REPRESENTASI AMERIKA SEBAGAI NEGARA ADIKUASA DALAM FILM TRANSFORMERS: REVENGE OF THE FALLEN Cindy Egifania Universitas Bina Nusantara, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk Jakarta Barat 11530, 021-5369-6969 / 021-530-0244, [email protected] Cindy Egifania, Drs. R. Damianus Cosmas B Mulyono. Dipl Broad. Jour. ABSTRACT The aims of this research were to analyze the representation of America as Superpowers in Transformers: Revenge of The Fallen movie and to seek further information about the implied behind the representation. This is a qualitative research and specifically used the Roland Barthes’s semiotic analysis method, that observe about the denotation, the connotation, and the myth interpretation of the signs system. The result of this research showed the representation of America as superpower formed not only in the form of exciting story course, but also in other intrinsic unsure as; characters, a groove, the background, dialogue and management of artistic. As conclusion, the figure of superpower which is prominent from this film is the American military figure, and actually the Superpower title of America itself, now is just a myth that is formed from the media ‘reality’ Key Words Representation, America, Superpowers, Film, Transformers. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah adalah untuk menganalisa representasi Amerika sebagai negara adikuasa dalam film Transformers: Revenge of The Fallen dan menganalisa kira-kira apa makna yang ada di balik representasi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, secara spesifik menggunakan metode semiotik menurut Roland Barthes, yang mengkaji tentang makna denotasi, konotasi, dan mitos sistem penandaan. Hasil dari penelitian ini menunjukan betnuk-bentuk representasi Amerika sebagai negara adikuasa tidak hanya dari jalan ceritanya saja, melainkan juga unsure-unsur intrinsik lain seperti: penokohan, alur, latar, dialog, dan bahkan tata artistik. Kesimpulan dari penelitian ini adalah sosok adikuasa yang menonjol dari film ini merupakan sisi militer Amerika, dan sebenarnya keadikuasaan Amerika sendiri kini hanyalah mitos yang terbentuk dari realitas media. Kata Kunci Representasi, Amerika, Adikuasa, Film, Transformers PENDAHULUAN Berdasarkan sejarah perkembangannya sendiri, di Indonesia film pertama kali dibuat dan ditayangkan kepada publik pada tahun 1926, dan masih merupakan sebuah film bisu dengan judul “Loetoeng Kasaroeng” karya seorang sutradara Belanda bernama G. Kruger dan rekannya L. Heuveldorp. Meskipun pada awal kemunculannya film hanya berperan sebagai media hiburan, tapi seiring dengan perkembangan jaman. Film tidak lagi hanya berfungsi demikian. Kini film telah memiliki peran dan tempatnya sendiri dalam masyarakat. Film theory seeks to develop concise, systematic concepts that apply to the study of film as art…. Film are cultural artefacts created by spesific cultures, which reflect those cultures, and, in turn, affect them. Film is considered to be an important art form, a source of popular entertainment, and a powerful method for educating –or indoctrinatingcitizens.1 Seperti pada pengertian diatas, dikatakan bahwa film merupakan artefak budaya yang mencerminkan budaya dan dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi yang dianut oleh budaya tertentu. Sehingga bisa dikatakan bahwa latar belakang, nilai-nilai, serta ideologi suatu bangsa, dapat mempengaruhi suatu film. Dan jika kita menyimak suatu film dengan saksama dengan menggunakan aspek-aspek pengamatan semiotik, maka kita dapat melihat nilai-nilai dari suatu kultur tertentu yang tersirat dalam film tersebut. Maka dari itu, dengan menggunakan motode penelitian semiotik Roland Barthes, penulis bermaksud untuk meneliti jauh lagi nilai-nilai Amerika sebagai negara adikuasa yang terepresentasi dalam film Transformers: Revenge of The Fallen, serta apa makna tersirat dari representasi tersebut. namun film ini cukup menonjolkan Amerika sebagai pentolan yang menjadi pahlawan dunia. Meskipun seharusnya tokoh pahlawan dari film ini sebenarnya adalah para robot alien yang bernama Autobots Secara garis besar film ini menceritakan tentang sekomplotan robot yang berasal dari luar angkasa (alien) yang datang ke bumi untuk mencari benda yang merupakan inti kehidupan dari planet mereka yang hancur. Sekelompok robot alien ini bernama Autobots yang dipimpin oleh seseok robot bernama Optimus Prime. Ternyata petunjuk untuk mendapatkan benda yang mereka cari tersebut ada pada seorang anak SMA canggung bernama Sam Witwicky, yang tanpa sengaja membeli mobil, yang ternyata adalah transformasi dari salah seorang anggota kelompok autobots, bernama Bumblebee. Konflik terjadi ketika sekelompok robot alien lain bernama Decepticon datang untuk mencari benda yang sama. Namun mereka bermaksud menggunakan benda tersebut untuk menguasai bumi dan memusnahkan manusia. Akhirnya perang seru terjadi antara Autobots bekerjasama dengan pasukan militer bumi (US Army), melawan Decepticon. Akhirnya decepticon berhasil ditaklukan dan pemimpin mereka yang bernama Megatron dikalahkan. Bangkai Megatron , yang berupa struktur metal dan mesin pun dibuang ke dasar laut. Para Autobots yang sudah kehilangan planet mereka, akhirnya memilih hidup berdampingan dengan manusia di Bumi dan membantu pasukan militer untuk memerangi kejahatan yang disebabkan oleh para Decepticon yang tersisa. Alasan mengapa penulis memilih film ini sebagai bahan kajian sebenarnya sederhana, hal tersebut dikarenakan penulis menemukan suatu keunikan dari film ini. Sebab meskipun dikemas dengen genre fiksi ilmiah yang imajinatif dan khayalan yang tokoh utamanya merupakan robot alien bernama Autobotssdan memiliki target audiens dengan usia muda – diatas 13 tahun, namun sosok Amerika dalam ini begitu sentral dan menonjol. Seperti seolah-olah ada maksud lain seperti pencitraan tertentu yang hendak ditampilkan secara tersirat. Banyak aspek-aspek dalam film ini, baik itu latar belakang maupun tokoh yang terlibat di dalam film ini, yang menurut penulis begitu kental dengan nilai-nilai atau unsur-unsur yang menampilkan kemampuan Amerika. Dikarenakan alasan tersebut itulah sehingga penulis tertarik untuk menganalisa film ini lebih jauh lagi. Untuk mencari makna apa yang tersirat dibalik petandaan terhadap sosok Amerika yang kemunculannya cukup dominan dalam film ini. 1 Sumber: “Filmmaking” www.webarticle.org; 18.28; 25 Februari 2012 METODE PENELITIAN Penlitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang dalam proses penyusunan dan penginterpretasiannya akan menggunakan analisa semiotik Roland Barthes. Pada dasarnya merode semiotik ini merupakan bagian dari penelitian kualitatif, sebab memiliki inti penelitian yang sama, yakni metode penelitian yang secara garis besar dipahami sebagai penelitian yang menginterpretasikan suatu masalah penelitian berdasarkan data-data yang berdasarkan pada uraian kata, yang diperoleh dari proses wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Semiotika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti ‘tanda’ atau dalam bahasa Inggris – ‘sign’. Secara sedehana dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang sistem tangga, seperti: kode, gambar, sinyal, dan sebagainya. Adapun tahapan dalam menggunakan metode analisa semiotik ini menggunakan langkah-langkah berikut, yang berdasarkan pada petunjuk tahapan riset Chrystomy2; Menentukan topik yang akan disorot, dalam hal ini berupa bentuk representasi Amerika sebagai negara Adikuasa. - Menentukan alasan argumentative mengaa penelitian ini perlu dilakukan - Menentokan metode pengolahan data semiotik yang digunakan. Dalam penelitian ini menggunakan semiotik Roland Barthes. - Klasifikasikan tanda atau hal-hal yang diidedntifikasi sebagai bentuk representasi adikuasa Amerika - Analisa data berdasarkan (a) ideology, (b) aspek sosial, (c) lapisan makna, (d) analisis apakah makan yang muncul sesuai dengan identifikasi. - Buatlah kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian Landasan Teori Teori Umum - Teori komunikasi Massa Pada masa sekarang ini, dengan semakin majunya perkembangan teknologi serta pertambahan populasi manusia yang semakin besar dan banyak. Penyebaran informasi dan proses komunikasi telah menjadi suatu hal yang sentral dan bahkan menjadi kebutuhan dasar manusia. Setiap hari manusia haus akan informasi mengenai apa yang terjadi di dunia. Dan untuk itu maka dibutuhkanlah suatu media sebagai penyambung pesan antara komunikator yakni berupa pihal-pihak atau institusi tertentu kepada masyarakat. Proses komunikasi ini disebut sebagai komunikasi massa, yakni jika diartikan secara sederhana adalah proses penyampaian pesan (informasi) melalui media massa yang ditujukan kepada khalayak ramai yang sifatnya heterogen dan global. Sehingga dikarenakan audiens atau penerima pesan dari komunikasi massa ini bersifat heterogen, maka pesan yang disampaikan juga bersifat umum, jadi dapat menjangakau banyak orang dan bukan hanya kalangan tertentu saja. Pada dasarnya komunikasi massa merupakan komunikasi satu arah seperti halnya pidato atau orasi yang dikemukakan kepada khalayak banyak. Namun yang membuat perbedaan serta karakteristik disini adalah komunikasi massa dalam proses pengkomunikasiannya menggunakan suatu medium (media massa) – baik media cetak (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio, televisi, dan film), sekarang bahkan sudah ada media cyber / online yakni internet. Komunikasi massa relative memakan biaya yang lebih mahal karena kompleksnya peralatan yang dibutuhkan untuk membiayai medianya. Selain itu biasanya media massa dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang delembagakan, dan ditujukan kepada sejumlah besar otang yang tersebar di banyak tempat, anonym, dan heterogen.3 Adapun secara sederhana fungsi komunikasi massa sendiri adalah; 1. To inform (menginformasikan) 2. To entertaint (memberi hiburan) 3. To educate (mendidik) 4. To persuade (membujuk) 5. transmission of the culture (transmisi budaya) 2 3 Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011), hlm. 30. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung : Rosda, 2008), hlm. 83. - Teori Film Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk film eksperimental dan animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan). Sedangkan film non-cerita adalah film yang berisi penyampaian informasi, termasuk film animasi, film iklan (film yang memuat materi iklan), film eksperimental (abstrak), film seni, film pendidikan, dan film documenter (nyata).4 Sebenarnya film mempunyai banyak pengertian yang dapat dijelaskan secara lebih mendalam. Film merupakan salah satu media komunikasi massa yang menggabungkan antara aspek audio dan visua, meskipun pada awalnya film sendiri tidak mengandung unsure audio (film bisu). Sekilas sama seperti televisi, namun yang menjadi perbedaan antara film dan televisi adalah, televisi cenderung menyampaikan banyak pesan sekaligus kepada audiens, baik melalui program yang mereka sajikan maupun iklan yang mereka tayangkan. Film sendiri lebih terfokus kepada satu inti atau tema sebuah cerita, yang baik secara tersirat maupun tersurat mencerminkan realita sosial yang terjadi di sekitar lingkungan tempat film itu diciptakan. Bahkan dalam film fiksi ilmiah atau kartun animasi, tetap ada nilai-nilai yang berasal dari realita yang dimasukan. Hanya saja banyak sedikit porsinya, berbeda-beda di setiap film. Asas Film Film kini sudah menjadi sebuah industri besar, yang mengutamakan pada eksistensi para bintangnya serta daya tarik ceritanya sendiri yang mampu menarik perhatian banyak orang. Dan meskipun sama seperti buku dan sinetron yang juga menyajikan cerita, film memiliki nilai esensi serta asasnya sendiri, yakni: 1. Asas Industri Jika dilihat dari sisi industrial film mempunyai asas industri, karena pada dasarnya meskipun film diproduksi untuk menyampaikan suatu pesan atau cerita tertentu, namun ada juga harapan agar dapat mencetak suatu kesuksesan dalam bentuk nilai material. Lagipula terkadang apabila kita jeli dalam menyaksikan sebuah film, secara tersirat akan nampak produk-produk sponsor tertentu yang ditampilkan secara sepintas di film, hal ini dikenal dengan istilah ‘build in’. 2. Asas Sinematografi Asas lain juga yang ada dalam film yang membedakan film dengan cerita lain adalah asas sinematografi. Asas sinematografi sendiri merupakan asas yang identik dengan film, karena asas ini sangat berkaitan dengan pembuatan film. Asas sinematografi sendiri memiliki acuan berdasarkan scenario dan bersangkutan dengan bagaimana tata letak kamera dan pengambilan gambar dalam film, tata artistik, serta peraturan pembuatan film lainnya Unsur Pembentukan Film Dalam film terdapat dua unsur utama, yakni; Unsur Naratif dan Unsur Semantik.5 Unsur naratif adalah materi atau bahan olahan. Dalam film cerita yang dimaksud dengan unsur naratif itu adalah penceritaannya, mencacakup unsure intrinsik film seperti: latar, alur, penokohan, naskah, dan jalan cerita. Sementara yang dimaksud dengan unsur sinematik adalah cara atau dengan gaya seperti apa bahan olahan itu digarap. Unsur Sinematik sendiri terdiri dari beberapa aspek : • Mise en scene atau secara sederhana bisa diartikan sebagai segala sesuatu yang berada di depan kamera (artistic, tata cahaya, kostum, pergerakan aktor) • Sinematografi (Pengambilan gambar) • Editing • Suara - 4 5 Teori Konstruksi Sosial Media Massa Gagasan teori ini adalah untuk mengoreksi teori konstruksi sosial atas realitas yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann seperti yang dijabarkan dalam buku Burhan Bungin yang berjudul Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarrakat . Substansi dari teori konstruksi sosial Berger dan Luckman adalah pada proses stimultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dan aktifitas kehidupan sehari-hari dalam komunitas primer dan semi sekunder. Dasar dari teori ini adalah dari pengamatan yang dilakukan pada tahun 1960-an pada masa transisi-era-modern di Amerika, dimana pada saat itu media massa belum begitu terkenal dan menjadi suatu industri yang besar dan berpengaruh. Anwar Arifin, Sistem Komunikasi Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 2011), hlm. 155. Bambang Supriadi, Unsur-unsur Pembentuk Film, (Jakarta: IKJ, 2010) Kemudian seiring dengan perkembangan jaman dan media massa menjadi sangat substantive dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan internalisasi, teori konstriksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman ini kemudian direvisi dan dikenal sebagai ‘teori konstruksi sosial media massa’. Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; tahap konfirmasi.6 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi : prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi. Pada kenyataanya, realitas sosial itu berdiri sendiri tanpa kehadiran individu baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknai secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkostruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan suyektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.7 - Representasi Melalui Media Menurut Graeme Burton (2012) kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang makna yang dikonstruksi dibaliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang dunia dan bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia. Adakalanya representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa disadari bentuk-bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu ‘kebenaran’ dalam realitas. a. Sudut Pandang Representasi dalam media visual dikonstruksikan dari sudut pandang tertentu. Menurut Burton (2012) sudut pandang ini memiliki 2 makna; 1. Sudut pandang yang merujuk pada pandangan harafiah, yaitu sudut pandang yang digambarkan dalam media. Misalnya dalam suatu frame gambar, baik itu foto maupun film, sudut pandang yang tinggi pada suatu jarak objek memiliki efek berupa menjauhkan kita dari objek tersebut, sehingga menjadikan kita sebagai pengamt objek dan bukannya subjek partisipan. 2. Pemahaman lainnya tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi media. Stuart Hall mendeskripsikan tiga pendekatan terhadap representasi yang dapat diringkas sebagai berikut8: 1. Reflektif: yang berkaitan dengan pandangan atau makna tentang representasi yang entah di mana ‘di luar sana’ dalam masyarakat sosial kita. 2. Intensional; yang menaruh perhatian terhadap pandangan creator / produser representasi tersebut. 3. Konstruksionis: yang menaruh perhatian terhadap bagaimana representasi dibuat melalui bahasa, termasuk kode-kode visual. Adapun dalam menginterpretasikan suatu representasi tertentu memungkin adanya interpretasi yang beragam dan tidak menutup kemungkinan bahwa representasi tersebut akan saling berseberangan.9 Teori Khusus 6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, ( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 188-189 7 Ibid, hlm. 189. 8 Greame Burton, Media dan Budaya Populer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), hlm. 141 9 Akun, Surga Dalam Nimesis: Representasi Surga Dalam Cerpen ‘Sang Pendeta dan Kekasihnya’ Karya yukio Mishima, Jurnal Humaniora, vol. 1, no.2, Oktober 2010, hlm. 400. - Semiotika Roland Barthes Denotasi dan Konotasi Dalam teorinya Roland Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi menjelaskan tentang hubungan penanda dan petanda terhadap realitas, dan menghasilkan makna eksplisit atau makna sebenarnya yang langsung dan pasti. Sedangkan konotasi menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang didalamnya mengandung makna yang tersirat atau tidak langsung. Roland Barthes lahir pada tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherboug dan dibesarkan di Bayonne, barat daya Perancis, adalah seorang intelektual dan dikenal sebagai kritikus sasstra Perancis, sehingga dapat dikatakan pengembangan teori semiotikanya banyak diaplikasikan untuk melakukan kajian sastra. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkanasumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam wantu tertentu. Roland Barthes sendiri adalah seorang pemikir struturalis yang getol mempraktekan model liguistik dan semiologi Saussarean, maka dari itu teori semiotik Barthes ini merupakan pengembangan dari teori semiotika Ferdinand De Saussure. Teori yang dikemukan Saussure cenderung mengemukakan tentang cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat dalam menentukan suatu makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda berdesarkan interpretasi orang yang berada dalam situasi yang berbeda. Pemikiran inilah yang kemudian dikemukakan oleh Roland Barthes dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan cultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami personal dan cultural orang yang menginterpretasikannya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “Order of Signification”, yang mencakup denotasi (makna sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang timbul dari pengalama cultural dan personal). Inilah yang menjadi perbedaan Saussure dan Barthes. Sepanjang hidupnya Barthes telah menulis banyak buku, berikut adalah beberapa buku karangannya yang membahas mengenai pandangannya dalam bidang semiotika; pada tahun 1964 ia menerbitkan buku berjudul Elements of Semiology (Unsur Semiologi), dalam bukunya ini ia menjabarkan tentang prinsip-prinsip linguistic dan relevansinya dalam bidang-bidang lain, kemudian pada tahung 1967 terbit bukunya yang berjudul The Fashion System (Sistem Mode), buku ini merupakan suatu uji coba untuk merapkan analisa structural atas mode pakaian wanita. Barthes menunjukan bahwa dibalik mode pakaian wanita terdapat suatu sistem. Ia menyelidiki artikel-artikel tentang mode dalam majalah dari tahun 1958 – 1959. Dari situ ia menafsirkan bahwa mode merupakan suatu ‘bahasa’ dan ada sesuatu yang ingin ‘dibicarakan’ oleh suatu mode tertentu terhadap apa yang tengah terjadi saat itu. Dari sini kemudian orang-orang mulai mengembangkan teori Roland Barthes untuk dipakai dalam kajian semiotika dalam berbagai bidang, salah satunya perfilman. Salah satu hal penting yang dikaji oleh Barthes dalam studinya mengenai sistem tanda ini adalah peran pembaca atau audiens. Dikatakan bahwa konotasi membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Ia kemudian menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Dari peta tersebut dapat dilihat tanda denotative terdiri atas penanda dan petanda. Namun demikian pada saat yang bersamaan tanda denotative juga adalah penanda konotatif . Hal inilah yang menjadi sumbangan Barthes dalam kajian semiotik, dimana makna konotasi tidak sekedar merupakan makna tambahan (lain) tapi juga mengandung makna denotasi yang melandasi keberadaannya. Jadi pada dasarnya pengertian makna denotasi dan konotasi secara umum agak berbeda dengan pemahaman Barthes. Jika menurut pandangan umum denotasi merupakan makna harafiah atau makna sebenarnya sedang konotasi merupakan makna tersirat, menurut anggapan Barthes denotasi sendiri merupakan proses signifikasi tahap pertama, dan konotasi adalah signifikasi tahap kedua. Sehingga oleh Barthes denotasi diasosiasikan dengan ketertutupan makna, mungkin ini dikarenakan orang cenderung berhenti pada tahap signifikasi pertama tanpa mau repot-repot memikirkan makna konotasi tertentu dibalik suatu tanda. a. Mitos Dalam kajain semiotik ini, Barthes juga melihat aspek lain yang ada dalam proses signifikasi tanda, yakni ‘mitos’ yang menandai suatu masyarakat. Menurut Barthes, mitos terjadi pada tingkat kedua sistem penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki peranda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi intinya adalah tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang jadi denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.10 Contohnya; pohon beringin yang lebat kerap menimbulkan konotasi ‘keramat’ karena dianggap sebagai hunian makhluk halus. Konotasi keramat ini lalu berkembang dan menjadi asumsi umum dan melekat pada symbol pohon beringin. Sehingga image pohon beringin itu keramat bukan lagi suatu konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tahap dua. Pada tahap ini, pohon beringin yang keramat akhirnya menjadi suatu mitos. , sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Pada tahap ini, “pohon beringin yang keramat” akhirnya dianggap sebagai sebuah Mitos. - Pemahaman Amerika sebagai negara adikuasa Negara adikuasa atau negara didaya yang dalam bahasa inggris disebut dengan istilah ‘superpower’. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata kuasa memiliki pengertian; (1) Kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu); (2) Kewenangan atas sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb). Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa kuasa itu sendiri merupakan suatu posisi ‘istimewa’ karena memiliki kewenangan untuk mengatur bahkan memerintah sesuatu, namun demikian kewenangan tersebut tidak serta-merta muncul begitu saja, tapi juga disertai dengan kesanggupan dan kemampuan untuk mengemban kewenangan itu sendiri. Seperti apa yang dikatakan oleh John Rothgeb11: ‘‘power is found only when members of the international system interact with one another”, maksudnya disini adalah kekuasaan ditemukan hanya ketika anggota dari sistem internasional berinteraksi satu sama lain. Jadi kekuasaan itu sendiri didapatkan ketika terjadi adanya interaksi yang terjadi secara internasional. Dengan adanya interaksi tersebut, tentunya pihak yang memiliki kapabilitas lebih tinggi akan dapat menyatakan dirinya secara terbuka dan mendapatkan pandangan atau ‘pengakuan’ dari pihak lain. Konsep adikuasa pertama kali menyebar yakni pada masa perang dingin. Konsep ini dikemukakan oleh sarjanawan Amerika William T. R. Fox dalam bukunya yang terbit pada tahun 1944. Adapun Fox tidak menemukan konsep ini seorang diri, terlebih dulu pada tahun 1936 kata adikuasa ini telah digunakan oleh seorang Amerika juga yang bernama John Dos Passos. Dos Passos mengartributkan konteks adikuasa kepada seorang pengusaha Amerika yang sangat berkuasa di sekitar akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20. Dos Passos meggunakan kata adikuasa untuk mendeskripsikin kerajaan bisnis pengusaha tersebut yang berbasis pada monopoli usaha gas dan listrik. Meskipun tidak menemukan konteks adikuasa itu sendiri, bagaimanapun William Fox dapat diklaim sebagai orang yang pertama kali menerapkan konsep adikuasa tersebut secara spesifik untuk relasi internasional. Menurut Fox, adikuasa internasional lebih dari sekedar kepemilikan suatu negara terhadap artibut kekuasaan: militer, ekonomi, politik, dan ideologi. Status adikuasa, dengan kata lain, diperoleh bukan hanya berdasarkan apa yang dimiliki oleh suatu negara, tetapi apa yang telah dilakukan atau telah dipersiapkan untuk dilakukan. Fox kemudian menambahkan; kekuatan besar ditambah dengan mobilitas kekuatan yang besar, itulah yang menggambarkan ‘superpower’. Unsur Negara Adikuasa Seperti apa yang telah apa dijabarkan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kekuatan suatu negara dapat dilihat dari tiga unsure, yakni: ekonomi, militer, dan politik. Dari ketiga unsur tersebut Hans J. Morgenthau dalam bukunya Politics Amoung Nations menyebutkan lagi secara sperifik bahwa kekuatan negara memiliki sembilan unsur, yaitu: (1) Geografi; (2) Sumber pendapatan alami untuk makanan dan bahan mentah; (3) Kemampuan industri; (4) Military preparedness seperti teknologi, kepemimpinan, kualitas, dan kuantitas angkatan perang, (5) populasi yang terdiri dari persebaran dan kualitasnya, (6) karakter nasional; (7) moral nasional; (8) kualitas diplomasi; dan (9) kualitas pemerintahan.12 Amerika Sebagai Adikuasa Cikal bakal Amerika muncul sebagai negara adikuasa berawal ketika masa perang dunia II. Ketika itu terdapat dua negara adikuasa yang muncul sebagai negara pemenang perang yang berhasil mengalahkan blok fasis (Jepang, Jerman, dan Italia), yakni Amerika dan Uni Soviet. Kedua negara ini memiliki pandangan yang berbeda secara ideologis, Amerika Serikat yang berideologi kapitalis-liberal dengan Uni Soviet yang berideologi sosialis-komunis. Kedua negara itupun kemudian bersitegang dan berkompetisi secara politik dan militer Akibatnya dunia terpecah menjadi dau antara blok barat (Amerika Serikat) dan blok timur (Uni Soviet). Inilah yang menyebabkan adanya perang dingin. Baru kemudian pada tahun 1991 10 Sumber: http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012 Ken Aldred & Martin A. Smith, Superpowers in the Post-Cold War Era, (Great Britain: 1999, MacMillan Press Ltd.), hlm. 1. 12 Sumber: http://newzeanando.wordpree.com/2008/06/12/potensi-selandia-baru-sebagai-negara-adikuasa; 3.47; 28 Mei 2012. 11 Uni Soviet terpecah dan banyak negara-negara yang tergabung dengannya memerdekan diri, membuat Amerika Serikat yang masih bertahan keluar sebagai pemenang perang dan tetap memikul predikat sebagai negara adikuasa. Sejak saat itu Amerika menjadi satu-satunya negara adikuasa yang melibatkan diri di begitu banyak peristiwa internasional. Baik untuk misi perdamaian, maupun misi-misi kemanusiaan, dan hak asasi, serta kegiatan internasional lainnya Pada masa sekarang ini meskipun telah terjadi begitu banyak perkembangan dunia baik dari segi ekonomi, politik, teknologi, budaya, dan sebagainya, banyak negara-negara yang tadinya berkembang kini muncul sebagai competitor Amerika. Salah satu negara yang nampak mencolok pertumbuhannya adalah Cina. Cina bahkan disebut-sebut sebagai calaon negara adikuasa berikutnya. Namun setelah sekian lama memegang predikat negara adikuasa, Amerika terlihat masih tetap bisa bertahan. Meskipun tidak diketahui sampai berapa lama lagi. Metode Pengumpulan data a. Data Primer Observasi Kata observasi berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti ‘melihat’ atau ‘memperhatikan’. Dan dalam suatu metode pengumpulan data, observasi merujuk kepada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang tampak, serta mempertimbangkan setiap hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Pada penyusunan skripsi ini, penulis akan mengobservasi film Transformers: Revenge of The Fallen secara mendalam, untuk mengamati dengan cermat setiap bagian yang menunjukan dan/atau ‘berpotensi’ menampilkan simbol-simbol atau tanda-tanda, yang merepresentasikan Amerika sebagai negara adikuasa. Dokumentasi Yang dimaksud dengan metode dokumentasi adalah sekumpulan berkas yakni mencari data mengenai halhal berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, rekaman video dan sebagainya. Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa metode dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu cara pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, dan rekaman video. Library Research Library research atau studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data melalaui pengamatan yang mendalam terhadap data-data dari buku-buku dan berbagai bacaan, baik berupa karya tulis, maupun artikelartikel yang dipublikasikan di berbagai media (online, koran, dan/atau majalah). b. Data Sekunder Teknik Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dipakai untuk memperoleh data dengan cara mengajukan serangkaian pertanyaan yang berhubungan dengan objek penelitian, kepada sumber-sumber tertentu yang memiliki kapastias serta kredibilitas yang dapat pendapatnya dapat dipercaya. Adapun dikarenakan skripsi ini merupakan analisa semiotik yang berdasarkan konstruk pemahaman penulis, maka wasancara akan dilakukan bilamana penulis merasa perlu untuk menambahkan notes atau untuk meperkuat opini. Metode Pemilihan Narasumber Dalam penelitian ini pemilihan dan pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri. Peneliti dalam penelitian kualitatif semiotik bekerja sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data dalam observasi, analis, penafsir, dan pealapor hasil penelitiannya.13 Adapun peneliti dapat melakukan wawancara jika dirasa diperlukan, seperti yang dilakukan oleh Muhibbin ketika meneliti tentang acara Campur Sari disalah satu televisi Surabaya; untuk memperkaya informasi.14 Unit Analisa Adapun unit analisa dari penelitian ini berdasarkan pada 6 dari unsur kekuatan negara menurut Morgenthau yang nampak dari unsur intrinsik film. Adapun 6 unsur tersebut adalah; - Kesiapan militer / military preparedness (dilihat dari segi teknologi, kepemimpinan, kualitas dan kuantitas Militer) Kemampuan industri - Kualitas diplomasi 13 14 Ibid, hlm. 137. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKiS, 2007), hlm. 168. - Kualitas pemerintahan Karakter nasional Nilai Nasional Metode Pengujian Keabsahan Data Keabsahan data penelitian semiotik dapat ditinjau dari: 1. Kredibilitas peneliti. Latar belakang peneliti, apakah dapat dipercaya dalam menyajikan data secara jujur. 2. Ketekunan artinya memperkirakan semua aspek dalam proses pemaknaan teks. Memperhatikan semua aspek dan konteks dari suatu teks. Pemaknaan dapat dilakukan berdasarkan perspektif psikologi, sosiologi, materialnya, budaya dan lain-lain. Keberhasilan penafsiran ditentukan ketekunan mencari makna dari berbagai perspektif.15 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data yang telah diuraikan dan dijabarkan diatas, dapat kita lihat bahwa yang paling banyak ditonjolkan dari sosok keadikuasaan Amerika adalah kekuatan militernya. Film arahan sutradara Michael Bay ini memang secara dominan menampilkan sosok militer US disepanjang film, hal ini karena berdasarkan artikel artikel yang ditulis oleh Anthony Breznican dan dimuat dalam USA TODAY pada 1 Februari 2009 denga judul ‘Transformers Breaks Out The Big Guns For Sequel’, “The U.S. Department of Defense gave its official stamp of approval to the Michael Bay-directed film, not only allowing production amid the pristine dunes of the Army's New Mexico missile range, but also letting filmmakers follow jets and fighter planes through the sky from nearby Holloman Air Force Base. More scenes were shot on the Navy's aircraft carrier USS John C. Stennis, and Marines fill the ranks of the strike team battling the invading Transformers.” Dengan kata lain departemen pertahan US dengan resmi mengijinkan Bay untuk melakukan pengambilan gambar di tempat pelatihan dan pangkalan militer US, bahkan diizinkan untuk meminjam beberapa peralatan dan perlengkapan militer asli untuk keperluas syuting. Selain itu pasukan angkatan bersenjatanya juga baik angkatan udara, laut, dan udara, ikut menjadi bagian atau figuran saat pengambilan gambar. Dominasi penampilan militer ini juga sesuai dengan ucapan, Lt. Col. Gregory Bishop, penanggung jawab dari pihak Army untuk film ini. "As far as I know, this is the biggest joint military operation movie ever made, in terms of Army, Air Force, Navy and Marines. I can't think of one that's bigger." Dari ucapannya itu dikatakan bahwa sekuel Transformers ini merupakan film yang memiliki tingkat terbesar dalam bekerja sama dengan pasukan bersenjata US, sebab semua unsur. Bishop kemudian menambahkan lagi bahwa pihak militer US baru akan menyetejui kerjasama pembuatan film, apabila sosok militer US digambarkan serealita mungkin dan sebenar-benarnya. Ia lalu menegaskan bahwa cara berperang yang nampak dalam film Transformers ini merupakan sebagaimana layaknya ketika angkatan bersenjata US berperang pada kenyataan. Sebab pihak militer US memberikan ketentuan bahwa potret mereka harus senyata dan semasuk akal mungkin. Mengacu pada teori konstruksi sosial media massa yang berwujud representasi sosok US, disini dapat kita lihat bahwa film Transfromers membangun realita medianya berdasarkan realitas yang ada pada citra militer US. Proses pembuatan film ini berlangsung selama 2 tahun, yakni dari pertengahan tahun 20072009. Pada masa itu dimana oleh berbagai media, angkatan bersenjata US sedang sangat disorot perihal invansi US di Irak. US Penulis berasumsi bahwa hal tersebut sedikit banyak ikut mempengaruhi munculnya dominasi militer Amerika dala film ini. Berdasarkan hasil wawancara penulis juga dengan salah satu kritikus perfilman Eric Sasono, beliau mengatakan bahwa peeperangan yang digambarkan diadakan di Mesir secara tersirat menyampaikan bahwa Amerika masih memiliki pengaruh atau dominasi di negara timur tengah. 15 Arthur Asa Berger, Techniques Analysis Media, (San Fransisco: Sage Publication, 2005), hlm. Eric Sasono juga mengatakan bahwa kecenderungan Amerika untuk membuat film mengenai bencana global dan menghadirkan sosok dirinya sebagai pahlawan, dimulai sekitar tahun 1956, yakni ketika rusia meluncurkan peswat Sputnik ke luar angkasa. Pada saat itu Amerika dilanda kecemasan luar biasa bilamana dirinya dapat dikalahkan oleh bangsa Rusia dalam perang bintang, dan membuat Rusia menang dalam penguasaan teritorial teknologi canggih. Amerika dan Rusia seperti yang kita ketahui memang memiliki persaingan dalam perebutan status adikuasa, yang meskipun perang dingin telah usai namun ‘perang’ antar kedua negara itu sepertinya masih berlangsung. Sosok rusia sendiri disindir melalui representasi Wheelie si robot mata-mata Decepticon. Kecemasan karena Rusia unggul lebih dulu meluncurkan pesawat ke luar angkasa, maka kemudian direspon oleh Amerika dengan banyak menghasilkan film-film yang berunsur alien dan makhluk luar angkasa seperti film-film The Invasion of Body Snatche (1956), War of The World (1988), The Day the Earth Stood Still, dan sebagainya. Menurut Eric kemunculan film-film tersebut sebenarnya merupakan respon terhadap perang bintang setelah peluncuran Sputnik. Jadi banyak sekali film Sci-fi yang menampilkan keunggulan Amerika secara global – adikuasa, dan Transformers adalah salah satunya. Transformers meskipun muncul bertahun-tahun setelahnya, namun lagi-lagi masih menggunakan rumus yang sama. Dimana ada kekacauan dunia, Amerika kemudian tampil sebagai penyelamatnya. Berdasarkan opini Eric Sasono dan analisa penulis, penulis kemudian berasumsi bahwa secara realita kenyataan Amerika sebenarnya sudah tidak lagi memegang titel negara adikuasa. Sekarang ini bisa dikatakan hal tersebut sangat memungkinkan terjadi, melihat banyaknya negara yang telah berkembang pesat seperti Cina, Jepang, dan Korea yang bisa saja merebut gelar adikuasa itu kapan saja. Jika berpatokan pada konstruksi sosial media massa, menurut penulis citra adikuasa dari Amerika sendiri dewasa ini merupakan suatu titel yang dikonstruksikan oleh media massa dalam hal ini media film dengan membentuk realita media yang direpresentasikan di dalam film. Representasi dari simbol-simbol yang berkonotasi citra Amerika sebagai negara adikuasa tersebut kemudia melekat di dalam benak audiens, dan lambat laun terpatri dalam pikiran bahwa Amerika adalah negara yang hebat, yang memiliki kemajuan teknologi pesat, intinya Amerika adalah negara superior. Sehingga menurut penulis jika berlandaskan pada pemahaman Roland Barthes yang menyatakan bahwa konotasi penanda yang terlalu sering diasosiasikan dengan petanda dapat berubah menjadi denotasi, maka demikianlah juga dengan imej Amerika sebagai negara adikuasa dewasa ini telah berubah menjadi sekedar mitos. Sebab pada realita kenyataan, Amerika tidak sejaya dulu lagi. Namun demikian meskipun film ini begitu menonjolakan kekuatan unsur militer Amerika namun berdasarkan hasil pengamatan dari dokumentasi wawancara diketahui bahwa film ini tidak memiliki Agenda Politik. Memang benar Michael Bay begitu menyukai Action dan ledakan yang membuat dirinya tergila-gila akan militer, namun bagi Michael Bay sendiri ia tidak bermakasud untu memberikan agenda tersembunyi. Namun demikian kesempatan ini dimanfaatkan oleh pihak militer US untuk menunjukan kualitas dan kehebatan mereka, agar para penonton muda yang menjadi target audiens tertarik untuk bergabung dengan militer. Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa meskipun film ini merepresentasikan keadikuasaan sosok Amerika yang lagi-lagi muncul sebagai ‘pahlawan dunia’ namun film ini tidak memiliki tujuan lain (agenda tersembunyi) selain memberi hiburan, atau dalam kasus Bay – ia ingi membangkitkan kembali jiwa anak-anak yang ada di dalam diri setiap orang, dengan menmbangkitkan semangat atau gairah mereka ketika menyaksikan film ini. Tapi jika dilihat dari sejarah AS dalam dominasinya pada perang dingin dan konflik di timur tengah, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Amerika banyak mempengaruhi film ini. SIMPULAN Adapun kesimpulan yang penulis peroleh dari hasil analisa data ialah: - Representasi Amerika sebagai negara adikuasa yang begitu menonjol terletak pada representasi kekuatan militer. Hal ini terlihat daari begitu dominannya peran militer US dalam film ini yang kerap ditampilkan dari awal hingga akhir film. Dan lagi-lagi sosok Amerika ditampilkan sebagai sosok pahlawan yang berhasil mengalahkan musuh yang mengancam keamanan dunia. - Relaitas media yang tercipta dalam film ini, berdasarkan pada realita sebenarnya, karena nama negara, tokoh, dan beberapa unsur yang ada dalam film ini menggunakan nama-nama yang memang secara realita ada. – seperti negara Amerika, Paris, Shanghai, Mesir, Piramid, Presiden Obama, US NAVY, dan banyak lagi. Namun sosok Amerika sebagai negara ‘superpower’ yang dikonotasikan pada realita media merupakan mitos semata. SARAN Adapun saran penulis berdasarkan hasil penelirian ini adalah: - Mengingat begitu mudahnya suatu film memperngaruhi persepsi sesorang, sebaiknya dalam menonton film jangan secara mentah-mentah menangkap apa yang dipaparkan, melainkan pikirkan kembali konotasinya dengan kenyataan. Kalau ternyata bernilai positif tidak ada salahnya diterima dengan baik. Namun jika negatif atau tidak sepenuhnya sesuai denganyang ada, ada baiknya jika tidak dipikirkan lebih lagi. - Jelas bahwa michael Bay sang sutradara mengatakan bahwa ia membuat film ini untuk menghibur anak-anak dengan menghadirkan karakter mainan mereka – Optimus Prime dan kelompoknya ke dalam wajud live-action. Namun dengan dominannya pihak US dalam melakukan peperangan disini, malah akan menimbulkan pemikiran bahwa ada agenda politik terselubung di film ini. Jadi penulis menyarankan agar sebagiknya porsi militer dan pemerintahan Amerika dikurangi dan memperbanyak porsi aksi kepahlawanan yang dilakukan oleh tim Autobots, agar esensi dari film ini lebih mengena kepada Audiens, dimana yang merupakan sosok pahlawan adalah tim Autobots – robot alien, dan malah bukannya Amerika. REFERENSI Adi, Ida Rochani. (2008). Mitos di Balik Film Laga Amerika. Yogyakarta: UGM Press. Aldred, Ken & Martin Smith. (1999). Superpowers in the Post-Cold War Era. Great Britain: MacMillan Press Ltd. Arifin, Anwar. (2011). Sistem Komunikasi Indonesia. Bandung: Rosdakarya. Berger, Arthur Asa. (2005). Techniques Analysis Media. San Fransisco: Sage Publication. Bungin, Burhan. (2007). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana. _____________. (2008). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Burton, Greame. (2012). Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra Harbord, Janet. (2002). Film Cultures, London: Sage Publication. Mulyana, Deddy. (2008). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda. Mustafa, Hasan. (2000). Teknik Sampling. Bandung: Universitas Parahyangan. Nurudin. (2011). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Rajawali. Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta. LkiS Rohim, Syaiful. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipts. Scott, David. (2008). ‘The Chinese Century’?: The Challenge to Global Order. United Kingdom: Palgrave Macmillan Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung; Rosdakarya Sugiyono. (2008). Metode Penelitian: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Penerbit Alfabeta. Sunardi, St. (2004). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Buku Baik. Supriyadi, Bambang. (2010). Unsur-unsur Pembentuk Film. Jakarta: Institut Kesenian Jakarta. Wibowo, Indiwan. (2011) Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media Jurnal Akun. (2010). Surga Dalam Nimesis: Representasi Surga Dalam Cerpen ‘Sang Pendeta dan Kekasihnya’ Karya yukio Mishima. Jurnal Humaniora Volume 1 No.2. hlm. 395 - 400. Kartika, Rina & Tanjug Riyadi. (2010). Namestyle Sebagai Pencitraan Visual Sebuah Film Animas. Jurnal Humaniora. Volume 2. No. 2. Hlm. 1322 -1328 Website Film Making “Filmmaking” www.webarticle.org; 18.28; 25 Februari 2012 Media Massa http://bengkeljurnalistik.wordpress.com/2007/05/02/media-massa; 08.34; 20 Maret 2012. Paradigma Penelitian Kualitatif, http://www.scribd.com/doc/51213214/Metode-Penelitian-Kualitatif, 7 Juli 2012, 12:51. Potensi Selandia Baru Sebagai Negara Adikuasa http://newzeanando.wordpree.com/2008/06/12/potensi-selandia-baru-sebagai-negara-adikuasa; Mei 2012 3.47; 28 Referensi Penulisan Footnote http://www.scribd.com/doc/33203933/Referensi-Penulisan-Footnote Teori Semiotik http://junaedi2008.blogspot.com/2009/01/teori-semiotik.html; 01.28; 5 Mei 2012 Transformers Revenge Of The Fallen http://tfwiki.net/wiki/Transformers:_Revenge_of_the_Fallen_%28film%29 RIWAYAT HIDUP Cindy Egifania lahir di kota Bandung pada 18 Januari 1991. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang ilmu komunikasi pada tahun 2012.