[ Pustaka NU Online ] LKiS Bekerjasama dengan Penerbit Pustaka Pelajar METAMORFOSIS NU DAN POLITISASI ISLAM DI INDONESIA Daftar Isi www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt METAMORFOSIS NU DAN POLITISASI ISLAM INDONESIA Copyright 1995 A. Gaffar Karim PENERBIT Pustaka Pelajar Bekerjasama dengan LKiS Yogvakarta A. Gaffar Karim CETAKAN September 1995 ada yang sedang meninggalkan pakaianmu satu demi satu, RANCANGAN SAMPUL Haitamy el-Jaid mendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmu bertanya, SAMPUL BELAKANG Dikutip dari Sapardi Joko Damono Hujan Bulan Juni Grasindo, 1994 "tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?" ada yang sedang daim-diam menulis riwayat hidupmu, menimbang-nimbang hari lahirmu, SETTING/LAYOUT Anef mereka-reka sebab-sebab kematianmu. ada yang sedang diam-diam berobah jadi dirimu DICETAK Pustaka Pelajar Offset Glagah UK IV/343 Copyrigth 0274-564306 Yogyakarta (sapardi djoko damono, METAMORFOSIS, 1981) Dterbitkan oleh: 1 2 Pengantar • Page 2 Iftitah Bab V Implementasi Khittah: Dinamika Eksternal Bab I Pendahuluan • • • • • • • Page 1 Page 2 Page 3 Page 4 Page 5 Page 1 Page 2 Bab VI Prospek NU • • Bab II Page 1 Page 2 Wajah NU: 1926 - 1984 Bab VII • • Page 1 Page 2 Poskripsi • • Bab III Page 1 Page 2 Abdurrahman Wahid: Pemikiran dan Determinasi Pustaka • • Page 1 Page 2 Biodata Catatan Penerbit Bab IV Implementasi Khittah: Dinamika Internal • Page 1 3 4 Iftitah thesis, bahkan disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah 1985. Sangat menggembirakan, meski tetap dapat disayangkan bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasikan) akhirnya hanya akan dibaca oleh kalangan yang sangat terbatas. Wacana tentang NU bagi masyarakat luas memang masih relatif kurang. Buku ini, dengan demikian, dimaksudkan untuk turut mengisi celah tersebut, meski tak diragukan lagi bahwa Choirul Anam (1985), Kacung Marijan (1992), Martin van Bruinessen (1994), dan Ali Haidar (1995) telah melakukannya jauh lebih baik. Buku ini diangkat dari karya skripsi yang saya pertahankan di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, dengan judul NU Setelah Kembali ke Khittah 1926: Sebuah Studi Historis tentang Kelompok Kepentingan Islam di Pentas Orde Baru 1984-1993. Penelitian bagi skripsi tersebut saya kerjakan selama kurun waktu 1,7 bulan sejak Mei 1993. Sebagian penelitian itu bersifat kepustakaan, yang saya lakukan di beberapa perpustakaan di Yogyakarta dan Jakarta. Hasil penelitian pustaka itu juga diperkaya dengan hasil serangkaian wawancara dan diskusi. Skripsi saya, dan dengan demikian juga buku ini, tidak akan dapat disusun tanpa bimbingan yang intensif dari Drs Haryanto, MA. Skripsi itu juga telah mengalami perbaikan yang cukup berarti dengan serangkaian revisi yang diagendakan oleh Drs Mashuri Maschab, SU dan Dr Afan Gaffar, MA. Untuk yang disebut terakhir ini, saya malahan merasakan hutang budi yang tak kecil, karena dialah yang telah mendorong saya untuk menjajagi kemungkinan diterbitkannya buku ini. Betapapun, tanggung jawab atas semua isi buku ini sepenuhnya berada di tangan saya. Banyak orang, jauh lebih banyak dari yang dapat saya sebutkan, patut memperoleh ucapan terima kasih karena bantuan mereka, langsung maupun tak langsung, bagi terselesaikannya buku ini. Beberapa Yang dapat saya sebutkan adalah: Drs Kacung Marijan staf pengajar ILmu Politik FISIP Unair yang intens mengamati NU, yang telah memberikan beberapa saran penting di tahap terawal penulisan skripsi saya; Drs Muhammad Najib, Sekretaris LKPSM NU DIY, dan Dra Maria Ulfah Anshar, Koordinator Program Dokumentasi dan Informasi Lakpesdam NU Jakarta, yang telah bersedia menerbitkan buku ini. Nun, demi pena dan apa yang diguratkannya Al-Qalam : 1 KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera tergambar di benak orang pada umumnya adalah sosok bersarung dan berpeci, yang bejalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak lebih dari salat dengan usalli, doa qunut, tarawih 23 rakaat, tawassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak yang memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di atas, NU sebenarnya adalah salah satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang diimbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan nada sedikit minor disebut sebagai "tradisionalisme", dan dengan segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah banyak mewarnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosialkemasyarakatan, bahkan politik dan ideologi bangsa. Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU dalam kurun waktu yang cukup lama telah begitu saja terabaikan dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena kebanyakan pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan "kaum modernis", sementara NU pada umumnya dianggap tidak dapat digolongkan ke situ. Martin van Bruinessen, baru-baru ini menulis kajian paling komprehensif dan tak-memihak mengenai NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keterabaian itu. Ia menyesalkan betapa NU kerap hanya disebut secara sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya memberikan proporsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-relasiKuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994). Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir perhatian ilmiah terhadap NU telah berangsur-angsur dipulihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta, saya mendapati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi, 5 6 HM Ichwan Sam dan Ir H Musthafa Zuhad Mughni; berturutturut adalah Sekjen dan Wakil Sekjen PB NU 1989-1994, yang telah bersedia memenuhi permintaan wawancara dari saya; keluarga pamanda Drs HM Hasan Asj'ari yang banyak membantu ketika saya melakukan akumulasi data di Jakarta; seluruh temanteman di Ilmu Pemerintahan UGM '89, khususnya mereka yang dengan "bangga" menyebut dirinya IMS; teman-teman di Interfidei dan LKiS: Ahmad Suaedy, Hairussalim, M Imam Aziz, M Jadul Maula, Sastro, Fikri, dan seterusnya; dan sekali lagi LKiS yang telah bersedia menerbitkan buku ini. Rasa terima kasih yang khusus kiranya ingin saya tujukan kepada semua guru-guru saya, terutama Drs Josef Riwukaho, MPA, yang begitu berjasa membentuk sikap disiplin saya, serta Drs Cornelis Lay, MA, dari siapa saya banyak belajar tentang cara menghargai pendapat orang. Dan akhirnya, buku ini saya peruntukkan bagi orang-orang tercinta: Ibunda Hj Aminatussuhriyah dan Ayahanda H Abdul Karim, adik-adik saya (Ading, Wiwik, Nunung, dan Fatim), serta Miming. semua berhak atas rasa terima kasih tiada-terhingga yang hanya dapat saya muarakan pada Dia Yang Esa: Rabbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka faqina 'adzabannar. Di atas semua ini, saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah memberi segala yang saya ingin dan angankan, serta telah memperkenankan saya mencelupkan tangan ke dalam samudera ilmu-Nya yang maha luas itu. Saya berharap, buku ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya. Tentu saja saya tidak berpretensi bahwa argumenargumen dalam buku ini telah bersiratkan kebenaran yang mutlak. Semuanya saya anggap sebagai thesa-thesa yang harus segera berbenturan, atau dibenturkan, dengan antitesa-antitesa, untuk bisa melahirkan suatu sintesa, dan seterusnya, dalam pola dialektik. Rasanya lebih tepat untuk menerima buku ini sebagai sebuah catatan pembuka guna mengawali diskusi kita. Mengapa tidak? Dan kepada-Nya kita semua berserah diri. Dan kukuh-teguhlah kalian dalam ikatan Tali Allah, sebagai satu jamaah, dan jangan tercerai-berai -Ali Imran: 103- Dan janganlah kalian saling bertikai hingga menjadi lemah dan hilang wibawa kalian -Al Anfal: 46- Kudedikasikan sebagai tanda kekaguman kepada sang progressor NU, KH Abdurrahman Wahid. Dan kuperuntukkan bagi orang-orang tercinta ibu dan bapakku, adik-adikku, dan Miming serta untuk mereka yang mencintai ilmu polifik. Nologaten, Juli 1995 A Gaffar Karim 7 8 NU Sebuah Fenomena Politik Dr, Afan Gaffar, MA mikian rupa signifikan bagi NU oleh karena hal itu dilakukan dalam momentum yang tepat. Momentum ini adalah apa yang saya sebut sebagai politik akomodasi antara Islam dan negara di Indonesia. Kecenderungan ini mulai sangat terasa ketika dekade 8O-an telah memasuki paruh keduanya. Tampak jelas telah terjadi pergeseran dari model hubungan vang antagonistik antara Islam dan negara menuju politik akomodasi yang saling mengisi satu sama lain. Antagonisme diminimalisir, bahkan konflik cenderung dieliminir. Kita akan melihat indikatornya dalam policy pemerintah di bidang pendidikan dan keagamaan di satu sisi, serta di sisi lain kecenderungan politik umat Islam di mana NU merupakan salah satu komponennya. Disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional yang begitu toleran terhadap persoalan-persoalan essensial umat Islam serta diijinkannya siswi SLTP dan SLTA mengenakan jilbab di sekolah adalah sebagian contoh. Lalu dibentuknya Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila oleh Presiden Suharto, disahkannya UU Peradilan Agama, dan akhirnya didirikannya ICMI adalah contoh-contoh lain yang juga perlu disebutkan. Lalu mengapa kecenderungan yang akomodatif itu muncul? Pada sisi pemerintah, politik akomodasi terhadap umat Islam adalah satu-satunya pilihan untuk tidak menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar sama sekali. Pemerintah tampaknya menyadari bahwa umat Islam merupakan kelompok politik yang sangat potensial jika mereka bisa mengorganisir diri sedemikian rupa. Itulah pasalnya. Sehingga kalau umat Islam diletakkan di luar sama sekali, konflik akan sulit dihindari. Ujung-ujungnya adalah efek yang begitu besar terhadap proses pemeliharaan negara kesatuan. Jelas, ini harga yang terlalu mahal. Di samping itu, di kalangan pemerintah kini terdapat sejumlah figur yang tidak mengidap "Islamophobia". Beberapa di antara mereka malahan memiliki dasar dan latar belakang keislaman yang kuat. Sebut saja Mar'ie Muhammad, BJ Habibie, Emil Salim, atau Akbar Tanjung. Nama-nama ini sangat berperan dalam membantu sikap politik pemerintah yang tidak memusuhi Islam. Aksentuasi kita lebih pada pejabat dari kalangan sipil daripada pejabat dari kalangan militer maupun perwira ABRI sendiri. Sekalipun Try Sutrisno dan R. Hartono tidak dapat diabaikan dalam PEMBICARAAN tentang NU sebenarnya sangat menarik, meskipun dalam kenyataannya ia pernah begitu terabaikan oleh insaninsan akademis. Dalam segi-segi tertentu NU adalah fenomena. Lihatlah bagaimana NU pernah tampil sebagai satu-satunya partai yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan Indonesia era Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin dan era Orde Baru dengan prestasi yang relatif stabil, setidaknya dilihat dari prosentase perolehan suaranya dalam pemilu. Masyumi, yang merupakan partai Islam terbesar pada masanya, "gugur" sebagai korban penyederhanaan kepartaian Sukarno, di mana keterlibatan tokohtokohnya dalam PRRI terpilih sebagai alasan. Sementara partaipartai lain akhirnya kalang-kabut menghadapi taktik buldozer Golkar di masa awal Orde Baru. Praktis, NU-lah yang tetap bertahan, sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya lebur dalam PPP Sejak fusi 1973, hingga kurun 11 tahun selanjutnya, NU berada dalam tahapan yang paling suram dalam catatan biografinya. Betapa tidak, masa kejayaan politiknya telah berakhir, sementara untuk mengepakkan sayap di bidang lain masih banyak belenggu yang menghambat NU. Halangan terbesar adalah image oposan yang melekat pada NU dan kebanyakan orpol Islam pada umumnya, yang sebenarnya berpangkal pada gaya politik Orde Baru saat itu yang sedemikian rupa sehingga memaksa partai-partai Islam mengambil posisi defensif. NU di era ini begitu tersudut: NU hanya bisa berpolitik via PPP, dan, selanjutnva, PPP adalah sebuah "partai oposisi", terlepas dari persoalan bahwa orang-orang NU di sana juga punya kontribusi terhadap karakteristik oposan tersebut. Jadi kedua hal itulah kepolitikan Orde Baru dan keberadaan NU dalam PPP yang begitu membatasi gerak organisasi para ulama ini. Dengan demikian, langkah reorientasi politik NU di tahun 1951 yang sekaligus membawanya keluar dari PPP pada dasarnya tidak akan terlalu berarti banyak, jika saja pada saat yang hampir bersamaan tidak terjadi perubahan pada langgam kepolitikan nasional. Dengan kata lain,"Kembali ke Khittah 1926" menjadi sede9 10 konteks ini, saya masih meragukan apakah sikap yang kurang favariable terhadap umat Islam sebagai akibat pengalaman masa lain yang tidak mengenakkan sudah benar-benar hilang dari kalangan militer. Mereka pernah mengalami kesukaran yang tidak ringan saat harus bertempur menghadapi kelompok-kelompok Islam separatis. Faktor lain, di kalangan umat Islam terjadi perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik. Pada awalnya, umat Islam sangat menaruh harapan bahwa kelahiran Orde Baru akan mendorong terwujudnya proses politik yang demokratis di negeri ini. Namun yang terjadi adalah jauh dari yang diharapkan. Akibatnya umat Islam terdesak pada posisi yang memaksanya bersikap sangat kritis bahkan mengarah pada sikap oposan. Kebanyakan politisi Islam meyakini bahwa demokrasi adalah cara terbaik bagi penyelenggaraan negara. Demokrasi dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk mewujudkan cita-cita politik Islam. Kita lihat bahwa ketika mekanisme politik berlangsung secara demokratik, kekuatan Islam memainkan peran yang sangat menentukan di dalamnya, seperti yang tejadi pada masa-masa menjelang kemerdekaan. Bagi kalangan Islam, Orde Baru menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya demokrasi yang gagal di bangun oleh Orde Lama. Akan tetapi ternyata agenda utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang bersendikan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya, stabilitas politik dan keamanan nasional lain menjadi preferable daripada demokrasi. Tidak heran jika para politisi dan intelektual Muslim tampil dengan kritikan kerasnya terhadap kebijakan pemerintah, yang selanjutnya membawa akibat, oleh karena pemerintah masih sulit menerima interaksi politik seperti itu-- Islam tergeser pada posisi marginal dalam konstelasi politik nasional dibandingkan dengan kalangan-kalangan Kristen, Katolik, non-pribumi dan seterusnya. Namun dalam sepuluh tahun terakhir rupanva telah terjadi perubahan sikap politik Islam yang cukup berarti. Perubahan itu berkaitan dengan posisi penetratif seperti yang dilakukan kalangan minoritas. Dengan sikap politik yang penetratif, usaha pencapaian tujuan dan cita-cita politik Islam menemukan cara yang lebih efektif. Inilah kiranya yang turut menjadi faktor penentu terjadinya hubungan yang akomodatif antara Islam dan negara. NU dengan "kembali ke Khittah 1926" dan segala implikasi politiknya, dapat diletakkan dalam konteks faktor yang disebut terakhir di atas. Dengan demikian NU telah memberi kontribusi bagi lahirnya hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah, sekaligus mengambil manfaat dari suasana baru ini untuk memberi makna yang sangat berarti bagi keputusan untuk kembali ke khittah itu, meski di sana-sini ganjalan sudah pasti ada. Dalam bidang-bidang pendidikan, dakwah, pengembangan sumber daya manusia, dan aspek-aspek sosial-keagamaan lainnya, NU pasca khittah telah berhasil membuat capaian-capaian positif yang begitu mengesankan Hal ini terutama bermanfaat bagi warga NU di tingkat bawah. Di sini, khittah telah menjadi dorongan yang sangat positif untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan di masa lalu. Namun di bidang politik, kita akan mendapati bahwa khittah kerapkali hanya menjadi sumber inspirasi baru bagi kontroversi demi kontroversi yang muncul pada tingkat elit NU. Kerapkali terjadi pendapat-pendapat yang satu sama lain saling berbeda, bahkan saling bertentangan semuanya menyatakan sebagai didasari oleh semangat khittah. Contoh terakhir adalah yang terjadi menjelang dan setelah Muktamar PPP 1994, ketika sejumlah tokoh NU begitu berambisi untuk memperoleh jabatan di partai itu, dan tokoh-tokoh NU lainnya mengecam mereka. Kita dapat mengikuti perang statemen antara mereka di media massa, di mana kata "khittah" adalah yang paling sering disebut-sebut. Sekalipun ambisi untuk mendapatkan kursi ketua umum partai gagal, dan Ismail Hasan Metareum terpilih kembali seperti yang saya prediksikan (bukan saya "kampanyekan" seferti tuduhan sementara orang), namun fenomena ini sangat penting untuk dicatat. Sebabnva adalah pertama, karena hal itu menggambarkan betapa khittah masih belum mampu menyeragamkan orientasi politik orang-orang NU. Bahwa mereka bebas memilih saluran aspirasi politiknya masing-masing, jelas telah dijamin oleh khittah. Tapi masalahnya, tokoh-tokoh ini selalu mrmbawa-bawa nama NU dalam manuver-manuver politiknya, yang menyebabkan netralitas NU masih kerap dipertanyakan. Kedua, peringatan akan terjadinya penggembosan kembali PPP turut mewarnai kekecewaan terhadap formasi kepengurusan baru yang dinilai tidak men11 12 cerminkan realitas massa pendukung partai. Bukan mustahil orang akan jadi bertanya-tanya, mengapa NU seolah-olah masih belum bisa lepas sama sekali dari PPP? Benarkah akan terjadi penggembosan kembali? Namun persoalan yang lebih penting adalah mengapa masih terjadi pertentangan pendapat di seputar implikasi politik khittah? rupa-rupanya komitmen untuk menjaga netralitas NU, serta untuk tidak menjadikannya sebagai orpol, masih sangat lemah terutama di kalangan politisi NU. Tampaknya hanya Abdurrahman Wahid yang masih memiliki komitmen murni sebagaimana yang dikehendaki oleh deklarasi Situbondo 1984. Bahkan sebagian tokoh NU masih ada yang menginginkan organisasi itu kembali menjadi partai politik. Sebagian yang lain masih mencoba mendominasi kemhali PPP dengan alasan jumlah massa NU yang sangat besar adalah pendukung potensial partai itu. Klaim ini jelas sangat tergesa-gesa, sebab warga NU kini sudah sangat beragam orientasi politiknya. Setidaknya terdapat empat kelompok dalam NU yang memiliki orientasi berbeda-beda. Pertama, kalangan yang masih setia kepada PPP dan tetap bertahan di sana. Orang seperti Hamzah Haz tampak begitu setia dan peduli terhadap semua persoalan PPP terutama ketika partai ini menghadapi berbagai macam tantangan. Kedua, kalangan NU yang telah melakukan eksodus dari PPP menuju ke Golkar atau PDI dan mengembangkan karier politik mereka di sana. Alasannya bisa karena mereka mempunyai citacita yang berbeda dengan prioritas agenda politik PPP. Bisa juga karena secara rasional mereka melihat bahwa PDI atau Golkar lebih menjanjikan prospek yang lebih baik bagi karier politik mereka dibandingkan PPP. Atau pula karena alasan yang teramat pragmatis dan oportunis: karena mereka akan memperoleh fasilitas yang lebih baik jika bergabung dengan Golkar. Kita tidak berbicara tentang soal baik dan buruk, karena ini adalah bagian dari rasionalitas politik. Ketiga, tokoh-tokoh NU yang kecewa terhadap kepemimpinan PPP. Naro ketika itu, dan oleh karenanya meninggalkan partai itu dengan penuh rasa kecewa dan sedikit dendam. Kalangan inilah yang di tahun 1987 melakukan penggembosan terhadap PPP sehingga perolehan suaranva menurun drastis. Kita dapat menye- but nama KH Jusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi dalam kelompok ketiga ini. Dan keempat adalah orang-orang yang masih memiliki komitmen terhadap khittah dan bertekad untuk mempertahankannya. Kalangan ini mempunyai orientasi politik dalam tingkat lobi dan bukan melalui lembaga legislatif, dengan pertimbangan efektifitas mengingat konfigurasi politik nasional dewasa ini. Bagi mereka, sebut saja Gus Dur dan kelompoknya, berpolitik sebagaimana parpol bahkan bisa merugikan NU sendiri. Dan herbicara tentang penggembosan, rasanya hal itu sulit ter jadi. Saya melihat bahwa kelompok ketiga dalam kategori di atas memang potensial untuk kembali melakukan penggembosan. Akan tetapi jika mereka mau melakukan kontemplasi, akan jelas ini hahwa penggembosan hanya bakal menjadi counter produc tive. Jika itu terjadi, citra NU akan memburuk. Orang akan mencap NU telah bermain di luar sistem yang ada, dan ini akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya peluang orangorang NU untuk memimpin partai akan kian kecil, kecuali partai itu bernama NU. Di samping itu, masa rekrutmen calon legislatif untuk Pemilu 1987 adalah masa yang sangat krusial, berkaitan dengan isu suksesi nasional saya yakin bahwa Buya Ismail tidak akan gegabah meninggalkan orang-orang NU, bahkan ia akan mengakomodasi dengan lebih baik daripada muktamar lain. Ia tentu tidak akan mengulangi kesalahan Naro di waktu lalu. Bahkan sangat mungkin ia akan terus membenahi kesalahan itu dengan memperhatikan aspirasi NU didaerah-daerah yang merupakan basis NU. Dan akhirnya, bagaimanapun PPP masihlah rumah politik yang paling baik bagi para Nahdhiyyin daripada partai politik lainnya. Di Golkar sudah penuh sesak dengan beragam kalangan Islam, terutama yang belum dan memiliki ikatan kepentingan dengan ICMI. Orang pasti masih ingat akan kritik Gus Dur tentang ICMI, dan di samping itu memperkuat Golkar yang sudah sedemikian besar tentu tidak sejalan dengan visi Ketua Umum PB NU yang punya komitmen tinggi terhadap demokrasi itu. Sementara dengan PDI, terdapat hambatan-hambatan kultural yang tidak memungkinkan orang-orang NU aktual di sana. NU tidak akan begitu saja bisa bersanding, apalagi berbagi program dan 13 14 agenda kerja dengan mesra dengan kalangan sekuler yang begitu dominan di PDI, demikian pula dengan sayap-sayap Kristen dan Katolik di sana. Barangkali sangat jitu ucapan KH Alawy Muhammad bahwa beliau akan bergabung dengan PDI jika partai itu mempunyai program yang islami. Dan saya meragukan lahirnya program yang Islami itu. dalam proses pernbuatan kebijakan nasional, tanpa mempersoalkan kursi jabatan publik yang didapatnya. Secara ideatif, hal yang disebut terakhir ini diserahkan pada masing-masing individu warganya. Selain sebagai kelompok kepentingan buku ini juga mengupas NU sebagai penganut paham Islam ahlussunnah wal Jamaah. Sehingga di sini dapat ditemui keterpaduan antara pendekatan kultural dan pendekatan struktural, termasuk ketika menjelaskan kepolitikan Orde Baru sebagai konteks makro di mana NU berada. Sekalipun isi dan uraiannya tidaklah asing lagi bagi mereka yang selalu mengikuti perkembangan NU, namun buku yang diangkat dari karya skripsi ini jelas telah menyajikan pendekatan baru dalam mengamati NU. Bahwa di sana-sini terasa ada bias NU, tapi itu tidak mengurangi makna kontributif buku ini bagi kajian NU dan analisis politik pada umumnva. Bagaimanapun unsur subjektifitas dalam suatu karya ilmiah kerap sulit dihindari, dan itu tidaklah terlalu tabu sejauh tidak mengalahkan unsur objektifitasnya. Terlebih lagi dalam lingkup ilmu sosial, kita harus mengakui bahwa objektifitas yang 100 % murni memang sulit dibangun. NU setelah kembali ke Khittah 1926 memang sangat menarik dan penuh dengan dinamika yang hampir-hampir tidak dapat di prediksikan sebelumnya. Barangkali itulah sebabnya selama sepuluh tahun terakhir ini kajian-kajian ilmiah tentang NU meningkat pesat baik di segi kualitas maupun terlebih lagi kuantitas. Kajiankajian itu lahir baik dari tangan pengamat-pengamat asing yang begitu intens meneliti NU atau gerakan islam di Indonesia pada umumnya (seperti Nakamura, Feillard, dan Van Bruinessen), maupun dari para analis di dalam negeri sendiri. Di dalam negeri para pengamat NU dapat dibagi dua, yakni mereka yang berasal dari kalangan non-NU (seperti Mahrus Irsyam) bahkan non-muslim (seperti Einar Martahan Sitompul), dan mereka yang berlatar belakang NU terutama generasi mudanya yang kian banyak menimba ilmu di luar pesantren. Generasi muda NU yang mempelajari antropologi, sosiologi, atau ilmu politik kerap menghasilkan karya ilmiah yang cukup menarik tentang NU karena itu dilakukan dengan ketertarikan yang mendalam terhadap akar kultural mereka itu. Buku karya Abdul Gaffar Karim ini lahir dalam kecenderungan tersebut. Poin terpenting buku ini adalah usahanya untuk melihat NU dalam kerangka sebagai kelompok kepentingan, dan tampaknya ini adalah buku pertama yang menyoroti NU dari sudut pandang itu. Definisi Almond yang lazim dipakai mengatakan bahwa kelompok kepentingan adalah setiap kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik tanpa pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik. Dengan ini dapat dibuatkan bingkai penjelasan yang paling pas bagi kepolitikan NU pasca khittah, yang dalam buku ini disebutkan telah terjadi reorientasi dari kuantitas ke kualitas politik. Dalam titik berat pada kualitas politik, NU terus berupaya untuk tetap ambil bagian Yogyakarta, Mei 1995 15 16 BAB I PENDAHULUAN DISKUSI tentang dan sistem kepartaian di Indonesia seringkali menghasilkan kesimpulan yang kurang tuntas. Klasifikasi sistem kepartaian yang lazim dikenal, yang antara lain dikemukakan oleh Maurice Duverger, tidak dapat secara pas membingkai sistem kepartaian Indonesia saat ini. Dalam klasifikasi "konvensional" itu (berdasarkan jumlah partai yang ada dan pola interaksi antara mereka), terdapat tiga sistem kepartaian: sistem partai tunggal (oneparty system), sistem dua partai (two-party system), dan sistem multi partai (multy-party system).1 Terminologi "partai tunggal" dan "dua partai" tidaklah selalu berarti bahwa dalam suatu sistem politik hanya terdapat satu atau dua parpol saja. Sebab istilah itu mengacu pada jumlah parpol yang terus-menerus mendominasi semua porsi peran dalam pentas politik yang ada. Dalam sistem satu partai, boleh jadi terdapat dua atau lebih partai politik. Namun suasana kepartaian yang ada sangat tidak kompetitif: partai-partai politik yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan sama-sekali tidak diperkenankan bersaing secara bebas melawan partai itu. Pemilihan umum, dengan demikian, tidak diperlukan dalam sistem kepartaian ini. Dalam sistem dua partai pun, bisa saja terdapat tiga atau lebih parpol, tapi peran dominan selalu dipegang oleh dua parpol tertentu. Jika salah satu dari keduanya berkuasa (karena menang mutlak dalam pemilu), maka yang lain tampil sebagai partai oposisi. Demikian secara bergiliran. Amerika Serikat adalah contoh paling jelas bagi sistem dua partai. Sementara dalam sistem multi partai, terdapat banyak parpol dengan kekuatan kurang lebih imbang, serta terdapat pola kompetisi yang maksimal dan terbuka di antara mereka. Salah satu kesulitan yang sering muncul dalam sistem kepartaian ini adalah tidak adanya parpol yang menang mutlak (50 % tambah satu suara) dalam pemilu, sehingga pemerintahan yang terbentuk kerapkali merupakan koalisi dari beberapa parpol. Tak jarang koalisi itu demikian longgar, sehingga pemerintah bisa sewaktu-waktu jatuh karena partai tertentu menarik dukungannya dari koalisi. Di manakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi tersebut? Tidak ada jawaban yang persis te17 pat. Sistem kepartaian Indonesia jelas bukan sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multi partai pun terdapat banyak ganjalan. Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang ada pun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jeias kurang memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian Indonesia. Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu agaknya dapat diambil dari Dr Afan Gaffar (2 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik (hegemonic party system), istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh La Palombara dan Weiner.3 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik itu.4 Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.5 Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating mass) telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat peme18 rintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar. Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa dalam polifik pengambilan keputusan (the politics of policy making) hubungan yang bersifat pribadi (personal linkage) lebih menonjol daripada institusional Linkage,6 memungkinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol. Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab elit kelompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain.7 Dalam konteks inilah maka Jam'iyah Nahdlaful Ulama sebagai salah satu kelompok kepentingan (interest group) terbesar di Indonesia perlu memperoleh perhatian lebih serius dalam kajian tentang kepolitikan Indonesia kontemporer. Selama ini, Nahdhatul Ulama (8 yang dianggap "sayap tradisionalis" umat Islam Indonesia kurang memperoleh perhatian ilmiah yang memadai dari para pengamat politik, dibandingkan dengan Muhammadiyah, yang dianggap "sayap modernis" umat Islam Indonesia. Ward (9 misalnya mengeluh bahwa NU adalah yang paling sedikit memiliki kelemahan internal dan paling sedikit mengalami perpecahan internal, ironisnya, NU juga partai yang paling kurang dipahami dan paling sedikit teramati." Hal yang sama dikemukakan Anderson.lO Ia melihat bahwa sedikit sekali kalangan akademisi yang mengetahui tentang NU; belum ada disertasi doktor yang pernah ditulis tentang NU, dan dia meragukan apakah akan segera ada disertasi tentang NU, padahal NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Keluhan Ward dan Anderson itu memang dilontarkan beberapa tahun lampau, namun relevansinya belum hilang sampai sekarang. Sebuah ironi, mengingat bahwa NU adalah kelompok kepentingan dengan jumlah anggota yang sangat besar, barangkali yang terbesar, di indonesia hingga saat ini. Berapa besar massa NU? Inilah estimasi Zamakhsyari Dhofier: 19 Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4 % dan pada PEMILU 1971 persentase naik menjadi 18,7 %. Persentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesia sekarang yang diperkirakan sebesar 18O juta maka jumlah pendukung NU dapat diperkirakan sebesar 33 juta orang. Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat sederhana, namun angka yang disebutkan tentulah tidak jauh bergeser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU tidak sepatutnya mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian yang minim, dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih massa dalam naungannya itu. Latar Belakang NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdirinya NU bukan merupakan partai atau organisasi politik, melainkan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial keagamaan. Namun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam aktifitas NU tidak kecil, terutama karena dalam tujuan pendiriannya sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.l2 Setelah beberapa tahun bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial keagamaan, bergabungnya NU ke dalam MIAI (Majlisul Islam A'la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini. Di dalam MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif menyuarakan tuntutan Indonesia berparlemen.l3 MIAI, setelah melalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi cikal bakal Partai Masyumi dimana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di masa awal kemerdekaan. Tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik tersendiri, menyusul munculnya serangkaian kekecewaan NU terhadap Masyumi yang berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi itu.14 Keluarnya NU dari Masyumi memungkinkan organisasi ini untuk lebih mengaktualisasikan diri. Prestasi spektakulernya yang per20 tama diukir dalam Pemilu 1955. Walaupun dengan masa persiapan yang lebih singkat dibandingkan partai-partai politik lain, NU mampu menempati peringkat ketiga perolehan suara setelah PNI dan Masyumi. NU meraih 18,4 % suara dan 45 kursi di parlemen.l5 Perkembangan selanjutnya membawa NU terlibat secara langsung dalam pasang-surut kepolitikan nasional. Pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru dan pemilu kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, NU memperbaiki prestasinya dengan menempati urutan kedua setelah Golkar, dengan meraih 18,67 % suara dan 58 kursi di parlemen.16 Dua tahun setelah Pemilu 1971 dilakukan penyederhanaan kepartaian di Indonesia. Sembilan partai politik yang ada disederha nakan sehingga hanya menjadi dua partai politik saja, di samping Golkar. NU, bersama Parmusi, PSII, Perti, bergabung dalam PPP. Sementara PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo, berfusi dalam PDI.17 Baik PPP maupun PDI sebenarnya merupakan buah dari fusi yang tidak pernah tuntas. PDI tersusun dari unsur-unsur yang masing-masing memiliki asas yang berlainan: nasionalis, sosialis, Katolik dan Kristen. Benang merah yang menyatukan keanekaragaman asas itu sebenarnya rapuh dan mustahil dapat terikatkan tanpa adanya rekayasa pemerintah. Begitu pula PPP. Sekalipun semua unsurnya berasaskan Islam, tapi masing-masing memandang dan mempersepsikan asas itu dalam visi yang berbeda. Setidaktidaknya, terdapat dua aliran pemikiran utama dalam PPP, yaitu kelompok modernis yang secara longgar terdapat dalam MI dan SI, serta kelompok tradisionalis dalam NU dan Perti.18 Fusi yang tidak tuntas itu menyebabkan perkembangan kedua partai tersebut selalu diwarnai oleh konflik internal antar unsur yang seakan tidak pernah usai. Bahkan akhir-akhir ini (1993), konflik dalam tubuh PDI telah melibatkan kekerasan fisik, sehingga tidak kurang dari Kwik Kian Gie, seorang tokoh PDI, dalam otokritiknya menyayangkan kiprah partai banteng ini yang tampak seperti "partai kampungan yang bisanya cuma berkonflik."19 Sementara dalam PPP, konflik internal tampak terpola sebagai pertentangan antara kalangan modernis dan kalangan tradisionalis, terutama antara MI dan NU. Pada mulanya konflik itu memang relatif laten, namun memasuki era 1980-an konflik NU-MI kian nyata, yang antara lain menyangkut kedudukan dalam partai dan DPR. Se21 mentara campur tangan pemerintah dalam konflik internal itu semakin manguatkan MI vis a vis NU, maka kronologis keluarnya NU dari Masyumi seolah terulang lagi. NU yang memendam kekecewaan terhadap PPP, mulai menjelang Pemilu 1982 telah mengancam akan keiuar dari partai itu. Ancaman ini kemudian ternyata tidak main-main. ________________________________________________________ _____________ ________________________________________________________ _____________ 1. Lihat misalnya, Miriam Budiajo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 167-170. 2. Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992). 3. Ibid., h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa yang disebutnya 'No-party System". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah. Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan 22 ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid, h. 35-36. Pengaruh NU," dalam S. Sinansari ecip (ed.) NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47. 4. Ibid, h. 51-61. 12. Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat juga Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65. 5. Ibid., h. 37-38. 6. Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional," dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru (Solo: CV Ramadhani), h. 21. 7. Ibid., h. 22. 8. Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama adalah bentuk plural dari kata 'alim yang secara khusus berarti orang yang menguasai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul Ulama berarti kebangkitan ulama. Selanjutnya disebut NU saja. 9. Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash University Press, 1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito, NU dalam Pemilu L971 (Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3. 13. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 289-290. 14. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 80-86. 15. Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h. 434f. 16. M. Rusli Karim, Peialanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasangsurut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170. Sebuah penelitian tentang NU dalam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito, op. cit. 17. Karim, ibid., h. 172f. 1O. Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in Indonesia (Clayton, Victory: Monash University, 1977), sebagaimana dikutip dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S), h. 4. 18. Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 9. 19. Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam acara Selamat Pagi Indonesia, 23 Juli 1993. 11. Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan 23 24 Pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 membuahkan keputusan yang mengejutkan, yaitu bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, mendahului organisasi massa mana pun.20 Keputusan itu ditegaskan kembali dalam Muktamar NU ke 27 tahun berikutnya di kota yang sama. Muktamar ini merupakan titik balik sejarah NU, sebab di sini dilahirkan keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926.21 Salah satu makna dan konsekuensi yang dibawa dalam keputusan ini adalah bahwa NU tidak lagi terikat dalam PPP. Terlebih dengan diputuskannya kemudian tentang pelarangan perangkapan jabatan antara pengurus NU dengan pengurus orpol, termasuk PPP, khususnya pengurus harian. Keluarnya NU dari PPP kemudian disusul oleh aksi "penggembosan" NU terhadap PPP menjelang Pemilu 1987. Dalam pemilu ini PPP mengalami kemerosotan perolehan suara yang sangat drastis dibandingkan pemilu sebelumnya.22 Untuk menyimpulkan bahwa kemerosotan perolehan suara PPP disebabkan oleh aksi penggembosan NU barangkali terlalu tergesa-gesa. Tapi bahwa fenomena yang disebut pertama muncul setelah adanya fenomena yang disebut belakangan, jelas tidak dapat dipungkiri. Kembali kepada produk muktamar 1984, dalam keputusan kembali ke Khittah 1926 pada umumnya dipandang terdapat makna bahwa NU memutuskan untuk tidak lagi berpolitik. Konsekuensinya adalah adanya pemisahan tegas antara kegiatan-kegiatan politik dan kegiatan-kegiatan nonpolitik. Dan NU mencurahkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan non-politik (praktis), sosial keagamaan, sebagaimana semangat tahun 1926.23 Tetapi benarkah NU mampu memusatkan perhatian dan mengarahkan aktifitas-aktifitasnya semata-mata di bidang sosial keagamaan dan sama sekali memalingkan muka dari aktifitas politik? Kenyataan yang teramati memberikan jawaban negasi bagi pertanyaan tersebut. Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum menapaki kenyataan yang ada itu lebih jauh. Pertama, sebagaimana disebutkan pada beberapa paragraf di muka, dalam tujuan pendirian NU sejak awal pun telah terkandung muatan-muatan politik. Kalaupun gerakan NU pada tahap-tahap awalnya tidak menonjolkan orientasi politiknya, itu hanya soal waktu. Ketika orientasi politik yang embrional itu mulai meronta dan menuntut agar dirinya segera di25 lahirkan dalam tindakan-tindakan riil dan tidak hanya tersimpan laten, maka bentuk organisasional NU yang waktu itu masih murni jam'iyah diniyah tidak kuasa membendungnya. Bentuk organisasilah yang kemudian menyesuaikan diri dengan orientasi gerakan NU, dan bukan sebaliknya. Dalam catatannya tentang fenomena keluarnya NU dari Masyumi untuk berdiri sebagai parpol tersendiri, Bambang Santoso Haryono menilai bahwa tindakan yang juga merupakan upaya adaptasi terhadap orientasi politik yang kian kasat mata itu sekadar merupakan perluasan wawasan yang harus dimainkan dalam rangka mencapai tujuan (awal) keorganisasiannya, yaitu menegakkan syariat Islam secara murni berdasarkan paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianutnya.24 Penilaian ini cukup beralasan, sebab bagi NU, fungsi organisasi hanyalah seka dar alat untuk mencapai tujuan. Itu berarti, bentuk organisasi semata-mata bukanlah merupakan tujuan, apalagi tujuan akhir.25 Apapun bentuk organisasi yang disandang NU dalam kala tertentu, hal itu terutama sekali haruslah dipandang sebagai adaptasi diri terhadap konteks, yang setiap saat sangat dimungkinkan untuk berubah sepanjang usaha pencapaian tujuan yang terkandung dalam nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah menghendaki begitu. Jadi, terlalu tergesa-gesa untuk mengestimasi bahwa berubahnya bentuk organisasi NU kembali ke wujud organisasi sosial-keagamaan serta merta akan melunturkan orientasi politiknya, betapapun secara formal telah ditetapkan untuk tidak lagi berpolitik (praktis). Kedua, politik tampaknya telah telanjur menjadi sebuah elan NU, yang telah terasah tajam sepanjang pergulatannya secara langsung dalam politik praktis selama kurun waktu tak kurang dari 32 tahun (1952-1984). Karena itu, mustahil untuk memaksa NU sepenuhnya meninggalkan arena politik dan diam menjadi penonton pasif. Hal ini tentu saja disadari oleh para elit NU, termasuk mereka yang menandatangani keputusan untuk kembali ke Khittah 1926. Tampaknya dilandasi oleh kesadaran inilah, maka pada konsideran Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang pemulihan Khittah NU 1926, yang kemudian dikukuhkan dengan keputusan Muktamar NU No. 01/MNU-27/1984, antara lain disebutkan bahwa: Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari 26 Nahdhatui Ulama telah menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang berlehihan dalam kegiatan politik praktis ... 26 Pemakaian kata "berlebihan" dalam konsideran di atas tentu bukannya tanpa makna. Agaknya, yang dimaksud oleh para perumus keputusan tersebut dengan "pemulihan Khittah 1926" bukanlah sama sekali turun dari pentas politik, melainkan meminimalkan keter libatan "yang berlebihan"dalam politik itu, yang menyebabkan tokoh-tokoh NU akhirnya hanya memikirkan kepentingan dan ambisi politik pribadinya saja, sementara kepentingan umat/warga NU terabaikan. Keterlibatan dalam politik dengan demikian tetap ditolerir, sejauh tidak berlebihan, dan didedikasikan kepada "kepentingan umat dan bangsanya. Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, kalangan ulama/kiai NU yang berpandangan demikian. Tidak kalah cerobohnya adalah kebanyakan pengamat yang serta-merta menafsirkan bahwa dengan kembali ke Khittah 1926 NU akan meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Sementara kelompok politisi NU ternyata masih menginginkan kepolitikan praktis bagi NU. Salah satu tokoh yang cukup vokal adalah Mahbub Djunaedi, salah seorang Ketua PB Tanfidziyah NU (1984-1989) dan anggota Mustasyar (1989-1994). Menjelang Munas Alim Ulama NU 1987, Mahbub melontarkan gagasan agar NU kembali berpolitik praktis, walaupun telah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai "Khittah plus."27 Menurutnya, dengan jumlah massa yang begitu besar. tidak semestinya NU hanya berdiam pasif di luar pagar arena politik dan hanya berfungsi sebagai pemberi suara saja. Ia bahkan memberikan usulan yang sulit terealisir agar NU kembali menjadi partai politik. Dalam keyakinannya, jika warga NU ditanya satu per satu, masih banyak yang menginginkan NU jadi parpol "jika keadaan memungkinkan."28 Satu hambatan besar bagi gagasan Mahbub itu adalah bahwa keadaan sama sekali tidak memungkinkan. Menjadikan NU sebagai parpol adalah sangat mustahil, sebab itu akan berbenturan dengan peraturan perundangan yang ada. Nuddin Lubis, mantan Wakil Ketua DPR RI, mempunyai pandangan yang lebih rasional dan pragmatis, sebab ia tidak sampai 27 mengusulkan agar NU kembali menjadi parpol.29 Lubis secara implisit menyarankan agar NU kembali memiliki ikatan dengan salah satu orpol sebagai saluran resmi aspirasi politik warganya. Keadaan NU yang mengambang saat ini jelas tidak menguntungkan warga nya. Demikian pula jika dilihat dari kacamata objektif bahwa hal itu berarti potensi jutaan sumber daya insani yang terwadahi dalam NU tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan negara, bangsa dan pemerintah. Khittah 1926 sendiri perlu dikaji secara mendalam dan dirinci lebih jelas agar warga NU dapat lebih memahaminya. Lubis yakin bahwa Khittah 1926 membenarkan NU aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis. Sebab sejak NU baru didirikan, dengan Khittah 1926 sebagai garis perjuangannya, organisasi ini terus terlibat dalam politik praktis. Keinginan untuk tetap berpolitik, dengan segala variannya itu, akhirnya memang mesti berbenturan dengan pandangan umum kebanyakan para ulama NU yang memiliki penafsiran sendiri tentang Khittah. Mereka tetap bersikukuh dalam klaim bahwa kembali ke khittah 1926 berarti NU tidak iagi berpolitik. Namun klaim itu tampaknya tetap tinggal jadi klaim saja. Orientasi politik NU ternyata tak pernah surut, dan warna politik dalam kiprah NU tampaknya tidak pernah pudar. Salah satu peristiwa monumental yang membuktikan hal itu adalah dilangsungkannya Rapat Akbar NU menjelang Pemilu 1992 yang berhasil menghimpun ratusan ribu warga NU. Dilihat dari jumlah keseluruhan warganya yang puluhan juta orang, angka ratusan ribu yang terhimpun itu memang kecil. Tapi jika dilihat bahwa rapat akbar itu dilaksanakan tepat pada hari pertama larangan Mendagri untuk mengadakan pertemuan-pertemuan umum karena sudah mendekati pemilu,30 angka di atas jadi berbicara lain. Di tengah kontroversi akan makna yang dikandungnya, Rapat Akbar itu secara atraktif telah membuktikan kapasitas seorang Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU. Ia bukan saja mampu menunjukkan besarnya dukungan warga NU terhadapnya namun juga telah menempatkan pemerintah pada pilihan yang sulit dan dilematis. Untuk tidak memberi ijin pelaksanaan rapat akbar pemerintah terbentur pada isu keterbukaan yang telah turut digembar-gemborkannya, sementara untuk begitu saja mengijinkan terasa begitu riskan. Rapat Akbar NU 1992, yang mes kipun disangkal sebagai politik praktis namun oleh Sekjen PB NU 28 Ichwan Syam diakui sebagai sebuah langkah politik,31 tentu mengagetkan banyak pengamat yang telah terlanjur mapan dalam kesimpulan bahwa kembali ke khittah berarti surutnya kepolitikan NU. Mozaik NU pasca 1984 memang tampak rumit. Warna-warni yang kian beraneka-ragam yang muncul dalam aktifitasnya dapat menyilaukan mata para pengamat, jika mereka tidak berdiri dalam sudut pandang yang tepat serta dengan kacamata yang tepat pula dalam menganalisis NU. Andree Feillard,32 menyadari betul hal itu. Penilaiannya tentang NU dikutip agak panjang di sini: NU telah memilih untuk melaksanakan hijrah dengan caranya sendiri, dalam suatu bentuk yang lunak. Yaitu: meninggalkan pertarungan kekuatan dalam PPP, dan memusatkan diri dalam upaya membangun kembali (konsolidasi) kekuatannya telah sangat melemah setelah bertahun-tahun bertarung dengan pemerintah, namun tetap memasuki sistem yang ada sekarang. Ketimbang meminta PPP untuk bertarung untuk kepentingannya, NU mencoba mempertahankan kepentingannya lewat siapa saja yang menawarkan diri: bisa jadi itu Golkar, tapi sering pula melalui Presiden sendiri. NU tahu bahwa DPR, yang meniru model parlementer ala Barat, telah kehilangan pengaruhnya dalam lobi politik, sebagaimana kebanyakan kasus di negara-negara Dunia Ketiga. NU setengahnya menolak sistem ini, tetapi juga mengeksploitasinya dengan lebih cerdik lagi. Ambiguitas ini tampak dalam semua langkah yang diambil NU: bahkan sejak Situbondo (kembali ke khittah), dan akan selalu mewarnai pertanyaan yang berkisar seputar khittah.33 Di bagian lain, Feillard juga mengingatkan bahwa pada saat ini, NU mungkin bukan suatu gerakan politik ..., tetapi ia tetap suatu kekuatan politik. Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari politik sama sekali.34 gabung dalam PPP, model kepolitikan itu cukup jelas dan tidak terlalu menjadi persoalan. Lepas dari masalah efektifitas, kepentingan dan aspirasi politik warganya dapat secara langsung ter salurkan melalui badan legislatif di mana NU turut memiliki kursi. Namun setelah 1984, model kepolitikan NU jelas memerlukan formulasi baru. Dan ini bukan merupakan persoalan yang dapat dikatakan mudah, mengingat masih ada perbedan pendapat di kalangan elit NU sendiri akan makna kembali ke khittah itu dalam implikasi politiknya. Berdasarkan semua uraian-uraian di atas, maka buku ini akan mencoba menjawab beberapa permasalahan tentang dinamika NU dalam implementasi keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, arah dinamika itu dan model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi Khittah. Kerangka Konseptual Salah satu "keuntungan" dalam mempelajari NU adalah tersedianya seperangkat kerangka nilai yang telah "terkodifikasi" dan secara konsisten menjadi acuan jam'iyah ini dalam hampir semua perilakunya, dan karenanya dapat menjadi salah aatu penjelas perilaku-perilaku itu. Namun untuk setidaknya dua alasan: pertama, sangat kontekstualnya pola aplikasi kerangka nilai itu, baik menurut konteks "siapa" yang melaksanakannya maupun konteks "kapan" nilai itu diaplikasikan,35 dan kedua, bahwa sebagai kelompok kepentingan NU merupakan infrastruktur yang hidup dalam sistem politik Indonesia, maka kajian tentang NU pertama sekali harus dilakukan dengan meletakkannya dalam konteks makro kenegaraan Indonesia, khususnya Orde Baru. Orde Baru: Perspektif Kultural Pada pokoknya terdapat dua pola umum dalam memandang kepolitikan Orde Baru, yaitu pandangan yang cenderung memakai pendekatan kultural dan yang menekankan pendekatan struktural. Dalam pendekatan terakhir, biasanya ekonomi dan organisasi negara menjadi variabel penting. Para penganut perspektif kultural me- Jika asumsi Feillard ini dapat disetujui, dan tampaknya memang demikian, maka agenda NU adalah mencari model kepolitikan yang tepat dalam kapasitasnya saat ini. Pada era sebelum 1984, ketika NU masih berupa partai politik maupun ketika ber29 30 yakini adanya kontinuitas sejarah: banyak sekali karakteristik kepolitikan Indonesia modern yang merupakan "reinkarnasi" tradisi politik jawa sejak era pra-kolonial. Benda,36 misalnya, menilai otoriterisme di Indonesia jauh berakar dalam sejarah bangsa ini. Karena itu, Demokrasi Konstitusional, demokrasi "asing" yang pernah dicoba penerapannya di Indonesia pada 1950-an, akhirnya gagal. Sementara penganut perspektif kultural lain, seperti Anderson (37 dan Fachry Ali,38 secara lebih eksplisit membuktikan banyaknya paham dan budaya poiitik Jawa yang terefleksi pada karakteristik baik regim Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Bukan kompetensi kajian ini untuk melihat refleksi itu dalam detil. Namun tetap perlu untuk setidak-tidaknya melakukan overview terhadap beberapa aspek yang menonjol dalam konsep Jawa tradisional tentang kekuasaan. Mengacu pada Anderson, aspek-aspek itu meliputi empat hal.39 Kekuasaan itu konkret. Lepas dari persoalan siapa yang menggunakan, yang pasti kekuasaan itu ada. Lebih dari sekadar anggapan teoritik, maka kekuasaan sebenarnya adalah suatu "kenyataan eksistensial yang terwujud". Kekuasaan adalah energi yang tak teraba, misterius, bersifat agung, serta termanifestasi dalam setiap aspek dunia alamiah: dalam batu, kayu, awan dan api, dan terutama dinyatakan dalam misteri kehidupan yang terpokok, yaitu proses generasi dan regenerasi. Dalam alam pikiran tradisional Jawa tidak ada pemisahan yang tajam antara zat-zat organis dan anorganis, karena semuanya ditopang oleh kekuatan tak terlihat yang sama. Kekuasaan itu homogen. Semua kekuasaan mempunyai jenis yang sama serta berasal dari sumber yang sama. Kekuasaan di tangan individu atau kelompok tertentu adalah identik dengan kekuasaan di tangan individu atau kelompok lain manapun. Besarnya kekuasaan di alam semesta adalah konstan. Alam semesta tidaklah mengendor atau mengerut. Jadi jumlah kekuasaan di dalamnya pun tidak berubah, meskipun pembagian kekuasaan itu barangkali bisa berubah. Itu berarti, terputusnya kekuasaan di satu pihak mengharuskan pengurangan kekuasaan di tempat lain ________________________________________________________ __________ ________________________________________________________ __________ 20. Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU, lihat Einar M Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 160-187. 21. Mengenai kronologis lahirnya keputusan kembali ke Khittah 1926, lihat antara lain, Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 110-156. 22. Lihat Haris, op. cit,Tabel 4, h. 121. 23. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru," dalam Jurnal Ilmu Politik No. 9, h. 53. 24. Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar 1984 (Tesis S-2, Fakultas Paska Sarjana UGM, 1990), h. 40. 25. Nilai ini tersirat, misalnya, dalam ungkapan seorang tokoh NU, KH Wahid Zaini: "kalau organisasi NU bubar, NU -secara kultural- masih ada." Lihat Marijan, Vadis, op cit., h. 190. 26. Lihat Sitompul, op, cit, Lampiran 2, h. 209. Cetak miring dari Penulis. 27. Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," Tempo, 7 Nopember 1987. 31 32 28. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Arief Afandi di Jawa Timur Sedikit banyak mendukung keyakinan Mahbub ini. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa hampir separo dari pemimpin NU di wilayah penelitian tersebut masih cenderung memiliki orientasi yang berbobot politik daripada "non-politik." Lihat Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum Usai," Jawa Pos, Juni 1993. 29. Lihat Nuddin Lubis, "Jangan Berlarut-larut warga NU Mengambang," dalam S. Sinansari Ecip (ed.), op. cit,h. 37-46. 30. Editor No. 25, 7 Maret 1992, h. 13. 31. Ibid., h. 16 32. Andree Feillard, "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam ibid., h. 30-31. 33. Ibid., h. 32. 34. Ibid. 35. Wawancara penulis dengan Drs. Kacung Marijan di FISIP-Unair, Surabaya, 22 Juni 1993. 36. Harry J. Benda, "Democracy in Indonesia: A Review Article," dalam Journal of Asian Studies, 23, 3 (May 1964), seperti dikutip dalam Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 1989), h.2. 33 37. Benedict R.OG. Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture," dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell Uneversity Press, 1972). 38. Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986). 39. Anderson, op.cit. h.7-8. Dalam kerangka inilah agaknya dapat dijelaskan, di samphg penjelasan-penjelasan lain, mengapa fusi partai-partai politik di tahun 1973 mejadi penting untuk dilakukan: semakin sedikit jumlah parpol semakin sederhana pola distribusi kekuasaan yang ada, dan itu berarti semakin mudah kekuasaan dipusatkan. Sebab berkaitan dengan sifat kekuasaan yang jumlahnya konstan, maka indikator utama adanya kekuasaan di tangan seseorang adalah kemampuamya untuk memusatkan: memusatkan kekuasaannya sendiri, menyerap kekuatan dari luar, dan memusatkan dalam dirinya apa yang tampaknya bertentangan.40 Sukarno pernah mencoba menegaskan kekuasaannya dengan melakukan sintesa ideologis terhadap nasionalisme, agama dan komunisme, dalam Nasakom. Tapi Suharto lebih berhasil ketika mengharuskan semua orpol dan ormas menerima Pancasila sebagai asas tuntutan dan melepaskan ideologi khas masing-masing. Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Karena semua kekuasaan berasal dari satu sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri mendahului persoalan baik dan buruk. Kekuasaan itu terlepas dari persoalan sah dan tidak sah, sebab yang penting: kekuasaan itu ada. Dalam dasar pemikiran tentang kekuasaan yang keempat di atas, pengertian yang implisit dibawa di situ adalah bahwa legitimasi kekuasaan adalah hal yang inheren dalam eksistensinya. Artinya, jika suatu kekuasaan telah nyata ada, maka faktor kedua yang secara bersamaan pasfi ada ialah legitimasi bagi kekuasaan itu. Tidak jadi soal apakah kekuasaan itu diperoleh 34 melalui paksaan kekuatan fisik, seperti kudeta. Jika pelaku kup itu berhasil mengambil alih kekuasaan, itu berarti ia memang memiliki legitimasi untuk berkuasa. Sebab jika tidak, ia pasti gagal. Tentu saja suatu regim fidak dapat semata-mata mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi otomatis minimal itu, melainkan diperlukan faktor-faktor lain sebagai penguat legitimasi tersebut. Dalam kasus Orde Baru pun dapat diamati beberapa hal yang secara kultural menguatkan pengabsahan kekuasaan regim ini setidak-tidaknya dalam alam bawah sadar pemikiran Jawa traditional dalam jumlah yang sama. Pertama adalah berkaitan dengan identifikasi utama Orde Baru sebagai "regim militer". Jika dalam pandangan Barat sebuah regim militer barangkali menpunyai cap negatif tertentu, maka tidak demikian halnya dalam pandangan kekuasaan Jawa tradisional. Sejak dahulu dalam kerajaan-kerajaan Jawa, tentara memiliki kedudukan penting. Sedemikian pentingnya keduduhn militer itu dapat terlihat dalam kenyataan bahwa rala-raja Jawa yang besar pertama-tama adalah seorang jenderal (panglima perang) yang besar pula.41 Raja adalah negarawan, manipulator simbol-simbol kerajaan dalam konotasi agama, pemilik kerajaan yang mengandung potensi perlawanan, dan, tak jarang, pembaharu sastra. Variasi raja berbakat itu tidak akan mucul tanpa ketrampilan militer. Dan tanpa itu, seorang raja tidak akan mampu mengontrol daerah-daerahnya yang relatif jauh, yang biasanya otonom. Konsolidasi wilayah kerajaan pun pada umumnya dilakukan dengan kekuatan bersenjata. Karena itulah kedudukan militer menjadi sangat penting dalam kerajaan-kerajaan Jawa tradisional. Dari sini dapat dipahami mengapa Sukarno di masa kekuasaannya selalu menonjolkan kapasitasnya sebagai Panglima Tertinggi ABRI belakangan juga Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), dan dalam setiap penampilan resminya selalu mengenakan uniform militer lengkap. Suharto, tentu tidak perlu sampai bersusah payah seperti pendahulunya itu. Penguatan keabsahan berikutnya sedikit-banyak berkaitan dengan konsep Ratu Adil: munculnya raja yang adil dan bijaksana sesudah masa kekacauan dan kemerosotan moral yang parah. Legitimasi kultural terhadap Orde Baru adalah karena Suharto, figur sentralnya, dipandang telah memperoleh pulung untuk berkuasa. Inilah cara pengesahan yang paling mengesankan bagi budaya 35 lawa. Pulung, adalah cahaya suci yang memberi seseorang kekuatan untuk berkuasa. Ia juga merupakan sarana transformasi kekuasaan: wahyu meninggalkan seorang raja yang tutup usia, atau yang telah pasti keruntuhannya, dan beralih kepada calon penguasa baru.42 Naiknya militer kepuncak kekuasaan di masa Orde Baru di samping memiliki Iegitimasi kultural yang kuat juga membawa agenda permasalahan kultural, khususnya bagi kekuatan poIitik Islam. Menurut Emmerson,43 probIematika Orde Baru sebenarnya berakar pada pembagian kuItural masyarakat Indonesia atas santri abangan, dan priyayi,44 sehingga ketika miIiter yang mewakili tradisi abangan dan priyayi tampil ke puncak panggung kekuasaan, dengan sendirinya golongan (kekuatan politik) Islam tersingkir. Senada dengan Emmerson, Jenkins (45 membuat catatan bahwa: ...usaha-usaha untuk menyusun doktrin militer yang koheren berlangsung pada saat sedang bertumbuhnya kerenggangan antara tentara dan kekuatan Islam politik, sebuah kerenggangan yang kurang-lebih merupalan latar belakang kepolitikan Indonesia selama tahun 1975-82. Perbedaan-perbedaan antara tentara dan Islam politik memiliki akar dalam basis perpecahan yang terdapat antara dua orientasi budaya Jawa yaitu antara santri, ... dan abangan, ... Perbedaan-perbedaan ini, yang dipertajam selama revolusi oleh bentrokan antara unit-unit tentara reguler dengan laskar-laskar gerilya yang berorientasi pada kelompok-kelompok politik Muslim, tanpa terkecuali telah mengarahkan kedudukan agama dalam negara.46 Kerenggangan antara pemerintah dengan kekuatan poliIik Islam selama kurun waktu tertentu pernah sedemikian parah, sehingga terkesan bahwa penyakit "Islamo-phobia" telah menjangkifi para penguasa. Tenbng ini, Jenkins mendiskripsikannya dengan agak dramatis: Dua dari empat anggota kdompok inti ini -Ali Murtopo dan Yoga Sugama- adalah orang Jawa abangan dari propinsi asal Suharto di Jawa Tengah. Sementara yang Iainnya -Sudomo 36 dan Murdani-- adalah Kristen Jawa. Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi apa yang dikenal dengan "Islam-phobia" dari kelompok yang berkuasa. (Di masa Pemilu 1977, Suharto menerima I.J. Kasimo, Frans Seda, dan beberapa pimpinan Partai Katolik dulu. Sebelum kelompok ini dipersilahkan duduk, dikisahkan bahwa Presiden menyatakan: "Lawan kita bersama adalah Islam").47 Salah satu warisan sejarah bagi negara indonesia modern adalah teralienasinya lslam dan kekuasaan, siapapun yang berkuasa. Kuntowijoyo (48 menyebutkan bahwa alienasi dan oposisi Islam terhadap pemerintah dan birokrasi memiliki akar sejarah yang panjang hingga ke jaman kerajaan Mataram di abad XVlll. Perkembangan sejarah mematangkan kondisi ini sehingga akhirnya memunculkan mitos tentang pembangkangan Islam terhadap penguasa. Mitos ini seolah tak hendak padam ketika sebagian besar pemberontakan separatis pasca kemerdekaan selalu membawa label Islam. Pemberontakan Dl/Tll pimpinan Kartosuwiryo dengan pendukung utama laskar Hizbullah, yang nota bene berafiliasi ke NU, dan laskar Sabilillah di Jawa Barat,49 serta keterlibatan sejumlah pimpinan Masyumi dalam pemberontakan PKKI, yang telah menewaskan banyak prajurit TN1,50 adalah dua contoh penting gerakan separatisme yang mengikuti alur mites di atas.51 Militer tentulah pihak yang paling banyak merasakan kesusah-payahan fisik akibat semua pemberontakan itu. Antipati militer terhadap kekuatan politik Islam yun secara pelan tapi pasti terus terbentuk. Dan ketika mereka (militer) berhasil naik ke puncak kekuasaan, mereka tidak ragu lagi untuk menerapkan kontrol ketat terhadap kekuatan politik Islam. Bahkan tema utama penolakan Suharto terhadap upaya rehabilitasi Masyumi adalah keterlibatan yang telah disebut di atas. Ditegaskan bahwa, "Faktor-faktor hukum, politik dan psikologis telah men dorong ARRI berpendapat, tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi."52 Tidak terlalu meleset untuk menyimpulkan bahwa, selama kurun waktu tertentu pemerintah (ABRI) dan Islam hidup dalam suasana yang kurang harmonis sehingga membawa kekuatan politik Islam pada posisi defensif. Namun memasuki era 1990-an, realitas baru telah muncul dan 37 seolah-olah menggambarkan perubahan wacana politik Indonesia. Semakin menguatnya kedudukan kelas menengah Muslim, dari ka langan akademisi, usahawan, profesional, bahkan birokrat di tengah kehidupan bangsa telah mengubah sosiologi dan politik umat Islam Indonesia. Terbentuknya ICMI dengan demikian dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari menguatnya kelas menengah tersebut. Salah satu implikasi penting yang dibawa oleh fenomena ini adalah mulai runtuhnya mites pembangkangan kaum santri.59 Berangkatnya Presiden Suharto sekeluarga ke Tanah Suci tak kurang turut memberi makna simbolis yang penting bagi umst Islam dalam kepolitikan nasional. Bagaimanakah fenomena ini seharusnya dipersepsikan? Apakah serta-merta dapat disimpuikan bahwa cultural cleavage santri versus abangan/priyayi yang sebelumnya jelas terefleksi dalam kesenjangan antara Islam dan pemerintah telah berakhir? Di sini, sudah pasti bahwa argumen-argumen kultural kurang mampu untuk memberikan penjelasan yang memuaskan.54 Untuk itu diperlukan adanya imbangan penjelasan altematif dalam perspektif struktural. Orde Baru : Perspekfif Struktural Clrde Haru lahir sebagai sebuah Krand coalition Yang meliputi hampir semua kelompok-kelompok sosial yang tersingkir di masa Demokrasi Terpimpin. Koalisi ini sebenarnya sangat heterogen, yang disatukan semata-mata oleh kesamaan tujuan tertentu, itupun sangat bersifat insidental. Tak heran, ketika tujuan yang mempersatukan itu tercapai, angin sejarah selama beberapa waktu telah merontokkan sebagian eksponen koalisi itu satu persatu pada setiap Wliran masing-masing. Yang tersisa kemudian hanyalah beberapa eksponen kuat tertentu, terutama militrr yang merupakan satu-satunya aktor politik yang tetap survive di antara tiRa aktor dalam segitiga kekuasan Demokrasi Terpimpin, setelah dua yang lain, Sukamo dan PKI, tersingkir dalam masa transisi 1')66-1967. Eksponen lain adalah para teknokrat yang merupakan mitra utama militer dalam koalisi tersebut. Permasalahan yang set;era dihadapi oieh Orde Baru adalah wa risan krisis dari regim sebelumnya meliputi ambruknya pereko38 nomian nasional dan, tak kalah peliknya, instabilitas politik yang parah sebagai epilog dari percobaan kudeta yang gagal oleh G,-30-S, yang oleh sementara kalangan disebut-sebut sebagai didalangi oleh PKI. Regim baru itu tak pelak lagi telah berhadapan dengan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang sulit dalam upaya pembenahan itu, sementara sumber penghasilan negara masih sangat terbatas. Pilihan yang paling masuk akal bagi para plmpman Orde Baru akhirnya adalah: Strategi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif --kendatipun masih berada di bawah pengarahan pemerintah-- di dalam sistem pasar bebas dan yang memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini menjanjikan hasil-hasil yang lebih cepat tanpa memerlukan perombakan ekonomi yang mahal.56 Sementara dalam penerapannya digunakan stratefii yang "berorientasi ke luar", betapapun pada awalnya sempat muncul pertentangan pendapat sehubungan dengan adanya pula keinginan untuk menggunakan strategi yang "berorientasi ke dalam".57 Segala problematika yang dihadapi Orde Baru berikut solusi yang --mau tak mau harus-- dipilihnya memunculkan karakteristik otoriterism birokratik dari regim ini.58 Di samping itu, kenyataan bahwa saat ini Orde Baru sedang mengupayakan industrialisasi besar-besaran telah mengakibatkan perubahan struktur sosial baik pada tingkat elit maupun pada tingkat massa. Mengacu pada O'Donnel, adanya political tensions akibat industrialisasi dan perubahan struktur sosial baik pada level elit maupun level massa pada gilirannya juga mendorong munculnya proses transformasi politik ke arah otoriterisme-birokratik.59 Dalam sistematika yang dibuat oleh Mohtar Mas'oed (60 dengan menyesuaikannya terhadap konteks Orde Baru, karakteritik mendasar regim otoriterisme birokratik menurut O'Donnel adalah: 1. Pemerintahan dipegang oleh militer, yang --sebagai suatu lembaga-- bekerjasama dengan teknokrat sipil. 2. Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang --bersama negara-berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. 3. Pengambilan keputusan dalam regim OB bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama di antara berbagaj kelomyok kepentingan. 4. Massa didemobilisasikan. 5. Untuk me39 ngendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represit. ________________________________________________________ ________________________________________________________ 40. Ibid. h.13 41. Peter Britton, Military Professionalism in Indonesia: Javanese and Westem Milituy Tradition in The Anny Ideology (MA Thesis, Monash University, 1983), sebagaimana dikutip dahm Fachry All, op. cit., h. 170. 42. Mengenai konsep pulung ini, Iihat ibid., h. 66-68; lihat juga Anderson, op. cit., h. 25-28. 43. Donald K. Emmerson, Indonesia's Elite: Political Culture and Cultural Politics (lthaca Cornell University Pres, 1976), sebagaimana dikutip dalam Haris, op. cit., h. 26 44. Pembagian ini mengacu pada pendapat Geertz, yang telah memperkenalkan terminologi tradisional Jawa tersebut ke dalam ilmu sosial Barat. Kata santri mengacu pada komunitas kaum muslim yang berpegang teguh pada hukum dan tata-kebiasaan Islam. Kelompok ini terkadang berselisih paham dengan orang-orang yang secara nominal Islam namun menekankan pada sinkretisme dari kepercayaan animisme dan mistik dengan polesan Islam dan Hinduisme yang disebut kaum abangan. Varian lain, priyayi, yang pada mula40 nya menunjuk pada kalangan aristokrasi, adalah kelompok yang menekankan nilai-nilai Hinduisme yang berakar pada Kraton Hindujawa terdahulu. Lihat Cliffort Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alih bahasa Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6-9. peristiwa kesejarahan insidental, dan bukan refleksi pandangan keagamaan yang: esensial Tentang gerakan-gerakan separatisme yang berlabelkan Islam, ia mempertanyakan: "Sampai di mana gerakan mereka merupakan hasil renungan ideologis berdasarkan Islan, dan sampai di mana pula merupakan bentuk reaksi mereka dalarn situasi revolusioner karena perkembangan atau perubahan polilik praktis tertentu yang, kebetulan mereka tidak setuju atau merasa dirugikan olehnya?" Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xclx 45. David Jenkins, Suharto, and His General lndonesian Military Politics 19751983 (Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1984). 46. Ibid., h.6 47. Ibid., h.9 48. Kuntowijoyo, Paradina Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991) khususnya Bab IV (Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam) dan Bab V (Agama, Negara dan Formasi Sosial), h. 123-156. 49. Lihat antara lain, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 19451967, alih bahasa Hassan Basari Jakarta (LP3ES, 1988). h. 77-78. 50. Tentang keterlibatan ini, lihat Suswanto, Masyumi dan PXKI. Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh masyumi Jalam Pemerintah Revolusioner Repvblik Indonesia (Skripsi Fiuipol- U(;M, 199.7) 51. Tidak semua kalangan, tentu, setuju begitu saja dengan anggapan minus tersebut. Nurcholish Madjid, misalnya. Ia menilai bahwa beberapa point yang seolah menandai kesenjangan antara Islam dan pemerintah adalah sekadar 41 52. Harold Crouch, Militer dan Politik di Lndonesia, alihbahasa TH Sumartana Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 292. 53. Tentang munculnya penambahan ini, lihat A. Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta : Sipress, 1991). 54. Mohtar Mas'oed telah menginventarisir beberapa kelemahan mendasar argumen kultural. Lihat Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 3-6. 55. Tidak pernah benar-benar terungkap secara ilmiah siapa sebenarnya dalang utama pengkhianatan G-30 S itu. Para pengamat dan ilmuwan mempunyai dugaan yang beraneka-ragam dan seringkali satu sama lain saling bertentangan. Terlalu banyaknya fakta yang masih tertutup kabut hingga saat ini membuat semua perkiraan itu tampak sama-sama mungkin dan sama-sama 42 mustahilnya- Tentang dugaan dan penafsiran para pengamat itu, lihat Crouch, op cit. h. 112-134. 56. Mohtar Mas'oed, op. cit, h. 61. 57. Ibid 58. Mohtar Mas'oed menyebutkan bahwa muculnya regim-regim OB di negaranegara berkembang seperti Indonesia bersumber pada krisis-krisis ekonomi dan politik yang diwarisi dari regim sebelumnya dan yang diciptakan oleh kebijaksanaan pemerintah 'membuka' ekonomi terhadap kapitalisme internasional. Lihat ibid., h. 16. 1958.61 Namun berkaitan dengan profesionalisme militer itu sendiri, maka seperti yang dikatakan oleh Yahya Muhaimin,62 dalam diri militer secara inheren terdapat semacam "technical inability to administrate", di samping sebenarnya juga "lack of legitimacy to govem", mengingat kehidupan sosial lebih kompleks daripada kehidupan militer. Karena itu militer akhirnya tetap merasa perlu untuk berkolaborasi dengan kalangan sipil tertentu untuk menutupi celah di atas. Dan mengapa teknokrat yang dipilih, maka tidaklah sulit untuk menemukan sebabnya. Di samping ketidak-puasan terhadap kalangan politisi sipil yang sebelumnya telah kedodoran dalam mengelola politik dan ekonomi negara, penyebab lain adalah karena baik militer maupun teknokrat mempunyai orientasi yang sama da lam upaya memecahkan masalah sosial dengan cepat dan secara politik netral.63 Sendi penting lain, berkaitan dengan karakteristik keempat di atas serta sedikit banyak karakteristik kelima, adalah berlangsungnya mekanisme political exclusion (penyingkiran pditik). Menurut O'Donnel, salah satu kriteria penting regim OB adalah: 59. Guillermo O'Donnel, seperti yang diikhtisarkan dalam David Collier,"Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model", dalam David Collier (ed.), the New Authoritarianisme in Latin America (Princeton: Princeton University Press, 1979), h. 25. Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yang telah aktif sebelumnya ··· dari area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para pimpinan sektor ini. Ia juga berarti penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya terhadap posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka mempengaruhi secara langsung keputusan bagi kebijaksanaan nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan dengan 60. Mohtar Mas'oed, op. cit,, h. 10. Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik dengan demikian adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer dalam aktifitas pengelolaan regim baru ini. Militer tak diragukan lagi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memiliki kapabilitas untuk memikul beban berat yang· mesti diemban oleh Orde Baru. Sebagai salah satu kekuatan politik yang tangguh sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiap-siap untuk melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan 'Dwi Fungsi ABRI yang menjadi raison d'etre keterlihatan langsung itu telah dimatangkan dalam proses yang tidak bisa dibilang singkat sejak kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran akses politik melalui pemilu.... menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk mengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam menentukan apa yang terjadi pada level kepolitikan nasional.64 Partai-partai politik secara mencolok telah menjadi obyek terpenting mekanisme polifical exclusion di masa Orde Baru. Anggota 43 44 inti koalisi Orde Baru, khususnya kalangan perwira Angkatan Darat dan kelompok intelektual pembaharu, pada dasarnya memiliki perasaan anti-partai yang mendalam. Di masa terdahulu, baik masa Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, parpol selalu merupakan pemegang saham terbesar dalam setiap langkah ke arah instabilitas politik. Perasaan antipartai di kalangan para pendukung Orde Baru berimpit dengan perasaan "anti-ideologi" mereka. Konflik ideologis dipandang sebagai dosa masa lain yang tidak boleh terulang lagi. Heterogenitas bangsa di masa sebelumnya telah sangat dipertajam oleh sekat-sekat ideologis yang --sengaja atau tidak-- telah dibuat. Parpol, lagi-lagi, adalah pemegang saham terbesar di sini. Upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari sekat ideologis itu bejalan simultan dengan upaya menyingkirkan parpol ke posisi marjinal dalam sistem politik. Berbeda dengan Sukarno, yang juga cenderung tidak menyukai partai politik tapi tetap memandang bahwa ideologi adalah penting bagi kelangsungan revolusi, maka regim Orde Baru berusaha meminimalkan kekuatan partai-partai politik dengan memaksa mereka melepaskan ideologi khas casing masing dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di samping upaya lain dengan jalan memotong akar parpol terhadap massa tradisional mereka. Sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap pragmatisme Orde Baru untuk lebih memusatkan perhatian pada perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atan tidak telah menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/modernisasi.65 Dalam kepolitikan OB, negara mempunyai tugas penting untuk melakukan kontrol (pengawasan). Pelaksanaan peran ini dapat mengambil dua bentuk: tindakan represif yang menekan sektor populer dalam masyarakat yang kadangkala dilakukan secara berlebihlebihan, atau berupa tindakan preventif untuk mengeliminir kondisi-kondisi yang dapat memunculkan kembali pemimpin, organisasi, serta tuntutan dari sektor-sektor populer terhadap kebijaksanan politik (juga ekonomi) exclusion yang dijalankan negara.66 Pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan umat dan ormas Islam yang belakangan muncul tampaknya mengikuti alur perubahan bentuk pengawasan dalam kepolitikan OB itu. Mengendornya ketegangan dalam hubungan itu dimungkinkan oleh mulai dikuranginya bentuk kontrol represif terhadap sektor-sektor populer Islam untuk digantikan dengan bentuk kontrol yang lebih bersifat preventif. Di samping karakteristik OB di atas. regim Orde Baru juga menunjukkan ciri korporatik dalam pengorganisasian negara dan masyarakat. Kenyataan bahwa proses politisasi massa pada masa sebelumnya pernah mencapai tingkat intensitas yang begitu tinggi menyebabkan negara tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan politik yang represif begitu saja terhadap massa. Maka jika di satu sisi regim Orde Baru giat melakukan depolitisasi besar-besaran, di sisi lain negara tetap membutuhkan mobilisasi rakyat sebagai sumber daya penggerak ekonomi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang pesat sangat mungkin memunculkan kelompok-kelompok besar baru dengan kepentingannya sendiri yang membawa tuntutan baru terhadap pemerintah, di samping kelompok-kelompok yang frustrasi dan dapat menimbulkan masalah besar bagi regim. Terhadap kelompok-kelompok besar dalam masyarakat, regim mesti dapat mengakomodasikannya tanpa menganggu keutuhan regim, sementara terhadap kelompok-kelompok yang disebut belakangan, regim harus siap mengendalikannya dengan cara memanipulasi saluran-saluran perwakilan.67 Mekanisme eksklusi yang terdapat dalam kepolitikan Orde Baru diterapkan dengan jalan korporatisasi negara sebagai suatu jaringan besar, sehingga dengannya konflik-konflik ideologis dapat diminimalkan dan dikompensasikan ke arah tujuan-tujuan ekonomi. Dengan membuat sintesa definisi Schimtter dan Gunter, Mohtar Mas'oed mendefinisikan korporatisme sebagai: Suatu perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur secara hirarkis dan dibedakan secara fungsional, dan diakui dan diberi ijin (jika bukan diciptakan oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam badan masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka, dengan tujuan menindas konflik 45 46 kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan, kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.68 Dari definisi ini, korporatisme dapat dipandang sebagai sebuah model pengorganisasian antara negara dan masyarakat. Menurut Malloy, korporatisme merupakan usaha untuk memobilisasi basis yang luas untuk mendukung pembangunan. Usaha ini dilakukan dengan cara-cara otoriter untuk meminimalkan kunflik dan keterlibatan dalam konflik.69 Untuk itu prasyarat yang harus dipenuhi adalah: Militer profesional modern dengan identitas kelembagaan dan pandangan yang relatif koheren tentang masyarakat dan peranan militer di dalamnya; kader teknokrat yang teralienasi dari masyarakat dan mau bersekutu dengan militer untuk memperkuat restrukturisasi masyarakat untuk memenuhi keinginan para teknokrat itu; dan kelompok-kelompok yang mau menerima inisiatif-inisiatif yang disediakan oleh negara yang dikontrol oleh militer-teknokrat.70 Malloy juga menyebutkan bahwa sebenarnya korporatisme merupakan sebuah tema utama otoriterisme.71 Dalam kapasitas ini, regim-regim korporatis memiliki beberapa karakteristik yang ditandai dengan Struktur pemerintahan yang kuat dan relatif otonom yang berusaha memaksakan pada masyarakat sebuah sistem perwakilan kepentingan yang didasarkan pada pluralisme yang di batasi secara paksa. Regim-regim ini mencoba untuk meng hilangkan artikulasi kepentingan yang spontan dan menumbuhkan sejumlah kelompok yang secara otoritatif diakui dan berinteraksi dengan aparatur pemerintah dalam cara yang telah ditentukan. Selain itu, kelompok-kelompok yang diakui itu lebih diatur dalam kategori-kategori fungsional vertikal daripada kategori kelas horisontal dan diharuskan berinteraksi dengan negara melalui pimpinan yang ditentukan dari asosiasi kepentingan yang secara otoritatif disetujui. 47 Sementara itu, Perlmutter (73 memandang bahwa suatu negara korporatis, yang pada hakekatnya merupakan suatu oligarki, biasanya didominasi oleh sebuah koalisi para politisi, militer, teknokrat dan birokrat. Feature politiknya yang paling jelas adalah absennya partai yang otonom dan kuat. Kebanyakan partai tidak lebih dari instrumen despot atau oligarki yang korporatis. Demikian pula halnya kebijaksanaan yang ada. Satu catatan, negara memegang dominasi hanya dengan dukungan yang aktif dari kelompokkelompok korporatis yang otonom, seperti militer dan teknokrat. Bentuk pemerintahan korporatisme, menurut Schmitter,74 secara sederhana memiliki dua subtipe: subtipe korporatisme negara (state corporatism) dan subtipe korporatisme masyarakat (societal corporatism). Jika yang disebut belakangan dicirikan oleh suatu sistem perwakilan atau asosiasi kepentingan yang relatif otonom di mana aktifitas-aktifitas dukungan terhadap negara dan pemerintah merupakan suatu legitimasi politik yang utama, maka yang disebut pertama bercirikan dengan kuatnya penetrasi negara terhadap perwakilan-perwakilan dan asosiasi-asosiasi kepentingan.75 Kedua subtipe ini dilihat dari dimensi dinamisnya, merupakan produk dari proses-proses politik, sosial dan ekonomi yang ber beda. Korporatisme masyarakat hadir dalam sistem politik yang memiliki posisi otonom relatif. Unit-unit teritorial yang ada dalam masyarakat ini mempunyai ciri berlapis-lapis dan terbuka. Di dalamnya terdapat sistem kepartaian dengan proses pemilu yang kompetitif murni. Otoriterisme eksekutif korporatisme masyarakat didasarkan pada berbagai ideologi dam koalisi, bahkan subkultur politik yang berlapis-lapis. Sebaliknya korporatisme negara biasanya dikaitkan dengan sistem politik di mana sub-sub unit teritorial secara kuat disubordinasikan ke dalam kekuatan sentral birokrasi. Pemilu tidak lebih dari sekadar mekanisme formal, bahkan terkadang ditiadakan. Sementara sistem kepartaian yang ada sangat didominasi oleh sebuah partai negara. Otoritas eksekutif secara ideologis bersifat eksklusif, di mana rekrutmen dilakukan secara sempit. Tindakan-tindakan represif dilakukan terhadap sub-sub kultur yang didasarkan pada kelas, etnis, bahasa, dan regionalisme.76 48 Orde Baru yang sangat birokratis dan otonom lepas dari kendali kekuatan sosial manapun secara konkrit dapat digolongkan sebagai bentu pemerintahan korporatis dalam subtipe korporatisme negara.kemampuan negara masih terbatas untuk memenuhi tuntutan kelas bawah, sementara upaya penciptaan tenteraman sosial yang pada saatnya bermuara pada stabilitas politik, sebenarnya mutlak menuntut adanya pemenuhan kepentingan kelompok ini adalah salah satu masalah yang pemerintah Orde baru. Dilema ini diatasi bukan dengan menggalang dan memasukkan mereka kedalam sistem melainkan dengan yang dan memasukkan mereka ke dalam sistem, melainkan dengan menindas dan menutup kemungkinan artikulasi kepentingan kelas bawah tersebut, pada saat kepentingan kelas atas di akomodasi. Lembaga kepentingan dan kelompok-kelompok, kepentingan diletakkan dibawah kendali dali ketat pemerintah. Upaya menciptakan suatu sistem perwakilan kepentingan yang didasarkan pada pluralisme yang secara paksa dibatasi, dilakukan dengan jalan restrukturasi sistem kepartaian hingga sedemikian rupa. Jalan lain yang dipilih adalah mennggabungkan kelompok-kelompok kepentingan ke dalam berbagai organisasi korporatis yang didukung pemerintah, atau pemerintah melakukan penetrasi yang kuat dan kontrol yang ketat terhadap kelompok-kelompok kepentingan itu, Terlebih yang memiliki asas primordialitas tertentu. Tingkat intensitas penerapan tindakan dan pengawasan represif itu mempertegas karakteristik kepolitikan otoriterisme-birokratik Orde Baru. Betapapun pola pengawasan represif pada saatnya memang mulai menyurut, untuk secara berangsur digantikan oleh bentuk pengawasan preventif seiring dengan tercapainya tingkat konsolidasi yang lebih baik oleh pemerintah Orde Baru. Sebuah kelompok kepentingan (interest group), menurut Almond adalah "setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah tanpa pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik". Perbedaan terpenting antara kelompok kepentingan dan partai politik terletak pnda tujuan untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Parpol memiliki tujuan itu, sementara kelompok kepentingan tidak. Betapapun dalam politik tertentu, Indoneiia misalnya, akses parpol terhadap jabatan publik hanya sebatas kursi di lembaga legislatif, sementara lembaga eksekutif tertutup, kecuali untuk partai yang disponsori pemerintah. Sedikitnya perbedaan yang terumuskan secara jelas ini menyebabkan kelompok kepentingan dapat berubah menjadi partai politik dan sebaliknya. NU adalah contoh yang tepat untuk argumen ini. Dalam tujuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, masing-masing kelompok kepentingan memiliki perbedaan dalam hal keteriibatan dalam kontak yang kurang lebih tetap dengan beberapa level pemerintahan. Berdasarkan itu, Hagopian (78 membuat dikhotomi umum antara political dan nonpolitical interest group. Jika yang pertama memiliki intensitas yang tinggi dalam keterlibatan di atas, maka yang kedua tidak. Dari dikhotomi sederhana ini dapat dibuat sebuah kontinuum yang bergerak dari sejumlah kecil kelompok-kelompok apolitis menuju sejumlah lebih besar kelompok-kelompok kepentingan yang terpolitisir, seperti terlihat pada gambar di bawah ini: !! !! !! !! Unions !! Reformer !! !! !! Artistic !! Religious !! Business !! or !! !! !! Societies !! Group !! Farmers !! Revolutionary !! !! !! !! !! Group !! Groups !! !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 0 50 100 NU sebagai Kelompok Kepentingan Kontinuum ini menggambarkan bahwa tidak ada suatu kelompok 49 50 kepentingan yang dapat secara total menjauh dari keterlibatan dalam politik. Sekalipun beberapa kelompok lebih suka jika pemerintah tidak mencampuri urusan mereka, namun konflik kelompok yang kerap muncul akan memaksa pemerintah untuk melakukan campur tangan sebagai wasit dan pembela kepentingan umum.79 Pada kontinum di atas, kelompok kepentingan keagamaan pada umumnya berada di titik moderat antara totally unpolicized dan totally politicized. Kelompok keagamaan tidak bisa sepenuhnya terlibat dalam mekanisme politik, terutama di negara-negara sekuler yang tidak berdasarkan pada asas agama tertentu. Sementara untuk secara total berada di titik nol juga tidak dimungkinkan. Pemerintah yang berkuasa tentu saja tidak ingin mengabaikan kelompok-kelompok yang berkemampuan tinggi untuk menggalang sejumlah besar umatnya. Dalam masyarakat modern, para pemimpin politik selalu membutuhkan organisasi-organisasi terspesialisasi sebagai pemberi dukungan yang sangat penting bagi kelangsungan sistem politik, di samping untuk menggerakkan --sambil mengawasi-- organisasi-organisasi itu.80 Dalam kasus NU, agaknya kurang tepat meletakkannya pada titik tengah itu, sekali pun pasti bahwa NU adalah organisasi keagamaan. Pengalaman panjang sebagai partai politik, serta kuatnya orientasi politik NU, menempatkannya semakin ke kanan dalam kontinuum di atas. Munigkin malah mendekati posisi kelompok-kelompok reformasi atau revolusioner. Kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan itu sangat mempengaruhi tata politik, ekonomi dan sosial suatu bangsa. Almond menawarkan klasifikasi yang kemudian banyak digunakan untuk membedakan kelompok kepentingan atas: 1. kelompok anomik (anomic groups), 2. kelompok nonassosiasional (nonassociational groups), 3. kelompok institusional (instutional groups) dan 4. kelompok assosiasional (assosiational group).81 Kelompok anomik sebenarnya merupakan bentuk penetrasi ma51 syarakat yang kurang lebih spontan terhadap sistem politik, seperti kerusuhan, demonstrasi, tindak kekerasan politik, dsb. Letupan-letupan spontan itu muncul terutama bila kelompok yang terorganisir absen, atau kalaupun ada, kepentingannya tidak terwakili secara memadai dalam sistem politik itu. Diragukan, sebenarnya, apakah kategori ini benar-benar memadai sebagai faktor analisis. Kerusuhan, demonstrasi, serta kekerasan juga merupakan tindakan instrumental dari kelompok-kelompok lain seba gai ekspresi aspirasinya. Jadi hal itu kurang dapat dianggap sebagai sebuah tipe kelompok kepentingan. Kelompok nonassosiasional pun, seperti kelompok anomik, jarang yang terorganisir secara formal dan rapi dengan kegiatan yang bersifat insidental. Wujudnya bisa kekerabatan, keturunan, etnik regional, status, kelas, dan seterusnya. Kebanyakan kelompok ini merupakan kategori sosial yang luas dari suatu komunitas "alamiah", yang tidak terwakili oleh suatu organisasi formal. Secara teoritik kegiatan kelompok nonassosiasional merupakan ciri masyarakat yang belum maju. Dalam masyarakat modem yang sudah sangat terdiferensiasi, keberadaan kelompok ini lambat laun tergeser. Sebab di samping persaingan dari kelompok-kelompok yang terorganisir melemahkan upaya-upaya kelompok ini, kelompok-kelompok nonassosiasional dengan kepentingan yang terus berkembang biasanya segera membangun struktur yang terorganisir dan, karenanya, masuk dalam kategori kelompok assosiasional. Kelompok assosiasional, biasanya berupa serikat buruh, organisasi pengusaha, industrialis, persatuan-persatuan yang diorganisir kelompok-kelommpok agama, dan lain-lain. Secara khas kelompok ini menyatakan kepentingan dari suatu kalangan khusus. Cirinya meliputi adanya prosedur-prosedur yang teratur, staf profesional yang umumnya bekerja penuh, serta ketegasan berkaitan dengan fungsi mereka yang terspesialisasi untuk melakukan artikulasi kepentingan. Organisasi formal dari sebuah asosiasi mempunyai hirarkhi jabatan dan pembagian kerja, seringkali dalam pola birokratis Weberian. Kelompok ini biasanya mengadakan pertemuan dalam interval yang tetap -tahunan, lima 52 tahunan,dst.-- di mana wakil-wakil dari seluruh anggota berkumpul. Pertemuan ini memilih para pemimpin papan atas serta mengesahkan Garis-garis besar kebijaksanaan organisasi. Jika diberi kesempatan berkembang, kelompok kepentingan asoSiasional cenderung untuk menentukan perkembangan jenis-jenis kelompok lain. Basis organisasional yang kuat menempatkannya di atas kelompok nonasosiasional, taktik dan tujuannya sering diakui sah dalam masyarakat. Dengan mewakili kelompok dan kepentingan yang luas, kelompok ini dapat dengan efektif membatasi pengaruh kelompok-kelompok lain, bahkan -meskipun jarang terjadi-kelompok institusional. Kelompok institusional merupakan organisasi-organisasi formal atau kelompok informal yang kuat dalam lembaga-lembaga sosial, yang mempunyai fungsi nyata selain artikulasi kepentingan. Organisasi ini seperti parpol, korporasi bisnis, badan legislatif. Militer dan birokrasi termasuk dalam organisasi tipe ini. Kelompok ini bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Kelompok ini biasanya cukup berpengaruh karena basis organisasinya yang kuat. NU tampaknya lebih mendekati karakteristik kelompok kepentingan asosiasional. Organisasi ini secara khas membawa kepentingan suatu segmen umat Islam Indonesia yang secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai penganut faham ahlussunnah wal jamaah. Secara struktural, kepengurusan NU terbagi dalam unit-unit yang secara horizontal meliputi pengurus Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah. Di samping itu terdapat pula unit fungsional seperti Lembaga Ekonomi, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan lain-lain. Dalam garis vertikal NU secara hirarkhis terbagi dalam Pengurus Besar untuk tingkat Nasional, Pengurus Wilayah di propinsi, Pengurus Cabang di Kabupaten/ Kotamadya, MWC ditingkat kecamatan, Pengurus Ranting di tingkat desa. Suatu kepengurusan pada tingkat tertentu membawahi beberapa kepengurusan pada tingkat di bawahnya. Betapapun setiap tingkat kepengurusan tak kurang otonomnya penataan semacam ini menurut Hagopian adalah suatu struktur organisasi federal, di mana 53 suatu kelompok asosiasional memiliki unit-unit lokal dan fungsional.82 Keputusan-keputusan penting yang menyangkut arah perjuangan NU dalam segala aspeknya, serta penetapan keanggotaan dan pimpinan Pengurus Besar, dilakukan dalam sebuah muktamar yang dilakukan dalam interval lima tahun. Sebagai sebuah kelompok kepentingan, NU mengemban tugas untuk mengartikulasikan kepentingan anggotanya. Efektifitas fungsi artikulasi ini pada akhirnya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memiliki akses terhadap pembuatan keputusan politik utama. NU bisa saja mengekspresikan kepentingan anggotanya dengan berbagai cara, namun tanpa kemampuan untuk mempengaruhi struktur pembuatan keputusan politik, upaya itu akan nihil. ________________________________________________________ _______________ ________________________________________________________ _______________ 61. Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya, Sundhaussen, op. cit., h. 219ff, passim. 62. Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang) di Fisipol-UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993. 63. R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia Tenggara", dalam Prisma No. 3, 1984, h. 40. 64. Guillermo O'Donnel, Modernization and BureaucraticAuthorianism 54 (Berkeley: Institute of international Studies, University of California, 1979), h.51-52. 73. Amos Parlmutter, Modern Authoriarianism (New Heavens and London: Yale University Press, 1981) h. 38-39. 65. Mohtar, Mas'oed, op. cil., h. 132ff. Ideologi di sini harus dipandang dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai "belief system". Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya adalah "set of political beliefs that characterized any individual, group, political party, goverment, social class, or entire nations." Lihat Mark N. Hagopian, Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc., 1978), h. 390. 74. Philippe C. Schmitter, "Still the Century of Corporatism?", dalam F.B. Pike dan T. Strilch (eds.), the New Corporatism (Notre Dome: University of Notre Dome Press, 1974), seperti dikutip dalam Nur Iman Subono, Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme (Skripsi FISIP-UI, 1988) h. 41. 75. Ibid., h. 41-42. 76. Ibid., h. 44-45. 66. Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The Slate", dalam James Malloy (ed.), Authoritarianism and Corporatism in Labin America (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69. 77. Gabriel A. Almond, "Interest Groups and Interest Articulatian" dalam Gabriel Almond (ed.), Comparative Politic Today A World View (Boston: Little Crown and Company, 1974), h. 74. 67. Mohtar Mas'oed, op cit., h. 12 78. Hagopian, Regimes, Op. cit, h. 351 68. Ibid., h. 13. 78. Ibid. 69. James M. Malloy, .'Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Case of Bolivia", dalam Malloy (ed), op. cit., h. 481. 79. Ibid. 80. Almond, op. cit, h. 82 70. Ibid 482. 81. Ibid.,h.74-78. Banyak politik lain yang menggunakan klassifikasi Almond ini. Hagopian, misalnya. Lihat Hagopian, op. cit., h. 351-356. Begitu pula Salisbury. Lihat Robert H.Salisbury, "Interest Group",dalam Fred. I. Greenstein 71. James M. Malloy, "Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Model Pattern", dalam Malloy (ed.), ibid. 72. Ibid. 55 56 dan Nelson W. Polsby (eds).,Nongovermental Politi, Handbook of Politik Science vol. 4 (Massachussets: Addison Wesley Publishing Co, 1975), h. 178. Diskusi dalam beberapa paragraf selanjutnya mengacu pada ketiga sumber ini secara saling melengkapi. 82. Hagopian, Op. cit, h. 352f. Conf: Salisbury, Op. cit., h. 185. Umumnya setiap kelompok kepentingan memiliki cara dan saluran yang berbeda-beda untuk mencapai kelompok yang berpengaruh. Namun secara teoritis, Almond menyatakan, faktor yang paling mempengaruhi pemilihan penggunaan saluran untuk mengartikuiasikan kepentingan adalah distribusi kekuasaan efektif dalam suatu sistem politik.83 Itulah sebabnya, kelompok-kelompok kepentingan cenderung tersedot ke arah pusat-pusat kekuasaan efektif dalam sistem politik yang ada.84 Saluran efektif bagi kelompok kepentingan dengan demikian berbeda antara satu sistem politik dengan sistem politik lain. Hagopian mencoba membuat pola umum bagi keanekaragaman itu. Akses kelompok kepentingan terhadap kekuasaan politik dapat dibedakan atas akses langsung dan akses tak langsung.85 Akses tak langsung menyangkut peran sebagai mediator antara parpol dan opini umum. Sedangkan akses tak langsung dapat dilakukan pada tiga tahapan kebi jaksanaan: pra-parlementer, parlementer dan post-parlementer.86 Jika dalam suatu sistem politik terdapat transformed parliamentarism, maka pedoman-pedoman pokok kebijaksanaan biasanya dirumuskan oleh pemerintah sebelum rancangan undang-undang sampai ke parlemen. Tahap "pra-parlementer" ini tidak boleh diabaikan, jika kelompok kepentingan ingin mempengaruhi kebijakan. Mereka dapat memusatkan 'taktik penekanannya' pada lembaga atau departemen pemerintah yang strategis. Dalam hal ini, hubungan antara lembaga pemerintahan dan kelpompok kepentingan seringkali bersifat dua arah. Sebab pemerinntah pun sebetulnya memerlukan data dan informasi dan 57 umpan balik dari kelompok kepentingan, terutama dari jenis asosiasional. Pada akses parlementer, intensitas kelompok kepentingan biasanya semakin tinggi. Dalam regim kostitusional, lembaga legislatif di parlemen masih memilki wewenang yang penting bahkan lembaga ini dapat mendesakkan suatu kebijakan kepada eksekutif. Karena itu kelompok-kelompok kepentingan kemudian mengembangkan berbagai strategi untuk memaksimalkan pengaruh mereka kepada legislatif, misalnya dengan lobbying, pemberian dukungan kepada para kandidat, membuat aliansi dan semacam mekanisme balas jasa politik. Dalam setting politik Indonesia, setidak-tidaknya untuk sementara ini, akses parlementer tampaknya tidak seefektif akses praparlementer. Lembaga legislatif di Indonesia masih belum mampu untuk minimal menyamai kekuatan eksekutif. Akibatnya mereka berfungsi tak lebih dari sekadar sebuah stempel bagi setiap kebijaksanaan negara. Akses post-parlementer. Hasil kerja badan legislatif seringkali hanya menetapkan garis-garis besar yang luas bagi kebijaksanaan pemerintah yang sebenarnya. Implementasi aturan yang masih abstrak itu ke dalam keputusan yang lebih rinci merupakan wewenang biro-biro pemerintahan khusus. Di sinilah terdapat kesempatan yang sangat berarti bagi kelompok-kelompok kepentingan untuk melakukan intervensi postparlementer. Mereka dapat mempengaruhi proses implementasi garis-garis kebijaksanaan itu, atau dapat pula mencoba mengupayakan pembatalan tindakan-tindakan hukum dan adrmnistratif yang tidak mereka sukai. Di negara-negara yang memungkinkan adanya judicial review, hal ini tidak sulit dilakukan. Almond mempunyai pandangan yang positif tentang peran kelompok kepentingan di masa datang. Salah satu elemen penting pembangunan politik adalah bahwa perubahan sosial ekonomi akan merombak struktur dan kultur suatu sistem politik. Kekuatan yang paling nyata dalam perubahan sosio-ekonomik itu adalah industri, teknologi dan revolusi keilmuan. Perubahan sosio-ekonomi ini, bagi Almond, di samping mengembangkan kemampuan sistem politik untuk menggali sumber daya dari masyarakat, pada sisi lain juga semakin menumbuhkan kebutuhan akan tindakan sosial yang terkoordinir untuk mengatasi permasalahan-permasalahan baru, serta kemungkinan berkem58 bangnya partisipasi dan tuntutan-tuntutan politik dan para anggota masyarakat.87 Pertumbuhan sosial dan ekonomi juga meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian dalam masyarakat, meningkatkan pendidikan, kesehatan dan status anggota masyarakat. peningikatan derajat pendidikan dan status sosio-ekonomik berkaitan erat dengan kesadaran politik, partisipasi dan perasaan kompetensi politik.88 Kondisi-kondisi ini merupakan alur dalam mana kelompokkelompok kepentingan, khususnya yang asosiasional, semakin menemukan basis bagi peranannya. Ahlussunnah wal Jamaah Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ulama dengan stereotipe pengikutnya di pedesaan yang secara agama tradisional, secara intelektual sederhana, secara politik oportunis dan secara kiltural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern masih menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Muhammadiyah diletakkan di sisi modern maka NU berada di ujung yang lain. Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan mengamati NU dewasa ini. Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional" tampak lebih luwes dan responsif terhadap gerak modernitas dibandingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.89 Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan itu sendiri dalam menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan Islam. Mereka yang kemudian mendirikan Muhammadiyah, misalnya, menerima penuh gerakan pembaharuan yang berupaya memurnikan Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak bermazhab, memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang memelopori NU menerima pembaharuan ini dengan tetap berupaya menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. Dengan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, dengan mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang terkristalisasikan dalam mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi penyia-nyiaan khazanah intelektual yang sangat berharga. Adalah 59 mustahil suatu generasi memulai upaya pembaharuannya benar-benar dari nol., dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Di samping itu, penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal di mana ia disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan ajaran agama terkontaminasi sehingga perlu pemurnian. Sebab penyelarasan itu dalam batasan yang sangat jelas, justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang kalangan yang memperoleh cap tradisionalis ini terakumulasi dalam sebuah kaidah usul fiqh yang secara konsisten dipegang oleh NU: "mempertahankan milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik".90 Berdasarkan pemahaman di atas, buku ini dirancang tidak menggunakan pola dikotomi tradisional-modern dalam menganalisis NU. Hanya saja istilah tradisional dan modern pada beberapa tempat akan tetap digunakan, sekadar untuk memudahkan penunjukan. Selebihnya NU akan dilihat dalam nuansa lain dengan tetap bercorak kultural. Secara eksplisit, sejak awal NU telah menyatakan diri sebagai penganut Ahlussunnah waljamaah yang secara umum dapat diartikan sebagai "para penganut tradisi Nabi Muhammad dan ijma ulama".91 Sebenarnya paham Ahlussunnah wal jamaah tidak hanya dianut kalangan Islam tradisional seperti NU saja, sebab kalangan Islam modernis pun mengemukakan diri sebagai penganut paham ini. Hanya saja perbedaan muncul karena paham ahlussunnah waljamaah memiliki arti luas dan arti spesifiknya Dalam arti luas, Achmad Siddiq menjabarkan ahlussunnah wal jama'ah sebagai "Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya."92 Pengertian ini mengacu pada sebuah hadits yang terkenal dalam mana Nabi memprediksikan bahwa suatu saat kelak umat Islam akan terpecah dalam 73 firqah. Semua akan celaka, kecuali satu firqah, yaitu mereka yang "berpegang teguh pada peganganku dan pegangan sahabat-sahabatku." Dalam hadits lain yang senada, golongan yang selamat ini disebut sebagai kaum ahlussunnah wal jama'ah.93. Murtadha Az Zabidi (94 mendefinisikan ahlussunnah wal jama'ah secara lebih spesifik sebagai paham yang diajarkan oleh Imam Al Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam arti ini paham ahlussunnah wal jamaah merupakan koreksi terhadap berkembangnya 60 berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan para sahabatnya. Ia, misalnya, adalah sebuah upaya jalan tengah antara pandangan Jabariyah yang fatalistik tentang nasib serta pandangan Qadariyah yang berpaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti kaum Mu'tazilah dan Syi'ah.95 Terutama terhadap kedua kelompok inilah ahlussunnah wal jama'ah membuat garis batas yang jelas. Ketika perkembangan kelompok Mu'tazilah semakin pesat, serta doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dahsyat,96. saat itu lahir aliran ahlussunnah wal jama'ah dengan kedua tokoh di atas. Betapapun tokoh utama nya, Al-Asy'ari, sebelumnya adalah juga penganut aliran Mu'tazilah. Golongan ahlussunnah wal jama'ah kemudian berkembang menjadi kelompok terbesar dalam lingkungan umat Islam seluruh dunia, yang secara populer disebut sebagai kelompok Sunni yang dibedakan dari kelompok Syi'ah. Lebih dan sekedar untuk membedakan diri dari golongan Syi'ah, bagi ulama NU paham ahlussunnah wal jama'ah, dalam artian yang lebih terinci juga digunakan untuk membedakannya dari kalangan Islam modernis. KH Bisri Musthafa menguraikan bahwa Ahlussunah waljamaah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi berikut: 1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali). Dalam praktek, para kiai adalah penganut kuat mazhab Syafi'i. 2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan Al Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi. 3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Al junaid .97 Perbedaan antara kalangan Islam tradisional terhadap kelompok Islam modernis berkaitan dengan operasionalisasi ajaran ahlussunnah wal jamaah dalam rincian tersebut. Kalangan modernis tidak mengikuti ajaran imam-imam di atas, di samping (menyatakan) tidak mengikatkan diri pada madzhab tertentu. Perbedaan lain berkaitan dengan sumber hukum yang digunakan. Bagi mazhab Syafi'i, sumber hukum meliputi empat hal: Al Qur'an; sunnah Nabi; ijma 98. serta qiyas (ana61 log, menyamakan hukum suatu hal yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah diketahui). Sumber hukum ketiga tiilak digunakan oleh kalangan modernis. Satu hal yang menandai karakteristik NU sebagai pengikut mazhab Syafi'i adalah kemampuannya untuk tampil dalam segala situasi secara luwes, fleksibel, dan akomodatif, serta tidak terpaku pada keputusan masa lain dalam merumuskan sikapnya. Imam Syafi'i sendiri dikenal sebagai seorang ulama moderat. Watak ini disebabkan oleh latar belakang Syafi'i yang mengembangkan ajarannya di daerah-daerah Mekkah, Madinah, Baghdad dan terakhir Mesir, sehingga ajaran itu selalu berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat sekitarnya.99. Dengan menganut mazhab Syafi'i, bagi NU sangat dimungkinkan adanya pilihan untuk menyesuaikannya dengan konteks waktu. Tentu saja penyesuaian itu harus dilandasi oleh konsensus (ijma') di kalangan ulama, yang biasanya dicapai dalam suatu forum bahtsul masail diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)100. Mekanisme konsensus ini merupakan faktor terpenting yang telah menjaga keutuhan organisasi NU, yang senantiasa dipenuhi oleh perbedaan itu.101 Tiga tradisi keagamaan yang dipegang NU di atas pada gilirannya melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas organisasi, yaitu: 1. Tawasuth dan i'tidal, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan bersama . 2. Tasamuh, sikap toleran terhadap perbedaan. 3. Tawazun, sikap seimbang dan tidak bersikap ekstrem. 4. Amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan.102 Tradisi keagamaan itu juga memungkinkan terpeliharanya kontinyuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas penghayatan iman yang tinggi sebagai buah dari dimensi tasawufnya, di ujung lain.103. Dari tradisi demikian, logis jika akhirnya lahir pandanganan kemasyarakatan yang tidak bercorak hitam putih. Pandangan ini tentu memiliki implikasi tersendiri dalam persepsi kenegaraan NU' Kewajiban bernegara bagi NU adalah suatu yang final dan tidak bisa 62 ditawar lagi. Sebagaimana digambarkan Abdurrahman Wahid, Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang dilepaskan dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi. Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan. Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa bercorak gradual.104 Pola pikir semacam inilah yang membuat NU menolak kehadiran Negara Islam Indonesia yang didirikan Kartosuwiryo, lepas dari persoalan bahwa unit tertentu dalam milisi NU terlibat di dalamnya. Kartosuwiryo bahkan dicap sebagai bughat (pemberontak) yang harus dibasmi. Sementara Soekarno dikukuhkan sebagai waliyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh). konsepsi di atas, yang mendudukan pemerintah pada posisi sentral adalah inti dari pandangan mazhab Syafi`i tentang tiga jenis negara dar al-Islam (negeri Islam), dar al-harb (negara perang), dan dar al-sulh (negara damai) Dalam pandangan ini, negara Islam harus dipertahankan dari serangan lawan, sebab ia adalah perwujudan normatif dan fungsional cita-cita kenegaraan Islam sebagai konstitusi Negara. Negara perang yang anti Islam harus diperangi, karena akan ber bahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, seperti dihilangkannya pemberlakukan syariah Islam dari konstitusi negara. Negara damai harus dipertahankan pula, sebab syariah masih dilaksanakan oleh umat Islam di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.105 63 pendekatan serba fiqih inilah yang menjadikan NU relatif lebih mudah menerima penetapan pancasila sebagai satu-satunva asas. Dalam kacamata fiqih, pancasila adalah salah satu persyaratan bagi keabsahan negara RI, dan sama sekali bukan persyaratan keagamaan. Itu berarti "tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama". 106. Dengan mengembalikan semua persoalan pada legitimasi hukum fiqih NU secara akomodatif mampu beradaptasi dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun tak jarang pandangan serba fiqih itu menjadi hambatan bagi pemegang kekuasaan dalam beberapa aspek kenegaraan tertentu. Apapun, pandangan serupa itu membawa konsekuensi perbenturan dengan pandangan yang memberlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi sebagal ideologi politik.l07 Pendekatan serba fiqih, betapapun, pada akhirnya juga memberikan batasan yang tegas dan jelas tentang sejauh mana sikap akomodatif NU dimungkikan. Batasan itu adalah sepanjang tidak melanggar prinsip ajaran dan sistem nilai keagamaan yang dianutnya. Jika ini tejadi, NU bisa saja bersikap keras. Sebagai catatan akhir, konsekuensi lain dianutnya paham Ahlussunnah waljamaaah adalah keharusan bagi seluruh warga NU untuk menghormati otoritas dan kepemimpinan ulama. Dalam hal pemilihan nama organisasi dengan Nahdlatul Ulama pun tergambar jelas posisi sentral ulama di dalamnya. Sistematika Secara keseluruhan, buku ini dibagi dalam tujuh bab. Setelah mengemukakan pertanggung jawaban metodologis pada Bab I, maka Bah II akan memberikan gambaran tentang profil kesejarahan dan organisasi NU. Dalam tinjauan sejarah NU sebelum tahun 1984 dapat ditemukan beberapa karakteristik mendasar organisasi ini yang turut memberi warna pada pejalanannya kemudian. Hab III akan membuat ikhtisar pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor yang juga memiliki determinasi terhadap dinamika NU. Sementara Bab IV mulai melihat implementasi keputusan kembali ke khittah 1926 dalam dinamika internalnya. Di sini akan dilihat pejalanan dan ujian terhadap Khittah selama kurun waktu 64 sepuluh tahunan, kesulitan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan konsekuensi organisatoris internal khittah, berupa pengembalian otoritas ulama,serta persepsi warga dan elit NU sendiri terhadap khittah. Pada Bab V diuraikan Implementasi Khittah dalam dinamika eksternalnya. Di sini akan diajukan argumentasi bahwa kembali ke khittah tidak pernah dimaksudkan untuk menghapussama sekali dimensi politik dalam gerakan NU. Khittah hanya mengamanatkan suatu reorientasi peran politik NU. Akan dilihat pula bagaimana posisi NU, atau persisnya warga NU, dalam dua pemilu --1987 dan 1992-serta bidang-bidang garapan NU setelah tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis.Bab selanjutnya --VI dan VII-- masing-masing untuk mendiskusikan prospek NU dan sebuah poskripsi. ________________________________________________________ ___________ ________________________________________________________ ___________ pendidikan yang dilakukan. Disegi ini Muhammadiyah jelas lebih modern. 90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jamaah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia Mena tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63 91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X 92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135. 90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal jamaah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia Mena tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63 91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X 83. Almond, Op. cit, h. 81 92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135. 84. Salisbury, Op. cit., h. 208 93. Ibid. h. 136. 85. Hagopian, Op. cit., h. 362 86. Ibid., i, 362-368. 94. Murtadha az-Zabidi ittihad Sadatul Muttaqin, sebagaimana dikutip dalam ibid, h. 139f. 87. Almond, c,p. ul., h. 86 95. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, Op, cit, h. 282L. 88. Ibid, h. 87 96. persoalan semacam ini berhulu pada metodologi agama mereka yang terlalu menomer-satukan rasio, dalam menilai sumber-sumber primer Islam, Al-Qur'an dan hadits. Mereka, misalnya. menggunakan pende katan interpretasi metamorfosis terhadap teks-teks dalam dua sumber 89. Misalnya NU pernah membuat gebrakan dengan mendirikan BPRBPR mendahului Muhammadiyah bahkan ia bekerjasama dengan bank Summa, ketika perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank belum usai. Barangkali yang tersisa dari tradisionalitas Nu adalah dalam bidang 65 66 tersebut, sehingga akhirnya terjebak dalam persepsi yang antromorfis tentang Tuhan: Ia menyerupai manusia dalam hal mempunyai tangan, mata, bertahta di sebuah singgasana ('arsy), bersifat senang, murka, dendam, terikat pada waktu, dan seterusnya. Lihat ibid., h. 271 . 102. Marijan, Quo Vadis, Op. cit., h.36. 103. Wahid., Op. cit., h. 33-34. 104. Ibid.,h.34 105. Abdurrahman Wahid, "Kata pengantar", dalam Sitompul, Op. cit., h. 10 97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149. 106. Wahid., Nahdlatul Ulama, Op. cit., h.34-35 98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya) 99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23. 97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149. 98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat) dan ijma' sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai dengan sikap diamnya) 99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih bahasa Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23. 100. Anam, Op. cit., h. 161. 101. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonnesia Dewasa ini," dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36. 67 107. Ibid.,h.35 BAB II WAJAH NU: 1926-1984 SEJARAH formal NU dimulai sejak ia didirikan.31 Januari 1926 di Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari bersama beberapa ulama sepaham seperti KH Wahab Hasbullah serta beberapa ulama pesantren lain. Namun berdirinya jam'iyah ini sesungguhnya hanyalah pelembagaan tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.1 Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlussunnah wal jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah "penegasan formal dari mekanisme informal para ulama sepaham."2 Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammadiyah. Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi 68 ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab yang kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran PanIslamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara para jemaah haji Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar Islam. Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara frontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Terlebih lagi, itu ternyata mulai berindikasi pendobrakan tradisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut. Karena itu, mereka berupaya membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam alur inilah, antara lain, NU terbentuk.3 Karena itu peristiwa Kongres Dunia Islam di Mekkah, serta pelarangan pengajaran mazhab Ahlussunnah wal jamaah di Masjid al-Haram, merupakan casus belli saja bagi lahirnya NU.4 Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Beslanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan. Dalam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi 132169 1837, perlawanan rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX nada perlawanan terhadap penjajah bergeser dari perjuangan bersenjata menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan. Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah meng hadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya, Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran lahirnya NU.5 Agaknya, tepat kesimpulan Ziemek bahwa NU mewakili faham konservatif para ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dengan kedudukan mandiri, bebas dan tersentralisasi pada masyarakat pedesaan,yang para kyaiya orang-orang paling berpengaruh dan tak diperintah siapapun.6 Senada dengan Ziemek, dalam catatan Saifuddin Zuhri, pada proses kelahiran NU tidak ada campur tangan dari pihak manapun, melainkan didirikan atas dasar dorongan kesadaran rasa tanggung jawab para pendirinya. Dorongan atau motivasi itu adalah: kesadaran bertanggungjawab kepada Islam, kepada ummat Islam, dan kepada Tanah Air.7 Latar belakang lahirnya NU ini perlu memperoleh perhatian, sebab karakteristik organisasi ini lebih berakar di sini. Satu hal perlu dicatat dan proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam dan situasi kolonialisme tersebut, yakni bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya. Refleksi pola perilaku reaktif NU antara lain adalah keluarnya organisasi ini dari Masyumi dan belakangan PPP setelah diawali oleh rasa kecewa terhadap keduanya.8 Apa yang dapat disimpulkan dari diskusi di atas adalah bahwa betapapun NU terutama sekali lahir dan berdiri sebagai organisasi sosial keagamaan (jam'iyah diniyah), namun kibaran panji-panji keagamaan 70 yang ada telah dipikul dengan semangat politis yang cukup jelas pula. Visi politis jamaah yang terwadahi dalam NU, dengan sub-sub wadah berupa pesantren-pesantren, tercermin misalnya dalam sikap eskapisme mereka berhadapan dengan kolonialisme. Baik secara fisik dengan mengundurkan diri dan daerah urban ke daerah pedesaan yang relatif jauh dari "jangkauan" Belanda, maupun secara psikologis dengan menjauhi segala hal yang dianggap berbau Belanda, seperti pemakaian dasi, bahkan celana panjang (dalam hal mana kalangan modernis berpandangan lain). Sejak awal, NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil. Di samping sebab yang mendasar bahwa dalam karakteristiknya yang universal, meliputi segala aspek kehidupan manusia, Islam tak dapat dipisahkan dari politik, dan, sebaliknya, politik tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Maka seperti dicatat oleh Saifuddin Zuhri: Sejak lahirnya, aspirasi yang melingkungi NU adalah aspirasi pesantren,... Baik pesantren selaku persemaian (pembinaan) kaderkader ulama dan pemimpin Islam tetapi juga pesantren sebagai pembina potensi gerakan yang sejak dahulu telah diakui oleh kaum intelektual sebagai media pendidikan yang praktis dan efektif membentuk potensi yang bergerak (tidak beku).9 Keeratan NU dengan pesantren selaras dengan tujuannya yang hendak melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang tercermin dari diajarkannya kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pesantren sendiri mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu pesantren dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaringan hubungan genealogis yang rumit dan kokoh. Jaringan ini tidak muncul dengan sendirinya. Ia lebih merupakan buah dari suatu upaya yang direncanakan secara matang dalam upaya melestarikan tradisi pesantren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama sekuat-kuatnya antara sesama kyai. Cara praktis yang ditempuh untuk itu antara lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perka71 winan endogamous di antara keluarga kyai: kaitan pesantren satu sama lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat dengan kaitan perkawinan antara putra-putri kyai satu dengan lainnya.l0 Eratnya hubungan antar pesantren yang diikat oleh tali kekerabatan ini, yang tentu saja ditopang oleh soko guru ikatan tali akidah, menjadikan pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan politik. Inilah akar NU. Meningkatknya Kesadaran Politik: 1934-1952 Selama beberapa waktu, orientasi politik dalam diri NU masih bersifat laten, dalam pengertian bahwa NU tidak terlibat dalam gerakan politik praktis. Lahan politik menjadi garapan kalangan nasionalis dan kalangan Islam modernis yang berada di SI. Orientasi politik NU baru muncul secara lebih terbuka setelah tampilnya beberapa tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Machfudz Siddiq dalam kepemimpinan NU di pertengahan dekade tigapuluhan.11 Langkah konkret dari tumbuhnya orientasi politik itu adalah bergabungnya NU ke dalam Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI) pada 1939. MIAI dibentuk pada 1937 atas dasar keinginan untuk memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Sekalipun dua dari empat tokoh pendiri MIAI berasal dari NU, namun mereka hadir atas nama pribadi. Baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.12 Dalam asumsi Syafi'i Ma'arif, MIAI didirikan karena terdorong oleh contoh yang kompetitif dari golongan sekuler yang juga berusaha mempersatukan diri.13 MIAI secara umum memang bergerak di bidang keagamaan. Namun, dalam setiap akfivitasnya sarat muatan politik. Tak lain karena politik merupakan bagian dari universalitas Islam, sebagaimana halnya bidang ekonomi dan kemasyarakatan pada umumnya. Setiap kongres yang diadakan (1938, 1939, dan 1941) selalu membuahkan upaya untuk mempengaruhi kebijakan melalui pengajuan tuntutan kepada pengua72 sa baik tentang hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak. Bahkan masalah internasional, misalnya persoalan Palestina yang telah mulai muncul saat itu, tidak luput dari perhatian MIAI.14 Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia, sebuah gabungan partai politik sekuler) tampil membawa tema tuntutan Indonesia berparlemen kepada pemerintah, MIAI memberinya dukungan. Betapapun dukungan itu bukannya tanpa reserve,seperti yang kemudian tergambar jelas ketika tuntutan MIAI pada akhirnya adalah Indonesia "berparlemen yang berdasarkan Islam."15 Pola interaksi yang dialami dalam MIAI membawa pengaruh besar terhadap NU. Muktamar NU XV (1940) di Surabaya menjadi ajang penegasan tuntutan-tuntutan yang dilontarkan MIAI, termasuk tuntutan Indonesia berparlemen. Hal-hal lain yang juga dituntut oleh NU antara lain adalah dilakukannya perbaikan-perbaikan seperti diberikannya pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang terperangkap di Mekkah akibat perang Belanda-Jerman, mencabut Guru Ordonantie 1925 yang dianggap merugikan umat Islam, termasuk hal yang menyangkut siapa yang menjadi kepala negara di negara Indonesia merdeka nanti. Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri oleh 17 orang tokoh NU, dihasilkan keputusan dua orang calon presiden: Sukarno dan Mohammad Hatta, dengan 10 suara untuk Sukarno dan satu suara untuk Hatta.16 Tak satupun tuntutan-tuntutan yang diajukan itu terpenuhi. Ketika pendudukan Jepang dua tahun kemudian membuat persoalan-persoalan itu tidak relevan lagi. Regim kolonial baru ini segera tampak jauh lebih represif daripada regim sebelumnya: semua organisasi politik dibekukan, dan setiap kegiatan politik dilarang sama sekali. Umat Islam yang semula menaruh harapan pada "saudara tua" yang membebaskan mereka dari kekuasaan "kafir" Belanda itu segera menemukan kekecewaan yang dalam. Lebih lagi karena ternyata bagi Jepang, sebagaimana Belanda, terpisahnya Islam dari politik adalah salah 73 satu bagian dari rencana umumnya, dan karena itu mereka tetap mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.17 Langkah pertama adalah mendirikan Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh Kolonel Horrie, dengan tindakan pertama menempatkan semua rumah ibadah Islam di bawah pengawasan tentara Dai Nippon.18 Tindakan selanjutnya adalah mengupayakan terbentuknya sebuah organisasi federasi Islam yang antara lain ditujukan untuk menggantikan MIAI yang berkesan anti-kolonial. Maka dibentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada tahun 1943 di mana NU, sebagaimana dalam MIAI, tersubordinasi di dalamnya.19 Pada masa ini NU sebenarnya memperoleh beberapa konsesi. Seperti Yang tampak dalam pengangkatan Rais Akbar NU, Hadratus Syeikh, KH Hasyim Asy'ari, sebagai Kepala Shumubu (menyusul Husein Djajadiningat yang menggantikan Horrie) serta sebagai Ketua Umum pengurus Masyumi yang pertama, sehingga NU dimungkinkan untuk memainkan peran yang cukup berarti. Keuntungan ini kalau boleh disebut demikian-- dimungkinkan setidaknya oleh dua hal. Pertama sikap NU kepada Jepang cenderung lunak. Berbeda dengan sikapnya terhadap Relanda, maka terhadap Jepang NU bersikap lebih kooperatif NU bersedia duduk dalam Chou Sangiin, sementara untuk badan serupa di Jaman Helanda, Volksraad sama sekali menolak. Anam menilai bahwa sikap semacam ini didasar oleh pemikiran bahwa kemerdekaan Indonesia hanya tinggal soal waktu Saja sehigga perlu dimanfaatkan isu kolaborasi dengan jepang dalam bentuk apapun guna tercapainya kemerdekaan itu. 20 Sikap lunak NU kepada Jepang tentu saja sepanjang tidak melemahkan sendi-sendi aqidah Islam. Terhadap perintah untuk melakukan Seikerei (ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan cara mirip ruku' ke arah matahari terbit) misalnya, NU menentang keras, antara lain dari KH Hasyim Asy'ari sendiri serta memunculkan pemberontakan di Singaparna.21 Kedua,berkaitan dengan politik jepang untuk menggalang semua kekuatan anti Belanda ke pihaknya, sehingga mereka perlu memperlakukan dengan baik, serta memenuhi keinginan secara baik pula ter74 hadap umat Islam khususnya yang berbasis di pedesaan.22 NU mau tak mau adalah kuncinya. Suatu manfaat lain yang bisa diperoleh NU dengan siasat sikap lunaknya kepada Jepang adalah berupa pelatihan ketrampilan militer bagi para santri dan kyai di pesantren, yang kemudian melahirkan milisi-milisi revolusioner Hizbullah dan Sabilillah.23 Kedua milisi ini, pada awal kemerdekaan turut menjadi kompartemen TNI.24 Kalangan NU pada umumnya memandang bahwa saham mereka dalam pejuangan fisik mempertahankan kemerdekaan disumbangkan melalui kedua milisi itu. Sementara di panggung perjuangan politik, peran NU tersalur melalui Masyumi, yang dibentuk beberapa bulan setelah proklamasi. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah partai politik resmi yang berbeda dan terlepas sama sekali dari organisasi dengan nama yang sama di jaman Jepang, kecuali dalam hal tujuan moralnya.25 Partai Masyumi terbentuk sebagai buah dari keputusan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 Nopember 1945), yang juga memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik bagi umat islam di Indonesia NU' bersama Muhammadiyah, perserikatan umat Islam dan Persatuan umat Islam, adalah organisasi-organisasi pertama memasuki Masyumi.27 Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat bertahan lama, bahkan sejak awal pun sebenarnya tidak utuh. Di bulan yang sama terbentuknya Masyumi, di Bukit tinggi Perti juga menyatakan diri sebagai partai politik Islam. Dan dua tahun kemudian, karena adanya peluang untuk duduk dalam kabinet Amir Syarifudin, sementara Masyumi menolak peluang ini, PSII memutuskan keluar dari Masyumi dan tampil sebagai partai politik sendiri.28 Dengan alasan tersendiri, lima tahun kemudian NU pun keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Aktualisasi Peran Politik: 1952-1984 Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai (yang melaksanakan tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro (se macam dewan pertimbangan dan pemberi fatwa). Pimpinan Partai da75 lam garis besar tindakan partai). Secara tradisional posisi penting dalam majelis Syuro dipegang Oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan partai, yang sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang biasanya para intelektual.Sebenarnya struktur kepemimpinan semacam ini lebih banyak menimbulkan persoalan daripada menguntungkan,mengingat kesan yang yang timbul adalah adanya kompartementalisasi antar unsur dalam federasi ini. Terlebih lagi tidak pernah begitu jelas perincian tugas antara kedua struktur yunpman itu. Suasana hubungan itu. Suasana hubungan antara keduanya sangat kondusif bagi munculnya konflik, di mana akhinya Majelis Syuro terus-menerus digiring ke arah peran yang semakin tidak berarti,29 menjadi "dewan penasehat" yang seringkali tidak begitu diindahkan. Di sinilah bersumber kekecewaan NU terhadap Mamasyumi.30. Sumber lain adalah berkaitan dengan jabatan Menteri Agama dalam Kabinet Wilopo. Dalam klaim NU, kursi Menteri Agama adalah bagian mereka. Sebab di samping sudah demikian adanya sejak awal kemerdekaan, NU memulai dirinya sebagai cermin dari mayoritas umat Islam Indonesia dilihat dan segi "ilmu, akidah, dan amaliahnya." Namun karena pertimbangan-pertimbangan lain, Masyumi mengajukan nama Fakih Usman (Muhammadiyah) kepada formatur kabinet untuk jabatan itu. Pada 15 April 1952, hanya sepuluh hari setelah pencalonan itu disetuiui oleh formatur kabinet, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai parpol.31 Sebab-sebab itulah yang umumnya dipandang sebagai faktor pendorong keluarya NU dari Masyumi. Tapi Zamakhsyari Dhofier melihat suatu penyebab lain yang lebih menentukan, yaitu dinamika in76 ternal NU sendiri. KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PB NU waktu itu, memandang bahwa organisasi yang dipimpinnya telah semakin condong ke dalam percaturan politik. "Tokoh-tokoh NU muda seperti Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Syaichu dan lain-lainnya semakin memerlukan ruang gerak yang cukup luas dalam arena politik. (Dan hal itu akan) dapat terbuka dengan lebih leluasa setelah NU dapat berdiri sebagai partai politik."32 Perubahan NU menjadi parpol membawa umat Islam Indonesia ke dalam dikotomi kepemimpinan politik: kepemimpinan politik kaum modernis di Masyumi, dan kepemimpinan politik kyai (ulama) tradisional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa perubahan dalam perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu 1955 menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan baru itu. Di sini, NU dengan perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 % dari keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi di parlemen, menempatkan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di atas PKI.33 Mengingat NU adalah partai yang relatif baru, sehingga persiapan untuk menghadapi pemilu boleh dikatakan kurang jika dibandingkan dengan partai-partai lain, maka perolehan suara NU yang menempatkannya pada posisi ketiga di atas sungguh di luar dugaan. Mahrus Irsyam (34 menilai bahwa prestasi NU itu dimungkinkan oleh adanya perubahan dalam tema kampanye yang dilakukan. Dan tema kampanye yang semula, senada dengan Masyumi (tema-tema agak naif seperti: siapa memilih NU akan masuk sorga"), menjadi tema yang lebih menonjolkan garis batas antara NU dan partai lain, khususnya Masyumi dan PKI. Karena itu NU melontarkan isu keterlibatan Masyumi dalam pemberontakan DI/TII, serta ulah PKI dalam Madiun Affair-nya di tahun 1948. Sehingga seolah-olah NU menawarkan "jalan selamat bagi umat dengan memberikan suaranya kepada NU. Tapi jika diingat bahwa mayoritas warga NU berada di pedesaan, maka penilaian Irsyam di atas menjadi kurang tepat. Apapun tema kampanye yang dilontarkan, efeknya akan lebih terasa pada ma77 syarakat perkotaan, bukan masyarakat pada pedesaan yang voting behaviour-nya lebih ditentukan oleh pemimpin informalnya (ulama). Penilaian Syafii Maarif tampak lebih beralasan. Bagi Syafii Maarif, faktor penentu terpenting prestasi NU di atas adalah banyaknya jumlah pesantren dengan kyainya yang berpengaruh di tiga propinsi yang mejadi basis massa NU, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Sebagian besar kyai itu adalah penyokongpenyokong NU yang tangguh. Dalam memperebutkan suara bagi kepentingan kemenangan politik, para kyai mempunyai peranan strategis, khususnya di daerah pedesaan; sedangkan lebih dari 70 % Indonesia masih merupakan daerah pedesaan.35 ________________________________________________________ _____________ ________________________________________________________ _____________ 1. Kacung Marijan Quo, Vadis NU setelah kembali ke khittah 1926 Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 1. 2. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h.1 Cf. H Anas Thohir,et. al (eds.), Kebangkitan Umat Islam dan Peranan, NU di Indonesia (Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980), h. 90. 3. Tentang masuknya paham pembaharuan ke Indonesia, serta reaksi kalangan tradisionalis dari sudut pandang "orang NU", lihat Marijan, op. cit., h. 1-17; 78 Anam, op. cit., h. 33-56. Dari sudut pandang "kaum modernis", lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980). Dalam visi seorang pengamat asing, lihat Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, alih bahasa RB Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986), h. 59-66. Jelas, bukan paham pembaharuan an sich yang dipersoalkan oleh para ulama pesantren. Mereka dapat menerima paham itu. Ulama-ulama NU seperfi KH Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, sebagaimana KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), pernah selama bertahuntahun menimba ilmu di Mekkah, pengaruh gerakan Wahabiyah dan lainlainnya. Perbedaan antara ulama tradisional dengan kalangan yang kemudian disebut sebagai kelompok Islam modernis di Indonesia bukanlah pada persoalan menolak atau menerima paham pembaharuan itu, tapi lebih pada bagaimana paham itu diterima dan diaplikasikan. Para ulama tradisional menerima paham pembaharuan, tapi menyesuaikannya dengan tradisi yang mereka anut. Lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 58-62. 4. Dalam Kongres Dunia Islam itu delegasi Indonesia hanya diwakili oleh kalangan Islam pembaharu, dan sama sekali tidak menyertakan kalang an Islam tradisional. Kalangan tradisional lalu membentuk delegasi sen79 diri ke Mekkah untuk meminta Raja Saud menjamin kelestarian mazhabmazhab ortodoks serta kegiatan tarekat di Hijaz (Arab Saudi kini). Delegasi ini semula diberi nama Komile Hijaz, tetapi kemudian mengubah nama itu menjadi Nahdlatul Oelama. Lihat Anam (1985) dan Martin van Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 32-34. 5. Lihat Anam, op. cit., h. 24-33. Cf. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 4-5. 6. Ziemek, op. cit., h. 64-65. 7. Saifuddin Zuhri, "Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan Membela Tanah Air," dalam Thohir, op. cit., h. 93. 8. Cf. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 9 (Jakarta: PT Gramedia, 1991), h. 41-42. 9. Saifuddin Zuhri, op. cit., h. 118. 10. Tentang hubungan kekerabatan antar pesantren, khususnya antara para kyai, lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 61-99. 11. Anam menyebutkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh muda itu merupakan 80 satu dari tiga fenomena yang menandai awal perkembangan NU sejak Muktamar IX (1934). Dua fenomena lainnya adalah pemisahan sidang Syuriyah dan Tanfidziyah dalam muktamar itu, setelah sebelumnya sidangsidang selalu dipimpin oleh Syuriyah; serta dibenahinya tata-cara sidang. Lihat Anam op. cit., h. X9-91. 12. MIAI didirikan oleh KH Wahab Hasbullah (NU), KH A Dahlan (NU, bedakan dengan KH Ahmad Dahlan yang pendiri Muhammadiyah dan telah meninggal pada tahun 1923), KH Mas Mansur ( Muhammadiyah), dan W. Wondoamiseno (SI). Pada awalnya organisasi-organisasi yang menjadi anggota federasi MIAI adalah: SI, Al Islam (Solo), Persyarikatan Ulama (Majalengka), Muhammadiyah, Hidayatul Islamiyah (Banyuwangi), AlKhairiyah (Surabaya), dan Al-Irsyad (Surabaya). Tentang pembentukan MIAI, lihat Noer, op. cit., h. 260-267. 13. A Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan Oakarta: LP3ES, 1985), h. 96. Agaknya, yang dimaksudkan adalah terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan Kebangsaan Indonesia kemudian Permufakatan Politik Pengejar Kemerdekaan Indonesia) di awal 30-an. Chganisasi yang kelahirannya turut dibidani oleh SI ini ternyata kemudian tak lebih dari sekadar wadah legalisasi konflik antara golongan Islam dan golongan nasionalis sekuler. Lihat 81 Noer, ibid., h. 261-315. 14. Noer ibid., h. 265-267. 15. Ibid., h. 289f. 16. Anam, op. cit., h. 112. 17. Tentang umat Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang, lihat Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dakhidae Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). 18. Ibid., h. 142. 19. Ibid., h. 184-204. 20. Anam, op. cit., h. 114-124. 21. Lihat Sitompul, op. cit., h. 92. 22. Belanda, op. cit., h. 141 23. Anam, op. cit., h. 119f. 24. TNI lahir sebagai paduan 3 unsur pokok yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Pertama, bekas tentara KNIL. Kelompok ini mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam tugas-tugas staf. Perwira TNI yang berasal dari kelompok ini adalah Nasution, Simatupang, Urip Sumoharjo, dan sebagainya. Kedua, bekas prajurit PETA. Nama-nama seperti Sudirman, Bambang Sugeng, maupun yang lebih junior seperti Ahmad Yani, Suharto, dan lain82 lain, adalah dalam kelompok ini. Ketiga, bekas laskar-laskar perjuangan. Yaitu kelompok-kelompok milisi yang mempunyai afiliasi --baik politis maupun etnis-- beranekaragam. Hizbullah dan Sabilillah berada dalam kelompok ini. Mengenai unsur-unsur TNI ini, lihat Yahya A Muhaimin, Perkembangan Militer dalam politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta Gadjah Mada University press, 1982), h. 29-31; lihat juga Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 21-22. 27. Masyumi mempunyai dua macam keanggotaan perorangan dan organisasi.Dualisme ini didasarkan pada pertimbangan untuk memperbanyak anggota,di samping agar dilihat sebagai wakil umat Islam tanpa ada yang merasa tidak terwakili. Lihat ibid., h.48. 25. Tujuan itu adalah untuk menciptakan suatu wadah dan kepemimpinan tunggal bagi umat Islam Indonesia. Dari segi ini, maka Partai Masyumi adalah "kelanjutan dari usaha MIAI sejak 1937 dan usaha Masyumi 'made in japan' 1943." Lihat Syafii Maarif, Dinamika Islam. Potret Perkembangan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), h. 7. Usaha menyusun kepemimpinan tunggal semacam itu yang kemudian dikritik oleh Abdurrahman Wahid, dan dinilainya membawa implikasi negatif terhadap Umat. Bagi umat Islam Indonesia, "yang diperlukan adalah upaya untuk terus-menerus mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam. 30. Ibid., h. XO-til. 26. Deliar Noer, Partai Islam di pentas nasional (Jakarta:pt Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 47. 83 28. Ibid., h. 76-77 29. Perubahan skuktur organisasi Masyumi dari periode ke periode cukup menggambarkan melemahnya peran Majelis Syuro di dalamnya. Lihat ibid., h.69-71. 3l. Ibid:, h. X1-X6. 32. Zamaksyari Dhofier, "KH. A. Wahid Hasyim Kantai Penghubung Peradaban Pesanhen dengan peradaban Indonesia Modem", dalam Prisma, Agustus 1984, h. XO. Keinginan Wahid Hasyim untuk mencari ruang gerak yang lebih leluasa bad NU tidak memudarkan obsesinya akan persatuan umat Islam dalam satu wadah. Sehingga tidak lama setelah NU keluar dari Masyumi, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia, yang sekali lad diharapkan dapat menjadi wadah federasi bagi umat Islam Indonesia. Lihat ibid. Dalam hal ini, Wahid Hasyim mempunyai jalan pikiran yang berbeda, kalau bukan berlawanan, dengan puhanya yang kontroversial Abdurrahman Wahid. Cf. catatan kaki nomor 24 di atas. 84 33. Untuk hasil-hasil Pemilu 1955 ini selengkapnya, lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1966), Tabel 21 h. 434f. 34. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), sebagaimana dikutip dalam Sitompul, op. cit, h. 120. 35. Syafii dan Masalah Kenegaraan op. cit., h. 116. 36. Perhatikan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas dalam pemilu 1995. Sehingga kabinet yang terbentuk kemidian adalah hasil koalisasi antara PNI Masymi, dan NU. Sukarno sebenarnya mengiginkan PKI diikutkan dalam koalisasi itu itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras.Lihat ibid., h. 123. 37. Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat antara lain Mashuri Maschab, kekuasaan eksekutif di Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara,1983) h. 28-110. 38. Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang era demokrasi Liberal dan kegagalannya di Indonesia pernah di lakukan oleh Herbart Feith. Lihat Feeith,The Decline, op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas Demokrasi Liberal lihat David Bourchier dan Southeast Asia No. 3 (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994. Yang pasti prestasi spektakuler itu telah membuat posisi NU kian menguat. Setidaknya itu tercermin dari perolehan kursi NU dalam ka85 binet koalisi yang terbentuk tidak lama kemudian.36 Jika dalam kabinet sebelumnya NU hanya memperoleh dua jabatan menteri, maka dalam kabinet baru itu NU memperoleh empat jabatan: Menteri Dalam Negeri, Menteri Perekonomian, Menteri Sosial, dan Menteri Agama, di samping jabatan Wakil Perdana Menteri II yang dipegang oleh Idham Chalid.37 Idham adalah Ketua Umum PBNU sejak 1956, setelah KH Moh. Dahlan yang memegang jabatan dari tahun 1954. Kabinet koalisi PNI-Masyumi-NU itu, sebagaimana kabinet-kabinet lain dalam periode interregnum Demokrasi Liberal ini, tidaklah berumur panjang. Kurang dari setahun sejak memulai masa kerjanya, kabinet itu jatuh dan digantikan oleh Kabinet Karya yang dipimpim Juanda, sebelum akhirnya Dekrit Presiden 5 juli 1959 membawa sistem politik Indonesia ke dalam era Demokrasi Terpimpin.38 Setelah jatuhnya kabinet koalisi itu, peran partai politik merosot sama sekali. Kabinet Karya, yang formasinya disusun oleh "warga negara Sukarno", dipretensikan sebagai kabinet ekstra-parlementer yang non-partai, sekalipun mengikutsertakan beberapa tokoh partai yang diwakili di parlemen. Selama beberapa waktu dalam masa transisi ke Demokrasi Terpimpin partai-partai politik termasuk NU "memindahkan medan tempurnya" dari politik praktis kepada perjuangan ideologis tentang dasar negara dalam Majelis Konstituante."39 Dalam perjuangan ideologis itu pada mulanya ada tiga usul yang diajukan sebagai dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi Karena terbatasnya dukungan terhadap usulan yang disebut terakhir, maka perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante akhirnya hanya meliputi dua usulan yang pertama. Cukup untuk dikatakan bahwa suara NU (meskipun NU mendukung usulan Islam sebagai dasar negara) dalam perdebatan itu tidak seberapa vokal jika dibandingkan dengan kalangan Islam modernis, khususnya dalam Masyumi, seperti 86 Natsir. Persisnya: NU tidak segigih kalangan modernis dalam memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ideologis dalam Konstituante sebenarnya masih berlangsung, sampai Dekrit Presiden membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945, yang menjadikan persoalan itu tidak relevan lagi.40 Dalam Demokrasi Terpimpin, panggung politik Indonesia praktis dikuasai oleh kekuatan tiga aktor politi: Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat, dengan menyisakan sedikit porsi peran yang tidak berarti untuk partai-partai politik yang ada. Beberapa partai bahkan tidak memiliki cukup daya survival berhadapan dengan upaya penyederhanaan kepartaian yang dilakukan oleh Sukarno, sehingga akirnya hanya tersisa sepuluh partai. Masyumi termasuk yang disingkirkan, terutama karena keterlibatan tokohtokohnya dalam pemberontakan PPRI. Sementara itu karena sikap akomodatifnya lebih mampu bertahan. Dalam catatan Syafii Maarif, sayap Fesanhen, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diijinkan hidup di bawah payung Demokrasi Terpimp". Dengan gaya mereka masingmasing partai 11U telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri dengan berbagai perkembangan politik yang rumit. Strategi dasarnya adalah bagaimana menyenangkan Sukarno dan menjaga agar ia tidak menjadi berang sehingga bersedia melindungi kepentfingan mereka.41 Bubarnya Masyumi lalu menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar di Indonesia. Namun NU tetap tidak mampu menyamai kebesaran Masyumi, terutama sekali ketika NU sendiri masih berada di dalamnya. Agaknya hal itu disebabkan karena tampilnya NU sebagai partai Islam terbesar semata-mata adalah karena massanya yang kalangan Islam tradisionalis secara kebetulan merupakan mayoritas umat Islam di Indonesia. Lebih dari itu, meskipun NU "memang dapat mewakili pengikutnya tapi ... fidak berhasil meluaskan pengaruhnya pada kalangan bukan NU."42 Walaupun demikian, upaya untuk menggalang persatuan umat Islam terus-menerus dilakukan oleh NU, terutama untuk mengimbangi kekuatan PKI yang terus membesar. Betapapun oportunistiknya NU terhadap regim Demokrasi Terpimpin, namun ketika berhadapan dengan PKI, NU tetap memilih untuk berdiri di atas "Garis keras".43 Bah87 kan ketika semakin jelas adanya tindakan PKI yang memberikan latihan dan perlengkapan militer kepada pemuda-pemudanya, maka Subchan ZE, seorang tokoh muda NU (betapa pun hal ini dapat dipandang sebagai refleksi pola perilaku reakfif NU), segera mengkoordinir pemuda-pemuda dari PMII, HMI, Ansor, Muhammadiyah, dan bahkan kemudian PMKRI, dan merencanakan untuk mengimbangi usaha PKI itu. Latihan kemiliteran bagi para pemuda yang digalang Subchan masih berupa rencana, ketika suatu "prahara politik" merebak di hari pertama bulan Oktober 1965 dan menandai tahap awal dari serangkaian proses berakhirnya era Demokrasi Terpimpin. Peristiwa percobaan kudeta oleh apa yang menamakan dirinya G-30-S yang melibatkan banyak kalangan ini, termasuk unsur-unsur dari dua aktor dalam segi-tiga kekuasaan Demokrasi Terpimpin, PKI dan Angkatan Darat, segera memunculkan epilog panjang: meluasnya perasaan anti-PKI di kalangan masyarakat; runtuhnya pola hubungan segitiga Sukamo-PKI-Angkatan Darat yang menaikkan militer sebagai dominator kekuasaan; krisis ekonomi dan inflasi yang parah; di samping krisis politik yang yaris membawa negara ke jurang chaos Penggalangan kekuatan antikomunis yang pernah dilakukan Subchan akhirnya menemukan relevansinya, dan terbentuklah KAP-Gestapu, sebuah kekuatan aksi pengganyangan G-30-S yang kemudian "menuntut dilarangnya PKI, ... dibersihkannya kabinet, parlemen, MPRS, dan semua lembaga negara dan orang komunis dan simpatisan mereka.44 NU dengan Pemuda Ansornya telah memotori aksi anti-PKI di kalangan sipil segera setelah G-30-S, dan NU pula yang kemudian banyak terlibat dalam pembantaian yang dilakukan dengan sepengetahuan --kalau bukan digerakkan Angkatan Darat. Bahkan di Jawa Timur, Ansor bergerak spontan mendahului tentara. Antara 250.000 hingga 500.000 orang terbunuh dalam penumpasan PKI secara fisik itu, yang segera disusul dengan pembu88 baran PKI secara formal, sehari setelah ditandatanganinya SP 11 Maret 1966.45 SP ini sekaligus menandai lahirnya sebuah tatanan politik baru yang membawa komitnen untuk "melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara mumi dan konsekuen" serta mengoreksi semua kesalahan orde lama. 46 Meski secara de facto Supersernar adalah penyerahan kekuasaan dari Sukarno kepada Suharto, namun ia tidak mau bersikap radikal dalam melepaskan Sukarno dari kekuasaannya karena dukungan terhadap Sukarno masih besar. Sementara pada sisi lain ia masih ragu akan popularitas dan dukungan rakyat kepadanya. Ia kemudian mengambil cara inkremental untuk secara bertahap mengurangi kekuasaan Sukarno dan akhirnya melepasnya sama-sekali.47 Suharto juga tidak man bertindak gegabah dengan "memborong" semua porsi kekuasaan dan membaginya habis untuk perwira-perwira Angkatan Darat. Mengacu pada Mohtar Mas'oed, Orde Baru adalah kebangkitan koalisi besar, dengan anggota inti Angkatan Darat, intelektual sipil antikomunis dan para pengusaha.48 Aliansi ini segera memusatkan perhatian untuk membenahi semua warisan krisis dari regim Orde Lama dengan melakukan 'stabilisasi dan Pembangunan ekonomi yang berorientasi ke luar."49 Upaya ini berdampak panjang dan rumit bagi par tai politik dan sistem kepartaian di Indonesia. Semula NU agak ragu untuk memberikan dukungan terhadap Suharto. Namun ketika semakin jelas bahwa ia cukup memiliki pijakan legtimasi yang kuat untuk berkuasa, sementara pada saat yang sama mulai muncul kekecewaan NU terhadap Sukarno yang terakumulasi cepat,50 maka NU secara luwes mengalihkan dukungannya dari Sukarno kepada Suharto. Menjelang akhir Januari dukung NU. dengan mengemukakan alasan moral pun politik, memisahkan diri dari Sukarno dan menolak Pel-Nawaksara.51 Pada tahun yang sama,tokoh-tokoh NU dalam DPG-GR mengajukan memorandum yang pada pokoknya mengemukakan beberapa indikasi keterlibatan Sukarno dalam G-30-S, 89 dan karenanya DPR-GR dihimbau untuk mengundang MPRS guna mengadakan sidang istimewa untuk mencabut kekuasaan Sukarno.Memorandum ini kemudian disusul dengan sebuah resolusi yang meminta agar MPRS mengangkat Jendral Suharto sebagai presiden. Dukungan NU terhadap Suharto ini tidak lepas dari sikap Suharto sendiri. "Setelah menilai karakter tokoh-tokoh NU, para penasehat Svharto mengambil kesimpulan bahwa bila mereka diberikan status dan dana bagi kegiatan keagamaan dan lain-lain, Idham dan rekan-rekannya akan mendukung Suharto seperti mereka mendukung Sukarno di masa lampau.." 52 Tuntutan yang segera muncul begitu Orde Baru mulai melangkah adalah diselenggarakannya pemilihan umum. Baaik Sukarno maupun partai-partai politik sangat berkepentingan dengan diadakannya pemilu dalam tujuan masing-masing.53 namun AD tentu tidak mau mengambil resiko. Mengadakan pemilu yang akan menggambarkan arah dukungan rakyat, sementara AD tidak dapat mennjamin popularitasnya di kalangan rakyat --adalah tindakan "Bunuh diri". Kerena itu pemerintah berusaha untuk menperlambat tempo pemilu dengan jalan mengulurulur proses disahkannya UU tentang pemilu. Langkah pertama,Seminar AD 1966 mengusulkan rancangan UU tentang Pemilu yang mengundang banyak kritik dari wakil-wakil rakyat di DPG-GR, dan karenanya tidak dapat disetujui dalam waktu singkat. Sementara itu ditandatanganinya paket 27 Juli 1967 dimana partai-partai dan pemerintah, saling memberi konsensi menyebabkan UU Pemilu perlu di susun ulang. Akibatnya, pemilu yang disepakati akan dilaksanakan pada 5 Juli 1968 secara teknis menjadi tidak mungkin terlaksana. Ketika pada Maret 1968 90 MPRS bersidang dan mengangkat Suharto sebagai presiden penuh, pemerintah sekali lagi mengusulkan penundaan pemilu selama lima tahun. Namum partai-partai politik berhasil mendesakkan kompromi yang mengharuskan pemerintah melaksanakan pemilu pada 15 Juli 1971.54 Sementara pelaksanan pemilu terus mengalami penundaan, pemerintah berupaya melemahkan partai-partai politik.55 Dalam masa ini tercatat berdirinya sebuah partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada 20 Januari 1968. Partai ini sebenarya lahir prematur dari kandungan keinginan untuk menghidupkan kembali Masyumi. Pemerintah secara tegas menolak keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi partainya, sambil mengingatkan keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI,56 walaupun pemerintah juga menyatakan "tidak berkeberatan terhadap pembentukan partai Yang basis massa Masyumi."57 Dengan rekayasa penuh pemerintah terhadap struktur kepemimpinannya, berdirilah Parmusi. Sementara itu AD terus mengembangkan Golkar, yang didirikan pada 20 Oktober 1964 dengan nama Sekber Golkar, menjadi partner sekaligus lengan politiknya. Golkar, yang tidak memiliki akar kuat di bawah, segera menggunakan apa yang kemudian disebut sebagai "taktik buldozer" untuk mengalihkan suara partaipartai lain terhadapnya. Menghadapi PNI, Golkar diuntungkan oleh Permendagri nomor 22 tahun 1969 yang mengharuskan pegawai Depdagri, sumber dukungan terbesar PNI, bergabung dengan Kokarmendagri. Demikian pula PP No.6 tahun 1970 yang mewajibkan pegawai negeri hanya memiliki loyalitas tunggal. Sedangkan menghadapi partaipartai Islam dipilih cara untuk mengambil hati para ulama, antara lain dengan menghidupkan kembali GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Sasaran lain yang diraup Golkar adalah ex-anggota PKI dan ormas-ormasnya. Walaupun UU pemilu secara khusus melarang oarng-orang ini untuk memberikan suaranya dalam pemilu, namun dilaporkan bahwa di beberapa daerah ,rang-orang ex-anggota dan simpatisan PK1 yang tidak dibunuh atau dipenjarakan telah diha91 ruskan memilih Golkar.58 Tidak heran jika Pemilu --yang akhimya terselenggara pada 3 juli 1971, ditandai lahirnya sebuah kekuatan politik dominan yang baru dengan keberhasilan Golkar memperoleh 62,8 % suara dalam pemilu itu. Parpol-parpol lain pada umumnya berantakan menghadapi taktik Golkar dalam Pemilu 1971. Hanya NU yang mampu bertahan, yang dengan perolehan 18,7 % suara telah memperbaiki penampilannya dalam Pemilu 1955.59 Para pengamat menilai senada bahwa faktor utama penentu reputasi NU ini adalah peranan kyai dan pesantren yang menjadi basis massanya.60 Strategi monoloyalitas yang dilontarkan Mendagri jelas tidak berarti banyak berhadapan dengan NU yang dipimpin oleh para kyai yang tidak terikat pada gaji pemerintah. Demikian pula kebijaksanaan floating mass yang memotong akar partai di pedesaan sebagai konsekuensi dari pembatasan di dalam hirarki struktur partai yang diharuskan, tidak menjadi persoalan besar bagi NU, karena kyai masih menjadi panutan massa Islam pedesaan yang paternalistik. Dengan bertumpu pada dukungan kyai, NU berhasil meyakinkan para pemilih Islam di desa-desa, khususnya di daerah seperti Jawa Timur, bahwa pemilu adalah batu ujian bagi iman mereka. Berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan Ketika stabilitas politik diterima sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, maka regim Orde Baru sangat intens menciptakan semua prakondisi yang diperlukan untuk pemantapan stabilitas itu, serta mengeliminasi, setidaknya meminimalkan semua kemungkinan ke arah sebaliknya. Salah satu bentuk upaya ini adalah tindakan restruktunsasi par tai politik --kiat manajemen konfllik yang sebenarnya diwarisi dari regim sebelumnya dengan berbeda pola pelaksanaannya. Proses ke arah penyederhanaan partai ini pada dasarnya sudah dimulai sejak awal 1970, sebelum pemilu pertama dilaksanakan. Pada Pebruari 1970, di depan para pimpinan ke-9 parpol dan Golkar Presiden Suharto, menyampaikan saran tentang pengelompokan 92 partai-partai. Tujuannya adalah untuk mempermudah kampanye pemilu, dan selanjutnya mempermudah sistem administrasi seperti penyusunan fraksi di DPR kelak, bukan untuk melenyapkan partai-partai itu sendiri.61 Setelah melalui tahapf dialog antara pemerintah dan partaipartai, seruan Suharto itu memperoleh tanggapan positif. Maka pada bulan berikutnya terbentuklah pengelompokan dimaksud. PNI, IPKI, Murba, Parkindo dan Partai Katolik bergabung dengan kelompok nasionalis. Sedang NU, Parmusi, PSII dan Perti membentuk kelompok spiritual. Kelompok pertama disebut Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan yang kedua disebut Kelompok Persatuan Pembangunan.62 Sebenarnya Parkindo dan Partai Katolik dapat bergabung dalam kelompok spiritual. Tapi karena alasan perbedaan agama, sementara untuk membentuk kelompok tersendiri kurang dimungkinkan, mereka lebih memilih kelompok nasionalis. Pengelompokan ini selanjutnya menjadi dasar penyusunan fraksi di DPR, sehingga badan ini memiliki lima fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Pembangunan atau Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan Fraksi ABRI. Kemenangan Gemilang Golkar dalam Pemilu 1971 di sisi lain juga semakin memudahkan 'penguasaan' pemerintah terhadap DPR. Pemerintah kemudian mengusulkan RUU Kepartaian. Dalam rancangan itu disebutkan bahwa hanya tiga partai politik yang akan diakui di Indonesia. Dengan demikian, pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh dua parpol dan Golkar.63 Semakin jelas bahwa penyederhanaan partai sulit ditolak oleh kalangan partai. Maka Kelompok Persatuan Pembangunan yang berbentuk konfiderasi terus menerus mengadakan pendekatan intensif dalam rangka mendahului realisasi fusi, sebelum hal itu dipaksakan oleh UU Parpol dan Golkar. Langkah ke arah fusi itu bukannya tanpa hambatan, sebab partai-partai Islam pada mulanya berbeda pendapat tentang fusi itu: Parmusi dan Perti sejak semula mendukung gagasan fusi, namun tidak demikian halnya NU dan PSII.64 Namun ketika semakin pasti bahwa fusi partai tidak mungkin ditolak, maka pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam itu berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan, ditandai dengan penandatanganan 93 sebuah deklarasi di Jakarta.65 Struktur kepemimpinan PPP diusahakan agar dapat menampung semua partai pendukung secara proporsional, agaknya dengan mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam Pemilu 1971. Itulah sebabnya, dominasi NU dalam partai ini terasa dominan pada awalnya, seperti yang tampak dari diborongnya posisi penting dalam kepengurusan pusat PPP oleh NU.66 Tak heran jika pada awal berdirinya pikiran-pikiran NU banyak mewarnai keputusankeputusan PPP terutama bila berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam hal ini PPP tampak begitu kompak, seperti tercermin jelas dalam respons penolakan atas RUU Perkawinan 1974. Alasan utama penolakan itu adalah karena secara prinsipil RUU itu bertentangan dengan ajaran Islam. Sekalipun anggota PPP hanya sedikit di DPR (94 dari 460 orang anggota), namun mereka dapat memaksakan revisi yang cukup mendasar sebelum RUU itu disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1974. Sukses itu dimungkinkan karena kekompakan elit PPP, di samping adanya gelombang reaksi keras dari massa Islam di luar partai terhadap RUU itu.67 Namun PPP tampak mulai kurang utuh setelah Pemilu 1977. Keretakan di FPP mulai muncul ketika mereka harus membahas Rantap MPR tentang P-4 dan dimasukkannya aliran keper cayaan dalam GBHN. Sekalipun secara esensial semua unsur di FPP menolak dimasukkannya P-4 sebagai Tap MPR dan aliran kepercayaan ke dalam GBHN, namun mereka berbeda dalam strategi dan taktik yang dipakai. Ketika MPR sulit menemukan kata sepakat dalam pembahasan tersebut, maka dipilih cara voting. Di sini perbedaan muncul. Unsur MI menginginkan FPP ikut dalam voting sekalipun mungkin kalah, sementara SI mengusulkan agar abstain saja, sedangkan NU bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang sidang.68 Retak kedua muncul dalam pembahasan RUU tentang perubahan UU Pemilu No. 15 Tahun 1969 di DPR. RUU ini memperoleh tentangan 94 keras dari FPP dan FDI, terutama menyangkut keikutsertaan parpol di LPU (Lembaga Pemilihan Umum) sampai KPPS, tuntutan pengurangan jumlah anggota DPR yang diangkat, dan sebagainya. Lagi-lagi, unsurunsur dalam FPP berbeda strategi sekalipun sikap mereka terhadap RUU itu sama. Dan NU kembali menunjukkan sikap kerasnya. Ketika semua unsur lain pada akhirnya terpaksa menerima KUU itu, NU tetap bersikukuh menolaknya, sehingga RUU itu disahkan tanpa kehadiran anggta FPP dari unsur NU dalam sidang pleno bulan Pebruari 1980.69 Retaknya kekompakan ini barangkali sebenarnya tidak terlalu berdampak buruk bagi partai. Hanya saja pada waktu yang nyaris bersamaan mulai muncul bibit kekecewaan NU terhadap PPP yang, sebagaimana terhadap Masyumi dulu, berkisar dalam masalah distribusi kekuasaan. Sekalipun posisi NU cukup kuat di masa awal Orde Baru, namun tokoh-tokoh NU tidak lagi dilibatkan dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Jika dalam Kabinet Pembangunan I masih ada dua orang NU yang memegang jabatan menteri, dalam kabinet berikutnya sudah tidak ada lagi. Dalam Kabinet Pembangunan II hanya ada dua orang menteri yang berasal dari parpol non-Golkar, yaitu HMS Mintaredja (Parmusi) dan Sunawar Sukowati (PNI). Bahkan jabatan Menteri Agama yang secara tradisional hampir selalu dipegang oleh NU kini tidak lagi. Dalam Kabinet Pembangunan I Yang Disempurnakan, jabatan itu diberikan kepada seorang "teknokrat" Prof Dr Mukti Ali.70 Kecenderungan pemerintah yang sudah enggan untuk bekerjasama dengan kalangan politisi partai non-Golkar ini akhirnya memaksa NU dan partai-partai lain memusatkan perhatian pada lembaga legislatif, tempat terakhir di mana interaksi politik mereka dimungkinkan. Kesempatan tersisa ini menjadi begitu berarti bagi mereka. ________________________________________________________ _________________________ ________________________________________________________ _________________________ 36. Perhatikan Islam bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara mayoritas dalam Pemilu 1955. Sehingga kabinet yang terbentuk kemudian adalah hasil koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Sukamo sebenamya menginginkan PKI diikutkan dalam koalisi itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras. Lihat ibid., h. 123 37. Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat antara lain Mashuri Maschab, Kekuasaan Eksekutif di Indonesia (Jakarta: PT Bina Aksara, 1983), h. 28-110. 38. Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang era Demokrasi liberal dan kegagalannya di Indonesia pernah dilakukan oleh Herbert Feith. Lihat Feith. The Decline op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas Demokrasi liberal lihat David Bourchier dan John Legge, Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s (Monash Papers on Southeast Asia No, 3 (Clayton: Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994). 39. Maarif, op. cit. 95 96 40. Untuk pembahasan tentang perdebatan ideologis antara kelompok Islam dan golongan nasionalis "sekuler" dalam Konstituante, lihat ibid., h. 142-176. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22. Juni 1945 (Jakarta: CV Rajawali, 1986), h. 71-101. 41. Maarif, Ibid., h. 184. 42. Noer Partai Islam, op.cit., h. 394. Kebesaran Masyumi memang tidak dapat ditandingi oleh partai Islam manapun di Indonesia hingga saat ini, tidak juga oleh Parmusi yang didirikan di kemudian hari di dalam alur upaya untuk menghidupkan kembali Masyumi. 43. Tentang upaya-upaya (yang kebanyakan benar-benar berhenti sebatas upaya tanpa hasil yang memuaskan) NU untuk setidak-tidaknya mengimbangi PKI, Lihat Anam, op. cit., h. 276-241. 44. Sundhaussen, op. cit, h. 378 45. Mengenai pembantaiaan orang-orang komunis beberapa bulan setelah pemberontakan G-30-S, lihat Harold Crouch, Militer dan Politik di Inddonesia, alihbahasa Th. Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 162174. "Sikap keras NU terhadap PKI (ini) bukan hanya karena motivasi politik, tetapi yang paling dominan adalah motivasi agama. Anam op. cit., h. 244. Sundhaussen menilai bahwa pembantaian orang-orang PKI baik oleh 97 kelompok muslim maupun oleh kelompok-kelompok lain sebenarnya merupakan buah dari arogansi mereka (orang orang PKI) terhadap lawanlawan politik mereka di masa-masa sebelumnya. "Orang-orang komunis mencap lawan-lawan mereka sebagai 'setan-setan desa', musuh kontrarevolusioner dari negara, sampah masyarakat. Mereka memperolok dan menghina agama, yang menyebabkan umat Islam bersiapsiap untuk berjihad." Sundhauswn, op. cit, h. 387. 46. Suharto, tokoh sentral Orde Karu, menyebutkan tiga Penyeleweng" di masa Orde Lama. Pertama, radikalisme ekstrim kiri PKI yang dengan segala cara berusaha memonopoli hasil-hasil revolusi dengan menghembushembuskan perjuangan kelas di Indonesia Kedua, oportunisme politik yang didorong oleh ambisi di kalangan pribadi penguasa Dan ketika, penyelewengan ekonomi yang, lagi-lagi, didorong oleh kepentingan pribadi. lihat Suharto, "Mengakhiri Tiga Penyelewengan" dalam Herbert Feith dan lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, alihbahasa Min Yub-haar Jakarta: LP3ES, 1988), h. 132-135 Upaya itu dilakukan baik secara "konstitusional" dengan menekan MPRS agar mengesahkan ketetapan-ketetapan yang diusulkan oleh Angkatan Darat (terutama tentang pengukuhan Supersemar sebagai TAP MPRS dan penuntutan tanggung jawab terhadap Sukarno yang akhirnya bermuara pada 98 upaya intensif untuk menyudutkannya maupun dengan jalan memperkuat tempat berpijaknya sendiri dengan cara memapras perwira-perwira pendukung Sukarno dari posisi-posisi penting Angkatan Darat yang dilakukan bersamaan dengan upaya serupa terhadap keriga angkatan lainnya, bahkan juga lembaga-lembaga tinggi negara. Lihat Crouch, op. cit., h. 220-272. Cf. Sundhaussen, op. cif., h. 411ff. 48. Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 19661971, 49. Ibid., h. 56-60. 50. Dengan mengutip KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri, Anam menyebutkan bahwa lunturnya dukungan NU terhadap Sukarno adalah, karena ia tidak mau segera membubarkan PKI, sekalipun NU telah berusaha untuk mengartikulasikan tuntutan pembubaran PKI itu secara konstitusional dan tidak dalam cara-cara anarkis. Lihat Anam, op.cit., h. 249f. Tapi perlu dicatat bahwa cara-cara konstitusional itu cuma merupakan sebuah episode setelah pada episode sebelumnya NU menggunakan cara-cara kekerasan terhadap PKI. 51. Sundhaussen op. cit., h. 433. Pel-Nawaksara adalah laporan pelengkap pidato utama Sukarno di depan sidang MPRS pada pertengahan 1966, NaWaksara. Pidato Pel-Nawaksara mencerminkan penentangan Sukarno ter99 hadap MPRS dan keengganannya untuk mengutuk PKI. 52. Crouch op. cit., h. 296. 53. Sukarno menginginkan pemilu karena itu adalah cara yang efektif untuk mengurangi kekuasaan Suharto yang belum memiliki kesempatan untuk mengembangkan popularitasnya di kalangan rakyat. Lihat Sundhaussen, op cit., h. 420f. Cf. Crouch, op. cit., h. 230. Sementara tunntutan partai-partai terhadap pemilu didasari oleh keinginan untuk kembali menggali peran politik mereka. Dengan pemilu, dukungan terhadap parpol dari akar massa mereka masing-masing akan termobilisir riil. Lihat Crouch, ibid., h. 278f. 54. Tentang upaya penguluran waktu pelaksanaan pemilu ini, lihat antara lain Crouch, ibid., h. 278-285. 55. Ibid., h. 285-296. 56. Penolakan pemerintah terhadap rehabilitasi Masyumi tampaknya didasari oleh keengganannya untuk melihat munculnya sebuah kekuatan politik Islam yang besar sebagaimana Masyumi dahulu. Alasan Suharto tentang keterlibatan sejumlah tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI terasa hipokrit ketika ia kemudian ternyata menyertakan Sumitro Djojohadikusumo, seorang ekonom tokoh PSI yang juga terlibat PRRI, dalam kabinetnya . 100 57. Crouch, op. cit., h, 292f. cit, h. 47. 58. Tentang taktik buldozer Golkar ini, lihat ibid., h 299- 301. Dalam Pemilu 1971 tercatat 2.123.747 warga negara yang tidak berhak memilih. Ibid., h. 300. Jika diingat bahwa pada tahun 1965 PKI pernah menyatakan memiliki anggota sebanyak 20 juta orang, dan jika angka ini dikurangi dengan kirakira 500.000 orang komunis yang dibunuh di akhir tahun 1965 dan awal 1966, serta jika diiasumsikan bahwa orang-orang yang tidak berhak memilih itu adalah orang-orang komunis semuanya, maka setelah dikurangi dengan jumlah mereka yang ditahan, secara kasar dapat diperkirakan bahwa kirakira sejumlah 17 juta ex anggota PKI tidak dihalangi untuk memberikan suaranya. Pernyataan ini boleh jadi kurang argimentatif, namun boleh jadi, mereka inilah yang diraup Golkar. 59. Untuk hasil-hasil Pemilu 1971, lihat antara lain M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170. 62. Bambang Purwoko, ibid., h. 111f. 63. Fathoni dan Zen, op. cit., h. 47-48. RUU ini tanpa hambatan yang berarti kemudian disahkan sebagai UU No. 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar. 64. Bambang Purwoko, op. cit., h. 117-119. Lihat juga Marijan, op. cit., h. 104f. 65. Deklarasi ini ditandatangani oleh KH Idham Chalid (NU), HMS Mintaredja (MI), H Anwar Tjokroaminoto (SI), H Rusli Halil (Perti), dan KH Masykur (NU). Isi lengkap deklarasi ini lihat antara lain Bambang Purwoko, op. cit., h. 120f; atau Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 158f. 66. Jabatan-jabatan penting yang dipegang NU adalah Presiden Partai, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat, Sekjen, Ketua Umum Majelis Pertimbangan Partai, dan Rais Aam Majelis Syuro. Lihat Haris, ibid., h. 162f. 67. Lihat Haris, ibid., h. 10-11. 60. Lihat Marijan, op. cit., h. 101; Crouch, op. cit, h. 302; Fathoni dan Zen, op. cit., h. 46. 61. Lihat Bambang Purwoku, Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan (1973-1986) (Skripsi FISIPOL-UGM, 1988), h. 110. Cf. Fathoni dan Zen, op. 101 68. Marijan, op. cit, h. 112f. 69. Ibid., h. 113f. Rasa tidak puas terhadap FPP dan DPP PPP, yang telah menginstruksikan agar FPP menerima saja RUU itu, segera bermunculan di 102 kalangan aktivis PPP sendiri. Mereka yang tidak puas lalu membentuk sebuah "Komite Perubahan Pusat" yang menentang FPP dan DPP PPP. Ibid., h.114f 70. Untuk komposisi kabinet-kabinet RI, lihat Mashuri Maschab, op. cit. Menyadari begitu krusialnya masalah pembagian hasil perolehan kursi di DPR antara keempat unsur di dalamnya, PPP jauh-jauh hari sudah berusaha membuat langkah antisipatif. Di tahun 1975, Munas Dewan Partai menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa rasio perbandingan perolehan kursi untuk masing-masing unsur dari Pemilu 1977 adalah didasarkan pada hasil nyata perolehan kursi dari Pemilu 1977 ketika masing-masing unsur masih berupa parpol. Kesepakatan ini kemudian dikenal sebagal "Konsensus '75". Berbekal konsensus inilah PPP menghadapi Pemilu 1977. Dari pemilu ini PPP memperoleh 99 kursi di DPR, meningkat 5 kursi dari 94 kursi perolehan keempat partai Islam dalam Pemilu 1971.71 Dengan logika sederhana dapat diduga bahwa penambahan 5 kursi itu akan dibagi merata bagi semua unsur. Masingmasing memperoleh tambahan satu kursi dibanding dari perolehan di Pemilu 1971, sementara satu kursi sisanya bolehlah diserahkan kepada unsur dengan jumlah perolehan kursi terkecil. Benarkah demikian? Tiga unsur memang memperoleh kenaikan jumlah kursi. Parmusi (atau MI) dari 24 kursi di Pemilu 1971 menjadi 25 kursi dalam Pemilu 1977. SI dari 10 menjadi 14 kursi. Dan Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Namun NU justru mencatat penurunan, dari 58 kursi menjadi "hanya" 56 kursi.72 Rasio, perolehan kursi antar unsur ini jelas menyimpang dari Konsensus '75. Masalah pembagian kursi antar unsur ini memang tidak pernah dipersoalkan oleh NU. Namun bibit kekecewaan sangat boleh jadi lalu 103 muncul di sini, dan mulai retaknya kekompakan PPP dalam kisaran waktu ini tak urung menjadi lahan persemaian yang subur bagi bibit itu. Lalu, bibit kekecewaan itu segera menemukan pupukpenyuburnya ketika kekompakan dalam PPP yang telah retak semakin rengkah dan tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Menjelang persidangan DPR 1980/1981 tejadi perebutan kursi ketua komisi-komisi yang telah menjadi jatah PPP di DPR antara NU dan MI. Awalnya adalah ketika FPP memperoleh jatah 13 kursi untuk komisi DPR. Jatah kursi ini lalu dibagi dengan rasio NU:MI:SI:Perti = 7:4:1:1. Dan sesuai dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPR, FPP mendapat jatah untuk mengetuai Komisikomisi I, VII, dan VIII. Semula, Komisi I diketuai oleh Amin Iskandar (NU), Komisi VII oleh Rahmat Muljomiseno (NU), dan Komisi VIII oleh Ismail Hasan Metareum (MI). Lain, di tahun 1978 NU sepakat meminjamkan kursi Ketua Komisi VII kepada MI, dengan catatan harus dikembalikan setahun kemudian. Pada tahun berikutnya, MI ternyata menolak permintaan NU untuk mengembalikan pinjamannya itu, bahkan MI meminta perpanjangan selama satu tahun. NU setuju. Namun di tahun 1980 MI ternyata bersikeras mempertahankan kursi Ketua Komisi itu. Ketika NU terus menuntutnya, diadakanlah voting. Tapi di sini NU kalah, karena MI didukung oleh FXP dan FABRI. Perebutan jabatan bahkan lalu merambat pada kursi Ketua Komisi lainnya. Lagi-lagiI NU kalah, sehingga rasio jatah kursi komisi milik FPP antara NU dan MI menjadi 5:6.73 Konflik yang cukup keras muncul saat penyusunan daftar calon anggota DPR menjelang Pemilu 1982. MI menganggap bahwa Konsensus '75 sebagai referensi distribusi kekua saan sudah tidak berlaku lagi, dan dipandang hanya berlaku untuk Pemilu 1977. NU berpendapat lain. Bagi NU, komposisi distribusi kekuasaan di FPP setidaknya harus dipertahankan. Sementara unsurunsur lain terutama MI justru menuntut NU mengurangi jatahnya dari 104 56 menjadi 49 agar NU tidak menjadi kekuatan mayoritas.74 Perbedaan spendapat ini menyebabkan PPP sulit mencari kata sepakat tentang Daftar Calon Sementara anggota DPR dari PPP untuk Pemilu 1982, bahkan sampai batas akhir penyerahan DCS ke LPU 27 September 1981. Sekalipun LPU memberikan toleransi selama satu bulan, kesepakatan masih saja sulit dicapai. Maka pada 27 Oktober 198I, Jaelani Naro, Ketua Umum DPP saat itu, bersama beberapa orang temannya menyerahkan DCS hasil susunannya sendiri kepada Mendagri selaku Ketua LPU. DCS ini berjumlah 625 calon, dengan perimbangan "calon jadi" 49 untuk NU, 29 MI, 16 SI, dan 5 Perti.75 NU menilai DCS yang diajukan Naro, jelas menyimpang dari Konsensus '75, sebagai daftar sepihak yang disusun di luar musyawarah dengan anggota DPP lain yang non-MI. Di samping itu, NU kecewa karena di dalam DCS tersebut tokoh-tokoh penting NU, terutama yang selama ini cukup vokal berada di urutan bawah. Sebaliknya yang lunak justru ditempatkan pada "nomor jadi".76 Rasa tidak puas ini mendorong NU mengajukan protes secara resmi kepada LPU dan DPP PPP melalui sebuah surat pernyataan penolakan DCS versi Naro, yang ditanda-tangani Rais Aam NU KH Ali Maksum, Ketua Umum PB NU KH Idham Chalid, dan Sekjen PB NU HM Munasir. Namun Mendagri selaku Ketua LPU tetap menilai bahwa daftar calon yang diajukan oleh DPP PPP adalah sah dan karena itu ti dak perlu dipersoalkan. Bahwa DCS itu disusun tanpa melalui musyawarah tidaklah menjadi persoalan dalam penilaian LPU, sebab agaknya, kriteria tunggal keabsahan DCS adalah adanya tanda-tangan dari Ketua Umum DPP, dan itu sudah terpenuhi. Mau tak mau, NU harus bersedia menerima "kekalahan" ini. Menghadapi kenyataan pahit ini, sikap para elit NU berbeda-beda, seperti tercermin dalam polemik antara KH Yusuf Hasyim (yang ter masuk tokoh yang tersingkir) dengan KH Ali Yafie. Yusuf Hasyim menyerukan agar warga NU Jawa Timur mencoblos untuk calon DPRD 105 saja dalam pemilu nanti dan tidak mencoblos untuk calon DPR. Pernyataan ini ditentang oleh Ali Yafie dan Chalid Mawardi yang menilai Yusuf Hasyim tidak paham kepribadian NU, dan generasi muda diserukan agar tidak mengikuti hasutan Yusuf Hasyim.77 Polarisasi juga muncul dalam tubuh NU berkaitan dengan cara pandang tentang keber adaan mereka dalam PPP yang selama ini telah banyak mendatangkan kekecewaan. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok yang saling berbeda pendapat. Pertama, kelompok yang menghendaki agara NU tetap berpolitik. Tokoh kelompok ini adalah Idham Chalid. Kelompok kedua, adalah mereka yang menginginkan agar NU kembali ke bentuk jam'iyah secara tuntas dan meninggalkan kegiatan politik. Termasuk dalam kelompok ini adalah KH Ali Maksum dan KH Achmad Siddiq. Lain kelompok ketiga, antara lain KH Yusuf Hasyim, menginginkan NU kembali ke Khittah 1926 tapi tetap berpolitik.78 Untuk merumuskan secara jelas dan kompak cara pandang NU tentang keberadaannya dalam PPP, PB Syuriah NU mengadakan sebuah rapat pleno pada tanggal 29 Januari 1992 di Jakarta. Rapat ini antara lain berpendapat: Nahdhatul Ulama akan mempertimbangkan kedudukannya dalam lingkungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada saat yang tepat, apabila asas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi lainnya tidak dapat ditegakkan di dalamnya.79 Berkaitan dengan pemilu, Syuriah NU bersikap arif dengan menegaskan agar warga NU turut berpartisipasi di sana. Betapapun hasil 106 Pemilu 1982 jelas tidak akan mendatangkan keuntungan politis bagi NU namun warga NU dihimbau untuk tidak terjebak dalam kebimbangan saat harus menentukan pilihan. Pola pikir ini tampaknya berjalan di atas sebuah kaidah fiqh yang diyakini NU: apa yang tidak bisa seluruhnya jangan dilepaskan seluruhnya. Karena itu, NU tetap aktif dalam kampanye PPP. Namun suasana konflik menjelang pemilu rupanva menyebabkan hasil perolehan PPP merosot. Berdasarkan Pemilu 1992, PPP memperoleh 94 kursi di DPR, kembali turun 5 kursi dibanding Pemilu 1977,8l padahal saat itu jumlah anggota DPR telah mengalami eskalasi. Sementara itu, kekecewaan dalam PPP membawa NU pada introspeksi akan kepemimpinan organisasinya.Para ulama menilai bahwa segala kerugian yang dialami NU bermuara pada lemahnya kepemimpinan Idham Chalid dalam power bargaining. Maka pertemuan 10 ulama NU di Surabaya 1 Mei 1982 menyepakati 'menghimbau' Idham Chalid untuk mengundurkan diri dari jabatannya dan menyerahkan mandat kepada Rais Aam. Faktor lemahnya kesehatan fisik Idham adalah alasan yang dipilih. Setelah para ulama sepuh mendatangi Idham, ia lalu bersedia menandatangani surat pengunduran dirinya pada tanggal 2 Mei, hanya saja pengumuman surat pengunduran diri itu ditunda sampai tanggal 6, mengingati pada tanggal 4 akan dilaksanakan pemilu. Namun pernyataan tersebut diumumkan, reaksi keras berdatangan dari para pendukung Idham. Bagi mereka, pengunduran diri Idham hanya dimungkinkan melalui Muktamar, sebab lewat forum inilah ia diagkat. Tindakan para ulama itu lain dianggap sebagai kudeta. Didorong oleh begitu banyaknya dukungan, termasuk dari 17 Pengurus Cabang NU, Idham lalu membuat surat pernyataan pencabutan kembali pengunduran dirinya.82 Kejadian ini segera mengundang konflik dan perpecahan panjang dalam tubuh NU. Idham merasa tetap sebagai Ketua Umum PB NU, sementara para ulama tetap memegang prinsip bahwa surat pengunduran diri Idham sah dan tidak bisa dicabut kembali. Jadi jabatan Ketua 107 Umum yang telah diserahkan kepada KH Ali Maksum (Rais Aam NU) tidak dapat diminta kembali. Sulitnya dicapai kata sepakat akhirnya membawa NU pada dualisme kepemimpinan antara kelompok ulama yang dimotori oleh KH As'ad Syamsul Arifin, Situbondo (karena itu disebut sebagai kubu Situbondo), dan kelompok politisi yang dipimpin oleh Idham Chalid (kubu Cipete). Betapa pun, kedua pihak yang berbeda pendapat tampaknya sama-sama berusaha untuk menemukan solusi bagi konflik yang tidak sehat itu. Kubu Cipete menginginkan diadakan muktamar. Sedangkan kubu Situbondo lebih memperhatikan perlunya Munas Alim Ulama NU. Namun, kedua kubu sama-sama menyatakan bahwa baik muktamar maupun munas akan membicarakan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal.83 Semua pihak dalam NU agaknya menyadari bahwa pertentangan yang sudah terbuka menyebabkan campurtangan pemerintah tak terelakkan lagi. Masa depan NU lain ditentukan oleh arah dukungan pemerintah kepada pihak yang bertikai (apakah muktamar atau munas yang diijinkan), serta bagaimana NU menanggapi Pancasila sebagai isu nasional. Pihak pemerintah ternyata mendukung kubu Situbondo dengan memberi lampu hijau untuk pelaksanaan munas. Kejelasan sikap pemerintah yang mendukung kubu ulama ini ternyata cukup meredakan perpecahan. Kedua pihak yang berkonflik akhirnya lebih, berkomitmen pada kerukunan jam'iyah. Sikap ini tampak jelas setelah dilangsungkannya Munas Alim Ulama NU di Situbondo (18-21 Desember 1983). Munas ini menghasilkan dua keputusan tentang Pemulihan Khittah 1926 dan Pemantapan Pancasila sebagai Asas Tunggal.84 Keputusan Munas ini lalu dikukuhkan dalam Muktamar NU pada akhir tahun berikutnya di tempat yang sama. Salah satu konsekuensi penting kembali ke Khittah 1926 adalah lepasnya ikatan NU dengan organisasi politik manapun. Keputusan Muktamar tentang Khittah NU antara lain menyebutkan bahwa "Nahdhatul Ulama sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.85 Itu berarti, NU secara resmi keluar dari PPP. Sebuah pertanyaan boleh jadi akan terlontar: Jika dahulu NU dapat segera muncul sebagai partai 108 politik setelah keluar dari Masyumi, lalu apakah yang akan dilakukan NU kini setelah keluar dari PPP, sementara untuk menjadi partai kembali sangat tidak dimungkinkan dan untuk sama sekali pasif dari aktivitas politik barangkali NU tidak akan sanggup? Pertanyaan itu pun sebenarnya tidak perlu ada, jika diingat bahwa keputusan keluar dari PPP muncul dalam suasana semakin dalamnya retrospeksi diri NU akan aktivitas politiknya selama ini dan implikasinya terhadap ide dasar perjuangannya. Sebuah retrospeksi yang membawa NU pada reorientasi peran politiknya. Melangkah ke Era "NU Baru" Bahwa keterlibatan NU yang berlebihan dalam dunia politik akan membawa efek terlalu menonnjolnya kepentingan pribadi elit NU dibandingkan kepentingan jama'ah, dan bahwa itu juga menyebabkan NU setahap demi setahap mulai kehilangan bidang-bidang kegiatan lainnya: dakwah, pendidikan, sosial dan budaya, sudah sejak lama muncul dalam benak kesadaran NU. Keinginan untuk mengoreksi keadaan ini sudah sejak dini terlontarkan, dan, oleh karena itu, pemikiran untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sesuatu yang baru. Pertama kali itu terlontar dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1985. Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat Chalimi, menilai bahwa, Peranan politik oleh Partai NU telah hilang dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh Karena itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926.86 Hanya satu Pengurus Cabang yang mendukung gagasan ini, selebihnya, pemikiran tersebut memperoleh tanggapan yang menentangnya. Dan gemanya pun berhenti di sini. Lalu, pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam KH Wahab Hasbullah, dan barangkali karena itulah memperoleh sambutan yang lebih baik. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa salah satu persoalan yang cukup serius diperdebatkan adalah kehendak agar NU kembali kepada garis perjuangannya di tahun 1926 ketika pertama kali 109 didirikan: mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan saja.87 Namun begitu, gagasan ini akhirnya kalah oleh arusbesar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis. Kandasnya gagasan kembali ke khittah sampai kurun waktu itu, jika diperhatikan, disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, gagasan itu semata-mata dilandasi oleh alasan politis (NU akhirnya hanya menjadi alat kepentingan politik pribadi para elitnya), dan karena itu solusi yang ditawarkan pun senada, dan tidak populer: agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan yang diperoleh NU dalam pergulatan politiknya, wajar jika keinginan untuk menanggalkan peran politik itu lalu hanya dipandang dengan sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politisi (Idham Chalid cs, yang biasanya dipolarisasikan dengan kelompok ulama) masih dominan dalam tubuh NU. Kedua, secara aktual konsep kembali ke khittah tidak terumuskan secara jelas kecuali dalam pengertian minimal "kembali pada tahun 1926". Dan itu bisa dinilai sebagai langkah mundur serta penihilan terhadap nilai-nilai yang diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Kefidakjelasan itulah boleh jadi, yang menyebabkan pemikiran itu memperoleh respons yang agak ganjil ketika Muktamar ke-25 antara lain memutuskan untuk: Mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang non-politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai politik.88 Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke khittah baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh dari Jawa Timur, KH Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniyah yang parah dalam NU dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah 110 (cinta kekuasaan dan cinta kedudukan)89 Ulama Senior NU lain, KH Achmad Siddiq, menilai perlunya segera dirumuskan tekad untuk kembali ke "Khittah Nahdliyah", garis garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU. Di samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya, NU dikhawatirkan akan kehilangan arah di masa nanti jika prinsip Khittah Nahdhiyah tidak secepatnya disusun rumusannya.90 jika pemikiran korektif semacam itu banyak datang dari kalangan ulama, barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpman NU yang secara tak langsung mengurangi peran ulama. Namun sementara itu muncul sebuah generasi baru NU dengan spesifikasinya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula kelompok politisi yang tergolong dalam kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan "jalan tengah", dan, karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama-politisi itu, gagasan mereka bisa lebih objekfif dan relatif mudah diterima semua kalangan NU. Dalam dasawarsa 70-an orang-orang ini banyak mengadakan diskusi untuk merumuskan langkah-langkah pembaharuan NU. Mereka turut merasakan keprihatinan akan kemunduran NU selama ini, namun tetap menyadari bahwa politik merupakan dimensi yang cukup penting dari akfivitas NU secara keseluruhan, mengingat dalam makna kelahiran NU pun terkandung· nilai-nilai politis. Namun demikian, hubungan NU dengan politik lebih ditentukan oleh sejauh mana persepsi NU tentang politik itu, sehingga persoalannya adalah tentang kualitas politik. Konteks politik semestinya tidak hanya dilihat secara sempit da lam masalah distribusi kekuasaan di DPR misalnya, namun dilihat'sebagai upaya mengangkat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. 111 Dalam makna demikian, keikutsertaan NU sangat penting artinya, dan orientasi aktivitas NU yang terlalu didominasi politik praktis bisa diluruskan dengan tampilnya seorang· pemimpin yang mampu menata semua bidang garapan NU secara proporsional.91 ________________________________________________________ __________________ ________________________________________________________ __________________ 71. Lihat Rusli Karim, op. cit., h. 170 dan 183. 72. Anam, op. cit., h. 268f 73. Haris, op. cit., h. 67-69; Marijan, op. cit., h. 115. 74. Marijan, ibid., h. 115f Tokoh MI bahkan menuntut agar distribusi kekuasaan mengacu pada hasil Pemilu 1955. Klaim ini sangat tendensius, sebab mereka beranggapan bahwa MI adalah kelanjutan Masyumi yang dalam Pemilu 1955 berada di atas NU dalam perolehan suara. Sebagai kelanjutan Masyumi. MI merasa wajar jika menuntut perolehan kursi lebih banyak daripada NU. Namun, pernyataan diri MI sebagai kelanjutan Masyumi ini ditentang oleh Natsir, tokoh terpenting Masyumi dahulu. Lihat Fathoni dan Zen, op. cit, h. 64-65. 75. Haris op. cit., h. 69. 76. Kenyataan ini sebenarnya dapat diperkirakan sebelumnya. Sudarji, seorang 112 anggota DPP dari unsur MI yang pertama kali mempersoalkan relevansi Koncensus'75, pernah bersesumbar bahwa PPP akan membersihkan diri dari unsur-unsur Orde Lama dan yang melakukan walk out. Lihat Fathoni dan Zen, op. cit, h. 65. Yang dimaksud Sudarji ini tentu tokohtokoh keras NU. Sebab hanya unsur NU lah yang pernah melakukan walk out baik dalam persidangan MPR maupun DPR. 85. Keputusan Muktarnar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah Nahdhatul Ulama. 86. Marijan op. cit., h. 132. 87. Ibid., h.133f. 88. PB NU, Keputusan Muktamar NU ke-25 di Surabaya, seperti dikutip dalam ibid., h.135. Cetak miring dari penulis. 89. Arief Mudatsir, "Dari Situbondo menuju NU Baru: Sebuah catatan awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h.133. 77. Ibid., h. 66-67. 78. Lihat Anam, op· cit., h. 28O. 90. Fathoni dan Zen, op. cit., h.95. 79. Seperti dikutip dalam ibid., h. 287. Di sini, secara implisit NU tampaknya menegaskan bahwa ia telah sedang mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP, sebab prinsip-prinsip yang disebutkan itu jelas telah banyak dilanggar di dalamnya. 80. Fathoni dan Zen, op. cit., h. 69. 8l. Rusli Karim, op. cit., h. 212. 82. Tentang kemelut kepemimpinan NU ini, lihat ibid., h 70-75: atau Marijan, op. cit., h. 120-125. 83. Fathoni dan Zen, ibid., h. 78. Asas tunggal Pancasila dituangkan daiamTAP MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBKN. 84. Sitompul, op. cit, h. 166f. 113 91. Ibid., h.96. Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu lalu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. Karena itu, sekaIipun mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana beberapa senior mereka, namun kali ii gagasan tersebut telah ditopang oleh fondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. Dan itu secara ber tahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, kalangan ini --Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi Munir, Abdullah Syarwani, Slamet Effendi Yusuf, untuk menyebut beberapa nama-- mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya, sehingga pada tahun 1979 ide-ide itu mulai diterapkan melalui lembaga-lembaga otonom NU.92 Hasilnya, ketika kelompok ini menyuarakan usulan untuk kembali ke Khittah 1926 di Muktamar Semarang, sambut 114 an yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil keputusan Muktamar diuraikan tujuan: (1) Menghayati makna kembali ke jiwa 1926, (2) Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan tersebut, dan (3) Memantapkan cakupan paritsipasi Nahdhatul Ulama secara lebih nyata dalam pembangunan bangsa.93 Betapa pun, gagasan kembali ke khittah tetap berada dalam pro-kontra. Orang-orang seperti Idham Chalid dan kelompoknya masih tetap menghendaki politik praktis. Sementara, golongan yang kecewa terhadap PPP mendukung gagasan kembali ke khittah itu.94 Namun upaya pembaharuan NU terus membola-salju. Sambil melakukan upaya rekonsiliasi dan menetralisir konflik Cipete-Situbondo, kelompok intelektual muda NU terus mengadakan komunikasi intensif dengan mendatangi tokoh-tokoh pesantren, para cendekiawan, dan me-0 ngumpulkan generasi muda NU dalam "Kelompok Diskusi 164".95 Pada Mei 1983 kelompok ini menyelenggarakan pertemuan yang dihadiri 24 tokoh muda NU, --terkenal dengan nama Majelis 24,96 yang bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya "Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926". Tim yang terdiri dari Abdurrahman Wahid (Ketua), HM Zamroni (Wakil Ketua), Said Budairy (Sekretaris), H Mahbub Junaedi, Fahmi Saifuddin, Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja (anggota) ini bertugas merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta menyusun pola kepemimpinan NU.97 Rumusan yang dihasilkan oleh Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan bahan Munas Alim Ulama 1983 dan Muktamar NU ke 27 di Situbondo, 1984. Dari kedua forum ini dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah sosial, politik, ekonomi dan agama, serta yang palmg monumental adalah penerimaan asas 115 tunggal Pancasila dan keputusan Kembali ke Khittah 1926. Mengenai asas Pancasila, NU menegaskan dalam Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, bahwa: 1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama. 2. Sila Ketuhanan Yang maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam. 7. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia. 4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at agamanya. 5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.98 Sedangkan mengenai garis-garis besar dan ide dasar perjuangannya, yang dirumuskan sebagai Khittah Nahdhatul Ulama Muktamar NU membuat definisi bahwa: a. Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. h. Landasan tersebut adalah paham Islam Ahlussunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. c. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan 116 sejarah khidmahnya dari masa ke masa.99 Mengiringi tema kembali ke khittah, dalam Muktamar juga dibahas sub-sub tema reorientasi program, regenerasi, dan rekonsiliasi terhadap pemerintah .100 Reorientasi Program: setelah sekian lama dalam kiprah politik praktis, NU kiri kembali ke orientasi semula, yaitu memperhatikan masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih luas. Itu berarti meliputi segala aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama. Regenerasi NU akan melakukan pergantian pimpinan dari generasi tua kepada generasi muda yang dilakukan dengan tetap memelihara keserasian dan keselarasan hubungan antar generasi. Tampak nya, kombinasi generasi tua dan generasi muda dalam kepengurusan NU yang dilantik oleh Muktamar 1984 (generasi tua di sekitar KH As'ad Syamsul Arifin dalam Majelis Isytisar, generasi yang lebih muda di sekitar KH Ahmad Siddiq di PB Syuriah, dan generasi paling muda di sekitar Abdurrahman Wahid dalam Tanfidziah) merupakan kombinasi yang menarik untuk membawa kepada sebuah NU baru.101 Rekonsiliasi terhadap Pemerintah: NU akan merumuskan secara jelas dan tuntas hubungan yang kompleks antara Islam dan Negara Pancasila guru memungkinkan tegaknya bangsa Indonesia secara terhormat dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Kembalinya NU ke Khittah 1926 memang berimplikasikan dirumuskannya orientasi perjuangan yang baru dengan tetap berakar pada ide dasarnya semula, dan untuk itu diperlukan aktor-aktor baru, yang tumbuh dalam suasana hubungan yang baru pula, baik antar elit NU sendiri maupun antara mereka dengan pemerintah. Kembali ke khittah juga membawa konsekuensi organisatoris. Misalnya, NU akan mengembalikan pola kepemimpinannya pada supremasi ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jam'iyah diniyah mau tak mau NU memerlukan kharisma ulama yang bertugas sebagai pemandu dan pengawas organisasi. Itu berarti pemberian kembali bobot peran yang lebih signifikan kepada syuriah. Konsekuensi lain yang tak kalah pentingnya adalah penegasan bahwa NU tidak terikat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan manapun, termasuk PPP. Setelah memutuskan kembali ke Khittah 1926, 117 NU memang bukan semata-mata tampil kembali sebagai NU di tahun 1926, bukan pula NU 1952 saat keluar dari Masyumi. Ia adalah sebuah NU baru, yang lahir dari perenungan politik yang matang berdasarkan pengalaman panjang dan penghayatan moral yang mendalam akan makna hakiki Khittah 1926 itu. Struktur Kewenangan NU I. Diferensiasi Struktural Pasal 16 Anggaran Dasar NU (102 menyebutkan bahwa kepengurusan organisasi ini terdiri dari Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah. Kecuali Mustasyar yang hanya dibentuk pada tiga tingkat kepengurusan pertama, maka kedua komponen lainnya dapat ditemukan pada semua tingkat kepengurusan. Mustasyar dibentuk oleh Syuriyah, yang pada tingkat pusat sebanyak-banyaknya 9 orang. Sementara Syuriyah terdiri dari seorang Rais Aam, Wakil Rais Aam, beberapa Rais, Katib (sekretaris) dan beberapa wakilnya. Sedangkan Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua Umum yang membawahi beberapa Ketua, Sekjen dan beberapa wakilnya, serta Bendahara dan wakilnya. Ketiga komponen yang masing-masing bersifat kolegial ini mempunyai tugas dan fungsi tersendiri, yang dirinci cukup jelas dalam Anggaran Rumah Tangga NU. Mustasyar adalah penasehat yang secara kolektif bertugas memberikan nasehat kepada pengurus NU menurut tingkatannya. Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU Yang berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam'iyah NU Dalam banyak segi, Syuriyah menjalankan fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah kebijaksanaan jam'iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu. Syuriyah berhak membatalkan setiap keputusan yang dibuat oleh suatu perangkat NU, jika keputusan itu dinilai bertentangan dengan ketentuan jam'iyah, terutama ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah. Di bawah Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lem118 baga eksekutif yang memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Syuriyah. Tanfidziyah harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah tentang pelaksanaan tugasnya. Dalam praktek, seolah ada konvensi yang berlaku bahwa kedudukan dalam Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah secara berturutturut menggambarkan tingkat senioritas personelnya. Selain ketika koponen inti tersebut, maka untuk menjalankan usaha-usaha di berbagai bidang garapan NU yang meliputi bidang bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi, maka Anggaran Dasar NU mengatur pembentukan perangkat organisasi berupa bagian-bagian, lajnah, lembaga, dan badan-badan otonom. Pengurus Besar Tanfi dziyah memegang wewenang untuk membentuk perangkat organisasi ini, di samping untuk membentuk tim-tim kerja tetap atau sementara jika dipandang perlu untuk menggerakkan dan mengelola program. Lajnah adalah semacam komite khusus tetap yang menangani suatu program NU. Antara lain yang telah terbentuk saat ini adalah Lajnah Falakiyah, yang bertugas mengurus masalah hisab dan rukyat; Lajnah Kajian dan pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam di Jakarta dan LKPSM di Yogyakarta) yang bertugas melakukan kajian, penelitian dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas warga NU; dan sebagainya. Sementara lembaga adalah perangkat yang berfungsi sebaggai pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga yang ada antara lain adalah Lembaga Dakwah NU; Lembaga Pendidikan Ma'arif; Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah; dan sebagainya. Sedangkan badan otonom adalah perangkat yang berkaitan dengan kelompok masyarakat NU tertentu, seperti GP Ansor, Muslimat NU, dan seterusnya. Di samping diferensiasi horisontal di atas, secara vertikal dalam sistem kepengurusan NU terdapat berbagai tingkatan yang sesuai dengan ruang lingkup wilayahnya. Setiap tingkat kepengurusan berfungsi sebagai koordinator kepengurusan setingkat di bawahnya, serta sebagai pelaksana kebijaksanaan tingkat kepengurusan di atasnya. Hirarkhi sistem kepengurusan NU ini meliputi: 1. Pengurus Besar pada tingkat 119 pusat, berkedudukan di Ibukota RI. 2. Pengurus Wilayah pada tingkat propinsi, daerah tingkat I, atau daerah yang disamakan dengan itu. 3. Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten, kotamadya, daerah tingkat II, atau daerah yang disamakan dengannya. 4. Pengurus Majelis Wakil Cabang pada tingkat kecamatan atau daerah yang disamakan. 5. Pengurus Ranting pada tingkat desa atau kelurahan, atau daerah yang disamakan dengan itu. Anggota setiap kepengurusan ini dipilih dan diangkat oleh sebuah forum permusyawaratan sesuai dengan tingkatannya masmg-masing. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 5 tahun, Pengurus Wiiayah dan Cabang 4 tahun, serta Pengurus MWC dan Ranting selama 3 tahun. 2. Tingkat Pembuatan Keputusan Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah wadah permusyawaratan, yang memiliki peringkat di mana hirarkhi dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan peringkatnya. Forum permusyawaratan di dalam NU meliputi: Muktamar Muktamar adalah lembaga permusyawaratan tertinggi yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali. Di sini, Pengurus Besar melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan dilakukan pemilihan pengurus periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga membahas masalah hukum fiqh, Program Dasar NU untuk periode berikutnya, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan agama dan kemaslahatan umat. b.Konperensi Besar Konperensi Besar merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi setelah Muktamar Yang diadakan oleh Pengurus Besar. Forum ini membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar serta berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program. 120 c. Musyawarah Nasional Alim Ulama Munas Alim Ulama adalah forum yang diadakan oleh PB Syuriyah. sekali dalam suatu periode kepengurusan Anggaran Rumah Tangga NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia "tidak dapat mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan Muktamar dan tidak mengadakan pemilihan PenguruS baru. d. Konperensi-Konperensi Konperensi ini meliputi Konperensi Wilayah, Konperensi Cabang; dan Konperensi Majelis Wakil Cabang, yang merupakan bentuk permusyawaratan tertinggi pada setiap tingkatannya. Sebuah Konperensi diadakan oleh pengurus pada tiap tingkatan, dengan dihadiri oleh kepengrusan yang ada setingkat di bawahnya, dalam interval 4 tahun untuk Konperensi Wilayah, 4 tahun untuk Konperensi Cabang, dan 3 tahun untuk Konperensi Majelis Wakil Cabang. Dalam sebuah Konperensi dibahas mengenai evaluasi program kerja pengurus lama, pemilihan pengurus baru untuk periode berikutnya serta membahas masalah program kerja selanjutnya, terutama berkaitan dengarn masalah sosial dan keagamaan yang dihadapi pada setiap tingkatan. e. Rapat Anggota Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada tingkat Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di Ranting setempat, dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan pertanggungjawaban Pengurus Ranting, menyususn rencana kerja untuk tiga tahun berikutnya, dan membahas masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di Ranting. 3. Praktek Hubungan Syuriyah-Tanfidziyah Sering dikatakan, NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang diadopsi dalam 121 sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah pesantren memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah elemenmanusia yang secara mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah penguasa tertinggi pesantren, yang mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.103 Pola hubungan kyai-santri inilah yang sebenarnya menjadi logika dasar hubungan Syuriah-Tanfidziyah di NU. Selama dasawarsa per tama sejak berdirinya, aksen logika ini begitu kental mewarnai NU. Ketika itu Pengurus Tanfidziyah diangkat oleh Pengurus Syuriyah yang terpilih. Syuriyah diisi para kyai, sedangkan Pengurus Tanfidziyah biasanya berasal dari kalangan petani kaya, pedagang dan santri.104 Fungsi Tanfidziyah pada masa ini benar-benar hanya sebagai pelaksana teknis segala kebijaksanaan Syuriyah. Muktamar yang diadakan adalah forum milik Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah berperan tak ubahnya hanya sebagai panitia pelaksana Muktamar. Agenda Muktamar pun pada umumnya menyangkut soal-soal keagamaan yang bukan lahan Pengurus Tanfidziyah. Pola hubungan ini mulai bergeser sejak Muktamar ke-9 di Banyuwangi, 1934. Saat itu mulai muncul beberapa tokoh ulama muda pesantren (yang berasal dari keluarga kyai) di Tanfidziyah yang menggeser kelompok santri pada jajaran kedua di dalamnya.105 Pada Muktamar ini, Machfudz Siddiq dan Wahid Hasyim (dua di antara ulamaulama muda itu) minta kepada Muktamar agar otonomi Tanfidziyah juga diperhatikan agar lebih menamhah pengabdian NU kepada negara dan bangsa.106 Di sinilah beberapa perubahan penting mulai dilakukan. Jika pada Muktamar-muktamar sebelumnya Tanfidziyah tidak diikutsertakan dalam persidangan, apalagi turut memutuskan masalah, maka 122 sejak Muktamar Banyuwangi ini mereka diberi hak dan wewenang untuk mengadakan sidang sendiri sesuai bidangnya, terpisah dari sidang Syuriyah.107 Tuntutan akan otonomi Tanfidziyah pun terjawab ketika saat itu Pengurus Tanfidziyah mulai dipilih langsung oleh Muktamar. Sehingga, kemampuan dan pengaruh Tanfidziyah mulai naik, tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja. Bahkan dalam Muktamarmuktamar selanjutnya, Pengurus Tanfidziyah sudah duduk di meja pimpinan Muktamar.108 Mekarnya otonomi Tanfidziyah ini di samping memberi manfaat posifif berupa semakin maraknya aktualisasi peran dan keberadaan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak kurang juga membawa agenda permasalahan yang cukup rumit. Antara lain, peran kedua badan --Tanfidziyah dan Syuriyah-- dalam beberapa hal seringkali tumpang-tindih akibat ketidak-jelasan distribusi peran masing-masing dalam praktek. Misalnya, dalam MIAI NU diwakili oleh unsur-unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Padahal untuk hal hal semacam itu mestinya NU cukup diwakili oleh Pengurus Tanfidziyah. Ketika NU semakin menancapkan peran politiknya setelah kemerdekaan, otonomi Tanfidziyah kian besar, dan bahkan mereka lalu tampak lebih dominan daripada Syuriyah. Aspek senioritas yang mulanya begitu dipentingkan dalam penempatan personel Syuriyah dan Tanfidziyah seterusnya agak diabaikan. Baik tokoh-tokoh Syuriyah maupun Tanfidziyah sesudah itu adalah orang-orang yang sepantaran, berbeda dengan masa awal di mana senioritas Syuriyah begitu dipentingkan, dan di mana Tanfidziyah tampak sebagai "murid" Syuriyah dengan segala ketaatannya. Wajar jika wibawa dan supremasi Syuriyah lalu mengalami degradasi. Keadaan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang. Sistem nilai yang berlaku dalam NU pun seolah telah bergeser ketika di masa Orde Baru pernah muncul konflik antara dua kelompok yang kurang lebih adalah Syuriyah dan Tanfidziyah. Konflik itu bisa muncul karena salah satu atau sekaligus kedua penyebab ini: lemahnya wibawa 123 para ulama dalam Syuriyah di satu sisi, dan tidak terkendalinya otonomi Tanfidziyah pada sisi lain. Sebuah langkah baru ke arah pembenahan kondisi ini mulai di tancapkan di Situbondo, 1984, ketika keputusan kembali ke Khittah 1926 mengamanatkan dikembalikannya supremasi ulama di Syuriyah, tanpa mengecilkan sama sekali peran Tanfidziyah sehingga hanya sekedar menjadi alat Syuriyah, dalam struktur kewenangan NU. Basis Massa NU Massa pendukung NU berasal dari masyarakat santri di pedesaan, khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah satu karakteristik mereka adalah cenderung menghindari konflik dan lebih mementingkan harmoni; dan sebagai komunitas santri, karakteristik berikutnya adalah ketaatan mereka kepada ulama atau kyai dalam suatu pola hubungan guru-murid yang nyaris sakral. Massa NU ini pada dasarnya terbagi dalam komunitas-komunitas kecil seperti sel-sel pada sebuah organisme yang masing-masing memiliki nukleus berupa kyai-kyai lokal. Tempat kedudukan para kyai ini biasanya dicirikan dengan terdapatnya lembaga pendidikan Islam tradisional pesantren atau terdapatnya surau di suatu desa. Sehingga pesantren, yang satu sama lain biasanya memiliki hubungan interdependensi, adalah bagian terpenting dalam pembahasan tentang NU dan basis massanya. Di sini tidak dimaksudkan suatu uraian tentang detil pesantren seperti kurikulum dan metode pengajarannya. Yang lebih penting adalah logika dasar dalam kehidupan pesantren yang mewarnai pola hubungan santri-kyai serta hidup keseharian pesantren dan masyarakat sekitarya. Logika dasar itulah yang memberi corak pada karakteristik NU. Salah satu nilai penting dalam tradisi pesantren adalah kepatuhan santri kepada kyainya yang bersifat mutlak dan tidak terputus berlaku sepanjang hidup seorang santri. Hal ini merupakan inti ajaran kitab Ta'limul Muta'allim, salah satu kitab klasik acuan utama kebanyakan, kalau tidak semua, pesantren NU.109 Sikap hormat dan kepatuhan mut124 lak kepada kyai sebagi guru ini bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan bahwa guru adalah peenyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya. Kondisi ini berhulu pada kedudukan dominan dalam pembentukan tata nilai di pesantren yang dipegang oleh hukum fiqh, kemudian diikuti oleh tradisi kaum sufi.110 Keharusan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kyai, tidak lain adalah kelanjutan sikap tunduk para penganut sufi kepada tokoh, mursyid, sebagai penunjuk ke arah kesempurnaan pengertian akan hakekat Tuhan. Dengan tata nilai ini maka kedudukan kyai menjadi sangat tinggi dalam lingkungan santri dan bahkan meluas pada masyarakat sekitarnya . Karena tuntutan keteladanan ini, sementara nilai-nilai baru terus berdatangan, maka disadari atau tidak sang kyai lalu terlibat dalam proses penyelarasan terus-menerus antara tata nilai yang ada dalam masyarakat atau khususnya pesantren yang dipimpinnya, dan nilai-nilai budaya baru yang bersinggungan dengannya. Abdurrahman Wahid menilai bahwa respons kultural yang reaktif (itu), betapa pun bergunanya pada suatu saat, pada akhirnya membuat kyai sukar memahami setiap gejolak nilai intrinsik masyarakat, karena setiap pemahaman akan hakikat gejolak itu senantiasa dilakukan dari sudut kemungkinan penyerapan ke dalam lingkungan pesantren sendiri. Dengan demikian, peranan adaptatif ini pada akhirnya membawa kyai pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai oportunis, dalam arti kata ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural semaksimal munkin.111 Watak serupa ini ternyata kemudian tampak ketika kyai-kyai di dalam NU, mengambil peran dalam proses politik yang berjalan. Kesan oportunistik terasa sekali ketika NU sangat menonjol dengan sikap akomodatifnya. Setiap perubahan politik yang terjadi biasanya selalu dicari keselarasannya dengan nilai-nilai keagamaan, dan pada umum nya berhasil. Selalu ditemukannya keselarasan itu karena pada satu sisi biasanya fenomena politik yang muncul digali sampai esensi persoalannya, sehingga selalu dapat dirumuskan nilai-nilai positifnya. Sementara di sisi lain, NU memiliki kekayaan referensi berupa kitab-kitab klasik, 125 yang sangat beraneka ragam. Dari sini NU dapat mencari pendapat para ulama terdahulu yang paling dapat mengakomodasikan perubahan politik. Contoh yang dapat diambii adalah pemberian gelar waliyyul amri dharuri' bissyaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan penuh) kepada Sukarno sementara pada saat yang sama Kartosuwiryo, yang memperjuangkan negara Islam, juga diberi cap sebagai bughat (pemberontak). Alasannya adalah karena keberadaan negara telah dinilai sah secara fiqh, maka orang yang menjadi presidennya pun perlu diberi legitimasi kekuasaan penuh.112 Sikap fleksibel kalangan santri ini juga berkaitan dengan keunikan struktur pengajaran yang memiliki ciri khas. Semua mata pelajaran di pesantren bersikap aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga proses pendidikan di pesantren sama saja artinya dengan "sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri."113 Pada akhirnya, pola keseharian kehidupan pesantren, yang diwarnai oleh visi "keikhlasan" (dalam pengertian vertikal, berbeda dengan makna umum yang horisontal) itu, membangun sebuah pokok dasar kehidupan berupa orientasi ke arah kehidupan akhirat, atau pandangan hidup ukhrawi.114 Wajah lain pandangan hidup ini adalah keikhlasan untuk menerima kadar apa saja perolehan hidup yang ada, asalkan pandangan hidup ukhrawi sedapat mungkin terpuaskan. Sebuah sikap hidup yang tampak fatalistis, namun jelas memiliki dimensi positifnya: kemampuan melakukan perubahan status dalam kehidupan dengan mudah. Kesimpulan Mengamati sejarah NU tak ubahnya menyaksikan sebuah kekuatan --politik atau pun sosial, pada gilirannya masing-masing-- dengan daya survival yang tinggi. Kemampuan untuk selalu bertahan itu adalah berkaitan dengan pola perilaku NU yang reaktif. Bahkan tujuan upaya kelompok Islam tradisional untuk mengimbangi kelompok modernis. Sebuah perilaku reaktif, tentu saja. Namun bukan hanya itu. Banyak titik-titik penting dalam lini sejarah NU yang turut mere126 fleksikan pola perilaku reaktif itu. Sebut saja keluarnya NU dari Masyumi di tahun 1952, atau begitu mudahnya NU mengalihkan dukungan dari regim Sokarno yang mulai runtuh kepada regim baru yang sedang mencari pengukuhan, maupun contoh-contoh lain. Namun jika diamati lebih dalam, maka pola perilaku reaktif NU itu bisa memberikan penjelasan lain: kemampuan antisipatif NU yang sangat tinggi terhadap peruhahan keadaan. Dengan kemamyuan ini, NU selalu da pat mengikuti arus besar kepolitikan makro dalam setiap perubahannya, tanpa harus kehilangan jati-dirinya yang paling esensial. Itulah yang terjadi. Ketika NU didirikan tahun 1926, inti identitasnya adalah sebagai kaum Muslimin penganut paham Ahlussnnnnh Wal Jamaah tanpa identifikasi diri lebih lanjut sebagai organisasi sosial semata-mata atau tidak, berkehendak atau tidak untuk turut terjun dalam kegiatan politik, maupun hal-hal detail organisasi lainnya. Sebab bentuk organisasi bagi para pendiri NU tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai tujuan. Perubahan apapun yang harus dilakukan oleh perwajahan organisasi, sejauh itu memang diharuskan oleh upaya pencapaian tujuan terawal dalam garis Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, tidak ada alasan untuk menolaknya. Itulah sebabnya ketika tujuan dasar itu mengharuskan NU menjadi partai politik, Muktamar 1952 dengan mudah mengetukkan palunya bagi perubahan orientasi NU. Sudah barang tentu terjadinya perubahan dalam cara pencapaian tujuan dasar sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem politik makro, Indonesia. Di tahun 1952, para elit NU menilai bahwa perjuangan sebagai partai politik adalah yang paling tepat bagi upaya pencapaian tujuan itu. Dan adalah kenyataan bahwa sistem politik tidak pernah terlalu lama berada dalam suatu status quo. Perubahan demi perubahan selalu terjadi yang juga membawa pergeseran dalam pola interaksi struktur-struktur politik yang ada di dalamnya. Ketika perjalanan sistem politik Indonesia sampai pada suasana di mana partai politik tidak lagi leluasa memainkan peran-perannya, dan hanya diam di pinggiran lebih banyak sebagai penonton yang sekali-sekali melakukan ritual partisipasi, saat itulah NU kembali melakukan penilaian terhadap kapasitas organisasinya. Perenungan inilah yang antara lain membawa NU pada keputusan untuk kembali kepada bentuk sebagai 127 organisasi sosial-kemasyarakatan, dalam apa yang secara retorik dirumuskan sebagai kembali ke Khittah 1926. Berbagai perubahan tentu saja mesti dilakukan dengan adanya keputusan itu. Yang paling penting adalah dilepaskannya baju kepolitikan praktis NU dan segala keterkaitan organisatoris NU dengan organisasi politik manapun. Sementara internal adalah komitmen moral NU untuk mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang semestinya dalam kepemimpinan NU, yang untuk sebagian upaya ke arah itu telah didiskusikan dalam bab ini. Namun betapapun pentingnya sebuah keputusan, maka yang jauh lebih penting adalah pelaksanaan keputusan tersehut. Bab IV akan memulai melihat bagaimana pelaksanaan keputusan kembali ke khittah dalam dinamika internal NU, setelah Bab III mencoba mengikhtisarkan pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor determinan terhadap dinamika NU dewasa ini. ________________________________________________________ _________ ________________________________________________________ _________ 92. Arif Mudatsir, loc. cit, h. 139. 93. PB NU, Program Dasar Pengembangan Lima Tahun Nahdhatul Ulama: Keputusan Muktamar NU ke-26, seperti dikutip dalam Marijan, op. cit, h. 136 94. Ibid., h. 138. 92. Arif Mudatsir, loc. cit. 96. Ibid., h. 140. Ke-24 orang tokoh itu adalah: KH Sahal Mahfudz, Mustafa Risri, Asip Hadipranata, Mahbub Junaedi,Abdurrahman Wahid, M Tolhah Hasan, 128 HM Zamroni, HM Munasir, dr Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Abdullah Syanuani, Muhammad Tohir, KH Muchit Muzadi, Saiful Mujab, Umar Basalim, Cholil Musadad, Ghaffar Rahman, Slamet Effendi Yusuf, Ichwan Syam, Musa Abdillah, Mustofa Zuhad, Danial 7anjung, A Bagja, dan Masdar Farid Mas'udi. 105. Ibid. 97. Ibid. 109. Lihat ikhtisar kitab ini dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, op. cit., h 82-85. 98. Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/I404/1983 Tentang Pemulihan Khittah NU 1926. 106. Choirul Anam, "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU," dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992. 107. Anam, Pertumbuhan, op. cit., h. 89-91. 108. Haidar. loc. cit. 99. Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittali Nahdhatul Ulama. 110. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pesantren Sebagai Subkultur," dalam M Dawam Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: P3M, 1988), h. 51. 100. Arief Mudatsir, loc. cit-., h. 133. 111. Ibid., h. 47. 1O1. Ibid., h. 140. 112. Abdurrahman Wahid,.'Nahdhatul ULama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h..34. 102. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No, 01/MNU-ZR/19R9 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama. 103. Mekanisme pengelolaan pesantren seperti ini pernah dikupas dengan sangat ilustratif oleh Zamakhsyari Dhofier. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), khususnya Bab II (Elemen-elemen Sebuah Pesantren), h. 44-61. 113. Abdurrahman Wahid, Pesantren, op. cit., h. 42. 114. Ibid. BAB III ABDURRAHMAN WAHID: PEMIKIRAN DAN DETERMINASI 104. Ali Haidar, "NU dan Tantangan Keulamaan," dalam Aula Juli 1993, h. 24. 129 SIAPAPUN yang jeli mengamati perkembangan NU kontemporer akan menemukan dua nama penting di balik sebagian 130 besar gerak dinamika, bahkan kontroversi yang dibangun oleh organisasi ini, yakni KH Abdurrahman Wahid dan KH Achmad Siddiq, tanpa mengabaikan peran figur-figur lainnya. Lompatan yang dilakukan NU di tahun 1984 antara lain dimungkinkan oleh suntikan energi dari kedua tokoh ini. Oleh karena itu, analisis tentang NU sebenarnya tidak boleh melepaskan pengamatan terhadap pikiran-pikiran mereka pada tataran konseptual serta langkah-langkah mereka pada tataran aksi. Kalaupun pada bab ini kajian dikhususkan pada figur Abdurahman Wahid, hal itu setidaknya didasari oleh tiga pertimbangan. Pertama, KH Achmad Siddiq telah meninggal dunia di tahun 1991, sehingga KH Abdurrahman Wahid menjadi figur yang lebih relevan ketika orang berbicara tentang faktor-faktor determinan terhadap dinamika NU sekarang dan mendatang. Kedua semasa hidupnya pun Kiai Achmad lebih banyak berperan di balik layar dan lebih banyak tampil dengan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid, sementara yang disebut terakhir ini, oleh karena posisinya dalam Tanfidziyah, selalu tampak dominan di Panggung NU. Dan ketiga, karena kapasitasnya yang lebih menonjol sebagai ulama, artikulasi pemikiran Kiai Achmad kebanyakan bernuansa persoalan agama (Islam) secara "konvensional", dan jarang sekali yang berisikan implikasi di luar itu, meskipun ia pernah memberikan gambaran yang mengesankan tentang hubungan antara agama dan negara dengan menyatakan bahwa bagi NU Negara Kesatuan RI adalah sebuah "bentuk final".1 Karakteristik Kiai Achmad dalam hal ini adalah berkebalikan dengan Abdurrahman Wahid. Karena itu bab ini akan mencoba membuat gambaran tentang sosok Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor yang memiliki determinasi terhadap NU, serta menyusun ikhtisar pemikirannya dalam segi-segi tertentu: ideologi; negara, kekuasaan dan masyarakat; serta Islam dan NU. Di sini dilakukan pembatasan hanya pada aspek-aspek yang memiliki relevansi langsung dengan studi ini, meskipun itu berarti kurang tergambarkannya secara komprehensif rimba pemikiran Abdurrahman Wahid. Figur Determinan Sejak dilahirkan 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid (selan131 jutnya disebut dengan nama panggilannya Gus Dur) telah membawa beberapa keunggulan komparatif yang jarang dimiliki oleh orang NU mana pun. pertama ia dilahirkan di lingkungan pesantren Tambakberas Jombang, yang merupakan salah satu sentra spiritual" NU. la juga unggul secara askriptif. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari yang semasa hidupnya pernah menjadi Ketua PB NU, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, serta Menteri Agama pada kabinetkabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Sedang dari garis ibunya ia mewarisi darah KH Bisyri Syansuri, juga salah seorang Rais Aam NU. Dengan demikian, ia tidak diragukan lagi telah berada pada posisi inti dalam kosmologi dan emosi komunitas NU. Keunggulan ini, seperti akan terlihat nanti, terus-menerus diperbesar dengan keka yaan pengalaman intelektual Gus Dur yang kompleks. Dalam banyak aspek Gus Dur seakan memang telah dipersiapkan sebagai putra mahkota yang kelak akan memimpin NU sebagai pewaris ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan KH Wahid terhadap putranya ini tergambar jelas dalam nama yang diberikannya: Abdurrahman Ad-dakhil Secara leksikal ad-dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil KH Wahid dari seorang perintis dinasti Bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam.2 Sayangnya Wahid meninggal ketika Gus Dur berumur 13 tahun, dan belum sempat melihatnya menjadi seorang "penakluk" seperti sekarang. Tapi sangat boleh jadi ia telah melihat tanda-tanda simptomik ke arah itu. KH Achmad Siddiq ingat betul bahwa kecendekiaan Gus Dur sudah terasa semenjak usianya masih sangat dini.3 Semasih di bangku SMEP di Yogyakarta, ia telah banyak membaca buku-buku yang sulit dipahami bahkan oleh orang dewasa yang terpelajar sekalipun, seperti What Is to be Done? karya Lenin yang diinggriskan, Captain s Doughter yang ditulis Turgenev, atau karya monumental Marx, Das Capital.4 Karena itu, meskipun tak lama kemudian ia segera berada pada orbit yang seharusnya di mana sebagai seorang putra kiai ia mesti ditempa di banyak pesantren, namun cakrawala pemikirannya sudah terlanjur sangat terbuka dan visi intelektualitasnya telah melihat sesuatu yang barangkali tak seharusnya ia lihat, minimal tidak di usia sebelia itu. Pengembaraannya di dunia pesantren dimulai di pesantren Tegalreio Magelang, yang 132 selama tiga tahun sejak 1956 diasuh dalam pengawasan langsung KH Chudlori. Dari sini ia melanjutkan ke pesantren Tambakberas, dan tinggal di sana selama empat tahun. Tahun 1964-66 ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo pada Department of Higher Islamic and Arabic Studies. Ia tidak menyelesaikan studinya di Al-Azhar karena universitas itu tidak kondusif untuk Gus Dur. Selama dua tahun di Kairo justru digunakan untuk belajar di luar universitas, mengikuti halqah, menghabiskan waktunya di perspustakaan nasional Mesir Dar al-Kutub serta perpustakaan di kedutaan Amerika dan Perancis. Ia juga mengadakan kontak dengan syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki Naguib Mahmoud, Soheir al-Qalamawi dan Syauqi Deif. Selepas dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak, sampai tahun 1970 saat ia dipanggil pulang ke Jombang. Di kota kecil ini ia memulai tahap kehidupan yang berikutnya bagi putra kiai: mengajar di pesantren.5 Kariernya sebagai pendidik sebenarnya dimulai sejak 1959 dengan mengajar di madrasah Muallimat Bahrul Ulum selagi ia mondok di Tambak Beras. Sekembali dari Timur Tengah, ia mengajar di pesantren Tebuireng. Antara 1972-1974 Gus Dur menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, dan lima tahun berikutnya ia menjadi sekretaris pesantren Tebuireng, sampai tahun 1979 ia hijrah ke Jakarta dan memulai kiprahnya di PB NU. Di Jakarta karier pendidiknya tidak berakhir. Di samping mengajar antara lain di IAIN Syarif Hidayatullah, ia juga mendirikan sekaligus memimpin sebuah pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan. Wawasan intelektualitas yang luas itu,6 dan yang "terkontaminasi" sejak dini, telah pula membentuk kelonggaran watak berpikir Gus Dur, bukan saja pada hal-hal non-agama, namun juga pada aspek keagamaan. Greg Barton menilai Gus Dur sebagai salah seorang pemikir Islam liberal di Indonesia, meskipun ia tidak pernah secara formal mengenyam pendidikan tinggi sekuler, seperti Nurcholish Madjid.7 Fachry Ali membayangkan, Andaikata (Abdurrahman) Wahid tak lahir di Indonesia atau di negara-negara mayoritas beragama Islam, kelonggaran cara berpikirnya itu pastilah mengantarkannya pada sifat-sifat Ivan Illich atau Paulo Freire: para agamawan yang tak mau begitu 133 saja terjebak dalam postulat-postulat agama di dalam berpikir. Dan (Abdurrahman) Wahid, dalam batas-batas tertentu, adalah agamawan dan pemikir yang paling liberal di Indonesia, yang, menurut saya, belum tertandingi oleh Nurcholish Madjid sekalipun.8 Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang banyak penentang bahkan pencaci terhadap Gus Dur, di samping para pengagum dalam kalangan elit NU, meski kelompok yang disebut belakangan prosentasenya jelas lebih besar. Mereka yang mencintainya menyebut tokoh ini seorang auliya (wali) sehingga menilai gagasan-gagasan dan sikap-sikapnya Yang "aneh" sebagai suatu keniscayaan Akan tetapi kalangan Yang membencinya sekali tempo bahkan menuduhnya sebagai agen Zionis. Pada sisi lain keluasan cakrawala pikir rupanya juga mengantarkannya pada karakteristik yang cenderung generalis: ia lebih suka berpikir tentang hal-hal besar dan kerap mcngabaikan detail, termasuk detail ad ministratif keorganisasian. Segi ini adalah kelemahan utama Gus Dur yang tak jarang membuat langkahnya tersandung.9 Cara pikir yang liberal dan cenderung generalis tersebut meru pakan stimulan terpenting yang mengundang permusuhan dan penentangan terhadapnya, termasuk dari beberapa tokoh ulama senior NU.10 Kendati begitu, ia sama sekali tampak tak bergeming di pucak piramida NU. Serangkaian keunggulan askriptif yang disebutkan di muka kiranya memang sangat signifikan sebagai penopang posisi Gus Dur. Dan kalau ia juga akan mewarisi sejarah hi dup ayah dan kakek-kakeknya, boleh jadi Gus Dur tidak pernah akan beringsut dari inti hegemoni NU seumur hidupnya, sekalipun sudut-sudut demokratis dalam jagad berpikirnya kelak akan mela hirkan pembatasan masa jabatan tertentu dalam struktur organisasi NU. Fondasi lain kekukuhan posisi Gus Dur adalah karena ia masih teguh memegang salah satu akar utama kultur NU: loyalitas dan penghormatan yang tinggi terhadap ulama. Ia tahu betul bagaimana sikap yang seharusnya dalam menghadapi kemarahan para ulama senior, saat ucapan dan gagasan-gagasannya dinilai menyimpang misalnya. Daripada berargumen dengan mereka, ia biasanya lebih 134 suka menyatakan penyesalannya serta meminta maaf, dan semua persoalan pun selesai. Dengan beberapa perkecualian seperti KH Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin almarhum, maka umumnya para ulama NU adalah pendukung Gus Dur.11 Faktor inilah yang membuat para penentangnya tidak pernah bisa berbuat banyak. Dukungan para ulama adalah benteng yang begitu kukuh melindunginya dari serangan mereka, dan benteng itu juga sangat sakral bagi alam kesadaran komunitas NU yang paling esensial. Dalam benteng inilah Abdurralunan Wahid berada, tak terusik mengguratkan setiap warna yang dipilihnya bagi tulisan sejarah NU. serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum agama (fiqh). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre 'kitab kuning' berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syeikh Hasan Al-Hadrami, dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan menjalankan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik. (sik!) Herankah kita, jika nantinya NU dengan mudah saja menerima Pancasila sebagai Ideologi negara dan falsafah hidup bangsa setelah kcmerdekaan tercapai? Hasil dari pemerintah yang berdasarkan ideologi dan falsafah hidup tersebut tentunya, secara teoritik, tidak akan lebih buruk daripada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.13 Pohon Pemikiran Abdurrahman Wahid 1. Tentang Ideologi Pemikiran Gus Dur tentang ideologi muncul secara kontroversial menjelang pengasastunggalan Pancasila. Ideoloi diletakkan pada neraca penilaian yang sangat pragmatis dan tidak terlalu diagungkan sebagai suatu "benda suci meskipun tetap dipandangnya sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baginya fungsi utama ideologi adalah sebagai faktor pemersatu bangsa serta pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. Penggunaan ideologi untuk kepentingan yang lebih sempit dari fungsi tersebut, misalnya sebagai landasan legitimitas bagi otoriterisme suatu regim terhadap masyarakat, hanya akan mendorong kehancuran ideologi itu.12 Pragmatisme dalam menilai ideologi ini akan membuat orang gagal menemukan alasan yang muluk-muluk dari Gus Dur tentang penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai asas tunggal. Mengenai hal itu, suatu ketika ia menulis dengan logika yang begitu simpel: Dalam tahun 1936 Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat menarik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia. Terhadap pertanyaan status tanah Hindia Belanda, yang sedang diperintah oleh penguasa nonmuslim Belanda, haruskah ia dibela dan dipertahankan dari 135 Pragmatisme inilah yang juga melandasi pola pemikiran Gus Dur bahwa "pemerintahan negara ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya,"l4 seperti akan tergambar nanti. Lebih jauh, dalam fungsinya sebagai faktor pemersatu bangsa maka ideologi harus mampu menjadi perisai dari serangan terhadap kesatuan serta penahan bagi tarikan ke arah perpecahan bangsa. Untuk mencapai kapabilitas ini, ideologi nasional seyogyanya merupakan sintesa dari berbagai pemikiran yang beragam, yang sudah dapat dipastikan eksistensinya dalam heterogenitas masyarakat. Karena itu, ideologi nasional yang kuat pada umumnya adalah merupakan hasil pencarian titik temu dari berbagai ideologi universal yang sebenarnya, pada sisi-sisi tertentu, satu sama lain saling konfliktual. Gus Dur mencoba menempatkan Pancasila dalam predisposisi ini. Ia berpendapat bahwa berbagai ideologi universal yang masingmasing memiliki pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti kemasyarakatan, perekonomian, dan lain-lain, telah masuk ke Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Olehnya ideologi-ideologi itu dibagi dalam dua kategori umum, yakni ideologi sekuler dan ideologi yang teokratis.75 Ideologi sekuler menghendaki agar agama tidak turut menjadi faktor penentu dalam kehidupan kenegaraan, sehingga negara harus netral dalam soal agama, dan agama dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi setiap individu. Nasio136 nalisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme termasuk dalam kelompok ideologi sekuler ini. Ideologi dalam kategori kedua meng inginkan agar agama (dalam kasus Indonesia agama Islam) menjadi kekuatan penentu utama dalam kehidupan bernegara, sehingga terbentuk sebuah negara teokratis. Jadi negara turut bertanggung jawab atas terlaksananya syariat agama dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan individu. Silang polemik antara tokoh-tokoh pergerakan satu dekade menjelang kemerdekaan (yang terus berlanjut hingga dalam kurun waktu yang sama sesudahnya) adalah terpola sebagai perdebatan antara dua kubu penganut masingmasing kategori ideologi universal di atas. Akan tetapi perdebatan itu akhirnya terbentur pada kenyataan bahwa tak satupun dari mereka yang dapat mengharapkan kemenangan atas yang lainnya. Sekularisme sudah pasti tidak akan dapat diterima oleh bangsa Indonesia yang religius dengan keyakinan bahwa agama bagaimana pun tetap berperan dalam kehidupan negara. Sementara teokratisme (sekalipun itu teokratisme berlandaskan Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat) juga sulit diwujudkan mengingat masyarakat Indonesia sudah terlanjur terbentuk dalam suatu model yang terkotak-kotak.l6 Dengan demikian perumusan ideologi nasional lalu didorong ke arah pencarian suatu titik temu. Dari sinilah lahir kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai "ideologi nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan semua ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia."l7 Selanjutnya Gus Dur menulis: ..Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme, dari Komunisme dalam Pancasila itu. Memang PKI-nya dilarang, faham Marxisme dilarang tapi semangat egalitarian (persamaan)-nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan sosial itu miliknva komunis (Marxisme). Sebab tidak ada istilah "Keadilan Sosial" sebelum lahirnya faham komunis. Istilah "Social Justice" itu tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu hasil rangkuman dari macam-macam ideologi dunia. Dari ideologi yang Theokratik (Islam) diambil sila yang perLama, ini sudah merupakan kearifan dari Hapak-bapak kita, kearifan beliaulah yang akhirnya membentuk nation yang mer137 deka, dan bebas dari komunisme (pertentangan kelompok yang berlebihan) seperti di India.18 Kalaupun setelah kemerdekaan masih saja ada perdebatan ideologis, Gus Dur menilai bahwa hal itu disebabkan karena para pengikut ideologi universal itu masih tetap berada pada kerangka acuannya semula dan masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologisnya masing masing.19 Dengan Femahaman ini, maka Indoktrinasi lassif berupa penataran P-4 yang dilaksanakan dengan sangat dramatis serta penetapan asas tunggal Pancasila bagi semua Fraksi dan ormas mestinya bisa dipandang sebagai upaya untuk sama sekali mengakhiri pemahaman ideologis yang terkotak-kotak itu. Akan tetapi Gus Dur justru mengkritiknya sebagai proses ideologisasi di Indonesia kini, yang dinilainya menampilkan dua sisi berbeda dan bahkan saling bertolak-belakang.20 Terjadinya kecenderungan ini dinilainya telah membuat artikulasi proses ideologisasi itu kehilangan makna, sehingga yang tersisa tinggal proses ideologisasi sebagai pemberi ]egitimitas kepada sistem pemerintahan yang ada. Artinya, ideologi akhirnya hanya berfungsi sebagai justifikasi kebijakan para pemegang kekuasaan, dan sangat kurang berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan dan kesatuan bangsa. ________________________________________________________ ____________ ________________________________________________________ ____________ 1. Lihat Bab V di belakang. 2. Lihat Aula, Januari 1990, h. 19. 3. KH Achmad Siddiq telah mengenal Gus Dur sejak lama karena dahulu ia pernah menjadi sekretaris pribadi KH Wahid. 4. Lihat Tempo, 2 Desember 1989, h. 30. 138 para penentangnya akan dilihat dalam Bab-bab IV dan V, passim. 5. Sebagian biografi intelektual Gus Dur dapat dilihat pada Mona Abaza, Changing Images of Three generatinn in Indonesia, ISEAS Occasional Paper No. 88, 1993. 11. Dalam lingkungan NU, dukungan dari para ulama dengan sertamerta dapat dipastikan sebagai jaminan dukungan dari umat. 6. Keluasan wawasan itu dibangun oleh begitu banyak dan beragamnya bacaan Abdurrahman Wahid, yang dipilari oleh penguasaannya secara baik terhadap minimal lima bahasa: Arab (dalam semua dialeknya), Belanda, Inggris, Jerman, dan Prancis. 12. Lihat abstraksi cara pandang ini dalam tulisan-tulisannya, "Individu, Negara dan Ideologi", makalah yang disampaikan dalam acara Sudjatmoko Memorial Lecture, Jakarta, 2 Pebruari 1994; "Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agarna", makalah, tempat dan tahun tidak terlacak. 7. Greg Barton, "Neo-Modernism - a vital synthesis of Traditionalist and Modernist Islamic Thought in Indonesia", paper disampaikan pada diskusi di sela-sela Muktamar NU ke 29 di Cipasung, 1-5 Desember 1984. 13. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Penerbit- Sinar Harapan, 1989), h. 9. 8. Fachry Ali, "Seorang Asing di Tengah NU", dalam Tempo, 25 Nopemher 1989, h. 35. 15. Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cit 9. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana NU lerlibat dalam isu menerima dana SDSB, antara lain karena Gus Dur kurang teliti membaca surat rekomendasi permohonan bnntuan yang ditanda-tanganinya, dan menilai aspek redaksional surat itu sepenuhnya urusan sekjen. Ketidaktertarikannva terhadap detail administratif organisasi ini menjadikan gagasannya menjelang Muktamar Cipasung tentang perubahan Tanfidziyah menjadi semacam kesekretariatan semata sangat menarik. 17. Ibid. 14. Ibid., h.10. 16. Ibid. 10. Oposisi Gus Dur di tengah NU yang selalu berada "in the line of fire" dan 139 18. Ibid. 19. Ibid. 20. Abdurrahman Wahid,Individu, op. cit. Ia menulis: Di satu sisi, dilakukan penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang kemudian direkatkan pada ideologi nasional sebagai 'bukti' dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teori140 sasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas cakupancakupan nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai luhur yang sudah dianggap baku ternyata masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan,.." 2. Tentang Negara, Kekuasaan dan Masyarakat Fungsionalisasi ideologi dalam konteks yang terbatas, akan melebarkan kawasan kosong bagi rakyat mengembangkan hak-hak individu warga negara yang menjadi kebutuhan obyektif seluruh bangsa. bagi Gus Dur, negara hanya akan bermakna sejauh ia tidak mengabaikan kepentingan individu rakyatnya. Pengabaian terpenuhinya hak-hak individual warga negara secara tuntas pada gilirannya akan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan yang ada, sebab negera lalu akan tampak sebagai kekuasaan pihak yang memerintah, bukannnya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan hukum.lI Pada sisi Ini Gus Dur mengkritik paham integralistik yang menempatkan negara sebagai sentrum secara berlebihan, selama ia diterapkan di Indonesia. Yang dipersoalkan adalah bagimana Faham Integgralistik itu menjadi argumen yang selalu dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bahwa rakyat di hadapan kekuasaan pemerintah. Sehingga ia mengatakan: Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik yang berlandaskan faham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu diangkat sebagai momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita. Lebih, jauh lagi tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan liberalisme sebagai paham dan dernokrasi liberal sebagai cara 141 penerapan faham tersebut.22 Jadi permasalahannya terletak pada penggunaan paham itu sebagai justifikasi peneguhan kekuasaan negara vis a vis rakyat dengan simultanitas pengabaian pemenuhan hak-hak individual rakyat itu. jika ditilik cara pandangnya seperti disebutkan di muka bahwa pemerintahan negara tidak perlu dinilai dari norma formal eksistensinya melainkan dari fungsionalisasinya, sangat boleh jadi Gus Dur tidak mempersoalkan pemilihan faham interalistik itu ;,n sich. Apalagi ia percaya bahwa corak normatit suatu negara lebih ditentukan oleh struktur masyarakat di mana negara itu didirikan. la mencontohkan bahwa watak yang non-liberalistis dari UUD 1945 adalah ... berangkat dari kenyatan sejarah akan keragaman yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, yang untungnya dapat ditampung dan diproses menjadi ketentuan konstitusional dalam UUD 1945. Raik itu secara kesukuan, kebahasaan, keagamaan, budaya dan ideologis bangsa kita sangat beragam. Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita Kruschev) 'hidup berdampingan secara damai'.23 Adalah karakteristik Gus Dur untuk selalu menghindarkan visinya dari etik ekstrem di antara dua kutub yang tarik-menarik. Demikian pula pemikirannya tentang negara. Ia mengkritik penempatan negara sebagai sentrum, sama seperti ia menolak pemberian bobot yang berlebihan terhadap rakyat, dan .lebih suka memilih titik moderat di antara keduanya. Itulah sebabnya jika di satu sisi ia menilai negara akan kehilangan maknanya jika terjadi pengabaian terhadap hak-hak individual rakyat, maka di sisi lain dari keping uang yang sama ia meyakini bahwa negara memegang kunci penataan masyarakat.24 Yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi negara sebagai penyerapan heterogenitas masyarakat dan kepentingannya. Oleh karenanya Gus Dur secara konsisten menolak formalisasi agama sebagal ideologi negara, sekalipun agama itu adalah anutan mayoritas rakyat seperti Islam di Indonesia, sebab hal itu akan dapat berarti 142 tidak terserapnya bagian-bagian tertentu dari heterogenitas masyarakat masyarakat itu. Di sini ia menyatakan persetujuannya terhadap Ibnu Khaldun, ketika pemikir Islam terkemuka ini mengatakan bahwa ....agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara. pembentukan negara di samping paham keagamaan juga diperlukan rasa ashabiyah, (perasaan keterikatan). Tujuannya membentuk ikatan sosial-kemasyarakatan. Ini, adalah paham kebangsaan oleh Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu Khaldun, alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan kebangsaan.25 Terlebih lagi, Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memiliki konsep pemerintahann yang definitif,26 sehingga pemaksaan diterapkannya Islam sebagai tatanan tunggal penyelenggaraan negara secara konseptual tidak beralasan. la membuktikan bahwa dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan suksesi kepemimpinan, Islam temyata tidak menunjukkan konstanta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi Muhammad SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang berbeda: Istikhlaf, Bai'at,dan Ahlul Halli Wal Aqdibagi mekanisme suksesi kekhalifahan. Kalau memang Tslam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan yang ada hanya 'komunitas agama' (kuntum khoiro, ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaira ummatin, bukan khaira daulatin atau khaira jumhuriyyatin apalagi khaira mamlakatin.27 Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu negara ditegakkan di atas banyak pilar yang mengindahkan keragaman masyarakat di mana negara itu dibangun. bersama-sama dengan ide penyeimbangan antara pemberian kekuasaan terhadap negara dan pemenuhan seca143 ra baik akan kebebasan dan hak-hak individual rakyat, hal itu adalah butir terpenting dalam pemikiran (Gus Dur tentang negara. Dan jika diperhatikan dengan cermat, akan jelaslah bahwa sentra pemikiran Abdurrahman Wahid adalah rakyat. Kekuasaan negara dipahaminya sebagai operasionalisasi kekuasaan rakyat, yang disimpulkannya dari ketentuan Al-Qur'an yang secara eksplisit menyatakan bnhwa prinsip utama pemerintahan adalah adanya permusyawaratan antara pemimpin dan yang terpimpin. Dengan ini Gus Dur mengkritik karya-karya para pemikir Islam tentang negara yang kebanyakan terlalu ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya justru bukan dari sudut keabsahan negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat. Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban itu terkait secara organik dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, baik secara individual maupun kolektiF ... Dengan kata lain, pemikiran negara ... selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang diperintah.28 Selanjutnya, masyarakat yang menjadi sentra pemikirannya oleh Abdurrahman Wahid selalu dieja sebagai memiliki wujud dimensional yang berbilang, tidak tunggal. Sehingga heterogenitas adalah fakta yang inheren dalam eksistensi masyarakat. Wacana politik suatu negara dengan demikian seharusnya mampu menjadi medan penyerapan yang sebaik-baiknya bagi heterogenitas tersebut. Itulah sebabnya ia gigih menolak penyekatan sosial-politik berdasarkan agama sebagai salah satu variabel heterogenitas masyarakat. Dan karena itu ia tidak mau bergabung dengan ICMI serta lebih suka mendirikan Forum Demokrasi dalam mana berbagai kelompok non-santri bahkan non-muslim turut bergabung.29 Lalu bagaimanakah struktur sosial suatu masyarakat tertata? Kekuatan apakah di balik pembentukan struktur sosial itu? Cus Dur mengakui bahwa 144 berbagai pertanyaan seputar struktur sosial akan dapat ditemukan sebagian jawabannya dalam argumen-argumen Marxian yang meruyakan sudut pandang yang penting, kalau bukan yang paling penting. Tetapi ia tidak berhenti di situ, sebab jika demikian orang lalu akan menjadi deterministik. Bahwa cara produksi akan menentukan struktur masyarakat melalui dialektika. Bagi Gus Dur, produksi bukanlah satu-satunya pembentuk struktur masyarakat. Masih terdapat elemen-elemen lain yang tak kalah pentingnya, yaitu agama, etnis, bahasa, juga posisi geograpis Elemen agama, misalnya, dengan caranya sendiri selalu berusaha meredefinisikan kehidupan dan menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat untuk mengatasi keadaan. Sudah barang tentu oleh karena sifat agama yang tidak semata-mata berdasarkan pada akal tapi lebih pada wahyu, maka masyarakat yang diinginkan oleh agama bukanlah masyarakat yang sama sekali "ilmiah". Tentu berbeda dengan masyarakat yang ingin dibentuk dengan kerangka Marxis, suatu masyarakat yang sama sekali ilmiah. Sedangkan agama semata-mata berdasarkan transformasi pribadi manusia. Apakah dia kapitalis atau proletar, tak jadi soal. Yang penting dia melakukan transformasi. Melakukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan sendirinya masyarakat akan berubah. jika tidak struktur, ya dalam fvngsi Di sini ada peran pembebasan dalam agama di dalam refunctioning peralatan-peralatan masyarakat. Ada fungsi agama yang struktural tapi tidak total.31 Kritik atas pemikiran Gus Dur ini dapat diajukan, apakah memang bisa dijamin bahwa setiap pemeluk agama akan memiliki komitmen sedemikian rupa sehingga selalu terdorong untuk mela kukan transformasi diri ke dalam keadaan yang lebih baik dalam semangat agamanya? Kalaupun ya, tidakkah heterogenitas agama yang dianut masyarakat juga akan menghasilkan corak transformasi yang heterogen? Rasanya, ragam cara produksi yang lebih bersifat universal bagaimanapun tetap lebih signifikan di dalam menentukan struktur sosial, sedang elemen-elemen lain hanya akan bersifat sampingan yang tidak dapat terlalu diniscayakan keberlakuannya. 3. Tentang (Umat) /slnm dan NU Cetusan-cetusan ideatif Abdurrahman tentang Islam adalah sisi 145 pemikirannya yang paling rawan dan sangat rentan terhadap kontroversi. Di sudut inilah ia kerap memperoleh serangan sebagai pro-Kristen, agen Zionis, dan berbagai tuduhan yang minor lainnya. Persoalannya adalah karena ia sangat menentang penempatan Islam dalam pagar yang eksklusifistik, sesuatu yang disadari atau tidak begitu berurat akar dalam benak sebagian umat Islam. Ia selalu mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap eklektik, daya serap positif yang tinggi terhadap budaya luar yang dimungkinkan untuk memberikan manfaat bagi diri dan umat Islam pada umumnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh tradisi Islam selama ber abad-abad dahulu.32 Selain itu ia kerap mengejutkan kesadaran kaum muslim, bahwa dengan strategi pejuangan mereka sekarang maka kemegahan Tslam hanya akan ada dalam utopia tanpa pernah lahir dalam wujud riil. Sebagian pengkritiknya dengan sangat tidak beralasan pemah menuduhnya telah membangun gagasan-gagasan yang terlalu muluk-muluk dan melangit. Tuduhan ini terasa kurang benar, untuk tidak menyebutnya salah, sebab Gus Dur sendiri pun sering mencela pemikiran yang bersifat demikian. Tentang Islam sebagai "ideologi alternatif' misalnya, seperti akan terlihat nanti, ia jelas-jelas me nyatakan ketidak setujuannya. Tokoh-tokoh yang kukuh dalam idealisme menjadikan Islam sebagai alternatif politik universal yang mengabaikan konteks, seperti Abul A'la Al Maududi, Khomeini, Zia Ul Haq, dikritiknya, "idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak bisa mendarat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip operasional dari nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat."33 Gagasannya tentang pribu misasi Islam sebagai contoh lain, jelas merupakan konsep yang sangat membumi, di mana ia mengajak agar Islam dipahami sampai ke mfi nilai-nilai dasamya, untuk kemudian diaplikasikan secara kontekstual.34 Agaknya alih-alih menilai gagasannya terlalu mengawang awang, lebih tepat untuk menyebutnya terlalu ke depan dan sedikit mendahului waktu, ketika tidak semua kalangan siap mencernanya. Ia, dalam hal ini, memiliki sisimilaritas dengan Nurcholish Madjid. Untuk meletakkan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam dalam perspekfif, sebelumnya harus dilihat lebih dahulu pendekatan apa yang digunakannya. (Gus Dur sendiri membagi pendekatan yang 146 digunakan oleh umat Islam dalam usaha menampilkan citra Islam ke dalam kehidupan kemasyarakatan dalam tiga varian.35 Pertama, pen dekatan sosial-politik yang menekankan perlunya keikutsertaan dalam sistem kakuasaan yang ada. Tendensinya adalah untuk menampilkan watak ideologis Islam serta menonjolnya sifat eksklusifistik Islam terhadap agama, paham, dan ideologi lain. "Kepentingan Islam adalah kredonya dan solidaritas Islam adalah tali pengikatnya. Sikap sektarian sangat mudah berkembang dalam pendekatan seperti ini." Kedua, pendekatan kultural semata-mata, yang berkehendak untuk mewujudkan Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari, tanpa keterkaitan dengan kelembagaan apapun, kecuali dalam konteks penyebaran Islam secara budaya itu sendiri. Meskipun lebih menekankan wawasan universal Islam sebagai sebuah peradaban dunia, namun sering terjadi mutasi watak pendekatan ini ke dalam kehidupan ketika sejumlah proponennya berubah menjadi penuduh pihak lain mengganggu sistem kekuasaan, manakala mereka mengambil sikap hendak memasukinya. Coraknya yang semula inklusif bisa berubah menjadi pandangan historis yang menuding kelompok-kelompok agama lain sebagai penyebab ketertinggalan umat Islam. Sikap ini akhirnya serupa dengan yang ditunjukkan oleh pendekatan pertama. Ketiga, pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan sikap mengembangkan pandangan dan perangkat kultural "yang dilengkapi oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan wawasan budaya yang ingin dicapai itu." Pendekatan ini lebih mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-]embaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif dan gradual. Di sini tidak dipentingakan sikap untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan atau tidak. Dalam pendekatan ini dapat dengan mudah dimasukkan "agenda Islam" ke dalam "agenda nasional" bangsa secara inklusifistik. Kalaupun hendak melakukan perubahan, sasarannya bukan pada sistem pemerintahan atau sistem politik tapi pada subsub sistemnya. Aksentuasinya pada perubahan perilaku tanpa merubah bentuk-bentuk lahiriah lembaga pemerintahan.36 Pemikiran Gus Dur 147 berada dalam kategori pendekatan ketiga ini, yang menginginkan Islam menjadi kekuatan komplementer bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Ia secara konsisten menolak Islam dijadikan sebagai ideologi dan sistem alternatif, apalagi sebagai faktor tandingan yang bersifat. disintegratif terhadap kehidupan bangsa. Ia mengingatkan pelajaran yang pernah diberikan oleh sejarah, bahwa keinginan akan berlakunya "ideologi Islam" di Indonesia selalu terbentur pada kenyataan akan langkanya dukungan dari massa Islam sendiri secara konkrit. Kecuali sejumlah kecil kalangan yang menyimpan keinginan semacam itu, maka keseluruhan gerakan Islam di Indonesia justru selalu menunjukkan kemampuan menerima kondisi obyektif yang telah ada, dan menempatkan Islam sebagai faktor komplementer bagi bangsa dan negara. 37 Di sinilah ia menilai bahwa, bagaimanapun, keluarnya NU dari Masyumi dahulu telah membawa hikmah tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Jika NU tetap di dalamnya, akan tejadi penunggalan kepemimpinan umat di tangan Masyumi yang akan menjadi sangat dominan. Sementara partai ini memiliki kecenderungan memperlakukan Islam secara ideologis, maka perbenturan yang keras antara "Islam" dan "Republik Indonesia" akan terjadi, dan ketika Masyumi dibubarkan, keseluruhan gerakan Islam akan merasakan akibat yang parah.38 Dengan demikian jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan dan secara obyektif agama akan lebih berfungsi positif jika dilepaskan dari masalah-masalah ideologis. 39 Upaya legislasi Islam ke dalam formal kenegaraan akhirnya juga akan ... merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin kita tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang tidak memeluk agama mayoritas menjadi warga negara ktlas dua. Dalam kcadaan demikian, persamaan kedudukan sen7ua warga negara di muka undang-undang tidak tercapai. 40 Untuk umat Islam sendiri, penekanan berlebihan pada sisi legalformalistik yang membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam 148 pengaturan masyarakat telah menyebabkan menyempitnya ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia se bagai subyek kehidupan. "Setiap pengaturan masyarakat secara terlembagakan senantiasa cenderung untuk memperlakukan masyarakat sebagai obyek kehidupan."41. Pada sikap yang memperlakukan masyarakat sebagai obyek inilah berakar kemiskinan di lingkungan kaum muslim yang sangat meluas. Keadaan ini lebih diperburuk oleh adanya kecenderungan spiritualitas mistik (sufisme) yang dimanifestasikan dalam pola ritualistis, yang justru cenderung mengajak manusia untuk melupakan kesulitan dan bukan memecahkannya Ironinya, kuatnya kecenderungan sufisme ini sesungguhnya adalah upaya imbangan terhadap kecenderungan legal-formalistik itu.42 Selanjutnya, kecenderungan di atas juga telah menimbulkan kerancuan dalam cara pikir sebagian besar umat Islam, yang lebih jauh membentuk logika zero sum game Abdurrahman Wahid tidak secara persis menggunakan terminologi ini, tapi ia menulis: yang melahirkan sikap eskapisme dari kenyataan pada sebagian umat Islam,44. dan rasa inferioritas total pada sebagian lainnya.45 Gus Dur memberikan contoh yang sangat menarik tentang manifestasi rasa frustasi dalam wujud kedua ini dalam hal kepekaan yang berlebihan dari umat. Islam terhadap kasus Monitor di tahun 1990.46. Kerancuan berpikir di sebagian kaum muslim, serta kegagalan mereka untuk menyadari bahwa gerak hidup kenegaraan mensyaratkan distribusi peran secara proporsional sehingga tidak dibenarkan pemusatan di satu kelompok mengundang satu penilaian dari Gus Dur, yang belakangan melahirkan kontroversi tersendiri, tentang ketidak-siapan sementara kalangan khususnya pemimpin umat Islam untuk berdemokrasi.47 Untuk bisa lepas dari keseluruhan persoalan di atas, Gus Dur menyarankan perlunya kehati-hatian untuk membedakan dan memilih secara tepat di antara peran politis dan peran moral dan agama dalam upaya memberi warna proses kenegaraan dan kemasyarakatan.48 Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam kaitannya dengan kedua alternatif itu adalah kebijaksanaan untuk Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat, sasaran yang cukup jelas yaitu baladatun thayyibatun wa paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati untuk menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif politik, rabbun kehidupan beragama sebaiknya menahan diri untuk tidak langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti ghafur · · (Tapi ada kerancuan yang) mencampur adukkan antara terjadi sasaran dan masalah kelembagaan Kita merasa harus menguasai lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat umum dan mekanisme mobilisasi massa. Padahal penguasaan beberapa hal tersebut di satu tangan adalah sesuatu yang tidak mungkin, karena kehidupan politik berdasarkan asas saling mengimbangi .43 Akibat obsesi yang tak pemah tenuujud adalah perasaan frustasi, 149 perubahan dalam struktur politik dari masyarakat ...hendaknya itu terjadi dalam kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong oleh kehidupan beragama.49 Dan untuk menjamin tempat Islam dalam konstelasi politik nasional, lepas dari persoalan seperti apa corak pemerintahan itu, Gus Dur memandang perlu ditempuh strategi ganda. Di satu ujung ada kalangan yang mengupayakan formalisasi agama dalam kehidupan bernegara (bukan dalam proses kenegaraan) melalui cara-cara dan pro duk-produk yang nantinya menampilkan syiar Islam, seperti yang saat ini dilakukan oleh Depag, MUI, dan ICMI. Dan pada ujung yang lain 150 harus ada yang menggarap pengelolaan isu-isu umum yang tidak khas Islam. Strategi ini tidak harus dikomunikasikan secara formal, melainkan cukup dalam pemahaman yang utuh saja.50 Selanjutnya, pemikiran Gus Dur tentang NU sebagian besar sudah tercover dalam pemikiran tentang Islam dan umat Islam di atas, sebab baginya NU adalah bagian yang sama sekali integral dari umat Islam Indonesia bahkan bangsa Indonesia secara holistik. Akan tetapi tentu ada beberapa potong pemikirannya yang secara spesifik menunjuk NU dan perlu ditinjau di sini. Pertama adalah bagaimana ia menjawab berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kepolitikan NU: mengapa NU seringkali menunjukkan watak politik yang oportunistik, lain pada kali lainnya terkesan sebagai oposan pemerintah? Ia mengembalikan semua jawaban bagi pertanyaan itu kepada pendekatan NU yang serba fiqh. Oportunisme, suatu kesan yang timbul karena NU seringkali mengeluarkan keputusan yang sepintas tampak dibuat sembarangan, dan yang memenuhi selera dan sangat bersifat akomodatif terhadap kepentingan penguasa pada suatu saat, didasari oleh cara bersikap NU yang tidak berpedoman pada "'strategi pejuangan politik' atau 'ideologi Islam' dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di mata hukum fiqh".51. Orientasi inilah yang mewarnai banyak perilaku NU, termasuk penerimaan pancasila serta penentuan "absahnya Presiden RI sebagai pemegang pemerintahan, karena itu ia harus ditunduki dan dipatuhi di hadapan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun."52 Tapi pada sudut yang lain, tidak berarti jalannya pemerintahan lepas sama sekali dari kendali keagamaan. Justru NU selalu menuntut agar kebijaksanaan pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan fiqh, dan sikap ini kerap diterima oleh kalangan pemerintah sendiri sebagai hambatan saat melaksanakan kebijakan dan wewenangnya Pada bagian inilah NU menampakkan kesan sebagai oposan.53 Yang juga perlu dicatat adalah bagaimana Abdurrahman meletakkan reorientasi politik NU 54. dalam konteks politik nasional, sebagaimana kebanyakan perilaku NU juga harus ditinjau dalam kaitannya dengan konteks makro. Ia menggambarkan bahwa pada masa Orde Baru telah muncul perkembangan yang berlawanan arah sebagai akibat ambivalensi kebijakan-kebijakan pemenntah terhadap umat Islam.55 Di 151 Satu pihak, pemerintah dengan sukses telah melakukan "dealiranisasi" kehidupan politik yang telah menggeser gerakan politik formal Islam dari panggung politik. Di pihak lain, pemerintah bagaimanapun tetap memerlukan legitimitas bagi program-program pembangunannya, sehingga pemerintah harus memperoleh legitimasi dari berbagai pihak, apalagi dari gerakan-gerakan Islam yang secara kuantitatif adalah mayoritas. Akibat dari ambivalensi itu, Meskipun di satu sisi terjadi pengikisan kelompok formal politik Islam, namun di sisi lain kekuatan kepermimpinan non-formal Islam semakin meningkat, justru karena ia berada di luar sistem dan berperan sebagai korektor. Secara riil politik, kata Abdurrahman, kekuatan Islam tetap diperlukan sebagai kekuatan politik, dan perkembangan peran politik NU diletakkannya dalam konteks ini. Dengan demikian NU tidak akan sama sekali surut dari politik, sebab bagaimanapun gerakan Islam Indonesia "tidak bisa menghindar dari politik. Kalau menghindar sama saja dengan tidak mengerti perkembangan keadaan, karena set-up Orde Baru memang sudah demikian."56 Lalu apa tujuan moral NU dengan reorientasi politik itu? Sebuah periodisasi sejarah NU yang dibuat Gus Dur memberikan gambaran jawabannya bagi pertanyaan ini. Ia membagi sejarah NU ke dalam tiga tahapan 57. Pertama adalah tahap murni jam'iyah diniyah antara tahun 1926-1936, sejak NU berdiri hingga muktamarnya di Banjarmasin yang menetapkan bahwa Negara dan Tanah Air Indonesia wajib dilestarikan menurut fiqh. Kewajiban fiqhiyah itu lain membuka kemungkinan munculnya orang-orang NU secara terbuka dalam pergerakan kemerdekaan serta mengantarkan NU sendiri pada tahap kedua sejarahnya, yaitu tahap perjuangan politik idealistik. Tahap ini meliputi kurun waktu yang paling panjang dibandingkan tahapan lainnya hingga saat ini, sebab baru pada tahun 1984 tahap kedua ini berakhir. Kemudian sejak tahun 1984 NU memasuki tahapan sejarahnya 152 yang ketiga, di mana khittah mengantarkannya pada bentuk perjuangan kemasyarakatan semesta. Semangat moral perjuangan ini mendorong NU untuk merumuskan peran politik yang lebih baik daripada sekadar politik kelembagaan, sehingga ikatan langsung dengan politik praktis pun ditinggalkan. Peran politik yang lebih baik yang menurut Abdurrahman Wahid harus dimainkan oleh NU adalah "peran transformasi, perubahan masyarakat, bahwa Nahdlatul Ulama harus mempersiapkan warganya memasuki era industri tanpa kehilangan sendisendi keagamaannya."58. Aksentuasi perhatian pada warga ini jelasjelas merupakan pergeseran yang cukup besar dari keadaan sebelumnya ketika NU menjadikan warganya lebih sebagai basis politik. Dengan perkataan lain, lebih sebagai obyek daripada subyek. Paham Keagamaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. Penyimpulan atas pandangan Abdurrahman ini dapat diekstraksikan dari bagaimana ia mencontohkan bahwa "Hubungan antara sesama umat beragam juga merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi negara. Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op.cit. 26. Ibid Cf. Abdurrahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Tslam Tribakti (UIT), Kediri. 27. Merumuskan, ibid. 28. Abdurrahman Wahid, Beberapa, op. cit. ________________________________________________________ _____________ ________________________________________________________ _____________ 29. Cf Fakhry Ali,..Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Edifor, 7 Maret1992,h.21. 30. Lihat Abdunahman Wahid, "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, el. al. (eds.), Agama dar, Kekerasan (Jakarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985), h. 54-56. 21. Ibid. 22. Ibid. 23. Abdurrahman Wahid, "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989. 3l.lbid., h. 55-56. Cetak miring sebagaimana aslinya. 32. Lihat Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cil: 33. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan (Jakarta: 24. Lihat antara lain Abdurrahman Wahid, "Mencari 153 154 P3M, 19H9), h. 93. Arifin untuk menggugat kepemimpinan Abdurrahman di NU. Lihal Bab IV di belakang 34. Ibid., passim. 35. Lihat Abdurrahman Wahid, "NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Demokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1993), h. 222f. Ketiga varian itu berlatar-belakang dua kecenderungan umum yang tejadi. Pertama, yang 42. ibid 36. Cf. Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam, loc. cit., h. 90-9137. Abdurrahman Wahid, "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 8 44. 5ikap ini adalah rasa frustasi tersembunyi" yang keluarnya dalam bentuk 'tidak usah macam-macam pun kita berperan baik, kok.' Tetapi mereka lupa bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang ditangani Agenda datang dari luar, bukan dari orang Islam. Kita tinggal 'amin' lalu kerjakan." Ibid., h. 94. 37. Abdurrahman wahid,"Masa islam dalam kehidupan Berbangsa dan bernegara,"dalam prisma nomor ekstra, 1984, h.8 38. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar," dalam Sitompul op. cil., h. 17. 39. Abdurrahman Wahid, Mencari, Op. cit. 40. Abdurrahman Wahid, "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat(Yogyakarta: Penerbit Interfidei, 1994), h. 274. 41. Abdurrahman Wahid, "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan,'' naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI, Oktober 1989 di Surabaya pidato ini belakangan dijadikan salah satu alasan oleh KH As'ad Syamsul 43. Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Sosial-Politik," dalam Yunahar Ilyas, et al. (eds.), Muhammadiyah dan NU" Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993), h. 93. 45. ". . . kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh begitu kuat. Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai kambing hitam yaitu kalau tidak ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua pihak menghalangi orang Islam." Ibid. 46. persoalan yang "mengubah kualitas hubungan antar agama di negeri kita secara mendasar" ini oleh Abdurrahman dinilai memiliki akar yang sederhana saja: "kesembronoan dan kepekaan berlebih". Lihat Abdurrahman Wahid, "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus", dalam Aula, November 155 156 1990, h. 43. Kepekaan berlebihan tentu dari umat Islam sebagai refleksi rasa frustasi mereka, sesuatu yang dikhawatirkan oleh Abdurrahman akan merusak citra Islam sebagai agama damai menjadi agama kekerasan yang menampilkan wajah kebencian yang mengerikan. Ia mengisyaratkan keraguan apakah Arswendo pemred Monitor, punya motivasi lain kecuali kesembronoannya di balik kasus tersebut, sehingga "anak muda gombal yang lebih patut dikasihani" itu mesti menanggung resiko sedemikian rupa. Orang Islam yang memilih Nabi Muhammad dalam polling itu juga dinilainya tak kalah sembrononya. Simak notasinya "Dari 33.693 responden, mayoritas tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85 % penduduk negeri ini memeluk agama Islam, kira-kira 29.000 berpotensi menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Ternyata hanya 616 suara diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1 % saja yang tidak tahu bahwa nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya, yaitu hampir 98 % tetap waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat untuk menghormati ketokohan Beliau." Ibid., 43-44. "jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru dalam wadah kemasyarakatan yang sudah ada ... maka kehidupan beragama menawarkan altenatif moral ... Apabila kehidupan beragama menawarkan altenatif struktural yang sama sekali lain dari wadah yang telah ada, maka yang ditawarkan adalah altenatif politik." 49. ibid. 50. Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cif., h. 228. 51. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35. 52. Ibid. Cetak miring sebagaimana aslinya. 53. Ibid. 54. Tentang reorientasi politik NU selengkapnya akan dibahas dalam Bab V-A. 55. Lihat Abdurrahman Wahid, NU pluralisme, loc. cit., h. 215f; Muhammadiyah dan NU, loc. cit., h. 91-2. 56. Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah dan NU,ibid., h. 92. 47. Lihat Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cit., h. 225f. Cf. Agama dan Demokrasi, loc. cit., h. 273-5. 48. Lihat Abdurrahman Wahid, "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. 157 57. Abdurrahman Wahid,"Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam M Masyhur Amin dan Ismail S Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran Islam dan Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), h. 151f. 58. Ibid., h. 152. 158 BAB IV IMPLEMENTASI KHITTAH: DINAMIKA INTERNAL Pada dasarnya, pejalanan'khittah dapat diperiodisasikan dalam dua tahap. Tahap pertama, meliputi masa 1984-1989, adalah periode sosialisasi dan konsolidasi khittah. Dan tahap kedua dari 1989-1999 adalah periode pemantapan khittah Tahap lima tahun pertama dapat dikatakan mewarisi warna-warna reorientasi program, regenerasi, dan rekonsolidasi dari Muktamar Situbondo. Ketiga hal itu adalah sub-sub tema yang mengikuti tema besar "kembali ke Khittah 1926,"1 yang bukan saja telah membawa NU kepada perwajahan baru, namun juga mengantarkannya pada era yang sarat dengan permasalahan dan persilangan kepentingan. Kondisi ini menyebabkan PB NU yang merupakan produk regenerasi 1984 belum bisa berbuat banyak untuk menunjukkan hasil riil dari pelaksanaan program yang telah disusun. Mereka masih berkutat dengan persoalan sosialisasi khittah untuk menyamakan persepsi semua pihak dalam NU, yang ternyata menjadi pekerjaan yang sangat rumit dan kompleks. Regenerasi dalam NU sendiri tidak dapat dipahami sekedar sebagai regenerasi antar-waktu ketika pengurus sebelumnya yang telah senior dan cukup lama memegang kendali mesti diganti dengan yang lebih muda. Regenerasi yang melahirkan nama-nama seperti Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaedi, dan Fahmi Saifuddin, dan seterusnya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemestian untuk melaksanakan mekanisme suksesi kepengurusan. Backdrop proses ini adalah berkaitan dengan maraknya konflik internal NU di masa sebelumnya, yang kurang lebih terpola sebagai konflik antara kelompok politisi dan ulama non-politisi yang secara populer disebut sebagai konflik Cipete-Situbondo. Konflik yang nyaris akut ini pada akhirnya melahirkan kesadaran para ulama dan warga NU akan perlunya pemunculan figur baru dalam teras kepemimpinan NU. Figur baru itu haruslah berada pada posisi netral dalam peta konflik NU, di samping harus mampu menjadi 159 representasi semangat khittah. Berdasarkan kriteria ini maka tujuh orang kiai senior NU yang dikomandani KH As'ad Syamsul Arifin dalam forum ahlul halli wal 'aqdi menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfidziyah. Tokoh ini bukan saja netral, tapi ia juga secara serius telah turut mengupayakan rekonsiliasi kedua kubu yang bersengketa di era sebelumnya. Selanjutnya, ia adalah salah seorang figur sentral dalam perumusan konsep kembali ke Khittah 1926.2 Dalam banyak hal, ia dipandang cukup mewakili citra "NU baru" yang hendak dimunculkan. Dengan segala latar belakang ini, maka tugas kepengurnsan baru NU untuk melakukan sosialisasi khittah menjadi tidak mudah, sebab bias-bias konflik politisi dan ulama non-politisi tenyata masih bersisa dalam tubuh NU. Salah satu hal yang harus dijelaskan kepada warga adalah bahwa khittah mengamanatkan ditanggalkannya baju politik praktis NU dan dilepaskannya keterikatan NU dengan organisasi politik manapun. (Tentang ini, lihat Bab V). Namun gambaran persoalan yang muncul dapat diikhtisarkan bahwa kelompok politisi dalam NU ternyata masih menyimpan keinginan untuk membawa organisasi ini kembali pada politik praktis. Misalnya muncul gagasan Mahbub Junaedi tentang "Khittah Plus" beberapa bulan setelah Pemilu 1987. Lontaran pemikiran serupa ini sangat mengganggu langkah Abdurrahman Wahid dan semua orang yang berada dalam arus baru NU, yang dalam setiap kesempatan baik melalui pesantren-pesantren maupun forum pengajian umum selalu berusaha memberikan pengarahan kepada warga NU tentang amanat khittah dalam segala implikasinya. Gagasan itu segera berhadapan dengan barikade yang mencegahnya agar tidak menjadi epidemi baru. Sementara itu dalam Pemilu 1987 Mahbub dan kelompoknya membuat ulah dengan apa yang kemudian disebut sebagai aksi penggembosan PPP, yang menyimpang dari garis netralitas NU dan untuk beberapa waktu, membawa sebagian warga NU pada penafsiran yang salah bahwa khittah berarti eksodus dari PPP ke Golkar. Menyadari bahwa gagasannya dihalangi, Mahbub lain menyusun serangkaian upaya bawah tanah untuk menggeser Abdurrahman Wahid bahkan menon-aktifkannya sama sekali. Ia melobi beberapa kiai 160 senior NU seperti KH As'ad. Namun jelas tidak terlalu mengherankan jika Mahbub gagal meyakinkan mereka akan gagasan Khittah Plusnya. Kendati begitu, beberapa kiai setuju dengan gagasan untuk menggeser Abdurrahman Wahid, sebab mereka menilainya sering mengeluarkan pendapat yang aneh-aneh seperti bahwa pendidikan agama cukup di rumah dan tidak perlu di sekolah, penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi, siang atau malam, di samping bahwa ia dianggap kurang bisa mengorganisir NU, sehingga NU tidak bisa menghimpun dana untuk melaksanakan program Muktamar 1984.3 Maka pada 7 Nopember 1987 di rumah KH Mudjib Ridwan yang merupakan tempat berdirinya NU di Surabaya, diadakan rapat Mustasyar yang membahas kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Namun pertemuan ini gagal menghasilkan keputusan karena hanya dihadiri oleh KH As'ad, KH Masykur, H Imron Rosyadi, dan KH Mudjib sendiri.4 Selanjutnya, upaya menggeser Abdurrahman Wahid melalui forum Munas dan Konbes NU di Cilacap pada bulan yang sama kembali menemui kegagalan. Sekalipun sejumlah kiai "konservatif" berusaha menggesernya, namun Abdurrahman Wahid teryata masih didukung oleh sebagian besar kiai senior NU, termasuk Rais Aam KH Achmad Siddiq dan KH Ali Maksum.5 Bahwa As'ad termasuk dalam barisan yang hendak menggusur Abdurrahman Wahid, memang cukup mengherankan. Sebab ia sendiri yang pada 1984 menunjuk Abdurrahman Wahid sebagai Ketua PBNU. Pendapat-pendapat aneh Abdurrahman Wahid yang dirujuknya barangkali hanyalah suatu pilihan ketika sebuah alasan perlu dipilih. Di sini hendak diajukan asumsi bahwa boleh jadi As'ad mulai kecewa pada Abdurrahman yang tidak juga tuntas mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang seharusnya sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Salah satu pilar khittah adalah meningkatkan peran kepemimpinan ulama yang setidak-tidaknya sejak tahun 1952 telah terus-menerus merosot dalam NU. Dan upaya ini ternyata, seperti yang akan dilihat lebih jauh dalam bagian lain bab ini, hingga saat inipun tak kunjung terlaksana secara utuh. Selebihnya, As'ad sebenarnya berada pada posisi yang berseberangan dengan Mahbub 161 ketika mereka sama-sama menginginkan digesernya Abdurrahman Wahid. Keduanya berlatar belakang dikotomi politisi (Mahbub) dan ulama (As'ad), dua kelompok yang berbeda pandangan tentang implikasi politik khittah. Nurcholish Madjid menilai bahwa justru keberadaan dua kelompok ini berikut pergulatan kepentingan mereka yang didasari oleh perbedaan di atas yang telah menguras habis energi Abdurrahman Wahid untuk membabat rintangan dan gagasan dalam upaya sosialisasi khittah. Dengan habisnya energi itu, tidak heran jika ada suara-suara yang kurang puas terhadap kepemimpinan NU tersebut.6 Di kalangan NU sendiri, waktu lima tahun bukanlah periode yang memadai untuk memberikan pemahaman tentang konsep Khittah 1926. Sekian puluh juta massanya yang tidak dapat disebut homogen menyebar di pelbagai propinsi di Indonesia. Keadaan ini menuntut waktu yang relatif panjang untuk melakukan konsolidasi dan sosialisasi khittah di kalangan warga NU termasuk basis-basisnya di wilayah pedesaan. Dalam pidato pembukaan Konperensi Wilayah NU Jawa Timur di Situbondo Agustus 1988, Abdurrahman Wahid mengakui bahwa heterogenitas warga NU telah menimbulkan perbedaan pemahaman terhadap khittah, sehingga meskipun telah diputuskan, pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan. Ia memperkirakan bahwa, "kerja khittah itu lama sekali, 15 sampai 20 tahun."7 Sementara bagi Yusuf Hasyim, masih banyaknya penyimpangan terhadap semangat khittah sangat berkaitan dengan belum lengkapnya petunjuk pelaksanaan khittah itu sendin.8 Lebih jauh, permasalahan itu agaknya juga disebabkan oleh ketiadaan perangkat yang mampu menjabarkan program 5 tahunan NU ke dalam kegiatan-kegiatan operasional dari tingkat pusat sampai ke ranting-ranting. Akibatnya, banyak program-program itu hanya berhenti pada rumusan ideatif. Karena itu, Muktamar ke-28 yang kemudian dilaksanakan di Yogyakarta, Nopember 1989, merupakan momentum yang tepat untuk menilai kembali semua program yang ada. Hanya saja muktamar ini kembali menjadi ajang konstitusional 162 bagi keinginan untuk mendongkel Abdurrahman Wahid. Beberapa hari sebelum muktamar, As'ad melontarkan kritikan tajam. Ia mengatakan bahwa kepengurusan NU selama ini mengecewakan. Yang terjadi sama sekali bukan pengamalan kembali ke Khittah 1926. la sebagai Mustasyar Aam belum pernah menerima laporan selembar pun dari PB NU. Yang paling parah, kata As'ad, musyawarah antara para pengurus dan para kiai sepuh sangat kurang.9 Alasan ini sekali lagi tampak dicari-cari. Anggaran Rumah Tangga NU 1984 yang saat itu berlaku sama sekali tidak menyebut-nyebut keharusan Tanfidziyah memberikan laporan kepada Mustasyar yang merupakan badan penasehat. Berkaitan dengan pelaporan, pasal 23 ART tersebut mengatakan bahwa Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana pimpinan sehari-hari mempunyai tugas menyampaikan laporan secara periodik tentang pelaksanaan tugasnya kepada Pengurus Syuriyah. Tidak kepada Mustasyar. Namun keiginan untuk menggeser Abdurrahman Wahid terus mencari temannya, dan sejumlah kesalahan pun diinventarisir. Mulai dari gagasan penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi (yang sebenarnya cuma kesalahan pemberitaan di media massa), menghadiri sidang LSM di luar negeri yang dikatakan mendiskreditkan pemerintah, pidato di depan Sidang; Raya PGI, bahkan kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang oleh As'ad disebut sebagai "ketua ketoprak".l0 Posisi Abdurrahman Wahid kian dipersulit dengan munculnya nama Idham Chalid dalam bursa calon Rais Aam. Kelompok politisi, yang segera berbaris rapat di belakang Idham, seolah mendapat angin bahwa kehadiran tokoh politisi NU yang piawai ini akan membuka celah yang sekali lagi dapat dimanfaatkan untuk melempangkan jalan bagi keinginan mereka yang sempat kandas.ll peluang Idham memang tampak cukup besar. Posisinya diamankan ketika ia terpilih kembali sebagai Mudir Aam Jam'iyah Ahlit-tariqah Al Mu'tabarah dalam muktamarnya di Demak Jawa Tengah, hanya tiga hari sebelum dimulainya muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta. 163 Pemilihan waktu yang sangat dekat ini agaknya disengaja agar Idham bisa mudah mengkonsolidasi pendukungnya menghadapi persaingan di Krapyak. Namun kuatnya posisi Idham ini tidak lalu berarti bahwa sayap politisi NU bisa berharap banyak. Muktamar Krapyak justru menjadi forum penegasan kembali keputusan Muktamar Situbondo. Hal ini bukan saja menjadi arus-besar dalam NU, namun juga secara luas didukung oleh elit politik nasional. Tidak kurang dari Mendagri Rudini,l2 Menag Munawir Sjadzali,13 dan bahkan Ketua Umum Golkar Wahono,l4 telah melontarkan harapan agar Muktamar NU ini dapat menegaskan keputusan kembali ke Khittah. Selanjutnya, meskipun Abdurrahman Wahid mesti menghadapi dua kelompok yang menentangnya, tapi dukungan baginya tidak kalah besar. Abdurrahman Wahid memang tidak memiliki kelompok pendukung khusus tertentu, namun ia telah membangun popularitas yang luas di daerah-daerah dengan banyak melakukukan kunjungan-kunjungan ke wilayahwilayah dan cabang- cabang NU. Dalam sebulan, ia bisa sampai turun ke sepuluh daerah.15 Popularitasnya didukung oleh perannya sebagai cendekiawan dan kolumnis yang sering hadir di berbagai seminar atau diskusi. Ia bukan saja didukung oleh generasi muda NU, namun sebagian besar kiai senior pun masih menjagokannya. Dukungan terpenting datang dari Rais Aam KH Achmad Siddiq dan Shahibul Bait Muktamar KH Ali Maksum. Dalam pertemuan Syuriyah NU Jawa Timur di Probolinggo, 14 Nopember, Kiai Achmad secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid sebagai calon Ketua Umum PB NU, di samping menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai Rais Aam.l6 Pemyataan kiai senior NU itu merupakan sebuah kejutan. Bukan suatu hal yang biasa di dalam NU membuat pemyatan seperti itu di depan umurn. Hal itu bisa dianggap sebagi suatu yang tidak pantas dan berpamrih. Dengan pemyataan itu Kiai Adunad sebenamya sedang mempertaruhkan popularitasnya. Barangkali itulah sebabnya sementara Abdurrahman Wahid akhirnya berkibar nyaris tanpa saingan dalam bursa pencalonan, maka KH Achmad 164 Siddiq hanya mencatat kemenangan tipis terhadap Idham. Achmad memperoleh 188 suara, dan Idham memperoleh 126 suara.17 Sekalipun akhirnya gagal memperoleh kursi Rais Aam, tapi kelompok Idham berhasil menempatkan salah satu orangnya, KH Ali Yafie, sebagai wakil Rais Aam. Penempatan Ali ini di kemudian hari ternyata membawa persoalan tersendiri bagi intern NU. Terlepas dari adanya persoalan yang mengitari proses pencalonan mereka kembali, namun secara obyektif duet Abdurrahman-Achmad agakya merupakan figur paling tepat untuk memimpin NU. Mereka memiliki latar-belakang pemikiran yang kosmopolit, karenanya tidak canggung dalam mengantisipasi modernisasi. Sementara mereka pada saat yang sama juga mermliki akar yang kuat dalam tradisi ke-NU-an, maka mereka menjadi sangat paham bagaimana mengkomunikasikan proses modernisasi dalam idiom-idiom yang dipahami oleh warga NU sendiri. Sementara untuk memasuki era berbangsa secara utuh, sesuatu yang dalam wawasan keislaman telah dibackup dengan konsep ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), maka merekalah yang paling mampu berdialog dengan berbagai pihak dari berbagai latar-belakang yang beraneka ragam. Muktamar Krapyak sendiri membukukan beberapa catatan penting. Pertama adalah maraknya suasana konflik di situ. Pasalnya tentu adalah KH As'ad Syamsul Arifin yang tak juga surut dari penentangannya terhadap Abdurrahman. Ia bahkan menolak hadir di arena muktamar, dengan alasan sakit, sekalipun baginya telah disediakan helikopter yang akan membawanya pulang-pergi Situbondo-Yogya.18 Sulitnya, Abdurrahman seolah-olah tak bersungguh-sungguh berusaha meredakan kemarahan KH As'ad. Abdurrahman bahkan seperti meladeni sulutan konflik As'ad ketika ia mencoret Anwar Nurris dari kepengurusan teras PB NU. Anwar adalah orang dekat As'ad yang pada tahun 1981, oleh As'ad, ditempatkan sebagai Sekjen. Namun agakya Anwar tidak bisa bekerja-sama dengan Abdurrahman Wahid sehingga secara emosional menilainya sebagai pengacau yang mesti disingkirkan.19 Buntutnya As'ad, sekalipun resminya dipertahankan sebagai Mustasyar itu pun menyatakan mufaraqah terhadap kepemimpinan Abdurrahman.20 Sebuah keputusan yang tidak pernah diralat hingga saat meninggalnya. 165 Catatan lain, di samping perubahan struktural disubordinasikannya Mustasyar dalam Syuriyah, Muktamar Krapyak juga memulai sebuah tradisi baru dalam pemilihan pengurus baru. Di sini, Rais Aam dan Wakilnya dipilih secara langsung. Sedangkan Ketua Umum Tanfidziyah juga dipilih secara langsung setelah disetujui oleh Rais Aam dan Wakilnya yang baru terpilih. Setelah ketiga jabatan itu, selanjutnya dipilih pula secara langsung empat orang mode formatur. Ketujuh orang terpilih Inilah yang kemudian membuat formasi kepengurusan lengkap.21 Cara ini berbeda sama sekali dengan mekanisme ahlul halli wal 'aqdi sebelumnya yang mengandalkan otoritas seorang kiai paling senior. Lalu, dalam rapat pertama PB NU di Jombang pada bulan Januari 1990 diadakan pembidangan tugas masing-masing Ketua, yang dimaksudkan agar masing-masing mampu melaksanakan progam secara maksimal. Di lembaga Syuriyah, pembidangan dilakukan atas komisi-komisi yang dipimpin oleh para Rais. Di antaranya Komisi Sosial-politik diketuai oleh KH Yusuf Hasyim, Komisi Pendidikan dan Kebudayaan diketuai oleh KH Sahal Mahfudh, Komisi Sosialekonomi oleh KH Munasir, Komisi Organisasi oleh KH Aminuddin Azis, dan seterusnya. Sedangkan Tanfidziyah dibagi dalam beberapa bidang, antara lain Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia diketuai oleh dr. Fahmi Saifuddin, MPH, Bidang Hubungan dengan Lembaga Negara oleh Chalid Mawardi, Bidang Hubungan dengan Lembaga Keagamawan oleh Tolchah Hasan, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan oleh Asnawi Latif, dan sebagainya.22 Berselang setahun setelah Muktamar Krapyak, dalam masa yang relatif tenang NU kembali diguncang persoalan. Januari 1991 KH Achmad Siddiq meninggal dunia dan menimbulkan masalah yang cukup serius tentang siapa yang akan menggantikannya. Sebabnya adalah, rujukan untuk mengganti Rais Aam yang wafat sebelum habis masa jabatannya belum jelas. Pernah dua kali terjadi kasus seperti itu di masa lalu. pertama ketika KH 166 Wahab Hasbullah wafat, ia digantikan oleh wakilnya KH Bisri Syansuri. Kemudian ketika KH Bisri sendiri wafat, kedudukannya digantikan oleh KH Ali Maksum yang justru di luar jajaran Rais. Sebenarnya pasal 25 Anggaran Dasar NU 1989 cukup memberikan kejelasan: apabila terjadi lowongan jabatan antar-waktu, maka lowongan tersebut diganti oleh anggota pengurus yang berada dalam urutan langsung di bawahnya. Jika ini diikuti, maka berarti KH Ali Yafie yang menjadi Rais Aam. Tapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Begitu terlontar kemungkinan diterapkannya pasal tersebut, segera muncul tanggapan yang nyata-nyata menolaknya. KH Ma'ruf Amin, Katib Syuriyah, menyatakan bahwa pasal 25 itu adalah sebuah ketentuan umum yang tidak secara khusus membahas jabatan Rais Aam, sehingga tidak dapat secara mutlak diberlakukan. Semua akhirnya tergantung`pada kesepakatan apakah jabatan itu akan diisi ataukah dibiarkan kosong. Jika diisi, maka kedudukan keduabelas Rais Syuriyah adalah sama, sehingga bisa dipilih salah satu. Itu berarti tidak ada keistimewaan prioritas bagi Ali Yafie. Namun jika dikosongkan, maka tugas, kewenangan dan tanggung-jawab Rais Aam untuk sementara dibebankan kepada wakilnya. Ia tetap Wakil Rais Aam, tapi menjalankan fungsi Rais Aam sampai diambil keputusan dalam forum yang lebih tinggi.23 Lalu pada 2 Pebruari, diadakan Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah. Di sini sebuah keputusan diambil untuk tidak menunjuk Rais Aam baru, dan hanya melimpahkan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenangnya kepada Wakil Rais Aam KH Ali Yafie. Keputusan yang dinyatakan berlaku hingga dilaksanakannya Muktamar 1994 ini lalu dikukuhkan dalam Rapat Pleno PB NU, 18-19 Mei.24 Mengapa pasal 25 AD NU seperti agak invalid ketika ia mesti menunjuk pada Ali Yafie? Jawaban berikut mungkin terlalu spekulatif, namun agaknya persoalan itu berkaitan dengan latar-belakang Ali yang 167 tidak hanya bukan orang Jawa Timur (dari mana kebanyakan Rais Aam berasal), tapi juga seorang 'seberang' (Sulawesi) yang tidak memiliki rantai intelektual terhadap tokoh-tokoh referensi utama NU, KH Hasyim Asy'ari dan KH Cholil (Bangkalan). Kapasitas keulamaannya dengan demikian terasa kurang maksimal dalam pandangan kebanyakan orang NU. Selain itu, siapapun akan ingat bahwa Ali Yafie yang pada dasarnya kurang serasi dengan Abdurrahman Wahid ini menduduki kursi Wakil Rais Aam kurang lebih sebagai kompensasi gagalnya Idham Chalid menjadi Rais Aam. Nama Idham serta-merta akan mengingatkan orang pada sayap politisi NU yang terpolarisasikan dengan sayap ulama. Boleh jadi Ali sendiri rikuh ketika harus berada pada posisi tertinggi kepemimpinan formal NU, meskipun sekadar sebagai pelaksana kewenangan. Dugaan ini ditopang oleh kenyataan bahwa hanya dalam Tempo enam bulan sejak dikukuhkan, Ali segera menemukan momentum untuk mengundurkan diri dari posisinya Sekarang. Pada bulan Nopember, NU diributkan telah menerima Sumbangan sebesar 50 juta rupiah dari Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang mengelola SDSB. Sebenarnya sumbangan itu diberikan kepada Yayasan Hasyimiyah sebuah yayasan pendidikan yang berafiliasi ke NU di Tuban, Jawa Timur. PB NU hanya Sebatas memberikan surat rekomendasi yang dibuat oleh Sekjen Ghaffar Rahman dan ditandatangani oleh Ketua Umum. Masalahnya, penerimaan dana itu pada 2 Nopember diekspos oleh media massa, termasuk TVRI, dan dikesankan bahwa seolah-olah NU menerima bantuan dari YDBKS.25 Maka protes berdatangan dari segala penjuru, intern dan ekstern NU.26 Ali Yafie yang tengah menghadiri pelantikan ICMI di Bali banyak mendapat pertanyaan tentang NU menerima sumbangan dari SDSB, keesokan harinya. Ali yang sangat terkejut dengan pertanyaanpertanyaan itu segera kembali ke PB NU di Jakarta dan mencari penjelasan. Rupanya di situ ia menemukan bukti penting bahwa, menurutnya, surat yang ditandatangani Gus Dur bukan sekadar surat rekomendasi, tapi sudah berupa permintaan bantuan. Maka esoknya, 5 Nopember, Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah, yang tidak 168 dihadiri Gus Dur karena ia berada di luar negeri sejak dua hari setelah penandatanganan surat rekomendasi itu, dikejutkan oleh ketidakhadiran Ali. Yang datang adalah utusan Ali yang membawa surat pengunduran dirinya, hingga semua yang terlibat dalam penerimaan dana itu ditindak, dan dana tersebut dikembalikan.27 Ali Yafie memang terasa berlebih-lebihan Sebenarnya, dalam kapasitasnya sebagai pelaksana kewenangan Rais Aam, Ali bisa berbuat banyak dan tidak perlu sampai mengundurkan diri. Pasal 70 ayat (3) Anggaran Rumah Tangga NU 1989 menugaskan Syuriyah untuk "mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat NU..' Sementara ayat (5) menjamin hak Syuriyah untuk memveto keputusan suatu perangkat NU jika keputusan itu "dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut paham ahlussunna wal jamaah." Jadi, Ali sesungguhnya berhak untuk membatalkan rekomendasi yang dibuat Ghaffar, dan bahkan menjatuhkan sangsi kepada siapapun yang dianggap terlibat, termasuk Abdurrahman Wahid. Sikap naif Ali yang membawa NU kembali kepada nuansa konflik SyuriyahTanfidziyah ini belakangan dikritik oleh Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada PB NU, Abdurrahman mengecam sikap Ali yang dinilainya "meninggalkan tanggungjawab ketika NU terkena guncangan."28 Namun sebelum konflik terlanjur merebak, langkah-angkah rekonsiliasi segera diambil. Tanggal 12 Nopember diadakan silaturrahmi Abdurrahman-Ali yang diprakarsai Yusuf Hasyim yang bertujuan untuk merujukkan kedua pihak yang agak memanas itu. Di sini Abdurrahman minta maaf dan mengajukan tiga usulan untuk menyelesaikan kemelut di NU. Pertama, menolak permintaan Ali Yafie untuk mengundurkan diri. Sebab sebagai Wakil Rais Aam yang menjalankan fungsi Rais Aam, ia dipilih oleh muktamar sehingga pengunduran dirinya hanya bisa diterima melalui forum yang sama. Kedua, menerima pengunduran diri Ghaffar Rahman dari jabatan Sekjen PB NU. Dan ketiga, kesalahan Ketua Umum cukup diberi peringatan keras, tidak perlu pemecatan. Silaturrahmi ini 169 tampaknya cukup efektif, sebab Ali sendiri menyatakan merasa cukup puas, sekalipun masih tetap menunggu kelanjutannya.29 Lalu pada 28 sebuah rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah di PB NU, yang membahas ketiga usulan Abdurrahman di atas, membuat keputusan Ghaffar dibebaskan untuk sementara dari tugasnya, dan Abdurrahman diberi peringatan. Ali yang tidak hadir dalam rapat itu ternyata merasa kurang puas. Ia menganggap vonis bebas tugas sementara terlalu ringan, sebab baginya Ghaffar harus dipecat. Ali juga mempersoalkan tidak ditindaknya pimpinan Yayasan Hasyimiyah yang jelas-jelas terlibat.30 Namun langkah rekonsiliasi untuk sementara dapat dianggap tuntas, ketika pada 6 Desember Ali Yafie, Abdurrahman Wahid, Ma'ruf Amin, dan Ihwan Sam (Wakil Sekjen PB NU) menandatangani "Maklumat Pengurus Besar Nahdhatul Ulama", sebuah surat terbuka yang menyatakan bahwa persoalan penerimaan bantuan dari YDBKS telah dianggap selesai, dan "... tetap mengakui kedudukan KH Ali Yafie sebagai Wakil Rais Aam PB NU." Sementara itu Junaidi Abdullah, Ketua Yayasan Hasyimiyah, dipecat dari jabatannya sebagai Katib Syuriyah PC NU Tuban.31 Namun maklumat itu ternyata tidak berarti banyak ketika Ali Yafie kembali mempergunakan masalah SDSB sebagai alasan untuk menolak hadir dalam Konperensi Besar dan Musyawarah Nasional NU di Bandarlampung 12-26 Januari 1992. Rupanya, Ali beranggapan bahwa persoalan SDSB itu sah saja dibicarakan kembali dalam Konbes, sebab maklumat tentang itu hanya diputuskan dalam sebuah rapat gabungan yang tingkatannya di bawah Konbes.32 Ketidakhadiran Ali dalam konbes ini tak urung mengundang banyak spekulasi. Karena itu, panitia konbes lalu mengutus KH Wahid Zaini, yang saat itu adalah Ketua Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah (RMI) untuk menemui Ali di Jakarta. Namun Ali tetap menolak untuk berangkat dan hanya menitipkan surat yang harus disampaikan Wahid pada forum Konbes dan Munas. Surat Ali inilah yang kemudian memberi Konbes Bandarlampung bobot 170 tersendiri. Dalam surat itu Ali mengulangi pernyataan pengunduran dirinya dengan disertai 3 syarat yang jika dipenuhi ia bersedia tetap pada posisinya. Pertama, Sekjen Ghaffar Rahman diberhentikan secara penuh. Kedua, harus ada bukti tertulis pengembalian dana YDBKS yang sebesar 50 juta rupiah. Dan ketiga, Abdurrahman Wahid mesti diskors selama masa satu tahun.-33 Jika syarat pertama dan kedua cukup mudah untuk dipenuhi, maka tidak demikian halnya dengan syarat ketiga. Rupanya hampir tidak ada seorang pun yang menginginkan dijatuhkannya vonis seperti itu kepada Abdurrahman Wahid. Maka tampaknya harus ditafsirkan bahwa dengan ketiga syarat itu KH Ali Yafie sebenarnya sedang memfait-accompli pengunduran dirinya pada Konbes. Maka tidak ada pilihan lain, pada 25 Januari sebuah rapat pleno diadakan untuk mencari siapa yang akan menjadi pengganti Ali.34 Dalam rapat yang dihadiri oleh 6 anggota PB dan 24 wakil PW ini semula muncul nama Yusuf Hasyim dan Sahal Mahfudz sebagai Rais Aam dan Wakilnya. Namun datanglah manuver dari Abdurrahman Wahid yang menilai bahwa Yusuf Hasyim bukan ulama melainkan zuama (pemimpin, administrator), sedangkan kriteria Rais Aam haruslah ulama. Kejadian ini akhirnya memaksa Yusuf untuk mundur dari pencalonan. Lalu setelah melalui serentetan perdebatan, naiklah nama KH. Ilyas Ruchiyat sebagai calon Rais Aam, sebab KH Sahal hanya bersedia dipilih sebagai Wakil Rais Aam. Sebuah voting yang dilakukan kemudian memberikan 7 suara untuk Ilyas 1 suara untuk Sahal, dan masing-masing 1 suara untuk Yusuf, Fuad Hasyim, dan Usman Abidin.35 Selain itu, Konbes juga menaikkan Ichwan Sam pada kursi Sekjen menggantikan Ghaffar. Tidak ada perubahan yang terlalu prinsipil dengan naiknya Ichwan menggantikan Ghaffar, sebab keduanya sama-sama pendukung Abdurrahman Wahid. Yang perlu dicatat khusus adalah bahwa dengan mundurnya Ali Yafie maka inner circle NU mulai bersih dari kubu Idham. KH Ilyas sendiri dikenal sebagai seorang yang, sebagaimana Abdurrahman, netral dari tarik menarik konflik ulama-politisi. Ia banyak digambarkan sebagai seorang yang low profile dan selalu berpikir husnuddzan (positive thinking). Sehingga kalaupun ia tidak bisa mendampingi dan mendukung Abdurrahman Wahid sebagaimana KH Achmad Siddiq, setidaknya ia tidak 171 akan menghalangi langkahnya. Sementara orang kedua di Syuriyah, KH Sahal Mahfudz pada umumnya memiliki cara berpikir yang sama seperti Gus Dur. Dukungan Sahal kepadanya dirumuskan dalam sebuah penilaian bahwa ia adalah seorang "eksponen yang punya komitmen tinggi terhadap Khittah 1926 dan juga memiliki wawasan luas."36 ________________________________________________________ ______________ ________________________________________________________ ______________ 1. Lihat Bab II di muka, khususnya sub bab "Selangkah ke Era NU Baru: Situbondo 1981." 2. Ia adalah salah seorang anggota Majelis 24 yang pada Mei 1984 telah membentuk sebuah "Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah." Tim ini diketuai oleh Abdurrahman Wahid. Lihat ibid. 3. Lihat Tempo, 21 Nopember 1987, h. 25-26. 4. Ibid. 5. Lihat Khairul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah: Prospek dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 140144. 6. Lihat Suara Karya, 14 Nopember 1989. Penjelasan "ekonomi politik" tentang kejengkelan Kiai As'ad terhadap Gus Dur, lihat Martin van Bruinessen, NU Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994). 172 7. Tempo, 3 September 1988, h. 27. 8. Ibid itu berhak untuk mengundurkan diri dari jamaah dan meneruskan shalatnya Sendirian. Tindakan makmum ini disebut mufaraqah. 9. Lihat Tempo, 11 Nopember 1989, h. 25. 21. Lihat ibid., h. 160f. 10. Tempo 25 Nopember 1989, h. 23. 22. Ibid., h. 163. 11. Ibid., h. 30-32. 23. Lihat Tempo, 2 Pebruari 1991, h. 23. 12. Lihat Soara Pembaharuan, 22 Nopember 1989. 24. Lihat Tempo, 25 Juni 1991, h. 23. 13. Lihat Pelita, 24 Nopember 1989. 25. Tempo, 16 Nopember 1991. 14. Lihat Suara Karya, 25 Nopember 1989. 26. Reaksi paling keras, uniknya, datang dari Wilayah NU Jawa Timur. Bahkan salah satu kepengurusan cabang di wilayah itu, PC NU Sumenep, menya takan membekukan diri dari segala kegiatan, sampai persoalan "dana haram SDSB" itu diselesaikan hingga tuntas. 15. Tempo, 2 Desember 1989. 16. Ibid., h. 24. 17. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 184. 27. Ibid. 18. Tempo, 2 Desember 1989, h. 24. 28. Lihat Jawa Pos, 22 Januari 1942. 19. Lihat wawancara dengan Abdurrahman Wahid dalam Editor, 2 Desemher 1989. 29. Tempo, 23 Nopember 1991. 20. Fathoni dan Zen, op. cit, h. 170-173. Mufaraqah adalah sebuah istilah dalam fiqh shalat berjamaah. Jika dalam shalat berjamaah seorang makmum melihat imamnya, karena satu dan lain hal, shalatnya batal sehingga tidak layak lagi menjadi imam, namun ia tetap melanjutkannya, maka makmum 31. Tempo, 14 Desember 1991. 30. Tempo, 7 Desember 1991. 173 32. Jawa Pos, 23 Januari 1992. 33. Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 23. 34. Ibid., h. 25. 174 35. Ibid., h. 26. Uji Coba Khittah 36. Lihat Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 24. Sebagai catatan akhir untuk bagian ini, pada pertengahan 1993 sejumlah tokoh muda NU melemparkan otokritik bahwa NU dinilai semakin cenderung elitis dan kian jauh dari massanya. Lontaran pendapat dari antara lain MM Billah ini lalu mengundang serangkaian tanggapan. Sunyoto Usman,37 misalnya, menganggap penilaian itu terlalu tergesa-gesa. Sunyoto, dengan menunjuk beberapa program NU yang jelas-jelas diorientasikan pada kepentingan warga seperti koperasi dan BPR-BPR, yakin bahwa NU masih memikirkan kepentingan umat. Bahwa ada di antara program-program itu yang tersendat bahkan stagnan, itu lain soal. Sementara Kacung Marijan (38 menilai bahwa anggapan NU elitis ada benarnya juga. Ia mengingatkan bahwa pemilihan nama Nahdhatul Ulama --bukan Nahdhatul Ummah, misalnya-- menunjukkan bahwa elitisme adalah realitas yang diharuskan oleh ajaran yang dianut NU, di mana ulama memperoleh kedudukan yang penting dan khas. Namun dalam gerakan-gerakannya, NU sudah pasti populis. Karena itu Kacung menyebutkan kecenderungan NU sebagai Elitisme populic. Arief Affandi (39 menilai senada dengan Kacung. Hanya saja elitisme NU juga dilihatnya muncul dalam perilaku politiknya. Bagi Arief, persoalannya adalah karena pada saat ini NU masih berada pada masa transisi dalam sebuah transformasi yang belum usai dari orientasi dan peran politik ke nonpolitik. Terlepas dari penilaian para pengamat ini, maka otokritik tokoh-tokoh muda NU itu mestinya dapat dipandang sebagai pertanda semakin matangnya komitmen terhadap khittah. Sebab salah satu pertimbangan NU kembali ke khittah adalah bahwa orientasi politik yang berlebihan ternyata telah membuat NU mengabaikan kepentingan warganya. Dan selama sepuluh tahun ini hal tersebut coba dikoreksi. 175 Bahwa setelah kembali ke khittah, NU menanggalkan baju politik prakfis, dapat segera dipahami warga NU, namun tidak demikian halnya dengan netralitas NU terhadap ketiga orpol dan membebaskan warga untuk menentukan orientasi politiknya sendiri. Kesulitan itu muncul di kalangan massa NU. Massa NU yang paternalistik telah terkondisikan untuk selalu meminta fatwa dan petunjuk dari ulama dalam menghadapi persoalan hidup mereka, termasuk saat menentukan pilihan politik. Mereka cenderung seialu berbuat dan bertindak secara kolektif dalam sebuah arahan yang jelas. Maka, pemberian kebebasan kepada warga untuk menentukan pilikan politiknya sendiri adalah bertentangan dengan pola pikir mereka yang paling esensial. Dan inilah yang terjadi setelah khittah. Persoalannya terasa lebih sulit karena kurang dari tiga tahun setelah keputusan kembali ke khittah, warga NU sudah harus mengujicobakan "kebebasan" yang didapatnya dalam Pemilu 1987. Sebagian warga NU justru merasa asing dalam suasana yang tanpa arahan kolektif itu, sehingga mereka terdorong untuk terus mencarinya. Dalam konteks ini secara kebetulan sekelompok politisi NU melakukan kampanye penggembosan PPP sambil, langsung maupun tidak langsung. menyerukan warga menyeberang ke Golkar. Bagi warga yang kebingungan, tak pelak inilah arahan yang mereka cari. Dan efek "arahan" yang menyimpang dari garis netralitas yang telah dirumuskan itu ternyata tidak bisa dikatakan singkat. Sekjen PB NU Ichwan Sam mengeluh bahwa hingga saat ini masih banyak warga awam NU di daerah-daerah yang memiliki tafsir hitam-putih terhadap khittah, bahwa "sudah khittah berarti meninggalkan PPP, masuk Golkar."40 Sebuah penelitian yang dilakukan Bambang Santoso Haryono di daerah-daerah basis NU di Malang (1989) menyimpulkan bahwa masih banyak warga NU yang memiliki persepsi negatif terhadap keputusan politik Muktamar 1984.41 Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kyai NU yang masih enggan meninggalkan aktivitas politik praktis dan yang-176 menggunakan wibawanya sebagai ulama-- masih mencoba menggiring warga NU untuk mengikuti sikap dan perilaku politiknya. Haryono mengukur persepsi warga NU berdasarkan tiga variabel: orientasi nilai-nilai keislaman, militansi organisasi, dan pendidikan. Dua variabel pertama dibagi dalam kategori kuat, sedang, dan lemah. Lain variabel ketiga dibagi dalam kategori pesantren dan non-pesantren. Salah satu temuannya tentang persepsi ke mana orientasi politik NU menurut warga adalah seperti terangkum dalam label berikut. Tabel 1. Persepsi Warga tentang Orientasi Politik NU ===============!!===========!!===================== ========= Latar Belakang !! Kategori !! Persepsi ===============!!===========!!===================== ========= !! !! Bebas Golkar PPP PDl !! !!============================== Orientasi !! K !! 21,62 45,21 32,43 1,35 Nilai !! S !! 22,58 48,39 29,03 0,00 Islam !! L !! 42,50 45,00 4,00 2,50 Militansi !! K !! 72,58 11,29 10,48 5,64 Organisasi !! S !! 77,53 6,74 15,73 0,00 !! L !! 13,15 29,73 56,76 0,00 Pendidikan !! Pst !! 24,56 40,95 34,49 0,00 !! Non-Pst !! 36,70 25,32 31,65 6,30 ================================================== ========== Sumber: Disederhanakan dari Bambang Santoso Haryono, 1990. Tabel di atas menunjukkan bahwa sedikit sekali warga yang memiliki persepsi bahwa NU membebaskan warganya untuk memilih 177 sendiri orientasi politik mereka. Hanya di kalangan mereka yang memiliki militansi organisasi pada kategori kuat dan sedang, yang berarti mereka yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang tinggi terhadap program-program NU, terdapat mayoritas warga yang memiliki persepsi sesuai dengan yang diinginkan yaitu dengan angka 72,58 % dan 77,53 %. Sementara di kalangan warga yang berpendidikan non-pesantren, mereka yang memiliki persepsi benar menunjukkan angka 36,70 %. Terbanyak dibandingkan dengan persepsi lain pada kalangan NU, namun bukan mayoritas. Kelompok-kelompok lain kebanyakan memiliki persepsi orientasi ke Golkar. Seperti mereka yang mempunyai orientasi nilai-nilai keislaman kuat, 45,21 % menunjuk ke Golkar, disusul PDI, 32,43 %, lalu disalurkan bebas sebanyak 21,62 %, dan pada urutan terakhir, seperti pada semua kelompok kategori lain, menunjuk pada PDI sebanyak 1,35 %. Uniknya, justru di kalangan warga yang mempunyai kategori militansi organisasi rendah persepsi bahwa warga NU sebaiknya meyalurkan aspirasi politiknya kepada PPP menunjukkan angka cukup tinggi, yaitu sebanyak 56,76 %. Banyaknnya warga yang condong ke Golkar untuk sebagian dapat dipandang sebagai indikator akan signifikannya pengaruh aksi eksodus sejumlah tokoh-tokoh NU di PPP ke Golkar di tahun 1987 terhadap pola pikir dan persepsi warga NU. Mereka yang memiliki kecondongan ke Golkar ini pada umumnya memberikan alasan bahwa memilih Golkar adalah lebih realistis dan lebih obyektif. Di samping bahwa "memilih Golkar adalah lebih bermanfaat, dan dengan memilih Golkar kita tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari aparat pemerintah. Sementara tentang PPP, kebanyakan (47 %) ternyata menilainya bukan iagi partai Islam. Sedangkan 46 % memiliki persepsi bahwa PPP masih merupakan partai Islam, dan sisanya 7 % menyatakan ragu-ragu.43 Selanjutnya, meskipun pada umumnya warga NU dapat segera memahami keputusan untuk meninggalkan kepolitikan praktis, namun penilaian mereka terhadap keputusan tersebut masih agak negatif, setidaknya sampai tahun 1989, 178 saat berakhirnya periode sosialisasi khittah. Haryono menemukan bahwa hanya 53,5 % warga yang menyatakan penilaian bahwa keputusan NU untuk meninggalkan politik praktis adalah keputusan yang tepat. 34,4 % menilai keputusan tersebut sama sekali tidak tepat, dan sisanya 12,1 % menyatakan masih ragu-ragu.44 Angka 53,5 % yang menilai tepat memang adalah yang terbesar dibandingkan dengan kedua angka lainnya. Namun jika diasumsikan bahwa semestinya NU mampu menyamakan persepsi seluruh warganya untuk menerima secara baik keputusan meninggalkan politik praktis itu, maka angka tersebut masih dapat dikatakan kecil. Alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menilai bahwa keputusan itu tepat adalah:45 1. Karena sebagai organisasi yang tejun dalam kegiatan politik praktis, di mana tokoh-tokoh NU terlalu lama bergaul dengan politik dan berpola hidup serba politik, tugas-tugas NU di bidang kemasyarakatan dan keagamaan banyak terkesampingkan. 2. Seringnya tejadi kemelut dalam tubuh NU yang disebabkan oleh persaingan untuk menjadi pimpinan dengan tujuan mendapatkan fasilitas dari pemerintah atau untuk mengarahkan jalan ke kursi DPR/MPR maupun, dahulu, eksekutif. 3. NU sebenarnya kekurangan kader-kader profesional sehingga tidak dapat mempertahankan kekuasaan politik yang diperolehnya. Hal ini membuat kedudukan NU menjadi lemah sekaligus menjadikannya sebagai permainan dalam arena politik praktis. Sementara mereka yang menilai tidak tepat agaknya didasari oleh pemikiran bahwa banyak keuntungan yang terpaksa ditinggalkan NU setelah tidak lagi berpolitik. Itu berarti, bagi mereka khittah sebenarnya membawa kerugian terhadap NU. Pola pikir semacam ini dikritik oleh Ichwan. Menurut Ichwan, adanya sementara kalangan, bahkan di dalam NU sendiri, yang menilai NU mengalami kerugian setelah khittah adalah karena mereka melihat kondisi NU setelah kembali ke khittah dengan "kacamata non-khittah."46 Angka-angka di atas menggambarkan masih banyaknya warga yang mempunyai persepsi cenderung negatif ternyata kian menguatkan asumsi bahwa masa yang telah berjalan sebenarnya masih belum 179 memadai bagi sosialisasi khittah di kalangan mereka. Konsekuensi Internal Khittah Keputusan Muktamar 1984 tentang Khittah NU dalam salah satu bagiannya menyebutkan bahwa, Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah yang mambawakan faham keagamaan, maka Ulama sebagai matarantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi.47 Nama organisasi yang secara harfiah berarti kebangkitan ulama menggambarkan bahwa ulama mempunyai kedudukan sentral. Namun Muktamar 1984 merasa perlu secara eksplisit membuat penegasan tentang hal itu, adalah didasari tujuan yang cukup jelas pula. Sejak peran ulama dalam NU sedikit demi sedikit tersisih oleh peran kelompok politisi. Maka ketika NU kembali ke khittah dan memutuskan ditinggalkannya politik praktis, pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpinan NU menjadi salah satu konsekuensinya. Konsekuensi ini memberi Muktamar 1982 sebuah sebutan retoris sebagai suatu "kebangkitan kembali ulama. Sebuah retorika bersirat harapan yang hingga sekarang belum terwujud. Ketidak-berhasilan itu untuk sebaagian dapat dijelaskan karena di dalam NU saat ini ternyata sedang berlangsung dua macam proses yang satu sama lain sebenarnya agak berlawanan. Di Satu sisi, NU ingin mengembalikan otoritas ulama dalam teras kepemimpinannya, yang berarti bahwa ulama sebagai kelompok elit kembali menjadi pembuat kebijakan utama yang nyaris tidak dapat dibantah seperti lazim terjadi pada akar budaya NU. Sementara pada sisi lain NU juga menunjukkan keinginan untuk mewujudkan kehendak demokratisasi masyarakat yang akan dimulai dari konteks mikro NU. Kosern pada demokratisasi yang men180 seyogyakan mekarusme bottom-up decission making itu tentu tidak dapat dikatakan sejalan dengan upaya pemberian otoritas penuh kepada ulama yang menjadikan keputusan organisasi selain mengalir dari atas ke bawah. Yang diperlukan NU akhirnya adalah membuat pola yang tepat agar kedua proses itu bisa berjalan sekaligus dengan selaras. Namun yang selama ini terjadi, keduanya selalu bejalan susulmenyusul. Proses pengembalian otoritas ulama dimulai di Muktamar Situbondo, 1984. Tujuan ini diamankan dengan dibuatnya tata cara baru dalam pemilihan pengurus dengan model Ahlulhalli wal 'Aqdi. Model pemilihan yang barasal dari ide Achmad Siddiq ini semula tidak begitu disukai oleh kelompok muda NU, yang menginginkan tata cara lama berupa pemilihan formatur dan selanjutnya memilih pengurus satu persatu tetap digunakan.48 Dalam tata cara baru itu ditunjuk KH As'ad Syamsul Arifin sebagai ketua, dan ia selanjutnya menunjuk enam orang kiai senior lainnya.49 Ketua dan para anggota Ahlulhalli wal 'Aqdi inilah yang kemudian menyusun kepengurusan NU. Bahwa kemudian ada politicking yang diwarnai vested interest tertentu dalam mekanisme semacam itu agaknya sudah dapat diduga. Komposisi pengurus baru, khususnya Tanfidziyah, yang dibentuk ternyata tidak sesuai dengan aspirasi kelompok muda NU, yang sebelumnya telah mengajukan usulan formasi kepengurusan pada Ahlulhalli wal 'Aqdi. Beberapa figur yang diharapkan duduk dalam pengurus harian turun ke pengurus pleno, atau sebaliknya.50 Yang paling mengejutkan, pada jabatan Sekjen diletakkan Anwar Nurris, orang dekat As'ad. Ia adalah seorang yang kurang begitu dikenal dalam arus baru kelompok muda NU, dan kurang dapat digolongkan sebagai eksponen khittah.51 Namun kendati Anwar dinilai bukan orang yang tepat untuk menduduki salah satu posisi kunci di Tanfidziyah, keputusan itu mesti diterima. Sebuah gambaran betapa upaya yang agak ekstrem bagi pengembalian otoritas ulama sebenarnya berimplikasikan kurang terartikulasikannya aspirasi yang datang dari bawah. Jika komitmen untuk mengembalikan peran ulama pada porsi yang semestinya lalu dimanifestasikan sebagai dibukanya kesempatan bagi kelompok ulama untuk menguasai semua struktur kepengurusan NU, 181 hal itu sudah pasti akan mendatangkan reaksi-balik yang menghambatnya. Upaya yang terlalu ekstrem ke arah itu lalu, oleh arus baru NU, mulai di bawa ke titik moderat, sekaligus dalam alur demokratisasi NU. Pada Muktamar 1989, Abdurrahman Wahid berhasil mendesakkan dua usulan perubahan yang cukup penting. Pertama, dirubahnya mekanisme pemilihan pengurus baru. Sistem Ahlulhalli wal 'Aqdi ditinggalkan dan digunakan model formatur terpilih. Dalam cara ini, wewenang tokoh seperti KH As'ad untuk mengendalikan sendiri proses pemilihan pengurus jadi berkurang, dan dialihkan kepada utusan wilayah-wilayah dan cabang-cabang secara keseluruhan.52 Kedua, dilakukan perombakan terhadap AD/ART NU, di mana Mustasyar yang sebelumnya merupakan lembaga tersendiri disubordinasikan ke dalam lembaga Syuriyah. Rupanya, anggota Mustasyar banyak dinilai melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya, sehingga dengan diletakkan di bawah Syuriyah, pelaksanaan tugas mereka akan selalu berada di bawah koordinasi Rais Aam. Perombakan itu praktis membawa hubungan antar struktur dalam NU semakin mendekati bentuk ideal. Pada prinsipnya, secara formal lembaga tempat kiprah ulama di NU adalah Syuriyah, yang merupakan pimpinan tertinggi. Jadi sebenarnya upaya yang paling tepat dalam rangka mengembalikan peran ulama adalah dengan jalan mengefektifkan fungsi Syuriyah yang terjadi selama ini, pelaksanaan peran Syuriyah sangat jauh dari apa yang diatur secara mentereng dalam pasal 30 ART NU bahwa Syuriyah adalah "pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijaksanaan Nahdlatul Ulama. Dalam kenyataannya, Syuriyah lebih sering tampak tenggelam di balik dominasi Tanfidziyah, yang mestinya tidak lebih dari pelaksana garis kebijaksanaan Syuriyah. Dominasi Tanfidziyah ini sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu mengherankan, mengingat lembaga ini sebagai pelaksana harian jalannya organisasi sudah tentu adalah yang pertama bersinggungan dengan persoalan ekstern, dan karenanya memberikan respons yang lebih awal daripada Syuriyah. Itulah sebabnya Tanfidziyah selalu tampak lebih menonjol. Namun kelemahan pada sisi Syu182 riyah sendiri bukannya tidak menjadi penyebab bagi persoalan disfungsi itu. Yang paling sering dikritik oleh kalangan ulama NU sendiri adalah, orang-orang di Syuriyah pada umumnya kurang mampu mengantisipasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat antara lain akibat penafsiran yang terlalu tekstual terhadap kitab-kitab kuning yang menjadi acuan mereka. Ketidak-mampuan ini sedikit banyak akhirnya menimbulkan rasa inferior Syuriyah berhadapan dengan Tanfidziyah. Dengan demikian persoalannya adalah berkaitan dengan kualitas personel Syuriyah. Hal ini rupanya disadari betul oleh NU, sehingga perbaikan lalu diarahkan untuk mencapai kondisi "Syuriyah yang percaya diri, dan Tanfidziyah yang tahu diri."53 Artinya peningkatan kualitas personal Syuriyah dilakukan simultan dengan penumbuhan kesadaran pada sisi Tanfidziyah untuk, dengan kelebihan yang mereka miliki, mengendalikan diri agar tidak berbuat di luar batas wewenangnya sebagai pelaksana kebijaksanaan. Empat bulan sebelum Muktamar Krapyak, kelemahan-kelemahan Syuriyah itu dibicarakan dalam sebuah halaqah Syuriyah saat berlangsung Konperensi Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang. Halaqah ini menghasilkan sebuah rekomendasi penting bagi muktamar yang setelah menganalisis kelemahan-kelemahan Syuriyah dalam tiga point: wawasan dan pengetahuan, sikap, dan kemampuan berorganisasi, merumuskan kriteria kapasitas yang harus dimiliki oleh Syuriyah. Kriteria itu meliputi:54 1. Bidang keilmuan: a. ILmu Naqliyah, meliputi aqidah, syari'ah, dan akhlaq. b. Ilmu Kauniyah, meliputi ilmu kemasyarakatan (politik, ekonomi dan budaya), ilmu sejarah, dan ilmu manajemen. 2. Sikap yang perlu dimiliki Syuriyah: Berwawasan rahmatan lil 'alamin sesuai dengan risalah Rasul; Tasamuh, Tawazun, dan tawasuth, sesuai dengan Khittah 1926; Mempunyai keperdulian terhadap perkembangan masyarakat dan lingkungan hidupnya; Tangkap dan mampu merespons setiap tantangan yang ada di masyarakat. Memiliki sikap kepeloporan, berani melakukan hal-hal baru yang lebih maslahat. 183 3. Kemampuan berorganisasi Syuriyah: Memiliki kemampuan memimpin dan mengelola organisasi sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita jam'iyah; Mampu memberikan pemecahan praktis terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat; Mampu menjabarkan dan mewujudkan tanggung-jawab agama dalam sefiap perkembangan yang terjadi; Memiliki kemampuan membaca perubahan dan kecenderungan yang tejadi dalam organisasi maupun masyarakat; Mampu membina hubungan dengan berbagai pihak, ke dalam maupun ke luar. Akan tetapi setelah hampir lima tahun bejalan, rumusan itu ter nyata tidak berhasil memberi perubahan yang terlalu berarti. Terlebih setelah meninggalnya KH Achmad Siddiq, Syuriyah jadi terasa kembali sulit meletakkan diri pada superioritas yang semestinya. Sepeninggal Achmad, praktis tidak ada figur ulama Syuriyah yang memiliki kualitas pribadi cukup untuk mampu setidaknya mengimbangi Abdurrahman Wahid di Tanfidziyah. Di samping masalah kualitas personel di atas, mekanisme pemilihan anggota inti PB agaknya dapat dipandang sebagai penyebab lain sulitnya pengembalian supremasi Syuriyah, walaupun tidak terlalu menentukan proses pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Tanfidziyah yang sama-sama dilakukan secara langsunt; sedikit banyak tentu menimbulkan efek rasa kesepadanan antara keduanya Karena itu lalu muncul pemikiran tentang perubahan tata cara pemilihan pengurus. Pilihannya pasti bukan kembali pada konsep Ahluhalli wal 'Aqdi yang mengandalkan otoritas elit kyai senior dan terkesan kurang demokratis itu. Gagasan yang muncul belakangan tampaknya adalah jalan tengah antara mekanisme Ahlulhalli dan pemilihan langsung. Yakni, cukup para pengurus Syuriyah saja yang dipilih secara langsung dalam muktamar. Lalu Syuriyah yang telah terbentuk ini bersidang untuk memilih Ketua Umum Tanfidziyah, atau menunjuk formatur yang akan menyusun kepengurusan Tanfidziyah.55 Gagasan ini memang tampak cukup menarik, tapi rupanya masih belum bisa diterapkan ketika hendak diuji-cobakan dalam Konperensi Wilayah NU Jawa Tengah pada bulan April 1994, konsep itu ditolak oleh 184 sebagian besar peserta konperensi yang justru masih menginginkan Ketua Tanfidziyah PW NU juga dipilih langsung.56 Sementara itu sebuah gagasan lain yang cukup mengejutkan datang dari Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah seminar tentang peranan pesantren dalam meningkatkan etos kerja di Cirebon tanggal 18 Juni 1993, ia mengemukakan pemikiran tentang perampingan organisasi NU. Salah satu bagian dari gagasan perampingan itu adalah penghapusan jabatan Ketua Umum. Perubahan semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan antara Syuriyah dan Tanfidziyah.57 Gambaran umum gagasan Abdurrahman ini adalah, Syuriyah di bawah pimpinan Rais Aam benar-benar diefektifkan sebagai pembuat keputusan tertinggi organisasi. Dan dibawahnya, Tanfidziyah yang dipimpin oleh seorang Ketua dan beberapa wakilnya berfungsi semacam sebuah sekretariat yang menjalankan keputusan-keputusan Syuriyah serta fungsi-fungsi administratif organisasi. Pemikiran Abdurrahman Wahid yang memperoleh tanggapan positif dari intern NU ini memang masih berada pada tataran konseptual yang harus diterjemahkan dalam rumus-rumus operasional. Namun kalau gagasan itu memang hendak diterapkan, ia tentu memerlukan perubahan AD/ART NU, yang hanya dapat dilakukan dalam forum muktamar mendatang. Dan jika ini benar akan dilakukan, maka persoalan lain yang juga perlu dipikirkan kembali adalah mekanisme pertanggung-jawaban dalam tubuh NU. Selama ini Ketua Umum Tanfidziyah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya langsung di hadapan forum muktamar. Ini tentu konsekuensi dari pemilihan Ketua Umum yang langsung oleh muktamar. Akan tetapi sebagai pelaksana kebijaksanaan Syuriyah, adalah keharusan Tanfidziyah, semestinya, untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya di depan sidang Syuriyah yang memang khusus membahas tentang hal itu. Pola semacam inilah yang belum ada dalam NU. Pasal 31 ART NU hanya mewajibkan Tanfidziyah menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya. Di sinilah perubahan agaknya perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah pengaturan secara eksplisit bahwa Tanfidziyah (dalam hal ini Ketua Umumnya) bertanggung jawab kepada Syuriyah atas pelaksanaan tugasnya. Tumbuhnya 185 kondisi seperti ini tentu akan menjadi katalisator bagi proses pengembalian supremasi Syuriyah, yang berarti penuujudan kembali otoritas ulama dalam kepemimpinan NU tanpa berimplikasikan perbenturan dengan upaya demokratisasi. Kesimpulan Dilihat dalam dinamika internalnya, perjalanan NU selama satu dasawarsa ini adalah sebuah pencaharian kapasitas diri yang paling tepat menurut semangat khittahnya. Bahwa pencarian itu hingga saat ini belum juga menemukan hasil yang diharapkan, adalah banyaknya permasalahan yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan yang menjadi penyebabnya. Salah satu permasalahan itu adalah masih belum adanya kesamaan persepsi yang utuh dalam tubuh NU sendiri tentang konsep khittah, sekalipun rumusan tekstualnya sudah sangat jelas. Ketidakseragaman persepsi ini disebabkan sekaligus oleh heterogenitas yang cukup tinggi dalam tubuh NU di satu bagian, serta banyaknya pergulatan kepentingan antara elit NU sendiri pada bagian lain. Pergulatan kepentingan di kalangan elit itu seringkali membawa NU pada kondisi tarik-menarik antara dua kelompok yang berseberangan: sayap politisi dan sayap ulama. Sementara kelompok pembaharu NU yang moderat selalu berusaha agar NU tetap berada pada posisi tengah antara tarik-menarik itu, maka polarisasi itu sendiri akhirnya membawa imbas lain pada warga NU. Mereka hingga saat ini ternyata masih belum memiliki persepsi yang tepat terhadap khittah sebagaimana mestinya. Sosialisasi khittah yang secara serius dilakukan oleh inti kekuatan NU saat ini sedipahami dengan tidak pas oleh warga, karena sementara kalangan politisi NU, dalam kepentingannya masing-masing, kerap melakukan distorsi informasi yang membelokkan persepsi mereka. Namun tidak diragukan lagi, yang paling sulit adalah pencarian bentuk yang paling tepat bagi pengembalian otoritas ulama dalam kepemimpian NU. Persoalannya tentu ialah: bagaimana bentuk supremasi ulama itu? Sebab pemberian otoritas penuh yang menyebabkan kekuasaan tersentralisir pada elit ulama, sementara pada saat yang 186 sama NU berkomitmen pada demokratisasi, sudah pasti akan terasa sebagai ambivalensi. Selanjutnya, supremasi ulama tentulah berindikasikan pengurangan yang cukup signifikan terhadap otonomi yang terlalu besar, untuk tidak menyebutnya dominasi, di pihak Tanfidziyah. Ini pun bukan urusan mudah. Sebab di samping karena berbagai kelebihan yang ada pada Tanfidziyah, pemekaran otonomi itu telah berjalan sangat panjang sejak, sebagaimana telah dibingkai dalam Bab II, Muktamar Banyuwangi 1934 yang diawali oleh prakarsa tokoh seperti KH Wahid Hasyim. Akhirya, segala kesulitan dalam pergulatan internal itu menjadi lebih rumit akibat NU tidak pernah benar-benar dapat mengkonsentrasikan perhatian semata-mata di situ. Sebab pada lingkup eksternal, perhatian itu juga dibutuhkan bagi upaya pembuktian NU akan komitmen barunya, yang sudah pasti inheren dengan permasalahanpermasalahan. Bab V berikut akan membahas dinamika eksternal itu. ________________________________________________________ __________________ ________________________________________________________ __________________ 37. Sunyoto Usman, "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam Jawa Pos, 7 Juni 1993. 38. Kacung Marijan, "NU: Antara ElitiS dan Populis," dalam Jawa Pos 8 Juni 1993. 40. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 41. Lihat Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU Terhadap Keputusan Politik (Thesis S-2 Fakultas Pasca Sajana UGM, 1990). 42. Ibid., h. 102f. 43. Ibid., h. 107. 44. Ibid., h. 113. 45. Ibid., h. 113f. 46. Wawara Penulis dengan Ichwan Sam, op cit. 47. Lihat Keputusan Muktamar XVII NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khitthah Nahdlatul Ulama, Butir 7. 48. Lihat Arief Mudatsir, "Dari Situbondu Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 140. 49. Waktu itu, KH As'ad menunjuk KH Ali Maksum, KH Masykur, KH Sjansuri, KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi Mahfudz sebagai anggota. 50. Ibid. 39. Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam jawa Pos, 9 Juni 1993. 187 51. Bandingkan dengan Ghafar Rahman dan Ichwan Sam, dua orang yang berturut-turut memegang jabatan Sekjen setelah Anwar Nurris, yang pada tahun 1984 turut ambil bagian dalam Majelis 24. 188 52. Lihat Tempo, 2 Desember 1989. 53. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU, op. cit. 54. Lihat Aula No. 7 Tahun 1989, h. 20-22. 55. Wawancara Penulis dengan Wakil Sekjen PB NU Ir. H Musthafa Zuhad di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 56. Ibid. 57. Lihat Aula, Juli 1993. BAB V IMPLEMENTASI KHITTAH: DINAMIKA EKSTERNAL BAB ini akan melihat bagaimana dinamika eksternal NU dalam implementasi keputusan kembali ke Khittah 1926. Pertama akan didiskusikan tentang reorientasi politik yang membawa NU pada dimensi baru gerakan politiknya, dengan dua makna penting: meninggalkan politik praktis, dan melepaskan keterikatan dengan organisasi politik manapun. Akan dilihat pula posisi NU dalam dua pemilu, 1987 dan 1992. Selanjutnya, aktivitas bidang garapan NU setelah tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis akan menjadi topik bahasan, sebelum bab ini ditutup dengan tinjauan mengenai untung dan rugi NU pasca khittah. Dari Kuantitas ke Kualitas: Reorientasi Politik NU Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi yang 189 aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945 dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara. Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945. Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (alukhuwah), toleransi (al-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warganegara yang mempunyai keyakinan/agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis. Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warganegara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara. Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warganegara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi dengan Undang undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.1 Kutipan panjang di atas adalah sebuah blueprint kepolitikan NU pasca khittah yang dirumuskan dalam Muktamar 1984. Ada dua hal penting yang dipancangkan dalam rumusan itu. Pertama, penegasan tentang dimensi baru gerakan politik NU, yang tidak lagi 190 bermuatan politik praktis kelembagaan. Dan kedua, penegasan netralitas NU terhadap setiap organisasi politik. Dimensi baru kepolitikan NU adalah resultansi dilakukannya reorientasi dari kuantitas politik menuju kualitas politik.2 Makna reorientasi itu ialah, NU meninggalkan politik praktis dan politik kelembagaan yang berkutat pada perhitungan berapa banyak perolehan suara dalam pemilu, berapa banyak orang-orang NU yang duduk dalam suprastruktur politik, dan seterusnya. Ukuran "sukses politik" NU kini bukan lagi segi kuantitatif semacam itu, tetapi lebih pada sejauh mana pikiran-pikiran, konsep-konsep NU, serta para warga NU di lembaga-lembaga politik yang ada bisa memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa dan negara. Tujuan NU kini adalah memiliki nilai komplementer bagi usaha pembangunan bangsa.3 Lalu netralitas politik, artinya NU melepaskan afiliasinya terhadap PPP untuk selanjutnya menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Komitmen itu secara konseptual sudah sangat jelas. Tapi implementasinya sudah pasti tidak akan semudah ia dirumuskan. Seperti diakui oleh Abdurrahman Wahid, "merupakan statemen yang kompleks,... (meskipun) kelihatannya sederhana."4 Kompleksitas persoalannya segera mern bayang secepat hal itu diputuskan. Naro, rupanya menyadari bahwa keluarnya NU dari PPP berarti hilangnya sumber massa terbesar partai itu, di Pontianak 9 Januari 1985 menyatakan bahwa organisasi yang turut menandatangani deklarasi pembentukan PPP secara yuridis formal tetap mempunyai hubungan dengan PPP.5 Yang dimaksud Naro tidak lain tentu NU. Maka Gus Dur merasa perlu menanggapi ucapan Naro itu. Seusai Rapat Gabungan pengurus harian PB NU di Jombang, 11 Januari, ia menyatakan bahwa warga NU tidak otomatis menjadi anggota PPP, sambil merujuk pernyataan Naro sendiri bahwa keanggotaan PPP adalah stelsel aktif.6 Sementara Rapat Gabungan itu sendiri menghasilkan sebuah keputusan yang menegaskan netralitas NU. SK PB NU No. 01/PBNU/I-1985 tentang Pelarangan Perangkapan Jabatan mengatur bahwa semua pengurus harian NU di semua tingkatan tidak boleh merangkap menjadi pengurus harian orpol manapun. Batas waktu pelaksanaan larangan itu adalah satu tahun untuk tingkat wilayah, dan dua tahun untuk cabang. Keputusan itu belakangan dikukuhkan lagi dengan SK PB NU No. 72/A191 II/04-d/ XI/1985. Pada bulan berikutnya, delapan orang pengurus Harian PB NU menemui Presiden Suharto di Bina Graha (7 untuk melaporkan hasilhasil Muktamar 1984, termasuk penerimaan asas tunggal yang dinyatakan semata-mata karena motivasi agama dan bukan politik. Pembicaraan lain yang memperoleh aksentuasi dalam pertemuan itu adalah pandangan NU bahwa Negara Republik Indonesia merupakan bentuk final bagi keseluruhan bangsa, terutama umat Islam. Tentang netralitas NU, dikabarkan bahwa Suharto memberikan tanggapan sangat positif, dan menyatakan harapanya agar sebagai perorangan warga NU benar-benar bisa memasuki semua kekuatan sosial politik lain.8 Pertemuan itu setidaknya dapat dipandang sebagi langkah pertama bagi rekonsiliasi dengan pemerintah yang merupakan salah satu sub-tema khittah. Bagi NU, perjalanan selama lebih sepuluh tahun dalam PPP yang kadangkala menempatkannya sebagai oposan pemerintah, sedikit-banyak tentu terasa sebagai deviasi dari pola pandangannya tentang hubungan dengan penguasa. Di sisi pemerintah sendiri, pada saat yang nyaris bersamaan dengan retrospeksi politik NU, mulai muncul kecenderungan politik yang akomodatif terhadap umat Islam, setelah sebelumnya antara kedua pihak terdapat hubungan yang antagonistis bahkan menjurus ke arah konflik. Rupanya, pemerintah menyadari bahwa umat Islam merupakan kekuatan politik yang potensial jika mereka dapat mengorganisir diri sedemikian rupa. Sehingga pemerintah akhirnya dihadapkan pada dua pilihan: mengadakan akomodasi terhadap Islam, atau menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar sama sekali. Pemerintah mengambil pilihan pertama, sebab kalau yang kedua yang dipilih konflik akan sulit dihindari, yang pada akhirnya membawa dampak yang besar dalam proses pemeliharaan negara kesatuan.4 NU pastilah menyedari perkembangan itu, dan segera mendapat bahwa retrospeksi dan reorientasi politiknya sedang memperoleh iklim makro yang tepat (l0 Maka rekonsolidasi dengan pemerintah pun diakselerasi penuh. Di hadapan sekitar 10.000 warga NU pada HUT ke-61 nya di Surabaya 28 April. Abdurrahman Wahid mengingatkan bahwa masih banyak kaum muslim yang belum memahami masalah hubungan negara dan agama secara benar. Mereka masih mempertentangkan Islam dengan negara. Maka adalah tugas warga NU untuk mengoreksi kesalah192 pahaman itu.11 Lalu sambil terus mengulang-ulang bahwa NU secara kelembagaan telah meninggalkan kegiatan politik praktis. Gus Dur menyatakan bahwa operasionalisasi keputusan itu adalah netralitas NU terhadap orpol yang ada. Repetisi terhadap penegasan itu barangkali memang diperlukan, karena sejumlah tokoh-tokoh NU seperti Mahbub, KH As'ad, dan Anwar Nurris masih melaku kan campur tangan dalam persoalan PPP. Antara Maret dan Juni mereka melakukan serangkaian usaha untuk mendepak Naro dari kepemimpinan PPP, atau minimal menggesernya dari posisi dominan, sambil berusaha menempatkan orang-orang NU pada jabatanjabatan kunci partai. As'ad bahkan mengancam bahwa jika tidak ada perbaikan dalam kepemimpinan PPP, ia akan melarang ulama NU berkampanye bagi partai itu dalam Pemilu 1987 kelak.l2 Ketika semua usaha ini gagal, Mahbub yang mewakili As'ad mengeluarkan pernyataan bahwa dalam pemilu nanti warga NU "tidak wajib berkampanye untuk PPP dan tidak pula wajib mencoblos ppp."13 Melihat gerak maju-mundur ini, Abdurrahman secara implisit memperingatkan para elit NU agar membiarkan warga bebas menentukan pilihan politiknya sendiri, dan untuk menjaga NU murni dalam netralitasnya. Ia juga mengingatkan bahwa KH As'ad sendiri yang sejak sebelum Muktamar 1984 telah berbicara tentang netralitas NU.14 Tapi Mahbub lalu menjawab bahwa NU tidak bisa begitu saja netral terhadap kebaikan dan keburukan. NU --yang ia maksud sebagai lembaga-- harus mempunyai pilihan, karena NU memiliki nilai-nilai yang jadi patokan. Menurut Mahbub, "netralitas itu mengesankan kelemahan dan cenderung mau enak-enakan,... melayang-layang, tidak punya pijakan baik di bumi maupun di langit." Mahbub lebih menyukai istilah "bebas aktif (yang) punya pijakan, punya hitungan dan punya risiko."15 Lalu tentang implikasi politik khittah, Mahbub dengan illustratif menggambarkan bahwa yang ditinggalkan NU dari dunia politik adalah "perolehan minimal" untuk menuju "perolehan maksimal".16 Itu berarti NU mesti melakukan apapun yang diharuskan oleh upaya untuk mencapai perolehan maksimal itu. Dan akhirnya, jalan pikiran di atas kemudian mengantarkan Mahbub dan kelompoknya pada apa yang kelak dikenal sebagai aksi "penggembosan PPP", tanpa mengabaikan faktor determinan lain berupa kekecewaan terhadap pimpinan PPP saat itu, khususnya Naro. Kekecewaan terhadap PPP inilah yang me193 masuki tahun 1986 mulai disebut-sebut sebagai alasan utama ketika terjadi hijrah warga NU ke Golkar secara demonstratif, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Tengah, misalnya, dari 77 cabang NU yang ada, sampai bulan Mei tinggal 8 cabang saja yang masih jelas-jelas mendukung PPP.l7 Pada umumnya mereka meng anggap bahwa kemenangan PPP di suatu daerah selama ini tidak membawa perbaikan apapun, termasuk sarana keagamaan. Yang banyak mengembangkan sarana itu justru adalah Golkar. Sedang KH Ilyas Ruhiyat (yang sejak 1992 menjadi Pelaksana Rais Aam NU) memberikan alasan bahwa yang selama ini menguntungkan NU adalah kerja sama dengan umara (pemerintah), dan sekarang umara adalah identik dengan Golkar.18 Sebenarnya, tanpa manuver politik yang tendensius dari kelompok tertentu di NU sekalipun, langkah-langkah politik obyektif NU pada umumnya memang lebih banyak berimplikasi negatif terhadap PPP. Di Jawa Timur, SK PB NU No. 72 tahun 1985 tentang pelarangan perangkapan jabatan banyak ditafsirkan sebagai 'perceraian' NU dari PPP. Lalu di tahun 1986, PB NU mengeluarkan SK No. 92/1986 yang melarang pengurus harian NU serta pengurus lembaga, lajnah, dan badan otonom di tingkat MWC dan Ranting untuk menjadi komisaris orpol, maupun mewakilinya dalam berbagai tingkat aparatur pemilu. Akibat SK ini, PPP Jawa Timur menjadi kedodoran. Hampir semua DPC PPP mengeluhkan sulitnya mencari tenaga pengawas Pemungutan Suara dan Panwaslakcam. Di Bondowoso bahkan terjadi kesulitan untuk mendapatkan orang bagi jabatan komisaris partai baik di tingkat kecamatan maupun desa. Kesulitannya adalah karena di Jawa Timur pengurus harian PPP lazimnya adalah orangorang NU. Dan meskipun tentu tidak setiap orang adalah pengurus harian NU, sehingga pasti ada yang bisa tetap aktif di PPP, namun di kalangan warga NU ternyata berkembang kebencian terhadap Naro Akibatnya, ulama NU yang diketahui menjadi pengurus PPP langsung dicap sebagai antek Naro dan dijauhi masyarakat. Dalam konteks inilah KH Syansuri Badawi (Tebuireng) menyalahkan PB NU, yang menurutnya telah menyesatkan umat dengan segala macam larangan yang diberlakukan. Ia juga menyerukan warga NU tetap di PPP, sebab rumah Islam adalah di PPP, yang meskipun asasnya adalah Pancasila, namun AD/ART-nya masih menyebutkan untuk mempejuangkan Islam.19 194 Untuk menetralisir suasana, KH Achmad di bulan Juni mengumpulkan 250 ulama se-Jawa Timur, dan dalam kapasitasnya sebagai Rais Aam, ia membuat fatwa tentang pemilu. Fatwa itu berisikan dua hal pokok: Pertama, warga NU tidak lagi wajib memilih PPP, dan tidak dilarang memilih Golkar atau PDI. Kedua, mereka wajib menggunakan hak suaranya dalam pemilu, dan diharamkan menjadi Golput.20 Di bulan Oktober, fatwa itu dipublikasikan sebagai sebuah buku "NU dan Pemilu," yang di samping diedarkan kepada warga NU juga dikirimkan kepada 200 bupati di Jawa, Su matera, Sulawesi dan Kalimantan, yang wilayahnya adalah basis NU.21 Implikasi-implikasi negatif terhadap PPP itu sebenarnya juga diperuncing oleh sikap Naro. Semakin mendekati pemilu, ia kian sering berbicara bahwa NU tetap di PPP, dan umat NU adalah umat PPP. Bagi mereka yang kerap merasakan kekecewaan saat NU masih berada di PPP, yang untuk sebagian besar adalah akibat tindakan Naro, maka ucapan-ucapannya belakangan jadi terasa hipokrit dan berkesan hendak memperalat NU untuk menjamin perolehan suara PPP. Barangkali jika Naro bersikap wajar dan menghargai keputusan NU, maka NU pun akan bersikap wajar. Sebab ikatan historis mereka pastilah tidak begitu saja dapat diputuskan. Namun semua perkembangan yang terjadi mendorong kelompok tertentu dalam NU untuk membuktikan bahwa PPP akan sangat berbeda setelah ia ditinggalkan NU. Bahkan Abdurrahman Wahid pun akhirnya melihat bahwa aksi penggembosan terhadap PPP pada satu segi akan menguntungkan NU dalam usaha menegaskan eksistensi dirinya. Sehingga ketika intensitas penggembosan itu meninggi, ia sama sekali tidak berusaha lagi untuk mencegahnya, dan hanya sesekali, dengan tidak bersungguh-sungguh, membuat pernyataan yang tidak terlalu berarti seperti bahwa aksi penggembosan itu adalah tindakan individual orang-orang NU yang tidak puas dengan kepemimpinan PPP, dan bukan tindakan NU. Memasuki 1987, di Jawa Timur dan Jawa Tengah kampanye penggembosan mulai dilakukan secara terkoordinir,22 Yang dilaksanakan dengan intensif melalui pengajian-pengajian dan ceramah ceramah. Di Jawa Tengah, Ketua PW NU Buchori Masruri bersama tokoh-tokoh berpengaruh antara lain KH Hamid Baidhowi aktif me195 lakukan penggembosan. KH Hamid bahkan memperluas cakupan nya ke Jawa Timur. Di sini banyak ulama yang juga pernah berguru kepada ayahnya, KH Baidhowi, sehingga ia cukup disegani. Di Ja wa Timur sendiri, kampanye penggembosan malahan bernada sa ngat retoris. Wakil Ketua GP Ansor Jawa Timur, HM Shohib, berbicara bahwa "bukan NU yang keluar dari PPP. Tapi PPP yang mencelat --terlempar-- dari NU. Biarlah dia tahu rasa. Biar jadi bonsai."23 Dan PPP dengan sia-sia masih mencoba untuk unjuk gigi. Kehadiran KH Hamid yang membawa kharisma ayahnya dianggap bukan persoalan bagi mereka. Ahadin Mintarwin, Sekretaris DPW PPP Jawa Timur, mengacungkan apa yang dianggapnya sebagai kartu truf PPP: KH Amin Imron yang adalah cucu KH Cholil (Bangkalan) kini tetap di PPP bahkan namanya masuk dalam DCT. KH Cholil adalah guru sebagian besar ulama-ulama terkemuka di Jawa Timur dan Jawa Tengah, termasuk KH Hasyim Asy'ari. Tapi upaya PPP sama sekali tidak berarti. Dan di tengah keputus-asaannya, Naro jadi seperti lepas kendali. Ia menantang NU: "Biar saja telur busuk itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang yang baik ini malahan akan merusakkan telur-telur lain yang masih baik."24 Maka kampanye penggembosan lalu kian tidak terbendung. Di Jawa Timur, mendekati pemilu tidak kurang dari 900 pengajian yang dilakukan ulama-ulama NU menyerukan penggembosan. PPP yang merasa sangat tersudut terpaksa mengeluhkan hal ini kepada Laksusda. Buntutnya, Kantor Sospol Kotamadya Surabaya melarang 88 orang tokoh NU untuk berbicara di forum pengajian, dan Laksusda meminta agar PW NU Jatim menghentikan penggembosan. Namun dengan segera tampak bahwa larangan itu tidak ber sungguh-sungguh. Atas rekomendasi Ditsosopol Jawa Timur, beberapa waktu kemudian semua larangan itu dicabut kembali.25 Sementara itu di Jawa Barat 23 cabang NU bersepakat menyalurkan aspirasi lewat Golkar, dan di Yogyakarta Ketua DPW PPP DIY Attabik Ali (putra KH Ali Maksum), menyeberang ke Golkar. Tanggal 28 Maret di kota ini diadakan "Bahtsul Masail" tentang pemilu oleh 11 orang kyai dari 11 pesantren terkemuka se-DIY.26 Hasil keputusan forum ini antara lain mengajak warga NU untuk menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan yang matang dan kritis. Jangan sampai mereka terkecoh oleh kontestan yang membawabawa nama Islam, serta harus memperhatikan mana kepemimpinan 196 yang dapat membawa stabilitas dan mana yang hanya membuat kemelut saja. Segala pertimbangan itu, bagi para kyai tersebut, mengarah pada kesimpulan bahwa Golkar-lah yang pantas dipilih dalam pemilu. Pada skala nasional, tokoh-tokoh teras PB NU yang paling intens melakukan penggembosan selain Mahbub, yang tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi adalah metode penggembosan yang paling luas cakupannya, ialah Saiful Mujab, salah seorang Wakil Ketua Tanfidziyah, dan KH Yusuf Hasyim, Rais Syu riyah. Efek penggembosan sebenarnya sudah mulai terasa sejak masa kampanye pemilu. Suasana kampanye PPP pada umumnya jauh lebih sepi jika dibandingkan dengan Pemilu 1982.28 Ini dapat dijelaskan karena sebagian besar massa yang mengikuti kampanye PPP adalah warga NU yang dikerahkan oleh para kyai, dan pengerahan semacam itu hampir tidak ada lagi dalam Pemilu 1987. Sedang kampanye PPP sendiri dapat dikatakan kurang efektif. Di daerah seperti Jawa Timur, hampir separuh waktu kampanye digunakan oleh para jurkam untuk meng-counfer penggembosan terhadap partai mereka.29 Selanjutnya, kampanye-kampanye mereka pada umunya kesulitan mencari tema, setelah asas Islam yang dahulu menjadi andalan tidak lagi dapat dipergunakan. Kunci persoalan akhimya adalah pada program-program yang ditawarkan. Namun di sini pun PPP kedodoran Mereka jadi tampak mengndaada tatkala, misalnya, menyatakan hendak menghapus SPP. Atau seperti di Jawa Barat, PPP berkampanye anti pengiriman TKW ke Arab Saudi. Padahal di sana terdapat kurang-lebih dua juta orang yang memiliki hidup dari keluarganya yang menjadi TKW.30 Dengan kedua persoalan di atas, penggembosan oleh NU serta hilangnya tema ideologis srbagai akibat diterapkannya asas tunggal Pancasila, ditambah lagi dengan kepemimpinan partai yang terusmenerus dilanda kemelut dan konflik sehingga mengakibatkan berpalingnya para pemilih rasional, maka kemerosotan perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987 bukan suatu yang luar biasa untuk diramalkan. Perhitungan akhir hasil pemilu ini menunjukkan turunnya perolehan suara PPP di hampir semua daerah pemilihan. Sedang total secara nasional, PPP memperoleh 15,96 % suara, merosot tajam dari perolehan di tahun 1982 yang sebesar 27,78 %. Perolehan kursi di DPR pun merosot dari 94 di tahun 1982 menjadi 61 di tahun 197 1987. Penurunan ini akan tampak semakin parah jika dilihat bahwa jumlah kursi di DPR telah dieskalasi dari 364 menjadi 400 kursi.31 Jika dapat disepakati bahwa kemerosotan itu adalah karena PPP ditinggalkan oleh warga NU untuk sebagian besar, dan pemilih rasional yang beralih akibat kemelut internal partai itu pada bagian yang lebih kecil, pertanyaan selanjutnya tentu ialah, ke mana penyebaran pemilih-pemilih yang berpaling itu? Jawaban bagi pertanyaan ini agaknya harus tetap jadi spekulasi. Namun adalah kenyataan bahwa Golkar mencatatkan kenaikan perolehan suara yang cukup berarti, dari 64,34 % di tahun 1982 menjadi 72,99 % di tahun ini; sedangkan PDI menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,8 % menjadi 11,01 %. Sebagai contoh di Jawa Timur, di mana PPP menunjukkan penurunan sebesar 15,15 % dan sebelumnya kampanye penggembosan berjalan dalam intensitas paling tinggi. Perubahan perolehan suara di propinsi ini, yang jumlah 19,1 juta orang pemilihnya adalah tertinggi dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain, untuk setiap Daerah-daerah Tingkat II adalah seperti ditunjukkan dalam tabel berikut. ________________________________________________________ _____________ ________________________________________________________ _____________ 1. Keputusan Muktamar XXVII Nahdlatul Ulama No. OZ/MNU-27/ 19&1 tentang Khittah Nahdlatul Ulama, Butir 8. 2. Sementara pengamat dengan terburu-buru menafsirkan bahwa reorientasi Yang dilakukan NU adalah reorientasi dari peran politik menuju peran non198 politik. Meskipun sampai batas tertentu ada benamya, namun penafsiran sepcrti itu akan menyulitkan untuk menemukan eksplanasi paling tepat manakala mereka menemukan masih adanya bobot politik dalam gerakan NU kini. 3. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Urs. HM Ichwan Sam di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 4. Lihat Abdurrahman Wahid,'T\Jahdlatul Ulama dan Khiththah 1926," dalam Masyhur i\min dan Ismail Ahmad (eds.), Dialog Pemikirar, Islam ddn Realitas Empirik (Yogyakarta: I,KPSM, 1993), h. 152. 5. Lihat Kompas, 10 januari 1985. 9. Lihat Afan Gaffar, "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia, dalam M Imam Aziz, et.al(eds.), Agama, Demokrasi Jan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 105. 10. Kesesuaian langkah politik NU dengan rekayasa politik pemerintah kian terasa dengan ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan pada tanggal 17 Juni, yang dalam pasal 2 menyebutkan bahwa "Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satusatunya asas," walaupun tetap dibebaskan unluk merumuskan tujuan khas masing-masing. Lihat antara lain, 5 Undang-undang Baru di Bidang Politik (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). 6. Kompas 12 Januari 1985. 11. Kompas, 29 April 1985. 7. Kedelapan pengurus harian yang pada tanggal 14 Pebruari diterima Presiden itu adalah KH As'ad Syamsul Arifin (Mustasyar Aam), KH Achmad Siddiq (Rais Aam), KH Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah -menurut ART 1984, Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua, dan baru dalam ART 1989 disebut-sebut tentang Ketua Umum), HM Anwar Nurris (Sekjen), H Mahbub Djunaedi (Wakil Ketua Tanfidziyah), KH Rodli Saleh (Wakil Rais Aam), KH Nadjib Wahab (Rais Syuriyah), dan KH Hamid Widjaja (Katib Syuriyah). 12. Tentang campur tangan sejumlah tokoh NU ini lihat antara lain Tempo 30 Maret 1985 dan 22 Juni 1985. 13. Pelita, 31 Oktober 1985, sebagaimana dikutip dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 160. 14. Kompas, 4 Nopember 1985. 15. Lihat Mahbub Djunaedi,.'Mubalig Dadap Tentang Netralitas NU," dalam Kompas, 20 Desember 1985. 8. Kompas, 15 Pebruari 1985. 199 200 16. Mahbub Djunaedi, "Khittah," dalam Tempo 25 Januari 1986, h. 76. Mahbub mengingatkan generasi baru NU agar tidak lagi seperti generasi pendahulunya yang "... turun dari laut dengan biduk kecil seraya menenteng seikat ikan, cukup untuk makan sehari semalam tapi tidak cukup untuk menambal bilik rumah yang rombeng. Anak-anak ini tidak bisa dibiarkan sama seperti orang-tuanya. Mereka mesti memandang laut dengan sinar mata yang baru, membawa pulang berton-ton ikan yang sehat, mencegah binatang itu mati tua karena tidak ada tangan yang kuasa menangkapnya." Ibid. 23. Tempo, 7 Maret 1987. 24. Tempo, 21 Maret 1987. 25. Lihat Kacung Marijan, op. cit., h. 168. 26. Kesebalas kyai yang mendandatangani Bahtsul Masail itu adalah KH Attabik Ali, KH Nawawi, KH Masykur, KH Hasan Tholabi, KH Humam, KH Barmawi, KH Zamrudin, KH Qathrul Azis, KH Muhasin Ihya, KH Mujab Mahalli, dan KH Jakfar. Sebetulnya "Bahtsul Masail Masail" itu tidak pernah terjadi. Karena naskah "rumusan" itu hanya dimintakan tanda tangan kiaikiai di rumahnya masmg-masing. Lihat Suara Karya, 2 April 1987. 17. Lihat Tempo, 31 Mei 1986. 27. Ibid. 18. Ibid. 28. Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta PT Grassindo, 1992) h.119. 19. Lihat Tempo, 15 Pebruari 1986, h. 12. 20. Tempo, 19 Juli 1986. 29. Ibid. 21. Buku itu dikenal dengan 'buku kuning', diterbitkan di Yogyakarta. Lihat Tempo, 1 Nopember 1986. 30. Lihat Tempo, 5 Mei 1987. 31. Untuk angka-angka ini lihat Haris, op. cit, h. 120f. 22. Di dua daerah itu penggembosan bejalan dalam intensitas yang sangat tinggi. Boleh jadi karena keduanya dalah daerah- daerah basis utama NU. Ini tercermin dalam ucapan Mahbub bahwa NU yang dalam dua pemilu telah memompa PPP pasti tahu persis di mana katup untuk menggemboskannya Lihat Suara Pembaharuan, 1 April 1987. Tabel 2. Perubahan Perolehan Suara di Jawa Timur Naik/Turun 1987 dari 1982 ================================================ Kabupaten/Kodya PPP Golkar PDI ================================================ Kodya Surabaya 8,75 2,39 Kodya Mojokerto 12,57 9,38 3,19 Kodya Malang -13,39 8,00 5,39 201 202 Kodya Pasuruan -18,45 12,42 6,03 Kodya Probolinggo -6,81 8,04 -1,24 Kodya Madiun -4,60 9,43 -4,83 Kodya Kediri -13,01 13,59 -0,58 Kodya Blitar -4,41 6,29 -1,88 Kab Gresik -24,06 24,30 -0,24 Kab Sidoarjo -26,25 21,87 4,38 Kab Mojokerto -13,95 11,34 2,61 Kab Jombang -15,33 13,18 2,15 Kab Lamongan -21,39 19,79 1,60 Kab Tuban -8,30 4,28 4,02 Kab Bojonegoro -11,94 11,05 Kab Madiun -13.81 16.01 -2,20 Kab Ngawi -5,43 6,80 -1,38 Kab Magetan -6,33 8,11 1,78 Kab Ponorogo -10,60 9,73 0,86 Kab Pacitan -4,85 6,34 -1,49 Kab Kediri -14,88 12,73 2,14 Kab Nganjuk -14,35 15,24 -0,86 Kab Blitar -11,02 10,20 0,82 Kab Tulungagung -10,76 12,06 Kab Trenggalek -18,51 16,64 Kab Malang -11,78 10,46 1,32 Kab Pasuruan -18,96 15,81 3,15 Kab Probolinggo -19,40 20,01 Kab Lumajang -14,45 13,89 0,56 Kab Jember -22,79 19,06 3,15 Kab Bondowoso -24,33 23,67 Kab Situbondo -17,82 17,00 Kab Banyuwangi -15,23 12,57 Kab Pamekasan -29,83 29,16 Kab Bangkalan -21,26 20,58 Kab Sampa -16,82 16,50 0,32 Kab Sumenep -31,70 30,03 0,07 Tabel ini memberikan beberapa gambaran. Pertama adalah kecilnya kemungkinan warga NU menyeberang ke PDI. Asumsi dasarnya ialah, sekalipun ada peluang bagi PDI untuk menggaet NU namun terdapat hambatan psikis bagi warga NU untuk begitu saja beralih menerima PDI. Citra PDI belum bisa lepas sama sekali dari PNI. Dan bagi kaum santri di NU, citra PNI adalah citra abangan. Apalagi, dalam PDI terdapat unsur-unsur Parkindo dan Partai Katolik. Di Jawa Timur, PDI menunjukkan kenaikan di 25 dari 36 Daerah Tingkat II. Yang terbesar terjadi di Kotamadya-kotamadya Surabaya, Mojokerto, Malang, dan Probolinggo. Berarti, kenaikan suara PDI kebanyakan diperoleh dari masyarakat pemilih perkotaan yang relatif rasional, yang tidak mengaitkan pilihan politiknya dengan pertimbangan-pertimbangan primordial. Indikasi ini diperkuat pula oleh kenyataan bahwa di daerah-daerah etnik Madura, yang tidak diragukan lagi adalah massa NU, yakni Bondowoso, Situbondo, Pamekasan, Bangkalan, Sampang, dan Sumenep, kenaikan suara PDI berada pada angka di bawah 1 %. Sebaliknya, di daerah-daerah etnik Madura itu pada umumnya PPP menunjukkan kemerosotan terbesar, dan pada saat yang sama Golkar mencatat kenaikan terbesar. Misalnya di Sumenep, yang menunjukkan angka prosentase pergeseran terbesar di Jawa Timur, PPP menurun sebesar 31,70 % dan Golkar naik 30,03 %. Sementara di Kotamadya-kotamadya, Golkar justru mengalami kenaikan yang relatif kecil antara 6,29 % hingga 13,59 %. Sehingga gambaran kedua yang dapat dibuat ialah, mungkin sekali, yang untuk sebagian besar adalah akibat aksi penggembosan, banyak warga NU yang telah mengalihkan suaranya dari PPP ke Golkar.32 Boleh jadi mereka yang melakukan penggembosan sendiri tidak mengira bahwa manuver politiknya akan membawa hasil sedemikian rupa. Dan sebentuk "balas jasa" rupanya telah dipersiapkan untuk NU. Beberapa tokoh NU diangkat menjadi anggota MPK utusan Daerah, selain Abdurrahman Wahid yang diangkat sebagai anggota dari utusan golongan. Mereka ndalah Syaiful Mujab (DIY), yang sebelumnya adalah anggota MPR mewakili PPP dan mantan Ketua DPW PPP DIY, KH Imron Hamzah (Jawa Timur), Wakil Ketua DPRD Jawa Timur dari PPP pada periode lalu, dan HM Syah Manaf (DKI), Ketua Koordinator PPP DKI sampai tahun 1985.33 0,89 1,30 1,88 -0,61 0,67 0,83 2,66 0,67 0,68 =============================================== Sumber : Kompas 6 Juni 1987 203 204 Ketiganya memiliki kesamaan: tidak serasi dengan Naro, dan turut dalam aksi penggembosan. Sementara itu, segera setelah pemilu NU mengupayakan rekonsiliasi internal. Tanggal 4 Juni KH Achmad mengundang semua tokoh NU yang menyebar di setiap 0PP dalam sebuah acara halal bi halal di Surabaya. Termasuk yang diundang adalah para aktivis penggembosnya seperti Yusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi. Namun tokoh-tokoh NU di PPP, seperti KH Syansuri Badawi dan Ketua DPW PPP Jawa Timur Sulaeman Fadeli menolak hadir dalam pertemuan yang diwarnai dengan acara saling memaafkan ini.34 Selanjutnya, hasil-hasil pemilu rupa-rupanya kian meyakinkan kelompok politisi NU akan potensi politik organisasinya. Bagi mereka sudah terbayang bahwa potensi itu akan membuat NU selalu diperebutkan oleh setiap kontestan dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Maka lalu muncul gagasan tentang "Khittah Plus", yang merupakan buah pikiran Mahbub yang paling kontroversial tentang NU. Dalam gagasannya ini, Mahbub mengajak warga NU untuk memikirkan kemungkinan NU kembali menjadi partai politik. Menurutnya, apa yang obyektif benar ditentukan di Situbondo dahulu belum tentu benar selamanya. Sah saja NU melakukan think and rethink, agar tetap dinamis. Tentang hambatan berupa struktur politik yang hanya memperkenankan tiga kekuatan politik, ia berargumen: "Bukankan negeri ini sudah berulangkali mengalami penyempurnaan sistem politik yang tunduk pada perkembangan dinamisasi masyarakat? Bukankan pernah ada pikiran multipartai, pernah ada pikiran satu partai, pernah ada pikiran dwipartai, dan akhirnya sistem sekarang?35 Meskipun tampaknya tidak ada yang tak masuk akal dalam argumen Mahbub itu, namun setidaknya ter dapat dua persoalan yang membuat gagasan itu tidak populer. Pertama, ia herhadapan dengan hambatan obyektif makro seperti yang telah disebutkan sendiri oleh Mahbub, yang sulit untuk berubah dalam waktu dekat. Kedua, gagasan itu diartikulasikan terlalu pagi, ketika NU masih sedang didominasi oleh semangat reorientasi politik yang mengharuskan NU meninggalkan kegiatan politik praktis. Serangkaian upaya lobying Mahbub untuk meyakinkan gagasannya praktis tidak berhasil. Bahkan Munas Alim Ulama NU di Cilacap, 15-18 Nopember, sekalipun sempat diwarnai perdebatan tentang itu, sama sekali tidak mencantumkan masalah Khittah Plus 205 Mahbub dalam agendanya. Dalam waktu singkat, gagasan Mahbub itu dengan segala variannya, termasuk untuk menggeser Abdurrahman Wahid, segera terabaikan, setidaknya untuk sementara. Sedang Mahbub rupanya harus memikul resiko lain. Dalam Muktamar 1989 ia termasuk orang yang oleh Abdurrahman dising kirkan dari pos-pos kunci dalam kepengurusan harian PB NU. Na mun berbeda dengan Anwar Nurris yang sama sekali terlempar, Mahbub masih ditempatkan pada posisi yang tidak begitu menen tukan sebagai anggota Mustasyar. Rupanya, aksi penggembosan yang pada sisi tertentu berimplikasi positif bagi pembuktian eksistensi diri NU masih dipandang sebagai jasa Mahbub yang untuk itu ia harus dihargai semestinya. Muktamar ini juga, mengambil pelajaran dari perjalanan selama lima tahun, akhirnya merasa perlu memberikan pedoman bagi warga NU dalam menggunakan hak-hak politiknya. Pedoman itu di akumulasikan dalam sembilan rumusan politik NU: 1. Berpolitik Bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga ncgara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. 2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah- langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat. 3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilainilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama. 4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh 206 rakyat Indonesia. 5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murni dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama. 6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus nasional, dan dilakukan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. 7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalil apapun, tidak bolth dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah-belah persatuan. 8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan an, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama. 9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.36 bangsa Indonesia. Tapi peran politik setelah khittah tidak lagi identik dengan kekuasaan atau jabatan publik.37 Tentu lalu dapat dipertanyakan, dengan cara apa NU kini memainkan peran politiknya? Khittah tidak diragukan lagi telah membawa NU pada kedudukan di luar politik praktis yang tidak memungkinkannya terlibat dalam powerpolitics. Tetapi, bahwasanya proses politik memiliki sekaligus sisi formal dan informal masih membuka celah bagi peran NU. Jika diamati, kepolitikan NU kini tampaknya mengambil model beyond politics yang aksentuasinya bukan pada mekanisme formal. Cara yang dipakai untuk mempengaruhi kebijakan publik, lepas dari persoalan efektifitas, sering disebut-sebut oleh Abdurrahman sebagai "negosiasi di balik layar." Kecenderungan inilah yang diamati Arbi Sanit.38 Ia melihat bahwa NU tetap hadir dalam proses politik nasional dan lokal secara tidak resmi, melalui peran warganya yang menjadi pengurus atau bukan, yang secara umum dapat disebut tokoh. Dengan menggunakan lobi sebagai teknik utamanya, tokoh NU memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warganya secara pragmatis dalam arti mengupayakan seoptimal mungkin diperolehnya konsesi politis dari pihak-pihak dengan siapa tokoh tersebut melakukan interaksi, sehingga kepentingan keagamaan dan kemasyarakatan yang menjadi pusat perhatian NU tetap terlindungi. Dengan inilah agaknya dapat dijelaskan mengapa ketika menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif berupa jabatan-jabatan publik, pada saat yang sama ternyata NU masih terus memetik manfaat dari kehadiran warganya dalam struktur politik, yang sebagian bahkan secara informal sengaja diperjuangkan. Contoh yang paling jelas adalah ketika NU mendukung warga-nya untuk dapat menempati posisi-posisi strategis di PPP ketika partai ini melaksanakan muktamar keduanya, Agustus 1989. Ketika itu NU memperjuangkan Chalid Mawardi dan Karmani sebagai calon pengganti Naro. Sekalipun usaha ini gagal, dan pengganti Naro tetap orang MI, tapi NU berhasil menempatkan tiga orangnya (Sulaeman Fadeli, Karmani, dan Imam Sofwan) sebagai anggota formatur di antara tujuh orang yang terpilih. Selanjutnya enam orang NU berhasil duduk dalam kepengurusan harian PPP, termasuk Matori Abdul Jalil sebagai Sekjen. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kepengurusan Naro yang hanya mencantum- Sebenarnya tidak ada yang baru dalam sembilan rumusan politik itu. Pada dasarnya ia adalah penegasan kembali dalam detail terhadap blueprint kepolitikan NU yang diputuskan di Situbondo Untuk sebagian, rumusan politik itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa dengan khittah tidak lalu berarti NU menjadi pasif dan tidak terlibat dalam proses politik. Pada bulan Agustus, tiga bulan sebelum muktamar, di depan program pelatihan kader NU yang diadakan oleh Lakpesdam, Abdurrahman Wahid berbicara tentang peran politik NU. Ia memastikan, sekalipun bukan orpol, NU bisa saja punya peran politik sebagaimana organisasi politik maupun organisasi profesional lainnya, sebab NU selalu merasa terpanggil dalam proses transformasi sosial yang tengah dialami 207 208 kan lima orang dari unsur NU. Sebaliknya, unsur MI dalam kepengurusan harian turun dari sembilan menjadi tujuh. Diberitakan bahwa calon-calon NU telah memperoleh semangat dan motivasi dari tiga orang kyai yang terus-menerus mendampingi selama muktamar.39 Kejadian ini mendorong Syamsuddin Haris (40 untuk menyimpulkan bahwa NU sedang mengalami godaan untuk kembali berpolitik, sehingga ia mengajukan hipotesis bahwa keputusan NU untuk menarik diri dari kegiatan politik adalah keputusan sementara, yang cepat atau lambat akan mengalami pengkajian ulang. Sekalipun sampai tingkat tertentu sinyalemen ini ada benarnya, namun beberapa keberatan dapat diajukan kepadanya. Pertama, seperti yang menjadi salah satu tesis kajian ini, NU tidak pernah memutuskan untuk membuang sama sekali dimensi politik dalam aktivitasnya, dan karena itu frasa "godaan untuk kembali berpolitik" masih dapat dipertanyakan relevansinya. Selanjutnya, kalaupun yang dimaksud adalah godaan untuk kembali berpolitik praktis, maka asumsi Haris di atas pasti akan segera dicounter oleh NU bahwa persoalan dalam muktamar PPP itu adalah keterlibatan individual orang-orang NU, dan bukan NU sebagai organisasi. Kasus di atas agaknya lebih tepat jika dipahami sebagai bagian dari mekanisme informal NU saat hendak turut ambil bagian dalam proses politik yang sedang berjalan. Dan akhirnya, penyimpulan itu agaknya dibuat setelah keterlibatan tokoh NU dalam PPP diamati di bawah lensa pengamatan yang membuatnya tampak lebih besar dari makna riilnya. Sebenarnya, bukan hanya di PPP NU menunjukkan keterlibatan, namun juga di Golkar seperti yang tercermin dari masuknya Slamet Effendy Yusuf, Ketua GP Ansor, dalam jajaran DPP-nya, dan belakangan di PDI ketika di tahun 1993 seorang kyai NU tercantum dalam formasi pengurus pusat partai ini.41 Bahwa di PPP keterlibatan NU jauh lebih besar jika dibandingkan terhadap kedua OPP lainnya, tentu karena masih adanya ikatan historis dan kesamaan tujuan tertentu yang tidak dapat begitu saja dinihilkan antara NU dan PPP. Dan siapapun tidak akan meragukan bahwa PPP sebenarnya tahu persis arti penting massa NU baginya. Karena itu, segera setelah perombakan formasi kepemimpinan partai, yang nyaris menghapus sama sekali kubu Naro, PPP memulai langkah untuk kembali merangkul pemilih potensialnya itu. Dalam mana kemudian PPP 209 menemukan bahwa ia tidak sendirian, sebab PDI dan terlebih lagi Golkar ternyata sedang melakukan hal yang sama. Kunjungan Ismail Hasan Metareum, pengganti Naro, bersama sejumlah anggota DPP PPP terutama yang dari NU seperti Matori dan Hamzah Haz, ke Muktamar Krapyak dapat dipandang sebat;ai awal rekonsiliasi PPP dengan NU. Dalam dialognya dengan tokoh-tokoh dan warga NU, Ismail mengatakan bahwa jika NU akan kembali mendukung PPP sepenuhnya, maka pengurus dan seluruh keluarga besar PPP akan berterima kasih kepada NU, sebab kelahiran PPP tidak terlepas dari dukungan warga NU. Ia menilai keputusan kembali ke khittah yang membawa konsekuensi ditinggalkannya kepolitikan prakfis sebagai keputusan yang tepat. fetapi bagaimanapun NU tetap merupakan kekuatan politik, dan kekuatan itu diharapkannya bisa digunakan untuk mendukung ppp.42 Ismail ketika itu juga menyerahkan bantuan dari DPP untuk muktamar. Namun sebelum DIY kabarnya telah membantu membangun saluran air sekaligus memasang blok beton di halaman kompleks pesantren Krapyak. Sementara DPP Golkar memberikan bantuan keuangan.43 Lontaran kekhawatiran Mahbub di tahun 1987 bahwa NU hanya akan seperti perawan yang ditarik kian kemari oleh para kontestan" di setiap pemilu,44 dengan segera terasa sangat beralasan. Maka mengantisipasi diincarnya tokoh-tokoh NU oleh ketiga OPP, entah sebagai vote getter maupun calon di lembaga legislatif, dalam Rapat Pleno PB NU, 18-29 Mei 1991, dibahas rancangan SK PB NU tentang petunjuk menghadapi pemilu.45 Rancangan itu mengatur antara lain bahwa warga NU, termasuk pengurus harian, boleh dicalonkan oleh orsospol sebagai anggota MPR/DPR maupun DPRD. Namun begitu namanya tercantum sebagai calon tetap, ia harus meninggalkan jabatannya di NU. Setelah pemungutan suara selesai dan masuk ke lembaga legislatif, ia kembali memegang jabatannya. Lalu utusan PW NU Jawa Timur mengusulkan agar begitu terpilih sebagai anggota badan legislatif sebaiknva yang bersangkutan dibebaskan dari jabatannya. Akhirnya rapat memutuskan sebuah jalan tengah: mereka yang menjabat sebagai pengurus harian dan terpilih dalam pemilu, dialihkan ke jabatan yang tidak terlalu menentukan. Ketetapan ini juga berlaku bagi pengurus badan otonom, lembaga, dan lajnah di lingkungan NU. Dalam rapat pleno ini pula, Ketua PW NU Jawa Timur Moham210 mad Thohir dikabarkan telah melobi peserta lain agar kasus keterlibatan Abdurrakman dalam Forum Demokrasi dimasukkan dalam agenda sidang. Namun lobi ini tidak berhasil. Rupanya, kebanyakan peserta sidang merasa khawatir jika persoalan FD dibicarakan, bisa saja keterlibatan pengurus NU lainnya di ICMI dan MUI juga dipermasalahkan. Seperti kebanyakan usaha untuk menyerang Abdurrahman Wahid dalam periode ini, keinginan untuk mempersoalkan keterlibatannya dalam FD pun sebenarnya akan merikuhkan pengkritik itu sendiri, dan cenderung akan gagal. Sebabnya adalah karena Abdurrahman Wahid sendiri selalu konsisten akan kebebasan setiap warga NU untuk memilih saluran aspirasi politiknya masing masing. Sikap ini sulit diragukan bahkan oleh penentangnya yang paling keras sekalipun. Ia, misalnya, tidak pernah mempersoalkan keterlibatan anggota PB dalam ICMI, sekalipun ia pribadi menolak karena menilai ICMI mewakili pandangan bahwa untuk dapat melakukan perubahan adalah sangat penting untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan, baik sebagai pelaku langsung maupun hanya sebagai perumus kebijaksanaan dan/atau jalur penetapan bagi personalia yang bergerak dalam pemerintahan. Pandangan ini terlalu mementingkan keharmonisan hubungan dengan pemerintah, sehingga dikritiknya telah menomorduakan segala hal, termasuk proses demokratisasi politik yang berintikan perjuangan membangun struktur masyarakat yang lebih adi1.46 I, sendiri lebih mengutamakan pegembangan kemampuan melakukan perubahan, tanpa harus masuk ke dalam sistem kekuasaan. Dan inilah dasar pemikirannya tentang FD. Konsistensi sikap di atas juga ditunjukkan oleh Abdurrahman berkaitan dengan Pemilu 1992. Ia tidak bereaksi apapun ketika di tahun 1990 sejumlah kecil tokoh PPP asal NU meyeberang ke PDI, yang dalam pernyataan mereka dikatakan bahwa eksodus itu membawa keinginan untuk memberi warna Islam, NU khususnya, pada PDI.47 Ia juga membiarkan Chalid Mawardi, salah seorang Ketua Tanfidziyah, berkampanye untuk Golkar di tahun 1992. Ketika Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah, Ircham AR, menyatakan bahwa beberapa kyai NU yang pada Pemilu 1987 meninggalkan PPP dalam pemilu mendatang akan pulang kandang", Abdurrahman Wahid tidak mempersoalkannya. Ia mempersilahkan warga NU yang ingin pulang kandang untuk memilih PPP kembali.48 211 Tampaknya, Gus Dur meyakini bahwa kadar heterogenitas warga NU yang tinggi membuat tidak mungkin untuk menyeragamkan hitungan dan cara langkah politik mereka secara keseluruhan. Akan tetapi, bahwasanya sebagai apa yang disebut suatu jamaah dan telah terformalisasi dalam sebuah jam'iyah, adalah keharusan bagi warga NU, di tengah heterogenitas cara langkahnya, untuk tetap berada dalam satu arah langkah yang sama. Sebab jika kesamaan arah itu tidak dimiliki NU, warga dan tokohnya yang menyebar di berbagai orpol sulit untuk diidentifikasikan sebagai orang NU, yang akibat selanjutnya adalah lemahnya solidaritas antar warga yang telah menyebar itu. Cara pandang inilah yang menjadi alasan obyektif ketika Gus Dur pada 1 Maret 1992 melakukan apa yang oleh sebagian pengamat disebut-sebut sebagai uyaya political realignment NU, dan oleh mereka yang skeptis dinilai tidak lebih dari sekadar show of force seorang Abdurahman Wahid, sementara oleh NU sendiri dinamakan sebagai Rapat Akbar 1992. Rapat akbar ini berasal dari gagasan Gus Dur yang justru disampaikannya pertama kali kepada Presiden saat diadakan pertemuan empat mata di Jl. Cendana, 17 Oktober 1991. Berbekal lampu hijau dari Presiden, Gus Dur segera mengatur langkah persiapan, yang dimulainya dengan menawarkan rencana rapat akbar itu kepada sebuah Rapat Pleno PB NU, pertengahan Desember. Tetapi sebagian besar peserta rapat yang dipimpin oleh Yusuf Hasyim itu ternyata menolak. Akibatnya, rencana itu gagal dimasukkan sebagai program PB melalui Munas dan Konbes di Bandarlampung. Tapi Gus Dur lalu membuat ancaman: jika PB NU tidak menyetujui gagasannya, ia akan berjalan sendiri bersama para santri alumni Tebuireng serta sebagian warga NU.49 Rupanya ia sadar betul akan kapasitasnya. Kalaupun ia melaksanakan gagasannya itu sendirian, orang pasti akan tetap menganggapnya sebagai preyek NU dan bukan Abdurrahman Wahid pribadi. jadi baginya sendiri tidak ada bedanya baik PB NU menerima gagasan itu atau tidak, dan karena itu PB NU tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya. Jika tidak, PB nantinya hanya akan menanggung akibat dari apa yang tidak dilakukannya, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lalu atas usulan Hasyim Latief, salah seorang Rais Syuriyah, PB NU mengadakan rapat pada 9 Pebruari, yang akhirnya memutuskan untuk menerima rencana Gus Dur itu. Keputusan rapat ini jelas bukan merupakan peneri212 maan aklamatif terhadap gagasan rapat akbar, sebab beberapa tokoh PB seperti Yusuf Hasyim dan Chalid Mawardi tetap menolak. Rasanya lebih tepat untuk menyebut PB telah dihadapkan pada sebuah faith accompli yang sampai kadar tertentu juga dilakukan Gus Dur terhadap pembantu-pembantu Presiden yang bertanggung-jawab atas politik dalam negeri. Andalannya tentu adalah ijin dari Presiden, meskipun hanya lisan.50 Namun rekomendasi dan ijin resmi dari pejabat yang berkompeten ternyata tidak begitu saja mudah didapat. Mendagri Rudini, Menko Polkam Sudomo, dan dengan cara lebih lunak Mensesneg Murdiono, semula berkeberatan dengan rencana rapat akbar itu. Alasan mereka adalah faktor pengamanan massa peserta rapat yang semula direncanakan sejumlah dua juta orang, meskipun Pangab, Kassospol ABRI, dan Pangdam Jaya telah menyanggupi pengamanan itu. Gus Dur mesti menunggu selama sembilan hari dari 19 hingga 28 Pebruari, sejak ia mengajukan surat permohonan rekomendasi untuk memperoleh ijin, hingga keluarnya ijin yang dimaksud dari Mabes Polri.51 Di tengah penantian itu Gus Dur suatu ketika membuat pernyataan yang agak konfrontatif bahwa jika sampai 26 pemerintah tidak memberi ijin, ia akan menganggap pemerintah memang melarang, sambil memperingatkan bahwa jika rapat akbar dilarang maka yang rugi adalah pemerintah sebab "rapat akbar ini lebih efektif daripada 1.000 kali penataran P-4."52 Namun deadline ini tidak terlewati, karena pada tanggal 25 malam rekomendasi lisan dari Rudini diperoleh, setelah lewat pertemuan segitiga Gus Dur, Rudini, dan Murdiono dibuat kompromi mengenai jumlah peserta rapat akbar menjadi hanya 200 ribu orang. Berbeda dengan proses perijinannya yang berbelit-belit, maka acara rapat akbar dalam praktek, yang tidak dihadiri oleh Yusuf Hasyim dan tokoh-tokoh NU lain seperti Anwar Musaddad, Usman Abidin dan Ali Yafie, sebenarnya berlangsung biasa-biasa saja. Ra pat Akbar NU '92 dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an bersama sama, dan diakhiri dengan parade dakwah dari beberapa mubalig NU seperti KH Zainuddin MZ, serta tampilnya beberapa penyair. Namun di sela-sela setiap acara, massa terus dipimpin untuk ber sama-sama membaca shalawat badar (pujian kepada Nabi yang khas NU). Dalam tradisi NU, shalawat ini biasanya juga digunakan sebagai penegasan solidaritas dan rasa persatuan antar warga. Se213 hingga tidak diragukan lagi, selama acara rapat akbar emosi warga telah digiring pada suasana yang kondusif bagi penyatuan pandangan. Dan ketika titik kulminasi dicapai, sebagai acara puncak rapat akbar ini, KH Buchori Masruri, Ketua PW NU Jawa Tengah, tampil membacakan 5 pasal ikrar NU.53 Ikrar ini pada umumnya adalah penegasan terhadap keputusan Situbondo, terutama sekali pandangan tentang hubungan Islam dan negara yang dahulu oleh NU telah dirumuskan dengan sangat mengesankan bahwa, dalam bahasa KH Achmad Siddiq ketika itu, Negara RI adalah bentuk final. Kedua, NU menegaskan kesetiaannya kepada Pancasila dan UUD 1945 dan bertekad untuk bersungguh-sungguh mengamalkan dan mengamankannya. Lalu ikrar itu juga membuat pernyataan kesiapan NU untuk memasuki pembangunan nasional tahap kedua, sambil menyampaikan rasa syukur atas hasil-hasil pembangunan selama ini. Selanjutnya NU juga menyatakan kesiapan untuk mengikuti Pemilu 1992. Dan akhirnya ditutup dengan tekad NU untuk mengamankan SU MPR 1993. Jelas ikrar itu, yang pada 26 Maret diserahkan kepada Presiden oleh sembilan orang anggota teras PB NU, sama sekali tidak menyebut-nyebut soal dukungan terhadap pencalonan kembali Suharto. Makna terpenting Rapat Akbar '92 pastilah sebagai peneguhan solidaritas baru dan pencarian identifikasi diri NU yang juga baru, ketika warganya telah semakin banyak menyebar dalam setiap orpol. Hal ini dapat menjelaskan, setidaknya untuk sebagian, mengapa NU dapat melewati masa Pemilu 1992 tanpa gejolak apapun dan tanpa perlu ada rekonsiliasi pasca pemilu seperti yang dilakukan pada bulan Juni 1987. Manfaat lain yang dapat diambil bagi Abdurrahman sendiri adalah pembuktian akan masih besarnya dukungan dalam tubuh NU terhadapnya, sekalipun tidak dapat dibuktikan bahwa ia memang sejak awal telah menjadikan manfaat ini sebagai bagian dari tujuan Rapat Akbar. Besarnya antusiasme warga terhadap event ini, baik yang dibuktikan dengan kehadiran mereka di Parkir Timur Senayan tempat acara itu dilaksanakan maupun, terlebih lagi, yang ditunjukkan dengan banyaknya warga yang kecewa karena tidak dapat mengikuti rapat akbar akibat pembatasan yang dilakukan,54 akan memaksa para penentang Abdurrahman Wahid dalam NU untuk berpikir dua kali sebelum menunjukkan perlawanan secara terbuka terhadapnya. 214 Dan akhirnya, Rapat Akbar '92 juga telah menjadi indikator semakin akomodatifnya inner circle kekuasaan Indonesia terhadap umat Islam. Adalah untuk pertama kalinya sejak kebijaksanaan massa mengambang pemerintah mengijinkan sebuah ormas melakukan pengerahan massa besar-besaran dalam suatu acara. Yang terjadi biasanya, pengerahan massa semacam itu hanya diijinkan bagi OPP saat masa kampanye pemilu. Bahkan, Rapat Akbar diselenggarakan tepat di hari pertama pelarangan yang diberlakukan Depdagri karena sudah mendekati pemilu. Selanjutnya, bahwa rapat akbar ini berintikan pemberian legitimasi terhadap kekuasaan negara, meskipun tanpa menyebut nama tertentu, telah menunjukkan terjadinya proses saling memberi konsesi antara NU dan pemerintah. Dan melihat begitu mudahnya Gus Dur memperoleh ijin dari Suharto, tidak diragukan lagi bahwa, seperti disinyalir oleh Feillard, ada harapan tertentu yang sedang diletakkan di pundak NU, dan, jelas akan merupakan bunuh diri bagi NU untuk berpaling .. Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan adalah mengakomodasi, berkompromi, dan bersikap sebagai pemain yang baik. Kalau dilihat dari "kesehatan" NU yang kian membaik, sang Pemain, sejauh ini terbukti telah berlaku sangat cerdik.55 Tetapi masalah pembatasan jumlah peserta Rapat Akbar rupanya masih mejadi ganjalan bagi Gus Dur. Meskipun kompromi yang dibuat telah menetapkan jumlah peserta hanya 200 ribu orang, pada awalnya Abdurrahman tetap memperkirakan rapat itu akan dihadiri 700 ribu warga NU. Dan ketika, akibat pembatasan yang dilakukan secara konsisten oleh aparat pemerintah sampai level terendah, jumlah peserta benar-benar hanya 200 ribu orang atau bahkan sedikit di bawah itu, tak urung Gus Dur merasa kecewa. Setidaknya itu tercermin dalam sebuah memo pribadi yang disampaikannya kepada Presiden.56 Dalam memo ini Gus Dur mengulangi bahwa Rapat Akbar semula --dengan dua juta peserta-- diharapkan sebagai pemberi legitimasi kepada NU untuk menata orientasi keagamaan kaum muslimin Indonesia serta pemahaman mereka akan hubungan agama (Islam) dan negara. Namun karena jumlah peserta Rapat 215 Akbar jauh di bawah target semula, maka sasaran utama NU untuk memperoleh legitimasi dari umat Islam tidak tercapai. Kegagalan legitimasi untuk penataan orientasi keagamaan itu bisa mengakibatkan tanggung jawab akan pindah semata-mata ke pundak pemerintah, tidak lagi menjadi beban NU. Bila pemerintah juga gagal melakukan penataan itu --yang ditujukan untuk mengatasi isu sektarianisme yang mengakibatkan munculnya sikap tertutup dan menekankan perbedaan yang membahayakan persatuan-- Gus Dur mengkhawatirkan dalam tempo sepuluh tahun Pancasila akan kembali terancam. Bahwa memo itu akan mendatangkan tanggapan yang skeptis boleh jadi sudah dapat diduga. Yusuf Hasyim, yang sejak semula tidak menyetujui Rapat Akbar, menuduh Gus Dur telah "jalan sendiri" dengan membuat memo kepada Presiden. Karena isinya merupakan evaluasi langkah NU, memo itu seharusnya dibicarakan dulu dalam rapat PB NU. Lalu Amien Rais, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, secara kurang tepat menilai memo itu insinuatif, provokatif, dan tendensius, sebab hal itu bisa ditafsirkan seolah-olah umat Islam mempunyai kecenderungan sektarianisme dan eksklusivisme yang bisa memecah persatuan bangsa.57 Penilaian ini terasa agak tergesa-gesa. Sudah tentu Gus Dur tidak hendak mengatakan bahwa umat Islam memiliki kecenderungan demikian. Namun bahwa dalam setiap kelompok masyarakat pasti ada sayap-sayap ekstrem yang mempunyai kecenderungan negatif tertentu, yang juga terjadi dalam tubuh umat Islam Indonesia, adalah hal yang tidak dapat dipungkiri dan ditutup-tutupi.58 Terlepas dari kekecewaan Abdurrahman itu, Rapat Akbar sesungguknya telah cukup efektif bagi konsolidasi internal warga NU. Sehingga perbedaan aspirasi politik mereka yang kian menyebar tidak menjadikan Pemilu 1992 sebagai suatu yang krusial bagi NU sebagaimana yang terjadi dengan Pemilu 1987. Tapi itu juga membawa implikasi eksternal lain: PPP masih sulit untuk mengembalikan massa NU yang dahulu telah meninggalkannya. Pemilu 1992 tidak menunjukkan perubahan distribusi hasil yang terlalu besar dari Pemilu 1987. Di sini, PPP memang mencatat kenaikan prosentase perolehan suara, namun itu hanya cukup untuk menambah satu kursi di DPR dari 61 kursi di tahun 1987 menjadi 62 kursi di tahun 1992. Sementara itu secara total dalam DPR dan MPR hasil 216 Pemilu 1992 terdapat sejumlah 76 orang tokoh NU yang duduk di kursi anggota. Mereka menyebar sebagai wakil dari PPP, Golkar, PDI, dan Utusan Daerah.59 Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran warga NU semakin nyata ketika KLB PDI mencantumkan nama KH Khaliq Murad, seorang tokoh NU yang cukup berpengaruh dari pesantren Mranggen Semarang, sebagai salah seorang Ketua DPP PDI. Hal ini tentu lalu dapat ditafsirkan bahwa hambatan psikologis antara NU dan PDI sebagai akibat adanya sekatsekat aliran santri-abangan-priyayi telah mulai mencair. Namun da lam pada itu tidak sedikit pemerhati yang menangkap isyarat akan menguatnya kembali politik aliran dalam pentas politik Indonesia. Mereka sepakat bahwa terbentuknya ICMI serta naiknya Megawati, yang sulit disangkal telah membawa citra Sukarnno bahkan Sukarnoisme, ke puncak pimpinan PDI adalah indikator ke arah itu. Lalu bagaimanakah seharusnya fenomena-fenomena yang tampaknya berlawanan ini ditafsirkan? Adalah kompetensi kajian lain yang lebih spesifik untuk menjawabnya. Lapangan Baru Pasca Khittah Kalau ada kekeliruan terbesar yang telah dilakukan NU selama periode aktualisasi peran politiknya, itu pastilah terabaikannya begitu banyak bidang garapan akibat aktivitas yang terkonsentrasi pada politik semata-mata. Sehingga meskipun NU telah membu kukan catatan-catatan gemilang tentang prestasi politiknya, dalam banyak hal lain NU sesungguhnya menyimpan sejumlah kelemahan. Masalah taraf perekonomian kebanyakan warga yang masih lemah, atau masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia NU, adalah contoh kelemahan itu. Kekeliruan ini mulai diperbaiki ketika politik tidak lagi menyita habis perhatian NU. Cukup banyak sebenarnya bidang-bidang yang dibenahi NU sejak 1984. Namun di sini hanya akan dilihat beberapa bidang garapan terpenting, seperti pengembangan sumberdaya manusia, penataan perekonomian warga, dan pendidikan. Pembahasan dalam bagian ini sangat bersifat teknis dan terasa kurang menarik, namun maksud utamanya adalah untuk membuat gambaran betapa NU telah mengambil manfaat yang cukup besar dari ditinggalkannya kegiatan politik praktis yang 217 memungkinkannya untuk juga memperhatikan bidang-bidang lain. Bidang yang nampaknya menjadi perhatian pertama dalam pembenahan NU adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Boleh jadi sebabnya adalah karena setelah khittah kelompok cendekiawan mengorbit ke puncak struktur kewenangan NU, sehingga wajar jika concern pada masalah sumberdaya manusia terasa sekali. Hanya empat bulan setelah Muktamar Situbondo, berdasarkan SK PB NU No. 16/A-V/04/IV/1985 pada tanggal 6 April 1985 di Jakarta didirikan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), yang berada langsung di bawah PB NU. Lalu pada 30 Nopember tahun berikutnya, dalam acara Lokakarya Penataan Program NU DIY, berdiri badan dengan nama yang sama tetapi akronimnya berbeda, LKPSM, di bawah PW NU DIY. Kedua badan ini pada dataran konseptual melakukan kajian, penelitian, dan penerbitan yang mengarah pada tujuan gerakan transformatif. Sedang pada dataran aksi, secara simultan, dilakukan pelatihan dan pengembangan masyarakat. Lakpesdam misalnya, di mana saat ini bekerja sebelas orang sarjana sebagai tenaga profesional yang bekerja penuh, telah merintis pembuatan Pusat Dokumentasi NU. Arsip-arsip lama NU, termasuk kitab-kitab klasik yang menjadi acuan utama NU, di samping dikirim ke LIPI juga dikirim ke Lakpesdam. Di LIPI bahkan, bekerja sama dengan Monash University, arsip-arsip itu telah disimpan dalam bentuk microfilm. Lakpesdam juga telah ratusan kali melakukan fasilitasi dan pelatihan, dari tingkat pusat sampai ke tingkat terbawah, terutama untuk mencetak kader-kader organisasi NU. Di samping itu juga pelatihan ketrampilan dan tenaga profesi yang dikaitkan dengan pilot project tertentu seperti peternakan, pertanian, dan sebagainya. ________________________________________________________ ____________________ ________________________________________________________ ___________________ 32. Polling pendapat yang dilakukan terhadap warga NU oleh mingguan Editor 218 di tahun 1988 dan 1992 sedikit banyak mendukung sinyalemen itu. Polling tentang pilihan warga NU ini pada tahun 1988 menunjukkan bahwa dalam Pemilu 1982, 80 % warga NU memilih PPP, 13 % Golkar, dan 0 % PDI. lalu pada Pemilu 1987, yang memilih PPP turun menjadi 56 %, Golkar naik menjadi 71 %, dan PDI menjadi 3 %. Lihat Editor, 2 Desember 1988. Sedang Polling 1992 menunjukkan angka yang hampir sama. 84,10 % warga NU dalam Pemilu 1982 memilih PPP, 12,13 % memilih Golkar, dan 0 % PDI. Dan pada Pemilu 1987 bergeser, PPP menjadi 42,34 %, Golkar menjadi 51,35 %. dan PD11.8 Y. Lihat Editor, 7 Maret 1442 Selanjutnya taktor pemilih muda agaknya juga menentukan. Potting Tempo menunjukkan bahwa warga NU yang baru memilih dalam Pemilu 1987 sebanyak 54,22 % memilih Golkar, 32,53 % PPP, dan 4,82 % PDI. Lihat Tempo,2 Mei 1987. 33. Lihat Tempo, 15 Agustus 1987. 34. Lihat Tempo, 13 Juni 1987. 35. Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," dalam Tempo, 7 Nopember 1987. 36. Keputusan Muktamar NU No. 06/MNU-28/1989 Tentang Masalah-masalah Kemasyarakatan (Pesan-pesan Muktamar), Bab VI. 38. Arbi Sanit, "Politik NU Sebagai Organisasi Massa,'. dalam S Sinansari ecip (eds.), NU dalam Tanfangan (Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989). 39. Lihat Editor, 9 September 1989. 4O. Syamsuddin Haris, "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke-28, dalam Kompas, 2 Oktober 1989. 41. Menjelang I'emilu 1987, Abdurrahman di depan massa PDI mengatakan bahava jika ada warga NU yang aktif di PDI, ia akan mendukung. Sebab PDI 'kan kecil, kayak anak yatim. Wajar kalau mengharap warga NU mendukung PDI." Lihat Tempo, 21 Maret 1987. 42. Lihat Surabaya Post, 24 Nopember 1989. 43. Tempu menyebutkan jumlah bantuan itu adalah sama seperti yang diberikan oleh PPP, yakni sebasar 5 juta rupiah. Lihat Tempo, 2 Desember 1989 Namun Surabaya Post menyebutkan jumlah 25 juta. op. cit. Sulit dilakukan konfirmasi. Akan tetapi mengingat kemampuan finansial Golkar yang jauh di atas PPP dan membandingkan dengan bantuan-bantuan Golkar ke berbagai pesantren yang biasanya selalu dalam jumlah besar, maka angka yang disebutkan oleh Surabaya Post rasanya lebih dapat diterima. 44. Mahbub Djunaedi, Khittah Plus, op. cit. 37. Lihat Kompas, 8 Agustus 1989. 45. Tempo, 25 Mei 1991. 219 220 46. Tentang penilaian Abdurrahman Wahid yang cukup seimbang terhadap ICMI ini, lihat tulisannya, "NU, Pluralisme dan Demokratisasi langkah Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al., op. cit., h. 221. 55. Andree Feillard, "Isyarat Politik Setelah Situbondo," dalam Editor, 7 Maret 1992, h. 31. Cetak miring dari Penulis, kalau "sang Pemain" di situ dapat ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid. 47. Lihat Tempo, 26 Mei 1990. 56. Memo ini untuk sebagian dapat ditafsirkan sebagai keluhan kepada Suharto tentang pembantu-pembantu dan aparat-aparatnya, yang tidak bisa mengikuti secara persis irama politik akomodatif Suharto. 48. Lihat Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 1992. 49. Lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 26. 57. Lihat Tempo, 4 April 1992. 50. Tidak begitu jelas mengapa Suharto dapat dengan mudah memberi ijin. Namun sangat boleh jadi ia mengharapkan bahwa Rapat Akbar NU akan membuat semacam pernyataan kebulatan tekad untuk mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden. Jika dugaan ini benar, Suharto mungkin kecewa, sebab rapat akbar ternyata tidak mengeluarkan pernyataan semacam itu. 51. Tentang kronologis sulitnya rekomendasi dan ijin pelaksanaan rapat akbar itu, lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 18. 52. Ibid. 53. Tempo, 7 Maret 1992. 54. Diberitahukan bahwa pemerintah-pemerintah daerah telah secara ketat melakukan pembatasan terhadap warga NU di daerahnya yang hendak mengikuti rapat akbar. Lihat antara lain ibid., h. 23-24. 221 58. Belakangan masalah Memo ini diramaikan kembali karena tulisan Adam Swadrz. dalam buku A Nation in Waiting (1994). 59. Lihat Editor, 17 Oktober 1992. BAB VI PROSPEK NU PERTANYAAN yang kiranya paling relevan saat orang berbicara tentang prospek NU adalah, mungkinkah NU kembali menjadi poiitik? atau setidaknya mungkinkah NU kembali mempunyai afiliasi formal terhadap salah satu partai politik? jawaban yang paling mendekati kemungkinan sebenarnya bagi pertanyaan-pertanyaan itu, maupun pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan prospek NU, hanya dapat ditemukan melalui pengamatan yang sekaligus menggunakan lensa kultural dan lensa struktural. Dalam perspektif kultural, satu hal yang mesti memperoleh aksentuasi ialah 222 bahwa NU adalah organisasi yang tidak dapat diharapkan konsisten dalam sikap-sikap, keputusan-keputusan, dan pilihan politiknya, selama hal itu tidak berimpit dengan sejumlah ajaran agama yang dianutnya.1 Ajaran agama itu adalah Islam menurut paham Ahlussunnah Waljamaah. Dengan pemahaman ini maka setiap keputusan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan ajaran keagamaan itu baik tentang bentuk organisasi, afiliasi dengan parpol tertentu, dan sebagainya, atau bahkan tentatif. terutama sekali haruslah dipandang sebagai keputusan yang temporer.Artinya, keputusan-keputusan itu diambil karena dipandang paling menguntungkan menurut konteks makro yang ada. Jadi pertimbangannya sangatlah pragmatis, dan sejauh tidak bertentangan dengan kaidah keagamaan yang diyakini dan yang penegakannya dijadikan tujuan terawal NU. Itulah sebabnya, melihat ke masa lain, NU dapat menerima konsep Nasakom sambil pada saat yang sama tetap meneriakkan penentangannya terhadap komunisme. Sikap NU terhadap komunisme adalah sikap politik yang berimpit dengan pandangan keagamaan, dan karenanya NU tetap konsisten menolak ideologi ateistik itu. Akan tetapi mengenai sikap terhadap konsep yang mengharuskannya berada dalam proses politik yang di dalamnya dilibatkan pula orang-orang komunis, persoalannya bukan lagi tentang sikap keagamaan namun semata-mata pertimbangan politik murni. Di sini ada persoalan survival. Sebab jika NU menolak konsep 223 Nasakom, pastilah sebagai parpol ia akan merasakan implikasi negatif penyederhanaan kepartaian yang dilakukan Sukarno. Namun yang lebih penting, NU tentu tidak ingin melihat pentas politik nasional didominasi oleh orangorang komunis yang selamanya dianggaap sebagai lawan, kalau bukan musuh. Karena itu NU memilih untuk melibatkan diri di sana. Dengan pemahaman yang sama dapat dijelaskan bahwa keputusan tentang bentuk organisasi NU bukanlah hal yang berimpit dengan pandangan keagamaan dan oleh sebab itu tidak bisa diharapkan adanya konsistensi yang membuat keputusan itu permanen. Bentuk organisasi bagi NU seperti sering dikemukakan dalam bab-bab terdahulu, tidak pernah dijadikan sebagai tujuan, apalagi tujuan akhir. Ia lebih merupakan alat pencapaian tujuan, di mana secara kontekstual alat yang efektif untuk hari ini belum tentu efektif hari esok, dan seterusnya. Sehingga bisa di pahami bahwa perspektif kultural kemungkinan NU menjadi parpol kembali se lalu ada. Tapi pertanyaan selanjutnya tentu, seberapa besar kemungkinan itu? Di sinilah lensa struktural harus mulai digunakan. Jika diamati, perubahanperubahan penting yang terjadi pada lingkup mikro NU sebagian besar, kalau bukan semuanya, sampai tingkat tertentu sebenarnya adalah resonansi dari perubahan yang terjadi pada konteks makro sistem politik Indonesia. Begitu pula keputusan untuk mengubah bentuk organisasinya kembali menjadi jam'iyah 224 diniyah. Setidaknya ada dua hal penting yang terjadi pada kepolitikan nasional yang mendorong lahirnya keputusan itu. Satu yang akan disebut pertama telah disadari betul oleh semua pemerhati politik Indonesia, bukan hanya NU, oleh karena hal itu sudah berlangsung sejak Orde Baru lahir; sedang yang lain secara mengesankan telah berhasil diantisipasi oleh NU sebelum dijadikan kebijaksanaan resmi. Dua hal itu adalah, pertama, peran partaipartai politik telah diredusir sedemikian rupa sehingga aksesnya terhadap proses pembuatan kebijaksanaan nasional menjadi sangat minim. Sementara jabatan publik yang dapat dijangkau oleh parpol selain Golkar maksimal hanyalah kursi di lembaga legislatif. Sehingga wujud sebagai parpol dipandang bukan lagi sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan bagi NU. Itulah sebabnya, sekalipun awalnya sedikit menolak, NU dapat menerima kebijaksanaan fusi partai yang menempatkannya sebagai salah satu unsur dalam PPP. Apalagi akhirnya rekayasa politik pemerintah hanya memperkenankan adanya tiga OPP di Indonesia. Kedua, yang muncul belakangan, pemerintah membuat kebijakan yang memisahkan parpol dari ormas underbouw-nya, dan hanya memperkenankan parpol memiliki keanggotaan perorangan.Itu berarti partai-partai hasil fusi 1973 tidak lagi relevan berbicara tentang unsur dalam hal, misalnya, distribusi kepemimpinan 225 internalnya maupun distribusi hasil perolehan kursi di DPR. Hal itu hampir sepenuhnya berarti kerugian bagi NU sebagai unsur terbesar dalam PPP. Maka pilihan terbaik bagi NU adalah keluar dari 0PP, dan ini dilakukan beberapa bulan sebelum pemerintah memberlakukan UU No.3 tahun 1985 yang memuat aturan di atas. Jika asumsi di atas ini dapat disetujui, maka persoalan sejauh mana kemungkinan NU kembali menjadi parpol atau secara formal berafiliasi ke parpol tertentu adalah ditentukan oleh dinamika sistem politik Indonesia. Artinya, jika memang garis politik pemerintah yang dimanifestasikan dalam undangundang memperkenankan lahirnya partai politik baru, maka sangat dimungkinkan NU akan tampil kembali sebagai parpol. Tentu saja jika itu didorong oleh faktor determinan lain yakni jika pencapaian tujuan awal tentang penegakan Islam dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah dipandang lebih efektif dengan kapasitas NU sebagai parpol. Ketika semua faktor ini telah ada, muktamar tinggal lagi menjadi forum konstitusional untuk memberikan legitimasi. Akan tetapi masalahnya, mungkinkah terjadi perubahan dalam sistem kepartaian Indonesia, dan kalaupun terjadi perubahan mungkinkah itu mengarah pada sistem yang memperkenankan lahirnya partai baru selain tiga yang telah ada? Sebuah teori tentang sistem kepartaian yang dikemukakan oleh Giovanni Sartori agaknya dapat menjadi landasan bagi prediksi tentang itu. Sartori berpendapat 226 bahwa sistem kepartaian sebenarnya berjalan melalui tujuh tahap perkembangan, dengan gerak alamiah seperti ayunan sebuah pendulum. Jika tidak ada faktor-faktor lain, suatu negara akan mengikuti perkembangan itu.2 Ketujuh tahap perkembangan yang berjalan secara linear itu adalah atomized party system, polarized-pluralism party system, moderate-pluralism party system, two-party system, pre-dominant party system, hegemonic party system, dan single-party system. Definisi masing-masing sistem ini secara singkat adalah sebagai berikut: Atomized party system: terdapat banyak parpol tapi tak satupun yang punya pengaruh terhadap atau hubungan dengan parpol lain. Masing-masing hanya terikat pada satu atau sekelompok orang pemimpin, sehingga hidupmatinya partai tergantung kepada pemimpinnya. Polarized-pluralism party system: terdapat lima atau enam parpol yang secara efektif pada tingkat nasional membentuk struktur yang bipolar, yaitu sebagian parpol itu membentuk koalisi pemerintahan, sementara sisanya membentuk koalisi oposisi. Moderate-pluralism party system: terdapat maksimal lima parpol yang masingmasing berkesempatan sama untuk memerintah (atau membentuk koalisi pemerintahan). Tiap parpol menjadi elemen alternatif bagi pembentukan koalisi dan dalam tahap ini tak satupun partai bisa memperoleh suara mayoritas dalam pemilu. 227 Two-party system: sebenarnya bisa saja ada lebih dari dua parpol, tapi partai ketiga dan seterusnya tidak cukup kuat untuk menantang salah satu atau kedua parpol besar yang ada. Pre-dominant party system: mulai tampak satu parpol yang terusmenerus memenangkan mayoritas suara, sekalipun sudah mulai muncul open-market system yang dengan itu sebenarnya suara-suara pemilih akan terdistribusi merata. Tapi suara itu justru terpusat, sebab mulai muncul kesamaankesamaan kepentingan dalam masyarakat. Hegemonic party system: terdapat kompetisi antar parpol secara formal, tapi hanya ada satu parpol yang menguasai tidak hanya pemilu tapi juga areal pembuatan keputusan. Partai-partai lain berkedudukan sebagai partai kelas dua. Single party system: di sini dikenal close-market system di mana satu partai memonopoli sistem politik yang ada, dengan fungsi utama melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat pemerintah. Perkembangan jumlah parpol, yang antara lain menentukan gerak dari satu bentuk kepartaian ke bentuk kepartaian lain itu, adalah berbanding lurus dengan heterogenitas masyarakat serta berbanding terbalik dengan faktor ideologi nasional. Artinya, semakin heterogen masyarakat dan semakin lemah ideologi nasional maka parpol cenderung banyak. Demikian sebaliknya. Heterogenitas masyarakat yang di228 maksud adalah dari segi kultur dan etnik. Akan tetapi ketika kepentingan kian beragam sehingga diperlukan semakin banyak asosiasi kepentingan dan muncul kondisi cross cutting interest dan cross-cutting affiliation, maka heterogenitas kultur dan etnik itu terabaikan, dan dalam hal ini masyarakat menjadi homogen. Secara alamiah, gerak pendulum akhirnya akan berhenti pada posisi menggantung (vertikal), dan menunjuk pada two-party system. Sebab setelah pendulum sampai pada tahap perkembangan single party system, arus balik modernisasi akan mendorongnya kembali ke tengah. Dalam masyarakat yang kian modern single-party system sangat tidak ideal, oleh karena kesadaran untuk memilih telah semakin besar. Namun bagi Riswanda Imawan, gerak alamiah semacam itu sulit terjadi di Indonesia. Sebab selain kedua faktor ideologi nasional dan heterogenitas masyarakat di atas, di Indonesia terdapat faktor ketiga berupa govenunenfal intervention terhadap parpol yang akan menihilkan arus balik modernisasi yang membawa pendulum ketengah, sehingga ia tertahan pada posisi single-party system.3 Jika Afan Gaffar sebagaimana dikemukakan daiam Bab I di depan mengidentifikasikan sistem kepartaian di Indonesia saat ini sebagai hegemonic party system, maka berdasarkan teori di atas perkembangan selanjutnya adalah menuju single party system. Dan jika asumsi Riswanda bisa diterima, maka sistem ini akan relatif permanen di Indonesia, setidaknya dilihat dari kondisi saat ini. Itu 229 berarti akan segera muncul di Indonesia apa yang oleh Sartori disebut sebagai croos-market system di mana satu partai tunggal memonopoli proses politik yang sedang berlangsung, sementara partai lain kalaupun diijinkan ada akan sangat tidak berarti apa-apa. Dalam kondisi seperti ini, sudah pasti NU tidak akan berpikir untuk merubah diri menjadi partai politik. Keseluruhan diskusi di atas akhirnya mengarah pada satu kesimpulan bahwa adalah sangat kecil kemungkinan NU kembali menjadi partai politik di masa mendatang. Sementara kemungkinan untuk memiliki afiliasi ke parpol masih sedikit ada, itupun kalau afiliasi terhadap partai tunggal yang memonopoli sistem politik dibenarkan. Namun hal ini juga tidak begitu dapat diharapkan. Lebih mungkin NU tetap dalam keadaannya saat ini, dan memaksimalkan pemanfaatan keuntungan yang dapat diambilnya sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang berdiri di atas garis netralitas. Akan tetapi prediksi ini rasanya mesti diikuti oleh pengakuan bahwa realitas politik sudah pasti tidaklah sesederhana kalkulasi di atas kertas. NU dan Muhammadiyah: Konvergensi Baru Setelah terhadap pertanyaan tentang kemungkinan NU kembali menjadi parpol ditawarkan jawaban, maka pertanyaan berikutnya yang juga memiliki relevansi dengan prediksi tentang prospek NU, meskipun sedikit sekali atau bahkan 230 mungkin sama sekali tidak bermuatan politik, adalah bagaimana prospek hubungan NU dengan Muhammadiyah. Hubungan yang selama berpuluh tahun telah menjadi persoalan krusial inilah yang selalu menjadi tema sentral setiap kali baik NU maupun Muhammadiyah, ataupun pengamat-pengamat netral yang berada di luar keduanya, berbicara tentang ukhuwah Islamiyah. Kajian itu sulit, sebenarnya, untuk menemukan bangunan analisis yang kukuh untuk membuat prediksi tentang hubungan NU dan Muhammadiyah. Akan tetapi perkembangan sejak 1984 memberikan gambaran bahwa hubungan itu cenderung membaik. Baik NU ataupun Muhammadiyah, setidaknya pada tingkat elit, tampaknya sama-sama berusaha secara terus-menerus untuk menekan semakin banyak titik-titik kesamaan di mana mereka dapat melakukan konvergensi, sambil secara simultan mencoba menafikan ganjalan berupa dilatasi perbedaanperbedaan yang selama ini telah menciptakan gap antara mereka. Kecenderungan membaiknya hubungan ini boleh jadi adalah karena keduanya kini bergerak dalam dimensi aktifitas yang sama. Jika dahulu perbedaannya sangat jelas ketika NU lebih banyak bergerak di bidang politik praktis dan Muhammadiyah di bidang sosial-keagamaan, maka kini keduanya sama-sama memiliki aksentuasi kegiatan dalam bidang yang disebut terakhir. Dengan dimensi aktifitas yang kongruen itu NU dan Muhammadiyah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing di 231 mana mereka dapat saling mengisi. Dalam pengamatan Nurcholish Madjid, kelemahan Muhammadiyah selama ini adalah keterlepasan dari tradisi intelektual Islam yang menyebabkan terjadi "pemiskinan intelektualisme beragama."4 Ini disebabkan oleh semangat kembali ke Al-Qur'an dan Hadits yang oleh Muhammadiyah serta-merta diimpitkan dengan penolakan terhadap mazhabmazhab, yang sebenarnya adalah kristalisasi khazanah intelektual Islam yang sangat kaya di masa silam. Sedangkan kelemahan NU adalah dalam hal metodologi. NU kalah dalam pemikiran rasional dan dalam mengenali masalah aktual dalam masyarakat. Secara karikaturis Nurcholish menggambarkan bahwa NU memiliki gudang dengan buku yang sangat lengkap, tapi tanpa katalog sehingga bukubuku itu tidak dapat efisien penggunaannya. Sedangkan Muhammadiyah mempunyai katalog yang baik dan sistematis, tapi tidak ada buku. Di sinilah terbuka luas celah bagi kerja sama Muhammadiyah dan NU. Oleh NU sendiri, langkah pendekatan dengan Muhammadiyah segera dimulai setelah digariskannya perwajahan baru dalam muktamarnya yang ke-27. Sesaat setelah terpilih sebagai Rais Aam, KH Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu niatan NU dalam semangat barunya adalah untuk "menggandeng Muhammadiyah". Pernyataan ini tak lama kemudian mulai dicarikan rumusan operasionalnya. Bulan Januari 1985, rapat pertama kepengurusan baru PB NU menggariskan perlunya langkah-langkah untuk mengakrabkan 232 hubungan dengan berbagai organisasi keagamaan Islam yang lain, khususnya dengan kelompok terbesar di luar NU, yaitu Muhammadiyah. Selama ini ada gambaran yang bersekat kaku antara NU dan Muhammadiyah, suatu gambaran stereotip yang berkaitan dengan kultur dan gaya hidup maing-masing. Akibatnya, seolah ada dua sosok yang sangat berbeda. Sebenarnya, dalam perbedaan itu pun terdapat manfaat yang bisa diambil. Perbedaan yang berakar pada respons berlainan terhadap gerakan pembaharuan yang berusaha melakukan purifikasi ajaran Islam itu sesungguhnya telah memberi NU dan Muhammadiyah masing-masing pengalaman yang berbeda-beda, dan dengannya mereka dapat saling melengkapi ketika menghadapi problematika yang sama. Dalam alur logika ini Abdurrahman Wahid berbicara tentang pengembangan pemikiran mengenai "Islam pasca NU dan Muhammadiyah". Yakni suatu cara pandang kosmopolit yang tidak berangkat dari sekat-sekat kelompok ketika melihat bangunan Islam secara utuh. Lalu sebuah gagasan penting, yang meskipun tidak pernah terealisir tapi setidaknya dapat menjadi shock therapy yang efektif, datang dari Yusuf Hasyim. Dalam seminar "Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya" di Surabaya pada bulan Juli 1989, Yusuf berbicara tentang gagasan keaggotaan ganda bagi warga NU dan Muhammadiyah, jika persatuan kedua kelompok ini ingin direalisir secara lebih konkret.6 Sambil mengatakan bahwa jika gagasan itu bisa diterima ia akan menj233 adi orang pertama yang menjadi anggota NU sekaligus anggota Muhammadiyah, Yusuf berpendapat bahwa apabila persatuan NU dan Muhammadiyah dapat terwujud, maka separuh dari persoalan umat Islam Indonesia telah terelesaikan. Selama ini antara NU dan Muhanunadiyah tampaknya hanya dipisahkan oleh masalah administratif dan organisasi semata-mata, yang sebenarnya tidak berkaitan dengan persoalan aqidah. Untuk bisa menyatukan umat Islam, memang tidak perlu membubarkan NU dan Muhammadiyah, sebab yang diperlukan adalah suatu forum bersama yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai problema yang mengganjal laju perjalanan umat Islam. Amien Rais dalam seminar itu menyatakan persetujuannya terhadap usulan Yusuf tersebut. Hanya saja sebelum sampai pada langkah keanggotaan ganda, perlu dipecahkan terlebih dahulu berbagai hambatan yang selama ini menjadi halangan bagi ukhuwah NU dan Muhammadiyah, misalnya perbedaan pandangan keagamaan dalam hal furu'iyah (permasalahan cabang yang bukan permasalahan pokok). Secara teoritis kata Amien, masalah-masalah furu'iyah memang tidak usah menjadi penghambat, namun dalam realisasi praktisnya masih sering menjadi sekat yang amat kaku terutama di kalangan bawah pada masing-masing warga.7 Tapi rupanya bagi kelompok moderat yang kini dominan dalam tubuh NU, gagasan keanggotaan ganda itu terlalu berlebihan. Mereka seperti biasanya tidak ingin NU berjalan dari satu titik eks234 trem ke titik ekstrem lainnya: divergensi yang parah antara NU dan Muhammadiyah tidak perlu diatasi dengan kedekatan yang nyaris tanpa batas. Musthafa Zuhad, misalnya, menilai bahwa gagasan keanggotaan ganda itu tidak realistis untuk dilaksanakan, lepas dari persoalan perlu atau tidak perlu.8 Sementara dari Abdurrahman Wahid jelas tidak akan bisa diperoleh persetujuan terhadap gagasan itu. Sekali tempo ia pernah mengkritik usaha untuk menyusun kepemimpinan tunggal bagi umat Islam, baik dalam bentuk langsung maupun tidak, yang dinilainya selalu membawa implikasi negatif bagi umat. Implikasi negatif yang dimaksudkan boleh jadi adalah semacam legalisasi konflik, perebutan hegemoni, dan seterusnya, seperti yang dicontohkan oleh kasus Masyumi ketika ia dimaksudkan sebagai partai tunggal bagi umat Islam Indonesia. Menurut Abdurrahman Wahid, yang diperlukan oleh umat adalah "upaya yang terus-menerus untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam."9 Itu berarti, NU dan Muhammadiyah tidak perlu sampai berpikiran tentang kondisi organisasional yang cross-cutted, dan lebih baik mencari pola kerjasama dengan tetap mengindahkan, tanpa membesar-besarkan, keragaman yang ada. Dalam sebuah seminar nasional "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman" di Yogyakarta pada Januari 1993 Abdurrahman memberikan gambaran alternatif pola kerja sama yang dapat digunakan oleh NU dan Muhammadiyah.10 Ia melihat bahwa baik dalam 235 Muhammadiyah maupun NU selalu ada polarisasi, kali ini dalam konotasi positif, yang seringkali terjadi kekembaran antara polarisasi di NU dengan polarisasi di Muhammadiyah. Misalnya pandangan tentang hubungan antara agama dan negara yang secara umum memiliki dua cabang. Pertama, ada yang beranggapan bahwa Islam harus diperankan secara eksplisit dalam kehidupan bernegara. Berarti sebagai kekuatan formal Islam harus lahir, untuk selanjutnya dikembangkan dalam pemerintahan. Yang menjadi motif dalam hal ini adalah pelaksanaan syari'ah sebagai undang-undang. Jadi pendekatan yang digunakan adalah legal formalistik, di mana Islam harus diberlakukan sebagai hukum karena ia memang adalah agama hukum. Kedua, ada anggapan bahwa hukum itu adalah fiqh yang merupakan bagian dari syari'ah. Karena itu syari'ah tidak boleh direduksi menjadi hukum sebab ia adalah way of life yang memiliki sisi formal dan sisi nonformal (moral, etika, dan lain-iain). Sehingga walaupun tidak diundangundangkan, ajaran Islam akan dilaksanakan oleh pengikutnya melalui syari'ah dalam arti totalitas tersebut, bukan dalam arti legalisasi ajaran Islam dalam undang-undang negara. Polarisai semacam itu selalu ada dalam NU dan Muhammadiyah. Dengan demikian dalam NU ada dua pandangan, dan dalam Muhammadiyah juga ada dua pandangan yang harus melakukan konvergensi adalah pandangan A di NU dengan pandangan A di Muhammadiyah, serta pandangan B di NU dengan pandangan B di Muhammadiyah. 236 Jadi poros kerja samanya adalah A-A dan B-B, dan karenanya tidak perlu dan memang tidak mungkin terjadi entitas antara NU dan Muhammadiyah. Dialognya pun menjadi bagaimana pandangan A dengan A dan B dengan B bisa sering bertemu.11 ________________________________________________ ________________________________________________________ _____________ 1. Lihat uraian selengkapnya tentang hal ini dalam Abdurrahman Wahid, "Pendekatan NU Selalu Kultural," dalam Pelifa, 10 Nopember 19K4. 2. Teori Sartori ini adalah sebagaimana yang diikhtisarkan oleh Dr Riswanda Imawan, MA dalam kuliah "Sistem Kepartaian dan Pemilu di Indonesia" di FISIPOI,-UGM, tanggal 24 Pebruari 1992. Pembahasan selanjutnya mengacu ke sini. 3. Governmental intervention terhadap partai politik muncul di Indonesia menurut Riswandha adalah karena sekaligus dua hal: pembangunan ekonomi yang bertitik berat pada model-model teknokratik dan peminjaman modal dari luar negeri yang menuntut jaminan stabilitas politik dalam negeri serta kondisi partai-partai politik yang sedemikian rupa tergantung kepada pemerintah. 4. Lihat Tempo, 25 Nopember 1989, h. 30. 6. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah. Prospek Ukhuwah Dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 187. 7. Ibid., h. 188. 8. Wawancara Penulis dengan Ir. H Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen PB NU, di Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994. 9. Lihat Bab II, halaman 90, catatan kaki no. 24. 10. Makalah-makalah dan diskusi-diskusi dalam seminar yang menjadi momentum tersendiri bagi hubungan Muhammadiyah dan NU ini, yang menampilkan 17 orang tokoh dan pakar dari kalangan NU dan Muhammadiyah serta dari kalangan yang dianggap sebagai pengamat netral (sayangnya tidak menyertakan pula pengamat dari kalangan nonmuslim), telah didokumentasikan dalam sebuah buku. Lihat Yunahar Ilyas, et al., (eds.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993). 11. Lihat Ibid., h. 116-121, passim. Sebenarnya, ketika Yusuf Hasyim berbicara bahwa permasalahan NU dan Muhammadiyah hanyalah pada hal administratif dan organisasi semata-mata, ia telah terlalu menyederhanakan persoalan. Kalau saja masalahnya memang demikian 5. Lihat Tempo, 22 Juni 1985. 237 238 sederhana, maka ketika NU kembali ke wujud sebagai organisasi sosial-keagamaan, praktis hilanglah penyebab kesenjangan antara kedua sayap utama umat Islam Indonesia itu. Berarti pula, bukan hanya gagasan keanggotaan ganda, bahkan pemikiran untuk peleburan kedua organisasi pun cukup relevan. Akan tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah mencakup pula perbedaan kultural, karena basis massanya yang berbeda. Muhammadiyah mewakili kultur masyarakat kota, dan NU mewakili kultur masyarakat pedesaan. Solusi bagi kesenjangan akibat perbedaan kultural itu sudah pasti bukan peleburan, namun toleransi. Dan ini berpulang pada kedewasaan berpikir dan bersikap masing-masing. Lalu perbedaan lain, yang jauh lebih signifikan daripada perbedaan furu'iyah yang sebenarnya tidak cukup berarti untuk menyebabkan disharmoni, adalah berkaitan dengan metode pengambilan keputusan hukum Islam. Muhammadiyah dengan ijtihadnya lebih suka mencari rujukan langsung ke AlQur'an dan Hadits untuk itu. Sementara bagi NU, ijtihad hanya boleh dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid yang tidak setiap orang bisa sampai ke situ meski ia adalah ulama sekalipun. Oleh karena itu para ulama NU lebih suka merujuk pada pendapat ulama terdahulu yang tercantum dalam kitab-kitab yang diakui sah sebagai referensi dalam ilmu fiqh mazhab 239 Syafi'i ketika memutuskan hukum atas suatu kasus. Perbedaan itulah yang menimbulkan kelemahan pada masing-masing kelompok sebagaimana dalam penilaian Nurcholish Madjid yang dikutip di muka. Tidak jarang NU gagal membuat keputusan atas kasus tertentu hanya karena tidak ada satupun kitab rujukan yang mengatur tentang hal itu, sementara mereka kurang berani untuk melangkahi para mujtahid dengan merujuk langsung ke Al-Qur'an dan Hadits. Jika kegagalan membuat keputusan hukum ini terjadi, maka kasus itu lalu diputuskan berada dalam status mauquf (ditunda pemutusannya). Masalahnya, NU tentu tidak bisa terus-menerus menyikapi begitu banyak masalah aktual hanya dengan memberinya status mauquf, sehingga misalnya karena hukum bunga bank ditetapkan mauquf maka BPR Nusumma akhirnya semata-mata bejalan di atas legitimasi fiqh bahwa itu adalah pilihan yang lebih baik di antara dua pilihan yang sama-sama buruk: menerapkan bunga bank atau membiarkan warga dalam jerat praktek rentenir. Hal ini tentu tidak lagi memadai untuk mengantisipasi dinamika zaman. Oleh karena itu dalam Munas Alim Ulama NU di Bandarlampung, Januari 1992, diputuskan untuk membuka kembali kemungkinan dilakukannya istinbath.12 Secara leksikal, istinbath mempunyai makna yang kurang lebih sama dengan ijtihad. Keputusan ini merupakan sebuah lompatan besar, di mana NU memulai tradisi baru penggunaan metode kontekstual yang 240 disebut manhaji. Metode ini berpedoman pada metode pemutusan hukum (manhaj yang digunakan para mujtahid yang menjadi referensi NU. Artinya, dengan metode itu para ulama NU dimungkinkan mengambil keputusan hukum dengan merujuk langsung ke Al-Qur'an dan Hadits. Tentu saja ini bukan persoalan sepele. Karena itu NU tetap membuat batasan bahwa metode manhaji hanya boleh dilakukan secara kolektif, tidak boleh perorangan, serta mengikutsertakan para pakar yang berkompeten dengan kasus yang dihadapi. Di samping itu, setiap keputusan hukum harus mengandung diktum yang mudah dipahami oleh orang awam, serta dilengkapi analisis masalah yang menerangkan rincian persoalan dan pemecahannya dengan bobot ilmiah yang memadai. Selanjutnya, keputusan itu harus disertai pula dengan rumusan tindak lanjut dan jalan keluarnya. Batasan lain, pembakuan metode ini tidak berarti ditinggalkannya metode qauli atau tekstual yang selama ini digunakan NU. Itu berarti NU menggunakan cara pengambilan keputusan hukum yang merupakan sintesa metode tekstual dengan metode kontekstual, atau metode qauli dengan manhaji. Prosedur pengambilan keputusan hukum itu digambarkan secara ringkas dan sederhana oleh KH Ma'ruf Amin (Katib Syuriyah NU) meliputi empat tahap.13 Pertama, dilihat apakah ada pendapat ulama terdahulu mengenai kasus yang dibahas. Ini disebut qaul. Kalau ada, dan jumlah qaul itu hanya satu, 241 maka pendapat satu-satunya itu yang dijadikan keputusan. Kedua, bila jumlah qaul dalam kasus itu lebih dari satu, dan ada perbedaan pendapat, maka dilakukan kompromi. Jika terpaksa, dilakukan apa yang disebut taqrir ijma'i; yaitu upaya secara kolektif dalam menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa pendapat. Di sini yang diutamakan adalah pendapat dua ulama mazhab Syafii yang terkenal, yaitu Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Pilihan dalam prioritas selanjutnya adalah pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama. Ketiga, bila tidak ada qaul mengenai kasus yang sedang dibahas, dilakukanlah ilhaq atau qiyas, yaitu menganalogikan masalah itu dengan masalah serupa yang telah terjawab dalam salah satu kitab. Dan keempat, kalau ilhaq atau qiyas itu tidak dapat dilakukan, barulah digunakan metode istinbath ijma'i, yaitu secara kolektif, dengan merujuk langsung pada Al-Qur'an dan Hadits, menetapkan hukum di luar pendapat-pendapat yang sudah ada. Dengan dimulainya tradisi baru itu tidak bisa tidak NU telah melakukan reduksi dalam prosentase yang cukup besar terhadap kesenjangan antara ia dengan Muhammadiyah. Sehingga secara sederhana dapat diprediksikan bahwa sangat boleh jadi di masa-masa mendatang akan semakin banyak penemuan titik-titik kesamaan yang sedikit demi sedikit akan meminimalkan atau bahkan akhirnya mengeliminir disharmoni hubungan kedua pihak. Dan akhirnya, dorongan ke arah konvergensi antara NU dan Muhammadiyah semakin diperkuat oleh faktor eksternal berupa berkembangnya paham Syi'ah di Indonesia. Hal ini sering disebut-sebut sebagai imbas suksesnya revolusi di Iran saat Khomeini 242 berhasil menjatuhkan Pahlevi. Akibatnya, paham Syi'ah yang menyemangati revolusi tersebut berhasil mengembangkan daya tariknya di kalangan masyarakat Islam seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sejak dekade delapanpuluhan, buku-buku karya ulama dan cendekiawan Syi'ah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga pemikiran-pemikiran mereka banyak mempengaruhi generasi baru umat Islam Indonesia, terutama di kalangan terpelajar. Persoalan ini pastilah memiliki implikasi tersendiri bagi hubungan NU dan Muhammadiyah. Apapun perbedaan yang ada di antara mereka, keduanya tetaplah sama-sama penganut paham Sunni. Dan masuknya paham Syi'ah akan memberi mereka sebuah common problem. Tentu saja, kondisi ini hanya akan bermakna positif, selama hal itu tidak membawa ekses munculnya kesenjangan baru antara kelompok Sunni dan kelompok Syiah dalam tubuh umat Islam Indonesia. Hendak Kemana NU? Sekalipun pertanyan di atas memaknakan perkiraan ke depan, akan tetapi jelas di dalamnya secara substitutif terangkum satu pertanyaan: Apa yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid terhadap NU? Dengan lebih dahulu menjawab pertanyaan ini, outline bagi gambaran prediktif hendak dibawa ke mana NU oleh Abdurrahman Wahid akan segera terbentuk. Apa yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid? Pertanyaan retoris bernada sinisme ini kerap dilontarkan oleh para pengritiknya sambil mereka menilai bahwa ia lebih banyak berbicara daripada berbuat. Boleh jadi hal itu tidak terlalu salah, sebab selama dua periode kepemimpinannya, Abdurrahman Wahid memang belum terlalu banyak menghasilkan sesuatu yang tangible, yang antara lain sebenarnya disebabkan karena tidak banyak pembantu-pembantunya yang mampu mengoperasionalkan konsep-konsepnya ke dalam tataran aksi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kondisi NU semasih dipimpin oleh kalangan politisi, tuduhan ini terasa kurang relevan. Dan kalau diamati dengan jujur, akan terlibat bahwa Abdurrahman Wahid telah banyak melakukan sesuatu yang esen243 sial bagi NU. Dialah yag telah mendorong NU untuk melakukan lompatan-lompatan transformatif yang cukup berarti. Pada sisi ia jelas tidak tertandingi oleh pemimpin-pemimpin NU sebelumnya, pasca KH Wahid Hasyim. Sebagian dari transformasi yang dilakukannya telah sedikit membuahkan hasil yang dapat terlihat, seperti kerjasama dengan pengusaha non-pri yang menghasilkan BPR-BPR Nusuma, namun sebagian besar lainnya lebih bersifat transformasi karakter NU yang karenanya tidak dapat membuahkan hasil yang begitu saja kasat mata. Satu yang terpenting adalah bahwa Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan NU dari jerat eksklusifitas politiknya sendiri yang sektarian dalam segala konotasinya. Hal itu bukan sekadar sesuatu yang kebetulan untuk menyebutnya semata-mata "manfaat positif khittah", tapi lebih merupakan bagian dari grand planning yang disusun bagi NU.14 Runtuhnya sekat politik yang sempit itu telah membawa NU pada cakrawala yang lebih luas untuk lebih mendahulukan penyelesaian persoalan bersama yang dihadapi seluruh bangsa daripada sekadar berkutat dengan isu-isu yang spesifik Islam saja, meskipun yang disebut belakangan ini tentu tidak bisa diabaikan pula. Dengan menyingkirkan cara pandang bahwa suatu masalah tidak perlu turut dipikirkan NU hanya karena masalah itu tidak secara denotatif "khas Islam" --tentang proyek industrialisasi Madura dan PLTN Muria misalnya-- Abdurrahman Wahid telah sepenuhnya meletakkan NU secara integratif dalam wadah bangsa,15 sebagaimana karakteristik yang ditunjukkannya di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari. Hal itu selanjutnya menghapuskan NU dari file "oposan" dalam format politik nasional. Selain itu, Abdurrahman Wahid telah memperbaharui runusan hubungan antara tradisionalitas yang dipegang NU dengan modernitas yang berada di hadapannya. Dalam momentum Muktamar Siotubondo ia berucap bahwa NU tidak pernah akan melepaskan jati dirinya. Ia menggambarkan cita-citanya bagi NU: "Dalam intinya, saya ingin NU tetap yang tradisional, tapi bisa memasakinikan dirinya sendiri."16 Dalam bahasa yang lebih ringkas ia sedang merancang NU yang tradisional-kontekstual· Dengan demikian yang dibutuhkan adalah kemampuan antisipatif yang optimal, dan di sinilah Abdurrahman Wahid mengkontribusir perannya. Ia selama ini telah merubah aktualisasi kemampuan antisipatif yang pada dasarnya sudah dimiliki NU dari sikap reaktif menjadi 244 sikap responsif. Keduanya tentu berbeda, sebab sikap reakfif mengesankan perilaku yang insidental dan mencakup sesuatu hal secara parsial, sementara sikap responsif lebih didasari pertimbangan yang matang dengan konsep yang jelas, meliputi hal yang lebih luas dan berjangka panjang. Langkah NU untuk setahap demi setahap menampilkan diri sebagai kekuatan kultural yang melakukan transformasi sosial tanpa merombak strukturnya, adalah contoh terpenting respons positif NU terhadap ambivalensi kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap umat Islam yang menjadikan golongan ini tetap dibutuhkan sebagai kekuatan politik pada saat mereka ditabukan sebagai gerakan politik formal.l7 Dan yang tak kalah pentingnya, Abdurrahman Wahid telah merubah secara mendasar perlakuan NU terhadap warganya. Jika dahulu warga diperlakukan lebih sebagai obyek, maka di tangannya, NU mulai memandang warganya sebagai subyek. Semasa menjadi parpol maupun ketika berfusi dalam PPP, NU seringkali hanya memperlakukan warganya sebagai basis politik semata-mata. Sementara kepentingan umat ini, yang sedemikian rupa paternalistiknya sehingga tidak memandang perlakuan NU yang pincang terhadap mereka itu sebagai suatu yang perlu dipersoalkan, lebih banyak terabaikan. Lalu, hanya butuh waktu empat bulan dari Muktamar 1984 bagi munculnya bukti bahwa di bawah kendali Abdurrahman Wahid NU akan merubah caranya dalam meletakkan warga pada proporsi yang semestinya, ketika di Jakarta dibentuk Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam). Senada dengan LKPSM yang didirikan di Yogyakarta setahun kemudian, lajnah ini telah melakukan serangkaian upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan warga NU untuk mengejar ketertinggalan kualitiatif mereka dari warga negara lainnya, yang selama ini seolah menjadi citra abadi para nahdhiyyin. Jadi, setidaknya dalam ketiga hal mendasar di atas Abdurrahman Wahid telah membawa NU kepada perwajahan baru. Pertama, tumbuhnya karakter inklusifistik NU sambil pada saat yang sama meneguhkan kembali integralisasinya dalam kancah bangsa. Kedua, Aktualisasi kemampuan antisipatif NU ke dalam sikap responsif yang lebih bermakna positif daripada sikap reaktif NU sebelumnya. Dan ketiga, perubahan cara pandang untuk memperlakukan warga sebagai subyek dan tidak hanya obyek. 245 Dan sebagaimana lazimnya bahwa setiap proses selalu membutuhkan waktu, maka begitu pulalah ketiga macam proses transformatif di atas. Kemudian karena sifatnya yang mencakup hal-hal mendasar, waktu sepuluh tahun yang telah berjalan boleh jadi hanya bisa dipandang sebagai tahapan awal bagi proses tersebut, dan karena itu, di sini dapat diajukan hipotesis bahwa: Abdurrahman Wahid sedang membawa NU ke arah pematangan ketiga perwatakan di atas. Lalu tentang gagasan Abdurrahman mengenai perubahan struktural dalam tubuh NU di mana Tanfidziyah difungsikan sebagai sebuah kesekretariatan yang semata-mata melaksanakan kebijakan Syuriyah, serta dihapusnya jabatan ketua umum struktur itu, menjadi menarik perhatian, apalagi hal itu dilontarkan menjelang Muktamar 1994. Hal itu memunculkan berbagai spekulasi, bahwa itu merupakan isyarat Abdurrahman bahwa ia hendak mengundurkan diri dari Tanfidziyah. Apalagi ia pernah mengatakan: "saya tidak tertarik lagi menangani masalah-masalah administratif."18 Persoalannya tentu adalah "posisi apa yang sedang dipersiapkan Abdurrahman Wahid bagi dirinya dalam NU?" dan bukan "apakah Abdurrahman Wahid akan keluar dari struktur kewenangan NU?". Sebab siapapun tahu bahwa kehadiran tokoh ini di inner circle NU adalah sebuah conditio sie qua non. Apalagi sudah terlanjur ada citra bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah Abdurrahman Wahid. Dan jika restrukturisasi yang direncanakan itu dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di NU, maka mestinya hal itu dapat diletakkan pada alur tujuan mengefektifkan otoritas Syuriyah dan memfaktualkan Rais Aam sebagai pimpinan tertinggi. Lalu berangkat dari dua asumsi bahwa, pertama, Abdurrahman lebih dari sekadar primus inferpares di NU, dan kedua, kesulitan teewujudnya Syuriyah yang berotoritas selama ini antara lain adalah karena keberadaan dia di Tanfidziyah, maka kiranya dapat dibuat praduga bahwa sedang ada usaha dalam NU untuk mewujudkan Syuriyah dengan wewenang yang efektif di bawah pimpinan Rais Aam KH Abdurrahman Wahid. Namun spekulasi ini pupus, ketika gagasan itu tidak diagendakan dalam Muktamar Cipasung Desember 1994, dan Abdurrahman Wahid sendiri akhirnya bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Umum Tanfidziyah untuk yang ketigakalinya. 246 BAB VII POSKRIPSI ________________________________________________________ __________ ________________________________________________________ __________ 12. Lihat Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 30-31. 13. Ibid., h. 31. 14. Menjelang Pemilu 1987 Abdurrahman Wahid menegaskan tujuannya ini, bahwa ia ingin NU meningalkan masa lalu yang sektarian dan bersisi untuk Islam saja, sementara sisi nasionalnya kurang dikembangkan "Warga NU harus memandang lebih luas, harus menjadi warga negara yang dinamis." Lihat Suara Pembaruan, 1 April 1987. 15. Cf: Seorang pengamat dari FISIP Unair, Dr Ramlan Surbakti, memberikan penilaiannya bahwa "Gus Dur inilah yang membawa NU kembali ke arus bangsa." Lihat wawancara dengannya dalam Surabaya Post, 30 Januari 1994. 16. Lihat Tempo, 15 Desember 1994. 17. Mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid tentang ambivalensi ini, lihat lagi bab III di muka, h. 178f. 18. Lihat Aula, Juli 1993, h. 14. 247 NU: Proses Metamorfosis Jangka Panjang "Kembali ke Khittah 1926" adalah sebuah titik kulminasi dalam sejarah NU, yang nilainya barangkali hanya bisa ditandingi oleh peristiwa kelahirannya dahulu. Sementara kontroversinya jelas tidak tertandingi oleh titik sejarah NU manapun. Sedemikian rupa, sehingga kontradiksi dalam tubuh organisasi ini selalu dibangun atas dasar semangat Khittah 1926. Itulah sebabnya ketika semua tokoh NU merujuk pada khittah, mereka bisa saja mempunyai sikap yang berbeda, bahkan terkadang saling bertentangan, terhadap suatu hal tertentu. Ini bisa sekaligus bermakna positif maupun negatif. Positif, sejauh perbedaan itu menjamin kontinyuitas dinamika NU. Dan negatif karena bisa saja orang luar menilai NU tidak pernah benar-benar memiliki persamaan visi dan persepsi. Kendati demikian, khittah tidak diragukan lagi telah mendorong NU untuk melakukan serangkaian transformasi, yang sebagian telah menunjukkan hasil yang signifikan, sementara sebagian lainnya masih berjalan tersendat-sendat. Pada lingkup internal, transformasi diarahkan pada tujuan untuk menemukan pola distribusi kewenangan yang tepat untuk menjamin kembalinya supremasi ulama dalam NU sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Proses ini hmgga sekarang belum juga mencapai hasil yang berarti, kecuali gambaran yang samar-samar tentang Syuriyah yang lebih berotoritas serta Tanfidziyah dengan otonomi yang terkendali. Akan tetapi bagaimana otoritas Syuriyah itu diwujudkan dan bagaimana otonomi Tanfidziyah dikendalikan, masih belum ditemukan rumusan yang tepat, meskipun berbagai solusi alternafif telah ditawarkan dan diujicobakan. Kegagalan menemukan runusan Yang tepat itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, upaya pengembalian supremasi dan otoritas ulama tidak pernah benar-benar dapat diakselerasi penuh, oleh karena adanya kekhawatiran bahwa ekses upaya itu akan berbenturan dengan kehendak akan demokratisasi dalam tubuh NU. Kedua, berkaitan dengan adanya kelemahan-kelemahan di ka248 langan ulama NU sendiri. Sedikit sekali di antara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas untuk menegakkan supremasi ulama. Kebanyakan mereka masih terperangkap dalam pemahaman yang tekstual terhadap kitab-kitab klasik acuan NU, sehingga sulit untuk bergerak lincah mengikuti dinamika jaman tanpa berkesan reaktif dan oportunistis. Kelangkaan ulama yang kapabel ini kian terasa sepeninggal KH Achmad Siddiq di tahun 1991. Barangkali KH Sahal Mahfudz cukup mendekati kualitas KH Achmad, tapi semuanya menjadi tidak berarti ketika ia berhadapan dengan KH Abdurrahman Wahid. Begitu pula KH ilyas Ruchiyat, meskipun sebenarnya cukup kapabel, namun tokoh ini terlalu lowprofile serta lebih banyak menahan diri dan menghindari manuver-manuver yang mengejutkan. Dan ketiga, pengembalian supremasi ulama, yang semestinya berarti pembesaran otoritas Syuriyah, haruslah berimplikasikan pengurangan otonomi Tanfidziyah secara cukup besar. Dan persoalan ini tidak pernah cukup sederhana sehingga dapat diselesaikan dengan segera. Masalahnya adalah karena otonomi Tanfidziyah telah mengalami pemekaran selama kurun waktu yang cukup lama, sehingga tidak mudah untuk begitu saja mengecilkannya kembali. Terlebih lagi, Tanfidziyah yang merupakan pelaksana sehari-hari roda organisasi NU selalu lebih awal bersinggungan dengan persoalan-persoalan pada konteks eksternal, sehingga oleh karenanya mereka memiliki pemahaman yang lebih baik daripada Syuriyah tentang persoalan eksternal itu. Dan akhirnya, pengurangan otonomi Tanfidziyah itu kian dipersulit oleh keberadaan Abdurrahman Wahid di sana. Ia bukan saja mewarisi "darah biru NU", namun juga kapasitasnya yang multidimensional telah menjadikan tokoh ini nyaris tak tersaingi dalam bursa hegemoni NU. Dengan ini agaknya mulai dapat dibuat simplifikasi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam buku ini: Pertama, bagaimanakah dinamika NU dalam implementasi keputusasn untuk kembali ke Khittah 1926? Ke arah manakah dinamika itu berjalan? Dalam lingkup internal, inti dinamika NU adalah transformasi ke arah pengembalian supremasi ulama yang, seperti disebutkan di atas, hingga saat ini belum juga berhasil menemukan formula terbaiknya. Selanjutnya pada lingkup eksternal, dinamika NU berkait249 an dengan reorientasi dari kuantitas menuju kualitas politik. Dan ini akan sekaligus menjawab pertanyaan kedua: Bagaimanakah model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi di atas? Tentang reorientasi politik NU, rupa-rupanya para pengamat mempunyai penilaian yang berbeda-beda. Sebagian menilai bahwa NU pasca khittah adalah NU yang sama sekali tidak berpolitik, sementara sebagian yang lainnya meyakini bahwa hanya aktifitas politik praktis yang kini ditinggalkan NU, dan sisanya beranggapan bahwa NU pasca khittah masih membingungkan: berpolitik atau tidak, dan bagaimana. Kajian ini hendak menyimpulkan bahwa kepolitikan NU pasca khittah sebenarnya telah cukup jelas. Sederhana saja, setelah kembali ke khittah, NU sebagai organisasi melepaskan concernnya terhadap politik praktis dan kelembagaan yang didasarkan pada kalkulasi kuantitatif. Persoalan itu diserahkan sepenuhnya kepada warga secara individual, dan sebagai lembaga, NU berpolitik dalam arti yang lebih luas di dalam konteks sebuah komitmen: bagaimana NU bisa menjadi kekuatan komplementer yang mampu memberikan kontribusi yang optimal terhadap usaha peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian NU memandang bahwa keterkaitan organisasional dengan orsospol manapun menjadi tidak lagi relevan, kalau bukan malah membawa kerugian. Karena itulah hubungan kelembagaanya dengan PPP lalu dilepaskan, dan NU mencoba menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Secara mengesankan hal ini ternyata selaras dengan rekayasa politik Orde Baru. Sudah barang tentu "memberikan kontribusi yang optimal" juga berarti NU berkehendak untuk memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal. Apalagi jika disetujui bahwa sebagai kelompok kepentingan NU haruslah mampu mengartikulasikan kepentingan warganya. Akses terhadap pembuatan kebijaksanaan publik ini ditempuh NU melalui mekanisme informal dengan menggunakan lobbying sebagai teknik utamanya. "Beyond politics", "politik tanpa panggung", "politik di balik layar", "politik makrifat", atau apapun namanya, yang pasti mekanisme formal tidak lagi menjadi bagian dari kepolitikan NU. Hanya saja, kepolitikan semacam itu menyebabkan efektifitas pengaruh NU terhadap proses politik yang sedang berjalan menjadi sulit diukur. Yang jelas, NU teryata ba250 nyak memanfaatkan peran warganya untuk tetap hadir dalam proses politik lokal maupun nasional secara tidak resmi. Itulah sebabnya, meskipun menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif, namun temyata NU masih terus memetik manfaat dari kehadiran serta aktifitas politik warganya dalam struktur poiitik. Tentang aktifitas politik praktis warga NU ini, orang rupanya masih kerap mempersoalkannya. Bahwa NU menyerahkan politik sebagai hak individual warganya, dengan mudah dapat dipahami orang. Tapi bukankah itu juga berarti warga NU tidak dibenarkkan lagi melakukan tindakan politik praktis apa pun dengan diatasnamakan NU? Kenyataannya, tidak pernah benar-benar dapat ditiadakan keterkaitan antara manuver-manuver politik tokoh-tokoh NU dengan NU sendiri. Sebut saja usaha-usaha tokoh NU untuk merombak struktur kepemimpinan PPP, atau ba gaimana mereka terwakili dalam legislatif entah melalui ketiga OPP maupun sebagai utusan golongan --semua ini dimungkinkan karena mereka adalah "orang NU", yang dengan demikian berbuat atas nama NU. Tentu sulit disangkal bahwa NU jadi terasa hipokrit dalam hal ini. Akan tetapi penilaian ini sebenarnya tidaklah tepat. Hipokrisi terkesan ada dalam kepolitikan NU tidak lain adalah karena "NU" memiliki dua dimensi, di mana seringkali terjadi kesalahan: orang menilai penampakan NU dalam salah satu dimensi dengan ukuran yang seharusnya berlaku untuk dimensi lainnya. Kedua dimensi itu iaiah apa yang dalam bahasa NU disebut sebagai jam'iyah dan jamaah. Jadi, "NU" bisa suatu ketika berarti "jam'iyah NU" dan pada ketika yang lain berarti "jamaah NU". Dan inilah refute explanalion terhadap tuduhan hipokrisi NU. Dalam Bab II disebutkan bahwa kelahiran NU di tahun 1926 sebenarnya lebih dari sekadar penegasan formal terhadap mekanisme informal suatu komunitas yang berada dalam suatu subkultur bernama Islam menurut kaidah ahlussunnah wal jamaah. Jauh sebelum dimensi sebagai jam'iyah tampak, "NU" telah terlebih dahulu muncul dalam dimensi sebagai jamaah. Kedua dimensi ini menjadikan NU sangat unik. Dalam dimensi sebagai jam'iyah, NU adalah seperti lazimnya suatu organisasi formal di mana saat ini ia memiliki cara pandang yang sangat jelas untuk tidak melakukan aktifitas politik praktis secara kelembagaan. Kalaupun berpolitik, hal itu dilakukan dalam bingkai yang sangat lebar sebagai kekuatan sosial yang komple251 menter dalam kehidupan kenegaraan. Mengacu pada dimensi ini, warga dan tokoh NU tidaklah dibenarkan untuk menamakan dirinya orang NU", atau untuk dinamakan demikian. saat berpolitik praktis. Akan tetapi dalam dimensi sebagai jamaah, NU tidaklah dicover dalam suatu kerangka formal melainkan dalam sebuah nilai kultural yang dianutnya. Berdasarkan dimensi kedua ini, sebenarnya terdapat suatu "komunitas NU" yang tidak mesti selalu ter kait dengan NU sebagai organisasi resmi. Mereka adalah suatu kelompok masyarakat kultural yang diikat oleh satu tradisi keagama an yang sama, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama yang dalam banyak hal menjadi panutan mereka. Tokoh-tokoh ulama tersebut tentu bisa, bahkan terkadang harus, berbuat atas nama komunitas kultural yang mereka pimpin, tanpa terkait dengan organisasi formal NU. Dengan kata lain, tokoh-tokoh NU tetap dibenarkan melakukan aktifitas kepolitikan praktis atas nama jamaah NU, meski pada saat yang sama NU menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak berhubungan dengan organisasinya dan semata-mata tindakan individual tokohtokoh yang bersangkutan. Dimungkinkannya warga dan tokoh NU untuk berbuat di luar bingkai kelembagaan formalnya, namun secara kultural tetap menamakan dirinya orang NU" memang secara skeptis bisa tampak sebagai hipokrisi politik. Itulah persoalannya. Selanjutnya, bagi jam'iyah NU, ditinggalkannya aktifitas politik praktis yang selama berpuluh tahun nyaris menyita habis seluruh perhatiannya, telah membuka kemungkinan dirambahnya berbagai aktifitas baru dalam banyak bidang sambil secara simultan melaku kan perbaikan terhadap bidang-bidang garapan lamanya yang sempat agak terbengkalai. Sudah barang tentu hasil yang dicapai NU dalam bidang-bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia sampai sejauh ini masih belum memuaskan, apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah misalnya. Namun sebagai langkah awal, berapa pun kecilnya hasil yang dicapai tentu bukannya tidak bernilai. Apalagi jika diperhatikan bahwa NU sampai tingkat tertentu telah melakukan terobosan dengan menempuh strategi baru yang menghubungkan potensi umatnya dengan kekuatan strategis yang sebelumya tidak pernah dilirik oleh ormas Islam lain termasuk Muhammadiyah. Dari terobosan ini antara iain lahirlah BPR-BPR Nusumma. Langkah serupa juga dila252 kukan NU saat ia mengembangkan jaringan hubungan yang luas dengan LSM-LSM, berbagai kelompok masyarakat di luar Islam, serta kedekatan politik dengan militer yang tak kurang telah memberi NU keuntungan yang cukup berarti. Terobosan lain dilakukan dalam bidang syari'ah ketika NU melakukan switch dari pandangan bahwa pemikiran keagamaan diterima sebagai konsumsi hasil menuju pandangan yang menilainya sebagai suatu proses keilmuan. Ini adalah sebuah perubahan besar setidaknya dilihat dari sudut pandang NU. Jika sebelumnya ijtihad dipandang telah ditutup oleh kristalisasi pemikiran ulama-ulama terdahulu dalam mazhab-mazhab, maka sejak 1992, akibat meningkatnya kompleksitas problema sosial, ulama NU mulai menerima penggunaan metode kontekstual manhaji untuk melengkapi metode tekstual dalam memahami kitabkitab klasik dan untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Dilakukannya perubahan mendasar yang telah menambah titik konvergensi NU dengan Muhammadiyah ini antara lain dimungkinkan karena waktu dan pikiran yang dimiliki NU tidak lagi tersita oleh kegiatan politik praktis. Dengan demikian perkembangannya selama ini telah memberikan gambaran membaiknya prospek NU sebagai sebuah kelompok kepentingan. Secara konseptual kemungkinan ini didukung oleh keyakinan Almond, yang dikutip dalam Bab I, bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang merupakan salah satu elemen penting pembangunan politik akan sangat bermakna positif bagi kelompok-kelompok kepentingan, khususnya kelompok asosiasional seperti NU. Pasalnya adalah karena di samping merombak struktur dan kultur suatu sistem politik, perubahan sosial dan ekonomi juga akan meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian masyarakat, serta meningkatkan level pendidikan, kesehatan, dan status anggota masyarakat. Peningkatan level pendidikan dan status sosioekonomik selanjutnya berkaitan erat dengan tingkat kesadaran politik, partisipasi, dan perasaan kompetensi politik. Di sinilah peran kelompok-kelompok kepentingan menjadi lebih signifikan. Bagi NU sendiri, signifikansi perannya di masa mendatang lebih dimungkinkan pula oleh besarnya massa yang dimiliki. Proses politik dan aktifitas pembangunan yang sedang berjalan tentu tidak akan mengabaikan massa NU ini, apalagi dengan mulai bergesernya strategi pembangunan ke arah bentuk people centered develop253 ment. Terlebih lagi jika diakui bahwa sebagian besar massa NU dengan taraf perekonomian yang masih rendah dan tingkat pendidikan formal yang relatif adalah mereka yang secara kualitatif masih sangat perlu diperbaiki. Tentu adalah termasuk beban NU untuk mengoreksi kelemahan-kelemahan warganya itu serta untuk menghela mereka agar lebih cepat mengejar ketertinggalan dari warga negara pada umumnya. Namun dengan itu pula NU mestilah bersiap-siap terhadap kemungkinan bahwa ia akan menjadi salah satu kelompok subjek pembangunan yang terpenting jika kelak pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua benar-benar menuliskan "pengembangan sumberdaya manusia" sebagai tema sentralnya. Agenda terpenting selanjutnya bagi NU nantinya adalah menetapkan sasaran paripurna kiprah NU yang terletak pada kaitan sasaran itu sendiri dengan jenis masyarakat/bangsa yang diinginkan. Apakah jenisnya? Kalau masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, di manakah letak peranan Islam di dalamnya? Kalau sasarannya masyarakat Islam, lalu bagaimanakah halnya dengan Pancasila sebagai ideologi nasional dan falsafah hidup bangsa, yang mengikat semua warga negara tanpa memandang asal-usul etnis, bahasa ibu, agama dan budaya masing-masing? NU Dalam Peta Politisasi Islam Indonesia Kiranya sampailah saatnya untuk mencoba meletakkan NU dalam konteks arus politisasi Islam di Indonesia merebak dalam beberapa tahun belakangan ini --sebuah politisasi yang tak jelas arahnya, dan nyaris sama tak jelasnya siapa memanfaatkan siapa di situ. Kajian ini berusaha untuk konsisten dengan rentangan yang telah ditetapkan sejak awal untuk menjangkau periode 1984/1983 dalam perjalanan NU. Kendati begitu, discourse yang menghangat justru diluar skope tersebut agaknya memang tidak semestinya terlupakan dalam diskusi ini. Kekhawatiran tentang politisasi Islam sebenarnya bukan barang baru, sebab hal itu secara sporadis sudah mulai terlontarkan sejak awal pembentukan ICMI beberapa tahun lalu. Hanya saja, kekhawatiran tersebut pada awalnya terasa kurang begitu relevan, dan orang lebih suka memberi perhatian pada sinyalemen Abdurrah254 man Wahid bahwa ICMI akan menyuburkan kembali sektarianisme politik di negeri ini, dan oleh karena itu ia menolak untuk bergabung di sana --sesuatu yang dengan alasan berbeda juga dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib, misalnya. Akan tetapi di belakang hari kegelisahan dan kritik-kritik terhadap politisasi Islam itu kian bermunculan, dan mulai diformat dalam argumentasi yang sistematis, logis, dan, karena itu, tidak bernuansa agitatif dan memihak. Sehingga, sulit disangkal bahwa tema tersebut memang merupakan salah satu persoalan krusial dalam wacana politik Indonesia dewasa ini. Memang, akan tampak begitu tendensius sebab ketika orang berbicara tentang politisasi Islam hampir dengan serta merta ICMI turut tertunjuk. Akan tetapi ini bukannya tidak beralasan, sebab ICMI nyaris dimainkan sebagai manifestasi paling konkrit dari fenomena politisasi Islam itu, meski di sisi lain kehadiran organisasi ini memang bisa di anggap sebagai salah satu indikasi bagaimana pola hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah. Ketika mengamati ICMI, ketika melihat gelagat organisasi ini serta caranya turut ambil bagian dalam persaingan hegemoni pada anak tangga kedua (sebab sementara ini hegemoni pada anak tangga teratas belum terbuka bagi persaingan) bersama kekuatan-kekuatan politik terpenting lainnya, terutama Golkar dan Angkatan Darat, orang dapat menemukan sekali lagi penampakan pola patron-klien dalam sebuah proses politik. ICMI dalam satu segi, diakui atau tidak, telah menjadi sebuah political vehicle yang mengantarkan orang-orangnya ke kursi-kursi jabatan publik terutama di tingkat pusat. Sehingga, sejumlah jabatan menteri dalam kabinet saat ini pun dipegang "orang ICMI", disamping muncul isu "penghijauan" lembaga MPR/DPR. kedekatan Habibie sebagai Ketua dengan innest circle kekuasaan negeri adalah faktor utama yang memungkinkan hal itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa ICMI, disamping Golkar dan Angkatan Darat, memang telah menjadi pilihan terbaik ketika orang mencari akses ke jajaran elit kekuasaan. Dan, selanjutnya, tokoh-tokoh puncak ketiga kekuatan ini tampil sebagai penentu terpenting di bawah presiden Soeharto terhadap hitam putihnya wajah politik saat ini.1 Kesemua ini turut dimungkinkan pula oleh karena dipihak lain pemerintah rupa-rupa nya sedang membutuhkan suatu sumber legitimasi baru bagi kekuasaannya, denga alasan apapun. Tapi pertanyaannya tentu ialah, 255 mengapa ICMI? Atau dengan kata lain, mengapa Islam yang harus menjadi legitimasi baru itu? Adalah sebuah paradoks, kata Schwarz,2 bahwa ketika usaha pemerintah untuk mengebiri umat Islam sebagai suatu kekuatan politik mulai membuahkan hasil di akhir 1970-an dan awal 1980-an, maka popularitas Islam sebagai pranata sosial, etika dan spiritual ternyata justru mulai meningkat. Sebab yang mendasarinya bisa bersifat keagamaan semata-mata, dan bisa pula karena alasan yang bersifat poljtis. Sebab yang pertama berkaitan denjian keingnan banyak kalangan masyarakat Islam Indonesia untuk menemukan dalam agama ini suatu tempat pijakan yang kokoh di dalam sebuah dunia yang sedang mengalami modernisasi dan perubahan secara pesat dan membingungkan ini. Mereka mencari cara untuk mewujudkan Islam yang lebih relevan untuk mewujudkan Islam yang lebih relevan bagi kehidupan dunia modern. Baik paham Islam tradisional maupun modernis segera menunjukkan daya tarik khasnya masing-masing dalam alur kecenderungan ini. Sementara itu pemerintah untuk melakukan depolitisasi di Indonesia telah mendorong banyak orang untuk berpaling ke Islam. sebagai sebuah arena politik alternatif. Trend ini, diamati oleh Adam Schwarz, tanpa terkecuali muncul pula di lingkungan kampus, di mana aktifitas politik telah dibatasi sangat ketat sejak akhir 1970-an. Aktifitas politik mahasiswa yang semula sangat marak tiba-tiba menjadi mati ketika pemerintah melakukan restriksi terhadap kepolitikan kampus. Akibatnya, sebagian besar aktifitas mahasiswa bergeser ke lingkungan masjid kampus, sebab bagaimana pun mereka membutuhkan saluran bagi aspirasi politiknya dan selalu akan mencari saluran itu di manapun mereka bisa. Masjid kampus nyaris menjadi pilihan satu-satunya bagi kebutuhan itu, setidaknya dalam kurun waktu tertentu. Dan yang lebih esensial, kecenderungan ini telah mendorong berkembang-pesatnya kelompok-kelommpok studi Islam di kampus, dan resultansinya yang paling kasat mata antara lain adalah semakin banyaknya mahasiswi yang mengenakan jilbab. Islam telah merambah jauh ke dalam kalangan elit terpelajar, suatu kelas yang secara tradisional dikenal sebagai priyayi, yang mengingatkan orang pada trikotomi santri-abangan-priyayi dalam karya klasik C. Geertz. Di sinilah muncul pembicaraan tentang 256 santrinisasi priyayi. Resultansi lebih jauh dari revivalisme Islam itu dengan demikian ialah munculnya suatu kebanggaan untuk menonjolkan identitas keislaman di kalangan menengah ke atas, kalangan yang dalam era sebelumnya hampir-hampir bersikap 'dingin' terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Dengan segera menjadi jelaslah bahwa telah terjadi perubahan komposisi sosial dalam komunitas Islam, dan ini menjadikan Islam tidak lagi bisa diabaikan oleh penguasa. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah terasa begitu responsif dan akomodatif terhadap umat Islam.3 Dan akhirnya, perkembangan yang paling bermakna bagi Islam di Indonesia, dan juga yang paling kontroversial, adalah dukungan kuat dari Presiden Suharto terhadap pembentukan ICMI, yang di akhir 1990-an menyeruak dari kerumunan hingar-bingar revivalisme Islam, dan yang oleh Schwarz disebutkan sebagai usaha serius yang pertama sejak jatuhnya Masyumi untuk menyatukan kelompok kelompok Muslim Indonesia yang beraneka ragam di bawah satu bendera.4 Dan inilah sebenarnya salah satu inti persoalan yang akan didiskusikan di bawah. ICMI, meskipun di satu sisi adalah "a natural product of the process of Islamic revivalism"5 rupanya telah menjadi suatu pilihan ketika sebuah sumber dukungan baru perlu dicari saat pendukung terpenting Presiden Suharto, yakni militer, mulai tidak lagi dapat diandalkan sebagai sandaran tunggal. ICMI dengan demikian ditempatkan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang, dan yang terjadi adalah penggalangan dukungan dari kalangan umat Islam. Frase politisasi Islam adalah menunjuk ke sini. Yang sangat menarik adalah, meskipun ICMI menawarkan banyak keuntungan bagi siapa saja yang bergabung di dalamnya -tawaran yang memang banyak terbukti--, akan tetapi ternyata tetap ada kalangan yang dengan eksplisit menolak untuk bergabung di sana, seperi Abdurrahman Wahid. Latar belakang pemikiran tokoh ini menolak dalam ICMI telah didiskusikan dalam Bab III dan V buku ini, dan karena itu yang perlu diulas lagi adalah implikasi obyektif dari apa yang akan dibawa oleh penolakan itu. Satu hal yang jelas, penolakan itu telah menimbulkan kesan (atau barangkali yang lebih tepat mengkondisikan ini:) NU telah menarik garis batas yang jelas dengan ICMI. Sekalipun beberapa tokoh NU, seperti KH Ali Yafie, tidak menolak untuk masuk ICMI, namun figur sentral dalam 257 komunitas NU itu telah berbuat lain. Dan tak seorang pun yang akan menyangkal adanya image bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah Abdurrahman Wahid.6 Jadi faktanya sekarang ialah, sebagian besar komunitas NU, kalau bukan malah seluruhnya, berada di luar ICMI.7 Dan itu di satu sisi bisa berarti NU cukup selamat dari tarikan arus politisasi Islam. Pertanyaannya tentu, mengapa? ________________________________________________________ ________________ ________________________________________________________ ________________ 1. Currently, in Indonesia," kata Dr Afan Gaffar, there is a common perception regarding the growing influence of "the 3H", that is Habibie, Hartono and Harmoko." Lihat Afan Gaffar, "Indonesia set for 1988," dalam Business Times, Week End, March 25-26, 1995. March 25-26, 1995. 2. Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (Sidney: Allen & Unwin Pty Ltd. 1994), khususnya bab "Islam: Coming in From The Cold?", h. 162ff. Uraian dalam beberapa paragraf berikut akan mengacu ke sini. 3. Lihat pengantar buku ini dari Afan Gaffar di muka, atau lihat "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia" dalam M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Dmokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia, 1993). 4. Schwarz, op. cit., h. 176 258 5. Ibid 6. But dispite cracks in his NU support base, Wahid remains a very influental figure. He is widely respected not only within the broad santri community but also by many non-santris and non-Muslims ... Wahid's view art worth spelling out". Schwarz, op., cit., h. 185. 7. Lihat Syafii Anwar, "ICMI dam Politik: Optimisme dan Kekhawatiran", dalam Ulumul Quran, No.1, Vol. V1, tahun 1995, h. 7. Untuk sebagian dapat dijelaskan bahwa sikap NU yang tak lagi menekankan pada pendekatan legal-formalistik telah cukup efektif untuk menjaganya dari efek politisasi Islam itu. Douglas Ramage,8 suatu saat mengelaborasi pemikiran Gus Dur, bahwa "kalau NU terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus tergiring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan penguasa". Dengan secara luwes menempatkan diri sebagai komplementer dengan aksentuasi gerakan moral untuk aktualisasi sebuah masyarakat dengan "wawasan Islam" dan bukan "struktur Islam", NU praktis berada di luar segmen "godaan ICMI". Dari sudut tinjauan ini maka ICMI hanya menjadi hiburan" bagi mereka yang memiliki kecenderungan legal-formalistik di kalangan umat Islam. Dengan adanya ICMI, mereka yang dicekam oleh obsesi kelembagaan dalam aktualisasi Islam akan merasa bahwa Islam sudah berperan penting dalam proses politik negeri ini, dan karena itu mereka tidak perlu lagi berpikir macam-macam. Persoalannya, orang-orang dengan kecenderungan seperti itu masih belum bisa dibilang sedikit hingga saat ini. Sehingga ICMI sedikit demi sedikit akan muncul sebagai sebuah wajah tunggal gerakan politik umat Islam Indonesia. Dan ini, dilihat dari kacamata tertentu, bisa membawa implikasi negatif di belakang hari. Berangkat dari fakta bahwa lifebold ICMI yang terutama adalah patronase dari penguasa, maka orang mesti mengambil asumsi bahwa patronase semacam ini sangatlah tidak permanen. Ia berbeda 259 dengan akar yang dibangun di bawah, yang lebih permanen dibandingkan dengan tempat bergantung di atas. Ketika berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional, orang sebenarnya juga sedang memperbincangkan patronase yang selama ini menjadi andalan ICMI. Jika suksesi kepemimpinan itu terjadi, dengan kata lain jika terjadi perubahan politik yang sedemikian rupa sehingga menyebabkan ICMI kehilangan patronnya, maka tak hanya ICMI, namun boleh jadi umat Islam Indonesia keseluruhan akan merasakan dampak negatifnya. Momentum itu sangat boleh jadi begitu dinantinantikan oleh saingan-saingan politik ICMI, dan segera akan dimanfaatkan oleh mereka untuk dengan senang hati menghantamnya.9 Dan jika ICMI benar menjadi wajah tunggal gerakan politik Islam Indonesia, kejadian itu akan menyebabkan keseluruhan umat Islam sangat terugikan. Tidak boleh tidak, harus ada sekelompok umat Islam yang tetap berada di luar ICMI. Kelompok ini akan menjadi cadangan bagi kaum muslimin di Indonesia, jika sebuah tragedi (semoga saja kalkulasi ini salah) terjadi menimpa gerakan politik mereka. Sejauh ini, NU dapat diharapkan memenuhi kriteria kelompok dimaksud. NU hingga saat ini tetaplah perwujudan paling riil dari apa yang secara nominal disebut umat Islam di Indonesia, selain Mu hammadiyah. Dan NU menjadi siginifikan bagi pembicaraan tentang politisasi Islam seperti diuraikan di atas, oleh karena ia memiliki beberapa karakteristik yang tidak dimiliki secara sekaligus oleh organisasi Islam mana pun. Karakteristik itu meliputi hal-hal berikut: pertama, NU memiliki akar kuat sampai ke lapisan masyarakat terbawah. Kaum muslimin di pedesaan yang pada umumnya bekerja sebagai petani, nelayan atau pedagang retail kecil, dengan tingkat pendidikan dan penghasilan relatif, serta merupakan kalangan mayoritas dibandingkan dengan kaum muslimin di perkotaan yang berpendidikan dan berpenghasilan cukup dari pekerjaan mereka sebagai pegawai pemerintah atau pedagang/pengusaha, masihlah memiliki identifikasi diri dan alamat kultural NU. Kebanyakan mereka masih berpayung budaya paternalistik dengan figur sentral para kiyai dan ulama pada level lokalnya masing-masing, dan dalam pola ketaatan santri-kyai yang sampai tingkat tertentu masih cukup kental. Para kyai lokal itu untuk sebagian besar tetap merupakan pendukung NU yang kuat. 260 Kedua, NU adalah satu-satunya organisasi yang memiliki massa besar riil yang terbukti siap setiap saat untuk dimobilisasi. Bukti paling konkrit dari sinyalemen ini adalah ketika NU menyelenggarakan Rapat Akbar 1992. Siapapun akan mengakui, betapa antusiasnya warga NU terhadap acara itu, baik yang ditunjukkan dengan kehadiran mereka ke sana, maupun dengan kekecewaan sebagai warga NU yang, oleh karena pembatasan yang dilakukan pemerintah sampai pada aparat terbawahnya, tidak dapat menghadirinya. Di segi ini, NU bahkan tak tertandingi oleh Golkar sekali pun. Sebab, meski Golkar terkadang menunjukkan kemampuan memobilisasi massa, tetapi itu tidaklah memiliki korelasi positif dengan loyalitas massa itu dengan Golkar. Jika sesekali dicoba diinventarisasi data-data dari hadirin dalam pertemuan Golkar, dalam rangka apapun, akan jelaslah bahwa sebagian besar mereka adalah pegawai negeri, termasuk para guru. Mereka hadir bukan terutama karena merasa ada "kewajiban moral" yang dilandasi loyalitas, tetapi lebih karena kehadiran karena sedikit banyak berkaitan dengan kondite mereka. Ini tentu bagian dari sebuah rasionalitas politik, yang lepas dari pertanyaan tentang baik dan buruk. Tetapi setidaknya itu menunjukkan bahwa NU mesti diletakkan pada peringkat teratas ketika orang berbicara tentang kemampuan sebuah organisasi memobilisasi massa tanpa paksa. Dan ketiga, NU adalah sebuah organisasi yang relatif mandiri dibandingkan organisasi-organisasi lain. Jika disimak lagi kronologis lahirnya sebuah keputusan kembali ke khittah di tahun 1984, akan tampak bahwa keputusan itu dibuat setelah melalui perdebatan dan polemik yang panjang. Dan jika hal itu diletakkan dalam konteks perkembangan situasi politik pada masanya, maka keputusan itu sesungguhnya adalah sebuah mandat bagi perubahan sangat signifikan bagi intern-ekstern NU. Adalah sebuah prestasi yang sangat khas bahwa NU dapat tetap tampil utuh setelah keputusan itu diambil, meski barangkali keutuhan yang relatif dan tetap membutuhkan "rekonsiliasi" yang cukup melelahkan. Akan tetapi ini menunjukkan bahwa NU menyimpan potensi kemandirian yang cukup besar, ketika kebanyakan orsospol di Indonesia meng alami kemacetan-kemacetan, tak berkutik dalam lingkaran kooptasi dan sangat bergantung pada negara. Dengan potensi ini, maka untuk tetap berada di luar ICMI, dan juga setiap pilihan lain apapun 261 yang bermakna tidak mendekat-mendekati patronase politik adalah yang terbaik bagi NU. Dengan cara inilah NU bisa tetap menjaga kemandiriannya, dan dengan demikian ia semakin mampu mengaktualisasikan komitmen kebangsaannya. ________________________________________________________ ____________ ________________________________________________________ ____________ 8. Douglas E. Ramage, "Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal", dalam Ellyasa KH Darwis (ed.) Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 105 9. Siapa saja yang potensial sebagai pesaing ICMI? inilah notasi Schwarz "Non-Santri Muslim, still a sizeable faction do not support the effort to raise Islam's political profile. The military, distrustful right from the beginning of ICMI aims, will surely attempt to thwart any effort by modernists to transform the organization into the political antity. NonMuslim, of course, and especially the powerful ethnic-Chinese business community, also can be expected to oppse the broadening of ICMI powers. But to date, all these groups have adopted a quiet, wait-andsee approach to ICMI." Lihat Schwarz, op. cil, h. 185 262 ma. Sala: Jatayu, 1985. BIODATA ---------: "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU", dalam Jawa Pos, 28 Januari 1992. A.Gaffar Karim. Lahir di Sumenep, Madura: 19 Juni 1970, dalam sebuah lingkungan yang sangat NU oriented. Menempuh pendidikan dasar serta menengah di kota kelahirannya: dan selepas SMA tahun 1988 melanjutkan pendidikan diJurusan Sastra Inggris Unair, Surabaya. selama setahun. Tahun 1989 memasuki Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM dan menyelesaikan S-l pada tahun 1994. Saat ini adalah staf pengajar di jurusan tersebut. Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta: CV Rajawali, 1986. Anderson, Benedict R.O'G. "The Idea of Power in Javanese Culture, dalam Claire Holt (ed.), Culture and politics in Indonesia. Ithaca: Comell University Press, 1972. Anwar, M Syafi'i. "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran," dalam Ulumul Qur'an, No. 1 Vol. VI, Tahun 1995. Arikunto, Suharsimi. ýProsedur Penelitian. Jakarta: PT Bineka Cipta, 1991. Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel Dakhidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980. KEPUSTAKAAN Afandi, Arief. "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam Jawa Pos, 9 Juni 1993. Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1983. All, Fachry. "Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Edifor, 7 Maret 1992. Collier, David. "Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model," dalam David Collier (ed.), The New Authoritarianism in Latin Aolerica. Princeton: Princeton University Press 1979. ---------: Refleksi Paham "Kekuasaan jawa" dalam Indonesia Modern. Jakarta: PT Gramedia, 1986. ---------: "Seorang Asing di Tengah NU," dalam Tempo 25 Nopember 1989. Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia, alihbahasa TH Sumartana. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986. Dharwis, Elyasa KH (ed.). Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta, LKiS, 1994. Almond, Gabriel A. "interest Group and Interest Articulation," dalam Gabriel A. Almond (ed:), Comparative Politics Today: A World View. Boston: Little, Brown and Company, 1974. Dhofier, Zamakhsyari. "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari ecip (ed.), Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ula263 264 NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989. lam M Imam Aziz, et. al. (eds.), Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, alihbahasa Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989. ---------- "KH A Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", dalam Prisma, Agustus 1982. Hagopian, Mark N. Regimes, Movements, and Ideologies. New York & London: Longman Inc., 1978. ---------: Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982. Djunaedi, Mahbub. "Khittah", daiam Tempo, 25 Januari 1986. ----------. "Khittah Plus", dalam Tempo, 7 Nopember 1987. Haidar, Ali. "NU dan Tantangan Keulamaan", dalam Aula, Juli 1993. ----------. "Muballig Dadap Tentang Netralitas NU", dalam Kompas, 20 Desember 1985. __________ NU dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1994. Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen. NU Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah. Yogyakarta: MW Mandala, 1992. Haris, Syamsudin. "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke28", dalam Kompas, 2 Oktober 1989. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: PT Grasindo, 1991. Feillard, Andree. "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam Editor No. 25, 7 Maret 1992. Haryono, Bambang Santoso. Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar Situbondo 1984. Thesis S-2 Fakultas Pasca Sarjana UGM, 1990. Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1966. Ilyas, Yunahar, et. al. (eds.). Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Ketclaman. Yogyakarta: LPPI UMY, 1993. Gaffar, Afan. "Indonesia Sets Tone For 1998", dalam Business Times, Weekend Edition, March 25-26 1995. ----------. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. ----------. "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Politik Indonesia," dalam 4. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru. Solo: CV Ramadhani, 1990. Jenkins, David. Suharto and Hic Generals: (ndonesian Military Politics 1975-1983. Ithaca: Cornell Modem Indonesia Pro)ect, 1984. Karim, M. Kusli. Perjalanan I'artai Po/itik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Kajawali, 1983. Kuntowijoyo. Paradign,a Islam. Jakarta: Penerbit Mizan, 1997. Lubis, Nuddin. "Jangan Berlarut-larut Warga NU Mengambang, dalam S. Sinansari ecip (ed.), NUdalam TantanKan. ]akarta: ----------. "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia", da265 266 Penerbit Al Kautsar, 1989. Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985. Maarif, A Syafii. Dinamika Islam: Potret Perkembangan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983. ----------. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985. Mudatsir, Arief. "Dari Situbondo Menuju NU Baru: Sebuah Catatan Awal", dalam Prisma, Nomor Ekstra 1984. Madjid, Nurcholish. "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah", dalam Muntaha Azhari dan AM Saieh (eds.) Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989. Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalarn polifik di (ndonesia 1945-1966. Yogyakarta: Cadjah Mada University Press, 1982. ----------. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. Mulkhan, A. Munir. Runhlhnya Mites PoLifik Sanlri. Yoi;yakarta: Sipress, 1992. Malloy, James M. "Authoritarianism and Corporatism in Latin America: The Case of Bolivia," dalam James M. Malloy (ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1977. Nawawi, Hadari. Metode Penelifian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983. ---------: "Authoritarianism in Latin America: The Model Pattem," dalam James M. Malloy (ed.). Marijan, Kacung. "NU: Antara Elitis dan Populis", dalam /awa Pos, 8 Juni 1993. ---------: Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980. ----------- Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992. ---------: "Respons NU Terhadap Pembangunan Politik Orde Baru, dalam jurnal Ilmu Politik No. 9. Maschab, Mashuri. Kekuasaan Ekskutif di Indonesia. Jakarta: PT Bina Aksara, 1983. Mas'oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta: LP3ES, 1989. Milne, R.S. "Teknokrat dan Politik di Negara-negara Asia Tenggara," dalam Prisma No. 3, 1984. 267 O'Donnel, Guillermo. "Corporatism and The Question of The State, dalam James M. Malloy (ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1977. ----------· Modernizafion and Bureaucratic Aufhoritarianism. Berkeley: Institute of International Science, University of Califomia, 1979. Perlmutter, Amos. Modern Authoritarianism. New Havens & London: Yale University Press, 1981. Purwoko, Bambang. Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan (1973-1986). Skripsi FISIPOL-UGM, 1987. 268 Salisbury, Robert H. "Interest Groups," dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby (eds.), Nongovemrnental Polilics, Handbook of Political Science, Vol L Massachussets: Addison Wesley Publishing Company, 1975. Usman, Sunyoto. "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam jawa Pos, 7 Juni 1993. Wafi, All Abdul Wahid. PerkembanRan Mazhab dalarn Islam, alihbahasa Rifyal Ka'bah. Jakarta: Minaret, 1987. Sanit, Arbi. "Politik NU Sebagai Organisasi Masyarakat", dalam S Sinansari ecip (ed.), NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989. Wahid, Abdurrahman. "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus, dalam A u/a, November 1990. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting:lndonesia in The 1990s. Sidney: Alien & Unwin Pty Ltd, 1994 ---------: "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al. (eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Penerbitlnterfidei, 1994. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (eds.). Metode Penelitian Survey. Jakarta: L1)3ES, 1989. Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,l989. --------- ."Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Islam Tribakti (UIT) Ke- Subono, Nur Imam. Sebuah Studi Rcnfilk Pemerintahan Korporatisme. Skripsi FISIP-UI, 1988. ---------. "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA, et. al. (eds.), Agama dan Kekerasan. Takarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985. Suharto. "Mengakhiri Tiga Penyelewengan", dalam Herbert Feith dan Lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 19451995, alihbahasa Min Yubhar. Jakarta: LP3ES, 1988. ---------· "Individu, Negara dan Ideologi," makalah yang disampaikan pada acara Sudjatmiko Memorial Lecture, Jakarta 2 Pebruari 1994. Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia I945-1967 alihbahasa Hasan Dasari. Jakarta: LI3ES, 1988. ---------· "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. Surachmad, Winamo. Dasar dan Teknik Xesrarch. Bandung: CV Tarsito, 1975. ---------. "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bemegara, dalam P17sma Nomor Ekstra, 1984. Suswanta. Masyumi dan PRRI: Analisis tentang Keterlibatan Heberapa rokoh Masyumi dalarn Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Skripsi Fisipol-UCM, 1993. ---------."Mencari Nilai-nilai Baru Dalam Paham Kebangsaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak. Thahir, H Anas, el. a]. (eds.). Kebangkitan Umat Islam dan Peranan NU di Indonesia. Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980. ---------."Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama, makalah, tempat dan tahun tak terlacak. 269 270 ---------· "Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984. ---------· "Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam Masyhur Amin dan Ismail Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran (s/am dan Realitas Empirik Yogyakarta: LKPSM, 1993. ---------. "NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang", dalam M Imam Aziz (ed.), Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. ---------· "Pesantren Sebagai Subkultur", dalam M Dawam Kahardjo (ed.), Pesantren dan Pernbaharuan. Jakarta: P3M, 1988. 1. Aula (PW NU Jawa Timur). 2. Bangkit (LKPSM NU DIY). 3. Editor. 4. Forum Keadilan. 5. Jawa Pos. 6. Kedaulatan Rakyat. 7. Kompas. 8. Pelita. 9. Suara Karya. 10. Suara Merdeka. 77. Suara Pembaharuan. 12. Surabaya Post. 13. Tempo. ---------· "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun'im Saleh (eds.), /slam (ndonesia Menafap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989. ---------· "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah," makalah yang disampaikan pada acara seminar sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989. ---------. "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan," naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI, Surabaya, Oktober 1989. ---------Wasito, Heri. NUdalarn Pemilu 1971. Skripsi Fisipol-UGM, 1989. ---------Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, alihbahasa B.B. Soendjojo. Jakarta: P3PM, 1986. KORAN DAN MAJALAH: 271 272 273