Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi Glukosa-6

advertisement
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CONTINUING
CONTINUING MEDICAL
MEDICAL EDUCATION
EDUCATION
Akreditasi PB IDI–3 SKP
Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi
Glukosa-6-FosfatDehidrogenase (G6PD)
Liong Boy Kurniawan
Departemen Ilmu Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia
ABSTRAK
Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling umum diderita manusia. Kelainan
ini mempunyai prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia Tenggara seperti di Indonesia. Penderita defi siensi
G6PD umumnya tidak menunjukkan gejala sampai terpapar berbagai obat pengoksidasi, menderita penyakit infeksi maupun makan
kacang fava yang menyebabkan anemia hemolitik dan ikterus. Skrining dan diagnosis defi siensi G6PD terutama ditujukan pada
neonatus untuk mencegah morbiditas dan mortalitas, dapat dilakukan dengan beberapa metode.
Kata kunci: G6PD, hemolitik, ikterus
ABSTRACT
Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) defi ciency is the most common X-linked chromosome enzymopathy in human. This
disorder has high prevalence especially in malaria endemic area in Southeast Asia including Indonesia. Most G6PD defi cient patients have
no symptoms until exposed to oxidizing drugs, infections or after fava beans ingestion which may cause hemolytic anemia and jaundice.
Several methods of screening and diagnosis of G6PD mostly for neonates can be performed to avoid morbidity and mortality. Liong
Boy Kurniawan. Screening, Diagnosis, and Clinical Aspects of Glucose-6-phosphate Dehydrogenase (G6PD) Defi ciency.
Keywords: G6PD, hemolytic, jaundice
PENDAHULUAN
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama
jalur pentosa fosfat dan memberikan efek
reduksi pada semua sel dalam bentuk NADPH
(bentuk tereduksi nicotinamide adenine
dinucleotide phosphate). Senyawa NADPH
memungkinkan sel-sel bertahan dari stres
oksidatif
yang
dapat
dipicu
oleh
beberapa bahan oksidan dan menyediakan
glutathione dalam bentuk tereduksi.
Eritrosit
tidak
me-miliki mitokondria
sehingga
jalur
pentosa
fosfat
merupakan
satu-satunya
sumber
NADPH, sehingga pertahanan terhadap
kerusakan oksidatif tergantung pada G6PD.1
Defisiensi G6PD merupakan enzimopati
yang paling umum diderita manusia dan
terkait dengan kromosom X. Gen pengkode
Alamat korespondensi
enzim ini terletak di lengan panjang
kromosom X (Xq28). Kebanyakan pasien
defis iensi G6PD tidak menunjukkan gejala
hingga terpapar obat-obatan pengoksidasi,
dan
makan
kacang
fava.
infeksi,
Pengobatan terpenting adalah dengan
menghindari bahan pengoksidasi yang
dapat meng-induksi anemia hemolitik.
Skrining neonatus dan edukasi kesehatan
berperan penting dalam mengurangi
manifestasi klinis defi -siensi G6PD.1,2
Carson, dkk (1956) melaporkan penderita
mengalami anemia hemolitik akibat penggunaan obat antimalaria primakuin dan
menemukan aktivitas G6PD yang rendah
pada eritrosit pasien-pasien tersebut. Crosby
juga menemukan kemiripan antara anemia
hemolitik berat akibat makan kacang
fava.
inhalasi serbuk tanaman, dengan anemia
hemolitik terinduksi primakuin. Aktivitas
G6PD yang rendah pada penderita
dengan riwayat favism dilaporkan di
Italia dan Jerman.1,3
EPIDEMIOLOGI
Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400
juta orang di seluruh dunia. Prevalensi
tertinggi ditemukan di negara-negara SubSahara Afrika terutama di daerah-daerah
dengan endemisitas malaria tinggi. Prevalensi
tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia
Tenggara dan Amerika Latin (Gambar 1). Di
Amerika Serikat, defisiensi G6PD terutama
diderita keturunan Afrika dan Mediterania.
Di Indonesia, prevalensi defisiensi G6PD berkisar 2,7% hingga 14,2%. Prevalensi defisiensi
G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria
email: [email protected]
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
807
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Gambar 3 Bentuk 3 dimensi G6PD dimer yang aktif1
G6PD telah ditemukan dan dihubungkan
dengan defisiensi G6PD.1,2
Gambar 1 Rerata prevalensi G6PD dalam persen di dunia4
dikaitkan dengan resistensi terhadap infeksi
malaria.4
STRUKTUR DAN FUNGSI ENZIM G6PD
Enzim G6PD mengkatalisis reaksi pertama
jalur pentosa fosfat; glukosa dikonversi menjadi gula pentosa yang dibutuhkan untuk
glikolisis dan beberapa reaksi biosintesis.
Jalur pentosa fosfat juga memberikan efek
reduksi dalam bentuk NADPH oleh kerja
G6PD dan 6-phosphogluconate dehydrogenase
(Gambar 2). Molekul NADPH bekerja sebagai
donor elektron pada banyak reaksi enzimatik
yang penting pada jalur biosintesis dan
sebagai pelindung sel dari stres oksidatif.
Enzim G6PD juga penting dalam regenerasi
bentuk tereduksi glutathione yang diproduksi
dengan 1 molekul NADPH. Glutathione tereduksi
penting
dalam
mereduksi
hidrogen peroksida dan oksigen radikal.1,2
Enzim G6PD monomer terdiri dari 515 asam
amino dengan berat molekul 59 kDa. Model
3 dimensi G6PD ditunjukkan pada Gambar
3. Enzim ini aktif dalam bentuk tetramer atau
dimer. Setiap monomer terdiri dari 2 domain:
N terminal dan β + α domain, kedua domain
tersebut dihubungkan oleh α helix.1
Enzim G6PD ditemukan pada semua sel
dengan kadar bervariasi di jaringan yang
berbeda. Pada eritrosit normal, enzim ini
bekerja pada 1-2% potensi maksimalnya.
Hingga saat ini lebih dari 140 mutasi gen
Gambar 2 Jalur pentosa fosfat1
NADPH dihasilkan dari reaksi G6PD dan 6-phospogluconate dehydrogenase (6PGD). Senyawa ini berperan memberikan
donor proton untuk regenerasi glutathione dan sebagai ligand katalase. NADPH juga bekerja sebagai donor elektron untuk
reaksi enzimatik penting lainnya.
808
ASPEK GENETIK DEFISIENSI G6PD
Defisiensi
G6PD
diturunkan
melalui
kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu
kromosom X sehingga dapat memiliki
ekspresi gen yang normal maupun defisiensi
G6PD. Perempuan yang memiliki 2 kopi gen
G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki
ekspresi gen normal, heterozigot, maupun
homozigot. Perempuan heterozigot dapat
memiliki mosaic genetik akibat inaktivasi
kromosom X, dan dapat menderita defisiensi
G6PD.1 Persentase populasi defisiensi G6PD
dan karier di India masing-masing 10% dan
11%.5
Gen G6PD terletak pada regio telomerik
lengan panjang kromosom X (band Xq28),
dekat dengan gen hemofilia A, diskeratosis
kongenital dan buta warna (Gambar 4). Gen
tersebut terdiri dari 13 ekson dan 12 intron,
mengkodekan 515 asam amino. Wild type
G6PD disebut 6GPD B. Semua mutasi gen
G6PD yang mengakibatkan defisiensi enzim
tersebut berefek pada kode sekuensi. Hingga
saat ini telah dilaporkan 14 mutasi, umumnya
subtitusi terjadi pada 1 pasangan basa yang
menyebabkan perubahan susunan asam
amino.1
Distribusi malaria global hampir sama
dengan distribusi G6PD mutan sehingga
muncul hipotesis bahwa defisiensi G6PD
bersifat protektif terhadap malaria. Bukti efek
perlindungan terhadap malaria diperoleh
dari penelitian in vitro pada kultur parasit
pada eritrosit-eritrosit dengan genotipe
G6PD berbeda, menunjukkan bahwa pertumbuhan parasit melambat terjadi pada
sel-sel dengan defisiensi G6PD. Eritrosit dengan
defisiensi G6PD yang terinfeksi parasit malaria
mengalami fagositosis pada tahap maturasi
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
parasit yang terjadi lebih dini dan menjadi
mekanisme protektif terhadap malaria.1,2
SKRINING DEFISIENSI G6PD PADA
NEONATUS
Di berbagai negara, skrining defisiensi
G6PD pada neonatus rutin dilakukan.
Hal ini penting karena kernikterus yang
merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas pada neonatus defisiensi G6PD
dapat dicegah dengan menghindari faktorfaktor penyebab hemolisis.6 Laporan dari
Singapura menunjukkan setelah program
skrining defisiensi G6PD neonatus sejak
tahun 1965 menggunakan sampel darah
tali pusat, insidens kernikterus turun drastis
dalam 20 tahun terakhir. Dilaporkan hanya
1 kasus kernikterus pada neonatus defisiensi
G6PD di Singapura. Neonatus defisiensi G6PD
dilindungi secara fisik di rumah sakit selama 2
minggu pertama dan orang tuanya diberikan
konseling mengenai obat-obatan yang dapat
memicu krisis hemolisis.7
Pao, dkk.8 menemukan bahwa insidens hiperbilirubinemia pada neonatus defisiensi
G6PD sebesar 32% dan pada neonatus
dengan G6PD normal hanya 12,3%, hal ini
menunjukkan perlunya skrining defisiensi
G6PD pada neonatus. Pada neonatus lakilaki hemizigot defisiensi G6PD, kadar G6PD
<4,6 u/g Hb dapat digunakan sebagai cut
off, sedangkan pada neonatus perempuan
dianjurkan nilai cut off lebih tinggi, yaitu <6,6
u/g Hb karena terdapat sejumlah populasi
neonatus heterozigot defisiensi G6PD parsial.9
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti defisiensi G6PD didasarkan
pada aktivitas enzimatik dengan analisis
Gambar 4 Letak gen G6PD1
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
kuantitatif
spektrofotometri
tingkat
produksi NADPH dari NADP. Untuk
skrining
cepat
beberapa
metode
semikuantitatif
telah
di-kembangkan
seperti
dye-decolouration
test
oleh
Motulsky dan tes fluorescent spot yang
mengindikasikan defi siensi G6PD jika
spot darah tidak berfluoresen di bawah
sinar ultra violet.1
Tes fenotip aktivitas enzimatik G6PD pada
darah vena segar merupakan metode
diagnostik yang paling umum. Tes fenotip
dapat dibagi menjadi 4 kategori:
a. Tes direk yang langsung menilai aktivitas
enzimatik G6PD. Standar perhitungan adalah
berdasarkan spektrofotometer. Tes spot
fluorescent Beutler’s merupakan tes skrining
populer yang menginkubasi hemolisat
dengan substrat reaksi G6PD, ditempatkan
di kertas filter dan disinari ultra violet (450
nm). Fluoresensi menunjukkan aktivitas G6PD.
Tes ini paling mudah meskipun masih jauh
dari ideal.10
b. Tes indirek yang mencakup tes reduksi
methemoglobin. Sel eritrosit direaksikan
dengan nitrit dan substrat glukosa kemudian
tingkat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction dinilai dengan katalis redoks.
Derajat NADPH-dependent methaemoglobin
reduction berkorelasi dengan aktivitas G6PD.
Metode indirek lain menggunakan kromofor
seperti brillian cresil blue, resazurin, formazan
untuk memantau produksi NADPH.10
c. Tes sitokimia yang menilai status G6PD
eritrosit, dapat digunakan untuk deteksi
laki-laki defisiensi homozigot, perempuan
defisiensi homozigot dan heterozigot. Tes
sitokimia mencakup methaemoglobin elution
test dengan melabel eritrosit berdasarkan
jumlah relatif methemoglobinnya sesuai
metode indirek dengan tes reduksi
methe-moglobin.
Metode
terbaru
sitofluorometrik mendeteksi autofluoresens
terinduksi glutaral-dehid dengan formazan
yang menggunakan teknik flowsitometri.10
d. Tes cepat dengan point of care tests
(POCT).10
MANIFESTASI KLINIS
Sebagian besar penderita defis iensi G 6PD
tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila
eritrosit
mengalami
stres
oksidatif
dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi
kacang fava. Defi siensi G6PD biasanya
bermanifestasi sebagai anemia hemolitik
akut yang di-induksi obat maupun infeksi,
favisme, ikterus neonatorum
maupun
anemia
hemolitik
non-sferosis kronis.
Beberapa kondisi seperti diabetes, infark
miokard, latihan fi sik berat telah
dilaporkan menginduksi hemolisis pada
penderita defi siensi G6PD. Hemolisis
akut pada penderita defi siensi G6PD biasa
nya ditandai dengan rasa lemah, nyeri
punggung, anemia dan ikterus. Terjadi
peningkatan
kadar
bilirubin
tidak
terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan
retikulositosis.1-3
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat
Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil
investigasi hemolisis pada penderita
yang minum primakuin. Beberapa obat
dihubungkan dengan hemolisis akut pada
penderita defisiensi G6PD (Tabel 1). Obatobat spesifik penyebab langsung krisis
hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit ditentukan dengan tepat. Pertama, suatu obat
yang dinyatakan aman untuk satu penderita
defisiensi G6PD belum tentu aman untuk
penderita lain, mungkin karena perbedaan
farmakokinetik tiap individu. Kedua, obat
yang memiliki efek oksidan sering diberikan
pada pasien dengan keadaan klinis (misalnya
infeksi) yang dapat menyebabkan hemolisis.
Ketiga, pasien mengkonsumsi lebih dari
satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada
defisiensi G6PD biasanya sembuh sendiri,
tidak menyebabkan anemia dan retikulositosis yang signifikan.1-3
Hemolisis dan ikterus klinis biasanya muncul
24-72 jam setelah konsumsi obat. Urin
berwarna gelap akibat hemoglobinuria
merupakan tanda khas. Anemia memburuk
hingga 7-8 hari, kadar hemoglobin akan
kembali meningkat setelah 8-10 hari obat
809
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 1 Obat-obatan yang dapat mencetuskan hemolisis pada G6PD11
dihentikan. Heinz bodies (Gambar 5) di darah
tepi yang merupakan presipitat hemoglobin
terdenaturasi merupakan tanda khas pada
pemeriksaan apusan darah.1-3
Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi
Infeksi merupakan penyebab hemolisis
tersering pada penderita defisiensi G6PD.
Beberapa infeksi yang dapat mencetuskannya antara lain infeksi virus Hepatitis A dan
B, Cytomegalovirus, pneumonia dan demam
tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain pemberian obat,
fungsi hati dan usia. Pada hemolisis berat,
transfusi darah segera memperbaiki luaran.
Komplikasi serius akibat infeksi virus hepatitis
pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal
ginjal akut; dapat disebabkan nekrosis tubular
akut akibat iskemi ginjal maupun obstruksi
tubular karena hemoglobin cast. Beberapa
pasien mungkin memerlukan hemodialisis.1-3
Favisme
Konsumsi fava beans/kacang fava dapat
menyebabkan hemolisis dan kondisi ini
disebut favisme. Favisme ditemukan di
negara-negara Mediterania, Timur Tengah
dan Afrika Utara, tidak ditemukan di
Indonesia. Tidak semua penderita defisiensi
G6PD yang memakan kacang fava menderita
favisme, dapat terjadi respons berbedabeda dari individu yang sama tergantung
kesehatan pasien dan jumlah kacang fava
yang dikonsumsi. Divicine, isouramil dan
convicine diperkirakan sebagai bahan toksik
dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas
hexose monophosphate shunt, sehingga
menyebabkan hemolisis pada penderita
defisiensi G6PD.1-3
Favisme menyebabkan anemia hemolitik
akut, biasanya 24 jam setelah kacang fava
dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul
lebih berat dibanding yang disebabkan oleh
induksi obat maupun infeksi meskipun kadar
bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik akibat
favisme dapat terjadi intravaskular maupun
ekstravaskular dan dapat menyebabkan
gagal ginjal akut.1-3
Gambar 5 (A) Heinz bodies tampak dengan pewarnaan supravital. (B) Heinz bodies tampak dengan mikroskop elektron1
810
Ikterus Neonatorum
Sepertiga
neonatus
laki-laki
ikterus
neonatorum menderita defisiensi G6PD,
insidens pada neonatus perempuan lebih
jarang. Ikterus biasanya muncul pada umur
1-4 hari, mirip ikterus fisiologis. Kernikterus
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Tabel 2 Pembagian Kelas Defisiensi G6PD12
Kelas
Kelas I
Keterangan
Defisiensi berat, berhubungan dengan anemia hemolitik non-sferosis kronis
Kelas II
Defisiensi berat (aktivitas residual 1-10%), berhubungan dengan anemia hemolitik akut
Kelas III
Defisiensi sedang (aktivitas residual 10-60%)
Kelas IV
Aktivitas normal (60-150%)
Kelas V
Aktivitas meningkat (>150%)
jarang terjadi, dapat menyebabkan kerusakan
saraf yang bersifat permanen jika tidak
segera ditangani. Ikterus neonatorum lebih
berat pada bayi defisiensi G6PD prematur.
Jika skrining defisiensi G6PD tidak rutin
dilakukan, pemeriksaan lebih seksama perlu
dilakukan pada neonatus yang menderita
hiperbilirubinemia >150 mmol/L dalam 24
jam pertama atau memiliki saudara dengan
riwayat ikterus neonatorum.1-3
Anemia Hemolitik Non-sferosis
Kongenital
Pada beberapa pasien, varian defisiensi
G6PD dapat menyebabkan hemolisis kronik
yang disebut anemia hemolitik non-sferosis
kongenital. Kondisi ini dapat muncul
sporadis. Diagnosis didasarkan pada temuan
klinis bahwa kelainan ini ditemukan sejak
bayi atau kanak-kanak. Kebanyakan pasien
memiliki riwayat ikterus neonatorum yang
berat, anemia kronik yang dieksaserbasi oleh
stres oksidatif yang biasanya memerlukan
transfusi darah, adanya retikulositosis, batu
empedu dan splenomegali. Kadar bilirubin
dan LDH meningkat dan hemolisisnya terjadi
terutama ekstravaskular.1-3
Pembagian kelas defisiensi G6PD berdasarkan
WHO ditunjukkan pada Tabel 2.
PENATALAKSANAAN
Strategi penatalaksanaan defisiensi G6PD
yang paling efektif untuk mencegah hemolisis
adalah mencegah stres oksidatif (misalnya
akibat obat-obatan dan kacang fava).
Pendekatan ini memerlukan pemahaman
pasien dan bisa tercapai jika ada program
skrining defisiensi G6PD. Hemolisis akut
akibat G6PD biasanya tidak lama dan tidak
memerlukan terapi spesifik. Pada kasus jarang
(biasanya anak-anak) dapat terjadi anemia
berat yang memerlukan transfusi darah.1,2
Ikterus neonatorum akibat defisiensi G6PD
diterapi seperti ikterus neonatorum kausa
lain. Jika kadar bilirubin tidak terkonjugasi
melebihi 150 nmol/L diberi fototerapi untuk
mencegah kerusakan saraf. Jika kadarnya
>300 nmol/L, transfusi darah mungkin
diperlukan. Pasien anemia hemolitik nonsferosis kongenital terkadang mengalami
anemia terkompensasi yang tidak memerlukan transfusi darah kecuali jika ada
eksaserbasi akibat stres oksidatif yang dapat
memperburuk anemianya. Pasien anemia
hemolitik non-sferosis kongenital biasanya
mengalami splenomegali tetapi tindakan
splenektomi jarang memberi keuntungan.
Batu empedu juga merupakan komplikasi
akibat hemolisis karena defisiensi G6PD.1,2
SIMPULAN
Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
merupakan enzim pengkatalisis reaksi pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan
efek reduksi pada semua sel dalam bentuk
NADPH (bentuk tereduksi nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate). Defisiensi
G6PD merupakan enzimopati yang paling
umum diderita manusia dan terkait dengan
kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).
Prevalensi penyakit ini ditemukan tinggi
di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara dan
Amerika Latin terutama di daerah dengan
endemisitas malaria yang tinggi. Prevalensi
di Indonesia berkisar 2,7% hingga 14,2%.
Sebagian besar penderita defisiensi G6PD
tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila
eritrosit mengalami stres oksidatif dipicu
obat, infeksi, maupun konsumsi fava beans.
Defisiensi G6PD biasanya bermanifestasi
sebagai anemia hemolitik akut yang diinduksi obat maupun infeksi, favisme, ikterus
neonatorum maupun anemia hemolitik non
sferosis kronis. Strategi penatalaksanaan
defisiensi G6PD yang paling efektif untuk
mencegah hemolisis adalah mencegah stres
oksidatif (misalnya akibat obat-obatan dan
kacang fava). Skrining dan diagnosis defisiensi
G6PD pada neonatus dapat dilakukan dengan
beberapa metode dan penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Cappellini MD, Fiorelli G. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Lancet. 2008;371:64-74.
2.
Farhud DD, Yazdanpanah L. Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Iranian J Publ Health. 2008;37(4):1-18.
3.
Beutler E. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency: A historical perspective. Blood. 2008;111:16-24.
4.
Nkhoma ET, Poole C, Vannappagari V, Hall SA, Beutler E. The global prevalence of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency: A systematic review and meta-analysis. Blood Cells,
5.
Rai V, Kumar P. Epidemiological study of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in scheduled caste population of India. J Anthropol. 2012. doi:10.1155/2012/9841180.
6.
Leong A. Is there a need for neonatal screening of glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in Canada? MJM. 2007;10(1):31-4.
Molecules, and Diseases. 2009;42:267-8.
7.
Joseph R, Ho LY, Gomez JM, Raddurai VS, Sivasankaran S, Yop YY. Mass newborn screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in singapore. Southeast Asian J. Trop. Med.
& Publ. Health. 1999;Suppl 2:70-1.
8.
9.
Pao M, Kulkarni A, Gupta V, Kaul S, Balan S. Neonatal screening for glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Indian J Pediatr. 2005;72(10):835-7.
Jarullah J, AlJaouni S, Sharma MC, Bushra MSJ, Kamal MA. Detection of glucose-6-phosphate dehydrogenase in heterozygous Saudi female neonates. Enz Eng. 2012;1(2).
doi:10.4172/22g.1000105.
10. Seidlein LV, Auburn S, Espino F, Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key knowledge gaps in glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency detection with regard to the safe
clinical deployment of 8-aminoquinoline treatment regimens: a workshop report. Malaria J. 2013. doi:10.1186/1475-2875-12-112.
11. MIMS. Drugs to avoid in G6PD deficiency. 2006.
12. WHO Working Group. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency. Bull WHO. 1989;67:601-11.
CDK-222/ vol. 41 no. 11, th. 2014
811
Download