fisiologi, anatomi dan sistem perakaran pada

advertisement
FISIOLOGI, ANATOMI DAN SISTEM PERAKARAN PADA
BUDIDAYA PADI DENGAN METODE SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION (SRI) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PRODUKSI
NURUL HIDAYATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Fisiologi, Anatomi dan
Sistem Perakaran pada Budidaya Padi dengan Metode System of Rice
Intensification (SRI) dan Pengaruhnya terhadap Produksi adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak terbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2015
Nurul Hidayati
NIM G353100041
*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
4
RINGKASAN
NURUL HIDAYATI. Fisiologi, Anatomi dan Sistem Perakaran pada
Budidaya Padi dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) dan
Pengaruhnya terhadap Produksi. Dibimbing oleh TRIADIATI dan ISWANDI
ANAS.
Budidaya padi System of Rice Intensification (SRI) merupakan suatu metode
dalam pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara untuk meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Metode SRI ini sangat
memperhatikan pertumbuhan akar yang memiliki peran penting dalam menyerap
air dan unsur hara guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Banyak peneliti yang telah melaporkan bahwa metode SRI ini telah mampu
meningkatkan produksi padi. Namun, informasi mengenai pengaruh dari metode
SRI terhadap fisiologi, anatomi dan sistem perakaran padi masih dibutuhkan
untuk membantu menjelaskan pengaruh metode SRI terhadap produksi padi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mengevaluasi perbedaan
parameter fisiologi, anatomi dan sistem perakaran dalam merespon penerapan
metode SRI dibandingkan dengan metode konvensional, dan untuk mengetahui
pengaruh kedua metode tersebut terhadap gabah yang dihasilkan.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) untuk
mengkaji metode SRI dan metode konvensional. Pada metode SRI, penanaman
bibit dilakukan pada umur 10 hari, dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dan
terdapat satu bibit per lubang tanam, serta pengairan secara lembap (tanah dijaga
selalu dalam keadaan lembap tapi tidak tergenang). Pada metode konvensional,
penanaman dilakukan pada umur bibit 25 hari, dengan jarak tanam 20 cm x 20
cm, dan terdapat tiga bibit per lubang tanam, serta pengairan tergenang terusmenerus (tanah dalam keadaan tergenang). Pemupukan untuk kedua perlakuan
adalah sama, yaitu, 125 kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha, 50 kg KCl/ha dan 2,5 t/ha
pupuk organik, sehingga pengaruh dari perubahan tanah bukan merupakan bagian
yang dievaluasi. Pengamatan pada penelitian ini meliputi pengamatan parameter
vegetatif, generatif, fisiologi, anatomi dan sistem perakaran tanaman padi.
Parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman, luas
daun, jumlah anakan, jumlah daun, bobot kering tajuk umur 70 HSS dan 110 HSS,
lebar tajuk 20 cm di atas permukaan tanah (dpt) umur 70 HSS, jumlah anakan
produktif per rumpun, serta jumlah anakan produktif per m2. Parameter
pertumbuhan generatif yang diamati yaitu panjang malai per rumpun, jumlah
gabah isi per rumpun, jumlah gabah total per rumpun, persentase gabah hampa,
bobot gabah kering per rumpun, bobot per 1000 bulir, bobot gabah kering panen
per m2, dan bobot gabah kering giling per m2.
Parameter fisiologi yang diamati meliputi laju fotosintesis (A), laju
transpirasi (E), dan suhu daun (Tleaf), kandungan klorofil yang diamati pada
empat tahap pertumbuhan (vegetatif, pembungaan, pengisian biji, matang biji),
serapan hara Nitrogen daun diamati pada umur 70 HSS, dan serapan hara Fosfor
daun diamati umur 70 HSS. Parameter perakaran dan anatomi padi terdiri dari
akar terpanjang dan bobot kering akar pada umur 110 HSS dan 70 HSS, rambut
akar, respirasi akar yang diamati pada empat tahap pertumbuhan (vegetatif,
pembungaan, pengisian biji, matang biji), aerenkim akar, aerenkim batang, berkas
pengangkut di batang, dan jumlah stomata serta indek stomata pada umur 70 HSS.
Pengamatan potensial redoks tanah (Eh) pada umur 55 HSS. Data dianalisis
secara statistik menggunakan Independent T-test pada probabilitas 5%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju fotosintesis, kandungan klorofil
daun, dan serapan hara (Nitrogen dan Fosfor) lebih tinggi pada metode SRI
dibandingkan dengan metode konvensional. Namun laju transpirasi dan suhu daun
pada kedua metode budidaya tidak ada perbedaan.
Dengan penerapan metode SRI maka akar lebih panjang dan biomassa akar
juga lebih berat dibandingkan dengan metode konvensional. Metode SRI juga
mampu meningkatkan jumlah rambut akar sebesar 59.9% dibandingkan dengan
metode konvensional. Metode SRI dapat meningkatkan Eh tanah dibandingkan
dengan metode konvensional. Namun, respirasi akar tidak berbeda pada kedua
metode budidaya padi. Pembentukan aerenkim akar dan batang tanaman padi pada
metode SRI lebih rendah dibandingkan dengan metode konvensional. Persentase
jumlah aerenkim akar padi pada metode SRI lebih rendah dibandingkan dengan
metode konvensional. Selain itu, ukuran aerenkim batang pada metode SRI juga
lebih kecil dibandingkan dengan metode konvensional. Namun jumlah aerenkim
batang, jumlah berkas pengangkut, dan jumlah stomata pada daun tidak berbeda
pada kedua metode budidaya. Parameter vegetatif dan generatif tanaman padi
pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Hasil
gabah pada metode SRI lebih tinggi (sekitar 24%) dibandingkan dengan metode
konvensional.
Disimpulkan bahwa perbedaan fisiologi, anatomi padi dan sistem perakaran
pada tanaman padi dengan metode SRI mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan
generatif tanaman padi. Pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi yang
dibudidayakan dengan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional. Oleh karena itu, gabah yang dihasilkan pada tanaman padi metode
SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional.
Kata kunci : fotosintesis, transpirasi, aerenkim, rambut akar, hasil gabah
6
SUMMARY
NURUL HIDAYATI. Physiological, Anatomical and Rooting System in
Rice Cultivation under System of Rice Intensification (SRI) Method and Its
Effects on Yield. Supervised by TRIADIATI and ISWANDI ANAS.
System of Rice Intensification (SRI) rice cultivation is a method in managing
plants, soil, water, and nutrients in order to improve the rice growth and
development. This method concerns highly about the growth of roots which have
important role in absorbing water and nutrient to support the growth and
development of plants. Many researchers have reported that the SRI method has
been able to increase rice production. However, the information about the effects
of the SRI method on rice physiology, anatomy and rooting system is necessarry
to support the explanation about the effects of SRI method on rice production.
This research aimed to measure and evaluate the differences of
physiological, anatomical parameters as well as rooting system of rice in response
to the application of SRI method compared to the conventional method, and to
evaluate the effect of those methods on rice grain production.
This research used Randomized Block Design (RBD) to assess concurrently
SRI and conventional methods. In the SRI method, transplanting was done at a
seedling age of 10 days, with a planting distance of 25 cm x 25 cm and one
seedling per hill, the soil was kept moist but not flooded. In the conventional
method, transplanting was done at seedling age of 25 days, with planting distance
of 20 cm x 20 cm, three seedlings per hill, the soil was kept continuously flooded.
The fertilization for both sets of trials was the same, i.e., 125 kg Urea/ha, 100 kg
SP-36/ha, 50 kg KCl/ha and 2.5 t/ha organic fertilizer, so the effects of soil
amendments were not part of the evaluation. Parameters observed in this research
were parameter of vegetative, generative, physiology, anatomy, and rooting
system of rice plants.
The vegetative growth parameters measured were: plant height, leaf area,
tiller number, leaf number, shoot dry weight at 70 days after sowing (DAS) and at
110 DAS, width of the canopy at 20 cm above the soil’s surface at 70 DAS,
number of productive tillers per hill, and number of productive tillers per m 2. The
generative growth parameters observed were: panicle length, number of filled
grains per hill, number of total grains per hill, percentage of empty grains, grain
dry weight per hill, weight of 1000 grains, grain dry weight at harvest per m2, and
grain dry weight (yield) per m2.
Physiological parameters observed were the photosynthesis rate (A),
transpiration rate (E), and leaf temperature (Tleaf), chlorophyll content at four
phases of growth (vegetative, flowering, grain filling, mature grain), Nitrogen
uptake at 70, and Phosphorus uptake at 70 DAS. Root system and anatomy
parameters observed were longest root and root dry weight at 110 DAS and 70
DAS, root hairs, root respiration at four phases of growth (vegetative, flowering,
grain filling, mature stage), root aerenchyma, stem aerenchyma, vessels transport,
stomata amount and stomata index in the stem at 70 DAS. Observation of redox
potential of soil (Eh) was done at 55 DAS. All the data were analyzed statistically
using the Independent T-test at 5% probability.
The result showed that the photosynthesis rate, leaf chlorophyll content, and
nutrient (Nitrogen and Phosphorus) uptake were higher in the SRI method
compared to that of the conventional method. However, the transpiration rate and
leaf temperature of rice plants in both cultivation methods were not different.
The application of SRI method resulted in the longer roots and heavier root
biomass compared to the conventional method. The SRI method also increased
the number of root hairs of 59.9% compared to that of the conventional method.
The SRI method increased the redox potential of soil (Eh) compared to that of the
conventional method. However, the root respiration was not different in both rice
cultivation methods. The formation of root and stem aerenchyma of rice plants in
SRI method was lower than in the conventional method. The percentage of
number of root aerenchyma of rice was reduced in SRI method compared to that
of the conventional method. In addition, the size of stem aerenchyma in the SRI
method was smaller than in the conventional method. However, the numbers of
stem aerenchyma, transport vessels, and leaf stomata were not different in both
methods. Vegetative and generative parameters of rice plants in SRI method was
higher compared to that of the conventional method. The grain yield in SRI
method was higher (approximately 24%) compared to that of the conventional
method.
It can be concluded that the differences in physiology, anatomy, and rooting
system of rice using SRI method affected the vegetative and generative growth of
rice plants. Vegetative and generative growth of rice plants cultivated under SRI
method were higher than under contentional method. Therefore the grain
production in SRI method was higher than in the conventional method.
Key words : photosynthesis, transpirations, aerenchyma, root hairs, grain yield
8
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FISIOLOGI, ANATOMI DAN SISTEM PERAKARAN PADA
BUDIDAYA PADI DENGAN METODE SYSTEM OF RICE
INTENSIFICATION (SRI) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PRODUKSI
NURUL HIDAYATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
10
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Ali jamil, MP
Judul Tesis: Fisiologi, Anatomi dan Sistem Perakaran pada Budidaya Padi dengan
Metode System of Rice Intensification (SRI) dan Pengaruhnya
terhadap Produksi
Nama
: Nurul Hidayati
NIM
: G353100041
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing
Dr Dra Triadiati, MSi
Ketua
Prof Dr Ir Iswandi Anas, MSc
Anggota
Diketahui Oleh
Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 19 Januari 2015
Tanggal Lulus:
12
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang selalu
melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
karya ilmiah ini dengan judul Fisiologi, Anatomi dan Sistem Perakaran pada
Budidaya Padi dengan Metode System of Rice Intensification (SRI) dan
Pengaruhnya terhadap Produksi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober
2012 sampai September 2013, di Sindang Barang Jero dan Laboratorium
Fisiologi, Departemen Biologi Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Dra Triadiati, MSi dan Bapak
Prof Dr Ir Iswandi Anas, MSc selaku pembimbing atas bimbingan, masukan dan
arahan yang diberikan. Demikian pula, kepada Bapak Dr Ir Ali Jamil, MP sebagai
penguji luar komisi yang banyak memberikan masukan dan arahan kepada
penulis. Terimakasih penulis ucapkan kepada Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP) atas bantuan dana penelitian yang diberikan. Ungkapan
terimakasih juga disampaikan kepada Aba Suwarno, S.Pdi, Ummi Suridah, Bapak
Mohammad Zainal, Ibu Ruknami, Suami Serka Achmad Rofiki Hamdani, Anak
tersayang Ahmad Fathir Ardiansyah serta seluruh keluarga, atas doa, perhatian
dan kasih sayangnya.
Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2015
Nurul Hidayati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
System of Rice Intensification (SRI)
Sistem Pertanian Konvensional
Tanaman Padi
Fisiologi Tanaman Padi
Perakaran dan Anatomi Tanaman Padi
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat Penelitian
Rancangan Penelitian
Analisis Tanah dan Pengukuran Potensial Redoks Tanah (Eh)
Pembuatan Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Pupuk Hayati
Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Pengamatan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
vi
1
3
3
3
3
4
5
5
6
7
7
7
8
8
8
10
14
14
23
29
29
29
35
40
14
DAFTAR TABEL
1 Perbandingan cara penanaman antara metode konvensional dan metode
SRI
2 Pertumbuhan vegetatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang
berbeda
3 Kandungan nitrogen dan fosfor pada umur tanaman 70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
4 Rata-rata akar terpanjang dan bobot kering akar pada umur tanaman 70
dan 110 HSS pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
5 Jumlah rambut akar tanaman padi pada umur tanaman 70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
6 Aerenkim akar dan batang padi pada umur tanaman 70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
7 Jumlah berkas pengangkut pada batang padi pada umur tanaman 70
HSS pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
8 Kerapatan stomata dan indek stomata daun padi pada umur tanaman 70
HSS pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
9 Fase generatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
9
15
17
17
17
19
20
22
22
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan vegetatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang
berbeda
2 Laju fotosintesis, laju transpirasi, dan suhu daun pada empat tahap
perumbuhan
3 Kandungan klorofil daun padi pada empat tahap pertumbuhan
4 Rambut akar tanaman padi (70 HSS)
5 Potensial redoks tanah (Eh) pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
6 Respirasi akar pada empat tahap pertumbuhan
7 Aerenkim akar padi (70 HSS)
8 Penampang melintang batang padi (70 HSS)
9 Penampang melintang batang padi (70 HSS)
10 Stomata pada daun padi (70 HSS)
15
16
16
18
19
19
20
21
21
22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Tata letak satuan percobaan di lapang
2 Hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah percobaan di persawahan
Sindang Barang Jero Bogor sebelum tanam
3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
4 Hasil analisis sifat kimia pupuk organik yang digunakan dalam
penelitian
5 Hasil analisis pupuk anorganik yang digunakan dalam penelitian
35
36
37
38
39
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Metodologi praktik budidaya padi (Oryza sativa) yang dikenal sebagai
System of Rice Intensification (SRI) adalah sebuah inovasi yang masih
berkembang, namun konsep dan praktiknya telah terbukti mampu meningkatkan
produktivitas padi dan pendapatan petani, sekaligus mengurangi kebutuhan akan
air dan input lainnya. SRI fokus untuk memperbaiki lingkungan tempat tumbuh
tanaman padi, di atas dan di bawah tanah, dengan memodifikasi pengelolaan
tanaman, tanah, air dan unsur hara, untuk merangsang pertumbuhan sistem akar
yang lebih banyak dan lebih baik serta meningkatkan jumlah dan aktivitas
organisme tanah yang menguntungkan. Metode SRI ini mulanya dikembangkan di
Madagaskar untuk memberikan solusi terhadap penggunaan kebutuhan air
sehingga pengaturan air pada metode SRI tidak tergenang dan bertujuan juga
untuk menciptakan pertanian organik (Laulanie 1993). Namun demikian, metode
SRI ini awalnya juga disertai dengan penggunaan pupuk anorganik, sehingga
metode SRI tidak selalu menggunakan sistem pemupukan organik. Pemupukan
organik di Madagaskar diterapkan pada tahun 1980an ketika pemerintah
mengurangi subsidi pupuk anorganik (Uphoff et al. 2011). Banyak penelitian
mengenai sistem pemupukan pada metode SRI ini, baik sistem pemupukan
organik, semiorganik, dan anorganik (Uphoff & Randriamiharisoa 2002).
Metode SRI yang diterapkan pada penelitian ini mengikuti metode Barison
dan Uphoff (2011) serta Lin et al. (2011) yang prinsip dasar penerapannya sebagai
berikut: kondisi tanah lembap (tidak tergenang air), penanaman bibit muda (8-12
hari), penanaman bibit tunggal (satu bibit untuk satu lubang tanam), jarak tanam
lebar (25 cm x 25 cm), dan mengontrol gulma menggunakan landak, yang
berfungsi juga untuk memberi aerasi di permukaan tanah dan menghilangkan
gulma. Pada metode SRI juga dianjurkan menggunakan pupuk organik. Walaupun
demikian, metode SRI dapat menggunakan pupuk anorganik atau campuran
antara pupuk anorganik dan pupuk organik yang bertujuan untuk mengoptimalkan
jumlah dan jenis unsur hara. Praktik budidaya padi metode SRI bertolak belakang
dengan praktik budidaya padi metode konvensional yang umumnya pemberian air
irigasi yang hampir selamanya tergenang, menggunakan bibit tua berumur (25
hari atau lebih), penanaman 3-5 bibit per lubang tanam dan penanaman yang
dalam, jarak tanam yang sempit (20 cm x 20 cm atau kurang), dan pemupukan
sebagian besar menggunakan pupuk anorganik (Kediyal & Dimri 2009).
Metode SRI ini sangat mengutamakan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman terutama pada daerah perakaran. Kemampuan akar untuk melanjutkan
pertumbuhan segera setelah tanam sangat penting bagi keberhasilan akar saat
pindah tanam. Kondisi pembibitan seperti penyediaan air, jumlah bibit, dan waktu
pindah tanam bibit mempengaruhi kemampuan bibit dalam menghasilkan akar
baru ketika sudah ditanam di sawah (Kramer & Boyer 1995). Penanaman bibit
tunggal dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI membuat tanaman padi
memiliki cukup ruang untuk menyebar dan memperdalam akar. Kondisi tanah
yang lembap pada metode SRI juga membuat akar tanaman padi teraerasi dengan
baik, sehingga akar teroksidasi dengan baik (Barison & Uphoff 2011). Oleh
2
karena itu, diharapkan dengan menggunakan metode SRI, pertumbuhan dan
perkembangan akar akan optimum dibandingkan dengan metode konvensional.
Bagaimanapun, akar memiliki peran penting, terutama untuk penyerapan air dan
mineral dari tanah. Oleh karena itu, akar yang panjang dan menyebar di dalam
tanah sangat penting karena akar bisa menjangkau air dan hara tersedia yang ada
disekitarnya (Kozlowski 1987). Sehingga diharapkan akar yang tumbuh dengan
baik akan menyokong pertumbuhan tajuk dan produksi.
Keuntungan penerapan metode SRI dibanding metode konvensional yaitu
kebutuhan benih lebih sedikit, penghematan air sampai 50%, mengurangi
penggunaan pupuk anorganik hingga 50% jika ditambah dengan 50% pupuk
organik atau kombinasi 25% pupuk organik + 25% pupuk hayati, dan memiliki
hasil panen yang lebih tinggi (Hutabarat 2011). Oleh karena itu, pendapatan petani
menjadi lebih tinggi karena biaya produksi lebih sedikit jika menggunakan
metode SRI.
Penelitian mengenai fisiologi padi dengan menggunakan metode
konvensional telah banyak dilaporkan. Namun, fisiologi dan anatomi padi dengan
menggunakan metode SRI yang didukung peningkatan produksi masih sedikit
yang dilaporkan. Walaupun demikian, metode SRI telah digunakan oleh lebih
dari 50 negara termasuk oleh produsen beras besar di dunia seperti negara India,
Cina, Vietnam, dan Filipina (Katambara et al. 2013) termasuk juga negara
Indonesia. Metode SRI yang diterapkan di Afganistan dapat meningkatkan
produksi padi sebesar 66% dibandingkan metode konvensional (Thomas & Ramzi
2010). Begitu juga di Irak, produksi padi juga meningkat sebesar 42% dengan
metode SRI (Hameed et al. 2011). Metode SRI yang diterapkan di Indonesia
bagian timur (Nusa Tenggara) mampu meningkatkan produksi padi sebesar 78%
dengan sejumlah besar unit percobaan (>11000 unit percobaan) dan dilakukan
lebih dari 9 musim (Sato et al. 2011). Produksi padi dengan metode SRI yang di
terapkan di Situgede, Bogor juga meningkat sebesar 32.6% (Bakrie et al. 2010).
Seperti yang terlihat, peningkatan produksi padi metode SRI mempunyai kisaran
yang luas. Hal ini dipengaruhi terutama oleh mikrob tanah, yang sangat bervariasi
dibawah kondisi tanah dan iklim yang berbeda di setiap tempat. Mikrob sangat
berkaitan dengan kesehatan tanah. Tanah yang memiliki aerasi yang baik
membuat mikrob aerob dapat memaksimalkan aktivitasnya (Araújo et al. 2009).
Metode SRI ini telah terbukti dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi padi walaupun jumlah bibit dan jumlah air yang digunakan lebih sedikit
dibanding metode konvensional. Namun masih sedikit informasi mengenai
pengaruh metode SRI terhadap fisiologi, anatomi dan sistem perakaran padi,
hingga penerapan metode SRI ini dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi
padi dibanding metode konvensional. Oleh karena itu, informasi mengenai
pengaruh dari metode budidaya padi terhadap fisiologi, anatomi dan sistem
perakaran padi masih dibutuhkan untuk membantu menjelaskan pengaruh metode
SRI terhadap peningkatan produksi padi.
3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mengevaluasi perbedaan
parameter fisiologi, anatomi dan sistem perakaran padi dalam merespon
penerapan metode SRI dibandingkan dengan metode konvensional, dan untuk
mengetahui pengaruh kedua metode tersebut terhadap gabah yang dihasilkan.
Hipotesis
Fisiologi, anatomi dan sistem perakaran pada budidaya padi yang dilakukan
melalui metode SRI berbeda dengan fisiologi, anatomi dan sistem perakaran padi
pada metode konvensional.
Manfaat Penelitian
Data yang diperoleh dapat memberikan informasi tentang fisiologi, anatomi
dan sistem perakaran padi terhadap penerapan metode SRI dan konvensional
sehingga dapat menjelaskan bahwa budidaya padi dengan metode SRI tumbuh
lebih baik dan produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional.
TINJAUAN PUSTAKA
System of Rice Intensification (SRI)
System of Rice Intensification (SRI) adalah teknik budidaya padi yang
mampu meningkatkan produktifitas padi dengan mengutamakan pertumbuhan dan
perkembangan perakaran yang berbasis pada pengelolaan tanaman, tanah, air dan
unsur hara dengan tetap mengedepankan nilai ekonomi. Penerapan metode SRI
telah terbukti berhasil meningkatkan produktifitas padi sebesar 50% bahkan di
beberapa tempat mencapai lebih dari 100% (Setiajie et al. 2008). Metode SRI
pertama kali dilaksanakan di Indonesia oleh Lembaga Penelitian dan
Pengembangan Pertanian di Sukamandi di Jawa Barat. Rata-rata hasil panen di
Indonesia dengan menggunakan metode SRI sebesar 7.61 ton/ha sedangkan
dengan metode konvensional rata-rata hanya 4.27 ton/ha (Uphoff 2011). Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan metode SRI meningkatkan hasil panen sebesar
78% dibandingkan dengan menggunakan metode konvensional. Selain itu,
penggunaan air 40% berkurang dan pengurangan 50% pupuk kimia sehingga
biaya menjadi 20% lebih rendah.
Pengaturan air sangat diperhatikan pada metode SRI yaitu kondisi tanah
lembap (tidak tergenang) untuk memperbaiki kondisi perakaran tanaman padi.
Kemudian metode SRI terus dikembangkan oleh para peneliti. Seperti budidaya
SRI menurut Barison dan Uphoff (2011) yang prinsip dasarnya sebagai berikut:
4
1. Kondisi tanah lembap (tidak tergenang air). Kelembapan tanah pada metode
SRI pada kedalaman 10 cm adalah 32% sedangkan pada kedalaman 20 cm
adalah 59% (Ndiiri et al. 2013). Hal ini dimaksudkan agar tercipta kondisi
perakaran yang teroksidasi. Pada metode SRI ini kondisi tidak tergenang
dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif dan generatif.
2. Bibit di pindah ke lapangan (transplantasi) lebih awal (bibit muda). Pada
metode SRI dianjurkan untuk menanam bibit muda saat berumur 8-12 hari.
3. Penanaman bibit tunggal (satu lubang untuk satu bibit). Hal ini dimaksudkan
agar tanaman memiliki cukup ruang untuk menyebar dan memperdalam
perakaran.
4. Jarak tanam lebar. Pada metode SRI dianjurkan jarak tanam lebar dengan jarak
minimal 25 cm x 25 cm agar akar tanaman mempunyai cukup ruang untuk
berkembang sehingga anakan maksimum dapat tercapai.
5. Anjuran penggunaan bahan organik. Pemakaian bahan organik bertujuan untuk
memperbaiki struktur tanah agar tanaman padi dapat tumbuh baik dan unsur
hara tersuplai secara baik sehingga tidak tergantung pada pupuk anorganik.
Pengelolaan SRI berasosisasi secara nyata pada populasi mikrob tanah.
Aktivitas mikrob di rizosfer yang lebih tinggi pada metode SRI menandakan
banyaknya ketersediaan unsur hara untuk tanaman terutama kandungan Nitrogen
dan Fosfor (Anas et al. 2011).
Sistem Pertanian Konvensional
Pertanian secara konvensional menggunakan tanah sawah untuk
pertumbuhan padi. Dalam aplikasinya, pertanian konvensional menggunakan
prinsip sebagai berikut:
1. Bibit dipindah ke sawah saat berumur 21-25 hari.
2. Penanaman bibit sebanyak 3-5 bibit untuk satu lubang tanam sehingga terjadi
persaingan yang cukup ketat untuk memperoleh ruang tumbuh, cahaya dan
hara.
3. Jarak tanam lebih sempit daripada metode SRI yaitu 20 x 20 m.
4. Kondisi tanah selalu tergenang oleh air sehingga perakaran padi tidak
teroksidasi dengan baik dan boros air.
5. Pemupukan pada metode konvensional sebagian besar menggunakan pupuk
anorganik.
Tanah sawah adalah suatu keadaan di mana tanah yang digunakan sebagai
areal penanaman selalu dalam kondisi tergenang sehingga boros air. Selain itu,
dampak dari penggunaan genangan air yang terus-menerus pada tanaman padi
menyebabkan kekurangan kadar O2 dalam tanah. Pada saat kondisi tanah
kekurangan O2 (hipoksia) maka akar tanaman akan melakukan respirasi secara
anaerob (Drew 1997). Respirasi anaerob merupakan proses perombakan substrat
yang tidak sempurna. Sehingga respirasi anaerob menghasilkan energi jauh lebih
rendah daripada respirasi aerob yaitu 2 ATP sedangkan respirasi aerob
menghasilkan energi 38 ATP. Selain itu, respirasi anaerob menghasilkan senyawa
yang dapat meracuni sel. Seyawa tersebut dapat berupa etanol dan asam laktat
(Salisbury & Ross 1995).
5
Permasalahan saat ini yang dihadapi petani adalah kesehatan dan kesuburan
tanah yang semakin menurun. Hal ini ditunjukkan dengan gejala-gejala sebagai
berikut tanah cepat kering, retak-retak bila kurang air, lengket bila diolah, lapisan
olah dangkal, pH asam, dan produksi sulit meningkat bahkan cenderung menurun.
Kondisi ini semakin buruk karena penggunaan pupuk anorganik terus meningkat
dan penggunaan pestisida untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan
juga meningkat (Deptan 2010).
Tanaman Padi
Padi yang termasuk golongan tumbuhan Poaceae tersebar luas di seluruh
dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan
suhu udara cukup hangat. Padi sawah menyukai tanah yang lembap dan becek.
Menurut Yoshida (1981), keseluruhan organ tanaman padi terdiri dari dua
kelompok, yaitu organ vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan organ
generatif yang meliputi malai, bunga dan gabah.
Pertumbuhan padi menjadi 3 bagian yakni fase vegetatif, reproduktif dan
pemasakan. Fase vegetatif meliputi pertumbuhan tanaman mulai dari
berkecambah sampai dengan inisiasi primodia malai, fase reproduktif dimulai dari
inisiasi primodia malai sampai berbunga, dan fase pemasakan dimulai dari
berbunga sampai masak panen. Fase pertumbuhan organ-organ vegetatif meliputi
pertambahan tinggi tanaman, jumlah anakan, dan luas daun.
Fase reproduktif ditandai dengan memanjangnya beberapa ruas teratas
batang tanaman, berkurangnya jumlah anakan (matinya anakan yang tidak
produktif), munculnya daun bendera, bunting, dan pembungaan. Fase pematangan
terdiri dari 4 stadia, yaitu stadia matang susu ditandai dengan tanaman padi yang
masih berwarna hijau, malai yang sudah terkulai, ruas batang bawah terlihat
kuning dan jika gabah ditekan dengan jari keluar cairan seperti susu. Stadia
matang kuning ditandai dengan seluruh tanaman tampak kuning hanya pada bukubuku bagian atas yang masih hijau, isi gabah sudah mengeras tetapi mudah pecah.
Stadia matang penuh yang ditandai dengan buku atas sudah menguning, batang
mulai kering dan isi gabah sukar dipecahkan. Stadia terakhir dalam fase
pematangan benih adalah stadia mati dengan isi gabah sudah mengeras dan kering.
Pada varietas yang mudah rontok pada stadia ini gabah sudah mulai rontok.
Fisiologi Tanaman Padi
Laju fotosintesis sangat berkaitan dengan kandungan klorofil daun. Klorofil
adalah salah satu pigmen yang sangat penting yang digunakan tumbuhan untuk
menyerap cahaya dalam proses fotosintesis. Daun yang memiliki kandungan
klorofil tinggi diharapkan lebih efisien dalam menangkap energi cahaya matahari
untuk fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia yang dilakukan oleh
tumbuhan untuk menghasilkan karbohidrat. Sebagian hasil fotosintesis berupa
sukrosa yang diedarkan ke seluruh bagian tumbuhan untuk proses pertumbuhan
dan perkembangan. Sebagian lagi disimpan dalam bentuk cadangan makanan
(Gardner et al. 1991).
6
Selain klorofil, stomata juga sangat menentukan efisiensi fotosintesis.
Stomata berperan sebagai alat untuk pertukaran CO2 yang berperan dalam proses
fotosintesis sehingga berpengaruh terhadap produksi tanaman (Sahardi 2000).
Selain itu, stomata juga berperan dalam proses transpirasi tanaman. Proses
transpirasi sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan ketersediaan air. Untuk
mengurangi transpirasi pada saat terjadi cekaman cahaya tinggi dan ketersediaan
air yang rendah biasanya tanaman beradaptasi dengan cara mengurangi ukuran
stomata dan jumlah stomata (Price & Courtois 1991).
Tanaman menggunakan berkas pengangkut untuk mengangkut air dan
mineral serta hasil fotosintesis. Xilem berfungsi untuk mengangkut air dan
mineral dari akar ke daun, sedangkan floem berfungsi untuk membawa hasil
fotosintesis dari daun ke seluruh tumbuhan (Fahn 1982).
Tanaman padi sawah dapat bertahan hidup dengan kondisi air yang
tergenang, tetapi tidak tumbuh dengan subur di bawah kondisi hipoksia
(kekurangan oksigen). Pada kondisi penggenangan air terus menerus, tanaman
padi menghabiskan banyak energi untuk membentuk aerenkim dalam akarakarnya untuk mensuplai akar dengan oksigen sehingga dapat mempengaruhi
produksi tanaman (Neue & Sass 1994).
Perakaran dan Anatomi Tanaman Padi
Anatomi dan fungsi (fisiologi) pada sel dan jaringan tanaman saling
berkaitan. Pada bagian daun tanaman padi terdapat sel seludang pembuluh
mengandung kloroplas dan organel lain yang berperan sangat penting dalam
proses fotosintesis (Taiz & Zeiger 2010). Pada bagian daun tanaman padi juga
terdapat stomata yang berbentuk seperti halter yang sangat berperan dalam proses
fisiologi tanaman (Sutrian 1992). Kerapatan stomata dapat mempengaruhi dua
proses penting pada tanaman yaitu fotosintesis dan transpirasi. Pada akar, batang
dan daun tanaman terdapat berkas pengangkut. Tanaman memiliki dua berkas
pengangkut yaitu xilem dan floem. (Fahn 1982). Banyaknya berkas pengangkut
pada tanaman berkaitan erat dengan kemampuan tanaman dalam menyalurkan air
dan unsur hara yang diserap oleh akar dari tanah ke seluruh bagian tanaman
(Nijsse et al. 2001)
Tanaman padi memiliki jaringan aerenkim yang dapat dijumpai di akar,
transisi akar dan batang, batang, selubung daun, dan helai daun (Bahl et al. 1999).
Aerenkim ini sangat berpengaruh terhadap proses fisiologi tanaman terutama
berkaitan dengan suplai oksigen pada tanaman padi sawah. Aerenkim merupakan
jaringan parenkim yang terdiri dari sel gabus dengan rongga yang besar.
Aerenkim diproduksi lebih banyak oleh tanaman hidrofit seperti padi sawah pada
saat aerasi tidak bagus (Colmer 2003).
Akar padi memiliki rambut akar yang berperan penting dalam penyerapan
hara dan air dari media tanam. Rambut akar juga sebagai situs interaksi antara
tanaman dengan mikrob tanah. Rambut akar merupakan tonjolan dari epidermis
akar. Daerah rambut akar hanya terbatas pada ≥ 1 cm dari ujung akar. Rambut
akar dapat dilihat secara jelas di bawah mikroskop SEM (Scanning Electron
Microscope) (Foreman & Dolan 2001).
7
Akar merupakan bagian dari tumbuhan yang langsung berinteraksi dengan
tanah. Salah satu indikator kesuburan tanah adalah potensial redoks tanah (Eh).
Pengairan pada tanah sawah mempengaruhi potensial redoks tanah (Eh).
Penggenangan pada tanah sawah menyebabkan turunnya potensial redoks tanah
(Eh), perubahan pH dan perubahan unsur hara (De Datta 1981). Penggenangan
pada tanah sawah menyebabkan kondisi reduktif di sekitar perakaran tanaman,
sehingga akar kekurangan suplai O2 (De Datta 1981). Selain itu, kondisi tergenang
pada tanah sawah dapat menyebabkan Fe3+ dan Mn4+ direduksi menjadi Fe2+ dan
Mn2+ yang merupakan bentuk tersedia untuk tanaman. Namun peningkatan kadar
Fe dan Mn tersedia di tanah dapat bersifat racun bagi tanaman (Kyuma 2004).
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Sindang Barang Jero, Kecamatan Bogor
Barat, dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan, Departemen Biologi Fakultas
MIPA, Institut Pertanian Bogor dan dimulai bulan Oktober 2012 sampai dengan
September 2013.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan yaitu benih padi varietas Ciherang, pupuk urea
(44.7% N), pupuk SP-36 (38.9% P2O5), pupuk KCl (59.9% K2O), kompos yang
diperkaya dengan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) (Bacillus sp.,
Pseudomonas sp., Azospirillum sp. dan Azotobacter sp.) koleksi dari
Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, IPB. Pengukuran
fotosintesis, transpirasi, dan suhu daun dilakukan dengan menggunakan LI-COR
Biosciences (Nebraska, USA), pengukuran kandungan klorofil menggunakan
spektrofotometer tipe Spectro GenesysTM 20 (Massachusetts, USA), Pengukuran
potensial redoks tanah (Eh) menggunakan Eh meter tipe PRN-41 DKK TOA
(Jepang), pengukuran respirasi akar berdasarkan metode Verstraete (Anas 1989)
dan Fu et al. (2008), serta pengamatan anatomi diamati menggunakan Scanning
Electron Microscope (SEM) tipe JEOL JSM-5310LV di LIPI Cibinong,
mikroskop stereo optilab (tipe Olympus) dan mikroskop cahaya optilab (tipe
Olympus CX21FS1).
Rancangan Penelitian
Penelitian dirancang menurut Rancangan Acak Kelompok (RAK) yaitu
metode budidaya padi yang terdiri dari 2 perlakuan, yaitu metode konvensional
(Kon.) dan metode System of Rice Intensification (SRI). Masing-masing perlakuan
terdiri atas 5 ulangan. Dengan demikian terdapat 10 petak percobaan dari 2
8
perlakuan dengan 5 ulangan. Petak percobaan berukuran 4 m x 5 m. Skema
percobaan terdapat pada Lampiran 1.
Analisis Tanah dan Pengukuran Potensial Redoks Tanah (Eh)
Analisis tanah dilakukan sebelum penanaman padi dilaksanakan. Sampel
tanah diambil pada lapisan top soil. Pengambilan sampel tanah dilakukan secara
komposit pada empat titik yang berbeda dari seluruh petakan pada kedalaman 020 cm dengan menggunakan bor tanah. Hal ini dilakukan agar tanah yang
didapatkan homogen. Analisis tanah meliputi sifat kimia dan fisik tanah. Sifat
kimia tanah meliputi pH-tanah, C-organik, N-total, P, K, Ca, Mg, Na, KTK, Al,
H, Fe, Cu, Zn,S dan Mn serta pengukuran Eh tanah di lapang. Sifat fisik tanah
meliputi kadar air tanah dan tekstur tanah. Tanah dianalisis di Laboratorium Ilmu
Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah serta kriteria
penilaian sifat kimia tanah terdapat pada Lampiran 2 dan 3.
Pengukuran potensial redoks tanah (Eh) dilakukan dengan cara katoda
diletakkan di tanah pada kedalaman 10 cm dari permukaan tanah saat tanaman
padi berumur 48 HSS. Masing-masing petak terdapat 3 katoda yang diletakkan di
pinggir dan di tengah petak. Kemudian katoda tersebut dibiarkan selama 7 hari.
Pada saat umur tanaman padi umur 55 HSS, katoda dihubungkan dengan Eh meter
dan dilihat nilai Eh yang tercantum pada Eh meter.
Pembuatan Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Pupuk Hayati
Pupuk organik kompos dibuat dari bahan jerami dan kotoran sapi dengan
perbandingan 1:1 (b/b). Cacahan jerami disusun secara berlapis dengan kotoran
sapi berukuran 1 m x 1 m kemudian ditutup dengan terpal. Pembalikan kompos
dilakukan setiap 10 hari dan pengukuran suhu setiap 3 hari. Pengayaan kompos
dengan menambahkan pupuk hayati (Bacillus sp., Pseudomonas sp., Azospirillum
sp. dan Azotobacter sp.) sebesar 2.5% bobot bahan kompos dilakukan setelah 20
hari pengomposan kemudian dikomposkan kembali sampai matang dan dilakukan
pembalikan setiap 10 hari. Kompos diperkaya dipanen pada hari ke-45,
dikeringanginkan selama satu minggu, kemudian disimpan sampai diaplikasikan
di lapang (Suripti 2012). Analisis kompos meliputi kandungan C,N, P, K, Ca, Mg,
Fe, Cu, Zn, Mn, S, dan rasio C/N dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Hasil analisis pupuk kompos dan standar kualitas kompos
terdapat pada Lampiran 4.
Pelaksanaan Penelitian di Lapang
Pengecambahan benih dilakukan dengan cara merendam benih dengan air
hangat dan dibiarkan selama 24 jam, ditiriskan dan diperam selama 2 hari sampai
benih berkecambah. Pada metode SRI, benih yang berkecambah disemaikan
9
dalam baki menggunakan media tanah dan pupuk organik yang diperkaya dengan
pupuk hayati (1:1 v/v) selama 10 hari. Pada metode konvensional, benih yang
telah diinkubasi selama 2 hari dan berkecambah langsung disebar ke tempat
penyemaian di sawah selama 25 hari sebelum pindah tanam dengan menggunakan
praktik yang umum dilakukan. Perbedaan cara penanaman antara budidaya padi
metode konvensional dengan metode SRI diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perbandingan cara penanaman antara metode konvensional dan metode
SRI
Penanaman
Konvensional (Kon.)
a. Umur bibit
25 hari setelah semai
b. Jarak tanam
20 cm x 20 cm
c. Jumlah bibit per lubang tanam
3 bibit per lubang tanam
d. Jumlah bibit per m2
75 bibit per m2
e. Jumlah rumpun per m2
25 rumpun per m2
f. Pengairan
Selalu tergenang air
System of Rice
Intensification
(SRI)
10 hari setelah semai
(60% lebih cepat)
25 cm x 25 cm
(25% lebih lebar)
1 bibit per lubang tanam
(66% berkurang)
16 bibit per m2
(80% berkurang)
16 rumpun per m2
(36% berkurang)
Lembap
Kedua perlakuan yaitu metode konvensional dan metode SRI menggunakan
jenis, takaran, waktu, dan cara pemberian pupuk yang sama, sehingga kandungan
hara tanah bukan merupakan perlakuan dalam penelitian ini. Pada penelitian ini,
kedua metode budidaya menggunakan sistem pemupukan semiorganik yaitu
sebanyak 50% dosis pupuk anorganik (125 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 50 kg
KCl/ha atau setara dengan 0.25 kg urea/petak, 0.2 kg SP-36/petak, dan 0.1 kg
KCl/petak) dan 50% pupuk organik (2.5 ton/ha atau setara dengan 5 kg/petak).
Pupuk organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah pupuk kompos yang
diperkaya dengan pupuk hayati, yang diberikan pada saat pindah tanam dengan
pupuk SP-36 and KCl. Sementara, pupuk Urea diberikan saat pindah tanam
sebanyak setengah dosis dan sisanya diberikan pada umur 35 hari setelah tanam
(metode konvensional umur 60 hari setelah semai, sedangkan metode SRI 45 hari
setelah semai). Hasil analisis pupuk anorganik terdapat pada Lampiran 5.
Untuk menjaga tanah agar tetap lembap pada metode SRI maka dibuat parit
di sepanjang tepi bagian dalam plot (ukuran 20 cm x 20 cm x 30 cm) yang
digenangi air. Penggenangan pada plot dilakukan sesaat sebelum waktu
penyiangan dengan tinggi air sekitar 2 cm. Penyiangan dilakukan pada saat
tanaman umur 10, 20, dan 30 hari setelah tanam menggunakan landak yang
berfungsi juga untuk memberikan aerasi di bagian topsoil. Pada metode
konvensional, air diberikan secara tergenang terus-menerus dengan ketinggian 5
cm sampai tanaman umur 105 hari setelah tanam. Penyiangan pada metode
konvensional dilakukan pada saat 10 dan 20 hari setelah tanam dengan cara
mencabut gulma menggunakan tangan. Pada kedua metode budidaya, plot
dikeringkan 5 hari sebelum panen. Pemanenan dilakukan pada saat bulir padi
10
sekitar 90-95% telah menguning yaitu pada saat padi berumur 110 hari setelah
semai.
Pengamatan
Parameter pertumbuhan vegetatif yang diamati yaitu tinggi tanaman, luas
daun, jumlah anakan, jumlah daun, bobot kering tajuk umur 70 HSS dan 110 HSS,
lebar tajuk 20 cm di atas permukaan tanah (dpt) umur 70 HSS, jumlah anakan
produktif per rumpun, serta jumlah anakan produktif per m2.
Parameter pertumbuhan generatif yang diamati yaitu panjang malai per
rumpun, jumlah gabah isi per rumpun, jumlah gabah total per rumpun, persentase
gabah hampa, bobot gabah kering per rumpun, bobot per 1000 bulir, bobot gabah
kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2.
Parameter fisiologi yang diamati meliputi laju fotosintesis (A), laju
transpirasi (E), dan suhu daun (Tleaf) menggunakan alat LI-COR Biosciences
(Nebraska, USA), kandungan klorofil berdasarkan metode Arnon (1949)
menggunakan spektrofotometer tipe Spectro GenesysTM 20 (Massachusetts, USA)
yang diamati pada empat tahap pertumbuhan (vegetatif, pembungaan, pengisian
biji, matang biji), serapan hara N daun diamati pada umur 70 HSS berdasarkan
metode Kjeldhal (Jones 1991), dan serapan hara P daun diamati umur 70 HSS
berdasarkan metode pengabuan basah menggunakan HNO3 dan HClO4 dan diukur
menggunakan spektrofotometer UV VIS.
Parameter perakaran dan anatomi padi terdiri dari akar terpanjang dan bobot
kering akar pada umur 110 HSS dan 70 HSS, rambut akar, respirasi akar yang
diamati pada empat tahap pertumbuhan (vegetatif, pembungaan, pengisian biji,
matang biji), aerenkim akar, aerenkim batang, berkas pengangkut di batang, dan
jumlah stomata serta indek stomata pada umur 70 HSS.
Pengamatan Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif Tanaman Padi
Tinggi tajuk diukur dari pangkal batang sampai daun terpanjang yang
diamati setiap 2 minggu. Penghitungan jumlah anakan dilakukan dengan
menghitung jumlah anakan dalam satu rumpun yang muncul yang diamati setiap
2 minggu. Penghitungan jumlah daun dilakukan dengan menghitung jumlah daun
yang muncul dari setiap anakan dalam satu rumpun yang diamati setiap 2 minggu.
Luas daun diukur dengan menggunakan piranti lunak Image J dengan cara
memotret daun yang diamati setiap 2 minggu. Lebar tajuk di ukur dari tajuk
bagian kiri ke bagian kanan menggunakan penggaris sekitar 20 cm dari
permukaan tanah dalam satu rumpun yang diamati pada umur 70 HSS. Bobot
kering akar dan tajuk ditimbang secara terpisah setelah dikeringkan dalam oven
pada suhu 80oC sehingga tercapai bobot kering yang diamati pada umur 70 HSS
dan 110 HSS. Rata-rata akar terpanjang diukur mulai dari pangkal akar sampai
ujung akar terpanjang pada 5 tanaman contoh yang diamati pada umur 70 HSS
dan 110 HSS. Penghitungan jumlah anakan produktif per rumpun dilakukan
dengan menghitung semua anakan yang mengeluarkan malai yang ada pada setiap
rumpun yang diamati saat menjelang panen.
Anakan produktif per m2 = Luasan m2 x Jumlah anakan produktif per rumpun
Jarak tanam
11
Pengukuran panjang malai per rumpun dilakukan dengan mengukur panjang
malai dari buku malai hingga ujung malai pada setiap rumpun pada 5 tanaman
contoh yang diamati saat panen. Penghitungan jumlah gabah isi per rumpun
dilakukan dengan cara menghitung jumlah gabah isi dari tiap malai dalam satuan
bulir pada setiap rumpun pada 5 tanaman contoh yang diamati setelah panen.
Penghitungan jumlah gabah total per rumpun dilakukan dengan menjumlahkan
gabah isi dan gabah hampa pada tiap malai yang diamati setelah panen. Persentase
gabah hampa per rumpun dilakukan dengan membagi jumlah gabah yang hampa
dengan jumlah gabah total pada setiap rumpun yang diamati setelah panen. Bobot
kering gabah per rumpun diperoleh dengan cara menimbang semua gabah dalam
satu rumpun yang diamati setelah panen. Bobot per 1000 bulir diperoleh dengan
cara menimbang 1000 bulir gabah dari per satuan percobaan yang diamati setelah
panen. Gabah Kering Panen (GKP) diperoleh dari menimbang bobot padi saat panen
pada petakan yang telah dibuat ubinan dengan ukuran 1 m x 1 m. Gabah Kering
Giling (GKG) Bobot ini diperoleh dari menimbang bobot padi yang telah dioven pada
suhu 70oC selama 48 jam, dilakukan pada petakan yang telah dibuat ubinan dengan
ukuran 1 m x 1 m.
Pengamatan Fisiologi Padi
Pengukuran Parameter Fotosintesis. Parameter fotosintesis yang diamati
dengan LI-COR Biosciences (Nebraska, USA) yaitu tingkat asimilasi bersih /
tingkat fotosintesis (A). Tingkat fotosintesis diukur pada PAR 600-1200 µmol
CO2 mol-1. Selain itu, diukur juga transpirasi (E) dan suhu daun (Tleaf).
Pengukuran ini dilakukan pukul 09:00-11:30. Pengukuran fotosintesis
dilakukan sebanyak 4 kali pada saat padi tahap vegetatif, berbunga, pengisian biji,
dan matang biji. Pengukuran fotosintesis menggunakan daun lebar penuh (daun no
3 dan 4 dari ujung batang).
Analisis Kandungan Klorofil. Analisis kandungan klorofil dilakukan
mengikuti metode Arnon (1949). Sebanyak 1 g sampel daun segar tanpa tulang
daun digerus dengan aseton p.a 80%. Supernatan disaring dengan mengggunakan
kertas saring dan diencerkan sampai volume 50 ml. Selanjutnya diambil 2.5 ml
larutan dan diencerkan lagi sampai volume 25 ml. Kemudian diukur nilai
absorbansi ekstrak klorofil dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 663
nm (klorofil a) dan panjang gelombang 645 (klorofil b). Kandungan klorofil a, b
dan total dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut:
Kla = 0,0127.D663 – 0,00269.D645
Klb = 0,0229.D645 – 0,00468.D663
Kltotal = 20,2.D645 + 8,02.D663
Analisis kandungan klorofil dilakukan sebanyak 4 kali pada saat padi tahap
vegetatif, berbunga, pengisian biji, dan matang biji. Pengukuran kandungan
klorofil menggunakan daun lebar penuh (daun no 3 dan 4 dari ujung batang).
Serapan Hara N dan P pada Daun. Contoh daun padi diambil dari seluruh
bagian daun pada umur 70 HSS dan dikeringkan dengan oven suhu 60oC selama 2
hari. Daun kering dihaluskan dengan alat penggiling. Kandungan N daun
ditentukan dengan metode Kjeldhal (Jones 1991) dan kandungan P dengan
metode pengabuan basah menggunakan HNO3 dan HClO4, dan diukur
menggunakan spektrofotometer UV VIS. Analisis N dan P dilakukan di Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Cimanggu, Bogor.
12
Respirasi Akar. Pengukuran respirasi akar dilakukan mengikuti metode
Verstraete (Anas 1989) dan Fu et al. (2008). Pengukuran respirasi akar dilakukan
dengan cara memasukkan 300 g tanah ke dalam tabung dengan diameter 5 cm dan
panjang 25 cm. Kemudian akar yang masih menempel pada tanaman padi
dimasukkan ke dalam tabung yang telah berisi tanah. Pada tabung terdapat selang
yang dihubungkan dengan botol yang berisi 15 ml 0.2 N KOH. CO2 yang
dihasilkan ditampung di dalam botol tersebut. Kemudian menutup tabung dan
botol penampung CO2 dengan rapat menggunakan vaselin dan di inkubasi selama
5 hari. Pada akhir inkubasi, ditambahkan 2 tetes fenolftalein ke dalam botol yang
berisi 0.2 N KOH. Penambahan fenolftalein akan menyebabkan cairan bening
berubah jadi merah. Kemudian titrasi menggunakan HCl sampai warna merah
hilang (bening). Volume HCl yang diperlukan untuk merubah warna merah
menjadi bening di catat.
Setelah itu, ditambahkan 2 tetes metil orange ke dalam botol. Penambahn
metil orange akan menyebabkan cairan bening menjadi kuning. Kemudian titrasi
menggunakan HCl sampai warna kuning berubah menjadi merah muda. Volume
HCl yang diperlukan untuk merubah warna kuning menjadi merah muda di catat.
Jumlah HCl yang digunakan pada tahap kedua titrasi berhubungan langsung
dengan CO2 yang di fiksasi oleh KOH.
Reaksi:
1. Perubahan warna merah menjadi tidak berwarna/bening (fenolftalein):
K2CO3 + HCl
KCl + KHCO3
2. Perubahan warna kuning menjadi pink (metil orange):
KHCO3 + HCl
KCl + H2O + CO2
Atau 1.0 me HCl = 1 me CO2 dari persamaan pada reaksi kedua.
1 ml 0.10 NHCl = 4.40 mg CO2
= 1.2 mg CO2-C
Jumlah CO2-C akar yang dihasilkan per kilogram tanah lembap per hari (r) dapat
dihitung dengan rumus:
r = ((b-c) x t x 120) - ((a-c) x t x 120)
k/ n
a = ml HCl untuk contoh tanah
b = ml HCl untuk contoh tanah + akar
c = ml HCl contoh (kosong)
t = normalitas HCl (0.1 N)
k = bobot kering akar
n = jumlah hari inkubasi
Pengukuran respirasi akar dilakukan sebanyak 4 kali pada saat padi tahap
vegetatif, berbunga, pengisian biji, dan matang biji.
Pengamatan Anatomi Padi
Pengamatan Rambut Akar, Aerenkim Akar, dan Berkas Pengangkut
Batang Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Preparasi sampel
mengikuti metode Bozzola dan Russel (1999) dan dilakukan di LIPI Cibinong,
sebagai berikut: sampel akar umur 70 HSS dipotong ≥ 1 cm dari ujung akar untuk
pengamatan rambut akar dan aerenkim akar. Untuk pengamatan berkas
13
pengangkut pada batang, sampel dipotong ≥ 3 cm dari pangkal batang. Sampel
diprafiksasi di dalam larutan glutaraldehid 2.5% selama 12 jam pada suhu 4oC.
Kemudian sampel dipascafiksasi di dalam larutan tannic acid 2% selama 1 jam
pada suhu 4oC. Selanjutnya sampel dicuci dengan larutan bufer cacodylate
sebanyak 4 kali, masing-masing tahapan pencucian berlangsung selama 15 menit
pada suhu 4oC. Setelah itu, sampel dicuci dengan akuades selama 15 menit pada
suhu 4oC. Proses dehidrasi dilakukan dengan seri larutan etanol 50%, 75%, 85%,
94% dan alkohol absolut. Sampel yang telah didehidrasi kemudian dikeringbekukan (freeze drying) di dalam larutan t-butanol selama 3 jam, setelah
sebelumnya direndam di dalam larutan t-butanol selama 10 menit sebanyak dua
kali. Spesimen selanjutnya direkatkan pada stub menggunakan perekat karbon,
disepuh dengan emas (metal coating), kemudian diamati dengan menggunakan
SEM JEOL JSM-5310LV type.
Pengamatan Aerenkim Akar dan Batang Menggunakan Mikroskop
Stereo Optilab dan Mikroskop Cahaya Optilab. Preparasi sampel dibuat dalam
bentuk preparat semi permanen dengan metode sediaan utuh (Sass 1951).
Pengamatan aerenkim akar dilakukan dengan cara memotong sampel akar yang
berumur 70 HSS ≥ 1 cm dari ujung akar. Pengamatan aerenkim batang dilakukan
dengan cara memotong sampel batang yang berumur 70 HSS ≥ 3 cm dari pangkal
batang. Sampel yang sebelumnya telah difiksasi dalam alkohol 70%, dicuci
dengan aquades. Kemudian sampel diwarnai dengan safranin 1%. Sampel yang
telah diwarnai diletakkan pada kaca objek yang telah diberi media gliserin 30%
kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah itu, sampel diamati menggunakan
mikroskop stereo optilab (olympus type) dan mikroskop cahaya optilab (olympus
CX21FS1 type).
Pengamatan Kerapatan Stomata dan Indek Stomata Menggunakan
Mikroskop Cahaya. Preparasi sampel untuk mengamati kerapatan stomata dan
indek stomata dilakukan dengan cara: Sampel daun yang diuji adalah daun ketiga
pada tanaman berumur 70 HSS. Setiap perlakuan diambil tiga sampel daun
dengan tiga ulangan. Tiap ulangan diamati 5 bidang pandang untuk kerapatan
stomata dan indek stomata. Kerapatan stomata diamati pada perbesaran 400x,
Setiap 1 skala garis pada perbesaran 400x memiliki nilai 2,5 μm dan memiliki
diameter 0,45 mm, sehingga luas bidang pandang pada perbesaran 400x adalah
0,159 mm2. Daun sebelum dipotong direndam dalam alkohol 70%, kemudian
bagian yang terendam dipotong dan dimasukkan dalam botol film yang berisi
alkohol 70%. Selanjutnya daun direndam dalam larutan HNO3 50% selama 20
menit untuk melunakkan jaringan. Sebelum disayat menggunakan silet, daun
tersebut terlebih dahulu dicuci menggunakan akuades. Cara menghilangkan
klorofil dari mesofil yang terikat, sayatan epidermis abaksial dana adaksial
direndam dalam larutan bayclin selama 5 menit kemudian dicuci menggunakan
akuades. Sayatan epidermis yang telah didapatkan kemudian diwarnai dengan
pewarna safranin 1% selama satu menit kemudian dicuci menggunakan akuades.
Sediaan berupa lapisan epidermis diletakkan di atas gelas obyek kemudian ditetesi
gliserin 30% dan ditutup dengan gelas penutup (Sass 1951; Lestari 2006).
Selanjutnya dilakukan penghitungan kerapatan jumlah stomata pada bagian
adaksial dan abaksial daun. Berikut rumus penghitungan stomata:
14
Kerapatan stomata =
Jumlah stomata
Satuan luas bidang pandang
Indeks stomata
Jumlah stomata
x 100%
Jumlah stomata + sel epidermis
=
Analisis Data
Data dianalisis secara statistik menggunakan Independent T-test pada
probabilitas 5%. Software yang digunakan untuk analisis adalah program SPSS
v.16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengaruh Metode Budidaya Padi pada Pertumbuhan vegetatif Tanaman
Padi
Penerapan metode SRI menghasilkan pengukuran yang berbeda nyata
(P<0.05) pada tinggi tanaman, luas daun, jumlah anakan per rumpun, dan jumlah
daun total per rumpun dibandingkan dengan metode konvensional pada umur 32
sampai umur 70 hari setelah semai (HSS) (Gambar 1a-c).
Tinggi tanaman pada metode SRI umur 32, 46, 60, and 70 HSS nyata lebih
tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional (Gambar 1a). Luas
daun pada metode SRI juga nyata lebih lebar (P<0.05) dibandingkan dengan
metode konvensional pada umur 46, 60, and 70 HSS. Namun, pada umur 32 HSS,
luas daun tanaman padi pada kedua metode tidak berbeda nyata (P> 0.05)
(Gambar 1b). Jumlah anakan dan jumlah daun total per rumpun yang
menggunakan metode SRI pada umur 32, 46, 60, and 70 HSS nyata lebih banyak
(P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional, semakin banyak jumlah
anakan maka jumlah daun juga semakin banyak (Gambar 1c).
Budidaya padi yang menggunakan metode SRI mampu meningkatkan bobot
kering batang secara nyata pada umur 70 dan 100 HSS (P<0.05) dibandingkan
dengan metode konvensional (Tabel 2). Selain itu, tajuk padi yang diukur pada 20
cm di atas permukaan tanah pada metode SRI nyata lebih lebar (P<0.05)
dibandingkan dengan metode konvensional (Tabel 2).
Luas daun (cm2)/helai
15
80
60
Kon.
SRI
40
20
0
70
60
50
40
30
20
10
0
32
46
60
70
Hari setelah semai
Kon.
SRI
32 46 60 70
Hari setelah semai
a
b
Jumlah anakan/rumpun
100
200
80
150
60
100
40
50
20
0
0
32
46
60
Jumlah daun total/rumpun
Tinggi tanaman (cm)
100
Kon.
SRI
Kon.
SRI
70
Hari setelah semai
c
Gambar 1 Pertumbuhan vegetatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang
berbeda. (a) tinggi tanaman, (b) luas daun, (c) jumlah anakan dan jumlah
daun total.
: Jumlah anakan (Konvensional);
: Jumlah anakan
(SRI);
: Jumlah daun total (Konvensional);
: Jumlah daun total
(SRI). Garis bar pada grafik menunjukkan Standar Error pada uji Independent
t (α = 0.05)
Tabel 2 Pertumbuhan vegetatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang
berbeda
Pertumbuhan vegetatif
Konvensional
SRI
Bobot kering batang 70 HSS
28.2b
53.0a
110 HSS
22.3b
48.4a
Lebar tajuk pada 20 cm di atas
15.2b
19.2a
permukaan tanah
Jumlah anakan produktif/rumpun
12.9b
24.7a
2
Jumlah anakan produktif/m
323.3b
394.7a
Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
Jumlah anakan produktif per rumpun pada metode SRI nyata lebih banyak
(P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Metode SRI dapat
meningkatkan jumlah anakan produktif per rumpun sebesar 95% (Tabel 2). Begitu
juga jumlah anakan produktif per m2 pada metode SRI nyata lebih banyak
(P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Metode SRI mampu
meningkatkan jumlah anakan produktif per m2 sebesar 22% (Tabel 2).
16
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
20
15
10
5
0
Kon.
SRI
Kon.
SRI
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Suhu daun (oC)
25
Laju transpirasi
(H2O m-2 s-1)
Laju fotosintesis
(µmol CO2 m-2 s-1)
Pengaruh Metode Budidaya Padi terhadap Fisiologi Tanaman padi
Laju fotosintesis pada tahap vegetatif, pembungaan, pengisian biji, dan
matang biji pada metode SRI berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan
metode konvensional (Gambar 2a). Namun, transpirasi tanaman padi tidak
berbeda nyata (P>0.05) baik pada metode SRI dan metode konvensional (Gambar
2a). Demikian pula, suhu daun tidak berbeda nyata (P> 0.05) pada kedua metode
budidaya di setiap tahap pertumbuhan (Gambar 2b).
Kon.
SRI
V
V F G M
Tahap pertumbuhan
F
G
M
Tahap pertumbuhan
a
b
Kandungan klorofil (mg/L)
Gambar 2 Laju fotosintesis (a), laju transpirasi (a), dan suhu daun (b) pada empat tahap
pertumbuhan (V: vegetatif, F: pembungaan, G: pengisian biji, M: matang biji)
pada PAR 600-1200 µmol CO2 mol-1.
: Fotosintesis (Konvensional);
: Fotosintesis (SRI);
: Transpirasi (Konvensional);
:
Transpirasi (SRI). Garis bar pada grafik menunjukkan Standar Error pada uji
Independent t (α = 0.05)
10
8
Kon.
SRI
Kon.
SRI
Kon.
SRI
6
4
2
0
V
F
G
Tahap pertumbuhan
M
Gambar 3 Kandungan klorofil daun padi pada empat tahap pertumbuhan (V: vegetatif, F:
pembungaan, G: pengisian biji, M: matang biji ).
: Klorofil a
(Konvensional);
: Klorofil a (SRI);
: Klorofil b (Konvensional);
: Klorofil b (SRI);
: Klorofil total (Konvensional);
:
Klorofil total (SRI). Garis bar pada grafik menunjukkan Standar Error pada uji
Independent t (α = 0.05)
Kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total pada daun selama tahap
pembungaan, pengisian biji, dan matang biji nyata lebih tinggi (P<0.05) pada
metode SRI dibandingkan dengan metode konvensional. Namun demikian,
kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total daun pada tahap vegetatif tidak
berbeda nyata (P>0.05) pada kedua metode budidaya padi (Figure 3).
17
Tabel 3 Kandungan Nitrogen dan Fosfor pada umur tanaman 70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
Serapan hara padi
Konvensional
SRI
Kandungan N-daun (%)
0.41b
1.34a
Serapan N-daun (g/rumpun)
0.12b
0.71a
Kandungan P-daun (%)
0.29b
0.32a
Serapan P-daun (g/rumpun)
0.08b
0.16a
Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
Kandungan dan serapan hara Nirogen dan Fosfor pada daun padi umur 70
HSS pada metode SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan metode
konvensional (Tabel 3).
Pengaruh Metode Budidaya Padi pada Sistem Perakaran dan Anatomi Padi
Metode SRI nyata (P<0.05) mampu meningkatkan rata-rata akar terpanjang
sebesar 16.1% pada umur 110 DAS (pada saat panen) dibandingkan metode
konvensional (Tabel 4). Metode SRI juga nyata (P<0.05) mampu meningkatkan
bobot kering akar tanaman padi sebesar 64.5% pada umur 70 HSS dan sebesar
67.3% pada umur 110 HSS dibandingkan metode konvensional (Tabel 4).
Tabel 4 Rata-rata akar terpanjang dan bobot kering akar pada umur tanaman 70
dan 110 HSS pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
Metode budidaya padi
Akar terpanjang (cm)
Bobot kering akar(g)
70 HSS
110 HSS
70 HSS
110 HSS
Konvensional
32.0a
23.4b
7.4b
2.2b
SRI
34.1a
27.1a
14.2a
3.6a
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
Jumlah rambut akar tanaman padi pada metode SRI secara nyata lebih
banyak (P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Penerapan metode
SRI dapat meningkatkan jumlah rambut akar sebesar 59.9% (Tabel 5). Rambut
akar tanaman padi yang diamati menggunakan Scanning Electron microscope
(SEM) pada metode SRI, menunjukkan kondisi yang lebih baik dan lebih sehat,
dan akar tersebut tampak tegar (lurus), sedangkan rambut akar pada metode
konvensional tampak tidak tegar (layu) (Gambar 4).
Tabel 5 Jumlah rambut akar tanaman padi pada umur tanaman 70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
Metode budidaya padi
Jumlah rambut akar
(jumlah/mm2)
Konvensional
510.2b
SRI
816.2a
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05
18
b
a
c
d
e
f
Gambar 4 Rambut akar tanaman padi (70 HSS), menggunakan Mikroskop Cahaya
: rambut
(a,b) dan SEM (c,d,e,f), perbesaran 100x, 500x, 1000x.
akar. a,c,e) rambut akar pada metode konvensional; b,d,f) rambut pada
metode SRI
Kondisi tanah yang tergenang terus menerus pada metode konvensional
mempengaruhi potensial redoks tanah (Eh). Potensial redoks tanah (Eh) pada
metode SRI nyata lebih tinggi (P<0.05) dibandingkan dengan metode
konvensional. Potensial redoks tanah (Eh) pada metode SRI sebesar -135.8 mV,
sedangkan potensial redoks tanah (Eh) pada metode konvensional sebesar -246.6
mV (Gambar 5). Namun, respirasi akar tanaman padi pada metode SRI tidak
berbeda nyata (P>0.05) dengan metode konvensional pada semua tahap
pertumbuhan (Gambar 6).
19
Konvensional
SRI
Potensial redoks
tanah (Eh) (mV)
0
-50
-100
-150
-200
-250
-300
Metode budidaya padi
Respirasi akar (mg
CO2-C akar/g/5 hari
Gambar 5 Potensial redoks tanah (Eh) pada 2 metode budidaya padi yang berbeda.
Garis bar menunjukkan Standar Error pada uji Independent t (α = 0.05)
35
30
25
20
15
10
5
0
Kon.
SRI
V
F
G
M
Tahap pertumbuhan
Gambar 6 Respirasi akar pada empat tahap pertumbuhan (V: vegetatif, F:
pembungaan, G: pengisian biji, M: matang biji).
:
Konvensional;
: SRI. Garis bar menunjukkan Standar Error
pada uji Independen t-test (α = 0.05)
Persentase pembentukan aerenkim akar padi pada metode SRI secara nyata
lebih rendah (P <0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Pembentukan
aerenkim akar padi pada metode SRI sebesar 45.1%, sedangkan pembentukan
aerenkim akar padi pada metode konvensional sebesar 70.9% (Tabel 6, Gambar
7). Jumlah aerenkim batang pada metode konvensional dan metode SRI tidak
berbeda nyata (P> 0.05). Namun, luas aerenkim batang pada metode SRI nyata
lebih rendah (P <0.05) sebesar 42.6% dibandingkan dengan metode konvensional.
Demikian pula, total luas aerenkim batang per lingkar batang juga nyata lebih
rendah (P <0.05) pada metode SRI sebesar 43.6% dibandingkan dengan metode
konvensional (Tabel 6, Gambar 8).
Tabel 6 Aerenkim akar dan batang padi pada umur tanaman70 HSS pada 2
metode budidaya padi yang berbeda
Metode
budidaya padi
Aerenkim
akar
(%)
Jumlah
Luas aerenkim
Total luas
aerenkim batang
batang
aerenkim batang
per lingkar
(mm2)
(µm2 per lingkar
batang
batang)
Konvensional
70.9a
27.8a
0.54a
1.49a
SRI
45.1b
27.0a
0.31b
0.84b
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
20
b
a
c
Gambar 7 Aerenkim akar padi (70 HSS), menggunakan SEM, perbesaran 100x.
: Aerenkim. a) Aerenkim akar pada jarak 2 cm dari ujung akar pada
metode konvensional; b) Aerenkim akar pada jarak 1 cm dari ujung
akar pada metode konvensional; c) Aerenkim akar pada jarak 1 cm dari
ujung akar pada metode SRI
Tabel 7 Jumlah berkas pengangkut pada batang padi pada umur tanaman 70 HSS
pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
Metode budidaya padi
Jumlah berkas pengangkut pada
batang
(jumlah/mm2)
Konvensional
3.1a
SRI
3.8a
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
Jumlah berkas pengangkut di batang padi pada metode SRI tidak berbeda
nyata (P>0.05) dengan jumlah berkas pengangkut di batang padi pada metode
konvensional (Tabel 7, Gambar 9). Begitu juga dengan kerapatan stomata dan
indek stomata daun bagian abaksial dan adaksial juga tidak berbeda nyata (Tabel
8, Gambar 10).
21
Gambar 8 Penampang melintang batang padi (70 HSS), perbesaran 20x, 40x, dan
100x, masing-masing.
: aerenkim. a, c, e) Aerenkim batang pada
metode konvensional; b, d, f) Aerenkim batang pada metode SRI
a
b
Gambar 9 Penampang melintang batang padi (70 HSS) menggunakan SEM,
perbesaran 100x.
: berkas pengangkut. a) metode konvensional; b)
metode SRI
22
Tabel 8 Kerapatan stomata dan indek stomata daun padi pada umur tanaman 70
HSS pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
Metode
Kerapatan stomata
Kerapatan
Indek stomata Indek stomata
budidaya
abaksial
stomata adaksial
abaksial
adaksial
padi
(mm2)
(mm2)
(%)
(%)
Konvensional
518.2a
447.8a
32.6a
25.6a
SRI
531.7a
436.1a
33.9a
26.7a
Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
a
b
Gambar 10 Stomata pada daun padi (70 HSS), perbesaran 1000x.
a) metode konvensional; b) metode SRI
: stomata.
Pengaruh Metode Budidaya Padi pada Fase Generatif Tanaman padi
Panjang malai padi pada metode SRI nyata lebih panjang (P<0.05)
dibanding metode konvensional. Oleh karena itu, Jumlah gabah isi per rumpun
dan jumlah gabah total per rumpun juga nyata lebih tinggi (P<0.05) pada metode
SRI dibandingkan dengan metode konvensional. Penerapan metode SRI juga
nyata (P<0.05) menurunkan jumlah gabah hampa pada metode SRI sebesar
14.7%, sedangkan persentase gabah hampa pada metode konvensional sebesar
21.2% (Tabel 9).
Tabel 9 Fase generatif tanaman padi pada 2 metode budidaya padi yang berbeda
Fase generatif padi
Konvensional
SRI
Panjang malai (cm)
21.7b
22.5a
Jumlah gabah isi/rumpun
1023.0b
2491.3a
Jumlah gabah total/rumpun
1385.1b
2928.1a
Persentase gabah hampa (%)
21.2a
14.7b
Bobot gabah kering/rumpun (g)
25.2b
55.8a
Bobot 1000 bulir (g)
24.2a
24.6a
Bobot gabah kering panen (g/m2)
716.2b
887.3a
Bobot gabah kering giling (g/m2)
618.4b
769.8a
Huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Independent t (α =
0.05)
Bobot kering biji per rumpun pada metode SRI juga nyata (P<0.05) lebih
tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Oleh karena itu, penerapan
metode SRI mampu meningkatkan bobot kering biji per rumpun sebesar 121.4%.
Namun demikian, bobot 1000 bulir tidak berbeda nyata (P>0.05) pada metode
SRI dan metode konvensinal (Tabel 9).
23
Bobot gabah kering panen per m2 pada metode SRI nyata lebih tinggi
(P<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Metode SRI mampu
meningkatkan bobot gabah kering panen per rumpun sebesar 23.8%. Demikian
pula, bobot gabah kering giling per m2 pada metode SRI nyata lebih tinggi (P
<0.05) dibandingkan dengan metode konvensional. Peningkatan bobot gabah
kering giling per m2 pada metode SRI sebesar 24% (Table 9). Perkiraan hasil
panen (gabah kering giling) pada metode SRI sebesar 7.7 ton/ha, sedangkan pada
metode konvensional 6.2 ton/ha.
Pembahasan
Hasil analisis tanah percobaan sebagai berikut: pH netral (6.7), kandungan
C-organik rendah (1.83%), kandungan N-total rendah (0.17%), P-tersedia (Bray1) sangat rendah (6.9 ppm), Ca tinggi (11.45 me/100g), Mg tinggi (2.54 me/100g),
K sedang (0.31 me/100g), Na sedang (0.60 me/100g), KTK sedang (17.18
me/100g) (Hardjowigeno 1995).
Hasil analisis kompos menunjukkan bahwa kompos memiliki kandungan C
organik sebesar 26.64%, N sebesar 1.58%, P tersedia 0.69% dan rasio C/N
16.86%. Kandungan basa dapat ditukar seperti Ca sebesar 0.15%, Mg 0.16%, dan
K 1.60% (Lampiran 4). Kandungan hara kompos yang diperkaya dengann pupuk
hayati dalam penelitian ini memiliki kualifikasi sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
Perubahan fisiologi padi dibawah metode System of Rice Intensification (SRI)
Metode SRI telah mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman padi dari fase
vegetatif sampai generatif. Tinggi tanaman, luas daun, jumlah anakan, dan jumlah
daun padi lebih tinggi pada metode SRI dibandingkan dengan metode
konvensional (Gambar 1). Hal tersebut disebabkan oleh waktu pindah tanam lebih
awal dengan menggunakan bibit yang lebih muda yaitu umur 10 HSS
dibandingkan dengan metode konvensional yang menggunakan bibit umur 25
HSS. Penanaman bibit umur 10 HSS memiliki keuntungan pada pertumbuhan
awal tanaman dan meminimalisasi shock saat pindah tanam (Stoop et al. 2002).
Penanaman bibit yang lebih muda menyebabkan tanaman memiliki lebih banyak
waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tinggi tanaman dan jumlah
anakan yang dihasilkan lebih tinggi pada metode SRI dibandingkan dengan
metode konvensional. Selain itu, penanaman satu bibit per lubang tanam dan jarak
tanam yang lebih lebar pada metode SRI dibandingkan dengan metode
konvensional, berperan penting dalam mengurangi persaingan antara tanaman
terutama untuk penyerapan unsur hara, air, cahaya, dan udara, yang secara nyata
dapat meningkatkan pertumbuhan individu tanaman padi pada metode SRI
(Thakur et al. 2010). Tanah yang lembap pada metode SRI dapat memberi aerasi
yang baik di sekitar perakaran. Kondisi pertumbuhan yang menguntungkan pada
metode SRI ini memungkinkan banyak phyllochron dari tanaman padi
berkembang membentuk anakan sebelum fase pembungaan, sehingga
menghasilkan lebih banyak anakan dan sistem perakaran lebih luas daripada
metode konvensional. Jumlah daun padi meningkat seiring dengan meningkatnya
jumlah anakan (Gambar 1c). Begitu juga luas daun meningkat karena tingkat
elongasi pada sel-sel di daun lebih besar (Gambar 1b), yang mungkin telah
24
berkontribusi untuk membuat ukuran daun lebih lebar (Thakur et al. 2011).
Tingkat elongasi pada sel-sel di daun meningkat secara nyata pada tanaman padi
yang ditanam di tanah jenuh air dibandingkan dengan tanah tergenang (Nguyen et
al. 2009).
Bobot kering tajuk pada metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan
metode konvensional (Tabel 2). Peningkatan bobot kering tajuk pada metode SRI
disebabkan oleh meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi.
Pada kedua metode, bobot kering tajuk pada umur 70 HSS (transisi dari fase
vegetatif ke fase generatif) lebih tinggi dari pada 110 HSS (pada saat panen)
karena pada saat tanaman berbunga, fotosintat dialokasikan untuk pembentukan
biji (malai menjadi sink yang kuat) (Fukai et al. 1991). Tanaman padi pada
metode SRI memiliki tajuk yang lebih lebar dibanding metode konvensional yang
diduga karena pada metode SRI menggunakan jarak tanam yang lebih lebar dan
penanaman satu bibit per lubang tanam menyebabkan tajuk tumbuh secara
optimum (Tabel 2). Struktur daun pada tajuk (kanopi) secara langsung dapat
mempengaruhi jumlah cahaya yang diserap oleh daun. Oleh karena itu, kapasitas
fotosintesis di tingkat kanopi tidak hanya bergantung pada faktor-faktor yang
mempengaruhi laju fotosintesis di daun tetapi juga distribusi cahaya pada daun
(Weiss et al. 2004). Tajuk yang lebar dapat meningkatkan penetrasi cahaya untuk
daun yang ada di bagian bawah pada lingkungan cahaya yang tinggi, sehingga
memaksimalkan seluruh daun untuk melakukan fotosintesis secara optimum
(Terashima & Hikosaka 1995). Selain itu, tajuk yang lebar dapat mengoptimalkan
penyerapan CO2 pada daun untuk proses fotosintesis (Hirose et al. 1997).
Laju fotosintesis tanaman padi pada metode SRI lebih tinggi daripada
metode konvensional mulai tahap vegetatif, berbunga, pengisian biji sampai
matang biji (Gambar 2). Laju fotosintesis pada metode SRI meningkat dari fase
vegetatif sampai pengisian biji dan lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional. Daun yang tetap hijau selama pengisian biji dapat menyebabkan
fotosintesis tetap tinggi, sehingga dapat meningkatkan produksi padi karena
translokasi fotosintat ke biji juga meningkat (Fu & Lee 2009). Laju fotosintesis
yang tinggi mungkin salah satu disebabkan oleh kandungan klorofil pada daun
padi metode SRI lebih tinggi daripada metode konvensional (Gambar 3). Klorofil
berhubungan erat dengan laju fotosintesis karena klorofil merupakan perangkat
fotosintesis, yang menyebabkan tanaman menyerap energi dari cahaya matahari
dan ditransfer ke klorofil a (Porra et al. 1993). Kura-Hotta et al. (1987)
menyatakan bahwa jumlah klorofil yang lebih tinggi pada daun akan
menyebabkan laju fotosintesis semakin meningkat. Kandungan klorofil a dan
klorofil total tertinggi terdapat pada tahap pengisian biji, sedangkan jumlah
klorofil b telah tinggi sejak tahap berbunga dan jumlahnya hampir sama dengan
tahap pengisian biji. Laju fotosintesis meningkat seiring dengan meningkatnya
kandungan nitrogen di daun. Nitrogen merupakan komponen penting dari klorofil
dan Rubisco. Kandungan nitrogen yang tinggi dalam jaringan daun
memungkinkan lebih banyak klorofil dan Rubisco yang dapat memicu laju
fotosintesis lebih tinggi (Osaki et al. 1995). Penyerapan nitrogen dan fosfor pada
daun yang menggunakan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional (Tabel 3). Fosfor merupakan unsur penting yang mempengaruhi
proses fotosintesis (Warren 2011). Fosfor dapat mempengaruhi reaksi gelap pada
25
fotosintesis dan akumulasi pati, namun laju transpor elektron dan konduktansi
stomata tidak dipengaruhi oleh fosfor (Brahim et al. 1996).
Ketika fotosintesis tinggi, transpirasi pada kedua metode rendah karena
kemungkinan banyak H2O digunakan untuk proses fotosintesis (Gambar 2a). Di
sisi lain, laju fotosintesis pada metode SRI nyata lebih tinggi dibandingkan
dengan metode konvensional, namun transpirasi pada kedua metode tidak berbeda
nyata. Laju fotosintesis lebih banyak dipengaruhi oleh energi dari cahaya yang
diserap oleh klorofil (Maxwell & Johnson 2000).
Transpirasi pada metode SRI dan metode konvensional tidak berbeda nyata
karena diduga potensial air tanah dan potensial air udara sama (Gambar 2a). Air
diserap oleh akar tanaman dari tanah tidak seluruhnya digunakan untuk
memproduksi bahan kering, karena sebagian besar (>90%) dari total air yang
diserap oleh akar hilang melalui transpirasi (Sterling 2004). Metode SRI dan
metode konvensional diduga memiliki potensial air tanah sama, meskipun metode
konvensional tergenang terus-menerus, sedangkan pada metode SRI selalu
lembap. Kondisi tanah pada metode SRI dan konvensional memiliki kejenuhan air
yang hampir sama, karena tanah dalam penelitian ini memiliki kemampuan yang
sama untuk mengikat air. Tanah jenuh adalah tanah yang semua pori-porinya
terisi oleh air (Wraith & Or 2001). Selain itu, kekuatan pendorong utama dari
transpirasi adalah gradien potensial air antara ruang dalam stomata dan atmosfer
udara (potensial air udara). Oleh karena itu, kondisi tanah yang tergenang terus
menerus pada metode konvensional telah dianggap sebagai pemborosan air karena
penggunaan air yang berlebihan melebihi kebutuhan tanaman padi. Hal tersebut
juga didukung oleh pernyataan Ndiiri et al. (2012) bahwa metode SRI lebih
efisien dalam menggunakan air dibandingkan dengan metode konvensional. Suhu
daun juga tidak berbeda nyata pada metode SRI dan metode konvensional
walaupun tanah pada metode konvensional tergenang (Gambar 2b). Suhu daun
sangat dipengaruhi oleh suhu udara, kecepatan angin, dan kelembapan udara
(Martin et al.1999). Faktor-faktor tersebut sama pada penelitian ini, karena baik
metode SRI dan konvensional berada pada area penelitian yang sama. Selain
pengaruh pada fisiologi padi, metode SRI juga berpengaruh pada anatomi akar
dan batang tanaman padi.
Perakaran dan Anatomi Padi pada metode System of Rice Intensification
(SRI) serta pengaruhnya terhadap produksi
Tanah yang lembap dan jarak tanam yang lebar pada metode SRI membuat
akar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal karena akar teraerasi
dengan baik. Akar padi pada metode System of Rice Intensification (SRI) lebih
panjang dibanding metode konvensional karena kelembapan tanah dan aerasi
tanah yang baik pada metode SRI memiliki dampak besar pada pertumbuhan akar,
viabilitas akar, dan akhirnya berpengaruh juga pada pertumbuhan tanaman
(Huang 1999). Pertumbuhan akar dengan metode SRI mencapai 2,75 kali lebih
panjang dibandingkan dengan non-SRI yang dapat dikaitkan juga dengan jarak
tanam yang lebih luas antar tanaman pada metode SRI (Hameed et al. 2011).
Peningkatan bobot kering akar pada metode SRI salah satunya karena panjang
akar lebih panjang dibanding metode konvensional (Tabel 4). Pindah tanam bibit
umur 10 HSS, penanaman satu bibit per lubang tanam, dan jarak tanam yang lebih
lebar pada metode SRI memungkinkan ketersediaan unsur hara untuk tiap rumpun
26
tanaman padi lebih tinggi karena mengurangi persaingan antar tanaman daripada
metode konvensional. Hal tersebut mengarah pada peningkatan karakter akar
yaitu, panjang akar, volume akar dan bobot kering akar yang mengakibatkan
aktivitas fotosintesis lebih tinggi karena dapat mengambil unsur hara lebih
optimum sehingga tanaman akan tumbuh sesuai dengan potensinya (Rani &
Sukumari 2013). Di sisi lain, pada metode konvensional panjang akar dan bobot
kering akar lebih rendah dibandingkan metode SRI karena berdasarkan evaluasi
mengenai pertumbuhan akar padi telah ditemukan bahwa pada fase pembungaan
sekitar 78% dari akar akan terdegenerasi pada kondisi sawah tergenang (Kar et al.
1974).
Perkembangan akar yang lebih baik pada metode SRI dapat dilihat juga dari
jumlah rambut akar yang lebih banyak pada metode SRI dibandingkan dengan
metode konvensional, yang memungkinkan penyerapan air dan unsur hara yang
lebih tinggi dari tanah (Tabel 5). Pertumbuhan rambut akar ditemukan meningkat
pada lapisan top soil. Beberapa tumbuhan akan membentuk sistem rambut akar
yang lebih besar pada kondisi tanah yang lembap dan teraerasi dengan baik
(Salisbury & Ross 1995). Pertumbuhan rambut akar lebih dipengaruhi oleh
kelembapan tanah pada tanaman jagung (Mackay & Barber 1985). Penampakan
rambut akar padi pada metode SRI juga terlihat lebih baik (Gambar 4). Rambut
akar yang sehat cenderung tumbuh lurus dan memiliki luas permukaan besar,
sehingga tanaman dapat menyerap sebagian besar air dan nutrisi melalui rambut
akar (Bates & Lynch 1996). Sementara itu, sel di dalam rambut akar padi pada
metode konvensional sudah mulai rusak, sehingga penampakannya tidak setegar
rambut akar padi metode SRI karena terlihat tidak tegar (layu) (Gambar 4). Akar
merupakan bagian tanaman yang kontak langsung dengan tanah untuk penyerapan
nutrisi di tanah. Rambut akar secara substansial dapat meningkatkan kontak akar
dengan tanah, sehingga rambut akar dapat membantu menyerap unsur hara yang
terbatas di tanah seperti nitrogren dan fosfor (Gahoonia et al. 1997).
Perkembangan yang lebih baik dari akar pada metode SRI tidak membuat
respirasi akar lebih tinggi daripada metode konvensional. Respirasi akar pada
tanaman padi dengan metode SRI tidak berbeda nyata dengan metode
konvensional (Gambar 6). Hal ini diduga karena tanaman padi memiliki
kemampuan untuk membentuk aerenkim di akar (Tabel 6, Gambar 7). Aerenkim
berfungsi untuk menampung O2, sehingga tanaman padi pada metode
konvensional masih bisa melakukan respirasi aerobik pada kondisi sawah
tergenang. Semakin besarnya luas aerenkim pada akar memungkinkan akar
menyimpan O2 lebih banyak sebagai upaya pertahanan akar pada kondisi
kekurangan O2 akibat tanah yang tergenang. Namun demikian, akar padi pada
metode konvensional juga melakukan respirasi anaerobik yang ditunjukkan oleh
nilai Eh tanah yang lebih rendah dibandingkan dengan metode SRI (Gambar 5).
Nilai Eh tanah yang rendah mengindikasikan bahwa tanah tersebut bersifat
reduktif (Mer & Roger 2001). Semakin lama tanah tergenang maka nilai Eh tanah
akan semakin turun. Nilai potensial redoks tanah (Eh) pada metode konvensional
dan metode SRI pada saat umur tanaman padi 55 HSS berturut-turut -210.1 mV
dan -149.4 mV, sedangkan pada saat umur tanaman padi 70 HSS nilai potensial
redoks tanah (Eh) turun menjadi -327.8 mV dan -266.9 mV (Hutabarat 2011). Hal
tersebut mengindikasikan bahwa jumlah O2 semakin sedikit sehingga akar akan
melakukan respirasi secara anaerob. Selama respirasi anaerobik pada akar,
27
terbentuk metabolit yang berpotensi beracun seperti etanol, asam laktat,
asetaldehida dan senyawa sianogen yang dapat terakumulasi dalam sel tanaman
yang akhirnya dapat terjadi asidosis sitosol dalam sel. Selain itu, akumulasi asam
laktat dalam sitoplasma akan menyebabkan kematian sel. Pada kondisi tergenang
air ada kemungkinan lebih banyak akar yang mati. Pembentukan aerenkim akar
yang lebih tinggi pada metode konvensional sangat berdampak pada pertumbuhan
tanaman karena jaringan aerenkim yang terbentuk menyebabkan terjadinya
kerusakan struktur akar tanaman. Pembentukan aerenkim akar mengambil 30-40%
kortek akar yang dapat berpotensi menghentikan penyaluran unsur hara secara
horizontal dari tanah ke akar. Apabila jaringan aerenkim yang terbentuk semakin
banyak, maka akan mengganggu proses penyerapan hara dan air oleh akar
(Sumardi 2007). Selain itu, tanaman padi membutuhkan sejumlah besar energi
untuk pembentukan dan aktivitas sel aerenkim untuk memasok O2, akibatnya
energi berkurang untuk pertumbuhan tanaman terutama pembentukan anakan,
sehingga jumlah anakan menjadi sedikit bila dibandingkan dengan kondisi air
tidak tergenang (Bakrie et al. 2010).
Pada tanaman padi, pembentukan aerenkim tidak hanya di akar tetapi
aerenkim juga bisa terbentuk di batang (Yamauchi et al. 2013). Penggenangan air
yang terus-menerus pada metode konvensional juga dapat meningkatkan luas
aerenkim batang pada metode konvensional dibandingkan dengan metode SRI.
Walaupun demikian jumlah aerenkim batang per lingkar batang tidak berbeda
nyata pada kedua metode budidaya (Tabel 6, Gambar 8). Tanaman padi yang
tergenang selama 3 hari dapat mengakibatkan peningkatan pembentukan aerenkim
di seluruh ruas batang yang menunjukkan bahwa semua sel-sel pra-aerenchymal
responsif terhadap kematian sel dan memicu sinyal untuk lisis sel. Pembentukan
aerenkim pada akar dan batang padi dipicu oleh etilen dan H2O2 (hidrogen
peroksida) (Steffens et al. 2011). Pembentukan aerenkim batang yang lebih
rendah pada metode SRI membuat batang tanaman padi lebih kokoh karena kortek
pada batang padi akan disusun oleh sel-sel parenkim. Salah satu fungsi sel
parenkim adalah untuk menyimpan fotosintat (Fahn 1982)
Jumlah berkas pengangkut pada metode SRI dan metode konvensional tidak
berbeda nyata karena pada kedua metode menggunakan varietas tanaman yang
sama, sehingga jumlah berkas pengangkut juga sama (Tabel 7, Gambar 9). Selain
itu, pembentukan aerenkim akar dan batang tidak mempengaruhi jumlah berkas
pengangkut pada kedua metode karena aerenkim tidak dibentuk pada jaringan
pengangkut. Aerenkim terbentuk di seluruh bagian tanaman kecuali pad sel-sel
meristem, berkas pengangkut, sklerenkim, dan jaringan penutup (Raven 1996).
Aerenkim biasanya terbentuk di korteks akar, rimpang (rizoma) dan batang.
Biasanya sering disebut sebagai lacunae (Armstrong 1979). Aerenkim mulai
terbentuk tepat di bawah meristem apikal (Malik et al. 2003).
Jumlah berkas pengangkut dan jumlah stomata yang tidak berbeda nyata
pada kedua metode merupakan faktor yang membuat laju transpirasi tidak berbeda
nyata pada kedua metode (Tabel 8, Gambar 10). Terdapat beberapa faktor internal
pada tumbuhan yang mempengaruhi laju transpirasi yaitu banyaknya berkas
pengangkut, ukuran sel pengangkut, jumlah stomata, dan ukuran stomata
(Dwidjoseputro 1989). Menurut Nijsse et al. (2001) bahwa jumlah, panjang dan
diameter berkas pengangkut terutama xilem sangat menentukan kapasitas
transportasi air.
28
Perakaran padi yang lebih baik pada metode SRI dapat meningkatkan
transportasi air dan hara dari tanah ke batang, sehingga akan mendukung
pertumbuhan tajuk yang lebih baik. Pertumbuhan tajuk yang baik, akan
menyebabkan fotosintat yang tersedia juga banyak sehingga fotosintat tersebut
akan di distribusikan ke akar, sehingga akar tumbuh secara optimal. Yang et al.
(2004) menyatakan bahwa laju fotosintesis yang tinggi akan memberikan
fotosintat ke akar yang digunakan untuk perkembangan dan lamanya akar hidup,
sehingga akar akan berfungsi lebih lama. Pada saat yang sama, aktivitas
metabolime akar juga tinggi yang mendukung laju fotosintesis menjadi tinggi
karena akar berperan mentransport jumlah hara yang cukup ke tajuk (daun). Hal
ini merupakan hubungan saling ketergantungan yang disebut sebagai interaksi
akar dengan tajuk (Samejima et al. 2004). Metode SRI memiliki efek besar pada
interaksi akar dengan tajuk.
Peningkatan laju fotosintesis, kandungan klorofil yang tinggi, dan
peningkatan serapan hara pada metode SRI mungkin menyebabkan tanaman padi
lebih optimal dalam mengkonversi sebagian besar anakan menjadi anakan
produktif (Tabel 2). Peningkatan jumlah anakan produktif dan panjang malai,
serta penurunan persentase gabah hampa, yang diikuti oleh peningkatan jumlah
gabah isi dan jumlah gabah total dapat meningkatkan bobot gabah kering per
rumpun, bobot gabah kering panen per m2, dan bobot gabah kering giling per m2
pada metode SRI (Tabel 9). Zhang et al. (2008) menyatakan bahwa hasil gabah
yang tinggi pada tanaman padi karena adanya perbaikan pada pertumbuhan akar
dan tajuk, yang memberikan kontribusi dalam remobilisasi cadangan karbon dari
jaringan vegetatif ke jaringan reproduktif.
Thakur et al. (2011) melaporkan bahwa peningkatan hasil gabah pada
budidaya SRI terutama disebabkan oleh morfologi dan fisiologi tanaman padi
yang lebih baik dibandingkan dengan metode konvensional. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman
padi dengan metode SRI karena didukung oleh meningkatnya laju fotosintesis,
kandungan klorofil yang tinggi, dan peningkatan serapan hara, sehingga
menyebabkan hasil gabah juga meningkat. Fisiologi padi yang lebih baik pada
metode SRI itu didukung oleh pertumbuhan akar yang lebih baik yaitu terutama
meningkatnya jumlah rambut akar dan pembentukan aerenkim akar berkurang.
Selain itu, transpirasi dan suhu daun tidak berbeda nyata pada kedua metode
budidaya dapat menegaskan bahwa pada budidaya padi tidak perlu menggenangi
sawah pada kurun waktu 80 HST (sepanjang pertumbuhan vegetatif dan generatif
tanaman padi).
Hasil penelitian ini membantah pernyataan Sheehy et al. (2004) yang
menyatakan bahwa SRI tidak memiliki peran besar dalam meningkatkan produksi
padi. Sekaligus juga membantah pernyataan McDonald et al. (2005) yang
menyatakan bahwa metode SRI secara mendasar tidak mengubah potensi fisiologi
pada padi. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa metode SRI mempengaruhi
fisiologi dan anatomi akar dan batang pada tanaman padi yang pada akhirnya
mempengaruhi peningkatan produksi.
29
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Laju fotosintesis, kandungan klorofil, dan serapan nitrogen dan fosfor pada
budidaya padi dengan metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode
konvensional. Namun, laju transpirasi dan suhu daun tidak berbeda.
Metode SRI juga mampu meningkatkan jumlah rambut akar sebesar 59.9%.
Potensial redoks tanah (Eh) pada metode SRI lebih tinggi daripada metode
konvensional. Namun, respirasi akar tidak berbeda. Persentase pembentukan
aerenkim akar padi pada metode SRI (45.1%) lebih rendah dibandingkan dengan
metode konvensional (70.9%). Luas aerenkim batang pada metode SRI sebesar
42.6% dan total luas aerenkim batang sebesar 43.6% lebih rendah dibandingkan
dengan metode konvensional. Namun, jumlah aerenkim batang, berkas
pengangkut, jumlah stomata dan indek stomata daun pada kedua metode budidaya
tidak berbeda.
Perbedaan fisiologi, anatomi padi dan perakaran pada tanaman padi dengan
metode SRI mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi.
Pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman padi yang dibudidayakan dengan
metode SRI lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional. Pertumbuhan
yang lebih baik pada tanaman padi dengan metode SRI menghasilkan gabah
sebesar 24% lebih tinggi dari metode konvensional.
Saran
Pada penelitian ini respirasi pada akar hanya didasarkan pada CO2 yang
dihasilkan, sehingga perlu dikaji jumlah ATP yang dihasilkan untuk memperjelas
tipe respirasi yang dilakukan oleh akar (aerob atau anaerob). Sebaiknya dikaji
juga perbedaan antara metode SRI dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
yang selama ini diterapkan oleh pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Anas I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Bogor (ID): IPB Pr.
Anas I, Rupela OP, Thiyagarajan TM, Uphoff N. 2011. A review of studies on
SRI effects on beneficial organisms in rice soil rhizospheres. Paddy Water
Environ. 9:53–64.
Araújo ASF, Leite LFC, Santos VB, Carneiro RFV. 2009. Soil microbial activity
in conventional and organic agricultural systems. Sustainability. 1:268-276.
Armstrong W. 1979. Aeration in higher plants. Adv Bot Res. 7: 225-331.
Arnon DI. 1949. Copper enzymes in isolated chloroplasts. Polyphenol oxidase in
Beta vulgaris. Plant Physiol. 24:1-15.
Bahl KB, Papen H, Rennenberg H. 1999. Scanning electron microscopy analysis
of the aerenchyma in two rice cultivars. Phyton. 40:43-55.
30
Bakrie MM, Anas I, Sugiyanta, Indris K. 2010. Aplikasi pupuk anorganik dan
organik hayati pada budidaya padi SRI (System of Rice Intensification). J
Tanah Lingk. 12:25-32.
Barison J, Uphoff N. 2011. Rice yield and its relation to root growth and nutrientuse efficiency under SRI and conventional cultivation: an evaluation in
Madagascar. Paddy Water Environ. 9:65–78.
Bates TR, Lynch JP. 1996. Stimulation of root hair elongation in Arabidopsis
thaliana by low phosphorus availability. Plant Cell & Environ. 19:529–538.
Bozzola JJ, Russel LD. 1999. Electron Microscopy Prinsiples and Techniques for
Biologist. Canada (US): Southern Illinois University pr.
Brahim MB, Loustau D, Gaudillère JP, Saur E. 1996. Effects of phosphate
deficiency on photosynthesis and accumulation of starch and soluble sugars
in 1-year-old seedlings of maritime pine (Pinus pinaster Ait). Ann Sci For.
53:801-810.
Colmer TD. 2003. Long-distanced transport of gases in plants: a perspective on
internal aeration and radial oxygen loss from roots. Plant Cell Environ.
26:17-36.
De Datta SK. 1981. Principles and Practice of Rice Production. New York: John
Willy & sons Pr.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2010. Pedoman teknis pengembangan System
Rice Intensification (SRI) [internet]. [diacu 2002 Feb 28]. Tersedia dari:
http://pla.deptan.go.id.
Drew MC. 1997. Oxygen deficiency and root metabolism: injury and acclimation
under hypoxia and anoxia. Ann Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 48:223250.
Dwidjoseputro D. 1989. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta (IND): PT.
Garmedia pr.
Fahn A. l982. Anatomi Tumbuhan. Penerjemah: Soediarto A, Koesoemaningrat,
Natasaputra, Akmal. Yogyakarta: Gadjah Mada University.
Fu JD, Lee BW. 2009. Changes in photosynthetic characteristics during grain
filling of a stay-green rice SNU-SG1 and its F1 hybrids. J Crop Sci Biotech.
11:75-82.
Fu S, Zhou L, Shen J, Ding M, Zhang F, Huang H, Rao X, Lin Y, Shao Y, Zhang
W. 2008. A simplified system for measuring rhizosphere respiration of fine
roots in situ. For Ecol & Manag. 255:3360–3364.
Fukai S, Li L, Vizmonte PT, Fischer KS. 1991. Control of grain yield by sink
capacity and assimilate supply in various rice (Oryza sativa) cultivars. Exp
Agri. 27:127-135.
Foreman J, Dolan L. 2001. Root hairs as a model system for studying plant cell
growth. Ann Bot. 88:1-7.
Gahoonia TS, Care D, Nielsen NE. 1997. Root hairs and phosphorus acquisition
of wheat and barley cultivars. Plant & Soil. 191:181–188.
Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop Plants.
Diterjemahkan oleh H.Susilo. Jakarta: UI Pr.
Hameed KA, Mosa AKJ, Jaber FA. 2011. Irrigation water reduction using system
of rice intensification compared with conventional cultivation methods in
Iraq. Paddy Water Environ. 9:121-127.
31
Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Edisi Revisi. Jakarta: Akademika Pressindo
Pr.
Hirose T, Ackerly DD, Traw MB, Ramseier D, Bazza FA. 1997. CO2 elevation,
canopy photosynthesis, and optimal leaf area index. Ecol.78 (8): 2339-2350.
Huang BR. 1999. Water relations and root Activities of Buchloe dactyloides and
Zoysia japonica in response to localized soil drying. Plant & Soil. 208:179186.
Hutabarat TR. 2011. Populasi mikrob tanah emisi metan dan produksi padi
dengan kombinasi pemupukan pada budidaya padi SRI (System of Rice
Intensification) [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Jones JB. 1991. Kjeldhal Method for Nitrogen Determination: Athens: MicroMacro Publishing.
Kar S, Varade SB, Subramanyam TK, Ghildyal BP. 1974. Nature and growth
pattern of rice root system under submergedand unsaturated condition. I1
Riso. 23:173-179.
Laulanie HD. 1993. System of rice intensification. Tropicultura 11:1-19.
Katambara Z, Kahimba FC, Mahoo HF, Mbungu WB, Mhenga F, Reuben P,
Maugo M, Nyarubamba A. 2013. Adopting the system of rice intensification
(SRI) in Tanzania: A review. Agri Sci. 4:369-375.
Kediyal VK, Dimri S. 2009. Traditional methods of rice cultivation and SRI in
Uttarakhand Hills. Asian Agri-History. 4:293-306.
Kozlowski TT. 1987. Soil moisture and absorption of water by tree root. J
Arboriculture. 13(2):39-46.
Kramer PJ, Boyer JS. 1995. Water Relations of Plants and Soils. San Diego
(USA): Academic pr.
Kura-Hotta M, Satoh K, Katoh S. 1987. Relationship between photosynthesis and
chlorophyll content during leaf senescence of rice seedlings. Plant Cell
Physiol. 28:1321-1329.
Kyuma K. 2004. Paddy Soil Science. Tokyo: Kyoto University Pr.
Lestari, E.G. 2006. Hubungan antara kerapatan stomata dengan ketahanan
kekeringan pada somaklon padi Gajahmungkur, Towuti, dan IR 64.
Biodiversitas. 7(1):44-48.
Lin XQ, Zhu DF, Lin XJ. 2011. Effects of water management and organic
fertilization with SRI crop practices on hybrid rice performance and
rhizosphere dynamics. Paddy Water Environ. 9:33-39.
Mackay AD, Barber SA. 1985. Effect of soil moisture and phosphate level on
root hair growth of corn roots. Plant & Soil. 86:321-331.
Malik AI, Colmer TD, Lambers H, Schortemeyer M. 2003. Aerencyma formation
and radial O2 loss along adventitious roots of wheat with only the apical root
portion exposed to O2 deficiency. Plant Cell & Environ. 26:1713-1722.
Martin TA, Hinckley TM, Meinzer FC, Sprugel DG. 1999. Boundary layer
conductance, leaf temperature and transpiration of Abies amabilis branches.
Tree Physiol. 19:435-443.
Maxwell K, Johnson GN. 2000. Chlorophyll fluorescence-a practical guide. J Exp
Bot. 51:659–668.
McDonald AJ, Hobbs PR, Riha SJ. 2005. Does the system of rice intensiļ¬cation
outperform conventional best management? A synopsis of the empirical
record. Field Crops Res. 96:31-36.
32
Mer JL, Roger P. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of
methane by soils: A review. Eur J Soil Biol. 37:25-50.
Neue HU, Sass RL. 1994. Trace gas exchange in rice cultivation. In Global
atmospheric-biospheric chemistry. New York: Plenum Pr.
Ndiiri JA, Mati BM, Home PG, Odongo B, Uphoff N. 2012. Comparison of water
savings of paddy rice under System of Rice Intensification growing rice in
Mwea, Kenya. Inter J Curr Res Rev. 4:63-73.
Ndiiri JA, Mati BM, Home PG, Odongo B. 2013. Water productivity under the
System of Rice Intensification from experimental plots and farmer surveys
in Mwea, Kenya. Taiwan Water Cons. 61(4): 63-75.
Nguyen HT, Fischer KS, Fukai S. 2009. Physiological responses to various water
saving systems in rice. Field Crops Res. 112:189–198.
Nijsse J, van der Heijden GWAM, Van Ieperen W, Keijzer CJ, Van Meeteren U.
2001. Xylem hydraulic conductivity related to conduit dimensions along
chrysanthemum stems. J of Exp Bot. 52:319-327.
Osaki M, Iyoda M, Tadano T. 1995. Effect of nitrogen application and sink
manipulation on the contents of ribulose - 1,5 bisphosphate carboxylase /
oxygenase, phosphoenolpyruvate carboxylase, and chlorophyll in leaves of
maize during the maturation phase. Soil Sci Plant Nutr. 41:295-303.
Porra RJW, Schäfer W, Cmiel E, Katheder I, Scheer H. 1993. Derivation of the
formyl-group oxygen of chlorophyll b from molecular oxygen in greening
leaves of a higher plant (Zea mays). FEBS Lett. 323:31–34.
Price A, Courtois. 1991. Mapping QTLs Associated with Drought Resistance in
Rice; Progress Problem and Prospect. Los Banos: International Rice
Research Institute.
Rani S, Sukumari P. 2013. Root growth, nutrient uptake and yield of medicinal
rice Njavara under different establishment techniques and nutrient sources.
Americ J Plant Sci. 4:1568-1573.
Raven JA. 1996. Into the voids: The distribution, function, development and
maintenance of gas spaces in plants. Ann Bot. 78:137-142.
Sahardi. 2000. Seleksi plasma nutfah dan karakter morfologi dan pola pewarisan
sifat toleransi terhadap naungan pada padi Gogo. [Disertasi]. Bogor:
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid II. Lukman DR,
Sumaryono, penerjemah. Bandung (ID): ITB Pr. Terjemahan dari: Plant
Physiology, 4th Edition.
Samejima H, Kondo M, Ito O, Nozoe T, Shinano T, Osaki M. 2004. Root–shoot
interaction as a limiting factor of biomass productivity in new tropical rice
lines. Soil Sci Plant Nutr. 50:545–554.
Sass JE. 1951. Botanical Microtehnique. Iowa (US). Iowa state Coll Pr.
Sato S, Yamaji E, Kuroda T. 2011. Strategies and engineering adaptions to
disseminate SRI methods in large-scale irrigation systems in eastern
Indonesia. Paddy Water Environ. 9:79-88.
Setiajie, Wardana IP, Sumedi I. 2008. Gagasan dan Implementasi System of Rice
Intensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). J
Analisis Kebijakan Pertanian. 6:75-99.
33
Sheehy JE, Peng S, Dobermann A, Mitchell PL, Ferrer A, Yang JC, Zou YB,
Zhong XH, Huang JL. 2004. Fantastic yields in the system of rice
intensification: fact or fallacy? Field Crops Res. 88:1-8.
Steffens B, Geske T, Sauter M. 2011. Aerenchyma formation in the rice stem and
its promotion by H2O2. New phytol. 190:369-78.
Sterling TM. 2004. Transpiration – Water Movement through Plants’. Mexico
(US): New Mexico State University Pr.
Stoop WA, Uphoff N, Kassam A. 2002. A review of agricultural research issues
raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagascar:
opportunities for improving farming systems for resource-poor farmers.
Agri Syst. 71:249-274.
Sumardi. 2007. Respon padi sawah pada teknik budidaya secara aerobik dan
pemberian bahan organik. Akta Agro. 7:65-70.
Suripti S. 2012. Respon fisiologi tanaman jagung dan cabai terhadap aplikasi
pupuk organik yang diperkaya dengan pupuk hayati pada dua lokasi
pengujian yang berbeda [Thesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sutrian Y. 1992. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan, Tentang Sel dan
Jaringan. Jakarta : Rineka Cipta Pr.
Taiz L, Zeiger E. 2010. Plant Physiology, Fifth Edition. Sinauer Associates.
Sunderland MA Pr.
Terashima I, Hikosaka K. 1995. Comparative ecophysiology of leaf and shoot
photosynthesis. Plant Cell Environ. 18:111-1128.
Thakur AK, Rath S, Roychowdhury S, Uphoff N. 2010. Comparative performance
of rice with system of rice intensification (SRI) and conventional
management using different plant spacings. J Agron Crop Sci. 196:146–159.
Thakur AK, Rath S, Patil DU, Kumar A. 2011. Effects on rice plant morphology
and physiology of water and associated management practices of the system
of rice intensification and their implications for crop performance. Paddy
Water Environ. 9:13–24.
Thomas V, Ramzi AM. 2010. SRI contributions of rice production dealing with
water management constraints in northeastern Afganistan. Paddy Water
Environ. 9:101-109.
Uphoff N, Randriamiharisoa R. 2002. Reducing water use in irrigated rice
production with the Madagascar System of Rice Intensification (SRI). In:
Water-Wise Rice Production: Proceedings of an International Workshop,
April 8-11, 2002, eds. B.A.M. Bouman et al., 71-87. Intl. Rice Research
Institute, Los Baños, Philippines.
Uphoff N. 2011. A review of spead in Asia [internet]. [diacu 2012 Mar 25].
Tersedia dari: http://www.springerlink.com/.
Uphoff N, Kassam A, Harwood R. 2011. SRI as methodology of rising crop and
water productivity: productive adaptations in rice agronomy and irrigation
water management. Paddy water Environ. 9: 3-11.
Warren CR. 2011. How does P affect photosynthesis and metabolite profiles of
Eucalyptus globulus?. Tree Physiol. 31:727–739.
Weiss M, Baret F, Smith GJ, Joncheere I, Coppin, P. 2004. Review of methods for
in situ Leaf Area Indek (LAI) Determination Part II. Estimation of LAI,
Errors and Sampling. Agri & For Met. 121:37-53.
34
Wraith JM, Or D. 2001. Soil water characteristic determination from concurrent
water content measurements in reference porous media. Soil Sci Soc Am J.
65:1659–1666.
Yamauchi T, Shimamura S, Nakazono M, Mochizuki T. 2013.Aerenchyma
formation in crop species: A review. Field Crops Res. 152:8–16.
Yang C, Yang L, Yang Y, Ouyang Z. 2004. Rice root growth and nutrient uptake
as influenced by organic manure in continuously and alternately flooded
paddy soils. Agri Water Manag. 70:67–81.
Yoshida S. 1981. Fundamentals of rice crops science. Los Banos: Internastional
Rice Reseach Institute.
Zhang Z, Zhang S, Yang J, Zhang J. 2008. Yield, grain quality and water use
efficiency of rice under non-flooded mulching cultivation. Field Crops Res.
108:71–81.
35
Lampiran 1 Tata letak satuan percobaan di lapang
36
Lampiran 2 Hasil analisis sifat kimia dan fisik tanah percobaan di persawahan
Sindang Barang Jero Bogor sebelum tanam
pH 1:1
Walkley & Black
Kjel-dhal
Bray I
N NH4OAc pH 7.0
N KCl
0,05 N HCl
Tekstur
Sifat tanah
H 2O
C-org
N-Total
P
Ca
Mg
K
Na
KTK
Al
H
Fe
Cu
Zn
Mn
Pasir
Debu
Liat
S-tersedia
Kadar air
Satuan
(%)
(ppm)
(me/100g)
(me/100g)
(ppm)
(%)
ppm
(%)
Kriteria
6.70 (netral)
1.83 (rendah)
0.17 (rendah)
6.90 (sangat rendah)
11.45 (tinggi)
2.54 (tinggi)
0.31 (sedang)
0.60 (sedang)
17.18 (sedang)
Tidak terukur
0.20
24.00
2.21
15.19
179.58
13.42
24.99
61.59
4.06
13.03
37
Lampiran 3 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Sifat Tanah
C-Organik (%)
Nitrogen (%)
C/N
P2O5 HCl
(mg/100g)
P2O5 Bray I (ppm)
P2O5 Olsen (ppm)
K2O KCl 25%
KTK (me/100g)
Susunan Kation:
K (me/100g)
Na (me/100g)
Mg (me/100g)
Ca (me/100g)
Kejenuhan Basa
(%)
Aluminium (%)
pH H2O
Sangat
Rendah
< 1.00
< 0.10
<5
< 10
Rendah
Sedang
Tinggi
1.00-2.00
0.10-0.20
5-10
10-20
2.01-3.00
0.21-0.50
11-15
21-40
3.01-5.00
0.51-0.75
16-25
41-60
Sangat
Tinggi
> 5.00
> 0.75
> 25
> 60
< 10
< 10
< 10
<5
10-15
10-25
10-20
5-16
16-25
26-45
21-40
17-24
26-35
46-60
41-60
25-40
>35
> 60
> 60
> 40
< 0.1
< 0.1
< 0.4
<2
< 20
0.1-0.2
0.1-0.3
0.4-1.0
2-5
20-35
0.3-0.5
0.4-0.7
1.1-2.0
6-10
36-50
0.6-1.0
0.8-1.0
2.1-8.0
11-20
51-70
> 1.0
> 1.0
> 8.0
> 20
> 70
< 10
< 4.5
(Sangat
asam)
10-20
4.5-5.5
(Asam)
21-30
5.6-6.5
(Agak
asam)
31-60
6.6-7.5
(Netral)
> 60
7.6-8.5
(Agak
Alkali)
Sumber: Hardjowigeno (1995)
>8.5
(Alkali)
38
Lampiran 4 Hasil analisis sifat kimia pupuk organik yang digunakan dalam
penelitian
Sifat kimia
Kriteria sifat kompos (SNI 19-7030-2004)
kompos
Minimum
Maksimum
C (%)
26.64
9.8
32
N (%)
1.58
0.4
P2O5 (%)
0.69
0.1
K2O (%)
1.60
0.2
*
Ca (%)
0.15
Mg (%)
0.16
*
0.6
C/N
16.86
10
20
Fe (ppm)
52.3
Cu (ppm)
44.68
Zn (ppm)
72.86
Mn (ppm)
726.40
S (ppm)
0.16
Keterangan: * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum
39
Lampiran 5 Hasil analisis pupuk anorganik yang digunakan dalam penelitian
Jenis pupuk
N
P2O5
K2O
(%)
Urea
SP-13
KCl
44.7
39.9
59.9
40
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pamekasan, Madura pada tanggal 27 April 1985
sebagai putri dari pasangan Bapak Suwarno, S.Pdi dan Ibu Suridah. Penulis
merupakan anak tunggal. Pada tanggal 29 Juni 2010 penulis menikah dengan
Serka Achmad Rofiki Hamdani dan dikaruniai seorang anak yaitu Ahmad Fathir
Ardiansyah.
Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pamekasan pada tahun 2004. Pendidikan
sarjana di tempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI) dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan
perkuliahan untuk strata S2 di Mayor Biologi Tumbuhan (BOT), Departemen
Biologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menempuh
Program Pascasarjana, penulis mendapatkan program Beasiswa Tesis dari
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Penelitian ini menghasilkan 2 artikel, artikel pertama berjudul
“Physiological Changes of Rice Cultivated under the System of Rice
Intensification (SRI) and the Effects on Yield” telah di submit di Hayati Journal of
Biosciences. Artikel kedua berjudul “Rooting System of Rice Cultivated under
System of Rice Intensification (SRI) Method which Improving Rice Production”
masih dalam bentuk manuscript.
Download