95 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB 1V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Pada pembahasan sebelumnya telah diuraikan bahwa Undangundang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak membahas secara rinci mengenai alasan-alasan untuk menuntut pembatalan perkawinan. Sehingga beberapa ketentuan dalam KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) masih berlaku bagi golongan timur asing atau golongan tionghowa yang berada di indonesia, ketentuan dalam Kopilasi Hukum Islam, Dan hukum islam itu sendiri masih berlaku. Demikian pula mengenai akibat hukum dari pembatalan perkawinan, undang-undang tidak memberikan uraian yang mendalam, sehingga dalam suatu perkara pembatalan perkawinan membutuhkan penyokong dasar hukum lain yang mengatur adanya tentang pembatalan perkawinan. Sehingga akibat hukum pembatalan perkawinan yang ada dalam aturan hukum lain masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang perkawinan. Akibat-akibat dari pernyataan batalnya perkawinan diatur dalam pasal 28 Undang-undang perkawinan serta dalam kompilasi hukum islam pasal 75, dan Hukum Islam berdasarkan Al-Quran Dan Al-Hadist. Akibat hukum pembatalan perkawinan setidaknya mempunyai 3 (tiga) akibat itu sendiri, yang berhubungan dengan adanya suatu hal yang berpeluang merasa dirugikan dan merugi dalam hal pembatalan perkawinan. Tiga hal tersebut adalan, akibat hukum terhadap status atau hubungan suami istri, akibat hukum terhadap pihak ketiga dalam hal ini adalah anak yang dilahirkan di dalam perkawinan yang di batalkan, dan akibat hukum terhadap harta bersama (gono-gini) yang didapatkan pada saat perkawinan tersebut dan perkawinan tersebut tidak adanya perjanjian permisahan harta. commit to user 96 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id A. Akibat hukum terdadap hubungan suami dan istri. Akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap hubungan suami istri adalah putusnya hubungan suami istri tersebut, karena setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka perkawinan batal sejak saat berlangsungnya perkawinan, dengan demikian perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai boleh tidaknya menikah kembali setelah ada putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan tersebut, sudah tentu perkawinan itu harus mematuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia. B. Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak. Selain berakibat pada putusnya hubungan suami istri, batalnya perkawinan juga membawa akibat hukum pada kedudukan anak. Untuk mengetahui akibat hukum pembatalan perkawinan terhadap kedudukan anak maka terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai isi Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 42 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat dua penafsiran. Penafsiran pertama bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai satu makna yaitu anak yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan adalah anak yang lahir akibat dari perkawinan yang sah bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mempunyai 2 makna yakni pertama, walaupun anak itu terjadi sebelum atau di luar perkawinan yang sah asalkan anak itu lahir setelah perkawinan sah berlangsung, baik antara pria dan wanita yang menyebabkan terjadinya anak itu maupun antara pria yang bukan commit to userwanita yang menyebabkan terjadi bapak biologis dari anak ini dengan 97 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id anak itu, maka anak tersebut tetap sebagai anak sah. Kemudian makna yang kedua yakni anak yang sah adalah anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang sah dengan kata lain bahwa anak yang sah (sesuai dengan pengertian anak sah dalam Hukum Indonesia). Dengan demikian dari cara “atau” pada penafsiran yang kedua menunjukkan bahwa Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terdiri dari dua kalimat yang mempunyai makna yang berbeda satu sama lain. Dari uraian mengenai maksud Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa perkawinan yang sah merupakan penentu dari sah/tidak sahnya seorang anak. Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa perkawinan akan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya, dengan demikian untuk orang yang beragama Islam, sahnya perkawinan apabila perkawinan dilaksanakan menurut Hukum Islam, oleh karenanya apabila perkawinan dilaksanakan dengan melanggar Hukum Islam maka perkawinan tidak sah. Selanjutnya sahnya perkawinan menurut Hukum Islam ialah apabila perkawinan itu secara sah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Dengan demikian patokan dari sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hukum agama masingmasing mengenai pembatalan perkawinan dan akibat hukumnya bagi orang Islam. Sebaliknya apabila pekawinan dilaksanakan dengan tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat perkawinan dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 maupun Hukum Islam (pada prisipnya tidak ada pembedaan yang mendasar antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam mengingat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berpedoman pada Hukum Islam), maka perkawinan tidak sah menurut hukum sehingga dapat dibatalkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan commit to apabila user perkawinan dapat dibatalkan para pihak tidak memenuhi 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, namun karena hukum positif (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) tidak menghendaki anak yang tidak berdosa menjadi korban dari perbuatan orang tuanya maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengecualian terhadap anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang tidak sah (dalam hal ini tidak memenuhi secara sah syarat-syarat perkawinan menurut Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam sebagai perkawinan dapat batal) yakni anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan tidak sah tetap mempunyai hubungan hukum dengan orang tuanya. Status anak adalah anak sah sehingga berhak mewaris apabila orang tuanya meninggal dan yang menjadi wali nikah adalah Bapak dari anak itu. Ini tercermin dari Pasal 28 ayat (2) huruf a UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan Pasal 75 huruf b serta Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan batalnya perkawinan tidak akan memutus hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Di samping itu, meski hubungan perkawinan orang tuanya putus, kedua orang tua tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, namun undang-undang tidak menegaskan tentang siapa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak. Dalam hal ini dapat dikembalikan dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 31 ayat (3), yang menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Dihubungkan dengan Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan commit to userundang-undang menentukan juga kemampuannya. Dengan demikian 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahwa yang dibebani nafkah pemeliharaan dan pendidikan anak adalah suami (bapak anak). Dari sini dapat dilihat bahwa ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sesuai dengan ketentuan dalam hal nafkah anak. Sesuai dengan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan anak yang belum mencapai 18 tahun belum pernah melangsungkan perkawian ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. C. Akibat hukum terhadap harta bersama. Pada kasus di atas karena perkawinan yang harmonis berlangsung empat bulan jadi kemungkinan belum memperoleh harta bersama karena yang dinamakan harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan, walaupun demikian bila harta bersama itu telah ada, maka keputusan penyelesaian mengenai harta bersama diserahkan pada suami isteri untuk membagi secara adil dimana di dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 disebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Selain itu akibat hukum terhadap harta bersama setelah adanya putusan pengadilan yang dapat membatalkan perkawinan dapat diketahui dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dari Pasal 28 ayat (2) huruf b Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat ditafsirkan bahwa terhadap suami istri yang bertindak dengan niat baik dalam arti diantara suami istri tidak ada unsur kesengajaan sebelumnya untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar hukum yang berlaku, sehingga walaupun perkawinan telah dibatalkan oleh pengadilan karena tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan maka tetap ada pembagian to user harta bersama diantara commit suami istri. Dikarenakan keputusan pengadilan 100 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tidak berlaku surut dalam arti keputusan pengadilan yang membatalkan perkawinan berlaku saat keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (sama dengan saat berlakunya putusan perceraian). Dengan demikian walaupun perkawinan itu tidak sah namun karena perkawinan ini dilakukan dengan itikad baik, maka diberi perkecualian dalam hal harta bersama yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, yakni setelah perkawinan dibatalkan masingmasing mantan suami dan mantan istri tetap memperoleh harta bersama. Mengenai pegaturan harta bersama akibat dari putusan batalnya perkawinan lebih terdapat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Dikembalikannya pengaturan harta bersama yang merupakan akibat hukum dari pembatalan perkawinan pada Pasal 37 yang mengatur tentang akibat hukum perceraian terhadap harta bersama karena putusan pengadilan dalam perkara pembatalan perkawinan khususnya dalam hal perkawinan yang dilakukan dengan itikad baik juga berlaku sejak keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap seperti halnya dengan perkara gugatan perceraian. Berdasarkan penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Mengingat Pengadilan Agama menangani perkara bagi orang-orang yang beragama Islam maka pengaturan harta bersama akibat dari pembatalan perkawinan menggunakan Hukum Islam. Putusan Pengadilan Agama mengenai pembagian harta bersama setelah adanya putusan pembatalan perkawinan ternyata tidak ada penetapan yang pasti sehingga setelah terjadi pembatalan perkawinan maka masalah pembagian harta bersama diselesaikan secara musyawarah antara mantan suami dan mantan istri. Oleh karena itu commit to user 101 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengadilan tidak berwenang mencampuri kecuali atas kehendak para pihak yang berperkara, apabila tidak tercapai kesepakatan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberi pengecualian terhadap suami istri yang perkawinannya dibatalkan oleh Pengadilan Agama karena dalam melangsungkan perkawinan tidak ada itikad baik, yakni dengan adanya pembagian harta bersama, namun dari isi Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diketahui bahwa terhadap perkawinan yang dibatalkan karena sudah ada perkawinan yang terdahulu tidak akan ada pembagian harta bersama. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa apabila aturan pelaksanaan pembatalan perkawinan belum ada, maka mengenai akibat hukumnya pun belum ada yang mengatur secara khusus, selain yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 2. Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan komilasi hukum islam memang mengatur tentang adanya akibat pembatalan perkawinan di negara Indonesia, namun masih adanya masyarakat indonesia yang tunduk terhadap hukum islam, karena masyaraka indonesia adalah masyarakat yang menganut Islam paling besar di dunia sehingga masyarakat di Indonesia ada yang tunduk terhadap hukum isalm. Hukum islam berdasarka pada Al-Quran dan Al-Hadits menurut masyarakat yang tunduk terhadap hukum islam adalah dasar hukum yang peling benar dalam penutan menyelesaikan suatu perkara hukum.119 119 M. Arifin Hamid. Hukum Islam Prespektif Keindonesiaan (Sebuah Pengantar Dalam commit to user Memahami Realitasnya Di Indonesia). Makassar : PT. UMITOHA.2011 102 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ajaran islam juga populer disebut Dienul-Islam merupakan salah satu ajaran agama somawi (langit), jika tidak mau dikatakan sebagai kelanjutan agamma-agama samawi sebelumya. 120 selain memiliki karakteristik yang berbeda denga sejumlah agama berkembang di dunia yang biasa dikenal dengan agama dunia. Kerekteristik islam demikian itu dipertegas dalam Al-Quran, wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin (tiadalah risalah islam ini diturunkan melaikan untuk kepentingan seluruh alam semesta).121 Tentunya ajaran islam memiliki sumber-sumber atau dari mana asal muasal dari ajaran islam tersebut. Ajaran islam juga sebagai ajaran penutup dari ajaran-ajaran sebelumnya memiliki berbagai dinamika. Khususnya di Indonesia ajaran islam memiliki beberapa fase mulai dari masa penjajahan, pasca kemerdekaan dan juga saat sekarang ini peranan ajaran islam dalam pembangunan Nasional. Hukum islam juga merupakan salah satu sistem hukum yang berlaku di Negara Indonesia di samping sistem hukum lainya (sistem hukum adat dan sistem hukum barat) peda dasarnya kedudukanya adalah sama. Ketiga sistem hukum tersebut adalah relvan dengan kebutuhan hukum masyarakat. A. Akibat hukum hubungan suami dan istri. Istilah fasad maupun istilah batal sama-sama berarti suatu pelaksanaan ibadah atau nikah misalnya yang dilaksanakan dengan tidak mencukupi syarat atau rukunnya. Ibadah yang tidak sah, baik karena tidak lengkap syarat atau rukunnya atau karena ada penghalang (mani') bisa disebut akad fasad dan boleh pula disebut akad batal.122 Kata sah berasal dari bahasa Arab "Sahih" yang secara etimologi berarti suatu dalam kondisi baik dan tidak bercacat. Menurut istilah Ushul Fiqh kata sah digunakan kepada suatu ibadah atau akad yang dilaksanakan dengan melengkapi segala syarat dan rukunnya.123 120 Ibid., hal 20 Ibid., hal 35 122 Ibid, hlm. 75. 123 Ibid, hlm. 50 121 commit to user 103 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Fasad dan batal adalah lawan dari istilah sah, artinya bila mana suatu akad tidak dinilai sah berarti fasad atau batal. Menurut bahasa fasid berasal dari bahasa Arab yang berarti rusak.124 Dinyatakan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah “Nikah fasid adalah nikah yang tidak memenuhi salah satu dari sayarat-syaratnya, sedang nikah bathil adalah apabila tidak memenuhi rukunnya, hukum nikah fasid dan bathil adalah sama, yaitu tidak sah. Andi Tahir Hamid juga berpendapat: bahwa suatu perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan terlanjur dilangsungkan dapat dimohonkan pembatalannya (fasid).125 Untuk menguraikan tentang dasar hukum pembatalan nikah, disini dikemukakan ayat al-Qur'an dan Hadits-hadits yang berkenaan dengan nikah yang dibatalkan tidak memenuhi syarat dan rukun nikah. Jika fasid nikah terjadi disebabkan karena melanggar ketentuanketentuan hukum agama dalam perkawinan, misalnya larangan kawin sebagaimana yang dimaksud dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa: 22-23. Surat An-Nisa: 22. “Dan janganlah kamu kawinkan wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).126 Surat An-Nisa: 23. “Diharamkan atas kamu (mengawini): ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara yang perempuan. Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibuibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu), isteri-isteri anak 124 A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia Terlengkap, Surabaya, Pustaka Progresif, 1997, hlm. 92 dan 1055. 125 Andi Tahir Hamid, Beberapa Hal Baru tentang Peradilan Agama dan Bidangnya, Sinar Grafika, hlm. 22. 126 commitdan to user Departemen Agama RI, AL-Qur’an Terjemahnya, Semarang: Toha Putera, 1989, hlm. 120 104 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dan perempuan yang bersaudara, kecuali yang terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.127 Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Bukhori: “Dari Khansa’ binti Khidzam al-Anshariyah ra.: Bahwa ayahnya telah mengawinkannya sedangkan ia sudah janda, lantas ia tidak menyukai pernikahan itu, kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah SAW maka beliau membatalkannya. (HR. Bukhari).128 Sabda Rasulullah SAW, riwayat dari Aisyah ra.:129 "Apabila seorang perempuan menikah tanpa ijin walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia bagi dia berhak menerima mahar sekedar menghalalkan farjinya, apabila walinya enggan (memberi ijin) maka wali hakim (pemerintah) lah yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali." (Riwayat Imam empat kecuali al-Nasa'i). Hukum agama Islam dalam masalah perkawinan hanya mengenal adanya perkawinan yang sah dan perkawinan yang tidak sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan dengan memenuhi segala rukun dan syaratnya, jika perkawinan dilaksanakan, tapi ada sebagian dari syarat atau rukun yang tidak terpenuhi maka perkawinan yang demikian dianggap tidak sah.130 Banyak syarat dan rukun perkawinan yang menyebabkan suatu perkawinan terpaksa harus dibatalkan, bila pelanggaran itu dibawa ke Pengadilan Agama dinyatakan fasid dan terhadap pernikahan dianggap sejak semula tidak pernah terjadi,131 maka akibatnya segala sesuatu yang dihasilkan dari pernikahan itu menjadi batal dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi pula. Kemudian karena fasid nikah atau pembatalan pernikahan ini dapat mengakibatkan pasangan 127 .Ibid., hlm. 120 Al-Iman Zainudin Ahmad, Ringkasan Shahih Al-Bukhori, Bandung, Mizan Media Utama, t.th., hlm. 791. 129 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 83. 130 Ibid 131 commit to Hubungan user Gatot Suparmono, Segi-segi Hukum Luar Nikah, Jakarta: Djambatan, 1998, hlm. 37 128 105 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id suami isteri itu terpisah untuk selamalamanya, tetapi dapat juga menjadi pasangan suami isteri lagi, artinya berpisahnya hanya untuk sementara, hal ini tergantung melihat penyebab terjadinya fasid nikah. Meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat hukumnya juga sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 75 dan 76 Kompilasi Hukum Islam, dengan rumusan yang berbeda. Adapun bunyi Pasal 75 dan 76 adalah sebagai berikut: Pasal 75: “Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. c. Pihak ketiga, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beri’tikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan yang tetap. Pasal 76: “Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Maksud dan tujuan dari Pasal 76 kompilasi hukum Islam di atas adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinan ibu bapaknya dibatalkan. Anak-anak tersebut tidak dapat dibebani kesalahan akibat kekeliruan yang dilakukan kedua orang tuanya, meskipun secara psikologis jika pembatalan perkawinan tersebut benar-benar terjadi, akan tetap membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. Tetapi karena demi hukum, maka kebenaran harus ditegakkan meski kadang membawa kepahitan. Di samping itu dalam pembatalan perkawinan tidak dimungkinkan untuk dilakukan rujuk namun apabila mereka ingin kembali harus dengan akad nikah baru. Boleh tidaknya menikah commit to user kembali didasarkan pada 3 hal, pertama dilihat dari segi penyebab 106 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id batalnya perkawinan apabila perkawinan itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan berupa larangan menikah untuk selamalamanya maka mereka tidak dapat menikah kembali meskipun berkehendak. Kedua, pihak yang perkawinannya dinyatakan batal dapat menikah kembali (tentunya harus secara sah memenuhi syaratsyarat perkawinan baik menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun menurut Hukum Islam). Apabila syarat-syarat perkawinan yang dilanggar berkenaan dengan larangan menikah yang bersifat sementara waktu saja dan keduanya berkehendak. Yang ketiga meskipun mereka dapat menikah kembali karena hanya menyangkut larangan menikah yang sifatnya sementara waktu namun apabila keduanya atau salah satu dari keduanya tidak berkehendak maka tidak dapat menikah kembali. Terhadap pihak-pihak yang menikah kembali pembatalan perkawinan tidak membawa akibat apapun. B. Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak. Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya dan Pasal 105 huruf b Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan pada anak untuk memilih diantara ayah/ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Jadi walaupun perkawinan dinyatakan batal namun demi kepentingan anak, maka kedudukan anak yang lahir sebagai akibat perkawinan yang tidak sah dianggap anak yang sah. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan pada bab III bahwasanya perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan baik rukun maupun syarat sah perkawinan. Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang Ilmu pengetahuan (The body of knowladge) commit to userilmu yang lain yang memberikan akan tetapi ditelaah dalam disiplin 107 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang agama, hukum, dan secara disiplin ilmu lainnya. Begitu juga halnya dengan anak yang dilahirkan dari akibat dibatalkannya perkawinan diantara kedua orang tuanya. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum berlangsungnya perkawinan itu” 132 tetap dan berlaku sejak saat . Artinya yang dibatalkan itu adalah di mana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami istri yang perkawinan dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang terlahir di dalamnya. Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami istri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anak. Anak memperoleh hak untuk pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau dibatalkan oleh hukum. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak memang tidak dapat dimarginal kan, sebagaimana telah diatur dalam peraturan yang berlaku, Undang- Undang No 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 dan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) huruf a berbunyi : a. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. b. Keputusan tidak berlaku surut terhadap : anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. commit to user 132 Loc cit. Departemen Agama RI. 108 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pengasuhan terhadap anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi perpisahan, merupakan suatu kewajiban bagi orang tua terhadap anak agar anak menjadi generasi yang kuat dan tidak terjerumus dalam kebodohan, kelemahan dari sisi tertentu, yang mana itu semua sangat tidak dicintai oleh Allah. Dalam sebuah hadist Qudsi dinyatakan “seorang mukmin yang kuat itu lebih baiak dan dicintai oleh Allah dari pada seorang mukmin yang lemah” HR.Muslim133. Menelantarkan anak berarti secara tidak langsung menyeret anak dalam curam kebodohan yang dapat membawa anak ke dalam lembah kefakiran dan kefakiran dapat merentankan kekufuran, sebagaimana sabda nabi Muhammad S.A.W. “Hampir-hampir kefakiran itu menjadikan (seorang) dalam kekufuran” dan kekufuran membawa korbannya kedalam lembah api neraka. Tidak pelak lagi, hal ini merupakan kewajban yang sangat diperhartikan oleh Islam dalam menjaga masing-masing individu terlebih keluarganya dari api neraka, sebagaimana firman Allah S.W.T. dalam surat At- Tahrim ayat 6 yang berbunyi134 : “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. Dalam ayat di atas menjaga dari api neraka merupakan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim terhadap dirinya pribadi dan pada keluarganya, Ini bisa teridentifikasi pada lafadz ﻗ ﻮا yang mana kata ini menunjukkan kata perintah (Amr) yang pada dasarnya setiap kata perintah menunjukkan suatu kewajiban, dalam sebuah kaidah fiqh menyatakan Asal dari pada perintah itu adalah wajib artinya jika perintah itu bebas bebas tidak disertai qarinah yang 133 Ali Asshabuni, Muhammad, Min Kunuzis sunnah, (Beuirut: Darul Qutub Al Islamiy, 134 DEPAG, Al-Qur’an dan Terjemahnya QS. At-Tahrim (66): 6 commit to user 1999) 109 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menyimpangkan kepada tujuan selain wujud, maka ternyata pengertian hukum yang keluar dari amr itu ialah wajib.135 Dalam memberikan pengasuhan beberapa hadist telah menjelaskan berkenaan dengan siapa yang layak untuk mengasuh anak lebih-lebih ketika perkawinan itu putus (baik disebabkan karena perceraian maupun karena suatu hal yang menjadikan perkawinan itu terputus atau dibatalkan) dan hadist-hadist itu menunjukkan pengasuhan berada pada ibu kandung si anak. Sebagaimana sebuah hadist yang di kutib oleh Abi Suju’ dalam kitabnya At-Tadzhib fi Adillah Matan Al-Qhoyatu wa At-Taqriib melalui jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “ Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya R.A: Bahwa sanya datang seorangperempuan kepada Rasulullah SAW dan berkata :Ya Rasulallah, ini adalah anakku, perutku adalah kantongnya, pangkuanku adalah tempat duduknya dan susuku adalah tempat minumnya. Kemudian ayahnya akan memisahkannya dariku maka Rasulullah bersabda: Engkau lebih berhak atasnya selagi engkau belum menikah.” (HR. Abu Dawuud)136. Dalam hadist di atas selain menerangkan seorang yang lebih berwenang dalam pengasuhan juga dapat memberikan suatu hukum berkenaan dengan masa pengasuhan ibu, yakni hukum di mana selama ibu belum kawin lagi dengan laki-laki lain, selama itu pula hak pengasuhan seorang anak berada dalam pengasuhan ibu. Tetapi, kalau ia kawin dengan laki-laki yang masih dekat kekerabatannya dengan anak kecil tersebut, seperti paman dari ayahnya, hak hadhonahnya tidak hilang. Hal ini karena paman itu masih berhak dalam masalah hadhonah. Karena hubungan dan kekerabatannya yang dekat dengan anak tersebut, ia akan bisa bersikap mengasihi serta memperhatikan haknya. Dengan demikian, akan terjadi kerjasama yang sempurna di dalam menjaga si anak, si ibu dan suami yang baru. Ini cukup 135 136 commit to userPT.Al-Ma’arif, 1983) hlm 20 Riva’I, Muhammad, Ushul Fiqh, (Bandung: Abi Suju’, Op.Cit hlm 189. 110 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id beralasan andai suami barunya itu orang lain. Sesungguhnya, dikhawatirkan suami barunya tadi tidak bisa mengasihi anak dan tidak dapat memperhatikan kepentingannya dengan baik, sebagaimana kasih sayang yang diberikan dari kerabat yang masih dekat dengan si anak seperti paman dari ayah misalkan. Karenanya ini nantinya dapat mengakibatkan suasana keluarga tanpa kasih sayang, hampa akan udara yang mesra, dan keadaan yang dapat menumbuhkan bakat dan pembawaan anak kurang baik akibat kondisi keluarga yang tidak kondusif. Dalam hal ini bisa dilihat Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 45 ayat 1 tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak. Kewajiban orang tua yang dimaksud adalah : a. kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. b. kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 secara tegas disebutkan pemeliharaan anak dalam terjadinya perceraian. a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai hak pemegang pemeliharaannya. Seperti pula maksud dan tujuan yang terkandung dalam Pasal 28 ayat 2 sub (a) Undang-Undang Noraor 1 Tahun 1974 jo Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam adalah untuk melindungi kemaslahatan dan kepentingan hukum serta masa depan anak yang perkawinannya dibatalkan, meskipun secara psikologis bila perkawinan tersebut betulbetul dibatalkan akan tetap membawa dampak commit to user menguntungkan bagi kepentingan anak-anak tersebut. yang tidak 111 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id C. Akibat hukum terhadap harta bersama. Pada dasarnya, tidak ada percampuran harta kekayaan dalam perkawinan antara suami dan istri. Konsep hata bersama pada awalnya berasal dari adat istiadat atau tradisi yang berkembang di Indonesia. Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan haeruta sihareukat; di minangkabau masih dinamakan harta suarang, di sunda dinamakan guna-kaya, di bali disebut dengan drue gabro; dan kalimantan digunakan istilah barang perpantangan.137 Konsep ini kemudian didukung oleh hukum islam dan hukum positif yang berlaku negara Indonesia. Dalam hukum islam harta suami tetap milik suami dan harta istri tetap menjadi milik istri. Akad nikah tidak menyebabkan penambahan atau pengurangan harta dengan menjadikan milik suami sebagai milik istri atau istri menjadi milik suami, karena masing-masing ada bagianya sesuai usahanya, dasar atas pendirian tersebut dapat dilihat dalam Al-Quran surat An-Nisa ayatu 32, yang artinya : “Bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri dan wanita ada harta harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri” Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan terhadap harta kekayaan itu tetap berada dipihak siapa yang mempunyai barang tersebut, dalam ketentuan Hukum Islam bahwa seeorang perempuan yang bersuami dapat melakukan segala perbuatan hukum tanpa diketahui atau bantuan suaminya, demikian juga mengenai harta kekayaanya. Hal ini tiada berati suami tidak boleh menggunnakan barang milik istri, demikian juga sebaliknya, tetapi penggunaanya harus mendapat persetujuan nbaik itu dari ssuami atau istri. Pembicaraan atau kajian tentang gono-gini atau harta bersama tidak kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih klasik. Masalah harta gono- commit toBersama user Sumi Istri, (Bulan Bintang, Jakarta, Ismail Muhammad Syah, Pencaharian 1965). Hal.18. 137 112 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id gini atau harta bersama merupakan persoalan hukum yang belum disentuh atau belum terpikirkan (ghair al-mufakkar) oleh ulamaulama fiqih terdahulu karena maslah harta gono-gini baru muncul dan banyak dibicarakan dalam masa modren ini. Secara umum, hukum islam tidak melihat adanya harta gono-gini. Hukum islam lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan harta istri. Menurut M. Yahya Harahap , bahwa prespektif hukum islam tentang harta bersama sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh muhammad syah bahwa pencaharian bersama suami istri mestinya masuk dalam rub’u mu’amalah, tetapi ternyata tidak dibicarakan secara khussus. Hal mungkin disebabkan karena pada umumnya. Pengarang kitab-kitab fiqih adalah orang arab yang tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahasa arab yang tidak mengenal adanya pencaharian bersama suami istri. Tetapi ada dibicarakan tentang kongsi yang dalam bahasa arab disebut syirkah.138 Pembagian harta bersaa dala prespektif Al-Quran maupun Hadist tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan itu menjadi harta bersama. Sehingga masalah ini adalah merupakan masalah yang perlu ditentuka dengan cara ijtihad, yaitu dengan mengunakan akal pikiran manusia dan dengan sendirinya pemikiran tersebut harus seuai degan hukum islam. Para perumus KHI melakukan pendekatan dari jalur syirkah abadan dengan hukum adat. Cara pendekatan ini tidak bertentangan dengan kebolehan menjadikan ‘urf sebagai sumber hukum dan sejiwa dengan kaidah al-adatu almuhakkamah.139 Syirkah menurut etimologi adalah percampuran, sedangkan menurut terminologi adalah jaminan hak terhadap sesuatu yang 138 Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU. No. 7 Tahun 1989. (Jakarta. Sinar Grafika 2009). Hal. 270-271. 139 to user Moh. Idris Ramulyo, Hukumcommit Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I, 1995). Hal.33. perpustakaan.uns.ac.id 113 digilib.uns.ac.id dilakukan oleh dua orang atau lebih secara umum, atau bisa juga dikatakan akad yang menunjukan hak terhadap sesuatu yang dilakukan oleh dua orang atau lebih sesuai pendangan umum. 140 dalam hukum islam syirkah adalah diperoleh dari syara’, dalam firman Allah surat Shaad disebutkan yang artinya : Daud Berkata : “sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kenbanyakan dari Orangorang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan daud mengetahui bahwa kami mengujinya; maka ia meminta ampun kepada tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. (Q.S Shaad.24).141 Dari ayat ini dapat kita simpulkan pada dasarnya berserikat itu mengandung banyak kezaliman. Namun lama kelamaan hukum syirah diperbolehkan. Kajian ulama tentang harta bersama telah melahirkan pendapat bahwa harta bersama termasuk dapat di qiyaskan dengan syirkah. Syirkah sendiri menurut bahasa ialah pertempuran, sedangkan menurut syara’ ialah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu. 142 harta bersama didefinisikan sebagai harta yang dihasilkam pasangan suami istri selama perkawinan berlangsung. Maka, harta bersama dikatagorikan sebagai syirkah muffawadhah atau syirkah abdaan. Dikatakan sebagai syirkah muffawadhah karena pengkongsian suami istri dalam harta bersama itu bersifat tidak terbatas, apa saja yang mereka hasilkan selama dalam perkawinan mereka termasuk dalam harta bersama, dalam fiqih muamalah syirkah mufaawadhah merupakan bagian dari syirkah uqud’. Syirkah uqud’ adalah kongsi yang mensyaratkan adanya kontrak antara angotanya keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. 140 .Muhammad Abu Zahrah . Unsul Fikih. (Jakarta . Pustaka Firdaus, 2007). Hal.255. .Departemen Agama RI, Al Quran Dan Terjemahanya. (Bandung. CV.Penerbit commit to user Diponogoro 2005). Hl.363. 142 Ismail Muhammad Syah, Pencaharian Bersama Suami Istri...., Hal 38. 141 114 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Harta kekayaan suami dan harta kekayaan isteri akan terpisah satu dengan lainnya, baik harta bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh seorang suami isteri atas usahanya sendiri maupun harta yang diperoleh oleh salah seorang dari mereka karena hadiah atau hibah warisan sesudah mereka terikat dalam hubungan perkawinan. Terpisahnya harta milik suami dan harta milik istri tersebut memberi hak yang sama bagi suami dan isteri untuk mengatur hartanya sesuai dengan kebijaksanaan masing-masing, akan tetapi karena menurut Hukum Islam dengan terjadi perkawinan istri menjadi kongsi sekutu suami dalam mengarungi bahtera rumah tangga, maka suami isteri terjadilah perkongsian tenaga (syarikah abelasi) dan perkongsian tidak terbatas (syarikh mufawwadah). Dengan demikian dalam Islam ada harta yang terpisah dan tidak terpisah (harta syarikh). Harta yang terpisah terdiri dari harta bawaan masing-masing harta yang diperoleh salah seorang mereka karena hadiah, hibah, warisan sesudah mereka terikat dalam tali perkawinan, sedang harta yang tidak terpisah merupakan harta yang tidak diperoleh dari usaha suami dan usaha isteri selama perkawinan. Sedangkan untuk harta bawaan setelah putusan perkawinan menurut KHI adalah: a. Pasal 35 ayat (2) UUP jo. pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. b. Pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan masingmasing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam commit to user perjanjian perkawinan. 115 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Persamaan Peraturan Hukum Tentang Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam. Dalam aturan hukum di Negara Indonesia Hukum positip Indonesia tentang perkawinan yaitu Undang-Undang perkawinan No 1 tahun 1974 mengatur tentang adanya pembatalan perkawinan dan dalam hukum islam juga mengatur adanya pembatalan perkawinan atau fasid nikah. Adapun analisis mengerucut penulis terhadap penelitian ini memfokuskan terhadam masalah akibat hukum dapri pembatalam perkawinan menurut undang-undang perkawinan dan hukum islam. Pembatalan perkawinan terdapat faktor mendukung yang menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan, yaitu adalah sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan atau fasid nikah. Dalam undang-undang perkawinan di sebutkan sebab-sebab terjainya pembatalan perkawinan diatur di dalam pasal 24, pasal 26, dan pasal 27, sedangkan dalam kompilasi hukum islam (KHI) diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasaal 72. Dalam hukum islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadits dan sesuai Ijtihad para Ulama pernikahan dapat dibatalkan atau diFasidkan apabila dalam perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat sah nikah. Persamaan pengaturan antara undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 dan hukum islam adalah, sebagai berikut : A. Persamaan Sebab-sebab pembatalan perkawinan. 1. Perkawinan dilakukan dengan tanpa adanya wali nikah, wali nikah yang tidak sah, dengan para saksi yang tidak sah, dan tidak dilangsungan di muka pegawai yang berwenang, (Sebab terjadinya pembatalan di atas sesuai dengan UUP no 1 tahun 1974 pasal 26 ayat 1 dan Komilasi hukum islam (KHI) pasal 71 Huruf e, Serta dalam Hadist, hendaklah seorang wanita di nikahkan oleh walinya , sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW : commit to user 116 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “Tiada Nikah kecuali hanya dengan wali” (H.R. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah Dan Ad-Darmi).143 Jika wanita menikah sendiri tanpa wali makan nikahnya batal (bathil), sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah S.W.T : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki dan hambahamba sahayamu yang perempuan”. (Q.S. AnNUUR : 32). Lafadz “akhihuu” dalam bahasa arab yang artinya kawinkanlah ditujukan kepada para wali. Dan pernikahan harus disertai dengan dua orang saksi yang sah maksudnya adalah Madzhab Hambali berkata dalam Qoul Masyhurnya bahwa disyaratkan dua orang saksi bukan berasal dari asalusulnya pihak laki-lakiatau furu’nya (cabang) dan juga sebaliknya bukan berasal dari pihak wanita.144 yang dimaksud dengan ushul disini adalah ayahnya ayah daseterusnya keatas. Dedangkan furu adalah anak laki-laki dan sterusnya turun kebawah.) 2. Pernikahan atau perkawinan dilakukan dengan antara dua orang yang mahram, berhubungan semenda, sepersusuan, sodara kandung, bibi atau kemenakan. (Larangan diatas terdapat didalam UUP pasal 22 yang berbunyi perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untik melangsungkan perkawinan, syarat-syarat perkawinan dalam UUP terdapat dalam pasal 6 yang tertuju pada pasal 6 yang berbunyi ketenruan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu dari yang bersangkutan menentukan lain. Itu 143 Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min Nuri Muhammad Saw (1100 Hadist Terpilih), Daru Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 225. 144 Dr. M. Sulaeman Jajuli, MEY, Al-Syiqaq Dalam Putusan Perkawinan Di Pengadilan commit 1-Yogyakarta to user Agama Tanah Luwu, Oleh Mustaming, -Ed1,Cet Deepublis, Desember 2015, Hal 215. 117 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berarti bahwa selama dalam hukum agama dan kepercayaan seseorang tidak menjuruskan kepada perbuatan yang melanggar hukum hukum agama dapat digunakan sebagai pedoman hukum dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 70 huruf d dan huruf e. Dalam hukum islam terdapat hadist yang menyatakan pelaranan pernikahan terhadap hubungan sepersusuan yang artinya : Rasulullah bersabda ”Diharamkan dara saudara sesusuan segala sesuatu yang diharamkan dari nasab” (HR, Bukhari dan Muslim).145 Di Dalam Kitab Suci Al-Quran surah An-Nisa ayat 23 yang artinya: 3. “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anakanakmu yang perempuan saudar-saudara bapakmu yang perempuan, saudar-saudara ibumu yang perempuan, anakanak perempuan dari saudaramu yang laki-laki, saudarasaudara perempuanmu dari saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusuimu, saudar-saudara perempuan yang sepersusuan” Pernikkahan dilakukan dengan dibawah ancaman dan unsur pakasaan bagi pria maupun wanita. (sebeb terjadinya pembatalan perkawinan diatas sesuai dengan psal 27 ayat 1 UUP nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila peerkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur jga dalam pasal 71 huruf f yang berbunyi perkawinan dapat dibatalkan apabila dilakukan dengan paksaan dan pasal 72 ayat 1 seorang suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangssungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. dalam syarat sahnya perkawinan dalam islam syarat ini merupakan yang peling commit to Nuri userMuhammad Saw (1100 Hadist Terpilih), Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min Darul Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 225. 145 118 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id penting, yaitu syarat kerelaan bagi calon pengantin, karena itulah pihak laki-laki maupun perempuan tidak boleh memaksa wanita untuk menikah. Demikian juga halnya dengan pihak wanita, tidak boleh memaksa laki-laki untuk menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa” (Q.S. An-Nisa ayat 19) Sebagaimana Rasulullah SAW Juga telah bersabda : 4. “janganalah kamu menikahi wanita (baik yang masih kecil atau sudah besar) sampai kamu minta kesiapanya, dan janganlah kamu menikahi seorang perawan sebelum kamu minta izinya. Para sahabat bertanya : wahai Rasulullah SAW, bagaimana izinya? Rasul menjawab: Dia Berdiam diri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Tirmidzi; menurutnya hadist Hasan Shahih, Ibnu Majah, An-Nasa’i, Abu Daud, Ahmad Dan Darami). Maka haram hukumnya menikah bagi wanita tanpa kerelaanya (ridha), baik wanita yang masih perawan ataupun yang ssudah menikah.) Pernikahan yang dilakukan diantara pria atau wanita masih terikat pernikahan dengan pihak lain. Kecuali pria yang telah mendapat izin poligami berdasaran undang-undang. (dalam UUP Nomor 1 tahun 1974 aturan diatas diatur dalam pasal 24 yang berbunyi baang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salaha satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Isalam (KHI) diatur dalam pasal 71 hurub b yang berbunyi perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud. Itu artinya didalam hukum positip dan hukum islam dibenarkan adanya poligami selagi tidak melawan aturan-aturan hukum. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 119 digilib.uns.ac.id B. Persamaan Akibat pembatalan perkawinan. 1. Akibat hukum terhadap hubungan suami dan istri. Persamaan dari akibat pembatalan perkawinan antara hukum islam dan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan da kompilasi hukum islam (KHI) pasal 72 adalah ketika perkawinan itu dibatalkan maka seketika itu perkawinan dianggap putus dan di anggap tidak pernah adanya perkawinan yang pernah dilakukan. Pembatalan perkawinan dilakukan tanpa adanya penjatuhan talak. Perkawinan yang dibatalkan menurut UUP Dan Hukum Islam terjadi akibat adanya putusan engadilan yang sudah tetap. Dan putusan pengadilan tidak berlaku sutut terhadap anakanak yang telah dilahirkan. 2. Akibat hukum terhadap status anak dan hak anak. UUP nomor 1 tahun 1974 pasal 28 ayat 2 huruf (a) dan kompilasi hukum islam (KHI) pasal 75 huruf (b) pembatalan perkkawinan tidak berlaku surut terhadap (b) anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, dan pasal 76 yang berbunyi batalnya suatu perkawinan tidak akan meutuskan hubungan hukum antara anak dan orang tuanya. Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dan Jika pembatalan Perkawinan tersebut dulunya karena suatu kesengajaan maka hubungan anak dan orang tua anak tidak diakui. Terhadap hak waris anak Pengasuhan anak yang belum dewasa /mumayis berada dalam pengasuha Ibu. Dalam KUHPerdata bila kedua orangtuanya beritikad baik maka anak yang dilahirkan akibat dari perkawinan yang dibatalkan ini, dianggap sah. Sedangkan bagi mereka yang orangtuanya beritikad buruk, maka anak-anakny di anngap anak luar kawin. 3. Akibat hukum teradap harta berasma. Persamaan akibat dari pembatalan perkawinan terhadap harta commit to user bersama antara hukum islam dan UU perkawinan yang berlaku di 120 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Indonesia adalah terhadap pembagian harta bersama yang di dapatkan pada masa perkawinan yang telah dibatalkan diserahkan kembali kepada pihak-pihak yang bersngkutan. Dijelaskan dalam pasal 36 ayat 1 yang berbunyi (1) mengenai harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, dalam konteks ini dijelaskan pembagian harta bersama dalam pembatalan perkawinan di indonesia di lakukan menurut agama dan adat istiadatnya masing-masing dan apabila terjadi sengketa kembali atau ketidak adilan dalam pembagian harta bersama yang bersengketa berhak meminta putusan kepada alim ulama ataupun hakim dalam pengadlan agama. Karena belum adanya hukum positif di Indonesia yang khusus mengatur tentang pembagian harta bersama yang diakibatkan dari pembatalan perkawinan. 4. Perbedaan Peraturan Hukum Tentang Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam. Undang-Undang nomor 1 Kompilasi Hukum Islam, Tahun 1974 Hukum Islam Perbedaan sebab-sebab dari pembatalan perkawinan 1. Dalam pasal 24 undang- 1. Dalam pasal 70 huruf (a) undang perkawinan, suatu yang berbunyi perkawinan perkawinan dapat batal apabila suami dibatalkan apabila melakukan perkawinan, perkawinanya masih terikat sedang ia tidak berhak dengan salah satu kedua melakukan akad nikah belah pihak dan atas dasar karena sudah mempunyai adanya perkawinan lain. empat orang istri sekalipun Mengingat ketentuan terikat salah satu dari keempat dengan tali perkawinan lain istrinya dalam masa iddah kemudian melakukan commit to user talak raj’i. Dalam Al-Quran 121 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perkawinan baru dapat di diatur dalam syrat An-Nisa batalkan, kecuali telah ayat 4 yang artinya: memperoleh izin poligami. “Nikahilah wanita-wanita Poligami di dalam hukum lain yang kalian senangi positif harus dilakukan atau masing-masing dua, tiga, sah apabila mendapat izin empat kemudian jika kalian poligami dari pengadilan takut tidak akan dapat agama yang sah. berlaku adil, kawnilah 2. Seorang suami atau istri seorang saja atau kawinilah dapat mengajukan budak-budak yang kalian permohonan pembatalan miliki. Yang demikian itu perkawinan apabila pada adalah lebih dekat pada waktu berlangsungnya tindakan tidak berbuat perkawinan terjadi salah aniaya. (Q.S An-Nisa’ sangka mengenai diri suami [4]:3)”. Dalam hukum islam atau istri. Diatur dalam tpoligami tidak perlu Undang-undang mendapat izin dari orang perkawinan nomor 1 tahun atau institusi manapun 1974 pasal 27 ayat 2 kecuali istri selama suami 3. Pasal 26 ayat (2) Undang- dapat berlaku adil dan niat Undang Nomor 1 tahun yang baik dan tidak 1974 mengatakan bahwa melakukan yang melanggar Hak untuk membatalkan syariat. oleh suami atau istri 2. Dalam pasal 72 ayat (2) berdasarkan alasan ddalam Kompilasi Hukum Islam ayat (1) pasal ini gugur terdapat sedikit pebedaan apabila mereka telah hidup pengaturan di dalamnya bersama sebagaisuami istri pasal ini menyebutkan dan dapat memperlihatkan bahwa seorang suami atau akte perkawinan yang to user dibuat pegawaicommit pencatat istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan 122 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perkawinan yang tidak apabila pada waktu berwenang dan perkawinan berlangsungnya perkawinan harus diperbaharui supaya terjadi Penipuan, atau salah sah. sangka mengenai diri suami atau istri. Penipuan berarti terdapat unsur kesengajaan melanggar ketentuan atau syarat-syarat nikah dalam melakukan pernikaahan. Namun di dalam uup tidak diatur. 3. Dalam Kompilasi hukum islam pasal 70 huruf (b) perkawinan batal apabila seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya. Lian dalam hukum islam artinya sumpah atau redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa istrinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari istrinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang istri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong. Dalam Al-Quran disebut dalam surat An-Nuur ayat 6-9 yang commit to user artinya : “dan orang-orang 123 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selaindiri mereka sendiri, maka pesakitan orang itu ialah empat kali adalah empat kali bersumpah atas nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orangorang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima; bahwa la’nat Allah atasnya, jika dia termasuk orangorang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang yang dusta. Dan (sumpah ) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.” (QS.An-Nuur; 6-9). 4. Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga perkawinan dapat dibatalkan apabila suatu perkawinan dilakukan dengan tanpa persetujuan commit to user para mempelai atau dilakuan 124 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dengan paksaan. Demikian pula yang dibuktikan dengan hukum islam yang di terangkan dengan Hadist sahih Bukhari IV, yaitu : “Dari Khansa’ Binti Khizam, Orang Ansar r.a., ia menceritakan bahwa bapaknya mengawinkannya (tanpa izinnya), sedangkan ia adalah seorang janda. Ia tidak suka dengan keadaan itu. Ia datang kepada Rasulullah SAW. Rasul membatalkan perkawinan itu”.146 146 H. Zainuddin Hamidy, H. Fachruddin Hs, H Nasruddin Taha, Johar Arifin, A. Rahman Arifin commit to user M.A. Shahih Bukhari Jilid I,Ii,Iii & Iv Bab Perkawinan Dan Perceraian Nomor 1595. Kuala Lumpur. Klang Book Centre. 2009 .Hlm 12. 125 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Hubungan Suami dan Istri 1. Akibat hukum pembatalan 1. Dalam pembatalan perkawinan terhadap perkawinan tidak hubungan suami istri adalah dimungkinkan untuk putusnya hubungan suami dilakukan rujuk namun istri tersebut, karena setelah apabila mereka ingin putusan pengadilan kembali harus dengan akad mempunyai kekuatan hukum nikah baru. Boleh tidaknya tetap, maka perkawinan menikah kembali didasarkan batal sejak saat pada 3 hal, pertama dilihat berlangsungnya perkawinan, dari segi penyebab batalnya dengan demikian perkawinan apabila perkawinan itu dianggap perkawinan itu batal karena tidak pernah ada. Hal ini melanggar syarat-syarat sesuai dengan Pasal 28 ayat perkawinan berupa larangan (1) Undang-Undang Nomor menikah untuk selama- 1 Tahun 1974 yang lamanya maka mereka tidak menegaskan bahwa batalnya dapat menikah kembali suatu perkawinan dimulai meskipun berkehendak. setelah keputusan 2. Dalam Kompilasi Hukum pengadilan mempunyai Islam dijelaskan dalam pasal kekuatan hukum yang tetap 75 huruf (a) yaitu keputusan dan berlaku sejak saat pembatalan perkawinan tidak berlangsungnya perkawinan. berlaku surut terhadap 2. Undang-Undang Nomor 1 perkawinan yang batal Tahun 1974 tidak mengatur karena salah satu suami atau mengenai boleh tidaknya isteri murtad. menikah kembali setelah ada commit to user 126 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan tersebut, sudah tentu perkawinan itu harus mematuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia. commit to user 127 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Undang-Undang Nomor 1 Thun 1974 Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Hak waris Dan Status Anak 1. Anak anak yang dilahirkan 1. Jika pembatalan perkawinan dari pembatalan perkawinan terjadi karena salah satu atau adalah anak yang sah, dan keduanya murtad, maka dapat mewarisi baik dari anak dan orang tua tidak bapaknya maupun dari dapat saling mewarisi. ibunya. 2. Dalam pasal 49 ayat 1 dan 2 2. Hak asuh anak dalam pandangan hukum islam Undang-Undang perkawinan dijelaskan olleh hadist menjelaskan kedudukan sebagai berikut, Dari anak dalam hal kekuasaan Abdullah Bin ‘Amru RA, orang tua terhadap anak bahwasanya ada seorang dapat di cabut apabila (1) wanita mengadu kepada salah seorang atau kedua Rasulullah, ia berkata : orang tua dapat dicabut wahai Rasulullah kekuasaan orang tuanya sesungguhnya anaku ini terhadap anak atau lebih dibesarkan dalam perutku, untuk waktu yang tertentu dan diberi minum dari air atas permintaan orang tua susuku dan dalam buaianku, yang lain, keluarga anak sementara bapaknya telah daam garis lurus keatas dan menceraikanku dan dia ingin saudara kandung yang telah memisahkan dengan ku, dewasa atau pejabat yang maka Rasulullah menjawab : berwenang, dengan putusan engkau lebih berhak pengadilan dalam hal-hal : mengasuhnya selama belum (a) ia sangat melalaikan menikah. (Hadist disahkan kewajiban terhadap anaknya, commit to user oleh Albani dalam sahih abu 128 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id (b) ia berkelakuan buruk daud).147 Berkaitan hak asuh sekali. (2) meskipun orang anak. Sepanjang perkawinan tuanya di cabut bapak dan ibu, tiap-tiap anak kekuasaanya, mereka masih sampai ia menjadi dewasa, tetap berkewajiban untuk tetap bernaung dalam memberi biaya pemeliharaan kekuasaannya mereka. kepada anak tersebut 3. Berkaitan hak asuh anak Pengasuhan anak tidak diberikan terhadap Ibu yang memiliki keyakinan agama yang berbeda dengan anak. commit to user Saw (1100 Hadist Terpilih), Darul Muhammad Faiz Almath, Qobasun Min Nuri Muhammad Kutub Alarabiyah Damsyik-Syria-1974, Penerjemah Gema Insani, Hal 229. 147 129 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Terhadap Harta Bersama 1. Dari isi Pasal 28 Undang- 1. Al-Quran surat An-Nisa Undang Nomor 1 Tahun ayatu 32, yang artinya : 1974 dapat diketahui bahwa “Bagi laki-laki ada harta terhadap perkawinan yang kekayaan perolehan dari dibatalkan karena sudah ada hasil usahanya sendiri dan perkawinan yang terdahulu wanita ada harta harta tidak akan ada pembagian kekayaan perolehan dari harta bersama. hasil usahanya sendiri” 2. Pasal 37 Undang-Undang Dari ayat tersebut dapat Nomor 1 Tahun 1974 yang ditarik kesimpulan bahwa dimaksud dengan hukumnya kekuasaan terhadap harta masing-masing ialah hukum kekayaan itu tetap berada agama, hukum adat dan dipihak siapa yang hukum-hukum lainnya. mempunyai barang tersebut, Mengingat Pengadilan dalam ketentuan Hukum Agama menangani perkara Islam bahwa seeorang bagi orang-orang yang perempuan yang bersuami beragama Islam maka dapat melakukan segala pengaturan harta bersama perbuatan hukum tanpa akibat dari pembatalan diketahui atau bantuan perkawinan menggunakan suaminya, demikian juga Hukum Islam. mengenai harta kekayaanya. 3. Dikarenakan di dalam Hal ini tiada berati suami Undang-undang nomor 1 tidak boleh menggunnakan tahun 1974 tentang barang milik istri, demikian perkawinan tidak mengatur juga sebaliknya, tetapi secara jelas tentang commit to user penggunaanya harus 130 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pembagian harta bersama mendapat persetujuan nbaik yang timbul dari perkawinan itu dari ssuami atau istri. yang telah dibatalkan tetapi Menurut Kompialsi Hukum hukum beberapa hukum adat Islam (KHI) yang ada di indonesia 1. Pasal 87 ayat (1) KHI mengenal adanya pembagian dikatakan bahwa harta harta bersama atau harta bawaan masing-masing gono-gini maka UUP suami dan isteri dan harta memberiikan kebebasan yang diperoleh masing- terhadap setiap orang yang masing sebagai hadiah atau berperkara untuk warisan adalah di bawah menyelesaikan perkarnya penguasaan masing-masing dengan kemauanya sendiri sepanjang para pihak tidak sepanjang tidak terjadi menentukan lain dalam sesuatu yang melangar perjanjian perkawinan. hukum dan sepanjang setiap KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi orang yang berperkara Fatwa Majelis ualama Indonesia merasa adanaya keaadilan. (MUI) Pusat, mengatakan Dan apabila terdjadi bahwa konsep harta bersama sengketa dapat menunjuk atau gono-gini dapat disamakan orang yang dituakan atau atau disetarakan ke dalam harta institusi dalam aarti disini syirkah, yaitu harta bersama hakim pada pengadilan yang diperoleh atau terkumpul apaila terjadi sengketa selama menikah yang harus terhadap pembagian harta dibagi secara proprsional jika bersama. terjadi perpisahan (seperti perceraian dan pembatalan perkawinan). Ma’ruf mengakui bahwa istilah harta gono-gini commit to user 131 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id merupakan produk kultur Indonesia.148 Kata fasid berasal kata arab dan merupakan kata sifat yang berarti rusak. Kata bendanya adalah fasid dan mafsadah yang berarti kerusakan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan Fasid : sesuatu yang rusak, busuk (untuk perbuatan, pekerjaan,isi hati). Fasid, menurut ahli hukum hanafi, adalah akad yang menurut syarat sah pokoknya , tetapi tidak sah sifatnya. Perbedaan dengan akad batil adalah bahwa akad batil tidak sah baik pokok maupun sifatnya.149 Pendapat mayoritas (jumhur) ulama, Mayoritas ahli hukum islam, Maliki, Syafi’i dan Hmbali, tidak membedakan antara akad batil dan akad fasid. Keduanya sama-sama merupakan akad yang tuidak ada wujudnya dan tidak sah, karena tidak menimbulkan akibat hukum apapun.150 148 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Transmedia Pustaka Hal: 59 149 . Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Al-Fiqih’ala Al-Mahzab Al Khamsah),Ja’ Fri, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali; Pnerjemah, Masykur A.B.., Afif Muhammad, commit to user Idrua Alkhafi; Jakarta, 2011 150 . Ibid, hal 115 132 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Ketidaksahhanya disebabkan oleh karena akad tersebut tidak memenuhi ketentuan undang-undang syarak. Pandangan Mazhab Hanafi teori akad fasid, yang membedakan akad batil dan akad fasid. Akad batil sama sekali tidak ada wujudnya dan tidak pernah terbentuk karena tidak memenuhi salah satu syarat terbentuknya akad, sedangkan akat fasid telah terbentuk dan telah memiliki wujid syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya karena tidak memenuhi salah satu syarat keabsahan akad. Hukum akad fasid dibedakan antara sebelum dilaksanakan (sebelum terjadi penyerahan objek dan sesuah pelaksanaan terjadi penyerahan objek). Yaitu :151 1. Pada asasnya, akad fasid adalah akad sah karena terlarang, dan pada asanya tidak menimbulkan akibat hukum dan tidak pula dapat diratifikasi, bahkan pembelaan untuk masing-masing tidak pihak melaksanakan dapat mengajukan dengan berdasarkan ketidaksahan tersebut, dan akad fasid wajib di fasakh baik oleh para pihak maupun oleh para hakim guna mendapatkan kepastian hukum dan menghasilkan suatu akibat hukum. 2. Sesudah terjadinya pelaksanaan akad (dalam pelaksanaan berupa penyerahan suatu benda, maka sesudah penyerahan benda dan diterima oleh pihak kedua), akad fasid mempunyai akibat hukum tertentu, yaitu, dapat memindahkan hak milik. Hanya saja hak milik ini bukan hak milik sempurna dan mutlak, melainkan suatu pemilikan dalam bentuk khusus, yaitu penerima dapat melakukan tidakan hukum terhadapnya, tetapi tidak dapat menikmatinya. Demikian itu fasid atau batalnya suatu akad menurut penertian jumhur ulama dalam hukum islam yang merupakan penjelasan bahwa fasid nikah atau pembatalan nikah memang diakui adanya dalam hukum islam namun untuk menciptakan adanya putusan hakim dan akibat hukum dalam suatu perkara pembatalan perkawinan atau fasid nikah terlebih dahulu di fasakh kan atau diputuskan demi mendapatkan adanya kepastian commit to user 151 . Ibid, hal 120 133 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hukum yang menghasilkan suatu akibat-akibat hukum bagi yang berperkara. Hukum positif di Negara Indonesia yang megatur tentang perkawinan khususnya pembatalan perkawinan yaitu Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara garis besar mengatur tentang pembatalan perkawinan. Namun dalam kenyataanya masyarakat Indonesaia yang notbenya adalah masyarakat yang masi kental dan masih mengakui eksistensi hukum adat yang berlaku di daerahnya, itu sebabnya Undang-Undang perkawinan di Indonesia dibentuk atas dasar Hukum Agama dan Hukum Adat. Sedemikian Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 belum begitu spesifik mengatur tentang akibat yang timbul terhadap perkara pembatalan perkawinan, di dalam aturan tersebut hanya dijelaskan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dan pihak ketiga namun tidak menjelaskan bagaimana tindakan hukum yang mengatur dan cara penyelesaianya apabila terjadi sebuah sengketa paska terjadinya pembatalan perkawinan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap. Lebih jelasnya akan dibahas tentang bagaimana penjelasan perbedaan dan persamaan akibat pembatalan perkawinan, yaitu ada kurang lebih 4 unsur yang penulis jabarkan, yaitu : 1. Akibat Hukum Terhadap Suami Dan Istri. Terhadap peratuan Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, Hukum Islam dan Kompilsai Hukum Islam terdapat beberapa perbedaan dan persaman tentang pengaturan pembatalan perkawinan khususnya akibat pembatalan perkawinan terhadap status suami dan istri. Persamaan dari akibat pembatalan perkawinan antara hukum islam dan UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah ketika perkawinan itu dibatalkan maka seketika itu perkawinan dianggap putus dan di anggap tidak pernah adanya perkawinan yang pernah dilakukan. Pembatalan perkawinan dilakukan tanpa adanya commit to yang user dibatalkan menurut UUP Dan penjatuhan talak. Perkawinan 134 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Hukum Islam terjadi akibat adanya putusan pengadilan yang sudah tetap. Dan putusan pengadilan tidak berlaku sutut terhadap anak-anak yang telah dilahirkan. Perbedaan yang terdapat dalam dua aturan tersebut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai boleh tidaknya menikah kembali setelah ada putusan pengadilan yang membatalkan perkawinan tersebut, sudah tentu perkawinan itu harus mematuhi syarat-syarat perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Indonesia. Sedangkan pada hukum islam dalam pembatalan perkawinan tidak dimungkinkan untuk dilakukan rujuk namun apabila mereka ingin kembali harus dengan akad nikah baru. Boleh tidaknya menikah kembali didasarkan pada 3 hal, pertama dilihat dari segi penyebab batalnya perkawinan apabila perkawinan itu batal karena melanggar syarat-syarat perkawinan berupa larangan menikah untuk selama-lamanya maka mereka tidak dapat menikah kembali meskipun berkehendak. Perbedaan yang terdapat dalam kedua aturan di atas jelaslah tentang status suami dan istri setelah pembatalan perkawinan yang telah mendapat putusan dari pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap atas status keduanya. Bahawa pasangan suami dan istri yang oernikahanya telah dibatalkan yang akan melakukan suatu tindakan hukum kembali contohnya akan rujuk dalam UndangUndang perkawinan tidak diperbolehkan untuk rujuk dan menikah kembali sapai pada perkara pembatalan perkawinan tersebut mendapatkan putusan pengadilan yang tetap. Sedangkan peda Hukum islam tidak dimungkinkan untuk rujuk kembali dalam artian langsung kembali, namun jika mereka ingin rujuk diharuskan melakukan akad nikah yang baru. Tetapi boleh tidaknya melakukan pernikaahn kembali dalam rangka rujuk dapat diliahat dari penyebab pembatalan perkawinan. Sebagai contoh, commit to user Apabila pembatalan perkawinan tersebut di batalkan akibat adanya 135 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hubungan semenda atau hubungan persaudaraan maka dengan sangat keras hukum isalam melarang perkawinan hubungan semenda, namun apabila pembatalan perkawinan dilakukan karena adanya perselingkuan atau penikahan lebih dari 4 kali, maka dalam hukum islam diperbolehkan rujuk asalkan dalam pernikaahan yang sebelumnya telah meninggalkan salah satu pasangan sehingga tidak melanggar aturan hukum islam yang tidak memperbolehkan pernikahan yang sah dilakukan lebih dari 4 kali atau poligami lebih dari 4 istri. 2. Akibat Hukum Bagi Anak. Persamaan dari akinat hukum dari pembatalan perkawinan terhadap status anak dan hak asuh anak adalah pembatalan perkawinan tidak berlahu surut terhadap anak, jika embatalan perkawinan tersebut dulunya kerena suatu kesengajaan maka hubungan anak dan orang tua tidak diakui. Dan berkenaan dengan hak asuh anak adalah pengasuhan anak uang belum dewasa/mumayis berada dalam pengasuhan ibu. Dalam peraturan hukum tentang pembatalan perkawinan terdapat beberapa perbedaan antaha Undang-undang Perkawinan dan Hukum Islam, perbedaan tersebut antara lain adalah, menurut Undang-Undang perkawinan anak yang dilahirkan dari pembatalan perkawinan adalah anak yang sah, dan dapat mewarisi baik dari bapaknya maupun dari ibunya, berkaitan dengan hak asuh anak adalah pengasuhan anak tidak diberikan terhadap ibu yang memiliki keyakinan agama yang berbeda dan memiliki menyakit yang dapat mebahayakan terhadap jiwa dan keselamatan anak. Menurut Hukum Islam jika pembatalan perkawinan terjadi karena salah satu atau keduanya Murtad, maka anak dan orang tua tidak dapat aling mewarisi, berkaitan dengan hak asuh anak sepanjng perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, to user tetap bernaung dalam commit kekuasaan mereka. 136 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dari persaman dan perbedaan diatas dapat diketahui mengenai tindak lanjut kepada hak anak terutama hak asuh dan hak waris anak terhadap anak yang orangtuanya dibatalkan. Dalam Undang-Undang perkawinan status anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan merupakan anak sah, dan dapat mewaris dari kedua orang tuanya. Meskipun aturan yang terdapat dalam Undang-Undang perkawinan Yang ada belum cukup lengkap yang khusus mengatur tentang status anak atas pembatalan perkawinan orang tuanya, berkaitan dengan hak asuh anak hak asuh anak dapat tidak diberikan kepada ibunya apabila ibu dari anak tersebut beragama beda dengan anak tersebut, sampai mendapatkan keputusan hukum dari pengadilan tentang siapa yang mendapat hak asuh atas anak. Hukum islam yang mengatur tentang hak anak dalam perkawinan orang tauanya dibatalakan yaitu adalan berkaitan dengan statuds anak Hukum Islam menjelaskan jika pembatalan perkawinan terjadi karena salah satu atau keduanya murtad, maka anak dan orang tua tidak dapat saling mewarisi, itu artinya menurut analisis penulis anak yang dilahirkan dari pembatalan perkawinan orang tuanya yang dikarnakan salah satu orang tuanya murtad atau keluar dari agama islam bukan merupakan anak yang diakui dari orang tua yang kmurtad tersebut. Bisa dikatakan hubungan antara anak dan orang tua putus. Dan menyebabkan anak dan orang tua tidak dapat saling mewaris satu sama lain. Dan berkaitan dengan hak asuh anak karena pembatalan perkawinan dalan Hukum Islam sepanjang perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewa, tetap bernaung dalam kekuasaanya mereka bersama, yaitu dapat dijelaskan bahwa Hak asuh terhadap anak tidak jatuh ketangan ibu atau ayah dari pembatalan perkawinan, melainkan ibu dan ayah memiliki kuasa yang sama dalam mengasuh dan membesarkan anak sampai anak itu menjadi dewasa dan dapat memilih akan dia auh dari ibu atau bapaknya. commit to user 137 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Persamaan akibat dari pembatalan perkawinan terhadap harta bersama antara hukum islam dan Undang-Undang perkawinan yang berlaku di Indonesia adalah terhadap pembagian harta bersama yang di dapatkan pada masa perkawinan yang telah dibatalkan diserahkan kembali kepada pihak-pihak yang bersngkutan dalam konteks ini dijelaskan pembagian harta bersama dalam pembatalan perkawinan di indonesia di lakukan menurut agama dan adat istiadatnya masingmasing. Dan apabila terjadi sengketa kembali atau ketidak adilan dalam pembagian harta bersama yang bersengketa berhak meminta putusan kepada alim ulama ataupun hakim dalam pengadilan agama. Karena belum adanya hukum positif di Indonesia yang khusus mengatur tentang pembagian harta bersama yang diakibatkan dari pembatalan perkawinan. Perbedaan menurut Undang-Undang Perkawinan Tentang Harta bersama Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Mengingat Pengadilan Agama menangani perkara bagi orang-orang yang beragama Islam maka pengaturan harta bersama akibat dari pembatalan perkawinan menggunakan Hukum Islam. Hukum ilam tentang Hrta bersama AlQuran surat An-Nisa ayatu 32, yang artinya : “Bagi laki-laki ada harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri dan wanita ada harta harta kekayaan perolehan dari hasil usahanya sendiri” Dari ayat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan terhadap harta kekayaan itu tetap berada dipihak siapa yang mempunyai barang tersebut, dalam ketentuan Hukum Islam bahwa seeorang perempuan yang bersuami dapat melakukan segala perbuatan hukum tanpa diketahui atau bantuan suaminya, demikian juga mengenai harta kekayaanya. Hal ini tiada berati suami tidak user istri, demikian juga sebaliknya, boleh menggunnakancommit barangtomilik 138 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tetapi penggunaanya harus mendapat persetujuan nbaik itu dari ssuami atau istri, Menurut Kompialsi Hukum Islam (KHI) Pasal 35 ayat (2) UUP jo. pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 87 ayat (1) KHI dikatakan bahwa harta bawaan masingmasing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Penjelasan diatas jelas meberi tahu bahwa bagi masyarakat Indonesia yang taat terhadap hukum islam, dalam Al-Quran telah dijelaskan bahwa harta istri dan harta suami adalah harta masing-masing dan diunakan untuk keperluan masing-masing. Jelas baha sesungguhnya hukum islam tidak mengenal adanya Harta bersama. Namun Bagi UndangUndang perkawinan pasal 28 dan 37 menjelaskan tidak adanya pembagian harta bersama, namun apabila terdapat harta yang harus di bagikan menurut karena tidak adanaya perjanjian pemisahan harta Undang-Undang perkawinan menyerahkan penuh penyelesain pembagian harta bersama dengan kemauan para pihak yang berperkara, baik secara hukum adat, dan hukum-hukum lainya demi menghindari kerugian dan ketidak adilan antara pihak yang berperkara. Pengadilan agama sendiri hanya menanganin orang-orang yang beragama islam maka pengaturan penyeselaian perkara pembagian harta bersama hanya diselesaikan dengan Hukum Islam. commit to user 139 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. Implikasi Perbandingan Perbedaan Hukum Terhadap Persamaan Dan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam. Di Negara Indonesia yang merupakan Negara yang memakai Hukum Islam sebagai pedoman hukum atau hukum yang di akui di negara selain hukum adat dan hukum-hukum yang lain. Hukum Islam di Negara Indonesia sangat berguna untuk menjadi pertimbangan politik hukum dalam menciptakan suatu Produk Hukum atau Aturan Hukum, Huku Islam Sebagai dasar acuan Hukum demi menciptakaan keadilan dan kesejahtraan antara masyarakat, pemerintah dan hukum itu sendiri. Seperti yag dikatakan Prof. Mahfud MD dalam bukunya Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis senentiasa melahirkan hukum-hukum berkarakter responsive atau populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif / ortodoksx.152 Pengertian implikasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah efek yang ditimbulkan di masa depan atau dampak yang dirasakan ketika melakukan sesuatu.153 Pengertian implikasi adalah akibat langsung yang terjadi karena suatu hal misalnya karena penemuan atau hasil penelitian. Kata implikasi mempunyai makna yang cukup luas sehinga maknanya cukup beragam. Suatu implikasi penelitian dapat digunakan untuk membandingkan hasil penelitian yang terdahulu dengan hasil penelitian yang baru saja dilakukan. Dari pembahasan di atas penulis telah menjabarkan tentang perbandingan hukum akibat pembatalan perkawinan 152 Mahfud,Moh,MD, Perkembangan Politik Hukum, Yokyakarta, 1993, Hal 675,676. commit to userIndonesia (KBBI) Online,Diakses Kbbi.Web.Id.Arti Kata-Kamus Besar Bahasa Tanggal 1 Juni 2016 ,Jam 16.00. 153 140 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam, di alam pembahasan di atas penulis membandingkan paerturan hukum antara kedua hukum tersebut, dan menyimpilkan suatu persamaan dan perbedaan. Persamaan dan perbedaan aturan yang telah diuraikan di pembahasan di atas tentunya akan menimbulkan implikasi atau dampak bagi peradilan hukum di Indonesia. Dikarnakan adanya dua aturan hukum yang diakui dan diberlakukan di indonesia mengenai perkawinan khususnya pembatalan perkawinan. Berikut ini penjelasan implikasi persamaan dan perbedaan akibat hukum pembatalan perkawinan antara undang-undang nomor 1 tahun 1974 dan kompilasi hukum islam. A. Implikasi Persamaan Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam. Perkara pembatalan perkawinan selain tunduk pada aturan umum beracara, juga tunduk pada aturan khusus (lex specialis) yang terdapat dalam UUP dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP). Undang-Undang Perkawinan telah mendelegasikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana mengenai beberapa hal. Pertama, mengenai waktu tunggu (iddah) [Pasal 11 ayat (2)]. Kedua, mengenai kedudukan anak luar perkawinan [Pasal 43 ayat (2)]. Ketiga, hal-hal yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah [Pasal 67 ayat (2)]. Disebutkan pada Penjelasan Umum PP tersebut bahwa: “Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secera efektif masih diperlukan peraturan-peraturan pelaksanaan, antara lain yang menyangkut masalah pencatatan perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan, tata cara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu to user putus perkawinan, pembatalan bagi wanita yangcommit mengalami 141 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang dan sebagainya”. Secara substantif PP tersebut mengatur tentang seluk-beluk pencatatan perkawinan, tata cara perkawinan, akta perkawinan, tata cara perceraian, pembatalan perkawinan, waktu tunggu, tata cara poligami, berikut hukum acaranya. Di samping itu, PP ini pun mengatur kompetensi absolut. Pasal 23 UUP sendiri memberikan kedudukan hukum (legal standing) berupa hak untuk mengajukan kebatalan atau pembatalan untuk mengajukan pembatalan perkawinan hanya kepada: 1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; 2. suami atau istri; 3. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4. pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Apabila dirinci secara ringkas dan sederhana dalam PP tersebut diatur perihal kompetenasi relatif (Pasal 20), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf b UUP (Pasal 21), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf f UUP (Pasal 22), alasan dan pengaturan perceraian dengan alasan huruf c UUP (Pasal 23), kebolehan pisah rumah atas alasan bahaya ketika ada perkara sekaligus penentuan nafkah dan pemeliharaan anak (Pasal 24), gugurnya perkara (Pasal 25), pemanggilan untuk tiap persidangan berikut acara pemanggilannya (Pasal 26-28), administrasi dan acara persidangan (Pasal 29), in person atau kuasa dalam siding (Pasal 30), perdamaian (Pasal 31), ne bis in idem (Pasal 32), pemeriksaan tertutup untuk umum (Pasal 33), acara sidang putusan terbuka untuk umum commit to user dan waktu mulai terjadinya perceraian (Pasal 34), berbagai kewajiban 142 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id panitera pengadilan (Pasal 35-36). Sesuai petunjuk Pasal 38 ayat (3) PP, maka aturan dalam Pasal 20-36 PP diatas diberlakukan juga untuk perkara pembatalan perkawinan. Implikasi terhadap persaman akibat hukum menurut UndangUndang nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Huukum Islam (KHI) bagi masyarakat Indonesia Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam adalah bahwa jika persammaan aturan terdapat, maka khi tidak dapat digunakan melaikan Undang-Undang Perkawinan yang digunakan, karana berdasarka lex specialis Undang-Undang perkawinan merupakan peraturan yang bersifat khusus. Sedangkan Kompilasi hukum islam Yang sifatnya hanya sebagai penyokong atau pendukung pertimbangan terhadap hakim atas putusan yang berdasarkan hukum islam, demi menegakkan syariat islam di lingkungan peradilan agama, dan apabila persamaan itu terdapat di dalam Undang-Undang perkawinan dan Kompilasi Hukum islam maka, aturan yang terdapat di dalam Kompilasi Huku Islam sebaiknya tidak digunakan dalam putusan suatu peradilan, karena itu berarti peraturan yang di atur di dalam Undang-Undang perkawinan sudah sesuai dengan norma agama dan norma adat itiadat yang ada di Negara Indonesia. B. Implikasi Perbedaan Peraturan Hukum Akibat Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Bagi Warga Negara Indonesia Yang Tunduk Terhadap Hukum Islam. Indonesia mempunyai peraturan yang berdasar dari Al-quran dan Al-Haddis sebagai dasar hukum yang mengatur tentang perkawinan, kewarisan, kewakafan yang di khususkan untuk masyarakat yang percaya dan tunduk tehadap hukum islam. Peraturan tersebuat adalah Kompilasai Hukum Islam (KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah seperangkat ketentuan hukum islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat commit to user berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai 143 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hak-hak kaum perampuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber isalam yang otoratif, Al-Quran dan Al-Sunnah, pengalaman, dan Ketentuan-ketentuan yang hidup di dalam masyarakat indonesia, khasanah intelektual klasik isalam, pengalaman peradaban masyarakat muslim dan barat di belahan dunia yang lain. Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan menseleksi baerbagai pendapat fiqih mengenai soal kewarisan, perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitb fikih yang berjumlah 38.154 Implikasi dari perbedaan peraturan yang mengatur tentang pembatalan perkawinan antara Undang-udang perkawinan dan kompilasi hukum islam (KHI) di Indonesia yang paling utama adalah dalam hal putusan hakim dalam suatu peradilan yang perkaranya diatur dalam kompilsai hukum islam (KHI) dan Undang-undang perkawinan. Peraturan yang pengatur tentang pembatalan perkawinan di atur dalam kedua aturan hukum tersebut, apabila penggugat dan tergugat ingin menyelesaikan perkara dengan hukum islam maka pedoman hakim dalam memutus perkara adalah dengan kompiasi hukum islam (KHI) namun demikian kompilasi hukum islam yang hanya inpres kedudukanya tidaklah setara dengan Undang-Undang Perkawinan. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam di dalam tata hukum Indonesia dalam konteks sosiologis bersubstansi hukum islam itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrumen hukum politik yang digunakan adalah inpres Nomor 1 tahun 1991. Selain formulasi hukum islam dalam tata hukum di indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari bagian substansi hukum material 154 155. to user Marzuki Wahid dan Rumadi,commit Fiqih Madzab Negara, yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 144 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id islam yang dilegalisaikan pleh penguasa politik pada zama orde baru.155 Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakterkarakter politik hukum islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekwensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum negara di dalam wadah negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara, disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum islam oleh negara.156 Dengan demikian, secara ideologis KHI Berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara.157 dalam paradigma agama, hukum islam wajib dilaksanakan oleh umat isalam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapan dalam kehidupan sosial menjadi misi agama yang suci.158 Dengan kata lain bahwa hukum islam berada dalam penguasaan hukum negara denga pertimbangan pluralitas agama, etnis, ras, dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materill islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara. Keberadaan KHI di Indonesia ini disamping memiliki segi positif juga menimbulkan problematika sendiri. Usaha pemerintah Indonesia membawa substansi hukum islam yang skralistis itu ke dalam kompilasi hukum islam ternyata masih berjumpa dengan anggapan desekralisasi kitab fikih melalui penggunaan bahan artifisal.159 Disamping itu dasar hukum Kopilasi hukum islam hanya 155 Ibid hlm 145. Mahfud,Moh,MD, loc. Cit. 157 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Lengkap Legislasi Kompalisi Hukum Islam), JURNAL Mimbar Hukum No. 59 Th.XIV, Al-Hikmah, 2003, hal. 74. 158 Ibid. 159 to Kompilasi user Abdul Ghani Abdullah, 1994,commit Pengantar Hukum Isalam Dalam Tata Hukum Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta Hlm, 25. 156 145 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id berupa instruksi presiden (inpres) membawa permaslahan tersendiri dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, walaupun dalam prekteknya para hakim pengadilan agama akan menggynakan ketentuan KHI sebagai salah satu dasar hukum dalam putusanya tanpa mempersalahkan bahwa KHI itu dasarnya hanya berupa Inpres. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, undang-undang perkawinan ini pada dasarnya adalah undang-undang yang pengatur tentang segala peraturan yang khususnya peraturan tentang perkawinan. Undang-undanh ini tidak di khususkan untuk masyarakat muslim saja, melaikan mengatur perkawinan secara umum. Berdasarkan asas hukum yang dianu t di Indonesia yaitu asas lex specialit derogat legi generalis yaitu bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum, itu artinya bahwa Undang-Undang perkawinan merupakan peraturan hukum yang khusus tentang perkawinan.160 terdapat perbedaan peratutan yang khususnya pengaturan tentang pembatalan perkawinan. Perbandingan hukum yang di lakukan pada pembahasan sebelumnya telah menimbulkan perbedaan dan persamaan di dalam kedua aturan tersebut.sebagai contoh dalam perkara pembatalan perkawinan yang diatur dalam bab IV pasal 22 sampai pasal 28 dan Kompilasi Hukum Islam bab XI Pasal 70 sampai 76 terdapat beberapa perbedaan tentang sebab-sebab pembatalan perkawinan menurut hukum positif dan hukum islam, dan tentunya dalam aturan yang mengatur tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan. Terhadap dua pertentangan dan atau perbedaan antara UndangUndang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengenai pembatalan perkawinan maka perlu dirunut kembali tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Tap MPR No. III/MPR/2000 Tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan commit to user http;//m.hukumonline.com/klik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialistderogat-legi-generalis. Diakses pada tanggal 160 146 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id perundang-undangan , KHI yang dibuat dengan inpres tidak termasuk di dalamnya. Begitu pula dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Inpres tidak termasuk dalam tata urutan Perundang-undangan.161 Sekalipun demikian Inpres-KHI termasuk lingkup makna organik pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan merambat pada konvensi produk penyelnggaraan negara. 162 tradisi konstitusional dalam rangka Sekurang-kurangya tiga hal yang dapat dicatat dari inpres Nomor (1) tahun 1991 dan keputusan mentri agama nomor 154 tahun 1991, yakni :163 1. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain daripada kewajiban masyarakat islam dalam rangka mengfungsionalisasikan ekplansi ajaran islam sepanjang yang normatif sebagai hukum yang hidup. 2. Rumusan hukum dalam KHI berupaya mengakhiri presepsi ganda dari keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat (1) serta (2) Undang-Undang nomor 1 tahun 1974, segi hukum formal di dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai hukum yang diberlakukan secara sempurna. 3. Menunjukan secara tegas wilayah berlaku pada instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Yulkarnain Harahab dan Andy Omara dosen fakultas hukum Universitas Gajah Mada Dalam Jurnalnya Yang Berjudul Kompilasi Hukum Islam Dalam Perpektif Hukum Perundang-Undangan yang telah memaparkan dan menganalisis data yang diperoleh dari para responden penelitian, yaitu para hakim Pengadilan Agama yang ada di 161 Berdasarkan Ketentuan Dalam UU No. 10 Tahun 2004, Inpres hanya mengikat secara kelembagaan, alam hal ini mentri agama, instruksi adalah suatu bentuk keputusan yang bersifat hirarkis dan berlaku bagi jajaran tata usaha negara di bawah pembentukan instruksi. 162 Abdul ghani abdullah, ibid 163 Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara, Kompilasi Hukum Islam Dalam Prespektif commit to user Hukum Perundang-Undangan; Laporan Hasil Penelitian Dosen Fakultas Hukum Uneversitas Gajah Mada. Yogyakarta.2010.E-Mail: [email protected] 147 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam penelitian tersebut dipaparkan mengenai gambaran umum para responden, baik yang menyangkut usia, masa kerja, maupun jumlah perkara yang ditangani dalam setiap bulannya. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa sebagian besar (62,5%) responden berusia antara 41-50 tahun, dan yang berusia antara 51-60 tahun ada 37,5%. Adapun responden yang berusia 31-40 tahun, di bawah 30 tahun dan di atas 60 tahun tidak ada. Itu berarti pengalaman para responden dalam memutus perkara dapat dilihat dari masa kerja para responden di lingkungan Pengadilan Agama dimana yang bersangkutan bekerja. Dari hasil penelitian, dijelaskan bahwa semua responden (100 %) memiliki masa kerja antara 10 sampai 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah cukup berpengalaman dalam memutus dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.164 Penelitian tersebut terlihat bahwa jumlah perkara yang ditangani dan diselesaikan oleh para responden setiap bulannya cukup variatif. Sebagian besar responden (37,5%) menangani 11-20 perkara dalam setiap bulannya. Adapun responden yang menangani perkara kurang dari 10 setiap bulannya ada 2 orang (25%). Ini terjadi di Pengadilan Agama Wates, dimana perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama yang bersangkutan memang tidak terlalu banyak. Adapun responden yang menangani 21-30, 31-40, dan 41-50 perkara setiap bulannya masing-masing ada 1 (12,5%). Sedangkan responden yang menangani 50 perkara ke atas tidak ada. Dilihat dari segi intensitas penggunaan ketentuan Kompilasi Hukum Islam (KHI) oleh para responden dalam menangani perkara. Dari penelitian di atas dapat dilihat bahwa semua responden (100%) menggunakan KHI sebagai salah satu dasar hukum untuk memutus perkara yang ditanganinya. Penggunaan ketentuan KHI sebagai dasar hukum untuk commit to user 164 .Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara. 148 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id memutus perkara dalam prakteknya tidaklah berdiri sendiri, melainkan dirangkaikan dengan peraturann perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan sebagainya. Dari 8 responden penelitian ini, semuanya menyatakan bahwa sebagian besar perkawinan. perkara yang ditanganinya adalah perkara 165 Sesuai dengan data yang di peroleh dari pengadilan Agama, dalam putusan peradilanya hakim peradilan agama memakai Kompilasi Hukum Islam dalam memutus suatu perkara. Berikut data yang penulis peroleh berdasarkan putusa pengadilan agama : Tabel Penggunaan KHI dalam Putusan Pengadilan Agama No Nomor Perkara Jenis Perkara Ketentuan KHI Yang Digunakan. 1 910/Pdt.G/2004/PA.Sm Pembatalan Pasal 71 (a) dan Perkawinan. (e) Pasal 73 (c) Kompilasi Hukum Islam 2 91/Pdt.G/2005/PTA. Smg. Pembatalan Pasal 71 (a) dan Perkawinan. (e) Pasal 73 (c) Kompilasi Hukum Islam 3 46/Pdt.G/2002/PA.YK Pembatalan Pasal 71 huruf a, Perkawinan Pasal 73 huruf d, Pasal 74 yat (1). KHI. 4 165 No.796/Pdt.G/2010/PA.LLg. Pembatalan Pasal 71 sub “e”, Perkawinan Pasal 20, 75 dan commit to user Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara 149 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 76 Kompilasi Hukum Islam. 5 349/Pdt.G/2009/PA.Smn Cerai Gugat Pasal 105 huruf (a), Pasal 11 6 huruf (f), Pasal 11 9 6 211 /Pdt.G/2008/PA.Yk Cerai Talak Pasal 3, Pasal 11 6 huruf (f) Adapun alasan-alasan yang diajukan para responden mengapa menggunakan ketentuan KHI sebagai dasar memutus perkara adalah sebagai berikut:166 1. KHI adalah fiqh Indonesia (ijtima’ ulama Indonesia) sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Islam Indonesia yang dibingkai dengan Inpres untuk menjadi bahan hukum positif. 2. KHI merupakan hukum materiil yang mencakup Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. 3. KHI adalah fiqh khas ulama Indonesia, oleh karena itu perlu dan cocok secara sosiologis, meski status KHI tidak termasuk dalam hierarkhi perundangundangan (dapat dalam kategori doktrin). 4. KHI merupakan ”ijma’ jama’i” dari para ahli hukum Islam Indonesia, hampir seluruh pasal-pasalnya berisi fiqh mazhab Syafi’i yang diikuti mayoritas umat Islam Indonesia, jadi secara sosiologis KHI hampir-hampir tidak ada masalah dengan umat Islam Indonesia. 5. KHI melengkapi hukum materiil yang belum diatur dalam Undang-Undang. dan peraturan pemerintah, seperti Pasal 11 6 huruf h KHI tentang murtad sebagai alasan perceraian. Disamping 166 itu, pasal-pasal KHI lebih dekat dengan keadilan,karena sudah commit to user Ibid, Yulkarnain Harahab Dan Andy Omara 150 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mengakomodir pendapat-pendapat yang terkini (sesuai dengan perkembangan hukum Islam seperti Pasal 185 KHI (tentang ahli waris pengganti). 6. KHI merupakan hukum materiil yang praktis digunakan, dari pada mengambil sumber-sumber dari Kitab-kitab Fiqh yang saling berbeda. 7. KHI merupakan salah satu sumber hukum materiil bagi Peradilan Agama. Berdasarkan data-data di atas, dapat dilihat bahwa meskipun Kompilasi Hukum Islam dasar hukumnya bukanlah suatu UndangUndang melainkan hanya Instruksi Presiden, namun dalam praktek di Pengadilan Agama, ketentuan-ketentuan di dalamnya selalu digunakan para hakim sebagai salah satu dasar hukum untuk memutuskan perkara yang diajukan kepadanya. Sekalipun secara legal formal Instruksi Presiden tidak memiliki kekuatan mengikat yang kuat, akan tetapi keberadaannya ditatati oleh masyarakat, khususnya para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Ditaatinya KHI didasarkan bahwa KHI merupakan hukum yang hidup di tengahtengah masyarakat (living law). Disamping itu, KHI dipandang sebagai fikih khas Indonesia yang merupakan ijma’ dari para ulama Indonesia. Fikih yang merupakan pendalaman atau interpretasi fuqaha terhadap ketentuan syariat, sifatnya tidaklah abadi dan berbeda untuk setiap wilayah. Dengan kata lain, fiqih itu terikat ruang dan waktu. Oleh karena itu, fiqih yang dipandang cocok untuk masyarakat di Timur Tengah, belum tentu cocok diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya adalah ketentuan kewarisan yang diajarkan Imam Syafi’i, ketentuan tersebut tidak banyak menimbulkan masalah bagi masyarakat Timur Tengah yang bercorak Patrilineal, tetapi berbeda dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas bercorak commit to user bilateral. 151 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan fikih khas Indonesia, karena penyusunannya banyak dipengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat Indonesia dan juga disesuaikan dengan perkembangan terkini pada masyarakat Indonesia, sehingga berbeda dengan fikih dari negara lain. Karena penyusunannya disesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia, maka KHI dirasakan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat Indonesia sehingga dalam implementasinya tidak banyak menimbulkan masalah. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa sumber-sumber yang dijadikan acuan dalam penyusunan KHI tidak melulu dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam kitab fikih (khususnya kitab-kitab fikih dari Mazhab Syafi’i), melainkan juga ketentuan dalam peraturan perundangundangan di Indonesia dan juga hukum adat sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Hukum Islam. Hal ini menjadikan penerapan KHI tidak banyak mendapat hambatan secara sosiologis. Karenanya, berdasarkan asas lex superior derogat legi inferior, KHI yang notabene dibuat dengan inpres tidak dapat mengalahkan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974. Hakim tidak dapat norma dalam KHI yang bertentangan dengan norma hukum yang diatur dalam UUP Tahun 1974 yang lebih tinggi kedudukanya. Namun, hakim dapat menerapkan asas Ius contra legem, yaitu hakim dapat menerobos aturan perundang-undangan dalam kasus tertentu sehingga dapat menerapkan prinsip hukum islam dalam putusanya.167 Contra Legem merupakan putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang- commitIndonesia to user Prergulatan Antara Negara, Agama Sirin Khaeron, Perkawinan Mahzab Dan Perampuan,--Ed11,Cet. 1—Yogyakarta, Depublish, Februari 2016. Hal 319 167 152 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat.168 Prinsip ini sesuai dengan ketentuan Pasal 28 (1) UndangUndang Nomor.4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1) UndangUndang.Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang.Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Menurut Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Undang-Undang.Nomor 48 Tahun 2009 Tentang 4 Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 5 ayat (1) Undang.Nomor 5 Tahun 2004 tentang Undang-Undang Mahkamah Agung, disebutkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan Hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ditambahkan Menurut penjelasan bagian umum UndangUndang Dasar Nagera Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), “Bahwa undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya undang-undang dasar berlaku juga hukum dasar tidak tertulis.” Berarti disini disamping dikenal hukum tertulis (hukum nasional) juga terdapat hukum tidak tertulis yang hidup dan tumbuh kembang dalam masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai hukum adat. Hukum adat inilah yang sesuai dengan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang.Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, digali oleh hakim apabila menemui persoalan ketiadaan aturan hukum yang mengatur suatu persoalan. Selanjutnya, perlu ditegaskan disini, berdasarkan prinsip di atas maka hakim Indonesia tidak boleh bersifat legistik, yakni hanya sekedar menjadi corong atau mulut undang-undang, meskipun memang selalu harus legalistik. Ditambahkan oleh Bagir Manan, putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban.Putusan hakim harus berfungsi commit user Pembagian Harta Bersama (terhadap Suyadi, Kemungkinan Kontra Legemtodalam Pasal 97 KHI), majalah merdeka online, diakses pada tanggal 20 juni 2016. 168 153 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id mendorong perbaikan dalam masyarakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan. Hanya dengan cara itu, menurutnya, putusan hakim akan benar dan adil.169 Sehubungan prinsip ini pula, jika ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban dan kemanusian, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka menurut Yahya Harahap, hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yakni mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undang-undang yang bersangkutan.170 Sesuai dengan teori hukum progresif yang berarti Pelaksanaan contra legem oleh hakim dalam memutus suatu perkara yang belum ada pengaturannya atau kurang jelas aturannya, merupakan pelaksanaan hukum progresif.Yang mana dalam ajaran hukum progresif tidak diperkenanakan untuk terlalu positifis legalistik dalam menjawab suatu persoalan hukum. Diperlukan upaya-upaya yang progresif yang mana upaya tersebut memberikan suatu kemanfaatan dan keadilan bagi pihak pencari keadilan. Hakim yang dalam hukum acara dikatakan sebagai corong undang-undang, diharapkan mampu bersifat progresif.171 Dari penjelasan di atas dapat diartikan bahwa setiap masyarakat Indonesia yang tunduk terhadap hukum islam dapat melihat dan memilih perturan yang akan di gunakan berkaitan dengan perkara pembatalan perpkawinan. Kompilasi Hukum Isam (KHI) adalah merupakan peraturan hukum yang digunakan di Negara Indonesia di khsususkan kepada Umat Islam yang ada di indonesia. Meski demikian KHI tidaklah mutlak peraturan Undang-Undang yang 169 Bagir Manan, 2005, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Mahkamah Agung R.I, Jakarta, h.212. 170 Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Pedata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, h.856. 171 Satjipto Rahardjo, “Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif”, Makalah dalam Seminar Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas commit to user Diponegoro bekerjasama dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakrta dan Semarang, 15 Desember 2007, 154 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id digunakan pengadialan agama dalam proses pemutusan suatu perkara pembatalan perkawinan. KHI merupakan peraturan undang-undang yang menjadi alternatif, yang artinya KHI Ttidak sepenuhnya digunakan dalam suatu putusan perkara apabila dalam peraturan pokok yaitu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sudah mengatur dan telah sesuai dengan ajaran Hukum islam. commit to user