9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1. Paradigma Penelitian Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008 - A13). Penelitian ini mengunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis cenderung memasang teknik pemasangan terlibat, analisis teks empatif, dan data sekunder empatif yang berlaku secara umum dalam kelompok penelitian kualitatif. Dengan paradigma ini lambang- lambang yang dibuat oleh kaum pemberontak, separatisme dan NKRI negara yang sah dijadikan sebagai konstruksi mereka atas diri dan dunianya. Dalam hal jenis data yang diperoleh, menurut paradigma konstruktivis data “bersifat subjektif” dalam arti berdasarkan pandangan pihak diteliti. Mereka (yang diteliti) diperlakukan sebagai subjek penelitian yang memiliki pandangan tertentu atas apa yang menjadi perhatian sipeneliti. Dengan demikian, data dalam penelitiaan ini sepenuhnya merupakan cermin dari “apa yang dirasakan dan ingin disampaikan oleh pihak yang diteliti “(subjek Penelitian)” bukan apa yang ingin 9 Universitas Sumatera Utara 10 diceritakan oleh peneliti. Sehingga disini peneliti berupaya untuk menyelami alam pikiran subjek penelitian agar diperoleh perspektif yang bersifat subjektif tersebut. Cara atau teknik pelaporan dengan paradigma konstruktivis dalam penelitian ini bersifat menceritakan ulang apa yang menjadi pandangan (konstruktivis) dari subjek atau pihak yang diteliti tentang berbagai hal yang dibicarakan dalam penelitian. Tujuannya adalah untuk memperlihatkan keotentikan pandangan subjek penelitian. Sehingga kutipan langsung dan penggunaaan bahasa setempat sah-sah saja digunakan, untuk memberikan tekanan yang lebih kental bagi warna pemaknaan yang bisa diperoleh, sejalan dengan penelitian ini. Atas dasar itu pula penelitian dalam tesis ini menggunakan metode kualitatif, dengan tujuan untuk menjelaskan fenomena yang sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Disini yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan banyaknya data (Kriyantono, 2010: 58) Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A14) melalui karyanya The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi fakta sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu. Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview wawancara langsung dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama Universitas Sumatera Utara 11 kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh konsensus umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa dalam masyarakat. Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan bahwa paradigma definisi sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut paradigma definisi sosial. Ada sejumlah besar teori sebagai landasan yang dapat dimasukkan ke dalam paradigma ini: Analisis wacana, framing, konstruksi sosial. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terusmenerus. B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards) yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah eksperimen. Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada umumnya teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai Universitas Sumatera Utara 12 dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya. Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan interpretatif/ konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75) Menurut Deddy N. Hidayat (2002), Paradigma Konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam situasi (setting) keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka. Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Universitas Sumatera Utara 13 Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut sebagai konstruksi sosial. Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas beberapa hal umum sebagai berikut: a. Ontologi Paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa realitas itu ada dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, tergantung pada orang yang melakukannya. b. Epistemologi Paradigma konstruktivisme bersifat subjektif dan transaksional. Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan merupakan suatu produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Dalam mengungkap suatu kebenaran, peneliti dan objek penelitiannya berhubungan secara interaktif, sehingga fenomena dan pola- pola keilmuan dapat dirumuskan dengan memperhatikan gejala hubungan yang terjadi di antara keduanya. Karena itu, hasil rumusan ilmu yang dikembangkan dengan sangat subjektif. c. Aksiologi Paradigma konstruktivisme menganggap bahwa nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu penelitian. Peneliti di sini bertindak sebagai passionate participant, yaitu fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Di mana tujuan penelitiannya adalah Universitas Sumatera Utara 14 rekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti. Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti. 2. 2. Penelitian Sejenis Terdahulu Berikut ini hasil penelusuran peneliti terkait penelitian yang menggunakan analisis pembingkaian dengan setting masalah Aceh; Penelitian Edward Aspinall tahun 2007 dari Universitas Nasional Australia. Dimuat dalam Conflik Resolution of Journal Volume 51 Number 6 dengan judul “The contruction of grievance natural resources and identity in a separatist conflict” Tujuan penelitiannya untuk mengetahui penyebab konflik separatisme, metode penelitian adalah kualitatif dengan memperluas pendekatan kontruktivisme sosial pada masyarakat setempat, terutama masyarakat Aceh, Riau, dan Kalimatan Timur. Edward menyimpulkan gerakan separitisme yang terjadi di (Aceh) Indonesia dilatarbelakangi oleh ekploitasi sumber daya alam yang berlebihan oleh pemerintah pusat. Menurut Edward, gerakan Aceh Merdeka yang melakukan proklamasi kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976 adalah lanjutan gerakangerakan perlawanan rakyat Aceh sebelumnya dimana pemerintah pusat tidak menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan kesepakatan damai yang telah dihasilkan. Kecewaan tokoh-tokoh Aceh melahirkan gerakan perlawanan yang lebih besar yakni separatis, bahwa Aceh tidak ada sangkut-paut dengan Indonesia (terpisah). Universitas Sumatera Utara 15 Edward telah memperkuat framing konstruktivis bahwa tokoh-tokoh GAM melakukan propaganda pada rakyat Aceh bahwa negara Indonesia memposisikan Aceh sebagai daerah jajahannya. Aksi militer yang dirasakan oleh rakyat Aceh membenarkan paradigma “penjajah” seperti yang dikampanyekan oleh tokoh separatis Aceh Merdeka. Yudhi Fahrimal, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Unsyiah dengan judul: Framing Media terkait pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh pada media online Kompas.com dan Antaranews.com. Penelitian ini bertujuan menganalisis framing dan keberpihakan media dalam polemik pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis framing. Teks berita dari situs berita online dianalisis menggunakan model Gamson dan Modigliani. Penelitian ini dilakukan di dua situs berita online: Kompas.com dan Antaranews.com. Sumber data berjumlah 56 berita dari dua situs berita online dalam waktu tiga bulan (bulan Maret, April, dan Mei 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua situs berita menganggap penting polemik Qanun Bendera dan Lambang Aceh karena nilai berita yang terkandung di dalamnya. Substansi framing yang dipakai oleh dua situs berita online sama, yaitu, Qanun Bendera dan Lambang Aceh bertentangan dengan konstitusi dan harus direvisi. Framing ini mengarahkan keberpihakan kedua media ini kepada kelompok yang kontra pada Bendera dan Lambang Aceh. Penelitian ini menyimpulkan bahwa media mengonstruksi realitas kewenangan Aceh memiliki Bendera dan Lambang Aceh dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kedaulatan Indonesia. Universitas Sumatera Utara 16 Sedangkan Mutiara Indraswara, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Unsyiah dengan judul; Bentuk Pemberitaan Polemik Bendera Aceh Antara Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Aceh. Polemik ini salah satu isu yang cukup lama menghiasi media massa di Aceh. Pemberitaan mengenai polemik bendera Aceh antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh semakin menguat ketika pemerintah Aceh menyatakan akan mengibarkan bendera Aceh pada peringatan delapan tahun MoU Helsinki atau delapan tahun perdamaian di Aceh (15 Agustus 2005-15 Agustus 2013) yang kemudian dengan tegas dilarang oleh pemerintah pusat. Selama bulan Agustus media massa di Aceh hampir setiap hari memberitakan mengenai polemik bendera Aceh antara pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Penelitian ini berjudul bentuk pemberitaan polemik bendera Aceh antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh membingkai berita polemik bendera Aceh antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis framming model Robert N. Entman dengan empat perangkat analisis yaitu define problems, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment recommendation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh memiliki frame dan bentuk pemberitaan yang berbeda dalam menyikapi polemik bendera Aceh antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Kedua harian melihat isu ini sebagai peristiwa yang penting, hal ini terlihat Universitas Sumatera Utara 17 dari pemberitaan yang dilakukan hampir setiap hari selama bulan Agustus 2013 di halaman depan kedua surat kabar ini. Sedangkan Harian Rakyat Aceh tidak melihat isu tersebut sebagai isu yang begitu penting dan cenderung memberitakan apa adanya. Harian Rakyat Aceh cenderung memberitakan agar polemik Bendera Aceh jangan sampai melukai hati rakyat Aceh dan sesuai dengan ketentuan hukum. Harian Rakyat Aceh tidak menganggap isu tersebut sebagai agenda penting untuk disajikan setiap harinya kepada khalayak pembacanya dengan dengan jumlah oplah sekitar dua puluh empat ribu lebih. Penelitian Nurul Hasfi, S.Sos, MA Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip 2011 dengan judul: Analisis framing pemberitaan Malinda Dee di detikcom, majalah Tempo dan MetroTV. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis terhadap kasus Malinda Dee (MD), pelaku kejahatan yang dalam pemberitaan tentang dirinya memunculkan pemberitaan yang bias karena keluar dari konteks permasalahan. Berita banyak fokus terhadap daya tarik fisik MD, perilaku dan kehidupan pribadinya. Populasi yang diambil adalah pemberitaan selama kurun waktu dua minggu sejak kasus MD bergulir yang disiarkan di tiga media di Indonesia yaitu, Detikcom, Majalah Tempo dan Metro TV. Sementara sumber data adalah berita yang bias dan keluar dari konteks permasalahan kriminalitas MD yang disiarkan dalam kurun waktu 29 Maret-14 April 2011. Penelitian ini menggunakan metode framing model Pan dan Kosicki berasumsi dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana representasi MD dalam pemberitaan di ketiga media diatas. Penelitian ini menyimpulkan ada enam Universitas Sumatera Utara 18 representasi untuk MD yaitu (1) Perempuan „tidak benar‟ (bad woman; bad wife; bad mother), (2) Orang yang kalah (a loser) yang sedang Menjalani Karma, (3) Monster mistik (Mythical Monster), (4) Barbie, boneka yang menyimbolkan komersialisme, (5) Perempuan yang memiliki kelainan psikologi, (5) Orang yang menjadi obyek humor. Penelitian lain oleh Yusnidar, M.Si, tahun 2008, dari lembaga Ar‟rizal Institue dengan judul: Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Kompas dan Republika Selama Darurat Militer di Aceh, Konstruksi Realitas Media Terhadap Darurat Militer di Aceh. Dalam tulisannya peneliti ingin melihat bagaimana media massa memberitakan operasi darurat militer di Aceh selama enam bulan pertama (18 Mei–17 November 2003), dari penelitiannya adalah contoh konkrit adanya peran dan pengaruh media serta faktor apa saja yang mempengaruhinya dalam melakukan pemberitaan Aceh. Kenapa Kompas melakukan pemberitaan yang berbeda dengan Republika, sementara peristiwa yang diamati sama, yaitu konflik Aceh. Pertanyaan ini kemudian dapat terjawab dengan metode framing sebagai pisau analisisnya. Kompas dan Republika memiliki pandangan dan Frame yang berbeda dalam melihat masalah dan pelaksanaan Operasi Darurat Militer di Aceh. Melalui skema dan konsep framing yang ada dalam teks beritanya, Yusnidar menyimpulkan bahwa jenis pemberitaan Kompas adalah jurnalisme perang, sementara Republika melakukan jurnalisme damai (Yusnidar, 2008:5) Universitas Sumatera Utara 19 2. 3. Uraian Teori Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori Konstruksi Sosial, Analisis wacana, Konstruksi media terhadap Realitas, Analisa framing, pemberitaan dan tentang politik media. 2.3.1 Teori Konstruksi Sosial Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality), menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin, 2008:189). Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan Sukidin, 2002:194). Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia Universitas Sumatera Utara 20 realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam institusi sosialnya (Bungin, 2008:12). Berger dan Luckmann mengatakan bahwa dengan memandang masyarakat sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan (eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) serta masalah yang berdimensi kognitif dan normatif, maka yang dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu konstruksi sosial produk masyarakat sendiri (social construction of reality) dalam perjalanan sejarahnya di masa lampau, ke masa kini dan menuju masa depan (Yuningsih, 2006:62) Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa tugas pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self) dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi; sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya. Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3). Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmu pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya mengakui adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang Universitas Sumatera Utara 21 berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita (sebab sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan). Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial. Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas. Teori konstruksi realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki kesamaan budaya akan memiliki pertukaran makna yang berlangsung terus menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orang orang yang memiliki kultur yang sama (Morissan dan Wardhany, 2009:135). Menurut teori ini, ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif bahwa struktur, kekuatan, dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia, secara terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan dikritik (Mc.Quail, 2011:110). Tentang proses konstruksi realitas, prinsipnya setiap upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak terkecuali mengenai hal - hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha mengkonstruksi realitas (Hamad, 2004:11). Teori konstruksi sosial atas realita ini penting bagi peneliti yang ingin mempelajari efek-efek iklan, namun teori ini juga Universitas Sumatera Utara 22 dapat diterapkan secara luas untuk mempelajari bagaimana media, khususnya media massa, membentuk realita politik (Morissan dan Wardhany, 2009:134). 2.3.2. Analisis Wacana Analisis wacana merupakan sebuah kajian yang baru beberapa tahun belakangan ini muncul. Analisis wacana merupakan sebuah pengamatan terhadap bahasa yang digunakan dalam sebuah susunan kalimat. Hal ini diperjelas dengan pernyataan Aris Badara (2012:2) yang menyatakan bahwa “sorotan utama analisis wacana ialah representasian, bagaimana seseorang, kelompok, atau segala sesuatu ditampilkan melalui bahasa”. Analisis wacana ialah tulisan yang memiliki ciri struktur berita yang berisi tentang suatu peristiwa yang dipublikasikan melalui surat kabar. Kaum kontruktivisme banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivism/ empirisme dalam analisis wacana yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari objek sebagai penyampaian pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap bahwa subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan serta hubunganhubungan sosialnya. Dalam hal ini, A. S. Hikam mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa yang dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam pernyataan-pernyataan untuk tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Universitas Sumatera Utara 23 Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis yang membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang objek yang mengemukakan suatu pernyataan, pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara. Kalau konsepsi di atas diterjemahkan di dalam berita, maka berita bukanlah semata sebagai hasil produksi dari awak media/ redaksi. Pembaca tidaklah ditempatkan sebagai sasaran, karena berita adalah hasil negosiasi antara redaksi dan khalayak pembacanya (Eriyanto, 2001) Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap diatas kalimat dan satuan gramatikal yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Sedangkan analisis wacana ialah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatic) bahasa. Jenis wacana dibedakan sesuai dengan sudut pandang wacana tersebut itu dilihat. Jika dilihat dari tujuannya, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan wacana tulis. Dilihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan menjadi wacana prosa dan puisi, sedangkan dilihat dari penyampaian isinya, wacana dibedakan menjadi narasi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi. 2.3.3. Konstruksi Media Terhadap Realitas Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckman adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi modern di Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah Universitas Sumatera Utara 24 fenomena menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman tidak memasukkan media massa sebagai variabel atas fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas (Bungin, 2008:206). Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkisvertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, dan sebagainya (Bungin, 2008:206). Melalui konstruksi sosial media massa, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atas fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu. Substansi “teori konstruksi sosial media massa” adalah pada sirkulasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata (Bungin, 2008: 207). Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan (Eriyanto, 2002:26). Media memilih, realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil. Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan Universitas Sumatera Utara 25 juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa (Eriyanto,2002:27). Apa yang tersaji dalam berita dan kita baca setiap hari adalah produk dari pembentukan realitas oleh media. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Eriyanto, 2002:26). Kesibukkan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna (Hamad, 2004:11). Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda (Eriyanto,2002:22). Dalam proses konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa (Eriyanto, 2002:12). Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat yang berbeda (Eriyanto, 2002:29). Universitas Sumatera Utara 26 Berita tidaklah dibentuk dari ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompentensi tertentu. Ideologi disini tidak harus selalu dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan (Eriyanto, 2002:154). 2.3.4. Analisis Framing Analisa Framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955. Mulanya, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta menyediakan kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan jauh oleh Goffman pada tahun 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membuat realitas. Gamson dan Mondigliani (dalam Sobur, 2002:162 ) menyebut framing sebagai kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Frame atau bingkai merupakan ide-ide yang terorganisir dengan suatu pola sehingga menghasilkan konstruksi makna tertentu akan suatu peristiwa. Media menggunakan framing untuk membantu khalayak memahami makna suatu peristiwa melalui serangkaian proses penonjolan, seleksi, atau pengumpulan aspek tertentu dari peristiwa tersebut. Todd Gitlin (Eriyanto, 2005:67) menyatakan bahwa framing adalah sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwaperistiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik Universitas Sumatera Utara 27 perhatian khalayak pembaca melalui proses seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. Dua pendekatan analisa framing, yaitu pendekatan Psikologis dan Sosiologis: 1) Dari segi Psikologis, framing merupakan strategi wartawan untuk menarik perhatian khalayak dengan memanfaatkan kondisi psikologisnya melalui cara penulisan pesan yang mencolok atau menyoroti aspek tertentu dari suatu peristiwa. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks Berita) lebih menonjol dan mencolok, pada taraf paling awal tidak dilepaskan dari aspek psikologi. Secara psikologi orang cenderung menyederhanakan realitas dan dunia kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan dapat dipahami, tetapi juga agar dapat mempunyai perspektif tertentu. Karenanya realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda, karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga. Berita-berita mengenai sosialisasi kebijakan baru pemerintah biasanya diawali dengan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, kemudian menampilkan kebijakan baru tersebut sebagai solusi dari permasalahan tersebut sehingga khalayak cenderung bersikap positif terhadap kebijakan itu. 2) Dari segi Sosiologis, framing menghasilkan berita sebagai sebuah institusi sosial yang memiliki keterikatan dengan institusi lainnya. Pada level sosiologis frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersamasama yang menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang Universitas Sumatera Utara 28 menyertakan di dalam praktik profesional. Berita ditempatkan, dicari dan disebarkan lewat praktek profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil dari suatu proses adalah produk dari proses institusional. Berita adalah produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana setiap hari dibentuk dan dikonstruksi. Kedua pendekatan ini menampilkan framing sebagai suatu proses persuasi yang dilakukan oleh media untuk mempengaruhi pemaknaan khalayak atas suatu peristiwa atau isu melalui sisi psikologis secara individual maupun sisi sosiologis secara kolektif. Berikut beberapa model analisa framing (dalam Analsisis Teks Media, Sobur, edisi 3, 2004: 175-6): 2.3.4.1 Murray Edelman Apa yang diketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung bagaimana membingkai dan mengkonstruksi realitas, realitas yang sama bisa jadi akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau dikonstruksi dengan cara yang berbeda. Murray Edelman mensejajarkan framing sebagai “kategorisasi” yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas dipahami (Eriyanto, 2004). Kategori merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran sehingga manusia dapat memahami realitas yang dapat mempengaruhi pikiran dan kesadaran publik, sama seperti propaganda. Salah satu gagasan utama Murray Edelman adalah dapat mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian mereka akan suatu isu. Universitas Sumatera Utara 29 Dalam praktik pemberitaan media misalnya, kategorisasi atas suatu peristiwa umumnya ditindaklanjuti dengan mengarahkan pada kategori yang dimaksud. Kategorisasi ini memiliki aspek penting yaitu rubrikasi. Klasifikasi yang dilakukan akan mempengaruhi emosi khalayak ketika memandang atau melihat suatu peristiwa. 2.3.4.2 Robert N. Entman Melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu sebagai berikut : a. Seleksi isu, Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu akan dipilih satu aspek yang diseleksi untuk ditampilkan. Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita yang dimasukkan, tetapi ada juga yang dikeluarkan. Tidak semua aspek atau bagian berita ditampilkan. b. Penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/ isu, Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/ isu tersebut telah dipilih, kemudian memikirkan bagaimana aspek itu diceritakan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pemilihan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk dapat ditampilkan pada khalayak. 2.3.4.3 William A. Gamson dan Andre Modigliani Menyebutkan dalam framing, cara pandang terbentuk dalam kemasan (package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan (Sobur, 2006). Kemasan itu semacam skema dan struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan yang ia terima, cara pandang atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedimikian rupa, dan menghadirkan Universitas Sumatera Utara 30 konstruksi makna peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Eriyanto, 2007). 2.3.4.4 Pan & Kosicki Dalam tulisan mereka Framing Analysis: An Approach to News Discourse, Pan & Kosicki mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita sebagai perangkat framing, yaitu: sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat dimensi struktural tersebut membentuk semacam tema yang mempertautkan elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global. Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks beritakutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu kedalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks (Subur, 2004:175) dengan kerangka sebagai berikut: 1. Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk susunan kisah berita. Dengan demikian struktur sintaksis dapat diamati dari bagan berita (headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan sandaran, sumber yang dikutip dan sebagainya). 2. Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita. Struktur ini melihat gaya bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Universitas Sumatera Utara 31 3. Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa kedalam proposisi, kalimat, atau hubungan antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih kecil. 4. Struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata, idiom, grafik, gambar yang digunakan untuk memberi penekanan pada arti tertentu. Dalam penelitian ini saya tertarik mengunakan model Robert N, Etman dimana ada empat tahapan dalam membingkai berita/ peristiwa yaitu: 1. Define Problems, Identifikasi masalah merupakan elemen pertama yang dapat menunjukkan mengenai framing karena elemen ini merupakan master frame/ bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan membentuk realitas yang berbeda. 2. Diagnose Cause, Elemen ini memperkirakan siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah. Hal ini akan lebih lanjut berkaitan erat dengan apa (What) dan Siapa (Who), karena dalam elemen ini khalayak dapat melihat siapa penyebab masalah sekaligus apa penyebabnya sebagai bagian yang penting. Bagaimana peristiwa dapat dipahami, akan menentukan apa dan siapa sebagai Universitas Sumatera Utara 32 sumber masalah. Jika siapa dipahami secara berbeda, maka hal itu akan menyebabkan apa turut dipahami secara berbeda pula. 3. Make Moral Judgement, Membuat pilihan moral. Elemen ini digunakan untuk membenarkan atau memberi penilaian atas peristiwa yang terjadi. Ketika masalah sudah diidentifikasi, penyebabnya sudah diketahui, maka dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan yang sudah diketahui. Dalam memberikan pilihan moral ini harus menggunakan simbol atau bahasa yang sudah disepakati secara umum oleh khalayak. 4. Treatment Recommendation, elemen ini menekankan penyelesaian masalah dan menawarkan atau menjustifikasi suatu cara penanggulangan masalah dan memprediksi hasilnya. Bagian ini digunakan untuk menilai apa yang akan dilakukan oleh wartawan. Pilihan mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan masalah. Penyelesain ini bergantung dari bagaimana itu dilihat dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah. Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Oleh karena itu, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, dan tak terelakkan. 2.3.5. Pemberitaan Dalam buku Here‟s the News yang dihimpun oleh Paul De Maeseneer, berita didefinisikan sebagai informasi baru tentang kejadian yang baru, penting, dan bermakna (signifikan), yang berpengaruh pada para pendengarnya serta relevan dan layak dinikmati oleh mereka. Definisi berita tersebut mengandung unsur-unsur diantaranya: Universitas Sumatera Utara 33 a. Baru dan penting, b. Bermakna dan berpengaruh, c. Menyangkut hidup orang banyak, d. Relevan dan menarik. Definisi lain dari berita, menurut Doug Newson dan James A. Wollert dalam Media Writing: News for the Mass Media (1985:11) mengemukakan dalam definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih luas lagi oleh masyarakat (Sumadiria, 2005:64). Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai apa yang mereka butuhkan. Batasan-batasan yang diberikan oleh tokoh-tokoh lain mengenai berita, yang dikutip Assegaff, 1983 (dalam Mondry, 2008:132-133) antara lain sebagai berikut : a. M. Lyle Spencer, dalam buku News Writing menyebutkan, berita merupakan kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian sebagian besar pembaca. b. Williard C. Bleyer, dalam buku Newspaper Writing and Editing mengemukakan, berita adalah sesuatu yang termasa yang dipilih oleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena dia dapat menarik minat atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena dia dapat menarik para pembaca untuk membaca berita tersebut. c. William S. Maulsby dalam buku Getting in News menulis, berita dapat didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang menarik perhatian para pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut. Universitas Sumatera Utara 34 d. Eric C. Hepwood menulis, berita adalah laporan pertama dari kejadian yang penting dan dapat menarik perhatian umum. Setelah merujuk kepada beberapa definisi diatas, meskipun berbeda-beda namun terdapat persamaan yang mengikat pada berita, meliputi: menarik perhatian, luar biasa dan termasa (baru). Karena itu, disimpulkan bahwa berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak melalui media berkala seperti surat kabar, radio, atau media online internet (Sumadiria, 2005:65). Dengan kata lain, berita bukan hanya menunjuk pada pers atau media massa dalam arti sempit dan tradisional, melainkan juga pada radio, film, dan internet atau media massa dalam arti luas dan modern. Berita pada awalnya, memang hanya milik surat kabar. Tetapi sekarang, berita juga telah menjadi „darah-daging‟ radio, dan media online (internet). Tak ada media tanpa berita, sebagaimana halnya tak ada berita tanpa media. Berita telah tampil sebagai kebutuhan dasar (basic need) masyarakat modern di seluruh dunia. Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu berita berat (Hard News) dan berita ringan (Soft News). Selain itu, berita juga dapat dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di tempat tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita dipilah menjadi berita diduga dan berita tak diduga. Selebihnya, berita juga dilihat menurut materi isinya yang beraneka macam. Berita berat, sesuai dengan namanya, menunjuk pada peristiwa yang mengguncangkan dan menyita perhatian seperti kebakaran, gempa bumi, kerusuhan. Sedangkan berita ringan, menunjukkan pada peristiwa yang lebih Universitas Sumatera Utara 35 bertumpu pada unsur ketertarikan manusiawi, seperti pesta pernikahan bintang film atau seminar sehari tentang perilaku seks bebas di kalangan remaja. Berdasarkan sifatnya, berita terbagi atas berita diduga dan berita tak terduga. Berita diduga adalah peristiwa yang direncanakan atau sudah diketahui sebelumnya, seperti lokakarya, pemilihan umum, peringatan hari-hari bersejarah. Proses penanganan berita yang sifatnya diduga disebut Making News. Artinya kita berupaya untuk menciptakan dan merekayasa berita. Proses penciptaan atau perekayasaan berita itu dilakukan melalui tahapan perencanaan di ruang rapat redaksi, diusulkan dalam rapat proyeksi, dikonsultasikan dengan pemimpin redaksi, dilanjutkan dengan observasi, serta ditegaskan dalam interaksi dan konfirmasi di lapangan. Semuanya melalui prosedur manajemen peliputan yang baku, jelas, terstruktur dan terukur. Orang yang meliputnya disebut sebagai reporter (pelapor). Berita tak terduga adalah peristiwa yang sifatnya tiba-tiba tidak direncanakan, tidak diketahui sebelumnya, seperti kereta api terguling, gedung perkantoran terbakar, bus tabrakan, kapal tenggelam, pesawat dibajak, anak-anak sekolah disandera atau terjadi ledakan bom di pusat keramaian. Proses penanganan berita yang sifatnya tidak diketahui dan tidak direncanakan sebelumnya, atau yang sifatnya tiba-tiba itu disebut Hunting News. Orangnya disebut sebagai pemburu (hunter). Pengetahuan dan pemahaman tentang klasifikasi berita sangat penting bagi setiap reporter, editor, dan bahkan para perencana dan konsultan media (media planner) sebagai salah satu pijakan dasar dalam proses perencanaan (planning), peliputan (getting), penulisan (writing), dan pelaporan serta pemuatan, penyiaran, Universitas Sumatera Utara 36 atau penayangan berita (reporting and publishing). Pada akhirnya, tahapantahapan pekerjaan jurnalistik itu sangat diperlukan dalam kerangka pembentukan, penetapan dan pengembangan manajemen media massa secara tepat dan visioner dalam rangka menghadapi era globalisasi. 2.3.6. Kajian Berita Menurut Pandangan Kaum Konstruktivis Pendekatan konstruksionis melihat proses framing/ pembingkaian berita sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam level wacana, tetapi juga dalam struktur kognisi individu dengan adanya konsep frame dalam level individual atau skemata interpretasi. Frame dalam level wacana dan level individual ini merupakan dua sistem yang saling berkaitan dalam proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Dalam konteks inilah Gamson melihat adanya hubungan antara wacana media dan opini publik yang terbentuk di masyarakat. Framing dapat dimaknai sebagai strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, serta di sisi lain karakteristik wacana media itu sendiri. Media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau konservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita, dan khalayak. Sedangkan Zhongdang Pan, ketiga pihak itu mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing, dan hubungan diantara mereka terbentuk melalui operasionalisasi wacana yang mereka konstruksi dan transmisikan. Analisa Berger dan Luckmann tentang peran pengetahuan yang dihasilkan dari proses dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan struktur sosial, menghasilkan perspektif yang penting dalam bidang sosial. Universitas Sumatera Utara 37 Berger bermaksud mengusulkan adanya pengintegrasian hasil analisis atas fenomena sosial ke dalam perangkat teori sosiologi yang menuntut pengakuan pada faktor manusiawi di balik data struktural yang terungkap. Pengintegrasian tersebut, menuntut penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik antara kenyataan struktural dan kegiatan manusiawi dalam membangun kenyataan. Tentu sebagai teori, apa yang digagas Berger dan Luckmann pasti memiliki kelemahan. Misalnya, dalam konteks kekinian terasa kurang karena tidak memasukan media massa dalam proses konstruksi sosialnya. Namun demikian, sebagai akademisi yang berada dalam tradisi fenoemenologi, Berger dan Luckmann telah memberi pemikiran yang signifikan dalam membangun teori-teori sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) yang juga dapat dirujuk oleh keilmuan komunikasi. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York. Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Bungin, 2008). Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmuilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann Universitas Sumatera Utara 38 meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”. Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif. Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas, didalam dunia sosialnya. Prof. Deddy N. Hidayat, memberi penjelasan bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999). Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasangagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasangagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologis dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivis (Bungin, 208). Universitas Sumatera Utara 39 Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan pikiran. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Suparno, 1997). Rene Descrates pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogito ergo sum‟ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”. Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam „De Antiquissima Italorum Sapientia‟, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanNya‟. Dia menjelaskan bahwa „mengetahui‟ berarti „mengetahui bagaimana membuat sesuatu ‟ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikan (Eriyanto, 2002) Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan- Universitas Sumatera Utara 40 tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008) Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum. 2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi khalayak. 3. Tahap pembentukan konstruksi realitas: Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun masyarakat pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Suparno, 1997). 2.4 Kerangka Pemikiran Perkembangan media massa di tanah air tidak terlepas dari perubahan politik di Indonesia. Situasi politik di Indonesia pada pasca reformasi diwarnai euforia masyarakat akan kebebasan berpendapat dan dalam hal mengartikulasikan kepentingan yang telah lama terkungkung oleh rezim Orde Baru. Situasi politik zaman Orde Baru yang sangat represif tidak memungkinkan masyarakat untuk Universitas Sumatera Utara 41 bebas berpendapat atau mengkritik suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat itu, rezim Orde Baru melakukan depolitisasi massa. Dengan dilakukannya depolitisasi massa oleh penguasa maka masyarakat ditekan sebisa mungkin untuk tidak bersuara menentang penguasa atau melakukan kegiatan politik yang bertentangan dengan kepentingan penguasa (Orde Baru). Lembaga pers pun tidak luput dari pengaturan yang otoriter rezim Orde Baru. Pada saat itu, pemerintah mengeluarkan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang wajib dimiliki oleh semua lembaga penerbitan pers di Indonesia. Dalam hal isi berita pun, pemerintah mengatur supaya tidak ada berita atau opini yang isinya menghujat atau mengkritik kebijakan pemerintah. Pemerintah dengan kata lain, rezim Orde Baru sangat anti terhadap segala macam kritik walaupun sebenarnya kritik itu ditujukan untuk sebuah perbaikan kinerja pemerintahan. Akibatnya, pers yang seharusnya menjadi penampung aspirasi dan opini dari masyarakat tidak bisa berfungsi dengan baik. Pemerintah era Orde Baru juga diwarnai dengan banyaknya kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat tinggi negara. Jabatan strategis dalam pemerintahan banyak diisi oleh orang-orang yang dekat dengan Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru bersifat sangat paternalistik dan cenderung otoriter. Kehidupan kepartaian pun tidak lepas dari aturan yang represif. Partai politik yang ada diharuskan menganut asas tunggal yaitu Pancasila. Ideologi di luar Pancasila dilarang hidup dan berkembang. Selain itu, pemerintah rezim Orde Baru menerapkan sistem kepartaian yang hegemonik. Dalam sistem hegemonik ini, partai politik ada partai yang sangat berkuasa yaitu Universitas Sumatera Utara 42 partai pemerintah dalam hal ini Golkar dan tetap membiarkan partai lain hidup tetapi hanya sebagai “ornamen” belaka. Dalam kehidupan politik seperti itu, regenerasi pemimpin dan rotasi kekuasaan adalah sesuatu yang diharamkan. Masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga sering terjadi. Pelanggaran HAM tersebut seringkali dilakukan oleh pemerintah. Rezim Orde Baru melakukan pelanggaran HAM dengan membantai para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), pengecapan KTP pada orang yang diduga terlibat PKI, dan kebijakan yang tidak adil yang dikeluarkan pemerintah terhadap kebijakan penerapan daerah operasi militer (DOM) di Aceh, tahun 1988 – 2005. Kehidupan politik sangat represif yang dipraktekan rezim Orde Baru akhirnya mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai kalangan terutama dari kalangan mahasiswa dan cendekiawan. Sistem Otoritarianisme Orde Baru kini mendapatkan kecaman dari mahasiswa yang menginginkan Presiden Soeharto turun dari jabatannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Krisis ekonomi pada penghujung tahun 1997 yang melanda Indonesia waktu itu menjadi faktor utama yang menuntut suksesi pemimpin nasional. Berbagai kerusuhan terjadi di daerah-daerah sebagai bentuk penentangan terhadap rezim Orde Baru. Di Jakarta, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para Mahasiswa. Para mahasiswa dan cendekiawan menilai suksesi kepemimipinan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia saat itu. Perubahan dalam kehidupan politik menjadi prioritas utama yang dituntut saat itu Universitas Sumatera Utara 43 Para cendekiawan mencetuskan tuntutan mereka dalam agenda reformasi yang berisi adili Soeharto dan kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah yang seluas-luasnya, menciptakan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Perubahan yang dilakukan di bidang politik pertama-tama adalah dibebaskannya hak kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kritikan kepada pemerintah. Perubahan yang paling signifikkan dalam bidang politik adalah pada kebijakan mengenai partai politik, multi partai. Menurut Jhon McBeth (Forrester, 2002:14), perubahan besar lainnya dalam bidang politik bukan hanya sekedar menjalankan mesin Golkar yang memerintah, PPP, dan PDI, tetapi setiap orang dapat membentuk partai. Pada perhitungan awal reformasi ada lebih dari 80 partai politik terbentuk walau banyak pula yang tergusur di kala masa pendaftaran resmi dibuka. Hal ini membuktikan bahwa antusias dari masyarakat sangat besar terhadap kebebasan berpolitik. Undang-Undang Dasar 1945 yang pada era Orde Baru sangat diskralkan kini mulai diamandemen (perubahan). Bagian yang terpenting yang diamandemen yaitu tentang batas kekuasaan seorang presiden. Sebelum amandemen, presiden dapat terus dipilih kembali tanpa ada batas kini dirubah dan dibatasi hanya pada dua periode pemilihan saja setelah itu presiden tidak dapat dipilih kembali. Pemerintah memberi kebebasan kepada mayarakat dalam hal mengutarakan pendapat dan mengkritik pemerintah. Pola kekuasaan pada masa reformasi tidak lagi bersifat represif seperti masa Orde Baru yang memerintah dengan tangan besi dan mengandalkan kekerasan. Ini membuat masyarakat lebih bebas dalam mengkritik kebijakan pemerintah. Universitas Sumatera Utara 44 Pers yang dulu dikekang kebebasannya, kini semakin bebas dan kembali pada fungsinya yaitu menyuarakan opini masyarakat. Demonstrasi yang dulu ditabukan, kini menjadi sarana masyarakat untuk menekan pemerintah untuk melaksanakan dan menerima aspirasi dan kepentingan mereka. Dengan cara melakukan demonstrasi yang mengerahkan massa yang banyak, akan semakin efektif menekan pemerintah. Cara-cara kekerasan yang dulu sering dilakukan terus dikurangi untuk kemudian akan dihilangkan. Menurut konsep kekuasaan Focault (dalam Ritzer, 2008:658), perubahan dari siksaan menjadi aturan merepresentasikan humanisasi perlakuan terhadap penjahat; ia akan tumbuh menjadi berbelas kasih. Focault mencontohkannya dalam sebuah penjara yang penuh dengan penjahat. Dalam hal ini, pemerintah harus lebih mengedepankan aturan yang yang mendidik daripada menggunakan kekerasan. Dalam karyanya yang berjudul Discipline and Punish (1979), Focault kembali menjelaskan tentang kekuasaan bahwa teknologi dipakai untuk menjalankan kekuasaan. Disini, ia berbicara tentang konsep panoptikon yaitu sebuah struktur pengawasan. Melalui teknologi yang canggih, pemerintah bisa mengawasi masyarakat tanpa harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal pola relasi kekuasaan Focault mengemukakan bahwa kekuasaan tak dapat dilokalisasi dengan sentralistik, tetapi terdapat diman-mana (desentralisasi). Konsep kekuasaan menurut Focault ini dalam prakteknya di pemerintahan Indonesia diwujudkan melalui otonomi daerah (desentralisasi). Dengan adanya otonomi daerah, kekuasaan tidak menjadi monopoli pihak pusat (sentralisasi) tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Universitas Sumatera Utara 45 Pemerintah mencoba memperbaiki bidang HAM yang selama masa pemerintahan Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri. Keadilan yang selama dirasa ini masih kurang dan belum sepenuhnya didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari segala lapisan dan golongan. Dalam hal keadilan bagi masyarakat, ada hubungannya dengan teori keadilan yang dikemukakan John Rawls. Dalam karyanya yang berjudul A Theory Of Justice (1971) Rawls menjelaskan bahwa konsep keadilan menurutnya adalah sebuah konsep yang bebas kultur, sehingga untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan di masyarakat haruslah bersifat fair. Keadilan tersebut harus menguntungkan semua orang dan juga dibuat berdasarkan kesepakatan semua orang. Dengan asumsi bahwa semua orang hanya berfikir tentang hak-hak yang bersifat umum dan mereka mengabaikan hal-hal spesifik yang mereka ketahui. Perubahan khususnya dalam bidang politik memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pemikiran isi media (content) pada dasarnya suatu proses konstruksi realitas secara subjektif oleh pengelola media. Isi berita politik tidak sepenuhnya menggunakan apa sesungguhnya yang terjadi melainkan cendrung subjektif dalam penulisannya. Berita politik yang di sampaikan adalah hasil dari konstruksi dari realitas itu sendiri. Oleh karena itu berita politik berada pada posisi orientasi bisnis atau kekuatan politik kekuasaan tertentu. Maka biasanya takkan terelakkan sehingga realitas berita politik adalah konstruksi yang sarat dengan kepentingan. Setiap realita yang menarik perhatian publik akan menjadi agenda media dengan menempatkannya sebagai berita utama (headline media). Universitas Sumatera Utara 46 Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk kognisi masyarakat. Kekuatan media antara lain disebabkan oleh proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto atau gambar, dan lain sebagainya. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Harian Serambi Indonesia & Harian Rakyat Aceh Sumber Berita: - MoU Helsinski UU PA Nomor 11 Tahun 2006 Qanun Nomor 3 Tahun 2013 - Stakholder Proses Berita/ Framing: - Ideological Level External Media Level Organisasi Level Media Routine - Individual Level Analisis Framing Model Robert Entman: - Definisi Masalah Penjelasan/ Latarbelakang Evaluasi - Recomendation/ Saran Realitas Sosial Universitas Sumatera Utara