identifikasi dan rekonstruksi fasies gunung merapi

advertisement
IDENTIFIKASI DAN REKONSTRUKSI FASIES GUNUNG MERAPI
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
IDENTIFICATION AND RECONSTRUCTION
OF THE PROVINCE YOGYAKARTA OF MOUNTAIN MERAPI FACIES
Muhammad Adam, Ulva Ria Irfan, Irzal Nur
Jurusan Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi:
Jalan Toddopuli VII Stp 3 No.69 Makassar
Muhammad Adam
HP: 0813 4242 9074
Email: [email protected]
ABSTRAK
Material hasil letusan gunungapi merupakan informasi yang sangat berharga untuk mengetahui fasies dan urutan
proses kejadian gunungapi. Penelitian ini bertujuan mengindentifikasi dan merekonstruksi fasies Gunung
Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah pendekatan yang
mengkombinasikan antara penelitian kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode
induktif, dengan memadukan hasil-hasil kajian pustaka, penelitian terdahulu, data lapangan, serta hasil-hasil
penelitian laboratorium, yang keseluruhannya dikaji, dianalisis, dan disintesis secara komprehensif untuk
mendefinisikan kesimpulan tentang fasies Gunung Merapi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa fasies Gunung Merapi terbagi atas 4 fasies, yaitu fasies sentral, fasies proksimal,
fasies medial, dan fasies distal. Pada zona sentral, sebagian penciri utama fasies sentral dijumpai, seperti
topografi yang terjal yang mengindikasikan zona kubah lava, basal porfiri yang diinterpretasi sebagai anggota
batuan intrusi dangkal, serta orientasi kedudukan perlapisan batuan yang mencirikan struktur vulkanik; fasies ini
berjarak 1 km dari pusat erupsi. Fasies proksimal dicirikan dengan breksi vulkanik, tufa dan lahar, topografi
yang terjal, dip perlapisan 30°-35°, dan struktur vulkanik; berjarak 6 km dari batas selatan fasies sentral. Fasies
medial dicirikan dengan lapili dan tufa kasar, topografi pedataran bergelombang, dip perlapisan 15°-20°, dan
struktur vulkanik; berjarak 16,86 km dari batas selatan fasies proksimal. Fasies distal dicirikan dengan tufa
halus, tufa kasar, lava basal, breksi vulkanik, dan batugamping kristalin, topografi relatif datar, dip perlapisan
5°-10°, dan intensifnya struktur tektonik; berjarak 20,56 km dari batas selatan fasies medial.
Kata kunci: identifikasi, rekonstruksi, fasies volkanik, Gunung Merapi
ABSTRACT
Results of volcanic materials were the important information to known facies and series itself. The objectives of
this study are to identify and reconstruct volcanic facies of the Merapi Volcanic (Gunung Merapi) in the Special
Province of Yogyakarta. Methods applied is an approach that combines qualitative and quantitative research.
This is an inductive method which covers literature review, previous studies, field data, and laboratory work
results, which were comprehensively reviewed, analyzed, and synthesized to define a conclusion about volcanic
facies of Gunung Merapi in the Special Province of Yogyakarta. The study indicates that volcanic facies of
Gunung Merapi can be divided in four facieses, namely central facies, proximal facies, medial facies, and distal
fasies. In the central zone, some of typical characteristics of central facies were identified, such as steeply
topography which is indicates a lava dome, pophyritic basalt which were interpreted as a member of hypabisal
intrusion, and orientations of the volcanic rocks which indicate a volcanic-related structure; this facies entends
about 1 km from the eruption centre. Proximal facies is characterized by volcanic breccia, tuff and lahar,
steeply topography, dip range of 30°-35°, and indication of volcanic-related structure; extends about 6 km from
south end of the central facies. Medial facies is characterized by lapilli and coarse-grained tuff, topografi
pedataran bergelombang wavy flat topography, dip range of 15°-20°, and volcanic-related structure; extends
about 16,86 km from south end of the proximal facies. Distal facies is characterized by fine-grained tuff,
coarse-grained tuff, basalt lava, volcanic breccia, and crystalline limestone, nearly-flat topography, dip range
of 5°-10°, and an intensity of tectonic-related structure; extends about 20,56 km from south end of the medial
facies.
Keywords: identification, reconstruction, volcanic facies, mountain of Merapi
PENDAHULUAN
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Indonesia yang tersusun oleh sebagian
besar batuannya dari hasil erupsi Gunungapi. Salah satu Gunungapi yang paling aktif di
Indonesia adalah Gunung Merapi di Yogyakarta. Meletusnya Gunung Merapi pada tahun
2010, menjadi berita di seluruh dunia baik melalui media massa maupun media cetak.
Letusan ini merupakan terbesar dalam dekade ini dan menelan korban nyawa dan harta yang
sangat besar, pasca meletusnya Gunung Merapi tentu banyak perubahan yang terjadi baik
dari aspek geologi, manfaat maupun kerugian yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Merapi.
Namun perubahan dari aspek geologi khususnya perubahan fasies menjadi salah satu aspek
perubahan yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami dalam pengembangan ilmu
pengetahuan tentang kegunungapian.
Schieferdecker (1959), mendefinisikan gunungapi (volcano) adalah “a place at the
surface of the earth where magmatic material from the depth erupts or has erupted in the
past, usually forming a mountain, more or less conical in shape with a craterin the top”
(sebuah tempat di permukaan bumi dimana bahan magma dari dalam bumi keluar atau sudah
keluar pada masa lampau, biasanya membentuk suatu gunung, kurang lebih berbentuk
kerucut yang mempunyai kawah di bagian puncaknya).
Menurut (Martodjojo dkk., 1996), di dalam Sandi Stratigrafi Indonesia, fasies adalah
aspek fisika, kimia, atau biologi suatu endapan dalam kesamaan waktu. Selanjutnya tentang
fasies dijelaskan dalam Sandi Stratigrafi Indonesia tahun 1996.
Menurut Bronto (2006), bahwa fasies Gunung Merapi
dapat diidentifikasi
berdasarkan bentuk bentang alam dan asosiasi batuan penyusun, suatu kerucut gunungapi
komposit dapat dibagi menjadi fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial, dan fasies
distal. Pembagian bentang alam tersebut dimulai dari pusat erupsi di bagian puncak, menurun
ke arah lereng, kaki, serta dataran di sekelilingnya. Fasies sentral gunungapi dicirikan oleh
asosiasi batuan beku intrusi dangkal, kubah lava, dan batuan ubahan hidrotermal. Fasies
proksimal tersusun oleh perselingan aliran lava dan breksi piroklastika. Fasies medial
terutama berupa breksi piroklastika, breksi lahar, dan konglomerat, sedangkan fasies distal
lebih banyak disusun oleh batuan epiklastika berukuran butir pasir-lempung. Tufa dapat
tersebar mulai dari fasies proksimal sampai distal karena berbutir halus dan ringan. Menurut
(Berthommier,1990) satuan vulkanik Merapi muda terbentuk atas breksi laharik. Satuan
vulkanik Merapi muda terbentuk setelah terjadi pengendapan satuan vulkanik merapi tua,
tersusun atas breksi laharik. Satuan vulkanik Merapi terbaru merupakan endapan termuda,
satuan ini terdiri dari material-material gunungapi lepas yang tersusun dari campuran dari
campuran abu, pasir, dan fragmen-fragmen andesit berukuran kerikil hingga bongkah dengan
penyusun utama berupa abu dan pasir gunungapi, berasal dari hasil kegiatan Gunung Merapi
yang paling akhir ditambah hasil erosi dari batuan-batuan yang dilalui lahar hujan. Perpaduan
data topografi, ciri litologi dan struktur geologi sebagai dasar dalam melakukan rekonstruksi
fasies Gunung Merapi, dimana mengacu pada rekonstruksi fasies Gunungapi yang
dikembangkan oleh Bogie dkk., (1998).
Pasca terjadinya letusan Gunung Merapi pada tahun 2010, penelitian tentang
kegunungapian khususnya fasies Gunung Merapi masih sangat minim lagi dilakukan secara
detail langsung di lapangan oleh para ahli geologi, padahal perubahan fisik vulkanik sangat
tinggi dan signifikan perubahannya termasuk perubahan jenis dan penyebaran fasies
pengendapan material debu vulkanik hasil erupsi dari Gunung Merapi yang tersebar di
wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1). Di sisi lain, fasies Gunung
Merapi juga dapat membantu pemerintah dan instansi terkait dalam menata lingkungan dan
mitigasi letusan Gunung Merapi di masa datang, dari berbagai permasalahan sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, melatarbelakangi penulis termotivasi dan berkeinginan untuk
melakukan penelitian tentang fasies Gunung Merapi yang berjudul “Identifikasi dan
Rekonstruksi Fasies Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Tujuan dari
penelitian ini adalah mengindentifikasi dan merekonstruksi fasies Gunung Merapi Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang mengkombinasikan antara penelitian
kualitatif dan kuantitatif. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode induktif, dengan
memadukan hasil-hasil kajian pustaka, penelitian terdahulu, data lapangan, serta hasil-hasil
penelitian laboratorium yang keseluruhannya dikaji, dianalisis, dan disintesis secara
komprehensif untuk mendefinisikan kesimpulan tentang identifikasi dan rekonstruksi fasies
Gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Metode Analisis Data
Metode analisis merupakan cara pengolahan data yang dilakukan untuk penentuan
fasies Gunung Merapi. Analisis dilakukan dengan cara, yaitu: (1) Analisis indraja merupakan
suatu metoda analisis yang menggunakan kenampakan morfologi Gunung Merapi melalui
peta citra satelit. (2) Analisis struktur geologi yaitu melakukan analisis jurus dan kemiringan
batuan yang ada di lapangan, dan (3) Analisis petrografis yaitu analisis sampel batuan dengan
menggunakan mikroskop polarisasi untuk mengetahui komposisi dan sifat mineral secara
mikroskopis dengan sayatan tipis.
HASIL
Berdasarkan data di lapangan, lokasi penelitian dapat didentifikasi dengan 3
parameter yaitu morfologi, ciri litologi dan struktur geologi. Secara morfologi lokasi
penelitian terdiri dari satuan morfologi puncak Gunung Merapi dengan ketinggian antara
2000-2848 meter dari permukaan laut. satuan ini membentuk lembah-lembah sempit
berbentuk “V” yang menunjukkan bahwa daerah ini berstadia muda dengan tingkat erosi
yang relatif vertikal, pola penyaluran radial, pada umumnya lahannya tidak dimanfaatkan
oleh penduduk karena sulit dan berbahaya untuk menjangkau puncak karena dapat menelan
korban jiwa setiap saat.
Satuan morfologi tubuh Gunung Merapi memiliki ketinggian 750-2000 mdpl, pola
penyaluran yang berkembang adalah subparallel yang airnya dipasok dari air tanah bebas dan
merupakan daerah resapan air tanah (recharge area), satuan morfologi ini umumnya
digunakan sebagai kawasan wisata, lahan perkebunan tebu, salak dan sebagian kayu hutan
yang dapat menahan dan meminimalisasi longsoran bahan rombakan material Merapi saat
letusan Gunung Merapi terjadi.
Satuan morfologi kaki Gunung Merapi ketinggian 250-750 mdpl, satuan ini memiliki
pola penyaluran subdendritik yang mengalir di atas satuan vulkanik Merapi muda. Sungaisungai yang ada berfungsi sebagai jalur pengangkutan material hasil erupsi seperti lahar.
Satuan morfologi ini selain sebagai persawahan dan pemukiman penduduk, morfologi ini
yang paling subur karena hampir semua jenis tumbuhan dapat tumbuh subur khususnya
kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Satuan morfologi pedataran Gunung Merapi ketinggian 50-150 mdpl, satuan ini
memiliki pola penyaluran subdendritik yang mengalir di atas satuan vulkanik Merapi muda.
Sungai-sungai yang ada berfungsi sebagai jalur saluran irigasi yang sudah di beton di tengah
pemukiman. Morfologi ini sebagian besar sudah dijadikan sebagai pemukiman penduduk.
perkantoran, industri serta lahan sawah dan kebun.
Lokasi penelitian tersusun oleh batuan berupa breksi tuff dan endapan vulkanik
merapi tua berupa aliran lava andesitic dan basaltic. Batuan ini dapat ditemukan di bagian
utara atau morfologi puncak Gunung Merapi. Batuan breksi vulkanik, tufa halus dan lahar
terdapat pada morfologi tubuh Gunung Merapi di daerah Cangkringan, Kinahrejo Bebeng,
Sidorejo dan Turgotegal dan Kali Kuning Breksi vulkanik ini menyebar dari arah utara ke
selatan yang meliputi daerah Bebeng, Kinahrejo, Sidorejo dan Turgotegal (Gambar 2a).
Hasil analisis petrografis pada fragmen breksi vulkanik, memiliki warna kecoklatan,
ukuran mineral 0,1-2,2 mm, warna interferensi abu-abu kehitaman, tekstur kristalinitas
hipokristalin,
granularitas
porfiroafanitik,
bentuk
mineral
subhedral-anhedral,relasi
inequigranular,dengan komposisi mineral berupa piroksin, olivin, plagioklas, dan massa dasar
afanitik, struktur vesikuler, nama batuan yaitu basal porfiri.
Tufa halus tersingkap di atas breksi vulkanik, kenampakan fisik tufa halus memiliki
warna segar coklat, warna lapuk coklat, komposisi mineral yaitu kuarsa dan feldsfar. Tufa
halus ini tersebar dari arah utara ke selatan, meliputi Kinahrejo dan Bebeng yang terletak di
lereng selatan Gunung Merapi. Pada singkapan breksi vulkanik dan tufa halus, terdapat lahar
sebagai bahan rombakan dari pusat erupsi Gunung Merapi yang terbawa air melalui Kali
Kuning, Kali Gendol, Kali Degong, Kali Jurangtrito, Kali Ledokeliling dan Kali Bebeng,
kenampakan fisik lahar warna segar hitam, warna lapuk abu-abu kehitaman, ukuran material
berangkal sampai pasir. Pada fasies medial terdapat singkapan batuan berupa perselingan
lapili dan tufa kasar pada daerah Pakem di Kali Boyong, kenampakan batuan Lapili warna
segar hitam kecoklatan, warna lapuk hitam kecoklatan dan tekstur piroklastik kasar, struktur
berlapis (N50°E/25°), ukuran butir 4-32 mm, komposisi mineral ortoklas, plagioklas, dan
biotit, nama batuan Lapili. Kenampakan Tufa kasar warna segar hitam kecoklatan, warna
lapuk hitam kecoklatan, tekstur piroklastik, struktur berlapis (N50°E/25°), ukuran butir 1-4
mm, komposisi mineral ortoklas, kuarsa, dan biotit, nama batuan Tufa Kasar. Lapili dan tufa
kasar menyebar dari arah utara ke arah selatan barat daya, meliputi Hargobinangun, Pakem,
Kepuharjo, Umbulmatani, Cangkringan, Ngaglik, Candibangun, Sukoharjo dan Ngemplak
(Gambar 2b).
Fragmen pada Lapili memiliki warna kecoklatan, ukuran mineral 0,1-1,1 mm, warna
interferensi abu-abu kehitaman, tekstur kristalinitas hipokristalin, granularitas porfiroafanitik,
bentuk mineral subbhedral-anhedral, relasi inequigranular, dengan komposisi mineral berupa
piroksin, olivin, plagioklas, hornblende, pada massa dasar afanitik, struktur vesikuler, nama
batuan basal.
Kenampakan petrografis Tufa Kasar memiliki warna absorbsi orange dengan warna
interferensi abu-abu kehitaman, tekstur piroklastik halus, ukuran butir material penyusun
batuan yakni <0,02 mm - 1,8 mm, dengan bentuk mineral angular-subangular, kemas
tertutup dengan sortasi baik, terdiri atas mineral plagioklas (labradorit), piroksin (diopsid),
kuarsa, muscovit, mineral opak dan gelas vulkanik, nama batuan Lithic Tuff. Fasies distal
didominasi adanya perselingan Tufa Kasar dan Tufa Halus, pada batuan Tufa Kasar memiliki
ciri fisik warna segar abu-abu kecoklatan, warna lapuk hitam ukuran butir pasir (2-1/16 mm),
tekstur piroklastik kasar dan struktur berlapis (N120°E/18°). Sedangkan Tufa Halus memiliki
ciri fisik warna segar abu-abu kecoklatan, warna lapuk hitam ukuran butir lempung (< 256
mm), tekstur piroklastik halus dan struktur berlapis (N120°E/18°), memiliki struktur khusus
berupa interbedded dan ripple mark (Gambar 2c). Kenampakan tufa secara petrografis
memiliki warna absorbsi orange dengan warna interferensi abu-abu kehitaman, tekstur
piroklastik halus, ukuran butir material penyusun batuan yakni <0,02 mm-1,2 mm, dengan
bentuk mineral angular-subangular, kemas tertutup dengan sortasi baik, terdiri atas mineral
plagioklas (labradorit), piroksin (hyperstein), kuarsa, biotit, mineral opak dan gelas vulkanik,
nama batuan Crystal Tuff (Gambar 3a). Fasies distal ini berakhir pada ditemukan batuan
sedimen laut berupa batugamping, dimana batugamping ini porinya sebagian besar sudah
terisi oleh debu vulkanik dari hasil erupsi gunung Merapi, tersingkap lava basal berstruktur
bantal dan breksi vulkanik (Gambar 3b).
Secara petrografis memiliki warna absorbsi orange kekuningan dengan warna
interferensi coklat kehijauan, tekstur nonklastik, struktur sekunder stylolite, ukuran butir
material penyusun batuan yakni < 0,02 mm hingga 1,3 mm, bentuk mineral subroundedsubangular, Sortasi baik dengan kemas tertutup, tersusun atas grain berupa mineral kalsit dan
dolomit serta skeletal grain yaitu ganggang, mikrit, sparit dan pori yang terisi oleh gelas
vulkanik (Gambar 3c). Lava basal tersingkap di kali Opak daerah Watuadeg secara
megaskopis, lava basal memiliki warna segar abu-abu hitam, warna lapuk abu-abu
kecoklatan, kristalinitas holokristalin, granularitas porfiritik, bentuk subhedral-anhedral,
relasi inequigranular, struktur massive dan komposisi mineral plagioklas, piroksin dan
hornblende.
Struktur geologi daerah penelitian didominasi oleh struktur vulkanik yang mengarah
ke arah baratdaya dengan dip perlapisan 5°-34°. Sedangkan struktur geologi dengan dip
perlapisan 0°-27°, jenis strukturnya berupa kekar dan perlipatan terdapat di morfologi
pedataran yang mendominasi bagian selatan lokasi penelitian.
Perpaduan data topografi, ciri litologi dan struktur geologi, dilakukan rekonstruksi
fasies Gunung Merapi yang mengacu pada rekonstruksi fasies Gunungapi, maka daerah
penelitian terdiri dari 4 fasies yaitu fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial dan fasies
distal (Gambar 4).
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa fasies gunung Merapi Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta terdiri atas dari 4 fasies yaitu fasies sentral, fasies proksimal, fasies medial dan
fasies distal. Penentuan fasies ini dilakukan dengan mengidentifikasi fasies gunung Merapi
didasarkan pada kesamaan sifat fisik yaitu morfologi, ciri litologi dan struktur geologi,
Fenomena letusan gunung Merapi yang sulit untuk diamati langsung khususnya pada
daerah pusat erupsi Gunung Merapi karena dapat membahayakan jiwa dan sulitnya medan
untuk mencapai puncaknya tidak memungkinkan untuk dilakukan pengamatan dan
pengambilan sampel. Oleh karena itu, hanya dapat dilakukan pengamatan dan analisis fasies
Gunung Merapi berdasarkan indraja dan geomorfologi, pengamatan dan analisis ini
dilakukan melalui peta citra satelit dan interpretasi topografi berupa relief (beda tinggi)
(Zuidam, 1985).
Berdasarkan identifikasi melalui indraja dan geomorfologi berupa relief yang
didukung dengan hasil penelitian terdahulu, maka daerah penelitian terdiri dari 4 fasies yaitu:
(1) Fasies sentral diidentifikasi terletak pada puncak Gunung Merapi dengan ketinggian
antara 2000-2848 meter dari permukaan laut, di mana penyusun fasies sentral terdiri atas
asosiasi batuan beku intrusi dangkal, kubah lava dan batuan ubahan hidrotermal (Bronto,
2006). (2) Fasies Proksimal diidentifikasi terletak pada lereng bagian selatan dari pusat erupsi
Gunung Merapi dengan ketinggian antara 750-2000 meter dari permukaan laut. Pola
pengaliran yang berkembang adalah subparallel yang airnya dipasok dari air tanah bebas dan
merupakan daerah resapan air tanah (recharge area). (3) Fasies Medial diidentifikasi terletak
pada lereng sebelah selatan pusat Gunung Merapi dengan ketinggian antara 150-750 meter
dari permukaan laut, pola penyaluran subdendritik yang mengalir di atas satuan vulkanik
Merapi muda. Sungai-sungai yang ada berfungsi sebagai jalur pengangkutan material hasil
erupsi, dan (4) Fasies Distal diidentifikasi terletak pada pedataran sebelah selatan pusat
Gunung Merapi dengan ketinggian antara 50-250 meter dari permukaan laut, pola penyaluran
subdendritik yang mengalir di atas satuan vulkanik Merapi muda. Sungai-sungai yang ada
berfungsi sebagai tempat mengendapan material vulkanik.
Fasies sentral merupakan bukaan keluarnya magma dari dalam bumi ke permukaan.
Oleh sebab itu daerah ini dicirikan oleh asosiasi batuan beku yang berupa kubah lava dan
berbagai macam batuan terobosan semi gunung api (subvolcanic intrusions) seperti halnya
leher gunung api (volcanic necks), sill, retas, dan kubah bawah permukaan (cryptodomes).
Batuan terobosan dangkal tersebut dapat ditemukan pada dinding kawah atau kaldera
gunungapi masa kini, atau pada gunungapi purba yang sudah tererosi lanjut. Selain itu,
karena daerah bukaan mulai dari conduit atau diatrema sampai dengan kawah merupakan
lokasi terbentuknya fluida hidrotermal, maka hal itu mengakibatkan terbentuknya batuan
ubahan atau bahkan mineralisasi. Apabila erosi di fasies sentral ini sangat lanjut, batuan tua
yang mendasari batuan gunungapi juga dapat tersingkap (Bronto, 2006). Pada fasies
proksimal ditemukan pecahan basal porfiri (Travis,1955), mengindikasikan keterdapatan
batuan beku intrusif dangkal pada fasies sentral. Fasies proksimal merupakan kawasan
gunung Merapi yang paling dekat dengan lokasi sumber atau fasies pusat. Asosiasi batuan
pada kerucut gunungapi komposit sangat didominasi oleh breksi vulkanik, kenampakan fisik
breksi vulkanik ini memiliki warna segar hitam keabu-abuan, warna lapuk kecoklatan, sortasi
buruk, tekstur piroklastik kasar, struktur tidak berlapis, komposisi material yaitu rock
fragmen berupa basal dan andesit ( >256 mm) matrix dan semen.
Lava basal tersingkap di kali Opak daerah Watuadeg secara megaskopis, lava basal
memiliki warna segar abu-abu hitam, warna lapuk abu-abu kecoklatan, kristalinitas
holokristalin, granularitas porfiritik, bentuk subhedral-anhedral, relasi inequigranular,
struktur massive dan komposisi mineral plagioklas, piroksin dan hornblende (Bronto dkk.,
2008).
Secara umum hasil analisis petrografis pada sampel batuan fragmen breksi vulkanik,
lapili, tufa kasar, tufa halus, lava basal dan batugamping menunjukkan bahwa daerah
penelitian konsisten dengan komposisi batuan Gunung Merapi yaitu basaltik-andesitik
(Bemmelen, 1949).
Secara vulkanologi fisik daerah penelitian, mulai dari fasies proksimal sampai fasies
distal dapat dirunut perubahan secara bertahap mengenai tekstur dan struktur sedimennya.
Tekstur batuan klastik Gunung Merapi menyangkut bentuk butir, ukuran butir, dan kemas.
Karena efek abrasi selama proses transportasi, maka dari fasies proksimal ke fasies distal
bentuk butir berubah mulai dari sangat meruncing-meruncing sampai membundar-sangat
membundar. Ukuran butir juga berubah dari fraksi sangat kasar-kasar, sedang sampai dengan
halus-sangat halus. Hubungan antara butir fraksi kasar di daerah fasies proksimal pada
umumnya membentuk kemas terbuka, tetapi kemudian berubah menjadi kemas tertutup di
fasies medial sampai distal. struktur sedimen, seperti struktur ripple mark dan interbedded.
Sifat vulkanik batuan Lapili memiliki warna segar hitam, warna lapuk abu-abu
kecoklatan, tekstur piroklastik kasar, komposisi material matriks dan rock fragmen, ukuran
butir 2-1/16 mm. Singkapan pada Kali Oyo didominasi oleh tufa halus sebagai menyusun
fasies distal, kenampakan di lapangan memiliki warna segar coklat, warna lapuk coklat,
tekstur piroklastik halus,komposisi material kuarsa, feldsfar dan ash, ukuran butiran <
256mm (Pettijohn,1975).
Dari hasil pengamatan unsur-unsur struktur geologi di lapangan,maka kondisi struktur
geologi daerah penelitian, konsisten dengan ciri-ciri setiap fasies, seperti litologi dan
topografi, di mana kemiringan batuan secara berurutan dari fasies sentral, fasies proksimal,
fasies medial dan fasies distal semakin landai. Dari gambar terlihat bahwa perubahan
kemiringan batuan dari curam ke landai searah dengan perubahan topografi dari tinggi ke
rendah, perubahan kemiringan batuan ini terjadi karena konsistennya struktur vulkanik di
daerah penelitian.
Struktur Geologi di fasies distal yang terbentuk awal dari struktur vulkanik, telah
mengalami gangguan dari struktur tektonik, hal ini dapat dilihat dengan adanya struktur
minor yang ditemukan di lapangan seperti kekar berupa shear joint dan tension joint serta
perlipatan berupa antiklin dengan sumbu asymetri, sumbu antiklin mengarah ke arah selatan
baratlaut.
Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa fasies sentral yang dicirikan dengan asosiasi
batuan beku intrusi dangkal, kubah lava dan batuan ubahan hidrotermal, topografi terjal, dip
perlapisan besar dan didominasi oleh struktur vulkanik, fasies sentral berjarak 1 km dari pusat
erupsi Gunung Merapi. Fasies proksimal dicirikan dengan breksi vulkanik, tufa dan lahar,
topografi terjal, dip perlapisan 30°-34°, dan didominasi oleh struktur vulkanik, berjarak 6 km
dari batas selatan fasies sentral. Fasies medial dicirikan dengan lapili dan tufa kasar dip
perlapisan 5°-20°, topografi pedataran bergelombang dan didominasi oleh struktur vulkanik,
berjarak 16,86 km dari batas selatan fasies proksimal. Fasies distal dicirikan dengan tufa
halus, tufa kasar, lava basal dan batugamping kristalin, dip perlapisan 0°-27°, topografi relatif
datar dan terganggu oleh struktur tektonik, berjarak 20,56 km dari batas selatan fasies medial.
KESIMPULAN DAN SARAN
Fasies Gunung Merapi diidentifikasi atas 4 fasies, yaitu fasies sentral, fasies proksimal, fasiel
medial dan fasies distal. Hasil rekonstruksi menunjukkan komposisi masing-masing fasies
yaitu fasies sentral yang dicirikan dengan asosiasi batuan beku intrusi dangkal, kubah lava
dan batuan ubahan hidrotermal, topografi terjal, dip perlapisan besar dan didominasi oleh
struktur vulkanik, fasies sentral berjarak 1 km dari pusat erupsi Gunung Merapi, fasies
proksimal dicirikan dengan breksi vulkanik, tufa dan lahar, topografi terjal, dip perlapisan
30°-34°, dan struktur vulkanik, berjarak 6 km dari batas selatan fasies sentral, fasies medial
dicirikan dengan lapili dan tufa kasar dip perlapisan 5°-20°, topografi pedataran
bergelombang dan struktur vulkanik, berjarak 16,86 km dari batas selatan fasies proksimal.
dan fasies distal dicirikan dengan tufa halus, tufa kasar, lava basal, breksi vulkanik dan
batugamping, dip perlapisan 0°-27°, topografi relatif datar dan struktur tektonik, berjarak
20,56 km dari batas selatan fasies medial. Disarankan untuk penelitian lebih lanjut tentang
fasies Gunung Merapi secara radial dari semua arah hasil erupsi Gunung Merapi agar
rekonstruksi fasies Gunung Merapi lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, R.W.V (1949). The Geology of Indonesia, Vol.1A Government Printing
Office, The Hauge, Amsterdam.
Berthommier, P.C. (1990). Etude volcanologique du Merapi (Central-Java):
Tephrostratigraphie et chronologie-produit eruptifs, thesis doktoral, Universitas
Blaise-Pascal, Clermont Ferrand.France.
Bogie, I. and Mackenzie, K.M. (1998). The application of a volcanic facies models to
an andesitic stratovolcano hosted geothermal system at Workshop. h.265-276.
Bronto, S. (2006). Fasies gunung api dan aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1
No.2 Juni 2006: 59-71.
Bronto, S., Mulyanigsih, S., Hartono, G., dan Astuti, B., (2008). Gunungapi purba
Watuadeg: Sumber Erupsi dan Posisi Stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 2
No. 3 September 2008: 117-128.
Martodjojo, S. dan Djuhaeni. (1996). Sandi Stratigrafi Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi
Indonesia IAGI, Jakarta, 25h.
Pettijohn, F. (1975). Sedimentary Rocks, second edition, Oxford dan IBH Publishing Co.,
Calcuta-New Delhi.
Schieferdecker, A.A.G. (Ed.), (1959). Geological
Nomenclature. Royal Geol. And
Minings Soc. Of the
Netherlands, J.Noorduijn en
Zoon N.V.,Gorinchem,
523h.
Thornburry, W. D. (1954). Principles of Geomorphology,John Willey & Sons, Inc, New
York.
Travis, R.B. (1995). Classification of Rock, The Colorado School of Mines, Golden
Colorado, USA, p.1-12.
Zuidam, R.A.V (1985). Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and
Geomorphologic Mapping, Smith Publisher-The Hague, Enschede, Netherlands.
Download