Jurnal Bina Praja - Litbang Kemendagri

advertisement
ISSN : 2085-4323
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara
Zuly Qodir
JURNAL BINA PRAJA |
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung:
Diagnostik Wilayah
Saeful Bachrein
Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap
Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang.
Harsono
Vol. 4 No. 4, Desember 2012: 217 - 286
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non-Pangan
Penduduk Jawa Barat
Trisna Subarna
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah
Suharyanto & Arif Sofianto
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar
Irtanto
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah
Husin Ilyas
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah
Kristian Widya Wicaksono
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
KEMENTERIAN DALAM NEGERI
JAKARTA
ISSN : 2085-4323
9 772085 432335
Percetakan:
PT. Rudo Maiestas Tata
Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012
J. Bina Praja
Vol. 4
No. 4
Hal. 217 - 286
Jakarta,
Desember 2012
TERAKREDITASI B NOMOR: 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
ISSN
2085-4323
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan,
atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri
yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan
Maret, Juni, September, dan Desember
Susunan Redaksi
Pelindung:
Pembina:
Penanggung Jawab:
Pemimpin Redaksi:
Anggota:
Mitra Bestari:
Menteri Dalam Negeri
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri
Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D.
(Perencanaan Kota, Kemendagri)
 Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D.
(Kebijakan Kependudukan,
Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri)
 Dr. Herie Saksono
(Manajemen & Bisnis, Kemendagri)
 Dr. Sorni Paskah Daeli
(Manajemen SDM, Kemendagri)
 Dr. Prabawa Eka Susanta, S.Sos., M.Si.
(Pembangunan Berkelanjutan,
Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi
Pembangunan, Kemendagri)
 Dr. Drs. Muh. Marwan, M.Si.
 DR. Ir. Suhatmansyah I. S. M.Si.
(Ilmu Pemerintahan, Kemendagri)
(Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia
Aparatur, Kemendagri)
 Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. (Hukum, Kemendagri)
 Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D.
(Administrasi Publik, IPDN)
 Dr. Syarif Hidayat
(Otonomi Daerah, LIPI)
 Dr. Alberto D. Hanani
(Ekonomi dan Keuangan, Universitas
Indonesia)
 Ir. Untoro Sardjito, MM.
(Manajemen Lingkungan, SDM, &
Pemerintahan, Kemendagri)
 Bashori Imron, M.Si
(Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI)
 Drs. Sahat Marulitua, MA.
(Kebijakan Publik, Kemendagri)
Pemimpin Redaksi Pelaksana: Drs. Sahat Marulitua, MA.
Anggota:
 Dra. Dwi Laksito Rini, M.Si.
 Moh. Ilham A. Hamudy, M.Soc.Sc.
 Imam Radianto Anwar, MM.
 Eka Novian Gunawan, S.I.Kom.
 Syailendra Prahaswara
Administrasi:
Dra. Yuniar Prastuti, MA.; Dra. Nina Indah Harlina; Halasan Sitorus, SH.;
Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Dida Suhada Iskandar, S.IP.; Diah Laksita R. P., SKM.;
Bagio Eko Cahyono; Eko Mardiyono.
Keuangan:
Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE.
Sirkulasi dan Distribusi:
Dra. Heriani Husainy; Emilia, SE.; Rasno; Pasco Mawando.
Artistik dan Multimedia:
Tya Arnesta; Meilya Rosi.
Alamat Redaksi:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri
Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat.
Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451
E-mail: [email protected]
Website: www.bpp.depdagri.go.id
Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri.
Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja
dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Pengantar Redaksi
Menata Kelitbangan:
Refleksi 2011 & Resolusi 2013
Salam sejahtera, Pembaca yang budiman,
F
ungsi pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah selama ini mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Padahal,
fungsi tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 217
dan Pasal 218. Sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah,
yang menegaskan esensi dari pembinaan dan pengawasan berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah dan kebijakan
daerah. Dalam hal ini, pembinaan terkait dengan pemberian fasilitasi berupa petunjuk, pedoman, arahan dalam penyusunan
perda, sedangkan pengawasan berkaitan dengan pertentangan perda dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan
umum serta peraturan lainnya.
Munculnya berbagai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, memunculkan dugaan bahwa
pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah masih kurang efektif. Melihat situasi demikian, salah satu
penulis merasa perlu untuk melakukan pendalaman kembali terhadap efektivitas tugas pembinaan dan pengawasan yang
dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai aspek, guna menjadi masukan bagi pemerintah dalam
mengambil langkah-langkah pembinaan dan pengawasan secara lebih komprehensif guna menghindari munculnya
permasalahan di daerah.
Selain tulisan tersebut, tujuh penulis lainnya justru menyoroti aspek lainnya di daerah. Zuly Qodir menunjuk
secara gamblang pemekaran daerah sangat berpotensi menciptakan konflik antar etnis dan agama. Kristian Widya
Wicaksono secara halus mengkritik mengenai penggunaan barang publik dan eksternalitas di era otonomi daerah. Adapun
Saeful Bachrein menekankan pentingnya pengembangan daerah aliran sungai (DAS) di suatu wilayah, terutama terkait
dengan kerjasama antar daerah. Sedangkan Harsono menguraikan tentang peran penting fasilitasi sarana dan prasarana
terhadap produktivitas kerja UKM. Di sisi lain, Trisna Subarna menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan dan
pengeluaran non pangan penduduk.
Dua tulisan lainnya yang tidak kalah penting dan masih terkait dengan pembangunan daerah, yakni bahasan lugas
dan tajam terhadap model pembangunan desa terpadu yang inovatif oleh Suharyanto bersama Arif Sofianto, dan tuntutan
terhadap efektivitas sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 guna meningkatkan kualitas pelayanan administrasi
kependudukan.
Mengingat isu-isu tersebut bervariasi, namun bermuara kepada satu titik, yaitu “bagaimana para penulis
berkontribusi sumbang saran untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah”. Oleh karena itu, pada edisi kali ini,
Redaksi tidak menentukan topik khusus, tetapi berharap berbagai informasi yang terangkum dalam edisi ini dapat
membantu pembaca dalam memahami percepatan pembangunan di daerah.
Edisi terakhir tahun 2012 Jurnal Bina Praja disusun dengan sebuah semangat memenuhi kepentingan yang
beragam. Dalam satu tahun penerbitan setelah terakreditasi, Redaksi mendapatkan banyak masukan mengenai arah, isi,
dan penampilan jurnal. Dengan semangat memenuhi harapan tersebut, Redaksi berupaya menampilkan artikel-artikel dari
berbagai perspektif. Sebagai konsekuensinya, pembaca dapat melihat begitu variatifnya cara penulisan artikel dalam jurnal
ini, sesuai dengan latar belakang penulisnya.
Pada akhirnya, Redaksi mengapresiasi setiap naskah dan kontribusi pemikiran yang digulirkan oleh
peneliti/perekayasa maupun para pemangku kepentingan lainnya. Redaksi mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran
yang telah disampaikan. Semoga Jurnal Bina Praja dapat menjadi wadah bertukar pikir untuk kemajuan bangsa.
Selamat membaca.
Salam Redaksi.
i
ii
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
Daftar Isi
i
iii
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara
Zuly Qodir
217 - 226
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung:
Diagnostik Wilayah
Saeful Bachrein
227 - 236
Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM
di Kota Magelang.
Harsono
237 - 242
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non-Pangan Penduduk Jawa Barat
Trisna Subarna
243 - 250
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah
Suharyanto & Arif Sofianto
251 - 260
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar
Irtanto
261 - 272
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah
Husin Ilyas
273 - 280
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah
Kristian Widya Wicaksono
281 - 286
iii
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya
DDC: 320.8
Zuly Qodir
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, Desember 2012, Hal. 217 - 226
Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan
pertarungan politik lokal berbasiskan perspektif politik etnis
dan agama sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz.
Dengan demikian pembahasan pada tulisan ini berkisar
pada terjadinya pertarungan, perebutan, klaim dan
reproduksi identitas etnis dan agama dalam dinamika politik
lokal sebagai bagian dari apa yang saya sebut sebagai
involusi pemekaran. Kajian ini hendak menjawab
pertanyaan dan menjelaskan masalah-masalah yang
berkaitan dengan permasalahan pemekaran yang terjadi di
Ternate, Maluku Utara, sebagai sebuah daerah pemekaran.
Pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana
pengaruh etnisitas dalam konflik pemekaran, bagaimana
peran elit-elit agama dan elit politik dalam konflik
pemekaran yang telah terjadi selama sebelas tahun, sejak
tahun 2001-2012. Untuk menjawab pertanyaan diatas,
kajian ini mendasarkan pada wawancara mendalam kepada
tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, politisi,
akademisi, dan birokrat di Daerah Maluku Utara. Data yang
diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualititif
eksplanatif, sehingga tergambar kaitan antar faktor dalam
konflik pemekaran.
Kata kunci: Involusi politik, pemekaran, etnisitas, dan
agama
DDC: 551.48
Saeful Bachrein
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung:
Diagnostik Wilayah
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 227 - 236
Diagnostik Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS)
Cikapundung telah dilaksanakan pada tanggal 1-15
November 2011 melalui pendekatan Participatory Rural
Appraisal (PRA). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1)
Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi; (2)
Mengidentifikasi masalah dan alternatif pemecahannya; dan
(3) Merumuskan rencana kegiatan sesuai hasil PRA. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa DAS Cikapundung
merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di
pusat Kota Bandung, meskipun kondisi saat sangat
memprihatinkan sebagai akibat pencemaran yang relatif
berat. Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi telah
disepakati bahwa kegiatan dan alternatif teknologi yang
akan dikembangkan, berturut-turut sesuai dengan
prioritasnya adalah: (1) Penegakan hukum; (2) Penerapan
teknologi pengolahan sampah dan limbah
pertanian/peternakan untuk energi alternatif dan kompos;
(3) Penerapan mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah
(bak dan pengangkutannya); (5) Pemberdayaan kelompok
masyarakat; (6) Penguatan pelayanan penyuluhan dan
informasi; (7) Penerapan teknologi sapi perah ramah
lingkungan; (8) Penghijauan; (9) Pelatihan pengolahan
sampah rumah tangga; (10) Fasilitasi kemitraan antara
masyarakat dengan Lembaga Penelitian dan swasta; (11)
Pengembangan septic tank; dan (12) Revitalisasi
pemukiman.
Kata kunci: DAS Cikapundung, permasalahan, alternatif
pemecahan, dan rencana kegiatan.
DDC: 354
Harsono
Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap
Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal.237 - 242
Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana keadaan
kualitas prasarana. Seberapa besar tingkat pengaruh antara
variabel independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat)
dengan variabel dependen produktivitas kerja. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang
kualitas sarana dan prasarana UKM dan tingkat pengaruh
antara variabel independen dengan variabel dependen.
Manfaat yang diharapkan adalah hasil penelitian ini dapat
menjadi bahan masukkan pengambilan kebijakan. Lokasi
penelitian dilakukan di Kota Magelang. Metode penelitian
yang digunakan populasi sebanyak 240 KUB dan ukuran
sampel yang digunakan sebagai responden dalam penelitian
ini berjumlah 40 orang. Untuk menentukan sampel tersebut
digunakan simple random sampling. Analisis data dengan
model statistik inferensial. Hasil yang didapat, karena F
hitung > F tabel ( 16,078 >2,87 maka Ho ditolak, H altf.
diterima artinya ada pengaruh secara signifikan antara
promosi, pelatihan dan bantuan alat secara bersama-sama
terhadap produktivitas kerja. Pengembangan Sumber Daya
Manusia (SDM) Peningkatan kualitas SDM dilakukan
melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan,
seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan
kerja sama usaha.
Kata kunci: sarana, prasarana, produktivitas, UKM.
DDC: 363.8
Trisna Subarna
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan
Penduduk Jawa Barat
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, Desember 2012, Hal. 243 - 250
Kata kunci: desa, pembangunan terpadu, inovasi
Masyarakat maju akan cenderung memiliki pengeluaran
non-makanan yang lebih tinggi daripada pengeluaran untuk
makanan, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan hiburan.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan dan strategi penanggulangan masyarakat
miskin di Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan: (1)
Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada di bawah tingkat
kemiskinan nasional yaitu 11,27% sedangkan tingkat
kemiskinan Nasional 13,33%. (2) Dibanding dengan
Provinsi lain yang penduduknya tertinggi di Indonesia
(Jawa Timur dan Jawa Tengah)persentase penduduk miskin
di Jawa Barat lebih rendah, (3) Penduduk miskin di Jawa
Barat pada tahun 2007 sebesar 13,55%, tahun 2010 sebesar
11,27% atau dalam waktu 3 tahun terjadi penurunan
penduduk miskin sebesar 2,27% atau berkurang sebanyak
687.000 orang. (4) Rata-rata pengeluaran per kapita,
penduduk Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 sebesar Rp
561.837, dengan porsi penggunaan untuk makanan
51,77%, dan non-makanan 48,23%, kondisi ini
menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat Jawa Barat. Implikasi dari hasil analisi ini
adalah; (1) Penanggulangan kemiskinan difokuskan pada
upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif, (2) Perlu
pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan,
sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan
pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda
secara lokal.
DDC: 352.3
Irtanto
Kata kunci: kemiskinan, pengeluaran non-pangan, strategi,
kesejahteraan.
DDC: 307.7
Suharyanto & Arif Sofianto
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008
terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan
di Kota Blitar
Jurnal Bina Praja
Vol 4. No. 4, Desember 2012, Hal. 261 - 272
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kuantitatif, yang bertujuan (1) mengetahui efektivitas SMM
ISO 9001:2008 terhadap kualitas pelayanan kependudukan;
(2)mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan
pelayanan berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa analisis mengenai efektivitas SMM ISO 9001:2008
di Kota Blitar mengenai layanan administrasi
kependudukan meliputi bukti langsung, kehandalan, daya
tanggap aparat pelayanan, jaminan, dan empati diperoleh
nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan kriteria baik, tingkat
pencapaian rata-rata sebesar 79,99% dengan kriteria
pencapaian efektif. Faktor yang mempengaruhi tidak
efektivitasnya pelayanan disebabkan oleh karena faktor
tangibel dan kenyaman pelayanan masih kurang;
kehandalan petugas pelayanan yang masih kurang; akurasi
dan daya tanggap petugas pelayanan perlu diperhatikan; dan
masih kurangnya empati aparat, tingkat ketrampilan dan
kedislipinan aparat dalam memberikan pelayanan yang
masih perlu ditingkatkan, adanya biaya tambahan di luar
ketentuan untuk mendapatkan pelayanan, petugas dalam
memberikan pelayanan masih ada yang kurang ramah.
Kata kunci: efektivitas, kualitas pelayanan
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 251 - 260
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Membangun model
pembangunan desa yang berjalan secara terpadu dan
inovatif, 2). Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam
pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan
inovasi 3). Mendeskipsikan peran masing-masing pihak
dalam mewujudkan pembangunan desa yang terpadu dan
mengedepankan inovasi. Penelitian dilakukan di 3 desa
yang memiliki keunggulan dalam pembangunan, yaitu: 1).
Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak, 2).
Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, dan 3).
Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
. Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1). Model
pembangunan desa terpadu inovatif merupakan proses yang
mengutamakan sinkronisasi antarsektor dan antarpelaku
serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang
sebagai tekniknya. 2). Prasyarat pembangunan desa terpadu
inovatif adalah: teridentifikasinya potensi sumberdaya dan
arah pembangunan serta menumbuhkan inovasi sebagai
teknik pembangunan. 3). Peranan yang perlu dilakukan oleh
masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa
adalah a). Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten harus konsisten dan terarah dalam merumuskan
arah kebijakan, b). Pemerintah desa melakukan identifikasi
potensi dan menentukan arah kebijakan, c). Masyarakat
desa dan lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan
melakukan pengawasan, d). Akademisi memberikan
masukan iptek dan pendampingan dan e).Pelaku usaha
melakukan investasi dan kerjasama.
DDC: 320.8
Husin Ilyas
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam
Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 273 - 280
Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya, merupakan
pemberdayaan institusi Pemerintah Daerah dan lembagalembaga daerah, yang merupakan interpensi pusat terhadap
Pemerintah Daerah, hal ini menunjukkan tidak ada
kemandirian Pemerintah Daerah, ini kembali pada prinsip
sentralisasi. Pengawasan, menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif dan
represif dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya
memuat sistem represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 memuat sistem pengawasan preventif disebut evaluasi
dan represif, terhadap Peraturan Daerah dan peraturan
Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pengawasan
preventif, tidak berjalan dengan efektif dan efisien.
Pengawasan ini mengurangi kemandirian daerah dan
apabila Peraturan Daerah dan peraturan kepala daerah
bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang
yang lebih tinggi tingkatnya dapat dibatalkan pengawasan
represif.
Kata kunci: pembinaan, pengawasan, pemerintah pusat,
pemerintah daerah.
DDC: 352.14
Kristian Widya Wicaksono
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal 281 - 286
Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah
Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan
domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi
hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam
menjalankan kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan
mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber
yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti dampak
buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar,
mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market
flliure) dalam hal ini menyediakan barang publik (public
goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak
mampu disediakan melalui mekanisme pasar.
Kata kunci: kegagalan pasar, barang publik, eksternalitas,
desentralisasi, pajak dan kesejahteraan masyarakat
Jurnal Bina Praja
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012
ISSN: 2085-4323
TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011
The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge
DDC: 320.8
Zuly Qodir
Involution Politics Proliferation, Ethnicity, And Religion:
Case Challenges Reforms North Maluku
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 217 - 226
This study aims to provide an explanation based on local
political battles ethnic and religious politics perspective as
expressed Clifford Geertz. Thus, the discussion in this paper
revolves around the fight, the struggle, claims and
reproduction of ethnic identity and religion in the dynamics
of local politics as part of what I refer to as involution
division. This study is going to answer questions and clarify
issues relating to the problems of expansion that occurred in
Ternate, North Maluku, as an area of expansion. The
question being answered is how the expansion of ethnicity in
conflict, the role of religious elites and political elites in
conflict expansion that has occurred over the last eleven
years, since 2001-2012. To answer these questions, the
study was based on in-depth interviews community leaders,
religious leaders, women activists, politicians, academics,
and bureaucrats in the regions of North Maluku. The data
obtained were analyzed using analysis kualititif explanative
thus illustrated the link between the expansion factor in the
conflict.
Keywords: political involution, expansion, ethnicity, and
religion
DDC: 551.48
Saeful Bachrein
Cikapundung River Basin (Das) Development:
Diagnostic Area
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 227 - 236
Diagnostic area of Cikapundung river basin was conducted
in November 1-15, 2012 by using Participatory Rural
Appraisal (PRA) approach. The objective of the study were:
(1) to characterize biophysic and social economy
conditions; (2) to identify the problem and solving
alternatives, and (3) to formulate activity plans based on
PRA's results. Research results indicated that Cikapundung
river basin was consider as a river which having function of
main drainage of the Bandung city, eventhough its condition
was miserable due to heavily contamination. Based on the
result of identification and characterization, it were agree
that the activity and alternative technology to be developed
included: (1) Law enforcement; (2) Technology
i m p l e m e n t a t i o n o f g a r b a g e p ro c e s s i n g a n d
agriculture/animal waste for alternative energy and
compos; (3) Mycrohydro implementation; (4) Garbage
processing facilities; (5) community group empowerment;
(6) Improving extention and information services; (7)
Implementation of environment friendly of cow technology;
(8) Forestation; (9) Garbage processing training; (10)
Facilitating of partnership between Research Institution
and private sectors; and (11) Septic tanc development; and
(12) Revitalization of reseltment.
Keywords: Cikapundung river basin, problem, problem
solving, and activity plan.
DDC: 354
Harsono
The Effects Of Facilities And Infrastructures Toward The
Productivity Of Smes' Work In Magelang City
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 237 - 242
Issues raised is how the quality of infrastructure. What
degree of influence of the independent variables (promotion,
training and equipment) with the dependent variable labor
productivity. The purpose of this study was to determine the
picture quality of the facilities and infrastructure of SMEs
and the level of influence between the independent variables
with the dependent variable. The expected benefits are the
results of this study may be material to enter policy making.
The research location in Magelang. The method used a
population of 240 KUB and the sample size used as
respondents in this study of 40 people. To determine the
sample used simple random sampling. Analysis of the data
with a model of inferential statistics. The results, as F
count> F table (16.078> 2.87 then the Ho is rejected, H altf.
Acceptable means there is significant influence between
promotion, training and support tools together to work
productivity. Development of Human Resources (HR )
Improving the quality of human resources through various
means such as education and training, seminars and
workshops, on the job training, apprenticeships, and
cooperative effort.
Keywords: facility, infrastucture, productivity, SME's
DDC: 363.8
Trisna Subarna
Poverty And Non-Food Spending Analysis Of Population In
West
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 243 - 250
Advanced community will tend to have higher non-food
spending food spending, includes education, health, and
entertainment. This analysis aims to determine the level of
the welfare and poverty coping strategies in West Java. The
analysis showed: (1) The poverty rate of West Java (11.27%)
was lower than the national poverty rate of 13.33%. (2)
Compared with other provinces having the highest
population in Indonesia (East Java and Central Java),
percentage of poor population in West Java were lower, (3)
Within three years (2007-2010) the poor in West Java was
steadily decreased from 13.55% in 2007 to 11, 27% in 2010
(687. 000 people). (4) Average spending of West Java
population per capita, per month in 2011 was Rp 561,837,
with a portion of the use of 51.77% for food and non-food
48.23%, indicated that the low level of welfare of the people
condition in West Java. The implications of the results of this
analysis were: (1) Poverty alleviation focused on growing
productive economic culture, (2) It should be an
understanding of the various parties about the causes of
poverty so that the development program was not based on
the issues that cause poverty vary locally.
Keywords: poverty, non-food expenditure, strategy, welfare
DDC: 307.7
Suharyanto & Arif Sofianto
Effectiveness Of Quality Management System Iso
9001:2008 Of Administration Population Service Quality In
The City Blitar
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 251 - 260
The purpose of this study was to: 1). Build a model of rural
development which runs in an integrated manner and
promote innovation, 2). Understanding the prerequisites
required in the integrated rural development and promote
innovation, and 3). Describe the role of each party in
creating an integrated rural development and promote
innovation. The study was conducted in 3 villages
categorized as having excellence in the governance of
development, namely: 1). Mlatiharjo, Gajah Sub-District,
Demak Regency, 2). Samiran, Selo Sub-District, Boyolali
Regency, 3.) Jatiroyo, Jatipuro Sub-District, Karanganyar
Regency. The research method used is descriptive
qualitative. The conclusion of this study were: 1). Model of
integrated and innovatiive development is performed with
emphasis on synchronization between sectors and
stakeholders, encouraging HR utilize local resources to
make innovations in rural development. 2). Prerequisites
innovative integrated rural development is identification of
potential resources and direction of development, the
implementation of appropriate resource management and
innovation as the construction techniques. .3). The role
needs to be done by the respective parties involved in rural
development are: a). government, provincial governments,
district governments should be consistent and focused in
formulating policy directions, b). village government to
identify potential and determine the direction of policy, build
coordination and synchronization as well as facilitating and
promoting community empowerment, c). villagers and
village community organizations to participate and conduct
supervision, d). provide feedback science and technology
academics and mentoring, e). business investment and
cooperation.
Keywords: model, rural, integrated development,
innovation
DDC: 352.3
Irtanto
Effectiveness Of Quality Management System Iso
9001:2008 Of Administration Population Service Quality In
The City Blitar
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 261 - 272
This research used quantitative descriptive approach,
which aims to know (1) the effectiveness of QMS ISO
9001:2008 in realizing a population service quality (2) to
know factors that influence the effectiveness of QMS
ISO9001:2008 in realizing quality service. The results
showed that the analysis of the effectiveness of QMS ISO
9001:2008 in Blitar City on population administration
service covering direct evidence, reliability, responsiveness
of service, assurance, and empathy qualifier values
obtained with the 3.18 average good criteria, average
achievement of 79.99% with the effective achievement
criteria. The factors that affect is not effectiveness of the
service caused the tangible and comfort care; reliability of
service personnel; accuracy and responsiveness of care
apparatus, and f empathy apparatus are lacking, the level
of skill and discipline personnel in providing services to be
improved, the additional costs beyond the provision for
services, personnel in providing services there are less
friendly.
Keywords: effectiveness, quality of service,
management system, administration service
DDC: 320.8
Husin Ilyas
Construction And Observation Central Government In
Order To Management Local Government Pursuant To
Local Government
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 273 - 280
Construction, newly arranged by explicit. In The Law No.
22 of 1999 and The Law No. 32 of 2004, intrinsically,
representing enableness of institution of local government
and institutes, representing intervention center to local
government, this matter show no local government
independence, this return principle centralistic.
Observation, start from The Law No.22 of 1999 up to The
Law No. 5 of 1974, loading system of observation of
preventive and repressive and The Law No. 22 of 1999 only
load the system represive. The Law No. 32 of 2004 loading
system of observation preventive referred evaluation and
repressive, to by law and regulation of regional leader
province, regency and town. Observation preventive, not
walk effectively and efficient. This observation lessen the
area independence and if by law and regulation regional
leader oppose against the public interest, higher level of the
law its storey level annihilable observation repressive.
Keywords: coaching, supervision, central government,
local government.
DDC: 352.14
Kristian Widya Wicaksono
Public Goods And The Era Of Regional Autonomy
Externalities
Jurnal Bina Praja
Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 237- 242
Decentralization opportunities for local governments to
manage their domestic affairs independently from the
process of formulation, implementation and evaluation of
development policies and programs to suit the needs of local
communities. In exercising its authority, the government is
expected to manage effectively and efficiently resources are
available, such as the public address adverse externalities
caused by market activity, diagnosing and addressing
market failure in this case provides public goods to meet the
needs of people who can not afford provided through market
mechanisms.
Keywords: market failures, public goods, externalities,
decentralization, tax and welfare
INVOLUSI POLITIK PEMEKARAN, ETNISITAS, DAN AGAMA:
TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI KASUS MALUKU UTARA
INVOLUTION POLITICS PROLIFERATION, ETHNICITY, AND RELIGION:
CASE CHALLENGES REFORMS NORTH MALUKU
Zuly Qodir
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jalan Lingkar Selatan Tamantirto, Bantul – Yogyakarta
E-mail: [email protected]
Diterima: 13 Oktober 2012; direvisi: 20 Oktober 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan pertarungan politik lokal berbasiskan perspektif politik
etnis dan agama sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz. Dengan demikian pembahasan pada tulisan
ini berkisar pada terjadinya pertarungan, perebutan, klaim dan reproduksi identitas etnis dan agama dalam
dinamika politik lokal sebagai bagian dari apa yang saya sebut sebagai involusi pemekaran. Kajian ini
hendak menjawab pertanyaan dan menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan permasalahan
pemekaran yang terjadi di Ternate, Maluku Utara, sebagai sebuah daerah pemekaran. Pertanyaan yang
hendak dijawab adalah bagaimana pengaruh etnisitas dalam konflik pemekaran, bagaimana peran elit-elit
agama dan elit politik dalam konflik pemekaran yang telah terjadi selama sebelas tahun, sejak tahun 20012012. Untuk menjawab pertanyaan diatas, kajian ini mendasarkan pada wawancara mendalam kepada
tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, politisi, akademisi, dan birokrat di Daerah Maluku
Utara. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualititif eksplanatif, sehingga tergambar
kaitan antar faktor dalam konflik pemekaran.
Kata kunci: involusi politik, pemekaran, etnisitas, dan agama.
Abstract
This study aims to provide an explanation based on local political battles ethnic and religious politics
perspective as expressed Clifford Geertz. Thus, the discussion in this paper revolves around the fight, the
struggle, claims and reproduction of ethnic identity and religion in the dynamics of local politics as part of
what I refer to as involution division. This study is going to answer questions and clarify issues relating to
the problems of expansion that occurred in Ternate, North Maluku, as an area of expansion. The question
being answered is how the expansion of ethnicity in conflict, the role of religious elites and political elites
in conflict expansion that has occurred over the last eleven years, since 2001-2012. To answer these
questions, the study was based on in-depth interviews community leaders, religious leaders, women
activists, politicians, academics, and bureaucrats in the regions of North Maluku. The data obtained were
analyzed using analysis kualititif explanative thus illustrated the link between the expansion factor in the
conflict.
Keywords: political involution, expansion, ethnicity, and religion.
PENDAHULUAN
Maluku Utara 1999 adalah kota yang baru saja
Mekar dari Pulau Ambon sebagai Provinsi Induk.
Gubernur M. Thaib Armayn ditetapkan oleh
Departemen Dalam Negeri mengalahkan Abdul
Gafur, yang menang dalam pemilihan Gubernur
Maluku Utara tetapi gagal menjadi gubenur karena
kalah dalam sidang Mahkamah Konstitusi dengan
dugaan adanya kecurangan dalam Pemilihan Gubernur
Maluku Utara.
Tahun 1999, Desember di Ambon terjadi
tragedi berdarah di Masjid Al Fatah yang berbuah
kerusuhan antaretnis dan agama sangat besar dan
terdengar diseluruh Indonesia bahkan internasional.
Korban demikian banyak bergelimpangan dari pihak
yang berkonflik (Islam versus Kristen). Masingmasing pihak membentuk laskar (milisi) perang.
Kristen membentuk Laskar Kristus. Islam membentuk
Laskar Mujahid. Korban tak kurang dari 5.000 orang
dari dua belah pihak. Rumah dibakar dan dirusak
hampir separuh kota Ambon. Bahkan pembakaran dan
pembunuhan menyisir ke daerah-daerah seperti
Jazirah Hitu, Leihitu, Soya dan sekitarnya. Puluhan
rumah ibadah dirusak dimana oleh agama dilarang
terjadi perusakan dan pertumpahan darah di rumah
Tuhan.
Ambon sesungguhnya sebuah provinsi eksotik.
Pulau yang dikelilingi pantai nan indah elok akhirnya
bersimbah darah karena konflik yang semula sepele.
Disebabkan karena antara tukang angkot dengan
penduduk setempat yang hendak memaksa sopir
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 217
angkot. Antara sopir dan preman yang berbeda etnis
dan agama, kemudian saling mengancam dan bahkan
saling membunuh. Dua belah pihak hancur lebur dan
babak belur saling membunuh. Pela gandong hancur,
hubungan sosial rusak. Pela dan gandong, seakan tak
berakar di masyarakat sama sekali. Konflik antaretnis
dan agama membuat Ambon menjadi provinsi yang
menakutkan dan mengkhawatirkan. Ketakutan
menjadi bagian para penduduk setempat. Pendatang
pun dipaksa tidak bersedia datang ke Pulau RempahRempah yang kaya cengkeh, pala dan lada. Darah
segar pernah mengalir deras di pulau beribu ribu
rempah ini.
Ambon tentu saja bukan daerah satu-satunya
yang dilanda konflik kekerasan berdarah. Sambas
Kalimantan Barat adalah contoh lain. Kota Waringin
Barat dan Kota Waringin Timur di Kalimantan
Tengah contoh lain lagi. Bahkan Palangkaraya adalah
contoh terjadinya kekerasan etnis yang juga
mengerikan. Sampit adalah tempat yang mengerikan
untuk pendatang Bugis, Buton, Makasar dan juga
Madura. Darah segar dan harta benda merupakan dua
hal yang tidak pernah luput dari dampak konflik
kekerasan yang terjadi di sebuah daerah.
Di atas semua itu yang dapat dikatakan adalah
daerah baru untuk kelompok masyarakat tertentu yang
dikenal dengan istilah masyarakat pendatang.
Pendatang karena faktor transmigrasi lokal,
transmigrasi massal (bedol desa) atau bahkan sekedar
berpindah tempat untuk mencari nafkah dalam
kehidupan sehari-hari. Ambon, Ternate, Kalimantan
Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah
adalah lokasi yang menjadi tujuan perpindahan
penduduk dari daerah asalnya.
Sebenarnya perpindahan penduduk tidak
identik dengan kekerasan massal (komunal) yang
terjadi sejak tahun 1998 di Indonesia, sebab
perpindahan penduduk di Indonesia telah terjadi jauh
sebelum tahun 1980, ke berbagai wilayah di
Indonesia, seperti Lampung, Sumatera Selatan bahkan
Papua. Namun belakangan sejak tahun 1999
tampaknya perpindahan penduduk menjadi masalah
serius soal kependudukan Indonesia. Istilah pendatang
dan asli menjadi kosa kata baru untuk masalah
kependudukan dan konflik yang bersifat kedaerahan.
Konflik di beberapa daerah di Indonesia, sebagaimana
dikatakan Gerry van Klinken dan Nordoth sebenarnya
sering berhubungan dengan persoalan sumber-sumber
ekonomi dan politik dalam sebuah wilayah. Daerah
yang semula seakan-akan menjadi wilayah kekuasaan
etnis dan agama tertentu kemudian berkembang
menjadi kekuasaan etnis dengan agama tertentu
sehingga etnis yang sebelumnya berkuasa menjadi
tersaingi dalam perebutan wilayah kekuasaan; baik
politik maupun ekonomi. (Klinken, 2008)
Selain persoalan perpindahan penduduk di
dalam suatu wilayah (provinsi) masalah pemekaran
wilayah merupakan persoalan lain yang belakangan
menjadi masalah serius di nusantara. Di nusantara
sendiri sampai dengan tahun 2009 telah terjadi
pemekaran yang demikian banyak untuk tingkat
kabupaten/kota di Indonesia. Sampai tahun 2009 yang
lalu tidak kurang dari 400 kabupaten/Kota baru
terbentuk di Indonesia. (Depdagri, 2009).
Daerah pemekaran merupakan salah satu
daerah yang potensial terjadinya kekerasan massal.
Beberapa daerah konflik kekerasan memang daerah
lama. Tetapi pertambahan penduduk merupakan salah
satu penyebabnya. Sambas di Kalimantan Barat
adalah contoh paling nyata dengan pertambahan
penduduk asal Madura yang dibeberapa daerah
berposisi ekonomi menjadi lebih mapan sehingga
mempengaruhi siklus ekonomi dan politik serta
komposisi keagamaan masyarakat setempat.
Ambon sangat jelas memberikan penjelasan
tentang pertambahan penduduk dan kondisi sosial
ekonomi dan agama yang kemudian berubah. Dari
dominan Kristen menjadi berimbang. Penduduk
Muslim 45%, Kristen 55%. Kondisi seperti itu
berpengaruh pada perilaku politik dan perilaku sosial
masyarakat Ambon yang selama bertahun-tahun
berada dalam posisi tanpa persaingan karena memang
tidak ada kompetitor. Ambon adalah penguasa
sekaligus pemilik bahkan pewaris tunggal Pulau
Rempah-rempah. Namun semuanya berubah sejak
program transmigrasi bedol desa dan migrasi
penduduk dari provinsi lain seperti Sulawesi, Jawa
dan Kalimantan. Kompetisi pun akhirnya terjadi di
sana. Kompetisi tidak selalu berakhir dengan hasil
yang baik. Seringkali kekalahan membawa luka dan
dendam kesumat. Disebabkan luka serta dendam
kesumat itulah yang membuat kerusuhan seringkali
menjadi hasil akhir dari persoalan persaingan antar
etnis dan sekaligus agama.
Etnis dan agama oleh antropolog Malinowsky
(1982) dikatakan sebagai dua entitas yang sampai saat
ini, saat dunia menginjak era modern bahkan post
modernisme akan menjadi salah satu perekat sekaligus
ketegangan, kerengganan antar elemen dalam
masyarakat yang paling mujarab. Etnisitas dan agama
merupakan dua entitas yang bersifat bagai pedang
bermata dua. Membuat integrasi sekaligus membuat
disintegrasi antar anggota masyarakat. Terlebih jika
etnisitas dan agama dipahami secara sempit (narrow
religion and ethnicity) akan dengan mudah
mendorong adanya semangat gerakan perlawanan
berdasarkan sentimen etnisitas dan agama tertentu.
Inilah mengapa di beberapa daerah persoalan etnisitas
dan agama masih dikatakan rentan dan
menguntungkan. Rentan terkait akan kemungkinan
konflik antar etnis. Menguntungkan karena akan
membawa dampak pada asosiasi-asosiasi dan
akomodasi kebudayaan.
Daerah pemekaran, ceritanya akan jauh lebih
panjang dan memberikan fakta lain. Ada pejabat,
tetapi seringkali tidak ada ketentraman dan pelayanan.
Dalam bahasa lain miskin pelayanan dan keamanan.
Hal ini karena masing-masing pejabat sibuk dengan
urusannya sendiri. Urusan memperkuat posisi dan
memperlebar kekuasaan. Inilah sebuah resiko dari
218 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226
pemekaran yang menjadi basis dari pemikirannya
adalah kekuasaan bukan pelayanan publik. Kekuasaan
dapat diperoleh dengan pelbagai mekanisme seperti
membangun sentimen etnis dan agama. Pola semacam
ini pernah dikatakan oleh Clifford Geertz sebagai
politik berbasis aliran, agama dan etnisitas, sekalipun
telah banyak dikritik karena dalam hal penempatan
kategori priyayi dianggap gagal menjelaskan
kategorisasi etnisitas dan keagamaan. Tetapi untuk
kasus etnis dan agama sebagai aliran tampaknya
penjelasan
Clifford
Geertz
masih
bisa
dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan: apakah
pola politik kekuasaan berbasis etnisitas dan agama
masih berlangsung di Indonesia? Secara spesifik lagi
apakah etnisitas dan agama masih berlangsung dalam
politik pemekaran?
Teori yang dipergunakan dalam memahami
kasus Maluku Utara adalah politik identitas yang
dialamatkan pada etnisitas dan agama masyarakat
yang tinggal dalam sebuah wilayah. Etnisitas dan
agama menjadi perekat identitas yang masih dipercaya
dalam berbagai pergulatan politik lokal sehingga
banyak pihak mempergunakan dua entitas ini untuk
kepentingan politiknya. Etnisitas dan agama bermain
dalam perebutan posisi-posisi politik tertentu yang
berkaitan erat dengan tokoh politik yang ada di
wilayah. Etnisitas dan agama kemudian direproduksi
dalam pergulatan politik pemekaran yang menjadi
bagian dari kehidupan desentralisasi di Indonesia. Dua
entitas yang berbeda tersebut sampai sekarang di
lapangan politik masih menjadi bagian penting dalam
konstruksi politik identitas yang berkembang sejak
sebelum tahun 1950-an sebagaimana Cliffordz geertz
menemukan dalam kasus keagamaan di Jawa waktu
itu dan di kawasan Afrika (Maroko dan Sudan) ketika
itu yang disimpulkan dalam Islam Observed (1960)
maupun dalam After the Fact (1957).
Ikatan-ikatan solidaritas agama dan afiliasi
politik pun terjadi dalam kurun waktu yang cukup
panjang. Religion of Java (1957) yang ditulis
berdasarkan peneltian Clifford Geertz di Desa Pare
(Jawa Timur) menggambarkan masalah afiliasi
keagamaan dan politik, selain afiliasi kultural dan
sosial yang terjadi. Tiga bagian dari masyarakat yang
digambarkan Geertz tentang santri, abangan dan
priyayi, ketika itu memberikan penjelasan bahwa
dalam masyarakat terdapat segmentasi tentang
kelompok sosial dan politik yang kemudian diperjalas
oleh Herbet Fith dan Lance Castles, tentang partai
berbasiskan aliran keagamaan dan etnisitas. Terdapat
partai berafiliasi muslim seperti Masyumi, NU, yang
cenderung dianut oleh penduduk Jawa, kaum Jawa
nasionalis yang berafiliasi pada Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) yang dianut oleh penduduk Jawa, dan
sebagian para petani yang cukup kaya, partai sosialis
(PSI) yang dianut oleh sebagian besar kaum terdidik
Indonesia dan etnis luar Jawa (Sumatra), partai
Parkindo yang berafiliasi pada umat Kristen dan
Indonesia Timur khususnya.
Dari penjelasan ringkas secara teoritik tersebut
sebenarnya dapat dipahami sekalipun dalam
perjalanan sejarahnya telah banyak perubahan yang
signifikan dalam hal pengelompokan sosial
keagamaan, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, dan
Robert Hefner bahwa di Indonesia telah terjadi
pembelahan afiliasi sosial politik dan keagamaan yang
relatif baru sehingga muncul apa yang dinamakan
kelas menengah baru dalam hal afiliasi keagamaan
dan politik. Dalam keagamaan muncul kelas
menengah muslim yang Kuntowijoyo, dalam Muslim
Tanpa Masjid, (2001) menyebutnya dengan istilah
“Muslim Tanpa Masjid”. Sementara Robert Hefner
dalam Civil Islam, 200, menyebutnya dengan istilah
“Muslim Akomodatif” bahkan muslim rezimis untuk
menyebut kelas menengah muslim yang masuk dalam
lingkaran kekuasaan zaman akhir Orde Baru sampai
tumbangnya Orde Baru. Kategorisasi santri baru dan
religio nationality serta ethnic nationalism merupakan
pengaktegorian yang muncul sejak tahun 1990-an di
Indonesia untuk menggambarkan perjalanan politik
etnis dan agama sebagai bentuk nyata politik identitas
di Indonesia.
Persoalan identitas agama dan etnis, dengan
begitu menjadi persoalan yang telah terjadi sejak
tahun 1950-an, 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an
sampai tahun 2000-an dalam berbagai manifestasinya.
Tahun 2000-an menjadi manifestasi dalam berbagai
persoalan pemekaran daerah yang muncul sejak era
reformasi Indonesia tahun 1998. Pemekaran menjadi
semangat baru dalam politik identitas yang tidak
jarang membawa korban jiwa dan tentu saja harta
benda warga masyarakat yang sama-sama berada
dalam sebuah wilayah tertentu. Terdapat banyak kasus
mengenai masalah kekerasan karena etnistas dan
identitas dalam pemekaran. Masyarakat Tapanuli
Selatan yang harus mengakhiri riwayat hidup
Mohammad Abdullah Angkat sebagai Ketua DPRD
Sumatera Utara (Medan) karena terbunuh dalam
persoalan pemekaran Tapanuli Selatan adalah contoh
paling jelas. Pembakaran kantor Walikota dan
Gubernur Ambon adalah bentuk lain lagi. Demikian
pula pembakaran Kantor Kecamatan di Kao Malifut
adalah bentuk kemarahan karena pemekaran di
Maluku Utara. Pembakaran kantor DPRD NTB adalah
bentuk kemarahan masyarakat terkait soal politik
pemekaran yang terjadi di Indonesia.
Dua entitas, agama dan etnisitas tampak
menjadi bagian dalam kehidupan politik Indonesia
sejak tahun 1950-an sebagaimana Clifford Geertz
kemukakan sampai dengan era 2000-an dimana zaman
telah banyak mengalami perubahan, utamanya dalam
hal kultur dan teknologi. Tetapi dua entitas ini masih
menjadi idola dalam politik Indonesia. Hal seperti itu
tentu menimbulkan banyak pertanyaan yang
membutuhkan uraian untuk memberikan argumen
sampai-sampai dimanakah sebenarnya ikatan etnisitas
dan religius menjadi bagian dalam politik, khususnya
dalam era politik pemekaran atau desentralisasi
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 219
sebagai bagian dari demokrasi yang terjadi di provinsi
Maluku Utara.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian yang
bersifat induktif kualitatif dengan mengambil fokus
lokasi di Provinsi Maluku Utara, yang merupakan
wilayah dengan ketegangan atau suhu politik sangat
tinggi disamping suhu kekerasan antar warga
masyarakat juga demikian tinggi sehingga konflik
berdarah merupakan bagian dari kehidupan mereka
dengan pemicu masalah-masalah yang sepele, seperti
soal nonton main bola atau soal nonton pertunjukkan
konser musik.
Penelitian ini fokus pada masalah politik yang
muncul di daerah pemekaran seperti Maluku Utara
yang merupakan wilayah pemekaran sejak tahun 1999
yang lalu dan sampai sekarang terdapat wilayah yang
tidak kunjung selesai karena pemekaran tersebut.
Persoalan pemekaran wilayah kemudian terus ramai
menjadi konsumsi politik ketika menghadapi
Pemilukada (Pemilu Bupati maupun Kota) juga
Pemilu Legislatif demikian ramai diperebutkan oleh
masing-masing kandidat dengan latar belakang etnis
dan agama yang terdapat di Maluku Utara.
Riset ini mendasarkan pada data lapangan
(dengan observasi lapangan yang dilakukan selama
enam bulan), melakukan wawancara mendalam
dengan berbagai narasumber yang kompeten dalam
bidang politik pemekaran dan kaitannya dengan
agama maupun etnisitas, melakukan kajian
kepustakaan atas literatur ataupun hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil
temuan lapangan dan kajian pustaka dianalisis dengan
pendekatan sosiologis; khususnya sosiologi etnis dan
agama yang difokuskan pada perspektif induktif
analitik (thick description) sebagaimana dikemukakan
oleh para antroplog semacam Clifford Geertz) dan
Borislav Malinowsky.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Reproduksi Politik Pemekaran Berbasiskan
Etnisitas dan Agama
Ada pertarungan yang keras dalam etnis dan
agama sebagai basisnya di wilayah pemekaran. Riset
ini menunjukkan bahwa di Maluku Utara, Kabupaten
Halmahera Utara dan Halmahera Barat, perilaku elit
lokal (bupati), politisi partai bahkan sebagian elit
masyarakat membuat dramaturgi yang sangat
menghipnotis tentang basis etnisitas dan agama untuk
tetap bertahan atau pindah dalam sebuah wilayah baru.
Reproduksi etnisitas dan tradisi yang bertahun-tahun
lamanya dianut direproduksi dalam konflik dua
wilayah yang tak kunjung usai sampai sekarang
sekalipun sudah sepuluh tahun bahkan menginjak 12
tahun (sejak 1999 hingga 2011). Tidak terlalu banyak
riset yang menitikberatkan pada analisis etnis dan
agama dalam proses pemekaran sebagai bagian
penting dalam konflik. Ada beberapa yang mengkaji
soal konflik etnis dan agama dalam pemekaran seperti
(Rizal Panggabean, 2002), ketika mengkaji pola
kekerasan kolektif di Indonesia sejak tahun 19902003, tetapi tidak khusus masalah pemekaran.
Drama tentang sentimen etnis dan agama
menjadi buah bibir di masyarakat pendukung atau
penentang atas wilayah baru. Halmahera Barat
direproduksi sebagai daerah yang berlatar belakang
etnis Jailolo, Bacan, Tobelo dan Tobaru agak sering
bahkan seringkali dikonstruksikan akan sulit bila
harus bergabung dengan wilayah yang etnisitasnya
berbeda dan dengan tradisi berbeda pula. Reproduksi
sejarah etnitas dan agama menjadi bagian dari
persoalan yang melanda menjadi bagian dalam
pemekaran Maluku Utara sampai saat ini. Konstruksi
tentang etnisitas dan agama pun berkembang dalam
dialog-dialog keseharian di masyarakat.
Di pasar, angkutan darat, angkutan laut dan
tempat keramaian seperti lapangan sepak bola (karena
masyarakat suka main dan menonton bola) maka
reproduksi etnisitas dan agama berlangsung dengan
nyaris sempurna. Bagaimana reproduksi bahwa Jailolo
adalah “asal mula” etnis di Halmahera Barat yang
menyebar ke enam desa di kawasan Halmahera Utara
yang beribu kota di Tobelo. Jailolo menjadi penting
dikemukakan karena merupakan kecamatan pertama
sebelum terjadi pemekaran di Halmahera Barat. Selain
itu di Jailolo terletak kerajaan (Kesultanan Bacan)
yang dianggap sebagai asal usul masyarakat
Halmahera. Oleh sebab itu tetap harus menjadi satu
dengan Halmahera Barat siapapun masyarakatnya.
Berkaitan dengan reproduksi yang dikembangkan
adalah hal yang tidak mungkin etnis Jailolo dan Bacan
perpindah ke wilayah yang bukan tanah kelahirannya.
Tanah kelahirannya adalah Halmahera Barat bukan
Halmahera Utara. Reproduksi akan etnisitas dan
agama di lapangan bola bukan hal yang aneh
kemudian membuahkan kekerasan fisik ketika terjadi
pertandingan antar desa atau antar kecamatan.
Bermula dari ejekan biasa kemudian berubah menjadi
ejekan antaretnis dan agama yang berbuah kekerasan
fisik pada salah satu pihak yang bertanding.
Dalam sebuah pertemuan di Akelamo bulan 19
Agustus, 2010, dapat menggambarkan bahwa
persoalan etnisitas menjadi hal yang sangat serius
dalam elit lokal Maluku Utara, misalnya, mereka
mengatakan demikian: FP dan AF mengatakan:
“Kami yang hadir disini, akan mempertahankan
sampai titik darah penghabisan tetap menjadi
penduduk Halmahera Barat, ketimbang harus menjadi
penduduk Halmahera Utara. Sekalipun kami akan
diberi segepok uang dana comdev dari PT NHM.
Tidak akan kami berubah pendirian menjadi penduduk
Halmahera Barat. Secara historis kami adalah orang
Jailolo dan Bacan. Nenek moyang kami adalah orang
Jailolo dan Bacan bukan Tobelo. Semua ini hanyalah
akal-akalan para elit politik seperti Gubernur dan
Bupati Halmahera Barat dan Timur yang memperalat
penduduk Jailolo untuk saling konflik karena mereka
220 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226
mendapatkan untung dengan masyarakat terus
berkonflik. Darah segar kami tumpah pun tidak
masalah asalkan tetap menjadi bagian dari Halmahera
Barat. Siapapun yang mengajak kami bergabung ke
Halmahera Utara akan kami lawan ”.
Jika kita mengkaji lebih dalam soal proses
pemekaran dan transformasi kekuasaan daerah dan
pusat akan didapatkan bahwa tidak ada hal yang
bersifat gratis dan sekalipun harus mengorbankan hal
yang sangat penting seperti nyawa manusia dan harta
benda yang telah dikumpulkan. Bahkan lahan
kehidupan lainnya seperti pertanian dan perikanan.
Dalam banyak kasus seperti di Halmahera Barat dan
Halmahera Utara karena masyarakat selalu
diperlakukan dalam politik etnis dan agama maka
kehidupan mereka menjadi tidak sejahtera dan dilanda
kemiskinan, namun masyarakat
tak kuasa
menghadang bentuk-bentuk politisisasi etnis dan
agama oleh kelompok elit lokal. Kekuasaan
reproduski etnis dan agama dalam politik pemekaran
adalah elit lokal, baik kepala desa, pejabat kecamatan,
pemerintah daerah (kabupaten maupun pemerintah
provinsi). Masyarakat adalah pendorong gerbong
kaum elit yang seringkali lebih beruntung dalam
konflik daerah pemekaran.
Hal yang juga, jika kita hendak mengkaji soal
apa yang dilakukan oleh pejabat daerah (bupati)
sebenarnya kita seringkali mendapatkan apa yang
dalam bahasa popular sekarang adalah adanya
transaksi politik pemekaran dengan sesama elit lokal
dan elit pusat. Salah satu sarana transaksi politik
pemekaran adalah etnisitas dan agama. Masyhur dan
cukup mujarab sebab sentimen etnis dan agama
seringkali menjadi bagian sejak kelahirannya.
Reproduksi tentang kelahiran etnis dan agama menjadi
jelas untuk mainan politik kepentingan elit lokal
maupun pusat untuk mendapatkan untung. Dalam
ungkapan penduduk lokal sering kita dengar bahwa
para pejabat dearah konflik di Maluku Utara bermain
mata. Mereka bermain golf bersama dan sering
bertemu tetapi masalah konflik enam desa tak pula
kunjung selesai. Ada segepok uang yang digadanggadang disana. Masyarakat benar-benar menjadi
korban politik elit daerah.
Jika reproduksi etnisitas berlangsung pada
ruang-ruang seperti lapangan bola maupun angkutan,
pasar dan pusat-pusat keramaian, reproduksi agama
berlangsung dalam ruang yang tak kalah menariknya.
Masjid, mushola, gereja dan pengajian-pengajian
adalah ruang yang paling popular untuk membuat
konstruksi agama sebagai bagian dari sentimen
masyarakat yang terkena dampak pemekaran. Masjid,
mushola, gereja dan pengajian-pengajian adalah lahan
yang selama ini menjadi pusat membangun reproduksi
sentimen etnisitas dan keagamaan. Kebetulan di
Halmahera Barat dan Halmahera Utara agamanya
adalah Islam dan Kristen, maka gereja dan Masjid
adalah pusat yang paling popular menjadi ruang
mengkonstruksikan tentang siapa sebenarnya mereka.
Siapa mereka dan kelompok mana yang dianggap
menjadi bagiannya serta lawan politiknya tidak jarang
dikonstruksikan dan direproduksi dalam tempattempat ibadah. Tempat ibadah bukan hanya untuk
membaca dan membawa umat pada kesalehan
individual pada Tuhan, tetapi sekaligus membawa
umat pada sentimen politik tertentu berdasarkan
kepentingan konstruksi elit agama dan elit politik.
Dalam sebuah Khutbah Jumat yang
diselenggarakan di Halmahera Barat, 17 Agustus,
khatib mengkonstruksi bagaimana Sultan Ternate
adalah benar-benar syayidin panata agama yang harus
ditaati oleh warga Maluku Utara. Sultan Ternate
adalah tokoh pemersatu dan penjaga keamanan
masyarakat,
sekaligus pemberi
kesejahteraan
masyarakat. Oleh sebab itu, sebelum Sultan
memutuskan apakah enam desa menjadi wilayah
Kabupaten Halmahera Utara atau Halmahera Barat
maka kita tidak usah mengikuti apa yang menjadi
persoalan para elit politik lokal. Sultan adalah penentu
akhir soal pemekaran di Maluku Utara dan sekarang
belum memutuskan. Dalam doa khutbah secara
khusus sang Khatib membacakan untuk Sultan
Ternate beserta keluarga besarnya yang telah
memimpin Ternate dan Maluku Utara.
Apa yang dapat dibaca dari pengkutbah di
Masjid tersebut diatas? Tidak ada lain, kecuali hendak
memberikan konstruksi pada masyarakat bahwa
apapun yang terjadi di Maluku Utara harus menunggu
Sultan dan artinya Sultan adalah sosok tunggal yang
dipandang paling memiliki otoritas atas persoalan
pemekaran di Maluku Utara. Dikala harapan
masyarakat pada Sultan demikian tinggi, Sultan
bergeming untuk tidak memutuskan enam desa yang
sudah 12 tahun konflik pemekaran. Mengapa
demikian, inilah yang menjadi pertanyaan maha besar
atas Permaisuri Sultan Ternate (Muzzafar Syach),
sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah,
sementara Ratu Boki Nita sang istri menjadi Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai
Demokrat. Sungguh menyimpan banyak pertanyaan
penting disana. Kita mungkin boleh bertanya,
bukankah ini politicking?
Persoalan genting lainnya terkait dengan soal
etnisitas dan agama adalah adanya kecenderungan
perilaku etnis (suku dan agama) yang menghubungkan
soal sukuisme dan chauvinism dalam kaitannya
dengan para pemegang saham kekuasaan daerah
tentang posisi strategis di daerah. Dalam banyak kasus
di daerah pemekaran yang terjadi di Indonesia sejak
tahun 2001 hingga 2010 sebenarnya persoalan siapa
yang memiliki saham kekuasan menjadi persoalan
cukup berpengaruh. Oleh sebab itu, menempatkan
posisi para pemilik saham kekuasaan sebagai subjek
yang layak menjadi kajian akan menjadikan titik poros
persoalan konflik daerah pemekaran semakin kentara
karena faktor politik kekuasaan. Saham kekuasaan
etnis dan agama tertentu akan berpengaruh pada pola
kekerasan yang terjadi disebuah daerah. Maluku Utara
termasuk daerah yang kekerasan kolektifnya cukup
tinggi, mencapai 2.447 dalam kurun waktu 1999-2003
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 221
seperti dikemukakan Rizal Panggabean. (Panggabean,
dalam Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman, 2009)
Politik kekuasaan ini seringkali berbasiskan
etnis tertentu. Sekalipun kadang berbasiskan agama
sebagai determinan. Kasus Poso dan Ambon adalah
persoalan agama lebih determinan sekalipun sebagian
peneliti dan pengamat lebih suka menempatkan
persoalan jarak ekonomi masyarakat pendatang dan
pribumi sebagai masalah utamanya. Sementara
Maluku Utara dalam kasus enam desa (Bobane Igo,
Akesahu, Akelamu, Tetewang, Pasir Putih dan Dum
Dum) berbasiskan kesatuan etnis. Reproduksi yang
saya katakan pada bagian-bagian awal tulisan ini
merupakan metode yang dibangun agar kesamaan dan
kesatuan etnis menjadi hal yang dominan dalam
menentukan pemilihan wilayah, apakah Halmahera
Utara ataukah Halmahera Barat. Kekentalan akan hal
ini menjadi basis dalam wacana politik lokal Maluku
Utara dari tingkat Provinsi sampai Kecamatan bahkan
desa-desa.
Persoalan etnisitas akan menjadi hal yang
sangat penting di Maluku Utara, karena sentimen ini
merupakan hal yang dominan. Hal ini bisa dirujuk
karena akan terkait dengan pihak-pihak yang
mengelola kondisi sumber-sumber kekayaan daerah.
Seperti kisah di Sulawesi Barat dan Poso sebagai
daerah Pemekaran dan areal transmigrasi maka soal
etnisitas sangat penting posisinya. Enititas etnis
tertentu akan berhasil dalam proses-proses politik jika
berhubungan dengan identitas etnis tertentu.
Keterkaitan antar etnis akan memudahkan seseorang
berada dalam tingkat birokrasi yang mapan dan
berlangsung lama sebelum akhirnya terjadi kudeta
oleh etnisitas lain yang kemudian hadir dan menjadi
etnis yang berpengaruh dalam sebuah pemekaran.
Kekerabatan etnisitas dan agama menjadi pola yang
kuat dalam masyarakat Sulawesi Barat dan Poso
sebagaimana dilaporkan oleh Lorraine V Aragon yang
menunjuk pada persaingan anta relit lokal berbasiskan
etnis dan agama terutama sejak Orde Baru hampir
tumbang tahun 1990-1996. (Lorraine, dalam Henk
Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken, 2007)
Maluku Utara adalah contoh yang nyaris sama
dengan Sulawesi Barat dan Poso. Etnis Makian adalah
etnis yang jumlahnya tidak seberapa besar tetapi
dalam beberapa tahun sepanjang sejarah Maluku Utara
menjadi penguasa. Etnis Makian merupakan etnis
yang kuat dalam hal kerja (pekerja keras, semangat
maju yang keras, berpendidikan lebih baik ketimbang
etnis lain dank arena itu secara ekonomi dan politik
lebih beruntung ketimbang etnis lainnya). Namun
yang menjadi soal adalah etnis Makian akhirnya
dianggap menjadi salah satu etnis yang menjadi
sumber konflik dan kerusuhan Maluku Utara ketika
berpindah ke Teluk Kao tahun 1999. Kerusuhan yang
menimpa etnis Makian ketika pindah dari wilayah
lereng Gunung Sei yang diprediksi akan terjadi letusan
merupakan hal yang memberikan pertanda lain. (Abu
Bakar Muhammad, 2009).
Pendeknya persoalan dominasi etnisitas karena
politik, birokrasi, ekonomi, sekalipun jumlahnya etnis
Makian tidak siginifikan alias sedikit (18.722 jiwa)
tahun 1975 dan tahun 1998 menjadi 20.620 jiwa) akan
menjadi persoalan serius terutama dikalangan etnis
yang mayoritas, Jailolo, Bacan dan Tobelo-Tubaru.
Dari sana mengapa etnis Makian sampai sekarang
dianggap sebagai musuh bebuyutan etnis mayoritas di
Maluku Utara, Bacan, Jailolo, Tobelo dan Tobaru.
Pertanyaan bisa kita ajukan mengapa etnis yang
sedikit tersebut bisa terus bertahan dalam birokrasi
pemerintahan, dalam penguasaan ekonomi, dan politik
lokal sesungguhnya tidak bisa diabaikan begitu saja,
sebab selama ini dalam politik etnis kita akan bertemu
dengan apa yang kita kenal dengan tradisi. Utamanya
kesamaan tradisi seringkali membuat penduduk
merasa nyaman dan aman ketimbang berada dalam
tradisi yang beragam.
Tradisi sesama etnis dalam perilaku politik,
ekonomi dan sosial dengan mudah dapat dipahami
sehingga memungkinkan untuk kerjasama politik
maupun kerjasama sosial. Apalagi etnis Makian ini
secara religi juga relative sama yakni sebagai
penganut Islam sehingga akan mudah menerima
tradisi dari Islam ketimbang Kristen di wilayah Teluk
Kao ataupun Akesahu Gamsungi dan Akesahu apalagi
Tobelo yang mayoritas bertradisi Kristiani. Inilah
persoalan kesamaan tradisi yang membuat etnis
Makian menjadi korban yang sesungguhnya dalam
konflik Maluku Utara tahun 1999 yang lalu bahkan
sampai sekarang.
Etnisitas dan agama juga bukan hal yang imun
dari menggejalanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN), dari sejak sebelum reformasi sampai orde
reformasi bahkan sampai Orde sekarang tahun 20092014. KKN dalam bentuk kesatuan etnis dan agama
ditambah dengan kesatuan politik membuat semakin
kuatnya gejala KKN yang terjadi dari tingkat pusat
hingga daerah pemekaran. Maluku Utara adalah
contoh yang tidak berbeda jauh dengan daerah-daerah
pemekaran lainnya yang melanjutkan tradisi KKN
dalam birokrasi pemerintahan dan feodalisme
kekuasaan keagamaan. Pemilihan Walikota Ternate
yang melibatkan putra Gubernur (sekalipun akhirnya
kalah) dengan kandidat lain adalah hal yang tidak bisa
dipungkiri. Apalagi terdengar bahwa dua putra
Gubernur akan diajukan dalam Pemilihan Bupati di
Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan Morotai.
Inilah sebuah bentuk neo-feodalisme yang telah
berlangsung cukup lama dalam tradisi politik
Indonesia.
Hal yang juga menjadi persoalan krusial
lainnya dalam konflik pemekaran di Maluku Utara
adalah terkait konstruksi politik tentang etnis dan
keagamaan dalam daerah pemekaran. Disana terjadi
apa yang kita kenal dengan sebutan politik
diskriminatif atas kelompok etnis dan agama lain.
Disini sekaligus bagaimana menafsirkan tentang
pendatang atau orang baru dalam daerah pemekaran.
Pendatang adalah faktor yang sangat penting
222 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226
dimasukan dalam konteks politik pemekaran di
Maluku Utara, sekalipun masyarakat sebenarnya tidak
seberapa memahami apa itu pendatang dan apa itu
penduduk asli. Tetapi reproduski yang kemudian
mengkonstruksi masyarakat dalam dua belahan besar:
masyarakat asli dan masyarakat pendatang menjadi
hal yang tidak terelakan dalam politik pemekaran
yang mendasarkan pada etnisitas dan religi-agama.
Semuanya jika hendak disambungkan tidak ada lain
kecuali adanya keinginan memperpanjang dominasi
etnis dan agama dalam sebuah wilayah sehingga etnis
dan agama yang berbeda dan bahkan minoritas tidak
akan pernah mendapatkan kesempatan dalam birokrasi
pemerintahan sampai tradisi politik KKN berubah
menjadi tradisi politik professional dan bersih.
Transaksi Politik Lokal Berdasarkan Identitas
Etnis
Nyaris tidak pernah terbantahkan jika dalam
sebuah proses politik terjadi transaksi sekaligus
persaingan antara elit lokal versus elit pusat. Hal yang
paling menyedihkan dan menarik untuk tetap
diperhatikan adalah kontestasi dan transaksi
berdasarkan etnis. Penjelasan Clifford Geertz dan
Malinowsky diatas dapat memberikan penjelas pada
kita untuk melihat betapa kepentingan etnis dan
agama tidak pernah ditinggalkan dalam persoalan
politik lokal maupun nasional. Dalam bahasa lain,
perpolitikan kita belum bisa beranjak pada politik
yang lebih mentransendensikan etnisitas dan agama
sehingga berpolitik lebih mengutamakan pada
pensejahteraan publik dan pelayanan masyarakat.
Politik kita adalah politik chauvinism yang lebih
mendasarkan pada etnis dan agama bukan pada
multikulturalisme
dan
heterogenisasi
agama.
Multikulturalisme politik dan persaingan politik
berbasiskan kapasitas dan profesionalisme belum
menjadi tradisi dalam proses politik lokal. Pencitraan
memang seringkali dijadikan sebagai metode
menggiring massa pemilih untuk menentukan
pilihannya, namun sejatinya bukan pada soal
profesioalisme dan kapasitas kandidat pemimpin di
tingkat daerah (gubernur, walikota ataupun bupati).
Elit
ditingkat
pusat
akan
berupaya
menyambungkan konteks lokal dengan etnisitas dan
agama ketimbang dengan dengan kondisi sosial
ekonomi riil yang menjadi kebutuhan masyarakatnya.
Hal ini sekaligus memberikan penjelas pada kita
bahwa kualitas politisi kita baik tingkat lokal maupun
pusat sebenarnya masih pada level mempertahankan
identitas secara sempit ketimbang mengembangkan
tradisi politik yang terbuka (inkulvisime politik) yang
berbasiskan pada kerangka nation state dan
keindonesiaan yang majemuk dalam hal etnis dan
agama. Identitas agama dan etnis menjadi pokok
dalam perhelatan politik lokal, sekalipun tidak jarang
menghasilkan kerusuhan massal karena sentimen etnis
dan agama bermain secara tak beraturan. Kita dapat
saksikan misalnya dalam hal poster-poster kandidat
kepala daerah atau kandidat bakal anggota legislative,
hampir selalu menyertakan sebutan ASLI dan DARI.
Dua kata ini merupakan ungkapan untuk secara tegas
memberikan deskripsi singkat bahwa dirinya adalah
sosok yang dianggap merasa dan dirasa akan mewakili
aspirasi masyarakat ketika nanti terpilih. Bahwa nanti
setelah terpilih yang terjadi adalah transaksi politik
antar elit lokal dengan pusat atau tidak menjadi
representasi merupakan persoalan lain.
Maluku Utara adalah eksemplar yang menarik
untuk dibaca dalam konteks gagasan merayakan
kemajemukan politik berdasarkan agama dan etnis.
Hal ini karena di Maluku Utara persoalan etnis dan
agama sebagaimana saya kemukakan diatas menjadi
penyanggap politik identitas yang bermakna sempit
(bukan bermakna keindonesiaan). Etnisitas dan agama
adalah komoditas politik yang masih mampu
menghadirkan banyak kebentungan politik pada
kandidat yang hendak bertarung. Identitas etnis dan
agama merupakan salah pijakan seseorang hendak
maju dalam Pemilukada dan Pemilu legislatif.
Ungkapan lain yang juga popular adalah penggunaan
bahasa lokal yang hanya dimengerti oleh mereka dan
masyarakatnya, bukan orang lain. Ungkapan dengan
bahasa lokal merupakan penggambaran paling jelas
untuk menarik simpatik dan sentimen etnisitas dalam
proses politik di Maluku Utara.
Bahkan penggunaan gelar kedaerahan dan
keagamaan merupakan hal yang ramai dipakai dalam
proses politik di Maluku Utara, misalnya
menempelkan gelar etnis tertentu, Jiko Ono, Tuan
Haji Atau Tuan Guru dan seterusnya. Semuanya dapat
dibaca sebagai cara mengaitkan identitas etnis dan
agama dalam proses politik berlangsung. Memang
terdapat kandidat yang mengusung slogan bergaya
metropolitan namun tak dapat meghipnotis
masyarakat, bahkan dikesankan lelucon belaka.
Kandidat menggandeng Presiden Amerika Obama
bersalaman dan bersanding dengan dirinya. Begini
ungkapannya: “Selamat Om Bama, Anda menjadi
Presiden Amerika. Doakan saya menyusul kesuksesan
Om Bama. Obama menjawab: Saya doakan semoga
Anda Sukses, sambil berjabat tangan!”
Soal lainnya yang perlu menjadi perhatian kita
adalah selain adanya transaksi berdasarkan kesamaan
etnis dan agama, di Maluku Utara sebenarnya
berlangsung pertarungan antara Elit lokal versus elit
lokal berdasarkan etnis. Kondisi ini sangat kuat dan
kentara dalam konflik pemekaran enam desa yang tak
kunjung selesai sampai sekarang. Antar elit lokal
berdasarkan etnis tertentu mendorong terjadinya
hegemoni dan dominasi dalam pemerintahan dan
birokrasi ketimbang berbagi etnisitas sesama warga
Maluku Utara. Hal ini tentu saja membuat semakin
runyamnya politik di Maluku Utara karena antar etnis
tidak bersedia akur apalagi duduk bersama untuk
membahas masa depan daerah pemekaran. Perhatikan
komentar salah seorang birokrat dibawah ini yang
bukan asli dari Maluku Utara sekalipun sudah puluhan
tahun di Maluku Utara.
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 223
“Disini namanya etnistas sangat kuat. Jika ada
salah seorang pejabat dari etnis tertentu, dia akan
membawa serta etnis kelompoknya dalam birokrasi.
Hal ini yang menyebabkan adanya KKN dalam politik
di Maluku Utara dan akan terus terjadi ketika antara
etnis di Maluku Utara tidak segera memutus mata
rantai etnisitas tersebut. Hal yang dikhawatirka adalah
adanya politisasi etnis untuk kepentingan politik
kelompok etnis sebagaimana sekarang terjadi dalam
Pemekaran Kabupaten Halmahera Utara dan
Halmahera Barat”. (AB, 19 Agustus 2010)
Oleh karena politik Maluku Utara berdasarkan
pada sendi etnis dan agama maka hampir dipastikan
bahwa dalam birokrasi pun akan terjadi pertarungan
antar kelompok etnis yang sedang berkuasa dan
bersiap akan berkuasa. Dalam Elit lokal dengan
birokrasi pemerintahan identitas etnis akan menjadi
hal yan krusial dan perlu diperhatikan sehingga
membaca konflik pemekaran Maluku Utara bisa
dikatakan tidak bisa tanpa memperhatikan dimensi
etnisitas dan agama dalam politik. Bahkan yang paling
membahayakan adalah sebagaimana dalam politik
pemekaran di daerah lain soal asal usul etnis terjadi
pula di Maluku Utara. Elit lokal mempergunakan
etnisitas dan agama sebagai perekat politiknya
sehingga dimensi etnis dan agama tidak dapat lepas
dari apa yang disebut sebagai sandera politik etnis dan
agama, sebab itukah buffer zone politik lokal yang
sampai sekarang dipelihara.
Elit lokal dengan tentara setempat dan tentara
dari lain dari pun tak jarang berkolaborasi dalam KKN
politik di Maluku Utara. Politik berdasarkan latar
belakang etnis dan asal usul daerah menjadi faktor
yang juga berpengaruh dalam politik pemekaran di
Maluku Utara. Sungguh pun dalam banyak hal tidak
menguntungkan untuk pengembangan daerah
pemekaran, namun tradisi menghubungkan daerah
asal dan menghubungkan dengan tentara menjadi
faktor yang cukup berpengaruh dalam tradisi politik di
Maluku Utara. Inilah yang selama ini juga telah
menjadi perhatian oleh para peneliti dan penulis
tentang politik Maluku Utara. Konflik Maluku Utara
tidak pernah imun dari kehadiran tentara yang berlatar
belakang etnis dan agama sama dengan elit politik
yang berkuasa. Tulisan Abu Bakar Muhammad
memberikan penjelasan soal seperti ini. (Abu Bakar
Muhammad, 2009)
Agenda-Agenda Politik Identitas Etnis dan Agama
Pemilihan gubernur, bupati, walikota dan
pemilihan legislatif merupakan agenda politik yang
terjadi di Maluku Utara. Kontestasi antarcalon
gubernur, bupati, walikota dan anggota legislative
tidak pernah sepi dari persaingan antar kontestan yeng
berlatar belakang etnis dan agama tertentu. Benar
bahwa persoalan agama tidak demikian menguat,
tetapi kita dapat saksikan betapa pemberlakuan
formalism agama menjadi bagian dalam tradisi politik
Maluku Utara. Setiap Jumatan misalnya, jalan raya
yang melewati masjid mesti ditutup tidak boleh
terdapat kendaraan melewatinya. Jika ada yang
melewatinya akan ditangkap dan dihukum oleh
masyarakat.
Daerah Halhamera Utara dan Halmahera Barat
salah pusat yang dalam politik lokal menjadi penting
diperhitungkan. Enam desa merupakan wilayah
potensial dengan sumber daya alam dan etnis yang
beragam dan agama beragam. Akelamo berpenduduk
mayoritas (100%) muslim. Akesahu mayoritas Kristen
dengan hanya 18 kepala keluarga (KK) beragama
Islam. Bobani Ego mayoritas muslim, Dum-Dum 100
% Kristen, Tetewang mayoritas muslim, dan Pasir
putih mayoritas Kristen. Dari enam desa yang ada,
penduduk terpadat adalah Bobani Ego dan Akelamo,
dengan jumlah penduduk 233 KK, Bobani Ego 487
KK, sedangkan empat desa lainnya adalah: Akesahu
668 jiwa; Tetewang 668 jiwa; Pasir Putih 544 jiwa,
Dum Dum 110 KK. (Team Peneliti PSKP UGM,
2010)
Dengan kondisi penduduk semacam itu, elit
lokal seringkali bermain dalam proses politik lokal
dengan memanfaatkan sentimen etnis dan agama
sebagai pemantiknya. Ketika riset ini berlangsung
misalnya, adalah waktu yang sudah berdekatan
dengan Pemilihan Walikota Ternate, dimana salah
seorang calon berasal dari etnis Bacan dan Jailolo
sehingga situasi etnis cukup menonjol disana. Bahkan
ketika salah satu pasangan kalah masih menggugat ke
MK sekalipun akhirnya kalah. Dan ketika pemilihan
bupati hendak berlangsung gambar dari masingmasing calon sangat gencar beredar di Akelamo,
Akesahu, Bobani Ego, Tetewang, Pasir Putih dan
Dum Dum yang berlatar belakang etnis tertentu
sebagai latar belakangnya. Situasi etnisitas dan agama
sangat terasa di desa-desa tersebut.
Hal yang paling jelas terlihat lainnya adalah
adanya Forum Komunikasi Kepala Desa di enam desa
yang diketuai seorang mantan kepala desa dan mantan
angota dewan. Forum Kepala Desa ini sangat keras
penolakannya terhadap penggabungan atas enam desa
menjadi wilayah Halmahera Utara dengan argument
sejak nenek moyang merupakan etnis Jailolo Timur,
bukan Tobelo sebaai ibu kota Halmahera Utara.
Situasi kental etnis dan agama behubungan satu
dengan lainnya. Dimana kepala desa desa Kristen
adalah seorang Kristen, sedangkan kepala desa
muslim adalah seorang muslim. Benar bahwa disana
mayoritas Kristen atau Muslim tetapi yang menjadi
perhatian adalah ikatan emosional etnisitas dan agama
menjadi dinomor satukan ketimbang persoalan
pelayanan pada masyarakat yang telah dua belas tahun
dilanda konflik pemekaran (1999-2010). Identitas
keagamaan dan etnisitas benar-benar menjadi ikatan
emosional warga masyarakat Maluku Utara dalam
menghadapi Pemilukada (bupati maupun walikota dan
Pemilu Legislatif). Hal ini yang pantas diperhatikan
seksama.
Perilaku elit dalam politik pemekaran
berdasarkan kultur dan etnis sangat nyata terjadi di
Maluku Utara. Itu yang kiranya dapat menjelaskan
224 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226
mengapa konflik pemekaran di Maluku Utara tak
kunjung usai dalam proses penyelesaian. Hal ini
karena masing-masing etnis membawa agendanya
sendiri-sendiri sebagai bagian dari politik patronase
atau kongkalikong antara elit tingkat pusat dengan elit
tingkat daerah (gubernur dan bupati sekaligus
walikota). Politik patronase dan kongkalikong
sekalipun banyak dikecam orang dan ahli politik yang
berpaham demokratis dan anti feodali namun dalam
prakteknya
terus
berjalan
dan
tampaknya
menguntungkan dalam tradisi politik lokal seperti di
Maluku Utara. Patronase merupakan bagian tak
terpisahkan dalam kultur politik lokal.
Oleh sebab itu, agak sulit diselesaikan ketika
dimensi politik etnis dan agama masih dijadikan
kendaraan permainan politik lokal. Persoalan politik
pemekaran hanya akan berkembang pada tingkat elit
lokal dan nasional yang memiliki agenda-agenda
politik mempertahankan dominasi politik, ekonomi,
birokrasi dan budaya. Pemekaran benar-benar akan
memperbanyak jumlah birokrasi, pejabat dan politisi
tetapi minim pelayanan publik sebagaimana kita
jumpai di Maluku Utara, khususnya pada enam desa.
Terjadi dualism pemimpin lokal (desa) tetapi miskin
fasilitas apalagi kemakmuran daerah. Yang menikmati
pemekaran adalah elit lokal di masing-masing
kabupaten, dan desa, sementara warga masyarakat
hanya menjadi bagian dari komoditas politik elit lokal
yang suaranya dibutuhkan ketika terjadi perhelatan
politik lima tahunan.
berjalan pada zaman orde sebelum pemekaran, yakni
zaman orde sentralisasi. Persoalan politik pemekaran
karena masih banyaknya kepentingan sentimen etnis
dan kelompok dominan ketimbang politik yang
mementingkan kesejahteraan dan kemakmuran serta
keamanan masyarakat umum.
Peta konstruksi elit tentang pemekaran jauh
berbeda dengan konstruksi kaum minoritas dan
masyarakat. Kaum minoritas secara etnis dan agama
memandang bahwa pemekaran merupakan agenda
politik kaum elit yang memiliki kepentingan
memperpanjang dominasi kekuasaan dan menguasai
masyarakat secara legal dan disyahkan karena melalui
proses politik Pemilu lokal yakni Pemilukada
(pemilihan gubernur, walikota, dan bupati). Dari sana
elit politik lokal mendapatkan kesempatan untuk
mengklaim mendapatkan mandat dari rakyat banyak
sekalipun dalam perilaku politiknya tidak membela
kepentingan rakyat.
Memperhatikan peristiwa politik pemekaran di
Maluku Utara dua hal menjadi sangat dominan yakni
identifikasi etnis dan agama menjadi bagian tak
terpisahkan dalam proses politik. Identitas etnis dan
agama menjadi bungkus yang mujarab untuk
melakukan penolakan atau penerimaan sebuah
kehendak pemekaran. Pemekaran dengan begitu tidak
lain kecuali sebagai sebuah proses dari apa yang oleh
Clifford Geertz sebut sebagai involusi. Inilah Involusi
politik karena berbasiskan etnisitas dan religi.
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Setelah kita baca apa yang terjadi pada
pemekaran di Halmahera Barat dan Halmahera Utara
pada enam desa, sesungguhnya kita mendapatkan
konstruksi politik pemekaran pada tingkat elit politik,
konstruksi pada masyarakat mayoritas dan masyarakat
minoritas. Pada tingkat elit, pemekaran adalah jalan
keluar untuk mengatasi sentralisasi kekuasaan pusat
pada desentralisasi kekuasaan. Prinsip desentralisasi
yang didefinisikan dalam tiga kategori: (1) sebagai
delegasi tugas-tugas tertentu sementara pusat masih
menguasai beberapa sentra-sentra kekuasaan secara
keseluruhan yang dapat diperbandingkan dengan UU
tahun 1974; (2) sebagai dekonsentrasi yang mengacu
pada pergeseran decision making dalam Negara
sentralistik, yang tercermin dalam UU tahun 1975;
dan (3) sebagai devolusi, yang menyangkut transfer
kekuasaan secara aktual ketingkat pemerintahan yang
lebih rendah dan diimplementasikan pada tahun 2011.
Dalam tiga tafsir pemekaran itulah proses
politik di daerah dan pusat tidak pula segera
terselesaikan dengan baik. Bahkan dalam beberapa
kasus pemekaran, sebagaimana dievaluasi oleh
lembaga-lembaga survei semacam Lembaga Survei
Indonesia, 88 % daerah pemekaran sebenarnya telah
gagal dalam menjalankan filosofi dari pemekaran itu
sendiri, karena politik lokal daerah pemekaran
berjalan pada feodalisme kepemimpinan yang pernah
Abu Bakar, Muhammad. 2009. Merajut Damai di
Maluku Utara. UMMU Press.
Antlov, Hans. 2002. The State in the Country.
Yogyakarta: Lappera.
D. Harmantyo. 2007. Pemekaran Daerah dan Konlik
Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan
Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Makara.
Sains. Vol. 11, No.1, April 2007. Dept. Geografi
UI.
Decentralization Support Facility. 2007. Proses dan
Implikasi Sosial Politik Pemekaran, Studi Kasus
di Sambas dan Buton, Laporan. Unpublish.
Jakarta.
Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Depdagri.
2008. Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan
antar Provinsi, Laporan. Unpublish. Jakarta.
Donald K Emmerson. 2001. Beyond Suharto, Politics,
Economy and Power. Australia: University
Faisal Bakti, Andi, (ed.). 2000. Good Governance and
Conflict Resolution in Indoensia. Jakarta: Logos.
Geertz, Clifford. 1958. Religion of Java. USA.
__________. 1967. Islam Observed. Chicago University,
USA.
Hancoock. (2007). The Gods of Poverty. Yogyakarta:
Pustaka Cinderalas.
Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2007.
Local Politics in Indonesia. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. KITLV.
Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama:
Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 225
Henk Schulte, Nordhot dan Gerry van Klinken. Politik
Lokal di Indonesia.
Irfan Abu Bakar (ed.). 2005. Transisi Politik dan Konflik
Kekersan. Jakarta: UIN.
Jones, Stephen, B. 2000. Boundary Making, A Handbook
for Statesmen, Treaty Editors and Boundary
Commissioners. New York: William S. Hein &
Co.,Inc. Buffalo.
Kausar dan Eko Subowo. 2008. Kebijakan Penataan
Batas Antar Daerah. Modul pelatihan Penegasan
Batas Daerah. Yogyakarta: Jurusan Teknik
Geodesi FT UGM. Unpublish.
Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman. 2006.
Fenomena Konflik Sosial di Indonesia.
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
KPU, North Maluku Province 2009.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung:
Mizan.
Leo Agustino. 2010. A political Dynasty After the
Autonomy of the new order: The Experience of
Banten. Prism. Vol 29, No. 3, July 2010,
Mochtar Masoed. 1987. The Structure of The Political
Economy of The New Order 1966-1985. Jakarta:
LP3ES.
Muhamin, A. Yahya. 1991. Business and Politics of the
New Order Era. Jakarta: LP3ES. of Melbourne.
Rasyid, Ryaas, M. 2002. Otonomi Daerah: Latar
Belakang dan Masa Depannya. Workshop
Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas
Pemerintah Daerah. Cetakan ketiga. Jakarta:
LIPI Press.
Ratnawati, Tri. 2009. For Sea Areas: Lokal Politics and
The Issues Selected. LIPI.
Safuan, Razi. 2001. Communal Violence and conflict
resolution: Anatomy in Indonesia. Jakarta: LIPI.
Subowo, E. 2009. Makalah disampaikan pada FGD
Permasalahan Konflik Batas Wilyah. 24
Desember 2009 di Jurusan Teknik Geodesi
Fakultas Teknik UGM.
Sutisna, Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo. 2008.
Boundary Making Theory dan Pengelolaan
Perbatasan di Indonesia. Workshop Pengelolaan
Wilayah Perbatasan. Yogyakarta: Jurusan Ilmu
HI/UPN Veteran. November.
Syafuan Rozi (dkk.). 2006. Kekerasan Komunal,
Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. 2006.
Team Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. 2010.
UGM, Laporan Assesment di Enam Desa
Kabupaten Halmahera Barat.
TK, Ommen. 2007. Citizenship, Nationality and
Ethnicity, Creation of discourse. Yogyakarta.
__________. 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan dan
Etnisitas.
Vivian Louis Forbes. 2001. Conflict and Cooperation in
Managing Maritime Space in Semi-enclosed
Seas. Singapore: Singapore University Press,
Yusof Ishak House.
Welfizar. 2004. Analisis Alternatif Kebijakan
Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah
Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agama.
Yogyakarta: Program Studi Magister Adminstrasi
Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Pasca
Sarjana UGM.
Winters, Jeffry. 2007. Democracy and Oligarchy.
Gramedia Pustaka Utama.
Zartman, I William. 1997. Governance as Conflict
Management: Politics and Violence in West
Africa. USA: Washington DC.
226 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226
PENGEMBANGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG:
DIAGNOSTIK WILAYAH
CIKAPUNDUNG RIVER BASIN (DAS) DEVELOPMENT: DIAGNOSTIC AREA
Saeful Bachrein
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat
Jalan Ir. H. Juanda No. 287, Bandung
E-mail: [email protected]
Diterima: 19 Oktober 2012; direvisi: 29 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Diagnostik Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung telah dilaksanakan pada tanggal 1-15
November 2011 melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Tujuan dari penelitian ini
adalah: (1) Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi; (2) Mengidentifikasi masalah dan
alternatif pemecahannya; dan (3) Merumuskan rencana kegiatan sesuai hasil PRA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa DAS Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di
pusat Kota Bandung, meskipun kondisi saat sangat memprihatinkan sebagai akibat pencemaran yang
relatif berat. Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi telah disepakati bahwa kegiatan dan alternatif
teknologi yang akan dikembangkan, berturut-turut sesuai dengan prioritasnya adalah: (1) Penegakan
hukum; (2) Penerapan teknologi pengolahan sampah dan limbah pertanian/peternakan untuk energi
alternatif dan kompos; (3) Penerapan mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah (bak dan
pengangkutannya); (5) Pemberdayaan kelompok masyarakat; (6) Penguatan pelayanan penyuluhan dan
informasi; (7) Penerapan teknologi sapi perah ramah lingkungan; (8) Penghijauan; (9) Pelatihan
pengolahan sampah rumah tangga; (10) Fasilitasi kemitraan antara masyarakat dengan Lembaga Penelitian
dan swasta; (11) Pengembangan septic tank; dan (12) Revitalisasi pemukiman.
Kata kunci: DAS Cikapundung, permasalahan, alternatif pemecahan, dan rencana kegiatan.
Abstract
Diagnostic area of Cikapundung river basin was conducted in November 1-15, 2012 by using
Participatory Rural Appraisal (PRA) approach. The objective of the study were: (1) to characterize
biophysic and social economy conditions; (2) to identify the problem and solving alternatives, and (3) to
formulate activity plans based on PRA’s results. Research results indicated that Cikapundung river basin
was consider as a river which having function of main drainage of the Bandung city, eventhough its
condition was miserable due to heavily contamination. Based on the result of identification and
characterization, it were agree that the activity and alternative technology to be developed included: (1)
Law enforcement; (2) Technology implementation of garbage processing and agriculture/animal waste for
alternative energy and compos; (3) Mycrohydro implementation; (4) Garbage processing facilities; (5)
community group empowerment; (6) Improving extention and information services; (7) Implementation of
environment friendly of cow technology; (8) Forestation; (9) Garbage processing training; (10)
Facilitating of partnership between Research Institution and private sectors; and (11) Septic tanc
development; and (12) Revitalization of reseltment.
Keywords: Cikapundung river basin, problem, problem solving, and activity plan.
PENDAHULUAN
Kota Bandung, selain
merupakan kota
metropolitan terbesar di Jawa Barat juga sekaligus
sebagai ibu kota Provinsi tersebut. Kota ini dikelilingi
oleh pegunungan, sehingga bentuk morfologi
wilayahnya bagaikan sebuah mangkok raksasa. Secara
geografis, kota ini terletak di tengah-tengah provinsi
Jawa Barat, dan pada ketinggian sekitar 768 m di atas
permukaan laut (dpl.) dengan titik tertinggi berada di
sebelah utara dengan ketinggian rata-rata 1.050 m
dpl., dan sebelah selatan merupakan kawasan rendah
dengan ketinggian rata rata 675 m dpl.
Tingkat urbanisasi di Kota Bandung sangat
tinggi terutama beberapa tahun terakhir ini yang
menyebabkan munculnya berbagai permasalahan
seperti lingkungan, transportasi, energi (listrik, air, dan
lain-lain), perumahan, dan lainnya. Permasalahan
tersebut juga terjadi pada daerah bantaran beberapa
sungai dan anak sungainya yang melalui Kota
Bandung, salah satunya diantaranya adalah Daerah
Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang melintas
tepat di tengah kota. Seiring dengan perkembangan
Kota Bandung, perubahan wajah Sungai Cikapundung
merupakan cerminan dari perubahan Kota Bandung.
Munculnya kantong-kantong kumuh dan konversi
lahan di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 227
membuat wajah sungai tersebut kurang sedap untuk
dipandang.
Panjang Sungai Cikapundung mulai dari hulu
sampai dengan muaranya di sungai Citarum adalah
sekitar 39 km, melewati tiga wilayah administrasi
yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung,
dan Kota Bandung (Sofyan, 2004). Untuk Kota
Bandung, mulai dari dam Bengkok sampai dengan
jalan tol Padaleunyi adalah sepanjang 15,5 km,
merupakan bagian tengah sedangkan bagian hulu dan
hilir merupakan wilayah Kabupaten Bandung.
Dimensi rata-rata di bagian hulu lebarnya sekitar 6 m,
sedangkan di bagian hilir sekitar 20 m.
Keadaan lingkungan serta ekosistem Sungai
Cikapundung terutama yang melewati Kota Bandung
pada saat ini, sudah sangat mengkhawatirkan. Sungai
yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi
masyarakat lokal airnya telah berubah menjadi keruh
dan bau, bantaran menjadi sempit, dan banyak sampah
yang terlihat (Maria, 2008). Sebagai upaya untuk
memperbaiki Sungai Cikapundung dan kawasan
sekitarnya, sejak tahun 2004, Pemerintah Kota
Bandung telah mencanangkan Gerakan Cikapundung
Bersih (GCB), dengan tujuh tahapan pelaksanaan
operasionalnya, secara berturut-turut, yaitu: bakti
sosial, pengerukan sedimen, normalisasi sungai,
inventarisasi bangunan di bantaran sungai, penataan
sempadan sungai, pembangunan bangunan air, dan
penghijauan.
Dalam pengelolaannya, DAS dibagi menjadi
dua satuan pengelolaan, yaitu: (1) Satuan pengelolaan
hulu mencakup seluruh daerah tadahan atau daerah
kepala sungai, dan (2) Satuan pengelolaan hilir
mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah
bawahan. Istilah “watershed” digunakan secara
terbatas untuk menamai daerah tadahan, sedang
daerah bawahan dinamakan “commanded area” (Roy
and Arora, 1973; Asdak, 2004). Yang dinamakan
“commanded area” ialah daerah-daerah yang secara
potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun
suatu bendungan atau waduk maka seluruh daerah
yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang
terletak di bawah garis tinggi pintu bendungan atau
waduk) merupakan “commanded area”.
Pengelolaan daerah tadahan ditujukan untuk
mencapai hal-hal berikut: (1) Mengendalikan aliran
permukaan turah (excess) yang merusak, sebagai
usaha mengendalikan banjir; (2) Memperlancar
infiltrasi air ke dalam tanah; (3) Mengusahakan
pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud
yang berguna; dan (4) Mengusahakan semua
sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan
produksi.
Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat
diringkaskan sebagai berikut: (1) Mencegah atau
mengendalikan banjir dan sedimentasi yang
merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan
kemampuan lahan; (2) Memperbaiki pengatusan
(drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya; (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-
sumber air tersediakan; dan (4) Meliorasi tanah,
termasuk memperbaiki daya tanggap tanah
terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi
tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat
masam, gambut tebal, dan mineral mentah.
Berdasarkan uraian di atas, menarik sekali
kiranya untuk mengetahui inovasi teknologi yang
diperlukan untuk mendukung perbaikan baik fisik
maupun kualitas bantaran Sungai Cikapundung
melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal
(PRA). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1)
Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial
ekonomi; (2) Mengidentifikasi masalah dan alternatif
pemecahannya; dan (3) Merumuskan rencana kegiatan
sesuai hasil PRA.
Hasil penelitian ini diharapkan mampu
memberikan informasi terkait dengan kondisi yang
ada untuk dijadikan dasar dalam memberikan usulan
perbaikan lingkungan sekitar Sungai Cikapundung.
Lebih jauh lagi menjadi umpan balik/masukan kepada
pemerintah daerah dan seluruh pemerhati dalam
menangani DAS Cikapundung yang selanjutnya
mampu:
1. Menjadi dasar pembuatan manajemen perkotaan
yang berwawasan lingkungan dalam ruang dan
waktu.
2. Mempertahankan kelestarian sungai sebagai
salah satu sumber air bagi masyarakat Kota
Bandung.
3. Digunakan sebagai kerangka dasar pemikiran
dalam hal pemilihan system infrastruktur kota
yang berwawasan lingkungan (hulu-hilir) dalam
rangka
upaya
meningkatkan
kesehatan
lingkungan.
METODE PENELITIAN
Identifikasi dan karakterisasi wilayah dengan
menggunakan pendekatan Participatory Rural
Appraisal (PRA) telah dilaksanakan di DAS
Cikapundung bagian hulu (Kecamatan Lembang),
tengah (Kecamatan Tamansari), dan hilir (Kecamatan
Batununggal) pada tanggal 1-15 November 2011.
Pertemuan untuk ketiga wilayah tersebut dilaksanakan
di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan
yang dilanjutkan kunjungan lapang di masing-masing
wilayah DAS Cikapundung. Peserta PRA sebanyak 64
orang dan terdiri atas: (1) Penduduk setempat yang
rumahnya terletak di pinggiran bantaran sungai; dan
(2) Informan kunci yang terdiri atas pedagang, tokoh
masyarakat, aparat desa/kecamatan, Bappeda Kota
Bandung dan Provinsi Jawa Barat, dan pemerhati
lingkungan. Analisis data dilakukan dengan tabulasi
yang kemudian dibahas secara deskriptif.
PRA merupakan salah satu metode untuk
menggali kondisi wilayah (khususnya masalah dan
alternatif pemecahannya sesuai dengan kemampuan
dan sumberdaya yang dimiliki) secara mendalam dan
cepat dengan melibatkan masyarakat dan pihak
lainnya yang terkait (Badan Litbang Pertanian, 2005).
228 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236
Melalui PRA diharapkan keterlibatan masyarakat
secara penuh sejak perencanaan hingga evaluasi,
sehingga masyarakat merasa bahwa program yang
dilaksanakan bukan semata-mata karena program
Pemerintah Daerah tetapi merupakan program
masyarakat setempat.
PRA merupakan langkah awal yang harus
dilaksanakan sebelum merumuskan perencanaan
dalam pengembangan bantaran Sungai Cikapundung,
dengan beberapa keluaran penting, yaitu: (1)
Pemahaman potensi, masalah, dan peluang
pengembangan wilayah, (2) Rancang Bangun
pengembangan wilayah, dan (3) Tahapan kegiatan
inovasi selama lima tahun ke depan.
outlet dan bersatu membentuk Sungai Cikapundung
(Sofyan, 2004). Sungai ini mengalir melewati
kawasan hutan lindung sampai bertemu dengan anak
Sungai Cisarua di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang
dan anak Sungai Cigulung di kawasan wisata
Maribaya, yang terletak di Desa Langensari,
Kecamatan Lembang. Selanjutnya aliran sungai
menuju ke kawasan Hutan Lindung Taman Insinyur
Haji Djuanda atau yang biasa dikenal dengan kawasan
Dago Pakar. Kemudian arah aliran sungai menuju ke
arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman
penduduk, yaitu Babakan Siliwangi, Melong, By Pass,
sampai menuju ke arah Desa Bojong Soang dan
akhirnya bertemu dengan aliran Sungai Citarum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penduduk
Penduduk merupakan salah satu indikator
tingkat perkembangan kota yang sekaligus sebagai
salah satu faktor juga dalam memberikan pengaruh
terhadap kondisi DAS baik secara kualitas maupun
kuantitas. Jumlah penduduk yang berdomisili di DAS
Cikapundung mencapai 793.177 jiwa, dan jumlah
penduduk tertinggi di Kelurahan Tamansari, yaitu
28.729 jiwa (Tabel 1). Kepadatan penduduk di DAS
Cikapundung tergolong tinggi dengan rata-rata
5.591/km2 dengan kepadatan tertinggi di Kelurahan
Maleer, Batu Nunggal. Jumlah rumah tangga yang
tinggal di bantaran sungai 6.837 rumah tangga (RT).
Kondisi Umum
DAS Cikapundung merupakan salah satu
bagian dari DAS Citarum, yaitu sungai terbesar dan
terpanjang di Provinsi Jawa Barat. DAS tersebut
terletak pada Cekungan Bandung, dan memiliki
daerah tangkapan seluas 14.211 ha. DAS
Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi
sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung.
Hingga saat ini, DAS ini masih sangat potensial bagi
penyedia air baku untuk kebutuhan penduduk
meskipun debit air bulanannya mengalami penurunan
hingga 20-30% dari normal (Maria, 2008). Sungai
Cikapundung melintasi Kota Bandung sepanjang
15,50 km dengan 10,57 km diantaranya (68,20%) dari
panjang total merupakan daerah pemukiman padat
penduduk yang dipenuhi bangunan. Ketinggian sungai
berkisar antara 650-2.067 m dpl., dengan kemiringan
di hulu sebesar 3-10% dan di hilir sebesar 0-3%.
Sungai ini berasal dari mata air yang berada di
Gunung Bukit Tunggul yang kemudian membentuk
Pemanfaatan DAS Cikapundung
DAS Cikapundung sejak dahulu telah
dimanfaatkan sebagai berikut (Sofyan, 2004):
1. Sebagai sumber air baku air minum dan
pembangkit listrik yang terbagi atas: (1) Pada
ketinggian 930 m dpl., melalui bendung Bantar
Awi dialirkan air sebanyak 600 l/detik untuk
PDAM Dago Pakar; (2) Sekitar 30 m ke arah
Tabel 1. Kondisi Penduduk di Seluruh DAS Cikapundung 2009
No
Titik
Sampling
1.
2.
Dago Pakar
Lebak
Siliwangi
3.
Tamansari
4.
Viaduct
5
Sukarno
Hatta
Hilir/Citarum
Kecamatan
Lembang
Sukasari
Cidadap
Coblong
Bandung
Wetan
Sumur
Bandung
Cicendo
Regol
Lengkong
Bandung
Kidul
Padalarang
Area Tangkapan
Luas
Jumlah
Area
Penduduk
(km2)
(jiwa)
98,58
76.857
6,14
262.282
Kepadatan
(jiwa/km2)
779,6
42.716,9
6,70
32.315
4.823,1
3,69
146.169
39.612,2
16,82
161.356
9.591,1
10,18
114.198
11.217,9
Total
142,11
Sumber: BPS Kota Bandung (2010); diolah.
793.177
5.591,4
6.
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 229
2.
3.
hilir, melalui bendung kedua buatan PLTA sejak
1923, dialirkan sebanyak 3.000 l/detik yang
dikumpulkan dalam suatu kolam dengan
kapasitas 30.000 m3 pada ketinggian 923 m dpl.
Dari kolam tersebut dimanfaatkan untuk PDAM
Pengolahan Mini Plant Pakar sebanyak 60
l/detik, PLTA Dago Bengkok dengan beban
operasi ekuivalen 3.500 l/detik (keluarannya
digunakan untuk irigasi sebanyak 500 l/detik dan
PLTA Dago Pojok sebanyak 3.000 l/detik), dan
keluaran dari PLTA sebanyak 2.250 l/detik
dikembalikan ke Sungai Cikapundung: dan (3)
Selanjutnya pada ketinggian 740 m dpl. (daerah
Lebak Siliwangi), dialirkan ke PDAM Badak
Singa sebanyak 180 l/detik dan penggelontoran
sungai Cikapayang sebesar 1.500 l/detik.
Sebagai Penggelontor Kota: melalui bendungbendung yang ada termasuk di atas. Awalnya
Sungai Cikapundung berfungsi sebagai sumber
air untuk pertanian, namun dengan adanya
pengembangan penggunaan lahan dari pertanian
(sawah) menjadi perumahan, maka fungsi sungai
berubah menjadi penggelontoran kota untuk
menujang kesehatan lingkungan kota.
Sebagai Obyek wisata: Di sekitar Sungai
Cikapundung terdapat lokasi wisata yang banyak
dikunjungi dimana salah satunya adalah Curug
Dago yang di dalamnya terdapat Situs Thailand.
Analisis Masalah dan Alternatif Pemecahannya
1. Analisis Masalah
Berdasarkan hasil PRA diketahui bahwa
pengembangan DAS Cikapundung selama ini
menghadapi berbagai permasalahan (Lampiran Tabel
2) yang mengakibatkan kualitas lingkungan DAS
sangat rendah. Penggunaan lahan di DAS
Cikapundung sangat beragam mulai dari hutan,
perkebunan, persawahan, permukiman (perumahan,
kawasan industri, perkantoran, pertokoan dan jasa),
rumput/tanah kosong, semak belukar dan ladang
(Sofyan, 2004). Sepanjang aliran sungai ini terutama
yang melewati Kota Bandung penuh dengan
pemukiman, perdagangan dan lain-lain yang
memanfaaatkan fungsi dari sungai tersebut.
Akibatnya, pemanfaatan air Sungai Cikapundung
sangat beragam mulai dari pemanfaatan langsung oleh
masyarakat seperti mandi-cuci, sumber air baku
Perusahaan Daerah air Minum (PDAM), pembangkit
listrik dan penggelontoran kota.
Kondisi Sungai Cikapundung saat ini adalah
sangat memprihatinkan yang diakibatkan adanya
pencemaran yang relatif berat. Kadar koli tinja
mencapai 50.000/100 ml atau 250 kali di atas baku
mutu, sehingga bila kualitas air seperti itu tetap
dikonsumsi masyarakat, jelas sangat membahayakan
kesehatan. Di pihak lain, masyarakat umumnya tidak
memiliki budaya takut dan malu dalam membuang
sampah pada tempatnya. Sarana untuk pembuangan
sampah pun masih dirasakan jauh dari cukup.
Di daerah hulu Sungai Cikapundung, sekitar
30% penduduknya hidup dari peternakan terutama
memelihara sapi perah dan selebihnya memiliki
pekerjaan utama sebagai petani sayuran. Jumlah sapi
perah diperkirakan mencapai 6.800 ekor pada akhir
tahun 2009 dengan limbah padat yang dihasilkan
mencapai sekitar 204-306 ton/hari dan limbah cair
sebanyak 680-1.700 kilo liter/hari (Tabel 3). Dengan
demikian, bahan yang mengotori sungai juga termasuk
kotoran ternak yang dibuang ke saluran-saluran yang
bermuara ke Sungai Cikapundung.
Tabel 3. Populasi Sapi Perah dan Produksi Limbahnya
di Daerah Hulu DAS Cikapundung 2011
Desa
1.
2.
3.
4.
5.
Cibogo
Cikole
Cikidang
Wangunharja
Suntenjaya
Populasi
(ekor)
1.700
1.500
1.000
600
2.000
6.800
Limbah
Padat
(ton)
51-76,5
45-67,5
30-45
18-27
60-90
204-306
Limbah
Cair
(kilo liter)
170-425
150-375
100-250
60-150
200-500
280-1.700
Sumber: Sofyan (2004)
Pencemaran Sungai Cikapundung, 80%
diantaranya disebabkan oleh limbah domestik dan
sisanya adalah industri yang menyumbang bahanbahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, ke
aliran sungai (BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2003;
Maria, 2008). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa dari
beberapa sungai yang berada di DAS Citarum,
ternyata Sungai Cikapundung menduduki peringkat
pertama yang memiliki tingkat pencemaran paling
tinggi berdasarkan pengukuran Biochemical Oxygen
Demand (BOD) dan unsur hara seperti nitrogen dan
fosfor. Sebaliknya, oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen/DO) semakin rendah.
Tingkat erosi di DAS Citarum terutama bagian
hulu berada dalam kondisi sangat buruk dengan nilai
rata-rata sebesar 491 ton/ha/th (Maria, 2008). Hal ini
berarti bahwa rata-rata pengurangan lapisan tanah di
wilayah tersebut adalah sekitar 4,09 cm/tahun. Dari
delapan sub DAS yang ada, Cikapundung mempunyai
kelas erosi yang buruk, sedangkan Cirasea,
Cisangkuy, dan Ciwidey adalah sangat buruk.
Penggunaan lahan untuk pertanaman sayuran, seperti:
kentang, wortel, caisin, bawang daun, dan lain-lain
memberikan kontribusi paling besar dalam
memperburuk kondisi erosi di wilayah DAS
Cikapundung ini.
Kondisi erosi yang mencapai tingkatan buruk
di bagian hulu DAS Cikapundung tersebut di atas,
telah menyebabkan terjadinya sedimentasi dalam
jumlah yang relatif besar di Cekungan Bandung yang
berjumlah sekitar 1,83 juta ton/tahun. Sedimentasi
tersebut mengakibatkan terjadinya pendangkalan
badan air yang ada, yaitu sungai dan saluran drainase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendangkalan
badan air mencapai 17 cm/tahun sehingga
230 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236
menurunkan kapasitas dari badan air
meningkatkan putensi luapan permukaan/banjir.
dan
11.
12.
2.
Alternatif Pemecahan Masalah
Berdasarkan hasil rekapitulasi permasalah
dalam pengembangan DAS Cikapundung, diperlukan
berbagai alternatif pemecahannya (strategi) sehingga
setiap permasalahan tersebut dapat diantisipasi secara
simultan dan terkoordinasi. Sebagai langkah awal,
mengingat keterbatasan sumberdaya, dilakukan
terlebih dahulu penentuan prioritas program/kegiatan
berdasarkan beberapa kriteria penilaian.
Adapun kriteria penilaian meliputi: (1)
Dampak terhadap pengembangan program/kegiatan
sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, (2)
Ketersediaan inovasi terkini (teknologi atau
kelembagaan), (3) Persepsi (keinginan) masyarakat
setempat, (4) Dukungan aparat Pemerintah Daerah, (5)
Peluang Keberhasilan, (5) Kemudahan dalam
pelaksanaan, dan (6) Kondisi infrastruktur yang dapat
mendukung pelaksanaan setiap kegiatan.
Dari hasil penilaian tersebut, telah terpilih
prioritas program/kegiatan berturut-turut sebagai
berikut: (1) Penegakan hukum tentang lingkungan; (2)
Penerapan inovasi teknologi pengolahan sampah dan
limbah pertanian/ peternakan untuk energi alternatif
dan kompos; (3) Penerapan inovasi teknologi
Mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah; (5)
Penguatan/pemberdayaan kelompok masyarakat; (6)
Penguatan pelayanan penyuluhan dan informasi; (7)
Penerapan inovasi teknologi sapi perah ramah
lingkungan; (8) Penghijauan di DAS bagian hulu,
tengah dan hilir; (9) Pelatihan pengolahan sampah
rumah tangga dan limbah lainnya; (10) Kemitraan
dengan lembaga penelitian dan swasta; (11)
Pengembangan septic tank komunal; dan (12)
Revitalisasi pemukiman.
Tabel 4. Prioritas Program/Kegiatan Berdasarkan
Kriteria Penilaian Yang Ditetapkan 2011
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Aspek
Penguatan Pelayanan
Penyuluhan dan Informasi
Penguatan/Pemberdayaan
Kelompok Masyarakat
Penyediaan Sarana Sampah
(bak dan angkutannya)
Pengembangan Septic Tank
Komunal
Revitalisasi Pemukiman
Penegakan Hukum tentang
lingkungan
Penerapan inovasi Teknologi
Pengolahan Sampah dan
Limbah Peternakan untuk
energi alternatif dan kompos
Penerapan inovasi Teknologi
Mikrohidro
Penerapan inovasi Teknologi
Sapi Perah ramah lingkungan
Kemitraan dengan Lembaga
Penelitian & Swasta
Nilai
29
Rangking
VI
30
V
31
IV
22
XI
20
35
XII
I
34
II
33
III
28
VII
24
X
Penghijauan di DAS bagian
hulu, tengah, dan hilir
Pelatihan pengolahan sampah
rumah tangga dan limbah
lainnya
26
VIII
25
IX
Kebutuhan Inovasi Teknologi
Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi
terutama yang terkait dengan permasalahan dan
alternatif pemecahannya, maka telah disepakati bahwa
alternatif teknologi yang akan dikembangkan, sebagai
berikut:
1. Pengolahan Sampah Terpadu
Sampah adalah kumpulan berbagai material
buangan yang merupakan sisa proses dan
kegiatan kehidupan manusia. Saat ini,
penanganan
sampah masih sebatas pada
penanganan yang konvensional yaitu sampah
dibuang di Sungai Cikapundung, secara terbuka,
untuk dibiarkan membusuk dengan sendirinya.
Akibatnya, sampah tersebut menjadikan sumber
polusi udara karena baunya, dan polusi air
yang dikarenakan penanganan air lindinya
(leacheate)
kurang bagus sehingga meresap
kemana-mana,
serta
menjadi
penyebab
terjadinya wabah penyakit dan juga sebagai
salah satu penyebab terjadinya banjir. Inilah
salah satu bentuk masalah yang ditimbulkan
apabila sampah tersebut tidak ditangani segera
dan secara sistematis, yang mencakup: Tempat
penumpukan sampah yang datang, sortasi,
composting, Instalasi Pengolahan Air Limbah
(IPAL), dan Incinerator (KNRT, 2010).
2. Unit Instalasi Kotoran Sapi Menjadi Biogas
Biogas adalah salah satu sumber energi
terbarukan yang bisa menjawab kebutuhan
energi dan hasil samping berupa pupuk organik.
Teknologi biogas berpotensi dikembangkan
untuk memanfaatkan secara optimal limbah
peternakan sapi agar masalah pencemaran
lingkungan dapat diminimalisir, sekaligus
penerapan konsep nir limbah di bidang pertanian
yang ramah lingkungan. Reaktor biogas yang
dikembangkan adalah tipe fixed dome dengan
kapasitas 18 m3 atau dapat menampung 200 kg
kotoran sapi/hari (10-20 ekor) dengan waktu
retensi 45 hari (Badan Litbang Pertanian, 2011).
Reaktor ini mampu menghasilkan biogas
sebanyak 6 metrik kubik per hari. Biogas yang
dihasilkan dimanfaatkan sebagai sumber energi
pada kompor gas, lampu penerangan, dan
generator listrik skala rumah tangga, Hasil
analisa kelayakan ekonomi memperlihatkan
investasi layak dengan B/C rasio 1,35 dan modal
investasi kembali pada tahun keempat. Umur
ekonomi reaktor biogas 20 tahun.
3. Mikrohidro
Mikrohidro adalah suatu pembangkit listrik skala
kecil yang menggunakan tenaga air sebagai
tenaga penggeraknya seperti: saluran irigasi,
sungai atau air terjun alam dengan cara
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 231
4.
memanfaatkan air terjunan (head) dan jumlah
debit air (Arne, 2001; Ujang 2007). Prinsip dasar
mikrohidro adalah memanfaatkan energi
potensial yang dimiliki oleh aliran air pada jarak
ketinggian tertentu dari tempat instalasi
pembangkit listrik.
Reboisasi dan Penghijauan
Laju peresapan air ke dalam tanah sangat
dipengaruhi oleh tingkat kelebatan vegetasi pada
tanah tersebut. Oleh sebab itu, vegetasi pada
kawasan hutan harus dijaga dengan cara
reboisasi pada kawasan hutan yang gundul serta
pencegahan pembalakan pada hutan yang telah
lebat. Pada kawasan perkebunan serta lahanlahan kosong lainnya dilakukan penghijauan
sehingga peresapan air ke dalam tanah dapat
berlangsung optimal.
Penghijauan adalah suatu kegiatan yang
mengandung dua tujuan pokok yang saling
berkaitan erat (Notohadiprawiro, 1981), yaitu:
(1) Memasukkan gatra ekologi atau pelestarian
lingkungan dalam usahatani dan dalam membina
daerah pemukiman; dan (2) Meningkatkan
produktivitas usahatani dan pekarangan serta
membuat nyaman lingkungan tempat tinggal.
Oleh karena itu, penghijauan merupakan unsur
tata guna lahan, serta berciri tempat dan waktu.
Hakekat penghijauan adalah metode biologi
untuk pembenahan tata guna lahan. Metode
mekanik yang sering disertakan dalam
penghijauan,
yaitu
penyengkedan
dan
pengundakan lereng, sderta pembuatan saluran
pembuang air turah dari aliran permukaan,
merupakan usaha pendukung atau pelenglap.
Penghijauan
dengan
menggunakan
konsep ”agroforestry”, yaitu sistem pengelolaan
lahan yang mantap yang mampu meningkatkan
hasil panen dengan jalan menggabungkan
penghasilana pertanaman, termasuk tanaman
pohon, dan ternak pada sebidang lahan yang
sama dan pengelolaannya selaras dengan
kebiasaan yang dikerjakan oleh penduduk
setempat.
Pemecahan Masalah/Tindak Lanjut
Program Pengembangan DAS Cikapundung
merupakan salah satu program khusus Pemerintah
Daerah Provinsi Jawa Barat untuk menunjang
pelaksanaan “Cikapundung Bersih” yang dipandang
mampu memberikan manfaat kepada pembangunan
Jawa Barat
secara signifikan, antara lain: (1)
meningkatnya muatan inovasi
baru dalam
pengembangan DAS Cikapundung, (2) meningkatnya
lingkungan bantaran sungai Cikapondung, sehingga
pemukiman menjadi asri dan kualitas air sungai sangat
baik, dan (3) meningkatnya efisiensi dan sinkronisasi
sumberdaya pembangunan dan dana pemerintah,
terutama yang digunakan untuk revitalisasi Sungai
Cikapundung.
Satuan
Program
Pembangunan
DAS
Cikapundung terdiri atas satu hamparan bantaran
sungai, yaitu di daerah Hulu, Tengah dan Hilir. Setiap
wilayah tersebut dibangun bersama secara partisipatif
oleh masyarakat, pemerintah daerah, pengusaha
swasta, dan pemangku kepentingan lainnya yang
relevan. Selama lima tahun (2012-2016), kegiatan
Pengembangan DAS Cikapundung diarahkan untuk
mewujudkan DAS Cikapundung yang asri yang
didukung inovasi teknologi dan kelembagaan yang
tepat.
Berdasarkan
penentuan
prioritas
program/kegiatan, maka disusun berbagai kegiatan
secara sistematis yang dalam pelaksanaannya
didukung seluruh aktor/stakeholders yang terlibat,
seperti terlihat pada Lampiran Tabel 5.
SIMPULAN
Dari hasil PRA yang dilaksanakan selama
enam hari, tanggal 1-5 November 2011, di DAS
Cikapundung bagian Hulu, Tengah dan Hilir dapat
disimpulkan, sebagai berikut: Pertama, DAS
Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi
sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung.
Hingga saat ini, DAS ini masih sangat potensial bagi
penyedia air baku untuk kebutuhan penduduk
meskipun debit air bulanannya mengalami penurunan
hingga 20-30% dari normal. Sungai Cikapundung
melintasi Kota Bandung sepanjang 15,50 km dengan
10,57 km diantaranya (68,20%) dari panjang total
merupakan daerah pemukiman padat penduduk yang
dipenuhi bangunan. Ketinggian sungai berkisar antara
650-2.067 m dpl., dengan kemiringan di hulu sebesar
3-10% dan di hilir sebesar 0-3%.
Kedua, sepanjang aliran sungai ini penuh
dengan pemukiman, perdagangan dan lain-lain yang
memanfaatkan fungsi dari sungai tersebut umumnya
tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan.
Akibatnya, Saat ini, kondisi Sungai Cikapundung
sangat memprihatinkan. Terlihat warna airnya sangat
keruh yang menunjukkan adanya pencemaran yang
relatif berat.
Ketiga, pencemaran Sungai Cikapundung, 80%
diantaranya disebabkan oleh limbah domestik dan
sisanya adalah industri yang menyumbang bahanbahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, ke
aliran sungai. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa dari
beberapa sungai yang berada di DAS Citarum,
ternyata Sungai Cikapundung menduduki peringkat
pertama yang memiliki tingkat pencemaran paling
tinggi berdasarkan pengukuran BOD, COD, dan unsur
hara seperti nitrogen dan fosfor.
Keempat, tingkat erosi di DAS Citarum
terutama bagian hulu berada dalam kondisi sangat
buruk dengan nilai rata-rata sebesar 491 ton/ha/th. Hal
ini berarti bahwa rata-rata pengurangan lapisan tanah
di wilayah tersebut adalah sekitar 4,09 cm/tahun. Dari
delapan sub DAS yang ada, Cikapundung mempunyai
kelas erosi yang buruk, sedangkan Cirasea,
232 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236
Cisangkuy, dan Ciwidey adalah sangat buruk.
Penggunaan lahan untuk pertanaman sayuran, seperti:
kentang, wortel, caisin, bawang daun, dan lain-lain
memberikan kontribusi paling besar dalam
memperburuk kondisi erosi di wilayah DAS
Cikapundung ini.
Kelima, pengembangan DAS Cikapundung
dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: (1)
padatnya pemukiman penduduk di bantaran sungai,
(2) rendahnya kualitas sumberdaya manusia
(masyarakati) terutama diakibatkan rendahnya
pendidikan), dan (3) rendahnya penerapan inovasi
teknologi yang disebabkan oleh lambatnya proses
diseminasi inovasi teknologi.
Keenam, pada saat ini, pengolahan sampah
terintegrasi sudah saatnya diterapkan di Kota Bandung
dan sekitarnya mengingat teknologi ini disamping
memiliki biaya investasi dan operasionalnya relatif
murah juga memiliki beberapa keuntungan, antara
lain: (1) Pengolahan sampah tanpa sisa, mulai
pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan;
(2) Sampah menjadi barang bermanfaat untuk
masyarakat sekitar; (3) Peningkatan motivasi segenap
lapisan masyarakat untuk perduli terhadap sampah,
serta menjaga lingkungan dan seluruh kota agar tertata
rapi dan asri; (4) Instalasi layak dibangun di kota
karena sistem pengolahan sampah terintegrasi aman
bagi kesehatan dan lingkungan; (5) Pemerintah daerah
dapat memperluas dan mengembangkan lapangan
kerja bagi masyarakat setempat; dan (6) Pemerintah
daerah bersama dengan masyarakat saling
bekerjasama dalam mempercantik kota dan membuat
lingkungan kota menjadi indah dan nyaman.
Ketujuh, mikrohidro dapat digunakan untuk
penyediaan listrik yang menunjang kegiatan sosial
ekonomi masyarakat karena memiliki berbagai
keuntungan, yaitu: (1) Biaya operasional lebih rendah
dibandingkan dengan mesin disel yang menggunakan
energi fosil (BBM); (2) Penerapannya relatif mudah
dan ramah lingkungan, tidak menimbulkan polusi
udara dan suara; (3) Efisiensi tinggi; dan (4)
masyarakat dapat membantu menjaga kondisi
lingkungan daerah tangkapan airnya.
Saran
Lembaga penelitian, baik milik pemerintah
maupun swasta telah berhasil menciptakan inovasi
teknologi pengolahan sampah dan penyediaan listrik
yang sederhana serta dapat digunakan secara luas
untuk mengantisipasi permasalahan sampah di DAS
Cikapundung. Pengembangan inovasi teknologi
tersebut perlu didukung dengan pemberdayaan
lembaga-lembaga lokal yang sudah tumbuh,
berkembang, dan mengakar pada komunitas setempat.
Beberapa aspek kelembagaan yang perlu diperkuat
untuk mendukung pengembangan DAS Cikapundung,
antara lain kelembagaan penyuluhan dan informasi,
kelompok masyarakat, dan penyediaan sarana
persampahan.
DAFTAR PUSTAKA
Arne, K. 2001. Hydropower in Norway. Mechanical
Equipment. Trondheim: Norwegian University of
Science and Technology.
Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Panduan Pelaksanaan
PRA.
Jakarta:
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Dua Ratus Teknologi
Inovatif Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Kementrian Pertanian.
BPLHD Provinsi Jawa Barat. 2003. Model sebagai Alat
Bantu dalam Mengelola Lahan dalam Kaitannya
dengan Pengelolaan Debit Air Sungai di Provinsi
Jawa Barat. Bandung: Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
BPS Kota Bandung. 2010. Kota Bandung dalam Angka
2009. Bandung: Badan Pusat Statistik Kota
Bandung.
KNRT. 2010. Seratus Inovasi Indonesia. Jakarta:
Kementrian Negara Riset dan Teknologi.
Maria, R. 2008. Hidrogeologi dan Potensi Resapan Air
Tanah Sub DAS Cikapundung Bagian Tengah.
Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan 18 (2):
21-30.
Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Program Penghijauan. Makalah
disampaikan pada Kuliah Penataran Perencanaan
Pembangunan
Perdesaan dan Pertanian.
Yogyakarta: Fakultas Pertanian. Universitas
Gadjah Mada.
Roy, K., and D. R. Arora. 1973. Technology of
Agricultural Land Development and Water
Management. India, New Delhi: Satya Prakashan.
Tech. India Publ.
Sofyan, I. 2004. Pengaruh Tata Guna Lahan terhadap
Kualitas dan Kuantitas Air Sungai Cikapundung.
Tesis. Semarang: Program Magister Ilmu
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas
Diponegoro.
Suharto, M. 2004. Dukungan Teknologi Pakan dalam
Usaha Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Lokal.
Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong:
”Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan
Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan.
Yogyakarta 8-9 Oktober, 2004. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Ujang, H. 2007. Desain, Manufacturing, dan Instalasi
Turbin Propeler Open Flume di CV. Cihanjuang
Inti Teknik, Cimahi, Jawa Barat. Bogor: Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 233
Lampiran
Tabel 2. Masalah, Sumber Masalah, Akar Masalah,
dan Solusi Masalah Pengembangan DAS Cikapundung. 2011.
1.
Masalah
Kondisi
bantaran
sungai
parah/
kumuh
1.
Air
sungai
tercemar
berat
1.
Akar Masalah
Pengetahuan dan ketrampilan rendah
yang disebabkan karena pendidikan
rendah dan pembinaan relatif kurang
Penegakan hukum sangat rendah
karena berbagai aturan belum
diterapkan
Tata Ruang tidak ada
2.
Upaya perbaikan tidak ada
1.
Kesadaran masyarakt sangat rendah
yang tercermin dari perilaku dan
diakibatkan terjadinya pergeseran
nilai budaya
2.
Septic tank tidak tersedia
1.
Fasilitas tempat sampah tidak ada
2.
Teknologi pengolahan limbah tidak
ada
1.
2.
2.
2.
Sumber Masalah
Pemukiman
Penduduk sangat
padat
1.
2.
3.
Jalur Hijau tidak
ada
Pembuangan
limbah rumah
tangga, pertanian
dan industri
Penumpukan
sampah padat
Pendangkalan
badan sungai
Erosi, sedimentasi, dan banjir
Solusi Masalah
Pembinaan ditingkatkan melalui
pendekatan kelompok masyarakat
Penegakan hukum dilaksanakan dengan
konsekuen.
Pembuatan RTRW dilanjutkan dengan
revitalisasi pemukiman penduduk yang
padat
Penataan lingkungan dengan melibatkan
masyarakat secara penuh.
1. Peningkatan peran masyarakat dalam
pengembangan DAS Cikapundung
secara utuh
2. Pembinaan masyasakat secara
intensif
Rekonstruksi perumahan/Penyediaan
septic tank.
Peningkatan kemitraan dengan swasta
dalam penyediaan tempat sampah dan
pengangkutannya
1. Peningkatan kemitraan dengan
lembaga penelitian dalam penyediaan
inovasi teknologi
2. Fasilitasi penerapan inovasi teknologi
3. Pelatihan pengolahan sampah rumah
tangga
Fasilitasi perbaikan erosi, penahan banjir,
dan pengerukan sungai
Tabel 5. Kegiatan Dalam Pengembangan DAS Cikapundung 2012-2016
Prioritas
I
II
III
Program
Kegiatan
Survei Awal
Base Line Survey
Penegakan Hukum
tentang Lingkungan DAS
1. Sosialisasi Aturan
Lingkungan DAS
2. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
3. Pengawasan langsung di
lapangan
1. Sosialisasi inovasi
teknologi
2. Pelatihan secara berkala
3. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
4. Pembinaan langsung di
lapangan
5. Demplot dan temu
lapang1
1. Sosialisasi inovasi
teknologi
2. Pelatihan secara berkala
3. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
4. Pembinaan langsung di
lapangan
5. Demplot dan temu
lapang
Penerapan inovasi
teknologi pengolahan
sampah
Penerapan teknologi
Mikrohidro
Aktor Terlibat
Bappeda Provinsi
Jawa Barat
Dinas terkait tingkat
Provinsi/Kabupaten
dan lembaga hukum
lainnya
2012
X
Tahun Pelaksanaan
2013 2014 2015
2016
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/
Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
234 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Penyediaan sarana
sampah (bak `dan
angkutannya)
Pembinaan/Pemberdayaan
Kelompok Masyarakat
Penguatan Pelayanan
Penyuluhan dan Informasi
Penerapan Inovasi
Teknologi Sapi Perah
ramah lingkungan
Penghijauan
Pelatihan pengolahan
sampah rumah tangga
X
Fasilitasi Kemitraan
XI
Pengembangan septic
tank komunal
XII
Revitalisasi Pemukiman
1. Penentuan specimen
2. Pembelian dan
penyebaran di lapangan
1. Pembenahan Kelompok
Masyarakat
2. Pertemuan kelompok
secara berkala
3. Pembinaan langsung di
lapangan
4. Magang/studi banding
1. Penyuluhan secara
periodik
2. Penyebarluasan
informasi
3. Peningkatan sarana dan
prasarana
4. Pembentukan/penguatan
Klinik DAS
Cikapundung
1. Sosialisasi inovasi
teknologi
2. Pelatihan secara berkala
3. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
4. Pembinaan langsung di
lapangan
5. Demplot dan temu
lapang1
1. Sosialisasi inovasi
teknologi
2. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
3. Pelaksanaan lapang
1. Sosialisasi pelatihan
2. Pelatihan secara berkala
3. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
4. Pelaksanaan pelatihan
1. Lobi
2. Temu Kemitraan
3. Tindak Lanjut
Kemitraan
1. Sosialisasi inovasi
teknologi
2. Penyebaran
informasi/media
penyuluhan
3. Pelaksanaan di
lapangan
1. Sosialisasi
2. Perencanaan
3. Pelaksanaan
Pemda
provinsi/kabupaten,
swasta/ pengusaha
Penyuluh swakarsa,
pamong desa/
kecamatan, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Dinas terkait tingkat
Provinsi/kabupaten,
Penyuluh swakarsa,
pamong lurah/
kecamatan,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
UPTD, BPP, BPTP,
Dinas terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
Lembaga
Penelitian, Dinas
terkait tingkat
Kabupaten/Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Dinas terkait tingkat
Kabupaten/
Provinsi,
swasta/pengusaha
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 235
236 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236
FASILITAS PERANAN SARANA DAN PRASARANA
TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA UKM DI KOTA MAGELANG
THE EFFECTS OF FACILITIES AND INFRASTRUCTURES
TOWARD THE PRODUCTIVITY OF SME’S WORK IN MAGELANG CITY
Harsono
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah
Jalan Imam Bonjol No. 190, Semarang
E-mail: [email protected]
Diterima: 2 November 2012; direvisi: 29 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana keadaan kualitas prasarana. Seberapa besar tingkat
pengaruh antara variabel independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat) dengan variabel dependen
produktivitas kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang kualitas sarana dan
prasarana UKM dan tingkat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Manfaat
yang diharapkan adalah hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan pengambilan kebijakan.
Lokasi penelitian dilakukan di Kota Magelang. Metode penelitian yang digunakan populasi sebanyak 240
KUB dan ukuran sampel yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang.
Untuk menentukan sampel tersebut digunakan simple random sampling. Analisis data dengan model
statistik inferensial. Hasil yang didapat, karena F hitung > F tabel ( 16,078 >2,87 maka Ho ditolak, H altf.
diterima artinya ada pengaruh secara signifikan antara promosi, pelatihan dan bantuan alat secara bersamasama terhadap produktivitas kerja. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Peningkatan kualitas
SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job
training, pemagangan dan kerja sama usaha.
Kata kunci: sarana, prasarana, produktivitas, UKM.
Abstract
Issues raised is how the quality of infrastructure. What degree of influence of the independent variables
(promotion, training and equipment) with the dependent variable labor productivity. The purpose of this
study was to determine the picture quality of the facilities and infrastructure of SMEs and the level of
influence between the independent variables with the dependent variable. The expected benefits are the
results of this study may be material to enter policy making. The research location in Magelang. The
method used a population of 240 KUB and the sample size used as respondents in this study of 40 people.
To determine the sample used simple random sampling. Analysis of the data with a model of inferential
statistics. The results, as F count> F table (16.078> 2.87 then the Ho is rejected, H altf. Acceptable means
there is significant influence between promotion, training and support tools together to work productivity.
Development of Human Resources (HR ) Improving the quality of human resources through various
means such as education and training, seminars and workshops, on the job training, apprenticeships, and
cooperative effort.
Keywords: facilities, infrastructure, productivity, SMEs.
PENDAHULUAN
Klaster makanan ringan di Kota Magelang,
meliputi: usaha aneka makanan ringan Karya Boga
beranggotakan 19 UKM, makanan ringan Jaya Abadi
beranggotakan 18 UKM, aneka roti Karya Abadi
beranggotakan 20 UKM, aneka roti Arsya Boga
beranggotakan 40 UKM, aneka roti Mulya Boga
beranggotakan 20 UKM, dan krupuk rambak 5 UKM.
Di samping itu, masih terdapat berbagai jenis UKM
yang masih dalam komunitas sentra.
Klaster makanan ringan di Kota Magelang
memproduksi jenis makanan ringan atau kudapan
(Inggris: snack), yakni istilah bagi makanan yang
bukan sebagai makanan utama (makan pagi, makan
siang atau makan malam). Makanan ringan berfungsi
sebagai penghilang rasa lapar seseorang untuk
sementara waktu, guna memberikan sedikit energi
tubuh, atau sebagai makanan untuk dinikmati rasanya
(http://id.id.facebook.com/pages/Makanan-ringan/
11277179206995).
Permasalahan:
Bagaimana
keadaan kualitas sarana dan prasarana, dan tingkat
pengaruh antara variabel independen dengan variabel
dependen.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
gambaran tentang kualitas sarana dan prasarana, dan
mengetahui tingkat pengaruh antara variabel
independen dengan variabel dependen. Manfaat yang
bisa didapat dari penelitian ini adalah menjadi bahan
Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 237
masukkan pengambilan kebijakan di bidang Usaha
Kecil Menengah makanan ringan di Kota Magelang.
Kondisi lingkungan saat ini ditandai dengan
perubahan besar yang saling terkait serta membentuk
lingkungan usaha yang semakin kompetitif. Ketiga hal
tersebut adalah isu globalisasi , masalah-masalah
nasional dan masalah-masalah lokal yang mendesak
untuk disikapi oleh Birokrasi dengan penanganan
yang integratif (Prof. Bhenyamin Hoessein). Sistem
pelayanan publik juga akhirnya tidak bisa dipandang
hanya sebagai penyelesaian permasalahan lokal, akan
tetapi terkait juga dengan masalah-masalah globalisasi
serta masalah nasional pada umumnya.
Perkembangan tersebut akan
semakin
meningkatkan daya kritis masyarakat dalam
memandang dan menilai kinerja birokrasi. Usaha
Kecil sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 9
Tahun 1995 adalah usaha produktif yang berskala
kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling
banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Jadi klaster adalah penggabungan beberapa
aliansi dari beberapa perusahaan dalam suatu wilayah
yang berdekatan. Adapun pengertian klaster, menurut
Porter, 1998 adalah: “Klaster merupakan jaringan
perusahaan-perusahaan yang terkonsentrasi secara
geografis, yang dikhususkan kepada para pemasok,
penyedia jasa-layanan, perusahaan yang terkait secara
industri, dan lembaga asosiasi di daerah tertentu yang
saling bersaing, namun juga saling bekerjasama.”
Menurut Mathis (2002), pelatihan adalah suatu proses
dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu
untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh
karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan
organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit
maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan
para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan
dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan
dalam pekerjaan mereka saat ini.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian ini ditentukan dilakukan di
Kota Magelang. Jenis data yang digunakan terdiri dari
data primer dari hasil wawancara dengan responden
UKM. Sedangkan data skunder dari Kota Dalam
Angka tahun 2012.
Alat pengumpulan data menggunakan daftar
wawancara dan kuestioner yang dilakukan pada
populasi 240 orang, sample 40 orang. Sedangkan
teknik analisis data yang digunakan adalah
menggunakan program SPSS 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelompok usaha survei yang dilakukan di
lakukan di Kota Magelang ini meliputi tiga besar
kelompok industri pengolahan makanan yang
berjumlah 240 unit usaha. Sarana dan prasarana UKM
Sarana dan prasarana yang meliputi lahan dan
bangunan, jalan raya, listrik, air, telekomunikasi
merupakan faktor penting yang mendukung usaha.
Dari hasil survei menunjukkan bahwa hanya sekitar
25% dari total sampel yang mengatakan bahwa
kualitas sarana dan prasarana sangat baik, sedangkan
62,5% mengatakan cukup baik. Sedangkan 8%
pengusaha mengatakan sarana dan prasarana kurang
baik. Ini menunjukkan bahwa sarana baru merupakan
fakor yang mampu mendukung iklim usaha dalam arti
minimalis, belum mampu menjadi daya dukung yang
optimal.
Adapun fasilitas fisik yang sangat diperlukan
oleh sebagian besar pegusaha adalah lahan usaha dan
bangunan usaha untuk meningkatkan kegiatan usaha
mereka. Fasilitas dari Pemerintah Kota Magelang dan
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berupa
promosi atau pameran untuk pemasaran langsung.
Pemberian bantuan dana sebagai stimulasi usaha.
Pemberian bantuan peralatan usaha secara kelompok.
Kemudahan akses pasar dan pemberian pelatihan
dibidang pengolahan, pengemasan, pemasaran.
Hasil dari wawancara didapatkan sebagian
besar pengusaha mengatakan bahwa tingkat bunga
perbankan mahal. Mereka berharap ada kebijakan dari
pemerintah untuk memberikan subsidi tingkat bunga
sehingga tidak membebani mereka. Dilihat dari
persepsi mereka menunjukkan bahawa cost of capital
masih mahal. Ini mendukung adanya high cost
economy di Kota Magelang.
Biaya Operasional Usaha dapat diketahui dari
beban biaya operasional usaha yang harus
dikeluarkan, maka porsi yang terbesar ada pada
mahalnya bahan baku yang mencapai 67,5 %,
sedangkan tenaga kerja 7,5 % dan bahan bakar 25 %,
hal ini menunjukkan bahwa harga bahan baku
makanan olahan cepat berubah terutama harga minyak
goreng, tepung terigu dan telur. Oleh karena itu para
pengusaha meminta bantuan kepada Pemerintah agar
dapat menjaga kestabilan harga di pasar sehingga
usaha rumah tangga tidak mengalami kebangkrutan.
Kemudahan mencari kredit usaha hasil
wawancara yang dilakukan bahwa sekitar 60%
pengusaha menyatakan tingkat bunga perbankan
masih tinggi atau mahal, rendahnya plofond 7,5.
Jangka waktu pendek 10%, proses pengajuan cepat 5
% dan administrasi lainnya dan antrian 17,5%. bahkan
pencari kredit harus mempunyai agunan sertifikat
tanah sebagai agunan pinjaman baik di BRI maupun
bank yang lain. Waktu pengembalian pinjaman sekitar
2 sampai 5 tahun.
Berdasarkan uji korelasi bahwa variable
independen promosi sebesar 0,538, variable pelatihan
sebesar 0,590 dan variable bantuan alat sebesar 0,556
hal ini menunjukkan secara parsial ada hubungan
positip
antara variable independen (promosi,
pelatihan dan bantuan alat) terhadap variable
dependent produktivitas kerja. Pengetahuan yang
dimiliki tenaga kerja terbatas, skill & SDM belum
sesuai dengan tujuan pengusaha, sering bolos kerja,
malas, ongkos kerja borongan, kinerja menurun dan
238 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242
disiplin kurang, mencari pengganti tenaga kerja yang
siap pakai sulit didapatkan. Tingkat pemanfaatan
perkembangan teknologi masih kurang, baik dalam
hal pahamnya kurang, daya belinya rendah dan
penggunaannya mengalami kesulitan.
pengusaha dalam wawancara para pengusaha merasa
mendapatkan tambahan materi tentang pengemasan
produk, cara menjaga sikap perilaku pemasaran,
menjalin hubungan yang harmonis dengan para
pelanggan, menjamin kualitas dan kuntinuitas produk.
1.
4.
Sarana dan prasarana UKM
Di Kota Magelang meliputi mixer, oven, mesin
pres, mesin penepung dan pemarut, kompor gas,
wajan penggoreng, mesin packing, masih kurang baik
dari segi jenis, jumlah dan tingkat kemutakiran alat.
Teknologi masih bersifat tradisional dalam arti proses
pengolahan menggunakan tungku, kayu bakar dan alat
seadanya. Sumber daya manusia sebagai manajer
masih langka dan tenaga kerja trampil dan terdidik
masih kurang, motivasi kerja bersifat sambilan dari
pada menganggur paling tidak bisa membantu suami
dalam mencari nafkah.
2.
Promosi
Promosi adalah komunikasi informasi antara
penjual dan calon pembeli atau pihak-pihak lain dalam
saluran untuk mempengaruhi sikap dan perilaku
konsumen. Usaha untuk mengenalkan produk kepada
pasar yaitu dilakukan strategi promosi. Konsep yang
dipakai untuk mengenalkan produk yaitu promotion
mix kegiatan-kegiatan yang
mengkombinasikan
keunggulan produk dan membujuk konsumen untuk
membeli. Usaha yang perlu dilakukan adalah melalui
promosi sebagai rangkaian rencana pemasaran secara
keseluruhan.
Strategi
ini
pada
dasarnya
merupakan proses komunikasi yang ditujukan untuk
mempengaruhi
perilaku
konsumen
kearah
pengambilan keputusan yang positif dalam pembelian
produk. Bentuk kegiatan promosi ini dilakukan oleh
FEDEP memfasilitasi biaya sewa tempat pameran dan
persiapan pameran. Adapun tempat promosi di Mall
Paragon, PRPP Semarang, alun-alun Kota Magelang
yang kegiatan dikaitkan dengan hari hari ulang tahun
Kota Magelang, hari ulang tahun provinsi dan harihari besar lainnya.
3.
Pelatihan
Pelatihan adalah suatu proses dimana orangorang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu
mencapai tujuan organisasi. pelatihan biasanya
dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan
kebutuhan kebutuhan, diberikan dalam waktu yang
relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan
keterampilan kerja. Institusi penyelenggara pelatihan
Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Dinas
Perdagangan dan Perindustrian Kota Magelang
maupun Provinsi Jawa Tengah. Adapun materi
pelatihan disesuaikan dengan pratik kerja, cara
penyampaian materi dari pelatih sesuai dengan
kemampuan peserta, kemampuan pelatih dalam
menyampaikan materi sudah teruji sebagai motivator
lapangan, penyampaian materi dengan metode
simulasi dan pratik sesuai dengan teknologi yang
dikuasai peserta.
Adapun tanggapan dari para
Bantuan Alat
Wujud bantuan alat dan mesin didistribusikan
sampai kepada peserta, penyerahan bantuan kepada
klaster menjadi tanggung jawab ketua kelompok,
bantuan alat dan mesin harus dalam kondisi baik,
terakit sempurna, sudah di-running test (diuji coba
dengan menghidupkan mesinnya) dan dilengkapi
pedoman teknis bantuan alat, dengan petunjuk
operasional/manual penggunaan dan perawatan.
Tanggapan para pengusaha bahwa proposal
permohonan bantuan peralatan agak mengalami
keterlambatan
sehingga
target
peningkatan
produksinya mengalami hambatan, hal ini disebabkan
sistem panganggaran dan keterbatasan anggaran dari
SKPD yang bersangkutan. Di samping itu kendala di
lapangan yang sering dialami pengusaha spesifikasi
alat kurang sesuai dengan kebutuhan pengusaha.
5.
Produktivitas
Produktivitas mengandung sebuah pengertian
perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran
serta tenaga kerja persatuan waktu. Pengertian ini
menunjukkan bahwa ada kaitan antara hasil kerja
dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
produk dari seorang tenaga kerja. Tanggapan para
pengusaha bahwa menyatakan ada peningkatan
produktivitas kerja sesudah mendapatkan pelatihan,
mendapatan bantuan alat dan fasilitasi pameran atau
promosi. Keadaan ini dapat dibuktikan meningkatnya
motivasi kerja, semakin efisien waktu dan bahan yang
digunakan dalam proses produksi serta adanya
peningkatan ketrampilan tenaga kerja.
6.
Analisis SPSS 16
Hasil pengolahan data diperoleh R sebesar
0,757 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang
sangat kuat antara variable promosi, pelatihan dan
bantuan alat terhadap peningkatan produtivitas kerja.
Sedangkan hasil penghitungan R² (R Square)
diperoleh angka R² sebesar 0,573 atau (573%). Hal ini
menunjukkan bahwa prosentase sumbangan pengaruh
variable independen (promosi, pelatihan dan bantuan
alat) terhadap variable dependen (produktivtas kerja)
sebesar 573%. Atau variasi variable independen yang
digunakan dalam model (promosi, pelatihan dan
bantuan alat) mampu menjelaskan oleh variasi lain
yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Ho
ditolak, H alf diterima artinya secara parsial ada
pengaruh signifikan antara promosi, pelatihan dan
bantuan alat terhadap produktivitas kerja.
Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 239
SIMPULAN
Pertama, bantuan pembangunan prasarana,
Komponen penting pemberdayaan UKM adalah
pembangunan prasarana produksi dan pemasaran.
Tersedianya prasarana pemasaran dan atau
transportasi dari lokasi produksi ke pasar, akan
mengurangi rantai pemasaran dan akan meningkatkan
penerimaan pengusaha kecil, dan pengusaha
menengah.
Kedua,
pengembangan
skala
usaha,
Pemberdayaan ekonomi pada masyarakat dilakukan
melalui kelompok oleh sebab itu akumulasi kapital
harus dilakukan bersama-sama dalam wadah
kelompok atau usaha bersama. Melalui kelompok,
mereka dapat membangun kekuatan untuk ikut
menentukan
distribusi.
Pengelompokan
atau
pengorganisasian ekonomi diarahkan pada kemudahan
untuk memperoleh akses modal ke lembaga keuangan
yang telah ada, dan untuk membangun skala usaha
yang ekonomis. Aspek kelembagaan yang lain adalah
dalam hal kemitraan antar skala usaha dan jenis usaha,
pasar barang, dan pasar input produksi. Aspek
kelembagaan ini penting untuk ditangani dalam
rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Ketiga, pengembangan jaringan usaha,
Pemasaran dan kemitraan usaha dan upaya
mengembangkan jaringan usaha ini dapat dilakukan
dengan berbagai macam pola jaringan misalnya dalam
bentuk jaringan sub kontrak maupun pengembangan
klaster. Pola jaringan usaha melalui sub kontrak dapat
dijadikan sebagai alternatif bagi eksistensi UKM di
Kota Magelang. Sedangkan pola pengembangan
jaringan melalui pendekatan klaster, diharapkan
menghasilkan produk oleh produsen yang berada di
dalam klaster bisnis sehingga mempunyai peluang
untuk menjadi produk yang mempunyai keunggulan
kompetitif dan dapat bersaing di pasar.
Keempat, pengembangan Sumber Daya
Manusia , Sumber daya manusia merupakan faktor
penting bagi setiap usaha termasuk juga di sektor
usaha kecil. Keberhasilan industri skala kecil untuk
menembus pasar atau menghadapi produk-produk
impor di pasar domestik ditentukan oleh kemampuan
pelaku-pelaku dalam industri kecil tersebut untuk
mengembangkan produk-produk usahanya sehingga
tetap dapat eksis. Selain itu, salah satu bentuk
pengembangan sumber daya manusia di sektor UKM
adalah Pendampingan.
Kelima,
peningkatan
akses
teknologi
Penguasaan teknologi merupakan salah satu faktor
penting bagi pengembangan Usaha Kecil Menengah.
Keberhasilan usaha kecil menengah ditentukan oleh
kemampuan akan penguasaan teknologi.
Keenam, ada hubungan yang sangat kuat antara
variable promosi, pelatihan dan bantuan alat terhadap
peningkatan produtivitas kerja. Sedangkan hasil
penghitungan R² (R Square) diperoleh angka R²
sebesar 0,573 atau (573 %). Ada sumbangan pengaruh
variable independent (promosi, pelatihan dan bantuan
alat) terhadap variable dependen (Produktivtas kerja)
sebesar 573%. Atau variasi variable independen yang
digunakan dalam model (promosi, pelatihan dan
bantuan alat) mampu menjelaskan oleh variasi lain
yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.
Akhirnya Ho ditolak, H alf diterima artinya secara
parsial ada pengaruh signifikan antara promosi,
pelatihan dan bantuan alat terhadap produktivitas
kerja.
Saran
Pertama, pemerintah perlu memberikan
subsidi bantuan peningkatan fasilitas UKM
pengolahan makanan ringan di Kota Magelang baik
lokasi secra berkelompok, peralatan pengolahan
meliputi: mixer, oven, mesin pres,mesin penepung dan
pemarut, kompor gas, wajan, mesin packing dan
kemudahan penambahan modal kerja serta pemasaran.
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi Usaha
Kecil Menengah baik dalam aspek kewiraswastaan,
administrasi dan pengetahuan serta ketrampilan dalam
pengembangan
usaha.
Pemerintah
lebih
memperhatikan adanya regulasi untuk menyediakan
area-area yang diperuntukkan bagi sentra-sentra
pengembangan usaha (spasial) sehingga akan
menjamin kelangsungan usaha. Kebijakan tata ruang
merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini
disebabkan usaha-usha kecil yang ada di Kota
Magelang berbaur dengan perumahan untuk kediaman
tempat tinggal.
Kedua, peningkatan kualitas SDM dilakukan
melalui berbagai cara seperti pendidikan dan
pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training,
pemagangan dan kerja sama usaha. Selain itu, juga
perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil
pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori
melalui pengembangan kemitraan rintisan.
Ketiga, pendampingan UKM perlu dan
penting. Tugas utama pendamping ini memfasilitasi
proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator
untuk penguatan kemitraan baik antara usaha mikro,
usaha kecil, maupun usaha menengah dengan usaha
besar.
Keempat, strategi yang perlu dilakukan dalam
peningkatan akses teknologi bagi pengembangan
usaha kecil menengah adalah memotivasi berbagai
lembaga penelitian teknologi yang lebih berorientasi
untuk peningkatan teknologi sesuai kebutuhan UKM,
pengembangan pusat inovasi desain sesuai dengan
kebutuhan pasar, pengembangan pusat penyuluhan
dan difusi teknologi yang lebih tersebar ke lokasilokasi Usaha Kecil Menengah dan peningkatan
kerjasama antara asosiasi-asosiasi UKM dengan
perguruan Tinggi atau pusat-pusat penelitian untuk
pengembangan teknologi UKM.
240 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242
DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William N. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Dye, Thomas R. 1992. Understanding Publik Polic
Policy.New Jersey: Engewood Cliffs.
Edwards III George C. 1980. Implementing Public
Policy. Washington: Conggressional Quartely
Inc.
Gauthama, Margaret P. 1999. Penerapan Teknologi
Tepat Guna pada Pengrajin Gerabah di Desa
Banyumelek, Lombok Barat. dalam Alkadri
Muchdie, dan Suhandoyo (penyunting). Jakarta:
Tiga Pilar Pengembangan Wilayah Sumber
Alma, Sumber Daya Manusia, Teknologi.
Hadi, AP. 1999. Strategi Komunikasi dalam Mengatipasi
Kegagalan Penerapan Teknologi oleh Petani
Komunitas. Journal of Rural Studies, 2 (2).
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan Dilema
dan Tantangan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nonaka, Ikujiro & Takeuchi, Hirotaka. 1995. The
Knowledge-Creating Company: How Japanese
Companies Create the Dynamics of Innovation.
Oxford: Oxford University Press.
Handari, Nawawi. 1990. Administrasi Personel untuk
Peningkatan produktivitas Kerja. Jakarta: Haji
Masagung.
Ravianto, J. 1986. Pengukuran Produktivitas.
Yogyakarta: Kanisius.
Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 241
242 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242
ANALISIS KEMISKINAN DAN PENGELUARAN NON-PANGAN
PENDUDUK JAWA BARAT
POVERTY AND NON-FOOD SPENDING ANALYSIS OF
POPULATION IN WEST JAVA
Trisna Subarna
Peneliti Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Barat
Jalan Ir. H. Juanda No. 287, Bandung
E-mail: [email protected]
Diterima: 2 Oktober 2012; direvisi: 7 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Masyarakat maju akan cenderung memiliki pengeluaran non-makanan yang lebih tinggi daripada
pengeluaran untuk makanan, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Analisis ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan strategi penanggulangan masyarakat miskin di Jawa Barat.
Hasil analisis menunjukkan: (1) Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada di bawah tingkat kemiskinan
nasional yaitu 11,27% sedangkan tingkat kemiskinan Nasional 13,33%. (2) Dibanding dengan Provinsi
lain yang penduduknya tertinggi di Indonesia (Jawa Timur dan Jawa Tengah) persentase penduduk miskin
di Jawa Barat lebih rendah, (3) Penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 13,55%, tahun
2010 sebesar 11,27% atau dalam waktu 3 tahun terjadi penurunan penduduk miskin sebesar 2,27% atau
berkurang sebanyak 687.000 orang. (4) Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk Jawa Barat perbulan
pada tahun 2011 sebesar Rp 561.837, dengan porsi penggunaan untuk makanan 51,77%, dan nonmakanan 48,23%, kondisi ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa
Barat. Implikasi dari hasil analisi ini adalah; (1) Penanggulangan kemiskinan difokuskan pada upaya
menumbuhkan budaya ekonomi produktif, (2) Perlu pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan, sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang
penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Kata kunci: kemiskinan, pengeluaran non-pangan, strategi, kesejahteraan.
Abstract
Advanced community will tend to have higher non-food spending food spending, includes education,
health, and entertainment. This analysis aims to determine the level of the welfare and poverty coping
strategies in West Java. The analysis showed: (1) The poverty rate of West Java (11.27%) was lower than
the national poverty rate of 13.33%. (2) Compared with other provinces having the highest population in
Indonesia (East Java and Central Java), percentage of poor population in West Java were lower, (3)
Within three years (2007-2010) the poor in West Java was steadily decreased from 13.55% in 2007 to 11,
27% in 2010 (687. 000 people). (4) Average spending of West Java population per capita, per month in
2011 was Rp 561,837, with a portion of the use of 51.77% for food and non-food 48.23%, indicated that
the low level of welfare of the people condition in West Java. The implications of the results of this
analysis were: (1) Poverty alleviation focused on growing productive economic culture, (2) It should be an
understanding of the various parties about the causes of poverty so that the development program was not
based on the issues that cause poverty vary locally
Keywords: poverty, non-food expenditures, strategy, welfare.
PENDAHULUAN
Kesejahteraan
masyarakat
diantaranya
ditentukan oleh tingkat kemiskinan yang dipengaruhi
oleh tingkat pendapatan dan pola penggunaannya,
yang berhubungan dengan tingkat pedapatan pola
konsumsi pangan dan non-pangan (Arifin dan
Simatupang, 1988). Masyarakat berpendapatan rendah
akan mengalokasikan pendapatannya sebagian besar
untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan
dibandingkan bahan non-pangan, semakin tinggi
pengeluaran non-makanan mengindikasikan adanya
perbaikan kesejahteraan penduduk (Hardjana, 1994),
Hasil penelitian Sari Novita dan Fardianah
Mukhyar (2011), Rachman dan Wahida (1998),
Suryana dkk. (1988) menyatakan bahwa komposisi
pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran
guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi
penduduk, semakin rendah persentase pengeluaran
untuk pangan terhadap total pengeluaran makin
membaik
tingkat
perekonomian
penduduk.
Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan
semakin kurang sejahtera rumahtangga yang
bersangkutan Dalam kondisi pendapatan terbatas
maka pemenuhan kebutuhan makanan akan
didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 243
Sumber: Diolah dari BPS Jawa Barat 2011.
Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk Tiga Provinsi Terbesar di Indonesia.
yang berpendapatan rendah akan terlihat sebagian
besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli
pangan (Sukirno 2000).
Berdasarakan uraian di atas, maka struktur
pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah satu
indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah
tangga, Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
kabupaten/kota yang berada pada berbagai strata
kesejahtreraan dibanding dengan jumlah penduduk.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif (mix method),
metoda
analisis
campuran
dengan
teknik
pengumpulan data skunder yang berasal dari
dokumen, laporan, dan lieratur yang berkaitan dengan
kemiskinan dan pengeluaran masyarakat di Jawa
Barat. Data primer diperoleh dari Focus Group
Discussion (FGD) dengan peserta dari Organisasi
Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat dan lembaga
lain yang berhubungan dengan kemiskinan yaitu:
perencana dan peneliti Bappeda sebanyak 4 orang,
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 4 orang,
Dinas Enegi dan Sumberdaya Mineral 2 orang,
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa
Barat 1 orang, dan lembaga penelitian Unpad 2 orang,
serta Kamar Dagang dan Industri 1 orang sehingga
jumlah peserta FGD sebanyak 14 orang. Data yang
terkumpul dianalisis dengan tabulasi silang dan
dijelaskan secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Penduduk Jawa Barat Di Tingkat
Nasional
Hasil sensus penduduk 2010 menunjukan
jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.556.363
orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebesar
119.507.580 orang dan perempuan 118.048.783
orang. Jumlah penduduk terbesar berada di Provinsi
Jawa Barat sebesar 43,02 juta orang (18,11%), posisi
kedua adalah Provinsi Jawa Timur sebesar 37,8 juta
orang (15,78%) dan ketiga terbesar berada di Jawa
Tengah 32,38 juta orang (13,63%) seperti pada
Gambar 1.
Jumlah penduduk yang besar ini membawa
persoalan bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam
meningkatkan kesejahteraan penduduknya, serta
berimplikasi yang luas terhadap lingkungan, sektor
pembangunan, dan ketahanan pangan, terutama dalam
mengendalikan kemiskinan.
Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada pada
posisi 15 nasional, lebih rendah dibanding dengan
tingkat kemiskinan nasional (13.33% pada tahun
2010). Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pada
tahun 2010 sebesar 11,27% atau 4.848.560 jiwa.
Penduduk miskin ini diperkirakan akan terus
meningkat di tahun-tahun mendatang terutama di
daerah-daerah
yang
penduduknya
bermata
pencaharian buruh, nelayan dan pertanian. Dibanding
dengan provinsi lain (Jawa Timur dan Jawa Tengah)
dengan jumlah penduduk yang tertinggi di Indonesia
ternyatapersentase penduduk miskin di Jawa Barat
lebih rendah (Gambar2).
Kondisi di atas menunjukkan walaupun dengan
penduduk yang lebih besar, pemerintah Provinsi Jawa
Barat
lebih
dapat
mengendalikan
tingkat
kemiskinannya dibanding dengan provinsi lain yang
jumlah penduduknya tertinggi di Indonesia. Hal ini
terlihat pada perkembangan penduduk miskin di Jawa
Barat pada akhir tahun RPJMD 2003-2007 sebesar
13,55%, dan dalam kurun waktu mid-term RPJMD
tahun 2008-2013 sampai dengan tahun 2010 sebesar
11,27% atau dalam waktu 3 tahun pelaksanaan
RPJMD turun 2,27% atau jumlah penduduk miskin
berkurang sebesar 687.000 orang (Gambar 3).
244 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250
Sumber: Diolah dari BPS Jawa Barat 2011.
Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin di Tiga Provinsi
dengan Jumlah Penduduk Terbanyak.
Sumber data : BPS Provinsi Jawa Barat, 2007,2008,2009, 2010,2011 diolah.
Gambar 3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007-2010,
Provinsi Jawa Barat.
Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat
(2011) tingkjat kemiskinan teringgi berada di Kota
Tasikmalaya (23,55%), Kabupaten Cirebon (18,22%),
Kabupaten Indramayu (17,99%), dan Kabupaten
Majalengka 17,12%), sedangkan tingkat kemiskinan
terendah berada di Kota Depok (2,93%), Kabupaten
Bandung Barat ( 4,5%), dan Kota Bandung ( 4,5%).
Seperti terlihat pada Gambar 4.
Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk Jawa
Barat
Pengeluaran merupakan indikator yang penting
dalam melihat kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran
seseorang yang besar menunjukkan tingkat daya beli
orang tersebut besar. Penduduk dengan pengeluaran
besar maka kebutuhan penduduk tersebut sebagian
besar terpenuhi. Dengan terpenuhi kebutuhan
hidupnya maka secara umum kesejahteraan akan
meningkat. Perkembangan tingkat kesejahteraan juga
dapat diamati berdasarkan perubahanpersentase
pengeluaran yang dialokasikan untuk non-makanan,
dimana semakin tinggipersentase pengeluaran non-
makanan dapat mengindikasikan adanya perbaikan
tingkat kesejahteraan.
Ernest Engel, dalam Salvatore (2006),
mengemukakan bahwa bila selera tidak berbeda
makapersentase pengeluaran untuk pangan akan
menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh
karena itu komposisi pengeluaran rumah tangga dapat
dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan
ekonomi
penduduk,
makin
rendahpersentase
pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran
makin membaik tingkat perekonomian penduduk.
Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan
semakin kurang sejahtera rumah tangga yang
bersangkutan.
Tahun 2010, porsi penggunaan pengeluaran
masyarakat Jawa Barat digunakan untuk makanan
51.77%, dan non-makanan 48.23% (Gambar 5),
kondisi ini menunjukkan masih tingginya pengeluaran
untuk pangan yang menunjukkan masih rendahnya
tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat.
Kemiskinan tidak terlepas dari pola
penerimaan dan pengeluaran, pengeluaran akhir
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 245
Sumber: Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat 2012 diolah.
Gambar 4. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Kota di Jawa Barat Tahun 2010 (%).
meliputi seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh
anggota rumah tangga suatu penduduk, baik
pengeluaran untuk makanan maupun bukan makanan
yang meliputi pengeluaran untuk sandang, pendidikan,
perumahan, pengeluaran kesehatan, barang-barang
tahan lama, rekreasi dsb. Rata-rata pengeluaran per
kapita, penduduk Jawa Barat perbulan
pada
tahun 2011 tercatat sebesar Rp 561.837. Pengeluaran
tertinggi di Kota Bandung sebesar Rp 989.657 dan
terendah di Kab. Tasikmalaya Rp 340562. Terdapat
tujuh Kota dan tiga Kabupaten yang berada di atas
rata-rata Jawa Barat total pengeluarannya, dan
terdapat satu kota dan 15 Kabupaten yang berada di
bawah rata-rata Jawa Barat, (Gambar 6).
Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), Teori
Engel’s yang menyatakan bahwa: “Semakin tinggi
tingkat pendapatan keluarga semakin rendah
presentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan”.
Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa
dikatakan lebih sejahtera bila presentasi pengeluaran
246 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250
Sumber data :BPS Provinsi Jawa Barat 2011 diolah.
Gambar 5. Pola Pengeluaran Penduduk Jawa Barat Tahun 2010.
Sumber data :BPS Provinsi Jawa Barat 2011 diolah.
Gambar 6. Tingkat Kemiskinan Dan Pengeluaran Non-Makanan 5 Kabupaten/Kota
Tertinggi dan Terendah di Jawa Barat (dalam %).
untuk makanan jauh lebih kecil dari presentasi
pengeluaran yang untuk bukan makanan. Artinya
proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan
semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan
keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan
tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.
Gambar 5 di atas menunjukkan pengeluaran
non-makanan untuk penduduk kabupaten/kota dengan
tingkat kemiskinan rendah lebih besar di banding
dengan kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan
yang lebih tinggi. Untuk penduduk Jawa Barat
persentase untuk pengeluaran makanan 51,77%,
sedangkan untuk non-makanan adalah 48,23% . Lebih
besarnya persentase pengeluaran penduduk untuk
makanan
dibandingkan
non-makanan
ini
mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk
di Jawa Barat masih relatif rendah.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
pendapatan mempunyai peranan penting dalam
mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat,
baik itu konsumsi barang tidak tahan lama, barang
tahan lama, dan jasa. Hal inin sesuai dengan pendapat
Keban (1995) dalam Khairil Anwar (2012) di dalam
analisisnya dinyatakan bahwa suatu keluarga
tergolong miskin kalau ratio pengeluaran untuk
makanan terhadap total pengeluaran melebihi 75%.
Strategi Menanggulangi Kemiskinan
Hasil diskusi melalui FGD dalam rangka
menanggulangi kemiskinan diperoleh strategi sebagai
berikut:
1. Pola inkubasi bisnis.
Merupakan pola penanggulangan kemiskinan
berdasarkan skema pendampingan melalui
proses inkubasi bisnis pada unit-unit kegiatan
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 247
usaha baik melalui skema program kegiatan dari
pemerintah maupun melalui skema kegiatan
pemerintah kerjasama, swasta (pelaku usaha)
dengan kelompok sasaran masyarakat miskin
dan hampir miskin.
2. Pola penyediaan lapangan kerja.
Merupakan pola penyediaan lapangan kerja baik
berupa kegiatan padat karya, maupun kegiatan
yang dapat menyerap tenaga kerja berbasis
pengetahuan
dan
keterampilan
yang
diselenggarakan oleh Pemerintah maupun swasta
dengan kelompok sasaran masyarakat hampir
miskin, masyarakat miskin dan masyarakat
sangat miskin.
3. Pola pemenuhan kebutuhan dasar.
Merupakan pola penanggulangan kemiskinan
yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat miskin meliputi kebutuhan
dasar pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya
alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakuan atau ancaman tindakan kekerasan serta
berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Adapun input yang dilaksanakan berupa
penyediaan, fasilitasi maupun pendukungan
untuk memenuhi hak-hak dasar tersebut, dengan
kelompok sasaran masyarakat hampir miskin,
masyarakat miskin dan masyarakat sangat
miskin.
4. Pola perlindungan dan jaminan sosial.
Merupakan pola untuk mengatasi kondisi darurat
bagi masyarakat miskin dan masyarakat sangat
miskin dalam upaya mengatasi berbagai
permasalahan yang menimpa masyarakat miskin
hingga kelompok sasaran memasuki fase
recovery.
5. Pola peduli masyarakat miskin jawa barat.
Merupakan pola penanggulangan kemiskinan
melalui peran aktif masyarakat dan swasta dalam
penanggulangan kemiskinan, baik secara
sistemik maupun parsial dengan pola asuh
dengan kelompok sasaran masyarakat hampir
miskin, masyarakat miskin dan masyarakat
sangat miskin.
Salah satu program pembangunan di Indonesia,
termasuk di Jawa Barat yang senantiasa menjadi isu
strategis adalah pengentasan kemiskinan yang secara
otomatis akan berimplikasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pengentasan kemiskinan
hanya menggunakan pendekatan ekonomi yang
bersifat materialistik yang didasari oleh dua faktor
utama yaitu (Lipi Ahmad, 2011);
1. Penanggulangan kemiskinan cenderung berfokus
pada upaya penyaluran bantuan sosial seperti
jaring pengaman sosial dan beras untuk rakyat
miskin, padahal seharusnya diorientasikan pada
upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif
2. Kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang
penyebab kemiskinan, sehingga program
pembangunan yang ada tidak didasarkan pada
isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbedabeda secara lokal
Agar mencapai keberlanjutannya, program
penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan
ekonomi yang bersifat material dan jangka pendek,
perlu diimbangi dengan strategi pengentasan
kemiskinan dengan menggunakan pendekatan
kependudukan, meskipun hasilnya baru bisa dirasakan
dalam jangka panjang. Yang dimaksud adalah
penanggulangan kemiskinan berdasarkan pada sumber
kemiskinan itu sendiri. Sumber kemiskinan adalah
jumlah penduduk yang tinggi dan kualitas hidup
masyarakat yang rendah. Sebagaimana disepakati
dunia internasional bahwa tolak ukur kualitas hidup
masyarakat adalah IPM (indeks pembangunan
Manusia), yaitu kualitas pendidikan, kualitas
kesehatan dan kualitas ekonomi. Oleh karena itu,
penanggulangan
kemiskinan
sudah
saatnya
berdasarkan pada langkah langkah strategis berupa
menekan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan
kualitas hidup masyarakat. Semakin tinggi jumlah
penduduk akan menyebabkan bertambahnya beban
pembangunan, berkurangnya ketersediaan lahan dan
lapangan pekerjaan, meningkatnya pengangguran, dan
lain-lain (Lipi Ahmad, 2011).
SIMPULAN
Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada pada
posisi 15 Nasional, yaitu 11,27%, pada posisi
tersebut lebih rendah dibanding dengan tingkat
kemiskinan Nasional yaitu 13.33%. Perkembangan
penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2007
sebesar 13,55%, dan tahun 2010 sebesar 11,27 perrsen
atau dalam waktu 3 tahun pelaksanaan RPJMD turun
2,27%, atau jumlah penduduk miskin berkurang
sebesar 687.000 orang.
Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk
Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 tercatat sebesar
Rp 561.837. Pengeluaran tertinggi di Kota Bandung
sebesar Rp 989.657 dan terendah
di Kab.
Tasikmalaya Rp 340562. Pada tahun 2010 porsi
penggunaan pengeluaran masyarakat Jawa Barat yang
digunakan untuk makanan 51.77%, dan non-makanan
48.23%, kondisi ini menunjukkan masih tingginya
pengeluaran untuk pangan yang menunjukkan masih
rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa
Barat
Penanggulangan kemiskinan harus difokuskan
pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif.
Perlu pemahaman berbagai pihak tentang penyebab
kemiskinan, sehingga program pembangunan yang
ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang
penyebabnya berbeda-beda secara local.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Lipi. 2011. Kesejahteraan, Kemiskinan dan
Program
KB
di
Jawa
Barat
http://jabar.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.a
248 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250
spx?ID=588&ContentTypeId=0x01003DCABA
BC04B7084595DA364423DE7897
Anwar, Khairil 2012. Beberapa Hasil Penelitian tentang
Konsumsi.
http://khairilanwarsemsi.blogspot.
com/2011/12/beberapa-penelitian-tentangkonsumsi.html
Arifin, M dan P. Simatupang. 1988. Pola Konsumsi dan
Kecukupan Kalori dan Protein di Pedesaan
Sumatera Barat dalam Prosiding Patanas
Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur
Ekonomi Berimbang. Pusat Penelitin Agro
Ekonomi
BPS Provinsi Jawa Barat. 2007. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2006.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2008. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2007.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2009. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2008.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2009.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2011. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2010.
BPS Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam
Angka Tahun 2011.
Hardjana, A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumsi tentang
Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati
Kelautan. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi.
Jakarta: LIPI.
Novita, Sari dan Fardianah Mukhyar 2011. Kajian: Pola
Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Petani Padi
Sawah di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan
Jurnal Agribisnis Perdesaan. Volume 01 Nomor
04 Desember 2011.
Rachman, H.P.S dan Wahida. 1998. Dinamika Pola
Pengeluaran dan Konsumsi Rumah Tangga serta
Prospek Permintaan Pangan dalam Dinamika
Ekonomi Pedesaan: Perubahan Struktur
Pendapatan, Ketenagakerjaan dan Pola
Konsumsi Rumah Tangga. Bogor: Kerjasama
Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford
Foundation.
Rachman, H.P.S. dan S.H. Suhartini. 1996. Ketahanan
Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di
Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal
Agro Ekonomi: 15 (2)
Sadono, Sukirno. 2000. Pengantar Teori Mikroekonomi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Salvatore, D. 2006. Mikroekonomi. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlangga.
Suryana, A, B. Rachman dan P.U. Hadi. 1988. Pola
Pengeluaran untuk Konsumsi di Pedesaan Jawa
Barat dalam Prosiding Patanas Perubahan
Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi
Berimbang. Pusat Penelitin Agro Ekonomi.
Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 249
250 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250
MODEL PEMBANGUNAN DESA TERPADU INOVATIF
DI JAWA TENGAH
INNOVATIVE MODEL OF INTEGRATED RURAL DEVELOPMENT
IN CENTRAL JAVA
Suharyanto & Arif Sofianto
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah
E-mail: [email protected]
Jalan Imam Bonjol No. 190, Semarang
Diterima: 6 November 2012; direvisi: 20 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Membangun model pembangunan desa yang berjalan secara terpadu
dan inovatif;2). Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam pembangunan desa yang terpadu dan
mengedepankan inovasi; dan 3). Mendeskipsikan peran masing-masing pihak dalam mewujudkan
pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian dilakukan di 3 desa yang
memiliki keunggulan dalam pembangunan, yaitu: 1). Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak; 2).
Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali; dan 3). Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro Kabupaten
Karanganyar. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif . Kesimpulan dari penelitian ini
adalah: 1). Model pembangunan desa terpadu inovatif merupakan proses yang mengutamakan sinkronisasi
antarsektor dan antarpelaku serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang sebagai tekniknya; 2).
Prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah: teridentifikasinya potensi sumberdaya dan arah
pembangunan serta menumbuhkan inovasi sebagai teknik pembangunan; dan 3). Peranan yang perlu
dilakukan oleh masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa adalah a). Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten harus konsisten dan terarah dalam merumuskan arah kebijakan; b).
Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi dan menentukan arah kebijakan; c). Masyarakat desa dan
lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan; d). Akademisi memberikan
masukan iptek dan pendampingan; dan e). Pelaku usaha melakukan investasi dan kerjasama.
Kata kunci: model, desa, pembangunan terpadu, inovasi
Abstract
The purpose of this study was to: 1). Build a model of rural development which runs in an integrated
manner and promote innovation; 2). Understanding the prerequisites required in the integrated rural
development and promote innovation; and 3). Describe the role of each party in creating an integrated
rural development and promote innovation. The study was conducted in 3 villages categorized as having
excellence in the governance of development, namely: 1). Mlatiharjo, Gajah Sub-District, Demak
Regency; 2). Samiran, Selo Sub-District, Boyolali Regency; dan 3.) Jatiroyo, Jatipuro Sub-District,
Karanganyar Regency. The research method used is descriptive qualitative. The conclusion of this study
were: 1). Model of integrated and innovatiive development is performed with emphasis on synchronization
between sectors and stakeholders, encouraging HR utilize local resources to make innovations in rural
development;2). Prerequisites innovative integrated rural development is identification of potential
resources and direction of development, the implementation of appropriate resource management and
innovation as the construction techniques; 3). The role needs to be done by the respective parties involved
in rural development are: a). government, provincial governments, district governments should be
consistent and focused in formulating policy directions; b). village government to identify potential and
determine the direction of policy, build coordination and synchronization as well as facilitating and
promoting community empowerment; c). villagers and village community organizations to participate and
conduct supervision; d). provide feedback science and technology academics and mentoring; and e).
business investment and cooperation
Keywords: model, rural, integrated development, innovation
PENDAHULUAN
Desa merupakan wilayah yang menyita
perhatian banyak pihak, berbagai problem bisa dikaji
dan mendesak untuk diselesaikan. Kekuatan ekonomi
desa tidak berdaya terhadap mekanisme pasar, dan
desa selalu berada pada ketidakberdayaan dan
ketidakseimbangan hubungan dengan kota. Desa-desa
di Indonesia umumnya menghadapi ancaman
keterbelakangan
dan
ketidakadilan
dalam
pembangunan. Secara alamiah ada semacam dilema,
yaitu kemiskinan dan pengetahuan yang rendah
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 251
menyebabkan pemanfaatan yang kelewat batas atas
sumberdaya alam untuk bertahan hidup, akan tetapi di
sisi lain banyak sumberdaya yang ternyata belum
dimanfaatkan secara optimal seperti sinar matahari,
air, angin, tanaman, ikan, ternak dan tenaga manusia
(Daldjoeni & Suyitno, 2004:126). Hal senada
diungkapkan oleh Rustadi, bahwa di sektor
masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya
alam yang belum dikembangkan secara optimal
disebabkan karena masih terbelakangnya masyarakat
tersebut, kekurangan modal, sehingga tingkat
produktifitas rendah dan berimplikasi terhadap tingkat
pendapatan yang rendah (Ernan Rustadi, 2009:142).
Keterbatasan pengetahuan dan modal menjadi faktor
yang menghambat pembangunan desa.
Walapun pembangunan terhadap desa sudah
cukup lama akan tetapi sampai saat ini masih terdapat
persoalan yang dihadapi desa dan membutuhkan
penyelesaian segera. Program-program yang ada lebih
menunjukkan kebijakan pemerintah yang top down,
karena kebanyakan konsepnya lahir dari konsepsi
pejabat atau pihak di luar desa, mengabaikan konteks
lokal desa dan pemerintah cenderung menempatkan
masyarakat sebagai objek kebijakan pemerintah
semata (Sutoro Eko, 2004:216). Sehingga yang terjadi
bukanlah tumbuhnya kemandirian dan daya saing
desa, akan tetapi ketergantungan dan pragmatisme
desa terhadap program pemerintah, desa juga hanya
menjadi arena perebutan dukungan politik.
Selain beberapa problem di atas, ada persoalan
lain yang lebih penting, yaitu paradigma
pembangunan yang sangat sektoral. Masing-masing
lembaga atau kementerian memiliki program ke desa
sesuai urusannya, tanpa memperhatikan dimensi
kewilayahan dan sinkronisasi dengan sektor lain.
Tarigan berpendapat bahwa sebaiknya program
pembangunan merupakan gabungan dari pendekatan
sektor dan pendekatan regional (Tarigan, 2008:43).
Lewis menyatakan bahwa perkembangan suatu
wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu
sektor saja yang dikembangkan (Ernan Rustiadi,
2009:146). Hal tersebut berarti bahwa keberhasilan
pembangunan merupakan upaya memadukan berbagai
sektor dalam suatu wilayah tertentu. Keterpaduan
tersebut membutuhkan pengelolaan yang terpadu dan
kerjasama antar-stakeholder yang terlibat. Sehingga
membangun desa adalah proses yang multi
dimensional dan melibatkan segenap stakeholder yang
saling bekerjasama. Pembangunan desa merupakan
proses merespon tiga lingkungan desa (alam, budaya
dan sosial ekonomi) dengan cara yang tepat
(Daldjoeni & Suyitno, 2004:37).
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan
sebuah penelitian yang mendalam dengan
menggabungkan kajian teoritis dan lapangan
mengenai konsep-konsep pembangunan desa yang
terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian
lapangan perlu dilakukan di desa yang memiliki
keunggulan sesuai dengan kebutuhan di atas. Pertama
ialah keunggulan pada proses keterpaduan program
kegiatan, kedua adalah keunggulan pada inovasiinovasi pembangunan.
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah
untuk:
1. Merumuskan model pembangunan desa yang
berjalan secara terpadu dan mengedepankan
inovasi sesuai dengan potensi lokal;
2. Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam
pembangunan desa yang terpadu dan
mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi
lokal;
3. Mendefinisikan peran masing-masing pihak
dalam mewujudkan pembangunan desa yang
terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai
dengan potensi lokal.
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini
adalah terbentuknya model pembangunan desa yang
terpadu dan inovatif sebagai bahan pertimbangan
pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah
kabupaten dan pemerintah desa dalam rangka
melaksanakan pembangunan desa untuk terwujudnya
desa terpadu inovatif.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
deskriptif kualitatif yaitu pengumpulan, pengolahan
dan interpretasi sejumlah data sebagai upaya untuk
mengungkapkan kebenaran yang terdapat dalam
masalah penelitian.
Jenis, Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data
sekunder dan data primer yang didapatkan melalui
pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan
kuesioner. Analisis terhadap fakta dilangsungkan
secara kualitatif dengan model Spradley.
Subjek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Jatiroyo
Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar, Desa
Samiran Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dan
Desa Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak.
Operasionalisasi Konsep
a. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat
setempat yang diakui dan dihormati
b. Pembangunan
Desa
Terpadu
adalah
pembangunan desa dilakukan usaha yang
intensif dengan tujuan dan kecenderungan
memberikan fokus perhatian kepada kelompok
maupun daerah tertentu.
c. Pembangunan Desa Inovatif ialah kegiatankegiatan pemberdayaan melalui pembangunan
dalam bentuk perbaikan mutu hidup dan perilaku
252 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
Bahan
Metode
IDENTIFIKASI
Arah Kebijakan
Potensi Sumberdaya
PENGELOLAAN
Sumberdaya
Pengelola
SDA
Pem./Desa
Lembaga Masy.
SDM
Sektor Usaha Desa
Sarana dan
prasarana
Sosial
PENGELOLAAN
PROSES PEMBANGUNAN
INOVASI
SINKRONISASI
Pelayanan:
Publik
Pdkn, Kesh, dll
Perekonomian:
Tani, umkm,
dll
Sektor:
Tani, ukm,
Kualitas
Hidup:
Sehat, terdidik,
berbudaya, dll
Pendapatan:
Harian,
bulanan,
tahunan,
Sasaran:
Modal, tek,
sarana dan
prasarana
Pelaku:
Pem, masy
Penerima:
individu,
kel,
PENGELOLAAN
HASIL PEMBANGUNAN
Peningkatan Kualitas Hidup
Pemerataan
Peningkatan Kesejahteraan
Keberlanjutan
Gambar 1. Kerangka Komprehensif Model Pembangunan Terpadu Inovatif.
yang mencakup aspek peningkatan kemampuan
masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat,
meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat dan
meningkatkan kemampuan SDM aparatur
pemerintah desa berbasis Iptek.
Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan sekitar enam (6) bulan,
terhitung mulai dari 1 Februari sampai dengan 30
Juli 2011.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembangunan Desa di Lokasi Penelitian
1.
Desa Maltiharjo
Desa Mlatiharjo yang berada di hamparan
dataran rendah dengan sistem irigasi teknis yang
bagus dan panas matahari yang cukup. Pertanian
utama adalah tanaman pangan (padi), hortikultura dan
buah. Dengan berbagai kodisi di atas, maka kepala
desa menetapkan bahwa visi desa Mlatiharjo adalah:
“Terwujudnya Jatidiri Desa Mlatiharjo”. Jatidiri yang
dimaksud di atas adalah bahwa desa mlatiharjo akan
mengembangkan diri sebagai desa yang bertumpu
pada pertanian dan peternakan.
Secara umum sumberdaya desa Mlatiharjo
cukup memadai baik dari segi SDA, SDM, sarana dan
prasarana maupun letak geografis yang cukup
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 253
menguntungkan usaha tani. Kondisi tersebut mampu
dioptimalkan
oleh
kepala
desa
dengan
mengkoordinasikan berbagai sumberdaya dalam
sebuah arah kebijakan. Ada beberapa sarjana yang
dikoordinir oleh kepala desa yang memiliki budaya
inovasi tinggi. Kelompok tersebut terdiri dari beberapa
orang dekat kepala desa bahkan kerabatnya, sehingga
mudah dikoordinir ke dalam sebuah misi. Semua
pihak diberi peran sesuai dengan kemampuan dan
latar belakang pendidikannya. Kemampuan masingmasing orang tersebut mampu disinkronkan menjadi
pencapaian agenda pembangunan desa.
Kepala desa sebagai seorang sarjana pertanian
memiliki peran yang besar dalam pengembangan
inovasi di bidang pertanian, yaitu pemuliaan tanaman
buah dan benih padi. Dengan memanfaatkan
sumberdaya desa dan sumberdaya manusia di
sekelilngnya, kepala desa bisa membangun konsep
pembangunan yang visioner. Semua itu bisa dilakukan
kepala desa karena secara pribadi yang bersangkutan
memiliki sumberdaya memadai. Sebagai seorang yang
berasal dari kalangan atas di desa (ayahnya juga
mantan kepala desa), memiliki sumberdaya yang bisa
dimanfaatkan untuk menjadi pemicu dan pendukung
proses-proses tersebut di atas. Sumber keuangan desa
berasal dari dari sewa tanah kas, produksi pupuk dan
hasil pertanian secara berkelanjutan dengan hasil yang
cukup besar. Pemanfaatan potensi alam dan sosial
sudah mulai terlihat konsepnya. Konsep yang
ditawarkan adalah menjadikan desa sebagai wahana
wisata edukasi, terutama bidang pertanian.
Sinkronisasi program pembangunan desa
secara umum berjalan dengan baik, akan tetapi dengan
menggunakan metode yang kurang tertib. Dalam
perencanaan dan pelaksanaan koordinasi dilakukan
secara insidental, tidak terpola dan tanpa pembagian
kewenangan dan tugas yang tegas antaraktor. Kepala
desa mampu memanfaatkan potensi SDM secara
maksimal, namun tidak terlembagakan secara baik.
Pelaksanaan berbagai program bisa berjalan lancar
dengan dukungan sumberdaya yang memadai, namun
dokumentasi dan tertib administrasinya kurang.
Kepala desa juga mampu menjalin kerjasama dengan
berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas desa.
Kepala desa memiliki kapasitas yang memadai
dalam visi dan arah kebijakan pembangunan. Akan
tetapi dalam poses pengelolaan, manajemen yang
digunakan masih belum terorganisir dengan baik.
Perhatian utama saat ini ialah fokus pada kinerja,
setelah stabil baru kelembagaan dibangun dengan
konsep yang mapan. Arahan dan tahapan
pembangunan juga belum tersusun dengan baik.
Kelemahan utama ialah pada manajemen yang masih
belum tertata dengan baku.
Kepala desa Mlatiharjo selalu menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak terkait, inovasiinovasi bidang pengembangan pertanian dilakukan
dengan UKSW Salatiga. Kerjasama dalam mekanisasi
alat-alat pertanian dilakukan dengan Polines
Semarang. Pemuliaan benih padi dan buah dilakukan
dengan para pakar dari balai inseminasi dan
pemuliaan tanaman Kementerian Pertanian.
Desa Mlatiharjo juga mulai merintis
penggunaan teknologi informasi untuk sektor
pelayaan publik, akan dibuat sistem terintegrasi
sehingga begitu terjadi proses pelayanan dan terdapat
perubahan data, maka database akan berubah secara
kontinyu. Tujuan penggunaan teknologi informasi
adalah untuk menuju pelayanan pemerintah berbasis
teknologi informasi atau e-government.
Pada sektor pendidikan, ada kerjasama antara
kepala desa dengan pihak yang memiliki kompetensi
untuk membangun sekolah menengah kejuruan.
Sekolah tersebut mengkhususkan dirinya pada jurusan
pertanian. Hal ini sesuai dengan potensi lokal. Tujuan
kedepan adalah menciptakan SDM desa yang
berkualitas untuk kemajuan usaha tani desa.
Inovasi sesuai visi desa dilakukan dalam
bidang peternakan dan pertanian. Fokusnya adalah
pada menciptakan bibit unggul yang spesifik lokal dan
memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah
lainnya. Inovasi juga dilakukan dalam mekanisasi
pertanian. Kepala desa sebagai seorang sarjana
pertanian dan pengurus HKTI di tingkat kabupaten,
memiliki jaringan yang luas. Kepala desa bisa
menciptakan jenis padi baru yang spesifik, yaitu
varietas Melati dan Sulthan. Kepala desa juga
mengembangkan jenis padi organik dengan
memanfaatkan tanahnya dan tanah kas desa untuk
proses uji coba berbagai varietas padi.
Melalui jaringannya kepala desa bisa
mendapatkan beberapa jenis buah unggulan. Pohon
nangka sudah ditanam hampir di setiap pekarangan
penduduk. Selain itu dikembangkan buah lengkeng.
Keberhasilannya adalah bisa menjadikan lengkeng
berbuah dengan kualitas yang lebih bagus dengan
daerah lainnya. Walaupun lokasi desa berada di
ketinggian 6 meter di atas permukaan laut (dpl),
namun lengkeng bisa tumbuh dan berbuah. Selama ini
lengkeng hanya ditanam di dataran tinggi, di atas 350
meter dpl.
Pada
sektor
peternakan,
dilakukan
pengembangan jenis kambing karena potensi pasar
yang besar dan siklus yang relatif singkat. Selain
sebagai pedaging, kambing juga diambil susunya.
Bibit kambing yang sedang diupayakan adalah yang
memiliki badan kecil dan mampu memproduksi
banyak susu. Lahan-lahan yang kosong juga bisa
ditanam pohon kayu-kayuan. Konsep ini merupakan
upaya untuk memperkuat ketahanan pangan
masyarakat desa. Sehingga masyarakat memiliki
sumber penghidupan yang bisa mencukupi kebutuhan
harian seperti ayam atau itik, memiliki tabungan
bulanan seperti kambing atau domba dan tabungan
tahunan berupa sapi atau pohon kayu.
Sebagai dukungan terhadap konsep pertanian
dan peternakan di atas, dilakukan pembuatan pupuk
dan pestisida organik serta pakan ternak yang
berbahan dasar barang-barang yang banyak terdapat di
desa, seperti jerami. Pupuk dan pestisida untuk
254 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
memulai meninggalkan ketergantunagn terhadap
pupuk dan pestisida kimia yang membahayakan
kelangsungan daya dukung tanah.
Ada beberapa output pembangunan yang
merupakan produk inovasi dari masyarakat. Inovasi
tersebut berpotensi sebagai produk unggulan desa. Di
bidang lain, inovasi bisa meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat. Dalam bidang pertanian, telah
dihasilkan bibit padi jenis baru yaitu Melati dan
Sulthan. Pertanian organik sedang dikembangkan dan
kedepan akan dibentuk kelembagaan klaster yang
meliputi beberapa desa. Budidaya buah-buahan yang
potensial seperti nangka dengan keunggulan khusus,
lengkeng, pisang dan buah lainnya. Inovasi pupuk
juga dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya
yang ada di desa, terutama kotoran ternak. Dalam
peternakan sedang diupayakan penciptaan jenis
spesies kambing yang baru sesuai selera pasar..
Selain keunggulan di atas, ada beberapa
kelemahan yang terjadi.Inovasi sangat tergantung
pada figur kepala desa dan beberapa warga, tidak
terlembagakan dalam pemerintahan desa. Inovasiinovasi yang dilakukan cenderung sebagai milik
kepala desa dan orang-orang terdekatnya, bukan
merupakan aset desa. Untuk ke depan, keberlanjutan
pembanguan dan inovasi kurang bermakna bagi desa
ketika tidak dimulai proses transformasi kepada unsur
desa dan masyarakat lainnya. Selain itu, kepala desa
juga kurang melibatkan aparat secara maksimal,
sehingga tertib administrasi dan prosedur pelayanan
publik kurang menjadi perhatian. Ke depan perlu
diperhatikan sebagian peningkatan pelayanan publik
melibatkan aparat desa, sehingga menjadi pembaruan
yang berkelanjutan.
2.
Desa Samiran
Sebagai daerah yang terletak di pegunungan
dan merupakan jalur celah antara gunung Merapi dan
Merbabu serta jalur kawasan wisata Solo-SeloBorobudur, maka potensi yang dapat ditingkatkan
adalah sektor pertanian, peternakan, pariwisata, umkm
pendukung pariwisata. Berdasarkan kondisi tersebut di
atas, kepala desa bersama segenap stakeholder desa
menetapkan visi sebagai berikut “Mendorong
terwujudnya masyarakat dan Pemerintah desa Samiran
yang aman, maju, sehat dan sejahtera”.
Untuk memaksimalkan pembangunan desa,
kepala desa sangat aktif mencari bantuan dan
program-program dari pemerintah sebagai penopang
utama keuangan desa. Kepala desa mengkoordinir
dengan baik pelaksanaan program-proram tersebut
dengan sasaran masing-masing, tetapi saling
melengkapi. Kendala kepala desa adalah belum
tersedianya daya dukung SDM aparatur pemerintah
desa yang mampu mendukung kinerja kepala desa.
Sebagian perangkat sudah berusia lanjut dan tidak
mudah diajak bekerjasama sesuai visi kepala desa
terutama dalam hal menyesuaikan dengan kinerja
kepala desa. Untuk memulai peningakatan kinerja,
kepala desa mendelegasikan urusan melegalisir KTP
kepada kaur pemerintahan. Strategi kepala desa untuk
mengahadapi persoalan perangkat desa adalah dengan
memanfaatkan kelembagaan masyarakat yang ada
yang dianggap mampu menjalankan tugas
pembangunan.
Kendala yang dihadapi desa adalah minimnya
pendapatan desa. Dana yang berasal dari hasil sewa
tanah kas dan ADD hanya cukup untuk biaya
operasional desa, sedangkan untuk pembangunan
perlu dukungan dari luar. Untuk menyikapi kondisi
tersebut, kepala desa aktif mencari sumber pendanaan
dan bantuan proyek dari berbagai pihak.
Keunggulan Samiran adalah banyak program
yang masuk sehingga membantu pembangunan desa.
Banyaknya program proyek tersebut didorong karena
lemahnya sumberdaya keuangan desa. Pendapatan
yang kurang memadai terbantu dengan berbagai
proyek, akan tetapi hal ini menjadi persoalan di
kemudian hari ketika kepala desa tidak mampu
mendatangkan berbagai proyek dan dana tambahan.
Banyaknya program-program tersebut tidak
saling berbenturan satu dengan lainnya. Semua
program bisa dikoordinasikan oleh kepala desa
melalui koordinasi rutin antarpelaku program dan
penerima program. Swadaya masyarakat untuk
program-program yang ada juga cukup baik. Terjadi
kerjasama dalam pembangunan, misalnya program
PNPM Mandiri memiliki kegiatan pembangunan
sarana prasarana, kemudian pemerintah desa
menyediakan lahan kas desa untuk dibangun gedung
BLM dari dana PNPM Mandiri. Pelaksanaan program
PNPM Mandiri dan JRF Rekompak dikoordinir oleh
kepala desa, sehingga sasaran program dapat saling
melengkapi.
Perencanaan pembangunan sangat partisipatif,
musrenbangdes diikuti aparat desa, lembaga-lembaga
desa, RT/RW dan perwakilan dusun, LSM, dinas dan
satker kecamatan. Dalam monitoring program,
perumusan review RPJM Des dan RKPDes diikuti
perwakilan lembaga masyarakat (masing-masing 2
orang) sebagai perumus RPJMDes. Kepala desa telah
memulai proses pemberdayaan masyarakat dalam
segala aspek pemerintahan desa. Selain agar semua
unsur desa mengetahui dan terlibat dalam proses
pembangunan, juga adanya proses keberlanjutan
pembangunan. Agenda pembangunan, perumusan
program, pelaksanaan pengawasan dan evaluasi
melibatkan segenap unsur desa. Kepala desa juga aktif
turun ke pertemuan warga untuk menyerap aspirasi.
Sehingga secara politis, kepala desa telah melakukan
demokratisasi yang substansial. Kepala desa juga
mampu mengajak segenap pihak pelaksana program
dan kelembagaan masyarakat untuk menyatukan
pemahaman.
Dalam bidang pertanian, kedepan dengan
konsep STA (Sub Terminal Agribisnis), diharapkan
memiliki pasar sendiri. Selama ini sayur produk
Samiran dan Kecamatan Selo pada umumnya dijual di
pasar kecamatan Cepogo. Biogas juga mulai
dikembangkan untuk mandiri energi. Dengan konsep
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 255
Agro Silvo Pastural yaitu pertanian, peternakan dan
kehutanan menjadi keunggulan desa kedepan.
Gapoktan sebagai induk kelompok petani di desa akan
dikembangkan menjadi organisasi yang kuat sebagai
wadah bagi pengembangan usaha tani, kendala dana
menjadi masalah klasik. Kendala lain pertanian adalah
musim yang tidak menentu dan masih kurangnya
pemeliharaan sapi ternak, untuk mengatasi kendala
tersebut warga mengharap agar dari pemerintah
memberikan hibah ternak sapi.
Inovasi dalam bidang peternakan yang
memiliki daya ungkit adalah mengubah produk susu
menjadi keju, yang dilaksanakan dengan dukungan
kerjasama dengan kosultan dari Belanda. Selama
ujicoba, sebagaimana disampaikan Kepala Desa
Samiran uji coba berhasil dan akan dikembangkan
menjadi industri keju.
Di sektor UMKM, ada beberapa home
indsutry, seperti gula klethak, jadah, dll. Selain itu
berbagai macam hasil pertanian, sayur, tembakau,
budidaya jamur kuping, kerajinan bambu wulung, dan
lainya. Sektor tersebut juga menjadi pelengkap wisata
Samiran. Untuk itu BLM dipergunakan semaksimal
mungkin untuk membina SDM dalam meningkatkan
kualitas produk.
Bentuk inovatif lainnya dalam bidang ekonomi
adalah pemanfaatan aset desa untuk meningkatkan
pedapatan. Dengan memanfaatkan sumberdaya
berbagai program, terutama PNPM Mandiri dan aset
desa, telah dibangun gedung pelatihan yang diberi
nama Balai Latihan Masyarkat (BLM) dan kedepan
akan dibangun gedung serbaguna dilengkapi dengan
penginapan. Konsep ini menangkap peluang posisi
Samiran di pegunungan yang sering digunakan
sebagar tempat acara seminar, pelatihan, kursus dan
lainnya oleh berbagai pihak.
3.
Desa Jatiroyo
Secara geografis letak desa yang kurang
srategis berada di pedalaman, sehingga panduduk
hanya bisa mengandalkan pertanian dan sumberdaya
alam lain seperti penambangan batu dan pasir.
Kepemilikan lahan yang relatif tidak luas sehingga
pendapatan penduduk juga tidak terlalu tinggi, untuk
itu sebagian besar warga merantau ke luar daerah
untuk mencari penghasilan yang labih baik. Pertanian
bisa dibedakan menjadi pertanian jangka pendek,
dengan menanam hortikultura, seperti padi, jagung,
ubi kayu, sayur-sayuran. Sedangkan pertanian jangka
panjang meliputi tanaman kayu seperti sengon, jati,
dan buah-buahan seperti durian, rambutan, dan
mangga. Kelebihan perencanaan pembangunan desa
adalah pelibatan segenap unsur desa. Setiap program
pembangunan juga diintegrasikan ke dalam APBDes
meskipun berasal dari sumber lain. Pemerintah desa
juga mampu merangkul berbagai unsur dan
dimanajemen dengan baik oleh sekretaris desa secara
kompeten.
Kepala desa berperan sebagai fasilitator dan
masyarakat berperan lebih aktif dalam pembangunan.
Administrasi pembangunan cukup baik, semua
program dari luar seperti PNPM Mandiri, PDT
dimasukkan dalam dokumen APBDes. Kinerja aparat
cukup tertib, ada sistem jaga untuk setiap aparat,
sehingga pelayanan kantor desa berjalan lancar.
Dianggarkan dalam APBDes untuk peningkatan
kinerja aparat, namun sering tidak terlaksana karena
anggaran tidak mencukupi
Untuk urusan perekonomian, pemerintah desa
bekerjasama dengan masyarakat. BUMDes dan pasar
desa dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa
hanya memfasilitasi. Tanah kas desa pengelolaannya
dilakukan oleh keluarga miskin dengan proporsi bagi
hasil 50% penggarap/pemelihara, 50%. Pada sektor
UMKM, ada beberapa potensi industri lokal/home
industry di desa Jatiroyo yang nantinya bisa
dikembangkan dengan bantuan BUMDes, yaitu home
industry tahu tempe, rambak, anyam-anyaman bambu,
merangkai
bunga
kering,
gypsum,
mebeler/pertukangan, bengkel cat duko, penjahit,
perbengkelan mesin dan pengelolaan hasil
ternak/perikanan. Potensi-potensi tersebut dapat
dikembangkan dengan dukungan modal dan
pendampingan bisnis. Pelatihan-pelatihan sudah mulai
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan
ketrampilan masyarakat. Program PNPM Mandiri
juga fokus pada upaya tersebut.
Terdapat kerjasama yang erat antarpelaku
program dan dukungan masyarakat. Koordinasi
pembangunan
menghasilkan
sinergisitas
pembangunan desa. Setiap 35 hari sekali ada forum
selapanan baik di kelompok gapoktan maupun
paguyuban RT/RW sebagai sarana sosialisasi dan
koordinasi antaraktor pelaku program pembangunan,
sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat.
Dalam forum tersebut, pengelolaan program PNPM
Mandiri maupun Pembangunan Desa Terpadu (PDT)
juga hadir memberikan sosialisasi dan informasi
kepada masyarakat.
Ada 2 program dari luar yang utama di desa
Jatiroyo, yaitu PNPM Mandiri dan PDT. Pelaku
program seperti PNPM Mandiri dan PDT aktif
melakukan sosialisasi dan koordinasi kepada warga
melalui dusun maupun forum RT/RW. Ada koordinasi
antara PNPM Mandiri dan PDT sehingga tidak
tumpang tindih dan saling melengkapi. Pembangunan
pasar desa dibiayai oleh program PDT dan swadaya
masyarakat, termasuk pembelian lahan. PNPM
Mandiri memberikan fasilitasi pelatihan kepada
masyarakat dan perbaikan sarana jalan desa.
Dalam perencanaan dan pelaksanaan selalu ada
koordinasi antarpelaku agar tidak terjadi kesamaan
sasaran. Melalui musrenbangdes dibahas berbagai
kegiatan di desa. Secara administratif setiap kegiatan
dimasukkan dalam APBDes secara tertib, biasanya
program PDT tengah tahun, PNPM awal tahun.
Sebagian warga bisa berperan aktif walaupun masih
terbatas pada pihak-pihak tertentu.
PNPM Mandiri yang mulai dilaksanakan tahun
2010 sudah menghasilkan pembangunan selaras
256 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
dengan pembangunan lainnya. Program PDT
menghasilkan pasar desa, simpan pinjam dan lumbung
pangan. Pembangunan pasar desa dengan juga dengan
bantuan swadaya masyarakat. Rencana ke depan kios
pasar desa akan disewakan. Simpan pinjam kepada
seluruh masyarakat dengan menggunakan agunan
berupa sertifikat tanah atau BPKB, simpan pinjam
juga diberikan di kelompok PKK.
Gapoktan yang terdiri dari 11 kelompok tani,
setiap 35 hari sekali ada pertemuan dan berkoordinasi
dengan pihak lain, gapoktan juga memanfaatkan pasar
desa serta BUMDes untuk kemajuan usaha tani.
Penyaluran pupuk subsidi dilakukan oleh gapoktan,
tetapi masih terkendala permodalan. Para petani mulai
membuat pupuk kompos, obat tanaman buah.
Hasil pertanian berupa padi, jagung, ketela
pohon, dan sudah 5 tahun ini produksi jagung
meningkat. Namun penjualan masih cenderung
dilakukan perseorangan, sehingga akan dirintis
penjualan bersama. Harapan kedepan bisa dikoordinir
oleh gapoktan dan memanfaatkan pasar desa.
Peningkatan produksi jagung masih membutuhkan
bantuan permodalan, pupuk dan benih.
Kepala desa selalu melakukan konsolidasi
setiap senin untuk mengevaluasi kinerja mingguan dan
membahas kegiatan berikutnya. Pemerintah desa
mengupayakan peningkatan kapasitas melalui
pelatihan dan pembinaan. Dalam APBDes
dianggarkan dana untuk pelatihan-pelatihan aparat.
Ada aparat yang piket di kantor setiap hari dan para
kadus setiap 2 minggu sekali masuk di kantor desa.
Ada koordinasi antarkadus, dibentuk 2 kelompok
kadus, masing-masing 5 orang dan diberi wewenang
untuk menyelesaikan masalah, jika tidak bisa maka
diselesaikan di desa.
Tanah kas desa yang kurang produktif juga
dimanfaatkan untuk penanaman kayu yang produktif
seperti sengon. Selain itu, pembangunan pasar desa
dan BUMDes berpotensi menjadi penguat
perekonomian desa dan menjadi daya ungkit
perekonomian desa kedepan.
Secara umum, pembangunan bidang pertanian
masih menghadapi kendala saat ini yaitu kurangnya
permodalan untuk mengembangkan BUMDes. Petani
juga merasakan kurangnya sarana sentra penjualan
hasil pertanian, khusunya gudang untuk menampung
hasil tanaman. Selain itu daya saing produk pertanian
masih lemah, kurangnya inovasi dan penguatan pasar.
Potensi tanaman obat (empon-empon) belum
dikembangkan dengan baik sebagaimana desa-desa di
sekitarnya. Bidang peternakan kurang berkembang
dan masih dikelola secara tradisional oleh petani.
Pembangunan UMKM dilakukan dengan
penyaluran bantuan kepada masyarakat. Ada beberapa
lembaga keuangan mikro sebagai hasill pelaksanaan
program PNPM Mandiri dan PDT yaitu simpan
pinjam perempuan (SPP), Lembaga Simpan Pinjam
Berbasis Masyarakat (LSPBM), PKK dan lainnya.
Lembaga-lembaga keuangan mikro tersebut sangat
membantu permodalan masyarakat dalam manajemen
usahanya.
Kelemahan utama desa Jatiroyo adalah
perekonomian mengandalkan pada proses eksploitasi
sumberdaya alam, bukan pemanfaatan yang
berorientasi berkelanjutan. Ketidakadaan daya dukung
sumberdaya alam habis, maka produktiftas akan
semakin menurun. Untuk itu perlu dipikirkan sebuah
metode pemanfaatan sumberdaya alam yang bisa
diperbaharui.
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif
Perubahan paradigma pembangunan dari
mengutamakan
indikator
kuantitatif
kepada
keseimbangan dengan indikator kualitatif. Kegagalan
pembangunan berbasis pertumbuhan, menciptakan
paradigma baru yang meyakini bahwa pembangunan
harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan
(equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan
(sustainability) yang berimbang dalam pembangunan
ekonomi.
Mengubah prinsip pertumbuhan semata
menjadi prinsip pemerataan (equity), pertumbuhan
(eficiency) dan keberlanjutan (sustainability) menjadi
sangat penting bagi pembangunan desa masa kini.
Todaro telah menyatakan bahwa pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses multidimensional
yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau
struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, maka perlu melibatkan
segenap stakeholder yang saling bekerjasama.
Pembangunan desa merupakan proses merespon tiga
lingkungan desa (alam, budaya dan sosial ekonomi)
dengan cara yang tepat, maka dalam pembangunan
harus diperhatikan unsur lingkungan tersebut.
Desa Samiran telah menunjukkan bahwa
dengan keterbatasan keuangan, namun pelaksanaan
upaya koordinasi, pemerataan dan partisipasi, arah
pembangunan dapat menghasilkan sebuah keunggulan
tersendiri. Desa Jatiroyo dengan ketergantungannya
terhadap pihak luar, berusaha memanfaatkan yang
didapatnya untuk kebutuhan pokok mereka.
Sedangkan desa Mlatiharjo, meskipun dengan
manajemen yang sangat tidak memadai, melakukan
penggalian potensi yang tersembunyi dari kearifan
lokal manusia-manusia desa yang berkualitas.
Selain
pertumbuhan,
pemerataan
dan
keberlanjutan merupakan tujuan utama pembangunan.
Pemerataan baik secara wilayah, sektoral maupun
penerima atau pemanfaat pembangunan merupakan
ukuran
penting
keber-hasilan
pembangunan.
Keberlanjutan pembangunan tidak saja memenuhi
kebutuhan sesaat, tetapi menjaga bagaimana terjadi
kesinambungan dana agar manfaatnya bisa dirasakan
lintas generasi. Dari konsep-konsep tersebut di atas,
berikut gambaran yang lebih komprehensif mengenai
siklus pembangunan terpadu inovatif yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini.
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 257
Tabel 1. Kerangka Umum Pembangunan Desa Inovatif
No
1.
a.
Indikator
Identifikasi
Potensi
SDM
b.
SDA
c.
Sarana dan
prasarana
Sumberdaya
Sosial
d.
2.
Perencanan
3.
a
Pengelolaan
Sumberdaya
Sumberdaya
b
Pengelola
a
Sinkronisasi
Pelaku
b
Sektor
c
Sasaran
d
Penerima
a
Inovasi
Perekonomian
b
Pendapatan
c
Pelayanan Publik
d
Kualitas Hidup
4.
5.
6.
a
Hasil
pembangunan
Peningkatan
Kesejahteraan
b
Peningkatan
kulitas hidup
c
Pemerataan
d
Keberlanjutan
Situasi yang Diharapkan
Tersedianya peta potensi desa
Kegiatan yang Perlu dilakukan
Inventarisasi potensi desa
Aparat: tersedianya SDM aparatur yang
mampu menjalankan tugas dengan baik,
kapasitas mampu mendukung visi-misi kades
Masyarakat: kapasitas masyarakat mampu
mendukung program pembangunan,
penguasaan iptek baik, modal sosial kuat
Potensi sumberdaya alam terjaga dengan
baik, dikelola dengan prinsip keberlanjutan,
menjaga kelestarian dan daya dukung
kedepan
Tersedianya sarana dan prasarana fisik yang
mendukung pembangunan
Partisipasi masyarakat serta tersedianya
lembaga masyarakat sebagai pelaku
pembangunan
Perencanaan pembangunan yang
mengakomodasi semua pihak dan seluruh
rencana program pembangunan yang akan
dilakukan baik secara strategis (5 tahunan)
maupun secara teknis (tahunan)
Aparat: melakukan konsolidasi rutin berkala,
peningkatan kemampuan melalui pelatihan,
pendidikan, dll yang bisa dikoordinir pemda
Masyarakat: memanfaatkan berbagai media
untuk pembelajaran masyarakat
Terbangunnya pola pemanfaatan
sumberdaya yang optimal dan manajemen
yang efektif dan efisien
Sumberdaya dikelola oleh pihak yang tepat
dan kompeten, memiliki landasan kekuatan
hukum dan diakui legitimasinya
Peningkatan kemampuan SDM dalam bidang
manajemen sumberdaya melalui pelatihan dan
kerjasama
Adanya kesepakatan warga desa mengenai
siapa yang diberi wewenang mengelola
sumberdaya-sumberdaya yang ada secara tepat
Terbangunnya pola komunikasi, koordinasi
dan kerjasama antarpelaku pembangunan di
desa
Saling terkaitnya pembangunan antarsektor
Peran aktif pemerintah desa dan lembaga
masyarakat dalam mengarahkan para pelaku
pembangunan
Koordinasi antarpelaku, pemerintah desa dan
masyarakat
Koordinasi antarpelaku, pemerintah desa dan
masyarakat
Peran aktif pemerintah desa dan lembaga
masyarakat dalam mengarahkan para pelaku
pembangunan
Sasaran pembangunan yang tepat dan tidak
tumpang tindih
Penerima program tidak tumpang tindih dan
menerima manfaat program dengan baik
Peningkatan produktifitas masyarakat
berbasis iptek
Peningakatan pendapatan masyarakat sebagai
hasil keunggulan produk yang kompetitif
Peningkatan pelayanan publik berbasis iptek
Peningkatan kualitas hidup sebagai hasil
pelayanan yang baik
Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai
hasil dari peningkatan kualitas maupun
kuantitas produksi serta penguatan pasar.
Penggunaan sumberdaya sekecil mungkin
untuk menghasilkan sebanyak mungkin
keuntungan
Peningkatan kualitas hidup masyarakat
sebagai hasil pembangunan yang terpadu dan
memanfaatkan inovasi-inovasi teknologi
tepat guna
Penerima manfaat pembangunan merata
Pemanfaatan sumberdaya memperhatikan
generasi mendatang, orientasi dan sasaran
258 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
Melakukan inovasi untuk menghindari
eksploitasi berlebihan dan ketergantungan
kepada sumberdaya alam
Memaksimalkan aset desa untuk pelaksanaan
pembangunan dan menjaga yang ada
Mengedepankan lembaga masyarakat sebagai
pelaksana utama pembangunan
Menetapkan arah pengembangan strategis,
melibatkan masyarakat luas, mengakomodasi
kepentingan berbagai pihak dan sektor serta
memadukan kerangka pembangunannya
Mendorong dan memfasilitasi inovasi teknologi
tepat guna
Implementasi teknologi tepat guna dalam
semua aspek usaha masyarakat desa
Mendorong dan memfasilitasi inovasi dan
teknologi tepat guna
Implementasi teknologi tepat guna dalam
semua aspek pelayanan publik
Kerjasama dengan berbagai pihak penyedia
inovasi, pemanfaatan inovasi secara tepat,
pembentukan kelembagaan yang kuat.
Pemanfaatan inovasi yang tepat, kerjasama
antarpelaku pembangunan, pengawasan terpadu
oleh segenap unsur desa terhadap pelaksanaan
pembangunan
Kerjasama dengan berbagai pihak pelaku
pembangunan, pemanfaatan inovasi secara
tepat, pembentukan kelembagaan yang kuat
Perencanaan yang komprehensif dalam bentuk
rencana strategis pembangunan desa, dengan
melibatkan segenap unsur desa
Upaya perencanaan yang mampu
mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat
No
Indikator
Situasi yang Diharapkan
pembangunan tidak parsial (proyek) tetapi
kontinyu
SIMPULAN
Model
pembangunan terpadu
inovatif
merupakan siklus pembangunan yang dimulai dari
proses identifikasi potensi sumberdaya dan kemudian
menentukan arah pembangunan yang melibatkan
segenap unsur desa. Setelah ditentukan arah
pembangunan, pengelolaan sumberdaya desa perlu
ditetapkan secara tepat dan benar. Kemudian inti dari
pembangunan terpadu inovatif adalah proses yang
mengutamakan
sinkronisasi
antarsektor
dan
antarpelaku serta mengedepankan inovasi dalam
berbagai bidang sebagai tekniknya. Dengan demikian,
hasil pembangunan akan menciptakan pertumbuhan,
pemerataan dan keberlanjutan. Hasil-hasil tersebut
akan menjadi bahan masukan bagi pembangunan
tahap berikutnya.
Dengan memperhatikan praktik di lokasi
penelitian dan penjelasan teoritis di atas, maka
prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah:
a. Teridentifikasinya potensi sumberdaya dan arah
pembangunan;
b. Terlaksananya pengelolaan sumberdaya yang
tepat guna;
c. Terciptanya sinkronisasi dalam pelaksanaan
pembangunan;
d. Menumbuhkan
inovasi
sebagai
teknik
pembangunan; serta
e. Hasil
pembangunan
mencakup
unsur
pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan.
Berasarkan situasi di lapangan penelitian dan
penjelasan teoritis sebelumnya, maka peranan yang
perlu dilakukan oleh masing-masing pihak terkait
dalam pembangunan desa adalah:
a. Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten harus konsisten dan terarah dalam
merumuskan arah kebijakan, menentukan bentuk
program,
implementasi
program
secara
terkoordinir dan proses monitoring dan evaluasi
yang terpadu;
b. Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi
dan menentukan arah kebijakan, membangun
koordinasi dan sinkronisasi serta memberikan
fasilitasi dan mengedepankan pemberdayaan
masyarakat;
c. Masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan
desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan;
d. Akademisi memberikan masukan iptek dan
pendampingan; dan
e. Pelaku usaha melakukan investasi dan
kerjasama.
Kegiatan yang Perlu dilakukan
dan keberadaan berbagai macam program
pembangunan dalam satu arah kebijakan serta
mengedepankan inovasi untuk menghindari
ekpsloitasi berlebih dan ketergantungan
terhadap SDA
Dengan demikian, keberhasilan pembangunan
desa tidaklah kinerja unsur-unsur internal desa semata,
melainkan kerja bersama berbagai pihak.
Berdasarkan simpulan penelitian di atas, maka
penelitian ini menghasilkan saran kepada berbagai
pihak sebagai berikut:
a. Agar model pembangunan desa terpadu inovatif
bisa menjadi konsep yang benar-benar mejawab
persoalan perlu uji coba implementasinya di
beberapa desa melalui program terarah dan
sistematis. Kemudian dilakukan evaluasi untuk
menilai efektifitasnya serta memperbaiki
konsepnya. Proses ini perlu melibatkan berbagai
unsur lembaga pemerintah dan akademisi serta
pelaku usaha;
b. Penciptaan prasyarat pembangunan terpadu
inovatif perlu dilakukan oleh pemerintah desa
dan segenap unsur desa mulai melakukan
berbagai pembenahan dalam menetapkan arah
kebijakan pembangunan desa. Proses tersebut
juga perlu didukung berbagai unsur terkait
seperti pemerintahan akademisi dan pelaku
usaha sebagai fasilitator; dan
c. Penguatan peran masing-masing pihak dalam
pembangunan desa terpadu inovatif dilakukan
dengan membangun kerangka kebijakan yang
tegas dari pemerintah pusat, pengawalan,
monitoring dan evaluasi dari pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten serta komitmen
segenap unsur desa. Akademisi secara kontinyu
berhubungan dengan desa, dunia usaha menjalin
kerjasama secara berkelanjutan dengan desa.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman, Dudung. 2003. Pengantar Metode
Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Kalam
Semesta.
Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa
Partisipasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Dagun. Save M. 2006. Kamus Besar Ilmu
Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara (LPKN).
Daldjoeni dan Suyitno. 2004. Perdesaan, Lingkungan
dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni.
Dwipayanan, Ari AA. 2003. Desa Adat: Antara
Otentisitas dan Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Eko, Sutoro. 2003. Meletakkan Desa dalam
Desentralisasi dan Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 259
__________. 2004. Reformasi
Politik dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta:
APMD Press.
__________. 2006. Pembaharuan Desa Secara
Irawan, Tahir. 2003. Pembaharuan Pemerintah
Desa. Yogyakarta: IRE Press.
Partisipatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Leeuwis, Cees. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi
Perdesaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Morissan. 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor:
Ghalia Indonesia.
Mulyasa. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa.
Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah R Panuju.
2009. Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah. Jakarata: Yayasan Obor Indonesia.
Safi’i. 2009. Manajemen Pembangunan Daerah,
Teori dan Aplikasi. Malang: Averroes Press
Santoso, Purwo. 2003. Menuju Tata Pemerintahan
dan Pembangunan Desa dalam Sistem
Pemerintahan Daerah: Tantangan Bagi
DPRD. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
__________. 2007. Prospek Pengembangan Desa.
Bandung: Fokus Media.
Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan
Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukardi, Akhmad. 2009. Participatory Governance
Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.
Yogyakarta: Laks Bang Pressindo.
Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi Penelitian,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Tarigan, Robinson. 2008. Perencanaan Pembangunan
Wilayah; Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta, Manajemen
Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus
Media.
Winarno, Budi. 2008. Gagalnya Organisasi Desa
dalam
Pembangunan
di
Indonesia.
Yogyakarta:Tiara Wacana.
260 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260
EFEKTIVITAS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 TERHADAP
KUALITAS PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA BLITAR
EFFECTIVENESS OF QUALITY MANAGEMENT SYSTEM ISO 9001:2008 OF
ADMINISTRATION POPULATION SERVICE QUALITY IN THE CITY BLITAR
Irtanto
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur
Jl. Gayung Kebonsari No. 56, Surabaya
E-mail: [email protected]
Diterima: 29 Oktober 2012; direvisi: 25 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, yang bertujuan (1) mengetahui efektivitas
SMM ISO 9001:2008 terhadap kualitas pelayanan kependudukan; (2)mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa analisis mengenai efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar mengenai layanan
administrasi kependudukan meliputi bukti langsung, kehandalan, daya tanggap aparat pelayanan, jaminan,
dan empati diperoleh nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan kriteria baik, tingkat pencapaian rata-rata
sebesar 79,99% dengan kriteria pencapaian efektif. Faktor yang mempengaruhi tidak efektivitasnya
pelayanan disebabkan oleh karena faktor tangibel dan kenyaman pelayanan masih kurang; kehandalan
petugas pelayanan yang masih kurang; akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan perlu diperhatikan;
dan masih kurangnya empati aparat, tingkat ketrampilan dan kedislipinan aparat dalam memberikan
pelayanan yang masih perlu ditingkatkan, adanya biaya tambahan di luar ketentuan untuk mendapatkan
pelayanan, petugas dalam memberikan pelayanan masih ada yang kurang ramah.
Kata kunci: efektivitas, kualitas pelayanan, sistem manajemen, pelayanan administrasi
Abstract
This research used quantitative descriptive approach, which aims to know (1) the effectiveness of QMS
ISO 9001:2008 in realizing a population service quality (2) to know factors that influence the effectiveness
of QMS ISO9001:2008 in realizing quality service. The results showed that the analysis of
the effectiveness of QMS ISO 9001:2008 in Blitar City on population administration
service covering direct evidence, reliability, responsiveness of service, assurance, and empathy qualifier
values obtained with the 3.18 average good criteria, average achievement of 79.99% with the effective
achievement criteria. The factors that affect is not effectiveness
of the service caused
the tangible and comfort care; reliability of service personnel; accuracy and responsiveness of care
apparatus, and f empathy apparatus are lacking, the level of skill and discipline personnel in
providing services to be improved, the additional costs beyond the provision for services, personnel in
providing services there are less friendly.
Keywords: effectiveness, quality of service, management system, administration service
PENDAHULUAN
Demokratisasi seperti sekarang di Indonesia
yang gencar-gencar di bangun berdampak luas
terhadap debirokratisasi pelayanan publik, selain itu
berdampak pula terhadap perubahan paradigma dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah, di massa
pemerintahan orde baru lebih bersifat sentralistis kini
berubah desentralistis. Organisasi pemerintah pada
saat ini identik dengan organisasi pelayanan
masyarakat (public service). Kondisi ini tidak lepas
sebagai dampak lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang
mempunyai
konsekuensi
daerah
mempunyai
kewenangan terhadap persoalan pelayanan publik. Hal
ini mengindikasikan bahwa kualitas tidaknya
pelayanan publik tergantung dari daerah itu sendiri.
Di sisi lain dewasa ini dari ke hari-hari
berbagai desakan terhadap perbaikan pelayanan publik
terus saja terjadi dimana-mana dan tidak
mengherankan jika ekspektasi masyarakat terhadap
kualitas pelayanan semakin tinggi. Oleh karenanya,
pemerintah daerah dituntut melakukan berbagai
inovasi
terhadap pelayanan
publik.
Untuk
meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan
kepada masyarakat, maka pemerintah selaku penyedia
layanan harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
dan kepuasan masyarakat.
Dari kondisi seperti di atas perlu dijawab
dengan berbagai teori untuk mengukur kualitas
pelayanan publik. Sedangkan untuk mengukur dan
meningkatkan
kualitas
pelayanan
diperlukan
standarisasi terhadap manajemen mutu pelayanan.
Pengukuran terhadap manajemen mutu pelayanan
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 261
menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Sebagai
konsekuensinya, setiap organisasi pemerintah perlu
menyiapkan kerangka sistem manajemen mutu
organisasinya sesuai dengan tujuan dan fungsinya.
Untuk itu, Pemerintah Kota Blitar terutama yang
bergerak di bidang pelayanan publik tentunya secara
langsung maupun tidak langsung tidak lepas dari
penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO
9001:2008.
Tolok ukur kualitas tidaknya pelayanan
birokrasi
kadang-kadang bersifat subyektif,
tergantung dari cara pandang masing-masing orang
dalam menentukan kualitas seperti apa yang
diinginkan. Pelayanan publik buruk, masyarakat
belum tentu semuanya secara langsung melakukan
komplain terhadap pemerintah selaku pemberi
layanan, bisa saja masyarakat pasif, tidak reaktif
sebagaimana pernyatan Tjiptono bahwa pelanggan
yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi
mereka praktis tidak akan membeli atau menggunakan
jasa perusahaan yang bersangkutan lagi (2000:52). Ini
berbeda dengan birokrasi selaku pemegang monopoli
pelayanan administrasi kependudukan, akibatnya
distrust terhadap birokrasi pemerintahan akan terjadi
yang berdampak luas.Pemerintahan Kota Blitar akhirakhir ini sering mendapatkan berbagai penghargaan
terutama sepuluh tahun terakhir di massa dua dekade
massa kepimpinan Walikota Djarot Syaiful Hidayat
dari tahun 2000-2010, seperti pelayanan Puskesmas
Bendogerit yang menerapkan Citizen Charter. Selain
itu pelayanan kependudukan perlu dikaji dengan
penerapkan SMM ISO 9001:2008 sebagai standar
pengendalian mutu dalam pemberian pelayanan
kependudukan. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008
dalam mewujudkan kualitas pelayanan kependudukan
dan bertujuan pula mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam
mewujudkan pelayanan berkualitas.
Secara teoritik efektivitas merupakan penilaian
hasil pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas mempunyai
efek yang besar terhadap kepentingan orang banyak
(Emerson,
dalam
Handayaningrat,
1985:16).
Efektivitas merupakan usaha pencapaian sasaran yang
dikehendaki yang ditujukan kepada orang banyak dan
dapat dirasakan oleh kelompok sasaran. Kemudian
Siagian (1997:151) mendefinisikan bahwa efektivitas
adalah sebagai penyelesaian pekerjaan tepat pada
waktunya, dalam arti apakah dalam melaksanakan
tugas dinilai baik atau tidaknya sangat tergantung pada
kapan tugas itu terselesaikan. Pendekatan pencapaian
tujuan sebagai variabel dalam mengukur efektivitas
SMM 9001:2008 untuk mewujudkan pelayanan yang
berkualitas. Selanjutnya pelayanan umum menurut
difinisi Sianipar (1998:4) adalah segela bentuk
kegiatan publik yang dilaksanakan oleh aparat
pemrintah, baik di pusat, di daerah, dan lingkungan
Badan Usaha Negara/daerah dalam bentuk barang dan
jasa, baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat yang sesuai dengan harapan mreka
maupun menurut ketentuan pertundang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu pelayanan publik perlu
dikaji dengan menggunakan berbagai teori tentang
kualitas pelayanan yang rrelavan antara lain dengan
menggunakan pengembangan teori kualitas pelayanan
menurut Parasuraman (dalam Tjiptono, 2002:27) yang
terdiri dari lima item penting, yaitu 1) bukti langsung
(tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
pegawai dan sarana komunikasi; 2). Empati
(emphathy) meliputi kemudahan dalam melakukan
hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan para masyarakat; 3). kehandalan
(reliability),
yakni
kemampuan
memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan
memuaskan: 4). Daya tanggap (responsiveness), yaitu
keinginan para staf untuk membantu masyarakat dan
memberikan pelayanan dengan tanggap; 5). Jaminan
(assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan
sikap yang dapat dipercaya yang memiliki para staf,
bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan”.
Selanjutnya teori Vincent Gespersz (dalam Lukman,
2003) hampir relatif sama dengan teori Parasuraman,
bahwa demensi kualitas pelayanan antara lain 1.
Ketepatan waktu pelayanan; 2. Akurasi pelayanan; ;
hal ini berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan
bebas dari kesalahan-kesalahan; 3. Kesopanan dan
keramahan dalam memberikan pelayanan; berkaitan
dengan perilaku orang-orang yang berinteraksi
langsung kepada masyarakat eksternal; 4. Tanggung
jawab; berkaitan dengan penerimaan pesanan dan
penanganan pengaduan dari masyarakat ekternal
(masyarakat); 5. Kemudahan mendapatkan pelayanan;
berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani
dan fasilitas pendudukun; 6. Kenyaman dalam
memperoleh pelayanan pelayanan; berkaitan dengan
lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir,
ketersediaan informasi, dan petunjuk panduan lainnya.
Di sisi lain masyarakat mempunyai harapan
terhadap pelayanan publik, menurut Moenir (2001:41)
ada empat hal, yaitu (1) Adanya kemudahan dalam
pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat
dalam arti tanpa hambatan yang kadang-kadang
dibuat-buat; (2) Memperoleh pelayanan yang wajar
tanpa gerutu, sindirian atau untaian kata lain semacam
itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu,
baik dengan alasan untuk dinas; (3) Mendapatkan
perlakuan yang sama, tertib, dan tidak pandang bulu;
(4) Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya
apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak
dapat dielakkan hendaknya diberitahukan sehingga
orang tidak menunggu-menunggu sesuatu yang tidak
menentu.
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah
mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008 dalam
mewujudkan pelayanan berkualitas administrasi
kependudukan Kota Blitar dan mengidentifikasi
berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas SMM
ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan
berkualitas administrasi kependudukan di Kota Blitar.
262 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
Berbagai teori dan tujuan penelitian yang hendak
diteliti dapat digambarkan dalam kerangka penelitian
sebagaimana tersebut dibawah ini.
dilakukan dalam analisis data pada penelitian ini
meliputi: (1) Menyeleksi data; (2) Klasifikasi data; (3)
Tabulasi data; (4) Standarisasi data. Ada dua
 Sarana & prasarana
 Kenyamanan
 Kemudahan akses
Bukti langsung/
Tangibles





Kehandalan/
Reliability
Efektivitas SMM ISO
9001:2008 Terhadap
Pelayanan Administrasi
Kependuduk: KTP dan KK
Daya tanggap/
Responsiveness
Kesederhanaan
Kepastian & kejelasan
Kedisiplinan petugas
Transparansi
Akuransi pelayanan
 Tanggung jawab
 Akuntabilitas
Jaminan/
Assurance




Empati/
Empathy
Competence
Courtecy
Credibility
Security
 Communication
 Understanding the costumer
Gambar 1. Kerangka Penelitian.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam peneltian
ini deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi
hanya menggambarkan ’apa adanya’ tentang suatu
variabel, gejala, atau keadaan (Arikunto, 2006:68),
hanya menggambarkan atau memaparkan keadaan dan
obyek penelitian yang didasarkan pada data dan fakta
yang ada tanpa terkait keharusan membuat hipotesis.
Lokasi dan Sampel
Lokasi penelitian di Kota Blitar yang meliputi
tiga (3) kecamatan, Sananwetan, Sukorejo, dan
Kecamatan Kepanjenkidul. Pengambilan sampel
menggunakan pedoman dari Roscoe (1975) yang
mengusulkan ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang
dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian
(dalam Uma Sekaran (2006). Pengambilan sampel
masing-masing kecamatan diambil 100 orang, sampel
keseluruhan sebanyak 300 orang.
Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
Teknik pengumupulan data menggunakan
kuesioner. Pilihan jawaban menggunakan 4 pilihan
jawaban, mulai dari yang bermakna sangat negatif
sampai yang bermakna sangat positif. Teknik
wawancara kami gunakan untuk mendapatkan
informasi yang lebih mendalam tentang persoalan
pelayanan administrasi kependudukan.
Teknik analisa data menggunakan analisis
deskriptif kuantitatif. Sedangkan tahap-tahap yang
standarisasi data dalam penelitian ini, pertama untuk
menentukan indikator kualitas hasil pendapat
responden untuk mengukur pendapat responden
mengenai
kualitas
pelayanan
administrasi
kependudukan pembuatan KTP dan KK; kedua,
standarisasi data untuk persentase tingkat pencapaian
dari sub variabel dan indikator untuk mengukur
pendapat responden mengenai tingkat pencapaian
SMM ISO 9001:2008 dengan mendeskripsikan
kualitas pelayanan administrasi kependudukan.
Standarisasi data tersebut ditentukan melalui:
a.Penentuan kriteria penilaian pendapat responden.
Kualitas jawaban ditentukan dengan skala likert,
dengan memberikan 4 (empat) alternatif jawaban yang
diberikan kepada responden sesuai dengan kedalaman
jangkauan jawaban. Kriteria kualitas jawaban
ditentukan dengan bobot nilai sebagai berikut bobot
nilai tertingi 4 dan terendah 1. b. Penentuasn nilai
kualifikasi. Nilai kualifikasi tersebut ditentukan oleh
jumlah dari frekuensi jawaban dikali bobot nilai
kemudian dibagi dengan jumlah responden
sebagaimana rumus untuk menghitungkan rata-rata
menurut Nazir (2005:380) sebagai berikut:
Nilai
Kualifikasi
=
Jumlah
(frekuensi jawaban x bobot nilai)
Jumlah Responden
=
Nilai Total
Jumlah Responden
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 263
Selanjutnya, ditetapkan interval nilai guna
mendapatkan kualifikasi interpretasi. Kemudian
untuk mencari besarnya interval dengan menggunakan
range dan jumlah kelas (Nazir (2005:380).
R
I= K
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dimana I adalah besarnya interval, R adalah jarak
pengukuran (nilai tertinggi-nilai terendah, dan K
adalah jumlah kelas. Jadi, intervalnya adalah sebesar:
I= 4-1 = 0,75
4
Dengan demikian, dapat diketahui interpretasi
jawaban responden mengenai kualitas pelayanan
administrasi kependudukan sebagai berikut:
a) Nilai kualifikasi 3,26 – 4,00 = sangat baik;
b) Nilai kualifikasi 2,51 – 3,25 = baik;
c) Nilai kualifikasi 1,76 – 2,50 = kurang baik; dan
d) Nilai kualifikasi 1,00 – 1,75 = tidak baik
Sedangkan
untuk
mengetahui
tingkat
pencapaian dari SMM ISO 9001:2008, maka penulis
menggunakan rumus Sugiyono (2006:95) sebagai
berikut:
% Skor
Pencapaian
(Skor Hasil =
Penelitian)
Jumlah skor
jawaban hasil
x 100%
penelitian
Skor jawaban ideal
Jawaban responden pada skala likert terdiri
atas 4 alternatif jawaban, yaitu 4 sampai 1. Skor
jawaban tersebut dipersentasikan melalui rentang
25%-100% yang menunjukkan skor maksimum dan
minimum. Skor maksimum diperoleh apabila seluruh
responden memberikan jawaban 4 sedang skor
minimum diperoleh apabila seluruh responden
memberikan jawaban 1 atau dapat dilihat melaui
perhitungan berikut:
% Skor
=
Maksimum
4 x 150
600
1 x 150
% Skor
Minimum
=
600
x 100% = 100%
x 100% =
25%
Kemudian untuk menentukan jarak antar kelas
interval, diperoleh dengan rumus:
Jarak
Interval
sebagai berikut: a) Nilai kualifikasi 81,26%-100% =
sangat efektif; b) Nilai kualifikasi 62,51% - 81,25%
= efektif; c) Nilai kualifikasi 43,76% - 62,50% =
kurang efektif; d) Nilai kualifikasi 25% - 43,75% =
tidak efektif.
=
Skor maksimum skor minimum
x 100%
Jarak kelas interval
Berdasarkan rentang kelas interval di atas,
maka ditentukan nilai kualifikasi tingkat pencapaian
Deskripsi Daerah Penelitian
Wilayah Pemerintahan Daerah Kota Blitar
secara administratif terbagi dalam 3 (tiga) Kecamatan
yaitu Kecamatan Kepanjenkidul, Sukorejo dan
Sananwetan, masing-masing kecamatan terdiri dari 7
(tujuh) kelurahan. Dari tiga kecamatan tersebut
terdapat 21 kelurahan dengan jumlah sebanyak 186
RW
dan
634
RT
(http://blitarkota.bps.go.id/index.php/)
Kecamatan
terluas adalah Kecamatan Sananwetan dengan luas
12,15 km² kemudian Kecamatan Kepanjenkidul 10,50
km² dan Kecamatan Sukorejo 9,93 km². Dari 21
kelurahan yang ada, kelurahan terluas adalah
Kelurahan Sentul yang terletak di Kecamatan
Kepanjenkidul yaitu 2,68 km². Sementara Kelurahan
dengan luas terkecil adalah Kelurahan Turi,
Kecamatan Sukorejo yaitu 0,51 km².
Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun
2009, jumlah penduduk Kota Blitar pada tahun 2010
meningkat sebesar 0,79 persen dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. pada tahun 2009 jumlah
penduduknya sebesar 139.471 jiwa, maka pada tahun
2010 sebanyak 140.574 jiwa. Sedangkan rasio jenis
kelaminnya dibawah 100 yang artinya jumlah
penduduk perempuan masih
lebih
banyak
dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki.
Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar adalah
Kecamatan Sananwetan dengan jumlah penduduk
sebesar 52.742 jiwa, diikuti Kecamatan Sukorejo
sebesar 47.750 jiwa, dan yang terkecil adalah
penduduk kecamatan Kepanjenkidul sebesar 40.082
jiwa. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kota
Blitar pada tahun 2010 mencapai 4.315 jiwa/km2 atau
sekitar 4 orang/m2. Sementara kecamatan terpadat
adalah Kecamatan Sukorejo yaitu 4.811 jiwa/km2
yang kemudian diikuti oleh Kecamatan Sananwetan
yaitu 4.340 jiwa/km2 dan Kecamatan Kepanjenkidul
yaitu 3.816 jiwa/km2. Selanjutnya kelurahan dengan
penduduk terpadat adalah Kelurahan Sukorejo dengan
tingkat kepadatan mencapai 9.622 jiwa/km2, diikuti
dengan Kelurahan Kepanjenlor (9.410 jiwa/ km2) dan
Kelurahan
Kepanjenkidul
(9.258
jiwa/km2)
(http://blitarkota. bps.go.id/index.php/).
Kota Blitar adalah Kota Kecil dengan jumlah
Pegawai Negeri Sipil yang berada di lingkungan
Pemerintah Kota Blitar sebanyak 4.366 orang, dengan
jumlah PNS pria sebanyak 2.136 orang, dan wanita
sebanyak 2.230 orang. Dari junmlah PNS sebanyak
itu, mereka tersebar di berbagai satuan kerja (Satker),
unit kerja dengan jumlah PNS terbanyak adalah Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 2.302 oang
yang termasuk di dalamnya guru, kemudian terbanyak
264 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
Tabel 1. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Bukti Langsung (Tangibles)
No
1
2
3
Aspek
Kelengkapan
Sarana
&
prasarana:
a. Sarana dan
Prasarana
b. Kondisi
peralatan
Kenyamanan:
a. Kondisi
kebersihan
b. Kondisi
ketertiban
c. Kondisi
keteraturan
d. Kenyaman
suasana
Tingkat
Kemudahan
akses
Jumlah rata-rata
Nilai
Kualifikasi
Kriteria
Tingkat
Pencapaian
(%)
Kriteria
3,20
baik
80,00
efektif
3,20
baik
85,33
Sangat
efektif
3,26
Sangat
baik
Sangat
baik
Sangat
baik
baik
82,33
Sangat
efektif
Sangat
efektif
Sangat
efektif
efektif
3,45
Sangat
baik
86,33
Sangat
efektif
3,26
Sangat
baik
82,78
Sangat
efektif
3,32
3,34
3,06
83,00
85,83
76,66
Sumber: data primer diolah.
berikutnya adalah pegawai yang berada di RSUD
Mardi Waluyo sebanyak 498 orang. Jika dibedakan
berdasarkan golongan, jumlah PNS dengan Golongan
I sebanyak 180 orang (4,12 persen), golongan II
sebanyak 1.202 orang (27,53 persen), golongan III
sebanyak 1.740 orang (39,85 persen) dan golongan IV
sebanyak 1.244 orang (28,49 persen). Jika dilihat dari
pendidikannya PNS yang berependidikan SLTA
sebanyak 1.307 orang (29,93 persen), berpendidikan
D1, D2, D3, D4 sebanyak 829 orang (18,99 persen).
Kemudian PNS dengan pendidikan S1 orang (46,84
persen), dan mereka yang berpendidikan S2 sebanyak
185 orang (4,24 persen) (http://blitarkota.bps.
go.id/index.php/).
Pemerintahan Kota Blitar tidak lepas dari peran
DPRD hasil Pemilu 2009, anggota DPRD Kota Blitar
sebanyak 25 orang yang tergabung ke dalam 3 Komisi
. Komisi I terdiri dari 7 anggota membidangi
Pemerintahan, sedangkan Komisi II terdiri dari 8
anggota membidangi Perekonomian dan Keuangan.
Kemudian Komisi III terdiri dari 7 anggota
membidangi Pembangunan. Anggota DPRD Kota
Blitar didominasi oleh PDI-P dan Partai Demokrat
yaitu masing-masing sebanyak 6 orang. Posisi kedua
ditempati oleh PKB, Partai Golkar dan PPP yaitu
masing-masing 3 orang. Berikutnya dari Partai Hanura
2 orang, PKS dan PKNU masing-masing 1 orang.
Sedangkan anggota DPRD perempuan hanya ada 4
orang, berasal dari Partai Demokrat 2 orang dan dari
PKB dan PKS masing-masing 1 orang
(http://blitarkota.bps. go.id/index.php/).
Secara geografis Kota Blitar hanya berbatasan
langsung dengan Kabupaten Blitar, tidak berbatasan
dengan daerah lainnya seperti Kabupaten Tulunagung,
Kediri maupun Kabupaten Malang karena posisi Kota
Blitar berada ditengah-tengah Kabupaten Blitar.
Adapun kecamatan di Kabupaten Blitar yang
berbatasan dengan wilayah Kota Blitar adalah sebelah
utara berbatasan dengan Kecamatan Nglegok, sebelah
timur berbatasan dengan Kecamatan Garum, di
sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Kanigoro, dan sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan
Sanankulon
(http://blitarkota.bps.
go.id/index.php/). Sedangkan wilayah Kota Blitar
dilihat dari topografi masih termasuk dataran rendah,
dengan luas wilayah hanya 32,58 km², berada
diketinggian dari permukaan air laut rata-rata sekitar
156 m. Ketinggian di bagian utara sekitar 245 m
dengan tingkat kemiringan 2º sampai 15º, bagian
tengah 175 m dan bagian Selatan 140 m dari
permukaan air laut dengan tingkat kemiringan 0º
sampai 2º (http://blitarkota.bps. go.id/index.php/).
Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008 dalam
Mewujudkan Pelayanan Berkualitas
Tangibel (Bukti Langsung)
Indikator sub variabel bukti langsung ada tiga,
yaitu kelengkapan sarana dan prasarana, kenyamanan,
serta kemudahan askes. Untuk menganalisis sub
variabel ini secara keseluruhan, dikemukakan hasil
pendapat responden yang tersebar di tiga kecamatan,
yaitu Sananwetan, Sukorejo dan Kecamatan
Kepanjenkidul.
Berdasarkan tabel tentang rekapitulasi skor
jawaban responden untuk variabel tangibles, dapat
dijelaskan bahwa secara umum masyarakat
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 265
Tabel 2.Rekapitulasi Skor Sub Variabel Kehandalan (Reliability)
No
Aspek
1
Kesederhanaan
2
Kepastian dan kejelasan:
a. Target
&
waktu
penyelesaian
b. Ada tidaknya pungli
c.
Nilai
Kualifikasi
Kriteria
Tingkat
Pencapaian
(%)
90,16
Kriteria
3,60
Sangat
baik
3,06
baik
76,50
efektif
3,46
Sangat
baik
Kurang
baik
baik
86,66
Sangat
efektif
Kurang
efektif
efektif
92,33
79,16
Sangat
efektif
efektif
Pemberian tanda bukti
pembayaran
Waktu
pelayanan
sesuai tidaknya dgn
ketentuan
Standar biaya
1,79
3,16
2,76
baik
69,00
efektif
3
Pemahaman
masyarakat
ttg
persyaratan pembuatan
KTP/KK
g. Kejelasan
identitas,
jabatan, kewenangan
petugas
Kedisiplinan petugas
Sangat
baik
baik
3,36
84,50
4
Transparansi
3,26
Sangat
baik
Sangat
baik
Baik
Baik
Sangat
efektif
Sangat
efektif
Efektif
Efektif
d.
e.
f.
5
Akurasi pelayanan
Jumlah rata
Sumber: data primer diolah
berpendapat kelengkapan sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh pelayanan administrasi kependudukan
baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil kondisinya baik
dengan nilai kualifikasi 3,20 dan tingkat pencapaian
80,00 dengan kriterian efektif. Masyarakat
memandang kondisi baik terhadap peralatan yang
dipunyai oleh pelayanan publik yang mengurus
pelayan Kependudukan baik di tingkat kecamatan
maupun di tingkat Satker (satuan Kerja) di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil dengan nilai
kualifikasi 3,20 dengan tinmgkat pencapaian 85,33
dalam criteria sangat efektif.
Demikian pula dengan kondisi aspek
kenyamanan
pelayanannya
terutama
kondisi
kebersihan kantor dipandang oleh masyarakat sangat
baik (bersih), dengan kriteria 3,26, dengan tingkat
pencapaian 82,33 sangat efektif, tidak itu saja bila
dilihat dari sisi ketertiban adminsitrasi maupun
pegawainya dipandang oleh masyarakat sangat baik,
dengan kriteria 3,32 dan tingkat pencapaina sebesar
83,00 sangat efektif. Disisi tingkat keteraturan
administrasi pelayanan dipandang oleh masyarakat
sangat baik dengan kriteria 3,34 dan tingkat
pencapaian 85,83 kualifikasi sangat efektif. Kemudian
aspek kenyaman terutama dari sisi kenyamanan
suasana dipandang oleh masyarakat penerima layanan
baik, artinya tempat pelayanan baik ditingkat
kecamatan maupun ditingkat dinas suasana
3,10
3,69
3,14
3,12
44,83
Sangat
efektif
77,66
81,50
78,66
78,26
menyenangkan, seprti adanya ruang tunggu, ruang
parkir yang memadahi, papan informasi yang cukup
dan sebagainya. Hal dapat dilihat hasil nilai kualifikasi
seebsar 3,06 dengan kriterian baik dan tingkat
pencapaian sebesar 76,66 dengan kriteria efektif.
Pelayanan administrasi kependudukan bila
dilihat dari aspek kemudahan akses seperti bagaimana
mengakses informasi tentang pelayanan maupun dari
sisi posisi strategis kantor dipandang oleh masyarakat
penerima pelayanan sangat baik dengan nilai
kualifikasi 3,45 dan tingkat pencapaian sebesar 86,33
dalam kualiofikasi sangat efektif.
Kondisi pelayanan dilihat dari variabel bukti
langsung (tangibles) baik dari sisi aspek kelengkapan
sarana dan sarana, aspek kenyaman maupun tingkat
kemudahan akases nilai kualifikasi rata-rata 3,26
dalam kriteria sangat baik, sedangkan tingkat
pencapaian rata-rata 82,78 dalam kriteria sangat
efektif.
Kehandalan
Pelayanan pembuatan dokumen administrasi
kependudukan dapat dilihat dari variable kehandalan
(reliability) yang berkaitan dengan unsur-unsur
pelayanan publik berupa prosedur dan persyaratan
pelayanan, waktu penyelesaian pelayanan, biaya
pelayanan, unit kerja/pejabat yang berwenang dan
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan dan
penyelesaian pelayanan, jadwal pelayanan, serta
266 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
Tabel 3. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Daya Tanggap
No
1
2
Tanggung jawab
Daya tanggap terhadap
pengaduan tentang
pelayanan pembuatan
KTP dan KK
Daya tanggap dalam
menerima kritik, saran
Akuntabilitas
Jumlah rata-rata
Nilai
Kualifikasi
Kriteria
Tingkat
Pencapaian (%)
Kriteria
3,07
Baik
76,83
Efektif
3,24
Baik
81,16
Efektif
3,16
3,15
Baik
Baik
79,00
78,99
Efektif
Efektif
Sumber: data primer diola
produk pelayanan. Kemudian dari sini diukur melalui
beberapa indikator yaitu kesederhanaan, kepastian dan
kejelasan, kedisiplinan, transparansi, dan akurasi.
Untuk melihat kehandalan pelayanan pembuatan
KTP/KK dapat dilihat pada rekapitulasi skor sub
variabel kehandalan (reliability) pada tabel di bawah
ini
Berdasarkan tabel tentang rekapitulasi skor
jawaban responden untuk sub variable kehandalan,
dapat dijelaskan bahwa secara umum masyarakat
berpendapat kehandalan (reliability) bila dilihat dari
aspek kesederahanaan dipandang oleh masyarakat
sebagai penerima pelayanan sangat baik dengan nilai
kualifikasi sebesar 3,60 dengan tingkat pencapaian
sebesar 90,16 dalam kriteria sangat efektif. Kemudian
dari sisi aspek kepastian dan kejelasan yang meliputi
target dan waktu penyelesaian dipandang oleh
masyarakat sebagai pengguna layanan baik dengan
nilai kualifikasi 3,06 dengan kriteria baik dan tingkat
pencapain sebesar 76,50 kriteria efektif. Kemudian
ada tidaknya pungli tentang pelayanan pembuatan
administrasi kependudukan di Kota Blitar dipandang
oleh penemrima layanan sangat baik dengan nilai
kualifikasi sebesar 3,46 dengan tingkat pencapaian
sebesar 86,66 sangat efektif, namun demikian bukan
berarti dalam pelayanan tidak ada pungli walaupun
masih ada pungli relatif kecil sekali. Aspek kepastian
dan kejelasan dari sisi pemberian tanda bukti
pembayaran dinilai oleh masyarakat masih kurang hal
ini terbukti nilai kualifikasi hanya sebesar 1,79 dan
tingkat pencapaian sebesar 44,83 dengan kriteria
kurang efektif.
Kemudian dari sisi waktu pelayanan sesuai
tidaknya dengan ketentuan yang berlaku, dipandang
oleh masyarakat waktu pelayanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku hal ini dapat dibuktikan
dengan nilai kualifikasi sebesar 3,10 dengan kriteria
baik, dan tingkat pencapaian sebesar 77,66 kriteria
efektif. Tentang standar biaya dinilai oleh masyarakat
sangat baik dengan nilai kualifikasi sebesar 3,69 dan
tingkat pencapaian sebesar 92,33 krioteria sangat
efektif. Masyarakat penerima pelayanan maham
persoalan tentang persyarakatan pembuatan KTP/KK,
hal ini terbukti nilai kualifikasi 3,16 kriteria baik
dengan tingkat pencapaian sebesar 79,16 kriteria
efektif. Bagaimana dengan
persoalan kejelasan
identitas, jabatan, kewenangan petugas, dipandang
oleh masyarakat penerima pelayanan baik, artinya
identitas, jabatan dan kewenangan masing-masing
petugas sudah jelas, hal ini terbukti nilai kualifikasi
sebesar 2,76 dengan kriteria baik dan tingkat
pencapaian sebesar 69,00 kriteria efektif.
Selanjutnya pelayanan pembuatan KTP dan
KK oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota
Blitar dilihat dari aspek kedisplinan petugas
dipandang oleh masyarakat penerima layanan sangat
baik, kondisi seperti ini dapat dilihat pada nilai
kualifikasi sebesar 3,36 kriteria sangat baik dan
tingkat pencapaian sebesar 84,50 dengan kriteria
sangat efektif. Kemudian dari aspek transparansi
petugas dalam memberikan pelayanan dipandang oleh
masyarakat sangat transparan (baik), kondisi ini dapat
dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,26 kriteria sangat
baik dan tingkat pencapaian sebesar 81,50 sangat
efektif. Bagaimana dengan akurasi petugas dalam
memberikan pelayanan? Petugas dalam memberikan
pelayanan sedikit sekali dalam melakukan kesalahan,
walaupun ada kesalahan relatif kecil sekali kesalahan
tersebut. Kondisi akurasi ini dapat dikonfirmasikan
dengan nilai kualifikasi akurasi pelayanan sebesar
3,14 dalam kriteria baik dan tingkat pencapaian
sebesar 78,66 dengan kriteria efektif.
Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK
bila dilihat dari sisi variabel kehandalan (reliability)
dari aspek kesederhanaan , kepastian dan kejelasan,
kedisiplinan petugas dan transparansi serta akurasi
pelayanan dipandang oleh masyarakat sudah baik.
Kondisi ini dapat dilihat pada nilai jumlah rata-rata
nilai kualifikasi sebesar 3,12 dengan kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 78,26 dalam kriteria
efektif.
Daya Tanggap (Responsiveness)
Kualitas pelayanan administrasi pembuatan
KTP dan KK dapat dilihat dari variabel daya tanggap.
Dari aspek daya tanggap terhadap pengaduan tentang
pelayanan pembuatan KTP dan KK. Dilihat dari aspek
ini masyarakat memandang bahwa petugas dalam
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 267
Tabel 4. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Jaminan
No
Aspek
Nilai
Kualifikasi
Kriteria
Tingkat
Pencapaian (%)
Kriteria
1
Competence
a
Keahlian aparat pemberi
layanan sesuai tidaknya
dengan bidang tugasnya
Aparat telah memiliki
tidaknya ketrampilan yang
baik memberikan layanan
3,03
Baik
75,83
Efektif
3,08
Baik
75,83
Efektif
2
Courtecy
3,21
Baik
80,33
Efektif
3
Credibility
a
Tingkat kejujuran dari aparat
pelayanan pembuatan
KTP/KK
Perasaan selama
mendapatkan pelayanan
pembuatan KTP/KK
misalnya karena tidak
dipersulit dsb
Security
3,10
Baik
77,50
Efektif
3,25
Baik
81,33
Efektif
3,26
Sangat baik
81,66
3,15
Baik
78,74
Sangat
efektif
Efektif
b
b
4
Jumlah rata
Sumber: data primer diolah
memberikan pelayanan mempunyai daya tanggap
yang baik terhadap berbagai pengaduan dari
masyarakat sebagai pengguna layanan, kondisi daya
tanggap dalam persoalan pengaduan ini dapat dilihat
nilai kualifikasi sebesar 3,07 dalam kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 76,83 kriteria efektif.
Kemudian daya tanggap dari sisi dalam
menerima kritik, saran masyarakat melihat bahwa para
petugas ataupun aparat dalam memberikan pelayanan
pembuatan KTP dan KTT bersikap baik dalam
menerima kritik maupun saran dari pengguna
pelayanan. Sikap petugas dalam menerima kritik dan
saran cukup terbuka, hal ini dapat dikonfirmasikan
dengan nilai kualifikasi sebesar 3,24 dengan kriteria
baik dan tingkat pencapaian sebesar 79,00 dalam
kriteria efektif. Selanjutnya daya tanggap bila dilihat
dari aspek akuntabilitas yang dapat berupa mutu
pelayanan tentang persyaratan pembuatabn KTP dan
KK dipandang oleh masyarakat Kota Blitar sebagai
pengguna layanan baik akungtabiltasnya. Kondisi ini
dapat dilihat nilai kualifikasi daya tanggap dari aspek
akuntabilitas mendapatkan nilai kualifikasi sebesar
3,16 dalam kriteria baik dan tingkat pencapaian
sebesar 79,00 dengan kriteria efekti.f.
Kondisi pelayanan dalam pembuatan KTP dan
KK di Kota Blitar dilihat dari daya tanggap petugas
pelayanan nilai kualifikasi jumlah rata-rata sebesar
3,15 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian
sebesar 78,99 dengan criteria efektif
Jaminan (Assurance)
Kualitas petugas dalam memberikan pelayanan
dapat dilihnat dari variabel jaminan (assurance) diukur
melalui empat indikator, yaitu competence, courtecy,
credibility, dan security. Untuk menganalisis variabel
jaminan (assurance) secara keseluruhan, dapat dilihat
darti pendapat masyarakat yang menjadi respponden
terhadap masing-masing indikator. Oleh karena itu
untuk melihat bagaimana kondisi jaminan dapat
dilihat pada rekapitulasi skor sub variabel jaminan
pada Tabel 4.
Kualitas pelayanan dilihat dari variabel jamin
(assurance) dari aspek competence terutama indikator
keahlian aparat pemberi layanan sesuai tidaknya
dengan bidang tugasnya. Pada indikator keahlian
aparat pemberi layanan dipandang oleh masyarakat
penerima pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota
Blitar petugasnya kompetensinya baik, artinya petugas
pemberi layanan sudah sesuai dengan bidang
tugasnya. Kondisi kompetnsi dari sisi keahliannya
dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,03 dengan
kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 75,83
kriteria efektif. Kemudian aspek kompetensi dari sisi
aparat memiliki tidaknya ketrampilan yang baik dalam
memberikan pelayanan nilai kualikasi sebesar 3,08
dalam kriteria baik tingkat ketrampilannya dan tingkat
pencapaian sebesar 75,83 dengan kriteria efektif.
Selanjutnya kualitas petugas pelayanan
pembuatyan KTP dan KK dapat dilihat dari aspek
courtecy dan aspek credibility. Pelayanan dilihat dari
aspek courtecy dipandang oleh masyarakat penerima
pelayanan telah baik, hal ini dapat dilihat nilai
kualifikasi sebesar 3,21 dengan kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 80,33 dengan kriteria
efektif. Kemudian pelayanan dilihat dari aspek
credilility terutama dari sisi tingkat kejujuran dari
268 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
aparat pelayanan, dari sisi ini dipandang oleh
masyarakat petugas telah mempunyai tingkat
kejujuran yang baik, kondisi ini dapat dilihat dari nilai
kualifikasi sebesar 3,10 dengan kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 77,50 kriteria efektif.
Kemudian kridibilitas petugas pelayanan dilihat dari
indikator perasaan masyarakat selama mendapatkan
pelayanan pembuatan KTP dan KK merasakan tidak
dipersulit oleh petugas, kondisi ini dapat dilihat dari
nilai kualifikasi sebesar 3,25 dengan kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 81,33 kriteria efektif.
Kompetensi petugas pelayanan dapat dilihat dari
aspek security, masyarakat sebagai penerima layanan
berpandangan bahwa dari sisi security di lingkungan
kantor pelayanan pembuatan KTP dan KK baik
pelayanan di tingkat kecamatan maupun di tingkat
Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Koat Blitar
sanat baik, kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi
sebesar 3,26 dengan kriteria sangat baik dan tingkat
pencapaian sebesar 81,66 kriteria efektif.
Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK
untuik variabel jaminan, dapat dijelaskan bahwa
secara umum masyarakat berpendapat kualitas
pelayanan dari sisi jaminan dari sisi aspek
competence, courtecy, credibility, dan security dalam
pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar
mendapatkan jumlah rata-rata nilai kualifikasi sebesar
3,15 dalam kriteria baik dengan tingkat pencapaian
rata-rata 78,74 dalam kriteria efektif.
Empati (Empathy)
Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK di
Kota Blitar dapat dilihat dari variabel empati. Empati
di sini adalah bagaimana cara petugas pelayanan
dalam melayani masyarakat dengan penuh perhatian,
kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik
dan memahami kebutuhan masyarakat sehingga tujuan
berkomunikasi untuk memberikan informasi dapat
tercapai. Indikator empati ada dua, yaitu
communication dan understanding the customer.
Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK
di Kota Blitar dilihat dari aspek communication.
Masyarakat pengguna layanan melihat pelayanan dari
aspek komunikasi petugas pelayanan baik, artinya
mereka mau mendengarkan, berbicara sopan, dapat
mudah dimengerti, baik dan ramah. Kondisi ini dapat
dilihat nilai kualifikasi aspek komunikasi sebesar 3,14
dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar
78,50 dengan kriteria baik.
Kualitas pelayanan pembuatn KTP dan KK
dari aspek understanding the costumer terutama dari
indikator apakah masih membeda-bedakan suku, ras,
agama, golongan, jenis kelamin, status ekonomi. Dari
indikator ini masyarakat penerima layanan
berpendapat selama ini petugas tidak membedabedakan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin
dan status ekonomi mereka. Kondisi ini dapat dilihat
nilai kualifikasi sebesar 3,24 dengan kriteria baik dan
tingkat pencapaian sebesar 81,16 kriteria efektif.
Demikian juga masyarakat merata atau tidaknya
jangkauan pelayanan yang diberikan aparat keseluruh
lapisan masyarakat, masyarakat sebagai penerima
pelayanan memandang pelayanan telah merata di
semua lapisan masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat
dari nilai kualifikasi sebesar 3,14 dengan kriteria baik
dan tingkat pencapaian sebesar 78,50 kriteria efektif.
Kemudian kualitas pelayanan dapat pula dilihat
dari indikator aparat pelayanan memenuhi atau
tidaknya hak dan kewajiban masing-masing orang
yang mengurus KTP/KK. Petugas dalam memberikan
pelayanan selama ini dipandang telah memnuhi hak
dan kewajiban masing-masing orang dengan baik.
Kondisi ini dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar
3,06 dengan kriteria baikdan tingkat pencapaian
sebesar 76,60 kriteria efektif. Selain itu kualitas
pelayanan petugas dapat dilihat dari sikap aparat
dalam menerima keluhan, pengaduan, saran, dan
kebutuhan pelanggan, dalam hal ini petugas dinilai
oleh masyarakat telah bersikap baik, dalam arti mau
m,enerima keluhan, pengaduan, saran dan mau
melihatb kebutuhan pelanggan. Kondisi ini dapat
dilihat nilai kualifikasi sebear 3,46 dengan kriteria
sangat baik dan tingkat pencapaian sebesar 86,66
kriteria sangat efektif.
Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK di
Kota Blitar dilihat dari variabel empati yang terdiri
dari aspek communication dan understanding the
costumer secara umum dapat dikatakan jumlah ratarata nilai kualifikasi 3,21 dalam kriteria baik, dengan
tingkat pencapaian rata-rata 80,18 dalam kriteria
efektif.
Hasil Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008
Berdasarkan hasil rekapitulasi mengenai
pendapat masyarakat tentang kualitas pelayanan
administrasi kependudukan pembuatan KTP dan KK
yang menggabungkan 5 (lima) variabel. Sub variabel
ini merupakan pengembangan dari berbagai teori
kualitas pelayanan menurut Parasuraman yang
dideskripsikan guna untuk mengetahui tingkat
pencapaian dari SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar.
Dari variabel bukti langsung (tangibles) mendapatkan
tingkat pencapaian yang paling tinggi diantara
variabel yang lain, yaitu tingkat pencapiannya sebesar
82,78% dalam kriteria sangat efektif. Sedangkan
variabel lainnya mendapatkan kriteria pencapaian
efektif, baik itu variabel kehandalan (reliability), daya
tanggap (responsiveness), jaminan (assurance)
maupun variabel empati.
Sesuai dengan rekapitulasi hasil analisis
efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar
nampak efektif dengan jumlah tingkat pencapaian
rata-rata 79,98, artinya SMM ISO 9001:2008 mampu
mendorong
terhadap
pelayanan
administrasi
pembuatan KTP dan KK yang berkualitas.
Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas SMM ISO
9001:2008
Sistem manajemen mutu di Kota Blitar dalam
memberikan pelayanan pembuatan KKTP dan KK
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 269
Tabel 5. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Empati
No
1
2
Communication
Understanding the costumer
A Petugas
dalam
memberikan
prioritas
pelayanan
dalam
pembuatan KTP/KK, apakah
masih membeda-bedakan suku,
ras, agama, golongan, jenis
kelamin, status ekonomi
B Merata atau tidaknya jangkauan
pelayanan pembuatan KTP/KK
Aparat pelayanan memenuhi atau
tidaknya hak dan kewajiban
c masing-masing
orang
yang
mengurus KTP/KK
Sikap aparat dalam menerima
d keluhan, pengaduan, saran, dan
kebutuhan pelanggan.
Jumlah rata
Sumber: data primer diolah
Nilai
Kualifikasi
3,14
Kriteria
Kriteria
Baik
Tingkat
Pencapaian (%)
78,50
3,24
baik
81,16
Efektif
3,14
Baik
78,50
Efektif
3,06
Baik
76,60
Efektif
3,46
Sangat
baik
86,66
Sangat
efektif
3,21
Baik
80,18
Efektif
Efektif
Tabel 6.Rekapitulasi Hasil Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008
No
1
2
3
4
5
variabel
Tangibles (bukti langsung)
Kehandalan (Reliability)
Daya Tanggap (Responsiveness)
Jaminan (Assurance)
Empati (Empathy)
Jumlah rata-rata
Sumber: data primer diolah
Nilai
klualifikasi
3,26
3,12
3,15
3,15
3,21
3,18
dapat dikatakan sepenuhnya efektif. Namun demikian
pelayanan pembuatan KTP dan KK belum mencapai
hasil yang maksimal yaitu dalam kreteria sangat efktif
sesuai SMM ISO 9001:2008. Berdasarkan wawancara
dengan pihak responden secara kualitatif banyak
faktor yang menghambat untuk mencapai pelayaan
yang maksimal yaitu dengan kreteria pelayanan sangat
efektif sesuai dengan SMM ISO 9001:2008 adalah
sebagai berikut:
1. Adanya biaya tambahan di luar ketentuan.
Pemerintah Kota Blitar dalam memberikan
pelayanan perlu menetapkan standar biaya
pelayanan dengan jelas dan terperinci dan
transparan. Oleh karena itu pengenai standar
biaya pelayanan handaknya diinformasikan
kepada masyarakat sebagai pengguna pelayanan.
Kondisi ini masih dirasakan oleh sebagian
masyarakat pengguna layanan pembuatan
KTP/KK, walaupun besar biaya telah ditetapkan
namun dirasakan oleh masyarakat masih saja
ditingkat kelurahan untuk mengurus dokumen
masih terjadi pungutan di luar ketentuan.
2. Pelayanan yang masih kurang ramah.
Kondisi ini masih dirasakan oleh masyarakat
yang mengurus dokumen KTP dan KK,
Frekuensi Alternatif jawaban
Kriteria
Tingkat
Kualifikasi
pencapaian
Sangat baik
82,78
Baik
78,26
Baik
78,99
Baik
78,74
Baik
80,18
Baik
79,98
3.
4.
Kriteria
Pencapaian
Sangat efektif
Efektif
Efektif
Efektif
Efektif
Efektif
pelayanan pembuatan ada yang masih kurang
ramah. Dari sisi human relationnya masih
kurang, terutama dalam persoalan keramahan
petugas.
Kurangnya
transparansi
aparat
dalam
memberikan informasi.
Semua informasi tentang pelayanan masyarakat
harus dapat diketahui oleh publik sebagai
pengguna layanan. Penyampaian informasi bisa
dilakukan baik secara formal maupun informal.
Secara formal dapat dilakukan melalui
pemberitahuan kepada pemerintahan di
bawahnya dengan surat edaran yang
menyangkut perihal prosedur, persyaratan,
waktu penyelesaian pelayanan, besarnya biaya,
dan jadwal pelaksanaan pelayanan.
Kurangnya Ketrampilan & Kedislinan Aparat.
Rupanya pelayanan pembuatan KTP dan KK di
Kota Blitar tingkat ketrampilan aparat perlu
mendapat perhatian sebab hasil penelitian masih
ada yang menyatakan bahwa aparat pelayanan
tidak ahli dan tidak trampil. Selain persoalan
ketrampilan petugas, juga persoalan kedisiplinan
petugas perlu menjadi perhatian, sebab masih
270 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
5.
6.
7.
8.
ada responden yang menyatakan bahwa petugas
masih tidak disiplin.
Empati Aparat.
Hasil peneltian masih ada yang menyatakan
bahwa bahasa ataupun komunikasi petugas
masih tidak jelas dan masih sulit dipahami.
Demikian juga mereka ada yang menyatakan
bahwa untuk jangkauan pelayanan masih tidak
merata, dan aparat tidak memenuhi hak dan
kewajibannya. Selain itu masih ada pula mereka
yang menyatakan aparat pelayanan tidak
berusaha mendengarkan keluhan pelanggannya,
sehingga mereka merasakan tidak puas dengan
layanannya
Akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan.
Pada pelayanan publik akurasi pelayanan sangat
diperlukan, hal ini menyangkut benar tidaknya
dokumen yang harus diterimanya. Demikian
juga persoalan daya tanggap menjadi hal yang
tidak kalah pentingnya dengan problem yang
lainnya. Hasil penelitian masih ada sebagian
masyarakat pengguna layanan ada yang
menyatakan layanan pembuatan KTP dan KK
tidak sesuai dengan harapan, masih ada
kesalahan. Demikian juga masih ada pula yang
menyatakan bahwa petugas pelayanan masih
kurang daya tanggapnya. Tidak itu saja sikap
aparat masih tidak terbuka.
Kehandalan Petugas Pelayanan.
Persoalan kehandalan dalam pelayanan
pembuatan KTP dan KK masih perlu
mendapatkan perhatian yang serius dari pihak
pemerintah Kota Blitar, terutama yang
menyangkut kesederhanaan prosedur pelayanan,
target waktu penyelesaian, tanda terima bukti
pelayanan terutama bukti pembayaran. Mereka
yang masih mempersoalkan prosedur pelayanan
cukup banyak pula. Mereka yang menyatakan
bahwa prosedur pelayanan tidak sederhana,
demikian pula mereka banyak pula yang
menyatakan tidak ada kepastian dan kejelasan
mengenai target waktu penyelesaian, tidak
selesai dengan target waktu yang ditentukan.
Banyak pula yang menyatakan selalu tidak
diberi tanda bukti pembayaran.
Tangibel & Kenyaman.
Demikian juga persoalan kenyaman pelayanan
perlu mendapatkan perhatian. Hal ini dapat
dilihat pada hasil penelitian, mereka yang
menyatakan bahwa sarana dan prasarana masih
dirasakan masih kurang. Tidak itu saja persoalan
kenyamman pelayanan dirasakan masih kurang
baik, tidak bersih, kurang tertib. Kondisi kantor
jika dilihat dari keraturan administrasi ada
sebagian masyarakat memandang masih tidak
teratur, kurang nyaman.
SIMPULAN
Sesuai dengan hasil analisis mengenai
efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar
mengenai pendapat masyarakat sebagai penerima
layanan administrasi kependudukan terutama KTP dan
KK yang meliputi bukti langsung, kehandalan, daya
tanggap aparat pelayanan, jaminan, dan empati
diperoleh nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan
kriteria baik, sedangkan tingkat pencapaian rata-rata
sebesar 79,98% dengan kriteria pencapaian efektif.
Sedangkan faktor yang mempengaruhi tidak
maksimalnya untuk menuju pelayaan yang sangat
efektivitas sesuai apa yang diinginkan SMM ISO
9001:2008 disebabkan oleh karena faktor tangibel dan
kenyaman pelayanan masih kurang; kehandalan
petugas pelayanan yang masih kurang; masih
kurangnya akurasi dan daya tanggap petugas
pelayanan; dan masih kurangnya empati aparat,
tingkat ketrampilan dan kedislipinan aparat dalam
memberikan pelayanan yang masih perlu ditingkatkan,
adanya biaya tambahan di luar ketentuan untuk
mendapatkan pelayanan, petugas dalam memberikan
pelayanan yang masih ada yang kurang ramah.
Saran
Saran yang sekiranya dapat dilakukan oleh
Pemerintah Kota Blitar terutama di bidang pelayanan
pembuatan KTP dan KK perlu mengambil langkalangkah sebagai berikut: 1. Perlu adanya regulasi
apakah itu berupa peraturan walikota ataupun
peraturan daerah yang berisikan tentang adanya
transparansi kepada mayarakat terutama persoalan
prosedur dan target waktu penyelesaian, dan standar
biaya; 2. Kualifikasi SDM aparatur pelayanan
pembuatan KTP dan KK. Hal ini diperlukan karena
hasil penelitian masih ada yang memandang bahwa
aparat pelayanan tidak semuanya ramah,
daya
tanggap petugas pelayanan masih kurang; 3. Pihak
Pemerintah Kota Blitar perlu mengambil langkah
untuk meningkatkan kapasitas dan kapabiltas aparatur
pelayanan agar profesional dalam memberikan
pelayanan kepada publik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2006. Manajemen Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Kualitas Dalam
Industri Jasa. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Gie, The Liang. 1998. Ensiklopedia Administrasi.
Jakarta: PT. Agung.
Handayaningrat, Soewarno H. 1996. Pengantar Studi
Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta:
PT.Gunung Agung.
Hasibuan, Melayu. 2001. Organisasi dan Motivasi,
Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Haryanto, Rohadi. 2003. Kebijakan dan Arah
Penyelenggaraan
Sistem
Administrasi
Kependudukan (SAK). Jakarta: Direktorat
Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap
Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 271
Jenderal
Administrasi
Kependudukan
Departemen Dalam Negeri.
Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan
Standar Pelayanan Publik. Jakarta: LAN RI.
Nardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik (Edisi
Pertama, Cetakan Pertama). Yogyakarta: Andi.
Moenir, H.A.S. 2002. Manjemen Pelayanan Umum di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu
Pemerintahan baru) Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta.
Robins, Stephen. 1994. Teori Organisasi, Struktur,
Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
Sekaran, Uma. 2006. Methodologi Penelitian Bisnis.
Buku 1 dan 2. Jakarta: Salemba Empat, Edisi 4.
Siagian, Sondang P. 1997. Organisasi Kepemimpinan
dan Perilaku Administrasi. Jakarta: PT. Gunung
Agung.
Siagian, Sondang P. 1998. Manajemen Sumber daya
Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sianipar. 1998. Pelayanan Prima (Bahan Diklat
Prajabatan Golongan II). Jakarta: LAN RI..
Soetopo. 1997. Pelayanan Prima Bahan Diklat Adum.
Jakarta: LAN-RI.
Soetopo. 1998. Studi Public Administration. Jakarta:
Rineka Cipta.
Steers, Richard M. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta:
Erlangga.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi (Edisi
Revisi Cetakan Ketga belas). Bandung: CV.
Alfabeta.
Sukamto, Soeryono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta:
Rajawali Indonesia.
Tjiptono dan Anastasia, Diana. 2002. Total Quality
Management. Yogyakarta: Andi.
Tjiptono, Fandy. 2001. Manajemen Jasa. Yogyakarta:
Andi.
Umar. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineke
Cipta.
Wasistiono, Sadu.2002. Menata Ulang Kelembagaan
Pemerintah Kecamatan. Bandung: Citra Pindo.
Zeithaml, Valarie A, dkk. 199., Deliv1ering Quality
Service Balancing Customer Perceptions and
Expections. New York: The Free Press A
Divisions of Macmilan Inc.
272 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH PUSAT DALAM RANGKA
PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG PEMERINTAH DAERAH
CONSTRUCTION AND OBSERVATION CENTRAL GOVERNMENT IN ORDER TO
MANAGEMENT LOCAL GOVERNMENT PURSUANT TO LOCAL GOVERNMENT
Husin Ilyas
Universitas Muara Bango Jambi
Jalan Lintas Sumatera Km. 6 Sungai Binjai, Muara Bungo 37215, Jambi
E-mail: [email protected]
Diterima: 2 Oktober 2012; direvisi: 19 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya, merupakan pemberdayaan institusi Pemerintah Daerah
dan lembaga-lembaga daerah, yang merupakan interpensi pusat terhadap pemerintah daerah, hal ini
menunjukkan tidak ada kemandirian pemerintah daerah, ini kembali pada prinsip sentralisasi. Pengawasan,
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif dan represif dan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memuat sistem represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 memuat sistem pengawasan preventif disebut evaluasi dan represif, terhadap peraturan daerah dan
peraturan kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pengawasan preventif, tidak berjalan dengan efektif
dan efisien. Pengawasan ini mengurangi kemandirian daerah dan apabila peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatnya
dapat dibatalkan pengawasan represif.
Kata kunci: pembinaan, pengawasan, pemerintah pusat, pemerintah daerah.
Abstract
Construction, newly arranged by explicit. In The Law No. 22 of 1999 and The Law No. 32 of 2004,
intrinsically, representing enableness of institution of local government and institutes, representing
intervention center to local government, this matter show no local government independence, this return
principle centralistic. Observation, start from The Law No.22 of 1999 up to The Law No. 5 of 1974,
loading system of observation of preventive and repressive and The Law No. 22 of 1999 only load the
system represif. The Law No. 32 of 2004 loading system of observation preventif referred evaluation and
repressive, to by law and regulation of regional leader province, regency and town.Observation
preventive, not walk effectively and efficient. This observation lessen the area independence and if by law
and regulation regional leader oppose against the public interest, higher level of the law its storey level
annihilable observation repressive.
Keywords: coaching, supervision, central government, local government.
PENDAHULUAN
Persoalan tentang pembinaan terutama sekali
untuk dikaji ialah pembinaan itu pengertiannya apa,
macam-macam bentuk pembinaan dan lembaga yang
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan
pemerintah daerah. Konsep-konsep tentang pengertian
pembinaan tidak ada ditemui di dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Para ilmuwan
mendefinisikan “pembinaan”, sebagaimana yang
dikemukan oleh Tubagus Ronny Rahman Nitibaskoro
adalah: “Yang dimaksud dengan pembinaan adalah
lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya
pemberdayaan daerah otonomi”. Instrumen hukum
yang mengatur pembinaan dan pengawasan ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana yang
dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Untuk
mewujudkan Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 30 Desember Tahun 2005 menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dimuat dalam Lembaran
Negara Nomor 165 Tahun 2005.
Dari konsep ini pembinaan merupakan sarana
dan upaya pemberdayaan daerah otonom. Hal ini
mengandung suatu maksud untuk memperlancar
daerah otonom dalam rangka mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya.
Selanjutnya Sadu Wasistiono, melihat dari sudut
bidang kewenangan pembinaan yaitu: “Bidang
kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya
pemberdayaan institusi Pemerintah, non Pemerintah
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 273
maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri”.
Dari konsep ini terlihat tujuan dari pembinaan itu
adalah suatu upaya untuk pemberdayaan lembaga
Pemerintah dan sebagainya.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di
atas, dapat ditarik suatu gambaran inti dari pembinaan
itu yaitu: “Pemberdayaan lembaga Pemerintah,
khususnya pemerintah daerah dalam rangka mengatur
dan mengurus rumah tangga daerahnya. Dalam bahasa
yuridisnya lebih tepat pengertian pemberdayaan itu
diartikan, memajukan atau meningkatkan”. Hal ini
sasaran penyelenggara-an pemerintahan itu pada
intinya untuk mencapai tujuan nasional, seperti
termuat di dalam alinea keempat pembukuan
(Preambule) UUD 1945 yaitu: “Untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa……” atas dasar itu pembinaan terhadap
pemerintah daerah dan pengawasan sebagai
penyelenggaraan pemerintahan harus diupayakan
untuk mewujudkan tercapainya penyelenggaraan
otonomi daerah. Pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah ini adalah salah
satu bentuk hubungan antara pemerintah dan
pemerintah daerah, dalam rangka untuk mewujudkan
tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
maka penulis merumuskan isu sentral dalam penelitian
ini adalah: “Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah
Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah
Daerah”. Berdasarkan isu sentral tersebut, yang
menjadi isu hukumnya yaitu: Hubungan pembinaan
dan pengawasan pemerintah terhadap pemerintah
daerah menurut undang-undang pemerintahan daerah.
Terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud
dengan “wewenang” dan bagaimana cara memperoleh
wewenang. Philipus M. Hadjon dalam tulisannya
berjudul Tentang Wewenang mengemukakan “Kalau
kita kaji istilah hukum kita secara cermat, ada sedikit
perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan
dengan istilah beveogdheid. Perbedaannya terlelak
dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda
beveogdheid digunakan baik dalam konsep hukum
publik maupun dalam konsep hukup privat. Dalam
hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang
seharusnya digunakan selalu dalam konsep hukum
publik.”
Dari pendapat di atas, wewenang dalam konsep
hukum publik dideskripsikan kekuasaan, wewenang
dalam arti yuridis adalah: “suatu kemampuan yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.”
Seterusnya Philipus M. Hadjon mengemukakan:
“Ruang lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya
meliputi wewenang untuk membuat keputusan
pemerintahan (besluit), tetapi juga semua wewenang
dalam rangka melaksanakan tugasnya.” Sedangkan
yang dimaksud dengan wewenang adalah “hak
seseorang pejabat untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik”.
Cara memperoleh wewenang ada beberapa cara
sebagaimana dikemukakan Philipus M. Hadjon,
Terdapat dua cara utama untuk memperoleh
wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi.
Kadang-kadang juga mandat, ditempatkan sebagai
cara tersendiri untuk memperoleh wewenang.
Dalam rangka menjelaskan pengertian
“pemerintahan” di bawah ini akan dikemukakan
beberapa pendapat para ilmuan atau para sarjana,
terutama S. Pamudji menerangkan sebagai berikut:
“Secara etimologis, pemerintahan berasal dari
perkataan Pemerintah, sedangkan Pemerintah berasal
dari perkataan perintah. Menurut kamus kata-kata
tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud
menyuruh melakukan sesuatu;
b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah
sesuatu negara (Daerah Negara) atau Badan
Tertinggi yang memerintah sesuatu negara
(seperti Kabinet merupakan suatu Pemerintah);
c. pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan
dan sebagainya) memerintah.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas
mengenai perkataan pemerintahan tersebut maka perlu
dilakukan pengkajian lebih lanjut. Dalam kepustakaan
Belanda dijumpai perkataan Bestuur (Regering) yang
berarti Pemerintah, sedangkan perkataan Bestier
diartikan pemerintahan.
A.Hamid S Attami, mengemukan pengertian
Pemerintah dan pemerintahan yaitu: “Kata
“Pemerintah” dalam Bahasa Indonesia berarti
“kekuasaan yang memerintah suatu negara atau daerah
negara’; atau “kekuasaan yang tertinggi dalam sesuatu
negara”; atau “badan tertinggi yang memerintah
sesuatu negara”. Dan “pemerintahan” berarti
“perbuatan, atau cara atau hal urusan memerintah”.
Sedangkan induk kata Pemerintah ialah “perintah”,
“perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan
sesuatu”.
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
menyatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang
Dasar. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (2) menyatakan:
“Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu
oleh satu orang Wakil Presiden, kemudian Pasal 17
ayat (1) menyatakan: Presiden dibantu oleh Menterimenteri Negara”; ayat (2) menyatakan: “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”.
Ayat (3) menyatakan: Setiap Menteri membidangi
urusan tertentu dalam pemerintahan”, selanjutnya
menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan
pemerintah dan pemerintah daerah, sebagaimana yang
dimuat dalam Pasal 1 ayat (a) menyatakan:
a. Pemerintah
Pusat,
selanjutnya
disebut
Pemerintah, adalah Perangkat Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden
beserta para Menteri.
274 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280
b.
Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta
perangkat daerah otonom yang lain sebagai
badan eksekutif daerah.
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya
disebut DPRD, adalah badan legislatif daerah.
d. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
pemerintahan daerah otonomi oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
Kemudian menurut Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang
dimaksud dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1
ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menyatakan:
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah
Pusat,
selanjutnya
disebut
Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah
dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
PEMBAHASAN
Pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah Menurut Undang-Undang Pemerintah
Daerah.
Pembinaan
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk
hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah,
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai landasan
hukumnya diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD
1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 belum
ada ketentuan-ketentuan pasalnya yang mengatur
tentang pembinaan pemerintah daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan
dengan hal itu, tidak perlu dibahas. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, hanya memuat satu Pasal yang
mengatur pembinaan, yaitu diatur dalam Pasal 112,
bunyi lengkap Pasal 112 menyatakan:
(1) “Dalam
rangka
pembinaan,
Pemerintah
memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah.
(2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan
atas penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Dari ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut di
atas, menentapkan yaitu: “Pemerintah Pusat
memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah
dalam rangka pembinaan”. Hal ini mengandung suatu
pengertian, tanggung jawab pembinaan pemerintah
daerah, tidak terlepas tanggung jawab Pemerintah
dalam rangka upaya pemberdayaan daerah otonom
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini
sejalan maksud memfasilitasi adalah upaya
pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian
pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan super visi
(penjelasan Pasal 112 ayat (1)). Azas yang terkandung
dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut,
mengandung azas dekonsentrasi. Setelah itu UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Instrumen hukum yang mengatur pembinaan
dan pengawasan ini diatur dengan peraturan
Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Untuk mewujudkan Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember Tahun
2005 menetapkan peraturan Pemerintah nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun
2005.
Konsep-konsep tentang pengertian pembinaan
tidak ada ditemui di dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. Para ilmuwan mendefinisikan
“pembinaan”, sebagaimana yang dikemukan oleh
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskoro adalah: “Yang
dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan
pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah
otonomi”. Dari konsep ini pembinaan merupakan
sarana dan upaya pemberdayaan daerah otonom.
Pembinaan
terhadap
penyelenggaraan
pemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk
hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah,
dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai landasan
hukumnya diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD
1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 belum
ada ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur
tentang Pembinaan Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan
dengan hal itu, tidak perlu dibahas. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, hanya memuat satu Pasal yang
mengatur pembinaan, yaitu diatur dalam Pasal 112,
bunyi lengkap Pasal 112 menyatakan:
(1) “Dalam
rangka
pembinaan,
Pemerintah
memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah.
(2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan
atas
penyelenggaraan
Otonomi
Daerah
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.
Dari ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut di
atas, menentapkan yaitu: “Pemerintah Pusat
memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah
dalam rangka pembinaan”. Hal ini mengandung suatu
pengertian, tanggung jawab pembinaan pemerintah
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 275
daerah, tidak terlepas tanggung jawab Pemerintah
dalam rangka upaya pemberdayaan daerah otonom
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini
sejalan maksud memfasilitasi adalah upaya
pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian
pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan super
Visi (penjelasan Pasal 112 ayat (1)). Azas yang
terkandung dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1)
tersebut, mengandung azas dekonsentrasi. Setelah itu
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti
dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Instrumen hukum yang mengatur pembinaan
dan pengawasan ini diatur dengan peraturan
Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah. Untuk mewujudkan Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember Tahun
2005 menetapkan peraturan Pemerintah nomor 79
Tahun 2005 tentang pedoman pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun
2005.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tersebut di atas,
dapat diketahui asas pembinaan penyelenggaraan
pemerintah daerah berdasarkan asas dekonsentrasi, hal
itu ditetapkan kedudukan Gubernur selaku wakil
Pemerintah didaerah, dan disamping itu menetapkan
pula Gubernur sebagai wakil Pemerintah didaerah,
bertugas untuk melakukan pembinaan dalam upaya
untuk
mewujudkan
tercapainya
tujuan
penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini dijelaskan
dalam penjelasan umum alenia keenam peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 menyatakan:
“pemerintahan daerah pada hakekatnya merupakan
sub sistem dari pemerintahan nasional dan secara
implisit pembinaan dan pengawasan terhadap
pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari
sistem penyelenggaraan pemerintahan”.
Bentuk-Bentuk Pembinaan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004,
memuat ketentuan-ketentuan pembinaan, dimuat
dalam Bab XII, yang berjudul: “Pembinaan dan
Pengawasan”. Khusus yang mengatur pembinaan
diatur dalam Pasal 217. Pasal 217 ayat (1)
menyatakan:
(1) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi:
a. Koordinasi pemerintahan antar susunan
pemerintahan;
b. Pemberian
pedoman
dan
standar
pelaksanaan urusan pemerintahan;
c. Pemberian bimbingan, supervisi dan
konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan;
d. Pendidikan dan pelatihan; dan
e.
Perencanaan, penelitian, pengembangan,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
urusan pemeritahan.
Dari ketentuan Pasal 217 tersebut di atas, ada
beberapa hal untuk dikaji, menimbulkan persoalan
hukum yang dalam pelaksanaan pembinaan itu, secara
teknis sulit dilaksanakan, yang berkaitan yaitu:
1. Ketentuan Pasal 217 ayat (1) tersebut,
menunjukkan suatu pengertian tanggung jawab
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi sebagaimana dicantum dalam ayat (1)
mulai dari huruf a sampai dengan huruf e di atas.
Kewenangan tersebut diletakan atau dipikulkan
kepada Pemerintah. Pemerintah yang dimaksud
sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
adalah Presiden sebagai Pemerintah. Lain halnya
dibandingkan dengan ketentuan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah terdiri dari
Presiden beserta para Menteri (Pasal 1 huruf a).
2. Ditemukan tidak sinkronnya antara ketentuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan
ketentuan peraturan Pemerintah Nomor 79
Tahun 2005 tentang: “Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan
Penyelenggaraan
Pemerintah
Daerah”. Menurut peraturan Pemerintah tersebut,
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah
daerah dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau
Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah,
sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 3
yang telah dikemukan pada lembaran dimuka,
sedangkan menurut ketentuan Pasal 217 ayat (1)
tersebut di atas dilakukan oleh Pemerintah yaitu
Pemerintah
berarti
mengandung
suatu
pengertian, pelaksanaan pembinaan atas
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah
disentralkan kepada Pemerintah yaitu Presiden.
Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 217
ayat (1) tersebut di atas, bentuk-bentuk pembinaan
yang harus dilakukan oleh Pemerintah terhadap
penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk
yaitu:
a. Koordinasi
pemerintahan antar
susunan
pemerintahan;
b. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan
urusan pemerintahan;
c. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi
pelaksanaan urusan pemerintahan;
d. Pendidikan dan pelatihan; dan
e. Perencanaan,
penelitian,
pengembangan,
pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan
pemeritahan.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005, tersebut di atas
dapat diketahui, “Pembinaan yang dilakukan oleh
Pemerintah itu, bertujuan dalam rangka terciptanya
suatu integrasi (penyatuan) dalam pelaksanaan
berbagai tugas pemerintahan yang dilaksanakan dalam
bentuk koordinasi antar susunan pemerintahan, dari
276 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280
tingkat pusat sampai ke tingkat daerah dan di samping
itu memberikan dalam bentuk, pedoman setandar
pelaksanaan urusan pemerintahan, serta bimbingan
dalam bentuk supervisi, konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan, pendidikan, pelatihan, perencanaan,
penelitian, pengembangan, pemantauan dan terakhir
evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Tugastugas pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah ini
dalam usaha melakukan pengawasan prepentif.
Sehingga perlu dilakukan pembinaan terlebih dahulu
terhadap pemerintahan daerah di daerah, agar dalam
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dapat berjalan
dengan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan
Undang-undang.
Pengawasan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999
Hubungan antara pemerintah dan pemerintah
daerah salah satu bentuknya ialah berwujud
pengawasan, hal ini dikemukan oleh Soehino yaitu:
“Hubungan antara pemerintah daerah dengan
pemerintah atau dengan pemerintah daerah tingkat
atasnya, merupakan hubungan pengawasan”, hal yang
sama juga dikemukakan The Liang Gie: “Salah satu
bentuk hubungan lain antara pusat dengan daerah ialah
berwujud pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah”
Dari pemikiran tersebut menggambarkan pada
intinya pengawasan itu adalah salah satu perwujutan
hubungan antara pemerintah dengan pemerintah
daerah dan pemerintah tingkat atasnya. Hal ini sejalan
pemikiran yang dikemukan Ninik Widiyanti dan
Sunindhia yaitu: Oleh karena harus ada keserasian
hubungan antara Pusat dan Daerah dan terjaganya
keutuhan Negara Kesatuan maka Pusat sebagai
penanggung jawab secara utuh tentang kehidupan
bernegara perlu mengadakan pengawasan terhadap
daerah-daerah. Harus pula dijaga agar otonomi ini
akhirnya tidak akan menimbulkan suatu daerah yang
bersifat “staat” juga.
Pengawasan oleh pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, akibat mutlak dari negara
kesatuan, hal ini dikemukan Ninik Widyanti dan
Sunindhia yaitu:
“Pengawasan terhadap segala
kegiatan pemerintah daerah termasuk Keputusan
Kepala Daerah dan Peraturan Daerah merupakan suatu
akibat mutlak dari adanya negara kesatuan”
Sistem pengawasan Peraturan Daerah menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Di dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang memuat
tentang pengawasan, dimuat dalam paragraf I yang
berjudul: “Pengawasan Preventif” dan pada paragraf II
diberi judul “Pengawasan Represif”.
1. Pengawasan Preventif dalam bentuk “Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah”. Sistem
pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah ditetapkan dalam
Pasal 69 ayat (1) menyatakan: “Peraturan
Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang
memerlukan pengesahan, dapat dijalankan
sesudah ada pengesahan pejabat yang
berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan
sejak diterimanya Peraturan Daerah dan atau
Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat yang
berwenang tidak mengambil sesuatu keputusan”.
Dari ketentuan Pasal 69 ayat (1) tersebut
di atas, menetapkan yaitu: pertama Peraturan
Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, sebelum
dijalankan atau diperlakukan, harus ada
pengesahan dahulu dari pejabat yang berwenang.
Kedua apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak
diterima Peraturan Daerah dan atau Keputusan
Kepala Daerah tersebut, pejabat tersebut belum
juga mengambil sesuatu keputusan. Pada intinya
belum dapat dijalankan, baik Peraturan Daerah
tingkat I dan Peraturan Daerah tingkat II, begitu
juga terhadap Keputusan Kepala Daerah Tingkat
I dan daerah tingkat II. Lembaga atau Institusi,
yang dilimpahkan wewenang melakukan
pengawasan sebagaimana dijelaskan dalam
penjelasan umum angka 6 yang berjudul:
“Pengawasan”, huruf b yang berjudul
pengawasan preventif, menjelaskan yaitu:
(1) Pengawasan Preventif mengandung prinsip
bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah mengenai pokok tertentu
baru berlaku sesudah ada pengesahan
pejabat yang berwenang, yaitu:
(a) Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Tingkat I;
(b) Gubernur Kepala Daerah bagi
Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah Tingkat II.
(2) Pada pokoknya Peraturan Daerah atau
Keputusan Kepala Daerah yang untuk
berlakunya memerlukan pengesahan adalah
yang:
(a) Menentapkan
ketentuan-ketentuan
yang mengikat rakyat, ketentuanketentuan yang mengandung perintah,
larangan, keharusan untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan
lain-lain yang ditujukan langsung
kepada rakyat;
(b) Mengadakan ancaman pidana berupa
denda atau kurungan atas pelanggaran
ketentuan tertentu yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah;
(c) Memberikan beban kepada rakyat,
misalnya pajak atau retribusi daerah;
(d) Menentukan segala sesuatu yang perlu
diketahui oleh umum, karena
menyangkut kepentingan rakyat,
misalnya: mengadakan utang-piutang,
menanggung pinjaman, mengadakan
perusahaan daerah, mengubah dan
menetapkan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, menetapkan
perhitungan Anggaran Pendapatan
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 277
dan Belanja Daerah, mengatur gaji
pegawai dan lain-lain.
Dari penjelasan umum angka 6, huruf b,
angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1974, tersebut di atas, menetapkan lembaga atau
instasi yang dilimpahkan untuk melakukan
pengawasan preventif terhadap Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah. dengan sistem
hirarki atau sistem bertikat susunan Pemerintah
yaitu Menteri Dalam Negeri melakukan
pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur
terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan
Kepala Daerah Tingkat II. Peraturan daerah dan
Keputusan Kepala Daerah yang mendapat
pengawasan terlebih dahulu dari institusi
tersebut, sebagaimana yang dimaksud pada
angka (2) dimulai huruf a sampai dengan huruf d
tersebut di atas.
Sistem Pengawasan Peraturan Daerah Menurut
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 hanya memuat satu sistem pengawasan
yaitu pengawasan represif dan tidak ada ditemui
pengawasan dalam bentuk preventif. Bentuk
pengawasan represif adalah “Pemerintah dapat
membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum
atau peraturan perundang-undangan lainnya”. (Pasal
114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999).
tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di dalam
peraturan Pemerintah tersebut di atas, pada bagian
kedua diberi judul: “Pengawasan Peraturan Daerah
dan Peraturan Kepala Daerah”. Pasal 37 ayat (1)
menyatakan: Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7
(tujuh) hari sejak ditetapkan.
Dari ketentuan Pasal 37 ayat (1) tersebut di
atas, menetapkan jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari sejak ditetapkan disampaikan kepada Pemerintah
baik yang berbentuk Peraturan Daerah maupun
peraturan kepala daerah. Berarti disini Pemerintah
melakukan pengawasan. Hal ini sebagaimana yang
dicantumkan dalam Pasal 37 ayat (2) nya,
menyatakan: “Pemerintah melakukan pengawasan
terhadap Peraturan Daerah dan peraturan kepala
daerah”. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri (Pasal
37 ayat (3) nya).
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum
dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden
berdasarkan usulan Menteri (Pasal 37 ayat (4)).
Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan
umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan
Peraturan Menteri/ Pasal 37 ayat (5).
PENUTUP
Sistem Pengawasan Peraturan Daerah Menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, diatur pengawasan terhadap Peraturan
Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, untuk itu bunyi
lengkap Pasal 218 tersebut dirumuskan yaitu:
(1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang
meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan
peraturan kepala daerah.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas
intern Pemerintah sesuai peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan Pasal 218 ayat (1) huruf b,
tersebut di atas menetapkan wujud pengawasan dalam
bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala
Daerah.
Pengawasan represif, sebagaimana yang
dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 yang telah dikemukan pada lembaran
terdahulu, pedoman yang berhubungan dengan
pengawasan, khususnya pengawasan terhadap
Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005
Merujuk permasalahan yang diteliti dan
dianalisis melalui pengkajian dalam bab-bab
sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya,
merupakan pemberdayaan institusi pemerintah daerah
dan lembaga-lembaga daerah, yang merupakan
interpensi pusat terhadap pemerintah daerah, hal ini
menunjukkan tidak ada kemandirian pemerintah
daerah, ini kembali pada prinsip sentralisasi.
Pengawasan, menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif
dan represif dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 hanya memuat sistem represif. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 memuat sistem pengawasan
preventif disebut evaluasi dan represif, terhadap
Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Pengawasan preventif, tidak berjalan dengan
efektif dan efisien. Pengawasan ini mengurangi
kemandirian daerah dan apabila Peraturan Daerah dan
peraturan kepala daerah bertentangan dengan
kepentingan umum, Undang-Undang yang lebih tinggi
tingkatnya dapat dibatalkan pengawasan represif.
278 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280
Saran
Mengenai pembinaan, merupakan intervensi
pusat kepada daerah sebagaimana diatur dalam PP
Nomor 79 Tahun 2005, PP tersebut harus dicabut.
DAFTAR PUSTAKA
Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan
Presiden
Republik
Indonesia
Dalam
Penyelenggaraan
pemerintahan
Negara,
Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia. Jakarta.
Baskara, Niti dan Tubagus Ronny Rahman. 2003.
Poladoksal dan Otonomi Daerah. Jakarta:
Peradaban.
Gie, The Liang. 1968. Pertumbuhan pemerintahan
Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta:
PT. Gunung Agung.
Hadjon, Philipus M. 1997. Tentang Wewenang, Yuridika,
Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Nomor 5 & 6 Tahun, September-Desember 1997.
Indroharto. 1991. Usaha-usaha Memahami Undangundang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Moeljosoedarmo, Soewoto. 1990. Kekuasaan dan
Tanggung Jawab Presiden RI (Suatu Penelitian
Segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung
Jawaban Kekuasaan Presiden). Disertasi,
Fakultas Pascasarjana UNAIR.
Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman. 2003. Paradoksal
Konflik dan Otonomi Daerah, Jakarta: Peradaban.
Pemudji, S. 1992. Kepemimpinan pemerintahan di
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79
Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165).
Philipus M. Hadjon. 1997. Tentang Wewenang. Yuridika,
Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Nomor 5 & 6 Tahun. September-Desember.
Puspa, Yan Pramadya. 1997. Kamus Hukum Edisi
Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris,
Semarang: Aneka Ilmu.
Soehino. 1980. Perkembangan Pemerintahan di Daerah.
Yogyakarta: Penerbit Liberty.
__________. 2002. Hukum Tata Negara Pemerintah
Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999, Yogyakarta: BPFE.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, TLN
Republik Indonesia Nomor 3839)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI
Tahun 2004 Nomor 125, TLN Republik
Indonesia Nomor 4437)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 38, TLN Republik Indonesia
Nomor 3037)
UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (19
Oktober 1999) jo. Keputusan MPR Republik
Indonesia Tanggal 19 Oktober 1999, Keputusan
MPR Republik Indonesia Tanggal 18 Agustus
2000, Keputusan MPR Republik Indonesia
Tanggal 9 November 2001 dan Keputusan MPR
Republik Indonesia Tanggal 11 Agustus 2002,
tentang Perubahan I, II, III dan IV UUD Negara
RI Tahun 1945.
UUD RI Tahun 1945 (Tanggal 18 Agustus 1945 sampai
Tanggal 27 Desember 1949), Berita Republik
Indonesia Tahun II/7.
Wasistiono, Sadu. 2003. Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. Bandung: Fokus Media.
Widiyanti, Ninik dan Y.W. Sunindhia. 1987. Kepala
Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: PT.
Bina Aksara.
Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 279
280 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280
BARANG PUBLIK DAN EKSTERNALITAS
PADA ERA OTONOMI DAERAH
PUBLIC GOODS AND THE ERA OF REGIONAL
AUTONOMY EXTERNALITIES
Kristian Widya Wicaksono
Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan
Jalan Ciumbuleuit No. 94, Bandung
E-mail: [email protected]
Diterima: 10 September 2012, Direvisi: 2 Desember 2012, Disetujui: 10 Desember 2012
Abstrak
Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri
urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya
tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia,
mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar,
mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market flliure) dalam hal ini menyediakan barang publik
(public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme
pasar.
Kata kunci: kegagalan pasar, barang publik, eksternalitas, desentralisasi, pajak dan kesejahteraan
masyarakat
Abstract
Decentralization opportunities for local governments to manage their domestic affairs independently from
the process of formulation, implementation and evaluation of development policies and programs to suit
the needs of local communities. In exercising its authority, the government is expected to manage
effectively and efficiently resources are available, such as the public address adverse externalities caused
by market activity, diagnosing and addressing market failure in this case provides public goods to meet
the needs of people who can not afford provided through market mechanisms.
Keywords: market failures, public goods, externalities, decentralization, tax and welfare
PENDAHULUAN
Semenjak tahun 2001 Bangsa Indonesia mulai
menghadapi era baru yakni desentralisasi melalui
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004. Era desentralisasi membuka peluang bagi
Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara
mandiri urusan domestiknya mulai dari proses
formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan
serta program pembangunan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan
kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu
mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber
yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti
dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat
aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani
kegagalan pasar (market failure) dalam hal ini
menyediakan barang publik (public goods) guna
memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu
disediakan melalui mekanisme pasar.
Hingga tahun 2008 ini pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia terus berkembang ke arah
yang cukup konstruktif meskipun masih terdapat
berbagai kendala di dalamnya seperti tarik-menarik
keuangan antara daerah dan pusat melalui penetapan
bagi hasil, penetapan pajak serta jenis retribusi. Secara
makro masyarakat dapat merasakan perubahan yang
cukup signifikan bila dibandingkan pada masa orde
baru dimana pengelolaan pembangunan masih sangat
bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat. Saat
ini, desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah
untuk merespon setiap perkembangan yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat. Apalagi dorongan
demokratisasi menyebabkan masyarakat secara leluasa
dapat memilih kepala daerahnya sendiri sesuai dengan
aspirasinya. Hal ini semakin membuka peluang yang
lebih luas bagi masyarakat untuk menuntut kepada
pemerintah beserta aparaturnya untuk berperilaku
kondusif terhadap permintaan publik.
Sebagaimana
yang
telah
disinggung
sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi di
Indonesia membawa dampak bagi daerah untuk
menyediakan barang publik dan mengatasi implikasi
buruk dari eksternalitas yang ditimbulkan oleh
aktivitas pasar. Sebelum lebih jauh mengupas
mengenai kedua hal tersebut, maka terlebih dahulu
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 281
kita perlu menelaah lebih dalam konsepsi barang
publik dan eksternalitas sehingga membantu kita
dalam memahami fenomena empirisnya pada
pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Memahami Barang Publik dan Eksternalitas
Salah satu penjelasan yang cukup awal
mengenai barang publik dikemukakan oleh Paul A.
Samuelson dalam tulisannya yang berjudul The Pure
Theory of Public Expenditure pada Review of
Economic and Statistic (1954). Dalam tulisannya
tersebut, Samuelson menyatakan bahwa ...(goods)
which all enjoy in common in the sense that each
individual's consumption of such a good leads to no
subtractions from any other individual's consumption
of that good...
Secara sederhana penjelasan Samuleson
tersebut mencoba menguraikan bahwa karakterisitik
utama barang publik adalah barang tersebut dapat
dibagikan. Artinya, barang publik merupakan barang
yang tersedia untuk semua orang dan bersifat noneksklusif. Dengan kata lain tidak ada persaingan yang
terjadi diantara aktor-aktor yang mencoba untuk
mengakses barang publik tersebut. Lebih jauh dalam
tulisannya tersebut diuraikan bahwa barang publik
dibayar atau disediakan melaui hasil pungutan pajak
dan pinjaman yang dilakukan pemerintah. Selain itu
harganya bisa dinyatakan dalam tingkat pajak
(taxation) yang diperlukan untuk membiayai produksi
barang-barang tersebut. Sedangkan barang privat
dibayar melalui sistem harga yang berlaku di pasar.
Sebuah barang publik mungkin saja merupakan
barang yang sesuai dengan jenis-jenis kriteria yang
ditetapkan oleh Samuelson tadi, tetapi mungkin pula
barang publik yang tersedia bagi semua orang tersebut
tergantung pada kriteria yang ditetapkan dalam suatu
kebijakan
misalnya
manfaat
yang
dapat
didistribusikan kepada kelompok atau tipe individu
tertentu saja (beneficiary group). Hal inilah yang
kemudian mempertegas pembedaan antara konsep
Public Goods dengan Publicly Provided Good.
Dukungan penjelasan mengenai pembedaan kedua
konsep tersebut dikemukakan oleh Musgrave dalam
bukunya yang berjudul The Theory of Public Finance
(1959). Musgrave menyatakan bahwa apa yang
dinamakan “barang-barang yang bermanfaat” bisa jadi
sebagian tidak masuk kategori barang publik karena
barang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau
standar non-eksklusf.
Studi lainnya mencoba untuk mengangkat
penjelasan mengenai siklus barang Publik. Studi ini
dilakukan oleh Frey dalam bukunya Modern Political
Economy (1978). Dalam karyanya tersebut Frey
mengatakan bahwa terdapat sebuah siklus dalam
permintaan barang publik. Oleh karenanya, sektor
publik atau privat akan berubah pada kurun waktu
tertentu untuk merespon interaksi dari para pemilih
(voters), pemerintah, civil servant, dan produsen.
Siklus tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
Secara makro dapat dikemukakan bahwa
barang publik (public goods) adalah barang atau jasa
yang tersedia untuk semua orang. Pola penjelasan
seperti ini memang cukup mudah untuk dipahami,
hanya saja tidak cukup membantu manakala kita
diminta untuk menjelaskan secara detail bagaimana
karakteristik barang publik itu sesungguhnya serta apa
yang membedakannya dari barang privat.
Pendekatan ekonomi memberikan kita
penjelasan yang lebih memadai mengenai barang
publik. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa
barang publik memiliki dua karakteristik utama yakni
nonrivalry dan nonexcludability (Buchanan, 1967).
Konsepsi nonrivalry lebih mudah dipahami
dalam konteks ketika suatu barang sedang dinikmati
atau dikonsumsi. Artinya, nonrivalry mengekspresikan bahwa sebuah barang dapat dikonsumsi secara
bersamaan (waktu dan tempat yang sama) oleh
beberapa pihak tanpa mengurangi atau menghilangkan
jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi bagi pihak
lainnya (Cowen, 1992). Misalnya, saat kita sedang
menikmati udara segar di sore hari maka di saat yang
bersamaan orang lain yang berada di sekitar kita yang
dapat turut merasakan udara segar tersebut tanpa harus
saling berebutan atau saling menghilangkan hak antara
yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa udara segar merupakan barang
BERTAMBAHNYA DISEKUILIBRIUM
Ketidakpuasan terhadap supply
barang-barang publik-privat
SUPPLY BARANG
Campuran barang-barang baru
ARTIKULASI PERMINTAAN
Permintaan distribusi yang baru
REAKSI TERHADAP PERMINTAAN
Pemerintah bereaksi terhadap permintaan
Sumber: diadaptasi dari Frey (1976: 116-21)
282 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286
publik murni.
Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat
menangkap bahwa secara tersirat nonrivalry merujuk
pada ketiadaan kompetisi (noncompetition) dalam
mengonsumsi suatu barang dan jasa.
Dimensi lainnya yang menjadi karakteritik
utama dari barang publik adalah nonexcludability.
Hampir mirip dengan nonrivalry, konsepsi ini juga
harus dilihat dalam konteks konsumsinya (Cowen dan
Crampton, 2003). Artinya, tidak ada batasan atau
pelarangan untuk membatasi orang lain dalam
mengonsumsi suatu barang dan jasa meskipun mereka
tidak membayar sesuatu apapun dalam mengonsumsi
barang tersebut. Dengan kata lain, tidak ada satu pun
pihak yang dapat melarang seseorang untuk
menghirup udara segar dengan alasan orang tersebut
tidak membayar sejumlah uang untuk dapat turut
merasakan udara segar tersebut mengalir di saluran
pernafasannya.
Berangkat dari penjelasan tersebut dapat
dipahami bahwa tidak ada pengecualian atau
diskriminaisi terhadap pihak manapun dalam
mengonsumsi barang publik. Artinya, setiap warga
negara diberikan kesempatan yang sama dalam
mengakses barang publik.
Sedangkan Eksternalitas atau yang lazim
disebut sebagai spillover effects terjadi pada saat
tindakan seseorang memberikan efek kepada orang
lain dan biaya serta keuntungan yang dimunculkannya tidak dapat direfleksikan dalam harga pasar
(Ulbrich: 2003). Dalam pernyataan yang lebih
sederhana dapat dikemukakan bahwa eksternalitas
merupakan beban biaya atau keuntungan yang
ditanggung oleh pihak ketiga yakni pihak yang berada
di luar transaksi. Beban biaya yang menjadi
tanggungan pihak ketiga tersebut tidak dapat
diklaimkan kepada pembuat efek atau pihak ketiga
juga tidak dapat dibebani suatu tagihan atas manfaat
atau keuntungan yang mereka peroleh atas spill over
effect tersebut.
Berbeda dengan konsep-konsep sebelumnya,
konsep eksternalitas tidak saja dilihat pada proses
konsumsinya melainkan juga dapat ditinjau pada
proses produksinya. Misalnya eksternalitas berupa
polusi udara yang ditimbulkan oleh suatu pabrik
karena kebutuhan pembaran dalam proses produksi
suatu barang. Polusi udara tersebut kemudian
menyebabkan menurunnya kualitas udara yang
dihirup oleh masyarakat di sekitar wilayah pabrik
tersebut sehingga mereka terkena gangguan kesehatan
pernafasan. Beban ini tentunya akan sulit apabila
diklaimkan secara langsung kepada pemilik pabrik,
maka dari itu, pemerintah bisa menerbitkan perangkat
kebijakan yang mengatur mengenai beban tarif bagi
pabrik yang mengeluarkan asap dan mencemari udara
selanjutnya beban tarif retribusi tersebut digunakan
untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi
masyarakat. Namun, dalam perkembangannya saat ini
pelaku pasar seperti pemilik pabrik memiliki semacam
obligasi untuk melakukan semacam kegiatan karitatif
bagi masyarakat melalui sebuah program yang
dinamakan Corporate Social Responsibilities (CSR).
Permasalahan Pemda dalam Penyediaan Barang
Publik dan Eksternalitas
Pada era desentralisasi tuntutan untuk
menyediakan barang publik yang lebih berkualitas
semakin membuncah pada level pemerintah daerah.
Secara mendasar melalui desentralisasi, maka
penyediaan barang publik dapat mengikuti Perencanan
yang spesifik menggunakan informasi yang detail dan
mutakhir dan hanya tersedia secara lokal. Oleh
karenanya, secara ideal barang publik yang disediakan
oleh pemerintah daerah sedianya memang menjawab
kebutuhan masyarakat. Namun di tingkat praksis hal
ini belum dapat teruwjud sebab seringkali terjadi
inkonsistensi kebijakan pengadaan barang publik di
tingkat pemerintah lokal yang dinilai bertentangan
dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Kasus pengadaan
alat berat di Provinsi Jawa Barat yang ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan publik guna peningkatan
kualitas layanan pembangunan dan pemeliharaan
infrastuktur justru berujung pada penahanan Danny
Setiawan selaku Mantan Gubernur Jawa Barat oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi. Landasan yang
digunakan dalam penahanan mantan Gubernur Jawa
Barat tersebut adalah inkonsistensi kebijakan antara
Perda tentang APBD 2004 dengan Keppres 80 Tahun
2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang dan Jasa.
Di sisi lain, permasalahan ruang otonomi bagi
daerah untuk membentuk perencanaan bagi pengadaan
barang publik secara lokal juga dapat memicu
ketidakadilan regional. Misalnya layanan pendidikan
dan kesehatan gratis di beberapa daerah di Tanah Air
dapat memicu perpindahan penduduk dari suatu
daerah yang tidak mampu menyelenggarakan layanan
tersebut ke daerah yang mampu menyediakan layanan
dasar tadi. Oleh karenanya, proses penyediaan barang
publik juga perlu memperhatikan aspek keadilan bagi
daerah lainnya, buka saja bertumpu pada kemampuan
daerah itu sendiri. Pada posisi inilah peran Pemerintah
Pusat melalui Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus menjadi penting bagi terwujudnya keadilan di
seluruh daerah di Tanah Air.
Dalam alam desentralisasi juga terbuka
masalah lainnya yakni mengenai pengelolaan asset
daerah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama
bahwa asset daerah merupakan segala kekayaan yang
pengadaannya menggunakan anggaran publik
(sehingga layak disebut sebagai barang publik) namun
pemanfaatannya dapat sepenuhnya digunakan oleh
publik tanpa harus bersaing (non-rivalry) dan ada
pengecualian (non-excludability) tetapi juga untuk
barang tertentu mungkin hanya dapat dimanfaatkan
untuk kalangan tertentu saja sebagai akibat jabatan
atau pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
Karena pengadaan barang tersebut menggunakan
anggaran publik dimana pajak dan pinjaman menjadi
bagiannya maka asset pemerintah memiliki sistem
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 283
standar nilai tukar tertentu meskipun asset tersebut
berfungsi untuk pelayanan dan dapat diakses berbagai
pihak.
Saat ini kita dapat melihat betapa manajemen
asset daerah kita masih bermasalah. Ada dua masalah
utama yang perlu untuk mendapat perhatian secara
khusus, pertama dari segi pemeliharaan dan kedua dari
segi pembangunan, penguatan serta peningkatan
sistem informasi asset daerah.
Masalah pertama adalah pemeliharaan asset
daerah. secara jernih kita terlebih dahulu mencoba
untuk menyisihkan terlebih dahulu aspek-aspek yang
berkaiatan dengan pengadaan asset tersebut sebab akar
masalahnya justeru terletak pada pemeliharaan bukan
pada pengadaan. Asumsi ini mejadi semakin
menemukan jati kebenarannya manakala pola
penggunaan asset daerah dianggap sebagai barang
habis-pakai semata atau bahkan yang lebih kronis kita
menyatakannya sebagai tidak adanya rasa memiliki
aparatur
terhadap
asset
daerah
sehingga
penggunaannya menjurus pada arah serampangan. Hal
ini diakibatkan pemikiran bahwa suatu saat mereka
(pejabat pemerintah) akan meninggalkan jabatannya,
maka tidak perlu ada obligasi moral untuk menjaga
dan memelihara asset tersebut. Meskipun demikian,
dari segi pengadaan pun nampak bahwa seringkali
asset disediakan tanpa perencanaan yang jelas sebab
pertumbuhan dan penyusutan asset daerah tidak
dikalkulasikan secara matang sehingga masalahmasalah yang kompleks justru muncul di belakang
hari dan semakin membebani anggaran pemerintah
daerah.
Dalam konteks kekinian maka kita dapat
melihatnya dalam bentuk praktek ketidakseriusan
dalam memutakhirkan asset-asset tertentu yang terus
berubah sesuai dengan konteks kekinian atau
perubahan zaman misalnya teknologi infomasi.
Padahal organisasi pemerintah seharusnya reponsif
terhadap perkembangan situasi sebagaimana dimensi
administrasi publik yang menuntut operasionalisasi
yang efektif dan efesien. Pemerintah harus menjadi
agen yang akomodatif terhadap konteks kekinian
tersebut tanpa harus terjebak dalam penghamburan
dana dalam anggaran publik tetapi tampil taktis dan
strategis. Operasionalisasi konsep ini hanya akan
terwujud dalam pemerintahan yang digerakkan oleh
misi bukan sekedar prosedural. Maka pengembangan
organisasi kemudian menjadi tuntutan, dimana budaya
yang dibangun tidak lagi mengacu pada paradigma
organisasi tipe abad pertengahan seperti esselonisasi
struktural tetapi membangun agen-agen fungsional
sehingga birokrasi pemerintah menjadi kaya fungsi
bukan kaya struktur. Hal inilah yang akan menjadi
jawaban untuk konteks masyarakat berubah
sebagaimana yang diuraikan oleh Max Weber sebagai
pembentuk masyarakat rasional atas dorongan
konsekuensi industrialisasi sehingga menuntut
lahirnya birokrasi.
Masalah kedua yang harus dipecahkan adalah
sistem informasi asset, artinya di luar konteks
pemeliharaan perlu dilakukan pengawasan terhadap
asset dengan sistem pemuktahiran pencatatan yang
akurat mengenai perkembangan nilai asset serta
penggunaannya, misalnya dengan menggunakan
analisis time series untuk menilai efektivitas
penggunaan asset. Selain itu sistem pengawasan dapat
didekati dari paradigma penjaluran penggunaan asset
artinya apabila terdapat aktivitas yang sekiranya dapat
menimbulkan
kerugian
sebagai
inkonsistensi
pemanfaatan
asset
maka
perlu
dilakukan
pengembalian pada jalur yang semestinya. Untuk
mengoperasionalisasikan
penyelesaian
masalah
tersebut maka perlu dibangun obligasi moral dimana
pengawas asset bertindak independen dan tidak
bermalas-malasan untuk melakukan pemuktahiran
data asset. Saat ini yang mendesak untuk dilakukan
pemerintah adalah membuang jauh-jauh rasa malas
tersebut dan dengan serius melakukan pendataan
ulang terhadap asset yang ada termasuk menyelidiki
secara tuntas asal-usul asset tersebut sehingga tidak
mengundang kontroversi seperti yang terjadi dengan
dinas peternakan di Jalan Ir. H. Djuanda (Dago),
Gedung Sate di Jalan Diponegoro atau kasus
kepemilikan tanah SMA Negeri 22 Bandung.
Sehingga pertanggungjawaban kepemilikan dan
pemenfaatan secara efektif asset-asset tersebut dapat
diselenggarakan sebagai bentuk obligasi moral
pemerintah yang telah menggunakan anggaran publik
dalam pengadaannya.
Aspek lainnya perlu dibahas dalam hal
penyelenggaraan otonomi daerah adalah upaya-upaya
pemerintah dalam penanganan dampak buruk
eksternalitas. Dampak buruk eksternalitas akibat
aktivitas pasar seringkali muncul di tengah-tengah
masyarakat adalah pembuangan limbah pabrik yang
mencemari lingkungan. Masalah ini dahulu diatasi
oleh pemerintah pusat, namun seiring dilaksanakannya
kebijakan desentralisasi maka Pemerintah Daerah
diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap aktivitas pembuangan limbah
tersebut. Salah satu permasalahan yang bisa dicermati
dari pelimpahan kewenangan seperti ini adalah
bagaimana aparatur pemerintah daerah kemudian
meingkatkan
kapabilitasnya
sehingga
proses
pengawasan
dan
pengendalian
pencemaran
lingkungan melalui buangan limbah pabrik dapat
berjalan dengan efektif dan efesien. Sebab, seringkali
proses pelimpahan kewenangan seperti ini tidak
diikuti dengan transfer of knowledge akibatnya
dampak buruk eksternalitas tidak tertangani dengan
baik sehingga masyarakat menjadi dirugikan. Kasus
seperti ini bisa diamati di Kawasan Kabupaten
Bandung, memburuknya kualitas air dan degradasi
lahan pada Sungai Citarum hingga saat ini justeru
menunjukkan
perkembangan
yang
semakin
memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Bandung dan
Pemerintah Jawa Barat mengalami kesulitan untuk
melakukan pemulihan pada Daerah Aliran Sungai
Citarum. Salah satu program yang telah dilaksanakan
dan saat ini masih berjalan adalah Rehabilitasi Hutan
284 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286
dan Lahan melalui SK Gubernur No 915.2/KEP.40DAL-PROG/2002 Tentang Citarum Bergeutar, akan
tetapi hasilnya masih kurang optimal sebab apalikasi
teknologi pengawasan dan pengendalian atas limbah
buangan pabrik masih lemah sehingga tingkat
pencemaran air masih tinggi. Akibatnya masyarakat
dirugikan karena minimnya pasokan air bersih. Belum
lagi bila musim penghujan mulai tiba dan air sungai
meluap berbagai penyakit mulai mendera masyarakat
karena luapan air citarum membanjiri pemukiman
penduduk.
Kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh aktivitas usaha pertambangan juga terjadi di
beberapa daerah di Indonesia diantaranya PT. Freeport
Indonesia di Papua dan penambangan emas PT.
Newmont Minahasa Raya di perairan Buyat, Sulawesi
utara. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia sepanjang tahun 1995 hingga 2000 PT
Freeport telah menghasilkan 420 juta ton sampah
industri yang 95 persennya dibuang ke Lembah
Wanangon di wilayah Grasberg, Papua. Berdasarkan
laporan tersebut maka Walhi menyimpulkan bahwa
PT. Freeport berkontribusi terhadap kerusakan
lingkungan pada sungai-sungai di wilayah Papua
terutama danau Wanangon. Sempat pula terjadi
kebocoran pada tempat penampungan sampah insdutri
milik PT. Freeport di Danau Wanangon. Banjir
sampah pun terjadi sehingga mengakibatkan empat
orang pekerja Freeport hilang. Selain banjir sampah,
kebocoran ini juga menyebakakn banjir hingga radius
16 kilometer. Banjir paling parah melanda Desa Banti.
Hal yang sama terjadi PT. Newmont dimana
kebocoran saluran penambangan menyebabkan
pencemaran terhadap air di sekitar kawasan
penambangan. Hal ini kemudian berimbas terhadap
kualitas kesehatan masyarakat karena mereka
menfaatkan air tersebut untuk keperluan sehari-hari.
Sayangnya upaya untuk mengani dampak eksternalitas
seperti ini masih kurang optimal. Kedua kasus di atas
pernah dibawa ke pengadilan namun putusan hakim
atas perkara ini tidak begitu memuaskan bahkan
sanksi yang diberikan pun cenderung abstrak.
Misalnya untuk kasus Freeport mereka hanya diminta
untuk memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti
yang dianjurkan Bapedal. Padahal berdasarkan data
Jaringan Advokasi Tambang dinyatakan bahwa
operasi pertambangan menyumbang 10 persen
kerusakan hutan di Indonesia, tentunya sanksi yang
diterapkan tidaklah sebanding dengan kerusakan yang
ada. Belum lagi bila dibandingkan dengan profit yang
diperoleh PT. Freeport. Hal ini mengindikasikan
bahwa proses penanganan dampak buruk eksternalitas
di daerah kurang mendapat porsi yang baik sehingga
untuk berbicara ke arah yang lebih jauh seperti
penerapan kompensasi bagi pihak-pihak yang
dirugikan pun masih sangat prematur untuk dibahas
secara mendetail.
PENUTUP
Berangkat dari uraian yang disampaikan dalam
makalah ini, maka yang penyediaan barang publik
hendaknya memperhatikan hal- hal, seperti pertama,
penyediaan barang publik hendaknya disedikan atas
permintaan publik guna mengatasi masalah yang
ditimbulkan akibat aktivitas pasar atau yang dikenal
dengan istilah kegagalan pasar (market failure).
Kedua, ada konteks pelaksanaan desentralisasi,
Pemerintah Daerah diharapkan mampu meningkatkan
kapabilitasnya dalam hal membaca situasi masalah
publik yang disebabkan kegagalan pasar khususnya
eksteralitas negatif yang sering kali membebani
masyarakat. Peningkatan kapailitas ini dimungkinkan
melalui upaya pro-aktif pemerintah untuk mengatasi
dampak buruk eksternalitas yang dirasakan oleh
masyarakat.
Ketiga, upaya untuk mengatasi dampak buruk
eksternalitas oleh Pemerintah Daerah hendaknya tidak
hanya bertumpu pada penerbitan regulasi melainkan
pula ketepatan pemerintah dalam merancang agar
pihak ketiga yang dirugikan dapat memperoleh
kompensasi yang tepat. Permasalahannya pemberian
kompensasi yang tepat ini bergantung pada
pengetahuan serta informasi yang dimiliki oleh
pemerintah atas penyebab dan akibat yang
ditimbulkan dari kegagalan pasar. Di sisi lain, perlu
dilakukan upaya pemberdayaan agar masyarakat juga
menyuarakan keluhan mereka atas dampak buruk
eksternalitas yang mereka alami seperti pada kasus
Freeport di Papua atau PT Newmont di Minahasa.
Berdasarkan tingkat kerugian tersebut pemerintah
dapat mengenakan Pigovian Tax yakni pajak yang
dipungut untuk mengoreksi eksteranlitas negatif yang
disebabkan oleh aktivitas pasar.
Pada akhirnya public goods hendaknya juga
mengutamakan kualitas sehingga memberikan
kepuasan kepada masyarakat di daerah
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, James M. 1967. “Public Goods in Theory and
Practice: A Note on the Minasian-Samuelson
Discussion.” Journal of Law and Economics 10:
193–197.
Cowen, Tyler. (1992. Public Goods and Market Failures.
New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers
Cowen, Tyler, and Eric Crampton. 2003. Market Failure
or Success: The New Debate. Cheltenham, U.K.:
Edward Elgar.
Frey, B.S. 1978. Modern Political Economy. Oxford:
Martin Robertson.
Musgrave, R. A. 1959. The Theory of Public Finance.
New York: McGraw-Hill.
Samuelson, P.A. 1954. “The Pure Theory of Public
Expenditure.” Riview of Economic and Statistic.
37:35-46.
Ulbrich, Holley H. 2003. Public Finance: In Theory And
Practice. Ohio: Thomson South Western.
Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 285
286 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286
INDEKS PENULIS (AUTHORS INDEX)
A
Alamsyah, M. N.
B
Bachrein, S.
D
Daeli, S. P.
G
Ginting, Y.
Gunawan
H
Harefa, H. Y.
Harsono
Haryati, D.
Haryotejo, B.
Hernoko, S.
I
Ilyas, H.
Irtanto
K
Kartika, R. S.
M
Muslimin, B. P.
Nadeak, H.
Narutomo, T.
Q
Qodir, Z.
R
Radianto A. S. P., I
S
Saksono, H.
Sinambela, T.
Sofianto, A.
Subarna, T.
Suharto, D. G.
Suharyanto
T
Tambunan, T. T. H.
11 [4,1]
227 [4,4]
57 [4,1]; 105 [4,2]; 161 [4,3]
105 [4,2]
35 [4,1]; 117 [4,2]
207 [4,3]
237 [4,4]
135 [4,2]
1 [4,1]
169 [4,3]
273 [4,4]
127 [4,2]; 261 [4,4]
179 [4,3]
161 [4,3]
45 [4,1]
29 [4,1]; 189 [4,3]
217 [4,4]
67 [4,1]
93 [4,2]
207 [4,3]
251 [4,4]
243 [4,4]
153 [4,3]
251 [4,4]
73 [4,2]
W
Wahyudi, H.
Wicaksono, K. W.
Z
Zarmaili
127 [4,2]
21 [4,1]; 281 [4,4]; 147 [4,2]
201 [4,3]
INDEKS KATA KUNCI
A
ADD
Administrasi publik
Agama
Alternatif pemecahan
Analisis SWOT
B
Balanced scorecard
Barang publik
Birokrasi
BPP Kemendagri
D
DAS Cikapundung
Daya saing daerah
Dekonsentrasi
Desa
Desentralisasi
E
Efektivitas
Ekonomi kreatif
Eksternalitas
179, 180, 181, 182, 183,
184, 185, 186, 187 [4,3]
149, 150, 153 [4,2]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225, 226
[4,4]
227, 228, 230, 231 [4,4]
48, 54 [4,1]
189, 190, 191, 192, 193,
194, 195, 196, 197, 198,
199 [4,3]
281, 282, 283, 285 [4,4]
149, 150, 151, 152, 153
[4,2]
189, 194, 195, 196, 197,
198 [4,3]
227, 228, 229, 230, 231,
232, 233, 234, 235 227,
228, 229, 230, 231, 232
[4,4]
95, 96, 100, 104, 105
[4,2]
46, 47, 48, 49, 50, 52,
54, 55 [4,1]
153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160 [4,3]
251, 252, 253, 254, 255,
256, 257 [4,4]
11, 12, 13, 15, 16, 17,
18, 19, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27 [4,1]
153, 154, 155, 157, 158,
159, 160 [4,3]
201, 202, 203, 204, 206
[4,3]
281, 282, 283, 284, 285
[4,4]
261, 262, 265, 369, 370,
271, 272 [4,4]
95, 96, 97, 98, 100, 101,
102, 103, 104, 105 [4,2]
Etnisitas
Evaluasi
F
Fungsi
G
Gagasan
Globalisasi
I
Iklim investasi
Implementasi
Implementasi kebijakan
Indikator
Inovasi
Internasionalisasi
Involusi politik
K
Kapasitas
Kebijakan
Kebijakan publik
Kegagalan pasar
Kemandirian
Kemiskinan
Kepemimpinan
Kerjasama antardaerah
Kesejahteraan
Kesejaheraan
masyarakat
281, 282, 283, 284, 285
[4,4]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225 [4,4]
45, 46, 47, 50, 51, 52, 55
[4,1]
169 [4,3]
153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160 [4,3]
161, 167 [4,3]
11, 12, 13, 14, 15, 17, 18
[4,1]
1, 2, 3, 7, 8 [4,1]
149, 150, 152, 153 [4,2]
129, 130, 131, 136, 135
[4,2]
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 [4,1]
251, 152, 254, 255, 256,
257, 258, 29, 260 [4,4]
11 [4,1]
217, 225 [4,4]
107, 108, 109, 110,
111,114,115, 116 [4,2]
11, 12, 13, 16, 17, 19
[4,1]
149 [4,2]
281, 285 [4,4]
153, 154, 156, 157, 158,
159, 160 [4,3]
75, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 87, 88, 89, 92
[4,2]
243, 244, 245, 246, 247,
248, 249 [4,4]
161, 166 [4,3]
129, 130, 135 [4,2]
243, 244, 245, 246, 247,
248, 249 [4,4]
281 [4,4]
Ketentraman dan
ketertiban
Keterbukaan
Kinerja
Kinerja aparatur
Kompetensi aparatur
pemerintah daerah
Korupsi
Kualitas pelayanan
L
Likuiditas
M
Manajemen
Mata air
Model
Motivasi kerja
O
Organisasi
P
Pajak
Pangsa output
Panwaslu
Partisipasi masyarakat
PDAM
Pelayanan administrasi
Pelayanan publik
Pembangunan desa
Pembangunan terpadu
Pembinaan
Pemekaran
Pemerintah
Pemerintah daerah
Pemerintah pusat
Pemilu
119 [4,2]
201, 206 [4,3]
21, 22, 27 [4,1]
67, 68, 69, 71, 72 [4,1]
21 [4,1]
Pengawasan
Pengeluaran non-pangan
Pengembangan
Penguatan
201, 202, 204, 205, 206
[4,3]
261, 262, 263, 264, 267,
268, 269 [4,4]
169, 171, 172, 173, 176
[4,3]
29, 31, 33 [4,1]
129, 130, 131, 132, 133,
134, 135, 136 [4,2]
251, 252, 257, 259 [4,4]
207, 208, 209, 210, 212,
213, 214 [4,3]
29, 30, 31, 32, 33 [4,1]
281, 282, 284, 285 [4,4]
75, 78, 82 [4,2]
137, 138, 141, 142, 143,
144, 145, 146, 147, 148
[4,2]
179, 180, 181, 182, 183,
184, 185, 186, 187 [4,3]
169, 170, 171, 172, 173,
174, 176, 177 [4,3]
261, 262, 263, 264 [4,4]
21, 22, 24, 25 [4,1]
179, 180, 181, 183, 184,
187 [4,3]
251, 157, 159 [4,4]
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225 [4,4]
189, 190, 191, 192, 193,
194, 195, 196, 197, 198,
199 [4,3]
207, 208, 209, 210, 212,
213, 214 [4,3]
58, 60, 61, 62, 63, 64, 65
[4,1]
179, 182, 184, 186 [4,3]
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
273, 274, 275, 277 [4,4]
161, 163, 165, 166, 167
[4,3]
Penilaian kinerja
Penyelenggaraan
pelayanan
Peran
Peraturan
Peraturan daerah
Perkumpulan
Permasalahan
PNS
Politik
PPNS
Prasarana
Produktivitas
Produktivitas pegawai
Profil
R
Rencana kegiatan
Rentabilitas
S
Sarana
Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP)
Sistem manajemen
Solvabilitas
Strategi
Struktur
Sumber daya manusia
T
Talenta baru
Tanggung jawab
Tugas dan fungsi
Tugas pembantuan
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
243 [4,4]
107, 108, 109, 110, 111,
112, 114, 115 [4,2]
137, 138, 140, 141, 142,
145, 146, 147, 148 [4,2]
189, 191, 192, 199 [4,3]
67, 68 [4,1]
137, 138, 139, 143, 145,
147 [4,2]
1, 2, 3, 4, 5, 6 [4,1]
21, 26 [4,1]
59 [4,1]
227, 230, 231, 233 227,
228, 229, 230, 231, 232
[4,4]
207, 209, 210 [4,3]
161, 163, 164, 165, 166,
167 [4,3]
119, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, 127, 128
[4,2]
237, 238, 239, 240 [4,4]
78, 79, 82, 92 [4,2]
237, 238, 239, 240, 241
[4,4]
207 [4,3]
35, 36, 41 [4,1]
227, 228 [4,4]
169, 171, 172, 174, 175,
176 [4,3]
237, 238, 239 [4,4]
35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42 [4,1]
119, 120,121, 123, 124,
125, 126, 127, 128 [4,2]
261, 262, 270 [4,4]
169, 171, 172, 173, 176
[4,3]
243, 248 [4,4]
153, 154, 156, 157, 158,
159, 160 [4,3]
29, 30, 31, 32 [4,1]
107, 109 [4,2]
95, 96, 100, 104 [4,2]
201, 202, 206 [4,3]
35, 36, 41 [4,1]
45, 46, 47, 48, 50, 52,
54, 55 [4,1]
U
UKM
UMK
W
Wewenang
237, 238, 239, 240 [4,4]
75, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93
[4,2]
201, 202, 203, 205, 206
[4,3]
KEYWORDS INDEX
A
Action plan
ADD
Administration service
Alternative solution
Assistance task
Authority
Autonomy
B
Balanced scorecard
BPP Kemendagri
Bureaucracy
C
Capacity
Cikapundung basin
Community
Competence of local
government officials
Corruption
Couching
Creative economy
D
Decentralization
Deconcentration
227, 228 [4,4]
179, 180, 181, 182, 183,
184, 185, 186, 187 [4,3]
261, 262, 263, 264 [4,4]
227, 228, 230, 231 [4,4]
45, 46, 47, 48, 50, 52,
54, 55 [4,1]
201, 202, 203, 205, 206
[4,3]
153, 154, 156, 157, 158,
159, 160 [4,3]
Development
E
Effectivifness
Election
Employee productivity
Ethnicity
Evaluation
189, 190, 191, 192, 193,
194, 195, 196, 197, 198,
199 [4,3]
189, 194, 195, 196, 197,
198 [4,3]
149, 150, 151, 152, 153
[4,2]
Expansion
Externalities
F
Function
107, 108, 109, 110,
111,114,115, 116 [4,2]
227, 228, 229, 230, 231,
232, 233, 234, 235 227,
228, 229, 230, 231, 232
[4,4]
59 [4,1]
21 [4,1]
201, 202, 204, 205, 206
[4,3]
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
95, 96, 97, 98, 100, 101,
102, 103, 104, 105 [4,2]
11, 12, 13, 15, 16, 17,
18, 19, 21, 22, 23, 24,
25, 26, 27 [4,1]
153, 154, 155, 157, 158,
159, 160 [4,3]
201, 202, 203, 204, 206
[4,3]
281, 282, 283, 284, 285
[4,4]
G
Globalization
Government
H
Human resources
I
Idea
Implementation
Implementation of policy
Indicator
Infrastructure
Innovation
Integrated development
Internationalization
46, 47, 48, 49, 50, 52,
54, 55 [4,1]
107, 108, 109, 110, 111,
112, 114, 115 [4,2]
261, 262, 265, 369, 370,
271, 272 [4,4]
161, 163, 165, 166, 167
[4,3]
207 [4,3]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225 [4,4]
45, 46, 47, 50, 51, 52, 55
[4,1]
169 [4,3]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225 [4,4]
281, 282, 283, 284, 285
[4,4]
153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160 [4,3]
11, 12, 13, 14, 15, 17, 18
[4,1]
189, 190, 191, 192, 193,
194, 195, 196, 197, 198,
199 [4,3]
207, 208, 209, 210, 212,
213, 214 [4,3]
29, 30, 31, 32 [4,1]
107, 109 [4,2]
161, 167 [4,3]
149, 150, 152, 153 [4,2]
129, 130, 131, 136, 135
[4,2]
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 [4,1]
237, 238, 239, 240 [4,4]
251, 152, 254, 255, 256,
257, 258, 29, 260 [4,4]
251, 157, 159 [4,4]
11 [4,1]
Interregional
cooperation
L
Leadership
Liquidity
129, 130, 135 [4,2]
Public Administration
Public goods
Public participation
Public policy
Public service
Public welfare
Local regulations
161, 166 [4,3]
169, 171, 172, 173, 176
[4,3]
58, 60, 61, 62, 63, 64, 65
[4,1]
179, 182, 184, 186 [4,3]
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
21, 26 [4,1]
M
Management
Management system
Market failure
Model
29, 31, 33 [4,1]
261, 262, 270 [4,4]
281, 285 [4,4]
251, 252, 257, 259 [4,4]
Rentabilitas
Local government
N
New talent
Non food expenditure
O
Openness
Organization
P
Panwaslu
PDAM
Peace and order
Performance
Performance apparatus
Performance assessment
PNS
Policy
Politic
Politic involution
Poverty
PPNS
Problem
Productivity
Profile
Provision service
95, 96, 100, 104 [4,2]
243 [4,4]
201, 206 [4,3]
29, 30, 31, 32, 33 [4,1]
R
Regional
competitiveness
Regulation
Religion
Responsibility
Role
S
Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP)
95, 96, 100, 104, 105
[4,2]
1, 2, 3, 4, 5, 6 [4,1]
217, 218, 219, 220, 221,
222, 223, 224, 225, 226
[4,4]
169, 171, 172, 174, 175,
176 [4,3]
201, 202, 206 [4,3]
137, 138, 139, 143, 145,
147 [4,2]
SWOT analysis
35, 36, 37, 38, 39, 40,
41, 42 [4,1]
119, 120,121, 123, 124,
125, 126, 127, 128 [4,2]
261, 262, 263, 264, 267,
268, 269 [4,4]
75, 76, 77, 78, 79, 80,
81, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93
[4,2]
237, 238, 239, 240 [4,4]
169, 171, 172, 173, 176
[4,3]
129, 130, 131, 132, 133,
134, 135, 136 [4,2]
243, 248 [4,4]
137, 138, 140, 141, 142,
145, 146, 147, 148 [4,2]
153, 154, 156, 157, 158,
159, 160 [4,3]
273, 274, 275, 276, 277,
278, 279 [4,4]
48, 54 [4,1]
T
Tasks and function
Tax
The central government
The investment climate
The share of output
Tools
35, 36, 41 [4,1]
281, 282, 284, 285 [4,4]
273, 274, 275, 277 [4,4]
1, 2, 3, 7, 8 [4,1]
75, 78, 82 [4,2]
237, 238, 239 [4,4]
Service quality
SMEs
137, 138, 141, 142, 143,
144, 145, 146, 147, 148
[4,2]
169, 170, 171, 172, 173,
174, 176, 177 [4,3]
119 [4,2]
21, 22, 27 [4,1]
67, 68, 69, 71, 72 [4,1]
189, 191, 192, 199 [4,3]
207, 209, 210 [4,3]
11, 12, 13, 16, 17, 19
[4,1]
161, 163, 164, 165, 166,
167 [4,3]
217, 225 [4,4]
75, 77, 78, 79, 80, 81,
82, 83, 87, 88, 89, 92
[4,2]
243, 244, 245, 246, 247,
248, 249 [4,4]
119, 120, 121, 122, 123,
124, 125, 126, 127, 128
[4,2]
227, 230, 231, 233 227,
228, 229, 230, 231, 232
[4,4]
78, 79, 82, 92 [4,2]
237, 238, 239, 240, 241
[4,4]
35, 36, 41 [4,1]
67, 68 [4,1]
149, 150, 153 [4,2]
281, 282, 283, 285 [4,4]
179, 180, 181, 182, 183,
184, 185, 186, 187 [4,3]
149 [4,2]
21, 22, 24, 25 [4,1]
281 [4,4]
Solvability
Sping
Strategy
Strengthening
Structure
Supervision
V
Village
153, 154, 155, 156, 157,
158, 159, 160 [4,3]
251, 252, 253, 254, 255,
256, 257 [4,4]
Village development
W
Welfare
Work motivation
179, 180, 181, 183, 184,
187 [4,3]
243, 244, 245, 246, 247,
248, 249 [4,4]
207, 208, 209, 210, 212,
213, 214 [4,3]
Biodata Penulis
Husein Ilyas
Lahir pada 7 September 1954 di Pendukun. Saat ini
menjabat sebagai rektor Universitas Muaro Bungo
dengan jabatan Lektor Kepala. Menyelesaikan
program S1 di Fakultas Hukum Universitas Negeri
Jambi pada tahun 1985, program pascasarjana (S2)
program studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara pada 2001, dan program pascasarjana (S3) di
Universitas Airlangga program studi Ilmu Hukum
Bidang Kajian Hukum Tata Negara pada 2007.
Zuly Qodir
Zuly Qodir, merampungkan doktor bidang Sosiologi
Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun
2006. Saat ini menjadi dosen di Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta dan Dosen Program Magister Ilmu
Pemerintahan
Universitas
Muhammadiyah
Yogyakarta. Juga dosen pada Program Magister
Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Minat utama adalah kajian
desentralisasi politik dan sosiologi politik serta
etnisitas. Selain juga berminat dalam kajian konflik
sosial keagamaan dan partai politik Islam.
Melakukan riset tentang : (1) Konflik Pemekaran
Maluku Utara tahun 2010-2012, (2) Konflik sosial di
Ambon provinsi Maluku tahun 2011, (3) Radikalisasi
Islam di Surakarta 2011; (4) Islam kampus di
Yogyakarta dalam Perubahan Politik Nasional
(2010). Menulis buku : (1) Gerakan Sosial Islam,
2010; (2) Sosiologi Agama, 2011; (3) Sosiologi
Politik Islam di Indonesia, 2012.
Kristian Widya Wicaksono
Lahir di Bandung, pada 22 Maret 1980. Bekerja
sebagai dosen PNS pangkat Penata Muda Golongan
III/a,
dengan
Jabatan
Akademik
Lektor.
Menyelesaikan studi program sarjana Ilmu Sosial,
Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Khatolik
Parahyangan pada tahun 2004. Kemudian
menyelesaikan program Magister Ilmu Sosial,
Konsentrasi Kebijakan dan Administrasi Publik pada
Program
Pascasarjana
Universitas
Katolik
Parahyangan Bandung pada tahun 2009.
Saeful Bachrein
Lahir di Kadipaten, 28 Juli 1952. Lulus Sarjana (S1)
dari Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 1978.
Lulus S2 dan S3 dari University of Florida,
Gainesville, Florida, USA, masing-masing tahun
1986 dan 1992. Saat ini bekerja sebagai Peneliti
Utama pada Bappeda Provinsi Jawa Barat, Bandung.
Harsono
Lahir 2 Oktober 1959 di Klaten, Jawa Tengah.
Bekerja di Bappeda Bidang Penelitian dan
Pengembangan dari 1989 sampai tahun 1999. Tahun
2000 sampai sekarang sebagai fungsional peneliti,
peneliti madya bidang Pemerintahan dan Politik.
Pengalaman: Peneliti Pilkada 2005; Penelitian
Gender; Penelitian Jasa lingkungan; Penelitian Wajar
9 Tahun; Penelitian Transportasi antarmoda. Sebagai
anggota dewan redaksi Jurnal Badan Penelitian dan
Pengembangan Provinsi Jawa Tengah.
Trisna Subarna
Lahir di Sumedang tanggal 12 November 1953.
Pendidikan terakhir S2 Magister Manajemen di
Universitas Winaya Mukti, Bandung. Peneliti madya
di Bappeda Provinsi Jawa Barat. Menjadi peneliti
sejak tahun 1990 sampai dengan sekarang.
Suharyanto
Lahir di Yogyakarta pada 9 November 1962. Saat ini
bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan
Provinsi Jawa Tengah sebagai Pejabat Fungsional
Peneliti merangkap sebagai Kasubbag Program.
Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas
Diponegoro, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Pemerintahan pada 1988, dan pendidikan S2
di Universitas Islam Indonesia, program studi
Hukum Tata Negara pada 2005.
Arif Sofianto
Lahir di Banyumas pada 4 September 1981. Saat ini
bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan
Provinsi Jawa Tengah sebagai Pejabat Fungsional
Peneliti. Menyelesaikan pendidikan S1 di
Universitas Gajah Mada, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Pemerintahan pada 2004,
dan menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas
Diponegoro program studi Magister Ilmu Politik
pada 2011.
Irtanto
Lahir di Blitar, Jawa Timur pada 3 Agustus 1960.
Menyelesaikan Program Pasca Sarjana (S2) Jurusan
Ilmu Administrasi Negara di Universitas Wijaya
Putra pada tahun 2010 . Saat ini bekerja di Badan
Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur
sebagai Peneliti Madya (IV/c) Bidang Politik dan
Pemerintahan Indonesia.
Pedoman Penulisan
1.
Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam
negeri/pemerintahan daerah.
2.
Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri.
http://www.bpp.depdagri.go.id/....
3.
Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar.
4.
Sistematika Penulisan
Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara
berikut:
(1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama
(2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center
(3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri
 Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan
alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250
kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata
kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan
tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya
memuat sumber-sumber yang dirujuk).
JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”)
Penulis 11 dan Penulis 22
1
Nama instansi/lembaga Penulis 1
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
2
Nama instansi/lembaga Penulis 2
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
(jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja)
E-mail penulis 1 dan 2:
Abstract: Abstract in english (max. 150 words)
Keywords: 4 – 5 words/ phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata)
Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa
PENDAHULUAN
(berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam
paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab)
METODE PENELITIAN
Subbab
…
HASIL DAN PEMBAHASAN
(Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis)
Subbab
…
SIMPULAN
(Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian)
DAFTAR PUSTAKA
 Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar
akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam
bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan
(tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan
utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat
sumber-sumber yang dirujuk).
JUDUL
Penulis
Nama instansi/lembaga Penulis
Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis
E-mail penulis
Abstract: Abstract in English (max. 150 words)
Keywords: 4 – 5 words/ phrase
Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata)
Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
5.
Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan
subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman
dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka).
6.
Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode
dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian.
7.
a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya:
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh
positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan
manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai
perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel
moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan?
b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada
antarkata/kalimat tanpa bullet.
8.
Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman
sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor
urut.
a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar
diletakkan di bawah gambar.
b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar.
c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel
sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan.
d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif.
e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi.
Contoh Penyajian Tabel:
Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk
No.
Bentuk Mobilitas
Ulang-alik (commuting)
1.
Mondok di daerah tujuan
2.
Menetap di daerah tujuan
3.
Sumber: Ida Bagoes, 2000
Batas Wilayah
Dukuh
Dukuh
Dukuh
Batas Waktu
6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama
Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan
6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan
Contoh Penyajian Gambar:
Sumber: Bank Indonesia, 2009
Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah).
9.
Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi
nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan
baris tersebut. Contoh:
wt = f (yt, kt , wt-1)
10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh:
dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1
adalah tingkat upah periode sebelumnya
11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun.
Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan
dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang
aslinya.
Contoh:
 Buiter (2007:459) berpendapat bahwa...
 Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya...
 Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa...
 Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009)
 Maya (2009) berpendapat bahwa...
12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar
pustaka. Contoh:
Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan:
Buiter (2007:459) berpendapat bahwa...
Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka:
Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal.
112(127):459
13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10
tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan
untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya.
14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama
awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat
penerbitan. (5) nama penerbit.
Contoh cara penulisan:
a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama
penerbit.
Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya
lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang
pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing)
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley &
Son.
Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit
Muhammadiyah University Press
b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan.
Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit.
Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25).
Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press.
c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul
tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa
penulis, nama koran ditulis diawal
Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the
World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association.
Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi
Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol.4,.Agustus: 46-48
Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian
Jakarta. hlm.4.
Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4.
d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan.
Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/
akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009.
15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia:
a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia:
http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/
b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/
c. Pedoman
Umum
Ejaan
Bahasa
Indonesia
yang
Disempurnakan
(EYD):
http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf
Pengiriman Artikel
1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email [email protected] atau dalam media cd.
2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya
ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail
penulis.
3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak
cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya.
4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak
akan dikembalikan.
Alamat Jurnal Bina Praja:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Dalam Negeri
Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420
Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451
e-mail: [email protected]
Download