BAB II - Digilib UPI

advertisement
BAB
II
TINJAUAN KONSEPTUAL
MASYARAKAT MULTIKULTURAL, KONFLIK,
PERAN MEDIA MASSA, DAN PENDIDIKAN
2.1 Masyarakat Multikultural
Dalam ensiklopedia online Wikipedia (www.en.wikipedia.org/2005) dijelaskan
pengertian multikulturalisme sebagai kebijakan pubfik untuk mengelola keragaman
dalam masyarakat multietnik dan menekankan perlunya, dalam satu negara, saling
menghormati dan toleran terhadap perbedaan dalam masyarakat Pengertian dalam
ensiklopedia ini dilihat dari sudut negara dan kebijakan yang dibuat oleh negara,
disebut juga
dengan officiat mutticulturafism.
Namun multikulturalisme juga
memiliki makna dari sisi normatif yakni sebagai prinsip atau norma.
Ada ahli yang mendefinisikan multikulturalisme sebagai pola pikir yang
menuntut kesediaan untuk menerima kehadiran kelompok dan sistem nilai lain
dalam kehidupan bersama tanpa memperdulikan perbedaan budaya, sratifikasi
sosial, jender, dan agama (Al Muchtar, 2004: 6). Konsep ini sejalan dengan
pandangan
yang menyatakan multikulturalisme sebagai Jdeologi yang mengakui
dan mengagungkan perbedaan dan kesederajatan
manusia baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat sekaligus dengan kebudayaannya (Suparian,
2002). Selain itu ada yang menyebut
multikulturalisme sebagai prinsip yang
menghendaki semua kita menerima perbedaan, terbuka terhadap perubahan,
menghendaki kesetaraan, mampu mengenali diri kita yang sesungguhnya dalam
Hoh 2
31
hubungan dengan "keasingan" orang lain; prinsip ini harus menjadi pijakan dalam
mengambil setiap tindakan (Watson, 2000:110).
Lebih lanjut Watson
mengingatkan, bahwa dalam memahami
makna
multikuituralisme , budaya (culture) dipandang sebagai proses dinamis dari adaptasi
manusia
terhadap
perjalanan
sejarahnya
yang
merupakan
kondisi
untuk
mempertahankan kehidupan meialui keterlibatan secara simpatik terhadap cara-cara
baru dalam memahami dunia dan meresponnya.
Atas dasar pandangan ini The
United Nations Development Programme atau UNOP (2004: 13) mengemukakan
bahwa prinsip dasar dalam pandangan multikuituralisme adalah 1 cuftura/liberty.
Menurut UNDP ada tiga alasan mengapa cufturaf liberty menjadi perhatian
penting: 1) cultural liberty adalah aspek penting dalam kebebasan manusia, yang
merupakan kapabilitas sentral bagi kehidupan manusia untuk hidup berdasarkan
kesempatan untuk memilih pilihan-pilihan yang dimiliki; 2) selama ini pembicaraan
tentang budaya dalam kerangka pembangunan kurang terfokus kepada cultural
liberty, tetapi lebih terarah kepada pengakuan konservatisme budaya (cultural
conservatism); dan 3) cultural liberty tidak hanya bermanfaat dalam konteks
budaya, tetapi juga menentukan keberhasilan atau kegagalan aspek-aspek politik,
sosial, dan ekonomi. Karena itu, penyangkalan terhadap cultural liberty dapat
menyebabkan keruntuhan dan kemunduruan kehidupan manusia.
Wujud
konkret
multikuituralisme
dalam
kehidupan
masyarakat
dapat
dianalisis dalam dua sudut pandang: pandangan kritis dan pandangan konservatif
(Thufail, 2004: 76). Pandangan kritis di antaranya tampak dafam perspektif filsafat
Hak 2
32
Charles Taylor tentang multikulturalisme yang dikenal dengan pofiGcs of recognition
(Watson,
2000:
2; Thufail,
2004: 77).
Pandangan ini menegaskan bahwa
multikulturalisme bukan sekedar menciptakan makna perbedaan tetapi mengenali
perbedaan itu sebagai hasil dari keterikatan bersama terhadap pentingnya budaya
dan pengakuan terhadap kesederajatan semua budaya. Dalam pandangan kritis
multikultural berarti perjuangan dalam konteks politik dengan diskusi terbuka dan
bebas untuk saling mengenal identitas kelompok satu sama lain.
M. Sobary (2003: 28) menjelaskan bahwa poiitics of recognition adalah
dimensi psikologis dalam politik yang dibutuhkan dalam masyarakat kultural tanpa
membedakan etnik, ras, nasionalitas, atau agama. Setiap orang butuh untuk dikenal
sebagai manusia, dan sebagai anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang
memiliki hak politik yang diperlakukan secara adil dan sama untuk semua orang.
Oleh karena itu,
keberadaan masyarakat multikultural dalam pandangan kritis
diukur dari keragaman yang muncul dalam perjuangan politik tersebut.
Berbeda dengan pandangan kritis adalah pandangan konservatif seperti
tercermin antara lain dalam gagasan Will Kymlicka tentang multikulturalisme (2002:
13-49). Menurut sudut pandangan ini, multikulturalisme berangkat dari pemikiran
bahwa budaya adalah landasan dasar bagi masyarakat multikultural. Oleh karena itu
sistem politik yang ideal adalah menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap
kelompok budaya untuk mengekspresikan identitas dan aspirasinya. Sehubungan
dengan ini perlu kebijakan spesifik untuk mengakomodasi perbedaan-perbedaan
kebangsaan dan etnik yang sekurang-kurangnya terlihat dalam tiga bentuk: 1) Hak
Bah 2
33
atas pemerintahan sendiri, 2) hak polietnik, berupa langkah-langkah positif untuk
menghapus diskriminasi dan prasangka, dan 3) hak perwakilan khusus.
Pandangan konservatif memandang budaya sebagai sesuatu yang "ready-
made" bagi terciptanya masyarakat multikultural, sedangkan pandangan kritis
melihat budaya
sebagai
"proses" yang
dinamis dalam
menuju
masyarakat
multikultural.
Untuk melacak akar filsafat dari muttikulturalisme, menarik untuk melihat
terlebih dahulu perdebatan antara pendukung multikulturalisme dan penentangnya.
Perdebatan ini dirangkum dari tulisan Carol J Nicholson (1998), dari Rider University,
dalam sebuah paper yang dipublikasi oleh
Worfd Congress of PhHosophy Logo"
(http//www.bu.edu/wcp/2005). Kelompok pro antara lain yang diwakili oleh Charles
Taylor menyatakan multikulturalisme sebagai keharusan moral yang merupakan
cabang dari teori politik liberal. Sebaliknya tokoh lain, John Searie, menyatakan
multikulturalisme sebagai gagasan yang merusak warisan tradisi Barat.
Searie mengatakan, bahwa multikulturalisme sebagai kelompok sayap kiri
yang tergabung dalam subcuiture of postmodernism. Kelompok ini mempertanyakan
keobjektifan
pengetahuan
yang
sudah
valid
secara
universal,
dan
menginterpretasikan klaim-klaim objektivitas sebagai bentuk tersembunyi dari
pengukuhan
kekuasaan
(disguised forms of power-seeking).
Bagi
Searie
pengetahuan pada hakikatnya adalah na minded-independent reatity" yang berisi
proposisi-proposisi yang benar; benar atau tidaknya sebuah teori tergantung dari
dapat atau tidaknya dibuktikan melalui proposisi tersebut. Serangan terhadap
itob 2
34
kebenaran proposisi ini (seperti yang dilakukan oleh kelompok nsubculture of
postmodernisrrf) lebih dari sekedar penyangkalan terhadap tesis-tesis ilmiah, karena
kebenaran tersebut juga memiliki fungsi yang mendasar dalam menetapkan kriteria
ketinggian bahasa, budaya, dan lembaga ilmiah. Karena itu mempertanyakan klaim
kebenaran ini merupakan upaya penghancuran nilai tradisi Barat.
Kelompok
pendukung
multikultralisme
(termasuk
Charles
Taylor),
menyatakan bahwa kebenaran atau objektivitas filosofis termasuk nilai tradisi Barat
bukan merupakan kebenaran yang mutlak,
tetapi objektivitas artinya mencari
kesesuaian di antara intersubjektivitas (sekian banyak subjektivitas). Nilai tradisi
hanya satu dari pilihan-pilihan untuk menjelaskan tentang diri kita. Bagi kelompok ini
setiap orang harus membebaskan diri dari cara pandang yang melihat bahwa
landasan kebenaran hanyalah semata-semata berdasarkan komitmen terhadap
"truth and real ity".
Padangan ini, lebih jauh ditegaskan oleh Taylor dengan menyatakan bahwa
identitas manusia tercipta secara dialogis dalam hubungannya dengan orang lain.
Karena
itu
sebagiannya
pandangan Taylor
dibentuk
oleh "pengakuan".
Multikulturalisme dalam
adalah perluasan logis dari politik menghormati kesetaraan
{polities o f equa! respect) dan politik pengakuan (politics of recognition).
Landasan dasar dari pandangan ini adalah kesetaraan hak, kewajiban, status,
dan saling menghormati di antara sesama warga masyarakat (Sobary, 2003:29)
Pengetahuan seseorang akan berkembang ketika dia belajar tentang orang dan
budaya lain, dengan mengakui dan menghargai perbedaan di antara budaya-budaya
Bah 2
35
tersebut Menurut Taylor "menghargai" dan "mengakui" keberadaan budaya lain
bukan berarti mengatakan semua nilai budaya sama benar. Jika semua budaya
sama benar maka tidak perlu ada
w
pofitics of equal respect and poiitics of
recognition"
Dalam ensiklopedia on-line Wlkipedia (http//www/en.wikipedia.org/2005)
dijelaskan bahwa masuknya multikulturalisme secara resmi ke dalam tataran
kebijakan dimulai sekitar tahun 1970 di berbagai negara seperti Kanada, Australia,
Inggris dan Amerika Serikat Di Kanada dan Australia ada kemiripan dengan
banyaknya dukungan kebijakan dari pemerintah terhadap multikulturalisme seperti
dalam bentuk perundang-undangan, organisasi, dan pelayanan publik, sedangkan di
Amerika multikulturalisme mendapat perhatian di tingkat state, dengan banyaknya
dukungan
akhir-akhir
ini
terhadap
paham
ini.
Demikian
pula
di
Ingggris,
perkembangan multikulturalisme semakin pesat semenjak pemerintahan Partai
Buruh.
Meskipun secara resmi negara mendukung multikulturalisme, tidak sedikit
kritik yang dilontarkan terhadap pendukung multikulturalisme. Kritik-kritik tersebut
berkisar tentang bahaya multikulturalisme berupa keretakan ekonomi dan semakin
menyingkirkan kelompok minoritas dari mainstream. Di samping itu, juga ada kritik
yang
mengatakan
bahwa
multikulturalisme
sebagai
tribalisasi
baru,
yang
menghancurkan masyarakat industri modern.
Dari perdebatan di atas tampak satu alur berfikrr yang mengarah pada satu
kesimpulan bahwa ada keterkaitan antara gagasan multikulturalisme dengan teori
Hoh 2
36
'i
.
"
politik liberal. Keterkaitan ini kemungkinan dapat dimaknai bahwa multikuituralisme •v,
v,
-^
, I. ' I t
c >
merupakan perkembangan lebih jauh dari filsafat politik liberal, atau kemur^klnafr^^v
multikuituralisme sebagai antitesis terhadap teori politik liberal.
Adrian Favell dan Tariq Moodod dalam buku Contemporerary Politicaf
Philosophy, (2003: 484-495) adalah satu di antara pembahas yang melihat
multikuituralisme sebagai perkembangan lanjut dari teori politik liberal.
Uraian
mereka dikembangkan dalam empat payung diskusi, semuanya bertolak dari dilema
yang terkait dengan multikuituralisme dan cara-cara penanganan filosofis terhadap
isu-isu tersebut.
Pertama,
berangkat
dari
legacy
Rawlsian
yang
terbentang
dalam
gagasannya tentang a Theory of Justice tahun 1971 hingga the Political Uberalism
tahun 1993.
yakni
adanya
Dalam kerangka berfikir Rawls, tersirat problem mengenai pluralisme,
pertanyaan tentang
bagaimana
individu-individu dari
berbagai
keyakinan dapat diarahkan untuk mempercayai prinsip keadilan dalam kekuasaan
yang konstitusional. Solusi dilema ini terletak pada rekonsiliasi politik dari berbagai
pandangan yang saling bertentangan untuk menemukan satu konsensus dari prinsip
bersama, yang diketahui secara publik untuk dijadikan kerangka kerja pembuatan
keputusan politik.
Dilema kedua adalah berkenaan dengan perdebatan antara liberal dan
komunitarian. Di satu sisi, kelompok yang menyalakan bahwa pilihan-pilihan dan
otonomi individu sebagai puncak dari teori liberal, sedangkan di pihak lain adalah
kelompok yang meyakini sosialisasi komunal dalam budaya yang berakar secara
Bah 2
37
historis
merupakan
prakondisi
yang
penting
bagi
individualisme.
Dari
sini
ketegangan terjadi antara kelompok yang mempertahankan nilai-nilai liberal Barat
dan kelompok yang mempertahankan nilai tradisi non-westem, kelompok minoritas,
dan imigran. Pola ini tampak dalam kerja Kymlicka yang mencoba menerapkan
prinsip-prinsip liberal dalam memecahkan masalah-masalah minoritas.
Di samping perdebatan antara teori murni dan terapan, atau liberal dan
komunitarian, payung ketiga yang dapat dijadian referensi untuk memahami
multikulturalisme adalah ketegangan antara liberal dan kritik-kritik radikal. Dilema ini
berkisar antara mainstream liberal yang bekerja dalam tatanan kemurniannya
(democratic liberal arrangemenf), dan kelompok yang menolak, terutama yang
menyangkut tentang ethno-centrism dari nilai-nilai tradisi liberal, serta mengajukan
gagasan
dialog
cross-cultural.
Kelompok
ini
mengajukan
konsepsi
tentang
kesederajatan yang menggabungkan suatu politik perbedaan - menolak konformitas
dengan budaya dominan.
Payung keempat yang menjadi lahan diskusi multikulturalisme adalah kritik
kontekstualis. Kelompok ini berasal dari post-positivisme yang terlibat secara
konstruktif dalam aspek-aspek metodologis. Penekanan pemikiran mereka terletak
dalam gagasan
tentang
perlunya
pendekatan-pendekatan komparatif empirik
sebelum menarik generalisasi. Dalam pemahaman ini, bukan pencarian hakikat
liberalisme yang diutamakan, tetapi penemuan kemiripan dari anggota-anggota yang
tergabung dalam liberalisme, dan perbedaan yang terjadi secara historis sepanjang
finh 2
perkembangan liberalisme. Dalam hal ini makna dan konteks adalah unsur yang
mesti ada dalam kerja filosofis.
Pendapat yang cenderung menempatkan multikulturalisme sebagai cabang
atau perkembangan liberalisme, cukup beralasan bila ditinjau dari pemikiran John
Locke dan John Rawls. Keduanya adalah tokoh yang banyak dirujuk pemikirannya
dalam pembahasan filsafat liberalisme.
Meskipun Locke (1632-1704) lebih dikenal sebagai filsuf liberalisme namun
secara implisit mengakui multikulturalisme sebagaimana dipahami
dalam sebuah
essainya The True Originaf Extent dan End of CM'l Government yang dipublikasikan
lagi tahun 1963 (edited by Somarvile and Santoni, 1963: 159-204). Secara spesifik,
Locke tidak menyebut tentang multikuturalisme atau yang sejenisnya, namun
tersirat dalam gagasannya tentang supremasi hak dan kebebasan inidvidual yang
dimiliki setiap orang. Dalam praktek pemerintahan,
negara adalah pelindung hak-
hak tersebut, sedangkan dalam praktek sosial atau dalam hubungan di antara
sesama individu - khususnya daiam penggunaan properti - perlu pengaturan yang
jelas.
Dalam
konsep
ini
terkandung
makna
toleransi,
saling
menghormati,
kesetaraan yang semuanya dalam payung hukum yang adil sehingga tidak
menimbulkan prasangka sesama warga dan dapat mencegah terjadinya pertikaian.
Demikian juga halnya Rawls mengembangkan gagasan multikuturalisme
dalam prinsip "keadilan" sebagai mekanisme pemecahan dilema dalam masyarakat
liberal yang terdiri dari beragam latarbelakang dan keyakinan. Secara eksplisit Rawls
menuangkan gagasan tersebut dalam
Bah 2
tulisannya Justice as Faimess (1958) dan
39
dalam The Domain of the Politica! and Overiapping Consensus (1989), keduanya
dipublikasi lagi dalam satu buku Contemporary Politica! Phiiosophy: an Anthoiogy
(1997: 185 & 273). Dia mengatakan bahwa keadilan tidak terkait dengan kelompok
dominan untuk membenarkan kepentingannya, tidak juga didasarkan pada satu
doktrin komprehensif yang spesifik. Akan tetapi, keadilan didukung oleh satu
konsensus (overiapping consensus) yang dijadikan sebagai domain politik khusus.
Dengan konsensus, menurut Rawls, satu pemikiran tentang keadilan akan menjadi
titik temu bagi semua pihak yang terdiri dari berbagai keyakinan agama, doktrin
moral dan filsafat dalam masyarakat.
Selain
kedua
rujukan
filsafat
pandang
dalam
multikulturalisme yang dilontarkan oleh Taylor juga berakar pada filsafat
Jean
multikulturalisme,
filsuf
liberal
di
atas
yang
menjadi
The Poiitics of Recognition sebagai cara
Jacques Rousseau dan Immanuel Kant (Tilaar, 2004:80),
Sebagaimana diketahui,
"kebebasan" dari Rousseau, dan "otonomi" dari Kant adalah pandangan yang paling
mendasar dalam filsafat liberalisme.
Rousseau mengatakan bahwa "man is bom free, and yet we see him
everyv/here in chains" sebagaimana ditulis dalam pembuka tulisannya the Sociai
Contract
(edited by Sommerville and Santoni, 1963:205). Dalam konteks ini
Rousseau mengatakan bahwa saling menghormati merupakan hal yang mesti ada
dalam kemerdekaan manusia. Untuk ini diperlukan tatanan sosial yang meminta
kerelaan untuk mengorbankan hak individu sebagai basis untuk kebersamaan.
Kemauan
Hak 2
untuk
saling
menghormati dalam
tatanan
sosial
yang
disepakati
40
merupakan
pilihan
menentukan
yang
pandangan
didasarkan
hidupnya.
pada
Dalam
kemampuan
bahasa
Kant
setiap
orang
untuk
kemampuan
orang
menentukan pandangan hidupnya tanpa ada tekanan dari luar dirinya disebut
dengan "otonomi"
Dari pandangan liberal tersebut, nilai-nilai multikulturalisme terwujud dalam
bentuk toleransi, saling menghormati, taat kepada hukum, dan konsensus bersama
tentang keadilan. Di samping analisis yang melihat multikulturalisme sebagai cabang
atau
perkembangan liberalisme, kemungkinan analisis lain untuk menjelaskan
kedudukan multikulturalisme terhadap liberal, adalah sebagai antitesis terhadap teori
politik liberal.
Diskusi ini diawali dengan mengkaji pemikiran Francis Fukuyama dalam
tulisannya
The End of The History (2003) dan Kari Popper dalam bukunya
Masyarakat Modern yang Terbuka (2002: edisi terjemahan).
Dasar pemikiran
Fukuyama berkenaan dengan dialektika seperti yang dikembangkan dalam tradisi
Hegelian, menyatakan bahwa kondisi global setelah Perang Dingin menunjukkan
kemenangan sistem politik demokrasi liberal atas komunisme, kemudian setiap
negara di dunia mau tidak mau mengikuti sistem politik tersebut. Dengan yakin
Fukuyama menulis:
Abad ke 20 menyaksikan terperosoknya dunia maju ke dalam ledakan
kekerasan ideologis, sementara liberalisme bergelut pertama melawan sisa-sisa
absolutisme, kemudian dengan bolshevisme dan fasisme, akhirnya melawan
Maocisme. Namun abad yang mulai dengan penuh percaya diri peda puncak
kemenangan demokrasi liberal barat tampaknya akan berputar. Kembali ke titik
permulaan lingkaran: bukan pada "akhir ideologi" atau titik temu antara kapitalisme
dan sosialisme seperti diramalkan semula, tapi pada kemenangan besar liberalisme
ekonomi dan politik (hal. 16-17).
Bah 2
41
Analisis yang kurang lebih sama tampak dari kritik Popper (2002:209-250;
edisi terjemahan) terhadap gagasan Plato yang menyarankan kembali kepada
bentuk negara tribalis dengan dipimpin oleh filsuf untuk membawa masyarakat ke
dalam kehidupan yang membahagiakan. Tapi Popper melihat gagasan Plato justru
membawa keadaan menjadi lebih buruk lagi, seperti yang dinyatakannya sebagai
berikut:
Menghentikan perubahan politik bukanlah obat; langkah ini tidak dapat
membawa kebahagiaan. Kita tidak dapat kembali pada keaslian dan keindahan
masyarakat tertutup... Ketika kita mulai bersandar pada akal kita, dan menggunakan
kekuatan kritisisme kita, seketika itu juga kita merasakan panggilan tanggungjawab
personal dan tanggungjawab untuk memajukan pengetahuan (hal 247).
Popper mengemukakan bahwa masyarakat terbuka adalah masyarakat yang
percaya pada kekuatan rasional, individualisme, equaiitarianisme, kepercayaan pada
akal, dan kecintaan pada kebebasan. Meskipun Popper tidak menyebut secara
eksplisit gagasan ini sebagai liberalisme, terlihat pokok-pokok pikiran Popper tidak
berbeda dengan liberalisme.
Fukuyama
melihat kemenangan
liberalisme sebagai antitesis terhadap
fasisme dan marxisme, sedangkan Popper melihat keunggulan liberalisme sebagai
alternatif terhadap tribalisme Plato. Keduanya sama-sama percaya pada kebesaran
tradisi liberal, sebagai pandangan hidup yang terbaik dalam masyarakat modem.
Tetapi kemudian, muncul pertanyaan apakah gagasan liberal berkembang tanpa
hambatan dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah masyarakat yang semakin
heterogen, atau justru berkembang gagasan baru sebagai antitesis berikutnya.
Gejala inilah yang tampak sejak awal tahun 70an di negara-negara penganut
liberalisme itu sendiri (Eropa, Kanada, Amerika, Australia), yakni dengan munculnya
Hoh 2
42
gerakan baru yang disebut multikulturalisme. Gagasan keterbukaan, kesetaraan,
kebebasan, dan rasionalitas yang merupakan ikon liberalisme justru membawa
dilema baru dengan kedatangan arus imigran yang besar ke negara maju (pada
umumnya penganut paham liberal), disertai dengan perkembangan gerakan sosial
baru dalam masyarakat modern yang memakai identitas berdasarkan jender, etnik
minoritas, gay, dan bahkan berdasarkan agama.
Di wilayah kelahiran liberalisme, kebenaran nilai ini diuji. Hal ini pertama kali
muncul dari kalangan agama, yang sebagian besar tidak mau kehilangan tradisi
keagamaan mereka (Macedo, 2003: 215).
Kedua, tuntutan terhadap kebijakan
imigrasi yang perlu lebih akomodatif lagi dalam menangani imigran sehingga
radikalisme (sebagai reaksi berbagai kelompok imigran yang tidak diuntungkan oleh
kebijakan negara liberal) dapat
diatasi (Fukuyama, 2005; Herjm, 2000: 357).
Contoh nyata kebijakan imigrasi dari negara penganut liberalisme yang justru
menimbulkan masalah (radikalisme) di kalangan imigran salah satunya adalah kasus
di Perancis akhir tahun 2005, yakni kerusuhan bernuansa etnik sebagai protes
terhadap kebijakan negara yang diskriminatif terhadap kaum pendatang. Terakhir,
tuntutan lain muncul dari kalangan kelompok sosial minoritas seperti kelompok
feminisme, yang mempertanyakan kembali konsep-konsep perbedaan jender, kelas,
dan etnik dalam masyarakat pluralistik (Longo, 2001: 269; Nash, 2001: 255). Pada
dasarnya semua gerakan ini menginginkan prinsip liberal terutama menyangkut
kesederajatan
Hoh 2
{equity),
keadilan
sosial
(socuii
justice)
diterapkan
tanpa
43
membedakan kelompok dan golongan, serta tuntutan terwujudnya masyarakat yang
lebih demokratis, adil, dan inklusif.
Tidak hanya perkembangan masyarakat secara internal yang menghendaki
pengakuan keragaman, kesetaraan, dan keadlilan, kenyataan global juga mengarah
ke titik tuntutan yang sama. Fenomena ini dungkapkan oleh John Naisbit dan
Patricia (1990: 119) dalam bukunya Megatrends 2000, bahwa dewasa ini ada
kecenderungan gaya hidup semua bangsa di dunia mendekati kemiripan satu sama
lain karena pengaruh globalisasi dan teknologi informasi. Namun sebaliknya, ada
trend berbeda yang
memiliki
kekuatan sebagai arus balik dan menentang
keseragaman itu, yakni penegasan keunikan budaya, bahasa, serta penolakan
pengaruh asing.
Dari pola pembahan fenomena masyarakat seperti yang digambarkan di
atas, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa keberadaan ideologi politik liberal
dihadapkan pada kenyataan semakin heterogenitasnya bangsa-bangsa di seluruh
negara di dunia, dan semakin komplek kebutuhan bangsa-bangsa tersebut sebagai
implikasi keheterogenannya (Premdas, 2000; UNDP 2004),
sehingga melahirkan
tuntutan yang lebih tegas lagi, agar gagasan liberal dikaji ulang. Bahkan mungkin
dapat dikatakan teori liberal tidak dapat lagi sepenuhnya menyelesaikan masalah
politik yang disebabkan keragaman masyarakat di berbagai negara misalnya kasuskasus yang terjadi di negara bekas Uni Sovyet, Irak, Afghanistan, dan baru-baru
ini di Perancis. Merujuk kepada teori perubahan paradigma dalam revolusi ilmu
pengetahuan (Kuhn, 2000: 77), yang bermula dari teori (1) -> anomali -> krisis ->
Bah 2
44
revolusi -> teori (2), maka tantangan yang dihadapi pemikiran liberalisme saat ini
dapat dianalogikan sebagai saat "krisis"
menuju perubahan yang merupakan
prakondisi penting bagi munculnya teori-teori (pemikiran) baru. Bagaimana bentuk
perubahan
itu,
sebagian
jawabannya
adalah
melalui
kemunculan
gagasan
multikulturalisme.
Demikian juga halnya jika mengikuti analisis "dialektika" dari Hegel dalam
melihat perkembangan peradaban dunia yang mengalami pasang naik dan pasang
surut dengan diiringi kemunculan peradaban baru (F.VV.
Hegel, 2001, edisi
terjemahan); atau pemikiran Capra (2002: 10) dengan teori "transformasi budaya "
yang menyatakan bahwa transformasi merupakan langkah-langkah esensial dalam
perkembangan peradaban. Berdasarkan teori perubahan ini ada kecenderungan
untuk menyimpulkan bahwa perkembangan multlikuturalisme' saat ini
'dapat
diindikasikan sebagai fenomena munculnya pemikiran baru sebagai alternatif
terhadap pemikiran liberal.
Satu alasan yang cukup kuat untuk mengatakan bahwa multikulturalisme
sebagai alternatif atau bahkan merupakan koreksi terhadap liberalisme (sebagai
lawan dari pendapat yang cenderung mengatakan multikulturalisme sebagai bagian
dari
liberalisme)
adalah
kenyataan
sejarah
di
dunia
timur
(Islam)
yang
mempraktekan gagasan nilai-nilai multikulturalisme yang berakar kuat dalam tradisi
non-Barat . Gagasan ini secara kongkrit mulai dikembangkan dalam pemerintahan
Islam di Madinah jaman Nabi Muhammad Saw, yang keseluruhan pola pikir beliau
diilhami oleh Al Quran.
Bah 2
45
Istilah multikulturalisme sendiri tidak pernah disebut dalam pemerintahan
Nabi Muhammad SAW. Namun nilai multikultural itu terlihat jelas dalam cara-cara
pemerintahan Islam memperlakukan warga dan pola-pola hubungan antar warga.
Praktik
multikulturalisme
ini
pertama-tama
dapat
dilihat
secara
legal-formal
sebagaimana dituangkan dalam suatu dokumen yang dikenal dengan "Piagam
Madinah" atau "Konstitusi Madinah". Dokumen ini terdiri atas dua bagian utama
yaitu: salah satunya berkenaan dengan perjanjian
antara Nabi Muhammad SAW
(sebagai kepala pemerintahan) dengan umat non-Muslim (Yahudi Madinah) yang
berada di bawah pemerintahan Islam, dan bagian lain berkenaan dengan komitmen,
hak, dan kewajiban
orang Islam , Muhajirin dan Anshar (Al Umary, 1991: 102).
Model perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan umat Yahudi ini juga
diterapkan kepada umat Nasrani dan agama lain yang berada di wilayah kekuasaan
pemerintahan Islam .
Salah satu bagian dari teks piagam ini menjelaskan sebagai berikut.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah
sebuah dokumen dari Muhammad, Rasulullah berkaitan dengan kaum Muhajirin dan
Anshar, yang membuat kesepakatan persahabatan dengan orang-orang Yahudi dan
menetapkan mereka dalam agama dan harta kekayaan mereka, dan menyatakan
kewajiban timbal balik sebagai berikut:
Mereka merupakan satu kelompok di samping masyarakat lain. Kaum
Muhajirin Quraisy sama-sama bersatu dan akan membayar diyat (tebusan darah) di
antara mereka sendiri, dan akan menebus dengan hormat orang-orang mereka yang
menjadi tawanan. Bani A w f sama-sama bersatu, karena merekalah yang pertama,
dan setiap kelompok di kalangan mereka membayar tebusan untuk membebaskan
keluarganya yang menjadi tawanan (Ketentuan ini diulang dengan ungkapan yang
sama tentang Banu Saldah, Banu Haristh, Banu Jasyam, Banu At Najjar. Banu Amr
tbn Awf, BanuAINabit, dan Banu Aw$.
Orang-orang beriman agar tidak meninggalkan seorang pun miskin di
kalangan mereka dengan tidak membayar uang pembebasan atau diyat yang
setimpal. Siapa saja yang memberontak atau siapa saja yang berusaha menyebarkan
permusuhan dan hasutan, tangan setiap Muslim yang bertacjwa akan melawannya,
sekalipun dia anaknya sendiri.
ikih 2
46
Seorang Mukmin tidak boleh membunuh Mukmin lainnya, atau S
mendukung seorang kafir melawan seorang Mukmin. Perlindungan Allah
(dan sama) yang diberikan kepada kaum Mukmin yang rendah hati.
Kaum Mukmin harus saling mendukung satu sama lain. Siapa saja
orang-orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh bantuan dan
pertolongan: mereka tidak akan dilukai, tidak pula seorang musuh pun dibantu
melawan mereka. Perdamaian kaum Mukmin tak dapat dibagi-bagi. Tidak ada
perdamaian terpisah dilakukan ketika kaum Mukmin berperang di jalan Allah. Syaratsyarat harus adil dan jujur bagi semua.
Tidak boleh bagi seorang Mukmin yang berpegang pada apa yang ada dalam
dokumen ini dan beriman kepada AJIah dan Hari Kiamat, membantu seorang
penjahat, tidak pula memberinya tempat perlindungan. Mereka yang memberinya
perlindungan atau memberinya pertolongan akan memperoleh kutukan dan murka
Allah pada Hari Kebangkitan. Tebusannya tidak diterima. Kapan pun berbeda
pendapat atas suatu masalah ia harus dikembalikan kepada Aliah dan Muhammad.
Orang Yahudi harus menyumbangkan biaya perang sepanjang mereka
berperang bersama kaum Mukmin. Orang orang Yahudi dari Banu Awf adalah satu
komunitas dengan kaum Mukmin. Orang Yahudi akan tetap mengakui agama
mereka, sebagaimana kaum Muslim mengakui agama mereka. Tidak seorang pun
boleh pergi berperang kecuali dengan izin Muhammad; tetapi ini tidak akan
menghalangi seseorang untuk menuntut balasan yang sah. Orang-orang Yahudi
harus bertanggungjawab atas pembelanjaan mereka, kaum Muslim untuk
pembelanjaan mereka, akan tetapi jika diserang, masing-masing harus saling
membantu yang lain. Madinah akan menjadi suci dan tidak boleh diganggu, oleh
semua yang terikat oleh perjanjian ini (Siddigi, 2001 edisi terjemahan: 195-196).
Lebih jauh dijelaskan oleh Abdul Hamid Siddiqi, bahwa perjanjian ini
merupakan kesepakatan tripartit antara Muhajirin atau imigran Mekkah, Anshar atau
penganut Islam Madinah, dan orang-orang Yahudi. Penyelidikan tercermat terhadap
teks menunjukkan bahwa perjanjian ini lebih dari sekedar upaya rekonsiliasi di
antara suku-suku. Tetapi merupakan sebuah kesepakatan yang melebur loyalitas
kesukuan yang sempit ke dalam struktur yang lebih tinggi (bangsa dan negara). Di
samping
itu perjanjian ini juga merupakan bukti
sejarah yang dibuat oleh
Muhammad SAW lebih kurang 15 abad yang lalu sebagai jaminan kebebasan berfikir
dan kebebasan beribadah, serta perlindungan terhadap hidup dan properti semua
golongan.
Bah 2
47
Piagam ini memberikan contoh tentang hubungan timbal balik antara semua
golongan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip keadilan dan kemanusian. Bahkan
dikatakan bahwa piagam ini merupakan konstitusi pertama di dunia (worfd's first
constitution) yang menegaskan hubungan timbal balik antara Muslim dan Yahudi,
yang disertai dengan pengakuan hak dan kewajiban masing-masing kelompok dalam
fungsi kewargaan sebuah komunitas (Emerick, 2002: 131). Lebih jauh Emerick
menyatakan bahwa piagam ini telah menciptakan suatu identitas bersama sebagai
warga negara sebuah negara bangsa.
Piagam ini tampil sebagai model yang
dibangun atas dasar pemahaman bahwa orang dari berbagai kelompok (agama)
yang berbeda
dipersatukan
pada dasarnya memiliki banyak kesamaan tujuan yang dapat
secara
setara
dalam
masyarakat
multikultural
yang
saling
menguntungkan.
Melalui piagam ini Nabi Muhammad SAW memberikan keteladanan tentang
satu bangunan masyarakat multikultural yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan,
kesetaraan, dan inklusifitas yang digali dari tradisi non barat. Landasan dasar dari
kehidupan masyarakat Madinah ini diletakkan dalam kerangka hubungan vertikal
dalam wujud keimanan kepada Allah Yang Maha Fsa.. Sebagaimana tertera daam
dokumen "Piagam Madinah" yang menyatakan bahwa segala perbedaan pendapat
dikembalikan kepada Allah dan Muhammad. Prinsip ini difandasi oleh AIQuran seperti
yang tertera antara lain daiam surat As Nissa' (4 : 59):
...Maka apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, itu apabila kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itulah sebaik-baik
takwil (penjelasan).
Bah 2
48
Demikian juga dicantumkan dalam surat AsSyura (42:10):
Tentang sesuatu apapun yang kamu berselisih maka putusannya (terserah)
Allah (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Kyalah
aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku berserah diri.
Landasan vertikal (tawhid') lebih jauh dikembangkan ke dalam
horizontal dalam suatu masyarakat
hutsungan
terbuka dengan keanggotaannya mencakup
semua komponen masyarakat yang saling mmenghormati dan menjunjung tinggi
hak dan kewajiban masing-masing. Dalam konsep pemerintahan Islam masyarakat
yang beragam ini disebut dengan umat.
Hasan Hanafi (2005: 84) memberi penjelasan bahwa konsep Islam tentang
umat berlandaskan kepada Keesaan Tuhan yang terefleksi dalam bentuk persatuan.
Hanafi mengemukakan bahwa: "Keesaan Tuhan bukanlah sebuah dogma
yang
sederhana dan tertutup atau sebuah abstraksi yang direvisi, melainkan sebuah
pandangan dunia yang hoiistik yang mempengaruhi individu, masyarakat, dan
sejarah". Pandangan ini mengimplikasikan bahwa semua manusia adalah sama di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada perbedaan status apapun kecuali
berdasarkan amal baik dan standar etika. Lebih jauh ditegaskan oleh Hanafi bahwa
semua
masyarakat adalah setara,
memiliki hak dan
kewajiban yang sama.
Keragaman yang ada merupakan bagian dari hak manusia. Untuk kehidupan
bersama yang damai dijamin ofeh perjanjian untuk saling menghormati hak setiap
orang.
Ani s Malik Thoha (2005: 205) dalam bukunya "Tren Pluralisme Agama"
menegaskan bahwa konsep umat memiliki posisi yang sentral dalan bahasan topik
Hoh 2
49
pluralitas menurut pandangan Islam. Dalam konsep ini terletak hak dan kewajiban
anggota masyarakat berserta eksistensinya, kemerdekaannya, efektivitasnya, dan
stabilitasnya .
Dalam konsep umat tercakup masyarakat yang Muslim sekaligus
Non-Muslim, masing-masing hidup dengan menikmati otonomi dan kebebasan
beribadah dan hidup menurut keyakinan masing-masing. Satu sama lain hidup
berdampingan dalam toleransi yang tinggi, serta jaminan yang setara dan sama di
depan hukum terhadap pemberlakuan hak dan kewajiban masing-masing, tidak ada
perbedaan status dan posisi (Aly, 1996: 84). Prinsip kesetaraan ini didasarkan pada
standar moralitas tawhid.
Hegel (2001, edisi terjemahan: 491) menggambarkan ruh tawhid dalam
Islam ini sebagai satu-satunya ikatan yang dapat menyatukan segalanya, dalam
dinamika
eksistensi
aktua!
yang
tidak
tetap
melainkan
ditakdirkan
untuk
mengembangkan diri melalui aktifitas dan hidup dalam amplitudo dunia yang tidak
ada batasnya. Dalam perluasan ini energi negatif, semua batas, semua perbedaan
bangsa dan kasta menjadi hilang; tidak ada ras khusus, pengakuan politis atas
kelahiran maupun kepemilikan yang dipertimbangkan hanya manusia sebagai
seseorang yang beriman.
Pandangan Islam tentang keragaman diletakkan sebagai pandangan moral
atas dua tataran: Basis pertama adalah penghargaan atas akal budi. Al Quran
menegaskan betapa pentingnya akal budi bagi manusia. Menjadi seorang Muslim
adalah persoalan pilihan hidup dan pengambilan tanggungjawab, "tidak ada paksaan
Bah 2
50
dalam agama'. Demikian juga untuk menjadi manusia yang baik atau buruk terletak
pada kehendak akal budi. Basis kedua, penerimaan sosial nilai-nilai Islam sejalan
dengan pemahaman dari
beragam individu dan
komunitas; dialektika sosial
menjadikan nilai etik Islam berkembang dan diterapkan oleh masyarakat (Masud,
2001: 145).
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Prof. Yusuf Al Qaradhawi
dalam
bukunya
diringkaskan
Ghayr
al-Muslimin
fi
af-Mujtama' af-Isfam
(sebagaimana
oleh Thoha, 2005: 215), bahwa umat Islam memiliki sifat toleransi
terhadap perbedaan (agama) karena beberapa faktor yaitu sebagai berikut.
1. Keyakinan terhadap kemuliaan manusia, apapun agamanya, kebangsaannya
dan kesukuannya (QS Al Isra': 70) Kemuliaan inimengimplikasikan hak untuk
dihormati. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
berpapasan dengan jenazah yang sedang diusung lalu beliau berdiri, seorang
sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, ini jenazah seorang Yahudi". Lalu beliau
menjawab, "Bukankah ia seorang manusia(Hadits Riwayat Jabfr Bin
Abdullah)
2. Keyakinan bahwa perbedaan manusia dalam agama dan keyakinan
merupakan realitas yang dikehendaki oieh Allah SWT, yang telah memberi
mereka kebebasan untuk memilih iman atau kufur (QS. AlKahfi: 29; Hud:
118). Kehendak Allah pasti terjadi, dan tentu menyimpan himah yang luar
biasa. Oleh karenanya tidak dibenarkan memaksa mereka untuk Islam (QS
Yunus: 99)
3. Seorang Muslim tidak dituntut untuk mengadili kekafiran orang kafir, atau
untuk menghukum kesesatan orang sesat. Allah-lah yang akan mengadili
mereka di hari perhitungan nanti (QS Ai Hajj: 68-69; QS As Shura: 15).
Dengan demikian, hati seorang Muslim menjadi tenang, tidak perlu terjadi
konflik batin antara kewajiban berbuat baik dan adil kepada mereka, dan
* dalam waktu yang sama harus berpegang teguh pada kebenaran
keyakinannya sendiri.
4. Keyakinan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk berbuat adil dan
mengajak kepada budi pekerti mulia meskipun kepada orang musyrik. Begitu
juga Allah SWT mencela perbuatan zalim meskipun terhadap orang kafir (Qs
A! Maidah: 8; Al Hadits Muttafag Alaih)
Bah 2
51
Dasar moralitas Islam tentang multikulturalisme yang berlandaskan tawhid
memberikan hakikat toleransi yang universal dan bernilai kemanusiaan yang luhur.
Keagungan toleransi dalam Islam ini diakui oleh para sarjana Barat kontemporer
sebagai tingkat toleransi yang tertinggi dan tidak ditemukan pada masyarakat
non-Islam di jaman yang sama; toleransi dalam Islam merupakan toleransi yang
hakiki tanpa bersyarat bahkan diakui bahwa spirit toleransi dan keadilan yang
dimiliki
umat Islam
sampai
pada
tingkat mencegah
terjadinya
konflik dan
penindasan antar kelompok dan sekte atau dominasi di kalangan Kristen sendiri
(Thoha, 2005: 229 230).
Selain toleransi antar pemeluk agama yang berbeda, sistem pemerintahan
Madinah terlebih dahulu meletakkan nilai toleransi dalam
hubungan antara
penduduk asli (Anshar) dengan kelompok pendatang (Muhajirin).
Toleransi ini
diwujudkan dalam bentuk sistem Mu"akhah atau "Persaudaraan".
Sebagaimana diketahui bahwa kaum pendatang ( Muhajirin) sampai di
Madinah mengalami berbagai masalah ekonomi, sosial, dan kesehatan. Banyak di
antara mereka yang datang tanpa membawa apa-apa dari harta benda mereka.
Kebaikan dan kemurahan hati penduduk asli Madinah menawarkan seluruh kekayaan
mereka untuk dibagi rata dengan kaum pendatang tidak begitu saja diterima oleh
Nabi Muhammad SAW, karena beliau tidak ingin ada pihak yang dirugikan. Untuk
menjamin hubungan baik yang saling menguntungkan maka Nabi Muhammad SAW
membuat sistem persaudaraan yakni antara satu orang dari kaum Muhajirin
dipasangkan dengan satu orang saudara dari kaum Anshar. Persaudaraan ini
Hoh 2
52
dilukiskan sebagai hubungan yang sangat erat bahkan melebihi suasana hubungan
satu keturunan, sebagaimana dinukilkan dalam Hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim
yang dikutip oleh Al Umary (1991:67). Suasana persaudaraan dan rasa sesama
saudara yang diciptakan Nabi SAW melahirkan suasana positif yang luar biasa.
Permusuhan antar suku yang pernah ada di kalangan penduduk nyaris terlupakan
ketika mereka menerima iman kepada Allah SWt dan Muhammad Rasulullah. Iman
telah menjadikan mereka menerima otoritas spritual dan duniawi Nabi Muhammad
SAW, dengan mengabaikan setiap perbedaan ras dan keluarga, menganggap satu
sama lain sebagai saudara (Siddiqi, 2005: 193-194)•
Dari sisi makna toleransi ini,
dapat dicermati satu gambaran yang jelas
tentang perbedaan multikulturalisme dalam pandangan Islam dengan pandangan
liberal. Toleransi dalam padangan filsafat liberal, berasal dari konsep Katolik yang
oleh 3urgen Habermas dalam Borradori (2003: 60) diidentifikasi secara historis
sebagai ijin bagi kelompok minoritas keagaman untuk menyatakan kepercayaannya
dan mantaati ritusnya dengan persayaratan bahwa mereka tidak mempersoalkan
otoritas takhta raja atau supremasi Katolisisme.
Demikian juga Jacques Derida
dalam buku yang sama (2003:188) mengemukakan bahwa toleransi adalah wacana
keagamaan yang digunakan oleh penguasa sebagai konsesi yang berbau sikap
penaung
kepada
pihak
yang
dinaungi.
Toleransi
pertama-tama
berbentuk
kemurahan hati, namun di dalamnya ada syarat atau batas tertentu ketika toleransi
tidak berlaku. Dalam padangan kedua filsuf ini, toleransi
Hab 2
mengandung makna
53
ketidak-setaraan antara orang yang memberi toleransi dengan pihak yang diberi
toleransi, sekaligus di dalamnya ada unsur kekuasaan.
Dalam pandangan Islam, makna toleransi justru menghilangkan batas-batas
yang menciptakan keistimewaan pada kelompok tertentu. Semua bersatu ualam
komunitas yang disebut dengan ummatan waa hidan (umat yang satu). Kesatuan
umat ini dilandasi oleh nilai tawhid dan diwujudkan dalam persaudaraan sesama
umat dalam bentuk saling menghormati dan tidak melanggar hak satu sama lain,
serta mengembalikan pertikaian kepada satu rujukan (Aliah dan Rasul), serta
dikukuhkan dalam satu perjanjian yang tidak merugikan satu pihakpun, bahkan
saling menguntungkan.
Demikian jelasnya perbedaan nilai multikuituralisme yang tumbuh dari tradisi
liberal dengan nilai yang tumbuh dari tradisi non-liberal (Islam), sehingga tidak ada
keraguan untuk menafsirkan bahwa pertumbuhan multilkulturalisme dewasa ini di
berbagai negara adalah bagian dari dialektika sejarah kehidupan sosial yang
menginginkan tatanan masyarakat yang lebih adil dan inklusif.
Kemungkinan
gagasan itu dipengaruhi oleh pemikiran liberal atau pemikiran non-liberal, tetapi
tampil sebagai sebuah pemikiran unik dengan tuntutan yang jelas yakni mengoreksi
ketidakadilan
sosial
yancj
menangani keragaman
disebabkan
masyaiakal.
mustahil multikuituralisme
kektiku.in
Dilihat dan
liberalisme
dalam
perkembangan saat ini tidak
akan terus berkembang di setiap masyarakat sebagai
gagasan haru dengan berbagai kekhasan
sesu.n driKj.Hi '.ejatah masyarakat llu
sendiri. Karena itu lebih tepai dikatakan bahwa
n, ih
uloolncii
multikultikulturalisme adalah
54
"gagasan yang lahir
bersumber
dari
dari fakta tentang perbedaan antarwarga masyarakat yang
etnisitas
bersama
kelahiran
sejarah;
perjumpaan
manusia
berlatarbelakang etnis berbeda semakin hari semakin meluas melintasi batas teritori
bangsa dan negara, menumbuhkan kesadaran atas fakta othemessyang disandang
setiap etnis "(Mulkhan, 2005: 17).
Bagi bangsa Indonesia, konsep multikulturalisme semestinya dikembangkan
dari nilai bangsa sendiri. Fakta sosial dan historis menunjukan bahwa keragaman
masyarakat Indonesia adalah kekayaan kultural yang sudah lahir dan tumbuh
bersamaan dengan sejarah terbentuknya bangsa Indonesia. Kekayaan kultural ini
menjadi modal yang sangat berarti dalam proses meraih kemerdekaan. Tafsiran ini
antara lain dapat ditarik dari fakta sejarah periode
perjuangan bangsa Indonesia
merebut kemerdekaan antara tahun 1900-1927, yang disebut sebagai" the first steps
towards National Revivai" (Rickfefs, 2001: 206-226). Pada periode ini perjuangan
bangsa Indonesia berubah bentuk dari perjuangan fisik menjadi perjuangan dengan
organisasi.
Perjuangan ini ditandai oleh banyak ahli dengan berdirinya organisasi
Budi Utomo pada bulan Mei tahun 1908. Organisasi Budi Utomo pada dasarnya
terfokus pada Jawa dan Madura. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya lahir
organisasi pemuda
yang juga didasarkan atas identitas etnik seperti Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Studerenden Vereenigmg Minahasa, Jong Ambon dan
beberapa organisasi lain yang berbasis kedaerahan seperti Pasundan, Kaum Betawi,
Timorese Al/iance. Akhirnya semua organisasi kedaerahan ini berikrar bersama untuk
persatuan pada tahun 1928. Periode ini merupakan tahap awal sebuah kesadaran
litth 2
55
baru dari berbagai kelompok etnik untuk bersatu dan bersama meraih cita-cita
kemerdekaan.
Kesadaran untuk bersatu yang mengatasi kesadaran identitas etnik yang
terpisah-pisah, juga berlanjut dalam masa-masa persiapan kemerdekaan. Sejarah
telah
mencatat bahwa Piagam Jakarta yang
menyatakan bahwa dasar negara
yang pertama adalah "Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi Pemeluknya" adalah sebuah hasil sebuah kompromi antara
golongan Islam dan nasionalis (Ricklefs, 2001: 258). Namun kemudian ketika akan
disahkan menjadi Pembukaan UUD 1945 terjadi kompromi baru lagi yang didasari
toleransi untuk mencapai persatuan, tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluknya" dihilangkan dari rumusan sila pertama, sehingga
akhirnya berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Dengan disahkannya Pembukaan UUD dan UUD 1945 pada tanggal 18
Agustus 1945, disepakati bahwa dasar filsafat negara adalah Pancasila.
Sebagai
dasar filsafat, Pancasila dipandang lebih dari sekedar sebuah konsepsi politik
meskipun mengandung sifat politik. Prof Dr. Notonagoro dalam bukunya yang sudah
cukup lama "Pancasila Secara Ilmiah Populer" (1980: 15) mengemukakan bahwa
"Pancasila adalah asas persatuan, kesatuan, damai, kerjasama, hidup bersama dari
bangsa Indonesia yang warga-warganya sebagai manusia mempunyai bawaan
kesamaan dan perbedaan." Lebih jauh ditegaskan bahwa berbicara tentang
Pancasila seharusnya kita memposisikan diri sebagai sesama warga bangsa, sesama
saudara, dan putera ibu pertiwi Indonesia.
ttah 2
56
i'i)
Sejarah
bangsa
Indonesia
telah
memberi
bukti
£
bahwa
multikulturalisme telah dimiliki dan berkembang dalam masyarakat Ini
Multikulturalisme bagi bangsa Indonesia tampak dalam semangat persatuan yang
mengatasi rasa kesukuan dan sentimen keagamaan, serta diwujudkan dalam bentuk
toleransi. Semangat toleransi tersebut bukan tanpa dasar tetapi memiliki rujukan
yang sangat prinsip sebagaimana digambarkan dalam nilai-nilai Pancasila yang
mencerminkan tiga jenis bentuk hubungan kehidupan yang pokok yaitu: manusia
dengan diri sendiri, manusia dengan sesama manusia lain (makhluk lain), dan
manusia dengan Penciptanya (Notonagoro, 1980:34).
Dari
penjelasan
di
atas
dapat
dikatakan
bahwa
nilai-nilai
Pancasila
mengandung hakikat hubungan manusia yang bersifat vertikal yakni Hubungan
Makhluk dengan Khalik, serta hubungan horizontal yakni Hubungan Sesama
Makhluk. Bagi umat beragama implikasi nilai ini sangat jelas, bahwa hubungan
vertikal
manusia
dengan
Penciptanya
berwujud
dalam
keyakinan
keberadaan Pencipta, atau dengan bahasa lain disebut iman.
terhadap
Nilai ini dalam
Pancasila diletakkan pada Sila Pertama, yang berarti dasar bagi sila-sila yang
lainnya. Artinya, hakikat nilai kemanusiaan, persatuan, musyawarah, keadilan sosial
sebagai bagian dari hubungan horizontal dijiwai oleh semangat keimanan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa. Singkatnya Pancasila sebagai sebuah karya filsafat bangsa
Indonesia
telah
memberikan
garisan
yang
jelas
tentang
dasar-dasar
multikulturalisme yang perlu dikembangkan dalam kehidupan bangsa Indonesia.
/fuh 2
57
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai-nilai dalam filsafat Pancasila,
dasar-dasar pengembangan multikulturalisme dalam hubungan antar kelompok
masyarakat pertama-tama dilandasi oleh semangat religius (iman). Jika ada
pendapat yang mengatakan bahwa keragaman agama lebih sensitif untuk memicu
konflik dibanding keragaman suku dan bahasa (Querol, 2003), maka sejarah bangsa
Indonesia memberikan bukti yang sebaliknya bahwa keragaman agama dan suku
justru dapat bersatu dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
landasan pertama adalah keyakinan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk saat sekarang, idealnya keyakinan ini menjadi semangat dan jiwa dalam
membangun hubungan sesama manusia (antar kelompok). Dengan kata (ain
diharapkan bahwa semakin baik hubungan antara seorang manusia dengan
Penciptan/a, akan semakin baik hubungan manusia tersebut dengan sesama
manusia lain.
Persoalannya
pembahasan
yang
bagi
bangsa
dapat
Indonesia
dijadikan
saat
rujukan
ini,
adalah
untuk
masih
memahami
sedikit
makna
multikulturalisme dari sudut filsafat bangsa Indonesia. Bahkan saat ini ada
kecenderungan terjadinya penyerapan nilai-nilai multikulturalisme dari luar secara
utuh
tanpa
filter
yang
justru
menjadi
kontra-produktif
untuk
tumbuhnya
multikulturalisme dalam pengertian yang sesungguhnya. Salah satu contohnya
adanya pemikiran tentang pluralisme agama, yang saat ini berkembang menjadi
satu paham baru yang menghilangkan hakikat
kemajemukan agama dalam
kehidupan masyarakat. Paham ini mengajarkan bahwa kebenaran semua agama
fkih 2
58
adalah relatif, dan karenanya setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah (dikutip dari Fatwa
MUI oleh Majalah Hidayatullah edisi oktober, 2005). Paham ini menghendaki bahwa
semua orang mengakui agama lain adalah sama benar seperti agama yang
dianutnya.
Definisi
pluralisme
agama
yang
menganggap
sama
semua
agama
bertentangan dengan n Hai multikulturalisme, karena multikulturalisme menginginkan
semua perbedaan itu harus eksis bersama konstituennya. Anis Malik Thoha dengan
bukunya Tren Plural isme Agama (2005) membahas secara panjang lebar tentang
asal tren pluralisme agama serta kekeliruan-kekeliruan berfikir yang ditawarkannya.
Gagasan ini pada awalnya sebagai upaya peletakan landasan teoretis dalam teologi
Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Pada dataran ini
gagasan pluralisme agama dapat dipandang sebagai salah satu elemen gerakan
reformasi liberalisasi agama yang dilancarkan gereja Kristen abad ke 19. Kemudian
pada
akhir
abad
ke
20
dengan
munculnya
fenomena
sosial
politik yag
mengetengahkan realitas baru kehidupan beragama, konsep pluralisme agama
dimatangkan oleh pemikir-pemikir teolog modern dengan pengertian yang lebih
mudah diterima oleh kalangan antar agama. Pada dasarnya konsep-konsep tersebut
menempatkan
agama
sebagai
sesuatu
keselamatan/pembebasan/pencerahan
yang
yang
tidaklah
melainkan beragam sesuai dengan jumlah tradisi
Hab 2
reiatif
yakni
tungga!
sebagai
dan
jalan
monolitik,
atau ajaran yang melaluinya
59
manusia melakukan tanggapan terhadap realitas ketuhanan yang mutlak. Oleh
karena itu semua agama adalah sama.
Pada bagian lain dalam tulisannya, Thoha mengkritik bahwa penerapan
pluralisme agama yang
memandang semua agama adalah sama benarnya,
merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia. Kebijakan pluralisme" agama
telah melahirkan satu paham baru yang mengeliminir keragaman agama terutama
terhadap kelompok minoritas. Jargon kebebasan beragama yang dikemukakan oleh
sistem yang menganut pluralisme agama hanyalah sebatas kebebasan beribadah
dalam arti sempit (private), tanpa kebebasan mempraktikan agama secara publik.
Oleh karena pemahaman yang berkembang tentang pluralisme agama
menyatakan semua agama adalah sama benar bagi semua orang, maka gagasan ini
jelas berbeda dengan multikuituralisme. Multikuituralisme tidak memandang semua
pandangan hidup adalah sama benarnya, sebaliknya keunikan dan perbedaan
merupakan hal penting. Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan itu
merupakan ciri multikuituralisme. Setiap orang boleh meyakini bahwa pandangan
hidup yang dianutnya adalah benar, tetapi di sisi lain harus mengakui bahwa orang
atau kelompok lain juga menyakini pandangan hidup mereka sebagai kebenaran.
Karena itu dalam hubungan antar kelompok yang berbeda diperlukan saling
menghormati dan toleransi terhadap perbedaan. Harapan dari multukuituralis adalah
tatanan masyarakat yang adil, sederajat, dan inkiusif, dengan tetap mengakui
adanya perbedaan antar kelompok baik oleh negara maupun warga.
Hub 2
60
Agar
prinsip
tersebut
berjalan
diperlukan
mekanisme
yang
menghidupkannya. Antara iain mekanisme yang dapat dijadikan rujukan terdapat
dalam gagasan John Locke (1963: 167) tentang kesetaraan di depan hukum, yang
menegaskan bahwa semua manusia adalah sederajat di depan kekuasan dan hukum
secara timbal bafik. Oleh karen3 manusia cenderung memiliki kekuasaan atas orang
lain, maka diperlukan hukum untuk mengaturnya nnnr terpelihara rasa aman dan
tenteram satu sama lain.
Bentuk yang iebin konkret tampak daiam konsep Islam seperti yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam pemerintahan Madinah. Sebagaimana
teiah dibahas di atas, bahwa mekanisme pengelolaan keragaman dalam Islam
sangat kongkrit dan tidak rumit. Dalam konsep Islam, multikulturalisme dapat hidup
melalui sebuah
kesepakatan (konstitusi) seperti yang dicontohkan melalui Piagam
Madinah, dan sistem Mu'akhah (persaudaraan). Sistem-sistem ini dibangun dengan
iandasan keimanan kepada Ai!an SWT dan Muhammad Rasulullah, diwujudkan
dalam konsep kesatuan umat yang didukung oleh semangat toleransi yang tanpa
batas, serta hak dan kewajiban yang sama di depan hukum.
Mekanisme lain berasa) dari pemikiran j urgen Habermas yang dikenal
dengan
" the pubfic soherg' (1997: 305). Ruang publik ini merupakan kehidupan
sosial yang di daiamnya opini publik dapat dibentuk. Setiap orang sebagai warga
negara boleh memasukinya. Mereka bertindak sebagai orang-orang privat, bukan
dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi
percakapan mereka membentuk suatu publik (Hardiman, 1993:129). Bila publiknya
huh 2
61
luas maka komunikasi publik dilakukan melalui media seperti surat kabar, tabloid,
radio, dan televisi.
Bagaimanapun, dinamika pencapaian sebuah masyarakat multikultural yang
ideal lengkap dengan perangkat dan mekanismenya, merupakan proses dengan
berbagai tantangan yang harus dihadapi. Tantangan ini berasa! dari dalam
masyarakat itu sendiri, yakni dari dinamika perkembangan identitas kelompok yang
membentuk masyarakat, dan tantangan dari dunia luar yang muncul dari hubungan
transnasional, atau yang dikenai dengan istilah giobaiisasi. Kedua tantangan ini
membutuhkan manajemen yang benar sehingga keragaman dalam masyarakat
dapat terjamin. Di balik tantangan ini juga perlu dikaji karakteristik pendidikan yang
sesuai dengan tuntutan multikuturalisme
Berikut ini bagaimana dinamika tantangan tersebut dijelaskan secara
konseptual dengan tinjauan:
l) perkembangan identitas etnik dan alternatif
masyarakat kultural, oan 2) tantangan global.
2.1.1 Perkembangan identitas Kelompok dan Masyarakat Multikultural
Akar identitas dalam masyarakat terletak dalam banyak aspek seperti
perbedaan etnik, ras,, agama, dan iender. Namun bentuk yang tertua dan banyak
diikaji adalah dari sudut ras dan etnik, sedangkan bentuk yang lain mengikuti
perkembangan ras dan etnik. Madinya, agama pada umumnya dan awalnya berasal
dan paralel dengan perkembangan etnik, demikian juga identitas jender berkembang
dalam konteks etnik dan agama dan begitu seterusnya.
Hoh 2
62
Ada dua istilah yang kerap digunakan ketika orang berbicara tentang
perkembangan identitas kelompok : ras dan etnisitas. Keduanya saling berkaitan
tetapi memiliki perbedaan makna.
Diana Kendali (2003: 302) memberikan batasan kedua istilah ini sebagai berikut:
•
•
•
"A race is a category of people who have been singled out as inferior or superior,
often on the bases of real or alleged physical characteristics such as skin color, hair
texture, eye shape or other subjectively selected attributes
Afthough disputed by some natural scientists (biologists), contemporary sodologists
emphasize that the significance of race is a sociaily constructed. The social meaning
of that people attach to race is more significant than any biological diffierences that
mtght exist between people piaced in ctherwise arbitrary categories. Racia!
categories based on phenolypical differences do not correlate wiUi genotypical
differences.
An ethnic group is a collection of people distinguished primarily by cultural or
national characteristics, induding...
unique culturai traifcs
a sense of community
a feeling of ethnocentrism
ascribed membership
territoriality "
Kedua istilah itu mengandung makna dan implikasi yang berbeda, meskipun
sering digunakan orang secara bergantian (Macionis, 1993: 320). Ras menunjukkan
pengelompokan orang memiliki kesamaan warisan biologis seperti warna kulit, dan
rambut. Akan tetapi, dalam perkembangannya pengelompokan itu dipertegas secara
sosial (sociaily constructed). Perkembangan ras terjadi,, karena adanya perpindahan
penduduk dari satu tempat ke tempat lain, dan mendorong terjadinya perkawinan
antar ras yang berbeda sehingga memunculkan iagi ras-ras yang baru. Meskipun
sebenarnya realitas ras adalah sesuatu yang bersifat biologis, tetapi banyak orang
atau masyarakat menempatkan kategori ras dalam sistem hirarki yang secara sosial
tidak setara. Bahkan hirarki itu diklaim juga berdasarkan perbedaan inteligensi.
Hoh 2
63
Di sisi lain etnisitas merujuk kepada pengelompokan orang berdasarkan
warisan sosial budaya. Kesamaan orang dalam satu kelompok etnik ditandai dengan
kesamaan bahasa, adat istiadat, budaya, dan juga agama yang pada akhirnya
kesamaan-kesamaan itu membentuk identitas sosial. Ada ahli yang sedikit berbeda
menyatakan pendapatnya'bahwa etnisitas merujuk kepada perasaan bersama " a
sense of peop/ehood',
merasa
anggotanya memiliki kesamaan,
menjadi
bagian
dari
suatu
kelompok
yang
namun di dalamnya terkandung pula aspek-aspek
biologis dan budaya (Mendoza, 1990: 96).
Pandangan yang melihat perkembangan etnisitas sebagai unsur budaya dan
biologis, melahirkan dua perspektif tentang etnisitas (Voon, 1988). Pertama melihat
etnisitas dalam perspektif "asribed or primordial ties", dan lainnya sebagai " sociai
consruction"
Perspektif Ascribed or primordial ties melihat etnisitas sebagai atribut
yang given dan tidak dapat dirubah (termasuk unsur biologis),
sedangkan sociai
construction melihat etnisitas terjadi sebagai suatu konstruk yang yang terjadi dalam
kehidupan bermasyarakat karena adanya kepentingan bersama, kesamaan budaya,
serta kegiatan bersama.
Pandangan yang melihat perkembangan etnik, tanpa mengaitkan dengan
konteks sosio historis merupakan pandangan tradisional (Galkina, 1990). Pada
awainya
sosiolog
melihat
fenomena
etnik
atas
dua
pandangan
yaitu:
"primordialisme", yang bermakna kesatuan dan solidaritas yang bersifat irrasional,
dan "strukturalisme (instrumentulisme)", berupa ideologi yang dimanipulasi secara
rasional atau diadaptasi secara sadar untuk mencapai tujuan. Akan tetapi kajian
Hoh 2
64
etnisitas dari sudut pandang ini bergeser ke arah pandangan melihat perkembangan
identitas etnik sebagai rangkaian proses yang kompleks, dikonstruksi melalui faktafakta sejarah dari para pendahulu mereka dan fakta-fakta sosial lainnya termasuk
pandangan tentang etnik lainnya.
Pandangan ini didukung oleh kelompok yang menempatkan fenomena etnik
dan pembentukan identitas etnik sebagai sesuatu yang dapat berubah dan
dipelajari. Dari suatu penelitian, terbukti bahwa identitas etnik merupakan integrasi
etnisitas dengan konsep diri seseorang yang berasai dari pengenalan utuh tentang
etnisitas dan diikuti dengan pembentukan identitas diri yang berasal dari nilai dan
keyakinan yang berkembang dalam kelompok (Guanipa & Guanipa, 1998). Demikian
juga penelitian lain menemukan bahwa bacaan siswa tentang keragaman budaya
mempengaruhi pikiran dan kebanggaan terhadap kelompok etnik mereka, dan juga
meningkatkan pengetahuan tentang kelompok etnik lain (Lee, 2000: 564)
Sejaian dengan pandangan tersebut,
ada penegasan ahli bahwa dalam
pembentukan identitas etnik ada suatu proses identifikasi yang diperbaharui terus
menerus (Mooradian, 1996: 2); proses itu disebut juga sebagai proses belajar
(Horowitz, 1981: 119). Melalui suatu penelitian terhadap pembentukan identitas bagi
mahasiswa dari
bersekolah,
etnik Asia
Shozo
Pasifik Amerika berdasarkan
Kawaguchi
(2003)
membuktikan
pengalaman selama
bahwa
identitas sebagai
kelompok etnik minoritas dari mahasiswa tersebut terbentuk karena pengalaman
diskriminatif dan prasangka yang dialaminya selama bersekolah. Sama halnya
dengan pengalaman kelompok minoritas lain yang mengalami perkembangan dan
Hoh 2
65
penguatan identitas etnik karena pengalaman negatif yang diterima langsung atau
melalui pesan media massa. Identitas ini disebut sebagai
w
consdous ethnic
devetopment" (Chavez & Guido-DiBrito, 1999:40). Hasil penelitian yang senada
terhadap siswa Cina (Wiriaatmadja, 1992) juga menunjukkan bahwa identitas
kebangsaan bagi siswa tersebut mendapat peneguhan melalui pengalaman belajar
(kurikuler dan ekstrakurikuler).
Selain karena faktor belajar secara langsung, penguatan identitas etnik juga
terjadi karena hirarki ras dan etnik dalam masyarakat. Hirarki diintensifkan oleh
adanya kontak antar kelompok yang berbeda, dengan faktor yang beragam seperti
kekuatan politik, sosial, dan ekonomi (Chang & Dood, 2001). Lebih jauh dijelaskan
mekanisme penghirarkiaan dimulai dari adanya persaingan untuk memperoleh
keistimewaan yang lebih besar, yang kemudian digunakan sebagai landasan untuk
memegang hegemoni dari satu kelompok terhadap keiompok lainnya. Sebaliknya,
orang yang berada pada posisi rendah dalam hirarki akan meningkatkan kesadaran
identitasnya untuk menentang hegemoni kelompok lain. Bagi kelompok tertekan
atau minoritas, identitas kelompok disadari dan berkembang secara kuat; tetapi bagi
kelompok mayoritas, identitas etnik tidak disadari dan berjalan sebagai kebiasaan
sehari-hari (Chavez & Guido Dbrito, 1999:39)
Ada ahii
yang melihat hirarki etnik merupakan tahap menuju masyarakat
plural (Marger, 1985: 86). Hubungan antar etnik dalam masyarakat dimulai dari
tahap interaksi (kontak) yang bersifat setara. Selanjutnya berkembang menjadi
kompetisi dan stratifikasi (antara satu kelompok dengan yang lain saling bersaing
Bah 2
66
mendapatkan sumber-sumber sehingga tercipta stratifikasi etnik). Tahap berikutnya
terjadi tiga kemungkinan bentuk masyarakat multietnik yakni, 1) asimilasi yang
membawa kepada integrasi antar etnik dan peleburan; 2 ) pluralisme tidak setara
berupa adanya kelas atau kasta kasta yang memisahkan kelompok etnik secara
sosial dan 'kultural dan perbedaan akses terhadap kekuasaan dan hak-hak istimewa
yang besar antara kelompok tinggi dengan kelompok rendah; dan 3) pluralisme
setara yang membentuk corporate pluralism dan melahirkan otonomi politik .
Pandangan
stratifikasi
etnik
ini tergolong
sebagai
satu
optimis dengan melihat kemungkinan bahwa
tahap
menuju
masyarakat
multikultural, yang
disebutnya dengan pluralisme setara. Namun dalam kenyataannya, proses menuju
masyarakat multikultural bukan hal yang sederhana. Terbukti dari beragamnya
kebijakan yang diterapkan oleh berbagai negara bangsa dalam menyelesaikan
masalah yang muncul dari kemajemukan masyarakatnya.
Menurut
kemungkinan
Milton
bentuk
Esman
(2000)
penanganan
dari
The
masyarakat
Cornell
University
majemuk.
Pertama,
ada
tiga
disebut
w
deplurazing society" yakni dengan menyingkirkan semua teritorial khusus kecuali
kelompok nasionalis dominan.
Pandangan ini didasarkan pada premis bahwa
masyarakat yang beragam secara etnik menyimpan konflik secara inheren, dan
kelompok minoritas dikhawatirkan akan
memiliki
loyalitas ganda dan bahkan
melakukan subversif, sementara kelompok etnik dominan secara moral telah lama
sebagai pemilik wilayah. Bentuk yang paling manusiawi dari pendekatan ini adalah
kebijakan asimilasi.
Bah 2
67
Kedua, "reducing the political safience of the ethnic solidarities" pandangan
yang mengakui bahwa solidaritas etnik merupakan femonena tak terbendung, maka
perlu pembatasan akses politis dari solidaritas etnik di tingkat publik. Semua akses
terhadap pelayanan publik, pekerjaan di bidang pemerintahan, kontrak publik,
kesempatan ekonomi, dan pilihan tempat tinggal disediakan bagi individu secara
kompetitif berdasarkan kriteria pasar atau jasa yang sama sekali mengabaikan
etnisitas dan warna kulit. Organisasi politik, sistem pemilihan, dan pesan nyata yang
berbau etnik tidak dibenarkan,
tetapi keanggotaan
inklusif dalam organisasi
profesional, rekreasional, dan organisasi kesejahteran didorong dan difasilitasi.
Organisasi yang menghidupkan warisan budaya etnik ditolerir, namun tidak
dibenarkan sampai ke tingkat kebijakan publik.
Ketiga," iegitimizing ethnic piuralism". Strategi ini mengakui keragaman dan
solidaritas etnik sebagai realitas yang permanen dan berjangka panjang dalam
masyarakat, dan sekaligus juga menghendaki adanya otoritas publik yang mengatur
hubungan ini. Ada dua alternatif pendekatan ini yakni berdasarkan dominasi atau
berdasarkan pembagian kekuasaan {power sharing). Berdasarkan dominasi berupa
kontrol aparat negara, militer dan sipil oleh satu kelompok etnik mayoritas. Bahkan
kontrol ini diperkuat oleh aturan resmi dan juga ideologi. Sedangkan power sharing
menghormati perbedaan etnik, sekaligus mengupayakan rasa aman bagi semua
komunitas etnik, memberi peluang rnanajemen-diri kolektif dan kesempatan yang
sama dalam jaringan otoritas politik yang umum.
Bah 2
68
Mengingat kompleksnya persoalan penanganan masyarakat majemuk, para
ahli mengembangkan berbagai model masyarakat majemuk. Salah satunya modei
dari Van Den Berghe (1980: 79) yang menggambarkan bentuk masyarakat majemuk
dalam 4 dimensi seperti terlihat dalam gambar berikut.
Gambar 2.1.1.1 Model Masyarakat Multikulturaf
Exc!usive
Ethnically
Incfusive
Nocases
Incorporation
A
Collective
(differentiat)
incorporation
Imperiatcolonial
mode!
Indirect ru/e
C
Liberal
Democracy
0
Consociational
democracy
D
Model A tidak ada contohnya. Dengan mode! B digambarkan bahwa
pemegang kekuasaan dan hak-hak istimewa adalah satu etnik tertentu namun
memperlakukan individu secara sama dan atas dasar jasa. Sedangkan dalam model
C terlihat ada dua kemungkinan bentuk yaitu: 1) penguasa adalah satu kelompok
{dass) yang berasal dari beberapa kelompok etnik, atau 2) negara secara resmi
mengakui individu. Negara secara aktif mendorong integrasi nasional atau mentolerir
keragaman bahasa dan budaya tetapi tidak memberikan satu pengakuan resmi yang
menjamin hak-hak khusus komunitas tertentu atau memasukkan pluralisme dalam
ttah 2
69
perundang-undangan. Terakhir pada model D, pemegang kekuasaan adalah grand
coalition dari elit yang memegang kekuasaan bersama dan mendistribusikan kepada
etnik konstituen mereka.
Model Bergh ini didasarkan pada dua variabel utama yaitu: 1) sejauhmana
tingkat dominasi satu etnik atau gabungan etnik-etnik memonopoli kekuasaan dan
hak-hak istimewa untuk menyingkirkan kelompok lain; dan 2} sejauhmana tingkat
kerjasama warganeaara dari masyarakat plural di dalam negara sebagai anggota
individu atau kolektif.
Martin Marger (1985:88) memberikan model dalam dua dimensi. Bila
merujuk pada gambar di atas kedua dimensi ini mirip dengan model B yang disebut
oleh Marger dengan liberal plurallsm, dan mode! D dengan dengan istilah corporate
pluralism.
Keduanya menganut paham demokrasi,
namun ada perbedaan yakni
dalam pluralisme liberal unit-unit etnik tidak diakui secara formal tetapi diserahkan
pada pilihan individu,
sementara dalam consocidtionai atau corporate pluralism
unit-unit etnik diakui secara formal oleh pemerintah dengan kekuasaan ekonomi dan
politik yang dialokasikan atas dasar formula etnik.
Dabm negara yang menganut
model corporate pluralism perbedaan kultural dan struktural di kalangan kelompok
etnik dilindungi
oleh
negara,
serta
tersedia
perangkat
kelembagaan
untuk
mendorong terjadinya penyebaran keuntungan-keuntungan sosial secara merata
dari sisi etnik.
Satu lagi model yang dikemukakan Parsudi Suparian (2000: 10) dalam
menangani kemajemukan masyarakat (Indonesia) merupakan penggabungan model
Hoh 2
70
B dan D di atas. Dia bertolak dari konsep Bhinneka Tunggal Ika yang masih perlu
dipertahankan dengari beberapa persyaratan yaitu: 1) perlu diaptakan masyarakat
sipil yang bebas dari dominasi militer atau peran sosial politik dari militer dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara; 2) berpegang pada prinsip demokrasi sebagai
pedoman utama dafam menjalankan kehidupan bernegara; 3) adanya keseimbangan
antara hak pemerintah untuk mengatur mengatur individu dan hak komunlti atau
masyarakat, dan dengan hak budaya komuniti atau masyarakat yang tercakup
dalam satuan politik; dan 4) perlunya penegakan hukum yang pasti agar warga
masyarakat dapat melakukan kegiatan berproduksi sesuai bidang masing-masing
untuk
kesejahteraan
demi
kelangsungan
hidup.
Daiam
pandangan
ini
ada
pengakuan hak-hak individu dan komuniti seperti dalam tradisi pluralisme liberal,
dan perlu juga kebijakan yang menjamin pengakuan itu seperti dalam tradisi
pluralisme gabungan ( corporate/consociational).
Dalam hal tertentu, modei gabungan {consociational /corporate tiberaiism)
memiliki keunggulan dalam menciptakan kepastian jaminan kesetaraan dalam
masyarakat majemuk. Berdasarkan penelitian pada beberapa negara terbukti, sistem
politik yang menggunakan mode! consotiational secara signifkan dapat mengurangi
perang antar warga seperti di Belgia, dan Irlandia Utara (Querol, 2003). Sehubungan
dengan ini UNDP (2004:50) memberikan penjelasan bahwa "model gabungan"
bekerja dalam mekanisme yang disebut dengan puliUcal power sharing. Pembagian
kekuasaan politik dalam model ini didasarkan pada prinsip proporsionalitas yakni
komposisi keragaman dalam lembaga negara mencerminkan komposisi keagaman
Hoh 2
71
masyarakat
Prinsip ini diterapkan dalam empat area kunci yaitu
melalui
pembagian kekuasaan eksekutif {excecutive power sharing}, perwakilan proporsional
dalam sistem pemilihan (proporiionat representation in eiectora! system); otonomi
budaya (provisions for cultural outonomy); dan perlindungan dari dominasi dafam
bentuk saling veto {safeguards in the form ofmutua! vetoes}. Tatanan politik seperti
ini dapat mencegah dominasi dari komunitas mayoritas. Beberapa negara seperti
Suriname, Trinidad, dan Tobago telah menerapkan model tersebut dalam waktu
yang cukup lama dengan variasi seperti otonomi (setiap kelompok memiliki
pemerintah
sendiri),
integrasi
(pemerintahan
bersama
ofeh
semua
unsur
komunitas), dan pembagian kekuasaan dafam badan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Selain itu. model
masyarakat
secara
lebih
consociational dapat menampung keragaman dalam
luas
dibandingkan
dengan
model
liberal.
Seperti
dikemukakan oieh Parekh (i997: 186) kelihatannya di permukaan masyarakat liberal
dapat menampung keragaman budaya dengan memegang teguh prinsip toleran, dan
mengutamakan hak-hak individu. Akan tetapi, sesungguhnya kaum liberal tidak
dapat mengakomodasi keragaman secara utuh karena mereka tidak toleran dengan
prinsip non-liberal. Misalnya di Amerika Serikat terdapat "ketegangan" antara
keinginan pemerintah menerapkan prinsip sekulerisme dalam semua bidang yang
dituangkan melalui perundang-undangan, telah meminggirkan keinginan masyarakat
tertentu seperti kelompok Amish, Muslim, Protestan untuk mempertahankan tradisi
keagamaan mereka (Macedo, 2000: 215).
Bah 2
72
Dalam
pandangan liberal masih ada wacana dominasi mayoritas dan
minoritas (Kymlicka, 1995). Adanya wacana ini, sebagai bukti juga bahwa dalam
model liberal belum menampung seutuhnya kelompok minoritas sehingga masih
memerlukan perjuangan untuk memperoleh kesetaraan dan kesamaan hak. Di sisi
lain,
dalam model consociationa! istilah mayoritas den minoritas telah dieliminasi
melalui keterwakilan yang proporsional dalam kekuasaan negara.
Apapun pandangan yang dipakai, saat ini keberadaan multikulturalisme
dalam suatu masyarakat atau negara tidak dapat dihindari. Terutama disebabkan
arus imigrasi yang deras dari satu tempat ke tempat iain dalam satu negara atau
antar negara.
Sebagaimana dikemukakan daiarn
suatu studi oleh Program
Pembangunan PBB (UN DP) yang dikutip oleh AustralianNews.com (16 Juli 2004),
There is no trade-off between diversity and state unity," the UN Development
Program study said, offering up a salvo in the global aebate over bow to cope with
multiple ethnic aroups under a single national flaa.
It said the quickened pace oi intemafonal migra tion meant cultural diversity w as
"here to stay" and that countries had to accept and promote that diversity or face
reduced freedom, development and stability.
"Choices iike these - about recognising and accommodating diverse ethnicities,
religions, ianguages and vaiues - are an inescapsble feature of the landscape of
politics in the 2ist century," i t said. (United Nation report, 16 Juii 2004.Astralian
News.com)
Kenyataan saat ini menunjukkan
dalam 185 negara di dunia hanya sedikit
masyarakat yang homogen secara kultural, hampir semuanya merupakan negara
yang terdiri dari beragam suku dan budaya (Premdas, 2000). Dari semua negara
multikultural tersebut ada dua bentuk penanganan kemajemukan masyarakat yaitu:
the power shartng variant (Type l ) , dan the cultura! vdriant (Type 2).
Hoh 2
73
Dalam tipe 1 multikultural tidak hanya sekedar pengakuan simbol-simbol
budaya, tetapi sampat pada persoalan mendasar dalam alokasi kekuasaan, hak-hak
istimewa, dan sumber daya. Tipe 1 ini biasanya diterapkan di negara etno nasionalis
yang terbagi secara kultural. Tipe ke 2 ditemukan pada negara yang beragam etnik
dan budaya dengan adanya pengakuan resmi dari negara untuk mengakomodasi
kebutuhan kelompok etnik dalam mempertahankan
ciri budaya utama mereka.
Sementara itu mereka tetap berpartisipasi berdasarkan sistem nilai dan keyakinan
yang diterapkan negara secara nasional. Memang ekses multikultural berupa
persaingan antar kelompok dapat muncul di kedua bentuk kebijakan itu, namun
pada tipe ke 2 lebih besar kemungkinannya.
Dari uraian di atas dapat dirangkum hubungan antara perkembangan
identitas kelompok
yang
membentuk keragaman di dalam
masyarakat, dan
manajemen kemajemukan oleh masyarakat. Keduanya bergerak dalam kontinum
maksimal konflik (+) sampai ke minimal konflik (-)- Identitas kelompok dapat terjadi
dalam dua bentuk yakni, primordiak (emosional, irrasional, berdasarkan ikatan
persaudaraan, sulit berubah); dan instrumental (rasional, berdasarkan pilihan dan
kepentingan, mudah berubah). Sedangkan penanganan kemajemukan dapat terjadi
dalam tiga bentuk yaitu otoriter, liberal, dan consodationai
Untuk lebih jelasnya
dapat digambarkan sebagai berikut.
Hoh 2
74
Gambar 2.1.1.2 Hubungan antara Perkembangan
Manajemen Kemajemukan, dan Potensi Konflik
Identitas Kelompok,
Gambar ini memberikan sebuah kerangka hipotesis bahwa perkembangan
identitas dalam masyarakat bergerak dari bentuk primordialis menuju bentuk
instrumentalis. Keduanya ada di dalam masyarakat majemuk. Apakah keduanya
dapat menimbulkan konflik atau tidak, tergantung kepada manajemen yang dipilih
oleh masyarakat tersebut yang terbentang dalam tiga pilihan besar yaitu apakah
otoriter, liberal, atau consociationai (proporsional). Secara teoritis dihipotesiskan
bahwa
semakin
demokratis
(inklusif,
adil,
dan
proporsional)
penanganan
kemajemukan semakin minimal konflik yang terjadi.
Selain persoalan yang berasal dari dalam masyarakat {identity deveiopment),
sebagai tantangan bagi terbentuknya masyarakat multikutural, juga ada tantangan
dari luar masyarakat tersebut. Masyarakat multikultural yang demokratis memiliki
Bah 2
75
dua' dimensi yakni internal, dan eksternal. Berikut ini tinjauan teoritis tantangan luar
yang periu mendapat perhatian aaiam membangun masyarakat multikultural.
2,1.2 Globalisasi dan Masyarakat Multikultural
Pemahaman terhadap globalisasi telah melahirkan berbagai definisi yang
beragam. Namun secara spesifik, globalisasi didefinisikan sebagai saling keterkaitan
antara entitas politik, hubungan ekonomi, dan bahkan jaring komputer. Globafisasi
pada dasarnya merujuk kepada cara-cara lembaga ekonomi dan politik berinteraksi
di berbagai lokasi di seluruh dunia tanpa memperdulikan batas geografis.
Di
masyarakat
balik
definisi
dunia
itu,
yang
globalisasi
meliputi
adalah
berbagai
sebuah
aspek
fenomena
kehidupan
yaitu
kehidupan
keluarga,
masyarakat, lembaga politik, dan juga lembaga pendidikan. Globalisasi dapat
diartikan sebagai sebuah kekuatan yang mempengaruhi dan membentuk dunia
(Friedman dalam Kluver, 1999: i).
Ibarat gelombang, globalisasi bergerak terus dan mengalami percepatan
yang tidak dapat dihentikan. John Mickletwhite dan Adrian Wooldridge (2000: 2394) mengurai secara detail bagaimana kekuatan teknologi, pasar modal, dan
manajemen telah menjadi mesin yang menpercepat Idju globalisasi.
Ketiga mesin
tersebut memiliki kekuatan yang amat ampuh dalam bergerak, dan bahkan dalam
laluin I iilit m lei.ikhii i! u kckii.il. m iln hergahniK] mm j. uli -..ilii.
IVied.ii.in p. r., u
tiKul.il yang bebas lid.ik. l.iqi mengenal halas-hnta*;
geogralis dan riemngialis. Mal ilu telah memudahkan orang dari tempat manapun
untuk
Hit h ?
membeli
teknologi
h. n n.
Sebaliknya,
lekunliKji
baru
mempermudah
7(>
perpindahan modal dari satu tempat ke tempat lain. Demikian pula
disebabkan penyebaran yang cepat tentang manejemen terbaru di
perusahaan besar, telah menjadikan perusahaan lain di tempat manapun belajar
untuk meningkatkan efisiensi penggunaan modal dan teknologi mereka. Setiap
perusahaan akan dapat mengorganisasikan dirinya secara lebih baik dengan waktu
yang cepat untuk mengatasi rivalnya.
Demikian terus lingkaran perputaran mesin globalisasi bergerak. Akibatnya,
globalisasi akan terus bergulir dan membawa perubahan-perubahan struktural dalam
seluruh kehidupan negara bangsa, sehingga mempengaruhi fundamen-fundamen
dasar
pengaturan
hubungan
antar
manusia,
organisasi-organisasi sosial,
dan
pandangan-pandangan dunia (Azra, 2003b).
Lebih jauh Azra mengungkapkan, bahwa memang perubahan-perubahan itu
bermula dari lapangan ekonomi dan teknologi, tetapi hai itu segera
mengimbas
kedalam bidang poiitik, sosial budaya, gaya hidup dan iain-iain. Sejumlah perubahan
itu dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut.
Pertumbuhan yang cepat dalam pendagangan internasional dan keuangan yang
pada gilirannya meningkatkan ketergantungan antar negara, yang pada
dasarnya dikuasai perusahaan-perusahaan multi nasional (MNCs) yang terus
semakin menguat. MNn<-> dengan kekuatan morfal mampu melakukan riset dan
pengembangan dalam produk-produk baru sehingga dapat meningkatkan daya
saing dan keunggulan.
> Peningkatan utang dan ketergantungan negara-negara berkembang pada pasar
keuangan internasional. Ketergantungan pada ut3ng membuat negara-negara
berkembang mengalami kesulitan untuk melakukan pembangunan secara
berkelanjutan. Labih jauh kesulitan dan jumlah utang yang banyak menjadikan
peningkatan dalam penanaman modal asing, dan berarti ekonomi negara
berkembang dikuasai pihak asing.
> Meningkatnya peranan iembaga-Iembaga keuangan dan perdangan internasional
seperti IMF, World Bank, WTO dan lain-lain dalam menetukan kebijakan dan
program ekonomi, sosial dan politik negara-negara bertembang. Ini berarti
>
Hoh 2
77
kemerosotan kedaulatan negara berkembang, karena mereka harus tunduk
kepada kebijakan dan k.eputusan lembaga keuangan tersebut
> Pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi yang
memungkinkan terjadinya penyebaran informasi dan nilai-nilai secara global
dengan menciutkan jarak dan waktu. Kemajuan dalam bidang ekonomi tidak
hanya mendorong terjadinya percepatan dalam perdagangan tetapi juga
knowledge-based economy. Namun hal ini hanya dikuasai oleh negara-negara
maju karena kemampuan mereka dalam melakukan riset dan pengembangan.
Akibatnya "jurang teknologi dan pengetahuan" semakin luas antara negara maju
dan negara berkembang. Demikian pula dalam transmisi informasi dan nilai-nilai
negara-negara berkembang lagi-lagi berada daiam posisi tidak menguntungkan;
mereka hanya menjadi "receiving ends' dari penyebaran informasi dan nilai-nilai
yang dilakukan negara maju dan pemegang dominasi dan hegemoni teknologi.
A- Berakhirnya perang dingin dan bangkitnya demokrasi liberal. Bangkrutnya sistem
ekonomi dan politik komunis yang diikuti dengan disintegrasi politik dan wilayah
membuat banyak orang semakin percaya bahwa demokrasi liberal sebagai satusatunya alternatif yang feasibte dan vfabie bagi keberlangsungan dan kemajuan
kehidupan ekonomi dan poiitik. (h 2-3)
Selain membawa perubahan,
globalisasi
juga
membawa krisis dalam
kehidupan masyarakat giobai dan nasional. Capra (2000) mengidentifikasi krisis ini
dalam dimensi-dimensi
intelektual,
moral, dan sprituai yang
pada akhirnya
mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti kesehatan, lingkungan, ekonomi,
sosial, dan politik. Dalam konteks nasional seringkah globalisasi dilihat sebagai
sumber penyebab
munculnya rasionalisasi,
konsumerisme, dan
kemersialisasi
budaya-budaya lokal yang kemudian mengakibatkan hancurnya identitas budaya
lokal (Trijono,19S6: 139).
Pengaruh global terhadap kehidupan lokal dijelaskan oleh Capra (2000: 11)
dengan tesis "kebangkitan budaya" yang bersandar pada filsafat "tantangan dan
tanggapan". Tantangan (dari alam, atau sosial),, memancing tanggapan kreatif
dalam suatu masyarakat atau kelompok sosial yang mendorong masyarakat itu
memasuki proses peradaban. Hal itu terus tumbuh
linh 2
ketika tanggapan terhadap
78
tantangan awal
berhasil membangkitkan
momentum
budaya yang
membawa
masyarakat keluar dari kondisi equilibirium memasuki suatu keseimbangan yang
berlebihan dan tampil sebagai tantangan
baru. Dalam proses transformasi ini
terdapat dua alur terpisah yang bergerak serempak (budaya baru dan budaya lama
yang kalah). Sisi yang kalah tetap dan tidak berubah namun berlatih dengan
kekalahannya sendiri, sedangkan tantangan baru terus menerus mengundang
tanggapan kreatif baru. Dalam perspektif historis seperti ini, kebudayaan dilihat
datang dan pergi, sedangkan pelestarian tradisi budaya mungkin tidak selalu
menjadi tujuan yang paling penting.
Di sinilah tantangan globafisasi bagi pembangunan masyarakat multikultural
menjadi perhatian. Sebagaimana diidentifikasi daiam laporan UNDP (2004:88)
bahwa dimensi lain (di samping sosial ekonomi,, dan Jingungan) dari paradoks
gfobahsasi adaiah persoalan budaya dan identitas yang tidak hanya menimbulkan
kontroversi tetapi dapat menyebabkan keretakan karena terkait dengan keberadaan
masyarakat asli.
karena
Banyak orang mencemaskan negara mereka akan terpecah belah
pertumbuhan
imigrasi
yang
besar
dengan
segala
kebudayaannya,
perdagangan internasional, dan perluasan komunikasi media, yang
semuanya
dikhawatirkan menyingkirkan budaya lokal.
Menghadapi
multikultural
yang
tantangan
menangani
ini,
UNDP
menyarankan
persoalan-persoalan
perlunya
kebijakan
perdagangan,
imigrasi,
penanaman modal yang memperhatikan perbedaan dan identitas budaya. Tujuan
kebijakan multikultural tidak mempertahankan tradisi, tetapi melindungi kebebasan
Bnh 2
79
budaya {cufturaf Hberty) dan memperluas pilihan-pilihan masyarakat Secara singkat
ada empat prinsip yang
dipertimbangkan
untuk mengembangkan
kebijakan
multikulturalisme dalam konteks globalisasi:
•
Mempertahankan tradisi dapat menghambat perkembangan kemanusian
Menghargai perbedaan dan keragaman adaiah hal yang pokok
Pertumbuhan keragaman dalam dunia yang interdependen secara global
dapat terjadi bila orang memiliki identitas jamak yang saling melengkapi,
tidak hanya dimiliki oleh komunitas loka! tetapi juga kemanusian secara luas
Menyelesaikan ketidakseimbangan kekuatan ekonomi dan politik dapat
mengantisipasi ancaman terhadap budaya kelompok miskin dan lemah
(UNDP,2004: 89)
•
Mungkin ungkapan Mahatma Gandhi berikut ini , bisa menjadi
cara yang
paling bijak untuk menyikapi arus globalisasi saal ini, sekaligus juga merupakan
tema
yang
diambil
UNDP
dalam
sarannya
untuk
membangun
masyarakat
multikultural dengan perspektif global:"/d? not wantmyhouse to bs waffedin on aff
sides, my windows to be stuffed / wantthe cuftures of aff fands to be bfown about
my house as freefy as possibfe. But I refuse to be bfown off my feet by any"
2.2 Konflik dan Hubungan antar Etnik dalam Masyarakat Multikultural.
Konflik
merupakan
keadaan
yang
tidak
terpisahkan
dari
keberadaan
masyarakat majemuk. Konflik merupakan sinyal bahwa ada sesuatu yang salah
dalam
masyarakat
masyarakat
sehingga
multikultural
yang
dapat
lebih
dijadikan
generator
demokratis.
Untuk
perubahan
menuju
itu,
dikenali
perlu
karakteristik konflik sehingga dapat dicarikan upaya mengelolanya.
Bah 2
80
Varshney (2002: 21) mengemukakan ada empat tradisi pendekatan untuk
memahami konflik dalam masyarakat majemuk yang dibagi ke dalam dua kelompok.
Yang pertama adalah esensialisme dan instrumentalisme, dan yang kedua adalah
kostruktivisme dan postmodernisme.
Dalam pandangan esensialisme konflik yang terjadi dilihat dari dua argumen
yaitu,
primndial
rian
warisan
kemanusian.
Konflik
diterjemahkan
sebagai
konsekwensi dari keterikatan karena pertalian darah dan kesamaan keturunan.
Sedangkan, daiam pandangan istrumentaiis, etnisitas tetap menjadi poin utama
dalam konflik. Namun hal tersebut, bukan disebabkan kekuatan ikatannya tetapi
karena dimobilisasi untuk tujuan tertentu. Para elit melihat potensi ikatan yang kuat
dalam etnik (kelompok) sebagai cara memobilisasi massa untuk mencapai tujuan
mereka.
Dua
pandangan
lain
adalah
konstruktivisme
dan
postmodernisme,
merupakan pandangan kontemporer tentang pembentukan identitas dan akar
konflik. Kedua pandangan ini melihat formasi identitas dan konflik sebagai fenomena
modern (sebagai lawan dari tradisional). Dalam pandangan tradisional identitas dan
konflik dilihat sebagai persoalan lokal dan skala kecil d?n tidak melibatkan institusi.
Sebaliknya dalam pandangan kontemporer, kesadaran masyarakat lebih luas lagi
sehingga membentuk komunitas yang lebih luas. Contoh identitas dalam masyarakat
modem adalah bentuk "imagined cornmunity' seperti daiam gagasan Anderson
(2000) yakni masyarakat terbentuk karena teknologi dan sistem ekonomi modem.
Hoh 2
81
Sehubungan
dengan
konflik
postmodernist berpendapat bahwa
dalam
masyarakat
modern,
kalangan
dalam ikatan masyarakat modem ada relasi
kekuasaan yang berimplikasi dalam pembentukan pengetahuan. Konstruksi identitas
kelompok berasal dari "narasi" yang dibuat oleh kelompok elit, dan terpusat pada
kekuasaan
dan
pengaruhnya
terhadap
masyarakat.
Oleh
karena
itu
untuk
memahami konflik para pengamat memusatkan perhatian kepada pencarian dan
dekonstruksi relasi kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan bagi
kalangan konstruktivis, konflik saat ini adalah akibat dari pemerintahan kolonial atau
rejim masa lalu.
Pendekatan esensialis nampak misalnya dalam analisis yang menjelaskan
konflik terjadi karena motivasi primordial (McDonald, 1998). Motivasi ini diidentifikasi
dalam tiga hal. Pertama. " soda! identitv mechanism." Dalam psikologi modem
dijelaskan bahwa identitas sosial berkembang dalam kelompok dengan situasi yang
sama yakni di satu sisi adanya loyalitas, pengorbanan pada kelompok, dan
persaudaraan di dalam kelompok, di sisi lain ada kebencian pada orang di luar
kelompok. Ketika terjadi ancaman dari luar, identitas ini menguat dan merasakan
"nasib" yang sama. Tetapi ketika tidak ada ancaman orang-orang akan bersifat
individualistik.
Teori yang
kedua "genetic simifanty theoryyang
menyatakan
bahwa
kesamaan genetik ditandai kemiripan penampakan {phenoLypic similariUes). Teori ini
mengandung implikasi bagi terbentuknya etnosentrisme dalam satu kontinum dari
kesamaan genetic dan phenotypic hingga ketidak samaan genetic dan phenotypic
Bah 2
82
yang menggambarkan sikap suka, persahabatan, perkawinan, dan pembentukan
kerjasama yang semakin erat karena adanya kesamaan.
Teori ketiga menyatakan "ethnic groups are processed by
Moduie".
Human Kinds
Dijelaskan bahwa sebenarnya ras dan etnisitas tidak dibentuk karena
faktor-faktor biologis tetapi otak manusia tefah dikelabui bahwa kesaman ras dan
etnik terjadi secara natural, Keria otak ini terjadi karena dikonstruksi secara budaya.
Sebaliknya, pandangan yang melihat konflik dalam konteks relasi kekuasaan
tampak antara lain dalam analisis Vaiery Thiskov (1991, www.unupress.edu) yang
dibaginya ke dalam tiga kajian teori. Pertama, ^socia! groupings andsocio-economic
interest". Dalam pandangan ini, konflik dipicu karena adanya pemilikan tanpa
berdasarkan
proses
yang
legal
oleh
suatu
kelompok
etnik
yang
memiliki
keistimewaan sosial. Proses ini membentuk pemisahan kelas dalam masyarakat, dan
bahkan juga diskriminasi berdasarkan perbedaan kelas yang pada akhirnya menjadi
pemicu konflik antar etnik.
Teori yang kedua, menjelaskan kemungkinan penyebab konflik etnik dari
sudut mekanisme psikologi scsia! dan prilaku. Ha! ini muncu? dari kelompok yang
menempati status sosial rendah dan cenderung menjadi objek diskriminasi dalam
suatu lingkungan yang dominan. Karena pengalaman yang diderita sering kali
mereka
memperlihatkan
ketakutan
akan
kehiiangan
eksistensinya
sehingga
membawa kepada prilaku-prilaku yang mengandung bibit konflik. Reaksi ini disebut
sebagai reaksi terhadap bahaya hipotetis, dan merupakan perasaan-perasaan
irrasiona!.
Bah 2
83
Teori yang ketiga, melihat kemungkinan terjadi konflik juga muncul dari
perasaan irrasional, berupa ketakutan kehilangan kebermaknaan dan kebahagiaan
dalam kelompok.
Biasanya pengalaman ini dirasakan oleh masyarakat yang
mengalami trauma sosial karena mendapat perlakuan tidak adil sepanjang sejarah.
Pengalaman ini dialami oleh rakyat dan kelompok etnik semasa pemerintahan Uni
Sovyet, yang selama bertahun-tahun berada dalam perasaaan kebersamaan karena
trauma. Ketika lepas dari tekanan, mereka berusaha mencari upaya penyembuhan
pengalaman traumatis dengan memperkuat kelompok etnik. Dari kelompok etnik
muncul gagasan-gagasan dan program-program politik yang mengarah kepada
pembentukan negara sebagai upaya mempertahankan identitas kelompok.
Analisis lain yang lebih eksplisit
melihat konflik dalam konteks kekuasaan
dan dominasi tampak dari tulisan John Donald (2000) dalam papemya yang
dipublikasi
oleh Center for Devefopment Research (ZEF Bonri). Pertama teori
imperium (the empire theory), yakni dalam sejarah imperium-imperium besar di
dunia bila terjadi konflik etnik maka mereka berusaha menekan dan meredam
konflik dalam genggaman kekuasaan mereka. Keti ku kcS^i jasaan itu berakhir maka
tidak ada kekuatan lagi untuk meredam sehingga konflik muncul ke permukaan
tanpa terkendali. Teori kedua disebutnya dengan Non-negotiable issues dalam hak
asasi manusia yang meliputi: bahasa, agama, dan budaya. Atas nama kekuasaan
semua isu tersebut diambil sebagai alasan untuk menjalankan pemerintahan. Di
negara-negara yang saat ini konflik meluas, terdapat kemiripan perlakuan dalam tiga
hal tersebut. Kelompok masyarakat tidak diperkenankan mengembangkan bahasa,
Hoh 2
84
agama, dan budaya masing-masing atas dasar alasan kepentingan negara. Teori
yang
ketiga
berkenaan dengan struktur pemerintahan yang represif dalam
menangani konflik.
Konflik juga dapat terjadi karena kebijakan yang diskriminatif sehingga
menimbulkan kesenjangan sosial. Analisis ini terlihat dalam tinjauan Richardson J r &
Sen (1996). Terjadinya konflik etnik dapat dilacak dalam dua hal: 1) dari peran
etnisitas dalam
memobilisasi,
menstruktur organisasi
yang
bersaing dalam
masyarakat untuk memperoleh kekuasaan dan kontrol dalam negara; dan 2) konflik
terjadi karena peran pemimpin menggunakan strategi pemisahan etnik untuk
memperoleh dukungan politik. Apabila sebuah kelompok meraih posisi kekuasaan
dan kontrol (kelompok dominan), maka pemimpinnya akan memperlakukan sistem
yang diskriminatif dalam membagi-bagikan aset ekonomi kepada kelompok yang
disukai dan membatasi aset kepada kelompok yang tidak disukai.
Pengalaman
diskriminatif diperkuat dengan aspek-aspek legai dan kebijakan. Hal ini berlangsung
lama sehingga membentuk identitas sosial adanya kelompok dominan dan kelompok
minoritas.
Seiring dengan pembangunan ekonomi ysng biasanya tersebar secara
tidak merata, membuat masyarakat yang mengalami diskriminasi semakin terasing
dan semakin memperkuat identitas sosialnya. Dari sini siklus ini akan berbalik,
berupa upaya etnik yang tertekan untuk berjuang memperoleh posisi yang sama
dengan kelompok dominan.
Dengan cara yang berbeda,
Horowitz (1998:1-4) mengelompokkan teori
tentang konflik dalam dua kategori besar yakni: "Hard Theory"6at\ "Soft Theory".
ttab 2
85
yang didasarkan pada hakikat afiliasi kelompok dan tujuan prilaku konflik.
Hard
theory melihat konflik dan perkembangan identitas dari sisi primordiaiis dan ikatan
emosi yang cenderung irrasional. Sebaliknya, soft tfieory melihat afiliasi kelompok
dan penyebab konflik karena pertimbangan dan pilihan rasional dan reward material.
Bila hard tfieory
tergolong pandangan esensialis maka soft theory termasuk
pandangan instrumentalis. Keduanya dilihat dalam satu kontinum yang terdiri atas
sepuluh kelompok teori yang digunakan para ahli untuk menjelaskan konflik sebagai
berikut.
1. Pandangan yang menyatakan etnisitas merupakan afiliasi primordial
(a
primodial affiliation) yang ada dalam rentang waktu yang lama sehingga
menimbulkan kesadaran diri kolektif. Kesadaran ini bersamaan dengan
kesadaran adanya "orang lain" yang satu ketika karena mekanisme
tertentu berubah menjadi konflik.
2. Adanya kebencian
masa lalu yang menghidupkan konflik sekarang
{ancient hatreds)
3. Konflik etnis terkait dengan perang budaya («3 dash ofculture).
4. Konflik
etnis
disebabkan
modernisasi.
Karena
modernisasi
orang
menginginkan sesuatu yang sama, dan sumber yang ada tersebar secara
tidak merata.
5. Konflik etnis terjadi karena persaingan diUara kelompok-kelompok yang
terpisah secara etnis dari golongan pekerja, dan antara pengusaha dan
pengguna yang berbeda secara etnis.
Bah 2
86
6. Etnisitas merupakan kelompok yang berperan memberi jasa ( a service
producing club). Konflik terjadi ketika kelompok memberi keistimewaan
kepada anggotanya.
7. Sejalan dengan teori ke 6, pada kondisi politik yang berorientasi etnis
dikembangkan muncul suatu permainan kordinasi, dimana anggota suatu
kelompok memberi perhatian kepada identitas etnisnya dengan pemikiran
kelompok lain juga melakukan hal yang sama.
8. Sebagian ahli berpendapat bahwa konflik terjadi karena kompetisi elit
{elite
competition)
dan
adanya
pemanfaatan
etnik
(ethnic
entrepreuneurs).
9. Adanya teori pilihan rasional (rational-choice theorist), yang menganggap
bahwa konflik diperlukan atau tidak dapat dihindari ketika kawatir melihat
adanya motif-motif dan tindakan dari pihak lain - yang selama ini
bermusuhan - menimbulkan rasa tidak aman.
10. Teori evolusi tentang konflik, yang menyatakan konflik terjadi karena
dorongan emosional dan berani mati untuk kepentingan kelompok.
Dapat disimpulkan lagi bahwa analisis dari esensialis dan instrumentalis lebih
bersifat mikro dengan bertolak dari kondisi internal kelompok yang berada dalam
situasi konflik, sedangkan analisis dari sudut pandang konstruktivis temasuk
postmodernisme lebih ditujukan kepada faktor eksternal yang mempengaruhi
kondisi-kondisi internal kelompok sehingga terlibat ke dalam konflik. Bahkan
Hoh 2
87
kalangan postmodernist lebih ekplisit lagi mendefisinislkan faktor eksternal dengan
istilah power retation.
Masalah lain yang menjadi pertanyaan semua pihak yakni: mengapa konflik
menjadi sangat mengakar dan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebuah buku
dari IDEA
yang diedit oleh Peter Haris dan Ben Relly (2000: 35)
berjudul
"Demokrasi dan konflik Yang Mengakar" mengemukakan bahwa ada tiga faktor
utama yang memicu konflik berlarut-larut. Pertama, faktor ekonomi secara luas.
Kehancuran ekonomi selalu diikuti oieh kemunculan konflik antar etnik. Contoh
konkret dari konflik ini seperti gerakan pasca ekonomi terpimpin di Eropa Timur, dan
sebagian Asia dan Afrika. Kondisi seperti ini disebut dengan "ketidakamanan
ekonomi". Kedua, faktor yang menyangkut kultur, yakni menyangkut isu-isu klasik
tentang hak-hak bahasa minoritas atau kebebasan beragama. Kebanyakan negara
multietnik pada waktu-waktu terakhir ini telah mengalami isu-isu ini, yakni ketika
tuntutan akan otonomi kuiturai meningkat dan kebijakan asimiiasi diterima secara
curiga.
Dan
ketiga,
konflik terjadi karena
perselisihan
mengenai
wilayah.
Perselisihan ini sangat mungkin melebur dengan pertikaian etnik ketika kelompok
etnik terkonsentrasi secara teritorial.
Marta-Reynal Ouerol (2003), peneliti dari Bank Dunia, menambahkan faktor
penyebab konflik menjadi mengakar karena sebelumnya sudah terbentuk polarisasi
yang kuai berdasarkan agama dan kepercayaan. Bahkan penelitian menunjukkan
polarisasi agama merupakan faktor yang lebih berpengaruh dalam membentuk
pemisahan sosial dibanding perbedaan bahasa.
Huh 2
Sedangkan Francesco Casseli &
88
Willbur Coleman (2001), menambahkan bahwa dalam setiap masyaraf
selalu ada potensi konflik karena di dalam masyarakat ada kekayaan
menjadi akar persaingan. Konflik pecah menjadi pertikaian ketika kekayaan dikuasai
oleh satu kelompok yang menutup afiliasi dengan kelompok lain.
Konflik akan menjadi lebih dalam lagi bila konflik itu diciptakan atau
diorganisasikan secara sistematis
untuk kepentingan kelompok tertentu. Konflik
yang terjadi di Ruwanda antara suku Tutsi dan Hutu (Sadowsky, 1998) adalah
contoh konflik yang diorganisasikan. Pada waktu sebelum penjajahan Belgia, distrik
dipimpin oleh Hutu tetapi dalam aturan hukum yang dibuat Tutsi. Sepertiga
pimpinan Rwanda adalah Hutu. Kedatangan bangsa Belgia mengubah struktur yang
sudah ada dengan mengganti semua pimpinan yang non-Tutsi dengan orang Tutsi.
Kebijakan ini didukung dengan berbagai peraturan yang menguntungkan satu pihak
merugikan pihak lain. Bahkan Belgia memberikan dukungan kepada warga Tutsi
untuk
meningkatkan
eksploitasinya
terhadap
warga
Hutu.
Akibatnya
terjadi
ketidakseimbangan dalam berbagai bidang lain seperti sosial, ekonomi, dan
pendidikan. Keadaan ini terus berlanjut setelah Belgia meninggalkan negeri Rwanda.
Contoh lain adalah konflik Kalimantan (van Klinken, 2000). Sebagian dari
faktor-faktor penyebab berlarutnya konflik tersebut adalah karena keterlibatan pihak
tertentu yang mengorganisir konflik untuk kepentingan mereka. Pihak-pihak ini ingin
mempertahankan eksistensi kekuasaan untuk memperoleh keuntungan secara
ekonomi. Keuntungan ini dinikmati secara terbatas oleh kelompok tertentu.
Hoh 2
89
Konflik etnik bukanlah hal yang baru, begitu juga di Indonesia. Sejarah
sudah membuktikan bahwa ketegangan antar suku atau pemeluk agama yang
berbeda, telah ada bersamaan dengan perjuangan bangsa Indonesia merebut
kemerdekaan. Bahkan penjajah Belanda mencoba memanfaatkan perbedaan etnik
di satu daerah untuk memperluas kekuasaannya. Misalnya kita bisa belajar dari
kenyataan sejarah di Kalimantan Selatan (Sjamsuddin,2001: 261) yakni saat
persaingan kecil terjadi antar kelompok (etnik dan juga agama), Belanda justru
memanfaatkannya untuk memperluas ekspansi koionial.
Konflik menjadi betiarut ketika faktor ekonomi, budaya, geopolitik, sejarah,
d3n ketidakadilan sosial tidak terpecahkan, dan bahkan dijadikan alasan untuk terus
dalam
situasi
konflik
oleh
kelompok-kelompok
keuntungan dari situasi konflik.
elit
yang
berniat mengambil
Walaupun demikian,, bukan berarti konflik antar
etnik tidak dapat ditengahi atau dicarikan solusi. Untuk itu diperlukan pemahaman
yang tepat tentang persoalan mendasar dalam
sebuah keiompok etnik dan
hubungan antar kelompok. Tidak mungkin menyamaratakan kasus semua konflik
etnik.
Perbedaan dan konflik ras atau etnik sangat terkait dengan konstruksi sosial
yang melatarbelakanginya (Chang & Dodd, 2001). Perbedaan ras dan etnik dalam
kedudukan superior atau inferior, merupakan produk sosiai yang diagendakan untuk
memenuhi kepentingan sosio politik kelompok yany dominan. Demikian juga
kategori etnik dan ras dalam masyarakat,
bukan sesuatu yang kaku melainkan
berubah-rubah sesuai dengan konteks sosial politik dari suatu masyarakat pada
Bah 2
90
waktu tertentu. Perbedaan etnik dan ras tidak inherent membawa konflik, tetapi
perbedaan mendapat makna sosial tentang hirarki yang kemudian membawa
sistuasi ke dalam konflik ketika kelompok-kelompok yang terbagi tidak dapat
bernegosiasi lagi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sebuah konflik akan
dapat ditangani bila konstruksi sosia! yang melatarbelanginya dapat dijernihkan.
Kebijakan untuk menjernihkan konstruksi sosial itu terbentang dalam satu
kontinum yang mulai dari kutub otoriter di satu sisi sampai pada kutub demokratis di
sisi yang lain (Suparlan, 2000: 2). Masyarakat majemuk otoriter dikendalikan dengan
kekuasaan keras dan militeristik. Ciri-ciri masyarakat ini adanya kekejaman dan
kekerasan oleh negara atau pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, karena
penguasa menekan segala bentuk penentangan atau ketidakpatuhan warganya
terhadap tindakan eksploitatif yang dilakukan negara. Sedangkan dalam kutub yang
lain, masyarakat hidup dalam suasana masyarakat sipil yang demokratis, yaitu ketika
kelompok minoritas diberi perlindungan terhadap hak-haknya untuk dapat hidup di
tengah kelompok yang dominan. Di samping itu, masyarakat ditata dengan hukum
yang berlaku sama terhadap semua orang.
Selain menciptakan sistem yang demokratis, konflik juga dapat dihindari
dengan mencermati faktor-faktor positif dalam masyarakat majemuk yang bersifat
akomodatif dan kerja sama, bisa dalam bentuk asimilasi maupun bentuk pluralisme
(Marger, 1985:87), dan berusaha mengatasi faktor negatif yang muncul dalam
bentuk masyarakat yang dipilih.
Bah 2
91
Lebih detail kedua bentuk ini dijelaskan dengan model yang dilihat dalam
dua dimensi: Pertama, mempertahankan identitas budaya sendiri, dan kedua,
menyesuaikan dengan identitas budaya dominan (Bourhis cs, 1997: 372; Hjerm,
2000: 357). Dari kedua dimensi ini lahir bentuk hubungan antar kelompok berupa,
1) Integrasi yakni mempertahankan identitas dan sekaligus mengadopsi budaya
dominan);
tetapi
2) asimilasi
yaitu menolak mempertahankan identitas budaya sendiri,
menyesuaikan diri
budaya
dominan;
3)
segregasi
yaitu
dengan
mempertahankan identitas, tetapi menolak untuk mengambil budaya dominan; dan
4) eksklusi dan individualis, yaitu bentuk yang mencari bentuk baru tetapi tidak
mempertahan identitas sendiri, tidak juga menyesuaikan diri dengan budaya
dominan.
Uraian tentang konflik di atas dapat dirangkum dalam satu diagram yang
secara hipotetik menggambarkan hubungan antara bentuk interaksi sosial dengan
kemungkinan terjadinya konflik dalam masyarakat majemuk. Dalam interaksi
masyarakat yang setara (tidak ada diskriminasi antar anggota masyarakat) maka
diperkirakan bentuk masyarakat berupa multikultural yang demokratis. Sebaliknya
jika interaksi antar anggota masyarakat tidak setara (mengandung unsur-unsur
diskriminatif ), maka diperkirakan bentuk masyarakat berupa masyarakat plural yang
berpotensi konflik. Selanjutnya dimungkinkan ada dua kebijakan untuk menangani
konflik
tersebut
yaitu,
Otoriter
(cenderung
mempertahankan
konflik),
dan
demokratis (cenderung menghapus konflik).
Bah 2
92
Gambar 2.2.1 Kerangka Hipotetik Hubungan Masyarakat Majemuk
Interaksi
sosial
E r i n
j Masyarakat
! Multictnik
Setara
(Equal)
Konstruk
kebijakan
Bentuk
masyarakat
j
|
Pluralj demokrasi
I
K
Tdk Setara
(inegual)
PluralKonflik
!
UI
! Demokrasi
Liberal l
Oornorate
Otoriter /
demokrasi
I
liberal atau
cuarporatc
Diperkuat oleh faktor perbedaan budaya,
tekanan ekonomi, tuntutan geopolitis,
perbedaan agama, pemisahan yang diwarisi
dan sejarah, dan diperburuk oleh rekayasa
kepentingan kelompok elit.
2.3 Pendidikan Multikultural dan Filsafat Rekonstruksi Sosial
Sebelum
membahas lebih jauh tentang
pendidikan multikultural,
ada
beberapa istilah yang sering dipertukarkan dalam penggunaannya dalam berbagai
(literatur yaitu pendidikan multikultural, pendidikan multietnik, studi etnik, dan
pendidikan global. Pada prinsipnya, istilah tersebut memiliki esensi yang sama,
hanya kedalaman dan keluasan cakupannya yang membuat adanya perbedaan
(Banks, 1987: 29-30). Pendidikan multikultural, ditekankan kepada kelompok budaya
Hnh 2
93
yang khususnya mengalami prasangka dan diskriminasi ras di Amerika Serikat,
dengan tujuan untuk membantu mengurangi parsangka terhadap kelompok yang
menjadi target tersebut dan memberi kesempatan yang sama dalam pendidikan.
Pengertian pendidikan muitietnik lebih sempit yang terfokus pada kelompok etnik
dengan maksud mengurangi diskriminasi terhadap kelompok etnik yang menjadi
korban diskriminasi, dan juga mengurangi pengisolasian secara etnik. Sedangkan
studi etnik, bidang kajiannya adalah kelompok etnik dengan tujuan membantu siswa
membuat keputusan reflektif tentang persoalan-persoalan etnisitas, dan mengambil
tindakan untuk mengurangi rasialis dan masalah etnik lainnya. Terakhir, pendidikan
global lebih difokuskan kepada nation-states dan budaya di dunia.
Sejak
awal
tahun
1960an
pemahaman
orang
tentang
pendidikan
multikultural mengalami evolusi (Gorski & Covert 1996). Dari berbagai istilah
tersebut tampak keraqaman gaqasan, ada yang bersifat mikro yakni terfokus pada
individu siswa atau guru, dan ada yang mengembangkannya dalam ruang lingkup
makro
yang mencakup lingkungan sekolah dan kebijakan. Namun semuanya
berakar pada ide dan tujuan yang sama yaitu gerakan transformasi, yang
bertujuan mempengaruhi perubahan sosial, dengan bergerak dalam tiga bidang:
"the transformation o f sel f" "the transformation ofschoo/ and schooling", dan ,lthe
transformation ofsoaety"{Gorski, 2000; Nieto, 1999; Howard, 1999).
Sifat transformatif dalam pendidikan multikultural barakar dalam filsafat
pendidikan
rekonstruksi
sosial
{soda!
reconstructionist).
Gagasan
ini
merekomendasikan guru dan sekolah, agar berangkat dari pengkajian kritis tentang
Hah 2
94
budaya di tempat mereka berada. Mereka harus berusaha mengidentifikasi bidangbidang
yang
mengandung
kontroversi,
konflik
dan
inkonsistensi,
kemudian
mengeksplorasi dan menemukan pemecahannya (Orsntein & Levine, 1984: 206).
Lebih jauh dijelaskan bahwa filsafat rekosntruksi sosial juga merupakan bagian dari
filsafat pendidikan progi esiv, dengan tokoh terkenalnya John Dewey.
Dewey dan para pengikutnya mengembangkan gagasan baru tentang
metode pendidikan yang menjadi alternatif dari metode tradisional di akhir abad ke
19. Gagasan baru ini dapat dilihat dalam beberapa hai yakni, 1) mereka meyakini
bahwa pendidikan terhadap anak dapat mengubah masyarakat,
pendidikan
menjadi
instrumen
untuk reformasi
sosial;
2)
karena itu
keyakinan
bahwa
pendidikan dan pengalaman anak haruslah menyatu. Belajar yang bermakna dan
efektif bila menerapkan metode ilmiah dalam pengalaman langsung siswa; dan 3)
Deweayan menekankan perlu tatanan demokratis dalam otorita di sekolah. Tatanan
ini akan memberikan kualitas yang lebih baik daiam menghormati kebebasan
inidvidu serta memberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan pengalaman
bagi semua pihak, serta mendorong hubungan kemanusiaan yang berkualitas dan
saling bersimpati (Massaro, 1993: 25).
Dalam
buku
Philosophical Scaffolding for the Constmction of Critica1
Democratic Education (Brosio, 2000: 142-143), pokok-pokok pemikiran Dewey
tentang pendidikan dirangkum daiam lima hal. Pertama, proses pendidikan bersifat
psikologis dan sosial. Aspek psikologis merupakan basis bagi semua pendidikan,
yakni berupa power dan instinc siswa. Kedua, sekolah adalah lembaga sosial atau
n,,b .?
95
suatu bentuk dari kehidupan komunitas. Oleh sebab itu, sekolah dipandang sebagai
pelaku yang membawa siswa mampu menggunakan sumber daya yang diwariskan
oleh ras manusia untuk tujuan-tujuan sosial. Ketiga, mata pelajaran haruslah
merupakan
rekonstruksi
menghubungkan
progresiv
metodenya
dari
dengan
pengalaman
tahap
anak.
Keempat,
perkembangan
Dewey
anak,
yakni
dikembangkan berdasarkan kesiapan anak. Dan kelima, Dewey meyakini bahwa
pendidikan merupakan sarana terbaik untuk rekonstruksi sosial, karena pendidikan
memungkinkan siswa bertindak atas dasar kesadaran sosiai.
Progresivis (termasuk rekonstruksionis sosial)
meyakini bahwa pendidikan
sebagai sarana membuat perubahan, " a gigantic force for democratic evofution"
(Brameld, 1955: 155), namun keduanya berbeda dalam sudut pandang tentang
bagaimana cara perubahan itu dibuat. Bagi progresivis,, proses pendidikan melalui
pengembangan berfikir dan metode ilimiah
akan membentuk individu baru yang
diharapkan dapat bertindak secara tegas untuk memajukan demokrasi dalam
masyarakat. Namun tetap beranggapan bahwa sekolah bukan tempat membicarakan
isu-isu kritis dan bersifat politis.
Kelompok rekonstruksionis melihat bahwa pendidikan adalah tempat dimulai
perubahan yang harus terjadi dalam masyarakat, dengan cara guru dan siswa
mengkaji secara kritis warisan budaya, menentang isu-isu yang paling kontroversial,
berkomitmen
terhadap
perubahan,
merencanakan
konstruksi
hipotetik,
dan
membuat hubungan dengan program-program ya ng dirancang untuk melakukan
perubahan (Brosio, 2000: 145: Stanley, 2000: 66). Pemikiran rekonstruksionis
Bah 2
96
banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran kritis dalam ilmu sosial, yang menegaskan
bahwa sekolah perlu menantang praktek-praktek, iembaga, dan cara berfikir mapan
yang menciptakan ketidakadilan, serta menawarkan pemikiran-pemikiran alternatif
(Biilings, 2000: 150).
Satu di antara bentuk pendidikan yang beraliran rekonstruksi sosiai tampak
dalam gagasan "pembebasan" dan "emansipasi" dari Pau/o Freire. Freire menyebut
pendidikan sebagai proses humanisasi
seperti yang diungkapkannya, "dengan
kepedulian kepada humanisasi kita akan tahu dehumanisasi, tidak hanya dalam
makna ontologis tetapi realita sejarah... sebagai produk dari tatanan
yang tidak
adil..." (Freire, 1998:45). Dengan demikian, pendidikan adalah proses menentang
semua praktek-praktek dehumanisasi dan melakukan transformasi, yang dimulai
oleh orang-orang menjadi korban dehumanisasi ( onpressedpeople), kemudian oleh
semua masyarakat untuk memperoleh proses pembebasan yang permanen (Freire,
1998: 54).
Lebih jauh Freire (1998: 67) mengkritik praktek pengajaran yang sifatnya
satu arah yakni siswa sebagai "kotak kosong" yang diisi oleh guru. Konsep
pendidikan ini disebutnya dengan
pengetahuan
adalah
"hadiah" dari
banking concept
orang-orang
yang
yang memandang
merasa
dirinya
lebih
berpengetahuan, sebaliknya mengabaikan konsep pengetahuan dan pendidikan
sebagai proses inkuiri. Ciri-ciri pendidikan yang mengabaikan aspek kemanusian ini
adalah bertolak dari pemikiran sebagai berikut.
1. Guru adalah orang yang mengajar, siswa orang yang diajar
finh 2
97
2. Guru mengetahui segala sesuatu, siswa adalah orang yang tidak tahu apaapa
3. Guru memikirkan, siswa berfikir seperti yang ditunjukkan guru
4. Guru berbicara, siswa mendengar
5. Guru menegakkan disiplin, siswa orang yang didisiplin
6. Guru membua pilihan dan memaksakan pilihan itu kepada siswa, dan siswa
orang yang mematuhi pilihan guru.
7. Guru melakukan aksi, siswa membuat ilusi berdasarkan aksi guru
8. Guru memilih isi program pengajaran, siswa melaksanakannya tanpa diberi
kesempatan berkonsultasi terlebih dahuiu
9. Guru mengaburkan batas otoritas keilmuan dengan otoritas profesional,
yang kemudian dia jadikan sebagai pengekang kebebasan siswa.
10. Guru adalah subjek dari proses belajar sedangkan siswa adalah objek
(Freire, 1998: 68-69)
Sumbangan Freire bagi pendidikan terletak daiam beberapa konsep pedagogi
seperti "conscientization, probiematizing, dialogue, spirit and love" (Brosio, 2000:
206 213). Dalam konsep conscientization belajar adalah mempersepsi kontradiksikontradiksi politik dan sosioekonomi serta ketidakadilan, kemudian diambil tindakan
untuk memperbaikinya sehingga
diperoleh kondisi kehidupan yang lebih baik.
Konsep probiematizing menurut Freire berbeda dengan pemecahan masalah dalam
sudut pandang pakar teknologi, tetapi dalam probiematizing melibatkan solidaritas
dengan orang yang perlu bantuan. Untuk ini perlu hubungan dialogis antara guru
dengan sisiwa, antara pemimpin dengan rakyat untuk "mengkodifikasi" semua
permasalahan dan kemungkinan cara memecahkannya. Problematizing membawa
siswa menjadi subjek pendidikan bukan sebagai objek, dan menjadikan pendidikan
berdasarkan kreativitas serta mendorong refleksi dan tindakan yang realistis.
Selain itu, pendidikan merupakan hubungan dialogis yang horizontal antara
guru dengan siswa. Dialog ini bersifat interkomunikatif yang diwarnai empati, kasih
sayang, rendah hati, penuh harapan, dan saling mempercayai namun tetap kritis.
Kah ?
98
Kemampuan dialogis yang penuh kejujuran, rasa hormat, dan mendalam dapat
dikembangkan bila ada keyakinan bahwa "orang iain'; dapat menjadi dirinya yang
terbaik sebagaimana halnya "diri" saya.
Terakhir, bagi Freire, radikalisasi memang meningkatkan komitmen terhadap
posisi dan pilihan hidup yang dipilih, tetapi yang lebih utama adalah pandangan
hidup yang rendah hati, penuh kasih sayang namun retan kritis. Solidaritas hanya
dapat ditemukan dalam kasih sayang yang tulus. Sifat ini merupakan kesadaran etis
yang
menghasilkan
priiaku
pembebasan
yang
didasarkan
atas
kepedulian,
pengkajian kritis, dan konstruksi pengetahuan dan hipotesis.
Sejalan dengan konsep Freire, Carol Grant & Chrlstine Sleeter (1997: 71)
menjelaskan
bahwa
pendidikan
bersifat
multikultural
dan
rekonstruksi
sosial
berkaitan secara langsung dengan tekanan-tekanan dan ketidaksetaraan struktural
dan sosial yang didasarkan atas ras, kelas sosial, jender, dan cacat. Tujuan
pendidikan
adalah
mempersiapkan
warga
negara
masa
depan
yang
dapat
merekonstruksi masyarakat sehingga lebih baik dalam melayani semua pihak.
Bentuk pendidikan yang kurang lebih sama namun terkesan lebih keras
dalam warna rekonstruksi sosial adalah Criticai Pedagogy. Antara lain gagasan ini
terdapat dalam pemikiran Peter Mc Laren, Henry Giroux, dan Sonia Nieto. Pedagogi
kritis lebih dari sekedar menciptakan iklim pendidikan yang mendorong transformasi
tetapi secara tegas mereka melihat pendidikan (sekolah, kurikulum, buku teks, dan
sejenisnya) sebagai produk politik yang mempengaruhi kehidupan siswa.
Iktb 2
Pedagogi kritis memberikan landasan bagi guru dan juga peneliti cara
pemahaman yang lebih baik mengenai peran nyata sekolah dalam masyarakat yang
sudah terbagi-bagi secara ras, kelas sosial, jender. Pemahaman ini akan membantu
guru membangun konsep untuk mempertanyakan proses belajar, buku teks, ideologi
guru yang telah memberi peluang terciptanya ketidakadilan sosial (Mc Laren, 1998:
167)
Lebih jauh McLaren mpnpgaskan bahwa pprtagnni kritis bertekad untuk
menciptakan proses belajar dan pengambilan tindakan melalui solidaritas dengan
kelompok-kelompok
yang
terpinggirkan.
Pendidikan
aiiakukan
melalui
proses
dialecticai yakni menemukan problem dari kelompok-kelompok yang dirugikan oleh
struktur sosial, dan mencari akar problem dalam konteks sosial dan historis yang
lebih luas (Mc Laren, 1998: 171). Secara singkat dinyatakan bahwa pedagogi kritis
adalah
proses
pendidikan
yang
mendorong
"self-emnowerment
and soda!
tranformatton".
Seperti hainya McLaren, Giroux juga berangkat dari kritiknya tehadap
sekolah. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memainkan peran penting dalam
mereproduksi budaya positivistik, yang secara langcung atau tidak langsung sekolah
beroperasi
berdasarkan
tuntutan
budaya
tersebut,
dan
secara
historis telah
menciptakan praktek ketidakadilan dalam masyarakat (Giroux, 1997: 27). Untuk
mengatasi
hal
itu,
sekolah harus membangun formasi sosial alternatif serta
pandangan hidup yang akan mempengaruhi kesaddraan dan struktur vital terdalam
kebutuhan siswa.
Bah 2
Demikian juga guru harus mengembangkan teori dan praktek
100
\
«
m
w
pedagogis yang menghubungkan atara self-reflection dengan understaA
satu komitmen untukmelakukan perubahan meluas dalam masyarakat.
Secara
lebih
spesifik,
penerapan
pedagogi
kritis
dalam
a
pendic
multikultural dikembangkan oleh Sonia Nieeto. Dalam bukunya Affiirming Diversity
(1991), di jelaskan bahwa pendidikan multikultural berlandaskan filosofi pendidikan
kritis (critica! pedagogy)., yakni terfokus pada pengetahuan, refleksi, dan tindakan
sebagai basis perubahan sosial, serta pengembangan prinsip-prinsip demokrasi
untuk keadilan sosiai (Niieto, 1991: 208) . Dalam hai ini pendidikan multikultural
didefinisikan sebagai: 1) pendidikan antirasis, artinya pendidikan multikultural
bersifat inklusif dan seimbang, serta
menjamin akses siswa keberbagai sudut
pandang dalam melihat sesuatu; 2) pendidikan multikultural merupakan pendidikan
dasar sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seperti halnya
membaca, menulis, berhitung, karena itu pendidikan multikultural merupakan bagian
dari kurikulum inti; 3) pendidikan multikultural untuk semua siswa, bukan hanya
untuk kelompok yang dirugikan oleh struktur sosial saja; 4) pendidikan multikultural
bersifat prervasiv artinya menyatu dengan lingkungan kelas, kurikulum, hubungan
guru dan siswa, dan dalam komunitas; 5) pendidikan multikultural adafah pendidikan
untuk keadilan sosial yakni belajar berfikir lebih inklusif dan ekspansif, merefleksikan
apa yang dipelajari, dan mengambil tindakan untuk keadilan sosial berdasarkan
refleksi tersebut; 6) pendidikan multikultural auaia'n sebuah proses; dan 7)
pendidikan multikultural adalah pedagogi kritis, yang menegaskan keragaman
Hnh ?
101
budaya dan bahasa sesuatu yang harus diakui secara terbuka bukan ditekan
kebawah permukaan.(Nieto,1991: 208-223).
Sedikit berbeda dan terkesan lebih lunak, Gary Howard dalam bukunya We
Cant Teach What We Dont Know mengembangkan perspektif rekonstruksionis
dalam pendidikan multikultural dengan bentuk persona! transformation and sociaf
transformation (Howard, 1999:5,100). Dalam transformasi personal, dimulai dengan
guru menyadari kenyataan dirinya dalam konteks hubungan antar ras, jender dan
kelas sosiai yang menyebabkan ketidakadilan bagi satu kelompok.
Kemudian
mengubah cara berfikir, cara pandang, dan cara bertindak yang semula bersifat
fundamentalis (tertutup, cenderung memandang diri lebih dari yang lain) atau
integrasionis (mulai mengakui keberadaan orang lain tapi masih menganggap diri
lebih
baik),
menjadi
bersifat
transformasionis
(lebih
terbuka,
egaliter,
dan
multiperspektif). Sedang dalam konteks sosial, guru (setelah menjalani transformasi
personal)
melakukan
perubahan
tatanan
sosiai
yang
menyebabkan
dirinya
terkungkung oleh cara berfikir fundamentalis atau integrasionis.
Kelompok
rekonstruksionis
melihat
transformasi
dalam
pendidikan
multikultural merupakan keharusan. Titik tolak keharusan ini dari kesadaran bahwa
masyarakat demokrasi yang beragam akan berfungsi secara sempurna bila semua
anggota meyakini bahwa mereka adalah bagian yang integral dari struktur
kelembagaan dan sosial; jika atid kelompok yang merasa dtpiftygirkan, mengalami
keterasingan, maka polarisasi etnik akan terjadi (Banks, 1991: 460). Oleh karena itu
tujuan utama dari pendidikan adalah membentuk kemampuan kuftuaial siswa
Hoh 2
102
sehingga dapat menantang dan menstruktur kembali masyarakat sehingga lebih
inklusif, adil, dan demokrasi (Lankard, 1994).
Sejalan dengan pandangan yang melihat ke depan itu, kalangan pendidikan
di AS menekankan bahwa pendidikan multikultural diperlukan karena beberapa
alasan mendasar (Massaro,1993: 48-51. Pertama, dalam sejarah Amerika pernah
terjadi pendiskriminasian warga berdasarkan ras, agama, etnisitas, dan juga jender
yang membuat pemahaman
tentang persoalan-persoalan keragaman ras, dan
agama menjadi kabur. Misainya, berbicara tentang etninistas hanya sebatas
kelompok Black American. Demikian pula penanganan persoalan ras dan etnisitas
menjadi sempit, terbatas pad3 dikotomi kesadaran ras dan separatisme di satu sisi,
dengan buta ras dan asimilasi di sisi lain. Karena itu, perlu pendidikan multikultural
untuk memperjelas konsep-konsep tersebut.
Kedua,
sejalan dengan
pendapat pakar pendidikan
yang
menyatakan
pendidikan adalah mentransmisikan budaya kepada generasi muda. Untuk ini perlu
diperkenalkan keanekaragaman ideologis dan budaya Amerika beserta konflik yang
terjadi di dalamnya.
Ketiga, memasukkan multikultural ke dalam kurikulum merupakan keharusan
yang sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusi Amerika. Bagi sejarawan konstitusi
ketidaksetujuan kelompok multikultural terhadap kurikuium nasional yang seragam,
merupakan perjuangan kelompok yang terpinggirkan untuk memperoleh hak yang
penuh dan sama sebagai warga negara. Karena konstitusi memberikan jaminan
terhadap kesamaan hak tersebut.
Bah 2
103
Keempat, pendidikan multikultural dipandang perlu untuk memperkaya
pengetahuan dan pemahaman siswa tentang pahlawan dan sejarah Amerika dengan
menggunakan model yang sesuai menurut ras dan etnik.
Demikian pula Geneva Gay (1994), menyimpulkan bahwa pendidikan
multikultral diperlukan karena realitas sosial dan kebutuhan psikologis siswa. Dari
segi realitas sosial adalah heterogenitas masyarakat yang terus meningkat dengan
kedatangan imigran-imigran baru. Sementara selama ini, prasangka, stereotype
antar etnik yang sudah ada di AS, tetap berlanjut di semua bidang seperti
pendidikan, pekerjaan, dan pergaulan. Realitas lain berkenaan dengan keterlibatan
negara dalam pergaulan global semakin tidak terhindarkan.
Dari segi psikologis
menyangkut dengan adanya pengaruh budaya terhadap perkembangan manusia.
Jika seorang pendidik menempatkan perlakuan terhadap anak didik sebagai manusia
adalah prioritas tertinggi, maka perlu adanya perhatian terhadap keragaman
identitas yang dibawa siswa ke sekolah.
Untuk mencapai tujuan transformatif pendidikan multikultural dikembangkan
dalam lima dimensi (Banks, 1997: 69). Kelima dimensi itu adalah: 1) integrasi
konten, merupakan cara guru mengambil contoh dari berbagai budaya dan
kelompok untuk mengilustrasikan konsep-konsep kunci, prinsip, generalisasi dan
teori di datam bidang-bidang studi; 2) proses konstruksi pengetahuan, yang terdiri
dari metode kegiatan, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru untuk
membantu siswa memahami, menemukan, dan menentukan bagaimana bentuk
tersembunyi dari asumsi-asumsi budaya, kerangka berfikir, dan bias dalam menarik
Hah 2
104
kesimpulan sehingga terbentuk pengetahuan; 3) mengurangi prasangka ras, adalah
perubahan sikap dan cara pandang siswa yang terbawa bias ras dengan bantuan
guru sehingga menjadi sikap yang lebih demokratis; 4) pedagogi kesetaraan (eguity
pedagogy) adalah ketika guru mengubah cara-cara mengajar mereka agar lebih
membantu pencapaian akademik siswa dari berbagai ras, budaya, etnik, dan
kelompok jender (culturalfy sensitive teaching strategi?s>, dan 5) memberdayakan
budaya sekolah dan struktur sosial untuk memandang sekolah sebagai sistem sosial
yang kompleks, yang mencakup reformasi semua aspek pendidikan.
Sehubungan dengan dimensi tersebut ada tiga tipe pendidikan multikultural
yang berkembang di Amerika Serikat (Burnett, 1998). Pertama, Content-Oriented
Program dengan tujuan utama adalah untuk merangkum isi kurikulum dan materi
pendidikan dengan
beragam kelompok budaya untuk meningkatkan pengetahuan
sisiwa tentang kelompok tersebut. Kedua, Student-Onented Program merupakan
kegiatan ekstrakurikuler yang ditujukan memenuhi kebutuhan akademik kelompok
siswa dari kalangan minoritas. Tujuan program ini adalah meningkatkan prestasi
akademik kelompok siswa minoritas tersebut.
Ketiga,
SociaUy-Orientsd Program
yang kegiatannya adalah melakukan reformasi sekolah dan konteks politik dan
budaya dari sekolah dengan tujuan untuk membuat pengaruh yang lebih luas
tentang toleransi budaya, ras, dan mengurangi bias budaya dan ras.
Salah satu contoh dari program pendidikan multikultural yang komprehensif
adalah proyek REACH (Respecting Ethnic and Cuttura! Heritage) yang meraih
prestasi sebagai program yang berbasis disiplin akademis (Webb, 1990). Program ini
Bah 2
105
meliputi proses dan kurikulum multikultural, proses pelatihan guru, dan dikelola
berdasarkan distrik atau sekolah. Program bergerak dalam empat fase: 1) human
relalions skitts, siswa berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan self-awareness,
self-esteem, komunikasi interpersonal, dan pemahaman dinamika kelompok; 2)
cultura! self-awareness, siswa melakukan riset tentang budaya personal, sejarah
keluarga atau masyarakat; 3) multicultural awareness, yaitu siswa belajar dari
booklet mengenai sejarah Amerika dari berbagai sudut pandang etnik yang berbeda;
dan 4)cross cultura! experience, informasi sejarah dan budaya di dalam booklet
dibuat menjadi bersifat personal melalui dialog dan pertukaran antar siswa dan
orang dewasa dari berbagai kelompok etnik.
Sebagai bagian dari gerakan pendidikan multikultural adalah pengembangan
kurikulum
yang
responsif secara
budaya.
Pandangan
yang
paling
umum
menyatakan bahwa tujuan kurikulum ini adalah sebagai strategi untuk meningkatkan
prestasi akademik dan mempertinggi self-esteem siswa yang berbeda warisan
budaya, bahasa, dan ras dari penduduk keturunan [Eropa (Abdal Haq, 1994).
Karakteristik kurikulum yang responsif secara budaya antara lain: 1) terintegrasi dan
interdisipliner; 2) autentik, terpusat pada siswa, dan terkait dengan kehidupan siswa
yang sesungguhnya; 3) mengembangkan keterampilan berfikir kritis; 4) seringkali
menggunakan strategi gabungan yang mencakup cooperative leaming dan whole
language instructiorr, 5) didukung oleh staff ahli dan program pelatihan; dan 6)
terkordinasi dengan strategi bidar.g lain di sekolah.
Hoh 2
106
Bagi bangsa Indonesia, pendidikan multikultural merupakan kebutuhan yang
tidak dapat ditunda. Pertama dilihat dari sudut filsafat bangsa (Pancasila) yang
melandasi
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
sebagai
fakta
legal
yang
memberikan landasan bahwa Negara Indonesia dibangun atas dasar pengakuan
terhadap hakikat kodrat manusia yang tidak tunggal, tetapi sebagai makhluk yang
oleh Notonagoro (1981: 89) di istilahkan dengan mono-plural.
Istilah ini
diterjemahkannya sebagai makhluk tunggal yang terdiri atas bert)agai aspek
kodratiah: sebagai makhluk ciptaan Maha Khaliq, sekaligus sebagai makhluk individu
dan sosial. Ke-pluralan hakikat kemanusiaan secara lebih luas dapat diterjemahkan
sebagai ke-pluralan masyarakat Indonesia yang menganut berbagai agama, serta
tumbuh dan berkembang dalam berbagai tradisi (etnik, bahasa, dan adat istiadat)
yang berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan kemajemukan bagi bangsa Indonesia
merupakan kodrat kemanusiaan yang mengimplikasikan pengakuan secara luas
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Agak lebih kongkrit, landasan filosofis ini telah dikembangkan dalam Undang
Sistem Pendidikan Nasional seperti dicantumkan dalam Bab 1 mengenai ketentuan
umum yang menyatakan bahwa: "Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan
tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman".
Demikian juga dalam Bab III fasal 4 ayat 1 tentang prinsip penyelenggaraan
pendidikan, dinyatakan bahwa: "Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
Bah 2
107
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
niiai keagamaan, nifai kultural, dan kemajemukan bangsa*'.
Selain alasan filosofis, kenyataan sosial yang ada juga merupakan kondisi
nyata
yang
mendesak perlunya
pendidikan
multikultural.
Berbagai
peristiwa
pertikaian antar kelompok atau golongan yang terjadi akhir-akhir ini, menunjukkan
bahwa tingkat keasadaran bangsa Indonesia terhadap keragaman masyarakat baru
sampai pada level pengakuan yang dangkal, sebatas wacana bahwa kita bangga
sebagai masyarakat yang heterogen. Konflik-konflik sosial tersebut merupakan
indikasi bahwa kebanggaan terhadap kenyataan pluralitas bangsa tidak didasarkan
atas
pengetahuan
yang
dalam
tentang
hakikat
keragaman
budaya,
dan
penghargaan yang tinggi terhadap keragaman budaya tersebut (Ahimsa-Putra,
2005: 5).
Dengan kata lain, kesadaran multikulturalisme bagi bangsa Indonesia
masih rendah, bahkan mungkin multikulturalisme belum menjadi bagian kehidupan
sosiai bangsa Indonesia.
Kekurangan yang sama juga terlihat dalam bidang pendidikan. UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sudah memberi peluang (v/alau hanya
sebatas ketentuan umum) bagi pendidikan yang bersifat multikultural. Akan tetapi,
dalam level kurikulum dan pembelajaran
belum ada satu istilah dan bentuk
pendidikan multikultural yang sistematis dan lengkap dengan landasan filosofis,
psikologis dan pedagogis yang jelas ">t has not yel bten developed by design in the
educationalsysteni' (Semiawan,20C4: 37). Di kalangan dunia pendidikan, khususnya
PIPS, wacana pendidikan multikultural ini belum banyak dibicarakan. Kalaupun ada
Hah 2
108
tentang partisipasi dalam masyarakat multikultural telah disinggun
pelajaran sosiologi kelas II SLTA, hanya terbatas pada satu sub pokok
Kenyataan yang dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa
perhatian terhadap pendidikan multikultural. Demikian juga hafnya dari kalangan
pendidik sendiri. Sebagai contoh kecil, dalam suatu penelitian eksplorasi (Gaylord,
2003) di Padang, tentang pendapat pendidik (gun.i dan dosen) mengenai pendidikan
multikultural, ditemukan pendapat yang sangat beragam. Ada yang mengatakan
bahwa pendidikan muitikuiturai tercakup daiam
pendidikan kewarganegaraan,
khususnya topik mengenai kesadaran beragama. Ada juga .yang mengatakan
pendidikan multikultural dengan memperkenalkan budaya daerah kepada siswa.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa pendidikan multikultural merupakan
pendidikan yang membangkitkan kesadaran siswa tentang keberagaman etnik dan
perbedaan agama di Indonesia, serta meningkatkan kesempatan pendidikan yang
menghargai persamaan hak. Meskipun penelitian ini sangat terbatas dan bersifat
eksploratif, sedikit memberikan gambaran bahwa, konsep pendidikan multi budaya
atau multi etnik belum menyatu daiam dunia pendidikan kita.
Berdasarkan tinjauan filosofis dan sosial yang drkemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa kebutuhan bangsa Indonesia saat ini terhadap pendidikan
muitikuiturai semakin mendesak baik dari segi kondisi internal maupun eksternal.
Secara
internal
kehendak
kodratiah
kemanusiaan
dari
bangsa
Indonesia
sebagaimana tercermin dalam filsafat bangsa adalah sebuah hutang moral sekaligus
Bah 2
109
politis yang harus diwujudkan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara
yang ideal.
Kondisi internal lain adalah fakta sosial yang menunjukkan tingginya tingkat
keragaman dalam masyarakat Indonesia memerlukan perhatian khusus. Setelah era
reformasi dan otonomi daerah tampak gejala yang mengarah kepada semakin
tingginya kesadaran terhadap identitas kedaerahan dan kemajuan daerah bagi
warga negara.
Gejala ini akan menjadi destruktif jika tidak disertai dengan
kesadaran kebangsaan dan pemahaman yang tinggi terhadap perbedaan antar
budaya yang
ada. Di samping itu dari sisi eksternal ditandai dengan kenyataan
global yang membuat batas antar negara secara budaya dan ekonomi semakin
kabur merupakan ancaman hilangnya identitas nasional.
Fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia dan fenomena global dalam
hubungan antar masyarakat dunia dapat meniadi faktor pemicu
konflik dan
merugikan bagi kepentingan bangsa Indonesia ke niasa depan. Hal ini akan lebih
mudah dipahami jika ditinjau dengan tesis Samuei
liuntington (2003:
edisi
terjemahan) tentang benturan peradaban, schirv;;i*~i akan lebih mudah dimengerti
i rrrjon^t ponrtirtiknn mnHiloiltNr.il d.tl.tm kehidup-1" in.Ky.irnkat Indonesia sebagai
upaya menghindari konflik l<-i-.rhtil. Huntlnuh i n 1H1l1.1t
enam
alasan dasar
mengapa benturan peradaban meniarii fokus periialian dalam penataan kehidupan
politik masa depafi, dua digulaianya paling ivirvan untuk permasalahan yang
srilaiwi dlltl( arakan adalah: 1) p.indaiiyan masyai.il.al y.iinj herheda akan membawa
perbedaan pandangan lenlano nlv.r h.ilk antara luluri dan mnniisia, individu dan
a,,h >
kelompok, orang tua dan anak-anak dan seterusnya; dan 2) dunia semakin
mengecil, interaksi antara masyarakat semakin tinggi. Bila interaksi semakin tinggi
akan semakin tinggi kesadaran peradaban sendui dan semakin sensitif terhadap
perbedaan.
Bila tesis ini diterapkan pada fenomena keragaman masyarakat
Indonesia kekhawatiran terjadinya perbenturan antar kelompok yang dilandasi
perbedaan nilai sangat mungkin rerjadi, terutama dalam kondisi rendahnya interaksi
lintas kelompok atau budaya yang berbeda.
Untuk bisa membangun pendidikan multikultural ai Indonesia, saat ini dapat
dimulai dari pemikiran hipotetik. Dengan catatan, pemikiran itu tetap berangkat dari
fakta keragaman budaya dan etnik dalam masyarakat Indonesia yang berbeda dari
negara lain. Sebagaimana sudah dibicarakan pada Bab 1 disertasi ini, bahwa di
Amerika serikat, demikian juga rli beberapa negara main seperti Kanada, Inggris,
dan Australia masing-masing memiliki masalah multikultural yang unik sesuai
dengan latarbelakang masyarakatnya. Demikian juga pendidikan multikultural yang
dikembangkan oleh setiap negara bertolak dari kekhasan permasalahan mereka.
Persoalan keragaman dalam masyarakat Indonesia juga unik dan berbeda
dari negara laini. Merujuk kepada gagasan multikultural oleh Kymlicka (2002, edisi
terjemahan:
14),
keragaman
masyarakat
Indonesia
saat
ini
merupakan
penggabungan dari berbagai "bangsa-bangsa" yang dulu terpisah-pisah sehingga
menjadi satu kesatuan, ditambah dengan imigran-imigran yang datang dan menetap
di Indonesia sehingga menjadi bagian dari warga bangsa. Dalam pengertian ini
bangsa Indonsia adalah kumpulan dari "bangsa-bangsa" dapat juga disebut
Hah 2
111
multibangsa. Setiap "bangsa" itu membawa budaya., nilai, dan bahkan agama yang
beragam. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa kekhasan keragaman masyarakat
Indonesia terletak dalam dua istilah yaitu: bangsa dengan multibangsa dan
multimental.
Selain itu masih ada keunikan masyarakat majemuk Indonesia. Jika menurut
Kymlicka dikatakan dalam multibangsa atau multietnik ada kelompok mayoritas yang
dominan dan kelompok minoritas yang terpinggirkan, maka dalam masyarakat
Indonesia semua kelompok etnik dan agama memiliki posisi yang sama dalam
negara dan masyarakat seperti yang dijamin oleh konstitusi dan dasar negara. Bagi
bangsa
Indonesia
persatuan
dan
kesatuan
menjadi
landasan
dasar
dalam
membentuk negara (Pokok-Pokok Pikiran dalam Pembukaan UUD 1945)
Secara konstitusional masyarakat Indonesia sudah mempunyai jaminan
untuk hidup dalam keragaman. Tetapi kekomplekan keragaman masyarakat (yang
mungkin dapal menimbulkan masalah) terdapat udidin perbedaan karakteristik
setiap kelompok. "Setiap kelompok memiliki 'budaya" internal sendiri sehingga
berbeda dengan kecenderungan 'budaya' internal kategori sosial yang lain; sehingga
kalau dipetakan secara lebih teoritis, bangsa Indonesia dari segi kultural maupun
struktural memantulkan tingkat keragaman yang tinggi" (Syahid, 2003: 1). Lebih
jauh
dianalisis lagi, bahwa ketajaman keragaman mt diperkuat oleh
kebiasaan
kelompok terutama yang berbasis agama untuk berasosiasi dengan anggota yang
beridentitas sama. Misalnya umat Islam, berdasarkan suatu penelitian, terbukti 70 %
Bah 2
II?
memasuki organisasi dengan basis Islam, sedangkan yang aktif dalam organisasi
sosial umum hanya 15 %.
Di satu sisi, tingginya interaksi internal kelompok mengandung potensi positif
yakni dapat memperkuat identitas etnik sehingga menciptakan rasa aman dan rasa
memiliki
oleh
individu
di
tengah-tengah
masyarakat
yang
beragam,
dapat
mengembangkan rasa penghargaan terhadap diri sendiri sebagai modal untuk dapat
menghargai orang lain, dan sebagai sarana belajar untuk mempelajari mitos
kelompok sendiri dan menemukan faktor-faktor yang membuat ketidakseimbangan
dengan lingkungan (Moradian, 1996: 4)
Tetapi di sisi lain, rendahnya interaksi eksternal antar kelompok dapat
menjadi sumber kecurigaan antar kelompok dan dimanfaatkan oteh kelompok yang
ingin mencapai tujuan politis sesaat Kekentalan identitas ini menurut para ahli
tentang konflik di Indonsia telah dijadikan alat oleh penguasa untuk mencapai
tujuan politiknya (van Klinken, 2004: 91-116; Al Qadrie, 2003: 112). Demikian juga
pandangan media massa dan NGO (hasil penelitian disertasi
ini) menunjukkan
bahwa konflik terutama di Maluku dan Poso dilatarbelakangi oleh pelaku-pelaku
politik yang memanfaatkan identitas kelompok yang sudah terbangun dalam
masyarakat. Bahkan identitas kelompok yang sudah ada dikembangkan lagi menjadi
konflik dengan wacana-wacana
heroik oleh
para elit dan diperkuat dengan
pemberitaan media massa yang memihak (Bubandt, 2000: 29).
Bertolak dari
uraian
di
atas dapat disimpulkan
keunikan
keragaman
masyarakat Indonesia terletak dalam keanekaragaman identitas setiap kelompok,
Hoh 2
113
kekentalan
identitas
masing-masing
kelompok,
dan
keanekaragaman
itu
dipersatukan secara politis dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang dijamin
secara konstitusional. Agar kesatuan dapat dipertahankan, maka diperlukan: 1)
penataan masyarakat yang memberikan rasa keadilan, inklusif, dan kesetaraan
terhadap semua kelompok; dan 2) pegembangan interaksi antar warga yang
bersifat
saling
menghormati,
toleransi,
dan
sederajat
Kedua
kebutuhan
mengandung aspek perubahan dalam diri Individu warga masyarakat dan perubahan
dalam tatanan sosial.
Berangkat dari dua kebutuhan ini, maka dapat dihipotesiskan bahwa
diperlukan pendidikan multikultural dengan tujuan transformatif yakni membentuk
cara pandang positif masyarakat tentang dirinya dan orang lain, sehingga tercipta
hubungan yang harmonis antara satu kelompok dengan kelompok lain atas dasar
saling menghargai,
menghormati, toleransi, dalam konteks negara kesatuan
Repubiik Indonesia, dan (pada akhirnya) untuk membangun masyarakat yang lebih
setara, inklusif, dan demokratis.
Sebagaimana telah dibahas di atas pendidikan transformatif dikembangkan
dalam kerangka rekonstruksi sosial, yakni pengkajian kritis tentang pengaruh
budaya, sosial, dan kelembagaan yang telah mempengaruhi pembentukan cara
berfikir yang telah mapan. Kemudian diikuti dengan tindakan perubahan cara
pandang negatif tentang diri dan hubungan dengar t orang lain, dan perubahan
tatanan sosial yang menyebabkan terlembaganya cara pandang negatif dalam
hubungan antar kelompok.
Hah 2
Selain
itu,
filsafat
rekonstruksionis
dalam
pendidikan
multikultural
di
Indonesia perlu dikembangkan bersama kerangka psikologis yang akan menjadi
acuan
guru
dalam
mendefinisikan
siswa,
pencapaian
pendidikan,
dan
mengembangkan proses pendidikan yang sesuai dengan gagasan rekonstruksionis.
Dalam hal ini, landasan psikologis pendidikan multikultural yang dimaksud ada
dalam gagasan L.S Vvgotsky mengenai Sociai Origins of the Higher Menata! Process,
dan gagasan Jerome Bruner yang melihat psikologi bukan persoalan prilaku tetapi
Action in a Sociaily Situated Meaning. Keduanya melihat bahwa proses belajar bukan
sebagai ruang isolasi yang terpisah dari konteks sosial, budaya, dan historis.
Kerangka kerja teoritis dari Vygotsky yang relevan dalam konteks pendidikan
multikultural ini adalah " the Higher Mental Process" sebagai proses perkembangan
yang berawal dalam tataran sosial dan kultural, kemudian ditransformasi ke tataran
personal
(Driscoll,
2000,
244;
Vygotsky,
1978;
Wertsch,
pandangan Vygotsky, perbedaan kemampuan (performance)
1983:24).
Dalam
dalam tugas-tugas
berfikir ada dalam suatu kontinum evolusi sosial. Misalnya perbedaan kemampuan
berfikir masyarakat melek huruf, terletak pada titik the higher mental process, dan
masyarakat buta huruf pada titik yang lainnya.
Karena itu belajar disesuaikan
dengan perkembangan seseorang.
Untuk memahami cara kerja the Higher Mental Process,
ada tiga konsep
yang terkait sebagai berikut.
Pertama, the higher mental process (proses mental yang lebih tinggi) terjadi
apabila ada mediasi. Proses awal belajar ada dalam tataran sosial kemudian
Bah 2
115
ditransformasi menjadi tataran psikologis melalui mediasi. Dalam hal ini mediasi di
definisikan sebagai perubahan situasi stimulus dalam proses merespon sesuatu
(Driscoll, 2000: 244). Mediasi ini dapat berupa tanda yang menghadirkan hubungan
sebab-akibat (indexia! signs), atau tanda yang menggambarkan Gbjek (iconic signs),
atau tanda yang menghadirkan hubungan abstrak dengan objek (symbolic signs).
Proses mental yang lebih tinggi akan tercipta apabila mediasi meningkat menjadi
internal dan simbolik.
Konsep kedua, internaiization (internalisasi), yakni fungsi mental yang lebih
tinggi pada awalnya berfungsi sosial dan karena itu berlangsung dalam tataran
eksternal. Fungsi itu berubah menjadi fungsi psikologis ketika makna yang dipahami
melalui mediasi diinternalisasi, sehingga dalam proses ini dikatakan "telah terjadi
transformasi aktifitas interpersonal menjadi aktifitas infra personal". Pada saat ini
pembicaraan diri (ego~speech) diarahkan dari dalam diri.
Konsep ketiga Zone of Proximai Deveiopmeni (ZPD).
Konsisten dengan
pandangannya tentang proses perkembangan, maka zona ini adalah cara memahami
bagaimana proses dimulai. Vygotsky mendefinisikan ZPD sebagai:
The zone of proxima! development is the distance between the actual
development level as determined by independen!: prcbfern soJving and the evel of
potential deveiopment as determined through problem soiving under aduit guidance
or in coliaboration with more capabte peers (Vyaotksky, 1978: 86)
Fungsi dari ZPD adalah untuk memecahkan masalah praktis dalam hal
mengukur kemampuan intelektual anak, dan mengevaluasi praktik pengajaran
(Wertsch, 1985: 67). Vygotsky melihat perkembangan dan pengajaran tidak sama,
tetapi mewakili dua proses yang terkait secara kompleks. Di satu sisi pengajaran
Ha h 2
116
menciptakan 2PD. Namun perkembangan potensial (yang dicapai melalui bantuan
orang dewasa) bukan sesuatu yang tinggi.
Anak dapat beroperasi hanya dalam
batas tertentu yang cocok dengan keadaan perkembangannya dan kemungkinan
perkembangannya.
Jadi
ZPD
ditentukan
secara
bersama-sama
oleh tingkat
perkembangan anak dan bentuk pengajaran yang dilakukan.
Legacy yang kedua sebagai landasan psikologis pendidikan multikultural
adalah dari Bruner. Gagasannya di sebut juga dengan A Cuitura! Psychoiogy, yang
memberi perhatian kepada hubungan antara action dan saying (or experiencing)
sebagai peristiwa yang terjadi dalam prilaku kehidupan yang asli, merupakan hal
yang dapat ditafsirkan (Bruner, 1990: 19). Selanjutnya dinyatakan bahwa tindakan
disituasikan dalam setting kultural, dan terjadi dalam saling interaksi yang disengaja
oleh partisipan.
Bagi Bruner, konsep sentral dalam psikoloqi manusia adalah meaning, dan
proses serta transaksi yang dibuat aaiam mengkonstruksi meaning (makna). Konsep
ini didasarkan pada dua argumen yaitu, 1) untuk memahami manusia kita harus
memahami bagaimana pengalamannya dan tindakannya dibentuk oleh keadaan
maksudnya {intentionaf state)] dan 2) bentuk dari intentionaf state dipahami hanya
melalui partisipasi dalam sistem budaya simbolis.
Gagasan ini sangat relevan dalam interaksi masyarakat
dengan budaya
demokrasi. Namun untuk menghindari relativisme, Bruner (1990: 30) menegaskan
pentingnya open-mindedness - baik dalam bidang politik, sains, sastra, filsafat, dan
seni. Dengan open-mindedness adanya kemauan untuk menafsirkan pengetahuan
Bah 2
117
dan nilai dari berbagai perspektif tanpa kehilangan komitmen terhadap nilai sendiri.
Dengan open-mindedness kita dituntut untuk menyadari bagaimana kita sampai
kepada pengetahuan kita dan nilai-nilai yang membawa kita ke dalam satu
perspektif yang kita miliki. Berarti kita bertanggung jawab tentang bagaimana dan
apa yang kita ketahui, dan tidak memaksakan bahwa hanya ada satu-satunya cara
yang benar untuk menafsirkan pengetahuan. Akan tetapi, untuk dapat menghadapi
perubahan yang begitu banyak dalam kehidupan, seseorang tetap bertolak dari nilai
yang diyakininya.
Berdasarkan kerangka berfikir rekonstruksi sosial, dan pandangan psikologi
sosiohistoris-kultural tentang pendidikan sebagaimana telah dibahas terdahulu,
maka pendidikan multikultural yang bersifat transformatif dapat dilaksanakan secara
lebih
konseptual.
membangkitkan
Artinya
kesadaran,
konsep-konsep
melakukan
pedagogis
transformasi
yang
diri
ditujukan
dan
sosial,
untuk
serta
berpartisipasi daiam perubahan masyarakat akan menjadi iebih terarah dan memiliki
landasan yang kuat Secara teknis hubungan landasan filosofis, psikologis, dan
pedagogis ini dikembangkan pada Bab IV.
2.4 Analisis Wacana Kritis ( Critica!Discourse Analysis) dan Media Massa
Uraian tentang media massa dalam bagian ini digabung dengan analisis kritis
wacana. Ha! ini didasarkan pada dua sisi. Pertama, dari segi peran media massa
dalam masyarakat multikultural (fungsi sosial media massa). Salah satu keunggulan
dalam masyarakat majemuk yang dikelola secara demokratis, adalah terciptanya
Hnb 2
118
ruang-ruang publik yang dapat menjadi tempat penuangan gagasan terwujudnya
masyarakat yang
ideal,
dan
katalisator dalam
menyelesaikan
persoalan (Mc
Chesney, 2000; Haberrnas, 2005: www.wikipedia.com). Untuk ini peran media
massa adalah sebagai ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan
kecerdasan, serta berorientasi pada derajat kemanusiaan (Siregar, 2002), Kedua,
media massa juga memiliki fungsi internal
yang hpmrientasi kepada kepentingan
pemilik. Fungsi ini sering menjadi perdebatan di kalangan ilmu sosial yang melihat
pemberitaan media massa "periu dicurigai" karena ada ''hegemoni" ideologi yang
membuat berita media menjadi bias. Untuk ini diperlukan kajian khusus untuk
mencermati berita media massa.
Sejalan dengan tujuan umum penelitian ini untuk membantu menciptakan
masyarakat multikultural yang demokratis, melalui pendidikan, dan menggunakan
media massa sebagai titik berangkat, maka pembicaraan tentang
media massa
tidak bisa dipisahkan dari metode menggali berita dari media massa. Uraian ini pada
dasarnya dikembangkan daiam tema peranan analisis kritis wacana dalam penelitian
dan penggalian informasi melalui media massa.
2.4.1. Analisis Wacana Kritis
Kehadiran
pemikiran
postmodernisme
dalam
dunia
penelitian
pendidikan
membawa makna baru tentang hakikat kebenaran. Selama berabad-abad dipegang
anggapan bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang lahir dari proses
penelitian yang dikontrol secara ketat sehingga memunculkan'suatu teori baru dan
nah ?.
c
I!>
membatalkan
kebenaran teori yang lama (Kuhn, 1978; Capra, 2002). Kebenaran
yang menyatakan suatu teori adaiah valid, sementara teori yang lain tidak,
menimbulkan kritik dari kalangan penganut posli Modernisme yang mengatakan
bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak, semua budaya memiliki klaim kebenaran
yang sama tentang sesuatu; pencarian kebenaran seperti yang dianut selama ini
harus digantikan dengan "conver^ation among manv voices" (Borg & Gali, 2003:
27).
Tradisi penelitian seperti yang dituntut penganut postmodernisme berkembang
dalam bentuk pendekatan penelitian kualitatif (Borg & Gali, 2003; Maxwell 2004;
Cresswell, 1998). Menurut Borg & Gali (2003: 501-511) satu di antaranya dalam
bidang kajian bahasa dan komunikasi dengan bentuk penelitian: 1) kajian tentang
pola-pola komunikasi budaya yang mencakup ethnosciencp. ethnographic content
anatysis,
dan
ethnography
of communication;
2)
interpretasi
teks
atau
hermeneutics; 3) studi tentang sistem tanda atau semiotics; dan 4) studi tentang
properti sistem fenomena yang disebut stnicturatism dnn poststructuralism. Selain
itu ada lagi pendekatan dalam kajian bahasa dan komunikasi atau teks yang disebut
discourse anafysis (V a n Dijk, 1985a: 8)
Pada awalnya ahli bahasa dalam studi mereka banyak berkonsentrasi pada
persoalan-persoalan formai dari penggunaan bahasa seperti phonoiogy,
dan
morphoiogy,. Kajian ini menempatkan bahasa sebagai bidang yang terisolasi dari
konteks di mana bahasa digunakan (Coulthard, 1977: 3). Tetapi dari berbagai hasil
penelitian ditemukan bahwa bahasa tidak terlepas dari konteks, dan karena itu
Hnh 2
120
A
pemahaman bahasa iuga tidak dapat dipisahkan dari konteks. Atas dasar
f
dekade 60 an terjadi perluasan kerangka kajian ke dalam bentuk nyata p e n o ^ ^ j ^ ^ ^
bahasa yaitu discourse (Van Dijk, I985b : 3).
Lebih jauh Van Dijk menjelaskan bahwa kajian discourse (wacana) berusaha
mengaplikasikan kelengkapan bahasa (grammar) yang bersifat formal dan teoritis
ke dalam deskripsi struktur wacana yang melampaui sekedar analisis kalimat
Analisis struktur terus mengalami perkembangan menjadi analisis fungsional yang
melihat sebuah wacana sebagai bagian dari konteks di mana ia terjadi. Dari sini awal
pendekatan analisis wacana yang bersifat interdisipliner dengan menggunakan
konsep-konsep psikologi, dan ilmu-ilmu sosial yang meliputi analisis bahasa, kognisi,
interaksi masyarakat dan budaya.
Analisis wacana
menerapkan
metode interpretasi (Van Dijk,1985a:
8
Fairclough, 1992: 3 & 35). Interpretasi dalam semantik dibedakan atas dua tipe
yaitu abstrak dan kongkril (Van Dijk, 1998). Interpreiasi abstrak merupakan upaya
penafsiran wacana dan elemen-elemennya dengan sistem dan aturan sistem dalam
wacana. Sedangkan interpretasi kongkrit adalah interpretasi oleh pengguna bahasa
dengan menggunakan sistem kerja dalam teori psikologi kognitif untuk memahami
sebuah teks (http//www.doscourse-in-society.org/1998). Pengguna bahasa memulai
pemahamannya dengan penafsiran (yang tentatif) pada kata-kata pertama sebuah
kalimat sebelum seutuhnya diuenyar atau dibaca. Untuk itu pengguna bahasa
menggunakan informasi dari teks itu sendiri dan dari konteks secara bersamaan.
Hoh 2
12 i
jj
Informasi tersebut telah tersimpan dalam memori pengguna bahasa. Sistem kerja ini
mirip dengan proses mental dalam teori psikologi.
Pendekatan dalam analisis Leks yang juga menggunakan interpretasi adalah
hermeneutics.
Satu bentuk dari hermeneutika adalah analisis teks yang dapat
tefjadi dalam beberapa level seperti tingkat ekspresi dan makna literal, tingkat
metaforis dan non literal, dan bahkan juga tingkat makna metafisis (Van Dijk
(1985a: 8). Sejalan dengan itu,
Palmer (2003: 38-51) mengemukakan ada enam
definisi hermeneutika yang dapat dipahami dari sejarah perkembangannya yaitu:
1. Hemeneutika sebagai teori eksegesis Bibel, merujuk kepada prinsip-prinsip
interpretasi Bibel. Hermeneutika
merupakan sistem interpretasi untuk
mengungkap makna "terwmhunyiw di balik ("eks Bibel.
2. Hermeneutika sebagai metode filologi, yaitu konsep hermeneutika yang semula
bernuansa Bibel dikembangkan dalam kajian fiioiogis, dan Bibel salah satu di
antara objeknya.
3. Hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik,
yakni medeskripsikan
kondisi-kondisi pemahaman dalam semua dialog. Metode ini disebut juga dengan
hermeneutika umum.
4. Hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geitenswissenschaftens, yakni
sebagai inti disiplin yang dapat berperan sebagai landasan semua disiplin yang
memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan.
5. Hermeneutika sebagai fenomenologi dassein dan pemahaman eksistensial.
Dalam ha! ini kajian difokuskan pada penjelasan fenomenologi keberadaan
manusia itu sendiri.
6. Hermeneutika sebagai sistem interpretasi, yakni menemukan makna.
Hermeneutika merupakan upaya interpretasi teks-teks khusus atau kumpulan
potensial simbol keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks
Di samping itu, Jacques Derrida, (dalam Sumarjono, 1999: 109-128) juga
seorang tokoh yang terkenal dalam bidang hermeneutika, mengemukakan bahwa
teori interpretasi pada dasarnya adalah teori membaca, yang pada akhirnya adalah
teori
tentang
membaca
teks.
'dekonstruksi"
Hoh 2
teks
Pemahaman
Derrida
seseorang
mengembangkan
tergantung
teorinya
kepada
yang
bagaimana
dikenal
ia
dengan
sekitar tahun 70 an (Stevens, 1996). Dia menggunakan metode
122
tersebut
untuk melakukan pembongkaran metafisika yang diartikannya sebagai
flogos, tuturan, dan pemikiran tentang Ada (Hardiman, 1993: 208-209). Bahasa
tulisan menurut Derida berbeda dari bahasa tutur, harus lepas dari pikiran si penulis,
dari reaksi-reaksi pendengar, dari situasi konkret yang menghasilkannya, dan juga
lepas dari kehadiran objek yang dibicarakan. Tulisan adalah "teks" yang bersifat
otonom dalam hubungannya dengan segala konteks; teks adalah jaringan makna
yang diorganisir
dengan karakteristik yang selalu dapat ditafsirkan (Usher &
Edwards, 1993: 137).
Untuk membongkar unsur-unsur metafisis Derrida melakukan dekonstruksi
(pembongkaran metafisis) dari teks dengan memperlihatkan "intertekstualitas" yaitu
memahami teks dengan melihat kaitannya dengan teks-teks lain. Teks ditafsirkan
sedemikian luas sehingga tidak ada sesuatu yang berada di luar teks; antara satu
teks dengan teks lain merupakan satu jaringan
referensi;
memahami teks
merupakan proses yang tak berakhir.
Namun menurut Van Dijk {1985: 9) hermeneutika menggunakan interpretasi
yang lebih bersifat subjektif dibanding dengan interpretasi dalam kajian bahasa yang
lebih bersifat objektif dengan mengikuti aturan interpretasi tatabahasa dan logika.
Sebagai contoh, subjektivitas penafsiran dalam pendekatan hermeneutika seperti
dikemukakan
Ann-Kristin
Riedei
&
Edith-Theresa
Sosa
(2003)
adalah
"pre
understundiny or ptevivus knowiedge" yang terbentuk menjadi bahasa, konsep,
keyakinan, dan pengalaman individual dan personal tentang sesuatu yang berkaitan
dengan objek kajian.
Hnh ?
Karena penelitian mereka tentang mergers dalam media
123
massa Swedia, maka pre understanding yang dimaksud adalah bahasa, latar
belakang ekonomi dan bisnis di Swedia. Dari itu dapat disimpulkan bahwa analisis
wacana dan hermeneutika sama menggunakan inlerprelas,i namun analisis wacana
terikat dengan aturan formal secara logika dan tatabahasa.
Munculnya teori kritis dalam ilmu sosial yang mengangkat konsep-konsep
seperti power, ideologi, hegemoni, dan emansipasi juga turut mempengaruhi
perkembangan metode interpretasi wacana menjadi analisis wacana kritis (critica1
discourse analysis). CDA merupakan pendekatan yang mengkaji hubungan antara
wacana dengan ideologi. Tujuannya adalah untuk mendefinisikan kembali ideologi
dalam cara yang sangat sepesifik sebagai sistem dasar dari kognisi sosia! (Van Dijk,
1998).
Dalam pendekatan ini teks (tertulis atau lisan) dimaknai sebagai ruang sosial
yang menampilkan dua proses sosial yang fundamental secara simultan yaitu kognisi
dan representasi dari dunia, dan interaksi sosial (Fairciough, 1992: 62-100). Bagi
Fairclough, CDA merupakan sebuah kerangka analisis wacana yang menggabung
teori Bakhtinian tentang genre dan teori Gramscian mengenai hegemoni. Analisis
genre berkenaan dengan praktek wacana, sedangkan analisis tentang hegemori
menyangkut praktek sosial budaya.
Secara sederhana kedudukan CDA dalam konteks penelitian kualitatif dapat
dibaca dalam diagram sebagai berikut.
fkib 2
124
Gambar 2.4.1 Posisi Peneiitian CDA dalam Konteks Penelitian Kualitatif
r
Postmodernisme
Postpositivismc
V
i radisi
Kualita
trf
Modernisme
Positivisme
\
'l
!
y
Sosis!
Pendidikan
Bahasa
Format
- r
. {
Kontekstual/ hungsionai
L
Hermen^tikn
J^ I n t e r p r e t a s i ^
I Discourse
Anaiysis
N
\
f Lalui
Discour'je
Anaiysis
^^
H,,h 1
Media
M, iss, i
V
I
2.4.2. Media Massa
Salah satu dari objek kajian analisis wacana kritis adalah media massa,
karena di dalamnya persoalan kekuasaan menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Media massa bergerak dalam masyarakat yang ditandai oleh adanya penyebaran
kekuasaan yang diberikan kepada individu, kelompok, dan kelas sosiai secara tidak
merata, serta dalam beberapa hal media berkaitan dengan struktur politik dan
ekonomi yang berlaku (Mc Quail, 1987: 52). Oleh karena itu, media massa memiliki
konsekwensi
dan
nilai
ekonomi,
serta
merupakan
objek
persaingan
untuk
memperebutkan kontrol dan akses dan juga tidak dapat terlepas dari peraturan
politik, ekonomi, dan hukum.
Dalam disertasi yang berjudul Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa:
Sebuah Studi Critica/ Discourse Anaiysis terhadap Berita-Berita Politik, Hamad (2004:
180) membuktikan bahwa di balik berita-berita yang diungkap oleh media massa
(koran) terdapat "muatan" ideologis yang berbeda antara satu koran dengan koran
yang lainnya. Setiap koran memiliki konstruksi makna, pencitraan, pemihakan, dan
kepentingan yang diperjuangkan sesuai dengan "muatan" ideologis yang dianutnya.
Demikian pula dalam penelitian Riyadi yang dilakukan pada tahun 1994, 1995, dan
1996 mengenai editorial di harian Kompas, Suara Karya, Suara Pembaharuan\ Jawa
Pos, dan Republika (Riyadi, 2003: 43), terungkap bahwa suatu masalah sosiokultural adakalanya ditanggapi secara layak dan terang,
adakalanya tidak oleh
media massa. Hal ini tergantung pada pertimbangan penulis (editorial), jika masalah
itu "aman", terutama menyangkut kebijakan pemerintah, akan ditanggapi dengan
Hoh 2
126
sikap yang jelas. Akan tetapi, jika masalah itu "riskan" secara sosio kultural, media
massa cenderung memilih sikap mendukung atau tidak menyinggung sama sekali.
Bagi Fairclouyh (1995:
36-41) media massa dipandang sebagai suatu
lembaga sosial yang berisi formasi ideologis secara terpisah-pisah (ideotogicat-
discursive formations) yang diasosiasikan dengan berbagai kelompok yang berbeda
dalam lembaga tersebut Dalam formasi itu ada idenlngi yang dominan secara jelas
yang terus berupaya memenangkan penerimaan terhadap ideologi itu. Analisis
wacana mencoba menggali upaya tersebut dan menempatkan analisis wacana kritis
sebagai
intervensi
praktek
yaiv;
efektif dan elemen
yang siginifikan
dalam
pendidikan bahasa ibu {mother toursge).
Demikian pula Van LMjk (1998) yang melakukan kajum khusus tentang
hubungan media massa dan rasisme di Fropa, menyatakan hahwa pada kadar
tertentu media massa merefleksikan apa yang dikatakan oleh politisi atau publik
(general public), tetapi juga memiliki peran dan tanggung jawab sendiri dalam
heibaijai |)t'iso.ifiiii etnik. Kaien.i ilu daiam peneliti.inu*.i .Ii .»rn|mlk«in bahwa media
massa di f.ropa memainkan peian yang sentral dalam mempertahankan status quo
etnik. Hasil peneliitan ini sejalan dengan penelitian lain mengenai keterwakilan etnik
minoritas dalam media mav.a <11 liniijrls dun Polandia, v. mu mennn|nkkan antara lain
h»hwo media massa Inggris cenderung monaiiifnlk.iu kelompok etnik minoritas
sebagai pelaku Leious, kriminal, iltin korban dlskiiminaM, sementara media Polandia
menampilkan etnik minoill.r. -.elM<ial kelompok l.-i.ei M liu yaiuf hidup leipl'«ih dai I
kelompok !ain, dan berita merek..' yang dikailkan dengan kontroversi sejarah. Media
n,,/. »
I
massa di kedua negara itu cenderung memperlihatkan etnik minoritas menurut apa
yang mereka pikirkan tanpa melibatkan atau partisipasi dari kelompok etnik tersebut
(Kimlikiwiech, 1998)
Mc Luhan (2000: 410-11) mengemukakan bagaimana kekuatan media dalam
mengubah identitas bangsa Kanada. Dia menyatakan bahwa satu cara media
(televisi) mempengaruhi identitas modem adalah " retribafization"
Cara ini tidak
hanya membangkitkan kembali {re-awakening) solidaritas etnik yang menantang
negara modern dari dalam, tetapi juga berarti membangun kembali kehidupan global
(a global rebuilding of village Hfe) yang merupakan suatu tipe kesadaran yang
kongkrit, komunal, akrab, yang mirip beberapa ciri budaya oral.
Media massa mengambil peran dalam masyarakat dengan tiga bentuk
(Fotopoulos, 2000) yaitu merefleksikan, mendrstorsikan, dan memproduksi realita
sosial. Penelitian Fotopoulos tentang media massa di Inggris menunjukkan jika elit
dalam masyarakat terbagi, seperti pro dan kontra di Inggris untuk bergabung
dengan mata uang Eropa, maka diskusi dalam media massa memperoleh tempat
yang relatif bebas dan luas untuk membicarakan makna yang sesungguhnya tentang
persatuan Eropa. Sebaliknya jika elit politik sepakat dalam menggolkan suatu
gagasan misalnya tentang serangan ke Irak apakah tergolong kriminal atau tidak,
maka media massa justru mendistorsikan kebenaran. Demikian pula halnya jika
media massa dikuasai oleh elit politik, maka mereka menciptakan realita itu sendiri
melalui media massa.
Hoh 2
128
Dengan nada yang lebih tajam, Brian Martin (1998: 7) menyatakan bahwa
"mass media are inherentfy corrupting"
Sejumlah kecil pemilik dan editor
menguasai pemberitaan yang dikonsumsi oleh banyak orang. Kenyataan inilah yang
disebut dengan kritis oleh Noam Chomsky (2002: 14) dalam bukunya Media Contro/
sebagai "manufacturing consent"
dalam revolusi seni berdemokrasi. Artinya,
sebagian kecil elit berusaha merekayasa sebuah persetujuan dengan propaganda
melalui media massa kepada kelompok yang banyak, sementara kelompok yang
banyak itu tidak menginginkannya. Chomsky meiihat bagaimana media dalam
negara demokrasi yang sarat dengan ideologi atau kepentingan tertentu.
Pandangan kritis terhadap media tidak hanya muncul dari kalangan ilmuwan,
bahkan kalangan pendidik pun di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada , dan
Australia sepakat bahwa untuk mengeksplorasi media dalam pendidikan perlu
diperhatikan beberapa prinsip dasar (Considine, l^b}- Prinsip-prinsip ini berangkat
dari pandangan sebagai berikut.
1) Media adalah konstruksi. Gila dalam adagium lama dikatakan bahwa "kamera
tidak pernah dusta", maka dalam era komputerisasi berub3h menjadi
"penglihatan tidak dapat dipercaya". Artinya semua media saat ini bukan lagi
konstruksi
realita tetapi
konstruksi yang didisain,
dipilih,
diedit,
dan
digabungkan secara akurat. Media menunjukkan kepada kita dunia, tetapi
dunia yang sudah diseleksi dan bahkan merupakan pandangan yang tidak
representatif.
Hrth 2
129
2) Media massa menghadirkan realita yang terkonstruksi (construction reality).
Dalam hai ini periu disadari bahwa ada hubungan antara cara-cara media
menghadirkan dunia dengan cara konsumen mempersepsi berita. Saat ini
media massa menghadirkan kejahatan 10 kali lebih besar dari kenyataannya,
sehingga orang mempersepsi dunia sedemikian kerasnya.
3) Pengguna memahami media massa berdasarkan sudut pandang yang
berbeda. Untuk media massa yang sama dibaca oleh kelompok etnik yang
berbeda akan menghasilkan persepsi yang berbeda. Oleh karena itu dalam
pendidikan,, media massa perlu membuat negosiasi dari semua pandangan
yang berbeda.
4) Konstruksi media massa memiliki tujuan-tujuan komersial.
Isi media tidak
dapat dipisahkan dari faktor-faktor ekonomi dan finansial yang menggerakan
industri media.
5) Pesan-pesan media massa memuat nilai dan ideologi. Meskipun orang
dikondisikan untuk berfikir tentang program yang disajikannya sebagai hal
yang terpisah, sesungguhnya secara ideologis media massa membangun,
mengisi, membawa, dan menyampaikan keyakinan-keyakinan prinsip dari
nilai-nilai.
6) Media massa memiliki konsekwensi sosial dan politis. Sebagai contoh, kita
dapat mfciihaL kontradiksi bagaimana lembaga-lembaga sosial berbicara
tentang seks, dan kekerasan yang secara langsung bertentangan dengan
sajian media massa yang menyampaikan dengan melalui hiburan dan cara
Hoh 2
130
yang menyenangkan tanpa ada konsekwensi. Kenyataan ini m_
pendidikan untuk mengekpiorasi secara lebih akurat bagaimana media massa
membagun sebuah realita, siapa di balik berita, dan adakah kelompok yang
dipinggirkan. Ini melibatkan pemahaman tentang siapa yang dibicarakan
oleh siapa, bagaimana, dan apa pengaruhnya.
7) Setiap media massa menyajikan program dengan karya seni yang berbedabeda. Tujuannya adalah untuk membangun realita sebagai diinginkan oleh
pembuatnya
sehingga
seoiah-seolan
mencerminkan
realita
yang
sesungguhnya. Pendidik harus paham dengan sajian estetika media dan
hubungannya dengan isi.
Oleh karena banyaknya hal yang harus dibongkar di balik kebenaran realita
yang disampaikan media, maka kalangan ilmu sosial dan kultural secara kritis
mengkaji bagaimana pengaruh media terhadap audiens. Siklus antara kebenaran
dan kepentingan yang mewarnai penyampaian reinitta oleh media massa merupakan
permasalahan sekaligus jalan untuk menemukan solusi dalam menempatkannya
sebagai sarana informasi publik. Untuk hal ini Mark Goodman (2005) ahli komunikasi
dari
Mississippi State
University,
menyarankan
bahwa
untuk
memperoleh
pemahaman yang baik dalam kajian media adalah dengan cara "deconstruct the
texti', yakni melihat kembali bagaimana teks dibangun berdasarkan keputusankeputusan kreatif dan teknis.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan analisis wacana
kritis dalam kajian sosial, merupakan salah satu jawaban terhadap ketidakpuasan
H-ih 2
131
pendukung postmodemisme tentang klaim-klaim kebenaran ilmiah yang bersifat
mutiak, dan sekaiigus sebagai upaya "membongkar ideologi" yang tersembunyi di
balik wacana yang bersifat merugikan pihak yang terpinggirkan dalam suatu
masyarakat.
Analisis wacana kritis merupakan proyek politik yakni sebagai upaya
untuk mengubah ketidaksetaraan distribusi ekonomi, kultural, dan politik dalam
masyarakat kontemporer. Maksudnya, adalah membawa sistem yang tidak adil ke
dalam krisis (dengan membongkar cara kerja sistem dan pengaruhnya melalui objek
kultural yang potensial, yakni teks)
untuk membantu perbaikan sistem sosial
tersebut (Kress, 1596:15).
Hah ?
132
Download