bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1. Permasalahan
Wilayah Indonesia dihuni oleh masyarakat yang majemuk. Fenomena
kemajemukan masyarakat Indonesia itu antara lain terindikator pada keragaman
suku bangsa (ethnic group) berikut budayanya serta kepenganutan agama. Badan
Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia (tahun) 2010 dalam hal ini mencatat
bahwa kelompok sosial yang hidup di Nusantara berjumlah lebih dari 1.300 suku
bangsa dengan kepenganutan agama (Na'im & Syaputra, 2011: 5–10), yakni
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu. Eksistensi kemajemukan masyarakat, budaya, dan agama itu, memperkaya nasion Indonesia dengan
sumber-sumber dasar ajaran moral.
Pelbagai suku bangsa hidup di wilayah Sulawesi Tenggara, baik penduduk
asli maupun nonpribumi. Perihal penduduk asli ada empat suku bangsa, yaitu
Tolaki, Buton, Muna, dan Moronene. Penduduk nonpribumi terdiri atas berbagai
ethnic group, yakni Bugis-Makassar, Toraja, Minahasa, Jawa, Sunda, Bali, Ambon,
Padang, dan sebagainya. Kelompok-kelompok etnik itu tentu memiliki entitas
swabudya masing-masing sebagai tanda kearifan tradisional (local wisdom) serta
jati diri etiket dan moralitasnya.
Pusat-pusat permukiman etnik di Sulawesi Tenggara berbeda-beda. Etnik
Tolaki mayoritas hidup di sejumlah wilayah Sulawesi Tenggara daratan, sedangkan
2
suku Buton, Muna, dan Moronene kebanyakan diam di wilayah-wilayah
Sulawesi Tenggara kepulauan, seperti kepulauan Buton-Wakatobi, Muna, dan
Kabaena–Moronene. Kaum pendatang, seperti Bugis-Makassar, Jawa, Bali, Sunda,
dan Padang tinggal berserak-serak di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara sesuai
dengan kehendak dan jenis mata pencahariannya masing-masing.
Suku bangsa Tolaki kadang-kadang atau secara tersamar dianggap dua
subetnik, yakni Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga. Kaum Tolaki yang hidup di
bekas Wonua (negeri, kerajaan) Konawe dianggap sebagai etnik Tolaki Konawe dan
kaum Tolaki yang tinggal di bekas Wonua (negeri, kerajaan) Mekongga dipandang
selaku etnik Tolaki Mekongga, tetapi realitas dunia Tolaki itu sebenarnya hanyalah
satu, yakni orang atau kaum Tolaki. Hal itu karena antara Tolaki Konawe dengan
Tolaki Mekongga secara prinsipiil memiliki sistem sosiobudaya dan entitas-entitas
kehidupan lainnya secara sama. Perbedaan antara keduanya tidaklah menyangkut
masalah-masalah yang pokok, melainkan hanyalah beberapa faktor yang sifatnya
sepele, umpamanya soal dialek bahasa dan kebiasaan, yang juga pasti terjadi pada
suku bangsa lain di Nusantara ini apabila jarak menetap antara warganya saling
berjauhan. Orang-orang Jawa yang tinggal di Semarang misalnya, jelas berbeda
logat bahasa dan beberapa kebiasaannya dengan masyarakat Jawa yang menetap di
Jawa Tengah bagian barat, seumpama di Banjarnegara, Banyumas, atau Cilacap
yang masyhur dengan dialek ngapak-nya dalam membangun komunikasi sosialnya.
Orang Jawa kendati begitu, di mana pun hidup biasanya mempunyai entitasentitas budaya dan sistem kehidupan yang hampir sama.
3
Pangkal seolah-olah suku bangsa Tolaki ada dua subetnik berhubungan
dengan faktor kesejarahan berdirinya dua wonua (negeri, kerajaan) besar Tolaki di
masa lalu, yakni Konawe dan Mekongga. Konawe adalah wonua (negeri, kerajaan)
terbesar Tolaki yang berdiri pada sekitar 1150 M. dengan cikal bakalnya Wekoila,
seorang aditokoh asing (P3KD Prop. Sultra, 1979: 29). Bhurhanuddin (1977: 140)
menyebutkan bahwa Wekoila berasal dari Kediri-Jawa Timur, tetapi menurut
hemat Melamba dkk. (2013: 104) aditokoh itu termasuk seorang bendara LuwuSulawesi Selatan. Wonua (negeri, kerajaan) Konawe terbentuk sebagai hasil unifikasi
dari lima klan besar Tolaki yang telah ada sebelumnya, yakni Padangguni, Wawolesa,
Besulutu, Watu Mendonga, dan Tambosupa. Aditokoh Wekoila berhasil menyatukan kelima klan besar itu yang sebenarnya sudah di ambang kehancuran akibat
adanya kekacauan sosiopolitik. Wekoila atas jerih payahnya tersebut oleh para
pemimpin kelima klan besar di atas diangkat sebagai mokole more (mokole=raja;
more=perempuan) pertama Konawe. Pu'u wonua (ibu negeri) Konawe awalnya
berlokasi di Olo-Oloho lalu pindah di Unaaha, suatu kawasan luas, yang berada di
poros tengah Sulawesi Tenggara daratan. Bekas pu'u wonua (ibu negeri) Konawe
dewasa ini telah menjadi ibu kota Kabupaten Konawe.
Mekongga sementara itu termasuk wonua (negeri, kerajaan) besar Tolaki
yang kedua. Wonua ini kira-kira berdiri pada 1200 M dengan mokole (raja) pertamanya bernama Laroempalangi, adik maharani Wekoila. Folklor Mekongga
menceritakan bahwa Laroempalangi datang di bumi Kolaka, bermaksud untuk
membunuh (burung) mekongga ‘elang’ raksasa yang kerap kali muncul dan
memangsa hewan ternak (bahkan manusia) di lingkungan klan-klan Tolaki.
4
Laroempalangi sukses menjalankan misinya itu sehingga sebagai imbalan atas
jerih payahnya, para to'onomotuo (sesepuh) punya keinginan mengangkatnya
sebagai pemimpin klan-klan Tolaki. Laroempalangi tidak keberatan dengan
keinginan para to' ono motuo itu maka terintegrasilah klan-klan besar Tolaki ke
dalam satu negeri baru, Wonua Mekongga. Pu'u wonua (ibu negeri) Mekongga
terletak di Bende, tetapi beberapa waktu kemudian dipindahkan ke Wundulako
(Melamba & Azis, 2012: 38–39; Tamburaka dkk, 2010: 49–50).
Sebutan Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga adanya didasarkan atas faktor
kelahiran dan tempat tinggal orang Tolaki tersebut. Kaum Tolaki dari generasi
atau keturunan Wonua Konawe dan tinggal di bekas wilayah kerajaan itu biasa
disebut orang Konawe. Kaum Tolaki dari keturunan Wonua Mekongga dan diam
di bekas wilayah kerajaan tersebut lazimnya dinamakan orang Mekongga, tetapi
sebagaimana di atas, entitas jati diri orang Konawe dan orang Mekongga itu pada
dasarnya hanyalah satu, yaitu insan atau kaum Tolaki. Pembedaan antara Tolaki
Konawe dan Tolaki Mekongga kadang kala hanya dilakukan oleh para peneliti
untuk keperluan penganalisisan dan penjelasan agar lebih mudah dan didapat
gambaran yang detail tentang suku bangsa itu, tetapi secara faktual sosiokultural
tidak seperti itu adanya.
Wonua (negeri, kerajaan) Konawe dan Mekongga yang menjadi salah satu
pangkal pembedaan itu sesungguhnya berdampingan yang garis perbatasannya
tidaklah formal dan tegas, melainkan hanya bersifat alamiah dan samar, seperti
sungai dan gunung. Orang-orang Tolaki karenanya biasa melakukan migrasi di
kedua wonua (negeri) itu untuk menetap atau mencari nafkah tanpa merasa ada
5
beban perbedaan yang sifatnya sosiokultural. Pembicaraan suku bangsa Tolaki
pada penelitian ini dengan demikian tidak terbedakan dalam dua subetnik sebagaimana di atas, kecuali teracu terhadap satu entitas saja, yakni orang atau suku
bangsa Tolaki.
Suku bangsa Tolaki dalam lingkungan sosialnya hidup suatu kultur yang
disebut budaya Kalo. Kalo menurut arti harfiah bahasa Tolaki adalah ‘lingkaran,
ikatan’. Wujud ideal budaya Kalo yaitu Kalo Sara. Istilah Sara secara etimologis
berarti ‘adat’ (jamaknya: ‘adat-istiadat’). Kalo Sara dengan demikian ekuivalen
dengan entitas “adat-istiadat”, yaitu suatu lingkaran, bulatan atau ikatan adatistiadat. Ungkapan itu menyiratkan suatu pona’a (pandangan dunia) kaum Tolaki
bahwasanya kaum Tolaki akan hidup dalam ikatan atau lingkaran ajaran nilai-nilai
dan norma-norma budaya Kalo Sara secara kafah atau bulat. Hal-hal yang akan
ditaati dengan demikian, adalah petunjuk-petunjuk budaya Kalo Saratentang
etiket dan moralitas yang terkait dengan sistem sosial kaum Tolaki, seperti pranata
perkawinan, penanggulangan biaya pendidikan, duka kematian, keagamaan/
kepercayaan, politik-pemerintahan, dan mata pencaharian.
Budaya Kalo sebagai Kalo Sara merupakan Sara Owoseno/Mbu'uno (adatistiadat pokok/utama). Kalo Sara karenanya menjadi sumber pokok ajaran etiket
dan moralitas bagi suku bangsa Tolaki dalam menata seluruh urusan personal dan
kemasyarakatannya. Tarimana (1993: 25) menjelaskan bahwa budaya Kalo adalah
fokus kultural yang menjiwai seluruh aktivitas atau kepranataan sosial suku
bangsa Tolaki. Makam tradisi demikian menurut Linton (1936: 402–404) dinamakan cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur kebudayaan
6
yang digemari oleh suatu kelompok etnik sehingga semua ranah kehidupan etnik
itu dilandasi dengan ajarannya.
Proposisi bahwa Kalo Sara adalah sumber pokok ajaran moral bagi kaum
Tolaki didasarkan pada pandangan beberapa ahli pikir berikut. Pertama, de Vos
(2002: 40–41), yang menyatakan bahwa kebudayaan ideal yang berupa sistem
gagasan memiliki tiga domain yang sifatnya mengatur tindakan warga masyarakat
pendukungnya, yakni kebiasaan, langgam, dan adat-istiadat. Kebiasaan dan
langgam tergolong sebagai pola aturan atau tindakan yang sifatnya turun-temurun,
tetapi kebiasaan lazimnya hanya dihayati serta diamalkan oleh perseorangan,
sedangkan langgam oleh masyarakat luas. Kebiasaan dan langgam menyangkut
hal-ihwal yang secara nisbi kurang penting atau urgen di hati manusia sehingga
reaksi akan penyimpangannya tidak terlalu keras, paling-paling hanya mendapat
tertawaan, ejekan, atau gunjingan. Adat-istiadat sebaliknya, mengungkapkan nilai
dan kelakuan yang seharusnya bagi masyarakat pendukungnya. Sifat tabiat
petunjuk-petunjuk adat-istiadat memang berat maka jika terjadi pelanggaran
atasnya dapat berakibat fatal. Para pelanggar petunjuk-petunjuk adat-istiadat
dalam hal ini akan dituntut dan diadili secara ekstrem yang bentuknya dapat sampai
pada tingkat hukuman mati. Karakteristik adat-istiadat yang demikian itu, membuat
de Vos berkesimpulan bahwasanya adat-istiadat adalah entitas moral. Inferensi itu
bersesuaian pula dengan pandangan W. G. Sumner (Koentjaraningrat, 2009: 160)
yang menyinonimkan mores dengan istilah “adat-istiadat dalam arti khusus”.
Kedua, pandangan Bagus (2005: 675) yang menyatakan bahwa adatistiadat secara keseluruhan memuat moralitas dari suatu komunitas sosial. Kaidah-
7
kaidah adat-istiadat amatlah dekat dengan hukum-hukum moralitas. Pada situasi
konkret tertentu, bahkan adat-istiadat menerapkan hukum-hukum moral itu
sendiri. Fagothey (1953) akhirnya menjelaskan, bahwa etika tidak saja membahas
persoalan tata adab (manners), melainkan juga adat-istiadat yang bersandar pada
kodrati manusia. Jelasnya, adat-istiadat dengan nilai “baik” atau “buruk” dalam
entitas-entitas perbuatan manusia.
Uraian di atas telah menyatakan secara eksplisit bahwa suatu budaya mesti
mempunyai dua anasir pokok adat-istiadat, yakni: (a) folkways (adat kebiasaan
semata), dan (b) mores atau adat-istiadat moralitas yang disebut pula “adat-istiadat
dalam arti khusus”. Kedua anasir budaya itu menjadi pola atau sifat hakiki dari
adat-istiadat. Anasir pertama menyangkut ajaran tata etiquette atau tata krama
yang sifat keberlakuannya tergantung pada waktu dan suku bangsa tertentu.
Anasir kedua menyangkut ajaran moralitas yang sifat keberlakuannya universal
dan non-temporal. Jadi, adat-istiadat folkways maupun mores mempunyai ajaran
budaya yang hakikat keberlakuannya untuk menciptakan ketertiban, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup umat manusia. Prinsip itu pada mores, malah
menjadi tujuan pokok atau summum bonum ‘kebaikan tertinggi’nya.
Ajaran etis budaya Kalo terlihat jelas pada norma moralitas Kalo Sara
mores. Keberlakuan norma moralitas Kalo Sara mores bertujuan supaya kaum
Tolaki menjadi insan yang petono’a (manusiawi) merupakan sebuah evidensi akan
benarnya klaim itu. Prinsip-prinsip ajaran petono’a Kalo Sara mores mencakup,
seperti berikut: mombe-meiring’ako (cinta kasih kepada makhluk), mombekaponapona’ako (saling menghormati), pesawa (ramah dan suka memaafkan); sabara
8
(sabar), merou (tahu akan tata adab), mota’u mondotoi (adil dalam sikap/tindakan),
mepori (selalu mawas diri atau introspeksi), mete’alo-alo (tolong-menolong),
ndundu karandu (saling menenangkan batin), dan tumotapa rarai (saling menggembirakan hati). Kaum Tolaki karenanya menilai seseorang bukan dari penampilan fisik, melainkan dari aspek sifat dan keutamaa etisnya (Tarimana (1993: 231).
Ungkapan adat Tolaki: inae konasara iee pinesara, inae liasara iee pinekasara
‘barang siapa yang menjunjung tinggi adat niscaya akan termulia, sebaliknya siapa
saja yang menyalahinya pasti akan ternista’ (P3KD Prop. Sultra, 1977: 129) membuktikan bahwa eksistensi Kalo Sara bukan hanya berupa adat kebiasaan semata,
tetapi benar-benar merupakan sebuah mores.
Pengenaan sanksi bagi siapa pun kaum Tolaki pelanggar ajaran etis budaya
Kalo di masa lalu ada bermacam-macam, seperti di-pinehala (didenda), diusir dari
komunitas sosialnya, dijadikan budak oleh mokole (raja), dan dihukum mati
(PIDKD Prop. Sultra, 1980: 58). Sanksi lainnya berupa pula pengisolasian dari
interaksi sosialnya, di mana para pelanggar ajaran etis budaya Kalo, tidak boleh
bertemu atau ditemui oleh warga lainnya. Terhukum lebih jauh akan dicap sebagai
orang yang telah rusak martabatnya. Kondisi demikian membuat hati dan pikirannya merana sehingga tidak sanggup bertahan hidup di lingkungan sosialnya. Orang
itu lazimnya akan meninggalkan tempat tinggalnya dan hijrah ke daerah lain,
tetapi terkadang juga akan langsung mengakhiri hidupnya dengan tindakan bunuh
diri (Tarimana, 1993: 287–288).
Hukuman berat yang dikenakan bagi kaum Tolaki pelanggar ajaran etis
budaya Kalo niscaya terdorong oleh pandangan fundamental tertentu. Pandangan
9
dasariah itu apabila menyimak uraian di atas, sebetulnya sudah tertegaskan bahwasanya kaum Tolaki mengonsepsikan budaya Kalo sebagai Kalo Sara Owoseno/
Mbu'uno yang ajarannya bersifat moralistis. Alih-alih mustahillah kaum Tolaki
meng-hukum para pelanggar ajaran etis Kalo Sara dengan begitu keras kalau
kedudukan tradisi itu hanya serupa adat-istiadat kebiasaan semata. Budaya Kalo
dalam wujudnya sebagai Kalo Sara Owoseno/Mbu'uno ajarannya adalah koheren
dengan perikemanusiaan sehingga amat dihayati serta dijunjung tinggi oleh kaum
Tolaki. Ajaran etis budaya Kalo itu menurut perspektif etika Utilitarianisme
niscaya berdaya guna dalam menunjang kesejahteraan dan kebahagiaan bagi
sebanyak-banyak orang Tolaki bahkan segenap warga masyarakat yang tinggal di
Sulawesi Tenggara.
Etika Utilitarianisme adalah suatu mazhab etika (schools of ethics) yang
memiliki paham dan orientasi bahwa kebaikan moralitas entitas-entitas tindakan,
kewajiban, adat-istiadat, kebijakan publik atau seluruh daya hayati manusia terletak
pada aspek tujuan dan konsekuensinya. Substansi konsekuensi menurut mazhab
etika Utilitarianisme adalah suatu dampak utilitas yang bersifat menunjang sebesarbesar kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat luas bahkan umat manusia.
Eksistensi budaya Kalo dalam wujudnya sebagai Kalo Sara mores (adatistiadat etis Kalo) yang ajaran etisnya terejawantah pada sistem kehidupan sosial
suku bangsa Tolaki dengan demikian adalah dipandang baik secara moral serta
menjadi salah satu entitas tradisi kesusilaan di Nusatara. Hal itu karena keberadaannya sungguh-sungguh berguna dalam memajukan sebesar-besar kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi segenap orang Tolaki bahkan warga masyarakat yang hidup di
Sulawesi Tenggara. Kenyataan itu membuat suku bangsa Tolaki di era mutakhir
10
ini tetap menghidupkan dan melestarikan ajaran etis budaya Kalo dalam wujudnya
sebagai nilai-nilai dan norma-norma moralitas Kalo Sara mores dalam dinamika
kehidupan dan pergaulan sosialnya.
2. Rumusan Masalah
Penelitian ini berdasarkan paparan di atas akan mengkaji dan membahas
tiga jenis pertanyaan berikut.
a)
Bagaimana budaya Kalo dalam kehidupan sosial suku bangsa Tolaki?
b) Apa analisis etika Utilitarianisme terhadap moralitas budaya Kalo suku
bangsa Tolaki?
c) Apa sumbangan moralitas Kalo suku bangsa Tolaki bagi perkembangan budaya
di Sulawesi Tenggara?
3. Keaslian Penelitian
Penelitian tentang budaya Kalo suku bangsa Tolaki telah banyak dilakukan
oleh kalangan. P3KD Prop. Sultra pada 1977 sudah melakukan studi atas budaya
suku bangsa asli Sulawesi Tenggara dengan judul publikasi: Adat-istiadat Daerah
Sulawesi Tenggara. Buku itu berisi gambaran etnografi adat-istiadat suku bangsa
Tolaki, Buton, Muna, dan Moronene. Karangan itu dari aspek tata penulisan,
memang belum memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, tetapi sebagai karya bumiputra,
buku itu menampilkan segi substansi yang amat penting, seperti faktor kedataan,
penghayatan, serta pandangan kaum Tolaki dan juga Sulawesi Tenggara secara
luas tentang budaya Kalo.
P3KD Prop. Sultra satu tahun berikutnya, yakni pada 1978 kembali
melakukan penelitian masalah adat-istiadat suku bangsa asli Sulawesi Tenggara,
11
tetapi lebih terfokus pada upacara adat perkawinan. Judul publikasinya, Adat dan
Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara. Arti penting buku itu, selain
memuat etnografi sosial, juga adanya data tentang nilai-nilai dan norma-norma
kesusilaan dalam sistem pranata perkawinan suku bangsa Tolaki, Buton, Muna,
dan Moronene.
Penelitian berikutnya dalam bentuk disertasi dilakukan oleh Tarimana
dengan judul: “Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki: Suatu Lukisan tentang
Asas Klasifikasi Simbolik dan Struktural dalam Kebudayaan Orang Tolaki di
Kendari dan di Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara” (Disertasi Universitas
Indonesia, Jakarta, 1984). Tarimana dalam disertasi itu menjelaskan tiga entitas
kebudayaan Kalo, yakni (a) Kalo berupa benda lingkaran untuk berbagai keperluan,
cara-cara ikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama secara
lingkaran; (b) Kalo berupa konsep adat-istiadat (Kalo Sara), (c) Kalo berupa
simbol yang mengekspresikan konsepsi kaum Tolaki tentang manusia dan alam
semesta beserta isinya. Tarimana kemudian menerangkan pula empat fungsi Kalo,
yakni: (a) Kalo sebagai ide dan kenyataan sosial Tolaki, (b) Kalo sebagai bahasa
simbolis dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, (c) Kalo sebagai
pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral kaum Tolaki, dan
(d) Kalo sebagai pemersatu bagi pertentangan-pertentangan konseptual dan sosial
Tolaki. Disertasi itu pada 1993 diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul
Kebudayaan Tolaki.
Disertasi ini berbeda dengan penelitian Tarimana di atas. Letak perbedaannya bahwa pokok penulisan Tarimana adalah Kalo sebagai pengintegrasi kebudayaan Tolaki dengan menggunakan pendekatan tiga teori kebudayaan, yakni
12
struktural-fungsional, antropologi-psikologi, dan simbol dari Geertz. Adapun
disertasi ini fokusnya pada aspek moralitas budaya Kalo dengan pendekatan etika
Utilitarianisme. Dasar perbedaan fokus penelitian adalah pada disiplin ilmu
masing-masing. Tarimana berdisiplin ilmu antropologi, sedangkan penulis adalah
ilmu filsafat. Penelitian Tarimana yang berbasiskan antropologi budaya itu, jelas
sangat membantu penelaahan moralitas budaya Kalo.
Budaya Kalo dalam bentuknya tradisi medulu (persatuan) telah diteliti oleh
Suhardin dengan judul “Fungsi Medulu dalam Kehidupan Sosial Orang Tolaki di
Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara” (Tesis Universitas Padjajaran Bandung,
2001). Suhardin pada tesisnya itu mendeskripsikan aspek sejarah dan manifestasi
norma-norma moralitas Kalo Sara medulu dalam lingkungan kekerabatan Tolaki.
Mitos menceritakan, bahwa budaya Kalo awalnya muncul di Unaaha–pumpunan
permukiman kaum Tolaki–dengan pembawa seorang tokoh turunan dewa bernama
Wekoila (Sangia I’ Wekoila). Para Dewa kayangan mengutus Wekoila ke bumi
untuk membentuk kesatuan dan persatuan di antara orang Tolaki dengan atributif
benda suci uewai kinalo (sebentuk lingkaran rotan kecil berpilin tiga). Benda suci
itu semula dinamakan Peowai (petunjuk tentang keutamaan), tetapi setelah
ditambahkan perangkat perhiasan, seperti o’kasa (secarik kain putih) dan siwole
(talam bersegi empat dari anyaman daun palem) maka benda suci itu lalu diubah
namanya dengan Kalo Sara atau O’Sara. Mitos itu, lepas dari isinya yang ahistoris,
menunjukkan bahwa entitas budaya Kalo pada awalnya berupa ajaran keutamaan
atau kebaikan budi pekerti bagi manusia Tolaki.
Muslimin Su'ud selanjutnya melakukan penelitian tentang “Konsep Kohanu
(Budaya Malu) pada Orang Tolaki” (1989) dan “Kepemimpinan Adat Kalo pada
13
Masyarakat Tolaki di Kabupaten Kendari” (1998). Penelitian pertama menyangkut
sifat malu orang Tolaki dan yang kedua tentang kepemimpinan menurut Kalo
Sara. Kedua penelitian itu didanai oleh Balai Penelitian Universitas Haluoleo
Kendari.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sejauh ini belum ada sama sekali
penelitian tentang aspek moralitas kegunaan nilai-nilai dan norma-norma budaya
Kalo. Kenyataan itu telah melandasi pemikiran dan kehendak penulis untuk
menempuh penelitian ini.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan punya daya guna bagi pengembangan bidangbidang kehidupan manusia berikut.
1) Ilmu Pengetahuan. Penelitian ini harapannya dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena dapat menghasilkan teori dan konsep ilmu
pengetahuan untuk bahan ajar pendidikan budi pekerti atau moral di satuansatuan jenjang pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi di Sulawesi
Tenggara khususnya di beberapa kabupaten/kota yang menjadi permukiman
mayoritas suku bangsa Tolaki, seperti Kota Kendari dan Kabupaten Konawe,
Konawe Selatan, Kolaka, dan Kolaka Timur.
2) Ilmu filsafat. Penelitian ini harapannya dapat bermanfaat bagi pengembangan
ilmu filsafat karena merintis perluasan aspek objek material penelitian filsafat.
Kenyataan bahwa pengkajian masalah etis adat-istiadat oleh para sarjana filsafat
atau ahli pikir masih amat minim. Akibatnya, sistem nilai kesusilaan adat
istiadat kurang terpahami atau tersadari oleh anak bangsa, padahal alam pikiran
14
dan tindakan-tindakannya amat terpengaruhi oleh sistem nilai tersebut. Maka
dari itu, semestinyalah Kalo Sara mendapat perhatian dari lembaga pendidikan
dan kaum akademikus bangsa ini. Studi ini telah membuka aspek baru bagi
etika, sehingga harapannya akan mendorong banyak sarjana etika atau ahli
pikir untuk melakukan penelitian yang serupa.
3) Bangsa dan masyarakat Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat termanfaatkan
untuk pengembangan wawasan keetikaan warga negara khususnya masyarakat
Tolaki dan Sulawesi Tenggara tentang sistem nilai dan norma-norma moral
adat-istiadat sehingga budaya tradisi dapat dihargai secara layak. Lebih dari itu,
sejatinya dapat pula bermanfaat untuk sumber rujukan pembinaan budi pekerti
generasi penerus bangsa. Studi ini dengan demikian termasuk bagian ikhtiar
dalam rangka pencegahan demoralisasi dan dehumanisasi yang marak terjadi di
Indonesia dewasa ini. Demoralisasi dan dehumanisasi, proposisi pencegahannya
bahwa dapat efektif dan efisien jika dilakukan di tingkat warga suku bangsa
dengan nilai-nilai dan norma-norma mores budayanya.
4) Perkembangan Budaya. Studi ini harapannya dapat berguna bagi pembangunan
kultural di Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Tenggara. Penelitian etik
budaya Kalo suku bangsa Tolaki ini telah menunjukkan bagaimana eksistensi
budaya dan susbtansi adat-istiadat yang begitu memengaruhi kebaikan hidup
dan tindak-tanduk seorang individu dan kelompok sosial. Juga dapat pula
dijadikan salah satu landasan untuk desain kebijakan pembangunan (wilayah
bahkan nasional). Adanya realitas kultural itu sudah barang tentu semakin
menguatkan kesadaran dan mendorong masyarakat budaya bahkan pemerintah
untuk lebih menghargai serta mengembangkan lagi entitas-entitas budaya di
tanah-air ini.
15
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah bertujuan sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan budaya Kalo dalam kehidupan sosial suku bangsa Tolaki.
2)
Menganalisis dan menerangkan moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki
dalam perspektif etika Utilitarianisme.
3) Merefleksikan serta menjelaskan sumbangan moralitas budaya Kalo suku
bangsa Tolaki bagi perkembangan kultural di Sulawesi Tenggara.
C. Tinjauan Pustaka
Budaya Kalo adalah pusat kultural suku bangsa Tolaki, Sulawesi Tenggara.
Kalo sebagai pusat kultural ethnic group Tolaki berarti sebagaimana sifat hakiki
kebudayaan universal mesti berwujud tiga domain (Koentjaraningrat, 2004: 5–7),
yakni (1) cultural value system (sistem nilai budaya), adalah wujud ideal kebudayaan yang berupa kompleks ide/gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya.
Wujud itu tegasnya disebut adat (jamaknya: adat istiadat), (2) social system
(sistem sosial) atau wujud kepranataan, merupakan tindak-tanduk berpola dalam
berbagai bidang kebudayaan suku bangsa Tolaki, dan (3) cultural artifact (artefak
budaya), adalah hasil seluruh karya dan aktivitas budaya kaum Tolaki.
Ketiga ranah wujud budaya Kalo di atas dapat dijabarkan sebagai berikut.
Pertama, budaya Kalo sebagai cultural value system adalah wujud Kalo pada
tataran ideal atau adat-istiadat yang berupa sistem nilai dan norma, baik dalam
entitas adat kebiasaan semata (folkways) maupun mores suku bangsa Tolaki.
Wujud budaya Kalo pada tataran itu bernama Kalo Sara dan menjadi Sara
Owoseno/Sara Mbu'uno (adat pokok/utama) yang mengatur dua bidang kehidupan
16
fundamental kaum Tolaki, yakni “tata krama atau etiket” dan “tata susila atau
moral”. Nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo Sara dengan demikian menjadi
pedoman kaum Tolaki tentang bagaimana seharusnya hidup dan bertingkah laku
secara sopan dan manusiawi (Tarimana, 1985: 4–5).
Kedua, budaya Kalo selaku social system adalah Kalo Sara sebagai bentukbentuk sistem kepranataan kaum Tolaki di mana nilai-nilai dan norma-normanya
terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial, budaya, politik, pendidikan, dan
ekonomi. Tindak-tanduk pada bidang-bidang itu karenanya bersifat unik
menampakkan pola-pola tertentu (Tarimana, 1985: 5–6). Penelitian ini akan
mengkaji dan membahas secara reflektif kritis perihal ajaran moral budaya Kalo
pada sistem kepranataan perkawinan, duka kematian, politik pemerintahan, pembiayaan pendidikan, keagamaan/kepercayaan, dan mata pencaharian kaum Tolaki.
Ketiga,budaya Kalo merupakan cultural artifact segala benda dan aktivitas
kultural yang menjadi karya manusia Tolaki. Budaya Kalo dalam hal ini adalah
seluruh benda atau barang yang berwujud lingkaran; ikatan lingkaran; pertemuan
atau kegiatan sosial yang para pesertanya membentuk lingkaran. Hal itu sesuai
dengan arti harfiah Kalo, yaitu ‘lingkaran, atau ikatan’. Pada awalnya, budaya
artefak Kalo terbuat dari batang oue (rotan). Seiring dengan perkembangan
zaman, artefak Kalo terbuat pula dari pelbagai materi lain, seperti emas, perak,
benang, kain (putih), akar, dan kulit kayu sesuai dengan fungsi dan tujuannya.
Sungguhpun demikian, karakteristik budaya Kalo sebagai sesuatu yang pola
bundar atau lingkaran tidak pernah beralih sama sekali. (P3KD Prop. Sultra,
1977: 131; Tarimana, 1993: 20).
17
Penentuan temporal kapan munculnya pertama kali budaya Kalo di
lingkungan sosial Tolaki cukup sulit karena belum ada sama sekali sumber sejarah
lokal yang menyebutkan bilangannya. Tradisi lisan meskipun demikian meriwayatkan bahwa munculnya budaya Kalo koheren dengan kondisi sosiopolitik
Tolaki yang penuh kekacauan akibat ulah segelintir elite yang berambisi menduduki kekuasaan. Pada saat itu tidak ada seorang pun kaum Tolaki yang mampu
menciptakan ketertiban dan kedamaian masyarakat. Para Dewa dalam rangka
memulihkan suasana yang demikian mengutus Wekoila (Sangia I ‘Wekoila) ke
alam Konawe. Guna penyuksesan misi tersebut, Wekoila dibekali dengan peowai
(ajaran keutamaan) dalam bentuk uewai kinalo (lingkaran rotan kecil pilin tiga).
Alat itu kemudian diaksesori dengan o’kasa (kain putih) untuk selapiknya dan
siwole (talam bersegi empat dari anyaman daun palem) sebagai wadah peletakannya. Peowai uewai kinalo akhirnya berubah namanya menjadi Kalo Sara atau
O’sara (Muslimin, 1989: 60).
Kisah di atas menunjukkan secara jelas bahwa pembawa budaya Kalo
pertama kali di alam Konawe adalah aditokoh Wekoila. Bhurhanuddin mengutarakan bahwa Wekoila adalah seorang Jawa, tepatnya dari Kediri, Jawa Timur,
tetapi pendugaan Basrin Melamba dkk. (2013: 104) adalah seorang Bugis yang
berasal dari Luwu-Sulawesi Selatan dan datang di alam Konawe pada sekitar
pertengahan abad ke-12. Budaya Kalo nama pangkalnya peowai (petunjuk atas
keutamaan) yang berisi nilai-nilai dan norma-norma budaya perihal bagaimana
kaum Tolaki menjalani hidup dan interaksi sosialnya secara baik, sopan dan etis.
18
Budaya Kalo memiliki banyak fungsi dalam kehidupan sosial budaya
kaum Tolaki. Christiaan G.F. de Jong dalam bukunya: Nieuwe Meesters, Nieuwe
Goden: Geschiedenis van de Tolaki en Tomoronene, Twee Volkeren in ZuidoostCelebes (Indonesia), van Prehistorische Tijden Tot Ca. 1950 (2010: 51) mendeskripsikan fungsi-fungsi budaya Kalo seperti berikut. Kalo digunakan oleh kaum
Tolaki sebagai alat utama penyampaian pesan dan ritus tertentu; perlindungan bayi
dari ancaman roh-roh jahat; rekonsiliasi bagi kasus perzinahan dan kawin lari. Kalo
selaku simbol persatuan klan, digunakan dalam permusyawarahan, penobatan raja
dan pemimpin/sesepuh, penyelesaian problem serta pembahasan hal-hal penting
lainnya. Kalo selanjutnya digunakan pula dalam ritual pada pelbagai tahapan
siklus pertanian dan pembukaan tanah ladang dan sawah baru. Demikian pula
Kalo digunakan selaku alat utama dalam prosesi upacara pesta panen. Kalo dari
bahan emas (dengan tambahan hewan kerbau, seperangkat gamelan seperti gong,
dan lain-lain) menjadi alat penebusan bagi beberapa budak belian. Kalo dari
bahan helai bambu tipis dan halus difungsikan sebagai alat perlindungan tanaman
dari serangan hama dan penyakit.
De Jong lebih lanjut menerangkan bahwa artefak budaya Kalo dengan
ukuran besar digunakan untuk keperluan ritual kepada sangia, Allah atau Tuhan.
Kalo dengan ukuran yang lebih kecil diperuntukkan bagi mokole, anakia, putobu
dan lain-lain. Kalo seukuran bahu orang dewasa melambangkan jabatan raja yang
berfungsi sebagai alat penyelesaian bagi segala urusan kepentingan bangsa. Kalo
ukuran kepala manusia atau tekukan lutut orang dewasa digunakan untuk
penyelesaian masalah penduduk kampung. Kalo digunakan pula dalam persiapan
19
pernikahan, ketika seseorang menawarkan seekor kerbau yang belum tertangkap,
ritual rekonsiliasi antara budak yang melarikan diri dan tuannya, saat menerima
tamu penting, sebagai undangan untuk pertemuan desa dan upacara/pesta tempat
tinggal, penawaran permintaan maaf dan penyelesaian perselisihan yang tidak
membutuhkan pertemuan musyawarah desa. Sewaktu ada peristiwa duka kematian,
artefak budaya Kalo dipakai sebagai alat komunikasi pengabaran yang diikatkan
dengan sehelai kain putih. Kalo digunakan pula dalam ritual mowea, suatu ritual
wajib ketika ada kasus penculikan/pemerkosaan dan perzinahan. Kalo berfungsi
sebagai tanda atau bukti keaslian, legitimasi, serta representasi penyampaian
pesan lisan yang sifatnya rahasia, pengambilan keputusan, permohonan maaf atau
penawaran kompensasi.
Tarimana (1985: 3–4) dalam pada itu menerangkan bahwasanya paling
tidak ada empat fungsi budaya Kalo, yakni: (1) Kalo merupakan ide dan kenyataan
hidup kaum Tolaki, (2) Kalo merupakan bahasa simbolis kaum Tolaki, (3) Kalo
menjadi pedoman pengamanan, penertiban, dan moralitas kaum Tolaki, dan
(4) Kalo sebagai alat utama bagi pemersatuan pertentangan konsepsional dan
kemasyarakatan Tolaki. Adapun keempat fungsi Kalo itu dapat dijabarkan sebagai
berikut. Pertama, Kalo merupakan ide dan kenyataan hidup kaum Tolaki. Budaya
Kalo selaku ide berwujud konsepsi nilai. Nilai-nilai pokok budaya Kalo, yaitu:
(a) medulu mepoko’aso (nilai kesatuan dan persatuan, (b) atepute penao moroha
(nilai kesucian dan keadilan), (c) morini mbu'umbundi, monapa mbu'undawaro
(nilai kesejahteraan dan kesenangan), (d) mombekamei-meiri’ako (nilai cinta
kasih), dan (e) nilai kohanu (rasa malu). Sistem nilai budaya Kalo itu menjadi
20
landasan norma-norma budaya Kalo Sara dalam kehidupan sosial, budaya, politik,
pendidikan, dan ekonomi kaum Tolaki.
Budaya Kalo sebagai pedoman hidup kaum Tolaki tampak pada dua
fenomena sosial berikut: (a) pertemuan-pertemuan antara keluarga yang satu
dengan lainnya serta pemerintah bersama rakyatnya, (b) sewaktu seseorang
mengenakan artefak budaya Kalo di tubuhnya. Persona yang dibawakan budaya
Kalo terasakan bahwa dirinya lebih tinggi peranannya daripada pihak pembawa
Kalo. Perasaan demikian muncul karena ketika itu persona berstatus sebagai
ayah/ibu oleh anak; paman/bibi oleh kemenakan; kakek/nenek oleh cucu, dan
atasan oleh bawahan. Persona maka dari itu akan bersikap secara sepantasnya
kepada pihak yang membawakan budaya Kalo. Sebaliknya, individu yang lebih
rendah kedudukannya, jelas memikirkan pula bagaimana kepantasan langkahnya
(Tarimana, 1993: 285–286).
Pemakaian artefak Kalo di tubuh seseorang, menunjukkan budaya Kalo
menjadi suatu pedoman hidup. Misalnya, seorang remaja yang memakai Kalo di
pergelangan tangan dan kakinya, adalah tanda bahwa remaja itu harus berperan
sebagai pemuda potensial yang siap menunaikan tugas-tugas berat demi masa
depannya. Orang tua yang mengenakan Kalo ke pinggangnya ialah suatu tanda
bahwasanya eksistensinya harus berperan sebagai sosok yang matang dan layak
membina mental anak cucunya (Tarimana, 1993: 286).
Budaya Kalo selanjutnya pada tingkat sistem hukum adalah hukum adat
yang berfungsi mengatur bermacam sektor kehidupan puak Tolaki. Hal itu tampak
pada gejala artefak Kalo menjadi alat komunikasi antarkeluarga dan golongan;
21
patok tanah perladangan, penjaga kebun berikut tanamannya; pengikat tiang
tengah rumah dan bangunan perlindungan lainnya; alat penyelenggaraan upacara
perkawinan, penabalan raja, tolak bala, dan minta berkah. Penggunaan budaya
Kalo di berbagai sektor kehidupan itu wajib ditaati. Umumnya sanksi-sanksi bagi
pelanggar nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo pada zaman dahulu berupa
hukuman batin dan fisik, seperti pinehala (denda), pengusiran dari domisili,
penjadian budak, bahkan hukuman mati (PIDKD Prop. Sultra, 1980: 58). Pada
masa kini, tentu bentuk-bentuk penghukuman tersebut sudah diperlunak dan
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum formal nasional.
Kedua, budaya Kalo selaku bahasa simbolis kaum Tolaki. Rotan lingkar
berpilin tiga misalnya, menyimbolkan makna “kesatuan dan persatuan”; o'kasa
lapik Kalo, melambangkan makna “kesucian dan keadilan”; siwole alas o'kasa
menyimbolkan makna “kesejahteraan”. Simbolisme Kalo merupakan pengintegrasi
unsur-unsur kultural Tolaki, baik dengan beberapa subelemen maupun unsur
utama upacara. Rupa-rupanya Kalo ekuivalen dengan aktivitas-aktivitas budaya
yang berfungsi memenuhi banyak pejatian dasar insan Tolaki. Misalnya, adanya
pejatian untuk menyampaikan perasaan atau pikiran kepada sesama maka kaum
Tolaki menciptakan budaya Kalo sebagai bahasa pengejawantahannya; adanya
kebutuhan akan keamanan ladang, kebun, serta tanamannya dalam rangka
memenuhi kebutuhan pangan maka orang Tolaki membuat budaya Kalo sebagai
bahasa penjagaannya; adanya kehendak untuk kawin dalam rangka memenuhi
kebutuhan seks dan keturunan maka orang Tolaki menciptakan budaya Kalo
sebagai bahasa pelamaran dan pernikahan.
22
Ketiga, budaya Kalo sebagai pedoman pengamanan, penertiban, dan
moralitas. Kaum Tolaki menjadikan ajaran budaya Kalo untuk kepentingan
pengamanan, penertiban, dan moralitas. Penerapan ajaran budaya Kalo atas aspekaspek itu tampak pada nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya Kalo sebagai
landasan kalangan kaum Tolaki dalam memulihkan suasana-suasana, seperti:
kelaparan ketika gagal panen; kecelakaan sewaktu bencana alam; kematian saat
epidemi; keretakan hubungan tatkala kesalahpahaman antara perorangan, keluarga,
dan golongan. Bagi kaum Tolaki, situasi-situasi tersebut timbul karena adanya
pelanggaran atas ajaran moral budaya Kalo dan agama. Cara pemulihannya dengan
menyelenggarakan ritus mosehe wonua atau upacara penyehatan diri dan negeri.
Dengan ritus itu maka suasana negeri yang tadinya anomi dan disharmoni pulih
tertib dan sentosa (Bergink, 1991: 299–301).
Budaya Kalo akhirnya merupakan media utama bagi pemersatuan
pertentangan konsepsional dan kemasyarakatan Tolaki. Timbulnya pertentangan
konsepsional dan kemasyarakatan Tolaki terpicu oleh beberapa hal. Misalnya,
pertentangan antara pihak bangsawan dan budak, biasanya dipicu perlakuan yang
tidak senonoh antara satu dengan lainnya; konflik antara pihak pemerintah dengan
rakyat luas, umumnya ditimbulkan perbedaan paham politik; adanya perseteruan
antarkeluarga, lazimnya karena persoalan kawin lari. Segala suasana yang kontradiksi tersebut mampu diselaraskan dengan budaya Kalo. Pemersatuan antara pihak
bangsawan dengan budak menggunakan Kalo mbūtobu; pengintegrasian antara
pihak pemerintah dan rakyat memakai Kalo mokole, dan pendamaian antara
keluarga karena adanya mosuahake (delik susila) dilakukan dengan Kalo sokei.
23
(P3KD Prop. Sultra, 1977: 131–133; Tarimana, 1993: 296; de Jong, 2010: 151).
Kaum Tolaki mendudukkan budaya Kalo menjadi alat utama pada setiap
penyelesaian perguaman sosial dan konsepsional karena eksistensinya merupakan
simbolisme moral. Jadi, kalangan Tolaki menghadirkan budaya Kalo di setiap
momentum penting atau dilematik, sebetulnya dalam kerangka demi penjagaan
harkat kemanusiaannya.
Eksistensi budaya Kalo sebagaimana jabaran di atas adalah sebagai fokus
kultural Tolaki dengan ranah wujud, yakni: sistem nilai budaya, sistem sosial, dan
sistem artefak. Sistem nilai budaya Kalo berupa nilai-nilai dan norma-norma Kalo
Sara yang menjadi pedoman hidup dan sistem sosial (kepranataan) fundamental
kaum Tolaki. Budaya Kalo sesungguhnya menyatakan dua substansi pokok Kalo
Sara, yakni folkways yang berupa nilai-nilai dan norma-norma etiket serta mores
yang berupa nilai-nilai dan norma-norma etis. Kedua jenis substansi budaya Kalo
itu menjadi tolok ukur bagi kebaikan sopan-santun dan kesusilaan manusia Tolaki.
D. Landasan Teori
Penelitian ini akan mengkaji dan membahas ajaran moralitas budaya Kalo
secara reflektif kritis dengan sudut pandangan etika Utilitarianisme. Utilitarianisme
adalah suatu mazhab etika (schools of ethics) yang mengukur baik-buruknya
moralitas sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik,
dan seluruh entitas kehidupan manusia dari aspek kegunaannya. Maksud kegunaan
bagi mazhab etika Utilitarianisme adalah sesuatu hal atau “ada” yang mendatangkan kebahagiaan, yakni kesenangan (pleasure) atau menghindarkan kepedihan
(pain). Kedua aspek kebahagiaan itulah yang secara hakiki diinginkan manusia
24
demi dirinya sendiri, sedangkan perihal lainnya hanyalah sebagai sarana belaka
demi pencapaian kesenangan atau kebahagiaan. Menurut pandangan mazhab etika
Utilitarianisme, sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan
publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia hanyalah baik dalam arti moral
apabila eksistensi atau konsekuensinya dapat memajukan kesenangan dan
kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang yang bersangkutan dengannya. Jadi,
berarti buruk secara moral jika sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan
sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia itu menimbulkan
kepedihan (Graham, 2015: 188).
Etika Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham
(1748–1832), seorang filsuf besar Inggris pada abad ke-18. Bentham memperkenalkan suatu prinsip moral: the greatest happiness of the greatest number
(kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Prinsip itulah yang menjadi
tolok ukur etika Utilitarianisme dalam mempertimbangkan nilai moralitas sesuatu
tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas
kehidupan manusia. Sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial,
kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia adalah baik dalam arti
moral apabila mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan dan buruk jika halnya
mengakibatkan penderitaan. Bentham menyatakan bahwa kebahagiaan adalah
perasaan nikmat (pleasure), sedangkan nonkebahagiaan berarti perasaan sakit
(pain). Atas paham itu, orang menuduh etika Utilitarianisme telah mendudukkan
moralitas hanyalah mencari bagi dirinya sendiri suatu hidup yang penuh nikmat.
Etika Utilitarianisme karena itu dianggap hanya pantas sebagai pig-philosophy
‘filsafat yang cocok untuk babi’ (Magnis-Suseno, 1998: 173; Bertens, 2007: 248;
Praja, 2008: 65).
25
Etika Utilitarianisme akhirnya dihaluskan serta dikukuhkan oleh filsuf
besar Inggris lainnya, John Stuart Mill (1806–1873). Mill melalui bukunya
Utilitarianism menegaskan dua prinsip dasar etika. Pertama, prinsip kebahagiaan
terbesar atau prinsip kegunaan, bahwa entitas-entitas tindakan, kewajiban, norma
pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh satuan wujud kehidupan manusia
adalah betul secara moral sejauh memajukan sebesar-besar kesenangan dan
kebahagiaan. Kedua, kebahagiaan berarti mengalami kenikmatan dan bebas dari
perasaan kepedihan. Manusia hanya menginginkan dua hal itu demi dirinya
sendiri, sehingga mengusahakan nikmat (pleasure) dan menghindarkan diri dari
perasaan sakit (pain) adalah kebaikan manusiawi sehingga kodratnya merupakan
norma dasar moralitas bagi umat manusia (Scarre, 1996: 91; Magnis-Suseno,
1998: 174).
Mill melengkapi pula etika Utilitarianisme dengan perihal jenis kesenangan
atau kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia bagi
Mill sejatinya tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif semata tetapi mesti juga dari
dimensi kualitasnya, sebab ada kebahagiaan yang sifatnya lebih tinggi dan ada
juga yang lebih rendah mutunya. Kebahagiaan yang nilainya rohaniah jelas lebih
tinggi tarafnya daripada jasmaniah; kebahagiaan yang dialami oleh manusia tentu
tarafnya jauh lebih tinggi daripada hewan; kebahagiaan yang dirasakan oleh
Sokrates niscaya lebih tinggi mutunya daripada kesenangan orang pandir.
Di samping itu, tolok ukur kebahagiaan mesti pula atas dasar empirikal, ialah
harus berpedoman kepada para bijaksanawan karena orang-orang seperti itu dapat
memberikan kepastian tentang mutu kebahagiaan (Magnis-Suseno, 1998: 173–
174). de Vos, 2002: 184; Bertens, 2007: 249–250).
26
Etika Utilitarianisme berbeda dengan egois hedonisme Epikuros karena
prinsip dasar etis Utilitarianisme bahwa akibat sesuatu tindakan atau seluruh
entitas kehidupan manusia yang memajukan kesenangan dan kebahagiaan terbesar
adalah mengenai semua orang yang koheren dengannya, tidak hanya pihak (-pihak)
pelaku saja. Jadi, etika Utilitarianisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri atau
golongan sendiri saja, melainkan untuk semua orang yang bersangkutan bahkan
umat manusia.
Etika Utilitarianisme memang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, tetapi sebagai cabang (ilmu) filsafat tentu masih terdapat segi-segi kelemahan
atau kekurangan, semisal soal orientasinya. Sebagian kalangan filsuf menilai
bahwa Utilitarianisme terlalu mementingkan hasil tindakan daripada menaati
norma-norma moral umum. Umpamanya, demi sesuatu manfaat dengan dugaan
akan banyak penduduk yang menikmatinya, etika Utilitarianisme menyetujui
entitas tindakan atau norma yang pelaksanaannya akan melanggar hak-hak
sebagian orang. Etika Utilitarianisme dinilai kurang respek terhadap masalah
keadilan, padahal siapa pun wajib hormat pada hak asasi manusia.
J.O. Urmson dan S.E Toulmin akhirnya mengadakan varian etika
Utilitarianisme dengan sebutan Utilitarianisme peraturan. Urmson (1952: 33–39)
dan Toulmin (1949) menekankan bahwa objek penilaian kebaikan moral jangan
hanya difokuskan pada konsekuensi-konsekuensi sesuatu tindakan atau aturan
pergaulan sosial, tetapi juga pada konsekuensi dari pentaatan atas norma-norma
moral hidup manusia. Siapa pun harus bertindak menurut norma-norma etis yang
dugaannya akan menghasilkan keuntungan dan kebahagiaan yang paling besar.
Jadi, varian Utilitarianisme aturan menekankan bahwa penilaian kebaikan
27
tindakan moralitas bukan hanya semata-mata atas dasar konsekuensi kegunaan
terhadap pengejawantahan dari sesuatu perbuatan, norma pergaulan sosial atau
kebijakan publik, melainkan juga dari sudut akibat atau konsekuensi karena
kesesuaiannya dengan norma-norma moral umum kehidupan manusia.
Ajaran budaya Kalo sebagaimana pendirian etika Utilitarianisme tersebut
di atas, adalah dapat dinyatakan sebagai entitas ajaran yang baik dalam arti moral
apabila seperti prinsip-prinsip tolok ukur berikut. Pertama, nilai-nilai dan normanorma budaya Kalo Sara di sistem kepranataan asasi suku bangsa Tolaki ialah
mampu memaju-kan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyak warga suku
bangsa Tolaki bahkan masyarakat Sulawesi Tenggara secara keseluruhan. Kedua,
sistem nilai dan norma-norma budaya Kalo Sara tersebut sesuai dengan ajaran
moral umum manusia.
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian
Bahan pokok penyusunan disertasi ini didasarkan pada studi kepustakaan
(library research), tetapi dilengkapi pula dengan materi hasil observasi dan
wawancara. Sesuai dengan jenis penelitian tersebut maka bahan-bahan studi ini
tercakup sebagai berikut: (a) data tulisan dan data lisan, (b) data kearsipan, serta
(c) data keartefakan. Hal ikhwal bahan penelitian itu dapat dijabarkan sebagai berikut.
a) Sumber Primer
Jenis dan sumber data primer meliputi sebagai berikut.
1) Data kepustakaan, berupa buku-buku yang telah lama penerbitannya, yakni:
(1) Adat-istiadat Daerah Sulawesi Tenggara (1978, P3KD Prop. Sultra),
28
(2) Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara (1979, P3KD
Prop. Sultra), (3) Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Tenggara
(1981, PIDKD Prop. Sultra), (4) Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat
Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara (1982, PIDKD Prop. Sultra).
2) Data kearsipan tulisan tentang eksistensi suku bangsa Tolaki dan kulturalnya
dari lembaga Kearsipan Daerah Makassar dan Nasional serta Adat Tolaki
Konawe dan Mekongga.
3) Data kearsipan tulisan tentang kepemelukan agama dan ketransmigrasian di
Sulawesi Tenggara daratan dari Kementerian Agama dan Dinas Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tenggara.
4) Data visual dan audiovisual tentang bermacam artefak dan upacara pernikahan
orang Tolaki dari pengamatan lapangan.
b) Sumber Sekunder
Materi sekunder berupa data kepustakaan tentang etika yang bersumber
dari buku-buku, di antaranya sebagai berikut: (1) An Introduction to the Principles
of Morals and Legislation (1789, 2000, Jeremy Bentham), (2) Utilitarianisme
(1996, Geoffrey Scarre), (3) Tiga Belas Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai
Abad ke-19 (1997, Franz Magnis-Suseno), (4) Tiga Belas Model Pendekatan Etika:
Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche (1998, Franz
Magnis-Suseno), (5) Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. (1999,
W. Poespoprodjo), (6) The Elements of Moral Philosophy, (2004, James Rachels),
(7) Kamus Filsafat (2005, Lorens Bagus), (8) Etika Lingkungan (2006, A. Sonny
Keraf), (9) Etika (2007, K. Bertens), (10) Eight Theories of Ethics (2015, Gordon
Graham).
29
2. Jalan Penelitian
a. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data ialah dilakukan sebagai berikut. Data primer kepustakaan, kearsipan, dan audiovisual diperoleh dari para individu dan lembaga
pemerintah maupun swadaya masyarakat, seperti Perpustakaan dan Kearsipan
Provinsi Sulawesi Tenggara, Museum Daerah Sulawesi Tenggara, dan Lembaga
Adat Tolaki Sulawesi Tenggara. Data primer bentuk lisan didapat dari wawancara
dengan beberapa tokoh masyarakat/adat Tolaki, sedangkan data primer pelbagai
bentuk visual (lihat lampiran) diperoleh dari observasi. Eksistensi data lisan, visual
dan audiovisual sifatnya hanya untuk melengkapi data kualitatif kepustakaan dan
kearsipan sehingga aspek kredibilitas dan dependabilitas data sungguh-sungguh
terjamin keabsahannya.
Ruang lingkup data yang terkumpul dari bentuk-bentuk penelitian di atas,
yakni: sejarah suku bangsa dan kebudayaan Tolaki; kepenganutan agama per
kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tenggara; ketransmigrasian di Sulawesi Tenggara
daratan; eksistensi budaya Kalo di pelbagai artefak kultural berikut sistem nilai
dan norma budaya moralitas Kalo Sara pada pelbagai sistem kepranataan asasi
suku bangsa Tolaki.
Data sekunder kepustakaan yang berkenaan dengan objek material dan
formal penelitian ini, selain berasal dari para individu, juga dari beberapa instansi
pemerintah, seperti Perpustakaan Wilayah Sulawesi Tenggara, Museum Daerah
Sulawesi Tenggara, Perpustakaan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Filsafat UGM, serta Perpustakaan Universitas Haluoleo Kendari.
30
b. Tahap Laporan Penelitian
Laporan penelitian ini disusun secara sistematis dan objektif dengan tiga
pokok uraian sebagai berikut: (1) eksistensi budaya Kalo dalam sistem kehidupan
sosial atau kepranataan asasi suku bangsa Tolaki, (2) sistem nilai dan norma
budaya moralitas Kalo Sara ditinjau dalam perspektif etika Utilitarianisme, serta
(3) sumbangan ajaran moralitas budaya Kalo bagi perkembangan budaya di
Sulawesi Tenggara.
Langkah-langkah penelitian ini diorganisasi sebagai berikut.
1) Pembuatan desain penelitian,
2) Pengumpulan data,
3) Pengkategorisasian data,
4) Penganalisisan data,
5) Penyusunan draf hasil penelitian,
6) Seminar hasil penelitian, dan
7) Penulisan laporan akhir hasil penelitian.
Pola penelitian di atas apabila dilihat dalam bentuk bagan akan tampak
seperti berikut.
31
Gambar: 1.1. Bagan Pola Penelitian moralitas budaya Kalo
c. Tahap Analisis Data
Analisis data dilakukan ketika dan sesudah penyelidikan. Adapun sesudah
data terkumpul, lalu disusun atau diorganisasi secara sistematis. Data selanjutnya
dijabarkan ke dalam unit-unit, disintesiskan, dipilah dan dipilih yang penting
untuk dipelajari. Data lantas disimpulkan agar dapat diterangkan kepada khalayak.
Penganalisisan semacam itu niscaya memudahkan siapa pun dalam memahami
substansi data.
3. Analisis Hasil Penelitian
Analisis hasil penelitian sebenarnya bersangkut paut dengan pola pikir.
Bagi Spradley (1980) analisis hasil penelitian merupakan suatu cara perpikiran.
Penganalisisan berkaitan dengan pengujian data secara sistematis untuk menentu-
32
kan bagian-bagian, hubungan antarbagian dan keseluruhannya demi menentukan
pola. Senada dengan pendapat itu, Patton (Kaelan, 2005: 168) menyatakan bahwa
analisis data adalah suatu proses mengatur data, mengorgani-sasikannya ke dalam
suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Peneliti kemudian melakukan pula
suatu interpretasi atau tafsiran dalam analisis, men-jelaskan pola atau kategori,
mencari hubungan di antara unsur satu dengan lainnya serta merumuskan
konstruksi teoretisnya.
Analisis hasil penelitian ini sesungguhnya mengikuti metode Miles and
Huberman (Sugiyono, 2012: 334–343), yang membagi penganalisisan data hasil
penelitian menjadi tiga tahapan, yaitu: (1) tahapan reduksi data (data reduction),
(2) tahapan display data (data display), dan (3) tahapan simpulan dan verifikasi
(conclusion drawing/verification). Pertama, Tahapan Reduksi Data (Data Reduction).
Bahan yang diperoleh pada saat pengumpulan jumlahnya cukup banyak. Peneliti
maka dari itu segera melakukan reduksi data dengan cara merangkum; memilih
dan memfokuskan data pada aspek yang utama; mencari tema dan polanya
(membuat kategorisasi), serta membuang data yang tidak penting. Data yang telah
mereduksi memberikan gambaran jelas dan mempermudah peneliti untuk
pengumpulan data selanjutnya. Kedua, Tahapan Displai Data (Data Display),
yakni setelah pereduksian, data didisplaikan atau disajikan dengan pola kualitatif
naratif, tetapi ada juga data yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel.
Ketiga, Tahapan Simpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification).
Pada tahapan ketiga analisis data, peneliti melakukan suatu penarikan kesimpulan
dan verifikasi sebagai jawaban atas permasalahan penelitian ini.
33
Analisis hasil penelitian sebagaimana uraian di atas, sebetulnya bukanlah
berjalan secara linear dan kaku melainkan suatu kegiatan siklus interaktif yang
dinamis. Analisis hasil penelitian ini menurut metodologi filsafat meliputi metodemetode sebagai berikut.
a) Metode historis. Penelitian ini menggunakan metode historis guna menentukan keabsahan data dari segi kredibilitas dan dependabilitas. Selain itu,
untuk kepentingan aspek kronologis temporal dan spasial sehingga rekonstruksi
sejarah tentang suku bangsa Tolaki dan budaya Kalo dapat dilakukan secara
benar. Dengan cara itu, kebenaran sejarah akan eksistensi suku bangsa Tolaki
serta budaya Kalo dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b) Metode verstehen. Penelitian ini menggunakan metode verstehen demi memahami makna ajaran moral budaya Kalo melalui insight (wawasan atau pengartian yang mendalam) dan empati (Jerman: einfühlung). Dilthey (Kaelan,
2010: 166) menjelaskan bahwa verstehen adalah suatu metode untuk mengetahui rasa orang lain lewat suatu tiruan pengalaman sendiri. Meskipun tiruan
itu ada dalam subjek, tetapi diproyeksikan ke objek. Esensi verstehen adalah
menghidupkan kembali (nachleben) atau mewujudkan kembali (nachbilden)
pengalaman orang lain sebagai objek penelitian lalu memproyeksikannya
kepada subjek peneliti. Bagi Ricoeur (1974), pemahaman dengan metode
insight dan einfühlung serta akal budi manusia dilakukan dengan penghubungan objek data dengan pengetahuan manusia sendiri secara holistis, seperti
moralistis, religius, estetis, dan nalariah. Pada tahap ini hubungan antara
pengetahuan dan objek data berada pada taraf konstruktif. Tahapan verstehen
adalah awal proses interpretasi maka setelahnya harus melakukan interpretasi.
34
c) Metode Hermeneutik. Pada asasnya semua objek atau benda berentitas netral,
sebab bagaimana pun objek adalah tetap objek dan tidak bermakna pada dirinya
sendiri. Subjek atau manusialah yang memberi makna pada objek dan hal itu
ada dalam hermeneutik atau interpretasi. Pemaknaan objek oleh manusia
didasarkan pada kacamata atau sudut pandang tertentu. Jika tidak demikian,
objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999: 30).
Metode interpretasi berarti membuat maknawi yang ada dalam realitas
objek penelitian sehingga orang dapat memahaminya. Interpretasi dengan
demikian adalah pemahaman artikulasi yang dilakukan secara saksama
(Poespoprodjo, 1987; 2004: 22). Penggunaan metode interpretasi dalam penelitian ini berarti berfungsi untuk memformulasikan maknawi nilai-nilai dan
norma-norma etis budaya Kalo sehingga masyarakat luas dapat memahaminya.
Metode hermeneutik merupakan kombinasi antara cara berpikir induktif
dan deduktif yang berlangsung secara lingkar dialektika: dari umum ke khusus,
dan dari khusus ke umum (Bakker & Zubair, 1990: 45). Tambahan pula, pengkajian moral sebagai aspek yang normatif perlu menggunakan metode campuran,
baik deduktif rasional maupun induktif empiris (Poespoprodjo, 1999: 31).
Keberadaan metode hermeneutik adalah untuk menafsirkan berbagai
fenomena yang melingkupi kehidupan manusia. Kefenomenaan itu bagi
Kaelan (2010: 180) di antaranya berupa karya filsafat, simbol verbal dan non
verbal, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, dan
moralistis. Maksud adanya metode hermeneutik dalam penelitian ini ialah
untuk menangkap makna nilai-nilai dan norma-norma moral budaya Kalo
sesuai dengan konteksnya.
35
d) Metode induktif, merupakan suatu teknik abstraksi dari hal-hal yang sifatnya
khusus menuju ke inferensi umum. Pada tahap ini peneliti melakukan penyimpulan secara induktif aposteriori. Namun, intensinya bukan untuk merumuskan
suatu generalisasi, tetapi demi membentuk konstruksi teoretis berdasarkan
intuisi logika. Penyimpulan dengan metode itu merefleksikan juga suatu
sistem pengetahuan filosofis yang mendasari penelitian ini.
F. Sistematika Penulisan
Penelitian “Moralitas Kalo Suku Bangsa Tolaki dalam Perspektif Etika
Utilitarianisme dan Sumbangannya bagi Perkembangan Budaya di Sulawesi
Tenggara” ini disusun secara sistematis dalam lima bab dengan pokok-pokok
bahasan sebagai berikut.
Bab I. Pendahuluan. Bab satu pertama-tama memaparkan masalah pokok
pikiran penelitian. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan tujuan penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, dan metode penelitian dalam rangka untuk pemformulasian makna empiris dan hakiki bagi penyusunan laporan penelitian ini.
Bab II. Etika Utilitarianisme. Bab ini membicarakan objek formal penelitian,
yaitu etika dalam pengertian umum dan etika Utilitarianisme secara khusus
sebagai kerangka perpikiran dalam menganalisis nilai-nilai dan norma-norma
moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki, Sulawesi Tenggara.
Bab III. Kebudayaan Masyarakat Tolaki. Bab tiga menjabarkan tentang
objek material penelitian ini, yakni Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki serta
nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya Kalo Sara yang mengejawantah
pada sistem kehidupan sosial (kepranataan) asasi suku bangsa Tolaki. Bab ini
mendeskripsikan pula perihal sejarah dan kependudukan suku bangsa Tolaki.
36
Bab IV. Refleksi Kritis Atas Relevansi Moralitas Kalo bagi Pengembangan
Budaya di Sulawesi Tenggara. Bab empat adalah menerangkan secara refleksi
kritis tentang relevansi dan urgensi nilai-nilai moralitas budaya Kalo dalam
wujudnya sebagai norma-norma moralitas Kalo Sara mores dalam tatanan
kehidupan sosial di Sulawesi Tenggara pada masa kini.
Bab V. Penutup. Bab lima atau bagian terakhir adalah berisi kesimpulan
atas rumusan masalah. Bab terakhir berisi pula sejumlah saran yang koheren
dengan penelitian ini.
Download