9 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1

advertisement
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2. 1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam
ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji,
pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa
aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma
adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu
membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas
ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan
eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan
Goodman, 2008 - A13).
Penelitian
ini
mengunakan
paradigma
konstruktivis.
Paradigma
konstruktivis cenderung memasang teknik pemasangan terlibat, analisis teks
empatif, dan data sekunder empatif yang berlaku secara umum dalam kelompok
penelitian kualitatif. Dengan paradigma ini lambang- lambang yang dibuat oleh
kaum pemberontak, separatisme dan NKRI negara yang sah dijadikan sebagai
konstruksi mereka atas diri dan dunianya.
Dalam hal jenis data yang diperoleh, menurut paradigma konstruktivis data
“bersifat subjektif” dalam arti berdasarkan pandangan pihak diteliti. Mereka (yang
diteliti) diperlakukan sebagai subjek penelitian yang memiliki pandangan tertentu
atas apa yang menjadi perhatian sipeneliti. Dengan demikian, data dalam
penelitiaan ini sepenuhnya merupakan cermin dari “apa yang dirasakan dan ingin
disampaikan oleh pihak yang diteliti “(subjek Penelitian)” bukan apa yang ingin
9
Universitas Sumatera Utara
10
diceritakan oleh peneliti. Sehingga disini peneliti berupaya untuk menyelami alam
pikiran subjek penelitian agar diperoleh perspektif yang bersifat subjektif tersebut.
Cara atau teknik pelaporan dengan paradigma konstruktivis dalam
penelitian ini bersifat menceritakan ulang apa yang menjadi pandangan
(konstruktivis) dari subjek atau pihak yang diteliti tentang berbagai hal yang
dibicarakan
dalam
penelitian.
Tujuannya
adalah
untuk
memperlihatkan
keotentikan pandangan subjek penelitian.
Sehingga kutipan langsung dan penggunaaan bahasa setempat sah-sah saja
digunakan, untuk memberikan tekanan yang lebih kental bagi warna pemaknaan
yang bisa diperoleh, sejalan dengan penelitian ini. Atas dasar itu pula penelitian
dalam tesis ini menggunakan metode kualitatif, dengan tujuan untuk menjelaskan
fenomena yang sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.
Disini yang ditekankan adalah persoalan kedalaman (kualitas) data, bukan
banyaknya data (Kriyantono, 2010: 58)
Emile Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2008:A14) melalui karyanya
The Rules of Sociological Method dan Suicide menjelaskan bahwa teoritisi fakta
sosial memusatkan perhatian pada apa yang disebut Durkheim fakta sosial atau
struktur dan institusi sosial berskala luas. Mereka yang menganut paradigma ini
tidak hanya memusatkan perhatian pada fenomena fakta sosial ini tetapi juga pada
pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu.
Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan
metode interview wawancara langsung dan metode perbandingan sejarah
ketimbang penganut paradigma lain. Paradigma ini mencakup sejumlah perspektif
teoritis. Teoritisi struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial sama
Universitas Sumatera Utara
11
kerapian antarhubungan dan keteraturannya dengan dipertahankan oleh konsensus
umum. Teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antara fakta sosial dan
gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuatan yang memaksa
dalam masyarakat.
Max Weber dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-16) menjelaskan bahwa
paradigma definisi sosial ini mempelajari cara aktor mendefinisikan situasi sosial
mereka dan dalam mempelajari pengaruh definisi situasi sosial ini terhadap
tindakan dan integrasi berikutnya. Observasi adalah metode khusus penganut
paradigma definisi sosial.
Ada sejumlah besar teori sebagai landasan yang dapat dimasukkan ke
dalam paradigma ini: Analisis wacana, framing, konstruksi sosial. Paradigma
definisi sosial memusatkan perhatian pada tindakan, interaksi dan konstruksi
sosial dari realitas. Realitas sosial dilihat sebagai fenomena sosial yang sangat
beraneka ragam yang meliputi interaksi dan perubahan yang berlangsung terusmenerus.
B.F. Skinner dalam Ritzer dan Goodman (2008:A-15) menjelaskan bahwa
perhatian utama penganut paradigma perilaku sosial tertuju pada hadiah (rewards)
yang menimbulkan perilaku yang diinginkan dan hukuman (punishments) yang
mencegah perilaku yang tak diinginkan. Metode khusus paradigma ini adalah
eksperimen.
Ritzer dalam Bungin (2008:187) mengemukakan bahwa pada umumnya
teori dalam Paradigma Definisi Sosial sebenarnya berpandangan bahwa manusia
adalah aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Dalam arti, tindakan manusia
tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
12
dan sebagainya, yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial yaitu tindakan
yang menggambarkan struktur dan pranata sosial. Tindakan manusia adalah hasil
interaksinya dengan orang lain dalam lingkungannya.
Pandangan sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendekatan
interpretatif/ konstruktivisme yang melihat kebenaran sebagai sesuatu yang
subjektif dan diciptakan oleh partisipan. Dalam hal ini, peneliti sendirilah yang
bertindak sebagai salah satu partisipan. Pada pendekatan ini terdapat lebih sedikit
penekanan penekanan pada objektivitas karena sifat objektif yang mutlak sangat
tidak mungkin. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa penelitian pada tradisi ini
harus bergantung pada apa yang dikatakan oleh partisipan tanpa ada penilaian di
luar diri peneliti (West dan Turner, 2009:75)
Menurut Deddy N.
Hidayat
(2002),
Paradigma Konstruktivisme
memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap tindakan sosial yang
berarti (socially meaningful action) melalui pengamatan langsung dan rinci
terhadap pelaku sosial dalam situasi (setting) keseharian yang alamiah, agar
mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang
bersangkutan menciptakan dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka.
Sementara Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:190) melihat
konstruktivisme sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia
realitas yang ada, karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan
atau orang di sekitarnya. Kemudian individu membangun sendiri pengetahuan
atas realitas yang dilihatnya itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah
ada sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
13
Konstruktivisme semacam inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut
sebagai konstruksi sosial. Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan
bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Ada kebenaran
yang dapat ditangkap dari pemaknaan manusia atas suatu fenomena yang
tertangkap indra. Apabila membedah interpretivisme dalam sudut pandang filsafat
berdasarkan aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis, dapat dipertegas
beberapa hal umum sebagai berikut:
a. Ontologi
Paradigma konstruktivisme menyatakan bahwa realitas itu ada dalam
bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam, berdasarkan pengalaman
sosial, bersifat lokal dan spesifik, tergantung pada orang yang melakukannya.
b. Epistemologi
Paradigma
konstruktivisme
bersifat
subjektif
dan
transaksional.
Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan merupakan suatu produk interaksi
antara peneliti dengan yang diteliti. Dalam mengungkap suatu kebenaran, peneliti
dan objek penelitiannya berhubungan secara interaktif, sehingga fenomena dan
pola- pola keilmuan dapat dirumuskan dengan memperhatikan gejala hubungan
yang terjadi di antara keduanya. Karena itu, hasil rumusan ilmu yang
dikembangkan dengan sangat subjektif.
c. Aksiologi
Paradigma konstruktivisme menganggap bahwa nilai, etika, dan pilihan moral
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu penelitian. Peneliti di sini
bertindak sebagai passionate participant, yaitu fasilitator yang menjembatani
keragaman subjektivitas pelaku sosial. Di mana tujuan penelitiannya adalah
Universitas Sumatera Utara
14
rekonstruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial
yang diteliti.
Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara
dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahami dan
mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti.
2. 2. Penelitian Sejenis Terdahulu
Berikut ini hasil penelusuran peneliti terkait penelitian yang menggunakan
analisis pembingkaian dengan setting masalah Aceh;
Penelitian Edward Aspinall tahun 2007 dari Universitas Nasional Australia.
Dimuat dalam Conflik Resolution of Journal Volume 51 Number 6 dengan judul
“The contruction of grievance natural resources and identity in a separatist
conflict” Tujuan penelitiannya untuk mengetahui penyebab konflik separatisme,
metode
penelitian
adalah
kualitatif
dengan
memperluas
pendekatan
kontruktivisme sosial pada masyarakat setempat, terutama masyarakat Aceh,
Riau, dan Kalimatan Timur. Edward menyimpulkan gerakan separitisme yang
terjadi di (Aceh) Indonesia dilatarbelakangi oleh ekploitasi sumber daya alam
yang berlebihan oleh pemerintah pusat.
Menurut Edward, gerakan Aceh Merdeka yang melakukan proklamasi
kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976 adalah lanjutan gerakangerakan perlawanan rakyat Aceh sebelumnya dimana pemerintah pusat tidak
menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan kesepakatan damai yang telah
dihasilkan. Kecewaan tokoh-tokoh Aceh melahirkan gerakan perlawanan yang
lebih besar yakni separatis, bahwa Aceh tidak ada sangkut-paut dengan Indonesia
(terpisah).
Universitas Sumatera Utara
15
Edward telah memperkuat framing konstruktivis bahwa tokoh-tokoh GAM
melakukan propaganda pada rakyat Aceh bahwa negara Indonesia memposisikan
Aceh sebagai daerah jajahannya. Aksi militer yang dirasakan oleh rakyat Aceh
membenarkan paradigma “penjajah” seperti yang dikampanyekan oleh tokoh
separatis Aceh Merdeka.
Yudhi Fahrimal, Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP Unsyiah dengan judul:
Framing Media terkait pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh pada
media online Kompas.com dan Antaranews.com. Penelitian ini bertujuan
menganalisis framing dan keberpihakan media dalam polemik pengesahan Qanun
Bendera dan Lambang Aceh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan pendekatan analisis framing.
Teks berita dari situs berita online dianalisis menggunakan model Gamson
dan Modigliani. Penelitian ini dilakukan di dua situs berita online: Kompas.com
dan Antaranews.com. Sumber data berjumlah 56 berita dari dua situs berita online
dalam waktu tiga bulan (bulan Maret, April, dan Mei 2013). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kedua situs berita menganggap penting polemik Qanun
Bendera dan Lambang Aceh karena nilai berita yang terkandung di dalamnya.
Substansi framing yang dipakai oleh dua situs berita online sama, yaitu,
Qanun Bendera dan Lambang Aceh bertentangan dengan konstitusi dan harus
direvisi. Framing ini mengarahkan keberpihakan kedua media ini kepada
kelompok yang kontra pada Bendera dan Lambang Aceh. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa media mengonstruksi realitas kewenangan Aceh memiliki
Bendera dan Lambang Aceh dapat mengganggu stabilitas keamanan dan
kedaulatan Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
16
Sedangkan Mutiara Indraswara, Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP
Unsyiah dengan judul; Bentuk Pemberitaan Polemik Bendera Aceh Antara
Pemerintah Pusat Dengan Pemerintah Aceh. Polemik ini salah satu isu yang
cukup lama menghiasi media massa di Aceh. Pemberitaan mengenai polemik
bendera Aceh antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh semakin menguat
ketika pemerintah Aceh menyatakan akan mengibarkan bendera Aceh pada
peringatan delapan tahun MoU Helsinki atau delapan tahun perdamaian di Aceh
(15 Agustus 2005-15 Agustus 2013) yang kemudian dengan tegas dilarang oleh
pemerintah pusat.
Selama bulan Agustus media massa di Aceh hampir setiap hari
memberitakan mengenai polemik bendera Aceh antara pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Aceh. Penelitian ini berjudul bentuk pemberitaan polemik bendera
Aceh antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Penelitian ini bertujuan
untuk melihat bagaimana Harian Serambi Indonesia dan Harian Rakyat Aceh
membingkai berita polemik bendera Aceh antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Aceh.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis framming model Robert N. Entman dengan empat perangkat analisis yaitu
define problems, diagnose causes, make moral judgement, dan treatment
recommendation.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Harian Serambi Indonesia dan
Harian Rakyat Aceh memiliki frame dan bentuk pemberitaan yang berbeda dalam
menyikapi polemik bendera Aceh antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah
Aceh. Kedua harian melihat isu ini sebagai peristiwa yang penting, hal ini terlihat
Universitas Sumatera Utara
17
dari pemberitaan yang dilakukan hampir setiap hari selama bulan Agustus 2013 di
halaman depan kedua surat kabar ini.
Sedangkan Harian Rakyat Aceh tidak melihat isu tersebut sebagai isu yang
begitu penting dan cenderung memberitakan apa adanya. Harian Rakyat Aceh
cenderung memberitakan agar polemik Bendera Aceh jangan sampai melukai hati
rakyat Aceh dan sesuai dengan ketentuan hukum. Harian Rakyat Aceh tidak
menganggap isu tersebut sebagai agenda penting untuk disajikan setiap harinya
kepada khalayak pembacanya dengan dengan jumlah oplah sekitar dua puluh
empat ribu lebih.
Penelitian Nurul Hasfi, S.Sos, MA Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Undip
2011 dengan judul: Analisis framing pemberitaan Malinda Dee di detikcom,
majalah Tempo dan MetroTV. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan
penulis terhadap kasus Malinda Dee (MD), pelaku kejahatan yang dalam
pemberitaan tentang dirinya memunculkan pemberitaan yang bias karena keluar
dari konteks permasalahan.
Berita banyak fokus terhadap daya tarik fisik MD, perilaku dan kehidupan
pribadinya. Populasi yang diambil adalah pemberitaan selama kurun waktu dua
minggu sejak kasus MD bergulir yang disiarkan di tiga media di Indonesia yaitu,
Detikcom, Majalah Tempo dan Metro TV. Sementara sumber data adalah berita
yang bias dan keluar dari konteks permasalahan kriminalitas MD yang disiarkan
dalam kurun waktu 29 Maret-14 April 2011.
Penelitian ini menggunakan metode framing model Pan dan Kosicki
berasumsi dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana representasi MD
dalam pemberitaan di ketiga media diatas. Penelitian ini menyimpulkan ada enam
Universitas Sumatera Utara
18
representasi untuk MD yaitu (1) Perempuan „tidak benar‟ (bad woman; bad wife;
bad mother), (2) Orang yang kalah (a loser) yang sedang Menjalani Karma, (3)
Monster mistik (Mythical Monster), (4) Barbie, boneka yang menyimbolkan
komersialisme, (5) Perempuan yang memiliki kelainan psikologi, (5) Orang yang
menjadi obyek humor.
Penelitian lain oleh Yusnidar, M.Si, tahun 2008, dari lembaga Ar‟rizal
Institue dengan judul: Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Kompas dan
Republika Selama Darurat Militer di Aceh, Konstruksi Realitas Media Terhadap
Darurat Militer di Aceh.
Dalam tulisannya peneliti ingin melihat bagaimana media massa
memberitakan operasi darurat militer di Aceh selama enam bulan pertama (18
Mei–17 November 2003), dari penelitiannya adalah contoh konkrit adanya peran
dan pengaruh media serta faktor apa saja yang mempengaruhinya dalam
melakukan pemberitaan Aceh.
Kenapa Kompas melakukan pemberitaan yang berbeda dengan Republika,
sementara peristiwa yang diamati sama, yaitu konflik Aceh. Pertanyaan ini
kemudian dapat terjawab dengan metode framing sebagai pisau analisisnya.
Kompas dan Republika memiliki pandangan dan Frame yang berbeda dalam
melihat masalah dan pelaksanaan Operasi Darurat Militer di Aceh. Melalui skema
dan konsep framing yang ada dalam teks beritanya, Yusnidar menyimpulkan
bahwa jenis pemberitaan Kompas adalah jurnalisme perang, sementara Republika
melakukan jurnalisme damai (Yusnidar, 2008:5)
Universitas Sumatera Utara
19
2. 3. Uraian Teori
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini berupa teori Konstruksi
Sosial, Analisis wacana, Konstruksi media terhadap Realitas, Analisa framing,
pemberitaan dan tentang politik media.
2.3.1 Teori Konstruksi Sosial
Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality),
menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in
the Sociological of Knowledge”. Ia menggambarkan proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus-menerus
suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Bungin,
2008:189).
Di dalam penjelasan paradigma konstruktivis, realitas sosial merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Individu adalah manusia yang
bebas melakukan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Individu
menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya.
Individu bukanlah korban fakta sosial, namun sebagai media produksi sekaligus
reproduksi yang kreatif dalam mengkonstruksi dunia sosialnya (Basrowi dan
Sukidin, 2002:194).
Pada kenyataannya realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran
individu, baik di dalamnya maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu
memiliki makna, manakala realitas sosial dikonstruksi dan dimaknakan secara
subyektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara obyektif.
Individu mengkonstruksi realitas sosial dan mengkonstruksinya dalam dunia
Universitas Sumatera Utara
20
realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektifitas individu lain dalam
institusi sosialnya (Bungin, 2008:12).
Berger dan Luckmann mengatakan bahwa dengan memandang masyarakat
sebagai proses yang berlangsung dalam tiga momen dialektis yang simultan
(eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi) serta masalah yang berdimensi
kognitif dan normatif, maka yang dinamakan kenyataan sosial itu adalah suatu
konstruksi sosial produk masyarakat sendiri (social construction of reality) dalam
perjalanan sejarahnya di masa lampau, ke masa kini dan menuju masa depan
(Yuningsih, 2006:62)
Berger dan Luckmann dalam Bungin (2008:193) menjelaskan bahwa tugas
pokok Sosiologi pengetahuan adalah menjelaskan dialektika antara diri (self)
dengan dunia sosiokultural. Dialektika ini berlangsung dalam proses dengan tiga
momen simultan, (1) eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural
sebagai produk manusia; (2) objektivasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam
dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi;
sedangkan (3) internalisasi, yaitu proses yang mana individu mengidentifikasikan
dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu
menjadi anggotanya.
Dunia pengalaman individual tidak dipisahkan dari dunia sosial
sebagaimana diutarakan oleh Berger dan Luckmann dalam Ngangi (2011:3).
Selanjutnya dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial dan sosiologi ilmu
pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses itu terjadi. Keduanya mengakui
adanya realitas objektif, dengan membatasi realitas sebagai kualitas yang
Universitas Sumatera Utara
21
berkaitan dengan fenomena yang dianggap berada di luar kemauan kita (sebab
sesungguhnya fenomena tersebut tidak dapat dihindarkan).
Baran dan Davis (2010:383) menyebutkan bahwa konstruksi sosial
merupakan pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan sosial.
Realitas memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan
dimaknakan secara subjektif oleh orang lain sehingga memantapkan realitas
tersebut secara objektif. Konstruksi sosial realitas merupakan teori yang
mengasumsikan sebuah persetujuan berkelanjutan atas makna, karena orang-orang
berbagi sebuah pemahaman mengenai realitas.
Teori konstruksi realitas berpandangan bahwa masyarakat yang memiliki
kesamaan budaya akan memiliki pertukaran makna yang berlangsung terus
menerus. Secara umum, setiap hal akan memiliki makna yang sama bagi orang
orang yang memiliki kultur yang sama (Morissan dan Wardhany, 2009:135).
Menurut teori ini, ide mengenai masyarakat sebagai sebuah realitas
objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif bahwa
struktur, kekuatan, dan ide mengenai masyarakat dibentuk oleh manusia, secara
terus menerus dibentuk dan diproduksi ulang dan juga terbuka untuk diubah dan
dikritik (Mc.Quail, 2011:110).
Tentang
proses
konstruksi
realitas,
prinsipnya
setiap
upaya
“menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda tak
terkecuali mengenai hal - hal yang berkaitan dengan politik adalah usaha
mengkonstruksi realitas (Hamad, 2004:11). Teori konstruksi sosial atas realita ini
penting bagi peneliti yang ingin mempelajari efek-efek iklan, namun teori ini juga
Universitas Sumatera Utara
22
dapat diterapkan secara luas untuk mempelajari bagaimana media, khususnya
media massa, membentuk realita politik (Morissan dan Wardhany, 2009:134).
2.3.2. Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan sebuah kajian yang baru beberapa tahun
belakangan ini muncul. Analisis wacana merupakan sebuah pengamatan terhadap
bahasa yang digunakan dalam sebuah susunan kalimat. Hal ini diperjelas dengan
pernyataan Aris Badara (2012:2) yang menyatakan bahwa “sorotan utama analisis
wacana ialah representasian, bagaimana seseorang, kelompok, atau segala sesuatu
ditampilkan melalui bahasa”. Analisis wacana ialah tulisan yang memiliki ciri
struktur berita yang berisi tentang suatu peristiwa yang dipublikasikan melalui
surat kabar.
Kaum kontruktivisme banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi.
Aliran ini menolak pandangan positivism/ empirisme dalam analisis wacana yang
memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa
tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang
dipisahkan dari objek sebagai penyampaian pernyataan. Konstruktivisme justru
menganggap bahwa subjek adalah faktor sentral dalam kegiatan serta hubunganhubungan sosialnya.
Dalam hal ini, A. S. Hikam mengatakan bahwa, subjek memiliki
kemampuan melakukan control terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap
wacana. Bahasa yang dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam
pernyataan-pernyataan untuk tujuan tertentu. Setiap pernyataan pada dasarnya
adalah penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan
jati diri dari sang pembicara.
Universitas Sumatera Utara
23
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis yang
membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana adalah suatu upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang objek yang mengemukakan suatu
pernyataan, pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri
pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara.
Kalau konsepsi di atas diterjemahkan di dalam berita, maka berita
bukanlah semata sebagai hasil produksi dari awak media/ redaksi. Pembaca
tidaklah ditempatkan sebagai sasaran, karena berita adalah hasil negosiasi antara
redaksi dan khalayak pembacanya (Eriyanto, 2001)
Wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap diatas kalimat dan satuan
gramatikal yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Sedangkan analisis wacana
ialah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatic) bahasa. Jenis wacana dibedakan
sesuai dengan sudut pandang wacana tersebut itu dilihat.
Jika dilihat dari tujuannya, wacana dibedakan menjadi wacana lisan dan
wacana tulis. Dilihat dari penggunaan bahasanya, wacana dibedakan menjadi
wacana prosa dan puisi, sedangkan dilihat dari penyampaian isinya, wacana
dibedakan menjadi narasi, eksposisi, persuasi, dan argumentasi.
2.3.3. Konstruksi Media Terhadap Realitas
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan
Luckman adalah pada proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa
dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi sekunder.
Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat transisi modern di
Amerika pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah
Universitas Sumatera Utara
24
fenomena menarik untuk dibicarakan. Dengan demikian teori konstruksi sosial
atas realitas Peter L. Berger dan Luckman tidak memasukkan media massa
sebagai variabel atas fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas
realitas (Bungin, 2008:206).
Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban,
membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkisvertikal, dimana konstruksi sosial berlangsung dari pimpinan kepada bawahannya,
pimpinan kepada massanya, dan sebagainya (Bungin, 2008:206). Melalui
konstruksi sosial media massa, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas
Peter L. Berger dan Luckman telah direvisi dengan melihat variabel atas
fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi,
objektivikasi, dan internalisasi.
Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki
kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.
Substansi “teori konstruksi sosial media massa” adalah pada sirkulasi yang cepat
dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan
sebarannya merata (Bungin, 2008: 207).
Dalam pandangan konstruksionis, media bukanlah sekedar saluran yang
bebas, ia menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan, bias, dan pemihakannya. Lewat berbagai instrumen yang dimilikinya,
media ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan (Eriyanto,
2002:26).
Media memilih, realitas mana yang diambil dan mana yang tidak diambil.
Media bukan hanya memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan
Universitas Sumatera Utara
25
juga berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa (Eriyanto,2002:27). Apa
yang tersaji dalam berita dan kita baca setiap hari adalah produk dari
pembentukan realitas oleh media.
Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan
kepada khalayak (Eriyanto, 2002:26). Kesibukkan utama media massa adalah
mengkonstruksikan berbagai realitas yang akan disiarkan. Media menyusun
realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana
yang bermakna (Hamad, 2004:11).
Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir
karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan
yang mempunyai pandangan berbeda (Eriyanto,2002:22). Dalam proses
konstruksi realitas, bahasa adalah unsur utama. Ia merupakan instrumen pokok
untuk menceritakan realitas.
Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi. Begitu pentingnya
bahasa, maka tak ada berita, cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa
(Eriyanto, 2002:12). Berita adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu
melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media.
Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana
fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai
tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas. Realitas
yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena ada cara melihat
yang berbeda (Eriyanto, 2002:29).
Universitas Sumatera Utara
26
Berita tidaklah dibentuk dari ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi
dominan dalam suatu wilayah kompentensi tertentu. Ideologi disini tidak harus
selalu dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik
penandaan atau pemaknaan (Eriyanto, 2002:154).
2.3.4. Analisis Framing
Analisa Framing pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.
Mulanya, framing dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat
kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta
menyediakan kategori standar untuk mengapresiasi realitas.
Konsep ini kemudian dikembangkan jauh oleh Goffman pada tahun 1974,
yang
mengandaikan
frame
sebagai
kepingan-kepingan
perilaku
yang
membimbing individu dalam membuat realitas. Gamson dan Mondigliani (dalam
Sobur, 2002:162 ) menyebut framing sebagai kemasan (package) yang
mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan.
Frame atau bingkai merupakan ide-ide yang terorganisir dengan suatu pola
sehingga menghasilkan konstruksi makna tertentu akan suatu peristiwa. Media
menggunakan framing untuk membantu khalayak memahami makna suatu
peristiwa melalui serangkaian proses penonjolan, seleksi, atau pengumpulan aspek
tertentu dari peristiwa tersebut.
Todd Gitlin (Eriyanto, 2005:67) menyatakan bahwa framing adalah
sebuah strategi bagaimana realitas atau dunia dibentuk dan disederhanakan
sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwaperistiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik
Universitas Sumatera Utara
27
perhatian khalayak pembaca melalui proses seleksi, pengulangan, penekanan, dan
presentasi aspek tertentu dari realitas.
Dua pendekatan analisa framing, yaitu pendekatan Psikologis dan
Sosiologis:
1) Dari segi Psikologis, framing merupakan strategi wartawan untuk menarik
perhatian khalayak dengan memanfaatkan kondisi psikologisnya melalui
cara penulisan pesan yang mencolok atau menyoroti aspek tertentu dari
suatu peristiwa. Upaya membuat pesan (dalam hal ini teks Berita) lebih
menonjol dan mencolok, pada taraf paling awal tidak dilepaskan dari
aspek psikologi. Secara psikologi orang cenderung menyederhanakan
realitas dan dunia kompleks itu bukan hanya agar lebih sederhana dan
dapat dipahami, tetapi juga agar dapat mempunyai perspektif tertentu.
Karenanya realitas yang sama bisa jadi digambarkan secara berbeda,
karena orang mempunyai pandangan atau perspektif yang berbeda juga.
Berita-berita mengenai sosialisasi kebijakan baru pemerintah biasanya
diawali dengan masalah-masalah yang terjadi di masyarakat, kemudian
menampilkan kebijakan baru tersebut sebagai solusi dari permasalahan
tersebut sehingga khalayak cenderung bersikap positif terhadap kebijakan
itu.
2) Dari segi Sosiologis, framing menghasilkan berita sebagai sebuah institusi
sosial yang memiliki keterikatan dengan institusi lainnya. Pada level
sosiologis frame dilihat terutama untuk menjelaskan bagaimana organisasi
dari ruang berita dan pembuat berita membentuk berita secara bersamasama yang menempatkan media sebagai organisasi yang kompleks yang
Universitas Sumatera Utara
28
menyertakan di dalam praktik profesional. Berita ditempatkan, dicari dan
disebarkan lewat praktek profesional dalam organisasi. Karenanya, hasil
dari suatu proses adalah produk dari proses institusional. Berita adalah
produk dari profesionalisme yang menentukan bagaimana setiap hari
dibentuk dan dikonstruksi.
Kedua pendekatan ini menampilkan framing sebagai suatu proses persuasi
yang dilakukan oleh media untuk mempengaruhi pemaknaan khalayak atas suatu
peristiwa atau isu melalui sisi psikologis secara individual maupun sisi sosiologis
secara kolektif. Berikut beberapa model analisa framing (dalam Analsisis Teks
Media, Sobur, edisi 3, 2004: 175-6):
2.3.4.1 Murray Edelman
Apa yang diketahui tentang realitas atau tentang dunia tergantung
bagaimana membingkai dan mengkonstruksi realitas, realitas yang sama bisa jadi
akan menghasilkan realitas yang berbeda ketika realitas tersebut dibingkai atau
dikonstruksi dengan cara yang berbeda. Murray Edelman mensejajarkan framing
sebagai “kategorisasi” yaitu pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian
kata-kata yang tertentu pula yang menandakan bagaimana fakta atau realitas
dipahami (Eriyanto, 2004).
Kategori merupakan abstraksi dan fungsi dari pikiran sehingga manusia
dapat memahami realitas yang dapat mempengaruhi pikiran dan kesadaran publik,
sama seperti propaganda. Salah satu gagasan utama Murray Edelman adalah dapat
mengarahkan pandangan khalayak akan suatu isu dan membentuk pengertian
mereka akan suatu isu.
Universitas Sumatera Utara
29
Dalam praktik pemberitaan media misalnya, kategorisasi atas suatu
peristiwa umumnya ditindaklanjuti dengan mengarahkan pada kategori yang
dimaksud. Kategorisasi ini memiliki aspek penting yaitu rubrikasi. Klasifikasi
yang dilakukan akan mempengaruhi emosi khalayak ketika memandang atau
melihat suatu peristiwa.
2.3.4.2 Robert N. Entman
Melihat framing dalam dua dimensi besar, yaitu sebagai berikut :
a.
Seleksi isu, Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas
yang kompleks dan beragam itu akan dipilih satu aspek yang diseleksi untuk
ditampilkan. Dari proses ini selalu terkandung didalamnya ada bagian berita
yang dimasukkan, tetapi ada juga yang dikeluarkan. Tidak semua aspek atau
bagian berita ditampilkan.
b.
Penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/ isu, Aspek ini
berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu
peristiwa/ isu tersebut telah dipilih, kemudian memikirkan bagaimana aspek
itu diceritakan. Hal tersebut sangat berkaitan dengan pemilihan kata,
kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk dapat ditampilkan pada khalayak.
2.3.4.3 William A. Gamson dan Andre Modigliani
Menyebutkan dalam framing, cara pandang terbentuk dalam kemasan
(package) yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan
diberitakan (Sobur, 2006). Kemasan itu semacam skema dan struktur pemahaman
yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia
sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan yang ia terima, cara pandang
atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedimikian rupa, dan menghadirkan
Universitas Sumatera Utara
30
konstruksi makna peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Eriyanto,
2007).
2.3.4.4 Pan & Kosicki
Dalam tulisan mereka Framing Analysis: An Approach to News Discourse,
Pan & Kosicki mengoperasionalisasikan empat dimensi struktural teks berita
sebagai perangkat framing, yaitu: sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Keempat
dimensi struktural tersebut membentuk semacam tema yang mempertautkan
elemen-elemen semantik narasi berita dalam suatu koherensi global.
Model ini berasumsi bahwa setiap berita mempunyai
frame yang
berfungsi sebagai pusat organisasi ide. Frame merupakan suatu ide yang
dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks beritakutipan sumber, latar
informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu kedalam teks secara keseluruhan.
Frame berhubungan dengan makna.
Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa, dapat dilihat dari
perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks (Subur, 2004:175) dengan
kerangka sebagai berikut:
1.
Struktur sintaksis bisa diamati dari bagan berita. Sintaksis berhubungan
dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa-pernyataan, opini,
kutipan, pengamatan atas peristiwa kedalam bentuk susunan kisah berita.
Dengan demikian struktur sintaksis dapat diamati dari bagan berita
(headline yang dipilih, lead yang dipakai, latar informasi yang dijadikan
sandaran, sumber yang dikutip dan sebagainya).
2.
Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita. Struktur ini melihat
gaya bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa.
Universitas Sumatera Utara
31
3.
Struktur tematik berhubungan dengan cara wartawan mengungkapkan
pandangannya atas peristiwa kedalam proposisi, kalimat, atau hubungan
antarkalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur ini akan
melihat bagaimana pemahaman itu diwujudkan ke dalam bentuk yang
lebih kecil.
4.
Struktur retoris berhubungan dengan cara wartawan menekankan arti
tertentu. Dengan kata lain, struktur retoris melihat pemakaian pilihan kata,
idiom, grafik, gambar yang digunakan untuk memberi penekanan pada arti
tertentu.
Dalam penelitian ini saya tertarik mengunakan model Robert N, Etman
dimana ada empat tahapan dalam membingkai berita/ peristiwa yaitu:
1.
Define Problems, Identifikasi masalah merupakan elemen pertama yang
dapat menunjukkan mengenai framing karena elemen ini merupakan master
frame/ bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa
dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana
peristiwa atau isu itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara
berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan membentuk
realitas yang berbeda.
2.
Diagnose Cause, Elemen ini memperkirakan siapa yang dianggap sebagai
penyebab masalah. Hal ini akan lebih lanjut berkaitan erat dengan apa (What)
dan Siapa (Who), karena dalam elemen ini khalayak dapat melihat siapa
penyebab masalah sekaligus apa penyebabnya sebagai bagian yang penting.
Bagaimana peristiwa dapat dipahami, akan menentukan apa dan siapa sebagai
Universitas Sumatera Utara
32
sumber masalah. Jika siapa dipahami secara berbeda, maka hal itu akan
menyebabkan apa turut dipahami secara berbeda pula.
3.
Make Moral Judgement, Membuat pilihan moral. Elemen ini digunakan
untuk membenarkan atau memberi penilaian atas peristiwa yang terjadi.
Ketika masalah sudah diidentifikasi, penyebabnya sudah diketahui, maka
dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan yang
sudah diketahui. Dalam memberikan pilihan moral ini harus menggunakan
simbol atau bahasa yang sudah disepakati secara umum oleh khalayak.
4.
Treatment Recommendation, elemen ini menekankan penyelesaian masalah
dan menawarkan atau menjustifikasi suatu cara penanggulangan masalah dan
memprediksi hasilnya. Bagian ini digunakan untuk menilai apa yang akan
dilakukan oleh wartawan. Pilihan mana yang akan digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Penyelesain ini bergantung dari bagaimana itu dilihat
dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah.
Analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media
saat mengkonstruksi fakta. Oleh karena itu, berita menjadi manipulatif dan
bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate,
objektif, alamiah, wajar, dan tak terelakkan.
2.3.5. Pemberitaan
Dalam buku Here‟s the News yang dihimpun oleh Paul De Maeseneer,
berita didefinisikan sebagai informasi baru tentang kejadian yang baru, penting,
dan bermakna (signifikan), yang berpengaruh pada para pendengarnya serta
relevan dan layak dinikmati oleh mereka. Definisi berita tersebut mengandung
unsur-unsur diantaranya:
Universitas Sumatera Utara
33
a. Baru dan penting,
b. Bermakna dan berpengaruh,
c. Menyangkut hidup orang banyak,
d. Relevan dan menarik.
Definisi lain dari berita, menurut Doug Newson dan James A. Wollert
dalam Media Writing: News for the Mass Media (1985:11) mengemukakan dalam
definisi sederhana, berita adalah apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang
atau lebih luas lagi oleh masyarakat (Sumadiria, 2005:64).
Dengan melaporkan berita, media massa memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai apa yang mereka butuhkan. Batasan-batasan yang diberikan
oleh tokoh-tokoh lain mengenai berita, yang dikutip Assegaff, 1983 (dalam
Mondry, 2008:132-133) antara lain sebagai berikut :
a. M. Lyle Spencer, dalam buku News Writing menyebutkan, berita
merupakan kenyataan atau ide yang benar dan dapat menarik perhatian
sebagian besar pembaca.
b. Williard C. Bleyer, dalam buku Newspaper Writing and Editing
mengemukakan, berita adalah sesuatu yang termasa yang dipilih oleh
wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena dia dapat menarik minat
atau mempunyai makna bagi pembaca surat kabar, atau karena dia dapat
menarik para pembaca untuk membaca berita tersebut.
c. William S. Maulsby dalam buku Getting in News menulis, berita dapat
didefinisikan sebagai suatu penuturan secara benar dan tidak memihak dari
fakta-fakta yang mempunyai arti penting dan baru terjadi, yang menarik
perhatian para pembaca surat kabar yang memuat berita tersebut.
Universitas Sumatera Utara
34
d. Eric C. Hepwood menulis, berita adalah laporan pertama dari kejadian
yang penting dan dapat menarik perhatian umum.
Setelah merujuk kepada beberapa definisi diatas, meskipun berbeda-beda
namun terdapat persamaan yang mengikat pada berita, meliputi: menarik
perhatian, luar biasa dan termasa (baru). Karena itu, disimpulkan bahwa berita
adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan
atau penting bagi sebagian besar khalayak melalui media berkala seperti surat
kabar, radio, atau media online internet (Sumadiria, 2005:65).
Dengan kata lain, berita bukan hanya menunjuk pada pers atau media
massa dalam arti sempit dan tradisional, melainkan juga pada radio, film, dan
internet atau media massa dalam arti luas dan modern. Berita pada awalnya,
memang hanya milik surat kabar. Tetapi sekarang, berita juga telah menjadi
„darah-daging‟ radio, dan media online (internet). Tak ada media tanpa berita,
sebagaimana halnya tak ada berita tanpa media.
Berita telah tampil sebagai kebutuhan dasar (basic need) masyarakat
modern di seluruh dunia. Berita dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori,
yaitu berita berat (Hard News) dan berita ringan (Soft News). Selain itu, berita
juga dapat dibedakan menurut lokasi peristiwanya, di tempat terbuka atau di
tempat tertutup. Sedangkan berdasarkan sifatnya, berita dipilah menjadi berita
diduga dan berita tak diduga.
Selebihnya, berita juga dilihat menurut materi isinya yang beraneka
macam. Berita berat, sesuai dengan namanya, menunjuk pada peristiwa yang
mengguncangkan dan menyita perhatian seperti kebakaran, gempa bumi,
kerusuhan. Sedangkan berita ringan, menunjukkan pada peristiwa yang lebih
Universitas Sumatera Utara
35
bertumpu pada unsur ketertarikan manusiawi, seperti pesta pernikahan bintang
film atau seminar sehari tentang perilaku seks bebas di kalangan remaja.
Berdasarkan sifatnya, berita terbagi atas berita diduga dan berita tak
terduga. Berita diduga adalah peristiwa yang direncanakan atau sudah diketahui
sebelumnya, seperti lokakarya, pemilihan umum, peringatan hari-hari bersejarah.
Proses penanganan berita yang sifatnya diduga disebut Making News. Artinya kita
berupaya untuk menciptakan dan merekayasa berita.
Proses penciptaan atau perekayasaan berita itu dilakukan melalui tahapan
perencanaan di ruang rapat redaksi, diusulkan dalam rapat proyeksi,
dikonsultasikan dengan pemimpin redaksi, dilanjutkan dengan observasi, serta
ditegaskan dalam interaksi dan konfirmasi di lapangan. Semuanya melalui
prosedur manajemen peliputan yang baku, jelas, terstruktur dan terukur. Orang
yang meliputnya disebut sebagai reporter (pelapor).
Berita tak terduga adalah peristiwa yang sifatnya tiba-tiba tidak
direncanakan, tidak diketahui sebelumnya, seperti kereta api terguling, gedung
perkantoran terbakar, bus tabrakan, kapal tenggelam, pesawat dibajak, anak-anak
sekolah disandera atau terjadi ledakan bom di pusat keramaian. Proses
penanganan berita yang sifatnya tidak diketahui dan tidak direncanakan
sebelumnya, atau yang sifatnya tiba-tiba itu disebut Hunting News. Orangnya
disebut sebagai pemburu (hunter).
Pengetahuan dan pemahaman tentang klasifikasi berita sangat penting bagi
setiap reporter, editor, dan bahkan para perencana dan konsultan media (media
planner) sebagai salah satu pijakan dasar dalam proses perencanaan (planning),
peliputan (getting), penulisan (writing), dan pelaporan serta pemuatan, penyiaran,
Universitas Sumatera Utara
36
atau penayangan berita (reporting and publishing). Pada akhirnya, tahapantahapan pekerjaan jurnalistik itu sangat diperlukan dalam kerangka pembentukan,
penetapan dan pengembangan manajemen media massa secara tepat dan visioner
dalam rangka menghadapi era globalisasi.
2.3.6. Kajian Berita Menurut Pandangan Kaum Konstruktivis
Pendekatan konstruksionis melihat proses framing/ pembingkaian berita
sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya
terjadi dalam level wacana, tetapi juga dalam struktur kognisi individu dengan
adanya konsep frame dalam level individual atau skemata interpretasi. Frame
dalam level wacana dan level individual ini merupakan dua sistem yang saling
berkaitan dalam proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas.
Dalam konteks inilah Gamson melihat adanya hubungan antara wacana
media dan opini publik yang terbentuk di masyarakat. Framing dapat dimaknai
sebagai strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, serta di sisi lain
karakteristik wacana media itu sendiri. Media massa pada dasarnya adalah wahana
diskusi
atau
konservasi
tentang
suatu
masalah
yang
melibatkan
dan
mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita, dan khalayak.
Sedangkan Zhongdang Pan, ketiga pihak itu mendasarkan keterlibatannya
pada peran sosial masing-masing, dan hubungan diantara mereka terbentuk
melalui operasionalisasi wacana yang mereka konstruksi dan transmisikan.
Analisa Berger dan Luckmann tentang peran pengetahuan yang dihasilkan dari
proses dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan
struktur sosial, menghasilkan perspektif yang penting dalam bidang sosial.
Universitas Sumatera Utara
37
Berger bermaksud mengusulkan adanya pengintegrasian hasil analisis atas
fenomena sosial ke dalam perangkat teori sosiologi yang menuntut pengakuan
pada faktor manusiawi di balik data struktural yang terungkap. Pengintegrasian
tersebut, menuntut penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik
antara kenyataan struktural dan kegiatan manusiawi dalam membangun
kenyataan. Tentu sebagai teori, apa yang digagas Berger dan Luckmann pasti
memiliki kelemahan. Misalnya, dalam konteks kekinian terasa kurang karena
tidak memasukan media massa dalam proses konstruksi sosialnya.
Namun demikian, sebagai akademisi yang berada dalam tradisi
fenoemenologi, Berger dan Luckmann telah memberi pemikiran yang signifikan
dalam membangun teori-teori sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge)
yang juga dapat dirujuk oleh keilmuan komunikasi. Membahas teori konstruksi
sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik
yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L
Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York.
Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt.
Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu
kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Sebagai catatan
akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku
mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology
of Knowledge (Bungin, 2008).
Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak,
khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmuilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann
Universitas Sumatera Utara
38
meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif
melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality
is socially constructed”.
Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat
realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang
merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki
kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya
dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif.
Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas
sosial yang relatif bebas, didalam dunia sosialnya. Prof. Deddy N. Hidayat,
memberi penjelasan bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas
sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian,
kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik
yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999).
Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori
konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. Asal
usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasangagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif
kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasangagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico,
seorang epistemologis dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivis (Bungin,
208).
Universitas Sumatera Utara
39
Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak
Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal
budi dan pikiran. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles
mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan
sebagainya.
Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan
harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Suparno,
1997). Rene Descrates pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogito
ergo sum‟ yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”.
Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi
perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun
1710, Vico dalam „De Antiquissima Italorum Sapientia‟, mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaanNya‟.
Dia menjelaskan bahwa „mengetahui‟ berarti „mengetahui bagaimana
membuat sesuatu ‟ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia
menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa
hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang
tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang
hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikan (Eriyanto, 2002)
Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan
Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif
dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian
dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini tahapan-
Universitas Sumatera Utara
40
tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap
menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan
konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008) Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan
ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan
semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial
media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara
tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media,
menjadi penting pula bagi khalayak.
3. Tahap
pembentukan
konstruksi
realitas:
Pembentukan
konstruksi
berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua
kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif.
4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa
maupun
masyarakat pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas
terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Suparno,
1997).
2.4 Kerangka Pemikiran
Perkembangan media massa di tanah air tidak terlepas dari perubahan
politik di Indonesia. Situasi politik di Indonesia pada pasca reformasi diwarnai
euforia masyarakat akan kebebasan berpendapat dan dalam hal mengartikulasikan
kepentingan yang telah lama terkungkung oleh rezim Orde Baru. Situasi politik
zaman Orde Baru yang sangat represif tidak memungkinkan masyarakat untuk
Universitas Sumatera Utara
41
bebas berpendapat atau mengkritik suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Saat itu, rezim Orde Baru melakukan depolitisasi massa.
Dengan dilakukannya depolitisasi massa oleh penguasa maka masyarakat
ditekan sebisa mungkin untuk tidak bersuara menentang penguasa atau melakukan
kegiatan politik yang bertentangan dengan kepentingan penguasa (Orde Baru).
Lembaga pers pun tidak luput dari pengaturan yang otoriter rezim Orde Baru.
Pada saat itu, pemerintah mengeluarkan Surat Izin Penerbitan Pers
(SIUPP) yang wajib dimiliki oleh semua lembaga penerbitan pers di Indonesia.
Dalam hal isi berita pun, pemerintah mengatur supaya tidak ada berita atau opini
yang isinya menghujat atau mengkritik kebijakan pemerintah.
Pemerintah dengan kata lain, rezim Orde Baru sangat anti terhadap segala
macam kritik walaupun sebenarnya kritik itu ditujukan untuk sebuah perbaikan
kinerja pemerintahan. Akibatnya, pers yang seharusnya menjadi penampung
aspirasi dan opini dari masyarakat tidak bisa berfungsi dengan baik. Pemerintah
era Orde Baru juga diwarnai dengan banyaknya kasus Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat tinggi negara.
Jabatan strategis dalam pemerintahan banyak diisi oleh orang-orang yang
dekat dengan Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru bersifat sangat paternalistik
dan cenderung otoriter. Kehidupan kepartaian pun tidak lepas dari aturan yang
represif. Partai politik yang ada diharuskan menganut asas tunggal yaitu
Pancasila.
Ideologi di luar Pancasila dilarang hidup dan berkembang. Selain itu,
pemerintah rezim Orde Baru menerapkan sistem kepartaian yang hegemonik.
Dalam sistem hegemonik ini, partai politik ada partai yang sangat berkuasa yaitu
Universitas Sumatera Utara
42
partai pemerintah dalam hal ini Golkar dan tetap membiarkan partai lain hidup
tetapi hanya sebagai “ornamen” belaka.
Dalam kehidupan politik seperti itu, regenerasi pemimpin dan rotasi
kekuasaan adalah sesuatu yang diharamkan. Masalah Pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) juga sering terjadi. Pelanggaran HAM tersebut seringkali
dilakukan oleh pemerintah. Rezim Orde Baru melakukan pelanggaran HAM
dengan membantai para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI),
pengecapan KTP pada orang yang diduga terlibat PKI, dan kebijakan yang tidak
adil yang dikeluarkan pemerintah terhadap kebijakan penerapan daerah operasi
militer (DOM) di Aceh, tahun 1988 – 2005.
Kehidupan politik sangat represif yang dipraktekan rezim Orde Baru
akhirnya mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai kalangan terutama dari
kalangan mahasiswa dan cendekiawan. Sistem Otoritarianisme Orde Baru kini
mendapatkan kecaman dari mahasiswa yang menginginkan Presiden Soeharto
turun dari jabatannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Krisis ekonomi pada
penghujung tahun 1997 yang melanda Indonesia waktu itu menjadi faktor utama
yang menuntut suksesi pemimpin nasional.
Berbagai kerusuhan terjadi di daerah-daerah sebagai bentuk penentangan
terhadap rezim Orde Baru. Di Jakarta, terjadi demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan oleh para Mahasiswa. Para mahasiswa dan cendekiawan menilai
suksesi kepemimipinan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis multidimensi
yang terjadi di Indonesia saat itu. Perubahan dalam kehidupan politik menjadi
prioritas utama yang dituntut saat itu
Universitas Sumatera Utara
43
Para cendekiawan mencetuskan tuntutan mereka dalam agenda reformasi
yang berisi adili Soeharto dan kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi
daerah yang seluas-luasnya, menciptakan pemerintahan yang bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN). Perubahan yang dilakukan di bidang politik
pertama-tama adalah dibebaskannya hak kepada masyarakat untuk menyuarakan
aspirasi dan kritikan kepada pemerintah. Perubahan yang paling signifikkan dalam
bidang politik adalah pada kebijakan mengenai partai politik, multi partai.
Menurut Jhon McBeth (Forrester, 2002:14), perubahan besar lainnya
dalam bidang politik bukan hanya sekedar menjalankan mesin Golkar yang
memerintah, PPP, dan PDI, tetapi setiap orang dapat membentuk partai. Pada
perhitungan awal reformasi ada lebih dari 80 partai politik terbentuk walau
banyak pula yang tergusur di kala masa pendaftaran resmi dibuka. Hal ini
membuktikan bahwa antusias dari masyarakat sangat besar terhadap kebebasan
berpolitik.
Undang-Undang Dasar 1945 yang pada era Orde Baru sangat diskralkan
kini mulai diamandemen (perubahan). Bagian yang terpenting yang diamandemen
yaitu tentang batas kekuasaan seorang presiden. Sebelum amandemen, presiden
dapat terus dipilih kembali tanpa ada batas kini dirubah dan dibatasi hanya pada
dua periode pemilihan saja setelah itu presiden tidak dapat dipilih kembali.
Pemerintah
memberi
kebebasan
kepada
mayarakat
dalam
hal
mengutarakan pendapat dan mengkritik pemerintah. Pola kekuasaan pada masa
reformasi tidak lagi bersifat represif seperti masa Orde Baru yang memerintah
dengan tangan besi dan mengandalkan kekerasan. Ini membuat masyarakat lebih
bebas dalam mengkritik kebijakan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
44
Pers yang dulu dikekang kebebasannya, kini semakin bebas dan kembali
pada fungsinya yaitu menyuarakan opini masyarakat. Demonstrasi yang dulu
ditabukan, kini menjadi sarana masyarakat untuk menekan pemerintah untuk
melaksanakan dan menerima aspirasi dan kepentingan mereka. Dengan cara
melakukan demonstrasi yang mengerahkan massa yang banyak, akan semakin
efektif menekan pemerintah.
Cara-cara kekerasan yang dulu sering dilakukan terus dikurangi untuk
kemudian akan dihilangkan. Menurut konsep kekuasaan Focault (dalam Ritzer,
2008:658), perubahan dari siksaan menjadi aturan merepresentasikan humanisasi
perlakuan terhadap penjahat; ia akan tumbuh menjadi berbelas kasih. Focault
mencontohkannya dalam sebuah penjara yang penuh dengan penjahat.
Dalam hal ini, pemerintah harus lebih mengedepankan aturan yang yang
mendidik daripada menggunakan kekerasan. Dalam karyanya yang berjudul
Discipline and Punish (1979), Focault kembali menjelaskan tentang kekuasaan
bahwa teknologi dipakai untuk menjalankan kekuasaan.
Disini, ia berbicara tentang konsep panoptikon yaitu sebuah struktur
pengawasan. Melalui teknologi yang canggih, pemerintah bisa mengawasi
masyarakat tanpa harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal pola relasi
kekuasaan Focault mengemukakan bahwa kekuasaan tak dapat dilokalisasi
dengan sentralistik, tetapi terdapat diman-mana (desentralisasi).
Konsep kekuasaan menurut Focault ini dalam prakteknya di pemerintahan
Indonesia diwujudkan melalui otonomi daerah (desentralisasi). Dengan adanya
otonomi daerah, kekuasaan tidak menjadi monopoli pihak pusat (sentralisasi)
tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sendiri.
Universitas Sumatera Utara
45
Pemerintah mencoba memperbaiki bidang HAM yang selama masa pemerintahan
Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri.
Keadilan yang selama dirasa ini masih kurang dan belum sepenuhnya
didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari segala lapisan dan golongan.
Dalam hal keadilan bagi masyarakat, ada hubungannya dengan teori keadilan
yang dikemukakan John Rawls. Dalam karyanya yang berjudul A Theory Of
Justice (1971) Rawls menjelaskan bahwa konsep keadilan menurutnya adalah
sebuah konsep yang bebas kultur, sehingga untuk mewujudkan prinsip-prinsip
keadilan di masyarakat haruslah bersifat fair.
Keadilan tersebut harus menguntungkan semua orang dan juga dibuat
berdasarkan kesepakatan semua orang. Dengan asumsi bahwa semua orang hanya
berfikir tentang hak-hak yang bersifat umum dan mereka mengabaikan hal-hal
spesifik yang mereka ketahui. Perubahan khususnya dalam bidang politik
memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pemikiran isi media (content) pada dasarnya suatu proses konstruksi
realitas secara subjektif oleh pengelola media. Isi berita politik tidak sepenuhnya
menggunakan apa sesungguhnya yang terjadi melainkan cendrung subjektif dalam
penulisannya. Berita politik yang di sampaikan adalah hasil dari konstruksi dari
realitas itu sendiri. Oleh karena itu berita politik berada pada posisi orientasi
bisnis atau kekuatan politik kekuasaan tertentu.
Maka biasanya takkan terelakkan sehingga realitas berita politik adalah
konstruksi yang sarat dengan kepentingan. Setiap realita yang menarik perhatian
publik akan menjadi agenda media dengan menempatkannya sebagai berita utama
(headline media).
Universitas Sumatera Utara
46
Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk kognisi
masyarakat. Kekuatan media antara lain disebabkan oleh proses pembingkaian
(framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut
pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto atau gambar, dan lain
sebagainya.
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Harian Serambi Indonesia
& Harian Rakyat Aceh
Sumber Berita:
-
MoU Helsinski
UU PA Nomor 11 Tahun 2006
Qanun Nomor 3 Tahun 2013
-
Stakholder
Proses Berita/ Framing:
-
Ideological Level
External Media Level
Organisasi Level
Media Routine
-
Individual Level
Analisis Framing Model Robert Entman:
-
Definisi Masalah
Penjelasan/ Latarbelakang
Evaluasi
-
Recomendation/ Saran
Realitas Sosial
Universitas Sumatera Utara
Download