7 PERBANDINGAN DAN PERUBAHAN Bab ini berisi dua tahap SSM yaitu hasil tahap lima: perbandingan model konseptual dan dunia nyata, dan hasil tahap enam: menentukan perubahan yang diinginkan. Ilustrasi untuk tahap lima, dan enam pengelolaan diskusi dan tindakan model konseptual dapat dilihat pada Tabel 26, 27, 28, 29, 30, dan 31 beserta narasi yang mengikutinya. 7.1 Perbandingan Model Konseptual dan Dunia Nyata Tahap lima dilakukan perbandingan antara model konseptual dengan theoretical framework yang sesuai dengan research interest dan problem solving interest. Yang dimaksud membandingkan di sini adalah menggunakan model konseptual yang sudah dibuat untuk membahas situasi problematis dunia nyata. Checkland dan Poulter (2006) mengingatkan bahwa tahap ini bukanlah dimaksudkan untuk menilai kekurangan situasi problematik dunia nyata dibandingkan dengan model konseptual yang “sempurna”. Jadi, model konseptual merupakan alat buatan yang didasarkan pada sebuah sudut pandang murni sementara dunia nyata diwarnai oleh beraneka ragam sudut pandang bahkan di dalam diri satu orang yang terus mengalami perubahan, baik perubahan lambat maupun perubahan cepat. Model konseptual yang berisi aktivitas-aktivitas logis yang telah dibuat kemudian akan dilakukan perbandingan atau comparison. Perbandingan dilakukan bukan hanya untuk mempertemukan antara aktivitas logis dengan kenyataan di real world. Perbandingan seperti itu sifatnya adalah melakukan penelitian untuk menyelesaikan masalah atau problem solving, sehingga tabel untuk problem solving berisi adakah aktivitas tersebut di real world, bagaimana ukuran kinerja dan bagaimana penyelesaian masalah. 184 Tabel 26 Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM No Model Konseptual Dunia Nyata 1 Mengumpulkan data dan bahan - 2 Konsultasi publik - 3 Menyusun draft/ rancangan awal - 4 Membahas draft - 5 Menyempurnakan draft - 6 Mengajukan rancangan draft SK - 7 Menetapkan SK Bupati - Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah Melalui pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM dengan tugas, pokok, dan fungsi masing-masing di bidangnya, diharapkan masalah pengorganisasian yang terjadi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu akan terselesaikan. Sehingga akan menghasilkan: Keterpaduan program, kegiatan, dan anggaran antar organisasi berjalan dengan baik di bawah koordinator satu pintu yaitu Sekretariat/ Tim Pokja Pengembangan UKM Pembinaan secara keseluruhan yang efisien, efektif, dan terkoordinasi dengan baik dalam mengembangkan UKM Hal ini juga memperkuat pendapat: Bromley (1989) yang mengemukakan fondasi konseptual dari kebijakan publik Huseini dan Lubis (2009), Thoha (2002) tentang organisasi Saat ini organisasi/instansi yang memiliki program pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perdagangan; Kementerian Industri; Kementerian Koperasi dan UKM; Kementerian Pekerjaan Umum), pemerintah daerah (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat; Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu; Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Indramayu; Dinas Bina Marga Kabupaten Indramayu; Bank Indonesia Cabang Indramayu, dan lain-lain), 185 lembaga swasta (PT. Pertamina Balongan Kabupaten Indramayu, Bank Perkreditan Rakyat, dan lain-lain) yang di dalam cakupan kerjanya antara lain memiliki tugas dan kewenangan membina UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, dalam pelaksanaan program dan kegiatan di lapangan seringkali antar instansi/organisasi menimbulkan tumpang tindih pembinaan maupun pemberian bantuan sarana dan prasarana yang tidak tepat dan efektif. Kondisi tersebut, boleh jadi malah menambah beban bagi UKM. Pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM dengan tugas, pokok, dan fungsi masing-masing di bidangnya, diharapkan masalah pengorganisasian pada tataran makro akan dapat diselesaikan sehingga akan menghasilkan: Keterpaduan program, kegiatan, dan anggaran antar organisasi berjalan dengan baik di bawah koordinator satu pintu yaitu Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM Pembinaan maupun pemberian bantuan sarana dan prasarana yang efisien, efektif, dan terkoordinasi dengan baik dalam rangka pengembangan UKM sentra industrii pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu Hal ini juga memperkuat pendapat Huseini dan Lubis (2009) bahwa yang dimaksud dengan organisasi adalah sebagai suatu kesatuan sosial dari sekelompok manusia, yang berinteraksi menurut suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai satu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga bisa dipisahkan secara tegas dari lingkungannya. Menurut Blake dan Mounton, diacu dalam Thoha (2002) pengertian organisasi dengan mengenalkan adanya tujuh unsur yang melekat pada organisasi yaitu (1) organisasi senantiasa mempunyai tujuan, (2) organisasi mempunyai kerangka/struktur, (3) organisasi mempunyai sumber keuangan, (4) organisasi mempunyai cara yang memberikan kecakapan bagi anggotanya untuk melaksanakan kerja mencapai tujuan tersebut, (5) di dalam organisasi terdapat proses interaksi hubungan kerja antara orang-orang yang bekerja sama mencapai 186 tujuan tersebut, (6) organisasi mempunyai pola kebudayaan sebagai dasar cara hidupnya, dan (7) organisasi mempunyai hasil-hasil yang ingin dicapainya. Struktur organisasi menurut Child, diacu dalam Huseini dan Lubis (2009) antara lain yaitu (1) struktur organisasi memberikan gambaran mengenai pembagian tugas-tugas serta tanggung jawab kepada individu maupun bagianbagian pada suatu organisasi; dan (2) merupakan sistem hubungan dalam organisasi yang memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik ke arah vertikal maupun horizontal. Menurut pendapat Bromley (1989) yang mengemukakan fondasi konseptual dari kebijakan publik, dimana memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational level. Policy level diperankan oleh lembaga yudikatif dan legislatif, sedangkan organizational level diperankan oleh lembaga eksekutif. Adapun operational level dilaksanakan oleh satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Lebih lanjut lagi Bromley (1989) mengingatkan, kebijakan publik menyangkut dua konsep, yaitu penentuan institutional arrangement dan penentuan “batas-batas otonomi” dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, pada masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarkinya. Dalam teori yang dikemukakan Bromley, dijelaskan juga mengenai pattern interaction yang merupakan pola interaksi antara pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan kelompok sasaran (target group) sehingga menentukan dampak (outcome) dari kebijakan tersebut. Dampak dari kebijakan yang dilaksanakan dapat berupa keberhasilan atau kegagalan berdasarkan penilaian masyarakat. Dalam kurun waktu tertentu, hasil yang ditetapkan akan ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau peningkatan kebijakan. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sangat membutuhkan peran pemerintah dalam peningkatan daya saing, namun 187 yang perlu diperhatikan adalah bahwa kemampuan di sini bukan dalam arti kemampuan untuk bersaing dengan usaha (industri) besar tetapi lebih pada kemampuan untuk memprediksi lingkungan usaha dan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi lingkungan tersebut. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah perlu segera membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembagan UKM dalam rangka meningkatkan koordinasi agar keterpaduan dalam setiap instansi/organisasi baik program, kegiatan, dan anggaran berjalan dengan baik, efektif, dan efisien sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Salah satu permasalahan pada tataran makro adalah program dan kegiatan pengembangan UKM melalui APBN dan APBD, belum sesuai dengan keinginan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hal ini disebabkan antara lain: - Pemerintah pusat dan daerah belum memiliki visi bersama secara jangka panjang - Setiap individu dalam organisasi pemerintah pusat dan daerah belum mempunyai rasa saling memiliki dan bekerja sama dengan baik - Usulan program, kegiatan dan anggaran masih banyak yang berasal dari atas (top down) bukan berasal dari bawah (bottom up) - Alokasi dana dari APBN untuk UKM terpecah-pecah dengan jumlah yang terbatas sehingga penyaluran bantuan untuk UKM pun tidak terfokus - Selanjutnya, pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu mendapat dukungan yang besar baik dari pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi lainnya. Kebijakan pemerintah pusat dan daerah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya UKM, dan upaya pemerintah pusat dan daerah dalam membuat program, kegiatan, dan anggaran yang mampu menyampaikan kepentingan UKM dan aspirasi masyarakat (bottom up). 188 Tabel 27 Mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat No Model Konseptual Dunia Nyata 1 Tataran makro, mengevaluasi anggaran sebelumnya Tataran makro, mengevaluasi anggaran sebelumnya 2 Melakukan diskusi dengan tataran meso dan mikro, untuk menjaring aspirasi masyarakat 3 Menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM berdasarkan aspirasi masyarakat 4 Melakukan diskusi dan dengar pendapat dengan tataran meso, mikro, perguruan tinggi, dan pihak terkait lainnya 5 Mengajukan usulan program dan kegiatan ke Bupati Mengajukan usulan program dan kegiatan ke Bupati 6 Bupati membahas usulan program dan kegiatan di tingkat kabupaten Bupati membahas usulan program dan kegiatan di tingkat kabupaten 7 Bupati menyampaikan usulan program dan kegiatan ke tingkat provinsi Bupati menyampaikan usulan program dan kegiatan ke tingkat provinsi - Menyusun usulan program dan kegiatan pengembangan UKM - Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah Pengalokasian program dan kegiatan pengembangan UKM melalui APBD oleh pemerintah daerah diharapkan sesuai dengan usulan program, kegiatan, dan anggaran yang berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up). Perguruan Tinggi yang berada di luar sistem, namun berkaitan dengan institusional arrangement, dapat dilibatkan perannya dengan mendampingi tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam pengawalan penyusunan program, kegiatan, dan anggaran dari mulai persiapan, pembahasan, sampai dengan tersusunnya konsep APBD. Melalui upaya pengawalan dan keterlibatan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi tersebut, diharapkan semua usulan program, kegiatan, dan anggaran yang disampaikan dapat terpenuhi dan terealisasi sesuai kepentingan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Hal ini juga memperkuat pendapat Robbins (2006), Catak & Cilingir (2010) tentang anggaran pemerintah Melalui upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tersebut di atas, diharapkan akan menghasilkan: Program, kegiatan, dan anggaran yang lebih terfokus bagi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu Pembinaan, pelatihan, dan bantuan sarana dan prasarana yang sesuai dengan usulan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu 189 Hal ini juga memperkuat pendapat Robbin (2006), bahwa anggaran pemerintah sendiri merupakan instrumen yang mencerminkan prioritas pemerintah dan preferensi warga negara. Anggaran pemerintah inti dari kebijakan publik yang mengindikasikan bagaimana sumber daya publik direncanakan untuk digunakan dalam rangka mencapai tujuan kebijakan (Çatak & Çilingir 2010). Efektifitas proses penganggaran dindikasikan salah satunya oleh keterlibatan pemangku kepentingan. Proses mementingkan stakeholders merupakan salah satu prinsip pelaksanaan tata kelola pemerintahan atau good governance (Mattingly et al. 2009), oleh karena itu dikenal proses penganggaran partisipatif. Penganggaran partisipatif merupakan cara strategis untuk menciptakan daerah yang lebih demokratis dan berpartisipasi. Peserta harus memutuskan isu-isu lokal yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, partisipasi politik rakyat cenderung meningkat (Pinnington et al. 2009). Penganggaran partisipatif menawarkan beberapa entry point dan tingkat komitmen untuk keterlibatan masyarakat, terutama bagi mereka yang memiliki kepentingan. Dalam banyak kasus, sebagian orang dengan kepentingan tinggi memainkan peran lebih besar dalam pengambilan keputusan. Sehubungan penganggaran bersifat partisipatif, maka membuka peluang pengawasan publik, sehingga menciptakan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang lebih tinggi dan mengurangi peluang korupsi. Negara yang menerapkan konsep desentralisasi, mengindikasikan adanya kewenangan yang begitu besar di level daerah untuk merumuskan anggaran. Dalam hal pemasukan, pemerintah daerah tidak sepenuhnya lepas dari ketergantungan kepada pemerintah pusat. Adanya mekanisme alokasi dana dari pemerintah yang levelnya lebih tinggi (pemerintah pusat), ke pemerintah yang levelnya lebih rendah (pemerintah daerah). Dalam lingkup daerah otonom, terjadi alokasi dana dari pemerintahan daerah ke pemerintahan kecamatan dan desa/ kelurahan. Roadway dan Shah (2007), diacu dalam Fitriati (2012) menjelaskan dua jenis transfer keuangan dari pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi, yaitu general purpose transfer dan specific purpose transfer. Kedua jenis transfer ini menunjukkan adanya mekanisme implementasi program yang disesuaikan dengan anggaran berbasis kinerja (performance based budget) yang seharusnya mendukung prinsip money follow function. Kenyataanya di Indonesia, function 190 tidak jalan, kinerja tidak sesuai fungsi, dan aggaran sulit diukur kaitannya dengan kinerja. Penyusunan anggaran pada level SKPD maupun tingkat pemerintahan yang berada di kecamatan dan kelurahan, merupakan level kebijakan pada tataran operational level (Bromley 1989, diacu dalam Fitriati 2012). Dalam kaitannya dengan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, perencanaan anggaran pada tingkat kelurahan, kecamatan, dan SKPD, operational level terfasilitasi dalam musrenbang di tingkat masing-masing. Musrembang dilakukan dengan mengundang para pemangku kepentingan yang terkait. Pada tingkat pemerintah daerah, wujud dari organizational level terfasilitasi dari musrenbang yang diselenggarakan oleh kepala daerah. Output kebijakan anggaran pada organizational level berupa Rancangan Renja Daerah. Pada level ini, proses musrenbang juga dihadiri oleh pemangku kepentingan yang terkait di tingkat kabupaten. Selanjutnya, peran policy level dimainkan oleh Kementerian beserta DPR atau Bupati beserta DPRD selaku lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah. Dalam konteks perencanaan anggaran, peran yang dimainkan berupa menetapkan atau menyetujui anggaran serta mengesahkan Draft RKA Daerah menjadi RKA KKP. Bromley (1989) menjelaskan bahwa untuk meletakkan fondasi konseptual dari kebijakan publik pada masing-masing level, maka kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat hierarki. Dalam kaitannya dengan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian, maka Perguruan Tinggi yang berada di luar sistem, namun berkaitan dengan institusional arrangement, dapat dilibatkan perannya dengan mendampingi tataran meso (koperasi dan asosiasi) dan tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dalam pengawalan penyusunan program, kegiatan, dan anggaran dari mulai persiapan, pembahasan sampai dengan tersusunnya konsep DIPA. Melalui upaya pengawalan dan keterlibatan tataran meso, mikro, dan perguruan tinggi tersebut, diharapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat dapat terpenuhi dan terealisasi sesuai kepentingan dan kebutuhan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. 191 Tabel 28 Peningkatan peran koperasi dan asosiasi No Model Konseptual Dunia Nyata 1 2 3 1 Tataran meso menjalin hubungan dengan tataran makro untuk mendapatkan pengakuan eksistensi kelembagaan Tataran meso menjalin hubungan dengan tataran makro untuk mendapatkan pengakuan eksistensi kelembagaan 2 Tataran meso memperoleh masukan dari tataran makro dan mikro, perguruan tinggi, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya terhadap setiap kegiatan UKM yang telah dilaksanakan Mengikuti atau terlibat dalam program dan kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan UKM, baik dalam bentuk seminar, pameran, dan Musrenbang Kabupaten Melakukan diskusi dan rapat dengar pendapat (hearing) dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi Mengikuti perancangan Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang berkaitan dengan UKM oleh setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebelum dikonsultasikan dengan Bappeda Mengikuti Musrenbang Kabupaten dengan mengundang pemangku kepentingan seperti Kepala Dinas dan perangkat SKPD terkait, dll Menyampaikan program dan kegiatan kepada pemerintah daerah yang berkaitan dengan UKM pada setiap SKPD Tataran meso memperoleh masukan dari tataran makro dan mikro untuk kegiatan UKM yang akan dilaksanakan 3 4 5 6 7 - - - - - Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah 4 Dalam pengembangannya, koperasi dan asosiasi di Indramayu yang berdiri karena program pemerintah belum mampu meningkatkan perannya sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro. Koperasi dan asosiasi di Indramayu perlu meningkatan perannya yang lebih pro aktif dan dinamis mengikuti perkembangan terkini untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, melalui peningkatan SDM koperasi/asosiasi, penyempurnaan ADRT yang lebih bermanfaat, membuat mekanisme koperasi/asosiasi lebih jelas dan sistematis. Hal ini memperkuat pendapat: Barbara (1995) dan Soekanto (2002) tentang peran dan peranan. 192 1 2 3 8 Melakukan proses negosiasi untuk membuat kesepakatan (collective action) dengan tataran makro - 9 Meningkatkan peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro - 4 Koperasi Kerupuk Mitra Industri (KKMI) Indramayu dan Asosiasi Pengusaha Kerupuk Indramayu (APKI) yang ada saat ini, belum memiliki peran yang sungguh-sungguh terhadap pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Tingkat partisipasi anggota koperasi masih rendah, ini disebabkan sosialisasi yang belum optimal. Masyarakat yang menjadi anggota hanya sebatas tahu koperasi dan asosiasi itu hanya untuk melayani konsumen seperti biasa, baik untuk barang konsumsi atau pinjaman. Artinya masyarakat belum tahu esensi dari koperasi dan asosiasi itu sendiri, baik dari sistem permodalan maupun sistem kepemilikanya. Masyarakat belum tahu betul bahwa dalam koperasi dan asosiasi konsumen, juga berarti pemilik, dan berhak berpartisipasi menyumbang saran demi kemajuan koperasi dan asosiasi miliknya serta berhak mengawasi kinerja pengurus. Ditambah lagi, adanya kegiatan koperasi dan asosiasi yang memanfaatkan program bantuan atau dukungan pemerintah bagi kepentingan pribadi (pemburu rente). Koperasi dan asosiasi di Indramayu perlu meningkatan perannya yang lebih pro aktif dan dinamis mengikuti perkembangan terkini untuk mendukung daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Pemerintah pusat dan daerah agar memperkuat dan memantapkan asosiasi dan koperasi usaha yang telah ada, sehingga asosiasi dan koperasi dapat meningkatkan perannya masing-masing antara lain dalam peningkatan SDM dan manajemen, pengembangan jaringan informasi usaha, dan lain-lain yang dibutuhkan untuk pengembangan UKM khususnya bagi usaha anggotanya. 193 Menurut Barbara (1995) peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil. Soekanto (2002) mendefinisikan, peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Sitio dan Tamba (2001) mengemukakan, bahwa koperasi sebagai suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum, yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar, dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya. Asosiasi, persatuan antara rekan usaha; persekutuan dagang; perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan bersama; tautan dalam ingatan pada orang atau barang lain; pembentukan hubungan atau pertalian antara gagasan, ingatan, atau kegiatan panca indera; berasosiasi/bergabung, berhubungan (antara cita-cita, gambar, angan-angan, dan lain-lain); mengasosiasikan/ membayangkan sesuatu (pikiran, anggapan, dan lain-lain) atas dasar kesan-kesan yang sudah ada; pengasosiasian dan hal (cara, perbuatan) mengasosiasikan. Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial sebagai entitas-entitas yang berbeda, yang memiliki dua elemen yang sama, terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan aktor (aktor pribadi maupun perusahaan) dalam struktur organisasi. Konsep ini memperluas konsep asosiasi vertikal maupun horizontal dan perilaku antar entitas. Terkait masalah peran koperasi dan asosiasi di Indramayu sebagai fasilitator yang mewakili kepentingan UKM di tataran mikro, adalah koperasi dan asosiasi yang bukan organisasi bentukan underbow pemerintah maupun bukan pelaku tunggal yang bergerak sendiri. Koperasi dan asosiasi ini merupakan model hybrid (campuran) yang paling mendekati the nature of industry, sebagai bentuk dinamika antara kelompok sosial di level mikro dengan struktur tata kelola di level meso yang menjamin pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. 194 Tabel 29 Peningkatan kualitas SDM Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah No Model Konseptual Dunia Nyata 1 Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang (lembaga pembiayaan/ permodalan, lembaga pendidikan/ pelatihan, dll) untuk pengakuan eksistensi kelembagaan Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro dan meso untuk pengakuan eksistensi kelembagaan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu perlu mengembangkan atau meningkatkan kualitas SDM nya melalui keikutsertaan dalam kegiatan pendidikan, pelatihan, training, studi banding dll. 2 Melakukan diskusi utuk mendapatkan masukan tentang keteranpilan SDM dari semua pihak terkait Melakukan diskusi utuk mendapatkan masukan tentang keteranpilan SDM dengan tataran makro UKM juga perlu menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan peningkatan kualitas SDM nya. 3 Mendapatkan pembinaan/ pelatihan keterampilan SDM dari tataran makro, meso, dll Mendapatkan pembinaan/ pelatihan keterampilan SDM dari tataran makro 4 Menyediakan anggaran khusus untuk kegiatan peningkatan keterampilan SDM, melalui kerja sama dengan lembaga keuangan/ permodalan, unit usaha besar, dll - Selajutnya, pemerintah pusat dan daerah, lembaga pembiayaan/keuangan, koperasi, asosiasi, dan pihak terkait lainnya juga perlu meningkatkan perannya dalam mendukung atau memberdayakan UKM. 5 Melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan/pelatihan, studi banding, dll - 6 Meningkatkan kualitas SDM dalam rangka mendukung daya saing UKM - Hal ini juga memperkuat pendapat Saydam (2005), Notoatmodjo (2003) tentang SDM dan keterampilan SDM Permasalahan kualitas SDM ini timbul akibat tingkat pendidikan SDM pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang masih rendah. Hal ini menyebabkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi rendah. Minimnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hasil produksi. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kualitas SDM antara lain (1) perencanaan tenaga kerja, untuk merencanakan jumlah dan jenis tenaga kerja 195 yang tepat untuk memenuhi kebutuhan guna mencapai tujuan perusahaan; (2) rekruetmen atau penarikan SDM, agar perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan dan dapat mengetahui sejauh mana pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tenaga kerja tersebut maka dapat ditempatkan sesuai dengan keahliannya masing-masing; dan (3) pengembangan tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan/training, sehingga dapat meningkatkan SDM yang pontensial tersebut menjadi tenaga kerja yang produktif, mampu dan terampil serta menjadi efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi yang selanjutnya dapat mengurangi ketergantungan organisasi untuk menarik karyawan baru. Kesimpulan tersebut selaras dengan pendapat Saydam (2005), mengatakan bahwa sumber daya manusia dalam suatu organisasi atau perusahaan tidak saja sebagai objek (dianggap sebagai salah satu produksi) tetapi sebagai subjek yang menentukan keberhasilan organisasi itu untuk mencapai tujuan. Selanjutnya dikatakan bahwa SDM paling menetukan dibanding dengan mesin-mesin atau peralatan apapun yang ada dalam perusahaan itu. Belum dapat dibayangkan suatu organisasi dapat berjalan lancar tanpa ada sumber daya manusia (SDM) di dalamnya. Menurut Notoatmodjo (2003), bahwa keterampilan SDM menyangkut dua aspek yaitu aspek fisik (kualitas fisik) dan aspek non fisik (kualitas non fisik) yang menyangkut kemampuan bekerja, berfikir dan keterampilan-keterampilan lain. Hal ini juga memperkuat pendapat Werther dan Davis (1996) bahwa SDM adalah manusia yang siap, mau, dan mampu memberi sumbangan terhadap usaha pencapaian tujuan perusahaan. Kualitas SDM menurut Ruky (2003) adalah tingkat pengetahuan, kemampuan, dan kemauan yang dapat ditunjukkan oleh SDM. Tingkat itu dibandingkan dengan tingkat yang dibutuhkan dari waktu ke waktu oleh organisasi yang memiliki SDM tersebut. Kemampuan pegawai sebagai SDM dalam suatu organisasi sangat penting arti dan keberadaannya untuk peningkatan produktivitas kerja di lingkungan organisasi. Manusia merupakan salah satu unsur terpenting yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan dan mengembangkan misinya. 196 Selanjutnya, keterampilan sumber daya UKM berhubungan dengan tingkat pendidikan dan pelatihan, pengalaman, kinerja yang dimiliki UKM dalam melaksanakan aktvitas-aktivitas yang menjadi tanggung jawab anggotanya untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Nawawi (2000) bahwa pelatihan merupakan peningkatan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan seseorang dan dapat digunakan untuk pengembangan pegawai dalam menghadapi peningkatan tanggung jawabnya pada masa mendatang bersamaan dengan peningkatan kepangkatannya serta dilakukan untuk pegawai lama dan baru. Nawawi (2000) menyatakan bahwa kinerja dalam arti untuk prilaku dalam bekerja (performance) yang positif, merupakan gambaran kongkrit kemampuan dalam mendaya gunakan sumber-sumber kualitas, yang berdampak pada keberhasilan mewujudkan, mempertahankan dan mengembangkan eksistensi non profit. Kinerja yang tinggi terlihat dari proses pelaksanaan pekerjaan yang berlangsung efektif dan efisien, yang terus menerus diperbaiki kualitasnya. Disamping itu juga dapat diketahui dari prestasi atau hasil kerja yang berkualitas, dan selalu sesuai dengan keinginan dan harapan masyarakat yang dilayani, sebagai bukti bahwa sumber-sumber kualitas berdaya guna secara efektif. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya peningkatan kualitas SDM untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran (makro, meso, dan mikro). Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM. Perilaku individu yang 197 saling terkait dan saling memengaruhi melalui alat komunikasi yaitu interaksi sosial. Tabel 30 Pemenuhan modal usaha Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah No Model Konseptual Dunia Nyata 1 Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran meso, makro, dan unit usaha penunjang untuk pengakuan eksistensi kelembagaan Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro dan perbankan untuk pengakuan eksistensi kelembagaan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/ memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, asosiasi, dan koperasi dalam pemenuhan modal usaha. 2 Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang permodalan dengan semua pihak terkait Melakukan diskusi untuk mendapatkan masukan tentang permodalan dengan tataran makro 3 Mendapatkan bantuan permodalan dari tataran makro, meso, dll Mendapatkan bantuan permodalan dari tataran makro 4 Melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan/ permodalan, dll dalam pemberian kredit/ pinjaman modal usaha Melakukan kerja sama dengan lembaga keuangan/permodalan dalam pemberian kredit/ pinjaman modal usaha 5 Pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi Pemenuhan modal usaha untuk keberlangsungan produksi Pemerintah juga perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa inansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, maupun non bank. LKM bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Hal ini juga memperkuat pendapat Sawir (2005) tentang permodalan Permasalahan modal ini timbul akibat produk jasa lembaga keuangan sebagian besar masih berupa kredit modal kerja dengan besaran terbatas, sedangkan untuk kredit investasi sangat terbatas. Kesulitan untuk menambah modal usaha memberikan berbagai dampak kepada UKM, diantaranya adalah sulitnya (1) melakukan perluasan/akses pasar, (2) meningkatkan kelembagaan, (3) mendapatkan bahan baku, (4) melakukan peningkatan kemampuan SDM 198 khususnya dalam peningkatan kualitas mutu dan pengembangan produk, dan (5) melakukan promosi usaha. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kapasitas modal bagi UKM antara lain (1) meningkatkan akses ke lembaga pembiayaan usaha dengan memenuhi aspek legalitas usaha/sesuai persyaratan yang diminta; dan (2) melakukan kemitraan dengan sesama UKM maupun usaha besar, dll. Pemerintah perlu memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada, maupun non bank. LKM bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sampai saat ini BRI memiliki sekitar 4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu mendorong pengembangan LKM. Yang harus dilakukan sekarang ini adalah bagaimana mendorong pengembangan LKM ini berjalan dengan baik, karena selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi operasionalnya. Kesimpulan tersebut selaras dengan pendapat Levin dan Tadeli (2002), berdasarkan hasil risetnya tentang cost and benefit partnership organization, menyimpulkan bahwa organisasi yang melakukan kemitraan memperoleh beberapa hal (1) dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produknya, (2) dapat meningkatkan profitnya secara maksimum, (3) kemitraan cenderung dapat meningkatkan kinerja sumber daya manusia yang ada, dan (4) organisasi yang bermitra dapat saling mengontrol kualitas produk yang dihasilkan. Ketersedian modal akan memperlancar kegiatan usaha, sehingga dapat mengembangkan modal itu sendiri. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sawir (2005) bahwa modal kerja adalah keseluruhan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, atau dapat pula dimaksudkan sebagai dana yang harus tersedia untuk membiayai kegiatan operasi perusahaan sehari-hari. Menurut Adnan dan Kurniasih (2000) bahwa gabungan modal yang terdiri dari modal sendiri dan modal asing pada akhirnya akan membentuk suatu kekuatan modal guna 199 menjalankan usahanya sampai pada suatu volume penjualan yang diharapkan. Volume penjualan yang meningkat, pada umumnya akan disertai dengan peningkatan produksi dalam jangka panjang diikuti pula oleh perkembangan usaha tersebut. Peningkatan volume penjualan ini, pada akhirnya akan meningkatkan pangsa pasar dan mencerminkan daya saing yang tinggi. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya pemenuhan modal usaha untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran. Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM. Saat ini ketersediaan bahan baku ikan sulit dikendalikan, ada dua kesulitan yang dihadapi yaitu (1) sulit mendapatkan ikan dalam jumlah yang banyak karena tergantung dari hasil melaut nelayan sehingga harga ikan sulit terkontol, dan (2) bahan baku ikan tidak tahan lama disimpan dalam cool box/wadah penyimpanan, sehingga harus segera diproses. Kondisi lain yang sering terjadi yaitu tidak tersedianya modal pada saat harga ikan naik atau saat pesanan bahan baku ikan datang, sehingga menyebabkan keberlangsungan produksi terganggu yang pada akhirnya dapat mengakibatkan proses produksi terhenti sama sekali. Kesulitan dalam keberlangsungan produksi memberikan berbagai dampak kepada UKM, diantaranya adalah (1) sulitnya melakukan pengelolaan usaha, (2) sulitnya meningkatkan usaha, dan (3) produksi tidak dapat memenuhi kebutuhan/ permintaan konsumen. 200 Tabel 31 Pemenuhan bahan baku No Model Konseptual Dunia Nyata 1 Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro, meso, dan unit usaha penunjang untuk pengakuan eksistensi kelembagaan Menjalin dan membangun hubungan dengan tataran makro untuk pengakuan eksistensi kelembagaan 2 Mempererat hubungan (keterlekatan) melalui keterlibatan pelaku usaha/ UKM pada program kegiatan tataran meso, seperti diskusi, sarasehan, seminar maupunpameran - 3 Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/ keuangan, dll untuk ketersediaan anggaran pembelian bahan baku Melakukan kerja sama dengan lembaga pembiayaan/ keuangan untuk ketersediaan anggaran pembelian bahan baku 4 Melakukan interaksi dan kerja sama dengan TPI, pemasok bahan baku di dalam/luar sentra, unit usaha besar, dll Melakukan kerja sama dengan pemasok bahan baku di luar sentra Pemenuhan bahan baku di UPI Pemenuhan bahan baku di UPI 5 Refleksi dengan Kerangka Teori dan Penyelesaian Masalah UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, koperasi dan asosiasi, dalam pemenuhan bahan baku. Selain itu juga terbentuk kerja sama dengan lembaga keuangan, dalam pemberian modal/kredit pinjaman. Serta kerja sama pemenuhan bahan baku dengan unit usaha penunjang (TPI, pemasok bahan baku di dalam atau di luar sentra, dan usaha besar) sehingga kelancaran proses produksi tidak terganggu. Hal ini juga memperkuat pendapat Tambunan (2001), Skousen (2004) tentang bahan baku Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan keberlangsungan produksi bagi UKM antara lain (1) meningkatkan modal usaha, (2) mengelola ketersediaan bahan baku di UPI; (3) melakukan kemitraan/kelembagaan untuk menunjang pengadaan bahan baku; dan (4) meningkatkan kerja sama dengan sesama UKM atau pemasok bahan baku. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu diharapkan menjalin interaksi, dan mendapatkan/memperoleh masukan dari pemerintah pusat dan daerah, asosiasi, dan koperasi dalam pemenuhan bahan baku, dan terbentuk kerja sama dengan lembaga keuangan dalam pemberian modal/kredit pinjaman serta kerja sama pemenuhan bahan baku dengan unit usaha penunjang (TPI, pemasok bahan baku di dalam atau di luar sentra, dan usaha besar) sehingga kelancaran proses produksi tidak terganggu. 201 Menurut Tambunan (2001), salah satu faktor yang mempengaruhi keberlangsungan usaha/daya hidup adalah pengadaan bahan baku. Suatu proses produksi sangat bergantung pada pengadaan bahan baku, karena keberadaan bahan baku merupakan bahan dasar atau bahan utama yang digunakan dalam proses produksi. Keberadaan bahan baku akan sangat mempengaruhi daya hidup usaha atau keberlangsungan produksi karena bahan baku merupakan mata rantai dalam proses produksi yang pada akhirnya akan menentukan besarnya laba yang dihasilkan. Menurut Skousen dan Smith (2004), bahan baku adalah barang-barang yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi. Kieso et al. (2002) menyatakan bahwa bahan baku yang ada ditangan tetapi belum dialihkan ke produksi dilaporkan sebagai persediaan bahan baku. Menurut Niswonger et al. (1999) menyatakan persediaan bahan baku terdiri dari biaya bahan langsung dan bahan tidak langsung yang belum memasuki proses produksi. Menurut Sofjan (2008), pembelian bahan baku merupakan salah satu fungsi yang penting dalam berhasilnya operasi suatu perusahaan. Fungsi ini dibebani tanggung jawab untuk mendapatkan kuantitas dan kualitas bahan-bahan yang tersedia pada waktu dibutuhkan dengan harga yang sesuai dengan harga yang berlaku. Pengawasan perlu dilakukan terhadap pelaksanaan fungsi ini, karena pembelian menyangkut investasi dana dalam persediaan dan kelancaran bahan ke dalam pabrik. Selanjutnya, bahwa bahan baku merupakan barang-barang yang digunakan untuk diproses yang kemudian menjadi produk, dimana bahan baku tersebut harus berkualitas sehingga produk yang dihasilkan bermutu tinggi. Pemenuhan bahan baku adalah salah satu faktor produksi paling penting dalam menjaga keberlangsungan kegiatan usaha produksi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, tataran mikro (pelaku usaha/UKM) memperkuat intensitas dan kualitas hubungan melalui keterlibatan diri dalam setiap kegiatan tataran meso (koperasi dan asosiasi) yang diproyeksikan untuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Menurut Nee (2003), embeddedness digunakan untuk memecahkan masalah kepercayaan dan berfokus 202 pada sistematika pola hubungan pribadi dengan transaksi ekonomi yang dilakukan. Hubungan interpersonal memainkan peran dalam hal pengamanan kepercayaan dan pelayanan saluran informasi. Pendekatan embeddedness juga menekankan solusi informal untuk mengatasi masalah kepercayaan. Tataran meso secara rutin memfasilitasi upaya pemenuhan bahan baku untuk memperkuat hubungan dan interaksi, serta membangun keterlekatan di antara para tataran. Selain itu, tataran meso harus persuasif dalam meminta partisipasi dari pelaku tataran mikro untuk mengikuti program-program penguatan dan pemberdayaan UKM. 7.2 Perubahan yang Diinginkan Dalam tahap enam SSM ini adalah tahap perumusan saran tindak untuk perbaikan, penyempurnaan, dan perubahan situasi dunia nyata. Penentuan perubahan ini dapat berupa rekomendasi yang searah dengan research interest dan problem solving interest penelitian, atau perubahan yang dilakukan dapat berupa rekomendasi sehingga 1) argumennya dapat diterima, dan 2) secara budaya dapat dimungkinkan. Temuan penelitian pada pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang mengangkat tiga sistem yang berjalan di tataran berbeda namun mempunyai hubungan timbal balik, saling terhubung dan saling mempengaruhi (Gambar 52). SSM berbasis riset tindakan mensyaratkan perubahan yang positif dan memberikan manfaat untuk jangka panjang. UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan rujukan seperti dalam penelitian ini, membagi realitas dalam tiga sistem yang berjalan. Ketiga sistem di tiga tataran itu saling terhubung dan saling mempengaruhi satu dengan lain. Selanjutnya, untuk melihat kontribusi UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dalam pertumbuhan ekonomi, dapat dilihat dengan kerangka NIES. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran makro, menghasilkan regulasi sebagai faktor pembentuk pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu di tingkat makro. Selecting relevant of human activity systems dalam regulasi ini adalah (1) 203 regulasi yang terkait dengan penyusunan peraturan pemerintah/daerah tentang pembentukan Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM yang juga mengatur tupoksi (tugas, pokok dan fungsi), dan (2) regulasi yang terkait dengan mekanisme penyerapan aspirasi masrakat. Pengembangan UKM pada tataran MAKRO: REGULASI Pengembangan UKM pada tataran MESO: PERAN KOPERASI DAN ASOSIASI Pengembangan UKM pada tataran MIKRO: PERMASALAHAN INTERNAL Sumber: diadopsi dari Nee (2003) Gambar 52 Perspektif tiga tingkat kerangka kelembagaan. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran meso menghasilkan peran koperasi dan asosiasi pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu, yang bukan organisasi bentukan underbow pemerintah maupun bukan pelaku tunggal yang bergerak sendiri (pemburu rente). Koperasi dan asosiasi ini sebagai bentuk dinamika antara kelompok sosial di level mikro dengan struktur tata kelola di level meso yang menjamin pengembangan UKM. Selecting relevant of human activity systems dalam regulasi ini adalah (1) kesepakatan yang merupakan hasil proses negosiasi antara koperasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan individu di tataran mikro dengan pemerintah pusat 204 dan daerah (tataran makro) untuk dapat mempengaruhi substansi regulasi agar menghasilkan regulasi yang menjamin tercapainya pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu; (2) pemantauan dan penegakan aturan yang dilakukan koperasi dan asosiasi terhadap pelaku usaha/ UKM (tataran mikro). Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tataran mikro menunjukkan adanya kendala/permasalahan internal berupa kualitas SDM, permodalan, dan bahan baku pada pelaku usaha/UKM yang merupakan basis pengembangan di tataran mikro pada UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Penelitian ini menghasilkan kendala/permasalahn internal yang merupakan faktor pembentuk pengembangan UKM di tingkat mikro. Selecting relevant of human activity systems pada tataran mikro adalah (1) decoupling dan compliance, yaitu membangun hubungan antara pelaku usaha/ UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan pemerintah pusat dan daerah, serta membangun konsensus antara tataran mikro (pelaku usaha/UKM) dengan tataran makro (pemerintah pusat dan daerah); (2) membangun kerja sama diantara pelaku usaha/UKM, dan pelaku usaha/UKM dengan lembaga pembiayaan/keuangan, lembaga pelatihan/pendidikan, pemasok bahan baku, usaha besar, perguruan tinggi, dll. Berdasarkan kesimpulan pengembangan UKM untuk tataran makro, meso dan mikro di atas, menunjukkan adanya hubungan timbal balik di antara tiga tataran tersebut. Hubungan timbal balik ini berupa hubungan sinergis pada tiga tingkat kerangka kelembagaan berbasis daya saing. Penggunaan framework NIES pada pengembangan UKM untuk tiga tingkat kerangka kelembagaan secara keseluruhan menunjukkan adanya (1) regulasi, (2) peran koperasi dan asosiasi, dan (3) kendala/permasalahan internal dalam mendukung tercapainya daya saing UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Dalam konteks UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu sebagai rujukan penelitian, hubungan tersebut dapat diwakili, pertama, hubungan secara top-down (makro ke meso dan mikro) yang timbul dari kebutuhan terhadap aturan yang jelas, yang memberikan kesempatan dan 205 kepastian usaha bagi UKM untuk dapat menjalankan usahanya, mengakses sumber daya produktif dan mendapatkan perlindungan usaha dari persaingan yang tidak sehat. Aturan yang jelas juga dapat mendorong terbentuknya usaha bersama/kolektif yang memungkinkan tercapainya skala usaha dan efisiensi usaha yang lebih tinggi di antara UKM, yang difasilitasi melalui koperasi atau asosiasi. Kedua, hubungan secara bottom up (dari mikro ke meso ke makro), dimana aspirasi UKM yang disalurkan melalui koperasi dan asosiasi menjadi masukan bagi kebijakan di tingkat makro yang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan dan kapasitas UKM. Berkembangnya UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu dengan ciri khas masing-masing produk kerupuk ikan dan udang, juga dapat mempengaruhi pengembangan struktur kebijakan dan pembinaan yang perlu disediakan untuk mendukung pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu. Selanjutnya, untuk UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu hubungan timbal balik di antara tiga tataran sebenarnya sudah berjalan, meskipun masih perlu dioptimalkan. SSM berbasis pemecahan masalah, dari paparan komparatif di atas maka rekomendasi kebijakan pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yaitu meningkatkan kapasitas UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan dan udang di Indramayu yang berdaya saing didukung oleh kebijakan yang tepat oleh pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, kebijakan tersebut di atas dapat dicapai melalui strategi pengembangan UKM sebagai berikut: 1) Membentuk Sekretariat/Tim Pokja Pengembangan UKM. 2) Menetapkan mekanisme penyerapan aspirasi masyarakat. 3) Memperkuat peran koperasi dan asosiasi sebagai fasilitator bagi kepentingan UKM di tataran mikro. 4) Meningkatkan keterampilan SDM. 5) Memperkuat aspek permodalan. 6) Memperkuat manajemen bahan baku.