perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user

advertisement
95
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB 1V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Akibat
Pembatalan
Perkawinan
Menurut
Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak membahas secara
rinci mengenai alasan-alasan untuk menuntut pembatalan perkawinan.
Sehingga beberapa ketentuan dalam KUHPerdata (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) masih berlaku bagi golongan timur asing atau golongan
tionghowa yang berada di indonesia, ketentuan dalam Kopilasi Hukum
Islam, Dan hukum islam itu sendiri masih berlaku. Demikian pula
mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, undang-undang
tidak memberikan uraian yang mendalam, sehingga dalam suatu perkara
pembatalan perkawinan membutuhkan penyokong dasar hukum lain yang
mengatur adanya tentang pembatalan perkawinan. Sehingga akibat hukum
pembatalan perkawinan yang ada dalam aturan hukum lain masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang perkawinan.
Akibat-akibat dari pernyataan batalnya perkawinan diatur dalam
pasal 28 Undang-undang perkawinan serta dalam kompilasi hukum islam
pasal 75, dan Hukum Islam berdasarkan Al-Quran Dan Al-Hadist. Akibat
hukum pembatalan perkawinan setidaknya mempunyai 3 (tiga) akibat itu
sendiri, yang berhubungan dengan adanya suatu hal yang berpeluang
merasa dirugikan dan merugi dalam hal pembatalan perkawinan. Tiga hal
tersebut adalan, akibat hukum terhadap status atau hubungan suami istri,
akibat hukum terhadap pihak ketiga dalam hal ini adalah anak yang
dilahirkan di dalam perkawinan yang di batalkan, dan akibat hukum
terhadap harta bersama (gono-gini) yang didapatkan pada saat perkawinan
tersebut dan perkawinan tersebut tidak adanya perjanjian permisahan
harta.
commit to user
96
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
A. Akibat hukum terdadap hubungan suami dan istri.
Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap hubungan
suami istri adalah putusnya hubungan suami istri tersebut, karena
setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka
perkawinan batal sejak saat berlangsungnya perkawinan, dengan
demikian perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Hal ini sesuai
dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah
keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai boleh tidaknya
menikah kembali setelah ada putusan pengadilan yang membatalkan
perkawinan tersebut, sudah tentu perkawinan itu harus mematuhi
syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Hukum Indonesia.
B. Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak.
Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri, batalnya
perkawinan juga membawa akibat hukum pada kedudukan anak.
Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap
kedudukan anak maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 42 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dua penafsiran.
Penafsiran pertama bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mempunyai satu makna yaitu anak yang sah menurut
Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir akibat dari
perkawinan yang sah bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 mempunyai 2 makna yakni pertama, walaupun anak itu
terjadi sebelum atau di luar perkawinan yang sah asalkan anak itu
lahir setelah perkawinan sah berlangsung, baik antara pria dan wanita
yang menyebabkan terjadinya anak itu maupun antara pria yang bukan
commit
to userwanita yang menyebabkan terjadi
bapak biologis dari anak
ini dengan
97
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak itu, maka anak tersebut tetap sebagai anak sah. Kemudian makna
yang kedua yakni anak yang sah adalah anak yang lahir sebagai akibat
perkawinan yang sah dengan kata lain bahwa anak yang sah (sesuai
dengan pengertian anak sah dalam Hukum Indonesia). Dengan
demikian dari cara “atau” pada penafsiran yang kedua menunjukkan
bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari dua
kalimat yang mempunyai makna yang berbeda satu sama lain.
Dari uraian mengenai maksud Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan yang sah
merupakan penentu dari sah/tidak sahnya seorang anak. Berdasarkan
Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa
perkawinan akan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya, dengan demikian untuk orang
yang beragama Islam, sahnya perkawinan apabila perkawinan
dilaksanakan menurut Hukum Islam, oleh karenanya apabila
perkawinan dilaksanakan dengan melanggar Hukum Islam maka
perkawinan tidak sah. Selanjutnya sahnya perkawinan menurut
Hukum Islam ialah apabila perkawinan itu secara sah memenuhi
rukun dan syarat perkawinan.
Dengan demikian patokan dari sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum agama masingmasing mengenai pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya bagi
orang Islam. Sebaliknya apabila pekawinan dilaksanakan dengan tidak
memenuhi secara sempurna syarat-syarat perkawinan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Hukum Islam (pada prisipnya
tidak ada pembedaan yang mendasar antara Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Hukum Islam mengingat Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 berpedoman pada Hukum Islam), maka perkawinan tidak
sah menurut hukum sehingga dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan
commit to apabila
user
perkawinan dapat dibatalkan
para pihak tidak memenuhi
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, namun karena hukum
positif (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) tidak menghendaki
anak yang tidak berdosa menjadi korban dari perbuatan orang tuanya
maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengecualian
terhadap anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang tidak sah
(dalam hal ini tidak memenuhi secara sah syarat-syarat perkawinan
menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
sebagai perkawinan dapat batal) yakni anak yang lahir sebagai akibat
dari perkawinan tidak sah tetap mempunyai hubungan hukum dengan
orang tuanya.
Status anak adalah anak sah sehingga berhak mewaris apabila
orang tuanya meninggal dan yang menjadi wali nikah adalah Bapak
dari anak itu. Ini tercermin dari Pasal 28 ayat (2) huruf a UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa keputusan
tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut dan Pasal 75 huruf b serta Pasal 76 Kompilasi
Hukum Islam yang menyatakan batalnya perkawinan tidak akan
memutus hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Di
samping itu, meski hubungan perkawinan orang tuanya putus, kedua
orang tua tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1
Tahun 1974, namun undang-undang tidak menegaskan tentang siapa
yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal
ini dapat dikembalikan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Pasal 31 ayat (3), yang menegaskan bahwa suami adalah
kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga.
Dihubungkan dengan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan
bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu
keperluan
hidup berumah tangga sesuai dengan
commit
to userundang-undang menentukan juga
kemampuannya. Dengan
demikian
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak
adalah suami (bapak anak). Dari sini dapat dilihat bahwa ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sesuai dengan ketentuan dalam
hal nafkah anak. Sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan anak yang belum mencapai
18 tahun belum pernah melangsungkan perkawian ada di bawah
kekuasaan
orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
C. Akibat hukum terhadap harta bersama.
Pada kasus di atas karena perkawinan yang harmonis
berlangsung empat bulan jadi kemungkinan belum memperoleh harta
bersama karena yang dinamakan harta bersama yaitu harta benda yang
diperoleh selama perkawinan, walaupun demikian bila harta bersama
itu telah ada, maka keputusan penyelesaian mengenai harta bersama
diserahkan pada suami isteri untuk membagi secara adil dimana di
dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974
disebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukumnya masing-masing. Selain itu akibat hukum terhadap
harta bersama setelah adanya putusan pengadilan yang dapat
membatalkan perkawinan dapat diketahui dari Pasal 28 ayat (2) huruf b
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat ditafsirkan bahwa
terhadap suami istri yang bertindak dengan niat baik dalam arti diantara
suami
istri
tidak
ada
unsur
kesengajaan
sebelumnya
untuk
melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku,
sehingga walaupun perkawinan telah dibatalkan oleh pengadilan karena
tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan maka tetap ada pembagian
to user
harta bersama diantara commit
suami istri.
Dikarenakan keputusan pengadilan
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak berlaku surut dalam arti keputusan pengadilan yang membatalkan
perkawinan berlaku saat keputusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum tetap (sama dengan saat berlakunya putusan perceraian).
Dengan demikian walaupun perkawinan itu tidak sah namun
karena perkawinan ini dilakukan dengan itikad baik, maka diberi
perkecualian dalam hal harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung, yakni setelah perkawinan dibatalkan masingmasing mantan suami dan mantan istri tetap memperoleh harta bersama.
Mengenai pegaturan harta bersama akibat dari putusan batalnya
perkawinan lebih terdapat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena
perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing.
Dikembalikannya pengaturan harta bersama yang merupakan
akibat hukum dari pembatalan perkawinan pada Pasal 37 yang
mengatur tentang akibat hukum perceraian terhadap harta bersama
karena putusan pengadilan dalam perkara pembatalan perkawinan
khususnya dalam hal perkawinan yang dilakukan dengan itikad baik
juga berlaku sejak keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
tetap seperti halnya dengan perkara gugatan perceraian. Berdasarkan
penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Mengingat Pengadilan Agama
menangani perkara bagi orang-orang yang beragama Islam maka
pengaturan harta bersama akibat dari pembatalan perkawinan
menggunakan Hukum Islam.
Putusan Pengadilan Agama mengenai pembagian harta bersama
setelah adanya putusan pembatalan perkawinan ternyata tidak ada
penetapan yang pasti sehingga setelah terjadi pembatalan perkawinan
maka
masalah
pembagian
harta
bersama
diselesaikan
secara
musyawarah antara mantan suami dan mantan istri. Oleh karena itu
commit to user
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengadilan tidak berwenang mencampuri kecuali atas kehendak para
pihak yang berperkara, apabila tidak tercapai kesepakatan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengecualian
terhadap suami istri yang perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan
Agama karena dalam melangsungkan perkawinan tidak ada itikad baik,
yakni dengan adanya pembagian harta bersama, namun dari isi Pasal 28
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa terhadap
perkawinan yang dibatalkan karena sudah ada perkawinan yang
terdahulu tidak akan ada pembagian harta bersama.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila aturan
pelaksanaan pembatalan perkawinan belum ada, maka mengenai akibat
hukumnya pun belum ada yang mengatur secara khusus, selain yang
telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 dan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum
Islam.
2. Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
dan Hukum Islam.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
komilasi hukum islam memang mengatur tentang adanya akibat
pembatalan perkawinan di negara Indonesia, namun masih adanya
masyarakat indonesia yang tunduk terhadap hukum islam, karena
masyaraka indonesia adalah masyarakat yang menganut Islam paling besar
di dunia sehingga masyarakat di Indonesia ada yang tunduk terhadap
hukum isalm. Hukum islam berdasarka pada Al-Quran dan Al-Hadits
menurut masyarakat yang tunduk terhadap hukum islam adalah dasar
hukum yang peling benar dalam penutan menyelesaikan suatu perkara
hukum.119
119
M. Arifin Hamid. Hukum Islam Prespektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam
commit to user
Memahami Realitasnya Di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA.2011
102
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ajaran islam juga populer disebut Dienul-Islam merupakan salah
satu ajaran agama somawi (langit), jika tidak mau dikatakan sebagai
kelanjutan agamma-agama samawi sebelumya.
120
selain memiliki
karakteristik yang berbeda denga sejumlah agama berkembang di dunia
yang biasa dikenal dengan agama dunia. Kerekteristik islam demikian itu
dipertegas dalam Al-Quran, wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin
(tiadalah risalah islam ini diturunkan melaikan untuk kepentingan seluruh
alam semesta).121
Tentunya ajaran islam memiliki sumber-sumber atau dari mana
asal muasal dari ajaran islam tersebut. Ajaran islam juga sebagai ajaran
penutup dari ajaran-ajaran sebelumnya memiliki berbagai dinamika.
Khususnya di Indonesia ajaran islam memiliki beberapa fase mulai dari
masa penjajahan, pasca kemerdekaan dan juga saat sekarang ini peranan
ajaran islam dalam pembangunan Nasional. Hukum islam juga merupakan
salah satu sistem hukum yang berlaku di Negara Indonesia di samping
sistem hukum lainya (sistem hukum adat dan sistem hukum barat) peda
dasarnya kedudukanya adalah sama. Ketiga sistem hukum tersebut adalah
relvan dengan kebutuhan hukum masyarakat.
A. Akibat hukum hubungan suami dan istri.
Istilah fasad maupun istilah batal sama-sama berarti suatu
pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan
tidak mencukupi syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik
karena tidak lengkap syarat atau rukunnya atau karena ada penghalang
(mani') bisa disebut akad fasad dan boleh pula disebut akad batal.122
Kata sah berasal dari bahasa Arab "Sahih" yang secara etimologi
berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah
Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang
dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya.123
120
Ibid., hal 20
Ibid., hal 35
122
Ibid, hlm. 75.
123
Ibid, hlm. 50
121
commit to user
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Fasad dan batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bila mana
suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal. Menurut bahasa
fasid berasal dari bahasa Arab yang berarti rusak.124 Dinyatakan dalam
kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah
“Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu
dari sayarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah apabila
tidak memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil
adalah sama, yaitu tidak sah. Andi Tahir Hamid juga
berpendapat: bahwa suatu perkawinan yang tidak memenuhi
syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat dimohonkan
pembatalannya (fasid).125
Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah,
disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan
dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah.
Jika
fasid
nikah
terjadi
disebabkan
karena
melanggar
ketentuanketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya
larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisa: 22-23. Surat An-Nisa: 22.
“Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah
dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau,
sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).126
Surat An-Nisa: 23.
“Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibuibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak
124
A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka
Progresif, 1997, hlm. 92 dan 1055.
125
Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya,
Sinar Grafika, hlm. 22.
126
commitdan
to user
Departemen Agama RI, AL-Qur’an
Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, 1989,
hlm. 120
104
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang
terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.127
Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori: “Dari
Khansa’ binti Khidzam al-Anshariyah ra.: Bahwa ayahnya telah
mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai
pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah SAW
maka beliau membatalkannya. (HR. Bukhari).128
Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari Aisyah ra.:129 "Apabila
seorang perempuan menikah tanpa ijin walinya maka
nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka
bagi dia bagi dia berhak menerima mahar sekedar
menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi
ijin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali
bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali."
(Riwayat Imam empat kecuali al-Nasa'i).
Hukum agama Islam dalam masalah perkawinan hanya
mengenal adanya perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak
sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan
dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika perkawinan
dilaksanakan, tapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak
terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah.130
Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu
perkawinan terpaksa harus dibatalkan, bila pelanggaran itu dibawa ke
Pengadilan Agama dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan
dianggap sejak semula tidak pernah terjadi,131 maka akibatnya segala
sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu menjadi batal dan
semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula. Kemudian karena fasid
nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan
127
.Ibid., hlm. 120
Al-Iman Zainudin Ahmad, Ringkasan Shahih Al-Bukhori, Bandung, Mizan Media
Utama, t.th., hlm. 791.
129
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.
83.
130
Ibid
131
commit
to Hubungan
user
Gatot Suparmono, Segi-segi
Hukum
Luar Nikah, Jakarta: Djambatan,
1998, hlm. 37
128
105
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suami isteri itu terpisah untuk selamalamanya, tetapi dapat juga
menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk
sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah.
Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga
sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Hal ini diatur dalam Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam,
dengan rumusan yang berbeda. Adapun bunyi Pasal 75 dan 76 adalah
sebagai berikut:
Pasal 75: “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku
surut terhadap:
a.
Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad
b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c.
Pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan
beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan
mempunyai kekuatan yang tetap.
Pasal 76: “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Maksud dan
tujuan dari Pasal 76 kompilasi hukum Islam di atas adalah untuk
melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan
anak yang perkawinan ibu bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut
tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan
kedua orang tuanya, meskipun secara psikologis jika pembatalan
perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak
yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut.
Tetapi karena demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan meski
kadang membawa kepahitan.
Di
samping
itu
dalam
pembatalan
perkawinan
tidak
dimungkinkan untuk dilakukan rujuk namun apabila mereka ingin
kembali harus dengan akad nikah baru. Boleh tidaknya menikah
commit
to user
kembali didasarkan pada
3 hal,
pertama dilihat dari segi penyebab
106
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
batalnya perkawinan apabila perkawinan itu batal karena melanggar
syarat-syarat perkawinan berupa larangan menikah untuk selamalamanya maka mereka tidak dapat menikah kembali meskipun
berkehendak. Kedua, pihak yang perkawinannya dinyatakan batal
dapat menikah kembali (tentunya harus secara sah memenuhi syaratsyarat perkawinan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 maupun menurut Hukum Islam). Apabila syarat-syarat
perkawinan yang dilanggar berkenaan dengan larangan menikah yang
bersifat sementara waktu saja dan keduanya berkehendak. Yang ketiga
meskipun mereka dapat menikah kembali karena hanya menyangkut
larangan menikah yang sifatnya sementara waktu namun apabila
keduanya atau salah satu dari keduanya tidak berkehendak maka tidak
dapat menikah kembali. Terhadap pihak-pihak yang menikah kembali
pembatalan perkawinan tidak membawa akibat apapun.
B. Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak.
Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan
pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya dan Pasal 105 huruf b Kompilasi Hukum
Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang sudah
mumayyiz diserahkan pada anak untuk memilih diantara ayah/ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Jadi walaupun perkawinan
dinyatakan batal namun demi kepentingan anak, maka kedudukan
anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang tidak sah dianggap
anak yang sah.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan pada
bab III bahwasanya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau
telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun syarat sah
perkawinan. Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian
tidak saja dalam bidang Ilmu pengetahuan (The body of knowladge)
commit
to userilmu yang lain yang memberikan
akan tetapi ditelaah dalam
disiplin
107
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang agama, hukum,
dan secara disiplin ilmu lainnya.
Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat
dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
“Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan
mempunyai
kekuatan
hukum
berlangsungnya perkawinan itu”
132
tetap
dan
berlaku
sejak
saat
. Artinya yang dibatalkan itu adalah
di mana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi
akad nikahnya antara suami istri yang perkawinan dibatalkan tersebut
sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya
keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di
dalamnya.
Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena
hubungan suami istri membawa konsekuensi beberapa hak dan
kewajiban secara timbal balik antara orang tua sebagai kewajiban, dan
sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh
anak. Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan
yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan
yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa perkawinan
atau sesudah perkawinan itu terputus atau dibatalkan oleh hukum.
Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat
dimarginal kan, sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang
berlaku, Undang- Undang No 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan
pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) huruf a berbunyi :
a.
Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat
berlangsungnya perkawinan.
b.
Keputusan tidak berlaku surut terhadap : anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan tersebut.
commit to user
132
Loc cit. Departemen Agama RI.
108
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan
maupun setelah terjadi perpisahan, merupakan suatu kewajiban bagi
orang tua terhadap anak agar anak menjadi generasi yang kuat dan
tidak terjerumus dalam kebodohan, kelemahan dari sisi tertentu, yang
mana itu semua sangat tidak dicintai oleh Allah. Dalam sebuah hadist
Qudsi dinyatakan “seorang mukmin yang kuat itu lebih baiak dan
dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah”
HR.Muslim133.
Menelantarkan anak berarti secara tidak langsung menyeret
anak dalam curam kebodohan yang dapat membawa anak ke dalam
lembah kefakiran dan kefakiran dapat merentankan kekufuran,
sebagaimana sabda nabi Muhammad S.A.W. “Hampir-hampir
kefakiran itu menjadikan (seorang) dalam kekufuran” dan kekufuran
membawa korbannya kedalam lembah api neraka. Tidak pelak lagi,
hal ini merupakan kewajban yang sangat diperhartikan oleh Islam
dalam menjaga masing-masing individu terlebih keluarganya dari api
neraka, sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat At- Tahrim
ayat 6 yang berbunyi134 :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan”.
Dalam ayat di atas menjaga dari api neraka merupakan
kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim terhadap dirinya
pribadi dan pada keluarganya, Ini bisa teridentifikasi pada lafadz ‫ﻗ ﻮا‬
yang mana kata ini menunjukkan kata perintah (Amr) yang pada
dasarnya setiap kata perintah menunjukkan suatu kewajiban, dalam
sebuah kaidah fiqh menyatakan Asal dari pada perintah itu adalah
wajib artinya jika perintah itu bebas bebas tidak disertai qarinah yang
133
Ali Asshabuni, Muhammad, Min Kunuzis sunnah, (Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy,
134
DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. At-Tahrim (66): 6
commit to user
1999)
109
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyimpangkan kepada tujuan selain wujud, maka ternyata
pengertian hukum yang keluar dari amr itu ialah wajib.135
Dalam memberikan pengasuhan
beberapa
hadist telah
menjelaskan berkenaan dengan siapa yang layak untuk mengasuh
anak lebih-lebih ketika perkawinan itu putus (baik disebabkan karena
perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan perkawinan itu
terputus atau dibatalkan) dan hadist-hadist itu menunjukkan
pengasuhan berada pada ibu kandung si anak. Sebagaimana sebuah
hadist yang di kutib oleh Abi Suju’ dalam kitabnya At-Tadzhib fi
Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqriib melalui jalur yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud:
“ Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya R.A:
Bahwa sanya datang seorangperempuan kepada Rasulullah
SAW dan berkata :Ya Rasulallah, ini adalah anakku, perutku
adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya
dan susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya
akan memisahkannya dariku maka Rasulullah bersabda:
Engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah.”
(HR. Abu Dawuud)136.
Dalam hadist di atas selain menerangkan seorang yang lebih
berwenang dalam pengasuhan juga dapat memberikan suatu hukum
berkenaan dengan masa pengasuhan ibu, yakni hukum di mana selama
ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, selama itu pula hak
pengasuhan seorang anak berada dalam pengasuhan ibu. Tetapi, kalau
ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan
anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonahnya
tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih berhak dalam masalah
hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan
anak tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan
haknya.
Dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang sempurna di
dalam menjaga si anak, si ibu dan suami yang baru. Ini cukup
135
136
commit
to userPT.Al-Ma’arif, 1983) hlm 20
Riva’I, Muhammad, Ushul Fiqh,
(Bandung:
Abi Suju’, Op.Cit hlm 189.
110
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beralasan andai suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya,
dikhawatirkan suami barunya tadi tidak bisa mengasihi anak dan tidak
dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik, sebagaimana
kasih sayang yang diberikan dari kerabat yang masih dekat dengan si
anak seperti paman dari ayah misalkan. Karenanya ini nantinya dapat
mengakibatkan suasana keluarga tanpa kasih sayang, hampa akan
udara yang mesra, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan
pembawaan anak kurang baik akibat kondisi keluarga yang tidak
kondusif. Dalam hal ini bisa dilihat Undang-Undang No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 45 ayat 1 tentang hak dan kewajiban orang
tua dan anak. Kewajiban orang tua yang dimaksud adalah :
a.
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya.
b.
kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua itu putus.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 secara tegas
disebutkan pemeliharaan anak dalam terjadinya perceraian.
a.
Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
b.
Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada
anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai hak
pemegang pemeliharaannya.
Seperti pula maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal
28 ayat 2 sub (a) Undang-Undang Noraor 1 Tahun 1974 jo Pasal 76
Kompilasi Hukum Islam adalah untuk melindungi kemaslahatan dan
kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinannya
dibatalkan, meskipun secara psikologis bila perkawinan tersebut betulbetul
dibatalkan
akan tetap membawa dampak
commit to user
menguntungkan bagi kepentingan
anak-anak tersebut.
yang
tidak
111
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Akibat hukum terhadap harta bersama.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam
perkawinan antara suami dan istri. Konsep hata bersama pada awalnya
berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia.
Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta
sihareukat; di minangkabau masih dinamakan harta suarang, di sunda
dinamakan guna-kaya, di bali disebut dengan drue gabro; dan
kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.137 Konsep ini
kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku
negara Indonesia. Dalam hukum islam harta suami tetap milik suami
dan harta istri tetap menjadi milik istri.
Akad nikah tidak menyebabkan penambahan atau pengurangan
harta dengan menjadikan milik suami sebagai milik istri atau istri
menjadi milik suami, karena masing-masing ada bagianya sesuai
usahanya, dasar atas pendirian tersebut dapat dilihat dalam Al-Quran
surat An-Nisa ayatu 32, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari hasil
usahanya sendiri dan wanita ada harta harta kekayaan
perolehan dari hasil usahanya sendiri”
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan
terhadap harta kekayaan itu tetap berada dipihak siapa yang
mempunyai barang tersebut, dalam ketentuan Hukum Islam bahwa
seeorang perempuan yang bersuami dapat melakukan segala
perbuatan hukum tanpa diketahui atau bantuan suaminya, demikian
juga mengenai harta kekayaanya. Hal ini tiada berati suami tidak
boleh menggunnakan barang milik istri, demikian juga sebaliknya,
tetapi penggunaanya harus mendapat persetujuan nbaik itu dari ssuami
atau istri.
Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama
tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih klasik. Masalah harta gono-
commit toBersama
user Sumi Istri, (Bulan Bintang, Jakarta,
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian
1965). Hal.18.
137
112
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum
disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulamaulama fiqih terdahulu karena maslah harta gono-gini baru muncul dan
banyak dibicarakan dalam masa modren ini. Secara umum, hukum
islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum islam lebih
memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri.
Menurut M. Yahya Harahap , bahwa prespektif hukum islam
tentang harta bersama sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
muhammad syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya
masuk dalam rub’u mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan
secara khussus. Hal mungkin disebabkan karena pada umumnya.
Pengarang kitab-kitab fiqih adalah orang arab yang tidak mengenal
adanya pencaharian bersama suami istri. Tetapi ada dibicarakan
tentang kongsi yang dalam bahasa arab yang tidak mengenal adanya
pencaharian bersama suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang
kongsi yang dalam bahasa arab disebut syirkah.138
Pembagian harta bersaa dala prespektif Al-Quran maupun
Hadist tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh
selama perkawinan itu menjadi harta bersama. Sehingga masalah ini
adalah merupakan masalah yang perlu ditentuka dengan cara ijtihad,
yaitu dengan mengunakan akal pikiran manusia dan dengan sendirinya
pemikiran tersebut harus seuai degan hukum islam. Para perumus KHI
melakukan pendekatan dari jalur syirkah abadan dengan hukum adat.
Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan
‘urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al-adatu almuhakkamah.139
Syirkah menurut etimologi adalah percampuran, sedangkan
menurut terminologi adalah jaminan hak terhadap sesuatu yang
138
Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7
Tahun 1989. (Jakarta. Sinar Grafika 2009). Hal. 270-271.
139
to user
Moh. Idris Ramulyo, Hukumcommit
Perkawinan,
Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama dan Zakat, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I, 1995). Hal.33.
perpustakaan.uns.ac.id
113
digilib.uns.ac.id
dilakukan oleh dua orang atau lebih secara umum, atau bisa juga
dikatakan akad yang menunjukan hak terhadap sesuatu yang
dilakukan oleh dua orang atau lebih sesuai pendangan umum.
140
dalam hukum islam syirkah adalah diperoleh dari syara’, dalam firman
Allah surat Shaad disebutkan yang artinya : Daud Berkata :
“sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan
meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada
kambingnya. Dan sesungguhnya kenbanyakan dari Orangorang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim
kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal yang saleh; dan daud mengetahui
bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada
tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (Q.S
Shaad.24).141
Dari ayat ini dapat kita simpulkan pada dasarnya berserikat itu
mengandung banyak kezaliman. Namun lama kelamaan hukum syirah
diperbolehkan. Kajian ulama tentang harta bersama telah melahirkan
pendapat bahwa harta bersama termasuk dapat di qiyaskan dengan
syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan
menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap
sesuatu. 142 harta bersama didefinisikan sebagai harta yang dihasilkam
pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta
bersama dikatagorikan sebagai syirkah muffawadhah atau syirkah
abdaan. Dikatakan sebagai syirkah muffawadhah karena pengkongsian
suami istri dalam harta bersama itu bersifat tidak terbatas, apa saja
yang mereka hasilkan selama dalam perkawinan mereka termasuk
dalam harta bersama, dalam fiqih muamalah syirkah mufaawadhah
merupakan bagian dari syirkah uqud’. Syirkah uqud’ adalah kongsi
yang mensyaratkan adanya kontrak antara angotanya keuntungan yang
diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
140
.Muhammad Abu Zahrah . Unsul Fikih. (Jakarta . Pustaka Firdaus, 2007). Hal.255.
.Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahanya. (Bandung. CV.Penerbit
commit to user
Diponogoro 2005). Hl.363.
142
Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri...., Hal 38.
141
114
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Harta kekayaan suami dan harta kekayaan isteri akan terpisah
satu dengan lainnya, baik harta bawaannya masing-masing atau harta
yang diperoleh seorang suami isteri atas usahanya sendiri maupun
harta yang diperoleh oleh salah seorang dari mereka karena hadiah
atau hibah warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan
perkawinan.
Terpisahnya harta milik suami dan harta milik istri tersebut
memberi hak yang sama bagi suami dan isteri untuk mengatur
hartanya sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing, akan tetapi
karena menurut Hukum Islam dengan terjadi perkawinan istri menjadi
kongsi sekutu suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga, maka
suami isteri terjadilah perkongsian tenaga (syarikah abelasi) dan
perkongsian tidak terbatas (syarikh mufawwadah). Dengan demikian
dalam Islam ada harta yang terpisah dan tidak terpisah (harta syarikh).
Harta yang terpisah terdiri dari harta bawaan masing-masing harta
yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah, hibah, warisan
sesudah mereka terikat dalam tali perkawinan, sedang harta yang tidak
terpisah merupakan harta yang tidak diperoleh dari usaha suami dan
usaha isteri selama perkawinan.
Sedangkan untuk harta bawaan setelah putusan perkawinan
menurut KHI adalah:
a.
Pasal 35 ayat (2) UUP jo. pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa
harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
b.
Pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan masingmasing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
commit to user
perjanjian perkawinan.
115
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Persamaan
Peraturan
Hukum
Tentang
Akibat
Pembatalan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Dan Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam.
Dalam aturan hukum di Negara Indonesia Hukum positip
Indonesia tentang perkawinan yaitu Undang-Undang perkawinan No 1
tahun 1974 mengatur tentang adanya pembatalan perkawinan dan dalam
hukum islam juga mengatur adanya pembatalan perkawinan atau fasid
nikah. Adapun analisis mengerucut penulis terhadap penelitian ini
memfokuskan terhadam masalah akibat hukum dapri pembatalam
perkawinan menurut undang-undang perkawinan dan hukum islam.
Pembatalan
perkawinan
terdapat
faktor
mendukung
yang
menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan, yaitu adalah sebab-sebab
terjadinya pembatalan perkawinan atau fasid nikah. Dalam undang-undang
perkawinan di sebutkan sebab-sebab terjainya pembatalan perkawinan
diatur di dalam pasal 24, pasal 26, dan pasal 27, sedangkan dalam
kompilasi hukum islam (KHI) diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasaal
72. Dalam hukum islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits dan
sesuai Ijtihad para Ulama pernikahan dapat dibatalkan atau diFasidkan
apabila dalam perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan
syarat sah nikah. Persamaan pengaturan antara undang-undang perkawinan
nomor 1 tahun 1974 dan hukum islam adalah, sebagai berikut :
A. Persamaan Sebab-sebab pembatalan perkawinan.
1.
Perkawinan dilakukan dengan tanpa adanya wali nikah, wali
nikah yang tidak sah, dengan para saksi yang tidak sah, dan tidak
dilangsungan di muka pegawai yang berwenang, (Sebab
terjadinya pembatalan di atas sesuai dengan UUP no 1 tahun 1974
pasal 26 ayat 1 dan Komilasi hukum islam (KHI) pasal 71 Huruf
e, Serta dalam Hadist, hendaklah seorang wanita di nikahkan oleh
walinya , sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW :
commit to user
116
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Tiada Nikah kecuali hanya dengan wali” (H.R.
Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah Dan Ad-Darmi).143
Jika wanita menikah sendiri tanpa wali makan nikahnya batal
(bathil), sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah
S.W.T :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di
antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang laki dan hambahamba sahayamu yang perempuan”. (Q.S. AnNUUR : 32).
Lafadz “akhihuu” dalam bahasa arab yang artinya
kawinkanlah ditujukan kepada para wali. Dan pernikahan
harus disertai dengan dua orang saksi yang sah maksudnya
adalah Madzhab Hambali berkata dalam Qoul Masyhurnya
bahwa disyaratkan dua orang saksi bukan berasal dari asalusulnya pihak laki-lakiatau furu’nya (cabang) dan juga
sebaliknya bukan berasal dari pihak wanita.144 yang
dimaksud dengan ushul disini adalah ayahnya ayah
daseterusnya keatas. Dedangkan furu adalah anak laki-laki
dan sterusnya turun kebawah.)
2.
Pernikahan atau perkawinan dilakukan dengan antara dua orang
yang mahram, berhubungan semenda, sepersusuan, sodara
kandung, bibi atau kemenakan. (Larangan diatas terdapat didalam
UUP pasal 22 yang berbunyi perkawinan dapat dibatalkan,
apabila
para
pihak
tidak
memenuhi
syarat-syarat
untik
melangsungkan perkawinan, syarat-syarat perkawinan dalam
UUP terdapat dalam pasal 6 yang tertuju pada pasal 6 yang
berbunyi ketenruan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal
ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaanya itu dari yang bersangkutan menentukan lain. Itu
143
Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min Nuri Muhammad Saw (1100 Hadist
Terpilih), Daru Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 225.
144
Dr. M. Sulaeman Jajuli, MEY, Al-Syiqaq Dalam Putusan Perkawinan Di Pengadilan
commit 1-Yogyakarta
to user
Agama Tanah Luwu, Oleh Mustaming, -Ed1,Cet
Deepublis, Desember 2015, Hal
215.
117
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berarti bahwa selama dalam hukum agama dan kepercayaan
seseorang tidak menjuruskan kepada perbuatan yang melanggar
hukum hukum agama dapat digunakan sebagai pedoman hukum
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 70 huruf d dan huruf e.
Dalam hukum islam terdapat hadist yang menyatakan pelaranan
pernikahan terhadap hubungan sepersusuan yang artinya :
Rasulullah bersabda ”Diharamkan dara saudara sesusuan segala
sesuatu yang diharamkan dari nasab” (HR, Bukhari dan
Muslim).145
Di Dalam Kitab Suci Al-Quran surah An-Nisa ayat 23 yang
artinya:
3.
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan saudar-saudara bapakmu yang
perempuan, saudar-saudara ibumu yang perempuan, anakanak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, saudarasaudara perempuanmu dari saudaramu yang perempuan,
ibu-ibu yang menyusuimu, saudar-saudara perempuan
yang sepersusuan”
Pernikkahan dilakukan dengan dibawah ancaman dan unsur
pakasaan bagi pria maupun wanita.
(sebeb terjadinya pembatalan perkawinan diatas sesuai dengan
psal 27 ayat 1 UUP nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi seorang
suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan
apabila
peerkawinan
dilangsungkan
dibawah
ancaman yang melanggar hukum dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) diatur jga dalam pasal 71 huruf f yang berbunyi
perkawinan dapat dibatalkan apabila dilakukan dengan paksaan
dan pasal 72 ayat 1 seorang suami atau istri dapat mengajukan
pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangssungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum. dalam syarat sahnya
perkawinan dalam islam syarat ini merupakan yang peling
commit
to Nuri
userMuhammad Saw (1100 Hadist Terpilih),
Muhammad Faiz Almath, Qobasun
Min
Darul Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 225.
145
118
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penting, yaitu syarat kerelaan bagi calon pengantin, karena itulah
pihak laki-laki maupun perempuan tidak boleh memaksa wanita
untuk menikah. Demikian juga halnya dengan pihak wanita, tidak
boleh memaksa laki-laki untuk menikahinya. Sebagaimana firman
Allah SWT dalam Al-Quran :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa” (Q.S. An-Nisa
ayat 19)
Sebagaimana Rasulullah SAW Juga telah bersabda :
4.
“janganalah kamu menikahi wanita (baik yang masih
kecil atau sudah besar) sampai kamu minta kesiapanya,
dan janganlah kamu menikahi seorang perawan
sebelum kamu minta izinya. Para sahabat bertanya :
wahai Rasulullah SAW, bagaimana izinya? Rasul
menjawab: Dia Berdiam diri.” (H.R. Bukhari, Muslim,
Tirmidzi; menurutnya hadist Hasan Shahih, Ibnu
Majah, An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad Dan Darami).
Maka haram hukumnya menikah bagi wanita tanpa
kerelaanya (ridha), baik wanita yang masih perawan
ataupun yang ssudah menikah.)
Pernikahan yang dilakukan diantara pria atau wanita masih terikat
pernikahan dengan pihak lain. Kecuali pria yang telah mendapat
izin poligami berdasaran undang-undang.
(dalam UUP Nomor 1 tahun 1974 aturan diatas diatur dalam pasal
24 yang berbunyi baang siapa karena perkawinan masih terikat
dirinya dengan salaha satu dari kedua belah pihak dan atas dasar
masih
adanya
perkawinan
dapat
mengajukan
pembatalan
perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal
3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini, sedangkan dalam
Kompilasi Hukum Isalam (KHI) diatur dalam pasal 71 hurub b
yang berbunyi perempuan yang dikawini ternyata kemudian
diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud. Itu artinya
didalam hukum positip dan hukum islam dibenarkan adanya
poligami selagi tidak melawan aturan-aturan hukum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
119
digilib.uns.ac.id
B. Persamaan Akibat pembatalan perkawinan.
1.
Akibat hukum terhadap hubungan suami dan istri.
Persamaan dari akibat pembatalan perkawinan antara hukum
islam dan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan da
kompilasi hukum islam (KHI) pasal 72 adalah ketika perkawinan
itu dibatalkan maka seketika itu perkawinan dianggap putus dan
di anggap tidak pernah adanya perkawinan yang pernah
dilakukan. Pembatalan perkawinan dilakukan tanpa adanya
penjatuhan talak. Perkawinan yang dibatalkan menurut UUP Dan
Hukum Islam terjadi akibat adanya putusan engadilan yang sudah
tetap. Dan putusan pengadilan tidak berlaku sutut terhadap anakanak yang telah dilahirkan.
2.
Akibat hukum terhadap status anak dan hak anak.
UUP nomor 1 tahun 1974 pasal 28 ayat 2 huruf (a) dan kompilasi
hukum islam (KHI) pasal 75 huruf (b) pembatalan perkkawinan
tidak berlaku surut terhadap (b) anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut, dan pasal 76 yang berbunyi batalnya suatu
perkawinan tidak akan meutuskan hubungan hukum antara anak
dan orang tuanya. Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut
terhadap anak yang dilahirkan dan Jika pembatalan Perkawinan
tersebut dulunya karena suatu kesengajaan maka hubungan anak
dan orang tua anak tidak diakui. Terhadap hak waris anak
Pengasuhan anak yang belum dewasa /mumayis berada dalam
pengasuha Ibu. Dalam KUHPerdata bila kedua orangtuanya
beritikad baik maka anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan
yang dibatalkan ini, dianggap sah. Sedangkan bagi mereka yang
orangtuanya beritikad buruk, maka anak-anakny di anngap anak
luar kawin.
3.
Akibat hukum teradap harta berasma.
Persamaan akibat dari pembatalan perkawinan terhadap harta
commit
to user
bersama antara hukum
islam
dan UU perkawinan yang berlaku di
120
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Indonesia adalah terhadap pembagian harta bersama yang di
dapatkan pada masa perkawinan yang telah dibatalkan diserahkan
kembali kepada pihak-pihak yang bersngkutan. Dijelaskan dalam
pasal 36 ayat 1 yang berbunyi (1) mengenai harta bersama yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dalam
konteks ini dijelaskan
pembagian harta bersama dalam
pembatalan perkawinan di indonesia di lakukan menurut agama
dan adat istiadatnya masing-masing dan apabila terjadi sengketa
kembali atau ketidak adilan dalam pembagian harta bersama yang
bersengketa berhak meminta putusan kepada alim ulama ataupun
hakim dalam pengadlan agama. Karena belum adanya hukum
positif di Indonesia yang khusus mengatur tentang pembagian
harta bersama yang diakibatkan dari pembatalan perkawinan.
4. Perbedaan
Peraturan
Hukum
Tentang
Akibat
Pembatalan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Dan Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam.
Undang-Undang nomor 1
Kompilasi Hukum Islam,
Tahun 1974
Hukum Islam
Perbedaan sebab-sebab dari pembatalan perkawinan
1. Dalam pasal 24 undang-
1. Dalam pasal 70 huruf (a)
undang perkawinan, suatu
yang berbunyi perkawinan
perkawinan dapat
batal apabila suami
dibatalkan apabila
melakukan perkawinan,
perkawinanya masih terikat
sedang ia tidak berhak
dengan salah satu kedua
melakukan akad nikah
belah pihak dan atas dasar
karena sudah mempunyai
adanya perkawinan lain.
empat orang istri sekalipun
Mengingat ketentuan terikat
salah satu dari keempat
dengan tali perkawinan lain
istrinya dalam masa iddah
kemudian melakukan
commit to user
talak raj’i. Dalam Al-Quran
121
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan baru dapat di
diatur dalam syrat An-Nisa
batalkan, kecuali telah
ayat 4 yang artinya:
memperoleh izin poligami.
“Nikahilah wanita-wanita
Poligami di dalam hukum
lain yang kalian senangi
positif harus dilakukan atau
masing-masing dua, tiga,
sah apabila mendapat izin
empat kemudian jika kalian
poligami dari pengadilan
takut tidak akan dapat
agama yang sah.
berlaku adil, kawnilah
2. Seorang suami atau istri
seorang saja atau kawinilah
dapat mengajukan
budak-budak yang kalian
permohonan pembatalan
miliki. Yang demikian itu
perkawinan apabila pada
adalah lebih dekat pada
waktu berlangsungnya
tindakan tidak berbuat
perkawinan terjadi salah
aniaya. (Q.S An-Nisa’
sangka mengenai diri suami
[4]:3)”. Dalam hukum islam
atau istri. Diatur dalam
tpoligami tidak perlu
Undang-undang
mendapat izin dari orang
perkawinan nomor 1 tahun
atau institusi manapun
1974 pasal 27 ayat 2
kecuali istri selama suami
3. Pasal 26 ayat (2) Undang-
dapat berlaku adil dan niat
Undang Nomor 1 tahun
yang baik dan tidak
1974 mengatakan bahwa
melakukan yang melanggar
Hak untuk membatalkan
syariat.
oleh suami atau istri
2. Dalam pasal 72 ayat (2)
berdasarkan alasan ddalam
Kompilasi Hukum Islam
ayat (1) pasal ini gugur
terdapat sedikit pebedaan
apabila mereka telah hidup
pengaturan di dalamnya
bersama sebagaisuami istri
pasal ini menyebutkan
dan dapat memperlihatkan
bahwa seorang suami atau
akte perkawinan yang
to user
dibuat pegawaicommit
pencatat
istri dapat mengajukan
pembatalan perkawinan
122
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan yang tidak
apabila pada waktu
berwenang dan perkawinan
berlangsungnya perkawinan
harus diperbaharui supaya
terjadi Penipuan, atau salah
sah.
sangka mengenai diri suami
atau istri. Penipuan berarti
terdapat unsur kesengajaan
melanggar ketentuan atau
syarat-syarat nikah dalam
melakukan pernikaahan.
Namun di dalam uup tidak
diatur.
3. Dalam Kompilasi hukum
islam pasal 70 huruf (b)
perkawinan batal apabila
seseorang menikahi bekas
istrinya yang telah
dili’annya. Lian dalam
hukum islam artinya sumpah
atau redaksi tertentu yang
diucapkan suami bahwa
istrinya telah berzina atau ia
menolak bayi yang lahir dari
istrinya sebagai anak
kandungnya, dan kemudian
sang istri pun bersumpah
bahwa tuduhan suaminya
yang dialamatkan kepada
dirinya itu bohong. Dalam
Al-Quran disebut dalam
surat An-Nuur ayat 6-9 yang
commit to user
artinya : “dan orang-orang
123
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang menuduh istrinya
(berzina), padahal mereka
tidak mempunyai saksi-saksi
selaindiri mereka sendiri,
maka pesakitan orang itu
ialah empat kali adalah
empat kali bersumpah atas
nama Allah, sesungguhnya
dia adalah termasuk orangorang yang benar. Dan
(sumpah) yang kelima;
bahwa la’nat Allah atasnya,
jika dia termasuk orangorang yang berdusta. Istrinya
itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah
sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang
yang dusta. Dan (sumpah )
yang kelima bahwa laknat
Allah atasnya jika suaminya
itu termasuk orang-orang
yang benar.”
(QS.An-Nuur; 6-9).
4. Di dalam Kompilasi Hukum
Islam juga perkawinan dapat
dibatalkan apabila suatu
perkawinan dilakukan
dengan tanpa persetujuan
commit to user
para mempelai atau dilakuan
124
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dengan paksaan. Demikian
pula yang dibuktikan dengan
hukum islam yang di
terangkan dengan Hadist
sahih Bukhari IV, yaitu :
“Dari Khansa’ Binti
Khizam, Orang Ansar r.a., ia
menceritakan bahwa
bapaknya mengawinkannya
(tanpa izinnya), sedangkan ia
adalah seorang janda. Ia
tidak suka dengan keadaan
itu. Ia datang kepada
Rasulullah SAW. Rasul
membatalkan perkawinan
itu”.146
146
H. Zainuddin Hamidy, H. Fachruddin Hs, H Nasruddin Taha, Johar Arifin, A. Rahman Arifin
commit
to user
M.A. Shahih Bukhari Jilid I,Ii,Iii & Iv Bab
Perkawinan
Dan Perceraian Nomor 1595. Kuala
Lumpur. Klang Book Centre. 2009 .Hlm 12.
125
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang nomor 1
Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Islam
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Hubungan
Suami dan Istri
1. Akibat hukum pembatalan
1. Dalam pembatalan
perkawinan terhadap
perkawinan tidak
hubungan suami istri adalah
dimungkinkan untuk
putusnya hubungan suami
dilakukan rujuk namun
istri tersebut, karena setelah
apabila mereka ingin
putusan pengadilan
kembali harus dengan akad
mempunyai kekuatan hukum
nikah baru. Boleh tidaknya
tetap, maka perkawinan
menikah kembali didasarkan
batal sejak saat
pada 3 hal, pertama dilihat
berlangsungnya perkawinan,
dari segi penyebab batalnya
dengan demikian
perkawinan apabila
perkawinan itu dianggap
perkawinan itu batal karena
tidak pernah ada. Hal ini
melanggar syarat-syarat
sesuai dengan Pasal 28 ayat
perkawinan berupa larangan
(1) Undang-Undang Nomor
menikah untuk selama-
1 Tahun 1974 yang
lamanya maka mereka tidak
menegaskan bahwa batalnya
dapat menikah kembali
suatu perkawinan dimulai
meskipun berkehendak.
setelah keputusan
2. Dalam Kompilasi Hukum
pengadilan mempunyai
Islam dijelaskan dalam pasal
kekuatan hukum yang tetap
75 huruf (a) yaitu keputusan
dan berlaku sejak saat
pembatalan perkawinan tidak
berlangsungnya perkawinan.
berlaku surut terhadap
2. Undang-Undang Nomor 1
perkawinan yang batal
Tahun 1974 tidak mengatur
karena salah satu suami atau
mengenai boleh tidaknya
isteri murtad.
menikah kembali setelah ada
commit to user
126
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
putusan pengadilan yang
membatalkan perkawinan
tersebut, sudah tentu
perkawinan itu harus
mematuhi syarat-syarat
perkawinan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 dan Hukum
Indonesia.
commit to user
127
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 1
Thun 1974
Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Islam
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Hak waris Dan
Status Anak
1. Anak anak yang dilahirkan
1. Jika pembatalan perkawinan
dari pembatalan perkawinan
terjadi karena salah satu atau
adalah anak yang sah, dan
keduanya murtad, maka
dapat mewarisi baik dari
anak dan orang tua tidak
bapaknya maupun dari
dapat saling mewarisi.
ibunya.
2. Dalam pasal 49 ayat 1 dan 2
2.
Hak asuh anak dalam
pandangan hukum islam
Undang-Undang perkawinan
dijelaskan olleh hadist
menjelaskan kedudukan
sebagai berikut, Dari
anak dalam hal kekuasaan
Abdullah Bin ‘Amru RA,
orang tua terhadap anak
bahwasanya ada seorang
dapat di cabut apabila (1)
wanita mengadu kepada
salah seorang atau kedua
Rasulullah, ia berkata :
orang tua dapat dicabut
wahai Rasulullah
kekuasaan orang tuanya
sesungguhnya anaku ini
terhadap anak atau lebih
dibesarkan dalam perutku,
untuk waktu yang tertentu
dan diberi minum dari air
atas permintaan orang tua
susuku dan dalam buaianku,
yang lain, keluarga anak
sementara bapaknya telah
daam garis lurus keatas dan
menceraikanku dan dia ingin
saudara kandung yang telah
memisahkan dengan ku,
dewasa atau pejabat yang
maka Rasulullah menjawab :
berwenang, dengan putusan
engkau lebih berhak
pengadilan dalam hal-hal :
mengasuhnya selama belum
(a) ia sangat melalaikan
menikah. (Hadist disahkan
kewajiban terhadap anaknya,
commit to user
oleh Albani dalam sahih abu
128
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(b) ia berkelakuan buruk
daud).147 Berkaitan hak asuh
sekali. (2) meskipun orang
anak. Sepanjang perkawinan
tuanya di cabut
bapak dan ibu, tiap-tiap anak
kekuasaanya, mereka masih
sampai ia menjadi dewasa,
tetap berkewajiban untuk
tetap bernaung dalam
memberi biaya pemeliharaan
kekuasaannya mereka.
kepada anak tersebut
3. Berkaitan hak asuh anak
Pengasuhan anak tidak
diberikan terhadap Ibu
yang memiliki keyakinan
agama yang berbeda
dengan anak.
commit
to user Saw (1100 Hadist Terpilih), Darul
Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min
Nuri Muhammad
Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 229.
147
129
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974
Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Islam
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Harta Bersama
1. Dari isi Pasal 28 Undang-
1. Al-Quran surat An-Nisa
Undang Nomor 1 Tahun
ayatu 32, yang artinya :
1974 dapat diketahui bahwa
“Bagi laki-laki ada harta
terhadap perkawinan yang
kekayaan perolehan dari
dibatalkan karena sudah ada
hasil usahanya sendiri dan
perkawinan yang terdahulu
wanita ada harta harta
tidak akan ada pembagian
kekayaan perolehan dari
harta bersama.
hasil usahanya sendiri”
2. Pasal 37 Undang-Undang
Dari ayat tersebut dapat
Nomor 1 Tahun 1974 yang
ditarik kesimpulan bahwa
dimaksud dengan hukumnya
kekuasaan terhadap harta
masing-masing ialah hukum
kekayaan itu tetap berada
agama, hukum adat dan
dipihak siapa yang
hukum-hukum lainnya.
mempunyai barang tersebut,
Mengingat Pengadilan
dalam ketentuan Hukum
Agama menangani perkara
Islam bahwa seeorang
bagi orang-orang yang
perempuan yang bersuami
beragama Islam maka
dapat melakukan segala
pengaturan harta bersama
perbuatan hukum tanpa
akibat dari pembatalan
diketahui atau bantuan
perkawinan menggunakan
suaminya, demikian juga
Hukum Islam.
mengenai harta kekayaanya.
3. Dikarenakan di dalam
Hal ini tiada berati suami
Undang-undang nomor 1
tidak boleh menggunnakan
tahun 1974 tentang
barang milik istri, demikian
perkawinan tidak mengatur
juga sebaliknya, tetapi
secara jelas tentang
commit to user
penggunaanya harus
130
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pembagian harta bersama
mendapat persetujuan nbaik
yang timbul dari perkawinan
itu dari ssuami atau istri.
yang telah dibatalkan tetapi
Menurut Kompialsi Hukum
hukum beberapa hukum adat
Islam (KHI)
yang ada di indonesia
1. Pasal 87 ayat (1) KHI
mengenal adanya pembagian
dikatakan bahwa harta
harta bersama atau harta
bawaan masing-masing
gono-gini maka UUP
suami dan isteri dan harta
memberiikan kebebasan
yang diperoleh masing-
terhadap setiap orang yang
masing sebagai hadiah atau
berperkara untuk
warisan adalah di bawah
menyelesaikan perkarnya
penguasaan masing-masing
dengan kemauanya sendiri
sepanjang para pihak tidak
sepanjang tidak terjadi
menentukan lain dalam
sesuatu yang melangar
perjanjian perkawinan.
hukum dan sepanjang setiap
KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi
orang yang berperkara
Fatwa Majelis ualama Indonesia
merasa adanaya keaadilan.
(MUI) Pusat, mengatakan
Dan apabila terdjadi
bahwa konsep harta bersama
sengketa dapat menunjuk
atau gono-gini dapat disamakan
orang yang dituakan atau
atau disetarakan ke dalam harta
institusi dalam aarti disini
syirkah, yaitu harta bersama
hakim pada pengadilan
yang diperoleh atau terkumpul
apaila terjadi sengketa
selama menikah yang harus
terhadap pembagian harta
dibagi secara proprsional jika
bersama.
terjadi perpisahan (seperti
perceraian dan pembatalan
perkawinan). Ma’ruf mengakui
bahwa istilah harta gono-gini
commit to user
131
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan produk kultur
Indonesia.148
Kata fasid berasal kata arab dan merupakan kata sifat yang berarti
rusak. Kata bendanya adalah fasid dan mafsadah yang berarti kerusakan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan Fasid : sesuatu yang
rusak, busuk (untuk perbuatan, pekerjaan,isi hati). Fasid, menurut ahli
hukum hanafi, adalah akad yang menurut syarat sah pokoknya , tetapi
tidak sah sifatnya. Perbedaan dengan akad batil adalah bahwa akad batil
tidak sah baik pokok maupun sifatnya.149
Pendapat mayoritas (jumhur) ulama, Mayoritas ahli hukum islam,
Maliki, Syafi’i dan Hmbali, tidak membedakan antara akad batil dan akad
fasid. Keduanya sama-sama merupakan akad yang tuidak ada wujudnya
dan tidak sah, karena tidak menimbulkan akibat hukum apapun.150
148
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Transmedia
Pustaka Hal: 59
149
. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Al-Fiqih’ala Al-Mahzab Al
Khamsah),Ja’ Fri, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali; Pnerjemah, Masykur A.B.., Afif Muhammad,
commit to user
Idrua Alkhafi; Jakarta, 2011
150
. Ibid, hal 115
132
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Ketidaksahhanya disebabkan oleh karena akad tersebut tidak memenuhi
ketentuan undang-undang syarak.
Pandangan Mazhab Hanafi teori akad fasid, yang membedakan
akad batil dan akad fasid. Akad batil sama sekali tidak ada wujudnya dan
tidak pernah terbentuk karena tidak memenuhi salah satu syarat
terbentuknya akad, sedangkan akat fasid telah terbentuk dan telah
memiliki wujid syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya
karena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad. Hukum akad
fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan (sebelum terjadi penyerahan
objek dan sesuah pelaksanaan terjadi penyerahan objek). Yaitu :151
1.
Pada asasnya, akad fasid adalah akad sah karena terlarang, dan pada
asanya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat
diratifikasi,
bahkan
pembelaan
untuk
masing-masing
tidak
pihak
melaksanakan
dapat
mengajukan
dengan
berdasarkan
ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di fasakh baik oleh para
pihak maupun oleh para hakim guna mendapatkan kepastian hukum
dan menghasilkan suatu akibat hukum.
2.
Sesudah terjadinya pelaksanaan akad (dalam pelaksanaan berupa
penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan
diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hukum
tertentu, yaitu, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja hak milik
ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan
dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tidakan hukum
terhadapnya, tetapi tidak dapat menikmatinya.
Demikian itu fasid atau batalnya suatu akad menurut penertian
jumhur ulama dalam hukum islam yang merupakan penjelasan bahwa
fasid nikah atau pembatalan nikah memang diakui adanya dalam hukum
islam namun untuk menciptakan adanya putusan hakim dan akibat hukum
dalam suatu perkara pembatalan perkawinan atau fasid nikah terlebih
dahulu di fasakh kan atau diputuskan demi mendapatkan adanya kepastian
commit to user
151
. Ibid, hal 120
133
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hukum yang menghasilkan suatu akibat-akibat hukum bagi yang
berperkara.
Hukum positif di Negara Indonesia yang megatur tentang
perkawinan khususnya pembatalan perkawinan yaitu Undang-undang
perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
secara garis besar mengatur tentang pembatalan perkawinan. Namun
dalam kenyataanya masyarakat Indonesaia yang notbenya adalah
masyarakat yang masi kental dan masih mengakui eksistensi hukum adat
yang berlaku di daerahnya, itu sebabnya Undang-Undang perkawinan di
Indonesia dibentuk atas dasar Hukum Agama dan Hukum Adat.
Sedemikian Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 belum
begitu spesifik mengatur tentang akibat yang timbul terhadap perkara
pembatalan perkawinan, di dalam aturan tersebut hanya dijelaskan tidak
berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dan pihak ketiga namun tidak
menjelaskan bagaimana tindakan hukum yang mengatur dan cara
penyelesaianya
apabila terjadi sebuah sengketa paska terjadinya
pembatalan perkawinan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap.
Lebih jelasnya akan dibahas tentang bagaimana penjelasan
perbedaan dan persamaan akibat pembatalan perkawinan, yaitu ada kurang
lebih 4 unsur yang penulis jabarkan, yaitu :
1.
Akibat Hukum Terhadap Suami Dan Istri.
Terhadap peratuan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974,
Hukum Islam dan Kompilsai Hukum Islam terdapat beberapa
perbedaan dan persaman tentang pengaturan pembatalan perkawinan
khususnya akibat pembatalan perkawinan terhadap status suami dan
istri. Persamaan dari akibat pembatalan perkawinan antara hukum
islam dan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ketika
perkawinan itu dibatalkan maka seketika itu perkawinan dianggap
putus dan di anggap tidak pernah adanya perkawinan yang pernah
dilakukan.
Pembatalan perkawinan dilakukan tanpa adanya
commit to yang
user dibatalkan menurut UUP Dan
penjatuhan talak. Perkawinan
134
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hukum Islam terjadi akibat adanya putusan pengadilan yang sudah
tetap. Dan putusan pengadilan tidak berlaku sutut terhadap anak-anak
yang telah dilahirkan.
Perbedaan yang terdapat dalam dua aturan tersebut adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai
boleh tidaknya menikah kembali setelah ada putusan pengadilan yang
membatalkan perkawinan tersebut, sudah tentu perkawinan itu harus
mematuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia. Sedangkan pada hukum
islam dalam pembatalan perkawinan tidak dimungkinkan untuk
dilakukan rujuk namun apabila mereka ingin kembali harus dengan
akad nikah baru. Boleh tidaknya menikah kembali didasarkan pada 3
hal, pertama dilihat dari segi penyebab batalnya perkawinan apabila
perkawinan itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan
berupa larangan menikah untuk selama-lamanya maka mereka tidak
dapat menikah kembali meskipun berkehendak.
Perbedaan yang terdapat dalam kedua aturan di atas jelaslah
tentang status suami dan istri setelah pembatalan perkawinan yang
telah mendapat putusan dari pengadilan dan mempunyai kekuatan
hukum tetap atas status keduanya. Bahawa pasangan suami dan istri
yang oernikahanya telah dibatalkan yang akan melakukan suatu
tindakan hukum kembali contohnya akan rujuk dalam UndangUndang perkawinan tidak diperbolehkan untuk rujuk dan menikah
kembali sapai pada perkara pembatalan perkawinan tersebut
mendapatkan putusan pengadilan yang tetap.
Sedangkan peda Hukum islam tidak dimungkinkan untuk
rujuk kembali dalam artian langsung kembali, namun jika mereka
ingin rujuk diharuskan melakukan akad nikah yang baru. Tetapi boleh
tidaknya melakukan pernikaahn kembali dalam rangka rujuk dapat
diliahat dari penyebab pembatalan perkawinan. Sebagai contoh,
commit to user
Apabila pembatalan perkawinan
tersebut di batalkan akibat adanya
135
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan semenda atau hubungan persaudaraan maka dengan sangat
keras hukum isalam melarang perkawinan hubungan semenda, namun
apabila
pembatalan
perkawinan
dilakukan
karena
adanya
perselingkuan atau penikahan lebih dari 4 kali, maka dalam hukum
islam
diperbolehkan
rujuk
asalkan
dalam
pernikaahan
yang
sebelumnya telah meninggalkan salah satu pasangan sehingga tidak
melanggar aturan hukum islam yang tidak memperbolehkan
pernikahan yang sah dilakukan lebih dari 4 kali atau poligami lebih
dari 4 istri.
2.
Akibat Hukum Bagi Anak.
Persamaan dari akinat hukum dari pembatalan perkawinan
terhadap status anak dan hak asuh anak adalah pembatalan
perkawinan tidak berlahu surut terhadap anak, jika embatalan
perkawinan tersebut dulunya kerena suatu kesengajaan maka
hubungan anak dan orang tua tidak diakui. Dan berkenaan dengan hak
asuh anak adalah pengasuhan anak uang belum dewasa/mumayis
berada dalam pengasuhan ibu.
Dalam peraturan hukum tentang pembatalan perkawinan
terdapat beberapa perbedaan antaha Undang-undang Perkawinan dan
Hukum Islam, perbedaan tersebut antara lain adalah, menurut
Undang-Undang perkawinan anak yang dilahirkan dari pembatalan
perkawinan adalah anak yang sah, dan dapat mewarisi baik dari
bapaknya maupun dari ibunya, berkaitan dengan hak asuh anak adalah
pengasuhan anak tidak diberikan terhadap ibu yang memiliki
keyakinan agama yang berbeda dan memiliki menyakit yang dapat
mebahayakan terhadap jiwa dan keselamatan anak.
Menurut Hukum Islam jika pembatalan perkawinan terjadi
karena salah satu atau keduanya Murtad, maka anak dan orang tua
tidak dapat aling mewarisi, berkaitan dengan hak asuh anak sepanjng
perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa,
to user
tetap bernaung dalam commit
kekuasaan
mereka.
136
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dari persaman dan perbedaan diatas dapat diketahui mengenai
tindak lanjut kepada hak anak terutama hak asuh dan hak waris anak
terhadap anak yang orangtuanya dibatalkan. Dalam Undang-Undang
perkawinan status anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang
dibatalkan merupakan anak sah, dan dapat mewaris dari kedua orang
tuanya. Meskipun aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
perkawinan Yang ada belum cukup lengkap yang khusus mengatur
tentang status anak atas pembatalan perkawinan orang tuanya,
berkaitan dengan hak asuh anak hak asuh anak dapat tidak diberikan
kepada ibunya apabila ibu dari anak tersebut beragama beda dengan
anak tersebut, sampai mendapatkan keputusan hukum dari pengadilan
tentang siapa yang mendapat hak asuh atas anak.
Hukum islam yang mengatur tentang hak anak dalam
perkawinan orang tauanya dibatalakan yaitu adalan berkaitan dengan
statuds anak Hukum Islam menjelaskan jika pembatalan perkawinan
terjadi karena salah satu atau keduanya murtad, maka anak dan orang
tua tidak dapat saling mewarisi, itu artinya menurut analisis penulis
anak yang dilahirkan dari pembatalan perkawinan orang tuanya yang
dikarnakan salah satu orang tuanya murtad atau keluar dari agama
islam bukan merupakan anak yang diakui dari orang tua yang kmurtad
tersebut. Bisa dikatakan hubungan antara anak dan orang tua putus.
Dan menyebabkan anak dan orang tua tidak dapat saling mewaris satu
sama lain. Dan berkaitan dengan hak asuh anak karena pembatalan
perkawinan dalan Hukum Islam sepanjang perkawinan bapak dan ibu,
tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewa, tetap bernaung dalam
kekuasaanya mereka bersama, yaitu dapat dijelaskan bahwa Hak asuh
terhadap anak tidak jatuh ketangan ibu atau ayah dari pembatalan
perkawinan, melainkan ibu dan ayah memiliki kuasa yang sama dalam
mengasuh dan membesarkan anak sampai anak itu menjadi dewasa
dan dapat memilih akan dia auh dari ibu atau bapaknya.
commit to user
137
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3.
Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan
Persamaan akibat dari pembatalan perkawinan terhadap harta
bersama antara hukum islam dan Undang-Undang perkawinan yang
berlaku di Indonesia adalah terhadap pembagian harta bersama yang
di dapatkan pada masa perkawinan yang telah dibatalkan diserahkan
kembali kepada pihak-pihak yang bersngkutan dalam konteks ini
dijelaskan pembagian harta bersama dalam pembatalan perkawinan di
indonesia di lakukan menurut agama dan adat istiadatnya masingmasing. Dan apabila terjadi sengketa kembali atau ketidak adilan
dalam pembagian harta bersama yang bersengketa berhak meminta
putusan kepada alim ulama ataupun hakim dalam pengadilan agama.
Karena belum adanya hukum positif di Indonesia yang khusus
mengatur tentang pembagian harta bersama yang diakibatkan dari
pembatalan perkawinan.
Perbedaan menurut Undang-Undang Perkawinan Tentang
Harta bersama Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama,
hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Mengingat Pengadilan
Agama menangani perkara bagi orang-orang yang beragama Islam
maka pengaturan harta bersama akibat dari pembatalan perkawinan
menggunakan Hukum Islam. Hukum ilam tentang Hrta bersama AlQuran surat An-Nisa ayatu 32, yang artinya :
“Bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari hasil
usahanya sendiri dan wanita ada harta harta kekayaan
perolehan dari hasil usahanya sendiri”
Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan
terhadap harta kekayaan itu tetap berada dipihak siapa yang
mempunyai barang tersebut, dalam ketentuan Hukum Islam bahwa
seeorang perempuan yang bersuami dapat melakukan segala
perbuatan hukum tanpa diketahui atau bantuan suaminya, demikian
juga mengenai harta kekayaanya. Hal ini tiada berati suami tidak
user istri, demikian juga sebaliknya,
boleh menggunnakancommit
barangtomilik
138
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tetapi penggunaanya harus mendapat persetujuan nbaik itu dari ssuami
atau istri, Menurut Kompialsi Hukum Islam (KHI) Pasal 35 ayat (2)
UUP jo. pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain. Pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan masingmasing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
Penjelasan diatas jelas meberi tahu bahwa bagi masyarakat
Indonesia yang taat terhadap hukum islam, dalam Al-Quran telah
dijelaskan bahwa harta istri dan harta suami adalah harta masing-masing
dan diunakan untuk keperluan masing-masing. Jelas baha sesungguhnya
hukum islam tidak mengenal adanya Harta bersama. Namun Bagi UndangUndang perkawinan pasal 28 dan 37 menjelaskan tidak adanya pembagian
harta bersama, namun apabila terdapat harta yang harus di bagikan
menurut karena tidak adanaya perjanjian pemisahan harta Undang-Undang
perkawinan menyerahkan penuh penyelesain pembagian harta bersama
dengan kemauan para pihak yang berperkara, baik secara hukum adat, dan
hukum-hukum lainya demi menghindari kerugian dan ketidak adilan
antara pihak yang berperkara. Pengadilan agama sendiri hanya
menanganin orang-orang yang beragama islam maka pengaturan
penyeselaian perkara pembagian harta bersama hanya diselesaikan dengan
Hukum Islam.
commit to user
139
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Implikasi
Perbandingan
Perbedaan
Hukum
Terhadap
Persamaan
Dan
Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia Yang Tunduk Terhadap
Hukum Islam.
Di Negara Indonesia yang merupakan Negara yang memakai
Hukum Islam sebagai pedoman hukum atau hukum yang di akui di negara
selain hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum Islam di Negara
Indonesia sangat berguna untuk menjadi pertimbangan politik hukum
dalam menciptakan suatu Produk Hukum atau Aturan Hukum, Huku Islam
Sebagai dasar acuan Hukum demi menciptakaan keadilan dan kesejahtraan
antara masyarakat, pemerintah dan hukum itu sendiri. Seperti yag
dikatakan Prof. Mahfud MD dalam bukunya Perkembangan Politik
Hukum Di Indonesia perkembangan konfigurasi politik senantiasa
mempengaruhi perkembangan produk hukum. konfigurasi politik tertentu
senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu.
Konfigurasi politik yang demokratis senentiasa melahirkan hukum-hukum
berkarakter responsive atau
populistik, sedangkan konfigurasi politik
otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
konservatif / ortodoksx.152
Pengertian implikasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah efek
yang ditimbulkan di masa depan atau dampak yang dirasakan ketika
melakukan sesuatu.153 Pengertian implikasi adalah akibat langsung yang
terjadi karena suatu hal misalnya karena penemuan atau hasil penelitian.
Kata implikasi mempunyai makna yang cukup luas sehinga maknanya
cukup beragam. Suatu implikasi penelitian dapat digunakan untuk
membandingkan hasil penelitian yang terdahulu dengan hasil penelitian
yang baru saja dilakukan. Dari pembahasan di atas penulis telah
menjabarkan tentang perbandingan hukum akibat pembatalan perkawinan
152
Mahfud,Moh,MD, Perkembangan Politik Hukum, Yokyakarta, 1993, Hal 675,676.
commit
to userIndonesia (KBBI) Online,Diakses
Kbbi.Web.Id.Arti Kata-Kamus
Besar Bahasa
Tanggal 1 Juni 2016 ,Jam 16.00.
153
140
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam,
di alam pembahasan di atas penulis membandingkan paerturan hukum
antara kedua hukum tersebut, dan menyimpilkan suatu persamaan dan
perbedaan. Persamaan dan perbedaan aturan yang telah diuraikan di
pembahasan di atas tentunya akan menimbulkan implikasi atau dampak
bagi peradilan hukum di Indonesia. Dikarnakan adanya dua aturan hukum
yang diakui dan diberlakukan di indonesia mengenai perkawinan
khususnya pembatalan perkawinan. Berikut ini penjelasan
implikasi
persamaan dan perbedaan akibat hukum pembatalan perkawinan antara
undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam.
A. Implikasi Persamaan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi
Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia Yang Tunduk Terhadap
Hukum Islam.
Perkara pembatalan perkawinan selain tunduk pada aturan
umum beracara, juga tunduk pada aturan khusus (lex specialis) yang
terdapat dalam UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (PP).
Undang-Undang Perkawinan telah mendelegasikan kepada
pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai beberapa
hal. Pertama, mengenai waktu tunggu (iddah) [Pasal 11 ayat (2)].
Kedua, mengenai kedudukan anak luar perkawinan [Pasal 43 ayat
(2)]. Ketiga, hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah [Pasal 67 ayat (2)].
Disebutkan pada Penjelasan Umum PP tersebut bahwa:
“Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari
1974 secera efektif masih diperlukan peraturan-peraturan
pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan
perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara
perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu
to user putus perkawinan, pembatalan
bagi wanita yangcommit
mengalami
141
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih
dari seorang dan sebagainya”.
Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk
pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata
cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, tata cara
poligami, berikut hukum acaranya. Di samping itu, PP ini pun
mengatur kompetensi absolut. Pasal 23 UUP sendiri memberikan
kedudukan hukum (legal standing) berupa hak untuk mengajukan
kebatalan atau pembatalan untuk mengajukan pembatalan perkawinan
hanya kepada:
1.
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau
istri;
2.
suami atau istri;
3.
pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum
diputuskan;
4.
pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan itu putus.
Apabila dirinci secara ringkas dan sederhana dalam PP
tersebut diatur perihal kompetenasi relatif (Pasal 20), alasan dan
pengaturan perceraian dengan alasan huruf b UUP (Pasal 21), alasan
dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf f UUP (Pasal 22),
alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf c UUP (Pasal
23), kebolehan pisah rumah atas alasan bahaya ketika ada perkara
sekaligus penentuan nafkah dan pemeliharaan anak (Pasal 24),
gugurnya perkara (Pasal 25), pemanggilan untuk tiap persidangan
berikut acara pemanggilannya (Pasal 26-28), administrasi dan acara
persidangan (Pasal 29), in person atau kuasa dalam siding (Pasal 30),
perdamaian (Pasal 31), ne bis in idem (Pasal 32), pemeriksaan tertutup
untuk umum (Pasal 33), acara sidang putusan terbuka untuk umum
commit to user
dan waktu mulai terjadinya perceraian (Pasal 34), berbagai kewajiban
142
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
panitera pengadilan (Pasal 35-36). Sesuai petunjuk Pasal 38 ayat (3)
PP, maka aturan dalam Pasal 20-36 PP diatas diberlakukan juga untuk
perkara pembatalan perkawinan.
Implikasi terhadap persaman akibat hukum menurut UndangUndang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Huukum Islam (KHI)
bagi masyarakat Indonesia Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam
adalah bahwa jika persammaan aturan terdapat, maka khi tidak dapat
digunakan melaikan Undang-Undang Perkawinan yang digunakan,
karana
berdasarka
lex
specialis
Undang-Undang
perkawinan
merupakan peraturan yang bersifat khusus. Sedangkan Kompilasi
hukum islam Yang sifatnya hanya sebagai penyokong atau pendukung
pertimbangan terhadap hakim atas putusan yang berdasarkan hukum
islam, demi menegakkan syariat islam di lingkungan peradilan agama,
dan apabila persamaan
itu terdapat
di dalam
Undang-Undang
perkawinan dan Kompilasi Hukum islam maka, aturan yang terdapat
di dalam Kompilasi Huku Islam sebaiknya tidak digunakan dalam
putusan suatu peradilan, karena itu berarti peraturan yang di atur di
dalam Undang-Undang perkawinan sudah sesuai dengan norma
agama dan norma adat itiadat yang ada di Negara Indonesia.
B. Implikasi
Perbedaan
Peraturan
Hukum
Akibat
Pembatalan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia
Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam.
Indonesia mempunyai peraturan yang berdasar dari Al-quran
dan Al-Haddis sebagai dasar hukum yang mengatur tentang
perkawinan, kewarisan, kewakafan yang di khususkan untuk
masyarakat yang percaya dan tunduk tehadap hukum islam. Peraturan
tersebuat adalah Kompilasai Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum
Islam (KHI) adalah seperangkat ketentuan hukum islam yang
senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat
commit to user
berkeadilan, yang menjunjung
nilai-nilai kemanusiaan, menghargai
143
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hak-hak kaum perampuan, meratanya nuansa kerahmatan dan
kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat
manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari
sumber-sumber isalam yang otoratif, Al-Quran dan Al-Sunnah,
pengalaman,
dan
Ketentuan-ketentuan
yang
hidup
di
dalam
masyarakat indonesia, khasanah intelektual klasik isalam, pengalaman
peradaban masyarakat muslim dan barat di belahan dunia yang lain.
Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan
menseleksi baerbagai pendapat fiqih mengenai soal kewarisan,
perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitb fikih yang berjumlah
38.154
Implikasi dari perbedaan peraturan yang mengatur tentang
pembatalan perkawinan antara Undang-udang perkawinan dan
kompilasi hukum islam (KHI) di Indonesia yang paling utama adalah
dalam hal putusan hakim dalam suatu peradilan yang perkaranya
diatur dalam kompilsai hukum islam (KHI) dan Undang-undang
perkawinan. Peraturan yang pengatur tentang pembatalan perkawinan
di atur dalam kedua aturan hukum tersebut, apabila penggugat dan
tergugat ingin menyelesaikan perkara dengan hukum islam maka
pedoman hakim dalam memutus perkara adalah dengan kompiasi
hukum islam (KHI) namun demikian kompilasi hukum islam yang
hanya inpres kedudukanya tidaklah setara dengan Undang-Undang
Perkawinan.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam di dalam tata
hukum Indonesia dalam konteks sosiologis bersubstansi hukum islam
itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrumen hukum
politik yang digunakan adalah inpres Nomor 1 tahun 1991. Selain
formulasi hukum islam dalam tata hukum di indonesia, KHI bisa
disebut sebagai representasi dari bagian substansi hukum material
154
155.
to user
Marzuki Wahid dan Rumadi,commit
Fiqih Madzab
Negara, yogyakarta: LKIS, 2001, Hal
144
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
islam yang dilegalisaikan pleh penguasa politik pada zama orde
baru.155
Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakterkarakter politik hukum islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan
membawa konsekwensi untuk memperbincangkan kembali diskursus
hukum agama dan hukum negara di dalam wadah negara Pancasila.
Keberadaan
hukum
islam
harus
diselaraskan
dengan
visi
pembangunan hukum yang dicanangkan Negara, disini lalu terjadi
proses filterisasi terhadap materi hukum islam oleh negara.156
Dengan demikian, secara ideologis KHI Berada pada titik
tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara.157 dalam
paradigma agama, hukum islam wajib dilaksanakan oleh umat isalam
secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapan dalam
kehidupan sosial menjadi misi agama yang suci.158 Dengan kata lain
bahwa hukum islam berada dalam penguasaan hukum negara denga
pertimbangan pluralitas agama, etnis, ras, dan golongan. Hasil
interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata
politik negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI
merupakan satu-satunya hukum materill islam yang memperoleh
legitimasi politik dan yuridis dari Negara.
Keberadaan KHI di Indonesia ini disamping memiliki segi
positif juga menimbulkan problematika sendiri. Usaha pemerintah
Indonesia membawa substansi hukum islam yang skralistis itu ke
dalam kompilasi hukum islam ternyata masih berjumpa dengan
anggapan desekralisasi kitab fikih melalui penggunaan bahan
artifisal.159 Disamping itu dasar hukum Kopilasi hukum islam hanya
155
Ibid hlm 145.
Mahfud,Moh,MD, loc. Cit.
157
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Lengkap Legislasi Kompalisi
Hukum Islam), JURNAL Mimbar Hukum No. 59 Th.XIV, Al-Hikmah, 2003, hal. 74.
158
Ibid.
159
to Kompilasi
user
Abdul Ghani Abdullah, 1994,commit
Pengantar
Hukum Isalam Dalam Tata
Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta Hlm, 25.
156
145
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berupa instruksi presiden (inpres) membawa permaslahan tersendiri
dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, walaupun dalam
prekteknya para hakim pengadilan agama akan menggynakan
ketentuan KHI sebagai salah satu dasar hukum dalam putusanya tanpa
mempersalahkan bahwa KHI itu dasarnya hanya berupa Inpres.
Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
undang-undang perkawinan ini pada dasarnya adalah undang-undang
yang pengatur tentang segala peraturan yang khususnya peraturan
tentang perkawinan. Undang-undanh ini tidak di khususkan untuk
masyarakat muslim saja, melaikan mengatur perkawinan secara
umum. Berdasarkan asas hukum yang dianu t di Indonesia yaitu asas
lex specialit derogat legi generalis yaitu bahwa aturan hukum yang
khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum, itu artinya
bahwa Undang-Undang perkawinan merupakan peraturan hukum
yang khusus tentang perkawinan.160 terdapat perbedaan peratutan yang
khususnya pengaturan tentang pembatalan perkawinan. Perbandingan
hukum yang di lakukan pada pembahasan sebelumnya telah
menimbulkan perbedaan dan persamaan di dalam kedua aturan
tersebut.sebagai contoh dalam perkara pembatalan perkawinan yang
diatur dalam bab IV pasal 22 sampai pasal 28 dan Kompilasi Hukum
Islam bab XI Pasal 70 sampai 76 terdapat beberapa perbedaan tentang
sebab-sebab pembatalan perkawinan menurut hukum positif dan
hukum islam, dan tentunya dalam aturan yang mengatur tentang
akibat hukum dari pembatalan perkawinan.
Terhadap dua pertentangan dan atau perbedaan antara UndangUndang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai
pembatalan perkawinan maka perlu dirunut kembali tata urutan
peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Tap MPR No.
III/MPR/2000 Tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan
commit to user
http;//m.hukumonline.com/klik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialistderogat-legi-generalis. Diakses pada tanggal
160
146
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perundang-undangan , KHI yang dibuat dengan inpres tidak termasuk
di dalamnya. Begitu pula dalam Undang-Undang nomor 10 tahun
2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Inpres
tidak termasuk dalam tata urutan Perundang-undangan.161
Sekalipun demikian Inpres-KHI termasuk lingkup makna
organik pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan merambat
pada
konvensi
produk
penyelnggaraan negara.
162
tradisi
konstitusional
dalam
rangka
Sekurang-kurangya tiga hal yang dapat
dicatat dari inpres Nomor (1) tahun 1991 dan keputusan mentri agama
nomor 154 tahun 1991, yakni :163
1.
Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain daripada kewajiban
masyarakat islam dalam rangka mengfungsionalisasikan ekplansi
ajaran islam sepanjang yang normatif sebagai hukum yang hidup.
2.
Rumusan hukum dalam KHI berupaya mengakhiri presepsi ganda
dari keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1)
serta (2) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, segi hukum
formal di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai
hukum yang diberlakukan secara sempurna.
3.
Menunjukan secara tegas wilayah berlaku pada instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Yulkarnain
Harahab dan Andy Omara dosen fakultas hukum Universitas Gajah
Mada Dalam Jurnalnya Yang Berjudul Kompilasi Hukum Islam
Dalam
Perpektif
Hukum
Perundang-Undangan
yang
telah
memaparkan dan menganalisis data yang diperoleh dari para
responden penelitian, yaitu para hakim Pengadilan Agama yang ada di
161
Berdasarkan Ketentuan Dalam UU No. 10 Tahun 2004, Inpres hanya mengikat secara
kelembagaan, alam hal ini mentri agama, instruksi adalah suatu bentuk keputusan yang bersifat
hirarkis dan berlaku bagi jajaran tata usaha negara di bawah pembentukan instruksi.
162
Abdul ghani abdullah, ibid
163
Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara, Kompilasi Hukum Islam Dalam Prespektif
commit
to user
Hukum Perundang-Undangan; Laporan Hasil
Penelitian
Dosen Fakultas Hukum Uneversitas
Gajah Mada. Yogyakarta.2010.E-Mail: [email protected]
147
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penelitian tersebut
dipaparkan mengenai gambaran umum para responden, baik yang
menyangkut usia, masa kerja, maupun jumlah perkara yang ditangani
dalam setiap bulannya.
Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa sebagian
besar (62,5%) responden berusia antara 41-50 tahun, dan yang berusia
antara 51-60 tahun ada 37,5%. Adapun responden yang berusia 31-40
tahun, di bawah 30 tahun dan di atas 60 tahun tidak ada. Itu berarti
pengalaman para responden dalam memutus perkara dapat dilihat dari
masa kerja para responden di lingkungan Pengadilan Agama dimana
yang bersangkutan bekerja. Dari hasil penelitian, dijelaskan bahwa
semua responden (100 %) memiliki masa kerja antara 10 sampai 20
tahun.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
mereka
sudah
cukup
berpengalaman dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang
diajukan kepadanya.164
Penelitian tersebut terlihat bahwa jumlah perkara yang
ditangani dan diselesaikan oleh para responden setiap bulannya cukup
variatif. Sebagian besar responden (37,5%) menangani 11-20 perkara
dalam setiap bulannya. Adapun responden yang menangani perkara
kurang dari 10 setiap bulannya ada 2 orang (25%). Ini terjadi di
Pengadilan Agama Wates, dimana perkara yang diajukan ke
Pengadilan Agama yang bersangkutan memang tidak terlalu banyak.
Adapun responden yang menangani 21-30, 31-40, dan 41-50 perkara
setiap bulannya masing-masing ada 1 (12,5%). Sedangkan responden
yang menangani 50 perkara ke atas tidak ada. Dilihat dari segi
intensitas penggunaan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) oleh
para responden dalam menangani perkara. Dari penelitian di atas
dapat dilihat bahwa semua responden (100%) menggunakan KHI
sebagai salah satu dasar hukum untuk memutus perkara yang
ditanganinya. Penggunaan ketentuan KHI sebagai dasar hukum untuk
commit to user
164
.Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara.
148
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memutus perkara dalam prakteknya tidaklah berdiri sendiri, melainkan
dirangkaikan dengan peraturann perundang-undangan lainnya, seperti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sebagainya.
Dari 8 responden penelitian ini, semuanya menyatakan bahwa
sebagian
besar
perkawinan.
perkara
yang
ditanganinya
adalah
perkara
165
Sesuai dengan data yang di peroleh dari pengadilan Agama,
dalam putusan peradilanya hakim peradilan agama memakai
Kompilasi Hukum Islam dalam memutus suatu perkara. Berikut data
yang penulis peroleh berdasarkan putusa pengadilan agama :
Tabel Penggunaan KHI dalam Putusan Pengadilan Agama
No
Nomor Perkara
Jenis Perkara
Ketentuan KHI
Yang Digunakan.
1
910/Pdt.G/2004/PA.Sm
Pembatalan
Pasal 71 (a) dan
Perkawinan.
(e) Pasal 73 (c)
Kompilasi
Hukum Islam
2
91/Pdt.G/2005/PTA. Smg.
Pembatalan
Pasal 71 (a) dan
Perkawinan.
(e) Pasal 73 (c)
Kompilasi
Hukum Islam
3
46/Pdt.G/2002/PA.YK
Pembatalan
Pasal 71 huruf a,
Perkawinan
Pasal 73 huruf d,
Pasal 74 yat (1).
KHI.
4
165
No.796/Pdt.G/2010/PA.LLg. Pembatalan
Pasal 71 sub “e”,
Perkawinan
Pasal 20, 75 dan
commit to user
Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara
149
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
76
Kompilasi
Hukum Islam.
5
349/Pdt.G/2009/PA.Smn
Cerai Gugat
Pasal 105 huruf
(a), Pasal 11 6
huruf (f), Pasal 11
9
6
211 /Pdt.G/2008/PA.Yk
Cerai Talak
Pasal 3, Pasal 11
6 huruf (f)
Adapun alasan-alasan yang diajukan para responden mengapa
menggunakan ketentuan KHI sebagai dasar memutus perkara adalah
sebagai berikut:166
1.
KHI adalah fiqh Indonesia (ijtima’ ulama Indonesia) sebagai
hukum yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia yang
dibingkai dengan Inpres untuk menjadi bahan hukum positif.
2.
KHI merupakan hukum materiil yang mencakup Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
3.
KHI adalah fiqh khas ulama Indonesia, oleh karena itu perlu dan
cocok secara sosiologis, meski status KHI tidak termasuk dalam
hierarkhi perundangundangan (dapat dalam kategori doktrin).
4.
KHI merupakan ”ijma’ jama’i” dari para ahli hukum Islam
Indonesia, hampir seluruh pasal-pasalnya berisi fiqh mazhab
Syafi’i yang diikuti mayoritas umat Islam Indonesia, jadi secara
sosiologis KHI hampir-hampir tidak ada masalah dengan umat
Islam Indonesia.
5.
KHI melengkapi hukum materiil yang belum diatur dalam
Undang-Undang. dan peraturan pemerintah, seperti Pasal 11 6
huruf h KHI tentang murtad sebagai alasan perceraian. Disamping
166
itu, pasal-pasal KHI lebih dekat dengan keadilan,karena sudah
commit to user
Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara
150
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengakomodir pendapat-pendapat yang terkini (sesuai dengan
perkembangan hukum Islam seperti Pasal 185 KHI (tentang ahli
waris pengganti).
6.
KHI merupakan hukum materiil yang praktis digunakan, dari
pada mengambil sumber-sumber dari Kitab-kitab Fiqh yang
saling berbeda.
7.
KHI merupakan salah satu sumber hukum materiil bagi Peradilan
Agama.
Berdasarkan data-data di atas, dapat dilihat bahwa meskipun
Kompilasi Hukum Islam dasar hukumnya bukanlah suatu UndangUndang melainkan hanya Instruksi Presiden, namun dalam praktek di
Pengadilan
Agama,
ketentuan-ketentuan
di
dalamnya
selalu
digunakan para hakim sebagai salah satu dasar hukum untuk
memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Sekalipun secara legal
formal Instruksi Presiden tidak memiliki kekuatan mengikat yang
kuat, akan tetapi keberadaannya ditatati oleh masyarakat, khususnya
para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ditaatinya KHI
didasarkan bahwa KHI merupakan hukum yang hidup di tengahtengah masyarakat (living law). Disamping itu, KHI dipandang
sebagai fikih khas Indonesia yang merupakan ijma’ dari para ulama
Indonesia.
Fikih yang merupakan pendalaman atau interpretasi fuqaha
terhadap ketentuan syariat, sifatnya tidaklah abadi dan berbeda untuk
setiap wilayah. Dengan kata lain, fiqih itu terikat ruang dan waktu.
Oleh karena itu, fiqih yang dipandang cocok untuk masyarakat di
Timur Tengah, belum tentu cocok diterapkan bagi masyarakat
Indonesia. Salah satu contohnya adalah ketentuan kewarisan yang
diajarkan Imam Syafi’i, ketentuan tersebut tidak banyak menimbulkan
masalah bagi masyarakat Timur Tengah yang bercorak Patrilineal,
tetapi berbeda dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas bercorak
commit to user
bilateral.
151
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan fikih khas
Indonesia, karena penyusunannya banyak dipengaruhi kondisi sosial
budaya
masyarakat
Indonesia
dan
juga
disesuaikan
dengan
perkembangan terkini pada masyarakat Indonesia, sehingga berbeda
dengan fikih dari negara lain. Karena penyusunannya disesuaikan
dengan kondisi masyarakat Indonesia, maka KHI dirasakan dapat
memenuhi rasa keadilan masyarakat Indonesia sehingga dalam
implementasinya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini juga
didukung oleh kenyataan bahwa sumber-sumber yang dijadikan acuan
dalam penyusunan KHI tidak melulu dari ketentuan-ketentuan yang
ada dalam kitab fikih (khususnya kitab-kitab fikih dari Mazhab
Syafi’i), melainkan juga ketentuan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia dan juga hukum adat sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan Hukum Islam. Hal ini menjadikan penerapan
KHI tidak banyak mendapat hambatan secara sosiologis.
Karenanya, berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior,
KHI yang notabene dibuat dengan inpres tidak dapat mengalahkan
undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974. Hakim tidak dapat
norma dalam KHI yang bertentangan dengan norma hukum yang
diatur dalam UUP Tahun 1974 yang lebih tinggi kedudukanya.
Namun, hakim dapat menerapkan asas Ius contra legem, yaitu hakim
dapat menerobos aturan perundang-undangan dalam kasus tertentu
sehingga dapat menerapkan prinsip hukum islam dalam putusanya.167
Contra
Legem
merupakan
putusan
Hakim
pengadilan
yang
mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga
Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan
bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-
commitIndonesia
to user Prergulatan Antara Negara, Agama
Sirin Khaeron, Perkawinan Mahzab
Dan Perampuan,--Ed11,Cet. 1—Yogyakarta, Depublish, Februari 2016. Hal 319
167
152
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa
keadilan masyarakat.168
Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 (1) UndangUndang Nomor.4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1) UndangUndang.Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang.Nomor 5 Tahun 2004
tentang Mahkamah Agung. Menurut Penjelasan Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Undang-Undang.Nomor 48 Tahun 2009 Tentang 4
Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1) Undang.Nomor 5 Tahun
2004 tentang Undang-Undang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa
ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan Hakim dapat sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Ditambahkan Menurut penjelasan bagian umum UndangUndang Dasar Nagera Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI
1945), “Bahwa undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedang disampingnya undang-undang dasar berlaku juga hukum dasar
tidak tertulis.” Berarti disini disamping dikenal hukum tertulis (hukum
nasional) juga terdapat hukum tidak tertulis yang hidup dan tumbuh
kembang dalam masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai hukum
adat. Hukum adat inilah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat
(1) Undang-Undang.Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman, digali oleh hakim apabila menemui persoalan ketiadaan
aturan hukum yang mengatur suatu persoalan.
Selanjutnya, perlu ditegaskan disini, berdasarkan prinsip di
atas maka hakim Indonesia tidak boleh bersifat legistik, yakni hanya
sekedar menjadi corong atau mulut undang-undang, meskipun
memang selalu harus legalistik. Ditambahkan oleh Bagir Manan,
putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas hukum atau
sekedar memelihara ketertiban.Putusan hakim harus berfungsi
commit
user Pembagian Harta Bersama (terhadap
Suyadi, Kemungkinan Kontra
Legemtodalam
Pasal 97 KHI), majalah merdeka online, diakses pada tanggal 20 juni 2016.
168
153
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi
sosial dalam pergaulan. Hanya dengan cara itu, menurutnya, putusan
hakim akan benar dan adil.169 Sehubungan prinsip ini pula, jika
ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan
umum, kepatutan, peradaban dan kemanusian, yakni nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, maka menurut Yahya Harahap, hakim bebas
dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yakni mengambil
putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang
bersangkutan.170
Sesuai dengan teori hukum progresif yang berarti Pelaksanaan
contra legem oleh hakim dalam memutus suatu perkara yang belum
ada
pengaturannya
atau
kurang
jelas
aturannya,
merupakan
pelaksanaan hukum progresif.Yang mana dalam ajaran hukum
progresif tidak diperkenanakan untuk terlalu positifis legalistik dalam
menjawab suatu persoalan hukum. Diperlukan upaya-upaya yang
progresif yang mana upaya tersebut memberikan suatu kemanfaatan
dan keadilan bagi pihak pencari keadilan. Hakim yang dalam hukum
acara dikatakan sebagai corong undang-undang, diharapkan mampu
bersifat progresif.171
Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa setiap
masyarakat Indonesia yang tunduk terhadap hukum islam dapat
melihat dan memilih perturan yang akan di gunakan berkaitan dengan
perkara pembatalan perpkawinan. Kompilasi Hukum Isam (KHI)
adalah merupakan peraturan hukum yang digunakan di Negara
Indonesia di khsususkan kepada Umat Islam yang ada di indonesia.
Meski demikian KHI tidaklah mutlak peraturan Undang-Undang yang
169
Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung R.I, Jakarta, h.212.
170
Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Pedata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.856.
171
Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah dalam
Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas
commit
to user
Diponegoro bekerjasama dengan Program
Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan
Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakrta dan Semarang, 15 Desember 2007,
154
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
digunakan pengadialan agama dalam proses pemutusan suatu perkara
pembatalan perkawinan. KHI merupakan peraturan undang-undang
yang menjadi alternatif, yang artinya KHI Ttidak sepenuhnya
digunakan dalam suatu putusan perkara apabila dalam peraturan
pokok yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah
mengatur dan telah sesuai dengan ajaran Hukum islam.
commit to user
Download