BAB I PENDAHULUAN A. Judul dan Alasan Pemilihan Judul Judul dalam penelitian ini yaitu Peran Modal Sosial pada Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan (PPWK) dalam Penyelesaian Masalah dan Pengembangan Jaringan Usaha Warung Burjo di Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tentang modal sosial dalam kelompok perantau Kuningan yang menjadi kekuatan mereka saat hidup bersama di daerah rantau(Yogyakarta). Selain itu untuk mengetahui bagaimana modal sosial mampu menjadi sebuah komponen untuk melakukan pengembangan terhadap usaha sektor informal mereka. Dari sudut pandang teoritis, umumnya sebuah penelitian mempunyai keterkaitan dengan bidang ilmu peneliti, serta terdapat aspek aktualitas dan orisinilitas. Adapun beberapa hal yang mendasari pemilihan judul tersebut antara lain : B. Aktualitas Pada masa krisis mulai tahun 1997 yang hingga kini belum pulih, peran sektor informal sebagai katup pengaman, harus diakui besar peranannya dalam penyelamatan ekonomi yang terpuruk paling bawah diantara sesama negara tetangga. Segar dalam ingatan ketika krisis berlangsung banyak pekerja-pekerja formal terPHK, berduyun-duyun mereka berpindah memasuki sektor informal untuk bertahan hidup. Kapasitas sektor informal menyediakan lapangan kerja luar biasa dan mampu menyerap banyak tenaga kerja. Sektor formal yang secara umum memerlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian tertentu, modal yang besar, dan pemanfaatan teknologi yang serba canggih tidak menyediakan ruang bagi migran pencari kerja. Oleh karena itu kemudian banyak orang yang memilih membuat lapangan usaha baru yang disebut sektor informal. Salah satu kegiatan dari sektor informal yang banyak dipilih yakni menjadi pedagang. 1 Banyak masyarakat yang merantau untuk memperbaiki taraf hidup di kampung halamannya dengan memilih menggeluti usaha di sektor informal di perantauannya. Para perantau tersebut membentuk kelompok di perantauan sebagai wadah perkumpulan bagi sesama saudara sekampungnya yang memiliki bisnis serupa. Kelompok masyarakat perantau ini mencari strategi dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup usaha mereka di perantauan. Hal tersebut diwujudkan dengan modal sosial yang ada pada kelompok tersebut. Modal sosial merupakan salah satu sumber daya sosial yang ada dalam masyarakat. Modal sosial sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Modal sosial memiliki peran bagi masyarakat melalui berbagai mekanismenya seperti jaringan, kepercayaan, kerjasama, dan nilai atau norma. Modal sosial seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang ada dalam kelompok masyarakat perantau itu kemudian dijadikan sebagai kekuatan mereka untuk hidup bersama di daerah perantauan. Modal sosial tersebut juga dapat membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mereka. Modal sosial berperan dalam membantu masyarakat untuk dapat saling percaya dan bekerjasama sebagai upaya mempertahankan keutuhan mereka sebagai sekelompok masyarakat yang memiliki asal usul yang sama agar dapat selalu hidup rukun dan tidak terpecah belah karena hidup di perantauan. Masyarakat yang saling percaya juga akan menghasilkan suatu hubungan timbal - balik dan tukar menukar kebaikan, hal ini merupakan salah satu faktor dari terbentuknya ikatan emosional yang kuat dalam sebuah kelompok masyarakat. Bila tiap inividu dapat saling tukar - menukar kebaikan dan saling percaya satu sama lain, maka landasan bermasyarakat akan semakin kokoh. Masyarakat akan saling menghargai dan menghormati satu sama lain untuk menjaga keharmonisan hidup bersama di perantauan. Jaringan mempunyai pengaruh yang kuat terhadap modal sosial, karena jaringan berfungsi untuk menggalang partisipasi masyarakat. Di dalam jaringan terdapat berbagai macam variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip 2 kesukarelaan, kesamaan, kepercayaan, dan nilai. Jaringan dan modal sosial sangat erat kaitannya. Jaringan mampu membentuk partisipasi dan kerjasama masyarakat karena dapat memperluas lingkup modal sosial yang lain. Dengan kemampuan masyarakat atau kelompok membangun jaringan maka rasa saling percaya dan solidaritas tidak hanya berlaku dalam kelompok asalnya, tetapi dapat dikembangkan dalam lingkup yang lebih luas. Melalui jaringan yang lebih luas di samping dapat meningkatkan lingkup kerja sama juga dapat meningkatkan wawasan. Hubungan dalam suatu jaringan juga mengandung profitabilitas atau hubungan yang saling menguntungkan. Dengan memperluas modal sosial dalam jaringan maka akan ada suatu kerjasama atau tindakan dalam pencapaian suatu keuntungan bersama. Ada hubungan timbal balik dalam memperoleh keuntungan. Keuntungan yang dimaksudkan disini dapat dalam bentuk pencapaian tujuan masing-masing pihak yang bekerjasama. Dengan adanya jaringan kerjasama maka eksistensi bisnis sebagai pedagang tetap terjaga, dan dapat dengan mudah mengembangkan usaha yang dimiliki. Dengan begitu maka dapat meningkatkan pula taraf hidup sosial ekonomi para perantau tersebut. C. Orisinialitas Sebelumnya telah ada yang meneliti mengenai penjual burjo asal Kuningan Jawa Barat dengan judul “Hubungan Patron Klien Pedagang Burjo di Lingkungan Universitas Negeri Semarang”. Penelitian hasil karya Abdul Ghofar tersebut bukan menyoroti paguyuban penjual burjo namun mengupas hubungan patron klien antara pemilik modal usaha warung burjo dengan tenaga kerja di warung burjo. Hubungan patron klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus antara 2 pihak yang masing-masing mempunyai sekutu, yakni antara mereka yang mempunyai status kekayaan dan kekuatan yang lebih tinggi (superior) dengan mereka yang memiliki status dan kekayaan lebih rendah (inferior). Seorang atau kelompok yang berstatus sosial ekonomi lebih tinggi berperan sebagai patron yang menggunakan pengaruh dan penghasilannya untuk memberikan perlindungan dan 3 kebaikan kepada seseorang atau kelompok yang memiliki status sosial ekonomi lebih rendah. Kelompok yang status sosial ekonominya lebih rendah tersebut berperan sebagai klien, bersedia membalas budi berupa dukungan menyeluruh yang meliputi pelayanan pribadi kepada patron. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa pada kalangan pedagang burjo yang dipandang sebagai patron adalah pemilik modal usaha warung burjo. Peranan pemilik modal sebagai patron tidak hanya sebatas menyediakan warung sebagai tempat usaha namun juga memenuhi kebutuhan vital pedagang burjo yang menjadi pegawainya. Sumberdaya yang secara nyata dimiliki pemilik modal dapat dilihat dari kekuatan pemilik modal untuk mendirikan warung dan memenuhi kebutuhan vital pedagang burjo sebgai pegawainya. Kebutuhan vital yang diberikan pemilik modal kepada pedagang burjo berupa pemberian tempat tinggal yang layak di warung burjo yang buka 24 jam. Sedangkan sumberdaya andalan klien atau pedagang burjo yakni tenaga kerja, kejujuran, dan loyalitas kerja. Sumberdaya ini dipandang lebih rendah dibandingkan dengan sumberdaya yang dimiliki oleh patron atau pemilik modal usaha warung burjo karena sumberdaya yang dimiliki oleh klien pada kenyataannya dapat dengan mudah digantikan oleh orang lain. Hal tersebut yang membuat posisi pedagang burjo sebagai klien lemah dalam hubungan patron klien tersebut. Namun selemah apapun posisi pedagang burjo tetap besar artinya bagi pemilik modal sebab tanpa kehadiran pedagang burjo, pemilik modal tidak akan terlihat memiliki sumberdaya lebih. Hasil penelitian ini menekankan pada sumberdaya yang dimiliki tiap-tiap pihak dapat dipertukarkan dengan tujuan memperoleh keuntungan yakni antara pihak pemilik modal usaha warung burjo dengan pegawainya. Penelitian karya Abdul Ghofur tersebut hanya terfokus pada hubungan yang terbentuk antara sesama perantau sedaerah yang bermula dari hubungan ekonomi. Sedangkan fokus penelitian ini tentang paguyuban pengusaha burjo yang menjadi wadah untuk mengoptimalisasikan modal sosial yang dimiliki perantau Kuningan di Yogyakarta. 4 D. Relevansi Dengan Ilmu Pembangunan Sosial Dan Kesejahteraan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan ilmu multidisipliner yang salah satunya mempelajari hubungan antar manusia dan antar kelompok dalam suatu masyarakat. Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki 3 fokus studi, yaitu Social Policy, Community Development, dan Coorporate Social Responcibility. Community Development salah satu unsur pokok adalah masyarakat, pemberdayaan sosial dalam masyarakat penting dilakukan untuk menguatkan ikatan antar masyarakat. Hal tersebut tentunya berguna dalam memecahkan masalah sosial yang ada. Masyarakat diharapkan dapat aktif untuk memecahkan sendiri masalahnya karena masyarakat yang mengalami, merasakan masalah tersebut maka dari itu masyarakat juga yang paling tahu pemecahan terbaik seperti apa. Dalam community development hubungan antar individu dan komunitas menjadi salah satu kunci untuk membangun masyarakat yang kuat dan stabil. Dalam membangun masyarakat tentunya tidak akan pernah luput dari adanya modal sosial. Modal sosial dapat diterapkan untuk berbagai kebutuhan namun yang paling banyak adalah untuk merpemberdayaan masyarakat. Perhatian mengenai peran modal sosial semakin mengarah pada persoalan pembangunan ekonomi yang bersifat lokal, termasuk mengenai pengurangan kemiskinan. Hal ini menjadi mudah dicapai dan berbiaya rendah apabila terdapat modal sosial yang besar. Pembangunan ekonomi sendiri berkorelasi dengan modal sosial. Modal sosial merupakan konsep yang muncul sebagai hasil dari interaksi masyarakat dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus. Interaksi, komunikasi, dan kerjasama yang ada dipengaruhi keinginan untuk mencapai tujuan bersama yang terkadang berbeda dengan tujuan diri sendiri. Hal ini yang menciptakan ikatan emosional untuk menyatukan masyarakat dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama. 5 E. Latar Belakang Fenomena migran yang menyerbu kota tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan sektor informal. Kesempatan kerja yang sangat terbatas di sektor formal menyebabkan sektor informal menjadi alternatif tujuan para migran untuk bertahan hidup. Para migran pada akhirnya memilih sektor informal karena kepastiannya dalam memperoleh pendapatan secara mudah tanpa banyak syarat sehingga menjadi faktor menjamurnya sektor informal di perkotaan. Salah satu kota yang sering menjadi tujuan untuk bermigrasi adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota yang sangat potensial untuk tumbuh kembangnya usaha di sektor informal. Kota ini merupakan kota wisata yang dikunjungi banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu banyak pelajar dari berbagai daerah dan berbagai negara yang melanjutkan studinya di Yogyakarta. Keadaan ini telah menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang menjadi tujuan mencari nafkah masyarakat pendatang yang datang merantau ke Yogyakarta dari berbagai daerah dan etnis. Banyaknya kelompok perantau yang memilih usaha dalam bidang makanan atau kuliner dengan mendirikan warung-warung makan khas daerah asal ataupun usaha di bidang kuliner yang keterampilannya memang sudah lama diwariskan secara turun temurun. Salah satu usaha warung makan khas perantau yang cukup dikenal luas di Yogyakarta adalah warung bubur kacang hijau alias burjo yang sudah menjadi bagian dari kehidupan warga Yogyakarta. Perkumpulan atau paguyuban kedaerahan dapat muncul di daerah perantauan dalam berbagai bentuk, dan tujuan yang ingin dicapai oleh setiap paguyuban tersebut menjadi berbeda pula. Paguyuban yang ada di perantauan mengenalkan diri pada masyarakat sekitar bahwa mereka berasal dari suatu daerah tertentu ataupun etnis tertentu anggotanya berasal dari suku bangsa tertentu. Masing-masing perkumpulan mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu dengan keberadaannya. Keberadaan paguyuban-paguyuban di daerah perantauan di 6 samping sebagai katup penyelamat psikis bagi perantau, juga sebagai tempat belajar bertoleransi dalam mengenal budaya etnis lain di luar paguyuban tersebut. Hal tersebut guna menciptakan hubungan sosial antar etnis. Dengan demikian benturan-benturan budaya dapat dikurangi untuk mejaga ketentraman hidup sehingga menghindari berbagai masalah yang mungkin menimpa perantau di perantauan, dimana munculnya masalah dapat mempengaruhi pula kelangsungan usaha yang mereka jalankan di daerah rantau. Beberapa pedagang burjo Kuningan di Yogyakarta berinisiatif mendirikan PPWK (Paguyuban Pengusaha Warga Kuningan) sebagai bentuk jaringan sosial mereka di Yogyakarta. Misalnya seperti PPWK yaitu kelompok perantau Kuningan yang awalnya merupakan perkumpulan kedaerahan berdasarkan profesi yang sama sebagai pedagang burjo mempunyai tujuan agar keberadaannya sebagai pedagang burjo khas Kuningan dapat tetap bertahan di daerah rantaunya Yogyakarta. Untuk memperoleh dukungan dalam menghadapi berbagai persoalan yang menyangkut kelangsungan usaha yang dijalankan di Yogyakarta maka kemudian para perantau asal Kuningan yang mayoritas merupakan pedagang burjo menmbentuk perkumpulan. Jumlah warung burjo milik warga Kuningan yang banyak di Yogyakarta bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tapi keunggulan perkembangan bisnis perantau asal Kuningan tersebut juga tidak lepas dari kemampuan perkumpulan pengusaha perantau asal Kuningan tersebut menjalin hubungan dengan berbagai pihak selama tinggal di perantauan sehingga mampu mengembangkan jaringan usaha warung burjo khas Kuningan di Yogyakarta. Keberadaan kelompok perantau yang anggotanya saling membantu satu sama lain dalam mengais rezeki di perantauan berdampak positif juga terhadap kegiatan ekonomi yang mereka lakukan sehingga memaksimalkan pendapatan mereka. Kapasitas sosial yang dapat 7 mendorong upaya pencapaian hasil kegiatan ekonomi kelompok perantau asal Kuningan dalam menjalankan usaha warung burjo mereka dinamakan modal sosial. Konsep modal sosial ini merujuk pada relasi-relasi sosial, norma sosial, dan saling percaya antara sesama pengusaha perantau Kuningan yang tinggal di Yogyakarta. Modal sosial yang dimaksud memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan yang bertujuan untuk membantu setiap anggota kelompok mencapai tujuan pribadi maupun tujuan bersama. Bentuk modal sosial berupa kesadaran bersama sebagai anggota jaringan hubungan sosial yang erat mendorong masyarakat untuk melakukan usaha bersama berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Kebersamaan dapat meringankan beban, berbagi pemikiran, sehingga dapat dipastikan semakin kuat modal sosial maka semakin tinggi pula daya tahan, daya juang, dan kualitas kehidupan mereka sebagai perantau. Dalam masyarakat yang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi maka peran modal sosial akan sangat membantu dalam kegiatan usahanya tersebut. Modal sosial yang ada mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di dalam masyarakat melalui keanggotaannya dalam sebuah entitas sosial tertentu seperti paguyuban. Masyarakat yang memiliki modal sosial yang tinggi akan lebih mudah untuk bekerja sama karena adanya sikap saling membantu dan saling percaya. Namun dalam berwirausaha munculnya berbagai masalah yang menyerang usaha yang dijalankan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Salah satunya adanya persaingan, maka wirausahawan dihadapkan pada berbagai peluang dan ancaman baik yang berasal dari luar maupun dari dalam jaringan yang akan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kelangsungan hidup usaha yang dijalani. Untuk itu setiap wirausaha dituntut untuk selalu mengerti dan memahami apa yang terjadi dipasar dan apa yang menjadi keinginan konsumen, serta berbagai perubahan yang ada di lingkungan bisnis sehingga mampu bersaing dengan dunia bisnis lainnya dan berupaya untuk meininimalisasi kelemahan-kelemahan dan 8 memaksimalkan kekuatan yang dimiliki. Dengan demikian para wirausaha dituntut untuk memilih dan menetapkan strategi yang dapat digunakan untuk menghadapi permasalahan usaha. Pada saat kondisi seperti itulah sangat diperlukan strategi yang tepat dalam mengambil keputusan maupun langkah-langkah tertentu untuk mempertahankan usahanya tersebut. Selain strategi untuk mempertahankan usaha juga diperlukan cara-cara yang akan dilakukan untuk pengembangan usaha.Setiap potensi informasi yang melekat pada relasi-relasi sosial juga merupakan suatu bentuk modal sosial. Alat yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi adalah penggunaan relasi atau jaringan sosial. Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak contoh mengenai bentuk relasi atau jaringan sosial yang berpotensi menyediakan informasi yang berharga. Salah satunya adalah bentuk relasi sosial antara sesama pedagang burjo, pedagang burjo dengan pelanggannya, ataupun pedagang burjo dengan mitra bisnisnya. Selain itu dalam berwirausaha juga ada beberapa aspek yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha yang dijalankan diantaranya aspek modal. Modal bisa di dapat dari berbagai cara inisalnya dengan modal yang kita punya sendiri ataupun dengan pinjaman. Oleh karena itu dibutuhkan juga suatu kemitraan atau hubungan sosial yang baik dengan berbagai pihak lewat pengembangan jaringan dalam berwirausaha. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana peran modal sosial dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan usaha warung burjo milik kelompok perantau asal Kuningan di Yogyakarta serta bagaimana fungsi modal sosial yang ada kelompok perantau tersebut sehingga akhirnya membuat PPWK mampu mengembangkan jaringan dengan berbagai pihak di Yogyakarta. F. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis memiliki ketertarikan untuk melakukan penelitian pada PPWK. Adapun pertanyaan utama pada penelitian ini 9 adalah “Bagaimana bekerjanya modal sosial dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan usaha warung burjo milik perantau Kuningan di Yogyakarta?” Berdasarkan pertanyaan utama tersebut di atas maka dijabarkan menjadi pertanyaanpertanyaan sebagai berikut: 1) Modal sosial apa saja yang dimiliki PPWK dan bagaimana kondisi modal sosial tersebut saat ini? 2) Bagaimana fungsi modal sosial yang dimiliki PPWK dalam menyelesaikan masalahmasalah yang berhubungan dengan usaha warung burjo milik anggota PPWK? 3) Bagaimana hubungan PPWK dengan pihak eksternal dalam hal pengembangan jaringan sebagai salah satu upaya penguatan modal sosial? G.Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui modal sosial apa saja yang dimiliki PPWK dan bagaimana kondisi modal sosial tersebut saat ini 2. Mengetahui fungsi modal sosial yang dimiliki PPWK dalam menyelesaikan masalah-masalah tersebut 3. Mengetahui hubungan PPWK dengan pihak eksternal dalam hal pengembangan jaringan sebagai salah satu upaya penguatan modal sosial H.Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Sebagai hasil karya ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penelitian-penelitian serupa dengan tema atau subyek yang sama, serta memberikan kontribusi akademik bagi pengembangan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan pada khususnya dan pengembangan ilmu sosial pada umumnya. 10 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran serta tambahan referensi yang dapat digunakan sebagai bahan per timbangan dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah serta instansi-instansi terkait. I.Tinjauan Pustaka 1. Sektor Informal Secara umum istilah sektor informal mengacu pada usaha kecil atau mikro yang dikelola secara individual atau keluarga. Istilah sektor informal pertama kali dilontarkan oleh Keith Hart (Wirosardjono, 1985) dengan menggambarkan sektor informal sebagai bagian angkatan kerja kota yang berada di luar pasar tenaga terorganisasi. Wirosadjono (1985) mengatakan bahwa sektor informal umumnya mempekerjakan tenaga kerja yang sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan, atau daerah yang sama. Kelompok warga Kuningan yang merantau ke Yogyakarta merupakan contoh dari sekelompok masyarakat migran yang memilih sektor informal sebagai sektor usaha bagi perbaikan kondisi perekonomian mereka. Berawal dari keberhasilan kerabat atau keluarga yang telah terlebih dahulu merantau ke kota mendirikan usaha warung burjo, sehingga kemudian banyak tertarik ketika diajak bergabung untuk mengembangkan usaha warung burjo di Yogyakarta. 2. Paguyuban Menurut sosiolog Ferdinand Tonnies (Hasrudin, 2007) paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alamiah dan kekal. Dasar dari hubungan tersebut ialah rasa cinta kasih, persaudaraan, serta rasa persatuan batin. Nilai-nilai umum dari sebuah paguyuban yakni : 11 1. Disemangati oleh rasa kebersamaan, relasi yang terjadi secara terus menerus, sehati dalam suka dan duka juga dalam mengahayati panggilan hidup dalam mewujudkan visi-misi pauyuban tersebut. 2. Memiliki kepekaan dan bertindak saling mengasihi sehingga terbentuk suatu komunitas yang sehati. 3. Bentuk kehidupan bersama yang menghayati solidaritas dan toleransi dalam memanfaatkan segala perbedaan untuk mencapai tujuan bersama. 4. Kebutuhan untuk hidup berkelompok yang berlandaskan pada kepercayaan. Beberapa ciri paguyuban menurut Tonnies (Hasrudin, 2007) adalah hubungan antar anggota yang menyeluruh dan mesra, privat dalam arti terbatas dan agak ekslusif karena mengakomodasi orang sedaerah asal saja atau ada kaitan karena kesamaan keturunan. Paguyuban dibangun atas prinsip asal daerah dan asal keturunan. Menurut Ernayanti dan Elizabeth (1999) paguyuban sebagai suatu wadah kedaerahan di daerah rantau akan dapat bertahan hidup dan berkembang dalam masyarakat apabila memiliki fungsi tertentu, yakni berfungsi bagi anggotanya dan juga bagi masyarakatnya. Bagi mereka yang berada di luar paguyuban atau masyarakat sekitarnya dapat menganggap PPWK sebagai paguyuban yang bersifat positif atau negatif. Paguyuban yang memiliki jaringan hubungan kerjasama tidak hanya secara internal komunitas akan memberikan manfaat bagi banyak pihak. Manfaat tersebut akan dirasakan oleh anggota PPWK juga oleh pihak-pihak lain di luar PPWK apabila dapat bekerjasama. Hal ini akan menumbuhkan kesan positif tentang PPWK. Selain itu itu, dengan memiliki hubungan antar komunitas lainnya dalam masyarakat juga akan meminimalisir pandangan negatif dari masyarakat sekitar terhadap PPWK. PPWK menjadi dipandang negatif apabila mereka tidak meleburkan diri dengan 12 masyarakat karena masyarakat tidak mengenal PPWK ini lebih mendalam sehingga banyak berprasangka terhadap keberadaan PPWK. Prasangka-prasangka tersebut dapat berdampak buruk pada keberlangsungan usaha yang dijalankan PPWK. Paguyuban membantu memfasilitasi kemudahan bagi anggotanya dalam memperoleh akses terhadap berbagai sumberdaya. Dalam hal ini PPWK mampu menjadi contoh bagaimana sebuah paguyuban dapat menjembatani bantuan-bantuan yang ditujukkan bagi para anggotanya. PPWK sebagai wadah bagi pengusaha sektor informal asal Kuningan di Yogyakarta banyak memberikan bantuan bagi kemudahan anggotanya dalam menjalankan usaha. Baik itu bantuan dari pemerintah daerah asal mereka ataupun perlindungan dari pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan adanya paguyuban pengusaha asal Kuningan ini, maka keberadaan mereka di Yogyakarta menjadi dihargai dan diterima dengan sangat baik sehingga akan berdampak pada pencapaian para pengusaha tersebut. Pengakuan yang didapat terhadap keberadaan paguyuban ini membuat warga Kuningan merasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbisnis di Yogyakarta. 3. Modal sosial Dalam masyarakat yang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi maka peran modal sosial akan sangat membantu dalam kegiatan usahanya tersebut. Modal sosial mengacu pada keuntungan dan kesempatan yang didapatkan seseorang di masyarakat melalui keanggotaannya dalam sebuah entitas sosial tertentu seperti paguyuban. Disebutkan sebelumnya bahwa PPWK mampu menjembatani bantuan dan memberikan fasilitas kemudahan bagi anggotanya. Oleh karena itu selanjutnya akan dipelajari seperti apa modal sosial yang dapat memberikan kontribusi bagi keberlangsungan usaha yang digeluti PPWK tersebut. 13 Konsep modal sosial pertama kalinya diperkenalkan oleh Pierre Bourdieu pada awal 1980-an yang mengartikan modal sosial sebagai keseluruhan sumber daya baik aktual maupun potensial yang dapat dimiliki seseorang berkat adanya jaringan hubungan secara kelembagaan yang terpelihara dengan baik. ( Kristina, 2003) Dari definisi tersebut, bahwa dalam konsep modal sosial merajuk pada relasi-relasi sosial, institusi, norma sosial, dan saling percaya antara orang atau kelompok lain serta mempunyai efek positif terhadap peningkatan kualitas kehidupan dalam komunitas. Bertitik tolak pada faktor non-ekonomi, peranan modal sosial menjadi begitu menonjol. Bank Dunia mendefinisikan modal sosial sebagai: “Sesuatu yang merujuk kepada dimensi kelembagaan (institusional), hubungan-hubungan yang tercipta, dan norma-norma yang membentuk kualitas serta hubungan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.” Modal sosial dapat dipahami dengan lebih mudah ke dalam dua kategori yang saling berhubungan, yaitu : a.) struktural dan b.) kognitif. Dua kategori ini sangat mendasar untuk memahami modal sosial. Kategori struktural berkaitan dengan beragam bentuk organisasi sosial, khususnya peran-peran, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur serta beragam jaringanjaringan yang mendukung kerjasama yang memberikan manfaat dan tindakan kolektif. Kategori kognitif datang dari proses mental yang menghasilkan gagasan/pemikiran yang diperkuat oleh budaya dan ideologi (norma-norma, nilai-nilai, sikap, dan keyakinan) yang berkontribusi pada terciptanya perilaku kerjasama. Dalam level mekanismenya, bentuk kerja sama merupakan upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik. Inti konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan penyesuaian secara terus menerus. Dalam upaya untuk mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat 14 pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak, dan bertingkah laku serta berhubungan dengan pihak lain. Pentingnya untuk mengetengahkan konsep modal sosial yang diajukan Francis Fukuyama (Suharto, 2007) yaitu menekankan bahwa modal sosial memiliki kontribusi cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan dinamika ekonomi. Francis Fukuyama menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Menurut Yustika (2006:197) modal sosial dapat didekati dari dua perspektif. Pertama, mengkaji modal sosial dari perspektif pelaku yang diformulasikan oleh Bourdieu, yang melihat modal sosial berisi sumber daya di mana pelaku individu dapat menggunakannya, karena kepemilikannya terhadap jaringan secara eksklusif. Kedua, mencermati modal sosial dari perspektif masyarakat yang dikonseptualisasikan oleh Putnam, yang melihat modal sosial sebagai barang publik yang diatur oleh organisasi dan jaringan horizontal yang eksis dalam masyarakat. Unsur yang memegang peranan penting sebagai ruh dari modal sosial adalah kemauan masyarakat atau kelompok yang secara terus menerus proaktif baik dalam mempertahankan nilai, membentuk jaringan-jaringan kerjasama maupun penciptaan kreasi dan ide-ide baru. Kemauan masyarakat atau kelompok tersebut untuk secara terus menerus proaktif inilah yang disebut keberdayaan yang merupakan fungsi kelompok untuk mempertahankan usaha. (Niken, 2007). Tindakan proaktif telah coba ditunjukan PPWK sebagai wujud keinginan kuat dari anggota PPWK untuk tidak hanya sekedar berpartisipasi melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, namun juga senantiasa mencari jalan bagi keterlibatana mereka dalam kegiatan kemasyarakatan. Ide dasar dari premise ini bahwa kelompok senantiasa mencari kesempatan yang dapat memperkaya tidak saja dari sisi material tapi juga kekayaan 15 hubungan sosial yang akan menguntungkan kelompok namun tanpa merugikan orang lain.(Hasbullah, 2006) 3.1.Parameter Modal Sosial Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti juga bersifat produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat. Namun demikian, modal sosial berbeda dengan modal finansial, karena modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya oleh Putnam (1993 dalam Suharto, 2007). Karenanya, modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak dipergunakan. Berbeda dengan modal finansial, modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988 dalam Suharto, 2007). Merujuk pada Ridell (dalam Suharto, 2007), ada tiga parameter modal sosial yaitu jaringan (network), kepercayaan (trust), dan norma-norma (norms). 3.1.1 Jaringan Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia. Putnam (1995 dalam Suharto, 2007) berargumen bahwa, jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu. Jaringan sosial dalam masyarakat merupakan modal sosial yang 16 menjalankan fungsi sebagai saluran informasi yang bermanfaat dalam memfasilitasi tercapainya tujuan bersama dalam masyarakat. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubunganhubungan yang terjadi bisa dalam bentuk formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprokal (Damsar, 2002: 157) Jaringan yang bersifat tertutup (eksklusif) tidak terbuka melalui proses interaksi dengan kelompok/jaringan lainnya dapat menjadi implikasi negatif dari modal sosial. Modal sosial dapat merusak bila digunakan untuk kepentingan sempit. Artinya apabila modal sosial hanya digunakan secara eksklusif untuk menguntungkan individu tertentu namun pada saat bersamaan dipakai untuk mengucilkan kelompok lainnya dengan cara tidak adil. Analisis jaringan sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Jaringan yang terbangun adalah modal terpenting dalam mempertahankan kelangsungan usaha walaupun dengan kondisi yang serba terbatas baik fasilitas dan permodalan namun pedagang akan berusaha untuk membangun jaringan yang kuat baik antara sesama pedagang, pedagang dengan pedagang lainnya, maupun antara pedagang dengan pelanggan. Jaringan sosial memainkan peranan penting dalam pasar tenaga kerja. Lemah dan kuatnya ikatan suatu jaringan sosial menentukan perolehan pekerjaan. Contohnya yakni bagi sebagian besar pengusaha perantau jaringan kekeluargaan adalah modal sosial yang tak 17 ternilai harganya misalnya dalam perekrutan tenaga kerja. Seetidaknya dengan merekrut sanak saudara sebagai tenaga kerja akan jelas asal-usulnya sehingga dapat dipercaya tentang kejujurannya selain dalam rangka membantu keluarga. Jaringan sosial juga memainkan peranan penting dalam berimigrasi dan kewiraswsataan imigran. Jaringan ini bersatu dalam ikatan kekerabatan, persahabatan, dan komunitas asal yang sama. Sekali jaringan ada di suatu tempat, ia akan menciptakan arus migrasi yang berkesinambungan. (Powell dan Smith-Doer, 1994 : 374) Kebanyakan kewiraswastaan yang terjadi pada komunitas migran seperti paguyuban pengusaha warga Kuningan juga dimudahkan oleh jaringan dari ikatan dalam saling tolong menolong, sirkulasi modal dan bantuan dalam birokrasi. Jaringan sosial juga memudahkan mobilisasi sumber daya. Perluasan ikatan jaringan dan hubungan serta ikatan dalam lokasi strategis adalah hal utama. Dua bidang penting dalam penelitian ini adalah pertukaran informasi informal dan mobilisasi sumber daya. Jaringan komunikasi memainkan peran penting dalam penyebaran model,struktur, praktek dan budaya bisnis. 3.1.2 Kepercayaan Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (Suharto, 2007) kepercayaan adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Orang yang bekerja sama dalam satu jaringan untuk mencapai tujuannya tidak hanya harus mengenal satu sama lain sebelumnya (yang bisa langsung ataupun tidak langsung), mereka juga perlu saling percaya bahwa jika mereka bekerja sama maka mereka tidak akan dieksploitasi ataupun ditipu. Banyak peneliti merujuk bahwa kepercayaan bersumber dari jaringan itu sendiri, jaringan merupakan sumber penting tumbuh dan hilangnya trust (Hasbullah, 2006: 12). 18 Kepercayaan sosial hanya efektif dikembangkan melalui jalinan pola hubungan sosial resiprokal atau timbal balik antar pihak yang terlibat dan berkelanjutan. Adanya kepercayaan menyebabkan mudah dibinanya kerjasama yang saling menguntungkan sehingga mendorong timbulnya hubungan resiprokal. Hubungan resiprokal menyebabkan modal sosial dapat melekat kuat dan tahan lama. Karena diantara orang-orang yang melakukan hubungan tersebut terdapat keuntungan timbal balik dan tidak ada salah satu pihak yang dirugikan. (Wafa, 2006:46) Kepercayaan seperti sebuah pelumas yang melumasi roda dari berbagai transaksi sosial dan ekonomi yang tanpanya terbukti akan sangat mahal, biroktratis, dan makan banyak waktu. Ini relevan dengan konsep modal sosial dalam penelitian ini yakni menitikberatkan cara PPWK memberikan akses pada sumber daya. PPWK memberi kemudahan bagi tiap pengusaha untuk untuk mendapatkan berbagai bahan baku produk yang mereka jajakan di warungnya dengan harga yang relatif lebih murah. Kemudahan tersebut didapat karena perusahaaan telah percaya akan kinerja para pengusaha asal Kuningan tersebut dalam memasarkan produk mereka. Jaringan dengan kepercayaan yang tinggi akan berfungsi lebih baik dan lebih mudah daripada dalam jaringan dengan tingkat kepercayaan yang rendah. 3.1.3 Norma Pengertian norma ialah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma terdiri dari pemahamanpemahaman, nilai-nilai, harapanharapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan 19 bersama oleh sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama dimasa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama. Norma-norma akan sangat berperan dalam mengontrol bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Aturan-aturan kolektif ini tidak tertulis rapi namun dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola tingkah laku yangdiharapkan dalam konteks hubungan sosial. Norma yang tumbuh di tengah masyarakat akan menentukan apakah norma yang ada mampu memperkuat kerekatan antar individu dan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan masyarakat tersebut. 3.2. Aspek – Aspek Modal Sosial Modal sosial disusun dengan mengacu kepada dua pengertian pokok diantaranya modal itu sendiri yang mempunyai fungsi produktif dan sifat sosial. Kata sifat dalam kalimat tersebut dijelaskan dengan mengacu pada aspek struktural, aspek relasional, aspek kognitif dan aspek asosiatif (Lawang, 2005:32). Aspek struktur sosial dibangun melalui organisasi baik formal maupun non-formal. Bentuk yang paling tepat dari struktur sosial sangat ditentukan oleh karakteristik anggota dan tujuan yang ingin dicapai. Dalam dunia usaha, model paguyuban dipilih bila struktur yang dibangun bersifat non-formal dan tidak terlalu mengikat. Paguyuban merupakan bentuk yang tepat untuk membangun jaringan sosial. Paguyuban akan memfasilitasi dan memudahkan anggotanya untuk mencapai sesuatu yang telah dicita-citakan bersama. Aspek relasi sosial terbentuk karena adanya interaksi diantara pemangku kepentingan. Adanya jaringan interaksi sosial mengasumsikan bahwa individu-individu 20 mempunyai kepentingan dan mau memperjuangkan kepentingan tersebut melalui interaksi timbal balik secara berpola dan teratur. Aspek Kognitif yakni norma sosial. Norma sosial perlu dibangun karena apa yang dilakukan dalam kelompok masyarakat perlu diatur, agar tidak ada yang dirugikan sehingga semua merasakan keadilan. Norma terinstitusionalisasi dan mengandung sangsi sosial untuk mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Aspek asosiatif melekat secara intrinsik dalam modal sosial, oleh sebab itu keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari aspek relasional dan kognitif. Kekuatan modal sosial akan menjadi lebih besar seandainya, seseorang mampu bekerjasama, saling menginformasikan hal-hal yang terkait dengan usaha (Anderson et al dalam Lawang, 2005:40). Termasuk dalam dimensi asosiatif meliputi resiprositi, saling menguntungkan/simbiotik, altruistik, kebersamaan, kreatif, partisipasi, kerjasama, pendorong, emansipatoris, keuntungan bersama dan berjangkauan ke depan (Anderson dalam Lawang, 2005:41) 3.3 Tipe Modal Sosial Woolcock (dalam Hermawanti, 2001) membedakan tiga tipe Modal Sosial yaitu: 1. Social Bounding (Nilai, Kultur, Persepsi dan Tradisi atau Adat-Istiadat) Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam sustu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga yang lain, yang mungkin masih berada dalam satu etnis. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati/ kebersamaan. Bisa juga mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, 21 rasa percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yg mereka percaya. Rule of law/aturan main merupakan aturan atau kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sangsi non formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya. Modal sosial terikat ini cenderung bersifat eksklusif, dimana sifat-sifat yang terkandung hanya sebatas kepada interaksi masyarakat kelompok itu sendiri. Konsep ide relasi serta perhatian lebih berinteraksi ke dalam (inward looking), ragam masyarakat ini pada umumnya homogen. Kelompok masyarakat ini mengedepankan dogma tertentu dan mempertahankan sifat dari masyarakat yang totalitarian, hierarchical serta tertutup. Dimana pola interaksi sehari-hari mengedepankan norma yang menguntungkan anggota kelompok hierarki tertentu serta feodal. Walaupun masyarakat ini bersiat inward looking bukan berarti masyarakat ini tidak mempunyai modal sosial, modal sosial itu ada akan tetapi mempunyai akses terbatas serta kekuatan yang terbatas pula dalam satu dimensi saja. Dimensi itu yakni kohesifitas dimana pola nilai yang melekat lebih tradisional. 2. Social Bridging (Bisa Berupa Institusi Maupun Mekanisme) Social Bridging (jembatan sosial) merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai macam kelemahan yang ada disekitarnya sehingga mereka memutuskan untuk membangun suatu kekuatan dari kelemahan yang ada. Tujuannya adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar masyarakat mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM (Sumber Daya Manusia) dan 22 SDA (Sumber Daya Alam) dapat dicapai. Ketercapaiannya melalui interaksi sosial sebagai modal utama. Dengan demikian institusi sosial tetap eksis sebagai tempat artikulasi kepentingan bagi masyarakat. Masyarakat yang menyandarkan pada bridging social capital biasanya heterogen dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan suku. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan, dan kebebasan yang dimiliki. Bridging social capital akan membuka jalan untuk lebih cepat berkembang dengan kemampuan menciptakan networking yang kuat, menggerakkan identitas yang lebih luas dan reciprocity yang lebih variatif serta akumulasi ide yang lebih memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan yang dapat diterima secara universal. Tipologi masyarakat ini dalam gerakannya lebih mengarah kepada pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh kelompok (pada situasi tertentu, termasuk problem di dalam kelompok atau problem yang terjadi di luar kelompok tersebut). 3. Social Linking (Hubungan/Jaringan Sosial) Merupakan hubungan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Jaringan sosial ini terbentuk karena adanya interaksi di anatara anggota kelompok dalam masyarakat. Dalam jaringan sosial terjadi interaksi antar anggota dan juga antar kelompok. Interaksi antar anggota terjadi manakala adanya keinginan untuk saling membutuhkan antara satu dengan lainnya di dalam kelonpok tersebut. Kesamaan tempat usaha, kesamaan bentuk usaha, kesamaan asala daerah, dan kesamaan-kesamaan lain akan mempererat jaringan sosial ini. Dengan jaringan sosial yang kuat akan membentuk jaringan komunikasi dan informasi. Adanya interaksi dalam jaringan sosial ini juga dapat mengasumsikan bahwa individuindividu dalam sebuah kelompok masyarakat memiliki kepentingan yang sama. Mereka mau 23 memperjuangkan kepentingan tersebut melalui interaksi timbal balik secara berpola dan teratur. 4.Teori yang Digunakan Secara lebih mendalam, keterkaitan hubungan antara modal sosial dengan keberlanjutan usaha warung burjo milik pengusaha asal Kuningan dapat diketahui dengan teori yang dikemukakan oleh Granovetter dalam Sosiologi Ekonomi (Damsar, 2002). Granovetter mengetengahkan gagasan mengenai pengaruh struktur sosial terutama yang dibentuk berdasarkan jaringan sosial terhadap manfaat ekonomis khususnya menyangkut kualitas informasi. Teori yang dikemukakan oleh Granovetter dalam Sosiologi Ekonomi (Damsar, 2002) tentang bagaimana perilaku dan institusi dipengaruhi oleh hubungan sosial. Perilaku atau tindakan sosial yang terjadi dalam suatu hubungan sosial yang terjalin mempengaruhi tindakan ekonomi yang dilakukan oleh individu. Individu dalam penelitian ini dapat diartikan sebagai pengusaha-pengusaha warung makan burjo asal Kuningan di Yogyakarta. Tindakan yang dilakukan oleh anggota institusi jaringan “terlekat” karena diekspresikan dalam interaksi dengan orang lain. (Damsar, 2002). Granovetter mengemukakan suatu konsep keterlekatan (embededness) yaitu merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan-jaringan sosial yang sedang berlangsung di antara para aktor, di samping juga di level institusi dan kelompok. Granovetter menegaskan bahwa keterlekatan perilaku ekonomi dalam hubungan sosial dapat dijelaskan melalui jaringan sosial yang terjadi dalam kehidupan ekonomi. Jaringan sosial dihubungkan dengan bagaimana individu terkait antara satu dengan lainnya dan bagaimana ikatan afiliasi melayani baik sebagai pelicin untuk memperoleh sesuatu yang 24 dikerjakan maupun sebagai perekat yang memberikan tatanan dan makna pada kehidupan sosial. Dalam teorinya, Granovetter menekankan bahwa di setiap tindakan ekonomi yang dilakukan oleh manusia melekat dengan tindakan sosial. Tindakan ekonomi yang dilakukan cenderung diwarnai dengan adanya hubungan sosial dalam kegiatan partisipasi jaringan dan dalam kegiatan tukar menukar kebaikan (resiprositas) yang dibangun dengan pemodal, tenaga kerja, relasi usaha, maupun pelanggan. Konsep keterlekatan yang diajukan oleh Granovetter menjelaskan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Adapun yang dimaksud dengan jaringan hubungan sosial ialah sebagai suatu rangkaian hubungan yang teratur atau hubungan sosial yang sama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok. Hubungan-hubungan sosial yang dimiliki perantau dimanfaatkan dan membentuk jaringan-jaringan sosial yang digunakan sebagai strategi hidup di perantauan. Jaringan sosial yang terbentuk pada dasarnya adalah proses internal dari para pelaku sektor eknomi informal dalam rangka membangun dan memelihara hubungan-hubungan sosial antara para pelaku ekonomi tersebut untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Jaringan sosial juga memainkan peranan penting dalam berimigrasi dan kewiraswastaan imigran. Jaringan tersebut merupakan ikatan antar pribadi yang mengikat para migran melalui kekerabatan, persahabatan, dan komunitas asal yang sama. Selain itu, kebanyakan kewiraswastaan yang terjadi pada komunitas migran dimudahkan oleh jaringan dari ikatan dalam saling tolong menolong, sirkulasi modal, bantuan dalam hubungan dengan birokrasi.Dalam perilaku ekonomi yang dilakukan kelompok pengusaha burjo asal Kuningan melekat pula konsep kepercayaan. Oleh karena itu pendekatan sosiologi ekonomi baru atau sering juga disebut pendekatan “keterlekatan” mengajukan pandangan yang lebih dinamis, yaitu bahwa kepercayaan tidak mucul dengan seketika tetapi terbit dari proses 25 hubungan antar pribadi dari aktor-aktor yang sudah lama terlibat dalam perilaku ekonomi secara bersama. Melihat teori ini, maka dapat dikatakan bahwa modal sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial pengusaha warung burjo merupakan suatu bentuk hubungan-hubungan sosial yang dilakukan oleh mereka. Hubungan sosial yang terjalin dapat menjadi salah satu penentu kegiatan ekonomi yang dilakukan, dalam hal ini adalah kegiatan ekonomi pengusaha untuk menjalankan usahanya. Hubungan-hubungan sosial ini dapat memperluas jaringanjaringan sosial dari si pengusaha warung burjo, mulai dari sekedar relasi sosial hingga berkembang menjadi relasi ekonomi. Hal tersebut akan menunjang dan menjaga kelangsungan usahanya sehingga bermuara pada keberlanjutan eksistensi bisnis warung burjo mereka. Lebih lanjut Granovetter (Ritzer, 2010) menjelaskan prinsip utama yang melandasi pemikiran mengenai adanya hubungan pengaruh antara jaringan sosial dengan manfaat ekonomi, yakni The Strenght of Weak Ties yakni manfaat ekonomi ternyata cenderung didapat dari jalinan ikatan yang lemah. Untuk hal ini ia menjelaskan bahwa pada tataran empiris, informasi baru biasanya akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dari teman dekat yang umumnya memiliki wawasan yang hampir sama dengan individu. Ikatan lemah dapat menjadi sangat penting, seorang individu tanpa ikatan lemah akan merasa dirinya terisolasi dalam sebuah kelompok yang ikatannya sangat kuat dan akan akan kekurangan informasi tentang apa yang terjadi di kelompok lain ataupun masyarakat luas. Manfaat ekonomi juga akan cenderung didapat dari kenalan baru dibandingkan dengan keluarga ataupun teman dekat yang umumnya memiliki informasi dan wawasan yang hampir sama. Kenalan baru akan relatif membuka cakrawala seorang individu untuk mendapatkan kesempatan mengembangkan jaringan sosial di luar komunitasnya. 26 Dari teori oleh Granovetter dan konsep-konsep yang telah dipaparkan di depan, peneliti mencoba mengambil posisi intelektual melalui kerangka berpikir dalam menjawab rumusan masalah penelitian. Kerangka pemikiran peneliti menyebutkan bahwa ikatan kuat merupakan ikatan kekeluargaan atau ikatan kekerabatan yang terdapat pada anggota PPWK sedangkan ikatan lemah merupakan ikatan yang yang terdapat antara anggota PPWK dengan teman atau kenalan baru di luar PPWK. Kedua ikatan ini sama-sama memiliki peran strategis bagi keberlangsungan usaha yang dijalankan PPWK. Kekuatan dari ikatan jaringan kuat terdapat pada ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang begitu erat diantara sesama perantau sedaerah dalam PPWK. Anggota PPWK memiliki kesediaan secara sukarela untuk bersamasama menanggung segala resiko dari masalah yang dihadapi sebagai wujud solidaritas. Selain itu mereka saling membantu satu sama lain dan saling memberi manfaat dengan tukar menukar kebaikan untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini yang menjadi kekuatan dari ikatan kuat dalam PPWK. Sedangkan kekuatan ikatan lemah terletak pada fungsi dari mendapatkan kenalan baru. Fungsi dari mendapatkan kenalan baru yakni sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang dapat bermanfaat bagi kehidupan pengusaha dan keberlanjutan usahanya. Di samping manfaatnya sebagai media informasi, mempunyai banyak kenalan di luar paguyuban juga berarti menambah relasi kerja dari luar kelompok mereka. Hal ini akan menambah relasi kerjasama hubungan dagang, contohnnya terbukanya kesempatan bekerjasama dengan sebagai mitra bisnis mereka. Berbagai bentuk kemitraan merupakan modal sosial bagi pengusaha karena dengan menjalin hubungan dalam berbagai bentuk kemitraan dengan kelompok masyrakat lainnya akan berfungsi untuk kepentingan paguyuban ke luar. Kepentingan ke luar paguyuban yakni sebagai media aktualisasi agar dikenal dan diperhitungkan keberadaannya oleh masyarakat. Selain itu hal ini memberikan keuntungan bagi usaha yang dijalankan oleh anggota paguyuban karena dengan begitu keberadaan 27 paguyuban pun akan dilirik oleh perusahaan-perusahaan yang dapat memasarkan produknya di tempat usaha mereka. 28