1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Wilayah Indonesia dihuni oleh masyarakat yang majemuk. Fenomena kemajemukan masyarakat Indonesia itu antara lain terindikator pada keragaman suku bangsa (ethnic group) berikut budayanya serta kepenganutan agama. Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia (tahun) 2010 dalam hal ini mencatat bahwa kelompok sosial yang hidup di Nusantara berjumlah lebih dari 1.300 suku bangsa dengan kepenganutan agama (Na'im & Syaputra, 2011: 5–10), yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu. Eksistensi kemajemukan masyarakat, budaya, dan agama itu, memperkaya nasion Indonesia dengan sumber-sumber dasar ajaran moral. Pelbagai suku bangsa hidup di wilayah Sulawesi Tenggara, baik penduduk asli maupun nonpribumi. Perihal penduduk asli ada empat suku bangsa, yaitu Tolaki, Buton, Muna, dan Moronene. Penduduk nonpribumi terdiri atas berbagai ethnic group, yakni Bugis-Makassar, Toraja, Minahasa, Jawa, Sunda, Bali, Ambon, Padang, dan sebagainya. Kelompok-kelompok etnik itu tentu memiliki entitas swabudya masing-masing sebagai tanda kearifan tradisional (local wisdom) serta jati diri etiket dan moralitasnya. Pusat-pusat permukiman etnik di Sulawesi Tenggara berbeda-beda. Etnik Tolaki mayoritas hidup di sejumlah wilayah Sulawesi Tenggara daratan, sedangkan 2 suku Buton, Muna, dan Moronene kebanyakan diam di wilayah-wilayah Sulawesi Tenggara kepulauan, seperti kepulauan Buton-Wakatobi, Muna, dan Kabaena–Moronene. Kaum pendatang, seperti Bugis-Makassar, Jawa, Bali, Sunda, dan Padang tinggal berserak-serak di seluruh wilayah Sulawesi Tenggara sesuai dengan kehendak dan jenis mata pencahariannya masing-masing. Suku bangsa Tolaki kadang-kadang atau secara tersamar dianggap dua subetnik, yakni Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga. Kaum Tolaki yang hidup di bekas Wonua (negeri, kerajaan) Konawe dianggap sebagai etnik Tolaki Konawe dan kaum Tolaki yang tinggal di bekas Wonua (negeri, kerajaan) Mekongga dipandang selaku etnik Tolaki Mekongga, tetapi realitas dunia Tolaki itu sebenarnya hanyalah satu, yakni orang atau kaum Tolaki. Hal itu karena antara Tolaki Konawe dengan Tolaki Mekongga secara prinsipiil memiliki sistem sosiobudaya dan entitas-entitas kehidupan lainnya secara sama. Perbedaan antara keduanya tidaklah menyangkut masalah-masalah yang pokok, melainkan hanyalah beberapa faktor yang sifatnya sepele, umpamanya soal dialek bahasa dan kebiasaan, yang juga pasti terjadi pada suku bangsa lain di Nusantara ini apabila jarak menetap antara warganya saling berjauhan. Orang-orang Jawa yang tinggal di Semarang misalnya, jelas berbeda logat bahasa dan beberapa kebiasaannya dengan masyarakat Jawa yang menetap di Jawa Tengah bagian barat, seumpama di Banjarnegara, Banyumas, atau Cilacap yang masyhur dengan dialek ngapak-nya dalam membangun komunikasi sosialnya. Orang Jawa kendati begitu, di mana pun hidup biasanya mempunyai entitasentitas budaya dan sistem kehidupan yang hampir sama. 3 Pangkal seolah-olah suku bangsa Tolaki ada dua subetnik berhubungan dengan faktor kesejarahan berdirinya dua wonua (negeri, kerajaan) besar Tolaki di masa lalu, yakni Konawe dan Mekongga. Konawe adalah wonua (negeri, kerajaan) terbesar Tolaki yang berdiri pada sekitar 1150 M. dengan cikal bakalnya Wekoila, seorang aditokoh asing (P3KD Prop. Sultra, 1979: 29). Bhurhanuddin (1977: 140) menyebutkan bahwa Wekoila berasal dari Kediri-Jawa Timur, tetapi menurut hemat Melamba dkk. (2013: 104) aditokoh itu termasuk seorang bendara LuwuSulawesi Selatan. Wonua (negeri, kerajaan) Konawe terbentuk sebagai hasil unifikasi dari lima klan besar Tolaki yang telah ada sebelumnya, yakni Padangguni, Wawolesa, Besulutu, Watu Mendonga, dan Tambosupa. Aditokoh Wekoila berhasil menyatukan kelima klan besar itu yang sebenarnya sudah di ambang kehancuran akibat adanya kekacauan sosiopolitik. Wekoila atas jerih payahnya tersebut oleh para pemimpin kelima klan besar di atas diangkat sebagai mokole more (mokole=raja; more=perempuan) pertama Konawe. Pu'u wonua (ibu negeri) Konawe awalnya berlokasi di Olo-Oloho lalu pindah di Unaaha, suatu kawasan luas, yang berada di poros tengah Sulawesi Tenggara daratan. Bekas pu'u wonua (ibu negeri) Konawe dewasa ini telah menjadi ibu kota Kabupaten Konawe. Mekongga sementara itu termasuk wonua (negeri, kerajaan) besar Tolaki yang kedua. Wonua ini kira-kira berdiri pada 1200 M dengan mokole (raja) pertamanya bernama Laroempalangi, adik maharani Wekoila. Folklor Mekongga menceritakan bahwa Laroempalangi datang di bumi Kolaka, bermaksud untuk membunuh (burung) mekongga ‘elang’ raksasa yang kerap kali muncul dan memangsa hewan ternak (bahkan manusia) di lingkungan klan-klan Tolaki. 4 Laroempalangi sukses menjalankan misinya itu sehingga sebagai imbalan atas jerih payahnya, para to'onomotuo (sesepuh) punya keinginan mengangkatnya sebagai pemimpin klan-klan Tolaki. Laroempalangi tidak keberatan dengan keinginan para to' ono motuo itu maka terintegrasilah klan-klan besar Tolaki ke dalam satu negeri baru, Wonua Mekongga. Pu'u wonua (ibu negeri) Mekongga terletak di Bende, tetapi beberapa waktu kemudian dipindahkan ke Wundulako (Melamba & Azis, 2012: 38–39; Tamburaka dkk, 2010: 49–50). Sebutan Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga adanya didasarkan atas faktor kelahiran dan tempat tinggal orang Tolaki tersebut. Kaum Tolaki dari generasi atau keturunan Wonua Konawe dan tinggal di bekas wilayah kerajaan itu biasa disebut orang Konawe. Kaum Tolaki dari keturunan Wonua Mekongga dan diam di bekas wilayah kerajaan tersebut lazimnya dinamakan orang Mekongga, tetapi sebagaimana di atas, entitas jati diri orang Konawe dan orang Mekongga itu pada dasarnya hanyalah satu, yaitu insan atau kaum Tolaki. Pembedaan antara Tolaki Konawe dan Tolaki Mekongga kadang kala hanya dilakukan oleh para peneliti untuk keperluan penganalisisan dan penjelasan agar lebih mudah dan didapat gambaran yang detail tentang suku bangsa itu, tetapi secara faktual sosiokultural tidak seperti itu adanya. Wonua (negeri, kerajaan) Konawe dan Mekongga yang menjadi salah satu pangkal pembedaan itu sesungguhnya berdampingan yang garis perbatasannya tidaklah formal dan tegas, melainkan hanya bersifat alamiah dan samar, seperti sungai dan gunung. Orang-orang Tolaki karenanya biasa melakukan migrasi di kedua wonua (negeri) itu untuk menetap atau mencari nafkah tanpa merasa ada 5 beban perbedaan yang sifatnya sosiokultural. Pembicaraan suku bangsa Tolaki pada penelitian ini dengan demikian tidak terbedakan dalam dua subetnik sebagaimana di atas, kecuali teracu terhadap satu entitas saja, yakni orang atau suku bangsa Tolaki. Suku bangsa Tolaki dalam lingkungan sosialnya hidup suatu kultur yang disebut budaya Kalo. Kalo menurut arti harfiah bahasa Tolaki adalah ‘lingkaran, ikatan’. Wujud ideal budaya Kalo yaitu Kalo Sara. Istilah Sara secara etimologis berarti ‘adat’ (jamaknya: ‘adat-istiadat’). Kalo Sara dengan demikian ekuivalen dengan entitas “adat-istiadat”, yaitu suatu lingkaran, bulatan atau ikatan adatistiadat. Ungkapan itu menyiratkan suatu pona’a (pandangan dunia) kaum Tolaki bahwasanya kaum Tolaki akan hidup dalam ikatan atau lingkaran ajaran nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo Sara secara kafah atau bulat. Hal-hal yang akan ditaati dengan demikian, adalah petunjuk-petunjuk budaya Kalo Saratentang etiket dan moralitas yang terkait dengan sistem sosial kaum Tolaki, seperti pranata perkawinan, penanggulangan biaya pendidikan, duka kematian, keagamaan/ kepercayaan, politik-pemerintahan, dan mata pencaharian. Budaya Kalo sebagai Kalo Sara merupakan Sara Owoseno/Mbu'uno (adatistiadat pokok/utama). Kalo Sara karenanya menjadi sumber pokok ajaran etiket dan moralitas bagi suku bangsa Tolaki dalam menata seluruh urusan personal dan kemasyarakatannya. Tarimana (1993: 25) menjelaskan bahwa budaya Kalo adalah fokus kultural yang menjiwai seluruh aktivitas atau kepranataan sosial suku bangsa Tolaki. Makam tradisi demikian menurut Linton (1936: 402–404) dinamakan cultural interest atau social interest, yaitu suatu kompleks unsur kebudayaan 6 yang digemari oleh suatu kelompok etnik sehingga semua ranah kehidupan etnik itu dilandasi dengan ajarannya. Proposisi bahwa Kalo Sara adalah sumber pokok ajaran moral bagi kaum Tolaki didasarkan pada pandangan beberapa ahli pikir berikut. Pertama, de Vos (2002: 40–41), yang menyatakan bahwa kebudayaan ideal yang berupa sistem gagasan memiliki tiga domain yang sifatnya mengatur tindakan warga masyarakat pendukungnya, yakni kebiasaan, langgam, dan adat-istiadat. Kebiasaan dan langgam tergolong sebagai pola aturan atau tindakan yang sifatnya turun-temurun, tetapi kebiasaan lazimnya hanya dihayati serta diamalkan oleh perseorangan, sedangkan langgam oleh masyarakat luas. Kebiasaan dan langgam menyangkut hal-ihwal yang secara nisbi kurang penting atau urgen di hati manusia sehingga reaksi akan penyimpangannya tidak terlalu keras, paling-paling hanya mendapat tertawaan, ejekan, atau gunjingan. Adat-istiadat sebaliknya, mengungkapkan nilai dan kelakuan yang seharusnya bagi masyarakat pendukungnya. Sifat tabiat petunjuk-petunjuk adat-istiadat memang berat maka jika terjadi pelanggaran atasnya dapat berakibat fatal. Para pelanggar petunjuk-petunjuk adat-istiadat dalam hal ini akan dituntut dan diadili secara ekstrem yang bentuknya dapat sampai pada tingkat hukuman mati. Karakteristik adat-istiadat yang demikian itu, membuat de Vos berkesimpulan bahwasanya adat-istiadat adalah entitas moral. Inferensi itu bersesuaian pula dengan pandangan W. G. Sumner (Koentjaraningrat, 2009: 160) yang menyinonimkan mores dengan istilah “adat-istiadat dalam arti khusus”. Kedua, pandangan Bagus (2005: 675) yang menyatakan bahwa adatistiadat secara keseluruhan memuat moralitas dari suatu komunitas sosial. Kaidah- 7 kaidah adat-istiadat amatlah dekat dengan hukum-hukum moralitas. Pada situasi konkret tertentu, bahkan adat-istiadat menerapkan hukum-hukum moral itu sendiri. Fagothey (1953) akhirnya menjelaskan, bahwa etika tidak saja membahas persoalan tata adab (manners), melainkan juga adat-istiadat yang bersandar pada kodrati manusia. Jelasnya, adat-istiadat dengan nilai “baik” atau “buruk” dalam entitas-entitas perbuatan manusia. Uraian di atas telah menyatakan secara eksplisit bahwa suatu budaya mesti mempunyai dua anasir pokok adat-istiadat, yakni: (a) folkways (adat kebiasaan semata), dan (b) mores atau adat-istiadat moralitas yang disebut pula “adat-istiadat dalam arti khusus”. Kedua anasir budaya itu menjadi pola atau sifat hakiki dari adat-istiadat. Anasir pertama menyangkut ajaran tata etiquette atau tata krama yang sifat keberlakuannya tergantung pada waktu dan suku bangsa tertentu. Anasir kedua menyangkut ajaran moralitas yang sifat keberlakuannya universal dan non-temporal. Jadi, adat-istiadat folkways maupun mores mempunyai ajaran budaya yang hakikat keberlakuannya untuk menciptakan ketertiban, kesejahteraan, dan kebahagiaan hidup umat manusia. Prinsip itu pada mores, malah menjadi tujuan pokok atau summum bonum ‘kebaikan tertinggi’nya. Ajaran etis budaya Kalo terlihat jelas pada norma moralitas Kalo Sara mores. Keberlakuan norma moralitas Kalo Sara mores bertujuan supaya kaum Tolaki menjadi insan yang petono’a (manusiawi) merupakan sebuah evidensi akan benarnya klaim itu. Prinsip-prinsip ajaran petono’a Kalo Sara mores mencakup, seperti berikut: mombe-meiring’ako (cinta kasih kepada makhluk), mombekaponapona’ako (saling menghormati), pesawa (ramah dan suka memaafkan); sabara 8 (sabar), merou (tahu akan tata adab), mota’u mondotoi (adil dalam sikap/tindakan), mepori (selalu mawas diri atau introspeksi), mete’alo-alo (tolong-menolong), ndundu karandu (saling menenangkan batin), dan tumotapa rarai (saling menggembirakan hati). Kaum Tolaki karenanya menilai seseorang bukan dari penampilan fisik, melainkan dari aspek sifat dan keutamaa etisnya (Tarimana (1993: 231). Ungkapan adat Tolaki: inae konasara iee pinesara, inae liasara iee pinekasara ‘barang siapa yang menjunjung tinggi adat niscaya akan termulia, sebaliknya siapa saja yang menyalahinya pasti akan ternista’ (P3KD Prop. Sultra, 1977: 129) membuktikan bahwa eksistensi Kalo Sara bukan hanya berupa adat kebiasaan semata, tetapi benar-benar merupakan sebuah mores. Pengenaan sanksi bagi siapa pun kaum Tolaki pelanggar ajaran etis budaya Kalo di masa lalu ada bermacam-macam, seperti di-pinehala (didenda), diusir dari komunitas sosialnya, dijadikan budak oleh mokole (raja), dan dihukum mati (PIDKD Prop. Sultra, 1980: 58). Sanksi lainnya berupa pula pengisolasian dari interaksi sosialnya, di mana para pelanggar ajaran etis budaya Kalo, tidak boleh bertemu atau ditemui oleh warga lainnya. Terhukum lebih jauh akan dicap sebagai orang yang telah rusak martabatnya. Kondisi demikian membuat hati dan pikirannya merana sehingga tidak sanggup bertahan hidup di lingkungan sosialnya. Orang itu lazimnya akan meninggalkan tempat tinggalnya dan hijrah ke daerah lain, tetapi terkadang juga akan langsung mengakhiri hidupnya dengan tindakan bunuh diri (Tarimana, 1993: 287–288). Hukuman berat yang dikenakan bagi kaum Tolaki pelanggar ajaran etis budaya Kalo niscaya terdorong oleh pandangan fundamental tertentu. Pandangan 9 dasariah itu apabila menyimak uraian di atas, sebetulnya sudah tertegaskan bahwasanya kaum Tolaki mengonsepsikan budaya Kalo sebagai Kalo Sara Owoseno/ Mbu'uno yang ajarannya bersifat moralistis. Alih-alih mustahillah kaum Tolaki meng-hukum para pelanggar ajaran etis Kalo Sara dengan begitu keras kalau kedudukan tradisi itu hanya serupa adat-istiadat kebiasaan semata. Budaya Kalo dalam wujudnya sebagai Kalo Sara Owoseno/Mbu'uno ajarannya adalah koheren dengan perikemanusiaan sehingga amat dihayati serta dijunjung tinggi oleh kaum Tolaki. Ajaran etis budaya Kalo itu menurut perspektif etika Utilitarianisme niscaya berdaya guna dalam menunjang kesejahteraan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyak orang Tolaki bahkan segenap warga masyarakat yang tinggal di Sulawesi Tenggara. Etika Utilitarianisme adalah suatu mazhab etika (schools of ethics) yang memiliki paham dan orientasi bahwa kebaikan moralitas entitas-entitas tindakan, kewajiban, adat-istiadat, kebijakan publik atau seluruh daya hayati manusia terletak pada aspek tujuan dan konsekuensinya. Substansi konsekuensi menurut mazhab etika Utilitarianisme adalah suatu dampak utilitas yang bersifat menunjang sebesarbesar kesejahteraan dan kebahagiaan bagi masyarakat luas bahkan umat manusia. Eksistensi budaya Kalo dalam wujudnya sebagai Kalo Sara mores (adatistiadat etis Kalo) yang ajaran etisnya terejawantah pada sistem kehidupan sosial suku bangsa Tolaki dengan demikian adalah dipandang baik secara moral serta menjadi salah satu entitas tradisi kesusilaan di Nusatara. Hal itu karena keberadaannya sungguh-sungguh berguna dalam memajukan sebesar-besar kesejahteraan dan kebahagiaan bagi segenap orang Tolaki bahkan warga masyarakat yang hidup di Sulawesi Tenggara. Kenyataan itu membuat suku bangsa Tolaki di era mutakhir 10 ini tetap menghidupkan dan melestarikan ajaran etis budaya Kalo dalam wujudnya sebagai nilai-nilai dan norma-norma moralitas Kalo Sara mores dalam dinamika kehidupan dan pergaulan sosialnya. 2. Rumusan Masalah Penelitian ini berdasarkan paparan di atas akan mengkaji dan membahas tiga jenis pertanyaan berikut. a) Bagaimana budaya Kalo dalam kehidupan sosial suku bangsa Tolaki? b) Apa analisis etika Utilitarianisme terhadap moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki? c) Apa sumbangan moralitas Kalo suku bangsa Tolaki bagi perkembangan budaya di Sulawesi Tenggara? 3. Keaslian Penelitian Penelitian tentang budaya Kalo suku bangsa Tolaki telah banyak dilakukan oleh kalangan. P3KD Prop. Sultra pada 1977 sudah melakukan studi atas budaya suku bangsa asli Sulawesi Tenggara dengan judul publikasi: Adat-istiadat Daerah Sulawesi Tenggara. Buku itu berisi gambaran etnografi adat-istiadat suku bangsa Tolaki, Buton, Muna, dan Moronene. Karangan itu dari aspek tata penulisan, memang belum memenuhi kaidah-kaidah ilmiah, tetapi sebagai karya bumiputra, buku itu menampilkan segi substansi yang amat penting, seperti faktor kedataan, penghayatan, serta pandangan kaum Tolaki dan juga Sulawesi Tenggara secara luas tentang budaya Kalo. P3KD Prop. Sultra satu tahun berikutnya, yakni pada 1978 kembali melakukan penelitian masalah adat-istiadat suku bangsa asli Sulawesi Tenggara, 11 tetapi lebih terfokus pada upacara adat perkawinan. Judul publikasinya, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara. Arti penting buku itu, selain memuat etnografi sosial, juga adanya data tentang nilai-nilai dan norma-norma kesusilaan dalam sistem pranata perkawinan suku bangsa Tolaki, Buton, Muna, dan Moronene. Penelitian berikutnya dalam bentuk disertasi dilakukan oleh Tarimana dengan judul: “Kalo sebagai Fokus Kebudayaan Tolaki: Suatu Lukisan tentang Asas Klasifikasi Simbolik dan Struktural dalam Kebudayaan Orang Tolaki di Kendari dan di Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara” (Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1984). Tarimana dalam disertasi itu menjelaskan tiga entitas kebudayaan Kalo, yakni (a) Kalo berupa benda lingkaran untuk berbagai keperluan, cara-cara ikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama secara lingkaran; (b) Kalo berupa konsep adat-istiadat (Kalo Sara), (c) Kalo berupa simbol yang mengekspresikan konsepsi kaum Tolaki tentang manusia dan alam semesta beserta isinya. Tarimana kemudian menerangkan pula empat fungsi Kalo, yakni: (a) Kalo sebagai ide dan kenyataan sosial Tolaki, (b) Kalo sebagai bahasa simbolis dan pengintegrasi unsur-unsur kebudayaan Tolaki, (c) Kalo sebagai pedoman hidup untuk terciptanya ketertiban sosial dan moral kaum Tolaki, dan (d) Kalo sebagai pemersatu bagi pertentangan-pertentangan konseptual dan sosial Tolaki. Disertasi itu pada 1993 diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Kebudayaan Tolaki. Disertasi ini berbeda dengan penelitian Tarimana di atas. Letak perbedaannya bahwa pokok penulisan Tarimana adalah Kalo sebagai pengintegrasi kebudayaan Tolaki dengan menggunakan pendekatan tiga teori kebudayaan, yakni 12 struktural-fungsional, antropologi-psikologi, dan simbol dari Geertz. Adapun disertasi ini fokusnya pada aspek moralitas budaya Kalo dengan pendekatan etika Utilitarianisme. Dasar perbedaan fokus penelitian adalah pada disiplin ilmu masing-masing. Tarimana berdisiplin ilmu antropologi, sedangkan penulis adalah ilmu filsafat. Penelitian Tarimana yang berbasiskan antropologi budaya itu, jelas sangat membantu penelaahan moralitas budaya Kalo. Budaya Kalo dalam bentuknya tradisi medulu (persatuan) telah diteliti oleh Suhardin dengan judul “Fungsi Medulu dalam Kehidupan Sosial Orang Tolaki di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara” (Tesis Universitas Padjajaran Bandung, 2001). Suhardin pada tesisnya itu mendeskripsikan aspek sejarah dan manifestasi norma-norma moralitas Kalo Sara medulu dalam lingkungan kekerabatan Tolaki. Mitos menceritakan, bahwa budaya Kalo awalnya muncul di Unaaha–pumpunan permukiman kaum Tolaki–dengan pembawa seorang tokoh turunan dewa bernama Wekoila (Sangia I’ Wekoila). Para Dewa kayangan mengutus Wekoila ke bumi untuk membentuk kesatuan dan persatuan di antara orang Tolaki dengan atributif benda suci uewai kinalo (sebentuk lingkaran rotan kecil berpilin tiga). Benda suci itu semula dinamakan Peowai (petunjuk tentang keutamaan), tetapi setelah ditambahkan perangkat perhiasan, seperti o’kasa (secarik kain putih) dan siwole (talam bersegi empat dari anyaman daun palem) maka benda suci itu lalu diubah namanya dengan Kalo Sara atau O’Sara. Mitos itu, lepas dari isinya yang ahistoris, menunjukkan bahwa entitas budaya Kalo pada awalnya berupa ajaran keutamaan atau kebaikan budi pekerti bagi manusia Tolaki. Muslimin Su'ud selanjutnya melakukan penelitian tentang “Konsep Kohanu (Budaya Malu) pada Orang Tolaki” (1989) dan “Kepemimpinan Adat Kalo pada 13 Masyarakat Tolaki di Kabupaten Kendari” (1998). Penelitian pertama menyangkut sifat malu orang Tolaki dan yang kedua tentang kepemimpinan menurut Kalo Sara. Kedua penelitian itu didanai oleh Balai Penelitian Universitas Haluoleo Kendari. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sejauh ini belum ada sama sekali penelitian tentang aspek moralitas kegunaan nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo. Kenyataan itu telah melandasi pemikiran dan kehendak penulis untuk menempuh penelitian ini. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan punya daya guna bagi pengembangan bidangbidang kehidupan manusia berikut. 1) Ilmu Pengetahuan. Penelitian ini harapannya dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena dapat menghasilkan teori dan konsep ilmu pengetahuan untuk bahan ajar pendidikan budi pekerti atau moral di satuansatuan jenjang pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi di Sulawesi Tenggara khususnya di beberapa kabupaten/kota yang menjadi permukiman mayoritas suku bangsa Tolaki, seperti Kota Kendari dan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, dan Kolaka Timur. 2) Ilmu filsafat. Penelitian ini harapannya dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu filsafat karena merintis perluasan aspek objek material penelitian filsafat. Kenyataan bahwa pengkajian masalah etis adat-istiadat oleh para sarjana filsafat atau ahli pikir masih amat minim. Akibatnya, sistem nilai kesusilaan adat istiadat kurang terpahami atau tersadari oleh anak bangsa, padahal alam pikiran 14 dan tindakan-tindakannya amat terpengaruhi oleh sistem nilai tersebut. Maka dari itu, semestinyalah Kalo Sara mendapat perhatian dari lembaga pendidikan dan kaum akademikus bangsa ini. Studi ini telah membuka aspek baru bagi etika, sehingga harapannya akan mendorong banyak sarjana etika atau ahli pikir untuk melakukan penelitian yang serupa. 3) Bangsa dan masyarakat Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat termanfaatkan untuk pengembangan wawasan keetikaan warga negara khususnya masyarakat Tolaki dan Sulawesi Tenggara tentang sistem nilai dan norma-norma moral adat-istiadat sehingga budaya tradisi dapat dihargai secara layak. Lebih dari itu, sejatinya dapat pula bermanfaat untuk sumber rujukan pembinaan budi pekerti generasi penerus bangsa. Studi ini dengan demikian termasuk bagian ikhtiar dalam rangka pencegahan demoralisasi dan dehumanisasi yang marak terjadi di Indonesia dewasa ini. Demoralisasi dan dehumanisasi, proposisi pencegahannya bahwa dapat efektif dan efisien jika dilakukan di tingkat warga suku bangsa dengan nilai-nilai dan norma-norma mores budayanya. 4) Perkembangan Budaya. Studi ini harapannya dapat berguna bagi pembangunan kultural di Indonesia khususnya di daerah Sulawesi Tenggara. Penelitian etik budaya Kalo suku bangsa Tolaki ini telah menunjukkan bagaimana eksistensi budaya dan susbtansi adat-istiadat yang begitu memengaruhi kebaikan hidup dan tindak-tanduk seorang individu dan kelompok sosial. Juga dapat pula dijadikan salah satu landasan untuk desain kebijakan pembangunan (wilayah bahkan nasional). Adanya realitas kultural itu sudah barang tentu semakin menguatkan kesadaran dan mendorong masyarakat budaya bahkan pemerintah untuk lebih menghargai serta mengembangkan lagi entitas-entitas budaya di tanah-air ini. 15 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini adalah bertujuan sebagai berikut. 1) Mendeskripsikan budaya Kalo dalam kehidupan sosial suku bangsa Tolaki. 2) Menganalisis dan menerangkan moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki dalam perspektif etika Utilitarianisme. 3) Merefleksikan serta menjelaskan sumbangan moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki bagi perkembangan kultural di Sulawesi Tenggara. C. Tinjauan Pustaka Budaya Kalo adalah pusat kultural suku bangsa Tolaki, Sulawesi Tenggara. Kalo sebagai pusat kultural ethnic group Tolaki berarti sebagaimana sifat hakiki kebudayaan universal mesti berwujud tiga domain (Koentjaraningrat, 2004: 5–7), yakni (1) cultural value system (sistem nilai budaya), adalah wujud ideal kebudayaan yang berupa kompleks ide/gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya. Wujud itu tegasnya disebut adat (jamaknya: adat istiadat), (2) social system (sistem sosial) atau wujud kepranataan, merupakan tindak-tanduk berpola dalam berbagai bidang kebudayaan suku bangsa Tolaki, dan (3) cultural artifact (artefak budaya), adalah hasil seluruh karya dan aktivitas budaya kaum Tolaki. Ketiga ranah wujud budaya Kalo di atas dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, budaya Kalo sebagai cultural value system adalah wujud Kalo pada tataran ideal atau adat-istiadat yang berupa sistem nilai dan norma, baik dalam entitas adat kebiasaan semata (folkways) maupun mores suku bangsa Tolaki. Wujud budaya Kalo pada tataran itu bernama Kalo Sara dan menjadi Sara Owoseno/Sara Mbu'uno (adat pokok/utama) yang mengatur dua bidang kehidupan 16 fundamental kaum Tolaki, yakni “tata krama atau etiket” dan “tata susila atau moral”. Nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo Sara dengan demikian menjadi pedoman kaum Tolaki tentang bagaimana seharusnya hidup dan bertingkah laku secara sopan dan manusiawi (Tarimana, 1985: 4–5). Kedua, budaya Kalo selaku social system adalah Kalo Sara sebagai bentukbentuk sistem kepranataan kaum Tolaki di mana nilai-nilai dan norma-normanya terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial, budaya, politik, pendidikan, dan ekonomi. Tindak-tanduk pada bidang-bidang itu karenanya bersifat unik menampakkan pola-pola tertentu (Tarimana, 1985: 5–6). Penelitian ini akan mengkaji dan membahas secara reflektif kritis perihal ajaran moral budaya Kalo pada sistem kepranataan perkawinan, duka kematian, politik pemerintahan, pembiayaan pendidikan, keagamaan/kepercayaan, dan mata pencaharian kaum Tolaki. Ketiga,budaya Kalo merupakan cultural artifact segala benda dan aktivitas kultural yang menjadi karya manusia Tolaki. Budaya Kalo dalam hal ini adalah seluruh benda atau barang yang berwujud lingkaran; ikatan lingkaran; pertemuan atau kegiatan sosial yang para pesertanya membentuk lingkaran. Hal itu sesuai dengan arti harfiah Kalo, yaitu ‘lingkaran, atau ikatan’. Pada awalnya, budaya artefak Kalo terbuat dari batang oue (rotan). Seiring dengan perkembangan zaman, artefak Kalo terbuat pula dari pelbagai materi lain, seperti emas, perak, benang, kain (putih), akar, dan kulit kayu sesuai dengan fungsi dan tujuannya. Sungguhpun demikian, karakteristik budaya Kalo sebagai sesuatu yang pola bundar atau lingkaran tidak pernah beralih sama sekali. (P3KD Prop. Sultra, 1977: 131; Tarimana, 1993: 20). 17 Penentuan temporal kapan munculnya pertama kali budaya Kalo di lingkungan sosial Tolaki cukup sulit karena belum ada sama sekali sumber sejarah lokal yang menyebutkan bilangannya. Tradisi lisan meskipun demikian meriwayatkan bahwa munculnya budaya Kalo koheren dengan kondisi sosiopolitik Tolaki yang penuh kekacauan akibat ulah segelintir elite yang berambisi menduduki kekuasaan. Pada saat itu tidak ada seorang pun kaum Tolaki yang mampu menciptakan ketertiban dan kedamaian masyarakat. Para Dewa dalam rangka memulihkan suasana yang demikian mengutus Wekoila (Sangia I ‘Wekoila) ke alam Konawe. Guna penyuksesan misi tersebut, Wekoila dibekali dengan peowai (ajaran keutamaan) dalam bentuk uewai kinalo (lingkaran rotan kecil pilin tiga). Alat itu kemudian diaksesori dengan o’kasa (kain putih) untuk selapiknya dan siwole (talam bersegi empat dari anyaman daun palem) sebagai wadah peletakannya. Peowai uewai kinalo akhirnya berubah namanya menjadi Kalo Sara atau O’sara (Muslimin, 1989: 60). Kisah di atas menunjukkan secara jelas bahwa pembawa budaya Kalo pertama kali di alam Konawe adalah aditokoh Wekoila. Bhurhanuddin mengutarakan bahwa Wekoila adalah seorang Jawa, tepatnya dari Kediri, Jawa Timur, tetapi pendugaan Basrin Melamba dkk. (2013: 104) adalah seorang Bugis yang berasal dari Luwu-Sulawesi Selatan dan datang di alam Konawe pada sekitar pertengahan abad ke-12. Budaya Kalo nama pangkalnya peowai (petunjuk atas keutamaan) yang berisi nilai-nilai dan norma-norma budaya perihal bagaimana kaum Tolaki menjalani hidup dan interaksi sosialnya secara baik, sopan dan etis. 18 Budaya Kalo memiliki banyak fungsi dalam kehidupan sosial budaya kaum Tolaki. Christiaan G.F. de Jong dalam bukunya: Nieuwe Meesters, Nieuwe Goden: Geschiedenis van de Tolaki en Tomoronene, Twee Volkeren in ZuidoostCelebes (Indonesia), van Prehistorische Tijden Tot Ca. 1950 (2010: 51) mendeskripsikan fungsi-fungsi budaya Kalo seperti berikut. Kalo digunakan oleh kaum Tolaki sebagai alat utama penyampaian pesan dan ritus tertentu; perlindungan bayi dari ancaman roh-roh jahat; rekonsiliasi bagi kasus perzinahan dan kawin lari. Kalo selaku simbol persatuan klan, digunakan dalam permusyawarahan, penobatan raja dan pemimpin/sesepuh, penyelesaian problem serta pembahasan hal-hal penting lainnya. Kalo selanjutnya digunakan pula dalam ritual pada pelbagai tahapan siklus pertanian dan pembukaan tanah ladang dan sawah baru. Demikian pula Kalo digunakan selaku alat utama dalam prosesi upacara pesta panen. Kalo dari bahan emas (dengan tambahan hewan kerbau, seperangkat gamelan seperti gong, dan lain-lain) menjadi alat penebusan bagi beberapa budak belian. Kalo dari bahan helai bambu tipis dan halus difungsikan sebagai alat perlindungan tanaman dari serangan hama dan penyakit. De Jong lebih lanjut menerangkan bahwa artefak budaya Kalo dengan ukuran besar digunakan untuk keperluan ritual kepada sangia, Allah atau Tuhan. Kalo dengan ukuran yang lebih kecil diperuntukkan bagi mokole, anakia, putobu dan lain-lain. Kalo seukuran bahu orang dewasa melambangkan jabatan raja yang berfungsi sebagai alat penyelesaian bagi segala urusan kepentingan bangsa. Kalo ukuran kepala manusia atau tekukan lutut orang dewasa digunakan untuk penyelesaian masalah penduduk kampung. Kalo digunakan pula dalam persiapan 19 pernikahan, ketika seseorang menawarkan seekor kerbau yang belum tertangkap, ritual rekonsiliasi antara budak yang melarikan diri dan tuannya, saat menerima tamu penting, sebagai undangan untuk pertemuan desa dan upacara/pesta tempat tinggal, penawaran permintaan maaf dan penyelesaian perselisihan yang tidak membutuhkan pertemuan musyawarah desa. Sewaktu ada peristiwa duka kematian, artefak budaya Kalo dipakai sebagai alat komunikasi pengabaran yang diikatkan dengan sehelai kain putih. Kalo digunakan pula dalam ritual mowea, suatu ritual wajib ketika ada kasus penculikan/pemerkosaan dan perzinahan. Kalo berfungsi sebagai tanda atau bukti keaslian, legitimasi, serta representasi penyampaian pesan lisan yang sifatnya rahasia, pengambilan keputusan, permohonan maaf atau penawaran kompensasi. Tarimana (1985: 3–4) dalam pada itu menerangkan bahwasanya paling tidak ada empat fungsi budaya Kalo, yakni: (1) Kalo merupakan ide dan kenyataan hidup kaum Tolaki, (2) Kalo merupakan bahasa simbolis kaum Tolaki, (3) Kalo menjadi pedoman pengamanan, penertiban, dan moralitas kaum Tolaki, dan (4) Kalo sebagai alat utama bagi pemersatuan pertentangan konsepsional dan kemasyarakatan Tolaki. Adapun keempat fungsi Kalo itu dapat dijabarkan sebagai berikut. Pertama, Kalo merupakan ide dan kenyataan hidup kaum Tolaki. Budaya Kalo selaku ide berwujud konsepsi nilai. Nilai-nilai pokok budaya Kalo, yaitu: (a) medulu mepoko’aso (nilai kesatuan dan persatuan, (b) atepute penao moroha (nilai kesucian dan keadilan), (c) morini mbu'umbundi, monapa mbu'undawaro (nilai kesejahteraan dan kesenangan), (d) mombekamei-meiri’ako (nilai cinta kasih), dan (e) nilai kohanu (rasa malu). Sistem nilai budaya Kalo itu menjadi 20 landasan norma-norma budaya Kalo Sara dalam kehidupan sosial, budaya, politik, pendidikan, dan ekonomi kaum Tolaki. Budaya Kalo sebagai pedoman hidup kaum Tolaki tampak pada dua fenomena sosial berikut: (a) pertemuan-pertemuan antara keluarga yang satu dengan lainnya serta pemerintah bersama rakyatnya, (b) sewaktu seseorang mengenakan artefak budaya Kalo di tubuhnya. Persona yang dibawakan budaya Kalo terasakan bahwa dirinya lebih tinggi peranannya daripada pihak pembawa Kalo. Perasaan demikian muncul karena ketika itu persona berstatus sebagai ayah/ibu oleh anak; paman/bibi oleh kemenakan; kakek/nenek oleh cucu, dan atasan oleh bawahan. Persona maka dari itu akan bersikap secara sepantasnya kepada pihak yang membawakan budaya Kalo. Sebaliknya, individu yang lebih rendah kedudukannya, jelas memikirkan pula bagaimana kepantasan langkahnya (Tarimana, 1993: 285–286). Pemakaian artefak Kalo di tubuh seseorang, menunjukkan budaya Kalo menjadi suatu pedoman hidup. Misalnya, seorang remaja yang memakai Kalo di pergelangan tangan dan kakinya, adalah tanda bahwa remaja itu harus berperan sebagai pemuda potensial yang siap menunaikan tugas-tugas berat demi masa depannya. Orang tua yang mengenakan Kalo ke pinggangnya ialah suatu tanda bahwasanya eksistensinya harus berperan sebagai sosok yang matang dan layak membina mental anak cucunya (Tarimana, 1993: 286). Budaya Kalo selanjutnya pada tingkat sistem hukum adalah hukum adat yang berfungsi mengatur bermacam sektor kehidupan puak Tolaki. Hal itu tampak pada gejala artefak Kalo menjadi alat komunikasi antarkeluarga dan golongan; 21 patok tanah perladangan, penjaga kebun berikut tanamannya; pengikat tiang tengah rumah dan bangunan perlindungan lainnya; alat penyelenggaraan upacara perkawinan, penabalan raja, tolak bala, dan minta berkah. Penggunaan budaya Kalo di berbagai sektor kehidupan itu wajib ditaati. Umumnya sanksi-sanksi bagi pelanggar nilai-nilai dan norma-norma budaya Kalo pada zaman dahulu berupa hukuman batin dan fisik, seperti pinehala (denda), pengusiran dari domisili, penjadian budak, bahkan hukuman mati (PIDKD Prop. Sultra, 1980: 58). Pada masa kini, tentu bentuk-bentuk penghukuman tersebut sudah diperlunak dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan hukum formal nasional. Kedua, budaya Kalo selaku bahasa simbolis kaum Tolaki. Rotan lingkar berpilin tiga misalnya, menyimbolkan makna “kesatuan dan persatuan”; o'kasa lapik Kalo, melambangkan makna “kesucian dan keadilan”; siwole alas o'kasa menyimbolkan makna “kesejahteraan”. Simbolisme Kalo merupakan pengintegrasi unsur-unsur kultural Tolaki, baik dengan beberapa subelemen maupun unsur utama upacara. Rupa-rupanya Kalo ekuivalen dengan aktivitas-aktivitas budaya yang berfungsi memenuhi banyak pejatian dasar insan Tolaki. Misalnya, adanya pejatian untuk menyampaikan perasaan atau pikiran kepada sesama maka kaum Tolaki menciptakan budaya Kalo sebagai bahasa pengejawantahannya; adanya kebutuhan akan keamanan ladang, kebun, serta tanamannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan maka orang Tolaki membuat budaya Kalo sebagai bahasa penjagaannya; adanya kehendak untuk kawin dalam rangka memenuhi kebutuhan seks dan keturunan maka orang Tolaki menciptakan budaya Kalo sebagai bahasa pelamaran dan pernikahan. 22 Ketiga, budaya Kalo sebagai pedoman pengamanan, penertiban, dan moralitas. Kaum Tolaki menjadikan ajaran budaya Kalo untuk kepentingan pengamanan, penertiban, dan moralitas. Penerapan ajaran budaya Kalo atas aspekaspek itu tampak pada nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya Kalo sebagai landasan kalangan kaum Tolaki dalam memulihkan suasana-suasana, seperti: kelaparan ketika gagal panen; kecelakaan sewaktu bencana alam; kematian saat epidemi; keretakan hubungan tatkala kesalahpahaman antara perorangan, keluarga, dan golongan. Bagi kaum Tolaki, situasi-situasi tersebut timbul karena adanya pelanggaran atas ajaran moral budaya Kalo dan agama. Cara pemulihannya dengan menyelenggarakan ritus mosehe wonua atau upacara penyehatan diri dan negeri. Dengan ritus itu maka suasana negeri yang tadinya anomi dan disharmoni pulih tertib dan sentosa (Bergink, 1991: 299–301). Budaya Kalo akhirnya merupakan media utama bagi pemersatuan pertentangan konsepsional dan kemasyarakatan Tolaki. Timbulnya pertentangan konsepsional dan kemasyarakatan Tolaki terpicu oleh beberapa hal. Misalnya, pertentangan antara pihak bangsawan dan budak, biasanya dipicu perlakuan yang tidak senonoh antara satu dengan lainnya; konflik antara pihak pemerintah dengan rakyat luas, umumnya ditimbulkan perbedaan paham politik; adanya perseteruan antarkeluarga, lazimnya karena persoalan kawin lari. Segala suasana yang kontradiksi tersebut mampu diselaraskan dengan budaya Kalo. Pemersatuan antara pihak bangsawan dengan budak menggunakan Kalo mbÅ«tobu; pengintegrasian antara pihak pemerintah dan rakyat memakai Kalo mokole, dan pendamaian antara keluarga karena adanya mosuahake (delik susila) dilakukan dengan Kalo sokei. 23 (P3KD Prop. Sultra, 1977: 131–133; Tarimana, 1993: 296; de Jong, 2010: 151). Kaum Tolaki mendudukkan budaya Kalo menjadi alat utama pada setiap penyelesaian perguaman sosial dan konsepsional karena eksistensinya merupakan simbolisme moral. Jadi, kalangan Tolaki menghadirkan budaya Kalo di setiap momentum penting atau dilematik, sebetulnya dalam kerangka demi penjagaan harkat kemanusiaannya. Eksistensi budaya Kalo sebagaimana jabaran di atas adalah sebagai fokus kultural Tolaki dengan ranah wujud, yakni: sistem nilai budaya, sistem sosial, dan sistem artefak. Sistem nilai budaya Kalo berupa nilai-nilai dan norma-norma Kalo Sara yang menjadi pedoman hidup dan sistem sosial (kepranataan) fundamental kaum Tolaki. Budaya Kalo sesungguhnya menyatakan dua substansi pokok Kalo Sara, yakni folkways yang berupa nilai-nilai dan norma-norma etiket serta mores yang berupa nilai-nilai dan norma-norma etis. Kedua jenis substansi budaya Kalo itu menjadi tolok ukur bagi kebaikan sopan-santun dan kesusilaan manusia Tolaki. D. Landasan Teori Penelitian ini akan mengkaji dan membahas ajaran moralitas budaya Kalo secara reflektif kritis dengan sudut pandangan etika Utilitarianisme. Utilitarianisme adalah suatu mazhab etika (schools of ethics) yang mengukur baik-buruknya moralitas sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia dari aspek kegunaannya. Maksud kegunaan bagi mazhab etika Utilitarianisme adalah sesuatu hal atau “ada” yang mendatangkan kebahagiaan, yakni kesenangan (pleasure) atau menghindarkan kepedihan (pain). Kedua aspek kebahagiaan itulah yang secara hakiki diinginkan manusia 24 demi dirinya sendiri, sedangkan perihal lainnya hanyalah sebagai sarana belaka demi pencapaian kesenangan atau kebahagiaan. Menurut pandangan mazhab etika Utilitarianisme, sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia hanyalah baik dalam arti moral apabila eksistensi atau konsekuensinya dapat memajukan kesenangan dan kebahagiaan bagi sebanyak mungkin orang yang bersangkutan dengannya. Jadi, berarti buruk secara moral jika sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia itu menimbulkan kepedihan (Graham, 2015: 188). Etika Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremy Bentham (1748–1832), seorang filsuf besar Inggris pada abad ke-18. Bentham memperkenalkan suatu prinsip moral: the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang). Prinsip itulah yang menjadi tolok ukur etika Utilitarianisme dalam mempertimbangkan nilai moralitas sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia. Sesuatu tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh entitas kehidupan manusia adalah baik dalam arti moral apabila mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan dan buruk jika halnya mengakibatkan penderitaan. Bentham menyatakan bahwa kebahagiaan adalah perasaan nikmat (pleasure), sedangkan nonkebahagiaan berarti perasaan sakit (pain). Atas paham itu, orang menuduh etika Utilitarianisme telah mendudukkan moralitas hanyalah mencari bagi dirinya sendiri suatu hidup yang penuh nikmat. Etika Utilitarianisme karena itu dianggap hanya pantas sebagai pig-philosophy ‘filsafat yang cocok untuk babi’ (Magnis-Suseno, 1998: 173; Bertens, 2007: 248; Praja, 2008: 65). 25 Etika Utilitarianisme akhirnya dihaluskan serta dikukuhkan oleh filsuf besar Inggris lainnya, John Stuart Mill (1806–1873). Mill melalui bukunya Utilitarianism menegaskan dua prinsip dasar etika. Pertama, prinsip kebahagiaan terbesar atau prinsip kegunaan, bahwa entitas-entitas tindakan, kewajiban, norma pergaulan sosial, kebijakan publik, dan seluruh satuan wujud kehidupan manusia adalah betul secara moral sejauh memajukan sebesar-besar kesenangan dan kebahagiaan. Kedua, kebahagiaan berarti mengalami kenikmatan dan bebas dari perasaan kepedihan. Manusia hanya menginginkan dua hal itu demi dirinya sendiri, sehingga mengusahakan nikmat (pleasure) dan menghindarkan diri dari perasaan sakit (pain) adalah kebaikan manusiawi sehingga kodratnya merupakan norma dasar moralitas bagi umat manusia (Scarre, 1996: 91; Magnis-Suseno, 1998: 174). Mill melengkapi pula etika Utilitarianisme dengan perihal jenis kesenangan atau kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh manusia bagi Mill sejatinya tidak hanya dilihat dari segi kuantitatif semata tetapi mesti juga dari dimensi kualitasnya, sebab ada kebahagiaan yang sifatnya lebih tinggi dan ada juga yang lebih rendah mutunya. Kebahagiaan yang nilainya rohaniah jelas lebih tinggi tarafnya daripada jasmaniah; kebahagiaan yang dialami oleh manusia tentu tarafnya jauh lebih tinggi daripada hewan; kebahagiaan yang dirasakan oleh Sokrates niscaya lebih tinggi mutunya daripada kesenangan orang pandir. Di samping itu, tolok ukur kebahagiaan mesti pula atas dasar empirikal, ialah harus berpedoman kepada para bijaksanawan karena orang-orang seperti itu dapat memberikan kepastian tentang mutu kebahagiaan (Magnis-Suseno, 1998: 173– 174). de Vos, 2002: 184; Bertens, 2007: 249–250). 26 Etika Utilitarianisme berbeda dengan egois hedonisme Epikuros karena prinsip dasar etis Utilitarianisme bahwa akibat sesuatu tindakan atau seluruh entitas kehidupan manusia yang memajukan kesenangan dan kebahagiaan terbesar adalah mengenai semua orang yang koheren dengannya, tidak hanya pihak (-pihak) pelaku saja. Jadi, etika Utilitarianisme tidak mencitakan kebahagiaan bagi diri atau golongan sendiri saja, melainkan untuk semua orang yang bersangkutan bahkan umat manusia. Etika Utilitarianisme memang telah mengalami beberapa kali penyempurnaan, tetapi sebagai cabang (ilmu) filsafat tentu masih terdapat segi-segi kelemahan atau kekurangan, semisal soal orientasinya. Sebagian kalangan filsuf menilai bahwa Utilitarianisme terlalu mementingkan hasil tindakan daripada menaati norma-norma moral umum. Umpamanya, demi sesuatu manfaat dengan dugaan akan banyak penduduk yang menikmatinya, etika Utilitarianisme menyetujui entitas tindakan atau norma yang pelaksanaannya akan melanggar hak-hak sebagian orang. Etika Utilitarianisme dinilai kurang respek terhadap masalah keadilan, padahal siapa pun wajib hormat pada hak asasi manusia. J.O. Urmson dan S.E Toulmin akhirnya mengadakan varian etika Utilitarianisme dengan sebutan Utilitarianisme peraturan. Urmson (1952: 33–39) dan Toulmin (1949) menekankan bahwa objek penilaian kebaikan moral jangan hanya difokuskan pada konsekuensi-konsekuensi sesuatu tindakan atau aturan pergaulan sosial, tetapi juga pada konsekuensi dari pentaatan atas norma-norma moral hidup manusia. Siapa pun harus bertindak menurut norma-norma etis yang dugaannya akan menghasilkan keuntungan dan kebahagiaan yang paling besar. Jadi, varian Utilitarianisme aturan menekankan bahwa penilaian kebaikan 27 tindakan moralitas bukan hanya semata-mata atas dasar konsekuensi kegunaan terhadap pengejawantahan dari sesuatu perbuatan, norma pergaulan sosial atau kebijakan publik, melainkan juga dari sudut akibat atau konsekuensi karena kesesuaiannya dengan norma-norma moral umum kehidupan manusia. Ajaran budaya Kalo sebagaimana pendirian etika Utilitarianisme tersebut di atas, adalah dapat dinyatakan sebagai entitas ajaran yang baik dalam arti moral apabila seperti prinsip-prinsip tolok ukur berikut. Pertama, nilai-nilai dan normanorma budaya Kalo Sara di sistem kepranataan asasi suku bangsa Tolaki ialah mampu memaju-kan kebahagiaan terbesar bagi sebanyak-banyak warga suku bangsa Tolaki bahkan masyarakat Sulawesi Tenggara secara keseluruhan. Kedua, sistem nilai dan norma-norma budaya Kalo Sara tersebut sesuai dengan ajaran moral umum manusia. E. Metode Penelitian 1. Bahan Penelitian Bahan pokok penyusunan disertasi ini didasarkan pada studi kepustakaan (library research), tetapi dilengkapi pula dengan materi hasil observasi dan wawancara. Sesuai dengan jenis penelitian tersebut maka bahan-bahan studi ini tercakup sebagai berikut: (a) data tulisan dan data lisan, (b) data kearsipan, serta (c) data keartefakan. Hal ikhwal bahan penelitian itu dapat dijabarkan sebagai berikut. a) Sumber Primer Jenis dan sumber data primer meliputi sebagai berikut. 1) Data kepustakaan, berupa buku-buku yang telah lama penerbitannya, yakni: (1) Adat-istiadat Daerah Sulawesi Tenggara (1978, P3KD Prop. Sultra), 28 (2) Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Tenggara (1979, P3KD Prop. Sultra), (3) Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Sulawesi Tenggara (1981, PIDKD Prop. Sultra), (4) Sistem Gotong Royong dalam Masyarakat Pedesaan Daerah Sulawesi Tenggara (1982, PIDKD Prop. Sultra). 2) Data kearsipan tulisan tentang eksistensi suku bangsa Tolaki dan kulturalnya dari lembaga Kearsipan Daerah Makassar dan Nasional serta Adat Tolaki Konawe dan Mekongga. 3) Data kearsipan tulisan tentang kepemelukan agama dan ketransmigrasian di Sulawesi Tenggara daratan dari Kementerian Agama dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sulawesi Tenggara. 4) Data visual dan audiovisual tentang bermacam artefak dan upacara pernikahan orang Tolaki dari pengamatan lapangan. b) Sumber Sekunder Materi sekunder berupa data kepustakaan tentang etika yang bersumber dari buku-buku, di antaranya sebagai berikut: (1) An Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789, 2000, Jeremy Bentham), (2) Utilitarianisme (1996, Geoffrey Scarre), (3) Tiga Belas Tokoh Etika: Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19 (1997, Franz Magnis-Suseno), (4) Tiga Belas Model Pendekatan Etika: Bunga Rampai Teks-Teks Etika dari Plato sampai dengan Nietzsche (1998, Franz Magnis-Suseno), (5) Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan Praktek. (1999, W. Poespoprodjo), (6) The Elements of Moral Philosophy, (2004, James Rachels), (7) Kamus Filsafat (2005, Lorens Bagus), (8) Etika Lingkungan (2006, A. Sonny Keraf), (9) Etika (2007, K. Bertens), (10) Eight Theories of Ethics (2015, Gordon Graham). 29 2. Jalan Penelitian a. Tahap Pengumpulan Data Pengumpulan data ialah dilakukan sebagai berikut. Data primer kepustakaan, kearsipan, dan audiovisual diperoleh dari para individu dan lembaga pemerintah maupun swadaya masyarakat, seperti Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Tenggara, Museum Daerah Sulawesi Tenggara, dan Lembaga Adat Tolaki Sulawesi Tenggara. Data primer bentuk lisan didapat dari wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat/adat Tolaki, sedangkan data primer pelbagai bentuk visual (lihat lampiran) diperoleh dari observasi. Eksistensi data lisan, visual dan audiovisual sifatnya hanya untuk melengkapi data kualitatif kepustakaan dan kearsipan sehingga aspek kredibilitas dan dependabilitas data sungguh-sungguh terjamin keabsahannya. Ruang lingkup data yang terkumpul dari bentuk-bentuk penelitian di atas, yakni: sejarah suku bangsa dan kebudayaan Tolaki; kepenganutan agama per kabupaten/kota Provinsi Sulawesi Tenggara; ketransmigrasian di Sulawesi Tenggara daratan; eksistensi budaya Kalo di pelbagai artefak kultural berikut sistem nilai dan norma budaya moralitas Kalo Sara pada pelbagai sistem kepranataan asasi suku bangsa Tolaki. Data sekunder kepustakaan yang berkenaan dengan objek material dan formal penelitian ini, selain berasal dari para individu, juga dari beberapa instansi pemerintah, seperti Perpustakaan Wilayah Sulawesi Tenggara, Museum Daerah Sulawesi Tenggara, Perpustakaan Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Filsafat UGM, serta Perpustakaan Universitas Haluoleo Kendari. 30 b. Tahap Laporan Penelitian Laporan penelitian ini disusun secara sistematis dan objektif dengan tiga pokok uraian sebagai berikut: (1) eksistensi budaya Kalo dalam sistem kehidupan sosial atau kepranataan asasi suku bangsa Tolaki, (2) sistem nilai dan norma budaya moralitas Kalo Sara ditinjau dalam perspektif etika Utilitarianisme, serta (3) sumbangan ajaran moralitas budaya Kalo bagi perkembangan budaya di Sulawesi Tenggara. Langkah-langkah penelitian ini diorganisasi sebagai berikut. 1) Pembuatan desain penelitian, 2) Pengumpulan data, 3) Pengkategorisasian data, 4) Penganalisisan data, 5) Penyusunan draf hasil penelitian, 6) Seminar hasil penelitian, dan 7) Penulisan laporan akhir hasil penelitian. Pola penelitian di atas apabila dilihat dalam bentuk bagan akan tampak seperti berikut. 31 Gambar: 1.1. Bagan Pola Penelitian moralitas budaya Kalo c. Tahap Analisis Data Analisis data dilakukan ketika dan sesudah penyelidikan. Adapun sesudah data terkumpul, lalu disusun atau diorganisasi secara sistematis. Data selanjutnya dijabarkan ke dalam unit-unit, disintesiskan, dipilah dan dipilih yang penting untuk dipelajari. Data lantas disimpulkan agar dapat diterangkan kepada khalayak. Penganalisisan semacam itu niscaya memudahkan siapa pun dalam memahami substansi data. 3. Analisis Hasil Penelitian Analisis hasil penelitian sebenarnya bersangkut paut dengan pola pikir. Bagi Spradley (1980) analisis hasil penelitian merupakan suatu cara perpikiran. Penganalisisan berkaitan dengan pengujian data secara sistematis untuk menentu- 32 kan bagian-bagian, hubungan antarbagian dan keseluruhannya demi menentukan pola. Senada dengan pendapat itu, Patton (Kaelan, 2005: 168) menyatakan bahwa analisis data adalah suatu proses mengatur data, mengorgani-sasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Peneliti kemudian melakukan pula suatu interpretasi atau tafsiran dalam analisis, men-jelaskan pola atau kategori, mencari hubungan di antara unsur satu dengan lainnya serta merumuskan konstruksi teoretisnya. Analisis hasil penelitian ini sesungguhnya mengikuti metode Miles and Huberman (Sugiyono, 2012: 334–343), yang membagi penganalisisan data hasil penelitian menjadi tiga tahapan, yaitu: (1) tahapan reduksi data (data reduction), (2) tahapan display data (data display), dan (3) tahapan simpulan dan verifikasi (conclusion drawing/verification). Pertama, Tahapan Reduksi Data (Data Reduction). Bahan yang diperoleh pada saat pengumpulan jumlahnya cukup banyak. Peneliti maka dari itu segera melakukan reduksi data dengan cara merangkum; memilih dan memfokuskan data pada aspek yang utama; mencari tema dan polanya (membuat kategorisasi), serta membuang data yang tidak penting. Data yang telah mereduksi memberikan gambaran jelas dan mempermudah peneliti untuk pengumpulan data selanjutnya. Kedua, Tahapan Displai Data (Data Display), yakni setelah pereduksian, data didisplaikan atau disajikan dengan pola kualitatif naratif, tetapi ada juga data yang ditampilkan dalam bentuk gambar dan tabel. Ketiga, Tahapan Simpulan dan Verifikasi (Conclusion Drawing/Verification). Pada tahapan ketiga analisis data, peneliti melakukan suatu penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagai jawaban atas permasalahan penelitian ini. 33 Analisis hasil penelitian sebagaimana uraian di atas, sebetulnya bukanlah berjalan secara linear dan kaku melainkan suatu kegiatan siklus interaktif yang dinamis. Analisis hasil penelitian ini menurut metodologi filsafat meliputi metodemetode sebagai berikut. a) Metode historis. Penelitian ini menggunakan metode historis guna menentukan keabsahan data dari segi kredibilitas dan dependabilitas. Selain itu, untuk kepentingan aspek kronologis temporal dan spasial sehingga rekonstruksi sejarah tentang suku bangsa Tolaki dan budaya Kalo dapat dilakukan secara benar. Dengan cara itu, kebenaran sejarah akan eksistensi suku bangsa Tolaki serta budaya Kalo dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. b) Metode verstehen. Penelitian ini menggunakan metode verstehen demi memahami makna ajaran moral budaya Kalo melalui insight (wawasan atau pengartian yang mendalam) dan empati (Jerman: einfühlung). Dilthey (Kaelan, 2010: 166) menjelaskan bahwa verstehen adalah suatu metode untuk mengetahui rasa orang lain lewat suatu tiruan pengalaman sendiri. Meskipun tiruan itu ada dalam subjek, tetapi diproyeksikan ke objek. Esensi verstehen adalah menghidupkan kembali (nachleben) atau mewujudkan kembali (nachbilden) pengalaman orang lain sebagai objek penelitian lalu memproyeksikannya kepada subjek peneliti. Bagi Ricoeur (1974), pemahaman dengan metode insight dan einfühlung serta akal budi manusia dilakukan dengan penghubungan objek data dengan pengetahuan manusia sendiri secara holistis, seperti moralistis, religius, estetis, dan nalariah. Pada tahap ini hubungan antara pengetahuan dan objek data berada pada taraf konstruktif. Tahapan verstehen adalah awal proses interpretasi maka setelahnya harus melakukan interpretasi. 34 c) Metode Hermeneutik. Pada asasnya semua objek atau benda berentitas netral, sebab bagaimana pun objek adalah tetap objek dan tidak bermakna pada dirinya sendiri. Subjek atau manusialah yang memberi makna pada objek dan hal itu ada dalam hermeneutik atau interpretasi. Pemaknaan objek oleh manusia didasarkan pada kacamata atau sudut pandang tertentu. Jika tidak demikian, objek menjadi tidak bermakna sama sekali (Sumaryono, 1999: 30). Metode interpretasi berarti membuat maknawi yang ada dalam realitas objek penelitian sehingga orang dapat memahaminya. Interpretasi dengan demikian adalah pemahaman artikulasi yang dilakukan secara saksama (Poespoprodjo, 1987; 2004: 22). Penggunaan metode interpretasi dalam penelitian ini berarti berfungsi untuk memformulasikan maknawi nilai-nilai dan norma-norma etis budaya Kalo sehingga masyarakat luas dapat memahaminya. Metode hermeneutik merupakan kombinasi antara cara berpikir induktif dan deduktif yang berlangsung secara lingkar dialektika: dari umum ke khusus, dan dari khusus ke umum (Bakker & Zubair, 1990: 45). Tambahan pula, pengkajian moral sebagai aspek yang normatif perlu menggunakan metode campuran, baik deduktif rasional maupun induktif empiris (Poespoprodjo, 1999: 31). Keberadaan metode hermeneutik adalah untuk menafsirkan berbagai fenomena yang melingkupi kehidupan manusia. Kefenomenaan itu bagi Kaelan (2010: 180) di antaranya berupa karya filsafat, simbol verbal dan non verbal, ritual kepercayaan, pandangan hidup, upacara keagamaan, dan moralistis. Maksud adanya metode hermeneutik dalam penelitian ini ialah untuk menangkap makna nilai-nilai dan norma-norma moral budaya Kalo sesuai dengan konteksnya. 35 d) Metode induktif, merupakan suatu teknik abstraksi dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju ke inferensi umum. Pada tahap ini peneliti melakukan penyimpulan secara induktif aposteriori. Namun, intensinya bukan untuk merumuskan suatu generalisasi, tetapi demi membentuk konstruksi teoretis berdasarkan intuisi logika. Penyimpulan dengan metode itu merefleksikan juga suatu sistem pengetahuan filosofis yang mendasari penelitian ini. F. Sistematika Penulisan Penelitian “Moralitas Kalo Suku Bangsa Tolaki dalam Perspektif Etika Utilitarianisme dan Sumbangannya bagi Perkembangan Budaya di Sulawesi Tenggara” ini disusun secara sistematis dalam lima bab dengan pokok-pokok bahasan sebagai berikut. Bab I. Pendahuluan. Bab satu pertama-tama memaparkan masalah pokok pikiran penelitian. Lalu dilanjutkan dengan penjelasan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian dalam rangka untuk pemformulasian makna empiris dan hakiki bagi penyusunan laporan penelitian ini. Bab II. Etika Utilitarianisme. Bab ini membicarakan objek formal penelitian, yaitu etika dalam pengertian umum dan etika Utilitarianisme secara khusus sebagai kerangka perpikiran dalam menganalisis nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya Kalo suku bangsa Tolaki, Sulawesi Tenggara. Bab III. Kebudayaan Masyarakat Tolaki. Bab tiga menjabarkan tentang objek material penelitian ini, yakni Kalo sebagai fokus kebudayaan Tolaki serta nilai-nilai dan norma-norma moralitas budaya Kalo Sara yang mengejawantah pada sistem kehidupan sosial (kepranataan) asasi suku bangsa Tolaki. Bab ini mendeskripsikan pula perihal sejarah dan kependudukan suku bangsa Tolaki. 36 Bab IV. Refleksi Kritis Atas Relevansi Moralitas Kalo bagi Pengembangan Budaya di Sulawesi Tenggara. Bab empat adalah menerangkan secara refleksi kritis tentang relevansi dan urgensi nilai-nilai moralitas budaya Kalo dalam wujudnya sebagai norma-norma moralitas Kalo Sara mores dalam tatanan kehidupan sosial di Sulawesi Tenggara pada masa kini. Bab V. Penutup. Bab lima atau bagian terakhir adalah berisi kesimpulan atas rumusan masalah. Bab terakhir berisi pula sejumlah saran yang koheren dengan penelitian ini.