- Repository UNPAD

advertisement
TERAPI MEDIKAMENTOSA
PADA TRIGEMINAL NEURALGIA
Dipresentasikan pada
DIES NATALIS KE – 48
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran
Oleh :
Lucky Riawan, drg., Sp BM
NIP. 131 567 579
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2007
Judul
: Terapi Medikamentosa Pada Trigeminal
Neuralgia
Penyusun : Lucky Riawan, drg., Sp.BM
NIP
: 131 567 579
Bandung, Desember 2007
Mengetahui,
Kepala Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran
(Tis Karasutisna, drg., Sp.BM)
NIP. 130 779 427
ABSTRAK
Trigeminal neuralgia (tic douloreux) merupakan suatu keadaan dengan
serangan sakit paroksismal yang singkat dan hebat serta unilateral yang dipicu oleh
rangsang sensoris lokal.Patogenesis dari trigeminal neuralgia belum diketahui, terjadi
dalam bentuk idiopatik dan simtomatik, dengan gejala rasa sakit seperti tikaman
(tertusuk) dengan waktu singkat, biasanya bertahan sampai 20 detik, selama serangan
terlihat seperti menangis, terbakar atau seperti tersengat listrik.
Terapi awal untuk trigeminal neuralgia biasanya dengan obat-obatan anti
konvulsan, seperti karbamazepine atau phenytoin. Baklofen, klonazepam, gabapentin
juga efektif dan dapat dikombinasikan untuk mengatasi rasa sakit.
Kata kunci : Paroksismal, multiple-sklerosis, anti konvulsan.
i
ABSTRACT
Trigemial neuralgia (tic douloureux) is a condition characterized by brief and
paroxysmal attact of intense unilateral pain that are triggered by local sensory stimuli.
The pathogenesis of trigeminal neuralgia is unknown, occurs in idiopathic and
symptomatic form, produces severe stabbing (lancinating) pain of short duration,
usually lasting less than 20 seconds, may be seen crying during an attack, searing,
burning or like an electrick shock.
Initial treatment for trigeminal neuralgia is usually by means of anticonvulsant drugs, such as carbamazepine or phenytoin. Baclofen, clonazepam,
gabapentin may also be effective and may be used in combination to achieve pain
relief.
Key words : Paroxysmal, multiple-sclerosis, anti-convulsant
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Makalah ini penulis persiapkan untuk melengkapi syarat dalam
memperoleh
Dalam penyusunan makalah ini banyak kesulitan dan hambatan yang penulis
kenaikan pangkat dalam kepegawaian negeri sipil.hadapi, meskipun demikian berkat
bantuan serta dorongan dari berbagai pihak, penyusunan makalah ini dapat terlaksana
dengan baik.
Akhirnya kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi Ilmu Kedokteran
Gigi umumnya bagi pembaca yang menaruh minat pada khususnya.
Bandung, Desember 2007
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK......................................................................................................................i
ABSTRACT...................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
DAFTAR ISI.................................................................................................................iv
PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1. ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS......................................................................2
2. PATOFISIOLOGIS....................................................................................................2
3. KLASIFIKASI...........................................................................................................4
4. GEJALA DAN TANDA............................................................................................4
5. DIAGNOSIS..............................................................................................................5
6. TERAPI MEDIKAMENTOSA TRIGEMINAL NEURALGIA...............................6
6.1. KARBAMAZEPINE (TEGRETOL)..................................................................7
6.2. OXYKARBAZEPINE (TRILEPTAL)...............................................................8
6.3. PHENYTOIN (DILANTIN)...............................................................................8
6.4. BAKLOFEN (LIORESAL).................................................................................9
6.5. GABAPENTIN (NEURONTIN).........................................................................9
KESIMPULAN..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11
iv
PENDAHULUAN
Trigeminal neuralgia sudah dikenal dan tertulis dalam kepustakaan medis
sejak abad ke 16. Kepustakaan lama disebut juga dengan tic douloureux karena nyeri
sering menimbulkan spasme otot wajah pada sisi yang sama sehingga pasien tampak
meringis atau tic convulsive. Trigeminal neuralgia merupakan suatu kumpulan gejala
yang ditandai dengan serangan sakit yang hebat secara mendadak disertai spasme
wajah dalam waktu singkat. (Rose et al, 1997 ; Sharav, 2002)
Trigeminal neuralgia insidensi kejadiannya berkisar 70 dari 100.000 populasi
dan paling sering ditemukan pada orang berusia lebih dari 50 tahun atau lanjut usia.
Insidensinya akan meningkat sesuai dengan meningkatnya usia. Jarang ditemukan
pada usia muda. Pada usia muda lebih banyak disebabkan oleh tumor dan sklerosis
multiple. Kasus familial ditemukan pada 4% kasus. Tidak terdapat perbedaan ras dan
etnis serta insidensi pada wanita 2 kali lebih besar dibanding pria. (Bryce, 2004)
Gejala dan tanda dari trigeminal neuralgia adalah rasa nyeri berupa nyeri
neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal tajam, yang terbatas di daerah dermatom
nervus trigeminus yang berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit,
tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan biasanya ada interval bebas nyeri dan
umumnya unilateral. (Olesen, 1988)
Trigeminal neuralgia seyogyanya dapat dibedakan dengan nyeri wajah yang
lainnya berdasarkan anamnesa riwayat sakit pasien. Pemeriksaan penunjang lebih
bertujuan untuk membedakan trigeminal neuralgia yang idiopatik atau simptomatik.
Terapi pada pasien ini ada 2 m
acam yaitu medikamentosa dan pembedahan.
Perawatan secara medikamentosa berupa pemberian obat-obatan anti konvulsan
dengan cara menurunkan hiperaktivitas nukleus nervus trigeminus di dalam brain
stem. Pengobatan efektif pada 80% kasus. Pemberian obat dimulai dengan dosis yang
paling minimal, kemudian karena penyakit ini memiliki progresivitas dan rasa sakit
yang makin berat dan lebih sering maka dibutuhkan penambahan dosis dimana akan
menimbulkan suatu efek samping atau kontrol rasa sakit yang tidak adekuat.
Pemberian obat-obatan ini dapat diberikan secara tunggal atau dikombinasi dengan
lainnya. Jika perawatan dengan obat-obatan sampai dosis maksimal dan dengan
kombinasi beberapa obat sudah tidak mengurangi rasa sakit lagi maka terapi dengan
pembedahan menjadi pilihan. (Rose, 1997; Loeser, 2001)
1
1. ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial merupakan
saraf otak terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran karena terdiri dari
komponen sensorik yang mempunyai daerah persarafan yang luas yang disebut portio
mayor dan komponen motorik yang persarafannya sempit disebut portio minor.
Komponen-komponen ini keluar dari permukaan anterolateral bagian tengah pons dan
berjalan ke anterior pada dasar fossa kranialis posterior melintasi bagian petrosa
tulang pelipis ke fossa kranialis media. Komponen sensorik dan motorik bergabung
didalam ganglion trigeminus atau ganglion gaseri, kemudian berjalan bersama-sama
sebagai saraf otak kelima (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)
Nervus trigeminal mempersarafi wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang
menginervasi daerah dahi dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah
bagian bawah dan rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah sensasi
sentuhan wajah, sakit dan suhu, dan juga kontrol otot pengunyahan. Fungsi nervus
trigeminus harus dibedakan dengan nervus fasialis (nervus cranialis ke VII) yang
mengontrol semua gerakan wajah. (Kaufman, 2001)
Tiga divisi nervus trigeminal muncul bersama-sama pada daerah yang disebut
ganglion gaseri. Dari sana, akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi
brain stem dan masuk ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus mencapai
kelompok neuron khusus yang disebut nukleus nervus trigeminal. Informasi dibawa
ke brain stem oleh nervus trigeminus kemudian diproses sebelum dikirim ke otak dan
korteks serebral, dimana persepsi sensasi wajah akan diturunkan. (Kaufman AM,
2001)
2. PATOFISIOLOGIS
Patofisiologis terjadinya suatu trigeminal neuralgia sesuai dengan penyebab
terjadinya penyakit tersebut. Penyebab-penyebab dari terjadinya trigeminal neuralgia
adalah penekanan mekanik oleh pembuluh darah, malformasi arteri vena disekitarnya,
penekanan oleh lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan secara fisik dari nervus
trigeminus oleh karena pembedahan atau infeksi, dan yang paling sering adalah faktor
yang tidak diketahui. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)
Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke brain
stem yang paling sering terjadi, sedangkan diatas bagian nervus trigeminus/portio
2
minor jarang terjadi. Pada orang normal pembuluh darah tidak bersinggungan dengan
nervus trigeminus. Penekanan ini dapat disebabkan oleh arteri atau vena baik besar
maupun kecil yang mungkin hanya menyentuh atau tertekuk pada nervus trigeminus.
Arteri yang sering menekan akar nervus ini adalah arteri cerebelar superior.
Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya
lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut saraf. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan
aktifitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus
trigeminus dan menimbulkan gejala trigeminal neuralgia. Teori ini sama dengan
patofisiologi terjadinya trigeminal neuralgia oleh karena suatu lesi atau tumor yang
menekan atau menyimpang ke nervus trigeminus. (Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004)
Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang
ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika sudah
melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala neuralgia
trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan cenderung terjadi pada usia
muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya sklerosis multipel. (Olessen, 1988 ;
Kaufmann, 2001 ; Passon, 2001)
Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan menimbulkan
potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf. Aktivitas ektopik ini
terutama disebabkan karena terjadinya perubahan ekspresi dan distribusi saluran ion
natrium sehingga menurunnya nilai ambang membran. Kemungkinan lain adalah
adanya hubungan ephaptic antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang
rendah dapat mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after
discharge. (Sharav, 2002 ; Bryce, 2004)
Selain itu aktivitas aferen menyebabkan dikeluarkannya asam amino eksitatori
glutamat. Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-amino-3-hidroxy-5methyl-4-isaxole propionic acid (AMPA) di post sinap sehingga timbul depolarisasi
dan potensial aksi. Aktivitas yang meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor
glutamat
lain N-Methyl-D-Aspartate
(NMDA) setelah
ion
magnesium
yang
menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan menyebabkan
saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi peningkatan kalsium intra seluler.
Mekanisme inilah yang menerangkan terjadinya sensitisasi sentral. (Rose, 1997 ;
Loeser, 2001)
3
3. KLASIFIKASI
Trigeminal neuralgia menurut International Headache Society, 1988 dibagi
atas 2 yaitu idiopatik dan simptomatik. (Olesen J et al, 1988)
3.1. Trigeminal neuralgia idiopatik : Jika dalam pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan
fisik dan neurologik serta pemeriksaan penunjang tidak ditemukan penyebab
dari nyeri wajah.
3.2. Trigeminal neuralgia simptomatik : penyebab nyeri wajahnya dapat diketahui
dari pemeriksaan penunjang tertentu atau pada eksplorasi fossa posterior.
4. GEJALA DAN TANDA
Trigeminal neuralgia memberikan gejala dan tanda sebagai berikut : (olesen,
1988; Passon, 2001; Sharav, 2002; Brice, 2004)
4.1. Rasa nyeri berupa nyeri neuropatik, yaitu nyeri berat paroksimal, tajam, seperti
menikam, tertembak, tersengat listrik, terkena petir, atau et rbakar yang
berlangsung singkat beberapa detik sampai beberapa menit tetapi kurang dari
dua menit, tiba-tiba dan berulang. Diantara serangan biasanya ada interval bebas
nyeri, atau hanya ada rasa tumpul ringan.
4.2. Lokasi nyeri umumnya terbatas di daerah dermatom nervus trigeminus dan yang
karakteristik nyeri unilateral. Tersering nyeri didaerah distribusi nervus
mandibularis (V2) 19,1% dan nervus maksilaris (V3) 14,1% atau kombinasi
keduanya 35,9% sehingga paling sering rasa nyeri pada setengah wajah bawah.
Jarang sekali hanya terbatas pada nervus optalmikus (V3) 3,3%. Sebagian pasien
nyeri terasa diseluruh cabang nervus trigeminus (15,5%) atau kombinasi nervus
maksilaris dan optalmikus (11,5%). Jarang ditemukan kombinasi nyeri pada
daerah distribusi nervus optalmikus dan mandibularis (0,6%). Nyeri bilateral
3,4%, nyeri jarang terasa pada kedua sisi bersamaan, umumnya diantara kedua
sisi tersebut dipisahkan beberapa tahun. Kasus bilateral biasanya berhubungan
dengan sklerosis multiple atau familial.
4.3. Trigeminal neuralgia dapat dicetuskan oleh stimulus non-noksius seperti perabaan
ringan, getaran, atau stimulus mengunyah. Akibatnya pasien akan mengalami
kesulitan atau timbul saat gosok gigi, makan, menelan, berbicara, bercukur
wajah, tersentuh wajah, membasuh muka bahkan terhembus angin dingin.
Biasanya daerah yang dapat mencetuskan nyeri (triger area) diwajah bagian
4
depan, sesisi dengan nyeri pada daerah percabangan nervus trigeminus yang
sama. Bila triger area didaerah kulit kepala, pasien takut untuk berkeramas atau
bersisir.
4.4. Nyeri pada trigeminal neuralgia dapat mengalami remisi dalam satu tahun atau
lebih. Pada periode aktif neuralgia, karakteristik terjadi peningkatan frekuensi
dan beratnya serangan nyeri secara progresif sesuai dengan berjalannya waktu.
4.5. Sekitar 18% penderita dengan trigeminal neuralgia, pada awalnya nyeri atipikal
yang makin lama menjadi tipikal, disebut preneuralgia trigeminal. Nyeri terasa
tumpul, terus-menerus pada salah satu rahang yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa tahun. Stimulus termal dapat menimbulkan nyeri berdenyut
sehingga sering dianggap sebagai nyeri dental. Pemberian terapi anti konvulsan
dapat meredakan nyeri preneuralgia trigeminal sehingga cara ini dapat dipakai
untuk membedakan kedua nyeri tersebut.
4.6. Pada pemeriksaan fisik dan neurologik biasanya normal atau tidak ditemukan
defisit neurologik yang berarti. Hilangnya sensibilitas yang bermakna pada
nervus
trigeminal
mengarah
pada
penca
r ian
proses
patologik
yang
mendasarinya, seperti tumor atau infeksi yang dapat merusak syaraf. Pada tumor
selain nyerinya atipikal dan hilangnya sensibilitas, disertai pula gangguan pada
syaraf kranial lainnya.
5. DIAGNOSIS
Trigeminal neuralgia seyogyanya dapat dibedakan dengan nyeri wajah yang
lainnya. Pemeriksaan kesehatan dan riwayat gejalanya harus dilakukan bersama-sama
pemeriksaan lainnya untuk mengesampingkan masalah yang serius. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan klinis dan uji klinis untuk
mengetahui secara pasti stimulus pencetus dan lokasi nyeri saat pemeriksaan. Kriteria
diagnosa dari trigeminal neuralgia disesuaikan dengan yang dikemukakan oleh
klasifikasi Internatianal Headache Society 1988. (Olesen, 1988; Sharav, 2002; Brice,
2004)
Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan trigeminal
neuralgia yang idiopatik atau simptomatik. CT Scan kepala untuk melihat keberadaan
tumor. Sklerosis multiple dapat terlihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
MRI ini sering digunakan sebelum tindakan pembedahan untuk melihat kelainan
pembuluh darah. Diagnosa trigeminal neuralgia dibuat dengan mempertimbangkan
5
riwayat kesehatan dan gambaran rasa sakitnya. Sementara tidak ada pemeriksaan
diagnostik yang dapat mempertegas adanya kelainan ini. Teknologi CT Scan dan MRI
sering digunakan untuk melihat adanya tumor atau abnormalitas lain yang
menyebabkan sakit tersebut. Pemeriksaan MRTA (high-definition MRI angiography)
pada nervus trigeminal dan brain stem dapat menunjukkan daerah nervus yang
tertekan oleh vena atau arteri. Sebagai tambahan, dilakukan pemeriksaan fisik untuk
menentukan stimuli pemicu, dan lokasi yang pasti dari sakitnya. Pemeriksaan
termasuk inspeksi komea, nostril, gusi, lidah dan dipipi untuk melihat bagaimana
daerah tersebut merespon sentuhan dan perubahan suhu (panas dan dingin). (Brice
DD, 2004)
6. TERAPI MEDIKAMENTOSA TRIGEMINAL NEURALGIA
Seperti diketahui terapi dari trigeminal neuralgia ada 2 macam yaitu terapi
medikamentosa dan terapi pembedahan. Telah disepakati bahwa penanganan lini
pertama untuk trigeminal neulalgia adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah
hanya dipertimbangkan apabila terapi medikamentosa mengalami kegagalan. (Losser,
2001)
Sebagai suatu penyakit yang memiliki progresivitas dan rasa sakit yang makin
menjadi berat dan lebih sering, penembahan dosis dan kombinasi obat-obatan
sangatlah dibutuhkan dimana akan menimbulkan suatu efek samping atau kontrol rasa
sakit yang tidak adekuat. Setiap pasien memiliki toleransi yang berbeda terhadap
obat-obatan dan rasa sakitnya. Untuk itu banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan
dalam pemberian obat anti konvulsi untuk pengobatan trigeminal neuralgia.
Pemberian obat diberikan secara bertahap, diawali dengan dosis minimal, jika terjadi
peningkatan progresivitas rasa sakit maka dosis dinaikkan sampai dosis maksimal
yang dapat ditoleransi tubuh. Pada penggunaan dosis diatas minimal, dalam
pengurangan dosis, juga harus dilakukan secara bertahap. Pemberian obat umumnya
dimulai dengan pemberian 1 jenis. Dosisnya ditambah sesuai dengan kebutuhan dan
toleransinya. Jika 1 jenis obat tidak menunjukan efektifitasnya, obat-obatan alternatif
lain dapat dicoba secara tunggal atau kombinasi. (Grant, 1992; Ganiswara, 1995)
Saat ini obat-obatan yang digunakan untuk terapi adalah obat-obatan anti
konvulsi seperti karbamazepine (tegretol), phenitoin (dilandin), oxykarbazepine
(trileptal), dan gabapentin (neurontin). Tidak seperti sakit neuropatik lainnya,
trigeminal neuralgia hanya merespon anti konvulsan dan tidak merespon anti depresan
6
atau opioid. Obat anti konvulsan dapat mengurangi serangan trigeminal neuralgia
dengan menurunkan hiperaktifitas nukleus nervus trigeminus di dalam brain stem.
(Ganiswara, 1995; Peterson, 1998; Kaufmann AM, 2001; Sharav, 2002; Brice, 2004)
6.1. KARBAMAZEPINE (TEGRETOL)
Karbamazepine memperlihatkan efek analgesik yang selektif misalnya pada tabes
dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi dengan analgesik biasa. Awalnya
obat ini hanya dipergunakan untuk pengobatan trigeminal neuralgia, kemudian
ternyata obat ini efektif juga terhadap bangkitan partial kompleks dan bangkitan
tonik-tonik
seperti epilepsi.
Atas pertimbangan untung
rugi penggunaan
karbamazepine maka tidak dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan yang dapat
diatasi dengan analgesik biasa. Sebagian besar penderita trigeminal neuralgia
mengalami penurunan sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini.
Karena potensi untuk menimbulkan efek samping sangat luas, khususnya
gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan agranulositosis maka
pasien yang akan diterapi dengan obat ini dianjurkan untuk m
elakukan
pemeriksaan nilai basal dari darah dan melakukan pemeriksaan ulang selama
pengobatan.
Efek samping yang timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness, mental
confusion, dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea dan anorexia. Terdapat
juga reaksi serius yang tidak berhubungan dengan dosis yaitu allergic skin rash,
gangguan darah seperti leukopenia atau agranulocytosis, atau aplastic anemia,
keracunan hati, congestive heart failure, halusinasi dan gangguan fungsi seksual.
Pemberian karbamazepine dihentikan jika jumlah leukosit abnormal (rendah). Jika
efek samping yang timbul parah, dosis karbamazepine perhari dapat dikurangi 1-3
perhari, sebelum mencoba menambah dosis perharinya lagi.
Karbamazepine diberikan dengan dosis berkisar 600-1200 mg, dimana hampir
70% memperlihatkan perbaikan gejala. Meta analisa tegretol yang berisi
karbamazepine mempunyai number needed to treat (NNT) 2,6 (2,2 – 3,3). Dosis
dimulai dengan dosis minimal 1-2 pil perhari, yang secara bertahap dapat
ditambah hingga rasa sakit hilang atau mulai timbul efek samping. Selama periode
remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap. Karbamazepine dapat dikombinasi
dengan
fenitoin
atau
baklofen bila
nyeri
membandel,
atau
diubah
ke
oxykarbazepine.
7
6.2. OXYKARBAZEPINE (TRILEPTAL)
Oxikarbazepine merupakan ketoderivat karbamazepine dimana mempunyai efek
samping lebih rendah dibanding dengan karbamazepine dan dapat meredakan
nyeri dengan baik. Trileptal atau oxikarbazepine merupakan suatu bentuk dari
trigretol yang efektif untuk beberapa pasien trigeminal neuralgia.
Dosis umumnya dimulai dengan 2 x 300mg yang secara bertahap ditingkatkan
untuk mengontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 2400-3000mg perhari. Efek
samping yang paling sering adalah nausea, mual, dizziness, fatique dan tremor.
Efek samping yang jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran pernafasan,
pandangan ganda dan perubahan elektrolit darah. Seperti obat anti-seizure lainnya,
penambahan dan pengurangan obat harus secara bertahap.
6.3. PHENYTOIN (DILANTIN)
Phenitoin merupakan golongan hidantoin dimana gugus fenil atau aromatik
lainnya pada atom C5 penting untuk pengendalian bangkitan tonik-klonik.
Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP. Sifat anti
konvulsi obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus
kebagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel lainnya yang juga mudah
terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Phenitoin juga mempengaruhi
perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini khususnya dengan lebih
mengaktifkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-klonik dan beberapa bangkitan
parsial dapat pulih secara sempurna.
Phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan karbamazepine karena
dapat menurunkan dan kadang-kadang menaikkan kadar phenitoin dalam plasma,
sebaiknya diikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.
Phenitoin dengan kadar dalam serum 15-25 g/mL pada 25% pasien trigeminal
neuralgia dapat meredakan nyeri. Kadar obat tersebut diatas dipertahankan selama
3 minggu, jika nyeri tidak berkurang sebaiknya obat dihentikan karena dosis yang
lebih tinggi akan menyebabkan toksisitas.
Phenytoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal neuralgia
dengan dosis 300-500 mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Phenytoin dapat juga
diberikan secara intra vena untuk mengobati kelainan ini dengan eksaserbasi yang
berat. Dosis maksimum tergantung keparahan efek samping yang ditimbulkannya
8
adalah nystagmus, dysarthria, ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta
kebingungan. Efek lainnya adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis.
Komplikasi serius tapi jarang terjadi adalah allergic skin rashes, kerusakan liver
dan gangguan darah.
6.4. BAKLOFEN (LIORESAL)
Baklofen
tidaklah
seefektif
karbamazepine
atau
phenytoin,
tetapi
dapat
dikombinasi dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada pasien yang baru
terdiagnosa dengan rasa nyeri relatif ringan dan tidak dapat mentoleransi
karbamazepine. Dosis awalnya 2-3x5 mg dalam sehari, dan secara bertahap
ditingkatkan. Dosis untuk menghilangkan rasa sakit secara komplit 50-80 mg
perhari. Baklofen memiliki durasi yang pendek sehingga penderita trigeminal
neuralgia yang berat membutuhkan dosis setiap 2-4 jam.
Efek samping yang paling sering timbul karena pemakaian baklo fen adalah
mengantuk, pusing, nausea dan kelemahan kaki. Baklofen tidak boleh dihentikan
secara tiba-tiba setelah pemakaian lama karena dapat terjadi halusinasi atau
serangan jantung.
6.5. GABAPENTIN (NEURONTIN)
Gabapentin
dengan
struktur
sep
erti
neurotransmiter
inhibitor gamma-
aminobutyric acid (GABA). Obat ini kemungkinan bekerja dengan memodulasi
saluran kalsium pada alfa-2 delta subunit dari voltage-dependent calcium chanel.
Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama efektifnya
dengan karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit. Dosis awal biasanya
3x300 mg/hari dan ditambah hingga dosis maksimal. Reaksi merugikan paling
sering adalah somnolen, ataksia, fatique dan nystagmus. Seperti semua obat,
penghentian secara cepat harus dihindari.
KESIMPULAN
Trigeminal neuralgia merupakan salah satu kelanan nyeri orofasial yang
disebabkan adanya gangguan nervus trigeminus. Kelainan ini sangat mengganggu,
sehingga dapat menurunkan kualitas hidup pasien.
Trigeminal neuralgia seyogyanya dapat dibedakan dengan nyeri wajah
lainnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa yang akurat dan mengetahui
9
secara pasti stimulus pencetus dan lokasi nyeri saat pemeriksaan. Kriteria diagnosa
dari trigeminal neuralgia disesuaikan dengan yang dikemukakan oleh klasifikasi
Internasional Headache Society 1988.
Penanganan lini pertama untuk trigeminal neuralgia adalah terapi dengan obatobatan. Tindakan bedah hanya dipertimbangkan apabila terapi dengan obat-obatan
mengalami kegagalan. Hampir 80% terapi dengan obat-obatan dapat mengurangi
penderitaan pasien.
10
DAFTAR PUSTAKA
1. Bryce DD, 2004, Trigeminal Neuralgia. http :// Facial Neuralgia, org/conditins.
2. Fred G. Barker, et al, 2005 , Trigeminal Neuralgia and Hemifacial Spasm Center,
file://G:\Trigeminal
Neuralgia-Hemifacial
Spasm
Homepage
at
M
GH-
Harvard.htm
3. Ganiswara dkk, 1995, Farmakologi dan terapi, edisi 4, Bagian Farmakologi FK UI,
Jakarta
4. Grant SM et al, 1992, Oxacacarbazepine. A Review of its Pharmacology &
Therapeutic Potential in Epilepsy, Trigeminal Neuralgia & Affective disorders, In:
Drugs 43 (6) : 873-81
5.
Kaufman
AM,
2001,
Your
Comp
lete
guide
to
trigeminal
neura
lgia,
http://www.umanitoba.co/cranial nerves
6. Loeser JD, 2001, Cranial Neuralgia, In : Banica’s Management of Pain,
Philadelphia, Lipincott William & Wilkins, co : 855-61
7. Olesen J, 1988, Classification & Diagnostic Criteria for Headache Disorders,
Cranial neuralgias & Facial Pain, 1st ed, Oslo, The Norwegian Univ, Press
8. Passos JH et al, 2001, Trigeminal Neuralgia, in the online Journal of Dentistry &
Oral Medicine, http.//www.epub.org.br/ojdom
9. Peterson EJ, 1988, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Mosby Co., St
louis
10. Rose FC et al, 1977, Carbamazepine in the Treatment of Non-seizure Disorders :
Trigeminal Neuralgia, Other Painful Disorders & Affective Disorders, Rev
Contemp Pharmacother 8: 123-43
11. Sharav Y, 2002, Orofacial Pain : Dental Vascular & Neuropathic, In: Pain-An
Updated Review, Seattle, IASP Press, Hal: 440-2
11
Download