hukum hibah wasiat terhadap anak angkat menurut hukum perdata

advertisement
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
HUKUM HIBAH WASIAT TERHADAP ANAK ANGKAT
MENURUT HUKUM PERDATA
Enik Isnaini*)
*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan
ABSTRACT
It’s natural for a parent to be wanting a child. However, in reality it’s quite not a rarity that a parent
doesn’t get what they want. By far, the most sustainable way to get an offspringto complete that
purpose is by adopting someone’s child.
Adopted children has the same position as biological children of their adoptive parents.; That way,
they can inherit their adoptive parents possession only on the inheritable parts. For that matter,
adoptive parents can inherit that for them based on Undang-Undang or based on the testament (Hibah
wasiat).
Keywords :Hibah Wasiat, Adopted Chidren.
1. Pendahuluan
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
paling mulia merupakan mahluk sosial yang
tidak dapat hidup menyendiri atau terpisah dari
kelompok manusia lainnya.Sudah merupakan
kodrat manusia untuk hidup berdampingan
sesama manusia dan berusaha untuk
meneruskan
keturunan
dengan
cara
melangsungkan
perkawinan.
Guna
mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian
masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh
dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat
yang adil dan makmur. Dalam hal ini,
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa
Peraturan – Peraturan dan Undang – Undang
yang mengatur tentang perkawinan terutama
Undang – Undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua
warga Negara.
Di dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 disebutkan :
“ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tujuan suatu perkawinan adalah untuk
membentuk
suatu
keluarga.
Keluarga
mempunyai peranan penting dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial dan
merupakan kesatuan masyarakat terkecil yang
terdiri dari seorang ayah, ibu, dan anak. Anak
adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan
martabat sebagai manusia seutuhnya.
Keinginan untuk mempunyai seorang anak
adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan
tetapi pada kenyataannya tidak jarang sebuah
rumah tangga atau keluarga tidak mendapatkan
keturunan. Apabila suatu keluarga itu tidak
dilahirkan seorang anak maka untuk
melengkapi unsur keluarga itu atau untuk
melanjutkan keturunannya dapat dilakukan
suatu perbuatan hukum yaitu dengan
mengangkat anak (adopsi).
Didasarkan Pasal 39 ayat (1) Undang –
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak bahwa pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 1 angka
9 Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa
:
”Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung
jawab
atas
perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”.
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
Dengan demikian sahnya pengangkatan anak
menurut hukum apabila telah memperoleh
putusan pengadilan.
Berdasarkan Pasal 1 dan 2 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak,
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari
lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan
atau penetapan pengadilan.
Dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pengangkatan Anak menyatakan
bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan
darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua kandungnya.
Perbuatan
pengangkatan
anak
mengandung konsekuensi - konsekuensi
yuridis bahwa anak angkat itu mempunyai
kedudukan
hukum
terhadap
yang
mengangkatnya. Di berbagai daerah di
Indonesia anak angkat mempunyai kedudukan
hukum yang sama dengan anak keturunan
sendiri, juga termasuk hak untuk dapat
mewarisi kekayaan yang ditinggalkan orang
tua angkatnya pada waktu meninggal dunia,
akan tetapi dalam kenyataannya anak angkat
yang sah masih dianggap bukan bagian dari
keluarga yang merupakan kesatuan masyarakat
terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak,
sehingga mereka dianggap tidak berhak atas
harta peninggalan orang tuanya karena bukan
ahli waris dari orang tua yang mengangkatnya.
Hal ini karena adanya pengaruh dari sistem
hukum Islam yang tidak mengatur tentang
adanya pengangkatan anak yang dijadikan
sebagai anak kandung hal ini tidak dibenarkan.
Untuk melindungi agar anak angkat tetap
mendapatkan haknya atas harta peninggalan
orang tua angkatnya , maka orang tua angkat
membuat hibah wasiat.
Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi
pemilik harta kekayaan untuk semasa masih
hidupnya menyatakan keinginannya yang
terakhir
tentang
pembagian
harta
peninggalannya kepada ahli waris, yang baru
akan berlaku setelah ia meninggal.
Di dalam Pasal 957 KUH Perdata
disebutkan :
“ Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat
yang khusus, dengan mana si yang mewariskan
kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa barang – barangnya dari suatu jenis
tertentu, seperti misalnya, segala barang
bergerak atau tidak bergerak, atau memberikan
hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta
peninggalannya”.
II. Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukuan adalah
metode penelitian hukum normatif yang
disebut juga penelitian kepustakaan (Library
Research), adalah suatu prosedur penelitian
ilmiah
untuk
menemukan
kebenaran
berdasarkan logika keilmuwan hukum dari sisi
normatif. Oleh karena itu penelitian hukum ini
difokuskan untuk mengkaji penelitian hukum
tentang kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif.
Pendekatan masalah yang digunakan
adalah pendekatan perundang-undangan yang
berhubungan dengan pokok permasalahan.
Selain itu juga digunakan pendekatan analisa
(Analisis Aproach). Pendekatan analisa ini
digunakan dalam rangka untuk menganalisa
penerapan norma-norma atau kaidah-kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktek sesuai
dengan ketetapan.
Bahan hukum yang dipakai dalam
penelitian ini, yaitu : (1) Bahan primer yaitu
data yang dikumpulkan oleh peneliti yakni
putusan pengadilan tentang hibah wasiat anak
angkat, (2) Bahan sekunder yaitu data yang
diambil dari tulisan-tulisan para ahli hukum,
artikel, makalah yang berkaitan dengan
tinjauan hukum hak mewaris anak angkat
didasarkan hibah wasiat, (3) Bahan tersier
yaitu data yang memberikan petunjuk atau
penjelasan bermakna terhadap data primer dan
sekunder, seperti kasus hukum, majalah, dan
lain-lain.
Pengumpulan bahan hukum Baik
bahan primer maupun sekunder dikumpulkan
berdasakan topik permasalahan yang telah
dirumuskan dan diklarifikasi menurut sumber
dan
hirarkinya
untuk
dikaji
secara
komprehensif.Pengolahan bahan hukum adalah
kegiatan merapikan hasil pengumpulan data
kepustakaan sehingga siap pakai untuk
dianalisis. Prosedur pengolahan bahan hukum
dimulai dengan memeriksa data secara
korelatif yaitu yang hubungannya antara gejala
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
yang satu dengan yang lain, selanjutnya data
dianalisa sehingga dapat diperoleh gambaran
yang jelas tentang Hibah Wasiat terhadap
Anak Angkat menurut Hukum Perdata.
III. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
A. Dasar Hukum Waris
Yang dinamakan mewaris ialah menggantikan
hak dan kewajiban seseorang yang meninggal.
Adapun yang digantikan itu adalah hak dan
kewajiban dalam bidang hukum kekayaan,
artinya hak dan kewajiban dapat dinilai dengan
uang.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi
sejumlah harta pewaris menurut sistem hukum
waris KUH Perdata ada dua cara, yaitu:
1. Menurut ketentuan undang-undang.
2. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen)
adalah suatu pernyataan tentang apa yang
dikehendaki setelah ia meninggal dunia.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau
seluruhnya hartanya dengan surat wasiat.
Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian
dari hartanya melalui surat wasiat, maka
sisanya merupakan bagian ahli waris
berdasarkan undang-undang (ahli waris ab
intestato). Jadi pemberian seseorang pewaris
berdasarkan surat wasiat tidak bermaksud
untuk menghapuskan hak untuk mewaris
secara ab intestato.
Hukum waris yang berlaku di Indonesia
sekarang ini masih tergantung pada hukum
waris mana yang berlaku bagi yang meninggal
dunia. Apabila yang meninggal dunia atau
pewaris termasuk golongan penduduk di
Indonesia maka yang berlaku hukum waris
adat, sedangkan apabila pewaris termasuk
golongan Eropa atau timur asing Tionghoa,
bagi mereka berlaku hukum waris Barat. Bila
pewaris
termasuk
golongan penduduk
Indonesia yang beragama Islam mereka
mempergunakan peraturan hukum waris
berdasarkan hukum waris Islam. Bila pewaris
termasuk golongan penduduk timur asing Arab
atau India, bagi mereka berlaku hukum adat
mereka.
B. Pengertian Hukum Waris Barat (KUH
Perdata)
Tidak terdapat pasal yang memberikan
pengertian tentang hukum waris, namun
sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 830
KUH Perdata, bahwa:
“pewarisan
hanya
berlangsung
karena
kematian”.
Dengan demikian menurut hukum Barat
terjadinya pewarisan apabila adanya orang
yang mati dan meninggalkan harta kekayaan.
Untuk
terjadinya
pewarisan
harus
dipenuhi 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) Pewaris
adalah orang yang meninggal dunia
meninggalkan harta kepada orang lain, (2) Ahli
waris adalah orang yang menggantikan
pewaris di dalam kedudukannya terhadap
warisan, baik untuk seluruhnya, maupun untuk
sebagian, (3) Harta warisan adalah segala harta
kekayaan dari orang yang meninggal dunia.
C. Kedudukan Anak Angkat
Perbuatan mengangkat anak mempunyai
akibat hukum. Menurut pasal 14 Staatblad
1917 no.129 pengangkatan anak memberi
akibat bahwa status anak yang bersangkutan
berubah menjadi seperti seorang anak sah.
Hubungan keperdataan dengan orang tua
kandungnya menjadi putus sama sekali.
Pengangkatan anak menurut hukum perdata
(BW) mempunyai akibat hukum anak angkat
mempunyai kedudukan seperti anak kandung
dan memperoleh bagian warisan dari orang tua
angkatnya.
Sedangkan pengangkatan anak menurut
hukum adat mempunyai akibat hukum yang
berbeda-beda baik mengenai kedudukannya
maupun kewarisannya. Hal ini tergantung pada
kelembagaan pengangkatan anak (sistem
hukum) yang hidup dan berkembang didaerah
yang bersangkutan.
D. Ahli Waris Menurut KUH Perdata
KUH Perdata membagi dua ahli waris,
yaitu : (1) Ahli waris menurut undang-undang
adalah ahli waris yang ditunjuk atau ditentukan
oleh
undang-undang.
Undang-undang
menunjuk sebagai ahli waris adalah keluarga
sedarah dan suami atau istri yang masih hidup.
Jadi seluruh pewarisan menurut undangundang berdasarkan atas hubungan sedarah
dan hubungan perkawinan, (2) Ahli waris
menurut tastemen adalah siapa saja yang
disebutkan dalam testemendengan tidak
mengurangi kekecualian yang diatur dalam
Pasal 895-912 KUH Perdata. Ahli waris
menurut surat wasiat jumlahnya tidak tertentu
tergantung kehendak pembuat wasiat. Dengan
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
demikian, ahli waris mendapat bagian warisan
berdasarkan penunjukan si pewaris pada waktu
ia masih hidup. Terkadang wasiat berisi
penunjukan seorang atau beberapa orang ahli
waris yang akan mendapat seluruh atau
sebagian warisan dan memperoleh segala hak
dan kewajiban dari pewaris. Namun demikian,
kebebasan untuk membuat surat wasiat
dibatasi Pasal 881 ayat (2) KUHPerdata yang
menyatakan, bahwa:
“Dengan sesuatu pengangkatan waris atau
pemberian hibah yang demikian, si yang
mewariskan tidak boleh merugikan para ahli
warisnya yang berhak atas sesuatu bagian
mutlak.”
Dari kedua macam ahli waris di atas,
timbullah persoalan ahli waris yang manakah
yang lebih diutamakan, apakah ahli waris
menurut undang-undang atau ahli waris
menurut surat wasiat. Berdasarkan beberapa
peraturan-peraturan yang termuat dalam KUH
Perdata
tentang
surat
wasiat,
dapat
disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah
ahli waris menurut undang-undang. Hal ini
terbukti beberapa peraturan yang membatasi
kebebasan seseorang untuk membuat surat
wasiat agar tidak sekehendak hatinya.
Ahli waris menurut undang-undang atau
ahli waris Ab Intestato yang berdasarkan
hubungan darah dibedakan menjadi empat
golongan :
a) Golongan 1 : Keluarga dalam garis lurus
kebawah, meliputi anak-anak
beserta
keturunan mereka beserta suami/istri yang
ditinggalkan/yang hidup paling lama.
Suami/istri yang ditinggalkan atau hidup
paling lama ini baru diakui sebagai ahli
waris pada tahun 1935, sedangkan
sebelumnya suami/istri tidak saling
mewarisi.
b) Golongan 2 : Anggota keluarga garis
lurus keatas yaitu, ayah, ibu, saudara dan
keturunannya. Menurut Pasal 854 KUH
Perdata :
a. Ayah dan ibu masing-masing mendapat
1/3 bagian dari harta warisan jika hanya
terdapat 1 orang saudara pewaris.
b. Ayah dan ibu mendapat ¼ bagian dari
harta
peninggalan
jika
pewaris
meninggalkan lebih dari 1 orang saudara
laki-laki atau perempuan. Jika ibu atau
ayah sudah meninggal dunia, maka yang
hidup terlama menurut ketentuan Pasal
855 KUH Perdata akan memperoleh
bagian sebagai berikut :
1) 1/2 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersama
dengan saudaranya, baik laki-laki
atau perempuan.
2) 1/3 bagian dari seluruh harta
warisan, jika mewaris bersamasama dengan 2 orang saudara.
3) 1/4 bagian dari seluruh harta
warisan, jika ia mewaris bersamasama dengan 3 orang atau lebih
saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu pewaris sudah
tidak ada lagi maka harta peninggalan
dibagikan
kepada
saudara-saudara
pewaris, sebagai ahli waris golongan 2
baik saudara seayah maupun saudara
seibu.
c) Golongan 3 : Kakek, nenek dalam garis
lurus keatas dari pihak ayah dan ibu si
pewaris. Dalam hal ini, sebelum harta
warisan dibuka terlebih dahulu dibagi dua
(Kloving) yaitu 1/2 merupakan bagian
keluarga dari ayah pewaris dan 1/2 bagian
keluarga dari ibu pewaris. (Pasal 850 dan
Pasal 853 Ayat (1) KUH Perdata).
d) Golongan 4 : Garis menyamping (paman,
bibi, sepupu) sampai derajat ke 6.
Ahliwaris
menurut
surat
wasiat
(testamentair) yaitu siapa saja yang disebutkan
dalam testamenterdengan tidak mengurangi
kekecualian yang diatur dalam Pasal 895-912
KUH Perdata tentang kecakapan seseorang
untuk membuat wasiat atau untuk menikmati
keuntungan dari surat wasiat.
Jumlah ahli waris menurut wasiat tidak
tentu, karena ahli waris ini bergantung pada
kehendak si pembuat wasiat. Surat wasiat
seringkali berisi penunjukan seorang atau
beberapa orang ahli waris yang akan mendapat
seluruh atau sebagian dari warisan dan mereka
tetap akan memperoleh segala hak dan
kewajiban dari pewaris seperti halnya ahli
waris menurut undang-undang.
Seseorang yang akan menerima waris harus
memenuhi syarat-syarat, yaitu:
1. Harus ada yang meninggal dunia (Pasal 830
KUHPerdata).
2. Ahli waris atau para ahli waris harus ada
pada saat pewaris meninggal dunia.
3. Ahli waris harus cakap serta berhak
mewaris, dalam artian tidak dinyatakan
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
oleh undang-undang sebagai seseorang
yang tidak patut mewaris karena kematian
atau dianggap tidak cakap menjadi ahli
waris.
Di dalam Pasal 838 KUH Perdata
ditegaskan tentang orang yang dianggap tidak
patut menjadi ahli waris dan dikecualikan dari
pewarisan adalah :
1. Mereka yang telah dihukum karena
dipersalahkan telah membunuh, atau
mencoba membunuh si yang meninggal.
2. Mereka yang dengan putusan Hakim pernah
dipersalahkan karena secara fitnah telah
menunjukan pengaduan terhadap pada si
yang meninggal, ialah suatu pengaduan
telah melakukan sesuatu kejahatan yang
terancam dengan hukuman penjara 5 tahun
lamanya atau hukuman berat.
3. Mereka yang dengan kekerasan atau
perbuatan telah mencegah si yang
meninggal untuk membuat dan mencabut
surat wasiatnya.
4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak
atau memalsukan surat wasiat si yang
meninggal.
Ketidakpatutan ini menghalangi ahli waris
tersebut untuk menerima warisan. Hal ini
dimaksudkan untuk melindungi pewaris dan
keluarganya dari tindakan pihak lain (ahli
waris) yang tidak beritikad baik.
Dalam KUH Perdata, peralihan harta dari
orang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya tergantung pada kehendak dan
kerelaan ahli waris yang bersangkutan. Ahli
waris dimungkinkan untuk menolak warisan,
karena apabila ia menerima maka harus
menerima segala konsekuensinya, salah
satunya adalah melunasi seluruh hutang
pewaris.
E. Warisan Menurut KUH Perdata
Warisan menurut hukum waris Barat (KUH
Perdata) meliputi seluruh harta benda beserta
hak – hak dan kewajiban – kewajiban pewaris
dalam lapangan hukum harta kekayaan yang
dapat dinilai dengan uang, akan tetapi terhadap
ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian,
dimana hak – hak dan kewajiban – kewajiban
dalam lapangan hukum harta kekayaan ada
juga yang tidak dapat beralih kepada para ahli
waris, antara lain :
1. Hak memungut hasil (vruchtgebruik).
2. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan
yang harus dilakukan bersifat pribadi.
3. Perjanjian pengkongsian dagang, baik yang
berbentuk maatschap menurut BW maupun
Firma menurut WvK, sebab pengkongsian
ini berakhir dengan meninggalnya salah
seorang anggota / persero.
F. Pengertian Pengangkatan Anak
Di dalam Pasal 1 angka (9) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002, disebutkan :
“Anak angkat adalah anak yang haknya
dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung
jawab
atas
perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan”
Dari pengertian tersebut diatas dapat
dibedakan antara pengangkatan anak dengan
adopsi. Di dalam pengangkatan anak hubungan
antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya tidak putus sehingga ia mewaris
baik dari orang tua angkatnya maupun orang
tua kandungnya, sedangkan dalam adopsi
hubungan antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya putus sama
sekali sehingga ia hanya mewaris dari orang
tua angkatnya saja.
G
Pengangkatan Anak Menurut Hukum
Barat
Pengangkatan anak dalam Hukum Barat
(Perdata) hanya terjadi dengan akta Notaris,
tata cara pembuatannya adalah sebagai berikut
:
1. Para pihak datang menghadap Notaris
2. Boleh dikuasakan, tetapi untuk itu harus
didasarkan surat kuasa khusus yang
dibubuhi materai.
3. Pada
akta
dituangkan
pernyataan
persetujuan bersama antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat.
4. Akta tersebut disebut „akta adopsiā€Ÿ.
H. Pengertian Hibah Wasiat
Hibah wasiat adalah pernyataan kehendak
seseorang mengenai apa yang akan dilakukan
terhadap hartanya setelah ia meninggal dunia
kelak.
Pelaksanaan hibah wasiat ini baru
dilakukan setelah pewaris meninggal dunia.
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
Didalam praktik pelaksanaannya, hibah wasiat
harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu
agar pelaksanaannya tidak bertentangan
dengan ketentuan hukum waris dan tidak
merugikaan para ahli waris lain yang tidak
memperoleh pemberian melalui hibah wasiat.
Dalam kaitan ini pula hukum membatasi
kekuasaan seseorang untuk menentukan
kehendak terakhirnya melalui hibah wasiat
agar ia tidak mengesampingkan anak sebagai
ahli waris melalui hibah wasiat.
Hibah wasiat dapat dibuat oleh pewaris
sendiri atau dibuat secara notariil. Yang mana
Notaris khusus diundang untuk mendengarkan
ucapan terakhir itu dengan disaksikan oleh dua
orang saksi, dengan cara demikian maka hibah
wasiat memperoleh bentuk akta notaris dan
disebut wasiat atau testamen.
Dalam
Pasal
875
KUA
Perdata
menyebutkan pengertian tentang surat wasiat,
yaitu :
“Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta
yang memuat pernyataan seseorang tentang
apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah
ia meninggal dunia dan dapat dicabut
kembali”.
I. Pembatasan Dalam Hal Membuat Hibah
Wasiat
Menurut Hukum Barat (KUH Perdata)
pembatasan dalam hal membuat hibah wasiat
yaitu tentang besar kecilnya harta warisan
yang akan dibagi-bagikan kepada ahli waris
yang disebut “Ligitime Portie”, atau ”wettelijk
erfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh
Undang-Undang). Hal ini diatur dalam Pasal
913-929 KUH Perdata.
Ligitime Portie( bagian mutlak ) adalah
suatu bagian dari harta peninggalan atau
warisan yang harus diberikan kepada para
waris dalam garis lurus, terhadap bagain mana
si pewaris dilarang menetapkan sesuatu baik
yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah
wasiat. Begitulah bunyi pasal 913 KUH
Perdata.
Dalam garis lurus kebawah, apabila si
pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu
– satunya, maka bagian mutlak baginya itu
adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi
apabila tidak ada testamen maka anak satu –
satunya itu mendapat seluruh harta warisan,
jika ada testamen anak satu – satunya itu
dijamin akan mendapat setengah dari harta
peninggalan.
Apabila 2 ( dua ) orang anak yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah
masing – masing 2/3. Ini berarti bahwa mereka
itu dijamin bahwa masing – masing akan
mendapat 2/3 dari bagian yang akan
didapatnya seandainya tidak ada testamen.
Apabila 3 ( tiga ) anak atau lebih yang
ditinggalkan, maka bagian mutlak itu adalah
masing – masing ¾ . Ini berarti bahwa mereka
dijamin masing – masing akan mendapatkan ¾
dari bagian yang akan didapatnya seandainya
tidak ada testamen.
Dalam garis lurus keatas ( orang tua, kakek
dan seterusnya ) bagian mutlak itu selamanya
adalah setengah, yang menurut Undang –
undang menjadi bagian tiap – tiap mereka
dalam garis itu dalam pewarisan karena
kematian.
Perlu juga diperhatikan bahwa anak luar
kawin (anak angkat) yang telah diakui dijamin
dengan jaminan mutlak, yaitu setengah dari
bagian yang menurut Undang– undang harus
diperolehnya. Seandainya tidak ada keluarga
sedarah dalam garis lurus ke bawah dan ke atas
serta tidak ada anak luar kawin yang telah
diakui, maka hibah atau hibah wasiat boleh
meliputi seluruh harta peninggalan.
Apabila ketentuan – ketentuan mengenai
bagian mutlak seperti yang dijelaskan diatas
dilanggar, maka pewaris yang dijamin dengan
bagian mutlak itu dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan supaya hibah atau hibah
wasiat tersebut dikurangi, sehingga tidak
melanggar ketentuan Undang – Undang
khususnya KUH Perdata.
Jadi peraturan tentang bagian mutlak ini
pada hakekatnya merupakan pembatasan
terhadap kebebasan orang membuat testamen.
J. Cara Penghibahan Wasiat
Menurut Pasal 931 KUH Perdata,bahwa
dalam pembuatan wasiat atau hibah wasiat
dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Testamen Rahasia (geheim)
2. Testamen Umum
3. Testamen tertulis sendiri (olografis), yang
biasanya bersifat rahasia ataupun tidak
rahasia.
Dalam ketiga testamen ini dibutuhkan
campur tangan seorang notaris. Dalam
testamen olografis (Pasal 932 KUH Perdata)
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
ditetapkan bahwa testamen ini seluruhnya
ditulis dengan tangan dan ditandatangani
pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat
tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada
seorang notaris dan penyerahan kepada notaris
ini ada dua cara, yaitu bisa diserahkan dalam
keadaan terbuka bisa juga dalam keadan
tertutup. Kedua cara penyerahan dan
penyimpana pada notaris itu mempunyai akibat
hukum yang satu sama lain berbeda, yaitu:
1. Apabila surat wasiat diserahkan dalam
keadaan terbuka maka dibuatlah akta
notaris tentang penyerahan itu dan
ditandatangani oleh pewaris, saksi-saksi,
dan juga notaris. Akta penyimpanan
tersebut ditulis dikaki surat wasiat tersebut,
jika tidak ada tempat kosong pada kaki
surat wasiat tersebut, maka amanat ditulis
lagi pada sehelai kertas yang lain.
2. Apabila surat wasiat diserahkan kepada
notaris dalam keadaan tertutup, maka
pewaris harus menuliskan kembali pada
sampul dokumen itu bahwa surat tersebut
berisikan
wasiatnya
dan
harus
menandatangani keterangan itu dihadapan
notaris dan saksi-saksi. Setelah itu pewaris
harus membuat akta penyimpanan surat
wasiat pada kertas yang berbeda.
Dalam Pasal 932 Ayat 2 KUH Perdata
mengulas
tentang
kemungkinan
berhalangannya si peninggal warisan untuk
menandatangani sampul atau akta penerimaan
setelah
menulis
dan
menandatangani
testamennya. Jika hal ini terjadi maka notaris
wajib mencatat hal ini serta penyebab
berhalangnya ini.
Ditetapkan pada Pasal 933 KUH Perdata,
bahwa :
“kekuatan testamen olografis ini sebanding
dengan kekuatan testamen terbuka yang dibuat
dihadapan Notaris dan dianggap terbuat di
tanggal dari akta penerimaan oleh Notaris. Jadi
tidak dikesampingkan tentang tanggal yang
ditulis dalam testamennya sendiri”.
Pasal 933 Ayat 2 KUH Perdata berisi suatu
peraturan tentang keaslian dari testamen
tersebut apakah benar-benar ditulis dan
ditandatangani oleh si peninggal warisan, atau
di belakang hari terbukti palsu. Melalui pasal
tersebut dicegah terjadinya perselisihan di
hadapan hakim tentang pembagian tugas
membuktikan sesuatu hal.
Berdasarkan Pasal 934 KUH Perdata,
bahwa:
“si peninggal warisan bisa menarik kembali
testamenya”.
Biasanya hal ini dilaksanakan dengan cara
permintaan kembali tersebut harus dinyatakan
dalam suatu akta otentik (akta notaris). Dengan
menerima kembali testamen olosgrafis ini,
hibah warisan harus dianggap seolah-olah
ditarik kembali (herroepen), hal ini ditegaskan
oleh ayat 2 Pasal 934 KUH Perdata.
Sedangkan oleh Pasal 937 ditetapkan, jika
testamen olosgrafis ini diserahkan kepada
Notaris dengan cara tersebut pada suatu
sampul bersegel, maka Notaris tidaklah berhak
membuka segel tersebut. Jadi segel tersebut
boleh dibuka setelah si peninggal warisan
wafat, dengan cara menyerahkannya kepada
Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk
dibuka dan diselesaikan sebagaimana dengan
testamen rahasia (Pasal 942 KUH Perdata),
yakni dengan membuat proses verbal atas
pembukaan ini dan atas keadaan testamen yang
diketemukan, selanjutnya testamen tersebut
harus diserahkan kembali kepada notaris.
Testamen umumdiatur pada Pasal 938 KUH
Perdata menetapkan testamen umum wajib
dibuat dihadapan Notaris dengan mengajukan
dua orang saksi. selanjutnya orang yang
meninggalkan
warisan
mengutarakan
keinginannya
kepada
Notaris
dengan
secukupnya maka Notaris wajib mencatat
keterangan – keterangan ini dalam kalimat –
kalimat yang jelas. Hal itu tidak dapat
dilakukan dengan perantara orang lain, baik
anggota keluarganya maupun notaris yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 939 Ayat 2 KUH Perdata
menerangkan bahwa :
“Jika penuturan itu berlangsung diluar
hadirnya saksi-saksi, dan rencana surat wasiat
telah disiapkannya, makasebelum rencana
dibacakannya, simewariskan harus sekali lagi
menuturkan kehendaknya dihadapan saksisaksi”
Selanjutnya menurut Pasal 939 Ayat 3
KUH Perdata menerangkan bahwa:
“kemudian dengan dihadiri saksi-saksi, notaris
harus membacakan surat tadi, setelah mana
kepada si yang mewariskan harus ditanya,
apakah benar yang dibacakan tadi memuat
kehendaknya.”
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
Dalam pembuatan testamen umum, terdapat
beberapa orang yang tidak boleh menjadi saksi
yaitu:
1. Para ahli waris atau orang-orang yang
diberi hibah atau sanak saudara mereka
sampai derajat keempat.
2. Anak-anak, cucu-cucu, dan anak-anak
menantu,dan anak atau cucu Notaris.
3. Pelayan-pelayan Notaris.
Testamen Rahasia yaitu surat wasiat yang
ditulis sendiri atau orang lain yang disuruhnya
untuk
menulis
kehendak
terakhirnya.
Kemudian ia harus menandatangani surat
tersebut. Surat wasiat macam ini harus
disampul dan disegel, kemudian diserahkan
kepada notaris dengan dihadiri empat orang
saksi. Penutupan dan penyegelan dapat juga
dilakukan dihadapan notaris dan empat orang
saksi.
Selanjutnya
pembuat
wasiat
harusmembuat keterangan dihadapan notaris
dan saksi-saksi bahwa yang termuat dalam
sampul itu adalah surat wasiatnya yang ia tulis
sendiri atau ditulis orang lain dan ia
menandatangani. Kemudian notaris membuat
keterangan
yang
isinya
membenarkan
keterangan tersebut.
Pasal 940 Ayat 4
KUH Perdata
menetapkan bahwa:
“Tiap-tiap surat wasiat tertutup atau
menerimanya, diantaranya surat-surat asli yang
ada padanya.”
Pasal 941 Ayat 1 KUH Perdata
menjelaskan bahwa:
“Jika si yang mewariskan tidak dapat bicara,
namun dapat juga menulis, maka dalam hal
yang demikianpun bolehlah ia membuat surat
wasiat tertutup, asl surat tersebut ditulis,
ditanggali dan ditandatangani olehnya sendiri,
surat tadi kemudian harus ditunjukkan kepada
notaris dihadapan saksi-saksi, setelah itu
dihadapan saksi-saksi tersebut, diatas skta
pengalamatan surat harus ditulis dan
ditandatangani pula, bahwa kertas yang
ditunjukkannya memuat wasiatnya,akhirnya
notaris harus menulis akta pengalamatan surat
wasiat tadi dengan menerangkan didalamnya,
bahwa si yang mewariskan telah menulis surat
itu didepannya dan didepan saksi-saksi,pun
harus diperhatikan juga, apa yang telah
ditentukan dalam pasal yang lalu.”
Jika si penghibah wasiat meninggal dunia,
maka yang berkewajiban memberitahukan
kepada mereka yang berkepentingan adalah
Notaris, hal ini berdasarkan Pasal 943 KUH
Perdata menjelaskan bahwa:
“Tiap-tiap notaris yang menyimpan surat-surat
wasiat diantara surat-surat aslinya, biar dalam
bentuk apapun juga, harus setelahsi yang
mewariskan
meninggal
dunia,
memberitahukannya kepada semua yang
berkepentingan.”
4. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian
yang
telah
dikemukakan diatas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Anak angkat mempunyai kedudukan
sebagai anak sendiri (kandung) dari orang
tua angkatnya sebagaimana anak yang lahir
dari perkawinan orang tua angkatnya.
Demikian juga anak angkat menjadi ahli
waris dari orang tua angkatnya tetapi anak
angkat tersebut hanya menjadi ahli waris
dari bagian yang tidak diwasiatkan. Karena
ketentuan ini, maka anak angkat tidak
mempunyai bagian yang ditentukan.
2. Hak mewaris anak angkat tidak diatur
didalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, namun demikian khusus bagi
Warga Negara Indonesia keturunan
Tionghoa, kedudukan anak angkat adalah
sama dengan anak sah. Untuk itu ia berhak
mewaris harta warisan orang tua angkatnya
menurut Undang-undang atau mewaris
berdasarkan hukum waris Testamentair
apabila ia mendapatkan testament (Hibah
Wasiat).
B. Saran
Adapun
saran-saran
yang
penulis
kemukakan adalah sebagai berikut :
1. Staatsblad 1917 nomor 129 tentang
pengangkatan anak sudah tidak sesuai
dengan perkembangan yang terjadi di
dalam masyarakat. Karena itu UndangUndang
dan
Peraturan-peraturan
Pemerintah yang mengatur pengangkatan
anak sangat dibutuhkan agar tidak adanya
perbedaan dalam pengangkatan anak, baik
bagi Warga Negara Indonesia Keturunan
maupun Warga Negara Indonesia Asli,
serta bagi anak yang diangkat tidak hanya
pada anak laki-laki saja, tetapi juga bagi
anak perempuan. Dan juga diperlukan
adanya Undang-undang nasional tentang
hukum waris sehingga adanya kesamaan
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
dalam pembagian hak waris baik bagi anak
sah maupun anak angkat yang dapat
dijadikan pedoman dalam penyelesaian
sengketa waris.
2. Supaya masyarakat yang mampu secara
sosial dan ekonomi, serta mampu
mengemban amanah untuk tergerak hatinya
membantu anak-anak yang miskin, terlantar
dan kurang mampu yang sangat
membutuhkan bantuan, kasih sayang dan
belas kasihan dengan jalan mengangkat
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Djaja S. Meliala. 1982. Pengangkatan Anak
(Adopsi) di Indonesia. Bandung.
Tarsito.
Eman Suparman. 2011. Hukum Waris
Indonesia-Dalam Perspektif Islam, Adat,
dan BW. Bandung. Refika Aditama.
Subekti, S.H. 1990. Ringkasan Tentang
Hukum Keluarga dan Hukum Waris..
Jakarta. Intermasa.
Peraturan Perundang – Undangan :
- Kitab Undang-Undang Hukum perdata
- Staatblad 1917 Nomor 129
- Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
- Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak.
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pengangkatan Anak
Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora |
Download