BAB IV PENYELESAIAN KEWAJIBAN BANK PERKREDITAN RAKYAT TERHADAP HAK-HAK NASABAH PENYIMPAN DANA YANG TIDAK DAPAT TERPENUHI DALAM PROSES LIKUIDASI 4.1. Tanggungjawab Bank dan Pemegang Saham Bank Dalam Likuidasi Bahwa dalam proses Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat terhadap pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur yang diperoleh dari hasil pencairan dan/atau penagihan piutang, maka terdapat 3 (tiga) kemungkinan hasil likuidasi adalah sebagai berikut : 1. Aset Positif (Hak > Kewajiban) Dalam hal ini masih terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai. Bila aset positif, maka sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham lama. 2. Aset Nol (Hak = Kewajiban) Dalam hal ini tidak terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah pelaksanaan likuidasi selesai maupun tidak lagi terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan oleh bank. 3. Aset Negatif (Hak < Kewajiban) Dalam hal ini seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain. Bila aset negatif, maka kewajiban 142 tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan bank menjadi bank gagal.169 Bila melihat ketentuan ini, tampak bahwa pemegang saham lama dapat dimintai pertanggungjawaban bila ia terbukti sebagai penyebab bank menjadi bank gagal. Adapun pemegang saham adalah orang-orang, baik perseorangan (Natuurlijke Persoon), maupun badan hukum (Rechtspersoon), yang menyetorkan sejumlah modal untuk suatu jumlah saham tertentu yang diambil bagian olehnya. Dengan demikian, di Indonesia tidak dikenal adanya penyertaan dalam suatu perseroan tanpa adanya setoran dana. Adanya kewajiban pemegang saham lama untuk membayar kewajiban terhadap pihak lain ini merupakan suatu bentuk dari pelaksanaan suatu doktrin piercing the corporate veil yang berasal dari sistem hukum common law. Doktrin ini diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang atau PT lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu PT (badan hukum), tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh PT yang bersangkutan.170 Bahwa ketika penyelesaian kewajiban bank perkreditan rakyat terhadap hakhak nasabah penyimpan dana yang tidak dapat terpenuhi dalam proses likuidasi maka pemegang saham bank wajib mengganti semua kerugian nasabah dengan menyita 169 Undang-undang No.24 tahun 2004 tentang LPS , pasal 54 angka (5) 170 Munir Fuady (b), 2002, Doktrin-doktrin dalam Corporate Law dan Eksistensinya di Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 8 143 seluruh asset-aset pribadi pemegang saham karena kegagalan bank dikarenakan pemegang saham. Bahwa kerugian yang dialami oleh nasabah penyimpan dana tidak lepas dari kesalahan yang yang dilakukan oleh bank. Ada dua macam teori mengenai hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu : 1. Teori Conditio Sine Qua Non Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada. 2. Teori Adequate Veroorzaking Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.171 Kegagalan bank tidak terlepas dari Kelemahan internal industri perbankan terutama juga disebabkan oleh rendahnya kualitas pengelolaan internal yang tercermin dari konsentasi kredit yang berlebihan pada satu grup atau individu, serta campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank.172Sedangkan bank memperoleh dana dari masyarakat yang biasanya digunakan apabila bank mengalami kesulitan untuk memperoleh dana dari luar173. Dana ini dapat disalahgunakan oleh 171 Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT Citra Aditya Bandung, hal 26 172 Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, Op. Cit. hal. 21 173 Soetanto Hadinoto, Op. Cit. hal. 56 144 pemilik dengan memberikan pinjaman kepada orang dalam.174 Hal ini merupakan faktor penyebab utama terjadinya Bank Gagal di banyak negara.175 Sebagai contoh kasus Kerugian yang dialami BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha terjadi karena missmangement dari direksi dan pemegang saham dimana pemegang saham diduga kuat melakukan Penyimpangan misalnya menggunakan dana bank untuk kepentingan pribadi dalam hal pengeluaran kredit yang menyebabkan terjadinya kredit macet di luar kendali dengan modus kredit fiktif, pemegang saham telah mengambil serta memanfaatkan dana bank seenaknya sehingga berujung pada penurunan modal dan menjadikan bank gagal.176 Kredit fiktif yang menumpuk di BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha diawali dengan adanya kerjasama pihak bank dengan lembaga finance dalam hal jualbeli sepeda motor, dimana modus kredit fiktif ini menimbulkan masalah kredit macet. kredit fiktif ini diduga kuat sebagai penyebab dari kegagalan bank dan kesalahan pemberian kredit yang melebihi angka kewajaran kepada satu lembaga finance merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan pihak bank sehinga menguntungkan oknum-oknum tertentu dan merugikan nasabah penyimpan, karena dana mereka telah disalurkan secara tidak jelas. 177 174 Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan Kebijakan Single Presence Policy”, Op.Cit. hal.2 175 Ibid 176 Hasil Wawancara dengan Bapak. Yogie.H.SE, Jabatan Pengawas Bank Pertama, Kantor Bank Indonesia Cabang Denpasar, tanggal 13 Mei 2011 177 Ibid 145 Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan BI dalam keterangan pers terindikasi bahwa BPR.Argawa Utama dan BPR Swasad Artha tidak mentaati rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan. Dikatakan misalnya bank melakukan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit dan melakukan transaksi fiktif. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kredit bermasalah, yaitu:178 a. Faktor intern bank, meliputi: 1. Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan permintaan kredit yang diajukan debitor Rendahnya kemampuan melakukan analisis kredit secara profesional, terutama disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan pengalaman petugas bank (termasuk account officer) menjalankan tugas tersebut. Sedangkan tumpulnya analisis kelayakan kredit seringkali terjadi karena pimpinan bank mendapat tekanan halus atau tidak dari pihak ketiga untuk meluluskan permintaan kredit, karena terjadi kolusi antara pimpinan bank dengan calon debitor, atau karena strategi pemberian kredit yang terlalu ekspansif. Strategi pemberian kredit yang terlalu ekspansif ini timbul, karena bank yang bersangkutan terlalu cepat menghimpun dana dari masyarakat (termasuk deposito), sehingga mendorong mereka untuk menerapkan strategi penyaluran kredit yang melebihi tingkat kewajaran. Kredit yang diberikan tanpa analisis kredit yang profesional, dari semula memang diragukan mutunya. Oleh 178 Sutojo, Siswanto,1997,Menangani Kredit Bermasalah: Konsep, Teknik, dan Kasus, Jakarta: PT.Pustaka Binaman Pressindo, hal. 18-19 146 karena itu, sejak diberikan kredit tersebut memang sudah membawa bibit masalah. 2. Lemahnya sistem informasi kredit serta sistem pengawasan dan administrasi kredit. Lemahnya sistem pengawasan dan administrasi kredit, berakibat pimpinan bank tidak dapat memantau penggunaan kredit serta perkembangan kegiatan usaha maupun kondisi keuangan debitor secara cermat. Akibatnya, mereka tidak dapat melakukan tindakan koreksi apabila terjadi penurunan kondisi bisnis atau keuangan debitor atau terjadi penyimpangan dari ikatan perjanjian kredit. 3. Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham bank dalam keputusan pemberian kredit. Campur tangan pemegang saham yang berlebihan terhadap penerapan kebijaksanaan perkreditan bank dapat menimbulkan pemberian kredit yang menyimpang dari asas perkreditan yang sehat. 4. Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna Jaminan kredit merupakan sumber kedua dana pelunasan kredit. Apabila debitor tidak bersedia melunasi saldo kredit dan bunga yang tertunggak, bank dapat mengeksekusi jaminan guna melunasi pinjaman yang tertunggak. Apabila ikatan jaminan diadakan secara sempurna dan jaminan dapat dieksekusi dengan lancar, maka tunggakan pinjaman debitor dapat diselesaikan dengan cepat. Sebaliknya, apabila pengikatan jaminan tidak dilakukan dengan sempurna, hal tadi dapat mejadi sebab tunggakan pinjaman berkembang menjadi kredit yang harus dihapuskan. 147 b. Faktor debitor, yaitu: Debitor bank terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu perorangan dan perusahaan atau korporasi. Sumber dana pembayaran bunga dan angsuran kredit sebagian besar berasal dari debitor perorangan (consumer debtors) adalah penghasilan tetap mereka, misalnya gaji, upah, honorarium, dan sebagainya. Setiap jenis gangguan terhadap kesinambungan penerimaan penghasilan tetap itu akan mengganggu likuiditas keuangan mereka sehingga menyebabkan ketidaklancaran pembayaran bunga dan/atau cicilan kredit. Penyebab kredit bermasalah perorangan yang lain erat hubungannya dengan gangguan terhadap diri pribadi debitor, misalnya kecelakaan, sakit, kematian, dan perceraian. Sedangkan penyebab kredit korporasi bermasalah pada umumnya disebabkan karena salah arus (missmanagement), dan atau kurangnya pengetahuan dan pengalaman pemilik perusahaan dalam bidang usaha yang mereka jalankan, dan karena adanya penipuan (fraud). c. Faktor Ekstern dari bank Penyebab kredit bermasalah yang dapat dikategorikan sebagai factor ekstern antara lain adalah: 1. Kegagalan usaha debitor, 2. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit, 3. Pemanfaatan iklim persaingan dunia perbankan yang tidak sehat oleh debitor yang tidak bertanggung jawab, dan 4. Musibah yang menimpa perusahaan debitor 148 Bahwa dalam Proses Likuidasi BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha dari asset yang dimiliki oleh BPR dalam likuidasi, ternyata dalam perjalanannya 1 tahun lebih yaitu dari tanggal 18 Mei 2010 sampai dengan sekarang maka dapat dipastikan bahwa asset yang dimiliki oleh Kedua BPR ini Negatif dan tidak mampu memenuhi secara menyeluruh hak-hak dari nasabah BPR tersebut. Adapun jumlah asset dari BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha adalah 179 DATA ASSET Asset BPR.Argawa Utama Rp 2,37 miliar Asset Negatif Asset BPR. Swasad Artha mencapai Rp 9,18 miliar Asset Negatif Simpanan Link Cage Mencapai Rp.50 milyar Belum terpenuhi Program dari Bank lain Pemimpin Bank Indonesia Denpasar Jeffrey Kairupan didampingi Deputi PBI Wijoyo Santoso dan salah satu pejabat PBI Denpasar lainnya Rusdi Harsono, menyatakan :180 bahwa mengenai penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan kedua BPR ini, Jeffrey mengatakan, kedua BPR tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit sehingga menyebabkan angka kredit macetnya membengkak alias 179 Hasil wawancara dengan Bapak Burhanudin Syarif SE, Jabatan Ketua Tim Likuidasi BPR. Argawa Utama, tanggal 6 Juni 2011 180 Kredit Macet, BI Tutup Dua BPR www.bisnisbali.com diakses 18 Mei 2011 149 mendekati 100 persen. Kredit macet ini muncul sebagai akibat banyaknya kredit fiktif terutama untuk membiayai diler motor dan mobil. “Setelah dicek banyak data yang tidak sesuai baik itu dari nama, jaminan yang tidak jelas atau mendekati bodong,” jelasnya. Hingga April, aset BPR Swasad Artha Rp 2,37 milyar, dan jumlah kerugian komulatif Rp 30 milyar, penghimpunan dana pihak ketiganya Rp 43 juta. Jumlah penabung 1.588 rekening, dengan debitur 4.118 rekening. Sedangkan Argawa Utama hingga April asetnya Rp 9,18 milyar, dan jumlah kerugian komulatif Rp 14 milyar, DPK Rp 4 juta dengan jumlah penabung 371 rekening dan debitur 2.280 rekening. Yang agak miris, dana linkage program dari sejumlah bank umum utamanya Bank Negara Indonesia (BNI) masih nyangkut di kedua BPR ini yakni Rp 50 milyar lebih. Jeffrey mengatakan, masalah ini segera mendapat penanganan sesuai ketentuan yang ada. Dengan adanya kerugian dari nasabah penyimpan dana yang tidak ditanggung oleh LPS dan tidak terpenuhi dalam proses likuidasi maka bank harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan dan mengembalikan Hak-hak nasabah penyimpan dana. Tanggung jawab menurut pengertian hukum adalah kewajiban memikul pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam administrasi. Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. 150 Di bidang hukum perdata, kualifikasi pertanggungjawaban pelaku usaha yang merugikan konsumen sering digunakan sarana wanprestasi (default) dan perbuatan melawan hukum (tort) berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. hubungan hukum yang dilakukan antara bank dan nasabah Penyimpan dana dimulai dengan kontrak secara tertulis sehingga telah memasuki ranah hukum perdata apabila salah satu pihak merugikan pihak yang lainnya dengan tidak memenuhi isi kontrak tersebut.. Sebagaimana Disebutkan dalam buku Faculty Of Law Advanced Law Courses In English bahwa kontrak merupakan salah satu subjek hukum perdata “Subjects of private law (contracts), pre contractual negotiations, the formation of contracts, vitianting factors, interpretation of contracts, standard (unfair) contract terms, performance and non performance and remedies”181 Secara umum prinsip pertanggung jawaban perdata muncul karena adanya kerugian bagi satu pihak akibat perbuatan pihak lain. Kerugian yang dimaksud dalam hal ini adalah yang sejalan dengan pengertian Pasal 1246 KUHPerdata yaitu: 1) Berupa biaya, yaitu segala dana pengeluaran atau ongkos-ongkos yang secara faktuil telah dikeluarkan; 2) Berupa kerugian, yaitu segala kerugian akibat kerusakan barang-barang milik kreditur yang disebabkan kelalaian debitur; 3) Berupa bunga, yaitu segala keuntungan yang harus menjadi hak kreditur Jika debitur tidak melakukan suatu kelalaian. 181 Faculty Of Law Advanced Law Courses In English,2000-2001, Universiteit Maastricht, hal. 31 151 Setiap negara yang melakukan pembangunan, tentu memerlukan dana untuk membiayai pembangunan itu.182 Sedangkan dana tersebut dapat ditempuh dengan jalan menghimpun/menarik dana-dana yang ada pada masyarakat dalam bentuk tabungan.183 Oleh karena itu, bank bertanggung jawab terhadap keselamatan uang yang dipercayakan kepadanya.184 Tanggung jawab bank dapat juga diperinci sebagai berikut:185 1. Menerima cash dan membayar dokumentasi yang mesti dibayar oleh nasabah seperti cek, pengiriman uang, bills of exchange dan instrumen perbankan lainnya 2. Membayar kembali uang nasabah yang ditempatkan di bank tersebut apabila dimintakan oleh pihak nasabah 3. Meminjamkan uang kepada nasabah 4. Menjaga kerahasiaan terhadap account dari nasabah dalam hubungan dengan kerahasiaan bank, kecuali apabila ditentukan lain oleh perundang-undangan 5. Jika pihak nasabah mempunyai dua rekening, maka ada kewajiban moral bagi bank untuk membuat rekening tersebut berpisah satu sama lain Berdasarkan tanggungjawab di atas maka bank memiliki sebuah kewajiban untuk mengembaikan uang nasabah tersebut apabila dimintakan oleh pihak nasabah 182 Soetanto Hadinoto, Op. Cit. hal. 47 183 Ibid., hal. 42 184 Zulkarnain Sitompul,2007, &Library,Bandung, hal. 43 185 Lembaga Penjamin Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Op. Cit. hal. 16 152 Simpanan, Books Terrace penyimpaan dana untuk menyelesaikan hak-hak nasabah penyimpan dana. Asas tanggung jawab dapat diterima karena adil bagi yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain , tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Teori schutnorm mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan tanggung jawabnya karena melakukan perbuatan melawan hukum, maka tidak cukup hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi, perlu ditunjukkan bahwa norma atau peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk melindungi terhadap kepentingan korban yang dilanggar.186 Dalam hukum perbankan yang secara tegas mengatur pemilik bank bertanggung jawab penuh atas kewajiban bank apabila mereka ikut menyebabkan terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-undang Perbankan sebagaimana tercantum dalam Pasal 50 (A) mengancam pemegang saham dengan pidana penjara minimal 7 tahun dan paling lama 15 tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar maksimal 200 Milyar, apabila pemegang saham menyuruh dewan komisaris, direksi atau pegawai bank lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap hukum perbankan. Ancaman pidana yang sama juga berlaku bagi komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan bank. 186 Setiawan,Op Cit Hal. 16 153 Dengan kondisi seperti itu dalam ketentuan hukum perbankan sebagaimana dikemukakan di atas hal ini menimbulkan konsekuensi hukum, antara lain:187 1. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham telah hilang sehingga mereka bertanggung jawab secara pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus diambil untuk membayar seluruh kewajiban bank 2. Komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya yang bukan pemegang saham juga ikut bertanggung jawab secara pribadi karena tidak mengurus bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka juga dapat diambil untuk membayar kewajiban bank. Sedangkan ancaman pidana juga perlu diterapkan. Sehubungan dengan pemenuhan piutang tersebut maka disini mengacu pada pasal 1131 KUH Perdata, yang antara lain disebutkan bahwa : “Segala kebendaan si berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Dalam pasal 1132 KUH Perdata, yang lain disebutkan bahwa : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. 187 Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Problematika Perbankan, Books Terrace & Library,Bandung, hal. 323 154 4.2 Tangung jawab bank sebagai badan hukum Perseroan Terbatas Bahwa Pasal 21 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bentuk hukum suatu bank umum Dan bank Perkreditan Rakyat dapat berupa Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah. Bentuk badan hukum dari BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha adalah Perseroan Terbatas. Perbankan di Indonesia banyak memakai bentuk hukum PT yang mengacu pada Undang-Undang No.40 Tahun 2007. Menurut Rudy Prasetya, PT mempunyai tiga karakteristik dominan, yaitu:188 1. Pertanggungjawaban yang timbul semata-mata dibebankan kepada harta kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi. 2. Sifat mobilitas atas hak penyertaan 3. Prinsip pengurusan oleh organ. Bank yang berbentuk PT mempunyai tiga lembaga atau institusi pengurus, yakni:189 1. Komisaris yaitu suatu lembaga yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mewakili pemegang saham yang tugasnya mengawasi, memberikan nasehat dan dalam hal tertentu memberikan persetujuan.190 188 Gunarto Suhardi, 1995, Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuhan Perbankan Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12 189 Ibid., hal. 15 190 Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 108 155 2. Direksi, yang terdiri dari Direktur Utama dan beberapa direktur lainnya. Direksi inilah yang sehari-harinya melaksanakan tugas sebagai pengurus bank.191 3. RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada organisasi bank yang berbentuk PT. Organ inilah yang memilih dan menetapkan siapa yang menjadi komisaris dan Direksi dalam PT.192 Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang memiliki hak dan tanggung jawab terpisah dengan pemegang sahamnya. Sebagai badan hukum PT memiliki utang dan kewajiban lainnya atas namanya sendiri. Artinya utang dan kewajiabn tersebut bukan tanggung jawab pemegang saham. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila : a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; 191 Ibid, Pasal 92 192 Ibid, Pasal 75 156 c. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007, menyatakan Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Pasal 97 ayat (1) menyatakan, Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) tersebut di atas. Ayat (2) pasal ini menyatakan, pengurusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan, setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Dalam hal Direksi terdiri dari 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, maka tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi (ayat 4). Pasal 97 ayat (5) menyatakan anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila dapat membuktikan : 157 a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Demikian pula sebaliknya perseroan tidak bertanggung jawab terhadap utang dan kewajiban para pemegang sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat dikecualikan apabila terdapat kondisi yang dalam hukum perusahaan disebut pierce the corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis adalah 193 - pertama, terjadi penipuan (fraud) atau ketidakadilan (unfairness) bagi pihak ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan perseroan. - Kedua, pemegang saham tidak memperlakukan perseroan sebagai badan yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi. - Ketiga, perseroan kekurangan modal. - Keempat, kondisi lainnya yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness) apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Piercing the corporate veil dapat pula dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan untuk 193 Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Makalah Pilars No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, hal. 2 158 mencegah terjadinya penipuan atau untuk menciptakan keseimbangan (equity). Sementara itu teori hukum perusahaan mengajarkan bahwa PT harus dikelola sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar perseroan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Anggaran dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan dengan pemerintah. Terkait erat dan masalah tujuan adalah masalah kewenangan. Direksi wajib menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan tersebut. Direksi memiliki resonable discretion yang harus dijalankan dengan iktikad baik untuk mencapai tujuan perusahaan. Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu kecuali mereka bersalah karena melakukan penipuan (fraud) dan misappropriation Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan atau kewenangannya maka secara hukum direksi telah melakukan ultra vires (diluar kewenangan). Konsekwensinya membayar ganti rugi dan ancaman pidana serta keterkaitannya dengan keabsahan perjanjian.194 UUPT ternyata mengakui prinsip personal liability dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota Direksi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT. Menurut Pasal 104 ayat (2) UUPT, bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Ketentuan ini ada persamaan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) KUHD yang menyatakan bahwa 194 Ibid 159 apabila Perseroan menderita kerugian sebesar 75% dari modal dasar, Perseroan itu demi hukum bubar dan para pengurusnya dengan diri sendiri secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap pihak ketiga atas segala perikatan yang telah mereka lakukan. Karena itu, berdasarkan Pasal 104 ayat (2) UUPT ini, seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum ketika Perseroan pailit sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurusi Perseroan.195 Dari bunyi Pasal 104 ayat (2) UUPT tersebut, dapat diketahui pula kalau UUPT membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung jawab anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu: 1. Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika Perseroan dinyatakan pailit sesuai dengan prosedur yang berlaku. Artinya, jika Perseroan dibubarkan tanpa melalui prosedur kepailitan, dengan sendirinya anggota Direksi terlepas dari tanggung jawab secara pribadi tersebut; 2. Ada unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi dalam mengurusi dan mewakili Perseroan. Artinya, tanggung jawab secara pribadi anggota Direksi akan terkait dengan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dalam mengurusi dan mewakili Perseroan; 195 Rachmadi Usman,2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,PT.Alumni, Bandung,, hal. 181 160 3. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut bersifat residual, artinya anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab bila kekayaan Perseroan tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut; 4. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut juga bersifat tanggung renteng, artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu dilakukan seorang anggota Direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk ikut bertanggung jawab. Sebab menurut UUPT tugas dan kewajiban pengurusan dan perwakilan Perseroan dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota Direksi. Pengecualian ini sejalan dengan prinsip tanggung jawab kolegial yang dianut UUPT. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut UUPT anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi jika Perseroan pailit sebagai akibat dari kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan kepengurusan dan perwakilan Perseroan yang mengakibatkan Perseroan jatuh pailit. Meskipun demikian, UUPT masih membuat beberapa pengecualian, atas tanggung jawab pribadi anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu: Perseroan dibubarkan karena pailit; adanya kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan tugas, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangannya; tanggung jawab anggot Direksi bersifat residual dan secara renteng diantara anggota Direksi. Dalam hal ini menurut UUPT yang bertanggung jawab tidak hanya perusahaan, tetapi juga adalah anggota Direksinya. Sementara itu, menurut sistem hukum Common Law, tanggung jawab pribadi seorang Direksi akan terjadi bila dirinya memenuhi syarat-syarat 161 tertentu mengenai keterlibatannya dalam perbuatan yang dilakukannya. Direksi yang bersangkutan dapat pula dibebaskan dari tanggung jawab pribadi jika perbuatan atau tindakan yang dilakukannya didasarkan pada standar kehati-hatian. 4.3 Pertanggungjawaban Pidana Direksi Perseroan Didalam Pasal 155 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 disebutkan bahwa, ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana. Hal ini berarti bahwa, organ organ Perseroan seperti Direksi dan Dewan Komisaris dapat dikenai sanksi pidana apabila Direksi dan Dewan Komisaris tersebut melakukan pelanggaran pidana dalam hal melakukan pengurusan maupun pengawasan terhadap Perseroan. Ketentuan pidana mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tersebar dalam beberapa ketentuan, yakni pasal 226 dan 396 sampai pasal 403 KUHP. Ketentuan pidana dalam KUHP tersebut berkaitan dengan pelaksanaan pemberesan harta pailit lebih lanjut dalam hal status pailit sudah diputuskan oleh hakim (pasal 226, pasal 396, pasal 400 sampai Pasal 402 KUHP) serta penyebab adanya kepailitan (Pasal 396, 397, 398, 399, 403 KUHP). Pengaturan pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan berkaitan dengan perbuatan perbuatan sebagai berikut: 1) Tidak mau hadir atau tidak memberikan/memberikan keterangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP); 162 2) Perbuatan debitur pailit yang merugikan kreditur (Pasal 396 KUHP); 3) Perbuatan debitur yang memindahtangankan harta sehingga merugikan para kreditor dan menyebabkan pailit (Pasal 397 KUHP); 4) Perbuatan Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan yang menyebabkan kerugian Perseroan baik sebelum atau setelah pailit (Pasal 398 dan 399 KUHP); 5) Perbuatan menipu oleh debitur pailit kepada para kreditur (Pasal 400 KUHP); 6) Kesepakatan curang antara debitur pailit dengan kreditur dalam rangka penawaran perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP); 7) Tindakan debitur pailit yang mengurangi hak-hak kreditur (Pasal 402 KUHP); 8) Perbuatan Direksi Perseroan Terbatas yang bertentangan dengan anggaran dasar (Pasal 403 KUHP). Apabila yang pailit adalah Perseroan, maka ketentuan pidana akan dikenakan pada Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan bahkan pemegang saham pun tidak bisa lepas dari ketentuan pidana. Jika debitur pailit adalah Perseroan, maka yang bisa ditindak berdasarkan ketentuan Pasal 398 dan 399 KUHP adalah Direktur maupun Komisarisnya, jika mereka melakukan:196 a. Turut serta atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar Perseroan dan perbuatan-perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian sehingga Perseroan jatuh pailit. 196 M. Hadi Shubhan,2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Kencana,Jakarta, hal. 183-184 163 b. Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan Perseroan. c. Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UUPT dan anggaran dasar Perseroan. Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP mengatur mengenai penyebab kepailitan yang didasari tindakan pidana, hal itu harus memenuhi kriteria pidananya, yakni dalam hal pasal 396 KUHP : 1. Pengeluaran melewati batas kehidupan sehari-hari/terlalu boros; atau 2. Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa hal itu tidak menolong kepailitannya; atau 3. Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan (coretan-coretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHD. Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam pasal 397 KUHP, yakni: 197 1) Ada tiga macam perbuatan: Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada Tidak membukukan suatu pendapatan Menyisihkan atau menarik suatu barang dari budel. 2) Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau dengan terang-terangan di bawah harga. 197 Deni Kailimang, Aspek-Aspek Pidana Dalam Kepailitan, dalam Buku : Ruddhy A. Lontoh, Deni Kailimang, Benny Ponto, 2001, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, hal. 325-326 164 3) Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditur. 4) Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD. Hal ini berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah perbuatan kriminal, meskipun nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan. Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitur untuk membayar uatang-utangnya. Dengan demikian subjek hukum yang telah dinyatakan pailit tidak sama dengan bahwa la telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur dan kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut di atas. Apabila dicermati tahap likuidasi pada dasarnya memiliki kesamaan dengan tahap insolvensi dalam kepailitan. Dengan masuknya perseroan dalam periode insolvensi, maka perseroan itu bubar. Namun hal itu tidaklah berarti bahwa perseroan bubar atau menghilang begitu saja. Sebab, setelah itu menyusul masa yang disebut sebagai masa pemberesan (vereffening). Selama masa pemberesan itu eksistensi perseroan dapat dipertahankan sejauh hal itu dibutuhkan bagi proses pemberesan. Begitu pula dengan tahapan likuidasi bank juga tetap dipertahankan eksistensinya selama masih dibutuhkan bagi proses pemberesan. 198 Tapi terdapat satu perbedaan, tahap insolvensi dalam kepailitan masih memungkinkan si pailit melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta kekayaan. Misalnya perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi keuntungan bagi boedel si pailit. Masih dikemungkinkan dioperasikannya perusahaan 198 Ibid 165 tersebut agar dapat menambah harta kepailitan.Adanya persamaan likuidasi dengan tahap insolvensi dalam suatu kepailitan sehingga dapat dianalogikan kedudukan Kurator dengan kedudukan tim likuidasi yang akan dijelaskan berikut ini. Menurut Peraturan Kepailitan tersebut usaha seseorang dinyatakan pailit melalui putusan kepailitan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, dalam putusan tersebut diantaranya ditetapkan hakim komisaris, tim panitia sementara kreditur dan wewenang yang diberikan kepada kurator untuk mengurus harta pailit(boedel) sedangkan likuidasi yang menurut hukum perseroan dapat terjadi karena putusan Pengadilan Negeri atau tanpa putusan Pengadilan Negeri- Likuidasi tanpa putusan Pengadilan Negeri terjadi misalnya : - Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan tersebut. - Jangka waktu berdiri perseroan telah habis (75 tahun), dan tidak diperpanjang lagi. - Perseroan melakukan Merger atau Konsolidasi. - Karena perseroan telah menderita kerugian yang mencapai 75% dari jumlah modal yang telah ditempatkan. - Karena kepailitan, lalu disusul dengan pembubaran. Likuidasi dengan putusan Pengadilan Negeri dapat terjadi apabila perseroan dalam tindakannya untuk mencapai tujuannya melanggar kesusilaan atau ketertiban umum. Sebagaimana likuidasi menurut hukum perseroan maka dalam likuidasi yang 166 berdasarkan pasal 37 ayat 2 dan ayat 3 dapat juga terjadi tidak dengan penetapan pengadilan bilamana direksi sendiri yang melikuidasi bank tersebut atas perintah Pimpinan Bank Indonesia atau dengan suatu penetapan pengadilan bilamana direksi tersebut tidak melikuidasi bank sebagaimana yang diperintahkan Pimpinan Bank Indonesia. Dalam Peraturan kepailitan Kurator yang berwenang untuk mengurusan dan pemberesan harta pailit (pasal 69 ayat 1) sedangkan dalam likuidasi pihak yang bertugas dan berwenang adalah Tim likuidasi. Peran tim likuidasi dalam hal ini dapat dianalogikan dengan Balai Harta Peninggalan karena terdapatnya persamaan dalam tugas dan wewenangnya. Dapat disebut diantaranya untuk menyusun daftar piutang atau tagihan yang masih bersifat sementara untuk kemudian mendapatkan pengesahan dalam rapat verifikasi, adapun tujuan atau maksud diadakannya rapat verifikasi berdasarkan Peraturan Kepailitan : 1. Menetapkan siapa yang dianggap kreditur yang sah 2. Membuka kemungkinan bagi para kreditur untuk memasukkan penagihan, paling lambat dua hari sebelum rapat verifikasi 3. Membuka kemungkinan diadakannya perukunan (accord)199 199 Victor M.Situmorang dan Hendri Soekarso,1994, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,hal 63 167 Mengenai poin ketiga dalam likuidasi bank tidak dikenal adanya suatu perukunan (accord), karena bila dianalogikan dengan tahap insolvensi maka accord tersebut sudah tidak dimungkinkan. Sebelum memutuskan status tagihan-tagihan tersebut dalam rapat verifikasi akan diperhatikan status harta kreditur, oleh sebab itu para kreditur akan digolonggolongkan terlebih dahulu. Setelah selesainya rapat ventilasi, dilakukan penjualan terhadap harta kekayaan dari debitur dan hasilnya dibagi-bagikan kepada para kreditur dengan mengindahkan piutang dari pada para kreditur preferen. 4.4 Upaya Hukum Penyelesaian Hak-Hak Nasabah Penyimpan Dana Yang Tidak Terpenuhi Dalam Proses Likuidasi Langkah hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah untuk memperoleh haknya yang tidak terpenuhi dalam proses likuidasi adalah :200 Langkah Hukum Nasabah Penyimpan Dana Mengajukan Kepailitan Laporan Pidana Terhadap Badan Hukum Bank Perbankan (kredit fiktif) Gugataan Perdata di Peradilan Umum terkait Perbuatan Melawan Hukum 200 Hasil wawancara dengan Bapak Burhanudin Syarif SE, Jabatan Ketua Tim Likuidasi BPR. Argawa Utama, tanggal 6 Juni 2011 168 Nasabah penyimpan BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, untuk wilayah Bali maka Pengadilan Niaga yang berwenang adalah Pengadilan Niaga Surabaya. Dalam menjalankan fungsi pengurusan Perseroan, kepailitan Perseroan merupakan suatu fenomena hukum Perseroan yang sangat ditakuti, baik oleh pemegang saham maupun oleh Direksi sebagai organ yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan. Karena dengan kepailitan Perseroan, maka perusahaan telah gagal dalam membayar utangutangnya.201 Ketika nasabah penyimpan dana sebagai kreditur tidak mendapatkan hakhaknya dalam proses likuidasi maka kreditur dapat mengajukan kepailitan terhadap badan hukum bank yang mana untuk melakukan sita umum dan apabila penyebab pailitnya bank tersebut adalah karena kesalahan dari pemegang saham maupun institusi pengurus perusahaan maka terhadap asest-aset pribadi dari pemegang saham dapat dijadikan sarana pembayaran bagi kreditur. Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebh kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit 201 Munir Fuady,2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global,Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 75 169 dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditur tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur pailit.202 Putusan kepailitan mengakibatkan harta pailit berada dalam sitaan umum. Nasabah penyimpan dana dapat juga menempuh jalur Pidana yaitu dengan melaporkan piha debitur ke pihak kepolisian terkait kredit-kredit fiktif yang jelasjelas sebagai penyebab kegagalan bank dan berakibat merugikan nasabah penyimpan dana pada BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha, penyimpangan dan pelanggaran kredit fiktif tersebut merupakan bentuk tindak pidana perbankan yang penanganannya harus melibatkan beberapa pihak terkait yaitu Pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Bank Indonesia sebagai Pengawas Bank Nasabah penyimpan dana dapat juga menumpuh upaya hukum perdata melalui peradilan umum, yaitu mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri terkait perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 1365 KUHPer yang dilakukan pemegang saham dan diriksi yang tidak menjalankan pengelolaan bank secara hati-hati dan benar sehingga merugikan nasabah penyimpan dana. 202 Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2009, USU Press, Medan, hal. 38 170 Adapun dasar secara perdata dari pengelolaan Perseroan oleh Direksi, wajib dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab Dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Demikian juga pada Pasal 1339 yang menyatakan : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Dalam hukum perdata, selain ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang telah diuraikan di atas, jika dalam pelaksanaan tugasnya anggota Direksi melakukan pelanggaran hukum, maka dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan : “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga dapat yang disebabkan karena kelalaiannya atau karena kekurang hati-hatiannya”. Oleh karena itu prinsip pengelolaan Perseroan yang diatur secara normatif dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, bila dilanggar dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum perdata. Pertanggung jawaban secara perdata oleh Direksi ini 171 adalah sebagai akibat dari pengelolaan Perseroan yang salah, atau telah melakukan pelanggaran dan melanggar prinsip itikad baik yang mengakibatkan kerugian. Bahwa doktrin “Piercing The Corporate Veil “secara tidak langsung merupakan bentuk konsepsi hukum yang berakibat mengaburkan makna dan esensi dari Undang-undang Perseroan Terbatas di indonesia dimana dalam Undang-undang PT membatasi Tanggung jawab Pemegang saham sebatas pada saham yang dikeluarkannya, namun apabila terjadi Corporation Crime yang benar-benarr bisa dibuktikan di depan pengadilan yang menyatakan pemegang saham bersalah melakukan tindakan kejahatan perusahaan untuk keuntungannya sendiri maka doktrin ini dapat berlaku secara penuh untuk mempertanggugajawabkan tindakan Pemegang saham tersebut. CONTOH PUTUSAN Putusan menghukum pemegang saham bank untuk membayar kewajiban bank kepada kreditur dengan ikut bertanggung jawab secara pribadi (sampai dengan Harta benda mereka juga dapat diambil untuk membayar kewajiban bank). “Piercing The Corporate Veil”203 Suatu putusan Mahkamah Agung yang menarik lainnya pada tahun 1996, ketika Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas baru berlaku, berkenaandengan Direksi yang tidak beritikad baik. 203 Erman Rajagukguk , 2007, makalah Pengelolaan Perusahaan Yang Baik : Tanggung Jawab Pemegang Saham, Komisaris, Dan Direksi, diakses 16 Mei 2011 172 Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan Direksi wajib menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perusahaan. Setiap anggota Direksi bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut (ayat 2). Ketentuan ini sama dengan Pasal 97 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Perseroan yang baru. Dalam perkara PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996), Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Menurut Mahkamah Agung, pertanggungjawaban suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan kepada para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama P.T. mengandung persekongkolan dengan itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Dalam perkara ini Tergugat II, III, IV dan V sebagai Direksi atau Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia dan sekaligus pula sebagai Direksi atau Komisaris PT. Djaja Tunggal (Tergugat I), meminjamkan uang kepada Tergugat I tanpa analisis kredit. Mereka pun sudah tahu anggunan kredit tersebut adalah tanah Hak Guna Bangunan sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1980, sehingga sudah menjadi Tanah Negara. Sengketa ini bermula dari PT. Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT. Djaja Tunggal, yang setelah beberapa kali diperpanjang berjumlah Rp. 5.502.293.038,84,-. Perjanjian kredit diberikan dengan jaminan tanah 173 Hak Guna Bangunan No. 39 dan No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaja Tunggal. Pada saat semua pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, PT. Djaja Tunggal tidak dapat membayar. Perusahaan ini berhenti beroperasi karena menderita rugi 75%, sehingga perusahaan menyatakan diri tidak mampu membayar hutangnya kepada Penggugat dalam keadaan insolvensi. Ternyata Direktur dan Komisaris Bank pemberi kredit sama orangnya dengan Direktur dan Komisaris PT. Djaja Tunggal. Ternyata pula, anggunan tanah Hak Guna Bangunan No. 39 dan 40 telah habis masa berlakunya, sehingga statusnya menjadi tanah negara. Kekalutan PT. Bank Perkembangan Asia menyebabkan Bank Indonesia mengganti pengurus Bank, dan Bank mengajukan gugatan kepada bekas Direksi dan Komisarisnya serta PT. Djaja Tunggal. Dalam jawabannya, para Tergugat menyatakan, antara lain, hutang tersebut adalah hutang PT. Djaja Tunggal dan karenanya menjadi tanggung jawab PT. Djaja Tunggal, sebatas harta kekayaan perusahaan tersebut. Oleh karenanya Tergugat II dan sampai V secara pribadi tidak harus dimintai tanggung jawab terhadap hutang PT. Djaja Tunggal (Tergugat I). Pengadilan Negeri Bogor dalam putusannya, antara lain, menyatakan : 1. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal berhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83,-. 174 2. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada Penggugat. 3. Tergugat II-III-IV-V-VI dan VII melakukan perbuatan melawan hukum oleh pengurus. 4. Menghukum Tergugat I, PT. Djaja Tunggal untuk mengembalikan seluruh pinjamannya berikut bunga Rp. 5.502.293.038,83,-. 5. Menghukum Tergugat II-III-IV-V-VI-VII untuk membayar ganti kerugian Rp.100.0000.000,- secara tunai kepada Penggugat.204 Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bogor tersebut di atas.205 Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, adalah merupakan fakta, bahwa yang menjadi pengurus dari Tergugat I adalah bersamaan pula dengan pengurus dari Penggugat sebelum Penggugat sebagai PT. Bank Perkembagan Asia diambil alih Bank Indonesia karena mengalami kekalahan kliring. Dengan demikian pada diri Tergugat I dan Penggugat I pada saat terjadi pemberian kredit bersatu pada diri Tergugat II sampai dengan V. Jadi pada saat perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dari Penggugat dan Tergugat sebagai Badan Hukum (PT) bersatu pada diri para tergugat tersebut. Berdasarkan fakta dimaksud dihubungkan dengan cara pemberian kredit dari Penggugat yang nota bene dikuasai oleh para Tergugat II-V, yang diberikan kepada 204 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 136/Pdt.G/1987/PN.Bgr(1988) 205 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 431/Pdt/1989/PT.Bdg (1990). 175 perusahaan yang mereka kuasai pula (Tergugat I : PT. Djaja Tunggal), dapat diduga adanya persekongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I, II, III, IV dan V. Dalam kasus seperti ini telah dikembangkan suatu ajaran hukum yang disebut “piercing the corporate veil” yakni pembatasan pertanggung jawaban dari suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan kepada pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama P.T. mengandung persekongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Dalam perkara ini para Tergugat II, III, IV dan V sebagai pengurus dari PT. Perkembangan Asia (Penggugat) dan sekaligus pula pengurus dari Tergugat I (PT. Djaja Tunggal) dengan itikad buruk meminjamkan uang kepada Tergugat tanpa analisis kredit serta agunannya pun Hak Guna Bangunan (HGB) No. 39-40 yang mereka sendiri tahu sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1980. Dengan demikian kerugian yang diderita Penggugat tidak hanya dibebankan kepada Tergugat I, tapi meliputi Tergugat II, III, IV dan V secara tanggung renteng. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 12 Februari 1990. Mahkamah Agung memutuskan, antara lain, menyatakan Tergugat I, II, III, IV dan V berhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83,-. Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar hutang tersebut secara tanggung renteng.206 206 PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996) 176