hak-hak perempuan dalam keluarga menurut

advertisement
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA
MENURUT PANDANGAN ASMA BARLAS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
ULFAH ABDULLAH
NIM : 1112044100049
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakulas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ULFAH ABDULLAH
NIM: 1112044100049
Di Bawah Bimbingan:
Hj. Rosdiana, MA.
NIP.196906102003122001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
ii
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 05 Oktober 2016
Ulfah Abdullah
iv
ABSTRAK
Ulfah Abdullah. NIM 1112044100049. HAK-HAK PEREMPUAN DALAM
KELUARGA MENURUT PANDANGAN ASMA BARLAS . Konsentrasi Peradilan
Agama. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M.
Skripsi ini mengambil judul Hak-Hak Perempuan dalam Keluarga Menurut
Pandangan Asma Barlas, dengan tujuan untuk memahami bagaimana metodologi
pemikiran Asma Barlas dan bagaimana hak-hak perempuan dalam wilayah keluarga
(domestik) menurut Asma Barlas. Beberapa alasan mendasar yang mendasar
pemilihan judul ini diantaranya, pertama adanya ketimpangan sosial dalam hubungan
antara laki-laki dan perempuan, kedua eksistensi perempuan seringkali dianggap
hanya sebatas konco wingking dan diperparah lagi dengan adanya doktrin yang
ditanamkan sejak dini, bahwa suami dalam keluarga memiliki hak istimewa,
sedangkan perempuan (istri) sebaliknya. agamanya.
Hak-hak perempuan dalam keluarga yang disoroti Asma Barlas diantaranya
adalah hak perempuan sebagai istri dan hak perempuan sebagai orang tua, hak sebagai
istri yang dimiliki oleh perempuan bersifat wajib bagi suami dalam hal ini yaitu
nafkah lahir dan batin serta perlakuan yang baik dari suami. Sedangkan hak
perempuan sebagai orang tua Barlas menekankan bahwa Meskipun al-Qur’an tidak
menggambarkan hak ibu dalam pengertian yang sama dengan hak ayah dalam sistem
patriarki Barlas berpendapat al-Qur’an telah memasukan ibu kedalam wilayah
penghormatan simbolis yang diasosiasikan dengan Tuhan, sehingga ibu diangkat
posisinya melebihi ayah. Penghormatan simbolis ini terlihat pada surat an-Nisa ayat 1
dimana barlas menafsirkan konsep taqwa kepada Tuhan dan ke pada ibu. Barlas
menegaskan bahwa ayah dalam tradisi patriarki tidak sesuai dengan al-Qur’an. Barlas
dengan semangat pembebasan menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menerapkan
hermenutik yang berdasarkan ontology ketuhanan.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif- analitik yaitu
dengan cara mendeskripsikan isi naskah, memaparkan suatu peristiwa atau pemikiran
dan berusaha untuk menguraikan secara teratur konsepsi tentang tokoh. Tujuan
metode ini adalah untuk mendapatkan gambaran pemikiran Asma Barlas yang
tertuang dalam karya-karyanya, khususnya yang terkait dengan persoalan hak-hak
perempuan.
Dosen Pembimbing
: Hj. Rosdiana, MA
Kata Kunci
: Hak, Asma Barlas
Bahan Pustaka
: 1994 S.d. 2016
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan
rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam kita sanjungkan keharibaan Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya hingga akhir
zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyakini bahwa rintangan
dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat
diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbedabeda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang diberikan
oleh keluarga dan teman-teman penulis.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkanc terimakasih yang
tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada:
1. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta serta pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas
Syariah dan Hukum.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua program Studi Hukum Keluarga serta bapak
Arip purqon, M.Ag.
sekertaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah
bekerja dengan Maksimal.
3. Rosdiana. MA. Pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing memberikan
pencerahan, motivasi semangat dan ilmunya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini
vi
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu
yang tak ternilai harganya, seluruh staf dan karyawan perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
bagian tata usaha Fakultas Syariah dan Hukumyang telah memberikan layanan
terbaik.
5. Terimaksih untuk kedua orang tua penulis Alm Ujang Abdullah Taufiqurrahman
dan ibu Ojah Khadijah yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta
arahan yang tak pernah jenuh serta tiada henti mendo’akan penulis dalam
menempuh pendidikan. Juga kepada kakak penulis Hikmayati Abdullah dan adik
penulis Ahmad Muthohari yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat
dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara.
6. Sahabat-sahabat Terbaik, Husnul Alfia Aulia, Aida Makbullah Suti Halwan, Deza
Emira, M. Sayyid Rifa’i, Asep Awaludin, A. Wahid Hasyim, M. Faishal Kamal,
Nanik Maulidah, Aprilia Farchataeni, Fani Setianingsih dan Erni Nur Fatahela
Dewi. yang telah memberikan kesan terbaik selama saya menjalani masa masa
kuliah.
7. Himpunan Mahasiswa Program Studi Akhwalu Syakhsiyyah (HMPS SAS)
Keluarga Besar Peradilan Agama (KBPA), Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU), Korp Putri
PMII (KOPRI), Keluarga Besar Nahdlatul Ulama’ Tangerang Selatan (KBNU),
Riungan Mahasiswa Sukabumi Jakarta (RIMASI) dan tidak lupa juga Sahabatsahabat Moderat Muslim Society (MMS), yang telah menjadi wadah bagi penulis
untuk berorganisaai dan berperoses mennjadi insan penggerak yang sadar akan
dunia pergerakan dan pemikiran.
vii
8. Teman-teman program studi Peradilan Agama Angkatan 2012 yang telah
memberi saran dan motivasi kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis harapkan
demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan setiap pembaca dan umumnya serta menjadi amal baik
disisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT.
Wassalamualaikum. Wr.Wb
Ciputat, 05 Oktober 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL………………………..………………..…………………….....i
PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………………………………..ii
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………iii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………………………iv
ABSTRAK...…………………………………………………………….………….....v
KATA PENGANTAR………………………………….……………….………….viii
DAFTAR ISI……………………………………………. …………………….…….ix
BAB I : PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
Latar Belakang Masalah............................................................ 1
Identifikasi Masalah .................................................................. 4
Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah .......................... 4
Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 4
Metode Penelitian ..................................................................... 5
Kajian (Review) Studi Terdahulu .............................................. 7
Sistematika Penulisan ............................................................. 10
BAB II : HAK-HAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA ISLAM
A.
B.
C.
D.
Kedudukan Perempuan dalam Keluarga Islam ........................ 12
Hak Perempuan dalam Keluarga Islam .................................. 17
Hak Perempuan Sebagai Istri .................................................. 34
Hak Perempuan Sebagai Orangtua .......................................... 39
BAB III : BIOGRAFI ASMA BARLAS
A.
B.
C.
D.
E.
Riwayat Hidup Asma Barlas ............................................. 43
Perjalanan Pendidikan dan Karir Intelektual Asma Barlas . 46
Daftar Karya ..................................................................... 47
Metode Pemikiran Asma Barlas……..……………………50
Prinsip Pokok-Pokok Pikiran Asma Barlas………...……..52
BAB IV : PANDANGAN ASMA BARLAS TERHADAP HAK- HAK
PEREMPUAN DALAM KELUARGA
A.
B.
C.
D.
Kedudukan Perempuan dalam Keluarga ........................... 56
Hak Perempuan dalam Keluarga …………………………57
Hak Perempuan Sebagai Istri……………………………..60
Hak Perempuan Sebagai Orangtua……………………..…65
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 61
B. Saran ................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Adalah Asma Barlas yang memberikan seperangkat metodologi bagaimana
memberikan pembaca baru terhadap al-Quran yang tidak bias gender melainkan
memberikan dukungan penuh terhadap apa yang ia sebut ‘’karakter egalitarian dan
antipatriarkal dalam al-Quran’’
Karakter egalitarian dan antipatriarkal menjadi sangat penting, sebab tematema inilah yang kerapkali luput dari pembacaan terhadap al-Quran selama ini. Asma
barlas memberikan penekanan pada dua hal. Pertama, menentang pembaca al-Quran
yang menindas perempuan. Kedua, menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa
perempuan dapat berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran al-Quran. Asma
Barlas kemudian mengajukan dua pertanyaan penting. Pertama, apakah kitab alQuran mengajarkan ketidak setaraan dan penindasan? Kedua, apakah al-Quran
mendorong atau mengizinkan pembebasan terhadap perempuan?. 1
Bagi Asma Barlas, kunci utama untuk menampilkan wajah Islam yang egaliter
adalah melalui cara membaca kembali al-Quran. Ketika al-Quran dibaca akan muncul
beberapa kemungkinan hasil bacaannya. Mereka yang membaca al-Quran dengan
kaca mata patriarkis, maka akan dihasilkan pembaca yang tentu juga patriarkis. Barlas
1
Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, ( Jakarta :
Serambi ,2005) Cet. 1
1
2
mengakui bahwa cara baca terhadap al-Quran yang berkembang di masyarakat
memang sangat kental dengan nuansa patriarkal. 2
Berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan argumentasi historis
(sejarah) dan hermeneutik. Argumentasi sejarah menjelaskan pengungkapan karakter
politik tekstual yang berkembang dikalangan masyarakat islam, terutama proses yang
telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam islam yang memiliki kecendrungan patriarki.
Sedangkan argumentasi hermeneutik dipakai untuk menemukan apa yang Barlas
sebut epistemology egalitarianisme dan antipatriarkalisme dalam al-Quran
Ada tiga isu utama yang diambil Barlas dalam menganalisa penafsiran alQuran, khususnya mengenai penerapan prinsip egalitarianism al-Quran untuk isu
perempuan. Pertama, soal patriarki. Istilah ini yang menjadi sorotan Barlas karena
adanya wacana yang berkembang, tidak hanya dalam islam tapi dalam agama lainnya,
tentang dominasi corak patriarkal di dalam menafsirkan teks-teks utama agama,
termasuk Islam. Barlas menolak adanya patriarkisme di dalam al-Quran apabila yang
dimaksud adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki. 3
Kedua, isu-isu seksualitas dan gender dalam islam, khususnya di sekitar isu
persamaan, perbedaan, dan kesetaraan antar laki-laki dan perempuan. Untuk konsep
‘persamaan’. sebagaimana yang diungkapkan oleh sebagian kalangan feminis,
menurut Barlas, itu tidak sesuai dengan al-Quran. Persamaan antara laki-laki dan
perempuan adalah bahwa keduanya memiliki kemampuan yang sama sebagai agen
moral untuk sama-sama memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak berbeda. Allah
2
Jurnal, Fauziah, Egaliterianisme dalam Keluarga Menurut Al-Quran :Studi Pemikiran Asma
Barlas Terhadap Q.s an-Nisa Ayat 1, di akses pada 10 mei 2016
3
Jurnal, Fauziah, Egaliterianisme dalam Keluarga Menurut Al-Quran :Studi Pemikiran Asma
Barlas Terhadap Q.s an-Nisa Ayat 1, di akses pada 10 mei 2016
3
tidak pernah membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin, kekayaan, kebangsaan,
atau konteks sejarah, melainkan ketakwaannya.
Al-Quran surah al-Hujurat/49:13 menyebutkan:
            
         
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Ketiga, tentang keluarga dan perkawinan. Bagi Barlas, sistem keluarga dalam
islam tidak menunjukan nilai-nilai patriarkal. Selama ini memang ada anggapan
bahwa lembaga keluarga dan juga perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya
budaya patriarkal dalam islam. Dia menganalisis pandangan al-Quran tentang ibu dan
ayah dan tentang suami dan istri serta membedakan pandangan al-Quran dari
pemikiran patriarkis (Barat) maupun kaum feminis.
Berangkat dari pemikiran diatas, penulis memilih judul ‘’Hak-hak Perempuan
dalam Keluarga Menurut
Pandangan Asma Barlas’’. Pemilihan judul ini dilatar
belakangi oleh pengandaian bahwa Asma Barlas mengusung nilai-nilai kesetaraan
dalam anggota keluarga dan bagaiman relasi antara suami dan istri serta ibu dan ayah
itu harus dibangun sehingga terciptanya ke luarga bahagia yang tidak mendiskriminasi
antara yang satu dan yang lain.
4
B. Identifikasi Masalah
Pembahasan yang berkenaan dengan hak-hak perempuan dalam keluarga
cukup banyak maka terlebih dahulu penulis mengidentifikasi permasalahan yang
perlu di ungkap dalam karya tulis ini:
a. Pandangan Asma Barlas terkait kedudukan perempuan dalam keluarga
b. Pandangan Asma Barlas terkait hak perempuan dalam keluarga
c. Pandangan Asma Barlas terkait hak perempuan sebagai istri
d. Pandangan Asma Barlas terkait hak perempuan sebagai Orangtua
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan di bahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan membahas
bagaimana tentang pandangan Asma Barlas terhadap hak-hak perempuan dalam
keluarga.
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan Asma Barlas terkait hak perempuan dalam kehidupan
keluarga?
2. Bagaimana metodologi pemikiran Asma Barlas?
3. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan Asma Barlas?
E. Tujuan dan manfaat penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
5
1. Untuk mengetahui bagaiman pandangan Asma Barlas terkait hak-hak
perempuan dalam keluarga
2. Untuk mengetahui metodologi pemikiran Asma Barlas
3. Untuk mengetahui apa faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan Asma
Barlas
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. bagi penulis, penelitian ini sangat bermanfaat sebagai wawasan ataupun
pengetahuan mengenai hak-hak perempuan dalam pandangan Asma Barlas.
2. Bagi masyarakat, untuk membuka pemikiran pada masyarakat bahwa Islam
bukan agama yang mendiskriminasi perempuan.
3. Bagi akademik, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi dan
acuan bagi kalangan akademisi dan praktisi di dalam menunjang penelitian
selanjutnya yang mungkin cakupan nya lebih luas sebagai bahan
perbandingan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penyusun gunakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan
analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis dengan melakukan penelitian
terhadap data kepustakaan, pendapat para ahli dan teori yang terkait dengan
pembahasan masalah atau disebut dengan data sekunder. Yang bersifat deskriptif
analisis, yaitu memberikan data seteliti mungkin yang menggambarkan objek
penelitian dan
kemudian
menghasilkan data berupa kata-kata tertulis dari
6
sumber-sumber yang diperoleh. Selanjutnya data tersebut dianalisis dan diambil
kesimpulannya.
2. Jenis Data Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini. Penelitian menyusun berdasarkan sumber
data yang terbagi kedalam dua kriteria, yaitu sumber data utama (primer) dan
sumber data tambahan (sekunder) ialah :
a. Sumber data Primer
Adapun sumber data primer yang digunakan ialah buku karya Asma Barlas
yang berjudul Cara Quran Membebaskan Perempuan, Democracy
Nationalism and Communalism, dan The Pleasure of Our Texts: Reading
the Qur’an
b. Sumber Data Sekunder
Di dalam penelitian ini, digunakan pula data sekunder yang memiliki
kekuatan mengikat yang dibedakan dalam beberapa macam:
1) Bahan hukum primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam skripsi ini adalah buku Amina Wadud yang berjudul Wanita di
dalam al-Qur’an, Asghar Ali Eagineer, Hak-hak Perempuan dalam
Islam, dan Fatima Mernissi, Rebbellionb and Islamic Memory.
2) Bahan hukum sekunder yaitu: berupa buku-buku, makalah seminar,
jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah, situs, testimony dan
blog.
3) Bahan hukum tersier yaitu: berupa kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.
7
3. Teknik Pengumpulan data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Studi
kepustakaan (Library Research ) yaitu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan serta menganalisa data yang diperoleh dari literatur-literatur
yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
berupa buku, artikel, dan sebagainya.
4. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Perpustakaan merupakan tempat yang tepat guna memperoleh bahan -bahan
dan informasi yang relevan untuk dikumpulkan, dibaca, dikaji, dicatat, dan
dimanfaatkan. Adapun perpustakaan yang penulis sering kunjungi dalam
penelitian ini yaitu, perpustakaan yang ada di lingkungan kampus
dan
sekitarnya.
b. Waktu Penelitian
waktu penelitian yang penulis lakukan dimulai pada bulan Juni 2016 sampai
dengan bulan November 2016
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada “
Pedoman Penulisan Skripsi “ yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
G. Kajian (Review) Studi Terdahulu
Asma Barlas merupakan tokoh feminis yang karya tulis nya tergolong banyak
bukan hanya soal Islam dan perempuan dalam Islam melainkan karya-karya lain
8
dalam ranah filsafat, ekonomi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Pemikiran nya ini mulai
di kenal oleh kalangan terbatas pemikir Indonesia sejak diterbitannya buku Cara
Qur’an Membebaskan Perempuan (Believing Women In Islam : Unreading
Patriarchal Interpretations of the Qur’an) tahun 2002.
Kendati Pemikiran Asma Barlas relatif baru, namun corak teori yang di
tawarkan sebetulnya bisa ditemui dalam pemikiran beberapa tokoh feminis muslim
yang telah banyak diketahui secara luas oleh berbagai kalangan diantraanya:
Menurut Amina Wadud dalam bukunya Wanita di dalam al-Qur’an juga
membicarakan panjang lebar mengenai penafsiran al-Qur’an yang berkenaan dengan
perempuan. Menurutnya, laki-laki maupun perempuan sesungguhnya memiliki
kemungkinan untuk berpartisipasi nyata dan punya potensi untuk berperan serta di
dalam melakukan fungsi-fungsi yang ada. Dalam al-Qur’an derjad diperoleh melalui
perbutan (amal sholeh) bukan pada status jenis kelamin, dan punya potensi untuk
berperan serta di dalam melakukan fungsi-fungsi yang ada.
Al-Qur’an tidak berusaha menghapus perbedaan laki-laki dan perempuan
atau menghilangkan pentingnya perbedaan jenis kelamin yang akan membantu
masyarakat memenuhi kebutuhan dan berjalan dengan mulus, tetapi al-Qur’an tidak
mendukung peran tunggal itu defnisi tunggal mengenai seperangkat peran bagi setiap
jenis kelamin dalam setiap kebudayaan.
Al-Qur’an mengakui fungsi laki-laki dan perempuan baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Tetapi tidak ada aturan rinci yang mengikat
mengenai keduanya berfungsi secara kultural. Spesifikasi semacam itu akan
mempersempit dan mengurangi nilai al-Qur’an, dari ayat-ayat yang bersifat universal
menjadi ayat yang khusus yang bersifat kultur, karena ajaran-ajaran yang ada di
9
dalam al-Qur’an adalah melebihi ruang dan waktu. Amina menepatkan perempuan
sebagai kawan laki-laki, bukan sebagai lawan, sebagaimana yang di presepsikan kaum
feminis modernis yang memaksakan kategorisasi - kategorisasi pemikiran barat untuk
mereformasi ajaran Islam. 4
Menurut Asghar Ali Engineer, dalam bukunya Hak-hak Perempuan dalam
Islam, upaya penempatan kembali hak-hak perempuan dalam Islam, suatu masalah
yang sampai saat ini masih sering disalah mengertikan dan disalah tafsirkan. Dan
Asghar kembali menangkap semangat sejati dari hukum-hukum al-Qur’an yang
menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan. Dengan semangat yang menyakini,
ia membuktikan hak-hak setara bagi laki-laki dan perempuan, yang tidak
mendeskreditkan mereka dalam hal apapun terutama yang berkaitan dalam masalah
prestasi .5.
Menurut Fatma Mernisi, dalam bukunya yang berjudul Wanita di dalam Islam.
Siapa saja yang meyakini bahwa seorangg wanita Muslim yang berjuang untuk
meraih kemuliaan hak-hak sipilnya berarti telah mengeluarkan dirinya sendiri dari
lingkungan umat dan merupakan cuci otak propaganda barat adalah orang yang
menyalah-pahami warisan agama dan identitas budaya sendiri, selanjutnya dia
berpendapat bahwa hak-hak wanita merupakan masalah bagi seagian laki-laki Muslim
modern, hal itu bukan karena al-Qur’an ataupun sunnah Nabi, bukan pula karena
tradisi Islam, melinkan karena hak-ak tersebut bertentangan dengan kepentingan
kaum elit laki-laki6.
4
Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, (Bandung Pusaka,
1994) h.47
5
Asghar Ali Eagineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajdi dan cici farkha
(Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), cet 1 h.55
6
Fatima mernissi, Rebbellion and Islamic Memory, (Atlantic Highlands, NJ: Zed Book,
1996), h. 84.
10
Indri Sri Sembadra dari Fakultas Ushuluddin dalam skripsinya yang berjudul:
Karakteristik Anti Patriarkal Dalam Al-Qur’an: Studi Pemikiran Asma Barlas,
menjelaskan mengenai metode penafsiran barlas yang menawarkan metode lain dalam
melihat al-Qur’an untuk membebaskan diskriminasi penafsiran bagi perempuan. AlQur’an bagi barlas merupakan wacana Ilahi yang tidak bisa dipisahkan dari Tuhan.7
H. Sistematika Penulisan
Dalam menjabarkan penelitian ini kedalam bentuk penulisan, maka penulis
menyusunnya secara sitematis guna memudahkan dalam menganalisis suatu masalah.
Adapun sistematika penulisan ini adalah:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan objek
penelitian, teknik pengumpulan data, pedoman penulisan, metode analisis data,
review studi terdahulu dan sistematika penulisan.
Bab kedua penulis memaparkan landasan teori yang mencakup hak-hak
perempuan dalam keluarga menurut hukum Islam. Yang meliputi kedudukan
perempuan dalam keluarga Islam, hak perempuan dalam keluarga Islam, hak
perempuan sebagai istri dalam keluarga islam, hak perempuan sebagai orangtua
dalam keluarga Islam.
Bab ketiga penulis membahas tentang biografi, metode, serta pokok-pokok
pemikiran Asma Barlas serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Asma
Barlas yang merupakan objek dari penelitian.
7
Indri Sri Sembadra, Karakteristik Anti Patriarkal Dalam Al-Qur’an : Studi Pemikiran Asma
Barlas, Jakarta : Fakultas Ushuluddin, 2007
11
Bab keempat mengenai Analisis Pemikiran Asma Barlas tentang hak-hak
perempuan dalam keluarga yang meliputi: kedudukan perempuan dalam keluarga
menurut pandangan Asma Barlas, hak perempuan dalam keluarga menurut pandangan
Asma Barlas, hak perempuan sebagai istri dalam keluarga menurut pandangan Asma
Barlas dan yang terakhir hak perempuan sebagai orang tua dalam keluarga menurut
pandangan Asma Barlas.
Bab kelima ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi keseluruhan
skripsi meliputi kesimpulan, yang merupakan jawaban dari pokok masalah dan saransaran bagi pihak-pihak yang ada kaitannya dengan pembahasan ini.
BAB II
HAK-HAK PEREMPUAN DALAM KELUARGA ISLAM
A. Kedudukan perempuan dalam keluarga Islam
Kata Parpuanta yang di serap jadi kata perempuan, memilki arti yang di
pertuan atau di hormati. Empu dalam pengertian ini adalah gelar kehormatan yang
berarti tuan. Dalam buku kakawin Arjunawiwaha XXXII kata wanita berasal dari kata
kawi yang sepadan dengan kata Priya atau perempuan. Dalam perkembangannya, di
jumpai istilah wanita karir, wanita tuna susila, dan sebagainya.
Wanita kariri di artikan dengan, seorang wanita yang berkecimpung dalam
kegiatan propesi, seperti kegiatan usaha, atau perkantoran. Wanita tunasusila adalah
wanita yang kurang atau tidak memiliki susila (adat atau sopan santun). Istilah
perempuan geladag, perempuan jalanan, perempuan nakal, perempuan jalang, semua
memiliki makna yang sama dengan pelacur.1 Jadi, pada hakikatnya banyak sekali
istilah-istilah perempuan dalam beberapa pengertian, sehingga kita harus mengetahui
posisi perempuan dalam keluarga seperti yang akan di jelaskan para urainyan
selanjutnya.
Menurut Teori Heraty Noerhadi, ketua
Program Study Ilmu Filsafat Pasca
Sarjana UI, menyebutkan bahwa kata wanita dianggap lebih halus, lembut dan indah.
Sehingga sesuai dengaan kodratnya. Sementara kata perempuan, agak kasar dan
biasanya di katkan dengan kedudukan sosial yang rendah. Seakan dalam kata tersebut
tersirat sifat -sifat kurang baik yang tidak sesuai dengan kodratnya.
1
Zainah Subhan, Kodrat Perempuan, (Jakarta, El kahfi, 2004 ) cet-1, h.5.
12
13
Kedua istilah ini, wanita dan perempuan bukan hanya berkaitan dengan asal bahasa
atau padanan kata saja, tetapi berkaitan dengan cerita, mitos, atau setereotype. Wanita
itu meski lemah lemmbut, mesra, hangat, dan cantik sekaligus menarik dan produktif,
sesuai dengan peran ganda yang di pikulnya dan menjadi mitra sejajar pria.
Sedangkan istilah perempuan dalam Al-quran mengunakan lafal yang
berbeda-beda, antara lain, mar’ah, imra’ah, nisa’atau niswah dan untsa. Ada pendpat
yang mengatakan bahwa akar kata nisa adalah nis nya artinya lupa yang disebabkan
oleh kelemahan akal. Bila di lihat dari Philologi Arab, kata nisa berarti anisa yaitu
penghibur, bisa juga anisa yang berarti jinak atau lemah lembut. Sedangkan kata
unsta mempunyai arti lemah lembut dan halus perkataannya. 2
Ada dua perbedaan yang dikenal antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan
yang bersifat mutlak dan relatif. Dua perbedaan ini, pertama dikenal dengan istilah
kodrati. Perbedaan ini disebut perbedaan biologis. Secara biologis laki-laki dan
perempuan berbedaa kelaminnya. Perbedaan kedua disebut dengan perbedaan yang
dihasilkan oleh interpretasi sosial. Perbedaan ini disebut nonkodrati, tidak kekal,
sangat mungkin berubah dan berbeda-beda berdasarkan ruang dan waktu. Perbedaan
ini bersifat relatif, tidak berlaku umum, perannya bisa berubah dan dipertukarkan atau
bisa menjadi bawaan, bukan alami.
Sebagian masyarakat berpandangan, perbedaan antara perempuan dan laki-laki
tidak hanya terbatas pada perbedaan yang bersifat kodrati, perbedaan ini bisa berupa
penyipatan. Seperti perempuan dianggap emosional, laki-laki rasuonal, laki-laki
2
Zainah Subhan, Kodrat Perempuan, (Jakarta, El kahfi, 2004 ) h.5-7.
14
memiliki akal yang sempurna, perempuan akalnya sempit. Laki-laki memimpin dan
perempuan di pimpin, dan seterusnya. 3
Dari beberapa uraian diatas, perlulah kita ketahui bahwa perbedaan antara
laki-laki dan perempuan kini menempatkan perempuan dalam keluarga islam seperti
yang telah di ajarkan dalam islam sendiri. Sejatinya bahwa mahluk yang ada di bumi
ini diciptakan berpasang-pasangan, begitupun manusia, dan adapun untuk
menyatukan pasangan-masangan itulah melalui jalur yang telah di ajarkan oleh islam,
yaitu melewati sebuah prosessi perkawinan sehingga perempuan pun mendapatkan
kedudukannya didalam keluarga islam.
Ulama sepakat bahwa pernikahan adalah sesuatu yang disyaratkan
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist antara lain terdapat dalam surat An-Nisa ayat 4:3
             
                
dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Ayat yang lain di sebutkan didalam Al-Quran Surat An-Nur 24:
           
       
3
Zainah Subhan, Kodrat Perempuan, (Jakarta, El kahfi, 2004 ) ha.11-12
15
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka
dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Dari ayat-ayat Quran dan hadist yang semakna dengan itu munculah beberapa
hukuman nikah yaitu, pertama wajib, bila dimungkinkan terjerumus dalam zina, tidak
mampu menjaga diri dari arah zina meski dengan berpuasa serta mampu membelikan
mahar dan nafkah: kedua, haram bila dimungkinkan terjadi kedzaliman dalam rumah
tangga karena ketidak mampuan memberi nafkah keluarga atau tanggung jawab
keluarga, ketiga, makruh bagi orang yang belum siap bekal dan belum berkeinginan
nikah, keempat sunnah, apabila seseorang sudah memiliki kemampuannya, biaya
hidup dan kemampuan hubungan intim. 4
Didalam islam, perempuan mempunyai kedudukan yang sangat mulia
terutama dalam berumahtangga atau keluarga. Berbeda dengan masa jaman jahiliah
dulu, ketika perempuan hanya di jadikan sebagai pemuas atau pelayan saja, tidak
mempunya hak-hak yang setara dengan laki-laki, dan bahkan perempuan dianggap
sebagai mahluk yang tidak sempurna. Banyak pada waktu zaman jahiliah dulu anakanak perempuan yang di bunuh ketika masih bayi, karena di anggap tidak bisa
melakukan apa-apa dan tidak penting kehadirannya di dunia ini. Bahkan salah seorang
sahabat nabi, Umar Ibn Khattab pun pernah mengubur anak perempuannya yang
masih bayi ketika dia belum masuk islam.
Tetapi hari ini telah berbeda, zaman jahiliah telah berlalu ratusan tahun yang
lalu. Bahkan ketika nabi muhammad di utus untuk memperbaiki akhlak umat
manusia, pada saat itu pula wanita memiliki kedudukan yang sederajat dengan lakilaki, begitupun didalam keluarga. Wanita menjadi pendamping suami dalam
4
1, ha. 201
Lilik ummu kaltsum dan Abd Muqsitd Ghazali, Tafsir Ahkam, (Ciputat, UIN Press. 2015) cet.
16
menjalankan roda kehidupan dalam berkeluarga, meski dalam surat An-Nisa 04:34 di
jelaskan .
            
           
         
         
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu
Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka) wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
Dari ayat di atas di jelaskan bahwa laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum
wanita, Khusunya dalam keluarga. Tetapi wanita juga bisa memerankan perananya
sebagai pemimpin keluarga, sesuai dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhori yang artinya :
“istri adalah pemimpin didalam rumah suaminya dan dia bertanggung jawab atas
apa yang dipimpinnya” ( HR. Bukhori ).
B. Hak Perempuan dalam Keluarga Islam
Perempuan di sebagian besar belahan dunia, termasuk di negara-negara
Muslim, secara umum mengalami ketersaingan. Di banyak negara dewasa ini, tidak
ada jaminan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang sosial, politik,
17
ekonomi, dan hukum. Di sejumlah negara, perempuan dibatasi haknya atas
kepemilikan tanah, mengelola properti, bisnis, bahkan dalam melakukan perjalanan
pun harus dengan persetujuan suami.5
Islam memberikan hak yang sama bagi perempuan dengan laki-laki di wilayah
publik, seperti terlihat dari para perempuan masa Nabi, tetapi sebagian besar syari’ah
tentang perempuan yang diderivasi dan ditafsirkan dari sumber-sumber wahyu
sesungguhnya problematik. Menurut Abdullahi an-Na’im, syari’ah memberikan
peluang bagi terjadinya diskriminasi serius terhdap perempuan yang sulit untuk bisa
diterima masyarakat modern saat ini.6
Meski syari’ah yang banyak dianut oleh masyarakat Muslim adalah syari’ah
yang cenderung menempatkan perempuan dalam urusan domestik (rumah tangga),
tetapi pada dasarnya sikap syari’ah mengenai persoalan tersebut tidaklah tunggal.
Dalam syari’ah literalis sekalipun, sesungguhnya terdapat pandangan yang
mendukung konsep kesetaraan gender.7 Laki-laki dan perempuan memiliki banyak
sekali perbedaan akan tetapi keduanya haruslah diperlakukan secara setara. Artinya
hak-hak masing-masing pihak hendak nya dilindungi. Perkawinan haruslah
merupakan pilihan, bukan paksaan. Dengan begitu, kita memberi hak sepenuhnya
kepada perempuan untuk memilih siapa calon suaminya. Cara lain untuk melindungi
perempuan adalah dengan cara memenuhi hak-hak perempuan dalam keluarga.
Adapun hak-hak perempuan dalam keluarga Adalah :
1.
Hak Reproduksi
5
Sukron dkk, Syari’ah Islam dan HAM Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan Sipil,
Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim, (Jakarta : Center for the Study of Religion and Culture UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007) cet.1, h. 38
6
Abdullahi Ahmed an-Na’im, Syari’ah dan Isu- Isu HAM, h. 387
7
Ali Munhanif dkk, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, ( Jakarta : Gramedia dan PPIM
UIN Jakarta, 2002) h. 113-114
18
Kesehatan reproduksi didefinisikan sebagai keadaan fisik, mental, sosial yang
utuh dan aman dalam segala hal yang berkaitan dengan sistim, fungsi-fungsi dan
proses reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi yang demikian luas, akan
membawa berbagai persoalan yang luas pula. Antara lain menyangkut kesehatan alatalat reproduksi perempuan pra reproduksi (masa remaja), ketika produksi (masa hamil
dan menyusui) dan pasca produksi (masa monopouse). Persoalan-persoalan lain yang
acap tertinggal dalam kajian atasnya adalah tentang kehidupan seksual perempuan
secara memuaskan dan aman, tidak dipaksa, hah-haknya untuk mengatur kelahiran,
menentukan jumlah anak, hak-haknya untuk mendapatkan perlakuan yang baik dari
semua pihak baik dalam sektor domestik, maupun publik, hak untuk mendapatkan
informasi dan pelayanan kesehatan yang benar. 8
Jika ditinjau dari segi peran, fungsi, dan relasi hak-hak reproduksi perempuan
merupakan rangkaian yang saling berhubungan antara satu persoalan perempuan
dengan persoalan lainnya. Untuk itu, pembahasan hak-hak reproduksi dimulai dari
proses yang paling awal, misalnya pernikahan hingga membangun muasyarah bil
makruf dalam konteks kerumahtanggaan maupun dalam relasi perempuan pada dunia
publik sebab persoalan itu ibarat mata rantai yang tidak dapat dipisahkan antara satu
dan yang lain.9
Hak dan kewajiban manusia berkembang sesuai dengan perkembangan status
dalam kehidupan pada komunitasnya ketika seorang perempuan baru lahir, ia
berstatus sebagai anak, lalu menikah berkembang menjadi anak sekaligus istri. Ketika
mempunyai anak maka menjadi ibu, kemudian masuk pula menantu, baby sister, anak
8
Artikel Husain Muhammad, Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Prespektif Islam,
kumpulan artikel PSGA UIN Jakarta, di akses pada : 3 September 2016 (11:23)
9
Dra. Hj. Mufidah. Ch. M.Ag, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, (Malang: UINMALANG PRESS, 2008), h.244
19
asuh, lalu lahir cucu dan seterusnya. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi peran,
fungsi, dan relasi, maupun hak dan kewajiban perempuan.
Hak reproduksi perempuan dalam Islam Mengacu pada QS al-Baqarah : 228
              
       
Artinya: Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Q.S Albaqarah (2) ayat: 228)
Ayat tersebut jika dikaitkan dengan hak-hak reproduksi perempuan merupakan
bagian dari keseluruhan hak-hak manusia perempuan yang berfungsi sebagai
pengemban amanat reproduksi manusia yang harus mendapatkan perhatian dari aspek
kesehatannya.10
Ada tiga kategori hak-hak reproduksi perempuan sebagai berikut:11
Pertama: Hak jaminan keselamatan dan kesehatan. Hak tersebut mutlak ada,
mengingat resiko sangat besar yang di alami oleh ibu, dalam menjalankan fungsi
reproduksinya, mulai menstruasi, hubungan seks, melahirkan, dan menyusui. Untuk
itu di perlukan informasi diseputar hak-hak reproduksi bagi ibu, memperoleh
pelayanan kesehatan yang memadai guna kelangsungan hidup ibu dan anak.
Sebagaimana dalam QS. Al- Ahqaf (46) :15
10
Dra. Hj. Mufidah. Ch. M.Ag, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, (Malang:
UIN-MALANG PRESS, 2008), h.245
11
Dra. Hj. Mufidah. Ch. M.Ag, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, (Malang:
UIN-MALANG PRESS, 2008), h.245
20
            
               
               
     
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh
bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia
berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri". (Q.S Al-Ahqaf (46)
ayat:15)
Kedua : Hak jaminan kesejahteraan, bukan hanya pada saat proses vital
reproduksi (mengandung, melahirkan, dan menyusui) berlangsung, tetapi di luar
masa-masa itu dalam statusnya sebagai ibu dari anak-anak. Sebagaimana Qs.Albaqarah : 222
           
 
              
   
Artinya: mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah
suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka
telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri
Ketiga: Hak ikut mengambil keputusan yang berhubungan dengan
kepentingan perempuan (istri) terutama yang menyangkut fungsi reproduksi. Hal ini
21
tercermin dalam prinsip dasar ajaran Islam dalm mengambil keputusan harus
senantiasa melibatkan hak-hak yang berkepentingan sebagaimana dalam QS. Al
Syura: 38
          

Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara
mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. (Q.S Asy.Syura ayat: 38)
Hak reproduksi perempuan dalam Islam dimulai dari pembahasan bmemasuki
kehidupan rumah tangga yang mencakup empat hal penting, yaitu: Hak memilih
pasangan, Hak menikmati hubungan seksual, Hak menentukan kehamilan dan Hak
merawat dan mengasuh anak.
Prinsip-prinsip diatas juga harus menjadi dasar dari setiap perjanjian antara
dua pihak. Perjanjian yang dilakukan tanpa merealisasiakn prinsip-prinsip ini akan
menimbulkan
ketimpangan
dan
ketidakadilan.
al-Qur’an
dengan
jelas
mengemukakan:
        
yang artinya ‘’ mereka, para istri adalah pakaian kalian, para suami dan sebaliknya
para suami juga merupakan pakaian bagi para istri’’ (Q.S al-baqarah, 2:187).
Ayat ini secara tegas menghimbau agar perkawinan dibangun atas dasar
prinsip-prinsip kesetaraan, sekaligus juga menunjukan ide dasar Islam tentang relasi
seksual. Dengan ungkapan lain, hak yang dimiliki perempuan dalam menyalurkan
naluri seksualnya adalah setara dengan hak-hak laki-laki atasnya . ini berarti pula
bahwa relasi seksual harus dilakukan berdasarkan atas asas kesamaan atau asas
kesataraan, hak suami untuk relasi seksual menjadi kewajiban istri, dan demikian pula
22
sebaliknya. Dengan begitu, tidak ada lagi praktek dominasi atau kekuasaan mutlak
dalam kehidupan keluarga. 12
Akan tetapi, realitas yang dijumpai di masyarakat sangat berbeda jauh dari
pandangan dan tas dianut sangat bias nilai-nilai patriarki. Masyarakat mempunyai
paradigma bahwa persenggamaan hanya sekedar sarana perkembang biakan bagi
manusia. Dan perempuan itu memiliki kewajiban mutlak untuk memenuhi kebutuhan
atau hasrat seksual laki-laki sebagai bagian dari kewajibannya istri. Ketimpangan
inilah yang memposisikan seolah perempuan hanya sekedar objek pemuas hasrat
biologis laki-laki.
Selain itu akibat dari hal tersebutpun dibebankan pada pundak perempuan,
segala proses reproduksi dari kehamilan, persalinan menyusui, merawat anak lebih
banyak melibatkan peran istri yang tentunya hal tersebut tidak mudah. Ditambah lagi
pandangan masyarakat yang lebih memposisikan perempuan sebagai contributor
terbesar dalam mengurus itu semua.
Di Indonesia sendiri adanya isu tentang kesehatan reproduksi masih menjadi
agenda yang menyita banyak perhatian dan merupakan isu yang paling sensitive
terutama jika dikaitkan dengan agama dimana masyarakat
Indonesia
merupakan
masyarakat yang religius. Masalah kesehatan reproduksi boleh dikatakan masih relatif
baru bagi masyarakat Indonesia. Faktor pemicu salah satunya adalah disebabkan
karena kurangnya pengetahuan dan buruknya sistem penyampaian informasi tentang
hak dan kesehatan reproduksi. Selain itu, masyarakat Indonesia masih banyak yang
memiliki pola pikir negative tentang perempuan dan pandangan yang diskriminatif
12
Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press.
2007) H. 93
23
terhadap perempuan terutama berkaitan dengan kontrol kehidupan seksual dan
reproduksi mereka yang dilegitimasi oleh agama.13
Pada dasarnya secara yuridis keberadaan hak-hak reproduksi perempuan telah
dijamin dalam perjanjian Internasional seperti termasuk dalam CEDAW, Hasil
konferensi ICPD ke-4 di kairo dan konferensi ke-4 tentang perempuan diBeijing, 12
Hak tersebut antara lain:
a. Hak untuk mendapat informasi dan pendidikan. Hak informasi dan pendidikan
yang terkait dengan masalah kesehatan reproduksi termasuk jaminan
kesehatan dan kesejahteran seorang maupun keluarga.
b. Hak untuk kebebasan berpikir termasuk kebebasan dari penafsiran ajaran
agama yang sempit, kepercayaan, filosofi dan tradisi yang akan membatasi
kebebasan berfikir tentang pelayanan kesehatan reproduksi.
c. Hak atas kebebasan dan keamanan. Setiap individu dipercaya untuk
menikmati dan mengatur kehidupan reproduksinya dan tidak seorangpun dapat
dipaksa untuk hamil atau menjalani sterilisasi serta aborsi.
d. Hak untuk hidup setiap perempuan mempunyai hak untuk dibebaskan dari
resiko kematian karena kehamilan.
e. Hak mendapat pelayanan dan perlindungan kesehatan termasuk. Hak atas
informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri,
kenyamanan, keseinambungan pelayanan dan hak berpendapat.
f. Hak untuk memutuskan kapan dan akan mempunyai anak.
g. Hak untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk termasuk hak anakanak agar dilindungi dari eksploitasi dan penganiayaan seksual serta hak
13
Artikel, Fatma Laili Khorun Nisa, Penegakan Hak Reproduksi Perempuan dalam Kebijakan
Keluarga Berencana Di Indonesia, di akses pada 21 September 2016 pukul 19:44
24
setiap orang untuk dilindungi dari perkosaan, kekerasan, penyiksaan dan
pelecehan seksual.
h. Hak memilih bentuk keluarga dan hak untuk membangun dan merencanakan
keluarga.
i.
Hak atas kerahasiaan pribadi pelayanan reproduksi dilakukan dengan
menghormati kerahasiaan dan bagi perempuan diberi hak untuk menentukan
pilihan sendiri reproduksinya.
j.
Hak atas kesetaraan dan bebas dari segala bentuk diskriminasi. Termasuk
kehidupan berkeluarga dan reproduksinya.
k. Hak mendapatkan manfaat dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan. Termasuk
pengakuan hak bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan
reproduksi dengan teknologi mutakhir yang aman dan dapat diterima.14
Berdasarkan item-item yang terdapat dalam kesepakatan tentang hak
reproduksi perempuan tersebut, maka pada dasarnya perjuangan dalam
pemenuhan hak dasar bagi perempuan tersebut sudah memiliki kekuatan
yuridis secara universal. Berbicara tentang hak reproduksi perempuan juga
termasuk di dalamnya adalah hak yang menyangkut kesehatan reproduksi
perempuan tersebut.
2. Hak Pendidikan
Pria dan perempuan saling melengkapi satu sama lain. Seorang perempuan
tidaklah lengkap tanpa seorang pria, begitu pula sebaliknya seorang pria tidaklah
lengkap tanpa seorang perempuan. Sebagai pendidik keluarga, kaum perempuan
memiliki tanggung jawab mendidik anak-anaknya. Jika kurang mendapat pendidikan
yang benar, seorang perempuan akan menghasilkan anak-anak yang tidak
14
21:05
WWW. Sribd.com/12, Hak Reproduksi Perempuan, di akses pada 18 agustus 2016 pukul
25
berpendidikan.
Karenanya
perempuan
mempunyai
peran
penting
dalam
mengembangkan umat dan memegang kunci kesuksesannya.15
Islam merupakan agama yang mengatur keseluruhan kehidupan manusia,
termasuk di dalamnya makhluk tuhan yang berjenis kelamin perempuan. Termasuk di
dalamnya makhluk tuhan yang berjenis kelamin perempuan. Maksud dan tujuan
penciptaan manusia di muka bumi ini adalah, disamping untuk menjadi hamba Allah
SWT. Yang tunduk dan patuh terhadap segala perintah-Nya juga menjadi pemimpin
di bumi ( khalifah fi al ard), kapasitas manusia sebagai khalifah ditegaskan dalam Q.S
Al-An’am ayat 165 yang berbunyi:
           
          
Artinya : ‘’Dan Dialah yang menjadikan sebagai khalifah-khalifah di bumi dan dia
mengangkat ( drajat) sebagaian kamu diatas yang lain, untuk menguji atas karunia
yang Diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi
hukuman dan sungguh dia maha pengampun, Maha Penyayang. ‘’ (Q.S Al- An’am
[6]: 165)’’
Kata ‘’khalifah’’ tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu,
artinya , baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai
khalifah, yang akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas ke khalifahnya di bumi.
Sebagaimana mereka bertanggung jawab sebagai hamba Allah. Untuk menjadi
seorang pemimpin, manusia harus memiliki bekal ilmu pengetahuan yang cukup.
Secara tidak langsung Tuhan menyuruh umatnya untuk belajar (membaca). Ayat yang
pertama kali diturunkan adalah iqra’ yang artinya bacalah, membaca dapat diartikan
15
Artikel Heirin puspitawati, Fungsi Keluarga Pembagian Peran dan Kemitraan Gender
dalam Keluarga, diakses pada 14 september 2016, Pukul 20:34
26
secara luas. Membaca alam semesta, keadaan sekitar dan kejadian pada masa
lampau.16
Dalam hal kesempatan mendapatkan pengetahuan, Al-Qur’an memandang
sama antara laki-laki dan perempuan. Keduanya di anjurkan untuk memperdalam
ilmu pengetahuan dalam rangka menghilangkan kebodohan diri dan umat yang ada
disekitarnya. Dalam kaitannya dengan hal itu, Allah berfirman dalam Q.S At-Taubah
ayat 122, yang berbunyi:
              
         
Artinya : ‘’Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk
memperdalam agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya’’ (Q.S At-taubah
[9]: 122)
Dalam konteks pembangunan, perhataian terhadap isu-isu yang langsung
berkenaan dengan bagaimana mendorong partisipasi perempuan dalam program
pembangunan. Peran perempuan tidak hanya identik sebagai ibu rumah tangga saja,
melainkan juga berpartisipasi di dunia publik, sosial, memiliki hak (harus)
berpendidikan, hak-hak politik disamping kewajiban sebagai ibu rumah tangga,
kecendrungan memasuki dunia kerja, dan pendidikan tinggi semakin meningkat.
Pendidikan, akses politik, dan kemandirian ekonomi menjadi justifikasi posisi tawar
yang setara dengan laki-laki, termasuk relasi kesetaraan dalam relasi domestik.17
Islam telah menyumbangkan jasa yang besar, Islam menyelamatkan kaum
perempuan dari penindasan dan mengangkat mereka ke kedudukan yang khusus,
16
17
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat ,( Bandung: Mizan, 1999), Cet Ke-1 h.135
Lily Zakiyah Munir, Memposisikan Kodrat , (Bandung: Mizan, 1999), Cet Ke-1 h.136
27
Islam tidak pernah berupaya menurunkan
derajat perempuan melainkan malah
mendukung untuk maju dan berupaya menjaga kehormatan dan kemuliaan gendernya.
Hal ini meliputi pendidikan yang semestinya bagi perempuan.18
3. Hak Waris
Berbagai literatur sejarah menceritakan bahwa nasib perempuan pra-Islam,
tidak pernah mendapatkan harta waris dari manapun, termasuk dari lingkungan
keluarga paling dekatnya; seperti ayah, suami, anak
atau saudara laki-lakinya.
Konsep kewarisan pra-islam berkaitan langsung dengan konsep kepemilikan dan
struktur masyarakat ketika itu.
Masyarakat arab ketika itu berstruktur masyarakat kabilah yang dipadu dengan
sistem kekerabatan patrilineal, yang hanya mengikuti garis keturunan laki-laki.
Masyarakat kabilah yang selalu dibayangi perang antar kabilah menetapkan bahwa
yang bisa mewarisi keluarga hanyalah keluarga laki-laki yang terdekat dari si mayit.
Urutan ialah anak ( laki-laki), bapak, saudara laki-lakinya, nenek garis ayah,
dan terakhir paman serta keturunannya. Meskipun anak laki-laki yang masih kecil
belum aqil baligh atau orang yang sudah uzur (tua Bangka) tidak juga berhak
mendapatkan harta waris karena dihukumkan sama dengan perempuan. Konsep
kewarisan dalam masyarakat Arab ketika itu terkait dengan konsep kepemilikan harta
dalam sistem masyarakat qabiliyyah (tribal society), yang mirip dengan extended
family; yaitu belum/ tidak bisa ikut berperang untuk mempertahankan kabilah maka
anaknya tersebut tidak berhak mendapatkan harta, sebelum mereka dapat mengangkat
pedang untuk membela eksistensi dan kelangsunganhidup kabilah. Oleh karena itu
18
Ali Hosein Hakim, et, al, Membela Perempuan, Terj. A.H.Jemala Gembala, (Jakarta : AlHuda 2005)
28
yang berhak untuk mendapatkan harta waris hanya laki-laki yang kuat, sudah aqilbaligh dan belum uzur.19
Alih-alih mendapatkan warisan, pada masa tersebut, perempuan sendiri justru
berfungsi sebagai ‘’harta warisan’’ bagi anak tiri laki-laki kalau suaminya
meninggal.20
Islam datang dengan memperkenalkan konsep warisannya, yaitu kaum
perempuan tetap mendapatkan warisan. Perubahan hukum waris bagi perempuan
dalam masyarakat dari ‘’tidak mendapat’’ menjadi ‘’mendapat’’ warisan, tidak lepas
dari konteks historis masyarakat arab ketika itu, yang sudah berangsur bergeser dari
masyarakat yang bertumpu pada kabialh ke masyarakat yang bertumpu pada
keluarga.21
Islam memperkenalkan pembagian dasar 2 banding 1 antara anak laki-laki dan
anak perempuan. Logikanya, porsi dua banding satu (liddzakari mitslu haddil unsa
yain) dalam hukum kewarisan islam bukanlah bentuk final dari hukum kewarisan
Islam , sebagaimana juga hukum-hukum lainnya adalah mewujudkan rasa keadila (al‘adl) dan menegakan amanat dalam masyarakat (tuadd al-amanah)
Sesungguhnya, bukan hanya dunia Islam yang mengenal konsep kewarisan
demikian. Dikawasan belahan bumi lainya, seperti anak benua india, anak perempuan
pun tidak mendapat harta warisan. Bahkan seorang perempuan yang ditinggal mati
oleh suaminya, maka ia pun turut serta di bangkar di api pembakaran suaminya.
19
Prof. DR. Nasarudin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi, 2010) Cet. 1 h.
136
20
Artikel Muhammad Rasyid Ridho, MSI, Hak-hak perempuan dalam Islam, diakses pada
hari jum’at 17 september 2016 pukul 11:48
21
Prof. DR. Nasarudin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi 2010) Cet. 1 h.
136
29
Ayat pembagian waris yang sering mendapat gugatan adalah:
               
               
                  
               
              
Artinya: ‘’Allah mensyariatkanbagimu tentang (pembagian pusaka untuk)anakanakmu. Yaitu :bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu
mempunyai anak. Jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak. Dan ia diwarisi
oleh ibu-bapak (saja), ibunya mendapat sepertiga. jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (pembbagianpembagian tersebut di atas)sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar utangnya. (tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu, ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha bijaksana’’.
(Q.S al-Nisa (4) :11)
Dalam satu riwayat menyebutkan sabab nuzul ayat ini, bahwa istri Sa’ad ibn
Rabi mendatangi Rasulullah dan menanyakan perihal dua anak perempuan sa’ad ibn
Abi Rabi, yang bapaknya meninggal di medan perang ketika bersama Rasulullah di
Perang Uhud. Paman kedua anak itu mengambil semua harta dari ayah anak tersebut,
dan tidak menyisakan sedikit pun. Rasulullah menjawab: ‘’Allah menetapkan yang
demikian itu.’’ Kemudian turunlah ayat ini. Setelah itu, Rasulullah memerintahkan
pamanya untuk menyerahkan sepertiga harta itu untuk kedua anak perempuan Sa’ad,
seperdelapan untuk ibu kedua anak itu, dan selebihnya untukpamanya. Ayat Lain
yang senada adalah:
30
           
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
perempuan.(Q.S al-Nisa (4) :176)
Poin yang amat penting disini ialah islam memberikan pengakuan hak waris
kepada perempuan. Soal porsi yang diperoleh adalah persoalan lain. Pemberian hak
waris kepada perempuan, seperti halnya nanti pada pemberian hak untuk menjadi
saksi, bagian dari terobosan terbesar besar Islam untuk mentransformasi masyarakat
dari pola hidup qobiliyyah yang mengandalkan ikatan primodialisme kesukuan yang
sempit (‘ashabiyyah) kepada masyarakat yang berpola hidup ummah, suatu pola
hidup masyarakat baru yang mengandalkan ikatan nilai-nilai kemanusiaan secara
universal. Dalam pola hidup qabiliyyah, promosi karier hanya bergulir kepada lakilaki.
Ayat-ayat tadi sudah dianggap memenuhi hak-hak standar perempuan ketika
itu, karena anak perempuan, apa pun posisinya tidak pernah diterlantarkan dan selalu
di pertanggungjawabkan oleh bapaknya. Sebagai saudara, dipertanggungjawabkan
saudara laki-lakinya. Dan sebagai istri, dipertanggungjawabkan suaminya.
Dalam masyarakat Indonesia, pada umumnya, penerapan porsi seperti disebut
dalam ayat diatas sudah tidak umum lagi diterapan. Porsi sedemikian ini biasanya
melalui putusan hakim di pengadilan jika alternatif lain tidak disepakati. Hakim dalam
memutuskan persoalan kewarisan, dituntut untuk mempertimbangkan seluruh aspek
di dalam lingkungan keluarga yang berperkara; termasuk mempertimbangkan sendi-
31
sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat tem pat dan di mana para pihak yang
berperkara hidup.22
4. Hak Khulu’
Perempuan sebagaimana laki-laki, mempunyai hak untuk menjatuhkan talak
yang disebut khulu’.23 Pemutus akad nikah dari pihak Istri, Islam memberi peluang,
jika Istri yang dirugikan secara syara’ maka dapat mengajukan khulu’ atau gugat cerai
di pengadilan. Istri membayar kembali mahar/maskawin suaminya. Jika pengadilan
menerima gugat cerai tersebut, maka putuslah ikatan nikahnya. Akibatnya, tidak bisa
rujuk lagi.24
Dalam hak talak bagi perempuan, Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa
seorang perempuan berhak mengajukan talak dengan alasan-alasan suami tidak dapat
memberi nafkah dengan tidak mencukupi kebutuhan pangan, sandaang, dan papn
serta kesehatan yang diperlukan oleh istri karena sebab cacat atau keadaan yang
membuat dia tidak mampu menafkahi istri. Jika suami menolak, maka pengadilan
yang akan memutuskannya, suami perperilaku kasar terhadap istri, kepergian suami
yang relative lama,dan jika suami dalam status kurungan/tahanan.25 Sebagaimana
yang telah diugkapkan di atas bahwa jika suami menolak permintaan talak dari istri
maka istri dapat mengajukan cerai kepada pengadilan yang disebut dengan cerai
gugat.
22
Prof. DR. Nasarudin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi 2010) Cet. 1
Prof. DR. Nasarudi Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, Jakarta: serambi 2010) cet 1 h.122
24
Dra. Hj. Mufidah. Ch. M.Ag, Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender, (Malang:
UIN-MALANG PRESS, 2008) h.24
25
Wahbah al-Zuhaili, al fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut: dar al-Fikr, 1989, h.728
23
32
Dalam kitab Nailul Authar Juz 6 menyebutkan bahwa khulu’ pertama kali
terjadi pada istri Tsabit bin Qaisbin Syammas yang disebutkan dalam
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
‫ اِﻧّﻰ ﻣَﺎ‬،ِ‫ ﯾَﺎ رَﺳُﻮْلَ اﷲ‬:ْ‫ ﺟَﺎءَتِ اﻣْﺮَأَةُ ﺛَﺎﺑِﺖِ ﺑْﻦِ ﻗَﯿْﺲِ ﺑْﻦِ ﺷَﻤَّﺎسٍ اِﻟَﻰ اﻟﻨَّﺒِﻲّ ص ﻓَﻘَﺎﻟَﺖ‬:َ‫ﻋَﻦِ اﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎسٍ ﻗَﺎل‬
:ْ‫ اَﺗَﺮُدّﯾْﻦَ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﺣَﺪِﯾْﻘَﺘَﮫُ؟ ﻗَﺎﻟَﺖ‬:‫ ﻓَﻘَﺎلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ص‬.ِ‫ وَ ﻟَﻜِﻨّﻰ اَﻛْﺮَهُ اْﻟﻜُﻔْﺮَ ﻓِﻰ اْﻻِﺳْﻼَم‬،ٍ‫اَﻋْﺘِﺐُ ﻋَﻠَﯿْﮫِ ﻓِﻰ ﺧُﻠُﻖٍ وَ ﻻَ دِﯾْﻦ‬
‫ ﻓﻰ ﻧﯿﻞ اﻻوﻃﺎر‬،‫ اﻟﺒﺨﺎرى و اﻟﻨﺴﺎﺋﻰ‬.ً‫ اِﻗْﺒَﻞِ اْﻟﺤَﺪِﯾْﻘَﺔَ وَ ﻃَﻠّﻘْﮭَﺎ ﺗَﻄْﻠِﯿْﻘَﺔ‬:‫ ﻓَﻘَﺎلَ رَﺳُﻮْلُ اﷲِ ص‬.ْ‫ﻧَﻌَﻢ‬
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata : Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang
kepada Nabi SAW, lalu ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela
dia (suamiku) tentang akhlaq dan agamanya, tetapi aku tidak menyukai kekufuran
dalam Islam”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Maukah kamu mengembalikan
kebunmu kepadanya ?”. Ia menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda (kepada
Tsabit), “Terimalah kebunmu itu dan thalaqlah dia sekali”. [HR. Bukhari dan Nasai,
dalam Nailul Authar juz 6, hal. 276]
Menurut jumhur khulu’ juga didasarkan pada Al-QS Al-Baqarah : 229
              
               
               
    
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukumhukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu
melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
Ayat ini menunjukan bahwa khulu’ boleh dilakukan bukan hanya dalam keadaan
takut dalam ayat diatas dimaksudkan bukan sebagai syarat, tetapi menunjukan situasi
33
perempuan tersebut. Seperti situasi dimana hubungan suami-istri betul-betul tidak
harmonis satu dengan yang lainnya sehingga khawatir tidak dapat melaksanakan
hak-hak yang telah ditetapkan oleh Allah. 26
C. Hak perempuan sebaga istri
Dalam hubungan suami istri dalam rumah tangga suami mempunyai hak dan
begitu pula istri mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban
dan begitu pula istri mempunyai beberapa kewajiban27. Demikian pula kaum wanita
mempunyai hak atas suami mereka, dan tidak akan berlanjut kehidupan suami istri di
atas keadilan yang diperintahkan oleh Allah, kecuali jika setiap suami dan istri
memenuhi hak-hak diantara mereka. Adapun hak-hak istri adalah sebagai berikut:28
1. Hak istri yang bersifat materi meliputi:
Hak mengenai harta, yaitu mahar atau maskawin dan nafkah
Sebagaimana firman Allah surat An-nisa (4) ayat 4:
               
berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan
kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
Maka kata an nihlah dalam ayat di atas, adalah pemberian dan hadiah.
Ia bukan merupakan imbalan yang diberikan laki-laki karena boleh menikmati
perempuan, sebagaimana persepsi yang telah berkembang di sebagian
masyarakat. Sebenarnya dalam hukum sipil juga kita dapatkan bahwa
26
27
Prof. DR. Nasarudi Umar, Fikih Wanita Untuk Semua,( Jakarta: serambi 2010) cet 1 h.123
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Peranada Media, 2007),
h.160
28
Abu Musa Abdurrahim, Kitab Cinta Berjalan, (Jakarta, Gema Insani 2011), cet 1, h.233
34
perempuan harus menyerahkan sebagian hartanya kepada laki-laki. Namun,
fitrah Allah telah menjadikan perempuan sebagian pihak penerima, bukan
pihak yang harus memberi.29 Penganut Mazhab Hanafi menetapkan batas
minimal mahar adalah sepuluh dirham. Sementara penganut Mazhab Maliki
menetapkan tiga dirham, tapi penetapan ini tidak berdasar pada dalil yang
layak
dijadikan
sebagai
landasan,
tidak
pula
hujjah
yang
dapat
diperhitungkan.30 Sedangkan Madzhab Hanafi berpendapat bahwasanya tidak
ada ketentuan terkait besaran nafkah, dan bahwasannya suami berkewajiban
memikul kebutuhan istri secukupnya yang terdiri dari makan, lauk pauk,
daging, sayur mayor, buah, minyak, mentega dan semua yang dikonsumsi
untuk menopang hidup sesuai dengan ketentuan yang berlaku secara umum,
dan bahwasanya itu berbeda-beda sesuai sesuai dengan perbedaan tempat,
zaman dan keadaan. Madzhab Syafi’i tidak mengaitkan pendapat besaran
nafkah dengan batasan kecukupan. Mereka mengatakan nafkah ditetapkan
berdasarkan ketentuan syari’at. Meskipun demikian. Mereka sepakat dengan
Madzhab Hanafi dalam mempertimbangkan keadan suami, dari segi
kelapangan ataupun kesulitan, dan bahwasannya suami yang mengalami
kondisi lapang, yaitu yang mampu memberikan nafkah dengan harta dan
penghasilannya, harus memenuhi sebanyak dua mud setiap hari ( satu mud
kurang lebih setara dengan 543 gram). Sedangkan orang yang mengalami
kesulitan, yaitu yang tidak mampu memberikan nafkah dengan harta tidak
pula penghasilan, harus menafkahi sebanyak satu mud setiap hari.31
2. Hak-hak istri yang bersifat non materi:
29
Yusuf Al Qardawi, Panduan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004), cet.1,
30
Wahbah Az-Zuhaili, ‘’Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 7’’, h.412
Wahbah Az-Zuhaili, ‘’Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 7’’, h.437
h.151
31
35
a. Hak mendapatkan perlakuan baik dari suami.
Sebagaiman firman Allah dalam Surat An-nisa (4) ayat 19:
    
          
Artinya: ‘’Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
banyak’’. (Q.S An-Nisa (4) ayat 19)
Kewajiban istri terhadap suami tidak berdasarkan paradigma
kamu
tidak
yang
lama
dimana posisi wanita lemah sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang
oleh pria (suami). Sebaiknya cara melihat wanita tetap berdasarkan pada
pengakuan atas harkat dan martabat wanita yang mulia, selaras dengan hakhak yang harus diterima dari suaminya, kewajiban istripun tidak terlepas dari
upaya yang bersangkutan mendukung terciptanya kehidupan keluarga yang
sakinah, mawaddah, wa rahmah.32Adapun tujuan dari hak dan kewajiban
suami istri adalah suami istri dapat menegakan rumah tangga yang merupakan
sendi dasar dari susunan masyarakat, oleh karena itu suami istri wajib untuk
saling mencintai, saling menghormati, saling setia.33
b. Agar suami menjaga dan memelihara istrinya
Maksudnya ialah menjaga kehormatan istri, tidak menyia-nyiakan, agar selalu
melaksanaakan perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Sebagaimana Firman Allah dalam surat At-Tahrim (28) ayat 6:
       
Artinya: ‘’Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka’’. (Q.S At-Tahrim (28) ayat 6)
32
Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, (Jakarta: Penamadani,2004), cet 3, h. 188
http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/. (diakses pada 15 oktober
2015) 12:45
33
36
c.
Sabar dan kuat menghadapi masalah34
Wanita bukanlah peri yang hanya ada dalam dunia khayal, melainkan
dia hanyalah manusia biasa yang bisa saja baik dan jahat, benar dan salah
karena itu, suami harus sabar kdan kuat menghadapi masalah dalam rangka
menjaga keutuhan hidup suami istri agar tidak hancu. Laki-laki muslim sejati
adalah yang bijaksana dan menerima kenyataan atas apa yang dihayalkan.
Sehingga akal sehatnya lebih dikedepankan dari perasaannya. Mampu
menahan dan mengendalikan emosional tatkala perasaannya merasa tidak
simpati kepada sikap istrinya. Hal ini demi melanjutkan kehidupan rumah
tangga sebagai respon terhadap firman Allah dalam surat An-nisa (4) ayat 19:
             
 
Artinya: ‘’dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak’’ (Q.s (An-nisa (4) ayat 19)
d. Jangan menghalangi untuk pergi ke masjid35
Al- Kirmani berkata ‘’Hal itu diperbolehkan jika aman dari fitnah’’ AlBukhari meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya warahimahullahu, dari Nabi
SAW:
‘’Jika istri salah seorang dari klian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka
janganlah menghalanginya’’.
34
Amru Abdul Karim Sa’dawi, Wanita dalam Fiqih Al-Qurdawi, (Jakarta: Pustaka AlKautsar,2009)
35
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Panduan Lengkap Nikah dari ‘’A’’
sampai ‘’Z’’ ( Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006), cet 1. H.324
37
kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan
agama, bukan dalam hal kemaksiatan. Diantara ketaatan istri kepada suaminya
adalah tidak keluar rumah kecuali dengan seizinnya (suami). 36 Sebagaimana
Rasulullah SAW menegaskan tentang hak suami terhadap istri:
‘’ Dari Abdullah bin Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Hak
suami terhadap isttrinya adalah tidak menghalangi permintaan suaminya
kepadanya sekalipun sedang diatas punggung unta, tidak berpuasa walaupun
sehari saja selain dengan izinnya, kecuali puasa wajib. Jika ia tetap berpuasa,
ia berdosa dan puasanya tidak diterima. Ia tidak boleh memberikan sesuatu
dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Jika ia memberinya maka
pahalanya bagi suaminya dan dosanya un tuk dirinya sendiri. Ia tidak keluar
dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya, jika ia berbuat demikian maka
Allah melaknatnya dan para malaaikat memarahinya sampai tobat dan pulang
kembali sekalipun suaminya itu zhalim. ( HR. Abu Daud)
D. Hak Perempuan sebagai orang tua
Kehidupan keluarga demokratis biasanya di bangun di atas idieologi
kapilastik. Tujuan hidupnyapun lebih bermuara kepada pandangan yang matrealistik.
Dalam keluarga yang hidup d lingkungan masyarakat yang kapitalistik, model
pembangunan keluarga yang secara alami, dimana seoang suami menjadi pemimpin
keluarga dan pencari nafkah, dan seorang ibu mengurusi segala yang berhubungan
dengan kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anak-anak mereka, akhirnya mulai
36
h. 159
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010)
38
kabur37. Peran dan fungsi anggota menjadi bergeser karena harus memenuhi tuntutan
material. Apalagi ada konsep emansepasi wanita yang menuntuk pengakuan atas hak
dan kewajiban yang sama dan sejajar antara perempuan dan laki-laki. Disini timbul
masalah baru, dimana wanita bukan saja bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan materi, tetapi telah mengarah kearah karir sebagaimana lelaki.
Peran dan fungsi wanita yang terpenting pun menjadi kabur, sebab kedudukan
laki-laki dan wanita sama dalam menjalankan tugas dan fungsi tersebut. Akhirnya,
model menejemen keluarga secara alami menjadi tergeser kesudut yang sempit, oleh
model manajemen keluarga yang bergaya kapitalistik. Ikatan keluarga pun secara
tidak langsung mengikuti prinsip idiologi tersebut, yang lebih bermuara kepada
hubungan timbal balik yang bersifat kepentingan.38
Keberhasilan seorang suami dalam kariernya, banyak sekali didukung oleh
motivasi, cinta kasih dan doa seorang isteri. Sebaliknya, keberhasilan karier isteri juga
di dukung oleh pemberian akses, motivasi dan keihklasan suami. Oleh karena itu,
dalam peranannya sebagai seorang suami isteri, keduanya dapat melakukan peran
peran yang seimbang, diantaranya :
1. Berbagi rasa suka dan duka serta memahami peran, fungsi dan kedudukan
suami maupun isteri dalam kehidupan sosial dan propesinya, saling
memberikan dukungan, akses, berbagi peran kepada konteks tertentu dan
memerankan peranannya bersama sama dalam konteks tertentu.
37
Mudjab Mahali, Menikahlah, Engkau menjadi kaya, ( Yogyakarta, MITRA PUSAKA: 2003 ),
Cet-4., Ha.510-511
38
Mudjab Mahali, Menikahlah, Engkau menjadi kaya, ( Yogyakarta, MITRA PUSAKA: 2003 ),
Cet-4., Ha.510-511.
39
2. Memposisikan sebagai isteri sekaligus ibu, teman dan kakasih bagi suami.
Demikian puala menempatkan suami sebagai bapak, teman dan kekasih yang
keduanya sama sama membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
3. Menjdi teman diskusi, bermusyawarah dan saling mengisi dalam proses peran
pengambilan keputusan. Peran pengambilan keputusan merupakan peran yang
cukup urgen, dan berat jika hanya di bebankan terus menerus pada salah satu,
suami ataupun isteri. 39
Alasan pertama mengapa perempuan harus dihargai, ialah karena dari
rahimnyalah setiap orang lair kedunia. Perempuan sebagai ibu yang melahirkan, telah
menanggung beban penderitaan sejak mengandung, melahirkan sampai memelihara
anaknya. Karena itu Allah SWT memerintahkan setiap orang untuk menghormati
ibunya.
            
  
   
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua
orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. ( QS: Luqan, 31:14 ).
Bahwa dalam ayat di atas, Al-Quran menyebutkan ibu sebagai Al-Walidah,
yang berarti orang tua yang melahirkan. Dalam ayat inipun secara tidak langsung di
tegaskan bahwa anak yang lahir adalah milik ibunya. Dengan kalimat awladahunna (
anak-anak mereka ). Secara tidak langsung bahwa hak perempuan sebagai orang tua
salah satunya adalah mendapatkan perlakuan baik dan penghormatan dari anak-
39
Mufidah, Psikologi keluarga Islam, ( Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008 ). Cet-1,. Ha. 140.
40
anaknya karena sejatinya ibu adalah orang yang sudah mengandung dan merawat
serta mendidik anak-anak.
Pernikahan ini berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan
cinta serta penghormatan. Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas
dalam rumah tangganya, mengatur anak, dan menciptakan suasana menyenangkan,
supaya suaminya dapat menegerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan
duniawi maupun ukhrawi.40 Begitulah kira-kira hak perempuan sebagai orang tua, hak
dalam mendapatkan kasih sayang baik dari suami maupun anak-anaknya, hak dalam
mendidik anak sebagaimana yang telah di jelaskan dalam ayat Al-Quran di atas, dan
hak menerima Nafkah atau biaya hidup dari suaminya. Dan kelak ketika anaknya
sudah menjadi dewasa, perempuan sebagai orang tua berhak mendapatkan warisan
dari anaknya ketika anaknya sudah meninggal.
40
ha. 379.,
Syeh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqh Wanita, ( Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, 1998 ) cet-1,
BAB III
BIOGRAFI ASMA BARLAS
A. Riwayat Hidup
Pada bab ini dibahas tentang latar belakang kehidupan Asma Barlas. Ini dirasa
perlu, mengingat yang menjadi kajian dalam penulisan ini adalah Asma Barlas. Oleh
sebab itu, penulis merasa butuh dan hendaknya mengetahui secara komprehensif dan
lebih spesipiknya adalah segala hal yang ikut mendukung dan mempengaruhi tumbuh
kembangnya keilmuan Asma Barlas dimulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Begitu juga dengan segala disiplin ilmu yang dikuasai olehnya, sehingga sampailah ia
menjadi salah satu tokoh penting dalam dunia feminis.
Karena Ketika mengkaji pemikiran seorang tokoh, maka menjadi suatu
keniscayaan untuk tidak memisahkan antara gagasan pemikiran yang dihasilkan
dengan latar belakang sosio –historis pemikirannya. Keduanya adalah saling terkait
dan tidak boleh dipisahkan. Oleh karena itu, keduanya harus dikaji secara integratif.
Sehingga antara ide dengan latar belakang sosio-historis dapat tergambarkan secara
sistematis dan dialektis.
Kajian mengenai latar belakang kehiduan serang tokoh merupakan suatu hal
sangat signifikan untuk dilakukan, bagaimana, ide, gagasan atau pemikiran tidak akan
pernah terlepas dari konteks latar belakang pencetus ide itu sendiri. Ide dan pemikiran
itu selalu base on historical problems, sebagaimana dalam kajian ‘ulumul al-Qur’an
juga di kenal dengan adanya konsep ashab al-nuzul.
Berangkat dari asumsi ini, kiranya perlu untuk menjelaskan bagaimana latar
belakang sosio-historis Asma Barlas. Urgensi dan signifikansinya adalah untuk
41
42
melihat bagaimana kita bisa melihat antara ide pemikiran yang dihasilkan dengan
kondisi sosial historis yang menyertai. Bagaimana harus disadari bahwa aspek
lingkungan keluarga, pendidikan, maupun kondisi sosio-kultural, bahkan situasi
politik pada saat Asma Barlas memunculkan ide, adalah sangat berpengaruh atau
setidaknya mengilhami dalam menggulirkan sebuah ide dan gagasan. Dengan melihat
latar belakang riwayat hidupnya, maka diharapkan akan dapat menganalisis secara
lebih tajam, kritis, dan cermat mengenai akar pemikiran Asma Barlas.
Dalam hal ini penulis akan mencoba menerapkan biografi Asma Barlas. Akan
tetapi, penulis mendapat kesulitan karena ulasan tentang Barlas kurang memadai.
Sejumlah sumber yang penulis dapatkan memiliki keterbatasan informasi yang cukup
berarti.
Asma Barlas dilahirkan di Lahore, Pakistan, tempat ia menjadi perempuan
pertama, 1956, di Negara tersebut yang bekerja untuk pelayanan luar negeri.1 ia
mempunyai seorang anak bernama Demir Mikail dari suaminya Ulises Ali. Ayahnya
bernama Iqbal Barlas, Ia memuja almarhum ayahnya, Iqbal Barlas, dan ibunya,
Anwar Barlas, yang kini bermukim di Vancouver, kanada. Keduanya mendidik tiga
anak perempuan serta satu anak laki-lakinya secara setara dan membukakan mata
mereka akan ilmu pengetahuan yang tidak terbatas. 2
Berkat didikan orang tua nya Barlas pun tumbuh menjadi pemikir-aktivis
yang sangat kritis. Pada masa Ziaul Haq, Barlas diberhentikan dari tugasnya karena
kritikannya yang keras terhadap kekuasaan rezim militer di Pakistan yang dipimpin
oleh jenderal ini..
30
Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta :
Serambi 2005) Cet. 1
2
09:44
Maria Hartingsih dalam http://www.Barlasbarlas.com/link diakses pada 10 juni 2015 pukul
43
Selepas dari pekerjaannya, ia kemudian bergabung sebagai asisten editor di
surat kabar The Muslim, sebuah surat kabar yang menyuarakan oposisi terhadap
kebijakan pemerintah. Namun, pada tahun 1983, Asma Barlas harus meninggalkan
negaranya karena rezim saat itu melakukan pengusiran terhadapnya. 3
Asma Barlas hidup ditengah realitas masyarakat Pakistan yang sangat tidak
mendukung pembebasan perempuan, bukan mendiskriminasi perempuan sedemikian
rupa. Ketika Perdana Mentri Zulfikar Ali Buhutto ditangkap pada 5 Juli 1977, itulah
dimulainya perebutan kekuasaan oleh jenderal Ziaul Haq dimulai. Sembilan bulan
kemudian, jenderal Zia mengumumkan ketertarikannya melakukan islamisasi atas
kode etik masyarakat Pakistan. Ketika itu pulalah Zia melakukan kooptasi atas Liga
Muslim Pakistan dan menempatkan anggota-anggota jamaah Islamiyah di dalam
Kabinetnya. Jamaah Islamiyah adalah organisasi Islam Pakistan yang sangat getol
memperjuangkan penerapan syariat Islam. Zia sebagai penguasa berarti berkuasanya
kelompok jamaah Islamiyah, yang dengan demikian menjadi tanda akan
berlangsungnya diskriminasi besar-besaran terhadap perempuan.4
Kisah Pakistan seperti itulah yang membuat Asma Barlas terusir dari tanah
airnya sendiri. Di Pakistan, Perempuan benar-benar terbelenggu dengan berbagai
argument doktrin agama dengan banyak tingkatan. Menurut Asma Barlas, penerapan
syariat di Pakistan sangat mengecewakan. Ada pembantu rumah tangga yang
diperkosa lalu dihukum ranjam, padahal sanksi rajam sendiri tidak terdapat dalam alQur’an untuk kejahatan apa pun. Tapi orang-orang yang pro-syariat akan
mengeluarkan ratusan hadis dan mengklaim diri setia mempraktekan ajaran Nabi.
3
Asma Barlas, Cara Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta :
Serambi 2005) Cet. 1
4
Maria Hartingsih dalam http://www.Barlasbarlas.com/link diakses pada 10 juni 2015 pukul
09:44
44
Ujungnya, perbincangan melanturkan ke tingkat lain. Asma Barlas menekankan
bahwa sebagai mukmin, kita tidak harus yakin 100% dengan apa yang ada di hadis,
tapi perlu yakin 100% pada apa yang ada di dalam al-Qur’an.
Di Pakistan, sanggahan terhadap hal semacam itu akan dijawab oleh mereka
yang pro-syariat dengan segera berpindah argumen dari al-Quran ke hadis, lalu ijma’
atau konsensus ulama. Asma Barlas mengatakan:
‘’ketika Anda mengatakan al-Qur’an dapat ditafsirkan lebih dari satu cara, mereka
segera memindahkan kancah perdebatan ke hadis. Ketika Anda dapat mematahkan
argument hadis karena ia lebih banyak diriwayatkan bil ma’na dan merupakan salah
satu refleksi kebijakan Nabi saja, mereka akan berdalih dengan ijma’. Padahal, konsep
ijma’ tidak dapat dierima, karena tidak datang dari langit. Ijma’ sudah jelas konstruksi
sosial manusia yang tidak sacral sama sekali. Tapi mereka akan kukuh dengan itu, dan
akan mencecar Anda keluar dari kesepakatan ulama. Bagi saya, itulah bentuk pusaran
penindasan ( circle of opressions) yang selama ini kita hadapi. Dan selama ini, sulit
bagi perempuan untuk lari dari pusara tersebut’’.5
Dengan latar belakang pengalaman hidup seperti ini, Asma Barlas muncul
dengan sejumlah argumentasi bagaimana mengatasi problem sosial masyarakat Islam
dengan terlebih dahulu menyoroti masalah teologis. Sebab bagi Asma Barlas,
persoalan umat Islam sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi keagamaan
masyarakat Islam itu sendiri.
B. Perjalanan Pendidikan Karier Intelektual Asma Barlas
Asma Barlas adalah satu di antara sekian intlektual Muslim yang merambah ke
berbagai disiplin ilmu. Studi Islam sebetulnya hanyalah konsekuensi dari focus
5
Indri Sri Sembadra, Karakteristik Anti Patriarkal Dalam Al-Qur’an : Studi Pemikiran Asma
Barlas, (Jakarta : Fakultas Ushuluddin, 2007)
45
perhatian dia, yakni ilmu politik. Dengan mempelajari politik, ia kemudian tertarik
dan tertantang untuk meng etahui lebih jauh mengenai Islam, khususnya fenomena
kuatnya doktrin yang membuat realitas politik Islam cenderung tertutup.
Asma Barlas pergi ke Amerika Serikat dan mendapat suaka politik (political
asylum) dari negri ini. Riwayat pendidikannya dimulai dariuniversitas di Pakistan di
mana ia mendapatkan B.A dalam bidang sastra Inggris dan filsafat serta M.A dalam
bidang jurnalisme. Dia kemudian melanjutkan studinya di Amerika dan mendapatkan
M.A dan ph.D dalam bidang kajian Internasional di Universitas Dnver Colorado. 6
Secara intelektual, Asma Barlas memiliki karier yang cukup bagus. Hal ini
bisa dilihat dalam jabatan akademis yang ia pegang dan juga tulisan-tulisannya yang
tersebar di mana-mana. Bahkan Barlas menulis tidak hanya terbatas pada kajian
mengenai Islam dan perempuan, tetapi juga kajian-kajian mengenai politik
internasional dan isu yang lainnya.
Ia tampaknya juga menggunakan ceramah-ceramahnya untuk menyebarkan
nilai-nilai kesetaraan dalam Islam yang ia maknai sebagai saling memahami, saling
menghormati; nilai-nilai yang mengagungkan perdamaian dan cinta kasih terhadap
sesama. Membaca Barlas adalah membaca wajah Islam yang teduh. Barlas
menyepakati pandangan bahwa bukan agama yang melahirkan ekstremisme,
fundamentalisme, konservatisme, atau apa pun namanya, yang mengedepankan
ketidaksetaraan, kekerasan, dan kebencian.
C. Daftar Karya
Asma Barlas menulis banyak karya, baik dalam bentuk buku, esai, maupun
artikel lepas. Tulisan- tulisannya tidak hanya bicara politik, sebagaimana bidang
6
www.ithaca.edu/faculty/abarlas. Diakses pada 23 Juni 2016 pukul 15:20
46
kajian dalam pendidikan formalnya, melainkan juga tema-tema keislaman, khususnya
yang berkaitan dengan perempuan. Tema-tema ini diambil bukan tanpa tujuan,
melainkan untuk menjawab persoalan yang kerap menganggu pikirannya, yakni
tentang betapa susahnya pengembangan demokrasi di dunia Muslim. Barlas
menyakini bahwa salah satu penghambat demokrasi itu adalah maraknya berbagai
bentuk penindasan dan diskriminasi terhadap perempuan, tidak hanya pada tataran
praktik sosial melainkan juga dalam ranah teologis. Berikut ini uraian beberapa :
1. The Pleasure of Our Texts: Re-reading the Qur’an (2006). Buku mengajak
para pembaca untuk lebih memahami isi kandungan Qur’an yang tidak
mendiskriminasi prempuan dan buku ini juga mengupas tentang segala yang
dikatakan Qur’an bahwa Qur’an menyamakan antara Perempuan dan laki-laki
dalam urusan Re-read Qur’an.
2. Reviving Islamic Universalism (2006). Buku ini membahas tentang bagaiman
asma barlas memadukan antara islam modern dengan budaya dan dalam buku
ini juga asma memaparkan tentang islam timur dan barat.
3. Islam, Muslim, and the U.S ; Essays on Religion and Politics (India, Global
Media Publications, 2004). Buku ini membahas bagaimana perubahan
pandangan dunia terhadaap Islam pasca tragedy 11 September 2001 di
Amerika Serikat yang mengambil inisiatif menggalang kekuatan dunia untuk
melawan terorisme secara langsung menempatkan Islam sebagai tertuduh.
Akhirnya terjadi marginalisasi terhadap ‘’Islam’’ di berbagai belahan dunia.7
Diskriminasi terhadap dunia Islam tidak hanya berdampak negative kepada
dunia Islam secara keseluruhan, tetapi juga menambah derita berbagai
komponen di dunia Islam itu sendiri yang selama ini memang tertindas, salah
7
Asma Barlas, Islam, Muslim, and the U.S ; Essays on Religion and Politics (India, Global
Media Publications, 2004)
47
satu komponen tertindas yang paling utama adalah perempuan. Asma Barlas
hendak menunjukan bahwa perempuan Islam mengalami diskriminasi ganda,
baik pada tartan global, di mana dunia Islam, juga pada tingkat regional,
dimana Islam itu sendiri mendiskriditkan perempuan. 8
Dunia Islam yang menindas itu disebut sebagai dunia patriarki. Islam
teroris tidak hanya meneror ‘’barat’’ dan Amerika Serikat, taapi juga kaum
perempuannya. Praktik yang telah ditinggalkan di belahan dunia lain itu masih
langgeng di dalam struktur masyarakat Muslim.9
4. Beliving Women ‘’in Islam: Unreading Patriarcal Interpretations of the Qur’an
(Universitu of Texas Press, 2002). Banyak kalangan yang menemukan bahwa
penindasan terhadap perempuan dikalangaan Islam, seperti kekerasan
mengaku ‘’Islami’’ Hal ini menjadi dasar bagi mereka bahwa doktrin agama
Islam yang tertuang dalam al-Qur’an memberikanjustifikasi religious bagi
ketertindasan itu. Melalui buku ini, Asma Barlas melakukan pembelaan yang
kuat bahwa al-Qur’an secara radikal mengembangkan ajaran egalitarian dan
antipatriarkal.10
Dimulai dengan analisis historis mengenai otoritas dan pengetahuan agama,
Barlas menunjukan bagaimana kalangan Muslim membaca al-Qur’an dengan
kacamata patriarkal dan diskriminatif untuk menjustifikasi struktur sosial dan
agama serta mengajukan hasil bacaan yang seolah-olah menempatkan alQuran sebagai pendukung ketidak setaraan. Sebaliknya, Barlas dengan
ketelitian seorang peneliti menunjukan bahawa al-Qur’an justru mendukung
8
Asma Barlas, Islam, Muslim, and the U.S ; Essays on Religion and Politics (India, Global
Media Publications, 2004)
9
www. asma barlas.com/editorial/religious_authorites.pdf, diakses pada 5 Agustus 2015
Pukul 15:33
10
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta : Serambi 2005) Cet. 1
48
penuh semua prinsip kesetaraan dan menyediakan kemungkinan teoritik bagi
pemahaman tentang kesetaraan itu sendiri. Karya ini bisa dijadikan landasan
bahwa secara teologis, Islam menganjurkan dan mendukung penuh semua
prinsip kesetaraan. Dengan demikian, pandangan ini sekaligus membantah
bahwa ide kesetaraan (perempuan dan laki-laki) adalah sesuatu yang baru dan
berasal dari luar Islam, melainkan berasal dari dalam Islam itu sendiri.11
5. Democracy, Nationalism, and Communalism: The Colonial Legacy in South
Asia (Westview Pres, 1995). Buku ini membahas perkembangan politik di
dunia Muslim, khususnya Asia Selatan. Barlas mencoba membandingkan
antar pengaruh agama pada politik dengan membandingkan antara wilayahwilayah berpenduduk Muslim dan Hindu. Pengaruh itu tampak dala m
beberapa aspek, yakni demokrasi, nasionalisme, dan komualisme.12
D. Metode pemikiran Asma Barlas
Metode dan prinsip-prinsip yang digunakan Asma Barlas dalam membaca
kembali al-Qur’an dan aplikasinya terhadap ayat-ayat gender yaitu dalam rangka
membangun sebuah prinsip egalitarianisme dan antipatriarkalisme di dalam alQur’an yang erat kaitannya dengan pembebasan perempuan, Barlas menggunakan
dua argumen penting, yaitu: argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutik.
Argumentasi sejarah maksudnya adalah penggunaan karakter politik tekstual dan
seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah
menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis.
Sedangkan argumentasi hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia
11
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta : Serambi 2005) Cet. 1
12
Asma Barlas, Democracy, Nationalism, and Communalism: The Colonial Legacy in South
Asia (Westview Press, 1995)
49
sebut sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarkalisme di dalam alQur’an, yang terletak dalam karakteristik pengungkapan diri Tuhan, yang menolak
pandangan tentang kekuasaan ayah atau laki-laki.13
Ada tiga langkah yang digunakan Barlas dalam hal ini:
1. Menjelaskan karakter teks al-Qur’an yang polisemik dan membuka pelbagai
kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang
reduksionis dan esensialis, artinya tidak bolehnya membaca al-Qur’an dalam
kerangka patriarkis saja.
2. Barlas ingin menolak relativisme penafsiran, sebuah pandangan yang
menyatakan bahwa semua model bacaan pada dasarnya benar.
3. Meletakkan kunci-kunci hermeneutik untuk membaca al-Qur’an dalam
karakter divine ontology, yaitu yang berciri ontologi ketuhanan. Prinsipprinsip teologis yang digunakan oleh Barlas adalah terletak pada
pengungkapan Diri Tuhan, yaitu keesaan, keadilan dan keunikan Tuhan.
Sedangkan Metodologi yang digunakan oleh Barlas, merujuk pada pemikir
sebelumnya yaitu Fazlur Rahman, yaitu hermeneutika yang biasa disebut dengan
gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an
diturunkan dan kembali lagi ke masa kini. ketika Barlas mencoba untuk mengungkap
makna teks yang polisemik serta ingin meluruskan pemahaman umat Islam tentang alQur’an yang bersifat antipatriarki. Dilihat dari perspektif epistemologis, corak
berpikir Barlas yang lebih memilih dan merujuk teks kitab suci dapat dikategorikan
sebagai corak epistemologi bayani (explanatory).14
13
Jurnal, Fauziah, Egaliterianisme dalam Keluarga Menurut Al-Quran :Studi Pemikiran
Asma Barlas Terhadap Q.s an-Nisa Ayat 1, di akses pada 10 mei 2016
14
Artikel, Eva Septi Kurniawati, A Methodological Study In Interpretation AL-Qur’an,
diakses pada 22 Agustus 2016, pukul 14:55
50
E.
Prinsip dan Pokok-Pokok Pemikiran Asma Barlas
Barlas ingin membuat klaim yang lebih spesifik dan lebih kontroversial
(ketika berdialog dengan para sarjana kritis dan feminis). Yaitu bahwa al-Qur’an
bersifat egaliter dan antipatriarki. Klaim ini tentu saja sangat sulit untuk ditegakkan,
setidaknya ada dua alasan. Pertama. Sementara tidak ada definisi kesetaraan jender
yang diterima secara universal, terdapat kecenderungan untuk memandang perbedaan
sebagai bukti ketidaksetaraan. Dari sudut pandang ini, perlakuan al-Qur’an yang
berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam beberapa persoalan (semisal
pernikahan, perceraian, pembuktian dan lain-lain) diklaim sebagai bukti nyata dari
karakteristik al-Qur’an yang patriarkis dan anti-kesetaraan.
Namun, Barlas menentang klaim semacam ini dengan alasan (seperti yang kini
diakui oleh kebanyakan kaum feminis) bahwa memperlakukan laki-laki dan
perempuan secara berbeda tidak berarti harus memperlakukan mereka secara tidak
setara dan memperlakukan mereka secara sama juga tidak selalu berarti
memperlakukan mereka secara setara. Kedua, seperti yang akan terlihat dalam
pembacaan Barlas, perlakuan al-Qur’an yang berbeda terhadap laki-laki dan
perempuan tidak didasarkan pada klaim tentang perbedaan atau kesamaan gender
seperti yang dinyatakan oleh teori-teori ketidaksetaraan dan penindasan gender.
Kemudian mengenai aplikasi dari prinsip egalitarianisme al-Qur’an, Barlas
menguraikan isu-isu utama perempuan yaitu, pertama, seksualitas dan gender dalam
Islam, khususnya di sekitar isu mengenai persamaan (sameness), perbedaan
(difference), dan kesetaraan (equality) antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan
dengan konsep sameness, yang telah dipromosikan oleh sebagian kalangan feminis,
bagi Barlas tidak sesuai dengan pandangan al-Qur’an. Tapi ia tetap mengakui
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, namun perbedaan fisik tidak
51
kemudian membedakan mereka dalam tataran moral dan etika. Selain itu menurutnya,
laki-laki dan perempuan memiliki kesetaraan, bahkan persamaan pada tingkat
ontologis, di mana laki-laki dan perempuan diciptakan dari nafs. Uraian yang
diberikan Barlas tentang konsep nafs ini cukup panjang, namun penulis sulit
menemukan temuan baru dari pemikirannya, sehingga terkesan ia banyak mengutip
dari pemikir sebelumnya seperti Fazlur Rahman, Riffat Hassan dan Amina Wadud.
Namun ia memberi kesimpulan bahwa persamaan antara laki-laki dan perempuan
terletak pada kapasitas yang sama sebagai agen moral artinya, mereka sama-sama
memiliki tugas-tugas kemanusiaan yang tidak berbeda.15
Hal kedua yang disorot Barlas adalah wacana tentang keluarga dan
perkawinan. Menurutnya sistem keluarga dalam Islam tidak menunjukkan nilai-nilai
patriarkalisme. Untuk meluruskan pemahaman umat Islam, yang menurutnya selama
ini menganggap lembaga perkawinan menjadi bukti nyata akan kentalnya
patriarkalisme di dalam al-Qur’an, Barlas menekankan perlunya pemahaman tidak
hanya terhadap teks, tapi juga terhadap konteks ayat itu diturunkan. Dalam melihat isu
mengenai keluarga dan perkawinan Barlas menggunakan pendekatan ini. Al-Qur’an
menurut Barlas dalam kaitannya dengan hubungan orangtua dan anak, lebih banyak
menekankan soal kewajiban di antara mereka daripada soal hak. Barlas berusaha
menjelaskan
makna
yang
sebenarnya
dari
istilah
qawwamuna,
ia
tidak
menafsirkannya dengan pemimpin, tapi ia lebih condong untuk menafsirkannya
sebagai laki-laki pencari nafkah. Namun menurutnya, laki-laki pencari nafkah tidak
otomatis menjadi kepala keluarga. Begitu pula dalam konteks nusyuz, menurutnya alQur’an sama sekali tidak pernah menekankan agar istri menaati suami. Sebagaimana
15
Artikel, Eva Septi Kurniawati, A Methodological Study In Interpretation AL-Qur’an,
diakses pada 22 Agustus 2016, pukul 14:55
52
feminis lainnya, kata daraba tidak selalu d imaknai dengan memukul, tapi juga bisa
dimaknai dengan memberi contoh.16
Hal ketiga adalah soal kritik Barlas terhadap patriarkisme dalam menafsirkan
al-Qur’an. Barlas menolak patriarkisme di dalam al-Qur’an, jika yang dimaksud
adalah aturan kebapakan atau politik pengistimewaan laki-laki. Untuk membuktikan
bahwa al-Qur’an menolak patriarkisme, dan sebaliknya mengajarkan egalitarianisme,
Barlas menguraikan secara panjang konsep tauhid. Konsep ini ia gunakan untuk
menolak adanya asumsi patriarkisme di dalam Islam, misalnya konsep yang
mengatakan bahwa Tuhan terdiri atas unsur bapak dan anak.17
Asma Barlas yang berangkat dari tujuan demi sebuah pembebasan terhadap
perempuan dari penindasan terhadap penafsiran al-Qur’an, mencoba mengurai
beberapa hal yang berkaitan dengan sistem patriarki yang telah mempengaruhi
berbagai macam penafsiran al-Qur’an. Hal ini juga telah dilakukan oleh banyak
feminis perempuan di dunia Islam dewasa ini, seperti Riffat Hassan, Amina Wadud,
Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, dan sebagainya – termasuk Wardah Hafidz, Lies
Marcoes-Natsir dan Siti Ruhaini, Nurul Agustina, dalam lingkup Indonesia-, berusaha
membongkar berbagai macam pengetahuan normatif yang bias kepentingan laki-laki,
tetapi selalu dijadikan orientasi kehidupan beragama, khususnya menyangkut relasi
gender.
Secara umum dapat dikatakan bahwa konstruksi metodologi dan pemikiran
Asma Barlas merupakan refleksi pemikiran yang kritis berperspektif gender, di mana
ia ingin melihat isu-isu perempuan dalam bingkai epistemologi egalitarianisme yang
16
Ahmad Shadiq, Membebaskan Perempuan dari Patriarki: Analisis Historis Pemikiran
Asma Barlas , Skripsi Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016
17
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta : Serambi 2005) Cet. 1
53
menjunjung keadilan, kesetaraan yang dilandasi oleh semangat menghormati hak-hak
asasi manusia, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Begitu pula yang diusung oleh teologi feminis, yaitu teologi pembebasan yang
diterapkan untuk membebaskan perempuan dari ketertindasan. Teologi feminisme
adalah gerakan reformis dan revolusioner untuk mendekonstruksi ideologi dan
pemahaman keagamaan yang bias kelelakian. Dekonstruksi ini bertujuan untuk
menghapus patriarki, dan mencari landasan teologis atas kesetaraan gender. Gender
bukan semata-mata persoalan sosiologis, tetapi telah merambah wilayah ketuhanan.
Hal ini sejalan dengan isu yang diangkat oleh Asma Barlas, tentang
ketidakadilan gender dan prinsip egalitarianisme atau pembebasan dalam membaca
al-Qur’an terhadap konteks ayat-ayat tentang perempuan. Karena salah satu wacana
utama tentang ketidakadilan gender yang sering dipermasalahkan adalah pandangan
“agama” tentang penciptaan Adam dan Hawa serta kepemimpinan perempuan.
Melihat realitas semacam ini, dekonstruksi terhadap pandangan teologis sebagai akar
terjadinya
diskriminasi
gender
menjadi
agenda
utama
gerakan
ini.
BAB IV
PANDANGAN ASMA BARLAS TERHADAP HAK-HAK PEREMPUAN
DALAM KELUARGA
A.
Kedudukan Perempuan dalam Keluarga
Perkawinan dalam Islam didasarkan pada sebuah kontrak sosial yang
menjadikan kesetaraan hukum sebagai hal yang meletak bagi pasangan suami-istri.
Meskipun sistem patriarki muslim jelas tidak menepatkan laki-laki dan perempuan
dalam kedudukan hukum yang setara, gagasan tentang perkawinan sebagai sesuatu
yang bersifat kontraktual, setidaknya dalam teori, adalah untuk memberikan
kesetaraan kepada perempuan. Dalam konteks ini, mungkin ada benarnya bahwa,
seperti yang dikemukakan oleh beberapa feminis, sistem patriarki modern didasarkan
pada institusi-institusi konstektual . Namun, sekalipun sistem-sistem patriarki.
berhasil membentuk ulang dirinya dengan cara seperti itu, tidak berarti bahwa kontrak
sosial perkawinan itu sendiri bersifat patriarki. sebaliknya, pengenalan kontrak sosial
perkawinan oleh Islam ke dalam patriarki kesukuan tradisional telah melindungi
posisi perempuan dalam masyarakat tersebut.1
Dengan memungkinkan perempuan untuk beralih posisi dari harta benda
menjadi Individu penyandang hak-hak yang mengikat dan dapat dilaksanakan secara
hukum vis-à-vis laki-laki, kontrak itu telah membantu melenyapkan beberapa aspek
paling merusak dalam sistem patriarki (seperti pandangan bahwa istri adalah harta
milik).sebagai sebuah perjanjian pranikah, kontrak itu juga memungkinkan
perempuan untuk menyusun persyaratan bukan saja dalam pernikahan tapi juga dalam
1
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin,
(Jakarta : Serambi 2005) Cet. 1, h.316
54
55
perceraian. (persyaratan itu dapat berbentuk mulai dari ketentuan tentang hak cerai
bagi istri, penentuan sejak awal jumlah uang tebusan perceraian, hingga perjanjian
tentang pengasuhan anak,) Tentu saja, adalah persoalan lain jika banyak perempuan
yang memilih tidak menggunakan kontrak perkawinan dengan cara seperti ini, atau
banyak laki-laki yang memilih untuk tidak menghormati kontrak itu, sekalipun alQur’an memperingatkan kita ‘’ untuk menepati janji-janji apabila berjanji’’ (Q.S 2:
177; dalam Ali Imran :69-70) atau banyak Negara yang memilih untuk tidak
memberlakukan kontrak-kontrak pernikahan atau tidak menghukum pelanggaran
terhadapnya (terutama bila dilakukan oleh laki-laki). Tentu saja kaum muslim harus
menangani persoalan-persoalan tersebut agar perkawian menjadi Islami.2
Namun, meskipun kita perlu mengkaji hak-hak yang secara kontraktual bisa
dituntut oleh seorang perempuan dalam pernikahan, ia bukanlah satu-satunya sudut
yang bisa kita gunakan untuk menilai ajaran al-Qur’an tentang relasi suami-istri.
Karena, kesetaraan suami-istri menurut al-Qur’an bukanlah buah dari ontologi
manusia (gagasan tentang kesamaaan/keserupaan jender). Dan, karena al-Qur’an
mengajarkaan prinsip-prinsip kesetaraaan jender sebagai suatu kenyataan ontologis, ia
secara logis tidak mungkin mengajaarkan prinsip-prinsip ketidaksetaraan antara suami
dan istri. Jadi, menurut asma kita perlu memahami betul perbedaan hak yang
dinikmati oleh tiap-tiap pihak dalam keseluruhan konteks ajaran al-Qur’an tentang
kesetaraan jender.
B.
Hak Perempuan dalam Keluarga
Diantara yang menjadi pokok pembahasan dalam buku Asma Barlas adalah
wacana tentang keluarga dan perkawinan. Menurut Barlas sistem keluarga dalam
2
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (
Jakarta : Serambi 2005) Cet. 1, h.317
56
Islam sama sekali tidak menunjukan nilai-nilai patriarkalism. Selama ini memang ada
anggapan bahwa lembaga keluarga dan juga mungkin perkawinan menjadi bukti nyata
akan kentalnya patriarkalisme di dalam Islam. Pandangan seperti ini muncul karena
kesalahan dalam melihat teks dan konteks Al-qur’an.
Karenanya, Barlas dalam hal ini menekankan perlunya pemahaaman tidak
hanya terhadap teks, tetapi tak kalah pentingnya, juga terhadap konteks ketika ayatayat Al-quran diturunkan. Dalam melihat isu mengenai keluarga dalam Islam, Barlas
menggunakan pendekatan seperti diatas, sebuah pendekatan yang sebenarnya sudah
menjadi kebiasaaan dikalangan para penafsir Al-qur’an.
Di dalam kehidupan keluarga, Al-qur’an mendukung penuh kesetaraaan antar
laki-laki dan perempuan. Al-qur’an menurut barlas dalam kaitanya dengan orangtua
dan anak lebih banyak menekankan soal kewajiban diantaraa mereka dari pada soal
hak3. Pembicaraaan tentang hak biasanya diderivasi dari pembicaraan tentang
kewajiban.4 Selain itu, di dalam Al-qur’an posisi laki-laki atau bapak tidak begitu
menonjol. Antra bapak dan ibu memiliki hak yang setara terhadap anak-anak mereka.
Meskipun demikian, ada beberapa ayat di dalam Al-qur’an yang selama ini dijadikan
sebagai dalil atas supermasi laki-lakiaitu ayat tentang kepemimpinan perempuan dan
tentang pemukulan istri.
Tentang kepemimpinan perempuan
dengan merujuk kepada terjemah-
terjemah Al-qur’an yang kompeten, Barla berusaha menjelaskan makna yang
sebenarnya yang dikehendaki dengan istilah qowwamuuna. Dari telaahnya terhadap
referensi yang ia baca, Barlas tampaknya setuju untuk idak menafsirkan kata
3
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, ( Jakarta :
Serambi 2005) Cet. 1, h.301
4
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, ( Jakarta :
Serambi 2005) Cet. 1, h.17
57
qowwamuuna sebagai pemimpin. Barlas lebih condong menafsirkan qowwamuuna
sebagai laki-laki pencari nafkah.
Dalam hal ini barlas menekankan bahwa Pemberian nafkah kepada istri juga
merupakan hak perempuan dalam rumah tangga. Setelah pernikahan, suami wajib
memberi nafkah kepada istrinya. Dalam kehidupan sekarang, nafkah wanita meliputi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti rumah, pakaian, pelayanan kesehatan,
dan segala kebutuhan dasar untuk kehidupan bersama. Suami wajib memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini sesuai dengan kedudukan dan posisi sang istri.5
Saat ini gerakan feminisme dan sejumlah faham lainnya di Barat menilai
ketergantungan istri kepada suami terkait masalah ekonomi, termasuk juga mahar dan
nafkah, sama dengan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Padahal, mahar dan nafkah
ditentukan atas dasar karakteristik dan ketidaksamaan peran antara pria dan wanita.
Tanggung jawab berat mengandung anak dan melahirkan secara alamiah berada di
pundak wanita. Kondisi ini membuat wanita rentan terhadap gangguan fisik dan
mental.
Jika pria dan wanita memiliki tanggung jawab dan peran yang sama untuk
memenuhi kesejahteraan keluarga dan tidak ada hukum yang membela perempuan,
maka perempuan akan menghadapi beban yang berat. Barlas menilai wanita berhak
menerima nafkah karena mengemban tugas berat seperti mengandung, melahirkan,
dan menyusui. Pria dan wanita tidak memiliki kondisi fisik yang sama untuk
melakukan aktivitas dan kegiatan berat dalam mencari nafkah. Pria memiliki
kemampuan lebih untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat. Allah Swt telah
5
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, ( Jakarta :
Serambi 2005) Cet. 1
58
membagi urusan kehidupan, dan menentukan pemenuhan kebutuhan ekonomi wanita
ada di pundak pria. Allah jugalah yang membuat pria memerlukan perempuan dari
segi kejiwaan dan mental.
Selain itu, wanita membutuhkan ketenangan dan ketentraman untuk
memainkan peran sebagai seorang istri dan ibu. Jika istri dipaksa untuk melakukan
pekerjaan berat, maka ia akan cepat tua dan tidak mampu memenuhi kebutuhan
mental suami dan anak-anaknya. Barlas meyakini bahwa Agar wanita bisa selalu
tampil ceria, ia memerlukan ketenangan lebih dari pria. Aturan penciptaan telah
mewujudkan kesesuaian dan keselarasan maksimal antara pria dan wanita dengan ada
sejumlah perbedaan di antara mereka, sehingga pria dan wanita akan saling
melengkapi. Oleh karena itu menurut pandangan Islam, istri tidak dipaksa bekerja
demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan purta-putrinya dengan memikulkan
kewajiban itu pada pundak suami. Islam tidak menganggap pekerjaan dan karir
sebagai tujuan utama bagi wanita untuk menjaga kelembutan mental dan fisik mereka.
Meski demikian, Islam menerima keputusan wanita untuk berkarir demi
mengembangkan potensi dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
C.
Hak Perempuan Sebagai Istri
Dalam perkawinan, terdapat ajaran-ajaran tentang hak dan kewajiban antara suami
dan istri. Suami memiliki hak dan kewajiban atas istrinya, demikian pula istri,
memiliki hak dan kewajiban terhadap suami. Mahar dan nafkah misalnya, merupakan
kewajiban yang harus dibayar suami yang karena hal itu adalah hak istri. Sedangkan
sebagai imbangan dari kewajiban yang telah dilakukan suami, istri berkewajiban taat
dan hormat kepada suami (termasuk di dalamnya adalah menjaga kehormatan dan
harta suami serta minta ijin jika ingin keluar dari rumah).
59
Perbincangan tentang hak dan kewajiban suami istri tidak terlepas dari
perbincangan tentang bagaimana masing-masing ber-mu’âsyarah secara ma’rûf,
saling menggauli dengan baik secara obyektif. Karena itu hak dan kewajiban suami
istri diletakkan dalam bingkai mu’âsyarah bi al-ma’rûf. Termasuk dalam persoalan
hak dan kewajiban suami istri adalah dalam soal hubungan seks suami istri. Sehingga
secara normatif, hubungan seks suami istri adalah aplikasi dan turunan dari konsep
mu’âsyarah bi al-ma’rûf. Hanya saja yang menjadi persoalan adalah, apakah dalam
soal hubungan seks, suami istri dalam posisi sama dan sederajad? Ataukah istri yang
cenderung sebagai obyek karena itu adalah kewajiban yang harus dia lakukan sebagai
istri dan menjadi hak suami?
Dalam soal hubungan seks suami istri, pandangan tentang status keduanya
dipengaruhi oleh konsep dasar perkawinan itu sendiri. Jika sebuah perkawinan
didefinisikan sebagai aqad tamlik (kontrak pemilikan), yakni bahwa dengan
pernikahan seorang suami telah melakukan kontrak pembelian perangkat seks (bud’u)
sebagai alat melanjutkan keturunan, dari pihak perempuan yang dinikahinya. Dalam
konsep pernikahan yang seperti ini, pihak laki-laki adalah pemilik sekaligus penguasa
perangkat seks yang ada pada tubuh istri. Dengan begitu, kapan, di mana, dan
bagaimana hubungan seks dilakukan, sepenuhnya tergantung kepada pihak suami, dan
istri tidak punya pilihan lain kecuali melayani.
Akan tetapi, jika perkawinan didefinisikan senagai akad ibâhah (kontrak untuk
membolehkan sesuatu dalam hal ini alat seks yang semula dilarang), artinya dengan
perkawinan itu alat seks perempuan tetap merupakan milik perempuan yang dinikahi,
hanya saja kini alat tersebut sudah menjadi halal untuk dinikmati oleh seseorang yang
60
telah menjadi suaminya. Dengan definisi yang demikian, kapan hubungan seks
dilaksanakan, dengan cara bagaimana bukan semata-mata urusan suami, melainkan
urusan kedua belah pihak, yakni suami dan istri, baik waktu maupun caranya.6
Terdapat kecenderungan umum di masyarakat, bahwa hubungan seksual suami
istri, yang lebih banyak menikmatinya adalah suami. Sementara pihak istri hanya
melayani, sesuatu yang telah melekat dalam predikatnya sebagai istri, pelayan dan
pemuas suami, sehingga istri dalam melakukan hubungan seks dengan suami, sematamata menjalankan kewajiban. Hal itu dipengaruhi oleh pandangan yang dianut
kalangan ahli fiqih, yang mengatakan bahwa hubungan seks bagi istri adalah sematamata kewajiban.7
Kesimpulan para ahli fiqih bahwa hubungan seks bagi istri adalah kewajiban
didasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an dan hadis yang membicarakan tentang hal
itu. Dari pemahaman yang demikian, maka adalah absah bagi seorang suami untuk
meminta kapan pun dan bagaimana pun agar dilayani dalam hubungan seksual dengan
istrinya. Dan bagi istri yang menolak, laknat Allah (istilah dalâlâh hadis) akan
menimpa istri tersebut. Bagi istri yang mencintai suaminya, satu dua kali tidak
menjadi persoalan, tetapi jika itu sering dilakukan, maka dalam pandangan penulis,
dapat dikategorikan sebagai pemaksaan (pemerkosaan) terhadap perempuan (istri).
Barlas, menilai bahwa tiadanya hak seksualitas perempuan adalah akibat rumusan
hukum Islam yang termaktub dalam berbagai kitab Fiqih dan
produk abad
pertengahan yang dirumuskan berdasarkan kaca mata laki-laki. Dasar yang dipakai
dalam fiqih itu, kata, itu adalah bahwa hubungan suami istri memiliki dimensi ibadah.
6
Husein Muhammad, Pandangan Islam tentang seksualitas, dikutip dari Abdurrahman alJazairi, Al-Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, (Istanbul : Dâr ad-Da’wah, t.t.), IV : 1-3
61
Namun, Barlas berpendapat, ibadah harus dilaksanakan secara ikhlas tanpa
keterpaksaan. Karena hubungan seksual bukan sekedar hubungan yang bersifat fisik
maka nilai ibadahnya juga harus ditentukan oleh keikhlasan yang bersifat psikologis
dan harus di dasari dari cinta dan kasih sayang.8 Sehingga aplikasi konsep mu’asyarah
bi al-ma’ruf dalam hubungan seksual suami-istri adalah kebaikan obyektif dalam
pandangan mereka berdua. Tidak cukup hanya baik menurut orang lain, para teoritisi
(ulama fiqih), atau pihak suami saja. Tetapi harus baik bagi suami istri sebagai satu
pasangan yang menurut al-Qur’an setara. Bukan sebagai kedua belah pihak yang
berbeda derajatnya, di mana yang satu majikan yang lainnya pelayan, yang satu
subyek yang lainnya obyek. Dalam hal ini, asy-Syirazi mengatakan, meskipun pada
dasarnya istri wajib melayani permintan suami, akan tetapi jika dia memang tidak
terangsang untuk melayaninya, ia boleh menawar atau menangguhkan sampai batas
tiga hari. Dan bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib
baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang.9 Jika suami tetap
memaksa pada hakekatnya dia telah melanggar prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf
dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya dia lindungi dengan
kapasitas sebagai suami.
Perempuan sebagaimana juga laki-laki memiliki keinginan dan hasrat untuk dapat
menikmati sebuah hubungan badan (seksual) dengan masing-masing pasangannya.
Para spikonanalisis menganggap bahwa seksualitas merupakan sesuatu yang otonom
di mana setiap individu memiliki hak terhadap pemuasannya.10 Bahkan ajaran agama
memandang itu sebagai hal yang manusiawi dan -tentu – perlu disalurkan lewat jalan
8
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, 2005,
Jakarta : Serambi Cet. 1 318
9
Al-Syirazi, Al-Muhazzab, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), h. 65
10
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, 2005,
Jakarta : Serambi Cet. 1 h.264
62
yang sah yakni sebuah perkawinan. Sehingga dalam perkawinan kepuasan seksual
bukan monopoli laki-laki.
Nafkah bagi suami tidak hanya sebatas nafkah lahiriyah (makan, pakaian, tempat
tinggal, jaminan kesehatan dan lain-lain), tetapi meliputi juga nafkah batin
(menggauli, berhubungan seks, bisa juga perhatian dan kasih sayang). Sehingga jika
ditelusuri lebih jauh dalam persoalan nafkah suami, maka adalah kewajiabn suami
untuk melakukan hubungan seks dengan istri sampai pada batas istri dapat terpuaskan
(menikmati)nya. Barlas bahkan sampai berpendapat, jika suami tidak bersedia
menunaikan kewajiban nahkahnya kepada istri (nafkah batin) dan istri tidak mau
menerimanya, maka istri berhak mengajukan hal itu ke pangadilan dan pengadilan
pun bisa mempertimbangkan tindakan yang lebih bisa menjamin keadilan, dalam hal
ini bagi pihak istri.
Ulama mazhab Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa batas maksimal
pemenuhan hasrat itu empat bulan. Jika tidak ada halangan serius, minimal setiap
empat bulan satu kali hubungan dengan istri harus dilakukan. Sementara menurut
sebuah riwayat dari ‘Umar Ibn Khattab, batas maksimal adalah emam bulan. Akan
tetapi batasan-batasan yang dilakukan baik oleh ulama mazhab Ahmad bin Hambal
maupun dalam riwayat ‘Umar, sebaiknya batasan tersebut lebih fleksibel. Akan lebih
baik jika ukuran batasannya adalah ketika istri sudah tidak mampu menahan
hasratnya, bisa empat bulan atau bisa lebih kurang dari itu. Sangat tergantung dengan
kondisi masing-masing istri.11
D.
Hak Perempuan Sebagai Orangtua
11
Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi ..., h. 115-116
63
Islam telah mendudukkan wanita sebagai manusia yang mulia dalam status
mereka sebagai seorang ibu. Rasullah saw. mengkhabarkan bahwa syurga dibawah
Telapak kaki ibu. Hal ini mengisyaratkan bahwa syurga yang diinginkan oleh
seseorang hendaklah ia meraihnya dengan taat kepada ibunya, menghormatinya,
berbuat baik kepadanya dan tidak melakukan tindakan durhaka kepadanya.
Islam memerintahkan agar seorang anak selalu mendahulukan perintah ibunya
diatas manusia lainnya. Jika suatu ketika berbenturan antara perintah ayah dan
ibu,maka perintah ibulah yang harus diutamakan untuk ditaati. Seorang anak haram
berkata "ahh" yg menunjukan akan keengganannya untk melaksanakan perintah orang
tua,apalagi menolaknya dgn keras, apalagi membentak dan berbuat kasar kepadanya.
Allah menjdikan siksaan bagi siapa saja yang berbuat aniaya dan durhaka kepada
ibunya.Bahkan durhaka kepada ibu bapak termasuk ralah satu dosa yang akan
disegerakan azab siksanya ketika seseorang mash didunia.
Sebagaimana Firman Alllah dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15:
            
               
                
    
Artinya: "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang
tua ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah pula, mengandungnya sampai menyapihnya" (QS.Al-Ahqaf:15)
Meskipun al-Qur’an tidak menggambarkan hak ibu dalam pengertian yang
sama dengan hak ayah dalam sistem patriarki namun Barlas berpendapat al-Qur’an
64
telah memasukan ibu kedalam wilayah penghormatan simbolis yang diasosiasikan
dengan Tuhan, sehingga ibu diangkat posisinya melebihi ayah. Penghormatan
simbolis ini terlihat pada surat an-Nisa ayat 1 dimana barlas menafsirkan konsep
taqwa kepada Tuhan dan kepada ibu. Barlas menegaskan bahwa ayah dalam tradisi
patriarki tidak sesuai dengan al-Qur’an. Barlas dengan semangat pembebasan
menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan menerapkan hermenutik yang berdasarkan
ontology ketuhanan. 12
Ibu mempunyai peran dan kedudukan yang sangat istimewa dalam rumah
tangga. Banyalk peran besar dan strategis yang harus dilakukannya didalam rumah
tangga. Walaupun terkadang tidak terlihat kasat mata, tetapi peran secara umum,
peran utama perempuan ada banyak sekali diantaranya menjadi mitra dan pendamping
bagi suami dalam memimpin rumah tangga, sebagai pendamping berarti wanita juga
merupakan manajer yang mengatur segala hal yang berhubungan dengan
rumahtangga selain itu juga ibu juga dituntut untuk memiliki berbagai keahlian untuk
merawat, membesarkan, dan mendidik anak menjadi generasi terbaik kedepannya.
Selaim memiliki kewajiban tentunya ibu juga memiliki hak adapun hak-hak
ibu dalam rumah tangga baik lahir maupun bathin, hak ibu yang bersifat lahir
diantaranya: sandang, pangan, papan dan untuk kebutuhan bathinya ibu mempunyai
hak diantaranya, ibu berhak mendapatkan kasih sayang yang tulus dari suami dan
anggota keluarga lainnya, pemenuhan kebutuhan biologis, perlindungan dan
pemberian rasa aman. Hal ini sangat penting bagi keberlangsungan kehidupan ruamah
tangga. Karena keluarga yang harmonis tidak dapat di bangun ketika hak-hak dasar
pasangan suami-istri.
12
Asma Barlas, Cara Al-Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, 2005,
Jakarta : Serambi Cet. 1 h.301
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan yang penulis lakukan dari awal hingga
akhir dari penelitian ini berkenaan dengan hak-hak perempuan dalam keluarga yang
dilakukan oleh Asma Barlas mulai dari metode yang digunakan hingga pendekatan
yang digunakan sebagai langkah untuk membebaskan perempuan dari budaya
patriarki yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak perempuan dalm keluarga
sebagaimana mestinya. Sebagai hasil akhir dari penelitian ini, peneliti mendapat
beberapa kesimpulan dari hipotesis yang kami susun, adapun hasil kesimpulan
diantaranya:
1. Berkenaan dengan konstruksi pemikiran Asma Barlas yang berangkat dari dua
latar belakang Negara yakni Pakistan dan Amerika. Di Pakistan realitas yang
alaminya adalah rezim otoriter Ziaul Haq yang gencar-gencarnya menerapkan
syari’at sebagai hukum positif dan dalam penerapan hukum syari’at ini banyak
merugikan terhadap perempuan. Sedangkan di Amerika juga sama realitas
masyarakat Amerika banyak menganggap Islam sebagai suatu yang aneh.
Banyak warga Amerika yang beranggapan bahwa Islam adalah agama yang
anti kesetaraan dan anti kedamaian, pernyataan semacam ini dikarenakan
banyaknya praktik seperti perbudakan, sunat perempuan, jilbab dan jihad
sebenarnya dalam pandangan Barlas kecil kaitannya dengan Islam.
2. Hak-hak perempuan dalam keluarga yang disoroti Asma Barlas diantaranya
adalah hak perempuan sebagai istri dan hak perempuan sebagai orang tua, hak
sebagai istri yang dimiliki oleh perempuan bersifat wajib bagi suami dalam hal
65
66
ini yaitu nafkah lahir dan batin serta perlakuan yang baik dari suami.
Sedangkan hak perempuan sebagai orang tua Barlas menekankan bahwa
Meskipun al-Qur’an tidak menggambarkan hak ibu dalam pengertian yang
sama dengan hak ayah dalam sistem patriarki Barlas berpendapat al-Qur’an
telah memasukan ibu kedalam wilayah penghormatan simbolis yang
diasosiasikan dengan Tuhan, sehingga ibu diangkat posisinya melebihi ayah.
Penghormatan simbolis ini terlihat pada surat an-Nisa ayat 1 dimana barlas
menafsirkan konsep taqwa kepada Tuhan dan ke pada ibu. Barlas menegaskan
bahwa ayah dalam tradisi patriarki tidak sesuai dengan al-Qur’an. Barlas
dengan semangat pembebasan menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan
menerapkan hermenutik yang berdasarkan ontology ketuhanan.
Oleh sebab itu sudah seharusnya apa yang menjadi hak ibu/ perempuan
sebagai orangtua dapat terpenuhi dalam hal ini yaitu hak lahir dan batin, hak
yang bersifat lahir diantaranya: sandang, pangan, papan dan untuk kebutuhan
bathinya ibu mempunyai hak diantaranya, ibu berhak mendapatkan kasih
sayang yang tulus dari suami dan anggota keluarga lainnya.
A. Saran-Saran
Saran -saran ini kami tujukan kepada peneliti selanjutnya bagi mahasiswa
Syari’ah dan Hukum dan pemikir Islam khususnya jurusan Hukum Keluarga,
penelitian lebih lanjut, berkenaan dengan pemikiran Asma Barlas ini sebenarnya
sudah ada yang mengkaji pemikirannya. Namun masih banyaak lagi pemikiran yang
belum tersentuh secara utuh berkenaan dengan konsep lain yang dia bangun dalam
memahami Keluarga dalam Islam dan perempuan tentunya.
67
Jika pada beberapa penelitian sebelumnya terpusat pada metode dan perinsip
hermeneutika dan kedudukan perempuan sudah ada yang membahasnya. Posisi
peneliti kali ini hanya mengambil satu pokok saja dari sekian banyak pemikiran Asma
Barlas yakni hak perempuan dalam keluarga. Sehingga penelitian lanjutan dari tokoh
ini masih punya peluang untuk diteliti lebih lanjut.
68
DAFTAR PUSTAKA
‘Uwaidah Syeh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, ( Jakarta: Pusaka Al-Kautsar, 1998
) cet-1
Abdurrahim Abu Musa, Kitab Cinta Berjalan, (Jakarta, Gema Insani 2011), cet 1
Al Qardawi Yusuf, Panduan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004),
cet.1
Al-Syirazi, Al-Muhazzab, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), h. 65
al-Zuhaili Wahbah, al fiqh al-Islam wa Adillatuh, Beirut: dar al-Fikr, 1989
Artikel Heirin puspitawati, Fungsi Keluarga Pembagian Peran dan Kemitraan Gender
dalam Keluarga, diakses pada 14 september 2016, Pukul 20:34
Artikel Husain Muhammad, Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas Prespektif Islam,
kumpulan artikel PSGA UIN Jakarta, di akses pada : 3 September 2016 (11:23)
Artikel Muhammad Rasyid Ridho, MSI, Hak-hak perempuan dalam Islam, diakses
pada hari jum’at 17 september 2016 pukul 11:48
Artikel, Eva Septi Kurniawati, A Methodological Study In Interpretation AL-Qur’an,
diakses pada 22 Agustus 2016, pukul 14:55
Artikel, Fatma Laili Khorun Nisa, Penegakan Hak Reproduksi Perempuan dalam
Kebijakan Keluarga Berencana Di Indonesia, di akses pada 21 September 2016 pukul
19:44
Barlas Asma Democracy, Nationalism, and Communalism: The Colonial Legacy in
South Asia (Westview Press, 1995)
69
Barlas Asma, Cara Qur’an Membebaskan Wanita, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (
Jakarta : Serambi ,2005) Cet. 1
Barlas Asma, Islam, Muslim, and the U.S ; Essays on Religion and Politics (India,
Global Media Publications, 2004)
Eagineer Ali Asghar , Hak-hak Perempuan dalam Islam, Terj Farid Wajdi dan cici
farkha (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), cet
Fauziah, Egaliterianisme dalam Keluarga Menurut Al-Quran :Studi Pemikiran Asma
Barlas Terhadap Q.s an-Nisa Ayat 1, di akses pada 10 mei 2016 jurnal
Ghozali Abdul Rahman, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010)
Hakim Ali Hosein et, al, Membela Perempuan, Terj. A.H.Jemala Gembala, (Jakarta :
Al- Huda 2005)
http://www.jurnalhukum.com/hak-dan-kewajiban-suami-istri/.
(diakses
pada
15
oktober 2015) 12:45
Husein Muhammad, Pandangan Islam tentang seksualitas, dikutip dari Abdurrahman
al-Jazairi, Al-Fiqh ‘alâ Mazâhib al-Arba’ah, (Istanbul : Dâr ad-Da’wah, t.t.), IV : 1-3
Indra Hasbi, Potret Wanita Sholehah, (Jakarta: Penamadani,2004), cet 3
kaltsum lilik ummu dan Abd Muqsitd Ghazali, Tafsir Ahkam, (Ciputat, UIN Press.
2015) cet. 1
Mahali Mudjab, Menikahlah, Engkau menjadi kaya, ( Yogyakarta, MITRA
PUSAKA: 2003 ), Cet-4
70
Maria Hartingsih dalam http://www.Barlasbarlas.com/link diakses pada 10 juni 2015
pukul 09:44
Mernissi Fatima, Rebbellion and Islamic Memory, (Atlantic Highlands, NJ: Zed
Book, 1996)
Mudjab Mahali, Menikahlah, Engkau menjadi kaya, (Yogyakarta, MITRA PUSAKA:
2003 ), Cet-4
Mufidah. Ch. M.Ag,
Dra. Hj., Psikologi Keluarga Islam berwawasan gender,
(Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008)
Mulia Siti Musdah, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender,
(Yogyakarta: Kibar
Press. 2007)
Munhanif Ali dkk, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, ( Jakarta : Gramedia dan
PPIM UIN Jakarta, 2002)
Munir Lily Zakiyah Memposisikan Kodrat ,( Bandung: Mizan, 1999), Cet -1
Sa’dawi Amru Abdul Karim, Wanita dalam Fiqih Al-Qurdawi, (Jakarta: Pustaka AlKautsar,2009)
Shadiq Ahmad, Membebaskan Perempuan dari Patriarki: Analisis Historis Pemikiran
Asma Barlas , Skripsi Fakultas Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016
Sri Indri Sembadra, Karakteristik Anti Patriarkal Dalam Al-Qur’an : Studi Pemikiran
Asma Barlas, Jakarta : Fakultas Ushuluddin, 2007
Subhan Zaitunah, Kodrat Perempuan, (Jakarta, El kahfi, 2004 ) cet-1
71
Sukron dkk, Syari’ah Islam dan HAM Dampak Perda Syari’ah terhadap Kebebasan
Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim, (Jakarta : Center for the Study of
Religion and Culture UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007) cet.1
Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, ( Jakarta: Peranada Media,
2007)
Umar Nasarudin Prof. DR , Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: Serambi, 2010) Cet.
1
Usamah Abu Hafsh bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, Panduan Lengkap Nikah dari
‘’A’’ sampai ‘’Z’’ ( Bogor, Pustaka Ibnu Katsir, 2006), cet 1
Wadud Amina Muhsin, Wanita di dalam al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti, (Bandung
Pusaka, 1994)
www. asma barlas.com/editorial/religious_authorites.pdf, diakses pada 5 Agustus
2015 Pukul 15:33
www. Sribd.com/12, Hak Reproduksi Perempuan, di akses pada 18 agustus 2016
pukul 21:05
www.ithaca.edu/faculty/abarlas. Diakses pada 23 Juni 2016 pukul 15:20
Download