BAB 4 sukses cocok

advertisement
BAB IV
PENYELESAIAN KEWAJIBAN BANK PERKREDITAN RAKYAT
TERHADAP HAK-HAK NASABAH PENYIMPAN DANA YANG TIDAK
DAPAT TERPENUHI DALAM PROSES LIKUIDASI
4.1. Tanggungjawab Bank dan Pemegang Saham Bank Dalam Likuidasi
Bahwa dalam proses Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat terhadap pembayaran
kewajiban bank kepada para kreditur yang diperoleh dari hasil pencairan dan/atau
penagihan piutang, maka terdapat 3 (tiga) kemungkinan hasil likuidasi adalah sebagai
berikut :
1. Aset Positif (Hak > Kewajiban)
Dalam hal ini masih terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah
pelaksanaan likuidasi selesai. Bila aset positif, maka sisa tersebut diserahkan
kepada pemegang saham lama.
2. Aset Nol (Hak = Kewajiban)
Dalam hal ini tidak terdapat sisa hasil likuidasi dan/atau sisa aset setelah
pelaksanaan likuidasi selesai maupun tidak lagi terdapat kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh bank.
3. Aset Negatif (Hak < Kewajiban)
Dalam hal ini seluruh aset bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih
terdapat kewajiban bank terhadap pihak lain. Bila aset negatif, maka kewajiban
142
tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan
bank menjadi bank gagal.169
Bila melihat ketentuan ini, tampak bahwa pemegang saham lama dapat
dimintai pertanggungjawaban bila ia terbukti sebagai penyebab bank menjadi bank
gagal. Adapun pemegang saham adalah orang-orang, baik perseorangan (Natuurlijke
Persoon), maupun badan hukum (Rechtspersoon), yang menyetorkan sejumlah modal
untuk suatu jumlah saham tertentu yang diambil bagian olehnya. Dengan demikian,
di Indonesia tidak dikenal adanya penyertaan dalam suatu perseroan tanpa adanya
setoran dana.
Adanya kewajiban pemegang saham lama untuk membayar kewajiban
terhadap pihak lain ini merupakan suatu bentuk dari pelaksanaan suatu doktrin
piercing the corporate veil yang berasal dari sistem hukum common law. Doktrin ini
diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang
atau PT lain atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh suatu PT (badan hukum),
tanpa melihat kepada fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan oleh PT
yang bersangkutan.170
Bahwa ketika penyelesaian kewajiban bank perkreditan rakyat terhadap hakhak nasabah penyimpan dana yang tidak dapat terpenuhi dalam proses likuidasi maka
pemegang saham bank wajib mengganti semua kerugian nasabah dengan menyita
169
Undang-undang No.24 tahun 2004 tentang LPS , pasal 54 angka (5)
170
Munir Fuady (b), 2002, Doktrin-doktrin dalam Corporate Law dan Eksistensinya di
Indonesia,Citra Aditya Bakti,Bandung, hal. 8
143
seluruh asset-aset pribadi pemegang saham karena kegagalan bank dikarenakan
pemegang saham. Bahwa kerugian yang dialami oleh nasabah penyimpan dana tidak
lepas dari kesalahan yang yang dilakukan oleh bank. Ada dua macam teori mengenai
hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian, yaitu :
1. Teori Conditio Sine Qua Non
Oleh Von Buri, yang mengemukakan suatu hal adalah sebab dari suatu akibat
dan akibat tidak akan terjadi jika sebab itu tidak ada.
2. Teori Adequate Veroorzaking
Oleh Von Kries, yang menyatakan bahwa suatu hal baru dapat dikatakan
sebab dari suatu akibat jika menurut pengalaman manusia dapat diperkirakan
terlebih dahulu bahwa sebab itu akan diikuti oleh akibat.171
Kegagalan bank tidak terlepas dari Kelemahan internal industri perbankan
terutama juga disebabkan oleh rendahnya kualitas pengelolaan internal yang
tercermin dari konsentasi kredit yang berlebihan pada satu grup atau individu, serta
campur tangan pemilik yang berlebihan dalam manajemen bank.172Sedangkan bank
memperoleh dana dari masyarakat yang biasanya digunakan apabila bank mengalami
kesulitan untuk memperoleh dana dari luar173. Dana ini dapat disalahgunakan oleh
171
Shofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, PT
Citra Aditya Bandung, hal 26
172
Zulkarnain Sitompul, Lembaga Penjamin Simpanan, Op. Cit. hal. 21
173
Soetanto Hadinoto, Op. Cit. hal. 56
144
pemilik dengan memberikan pinjaman kepada orang dalam.174 Hal ini merupakan
faktor penyebab utama terjadinya Bank Gagal di banyak negara.175
Sebagai contoh kasus Kerugian yang dialami BPR Argawa Utama dan BPR
Swasad Artha terjadi karena missmangement dari direksi dan pemegang saham
dimana pemegang saham diduga kuat melakukan Penyimpangan misalnya
menggunakan dana bank untuk kepentingan pribadi dalam hal pengeluaran kredit
yang menyebabkan terjadinya kredit macet di luar kendali dengan modus kredit fiktif,
pemegang saham telah mengambil serta memanfaatkan dana bank seenaknya
sehingga berujung pada penurunan modal dan menjadikan bank gagal.176
Kredit fiktif yang menumpuk di BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha
diawali dengan adanya kerjasama pihak bank dengan lembaga finance dalam hal jualbeli sepeda motor, dimana modus kredit fiktif ini menimbulkan masalah kredit macet.
kredit fiktif ini diduga kuat sebagai penyebab dari kegagalan bank dan kesalahan
pemberian kredit yang melebihi angka kewajaran kepada satu lembaga finance
merupakan bentuk pelanggaran yang dilakukan pihak bank sehinga menguntungkan
oknum-oknum tertentu dan merugikan nasabah penyimpan, karena dana mereka telah
disalurkan secara tidak jelas. 177
174
Zulkarnain Sitompul, “Merger, Akuisisi dan Konsolidasi Perbankan Relevansinya dengan
Kebijakan Single Presence Policy”, Op.Cit. hal.2
175
Ibid
176
Hasil Wawancara dengan Bapak. Yogie.H.SE, Jabatan Pengawas Bank Pertama, Kantor
Bank Indonesia Cabang Denpasar, tanggal 13 Mei 2011
177
Ibid
145
Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan BI dalam keterangan pers terindikasi
bahwa BPR.Argawa Utama dan BPR Swasad Artha tidak mentaati rambu-rambu
hukum yang telah ditetapkan. Dikatakan misalnya bank melakukan pelanggaran batas
maksimum pemberian kredit dan melakukan transaksi fiktif.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kredit bermasalah,
yaitu:178
a. Faktor intern bank, meliputi:
1. Rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan
permintaan kredit yang diajukan debitor Rendahnya kemampuan melakukan
analisis kredit secara profesional, terutama disebabkan karena rendahnya
pengetahuan dan pengalaman petugas bank (termasuk account officer)
menjalankan tugas tersebut. Sedangkan tumpulnya analisis kelayakan kredit
seringkali terjadi karena pimpinan bank mendapat tekanan halus atau tidak dari
pihak ketiga untuk meluluskan permintaan kredit, karena terjadi kolusi antara
pimpinan bank dengan calon debitor, atau karena strategi pemberian kredit yang
terlalu ekspansif. Strategi pemberian kredit yang terlalu ekspansif ini timbul,
karena bank yang bersangkutan terlalu cepat menghimpun dana dari masyarakat
(termasuk deposito), sehingga mendorong mereka untuk menerapkan strategi
penyaluran kredit yang melebihi tingkat kewajaran. Kredit yang diberikan tanpa
analisis kredit yang profesional, dari semula memang diragukan mutunya. Oleh
178
Sutojo, Siswanto,1997,Menangani Kredit Bermasalah: Konsep, Teknik, dan Kasus,
Jakarta: PT.Pustaka Binaman Pressindo, hal. 18-19
146
karena itu, sejak diberikan kredit tersebut memang sudah membawa bibit
masalah.
2. Lemahnya sistem informasi kredit serta sistem pengawasan dan administrasi
kredit. Lemahnya sistem pengawasan dan administrasi kredit, berakibat pimpinan
bank tidak dapat memantau penggunaan kredit serta perkembangan kegiatan
usaha maupun kondisi keuangan debitor secara cermat. Akibatnya, mereka tidak
dapat melakukan tindakan koreksi apabila terjadi penurunan kondisi bisnis atau
keuangan debitor atau terjadi penyimpangan dari ikatan perjanjian kredit.
3. Campur tangan yang berlebihan dari para pemegang saham bank dalam keputusan
pemberian kredit. Campur tangan pemegang saham yang berlebihan terhadap
penerapan kebijaksanaan perkreditan bank dapat menimbulkan pemberian kredit
yang menyimpang dari asas perkreditan yang sehat.
4. Pengikatan jaminan kredit yang kurang sempurna Jaminan kredit merupakan
sumber kedua dana pelunasan kredit. Apabila debitor tidak bersedia melunasi
saldo kredit dan bunga yang tertunggak, bank dapat mengeksekusi jaminan guna
melunasi pinjaman yang tertunggak. Apabila ikatan jaminan diadakan secara
sempurna dan jaminan dapat dieksekusi dengan lancar, maka tunggakan pinjaman
debitor dapat diselesaikan dengan cepat. Sebaliknya, apabila pengikatan jaminan
tidak dilakukan dengan sempurna, hal tadi dapat mejadi sebab tunggakan
pinjaman berkembang menjadi kredit yang harus dihapuskan.
147
b. Faktor debitor, yaitu:
Debitor bank terdiri dari 2 (dua) kelompok, yaitu perorangan dan perusahaan
atau korporasi. Sumber dana pembayaran bunga dan angsuran kredit sebagian besar
berasal dari debitor perorangan (consumer debtors) adalah penghasilan tetap mereka,
misalnya gaji, upah, honorarium, dan sebagainya. Setiap jenis gangguan terhadap
kesinambungan penerimaan penghasilan tetap itu akan mengganggu likuiditas
keuangan mereka sehingga menyebabkan ketidaklancaran pembayaran bunga
dan/atau cicilan kredit. Penyebab kredit bermasalah perorangan yang lain erat
hubungannya dengan gangguan terhadap diri pribadi debitor, misalnya kecelakaan,
sakit, kematian, dan perceraian. Sedangkan penyebab kredit korporasi bermasalah
pada umumnya disebabkan karena salah arus (missmanagement), dan atau kurangnya
pengetahuan dan pengalaman pemilik perusahaan dalam bidang usaha yang mereka
jalankan, dan karena adanya penipuan (fraud).
c. Faktor Ekstern dari bank
Penyebab kredit bermasalah yang dapat dikategorikan sebagai factor ekstern
antara lain adalah:
1. Kegagalan usaha debitor,
2. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit,
3. Pemanfaatan iklim persaingan dunia perbankan yang tidak sehat oleh debitor
yang tidak bertanggung jawab, dan
4. Musibah yang menimpa perusahaan debitor
148
Bahwa dalam Proses Likuidasi BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha
dari asset yang dimiliki oleh BPR dalam likuidasi, ternyata dalam perjalanannya 1
tahun lebih yaitu dari tanggal 18 Mei 2010 sampai dengan sekarang maka dapat
dipastikan bahwa asset yang dimiliki oleh Kedua BPR ini Negatif dan tidak mampu
memenuhi secara menyeluruh hak-hak dari nasabah BPR tersebut. Adapun jumlah
asset dari BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha adalah 179
DATA ASSET
Asset BPR.Argawa Utama
Rp 2,37 miliar
Asset Negatif
Asset BPR. Swasad Artha
mencapai Rp 9,18 miliar
Asset Negatif
Simpanan
Link
Cage Mencapai Rp.50 milyar
Belum terpenuhi
Program dari Bank lain
Pemimpin Bank Indonesia Denpasar Jeffrey Kairupan didampingi Deputi PBI
Wijoyo Santoso dan salah satu pejabat PBI Denpasar lainnya Rusdi Harsono,
menyatakan :180
bahwa mengenai penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan kedua BPR ini,
Jeffrey mengatakan, kedua BPR tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
menyalurkan kredit sehingga menyebabkan angka kredit macetnya membengkak alias
179
Hasil wawancara dengan Bapak Burhanudin Syarif SE, Jabatan Ketua Tim Likuidasi BPR.
Argawa Utama, tanggal 6 Juni 2011
180
Kredit Macet, BI Tutup Dua BPR www.bisnisbali.com diakses 18 Mei 2011
149
mendekati 100 persen. Kredit macet ini muncul sebagai akibat banyaknya kredit fiktif
terutama untuk membiayai diler motor dan mobil.
“Setelah dicek banyak data yang tidak sesuai baik itu dari nama, jaminan yang tidak
jelas atau mendekati bodong,” jelasnya.
Hingga April, aset BPR Swasad Artha Rp 2,37 milyar, dan jumlah kerugian
komulatif Rp 30 milyar, penghimpunan dana pihak ketiganya Rp 43 juta. Jumlah
penabung 1.588 rekening, dengan debitur 4.118 rekening. Sedangkan Argawa Utama
hingga April asetnya Rp 9,18 milyar, dan jumlah kerugian komulatif Rp 14 milyar,
DPK Rp 4 juta dengan jumlah penabung 371 rekening dan debitur 2.280 rekening.
Yang agak miris, dana linkage program dari sejumlah bank umum utamanya Bank
Negara Indonesia (BNI) masih nyangkut di kedua BPR ini yakni Rp 50 milyar lebih.
Jeffrey mengatakan, masalah ini segera mendapat penanganan sesuai ketentuan yang
ada.
Dengan adanya kerugian dari nasabah penyimpan dana yang tidak ditanggung
oleh LPS dan tidak terpenuhi dalam proses likuidasi maka bank harus bertanggung
jawab untuk menyelesaikan dan mengembalikan Hak-hak nasabah penyimpan dana.
Tanggung
jawab
menurut
pengertian
hukum
adalah
kewajiban
memikul
pertanggungan jawab dan kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum
maupun dalam administrasi. Dengan demikian tanggung jawab hukum (legal
responsibility) sebagai keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum.
150
Di bidang hukum perdata, kualifikasi pertanggungjawaban pelaku usaha yang
merugikan konsumen sering digunakan sarana wanprestasi (default) dan perbuatan
melawan hukum (tort) berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata. hubungan hukum yang
dilakukan antara bank dan nasabah Penyimpan dana dimulai dengan kontrak secara
tertulis sehingga telah memasuki ranah hukum perdata apabila salah satu pihak
merugikan pihak yang lainnya dengan tidak memenuhi isi kontrak tersebut..
Sebagaimana Disebutkan dalam buku
Faculty Of Law Advanced Law
Courses In English bahwa kontrak merupakan salah satu subjek hukum perdata
“Subjects of private law (contracts), pre contractual negotiations, the formation of
contracts, vitianting factors, interpretation of contracts, standard (unfair) contract
terms, performance and non performance and remedies”181
Secara umum prinsip pertanggung jawaban perdata muncul karena adanya
kerugian bagi satu pihak akibat perbuatan pihak lain. Kerugian yang dimaksud dalam
hal ini adalah yang sejalan dengan pengertian Pasal 1246 KUHPerdata yaitu:
1) Berupa biaya, yaitu segala dana pengeluaran atau ongkos-ongkos yang secara
faktuil telah dikeluarkan;
2) Berupa kerugian, yaitu segala kerugian akibat kerusakan barang-barang milik
kreditur yang disebabkan kelalaian debitur;
3) Berupa bunga, yaitu segala keuntungan yang harus menjadi hak kreditur Jika
debitur tidak melakukan suatu kelalaian.
181
Faculty Of Law Advanced Law Courses In English,2000-2001, Universiteit Maastricht,
hal. 31
151
Setiap negara yang melakukan pembangunan, tentu memerlukan dana untuk
membiayai pembangunan itu.182 Sedangkan dana tersebut dapat ditempuh dengan
jalan menghimpun/menarik dana-dana yang ada pada masyarakat dalam bentuk
tabungan.183 Oleh karena itu, bank bertanggung jawab terhadap keselamatan uang
yang dipercayakan kepadanya.184
Tanggung jawab bank dapat juga diperinci sebagai berikut:185
1. Menerima cash dan membayar dokumentasi yang mesti dibayar oleh nasabah
seperti cek, pengiriman uang, bills of exchange dan instrumen perbankan
lainnya
2. Membayar kembali uang nasabah yang ditempatkan di bank tersebut apabila
dimintakan oleh pihak nasabah
3. Meminjamkan uang kepada nasabah
4. Menjaga kerahasiaan terhadap account dari nasabah dalam hubungan dengan
kerahasiaan bank, kecuali apabila ditentukan lain oleh perundang-undangan
5. Jika pihak nasabah mempunyai dua rekening, maka ada kewajiban moral bagi
bank untuk membuat rekening tersebut berpisah satu sama lain
Berdasarkan tanggungjawab di atas maka bank memiliki sebuah kewajiban
untuk mengembaikan uang nasabah tersebut apabila dimintakan oleh pihak nasabah
182
Soetanto Hadinoto, Op. Cit. hal. 47
183
Ibid., hal. 42
184
Zulkarnain Sitompul,2007,
&Library,Bandung, hal. 43
185
Lembaga
Penjamin
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, Op. Cit. hal. 16
152
Simpanan,
Books
Terrace
penyimpaan dana untuk menyelesaikan hak-hak nasabah penyimpan dana. Asas
tanggung jawab dapat diterima karena adil bagi yang berbuat salah untuk mengganti
kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain , tidak adil jika orang yang tidak
bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.
Teori schutnorm mengajarkan bahwa agar seseorang dapat dimintakan
tanggung jawabnya karena melakukan perbuatan melawan hukum, maka tidak cukup
hanya menunjukkan adanya hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan
dengan kerugian yang timbul. Akan tetapi, perlu ditunjukkan bahwa norma atau
peraturan yang dilanggar tersebut dibuat memang untuk
melindungi terhadap
kepentingan korban yang dilanggar.186
Dalam hukum perbankan yang secara tegas mengatur pemilik bank
bertanggung jawab penuh atas kewajiban bank apabila mereka ikut menyebabkan
terjadinya kebangkrutan. Bahkan Undang-undang Perbankan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 50 (A) mengancam pemegang saham dengan pidana penjara minimal 7
tahun dan paling lama 15 tahun ditambah denda paling sedikit 10 milyar maksimal
200 Milyar, apabila pemegang saham menyuruh dewan komisaris, direksi atau
pegawai bank lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang
mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk
memastikan ketaatan bank terhadap hukum perbankan. Ancaman pidana yang sama
juga berlaku bagi komisaris, direksi, pegawai bank dan pihak terafiliasi dengan bank.
186
Setiawan,Op Cit Hal. 16
153
Dengan kondisi seperti itu dalam ketentuan hukum perbankan sebagaimana
dikemukakan di atas hal ini menimbulkan konsekuensi hukum, antara lain:187
1. Terbatasnya tanggung jawab pemegang saham telah hilang sehingga mereka
bertanggung jawab secara pribadi. Harta kekayaan milik mereka harus
diambil untuk membayar seluruh kewajiban bank
2. Komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya yang bukan pemegang
saham juga ikut bertanggung jawab secara pribadi karena tidak mengurus
bank sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Harta benda mereka juga dapat
diambil untuk membayar kewajiban bank. Sedangkan ancaman pidana juga
perlu diterapkan.
Sehubungan dengan pemenuhan piutang tersebut maka disini mengacu pada
pasal 1131 KUH Perdata, yang antara lain disebutkan bahwa : “Segala kebendaan si
berhutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan.”
Dalam pasal 1132 KUH Perdata, yang lain disebutkan bahwa : “Kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan,
yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
187
Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Problematika Perbankan, Books
Terrace & Library,Bandung, hal. 323
154
4.2 Tangung jawab bank sebagai badan hukum Perseroan Terbatas
Bahwa Pasal 21 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
menyebutkan bentuk hukum suatu bank umum Dan bank Perkreditan Rakyat dapat
berupa Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Daerah. Bentuk badan
hukum dari BPR Argawa Utama dan BPR.Swasad Artha adalah Perseroan Terbatas.
Perbankan di Indonesia banyak memakai bentuk hukum PT yang mengacu
pada Undang-Undang No.40 Tahun 2007. Menurut Rudy Prasetya, PT mempunyai
tiga karakteristik dominan, yaitu:188
1. Pertanggungjawaban yang timbul semata-mata dibebankan kepada harta
kekayaan yang terhimpun dalam asosiasi.
2. Sifat mobilitas atas hak penyertaan
3. Prinsip pengurusan oleh organ.
Bank yang berbentuk PT mempunyai tiga lembaga atau institusi pengurus, yakni:189
1. Komisaris yaitu suatu lembaga yang terdiri dari dua atau lebih orang yang
mewakili pemegang saham yang tugasnya mengawasi, memberikan nasehat
dan dalam hal tertentu memberikan persetujuan.190
188
Gunarto Suhardi, 1995, Usaha Meningkatkan Kinerja & Kepatuhan Perbankan Di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 12
189
Ibid., hal. 15
190
Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 108
155
2. Direksi, yang terdiri dari Direktur Utama dan beberapa direktur lainnya.
Direksi inilah yang sehari-harinya melaksanakan tugas sebagai pengurus
bank.191
3. RUPS sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pada organisasi bank yang
berbentuk PT. Organ inilah yang memilih dan menetapkan siapa yang
menjadi komisaris dan Direksi dalam PT.192
Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum yang memiliki hak dan
tanggung jawab terpisah dengan pemegang sahamnya. Sebagai badan hukum PT
memiliki utang dan kewajiban lainnya atas namanya sendiri. Artinya utang dan
kewajiabn tersebut bukan tanggung jawab pemegang saham.
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007
menyatakan bahwa Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara
pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab
atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
191
Ibid, Pasal 92
192
Ibid, Pasal 75
156
c. Pemegang Saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. Pemegang Saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara
melawan
hukum
menggunakan
kekayaan
Perseroan,
yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi
utang Perseroan.
Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas No.40 Tahun 2007,
menyatakan Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Pasal 97 ayat (1) menyatakan,
Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 92 ayat (1) tersebut di atas. Ayat (2) pasal ini menyatakan, pengurusan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 97 ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota
Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Selanjutnya ayat (3)
menyebutkan, setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian
Perseroan, apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Dalam hal Direksi terdiri dari 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, maka
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku secara tanggung
renteng bagi setiap anggota Direksi (ayat 4). Pasal 97 ayat (5) menyatakan anggota
Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), apabila dapat membuktikan :
157
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Demikian pula sebaliknya perseroan tidak bertanggung jawab terhadap utang
dan kewajiban para pemegang sahamnya. Akan tetapi ketentuan ini dapat
dikecualikan apabila terdapat kondisi yang dalam hukum perusahaan disebut pierce
the corporate veil. Kondisi tersebut secara teoretis adalah 193
-
pertama, terjadi penipuan (fraud) atau ketidakadilan (unfairness) bagi
pihak ketiga (misalnya kreditur) dalam pengurusan perseroan.
-
Kedua, pemegang saham tidak memperlakukan perseroan sebagai badan
yang terpisah akan tetapi menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
-
Ketiga, perseroan kekurangan modal.
-
Keempat, kondisi lainnya yang dapat menciptakan ketidakadilan (fairness)
apabila perseroan tetap diakui sebagai badan hukum. Piercing the
corporate veil dapat pula dinyatakan telah terjadi apabila diperlukan untuk
193
Zulkarnain Sitompul, Likuidasi dan Tanggung Jawab Pemilik Bank, Makalah Pilars
No.19/Th. VII/10-16 Mei 2004, hal. 2
158
mencegah terjadinya penipuan atau untuk menciptakan keseimbangan
(equity).
Sementara itu teori hukum perusahaan mengajarkan bahwa PT harus dikelola
sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar perseroan dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Anggaran dasar adalah kontrak antara pendiri perseroan
dengan pemerintah. Terkait erat dan masalah tujuan adalah masalah kewenangan.
Direksi wajib menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk mencapai tujuan
tersebut. Direksi memiliki resonable discretion yang harus dijalankan dengan iktikad
baik untuk mencapai tujuan perusahaan. Kewenangan tersebut tidak dapat diganggu
kecuali mereka bersalah karena melakukan penipuan (fraud) dan misappropriation
Jika Direksi melakukan kegiatan tidak sesuai dengan tujuan atau kewenangannya
maka secara hukum direksi telah melakukan ultra vires (diluar kewenangan).
Konsekwensinya membayar ganti rugi dan ancaman pidana serta keterkaitannya
dengan keabsahan perjanjian.194
UUPT ternyata mengakui prinsip personal liability dalam hal kepailitan
terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota Direksi sebagaimana dirumuskan
dalam Pasal 104 ayat (2) UUPT. Menurut Pasal 104 ayat (2) UUPT, bahwa dalam hal
kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan Perseroan
tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota
Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Ketentuan ini
ada persamaan dengan ketentuan Pasal 47 ayat (2) KUHD yang menyatakan bahwa
194
Ibid
159
apabila Perseroan menderita kerugian sebesar 75% dari modal dasar, Perseroan itu
demi hukum bubar dan para pengurusnya dengan diri sendiri secara tanggung
menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap pihak ketiga atas segala
perikatan yang telah mereka lakukan. Karena itu, berdasarkan Pasal 104 ayat (2)
UUPT ini, seorang anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban hukum ketika
Perseroan pailit sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam mengurusi
Perseroan.195
Dari bunyi Pasal 104 ayat (2) UUPT tersebut, dapat diketahui pula kalau
UUPT membuat beberapa pengecualian terhadap tanggung jawab anggota Direksi
dalam hal Perseroan pailit, yaitu:
1. Anggota Direksi hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika Perseroan
dinyatakan pailit sesuai dengan prosedur yang berlaku. Artinya, jika
Perseroan dibubarkan tanpa melalui prosedur kepailitan, dengan sendirinya
anggota Direksi terlepas dari tanggung jawab secara pribadi tersebut;
2. Ada unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan Direksi dalam mengurusi
dan mewakili Perseroan. Artinya, tanggung jawab secara pribadi anggota
Direksi akan terkait dengan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh anggota Direksi dalam mengurusi dan mewakili Perseroan;
195
Rachmadi Usman,2004, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,PT.Alumni,
Bandung,, hal. 181
160
3. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut bersifat residual, artinya anggota
Direksi hanya akan bertanggung jawab bila kekayaan Perseroan tidak cukup
untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut;
4. Tanggung jawab anggota Direksi tersebut juga bersifat tanggung renteng,
artinya walaupun kesalahan atau kelalaian itu dilakukan seorang anggota
Direksi, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk ikut bertanggung jawab. Sebab
menurut UUPT tugas dan kewajiban pengurusan dan perwakilan Perseroan
dilakukan secara kolektif oleh seluruh anggota Direksi. Pengecualian ini
sejalan dengan prinsip tanggung jawab kolegial yang dianut UUPT.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut UUPT anggota Direksi
dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi jika Perseroan pailit sebagai akibat
dari kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan kepengurusan dan
perwakilan Perseroan yang mengakibatkan Perseroan jatuh pailit. Meskipun
demikian, UUPT masih membuat beberapa pengecualian, atas tanggung jawab
pribadi anggota Direksi dalam hal Perseroan pailit, yaitu: Perseroan dibubarkan
karena pailit; adanya kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan
tugas, kewajiban, tanggung jawab dan kewenangannya; tanggung jawab anggot
Direksi bersifat residual dan secara renteng diantara anggota Direksi. Dalam hal ini
menurut UUPT yang bertanggung jawab tidak hanya perusahaan, tetapi juga adalah
anggota Direksinya. Sementara itu, menurut sistem hukum Common Law, tanggung
jawab pribadi seorang Direksi akan terjadi bila dirinya memenuhi syarat-syarat
161
tertentu mengenai keterlibatannya dalam perbuatan yang dilakukannya. Direksi yang
bersangkutan dapat pula dibebaskan dari tanggung jawab pribadi jika perbuatan atau
tindakan yang dilakukannya didasarkan pada standar kehati-hatian.
4.3 Pertanggungjawaban Pidana Direksi Perseroan
Didalam Pasal 155 Undang-Undang No. 40 tahun 2007 disebutkan bahwa,
ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas
kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam Undang-Undang ini tidak mengurangi
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Pidana. Hal ini berarti
bahwa, organ organ Perseroan seperti Direksi dan Dewan Komisaris dapat dikenai
sanksi pidana apabila Direksi dan Dewan Komisaris tersebut melakukan pelanggaran
pidana dalam hal melakukan pengurusan maupun pengawasan terhadap Perseroan.
Ketentuan pidana mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) yang tersebar dalam beberapa ketentuan, yakni pasal 226 dan 396 sampai
pasal 403 KUHP. Ketentuan pidana dalam KUHP tersebut berkaitan dengan
pelaksanaan pemberesan harta pailit lebih lanjut dalam hal status pailit sudah
diputuskan oleh hakim (pasal 226, pasal 396, pasal 400 sampai Pasal 402 KUHP)
serta penyebab adanya kepailitan (Pasal 396, 397, 398, 399, 403 KUHP). Pengaturan
pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan berkaitan dengan perbuatan
perbuatan sebagai berikut:
1) Tidak mau hadir atau tidak memberikan/memberikan keterangan yang
menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (Pasal 226 KUHP);
162
2) Perbuatan debitur pailit yang merugikan kreditur (Pasal 396 KUHP);
3) Perbuatan debitur yang memindahtangankan harta sehingga merugikan para
kreditor dan menyebabkan pailit (Pasal 397 KUHP);
4) Perbuatan Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan yang menyebabkan
kerugian Perseroan baik sebelum atau setelah pailit (Pasal 398 dan 399
KUHP);
5) Perbuatan menipu oleh debitur pailit kepada para kreditur (Pasal 400 KUHP);
6) Kesepakatan curang antara debitur pailit dengan kreditur dalam rangka
penawaran perdamaian kepailitan (Pasal 401 KUHP);
7) Tindakan debitur pailit yang mengurangi hak-hak kreditur (Pasal 402 KUHP);
8) Perbuatan Direksi Perseroan Terbatas yang bertentangan dengan anggaran
dasar (Pasal 403 KUHP).
Apabila yang pailit adalah Perseroan, maka ketentuan pidana akan dikenakan
pada Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan bahkan pemegang saham pun tidak bisa
lepas dari ketentuan pidana. Jika debitur pailit adalah Perseroan, maka yang bisa
ditindak berdasarkan ketentuan Pasal 398 dan 399 KUHP adalah Direktur maupun
Komisarisnya, jika mereka melakukan:196
a. Turut serta atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang
melanggar anggaran dasar Perseroan dan perbuatan-perbuatan tersebut
mengakibatkan kerugian sehingga Perseroan jatuh pailit.
196
M. Hadi Shubhan,2008, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,
Kencana,Jakarta, hal. 183-184
163
b. Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan
yang memberatkan dengan maksud menunda kepailitan Perseroan.
c. Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UUPT
dan anggaran dasar Perseroan.
Meskipun dalam Pasal 396, Pasal 397, dan Pasal 403 KUHP mengatur
mengenai penyebab kepailitan yang didasari tindakan pidana, hal itu harus memenuhi
kriteria pidananya, yakni dalam hal pasal 396 KUHP :
1. Pengeluaran melewati batas kehidupan sehari-hari/terlalu boros; atau
2. Meminjam uang/modal dengan bunga yang tinggi padahal diketahui bahwa
hal itu tidak menolong kepailitannya; atau
3. Tidak dapat memperlihatkan secara utuh tanpa perubahan-perubahan
(coretan-coretan atau tulisan-tulisan) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6
KUHD.
Sedangkan dalam hal kepailitan terjadi karena kecurangan dalam pasal 397
KUHP, yakni: 197
1) Ada tiga macam perbuatan: Mengarang perbuatan yang tidak pernah ada
Tidak membukukan suatu pendapatan Menyisihkan atau menarik suatu barang
dari budel.
2) Tindakan melepas suatu barang dari budel, secara cuma-cuma atau dengan
terang-terangan di bawah harga.
197
Deni Kailimang, Aspek-Aspek Pidana Dalam Kepailitan, dalam Buku : Ruddhy A.
Lontoh, Deni Kailimang, Benny Ponto, 2001, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, hal. 325-326
164
3) Tindakan berupa apa saja, menguntungkan salah seorang kreditur.
4) Tindakan berupa penyimpangan dari ketentuan Pasal 6 KUHD.
Hal ini berarti bahwa suatu kepailitan bukanlah perbuatan kriminal, meskipun
nantinya dalam proses kepailitan akan dimungkinkan adanya kejahatan kepailitan.
Kepailitan adalah berkaitan dengan proses pemberesan harta kekayaan debitur untuk
membayar uatang-utangnya. Dengan demikian subjek hukum yang telah dinyatakan
pailit tidak sama dengan bahwa la telah melakukan sebuah tindakan kriminal. Untuk
dapat dinyatakan telah melakukan tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur dan
kriteria sebagaimana yang diatur dalam KUHP tersebut di atas.
Apabila dicermati tahap likuidasi pada dasarnya memiliki kesamaan dengan
tahap insolvensi dalam kepailitan. Dengan masuknya perseroan dalam periode
insolvensi, maka perseroan itu bubar. Namun hal itu tidaklah berarti bahwa perseroan
bubar atau menghilang begitu saja. Sebab, setelah itu menyusul masa yang disebut
sebagai masa pemberesan (vereffening). Selama masa pemberesan itu eksistensi
perseroan dapat dipertahankan sejauh hal itu dibutuhkan bagi proses pemberesan.
Begitu pula dengan tahapan likuidasi bank juga tetap dipertahankan eksistensinya
selama masih dibutuhkan bagi proses pemberesan. 198
Tapi terdapat satu perbedaan, tahap insolvensi dalam kepailitan masih
memungkinkan si pailit melakukan perbuatan-perbuatan hukum di bidang harta
kekayaan. Misalnya perjanjian, apabila dengan perbuatan hukum itu akan memberi
keuntungan bagi boedel si pailit. Masih dikemungkinkan dioperasikannya perusahaan
198
Ibid
165
tersebut agar dapat menambah harta kepailitan.Adanya persamaan likuidasi dengan
tahap insolvensi dalam suatu kepailitan sehingga dapat dianalogikan kedudukan
Kurator dengan kedudukan tim likuidasi yang akan dijelaskan berikut ini.
Menurut Peraturan Kepailitan tersebut usaha seseorang dinyatakan pailit
melalui putusan kepailitan yang ditetapkan oleh Pengadilan Negeri, dalam putusan
tersebut diantaranya ditetapkan hakim komisaris, tim panitia sementara kreditur dan
wewenang yang diberikan kepada kurator untuk mengurus harta pailit(boedel)
sedangkan likuidasi yang menurut hukum perseroan dapat terjadi karena putusan
Pengadilan Negeri atau tanpa putusan Pengadilan Negeri- Likuidasi tanpa putusan
Pengadilan Negeri terjadi misalnya :
-
Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan tersebut.
-
Jangka waktu berdiri perseroan telah habis (75 tahun), dan tidak
diperpanjang lagi.
-
Perseroan melakukan Merger atau Konsolidasi.
-
Karena perseroan telah menderita kerugian yang mencapai 75% dari jumlah
modal yang telah ditempatkan.
-
Karena kepailitan, lalu disusul dengan pembubaran.
Likuidasi dengan putusan Pengadilan Negeri dapat terjadi apabila perseroan
dalam tindakannya untuk mencapai tujuannya melanggar kesusilaan atau ketertiban
umum. Sebagaimana likuidasi menurut hukum perseroan maka dalam likuidasi yang
166
berdasarkan pasal 37 ayat 2 dan ayat 3 dapat juga terjadi tidak dengan penetapan
pengadilan bilamana direksi sendiri yang melikuidasi bank tersebut atas perintah
Pimpinan Bank Indonesia atau dengan suatu penetapan pengadilan bilamana direksi
tersebut tidak melikuidasi bank sebagaimana yang diperintahkan Pimpinan Bank
Indonesia.
Dalam Peraturan kepailitan Kurator yang berwenang untuk mengurusan dan
pemberesan harta pailit (pasal 69 ayat 1) sedangkan dalam likuidasi pihak yang
bertugas dan berwenang adalah Tim likuidasi. Peran tim likuidasi dalam hal ini dapat
dianalogikan dengan Balai Harta Peninggalan karena terdapatnya persamaan dalam
tugas dan wewenangnya. Dapat disebut diantaranya untuk menyusun daftar piutang
atau tagihan yang masih bersifat sementara untuk kemudian mendapatkan
pengesahan dalam rapat verifikasi, adapun tujuan atau maksud diadakannya rapat
verifikasi berdasarkan Peraturan Kepailitan :
1. Menetapkan siapa yang dianggap kreditur yang sah
2. Membuka
kemungkinan
bagi
para
kreditur
untuk
memasukkan
penagihan, paling lambat dua hari sebelum rapat verifikasi
3. Membuka kemungkinan diadakannya perukunan (accord)199
199
Victor M.Situmorang dan Hendri Soekarso,1994, Pengantar Hukum Kepailitan di
Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,hal 63
167
Mengenai poin ketiga dalam likuidasi bank tidak dikenal adanya suatu
perukunan (accord), karena bila dianalogikan dengan tahap insolvensi maka accord
tersebut sudah tidak dimungkinkan.
Sebelum memutuskan status tagihan-tagihan tersebut dalam rapat verifikasi
akan diperhatikan status harta kreditur, oleh sebab itu para kreditur akan digolonggolongkan terlebih dahulu. Setelah selesainya rapat ventilasi, dilakukan penjualan
terhadap harta kekayaan dari debitur dan hasilnya dibagi-bagikan kepada para
kreditur dengan mengindahkan piutang dari pada para kreditur preferen.
4.4 Upaya Hukum Penyelesaian Hak-Hak Nasabah Penyimpan Dana Yang
Tidak Terpenuhi Dalam Proses Likuidasi
Langkah hukum yang dapat dilakukan oleh nasabah untuk memperoleh
haknya yang tidak terpenuhi dalam proses likuidasi adalah :200
Langkah Hukum Nasabah Penyimpan Dana
Mengajukan Kepailitan
Laporan Pidana
Terhadap Badan Hukum Bank
Perbankan (kredit fiktif)
Gugataan Perdata di Peradilan Umum
terkait Perbuatan Melawan Hukum
200
Hasil wawancara dengan Bapak Burhanudin Syarif SE, Jabatan Ketua Tim Likuidasi BPR.
Argawa Utama, tanggal 6 Juni 2011
168
Nasabah penyimpan BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga, untuk wilayah Bali
maka Pengadilan Niaga yang berwenang adalah Pengadilan Niaga Surabaya. Dalam
menjalankan fungsi pengurusan Perseroan, kepailitan Perseroan merupakan suatu
fenomena hukum Perseroan yang sangat ditakuti, baik oleh pemegang saham maupun
oleh Direksi sebagai organ yang melaksanakan fungsi pengurusan Perseroan. Karena
dengan kepailitan Perseroan, maka perusahaan telah gagal dalam membayar utangutangnya.201
Ketika nasabah penyimpan dana sebagai kreditur tidak mendapatkan hakhaknya dalam proses likuidasi maka kreditur dapat mengajukan kepailitan terhadap
badan hukum bank yang mana untuk melakukan sita umum dan apabila penyebab
pailitnya bank tersebut adalah karena kesalahan dari pemegang saham maupun
institusi pengurus perusahaan maka terhadap asest-aset pribadi dari pemegang saham
dapat dijadikan sarana pembayaran bagi kreditur.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap
debitor dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang berbunyi
bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebh kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
201
Munir Fuady,2002, Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global,Citra
Aditya Bakti,Bandung, hal. 75
169
dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri atau maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya
Pada dasarnya kepailitan dapat diajukan oleh semua jenis kreditur. Tidak ada
batasan mengenai kualifikasi kreditur yang dapat mengajukannya. Sepanjang kreditur
tersebut dapat membuktikan secara sederhana bahwa ada lebih dari satu utang, dan
salah satunya telah jatuh tempo, maka secara formil, hakim wajib menyatakan debitur
pailit.202 Putusan kepailitan mengakibatkan harta pailit berada dalam sitaan umum.
Nasabah penyimpan dana dapat juga menempuh jalur Pidana yaitu dengan
melaporkan piha debitur ke pihak kepolisian terkait kredit-kredit fiktif yang jelasjelas sebagai penyebab kegagalan bank dan berakibat merugikan nasabah penyimpan
dana pada BPR Argawa Utama dan BPR Swasad Artha, penyimpangan dan
pelanggaran kredit fiktif tersebut merupakan bentuk tindak pidana perbankan yang
penanganannya harus melibatkan beberapa pihak terkait yaitu Pihak Kepolisian,
Kejaksaan dan Bank Indonesia sebagai Pengawas Bank
Nasabah penyimpan dana dapat juga menumpuh upaya hukum perdata
melalui peradilan umum, yaitu mengajukan gugatan ke Pengadilan negeri terkait
perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 1365 KUHPer yang
dilakukan pemegang saham dan diriksi yang tidak menjalankan pengelolaan bank
secara hati-hati dan benar sehingga merugikan nasabah penyimpan dana.
202
Sunarmi, Hukum Kepailitan, 2009, USU Press, Medan, hal. 38
170
Adapun dasar secara perdata dari pengelolaan Perseroan oleh Direksi, wajib
dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab Dapat dilihat pada ketentuan
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
Demikian juga pada Pasal 1339 yang menyatakan :
“Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya
persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
Dalam hukum perdata, selain ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang telah
diuraikan di atas, jika dalam pelaksanaan tugasnya anggota Direksi melakukan
pelanggaran
hukum,
maka
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban
hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata yang menyatakan :
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga dapat yang disebabkan karena kelalaiannya atau karena
kekurang hati-hatiannya”.
Oleh karena itu prinsip pengelolaan Perseroan yang diatur secara normatif
dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, bila dilanggar dapat dimintakan pertanggung
jawaban secara hukum perdata. Pertanggung jawaban secara perdata oleh Direksi ini
171
adalah sebagai akibat dari pengelolaan Perseroan yang salah, atau telah melakukan
pelanggaran dan melanggar prinsip itikad baik yang mengakibatkan kerugian.
Bahwa doktrin “Piercing The Corporate Veil “secara tidak langsung
merupakan bentuk konsepsi hukum yang berakibat mengaburkan makna dan esensi
dari Undang-undang Perseroan Terbatas di indonesia dimana dalam Undang-undang
PT
membatasi Tanggung jawab Pemegang saham sebatas pada saham yang
dikeluarkannya, namun apabila terjadi Corporation Crime yang benar-benarr bisa
dibuktikan di depan pengadilan yang menyatakan pemegang saham bersalah
melakukan tindakan kejahatan perusahaan untuk keuntungannya sendiri maka doktrin
ini dapat berlaku secara penuh untuk mempertanggugajawabkan tindakan Pemegang
saham tersebut.
CONTOH PUTUSAN
Putusan menghukum pemegang saham bank untuk membayar kewajiban bank
kepada kreditur dengan ikut bertanggung jawab secara pribadi (sampai dengan Harta
benda mereka juga dapat diambil untuk membayar kewajiban bank).
“Piercing The Corporate Veil”203
Suatu putusan Mahkamah Agung yang menarik lainnya pada tahun 1996,
ketika Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas baru berlaku,
berkenaandengan Direksi yang tidak beritikad baik.
203
Erman Rajagukguk , 2007, makalah Pengelolaan Perusahaan Yang Baik : Tanggung
Jawab Pemegang Saham, Komisaris, Dan Direksi, diakses 16 Mei 2011
172
Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas menyatakan Direksi wajib menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab untuk kepentingan perusahaan. Setiap anggota Direksi
bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya tersebut (ayat 2). Ketentuan ini sama dengan Pasal 97 ayat (2)
dan ayat (3) Undang-Undang Perseroan yang baru.
Dalam perkara PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No.
1916 K/Pdt/1991 (1996), Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi. Menurut Mahkamah Agung, pertanggungjawaban suatu Perseroan Terbatas
(PT) dapat dipikulkan kepada para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka
lakukan untuk dan atas nama P.T. mengandung persekongkolan dengan itikad buruk
yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Dalam perkara ini Tergugat II, III, IV dan V sebagai Direksi atau Komisaris
PT. Bank Perkembangan Asia dan sekaligus pula sebagai Direksi atau Komisaris PT.
Djaja Tunggal (Tergugat I), meminjamkan uang kepada Tergugat I tanpa analisis
kredit. Mereka pun sudah tahu anggunan kredit tersebut adalah tanah Hak Guna
Bangunan sudah habis waktunya pada tanggal 24 September 1980, sehingga sudah
menjadi Tanah Negara.
Sengketa ini bermula dari PT. Bank Perkembangan Asia memberikan
pinjaman kredit kepada PT. Djaja Tunggal, yang setelah beberapa kali diperpanjang
berjumlah Rp. 5.502.293.038,84,-. Perjanjian kredit diberikan dengan jaminan tanah
173
Hak Guna Bangunan No. 39 dan No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaja
Tunggal.
Pada saat semua pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, PT. Djaja Tunggal
tidak dapat membayar. Perusahaan ini berhenti beroperasi karena menderita rugi
75%, sehingga perusahaan menyatakan diri tidak mampu membayar hutangnya
kepada Penggugat dalam keadaan insolvensi. Ternyata Direktur dan Komisaris Bank
pemberi kredit sama orangnya dengan Direktur dan Komisaris PT. Djaja Tunggal.
Ternyata pula, anggunan tanah Hak Guna Bangunan No. 39 dan 40 telah habis masa
berlakunya, sehingga statusnya menjadi tanah negara.
Kekalutan PT. Bank Perkembangan Asia menyebabkan Bank Indonesia
mengganti pengurus Bank, dan Bank mengajukan gugatan kepada bekas Direksi dan
Komisarisnya serta PT. Djaja Tunggal.
Dalam jawabannya, para Tergugat menyatakan, antara lain, hutang tersebut
adalah hutang PT. Djaja Tunggal dan karenanya menjadi tanggung jawab PT. Djaja
Tunggal, sebatas harta kekayaan perusahaan tersebut. Oleh karenanya Tergugat II dan
sampai V secara pribadi tidak harus dimintai tanggung jawab terhadap hutang PT.
Djaja Tunggal (Tergugat I).
Pengadilan Negeri Bogor dalam putusannya, antara lain, menyatakan :
1. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal berhutang kepada Penggugat sebesar
Rp. 5.502.293.038,83,-.
174
2. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada
Penggugat.
3. Tergugat II-III-IV-V-VI dan VII melakukan perbuatan melawan hukum oleh
pengurus.
4. Menghukum Tergugat I, PT. Djaja Tunggal untuk mengembalikan seluruh
pinjamannya berikut bunga Rp. 5.502.293.038,83,-.
5. Menghukum Tergugat II-III-IV-V-VI-VII untuk membayar ganti kerugian
Rp.100.0000.000,- secara tunai kepada Penggugat.204
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Bogor tersebut di atas.205
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, adalah merupakan fakta,
bahwa yang menjadi pengurus dari Tergugat I adalah bersamaan pula dengan
pengurus dari Penggugat sebelum Penggugat sebagai PT. Bank Perkembagan Asia
diambil alih Bank Indonesia karena mengalami kekalahan kliring. Dengan demikian
pada diri Tergugat I dan Penggugat I pada saat terjadi pemberian kredit bersatu pada
diri Tergugat II sampai dengan V. Jadi pada saat perjanjian kredit ditandatangani dan
direalisasi Dewan Direksi dan Dewan Komisaris dari Penggugat dan Tergugat
sebagai Badan Hukum (PT) bersatu pada diri para tergugat tersebut.
Berdasarkan fakta dimaksud dihubungkan dengan cara pemberian kredit dari
Penggugat yang nota bene dikuasai oleh para Tergugat II-V, yang diberikan kepada
204
PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 136/Pdt.G/1987/PN.Bgr(1988)
205
PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 431/Pdt/1989/PT.Bdg (1990).
175
perusahaan yang mereka kuasai pula (Tergugat I : PT. Djaja Tunggal), dapat diduga
adanya persekongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I, II, III, IV dan V.
Dalam kasus seperti ini telah dikembangkan suatu ajaran hukum yang disebut
“piercing the corporate veil” yakni pembatasan pertanggung jawaban dari suatu
Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan kepada pengurus, apabila tindakan hukum
yang mereka lakukan untuk dan atas nama P.T. mengandung persekongkolan secara
itikad buruk yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Dalam perkara ini para
Tergugat II, III, IV dan V sebagai pengurus dari PT. Perkembangan Asia (Penggugat)
dan sekaligus pula pengurus dari Tergugat I (PT. Djaja Tunggal) dengan itikad buruk
meminjamkan uang kepada Tergugat tanpa analisis kredit serta agunannya pun Hak
Guna Bangunan (HGB) No. 39-40 yang mereka sendiri tahu sudah habis waktunya
pada tanggal 24 September 1980. Dengan demikian kerugian yang diderita Penggugat
tidak hanya dibebankan kepada Tergugat I, tapi meliputi Tergugat II, III, IV dan V
secara tanggung renteng.
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal
12 Februari 1990. Mahkamah Agung memutuskan, antara lain, menyatakan Tergugat
I, II, III, IV dan V berhutang kepada Penggugat sebesar Rp. 5.502.293.038,83,-.
Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar hutang tersebut secara
tanggung renteng.206
206
PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996)
176
Download