Peran Biocar Sekam Padi terhadap Emisi Metana di Lahan Rawa Pasang Surut Wahida Annisa Balai Peneitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) Jalan Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru Email: [email protected] Abstrak Lahan rawa berbeda dengan lahan sawah lainnya dalam beberapa aspek yang terkait dengan emisi gas rumah kaca yaitu: pH tanah yang sangat masam, keberadaan unsur Al dan Fe yang afinitasnya terhadap bahan organik kuat serta pengelolaan air yang hanya tergantung pada pasang surut air laut. Biochar adalah residu pirolisis berbentuk arang yang mengandung karbon tinggi. Biochar mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta disinyalir mampu menurunkan emisi GRK. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran biochar dalam mereduksi emisi metana yang dilepaskan dari beberapa varietas unggul di lahan rawa pasang surut. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) pemberian Biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan Kompos multiorganik di lahan sulfat masam dapat mengefisienkan penggunaan pupuk buatan NPK sebesar 50% dan meningkatkan hasil padi sebesar 36,8% varietas inpara 3, 38,6% varietas inpari 30 dan 2,17% varietas Siam Mutiara (lokal), (2) emisi CH4 dari pertanaman padi di lahan sulfat masam dapat direduksi dengan penggunaan biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan kompos multiorganik sebesar 38,8%. Kata kunci: Emisi Metana, Lahan Pasang Surut, Produktivitas Padi, Varietas Unggul Pendahuluan Pengembangan lahan rawa ke depan menjadi semakin penting, dengan semakin menyusutnya luas lahan pertanian di Indonesia. Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha. Namun secara alami, ekosistem rawa bersifat rapuh (fragile) sehingga diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang tepat dan terpadu agar produktivitas lahan optimal dan berkelanjutan. Saat ini, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26% dengan usaha sendiri atau 41% dengan bantuan luar negeri sampai tahun 2020 telah diperkuat dengan diterbitkannya Perpres No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK yang berisi tentang pedoman perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi penurunan emisi GRK dan target pada lima sektor utama, yaitu kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan limbah, serta Perpres No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, menjadikan pentingnya upaya menurunkan emisi gas rumah kaca pada pertanian di lahan rawa. Pertanian ramah lingkungan merupakan alternatif yang paling sesuai guna mendukung keberlanjutan sistem pertanian di lahan rawa. Sistem pertanian ini bertujuan untuk memperoleh produksi optimal tanpa merusak lingkungan, baik secara fisik, kimia, biologi maupun ekologi. Aspek Mitigasi merupakan usaha untuk menurunkan emisi dan atau meningkatkan penyerapan karbon dari berbagai sumber emisi dalam upaya pengendalian atau pengurangan dampak perubahan iklim. Salah satu cara yang dilakukan untuk mereduksi emisi selain penggunaan bahan amelioran juga dapat dilakukan melalui penggunaan varietas rendah emisi. Banyak pihak mengatakan bahwa emisi gas GRK dari sector pertanian adalah rendah. Walaupun rendah tetapi apabila terus terakumulasi tetap akan membahayakan dan secara tidak langsung akan diberi kontribusi terhadap pemanasan global di Indonesia (Setyanto, 2008). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 1441 Pemanfaatan amelioran berupa bahan organik maupun biochar di lahan rawa juga merupakan salah satu upaya pengelolaan lahan rawa yang ramah lingkungan. Bahan organik memiliki fungsi mempertahankan kondisi reduktif tanah karena perannya sebagai donor elektron dalam proses reduksi di tanah tergenang. Dan peran tersebut akan hilang apabila bahan organik yang diberikan memiliki kandungan lignin yang tinggi. Hasil penelitian Muhrizal et al. (2006) menunjukkan bahwa penambahan bahan organik yang berkualitas baik yaitu pupuk kandang ayam pada tanah sulfat masam di Malaysia akan mempercepat pengurangan Fe2+ karena dikhelat oleh bahan organik. Sedangkan penambahan bahan organik dengan kualitas rendah seperti jerami dan gulma purun tikus pada kondisi tergenang di tanah sulfat masam akan melepaskan ion Fe2+ yang akan menggantikan Al3+ pada kompleks pertukaran sehingga pH tanah meningkat tetapi konsentrasi Fe2+ juga meningkat di larutan tanah karena proses khelat dari bahan organik belum berjalan. Annisa et al., (2016) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman padi di lahan sulfat masam yang intensif dibudidayakan lebih baik dibandingkan di lahan sulfat masam alami, namun emisi metana yang dilepaskan lebih besar. Emisi metana tertinggi sebesar 30,40 kg ha-1 musim-1 dengan nilai indeks produksi (produksi berbanding emisi metana) sebesar 82.8 ditunjukkan pada perlakuan pola petani dan pemupukan NPK 100% dari lahan sulfat masam yang intensif dibudidayakan. Biochar memiliki kemampuan dalam melepaskan karbon dan nitrogen secara perlahan serta mempengaruhi aktivitas mikroba, sehingga memperbaiki sifat tanah. Di dalam tanah Biochar menyediakan habitat yang baik bagi mikroba tanah misalnya bakteri yang membantu dalam perombakan unsur hara agar unsur hara tersebut dapat diserap oleh tanaman, tapi tidak dikonsumsi seperti bahan organik lainnya. Karhu et al. (2011) melaporkan bahwa penambahan biochar sebanyak 9 t ha-1 pada lahan pertanian meningkatkan serapan CH4 dibandingkan kontrol tanpa diberi biochar sebesar 96% (dari 49,6 sampai 97,4 CH4-C ha-1), tetapi tidak mempengaruhi terhadap hasil. Hal ini terkait dengan kemampuan biochar yang efektif dalam menahan hilangnya unsur hara akibat tercuci serta meretensi P. Tanaman padi berperan aktif sebagai media pengangkut metana dari lahan sawah ke atmosfer. Lebih dari 90% metana diemisikan melalui jaringan aerenkima dan ruang interseluler tanaman padi, sedangkan kurang dari 10% sisanya dari gelembung air. Kemampuan tanaman padi dalam mengemisi metana beragam, bergantung pada sifat fisiologis dan morfologis suatu varietas. Selain itu, masing-masing varietas mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan volume emisi metana. Pemilihan varietas padi yang ditanam di suatu daerah ditentukan oleh potensi hasil panen, kondisi ekosistem, serta ketahanan terhadap hama dan penyakit endemic serta kondisi ekstrim. Tingginya bobot biomassa padi yang dihasilkan diduga berkaitan dengan giatnya tanaman menghasilkan eksudat akar yang merupakan substrat organik bagi bakteri pembentuk metana di tanah sawah tergenang, sehingga berpengaruh terhadap pelepasan CH4. Neu et al. (1995) melaporkan adanya korelasi positif antara biomassa akar dan produksi CH4. Setyanto (2006) melaporkan bahwa setiap varietas padi menghasilkan emisi metana yang berbeda-beda, sehingga penggunaan varietas yang tepat selain adaptif dengan lingkungan juga rendah emisi GRK. Hasil penelitian Wihardjaka (2006) menunjukkan bahwa Beberapa varietas padi yang dibudidayakan di lahan sawah irigasi seperti Cisadane, Memberamo, IR64, IR36, Dodokan, Batang anai mengemisi gas metana lebih tinggi daripada yang dibudidayakan di lahan sawah tadah hujan meskipun digenangi terus menerus, masing-masing dengan beda 246282.115-316, 121-125, 221, 208-337, dan 57 kg CH4/ha. 1442 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 Metodologi Penelitian dilaksanakan di lahan sulfat masam di Kebun Percobaan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Balandean, Kab. Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Penelitian ini dilakukan pada Bulan April sampai Agustus Tahun 2015 dengan jenis tanah tanah sulfat masam dan tata air tidak terkendali. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah split plot design. Petak utama adalah pemupukan Varietas yaitu: (1) Inpari 30, (2) Inpara 3, (3) Siam Mutiara. Anak petak adalah penggunaan amelioran yaitu: (1)Kontrol (tanpa amelioran + NPK 100%), (2) Kombinasi 50% Multiorganik + 50% Biochar sekam padi + NPK 100%, (3) Kombinasi 50% Multiorganik + 50% Biochar sekam padi + NPK 75%, (4) Kombinasi 50% Multiorganik + 50% Biochar sekam padi + NPK 50%. Untuk tanaman diamati pada 30 mst dan 60 mst terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan serta produksinya setelah panen. Pengamatan terhadap potensial redoks tanah (Eh) dan emisi metana (CH4) dilakukan pada 30 mst, 60 mst dan 90 mst. Hasil dan Pembahasan Emisi Metana Emisi metana (CH4) dari ketiga varietas yang digunakan Inpara 3 melepaskan Fluks CH4 yang terendah dibandingkan varietas unggul lainnya yaitu Inpari 30 dan varietas lokal Siam Mutiara (Gambar 1). Untuk perlakuan pemupukan terlihat bahwa kedua varietas unggul (A0 dan A1) melepaskan fluks CH4 tertinggi dibandingkan kedua perlakuan lainnya (A2 dan A3). Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi penggunaan pupuk buatan yang di subtitusi dengan pupuk organik lebih ramah lingkungan karena dapat menekan emisi CH4 sebesar 75% dibandingkan kontrol (tanpa ameliorant) dengan pupuk NPK 100%. Dapat dipahami bahwa pemberian pupuk kimia meningkatkan emisi CH4 dan ditunjukkan juga dengan hasil penelitian Sampanpanish, (2012) bahwa penambahan pupuk kimia pada tanah sawah meningkatkan emisi metana menjadi 3.03 mg.m-2.hari-1. Total emisi CH4 tertinggi dilepaskan dari varietas local (Siam mutiara) sebesar 96,11 kg CH4/ha/musim dengan perlakuan Biochar dan Multiorganik + NPK 100% dan terendah di lepaskan dari varietas Inpara 3 dengan perlakuan Biochar dan Multiorganik + NPK 75% sebesar 12,79 kg CH4/ha/musim. Pelepasan GRK dari tanah sawah dipengaruhi oleh sifat fisiologi dan morfologi tanaman padi dan eksudat akar yang merupakan sumber karbon dan energy bagi aktivitas mikroorganisme yang hidup di rhizosfer termasuk bakteri metanogen (Nue et al. 1993). Van Bodegom et al. (2004) bahwa proses metanogenesis pada lahan tergenang dibatasi oleh keberadaan besi ferri karena secara termodinamika pada kondisi reduktif metana terbentuk setelah sebagian besar besi ferri tereduksi menjadi besi ferro. Jenis dan kualitas bahan organik merupakan substrat dalam proses metabolisme mikrobia yang mempengaruhi emisi CH4 (Roger, 2001). Keragaan emisi CH4 antar kultivar padi ditentukan oleh ketersediaan eksudat akar dan pembusukan jaringan akar dan daun yang jatuh di dalam tanah serta keragaan kapasitas pengangkutan CH4 antar varietas padi (Dubey, 2005) Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 1443 EMISI CH4 Emisi CH4 (kg/ha/musim) 120.0 Inpara 3 Inpari 30 100.0 Siam Mutiara 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 Kontrol(NPK 100%)M+B+NPK 100% M+B+NPK 75% M+B+NPK 50% Gambar 1: Emisi CH4 (kg/ha/musim) dengan perlakuan biochar pada berbagai varietas pH Tanah Nilai pH tanah berkisar dari 3,6 sampai dengan 6,4 (Gambar 2). Hal tersebut berkaitan dengan ameliorant yang ditambahkan karena penambahan ameliorant akan meningkatkan proses reduksi besi ferri menjadi besi ferro. Peningkatan pH tanah disini disebabkan terjadinya pembebasan OH- dan konsumsi H+ yang diikuti dengan penurunan aktivitas dari ion H+ (Reddy and De Laune, 2008). Bahan amelioran merupakan unsur yang berperan penting di tanah sulfat masam, dimana pemberian bahan organik ke dalam tanah juga akan meningkatkan pH tanah. Selain itu peningkatan pH tanah juga ditentukan oleh nisbah konsumsi H+/konsumsi elektron. 9.0 PH Tanah 6.0 6.0 3.0 V1A0 V1A1 V1A2 0.0 Periodik 1 1444 pH Tanah 9.0 Periodik 2 periodik 3 V2A0 V2A1 V2A2 V2A3 3.0 0.0 Periodik 1 Periodik 2 periodik 3 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 pH Tanah 9.0 6.0 V2A0 V2A1 V2A2 V2A3 3.0 0.0 Periodik 1 Periodik 2 periodik 3 Gambar 2. Nilai pH Periodik Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Pemberian biochar pada ketiga varietas meningkatkan tinggi tanaman menjadi 97,7 cm pada varietas Inpara 3 dan Inpari 30, sedangkan varietas local mencapai 160 cm (Gambar 3). Jumlah anakan berkisar dari 11 sampai 21. Tinggi tanaman (cm) 200.0 Jumlah anakan V1A0 V1A1 V1A2 V1A3 V2A0 V2A1 V2A2 V2A3 V3A0 V3A1 150.0 100.0 50.0 0.0 25.0 V1A0 V1A1 V1A2 V1A3 V2A0 V2A1 V2A2 V2A3 V3A0 V3A1 20.0 15.0 10.0 periodik 1 periodik 2 periodik 3 5.0 0.0 periodik 1 periodik 2 periodik 3 Gambar 3. Tinggi Tanaman dan Jumlah Anakan Periodik Hasil Gabah Kering panen (GKP) Hasil gabah kering panen tertinggi untuk ketiga varietas yaitu Inpara 3, Inpari 30 dan Siam Mutiara terlihat pada perlakuan A2 (Kombinasi 50% Biochar + 50% Kompos Multiorganik + NPK 75%) berturut-turut sebesar 5,12 t/ha, 6,3 t/ha dan 2,4 t/ha (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa varietas Inpari 30 cukup toleran dengan kondisi lahan dan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di lahan pasang surut karena selain hasil juga tinggi tetapi emisi juga cukup rendah emisi yang dilepaskan dari varietas lokal. Sedangkan hasil GKP terendah untuk ketiga varietas adalah terlihat pada perlakuan A0 (NPK 100% tanpa ameliorant) yaitu berturutturut 3,65 t/ha, 4,3 t/ha dan 1,96 t/ha Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 1445 HASIL GKP (t/ha) 7.00 Hasil GKP (t/ha) 6.00 A0 A1 A2 A3 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 Inpara 3 Inpari 30 Siam Mutiara Gambar 4. Hasil GKP (t/ha) tiga varietas padi dengan perlakuan pemupukan di lahan sulfat masam Kesimpulan 1. Pemberian Biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan kompos multiorganik di lahan sulfat masam dapat mengefisienkan penggunaan pupuk buatan NPK sebesar 50% dan meningkatkan hasil padi sebesar 36,8% varietas inpara 3, 38,6% varietas inpari 30 dan 2. 2,17% varietas Siam Mutiara (lokal) Emisi CH4 dari pertanaman padi di lahan sulfat masam dapat direduksi dengan penggunaan biochar sekam padi yang dikombinasikan dengan kompos multiorganik sebesar 38,8% Daftar Pustaka Annisa, W dan Dedi Nursyamsi. 2016. Pengaruh Amelioran, Pupuk dan Sistem Pengelolaan Tanah Sulfat Masam terhadap Hasil Padi dan Emisi Metana. Jurnal Tanah dan Iklim N0.40 N0.2 Hal 135-145 A. Wihardjaka. 2006. Varietas Padi Unggul dengan Emisi Gas Metana Rendah. Tabloid Sinar Tani Edisi 5 Juli 2006. A. Wihardjaka dan Sarwoto. 2015. Emisi Gas Rumah Kaca dan hasil Gabah Dari Beberapa Varietas Padi unggul Tipe Baru Di Lahan Sawah Tadah Hujan. Ecolab Vol. 9. N0.1 Januari 2015: 01-46 Dubey, S.K. 2005. Microbial ecology of methane emission in rice agroecosystems: A review. Applied Ecology and Environmental Research 3(2): 1-27 Karhu. K., T. Mattila., I. Bergstrom., K. Regina. 2011. Biochar addition to agricultural soil increased CH4 uptake and water holding capacity-results from a short-term pilot field study. Agr Ecosyst Environ 140. p.309-313 1446 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 Muhrizal, S., Shamshuddin, J., Fauziah, I., and Husni, M.A.H. 2006. Changes in iron-poor acid sulphate soil upon submergence. Geoderma. 131: 110-122 Neue, H.U. 1993. Methane emission from rice fields: Wetland rice fields may make a major contribution to global warming. Bioscience 43 (7): 466-473 Reddy, K.R., dan R.D. Delaune. 2008. The Bigeochemistry of Wetland; Science and Application. CRC Press. New York Roger, P. 2001. Production, oxidation, emission and consumption of methane by soils: A review. Eur. J. Soil Biol. 37, 25-50. Van Bodegom PM, Scholten JCM, Stams AJM. (2004). Direct inhibition of methanogenesis by ferric iron. FEMS Microbiol Ecol 49: 261–268. Setyanto. 2006. Varietas Padi Rendah Emisi Gas Rumah Kaca. Pengembangan Pertanian Vol. 28. N0.4. Warta Penelitian dan Setyanto. 2008. Perlu Inovasi Teknologi Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Dari Lahan Pertanian. Sinar Tani 2008 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Banjarbaru, 20 Juli 2016 1447