BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit tidak menular (PTM), merupakan penyakit kronik yang tidak ditularkan dari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjang dan umumnya berkembang lambat. Empat jenis PTM utama menurut WHO adalah penyakit kardiovaskular (penyakit jantung koroner, stroke), kanker, penyakit pernafasan kronik (asma dan penyakit paru obstruksi kronik), dan diabetes (Riskesdas, 2013). Penyakit tidak menular (PTM) menjadi penyebab utama kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, menyebabkan 13% kematian. Proporsi penyebab kematian PTM pada orang-orang berusia kurang dari 70 tahun, penyakit kardiovaskular merupakan penyebab terbesar (39%), diikuti kanker (27%), sedangkan penyakit pernafasan kronik, penyakit pencernaan dan PTM yang lain bersama-sama menyebabkan sekitar 30% kematian, serta 4% kematian disebabkan diabetes (Kemenkes RI, 2012). Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, kematian akibat penyakit tidak menular (PTM) diperkirakan akan terus meningkat di seluruh dunia, 1 peningkatan terbesar akan terjadi di negara-negara menengah dan miskin. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti kanker, penyakit jantung, stroke dan diabetes. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 52 juta jiwa kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta jiwa dari 38 juta jiwa pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya akan menurun, dari 18 juta jiwa saat ini menjadi 16,5 juta jiwa pada tahun 2030. Pada negara-negara menengah dan miskin, PTM akan bertanggung jawab terhadap tiga kali dari tahun hidup yang hilang dan disability (disability adjusted life years = DALYs) dan hampir lima kali dari kematian penyakit menular, maternal, perinatal dan masalah nutrisi (Kemenkes, 2012). Indonesia telah mengikuti kecenderungan negara di dunia dalam hal beban penyakit tidak menular (PTM) dan proporsi angka kematian PTM sebagaimana ditunjukkan dengan peningkatan tajam dari 41,7 persen di tahun 1995 menjadi 59,5 persen di tahun 2007. Penyakit tidak menular ini meliputi penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, diabetes dan penyakit pernapasan kronik. Penyakit jantung dan pembuluh darah telah menempati urutan teratas sebagai penyebab utama kematian di Indonesia, dengan 26,9 persen kematian disebabkan stroke (Kemenkes, 2011). Menurut Riskesdas (2013) pada kasus rawat inap, proporsi penyakit terhadap total pasien keluar hidup dan mati (rawat inap) dari tahun 20092010 mempunyai pola yang sama yaitu penyakit rawat inap yang terbanyak adalah penyakit tidak menular, kemudian penyakit menular, cedera dan yang terakhir adalah penyakit maternal dan perinatal. 2 Menurut WHO (2011) faktor risiko umum PTM adalah pola konsumsi makanan yang tidak sehat (unhealthy diet), kurangnya aktivitas fisik (physical inactivity), merokok dan konsumsi alkohol, polusi udara, usia dan hereditas. Sedangkan faktor risiko antara (intermediate risk factors) adalah meningkatnya gula darah, hipertensi, kadar lemak darah melebihi normal, kegemukan dan obesitas. Beberapa faktor penentu yang mendasari (underlying determinant) adalah globalisasi, urbanisasi, penduduk usia lanjut dan social determinant. Secara umum, pasien dengan PTM ini bisa disertai dengan anemia. Beberapa penyakit tidak menular yang dapat disertai dengan anemia adalah penyakit jantung (Drakos et al., 2009), stroke (Disco, 2012), diabetes mellitus (Mehdi and Toto, 2009), ginjal (Macdougall, 2007), dan kanker (Kar, 2005). Prevalensi anemia meningkat hingga 10 kali lipat pada pasien diabetes dengan CKD dan gagal jantung (Marathias et al., 2004, Mohanram et al., 2008 dalam penelitian Mehdi and Toto, 2009). Salah satu penyebab terjadinya anemia pada PTM ialah kekurangan gizi. Menurut Drakos et al. (2009) anemia pada Heart Failure disebabkan oleh kekurangan zat besi. Menurut Witte et al. (2004) defisiensi zat besi dapat terjadi karena asupan zat besi yang tidak cukup akibat malabsorpsi gastrointestinal dan kehilangan darah akibat penggunaan profilaksis aspirin dan uremic gastritis. Menurut Disco (2012) pada pasien stroke juga sering ditemui kejadian anemia. Anemia pada pasien stroke di rumah sakit dapat disebabkan oleh kekurangan zat besi atau zat gizi lain dan adanya penyakit kronik lain. Pada pasien CKD juga bisa ditemukan kejadian anemia. Menurut 3 Somvanish (2012) hal tersebut mungkin disebabkan oleh defisiensi besi atau terhambatnya erythropoiesis akibat defisiensi gizi. Menurut Almatsier (2009) penyebab dari anemia gizi adalah kekurangan zat gizi yang berperan dalam pembentukan hemoglobin, baik karena kekurangan konsumsi atau karena gangguan absorpsi. Zat gizi yang bersangkutan adalah besi, protein, piridoksin (vitamin B6), yang berperan sebagai katalisator dalam sintesis hem di dalam molekul hemoglobin, vitamin C yang mempengaruhi absorpsi dan pelepasan besi dari transferin ke dalam jaringan tubuh, dan stabilitas membran sel darah merah. Selain itu, anemia gizi juga bisa dipengaruhi oleh zat penghambat penyerapan zat gizi seperti yang diungkapkan oleh Arisman (2010) yang menyatakan bahwa serapan zat besi akan semakin rendah jika mengonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi seperti kopi dan teh. PTM yang disertai anemia dapat memberikan dampak buruk bagi penderitanya, seperti pendapat yang dinyatakan oleh Drakos et al. (2009), dimana anemia merupakan prediktor independen yang kuat penyebab peningkatan kematian dan rawat inap pada pasien dengan gagal jantung. Selain itu, pasien dengan anemia juga dapat berisiko mengalami rawat inap ulang. Menurut Lim et al. (2012) pasien dengan malnutrisi memiliki lama rawat inap yang lebih panjang dan cenderung akan kembali dirawat di rumah sakit setelah 15 hari keluar dari rumah sakit. Rawat inap ulang merupakan masalah kesehatan yang harus segera ditangani. Penyakit kanker, liver, jantung, dan stroke dilaporkan memiliki riwayat rawat inap berulang. Menurut Setoghuci et al. (2007) rawat inap pada pasien dengan gagal jantung merupakan prediktor yang kuat penyebab kematian. Pasien akan bertahan 4 2,4 tahun setelah rawat inap yang pertama, kemudian 1,4 tahun pada rawat inap yang kedua, lalu 1 tahun pada rawat inap yang ketiga, dan semakin menurun menjadi 6 bulan pada rawat inap yang keempat. Untuk menurunkan angka kematian akibat PTM atau akibat rawat inap ulang dari PTM, maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menanggulangi anemia pada pasien PTM paska rawat inap. Dimana pasien paska rawat inap memiliki kecederungan untuk tidak memperhatikan pola konsumsi makannya, sehingga lebih rentan mengalami malnutrisi (anemia). Langkah yang bisa digunakan untuk mencegah terjadinya anemia adalah dengan mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia seperti asupan gizi. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara asupan gizi (protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi suplemen, dan konsumsi teh dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah yaitu apakah terdapat hubungan antara asupan gizi (protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi suplemen, dan konsumsi teh dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap? 5 C. Tujuan 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara asupan gizi (protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi suplemen, dan konsumsi teh dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui hubungan antara asupan protein dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap b. Mengetahui hubungan antara asupan Fe dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap c. Mengetahui hubungan antara asupan vitamin C dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap d. Mengetahui hubungan antara konsumsi suplemen (suplemen tambah darah dan suplemen vitamin C) dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap e. Mengetahui hubungan antara konsumsi teh dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah pengetahuan mengenai hubungan antara asupan gizi (protein, zat besi, dan vitamin C), konsumsi suplemen, dan konsumsi teh dengan status anemia pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap. 6 2. Bagi Masyarakat Sebagai sumber informasi khususnya bagi masyarakat yang tinggal bersama pasien PTM untuk rutin mengonsumsi makanan yang mengandung gizi (protein, zat besi, dan vitamin C), mengonsumsi suplemen (suplemen vitamin C dan suplemen tambah darah) serta membatasi konsumsi teh. 3. Bagi Pemerintah Sebagai bahan informasi dalam penyusunan program penurunan angka kematian akibat PTM yang didasarkan pada upaya penanggulangan anema pada pasien penyakit tidak menular paska rawat inap. 1. Keaslian Penelitian Penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini adalah 1. Groenveld et al. (2008) melakukan penelitian yang berjudul Anemia and Mortality in Heart Failure Patients. Hasil dari penelitian ini adalah dari 153.180 pasien CHF, 37,2% diantaranya anemia. Setelah dilakukan follow up selama 6 bulan. 46,8% pasien anemia meninggal dibandingkan dengan 29,5% pasien yang tidak anemia. Resiko kematian kasar dari anemia memiliki odds ratio 1,96 (CI 95% : 1,74 – 2,21, p < 0,001). Rendahnya nilai hemoglobin dihubungkan dengan peningkatan Crude Mortality Rates (r=-0,396, p =0,025). Tidak ada hubungan yang signifikan antara kematian dengan anemia pada CHF sistolik atau diastolik. Perbedaan penelitian ini adalah rancangan penelitian, variabel terikat, variabel bebas, sampel penelitian. 7 2. Nanas et al. (2006) melakukan penelitian yang berjudul Etiology of Anemia in Patients with Advanced Heart Failure. Hasil dari penelitian ini adalah rata-rata usia pada 37 pasien adalah 57,9±10,9 tahun dan ratarata dari left ventricular ejection fraction adalah 22,5±5,9%. Anemia akibat defisiensi besi yang dikonfirmasi dengan sumsum tulang belakang sebanyak 27 pasien (73%), 2 pasien (5,4%) mengalami anemia akibat delusi (pengenceran), dan 1 pasien (2,7%) mengalami anemia akibat obat yang berhubungan dengan kejadian anemia. Tidak ada penyebab spesifik yang dapat diidentifikasi pada 7 pasien (18,9%) yang dipertimbangkan mengalami anemia penyakit kronik. Serum feritrin untuk pasien anemia defisiensi besi bukan penanda yang baik. Persamaan dengan penelitian ini adalah rancangan penenlitan. Perbedaannya adalah sampel penelitian, lokasi penelitian. 3. Libre et al. (2010) melakukan penelitian yang berjudul Prevalence of stroke and Associated Risk Factors in Older Adults in Havana City and Matnzas Provinces, Cuba (10/66 Population-Based Study). Hasil dari penelitian ini adalah prevalensi stroke adalah 7,8 % (95% CI 6,9-8,8) dan lebih tinggi terjadi pada laki-laki. Faktor resiko pada kelompok populasi ini adalah riwayat hipertensi (OR 2,8; 95% CI 2,0-4,0), HDL kolesterol yang rendah (OR 2,6; 95% CI 1,7-3,9), laki-laki (OR 1,7; 95% CI 1,2-2,5), anemia (OR 1,6; 95% CI 1,1-2,5), riwayat penyakit jantung iskemik (OR 1,5; 95% CI 1,0-2,3), karier dari satu atau dua apolipoprotein E4 genotipe (APOE £ 4) alel (OR 1,4; 95% CI 1,0-2,0) dan peningkatan usia (OR 1,3; 95% CI 1,1-1,9). Persamaan dengan 8 penelitian ini adalah rancangan penenlitan. Perbedaannya adalah lokasi penelitian, variabel penelitian dan sampel penelitian. 4. Khairunnisa (2014) melakukan penelitian yang berjudul Hubungan Asupan Protein, Zat Besi, Vitamin C, dan Inhibitor Zat Besi dengan Status Anemia Pada Lanjut Usia di Paguyuban “WIRA WREDHA” Wiroguman, Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini adalah prevalensi anemia pada lanjut usia adalah 18,2%. Ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status anemia pada lanjut usia (p=0,005). Ada hubungan yang bermakna antara asupan zat besi dengan status anemia pada lanjut usia (p=0,007). Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan vitamin C dengan status anemia pada lanjut usia (p=0,636). Tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan inhibitor absorpsi zat besi (tanin, fitat, asam oksalat) dengan status anemia pada lanjut usia (p=0,184; p=0,129; p=393). Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian, variabel bebas, variabel terikat. Perbedaannya adalah lokasi penelitian, sampel penelitian, instrumen penelitian. 9