
kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi tindakan keperawatan,
mendapatkan umpan balik dari klien, dan sebagai tanggung jawab dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan (Dermawan, 2012)
Evaluasi dilakukan pada hari sabtu tanggal 9 Januari 2016 selama
kurang lebih 2 jam dengan menggunakan metode SOAP (Subjektif, Objektif,
79
Analisis, Plaining). Untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera fisik didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada tangan
sebelah kanan dibagian area fraktur dan tidak dapat menggerakkan jarinya,
data obyektif wajah pasien tampak meringis kesakitan, analisis masalah
belum teratasi. Plainning intervensi lakukan tindakan non farmakologis yaitu
lanjutkan kompres dingin untuk menurunkan intensitas nyeri.
Setelah dilakukan kompres dingin pasien mengatakan nyeri berkurang
dengan hasil : NRS : yang awalnya 6 menjadi 3 yaitu nyeri sedang. Deskriptif
: yang awalnya 6 menjadi 3 yaitu nyeri ringan.
Hasil evaluasi untuk kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
faktor mekanik dan diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan
integritas kulit. Data subyektif pasien mengeluh sakit pada luka-lukanya dan
pasien juga mengeluh dilukanya terdapat pasir yang masuk. Data obyektif
terdapat luka dibagian tangan kanan, dagu dan pundak. Dibagian tangan
kanan pada luka terdapat pasir yang masuk. Analisis : masalah teratasi.
Plainning lanjutkan intervensi yaitu medikasi luka.
Berdasarkan hasil kompres dingin untuk menurunkan nyeri adalah
efektif. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh
purnamasaridkk (2014) yang menyebutkan bahwa kompres dingin efektif
menurunkan nyeri. Hasil ini dapat dilihat pada lembar observasi dibagian
lampiran.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan prioritas
diagnosa, implementasi, dan evaluasi tentang pemberian kompres dingin
pemberian kompres dingin terhadap penurunan intensitas nyeri pada asuhan
keperawatan Tn. S dengan fraktur diruang IGD RSUD Karanganyar, maka penulis
dapat menarik kesimpulan.
A. Kesimpulan
Dari uraian bab pembahasan. Maka penulis dapat menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1.
Pengkajian
Hasil pengkajian pada Tn. S dengan fraktur. Data subyektif
pasien mengatakan nyeri pada tangan sebelah kanan dan pada jari nya
tidak bisa digerakkan. Data obyektif pasien dalam keadaan sadar penuh,
GCS : E : 4, V : 5, M : 6. tekanan darah pasien 120/80 mmhg. suhu tubuh
36,50 C . Capillary refill kurang dari 2 detik. Terdapat trauma pada jari ke
4 dan 5 di tangan sebelah kanan pasien dan mengalami luka robek di jari
kelingking dengan panjang 3 cm lebar 1 cm dan pada jari manis dengan
panjang 3 cm lebar 2 cm dan dalam 2 cm. Terdapat juga luka sayat pada
dagu dengan panjang 5 cm lebar 1 cm. Pada pundak panjang 3 cm lebar
5 cm.
80
81
2.
Diagnosa Keperawata
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada kasus Tn. S adalah
nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik. Diagnosa ke dua yaitu
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik seperti
gaya, gesekan dan tekanan. diagnosa ketiga yaitu resiko infeksi
berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.
3.
Intervensi
a.
Intervensi untuk diagnosa nyeri berhubungan dengan agen cidera
fisik yaitu mengkaji tingkat nyeri dan mengukur skala nyeri
menggunakan 2 alat ukur skala yaitu deskriptif dan numerical rating
scale, kemudian melakukan kompres dingin menggunakan buli buli
yang diisi air es atau es batu. Tindakan ini adalah non farmakologis.
Setelah itu mengkaji tanda tanda vital klien dan yang terakhir
mengkolaborasikan dengan tenaga medis untuk pemberian obat anti
nyeri.
b.
Intervensi untuk diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan faktor mekanik seperti gaya, tekanan dan gesekan. Pertama
kali yang dilakukan memonitor kulit yang terdapat luka. Setelah itu
melakukan medikasi luka pada luka luka pasien dan menjahit luka
robek pasien. Setelah itu melakukan edukasi kepada pasien untuk
tetap menjaga kebersihan kulit agar terhindar dari infeksi. Intervensi
yang terakhir mengkolaborasikan dengan tenaga medis dalam
pemberian obat luka.
82
c.
Intervensi untuk diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan
kerusakan integritas kulit yaitu memonitor luka yang dapat menjadi
faktor infeksi. Setelah itu medikasi luka untuk membersihkan
kotoran yang masuk ke luka pasien. Kemudian edukasi ke pasien
untuk
menjaga
kebersihan
lukanya.
Yang
terakhir
mengkolaborasikan dalam tindakan pemberian obat antibiotik.
4.
Implementasi
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk menangani Tn. S.
penulis melakukan implementasi sesuai dengan intervensi yang sudah
ditulis dan yang sudah disesuaikan dengan keadaan pasien ketika datang
ke rumah sakit.
5.
Evaluasi
a.
Evaluasi untuk diagnosa nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik
adalah masalah belum teratasi dan melanjutkan tindakan non
farmakologis yaitu kompres dingin.
b.
Evaluasi untuk kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor
mekanik dan resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas
kulit yaitu. Masalah teratasi tetapi tetap dilakukan medikasi luka
setiap hari untuk mengganti balutan.
6.
Analisa
Hasil analisa pada kasus Tn. S pada diagnosa nyeri berhubungan
dengan agen cidera fisik yang dilakukan tindakan
kompres dingin
selama 15 menit untuk menurun kan intensitas nyeri sesuai dengan jurnal
83
yaitu data subyektif pasien mengatakan bahwa saat diberikan kompres
dingin selama 15 menit. Pasien merasakan sensasi yang membuat nyeri
nya berkurang. Dengan perbandingan saat pertama kali sebelum
diberikan kompres dingin mengatakan nyeri pada skala 6 untuk alat ukur
deskriptif dan NRS. Setelah dilakukan kompres dingin menjadi 3 pada
masing masing alat ukur. Deskriptif menandakan nyeri ringan. Dan NRS
menandakan nyeri sedang.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan
Fraktur, penulis akan memberikan usulan dan masukkan yang positif
khususnya dibidang kesehatan antara lain:
1.
Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit khususnya RSUD Karanganyar dapat
memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan
kerjasama baik antar tim kesehatan maupun dengan pasien. Sehingga
dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal
pada pasien fraktur yang mengalami nyeri dan diharapkan rumah sakit
menyediakan sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesembuhan
pasien.
2.
Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Hendaknya para perawat memiliki tanggung jawab dan
ketrampilan yang baik dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan
84
dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien fraktur agar lebih
maksimal. Serta mampu memberikan pelayanan yang profesional dan
komprehensif.
3.
Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Diharapkan bisa lebih meningkatkan mutu pelayanan pendidikan
yang lebih berkualitas dan professional sehingga dapat tercipta perawat
yang terampil, inovatif, dan professional yang mampu memberikan
asuahan keperawatan secara komprehensif.
4.
Bagi Penulis
Diharapkan penulis dapat menggunakan tindakan kompres dingin
tidak hanya untuk pasien fraktur tapi juga pasien lain yang mengalami
nyeri.
85
DAFTAR PUSTAKA
Black, Joyce M. Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah : Menejemen
Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan, Edisi 8, Buku 2. Indonesia : CV Pentasada
Media Edukasi
Dermawan, Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka Kerja.
Gosyen Publising. Yogyakarta
Graha Ilmu : Yogyakarta
Helmi. Z. N. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Salemba Medikal : Jakarta
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi EGC : Jakarta
Nurchairiah. A. Dkk. 2014. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Intensitas Nyeri Pada
Pasien Fraktur Tertutup Di Ruang Dahlia RSUD Arifin Achmad. Jurnal
Keperawatan.
Parahita, Putu Sukma. Dkk. 2011. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cidera Fraktur
Ekstremitas. Jurnal Kegawatdaruratan.
Potter. P. A. & Perry. A. G. 2005. Keperawatan Dasar : Konsep Proses dan Praktik. EGC :
Jakarta
Potter. P. A. & Perry. A. G. 2006. Fundamental Of Nursing, Edisi 4. Volume 2. EGC :
Jakarta
Potter. P. A. & Perry. A. G. 2010. Fundamental Of Nursing Buku 1 : 7 Salemba Medikal :
Jakarta
Purnamasari, Elia. Dkk. 2014. Efektifitas Kompres Dingin Terhadap Penurunan Intensitas
Nyeri Pada Pasien Fraktur Di RSUD Ungaran. Jurnal Ilmu Keperawatan dan
Kebidanan.
Setiadi, 2012. Konsep Dan Penulisan Dokumentasi Asuhan Keperawatan.
Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Bedah. EGC : Jakarta
Wijaya, A.S & Putri YN. 2013. KMB 2. Keperawatan Medikal Bedah. Nurhamedika :
Yogyakarta
Zakiyah, Ana. 2015. Nyeri Konsep dan Penatalaksanaan Dalam Praktik Keperawatan
Berbasis Bukti. Salemba Medikal : Jakarta
Download