BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konstruksi Sosial Membahas teori

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstruksi Sosial
Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa
terlepaskan dari bangunan teoretik yang telah dikemukakan oleh Peter L. Berger
dan Thomas Luckmann. Peter L. Berger merupakan sosiolog dari New School for
Social Reserach, New York, Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari
University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua
akademisi ini sebagai suatu kajian teoretis dan sistematis mengenai sosiologi
pengetahuan.
Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality)
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman
melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in
the Sociological of Knowledge (1966). Ia menggambarkan proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya, dimana individu menciptakan secara terus menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Asal usul konstruksi sosial dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari
gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian
konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang
secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila
ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya telah
25
dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari italia, ia adalah cikal
bakal konstruktivisme (Suparno dalam Bungin, 2008:13)
Dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak sokrates
menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan
ide. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan
istilah, informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi dan sebagainya. Ia
mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus
dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar
pengetahuan adalah fakta (Bertens dalam Bungin, 2008:13). Aristoteles pulalah
yang telah memperkenalkan ucapannya ‘Cogoto, ergo sum’ atau ‘saya berfikir
karena itu saya ada’ (Tom Sorell dalam Bungin, 2008:13). Kata-kata Aristoteles
yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan
konstruktivisme sampai saat ini.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:14) mulai menjelaskan realitas sosial
dengan memisahkan pemahaman ‘kenyataan dan pengetahuan’. Realitas diartikan
sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui sebagai
memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri.
Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata
(real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.
Berger dan Luckman (Bungin, 2008:15) mengatakan terjadi dialektika
antara indivdu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.
Proses dialektika ini terjadi melalui eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi.
26
Proses dialektis tersebut mempunyai tiga tahapan; Berger menyebutnya sebagai
momen. Ada tiga tahap peristiwa. Pertama, eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan
atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun
fisik. Ini sudah menjadi sifat dasar dari manusia, ia akan selalu mencurahkan diri
ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai
ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya,
dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan
dirinya sendiri dalam suatu dunia.
Kedua, objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental maupun
fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu menghasilkan realitas
objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu
faktisitas yang berada di luar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.
Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil
dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi
kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik
alat tadi maupun bahasa adalah kegiatan ekternalisasi manusia ketika berhadapan
dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia.
Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi
tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia
sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus
sebagai realitas objektif, ada diluar kesadaran manusia, ada “di sana” bagi setiap
orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia
menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.
27
Ketiga, internalisasi. Proses internalisasi lebih merupakan penyerapan
kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia
yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar
kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui
internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat. Bagi Berger, realitas itu
tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan.
Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam
ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman,
preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan
menafsirkan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.
B. Konstruksi Sosial Media Massa
Susbtansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas dari Berger
dan Luckmann adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui
bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi
sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah transisi-modern di Amerika
pada sekitar tahun
1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah
fenomena yang menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian Berger dan
Luckmann tidak memasukan media massa sebagai variabel atau fenomena yang
berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas.
28
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan
Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atau fenomena media massa
menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivasi, dan
internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media
massa”. Substansi dari konstruksi sosial media massa ini adalah pada sirkulasi
informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan
sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas yang terkonstruksi itu juga
membentuk opini massa, massa cenderung apriori dan opini massa cenderung
sinis.
Proses konstruksi sosial media massa melalui tahapan sebagai berikut :
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi
Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi
media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media
massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media
massa, terutama yang berhubungan tiga hal yaitu kedudukan, harta, dan
perempuan. Ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial yaitu :
a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui,
saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis.
Dalam arti kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa
sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal.
29
b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini
adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada
masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita demi
kepentingan kapitalis.
c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada
kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap
media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan
jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.
Jadi, dalam menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri
pada tiga hal tersebut di atas, namun pada umumnya keberpihakan pada
kepentingan kapitalis menjadi sangat dominan mengingat media massa adalah
mesin produksi kapitalis yang mau ataupun tidak harus menghasilkan keuntungan.
2. Tahap sebaran konstruksi
Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa.
Konsep konkret strategi sebaran media massa masing-masing media berbeda,
namun prinsip utamanya adalah real time. Media cetak memiliki konsep real time
terdiri dari beberapa konsep hari, minggu atau bulan, seperti terbitan harian,
terbitan mingguan atau terbitan beberapa mingguan atau bulanan. Walaupun
media cetak memiliki konsep real time yang sifatnya tertunda, namun konsep
aktualitas menjadi pertimbangan utama sehingga pembaca merasa tepat waktu
memperoleh berita tersebut.
30
Pada umumnya sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan
model satu arah, dimana media menyodorkan informasi sementara konsumen
media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip
dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus
sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media.
Apa yang dipandang penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca.
3. Tahap pembentukan konstruksi realitas
a. Tahap pembentukan konstruksi realitas
Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah
sampai pada pembaca yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat
melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi
realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa;
ketiga, sebagai pilihan konsumtif.
Tahap pertama adalah konstruksi pembenaran sebagai suatu bentuk
konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung
membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai sebuah
realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa
sebagai
otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian. Tahap kedua adalah
kesediaan dikonstruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap
pertama. Bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa
adalah karena pilihannya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi
oleh media massa.
31
Tahap ketiga adalah menjadikan konsumsi media massa sebagai pilihan
konsumtif, dimana seseorang secara habit tergantung pada media massa.
Media massa adalah bagian kebiasaan hidup yang tak bisa dilepaskan.
Pada tingkat tertentu, seseorang merasa tak mampu beraktivitas apabila
apabila ia belum membaca koran.
b. Pembentukan konstruksi citra
Pembentukan konstruksi citra
bangunan yang diinginkan oleh tahap
konstruksi. Dimana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media
massa ini terbentuk dalam dua model : 1) model good news dan 2) model
bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung
mengkonstruksi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada
model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki
citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang
ada pada objek itu sendiri. Sementara, pada model bad news adalah sebuah
konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung
memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek,
lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat
yang ada pada objek pemberitaan itu sendiri.
4. Tahap konfirmasi
Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi
argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap
pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk
menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi
32
sosial. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu a)
kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian
dari produksi media massa, b) kedekatan dengan media massa adalah life style
orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama
sebagai subjek media massa itu sendiri, dan c) media massa walaupun memiliki
kemampuan mengkonstruksi realitas media berdasarkan subyektivitas media,
namun kehadiran media massa dalam kehidupan seseorang merupakan sumber
pengetahuan tanpa batas yang sewaktu-waktu dapat diakses.
Gambar 2. Proses Konstruksi Sosial Media Massa
PROSES SOSIOLOGIS SIMULTAN
EKSTERNALISASI
M
E
D
I
A
OBJEKTIVASI
M
A
S
S
A
Realitas terkonstruksi :
· Objetif
· Subjektif
· Intersubjektif
INTERNALISASI
SOURCE
MESSAGE CHANNEL
RECEIVER
· Lebih cepat
· Lebih luas
· Sebaran merata
· Membentuk opini massa
· Massa cenderung
terkonstruksi
· Opini massa cenderung
apriori
· Opini massa cenderung sinis
EFFECTS
33
C. Media dan Berita
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana
media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan lebih lanjut
sebagai berikut :
Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis,
realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep
subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari
wartawan. Disini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu
tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bisa berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan
yang mempunyai pandangan berbeda. Dalam konsepsi positivis diandaikan ada
realitas yang bersifat “eksternal” yang ada dan hadir sebelum wartawan
meliputnya. Jadi, ada realitas yang bersifat objektif, yang harus diambil dan
diliput oleh wartawan. Pandangan semacam ini sangat bertolak belakang dengan
pandangan konstruksionis. Fakta atau realitas bukanlah sesuatu yang tinggal
ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta/realitas pada dasarnya
dikonstruksi. Manusia membentuk dunia mereka sendiri. Dalam kata-kata yang
terkenal dari Carey, realitas bukanlah sesuatu yang terberi, seakan-akan ada,
realitas sebaliknya diproduksi. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruksionis
adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan
ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberi definisi
dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan. Karena fakta itu diproduksi
dan ditampilkan secara simbolik, maka realitas tergantung pada bagaimana ia
34
dilihat dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi. Dalam kata-kata yang ekstrim,
realitas atau fakta itu tergantung pada bagaimana ia dilihat. Pikiran dan konsepsi
kitalah yang membentuk dan mengkreasikan fakta.
Media adalah agen konstruksi. Pandangan konstruksionis mempunyai
posisi yang berbeda dibandingkan positivis dalam menilai media. Dalam
pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran. Media adalah sarana
bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak). Media
dilihat murni sebagai saluran, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak
yang terlibat dalam berita. Pandangan semacam ini, tentu saja melihat media
bukan sebagai agen melainkan hanya saluran. Media dilihat sebagai sarana yang
netral.
Kalau
ada
berita
yang
menyebutkan
kelompok
tertentu
atau
menggambarkan realitas dengan citra tertentu, gambaran semacam itu merupakan
hasil dari sumber berita (komunikator) yang menggunakan media untuk
mengemukakan pendapatnya. Pendeknya, media disini tidak berperan dalam
membentuk realitas. Apa yang tampil dalam pemberitaan itulah yang sebenarnya
terjadi. Ia hanya saluran untuk menggambarkan realitas, menggambarkan
peristiwa. Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media
bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi
realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Disini media
dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah
sebagai tempat saluran bebas. Berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan
realitas, bukan hanya menujukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi
35
dari media itu sendiri. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut
membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Media memilih realitas mana
yang diambil dan mana yang tidak diambil. Dalam peristiwa demonstrasi
mahasiswa, bisa jadi (hanya) peristiwa bentrokan itu saja yang diberitakan,
sementara peristiwa demonstrasi yang berlangsung damai, luput atau tidak
mendapat tempat dalam pemberitaan. Media juga memilih (secara sadar atau
tidak) aktor demonstrasi yang dijadikan sumber berita sehingga hanya sebagian
saja dari sumber berita yang tampil dalam pemberitaan. Media bukan hanya
memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam
mendefinisikan aktor dan peristiwa. Lewat bahasa yang dipakai, media dapat
menyebut mahasiswa sebagai pahlawan, dapat juga menyebutnya sebagai
perusuh. Lewat pemberitaan pula, media dapat membingkai peristiwa demonstrasi
dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak
harus melihat dan memahami peristiwa dalam kacamata tertentu.
Berita bukan refleksi dari realitas. Ia hanyalah konstruksi dari
realitas. Dalam pandangan positivis, berita adalah informasi. Ia dihadirkan
kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan. Kenyataan itu ditulis
kembali
dan
ditransformasikan
lewat
berita.
Tetapi
dalam
pandangan
konstruksionis, berita itu ibaratnya sebuah drama. Ia bukan menggambarkan
realitas, tetapi potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berkaitan
dengan peristiwa. Seperti sebuah drama, tentu saja ada pihak yang didefinisikan
sebagai pahlawan (hero), tetapi ada juga pihak yang didefinisikan sebagai musuh
dan pecundang. Semua itu dibentuk layaknya sebuah drama yang dipertontonkan
36
kepada publik. Dalam pandangan kaum positivis, berita adalah refleksi dan
pencerminan dari realitas. Berita adalah mirror of reality, karenanya ia harus
mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Pandangan ini ditolak oleh kaum
konstruksionis, berita adalah hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan
pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas
itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan
dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga
mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi
menghasilkan berita yang berbeda. Perbedaan antara realitas yang sesungguhnya
dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu kewajaran. Perbedaan
antara pendekatan positivis dan konstruksionis dalam memahami berita,
mengakibatkan perbedaan pula dalam hal bagaimana hasil kerja seorang wartawan
seharusnya dinilai. Karena seandainya ada realitas yang objektif, maka berita yang
baik haruslah mencerminkan realitas tersebut. Hal yang berbeda dalam konsepsi
konstruksionis. Berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca
pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku
jurnalistik. Semua proses konstruksi (memulai dari memilih fakta, sumber,
pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas
tersebut hadir dihadapan khalayak.
Berita
bersifat
subjektif/konstruksi
atas
realitas.
Pandangan
konstruksionis mempunyai penilaian yang berbeda dalam menilai objektivitas
jurnalistik. Hasil kerja jurnalistik tidak bisa dinilai dengan menggunakan sebuah
standar yang rigid, seperti halnya positivis. Hal ini karena berita adalah produk
37
dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu
realitas bisa jadi berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan realitas
yang berbeda pula. Karenanya, ukuran yang baku dan standar tidak bisa dipakai.
Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya maka tidak
dianggap sebagai kesalahan, tetapi memang seperti itulah pemaknaan mereka atas
realitas. Pada pendekatan positivis, titik perhatiannya adalah pada bias. Artinya,
bias dianggap salah, dan wartawan harus menghindari bias. Dalam tradisi
penelitian positivis, analisis diarahkan untuk menemukan ada tidaknya bias
dengan meneliti sumber berita, pihak-pihak yang diwawancarai, bobot dari
penulisan, dan sebagainya. Hal inilah yang berbeda dengan pendekatan
konstruksionis. Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan dengan
sumber lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain;
liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara
nyata memihak satu kelompok, kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan
atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktek yang dijalankan oleh wartawan.
Konstruksi
wartawan
dalam
memaknai
realitas
yang
secara
strategis
menghasilkan laporan semacam itu.
Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Pandangan
positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif. Konsekuesinya, apa yang
diterima khalayak pembaca seharusnya sama dengan apa yang disampaikan oleh
pembuat berita. Kalau wartawan menulis berita tentang perkosaan, pesan yang
diterima oleh khalayak seharusnya juga berita mengenai perkosaan. Kalau
wartawan hendak melucu, khalayak seharusnya juga tertawa dengan berita yang
38
dia baca atau tayangan yang tengah ditonton. Berita dalam paradigma ini tidak
ubahnya seperti sebuah pesan yang ditransmisikan dan dikirimkan kepada
pembaca. Pembuat berita dilihat sebagai pihak yang aktif, sementara pembaca
dilihat sebagai pihak yang pasif. Berita lalu dimaknai mempunyai efek tertentu
yang harus diperhitungkan oleh pengelola media ketika memproduksi berita.
Pandangan konstruksionis mempunyai pandangan yang berbeda. Khalayak bukan
dilihat sebagai subjek yang pasif. Ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa
yang dia baca. Dalam bahasa Stuart Hall (Eriyanto, 2002:36) makna dari suatu
teks bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu
potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna lebih tepat dipahami bukan
sebagai suatu transmisi (penyebaran) dari pembuat berita ke pembaca. Ia lebih
tepat dipahami sebagai sebagai suatu praktik penandaan. Karenanya, setiap orang
bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Kalau saja ada
makna yang dominan atau tunggal, itu bukan berarti makna terdapat dalam teks,
tetapi begitulah praktek penandaan yang terjadi. Sebuah foto yang sebetulnya
dimaksudkan untuk mengkomunikasikan stop kekerasan dan seksual, bisa jadi
dimaknai pembaca sebagai menyebarkan pronografi. Sebuah lelucon bisa
dimaknai dan ditafsirkan oleh pembaca sebagai sebuah penghinaan. Semua
pemaknaan ini mungkin sekali terjadi. Pembaca yang mempunyai posisi berbeda
bisa membaca teks dengan cara yang berbeda pula dengan pembaca lain. Kalau
terjadi perbedaan semacam ini, bukanlah berarti tersebut buruk.
39
D. Bias media
Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada diruang
vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Louis
Althusser (Al-Zastrouw dalam Sobur, 2009:30) menulis bahwa media dalam
hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena
anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, seni, dan kebudayaan,
merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis guna
membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa.
Antonio Gramsci (Sobur, 2009:30) melihat media sebagai ruang dimana
berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, disatu sisi media bisa menjadi
sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana
publik. Namun, disisi lain, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap
kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun kultur dan ideologi
dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga bisa menjadi instrumen
perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun kultur dan ideologi tandingan.
Walaupuan terjadi kritik antara Althuser dan Gramsci, namun kedua pemikir itu
sama-sama sepakat bahwa media massa bukan sesuatu yang bebas, independen,
tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Ada berbagai kepentingan yang
bermain dalam media massa. Disamping kepentingan ideologi antara masyarakat
dan negara, dalam diri media massa juga berselubung kepentingan yang lain;
misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan
40
(suistainabilitas) lapangan kerja bagi para karyawan dan sebagainya. Dalam
kondisi seperti ini, media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia
akan bergerak dinamis di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang
bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias berita di media massa adalah
sesuatu yang sulit dihindari.
Bias menurut Macnamara (Sobur, 2009:34) terjadi karena berbagai alasan.
Kadang-kadang
terjadi
dengan
sengaja
karena
wartawan
atau
editor
memproyeksikan pandangan pribadi mereka dalam cerita atau pandangan yang
telah ditunjukkan kepada mereka. Ini terjadi karena sistem tuntutan media yang
menghimpit akan kecepatan dan rasa haus yang tidak pernah terpuaskan terhadap
berita pada batas waktu yang sedikit. Kadang-kadang terjadi karena standar
pelatihan dan pendidikan yang kurang memadai diantara reporter, meskipun ini
secara mantap sedang diatasi dengan semakin lama semakin banyak wartawan
yang memiliki kualifikasi universitas.
Para reporter, juga para editor, berkuasa penuh atas pilihan kata yang
hendak dipakainya. Ia dapat atau harus memilih salah satu kata diantara deretan
kata-kata yang yang hampir mirip namun berbeda ”rasanya”. Misalnya kata
“perkosaan” diganti dengan kata merenggut kegadisan, mencabuli, menggauli,
dinodai dan sebagainya. Pilihan atau pemakain istilah tersebut jelas akan
menimbulkan bias. Wartawan juga dalam tahap pencarian beritanya sejak awal
sudah harus menentukan pilihan siapa narasumber yang patut dihubungi,
pertanyaan atau persoalan apa yang mesti diajukan, sementara pada proses
penulisan beritanya ia harus memilih fakta-fakta mana yang harus didahulukan,
41
dan fakta-fakta mana yang harus diceritakan kemudian juga akan menimbulkan
bias yang tidak bisa dianggap kecil.
E. Konsep framing
Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk
dan dikonstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil
akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih
mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu
yang disajikan secara menonjol oleh media. Aspek-aspek yang tidak disajikan
secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, menjadi terlupakan dan sama sekali
tidak diperhatikan oleh khalayak. Framing adalah sebuah cara bagaimana
peristiwa disajikan oleh media. Penyajian tersebut dilakukan dengan menekankan
bagian tertentu, menonjolkan aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita
tertentu dari suatu realitas/peristiwa.
Media menseleksi, menghubungkan, dan menonjolkan peristiwa sehingga
makna dari peristiwa lebih mudah menyentuh dan diingat oleh khalayak. Menurut
Frank D. Durham (Eriyanto, 2002:67) framing membuat dunia lebih diketahui dan
lebih dimengerti. Realitas yang kompleks dipahami dan disederhanakan dalam
kategori tertentu. Bagi khalayak, penyajian realitas yang demikian membuat
realitas lebih bermakna dan dimengerti.
42
Robert N. Entman
Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga
bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol
dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan
penempatan informasi-informasi dalam konteks yang
khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih
besar daripada sisi yang lain.
William A. Gamson
Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir
sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu
wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah
kemasan (package). Kemasan itu semacam skema atau
struktur pemahaman yang digunakan individu untuk
mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan,
serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia
terima.
Todd Gitlin
Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan
disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan
kepada
khalayak
pembaca.
Peristiwa-peristiwa
ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol
dan menarik perhatian khalayak pembaca. Itu dilakukan
dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi
aspek tertentu dengan realitas.
David E. Snow and Pemberian makna untuk menafsikan peristiwa dan
Robert Benford
kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem
kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu,
anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan
kalimat tertentu.
Amy Binder
Skema interpretasi yang digunakan oleh individu untuk
menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan
melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung.
Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam
bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu
individu untuk mengerti makna peristiwa.
Zhondang Pan and Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat
Gerald M. Kosicki
kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi,
menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas
dan konvensi pembentukan berita.
Sumber : Eriyanto, 2002:68
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau
cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis
berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang
diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa
43
kemana berita tersebut. Framing seperti dikatakan Todd Gitlin adalah sebuah
strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa
untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan
dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik perhatian khalayak
pembaca.
Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses
memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat
peristiwa tahap perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua
kemungkinan; apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded).
Bagian mana yang ditekankan dalam realitas, bagian mana dari realitas yang
diberitakan, dan bagian mana yang tidak diberitakan. Penekanan aspek tertentu itu
dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan
fakta yang lain, memberitakan aspek tertentu dan melupakan aspek lainnya.
Akibatnya, pemahaman dan konstruksi atas suatu peristiwa bisa jadi berbeda
antara satu media dengan media lain. Media yang menekankan aspek tertentu,
memilih fakta tertentu akan menghasilkan berita yang bisa jadi berbeda kalau
media menekankan aspek atau peristiwa yang lain.
Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta
yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata,
kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan aksentuasi foto dan gambar apa, dan
sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan
pemakaian perangkat tertentu; penempatan yang mencolok (menempatkan di
headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk
44
mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol
budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar
dan sebagainya. Elemen menulis fakta ini berhubungan dengan penonjolan
realitas. Pemakaian kata, kalimat atau foto itu merupakan implikasi dari memilih
aspek tertentu dari realitas. Akibatnya, aspek tertentu yang ditonjolkan menjadi
menonjol, lebih mendapatkan alokasi dan perhatian yang besar dibandingkan
aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari
konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Realitas yang
disajikan secara menonjol dan mencolok, mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.
Konsep framing dalam studi media banyak mendapat pengaruh dari
lapangan psikologi dan sosiologi. Tetapi secara umum, teori framing dapat dilihat
dalam dua tradisi yaitu psikologi dan sosiologi. Pendekatan psikologi terutama
melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang
diri, sesuatu atau gagasan tertentu. Teori framing misalnya banyak berhubungan
dengan teori mengenai skema atau kognitif; bagaimana seseorang memahami dan
melihat realitas dengan skema tertentu. Misalnya, teori atribusi Heider yang
melihat manusia pada dasarnya tidak dapat mengerti dunia yang sangat kompleks.
Karenanya, individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi
yang dapat ditangkap oleh panca indera sebagai dasar hubungan sebab akibat.
Atribusi tersebut dipengaruhi baik oleh faktor personal maupun pengaruh
lingkungan eksternal. Sementara dari sosiologi, konsep framing dipengaruhi oleh
45
pemikiran Erving Goffman. Menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara
aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar
mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai
arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas prilaku tersebut agar
bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung
pada frame atau skema interpretasi dari seseorang.
Dimensi psikologis. Framing sangat berhubungan dengan dimensi
psikologi. Framing adalah upaya atau strategi yang dilakukan wartawan untuk
menekankan dan membuat pesan menjadi bermakna, lebih mencolok, dan
diperhatikan oleh publik. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks berita) lebih
menonjol dan mencolok ini, pada taraf paling awal tidak dapat dilepaskan dari
aspek psikologi. Secara psikologis, orang cenderung menyederhanakan realitas
dan dunia yang kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat
dipahami, tetapi juga agar lebih mempunyai perspektif/dimensi tertentu. Orang
cenderung melihat dunia ini dalam perspektif tertentu, pesan atau realitas juga
cenderung dilihat dalam kerangka berpikir tertentu. Karenanya, realitas yang sama
bisa jadi digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang
mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga.
Daniel Kahneman dan Amos Tversky (Eriyanto, 2002:72) membuat
serangkaian penelitian lewat studi eksperimental bagaimana pesan yang dibingkai
atau dibungkus secara berbeda akan dimaknai dan dipahami secara berbeda pula
oleh khalayak. Pemaknaan dan pemahaman khalayak tidak tergantung pada
realitas atau fakta, tetapi tergantung pada bagaimana realitas itu disajikan;
46
bagaimana pesan dibingkai dengan kemasan tertentu yang menyebabkan
pemahaman tertentu dalam benak khalayak. Penelitian Kahneman dan Tversky
tersebut menunjukkan bagaimana pendapat khalayak bisa dibentuk oleh frame
yang dibangun oleh pertanyaan. Realitas yang hendak ditanyakan adalah sama,
tetapi pertanyaan yang diajukan berbeda dengan penonjolan pada bagian tertentu
dan penekanan pada bagian yang lain.
Dimensi sosiologis. Selain psikologi, konsep framing juga banyak
mendapat pengaruh dari lapangan sosiologi. Garis sosiologi ini terutama dapat
ditarik dari Alfred Schutz, Erving Goffman hingga Peter L. Berger. Pada level
sosiologis, frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari
ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersama-sama. Ini
menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang menyertakan di
dalamnya praktik profesional. Pendekatan semacam ini untuk membedakan
pekerja media sebagai individu sebagaimana dalam pendekatan sosiologis.
Melihat berita dan media seperti ini berarti menempatkan berita sebagai institusi
sosial. Berita ditempatkan, dicari, dan disebarkan lewat praktik profesional dalam
organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses berita adalah produk dari proses
institusional. Praktik ini menyertakan hubungan dengan institusi dimana berita itu
dilaporkan. Berita adalah produk dari institusi sosial dan melekat dalam
hubungannya dengan institusi lainnya. Berita adalah produk dari profesionalisme
yang menentukan bagaimana peristiwa setiap hari dibentuk dan dikonstruksi.
47
Konsep framing mengacu pada perspektif dramaturgi yang dipelopori
Erving Goffman. Dramaturgi adalah sebuah kerangka analisis dari presentasi
simbol yang mempunyai efek persuasif. Dramaturgi melihat realitas seperti
layaknya sebuah drama, masing-masing aktor menampilkan dan berperan menurut
karakter masing-masing. Manusia berprilaku laksana dalam suatu panggung untuk
menciptakan kesan yang meyakinkan kepada khalayak. Dalam perpektif media,
seperti dikatakan P.K Manning (Eriyanto, 2002:81) pendekatan dramaturgi
tersebut mempunyai dua pengaruh. Pertama, ia melihat realitas dan aktor
menampilkan dirinya dengan simbol, dan penampilan masing-masing. Media
karenanya dilihat sebagai transaksi, melalui mana aktor menampilkan dirinya
lengkap dengan simbol dan citra yang ingin dihadirkannya. Kedua, pendekatan
dramaturgi melihat hubungan interaksionis antara khalayak dengan aktor. Realitas
yang terbentuk karenanya dilihat sebagai hasil transaksi antara keduanya.
Dalam pandangan Goffman, ketika seseorang menafsirkan realitas tidak
dengan konsepsi hampa. Seseorang selalu mengorganisasi peristiwa tiap hari.
Pengalaman dan realitas yang diorganisasikan tersebut menjadi realitas yang
dialami oleh seseorang. Dalam perspektif Goffman, frame mengklasifikasi,
mengorganisasi, dan menginterpretasi secara aktif pengalaman hidup kita supaya
kita bisa memahaminya. Menurut Goffman, sebuah frame adalah sebuah skema
interpretasi, dimana gambaran dunia yang dimasuki seseorang diorganisasikan
sehingga pengalaman tersebut menjadi punya arti dan makna. Frame menawarkan
penafsiran atas berbagai realitas sosial yang berlangsung tiap hari.
48
F. Framing dan Ideologi
Media berperan mendefinisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami,
bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Diantara
berbagai fungsi dari media dalam mendefinisikan realitas, fungsi pertama dalam
ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media berfungsi
menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu
dijalankan. Dalam kerangka ini, media dapat mendefinisikan nilai dan prilaku
yang sesuai dengan nilai kelompok dan prilaku atau nilai apa yang dipandang
menyimpang. Perbuatan, sikap, atau nilai yang menyimpang tersebut bukanlah
sesuatu yang alamiah, yang terjadi dengan sendirinya, dan diterima begitu saja.
Semua nilai dan pandangan tersebut bukan sesuatu yang terbentuk begitu saja,
melainkan dikonstruksi. Lewat
konstruksi tersebut,
media secara aktif
mendefinisikan peristiwa dan realitas sehingga membentuk kenyataan apa yang
layak, apa yang baik, apa yang sesuai dan apa yang dipandang menyimpang.
Dalam produksi berita, yang menjadi dasar dari proses produksi berita
adalah adanya semacam konsensus; bagaimana suatu peristiwa dipahami bersama
dan dimaknai. Disini ada dua pengertian; pada satu sisi peristiwa dan aktor yang
direstui dan pada sisi lain adalah peristiwa dan prilaku yang dikeluarkan (mbalelo)
dari pembicaraan. Konsensus menyediakan suatu kesatuan; satu negara, satu
masyarakat, satu budaya dan sebagainya. Melalui konsensus ini realitas yang
beragam dan tidak beraturan diubah menjadi realitas yang mudah dan bisa
dikenali, sesuatu yang plural menjadi tunggal. Lewat konsensus ini, terjadi proses
homogenisasi bahwa kita adalah satu.
49
Peristiwa bisa dipahami dalam perspektif yang berbeda didasarkan pada
kesepakatan atau tata nilai yang dipahami dan disepakati bersama dalam
komunitas. Kelompok yang ada di luar itu dipandang sebagai menyimpang
(deviant) dan dipinggirkan dalam pembicaraan. Peristiwa atau aktor dipandang
dengan ketidaksetujuan dan dimarjinalkan dalam pembicaraan. Pandangan yang
negatif atau marjinal mengenai sesuatu didasarkan pada konsensus yang bekerja
dalam suatu proses pemberitaan.
Sphere of
Consensus
Sphere of Legitimate
Controversy
Sphere of Deviance
Gambar 3. Peta Ideologi
Daniel Hallin (Eriyanto, 2002:127) membuat ilustrasi dan gambaran
menarik yang menolong menjelaskan bagaimana berita kita tempatkan dalam
bidang/peta ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik ke dalam tiga bidang; bidang
penyimpangan (sphere of deviance), bidang kontroversi (sphere of legitimate
controversy), dan bidang konsensus (sphere consensus). Bidang-bidang ini
menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa dipahami dan ditempatkan oleh
wartawan dalam keseluruhan peta ideologis. Apakah peristiwa dibingkai dan
dimaknai sebagi wilayah penyimpangan, kontroversi, ataukah konsensus? Dalam
wilayah penyimpangan, suatu peristiwa, gagasan, atau prilaku tertentu dikucilkan
50
dan dipandang menyimpang. Ini semacam nilai yang dipahami bersama
bagaimana peristiwa secara umum dipahami secara sama antara berbagai anggota
komunitas. Peristiwa PKI masuk dalam wilayah penyimpangan karena dipandang
sebagai sesuatu yang buruk dan tidak sesuai dengan nilai-nilai komunitas. Bidang
kedua adalah wilayah kontroversi. Kalau pada bidang yang paling luar ada
kesepakatan umum bahwa realitas (peristiwa, prilaku, atau gagasan) dipandang
menyimpang dan buruk, dalam area ini realitas masih diperdebatkan/dipandang
kontroversial. Kegiatan seksual misalnya masih diperdebatkan. Ia tidak serta
merta dipandang sebagai perbuatan yang menyimpang, tetapi diperdebatkan.
Sedangkan wilayah yang paling dalam adalah konsensus; menunjukkan
bagaimana realitas tertentu dipahami dan disepakati secara bersama-sama sebagai
realitas yang sesuai dengan nilai-nilai ideologi kelompok.
Sebagai area ideologis, peta semacam ini dapat dipakai untuk menjelaskan
bagaimana prilaku dan realitas yang sama bisa dijelaskan secara berbeda karena
memakai kerangka yang berbeda. Masyarakat atau komunitas dengan ideologi
yang berbeda akan menjelaskan dan meletakkan peristiwa yang sama tersebut ke
dalam peta yang berbeda, karena ideologi yang menempatkan bagaimana nilainilai bersama yang dipahami dan diyakini secara bersama-sama dipakai untuk
menjelaskan berbagai realitas yang hadir setiap hari.
Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan
dalam tempat-tempat tertentu. Ideologi yang dimaksud disini tidaklah selalu harus
dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan
atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan
51
pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi. Sebab dalam proses
melihat dan menandakan peristiwa tersebut kita menggunakan titik melihat
tertentu. Titik atau posisi melihat itu menggambarkan bagaimana peristiwa
dijelaskan dalam kerangka berpikir tertentu.
G. Framing Model Robert N. Entman
Robert N. Entman adalah salah seorang ahli yang meletakkan dasar-dasar
bagi analisis framing untuk studi isi media. Konsep mengenai framing ditulis
dalam sebuah artikel untuk Journal of Political Communication dan tulisan lain
yang mempraktikkan konsep itu dalam suatu studi kasus pemberitaan media.
Konsep framing oleh Entman digunakan untuk menggambarkan proses seleksi
dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dapat
dipandang sebagai penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas
sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih besar dari pada isu yang lain.
Framing memberi tekanan lebih pada bagaimana teks komunikasi ditampilkan dan
bagian mana yang ditonjolkan/dianggap oleh pembuat teks. Kata penonjolan itu
sendiri dapat didefinisikan membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna,
atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan
lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori
dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa.
Bentuk penonjolan tersebut bisa beragam; menempatkan satu aspek
informasi lebih menonjol dibandingkan yang lain, lebih mencolok, melakukan
pengulangan informasi yang dipandang penting atau dihubungkan dengan aspek
52
budaya yang akrab dibenak khalayak. Dengan bentuk seperti itu, sebuah ide,
gagasan, informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah diperhatikan, diingat dan
ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Karena
kemenonjolan adalah produk interaksi antara teks dan penerima, kehadiran frame
dalam teks bisa jadi tidak seperti yang dideteksi oleh peneliti, khalayak sangat
mungkin mempunyai pandangan apa yang dia pikirkan atas suatu teks dan
bagaimana teks berita tersebut dikonstruksi dalam pikiran khalayak.
Entman melihat framing dalam dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan
adalah proses membuat informasi menjadi lebih bermakna, lebih menarik, berarti,
atau lebih diingat oleh khalayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau
mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan
mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam praktiknya,
framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan
isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan
berbagai strategi wacana penempatan yang mencolok (menempatkan di headline
depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung
dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan
orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi,
simplifikasi dan lain-lain.
Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi
berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Framing adalah pendekatan
untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh
53
wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif
itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang
ditonjolkan dan dihilangkan, hendak dibawa kemana berita tersebut.
Seleksi isu
Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari
realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana
yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini
selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang
dimasukkan (included), tetapi ada juga berita yang
dikeluarkan (excluded). Tidak semua aspek atau
bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek
tertentu dari suatu isu.
Penonjolan aspek
Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika
tertentu dari suatu isu
aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah
dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini
sangat berkaitan dengan kata, kalimat, gambar, dan
citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.
Sumber : Eriyanto, 2002:187
Frame berita timbul dalam dua level. Pertama, konsepsi mental yang
digunakan untuk memproses informasi dan sebagai karateristik dari teks berita.
Misalnya, frame anti militer yang dipakai untuk melihat dan memproses informasi
demonstrasi atau kerusuhan. Kedua, perangkat spesifik dari narasi berita yang
dipakai untuk membangun pengertian mengenai peristiwa. Frame berita dibentuk
dari kata kunci, metafora, konsep, simbol, citra yang ada dalam narasi berita.
Karenanya, frame dapat dideteksi dan diselediki dari kata, citra, dan gambar
tertentu yang memberi makna tertentu dari teks berita. Kosakata dan gambar itu
ditekankan dalam teks sehingga lebih menonjol dibandingkan bagian lain dalam
teks. Itu dilakukan lewat pengulangan, penempatan yang lebih menonjol, atau
menghubungkan dengan bagian lain dalam teks berita. Sehingga bagian itu lebih
54
menonjol, lebih mudah dilihat, diingat dan lebih mempengaruhi khalayak. Secara
luas, pendefinisian masalah ini menyertakan didalamnya konsepsi atau skema
interpretasi wartawan. Pesan secara simbolik menyertakan sikap dan nilai. Ia
hidup membentuk dan menginterpretasikan makna didalamnya.
Gambar 4. Skema Framing Robert N. Entman
Teknik Framing
Define Problems
Make Moral Judgement
Peristiwa dilihat sebagai
apa
Penilaian atas penyebab
masalah
Diagnose Causes
Treatment Recommendation
Siapa penyebab masalah
Saran penanggulangan
masalah
Define problems (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali
dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame atau
bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh
wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu
tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Bingkai
yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda. Ketika ada
demonstrasi mahasiswa dan diakhiri dengan bentrokan, bagaimana peristiwa ini
dipahami? Peristiwa ini bisa dipahami sebagai anarkisme gerakan mahasiswa, bisa
juga dipahami sebagai pengorbanan mahasiswa.
55
Diagnose causes (memperkirakan penyebab masalah), merupakan elemen
framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu
peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa
(who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menentukan apa dan siapa yang
dianggap sebagai sumber masalah. Karena itu, masalah yang dipahami secara
berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara
berbeda pula. Misalnya, dalam kasus bentrokan demonstrasi mahasiswa. Kalau
demonstrasi itu dipahami sebagai anarkisme mahasiswa maka mahasiswalah yang
dianggap sebagai pelaku. Tetapi sebaliknya, kalau demonstrasi tersebut dipahami
sebagai perlawanan mahasiswa maka polisilah yang dipandang sebagai pelaku.
Make moral judgement (membuat pilihan moral) adalah elemen framing
yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefinisian
masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefinisikan, penyebab
masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk
mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip berhubungan dengan sesuatu
yang familiar dan dikenal oleh khalayak. Contoh gerakan mahasiswa, kalau
wartawan memaknai demonstrasi mahasiswa sebagai upaya pertahanan diri,
dalam teks berita bisa dijumpai serangkaian pilihan moral yang diajukan.
Misalnya disebut dalam teks, “mahasiswa adalah kelompok yang tidak
mempunyai kepentingan, dan berjuang di garis moral.” Pilihan moral sebaliknya,
bisa diberikan kepada polisi dengan menyatakan bahwa polisi berjuang demi
rakyat.
56
Elemen framing lain adalah treatment recommendation (menekankan
penyelesaian). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki wartawan.
Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian itu tentu saja
sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang
sebagai penyebab masalah. Kalau dalam berita mengenai demonstrasi mahasiswa
tersebut dipandang polisi yang salah maka penyelesaian masalah yang ditawarkan
bisa jadi menyeret polisi ke pengadilan atau bisa juga ditawarkan penyelesaian
untuk terus melakukan demonstrasi dalam jumlah massa lebih besar.
H. Efek Framing
Framing berhubungan dengan pendefinisian realitas. Bagaimana peristiwa
dipahami, sumber siapa yang diwawancarai. Semua elemen tersebut tidak
dimaknai semata sebagai masalah teknis jurnalistik, tetapi sebuah praktik.
Berbagai praktik tersebut bisa mengakibatkan pendefinisian tertentu atas realitas.
Peristiwa yang sama bisa menghasilkan berita dan pada akhirnya realitas yang
berbeda ketika peristiwa tersebut dibingkai dengan cara yang berbeda. Salah satu
efek framing yang paling mendasar adalah realitas sosial yang kompleks, penuh
dimensi dan tidak berarturan disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang
sederhana, beraturan, dan memenuhi logika tertentu. Framing menyediakan alat
bagaimana peristiwa dibentuk dan dikemas dalam kategori yang dikenal khalayak.
Karena itu, framing menolong khalayak untuk memproses informasi ke dalam
kategori yang dikenal, kata-kata kunci dan citra tertentu. Khalayak bukan
disediakan informasi yang rumit, melainkan informasi yang tinggal ambil,
kontekstual, berarti bagi dirinya dan dikenal dalam benak mereka.
57
Menonjokan aspek tertentu mengaburkan aspek lain. Framing
umumnya ditandai dengan menonjolkan aspek tertentu dari realitas. Dalam
penulisan disebut sebagai fokus. Berita secara sadar atau tidak diarahkan pada
aspek tertentu. Akibatnya, ada aspek lainnya yang tidak mendapatkan perhatian
yang memadai. Pemberitaan suatu peristiwa dari perpektif politik misalnya,
mengabaikan aspek lain: ekonomi, sosial, dan sebagainya.
Menampilkan sisi tertentu melupakan sisi lain. Pada aksi demonstrasi
mahasiswa yang banyak berakhir dengan bentrokan. Berita secara panjang lebar
menggambarkan proses bentrokan, mahasiswa yang nekat menembus barikade,
dan akhirnya diwarnai dengan puluhan mahasiswa yang luka-luka. Dengan
menampilkan sisi yang seperti ini dalam berita, ada sisi lain yang terlupakan yaitu
apa tuntutan dari mahasiswa tersebut. Seolah dengan menggambarkan berita
seperti ini, demonstrasi tersebut tidak ada gunanya. Mahasiswa hanya bermaksud
mencari sensasi dan berusaha membuat keributan saja ditengah masyarakat.
Menampilkan aktor tertentu menyembunyikan aktor lainnya. Berita
seringkali juga memfokuskan pemberitaan pada aktor tertentu. Tetapi efek yang
segera terlihat adalah memfokuskan pada satu pihak atau aktor tertentu
menyebabkan aktor lain yang mungkin relevan dan penting dalam pemberitaan
menjadi tersembunyi. Misalnya dalam berita tentang Timor Timur yang banyak
menampilkan tindakan yang pro integrasi dan teror yang dilakukannya.
Pemfokusan semacam ini melupakan dan menghilangkan kemungkinan adanya
Unamet yang melakukan kecurangan dalam pemilu. Berita dan versi semacam ini
58
tidak mendapatkan tempat, karena berita memfokuskan diri pada sisi yang lain,
yaitu pasukan pro integrasi.
Mobilisasi Massa
Framing berkaitan dengan opini publik. Hal ini dikarenakan ketika isu
tertentu dikemas dengan bingkai tertentu bisa mengakibatkan pemahaman
khalayak yang berbeda atas suatu isu. Misalnya, mengirim pasukan ke Timor
Timur adalah upaya mempertahankan nasionalisme Indonesia. Timor Timur
adalah wilayah yang sah dari Indonesia, karena itu, meski pasukan internasional
telah datang tetap harus dikirim pasukan ke daerah tersebut.
Terbukti kemasan tersebut berhasil menarik dukungan masyarakat dan
mobilisasi massa. Framing atas isu umumnya banyak dipakai dalam literatur
gerakan sosial. Dalam suatu gerakan sosial, ada strategi bagaimana supaya
khalayak mempunyai pandangan yang sama atas suatu isu. Itu seringkali ditandai
dengan menciptakan masalah bersama, musuh bersama, dan pahlawan bersama.
Hanya dengan itu, khalayak bisa digerakkan dan dimobilisasi. Semua itu
membutuhkan frame; bagaimana isu dikemas, bagaimana peristiwa dipahami, dan
bagaimana pula kejadian didefinisikan dan dimaknai.
Menggiring Khalayak Pada Ingatan Tertentu
Individu mengetahui peristiwa sosial dari pemberitaan media. Karenanya,
perhatian khalayak, bagaimana orang mengkonstruksi realitas sebagian besar
berasal dari apa yang diberitakan media. Media adalah tempat dimana khalayak
memperoleh informasi mengenai realitas politik dan sosial yang terjadi di sekitar
59
mereka. Karena itu, bagaimana media membingkai realitas tertentu berpengaruh
pada bagaimana individu menafsirkan peristiwa tersebut. Dengan kata lain, frame
yang disajikan oleh media ketika memaknai realitas mempengaruhi bagaimana
khalayak menafsirkan peristiwa. Hubungan transaksi antara teks dan personal ini
melahirkan pemahaman tertentu atas suatu realitas.
Apa yang menyebabkan suatu berita lebih mudah diingat orang?
Peristiwa-peristiwa tertentu yang dramatis dan diabadikan, ternyata mempunyai
pengaruh pada bagaimana seseorang melihat peristiwa. W. Lance Bennet dan
Regina G. Lawrence (Eriyanto, 2002:150) menyebut sebagai ikon berita (news
icon). Apa yang khalayak tahu tentang realitas sedikit banyak tergantung pada
bagaimana dia menggambarkannya. Dalam peristiwa yang dramatis dan
digambarkan oleh media secara dramatis pula, bahkan mempengaruhi pandangan
khalayak tentang realitas. Gambaran tentang orang, kelompok, realitas bahkan
selalu disesuaikan dengan ikon yang sudah terlanjur tertanam dalam benak publik.
Ikon-ikon yang diciptakan dalam pemberitaan membatasi pandangan khalayak,
seakan ia adalah potret yang sempurna dalam menggambarkan orang, peristiwa,
atau kelompok tertentu.
Download