ISSN : 2085-4323 VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara Zuly Qodir JURNAL BINA PRAJA | Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah Saeful Bachrein Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang. Harsono Vol. 4 No. 4, Desember 2012: 217 - 286 Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non-Pangan Penduduk Jawa Barat Trisna Subarna Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah Suharyanto & Arif Sofianto Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar Irtanto Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah Husin Ilyas Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah Kristian Widya Wicaksono BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI JAKARTA ISSN : 2085-4323 9 772085 432335 Percetakan: PT. Rudo Maiestas Tata Anggota IKAPI No.: 214/JBA/2012 J. Bina Praja Vol. 4 No. 4 Hal. 217 - 286 Jakarta, Desember 2012 TERAKREDITASI B NOMOR: 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 ISSN 2085-4323 Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 ISSN: 2085-4323 TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Jurnal Bina Praja memuat pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan, atau tinjauan kepustakaan bidang pemerintahan dalam negeri yang terbit empat kali dalam setahun setiap bulan Maret, Juni, September, dan Desember Susunan Redaksi Pelindung: Pembina: Penanggung Jawab: Pemimpin Redaksi: Anggota: Mitra Bestari: Menteri Dalam Negeri Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendagri Ir. Sunaryo, MURP., Ph.D. (Perencanaan Kota, Kemendagri) Subiyono, SH., M.Sc., Ph.D. (Kebijakan Kependudukan, Pemberdayaan Masyarakat, Kemendagri) Dr. Herie Saksono (Manajemen & Bisnis, Kemendagri) Dr. Sorni Paskah Daeli (Manajemen SDM, Kemendagri) Dr. Prabawa Eka Susanta, S.Sos., M.Si. (Pembangunan Berkelanjutan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Ekonomi Pembangunan, Kemendagri) Dr. Drs. Muh. Marwan, M.Si. DR. Ir. Suhatmansyah I. S. M.Si. (Ilmu Pemerintahan, Kemendagri) (Ilmu Manajemen Sumberdaya Manusia Aparatur, Kemendagri) Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH., MH. (Hukum, Kemendagri) Prof. Muchlis Hamdi, MA., Ph.D. (Administrasi Publik, IPDN) Dr. Syarif Hidayat (Otonomi Daerah, LIPI) Dr. Alberto D. Hanani (Ekonomi dan Keuangan, Universitas Indonesia) Ir. Untoro Sardjito, MM. (Manajemen Lingkungan, SDM, & Pemerintahan, Kemendagri) Bashori Imron, M.Si (Ilmu Komunikasi dan Media, LIPI) Drs. Sahat Marulitua, MA. (Kebijakan Publik, Kemendagri) Pemimpin Redaksi Pelaksana: Drs. Sahat Marulitua, MA. Anggota: Dra. Dwi Laksito Rini, M.Si. Moh. Ilham A. Hamudy, M.Soc.Sc. Imam Radianto Anwar, MM. Eka Novian Gunawan, S.I.Kom. Syailendra Prahaswara Administrasi: Dra. Yuniar Prastuti, MA.; Dra. Nina Indah Harlina; Halasan Sitorus, SH.; Yuddy Kuswanto, S.Sos.; Dida Suhada Iskandar, S.IP.; Diah Laksita R. P., SKM.; Bagio Eko Cahyono; Eko Mardiyono. Keuangan: Nurchaeni, A.Md.; Eny Setyaningsih, A.Md.; Anisah Fadilah, SE. Sirkulasi dan Distribusi: Dra. Heriani Husainy; Emilia, SE.; Rasno; Pasco Mawando. Artistik dan Multimedia: Tya Arnesta; Meilya Rosi. Alamat Redaksi: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Jakarta Pusat. Telepon: +62 21 310 1953 - 55, Fax. +62 21 392 4451 E-mail: [email protected] Website: www.bpp.depdagri.go.id Redaksi menerima karya ilmiah atau artikel penelitian, kajian, gagasan di bidang pemerintahan dalam negeri. Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mengubah makna substansi tulisan. Isi Jurnal Bina Praja dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 ISSN: 2085-4323 TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Pengantar Redaksi Menata Kelitbangan: Refleksi 2011 & Resolusi 2013 Salam sejahtera, Pembaca yang budiman, F ungsi pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah selama ini mengalami pasang surut dari waktu ke waktu. Padahal, fungsi tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 217 dan Pasal 218. Sebagai pelaksanaan undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang menegaskan esensi dari pembinaan dan pengawasan berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah dan kebijakan daerah. Dalam hal ini, pembinaan terkait dengan pemberian fasilitasi berupa petunjuk, pedoman, arahan dalam penyusunan perda, sedangkan pengawasan berkaitan dengan pertentangan perda dengan peraturan yang lebih tinggi dan kepentingan umum serta peraturan lainnya. Munculnya berbagai permasalahan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, memunculkan dugaan bahwa pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah masih kurang efektif. Melihat situasi demikian, salah satu penulis merasa perlu untuk melakukan pendalaman kembali terhadap efektivitas tugas pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mempertimbangkan berbagai aspek, guna menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengambil langkah-langkah pembinaan dan pengawasan secara lebih komprehensif guna menghindari munculnya permasalahan di daerah. Selain tulisan tersebut, tujuh penulis lainnya justru menyoroti aspek lainnya di daerah. Zuly Qodir menunjuk secara gamblang pemekaran daerah sangat berpotensi menciptakan konflik antar etnis dan agama. Kristian Widya Wicaksono secara halus mengkritik mengenai penggunaan barang publik dan eksternalitas di era otonomi daerah. Adapun Saeful Bachrein menekankan pentingnya pengembangan daerah aliran sungai (DAS) di suatu wilayah, terutama terkait dengan kerjasama antar daerah. Sedangkan Harsono menguraikan tentang peran penting fasilitasi sarana dan prasarana terhadap produktivitas kerja UKM. Di sisi lain, Trisna Subarna menganalisis faktor-faktor penyebab kemiskinan dan pengeluaran non pangan penduduk. Dua tulisan lainnya yang tidak kalah penting dan masih terkait dengan pembangunan daerah, yakni bahasan lugas dan tajam terhadap model pembangunan desa terpadu yang inovatif oleh Suharyanto bersama Arif Sofianto, dan tuntutan terhadap efektivitas sistem manajemen mutu ISO 9001:2008 guna meningkatkan kualitas pelayanan administrasi kependudukan. Mengingat isu-isu tersebut bervariasi, namun bermuara kepada satu titik, yaitu “bagaimana para penulis berkontribusi sumbang saran untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah”. Oleh karena itu, pada edisi kali ini, Redaksi tidak menentukan topik khusus, tetapi berharap berbagai informasi yang terangkum dalam edisi ini dapat membantu pembaca dalam memahami percepatan pembangunan di daerah. Edisi terakhir tahun 2012 Jurnal Bina Praja disusun dengan sebuah semangat memenuhi kepentingan yang beragam. Dalam satu tahun penerbitan setelah terakreditasi, Redaksi mendapatkan banyak masukan mengenai arah, isi, dan penampilan jurnal. Dengan semangat memenuhi harapan tersebut, Redaksi berupaya menampilkan artikel-artikel dari berbagai perspektif. Sebagai konsekuensinya, pembaca dapat melihat begitu variatifnya cara penulisan artikel dalam jurnal ini, sesuai dengan latar belakang penulisnya. Pada akhirnya, Redaksi mengapresiasi setiap naskah dan kontribusi pemikiran yang digulirkan oleh peneliti/perekayasa maupun para pemangku kepentingan lainnya. Redaksi mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang telah disampaikan. Semoga Jurnal Bina Praja dapat menjadi wadah bertukar pikir untuk kemajuan bangsa. Selamat membaca. Salam Redaksi. i ii Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 ISSN: 2085-4323 TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Daftar Isi Pengantar Redaksi Daftar Isi i iii Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara Zuly Qodir 217 - 226 Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah Saeful Bachrein 227 - 236 Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang. Harsono 237 - 242 Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non-Pangan Penduduk Jawa Barat Trisna Subarna 243 - 250 Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah Suharyanto & Arif Sofianto 251 - 260 Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar Irtanto 261 - 272 Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah Husin Ilyas 273 - 280 Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah Kristian Widya Wicaksono 281 - 286 iii Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 ISSN: 2085-4323 TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 Lembar abstrak ini boleh diperbanyak/di-copy tanpa izin dan biaya DDC: 320.8 Zuly Qodir Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, Desember 2012, Hal. 217 - 226 Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan pertarungan politik lokal berbasiskan perspektif politik etnis dan agama sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz. Dengan demikian pembahasan pada tulisan ini berkisar pada terjadinya pertarungan, perebutan, klaim dan reproduksi identitas etnis dan agama dalam dinamika politik lokal sebagai bagian dari apa yang saya sebut sebagai involusi pemekaran. Kajian ini hendak menjawab pertanyaan dan menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan permasalahan pemekaran yang terjadi di Ternate, Maluku Utara, sebagai sebuah daerah pemekaran. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana pengaruh etnisitas dalam konflik pemekaran, bagaimana peran elit-elit agama dan elit politik dalam konflik pemekaran yang telah terjadi selama sebelas tahun, sejak tahun 2001-2012. Untuk menjawab pertanyaan diatas, kajian ini mendasarkan pada wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, politisi, akademisi, dan birokrat di Daerah Maluku Utara. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualititif eksplanatif, sehingga tergambar kaitan antar faktor dalam konflik pemekaran. Kata kunci: Involusi politik, pemekaran, etnisitas, dan agama DDC: 551.48 Saeful Bachrein Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 227 - 236 Diagnostik Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung telah dilaksanakan pada tanggal 1-15 November 2011 melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi; (2) Mengidentifikasi masalah dan alternatif pemecahannya; dan (3) Merumuskan rencana kegiatan sesuai hasil PRA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung, meskipun kondisi saat sangat memprihatinkan sebagai akibat pencemaran yang relatif berat. Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi telah disepakati bahwa kegiatan dan alternatif teknologi yang akan dikembangkan, berturut-turut sesuai dengan prioritasnya adalah: (1) Penegakan hukum; (2) Penerapan teknologi pengolahan sampah dan limbah pertanian/peternakan untuk energi alternatif dan kompos; (3) Penerapan mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah (bak dan pengangkutannya); (5) Pemberdayaan kelompok masyarakat; (6) Penguatan pelayanan penyuluhan dan informasi; (7) Penerapan teknologi sapi perah ramah lingkungan; (8) Penghijauan; (9) Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga; (10) Fasilitasi kemitraan antara masyarakat dengan Lembaga Penelitian dan swasta; (11) Pengembangan septic tank; dan (12) Revitalisasi pemukiman. Kata kunci: DAS Cikapundung, permasalahan, alternatif pemecahan, dan rencana kegiatan. DDC: 354 Harsono Fasilitasi Peranan Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal.237 - 242 Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana keadaan kualitas prasarana. Seberapa besar tingkat pengaruh antara variabel independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat) dengan variabel dependen produktivitas kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang kualitas sarana dan prasarana UKM dan tingkat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Manfaat yang diharapkan adalah hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan pengambilan kebijakan. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Magelang. Metode penelitian yang digunakan populasi sebanyak 240 KUB dan ukuran sampel yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang. Untuk menentukan sampel tersebut digunakan simple random sampling. Analisis data dengan model statistik inferensial. Hasil yang didapat, karena F hitung > F tabel ( 16,078 >2,87 maka Ho ditolak, H altf. diterima artinya ada pengaruh secara signifikan antara promosi, pelatihan dan bantuan alat secara bersama-sama terhadap produktivitas kerja. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Kata kunci: sarana, prasarana, produktivitas, UKM. DDC: 363.8 Trisna Subarna Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, Desember 2012, Hal. 243 - 250 Kata kunci: desa, pembangunan terpadu, inovasi Masyarakat maju akan cenderung memiliki pengeluaran non-makanan yang lebih tinggi daripada pengeluaran untuk makanan, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan strategi penanggulangan masyarakat miskin di Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan: (1) Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada di bawah tingkat kemiskinan nasional yaitu 11,27% sedangkan tingkat kemiskinan Nasional 13,33%. (2) Dibanding dengan Provinsi lain yang penduduknya tertinggi di Indonesia (Jawa Timur dan Jawa Tengah)persentase penduduk miskin di Jawa Barat lebih rendah, (3) Penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 13,55%, tahun 2010 sebesar 11,27% atau dalam waktu 3 tahun terjadi penurunan penduduk miskin sebesar 2,27% atau berkurang sebanyak 687.000 orang. (4) Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 sebesar Rp 561.837, dengan porsi penggunaan untuk makanan 51,77%, dan non-makanan 48,23%, kondisi ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Implikasi dari hasil analisi ini adalah; (1) Penanggulangan kemiskinan difokuskan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif, (2) Perlu pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan, sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. DDC: 352.3 Irtanto Kata kunci: kemiskinan, pengeluaran non-pangan, strategi, kesejahteraan. DDC: 307.7 Suharyanto & Arif Sofianto Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar Jurnal Bina Praja Vol 4. No. 4, Desember 2012, Hal. 261 - 272 Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, yang bertujuan (1) mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008 terhadap kualitas pelayanan kependudukan; (2)mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis mengenai efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar mengenai layanan administrasi kependudukan meliputi bukti langsung, kehandalan, daya tanggap aparat pelayanan, jaminan, dan empati diperoleh nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan kriteria baik, tingkat pencapaian rata-rata sebesar 79,99% dengan kriteria pencapaian efektif. Faktor yang mempengaruhi tidak efektivitasnya pelayanan disebabkan oleh karena faktor tangibel dan kenyaman pelayanan masih kurang; kehandalan petugas pelayanan yang masih kurang; akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan perlu diperhatikan; dan masih kurangnya empati aparat, tingkat ketrampilan dan kedislipinan aparat dalam memberikan pelayanan yang masih perlu ditingkatkan, adanya biaya tambahan di luar ketentuan untuk mendapatkan pelayanan, petugas dalam memberikan pelayanan masih ada yang kurang ramah. Kata kunci: efektivitas, kualitas pelayanan Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 251 - 260 Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Membangun model pembangunan desa yang berjalan secara terpadu dan inovatif, 2). Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi 3). Mendeskipsikan peran masing-masing pihak dalam mewujudkan pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian dilakukan di 3 desa yang memiliki keunggulan dalam pembangunan, yaitu: 1). Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak, 2). Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali, dan 3). Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif . Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1). Model pembangunan desa terpadu inovatif merupakan proses yang mengutamakan sinkronisasi antarsektor dan antarpelaku serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang sebagai tekniknya. 2). Prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah: teridentifikasinya potensi sumberdaya dan arah pembangunan serta menumbuhkan inovasi sebagai teknik pembangunan. 3). Peranan yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa adalah a). Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten harus konsisten dan terarah dalam merumuskan arah kebijakan, b). Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi dan menentukan arah kebijakan, c). Masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan, d). Akademisi memberikan masukan iptek dan pendampingan dan e).Pelaku usaha melakukan investasi dan kerjasama. DDC: 320.8 Husin Ilyas Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal. 273 - 280 Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya, merupakan pemberdayaan institusi Pemerintah Daerah dan lembagalembaga daerah, yang merupakan interpensi pusat terhadap Pemerintah Daerah, hal ini menunjukkan tidak ada kemandirian Pemerintah Daerah, ini kembali pada prinsip sentralisasi. Pengawasan, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif dan represif dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memuat sistem represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat sistem pengawasan preventif disebut evaluasi dan represif, terhadap Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pengawasan preventif, tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Pengawasan ini mengurangi kemandirian daerah dan apabila Peraturan Daerah dan peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatnya dapat dibatalkan pengawasan represif. Kata kunci: pembinaan, pengawasan, pemerintah pusat, pemerintah daerah. DDC: 352.14 Kristian Widya Wicaksono Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah Jurnal Bina Praja Vol. 4 No.4, Desember 2012, Hal 281 - 286 Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market flliure) dalam hal ini menyediakan barang publik (public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme pasar. Kata kunci: kegagalan pasar, barang publik, eksternalitas, desentralisasi, pajak dan kesejahteraan masyarakat Jurnal Bina Praja JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BIDANG PEMERINTAHAN DALAM NEGERI VOL. 4 NO. 4 DESEMBER 2012 ISSN: 2085-4323 TERAKREDITASI B NO. 330/AKRED-LIPI/P2MBI/04/2011 The abstract sheet may reproduced/copied without permission or charge DDC: 320.8 Zuly Qodir Involution Politics Proliferation, Ethnicity, And Religion: Case Challenges Reforms North Maluku Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 217 - 226 This study aims to provide an explanation based on local political battles ethnic and religious politics perspective as expressed Clifford Geertz. Thus, the discussion in this paper revolves around the fight, the struggle, claims and reproduction of ethnic identity and religion in the dynamics of local politics as part of what I refer to as involution division. This study is going to answer questions and clarify issues relating to the problems of expansion that occurred in Ternate, North Maluku, as an area of expansion. The question being answered is how the expansion of ethnicity in conflict, the role of religious elites and political elites in conflict expansion that has occurred over the last eleven years, since 2001-2012. To answer these questions, the study was based on in-depth interviews community leaders, religious leaders, women activists, politicians, academics, and bureaucrats in the regions of North Maluku. The data obtained were analyzed using analysis kualititif explanative thus illustrated the link between the expansion factor in the conflict. Keywords: political involution, expansion, ethnicity, and religion DDC: 551.48 Saeful Bachrein Cikapundung River Basin (Das) Development: Diagnostic Area Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 227 - 236 Diagnostic area of Cikapundung river basin was conducted in November 1-15, 2012 by using Participatory Rural Appraisal (PRA) approach. The objective of the study were: (1) to characterize biophysic and social economy conditions; (2) to identify the problem and solving alternatives, and (3) to formulate activity plans based on PRA's results. Research results indicated that Cikapundung river basin was consider as a river which having function of main drainage of the Bandung city, eventhough its condition was miserable due to heavily contamination. Based on the result of identification and characterization, it were agree that the activity and alternative technology to be developed included: (1) Law enforcement; (2) Technology i m p l e m e n t a t i o n o f g a r b a g e p ro c e s s i n g a n d agriculture/animal waste for alternative energy and compos; (3) Mycrohydro implementation; (4) Garbage processing facilities; (5) community group empowerment; (6) Improving extention and information services; (7) Implementation of environment friendly of cow technology; (8) Forestation; (9) Garbage processing training; (10) Facilitating of partnership between Research Institution and private sectors; and (11) Septic tanc development; and (12) Revitalization of reseltment. Keywords: Cikapundung river basin, problem, problem solving, and activity plan. DDC: 354 Harsono The Effects Of Facilities And Infrastructures Toward The Productivity Of Smes' Work In Magelang City Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 237 - 242 Issues raised is how the quality of infrastructure. What degree of influence of the independent variables (promotion, training and equipment) with the dependent variable labor productivity. The purpose of this study was to determine the picture quality of the facilities and infrastructure of SMEs and the level of influence between the independent variables with the dependent variable. The expected benefits are the results of this study may be material to enter policy making. The research location in Magelang. The method used a population of 240 KUB and the sample size used as respondents in this study of 40 people. To determine the sample used simple random sampling. Analysis of the data with a model of inferential statistics. The results, as F count> F table (16.078> 2.87 then the Ho is rejected, H altf. Acceptable means there is significant influence between promotion, training and support tools together to work productivity. Development of Human Resources (HR ) Improving the quality of human resources through various means such as education and training, seminars and workshops, on the job training, apprenticeships, and cooperative effort. Keywords: facility, infrastucture, productivity, SME's DDC: 363.8 Trisna Subarna Poverty And Non-Food Spending Analysis Of Population In West Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 243 - 250 Advanced community will tend to have higher non-food spending food spending, includes education, health, and entertainment. This analysis aims to determine the level of the welfare and poverty coping strategies in West Java. The analysis showed: (1) The poverty rate of West Java (11.27%) was lower than the national poverty rate of 13.33%. (2) Compared with other provinces having the highest population in Indonesia (East Java and Central Java), percentage of poor population in West Java were lower, (3) Within three years (2007-2010) the poor in West Java was steadily decreased from 13.55% in 2007 to 11, 27% in 2010 (687. 000 people). (4) Average spending of West Java population per capita, per month in 2011 was Rp 561,837, with a portion of the use of 51.77% for food and non-food 48.23%, indicated that the low level of welfare of the people condition in West Java. The implications of the results of this analysis were: (1) Poverty alleviation focused on growing productive economic culture, (2) It should be an understanding of the various parties about the causes of poverty so that the development program was not based on the issues that cause poverty vary locally. Keywords: poverty, non-food expenditure, strategy, welfare DDC: 307.7 Suharyanto & Arif Sofianto Effectiveness Of Quality Management System Iso 9001:2008 Of Administration Population Service Quality In The City Blitar Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 251 - 260 The purpose of this study was to: 1). Build a model of rural development which runs in an integrated manner and promote innovation, 2). Understanding the prerequisites required in the integrated rural development and promote innovation, and 3). Describe the role of each party in creating an integrated rural development and promote innovation. The study was conducted in 3 villages categorized as having excellence in the governance of development, namely: 1). Mlatiharjo, Gajah Sub-District, Demak Regency, 2). Samiran, Selo Sub-District, Boyolali Regency, 3.) Jatiroyo, Jatipuro Sub-District, Karanganyar Regency. The research method used is descriptive qualitative. The conclusion of this study were: 1). Model of integrated and innovatiive development is performed with emphasis on synchronization between sectors and stakeholders, encouraging HR utilize local resources to make innovations in rural development. 2). Prerequisites innovative integrated rural development is identification of potential resources and direction of development, the implementation of appropriate resource management and innovation as the construction techniques. .3). The role needs to be done by the respective parties involved in rural development are: a). government, provincial governments, district governments should be consistent and focused in formulating policy directions, b). village government to identify potential and determine the direction of policy, build coordination and synchronization as well as facilitating and promoting community empowerment, c). villagers and village community organizations to participate and conduct supervision, d). provide feedback science and technology academics and mentoring, e). business investment and cooperation. Keywords: model, rural, integrated development, innovation DDC: 352.3 Irtanto Effectiveness Of Quality Management System Iso 9001:2008 Of Administration Population Service Quality In The City Blitar Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 261 - 272 This research used quantitative descriptive approach, which aims to know (1) the effectiveness of QMS ISO 9001:2008 in realizing a population service quality (2) to know factors that influence the effectiveness of QMS ISO9001:2008 in realizing quality service. The results showed that the analysis of the effectiveness of QMS ISO 9001:2008 in Blitar City on population administration service covering direct evidence, reliability, responsiveness of service, assurance, and empathy qualifier values obtained with the 3.18 average good criteria, average achievement of 79.99% with the effective achievement criteria. The factors that affect is not effectiveness of the service caused the tangible and comfort care; reliability of service personnel; accuracy and responsiveness of care apparatus, and f empathy apparatus are lacking, the level of skill and discipline personnel in providing services to be improved, the additional costs beyond the provision for services, personnel in providing services there are less friendly. Keywords: effectiveness, quality of service, management system, administration service DDC: 320.8 Husin Ilyas Construction And Observation Central Government In Order To Management Local Government Pursuant To Local Government Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 273 - 280 Construction, newly arranged by explicit. In The Law No. 22 of 1999 and The Law No. 32 of 2004, intrinsically, representing enableness of institution of local government and institutes, representing intervention center to local government, this matter show no local government independence, this return principle centralistic. Observation, start from The Law No.22 of 1999 up to The Law No. 5 of 1974, loading system of observation of preventive and repressive and The Law No. 22 of 1999 only load the system represive. The Law No. 32 of 2004 loading system of observation preventive referred evaluation and repressive, to by law and regulation of regional leader province, regency and town. Observation preventive, not walk effectively and efficient. This observation lessen the area independence and if by law and regulation regional leader oppose against the public interest, higher level of the law its storey level annihilable observation repressive. Keywords: coaching, supervision, central government, local government. DDC: 352.14 Kristian Widya Wicaksono Public Goods And The Era Of Regional Autonomy Externalities Jurnal Bina Praja Vol. 4 No. 4, December 2012, Page 237- 242 Decentralization opportunities for local governments to manage their domestic affairs independently from the process of formulation, implementation and evaluation of development policies and programs to suit the needs of local communities. In exercising its authority, the government is expected to manage effectively and efficiently resources are available, such as the public address adverse externalities caused by market activity, diagnosing and addressing market failure in this case provides public goods to meet the needs of people who can not afford provided through market mechanisms. Keywords: market failures, public goods, externalities, decentralization, tax and welfare INVOLUSI POLITIK PEMEKARAN, ETNISITAS, DAN AGAMA: TANTANGAN REFORMASI BIROKRASI KASUS MALUKU UTARA INVOLUTION POLITICS PROLIFERATION, ETHNICITY, AND RELIGION: CASE CHALLENGES REFORMS NORTH MALUKU Zuly Qodir Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jalan Lingkar Selatan Tamantirto, Bantul – Yogyakarta E-mail: [email protected] Diterima: 13 Oktober 2012; direvisi: 20 Oktober 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Penelitian ini bertujuan memberikan penjelasan pertarungan politik lokal berbasiskan perspektif politik etnis dan agama sebagaimana dikemukakan Clifford Geertz. Dengan demikian pembahasan pada tulisan ini berkisar pada terjadinya pertarungan, perebutan, klaim dan reproduksi identitas etnis dan agama dalam dinamika politik lokal sebagai bagian dari apa yang saya sebut sebagai involusi pemekaran. Kajian ini hendak menjawab pertanyaan dan menjelaskan masalah-masalah yang berkaitan dengan permasalahan pemekaran yang terjadi di Ternate, Maluku Utara, sebagai sebuah daerah pemekaran. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana pengaruh etnisitas dalam konflik pemekaran, bagaimana peran elit-elit agama dan elit politik dalam konflik pemekaran yang telah terjadi selama sebelas tahun, sejak tahun 20012012. Untuk menjawab pertanyaan diatas, kajian ini mendasarkan pada wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis perempuan, politisi, akademisi, dan birokrat di Daerah Maluku Utara. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis kualititif eksplanatif, sehingga tergambar kaitan antar faktor dalam konflik pemekaran. Kata kunci: involusi politik, pemekaran, etnisitas, dan agama. Abstract This study aims to provide an explanation based on local political battles ethnic and religious politics perspective as expressed Clifford Geertz. Thus, the discussion in this paper revolves around the fight, the struggle, claims and reproduction of ethnic identity and religion in the dynamics of local politics as part of what I refer to as involution division. This study is going to answer questions and clarify issues relating to the problems of expansion that occurred in Ternate, North Maluku, as an area of expansion. The question being answered is how the expansion of ethnicity in conflict, the role of religious elites and political elites in conflict expansion that has occurred over the last eleven years, since 2001-2012. To answer these questions, the study was based on in-depth interviews community leaders, religious leaders, women activists, politicians, academics, and bureaucrats in the regions of North Maluku. The data obtained were analyzed using analysis kualititif explanative thus illustrated the link between the expansion factor in the conflict. Keywords: political involution, expansion, ethnicity, and religion. PENDAHULUAN Maluku Utara 1999 adalah kota yang baru saja Mekar dari Pulau Ambon sebagai Provinsi Induk. Gubernur M. Thaib Armayn ditetapkan oleh Departemen Dalam Negeri mengalahkan Abdul Gafur, yang menang dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara tetapi gagal menjadi gubenur karena kalah dalam sidang Mahkamah Konstitusi dengan dugaan adanya kecurangan dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara. Tahun 1999, Desember di Ambon terjadi tragedi berdarah di Masjid Al Fatah yang berbuah kerusuhan antaretnis dan agama sangat besar dan terdengar diseluruh Indonesia bahkan internasional. Korban demikian banyak bergelimpangan dari pihak yang berkonflik (Islam versus Kristen). Masingmasing pihak membentuk laskar (milisi) perang. Kristen membentuk Laskar Kristus. Islam membentuk Laskar Mujahid. Korban tak kurang dari 5.000 orang dari dua belah pihak. Rumah dibakar dan dirusak hampir separuh kota Ambon. Bahkan pembakaran dan pembunuhan menyisir ke daerah-daerah seperti Jazirah Hitu, Leihitu, Soya dan sekitarnya. Puluhan rumah ibadah dirusak dimana oleh agama dilarang terjadi perusakan dan pertumpahan darah di rumah Tuhan. Ambon sesungguhnya sebuah provinsi eksotik. Pulau yang dikelilingi pantai nan indah elok akhirnya bersimbah darah karena konflik yang semula sepele. Disebabkan karena antara tukang angkot dengan penduduk setempat yang hendak memaksa sopir Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 217 angkot. Antara sopir dan preman yang berbeda etnis dan agama, kemudian saling mengancam dan bahkan saling membunuh. Dua belah pihak hancur lebur dan babak belur saling membunuh. Pela gandong hancur, hubungan sosial rusak. Pela dan gandong, seakan tak berakar di masyarakat sama sekali. Konflik antaretnis dan agama membuat Ambon menjadi provinsi yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Ketakutan menjadi bagian para penduduk setempat. Pendatang pun dipaksa tidak bersedia datang ke Pulau RempahRempah yang kaya cengkeh, pala dan lada. Darah segar pernah mengalir deras di pulau beribu ribu rempah ini. Ambon tentu saja bukan daerah satu-satunya yang dilanda konflik kekerasan berdarah. Sambas Kalimantan Barat adalah contoh lain. Kota Waringin Barat dan Kota Waringin Timur di Kalimantan Tengah contoh lain lagi. Bahkan Palangkaraya adalah contoh terjadinya kekerasan etnis yang juga mengerikan. Sampit adalah tempat yang mengerikan untuk pendatang Bugis, Buton, Makasar dan juga Madura. Darah segar dan harta benda merupakan dua hal yang tidak pernah luput dari dampak konflik kekerasan yang terjadi di sebuah daerah. Di atas semua itu yang dapat dikatakan adalah daerah baru untuk kelompok masyarakat tertentu yang dikenal dengan istilah masyarakat pendatang. Pendatang karena faktor transmigrasi lokal, transmigrasi massal (bedol desa) atau bahkan sekedar berpindah tempat untuk mencari nafkah dalam kehidupan sehari-hari. Ambon, Ternate, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah adalah lokasi yang menjadi tujuan perpindahan penduduk dari daerah asalnya. Sebenarnya perpindahan penduduk tidak identik dengan kekerasan massal (komunal) yang terjadi sejak tahun 1998 di Indonesia, sebab perpindahan penduduk di Indonesia telah terjadi jauh sebelum tahun 1980, ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Lampung, Sumatera Selatan bahkan Papua. Namun belakangan sejak tahun 1999 tampaknya perpindahan penduduk menjadi masalah serius soal kependudukan Indonesia. Istilah pendatang dan asli menjadi kosa kata baru untuk masalah kependudukan dan konflik yang bersifat kedaerahan. Konflik di beberapa daerah di Indonesia, sebagaimana dikatakan Gerry van Klinken dan Nordoth sebenarnya sering berhubungan dengan persoalan sumber-sumber ekonomi dan politik dalam sebuah wilayah. Daerah yang semula seakan-akan menjadi wilayah kekuasaan etnis dan agama tertentu kemudian berkembang menjadi kekuasaan etnis dengan agama tertentu sehingga etnis yang sebelumnya berkuasa menjadi tersaingi dalam perebutan wilayah kekuasaan; baik politik maupun ekonomi. (Klinken, 2008) Selain persoalan perpindahan penduduk di dalam suatu wilayah (provinsi) masalah pemekaran wilayah merupakan persoalan lain yang belakangan menjadi masalah serius di nusantara. Di nusantara sendiri sampai dengan tahun 2009 telah terjadi pemekaran yang demikian banyak untuk tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Sampai tahun 2009 yang lalu tidak kurang dari 400 kabupaten/Kota baru terbentuk di Indonesia. (Depdagri, 2009). Daerah pemekaran merupakan salah satu daerah yang potensial terjadinya kekerasan massal. Beberapa daerah konflik kekerasan memang daerah lama. Tetapi pertambahan penduduk merupakan salah satu penyebabnya. Sambas di Kalimantan Barat adalah contoh paling nyata dengan pertambahan penduduk asal Madura yang dibeberapa daerah berposisi ekonomi menjadi lebih mapan sehingga mempengaruhi siklus ekonomi dan politik serta komposisi keagamaan masyarakat setempat. Ambon sangat jelas memberikan penjelasan tentang pertambahan penduduk dan kondisi sosial ekonomi dan agama yang kemudian berubah. Dari dominan Kristen menjadi berimbang. Penduduk Muslim 45%, Kristen 55%. Kondisi seperti itu berpengaruh pada perilaku politik dan perilaku sosial masyarakat Ambon yang selama bertahun-tahun berada dalam posisi tanpa persaingan karena memang tidak ada kompetitor. Ambon adalah penguasa sekaligus pemilik bahkan pewaris tunggal Pulau Rempah-rempah. Namun semuanya berubah sejak program transmigrasi bedol desa dan migrasi penduduk dari provinsi lain seperti Sulawesi, Jawa dan Kalimantan. Kompetisi pun akhirnya terjadi di sana. Kompetisi tidak selalu berakhir dengan hasil yang baik. Seringkali kekalahan membawa luka dan dendam kesumat. Disebabkan luka serta dendam kesumat itulah yang membuat kerusuhan seringkali menjadi hasil akhir dari persoalan persaingan antar etnis dan sekaligus agama. Etnis dan agama oleh antropolog Malinowsky (1982) dikatakan sebagai dua entitas yang sampai saat ini, saat dunia menginjak era modern bahkan post modernisme akan menjadi salah satu perekat sekaligus ketegangan, kerengganan antar elemen dalam masyarakat yang paling mujarab. Etnisitas dan agama merupakan dua entitas yang bersifat bagai pedang bermata dua. Membuat integrasi sekaligus membuat disintegrasi antar anggota masyarakat. Terlebih jika etnisitas dan agama dipahami secara sempit (narrow religion and ethnicity) akan dengan mudah mendorong adanya semangat gerakan perlawanan berdasarkan sentimen etnisitas dan agama tertentu. Inilah mengapa di beberapa daerah persoalan etnisitas dan agama masih dikatakan rentan dan menguntungkan. Rentan terkait akan kemungkinan konflik antar etnis. Menguntungkan karena akan membawa dampak pada asosiasi-asosiasi dan akomodasi kebudayaan. Daerah pemekaran, ceritanya akan jauh lebih panjang dan memberikan fakta lain. Ada pejabat, tetapi seringkali tidak ada ketentraman dan pelayanan. Dalam bahasa lain miskin pelayanan dan keamanan. Hal ini karena masing-masing pejabat sibuk dengan urusannya sendiri. Urusan memperkuat posisi dan memperlebar kekuasaan. Inilah sebuah resiko dari 218 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226 pemekaran yang menjadi basis dari pemikirannya adalah kekuasaan bukan pelayanan publik. Kekuasaan dapat diperoleh dengan pelbagai mekanisme seperti membangun sentimen etnis dan agama. Pola semacam ini pernah dikatakan oleh Clifford Geertz sebagai politik berbasis aliran, agama dan etnisitas, sekalipun telah banyak dikritik karena dalam hal penempatan kategori priyayi dianggap gagal menjelaskan kategorisasi etnisitas dan keagamaan. Tetapi untuk kasus etnis dan agama sebagai aliran tampaknya penjelasan Clifford Geertz masih bisa dipertimbangkan untuk menjawab pertanyaan: apakah pola politik kekuasaan berbasis etnisitas dan agama masih berlangsung di Indonesia? Secara spesifik lagi apakah etnisitas dan agama masih berlangsung dalam politik pemekaran? Teori yang dipergunakan dalam memahami kasus Maluku Utara adalah politik identitas yang dialamatkan pada etnisitas dan agama masyarakat yang tinggal dalam sebuah wilayah. Etnisitas dan agama menjadi perekat identitas yang masih dipercaya dalam berbagai pergulatan politik lokal sehingga banyak pihak mempergunakan dua entitas ini untuk kepentingan politiknya. Etnisitas dan agama bermain dalam perebutan posisi-posisi politik tertentu yang berkaitan erat dengan tokoh politik yang ada di wilayah. Etnisitas dan agama kemudian direproduksi dalam pergulatan politik pemekaran yang menjadi bagian dari kehidupan desentralisasi di Indonesia. Dua entitas yang berbeda tersebut sampai sekarang di lapangan politik masih menjadi bagian penting dalam konstruksi politik identitas yang berkembang sejak sebelum tahun 1950-an sebagaimana Cliffordz geertz menemukan dalam kasus keagamaan di Jawa waktu itu dan di kawasan Afrika (Maroko dan Sudan) ketika itu yang disimpulkan dalam Islam Observed (1960) maupun dalam After the Fact (1957). Ikatan-ikatan solidaritas agama dan afiliasi politik pun terjadi dalam kurun waktu yang cukup panjang. Religion of Java (1957) yang ditulis berdasarkan peneltian Clifford Geertz di Desa Pare (Jawa Timur) menggambarkan masalah afiliasi keagamaan dan politik, selain afiliasi kultural dan sosial yang terjadi. Tiga bagian dari masyarakat yang digambarkan Geertz tentang santri, abangan dan priyayi, ketika itu memberikan penjelasan bahwa dalam masyarakat terdapat segmentasi tentang kelompok sosial dan politik yang kemudian diperjalas oleh Herbet Fith dan Lance Castles, tentang partai berbasiskan aliran keagamaan dan etnisitas. Terdapat partai berafiliasi muslim seperti Masyumi, NU, yang cenderung dianut oleh penduduk Jawa, kaum Jawa nasionalis yang berafiliasi pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dianut oleh penduduk Jawa, dan sebagian para petani yang cukup kaya, partai sosialis (PSI) yang dianut oleh sebagian besar kaum terdidik Indonesia dan etnis luar Jawa (Sumatra), partai Parkindo yang berafiliasi pada umat Kristen dan Indonesia Timur khususnya. Dari penjelasan ringkas secara teoritik tersebut sebenarnya dapat dipahami sekalipun dalam perjalanan sejarahnya telah banyak perubahan yang signifikan dalam hal pengelompokan sosial keagamaan, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo, dan Robert Hefner bahwa di Indonesia telah terjadi pembelahan afiliasi sosial politik dan keagamaan yang relatif baru sehingga muncul apa yang dinamakan kelas menengah baru dalam hal afiliasi keagamaan dan politik. Dalam keagamaan muncul kelas menengah muslim yang Kuntowijoyo, dalam Muslim Tanpa Masjid, (2001) menyebutnya dengan istilah “Muslim Tanpa Masjid”. Sementara Robert Hefner dalam Civil Islam, 200, menyebutnya dengan istilah “Muslim Akomodatif” bahkan muslim rezimis untuk menyebut kelas menengah muslim yang masuk dalam lingkaran kekuasaan zaman akhir Orde Baru sampai tumbangnya Orde Baru. Kategorisasi santri baru dan religio nationality serta ethnic nationalism merupakan pengaktegorian yang muncul sejak tahun 1990-an di Indonesia untuk menggambarkan perjalanan politik etnis dan agama sebagai bentuk nyata politik identitas di Indonesia. Persoalan identitas agama dan etnis, dengan begitu menjadi persoalan yang telah terjadi sejak tahun 1950-an, 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an sampai tahun 2000-an dalam berbagai manifestasinya. Tahun 2000-an menjadi manifestasi dalam berbagai persoalan pemekaran daerah yang muncul sejak era reformasi Indonesia tahun 1998. Pemekaran menjadi semangat baru dalam politik identitas yang tidak jarang membawa korban jiwa dan tentu saja harta benda warga masyarakat yang sama-sama berada dalam sebuah wilayah tertentu. Terdapat banyak kasus mengenai masalah kekerasan karena etnistas dan identitas dalam pemekaran. Masyarakat Tapanuli Selatan yang harus mengakhiri riwayat hidup Mohammad Abdullah Angkat sebagai Ketua DPRD Sumatera Utara (Medan) karena terbunuh dalam persoalan pemekaran Tapanuli Selatan adalah contoh paling jelas. Pembakaran kantor Walikota dan Gubernur Ambon adalah bentuk lain lagi. Demikian pula pembakaran Kantor Kecamatan di Kao Malifut adalah bentuk kemarahan karena pemekaran di Maluku Utara. Pembakaran kantor DPRD NTB adalah bentuk kemarahan masyarakat terkait soal politik pemekaran yang terjadi di Indonesia. Dua entitas, agama dan etnisitas tampak menjadi bagian dalam kehidupan politik Indonesia sejak tahun 1950-an sebagaimana Clifford Geertz kemukakan sampai dengan era 2000-an dimana zaman telah banyak mengalami perubahan, utamanya dalam hal kultur dan teknologi. Tetapi dua entitas ini masih menjadi idola dalam politik Indonesia. Hal seperti itu tentu menimbulkan banyak pertanyaan yang membutuhkan uraian untuk memberikan argumen sampai-sampai dimanakah sebenarnya ikatan etnisitas dan religius menjadi bagian dalam politik, khususnya dalam era politik pemekaran atau desentralisasi Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 219 sebagai bagian dari demokrasi yang terjadi di provinsi Maluku Utara. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat induktif kualitatif dengan mengambil fokus lokasi di Provinsi Maluku Utara, yang merupakan wilayah dengan ketegangan atau suhu politik sangat tinggi disamping suhu kekerasan antar warga masyarakat juga demikian tinggi sehingga konflik berdarah merupakan bagian dari kehidupan mereka dengan pemicu masalah-masalah yang sepele, seperti soal nonton main bola atau soal nonton pertunjukkan konser musik. Penelitian ini fokus pada masalah politik yang muncul di daerah pemekaran seperti Maluku Utara yang merupakan wilayah pemekaran sejak tahun 1999 yang lalu dan sampai sekarang terdapat wilayah yang tidak kunjung selesai karena pemekaran tersebut. Persoalan pemekaran wilayah kemudian terus ramai menjadi konsumsi politik ketika menghadapi Pemilukada (Pemilu Bupati maupun Kota) juga Pemilu Legislatif demikian ramai diperebutkan oleh masing-masing kandidat dengan latar belakang etnis dan agama yang terdapat di Maluku Utara. Riset ini mendasarkan pada data lapangan (dengan observasi lapangan yang dilakukan selama enam bulan), melakukan wawancara mendalam dengan berbagai narasumber yang kompeten dalam bidang politik pemekaran dan kaitannya dengan agama maupun etnisitas, melakukan kajian kepustakaan atas literatur ataupun hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil temuan lapangan dan kajian pustaka dianalisis dengan pendekatan sosiologis; khususnya sosiologi etnis dan agama yang difokuskan pada perspektif induktif analitik (thick description) sebagaimana dikemukakan oleh para antroplog semacam Clifford Geertz) dan Borislav Malinowsky. HASIL DAN PEMBAHASAN Reproduksi Politik Pemekaran Berbasiskan Etnisitas dan Agama Ada pertarungan yang keras dalam etnis dan agama sebagai basisnya di wilayah pemekaran. Riset ini menunjukkan bahwa di Maluku Utara, Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat, perilaku elit lokal (bupati), politisi partai bahkan sebagian elit masyarakat membuat dramaturgi yang sangat menghipnotis tentang basis etnisitas dan agama untuk tetap bertahan atau pindah dalam sebuah wilayah baru. Reproduksi etnisitas dan tradisi yang bertahun-tahun lamanya dianut direproduksi dalam konflik dua wilayah yang tak kunjung usai sampai sekarang sekalipun sudah sepuluh tahun bahkan menginjak 12 tahun (sejak 1999 hingga 2011). Tidak terlalu banyak riset yang menitikberatkan pada analisis etnis dan agama dalam proses pemekaran sebagai bagian penting dalam konflik. Ada beberapa yang mengkaji soal konflik etnis dan agama dalam pemekaran seperti (Rizal Panggabean, 2002), ketika mengkaji pola kekerasan kolektif di Indonesia sejak tahun 19902003, tetapi tidak khusus masalah pemekaran. Drama tentang sentimen etnis dan agama menjadi buah bibir di masyarakat pendukung atau penentang atas wilayah baru. Halmahera Barat direproduksi sebagai daerah yang berlatar belakang etnis Jailolo, Bacan, Tobelo dan Tobaru agak sering bahkan seringkali dikonstruksikan akan sulit bila harus bergabung dengan wilayah yang etnisitasnya berbeda dan dengan tradisi berbeda pula. Reproduksi sejarah etnitas dan agama menjadi bagian dari persoalan yang melanda menjadi bagian dalam pemekaran Maluku Utara sampai saat ini. Konstruksi tentang etnisitas dan agama pun berkembang dalam dialog-dialog keseharian di masyarakat. Di pasar, angkutan darat, angkutan laut dan tempat keramaian seperti lapangan sepak bola (karena masyarakat suka main dan menonton bola) maka reproduksi etnisitas dan agama berlangsung dengan nyaris sempurna. Bagaimana reproduksi bahwa Jailolo adalah “asal mula” etnis di Halmahera Barat yang menyebar ke enam desa di kawasan Halmahera Utara yang beribu kota di Tobelo. Jailolo menjadi penting dikemukakan karena merupakan kecamatan pertama sebelum terjadi pemekaran di Halmahera Barat. Selain itu di Jailolo terletak kerajaan (Kesultanan Bacan) yang dianggap sebagai asal usul masyarakat Halmahera. Oleh sebab itu tetap harus menjadi satu dengan Halmahera Barat siapapun masyarakatnya. Berkaitan dengan reproduksi yang dikembangkan adalah hal yang tidak mungkin etnis Jailolo dan Bacan perpindah ke wilayah yang bukan tanah kelahirannya. Tanah kelahirannya adalah Halmahera Barat bukan Halmahera Utara. Reproduksi akan etnisitas dan agama di lapangan bola bukan hal yang aneh kemudian membuahkan kekerasan fisik ketika terjadi pertandingan antar desa atau antar kecamatan. Bermula dari ejekan biasa kemudian berubah menjadi ejekan antaretnis dan agama yang berbuah kekerasan fisik pada salah satu pihak yang bertanding. Dalam sebuah pertemuan di Akelamo bulan 19 Agustus, 2010, dapat menggambarkan bahwa persoalan etnisitas menjadi hal yang sangat serius dalam elit lokal Maluku Utara, misalnya, mereka mengatakan demikian: FP dan AF mengatakan: “Kami yang hadir disini, akan mempertahankan sampai titik darah penghabisan tetap menjadi penduduk Halmahera Barat, ketimbang harus menjadi penduduk Halmahera Utara. Sekalipun kami akan diberi segepok uang dana comdev dari PT NHM. Tidak akan kami berubah pendirian menjadi penduduk Halmahera Barat. Secara historis kami adalah orang Jailolo dan Bacan. Nenek moyang kami adalah orang Jailolo dan Bacan bukan Tobelo. Semua ini hanyalah akal-akalan para elit politik seperti Gubernur dan Bupati Halmahera Barat dan Timur yang memperalat penduduk Jailolo untuk saling konflik karena mereka 220 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226 mendapatkan untung dengan masyarakat terus berkonflik. Darah segar kami tumpah pun tidak masalah asalkan tetap menjadi bagian dari Halmahera Barat. Siapapun yang mengajak kami bergabung ke Halmahera Utara akan kami lawan ”. Jika kita mengkaji lebih dalam soal proses pemekaran dan transformasi kekuasaan daerah dan pusat akan didapatkan bahwa tidak ada hal yang bersifat gratis dan sekalipun harus mengorbankan hal yang sangat penting seperti nyawa manusia dan harta benda yang telah dikumpulkan. Bahkan lahan kehidupan lainnya seperti pertanian dan perikanan. Dalam banyak kasus seperti di Halmahera Barat dan Halmahera Utara karena masyarakat selalu diperlakukan dalam politik etnis dan agama maka kehidupan mereka menjadi tidak sejahtera dan dilanda kemiskinan, namun masyarakat tak kuasa menghadang bentuk-bentuk politisisasi etnis dan agama oleh kelompok elit lokal. Kekuasaan reproduski etnis dan agama dalam politik pemekaran adalah elit lokal, baik kepala desa, pejabat kecamatan, pemerintah daerah (kabupaten maupun pemerintah provinsi). Masyarakat adalah pendorong gerbong kaum elit yang seringkali lebih beruntung dalam konflik daerah pemekaran. Hal yang juga, jika kita hendak mengkaji soal apa yang dilakukan oleh pejabat daerah (bupati) sebenarnya kita seringkali mendapatkan apa yang dalam bahasa popular sekarang adalah adanya transaksi politik pemekaran dengan sesama elit lokal dan elit pusat. Salah satu sarana transaksi politik pemekaran adalah etnisitas dan agama. Masyhur dan cukup mujarab sebab sentimen etnis dan agama seringkali menjadi bagian sejak kelahirannya. Reproduksi tentang kelahiran etnis dan agama menjadi jelas untuk mainan politik kepentingan elit lokal maupun pusat untuk mendapatkan untung. Dalam ungkapan penduduk lokal sering kita dengar bahwa para pejabat dearah konflik di Maluku Utara bermain mata. Mereka bermain golf bersama dan sering bertemu tetapi masalah konflik enam desa tak pula kunjung selesai. Ada segepok uang yang digadanggadang disana. Masyarakat benar-benar menjadi korban politik elit daerah. Jika reproduksi etnisitas berlangsung pada ruang-ruang seperti lapangan bola maupun angkutan, pasar dan pusat-pusat keramaian, reproduksi agama berlangsung dalam ruang yang tak kalah menariknya. Masjid, mushola, gereja dan pengajian-pengajian adalah ruang yang paling popular untuk membuat konstruksi agama sebagai bagian dari sentimen masyarakat yang terkena dampak pemekaran. Masjid, mushola, gereja dan pengajian-pengajian adalah lahan yang selama ini menjadi pusat membangun reproduksi sentimen etnisitas dan keagamaan. Kebetulan di Halmahera Barat dan Halmahera Utara agamanya adalah Islam dan Kristen, maka gereja dan Masjid adalah pusat yang paling popular menjadi ruang mengkonstruksikan tentang siapa sebenarnya mereka. Siapa mereka dan kelompok mana yang dianggap menjadi bagiannya serta lawan politiknya tidak jarang dikonstruksikan dan direproduksi dalam tempattempat ibadah. Tempat ibadah bukan hanya untuk membaca dan membawa umat pada kesalehan individual pada Tuhan, tetapi sekaligus membawa umat pada sentimen politik tertentu berdasarkan kepentingan konstruksi elit agama dan elit politik. Dalam sebuah Khutbah Jumat yang diselenggarakan di Halmahera Barat, 17 Agustus, khatib mengkonstruksi bagaimana Sultan Ternate adalah benar-benar syayidin panata agama yang harus ditaati oleh warga Maluku Utara. Sultan Ternate adalah tokoh pemersatu dan penjaga keamanan masyarakat, sekaligus pemberi kesejahteraan masyarakat. Oleh sebab itu, sebelum Sultan memutuskan apakah enam desa menjadi wilayah Kabupaten Halmahera Utara atau Halmahera Barat maka kita tidak usah mengikuti apa yang menjadi persoalan para elit politik lokal. Sultan adalah penentu akhir soal pemekaran di Maluku Utara dan sekarang belum memutuskan. Dalam doa khutbah secara khusus sang Khatib membacakan untuk Sultan Ternate beserta keluarga besarnya yang telah memimpin Ternate dan Maluku Utara. Apa yang dapat dibaca dari pengkutbah di Masjid tersebut diatas? Tidak ada lain, kecuali hendak memberikan konstruksi pada masyarakat bahwa apapun yang terjadi di Maluku Utara harus menunggu Sultan dan artinya Sultan adalah sosok tunggal yang dipandang paling memiliki otoritas atas persoalan pemekaran di Maluku Utara. Dikala harapan masyarakat pada Sultan demikian tinggi, Sultan bergeming untuk tidak memutuskan enam desa yang sudah 12 tahun konflik pemekaran. Mengapa demikian, inilah yang menjadi pertanyaan maha besar atas Permaisuri Sultan Ternate (Muzzafar Syach), sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah, sementara Ratu Boki Nita sang istri menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Demokrat. Sungguh menyimpan banyak pertanyaan penting disana. Kita mungkin boleh bertanya, bukankah ini politicking? Persoalan genting lainnya terkait dengan soal etnisitas dan agama adalah adanya kecenderungan perilaku etnis (suku dan agama) yang menghubungkan soal sukuisme dan chauvinism dalam kaitannya dengan para pemegang saham kekuasaan daerah tentang posisi strategis di daerah. Dalam banyak kasus di daerah pemekaran yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2010 sebenarnya persoalan siapa yang memiliki saham kekuasan menjadi persoalan cukup berpengaruh. Oleh sebab itu, menempatkan posisi para pemilik saham kekuasaan sebagai subjek yang layak menjadi kajian akan menjadikan titik poros persoalan konflik daerah pemekaran semakin kentara karena faktor politik kekuasaan. Saham kekuasaan etnis dan agama tertentu akan berpengaruh pada pola kekerasan yang terjadi disebuah daerah. Maluku Utara termasuk daerah yang kekerasan kolektifnya cukup tinggi, mencapai 2.447 dalam kurun waktu 1999-2003 Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 221 seperti dikemukakan Rizal Panggabean. (Panggabean, dalam Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman, 2009) Politik kekuasaan ini seringkali berbasiskan etnis tertentu. Sekalipun kadang berbasiskan agama sebagai determinan. Kasus Poso dan Ambon adalah persoalan agama lebih determinan sekalipun sebagian peneliti dan pengamat lebih suka menempatkan persoalan jarak ekonomi masyarakat pendatang dan pribumi sebagai masalah utamanya. Sementara Maluku Utara dalam kasus enam desa (Bobane Igo, Akesahu, Akelamu, Tetewang, Pasir Putih dan Dum Dum) berbasiskan kesatuan etnis. Reproduksi yang saya katakan pada bagian-bagian awal tulisan ini merupakan metode yang dibangun agar kesamaan dan kesatuan etnis menjadi hal yang dominan dalam menentukan pemilihan wilayah, apakah Halmahera Utara ataukah Halmahera Barat. Kekentalan akan hal ini menjadi basis dalam wacana politik lokal Maluku Utara dari tingkat Provinsi sampai Kecamatan bahkan desa-desa. Persoalan etnisitas akan menjadi hal yang sangat penting di Maluku Utara, karena sentimen ini merupakan hal yang dominan. Hal ini bisa dirujuk karena akan terkait dengan pihak-pihak yang mengelola kondisi sumber-sumber kekayaan daerah. Seperti kisah di Sulawesi Barat dan Poso sebagai daerah Pemekaran dan areal transmigrasi maka soal etnisitas sangat penting posisinya. Enititas etnis tertentu akan berhasil dalam proses-proses politik jika berhubungan dengan identitas etnis tertentu. Keterkaitan antar etnis akan memudahkan seseorang berada dalam tingkat birokrasi yang mapan dan berlangsung lama sebelum akhirnya terjadi kudeta oleh etnisitas lain yang kemudian hadir dan menjadi etnis yang berpengaruh dalam sebuah pemekaran. Kekerabatan etnisitas dan agama menjadi pola yang kuat dalam masyarakat Sulawesi Barat dan Poso sebagaimana dilaporkan oleh Lorraine V Aragon yang menunjuk pada persaingan anta relit lokal berbasiskan etnis dan agama terutama sejak Orde Baru hampir tumbang tahun 1990-1996. (Lorraine, dalam Henk Schulte Nordhot dan Gerry van Klinken, 2007) Maluku Utara adalah contoh yang nyaris sama dengan Sulawesi Barat dan Poso. Etnis Makian adalah etnis yang jumlahnya tidak seberapa besar tetapi dalam beberapa tahun sepanjang sejarah Maluku Utara menjadi penguasa. Etnis Makian merupakan etnis yang kuat dalam hal kerja (pekerja keras, semangat maju yang keras, berpendidikan lebih baik ketimbang etnis lain dank arena itu secara ekonomi dan politik lebih beruntung ketimbang etnis lainnya). Namun yang menjadi soal adalah etnis Makian akhirnya dianggap menjadi salah satu etnis yang menjadi sumber konflik dan kerusuhan Maluku Utara ketika berpindah ke Teluk Kao tahun 1999. Kerusuhan yang menimpa etnis Makian ketika pindah dari wilayah lereng Gunung Sei yang diprediksi akan terjadi letusan merupakan hal yang memberikan pertanda lain. (Abu Bakar Muhammad, 2009). Pendeknya persoalan dominasi etnisitas karena politik, birokrasi, ekonomi, sekalipun jumlahnya etnis Makian tidak siginifikan alias sedikit (18.722 jiwa) tahun 1975 dan tahun 1998 menjadi 20.620 jiwa) akan menjadi persoalan serius terutama dikalangan etnis yang mayoritas, Jailolo, Bacan dan Tobelo-Tubaru. Dari sana mengapa etnis Makian sampai sekarang dianggap sebagai musuh bebuyutan etnis mayoritas di Maluku Utara, Bacan, Jailolo, Tobelo dan Tobaru. Pertanyaan bisa kita ajukan mengapa etnis yang sedikit tersebut bisa terus bertahan dalam birokrasi pemerintahan, dalam penguasaan ekonomi, dan politik lokal sesungguhnya tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab selama ini dalam politik etnis kita akan bertemu dengan apa yang kita kenal dengan tradisi. Utamanya kesamaan tradisi seringkali membuat penduduk merasa nyaman dan aman ketimbang berada dalam tradisi yang beragam. Tradisi sesama etnis dalam perilaku politik, ekonomi dan sosial dengan mudah dapat dipahami sehingga memungkinkan untuk kerjasama politik maupun kerjasama sosial. Apalagi etnis Makian ini secara religi juga relative sama yakni sebagai penganut Islam sehingga akan mudah menerima tradisi dari Islam ketimbang Kristen di wilayah Teluk Kao ataupun Akesahu Gamsungi dan Akesahu apalagi Tobelo yang mayoritas bertradisi Kristiani. Inilah persoalan kesamaan tradisi yang membuat etnis Makian menjadi korban yang sesungguhnya dalam konflik Maluku Utara tahun 1999 yang lalu bahkan sampai sekarang. Etnisitas dan agama juga bukan hal yang imun dari menggejalanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), dari sejak sebelum reformasi sampai orde reformasi bahkan sampai Orde sekarang tahun 20092014. KKN dalam bentuk kesatuan etnis dan agama ditambah dengan kesatuan politik membuat semakin kuatnya gejala KKN yang terjadi dari tingkat pusat hingga daerah pemekaran. Maluku Utara adalah contoh yang tidak berbeda jauh dengan daerah-daerah pemekaran lainnya yang melanjutkan tradisi KKN dalam birokrasi pemerintahan dan feodalisme kekuasaan keagamaan. Pemilihan Walikota Ternate yang melibatkan putra Gubernur (sekalipun akhirnya kalah) dengan kandidat lain adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Apalagi terdengar bahwa dua putra Gubernur akan diajukan dalam Pemilihan Bupati di Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan Morotai. Inilah sebuah bentuk neo-feodalisme yang telah berlangsung cukup lama dalam tradisi politik Indonesia. Hal yang juga menjadi persoalan krusial lainnya dalam konflik pemekaran di Maluku Utara adalah terkait konstruksi politik tentang etnis dan keagamaan dalam daerah pemekaran. Disana terjadi apa yang kita kenal dengan sebutan politik diskriminatif atas kelompok etnis dan agama lain. Disini sekaligus bagaimana menafsirkan tentang pendatang atau orang baru dalam daerah pemekaran. Pendatang adalah faktor yang sangat penting 222 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226 dimasukan dalam konteks politik pemekaran di Maluku Utara, sekalipun masyarakat sebenarnya tidak seberapa memahami apa itu pendatang dan apa itu penduduk asli. Tetapi reproduski yang kemudian mengkonstruksi masyarakat dalam dua belahan besar: masyarakat asli dan masyarakat pendatang menjadi hal yang tidak terelakan dalam politik pemekaran yang mendasarkan pada etnisitas dan religi-agama. Semuanya jika hendak disambungkan tidak ada lain kecuali adanya keinginan memperpanjang dominasi etnis dan agama dalam sebuah wilayah sehingga etnis dan agama yang berbeda dan bahkan minoritas tidak akan pernah mendapatkan kesempatan dalam birokrasi pemerintahan sampai tradisi politik KKN berubah menjadi tradisi politik professional dan bersih. Transaksi Politik Lokal Berdasarkan Identitas Etnis Nyaris tidak pernah terbantahkan jika dalam sebuah proses politik terjadi transaksi sekaligus persaingan antara elit lokal versus elit pusat. Hal yang paling menyedihkan dan menarik untuk tetap diperhatikan adalah kontestasi dan transaksi berdasarkan etnis. Penjelasan Clifford Geertz dan Malinowsky diatas dapat memberikan penjelas pada kita untuk melihat betapa kepentingan etnis dan agama tidak pernah ditinggalkan dalam persoalan politik lokal maupun nasional. Dalam bahasa lain, perpolitikan kita belum bisa beranjak pada politik yang lebih mentransendensikan etnisitas dan agama sehingga berpolitik lebih mengutamakan pada pensejahteraan publik dan pelayanan masyarakat. Politik kita adalah politik chauvinism yang lebih mendasarkan pada etnis dan agama bukan pada multikulturalisme dan heterogenisasi agama. Multikulturalisme politik dan persaingan politik berbasiskan kapasitas dan profesionalisme belum menjadi tradisi dalam proses politik lokal. Pencitraan memang seringkali dijadikan sebagai metode menggiring massa pemilih untuk menentukan pilihannya, namun sejatinya bukan pada soal profesioalisme dan kapasitas kandidat pemimpin di tingkat daerah (gubernur, walikota ataupun bupati). Elit ditingkat pusat akan berupaya menyambungkan konteks lokal dengan etnisitas dan agama ketimbang dengan dengan kondisi sosial ekonomi riil yang menjadi kebutuhan masyarakatnya. Hal ini sekaligus memberikan penjelas pada kita bahwa kualitas politisi kita baik tingkat lokal maupun pusat sebenarnya masih pada level mempertahankan identitas secara sempit ketimbang mengembangkan tradisi politik yang terbuka (inkulvisime politik) yang berbasiskan pada kerangka nation state dan keindonesiaan yang majemuk dalam hal etnis dan agama. Identitas agama dan etnis menjadi pokok dalam perhelatan politik lokal, sekalipun tidak jarang menghasilkan kerusuhan massal karena sentimen etnis dan agama bermain secara tak beraturan. Kita dapat saksikan misalnya dalam hal poster-poster kandidat kepala daerah atau kandidat bakal anggota legislative, hampir selalu menyertakan sebutan ASLI dan DARI. Dua kata ini merupakan ungkapan untuk secara tegas memberikan deskripsi singkat bahwa dirinya adalah sosok yang dianggap merasa dan dirasa akan mewakili aspirasi masyarakat ketika nanti terpilih. Bahwa nanti setelah terpilih yang terjadi adalah transaksi politik antar elit lokal dengan pusat atau tidak menjadi representasi merupakan persoalan lain. Maluku Utara adalah eksemplar yang menarik untuk dibaca dalam konteks gagasan merayakan kemajemukan politik berdasarkan agama dan etnis. Hal ini karena di Maluku Utara persoalan etnis dan agama sebagaimana saya kemukakan diatas menjadi penyanggap politik identitas yang bermakna sempit (bukan bermakna keindonesiaan). Etnisitas dan agama adalah komoditas politik yang masih mampu menghadirkan banyak kebentungan politik pada kandidat yang hendak bertarung. Identitas etnis dan agama merupakan salah pijakan seseorang hendak maju dalam Pemilukada dan Pemilu legislatif. Ungkapan lain yang juga popular adalah penggunaan bahasa lokal yang hanya dimengerti oleh mereka dan masyarakatnya, bukan orang lain. Ungkapan dengan bahasa lokal merupakan penggambaran paling jelas untuk menarik simpatik dan sentimen etnisitas dalam proses politik di Maluku Utara. Bahkan penggunaan gelar kedaerahan dan keagamaan merupakan hal yang ramai dipakai dalam proses politik di Maluku Utara, misalnya menempelkan gelar etnis tertentu, Jiko Ono, Tuan Haji Atau Tuan Guru dan seterusnya. Semuanya dapat dibaca sebagai cara mengaitkan identitas etnis dan agama dalam proses politik berlangsung. Memang terdapat kandidat yang mengusung slogan bergaya metropolitan namun tak dapat meghipnotis masyarakat, bahkan dikesankan lelucon belaka. Kandidat menggandeng Presiden Amerika Obama bersalaman dan bersanding dengan dirinya. Begini ungkapannya: “Selamat Om Bama, Anda menjadi Presiden Amerika. Doakan saya menyusul kesuksesan Om Bama. Obama menjawab: Saya doakan semoga Anda Sukses, sambil berjabat tangan!” Soal lainnya yang perlu menjadi perhatian kita adalah selain adanya transaksi berdasarkan kesamaan etnis dan agama, di Maluku Utara sebenarnya berlangsung pertarungan antara Elit lokal versus elit lokal berdasarkan etnis. Kondisi ini sangat kuat dan kentara dalam konflik pemekaran enam desa yang tak kunjung selesai sampai sekarang. Antar elit lokal berdasarkan etnis tertentu mendorong terjadinya hegemoni dan dominasi dalam pemerintahan dan birokrasi ketimbang berbagi etnisitas sesama warga Maluku Utara. Hal ini tentu saja membuat semakin runyamnya politik di Maluku Utara karena antar etnis tidak bersedia akur apalagi duduk bersama untuk membahas masa depan daerah pemekaran. Perhatikan komentar salah seorang birokrat dibawah ini yang bukan asli dari Maluku Utara sekalipun sudah puluhan tahun di Maluku Utara. Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 223 “Disini namanya etnistas sangat kuat. Jika ada salah seorang pejabat dari etnis tertentu, dia akan membawa serta etnis kelompoknya dalam birokrasi. Hal ini yang menyebabkan adanya KKN dalam politik di Maluku Utara dan akan terus terjadi ketika antara etnis di Maluku Utara tidak segera memutus mata rantai etnisitas tersebut. Hal yang dikhawatirka adalah adanya politisasi etnis untuk kepentingan politik kelompok etnis sebagaimana sekarang terjadi dalam Pemekaran Kabupaten Halmahera Utara dan Halmahera Barat”. (AB, 19 Agustus 2010) Oleh karena politik Maluku Utara berdasarkan pada sendi etnis dan agama maka hampir dipastikan bahwa dalam birokrasi pun akan terjadi pertarungan antar kelompok etnis yang sedang berkuasa dan bersiap akan berkuasa. Dalam Elit lokal dengan birokrasi pemerintahan identitas etnis akan menjadi hal yan krusial dan perlu diperhatikan sehingga membaca konflik pemekaran Maluku Utara bisa dikatakan tidak bisa tanpa memperhatikan dimensi etnisitas dan agama dalam politik. Bahkan yang paling membahayakan adalah sebagaimana dalam politik pemekaran di daerah lain soal asal usul etnis terjadi pula di Maluku Utara. Elit lokal mempergunakan etnisitas dan agama sebagai perekat politiknya sehingga dimensi etnis dan agama tidak dapat lepas dari apa yang disebut sebagai sandera politik etnis dan agama, sebab itukah buffer zone politik lokal yang sampai sekarang dipelihara. Elit lokal dengan tentara setempat dan tentara dari lain dari pun tak jarang berkolaborasi dalam KKN politik di Maluku Utara. Politik berdasarkan latar belakang etnis dan asal usul daerah menjadi faktor yang juga berpengaruh dalam politik pemekaran di Maluku Utara. Sungguh pun dalam banyak hal tidak menguntungkan untuk pengembangan daerah pemekaran, namun tradisi menghubungkan daerah asal dan menghubungkan dengan tentara menjadi faktor yang cukup berpengaruh dalam tradisi politik di Maluku Utara. Inilah yang selama ini juga telah menjadi perhatian oleh para peneliti dan penulis tentang politik Maluku Utara. Konflik Maluku Utara tidak pernah imun dari kehadiran tentara yang berlatar belakang etnis dan agama sama dengan elit politik yang berkuasa. Tulisan Abu Bakar Muhammad memberikan penjelasan soal seperti ini. (Abu Bakar Muhammad, 2009) Agenda-Agenda Politik Identitas Etnis dan Agama Pemilihan gubernur, bupati, walikota dan pemilihan legislatif merupakan agenda politik yang terjadi di Maluku Utara. Kontestasi antarcalon gubernur, bupati, walikota dan anggota legislative tidak pernah sepi dari persaingan antar kontestan yeng berlatar belakang etnis dan agama tertentu. Benar bahwa persoalan agama tidak demikian menguat, tetapi kita dapat saksikan betapa pemberlakuan formalism agama menjadi bagian dalam tradisi politik Maluku Utara. Setiap Jumatan misalnya, jalan raya yang melewati masjid mesti ditutup tidak boleh terdapat kendaraan melewatinya. Jika ada yang melewatinya akan ditangkap dan dihukum oleh masyarakat. Daerah Halhamera Utara dan Halmahera Barat salah pusat yang dalam politik lokal menjadi penting diperhitungkan. Enam desa merupakan wilayah potensial dengan sumber daya alam dan etnis yang beragam dan agama beragam. Akelamo berpenduduk mayoritas (100%) muslim. Akesahu mayoritas Kristen dengan hanya 18 kepala keluarga (KK) beragama Islam. Bobani Ego mayoritas muslim, Dum-Dum 100 % Kristen, Tetewang mayoritas muslim, dan Pasir putih mayoritas Kristen. Dari enam desa yang ada, penduduk terpadat adalah Bobani Ego dan Akelamo, dengan jumlah penduduk 233 KK, Bobani Ego 487 KK, sedangkan empat desa lainnya adalah: Akesahu 668 jiwa; Tetewang 668 jiwa; Pasir Putih 544 jiwa, Dum Dum 110 KK. (Team Peneliti PSKP UGM, 2010) Dengan kondisi penduduk semacam itu, elit lokal seringkali bermain dalam proses politik lokal dengan memanfaatkan sentimen etnis dan agama sebagai pemantiknya. Ketika riset ini berlangsung misalnya, adalah waktu yang sudah berdekatan dengan Pemilihan Walikota Ternate, dimana salah seorang calon berasal dari etnis Bacan dan Jailolo sehingga situasi etnis cukup menonjol disana. Bahkan ketika salah satu pasangan kalah masih menggugat ke MK sekalipun akhirnya kalah. Dan ketika pemilihan bupati hendak berlangsung gambar dari masingmasing calon sangat gencar beredar di Akelamo, Akesahu, Bobani Ego, Tetewang, Pasir Putih dan Dum Dum yang berlatar belakang etnis tertentu sebagai latar belakangnya. Situasi etnisitas dan agama sangat terasa di desa-desa tersebut. Hal yang paling jelas terlihat lainnya adalah adanya Forum Komunikasi Kepala Desa di enam desa yang diketuai seorang mantan kepala desa dan mantan angota dewan. Forum Kepala Desa ini sangat keras penolakannya terhadap penggabungan atas enam desa menjadi wilayah Halmahera Utara dengan argument sejak nenek moyang merupakan etnis Jailolo Timur, bukan Tobelo sebaai ibu kota Halmahera Utara. Situasi kental etnis dan agama behubungan satu dengan lainnya. Dimana kepala desa desa Kristen adalah seorang Kristen, sedangkan kepala desa muslim adalah seorang muslim. Benar bahwa disana mayoritas Kristen atau Muslim tetapi yang menjadi perhatian adalah ikatan emosional etnisitas dan agama menjadi dinomor satukan ketimbang persoalan pelayanan pada masyarakat yang telah dua belas tahun dilanda konflik pemekaran (1999-2010). Identitas keagamaan dan etnisitas benar-benar menjadi ikatan emosional warga masyarakat Maluku Utara dalam menghadapi Pemilukada (bupati maupun walikota dan Pemilu Legislatif). Hal ini yang pantas diperhatikan seksama. Perilaku elit dalam politik pemekaran berdasarkan kultur dan etnis sangat nyata terjadi di Maluku Utara. Itu yang kiranya dapat menjelaskan 224 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226 mengapa konflik pemekaran di Maluku Utara tak kunjung usai dalam proses penyelesaian. Hal ini karena masing-masing etnis membawa agendanya sendiri-sendiri sebagai bagian dari politik patronase atau kongkalikong antara elit tingkat pusat dengan elit tingkat daerah (gubernur dan bupati sekaligus walikota). Politik patronase dan kongkalikong sekalipun banyak dikecam orang dan ahli politik yang berpaham demokratis dan anti feodali namun dalam prakteknya terus berjalan dan tampaknya menguntungkan dalam tradisi politik lokal seperti di Maluku Utara. Patronase merupakan bagian tak terpisahkan dalam kultur politik lokal. Oleh sebab itu, agak sulit diselesaikan ketika dimensi politik etnis dan agama masih dijadikan kendaraan permainan politik lokal. Persoalan politik pemekaran hanya akan berkembang pada tingkat elit lokal dan nasional yang memiliki agenda-agenda politik mempertahankan dominasi politik, ekonomi, birokrasi dan budaya. Pemekaran benar-benar akan memperbanyak jumlah birokrasi, pejabat dan politisi tetapi minim pelayanan publik sebagaimana kita jumpai di Maluku Utara, khususnya pada enam desa. Terjadi dualism pemimpin lokal (desa) tetapi miskin fasilitas apalagi kemakmuran daerah. Yang menikmati pemekaran adalah elit lokal di masing-masing kabupaten, dan desa, sementara warga masyarakat hanya menjadi bagian dari komoditas politik elit lokal yang suaranya dibutuhkan ketika terjadi perhelatan politik lima tahunan. berjalan pada zaman orde sebelum pemekaran, yakni zaman orde sentralisasi. Persoalan politik pemekaran karena masih banyaknya kepentingan sentimen etnis dan kelompok dominan ketimbang politik yang mementingkan kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat umum. Peta konstruksi elit tentang pemekaran jauh berbeda dengan konstruksi kaum minoritas dan masyarakat. Kaum minoritas secara etnis dan agama memandang bahwa pemekaran merupakan agenda politik kaum elit yang memiliki kepentingan memperpanjang dominasi kekuasaan dan menguasai masyarakat secara legal dan disyahkan karena melalui proses politik Pemilu lokal yakni Pemilukada (pemilihan gubernur, walikota, dan bupati). Dari sana elit politik lokal mendapatkan kesempatan untuk mengklaim mendapatkan mandat dari rakyat banyak sekalipun dalam perilaku politiknya tidak membela kepentingan rakyat. Memperhatikan peristiwa politik pemekaran di Maluku Utara dua hal menjadi sangat dominan yakni identifikasi etnis dan agama menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses politik. Identitas etnis dan agama menjadi bungkus yang mujarab untuk melakukan penolakan atau penerimaan sebuah kehendak pemekaran. Pemekaran dengan begitu tidak lain kecuali sebagai sebuah proses dari apa yang oleh Clifford Geertz sebut sebagai involusi. Inilah Involusi politik karena berbasiskan etnisitas dan religi. SIMPULAN DAFTAR PUSTAKA Setelah kita baca apa yang terjadi pada pemekaran di Halmahera Barat dan Halmahera Utara pada enam desa, sesungguhnya kita mendapatkan konstruksi politik pemekaran pada tingkat elit politik, konstruksi pada masyarakat mayoritas dan masyarakat minoritas. Pada tingkat elit, pemekaran adalah jalan keluar untuk mengatasi sentralisasi kekuasaan pusat pada desentralisasi kekuasaan. Prinsip desentralisasi yang didefinisikan dalam tiga kategori: (1) sebagai delegasi tugas-tugas tertentu sementara pusat masih menguasai beberapa sentra-sentra kekuasaan secara keseluruhan yang dapat diperbandingkan dengan UU tahun 1974; (2) sebagai dekonsentrasi yang mengacu pada pergeseran decision making dalam Negara sentralistik, yang tercermin dalam UU tahun 1975; dan (3) sebagai devolusi, yang menyangkut transfer kekuasaan secara aktual ketingkat pemerintahan yang lebih rendah dan diimplementasikan pada tahun 2011. Dalam tiga tafsir pemekaran itulah proses politik di daerah dan pusat tidak pula segera terselesaikan dengan baik. Bahkan dalam beberapa kasus pemekaran, sebagaimana dievaluasi oleh lembaga-lembaga survei semacam Lembaga Survei Indonesia, 88 % daerah pemekaran sebenarnya telah gagal dalam menjalankan filosofi dari pemekaran itu sendiri, karena politik lokal daerah pemekaran berjalan pada feodalisme kepemimpinan yang pernah Abu Bakar, Muhammad. 2009. Merajut Damai di Maluku Utara. UMMU Press. Antlov, Hans. 2002. The State in the Country. Yogyakarta: Lappera. D. Harmantyo. 2007. Pemekaran Daerah dan Konlik Keruangan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Jakarta: Makara. Sains. Vol. 11, No.1, April 2007. Dept. Geografi UI. Decentralization Support Facility. 2007. Proses dan Implikasi Sosial Politik Pemekaran, Studi Kasus di Sambas dan Buton, Laporan. Unpublish. Jakarta. Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum, Depdagri. 2008. Rekapitulasi Permasalahan Perbatasan antar Provinsi, Laporan. Unpublish. Jakarta. Donald K Emmerson. 2001. Beyond Suharto, Politics, Economy and Power. Australia: University Faisal Bakti, Andi, (ed.). 2000. Good Governance and Conflict Resolution in Indoensia. Jakarta: Logos. Geertz, Clifford. 1958. Religion of Java. USA. __________. 1967. Islam Observed. Chicago University, USA. Hancoock. (2007). The Gods of Poverty. Yogyakarta: Pustaka Cinderalas. Henk Schulte Nordholt and Gerry van Klinken. 2007. Local Politics in Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. KITLV. Involusi Politik Pemekaran, Etnisitas, dan Agama: Tantangan Reformasi Birokrasi Kasus Maluku Utara – Zuly Qodir | 225 Henk Schulte, Nordhot dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. Irfan Abu Bakar (ed.). 2005. Transisi Politik dan Konflik Kekersan. Jakarta: UIN. Jones, Stephen, B. 2000. Boundary Making, A Handbook for Statesmen, Treaty Editors and Boundary Commissioners. New York: William S. Hein & Co.,Inc. Buffalo. Kausar dan Eko Subowo. 2008. Kebijakan Penataan Batas Antar Daerah. Modul pelatihan Penegasan Batas Daerah. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geodesi FT UGM. Unpublish. Koeswinarno dan Dudung Abdurrahman. 2006. Fenomena Konflik Sosial di Indonesia. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. KPU, North Maluku Province 2009. Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan. Leo Agustino. 2010. A political Dynasty After the Autonomy of the new order: The Experience of Banten. Prism. Vol 29, No. 3, July 2010, Mochtar Masoed. 1987. The Structure of The Political Economy of The New Order 1966-1985. Jakarta: LP3ES. Muhamin, A. Yahya. 1991. Business and Politics of the New Order Era. Jakarta: LP3ES. of Melbourne. Rasyid, Ryaas, M. 2002. Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya. Workshop Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Cetakan ketiga. Jakarta: LIPI Press. Ratnawati, Tri. 2009. For Sea Areas: Lokal Politics and The Issues Selected. LIPI. Safuan, Razi. 2001. Communal Violence and conflict resolution: Anatomy in Indonesia. Jakarta: LIPI. Subowo, E. 2009. Makalah disampaikan pada FGD Permasalahan Konflik Batas Wilyah. 24 Desember 2009 di Jurusan Teknik Geodesi Fakultas Teknik UGM. Sutisna, Sobar, Sora Lokita dan Sumaryo. 2008. Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan di Indonesia. Workshop Pengelolaan Wilayah Perbatasan. Yogyakarta: Jurusan Ilmu HI/UPN Veteran. November. Syafuan Rozi (dkk.). 2006. Kekerasan Komunal, Anatomi dan Resolusi Konflik di Indonesia. 2006. Team Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian. 2010. UGM, Laporan Assesment di Enam Desa Kabupaten Halmahera Barat. TK, Ommen. 2007. Citizenship, Nationality and Ethnicity, Creation of discourse. Yogyakarta. __________. 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan dan Etnisitas. Vivian Louis Forbes. 2001. Conflict and Cooperation in Managing Maritime Space in Semi-enclosed Seas. Singapore: Singapore University Press, Yusof Ishak House. Welfizar. 2004. Analisis Alternatif Kebijakan Penyelesaian Konflik Perubahan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agama. Yogyakarta: Program Studi Magister Adminstrasi Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Pasca Sarjana UGM. Winters, Jeffry. 2007. Democracy and Oligarchy. Gramedia Pustaka Utama. Zartman, I William. 1997. Governance as Conflict Management: Politics and Violence in West Africa. USA: Washington DC. 226 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 217 - 226 PENGEMBANGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG: DIAGNOSTIK WILAYAH CIKAPUNDUNG RIVER BASIN (DAS) DEVELOPMENT: DIAGNOSTIC AREA Saeful Bachrein Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Jalan Ir. H. Juanda No. 287, Bandung E-mail: [email protected] Diterima: 19 Oktober 2012; direvisi: 29 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Diagnostik Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung telah dilaksanakan pada tanggal 1-15 November 2011 melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi; (2) Mengidentifikasi masalah dan alternatif pemecahannya; dan (3) Merumuskan rencana kegiatan sesuai hasil PRA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa DAS Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung, meskipun kondisi saat sangat memprihatinkan sebagai akibat pencemaran yang relatif berat. Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi telah disepakati bahwa kegiatan dan alternatif teknologi yang akan dikembangkan, berturut-turut sesuai dengan prioritasnya adalah: (1) Penegakan hukum; (2) Penerapan teknologi pengolahan sampah dan limbah pertanian/peternakan untuk energi alternatif dan kompos; (3) Penerapan mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah (bak dan pengangkutannya); (5) Pemberdayaan kelompok masyarakat; (6) Penguatan pelayanan penyuluhan dan informasi; (7) Penerapan teknologi sapi perah ramah lingkungan; (8) Penghijauan; (9) Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga; (10) Fasilitasi kemitraan antara masyarakat dengan Lembaga Penelitian dan swasta; (11) Pengembangan septic tank; dan (12) Revitalisasi pemukiman. Kata kunci: DAS Cikapundung, permasalahan, alternatif pemecahan, dan rencana kegiatan. Abstract Diagnostic area of Cikapundung river basin was conducted in November 1-15, 2012 by using Participatory Rural Appraisal (PRA) approach. The objective of the study were: (1) to characterize biophysic and social economy conditions; (2) to identify the problem and solving alternatives, and (3) to formulate activity plans based on PRA’s results. Research results indicated that Cikapundung river basin was consider as a river which having function of main drainage of the Bandung city, eventhough its condition was miserable due to heavily contamination. Based on the result of identification and characterization, it were agree that the activity and alternative technology to be developed included: (1) Law enforcement; (2) Technology implementation of garbage processing and agriculture/animal waste for alternative energy and compos; (3) Mycrohydro implementation; (4) Garbage processing facilities; (5) community group empowerment; (6) Improving extention and information services; (7) Implementation of environment friendly of cow technology; (8) Forestation; (9) Garbage processing training; (10) Facilitating of partnership between Research Institution and private sectors; and (11) Septic tanc development; and (12) Revitalization of reseltment. Keywords: Cikapundung river basin, problem, problem solving, and activity plan. PENDAHULUAN Kota Bandung, selain merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat juga sekaligus sebagai ibu kota Provinsi tersebut. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, sehingga bentuk morfologi wilayahnya bagaikan sebuah mangkok raksasa. Secara geografis, kota ini terletak di tengah-tengah provinsi Jawa Barat, dan pada ketinggian sekitar 768 m di atas permukaan laut (dpl.) dengan titik tertinggi berada di sebelah utara dengan ketinggian rata-rata 1.050 m dpl., dan sebelah selatan merupakan kawasan rendah dengan ketinggian rata rata 675 m dpl. Tingkat urbanisasi di Kota Bandung sangat tinggi terutama beberapa tahun terakhir ini yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan seperti lingkungan, transportasi, energi (listrik, air, dan lain-lain), perumahan, dan lainnya. Permasalahan tersebut juga terjadi pada daerah bantaran beberapa sungai dan anak sungainya yang melalui Kota Bandung, salah satunya diantaranya adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung yang melintas tepat di tengah kota. Seiring dengan perkembangan Kota Bandung, perubahan wajah Sungai Cikapundung merupakan cerminan dari perubahan Kota Bandung. Munculnya kantong-kantong kumuh dan konversi lahan di sepanjang bantaran Sungai Cikapundung Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 227 membuat wajah sungai tersebut kurang sedap untuk dipandang. Panjang Sungai Cikapundung mulai dari hulu sampai dengan muaranya di sungai Citarum adalah sekitar 39 km, melewati tiga wilayah administrasi yaitu Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kota Bandung (Sofyan, 2004). Untuk Kota Bandung, mulai dari dam Bengkok sampai dengan jalan tol Padaleunyi adalah sepanjang 15,5 km, merupakan bagian tengah sedangkan bagian hulu dan hilir merupakan wilayah Kabupaten Bandung. Dimensi rata-rata di bagian hulu lebarnya sekitar 6 m, sedangkan di bagian hilir sekitar 20 m. Keadaan lingkungan serta ekosistem Sungai Cikapundung terutama yang melewati Kota Bandung pada saat ini, sudah sangat mengkhawatirkan. Sungai yang dulunya menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat lokal airnya telah berubah menjadi keruh dan bau, bantaran menjadi sempit, dan banyak sampah yang terlihat (Maria, 2008). Sebagai upaya untuk memperbaiki Sungai Cikapundung dan kawasan sekitarnya, sejak tahun 2004, Pemerintah Kota Bandung telah mencanangkan Gerakan Cikapundung Bersih (GCB), dengan tujuh tahapan pelaksanaan operasionalnya, secara berturut-turut, yaitu: bakti sosial, pengerukan sedimen, normalisasi sungai, inventarisasi bangunan di bantaran sungai, penataan sempadan sungai, pembangunan bangunan air, dan penghijauan. Dalam pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan, yaitu: (1) Satuan pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadahan atau daerah kepala sungai, dan (2) Satuan pengelolaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Istilah “watershed” digunakan secara terbatas untuk menamai daerah tadahan, sedang daerah bawahan dinamakan “commanded area” (Roy and Arora, 1973; Asdak, 2004). Yang dinamakan “commanded area” ialah daerah-daerah yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun suatu bendungan atau waduk maka seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak di bawah garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan “commanded area”. Pengelolaan daerah tadahan ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut: (1) Mengendalikan aliran permukaan turah (excess) yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir; (2) Memperlancar infiltrasi air ke dalam tanah; (3) Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna; dan (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan produksi. Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkaskan sebagai berikut: (1) Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan; (2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya; (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber- sumber air tersediakan; dan (4) Meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah. Berdasarkan uraian di atas, menarik sekali kiranya untuk mengetahui inovasi teknologi yang diperlukan untuk mendukung perbaikan baik fisik maupun kualitas bantaran Sungai Cikapundung melalui pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA). Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mengkarakterisasi kondisi bio-fisik dan sosial ekonomi; (2) Mengidentifikasi masalah dan alternatif pemecahannya; dan (3) Merumuskan rencana kegiatan sesuai hasil PRA. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi terkait dengan kondisi yang ada untuk dijadikan dasar dalam memberikan usulan perbaikan lingkungan sekitar Sungai Cikapundung. Lebih jauh lagi menjadi umpan balik/masukan kepada pemerintah daerah dan seluruh pemerhati dalam menangani DAS Cikapundung yang selanjutnya mampu: 1. Menjadi dasar pembuatan manajemen perkotaan yang berwawasan lingkungan dalam ruang dan waktu. 2. Mempertahankan kelestarian sungai sebagai salah satu sumber air bagi masyarakat Kota Bandung. 3. Digunakan sebagai kerangka dasar pemikiran dalam hal pemilihan system infrastruktur kota yang berwawasan lingkungan (hulu-hilir) dalam rangka upaya meningkatkan kesehatan lingkungan. METODE PENELITIAN Identifikasi dan karakterisasi wilayah dengan menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) telah dilaksanakan di DAS Cikapundung bagian hulu (Kecamatan Lembang), tengah (Kecamatan Tamansari), dan hilir (Kecamatan Batununggal) pada tanggal 1-15 November 2011. Pertemuan untuk ketiga wilayah tersebut dilaksanakan di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan yang dilanjutkan kunjungan lapang di masing-masing wilayah DAS Cikapundung. Peserta PRA sebanyak 64 orang dan terdiri atas: (1) Penduduk setempat yang rumahnya terletak di pinggiran bantaran sungai; dan (2) Informan kunci yang terdiri atas pedagang, tokoh masyarakat, aparat desa/kecamatan, Bappeda Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat, dan pemerhati lingkungan. Analisis data dilakukan dengan tabulasi yang kemudian dibahas secara deskriptif. PRA merupakan salah satu metode untuk menggali kondisi wilayah (khususnya masalah dan alternatif pemecahannya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki) secara mendalam dan cepat dengan melibatkan masyarakat dan pihak lainnya yang terkait (Badan Litbang Pertanian, 2005). 228 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236 Melalui PRA diharapkan keterlibatan masyarakat secara penuh sejak perencanaan hingga evaluasi, sehingga masyarakat merasa bahwa program yang dilaksanakan bukan semata-mata karena program Pemerintah Daerah tetapi merupakan program masyarakat setempat. PRA merupakan langkah awal yang harus dilaksanakan sebelum merumuskan perencanaan dalam pengembangan bantaran Sungai Cikapundung, dengan beberapa keluaran penting, yaitu: (1) Pemahaman potensi, masalah, dan peluang pengembangan wilayah, (2) Rancang Bangun pengembangan wilayah, dan (3) Tahapan kegiatan inovasi selama lima tahun ke depan. outlet dan bersatu membentuk Sungai Cikapundung (Sofyan, 2004). Sungai ini mengalir melewati kawasan hutan lindung sampai bertemu dengan anak Sungai Cisarua di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang dan anak Sungai Cigulung di kawasan wisata Maribaya, yang terletak di Desa Langensari, Kecamatan Lembang. Selanjutnya aliran sungai menuju ke kawasan Hutan Lindung Taman Insinyur Haji Djuanda atau yang biasa dikenal dengan kawasan Dago Pakar. Kemudian arah aliran sungai menuju ke arah hilir yang telah terdapat banyak pemukiman penduduk, yaitu Babakan Siliwangi, Melong, By Pass, sampai menuju ke arah Desa Bojong Soang dan akhirnya bertemu dengan aliran Sungai Citarum. HASIL DAN PEMBAHASAN Penduduk Penduduk merupakan salah satu indikator tingkat perkembangan kota yang sekaligus sebagai salah satu faktor juga dalam memberikan pengaruh terhadap kondisi DAS baik secara kualitas maupun kuantitas. Jumlah penduduk yang berdomisili di DAS Cikapundung mencapai 793.177 jiwa, dan jumlah penduduk tertinggi di Kelurahan Tamansari, yaitu 28.729 jiwa (Tabel 1). Kepadatan penduduk di DAS Cikapundung tergolong tinggi dengan rata-rata 5.591/km2 dengan kepadatan tertinggi di Kelurahan Maleer, Batu Nunggal. Jumlah rumah tangga yang tinggal di bantaran sungai 6.837 rumah tangga (RT). Kondisi Umum DAS Cikapundung merupakan salah satu bagian dari DAS Citarum, yaitu sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat. DAS tersebut terletak pada Cekungan Bandung, dan memiliki daerah tangkapan seluas 14.211 ha. DAS Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung. Hingga saat ini, DAS ini masih sangat potensial bagi penyedia air baku untuk kebutuhan penduduk meskipun debit air bulanannya mengalami penurunan hingga 20-30% dari normal (Maria, 2008). Sungai Cikapundung melintasi Kota Bandung sepanjang 15,50 km dengan 10,57 km diantaranya (68,20%) dari panjang total merupakan daerah pemukiman padat penduduk yang dipenuhi bangunan. Ketinggian sungai berkisar antara 650-2.067 m dpl., dengan kemiringan di hulu sebesar 3-10% dan di hilir sebesar 0-3%. Sungai ini berasal dari mata air yang berada di Gunung Bukit Tunggul yang kemudian membentuk Pemanfaatan DAS Cikapundung DAS Cikapundung sejak dahulu telah dimanfaatkan sebagai berikut (Sofyan, 2004): 1. Sebagai sumber air baku air minum dan pembangkit listrik yang terbagi atas: (1) Pada ketinggian 930 m dpl., melalui bendung Bantar Awi dialirkan air sebanyak 600 l/detik untuk PDAM Dago Pakar; (2) Sekitar 30 m ke arah Tabel 1. Kondisi Penduduk di Seluruh DAS Cikapundung 2009 No Titik Sampling 1. 2. Dago Pakar Lebak Siliwangi 3. Tamansari 4. Viaduct 5 Sukarno Hatta Hilir/Citarum Kecamatan Lembang Sukasari Cidadap Coblong Bandung Wetan Sumur Bandung Cicendo Regol Lengkong Bandung Kidul Padalarang Area Tangkapan Luas Jumlah Area Penduduk (km2) (jiwa) 98,58 76.857 6,14 262.282 Kepadatan (jiwa/km2) 779,6 42.716,9 6,70 32.315 4.823,1 3,69 146.169 39.612,2 16,82 161.356 9.591,1 10,18 114.198 11.217,9 Total 142,11 Sumber: BPS Kota Bandung (2010); diolah. 793.177 5.591,4 6. Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 229 2. 3. hilir, melalui bendung kedua buatan PLTA sejak 1923, dialirkan sebanyak 3.000 l/detik yang dikumpulkan dalam suatu kolam dengan kapasitas 30.000 m3 pada ketinggian 923 m dpl. Dari kolam tersebut dimanfaatkan untuk PDAM Pengolahan Mini Plant Pakar sebanyak 60 l/detik, PLTA Dago Bengkok dengan beban operasi ekuivalen 3.500 l/detik (keluarannya digunakan untuk irigasi sebanyak 500 l/detik dan PLTA Dago Pojok sebanyak 3.000 l/detik), dan keluaran dari PLTA sebanyak 2.250 l/detik dikembalikan ke Sungai Cikapundung: dan (3) Selanjutnya pada ketinggian 740 m dpl. (daerah Lebak Siliwangi), dialirkan ke PDAM Badak Singa sebanyak 180 l/detik dan penggelontoran sungai Cikapayang sebesar 1.500 l/detik. Sebagai Penggelontor Kota: melalui bendungbendung yang ada termasuk di atas. Awalnya Sungai Cikapundung berfungsi sebagai sumber air untuk pertanian, namun dengan adanya pengembangan penggunaan lahan dari pertanian (sawah) menjadi perumahan, maka fungsi sungai berubah menjadi penggelontoran kota untuk menujang kesehatan lingkungan kota. Sebagai Obyek wisata: Di sekitar Sungai Cikapundung terdapat lokasi wisata yang banyak dikunjungi dimana salah satunya adalah Curug Dago yang di dalamnya terdapat Situs Thailand. Analisis Masalah dan Alternatif Pemecahannya 1. Analisis Masalah Berdasarkan hasil PRA diketahui bahwa pengembangan DAS Cikapundung selama ini menghadapi berbagai permasalahan (Lampiran Tabel 2) yang mengakibatkan kualitas lingkungan DAS sangat rendah. Penggunaan lahan di DAS Cikapundung sangat beragam mulai dari hutan, perkebunan, persawahan, permukiman (perumahan, kawasan industri, perkantoran, pertokoan dan jasa), rumput/tanah kosong, semak belukar dan ladang (Sofyan, 2004). Sepanjang aliran sungai ini terutama yang melewati Kota Bandung penuh dengan pemukiman, perdagangan dan lain-lain yang memanfaaatkan fungsi dari sungai tersebut. Akibatnya, pemanfaatan air Sungai Cikapundung sangat beragam mulai dari pemanfaatan langsung oleh masyarakat seperti mandi-cuci, sumber air baku Perusahaan Daerah air Minum (PDAM), pembangkit listrik dan penggelontoran kota. Kondisi Sungai Cikapundung saat ini adalah sangat memprihatinkan yang diakibatkan adanya pencemaran yang relatif berat. Kadar koli tinja mencapai 50.000/100 ml atau 250 kali di atas baku mutu, sehingga bila kualitas air seperti itu tetap dikonsumsi masyarakat, jelas sangat membahayakan kesehatan. Di pihak lain, masyarakat umumnya tidak memiliki budaya takut dan malu dalam membuang sampah pada tempatnya. Sarana untuk pembuangan sampah pun masih dirasakan jauh dari cukup. Di daerah hulu Sungai Cikapundung, sekitar 30% penduduknya hidup dari peternakan terutama memelihara sapi perah dan selebihnya memiliki pekerjaan utama sebagai petani sayuran. Jumlah sapi perah diperkirakan mencapai 6.800 ekor pada akhir tahun 2009 dengan limbah padat yang dihasilkan mencapai sekitar 204-306 ton/hari dan limbah cair sebanyak 680-1.700 kilo liter/hari (Tabel 3). Dengan demikian, bahan yang mengotori sungai juga termasuk kotoran ternak yang dibuang ke saluran-saluran yang bermuara ke Sungai Cikapundung. Tabel 3. Populasi Sapi Perah dan Produksi Limbahnya di Daerah Hulu DAS Cikapundung 2011 Desa 1. 2. 3. 4. 5. Cibogo Cikole Cikidang Wangunharja Suntenjaya Populasi (ekor) 1.700 1.500 1.000 600 2.000 6.800 Limbah Padat (ton) 51-76,5 45-67,5 30-45 18-27 60-90 204-306 Limbah Cair (kilo liter) 170-425 150-375 100-250 60-150 200-500 280-1.700 Sumber: Sofyan (2004) Pencemaran Sungai Cikapundung, 80% diantaranya disebabkan oleh limbah domestik dan sisanya adalah industri yang menyumbang bahanbahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, ke aliran sungai (BPLHD Provinsi Jawa Barat, 2003; Maria, 2008). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa dari beberapa sungai yang berada di DAS Citarum, ternyata Sungai Cikapundung menduduki peringkat pertama yang memiliki tingkat pencemaran paling tinggi berdasarkan pengukuran Biochemical Oxygen Demand (BOD) dan unsur hara seperti nitrogen dan fosfor. Sebaliknya, oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) semakin rendah. Tingkat erosi di DAS Citarum terutama bagian hulu berada dalam kondisi sangat buruk dengan nilai rata-rata sebesar 491 ton/ha/th (Maria, 2008). Hal ini berarti bahwa rata-rata pengurangan lapisan tanah di wilayah tersebut adalah sekitar 4,09 cm/tahun. Dari delapan sub DAS yang ada, Cikapundung mempunyai kelas erosi yang buruk, sedangkan Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey adalah sangat buruk. Penggunaan lahan untuk pertanaman sayuran, seperti: kentang, wortel, caisin, bawang daun, dan lain-lain memberikan kontribusi paling besar dalam memperburuk kondisi erosi di wilayah DAS Cikapundung ini. Kondisi erosi yang mencapai tingkatan buruk di bagian hulu DAS Cikapundung tersebut di atas, telah menyebabkan terjadinya sedimentasi dalam jumlah yang relatif besar di Cekungan Bandung yang berjumlah sekitar 1,83 juta ton/tahun. Sedimentasi tersebut mengakibatkan terjadinya pendangkalan badan air yang ada, yaitu sungai dan saluran drainase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendangkalan badan air mencapai 17 cm/tahun sehingga 230 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236 menurunkan kapasitas dari badan air meningkatkan putensi luapan permukaan/banjir. dan 11. 12. 2. Alternatif Pemecahan Masalah Berdasarkan hasil rekapitulasi permasalah dalam pengembangan DAS Cikapundung, diperlukan berbagai alternatif pemecahannya (strategi) sehingga setiap permasalahan tersebut dapat diantisipasi secara simultan dan terkoordinasi. Sebagai langkah awal, mengingat keterbatasan sumberdaya, dilakukan terlebih dahulu penentuan prioritas program/kegiatan berdasarkan beberapa kriteria penilaian. Adapun kriteria penilaian meliputi: (1) Dampak terhadap pengembangan program/kegiatan sesuai dengan target dan waktu yang ditetapkan, (2) Ketersediaan inovasi terkini (teknologi atau kelembagaan), (3) Persepsi (keinginan) masyarakat setempat, (4) Dukungan aparat Pemerintah Daerah, (5) Peluang Keberhasilan, (5) Kemudahan dalam pelaksanaan, dan (6) Kondisi infrastruktur yang dapat mendukung pelaksanaan setiap kegiatan. Dari hasil penilaian tersebut, telah terpilih prioritas program/kegiatan berturut-turut sebagai berikut: (1) Penegakan hukum tentang lingkungan; (2) Penerapan inovasi teknologi pengolahan sampah dan limbah pertanian/ peternakan untuk energi alternatif dan kompos; (3) Penerapan inovasi teknologi Mikrohidro; (4) Penyediaan sarana sampah; (5) Penguatan/pemberdayaan kelompok masyarakat; (6) Penguatan pelayanan penyuluhan dan informasi; (7) Penerapan inovasi teknologi sapi perah ramah lingkungan; (8) Penghijauan di DAS bagian hulu, tengah dan hilir; (9) Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga dan limbah lainnya; (10) Kemitraan dengan lembaga penelitian dan swasta; (11) Pengembangan septic tank komunal; dan (12) Revitalisasi pemukiman. Tabel 4. Prioritas Program/Kegiatan Berdasarkan Kriteria Penilaian Yang Ditetapkan 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Aspek Penguatan Pelayanan Penyuluhan dan Informasi Penguatan/Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Penyediaan Sarana Sampah (bak dan angkutannya) Pengembangan Septic Tank Komunal Revitalisasi Pemukiman Penegakan Hukum tentang lingkungan Penerapan inovasi Teknologi Pengolahan Sampah dan Limbah Peternakan untuk energi alternatif dan kompos Penerapan inovasi Teknologi Mikrohidro Penerapan inovasi Teknologi Sapi Perah ramah lingkungan Kemitraan dengan Lembaga Penelitian & Swasta Nilai 29 Rangking VI 30 V 31 IV 22 XI 20 35 XII I 34 II 33 III 28 VII 24 X Penghijauan di DAS bagian hulu, tengah, dan hilir Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga dan limbah lainnya 26 VIII 25 IX Kebutuhan Inovasi Teknologi Berdasarkan hasil identifikasi dan karakterisasi terutama yang terkait dengan permasalahan dan alternatif pemecahannya, maka telah disepakati bahwa alternatif teknologi yang akan dikembangkan, sebagai berikut: 1. Pengolahan Sampah Terpadu Sampah adalah kumpulan berbagai material buangan yang merupakan sisa proses dan kegiatan kehidupan manusia. Saat ini, penanganan sampah masih sebatas pada penanganan yang konvensional yaitu sampah dibuang di Sungai Cikapundung, secara terbuka, untuk dibiarkan membusuk dengan sendirinya. Akibatnya, sampah tersebut menjadikan sumber polusi udara karena baunya, dan polusi air yang dikarenakan penanganan air lindinya (leacheate) kurang bagus sehingga meresap kemana-mana, serta menjadi penyebab terjadinya wabah penyakit dan juga sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir. Inilah salah satu bentuk masalah yang ditimbulkan apabila sampah tersebut tidak ditangani segera dan secara sistematis, yang mencakup: Tempat penumpukan sampah yang datang, sortasi, composting, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan Incinerator (KNRT, 2010). 2. Unit Instalasi Kotoran Sapi Menjadi Biogas Biogas adalah salah satu sumber energi terbarukan yang bisa menjawab kebutuhan energi dan hasil samping berupa pupuk organik. Teknologi biogas berpotensi dikembangkan untuk memanfaatkan secara optimal limbah peternakan sapi agar masalah pencemaran lingkungan dapat diminimalisir, sekaligus penerapan konsep nir limbah di bidang pertanian yang ramah lingkungan. Reaktor biogas yang dikembangkan adalah tipe fixed dome dengan kapasitas 18 m3 atau dapat menampung 200 kg kotoran sapi/hari (10-20 ekor) dengan waktu retensi 45 hari (Badan Litbang Pertanian, 2011). Reaktor ini mampu menghasilkan biogas sebanyak 6 metrik kubik per hari. Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai sumber energi pada kompor gas, lampu penerangan, dan generator listrik skala rumah tangga, Hasil analisa kelayakan ekonomi memperlihatkan investasi layak dengan B/C rasio 1,35 dan modal investasi kembali pada tahun keempat. Umur ekonomi reaktor biogas 20 tahun. 3. Mikrohidro Mikrohidro adalah suatu pembangkit listrik skala kecil yang menggunakan tenaga air sebagai tenaga penggeraknya seperti: saluran irigasi, sungai atau air terjun alam dengan cara Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 231 4. memanfaatkan air terjunan (head) dan jumlah debit air (Arne, 2001; Ujang 2007). Prinsip dasar mikrohidro adalah memanfaatkan energi potensial yang dimiliki oleh aliran air pada jarak ketinggian tertentu dari tempat instalasi pembangkit listrik. Reboisasi dan Penghijauan Laju peresapan air ke dalam tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat kelebatan vegetasi pada tanah tersebut. Oleh sebab itu, vegetasi pada kawasan hutan harus dijaga dengan cara reboisasi pada kawasan hutan yang gundul serta pencegahan pembalakan pada hutan yang telah lebat. Pada kawasan perkebunan serta lahanlahan kosong lainnya dilakukan penghijauan sehingga peresapan air ke dalam tanah dapat berlangsung optimal. Penghijauan adalah suatu kegiatan yang mengandung dua tujuan pokok yang saling berkaitan erat (Notohadiprawiro, 1981), yaitu: (1) Memasukkan gatra ekologi atau pelestarian lingkungan dalam usahatani dan dalam membina daerah pemukiman; dan (2) Meningkatkan produktivitas usahatani dan pekarangan serta membuat nyaman lingkungan tempat tinggal. Oleh karena itu, penghijauan merupakan unsur tata guna lahan, serta berciri tempat dan waktu. Hakekat penghijauan adalah metode biologi untuk pembenahan tata guna lahan. Metode mekanik yang sering disertakan dalam penghijauan, yaitu penyengkedan dan pengundakan lereng, sderta pembuatan saluran pembuang air turah dari aliran permukaan, merupakan usaha pendukung atau pelenglap. Penghijauan dengan menggunakan konsep ”agroforestry”, yaitu sistem pengelolaan lahan yang mantap yang mampu meningkatkan hasil panen dengan jalan menggabungkan penghasilana pertanaman, termasuk tanaman pohon, dan ternak pada sebidang lahan yang sama dan pengelolaannya selaras dengan kebiasaan yang dikerjakan oleh penduduk setempat. Pemecahan Masalah/Tindak Lanjut Program Pengembangan DAS Cikapundung merupakan salah satu program khusus Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat untuk menunjang pelaksanaan “Cikapundung Bersih” yang dipandang mampu memberikan manfaat kepada pembangunan Jawa Barat secara signifikan, antara lain: (1) meningkatnya muatan inovasi baru dalam pengembangan DAS Cikapundung, (2) meningkatnya lingkungan bantaran sungai Cikapondung, sehingga pemukiman menjadi asri dan kualitas air sungai sangat baik, dan (3) meningkatnya efisiensi dan sinkronisasi sumberdaya pembangunan dan dana pemerintah, terutama yang digunakan untuk revitalisasi Sungai Cikapundung. Satuan Program Pembangunan DAS Cikapundung terdiri atas satu hamparan bantaran sungai, yaitu di daerah Hulu, Tengah dan Hilir. Setiap wilayah tersebut dibangun bersama secara partisipatif oleh masyarakat, pemerintah daerah, pengusaha swasta, dan pemangku kepentingan lainnya yang relevan. Selama lima tahun (2012-2016), kegiatan Pengembangan DAS Cikapundung diarahkan untuk mewujudkan DAS Cikapundung yang asri yang didukung inovasi teknologi dan kelembagaan yang tepat. Berdasarkan penentuan prioritas program/kegiatan, maka disusun berbagai kegiatan secara sistematis yang dalam pelaksanaannya didukung seluruh aktor/stakeholders yang terlibat, seperti terlihat pada Lampiran Tabel 5. SIMPULAN Dari hasil PRA yang dilaksanakan selama enam hari, tanggal 1-5 November 2011, di DAS Cikapundung bagian Hulu, Tengah dan Hilir dapat disimpulkan, sebagai berikut: Pertama, DAS Cikapundung merupakan sungai yang berfungsi sebagai drainase utama di pusat Kota Bandung. Hingga saat ini, DAS ini masih sangat potensial bagi penyedia air baku untuk kebutuhan penduduk meskipun debit air bulanannya mengalami penurunan hingga 20-30% dari normal. Sungai Cikapundung melintasi Kota Bandung sepanjang 15,50 km dengan 10,57 km diantaranya (68,20%) dari panjang total merupakan daerah pemukiman padat penduduk yang dipenuhi bangunan. Ketinggian sungai berkisar antara 650-2.067 m dpl., dengan kemiringan di hulu sebesar 3-10% dan di hilir sebesar 0-3%. Kedua, sepanjang aliran sungai ini penuh dengan pemukiman, perdagangan dan lain-lain yang memanfaatkan fungsi dari sungai tersebut umumnya tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Akibatnya, Saat ini, kondisi Sungai Cikapundung sangat memprihatinkan. Terlihat warna airnya sangat keruh yang menunjukkan adanya pencemaran yang relatif berat. Ketiga, pencemaran Sungai Cikapundung, 80% diantaranya disebabkan oleh limbah domestik dan sisanya adalah industri yang menyumbang bahanbahan berbahaya dan beracun, seperti logam berat, ke aliran sungai. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa dari beberapa sungai yang berada di DAS Citarum, ternyata Sungai Cikapundung menduduki peringkat pertama yang memiliki tingkat pencemaran paling tinggi berdasarkan pengukuran BOD, COD, dan unsur hara seperti nitrogen dan fosfor. Keempat, tingkat erosi di DAS Citarum terutama bagian hulu berada dalam kondisi sangat buruk dengan nilai rata-rata sebesar 491 ton/ha/th. Hal ini berarti bahwa rata-rata pengurangan lapisan tanah di wilayah tersebut adalah sekitar 4,09 cm/tahun. Dari delapan sub DAS yang ada, Cikapundung mempunyai kelas erosi yang buruk, sedangkan Cirasea, 232 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236 Cisangkuy, dan Ciwidey adalah sangat buruk. Penggunaan lahan untuk pertanaman sayuran, seperti: kentang, wortel, caisin, bawang daun, dan lain-lain memberikan kontribusi paling besar dalam memperburuk kondisi erosi di wilayah DAS Cikapundung ini. Kelima, pengembangan DAS Cikapundung dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: (1) padatnya pemukiman penduduk di bantaran sungai, (2) rendahnya kualitas sumberdaya manusia (masyarakati) terutama diakibatkan rendahnya pendidikan), dan (3) rendahnya penerapan inovasi teknologi yang disebabkan oleh lambatnya proses diseminasi inovasi teknologi. Keenam, pada saat ini, pengolahan sampah terintegrasi sudah saatnya diterapkan di Kota Bandung dan sekitarnya mengingat teknologi ini disamping memiliki biaya investasi dan operasionalnya relatif murah juga memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (1) Pengolahan sampah tanpa sisa, mulai pengumpulan dan pengangkutan hingga pengolahan; (2) Sampah menjadi barang bermanfaat untuk masyarakat sekitar; (3) Peningkatan motivasi segenap lapisan masyarakat untuk perduli terhadap sampah, serta menjaga lingkungan dan seluruh kota agar tertata rapi dan asri; (4) Instalasi layak dibangun di kota karena sistem pengolahan sampah terintegrasi aman bagi kesehatan dan lingkungan; (5) Pemerintah daerah dapat memperluas dan mengembangkan lapangan kerja bagi masyarakat setempat; dan (6) Pemerintah daerah bersama dengan masyarakat saling bekerjasama dalam mempercantik kota dan membuat lingkungan kota menjadi indah dan nyaman. Ketujuh, mikrohidro dapat digunakan untuk penyediaan listrik yang menunjang kegiatan sosial ekonomi masyarakat karena memiliki berbagai keuntungan, yaitu: (1) Biaya operasional lebih rendah dibandingkan dengan mesin disel yang menggunakan energi fosil (BBM); (2) Penerapannya relatif mudah dan ramah lingkungan, tidak menimbulkan polusi udara dan suara; (3) Efisiensi tinggi; dan (4) masyarakat dapat membantu menjaga kondisi lingkungan daerah tangkapan airnya. Saran Lembaga penelitian, baik milik pemerintah maupun swasta telah berhasil menciptakan inovasi teknologi pengolahan sampah dan penyediaan listrik yang sederhana serta dapat digunakan secara luas untuk mengantisipasi permasalahan sampah di DAS Cikapundung. Pengembangan inovasi teknologi tersebut perlu didukung dengan pemberdayaan lembaga-lembaga lokal yang sudah tumbuh, berkembang, dan mengakar pada komunitas setempat. Beberapa aspek kelembagaan yang perlu diperkuat untuk mendukung pengembangan DAS Cikapundung, antara lain kelembagaan penyuluhan dan informasi, kelompok masyarakat, dan penyediaan sarana persampahan. DAFTAR PUSTAKA Arne, K. 2001. Hydropower in Norway. Mechanical Equipment. Trondheim: Norwegian University of Science and Technology. Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Badan Litbang Pertanian. 2005. Panduan Pelaksanaan PRA. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 2011. Dua Ratus Teknologi Inovatif Badan Litbang Pertanian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. BPLHD Provinsi Jawa Barat. 2003. Model sebagai Alat Bantu dalam Mengelola Lahan dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Debit Air Sungai di Provinsi Jawa Barat. Bandung: Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat. BPS Kota Bandung. 2010. Kota Bandung dalam Angka 2009. Bandung: Badan Pusat Statistik Kota Bandung. KNRT. 2010. Seratus Inovasi Indonesia. Jakarta: Kementrian Negara Riset dan Teknologi. Maria, R. 2008. Hidrogeologi dan Potensi Resapan Air Tanah Sub DAS Cikapundung Bagian Tengah. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan 18 (2): 21-30. Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Program Penghijauan. Makalah disampaikan pada Kuliah Penataran Perencanaan Pembangunan Perdesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Roy, K., and D. R. Arora. 1973. Technology of Agricultural Land Development and Water Management. India, New Delhi: Satya Prakashan. Tech. India Publ. Sofyan, I. 2004. Pengaruh Tata Guna Lahan terhadap Kualitas dan Kuantitas Air Sungai Cikapundung. Tesis. Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro. Suharto, M. 2004. Dukungan Teknologi Pakan dalam Usaha Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Lokal. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong: ”Strategi Pengembangan Sapi Potong dengan Pendekatan Agribisnis dan Berkelanjutan. Yogyakarta 8-9 Oktober, 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Ujang, H. 2007. Desain, Manufacturing, dan Instalasi Turbin Propeler Open Flume di CV. Cihanjuang Inti Teknik, Cimahi, Jawa Barat. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 233 Lampiran Tabel 2. Masalah, Sumber Masalah, Akar Masalah, dan Solusi Masalah Pengembangan DAS Cikapundung. 2011. 1. Masalah Kondisi bantaran sungai parah/ kumuh 1. Air sungai tercemar berat 1. Akar Masalah Pengetahuan dan ketrampilan rendah yang disebabkan karena pendidikan rendah dan pembinaan relatif kurang Penegakan hukum sangat rendah karena berbagai aturan belum diterapkan Tata Ruang tidak ada 2. Upaya perbaikan tidak ada 1. Kesadaran masyarakt sangat rendah yang tercermin dari perilaku dan diakibatkan terjadinya pergeseran nilai budaya 2. Septic tank tidak tersedia 1. Fasilitas tempat sampah tidak ada 2. Teknologi pengolahan limbah tidak ada 1. 2. 2. 2. Sumber Masalah Pemukiman Penduduk sangat padat 1. 2. 3. Jalur Hijau tidak ada Pembuangan limbah rumah tangga, pertanian dan industri Penumpukan sampah padat Pendangkalan badan sungai Erosi, sedimentasi, dan banjir Solusi Masalah Pembinaan ditingkatkan melalui pendekatan kelompok masyarakat Penegakan hukum dilaksanakan dengan konsekuen. Pembuatan RTRW dilanjutkan dengan revitalisasi pemukiman penduduk yang padat Penataan lingkungan dengan melibatkan masyarakat secara penuh. 1. Peningkatan peran masyarakat dalam pengembangan DAS Cikapundung secara utuh 2. Pembinaan masyasakat secara intensif Rekonstruksi perumahan/Penyediaan septic tank. Peningkatan kemitraan dengan swasta dalam penyediaan tempat sampah dan pengangkutannya 1. Peningkatan kemitraan dengan lembaga penelitian dalam penyediaan inovasi teknologi 2. Fasilitasi penerapan inovasi teknologi 3. Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga Fasilitasi perbaikan erosi, penahan banjir, dan pengerukan sungai Tabel 5. Kegiatan Dalam Pengembangan DAS Cikapundung 2012-2016 Prioritas I II III Program Kegiatan Survei Awal Base Line Survey Penegakan Hukum tentang Lingkungan DAS 1. Sosialisasi Aturan Lingkungan DAS 2. Penyebaran informasi/media penyuluhan 3. Pengawasan langsung di lapangan 1. Sosialisasi inovasi teknologi 2. Pelatihan secara berkala 3. Penyebaran informasi/media penyuluhan 4. Pembinaan langsung di lapangan 5. Demplot dan temu lapang1 1. Sosialisasi inovasi teknologi 2. Pelatihan secara berkala 3. Penyebaran informasi/media penyuluhan 4. Pembinaan langsung di lapangan 5. Demplot dan temu lapang Penerapan inovasi teknologi pengolahan sampah Penerapan teknologi Mikrohidro Aktor Terlibat Bappeda Provinsi Jawa Barat Dinas terkait tingkat Provinsi/Kabupaten dan lembaga hukum lainnya 2012 X Tahun Pelaksanaan 2013 2014 2015 2016 X X X X X X X X X X X X X X X Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/ Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X 234 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236 IV V VI VII VIII IX Penyediaan sarana sampah (bak `dan angkutannya) Pembinaan/Pemberdayaan Kelompok Masyarakat Penguatan Pelayanan Penyuluhan dan Informasi Penerapan Inovasi Teknologi Sapi Perah ramah lingkungan Penghijauan Pelatihan pengolahan sampah rumah tangga X Fasilitasi Kemitraan XI Pengembangan septic tank komunal XII Revitalisasi Pemukiman 1. Penentuan specimen 2. Pembelian dan penyebaran di lapangan 1. Pembenahan Kelompok Masyarakat 2. Pertemuan kelompok secara berkala 3. Pembinaan langsung di lapangan 4. Magang/studi banding 1. Penyuluhan secara periodik 2. Penyebarluasan informasi 3. Peningkatan sarana dan prasarana 4. Pembentukan/penguatan Klinik DAS Cikapundung 1. Sosialisasi inovasi teknologi 2. Pelatihan secara berkala 3. Penyebaran informasi/media penyuluhan 4. Pembinaan langsung di lapangan 5. Demplot dan temu lapang1 1. Sosialisasi inovasi teknologi 2. Penyebaran informasi/media penyuluhan 3. Pelaksanaan lapang 1. Sosialisasi pelatihan 2. Pelatihan secara berkala 3. Penyebaran informasi/media penyuluhan 4. Pelaksanaan pelatihan 1. Lobi 2. Temu Kemitraan 3. Tindak Lanjut Kemitraan 1. Sosialisasi inovasi teknologi 2. Penyebaran informasi/media penyuluhan 3. Pelaksanaan di lapangan 1. Sosialisasi 2. Perencanaan 3. Pelaksanaan Pemda provinsi/kabupaten, swasta/ pengusaha Penyuluh swakarsa, pamong desa/ kecamatan, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Dinas terkait tingkat Provinsi/kabupaten, Penyuluh swakarsa, pamong lurah/ kecamatan, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X UPTD, BPP, BPTP, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha Lembaga Penelitian, Dinas terkait tingkat Kabupaten/Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Dinas terkait tingkat Kabupaten/ Provinsi, swasta/pengusaha X X X X X X X X X X X X X X X Pengembangan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung: Diagnostik Wilayah – Saeful Bachrein | 235 236 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 227 - 236 FASILITAS PERANAN SARANA DAN PRASARANA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA UKM DI KOTA MAGELANG THE EFFECTS OF FACILITIES AND INFRASTRUCTURES TOWARD THE PRODUCTIVITY OF SME’S WORK IN MAGELANG CITY Harsono Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah Jalan Imam Bonjol No. 190, Semarang E-mail: [email protected] Diterima: 2 November 2012; direvisi: 29 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Permasalahan yang diangkat adalah bagaimana keadaan kualitas prasarana. Seberapa besar tingkat pengaruh antara variabel independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat) dengan variabel dependen produktivitas kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang kualitas sarana dan prasarana UKM dan tingkat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Manfaat yang diharapkan adalah hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukkan pengambilan kebijakan. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Magelang. Metode penelitian yang digunakan populasi sebanyak 240 KUB dan ukuran sampel yang digunakan sebagai responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang. Untuk menentukan sampel tersebut digunakan simple random sampling. Analisis data dengan model statistik inferensial. Hasil yang didapat, karena F hitung > F tabel ( 16,078 >2,87 maka Ho ditolak, H altf. diterima artinya ada pengaruh secara signifikan antara promosi, pelatihan dan bantuan alat secara bersamasama terhadap produktivitas kerja. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Kata kunci: sarana, prasarana, produktivitas, UKM. Abstract Issues raised is how the quality of infrastructure. What degree of influence of the independent variables (promotion, training and equipment) with the dependent variable labor productivity. The purpose of this study was to determine the picture quality of the facilities and infrastructure of SMEs and the level of influence between the independent variables with the dependent variable. The expected benefits are the results of this study may be material to enter policy making. The research location in Magelang. The method used a population of 240 KUB and the sample size used as respondents in this study of 40 people. To determine the sample used simple random sampling. Analysis of the data with a model of inferential statistics. The results, as F count> F table (16.078> 2.87 then the Ho is rejected, H altf. Acceptable means there is significant influence between promotion, training and support tools together to work productivity. Development of Human Resources (HR ) Improving the quality of human resources through various means such as education and training, seminars and workshops, on the job training, apprenticeships, and cooperative effort. Keywords: facilities, infrastructure, productivity, SMEs. PENDAHULUAN Klaster makanan ringan di Kota Magelang, meliputi: usaha aneka makanan ringan Karya Boga beranggotakan 19 UKM, makanan ringan Jaya Abadi beranggotakan 18 UKM, aneka roti Karya Abadi beranggotakan 20 UKM, aneka roti Arsya Boga beranggotakan 40 UKM, aneka roti Mulya Boga beranggotakan 20 UKM, dan krupuk rambak 5 UKM. Di samping itu, masih terdapat berbagai jenis UKM yang masih dalam komunitas sentra. Klaster makanan ringan di Kota Magelang memproduksi jenis makanan ringan atau kudapan (Inggris: snack), yakni istilah bagi makanan yang bukan sebagai makanan utama (makan pagi, makan siang atau makan malam). Makanan ringan berfungsi sebagai penghilang rasa lapar seseorang untuk sementara waktu, guna memberikan sedikit energi tubuh, atau sebagai makanan untuk dinikmati rasanya (http://id.id.facebook.com/pages/Makanan-ringan/ 11277179206995). Permasalahan: Bagaimana keadaan kualitas sarana dan prasarana, dan tingkat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran tentang kualitas sarana dan prasarana, dan mengetahui tingkat pengaruh antara variabel independen dengan variabel dependen. Manfaat yang bisa didapat dari penelitian ini adalah menjadi bahan Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 237 masukkan pengambilan kebijakan di bidang Usaha Kecil Menengah makanan ringan di Kota Magelang. Kondisi lingkungan saat ini ditandai dengan perubahan besar yang saling terkait serta membentuk lingkungan usaha yang semakin kompetitif. Ketiga hal tersebut adalah isu globalisasi , masalah-masalah nasional dan masalah-masalah lokal yang mendesak untuk disikapi oleh Birokrasi dengan penanganan yang integratif (Prof. Bhenyamin Hoessein). Sistem pelayanan publik juga akhirnya tidak bisa dipandang hanya sebagai penyelesaian permasalahan lokal, akan tetapi terkait juga dengan masalah-masalah globalisasi serta masalah nasional pada umumnya. Perkembangan tersebut akan semakin meningkatkan daya kritis masyarakat dalam memandang dan menilai kinerja birokrasi. Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Jadi klaster adalah penggabungan beberapa aliansi dari beberapa perusahaan dalam suatu wilayah yang berdekatan. Adapun pengertian klaster, menurut Porter, 1998 adalah: “Klaster merupakan jaringan perusahaan-perusahaan yang terkonsentrasi secara geografis, yang dikhususkan kepada para pemasok, penyedia jasa-layanan, perusahaan yang terkait secara industri, dan lembaga asosiasi di daerah tertentu yang saling bersaing, namun juga saling bekerjasama.” Menurut Mathis (2002), pelatihan adalah suatu proses dimana orang-orang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik dan dapat diketahui serta keterampilan yang digunakan dalam pekerjaan mereka saat ini. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini ditentukan dilakukan di Kota Magelang. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dari hasil wawancara dengan responden UKM. Sedangkan data skunder dari Kota Dalam Angka tahun 2012. Alat pengumpulan data menggunakan daftar wawancara dan kuestioner yang dilakukan pada populasi 240 orang, sample 40 orang. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan program SPSS 16. HASIL DAN PEMBAHASAN Kelompok usaha survei yang dilakukan di lakukan di Kota Magelang ini meliputi tiga besar kelompok industri pengolahan makanan yang berjumlah 240 unit usaha. Sarana dan prasarana UKM Sarana dan prasarana yang meliputi lahan dan bangunan, jalan raya, listrik, air, telekomunikasi merupakan faktor penting yang mendukung usaha. Dari hasil survei menunjukkan bahwa hanya sekitar 25% dari total sampel yang mengatakan bahwa kualitas sarana dan prasarana sangat baik, sedangkan 62,5% mengatakan cukup baik. Sedangkan 8% pengusaha mengatakan sarana dan prasarana kurang baik. Ini menunjukkan bahwa sarana baru merupakan fakor yang mampu mendukung iklim usaha dalam arti minimalis, belum mampu menjadi daya dukung yang optimal. Adapun fasilitas fisik yang sangat diperlukan oleh sebagian besar pegusaha adalah lahan usaha dan bangunan usaha untuk meningkatkan kegiatan usaha mereka. Fasilitas dari Pemerintah Kota Magelang dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berupa promosi atau pameran untuk pemasaran langsung. Pemberian bantuan dana sebagai stimulasi usaha. Pemberian bantuan peralatan usaha secara kelompok. Kemudahan akses pasar dan pemberian pelatihan dibidang pengolahan, pengemasan, pemasaran. Hasil dari wawancara didapatkan sebagian besar pengusaha mengatakan bahwa tingkat bunga perbankan mahal. Mereka berharap ada kebijakan dari pemerintah untuk memberikan subsidi tingkat bunga sehingga tidak membebani mereka. Dilihat dari persepsi mereka menunjukkan bahawa cost of capital masih mahal. Ini mendukung adanya high cost economy di Kota Magelang. Biaya Operasional Usaha dapat diketahui dari beban biaya operasional usaha yang harus dikeluarkan, maka porsi yang terbesar ada pada mahalnya bahan baku yang mencapai 67,5 %, sedangkan tenaga kerja 7,5 % dan bahan bakar 25 %, hal ini menunjukkan bahwa harga bahan baku makanan olahan cepat berubah terutama harga minyak goreng, tepung terigu dan telur. Oleh karena itu para pengusaha meminta bantuan kepada Pemerintah agar dapat menjaga kestabilan harga di pasar sehingga usaha rumah tangga tidak mengalami kebangkrutan. Kemudahan mencari kredit usaha hasil wawancara yang dilakukan bahwa sekitar 60% pengusaha menyatakan tingkat bunga perbankan masih tinggi atau mahal, rendahnya plofond 7,5. Jangka waktu pendek 10%, proses pengajuan cepat 5 % dan administrasi lainnya dan antrian 17,5%. bahkan pencari kredit harus mempunyai agunan sertifikat tanah sebagai agunan pinjaman baik di BRI maupun bank yang lain. Waktu pengembalian pinjaman sekitar 2 sampai 5 tahun. Berdasarkan uji korelasi bahwa variable independen promosi sebesar 0,538, variable pelatihan sebesar 0,590 dan variable bantuan alat sebesar 0,556 hal ini menunjukkan secara parsial ada hubungan positip antara variable independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat) terhadap variable dependent produktivitas kerja. Pengetahuan yang dimiliki tenaga kerja terbatas, skill & SDM belum sesuai dengan tujuan pengusaha, sering bolos kerja, malas, ongkos kerja borongan, kinerja menurun dan 238 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242 disiplin kurang, mencari pengganti tenaga kerja yang siap pakai sulit didapatkan. Tingkat pemanfaatan perkembangan teknologi masih kurang, baik dalam hal pahamnya kurang, daya belinya rendah dan penggunaannya mengalami kesulitan. pengusaha dalam wawancara para pengusaha merasa mendapatkan tambahan materi tentang pengemasan produk, cara menjaga sikap perilaku pemasaran, menjalin hubungan yang harmonis dengan para pelanggan, menjamin kualitas dan kuntinuitas produk. 1. 4. Sarana dan prasarana UKM Di Kota Magelang meliputi mixer, oven, mesin pres, mesin penepung dan pemarut, kompor gas, wajan penggoreng, mesin packing, masih kurang baik dari segi jenis, jumlah dan tingkat kemutakiran alat. Teknologi masih bersifat tradisional dalam arti proses pengolahan menggunakan tungku, kayu bakar dan alat seadanya. Sumber daya manusia sebagai manajer masih langka dan tenaga kerja trampil dan terdidik masih kurang, motivasi kerja bersifat sambilan dari pada menganggur paling tidak bisa membantu suami dalam mencari nafkah. 2. Promosi Promosi adalah komunikasi informasi antara penjual dan calon pembeli atau pihak-pihak lain dalam saluran untuk mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen. Usaha untuk mengenalkan produk kepada pasar yaitu dilakukan strategi promosi. Konsep yang dipakai untuk mengenalkan produk yaitu promotion mix kegiatan-kegiatan yang mengkombinasikan keunggulan produk dan membujuk konsumen untuk membeli. Usaha yang perlu dilakukan adalah melalui promosi sebagai rangkaian rencana pemasaran secara keseluruhan. Strategi ini pada dasarnya merupakan proses komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi perilaku konsumen kearah pengambilan keputusan yang positif dalam pembelian produk. Bentuk kegiatan promosi ini dilakukan oleh FEDEP memfasilitasi biaya sewa tempat pameran dan persiapan pameran. Adapun tempat promosi di Mall Paragon, PRPP Semarang, alun-alun Kota Magelang yang kegiatan dikaitkan dengan hari hari ulang tahun Kota Magelang, hari ulang tahun provinsi dan harihari besar lainnya. 3. Pelatihan Pelatihan adalah suatu proses dimana orangorang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. pelatihan biasanya dilakukan dengan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan kebutuhan, diberikan dalam waktu yang relatif pendek, untuk membekali seseorang dengan keterampilan kerja. Institusi penyelenggara pelatihan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Magelang maupun Provinsi Jawa Tengah. Adapun materi pelatihan disesuaikan dengan pratik kerja, cara penyampaian materi dari pelatih sesuai dengan kemampuan peserta, kemampuan pelatih dalam menyampaikan materi sudah teruji sebagai motivator lapangan, penyampaian materi dengan metode simulasi dan pratik sesuai dengan teknologi yang dikuasai peserta. Adapun tanggapan dari para Bantuan Alat Wujud bantuan alat dan mesin didistribusikan sampai kepada peserta, penyerahan bantuan kepada klaster menjadi tanggung jawab ketua kelompok, bantuan alat dan mesin harus dalam kondisi baik, terakit sempurna, sudah di-running test (diuji coba dengan menghidupkan mesinnya) dan dilengkapi pedoman teknis bantuan alat, dengan petunjuk operasional/manual penggunaan dan perawatan. Tanggapan para pengusaha bahwa proposal permohonan bantuan peralatan agak mengalami keterlambatan sehingga target peningkatan produksinya mengalami hambatan, hal ini disebabkan sistem panganggaran dan keterbatasan anggaran dari SKPD yang bersangkutan. Di samping itu kendala di lapangan yang sering dialami pengusaha spesifikasi alat kurang sesuai dengan kebutuhan pengusaha. 5. Produktivitas Produktivitas mengandung sebuah pengertian perbandingan antara hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu. Pengertian ini menunjukkan bahwa ada kaitan antara hasil kerja dengan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk dari seorang tenaga kerja. Tanggapan para pengusaha bahwa menyatakan ada peningkatan produktivitas kerja sesudah mendapatkan pelatihan, mendapatan bantuan alat dan fasilitasi pameran atau promosi. Keadaan ini dapat dibuktikan meningkatnya motivasi kerja, semakin efisien waktu dan bahan yang digunakan dalam proses produksi serta adanya peningkatan ketrampilan tenaga kerja. 6. Analisis SPSS 16 Hasil pengolahan data diperoleh R sebesar 0,757 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara variable promosi, pelatihan dan bantuan alat terhadap peningkatan produtivitas kerja. Sedangkan hasil penghitungan R² (R Square) diperoleh angka R² sebesar 0,573 atau (573%). Hal ini menunjukkan bahwa prosentase sumbangan pengaruh variable independen (promosi, pelatihan dan bantuan alat) terhadap variable dependen (produktivtas kerja) sebesar 573%. Atau variasi variable independen yang digunakan dalam model (promosi, pelatihan dan bantuan alat) mampu menjelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Ho ditolak, H alf diterima artinya secara parsial ada pengaruh signifikan antara promosi, pelatihan dan bantuan alat terhadap produktivitas kerja. Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 239 SIMPULAN Pertama, bantuan pembangunan prasarana, Komponen penting pemberdayaan UKM adalah pembangunan prasarana produksi dan pemasaran. Tersedianya prasarana pemasaran dan atau transportasi dari lokasi produksi ke pasar, akan mengurangi rantai pemasaran dan akan meningkatkan penerimaan pengusaha kecil, dan pengusaha menengah. Kedua, pengembangan skala usaha, Pemberdayaan ekonomi pada masyarakat dilakukan melalui kelompok oleh sebab itu akumulasi kapital harus dilakukan bersama-sama dalam wadah kelompok atau usaha bersama. Melalui kelompok, mereka dapat membangun kekuatan untuk ikut menentukan distribusi. Pengelompokan atau pengorganisasian ekonomi diarahkan pada kemudahan untuk memperoleh akses modal ke lembaga keuangan yang telah ada, dan untuk membangun skala usaha yang ekonomis. Aspek kelembagaan yang lain adalah dalam hal kemitraan antar skala usaha dan jenis usaha, pasar barang, dan pasar input produksi. Aspek kelembagaan ini penting untuk ditangani dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Ketiga, pengembangan jaringan usaha, Pemasaran dan kemitraan usaha dan upaya mengembangkan jaringan usaha ini dapat dilakukan dengan berbagai macam pola jaringan misalnya dalam bentuk jaringan sub kontrak maupun pengembangan klaster. Pola jaringan usaha melalui sub kontrak dapat dijadikan sebagai alternatif bagi eksistensi UKM di Kota Magelang. Sedangkan pola pengembangan jaringan melalui pendekatan klaster, diharapkan menghasilkan produk oleh produsen yang berada di dalam klaster bisnis sehingga mempunyai peluang untuk menjadi produk yang mempunyai keunggulan kompetitif dan dapat bersaing di pasar. Keempat, pengembangan Sumber Daya Manusia , Sumber daya manusia merupakan faktor penting bagi setiap usaha termasuk juga di sektor usaha kecil. Keberhasilan industri skala kecil untuk menembus pasar atau menghadapi produk-produk impor di pasar domestik ditentukan oleh kemampuan pelaku-pelaku dalam industri kecil tersebut untuk mengembangkan produk-produk usahanya sehingga tetap dapat eksis. Selain itu, salah satu bentuk pengembangan sumber daya manusia di sektor UKM adalah Pendampingan. Kelima, peningkatan akses teknologi Penguasaan teknologi merupakan salah satu faktor penting bagi pengembangan Usaha Kecil Menengah. Keberhasilan usaha kecil menengah ditentukan oleh kemampuan akan penguasaan teknologi. Keenam, ada hubungan yang sangat kuat antara variable promosi, pelatihan dan bantuan alat terhadap peningkatan produtivitas kerja. Sedangkan hasil penghitungan R² (R Square) diperoleh angka R² sebesar 0,573 atau (573 %). Ada sumbangan pengaruh variable independent (promosi, pelatihan dan bantuan alat) terhadap variable dependen (Produktivtas kerja) sebesar 573%. Atau variasi variable independen yang digunakan dalam model (promosi, pelatihan dan bantuan alat) mampu menjelaskan oleh variasi lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini. Akhirnya Ho ditolak, H alf diterima artinya secara parsial ada pengaruh signifikan antara promosi, pelatihan dan bantuan alat terhadap produktivitas kerja. Saran Pertama, pemerintah perlu memberikan subsidi bantuan peningkatan fasilitas UKM pengolahan makanan ringan di Kota Magelang baik lokasi secra berkelompok, peralatan pengolahan meliputi: mixer, oven, mesin pres,mesin penepung dan pemarut, kompor gas, wajan, mesin packing dan kemudahan penambahan modal kerja serta pemasaran. Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi Usaha Kecil Menengah baik dalam aspek kewiraswastaan, administrasi dan pengetahuan serta ketrampilan dalam pengembangan usaha. Pemerintah lebih memperhatikan adanya regulasi untuk menyediakan area-area yang diperuntukkan bagi sentra-sentra pengembangan usaha (spasial) sehingga akan menjamin kelangsungan usaha. Kebijakan tata ruang merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini disebabkan usaha-usha kecil yang ada di Kota Magelang berbaur dengan perumahan untuk kediaman tempat tinggal. Kedua, peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui berbagai cara seperti pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan. Ketiga, pendampingan UKM perlu dan penting. Tugas utama pendamping ini memfasilitasi proses belajar atau refleksi dan menjadi mediator untuk penguatan kemitraan baik antara usaha mikro, usaha kecil, maupun usaha menengah dengan usaha besar. Keempat, strategi yang perlu dilakukan dalam peningkatan akses teknologi bagi pengembangan usaha kecil menengah adalah memotivasi berbagai lembaga penelitian teknologi yang lebih berorientasi untuk peningkatan teknologi sesuai kebutuhan UKM, pengembangan pusat inovasi desain sesuai dengan kebutuhan pasar, pengembangan pusat penyuluhan dan difusi teknologi yang lebih tersebar ke lokasilokasi Usaha Kecil Menengah dan peningkatan kerjasama antara asosiasi-asosiasi UKM dengan perguruan Tinggi atau pusat-pusat penelitian untuk pengembangan teknologi UKM. 240 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242 DAFTAR PUSTAKA Dunn, William N. 1994. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Dye, Thomas R. 1992. Understanding Publik Polic Policy.New Jersey: Engewood Cliffs. Edwards III George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington: Conggressional Quartely Inc. Gauthama, Margaret P. 1999. Penerapan Teknologi Tepat Guna pada Pengrajin Gerabah di Desa Banyumelek, Lombok Barat. dalam Alkadri Muchdie, dan Suhandoyo (penyunting). Jakarta: Tiga Pilar Pengembangan Wilayah Sumber Alma, Sumber Daya Manusia, Teknologi. Hadi, AP. 1999. Strategi Komunikasi dalam Mengatipasi Kegagalan Penerapan Teknologi oleh Petani Komunitas. Journal of Rural Studies, 2 (2). Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Nonaka, Ikujiro & Takeuchi, Hirotaka. 1995. The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. Oxford: Oxford University Press. Handari, Nawawi. 1990. Administrasi Personel untuk Peningkatan produktivitas Kerja. Jakarta: Haji Masagung. Ravianto, J. 1986. Pengukuran Produktivitas. Yogyakarta: Kanisius. Fasilitasi Peran Sarana dan Prasarana terhadap Produktivitas Kerja UKM di Kota Magelang – Harsono | 241 242 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 237 – 242 ANALISIS KEMISKINAN DAN PENGELUARAN NON-PANGAN PENDUDUK JAWA BARAT POVERTY AND NON-FOOD SPENDING ANALYSIS OF POPULATION IN WEST JAVA Trisna Subarna Peneliti Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jawa Barat Jalan Ir. H. Juanda No. 287, Bandung E-mail: [email protected] Diterima: 2 Oktober 2012; direvisi: 7 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Masyarakat maju akan cenderung memiliki pengeluaran non-makanan yang lebih tinggi daripada pengeluaran untuk makanan, seperti untuk pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan dan strategi penanggulangan masyarakat miskin di Jawa Barat. Hasil analisis menunjukkan: (1) Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada di bawah tingkat kemiskinan nasional yaitu 11,27% sedangkan tingkat kemiskinan Nasional 13,33%. (2) Dibanding dengan Provinsi lain yang penduduknya tertinggi di Indonesia (Jawa Timur dan Jawa Tengah) persentase penduduk miskin di Jawa Barat lebih rendah, (3) Penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 13,55%, tahun 2010 sebesar 11,27% atau dalam waktu 3 tahun terjadi penurunan penduduk miskin sebesar 2,27% atau berkurang sebanyak 687.000 orang. (4) Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 sebesar Rp 561.837, dengan porsi penggunaan untuk makanan 51,77%, dan nonmakanan 48,23%, kondisi ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Implikasi dari hasil analisi ini adalah; (1) Penanggulangan kemiskinan difokuskan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif, (2) Perlu pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan, sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal. Kata kunci: kemiskinan, pengeluaran non-pangan, strategi, kesejahteraan. Abstract Advanced community will tend to have higher non-food spending food spending, includes education, health, and entertainment. This analysis aims to determine the level of the welfare and poverty coping strategies in West Java. The analysis showed: (1) The poverty rate of West Java (11.27%) was lower than the national poverty rate of 13.33%. (2) Compared with other provinces having the highest population in Indonesia (East Java and Central Java), percentage of poor population in West Java were lower, (3) Within three years (2007-2010) the poor in West Java was steadily decreased from 13.55% in 2007 to 11, 27% in 2010 (687. 000 people). (4) Average spending of West Java population per capita, per month in 2011 was Rp 561,837, with a portion of the use of 51.77% for food and non-food 48.23%, indicated that the low level of welfare of the people condition in West Java. The implications of the results of this analysis were: (1) Poverty alleviation focused on growing productive economic culture, (2) It should be an understanding of the various parties about the causes of poverty so that the development program was not based on the issues that cause poverty vary locally Keywords: poverty, non-food expenditures, strategy, welfare. PENDAHULUAN Kesejahteraan masyarakat diantaranya ditentukan oleh tingkat kemiskinan yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan dan pola penggunaannya, yang berhubungan dengan tingkat pedapatan pola konsumsi pangan dan non-pangan (Arifin dan Simatupang, 1988). Masyarakat berpendapatan rendah akan mengalokasikan pendapatannya sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan dibandingkan bahan non-pangan, semakin tinggi pengeluaran non-makanan mengindikasikan adanya perbaikan kesejahteraan penduduk (Hardjana, 1994), Hasil penelitian Sari Novita dan Fardianah Mukhyar (2011), Rachman dan Wahida (1998), Suryana dkk. (1988) menyatakan bahwa komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan makanan akan didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 243 Sumber: Diolah dari BPS Jawa Barat 2011. Gambar 1. Perbandingan Jumlah Penduduk Tiga Provinsi Terbesar di Indonesia. yang berpendapatan rendah akan terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan (Sukirno 2000). Berdasarakan uraian di atas, maka struktur pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga, Analisis ini bertujuan untuk mengetahui kabupaten/kota yang berada pada berbagai strata kesejahtreraan dibanding dengan jumlah penduduk. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (mix method), metoda analisis campuran dengan teknik pengumpulan data skunder yang berasal dari dokumen, laporan, dan lieratur yang berkaitan dengan kemiskinan dan pengeluaran masyarakat di Jawa Barat. Data primer diperoleh dari Focus Group Discussion (FGD) dengan peserta dari Organisasi Perangkat Daerah Provinsi Jawa Barat dan lembaga lain yang berhubungan dengan kemiskinan yaitu: perencana dan peneliti Bappeda sebanyak 4 orang, Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa 4 orang, Dinas Enegi dan Sumberdaya Mineral 2 orang, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat 1 orang, dan lembaga penelitian Unpad 2 orang, serta Kamar Dagang dan Industri 1 orang sehingga jumlah peserta FGD sebanyak 14 orang. Data yang terkumpul dianalisis dengan tabulasi silang dan dijelaskan secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Penduduk Jawa Barat Di Tingkat Nasional Hasil sensus penduduk 2010 menunjukan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.556.363 orang dengan komposisi penduduk laki-laki sebesar 119.507.580 orang dan perempuan 118.048.783 orang. Jumlah penduduk terbesar berada di Provinsi Jawa Barat sebesar 43,02 juta orang (18,11%), posisi kedua adalah Provinsi Jawa Timur sebesar 37,8 juta orang (15,78%) dan ketiga terbesar berada di Jawa Tengah 32,38 juta orang (13,63%) seperti pada Gambar 1. Jumlah penduduk yang besar ini membawa persoalan bagi pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya, serta berimplikasi yang luas terhadap lingkungan, sektor pembangunan, dan ketahanan pangan, terutama dalam mengendalikan kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada pada posisi 15 nasional, lebih rendah dibanding dengan tingkat kemiskinan nasional (13.33% pada tahun 2010). Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2010 sebesar 11,27% atau 4.848.560 jiwa. Penduduk miskin ini diperkirakan akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang terutama di daerah-daerah yang penduduknya bermata pencaharian buruh, nelayan dan pertanian. Dibanding dengan provinsi lain (Jawa Timur dan Jawa Tengah) dengan jumlah penduduk yang tertinggi di Indonesia ternyatapersentase penduduk miskin di Jawa Barat lebih rendah (Gambar2). Kondisi di atas menunjukkan walaupun dengan penduduk yang lebih besar, pemerintah Provinsi Jawa Barat lebih dapat mengendalikan tingkat kemiskinannya dibanding dengan provinsi lain yang jumlah penduduknya tertinggi di Indonesia. Hal ini terlihat pada perkembangan penduduk miskin di Jawa Barat pada akhir tahun RPJMD 2003-2007 sebesar 13,55%, dan dalam kurun waktu mid-term RPJMD tahun 2008-2013 sampai dengan tahun 2010 sebesar 11,27% atau dalam waktu 3 tahun pelaksanaan RPJMD turun 2,27% atau jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 687.000 orang (Gambar 3). 244 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250 Sumber: Diolah dari BPS Jawa Barat 2011. Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin di Tiga Provinsi dengan Jumlah Penduduk Terbanyak. Sumber data : BPS Provinsi Jawa Barat, 2007,2008,2009, 2010,2011 diolah. Gambar 3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dan Jumlah Penduduk Miskin Tahun 2007-2010, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data BPS Provinsi Jawa Barat (2011) tingkjat kemiskinan teringgi berada di Kota Tasikmalaya (23,55%), Kabupaten Cirebon (18,22%), Kabupaten Indramayu (17,99%), dan Kabupaten Majalengka 17,12%), sedangkan tingkat kemiskinan terendah berada di Kota Depok (2,93%), Kabupaten Bandung Barat ( 4,5%), dan Kota Bandung ( 4,5%). Seperti terlihat pada Gambar 4. Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk Jawa Barat Pengeluaran merupakan indikator yang penting dalam melihat kesejahteraan masyarakat. Pengeluaran seseorang yang besar menunjukkan tingkat daya beli orang tersebut besar. Penduduk dengan pengeluaran besar maka kebutuhan penduduk tersebut sebagian besar terpenuhi. Dengan terpenuhi kebutuhan hidupnya maka secara umum kesejahteraan akan meningkat. Perkembangan tingkat kesejahteraan juga dapat diamati berdasarkan perubahanpersentase pengeluaran yang dialokasikan untuk non-makanan, dimana semakin tinggipersentase pengeluaran non- makanan dapat mengindikasikan adanya perbaikan tingkat kesejahteraan. Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), mengemukakan bahwa bila selera tidak berbeda makapersentase pengeluaran untuk pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk, makin rendahpersentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumah tangga yang bersangkutan. Tahun 2010, porsi penggunaan pengeluaran masyarakat Jawa Barat digunakan untuk makanan 51.77%, dan non-makanan 48.23% (Gambar 5), kondisi ini menunjukkan masih tingginya pengeluaran untuk pangan yang menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat. Kemiskinan tidak terlepas dari pola penerimaan dan pengeluaran, pengeluaran akhir Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 245 Sumber: Pusdalisbang Bappeda Provinsi Jawa Barat 2012 diolah. Gambar 4. Tingkat Kemiskinan Kabupaten Kota di Jawa Barat Tahun 2010 (%). meliputi seluruh pengeluaran yang dilakukan oleh anggota rumah tangga suatu penduduk, baik pengeluaran untuk makanan maupun bukan makanan yang meliputi pengeluaran untuk sandang, pendidikan, perumahan, pengeluaran kesehatan, barang-barang tahan lama, rekreasi dsb. Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 561.837. Pengeluaran tertinggi di Kota Bandung sebesar Rp 989.657 dan terendah di Kab. Tasikmalaya Rp 340562. Terdapat tujuh Kota dan tiga Kabupaten yang berada di atas rata-rata Jawa Barat total pengeluarannya, dan terdapat satu kota dan 15 Kabupaten yang berada di bawah rata-rata Jawa Barat, (Gambar 6). Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), Teori Engel’s yang menyatakan bahwa: “Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah presentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan”. Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila presentasi pengeluaran 246 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250 Sumber data :BPS Provinsi Jawa Barat 2011 diolah. Gambar 5. Pola Pengeluaran Penduduk Jawa Barat Tahun 2010. Sumber data :BPS Provinsi Jawa Barat 2011 diolah. Gambar 6. Tingkat Kemiskinan Dan Pengeluaran Non-Makanan 5 Kabupaten/Kota Tertinggi dan Terendah di Jawa Barat (dalam %). untuk makanan jauh lebih kecil dari presentasi pengeluaran yang untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan. Gambar 5 di atas menunjukkan pengeluaran non-makanan untuk penduduk kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan rendah lebih besar di banding dengan kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan yang lebih tinggi. Untuk penduduk Jawa Barat persentase untuk pengeluaran makanan 51,77%, sedangkan untuk non-makanan adalah 48,23% . Lebih besarnya persentase pengeluaran penduduk untuk makanan dibandingkan non-makanan ini mencerminkan bahwa tingkat kesejahteraan penduduk di Jawa Barat masih relatif rendah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendapatan mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat, baik itu konsumsi barang tidak tahan lama, barang tahan lama, dan jasa. Hal inin sesuai dengan pendapat Keban (1995) dalam Khairil Anwar (2012) di dalam analisisnya dinyatakan bahwa suatu keluarga tergolong miskin kalau ratio pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran melebihi 75%. Strategi Menanggulangi Kemiskinan Hasil diskusi melalui FGD dalam rangka menanggulangi kemiskinan diperoleh strategi sebagai berikut: 1. Pola inkubasi bisnis. Merupakan pola penanggulangan kemiskinan berdasarkan skema pendampingan melalui proses inkubasi bisnis pada unit-unit kegiatan Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 247 usaha baik melalui skema program kegiatan dari pemerintah maupun melalui skema kegiatan pemerintah kerjasama, swasta (pelaku usaha) dengan kelompok sasaran masyarakat miskin dan hampir miskin. 2. Pola penyediaan lapangan kerja. Merupakan pola penyediaan lapangan kerja baik berupa kegiatan padat karya, maupun kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja berbasis pengetahuan dan keterampilan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun swasta dengan kelompok sasaran masyarakat hampir miskin, masyarakat miskin dan masyarakat sangat miskin. 3. Pola pemenuhan kebutuhan dasar. Merupakan pola penanggulangan kemiskinan yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin meliputi kebutuhan dasar pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindakan kekerasan serta berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Adapun input yang dilaksanakan berupa penyediaan, fasilitasi maupun pendukungan untuk memenuhi hak-hak dasar tersebut, dengan kelompok sasaran masyarakat hampir miskin, masyarakat miskin dan masyarakat sangat miskin. 4. Pola perlindungan dan jaminan sosial. Merupakan pola untuk mengatasi kondisi darurat bagi masyarakat miskin dan masyarakat sangat miskin dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan yang menimpa masyarakat miskin hingga kelompok sasaran memasuki fase recovery. 5. Pola peduli masyarakat miskin jawa barat. Merupakan pola penanggulangan kemiskinan melalui peran aktif masyarakat dan swasta dalam penanggulangan kemiskinan, baik secara sistemik maupun parsial dengan pola asuh dengan kelompok sasaran masyarakat hampir miskin, masyarakat miskin dan masyarakat sangat miskin. Salah satu program pembangunan di Indonesia, termasuk di Jawa Barat yang senantiasa menjadi isu strategis adalah pengentasan kemiskinan yang secara otomatis akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pengentasan kemiskinan hanya menggunakan pendekatan ekonomi yang bersifat materialistik yang didasari oleh dua faktor utama yaitu (Lipi Ahmad, 2011); 1. Penanggulangan kemiskinan cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial seperti jaring pengaman sosial dan beras untuk rakyat miskin, padahal seharusnya diorientasikan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif 2. Kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan, sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbedabeda secara lokal Agar mencapai keberlanjutannya, program penanggulangan kemiskinan dengan pendekatan ekonomi yang bersifat material dan jangka pendek, perlu diimbangi dengan strategi pengentasan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan kependudukan, meskipun hasilnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Yang dimaksud adalah penanggulangan kemiskinan berdasarkan pada sumber kemiskinan itu sendiri. Sumber kemiskinan adalah jumlah penduduk yang tinggi dan kualitas hidup masyarakat yang rendah. Sebagaimana disepakati dunia internasional bahwa tolak ukur kualitas hidup masyarakat adalah IPM (indeks pembangunan Manusia), yaitu kualitas pendidikan, kualitas kesehatan dan kualitas ekonomi. Oleh karena itu, penanggulangan kemiskinan sudah saatnya berdasarkan pada langkah langkah strategis berupa menekan laju pertumbuhan penduduk dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Semakin tinggi jumlah penduduk akan menyebabkan bertambahnya beban pembangunan, berkurangnya ketersediaan lahan dan lapangan pekerjaan, meningkatnya pengangguran, dan lain-lain (Lipi Ahmad, 2011). SIMPULAN Tingkat kemiskinan di Jawa Barat berada pada posisi 15 Nasional, yaitu 11,27%, pada posisi tersebut lebih rendah dibanding dengan tingkat kemiskinan Nasional yaitu 13.33%. Perkembangan penduduk miskin di Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 13,55%, dan tahun 2010 sebesar 11,27 perrsen atau dalam waktu 3 tahun pelaksanaan RPJMD turun 2,27%, atau jumlah penduduk miskin berkurang sebesar 687.000 orang. Rata-rata pengeluaran per kapita, penduduk Jawa Barat perbulan pada tahun 2011 tercatat sebesar Rp 561.837. Pengeluaran tertinggi di Kota Bandung sebesar Rp 989.657 dan terendah di Kab. Tasikmalaya Rp 340562. Pada tahun 2010 porsi penggunaan pengeluaran masyarakat Jawa Barat yang digunakan untuk makanan 51.77%, dan non-makanan 48.23%, kondisi ini menunjukkan masih tingginya pengeluaran untuk pangan yang menunjukkan masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Jawa Barat Penanggulangan kemiskinan harus difokuskan pada upaya menumbuhkan budaya ekonomi produktif. Perlu pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan, sehingga program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan yang penyebabnya berbeda-beda secara local. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Lipi. 2011. Kesejahteraan, Kemiskinan dan Program KB di Jawa Barat http://jabar.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.a 248 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250 spx?ID=588&ContentTypeId=0x01003DCABA BC04B7084595DA364423DE7897 Anwar, Khairil 2012. Beberapa Hasil Penelitian tentang Konsumsi. http://khairilanwarsemsi.blogspot. com/2011/12/beberapa-penelitian-tentangkonsumsi.html Arifin, M dan P. Simatupang. 1988. Pola Konsumsi dan Kecukupan Kalori dan Protein di Pedesaan Sumatera Barat dalam Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Penelitin Agro Ekonomi BPS Provinsi Jawa Barat. 2007. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2006. BPS Provinsi Jawa Barat. 2008. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2007. BPS Provinsi Jawa Barat. 2009. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2008. BPS Provinsi Jawa Barat. 2010. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2009. BPS Provinsi Jawa Barat. 2011. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2010. BPS Provinsi Jawa Barat. 2012. Jawa Barat dalam Angka Tahun 2011. Hardjana, A. 1994. Orientasi Perilaku Konsumsi tentang Masalah Pangan dan Gizi dari Sumber Hayati Kelautan. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi. Jakarta: LIPI. Novita, Sari dan Fardianah Mukhyar 2011. Kajian: Pola Pengeluaran Pangan Rumah Tangga Petani Padi Sawah di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan Jurnal Agribisnis Perdesaan. Volume 01 Nomor 04 Desember 2011. Rachman, H.P.S dan Wahida. 1998. Dinamika Pola Pengeluaran dan Konsumsi Rumah Tangga serta Prospek Permintaan Pangan dalam Dinamika Ekonomi Pedesaan: Perubahan Struktur Pendapatan, Ketenagakerjaan dan Pola Konsumsi Rumah Tangga. Bogor: Kerjasama Puslit Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Rachman, H.P.S. dan S.H. Suhartini. 1996. Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi: 15 (2) Sadono, Sukirno. 2000. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Salvatore, D. 2006. Mikroekonomi. Edisi ke-4. Jakarta: Erlangga. Suryana, A, B. Rachman dan P.U. Hadi. 1988. Pola Pengeluaran untuk Konsumsi di Pedesaan Jawa Barat dalam Prosiding Patanas Perubahan Ekonomi Pedesaan Menuju Struktur Ekonomi Berimbang. Pusat Penelitin Agro Ekonomi. Analisis Kemiskinan dan Pengeluaran Non Pangan Penduduk Jawa Barat – Trisna Subarna | 249 250 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 243 – 250 MODEL PEMBANGUNAN DESA TERPADU INOVATIF DI JAWA TENGAH INNOVATIVE MODEL OF INTEGRATED RURAL DEVELOPMENT IN CENTRAL JAVA Suharyanto & Arif Sofianto Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah E-mail: [email protected] Jalan Imam Bonjol No. 190, Semarang Diterima: 6 November 2012; direvisi: 20 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Membangun model pembangunan desa yang berjalan secara terpadu dan inovatif;2). Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi; dan 3). Mendeskipsikan peran masing-masing pihak dalam mewujudkan pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian dilakukan di 3 desa yang memiliki keunggulan dalam pembangunan, yaitu: 1). Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak; 2). Samiran, Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali; dan 3). Jatiroyo, Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif . Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1). Model pembangunan desa terpadu inovatif merupakan proses yang mengutamakan sinkronisasi antarsektor dan antarpelaku serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang sebagai tekniknya; 2). Prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah: teridentifikasinya potensi sumberdaya dan arah pembangunan serta menumbuhkan inovasi sebagai teknik pembangunan; dan 3). Peranan yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa adalah a). Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten harus konsisten dan terarah dalam merumuskan arah kebijakan; b). Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi dan menentukan arah kebijakan; c). Masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan; d). Akademisi memberikan masukan iptek dan pendampingan; dan e). Pelaku usaha melakukan investasi dan kerjasama. Kata kunci: model, desa, pembangunan terpadu, inovasi Abstract The purpose of this study was to: 1). Build a model of rural development which runs in an integrated manner and promote innovation; 2). Understanding the prerequisites required in the integrated rural development and promote innovation; and 3). Describe the role of each party in creating an integrated rural development and promote innovation. The study was conducted in 3 villages categorized as having excellence in the governance of development, namely: 1). Mlatiharjo, Gajah Sub-District, Demak Regency; 2). Samiran, Selo Sub-District, Boyolali Regency; dan 3.) Jatiroyo, Jatipuro Sub-District, Karanganyar Regency. The research method used is descriptive qualitative. The conclusion of this study were: 1). Model of integrated and innovatiive development is performed with emphasis on synchronization between sectors and stakeholders, encouraging HR utilize local resources to make innovations in rural development;2). Prerequisites innovative integrated rural development is identification of potential resources and direction of development, the implementation of appropriate resource management and innovation as the construction techniques; 3). The role needs to be done by the respective parties involved in rural development are: a). government, provincial governments, district governments should be consistent and focused in formulating policy directions; b). village government to identify potential and determine the direction of policy, build coordination and synchronization as well as facilitating and promoting community empowerment; c). villagers and village community organizations to participate and conduct supervision; d). provide feedback science and technology academics and mentoring; and e). business investment and cooperation Keywords: model, rural, integrated development, innovation PENDAHULUAN Desa merupakan wilayah yang menyita perhatian banyak pihak, berbagai problem bisa dikaji dan mendesak untuk diselesaikan. Kekuatan ekonomi desa tidak berdaya terhadap mekanisme pasar, dan desa selalu berada pada ketidakberdayaan dan ketidakseimbangan hubungan dengan kota. Desa-desa di Indonesia umumnya menghadapi ancaman keterbelakangan dan ketidakadilan dalam pembangunan. Secara alamiah ada semacam dilema, yaitu kemiskinan dan pengetahuan yang rendah Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 251 menyebabkan pemanfaatan yang kelewat batas atas sumberdaya alam untuk bertahan hidup, akan tetapi di sisi lain banyak sumberdaya yang ternyata belum dimanfaatkan secara optimal seperti sinar matahari, air, angin, tanaman, ikan, ternak dan tenaga manusia (Daldjoeni & Suyitno, 2004:126). Hal senada diungkapkan oleh Rustadi, bahwa di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya alam yang belum dikembangkan secara optimal disebabkan karena masih terbelakangnya masyarakat tersebut, kekurangan modal, sehingga tingkat produktifitas rendah dan berimplikasi terhadap tingkat pendapatan yang rendah (Ernan Rustadi, 2009:142). Keterbatasan pengetahuan dan modal menjadi faktor yang menghambat pembangunan desa. Walapun pembangunan terhadap desa sudah cukup lama akan tetapi sampai saat ini masih terdapat persoalan yang dihadapi desa dan membutuhkan penyelesaian segera. Program-program yang ada lebih menunjukkan kebijakan pemerintah yang top down, karena kebanyakan konsepnya lahir dari konsepsi pejabat atau pihak di luar desa, mengabaikan konteks lokal desa dan pemerintah cenderung menempatkan masyarakat sebagai objek kebijakan pemerintah semata (Sutoro Eko, 2004:216). Sehingga yang terjadi bukanlah tumbuhnya kemandirian dan daya saing desa, akan tetapi ketergantungan dan pragmatisme desa terhadap program pemerintah, desa juga hanya menjadi arena perebutan dukungan politik. Selain beberapa problem di atas, ada persoalan lain yang lebih penting, yaitu paradigma pembangunan yang sangat sektoral. Masing-masing lembaga atau kementerian memiliki program ke desa sesuai urusannya, tanpa memperhatikan dimensi kewilayahan dan sinkronisasi dengan sektor lain. Tarigan berpendapat bahwa sebaiknya program pembangunan merupakan gabungan dari pendekatan sektor dan pendekatan regional (Tarigan, 2008:43). Lewis menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja yang dikembangkan (Ernan Rustiadi, 2009:146). Hal tersebut berarti bahwa keberhasilan pembangunan merupakan upaya memadukan berbagai sektor dalam suatu wilayah tertentu. Keterpaduan tersebut membutuhkan pengelolaan yang terpadu dan kerjasama antar-stakeholder yang terlibat. Sehingga membangun desa adalah proses yang multi dimensional dan melibatkan segenap stakeholder yang saling bekerjasama. Pembangunan desa merupakan proses merespon tiga lingkungan desa (alam, budaya dan sosial ekonomi) dengan cara yang tepat (Daldjoeni & Suyitno, 2004:37). Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan sebuah penelitian yang mendalam dengan menggabungkan kajian teoritis dan lapangan mengenai konsep-konsep pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi. Penelitian lapangan perlu dilakukan di desa yang memiliki keunggulan sesuai dengan kebutuhan di atas. Pertama ialah keunggulan pada proses keterpaduan program kegiatan, kedua adalah keunggulan pada inovasiinovasi pembangunan. Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah untuk: 1. Merumuskan model pembangunan desa yang berjalan secara terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal; 2. Mengetahui prasyarat yang diperlukan dalam pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal; 3. Mendefinisikan peran masing-masing pihak dalam mewujudkan pembangunan desa yang terpadu dan mengedepankan inovasi sesuai dengan potensi lokal. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah terbentuknya model pembangunan desa yang terpadu dan inovatif sebagai bahan pertimbangan pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan pemerintah desa dalam rangka melaksanakan pembangunan desa untuk terwujudnya desa terpadu inovatif. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif yaitu pengumpulan, pengolahan dan interpretasi sejumlah data sebagai upaya untuk mengungkapkan kebenaran yang terdapat dalam masalah penelitian. Jenis, Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data Jenis data yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer yang didapatkan melalui pengamatan lapangan, wawancara mendalam dan kuesioner. Analisis terhadap fakta dilangsungkan secara kualitatif dengan model Spradley. Subjek Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Jatiroyo Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar, Desa Samiran Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali dan Desa Mlatiharjo Kecamatan Gajah Kabupaten Demak. Operasionalisasi Konsep a. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati b. Pembangunan Desa Terpadu adalah pembangunan desa dilakukan usaha yang intensif dengan tujuan dan kecenderungan memberikan fokus perhatian kepada kelompok maupun daerah tertentu. c. Pembangunan Desa Inovatif ialah kegiatankegiatan pemberdayaan melalui pembangunan dalam bentuk perbaikan mutu hidup dan perilaku 252 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260 Bahan Metode IDENTIFIKASI Arah Kebijakan Potensi Sumberdaya PENGELOLAAN Sumberdaya Pengelola SDA Pem./Desa Lembaga Masy. SDM Sektor Usaha Desa Sarana dan prasarana Sosial PENGELOLAAN PROSES PEMBANGUNAN INOVASI SINKRONISASI Pelayanan: Publik Pdkn, Kesh, dll Perekonomian: Tani, umkm, dll Sektor: Tani, ukm, Kualitas Hidup: Sehat, terdidik, berbudaya, dll Pendapatan: Harian, bulanan, tahunan, Sasaran: Modal, tek, sarana dan prasarana Pelaku: Pem, masy Penerima: individu, kel, PENGELOLAAN HASIL PEMBANGUNAN Peningkatan Kualitas Hidup Pemerataan Peningkatan Kesejahteraan Keberlanjutan Gambar 1. Kerangka Komprehensif Model Pembangunan Terpadu Inovatif. yang mencakup aspek peningkatan kemampuan masyarakat, peningkatan partisipasi masyarakat, meningkatkan kegiatan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kemampuan SDM aparatur pemerintah desa berbasis Iptek. Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan sekitar enam (6) bulan, terhitung mulai dari 1 Februari sampai dengan 30 Juli 2011. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembangunan Desa di Lokasi Penelitian 1. Desa Maltiharjo Desa Mlatiharjo yang berada di hamparan dataran rendah dengan sistem irigasi teknis yang bagus dan panas matahari yang cukup. Pertanian utama adalah tanaman pangan (padi), hortikultura dan buah. Dengan berbagai kodisi di atas, maka kepala desa menetapkan bahwa visi desa Mlatiharjo adalah: “Terwujudnya Jatidiri Desa Mlatiharjo”. Jatidiri yang dimaksud di atas adalah bahwa desa mlatiharjo akan mengembangkan diri sebagai desa yang bertumpu pada pertanian dan peternakan. Secara umum sumberdaya desa Mlatiharjo cukup memadai baik dari segi SDA, SDM, sarana dan prasarana maupun letak geografis yang cukup Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 253 menguntungkan usaha tani. Kondisi tersebut mampu dioptimalkan oleh kepala desa dengan mengkoordinasikan berbagai sumberdaya dalam sebuah arah kebijakan. Ada beberapa sarjana yang dikoordinir oleh kepala desa yang memiliki budaya inovasi tinggi. Kelompok tersebut terdiri dari beberapa orang dekat kepala desa bahkan kerabatnya, sehingga mudah dikoordinir ke dalam sebuah misi. Semua pihak diberi peran sesuai dengan kemampuan dan latar belakang pendidikannya. Kemampuan masingmasing orang tersebut mampu disinkronkan menjadi pencapaian agenda pembangunan desa. Kepala desa sebagai seorang sarjana pertanian memiliki peran yang besar dalam pengembangan inovasi di bidang pertanian, yaitu pemuliaan tanaman buah dan benih padi. Dengan memanfaatkan sumberdaya desa dan sumberdaya manusia di sekelilngnya, kepala desa bisa membangun konsep pembangunan yang visioner. Semua itu bisa dilakukan kepala desa karena secara pribadi yang bersangkutan memiliki sumberdaya memadai. Sebagai seorang yang berasal dari kalangan atas di desa (ayahnya juga mantan kepala desa), memiliki sumberdaya yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi pemicu dan pendukung proses-proses tersebut di atas. Sumber keuangan desa berasal dari dari sewa tanah kas, produksi pupuk dan hasil pertanian secara berkelanjutan dengan hasil yang cukup besar. Pemanfaatan potensi alam dan sosial sudah mulai terlihat konsepnya. Konsep yang ditawarkan adalah menjadikan desa sebagai wahana wisata edukasi, terutama bidang pertanian. Sinkronisasi program pembangunan desa secara umum berjalan dengan baik, akan tetapi dengan menggunakan metode yang kurang tertib. Dalam perencanaan dan pelaksanaan koordinasi dilakukan secara insidental, tidak terpola dan tanpa pembagian kewenangan dan tugas yang tegas antaraktor. Kepala desa mampu memanfaatkan potensi SDM secara maksimal, namun tidak terlembagakan secara baik. Pelaksanaan berbagai program bisa berjalan lancar dengan dukungan sumberdaya yang memadai, namun dokumentasi dan tertib administrasinya kurang. Kepala desa juga mampu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas desa. Kepala desa memiliki kapasitas yang memadai dalam visi dan arah kebijakan pembangunan. Akan tetapi dalam poses pengelolaan, manajemen yang digunakan masih belum terorganisir dengan baik. Perhatian utama saat ini ialah fokus pada kinerja, setelah stabil baru kelembagaan dibangun dengan konsep yang mapan. Arahan dan tahapan pembangunan juga belum tersusun dengan baik. Kelemahan utama ialah pada manajemen yang masih belum tertata dengan baku. Kepala desa Mlatiharjo selalu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak terkait, inovasiinovasi bidang pengembangan pertanian dilakukan dengan UKSW Salatiga. Kerjasama dalam mekanisasi alat-alat pertanian dilakukan dengan Polines Semarang. Pemuliaan benih padi dan buah dilakukan dengan para pakar dari balai inseminasi dan pemuliaan tanaman Kementerian Pertanian. Desa Mlatiharjo juga mulai merintis penggunaan teknologi informasi untuk sektor pelayaan publik, akan dibuat sistem terintegrasi sehingga begitu terjadi proses pelayanan dan terdapat perubahan data, maka database akan berubah secara kontinyu. Tujuan penggunaan teknologi informasi adalah untuk menuju pelayanan pemerintah berbasis teknologi informasi atau e-government. Pada sektor pendidikan, ada kerjasama antara kepala desa dengan pihak yang memiliki kompetensi untuk membangun sekolah menengah kejuruan. Sekolah tersebut mengkhususkan dirinya pada jurusan pertanian. Hal ini sesuai dengan potensi lokal. Tujuan kedepan adalah menciptakan SDM desa yang berkualitas untuk kemajuan usaha tani desa. Inovasi sesuai visi desa dilakukan dalam bidang peternakan dan pertanian. Fokusnya adalah pada menciptakan bibit unggul yang spesifik lokal dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lainnya. Inovasi juga dilakukan dalam mekanisasi pertanian. Kepala desa sebagai seorang sarjana pertanian dan pengurus HKTI di tingkat kabupaten, memiliki jaringan yang luas. Kepala desa bisa menciptakan jenis padi baru yang spesifik, yaitu varietas Melati dan Sulthan. Kepala desa juga mengembangkan jenis padi organik dengan memanfaatkan tanahnya dan tanah kas desa untuk proses uji coba berbagai varietas padi. Melalui jaringannya kepala desa bisa mendapatkan beberapa jenis buah unggulan. Pohon nangka sudah ditanam hampir di setiap pekarangan penduduk. Selain itu dikembangkan buah lengkeng. Keberhasilannya adalah bisa menjadikan lengkeng berbuah dengan kualitas yang lebih bagus dengan daerah lainnya. Walaupun lokasi desa berada di ketinggian 6 meter di atas permukaan laut (dpl), namun lengkeng bisa tumbuh dan berbuah. Selama ini lengkeng hanya ditanam di dataran tinggi, di atas 350 meter dpl. Pada sektor peternakan, dilakukan pengembangan jenis kambing karena potensi pasar yang besar dan siklus yang relatif singkat. Selain sebagai pedaging, kambing juga diambil susunya. Bibit kambing yang sedang diupayakan adalah yang memiliki badan kecil dan mampu memproduksi banyak susu. Lahan-lahan yang kosong juga bisa ditanam pohon kayu-kayuan. Konsep ini merupakan upaya untuk memperkuat ketahanan pangan masyarakat desa. Sehingga masyarakat memiliki sumber penghidupan yang bisa mencukupi kebutuhan harian seperti ayam atau itik, memiliki tabungan bulanan seperti kambing atau domba dan tabungan tahunan berupa sapi atau pohon kayu. Sebagai dukungan terhadap konsep pertanian dan peternakan di atas, dilakukan pembuatan pupuk dan pestisida organik serta pakan ternak yang berbahan dasar barang-barang yang banyak terdapat di desa, seperti jerami. Pupuk dan pestisida untuk 254 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260 memulai meninggalkan ketergantunagn terhadap pupuk dan pestisida kimia yang membahayakan kelangsungan daya dukung tanah. Ada beberapa output pembangunan yang merupakan produk inovasi dari masyarakat. Inovasi tersebut berpotensi sebagai produk unggulan desa. Di bidang lain, inovasi bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dalam bidang pertanian, telah dihasilkan bibit padi jenis baru yaitu Melati dan Sulthan. Pertanian organik sedang dikembangkan dan kedepan akan dibentuk kelembagaan klaster yang meliputi beberapa desa. Budidaya buah-buahan yang potensial seperti nangka dengan keunggulan khusus, lengkeng, pisang dan buah lainnya. Inovasi pupuk juga dilakukan dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada di desa, terutama kotoran ternak. Dalam peternakan sedang diupayakan penciptaan jenis spesies kambing yang baru sesuai selera pasar.. Selain keunggulan di atas, ada beberapa kelemahan yang terjadi.Inovasi sangat tergantung pada figur kepala desa dan beberapa warga, tidak terlembagakan dalam pemerintahan desa. Inovasiinovasi yang dilakukan cenderung sebagai milik kepala desa dan orang-orang terdekatnya, bukan merupakan aset desa. Untuk ke depan, keberlanjutan pembanguan dan inovasi kurang bermakna bagi desa ketika tidak dimulai proses transformasi kepada unsur desa dan masyarakat lainnya. Selain itu, kepala desa juga kurang melibatkan aparat secara maksimal, sehingga tertib administrasi dan prosedur pelayanan publik kurang menjadi perhatian. Ke depan perlu diperhatikan sebagian peningkatan pelayanan publik melibatkan aparat desa, sehingga menjadi pembaruan yang berkelanjutan. 2. Desa Samiran Sebagai daerah yang terletak di pegunungan dan merupakan jalur celah antara gunung Merapi dan Merbabu serta jalur kawasan wisata Solo-SeloBorobudur, maka potensi yang dapat ditingkatkan adalah sektor pertanian, peternakan, pariwisata, umkm pendukung pariwisata. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, kepala desa bersama segenap stakeholder desa menetapkan visi sebagai berikut “Mendorong terwujudnya masyarakat dan Pemerintah desa Samiran yang aman, maju, sehat dan sejahtera”. Untuk memaksimalkan pembangunan desa, kepala desa sangat aktif mencari bantuan dan program-program dari pemerintah sebagai penopang utama keuangan desa. Kepala desa mengkoordinir dengan baik pelaksanaan program-proram tersebut dengan sasaran masing-masing, tetapi saling melengkapi. Kendala kepala desa adalah belum tersedianya daya dukung SDM aparatur pemerintah desa yang mampu mendukung kinerja kepala desa. Sebagian perangkat sudah berusia lanjut dan tidak mudah diajak bekerjasama sesuai visi kepala desa terutama dalam hal menyesuaikan dengan kinerja kepala desa. Untuk memulai peningakatan kinerja, kepala desa mendelegasikan urusan melegalisir KTP kepada kaur pemerintahan. Strategi kepala desa untuk mengahadapi persoalan perangkat desa adalah dengan memanfaatkan kelembagaan masyarakat yang ada yang dianggap mampu menjalankan tugas pembangunan. Kendala yang dihadapi desa adalah minimnya pendapatan desa. Dana yang berasal dari hasil sewa tanah kas dan ADD hanya cukup untuk biaya operasional desa, sedangkan untuk pembangunan perlu dukungan dari luar. Untuk menyikapi kondisi tersebut, kepala desa aktif mencari sumber pendanaan dan bantuan proyek dari berbagai pihak. Keunggulan Samiran adalah banyak program yang masuk sehingga membantu pembangunan desa. Banyaknya program proyek tersebut didorong karena lemahnya sumberdaya keuangan desa. Pendapatan yang kurang memadai terbantu dengan berbagai proyek, akan tetapi hal ini menjadi persoalan di kemudian hari ketika kepala desa tidak mampu mendatangkan berbagai proyek dan dana tambahan. Banyaknya program-program tersebut tidak saling berbenturan satu dengan lainnya. Semua program bisa dikoordinasikan oleh kepala desa melalui koordinasi rutin antarpelaku program dan penerima program. Swadaya masyarakat untuk program-program yang ada juga cukup baik. Terjadi kerjasama dalam pembangunan, misalnya program PNPM Mandiri memiliki kegiatan pembangunan sarana prasarana, kemudian pemerintah desa menyediakan lahan kas desa untuk dibangun gedung BLM dari dana PNPM Mandiri. Pelaksanaan program PNPM Mandiri dan JRF Rekompak dikoordinir oleh kepala desa, sehingga sasaran program dapat saling melengkapi. Perencanaan pembangunan sangat partisipatif, musrenbangdes diikuti aparat desa, lembaga-lembaga desa, RT/RW dan perwakilan dusun, LSM, dinas dan satker kecamatan. Dalam monitoring program, perumusan review RPJM Des dan RKPDes diikuti perwakilan lembaga masyarakat (masing-masing 2 orang) sebagai perumus RPJMDes. Kepala desa telah memulai proses pemberdayaan masyarakat dalam segala aspek pemerintahan desa. Selain agar semua unsur desa mengetahui dan terlibat dalam proses pembangunan, juga adanya proses keberlanjutan pembangunan. Agenda pembangunan, perumusan program, pelaksanaan pengawasan dan evaluasi melibatkan segenap unsur desa. Kepala desa juga aktif turun ke pertemuan warga untuk menyerap aspirasi. Sehingga secara politis, kepala desa telah melakukan demokratisasi yang substansial. Kepala desa juga mampu mengajak segenap pihak pelaksana program dan kelembagaan masyarakat untuk menyatukan pemahaman. Dalam bidang pertanian, kedepan dengan konsep STA (Sub Terminal Agribisnis), diharapkan memiliki pasar sendiri. Selama ini sayur produk Samiran dan Kecamatan Selo pada umumnya dijual di pasar kecamatan Cepogo. Biogas juga mulai dikembangkan untuk mandiri energi. Dengan konsep Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 255 Agro Silvo Pastural yaitu pertanian, peternakan dan kehutanan menjadi keunggulan desa kedepan. Gapoktan sebagai induk kelompok petani di desa akan dikembangkan menjadi organisasi yang kuat sebagai wadah bagi pengembangan usaha tani, kendala dana menjadi masalah klasik. Kendala lain pertanian adalah musim yang tidak menentu dan masih kurangnya pemeliharaan sapi ternak, untuk mengatasi kendala tersebut warga mengharap agar dari pemerintah memberikan hibah ternak sapi. Inovasi dalam bidang peternakan yang memiliki daya ungkit adalah mengubah produk susu menjadi keju, yang dilaksanakan dengan dukungan kerjasama dengan kosultan dari Belanda. Selama ujicoba, sebagaimana disampaikan Kepala Desa Samiran uji coba berhasil dan akan dikembangkan menjadi industri keju. Di sektor UMKM, ada beberapa home indsutry, seperti gula klethak, jadah, dll. Selain itu berbagai macam hasil pertanian, sayur, tembakau, budidaya jamur kuping, kerajinan bambu wulung, dan lainya. Sektor tersebut juga menjadi pelengkap wisata Samiran. Untuk itu BLM dipergunakan semaksimal mungkin untuk membina SDM dalam meningkatkan kualitas produk. Bentuk inovatif lainnya dalam bidang ekonomi adalah pemanfaatan aset desa untuk meningkatkan pedapatan. Dengan memanfaatkan sumberdaya berbagai program, terutama PNPM Mandiri dan aset desa, telah dibangun gedung pelatihan yang diberi nama Balai Latihan Masyarkat (BLM) dan kedepan akan dibangun gedung serbaguna dilengkapi dengan penginapan. Konsep ini menangkap peluang posisi Samiran di pegunungan yang sering digunakan sebagar tempat acara seminar, pelatihan, kursus dan lainnya oleh berbagai pihak. 3. Desa Jatiroyo Secara geografis letak desa yang kurang srategis berada di pedalaman, sehingga panduduk hanya bisa mengandalkan pertanian dan sumberdaya alam lain seperti penambangan batu dan pasir. Kepemilikan lahan yang relatif tidak luas sehingga pendapatan penduduk juga tidak terlalu tinggi, untuk itu sebagian besar warga merantau ke luar daerah untuk mencari penghasilan yang labih baik. Pertanian bisa dibedakan menjadi pertanian jangka pendek, dengan menanam hortikultura, seperti padi, jagung, ubi kayu, sayur-sayuran. Sedangkan pertanian jangka panjang meliputi tanaman kayu seperti sengon, jati, dan buah-buahan seperti durian, rambutan, dan mangga. Kelebihan perencanaan pembangunan desa adalah pelibatan segenap unsur desa. Setiap program pembangunan juga diintegrasikan ke dalam APBDes meskipun berasal dari sumber lain. Pemerintah desa juga mampu merangkul berbagai unsur dan dimanajemen dengan baik oleh sekretaris desa secara kompeten. Kepala desa berperan sebagai fasilitator dan masyarakat berperan lebih aktif dalam pembangunan. Administrasi pembangunan cukup baik, semua program dari luar seperti PNPM Mandiri, PDT dimasukkan dalam dokumen APBDes. Kinerja aparat cukup tertib, ada sistem jaga untuk setiap aparat, sehingga pelayanan kantor desa berjalan lancar. Dianggarkan dalam APBDes untuk peningkatan kinerja aparat, namun sering tidak terlaksana karena anggaran tidak mencukupi Untuk urusan perekonomian, pemerintah desa bekerjasama dengan masyarakat. BUMDes dan pasar desa dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa hanya memfasilitasi. Tanah kas desa pengelolaannya dilakukan oleh keluarga miskin dengan proporsi bagi hasil 50% penggarap/pemelihara, 50%. Pada sektor UMKM, ada beberapa potensi industri lokal/home industry di desa Jatiroyo yang nantinya bisa dikembangkan dengan bantuan BUMDes, yaitu home industry tahu tempe, rambak, anyam-anyaman bambu, merangkai bunga kering, gypsum, mebeler/pertukangan, bengkel cat duko, penjahit, perbengkelan mesin dan pengelolaan hasil ternak/perikanan. Potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan dengan dukungan modal dan pendampingan bisnis. Pelatihan-pelatihan sudah mulai dilakukan untuk meningkatkan kapasitas dan ketrampilan masyarakat. Program PNPM Mandiri juga fokus pada upaya tersebut. Terdapat kerjasama yang erat antarpelaku program dan dukungan masyarakat. Koordinasi pembangunan menghasilkan sinergisitas pembangunan desa. Setiap 35 hari sekali ada forum selapanan baik di kelompok gapoktan maupun paguyuban RT/RW sebagai sarana sosialisasi dan koordinasi antaraktor pelaku program pembangunan, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat. Dalam forum tersebut, pengelolaan program PNPM Mandiri maupun Pembangunan Desa Terpadu (PDT) juga hadir memberikan sosialisasi dan informasi kepada masyarakat. Ada 2 program dari luar yang utama di desa Jatiroyo, yaitu PNPM Mandiri dan PDT. Pelaku program seperti PNPM Mandiri dan PDT aktif melakukan sosialisasi dan koordinasi kepada warga melalui dusun maupun forum RT/RW. Ada koordinasi antara PNPM Mandiri dan PDT sehingga tidak tumpang tindih dan saling melengkapi. Pembangunan pasar desa dibiayai oleh program PDT dan swadaya masyarakat, termasuk pembelian lahan. PNPM Mandiri memberikan fasilitasi pelatihan kepada masyarakat dan perbaikan sarana jalan desa. Dalam perencanaan dan pelaksanaan selalu ada koordinasi antarpelaku agar tidak terjadi kesamaan sasaran. Melalui musrenbangdes dibahas berbagai kegiatan di desa. Secara administratif setiap kegiatan dimasukkan dalam APBDes secara tertib, biasanya program PDT tengah tahun, PNPM awal tahun. Sebagian warga bisa berperan aktif walaupun masih terbatas pada pihak-pihak tertentu. PNPM Mandiri yang mulai dilaksanakan tahun 2010 sudah menghasilkan pembangunan selaras 256 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260 dengan pembangunan lainnya. Program PDT menghasilkan pasar desa, simpan pinjam dan lumbung pangan. Pembangunan pasar desa dengan juga dengan bantuan swadaya masyarakat. Rencana ke depan kios pasar desa akan disewakan. Simpan pinjam kepada seluruh masyarakat dengan menggunakan agunan berupa sertifikat tanah atau BPKB, simpan pinjam juga diberikan di kelompok PKK. Gapoktan yang terdiri dari 11 kelompok tani, setiap 35 hari sekali ada pertemuan dan berkoordinasi dengan pihak lain, gapoktan juga memanfaatkan pasar desa serta BUMDes untuk kemajuan usaha tani. Penyaluran pupuk subsidi dilakukan oleh gapoktan, tetapi masih terkendala permodalan. Para petani mulai membuat pupuk kompos, obat tanaman buah. Hasil pertanian berupa padi, jagung, ketela pohon, dan sudah 5 tahun ini produksi jagung meningkat. Namun penjualan masih cenderung dilakukan perseorangan, sehingga akan dirintis penjualan bersama. Harapan kedepan bisa dikoordinir oleh gapoktan dan memanfaatkan pasar desa. Peningkatan produksi jagung masih membutuhkan bantuan permodalan, pupuk dan benih. Kepala desa selalu melakukan konsolidasi setiap senin untuk mengevaluasi kinerja mingguan dan membahas kegiatan berikutnya. Pemerintah desa mengupayakan peningkatan kapasitas melalui pelatihan dan pembinaan. Dalam APBDes dianggarkan dana untuk pelatihan-pelatihan aparat. Ada aparat yang piket di kantor setiap hari dan para kadus setiap 2 minggu sekali masuk di kantor desa. Ada koordinasi antarkadus, dibentuk 2 kelompok kadus, masing-masing 5 orang dan diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah, jika tidak bisa maka diselesaikan di desa. Tanah kas desa yang kurang produktif juga dimanfaatkan untuk penanaman kayu yang produktif seperti sengon. Selain itu, pembangunan pasar desa dan BUMDes berpotensi menjadi penguat perekonomian desa dan menjadi daya ungkit perekonomian desa kedepan. Secara umum, pembangunan bidang pertanian masih menghadapi kendala saat ini yaitu kurangnya permodalan untuk mengembangkan BUMDes. Petani juga merasakan kurangnya sarana sentra penjualan hasil pertanian, khusunya gudang untuk menampung hasil tanaman. Selain itu daya saing produk pertanian masih lemah, kurangnya inovasi dan penguatan pasar. Potensi tanaman obat (empon-empon) belum dikembangkan dengan baik sebagaimana desa-desa di sekitarnya. Bidang peternakan kurang berkembang dan masih dikelola secara tradisional oleh petani. Pembangunan UMKM dilakukan dengan penyaluran bantuan kepada masyarakat. Ada beberapa lembaga keuangan mikro sebagai hasill pelaksanaan program PNPM Mandiri dan PDT yaitu simpan pinjam perempuan (SPP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSPBM), PKK dan lainnya. Lembaga-lembaga keuangan mikro tersebut sangat membantu permodalan masyarakat dalam manajemen usahanya. Kelemahan utama desa Jatiroyo adalah perekonomian mengandalkan pada proses eksploitasi sumberdaya alam, bukan pemanfaatan yang berorientasi berkelanjutan. Ketidakadaan daya dukung sumberdaya alam habis, maka produktiftas akan semakin menurun. Untuk itu perlu dipikirkan sebuah metode pemanfaatan sumberdaya alam yang bisa diperbaharui. Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif Perubahan paradigma pembangunan dari mengutamakan indikator kuantitatif kepada keseimbangan dengan indikator kualitatif. Kegagalan pembangunan berbasis pertumbuhan, menciptakan paradigma baru yang meyakini bahwa pembangunan harus diarahkan kepada terjadinya pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability) yang berimbang dalam pembangunan ekonomi. Mengubah prinsip pertumbuhan semata menjadi prinsip pemerataan (equity), pertumbuhan (eficiency) dan keberlanjutan (sustainability) menjadi sangat penting bagi pembangunan desa masa kini. Todaro telah menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusiinstitusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, maka perlu melibatkan segenap stakeholder yang saling bekerjasama. Pembangunan desa merupakan proses merespon tiga lingkungan desa (alam, budaya dan sosial ekonomi) dengan cara yang tepat, maka dalam pembangunan harus diperhatikan unsur lingkungan tersebut. Desa Samiran telah menunjukkan bahwa dengan keterbatasan keuangan, namun pelaksanaan upaya koordinasi, pemerataan dan partisipasi, arah pembangunan dapat menghasilkan sebuah keunggulan tersendiri. Desa Jatiroyo dengan ketergantungannya terhadap pihak luar, berusaha memanfaatkan yang didapatnya untuk kebutuhan pokok mereka. Sedangkan desa Mlatiharjo, meskipun dengan manajemen yang sangat tidak memadai, melakukan penggalian potensi yang tersembunyi dari kearifan lokal manusia-manusia desa yang berkualitas. Selain pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan merupakan tujuan utama pembangunan. Pemerataan baik secara wilayah, sektoral maupun penerima atau pemanfaat pembangunan merupakan ukuran penting keber-hasilan pembangunan. Keberlanjutan pembangunan tidak saja memenuhi kebutuhan sesaat, tetapi menjaga bagaimana terjadi kesinambungan dana agar manfaatnya bisa dirasakan lintas generasi. Dari konsep-konsep tersebut di atas, berikut gambaran yang lebih komprehensif mengenai siklus pembangunan terpadu inovatif yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini. Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 257 Tabel 1. Kerangka Umum Pembangunan Desa Inovatif No 1. a. Indikator Identifikasi Potensi SDM b. SDA c. Sarana dan prasarana Sumberdaya Sosial d. 2. Perencanan 3. a Pengelolaan Sumberdaya Sumberdaya b Pengelola a Sinkronisasi Pelaku b Sektor c Sasaran d Penerima a Inovasi Perekonomian b Pendapatan c Pelayanan Publik d Kualitas Hidup 4. 5. 6. a Hasil pembangunan Peningkatan Kesejahteraan b Peningkatan kulitas hidup c Pemerataan d Keberlanjutan Situasi yang Diharapkan Tersedianya peta potensi desa Kegiatan yang Perlu dilakukan Inventarisasi potensi desa Aparat: tersedianya SDM aparatur yang mampu menjalankan tugas dengan baik, kapasitas mampu mendukung visi-misi kades Masyarakat: kapasitas masyarakat mampu mendukung program pembangunan, penguasaan iptek baik, modal sosial kuat Potensi sumberdaya alam terjaga dengan baik, dikelola dengan prinsip keberlanjutan, menjaga kelestarian dan daya dukung kedepan Tersedianya sarana dan prasarana fisik yang mendukung pembangunan Partisipasi masyarakat serta tersedianya lembaga masyarakat sebagai pelaku pembangunan Perencanaan pembangunan yang mengakomodasi semua pihak dan seluruh rencana program pembangunan yang akan dilakukan baik secara strategis (5 tahunan) maupun secara teknis (tahunan) Aparat: melakukan konsolidasi rutin berkala, peningkatan kemampuan melalui pelatihan, pendidikan, dll yang bisa dikoordinir pemda Masyarakat: memanfaatkan berbagai media untuk pembelajaran masyarakat Terbangunnya pola pemanfaatan sumberdaya yang optimal dan manajemen yang efektif dan efisien Sumberdaya dikelola oleh pihak yang tepat dan kompeten, memiliki landasan kekuatan hukum dan diakui legitimasinya Peningkatan kemampuan SDM dalam bidang manajemen sumberdaya melalui pelatihan dan kerjasama Adanya kesepakatan warga desa mengenai siapa yang diberi wewenang mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada secara tepat Terbangunnya pola komunikasi, koordinasi dan kerjasama antarpelaku pembangunan di desa Saling terkaitnya pembangunan antarsektor Peran aktif pemerintah desa dan lembaga masyarakat dalam mengarahkan para pelaku pembangunan Koordinasi antarpelaku, pemerintah desa dan masyarakat Koordinasi antarpelaku, pemerintah desa dan masyarakat Peran aktif pemerintah desa dan lembaga masyarakat dalam mengarahkan para pelaku pembangunan Sasaran pembangunan yang tepat dan tidak tumpang tindih Penerima program tidak tumpang tindih dan menerima manfaat program dengan baik Peningkatan produktifitas masyarakat berbasis iptek Peningakatan pendapatan masyarakat sebagai hasil keunggulan produk yang kompetitif Peningkatan pelayanan publik berbasis iptek Peningkatan kualitas hidup sebagai hasil pelayanan yang baik Peningkatan pendapatan masyarakat sebagai hasil dari peningkatan kualitas maupun kuantitas produksi serta penguatan pasar. Penggunaan sumberdaya sekecil mungkin untuk menghasilkan sebanyak mungkin keuntungan Peningkatan kualitas hidup masyarakat sebagai hasil pembangunan yang terpadu dan memanfaatkan inovasi-inovasi teknologi tepat guna Penerima manfaat pembangunan merata Pemanfaatan sumberdaya memperhatikan generasi mendatang, orientasi dan sasaran 258 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260 Melakukan inovasi untuk menghindari eksploitasi berlebihan dan ketergantungan kepada sumberdaya alam Memaksimalkan aset desa untuk pelaksanaan pembangunan dan menjaga yang ada Mengedepankan lembaga masyarakat sebagai pelaksana utama pembangunan Menetapkan arah pengembangan strategis, melibatkan masyarakat luas, mengakomodasi kepentingan berbagai pihak dan sektor serta memadukan kerangka pembangunannya Mendorong dan memfasilitasi inovasi teknologi tepat guna Implementasi teknologi tepat guna dalam semua aspek usaha masyarakat desa Mendorong dan memfasilitasi inovasi dan teknologi tepat guna Implementasi teknologi tepat guna dalam semua aspek pelayanan publik Kerjasama dengan berbagai pihak penyedia inovasi, pemanfaatan inovasi secara tepat, pembentukan kelembagaan yang kuat. Pemanfaatan inovasi yang tepat, kerjasama antarpelaku pembangunan, pengawasan terpadu oleh segenap unsur desa terhadap pelaksanaan pembangunan Kerjasama dengan berbagai pihak pelaku pembangunan, pemanfaatan inovasi secara tepat, pembentukan kelembagaan yang kuat Perencanaan yang komprehensif dalam bentuk rencana strategis pembangunan desa, dengan melibatkan segenap unsur desa Upaya perencanaan yang mampu mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat No Indikator Situasi yang Diharapkan pembangunan tidak parsial (proyek) tetapi kontinyu SIMPULAN Model pembangunan terpadu inovatif merupakan siklus pembangunan yang dimulai dari proses identifikasi potensi sumberdaya dan kemudian menentukan arah pembangunan yang melibatkan segenap unsur desa. Setelah ditentukan arah pembangunan, pengelolaan sumberdaya desa perlu ditetapkan secara tepat dan benar. Kemudian inti dari pembangunan terpadu inovatif adalah proses yang mengutamakan sinkronisasi antarsektor dan antarpelaku serta mengedepankan inovasi dalam berbagai bidang sebagai tekniknya. Dengan demikian, hasil pembangunan akan menciptakan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Hasil-hasil tersebut akan menjadi bahan masukan bagi pembangunan tahap berikutnya. Dengan memperhatikan praktik di lokasi penelitian dan penjelasan teoritis di atas, maka prasyarat pembangunan desa terpadu inovatif adalah: a. Teridentifikasinya potensi sumberdaya dan arah pembangunan; b. Terlaksananya pengelolaan sumberdaya yang tepat guna; c. Terciptanya sinkronisasi dalam pelaksanaan pembangunan; d. Menumbuhkan inovasi sebagai teknik pembangunan; serta e. Hasil pembangunan mencakup unsur pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Berasarkan situasi di lapangan penelitian dan penjelasan teoritis sebelumnya, maka peranan yang perlu dilakukan oleh masing-masing pihak terkait dalam pembangunan desa adalah: a. Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten harus konsisten dan terarah dalam merumuskan arah kebijakan, menentukan bentuk program, implementasi program secara terkoordinir dan proses monitoring dan evaluasi yang terpadu; b. Pemerintah desa melakukan identifikasi potensi dan menentukan arah kebijakan, membangun koordinasi dan sinkronisasi serta memberikan fasilitasi dan mengedepankan pemberdayaan masyarakat; c. Masyarakat desa dan lembaga kemasyarakatan desa berpartisipasi dan melakukan pengawasan; d. Akademisi memberikan masukan iptek dan pendampingan; dan e. Pelaku usaha melakukan investasi dan kerjasama. Kegiatan yang Perlu dilakukan dan keberadaan berbagai macam program pembangunan dalam satu arah kebijakan serta mengedepankan inovasi untuk menghindari ekpsloitasi berlebih dan ketergantungan terhadap SDA Dengan demikian, keberhasilan pembangunan desa tidaklah kinerja unsur-unsur internal desa semata, melainkan kerja bersama berbagai pihak. Berdasarkan simpulan penelitian di atas, maka penelitian ini menghasilkan saran kepada berbagai pihak sebagai berikut: a. Agar model pembangunan desa terpadu inovatif bisa menjadi konsep yang benar-benar mejawab persoalan perlu uji coba implementasinya di beberapa desa melalui program terarah dan sistematis. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menilai efektifitasnya serta memperbaiki konsepnya. Proses ini perlu melibatkan berbagai unsur lembaga pemerintah dan akademisi serta pelaku usaha; b. Penciptaan prasyarat pembangunan terpadu inovatif perlu dilakukan oleh pemerintah desa dan segenap unsur desa mulai melakukan berbagai pembenahan dalam menetapkan arah kebijakan pembangunan desa. Proses tersebut juga perlu didukung berbagai unsur terkait seperti pemerintahan akademisi dan pelaku usaha sebagai fasilitator; dan c. Penguatan peran masing-masing pihak dalam pembangunan desa terpadu inovatif dilakukan dengan membangun kerangka kebijakan yang tegas dari pemerintah pusat, pengawalan, monitoring dan evaluasi dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten serta komitmen segenap unsur desa. Akademisi secara kontinyu berhubungan dengan desa, dunia usaha menjalin kerjasama secara berkelanjutan dengan desa. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, Dudung. 2003. Pengantar Metode Penelitian. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Adisasmita, Raharjo. 2006. Membangun Desa Partisipasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Dagun. Save M. 2006. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN). Daldjoeni dan Suyitno. 2004. Perdesaan, Lingkungan dan Pembangunan. Bandung: PT. Alumni. Dwipayanan, Ari AA. 2003. Desa Adat: Antara Otentisitas dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eko, Sutoro. 2003. Meletakkan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Model Pembangunan Desa Terpadu Inovatif di Jawa Tengah – Suharyanto & Arif Sofianto | 259 __________. 2004. Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: APMD Press. __________. 2006. Pembaharuan Desa Secara Irawan, Tahir. 2003. Pembaharuan Pemerintah Desa. Yogyakarta: IRE Press. Partisipatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Leeuwis, Cees. 2009. Komunikasi Untuk Inovasi Perdesaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Morissan. 2010. Teori Komunikasi Massa. Bogor: Ghalia Indonesia. Mulyasa. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Rustiadi, Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah R Panuju. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarata: Yayasan Obor Indonesia. Safi’i. 2009. Manajemen Pembangunan Daerah, Teori dan Aplikasi. Malang: Averroes Press Santoso, Purwo. 2003. Menuju Tata Pemerintahan dan Pembangunan Desa dalam Sistem Pemerintahan Daerah: Tantangan Bagi DPRD. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,. __________. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokus Media. Soetomo. 2006. Strategi-Strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sukardi, Akhmad. 2009. Participatory Governance Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Laks Bang Pressindo. Suryabrata, Sumadi. 2006. Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Tarigan, Robinson. 2008. Perencanaan Pembangunan Wilayah; Edisi Revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wasistiono, Sadu. 2003. Kapita Selekta, Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokus Media. Winarno, Budi. 2008. Gagalnya Organisasi Desa dalam Pembangunan di Indonesia. Yogyakarta:Tiara Wacana. 260 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 251 – 260 EFEKTIVITAS SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008 TERHADAP KUALITAS PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DI KOTA BLITAR EFFECTIVENESS OF QUALITY MANAGEMENT SYSTEM ISO 9001:2008 OF ADMINISTRATION POPULATION SERVICE QUALITY IN THE CITY BLITAR Irtanto Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur Jl. Gayung Kebonsari No. 56, Surabaya E-mail: [email protected] Diterima: 29 Oktober 2012; direvisi: 25 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, yang bertujuan (1) mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008 terhadap kualitas pelayanan kependudukan; (2)mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis mengenai efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar mengenai layanan administrasi kependudukan meliputi bukti langsung, kehandalan, daya tanggap aparat pelayanan, jaminan, dan empati diperoleh nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan kriteria baik, tingkat pencapaian rata-rata sebesar 79,99% dengan kriteria pencapaian efektif. Faktor yang mempengaruhi tidak efektivitasnya pelayanan disebabkan oleh karena faktor tangibel dan kenyaman pelayanan masih kurang; kehandalan petugas pelayanan yang masih kurang; akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan perlu diperhatikan; dan masih kurangnya empati aparat, tingkat ketrampilan dan kedislipinan aparat dalam memberikan pelayanan yang masih perlu ditingkatkan, adanya biaya tambahan di luar ketentuan untuk mendapatkan pelayanan, petugas dalam memberikan pelayanan masih ada yang kurang ramah. Kata kunci: efektivitas, kualitas pelayanan, sistem manajemen, pelayanan administrasi Abstract This research used quantitative descriptive approach, which aims to know (1) the effectiveness of QMS ISO 9001:2008 in realizing a population service quality (2) to know factors that influence the effectiveness of QMS ISO9001:2008 in realizing quality service. The results showed that the analysis of the effectiveness of QMS ISO 9001:2008 in Blitar City on population administration service covering direct evidence, reliability, responsiveness of service, assurance, and empathy qualifier values obtained with the 3.18 average good criteria, average achievement of 79.99% with the effective achievement criteria. The factors that affect is not effectiveness of the service caused the tangible and comfort care; reliability of service personnel; accuracy and responsiveness of care apparatus, and f empathy apparatus are lacking, the level of skill and discipline personnel in providing services to be improved, the additional costs beyond the provision for services, personnel in providing services there are less friendly. Keywords: effectiveness, quality of service, management system, administration service PENDAHULUAN Demokratisasi seperti sekarang di Indonesia yang gencar-gencar di bangun berdampak luas terhadap debirokratisasi pelayanan publik, selain itu berdampak pula terhadap perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah, di massa pemerintahan orde baru lebih bersifat sentralistis kini berubah desentralistis. Organisasi pemerintah pada saat ini identik dengan organisasi pelayanan masyarakat (public service). Kondisi ini tidak lepas sebagai dampak lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang mempunyai konsekuensi daerah mempunyai kewenangan terhadap persoalan pelayanan publik. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas tidaknya pelayanan publik tergantung dari daerah itu sendiri. Di sisi lain dewasa ini dari ke hari-hari berbagai desakan terhadap perbaikan pelayanan publik terus saja terjadi dimana-mana dan tidak mengherankan jika ekspektasi masyarakat terhadap kualitas pelayanan semakin tinggi. Oleh karenanya, pemerintah daerah dituntut melakukan berbagai inovasi terhadap pelayanan publik. Untuk meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah selaku penyedia layanan harus berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Dari kondisi seperti di atas perlu dijawab dengan berbagai teori untuk mengukur kualitas pelayanan publik. Sedangkan untuk mengukur dan meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan standarisasi terhadap manajemen mutu pelayanan. Pengukuran terhadap manajemen mutu pelayanan Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 261 menjadi suatu kebutuhan yang mendesak. Sebagai konsekuensinya, setiap organisasi pemerintah perlu menyiapkan kerangka sistem manajemen mutu organisasinya sesuai dengan tujuan dan fungsinya. Untuk itu, Pemerintah Kota Blitar terutama yang bergerak di bidang pelayanan publik tentunya secara langsung maupun tidak langsung tidak lepas dari penerapan Sistem Manajemen Mutu (SMM) ISO 9001:2008. Tolok ukur kualitas tidaknya pelayanan birokrasi kadang-kadang bersifat subyektif, tergantung dari cara pandang masing-masing orang dalam menentukan kualitas seperti apa yang diinginkan. Pelayanan publik buruk, masyarakat belum tentu semuanya secara langsung melakukan komplain terhadap pemerintah selaku pemberi layanan, bisa saja masyarakat pasif, tidak reaktif sebagaimana pernyatan Tjiptono bahwa pelanggan yang tidak puas tidak melakukan komplain, tetapi mereka praktis tidak akan membeli atau menggunakan jasa perusahaan yang bersangkutan lagi (2000:52). Ini berbeda dengan birokrasi selaku pemegang monopoli pelayanan administrasi kependudukan, akibatnya distrust terhadap birokrasi pemerintahan akan terjadi yang berdampak luas.Pemerintahan Kota Blitar akhirakhir ini sering mendapatkan berbagai penghargaan terutama sepuluh tahun terakhir di massa dua dekade massa kepimpinan Walikota Djarot Syaiful Hidayat dari tahun 2000-2010, seperti pelayanan Puskesmas Bendogerit yang menerapkan Citizen Charter. Selain itu pelayanan kependudukan perlu dikaji dengan penerapkan SMM ISO 9001:2008 sebagai standar pengendalian mutu dalam pemberian pelayanan kependudukan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008 dalam mewujudkan kualitas pelayanan kependudukan dan bertujuan pula mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas. Secara teoritik efektivitas merupakan penilaian hasil pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Efektivitas mempunyai efek yang besar terhadap kepentingan orang banyak (Emerson, dalam Handayaningrat, 1985:16). Efektivitas merupakan usaha pencapaian sasaran yang dikehendaki yang ditujukan kepada orang banyak dan dapat dirasakan oleh kelompok sasaran. Kemudian Siagian (1997:151) mendefinisikan bahwa efektivitas adalah sebagai penyelesaian pekerjaan tepat pada waktunya, dalam arti apakah dalam melaksanakan tugas dinilai baik atau tidaknya sangat tergantung pada kapan tugas itu terselesaikan. Pendekatan pencapaian tujuan sebagai variabel dalam mengukur efektivitas SMM 9001:2008 untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas. Selanjutnya pelayanan umum menurut difinisi Sianipar (1998:4) adalah segela bentuk kegiatan publik yang dilaksanakan oleh aparat pemrintah, baik di pusat, di daerah, dan lingkungan Badan Usaha Negara/daerah dalam bentuk barang dan jasa, baik dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sesuai dengan harapan mreka maupun menurut ketentuan pertundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu pelayanan publik perlu dikaji dengan menggunakan berbagai teori tentang kualitas pelayanan yang rrelavan antara lain dengan menggunakan pengembangan teori kualitas pelayanan menurut Parasuraman (dalam Tjiptono, 2002:27) yang terdiri dari lima item penting, yaitu 1) bukti langsung (tangibles) meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai dan sarana komunikasi; 2). Empati (emphathy) meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para masyarakat; 3). kehandalan (reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan: 4). Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu masyarakat dan memberikan pelayanan dengan tanggap; 5). Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sikap yang dapat dipercaya yang memiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan”. Selanjutnya teori Vincent Gespersz (dalam Lukman, 2003) hampir relatif sama dengan teori Parasuraman, bahwa demensi kualitas pelayanan antara lain 1. Ketepatan waktu pelayanan; 2. Akurasi pelayanan; ; hal ini berkaitan dengan keakuratan pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan; 3. Kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan; berkaitan dengan perilaku orang-orang yang berinteraksi langsung kepada masyarakat eksternal; 4. Tanggung jawab; berkaitan dengan penerimaan pesanan dan penanganan pengaduan dari masyarakat ekternal (masyarakat); 5. Kemudahan mendapatkan pelayanan; berkaitan dengan banyaknya petugas yang melayani dan fasilitas pendudukun; 6. Kenyaman dalam memperoleh pelayanan pelayanan; berkaitan dengan lokasi, ruangan tempat pelayanan, tempat parkir, ketersediaan informasi, dan petunjuk panduan lainnya. Di sisi lain masyarakat mempunyai harapan terhadap pelayanan publik, menurut Moenir (2001:41) ada empat hal, yaitu (1) Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan dengan pelayanan yang cepat dalam arti tanpa hambatan yang kadang-kadang dibuat-buat; (2) Memperoleh pelayanan yang wajar tanpa gerutu, sindirian atau untaian kata lain semacam itu yang nadanya mengarah pada permintaan sesuatu, baik dengan alasan untuk dinas; (3) Mendapatkan perlakuan yang sama, tertib, dan tidak pandang bulu; (4) Pelayanan yang jujur dan terus terang, artinya apabila ada hambatan karena suatu masalah yang tidak dapat dielakkan hendaknya diberitahukan sehingga orang tidak menunggu-menunggu sesuatu yang tidak menentu. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas SMM ISO 9001:2008 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas administrasi kependudukan Kota Blitar dan mengidentifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi efektivitas SMM ISO 9001:200 dalam mewujudkan pelayanan berkualitas administrasi kependudukan di Kota Blitar. 262 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 Berbagai teori dan tujuan penelitian yang hendak diteliti dapat digambarkan dalam kerangka penelitian sebagaimana tersebut dibawah ini. dilakukan dalam analisis data pada penelitian ini meliputi: (1) Menyeleksi data; (2) Klasifikasi data; (3) Tabulasi data; (4) Standarisasi data. Ada dua Sarana & prasarana Kenyamanan Kemudahan akses Bukti langsung/ Tangibles Kehandalan/ Reliability Efektivitas SMM ISO 9001:2008 Terhadap Pelayanan Administrasi Kependuduk: KTP dan KK Daya tanggap/ Responsiveness Kesederhanaan Kepastian & kejelasan Kedisiplinan petugas Transparansi Akuransi pelayanan Tanggung jawab Akuntabilitas Jaminan/ Assurance Empati/ Empathy Competence Courtecy Credibility Security Communication Understanding the costumer Gambar 1. Kerangka Penelitian. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam peneltian ini deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan ’apa adanya’ tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan (Arikunto, 2006:68), hanya menggambarkan atau memaparkan keadaan dan obyek penelitian yang didasarkan pada data dan fakta yang ada tanpa terkait keharusan membuat hipotesis. Lokasi dan Sampel Lokasi penelitian di Kota Blitar yang meliputi tiga (3) kecamatan, Sananwetan, Sukorejo, dan Kecamatan Kepanjenkidul. Pengambilan sampel menggunakan pedoman dari Roscoe (1975) yang mengusulkan ukuran sampel lebih dari 30 dan kurang dari 500 adalah tepat untuk kebanyakan penelitian (dalam Uma Sekaran (2006). Pengambilan sampel masing-masing kecamatan diambil 100 orang, sampel keseluruhan sebanyak 300 orang. Teknik Pengumpulan dan Analisa Data Teknik pengumupulan data menggunakan kuesioner. Pilihan jawaban menggunakan 4 pilihan jawaban, mulai dari yang bermakna sangat negatif sampai yang bermakna sangat positif. Teknik wawancara kami gunakan untuk mendapatkan informasi yang lebih mendalam tentang persoalan pelayanan administrasi kependudukan. Teknik analisa data menggunakan analisis deskriptif kuantitatif. Sedangkan tahap-tahap yang standarisasi data dalam penelitian ini, pertama untuk menentukan indikator kualitas hasil pendapat responden untuk mengukur pendapat responden mengenai kualitas pelayanan administrasi kependudukan pembuatan KTP dan KK; kedua, standarisasi data untuk persentase tingkat pencapaian dari sub variabel dan indikator untuk mengukur pendapat responden mengenai tingkat pencapaian SMM ISO 9001:2008 dengan mendeskripsikan kualitas pelayanan administrasi kependudukan. Standarisasi data tersebut ditentukan melalui: a.Penentuan kriteria penilaian pendapat responden. Kualitas jawaban ditentukan dengan skala likert, dengan memberikan 4 (empat) alternatif jawaban yang diberikan kepada responden sesuai dengan kedalaman jangkauan jawaban. Kriteria kualitas jawaban ditentukan dengan bobot nilai sebagai berikut bobot nilai tertingi 4 dan terendah 1. b. Penentuasn nilai kualifikasi. Nilai kualifikasi tersebut ditentukan oleh jumlah dari frekuensi jawaban dikali bobot nilai kemudian dibagi dengan jumlah responden sebagaimana rumus untuk menghitungkan rata-rata menurut Nazir (2005:380) sebagai berikut: Nilai Kualifikasi = Jumlah (frekuensi jawaban x bobot nilai) Jumlah Responden = Nilai Total Jumlah Responden Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 263 Selanjutnya, ditetapkan interval nilai guna mendapatkan kualifikasi interpretasi. Kemudian untuk mencari besarnya interval dengan menggunakan range dan jumlah kelas (Nazir (2005:380). R I= K HASIL DAN PEMBAHASAN Dimana I adalah besarnya interval, R adalah jarak pengukuran (nilai tertinggi-nilai terendah, dan K adalah jumlah kelas. Jadi, intervalnya adalah sebesar: I= 4-1 = 0,75 4 Dengan demikian, dapat diketahui interpretasi jawaban responden mengenai kualitas pelayanan administrasi kependudukan sebagai berikut: a) Nilai kualifikasi 3,26 – 4,00 = sangat baik; b) Nilai kualifikasi 2,51 – 3,25 = baik; c) Nilai kualifikasi 1,76 – 2,50 = kurang baik; dan d) Nilai kualifikasi 1,00 – 1,75 = tidak baik Sedangkan untuk mengetahui tingkat pencapaian dari SMM ISO 9001:2008, maka penulis menggunakan rumus Sugiyono (2006:95) sebagai berikut: % Skor Pencapaian (Skor Hasil = Penelitian) Jumlah skor jawaban hasil x 100% penelitian Skor jawaban ideal Jawaban responden pada skala likert terdiri atas 4 alternatif jawaban, yaitu 4 sampai 1. Skor jawaban tersebut dipersentasikan melalui rentang 25%-100% yang menunjukkan skor maksimum dan minimum. Skor maksimum diperoleh apabila seluruh responden memberikan jawaban 4 sedang skor minimum diperoleh apabila seluruh responden memberikan jawaban 1 atau dapat dilihat melaui perhitungan berikut: % Skor = Maksimum 4 x 150 600 1 x 150 % Skor Minimum = 600 x 100% = 100% x 100% = 25% Kemudian untuk menentukan jarak antar kelas interval, diperoleh dengan rumus: Jarak Interval sebagai berikut: a) Nilai kualifikasi 81,26%-100% = sangat efektif; b) Nilai kualifikasi 62,51% - 81,25% = efektif; c) Nilai kualifikasi 43,76% - 62,50% = kurang efektif; d) Nilai kualifikasi 25% - 43,75% = tidak efektif. = Skor maksimum skor minimum x 100% Jarak kelas interval Berdasarkan rentang kelas interval di atas, maka ditentukan nilai kualifikasi tingkat pencapaian Deskripsi Daerah Penelitian Wilayah Pemerintahan Daerah Kota Blitar secara administratif terbagi dalam 3 (tiga) Kecamatan yaitu Kecamatan Kepanjenkidul, Sukorejo dan Sananwetan, masing-masing kecamatan terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan. Dari tiga kecamatan tersebut terdapat 21 kelurahan dengan jumlah sebanyak 186 RW dan 634 RT (http://blitarkota.bps.go.id/index.php/) Kecamatan terluas adalah Kecamatan Sananwetan dengan luas 12,15 km² kemudian Kecamatan Kepanjenkidul 10,50 km² dan Kecamatan Sukorejo 9,93 km². Dari 21 kelurahan yang ada, kelurahan terluas adalah Kelurahan Sentul yang terletak di Kecamatan Kepanjenkidul yaitu 2,68 km². Sementara Kelurahan dengan luas terkecil adalah Kelurahan Turi, Kecamatan Sukorejo yaitu 0,51 km². Berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2009, jumlah penduduk Kota Blitar pada tahun 2010 meningkat sebesar 0,79 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. pada tahun 2009 jumlah penduduknya sebesar 139.471 jiwa, maka pada tahun 2010 sebanyak 140.574 jiwa. Sedangkan rasio jenis kelaminnya dibawah 100 yang artinya jumlah penduduk perempuan masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki. Kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar adalah Kecamatan Sananwetan dengan jumlah penduduk sebesar 52.742 jiwa, diikuti Kecamatan Sukorejo sebesar 47.750 jiwa, dan yang terkecil adalah penduduk kecamatan Kepanjenkidul sebesar 40.082 jiwa. Sedangkan tingkat kepadatan penduduk Kota Blitar pada tahun 2010 mencapai 4.315 jiwa/km2 atau sekitar 4 orang/m2. Sementara kecamatan terpadat adalah Kecamatan Sukorejo yaitu 4.811 jiwa/km2 yang kemudian diikuti oleh Kecamatan Sananwetan yaitu 4.340 jiwa/km2 dan Kecamatan Kepanjenkidul yaitu 3.816 jiwa/km2. Selanjutnya kelurahan dengan penduduk terpadat adalah Kelurahan Sukorejo dengan tingkat kepadatan mencapai 9.622 jiwa/km2, diikuti dengan Kelurahan Kepanjenlor (9.410 jiwa/ km2) dan Kelurahan Kepanjenkidul (9.258 jiwa/km2) (http://blitarkota. bps.go.id/index.php/). Kota Blitar adalah Kota Kecil dengan jumlah Pegawai Negeri Sipil yang berada di lingkungan Pemerintah Kota Blitar sebanyak 4.366 orang, dengan jumlah PNS pria sebanyak 2.136 orang, dan wanita sebanyak 2.230 orang. Dari junmlah PNS sebanyak itu, mereka tersebar di berbagai satuan kerja (Satker), unit kerja dengan jumlah PNS terbanyak adalah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sebanyak 2.302 oang yang termasuk di dalamnya guru, kemudian terbanyak 264 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 Tabel 1. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Bukti Langsung (Tangibles) No 1 2 3 Aspek Kelengkapan Sarana & prasarana: a. Sarana dan Prasarana b. Kondisi peralatan Kenyamanan: a. Kondisi kebersihan b. Kondisi ketertiban c. Kondisi keteraturan d. Kenyaman suasana Tingkat Kemudahan akses Jumlah rata-rata Nilai Kualifikasi Kriteria Tingkat Pencapaian (%) Kriteria 3,20 baik 80,00 efektif 3,20 baik 85,33 Sangat efektif 3,26 Sangat baik Sangat baik Sangat baik baik 82,33 Sangat efektif Sangat efektif Sangat efektif efektif 3,45 Sangat baik 86,33 Sangat efektif 3,26 Sangat baik 82,78 Sangat efektif 3,32 3,34 3,06 83,00 85,83 76,66 Sumber: data primer diolah. berikutnya adalah pegawai yang berada di RSUD Mardi Waluyo sebanyak 498 orang. Jika dibedakan berdasarkan golongan, jumlah PNS dengan Golongan I sebanyak 180 orang (4,12 persen), golongan II sebanyak 1.202 orang (27,53 persen), golongan III sebanyak 1.740 orang (39,85 persen) dan golongan IV sebanyak 1.244 orang (28,49 persen). Jika dilihat dari pendidikannya PNS yang berependidikan SLTA sebanyak 1.307 orang (29,93 persen), berpendidikan D1, D2, D3, D4 sebanyak 829 orang (18,99 persen). Kemudian PNS dengan pendidikan S1 orang (46,84 persen), dan mereka yang berpendidikan S2 sebanyak 185 orang (4,24 persen) (http://blitarkota.bps. go.id/index.php/). Pemerintahan Kota Blitar tidak lepas dari peran DPRD hasil Pemilu 2009, anggota DPRD Kota Blitar sebanyak 25 orang yang tergabung ke dalam 3 Komisi . Komisi I terdiri dari 7 anggota membidangi Pemerintahan, sedangkan Komisi II terdiri dari 8 anggota membidangi Perekonomian dan Keuangan. Kemudian Komisi III terdiri dari 7 anggota membidangi Pembangunan. Anggota DPRD Kota Blitar didominasi oleh PDI-P dan Partai Demokrat yaitu masing-masing sebanyak 6 orang. Posisi kedua ditempati oleh PKB, Partai Golkar dan PPP yaitu masing-masing 3 orang. Berikutnya dari Partai Hanura 2 orang, PKS dan PKNU masing-masing 1 orang. Sedangkan anggota DPRD perempuan hanya ada 4 orang, berasal dari Partai Demokrat 2 orang dan dari PKB dan PKS masing-masing 1 orang (http://blitarkota.bps. go.id/index.php/). Secara geografis Kota Blitar hanya berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar, tidak berbatasan dengan daerah lainnya seperti Kabupaten Tulunagung, Kediri maupun Kabupaten Malang karena posisi Kota Blitar berada ditengah-tengah Kabupaten Blitar. Adapun kecamatan di Kabupaten Blitar yang berbatasan dengan wilayah Kota Blitar adalah sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Nglegok, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Garum, di sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kanigoro, dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sanankulon (http://blitarkota.bps. go.id/index.php/). Sedangkan wilayah Kota Blitar dilihat dari topografi masih termasuk dataran rendah, dengan luas wilayah hanya 32,58 km², berada diketinggian dari permukaan air laut rata-rata sekitar 156 m. Ketinggian di bagian utara sekitar 245 m dengan tingkat kemiringan 2º sampai 15º, bagian tengah 175 m dan bagian Selatan 140 m dari permukaan air laut dengan tingkat kemiringan 0º sampai 2º (http://blitarkota.bps. go.id/index.php/). Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008 dalam Mewujudkan Pelayanan Berkualitas Tangibel (Bukti Langsung) Indikator sub variabel bukti langsung ada tiga, yaitu kelengkapan sarana dan prasarana, kenyamanan, serta kemudahan askes. Untuk menganalisis sub variabel ini secara keseluruhan, dikemukakan hasil pendapat responden yang tersebar di tiga kecamatan, yaitu Sananwetan, Sukorejo dan Kecamatan Kepanjenkidul. Berdasarkan tabel tentang rekapitulasi skor jawaban responden untuk variabel tangibles, dapat dijelaskan bahwa secara umum masyarakat Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 265 Tabel 2.Rekapitulasi Skor Sub Variabel Kehandalan (Reliability) No Aspek 1 Kesederhanaan 2 Kepastian dan kejelasan: a. Target & waktu penyelesaian b. Ada tidaknya pungli c. Nilai Kualifikasi Kriteria Tingkat Pencapaian (%) 90,16 Kriteria 3,60 Sangat baik 3,06 baik 76,50 efektif 3,46 Sangat baik Kurang baik baik 86,66 Sangat efektif Kurang efektif efektif 92,33 79,16 Sangat efektif efektif Pemberian tanda bukti pembayaran Waktu pelayanan sesuai tidaknya dgn ketentuan Standar biaya 1,79 3,16 2,76 baik 69,00 efektif 3 Pemahaman masyarakat ttg persyaratan pembuatan KTP/KK g. Kejelasan identitas, jabatan, kewenangan petugas Kedisiplinan petugas Sangat baik baik 3,36 84,50 4 Transparansi 3,26 Sangat baik Sangat baik Baik Baik Sangat efektif Sangat efektif Efektif Efektif d. e. f. 5 Akurasi pelayanan Jumlah rata Sumber: data primer diolah berpendapat kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pelayanan administrasi kependudukan baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil kondisinya baik dengan nilai kualifikasi 3,20 dan tingkat pencapaian 80,00 dengan kriterian efektif. Masyarakat memandang kondisi baik terhadap peralatan yang dipunyai oleh pelayanan publik yang mengurus pelayan Kependudukan baik di tingkat kecamatan maupun di tingkat Satker (satuan Kerja) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil dengan nilai kualifikasi 3,20 dengan tinmgkat pencapaian 85,33 dalam criteria sangat efektif. Demikian pula dengan kondisi aspek kenyamanan pelayanannya terutama kondisi kebersihan kantor dipandang oleh masyarakat sangat baik (bersih), dengan kriteria 3,26, dengan tingkat pencapaian 82,33 sangat efektif, tidak itu saja bila dilihat dari sisi ketertiban adminsitrasi maupun pegawainya dipandang oleh masyarakat sangat baik, dengan kriteria 3,32 dan tingkat pencapaina sebesar 83,00 sangat efektif. Disisi tingkat keteraturan administrasi pelayanan dipandang oleh masyarakat sangat baik dengan kriteria 3,34 dan tingkat pencapaian 85,83 kualifikasi sangat efektif. Kemudian aspek kenyaman terutama dari sisi kenyamanan suasana dipandang oleh masyarakat penerima layanan baik, artinya tempat pelayanan baik ditingkat kecamatan maupun ditingkat dinas suasana 3,10 3,69 3,14 3,12 44,83 Sangat efektif 77,66 81,50 78,66 78,26 menyenangkan, seprti adanya ruang tunggu, ruang parkir yang memadahi, papan informasi yang cukup dan sebagainya. Hal dapat dilihat hasil nilai kualifikasi seebsar 3,06 dengan kriterian baik dan tingkat pencapaian sebesar 76,66 dengan kriteria efektif. Pelayanan administrasi kependudukan bila dilihat dari aspek kemudahan akses seperti bagaimana mengakses informasi tentang pelayanan maupun dari sisi posisi strategis kantor dipandang oleh masyarakat penerima pelayanan sangat baik dengan nilai kualifikasi 3,45 dan tingkat pencapaian sebesar 86,33 dalam kualiofikasi sangat efektif. Kondisi pelayanan dilihat dari variabel bukti langsung (tangibles) baik dari sisi aspek kelengkapan sarana dan sarana, aspek kenyaman maupun tingkat kemudahan akases nilai kualifikasi rata-rata 3,26 dalam kriteria sangat baik, sedangkan tingkat pencapaian rata-rata 82,78 dalam kriteria sangat efektif. Kehandalan Pelayanan pembuatan dokumen administrasi kependudukan dapat dilihat dari variable kehandalan (reliability) yang berkaitan dengan unsur-unsur pelayanan publik berupa prosedur dan persyaratan pelayanan, waktu penyelesaian pelayanan, biaya pelayanan, unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan, jadwal pelayanan, serta 266 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 Tabel 3. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Daya Tanggap No 1 2 Tanggung jawab Daya tanggap terhadap pengaduan tentang pelayanan pembuatan KTP dan KK Daya tanggap dalam menerima kritik, saran Akuntabilitas Jumlah rata-rata Nilai Kualifikasi Kriteria Tingkat Pencapaian (%) Kriteria 3,07 Baik 76,83 Efektif 3,24 Baik 81,16 Efektif 3,16 3,15 Baik Baik 79,00 78,99 Efektif Efektif Sumber: data primer diola produk pelayanan. Kemudian dari sini diukur melalui beberapa indikator yaitu kesederhanaan, kepastian dan kejelasan, kedisiplinan, transparansi, dan akurasi. Untuk melihat kehandalan pelayanan pembuatan KTP/KK dapat dilihat pada rekapitulasi skor sub variabel kehandalan (reliability) pada tabel di bawah ini Berdasarkan tabel tentang rekapitulasi skor jawaban responden untuk sub variable kehandalan, dapat dijelaskan bahwa secara umum masyarakat berpendapat kehandalan (reliability) bila dilihat dari aspek kesederahanaan dipandang oleh masyarakat sebagai penerima pelayanan sangat baik dengan nilai kualifikasi sebesar 3,60 dengan tingkat pencapaian sebesar 90,16 dalam kriteria sangat efektif. Kemudian dari sisi aspek kepastian dan kejelasan yang meliputi target dan waktu penyelesaian dipandang oleh masyarakat sebagai pengguna layanan baik dengan nilai kualifikasi 3,06 dengan kriteria baik dan tingkat pencapain sebesar 76,50 kriteria efektif. Kemudian ada tidaknya pungli tentang pelayanan pembuatan administrasi kependudukan di Kota Blitar dipandang oleh penemrima layanan sangat baik dengan nilai kualifikasi sebesar 3,46 dengan tingkat pencapaian sebesar 86,66 sangat efektif, namun demikian bukan berarti dalam pelayanan tidak ada pungli walaupun masih ada pungli relatif kecil sekali. Aspek kepastian dan kejelasan dari sisi pemberian tanda bukti pembayaran dinilai oleh masyarakat masih kurang hal ini terbukti nilai kualifikasi hanya sebesar 1,79 dan tingkat pencapaian sebesar 44,83 dengan kriteria kurang efektif. Kemudian dari sisi waktu pelayanan sesuai tidaknya dengan ketentuan yang berlaku, dipandang oleh masyarakat waktu pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku hal ini dapat dibuktikan dengan nilai kualifikasi sebesar 3,10 dengan kriteria baik, dan tingkat pencapaian sebesar 77,66 kriteria efektif. Tentang standar biaya dinilai oleh masyarakat sangat baik dengan nilai kualifikasi sebesar 3,69 dan tingkat pencapaian sebesar 92,33 krioteria sangat efektif. Masyarakat penerima pelayanan maham persoalan tentang persyarakatan pembuatan KTP/KK, hal ini terbukti nilai kualifikasi 3,16 kriteria baik dengan tingkat pencapaian sebesar 79,16 kriteria efektif. Bagaimana dengan persoalan kejelasan identitas, jabatan, kewenangan petugas, dipandang oleh masyarakat penerima pelayanan baik, artinya identitas, jabatan dan kewenangan masing-masing petugas sudah jelas, hal ini terbukti nilai kualifikasi sebesar 2,76 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 69,00 kriteria efektif. Selanjutnya pelayanan pembuatan KTP dan KK oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Blitar dilihat dari aspek kedisplinan petugas dipandang oleh masyarakat penerima layanan sangat baik, kondisi seperti ini dapat dilihat pada nilai kualifikasi sebesar 3,36 kriteria sangat baik dan tingkat pencapaian sebesar 84,50 dengan kriteria sangat efektif. Kemudian dari aspek transparansi petugas dalam memberikan pelayanan dipandang oleh masyarakat sangat transparan (baik), kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,26 kriteria sangat baik dan tingkat pencapaian sebesar 81,50 sangat efektif. Bagaimana dengan akurasi petugas dalam memberikan pelayanan? Petugas dalam memberikan pelayanan sedikit sekali dalam melakukan kesalahan, walaupun ada kesalahan relatif kecil sekali kesalahan tersebut. Kondisi akurasi ini dapat dikonfirmasikan dengan nilai kualifikasi akurasi pelayanan sebesar 3,14 dalam kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 78,66 dengan kriteria efektif. Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK bila dilihat dari sisi variabel kehandalan (reliability) dari aspek kesederhanaan , kepastian dan kejelasan, kedisiplinan petugas dan transparansi serta akurasi pelayanan dipandang oleh masyarakat sudah baik. Kondisi ini dapat dilihat pada nilai jumlah rata-rata nilai kualifikasi sebesar 3,12 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 78,26 dalam kriteria efektif. Daya Tanggap (Responsiveness) Kualitas pelayanan administrasi pembuatan KTP dan KK dapat dilihat dari variabel daya tanggap. Dari aspek daya tanggap terhadap pengaduan tentang pelayanan pembuatan KTP dan KK. Dilihat dari aspek ini masyarakat memandang bahwa petugas dalam Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 267 Tabel 4. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Jaminan No Aspek Nilai Kualifikasi Kriteria Tingkat Pencapaian (%) Kriteria 1 Competence a Keahlian aparat pemberi layanan sesuai tidaknya dengan bidang tugasnya Aparat telah memiliki tidaknya ketrampilan yang baik memberikan layanan 3,03 Baik 75,83 Efektif 3,08 Baik 75,83 Efektif 2 Courtecy 3,21 Baik 80,33 Efektif 3 Credibility a Tingkat kejujuran dari aparat pelayanan pembuatan KTP/KK Perasaan selama mendapatkan pelayanan pembuatan KTP/KK misalnya karena tidak dipersulit dsb Security 3,10 Baik 77,50 Efektif 3,25 Baik 81,33 Efektif 3,26 Sangat baik 81,66 3,15 Baik 78,74 Sangat efektif Efektif b b 4 Jumlah rata Sumber: data primer diolah memberikan pelayanan mempunyai daya tanggap yang baik terhadap berbagai pengaduan dari masyarakat sebagai pengguna layanan, kondisi daya tanggap dalam persoalan pengaduan ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,07 dalam kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 76,83 kriteria efektif. Kemudian daya tanggap dari sisi dalam menerima kritik, saran masyarakat melihat bahwa para petugas ataupun aparat dalam memberikan pelayanan pembuatan KTP dan KTT bersikap baik dalam menerima kritik maupun saran dari pengguna pelayanan. Sikap petugas dalam menerima kritik dan saran cukup terbuka, hal ini dapat dikonfirmasikan dengan nilai kualifikasi sebesar 3,24 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 79,00 dalam kriteria efektif. Selanjutnya daya tanggap bila dilihat dari aspek akuntabilitas yang dapat berupa mutu pelayanan tentang persyaratan pembuatabn KTP dan KK dipandang oleh masyarakat Kota Blitar sebagai pengguna layanan baik akungtabiltasnya. Kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi daya tanggap dari aspek akuntabilitas mendapatkan nilai kualifikasi sebesar 3,16 dalam kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 79,00 dengan kriteria efekti.f. Kondisi pelayanan dalam pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar dilihat dari daya tanggap petugas pelayanan nilai kualifikasi jumlah rata-rata sebesar 3,15 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 78,99 dengan criteria efektif Jaminan (Assurance) Kualitas petugas dalam memberikan pelayanan dapat dilihnat dari variabel jaminan (assurance) diukur melalui empat indikator, yaitu competence, courtecy, credibility, dan security. Untuk menganalisis variabel jaminan (assurance) secara keseluruhan, dapat dilihat darti pendapat masyarakat yang menjadi respponden terhadap masing-masing indikator. Oleh karena itu untuk melihat bagaimana kondisi jaminan dapat dilihat pada rekapitulasi skor sub variabel jaminan pada Tabel 4. Kualitas pelayanan dilihat dari variabel jamin (assurance) dari aspek competence terutama indikator keahlian aparat pemberi layanan sesuai tidaknya dengan bidang tugasnya. Pada indikator keahlian aparat pemberi layanan dipandang oleh masyarakat penerima pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar petugasnya kompetensinya baik, artinya petugas pemberi layanan sudah sesuai dengan bidang tugasnya. Kondisi kompetnsi dari sisi keahliannya dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,03 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 75,83 kriteria efektif. Kemudian aspek kompetensi dari sisi aparat memiliki tidaknya ketrampilan yang baik dalam memberikan pelayanan nilai kualikasi sebesar 3,08 dalam kriteria baik tingkat ketrampilannya dan tingkat pencapaian sebesar 75,83 dengan kriteria efektif. Selanjutnya kualitas petugas pelayanan pembuatyan KTP dan KK dapat dilihat dari aspek courtecy dan aspek credibility. Pelayanan dilihat dari aspek courtecy dipandang oleh masyarakat penerima pelayanan telah baik, hal ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,21 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 80,33 dengan kriteria efektif. Kemudian pelayanan dilihat dari aspek credilility terutama dari sisi tingkat kejujuran dari 268 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 aparat pelayanan, dari sisi ini dipandang oleh masyarakat petugas telah mempunyai tingkat kejujuran yang baik, kondisi ini dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,10 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 77,50 kriteria efektif. Kemudian kridibilitas petugas pelayanan dilihat dari indikator perasaan masyarakat selama mendapatkan pelayanan pembuatan KTP dan KK merasakan tidak dipersulit oleh petugas, kondisi ini dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,25 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 81,33 kriteria efektif. Kompetensi petugas pelayanan dapat dilihat dari aspek security, masyarakat sebagai penerima layanan berpandangan bahwa dari sisi security di lingkungan kantor pelayanan pembuatan KTP dan KK baik pelayanan di tingkat kecamatan maupun di tingkat Dinas Kependudukan dan catatan Sipil Koat Blitar sanat baik, kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,26 dengan kriteria sangat baik dan tingkat pencapaian sebesar 81,66 kriteria efektif. Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK untuik variabel jaminan, dapat dijelaskan bahwa secara umum masyarakat berpendapat kualitas pelayanan dari sisi jaminan dari sisi aspek competence, courtecy, credibility, dan security dalam pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar mendapatkan jumlah rata-rata nilai kualifikasi sebesar 3,15 dalam kriteria baik dengan tingkat pencapaian rata-rata 78,74 dalam kriteria efektif. Empati (Empathy) Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar dapat dilihat dari variabel empati. Empati di sini adalah bagaimana cara petugas pelayanan dalam melayani masyarakat dengan penuh perhatian, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan masyarakat sehingga tujuan berkomunikasi untuk memberikan informasi dapat tercapai. Indikator empati ada dua, yaitu communication dan understanding the customer. Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar dilihat dari aspek communication. Masyarakat pengguna layanan melihat pelayanan dari aspek komunikasi petugas pelayanan baik, artinya mereka mau mendengarkan, berbicara sopan, dapat mudah dimengerti, baik dan ramah. Kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi aspek komunikasi sebesar 3,14 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 78,50 dengan kriteria baik. Kualitas pelayanan pembuatn KTP dan KK dari aspek understanding the costumer terutama dari indikator apakah masih membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, status ekonomi. Dari indikator ini masyarakat penerima layanan berpendapat selama ini petugas tidak membedabedakan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan status ekonomi mereka. Kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebesar 3,24 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 81,16 kriteria efektif. Demikian juga masyarakat merata atau tidaknya jangkauan pelayanan yang diberikan aparat keseluruh lapisan masyarakat, masyarakat sebagai penerima pelayanan memandang pelayanan telah merata di semua lapisan masyarakat. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,14 dengan kriteria baik dan tingkat pencapaian sebesar 78,50 kriteria efektif. Kemudian kualitas pelayanan dapat pula dilihat dari indikator aparat pelayanan memenuhi atau tidaknya hak dan kewajiban masing-masing orang yang mengurus KTP/KK. Petugas dalam memberikan pelayanan selama ini dipandang telah memnuhi hak dan kewajiban masing-masing orang dengan baik. Kondisi ini dapat dilihat dari nilai kualifikasi sebesar 3,06 dengan kriteria baikdan tingkat pencapaian sebesar 76,60 kriteria efektif. Selain itu kualitas pelayanan petugas dapat dilihat dari sikap aparat dalam menerima keluhan, pengaduan, saran, dan kebutuhan pelanggan, dalam hal ini petugas dinilai oleh masyarakat telah bersikap baik, dalam arti mau m,enerima keluhan, pengaduan, saran dan mau melihatb kebutuhan pelanggan. Kondisi ini dapat dilihat nilai kualifikasi sebear 3,46 dengan kriteria sangat baik dan tingkat pencapaian sebesar 86,66 kriteria sangat efektif. Kualitas pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar dilihat dari variabel empati yang terdiri dari aspek communication dan understanding the costumer secara umum dapat dikatakan jumlah ratarata nilai kualifikasi 3,21 dalam kriteria baik, dengan tingkat pencapaian rata-rata 80,18 dalam kriteria efektif. Hasil Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008 Berdasarkan hasil rekapitulasi mengenai pendapat masyarakat tentang kualitas pelayanan administrasi kependudukan pembuatan KTP dan KK yang menggabungkan 5 (lima) variabel. Sub variabel ini merupakan pengembangan dari berbagai teori kualitas pelayanan menurut Parasuraman yang dideskripsikan guna untuk mengetahui tingkat pencapaian dari SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar. Dari variabel bukti langsung (tangibles) mendapatkan tingkat pencapaian yang paling tinggi diantara variabel yang lain, yaitu tingkat pencapiannya sebesar 82,78% dalam kriteria sangat efektif. Sedangkan variabel lainnya mendapatkan kriteria pencapaian efektif, baik itu variabel kehandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) maupun variabel empati. Sesuai dengan rekapitulasi hasil analisis efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar nampak efektif dengan jumlah tingkat pencapaian rata-rata 79,98, artinya SMM ISO 9001:2008 mampu mendorong terhadap pelayanan administrasi pembuatan KTP dan KK yang berkualitas. Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas SMM ISO 9001:2008 Sistem manajemen mutu di Kota Blitar dalam memberikan pelayanan pembuatan KKTP dan KK Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 269 Tabel 5. Rekapitulasi Skor Sub Variabel Empati No 1 2 Communication Understanding the costumer A Petugas dalam memberikan prioritas pelayanan dalam pembuatan KTP/KK, apakah masih membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, status ekonomi B Merata atau tidaknya jangkauan pelayanan pembuatan KTP/KK Aparat pelayanan memenuhi atau tidaknya hak dan kewajiban c masing-masing orang yang mengurus KTP/KK Sikap aparat dalam menerima d keluhan, pengaduan, saran, dan kebutuhan pelanggan. Jumlah rata Sumber: data primer diolah Nilai Kualifikasi 3,14 Kriteria Kriteria Baik Tingkat Pencapaian (%) 78,50 3,24 baik 81,16 Efektif 3,14 Baik 78,50 Efektif 3,06 Baik 76,60 Efektif 3,46 Sangat baik 86,66 Sangat efektif 3,21 Baik 80,18 Efektif Efektif Tabel 6.Rekapitulasi Hasil Analisis Efektivitas SMM ISO 9001:2008 No 1 2 3 4 5 variabel Tangibles (bukti langsung) Kehandalan (Reliability) Daya Tanggap (Responsiveness) Jaminan (Assurance) Empati (Empathy) Jumlah rata-rata Sumber: data primer diolah Nilai klualifikasi 3,26 3,12 3,15 3,15 3,21 3,18 dapat dikatakan sepenuhnya efektif. Namun demikian pelayanan pembuatan KTP dan KK belum mencapai hasil yang maksimal yaitu dalam kreteria sangat efktif sesuai SMM ISO 9001:2008. Berdasarkan wawancara dengan pihak responden secara kualitatif banyak faktor yang menghambat untuk mencapai pelayaan yang maksimal yaitu dengan kreteria pelayanan sangat efektif sesuai dengan SMM ISO 9001:2008 adalah sebagai berikut: 1. Adanya biaya tambahan di luar ketentuan. Pemerintah Kota Blitar dalam memberikan pelayanan perlu menetapkan standar biaya pelayanan dengan jelas dan terperinci dan transparan. Oleh karena itu pengenai standar biaya pelayanan handaknya diinformasikan kepada masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Kondisi ini masih dirasakan oleh sebagian masyarakat pengguna layanan pembuatan KTP/KK, walaupun besar biaya telah ditetapkan namun dirasakan oleh masyarakat masih saja ditingkat kelurahan untuk mengurus dokumen masih terjadi pungutan di luar ketentuan. 2. Pelayanan yang masih kurang ramah. Kondisi ini masih dirasakan oleh masyarakat yang mengurus dokumen KTP dan KK, Frekuensi Alternatif jawaban Kriteria Tingkat Kualifikasi pencapaian Sangat baik 82,78 Baik 78,26 Baik 78,99 Baik 78,74 Baik 80,18 Baik 79,98 3. 4. Kriteria Pencapaian Sangat efektif Efektif Efektif Efektif Efektif Efektif pelayanan pembuatan ada yang masih kurang ramah. Dari sisi human relationnya masih kurang, terutama dalam persoalan keramahan petugas. Kurangnya transparansi aparat dalam memberikan informasi. Semua informasi tentang pelayanan masyarakat harus dapat diketahui oleh publik sebagai pengguna layanan. Penyampaian informasi bisa dilakukan baik secara formal maupun informal. Secara formal dapat dilakukan melalui pemberitahuan kepada pemerintahan di bawahnya dengan surat edaran yang menyangkut perihal prosedur, persyaratan, waktu penyelesaian pelayanan, besarnya biaya, dan jadwal pelaksanaan pelayanan. Kurangnya Ketrampilan & Kedislinan Aparat. Rupanya pelayanan pembuatan KTP dan KK di Kota Blitar tingkat ketrampilan aparat perlu mendapat perhatian sebab hasil penelitian masih ada yang menyatakan bahwa aparat pelayanan tidak ahli dan tidak trampil. Selain persoalan ketrampilan petugas, juga persoalan kedisiplinan petugas perlu menjadi perhatian, sebab masih 270 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 5. 6. 7. 8. ada responden yang menyatakan bahwa petugas masih tidak disiplin. Empati Aparat. Hasil peneltian masih ada yang menyatakan bahwa bahasa ataupun komunikasi petugas masih tidak jelas dan masih sulit dipahami. Demikian juga mereka ada yang menyatakan bahwa untuk jangkauan pelayanan masih tidak merata, dan aparat tidak memenuhi hak dan kewajibannya. Selain itu masih ada pula mereka yang menyatakan aparat pelayanan tidak berusaha mendengarkan keluhan pelanggannya, sehingga mereka merasakan tidak puas dengan layanannya Akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan. Pada pelayanan publik akurasi pelayanan sangat diperlukan, hal ini menyangkut benar tidaknya dokumen yang harus diterimanya. Demikian juga persoalan daya tanggap menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dengan problem yang lainnya. Hasil penelitian masih ada sebagian masyarakat pengguna layanan ada yang menyatakan layanan pembuatan KTP dan KK tidak sesuai dengan harapan, masih ada kesalahan. Demikian juga masih ada pula yang menyatakan bahwa petugas pelayanan masih kurang daya tanggapnya. Tidak itu saja sikap aparat masih tidak terbuka. Kehandalan Petugas Pelayanan. Persoalan kehandalan dalam pelayanan pembuatan KTP dan KK masih perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pihak pemerintah Kota Blitar, terutama yang menyangkut kesederhanaan prosedur pelayanan, target waktu penyelesaian, tanda terima bukti pelayanan terutama bukti pembayaran. Mereka yang masih mempersoalkan prosedur pelayanan cukup banyak pula. Mereka yang menyatakan bahwa prosedur pelayanan tidak sederhana, demikian pula mereka banyak pula yang menyatakan tidak ada kepastian dan kejelasan mengenai target waktu penyelesaian, tidak selesai dengan target waktu yang ditentukan. Banyak pula yang menyatakan selalu tidak diberi tanda bukti pembayaran. Tangibel & Kenyaman. Demikian juga persoalan kenyaman pelayanan perlu mendapatkan perhatian. Hal ini dapat dilihat pada hasil penelitian, mereka yang menyatakan bahwa sarana dan prasarana masih dirasakan masih kurang. Tidak itu saja persoalan kenyamman pelayanan dirasakan masih kurang baik, tidak bersih, kurang tertib. Kondisi kantor jika dilihat dari keraturan administrasi ada sebagian masyarakat memandang masih tidak teratur, kurang nyaman. SIMPULAN Sesuai dengan hasil analisis mengenai efektivitas SMM ISO 9001:2008 di Kota Blitar mengenai pendapat masyarakat sebagai penerima layanan administrasi kependudukan terutama KTP dan KK yang meliputi bukti langsung, kehandalan, daya tanggap aparat pelayanan, jaminan, dan empati diperoleh nilai kualifikasi rata-rata 3,18 dengan kriteria baik, sedangkan tingkat pencapaian rata-rata sebesar 79,98% dengan kriteria pencapaian efektif. Sedangkan faktor yang mempengaruhi tidak maksimalnya untuk menuju pelayaan yang sangat efektivitas sesuai apa yang diinginkan SMM ISO 9001:2008 disebabkan oleh karena faktor tangibel dan kenyaman pelayanan masih kurang; kehandalan petugas pelayanan yang masih kurang; masih kurangnya akurasi dan daya tanggap petugas pelayanan; dan masih kurangnya empati aparat, tingkat ketrampilan dan kedislipinan aparat dalam memberikan pelayanan yang masih perlu ditingkatkan, adanya biaya tambahan di luar ketentuan untuk mendapatkan pelayanan, petugas dalam memberikan pelayanan yang masih ada yang kurang ramah. Saran Saran yang sekiranya dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Blitar terutama di bidang pelayanan pembuatan KTP dan KK perlu mengambil langkalangkah sebagai berikut: 1. Perlu adanya regulasi apakah itu berupa peraturan walikota ataupun peraturan daerah yang berisikan tentang adanya transparansi kepada mayarakat terutama persoalan prosedur dan target waktu penyelesaian, dan standar biaya; 2. Kualifikasi SDM aparatur pelayanan pembuatan KTP dan KK. Hal ini diperlukan karena hasil penelitian masih ada yang memandang bahwa aparat pelayanan tidak semuanya ramah, daya tanggap petugas pelayanan masih kurang; 3. Pihak Pemerintah Kota Blitar perlu mengambil langkah untuk meningkatkan kapasitas dan kapabiltas aparatur pelayanan agar profesional dalam memberikan pelayanan kepada publik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2006. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Gaspersz, Vincent. 1997. Manajemen Kualitas Dalam Industri Jasa. Jakarta: Gramedia Pustaka. Gie, The Liang. 1998. Ensiklopedia Administrasi. Jakarta: PT. Agung. Handayaningrat, Soewarno H. 1996. Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta: PT.Gunung Agung. Hasibuan, Melayu. 2001. Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktivitas. Jakarta: PT Bumi Aksara. Haryanto, Rohadi. 2003. Kebijakan dan Arah Penyelenggaraan Sistem Administrasi Kependudukan (SAK). Jakarta: Direktorat Efektivitas Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2008 terhadap Kualitas Pelayanan Administrasi Kependudukan di Kota Blitar - Irtanto | 271 Jenderal Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri. Lembaga Administrasi Negara. 2003. Penyusunan Standar Pelayanan Publik. Jakarta: LAN RI. Nardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik (Edisi Pertama, Cetakan Pertama). Yogyakarta: Andi. Moenir, H.A.S. 2002. Manjemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ndraha, Taliziduhu. 2003. Kybernologi (Ilmu Pemerintahan baru) Jilid I. Jakarta: Rineka Cipta. Robins, Stephen. 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan. Sekaran, Uma. 2006. Methodologi Penelitian Bisnis. Buku 1 dan 2. Jakarta: Salemba Empat, Edisi 4. Siagian, Sondang P. 1997. Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Jakarta: PT. Gunung Agung. Siagian, Sondang P. 1998. Manajemen Sumber daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Sianipar. 1998. Pelayanan Prima (Bahan Diklat Prajabatan Golongan II). Jakarta: LAN RI.. Soetopo. 1997. Pelayanan Prima Bahan Diklat Adum. Jakarta: LAN-RI. Soetopo. 1998. Studi Public Administration. Jakarta: Rineka Cipta. Steers, Richard M. 1985. Efektivitas Organisasi. Jakarta: Erlangga. Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi (Edisi Revisi Cetakan Ketga belas). Bandung: CV. Alfabeta. Sukamto, Soeryono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali Indonesia. Tjiptono dan Anastasia, Diana. 2002. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Tjiptono, Fandy. 2001. Manajemen Jasa. Yogyakarta: Andi. Umar. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rineke Cipta. Wasistiono, Sadu.2002. Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah Kecamatan. Bandung: Citra Pindo. Zeithaml, Valarie A, dkk. 199., Deliv1ering Quality Service Balancing Customer Perceptions and Expections. New York: The Free Press A Divisions of Macmilan Inc. 272 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 261 – 272 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PEMERINTAH PUSAT DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PEMERINTAH DAERAH CONSTRUCTION AND OBSERVATION CENTRAL GOVERNMENT IN ORDER TO MANAGEMENT LOCAL GOVERNMENT PURSUANT TO LOCAL GOVERNMENT Husin Ilyas Universitas Muara Bango Jambi Jalan Lintas Sumatera Km. 6 Sungai Binjai, Muara Bungo 37215, Jambi E-mail: [email protected] Diterima: 2 Oktober 2012; direvisi: 19 November 2012; disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya, merupakan pemberdayaan institusi Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga daerah, yang merupakan interpensi pusat terhadap pemerintah daerah, hal ini menunjukkan tidak ada kemandirian pemerintah daerah, ini kembali pada prinsip sentralisasi. Pengawasan, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif dan represif dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memuat sistem represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat sistem pengawasan preventif disebut evaluasi dan represif, terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota. Pengawasan preventif, tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Pengawasan ini mengurangi kemandirian daerah dan apabila peraturan daerah dan peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatnya dapat dibatalkan pengawasan represif. Kata kunci: pembinaan, pengawasan, pemerintah pusat, pemerintah daerah. Abstract Construction, newly arranged by explicit. In The Law No. 22 of 1999 and The Law No. 32 of 2004, intrinsically, representing enableness of institution of local government and institutes, representing intervention center to local government, this matter show no local government independence, this return principle centralistic. Observation, start from The Law No.22 of 1999 up to The Law No. 5 of 1974, loading system of observation of preventive and repressive and The Law No. 22 of 1999 only load the system represif. The Law No. 32 of 2004 loading system of observation preventif referred evaluation and repressive, to by law and regulation of regional leader province, regency and town.Observation preventive, not walk effectively and efficient. This observation lessen the area independence and if by law and regulation regional leader oppose against the public interest, higher level of the law its storey level annihilable observation repressive. Keywords: coaching, supervision, central government, local government. PENDAHULUAN Persoalan tentang pembinaan terutama sekali untuk dikaji ialah pembinaan itu pengertiannya apa, macam-macam bentuk pembinaan dan lembaga yang melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Konsep-konsep tentang pengertian pembinaan tidak ada ditemui di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004. Para ilmuwan mendefinisikan “pembinaan”, sebagaimana yang dikemukan oleh Tubagus Ronny Rahman Nitibaskoro adalah: “Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonomi”. Instrumen hukum yang mengatur pembinaan dan pengawasan ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah. Untuk mewujudkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember Tahun 2005 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 2005. Dari konsep ini pembinaan merupakan sarana dan upaya pemberdayaan daerah otonom. Hal ini mengandung suatu maksud untuk memperlancar daerah otonom dalam rangka mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya. Selanjutnya Sadu Wasistiono, melihat dari sudut bidang kewenangan pembinaan yaitu: “Bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan institusi Pemerintah, non Pemerintah Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 273 maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri”. Dari konsep ini terlihat tujuan dari pembinaan itu adalah suatu upaya untuk pemberdayaan lembaga Pemerintah dan sebagainya. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut di atas, dapat ditarik suatu gambaran inti dari pembinaan itu yaitu: “Pemberdayaan lembaga Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam rangka mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Dalam bahasa yuridisnya lebih tepat pengertian pemberdayaan itu diartikan, memajukan atau meningkatkan”. Hal ini sasaran penyelenggara-an pemerintahan itu pada intinya untuk mencapai tujuan nasional, seperti termuat di dalam alinea keempat pembukuan (Preambule) UUD 1945 yaitu: “Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa……” atas dasar itu pembinaan terhadap pemerintah daerah dan pengawasan sebagai penyelenggaraan pemerintahan harus diupayakan untuk mewujudkan tercapainya penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan isu sentral dalam penelitian ini adalah: “Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah”. Berdasarkan isu sentral tersebut, yang menjadi isu hukumnya yaitu: Hubungan pembinaan dan pengawasan pemerintah terhadap pemerintah daerah menurut undang-undang pemerintahan daerah. Terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “wewenang” dan bagaimana cara memperoleh wewenang. Philipus M. Hadjon dalam tulisannya berjudul Tentang Wewenang mengemukakan “Kalau kita kaji istilah hukum kita secara cermat, ada sedikit perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah beveogdheid. Perbedaannya terlelak dalam karakter hukumnya. Istilah Belanda beveogdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukup privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan selalu dalam konsep hukum publik.” Dari pendapat di atas, wewenang dalam konsep hukum publik dideskripsikan kekuasaan, wewenang dalam arti yuridis adalah: “suatu kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.” Seterusnya Philipus M. Hadjon mengemukakan: “Ruang lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat keputusan pemerintahan (besluit), tetapi juga semua wewenang dalam rangka melaksanakan tugasnya.” Sedangkan yang dimaksud dengan wewenang adalah “hak seseorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat dilaksanakan dengan baik”. Cara memperoleh wewenang ada beberapa cara sebagaimana dikemukakan Philipus M. Hadjon, Terdapat dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintahan, yaitu atribusi dan delegasi. Kadang-kadang juga mandat, ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang. Dalam rangka menjelaskan pengertian “pemerintahan” di bawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ilmuan atau para sarjana, terutama S. Pamudji menerangkan sebagai berikut: “Secara etimologis, pemerintahan berasal dari perkataan Pemerintah, sedangkan Pemerintah berasal dari perkataan perintah. Menurut kamus kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a. Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; b. Pemerintah adalah kekuasaan memerintah sesuatu negara (Daerah Negara) atau Badan Tertinggi yang memerintah sesuatu negara (seperti Kabinet merupakan suatu Pemerintah); c. pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah. Untuk memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai perkataan pemerintahan tersebut maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Dalam kepustakaan Belanda dijumpai perkataan Bestuur (Regering) yang berarti Pemerintah, sedangkan perkataan Bestier diartikan pemerintahan. A.Hamid S Attami, mengemukan pengertian Pemerintah dan pemerintahan yaitu: “Kata “Pemerintah” dalam Bahasa Indonesia berarti “kekuasaan yang memerintah suatu negara atau daerah negara’; atau “kekuasaan yang tertinggi dalam sesuatu negara”; atau “badan tertinggi yang memerintah sesuatu negara”. Dan “pemerintahan” berarti “perbuatan, atau cara atau hal urusan memerintah”. Sedangkan induk kata Pemerintah ialah “perintah”, “perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu”. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara menyatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar. Selanjutnya, Pasal 4 ayat (2) menyatakan: “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden, kemudian Pasal 17 ayat (1) menyatakan: Presiden dibantu oleh Menterimenteri Negara”; ayat (2) menyatakan: “Menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Ayat (3) menyatakan: Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”, selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan pemerintah dan pemerintah daerah, sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (a) menyatakan: a. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri. 274 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280 b. Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah. c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah badan legislatif daerah. d. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonomi oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Kemudian menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang dimaksud dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) menyatakan: Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2. Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. PEMBAHASAN Pembinaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Pemerintah Daerah. Pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai landasan hukumnya diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 belum ada ketentuan-ketentuan pasalnya yang mengatur tentang pembinaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan dengan hal itu, tidak perlu dibahas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya memuat satu Pasal yang mengatur pembinaan, yaitu diatur dalam Pasal 112, bunyi lengkap Pasal 112 menyatakan: (1) “Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah. (2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Dari ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut di atas, menentapkan yaitu: “Pemerintah Pusat memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam rangka pembinaan”. Hal ini mengandung suatu pengertian, tanggung jawab pembinaan pemerintah daerah, tidak terlepas tanggung jawab Pemerintah dalam rangka upaya pemberdayaan daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan maksud memfasilitasi adalah upaya pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan super visi (penjelasan Pasal 112 ayat (1)). Azas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut, mengandung azas dekonsentrasi. Setelah itu UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Instrumen hukum yang mengatur pembinaan dan pengawasan ini diatur dengan peraturan Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk mewujudkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember Tahun 2005 menetapkan peraturan Pemerintah nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 2005. Konsep-konsep tentang pengertian pembinaan tidak ada ditemui di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Para ilmuwan mendefinisikan “pembinaan”, sebagaimana yang dikemukan oleh Tubagus Ronny Rahman Nitibaskoro adalah: “Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan daerah otonomi”. Dari konsep ini pembinaan merupakan sarana dan upaya pemberdayaan daerah otonom. Pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai landasan hukumnya diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 belum ada ketentuan-ketentuan Pasalnya yang mengatur tentang Pembinaan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berkaitan dengan hal itu, tidak perlu dibahas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya memuat satu Pasal yang mengatur pembinaan, yaitu diatur dalam Pasal 112, bunyi lengkap Pasal 112 menyatakan: (1) “Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah. (2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Dari ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut di atas, menentapkan yaitu: “Pemerintah Pusat memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam rangka pembinaan”. Hal ini mengandung suatu pengertian, tanggung jawab pembinaan pemerintah Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 275 daerah, tidak terlepas tanggung jawab Pemerintah dalam rangka upaya pemberdayaan daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini sejalan maksud memfasilitasi adalah upaya pemberdayaan daerah otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan super Visi (penjelasan Pasal 112 ayat (1)). Azas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 112 ayat (1) tersebut, mengandung azas dekonsentrasi. Setelah itu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Instrumen hukum yang mengatur pembinaan dan pengawasan ini diatur dengan peraturan Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Untuk mewujudkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember Tahun 2005 menetapkan peraturan Pemerintah nomor 79 Tahun 2005 tentang pedoman pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 2005. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tersebut di atas, dapat diketahui asas pembinaan penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan asas dekonsentrasi, hal itu ditetapkan kedudukan Gubernur selaku wakil Pemerintah didaerah, dan disamping itu menetapkan pula Gubernur sebagai wakil Pemerintah didaerah, bertugas untuk melakukan pembinaan dalam upaya untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini dijelaskan dalam penjelasan umum alenia keenam peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 menyatakan: “pemerintahan daerah pada hakekatnya merupakan sub sistem dari pemerintahan nasional dan secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan”. Bentuk-Bentuk Pembinaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, memuat ketentuan-ketentuan pembinaan, dimuat dalam Bab XII, yang berjudul: “Pembinaan dan Pengawasan”. Khusus yang mengatur pembinaan diatur dalam Pasal 217. Pasal 217 ayat (1) menyatakan: (1) Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: a. Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; b. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; c. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d. Pendidikan dan pelatihan; dan e. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemeritahan. Dari ketentuan Pasal 217 tersebut di atas, ada beberapa hal untuk dikaji, menimbulkan persoalan hukum yang dalam pelaksanaan pembinaan itu, secara teknis sulit dilaksanakan, yang berkaitan yaitu: 1. Ketentuan Pasal 217 ayat (1) tersebut, menunjukkan suatu pengertian tanggung jawab pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi sebagaimana dicantum dalam ayat (1) mulai dari huruf a sampai dengan huruf e di atas. Kewenangan tersebut diletakan atau dipikulkan kepada Pemerintah. Pemerintah yang dimaksud sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah Presiden sebagai Pemerintah. Lain halnya dibandingkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Pemerintah terdiri dari Presiden beserta para Menteri (Pasal 1 huruf a). 2. Ditemukan tidak sinkronnya antara ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan ketentuan peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang: “Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah”. Menurut peraturan Pemerintah tersebut, pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilakukan oleh Pemerintah dan/ atau Gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah, sebagaimana yang dimaksud Pasal 1 angka 3 yang telah dikemukan pada lembaran dimuka, sedangkan menurut ketentuan Pasal 217 ayat (1) tersebut di atas dilakukan oleh Pemerintah yaitu Pemerintah berarti mengandung suatu pengertian, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah disentralkan kepada Pemerintah yaitu Presiden. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 217 ayat (1) tersebut di atas, bentuk-bentuk pembinaan yang harus dilakukan oleh Pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, dalam bentuk yaitu: a. Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; b. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; c. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; d. Pendidikan dan pelatihan; dan e. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemeritahan. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005, tersebut di atas dapat diketahui, “Pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah itu, bertujuan dalam rangka terciptanya suatu integrasi (penyatuan) dalam pelaksanaan berbagai tugas pemerintahan yang dilaksanakan dalam bentuk koordinasi antar susunan pemerintahan, dari 276 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280 tingkat pusat sampai ke tingkat daerah dan di samping itu memberikan dalam bentuk, pedoman setandar pelaksanaan urusan pemerintahan, serta bimbingan dalam bentuk supervisi, konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, pendidikan, pelatihan, perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan terakhir evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Tugastugas pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah ini dalam usaha melakukan pengawasan prepentif. Sehingga perlu dilakukan pembinaan terlebih dahulu terhadap pemerintahan daerah di daerah, agar dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dapat berjalan dengan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-undang. Pengawasan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Sebelum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah salah satu bentuknya ialah berwujud pengawasan, hal ini dikemukan oleh Soehino yaitu: “Hubungan antara pemerintah daerah dengan pemerintah atau dengan pemerintah daerah tingkat atasnya, merupakan hubungan pengawasan”, hal yang sama juga dikemukakan The Liang Gie: “Salah satu bentuk hubungan lain antara pusat dengan daerah ialah berwujud pengawasan oleh Pusat terhadap Daerah” Dari pemikiran tersebut menggambarkan pada intinya pengawasan itu adalah salah satu perwujutan hubungan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dan pemerintah tingkat atasnya. Hal ini sejalan pemikiran yang dikemukan Ninik Widiyanti dan Sunindhia yaitu: Oleh karena harus ada keserasian hubungan antara Pusat dan Daerah dan terjaganya keutuhan Negara Kesatuan maka Pusat sebagai penanggung jawab secara utuh tentang kehidupan bernegara perlu mengadakan pengawasan terhadap daerah-daerah. Harus pula dijaga agar otonomi ini akhirnya tidak akan menimbulkan suatu daerah yang bersifat “staat” juga. Pengawasan oleh pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, akibat mutlak dari negara kesatuan, hal ini dikemukan Ninik Widyanti dan Sunindhia yaitu: “Pengawasan terhadap segala kegiatan pemerintah daerah termasuk Keputusan Kepala Daerah dan Peraturan Daerah merupakan suatu akibat mutlak dari adanya negara kesatuan” Sistem pengawasan Peraturan Daerah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974. Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 yang memuat tentang pengawasan, dimuat dalam paragraf I yang berjudul: “Pengawasan Preventif” dan pada paragraf II diberi judul “Pengawasan Represif”. 1. Pengawasan Preventif dalam bentuk “Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah”. Sistem pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah ditetapkan dalam Pasal 69 ayat (1) menyatakan: “Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah yang memerlukan pengesahan, dapat dijalankan sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, atau apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat yang berwenang tidak mengambil sesuatu keputusan”. Dari ketentuan Pasal 69 ayat (1) tersebut di atas, menetapkan yaitu: pertama Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah, sebelum dijalankan atau diperlakukan, harus ada pengesahan dahulu dari pejabat yang berwenang. Kedua apabila setelah 3 (tiga) bulan sejak diterima Peraturan Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah tersebut, pejabat tersebut belum juga mengambil sesuatu keputusan. Pada intinya belum dapat dijalankan, baik Peraturan Daerah tingkat I dan Peraturan Daerah tingkat II, begitu juga terhadap Keputusan Kepala Daerah Tingkat I dan daerah tingkat II. Lembaga atau Institusi, yang dilimpahkan wewenang melakukan pengawasan sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum angka 6 yang berjudul: “Pengawasan”, huruf b yang berjudul pengawasan preventif, menjelaskan yaitu: (1) Pengawasan Preventif mengandung prinsip bahwa Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu: (a) Menteri Dalam Negeri bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I; (b) Gubernur Kepala Daerah bagi Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II. (2) Pada pokoknya Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang untuk berlakunya memerlukan pengesahan adalah yang: (a) Menentapkan ketentuan-ketentuan yang mengikat rakyat, ketentuanketentuan yang mengandung perintah, larangan, keharusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dan lain-lain yang ditujukan langsung kepada rakyat; (b) Mengadakan ancaman pidana berupa denda atau kurungan atas pelanggaran ketentuan tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah; (c) Memberikan beban kepada rakyat, misalnya pajak atau retribusi daerah; (d) Menentukan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh umum, karena menyangkut kepentingan rakyat, misalnya: mengadakan utang-piutang, menanggung pinjaman, mengadakan perusahaan daerah, mengubah dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, menetapkan perhitungan Anggaran Pendapatan Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 277 dan Belanja Daerah, mengatur gaji pegawai dan lain-lain. Dari penjelasan umum angka 6, huruf b, angka (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, tersebut di atas, menetapkan lembaga atau instasi yang dilimpahkan untuk melakukan pengawasan preventif terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah. dengan sistem hirarki atau sistem bertikat susunan Pemerintah yaitu Menteri Dalam Negeri melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II. Peraturan daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang mendapat pengawasan terlebih dahulu dari institusi tersebut, sebagaimana yang dimaksud pada angka (2) dimulai huruf a sampai dengan huruf d tersebut di atas. Sistem Pengawasan Peraturan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memuat satu sistem pengawasan yaitu pengawasan represif dan tidak ada ditemui pengawasan dalam bentuk preventif. Bentuk pengawasan represif adalah “Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan lainnya”. (Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999). tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di dalam peraturan Pemerintah tersebut di atas, pada bagian kedua diberi judul: “Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah”. Pasal 37 ayat (1) menyatakan: Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan. Dari ketentuan Pasal 37 ayat (1) tersebut di atas, menetapkan jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditetapkan disampaikan kepada Pemerintah baik yang berbentuk Peraturan Daerah maupun peraturan kepala daerah. Berarti disini Pemerintah melakukan pengawasan. Hal ini sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 37 ayat (2) nya, menyatakan: “Pemerintah melakukan pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan peraturan kepala daerah”. Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri (Pasal 37 ayat (3) nya). Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/ atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri (Pasal 37 ayat (4)). Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri/ Pasal 37 ayat (5). PENUTUP Sistem Pengawasan Peraturan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dalam Pasal 218 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diatur pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, untuk itu bunyi lengkap Pasal 218 tersebut dirumuskan yaitu: (1) Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; b. Pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan peraturan kepala daerah. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundangundangan. Dari ketentuan Pasal 218 ayat (1) huruf b, tersebut di atas menetapkan wujud pengawasan dalam bentuk Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah. Pengawasan represif, sebagaimana yang dimaksud Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah dikemukan pada lembaran terdahulu, pedoman yang berhubungan dengan pengawasan, khususnya pengawasan terhadap Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 Merujuk permasalahan yang diteliti dan dianalisis melalui pengkajian dalam bab-bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pembinaan, baru diatur secara eksplisit, dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, pada hakekatnya, merupakan pemberdayaan institusi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga daerah, yang merupakan interpensi pusat terhadap pemerintah daerah, hal ini menunjukkan tidak ada kemandirian pemerintah daerah, ini kembali pada prinsip sentralisasi. Pengawasan, menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, memuat sistem pengawasan preventif dan represif dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya memuat sistem represif. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat sistem pengawasan preventif disebut evaluasi dan represif, terhadap Peraturan Daerah dan peraturan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pengawasan preventif, tidak berjalan dengan efektif dan efisien. Pengawasan ini mengurangi kemandirian daerah dan apabila Peraturan Daerah dan peraturan kepala daerah bertentangan dengan kepentingan umum, Undang-Undang yang lebih tinggi tingkatnya dapat dibatalkan pengawasan represif. 278 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280 Saran Mengenai pembinaan, merupakan intervensi pusat kepada daerah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 79 Tahun 2005, PP tersebut harus dicabut. DAFTAR PUSTAKA Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Baskara, Niti dan Tubagus Ronny Rahman. 2003. Poladoksal dan Otonomi Daerah. Jakarta: Peradaban. Gie, The Liang. 1968. Pertumbuhan pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: PT. Gunung Agung. Hadjon, Philipus M. 1997. Tentang Wewenang, Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 5 & 6 Tahun, September-Desember 1997. Indroharto. 1991. Usaha-usaha Memahami Undangundang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Moeljosoedarmo, Soewoto. 1990. Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden RI (Suatu Penelitian Segi-segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung Jawaban Kekuasaan Presiden). Disertasi, Fakultas Pascasarjana UNAIR. Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman. 2003. Paradoksal Konflik dan Otonomi Daerah, Jakarta: Peradaban. Pemudji, S. 1992. Kepemimpinan pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165). Philipus M. Hadjon. 1997. Tentang Wewenang. Yuridika, Majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 5 & 6 Tahun. September-Desember. Puspa, Yan Pramadya. 1997. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia Inggris, Semarang: Aneka Ilmu. Soehino. 1980. Perkembangan Pemerintahan di Daerah. Yogyakarta: Penerbit Liberty. __________. 2002. Hukum Tata Negara Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Yogyakarta: BPFE. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, TLN Republik Indonesia Nomor 3839) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 125, TLN Republik Indonesia Nomor 4437) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 38, TLN Republik Indonesia Nomor 3037) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (19 Oktober 1999) jo. Keputusan MPR Republik Indonesia Tanggal 19 Oktober 1999, Keputusan MPR Republik Indonesia Tanggal 18 Agustus 2000, Keputusan MPR Republik Indonesia Tanggal 9 November 2001 dan Keputusan MPR Republik Indonesia Tanggal 11 Agustus 2002, tentang Perubahan I, II, III dan IV UUD Negara RI Tahun 1945. UUD RI Tahun 1945 (Tanggal 18 Agustus 1945 sampai Tanggal 27 Desember 1949), Berita Republik Indonesia Tahun II/7. Wasistiono, Sadu. 2003. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Bandung: Fokus Media. Widiyanti, Ninik dan Y.W. Sunindhia. 1987. Kepala Daerah dan Pengawasan dari Pusat. Jakarta: PT. Bina Aksara. Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Pusat dalam Rangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Pemerintah Daerah – Husin Ilyas | 279 280 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 273 - 280 BARANG PUBLIK DAN EKSTERNALITAS PADA ERA OTONOMI DAERAH PUBLIC GOODS AND THE ERA OF REGIONAL AUTONOMY EXTERNALITIES Kristian Widya Wicaksono Jurusan Ilmu Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan Jalan Ciumbuleuit No. 94, Bandung E-mail: [email protected] Diterima: 10 September 2012, Direvisi: 2 Desember 2012, Disetujui: 10 Desember 2012 Abstrak Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market flliure) dalam hal ini menyediakan barang publik (public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme pasar. Kata kunci: kegagalan pasar, barang publik, eksternalitas, desentralisasi, pajak dan kesejahteraan masyarakat Abstract Decentralization opportunities for local governments to manage their domestic affairs independently from the process of formulation, implementation and evaluation of development policies and programs to suit the needs of local communities. In exercising its authority, the government is expected to manage effectively and efficiently resources are available, such as the public address adverse externalities caused by market activity, diagnosing and addressing market failure in this case provides public goods to meet the needs of people who can not afford provided through market mechanisms. Keywords: market failures, public goods, externalities, decentralization, tax and welfare PENDAHULUAN Semenjak tahun 2001 Bangsa Indonesia mulai menghadapi era baru yakni desentralisasi melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Era desentralisasi membuka peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola secara mandiri urusan domestiknya mulai dari proses formulasi, implementasi hingga evaluasi kebijakan serta program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Dalam menjalankan kewenangannya tersebut, Pemda diharapkan mampu mengelola secara efektif dan efesien sumber-sumber yang tersedia, mengatasi masalah publik seperti dampak buruk eksternalitas yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar, mendiagnosa serta menangani kegagalan pasar (market failure) dalam hal ini menyediakan barang publik (public goods) guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak mampu disediakan melalui mekanisme pasar. Hingga tahun 2008 ini pelaksanaan desentralisasi di Indonesia terus berkembang ke arah yang cukup konstruktif meskipun masih terdapat berbagai kendala di dalamnya seperti tarik-menarik keuangan antara daerah dan pusat melalui penetapan bagi hasil, penetapan pajak serta jenis retribusi. Secara makro masyarakat dapat merasakan perubahan yang cukup signifikan bila dibandingkan pada masa orde baru dimana pengelolaan pembangunan masih sangat bergantung dengan kebijakan pemerintah pusat. Saat ini, desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah untuk merespon setiap perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi dorongan demokratisasi menyebabkan masyarakat secara leluasa dapat memilih kepala daerahnya sendiri sesuai dengan aspirasinya. Hal ini semakin membuka peluang yang lebih luas bagi masyarakat untuk menuntut kepada pemerintah beserta aparaturnya untuk berperilaku kondusif terhadap permintaan publik. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi di Indonesia membawa dampak bagi daerah untuk menyediakan barang publik dan mengatasi implikasi buruk dari eksternalitas yang ditimbulkan oleh aktivitas pasar. Sebelum lebih jauh mengupas mengenai kedua hal tersebut, maka terlebih dahulu Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 281 kita perlu menelaah lebih dalam konsepsi barang publik dan eksternalitas sehingga membantu kita dalam memahami fenomena empirisnya pada pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. PEMBAHASAN Memahami Barang Publik dan Eksternalitas Salah satu penjelasan yang cukup awal mengenai barang publik dikemukakan oleh Paul A. Samuelson dalam tulisannya yang berjudul The Pure Theory of Public Expenditure pada Review of Economic and Statistic (1954). Dalam tulisannya tersebut, Samuelson menyatakan bahwa ...(goods) which all enjoy in common in the sense that each individual's consumption of such a good leads to no subtractions from any other individual's consumption of that good... Secara sederhana penjelasan Samuleson tersebut mencoba menguraikan bahwa karakterisitik utama barang publik adalah barang tersebut dapat dibagikan. Artinya, barang publik merupakan barang yang tersedia untuk semua orang dan bersifat noneksklusif. Dengan kata lain tidak ada persaingan yang terjadi diantara aktor-aktor yang mencoba untuk mengakses barang publik tersebut. Lebih jauh dalam tulisannya tersebut diuraikan bahwa barang publik dibayar atau disediakan melaui hasil pungutan pajak dan pinjaman yang dilakukan pemerintah. Selain itu harganya bisa dinyatakan dalam tingkat pajak (taxation) yang diperlukan untuk membiayai produksi barang-barang tersebut. Sedangkan barang privat dibayar melalui sistem harga yang berlaku di pasar. Sebuah barang publik mungkin saja merupakan barang yang sesuai dengan jenis-jenis kriteria yang ditetapkan oleh Samuelson tadi, tetapi mungkin pula barang publik yang tersedia bagi semua orang tersebut tergantung pada kriteria yang ditetapkan dalam suatu kebijakan misalnya manfaat yang dapat didistribusikan kepada kelompok atau tipe individu tertentu saja (beneficiary group). Hal inilah yang kemudian mempertegas pembedaan antara konsep Public Goods dengan Publicly Provided Good. Dukungan penjelasan mengenai pembedaan kedua konsep tersebut dikemukakan oleh Musgrave dalam bukunya yang berjudul The Theory of Public Finance (1959). Musgrave menyatakan bahwa apa yang dinamakan “barang-barang yang bermanfaat” bisa jadi sebagian tidak masuk kategori barang publik karena barang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau standar non-eksklusf. Studi lainnya mencoba untuk mengangkat penjelasan mengenai siklus barang Publik. Studi ini dilakukan oleh Frey dalam bukunya Modern Political Economy (1978). Dalam karyanya tersebut Frey mengatakan bahwa terdapat sebuah siklus dalam permintaan barang publik. Oleh karenanya, sektor publik atau privat akan berubah pada kurun waktu tertentu untuk merespon interaksi dari para pemilih (voters), pemerintah, civil servant, dan produsen. Siklus tersebut dapat dilihat dalam gambar berikut ini: Secara makro dapat dikemukakan bahwa barang publik (public goods) adalah barang atau jasa yang tersedia untuk semua orang. Pola penjelasan seperti ini memang cukup mudah untuk dipahami, hanya saja tidak cukup membantu manakala kita diminta untuk menjelaskan secara detail bagaimana karakteristik barang publik itu sesungguhnya serta apa yang membedakannya dari barang privat. Pendekatan ekonomi memberikan kita penjelasan yang lebih memadai mengenai barang publik. Dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa barang publik memiliki dua karakteristik utama yakni nonrivalry dan nonexcludability (Buchanan, 1967). Konsepsi nonrivalry lebih mudah dipahami dalam konteks ketika suatu barang sedang dinikmati atau dikonsumsi. Artinya, nonrivalry mengekspresikan bahwa sebuah barang dapat dikonsumsi secara bersamaan (waktu dan tempat yang sama) oleh beberapa pihak tanpa mengurangi atau menghilangkan jumlah yang tersedia untuk dikonsumsi bagi pihak lainnya (Cowen, 1992). Misalnya, saat kita sedang menikmati udara segar di sore hari maka di saat yang bersamaan orang lain yang berada di sekitar kita yang dapat turut merasakan udara segar tersebut tanpa harus saling berebutan atau saling menghilangkan hak antara yang satu dengan lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa udara segar merupakan barang BERTAMBAHNYA DISEKUILIBRIUM Ketidakpuasan terhadap supply barang-barang publik-privat SUPPLY BARANG Campuran barang-barang baru ARTIKULASI PERMINTAAN Permintaan distribusi yang baru REAKSI TERHADAP PERMINTAAN Pemerintah bereaksi terhadap permintaan Sumber: diadaptasi dari Frey (1976: 116-21) 282 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286 publik murni. Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat menangkap bahwa secara tersirat nonrivalry merujuk pada ketiadaan kompetisi (noncompetition) dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. Dimensi lainnya yang menjadi karakteritik utama dari barang publik adalah nonexcludability. Hampir mirip dengan nonrivalry, konsepsi ini juga harus dilihat dalam konteks konsumsinya (Cowen dan Crampton, 2003). Artinya, tidak ada batasan atau pelarangan untuk membatasi orang lain dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa meskipun mereka tidak membayar sesuatu apapun dalam mengonsumsi barang tersebut. Dengan kata lain, tidak ada satu pun pihak yang dapat melarang seseorang untuk menghirup udara segar dengan alasan orang tersebut tidak membayar sejumlah uang untuk dapat turut merasakan udara segar tersebut mengalir di saluran pernafasannya. Berangkat dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada pengecualian atau diskriminaisi terhadap pihak manapun dalam mengonsumsi barang publik. Artinya, setiap warga negara diberikan kesempatan yang sama dalam mengakses barang publik. Sedangkan Eksternalitas atau yang lazim disebut sebagai spillover effects terjadi pada saat tindakan seseorang memberikan efek kepada orang lain dan biaya serta keuntungan yang dimunculkannya tidak dapat direfleksikan dalam harga pasar (Ulbrich: 2003). Dalam pernyataan yang lebih sederhana dapat dikemukakan bahwa eksternalitas merupakan beban biaya atau keuntungan yang ditanggung oleh pihak ketiga yakni pihak yang berada di luar transaksi. Beban biaya yang menjadi tanggungan pihak ketiga tersebut tidak dapat diklaimkan kepada pembuat efek atau pihak ketiga juga tidak dapat dibebani suatu tagihan atas manfaat atau keuntungan yang mereka peroleh atas spill over effect tersebut. Berbeda dengan konsep-konsep sebelumnya, konsep eksternalitas tidak saja dilihat pada proses konsumsinya melainkan juga dapat ditinjau pada proses produksinya. Misalnya eksternalitas berupa polusi udara yang ditimbulkan oleh suatu pabrik karena kebutuhan pembaran dalam proses produksi suatu barang. Polusi udara tersebut kemudian menyebabkan menurunnya kualitas udara yang dihirup oleh masyarakat di sekitar wilayah pabrik tersebut sehingga mereka terkena gangguan kesehatan pernafasan. Beban ini tentunya akan sulit apabila diklaimkan secara langsung kepada pemilik pabrik, maka dari itu, pemerintah bisa menerbitkan perangkat kebijakan yang mengatur mengenai beban tarif bagi pabrik yang mengeluarkan asap dan mencemari udara selanjutnya beban tarif retribusi tersebut digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi masyarakat. Namun, dalam perkembangannya saat ini pelaku pasar seperti pemilik pabrik memiliki semacam obligasi untuk melakukan semacam kegiatan karitatif bagi masyarakat melalui sebuah program yang dinamakan Corporate Social Responsibilities (CSR). Permasalahan Pemda dalam Penyediaan Barang Publik dan Eksternalitas Pada era desentralisasi tuntutan untuk menyediakan barang publik yang lebih berkualitas semakin membuncah pada level pemerintah daerah. Secara mendasar melalui desentralisasi, maka penyediaan barang publik dapat mengikuti Perencanan yang spesifik menggunakan informasi yang detail dan mutakhir dan hanya tersedia secara lokal. Oleh karenanya, secara ideal barang publik yang disediakan oleh pemerintah daerah sedianya memang menjawab kebutuhan masyarakat. Namun di tingkat praksis hal ini belum dapat teruwjud sebab seringkali terjadi inkonsistensi kebijakan pengadaan barang publik di tingkat pemerintah lokal yang dinilai bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Kasus pengadaan alat berat di Provinsi Jawa Barat yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik guna peningkatan kualitas layanan pembangunan dan pemeliharaan infrastuktur justru berujung pada penahanan Danny Setiawan selaku Mantan Gubernur Jawa Barat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Landasan yang digunakan dalam penahanan mantan Gubernur Jawa Barat tersebut adalah inkonsistensi kebijakan antara Perda tentang APBD 2004 dengan Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa. Di sisi lain, permasalahan ruang otonomi bagi daerah untuk membentuk perencanaan bagi pengadaan barang publik secara lokal juga dapat memicu ketidakadilan regional. Misalnya layanan pendidikan dan kesehatan gratis di beberapa daerah di Tanah Air dapat memicu perpindahan penduduk dari suatu daerah yang tidak mampu menyelenggarakan layanan tersebut ke daerah yang mampu menyediakan layanan dasar tadi. Oleh karenanya, proses penyediaan barang publik juga perlu memperhatikan aspek keadilan bagi daerah lainnya, buka saja bertumpu pada kemampuan daerah itu sendiri. Pada posisi inilah peran Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus menjadi penting bagi terwujudnya keadilan di seluruh daerah di Tanah Air. Dalam alam desentralisasi juga terbuka masalah lainnya yakni mengenai pengelolaan asset daerah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa asset daerah merupakan segala kekayaan yang pengadaannya menggunakan anggaran publik (sehingga layak disebut sebagai barang publik) namun pemanfaatannya dapat sepenuhnya digunakan oleh publik tanpa harus bersaing (non-rivalry) dan ada pengecualian (non-excludability) tetapi juga untuk barang tertentu mungkin hanya dapat dimanfaatkan untuk kalangan tertentu saja sebagai akibat jabatan atau pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Karena pengadaan barang tersebut menggunakan anggaran publik dimana pajak dan pinjaman menjadi bagiannya maka asset pemerintah memiliki sistem Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 283 standar nilai tukar tertentu meskipun asset tersebut berfungsi untuk pelayanan dan dapat diakses berbagai pihak. Saat ini kita dapat melihat betapa manajemen asset daerah kita masih bermasalah. Ada dua masalah utama yang perlu untuk mendapat perhatian secara khusus, pertama dari segi pemeliharaan dan kedua dari segi pembangunan, penguatan serta peningkatan sistem informasi asset daerah. Masalah pertama adalah pemeliharaan asset daerah. secara jernih kita terlebih dahulu mencoba untuk menyisihkan terlebih dahulu aspek-aspek yang berkaiatan dengan pengadaan asset tersebut sebab akar masalahnya justeru terletak pada pemeliharaan bukan pada pengadaan. Asumsi ini mejadi semakin menemukan jati kebenarannya manakala pola penggunaan asset daerah dianggap sebagai barang habis-pakai semata atau bahkan yang lebih kronis kita menyatakannya sebagai tidak adanya rasa memiliki aparatur terhadap asset daerah sehingga penggunaannya menjurus pada arah serampangan. Hal ini diakibatkan pemikiran bahwa suatu saat mereka (pejabat pemerintah) akan meninggalkan jabatannya, maka tidak perlu ada obligasi moral untuk menjaga dan memelihara asset tersebut. Meskipun demikian, dari segi pengadaan pun nampak bahwa seringkali asset disediakan tanpa perencanaan yang jelas sebab pertumbuhan dan penyusutan asset daerah tidak dikalkulasikan secara matang sehingga masalahmasalah yang kompleks justru muncul di belakang hari dan semakin membebani anggaran pemerintah daerah. Dalam konteks kekinian maka kita dapat melihatnya dalam bentuk praktek ketidakseriusan dalam memutakhirkan asset-asset tertentu yang terus berubah sesuai dengan konteks kekinian atau perubahan zaman misalnya teknologi infomasi. Padahal organisasi pemerintah seharusnya reponsif terhadap perkembangan situasi sebagaimana dimensi administrasi publik yang menuntut operasionalisasi yang efektif dan efesien. Pemerintah harus menjadi agen yang akomodatif terhadap konteks kekinian tersebut tanpa harus terjebak dalam penghamburan dana dalam anggaran publik tetapi tampil taktis dan strategis. Operasionalisasi konsep ini hanya akan terwujud dalam pemerintahan yang digerakkan oleh misi bukan sekedar prosedural. Maka pengembangan organisasi kemudian menjadi tuntutan, dimana budaya yang dibangun tidak lagi mengacu pada paradigma organisasi tipe abad pertengahan seperti esselonisasi struktural tetapi membangun agen-agen fungsional sehingga birokrasi pemerintah menjadi kaya fungsi bukan kaya struktur. Hal inilah yang akan menjadi jawaban untuk konteks masyarakat berubah sebagaimana yang diuraikan oleh Max Weber sebagai pembentuk masyarakat rasional atas dorongan konsekuensi industrialisasi sehingga menuntut lahirnya birokrasi. Masalah kedua yang harus dipecahkan adalah sistem informasi asset, artinya di luar konteks pemeliharaan perlu dilakukan pengawasan terhadap asset dengan sistem pemuktahiran pencatatan yang akurat mengenai perkembangan nilai asset serta penggunaannya, misalnya dengan menggunakan analisis time series untuk menilai efektivitas penggunaan asset. Selain itu sistem pengawasan dapat didekati dari paradigma penjaluran penggunaan asset artinya apabila terdapat aktivitas yang sekiranya dapat menimbulkan kerugian sebagai inkonsistensi pemanfaatan asset maka perlu dilakukan pengembalian pada jalur yang semestinya. Untuk mengoperasionalisasikan penyelesaian masalah tersebut maka perlu dibangun obligasi moral dimana pengawas asset bertindak independen dan tidak bermalas-malasan untuk melakukan pemuktahiran data asset. Saat ini yang mendesak untuk dilakukan pemerintah adalah membuang jauh-jauh rasa malas tersebut dan dengan serius melakukan pendataan ulang terhadap asset yang ada termasuk menyelidiki secara tuntas asal-usul asset tersebut sehingga tidak mengundang kontroversi seperti yang terjadi dengan dinas peternakan di Jalan Ir. H. Djuanda (Dago), Gedung Sate di Jalan Diponegoro atau kasus kepemilikan tanah SMA Negeri 22 Bandung. Sehingga pertanggungjawaban kepemilikan dan pemenfaatan secara efektif asset-asset tersebut dapat diselenggarakan sebagai bentuk obligasi moral pemerintah yang telah menggunakan anggaran publik dalam pengadaannya. Aspek lainnya perlu dibahas dalam hal penyelenggaraan otonomi daerah adalah upaya-upaya pemerintah dalam penanganan dampak buruk eksternalitas. Dampak buruk eksternalitas akibat aktivitas pasar seringkali muncul di tengah-tengah masyarakat adalah pembuangan limbah pabrik yang mencemari lingkungan. Masalah ini dahulu diatasi oleh pemerintah pusat, namun seiring dilaksanakannya kebijakan desentralisasi maka Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap aktivitas pembuangan limbah tersebut. Salah satu permasalahan yang bisa dicermati dari pelimpahan kewenangan seperti ini adalah bagaimana aparatur pemerintah daerah kemudian meingkatkan kapabilitasnya sehingga proses pengawasan dan pengendalian pencemaran lingkungan melalui buangan limbah pabrik dapat berjalan dengan efektif dan efesien. Sebab, seringkali proses pelimpahan kewenangan seperti ini tidak diikuti dengan transfer of knowledge akibatnya dampak buruk eksternalitas tidak tertangani dengan baik sehingga masyarakat menjadi dirugikan. Kasus seperti ini bisa diamati di Kawasan Kabupaten Bandung, memburuknya kualitas air dan degradasi lahan pada Sungai Citarum hingga saat ini justeru menunjukkan perkembangan yang semakin memprihatinkan. Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pemerintah Jawa Barat mengalami kesulitan untuk melakukan pemulihan pada Daerah Aliran Sungai Citarum. Salah satu program yang telah dilaksanakan dan saat ini masih berjalan adalah Rehabilitasi Hutan 284 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286 dan Lahan melalui SK Gubernur No 915.2/KEP.40DAL-PROG/2002 Tentang Citarum Bergeutar, akan tetapi hasilnya masih kurang optimal sebab apalikasi teknologi pengawasan dan pengendalian atas limbah buangan pabrik masih lemah sehingga tingkat pencemaran air masih tinggi. Akibatnya masyarakat dirugikan karena minimnya pasokan air bersih. Belum lagi bila musim penghujan mulai tiba dan air sungai meluap berbagai penyakit mulai mendera masyarakat karena luapan air citarum membanjiri pemukiman penduduk. Kasus kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas usaha pertambangan juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia diantaranya PT. Freeport Indonesia di Papua dan penambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya di perairan Buyat, Sulawesi utara. Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia sepanjang tahun 1995 hingga 2000 PT Freeport telah menghasilkan 420 juta ton sampah industri yang 95 persennya dibuang ke Lembah Wanangon di wilayah Grasberg, Papua. Berdasarkan laporan tersebut maka Walhi menyimpulkan bahwa PT. Freeport berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan pada sungai-sungai di wilayah Papua terutama danau Wanangon. Sempat pula terjadi kebocoran pada tempat penampungan sampah insdutri milik PT. Freeport di Danau Wanangon. Banjir sampah pun terjadi sehingga mengakibatkan empat orang pekerja Freeport hilang. Selain banjir sampah, kebocoran ini juga menyebakakn banjir hingga radius 16 kilometer. Banjir paling parah melanda Desa Banti. Hal yang sama terjadi PT. Newmont dimana kebocoran saluran penambangan menyebabkan pencemaran terhadap air di sekitar kawasan penambangan. Hal ini kemudian berimbas terhadap kualitas kesehatan masyarakat karena mereka menfaatkan air tersebut untuk keperluan sehari-hari. Sayangnya upaya untuk mengani dampak eksternalitas seperti ini masih kurang optimal. Kedua kasus di atas pernah dibawa ke pengadilan namun putusan hakim atas perkara ini tidak begitu memuaskan bahkan sanksi yang diberikan pun cenderung abstrak. Misalnya untuk kasus Freeport mereka hanya diminta untuk memperhatikan faktor-faktor lingkungan seperti yang dianjurkan Bapedal. Padahal berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang dinyatakan bahwa operasi pertambangan menyumbang 10 persen kerusakan hutan di Indonesia, tentunya sanksi yang diterapkan tidaklah sebanding dengan kerusakan yang ada. Belum lagi bila dibandingkan dengan profit yang diperoleh PT. Freeport. Hal ini mengindikasikan bahwa proses penanganan dampak buruk eksternalitas di daerah kurang mendapat porsi yang baik sehingga untuk berbicara ke arah yang lebih jauh seperti penerapan kompensasi bagi pihak-pihak yang dirugikan pun masih sangat prematur untuk dibahas secara mendetail. PENUTUP Berangkat dari uraian yang disampaikan dalam makalah ini, maka yang penyediaan barang publik hendaknya memperhatikan hal- hal, seperti pertama, penyediaan barang publik hendaknya disedikan atas permintaan publik guna mengatasi masalah yang ditimbulkan akibat aktivitas pasar atau yang dikenal dengan istilah kegagalan pasar (market failure). Kedua, ada konteks pelaksanaan desentralisasi, Pemerintah Daerah diharapkan mampu meningkatkan kapabilitasnya dalam hal membaca situasi masalah publik yang disebabkan kegagalan pasar khususnya eksteralitas negatif yang sering kali membebani masyarakat. Peningkatan kapailitas ini dimungkinkan melalui upaya pro-aktif pemerintah untuk mengatasi dampak buruk eksternalitas yang dirasakan oleh masyarakat. Ketiga, upaya untuk mengatasi dampak buruk eksternalitas oleh Pemerintah Daerah hendaknya tidak hanya bertumpu pada penerbitan regulasi melainkan pula ketepatan pemerintah dalam merancang agar pihak ketiga yang dirugikan dapat memperoleh kompensasi yang tepat. Permasalahannya pemberian kompensasi yang tepat ini bergantung pada pengetahuan serta informasi yang dimiliki oleh pemerintah atas penyebab dan akibat yang ditimbulkan dari kegagalan pasar. Di sisi lain, perlu dilakukan upaya pemberdayaan agar masyarakat juga menyuarakan keluhan mereka atas dampak buruk eksternalitas yang mereka alami seperti pada kasus Freeport di Papua atau PT Newmont di Minahasa. Berdasarkan tingkat kerugian tersebut pemerintah dapat mengenakan Pigovian Tax yakni pajak yang dipungut untuk mengoreksi eksteranlitas negatif yang disebabkan oleh aktivitas pasar. Pada akhirnya public goods hendaknya juga mengutamakan kualitas sehingga memberikan kepuasan kepada masyarakat di daerah DAFTAR PUSTAKA Buchanan, James M. 1967. “Public Goods in Theory and Practice: A Note on the Minasian-Samuelson Discussion.” Journal of Law and Economics 10: 193–197. Cowen, Tyler. (1992. Public Goods and Market Failures. New Brunswick, N.J.: Transaction Publishers Cowen, Tyler, and Eric Crampton. 2003. Market Failure or Success: The New Debate. Cheltenham, U.K.: Edward Elgar. Frey, B.S. 1978. Modern Political Economy. Oxford: Martin Robertson. Musgrave, R. A. 1959. The Theory of Public Finance. New York: McGraw-Hill. Samuelson, P.A. 1954. “The Pure Theory of Public Expenditure.” Riview of Economic and Statistic. 37:35-46. Ulbrich, Holley H. 2003. Public Finance: In Theory And Practice. Ohio: Thomson South Western. Barang Publik dan Eksternalitas pada Era Otonomi Daerah – Kristian Widya Wicaksono | 285 286 | Jurnal Bina Praja | Volume 4 No. 4 Desember 2012 | 281 - 286 INDEKS PENULIS (AUTHORS INDEX) A Alamsyah, M. N. B Bachrein, S. D Daeli, S. P. G Ginting, Y. Gunawan H Harefa, H. Y. Harsono Haryati, D. Haryotejo, B. Hernoko, S. I Ilyas, H. Irtanto K Kartika, R. S. M Muslimin, B. P. Nadeak, H. Narutomo, T. Q Qodir, Z. R Radianto A. S. P., I S Saksono, H. Sinambela, T. Sofianto, A. Subarna, T. Suharto, D. G. Suharyanto T Tambunan, T. T. H. 11 [4,1] 227 [4,4] 57 [4,1]; 105 [4,2]; 161 [4,3] 105 [4,2] 35 [4,1]; 117 [4,2] 207 [4,3] 237 [4,4] 135 [4,2] 1 [4,1] 169 [4,3] 273 [4,4] 127 [4,2]; 261 [4,4] 179 [4,3] 161 [4,3] 45 [4,1] 29 [4,1]; 189 [4,3] 217 [4,4] 67 [4,1] 93 [4,2] 207 [4,3] 251 [4,4] 243 [4,4] 153 [4,3] 251 [4,4] 73 [4,2] W Wahyudi, H. Wicaksono, K. W. Z Zarmaili 127 [4,2] 21 [4,1]; 281 [4,4]; 147 [4,2] 201 [4,3] INDEKS KATA KUNCI A ADD Administrasi publik Agama Alternatif pemecahan Analisis SWOT B Balanced scorecard Barang publik Birokrasi BPP Kemendagri D DAS Cikapundung Daya saing daerah Dekonsentrasi Desa Desentralisasi E Efektivitas Ekonomi kreatif Eksternalitas 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187 [4,3] 149, 150, 153 [4,2] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226 [4,4] 227, 228, 230, 231 [4,4] 48, 54 [4,1] 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199 [4,3] 281, 282, 283, 285 [4,4] 149, 150, 151, 152, 153 [4,2] 189, 194, 195, 196, 197, 198 [4,3] 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235 227, 228, 229, 230, 231, 232 [4,4] 95, 96, 100, 104, 105 [4,2] 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 55 [4,1] 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257 [4,4] 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 [4,1] 153, 154, 155, 157, 158, 159, 160 [4,3] 201, 202, 203, 204, 206 [4,3] 281, 282, 283, 284, 285 [4,4] 261, 262, 265, 369, 370, 271, 272 [4,4] 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105 [4,2] Etnisitas Evaluasi F Fungsi G Gagasan Globalisasi I Iklim investasi Implementasi Implementasi kebijakan Indikator Inovasi Internasionalisasi Involusi politik K Kapasitas Kebijakan Kebijakan publik Kegagalan pasar Kemandirian Kemiskinan Kepemimpinan Kerjasama antardaerah Kesejahteraan Kesejaheraan masyarakat 281, 282, 283, 284, 285 [4,4] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225 [4,4] 45, 46, 47, 50, 51, 52, 55 [4,1] 169 [4,3] 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 161, 167 [4,3] 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18 [4,1] 1, 2, 3, 7, 8 [4,1] 149, 150, 152, 153 [4,2] 129, 130, 131, 136, 135 [4,2] 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 [4,1] 251, 152, 254, 255, 256, 257, 258, 29, 260 [4,4] 11 [4,1] 217, 225 [4,4] 107, 108, 109, 110, 111,114,115, 116 [4,2] 11, 12, 13, 16, 17, 19 [4,1] 149 [4,2] 281, 285 [4,4] 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 87, 88, 89, 92 [4,2] 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249 [4,4] 161, 166 [4,3] 129, 130, 135 [4,2] 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249 [4,4] 281 [4,4] Ketentraman dan ketertiban Keterbukaan Kinerja Kinerja aparatur Kompetensi aparatur pemerintah daerah Korupsi Kualitas pelayanan L Likuiditas M Manajemen Mata air Model Motivasi kerja O Organisasi P Pajak Pangsa output Panwaslu Partisipasi masyarakat PDAM Pelayanan administrasi Pelayanan publik Pembangunan desa Pembangunan terpadu Pembinaan Pemekaran Pemerintah Pemerintah daerah Pemerintah pusat Pemilu 119 [4,2] 201, 206 [4,3] 21, 22, 27 [4,1] 67, 68, 69, 71, 72 [4,1] 21 [4,1] Pengawasan Pengeluaran non-pangan Pengembangan Penguatan 201, 202, 204, 205, 206 [4,3] 261, 262, 263, 264, 267, 268, 269 [4,4] 169, 171, 172, 173, 176 [4,3] 29, 31, 33 [4,1] 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136 [4,2] 251, 252, 257, 259 [4,4] 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214 [4,3] 29, 30, 31, 32, 33 [4,1] 281, 282, 284, 285 [4,4] 75, 78, 82 [4,2] 137, 138, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148 [4,2] 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187 [4,3] 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177 [4,3] 261, 262, 263, 264 [4,4] 21, 22, 24, 25 [4,1] 179, 180, 181, 183, 184, 187 [4,3] 251, 157, 159 [4,4] 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225 [4,4] 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199 [4,3] 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214 [4,3] 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65 [4,1] 179, 182, 184, 186 [4,3] 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 273, 274, 275, 277 [4,4] 161, 163, 165, 166, 167 [4,3] Penilaian kinerja Penyelenggaraan pelayanan Peran Peraturan Peraturan daerah Perkumpulan Permasalahan PNS Politik PPNS Prasarana Produktivitas Produktivitas pegawai Profil R Rencana kegiatan Rentabilitas S Sarana Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sistem manajemen Solvabilitas Strategi Struktur Sumber daya manusia T Talenta baru Tanggung jawab Tugas dan fungsi Tugas pembantuan 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 243 [4,4] 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115 [4,2] 137, 138, 140, 141, 142, 145, 146, 147, 148 [4,2] 189, 191, 192, 199 [4,3] 67, 68 [4,1] 137, 138, 139, 143, 145, 147 [4,2] 1, 2, 3, 4, 5, 6 [4,1] 21, 26 [4,1] 59 [4,1] 227, 230, 231, 233 227, 228, 229, 230, 231, 232 [4,4] 207, 209, 210 [4,3] 161, 163, 164, 165, 166, 167 [4,3] 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128 [4,2] 237, 238, 239, 240 [4,4] 78, 79, 82, 92 [4,2] 237, 238, 239, 240, 241 [4,4] 207 [4,3] 35, 36, 41 [4,1] 227, 228 [4,4] 169, 171, 172, 174, 175, 176 [4,3] 237, 238, 239 [4,4] 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42 [4,1] 119, 120,121, 123, 124, 125, 126, 127, 128 [4,2] 261, 262, 270 [4,4] 169, 171, 172, 173, 176 [4,3] 243, 248 [4,4] 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 29, 30, 31, 32 [4,1] 107, 109 [4,2] 95, 96, 100, 104 [4,2] 201, 202, 206 [4,3] 35, 36, 41 [4,1] 45, 46, 47, 48, 50, 52, 54, 55 [4,1] U UKM UMK W Wewenang 237, 238, 239, 240 [4,4] 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93 [4,2] 201, 202, 203, 205, 206 [4,3] KEYWORDS INDEX A Action plan ADD Administration service Alternative solution Assistance task Authority Autonomy B Balanced scorecard BPP Kemendagri Bureaucracy C Capacity Cikapundung basin Community Competence of local government officials Corruption Couching Creative economy D Decentralization Deconcentration 227, 228 [4,4] 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187 [4,3] 261, 262, 263, 264 [4,4] 227, 228, 230, 231 [4,4] 45, 46, 47, 48, 50, 52, 54, 55 [4,1] 201, 202, 203, 205, 206 [4,3] 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] Development E Effectivifness Election Employee productivity Ethnicity Evaluation 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199 [4,3] 189, 194, 195, 196, 197, 198 [4,3] 149, 150, 151, 152, 153 [4,2] Expansion Externalities F Function 107, 108, 109, 110, 111,114,115, 116 [4,2] 227, 228, 229, 230, 231, 232, 233, 234, 235 227, 228, 229, 230, 231, 232 [4,4] 59 [4,1] 21 [4,1] 201, 202, 204, 205, 206 [4,3] 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105 [4,2] 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27 [4,1] 153, 154, 155, 157, 158, 159, 160 [4,3] 201, 202, 203, 204, 206 [4,3] 281, 282, 283, 284, 285 [4,4] G Globalization Government H Human resources I Idea Implementation Implementation of policy Indicator Infrastructure Innovation Integrated development Internationalization 46, 47, 48, 49, 50, 52, 54, 55 [4,1] 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115 [4,2] 261, 262, 265, 369, 370, 271, 272 [4,4] 161, 163, 165, 166, 167 [4,3] 207 [4,3] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225 [4,4] 45, 46, 47, 50, 51, 52, 55 [4,1] 169 [4,3] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225 [4,4] 281, 282, 283, 284, 285 [4,4] 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18 [4,1] 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199 [4,3] 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214 [4,3] 29, 30, 31, 32 [4,1] 107, 109 [4,2] 161, 167 [4,3] 149, 150, 152, 153 [4,2] 129, 130, 131, 136, 135 [4,2] 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 [4,1] 237, 238, 239, 240 [4,4] 251, 152, 254, 255, 256, 257, 258, 29, 260 [4,4] 251, 157, 159 [4,4] 11 [4,1] Interregional cooperation L Leadership Liquidity 129, 130, 135 [4,2] Public Administration Public goods Public participation Public policy Public service Public welfare Local regulations 161, 166 [4,3] 169, 171, 172, 173, 176 [4,3] 58, 60, 61, 62, 63, 64, 65 [4,1] 179, 182, 184, 186 [4,3] 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 21, 26 [4,1] M Management Management system Market failure Model 29, 31, 33 [4,1] 261, 262, 270 [4,4] 281, 285 [4,4] 251, 252, 257, 259 [4,4] Rentabilitas Local government N New talent Non food expenditure O Openness Organization P Panwaslu PDAM Peace and order Performance Performance apparatus Performance assessment PNS Policy Politic Politic involution Poverty PPNS Problem Productivity Profile Provision service 95, 96, 100, 104 [4,2] 243 [4,4] 201, 206 [4,3] 29, 30, 31, 32, 33 [4,1] R Regional competitiveness Regulation Religion Responsibility Role S Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) 95, 96, 100, 104, 105 [4,2] 1, 2, 3, 4, 5, 6 [4,1] 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 226 [4,4] 169, 171, 172, 174, 175, 176 [4,3] 201, 202, 206 [4,3] 137, 138, 139, 143, 145, 147 [4,2] SWOT analysis 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42 [4,1] 119, 120,121, 123, 124, 125, 126, 127, 128 [4,2] 261, 262, 263, 264, 267, 268, 269 [4,4] 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93 [4,2] 237, 238, 239, 240 [4,4] 169, 171, 172, 173, 176 [4,3] 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136 [4,2] 243, 248 [4,4] 137, 138, 140, 141, 142, 145, 146, 147, 148 [4,2] 153, 154, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279 [4,4] 48, 54 [4,1] T Tasks and function Tax The central government The investment climate The share of output Tools 35, 36, 41 [4,1] 281, 282, 284, 285 [4,4] 273, 274, 275, 277 [4,4] 1, 2, 3, 7, 8 [4,1] 75, 78, 82 [4,2] 237, 238, 239 [4,4] Service quality SMEs 137, 138, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148 [4,2] 169, 170, 171, 172, 173, 174, 176, 177 [4,3] 119 [4,2] 21, 22, 27 [4,1] 67, 68, 69, 71, 72 [4,1] 189, 191, 192, 199 [4,3] 207, 209, 210 [4,3] 11, 12, 13, 16, 17, 19 [4,1] 161, 163, 164, 165, 166, 167 [4,3] 217, 225 [4,4] 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 87, 88, 89, 92 [4,2] 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249 [4,4] 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128 [4,2] 227, 230, 231, 233 227, 228, 229, 230, 231, 232 [4,4] 78, 79, 82, 92 [4,2] 237, 238, 239, 240, 241 [4,4] 35, 36, 41 [4,1] 67, 68 [4,1] 149, 150, 153 [4,2] 281, 282, 283, 285 [4,4] 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187 [4,3] 149 [4,2] 21, 22, 24, 25 [4,1] 281 [4,4] Solvability Sping Strategy Strengthening Structure Supervision V Village 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160 [4,3] 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257 [4,4] Village development W Welfare Work motivation 179, 180, 181, 183, 184, 187 [4,3] 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249 [4,4] 207, 208, 209, 210, 212, 213, 214 [4,3] Biodata Penulis Husein Ilyas Lahir pada 7 September 1954 di Pendukun. Saat ini menjabat sebagai rektor Universitas Muaro Bungo dengan jabatan Lektor Kepala. Menyelesaikan program S1 di Fakultas Hukum Universitas Negeri Jambi pada tahun 1985, program pascasarjana (S2) program studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara pada 2001, dan program pascasarjana (S3) di Universitas Airlangga program studi Ilmu Hukum Bidang Kajian Hukum Tata Negara pada 2007. Zuly Qodir Zuly Qodir, merampungkan doktor bidang Sosiologi Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2006. Saat ini menjadi dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Dosen Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Juga dosen pada Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Minat utama adalah kajian desentralisasi politik dan sosiologi politik serta etnisitas. Selain juga berminat dalam kajian konflik sosial keagamaan dan partai politik Islam. Melakukan riset tentang : (1) Konflik Pemekaran Maluku Utara tahun 2010-2012, (2) Konflik sosial di Ambon provinsi Maluku tahun 2011, (3) Radikalisasi Islam di Surakarta 2011; (4) Islam kampus di Yogyakarta dalam Perubahan Politik Nasional (2010). Menulis buku : (1) Gerakan Sosial Islam, 2010; (2) Sosiologi Agama, 2011; (3) Sosiologi Politik Islam di Indonesia, 2012. Kristian Widya Wicaksono Lahir di Bandung, pada 22 Maret 1980. Bekerja sebagai dosen PNS pangkat Penata Muda Golongan III/a, dengan Jabatan Akademik Lektor. Menyelesaikan studi program sarjana Ilmu Sosial, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Khatolik Parahyangan pada tahun 2004. Kemudian menyelesaikan program Magister Ilmu Sosial, Konsentrasi Kebijakan dan Administrasi Publik pada Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan Bandung pada tahun 2009. Saeful Bachrein Lahir di Kadipaten, 28 Juli 1952. Lulus Sarjana (S1) dari Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 1978. Lulus S2 dan S3 dari University of Florida, Gainesville, Florida, USA, masing-masing tahun 1986 dan 1992. Saat ini bekerja sebagai Peneliti Utama pada Bappeda Provinsi Jawa Barat, Bandung. Harsono Lahir 2 Oktober 1959 di Klaten, Jawa Tengah. Bekerja di Bappeda Bidang Penelitian dan Pengembangan dari 1989 sampai tahun 1999. Tahun 2000 sampai sekarang sebagai fungsional peneliti, peneliti madya bidang Pemerintahan dan Politik. Pengalaman: Peneliti Pilkada 2005; Penelitian Gender; Penelitian Jasa lingkungan; Penelitian Wajar 9 Tahun; Penelitian Transportasi antarmoda. Sebagai anggota dewan redaksi Jurnal Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah. Trisna Subarna Lahir di Sumedang tanggal 12 November 1953. Pendidikan terakhir S2 Magister Manajemen di Universitas Winaya Mukti, Bandung. Peneliti madya di Bappeda Provinsi Jawa Barat. Menjadi peneliti sejak tahun 1990 sampai dengan sekarang. Suharyanto Lahir di Yogyakarta pada 9 November 1962. Saat ini bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah sebagai Pejabat Fungsional Peneliti merangkap sebagai Kasubbag Program. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Diponegoro, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Pemerintahan pada 1988, dan pendidikan S2 di Universitas Islam Indonesia, program studi Hukum Tata Negara pada 2005. Arif Sofianto Lahir di Banyumas pada 4 September 1981. Saat ini bekerja pada Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah sebagai Pejabat Fungsional Peneliti. Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Gajah Mada, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Pemerintahan pada 2004, dan menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Diponegoro program studi Magister Ilmu Politik pada 2011. Irtanto Lahir di Blitar, Jawa Timur pada 3 Agustus 1960. Menyelesaikan Program Pasca Sarjana (S2) Jurusan Ilmu Administrasi Negara di Universitas Wijaya Putra pada tahun 2010 . Saat ini bekerja di Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur sebagai Peneliti Madya (IV/c) Bidang Politik dan Pemerintahan Indonesia. Pedoman Penulisan 1. Artikel ditulis dengan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dalam bidang kajian pemerintahan dalam negeri/pemerintahan daerah. 2. Substansi artikel diharapkan sejalan dengan Panduan Akreditasi Berkala Ilmiah, yang diterbitkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri. http://www.bpp.depdagri.go.id/.... 3. Artikel ditulis dengan kaidah tata bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia yang baku, baik, dan benar. 4. Sistematika Penulisan Sistematika penjenjangan atau peringkat judul artikel dan bagian-bagiannya dilakukan dengan cara berikut: (1) Judul ditulis dengan huruf besar semua, di bagian tengah atas pada halaman pertama (2) Sub Bab Peringkat 1 ditulis dengan huruf pertama besar semua di tengah/center (3) Sub Bab Peringkat 2 ditulis dengan huruf besar-kecil rata tepi kiri Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 250 kata dalam bahasa Indonesia) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian; metode; hasil penelitian dan pembahasan; simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL (ringkas dan lugas; maksimal 14 kata, hindari kata “analisis”, “studi”, “pengaruh”) Penulis 11 dan Penulis 22 1 Nama instansi/lembaga Penulis 1 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis 2 Nama instansi/lembaga Penulis 2 Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis (jika nama instansi penulis 1 dan 2 sama, cukup ditulis satu saja) E-mail penulis 1 dan 2: Abstract: Abstract in english (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN (berisi latar belakang, sekilas tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, yang dimasukkan dalam paragraf-paragraf bukan dalam bentuk subbab) METODE PENELITIAN Subbab … HASIL DAN PEMBAHASAN (Hasil adalah gambaran lokus. Pembahasan adalah analisa dan interpretasi penulis) Subbab … SIMPULAN (Simpulan adalah hasil dari pembahasan yang menjawab permasalahan penelitian) DAFTAR PUSTAKA Sistematika artikel hasil pemikiran/reviu/telaahan adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi, alamat e-mail penulis, abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata-kata kunci (4-5 kata kunci); pendahuluan (tanpa ada subjudul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-judul); simpulan; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). JUDUL Penulis Nama instansi/lembaga Penulis Alamat lengkap instansi penulis, nomor telepon instansi penulis E-mail penulis Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4 – 5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasa Indonesia (maks. 250 kata) Kata kunci: 4 – 5 kata/ frasa PENDAHULUAN PEMBAHASAN PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 5. Artikel diketik pada kertas ukuran A4 berkualitas baik. Dibuat sesingkat mungkin sesuai dengan subyek dan metode penelitian (bila naskah tersebut ringkasan penelitian), biasanya 20-25 halaman dengan spasi satu, untuk kutipan paragraf langsung diindent (tidak termasuk daftar pustaka). 6. Abstrak, ditulis satu paragraf sebelum isi naskah. Abstrak dalam dua bahasa yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Abstrak tidak memuat uraian matematis, dan mencakup esensi utuh penelitian, metode dan pentingnya temuan dan saran atau kontribusi penelitian. 7. a. Penulisan numbering kalimat pendek diintegrasikan dalam paragraf, contohnya: Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui apakah CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, (2) Untuk mengetahui apakah persentase kepemilikan manajemen berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan, dan (3) Untuk mengetahui apakah tipe industri berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara CSR dengan nilai perusahaan? b. Penulisan bullet juga diintegrasikan dalam paragraf dengan menggunakan tanda koma pada antarkata/kalimat tanpa bullet. 8. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) sebagai lampiran dicantumkan pada halaman sesudah teks. Sedangkan tabel atau gambar baik di dalam naskah maupun bukan harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis bagian paling bawah tabel sedangkan untuk garis-garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. d. Tabel atau gambar bisa diedit dan dalam tampilan berwarna yang representatif. e. Ukuran resolusi gambar minimal 300 dpi. Contoh Penyajian Tabel: Tabel 1. Bentuk-bentuk Mobilitas Penduduk No. Bentuk Mobilitas Ulang-alik (commuting) 1. Mondok di daerah tujuan 2. Menetap di daerah tujuan 3. Sumber: Ida Bagoes, 2000 Batas Wilayah Dukuh Dukuh Dukuh Batas Waktu 6 jam atau lebih, kembali pada hari yang sama Lebih dari satu hari tetapi kurang dari 6 bulan 6 bulan atau lebih menetap di daerah tujuan Contoh Penyajian Gambar: Sumber: Bank Indonesia, 2009 Gambar 1. Utang Indonesia (dalam triliun Rupiah). 9. Cara penulisan rumus, Persamaan-persamaan yang digunakan disusun pada baris terpisah dan diberi nomor secara berurutan dalam parentheses (justify) dan diletakkan pada margin kanan sejajar dengan baris tersebut. Contoh: wt = f (yt, kt , wt-1) 10. Keterangan Rumus ditulis dalam satu paragraf tanpa menggunakan simbol sama dengan (=), masingmasing keterangan notasi rumus dipisahkan dengan koma. Contoh: dimana w adalah upah nominal, yt adalah produktivitas pekerja, kt adalah intensitas modal, wt-1 adalah tingkat upah periode sebelumnya 11. Perujukan sumber acuan di dalam teks (body text) dengan menggunakan nama akhir dan tahun. Kemudian bila merujuk pada halaman tertentu, penyebutan halaman setelah penyebutan tahun dengan dipisah titik dua. Untuk karya terjemahan dilakukan dengan cara menyebutkan nama pengarang aslinya. Contoh: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Fatimah dan Daryono (1997) menunjukkan adanya... Didit dkk (2007) berkesimpulan bahwa... Untuk meningkatkan perekonomian daerah... (Yuni, Triyono, dan Agung Riyardi, 2009) Maya (2009) berpendapat bahwa... 12. Setiap kutipan harus diikuti sumbernya (lihat poin no.11) dan dicantumkan juga dalam daftar pustaka. Contoh: Di dalam paragraf isi (Body Text) ada kutipan: Buiter (2007:459) berpendapat bahwa... Maka sumber kutipan tersebut wajib dicantumkan/disebutkan di dalam daftar pustaka: Buiter, W.H. 2007. The Fiscal Theory of the Price Level: A Critique, Economic Journal. 112(127):459 13. Sedapat mungkin pustaka-pustaka yang dijadikan rujukan adalah pustaka yang diterbitkan 10 tahun terakhir dan diutamakan lebih banyak dari Jurnal Ilmiah (50 persen). Penulis disarankan untuk merujuk artikel-artikel pada Jurnal Bina Praja dari edisi sebelumnya. 14. Unsur yang ditulis dalam daftar pustaka secara berturut-turut meliputi: (1) nama akhir pengarang, nama awal, nama tengah, tanpa gelar akademik. (2) tahun penerbitan. (3) judul termasuk subjudul. (4) tempat penerbitan. (5) nama penerbit. Contoh cara penulisan: a. Format rujukan dari buku: Nama pengarang. (tahun). Judul Buku. Edisi. Kota penerbit: Nama penerbit. Jika penulis sebagai editor tunggal, ditulis (Ed.) di belakang namanya. Ditulis (Eds.) jika editornya lebih dari satu orang. Kemudian bila pengarang lebih dari tiga orang, dituliskan nama pengarang pertama dan yang lain disingkat ‘dkk’ (pengarang domestik) atau ‘et.al’ (pengarang asing) Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Second edition. New York: John Wiley & Son. Purnomo, Didit (Ed.). 2005. The Role of Macroeconomic Factors in Growth. Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press b. Format rujukan dari artikel dalam buku ditulis: Nama editor (Ed.). (tahun). Judul tulisan/karangan. Judul buku. hlm atau pp. kota penerbit: nama penerbit. Daryono (Ed.). 2005. Concept of Fiscal Decentralization and Worldwide Overview (hlm. 12-25). Surakarta: Penerbit Muhammadiyah University Press. c. Format rujukan dari artikel dalam jurnal/majalah/koran: Nama pengarang (tahun). judul tulisan/karangan. Nama jurnal/majalah/koran. volume (nomor): halaman. Jika rujukan koran tanpa penulis, nama koran ditulis diawal Rodden, J. 2002. The Dilemma of Fiscal Federalism: Grants and Fiscal Performance around the World. American Economic Journal. 46 (3): 670. Nashville: American Economic Association. Triyono. 2008. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal Efek. Warta Ekonomi. Vol.4,.Agustus: 46-48 Haryanto, S. 2007, 13 November. Desentralisasi Fiskal dan Pembangunan Ekonomi. Harian Jakarta. hlm.4. Harian Jogjakarta. 2007, 1 April. Hubungan Keuangan Pusat-Daerah di Indonesia. hlm.4. d. Format rujukan dari internet, tanggal akses dicantumkan. Setyowati, E. Keuangan Publik dan Sistem Harga. http://www.ekonomipublik.com/akt/pdf/ akt452.pdf. Diakses tanggal 27 Mei 2009. 15. Referensi Online yang dianjurkan dalam penggunaan bahasa Indonesia: a. Glosarium kata baku dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.diknas.go.id/glosarium/ b. Kamus Besar Bahasa Indonesia dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia: http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/ c. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD): http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/lamanv4/sites/default/files/EJD-KKP-PBNBID.PENGEMBANGAN.pdf Pengiriman Artikel 1. Artikel dikirimkan sebanyak 2 eksemplar hardcopy, dan softcopy berupa file. File bisa dikirim melalui email [email protected] atau dalam media cd. 2. Artikel yang dikirim wajib dilampiri biodata ringkas pendidikan termasuk catatan riwayat karya-karya ilmiah sebelumnya yang pernah dipublikasikan, insitusi dan alamatnya, nomor telpon kontak atau e-mail penulis. 3. Penulis yang menyerahkan artikelnya harus menjamin bahwa naskah yang diajukan tidak melanggar hak cipta, belum dipublikasikan atau telah diterima untuk dipublikasi oleh jurnal lainnya. 4. Kepastian naskah dimuat atau tidak, akan diberitahukan secara tertulis. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan. Alamat Jurnal Bina Praja: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri Jalan Kramat Raya No. 132, Senen - Jakarta 10420 Telepon/Fax: +62 21 310 1953 / +62 21 392 4451 e-mail: [email protected]