Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia

advertisement
[ Pustaka NU Online ]
LKiS
Bekerjasama dengan
Penerbit Pustaka Pelajar
METAMORFOSIS NU DAN
POLITISASI ISLAM DI INDONESIA
Daftar Isi
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
METAMORFOSIS
NU DAN POLITISASI ISLAM INDONESIA
Copyright 1995 A. Gaffar Karim
PENERBIT
Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan
LKiS Yogvakarta
A. Gaffar Karim
CETAKAN
September 1995
ada yang sedang meninggalkan pakaianmu satu demi satu,
RANCANGAN SAMPUL
Haitamy el-Jaid
mendudukkanmu di depan cermin,
dan membuatmu bertanya,
SAMPUL BELAKANG
Dikutip dari
Sapardi Joko Damono
Hujan Bulan Juni
Grasindo, 1994
"tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?"
ada yang sedang daim-diam menulis riwayat hidupmu,
menimbang-nimbang hari lahirmu,
SETTING/LAYOUT
Anef
mereka-reka sebab-sebab kematianmu.
ada yang sedang diam-diam berobah jadi dirimu
DICETAK
Pustaka Pelajar Offset
Glagah UK IV/343
Copyrigth 0274-564306
Yogyakarta
(sapardi djoko damono, METAMORFOSIS, 1981)
Dterbitkan oleh:
1
2
Pengantar
•
Page 2
Iftitah
Bab V
Implementasi Khittah: Dinamika Eksternal
Bab I
Pendahuluan
•
•
•
•
•
•
•
Page 1
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 1
Page 2
Bab VI
Prospek NU
•
•
Bab II
Page 1
Page 2
Wajah NU: 1926 - 1984
Bab VII
•
•
Page 1
Page 2
Poskripsi
•
•
Bab III
Page 1
Page 2
Abdurrahman Wahid:
Pemikiran dan Determinasi
Pustaka
•
•
Page 1
Page 2
Biodata
Catatan Penerbit
Bab IV
Implementasi Khittah: Dinamika Internal
•
Page 1
3
4
Iftitah
thesis, bahkan disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah
1985. Sangat menggembirakan, meski tetap dapat disayangkan
bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasikan) akhirnya hanya akan dibaca oleh kalangan yang sangat terbatas. Wacana tentang NU bagi masyarakat luas memang masih
relatif kurang. Buku ini, dengan demikian, dimaksudkan untuk
turut mengisi celah tersebut, meski tak diragukan lagi bahwa
Choirul Anam (1985), Kacung Marijan (1992), Martin van Bruinessen (1994), dan Ali Haidar (1995) telah melakukannya jauh lebih
baik.
Buku ini diangkat dari karya skripsi yang saya pertahankan
di Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, dengan judul NU
Setelah Kembali ke Khittah 1926: Sebuah Studi Historis tentang
Kelompok Kepentingan Islam di Pentas Orde Baru 1984-1993.
Penelitian bagi skripsi tersebut saya kerjakan selama kurun waktu
1,7 bulan sejak Mei 1993. Sebagian penelitian itu bersifat kepustakaan, yang saya lakukan di beberapa perpustakaan di Yogyakarta
dan Jakarta. Hasil penelitian pustaka itu juga diperkaya dengan
hasil serangkaian wawancara dan diskusi.
Skripsi saya, dan dengan demikian juga buku ini, tidak akan
dapat disusun tanpa bimbingan yang intensif dari Drs Haryanto,
MA. Skripsi itu juga telah mengalami perbaikan yang cukup berarti dengan serangkaian revisi yang diagendakan oleh Drs
Mashuri Maschab, SU dan Dr Afan Gaffar, MA. Untuk yang disebut terakhir ini, saya malahan merasakan hutang budi yang tak
kecil, karena dialah yang telah mendorong saya untuk menjajagi
kemungkinan diterbitkannya buku ini. Betapapun, tanggung jawab atas semua isi buku ini sepenuhnya berada di tangan saya.
Banyak orang, jauh lebih banyak dari yang dapat saya sebutkan, patut memperoleh ucapan terima kasih karena bantuan mereka, langsung maupun tak langsung, bagi terselesaikannya buku
ini. Beberapa Yang dapat saya sebutkan adalah: Drs Kacung Marijan staf pengajar ILmu Politik FISIP Unair yang intens mengamati NU, yang telah memberikan beberapa saran penting di tahap terawal penulisan skripsi saya; Drs Muhammad Najib, Sekretaris LKPSM NU DIY, dan Dra Maria Ulfah Anshar, Koordinator
Program Dokumentasi dan Informasi Lakpesdam NU Jakarta,
yang telah bersedia menerbitkan buku ini.
Nun, demi pena dan apa yang diguratkannya
Al-Qalam : 1
KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera tergambar di benak orang pada umumnya adalah sosok bersarung
dan berpeci, yang bejalan menunduk sambil satu tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak
lebih dari salat dengan usalli, doa qunut, tarawih 23 rakaat, tawassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak
yang memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di
atas, NU sebenarnya adalah salah satu denyut terpenting dalam
totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang diimbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan
nada sedikit minor disebut sebagai "tradisionalisme", dan dengan
segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah banyak mewarnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosialkemasyarakatan, bahkan politik dan ideologi bangsa.
Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU
dalam kurun waktu yang cukup lama telah begitu saja terabaikan
dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena kebanyakan
pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan
"kaum modernis", sementara NU pada umumnya dianggap tidak
dapat digolongkan ke situ. Martin van Bruinessen, baru-baru ini
menulis kajian paling komprehensif dan tak-memihak mengenai
NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keterabaian itu. Ia menyesalkan betapa NU kerap hanya disebut secara sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya memberikan proporsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU,
Tradisi, Relasi-relasiKuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta:
LKiS, 1994).
Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir perhatian ilmiah terhadap NU telah berangsur-angsur dipulihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta, saya mendapati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi,
5
6
HM Ichwan Sam dan Ir H Musthafa Zuhad Mughni; berturutturut adalah Sekjen dan Wakil Sekjen PB NU 1989-1994, yang
telah bersedia memenuhi permintaan wawancara dari saya; keluarga pamanda Drs HM Hasan Asj'ari yang banyak membantu
ketika saya melakukan akumulasi data di Jakarta; seluruh temanteman di Ilmu Pemerintahan UGM '89, khususnya mereka yang
dengan "bangga" menyebut dirinya IMS; teman-teman di Interfidei dan LKiS: Ahmad Suaedy, Hairussalim, M Imam Aziz, M
Jadul Maula, Sastro, Fikri, dan seterusnya; dan sekali lagi LKiS
yang telah bersedia menerbitkan buku ini.
Rasa terima kasih yang khusus kiranya ingin saya tujukan
kepada semua guru-guru saya, terutama Drs Josef Riwukaho,
MPA, yang begitu berjasa membentuk sikap disiplin saya, serta
Drs Cornelis Lay, MA, dari siapa saya banyak belajar tentang cara
menghargai pendapat orang.
Dan akhirnya, buku ini saya peruntukkan bagi orang-orang
tercinta: Ibunda Hj Aminatussuhriyah dan Ayahanda H Abdul
Karim, adik-adik saya (Ading, Wiwik, Nunung, dan Fatim), serta
Miming. semua berhak atas rasa terima kasih tiada-terhingga yang hanya dapat saya muarakan pada Dia Yang Esa:
Rabbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka faqina
'adzabannar.
Di atas semua ini, saya mengucap syukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, yang telah memberi segala yang saya ingin
dan angankan, serta telah memperkenankan saya mencelupkan
tangan ke dalam samudera ilmu-Nya yang maha luas itu.
Saya berharap, buku ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya. Tentu saja saya tidak berpretensi bahwa argumenargumen dalam buku ini telah bersiratkan kebenaran yang mutlak. Semuanya saya anggap sebagai thesa-thesa yang harus segera
berbenturan, atau dibenturkan, dengan antitesa-antitesa, untuk bisa
melahirkan suatu sintesa, dan seterusnya, dalam pola dialektik.
Rasanya lebih tepat untuk menerima buku ini sebagai sebuah catatan pembuka guna mengawali diskusi kita. Mengapa tidak?
Dan kepada-Nya kita semua berserah diri.
Dan kukuh-teguhlah kalian
dalam ikatan Tali Allah, sebagai satu jamaah,
dan jangan tercerai-berai
-Ali Imran: 103-
Dan janganlah kalian saling bertikai
hingga menjadi lemah
dan hilang wibawa kalian
-Al Anfal: 46-
Kudedikasikan sebagai tanda kekaguman kepada
sang progressor NU, KH Abdurrahman Wahid.
Dan kuperuntukkan
bagi orang-orang tercinta
ibu dan bapakku,
adik-adikku,
dan Miming
serta untuk mereka yang
mencintai ilmu polifik.
Nologaten, Juli 1995
A Gaffar Karim
7
8
NU Sebuah Fenomena Politik
Dr, Afan Gaffar, MA
mikian rupa signifikan bagi NU oleh karena hal itu dilakukan dalam momentum yang tepat. Momentum ini adalah apa yang saya
sebut sebagai politik akomodasi antara Islam dan negara di Indonesia.
Kecenderungan ini mulai sangat terasa ketika dekade 8O-an
telah memasuki paruh keduanya. Tampak jelas telah terjadi pergeseran dari model hubungan vang antagonistik antara Islam dan
negara menuju politik akomodasi yang saling mengisi satu sama
lain. Antagonisme diminimalisir, bahkan konflik cenderung dieliminir. Kita akan melihat indikatornya dalam policy pemerintah
di bidang pendidikan dan keagamaan di satu sisi, serta di sisi lain
kecenderungan politik umat Islam di mana NU merupakan salah
satu komponennya. Disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional
yang begitu toleran terhadap persoalan-persoalan essensial umat
Islam serta diijinkannya siswi SLTP dan SLTA mengenakan jilbab
di sekolah adalah sebagian contoh. Lalu dibentuknya Yayasan
Amal Bhakti Muslim Pancasila oleh Presiden Suharto, disahkannya UU Peradilan Agama, dan akhirnya didirikannya ICMI adalah contoh-contoh lain yang juga perlu disebutkan. Lalu mengapa
kecenderungan yang akomodatif itu muncul?
Pada sisi pemerintah, politik akomodasi terhadap umat Islam
adalah satu-satunya pilihan untuk tidak menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar sama sekali. Pemerintah tampaknya menyadari bahwa umat Islam merupakan kelompok politik yang sangat potensial jika mereka bisa mengorganisir diri sedemikian rupa. Itulah pasalnya. Sehingga kalau umat Islam diletakkan di luar sama sekali, konflik akan sulit dihindari. Ujung-ujungnya adalah efek yang begitu besar terhadap proses pemeliharaan
negara kesatuan. Jelas, ini harga yang terlalu mahal.
Di samping itu, di kalangan pemerintah kini terdapat sejumlah figur yang tidak mengidap "Islamophobia". Beberapa di antara
mereka malahan memiliki dasar dan latar belakang keislaman
yang kuat. Sebut saja Mar'ie Muhammad, BJ Habibie, Emil Salim,
atau Akbar Tanjung. Nama-nama ini sangat berperan dalam
membantu sikap politik pemerintah yang tidak memusuhi Islam.
Aksentuasi kita lebih pada pejabat dari kalangan sipil daripada
pejabat dari kalangan militer maupun perwira ABRI sendiri. Sekalipun Try Sutrisno dan R. Hartono tidak dapat diabaikan dalam
PEMBICARAAN tentang NU sebenarnya sangat menarik, meskipun dalam kenyataannya ia pernah begitu terabaikan oleh insaninsan akademis. Dalam segi-segi tertentu NU adalah fenomena.
Lihatlah bagaimana NU pernah tampil sebagai satu-satunya partai yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan Indonesia era
Demokrasi Liberal, era Demokrasi Terpimpin dan era Orde Baru
dengan prestasi yang relatif stabil, setidaknya dilihat dari prosentase perolehan suaranya dalam pemilu. Masyumi, yang merupakan partai Islam terbesar pada masanya, "gugur" sebagai korban
penyederhanaan kepartaian Sukarno, di mana keterlibatan tokohtokohnya dalam PRRI terpilih sebagai alasan. Sementara partaipartai lain akhirnya kalang-kabut menghadapi taktik buldozer
Golkar di masa awal Orde Baru. Praktis, NU-lah yang tetap bertahan, sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya lebur dalam PPP
Sejak fusi 1973, hingga kurun 11 tahun selanjutnya, NU berada
dalam tahapan yang paling suram dalam catatan biografinya.
Betapa tidak, masa kejayaan politiknya telah berakhir, sementara
untuk mengepakkan sayap di bidang lain masih banyak belenggu
yang menghambat NU. Halangan terbesar adalah image oposan
yang melekat pada NU dan kebanyakan orpol Islam pada umumnya, yang sebenarnya berpangkal pada gaya politik Orde Baru
saat itu yang sedemikian rupa sehingga memaksa partai-partai Islam mengambil posisi defensif. NU di era ini begitu tersudut: NU
hanya bisa berpolitik via PPP, dan, selanjutnva, PPP adalah sebuah "partai oposisi", terlepas dari persoalan bahwa orang-orang
NU di sana juga punya kontribusi terhadap karakteristik oposan
tersebut.
Jadi kedua hal itulah kepolitikan Orde Baru dan keberadaan
NU dalam PPP yang begitu membatasi gerak organisasi para ulama ini. Dengan demikian, langkah reorientasi politik NU di tahun
1951 yang sekaligus membawanya keluar dari PPP pada dasarnya
tidak akan terlalu berarti banyak, jika saja pada saat yang hampir
bersamaan tidak terjadi perubahan pada langgam kepolitikan nasional. Dengan kata lain,"Kembali ke Khittah 1926" menjadi sede9
10
konteks ini, saya masih meragukan apakah sikap yang kurang favariable terhadap umat Islam sebagai akibat pengalaman masa
lain yang tidak mengenakkan sudah benar-benar hilang dari kalangan militer. Mereka pernah mengalami kesukaran yang tidak
ringan saat harus bertempur menghadapi kelompok-kelompok Islam separatis.
Faktor lain, di kalangan umat Islam terjadi perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik. Pada awalnya, umat Islam sangat
menaruh harapan bahwa kelahiran Orde Baru akan mendorong
terwujudnya proses politik yang demokratis di negeri ini. Namun
yang terjadi adalah jauh dari yang diharapkan. Akibatnya umat
Islam terdesak pada posisi yang memaksanya bersikap sangat
kritis bahkan mengarah pada sikap oposan.
Kebanyakan politisi Islam meyakini bahwa demokrasi adalah
cara terbaik bagi penyelenggaraan negara. Demokrasi dipandang
sebagai cara yang paling efektif untuk mewujudkan cita-cita politik Islam. Kita lihat bahwa ketika mekanisme politik berlangsung
secara demokratik, kekuatan Islam memainkan peran yang sangat
menentukan di dalamnya, seperti yang tejadi pada masa-masa
menjelang kemerdekaan. Bagi kalangan Islam, Orde Baru menjadi
tumpuan harapan bagi terwujudnya demokrasi yang gagal di
bangun oleh Orde Lama. Akan tetapi ternyata agenda utama Orde
Baru adalah untuk melaksanakan pembangunan ekonomi yang
bersendikan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya,
stabilitas politik dan keamanan nasional lain menjadi preferable
daripada demokrasi. Tidak heran jika para politisi dan intelektual
Muslim tampil dengan kritikan kerasnya terhadap kebijakan pemerintah, yang selanjutnya membawa akibat, oleh karena pemerintah masih sulit menerima interaksi politik seperti itu-- Islam
tergeser pada posisi marginal dalam konstelasi politik nasional dibandingkan dengan kalangan-kalangan Kristen, Katolik, non-pribumi dan seterusnya.
Namun dalam sepuluh tahun terakhir rupanva telah terjadi
perubahan sikap politik Islam yang cukup berarti. Perubahan itu
berkaitan dengan posisi penetratif seperti yang dilakukan kalangan minoritas. Dengan sikap politik yang penetratif, usaha pencapaian tujuan dan cita-cita politik Islam menemukan cara yang
lebih efektif. Inilah kiranya yang turut menjadi faktor penentu
terjadinya hubungan yang akomodatif antara Islam dan negara.
NU dengan "kembali ke Khittah 1926" dan segala implikasi
politiknya, dapat diletakkan dalam konteks faktor yang disebut
terakhir di atas. Dengan demikian NU telah memberi kontribusi
bagi lahirnya hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah, sekaligus mengambil manfaat dari suasana baru ini untuk
memberi makna yang sangat berarti bagi keputusan untuk kembali ke khittah itu, meski di sana-sini ganjalan sudah pasti ada.
Dalam bidang-bidang pendidikan, dakwah, pengembangan
sumber daya manusia, dan aspek-aspek sosial-keagamaan lainnya,
NU pasca khittah telah berhasil membuat capaian-capaian positif
yang begitu mengesankan Hal ini terutama bermanfaat bagi warga NU di tingkat bawah. Di sini, khittah telah menjadi dorongan
yang sangat positif untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan di masa lalu. Namun di bidang politik, kita akan mendapati bahwa khittah kerapkali hanya menjadi sumber inspirasi baru bagi kontroversi demi kontroversi yang muncul pada tingkat elit NU. Kerapkali terjadi pendapat-pendapat yang satu sama lain saling berbeda, bahkan saling bertentangan semuanya menyatakan sebagai
didasari oleh semangat khittah. Contoh terakhir adalah yang terjadi menjelang dan setelah Muktamar PPP 1994, ketika sejumlah
tokoh NU begitu berambisi untuk memperoleh jabatan di partai
itu, dan tokoh-tokoh NU lainnya mengecam mereka. Kita dapat
mengikuti perang statemen antara mereka di media massa, di
mana kata "khittah" adalah yang paling sering disebut-sebut. Sekalipun ambisi untuk mendapatkan kursi ketua umum partai gagal, dan Ismail Hasan Metareum terpilih kembali seperti yang
saya prediksikan (bukan saya "kampanyekan" seferti tuduhan sementara orang), namun fenomena ini sangat penting untuk dicatat. Sebabnva adalah pertama, karena hal itu menggambarkan betapa khittah masih belum mampu menyeragamkan orientasi politik orang-orang NU. Bahwa mereka bebas memilih saluran aspirasi politiknya masing-masing, jelas telah dijamin oleh khittah.
Tapi masalahnya, tokoh-tokoh ini selalu mrmbawa-bawa nama
NU dalam manuver-manuver politiknya, yang menyebabkan netralitas NU masih kerap dipertanyakan. Kedua, peringatan akan
terjadinya penggembosan kembali PPP turut mewarnai kekecewaan terhadap formasi kepengurusan baru yang dinilai tidak men11
12
cerminkan realitas massa pendukung partai. Bukan mustahil
orang akan jadi bertanya-tanya, mengapa NU seolah-olah masih
belum bisa lepas sama sekali dari PPP? Benarkah akan terjadi
penggembosan kembali?
Namun persoalan yang lebih penting adalah mengapa masih
terjadi pertentangan pendapat di seputar implikasi politik khittah?
rupa-rupanya komitmen untuk menjaga netralitas NU, serta untuk tidak menjadikannya sebagai orpol, masih sangat lemah terutama di kalangan politisi NU. Tampaknya hanya Abdurrahman
Wahid yang masih memiliki komitmen murni sebagaimana yang
dikehendaki oleh deklarasi Situbondo 1984. Bahkan sebagian tokoh NU masih ada yang menginginkan organisasi itu kembali
menjadi partai politik. Sebagian yang lain masih mencoba mendominasi kemhali PPP dengan alasan jumlah massa NU yang sangat besar adalah pendukung potensial partai itu. Klaim ini jelas
sangat tergesa-gesa, sebab warga NU kini sudah sangat beragam
orientasi politiknya. Setidaknya terdapat empat kelompok dalam
NU yang memiliki orientasi berbeda-beda. Pertama, kalangan
yang masih setia kepada PPP dan tetap bertahan di sana. Orang
seperti Hamzah Haz tampak begitu setia dan peduli terhadap
semua persoalan PPP terutama ketika partai ini menghadapi berbagai macam tantangan.
Kedua, kalangan NU yang telah melakukan eksodus dari PPP
menuju ke Golkar atau PDI dan mengembangkan karier politik
mereka di sana. Alasannya bisa karena mereka mempunyai citacita yang berbeda dengan prioritas agenda politik PPP. Bisa juga
karena secara rasional mereka melihat bahwa PDI atau Golkar lebih menjanjikan prospek yang lebih baik bagi karier politik mereka
dibandingkan PPP. Atau pula karena alasan yang teramat pragmatis dan oportunis: karena mereka akan memperoleh fasilitas
yang lebih baik jika bergabung dengan Golkar. Kita tidak berbicara tentang soal baik dan buruk, karena ini adalah bagian dari
rasionalitas politik.
Ketiga, tokoh-tokoh NU yang kecewa terhadap kepemimpinan PPP. Naro ketika itu, dan oleh karenanya meninggalkan partai
itu dengan penuh rasa kecewa dan sedikit dendam. Kalangan inilah yang di tahun 1987 melakukan penggembosan terhadap PPP
sehingga perolehan suaranva menurun drastis. Kita dapat menye-
but nama KH Jusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi dalam kelompok ketiga ini.
Dan keempat adalah orang-orang yang masih memiliki komitmen terhadap khittah dan bertekad untuk mempertahankannya.
Kalangan ini mempunyai orientasi politik dalam tingkat lobi dan
bukan melalui lembaga legislatif, dengan pertimbangan efektifitas
mengingat konfigurasi politik nasional dewasa ini. Bagi mereka,
sebut saja Gus Dur dan kelompoknya, berpolitik sebagaimana parpol bahkan bisa merugikan NU sendiri.
Dan herbicara tentang penggembosan, rasanya hal itu sulit ter
jadi. Saya melihat bahwa kelompok ketiga dalam kategori di atas
memang potensial untuk kembali melakukan penggembosan.
Akan tetapi jika mereka mau melakukan kontemplasi, akan jelas
ini hahwa penggembosan hanya bakal menjadi counter produc
tive. Jika itu terjadi, citra NU akan memburuk. Orang akan mencap NU telah bermain di luar sistem yang ada, dan ini akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya peluang orangorang NU untuk memimpin partai akan kian kecil, kecuali partai
itu bernama NU.
Di samping itu, masa rekrutmen calon legislatif untuk Pemilu
1987 adalah masa yang sangat krusial, berkaitan dengan isu suksesi nasional saya yakin bahwa Buya Ismail tidak akan gegabah
meninggalkan orang-orang NU, bahkan ia akan mengakomodasi
dengan lebih baik daripada muktamar lain. Ia tentu tidak akan
mengulangi kesalahan Naro di waktu lalu. Bahkan sangat mungkin ia akan terus membenahi kesalahan itu dengan memperhatikan aspirasi NU didaerah-daerah yang merupakan basis NU.
Dan akhirnya, bagaimanapun PPP masihlah rumah politik
yang paling baik bagi para Nahdhiyyin daripada partai politik
lainnya. Di Golkar sudah penuh sesak dengan beragam kalangan
Islam, terutama yang belum dan memiliki ikatan kepentingan dengan ICMI. Orang pasti masih ingat akan kritik Gus Dur tentang
ICMI, dan di samping itu memperkuat Golkar yang sudah sedemikian besar tentu tidak sejalan dengan visi Ketua Umum PB
NU yang punya komitmen tinggi terhadap demokrasi itu. Sementara dengan PDI, terdapat hambatan-hambatan kultural yang tidak memungkinkan orang-orang NU aktual di sana. NU tidak
akan begitu saja bisa bersanding, apalagi berbagi program dan
13
14
agenda kerja dengan mesra dengan kalangan sekuler yang begitu
dominan di PDI, demikian pula dengan sayap-sayap Kristen dan
Katolik di sana. Barangkali sangat jitu ucapan KH Alawy
Muhammad bahwa beliau akan bergabung dengan PDI jika partai
itu mempunyai program yang islami. Dan saya meragukan lahirnya
program yang Islami itu.
dalam proses pernbuatan kebijakan nasional, tanpa mempersoalkan kursi jabatan publik yang didapatnya. Secara ideatif, hal yang
disebut terakhir ini diserahkan pada masing-masing individu warganya.
Selain sebagai kelompok kepentingan buku ini juga mengupas
NU sebagai penganut paham Islam ahlussunnah wal Jamaah. Sehingga di sini dapat ditemui keterpaduan antara pendekatan kultural dan pendekatan struktural, termasuk ketika menjelaskan kepolitikan Orde Baru sebagai konteks makro di mana NU berada.
Sekalipun isi dan uraiannya tidaklah asing lagi bagi mereka yang
selalu mengikuti perkembangan NU, namun buku yang diangkat
dari karya skripsi ini jelas telah menyajikan pendekatan baru dalam mengamati NU.
Bahwa di sana-sini terasa ada bias NU, tapi itu tidak mengurangi makna kontributif buku ini bagi kajian NU dan analisis
politik pada umumnva. Bagaimanapun unsur subjektifitas dalam
suatu karya ilmiah kerap sulit dihindari, dan itu tidaklah terlalu
tabu sejauh tidak mengalahkan unsur objektifitasnya. Terlebih lagi
dalam lingkup ilmu sosial, kita harus mengakui bahwa objektifitas
yang 100 % murni memang sulit dibangun.
NU setelah kembali ke Khittah 1926 memang sangat menarik
dan penuh dengan dinamika yang hampir-hampir tidak dapat di
prediksikan sebelumnya. Barangkali itulah sebabnya selama sepuluh tahun terakhir ini kajian-kajian ilmiah tentang NU meningkat
pesat baik di segi kualitas maupun terlebih lagi kuantitas. Kajiankajian itu lahir baik dari tangan pengamat-pengamat asing yang
begitu intens meneliti NU atau gerakan islam di Indonesia pada
umumnya (seperti Nakamura, Feillard, dan Van Bruinessen), maupun dari para analis di dalam negeri sendiri. Di dalam negeri para
pengamat NU dapat dibagi dua, yakni mereka yang berasal dari
kalangan non-NU (seperti Mahrus Irsyam) bahkan non-muslim
(seperti Einar Martahan Sitompul), dan mereka yang berlatar
belakang NU terutama generasi mudanya yang kian banyak menimba ilmu di luar pesantren. Generasi muda NU yang mempelajari antropologi, sosiologi, atau ilmu politik kerap menghasilkan karya ilmiah yang cukup menarik tentang NU karena itu
dilakukan dengan ketertarikan yang mendalam terhadap akar kultural mereka itu. Buku karya Abdul Gaffar Karim ini lahir dalam
kecenderungan tersebut.
Poin terpenting buku ini adalah usahanya untuk melihat NU
dalam kerangka sebagai kelompok kepentingan, dan tampaknya
ini adalah buku pertama yang menyoroti NU dari sudut pandang
itu. Definisi Almond yang lazim dipakai mengatakan bahwa kelompok kepentingan adalah setiap kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik tanpa pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik. Dengan ini dapat
dibuatkan bingkai penjelasan yang paling pas bagi kepolitikan NU
pasca khittah, yang dalam buku ini disebutkan telah terjadi reorientasi dari kuantitas ke kualitas politik. Dalam titik berat pada
kualitas politik, NU terus berupaya untuk tetap ambil bagian
Yogyakarta, Mei 1995
15
16
BAB I
PENDAHULUAN
DISKUSI tentang dan sistem kepartaian di Indonesia seringkali
menghasilkan kesimpulan yang kurang tuntas. Klasifikasi sistem kepartaian yang lazim dikenal, yang antara lain dikemukakan oleh
Maurice Duverger, tidak dapat secara pas membingkai sistem kepartaian Indonesia saat ini. Dalam klasifikasi "konvensional" itu
(berdasarkan jumlah partai yang ada dan pola interaksi antara mereka), terdapat tiga sistem kepartaian: sistem partai tunggal (oneparty system), sistem dua partai (two-party system), dan sistem
multi partai (multy-party system).1 Terminologi "partai tunggal"
dan "dua partai" tidaklah selalu berarti bahwa dalam suatu sistem
politik hanya terdapat satu atau dua parpol saja. Sebab istilah itu
mengacu pada jumlah parpol yang terus-menerus mendominasi semua porsi peran dalam pentas politik yang ada. Dalam sistem satu
partai, boleh jadi terdapat dua atau lebih partai politik. Namun suasana kepartaian yang ada sangat tidak kompetitif: partai-partai politik yang ada harus menerima pimpinan dari partai yang dominan
dan sama-sekali tidak diperkenankan bersaing secara bebas melawan partai itu. Pemilihan umum, dengan demikian, tidak diperlukan dalam sistem kepartaian ini. Dalam sistem dua partai pun, bisa
saja terdapat tiga atau lebih parpol, tapi peran dominan selalu dipegang oleh dua parpol tertentu. Jika salah satu dari keduanya berkuasa (karena menang mutlak dalam pemilu), maka yang lain tampil sebagai partai oposisi. Demikian secara bergiliran. Amerika Serikat adalah contoh paling jelas bagi sistem dua partai. Sementara dalam sistem multi partai, terdapat banyak parpol dengan kekuatan
kurang lebih imbang, serta terdapat pola kompetisi yang maksimal
dan terbuka di antara mereka. Salah satu kesulitan yang sering
muncul dalam sistem kepartaian ini adalah tidak adanya parpol
yang menang mutlak (50 % tambah satu suara) dalam pemilu, sehingga pemerintahan yang terbentuk kerapkali merupakan koalisi
dari beberapa parpol. Tak jarang koalisi itu demikian longgar, sehingga pemerintah bisa sewaktu-waktu jatuh karena partai tertentu
menarik dukungannya dari koalisi.
Di manakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi tersebut? Tidak ada jawaban yang persis te17
pat. Sistem kepartaian Indonesia jelas bukan sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multi
partai pun terdapat banyak ganjalan. Sekalipun Golkar sepanjang
sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian
nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki
peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang ada
pun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun.
Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem
multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi
kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jeias
kurang memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk
mengamati sistem kepartaian Indonesia.
Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu agaknya
dapat diambil dari Dr Afan Gaffar (2 yang mengidentifikasi sistem
kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik
(hegemonic party system), istilah yang diperkenalkan pertama kali
oleh La Palombara dan Weiner.3 Ciri sistem kepartaian ini adalah,
Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal
ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai
hegemonik itu.4 Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa
faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan
aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga
kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi
massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai politik yang ada;
dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang
dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu.5
Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI
praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya
sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang (floating
mass) telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat peme18
rintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar.
Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa dalam polifik pengambilan keputusan (the
politics of policy making) hubungan yang bersifat pribadi (personal
linkage) lebih menonjol daripada institusional Linkage,6 memungkinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih
berarti daripada parpol. Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem
politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab elit kelompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya,
seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain.7
Dalam konteks inilah maka Jam'iyah Nahdlaful Ulama sebagai
salah satu kelompok kepentingan (interest group) terbesar di Indonesia perlu memperoleh perhatian lebih serius dalam kajian tentang
kepolitikan Indonesia kontemporer. Selama ini, Nahdhatul Ulama (8
yang dianggap "sayap tradisionalis" umat Islam Indonesia kurang
memperoleh perhatian ilmiah yang memadai dari para pengamat
politik, dibandingkan dengan Muhammadiyah, yang dianggap "sayap modernis" umat Islam Indonesia. Ward (9 misalnya mengeluh
bahwa NU adalah yang paling sedikit memiliki kelemahan internal
dan paling sedikit mengalami perpecahan internal, ironisnya, NU
juga partai yang paling kurang dipahami dan paling sedikit teramati." Hal yang sama dikemukakan Anderson.lO Ia melihat bahwa
sedikit sekali kalangan akademisi yang mengetahui tentang NU; belum ada disertasi doktor yang pernah ditulis tentang NU, dan dia
meragukan apakah akan segera ada disertasi tentang NU, padahal
NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik
yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Keluhan Ward dan Anderson itu memang dilontarkan beberapa tahun
lampau, namun relevansinya belum hilang sampai sekarang.
Sebuah ironi, mengingat bahwa NU adalah kelompok kepentingan
dengan jumlah anggota yang sangat besar, barangkali yang terbesar,
di indonesia hingga saat ini.
Berapa besar massa NU? Inilah estimasi Zamakhsyari Dhofier:
19
Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4 %
dan pada PEMILU 1971 persentase naik menjadi 18,7 %. Persentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesia sekarang yang diperkirakan sebesar 18O juta maka jumlah pendukung NU dapat diperkirakan sebesar 33 juta orang.
Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat
sederhana, namun angka yang disebutkan tentulah tidak jauh bergeser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU tidak sepatutnya
mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian
yang minim, dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih
massa dalam naungannya itu.
Latar Belakang
NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar
perjuangan yang dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdirinya NU bukan merupakan partai atau organisasi politik, melainkan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial keagamaan. Namun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam aktifitas NU tidak kecil, terutama karena dalam tujuan pendiriannya
sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu.l2 Setelah beberapa tahun bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial keagamaan, bergabungnya NU ke dalam MIAI (Majlisul Islam A'la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini. Di dalam
MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif
menyuarakan tuntutan Indonesia berparlemen.l3 MIAI, setelah melalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi cikal bakal Partai Masyumi
dimana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di masa awal kemerdekaan.
Tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik tersendiri, menyusul munculnya serangkaian
kekecewaan NU terhadap Masyumi yang berkaitan dengan masalah
distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi itu.14
Keluarnya NU dari Masyumi memungkinkan organisasi ini untuk lebih mengaktualisasikan diri. Prestasi spektakulernya yang per20
tama diukir dalam Pemilu 1955. Walaupun dengan masa persiapan
yang lebih singkat dibandingkan partai-partai politik lain, NU
mampu menempati peringkat ketiga perolehan suara setelah PNI
dan Masyumi. NU meraih 18,4 % suara dan 45 kursi di parlemen.l5
Perkembangan selanjutnya membawa NU terlibat secara langsung
dalam pasang-surut kepolitikan nasional. Pada Pemilu 1971, pemilu
pertama di masa Orde Baru dan pemilu kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, NU memperbaiki prestasinya dengan menempati
urutan kedua setelah Golkar, dengan meraih 18,67 % suara dan 58
kursi di parlemen.16
Dua tahun setelah Pemilu 1971 dilakukan penyederhanaan kepartaian di Indonesia. Sembilan partai politik yang ada disederha
nakan sehingga hanya menjadi dua partai politik saja, di samping
Golkar. NU, bersama Parmusi, PSII, Perti, bergabung dalam PPP.
Sementara PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo, berfusi
dalam PDI.17 Baik PPP maupun PDI sebenarnya merupakan buah
dari fusi yang tidak pernah tuntas. PDI tersusun dari unsur-unsur
yang masing-masing memiliki asas yang berlainan: nasionalis, sosialis, Katolik dan Kristen. Benang merah yang menyatukan keanekaragaman asas itu sebenarnya rapuh dan mustahil dapat terikatkan
tanpa adanya rekayasa pemerintah. Begitu pula PPP. Sekalipun semua unsurnya berasaskan Islam, tapi masing-masing memandang
dan mempersepsikan asas itu dalam visi yang berbeda. Setidaktidaknya, terdapat dua aliran pemikiran utama dalam PPP, yaitu kelompok modernis yang secara longgar terdapat dalam MI dan SI,
serta kelompok tradisionalis dalam NU dan Perti.18
Fusi yang tidak tuntas itu menyebabkan perkembangan kedua
partai tersebut selalu diwarnai oleh konflik internal antar unsur
yang seakan tidak pernah usai. Bahkan akhir-akhir ini (1993), konflik dalam tubuh PDI telah melibatkan kekerasan fisik, sehingga tidak kurang dari Kwik Kian Gie, seorang tokoh PDI, dalam otokritiknya menyayangkan kiprah partai banteng ini yang tampak seperti "partai kampungan yang bisanya cuma berkonflik."19 Sementara dalam PPP, konflik internal tampak terpola sebagai pertentangan antara kalangan modernis dan kalangan tradisionalis, terutama antara MI dan NU. Pada mulanya konflik itu memang relatif
laten, namun memasuki era 1980-an konflik NU-MI kian nyata,
yang antara lain menyangkut kedudukan dalam partai dan DPR. Se21
mentara campur tangan pemerintah dalam konflik internal itu semakin manguatkan MI vis a vis NU, maka kronologis keluarnya
NU dari Masyumi seolah terulang lagi. NU yang memendam kekecewaan terhadap PPP, mulai menjelang Pemilu 1982 telah mengancam akan keiuar dari partai itu. Ancaman ini kemudian ternyata
tidak main-main.
________________________________________________________
_____________
________________________________________________________
_____________
1. Lihat misalnya, Miriam Budiajo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta:
PT Gramedia, 1983), h. 167-170.
2. Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A
Hegemonic
Party System (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992).
3. Ibid., h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami
tiga sistem
kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi
liberal, di
mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam
suasana
kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan
mayoritas.
Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa
yang
disebutnya 'No-party System". Tingkat kompetisi antar partai
sangat rendah.
Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama
dalam
kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan
PKI. Dan
22
ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak
kemenangan
besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid, h. 35-36.
Pengaruh NU," dalam S. Sinansari ecip (ed.) NU dalam Tantangan
(Jakarta:
Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47.
4. Ibid, h. 51-61.
12. Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul
Ulama
(Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat juga Manfred Ziemek,
Pesantren dalam
Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65.
5. Ibid., h. 37-38.
6. Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan
Nasional,"
dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek Pembangunan Orde
Baru (Solo:
CV Ramadhani), h. 21.
7. Ibid., h. 22.
8. Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama
adalah
bentuk plural dari kata 'alim yang secara khusus berarti orang yang
menguasai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul
Ulama berarti kebangkitan ulama. Selanjutnya disebut NU saja.
9. Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash
University Press,
1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito, NU dalam Pemilu
L971
(Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3.
13. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES,
1980), h.
289-290.
14. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional Jakarta: PT Pustaka
Utama
Graffiti, 1987), h. 80-86.
15. Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in
Indonesia (Ithaca:
Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h. 434f.
16. M. Rusli Karim, Peialanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah
Potret Pasangsurut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170. Sebuah penelitian
tentang NU dalam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito,
op. cit.
17. Karim, ibid., h. 172f.
1O. Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in
Indonesia (Clayton,
Victory: Monash University, 1977), sebagaimana dikutip dalam
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3S), h. 4.
18. Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT
Grasindo, 1991), h.
9.
19. Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam
acara
Selamat Pagi Indonesia, 23 Juli 1993.
11. Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar
Kekuatan dan
23
24
Pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 membuahkan
keputusan yang mengejutkan, yaitu bahwa NU menerima Pancasila
sebagai asas tunggal, mendahului organisasi massa mana pun.20 Keputusan itu ditegaskan kembali dalam Muktamar NU ke 27 tahun
berikutnya di kota yang sama. Muktamar ini merupakan titik balik
sejarah NU, sebab di sini dilahirkan keputusan penting NU untuk
kembali ke Khittah 1926.21 Salah satu makna dan konsekuensi yang
dibawa dalam keputusan ini adalah bahwa NU tidak lagi terikat
dalam PPP. Terlebih dengan diputuskannya kemudian tentang pelarangan perangkapan jabatan antara pengurus NU dengan pengurus
orpol, termasuk PPP, khususnya pengurus harian. Keluarnya NU
dari PPP kemudian disusul oleh aksi "penggembosan" NU terhadap
PPP menjelang Pemilu 1987. Dalam pemilu ini PPP mengalami kemerosotan perolehan suara yang sangat drastis dibandingkan pemilu sebelumnya.22 Untuk menyimpulkan bahwa kemerosotan perolehan suara PPP disebabkan oleh aksi penggembosan NU barangkali terlalu tergesa-gesa. Tapi bahwa fenomena yang disebut pertama muncul setelah adanya fenomena yang disebut belakangan,
jelas tidak dapat dipungkiri.
Kembali kepada produk muktamar 1984, dalam keputusan
kembali ke Khittah 1926 pada umumnya dipandang terdapat makna
bahwa NU memutuskan untuk tidak lagi berpolitik. Konsekuensinya adalah adanya pemisahan tegas antara kegiatan-kegiatan politik
dan kegiatan-kegiatan nonpolitik. Dan NU mencurahkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan non-politik (praktis), sosial keagamaan,
sebagaimana semangat tahun 1926.23
Tetapi benarkah NU mampu memusatkan perhatian dan mengarahkan aktifitas-aktifitasnya semata-mata di bidang sosial keagamaan dan sama sekali memalingkan muka dari aktifitas politik?
Kenyataan yang teramati memberikan jawaban negasi bagi pertanyaan tersebut.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum menapaki kenyataan yang ada itu lebih jauh. Pertama, sebagaimana disebutkan
pada beberapa paragraf di muka, dalam tujuan pendirian NU sejak
awal pun telah terkandung muatan-muatan politik. Kalaupun gerakan NU pada tahap-tahap awalnya tidak menonjolkan orientasi
politiknya, itu hanya soal waktu. Ketika orientasi politik yang embrional itu mulai meronta dan menuntut agar dirinya segera di25
lahirkan dalam tindakan-tindakan riil dan tidak hanya tersimpan
laten, maka bentuk organisasional NU yang waktu itu masih murni
jam'iyah diniyah tidak kuasa membendungnya. Bentuk organisasilah yang kemudian menyesuaikan diri dengan orientasi gerakan
NU, dan bukan sebaliknya. Dalam catatannya tentang fenomena
keluarnya NU dari Masyumi untuk berdiri sebagai parpol tersendiri, Bambang Santoso Haryono menilai bahwa tindakan yang juga
merupakan upaya adaptasi terhadap orientasi politik yang kian kasat mata itu sekadar merupakan perluasan wawasan yang harus
dimainkan dalam rangka mencapai tujuan (awal) keorganisasiannya, yaitu menegakkan syariat Islam secara murni berdasarkan
paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianutnya.24 Penilaian ini
cukup beralasan, sebab bagi NU, fungsi organisasi hanyalah seka
dar alat untuk mencapai tujuan. Itu berarti, bentuk organisasi semata-mata bukanlah merupakan tujuan, apalagi tujuan akhir.25
Apapun bentuk organisasi yang disandang NU dalam kala tertentu,
hal itu terutama sekali haruslah dipandang sebagai adaptasi diri
terhadap konteks, yang setiap saat sangat dimungkinkan untuk berubah sepanjang usaha pencapaian tujuan yang terkandung dalam
nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah menghendaki begitu. Jadi, terlalu tergesa-gesa untuk mengestimasi bahwa berubahnya bentuk
organisasi NU kembali ke wujud organisasi sosial-keagamaan serta
merta akan melunturkan orientasi politiknya, betapapun secara
formal telah ditetapkan untuk tidak lagi berpolitik (praktis).
Kedua, politik tampaknya telah telanjur menjadi sebuah elan
NU, yang telah terasah tajam sepanjang pergulatannya secara langsung dalam politik praktis selama kurun waktu tak kurang dari 32
tahun (1952-1984). Karena itu, mustahil untuk memaksa NU sepenuhnya meninggalkan arena politik dan diam menjadi penonton pasif. Hal ini tentu saja disadari oleh para elit NU, termasuk mereka
yang menandatangani keputusan untuk kembali ke Khittah 1926.
Tampaknya dilandasi oleh kesadaran inilah, maka pada konsideran
Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983
Tentang pemulihan Khittah NU 1926, yang kemudian dikukuhkan
dengan keputusan Muktamar NU No. 01/MNU-27/1984, antara
lain disebutkan bahwa:
Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari
26
Nahdhatui Ulama telah menjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang berlehihan dalam kegiatan politik praktis ... 26
Pemakaian kata "berlebihan" dalam konsideran di atas tentu bukannya tanpa makna. Agaknya, yang dimaksud oleh para perumus
keputusan tersebut dengan "pemulihan Khittah 1926" bukanlah sama sekali turun dari pentas politik, melainkan meminimalkan keter
libatan "yang berlebihan"dalam politik itu, yang menyebabkan tokoh-tokoh NU akhirnya hanya memikirkan kepentingan dan ambisi
politik pribadinya saja, sementara kepentingan umat/warga NU
terabaikan. Keterlibatan dalam politik dengan demikian tetap ditolerir, sejauh tidak berlebihan, dan didedikasikan kepada "kepentingan umat dan bangsanya.
Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, kalangan ulama/kiai NU
yang berpandangan demikian. Tidak kalah cerobohnya adalah kebanyakan pengamat yang serta-merta menafsirkan bahwa dengan
kembali ke Khittah 1926 NU akan meninggalkan gelanggang politik
sama sekali. Sementara kelompok politisi NU ternyata masih menginginkan kepolitikan praktis bagi NU. Salah satu tokoh yang cukup
vokal adalah Mahbub Djunaedi, salah seorang Ketua PB Tanfidziyah
NU (1984-1989) dan anggota Mustasyar (1989-1994). Menjelang Munas Alim Ulama NU 1987, Mahbub melontarkan gagasan agar NU
kembali berpolitik praktis, walaupun telah menyatakan diri kembali
ke Khittah 1926. Gagasan ini kemudian dikenal sebagai "Khittah
plus."27 Menurutnya, dengan jumlah massa yang begitu besar. tidak
semestinya NU hanya berdiam pasif di luar pagar arena politik dan
hanya berfungsi sebagai pemberi suara saja. Ia bahkan memberikan
usulan yang sulit terealisir agar NU kembali menjadi partai politik.
Dalam keyakinannya, jika warga NU ditanya satu per satu, masih
banyak yang menginginkan NU jadi parpol "jika keadaan memungkinkan."28 Satu hambatan besar bagi gagasan Mahbub itu adalah
bahwa keadaan sama sekali tidak memungkinkan. Menjadikan NU
sebagai parpol adalah sangat mustahil, sebab itu akan berbenturan
dengan peraturan perundangan yang ada.
Nuddin Lubis, mantan Wakil Ketua DPR RI, mempunyai pandangan yang lebih rasional dan pragmatis, sebab ia tidak sampai
27
mengusulkan agar NU kembali menjadi parpol.29 Lubis secara implisit menyarankan agar NU kembali memiliki ikatan dengan salah
satu orpol sebagai saluran resmi aspirasi politik warganya. Keadaan
NU yang mengambang saat ini jelas tidak menguntungkan warga
nya. Demikian pula jika dilihat dari kacamata objektif bahwa hal itu
berarti potensi jutaan sumber daya insani yang terwadahi dalam
NU tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kepentingan
negara, bangsa dan pemerintah. Khittah 1926 sendiri perlu dikaji secara mendalam dan dirinci lebih jelas agar warga NU dapat lebih
memahaminya. Lubis yakin bahwa Khittah 1926 membenarkan NU
aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik praktis. Sebab sejak NU
baru didirikan, dengan Khittah 1926 sebagai garis perjuangannya,
organisasi ini terus terlibat dalam politik praktis.
Keinginan untuk tetap berpolitik, dengan segala variannya itu,
akhirnya memang mesti berbenturan dengan pandangan umum kebanyakan para ulama NU yang memiliki penafsiran sendiri tentang
Khittah. Mereka tetap bersikukuh dalam klaim bahwa kembali ke
khittah 1926 berarti NU tidak iagi berpolitik.
Namun klaim itu tampaknya tetap tinggal jadi klaim saja. Orientasi politik NU ternyata tak pernah surut, dan warna politik dalam kiprah NU tampaknya tidak pernah pudar. Salah satu peristiwa
monumental yang membuktikan hal itu adalah dilangsungkannya
Rapat Akbar NU menjelang Pemilu 1992 yang berhasil menghimpun ratusan ribu warga NU. Dilihat dari jumlah keseluruhan warganya yang puluhan juta orang, angka ratusan ribu yang terhimpun
itu memang kecil. Tapi jika dilihat bahwa rapat akbar itu dilaksanakan tepat pada hari pertama larangan Mendagri untuk mengadakan
pertemuan-pertemuan umum karena sudah mendekati pemilu,30
angka di atas jadi berbicara lain. Di tengah kontroversi akan makna
yang dikandungnya, Rapat Akbar itu secara atraktif telah membuktikan kapasitas seorang Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB
NU. Ia bukan saja mampu menunjukkan besarnya dukungan warga
NU terhadapnya namun juga telah menempatkan pemerintah pada
pilihan yang sulit dan dilematis. Untuk tidak memberi ijin pelaksanaan rapat akbar pemerintah terbentur pada isu keterbukaan yang
telah turut digembar-gemborkannya, sementara untuk begitu saja
mengijinkan terasa begitu riskan. Rapat Akbar NU 1992, yang mes
kipun disangkal sebagai politik praktis namun oleh Sekjen PB NU
28
Ichwan Syam diakui sebagai sebuah langkah politik,31 tentu mengagetkan banyak pengamat yang telah terlanjur mapan dalam kesimpulan bahwa kembali ke khittah berarti surutnya kepolitikan NU.
Mozaik NU pasca 1984 memang tampak rumit. Warna-warni
yang kian beraneka-ragam yang muncul dalam aktifitasnya dapat
menyilaukan mata para pengamat, jika mereka tidak berdiri dalam
sudut pandang yang tepat serta dengan kacamata yang tepat pula
dalam menganalisis NU. Andree Feillard,32 menyadari betul hal itu.
Penilaiannya tentang NU dikutip agak panjang di sini:
NU telah memilih untuk melaksanakan hijrah dengan caranya sendiri, dalam suatu bentuk yang lunak. Yaitu: meninggalkan pertarungan kekuatan dalam PPP, dan memusatkan diri
dalam upaya membangun kembali (konsolidasi) kekuatannya
telah sangat melemah setelah bertahun-tahun bertarung
dengan pemerintah, namun tetap memasuki sistem yang ada
sekarang. Ketimbang meminta PPP untuk bertarung untuk kepentingannya, NU mencoba mempertahankan kepentingannya
lewat siapa saja yang menawarkan diri: bisa jadi itu Golkar, tapi sering pula melalui Presiden sendiri. NU tahu bahwa DPR,
yang meniru model parlementer ala Barat, telah kehilangan
pengaruhnya dalam lobi politik, sebagaimana kebanyakan kasus di negara-negara Dunia Ketiga. NU setengahnya menolak
sistem ini, tetapi juga mengeksploitasinya dengan lebih cerdik
lagi. Ambiguitas ini tampak dalam semua langkah yang diambil NU: bahkan sejak Situbondo (kembali ke khittah), dan akan
selalu mewarnai pertanyaan yang berkisar seputar khittah.33
Di bagian lain, Feillard juga mengingatkan bahwa pada saat ini,
NU mungkin bukan suatu gerakan politik ..., tetapi ia tetap
suatu kekuatan politik. Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari politik sama sekali.34
gabung dalam PPP, model kepolitikan itu cukup jelas dan tidak
terlalu menjadi persoalan. Lepas dari masalah efektifitas, kepentingan dan aspirasi politik warganya dapat secara langsung ter
salurkan melalui badan legislatif di mana NU turut memiliki kursi.
Namun setelah 1984, model kepolitikan NU jelas memerlukan formulasi baru. Dan ini bukan merupakan persoalan yang dapat dikatakan mudah, mengingat masih ada perbedan pendapat di kalangan
elit NU sendiri akan makna kembali ke khittah itu dalam implikasi
politiknya. Berdasarkan semua uraian-uraian di atas, maka buku ini
akan
mencoba menjawab beberapa permasalahan tentang dinamika NU
dalam implementasi keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, arah
dinamika itu dan model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi Khittah.
Kerangka Konseptual
Salah satu "keuntungan" dalam mempelajari NU adalah tersedianya seperangkat kerangka nilai yang telah "terkodifikasi" dan secara konsisten menjadi acuan jam'iyah ini dalam hampir semua
perilakunya, dan karenanya dapat menjadi salah aatu penjelas perilaku-perilaku itu. Namun untuk setidaknya dua alasan: pertama, sangat kontekstualnya pola aplikasi kerangka nilai itu, baik menurut
konteks "siapa" yang melaksanakannya maupun konteks "kapan" nilai itu diaplikasikan,35 dan kedua, bahwa sebagai kelompok
kepentingan NU merupakan infrastruktur yang hidup dalam sistem
politik Indonesia, maka kajian tentang NU pertama sekali harus
dilakukan dengan meletakkannya dalam konteks makro kenegaraan
Indonesia, khususnya Orde Baru.
Orde Baru: Perspektif Kultural
Pada pokoknya terdapat dua pola umum dalam memandang
kepolitikan Orde Baru, yaitu pandangan yang cenderung memakai
pendekatan kultural dan yang menekankan pendekatan struktural.
Dalam pendekatan terakhir, biasanya ekonomi dan organisasi negara menjadi variabel penting. Para penganut perspektif kultural me-
Jika asumsi Feillard ini dapat disetujui, dan tampaknya memang demikian, maka agenda NU adalah mencari model kepolitikan yang tepat dalam kapasitasnya saat ini. Pada era sebelum
1984, ketika NU masih berupa partai politik maupun ketika ber29
30
yakini adanya kontinuitas sejarah: banyak sekali karakteristik kepolitikan Indonesia modern yang merupakan "reinkarnasi" tradisi politik jawa sejak era pra-kolonial. Benda,36 misalnya, menilai otoriterisme di Indonesia jauh berakar dalam sejarah bangsa ini. Karena itu,
Demokrasi Konstitusional, demokrasi "asing" yang pernah dicoba
penerapannya di Indonesia pada 1950-an, akhirnya gagal.
Sementara penganut perspektif kultural lain, seperti Anderson (37
dan Fachry Ali,38 secara lebih eksplisit membuktikan banyaknya paham dan budaya poiitik Jawa yang terefleksi pada karakteristik baik
regim Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Bukan kompetensi
kajian ini untuk melihat refleksi itu dalam detil. Namun tetap perlu
untuk setidak-tidaknya melakukan overview terhadap beberapa aspek yang menonjol dalam konsep Jawa tradisional tentang kekuasaan. Mengacu pada Anderson, aspek-aspek itu meliputi empat hal.39
Kekuasaan itu konkret. Lepas dari persoalan siapa yang menggunakan, yang pasti kekuasaan itu ada. Lebih dari sekadar anggapan teoritik, maka kekuasaan sebenarnya adalah suatu "kenyataan
eksistensial yang terwujud". Kekuasaan adalah energi yang tak teraba, misterius, bersifat agung, serta termanifestasi dalam setiap aspek dunia alamiah: dalam batu, kayu, awan dan api, dan terutama
dinyatakan dalam misteri kehidupan yang terpokok, yaitu proses
generasi dan regenerasi. Dalam alam pikiran tradisional Jawa tidak
ada pemisahan yang tajam antara zat-zat organis dan anorganis, karena semuanya ditopang oleh kekuatan tak terlihat yang sama.
Kekuasaan itu homogen. Semua kekuasaan mempunyai jenis
yang sama serta berasal dari sumber yang sama. Kekuasaan di tangan individu atau kelompok tertentu adalah identik dengan kekuasaan di tangan individu atau kelompok lain manapun.
Besarnya kekuasaan di alam semesta adalah konstan. Alam
semesta tidaklah mengendor atau mengerut. Jadi jumlah kekuasaan
di dalamnya pun tidak berubah, meskipun pembagian kekuasaan
itu barangkali bisa berubah. Itu berarti, terputusnya kekuasaan di
satu pihak mengharuskan pengurangan kekuasaan di tempat lain
________________________________________________________
__________
________________________________________________________
__________
20. Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU, lihat
Einar M
Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1989), h.
160-187.
21. Mengenai kronologis lahirnya keputusan kembali ke Khittah 1926,
lihat antara lain, Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke
Khittah 1926
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 110-156.
22. Lihat Haris, op. cit,Tabel 4, h. 121.
23. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik
Orde Baru,"
dalam Jurnal Ilmu Politik No. 9, h. 53.
24. Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU terhadap
Keputusan Politik
Muktamar 1984 (Tesis S-2, Fakultas Paska Sarjana UGM, 1990), h.
40.
25. Nilai ini tersirat, misalnya, dalam ungkapan seorang tokoh NU,
KH Wahid
Zaini: "kalau organisasi NU bubar, NU -secara kultural- masih
ada." Lihat
Marijan, Vadis, op cit., h. 190.
26. Lihat Sitompul, op, cit, Lampiran 2, h. 209. Cetak miring dari
Penulis.
27. Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," Tempo, 7 Nopember 1987.
31
32
28. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Arief Afandi di
Jawa Timur
Sedikit banyak mendukung keyakinan Mahbub ini. Dalam
penelitian ini
ditemukan bahwa hampir separo dari pemimpin NU di wilayah
penelitian
tersebut masih cenderung memiliki orientasi yang berbobot politik
daripada
"non-politik." Lihat Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum
Usai," Jawa
Pos, Juni 1993.
29. Lihat Nuddin Lubis, "Jangan Berlarut-larut warga NU
Mengambang," dalam
S. Sinansari Ecip (ed.), op. cit,h. 37-46.
30. Editor No. 25, 7 Maret 1992, h. 13.
31. Ibid., h. 16
32. Andree Feillard, "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam ibid.,
h. 30-31.
33. Ibid., h. 32.
34. Ibid.
35. Wawancara penulis dengan Drs. Kacung Marijan di FISIP-Unair,
Surabaya,
22 Juni 1993.
36. Harry J. Benda, "Democracy in Indonesia: A Review Article,"
dalam Journal
of Asian Studies, 23, 3 (May 1964), seperti dikutip dalam Mohtar
Mas'oed,
Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 1989), h.2.
33
37. Benedict R.OG. Anderson, "The Idea of Power in Javanese
Culture," dalam
Claire Holt (ed.), Culture and Politics in Indonesia (Ithaca: Cornell
Uneversity
Press, 1972).
38. Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia
Modern
(Jakarta: PT. Gramedia, 1986).
39. Anderson, op.cit. h.7-8.
Dalam kerangka inilah agaknya dapat dijelaskan, di samphg
penjelasan-penjelasan lain, mengapa fusi partai-partai politik di
tahun 1973 mejadi penting untuk dilakukan: semakin sedikit jumlah parpol semakin sederhana pola distribusi kekuasaan yang ada,
dan itu berarti semakin mudah kekuasaan dipusatkan. Sebab berkaitan dengan sifat kekuasaan yang jumlahnya konstan, maka indikator utama adanya kekuasaan di tangan seseorang adalah kemampuamya untuk memusatkan: memusatkan kekuasaannya sendiri,
menyerap kekuatan dari luar, dan memusatkan dalam dirinya apa
yang tampaknya bertentangan.40 Sukarno pernah mencoba menegaskan kekuasaannya dengan melakukan sintesa ideologis terhadap
nasionalisme, agama dan komunisme, dalam Nasakom. Tapi Suharto lebih berhasil ketika mengharuskan semua orpol dan ormas
menerima Pancasila sebagai asas tuntutan dan melepaskan ideologi
khas masing-masing.
Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Karena semua
kekuasaan berasal dari satu sumber tunggal yang homogen, maka
kekuasaan itu sendiri mendahului persoalan baik dan buruk. Kekuasaan itu terlepas dari persoalan sah dan tidak sah, sebab yang
penting: kekuasaan itu ada. Dalam dasar pemikiran tentang kekuasaan yang keempat di atas, pengertian yang implisit dibawa di
situ adalah bahwa legitimasi kekuasaan adalah hal yang inheren
dalam eksistensinya. Artinya, jika suatu kekuasaan telah nyata ada,
maka faktor kedua yang secara bersamaan pasfi ada ialah legitimasi
bagi kekuasaan itu. Tidak jadi soal apakah kekuasaan itu diperoleh
34
melalui paksaan kekuatan fisik, seperti kudeta. Jika pelaku kup itu
berhasil mengambil alih kekuasaan, itu berarti ia memang memiliki
legitimasi untuk berkuasa. Sebab jika tidak, ia pasti gagal. Tentu
saja suatu regim fidak dapat semata-mata mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi otomatis minimal itu, melainkan diperlukan
faktor-faktor lain sebagai penguat legitimasi tersebut.
Dalam kasus Orde Baru pun dapat diamati beberapa hal yang
secara kultural menguatkan pengabsahan kekuasaan regim ini setidak-tidaknya dalam alam bawah sadar pemikiran Jawa traditional
dalam jumlah yang sama.
Pertama adalah berkaitan dengan identifikasi utama Orde Baru sebagai "regim militer". Jika dalam pandangan Barat sebuah regim militer barangkali menpunyai cap negatif tertentu, maka tidak demikian halnya dalam pandangan kekuasaan Jawa tradisional. Sejak dahulu dalam kerajaan-kerajaan Jawa, tentara memiliki kedudukan
penting. Sedemikian pentingnya keduduhn militer itu dapat terlihat dalam kenyataan bahwa rala-raja Jawa yang besar pertama-tama
adalah seorang jenderal (panglima perang) yang besar pula.41 Raja
adalah negarawan, manipulator simbol-simbol kerajaan dalam konotasi agama, pemilik kerajaan yang mengandung potensi perlawanan, dan, tak jarang, pembaharu sastra. Variasi raja berbakat itu
tidak akan mucul tanpa ketrampilan militer. Dan tanpa itu, seorang
raja tidak akan mampu mengontrol daerah-daerahnya yang relatif
jauh, yang biasanya otonom. Konsolidasi wilayah kerajaan pun
pada umumnya dilakukan dengan kekuatan bersenjata. Karena itulah kedudukan militer menjadi sangat penting dalam kerajaan-kerajaan Jawa tradisional. Dari sini dapat dipahami mengapa Sukarno di
masa kekuasaannya selalu menonjolkan kapasitasnya sebagai
Panglima Tertinggi ABRI belakangan juga Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), dan dalam setiap penampilan resminya selalu mengenakan uniform militer lengkap. Suharto, tentu tidak perlu sampai bersusah payah seperti pendahulunya itu.
Penguatan keabsahan berikutnya sedikit-banyak berkaitan dengan konsep Ratu Adil: munculnya raja yang adil dan bijaksana sesudah masa kekacauan dan kemerosotan moral yang parah. Legitimasi kultural terhadap Orde Baru adalah karena Suharto, figur
sentralnya, dipandang telah memperoleh pulung untuk berkuasa.
Inilah cara pengesahan yang paling mengesankan bagi budaya
35
lawa. Pulung, adalah cahaya suci yang memberi seseorang kekuatan
untuk berkuasa. Ia juga merupakan sarana transformasi kekuasaan:
wahyu meninggalkan seorang raja yang tutup usia, atau yang telah
pasti keruntuhannya, dan beralih kepada calon penguasa baru.42
Naiknya militer kepuncak kekuasaan di masa Orde Baru di
samping memiliki Iegitimasi kultural yang kuat juga membawa
agenda permasalahan kultural, khususnya bagi kekuatan poIitik Islam. Menurut Emmerson,43 probIematika Orde Baru sebenarnya
berakar pada pembagian kuItural masyarakat Indonesia atas santri
abangan, dan priyayi,44 sehingga ketika miIiter yang mewakili
tradisi abangan dan priyayi tampil ke puncak panggung kekuasaan,
dengan sendirinya golongan (kekuatan politik) Islam tersingkir.
Senada dengan Emmerson, Jenkins (45 membuat catatan bahwa:
...usaha-usaha untuk menyusun doktrin militer yang koheren berlangsung pada saat sedang bertumbuhnya kerenggangan antara tentara dan kekuatan Islam politik, sebuah kerenggangan yang kurang-lebih merupalan latar belakang kepolitikan Indonesia selama tahun 1975-82. Perbedaan-perbedaan
antara tentara dan Islam politik memiliki akar dalam basis perpecahan yang terdapat antara dua orientasi budaya Jawa yaitu
antara santri, ... dan abangan, ... Perbedaan-perbedaan ini,
yang
dipertajam selama revolusi oleh bentrokan antara unit-unit
tentara reguler dengan laskar-laskar gerilya yang berorientasi
pada kelompok-kelompok politik Muslim, tanpa terkecuali
telah mengarahkan kedudukan agama dalam negara.46
Kerenggangan antara pemerintah dengan kekuatan poliIik
Islam selama kurun waktu tertentu pernah sedemikian parah, sehingga terkesan bahwa penyakit "Islamo-phobia" telah menjangkifi
para penguasa. Tenbng ini, Jenkins mendiskripsikannya dengan
agak dramatis:
Dua dari empat anggota kdompok inti ini -Ali Murtopo dan
Yoga Sugama- adalah orang Jawa abangan dari propinsi asal
Suharto di Jawa Tengah. Sementara yang Iainnya -Sudomo
36
dan Murdani-- adalah Kristen Jawa. Hal ini merupakan faktor
yang mempengaruhi apa yang dikenal dengan "Islam-phobia"
dari kelompok yang berkuasa. (Di masa Pemilu 1977, Suharto
menerima I.J. Kasimo, Frans Seda, dan beberapa pimpinan
Partai Katolik dulu. Sebelum kelompok ini dipersilahkan duduk,
dikisahkan bahwa Presiden menyatakan: "Lawan kita bersama
adalah Islam").47
Salah satu warisan sejarah bagi negara indonesia modern adalah teralienasinya lslam dan kekuasaan, siapapun yang berkuasa.
Kuntowijoyo (48 menyebutkan bahwa alienasi dan oposisi Islam terhadap pemerintah dan birokrasi memiliki akar sejarah yang panjang
hingga ke jaman kerajaan Mataram di abad XVlll. Perkembangan
sejarah mematangkan kondisi ini sehingga akhirnya memunculkan
mitos tentang pembangkangan Islam terhadap penguasa. Mitos ini
seolah tak hendak padam ketika sebagian besar pemberontakan separatis pasca kemerdekaan selalu membawa label Islam. Pemberontakan Dl/Tll pimpinan Kartosuwiryo dengan pendukung utama
laskar Hizbullah, yang nota bene berafiliasi ke NU, dan laskar Sabilillah di Jawa Barat,49 serta keterlibatan sejumlah pimpinan Masyumi dalam pemberontakan PKKI, yang telah menewaskan banyak
prajurit TN1,50 adalah dua contoh penting gerakan separatisme
yang mengikuti alur mites di atas.51 Militer tentulah pihak yang
paling banyak merasakan kesusah-payahan fisik akibat semua
pemberontakan itu. Antipati militer terhadap kekuatan politik Islam
yun secara pelan tapi pasti terus terbentuk. Dan ketika mereka
(militer) berhasil naik ke puncak kekuasaan, mereka tidak ragu lagi
untuk menerapkan kontrol ketat terhadap kekuatan politik Islam.
Bahkan tema utama penolakan Suharto terhadap upaya rehabilitasi
Masyumi adalah keterlibatan yang telah disebut di atas. Ditegaskan
bahwa, "Faktor-faktor hukum, politik dan psikologis telah men
dorong ARRI berpendapat, tidak dapat menerima rehabilitasi bekas
partai politik Masyumi."52 Tidak terlalu meleset untuk menyimpulkan bahwa, selama kurun waktu tertentu pemerintah (ABRI)
dan Islam hidup dalam suasana yang kurang harmonis sehingga
membawa kekuatan politik Islam pada posisi defensif.
Namun memasuki era 1990-an, realitas baru telah muncul dan
37
seolah-olah menggambarkan perubahan wacana politik Indonesia.
Semakin menguatnya kedudukan kelas menengah Muslim, dari ka
langan akademisi, usahawan, profesional, bahkan birokrat di tengah
kehidupan bangsa telah mengubah sosiologi dan politik umat Islam
Indonesia. Terbentuknya ICMI dengan demikian dapat dipandang
sebagai konsekuensi logis dari menguatnya kelas menengah tersebut. Salah satu implikasi penting yang dibawa oleh fenomena ini
adalah mulai runtuhnya mites pembangkangan kaum santri.59 Berangkatnya Presiden Suharto sekeluarga ke Tanah Suci tak kurang
turut memberi makna simbolis yang penting bagi umst Islam dalam
kepolitikan nasional.
Bagaimanakah fenomena ini seharusnya dipersepsikan? Apakah
serta-merta dapat disimpuikan bahwa cultural cleavage santri versus abangan/priyayi yang sebelumnya jelas terefleksi dalam kesenjangan antara Islam dan pemerintah telah berakhir? Di sini, sudah
pasti bahwa argumen-argumen kultural kurang mampu untuk
memberikan penjelasan yang memuaskan.54 Untuk itu diperlukan
adanya imbangan penjelasan altematif dalam perspektif struktural.
Orde Baru : Perspekfif Struktural
Clrde Haru lahir sebagai sebuah Krand coalition Yang meliputi
hampir semua kelompok-kelompok sosial yang tersingkir di masa
Demokrasi Terpimpin. Koalisi ini sebenarnya sangat heterogen,
yang disatukan semata-mata oleh kesamaan tujuan tertentu, itupun
sangat bersifat insidental. Tak heran, ketika tujuan yang mempersatukan itu tercapai, angin sejarah selama beberapa waktu telah merontokkan sebagian eksponen koalisi itu satu persatu pada setiap
Wliran masing-masing. Yang tersisa kemudian hanyalah beberapa
eksponen kuat tertentu, terutama militrr yang merupakan satu-satunya aktor politik yang tetap survive di antara tiRa aktor dalam segitiga kekuasan Demokrasi Terpimpin, setelah dua yang lain, Sukamo dan PKI, tersingkir dalam masa transisi 1')66-1967. Eksponen
lain adalah para teknokrat yang merupakan mitra utama militer
dalam koalisi tersebut.
Permasalahan yang set;era dihadapi oieh Orde Baru adalah wa
risan krisis dari regim sebelumnya meliputi ambruknya pereko38
nomian nasional dan, tak kalah peliknya, instabilitas politik yang
parah sebagai epilog dari percobaan kudeta yang gagal oleh G,-30-S,
yang oleh sementara kalangan disebut-sebut sebagai didalangi oleh
PKI. Regim baru itu tak pelak lagi telah berhadapan dengan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang sulit dalam upaya pembenahan
itu, sementara sumber penghasilan negara masih sangat terbatas. Pilihan yang paling masuk akal bagi para plmpman Orde Baru akhirnya adalah:
Strategi yang memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif --kendatipun masih berada di bawah
pengarahan pemerintah-- di dalam sistem pasar bebas dan
yang memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini
menjanjikan hasil-hasil yang lebih cepat tanpa memerlukan
perombakan ekonomi yang mahal.56
Sementara dalam penerapannya digunakan stratefii yang "berorientasi ke luar", betapapun pada awalnya sempat muncul pertentangan pendapat sehubungan dengan adanya pula keinginan untuk
menggunakan strategi yang "berorientasi ke dalam".57 Segala problematika yang dihadapi Orde Baru berikut solusi yang --mau tak
mau harus-- dipilihnya memunculkan karakteristik otoriterism
birokratik dari regim ini.58 Di samping itu, kenyataan bahwa saat
ini Orde Baru sedang mengupayakan industrialisasi besar-besaran
telah mengakibatkan perubahan struktur sosial baik pada tingkat
elit maupun pada tingkat massa. Mengacu pada O'Donnel, adanya
political tensions akibat industrialisasi dan perubahan struktur
sosial baik pada level elit maupun level massa pada gilirannya juga
mendorong munculnya proses transformasi politik ke arah
otoriterisme-birokratik.59 Dalam sistematika yang dibuat oleh Mohtar Mas'oed (60 dengan menyesuaikannya terhadap konteks Orde
Baru, karakteritik mendasar regim otoriterisme birokratik menurut
O'Donnel adalah: 1. Pemerintahan dipegang oleh militer, yang --sebagai suatu lembaga-- bekerjasama dengan teknokrat sipil. 2. Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang --bersama negara-berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. 3. Pengambilan keputusan dalam regim OB bersifat birokratik-teknokratik,
sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan
yang memerlukan proses bargaining yang lama di antara berbagaj
kelomyok kepentingan. 4. Massa didemobilisasikan. 5. Untuk me39
ngendalikan oposisi, pemerintah melakukan tindakan-tindakan represit.
________________________________________________________
________________________________________________________
40. Ibid. h.13
41. Peter Britton, Military Professionalism in Indonesia: Javanese and
Westem
Milituy Tradition in The Anny Ideology (MA Thesis, Monash
University,
1983), sebagaimana dikutip dahm Fachry All, op. cit., h. 170.
42. Mengenai konsep pulung ini, Iihat ibid., h. 66-68; lihat juga
Anderson, op. cit.,
h. 25-28.
43. Donald K. Emmerson, Indonesia's Elite: Political Culture and
Cultural
Politics (lthaca Cornell University Pres, 1976), sebagaimana dikutip
dalam
Haris, op. cit., h. 26
44. Pembagian ini mengacu pada pendapat Geertz, yang telah
memperkenalkan
terminologi tradisional Jawa tersebut ke dalam ilmu sosial Barat.
Kata santri
mengacu pada komunitas kaum muslim yang berpegang teguh pada
hukum
dan tata-kebiasaan Islam. Kelompok ini terkadang berselisih paham
dengan
orang-orang yang secara nominal Islam namun menekankan pada
sinkretisme dari kepercayaan animisme dan mistik dengan polesan Islam
dan Hinduisme yang disebut kaum abangan. Varian lain, priyayi, yang pada
mula40
nya menunjuk pada kalangan aristokrasi, adalah kelompok yang
menekankan nilai-nilai Hinduisme yang berakar pada Kraton Hindujawa
terdahulu.
Lihat Cliffort Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa, alih
bahasa Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6-9.
peristiwa kesejarahan insidental, dan bukan refleksi pandangan
keagamaan
yang: esensial Tentang gerakan-gerakan separatisme yang
berlabelkan Islam,
ia mempertanyakan: "Sampai di mana gerakan mereka merupakan
hasil renungan ideologis berdasarkan Islan, dan sampai di mana pula
merupakan
bentuk reaksi mereka dalarn situasi revolusioner karena
perkembangan atau
perubahan polilik praktis tertentu yang, kebetulan mereka tidak
setuju atau
merasa dirugikan olehnya?" Lihat Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xclx
45. David Jenkins, Suharto, and His General lndonesian Military
Politics 19751983 (Ithaca: Cornell Modem Indonesia Project, 1984).
46. Ibid., h.6
47. Ibid., h.9
48. Kuntowijoyo, Paradina Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991)
khususnya
Bab IV (Serat Cebolek dan Mitos Pembangkangan Islam) dan Bab
V (Agama,
Negara dan Formasi Sosial), h. 123-156.
49. Lihat antara lain, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 19451967,
alih bahasa Hassan Basari Jakarta (LP3ES, 1988). h. 77-78.
50. Tentang keterlibatan ini, lihat Suswanto, Masyumi dan PXKI.
Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh masyumi Jalam Pemerintah Revolusioner
Repvblik
Indonesia (Skripsi Fiuipol- U(;M, 199.7)
51. Tidak semua kalangan, tentu, setuju begitu saja dengan anggapan
minus tersebut. Nurcholish Madjid, misalnya. Ia menilai bahwa beberapa
point yang
seolah menandai kesenjangan antara Islam dan pemerintah adalah
sekadar
41
52. Harold Crouch, Militer dan Politik di Lndonesia, alihbahasa TH
Sumartana
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 292.
53. Tentang munculnya penambahan ini, lihat A. Munir Mulkhan,
Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta : Sipress, 1991).
54. Mohtar Mas'oed telah menginventarisir beberapa kelemahan
mendasar argumen kultural. Lihat Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 3-6.
55. Tidak pernah benar-benar terungkap secara ilmiah siapa
sebenarnya dalang
utama pengkhianatan G-30 S itu. Para pengamat dan ilmuwan
mempunyai
dugaan yang beraneka-ragam dan seringkali satu sama lain saling
bertentangan. Terlalu banyaknya fakta yang masih tertutup kabut hingga
saat ini
membuat semua perkiraan itu tampak sama-sama mungkin dan
sama-sama
42
mustahilnya- Tentang dugaan dan penafsiran para pengamat itu,
lihat
Crouch, op cit. h. 112-134.
56. Mohtar Mas'oed, op. cit, h. 61.
57. Ibid
58. Mohtar Mas'oed menyebutkan bahwa muculnya regim-regim OB
di negaranegara berkembang seperti Indonesia bersumber pada krisis-krisis
ekonomi
dan politik yang diwarisi dari regim sebelumnya dan yang
diciptakan oleh
kebijaksanaan pemerintah 'membuka' ekonomi terhadap kapitalisme
internasional. Lihat ibid., h. 16.
1958.61 Namun berkaitan dengan profesionalisme militer itu sendiri,
maka seperti yang dikatakan oleh Yahya Muhaimin,62 dalam diri
militer secara inheren terdapat semacam "technical inability to administrate", di samping sebenarnya juga "lack of legitimacy to govem", mengingat kehidupan sosial lebih kompleks daripada kehidupan militer. Karena itu militer akhirnya tetap merasa perlu untuk
berkolaborasi dengan kalangan sipil tertentu untuk menutupi celah
di atas. Dan mengapa teknokrat yang dipilih, maka tidaklah sulit
untuk menemukan sebabnya. Di samping ketidak-puasan terhadap
kalangan politisi sipil yang sebelumnya telah kedodoran dalam mengelola politik dan ekonomi negara, penyebab lain adalah karena
baik militer maupun teknokrat mempunyai orientasi yang sama da
lam upaya memecahkan masalah sosial dengan cepat dan secara politik netral.63
Sendi penting lain, berkaitan dengan karakteristik keempat di
atas serta sedikit banyak karakteristik kelima, adalah berlangsungnya mekanisme political exclusion (penyingkiran pditik). Menurut
O'Donnel, salah satu kriteria penting regim OB adalah:
59. Guillermo O'Donnel, seperti yang diikhtisarkan dalam David
Collier,"Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model", dalam David
Collier (ed.),
the New Authoritarianisme in Latin America (Princeton: Princeton
University
Press, 1979), h. 25.
Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yang telah aktif sebelumnya ··· dari
area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para pimpinan sektor ini. Ia juga berarti
penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannya terhadap
posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka
mempengaruhi secara langsung keputusan bagi kebijaksanaan
nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakan dengan
60. Mohtar Mas'oed, op. cit,, h. 10.
Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik
dengan demikian adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer
dalam aktifitas pengelolaan regim baru ini. Militer tak diragukan lagi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memiliki kapabilitas untuk memikul beban berat yang· mesti diemban
oleh Orde Baru. Sebagai salah satu kekuatan politik yang tangguh
sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiap-siap untuk
melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan 'Dwi Fungsi
ABRI yang menjadi raison d'etre keterlihatan langsung itu telah dimatangkan dalam proses yang tidak bisa dibilang singkat sejak
kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran
akses politik melalui pemilu.... menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untuk mengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam
menentukan apa yang terjadi pada level kepolitikan
nasional.64
Partai-partai politik secara mencolok telah menjadi obyek terpenting mekanisme polifical exclusion di masa Orde Baru. Anggota
43
44
inti koalisi Orde Baru, khususnya kalangan perwira Angkatan Darat
dan kelompok intelektual pembaharu, pada dasarnya memiliki perasaan anti-partai yang mendalam. Di masa terdahulu, baik masa
Demokrasi Liberal maupun Demokrasi Terpimpin, parpol selalu
merupakan pemegang saham terbesar dalam setiap langkah ke arah
instabilitas politik.
Perasaan antipartai di kalangan para pendukung Orde Baru
berimpit dengan perasaan "anti-ideologi" mereka. Konflik ideologis
dipandang sebagai dosa masa lain yang tidak boleh terulang lagi.
Heterogenitas bangsa di masa sebelumnya telah sangat dipertajam
oleh sekat-sekat ideologis yang --sengaja atau tidak-- telah dibuat.
Parpol, lagi-lagi, adalah pemegang saham terbesar di sini.
Upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari sekat ideologis
itu bejalan simultan dengan upaya menyingkirkan parpol ke posisi
marjinal dalam sistem politik. Berbeda dengan Sukarno, yang juga
cenderung tidak menyukai partai politik tapi tetap memandang
bahwa ideologi adalah penting bagi kelangsungan revolusi, maka
regim Orde Baru berusaha meminimalkan kekuatan partai-partai
politik dengan memaksa mereka melepaskan ideologi khas casing
masing dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di samping
upaya lain dengan jalan memotong akar parpol terhadap massa
tradisional mereka.
Sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap
pragmatisme Orde Baru untuk lebih memusatkan perhatian pada
perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atan tidak telah
menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/modernisasi.65
Dalam kepolitikan OB, negara mempunyai tugas penting untuk
melakukan kontrol (pengawasan). Pelaksanaan peran ini dapat mengambil dua bentuk: tindakan represif yang menekan sektor populer dalam masyarakat yang kadangkala dilakukan secara berlebihlebihan, atau berupa tindakan preventif untuk mengeliminir kondisi-kondisi yang dapat memunculkan kembali pemimpin, organisasi, serta tuntutan dari sektor-sektor populer terhadap kebijaksanan politik (juga ekonomi) exclusion yang dijalankan negara.66
Pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan
umat dan ormas Islam yang belakangan muncul tampaknya mengikuti alur perubahan bentuk pengawasan dalam kepolitikan OB itu.
Mengendornya ketegangan dalam hubungan itu dimungkinkan oleh
mulai dikuranginya bentuk kontrol represif terhadap sektor-sektor
populer Islam untuk digantikan dengan bentuk kontrol yang lebih
bersifat preventif.
Di samping karakteristik OB di atas. regim Orde Baru juga menunjukkan ciri korporatik dalam pengorganisasian negara dan masyarakat. Kenyataan bahwa proses politisasi massa pada masa
sebelumnya pernah mencapai tingkat intensitas yang begitu tinggi
menyebabkan negara tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan
politik yang represif begitu saja terhadap massa. Maka jika di satu
sisi regim Orde Baru giat melakukan depolitisasi besar-besaran, di
sisi lain negara tetap membutuhkan mobilisasi rakyat sebagai
sumber daya penggerak ekonomi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang pesat sangat mungkin memunculkan kelompok-kelompok besar baru dengan kepentingannya sendiri yang membawa
tuntutan baru terhadap pemerintah, di samping kelompok-kelompok yang frustrasi dan dapat menimbulkan masalah besar bagi
regim. Terhadap kelompok-kelompok besar dalam masyarakat,
regim mesti dapat mengakomodasikannya tanpa menganggu keutuhan regim, sementara terhadap kelompok-kelompok yang disebut belakangan, regim harus siap mengendalikannya dengan cara
memanipulasi saluran-saluran perwakilan.67 Mekanisme eksklusi
yang terdapat dalam kepolitikan Orde Baru diterapkan dengan
jalan korporatisasi negara sebagai suatu jaringan besar, sehingga
dengannya konflik-konflik ideologis dapat diminimalkan dan
dikompensasikan ke arah tujuan-tujuan ekonomi.
Dengan membuat sintesa definisi Schimtter dan Gunter, Mohtar
Mas'oed mendefinisikan korporatisme sebagai:
Suatu perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya
terbatas dan bersifat tunggal, mewajibkan (keanggotaan), tidak
saling bersaing, diatur secara hirarkis dan dibedakan secara
fungsional, dan diakui dan diberi ijin (jika bukan diciptakan
oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam badan masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam
pemilihan pimpinan mereka, dengan tujuan menindas konflik
45
46
kelas dan kelompok kepentingan serta menciptakan keselarasan, kesetiakawanan dan kerjasama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.68
Dari definisi ini, korporatisme dapat dipandang sebagai sebuah
model pengorganisasian antara negara dan masyarakat. Menurut
Malloy, korporatisme merupakan usaha untuk memobilisasi basis
yang luas untuk mendukung pembangunan. Usaha ini dilakukan
dengan cara-cara otoriter untuk meminimalkan kunflik dan keterlibatan dalam konflik.69 Untuk itu prasyarat yang harus dipenuhi
adalah:
Militer profesional modern dengan identitas kelembagaan
dan pandangan yang relatif koheren tentang masyarakat dan
peranan militer di dalamnya; kader teknokrat yang teralienasi
dari masyarakat dan mau bersekutu dengan militer untuk
memperkuat restrukturisasi masyarakat untuk memenuhi
keinginan para teknokrat itu; dan kelompok-kelompok yang
mau menerima inisiatif-inisiatif yang disediakan oleh
negara yang dikontrol oleh militer-teknokrat.70
Malloy juga menyebutkan bahwa sebenarnya korporatisme
merupakan sebuah tema utama otoriterisme.71 Dalam kapasitas ini,
regim-regim korporatis memiliki beberapa karakteristik yang ditandai dengan
Struktur pemerintahan yang kuat dan relatif otonom yang
berusaha memaksakan pada masyarakat sebuah sistem perwakilan kepentingan yang didasarkan pada pluralisme yang di
batasi secara paksa. Regim-regim ini mencoba untuk meng
hilangkan artikulasi kepentingan yang spontan dan menumbuhkan sejumlah kelompok yang secara otoritatif diakui dan
berinteraksi dengan aparatur pemerintah dalam cara yang telah ditentukan. Selain itu, kelompok-kelompok yang diakui itu
lebih diatur dalam kategori-kategori fungsional vertikal daripada kategori kelas horisontal dan diharuskan berinteraksi dengan negara melalui pimpinan yang ditentukan dari asosiasi
kepentingan yang secara otoritatif disetujui.
47
Sementara itu, Perlmutter (73 memandang bahwa suatu negara
korporatis, yang pada hakekatnya merupakan suatu oligarki, biasanya didominasi oleh sebuah koalisi para politisi, militer, teknokrat
dan birokrat. Feature politiknya yang paling jelas adalah absennya
partai yang otonom dan kuat. Kebanyakan partai tidak lebih dari
instrumen despot atau oligarki yang korporatis. Demikian pula
halnya kebijaksanaan yang ada. Satu catatan, negara memegang
dominasi hanya dengan dukungan yang aktif dari kelompokkelompok korporatis yang otonom, seperti militer dan teknokrat.
Bentuk pemerintahan korporatisme, menurut Schmitter,74
secara sederhana memiliki dua subtipe: subtipe korporatisme negara (state corporatism) dan subtipe korporatisme masyarakat
(societal corporatism). Jika yang disebut belakangan dicirikan oleh
suatu sistem perwakilan atau asosiasi kepentingan yang relatif
otonom di mana aktifitas-aktifitas dukungan terhadap negara dan
pemerintah merupakan suatu legitimasi politik yang utama, maka
yang disebut pertama bercirikan dengan kuatnya penetrasi negara
terhadap perwakilan-perwakilan dan asosiasi-asosiasi kepentingan.75 Kedua subtipe ini dilihat dari dimensi dinamisnya, merupakan
produk dari proses-proses politik, sosial dan ekonomi yang ber
beda.
Korporatisme masyarakat hadir dalam sistem politik yang memiliki posisi otonom relatif. Unit-unit teritorial yang ada dalam masyarakat ini mempunyai ciri berlapis-lapis dan terbuka. Di dalamnya terdapat sistem kepartaian dengan proses pemilu yang kompetitif murni. Otoriterisme eksekutif korporatisme masyarakat didasarkan pada berbagai ideologi dam koalisi, bahkan subkultur
politik yang berlapis-lapis. Sebaliknya korporatisme negara biasanya dikaitkan dengan sistem politik di mana sub-sub unit teritorial
secara kuat disubordinasikan ke dalam kekuatan sentral birokrasi.
Pemilu tidak lebih dari sekadar mekanisme formal, bahkan terkadang ditiadakan. Sementara sistem kepartaian yang ada sangat didominasi oleh sebuah partai negara. Otoritas eksekutif secara
ideologis bersifat eksklusif, di mana rekrutmen dilakukan secara
sempit. Tindakan-tindakan represif dilakukan terhadap sub-sub
kultur yang didasarkan pada kelas, etnis, bahasa, dan regionalisme.76
48
Orde Baru yang sangat birokratis dan otonom lepas dari
kendali kekuatan sosial manapun secara konkrit dapat digolongkan
sebagai bentu pemerintahan korporatis dalam subtipe korporatisme
negara.kemampuan negara masih terbatas untuk memenuhi tuntutan
kelas bawah, sementara upaya penciptaan tenteraman sosial yang
pada
saatnya bermuara pada stabilitas politik, sebenarnya mutlak menuntut
adanya pemenuhan kepentingan kelompok ini adalah salah satu
masalah yang
pemerintah Orde baru. Dilema ini diatasi bukan dengan menggalang
dan
memasukkan mereka kedalam sistem melainkan dengan yang dan
memasukkan
mereka ke dalam sistem, melainkan dengan menindas dan menutup
kemungkinan
artikulasi kepentingan kelas bawah tersebut, pada saat kepentingan
kelas
atas di akomodasi. Lembaga kepentingan dan kelompok-kelompok,
kepentingan diletakkan dibawah kendali dali ketat pemerintah. Upaya menciptakan suatu sistem perwakilan kepentingan yang didasarkan
pada pluralisme yang secara paksa dibatasi, dilakukan dengan jalan restrukturasi sistem kepartaian hingga sedemikian rupa. Jalan
lain yang dipilih adalah mennggabungkan kelompok-kelompok
kepentingan ke dalam berbagai organisasi korporatis yang didukung pemerintah, atau pemerintah melakukan penetrasi yang
kuat dan kontrol yang ketat terhadap kelompok-kelompok kepentingan itu, Terlebih yang memiliki asas primordialitas tertentu.
Tingkat intensitas penerapan tindakan dan pengawasan represif
itu mempertegas karakteristik kepolitikan otoriterisme-birokratik
Orde Baru. Betapapun pola pengawasan represif pada saatnya memang mulai menyurut, untuk secara berangsur digantikan oleh
bentuk pengawasan preventif seiring dengan tercapainya tingkat
konsolidasi yang lebih baik oleh pemerintah Orde Baru.
Sebuah kelompok kepentingan (interest group), menurut Almond
adalah "setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan
pemerintah tanpa pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik". Perbedaan terpenting antara kelompok kepentingan dan partai politik terletak pnda tujuan untuk menduduki
jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Parpol memiliki tujuan itu,
sementara kelompok kepentingan tidak. Betapapun dalam
politik tertentu, Indoneiia misalnya, akses parpol terhadap jabatan
publik hanya sebatas kursi di lembaga legislatif, sementara lembaga
eksekutif tertutup, kecuali untuk partai yang disponsori pemerintah.
Sedikitnya perbedaan yang terumuskan secara jelas ini menyebabkan
kelompok kepentingan dapat berubah menjadi partai politik dan
sebaliknya. NU adalah contoh yang tepat untuk argumen ini.
Dalam tujuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah,
masing-masing kelompok kepentingan memiliki perbedaan dalam hal
keteriibatan dalam kontak yang kurang lebih tetap dengan beberapa
level pemerintahan. Berdasarkan itu, Hagopian (78 membuat
dikhotomi
umum antara political dan nonpolitical interest group. Jika yang pertama memiliki intensitas yang tinggi dalam keterlibatan di atas, maka
yang kedua tidak. Dari dikhotomi sederhana ini dapat dibuat sebuah
kontinuum yang bergerak dari sejumlah kecil kelompok-kelompok
apolitis menuju sejumlah lebih besar kelompok-kelompok
kepentingan
yang terpolitisir, seperti terlihat pada gambar di bawah ini:
!!
!!
!!
!! Unions
!! Reformer
!!
!!
!! Artistic
!! Religious !! Business
!! or
!!
!!
!! Societies !! Group
!! Farmers
!! Revolutionary
!!
!!
!!
!!
!! Group
!! Groups
!!
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
0
50
100
NU sebagai Kelompok Kepentingan
Kontinuum ini menggambarkan bahwa tidak ada suatu kelompok
49
50
kepentingan yang dapat secara total menjauh dari keterlibatan dalam
politik. Sekalipun beberapa kelompok lebih suka jika pemerintah
tidak
mencampuri urusan mereka, namun konflik kelompok yang kerap
muncul akan memaksa pemerintah untuk melakukan campur tangan
sebagai wasit dan pembela kepentingan umum.79
Pada kontinum di atas, kelompok kepentingan keagamaan pada
umumnya berada di titik moderat antara totally unpolicized dan
totally politicized. Kelompok keagamaan tidak bisa sepenuhnya
terlibat
dalam mekanisme politik, terutama di negara-negara sekuler yang tidak berdasarkan pada asas agama tertentu. Sementara untuk secara
total berada di titik nol juga tidak dimungkinkan. Pemerintah yang
berkuasa tentu saja tidak ingin mengabaikan kelompok-kelompok
yang
berkemampuan tinggi untuk menggalang sejumlah besar umatnya.
Dalam masyarakat modern, para pemimpin politik selalu membutuhkan organisasi-organisasi terspesialisasi sebagai pemberi dukungan
yang sangat penting bagi kelangsungan sistem politik, di samping
untuk menggerakkan --sambil mengawasi-- organisasi-organisasi
itu.80
Dalam kasus NU, agaknya kurang tepat meletakkannya pada titik
tengah itu, sekali pun pasti bahwa NU adalah organisasi keagamaan.
Pengalaman panjang sebagai partai politik, serta kuatnya orientasi
politik NU, menempatkannya semakin ke kanan dalam kontinuum di
atas. Munigkin malah mendekati posisi kelompok-kelompok
reformasi
atau revolusioner.
Kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda antara lain dalam
hal struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan itu sangat mempengaruhi tata politik, ekonomi dan sosial
suatu
bangsa. Almond menawarkan klasifikasi yang kemudian banyak
digunakan untuk membedakan kelompok kepentingan atas: 1. kelompok anomik (anomic groups), 2. kelompok nonassosiasional (nonassociational groups), 3. kelompok institusional (instutional groups) dan 4.
kelompok assosiasional (assosiational group).81
Kelompok anomik sebenarnya merupakan bentuk penetrasi ma51
syarakat yang kurang lebih spontan terhadap sistem politik, seperti
kerusuhan, demonstrasi, tindak kekerasan politik, dsb. Letupan-letupan spontan itu muncul terutama bila kelompok yang terorganisir
absen,
atau kalaupun ada, kepentingannya tidak terwakili secara memadai
dalam sistem politik itu.
Diragukan, sebenarnya, apakah kategori ini benar-benar memadai
sebagai faktor analisis. Kerusuhan, demonstrasi, serta kekerasan juga
merupakan tindakan instrumental dari kelompok-kelompok lain seba
gai ekspresi aspirasinya. Jadi hal itu kurang dapat dianggap sebagai
sebuah tipe kelompok kepentingan.
Kelompok nonassosiasional pun, seperti kelompok anomik, jarang
yang terorganisir secara formal dan rapi dengan kegiatan yang bersifat
insidental. Wujudnya bisa kekerabatan, keturunan, etnik regional, status, kelas, dan seterusnya. Kebanyakan kelompok ini merupakan kategori sosial yang luas dari suatu komunitas "alamiah", yang tidak terwakili oleh suatu organisasi formal.
Secara teoritik kegiatan kelompok nonassosiasional merupakan ciri
masyarakat yang belum maju. Dalam masyarakat modem yang sudah
sangat terdiferensiasi, keberadaan kelompok ini lambat laun tergeser.
Sebab di samping persaingan dari kelompok-kelompok yang terorganisir melemahkan upaya-upaya kelompok ini, kelompok-kelompok
nonassosiasional dengan kepentingan yang terus berkembang
biasanya
segera membangun struktur yang terorganisir dan, karenanya, masuk
dalam kategori kelompok assosiasional.
Kelompok assosiasional, biasanya berupa serikat buruh, organisasi
pengusaha, industrialis, persatuan-persatuan yang diorganisir kelompok-kelommpok agama, dan lain-lain. Secara khas kelompok ini
menyatakan kepentingan dari suatu kalangan khusus. Cirinya meliputi adanya prosedur-prosedur yang teratur, staf profesional yang umumnya
bekerja penuh, serta ketegasan berkaitan dengan fungsi mereka yang
terspesialisasi untuk melakukan artikulasi kepentingan. Organisasi
formal dari sebuah asosiasi mempunyai hirarkhi jabatan dan pembagian
kerja, seringkali dalam pola birokratis Weberian. Kelompok ini biasanya mengadakan pertemuan dalam interval yang tetap -tahunan, lima
52
tahunan,dst.-- di mana wakil-wakil dari seluruh anggota berkumpul.
Pertemuan ini memilih para pemimpin papan atas serta mengesahkan
Garis-garis besar kebijaksanaan organisasi.
Jika diberi kesempatan berkembang, kelompok kepentingan asoSiasional cenderung untuk menentukan perkembangan jenis-jenis
kelompok lain. Basis organisasional yang kuat menempatkannya di
atas kelompok nonasosiasional, taktik dan tujuannya sering diakui
sah dalam masyarakat. Dengan mewakili kelompok dan kepentingan yang luas, kelompok ini dapat dengan efektif membatasi pengaruh kelompok-kelompok lain, bahkan -meskipun jarang terjadi-kelompok institusional.
Kelompok institusional merupakan organisasi-organisasi formal atau kelompok informal yang kuat dalam lembaga-lembaga
sosial, yang mempunyai fungsi nyata selain artikulasi kepentingan.
Organisasi ini seperti parpol, korporasi bisnis, badan legislatif. Militer dan birokrasi termasuk dalam organisasi tipe ini. Kelompok ini
bisa menyatakan kepentingannya sendiri maupun mewakili kepentingan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat. Kelompok ini biasanya cukup berpengaruh karena basis organisasinya yang kuat.
NU tampaknya lebih mendekati karakteristik kelompok kepentingan asosiasional. Organisasi ini secara khas membawa kepentingan
suatu segmen umat Islam Indonesia yang secara eksplisit menyatakan
dirinya sebagai penganut faham ahlussunnah wal jamaah. Secara
struktural, kepengurusan NU terbagi dalam unit-unit yang secara horizontal
meliputi pengurus Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah. Di samping
itu terdapat pula unit fungsional seperti Lembaga Ekonomi, Lembaga
Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia, dan lain-lain.
Dalam
garis vertikal NU secara hirarkhis terbagi dalam Pengurus Besar untuk
tingkat Nasional, Pengurus Wilayah di propinsi, Pengurus Cabang di
Kabupaten/ Kotamadya, MWC ditingkat kecamatan, Pengurus
Ranting
di tingkat desa. Suatu kepengurusan pada tingkat tertentu membawahi
beberapa kepengurusan pada tingkat di bawahnya. Betapapun setiap
tingkat kepengurusan tak kurang otonomnya penataan semacam ini
menurut Hagopian adalah suatu struktur organisasi federal, di mana
53
suatu kelompok asosiasional memiliki unit-unit lokal dan
fungsional.82
Keputusan-keputusan penting yang menyangkut arah perjuangan
NU dalam segala aspeknya, serta penetapan keanggotaan dan pimpinan Pengurus Besar, dilakukan dalam sebuah muktamar yang
dilakukan
dalam interval lima tahun.
Sebagai sebuah kelompok kepentingan, NU mengemban tugas untuk mengartikulasikan kepentingan anggotanya. Efektifitas fungsi artikulasi ini pada akhirnya sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk memiliki akses terhadap pembuatan keputusan politik utama. NU
bisa saja mengekspresikan kepentingan anggotanya dengan berbagai
cara, namun tanpa kemampuan untuk mempengaruhi struktur pembuatan keputusan politik, upaya itu akan nihil.
________________________________________________________
_______________
________________________________________________________
_______________
61. Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya,
Sundhaussen, op. cit., h. 219ff, passim.
62. Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara
Berkembang)
di Fisipol-UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993.
63. R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia
Tenggara", dalam Prisma No. 3, 1984, h. 40.
64. Guillermo O'Donnel, Modernization and BureaucraticAuthorianism
54
(Berkeley: Institute of international Studies, University of
California,
1979), h.51-52.
73. Amos Parlmutter, Modern Authoriarianism (New Heavens and
London: Yale University Press, 1981) h. 38-39.
65. Mohtar, Mas'oed, op. cil., h. 132ff. Ideologi di sini harus
dipandang
dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai "belief
system".
Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya
adalah "set
of political beliefs that characterized any individual, group, political
party, goverment, social class, or entire nations." Lihat Mark N.
Hagopian,
Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc.,
1978), h. 390.
74. Philippe C. Schmitter, "Still the Century of Corporatism?", dalam
F.B.
Pike dan T. Strilch (eds.), the New Corporatism (Notre Dome:
University of Notre Dome Press, 1974), seperti dikutip dalam Nur Iman
Subono, Sebuah Studi Teori Bentuk Pemerintahan Korporatisme
(Skripsi
FISIP-UI, 1988) h. 41.
75. Ibid., h. 41-42.
76. Ibid., h. 44-45.
66. Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The
Slate", dalam James Malloy (ed.), Authoritarianism and Corporatism in Labin
America
(Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69.
77. Gabriel A. Almond, "Interest Groups and Interest Articulatian"
dalam
Gabriel Almond (ed.), Comparative Politic Today A World View
(Boston:
Little Crown and Company, 1974), h. 74.
67. Mohtar Mas'oed, op cit., h. 12
78. Hagopian, Regimes, Op. cit, h. 351
68. Ibid., h. 13.
78. Ibid.
69. James M. Malloy, .'Authoritarianism and Corporatism in Latin
America:
The Case of Bolivia", dalam Malloy (ed), op. cit., h. 481.
79. Ibid.
80. Almond, op. cit, h. 82
70. Ibid 482.
81. Ibid.,h.74-78. Banyak politik lain yang menggunakan klassifikasi
Almond ini.
Hagopian, misalnya. Lihat Hagopian, op. cit., h. 351-356. Begitu
pula
Salisbury. Lihat Robert H.Salisbury, "Interest Group",dalam Fred.
I. Greenstein
71. James M. Malloy, "Authoritarianism and Corporatism in Latin
America:
The Model Pattern", dalam Malloy (ed.), ibid.
72. Ibid.
55
56
dan Nelson W. Polsby (eds).,Nongovermental Politi, Handbook of
Politik Science
vol. 4 (Massachussets: Addison Wesley Publishing Co, 1975), h.
178. Diskusi dalam
beberapa paragraf selanjutnya mengacu pada ketiga sumber ini
secara saling melengkapi.
82. Hagopian, Op. cit, h. 352f. Conf: Salisbury, Op. cit., h. 185.
Umumnya setiap kelompok kepentingan memiliki cara dan saluran yang berbeda-beda untuk mencapai kelompok yang berpengaruh.
Namun secara teoritis, Almond menyatakan, faktor yang paling mempengaruhi pemilihan penggunaan saluran untuk mengartikuiasikan
kepentingan adalah distribusi kekuasaan efektif dalam suatu sistem
politik.83 Itulah sebabnya, kelompok-kelompok kepentingan
cenderung
tersedot ke arah pusat-pusat kekuasaan efektif dalam sistem politik
yang ada.84
Saluran efektif bagi kelompok kepentingan dengan demikian berbeda antara satu sistem politik dengan sistem politik lain. Hagopian
mencoba membuat pola umum bagi keanekaragaman itu. Akses kelompok kepentingan terhadap kekuasaan politik dapat dibedakan atas
akses langsung dan akses tak langsung.85 Akses tak langsung menyangkut peran sebagai mediator antara parpol dan opini umum. Sedangkan akses tak langsung dapat dilakukan pada tiga tahapan kebi
jaksanaan: pra-parlementer, parlementer dan post-parlementer.86
Jika dalam suatu sistem politik terdapat transformed parliamentarism, maka pedoman-pedoman pokok kebijaksanaan biasanya dirumuskan oleh pemerintah sebelum rancangan undang-undang sampai
ke parlemen. Tahap "pra-parlementer" ini tidak boleh diabaikan, jika
kelompok kepentingan ingin mempengaruhi kebijakan. Mereka dapat
memusatkan 'taktik penekanannya' pada lembaga atau departemen
pemerintah yang strategis. Dalam hal ini, hubungan antara lembaga
pemerintahan dan kelpompok kepentingan seringkali bersifat dua
arah.
Sebab pemerinntah pun sebetulnya memerlukan data dan informasi
dan
57
umpan balik dari kelompok kepentingan, terutama dari jenis asosiasional.
Pada akses parlementer, intensitas kelompok kepentingan biasanya
semakin tinggi. Dalam regim kostitusional, lembaga legislatif di parlemen masih memilki wewenang yang penting bahkan lembaga ini
dapat mendesakkan suatu kebijakan kepada eksekutif. Karena itu kelompok-kelompok kepentingan kemudian mengembangkan berbagai
strategi untuk memaksimalkan pengaruh mereka kepada legislatif,
misalnya dengan lobbying, pemberian dukungan kepada para kandidat, membuat aliansi dan semacam mekanisme balas jasa politik.
Dalam setting politik Indonesia, setidak-tidaknya untuk sementara
ini, akses parlementer tampaknya tidak seefektif akses
praparlementer.
Lembaga legislatif di Indonesia masih belum mampu untuk minimal
menyamai kekuatan eksekutif. Akibatnya mereka berfungsi tak lebih
dari sekadar sebuah stempel bagi setiap kebijaksanaan negara.
Akses post-parlementer. Hasil kerja badan legislatif seringkali hanya menetapkan garis-garis besar yang luas bagi kebijaksanaan pemerintah yang sebenarnya. Implementasi aturan yang masih abstrak itu
ke
dalam keputusan yang lebih rinci merupakan wewenang biro-biro pemerintahan khusus. Di sinilah terdapat kesempatan yang sangat berarti
bagi kelompok-kelompok kepentingan untuk melakukan intervensi
postparlementer. Mereka dapat mempengaruhi proses implementasi
garis-garis kebijaksanaan itu, atau dapat pula mencoba mengupayakan
pembatalan tindakan-tindakan hukum dan adrmnistratif yang tidak
mereka sukai. Di negara-negara yang memungkinkan adanya judicial
review, hal ini tidak sulit dilakukan.
Almond mempunyai pandangan yang positif tentang peran kelompok kepentingan di masa datang. Salah satu elemen penting pembangunan politik adalah bahwa perubahan sosial ekonomi akan merombak struktur dan kultur suatu sistem politik. Kekuatan yang paling
nyata dalam perubahan sosio-ekonomik itu adalah industri, teknologi
dan revolusi keilmuan. Perubahan sosio-ekonomi ini, bagi Almond, di
samping mengembangkan kemampuan sistem politik untuk menggali
sumber daya dari masyarakat, pada sisi lain juga semakin menumbuhkan kebutuhan akan tindakan sosial yang terkoordinir untuk mengatasi permasalahan-permasalahan baru, serta kemungkinan berkem58
bangnya partisipasi dan tuntutan-tuntutan politik dan para anggota
masyarakat.87 Pertumbuhan sosial dan ekonomi juga meningkatkan
arus informasi dan kontak antara setiap bagian dalam masyarakat,
meningkatkan pendidikan, kesehatan dan status anggota masyarakat.
peningikatan derajat pendidikan dan status sosio-ekonomik berkaitan
erat dengan kesadaran politik, partisipasi dan perasaan kompetensi
politik.88 Kondisi-kondisi ini merupakan alur dalam mana kelompokkelompok kepentingan, khususnya yang asosiasional, semakin menemukan basis bagi peranannya.
Ahlussunnah wal Jamaah
Pada umumnya para pengamat menilai NU sebagai organisasi ulama dengan stereotipe pengikutnya di pedesaan yang secara agama
tradisional, secara intelektual sederhana, secara politik oportunis dan
secara kiltural sinkretis. Dikotomi Islam tradisional-modern masih
menjadi landasan pandangan ini. Dalam pola dikotomis itu jika Muhammadiyah diletakkan di sisi modern maka NU berada di ujung yang
lain.
Pola dikotomis ini ternyata tidak begitu tepat untuk digunakan
mengamati NU dewasa ini. Tak jarang terjadi, NU yang "tradisional"
tampak lebih luwes dan responsif terhadap gerak modernitas dibandingkan dengan Muhammadiyah yang modernis.89
Adanya pola dikotomis ini berpangkal pada cara setiap kalangan
itu sendiri dalam menyikapi pembaruan, dalam hal ini pembaruan
Islam. Mereka yang kemudian mendirikan Muhammadiyah, misalnya,
menerima penuh gerakan pembaharuan yang berupaya memurnikan
Islam dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah semata, tidak
bermazhab, memberantas segala bentuk bid'ah. Sementara mereka yang
memelopori NU menerima pembaharuan ini dengan tetap berupaya
menyelaraskannya dengan tradisi dan warisan budaya yang ada. Dengan secara total hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, dengan
mengabaikan warisan para intelektual Islam sepanjang sejarah yang
terkristalisasikan dalam mazhab-mazhab, maka berarti telah tejadi
penyia-nyiaan khazanah intelektual yang sangat berharga. Adalah
59
mustahil suatu generasi memulai upaya pembaharuannya benar-benar
dari nol., dan membuang hasil akumulasi pemikiran masa lalu. Di
samping itu, penyelarasan Islam dengan tradisi dan budaya lokal di
mana ia disebarkan tidaklah dapat dipandang sebagai membiarkan
ajaran agama terkontaminasi sehingga perlu pemurnian. Sebab penyelarasan itu dalam batasan yang sangat jelas, justru akan membuat ajaran agama lebih kontekstual. Keseluruhan cara pandang kalangan yang
memperoleh cap tradisionalis ini terakumulasi dalam sebuah kaidah
usul fiqh yang secara konsisten dipegang oleh NU: "mempertahankan
milik lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih
baik".90
Berdasarkan pemahaman di atas, buku ini dirancang tidak menggunakan pola dikotomi tradisional-modern dalam menganalisis NU.
Hanya saja istilah tradisional dan modern pada beberapa tempat akan
tetap digunakan, sekadar untuk memudahkan penunjukan. Selebihnya
NU akan dilihat dalam nuansa lain dengan tetap bercorak kultural.
Secara eksplisit, sejak awal NU telah menyatakan diri sebagai
penganut Ahlussunnah waljamaah yang secara umum dapat diartikan sebagai "para penganut tradisi Nabi Muhammad dan ijma ulama".91 Sebenarnya paham Ahlussunnah wal jamaah tidak hanya dianut kalangan Islam tradisional seperti NU saja, sebab kalangan Islam
modernis pun mengemukakan diri sebagai penganut paham ini. Hanya
saja perbedaan muncul karena paham ahlussunnah waljamaah memiliki arti luas dan arti spesifiknya
Dalam arti luas, Achmad Siddiq menjabarkan ahlussunnah wal
jama'ah sebagai "Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan
diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya."92
Pengertian ini mengacu pada sebuah hadits yang terkenal dalam mana Nabi
memprediksikan bahwa suatu saat kelak umat Islam akan terpecah
dalam 73 firqah. Semua akan celaka, kecuali satu firqah, yaitu mereka
yang "berpegang teguh pada peganganku dan pegangan sahabat-sahabatku." Dalam hadits lain yang senada, golongan yang selamat ini
disebut sebagai kaum ahlussunnah wal jama'ah.93.
Murtadha Az Zabidi (94 mendefinisikan ahlussunnah wal jama'ah
secara lebih spesifik sebagai paham yang diajarkan oleh Imam Al
Asy'ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dalam arti ini paham ahlussunnah wal jamaah merupakan koreksi terhadap berkembangnya
60
berbagai doktrin ketuhanan dan keimanan yang dipandang menyimpang dari ajaran Nabi dan para sahabatnya. Ia, misalnya, adalah sebuah upaya jalan tengah antara pandangan Jabariyah yang fatalistik
tentang nasib serta pandangan Qadariyah yang berpaham tentang kemampuan manusia untuk menentukan perbuatannya, seperti kaum
Mu'tazilah dan Syi'ah.95 Terutama terhadap kedua kelompok inilah
ahlussunnah wal jama'ah membuat garis batas yang jelas.
Ketika perkembangan kelompok Mu'tazilah semakin pesat, serta
doktrin ketuhanan dan keimanannya semakin menimbulkan kegoncangan spiritual ideologis yang dahsyat,96. saat itu lahir aliran
ahlussunnah wal jama'ah dengan kedua tokoh di atas. Betapapun tokoh utama
nya, Al-Asy'ari, sebelumnya adalah juga penganut aliran Mu'tazilah.
Golongan ahlussunnah wal jama'ah kemudian berkembang menjadi
kelompok terbesar dalam lingkungan umat Islam seluruh dunia, yang
secara populer disebut sebagai kelompok Sunni yang dibedakan dari
kelompok Syi'ah.
Lebih dan sekedar untuk membedakan diri dari golongan Syi'ah,
bagi ulama NU paham ahlussunnah wal jama'ah, dalam artian yang
lebih terinci juga digunakan untuk membedakannya dari kalangan
Islam modernis. KH Bisri Musthafa menguraikan bahwa Ahlussunah
waljamaah adalah paham yang berpegang teguh pada tradisi berikut:
1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari
salah satu madzhab fiqh yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali). Dalam praktek, para kiai adalah penganut kuat mazhab
Syafi'i.
2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hasan
Al Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi.
3. Dalam bidang tasawuf menganut dasar-dasar ajaran Abu Qasim Al
junaid .97
Perbedaan antara kalangan Islam tradisional terhadap kelompok
Islam modernis berkaitan dengan operasionalisasi ajaran ahlussunnah
wal jamaah dalam rincian tersebut. Kalangan modernis tidak mengikuti ajaran imam-imam di atas, di samping (menyatakan) tidak mengikatkan diri pada madzhab tertentu. Perbedaan lain berkaitan dengan
sumber hukum yang digunakan. Bagi mazhab Syafi'i, sumber hukum
meliputi empat hal: Al Qur'an; sunnah Nabi; ijma 98. serta qiyas
(ana61
log, menyamakan hukum suatu hal yang belum diketahui hukumnya
dengan masalah lain yang sudah diketahui). Sumber hukum ketiga
tiilak digunakan oleh kalangan modernis.
Satu hal yang menandai karakteristik NU sebagai pengikut mazhab Syafi'i adalah kemampuannya untuk tampil dalam segala situasi
secara luwes, fleksibel, dan akomodatif, serta tidak terpaku pada
keputusan masa lain dalam merumuskan sikapnya. Imam Syafi'i sendiri dikenal sebagai seorang ulama moderat. Watak ini disebabkan oleh latar
belakang Syafi'i yang mengembangkan ajarannya di daerah-daerah
Mekkah, Madinah, Baghdad dan terakhir Mesir, sehingga ajaran itu
selalu berkembang sesuai dengan kondisi masyarakat sekitarnya.99.
Dengan menganut mazhab Syafi'i, bagi NU sangat dimungkinkan adanya pilihan untuk menyesuaikannya dengan konteks waktu. Tentu saja
penyesuaian itu harus dilandasi oleh konsensus (ijma') di kalangan
ulama, yang biasanya dicapai dalam suatu forum bahtsul masail
diniyah (pembahasan masalah-masalah keagamaan)100. Mekanisme
konsensus ini merupakan faktor terpenting yang telah menjaga
keutuhan organisasi NU, yang senantiasa dipenuhi oleh perbedaan itu.101
Tiga tradisi keagamaan yang dipegang NU di atas pada gilirannya
melahirkan sikap-sikap yang menjadi ciri khas organisasi, yaitu:
1. Tawasuth dan i'tidal, sikap tengah (moderat) dengan menjunjung tinggi keharusan berlaku lurus di tengah kehidupan
bersama .
2. Tasamuh, sikap toleran terhadap perbedaan.
3. Tawazun, sikap seimbang dan tidak bersikap ekstrem.
4. Amar ma'ruf nahi munkar; menganjurkan kebaikan dan mencegah kejelekan.102
Tradisi keagamaan itu juga memungkinkan terpeliharanya kontinyuitas antara pandangan serba fiqih di satu ujung dan intensitas
penghayatan iman yang tinggi sebagai buah dari dimensi tasawufnya, di
ujung lain.103. Dari tradisi demikian, logis jika akhirnya lahir pandanganan kemasyarakatan yang tidak bercorak hitam putih.
Pandangan
ini tentu memiliki implikasi tersendiri dalam persepsi kenegaraan NU'
Kewajiban bernegara bagi NU adalah suatu yang final dan tidak bisa
62
ditawar lagi. Sebagaimana digambarkan Abdurrahman Wahid,
Eksistensi negara mengharuskan adanya ketaatan terhadap
pemerintah sebagai mekanisme pengaturan hidup, yang
dilepaskan
dari perilaku pemegang kekuasaan dalam kapasitas pribadi.
Kesalahan tindakan atau keputusan pemegang kekuasaan tidaklah
mengharuskan adanya perubahan dalam sistem pemerintahan.
Konsekuensi pandangan ini adalah keabsahan negara begitu ia
berdiri dan mampu bertahan, dan penolakan sistem alternatif
sebagai pemecahan masalah-masalah utama suatu bangsa yang
telah membentuk negara. Dengan demikian, cara-cara yang
digunakan dalam melakukan perbaikan keadaan senantiasa
bercorak
gradual.104
Pola pikir semacam inilah yang membuat NU menolak kehadiran
Negara Islam Indonesia yang didirikan Kartosuwiryo, lepas dari
persoalan bahwa unit tertentu dalam milisi NU terlibat di dalamnya.
Kartosuwiryo bahkan dicap sebagai bughat (pemberontak) yang harus
dibasmi. Sementara Soekarno dikukuhkan sebagai waliyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang kekuasaan sementara dengan kekuasaan
penuh).
konsepsi di atas, yang mendudukan pemerintah pada posisi sentral adalah inti dari pandangan mazhab Syafi`i tentang tiga jenis
negara dar al-Islam (negeri Islam), dar al-harb (negara perang), dan
dar al-sulh (negara damai) Dalam pandangan ini, negara Islam harus
dipertahankan dari serangan lawan, sebab ia adalah perwujudan normatif dan fungsional cita-cita kenegaraan Islam sebagai konstitusi Negara. Negara perang yang anti Islam harus diperangi, karena akan ber
bahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, seperti dihilangkannya
pemberlakukan syariah Islam dari konstitusi negara. Negara damai harus dipertahankan pula, sebab syariah masih dilaksanakan oleh umat
Islam di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.105
63
pendekatan serba fiqih inilah yang menjadikan NU relatif lebih
mudah menerima penetapan pancasila sebagai satu-satunva asas. Dalam kacamata fiqih, pancasila adalah salah satu persyaratan bagi keabsahan negara RI, dan sama sekali bukan persyaratan keagamaan. Itu
berarti "tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak
berfungsi menggantikan kedudukan agama". 106.
Dengan mengembalikan semua persoalan pada legitimasi hukum
fiqih NU secara akomodatif mampu beradaptasi dengan tuntutan sebuah negara modern, walaupun tak jarang pandangan serba fiqih itu
menjadi hambatan bagi pemegang kekuasaan dalam beberapa aspek
kenegaraan tertentu. Apapun, pandangan serupa itu membawa konsekuensi perbenturan dengan pandangan yang memberlakukan Islam
sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi sebagal ideologi politik.l07
Pendekatan serba fiqih, betapapun, pada akhirnya juga memberikan batasan yang tegas dan jelas tentang sejauh mana sikap akomodatif NU dimungkikan. Batasan itu adalah sepanjang tidak melanggar prinsip ajaran dan sistem nilai keagamaan yang dianutnya. Jika ini
tejadi, NU bisa saja bersikap keras.
Sebagai catatan akhir, konsekuensi lain dianutnya paham Ahlussunnah waljamaaah adalah keharusan bagi seluruh warga NU untuk
menghormati otoritas dan kepemimpinan ulama. Dalam hal pemilihan
nama organisasi dengan Nahdlatul Ulama pun tergambar jelas posisi
sentral ulama di dalamnya.
Sistematika
Secara keseluruhan, buku ini dibagi dalam tujuh bab. Setelah
mengemukakan pertanggung jawaban metodologis pada Bab I, maka
Bah II akan memberikan gambaran tentang profil kesejarahan dan
organisasi NU. Dalam tinjauan sejarah NU sebelum tahun 1984 dapat
ditemukan beberapa karakteristik mendasar organisasi ini yang turut
memberi warna pada pejalanannya kemudian.
Hab III akan membuat ikhtisar pemikiran Abdurrahman Wahid
sebagai salah satu faktor yang juga memiliki determinasi terhadap
dinamika NU. Sementara Bab IV mulai melihat implementasi keputusan kembali ke khittah 1926 dalam dinamika internalnya. Di sini
akan dilihat pejalanan dan ujian terhadap Khittah selama kurun waktu
64
sepuluh tahunan, kesulitan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan
konsekuensi organisatoris internal khittah, berupa pengembalian
otoritas ulama,serta persepsi warga dan elit NU sendiri terhadap
khittah.
Pada Bab V diuraikan Implementasi Khittah dalam dinamika
eksternalnya. Di sini akan diajukan argumentasi bahwa kembali ke
khittah tidak pernah dimaksudkan untuk menghapussama sekali
dimensi politik dalam gerakan NU. Khittah hanya mengamanatkan
suatu reorientasi peran politik NU. Akan dilihat pula bagaimana posisi
NU, atau persisnya warga NU, dalam dua pemilu --1987 dan 1992-serta bidang-bidang garapan NU setelah tidak lagi terkonsentrasi pada
politik praktis.Bab selanjutnya --VI dan VII-- masing-masing untuk
mendiskusikan prospek NU dan sebuah poskripsi.
________________________________________________________
___________
________________________________________________________
___________
pendidikan yang dilakukan. Disegi ini Muhammadiyah jelas lebih
modern.
90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal
jamaah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia
Mena
tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63
91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X
92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135.
90. Lihat Nurcholish Madjid, "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah wal
jamaah:, dalam Muntaha Azhari dan AH Saleh (eds.), Islam Indonesia
Mena
tap Masa Depan (Jakarta: P3M, 1989), h. 63
91. Dhofier, Tradisi Pesantren Op. cif, h. 14X
83. Almond, Op. cit, h. 81
92. Seperti dikutip dalam Anam, Op. cil., h. 135.
84. Salisbury, Op. cit., h. 208
93. Ibid. h. 136.
85. Hagopian, Op. cit., h. 362
86. Ibid., i, 362-368.
94. Murtadha az-Zabidi ittihad Sadatul Muttaqin, sebagaimana dikutip
dalam ibid, h. 139f.
87. Almond, c,p. ul., h. 86
95. Nurcholish Madjid, Islam Doktrin, Op, cit, h. 282L.
88. Ibid, h. 87
96. persoalan semacam ini berhulu pada metodologi agama mereka
yang
terlalu menomer-satukan rasio, dalam menilai sumber-sumber
primer
Islam, Al-Qur'an dan hadits. Mereka, misalnya. menggunakan
pende
katan interpretasi metamorfosis terhadap teks-teks dalam dua
sumber
89. Misalnya NU pernah membuat gebrakan dengan mendirikan BPRBPR
mendahului Muhammadiyah bahkan ia bekerjasama dengan bank
Summa,
ketika perdebatan tentang halal-haramnya bunga bank belum usai.
Barangkali yang tersisa dari tradisionalitas Nu adalah dalam bidang
65
66
tersebut, sehingga akhirnya terjebak dalam persepsi yang
antromorfis
tentang Tuhan: Ia menyerupai manusia dalam hal mempunyai
tangan,
mata, bertahta di sebuah singgasana ('arsy), bersifat senang, murka,
dendam, terikat pada waktu, dan seterusnya. Lihat ibid., h. 271 .
102. Marijan, Quo Vadis, Op. cit., h.36.
103. Wahid., Op. cit., h. 33-34.
104. Ibid.,h.34
105. Abdurrahman Wahid, "Kata pengantar", dalam Sitompul, Op.
cit., h. 10
97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149.
106. Wahid., Nahdlatul Ulama, Op. cit., h.34-35
98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat)
dan ijma'
sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai
dengan sikap
diamnya)
99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih
bahasa
Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23.
97. Seperti dikutip dalam Dhofier, Op Cil., h, 149.
98. Ijma' dapat dibedakan atas ijma' shahabi(konsensus para sahabat)
dan ijma'
sukuti (persetujuan para ulama akan sesuatu hal, yang ditandai
dengan sikap
diamnya)
99. Ali Abdul Wahid Wafi, perkembangan Mazhab dalam Islam, alih
bahasa
Rifyal Ka'bah (Jakarta: Minaret, 1987), h. 22-23.
100. Anam, Op. cit., h. 161.
101. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonnesia
Dewasa ini,"
dalam Prisma No. 4, 1984, h. 36.
67
107. Ibid.,h.35
BAB II
WAJAH NU:
1926-1984
SEJARAH formal NU dimulai sejak ia didirikan.31 Januari 1926 di
Surabaya oleh KH Hasyim Asy'ari bersama beberapa ulama sepaham
seperti KH Wahab Hasbullah serta beberapa ulama pesantren lain.
Namun berdirinya jam'iyah ini sesungguhnya hanyalah pelembagaan
tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.1
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk
komunitas (jamaah) yang diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang
mempunyai karakter Ahlussunnah wal jamaah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah "penegasan formal dari mekanisme informal
para ulama sepaham."2 Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak
lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham
pembaharuan Islam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain
dalam
Muhammadiyah.
Masuknya paham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin
banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, sejak dibukanya Terusan Suez (1869). Bersamaan dengan
itu,
di Timur Tengah sedang merebak ajaran pembaharuan dan purifikasi
68
ajaran Islam, seperti gerakan pembaharuan Muhammad Abdul Wahab
yang kemudian dikenal sebagai Wahabiyah, maupun pemikiran PanIslamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh. Tak pelak, kontak pemikiran intensif antara para jemaah haji
Indonesia dengan paham pembaharuan ini berlangsung. Ketika kembali ke
tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran
Islam dari unsur-unsur yang dianggap berasal dari tradisi di luar
Islam.
Tak semua kalangan menerima paham pembaharuan itu secara bulat-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bisa saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal
sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi
ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu
dilakukan
secara frontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Terlebih
lagi,
itu ternyata mulai berindikasi pendobrakan tradisi keilmuan
yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren. Perkembangan
inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham Ahlussunnah wal Jamaah yang mereka anut. Karena itu, mereka
berupaya
membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam
alur inilah, antara lain, NU terbentuk.3 Karena itu peristiwa Kongres
Dunia Islam di Mekkah, serta pelarangan pengajaran mazhab Ahlussunnah wal jamaah di Masjid al-Haram, merupakan casus belli saja
bagi lahirnya NU.4
Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya
pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat
itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Beslanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan.
Dalam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi
penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi
132169
1837, perlawanan rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX
nada
perlawanan terhadap penjajah bergeser dari perjuangan bersenjata
menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan.
Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan
Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menumbuhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah
langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah meng
hadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam perkembangannya,
Nahdlatul Wathanlah sebenarnya dapur pemikiran lahirnya NU.5
Agaknya, tepat kesimpulan Ziemek bahwa NU mewakili faham
konservatif para ulama, namun juga sekaligus mewakili tradisi perlawanan ratusan tahun terhadap kekuasaan kolonial Belanda, dengan
kedudukan mandiri, bebas dan tersentralisasi pada masyarakat pedesaan,yang para kyaiya orang-orang paling berpengaruh dan tak diperintah siapapun.6
Senada dengan Ziemek, dalam catatan Saifuddin Zuhri, pada proses kelahiran NU tidak ada campur tangan dari pihak manapun, melainkan didirikan atas dasar dorongan kesadaran rasa tanggung jawab
para pendirinya. Dorongan atau motivasi itu adalah: kesadaran bertanggungjawab kepada Islam, kepada ummat Islam, dan kepada Tanah
Air.7
Latar belakang lahirnya NU ini perlu memperoleh perhatian, sebab
karakteristik organisasi ini lebih berakar di sini. Satu hal perlu dicatat
dan proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam dan situasi kolonialisme tersebut, yakni
bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya. Refleksi pola perilaku reaktif NU
antara
lain adalah keluarnya organisasi ini dari Masyumi dan belakangan
PPP
setelah diawali oleh rasa kecewa terhadap keduanya.8
Apa yang dapat disimpulkan dari diskusi di atas adalah bahwa betapapun NU terutama sekali lahir dan berdiri sebagai organisasi sosial
keagamaan (jam'iyah diniyah), namun kibaran panji-panji keagamaan
70
yang ada telah dipikul dengan semangat politis yang cukup jelas pula.
Visi politis jamaah yang terwadahi dalam NU, dengan sub-sub wadah
berupa pesantren-pesantren, tercermin misalnya dalam sikap eskapisme mereka berhadapan dengan kolonialisme. Baik secara fisik dengan
mengundurkan diri dan daerah urban ke daerah pedesaan yang relatif
jauh dari "jangkauan" Belanda, maupun secara psikologis dengan
menjauhi segala hal yang dianggap berbau Belanda, seperti pemakaian
dasi,
bahkan celana panjang (dalam hal mana kalangan modernis berpandangan lain).
Sejak awal, NU mempunyai potensi politik yang tidak bisa dianggap kecil. Di samping sebab yang mendasar bahwa dalam karakteristiknya yang universal, meliputi segala aspek kehidupan manusia,
Islam
tak dapat dipisahkan dari politik, dan, sebaliknya, politik tidak bisa
dipisahkan dengan Islam. Maka seperti dicatat oleh Saifuddin Zuhri:
Sejak lahirnya, aspirasi yang melingkungi NU adalah aspirasi pesantren,... Baik pesantren selaku persemaian (pembinaan) kaderkader ulama dan pemimpin Islam tetapi juga pesantren sebagai
pembina potensi gerakan yang sejak dahulu telah diakui oleh kaum intelektual sebagai media pendidikan yang praktis dan efektif
membentuk potensi yang bergerak (tidak beku).9
Keeratan NU dengan pesantren selaras dengan tujuannya yang
hendak melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, yang tercermin
dari diajarkannya kitab-kitab klasik (kitab kuning). Pesantren sendiri
mempunyai perkembangan yang cukup unik. Antara satu pesantren
dengan pesantren-pesantren lain pada umumnya terdapat suatu jaringan hubungan genealogis yang rumit dan kokoh. Jaringan ini tidak
muncul dengan sendirinya. Ia lebih merupakan buah dari suatu upaya yang
direncanakan secara matang dalam upaya melestarikan tradisi pesantren yang dilakukan dengan membangun solidaritas dan kerjasama
sekuat-kuatnya antara sesama kyai. Cara praktis yang ditempuh untuk
itu antara lain adalah dengan mengembangkan suatu jaringan perka71
winan endogamous di antara keluarga kyai: kaitan pesantren satu
sama
lainnya diperkuat oleh hubungan kekerabatan serta dipererat dengan
kaitan perkawinan antara putra-putri kyai satu dengan lainnya.l0 Eratnya hubungan antar pesantren yang diikat oleh tali kekerabatan ini,
yang tentu saja ditopang oleh soko guru ikatan tali akidah, menjadikan
pesantren sangat potensial sebagai basis gerakan politik. Inilah akar
NU.
Meningkatknya Kesadaran Politik: 1934-1952
Selama beberapa waktu, orientasi politik dalam diri NU masih bersifat laten, dalam pengertian bahwa NU tidak terlibat dalam gerakan
politik praktis. Lahan politik menjadi garapan kalangan nasionalis dan
kalangan Islam modernis yang berada di SI.
Orientasi politik NU baru muncul secara lebih terbuka setelah tampilnya beberapa tokoh muda seperti Wahid Hasyim dan Machfudz
Siddiq dalam kepemimpinan NU di pertengahan dekade tigapuluhan.11
Langkah konkret dari tumbuhnya orientasi politik itu adalah bergabungnya NU ke dalam Majlisul Islam A'la Indonesia (MIAI) pada
1939.
MIAI dibentuk pada 1937 atas dasar keinginan untuk memperkuat tali
persatuan umat Islam Indonesia. Sekalipun dua dari empat tokoh pendiri MIAI berasal dari NU, namun mereka hadir atas nama pribadi.
Baru dua tahun kemudian NU turut bergabung di dalamnya.12 Dalam
asumsi Syafi'i Ma'arif, MIAI didirikan karena terdorong oleh contoh
yang kompetitif dari golongan sekuler yang juga berusaha mempersatukan diri.13
MIAI secara umum memang bergerak di bidang keagamaan. Namun, dalam setiap akfivitasnya sarat muatan politik. Tak lain karena
politik merupakan bagian dari universalitas Islam, sebagaimana
halnya
bidang ekonomi dan kemasyarakatan pada umumnya. Setiap kongres
yang diadakan (1938, 1939, dan 1941) selalu membuahkan upaya
untuk
mempengaruhi kebijakan melalui pengajuan tuntutan kepada pengua72
sa baik tentang hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah
keagamaan maupun tidak. Bahkan masalah internasional, misalnya
persoalan Palestina yang telah mulai muncul saat itu, tidak luput dari perhatian MIAI.14 Ketika GAPI (Gabungan Politik Indonesia, sebuah gabungan partai politik sekuler) tampil membawa tema tuntutan Indonesia berparlemen kepada pemerintah, MIAI memberinya dukungan.
Betapapun dukungan itu bukannya tanpa reserve,seperti yang kemudian
tergambar jelas ketika tuntutan MIAI pada akhirnya adalah Indonesia
"berparlemen yang berdasarkan Islam."15
Pola interaksi yang dialami dalam MIAI membawa pengaruh besar
terhadap NU. Muktamar NU XV (1940) di Surabaya menjadi ajang
penegasan tuntutan-tuntutan yang dilontarkan MIAI, termasuk tuntutan
Indonesia berparlemen. Hal-hal lain yang juga dituntut oleh NU antara
lain adalah dilakukannya perbaikan-perbaikan seperti diberikannya
pertolongan terhadap jemaah haji Indonesia yang terperangkap di
Mekkah akibat perang Belanda-Jerman, mencabut Guru Ordonantie 1925
yang dianggap merugikan umat Islam, termasuk hal yang menyangkut
siapa yang menjadi kepala negara di negara Indonesia merdeka nanti.
Dalam sebuah rapat tertutup yang dihadiri oleh 17 orang tokoh NU,
dihasilkan keputusan dua orang calon presiden: Sukarno dan Mohammad Hatta, dengan 10 suara untuk Sukarno dan satu suara untuk Hatta.16 Tak satupun tuntutan-tuntutan yang diajukan itu terpenuhi.
Ketika pendudukan Jepang dua tahun kemudian membuat persoalan-persoalan itu tidak relevan lagi. Regim kolonial baru ini segera
tampak jauh lebih represif daripada regim sebelumnya: semua organisasi politik dibekukan, dan setiap kegiatan politik dilarang sama
sekali.
Umat Islam yang semula menaruh harapan pada "saudara tua" yang
membebaskan mereka dari kekuasaan "kafir" Belanda itu segera
menemukan kekecewaan yang dalam. Lebih lagi karena ternyata bagi Jepang, sebagaimana Belanda, terpisahnya Islam dari politik adalah
salah
73
satu bagian dari rencana umumnya, dan karena itu mereka tetap
mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.17 Langkah pertama adalah mendirikan Kantor Urusan
Agama (Shumubu) yang dipimpin oleh Kolonel Horrie, dengan
tindakan pertama menempatkan semua rumah ibadah Islam di bawah pengawasan tentara Dai Nippon.18 Tindakan selanjutnya adalah mengupayakan terbentuknya sebuah organisasi federasi Islam yang antara
lain ditujukan untuk menggantikan MIAI yang berkesan anti-kolonial.
Maka dibentuklah Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada
tahun 1943 di mana NU, sebagaimana dalam MIAI, tersubordinasi di
dalamnya.19 Pada masa ini NU sebenarnya memperoleh beberapa
konsesi. Seperti Yang tampak dalam pengangkatan Rais Akbar NU,
Hadratus Syeikh, KH Hasyim Asy'ari, sebagai Kepala Shumubu (menyusul Husein Djajadiningat yang menggantikan Horrie) serta sebagai
Ketua Umum pengurus Masyumi yang pertama, sehingga NU dimungkinkan untuk memainkan peran yang cukup berarti. Keuntungan
ini kalau boleh disebut demikian-- dimungkinkan setidaknya oleh dua
hal. Pertama sikap NU kepada Jepang cenderung lunak. Berbeda
dengan sikapnya terhadap Relanda, maka terhadap Jepang NU bersikap lebih kooperatif NU bersedia duduk dalam Chou Sangiin,
sementara untuk badan serupa di Jaman Helanda, Volksraad sama
sekali menolak. Anam menilai bahwa sikap semacam ini didasar oleh
pemikiran bahwa kemerdekaan Indonesia hanya tinggal soal waktu
Saja sehigga perlu dimanfaatkan isu kolaborasi dengan jepang dalam
bentuk apapun guna tercapainya kemerdekaan itu. 20 Sikap lunak NU
kepada Jepang tentu saja sepanjang tidak melemahkan sendi-sendi
aqidah Islam. Terhadap perintah untuk melakukan Seikerei (ritual
penghormatan kepada Tenno Heika dengan cara mirip ruku' ke arah
matahari terbit) misalnya, NU menentang keras, antara lain dari
KH Hasyim Asy'ari sendiri serta memunculkan pemberontakan di
Singaparna.21
Kedua,berkaitan dengan politik jepang untuk menggalang semua
kekuatan anti Belanda ke pihaknya, sehingga mereka perlu memperlakukan dengan baik, serta memenuhi keinginan secara baik pula ter74
hadap umat Islam khususnya yang berbasis di pedesaan.22 NU mau
tak
mau adalah kuncinya. Suatu manfaat lain yang bisa diperoleh NU dengan siasat sikap lunaknya kepada Jepang adalah berupa pelatihan
ketrampilan militer bagi para santri dan kyai di pesantren, yang kemudian melahirkan milisi-milisi revolusioner Hizbullah dan Sabilillah.23
Kedua milisi ini, pada awal kemerdekaan turut menjadi kompartemen
TNI.24 Kalangan NU pada umumnya memandang bahwa saham mereka dalam pejuangan fisik mempertahankan kemerdekaan disumbangkan melalui kedua milisi itu. Sementara di panggung perjuangan
politik, peran NU tersalur melalui Masyumi, yang dibentuk beberapa
bulan setelah proklamasi. Yang disebut terakhir ini adalah sebuah
partai politik resmi yang berbeda dan terlepas sama sekali dari organisasi dengan nama yang sama di jaman Jepang, kecuali dalam hal
tujuan moralnya.25 Partai Masyumi terbentuk sebagai buah dari
keputusan Muktamar Islam Indonesia di Yogyakarta (7-8 Nopember
1945), yang juga memutuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya
partai politik bagi umat islam di Indonesia NU' bersama Muhammadiyah, perserikatan umat Islam dan Persatuan umat Islam,
adalah organisasi-organisasi pertama memasuki Masyumi.27
Masyumi sebagai satu-satunya partai islam tidak dapat bertahan lama,
bahkan sejak awal pun sebenarnya tidak utuh. Di bulan yang sama
terbentuknya Masyumi, di Bukit tinggi Perti juga menyatakan diri
sebagai partai politik Islam. Dan dua tahun kemudian, karena adanya
peluang untuk duduk dalam kabinet Amir Syarifudin, sementara
Masyumi menolak peluang ini, PSII memutuskan keluar dari
Masyumi
dan tampil sebagai partai politik sendiri.28 Dengan alasan tersendiri,
lima tahun kemudian NU pun keluar dari Masyumi dan menjadi partai
politik sendiri.
Aktualisasi Peran Politik: 1952-1984
Struktur pimpinan pusat Masyumi terdiri dari pimpinan partai
(yang melaksanakan tugas eksekutif sehari-hari) dan Majelis Syuro
(se
macam dewan pertimbangan dan pemberi fatwa). Pimpinan Partai da75
lam garis besar tindakan partai). Secara tradisional posisi penting
dalam
majelis Syuro dipegang Oleh tokoh ulama NU. Sementara pimpinan
partai, yang sangat dominan, diisi oleh kalangan pembaharu yang
biasanya
para intelektual.Sebenarnya struktur kepemimpinan semacam
ini lebih banyak menimbulkan persoalan daripada
menguntungkan,mengingat kesan yang
yang timbul adalah adanya kompartementalisasi antar unsur dalam
federasi ini.
Terlebih lagi tidak pernah begitu jelas perincian tugas antara kedua
struktur yunpman itu. Suasana hubungan
itu. Suasana hubungan antara keduanya sangat kondusif bagi
munculnya konflik,
di mana akhinya Majelis Syuro terus-menerus digiring ke arah peran
yang semakin tidak berarti,29 menjadi "dewan penasehat" yang seringkali
tidak
begitu diindahkan. Di sinilah bersumber kekecewaan NU terhadap
Mamasyumi.30. Sumber lain adalah berkaitan dengan jabatan Menteri
Agama
dalam Kabinet Wilopo. Dalam klaim NU, kursi Menteri Agama
adalah
bagian mereka. Sebab di samping sudah demikian adanya sejak awal
kemerdekaan, NU memulai dirinya sebagai cermin dari mayoritas
umat
Islam Indonesia dilihat dan segi "ilmu, akidah, dan amaliahnya." Namun karena pertimbangan-pertimbangan lain, Masyumi mengajukan
nama Fakih Usman (Muhammadiyah) kepada formatur kabinet untuk
jabatan itu. Pada 15 April 1952, hanya sepuluh hari setelah
pencalonan
itu disetuiui oleh formatur kabinet, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai parpol.31
Sebab-sebab itulah yang umumnya dipandang sebagai faktor pendorong keluarya NU dari Masyumi. Tapi Zamakhsyari Dhofier melihat suatu penyebab lain yang lebih menentukan, yaitu dinamika in76
ternal NU sendiri. KH Wahid Hasyim, Ketua Umum PB NU waktu
itu,
memandang bahwa organisasi yang dipimpinnya telah semakin condong ke dalam percaturan politik. "Tokoh-tokoh NU muda seperti
Idham Chalid, Saifuddin Zuhri, Syaichu dan lain-lainnya semakin memerlukan ruang gerak yang cukup luas dalam arena politik. (Dan hal
itu akan) dapat terbuka dengan lebih leluasa setelah NU dapat berdiri
sebagai partai politik."32
Perubahan NU menjadi parpol membawa umat Islam Indonesia ke
dalam dikotomi kepemimpinan politik: kepemimpinan politik kaum
modernis di Masyumi, dan kepemimpinan politik kyai (ulama) tradisional di NU. Lebih jauh lagi, hal itu juga membawa perubahan
dalam
perimbangan kekuatan politik Indonesia saat itu. Hasil-hasil Pemilu
1955 menggambarkan dengan jelas tentang perimbangan kekuatan
baru
itu. Di sini, NU dengan perolehan suara sebesar 6.955.141 (18,4 %
dari
keseluruhan suara yang masuk) dan 45 kursi di parlemen, menempatkan diri pada posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi, dan setingkat di
atas PKI.33 Mengingat NU adalah partai yang relatif baru, sehingga
persiapan untuk menghadapi pemilu boleh dikatakan kurang jika dibandingkan dengan partai-partai lain, maka perolehan suara NU yang
menempatkannya pada posisi ketiga di atas sungguh di luar dugaan.
Mahrus Irsyam (34 menilai bahwa prestasi NU itu dimungkinkan oleh
adanya perubahan dalam tema kampanye yang dilakukan. Dan tema
kampanye yang semula, senada dengan Masyumi (tema-tema agak
naif seperti: siapa memilih NU akan masuk sorga"), menjadi tema
yang
lebih menonjolkan garis batas antara NU dan partai lain, khususnya
Masyumi dan PKI. Karena itu NU melontarkan isu keterlibatan Masyumi dalam pemberontakan DI/TII, serta ulah PKI dalam Madiun
Affair-nya di tahun 1948. Sehingga seolah-olah NU menawarkan
"jalan
selamat bagi umat dengan memberikan suaranya kepada NU.
Tapi jika diingat bahwa mayoritas warga NU berada di pedesaan,
maka penilaian Irsyam di atas menjadi kurang tepat. Apapun tema
kampanye yang dilontarkan, efeknya akan lebih terasa pada ma77
syarakat perkotaan, bukan masyarakat pada pedesaan yang voting
behaviour-nya lebih ditentukan oleh pemimpin informalnya (ulama).
Penilaian Syafii Maarif tampak lebih beralasan. Bagi Syafii Maarif,
faktor penentu terpenting prestasi NU di atas adalah banyaknya
jumlah
pesantren dengan kyainya yang berpengaruh di tiga propinsi yang
mejadi basis massa NU, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan. Sebagian besar kyai itu adalah penyokongpenyokong
NU yang tangguh. Dalam memperebutkan suara bagi kepentingan
kemenangan politik, para kyai mempunyai peranan strategis, khususnya di daerah pedesaan; sedangkan lebih dari 70 % Indonesia
masih
merupakan daerah pedesaan.35
________________________________________________________
_____________
________________________________________________________
_____________
1. Kacung Marijan Quo, Vadis NU setelah kembali ke khittah 1926
Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992), h. 1.
2. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama
(Sala:
Jatayu, 1985), h.1 Cf. H Anas Thohir,et. al (eds.), Kebangkitan
Umat Islam
dan Peranan, NU di Indonesia (Surabaya: PC NU Kodya Surabaya,
1980), h.
90.
3. Tentang masuknya paham pembaharuan ke Indonesia, serta reaksi
kalangan
tradisionalis dari sudut pandang "orang NU", lihat Marijan, op. cit.,
h. 1-17;
78
Anam, op. cit., h. 33-56. Dari sudut pandang "kaum modernis", lihat
Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta LP3ES, 1980).
Dalam
visi seorang pengamat asing, lihat Manfred Ziemek, Pesantren
Dalam
Perubahan Sosial, alih bahasa RB Soendjojo (Jakarta: P3M, 1986),
h. 59-66.
Jelas, bukan paham pembaharuan an sich yang dipersoalkan oleh
para
ulama pesantren. Mereka dapat menerima paham itu. Ulama-ulama
NU
seperfi KH Hasyim Asy'ari, KH A. Wahab Hasbullah, sebagaimana
KH
Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), pernah selama bertahuntahun
menimba ilmu di Mekkah, pengaruh gerakan Wahabiyah dan lainlainnya.
Perbedaan antara ulama tradisional dengan kalangan yang kemudian
disebut sebagai kelompok Islam modernis di Indonesia bukanlah
pada
persoalan menolak atau menerima paham pembaharuan itu, tapi
lebih pada
bagaimana paham itu diterima dan diaplikasikan. Para ulama
tradisional
menerima paham pembaharuan, tapi menyesuaikannya dengan
tradisi yang
mereka anut. Lihat Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila
(Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1989), h. 58-62.
4. Dalam Kongres Dunia Islam itu delegasi Indonesia hanya diwakili
oleh
kalangan Islam pembaharu, dan sama sekali tidak menyertakan
kalang
an Islam tradisional. Kalangan tradisional lalu membentuk delegasi
sen79
diri ke Mekkah untuk meminta Raja Saud menjamin kelestarian
mazhabmazhab ortodoks serta kegiatan tarekat di Hijaz (Arab Saudi kini).
Delegasi ini semula diberi nama Komile Hijaz, tetapi kemudian
mengubah
nama itu menjadi Nahdlatul Oelama. Lihat Anam (1985) dan Martin
van
Bruinessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana
Baru
Yogyakarta: LKiS, 1994), h. 32-34.
5. Lihat Anam, op. cit., h. 24-33. Cf. Khoirul Fathoni dan Muhammad
Zen, NU
Pasca Khittah: Prospek Ukhuwah dengan Muhammadiyah
(Yogyakarta:
MW Mandala, 1992), h. 4-5.
6. Ziemek, op. cit., h. 64-65.
7. Saifuddin Zuhri, "Peranan NU dalam Pengembangan Islam dan
Membela
Tanah Air," dalam Thohir, op. cit., h. 93.
8. Cf. Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik
Orde Baru
dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 9 (Jakarta: PT Gramedia, 1991), h.
41-42.
9. Saifuddin Zuhri, op. cit., h. 118.
10. Tentang hubungan kekerabatan antar pesantren, khususnya antara
para kyai,
lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES,
1990), h. 61-99.
11. Anam menyebutkan bahwa kemunculan tokoh-tokoh muda itu
merupakan
80
satu dari tiga fenomena yang menandai awal perkembangan NU
sejak Muktamar IX (1934). Dua fenomena lainnya adalah pemisahan sidang
Syuriyah
dan Tanfidziyah dalam muktamar itu, setelah sebelumnya sidangsidang selalu dipimpin oleh Syuriyah; serta dibenahinya tata-cara sidang.
Lihat Anam
op. cit., h. X9-91.
12. MIAI didirikan oleh KH Wahab Hasbullah (NU), KH A Dahlan
(NU, bedakan dengan KH Ahmad Dahlan yang pendiri Muhammadiyah dan
telah meninggal pada tahun 1923), KH Mas Mansur ( Muhammadiyah), dan
W.
Wondoamiseno (SI). Pada awalnya organisasi-organisasi yang
menjadi
anggota federasi MIAI adalah: SI, Al Islam (Solo), Persyarikatan
Ulama
(Majalengka), Muhammadiyah, Hidayatul Islamiyah
(Banyuwangi), AlKhairiyah (Surabaya), dan Al-Irsyad (Surabaya). Tentang
pembentukan
MIAI, lihat Noer, op. cit., h. 260-267.
13. A Syafii Maarif, Islam dan Masalah kenegaraan Oakarta: LP3ES,
1985), h. 96.
Agaknya, yang dimaksudkan adalah terbentuknya PPPKI
(Permufakatan
Perhimpunan Kebangsaan Indonesia kemudian Permufakatan
Politik Pengejar Kemerdekaan Indonesia) di awal 30-an. Chganisasi yang
kelahirannya turut dibidani oleh SI ini ternyata kemudian tak lebih dari sekadar
wadah legalisasi konflik antara golongan Islam dan golongan nasionalis
sekuler. Lihat
81
Noer, ibid., h. 261-315.
14. Noer ibid., h. 265-267.
15. Ibid., h. 289f.
16. Anam, op. cit., h. 112.
17. Tentang umat Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang,
lihat Harry J.
Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel
Dakhidae
Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
18. Ibid., h. 142.
19. Ibid., h. 184-204.
20. Anam, op. cit., h. 114-124.
21. Lihat Sitompul, op. cit., h. 92.
22. Belanda, op. cit., h. 141
23. Anam, op. cit., h. 119f.
24. TNI lahir sebagai paduan 3 unsur pokok yang memiliki
karakteristik berbeda-beda. Pertama, bekas tentara KNIL. Kelompok ini mempunyai
kemampuan yang cukup baik dalam tugas-tugas staf. Perwira TNI yang
berasal dari
kelompok ini adalah Nasution, Simatupang, Urip Sumoharjo, dan
sebagainya. Kedua, bekas prajurit PETA. Nama-nama seperti Sudirman,
Bambang
Sugeng, maupun yang lebih junior seperti Ahmad Yani, Suharto,
dan lain82
lain, adalah dalam kelompok ini. Ketiga, bekas laskar-laskar
perjuangan.
Yaitu kelompok-kelompok milisi yang mempunyai afiliasi --baik
politis maupun etnis-- beranekaragam. Hizbullah dan Sabilillah berada dalam
kelompok ini. Mengenai unsur-unsur TNI ini, lihat Yahya A Muhaimin,
Perkembangan Militer dalam politik di Indonesia 1945-1966, (Yogyakarta
Gadjah
Mada University press, 1982), h. 29-31; lihat juga Ulf
Sundhaussen, Politik
Militer Indonesia 1945-1967 (Jakarta: LP3ES, 1988), h. 21-22.
27. Masyumi mempunyai dua macam keanggotaan perorangan dan
organisasi.Dualisme ini didasarkan pada pertimbangan untuk
memperbanyak anggota,di samping agar dilihat sebagai wakil umat
Islam tanpa ada
yang merasa tidak terwakili. Lihat ibid., h.48.
25. Tujuan itu adalah untuk menciptakan suatu wadah dan
kepemimpinan
tunggal bagi umat Islam Indonesia. Dari segi ini, maka Partai
Masyumi
adalah "kelanjutan dari usaha MIAI sejak 1937 dan usaha Masyumi
'made in
japan' 1943." Lihat Syafii Maarif, Dinamika Islam. Potret
Perkembangan
Islam di Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983), h. 7.
Usaha
menyusun kepemimpinan tunggal semacam itu yang kemudian
dikritik oleh
Abdurrahman Wahid, dan dinilainya membawa implikasi negatif
terhadap
Umat. Bagi umat Islam Indonesia, "yang diperlukan adalah upaya
untuk
terus-menerus mencari konsensus melalui kepemimpinan yang
beragam.
30. Ibid., h. XO-til.
26. Deliar Noer, Partai Islam di pentas nasional (Jakarta:pt Pustaka
Utama
Graffiti, 1987), h. 47.
83
28. Ibid., h. 76-77
29. Perubahan skuktur organisasi Masyumi dari periode ke periode
cukup
menggambarkan melemahnya peran Majelis Syuro di dalamnya.
Lihat ibid.,
h.69-71.
3l. Ibid:, h. X1-X6.
32. Zamaksyari Dhofier, "KH. A. Wahid Hasyim Kantai Penghubung
Peradaban Pesanhen dengan peradaban Indonesia Modem", dalam Prisma,
Agustus
1984, h. XO. Keinginan Wahid Hasyim untuk mencari ruang gerak
yang lebih
leluasa bad NU tidak memudarkan obsesinya akan persatuan umat
Islam
dalam satu wadah. Sehingga tidak lama setelah NU keluar dari
Masyumi, ia
mendirikan Liga Muslimin Indonesia, yang sekali lad diharapkan
dapat
menjadi wadah federasi bagi umat Islam Indonesia. Lihat ibid.
Dalam hal ini,
Wahid Hasyim mempunyai jalan pikiran yang berbeda, kalau bukan
berlawanan, dengan puhanya yang kontroversial Abdurrahman Wahid.
Cf.
catatan kaki nomor 24 di atas.
84
33. Untuk hasil-hasil Pemilu 1955 ini selengkapnya, lihat Herbert
Feith, The
Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca, NY:
Cornell
University Press, 1966), Tabel 21 h. 434f.
34. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik (Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan,
1984), sebagaimana dikutip dalam Sitompul, op. cit, h. 120.
35. Syafii dan Masalah Kenegaraan op. cit., h. 116.
36. Perhatikan bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara
mayoritas dalam pemilu 1995.
Sehingga kabinet yang terbentuk kemidian adalah hasil koalisasi
antara PNI
Masymi, dan NU. Sukarno sebenarnya mengiginkan PKI diikutkan
dalam koalisasi itu
itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya dengan keras.Lihat ibid., h.
123.
37. Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat
antara lain
Mashuri Maschab, kekuasaan eksekutif di Indonesia (Jakarta: PT
Bina Aksara,1983)
h. 28-110.
38. Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang
era demokrasi
Liberal dan kegagalannya di Indonesia pernah di lakukan oleh
Herbart Feith.
Lihat Feeith,The Decline, op. cit. Sementara untuk kajian ulang atas
Demokrasi Liberal lihat David Bourchier dan Southeast Asia No. 3
(Clayton:
Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994.
Yang pasti prestasi spektakuler itu telah membuat posisi NU kian
menguat. Setidaknya itu tercermin dari perolehan kursi NU dalam ka85
binet koalisi yang terbentuk tidak lama kemudian.36 Jika dalam
kabinet
sebelumnya NU hanya memperoleh dua jabatan menteri, maka dalam
kabinet baru itu NU memperoleh empat jabatan: Menteri Dalam Negeri, Menteri Perekonomian, Menteri Sosial, dan Menteri Agama, di
samping jabatan Wakil Perdana Menteri II yang dipegang oleh Idham
Chalid.37 Idham adalah Ketua Umum PBNU sejak 1956, setelah KH
Moh. Dahlan yang memegang jabatan dari tahun 1954. Kabinet
koalisi
PNI-Masyumi-NU itu, sebagaimana kabinet-kabinet lain dalam
periode
interregnum Demokrasi Liberal ini, tidaklah berumur panjang. Kurang
dari setahun sejak memulai masa kerjanya, kabinet itu jatuh dan
digantikan oleh Kabinet Karya yang dipimpim Juanda, sebelum akhirnya
Dekrit Presiden 5 juli 1959 membawa sistem politik Indonesia ke dalam
era Demokrasi Terpimpin.38 Setelah jatuhnya kabinet koalisi itu,
peran
partai politik merosot sama sekali. Kabinet Karya, yang formasinya
disusun oleh "warga negara Sukarno", dipretensikan sebagai kabinet
ekstra-parlementer yang non-partai, sekalipun mengikutsertakan beberapa
tokoh partai yang diwakili di parlemen. Selama beberapa waktu dalam
masa transisi ke Demokrasi Terpimpin partai-partai politik termasuk
NU "memindahkan medan tempurnya" dari politik praktis kepada perjuangan ideologis tentang dasar negara dalam Majelis
Konstituante."39
Dalam perjuangan ideologis itu pada mulanya ada tiga usul yang diajukan sebagai dasar negara: Pancasila, Islam dan Sosial-ekonomi Karena terbatasnya dukungan terhadap usulan yang disebut terakhir, maka perdebatan tentang dasar negara dalam Konstituante akhirnya hanya meliputi dua usulan yang pertama. Cukup untuk dikatakan bahwa
suara NU (meskipun NU mendukung usulan Islam sebagai dasar
negara) dalam perdebatan itu tidak seberapa vokal jika dibandingkan
dengan kalangan Islam modernis, khususnya dalam Masyumi, seperti
86
Natsir. Persisnya: NU tidak segigih kalangan modernis dalam
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Perdebatan ideologis dalam
Konstituante sebenarnya masih berlangsung, sampai Dekrit Presiden
membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945,
yang menjadikan persoalan itu tidak relevan lagi.40 Dalam Demokrasi
Terpimpin, panggung politik Indonesia praktis dikuasai oleh kekuatan
tiga aktor politi: Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat, dengan menyisakan sedikit porsi peran yang tidak berarti untuk partai-partai politik
yang ada. Beberapa partai bahkan tidak memiliki cukup daya survival
berhadapan dengan upaya penyederhanaan kepartaian yang dilakukan
oleh Sukarno, sehingga akirnya hanya tersisa sepuluh partai. Masyumi
termasuk yang disingkirkan, terutama karena keterlibatan tokohtokohnya dalam pemberontakan PPRI. Sementara itu karena sikap
akomodatifnya lebih mampu bertahan. Dalam catatan Syafii Maarif,
sayap Fesanhen, yaitu NU bersama PSII dan Perti, diijinkan hidup di
bawah payung Demokrasi Terpimp". Dengan gaya mereka masingmasing partai 11U telah melakukan berbagai langkah penyesuaian diri
dengan berbagai perkembangan politik yang rumit. Strategi dasarnya
adalah bagaimana menyenangkan Sukarno dan menjaga agar ia tidak
menjadi berang sehingga bersedia melindungi kepentfingan
mereka.41
Bubarnya Masyumi lalu menjadikan NU sebagai partai Islam terbesar di Indonesia. Namun NU tetap tidak mampu menyamai kebesaran
Masyumi, terutama sekali ketika NU sendiri masih berada di dalamnya. Agaknya hal itu disebabkan karena tampilnya NU sebagai partai
Islam terbesar semata-mata adalah karena massanya yang kalangan
Islam tradisionalis secara kebetulan merupakan mayoritas umat Islam
di Indonesia. Lebih dari itu, meskipun NU "memang dapat mewakili
pengikutnya tapi ... fidak berhasil meluaskan pengaruhnya pada kalangan bukan NU."42
Walaupun demikian, upaya untuk menggalang persatuan umat Islam terus-menerus dilakukan oleh NU, terutama untuk mengimbangi
kekuatan PKI yang terus membesar. Betapapun oportunistiknya NU
terhadap regim Demokrasi Terpimpin, namun ketika berhadapan dengan PKI, NU tetap memilih untuk berdiri di atas "Garis keras".43
Bah87
kan ketika semakin jelas adanya tindakan PKI yang memberikan
latihan
dan perlengkapan militer kepada pemuda-pemudanya, maka Subchan
ZE, seorang tokoh muda NU (betapa pun hal ini dapat dipandang
sebagai refleksi pola perilaku reakfif NU), segera mengkoordinir
pemuda-pemuda dari PMII, HMI, Ansor, Muhammadiyah, dan bahkan kemudian PMKRI, dan merencanakan untuk mengimbangi usaha PKI
itu.
Latihan kemiliteran bagi para pemuda yang digalang Subchan masih
berupa rencana, ketika suatu "prahara politik" merebak di hari
pertama
bulan Oktober 1965 dan menandai tahap awal dari serangkaian proses
berakhirnya era Demokrasi Terpimpin. Peristiwa percobaan kudeta
oleh apa yang menamakan dirinya G-30-S yang melibatkan banyak
kalangan ini, termasuk unsur-unsur dari dua aktor dalam segi-tiga
kekuasaan Demokrasi Terpimpin, PKI dan Angkatan Darat, segera
memunculkan epilog panjang: meluasnya perasaan anti-PKI di
kalangan masyarakat; runtuhnya pola hubungan segitiga Sukamo-PKI-Angkatan Darat yang menaikkan militer sebagai dominator kekuasaan;
krisis ekonomi dan inflasi yang parah; di samping krisis politik yang
yaris membawa negara ke jurang chaos Penggalangan kekuatan antikomunis yang pernah dilakukan Subchan akhirnya menemukan
relevansinya, dan terbentuklah KAP-Gestapu, sebuah kekuatan aksi
pengganyangan G-30-S yang kemudian "menuntut dilarangnya PKI,
...
dibersihkannya kabinet, parlemen, MPRS, dan semua lembaga negara
dan orang komunis dan simpatisan mereka.44 NU dengan Pemuda
Ansornya telah memotori aksi anti-PKI di kalangan sipil segera
setelah
G-30-S, dan NU pula yang kemudian banyak terlibat dalam pembantaian yang dilakukan dengan sepengetahuan --kalau bukan digerakkan
Angkatan Darat. Bahkan di Jawa Timur, Ansor bergerak spontan
mendahului tentara. Antara 250.000 hingga 500.000 orang terbunuh dalam
penumpasan PKI secara fisik itu, yang segera disusul dengan pembu88
baran PKI secara formal, sehari setelah ditandatanganinya SP 11
Maret
1966.45 SP ini sekaligus menandai lahirnya sebuah tatanan politik
baru
yang membawa komitnen untuk "melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara mumi dan konsekuen" serta mengoreksi semua kesalahan
orde lama. 46
Meski secara de facto Supersernar adalah penyerahan kekuasaan
dari Sukarno kepada Suharto, namun ia tidak mau bersikap radikal
dalam melepaskan Sukarno dari kekuasaannya karena dukungan terhadap Sukarno masih besar. Sementara pada sisi lain ia masih ragu
akan popularitas dan dukungan rakyat kepadanya. Ia kemudian mengambil cara inkremental untuk secara bertahap mengurangi kekuasaan
Sukarno dan akhirnya melepasnya sama-sekali.47 Suharto juga tidak
man bertindak gegabah dengan "memborong" semua porsi kekuasaan
dan membaginya habis untuk perwira-perwira Angkatan Darat.
Mengacu pada Mohtar Mas'oed, Orde Baru adalah kebangkitan
koalisi besar, dengan anggota inti Angkatan Darat, intelektual sipil
antikomunis dan para pengusaha.48 Aliansi ini segera memusatkan perhatian untuk membenahi semua warisan krisis dari regim Orde Lama
dengan melakukan 'stabilisasi dan Pembangunan ekonomi yang berorientasi ke luar."49 Upaya ini berdampak panjang dan rumit bagi par
tai politik dan sistem kepartaian di Indonesia. Semula NU agak ragu
untuk memberikan dukungan terhadap Suharto. Namun ketika semakin jelas bahwa ia cukup memiliki pijakan legtimasi yang kuat untuk
berkuasa, sementara pada saat yang sama mulai muncul kekecewaan
NU terhadap Sukarno yang terakumulasi cepat,50 maka NU secara
luwes
mengalihkan dukungannya dari Sukarno kepada Suharto. Menjelang
akhir
Januari dukung NU. dengan mengemukakan alasan moral pun politik,
memisahkan diri dari Sukarno dan menolak Pel-Nawaksara.51 Pada
tahun
yang sama,tokoh-tokoh NU dalam DPG-GR mengajukan
memorandum yang pada
pokoknya mengemukakan beberapa indikasi keterlibatan Sukarno
dalam G-30-S,
89
dan karenanya DPR-GR dihimbau untuk mengundang MPRS guna
mengadakan
sidang istimewa untuk mencabut kekuasaan Sukarno.Memorandum
ini
kemudian disusul dengan sebuah resolusi yang meminta agar MPRS
mengangkat Jendral Suharto sebagai presiden. Dukungan NU
terhadap
Suharto ini tidak lepas dari sikap Suharto sendiri. "Setelah
menilai karakter tokoh-tokoh NU, para penasehat Svharto mengambil
kesimpulan bahwa bila mereka diberikan status dan dana bagi
kegiatan
keagamaan dan lain-lain, Idham dan rekan-rekannya akan mendukung
Suharto seperti mereka mendukung Sukarno di masa lampau.." 52
Tuntutan yang segera muncul begitu Orde Baru mulai melangkah
adalah diselenggarakannya pemilihan umum. Baaik Sukarno maupun
partai-partai politik sangat berkepentingan dengan diadakannya
pemilu
dalam tujuan masing-masing.53 namun AD tentu tidak mau mengambil resiko. Mengadakan pemilu yang akan menggambarkan arah dukungan rakyat, sementara AD tidak dapat mennjamin popularitasnya
di
kalangan rakyat --adalah tindakan "Bunuh diri". Kerena itu
pemerintah
berusaha untuk menperlambat tempo pemilu dengan jalan mengulurulur
proses disahkannya UU tentang pemilu. Langkah pertama,Seminar
AD
1966 mengusulkan rancangan UU tentang Pemilu yang mengundang
banyak kritik dari wakil-wakil rakyat di DPG-GR, dan karenanya
tidak
dapat disetujui dalam waktu singkat. Sementara itu ditandatanganinya paket 27 Juli 1967 dimana partai-partai dan pemerintah, saling
memberi konsensi menyebabkan UU Pemilu perlu di susun ulang.
Akibatnya, pemilu yang disepakati akan dilaksanakan pada 5 Juli 1968
secara teknis menjadi tidak mungkin terlaksana. Ketika pada Maret
1968
90
MPRS bersidang dan mengangkat Suharto sebagai presiden penuh,
pemerintah sekali lagi mengusulkan penundaan pemilu selama lima
tahun. Namum partai-partai politik berhasil mendesakkan kompromi
yang mengharuskan pemerintah melaksanakan pemilu pada 15 Juli
1971.54
Sementara pelaksanan pemilu terus mengalami penundaan,
pemerintah berupaya melemahkan partai-partai politik.55 Dalam masa
ini tercatat berdirinya sebuah partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
pada
20 Januari 1968. Partai ini sebenarya lahir prematur dari kandungan
keinginan untuk menghidupkan kembali Masyumi. Pemerintah secara
tegas menolak keinginan tokoh-tokoh Masyumi untuk merehabilitasi
partainya, sambil mengingatkan keterlibatan mereka dalam pemberontakan PRRI,56 walaupun pemerintah juga menyatakan "tidak
berkeberatan terhadap pembentukan partai Yang basis massa Masyumi."57
Dengan rekayasa penuh pemerintah terhadap struktur kepemimpinannya, berdirilah Parmusi. Sementara itu AD terus mengembangkan
Golkar, yang didirikan pada 20 Oktober 1964 dengan nama Sekber
Golkar, menjadi partner sekaligus lengan politiknya. Golkar, yang
tidak
memiliki akar kuat di bawah, segera menggunakan apa yang kemudian disebut sebagai "taktik buldozer" untuk mengalihkan suara
partaipartai lain terhadapnya. Menghadapi PNI, Golkar diuntungkan oleh
Permendagri nomor 22 tahun 1969 yang mengharuskan pegawai Depdagri, sumber dukungan terbesar PNI, bergabung dengan Kokarmendagri. Demikian pula PP No.6 tahun 1970 yang mewajibkan pegawai
negeri hanya memiliki loyalitas tunggal. Sedangkan menghadapi
partaipartai Islam dipilih cara untuk mengambil hati para ulama, antara lain
dengan menghidupkan kembali GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan
Pendidikan Islam). Sasaran lain yang diraup Golkar adalah ex-anggota
PKI dan ormas-ormasnya. Walaupun UU pemilu secara khusus melarang oarng-orang ini untuk memberikan suaranya dalam pemilu, namun dilaporkan bahwa di beberapa daerah ,rang-orang ex-anggota
dan simpatisan PK1 yang tidak dibunuh atau dipenjarakan telah diha91
ruskan memilih Golkar.58 Tidak heran jika Pemilu --yang akhimya
terselenggara pada 3 juli 1971, ditandai lahirnya sebuah kekuatan politik
dominan yang baru dengan keberhasilan Golkar memperoleh 62,8 %
suara dalam pemilu itu. Parpol-parpol lain pada umumnya berantakan
menghadapi taktik Golkar dalam Pemilu 1971. Hanya NU yang
mampu
bertahan, yang dengan perolehan 18,7 % suara telah memperbaiki penampilannya dalam Pemilu 1955.59 Para pengamat menilai senada
bahwa faktor utama penentu reputasi NU ini adalah peranan kyai dan pesantren yang menjadi basis massanya.60 Strategi monoloyalitas yang
dilontarkan Mendagri jelas tidak berarti banyak berhadapan dengan
NU yang dipimpin oleh para kyai yang tidak terikat pada gaji pemerintah. Demikian pula kebijaksanaan floating mass yang memotong
akar partai di pedesaan sebagai konsekuensi dari pembatasan di dalam
hirarki struktur partai yang diharuskan, tidak menjadi persoalan besar
bagi NU, karena kyai masih menjadi panutan massa Islam pedesaan
yang paternalistik. Dengan bertumpu pada dukungan kyai, NU
berhasil
meyakinkan para pemilih Islam di desa-desa, khususnya di daerah seperti Jawa Timur, bahwa pemilu adalah batu ujian bagi iman mereka.
Berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan
Ketika stabilitas politik diterima sebagai prasyarat pembangunan
ekonomi, maka regim Orde Baru sangat intens menciptakan semua
prakondisi yang diperlukan untuk pemantapan stabilitas itu, serta mengeliminasi, setidaknya meminimalkan semua kemungkinan ke arah
sebaliknya. Salah satu bentuk upaya ini adalah tindakan restruktunsasi par
tai politik --kiat manajemen konfllik yang sebenarnya diwarisi dari
regim sebelumnya dengan berbeda pola pelaksanaannya. Proses ke
arah penyederhanaan partai ini pada dasarnya sudah dimulai sejak
awal 1970, sebelum pemilu pertama dilaksanakan.
Pada Pebruari 1970, di depan para pimpinan ke-9 parpol dan Golkar Presiden Suharto, menyampaikan saran tentang pengelompokan
92
partai-partai. Tujuannya adalah untuk mempermudah kampanye pemilu, dan selanjutnya mempermudah sistem administrasi seperti penyusunan fraksi di DPR kelak, bukan untuk melenyapkan partai-partai itu
sendiri.61 Setelah melalui tahapf dialog antara pemerintah dan partaipartai, seruan Suharto itu memperoleh tanggapan positif. Maka pada
bulan berikutnya terbentuklah pengelompokan dimaksud. PNI, IPKI,
Murba, Parkindo dan Partai Katolik bergabung dengan kelompok nasionalis. Sedang NU, Parmusi, PSII dan Perti membentuk kelompok
spiritual. Kelompok pertama disebut Kelompok Demokrasi Pembangunan, dan yang kedua disebut Kelompok Persatuan Pembangunan.62
Sebenarnya Parkindo dan Partai Katolik dapat bergabung dalam
kelompok spiritual. Tapi karena alasan perbedaan agama, sementara
untuk membentuk kelompok tersendiri kurang dimungkinkan, mereka
lebih memilih kelompok nasionalis. Pengelompokan ini selanjutnya
menjadi dasar penyusunan fraksi di DPR, sehingga badan ini memiliki
lima fraksi: Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Pembangunan atau Demokrasi Indonesia, Fraksi Karya Pembangunan, dan
Fraksi ABRI.
Kemenangan Gemilang Golkar dalam Pemilu 1971 di sisi lain juga
semakin memudahkan 'penguasaan' pemerintah terhadap DPR. Pemerintah kemudian mengusulkan RUU Kepartaian. Dalam rancangan itu
disebutkan bahwa hanya tiga partai politik yang akan diakui di Indonesia. Dengan demikian, pemilu berikutnya hanya akan diikuti oleh
dua parpol dan Golkar.63 Semakin jelas bahwa penyederhanaan partai
sulit ditolak oleh kalangan partai. Maka Kelompok Persatuan Pembangunan yang berbentuk konfiderasi terus menerus mengadakan pendekatan intensif dalam rangka mendahului realisasi fusi, sebelum hal
itu dipaksakan oleh UU Parpol dan Golkar. Langkah ke arah fusi itu
bukannya tanpa hambatan, sebab partai-partai Islam pada mulanya berbeda pendapat tentang fusi itu: Parmusi dan Perti sejak semula
mendukung gagasan fusi, namun tidak demikian halnya NU dan PSII.64
Namun ketika semakin pasti bahwa fusi partai tidak mungkin ditolak, maka pada 5 Januari 1973 keempat partai Islam itu berfusi ke
dalam
Partai Persatuan Pembangunan, ditandai dengan penandatanganan
93
sebuah deklarasi di Jakarta.65 Struktur kepemimpinan PPP
diusahakan
agar dapat menampung semua partai pendukung secara proporsional,
agaknya dengan mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam
Pemilu 1971. Itulah sebabnya, dominasi NU dalam partai ini terasa
dominan pada awalnya, seperti yang tampak dari diborongnya posisi penting dalam kepengurusan pusat PPP oleh NU.66 Tak heran jika pada
awal berdirinya pikiran-pikiran NU banyak mewarnai keputusankeputusan PPP terutama bila berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam hal ini PPP tampak begitu kompak, seperti tercermin jelas
dalam respons penolakan atas RUU Perkawinan 1974. Alasan utama
penolakan itu adalah karena secara prinsipil RUU itu bertentangan
dengan ajaran Islam. Sekalipun anggota PPP hanya sedikit di DPR (94
dari 460 orang anggota), namun mereka dapat memaksakan revisi
yang
cukup mendasar sebelum RUU itu disahkan menjadi UU No. 1 Tahun
1974. Sukses itu dimungkinkan karena kekompakan elit PPP, di samping adanya gelombang reaksi keras dari massa Islam di luar partai
terhadap RUU itu.67 Namun PPP tampak mulai kurang utuh setelah
Pemilu 1977. Keretakan di FPP mulai muncul ketika mereka harus
membahas Rantap MPR tentang P-4 dan dimasukkannya aliran keper
cayaan dalam GBHN. Sekalipun secara esensial semua unsur di FPP
menolak dimasukkannya P-4 sebagai Tap MPR dan aliran
kepercayaan
ke dalam GBHN, namun mereka berbeda dalam strategi dan taktik
yang dipakai. Ketika MPR sulit menemukan kata sepakat dalam pembahasan tersebut, maka dipilih cara voting. Di sini perbedaan muncul.
Unsur MI menginginkan FPP ikut dalam voting sekalipun mungkin
kalah, sementara SI mengusulkan agar abstain saja, sedangkan NU
bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang sidang.68
Retak kedua muncul dalam pembahasan RUU tentang perubahan
UU Pemilu No. 15 Tahun 1969 di DPR. RUU ini memperoleh
tentangan
94
keras dari FPP dan FDI, terutama menyangkut keikutsertaan parpol di
LPU (Lembaga Pemilihan Umum) sampai KPPS, tuntutan
pengurangan
jumlah anggota DPR yang diangkat, dan sebagainya. Lagi-lagi, unsurunsur dalam FPP berbeda strategi sekalipun sikap mereka terhadap
RUU itu sama. Dan NU kembali menunjukkan sikap kerasnya. Ketika
semua unsur lain pada akhirnya terpaksa menerima KUU itu, NU
tetap
bersikukuh menolaknya, sehingga RUU itu disahkan tanpa kehadiran
anggta FPP dari unsur NU dalam sidang pleno bulan Pebruari 1980.69
Retaknya kekompakan ini barangkali sebenarnya tidak terlalu berdampak buruk bagi partai. Hanya saja pada waktu yang nyaris bersamaan mulai muncul bibit kekecewaan NU terhadap PPP yang, sebagaimana terhadap Masyumi dulu, berkisar dalam masalah distribusi
kekuasaan.
Sekalipun posisi NU cukup kuat di masa awal Orde Baru, namun
tokoh-tokoh NU tidak lagi dilibatkan dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Jika dalam Kabinet Pembangunan I masih ada dua orang NU
yang memegang jabatan menteri, dalam kabinet berikutnya sudah
tidak
ada lagi. Dalam Kabinet Pembangunan II hanya ada dua orang
menteri
yang berasal dari parpol non-Golkar, yaitu HMS Mintaredja (Parmusi)
dan Sunawar Sukowati (PNI). Bahkan jabatan Menteri Agama yang
secara tradisional hampir selalu dipegang oleh NU kini tidak lagi. Dalam Kabinet Pembangunan I Yang Disempurnakan, jabatan itu diberikan kepada seorang "teknokrat" Prof Dr Mukti Ali.70 Kecenderungan
pemerintah yang sudah enggan untuk bekerjasama dengan kalangan
politisi partai non-Golkar ini akhirnya memaksa NU dan partai-partai
lain memusatkan perhatian pada lembaga legislatif, tempat terakhir di
mana interaksi politik mereka dimungkinkan. Kesempatan tersisa ini
menjadi begitu berarti bagi mereka.
________________________________________________________
_________________________
________________________________________________________
_________________________
36. Perhatikan Islam bahwa tidak ada partai yang memperoleh suara
mayoritas dalam
Pemilu 1955. Sehingga kabinet yang terbentuk kemudian adalah
hasil koalisi
antara PNI, Masyumi, dan NU. Sukamo sebenamya menginginkan
PKI diikutkan dalam koalisi itu, tapi NU dan Masyumi menolaknya
dengan keras.
Lihat ibid., h. 123
37. Tentang komposisi kabinet di Indonesia dari masa ke masa, lihat
antara lain
Mashuri Maschab, Kekuasaan Eksekutif di Indonesia (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1983), h. 28-110.
38. Sebuah kajian yang paling komprehensif hingga saat ini tentang
era Demokrasi liberal dan kegagalannya di Indonesia pernah dilakukan oleh
Herbert
Feith. Lihat Feith. The Decline op. cit. Sementara untuk kajian
ulang atas Demokrasi liberal lihat David Bourchier dan John Legge, Democracy
in Indonesia: 1950s and 1990s (Monash Papers on Southeast Asia No, 3
(Clayton:
Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994).
39. Maarif, op. cit.
95
96
40. Untuk pembahasan tentang perdebatan ideologis antara kelompok
Islam dan
golongan nasionalis "sekuler" dalam Konstituante, lihat ibid., h.
142-176.
Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22. Juni 1945
(Jakarta:
CV Rajawali, 1986), h. 71-101.
41. Maarif, Ibid., h. 184.
42. Noer Partai Islam, op.cit., h. 394. Kebesaran Masyumi memang
tidak dapat
ditandingi oleh partai Islam manapun di Indonesia hingga saat ini,
tidak juga
oleh Parmusi yang didirikan di kemudian hari di dalam alur upaya
untuk
menghidupkan kembali Masyumi.
43. Tentang upaya-upaya (yang kebanyakan benar-benar berhenti
sebatas upaya
tanpa hasil yang memuaskan) NU untuk setidak-tidaknya
mengimbangi
PKI, Lihat Anam, op. cit., h. 276-241.
44. Sundhaussen, op. cit, h. 378
45. Mengenai pembantaiaan orang-orang komunis beberapa bulan
setelah pemberontakan G-30-S, lihat Harold Crouch, Militer dan Politik di
Inddonesia,
alihbahasa Th. Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986),
h. 162174. "Sikap keras NU terhadap PKI (ini) bukan hanya karena
motivasi politik, tetapi yang paling dominan adalah motivasi agama. Anam op.
cit., h.
244. Sundhaussen menilai bahwa pembantaian orang-orang PKI
baik oleh
97
kelompok muslim maupun oleh kelompok-kelompok lain
sebenarnya
merupakan buah dari arogansi mereka (orang orang PKI) terhadap
lawanlawan politik mereka di masa-masa sebelumnya. "Orang-orang
komunis
mencap lawan-lawan mereka sebagai 'setan-setan desa', musuh
kontrarevolusioner dari negara, sampah masyarakat. Mereka memperolok
dan
menghina agama, yang menyebabkan umat Islam bersiapsiap untuk
berjihad." Sundhauswn, op. cit, h. 387.
46. Suharto, tokoh sentral Orde Karu, menyebutkan tiga
Penyeleweng" di masa
Orde Lama. Pertama, radikalisme ekstrim kiri PKI yang dengan
segala cara
berusaha memonopoli hasil-hasil revolusi dengan menghembushembuskan
perjuangan kelas di Indonesia Kedua, oportunisme politik yang
didorong
oleh ambisi di kalangan pribadi penguasa Dan ketika,
penyelewengan
ekonomi yang, lagi-lagi, didorong oleh kepentingan pribadi. lihat
Suharto,
"Mengakhiri Tiga Penyelewengan" dalam Herbert Feith dan lance
Castles
(eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, alihbahasa Min
Yub-haar
Jakarta: LP3ES, 1988), h. 132-135
Upaya itu dilakukan baik secara "konstitusional" dengan menekan
MPRS
agar mengesahkan ketetapan-ketetapan yang diusulkan oleh
Angkatan Darat
(terutama tentang pengukuhan Supersemar sebagai TAP MPRS dan
penuntutan tanggung jawab terhadap Sukarno yang akhirnya bermuara
pada
98
upaya intensif untuk menyudutkannya maupun dengan jalan
memperkuat
tempat berpijaknya sendiri dengan cara memapras perwira-perwira
pendukung Sukarno dari posisi-posisi penting Angkatan Darat yang
dilakukan bersamaan dengan upaya serupa terhadap keriga angkatan
lainnya, bahkan juga lembaga-lembaga tinggi negara. Lihat Crouch, op.
cit.,
h. 220-272. Cf. Sundhaussen, op. cif., h. 411ff.
48. Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 19661971,
49. Ibid., h. 56-60.
50. Dengan mengutip KH Wahab Hasbullah dan KH Saifuddin Zuhri,
Anam
menyebutkan bahwa lunturnya dukungan NU terhadap Sukarno
adalah,
karena ia tidak mau segera membubarkan PKI, sekalipun NU telah
berusaha
untuk mengartikulasikan tuntutan pembubaran PKI itu secara
konstitusional
dan tidak dalam cara-cara anarkis. Lihat Anam, op.cit., h. 249f.
Tapi perlu
dicatat bahwa cara-cara konstitusional itu cuma merupakan sebuah
episode
setelah pada episode sebelumnya NU menggunakan cara-cara
kekerasan
terhadap PKI.
51. Sundhaussen op. cit., h. 433. Pel-Nawaksara adalah laporan
pelengkap
pidato utama Sukarno di depan sidang MPRS pada pertengahan
1966, NaWaksara. Pidato Pel-Nawaksara mencerminkan penentangan
Sukarno ter99
hadap MPRS dan keengganannya untuk mengutuk PKI.
52. Crouch op. cit., h. 296.
53. Sukarno menginginkan pemilu karena itu adalah cara yang efektif
untuk
mengurangi kekuasaan Suharto yang belum memiliki kesempatan
untuk
mengembangkan popularitasnya di kalangan rakyat. Lihat
Sundhaussen, op
cit., h. 420f. Cf. Crouch, op. cit., h. 230. Sementara tunntutan
partai-partai
terhadap pemilu didasari oleh keinginan untuk kembali menggali
peran
politik mereka. Dengan pemilu, dukungan terhadap parpol dari akar
massa
mereka masing-masing akan termobilisir riil. Lihat Crouch, ibid., h.
278f.
54. Tentang upaya penguluran waktu pelaksanaan pemilu ini, lihat
antara lain
Crouch, ibid., h. 278-285.
55. Ibid., h. 285-296.
56. Penolakan pemerintah terhadap rehabilitasi Masyumi tampaknya
didasari
oleh keengganannya untuk melihat munculnya sebuah kekuatan
politik
Islam yang besar sebagaimana Masyumi dahulu. Alasan Suharto
tentang
keterlibatan sejumlah tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI
terasa
hipokrit ketika ia kemudian ternyata menyertakan Sumitro
Djojohadikusumo, seorang ekonom tokoh PSI yang juga terlibat PRRI, dalam
kabinetnya .
100
57. Crouch, op. cit., h, 292f.
cit, h. 47.
58. Tentang taktik buldozer Golkar ini, lihat ibid., h 299- 301. Dalam
Pemilu 1971
tercatat 2.123.747 warga negara yang tidak berhak memilih. Ibid.,
h. 300. Jika
diingat bahwa pada tahun 1965 PKI pernah menyatakan memiliki
anggota
sebanyak 20 juta orang, dan jika angka ini dikurangi dengan kirakira 500.000
orang komunis yang dibunuh di akhir tahun 1965 dan awal 1966,
serta jika
diiasumsikan bahwa orang-orang yang tidak berhak memilih itu
adalah
orang-orang komunis semuanya, maka setelah dikurangi dengan
jumlah
mereka yang ditahan, secara kasar dapat diperkirakan bahwa kirakira
sejumlah 17 juta ex anggota PKI tidak dihalangi untuk memberikan
suaranya. Pernyataan ini boleh jadi kurang argimentatif, namun boleh
jadi,
mereka inilah yang diraup Golkar.
59. Untuk hasil-hasil Pemilu 1971, lihat antara lain M. Rusli Karim,
Perjalanan
Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut (Jakarta:
CV Rajawali,
1983), h. 170.
62. Bambang Purwoko, ibid., h. 111f.
63. Fathoni dan Zen, op. cit., h. 47-48. RUU ini tanpa hambatan yang
berarti
kemudian disahkan sebagai UU No. 3 Tahun 1975 tentang Parpol
dan
Golkar.
64. Bambang Purwoko, op. cit., h. 117-119. Lihat juga Marijan, op.
cit., h. 104f.
65. Deklarasi ini ditandatangani oleh KH Idham Chalid (NU), HMS
Mintaredja
(MI), H Anwar Tjokroaminoto (SI), H Rusli Halil (Perti), dan KH
Masykur
(NU). Isi lengkap deklarasi ini lihat antara lain Bambang Purwoko,
op. cit., h.
120f; atau Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta:
PT
Grasindo, 1991), h. 158f.
66. Jabatan-jabatan penting yang dipegang NU adalah Presiden Partai,
Wakil
Ketua Umum Pengurus Pusat, Sekjen, Ketua Umum Majelis
Pertimbangan
Partai, dan Rais Aam Majelis Syuro. Lihat Haris, ibid., h. 162f.
67. Lihat Haris, ibid., h. 10-11.
60. Lihat Marijan, op. cit., h. 101; Crouch, op. cit, h. 302; Fathoni dan
Zen, op.
cit., h. 46.
61. Lihat Bambang Purwoku, Perkembangan Partai Persatuan
Pembangunan
(1973-1986) (Skripsi FISIPOL-UGM, 1988), h. 110. Cf. Fathoni
dan Zen, op.
101
68. Marijan, op. cit, h. 112f.
69. Ibid., h. 113f. Rasa tidak puas terhadap FPP dan DPP PPP, yang
telah
menginstruksikan agar FPP menerima saja RUU itu, segera
bermunculan di
102
kalangan aktivis PPP sendiri. Mereka yang tidak puas lalu
membentuk
sebuah "Komite Perubahan Pusat" yang menentang FPP dan DPP
PPP. Ibid.,
h.114f
70. Untuk komposisi kabinet-kabinet RI, lihat Mashuri Maschab, op.
cit.
Menyadari begitu krusialnya masalah pembagian hasil perolehan
kursi di DPR antara keempat unsur di dalamnya, PPP jauh-jauh hari
sudah berusaha membuat langkah antisipatif. Di tahun 1975, Munas
Dewan Partai menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa rasio perbandingan perolehan kursi untuk masing-masing unsur dari Pemilu 1977
adalah didasarkan pada hasil nyata perolehan kursi dari Pemilu 1977
ketika masing-masing unsur masih berupa parpol. Kesepakatan ini kemudian dikenal sebagal "Konsensus '75". Berbekal konsensus inilah
PPP
menghadapi Pemilu 1977. Dari pemilu ini PPP memperoleh 99 kursi
di
DPR, meningkat 5 kursi dari 94 kursi perolehan keempat partai Islam
dalam Pemilu 1971.71 Dengan logika sederhana dapat diduga bahwa
penambahan 5 kursi itu akan dibagi merata bagi semua unsur.
Masingmasing memperoleh tambahan satu kursi dibanding dari perolehan di
Pemilu 1971, sementara satu kursi sisanya bolehlah diserahkan
kepada
unsur dengan jumlah perolehan kursi terkecil. Benarkah demikian?
Tiga unsur memang memperoleh kenaikan jumlah kursi. Parmusi
(atau
MI) dari 24 kursi di Pemilu 1971 menjadi 25 kursi dalam Pemilu
1977. SI
dari 10 menjadi 14 kursi. Dan Perti dari 2 menjadi 4 kursi. Namun NU
justru mencatat penurunan, dari 58 kursi menjadi "hanya" 56 kursi.72
Rasio, perolehan kursi antar unsur ini jelas menyimpang dari
Konsensus
'75. Masalah pembagian kursi antar unsur ini memang tidak pernah
dipersoalkan oleh NU. Namun bibit kekecewaan sangat boleh jadi lalu
103
muncul di sini, dan mulai retaknya kekompakan PPP dalam kisaran
waktu ini tak urung menjadi lahan persemaian yang subur bagi bibit
itu. Lalu, bibit kekecewaan itu segera menemukan pupukpenyuburnya
ketika kekompakan dalam PPP yang telah retak semakin rengkah dan
tidak dapat ditutup-tutupi lagi. Menjelang persidangan DPR
1980/1981
tejadi perebutan kursi ketua komisi-komisi yang telah menjadi jatah
PPP di DPR antara NU dan MI. Awalnya adalah ketika FPP
memperoleh jatah 13 kursi untuk komisi DPR. Jatah kursi ini lalu
dibagi
dengan rasio NU:MI:SI:Perti = 7:4:1:1. Dan sesuai dengan
kesepakatan
fraksi-fraksi di DPR, FPP mendapat jatah untuk mengetuai Komisikomisi I, VII, dan VIII. Semula, Komisi I diketuai oleh Amin
Iskandar
(NU), Komisi VII oleh Rahmat Muljomiseno (NU), dan Komisi VIII
oleh
Ismail Hasan Metareum (MI). Lain, di tahun 1978 NU sepakat
meminjamkan kursi Ketua Komisi VII kepada MI, dengan catatan
harus
dikembalikan setahun kemudian. Pada tahun berikutnya, MI ternyata
menolak permintaan NU untuk mengembalikan pinjamannya itu,
bahkan MI meminta perpanjangan selama satu tahun. NU setuju.
Namun di tahun 1980 MI ternyata bersikeras mempertahankan kursi
Ketua Komisi itu. Ketika NU terus menuntutnya, diadakanlah voting.
Tapi di sini NU kalah, karena MI didukung oleh FXP dan FABRI.
Perebutan jabatan bahkan lalu merambat pada kursi Ketua Komisi
lainnya. Lagi-lagiI NU kalah, sehingga rasio jatah kursi komisi milik
FPP
antara NU dan MI menjadi 5:6.73 Konflik yang cukup keras muncul
saat penyusunan daftar calon anggota DPR menjelang Pemilu 1982.
MI
menganggap bahwa Konsensus '75 sebagai referensi distribusi kekua
saan sudah tidak berlaku lagi, dan dipandang hanya berlaku untuk
Pemilu 1977. NU berpendapat lain. Bagi NU, komposisi distribusi
kekuasaan di FPP setidaknya harus dipertahankan. Sementara unsurunsur lain terutama MI justru menuntut NU mengurangi jatahnya dari
104
56 menjadi 49 agar NU tidak menjadi kekuatan mayoritas.74
Perbedaan
spendapat ini menyebabkan PPP sulit mencari kata sepakat tentang
Daftar Calon Sementara anggota DPR dari PPP untuk Pemilu 1982,
bahkan sampai batas akhir penyerahan DCS ke LPU 27 September
1981.
Sekalipun LPU memberikan toleransi selama satu bulan, kesepakatan
masih saja sulit dicapai. Maka pada 27 Oktober 198I, Jaelani Naro,
Ketua Umum DPP saat itu, bersama beberapa orang temannya
menyerahkan DCS hasil susunannya sendiri kepada Mendagri selaku
Ketua LPU. DCS ini berjumlah 625 calon, dengan perimbangan
"calon
jadi" 49 untuk NU, 29 MI, 16 SI, dan 5 Perti.75
NU menilai DCS yang diajukan Naro, jelas menyimpang dari Konsensus '75, sebagai daftar sepihak yang disusun di luar musyawarah
dengan anggota DPP lain yang non-MI. Di samping itu, NU kecewa
karena di dalam DCS tersebut tokoh-tokoh penting NU, terutama yang
selama ini cukup vokal berada di urutan bawah. Sebaliknya yang
lunak
justru ditempatkan pada "nomor jadi".76
Rasa tidak puas ini mendorong NU mengajukan protes secara resmi kepada LPU dan DPP PPP melalui sebuah surat pernyataan penolakan DCS versi Naro, yang ditanda-tangani Rais Aam NU KH Ali
Maksum, Ketua Umum PB NU KH Idham Chalid, dan Sekjen PB NU
HM Munasir. Namun Mendagri selaku Ketua LPU tetap menilai
bahwa
daftar calon yang diajukan oleh DPP PPP adalah sah dan karena itu ti
dak perlu dipersoalkan. Bahwa DCS itu disusun tanpa melalui musyawarah tidaklah menjadi persoalan dalam penilaian LPU, sebab
agaknya, kriteria tunggal keabsahan DCS adalah adanya tanda-tangan
dari Ketua Umum DPP, dan itu sudah terpenuhi. Mau tak mau, NU
harus bersedia menerima "kekalahan" ini.
Menghadapi kenyataan pahit ini, sikap para elit NU berbeda-beda,
seperti tercermin dalam polemik antara KH Yusuf Hasyim (yang ter
masuk tokoh yang tersingkir) dengan KH Ali Yafie. Yusuf Hasyim
menyerukan agar warga NU Jawa Timur mencoblos untuk calon DPRD
105
saja dalam pemilu nanti dan tidak mencoblos untuk calon DPR.
Pernyataan ini ditentang oleh Ali Yafie dan Chalid Mawardi yang menilai
Yusuf Hasyim tidak paham kepribadian NU, dan generasi muda diserukan agar tidak mengikuti hasutan Yusuf Hasyim.77 Polarisasi juga
muncul dalam tubuh NU berkaitan dengan cara pandang tentang keber
adaan mereka dalam PPP yang selama ini telah banyak mendatangkan
kekecewaan. Dalam hal ini terdapat tiga kelompok yang saling
berbeda
pendapat. Pertama, kelompok yang menghendaki agara NU tetap berpolitik. Tokoh kelompok ini adalah Idham Chalid. Kelompok kedua,
adalah mereka yang menginginkan agar NU kembali ke bentuk jam'iyah secara tuntas dan meninggalkan kegiatan politik. Termasuk
dalam
kelompok ini adalah KH Ali Maksum dan KH Achmad Siddiq. Lain
kelompok ketiga, antara lain KH Yusuf Hasyim, menginginkan NU
kembali ke Khittah 1926 tapi tetap berpolitik.78 Untuk merumuskan
secara
jelas dan kompak cara pandang NU tentang keberadaannya dalam
PPP,
PB Syuriah NU mengadakan sebuah rapat pleno pada tanggal 29 Januari 1992 di Jakarta. Rapat ini antara lain berpendapat:
Nahdhatul Ulama akan mempertimbangkan kedudukannya
dalam lingkungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada
saat
yang tepat, apabila asas musyawarah, solidaritas intern dan
prinsip-prinsip organisasi lainnya tidak dapat ditegakkan di
dalamnya.79
Berkaitan dengan pemilu, Syuriah NU bersikap arif dengan menegaskan agar warga NU turut berpartisipasi di sana. Betapapun hasil
106
Pemilu 1982 jelas tidak akan mendatangkan keuntungan politis bagi
NU namun warga NU dihimbau untuk tidak terjebak dalam kebimbangan saat harus menentukan pilihan. Pola pikir ini tampaknya berjalan di atas sebuah kaidah fiqh yang diyakini NU: apa yang tidak bisa
seluruhnya jangan dilepaskan seluruhnya. Karena itu, NU
tetap aktif dalam kampanye PPP. Namun suasana konflik menjelang
pemilu rupanva menyebabkan hasil perolehan PPP merosot. Berdasarkan Pemilu 1992, PPP memperoleh 94 kursi di DPR, kembali turun 5
kursi dibanding Pemilu 1977,8l padahal saat itu jumlah anggota DPR
telah mengalami eskalasi. Sementara itu, kekecewaan dalam PPP
membawa NU pada introspeksi akan kepemimpinan organisasinya.Para ulama menilai bahwa segala kerugian yang dialami NU bermuara pada
lemahnya kepemimpinan Idham Chalid dalam power bargaining.
Maka pertemuan 10 ulama NU di Surabaya 1 Mei 1982 menyepakati
'menghimbau' Idham Chalid untuk mengundurkan diri dari jabatannya
dan menyerahkan mandat kepada Rais Aam. Faktor lemahnya
kesehatan fisik Idham adalah alasan yang dipilih.
Setelah para ulama sepuh mendatangi Idham, ia lalu bersedia menandatangani surat pengunduran dirinya pada tanggal 2 Mei, hanya
saja pengumuman surat pengunduran diri itu ditunda sampai tanggal
6, mengingati pada tanggal 4 akan dilaksanakan pemilu.
Namun pernyataan tersebut diumumkan, reaksi keras berdatangan
dari para pendukung Idham. Bagi mereka, pengunduran diri Idham
hanya dimungkinkan melalui Muktamar, sebab lewat forum inilah ia diagkat. Tindakan para ulama itu lain dianggap sebagai kudeta. Didorong oleh begitu banyaknya dukungan, termasuk dari 17 Pengurus
Cabang NU, Idham lalu membuat surat pernyataan pencabutan
kembali
pengunduran dirinya.82
Kejadian ini segera mengundang konflik dan perpecahan panjang
dalam tubuh NU. Idham merasa tetap sebagai Ketua Umum PB NU,
sementara para ulama tetap memegang prinsip bahwa surat pengunduran diri Idham sah dan tidak bisa dicabut kembali. Jadi jabatan
Ketua
107
Umum yang telah diserahkan kepada KH Ali Maksum (Rais Aam
NU)
tidak dapat diminta kembali. Sulitnya dicapai kata sepakat akhirnya
membawa NU pada dualisme kepemimpinan antara kelompok ulama
yang dimotori oleh KH As'ad Syamsul Arifin, Situbondo (karena itu
disebut sebagai kubu Situbondo), dan kelompok politisi yang
dipimpin
oleh Idham Chalid (kubu Cipete). Betapa pun, kedua pihak yang
berbeda pendapat tampaknya sama-sama berusaha untuk menemukan
solusi bagi konflik yang tidak sehat itu. Kubu Cipete menginginkan
diadakan muktamar. Sedangkan kubu Situbondo lebih memperhatikan
perlunya Munas Alim Ulama NU. Namun, kedua kubu sama-sama
menyatakan bahwa baik muktamar maupun munas akan membicarakan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal.83 Semua pihak
dalam NU agaknya menyadari bahwa pertentangan yang sudah terbuka menyebabkan campurtangan pemerintah tak terelakkan lagi.
Masa depan NU lain ditentukan oleh arah dukungan pemerintah kepada pihak yang bertikai (apakah muktamar atau munas yang diijinkan), serta bagaimana NU menanggapi Pancasila sebagai isu nasional. Pihak pemerintah ternyata mendukung kubu Situbondo dengan
memberi lampu hijau untuk pelaksanaan munas.
Kejelasan sikap pemerintah yang mendukung kubu ulama ini ternyata cukup meredakan perpecahan. Kedua pihak yang berkonflik
akhirnya lebih, berkomitmen pada kerukunan jam'iyah. Sikap ini tampak jelas setelah dilangsungkannya Munas Alim Ulama NU di
Situbondo (18-21 Desember 1983). Munas ini menghasilkan dua keputusan
tentang Pemulihan Khittah 1926 dan Pemantapan Pancasila
sebagai Asas Tunggal.84 Keputusan Munas ini lalu dikukuhkan dalam
Muktamar NU pada akhir tahun berikutnya di tempat yang sama.
Salah satu konsekuensi penting kembali ke Khittah 1926 adalah lepasnya ikatan NU dengan organisasi politik manapun. Keputusan Muktamar tentang Khittah NU antara lain menyebutkan bahwa "Nahdhatul
Ulama sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga.85 Itu
berarti, NU secara resmi keluar dari PPP. Sebuah pertanyaan boleh
jadi
akan terlontar: Jika dahulu NU dapat segera muncul sebagai partai
108
politik setelah keluar dari Masyumi, lalu apakah yang akan dilakukan
NU kini setelah keluar dari PPP, sementara untuk menjadi partai
kembali sangat tidak dimungkinkan dan untuk sama sekali pasif dari
aktivitas politik barangkali NU tidak akan sanggup? Pertanyaan itu
pun
sebenarnya tidak perlu ada, jika diingat bahwa keputusan keluar dari
PPP muncul dalam suasana semakin dalamnya retrospeksi diri NU
akan aktivitas politiknya selama ini dan implikasinya terhadap ide
dasar perjuangannya. Sebuah retrospeksi yang membawa NU pada
reorientasi peran politiknya.
Melangkah ke Era "NU Baru"
Bahwa keterlibatan NU yang berlebihan dalam dunia politik akan
membawa efek terlalu menonnjolnya kepentingan pribadi elit NU
dibandingkan kepentingan jama'ah, dan bahwa itu juga menyebabkan
NU setahap demi setahap mulai kehilangan bidang-bidang kegiatan
lainnya: dakwah, pendidikan, sosial dan budaya, sudah sejak lama
muncul dalam benak kesadaran NU. Keinginan untuk mengoreksi keadaan ini sudah sejak dini terlontarkan, dan, oleh karena itu,
pemikiran
untuk kembali ke Khittah 1926 bukanlah sesuatu yang baru. Pertama
kali itu terlontar dalam Muktamar ke-22 di Jakarta, Desember 1985.
Seorang juru bicara dari Pengurus Cabang Mojokerto, KH Achyat
Chalimi, menilai bahwa, Peranan politik oleh Partai NU telah hilang
dan peranan dipegang oleh perseorangan, hingga partai sebagai alat
sudah hilang. Oleh Karena itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun
1926.86 Hanya satu Pengurus Cabang yang mendukung gagasan ini,
selebihnya, pemikiran tersebut memperoleh tanggapan yang menentangnya. Dan gemanya pun berhenti di sini.
Lalu, pemikiran serupa kembali digelindingkan tahun 1971 dalam
Muktamar ke-25 di Surabaya. Kali ini gagasan datang dari Rais Aam
KH Wahab Hasbullah, dan barangkali karena itulah memperoleh sambutan yang lebih baik. Hal itu terlihat dari kenyataan bahwa salah satu
persoalan yang cukup serius diperdebatkan adalah kehendak agar NU
kembali kepada garis perjuangannya di tahun 1926 ketika pertama
kali
109
didirikan: mengurusi persoalan agama, pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan saja.87 Namun begitu, gagasan ini akhirnya kalah oleh
arusbesar keinginan untuk mempertahankan NU tetap berpolitik praktis.
Kandasnya gagasan kembali ke khittah sampai kurun waktu itu, jika
diperhatikan, disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, gagasan
itu
semata-mata dilandasi oleh alasan politis (NU akhirnya hanya menjadi
alat kepentingan politik pribadi para elitnya), dan karena itu solusi
yang
ditawarkan pun senada, dan tidak populer: agar NU meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Di tengah begitu banyaknya keuntungan
yang diperoleh NU dalam pergulatan politiknya, wajar jika keinginan
untuk menanggalkan peran politik itu lalu hanya dipandang dengan
sebelah mata. Terlebih lagi jika diingat bahwa pada saat itu peran kelompok politisi (Idham Chalid cs, yang biasanya dipolarisasikan
dengan
kelompok ulama) masih dominan dalam tubuh NU. Kedua, secara aktual konsep kembali ke khittah tidak terumuskan secara jelas kecuali
dalam pengertian minimal "kembali pada tahun 1926". Dan itu bisa
dinilai sebagai langkah mundur serta penihilan terhadap nilai-nilai
yang
diperoleh NU dalam pengalamannya selama ini. Kefidakjelasan itulah
boleh jadi, yang menyebabkan pemikiran itu memperoleh respons
yang
agak ganjil ketika Muktamar ke-25 antara lain memutuskan untuk:
Mempertimbangkan gagasan tentang sebuah wadah baru yang
non-politis yang menampung dan membimbing aspirasi Islam
Ahlussunnah Wal Jamaah di kalangan umat, yang oleh karena faktor-faktor lain harus meninggalkan ikatan-ikatan politiknya dengan partai politik.88
Perumusan secara lebih jelas tentang konsep kembali ke khittah
baru berkembang menjelang Muktamar ke-26 di Semarang 1979. Landasan pemikiran yang dulunya semata-mata politis kini dilengkapi
dengan alasan moral. Merenungi perjalanan politik NU selama ini, seorang ulama berpengaruh dari Jawa Timur, KH Machrus Ali, menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan bathiniyah yang parah dalam
NU dan para tokohnya dianggap terlalu hub al-riyasah dan hub al-jaah
110
(cinta kekuasaan dan cinta kedudukan)89
Ulama Senior NU lain, KH Achmad Siddiq, menilai perlunya segera dirumuskan tekad untuk kembali ke "Khittah Nahdliyah", garis
garis besar tingkah laku perjuangan NU. Menurutnya, saat itu telah semakin jauh jarak waktu antara generasi pendiri NU dan generasi penerus, serta makin luasnya medan perjuangan dan bidang garapan NU.
Di samping itu, ulama generasi pendiri NU telah semakin berkurang
jumlah dan peranannya dalam kepemimpinan NU. Itulah sebabnya,
NU dikhawatirkan akan kehilangan arah di masa nanti jika prinsip
Khittah Nahdhiyah tidak secepatnya disusun rumusannya.90
jika pemikiran korektif semacam itu banyak datang dari kalangan
ulama,
barangkali wajar mengingat keprihatinan mereka akan terlalu
dominannya peran kelompok politisi di Tanfidziyah dalam kepemimpman NU
yang secara tak langsung mengurangi peran ulama.
Namun sementara itu muncul sebuah generasi baru NU dengan
spesifikasinya sendiri. Mereka bukan kelompok ulama yang dapat digolongkan dalam kubu Situbondo, dan bukan pula kelompok politisi
yang tergolong dalam kubu Cipete. Mereka lebih tampak sebagai intelektual yang tampil dengan gagasan-gagasan "jalan tengah", dan,
karena netralitas mereka dalam polarisasi ulama-politisi itu, gagasan
mereka bisa lebih objekfif dan relatif mudah diterima semua kalangan
NU.
Dalam dasawarsa 70-an orang-orang ini banyak mengadakan
diskusi untuk merumuskan langkah-langkah pembaharuan NU. Mereka turut merasakan keprihatinan akan kemunduran NU selama ini, namun tetap menyadari bahwa politik merupakan dimensi yang cukup
penting dari akfivitas NU secara keseluruhan, mengingat dalam
makna
kelahiran NU pun terkandung· nilai-nilai politis. Namun demikian,
hubungan NU dengan politik lebih ditentukan oleh sejauh mana persepsi
NU tentang politik itu, sehingga persoalannya adalah tentang kualitas
politik. Konteks politik semestinya tidak hanya dilihat secara sempit
da
lam masalah distribusi kekuasaan di DPR misalnya, namun dilihat'sebagai upaya mengangkat kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
111
Dalam makna demikian, keikutsertaan NU sangat penting artinya, dan
orientasi aktivitas NU yang terlalu didominasi politik praktis bisa
diluruskan dengan tampilnya seorang· pemimpin yang mampu menata semua bidang garapan NU secara proporsional.91
________________________________________________________
__________________
________________________________________________________
__________________
71. Lihat Rusli Karim, op. cit., h. 170 dan 183.
72. Anam, op. cit., h. 268f
73. Haris, op. cit., h. 67-69; Marijan, op. cit., h. 115.
74. Marijan, ibid., h. 115f Tokoh MI bahkan menuntut agar distribusi
kekuasaan
mengacu pada hasil Pemilu 1955. Klaim ini sangat tendensius,
sebab mereka
beranggapan bahwa MI adalah kelanjutan Masyumi yang dalam
Pemilu
1955 berada di atas NU dalam perolehan suara. Sebagai kelanjutan
Masyumi.
MI merasa wajar jika menuntut perolehan kursi lebih banyak
daripada NU.
Namun, pernyataan diri MI sebagai kelanjutan Masyumi ini
ditentang oleh
Natsir, tokoh terpenting Masyumi dahulu. Lihat Fathoni dan Zen,
op. cit, h.
64-65.
75. Haris op. cit., h. 69.
76. Kenyataan ini sebenarnya dapat diperkirakan sebelumnya. Sudarji,
seorang
112
anggota DPP dari unsur MI yang pertama kali mempersoalkan
relevansi
Koncensus'75, pernah bersesumbar bahwa PPP akan membersihkan
diri
dari unsur-unsur Orde Lama dan yang melakukan walk out. Lihat
Fathoni
dan Zen, op. cit, h. 65. Yang dimaksud Sudarji ini tentu tokohtokoh keras
NU. Sebab hanya unsur NU lah yang pernah melakukan walk out
baik
dalam persidangan MPR maupun DPR.
85. Keputusan Muktarnar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittah
Nahdhatul Ulama.
86. Marijan op. cit., h. 132.
87. Ibid., h.133f.
88. PB NU, Keputusan Muktamar NU ke-25 di Surabaya, seperti
dikutip dalam
ibid., h.135. Cetak miring dari penulis.
89. Arief Mudatsir, "Dari Situbondo menuju NU Baru: Sebuah catatan
awal,"
dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h.133.
77. Ibid., h. 66-67.
78. Lihat Anam, op· cit., h. 28O.
90. Fathoni dan Zen, op. cit., h.95.
79. Seperti dikutip dalam ibid., h. 287. Di sini, secara implisit NU
tampaknya
menegaskan bahwa ia telah sedang mempertimbangkan
kedudukannya
dalam PPP, sebab prinsip-prinsip yang disebutkan itu jelas telah
banyak
dilanggar di dalamnya.
80. Fathoni dan Zen, op. cit., h. 69.
8l. Rusli Karim, op. cit., h. 212.
82. Tentang kemelut kepemimpinan NU ini, lihat ibid., h 70-75: atau
Marijan,
op. cit., h. 120-125.
83. Fathoni dan Zen, ibid., h. 78. Asas tunggal Pancasila dituangkan
daiamTAP
MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBKN.
84. Sitompul, op. cit, h. 166f.
113
91. Ibid., h.96.
Melalui segala pergulatan pemikiran ini kelompok intelektual generasi baru NU itu lalu sampai pada kesimpulan bahwa NU memerlukan
perubahan dalam garis-garis perjuangannya, dengan tetap berpegang
pada semangat dan ide dasar perjuangan 1926. Karena itu, sekaIipun
mereka mengajukan gagasan kembali ke Khittah 1926 sebagaimana
beberapa senior mereka, namun kali ii gagasan tersebut telah ditopang
oleh fondasi dan rancang bangun yang lebih kokoh. Dan itu secara ber
tahap dibuktikan dengan tindakan nyata. Sekitar tahun 1974, kalangan
ini --Abdurrahman Wahid, Fahmi Saifuddin, Said Budairy, Rozi
Munir,
Abdullah Syarwani, Slamet Effendi Yusuf, untuk menyebut beberapa
nama-- mulai melakukan perubahan dalam tubuh NU. Sampai pada
tahun 1976 mereka berusaha melakukan pemerataan ide-ide pembaharuan di kalangan pengurus, ulama, dan tokoh-tokoh muda lainnya,
sehingga pada tahun 1979 ide-ide itu mulai diterapkan melalui lembaga-lembaga otonom NU.92 Hasilnya, ketika kelompok ini
menyuarakan
usulan untuk kembali ke Khittah 1926 di Muktamar Semarang,
sambut
114
an yang diperoleh tampak menggembirakan. Dalam Program Dasar pengembangan Lima Tahun sebagai hasil keputusan Muktamar diuraikan tujuan: (1) Menghayati makna kembali ke jiwa 1926, (2) Memantapkan upaya intern untuk memenuhi seruan tersebut, dan (3) Memantapkan cakupan paritsipasi Nahdhatul Ulama secara lebih nyata
dalam pembangunan bangsa.93 Betapa pun, gagasan kembali ke
khittah
tetap berada dalam pro-kontra. Orang-orang seperti Idham Chalid dan
kelompoknya masih tetap menghendaki politik praktis. Sementara,
golongan yang kecewa terhadap PPP mendukung gagasan kembali ke
khittah itu.94
Namun upaya pembaharuan NU terus membola-salju. Sambil melakukan upaya rekonsiliasi dan menetralisir konflik Cipete-Situbondo,
kelompok intelektual muda NU terus mengadakan komunikasi
intensif
dengan mendatangi tokoh-tokoh pesantren, para cendekiawan, dan
me-0
ngumpulkan generasi muda NU dalam "Kelompok Diskusi 164".95
Pada Mei 1983 kelompok ini menyelenggarakan pertemuan yang
dihadiri 24 tokoh muda NU, --terkenal dengan nama Majelis 24,96
yang
bertujuan melakukan refleksi terhadap NU, dengan kesepakatan penting terbentuknya "Tim Tujuh untuk Pemulihan Khittah NU 1926".
Tim
yang terdiri dari Abdurrahman Wahid (Ketua), HM Zamroni (Wakil
Ketua), Said Budairy (Sekretaris), H Mahbub Junaedi, Fahmi
Saifuddin,
Daniel Tanjung, dan Ahmad Bagja (anggota) ini bertugas
merumuskan
konsep pembenahan dan pengembangan NU sesuai Khittah 1926 serta
menyusun pola kepemimpinan NU.97 Rumusan yang dihasilkan oleh
Tim Tujuh inilah yang kemudian dijadikan bahan Munas Alim Ulama
1983 dan Muktamar NU ke 27 di Situbondo, 1984. Dari kedua forum
ini
dihasilkan perubahan Anggaran Dasar NU, Program Dasar Pengembangan NU, rekomendasi mengenai masalah sosial, politik, ekonomi
dan agama, serta yang palmg monumental adalah penerimaan asas
115
tunggal Pancasila dan keputusan Kembali ke Khittah 1926. Mengenai
asas Pancasila, NU menegaskan dalam Deklarasi Tentang Hubungan
Pancasila dengan Islam, bahwa:
1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, dan tidak dapat menggantikan agama
dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang maha Esa sebagai dasar Negara Republik
Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian
keimanan dalam Islam.
7. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari'ah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan
antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'at
agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh
semua pihak.98
Sedangkan mengenai garis-garis besar dan ide dasar perjuangannya, yang dirumuskan sebagai Khittah Nahdhatul Ulama Muktamar
NU membuat definisi bahwa:
a. Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berpikir, bersikap
dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta
dalam setiap proses pengambilan keputusan.
h. Landasan tersebut adalah paham Islam Ahlussunnah wal
jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di
Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun
kemasyarakatan.
c. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan
116
sejarah khidmahnya dari masa ke masa.99
Mengiringi tema kembali ke khittah, dalam Muktamar juga dibahas
sub-sub tema reorientasi program, regenerasi, dan rekonsiliasi
terhadap
pemerintah .100
Reorientasi Program: setelah sekian lama dalam kiprah politik
praktis, NU kiri kembali ke orientasi semula, yaitu memperhatikan
masalah-masalah kemasyarakatan secara lebih luas. Itu berarti
meliputi
segala aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Regenerasi NU akan melakukan pergantian pimpinan dari generasi tua kepada generasi muda yang dilakukan dengan tetap memelihara keserasian dan keselarasan hubungan antar generasi. Tampak
nya, kombinasi generasi tua dan generasi muda dalam kepengurusan
NU yang dilantik oleh Muktamar 1984 (generasi tua di sekitar KH
As'ad Syamsul Arifin dalam Majelis Isytisar, generasi yang lebih
muda
di sekitar KH Ahmad Siddiq di PB Syuriah, dan generasi paling muda
di sekitar Abdurrahman Wahid dalam Tanfidziah) merupakan kombinasi yang menarik untuk membawa kepada sebuah NU baru.101
Rekonsiliasi terhadap Pemerintah: NU akan merumuskan secara
jelas dan tuntas hubungan yang kompleks antara Islam dan Negara
Pancasila guru memungkinkan tegaknya bangsa Indonesia secara terhormat dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Kembalinya NU ke
Khittah 1926 memang berimplikasikan dirumuskannya orientasi perjuangan yang baru dengan tetap berakar pada ide dasarnya semula,
dan untuk itu diperlukan aktor-aktor baru, yang tumbuh dalam suasana hubungan yang baru pula, baik antar elit NU sendiri maupun
antara mereka dengan pemerintah. Kembali ke khittah juga membawa
konsekuensi organisatoris. Misalnya, NU akan mengembalikan pola
kepemimpinannya pada supremasi ulama. Sebab dalam tekanan sebagai jam'iyah diniyah mau tak mau NU memerlukan kharisma ulama
yang bertugas sebagai pemandu dan pengawas organisasi. Itu berarti
pemberian kembali bobot peran yang lebih signifikan kepada syuriah.
Konsekuensi lain yang tak kalah pentingnya adalah penegasan bahwa
NU tidak terikat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan manapun, termasuk PPP. Setelah memutuskan kembali ke Khittah 1926,
117
NU memang bukan semata-mata tampil kembali sebagai NU di tahun
1926, bukan pula NU 1952 saat keluar dari Masyumi. Ia adalah
sebuah
NU baru, yang lahir dari perenungan politik yang matang berdasarkan
pengalaman panjang dan penghayatan moral yang mendalam akan
makna hakiki Khittah 1926 itu.
Struktur Kewenangan NU
I. Diferensiasi Struktural
Pasal 16 Anggaran Dasar NU (102 menyebutkan bahwa kepengurusan organisasi ini terdiri dari Mustasyar, Syuriyah, dan Tanfidziyah.
Kecuali Mustasyar yang hanya dibentuk pada tiga tingkat kepengurusan pertama, maka kedua komponen lainnya dapat ditemukan
pada semua tingkat kepengurusan. Mustasyar dibentuk oleh Syuriyah,
yang pada tingkat pusat sebanyak-banyaknya 9 orang. Sementara
Syuriyah terdiri dari seorang Rais Aam, Wakil Rais Aam, beberapa
Rais, Katib (sekretaris) dan beberapa wakilnya. Sedangkan
Tanfidziyah
dipimpin oleh seorang Ketua Umum yang membawahi beberapa
Ketua, Sekjen dan beberapa wakilnya, serta Bendahara dan wakilnya.
Ketiga komponen yang masing-masing bersifat kolegial ini mempunyai tugas dan fungsi tersendiri, yang dirinci cukup jelas dalam
Anggaran Rumah Tangga NU. Mustasyar adalah penasehat yang
secara kolektif bertugas memberikan nasehat kepada pengurus NU
menurut tingkatannya.
Syuriyah secara formal merupakan pimpinan tertinggi NU Yang
berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan jam'iyah NU Dalam banyak segi, Syuriyah menjalankan
fungsi sebagai lembaga legislatif NU, menentukan arah kebijaksanaan
jam'iyah NU dalam melakukan usaha dan tindakannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu. Syuriyah berhak
membatalkan
setiap keputusan yang dibuat oleh suatu perangkat NU, jika keputusan
itu dinilai bertentangan dengan ketentuan jam'iyah, terutama ajaran
Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah Syuriyah, Pengurus Tanfidziyah berfungsi sebagai lem118
baga eksekutif yang memimpin jalannya organisasi sehari-hari sesuai
dengan kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh Syuriyah.
Tanfidziyah
harus menyampaikan laporan secara periodik kepada Syuriah tentang
pelaksanaan tugasnya.
Dalam praktek, seolah ada konvensi yang berlaku bahwa kedudukan dalam Mustasyar, Syuriyah dan Tanfidziyah secara berturutturut menggambarkan tingkat senioritas personelnya.
Selain ketika koponen inti tersebut, maka untuk menjalankan
usaha-usaha di berbagai bidang garapan NU yang meliputi bidang
bidang agama, pendidikan, sosial dan ekonomi, maka Anggaran Dasar
NU mengatur pembentukan perangkat organisasi berupa bagian-bagian, lajnah, lembaga, dan badan-badan otonom. Pengurus Besar Tanfi
dziyah memegang wewenang untuk membentuk perangkat organisasi
ini, di samping untuk membentuk tim-tim kerja tetap atau sementara
jika dipandang perlu untuk menggerakkan dan mengelola program.
Lajnah adalah semacam komite khusus tetap yang menangani suatu
program NU. Antara lain yang telah terbentuk saat ini adalah Lajnah
Falakiyah, yang bertugas mengurus masalah hisab dan rukyat; Lajnah
Kajian dan pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam di Jakarta dan LKPSM di Yogyakarta) yang bertugas melakukan kajian,
penelitian dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan serta kualitas warga NU; dan sebagainya. Sementara lembaga adalah perangkat
yang berfungsi sebaggai pelaksana kebijakan NU yang berkaitan
dengan
suatu bidang tertentu. Lembaga yang ada antara lain adalah Lembaga
Dakwah NU; Lembaga Pendidikan Ma'arif; Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah; dan sebagainya. Sedangkan badan otonom adalah perangkat
yang berkaitan dengan kelompok masyarakat NU tertentu, seperti GP
Ansor, Muslimat NU, dan seterusnya.
Di samping diferensiasi horisontal di atas, secara vertikal dalam
sistem kepengurusan NU terdapat berbagai tingkatan yang sesuai dengan ruang lingkup wilayahnya. Setiap tingkat kepengurusan
berfungsi
sebagai koordinator kepengurusan setingkat di bawahnya, serta
sebagai
pelaksana kebijaksanaan tingkat kepengurusan di atasnya. Hirarkhi
sistem kepengurusan NU ini meliputi: 1. Pengurus Besar pada tingkat
119
pusat, berkedudukan di Ibukota RI. 2. Pengurus Wilayah pada tingkat
propinsi, daerah tingkat I, atau daerah yang disamakan dengan itu. 3.
Pengurus Cabang untuk tingkat kabupaten, kotamadya, daerah tingkat
II, atau daerah yang disamakan dengannya. 4. Pengurus Majelis Wakil
Cabang pada tingkat kecamatan atau daerah yang disamakan. 5. Pengurus Ranting pada tingkat desa atau kelurahan, atau daerah yang
disamakan dengan itu. Anggota setiap kepengurusan ini dipilih dan
diangkat oleh sebuah forum permusyawaratan sesuai dengan tingkatannya masmg-masing. Masa jabatan Pengurus Besar adalah 5
tahun,
Pengurus Wiiayah dan Cabang 4 tahun, serta Pengurus MWC dan
Ranting selama 3 tahun.
2. Tingkat Pembuatan Keputusan
Pembuatan keputusan dalam NU dilakukan di dalam sebuah
wadah permusyawaratan, yang memiliki peringkat di mana hirarkhi
dan kekuatan hukum yang dihasilkan juga menyesuaikan dengan
peringkatnya. Forum permusyawaratan di dalam NU meliputi:
Muktamar
Muktamar adalah lembaga permusyawaratan tertinggi yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar setiap lima tahun sekali. Di sini,
Pengurus Besar melakukan evaluasi program selama lima tahun, dan
dilakukan pemilihan pengurus periode berikutnya. Selain itu, Muktamar juga membahas masalah hukum fiqh, Program Dasar NU untuk
periode berikutnya, serta berbagai masalah yang berkaitan dengan
agama dan kemaslahatan umat.
b.Konperensi Besar
Konperensi Besar merupakan lembaga permusyawaratan tertinggi
setelah Muktamar Yang diadakan oleh Pengurus Besar. Forum ini
membicarakan pelaksanaan keputusan-keputusan Muktamar serta berbagai
hal yang berkaitan dengan pelaksanaan program.
120
c. Musyawarah Nasional Alim Ulama
Munas Alim Ulama adalah forum yang diadakan oleh PB Syuriyah.
sekali dalam suatu periode kepengurusan Anggaran Rumah Tangga
NU tidak memerinci fungsi forum ini, kecuali bahwa ia "tidak dapat
mengubah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, keputusan
Muktamar dan tidak mengadakan pemilihan PenguruS baru.
d. Konperensi-Konperensi
Konperensi ini meliputi Konperensi Wilayah, Konperensi Cabang;
dan Konperensi Majelis Wakil Cabang, yang merupakan bentuk permusyawaratan tertinggi pada setiap tingkatannya. Sebuah Konperensi
diadakan oleh pengurus pada tiap tingkatan, dengan dihadiri oleh
kepengrusan yang ada setingkat di bawahnya, dalam interval 4 tahun
untuk Konperensi Wilayah, 4 tahun untuk Konperensi Cabang, dan 3
tahun untuk Konperensi Majelis Wakil Cabang. Dalam sebuah Konperensi dibahas mengenai evaluasi program kerja pengurus lama, pemilihan pengurus baru untuk periode berikutnya serta membahas masalah program kerja selanjutnya, terutama berkaitan dengarn masalah
sosial dan keagamaan yang dihadapi pada setiap tingkatan.
e. Rapat Anggota
Rapat Anggota adalah forum permusyawaratan tertinggi pada
tingkat Ranting. Rapat ini dihadiri oleh anggota-anggota NU di
Ranting
setempat, dilaksanakan setiap tiga tahun dengan membicarakan laporan pertanggungjawaban Pengurus Ranting, menyususn rencana
kerja untuk tiga tahun berikutnya, dan membahas masalah kemasyarakatan pada umumnya, terutama yang terjadi di Ranting.
3. Praktek Hubungan Syuriyah-Tanfidziyah
Sering dikatakan, NU adalah sebuah pesantren besar dan pesantren
adalah NU kecil. Kalimat sederhana ini menggambarkan banyaknya
sistem nilai dan sistem pengelolaan pesantren yang diadopsi dalam
121
sistem penyelenggaraan NU sebagai suatu organisasi. Sebuah
pesantren
memiliki lima elemen penting: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik, kyai, dan santri. Dua yang disebut terakhir adalah
elemenmanusia yang secara mutualistis mengelola pesantren dan segala kegiatan kesehariannya. Kyai adalah penguasa tertinggi pesantren, yang
mengajar, memberikan pengayoman dan melakukan pengawasan terhadap kehidupan pesantren. Di bawahnya, para santri senior yang ditunjuk memegang tanggung jawab mengurus kepentingan pesantren
sehari-hari dalam garis besar kebijaksanaan yang dibuat oleh kyai.103
Pola hubungan kyai-santri inilah yang sebenarnya menjadi logika
dasar hubungan Syuriah-Tanfidziyah di NU. Selama dasawarsa per
tama sejak berdirinya, aksen logika ini begitu kental mewarnai NU.
Ketika itu Pengurus Tanfidziyah diangkat oleh Pengurus Syuriyah
yang
terpilih. Syuriyah diisi para kyai, sedangkan Pengurus Tanfidziyah
biasanya berasal dari kalangan petani kaya, pedagang dan santri.104
Fungsi Tanfidziyah pada masa ini benar-benar hanya sebagai
pelaksana
teknis segala kebijaksanaan Syuriyah. Muktamar yang diadakan
adalah
forum milik Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah berperan tak ubahnya
hanya sebagai panitia pelaksana Muktamar. Agenda Muktamar pun
pada umumnya menyangkut soal-soal keagamaan yang bukan lahan
Pengurus Tanfidziyah.
Pola hubungan ini mulai bergeser sejak Muktamar ke-9 di Banyuwangi, 1934. Saat itu mulai muncul beberapa tokoh ulama muda pesantren (yang berasal dari keluarga kyai) di Tanfidziyah yang menggeser kelompok santri pada jajaran kedua di dalamnya.105 Pada Muktamar ini, Machfudz Siddiq dan Wahid Hasyim (dua di antara ulamaulama muda itu) minta kepada Muktamar agar otonomi Tanfidziyah
juga diperhatikan agar lebih menamhah pengabdian NU kepada
negara
dan bangsa.106 Di sinilah beberapa perubahan penting mulai
dilakukan.
Jika pada Muktamar-muktamar sebelumnya Tanfidziyah tidak diikutsertakan dalam persidangan, apalagi turut memutuskan masalah, maka
122
sejak Muktamar Banyuwangi ini mereka diberi hak dan wewenang
untuk mengadakan sidang sendiri sesuai bidangnya, terpisah dari sidang Syuriyah.107 Tuntutan akan otonomi Tanfidziyah pun terjawab
ketika saat itu Pengurus Tanfidziyah mulai dipilih langsung oleh
Muktamar. Sehingga, kemampuan dan pengaruh Tanfidziyah mulai naik,
tidak hanya sebagai pelaksana teknis saja. Bahkan dalam Muktamarmuktamar selanjutnya, Pengurus Tanfidziyah sudah duduk di meja
pimpinan Muktamar.108 Mekarnya otonomi Tanfidziyah ini di
samping
memberi manfaat posifif berupa semakin maraknya aktualisasi peran
dan keberadaan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak
kurang juga membawa agenda permasalahan yang cukup rumit. Antara lain, peran kedua badan --Tanfidziyah dan Syuriyah-- dalam
beberapa hal seringkali tumpang-tindih akibat ketidak-jelasan
distribusi
peran masing-masing dalam praktek. Misalnya, dalam MIAI NU diwakili oleh unsur-unsur Syuriyah dan Tanfidziyah. Padahal untuk hal
hal semacam itu mestinya NU cukup diwakili oleh Pengurus Tanfidziyah.
Ketika NU semakin menancapkan peran politiknya setelah kemerdekaan, otonomi Tanfidziyah kian besar, dan bahkan mereka lalu tampak lebih dominan daripada Syuriyah. Aspek senioritas yang mulanya
begitu dipentingkan dalam penempatan personel Syuriyah dan Tanfidziyah seterusnya agak diabaikan. Baik tokoh-tokoh Syuriyah maupun
Tanfidziyah sesudah itu adalah orang-orang yang sepantaran, berbeda
dengan masa awal di mana senioritas Syuriyah begitu dipentingkan,
dan di mana Tanfidziyah tampak sebagai "murid" Syuriyah dengan
segala ketaatannya. Wajar jika wibawa dan supremasi Syuriyah lalu
mengalami degradasi.
Keadaan itu berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Sistem nilai yang berlaku dalam NU pun seolah telah bergeser ketika
di
masa Orde Baru pernah muncul konflik antara dua kelompok yang
kurang lebih adalah Syuriyah dan Tanfidziyah. Konflik itu bisa
muncul
karena salah satu atau sekaligus kedua penyebab ini: lemahnya
wibawa
123
para ulama dalam Syuriyah di satu sisi, dan tidak terkendalinya
otonomi Tanfidziyah pada sisi lain.
Sebuah langkah baru ke arah pembenahan kondisi ini mulai di
tancapkan di Situbondo, 1984, ketika keputusan kembali ke Khittah
1926 mengamanatkan dikembalikannya supremasi ulama di Syuriyah,
tanpa mengecilkan sama sekali peran Tanfidziyah sehingga hanya
sekedar menjadi alat Syuriyah, dalam struktur kewenangan NU.
Basis Massa NU
Massa pendukung NU berasal dari masyarakat santri di pedesaan,
khususnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Salah satu karakteristik
mereka adalah cenderung menghindari konflik dan lebih mementingkan harmoni; dan sebagai komunitas santri, karakteristik berikutnya
adalah ketaatan mereka kepada ulama atau kyai dalam suatu pola hubungan guru-murid yang nyaris sakral.
Massa NU ini pada dasarnya terbagi dalam komunitas-komunitas
kecil seperti sel-sel pada sebuah organisme yang masing-masing
memiliki nukleus berupa kyai-kyai lokal. Tempat kedudukan para kyai ini
biasanya dicirikan dengan terdapatnya lembaga pendidikan Islam
tradisional pesantren atau terdapatnya surau di suatu desa. Sehingga
pesantren, yang satu sama lain biasanya memiliki hubungan interdependensi, adalah bagian terpenting dalam pembahasan tentang NU
dan
basis massanya. Di sini tidak dimaksudkan suatu uraian tentang detil
pesantren seperti kurikulum dan metode pengajarannya. Yang lebih
penting adalah logika dasar dalam kehidupan pesantren yang mewarnai pola hubungan santri-kyai serta hidup keseharian pesantren
dan
masyarakat sekitarya. Logika dasar itulah yang memberi corak pada
karakteristik NU.
Salah satu nilai penting dalam tradisi pesantren adalah kepatuhan
santri kepada kyainya yang bersifat mutlak dan tidak terputus berlaku
sepanjang hidup seorang santri. Hal ini merupakan inti ajaran kitab
Ta'limul Muta'allim, salah satu kitab klasik acuan utama kebanyakan,
kalau tidak semua, pesantren NU.109 Sikap hormat dan kepatuhan
mut124
lak kepada kyai sebagi guru ini bukanlah manifestasi penyerahan total
kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan bahwa guru adalah peenyalur kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada murid-muridnya. Kondisi ini berhulu pada kedudukan
dominan dalam pembentukan tata nilai di pesantren yang dipegang
oleh hukum fiqh, kemudian diikuti oleh tradisi kaum sufi.110 Keharusan menyerahkan diri sepenuhnya kepada kyai, tidak lain adalah
kelanjutan sikap tunduk para penganut sufi kepada tokoh, mursyid,
sebagai penunjuk ke arah kesempurnaan pengertian akan hakekat Tuhan. Dengan tata nilai ini maka kedudukan kyai menjadi sangat tinggi
dalam lingkungan santri dan bahkan meluas pada masyarakat sekitarnya . Karena tuntutan keteladanan ini, sementara nilai-nilai baru
terus berdatangan, maka disadari atau tidak sang kyai lalu terlibat dalam proses penyelarasan terus-menerus antara tata nilai yang ada
dalam masyarakat atau khususnya pesantren yang dipimpinnya, dan
nilai-nilai budaya baru yang bersinggungan dengannya. Abdurrahman
Wahid menilai bahwa respons kultural yang reaktif (itu), betapa pun
bergunanya pada suatu saat, pada akhirnya membuat kyai sukar memahami setiap gejolak nilai intrinsik masyarakat, karena setiap pemahaman akan hakikat gejolak itu senantiasa dilakukan dari sudut
kemungkinan penyerapan ke dalam lingkungan pesantren sendiri. Dengan demikian, peranan adaptatif ini pada akhirnya membawa kyai
pada sikap hidup yang secara kultural dapat dinilai oportunis, dalam
arti kata ia harus mengusahakan tercapainya keseimbangan kultural
semaksimal munkin.111
Watak serupa ini ternyata kemudian tampak ketika kyai-kyai di
dalam NU, mengambil peran dalam proses politik yang berjalan.
Kesan
oportunistik terasa sekali ketika NU sangat menonjol dengan sikap
akomodatifnya. Setiap perubahan politik yang terjadi biasanya selalu
dicari keselarasannya dengan nilai-nilai keagamaan, dan pada umum
nya berhasil. Selalu ditemukannya keselarasan itu karena pada satu
sisi
biasanya fenomena politik yang muncul digali sampai esensi
persoalannya, sehingga selalu dapat dirumuskan nilai-nilai positifnya.
Sementara
di sisi lain, NU memiliki kekayaan referensi berupa kitab-kitab klasik,
125
yang sangat beraneka ragam. Dari sini NU dapat mencari pendapat
para ulama terdahulu yang paling dapat mengakomodasikan perubahan politik. Contoh yang dapat diambii adalah pemberian gelar
waliyyul amri dharuri' bissyaukah (pemegang kekuasaan sementara
dengan kekuasaan penuh) kepada Sukarno sementara pada saat yang
sama Kartosuwiryo, yang memperjuangkan negara Islam, juga diberi
cap sebagai bughat (pemberontak). Alasannya adalah karena keberadaan negara telah dinilai sah secara fiqh, maka orang yang menjadi
presidennya pun perlu diberi legitimasi kekuasaan penuh.112
Sikap fleksibel kalangan santri ini juga berkaitan dengan keunikan
struktur pengajaran yang memiliki ciri khas. Semua mata pelajaran di
pesantren bersikap aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga proses pendidikan di pesantren sama
saja artinya dengan "sebuah proses pembentukan tata nilai yang lengkap, dengan cara penilaian dan orientasinya sendiri."113 Pada
akhirnya,
pola keseharian kehidupan pesantren, yang diwarnai oleh visi "keikhlasan" (dalam pengertian vertikal, berbeda dengan makna umum
yang horisontal) itu, membangun sebuah pokok dasar kehidupan berupa orientasi ke arah kehidupan akhirat, atau pandangan hidup
ukhrawi.114 Wajah lain pandangan hidup ini adalah keikhlasan untuk
menerima kadar apa saja perolehan hidup yang ada, asalkan pandangan hidup ukhrawi sedapat mungkin terpuaskan. Sebuah sikap
hidup yang tampak fatalistis, namun jelas memiliki dimensi
positifnya:
kemampuan melakukan perubahan status dalam kehidupan dengan
mudah.
Kesimpulan
Mengamati sejarah NU tak ubahnya menyaksikan sebuah kekuatan
--politik atau pun sosial, pada gilirannya masing-masing-- dengan
daya
survival yang tinggi. Kemampuan untuk selalu bertahan itu adalah
berkaitan dengan pola perilaku NU yang reaktif. Bahkan tujuan
upaya kelompok Islam tradisional untuk mengimbangi kelompok
modernis. Sebuah perilaku reaktif, tentu saja. Namun bukan hanya itu.
Banyak titik-titik penting dalam lini sejarah NU yang turut mere126
fleksikan pola perilaku reaktif itu. Sebut saja keluarnya NU dari Masyumi di tahun 1952, atau begitu mudahnya NU mengalihkan dukungan dari regim Sokarno yang mulai runtuh kepada regim baru
yang
sedang mencari pengukuhan, maupun contoh-contoh lain. Namun jika
diamati lebih dalam, maka pola perilaku reaktif NU itu bisa memberikan penjelasan lain: kemampuan antisipatif NU yang sangat tinggi
terhadap peruhahan keadaan. Dengan kemamyuan ini, NU selalu da
pat mengikuti arus besar kepolitikan makro dalam setiap perubahannya, tanpa harus kehilangan jati-dirinya yang paling esensial.
Itulah yang terjadi. Ketika NU didirikan tahun 1926, inti identitasnya adalah sebagai kaum Muslimin penganut paham Ahlussnnnnh
Wal
Jamaah tanpa identifikasi diri lebih lanjut sebagai organisasi sosial
semata-mata atau tidak, berkehendak atau tidak untuk turut terjun
dalam kegiatan politik, maupun hal-hal detail organisasi lainnya.
Sebab bentuk organisasi bagi para pendiri NU tidak lebih dari sekadar
alat untuk mencapai tujuan. Perubahan apapun yang harus dilakukan
oleh perwajahan organisasi, sejauh itu memang diharuskan oleh upaya
pencapaian tujuan terawal dalam garis Islam Ahlussunnah Wal
Jamaah,
tidak ada alasan untuk menolaknya. Itulah sebabnya ketika tujuan
dasar itu mengharuskan NU menjadi partai politik, Muktamar 1952
dengan mudah mengetukkan palunya bagi perubahan orientasi NU.
Sudah barang tentu terjadinya perubahan dalam cara pencapaian
tujuan dasar sangat dipengaruhi oleh kondisi sistem politik makro,
Indonesia. Di tahun 1952, para elit NU menilai bahwa perjuangan
sebagai partai politik adalah yang paling tepat bagi upaya pencapaian
tujuan itu. Dan adalah kenyataan bahwa sistem politik tidak pernah
terlalu lama berada dalam suatu status quo. Perubahan demi perubahan selalu terjadi yang juga membawa pergeseran dalam pola interaksi struktur-struktur politik yang ada di dalamnya. Ketika perjalanan sistem politik Indonesia sampai pada suasana di mana partai
politik tidak lagi leluasa memainkan peran-perannya, dan hanya diam
di pinggiran lebih banyak sebagai penonton yang sekali-sekali melakukan ritual partisipasi, saat itulah NU kembali melakukan penilaian
terhadap kapasitas organisasinya. Perenungan inilah yang antara lain
membawa NU pada keputusan untuk kembali kepada bentuk sebagai
127
organisasi sosial-kemasyarakatan, dalam apa yang secara retorik dirumuskan sebagai kembali ke Khittah 1926.
Berbagai perubahan tentu saja mesti dilakukan dengan adanya
keputusan itu. Yang paling penting adalah dilepaskannya baju kepolitikan praktis NU dan segala keterkaitan organisatoris NU dengan
organisasi politik manapun. Sementara internal adalah komitmen
moral NU untuk mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang semestinya dalam kepemimpinan NU, yang untuk sebagian upaya ke
arah itu telah didiskusikan dalam bab ini. Namun betapapun pentingnya sebuah keputusan, maka yang jauh lebih penting adalah
pelaksanaan keputusan tersehut. Bab IV akan memulai melihat bagaimana pelaksanaan keputusan kembali ke khittah dalam dinamika internal NU, setelah Bab III mencoba mengikhtisarkan pemikiran
Abdurrahman Wahid sebagai salah satu faktor determinan terhadap
dinamika NU dewasa ini.
________________________________________________________
_________
________________________________________________________
_________
92. Arif Mudatsir, loc. cit, h. 139.
93. PB NU, Program Dasar Pengembangan Lima Tahun Nahdhatul
Ulama: Keputusan Muktamar NU ke-26, seperti dikutip dalam Marijan, op.
cit, h. 136
94. Ibid., h. 138.
92. Arif Mudatsir, loc. cit.
96. Ibid., h. 140. Ke-24 orang tokoh itu adalah: KH Sahal Mahfudz,
Mustafa Risri,
Asip Hadipranata, Mahbub Junaedi,Abdurrahman Wahid, M
Tolhah Hasan,
128
HM Zamroni, HM Munasir, dr Fahmi Saifuddin, Said Budairy,
Abdullah
Syanuani, Muhammad Tohir, KH Muchit Muzadi, Saiful Mujab,
Umar
Basalim, Cholil Musadad, Ghaffar Rahman, Slamet Effendi Yusuf,
Ichwan
Syam, Musa Abdillah, Mustofa Zuhad, Danial 7anjung, A Bagja,
dan Masdar
Farid Mas'udi.
105. Ibid.
97. Ibid.
109. Lihat ikhtisar kitab ini dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, op.
cit., h 82-85.
98. Keputusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/I404/1983
Tentang
Pemulihan Khittah NU 1926.
106. Choirul Anam, "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU,"
dalam Jawa
Pos, 28 Januari 1992.
107. Anam, Pertumbuhan, op. cit., h. 89-91.
108. Haidar. loc. cit.
99. Keputusan Muktamar NU No. 02/MNU-27/1984 Tentang Khittali
Nahdhatul Ulama.
110. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pesantren Sebagai Subkultur,"
dalam M Dawam
Rahardjo (ed.), Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: P3M, 1988),
h. 51.
100. Arief Mudatsir, loc. cit-., h. 133.
111. Ibid., h. 47.
1O1. Ibid., h. 140.
112. Abdurrahman Wahid,.'Nahdhatul ULama dan Islam di Indonesia
Dewasa
Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h..34.
102. Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No, 01/MNU-ZR/19R9
tentang
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama.
103. Mekanisme pengelolaan pesantren seperti ini pernah dikupas
dengan
sangat ilustratif oleh Zamakhsyari Dhofier. Lihat Zamakhsyari
Dhofier,
Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1990), khususnya Bab II
(Elemen-elemen
Sebuah Pesantren), h. 44-61.
113. Abdurrahman Wahid, Pesantren, op. cit., h. 42.
114. Ibid.
BAB III
ABDURRAHMAN WAHID:
PEMIKIRAN DAN
DETERMINASI
104. Ali Haidar, "NU dan Tantangan Keulamaan," dalam Aula Juli
1993, h. 24.
129
SIAPAPUN yang jeli mengamati perkembangan NU kontemporer akan menemukan dua nama penting di balik sebagian
130
besar gerak dinamika, bahkan kontroversi yang dibangun oleh organisasi ini, yakni KH Abdurrahman Wahid dan KH Achmad
Siddiq, tanpa mengabaikan peran figur-figur lainnya. Lompatan
yang dilakukan NU di tahun 1984 antara lain dimungkinkan oleh
suntikan energi dari kedua tokoh ini. Oleh karena itu, analisis
tentang NU sebenarnya tidak boleh melepaskan pengamatan terhadap pikiran-pikiran mereka pada tataran konseptual serta langkah-langkah mereka pada tataran aksi. Kalaupun pada bab ini kajian dikhususkan pada figur Abdurahman Wahid, hal itu setidaknya
didasari oleh tiga pertimbangan. Pertama, KH Achmad Siddiq telah
meninggal dunia di tahun 1991, sehingga KH Abdurrahman Wahid
menjadi figur yang lebih relevan ketika orang berbicara tentang
faktor-faktor determinan terhadap dinamika NU sekarang dan mendatang. Kedua semasa hidupnya pun Kiai Achmad lebih banyak
berperan di balik layar dan lebih banyak tampil dengan dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid, sementara yang disebut
terakhir ini, oleh karena posisinya dalam Tanfidziyah, selalu tampak dominan di Panggung NU. Dan ketiga, karena kapasitasnya
yang lebih menonjol sebagai ulama, artikulasi pemikiran Kiai Achmad kebanyakan bernuansa persoalan agama (Islam) secara "konvensional", dan jarang sekali yang berisikan implikasi di luar itu,
meskipun ia pernah memberikan gambaran yang mengesankan tentang hubungan antara agama dan negara dengan menyatakan bahwa bagi NU Negara Kesatuan RI adalah sebuah "bentuk final".1 Karakteristik Kiai Achmad dalam hal ini adalah berkebalikan dengan
Abdurrahman Wahid. Karena itu bab ini akan mencoba membuat
gambaran tentang sosok Abdurrahman Wahid sebagai salah satu
faktor yang memiliki determinasi terhadap NU, serta menyusun
ikhtisar pemikirannya dalam segi-segi tertentu: ideologi; negara,
kekuasaan dan masyarakat; serta Islam dan NU. Di sini dilakukan
pembatasan hanya pada aspek-aspek yang memiliki relevansi langsung dengan studi ini, meskipun itu berarti kurang tergambarkannya secara komprehensif rimba pemikiran Abdurrahman Wahid.
Figur Determinan
Sejak dilahirkan 4 Agustus 1940, Abdurrahman Wahid (selan131
jutnya disebut dengan nama panggilannya Gus Dur) telah membawa beberapa keunggulan komparatif yang jarang dimiliki oleh
orang NU mana pun. pertama ia dilahirkan di lingkungan pesantren
Tambakberas Jombang, yang merupakan salah satu sentra spiritual" NU. la juga unggul secara askriptif. Ayahnya adalah KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari
yang semasa hidupnya pernah menjadi Ketua PB NU, salah seorang
penanda tangan Piagam Jakarta, serta Menteri Agama pada kabinetkabinet Hatta, Natsir, dan Sukiman. Sedang dari garis ibunya ia mewarisi darah KH Bisyri Syansuri, juga salah seorang Rais Aam NU.
Dengan demikian, ia tidak diragukan lagi telah berada pada posisi
inti dalam kosmologi dan emosi komunitas NU. Keunggulan ini, seperti akan terlihat nanti, terus-menerus diperbesar dengan keka
yaan pengalaman intelektual Gus Dur yang kompleks.
Dalam banyak aspek Gus Dur seakan memang telah dipersiapkan sebagai putra mahkota yang kelak akan memimpin NU sebagai
pewaris ayah dan kakek-kakeknya. Idealisme yang dicita-citakan
KH Wahid terhadap putranya ini tergambar jelas dalam nama yang
diberikannya: Abdurrahman Ad-dakhil Secara leksikal ad-dakhil
berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil KH Wahid dari
seorang perintis dinasti Bani Umayyah yang telah menancapkan
tonggak kejayaan Islam di Spanyol berabad silam.2 Sayangnya
Wahid meninggal ketika Gus Dur berumur 13 tahun, dan belum
sempat melihatnya menjadi seorang "penakluk" seperti sekarang.
Tapi sangat boleh jadi ia telah melihat tanda-tanda simptomik ke
arah itu. KH Achmad Siddiq ingat betul bahwa kecendekiaan Gus
Dur sudah terasa semenjak usianya masih sangat dini.3 Semasih di
bangku SMEP di Yogyakarta, ia telah banyak membaca buku-buku
yang sulit dipahami bahkan oleh orang dewasa yang terpelajar
sekalipun, seperti What Is to be Done? karya Lenin yang diinggriskan, Captain s Doughter yang ditulis Turgenev, atau karya monumental Marx, Das Capital.4 Karena itu, meskipun tak lama kemudian ia segera berada pada orbit yang seharusnya di mana sebagai
seorang putra kiai ia mesti ditempa di banyak pesantren, namun
cakrawala pemikirannya sudah terlanjur sangat terbuka dan visi
intelektualitasnya telah melihat sesuatu yang barangkali tak seharusnya ia lihat, minimal tidak di usia sebelia itu. Pengembaraannya
di dunia pesantren dimulai di pesantren Tegalreio Magelang, yang
132
selama tiga tahun sejak 1956 diasuh dalam pengawasan langsung
KH Chudlori. Dari sini ia melanjutkan ke pesantren Tambakberas,
dan tinggal di sana selama empat tahun. Tahun 1964-66 ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo pada Department of Higher Islamic and Arabic Studies. Ia tidak menyelesaikan
studinya di Al-Azhar karena universitas itu tidak kondusif untuk
Gus Dur. Selama dua tahun di Kairo justru digunakan untuk belajar
di luar universitas, mengikuti halqah, menghabiskan waktunya di
perspustakaan nasional Mesir Dar al-Kutub serta perpustakaan di
kedutaan Amerika dan Perancis. Ia juga mengadakan kontak dengan syaikh dan cendekiawan terkemuka Mesir, seperti Zaki
Naguib Mahmoud, Soheir al-Qalamawi dan Syauqi Deif. Selepas
dari Kairo ia sempat belajar di Fakultas Sastra Universitas Baghdad,
Irak, sampai tahun 1970 saat ia dipanggil pulang ke Jombang. Di
kota kecil ini ia memulai tahap kehidupan yang berikutnya bagi
putra kiai: mengajar di pesantren.5
Kariernya sebagai pendidik sebenarnya dimulai sejak 1959 dengan mengajar di madrasah Muallimat Bahrul Ulum selagi ia mondok di Tambak Beras. Sekembali dari Timur Tengah, ia mengajar di
pesantren Tebuireng. Antara 1972-1974 Gus Dur menjadi Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy'ari, dan lima tahun
berikutnya ia menjadi sekretaris pesantren Tebuireng, sampai tahun
1979 ia hijrah ke Jakarta dan memulai kiprahnya di PB NU. Di
Jakarta karier pendidiknya tidak berakhir. Di samping mengajar
antara lain di IAIN Syarif Hidayatullah, ia juga mendirikan sekaligus memimpin sebuah pesantren di Ciganjur, Jakarta Selatan.
Wawasan intelektualitas yang luas itu,6 dan yang "terkontaminasi" sejak dini, telah pula membentuk kelonggaran watak berpikir
Gus Dur, bukan saja pada hal-hal non-agama, namun juga pada
aspek keagamaan. Greg Barton menilai Gus Dur sebagai salah seorang pemikir Islam liberal di Indonesia, meskipun ia tidak pernah
secara formal mengenyam pendidikan tinggi sekuler, seperti Nurcholish Madjid.7 Fachry Ali membayangkan,
Andaikata (Abdurrahman) Wahid tak lahir di Indonesia atau
di negara-negara mayoritas beragama Islam, kelonggaran cara
berpikirnya itu pastilah mengantarkannya pada sifat-sifat Ivan
Illich atau Paulo Freire: para agamawan yang tak mau begitu
133
saja terjebak dalam postulat-postulat agama di dalam berpikir.
Dan (Abdurrahman) Wahid, dalam batas-batas tertentu, adalah
agamawan dan pemikir yang paling liberal di Indonesia, yang,
menurut saya, belum tertandingi oleh Nurcholish Madjid
sekalipun.8
Liberalitas cara berpikir itulah yang agaknya telah mengundang
banyak penentang bahkan pencaci terhadap Gus Dur, di samping
para pengagum dalam kalangan elit NU, meski kelompok yang
disebut
belakangan prosentasenya jelas lebih besar. Mereka yang
mencintainya menyebut tokoh ini seorang auliya (wali) sehingga
menilai gagasan-gagasan dan sikap-sikapnya Yang "aneh" sebagai
suatu keniscayaan Akan tetapi kalangan Yang membencinya sekali
tempo bahkan menuduhnya sebagai agen Zionis. Pada sisi lain keluasan cakrawala pikir rupanya juga mengantarkannya pada karakteristik yang cenderung generalis: ia lebih suka berpikir tentang
hal-hal besar dan kerap mcngabaikan detail, termasuk detail ad
ministratif keorganisasian. Segi ini adalah kelemahan utama Gus
Dur yang tak jarang membuat langkahnya tersandung.9
Cara pikir yang liberal dan cenderung generalis tersebut meru
pakan stimulan terpenting yang mengundang permusuhan dan penentangan terhadapnya, termasuk dari beberapa tokoh ulama senior NU.10 Kendati begitu, ia sama sekali tampak tak bergeming di
pucak piramida NU. Serangkaian keunggulan askriptif yang disebutkan di muka kiranya memang sangat signifikan sebagai penopang posisi Gus Dur. Dan kalau ia juga akan mewarisi sejarah hi
dup ayah dan kakek-kakeknya, boleh jadi Gus Dur tidak pernah
akan beringsut dari inti hegemoni NU seumur hidupnya, sekalipun
sudut-sudut demokratis dalam jagad berpikirnya kelak akan mela
hirkan pembatasan masa jabatan tertentu dalam struktur organisasi
NU.
Fondasi lain kekukuhan posisi Gus Dur adalah karena ia masih
teguh memegang salah satu akar utama kultur NU: loyalitas dan
penghormatan yang tinggi terhadap ulama. Ia tahu betul bagaimana
sikap yang seharusnya dalam menghadapi kemarahan para ulama
senior, saat ucapan dan gagasan-gagasannya dinilai menyimpang
misalnya. Daripada berargumen dengan mereka, ia biasanya lebih
134
suka menyatakan penyesalannya serta meminta maaf, dan semua
persoalan pun selesai. Dengan beberapa perkecualian seperti KH
Ali Yafie dan KH As'ad Syamsul Arifin almarhum, maka umumnya
para ulama NU adalah pendukung Gus Dur.11 Faktor inilah yang
membuat para penentangnya tidak pernah bisa berbuat banyak.
Dukungan para ulama adalah benteng yang begitu kukuh melindunginya dari serangan mereka, dan benteng itu juga sangat sakral
bagi alam kesadaran komunitas NU yang paling esensial. Dalam
benteng inilah Abdurralunan Wahid berada, tak terusik mengguratkan setiap warna yang dipilihnya bagi tulisan sejarah NU.
serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum agama (fiqh). Diambilkan jawabannya
dari salah satu genre 'kitab kuning' berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syeikh Hasan Al-Hadrami, dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut
dan menjalankan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang
dalam keadaan diganggu atau diusik. (sik!)
Herankah kita, jika nantinya NU dengan mudah saja menerima Pancasila sebagai Ideologi negara dan falsafah hidup
bangsa setelah kcmerdekaan tercapai? Hasil dari pemerintah
yang berdasarkan ideologi dan falsafah hidup tersebut tentunya, secara teoritik, tidak akan lebih buruk daripada pemerintahan kolonial Hindia Belanda.13
Pohon Pemikiran Abdurrahman Wahid
1. Tentang Ideologi
Pemikiran Gus Dur tentang ideologi muncul secara kontroversial menjelang pengasastunggalan Pancasila. Ideoloi diletakkan
pada neraca penilaian yang sangat pragmatis dan tidak terlalu diagungkan sebagai suatu "benda suci meskipun tetap dipandangnya sangat sentral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baginya fungsi utama ideologi adalah sebagai faktor pemersatu
bangsa serta pemberi arah bagi penyelenggaraan pemerintahan negara. Penggunaan ideologi untuk kepentingan yang lebih sempit
dari fungsi tersebut, misalnya sebagai landasan legitimitas bagi
otoriterisme suatu regim terhadap masyarakat, hanya akan mendorong kehancuran ideologi itu.12 Pragmatisme dalam menilai
ideologi ini akan membuat orang gagal menemukan alasan yang
muluk-muluk dari Gus Dur tentang penerimaan NU terhadap
Pancasila sebagai asas tunggal. Mengenai hal itu, suatu ketika ia
menulis dengan logika yang begitu simpel:
Dalam tahun 1936 Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat menarik, yang nantinya
akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia. Terhadap pertanyaan status tanah
Hindia Belanda, yang sedang diperintah oleh penguasa nonmuslim Belanda, haruskah ia dibela dan dipertahankan dari
135
Pragmatisme inilah yang juga melandasi pola pemikiran Gus
Dur bahwa "pemerintahan negara ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bukan dari norma formal dari eksistensinya,"l4 seperti
akan tergambar nanti. Lebih jauh, dalam fungsinya sebagai faktor
pemersatu bangsa maka ideologi harus mampu menjadi perisai dari
serangan terhadap kesatuan serta penahan bagi tarikan ke arah
perpecahan bangsa. Untuk mencapai kapabilitas ini, ideologi
nasional seyogyanya merupakan sintesa dari berbagai pemikiran
yang beragam, yang sudah dapat dipastikan eksistensinya dalam
heterogenitas masyarakat. Karena itu, ideologi nasional yang kuat
pada umumnya adalah merupakan hasil pencarian titik temu dari
berbagai ideologi universal yang sebenarnya, pada sisi-sisi tertentu,
satu sama lain saling konfliktual.
Gus Dur mencoba menempatkan Pancasila dalam predisposisi
ini. Ia berpendapat bahwa berbagai ideologi universal yang masingmasing memiliki pandangan berbeda mengenai berbagai hal seperti
kemasyarakatan, perekonomian, dan lain-lain, telah masuk ke Indonesia sejak masa sebelum kemerdekaan. Olehnya ideologi-ideologi
itu dibagi dalam dua kategori umum, yakni ideologi sekuler dan
ideologi yang teokratis.75 Ideologi sekuler menghendaki agar agama
tidak turut menjadi faktor penentu dalam kehidupan kenegaraan,
sehingga negara harus netral dalam soal agama, dan agama dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi setiap individu. Nasio136
nalisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme termasuk dalam
kelompok ideologi sekuler ini. Ideologi dalam kategori kedua meng
inginkan agar agama (dalam kasus Indonesia agama Islam) menjadi
kekuatan penentu utama dalam kehidupan bernegara, sehingga terbentuk sebuah negara teokratis. Jadi negara turut bertanggung
jawab atas terlaksananya syariat agama dalam segala aspek kehidupan masyarakat dan individu. Silang polemik antara tokoh-tokoh
pergerakan satu dekade menjelang kemerdekaan (yang terus berlanjut hingga dalam kurun waktu yang sama sesudahnya) adalah
terpola sebagai perdebatan antara dua kubu penganut masingmasing kategori ideologi universal di atas.
Akan tetapi perdebatan itu akhirnya terbentur pada kenyataan
bahwa tak satupun dari mereka yang dapat mengharapkan kemenangan atas yang lainnya. Sekularisme sudah pasti tidak akan dapat
diterima oleh bangsa Indonesia yang religius dengan keyakinan
bahwa agama bagaimana pun tetap berperan dalam kehidupan
negara. Sementara teokratisme (sekalipun itu teokratisme berlandaskan Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat) juga sulit diwujudkan mengingat masyarakat Indonesia sudah terlanjur terbentuk
dalam suatu model yang terkotak-kotak.l6 Dengan demikian perumusan ideologi nasional lalu didorong ke arah pencarian suatu titik
temu. Dari sinilah lahir kesepakatan untuk menjadikan Pancasila
sebagai "ideologi nasional yang dimaksudkan untuk menyimpulkan
semua ideologi besar dunia dalam pelaksanaannya di Indonesia."l7
Selanjutnya Gus Dur menulis:
..Pancasila juga bersumber dari Islam, dari Nasionalisme,
dari Komunisme dalam Pancasila itu. Memang PKI-nya dilarang, faham Marxisme dilarang tapi semangat egalitarian
(persamaan)-nya ada dalam Pancasila. Semangat keadilan
sosial itu miliknva komunis (Marxisme). Sebab tidak ada istilah "Keadilan Sosial" sebelum lahirnya faham komunis. Istilah
"Social Justice" itu tidak ada sebelum itu. Jadi Pancasila itu
hasil rangkuman dari macam-macam ideologi dunia.
Dari ideologi yang Theokratik (Islam) diambil sila yang perLama, ini sudah merupakan kearifan dari Hapak-bapak kita,
kearifan beliaulah yang akhirnya membentuk nation yang mer137
deka, dan bebas dari komunisme (pertentangan kelompok
yang berlebihan) seperti di India.18
Kalaupun setelah kemerdekaan masih saja ada perdebatan ideologis, Gus Dur menilai bahwa hal itu disebabkan karena para pengikut ideologi universal itu masih tetap berada pada kerangka acuannya semula dan masih terkotak-kotak dalam pemahaman ideologisnya masing masing.19 Dengan Femahaman ini, maka Indoktrinasi lassif berupa penataran P-4 yang dilaksanakan dengan
sangat dramatis serta penetapan asas tunggal Pancasila bagi semua
Fraksi dan ormas mestinya bisa dipandang sebagai upaya untuk
sama sekali mengakhiri pemahaman ideologis yang terkotak-kotak
itu. Akan tetapi Gus Dur justru mengkritiknya sebagai proses ideologisasi di Indonesia kini, yang dinilainya menampilkan dua sisi
berbeda dan bahkan saling bertolak-belakang.20 Terjadinya kecenderungan ini dinilainya telah membuat artikulasi proses ideologisasi itu kehilangan makna, sehingga yang tersisa tinggal proses
ideologisasi sebagai pemberi ]egitimitas kepada sistem pemerintahan yang ada. Artinya, ideologi akhirnya hanya berfungsi sebagai
justifikasi kebijakan para pemegang kekuasaan, dan sangat kurang
berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan dan kesatuan bangsa.
________________________________________________________
____________
________________________________________________________
____________
1. Lihat Bab V di belakang.
2. Lihat Aula, Januari 1990, h. 19.
3. KH Achmad Siddiq telah mengenal Gus Dur sejak lama karena
dahulu ia
pernah menjadi sekretaris pribadi KH Wahid.
4. Lihat Tempo, 2 Desember 1989, h. 30.
138
para penentangnya akan dilihat dalam Bab-bab IV dan V, passim.
5. Sebagian biografi intelektual Gus Dur dapat dilihat pada Mona
Abaza,
Changing Images of Three generatinn in Indonesia, ISEAS
Occasional
Paper No. 88, 1993.
11. Dalam lingkungan NU, dukungan dari para ulama dengan sertamerta dapat
dipastikan sebagai jaminan dukungan dari umat.
6. Keluasan wawasan itu dibangun oleh begitu banyak dan
beragamnya bacaan
Abdurrahman Wahid, yang dipilari oleh penguasaannya secara baik
terhadap minimal lima bahasa: Arab (dalam semua dialeknya),
Belanda,
Inggris, Jerman, dan Prancis.
12. Lihat abstraksi cara pandang ini dalam tulisan-tulisannya,
"Individu, Negara
dan Ideologi", makalah yang disampaikan dalam acara Sudjatmoko
Memorial Lecture, Jakarta, 2 Pebruari 1994; "Merumuskan
Hubungan
Ideologi Nasional dan Agarna", makalah, tempat dan tahun tidak
terlacak.
7. Greg Barton, "Neo-Modernism - a vital synthesis of Traditionalist
and
Modernist Islamic Thought in Indonesia", paper disampaikan pada
diskusi di
sela-sela Muktamar NU ke 29 di Cipasung, 1-5 Desember 1984.
13. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam Einar Martahan
Sitompul,
NU dan Pancasila (Jakarta: Penerbit- Sinar Harapan, 1989), h. 9.
8. Fachry Ali, "Seorang Asing di Tengah NU", dalam Tempo, 25
Nopemher
1989, h. 35.
15. Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cit
9. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana NU lerlibat dalam isu
menerima
dana SDSB, antara lain karena Gus Dur kurang teliti membaca surat
rekomendasi permohonan bnntuan yang ditanda-tanganinya, dan
menilai
aspek redaksional surat itu sepenuhnya urusan sekjen.
Ketidaktertarikannva
terhadap detail administratif organisasi ini menjadikan gagasannya
menjelang Muktamar Cipasung tentang perubahan Tanfidziyah
menjadi
semacam kesekretariatan semata sangat menarik.
17. Ibid.
14. Ibid., h.10.
16. Ibid.
10. Oposisi Gus Dur di tengah NU yang selalu berada "in the line of
fire" dan
139
18. Ibid.
19. Ibid.
20. Abdurrahman Wahid,Individu, op. cit. Ia menulis: Di satu sisi,
dilakukan
penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang kemudian direkatkan
pada ideologi nasional sebagai 'bukti' dari relevansi ideologi nasional itu
sendiri
bagi kehidupan bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk
melakukan teori140
sasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas cakupancakupan
nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai
luhur yang
sudah dianggap baku ternyata masih harus dikembangkan dalam
sebuah proses pembakuan,.."
2. Tentang Negara, Kekuasaan dan Masyarakat
Fungsionalisasi ideologi dalam konteks yang terbatas, akan melebarkan kawasan kosong bagi rakyat mengembangkan hak-hak
individu warga negara yang menjadi kebutuhan obyektif seluruh
bangsa. bagi Gus Dur, negara hanya akan bermakna sejauh ia tidak
mengabaikan kepentingan individu rakyatnya. Pengabaian terpenuhinya hak-hak individual warga negara secara tuntas pada gilirannya akan menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan yang ada, sebab negera lalu akan tampak sebagai kekuasaan pihak yang memerintah, bukannnya sebagai pelaksanaan
sistem pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan hukum.lI Pada
sisi Ini Gus Dur mengkritik paham integralistik yang menempatkan
negara sebagai sentrum secara berlebihan, selama ia diterapkan
di Indonesia.
Yang dipersoalkan adalah bagimana Faham Integgralistik itu menjadi argumen yang selalu dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bahwa rakyat di
hadapan kekuasaan pemerintah. Sehingga ia mengatakan:
Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah
negara bangsa akan terancam pengepingan dan terbenam
dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik yang
berlandaskan faham integralistik. Liberalisme dan demokrasi
liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu diangkat sebagai momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan
bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita. Lebih, jauh
lagi tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan
hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan
liberalisme sebagai paham dan dernokrasi liberal sebagai cara
141
penerapan faham tersebut.22
Jadi permasalahannya terletak pada penggunaan paham itu
sebagai justifikasi peneguhan kekuasaan negara vis a vis rakyat
dengan simultanitas pengabaian pemenuhan hak-hak individual
rakyat itu. jika ditilik cara pandangnya seperti disebutkan di muka
bahwa pemerintahan negara tidak perlu dinilai dari norma formal
eksistensinya melainkan dari fungsionalisasinya, sangat boleh jadi
Gus Dur tidak mempersoalkan pemilihan faham interalistik itu ;,n
sich. Apalagi ia percaya bahwa corak normatit suatu negara lebih
ditentukan oleh struktur masyarakat di mana negara itu didirikan.
la mencontohkan bahwa watak yang non-liberalistis dari UUD 1945
adalah
... berangkat dari kenyatan sejarah akan keragaman yang
tinggi dalam kehidupan bangsa kita, yang untungnya dapat
ditampung dan diproses menjadi ketentuan konstitusional
dalam UUD 1945. Raik itu secara kesukuan, kebahasaan,
keagamaan, budaya dan ideologis bangsa kita sangat beragam.
Dan tingginya derajat keragaman itu telah menumbuhkan pola
hidup yang dapat disebut (dengan meminjam istilah Nikita
Kruschev) 'hidup berdampingan secara damai'.23
Adalah karakteristik Gus Dur untuk selalu menghindarkan visinya dari etik ekstrem di antara dua kutub yang tarik-menarik. Demikian pula pemikirannya tentang negara. Ia mengkritik penempatan negara sebagai sentrum, sama seperti ia menolak pemberian bobot yang berlebihan terhadap rakyat, dan .lebih suka memilih titik
moderat di antara keduanya. Itulah sebabnya jika di satu sisi ia
menilai negara akan kehilangan maknanya jika terjadi pengabaian
terhadap hak-hak individual rakyat, maka di sisi lain dari keping
uang yang sama ia meyakini bahwa negara memegang kunci penataan masyarakat.24
Yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi negara sebagai penyerapan heterogenitas masyarakat dan kepentingannya. Oleh karenanya Gus Dur secara konsisten menolak formalisasi agama sebagal ideologi negara, sekalipun agama itu adalah anutan mayoritas
rakyat seperti Islam di Indonesia, sebab hal itu akan dapat berarti
142
tidak terserapnya bagian-bagian tertentu dari heterogenitas masyarakat masyarakat itu. Di sini ia menyatakan persetujuannya terhadap Ibnu Khaldun, ketika pemikir Islam terkemuka ini mengatakan
bahwa
....agama saja tidak cukup untuk dapat membentuk negara.
pembentukan negara di samping paham keagamaan juga
diperlukan rasa ashabiyah, (perasaan keterikatan). Tujuannya
membentuk ikatan sosial-kemasyarakatan. Ini, adalah paham
kebangsaan oleh Ibnu Khaldun. Sebab, menurut Ibnu
Khaldun,
alasan berdirinya sebuah negara karena adanya perasaan
kebangsaan.25
Terlebih lagi, Gus Dur tidak yakin bahwa Islam memang memiliki konsep pemerintahann yang definitif,26 sehingga pemaksaan
diterapkannya Islam sebagai tatanan tunggal penyelenggaraan negara secara konseptual tidak beralasan. la membuktikan bahwa dalam satu aspek kenegaraan yang paling pokok tentang persoalan
suksesi kepemimpinan, Islam temyata tidak menunjukkan konstanta tertentu. Akibatnya, hanya 13 tahun setelah meninggalnya Nabi
Muhammad SAW, para sahabat telah menerapkan tiga model yang
berbeda: Istikhlaf, Bai'at,dan Ahlul Halli Wal Aqdibagi mekanisme
suksesi kekhalifahan.
Kalau memang Tslam ada konsep, tidak akan demikian, apalagi para sahabat itu adalah orang yang paling takut dengan
Rasulullah. Islam memang sengaja tidak mengatur konsep kenegaraan yang ada hanya 'komunitas agama' (kuntum khoiro,
ummatin ukhrijat linnas). Jadi khaira ummatin, bukan khaira
daulatin atau khaira jumhuriyyatin apalagi khaira mamlakatin.27
Bagi Gus Dur, yang terpenting suatu negara ditegakkan di atas
banyak pilar yang mengindahkan keragaman masyarakat di mana
negara itu dibangun. bersama-sama dengan ide penyeimbangan
antara pemberian kekuasaan terhadap negara dan pemenuhan seca143
ra baik akan kebebasan dan hak-hak individual rakyat, hal itu adalah butir terpenting dalam pemikiran (Gus Dur tentang negara. Dan
jika diperhatikan dengan cermat, akan jelaslah bahwa sentra pemikiran Abdurrahman Wahid adalah rakyat. Kekuasaan negara dipahaminya sebagai operasionalisasi kekuasaan rakyat, yang disimpulkannya dari ketentuan Al-Qur'an yang secara eksplisit menyatakan bnhwa prinsip utama pemerintahan adalah adanya permusyawaratan antara pemimpin dan yang terpimpin. Dengan ini Gus Dur
mengkritik karya-karya para pemikir Islam tentang negara yang kebanyakan terlalu ditekankan pada aspek legal dari negara dan unsur-unsur pendukungnya justru bukan dari sudut keabsahan negara bila dikaitkan dengan kekuasaan rakyat.
Hak-hak dan kewajiban seorang pemimpin negara memang
dirumuskan secara teliti, namun tidak diberikan perhatian cukup besar pada bagaimana hak-hak dan kewajiban-kewajiban
itu terkait secara organik dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban warga negara, baik secara individual maupun kolektiF
...
Dengan kata lain, pemikiran negara ... selalu berurusan dengan pembagian kekuasaan antara yang memerintah dan yang
diperintah.28
Selanjutnya, masyarakat yang menjadi sentra pemikirannya
oleh Abdurrahman Wahid selalu dieja sebagai memiliki wujud dimensional yang berbilang, tidak tunggal. Sehingga heterogenitas
adalah fakta yang inheren dalam eksistensi masyarakat. Wacana
politik suatu negara dengan demikian seharusnya mampu menjadi
medan penyerapan yang sebaik-baiknya bagi heterogenitas tersebut.
Itulah sebabnya ia gigih menolak penyekatan sosial-politik berdasarkan agama sebagai salah satu variabel heterogenitas masyarakat.
Dan karena itu ia tidak mau bergabung dengan ICMI serta lebih
suka mendirikan Forum Demokrasi dalam mana berbagai kelompok
non-santri bahkan non-muslim turut bergabung.29 Lalu bagaimanakah struktur sosial suatu masyarakat tertata? Kekuatan apakah di
balik pembentukan struktur sosial itu? Cus Dur mengakui bahwa
144
berbagai pertanyaan seputar struktur sosial akan dapat ditemukan
sebagian jawabannya dalam argumen-argumen Marxian yang meruyakan sudut pandang yang penting, kalau bukan yang paling
penting. Tetapi ia tidak berhenti di situ, sebab jika demikian orang
lalu akan menjadi deterministik. Bahwa cara produksi akan menentukan struktur masyarakat melalui dialektika. Bagi Gus Dur,
produksi bukanlah satu-satunya pembentuk struktur masyarakat. Masih terdapat elemen-elemen lain yang tak kalah pentingnya, yaitu agama, etnis, bahasa, juga posisi geograpis Elemen
agama, misalnya, dengan caranya sendiri selalu berusaha meredefinisikan kehidupan dan menumbuhkan kekuatan-kekuatan baru dalam masyarakat untuk mengatasi keadaan. Sudah barang tentu oleh
karena sifat agama yang tidak semata-mata berdasarkan pada akal
tapi lebih pada wahyu, maka masyarakat yang diinginkan oleh agama bukanlah masyarakat yang sama sekali "ilmiah". Tentu berbeda
dengan masyarakat yang ingin dibentuk dengan kerangka Marxis,
suatu masyarakat yang sama sekali ilmiah. Sedangkan agama semata-mata berdasarkan transformasi pribadi manusia. Apakah dia
kapitalis atau proletar, tak jadi soal. Yang penting dia melakukan
transformasi. Melakukan kesadaran diri yang tinggi. Dengan sendirinya masyarakat akan berubah. jika tidak struktur, ya dalam
fvngsi Di sini ada peran pembebasan dalam agama di dalam refunctioning peralatan-peralatan masyarakat. Ada fungsi agama
yang struktural tapi tidak total.31
Kritik atas pemikiran Gus Dur ini dapat diajukan, apakah memang bisa dijamin bahwa setiap pemeluk agama akan memiliki
komitmen sedemikian rupa sehingga selalu terdorong untuk mela
kukan transformasi diri ke dalam keadaan yang lebih baik dalam
semangat agamanya? Kalaupun ya, tidakkah heterogenitas agama
yang dianut masyarakat juga akan menghasilkan corak transformasi
yang heterogen? Rasanya, ragam cara produksi yang lebih bersifat
universal bagaimanapun tetap lebih signifikan di dalam menentukan struktur sosial, sedang elemen-elemen lain hanya akan bersifat
sampingan yang tidak dapat terlalu diniscayakan keberlakuannya.
3. Tentang (Umat) /slnm dan NU
Cetusan-cetusan ideatif Abdurrahman tentang Islam adalah sisi
145
pemikirannya yang paling rawan dan sangat rentan terhadap
kontroversi. Di sudut inilah ia kerap memperoleh serangan sebagai
pro-Kristen, agen Zionis, dan berbagai tuduhan yang minor lainnya.
Persoalannya adalah karena ia sangat menentang penempatan Islam
dalam pagar yang eksklusifistik, sesuatu yang disadari atau tidak
begitu berurat akar dalam benak sebagian umat Islam. Ia selalu
mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap eklektik, daya
serap positif yang tinggi terhadap budaya luar yang dimungkinkan
untuk memberikan manfaat bagi diri dan umat Islam pada umumnya, sebagaimana yang dicontohkan oleh tradisi Islam selama ber
abad-abad dahulu.32 Selain itu ia kerap mengejutkan kesadaran
kaum muslim, bahwa dengan strategi pejuangan mereka sekarang
maka kemegahan Tslam hanya akan ada dalam utopia tanpa pernah
lahir dalam wujud riil.
Sebagian pengkritiknya dengan sangat tidak beralasan pemah
menuduhnya telah membangun gagasan-gagasan yang terlalu muluk-muluk dan melangit. Tuduhan ini terasa kurang benar, untuk
tidak menyebutnya salah, sebab Gus Dur sendiri pun sering mencela pemikiran yang bersifat demikian. Tentang Islam sebagai "ideologi alternatif' misalnya, seperti akan terlihat nanti, ia jelas-jelas me
nyatakan ketidak setujuannya. Tokoh-tokoh yang kukuh dalam idealisme menjadikan Islam sebagai alternatif politik universal yang mengabaikan konteks, seperti Abul A'la Al Maududi, Khomeini, Zia Ul
Haq,
dikritiknya, "idealisme mereka begitu tinggi sehingga tidak bisa mendarat dalam kehidupan; gagal menemukan prinsip operasional dari
nilai-nilai dasar kehidupan masyarakat."33 Gagasannya tentang pribu
misasi Islam sebagai contoh lain, jelas merupakan konsep yang sangat
membumi, di mana ia mengajak agar Islam dipahami sampai ke mfi
nilai-nilai dasamya, untuk kemudian diaplikasikan secara kontekstual.34 Agaknya alih-alih menilai gagasannya terlalu mengawang
awang, lebih tepat untuk menyebutnya terlalu ke depan dan sedikit
mendahului waktu, ketika tidak semua kalangan siap mencernanya. Ia,
dalam hal ini, memiliki sisimilaritas dengan Nurcholish Madjid.
Untuk meletakkan pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Islam
dalam perspekfif, sebelumnya harus dilihat lebih dahulu pendekatan
apa yang digunakannya. (Gus Dur sendiri membagi pendekatan yang
146
digunakan oleh umat Islam dalam usaha menampilkan citra Islam ke
dalam kehidupan kemasyarakatan dalam tiga varian.35 Pertama, pen
dekatan sosial-politik yang menekankan perlunya keikutsertaan dalam
sistem kakuasaan yang ada. Tendensinya adalah untuk menampilkan
watak ideologis Islam serta menonjolnya sifat eksklusifistik Islam terhadap agama, paham, dan ideologi lain. "Kepentingan Islam adalah
kredonya dan solidaritas Islam adalah tali pengikatnya. Sikap
sektarian
sangat mudah berkembang dalam pendekatan seperti ini."
Kedua, pendekatan kultural semata-mata, yang berkehendak untuk
mewujudkan Islam dalam kesadaran hidup sehari-hari, tanpa
keterkaitan dengan kelembagaan apapun, kecuali dalam konteks penyebaran
Islam secara budaya itu sendiri. Meskipun lebih menekankan
wawasan
universal Islam sebagai sebuah peradaban dunia, namun sering terjadi
mutasi watak pendekatan ini ke dalam kehidupan ketika sejumlah
proponennya berubah menjadi penuduh pihak lain mengganggu
sistem
kekuasaan, manakala mereka mengambil sikap hendak memasukinya.
Coraknya yang semula inklusif bisa berubah menjadi pandangan
historis yang menuding kelompok-kelompok agama lain sebagai penyebab ketertinggalan umat Islam. Sikap ini akhirnya serupa dengan
yang ditunjukkan oleh pendekatan pertama.
Ketiga, pendekatan sosio-kultural, yang mengutamakan sikap
mengembangkan pandangan dan perangkat kultural "yang dilengkapi
oleh upaya membangun sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan
wawasan budaya yang ingin dicapai itu." Pendekatan ini lebih
mementingkan aktifitas budaya dalam konteks pengembangan lembaga-]embaga yang dapat mendorong transformasi sistem sosial secara evolutif
dan gradual. Di sini tidak dipentingakan sikap untuk masuk ke dalam
sistem kekuasaan atau tidak. Dalam pendekatan ini dapat dengan mudah dimasukkan "agenda Islam" ke dalam "agenda nasional" bangsa
secara inklusifistik. Kalaupun hendak melakukan perubahan, sasarannya bukan pada sistem pemerintahan atau sistem politik tapi pada subsub sistemnya. Aksentuasinya pada perubahan perilaku tanpa merubah
bentuk-bentuk lahiriah lembaga pemerintahan.36 Pemikiran Gus Dur
147
berada dalam kategori pendekatan ketiga ini, yang menginginkan
Islam
menjadi kekuatan komplementer bagi kehidupan bangsa secara keseluruhan. Ia secara konsisten menolak Islam dijadikan sebagai ideologi
dan sistem alternatif, apalagi sebagai faktor tandingan yang bersifat.
disintegratif terhadap kehidupan bangsa. Ia mengingatkan pelajaran
yang pernah diberikan oleh sejarah, bahwa keinginan akan berlakunya
"ideologi Islam" di Indonesia selalu terbentur pada kenyataan akan
langkanya dukungan dari massa Islam sendiri secara konkrit. Kecuali
sejumlah kecil kalangan yang menyimpan keinginan semacam itu,
maka keseluruhan gerakan Islam di Indonesia justru selalu menunjukkan kemampuan menerima kondisi obyektif yang telah ada, dan menempatkan Islam sebagai faktor komplementer bagi bangsa dan negara. 37 Di sinilah ia menilai bahwa, bagaimanapun, keluarnya NU dari
Masyumi dahulu telah membawa hikmah tersendiri bagi umat Islam
Indonesia. Jika NU tetap di dalamnya, akan tejadi penunggalan kepemimpinan umat di tangan Masyumi yang akan menjadi sangat dominan. Sementara partai ini memiliki kecenderungan memperlakukan
Islam secara ideologis, maka perbenturan yang keras antara "Islam"
dan
"Republik Indonesia" akan terjadi, dan ketika Masyumi dibubarkan,
keseluruhan gerakan Islam akan merasakan akibat yang parah.38 Dengan demikian jelaslah bahwa bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan dan secara obyektif agama akan lebih berfungsi positif jika dilepaskan dari masalah-masalah ideologis. 39 Upaya legislasi Islam ke
dalam formal kenegaraan akhirnya juga akan
... merupakan pengingkaran hakekat demokrasi yang ingin
kita
tegakkan di negeri ini, karena akan menjadikan mereka yang
tidak
memeluk agama mayoritas menjadi warga negara ktlas dua.
Dalam kcadaan demikian, persamaan kedudukan sen7ua
warga
negara di muka undang-undang tidak tercapai. 40
Untuk umat Islam sendiri, penekanan berlebihan pada sisi legalformalistik yang membawa Islam kepada sikap sangat ideologis dalam
148
pengaturan masyarakat telah menyebabkan menyempitnya ruang gerak bagi refleksi kontemplatif yang mengembangkan arti manusia se
bagai subyek kehidupan. "Setiap pengaturan masyarakat secara terlembagakan senantiasa cenderung untuk memperlakukan masyarakat
sebagai obyek kehidupan."41. Pada sikap yang memperlakukan
masyarakat sebagai obyek inilah berakar kemiskinan di lingkungan kaum
muslim yang sangat meluas. Keadaan ini lebih diperburuk oleh
adanya
kecenderungan spiritualitas mistik (sufisme) yang dimanifestasikan
dalam pola ritualistis, yang justru cenderung mengajak manusia untuk
melupakan kesulitan dan bukan memecahkannya Ironinya, kuatnya
kecenderungan sufisme ini sesungguhnya adalah upaya imbangan terhadap kecenderungan legal-formalistik itu.42
Selanjutnya, kecenderungan di atas juga telah menimbulkan kerancuan dalam cara pikir sebagian besar umat Islam, yang lebih jauh
membentuk logika zero sum game Abdurrahman Wahid tidak secara
persis menggunakan terminologi ini, tapi ia menulis:
yang melahirkan sikap eskapisme dari kenyataan pada sebagian umat
Islam,44. dan rasa inferioritas total pada sebagian lainnya.45 Gus Dur
memberikan contoh yang sangat menarik tentang manifestasi rasa
frustasi dalam wujud kedua ini dalam hal kepekaan yang berlebihan
dari umat. Islam terhadap kasus Monitor di tahun 1990.46. Kerancuan
berpikir di sebagian kaum muslim, serta kegagalan mereka untuk
menyadari bahwa gerak hidup kenegaraan mensyaratkan distribusi
peran secara proporsional sehingga tidak dibenarkan pemusatan di
satu
kelompok mengundang satu penilaian dari Gus Dur, yang belakangan
melahirkan kontroversi tersendiri, tentang ketidak-siapan sementara
kalangan khususnya pemimpin umat Islam untuk berdemokrasi.47
Untuk bisa lepas dari keseluruhan persoalan di atas, Gus Dur menyarankan perlunya kehati-hatian untuk membedakan dan memilih secara
tepat di antara peran politis dan peran moral dan agama dalam upaya
memberi warna proses kenegaraan dan kemasyarakatan.48
Sebuah sikap yang dewasa dari kehidupan beragama dalam
kaitannya dengan kedua alternatif itu adalah kebijaksanaan
untuk
Kita memiliki kekuatan politik, posisi bargaining yang kuat,
sasaran yang cukup jelas yaitu baladatun thayyibatun wa
paling jauh meletakkan diri pada sikap berhati-hati untuk
menekankan diri pada alternatif moral. Terhadap alternatif
politik,
rabbun
kehidupan beragama sebaiknya menahan diri untuk tidak
langsung menceburkan diri sepenuhnya. Kalaupun nanti
ghafur · · (Tapi ada kerancuan yang) mencampur adukkan
antara
terjadi
sasaran dan masalah kelembagaan Kita merasa harus
menguasai
lembaga politik, sistem pemerintahan, jalur-jalur pendapat
umum
dan mekanisme mobilisasi massa. Padahal penguasaan
beberapa
hal tersebut di satu tangan adalah sesuatu yang tidak mungkin,
karena kehidupan politik berdasarkan asas saling
mengimbangi .43
Akibat obsesi yang tak pemah tenuujud adalah perasaan frustasi,
149
perubahan dalam struktur politik dari masyarakat ...hendaknya
itu terjadi dalam kewajarannya sendiri, tanpa terlalu didorong
oleh
kehidupan beragama.49
Dan untuk menjamin tempat Islam dalam konstelasi politik nasional, lepas dari persoalan seperti apa corak pemerintahan itu, Gus
Dur memandang perlu ditempuh strategi ganda. Di satu ujung ada kalangan yang mengupayakan formalisasi agama dalam kehidupan
bernegara (bukan dalam proses kenegaraan) melalui cara-cara dan pro
duk-produk yang nantinya menampilkan syiar Islam, seperti yang saat
ini dilakukan oleh Depag, MUI, dan ICMI. Dan pada ujung yang lain
150
harus ada yang menggarap pengelolaan isu-isu umum yang tidak khas
Islam. Strategi ini tidak harus dikomunikasikan secara formal,
melainkan cukup dalam pemahaman yang utuh saja.50
Selanjutnya, pemikiran Gus Dur tentang NU sebagian besar sudah
tercover dalam pemikiran tentang Islam dan umat Islam di atas, sebab
baginya NU adalah bagian yang sama sekali integral dari umat Islam
Indonesia bahkan bangsa Indonesia secara holistik. Akan tetapi tentu
ada beberapa potong pemikirannya yang secara spesifik menunjuk NU
dan perlu ditinjau di sini. Pertama adalah bagaimana ia menjawab
berbagai pertanyaan yang muncul di seputar kepolitikan NU: mengapa
NU seringkali menunjukkan watak politik yang oportunistik, lain pada
kali lainnya terkesan sebagai oposan pemerintah? Ia mengembalikan
semua jawaban bagi pertanyaan itu kepada pendekatan NU yang serba
fiqh. Oportunisme, suatu kesan yang timbul karena NU seringkali
mengeluarkan keputusan yang sepintas tampak dibuat sembarangan,
dan yang memenuhi selera dan sangat bersifat akomodatif terhadap
kepentingan penguasa pada suatu saat, didasari oleh cara bersikap NU
yang tidak berpedoman pada "'strategi pejuangan politik' atau 'ideologi Islam' dalam artiannya yang abstrak, melainkan keabsahan di
mata hukum fiqh".51. Orientasi inilah yang mewarnai banyak perilaku
NU, termasuk penerimaan pancasila serta penentuan "absahnya Presiden RI sebagai pemegang pemerintahan, karena itu ia harus ditunduki
dan dipatuhi di hadapan sebuah Negara Islam Indonesia sekalipun."52
Tapi pada sudut yang lain, tidak berarti jalannya pemerintahan lepas
sama sekali dari kendali keagamaan. Justru NU selalu menuntut agar
kebijaksanaan pemerintah disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
fiqh, dan sikap ini kerap diterima oleh kalangan pemerintah sendiri
sebagai hambatan saat melaksanakan kebijakan dan wewenangnya
Pada bagian inilah NU menampakkan kesan sebagai oposan.53
Yang juga perlu dicatat adalah bagaimana Abdurrahman meletakkan reorientasi politik NU 54. dalam konteks politik nasional,
sebagaimana kebanyakan perilaku NU juga harus ditinjau dalam kaitannya
dengan konteks makro. Ia menggambarkan bahwa pada masa Orde
Baru telah muncul perkembangan yang berlawanan arah sebagai
akibat
ambivalensi kebijakan-kebijakan pemenntah terhadap umat Islam.55
Di
151
Satu pihak, pemerintah dengan sukses telah melakukan "dealiranisasi"
kehidupan politik yang telah menggeser gerakan politik formal Islam
dari panggung politik. Di pihak lain, pemerintah bagaimanapun tetap
memerlukan legitimitas bagi program-program pembangunannya, sehingga pemerintah harus memperoleh legitimasi dari berbagai pihak,
apalagi dari gerakan-gerakan Islam yang secara kuantitatif adalah mayoritas. Akibat dari ambivalensi itu, Meskipun di satu sisi terjadi pengikisan kelompok formal politik Islam, namun di sisi lain kekuatan
kepermimpinan non-formal Islam semakin meningkat, justru karena ia
berada di luar sistem dan berperan sebagai korektor. Secara riil
politik,
kata Abdurrahman, kekuatan Islam tetap diperlukan sebagai kekuatan
politik, dan perkembangan peran politik NU diletakkannya dalam
konteks ini. Dengan demikian NU tidak akan sama sekali surut dari
politik,
sebab bagaimanapun gerakan Islam Indonesia "tidak bisa menghindar
dari politik. Kalau menghindar sama saja dengan tidak mengerti perkembangan keadaan, karena set-up Orde Baru memang sudah demikian."56
Lalu apa tujuan moral NU dengan reorientasi politik itu? Sebuah
periodisasi sejarah NU yang dibuat Gus Dur memberikan gambaran
jawabannya bagi pertanyaan ini. Ia membagi sejarah NU ke dalam
tiga
tahapan 57. Pertama adalah tahap murni jam'iyah diniyah antara tahun
1926-1936, sejak NU berdiri hingga muktamarnya di Banjarmasin
yang
menetapkan bahwa Negara dan Tanah Air Indonesia wajib
dilestarikan
menurut fiqh.
Kewajiban fiqhiyah itu lain membuka kemungkinan munculnya
orang-orang NU secara terbuka dalam pergerakan kemerdekaan serta
mengantarkan NU sendiri pada tahap kedua sejarahnya, yaitu tahap
perjuangan politik idealistik. Tahap ini meliputi kurun waktu yang
paling panjang dibandingkan tahapan lainnya hingga saat ini, sebab
baru pada tahun 1984 tahap kedua ini berakhir.
Kemudian sejak tahun 1984 NU memasuki tahapan sejarahnya
152
yang ketiga, di mana khittah mengantarkannya pada bentuk perjuangan kemasyarakatan semesta. Semangat moral perjuangan ini mendorong NU untuk merumuskan peran politik yang lebih baik daripada
sekadar politik kelembagaan, sehingga ikatan langsung dengan politik
praktis pun ditinggalkan. Peran politik yang lebih baik yang menurut
Abdurrahman Wahid harus dimainkan oleh NU adalah "peran transformasi, perubahan masyarakat, bahwa Nahdlatul Ulama harus mempersiapkan warganya memasuki era industri tanpa kehilangan sendisendi keagamaannya."58. Aksentuasi perhatian pada warga ini jelasjelas
merupakan pergeseran yang cukup besar dari keadaan sebelumnya
ketika NU menjadikan warganya lebih sebagai basis politik. Dengan
perkataan lain, lebih sebagai obyek daripada subyek.
Paham Keagamaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
Penyimpulan
atas pandangan Abdurrahman ini dapat diekstraksikan dari
bagaimana ia
mencontohkan bahwa "Hubungan antara sesama umat beragam
juga
merupakan akibat saja dari penataan hubungan agama dan ideologi
negara.
Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op.cit.
26. Ibid Cf. Abdurrahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari
pemikiran
Politik dan Negara Islam," makalah yang disampaikan pada acara
Dies
Natalis XX/Lustrum IV Universitas Tslam Tribakti (UIT), Kediri.
27. Merumuskan, ibid.
28. Abdurrahman Wahid, Beberapa, op. cit.
________________________________________________________
_____________
________________________________________________________
_____________
29. Cf Fakhry Ali,..Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam
Edifor, 7
Maret1992,h.21.
30. Lihat Abdunahman Wahid, "Gerakan Sempalan dan Proyek
Rintisan," dalam
Denny JA, el. al. (eds.), Agama dar, Kekerasan (Jakarta: Kelompok
Studi
Proklamasi, 1985), h. 54-56.
21. Ibid.
22. Ibid.
23. Abdurrahman Wahid, "Sejarah Undang-undang Dasar 1945
dalam Perspektif
Sejarah makalah yang disampaikan dalam Seminar Sehari
Peringatan 30
Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli 1989.
3l.lbid., h. 55-56. Cetak miring sebagaimana aslinya.
32. Lihat Abdurrahman Wahid, Merumuskan, op. cil:
33. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha
Azhari dan
Abdul Mun'im Saleh (eds.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan
(Jakarta:
24. Lihat antara lain Abdurrahman Wahid, "Mencari
153
154
P3M, 19H9), h. 93.
Arifin untuk menggugat kepemimpinan Abdurrahman di NU. Lihal
Bab IV
di belakang
34. Ibid., passim.
35. Lihat Abdurrahman Wahid, "NU, Pluralisme dan Demokratisasi
Jangka
Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al. (eds.) Agama, Demokrasi
dan Keadilan
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama 1993), h. 222f. Ketiga varian
itu
berlatar-belakang dua kecenderungan umum yang tejadi. Pertama,
yang
42. ibid
36. Cf. Abdurrahman Wahid, pribumisasi islam, loc. cit., h. 90-9137.
Abdurrahman Wahid, "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 8
44. 5ikap ini adalah rasa frustasi tersembunyi" yang keluarnya dalam
bentuk
'tidak usah macam-macam pun kita berperan baik, kok.' Tetapi
mereka lupa
bahwa orang Islam tidak ikut mendefinisikan masalah yang
ditangani
Agenda datang dari luar, bukan dari orang Islam. Kita tinggal 'amin'
lalu
kerjakan." Ibid., h. 94.
37. Abdurrahman wahid,"Masa islam dalam kehidupan Berbangsa dan
bernegara,"dalam prisma nomor ekstra, 1984, h.8
38. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar," dalam Sitompul op. cil.,
h. 17.
39. Abdurrahman Wahid, Mencari, Op. cit.
40. Abdurrahman Wahid, "Agama dan Demokrasi," dalam Th.
Sumartana, et. al.
(eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat(Yogyakarta:
Penerbit
Interfidei, 1994), h. 274.
41. Abdurrahman Wahid, "Upaya Bersama Menanggulangi
Kemiskinan,''
naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI, Oktober 1989 di
Surabaya
pidato ini belakangan dijadikan salah satu alasan oleh KH As'ad
Syamsul
43. Abdurrahman Wahid, "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi
Wawasan
Sosial-Politik," dalam Yunahar Ilyas, et al. (eds.), Muhammadiyah
dan NU"
Reorientasi Wawasan Keislaman (Yogyakarta: LPPI UMY, 1993),
h. 93.
45. ". . . kita merasa gagal total, tidak pernah berhasil dan musuh
begitu kuat.
Maka kemudian dicari sasaran lain sebagai kambing hitam yaitu
kalau tidak
ABRI, ya orang Kristen. Dalam hati kecil kita merasa bahwa semua
pihak
menghalangi orang Islam." Ibid.
46. persoalan yang "mengubah kualitas hubungan antar agama di
negeri kita
secara mendasar" ini oleh Abdurrahman dinilai memiliki akar yang
sederhana saja: "kesembronoan dan kepekaan berlebih". Lihat
Abdurrahman
Wahid, "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus", dalam Aula,
November
155
156
1990, h. 43. Kepekaan berlebihan tentu dari umat Islam sebagai
refleksi rasa
frustasi mereka, sesuatu yang dikhawatirkan oleh Abdurrahman
akan
merusak citra Islam sebagai agama damai menjadi agama kekerasan
yang
menampilkan wajah kebencian yang mengerikan. Ia
mengisyaratkan
keraguan apakah Arswendo pemred Monitor, punya motivasi lain
kecuali
kesembronoannya di balik kasus tersebut, sehingga "anak muda
gombal
yang lebih patut dikasihani" itu mesti menanggung resiko
sedemikian rupa.
Orang Islam yang memilih Nabi Muhammad dalam polling itu juga
dinilainya tak kalah sembrononya. Simak notasinya "Dari 33.693
responden,
mayoritas tentu beragama Islam. Kalau diletakkan pada angka 85 %
penduduk negeri ini memeluk agama Islam, kira-kira 29.000
berpotensi
menyebut nama Nabi Muhammad SAW. Ternyata hanya 616 suara
diberikan kepada Beliau, berarti hanya 2,1 % saja yang tidak tahu
bahwa
nama Beliau tidak boleh dipergunakan sembarangan. Selebihnya,
yaitu
hampir 98 % tetap waras dan mengerti bagaimana cara yang tepat
untuk
menghormati ketokohan Beliau." Ibid., 43-44.
"jika ia menawarkan alternatif dalam arti pola kehidupan baru
dalam wadah
kemasyarakatan yang sudah ada ... maka kehidupan beragama
menawarkan
altenatif moral ... Apabila kehidupan beragama menawarkan
altenatif
struktural yang sama sekali lain dari wadah yang telah ada, maka
yang
ditawarkan adalah altenatif politik."
49. ibid.
50. Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cif., h. 228.
51. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia
Dewasa
Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984, h. 35.
52. Ibid. Cetak miring sebagaimana aslinya.
53. Ibid.
54. Tentang reorientasi politik NU selengkapnya akan dibahas dalam
Bab V-A.
55. Lihat Abdurrahman Wahid, NU pluralisme, loc. cit., h. 215f;
Muhammadiyah dan NU, loc. cit., h. 91-2.
56. Abdurrahman Wahid, Muhammadiyah dan NU,ibid., h. 92.
47. Lihat Abdurrahman Wahid, NU, Pluralisme, loc. cit., h. 225f. Cf.
Agama dan
Demokrasi, loc. cit., h. 273-5.
48. Lihat Abdurrahman Wahid, "Kehidupan Beragama, Rekayasa
Sosial dan
Kemantapan Kehidupan Beragama," makalah, tempat dan tahun tak
terlacak.
157
57. Abdurrahman Wahid,"Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926",
dalam M
Masyhur Amin dan Ismail S Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran Islam
dan
Realitas Empirik (Yogyakarta: LKPSM NU, 1993), h. 151f.
58. Ibid., h. 152.
158
BAB IV
IMPLEMENTASI KHITTAH:
DINAMIKA INTERNAL
Pada dasarnya, pejalanan'khittah dapat diperiodisasikan dalam
dua tahap. Tahap pertama, meliputi masa 1984-1989, adalah periode
sosialisasi dan konsolidasi khittah. Dan tahap kedua dari 1989-1999
adalah periode pemantapan khittah Tahap lima tahun pertama dapat
dikatakan mewarisi warna-warna reorientasi program, regenerasi, dan
rekonsolidasi dari Muktamar Situbondo. Ketiga hal itu adalah sub-sub
tema yang mengikuti tema besar "kembali ke Khittah 1926,"1 yang
bukan saja telah membawa NU kepada perwajahan baru, namun juga
mengantarkannya pada era yang sarat dengan permasalahan dan
persilangan kepentingan. Kondisi ini menyebabkan PB NU yang
merupakan produk regenerasi 1984 belum bisa berbuat banyak untuk
menunjukkan hasil riil dari pelaksanaan program yang telah disusun.
Mereka masih berkutat dengan persoalan sosialisasi khittah untuk
menyamakan persepsi semua pihak dalam NU, yang ternyata menjadi
pekerjaan yang sangat rumit dan kompleks.
Regenerasi dalam NU sendiri tidak dapat dipahami sekedar
sebagai regenerasi antar-waktu ketika pengurus sebelumnya yang
telah
senior dan cukup lama memegang kendali mesti diganti dengan yang
lebih muda. Regenerasi yang melahirkan nama-nama seperti
Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaedi, dan Fahmi Saifuddin, dan
seterusnya ini dilatarbelakangi oleh permasalahan yang jauh lebih
besar
daripada sekadar kemestian untuk melaksanakan mekanisme suksesi
kepengurusan. Backdrop proses ini adalah berkaitan dengan maraknya
konflik internal NU di masa sebelumnya, yang kurang lebih terpola
sebagai konflik antara kelompok politisi dan ulama non-politisi yang
secara populer disebut sebagai konflik Cipete-Situbondo.
Konflik yang nyaris akut ini pada akhirnya melahirkan kesadaran
para ulama dan warga NU akan perlunya pemunculan figur baru
dalam teras kepemimpinan NU. Figur baru itu haruslah berada pada
posisi netral dalam peta konflik NU, di samping harus mampu
menjadi
159
representasi semangat khittah. Berdasarkan kriteria ini maka tujuh
orang kiai senior NU yang dikomandani KH As'ad Syamsul Arifin
dalam forum ahlul halli wal 'aqdi menunjuk Abdurrahman Wahid
sebagai Ketua Tanfidziyah. Tokoh ini bukan saja netral, tapi ia juga
secara serius telah turut mengupayakan rekonsiliasi kedua kubu yang
bersengketa di era sebelumnya. Selanjutnya, ia adalah salah seorang
figur sentral dalam perumusan konsep kembali ke Khittah 1926.2
Dalam banyak hal, ia dipandang cukup mewakili citra "NU baru"
yang
hendak dimunculkan. Dengan segala latar belakang ini, maka tugas
kepengurnsan baru NU untuk melakukan sosialisasi khittah menjadi
tidak mudah, sebab bias-bias konflik politisi dan ulama non-politisi
tenyata masih bersisa dalam tubuh NU. Salah satu hal yang harus
dijelaskan kepada warga adalah bahwa khittah mengamanatkan
ditanggalkannya baju politik praktis NU dan dilepaskannya
keterikatan
NU dengan organisasi politik manapun. (Tentang ini, lihat Bab V).
Namun gambaran persoalan yang muncul dapat diikhtisarkan bahwa
kelompok politisi dalam NU ternyata masih menyimpan keinginan
untuk membawa organisasi ini kembali pada politik praktis. Misalnya
muncul gagasan Mahbub Junaedi tentang "Khittah Plus" beberapa
bulan setelah Pemilu 1987. Lontaran pemikiran serupa ini sangat
mengganggu langkah Abdurrahman Wahid dan semua orang yang
berada dalam arus baru NU, yang dalam setiap kesempatan baik
melalui pesantren-pesantren maupun forum pengajian umum selalu
berusaha memberikan pengarahan kepada warga NU tentang amanat
khittah dalam segala implikasinya. Gagasan itu segera berhadapan
dengan barikade yang mencegahnya agar tidak menjadi epidemi baru.
Sementara itu dalam Pemilu 1987 Mahbub dan kelompoknya
membuat
ulah dengan apa yang kemudian disebut sebagai aksi penggembosan
PPP, yang menyimpang dari garis netralitas NU dan untuk beberapa
waktu, membawa sebagian warga NU pada penafsiran yang salah
bahwa khittah berarti eksodus dari PPP ke Golkar.
Menyadari bahwa gagasannya dihalangi, Mahbub lain menyusun
serangkaian upaya bawah tanah untuk menggeser Abdurrahman
Wahid bahkan menon-aktifkannya sama sekali. Ia melobi beberapa
kiai
160
senior NU seperti KH As'ad. Namun jelas tidak terlalu mengherankan
jika Mahbub gagal meyakinkan mereka akan gagasan Khittah Plusnya.
Kendati begitu, beberapa kiai setuju dengan gagasan untuk menggeser
Abdurrahman Wahid, sebab mereka menilainya sering mengeluarkan
pendapat yang aneh-aneh seperti bahwa pendidikan agama cukup di
rumah dan tidak perlu di sekolah, penggantian Assalamu'alaikum
dengan selamat pagi, siang atau malam, di samping bahwa ia
dianggap
kurang bisa mengorganisir NU, sehingga NU tidak bisa menghimpun
dana untuk melaksanakan program Muktamar 1984.3 Maka pada 7
Nopember 1987 di rumah KH Mudjib Ridwan yang merupakan
tempat
berdirinya NU di Surabaya, diadakan rapat Mustasyar yang
membahas
kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Namun pertemuan ini gagal
menghasilkan keputusan karena hanya dihadiri oleh KH As'ad, KH
Masykur, H Imron Rosyadi, dan KH Mudjib sendiri.4 Selanjutnya,
upaya menggeser Abdurrahman Wahid melalui forum Munas dan
Konbes NU di Cilacap pada bulan yang sama kembali menemui
kegagalan. Sekalipun sejumlah kiai "konservatif" berusaha menggesernya, namun Abdurrahman Wahid teryata masih didukung oleh
sebagian besar kiai senior NU, termasuk Rais Aam KH Achmad
Siddiq
dan KH Ali Maksum.5 Bahwa As'ad termasuk dalam barisan yang
hendak menggusur Abdurrahman Wahid, memang cukup mengherankan. Sebab ia sendiri yang pada 1984 menunjuk Abdurrahman Wahid
sebagai Ketua PBNU. Pendapat-pendapat aneh Abdurrahman Wahid
yang dirujuknya barangkali hanyalah suatu pilihan ketika sebuah
alasan perlu dipilih. Di sini hendak diajukan asumsi bahwa boleh jadi
As'ad mulai kecewa pada Abdurrahman yang tidak juga tuntas mengembalikan otoritas ulama pada porsi yang seharusnya sebagaimana
diseyogyakan oleh khittah. Salah satu pilar khittah adalah meningkatkan peran kepemimpinan ulama yang setidak-tidaknya sejak tahun
1952 telah terus-menerus merosot dalam NU. Dan upaya ini ternyata,
seperti yang akan dilihat lebih jauh dalam bagian lain bab ini, hingga
saat inipun tak kunjung terlaksana secara utuh. Selebihnya, As'ad
sebenarnya berada pada posisi yang berseberangan dengan Mahbub
161
ketika mereka sama-sama menginginkan digesernya Abdurrahman
Wahid. Keduanya berlatar belakang dikotomi politisi (Mahbub) dan
ulama (As'ad), dua kelompok yang berbeda pandangan tentang implikasi politik khittah. Nurcholish Madjid menilai bahwa justru keberadaan dua kelompok ini berikut pergulatan kepentingan mereka yang
didasari oleh perbedaan di atas yang telah menguras habis energi
Abdurrahman Wahid untuk membabat rintangan dan gagasan dalam
upaya sosialisasi khittah. Dengan habisnya energi itu, tidak heran jika
ada suara-suara yang kurang puas terhadap kepemimpinan NU
tersebut.6
Di kalangan NU sendiri, waktu lima tahun bukanlah periode yang
memadai untuk memberikan pemahaman tentang konsep Khittah
1926.
Sekian puluh juta massanya yang tidak dapat disebut homogen
menyebar di pelbagai propinsi di Indonesia. Keadaan ini menuntut
waktu yang relatif panjang untuk melakukan konsolidasi dan
sosialisasi
khittah di kalangan warga NU termasuk basis-basisnya di wilayah
pedesaan. Dalam pidato pembukaan Konperensi Wilayah NU Jawa
Timur di Situbondo Agustus 1988, Abdurrahman Wahid mengakui
bahwa heterogenitas warga NU telah menimbulkan perbedaan
pemahaman terhadap khittah, sehingga meskipun telah diputuskan,
pelaksanaannya tidak dapat dipaksakan. Ia memperkirakan bahwa,
"kerja khittah itu lama sekali, 15 sampai 20 tahun."7 Sementara bagi
Yusuf Hasyim, masih banyaknya penyimpangan terhadap semangat
khittah sangat berkaitan dengan belum lengkapnya petunjuk
pelaksanaan khittah itu sendin.8 Lebih jauh, permasalahan itu agaknya juga disebabkan oleh ketiadaan perangkat yang mampu menjabarkan
program
5 tahunan NU ke dalam kegiatan-kegiatan operasional dari tingkat pusat sampai ke ranting-ranting. Akibatnya, banyak program-program
itu
hanya berhenti pada rumusan ideatif. Karena itu, Muktamar ke-28
yang
kemudian dilaksanakan di Yogyakarta, Nopember 1989, merupakan
momentum yang tepat untuk menilai kembali semua program yang
ada. Hanya saja muktamar ini kembali menjadi ajang konstitusional
162
bagi keinginan untuk mendongkel Abdurrahman Wahid. Beberapa
hari
sebelum muktamar, As'ad melontarkan kritikan tajam. Ia mengatakan
bahwa kepengurusan NU selama ini mengecewakan. Yang terjadi
sama
sekali bukan pengamalan kembali ke Khittah 1926. la sebagai Mustasyar Aam belum pernah menerima laporan selembar pun dari PB
NU. Yang paling parah, kata As'ad, musyawarah antara para pengurus
dan para kiai sepuh sangat kurang.9 Alasan ini sekali lagi tampak
dicari-cari. Anggaran Rumah Tangga NU 1984 yang saat itu berlaku
sama sekali tidak menyebut-nyebut keharusan Tanfidziyah memberikan laporan kepada Mustasyar yang merupakan badan penasehat.
Berkaitan dengan pelaporan, pasal 23 ART tersebut mengatakan
bahwa
Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana pimpinan sehari-hari mempunyai tugas menyampaikan laporan secara periodik tentang pelaksanaan tugasnya kepada Pengurus Syuriyah. Tidak kepada Mustasyar.
Namun keiginan untuk menggeser Abdurrahman Wahid terus
mencari temannya, dan sejumlah kesalahan pun diinventarisir. Mulai
dari gagasan penggantian Assalamu'alaikum dengan selamat pagi
(yang sebenarnya cuma kesalahan pemberitaan di media massa),
menghadiri sidang LSM di luar negeri yang dikatakan mendiskreditkan
pemerintah, pidato di depan Sidang; Raya PGI, bahkan kapasitasnya
sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang oleh As'ad disebut
sebagai
"ketua ketoprak".l0 Posisi Abdurrahman Wahid kian dipersulit dengan
munculnya nama Idham Chalid dalam bursa calon Rais Aam.
Kelompok politisi, yang segera berbaris rapat di belakang Idham,
seolah mendapat angin bahwa kehadiran tokoh politisi NU yang
piawai
ini akan membuka celah yang sekali lagi dapat dimanfaatkan untuk
melempangkan jalan bagi keinginan mereka yang sempat kandas.ll
peluang Idham memang tampak cukup besar. Posisinya diamankan
ketika ia terpilih kembali sebagai Mudir Aam Jam'iyah Ahlit-tariqah
Al
Mu'tabarah dalam muktamarnya di Demak Jawa Tengah, hanya tiga
hari sebelum dimulainya muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta.
163
Pemilihan waktu yang sangat dekat ini agaknya disengaja agar Idham
bisa mudah mengkonsolidasi pendukungnya menghadapi persaingan
di Krapyak. Namun kuatnya posisi Idham ini tidak lalu berarti bahwa
sayap politisi NU bisa berharap banyak. Muktamar Krapyak justru
menjadi forum penegasan kembali keputusan Muktamar Situbondo.
Hal ini bukan saja menjadi arus-besar dalam NU, namun juga secara
luas didukung oleh elit politik nasional. Tidak kurang dari Mendagri
Rudini,l2 Menag Munawir Sjadzali,13 dan bahkan Ketua Umum
Golkar
Wahono,l4 telah melontarkan harapan agar Muktamar NU ini dapat
menegaskan keputusan kembali ke Khittah. Selanjutnya, meskipun
Abdurrahman Wahid mesti menghadapi dua kelompok yang menentangnya, tapi dukungan baginya tidak kalah besar. Abdurrahman
Wahid memang tidak memiliki kelompok pendukung khusus tertentu,
namun ia telah membangun popularitas yang luas di daerah-daerah
dengan banyak melakukukan kunjungan-kunjungan ke wilayahwilayah
dan cabang- cabang NU. Dalam sebulan, ia bisa sampai turun ke sepuluh daerah.15 Popularitasnya didukung oleh perannya sebagai cendekiawan dan kolumnis yang sering hadir di berbagai seminar atau
diskusi. Ia bukan saja didukung oleh generasi muda NU, namun sebagian besar kiai senior pun masih menjagokannya. Dukungan
terpenting
datang dari Rais Aam KH Achmad Siddiq dan Shahibul Bait
Muktamar
KH Ali Maksum. Dalam pertemuan Syuriyah NU Jawa Timur di
Probolinggo, 14 Nopember, Kiai Achmad secara terbuka menyatakan
dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid sebagai calon Ketua
Umum PB NU, di samping menyatakan kesediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai Rais Aam.l6 Pemyataan kiai senior NU itu merupakan sebuah kejutan. Bukan suatu hal yang biasa di dalam NU membuat pemyatan seperti itu di depan umurn. Hal itu bisa dianggap
sebagi
suatu yang tidak pantas dan berpamrih. Dengan pemyataan itu Kiai
Adunad sebenamya sedang mempertaruhkan popularitasnya. Barangkali itulah sebabnya sementara Abdurrahman Wahid akhirnya
berkibar
nyaris tanpa saingan dalam bursa pencalonan, maka KH Achmad
164
Siddiq hanya mencatat kemenangan tipis terhadap Idham. Achmad
memperoleh 188 suara, dan Idham memperoleh 126 suara.17
Sekalipun
akhirnya gagal memperoleh kursi Rais Aam, tapi kelompok Idham
berhasil menempatkan salah satu orangnya, KH Ali Yafie, sebagai
wakil Rais Aam. Penempatan Ali ini di kemudian hari ternyata
membawa persoalan tersendiri bagi intern NU.
Terlepas dari adanya persoalan yang mengitari proses pencalonan
mereka kembali, namun secara obyektif duet Abdurrahman-Achmad
agakya merupakan figur paling tepat untuk memimpin NU. Mereka
memiliki latar-belakang pemikiran yang kosmopolit, karenanya tidak
canggung dalam mengantisipasi modernisasi. Sementara mereka pada
saat yang sama juga mermliki akar yang kuat dalam tradisi ke-NU-an,
maka mereka menjadi sangat paham bagaimana mengkomunikasikan
proses modernisasi dalam idiom-idiom yang dipahami oleh warga NU
sendiri. Sementara untuk memasuki era berbangsa secara utuh,
sesuatu
yang dalam wawasan keislaman telah dibackup dengan konsep
ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), maka merekalah
yang paling mampu berdialog dengan berbagai pihak dari berbagai
latar-belakang yang beraneka ragam.
Muktamar Krapyak sendiri membukukan beberapa catatan penting. Pertama adalah maraknya suasana konflik di situ. Pasalnya tentu
adalah KH As'ad Syamsul Arifin yang tak juga surut dari penentangannya terhadap Abdurrahman. Ia bahkan menolak hadir di arena
muktamar, dengan alasan sakit, sekalipun baginya telah disediakan
helikopter yang akan membawanya pulang-pergi Situbondo-Yogya.18
Sulitnya, Abdurrahman seolah-olah tak bersungguh-sungguh berusaha
meredakan kemarahan KH As'ad. Abdurrahman bahkan seperti
meladeni sulutan konflik As'ad ketika ia mencoret Anwar Nurris dari
kepengurusan teras PB NU. Anwar adalah orang dekat As'ad yang
pada tahun 1981, oleh As'ad, ditempatkan sebagai Sekjen. Namun
agakya Anwar tidak bisa bekerja-sama dengan Abdurrahman Wahid
sehingga secara emosional menilainya sebagai pengacau yang mesti
disingkirkan.19 Buntutnya As'ad, sekalipun resminya dipertahankan
sebagai Mustasyar itu pun menyatakan mufaraqah terhadap kepemimpinan Abdurrahman.20 Sebuah keputusan yang tidak pernah diralat
hingga saat meninggalnya.
165
Catatan lain, di samping perubahan struktural disubordinasikannya Mustasyar dalam Syuriyah, Muktamar Krapyak juga memulai
sebuah tradisi baru dalam pemilihan pengurus baru. Di sini, Rais Aam
dan Wakilnya dipilih secara langsung. Sedangkan Ketua Umum Tanfidziyah juga dipilih secara langsung setelah disetujui oleh Rais Aam
dan Wakilnya yang baru terpilih. Setelah ketiga jabatan itu,
selanjutnya
dipilih pula secara langsung empat orang mode formatur. Ketujuh
orang terpilih Inilah yang kemudian membuat formasi kepengurusan
lengkap.21 Cara ini berbeda sama sekali dengan mekanisme ahlul
halli
wal 'aqdi sebelumnya yang mengandalkan otoritas seorang kiai paling
senior.
Lalu, dalam rapat pertama PB NU di Jombang pada bulan Januari
1990 diadakan pembidangan tugas masing-masing Ketua, yang
dimaksudkan agar masing-masing mampu melaksanakan progam
secara maksimal. Di lembaga Syuriyah, pembidangan dilakukan atas
komisi-komisi yang dipimpin oleh para Rais. Di antaranya Komisi
Sosial-politik diketuai oleh KH Yusuf Hasyim, Komisi Pendidikan
dan
Kebudayaan diketuai oleh KH Sahal Mahfudh, Komisi Sosialekonomi
oleh KH Munasir, Komisi Organisasi oleh KH Aminuddin Azis, dan
seterusnya. Sedangkan Tanfidziyah dibagi dalam beberapa bidang,
antara lain Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia diketuai
oleh
dr. Fahmi Saifuddin, MPH, Bidang Hubungan dengan Lembaga
Negara oleh Chalid Mawardi, Bidang Hubungan dengan Lembaga
Keagamawan oleh Tolchah Hasan, Bidang Pendidikan dan Kebudayaan
oleh Asnawi Latif, dan sebagainya.22 Berselang setahun setelah Muktamar Krapyak, dalam masa yang relatif tenang NU kembali diguncang persoalan. Januari 1991 KH Achmad Siddiq meninggal dunia
dan menimbulkan masalah yang cukup serius tentang siapa yang akan
menggantikannya. Sebabnya adalah, rujukan untuk mengganti Rais
Aam yang wafat sebelum habis masa jabatannya belum jelas. Pernah
dua kali terjadi kasus seperti itu di masa lalu. pertama ketika KH
166
Wahab Hasbullah wafat, ia digantikan oleh wakilnya KH Bisri
Syansuri.
Kemudian ketika KH Bisri sendiri wafat, kedudukannya digantikan
oleh KH Ali Maksum yang justru di luar jajaran Rais. Sebenarnya
pasal
25 Anggaran Dasar NU 1989 cukup memberikan kejelasan: apabila
terjadi lowongan jabatan antar-waktu, maka lowongan tersebut diganti
oleh anggota pengurus yang berada dalam urutan langsung di bawahnya. Jika ini diikuti, maka berarti KH Ali Yafie yang menjadi Rais
Aam.
Tapi persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Begitu terlontar
kemungkinan diterapkannya pasal tersebut, segera muncul tanggapan
yang nyata-nyata menolaknya. KH Ma'ruf Amin, Katib Syuriyah,
menyatakan bahwa pasal 25 itu adalah sebuah ketentuan umum yang
tidak secara khusus membahas jabatan Rais Aam, sehingga tidak
dapat
secara mutlak diberlakukan. Semua akhirnya tergantung`pada kesepakatan apakah jabatan itu akan diisi ataukah dibiarkan kosong. Jika
diisi, maka kedudukan keduabelas Rais Syuriyah adalah sama, sehingga bisa dipilih salah satu. Itu berarti tidak ada keistimewaan prioritas
bagi Ali Yafie. Namun jika dikosongkan, maka tugas, kewenangan
dan
tanggung-jawab Rais Aam untuk sementara dibebankan kepada wakilnya. Ia tetap Wakil Rais Aam, tapi menjalankan fungsi Rais Aam
sampai diambil keputusan dalam forum yang lebih tinggi.23 Lalu
pada
2 Pebruari, diadakan Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah. Di
sini sebuah keputusan diambil untuk tidak menunjuk Rais Aam baru,
dan hanya melimpahkan tugas, tanggung jawab, hak dan wewenangnya kepada Wakil Rais Aam KH Ali Yafie. Keputusan yang
dinyatakan berlaku hingga dilaksanakannya Muktamar 1994 ini lalu
dikukuhkan dalam Rapat Pleno PB NU, 18-19 Mei.24
Mengapa pasal 25 AD NU seperti agak invalid ketika ia mesti
menunjuk pada Ali Yafie? Jawaban berikut mungkin terlalu
spekulatif,
namun agaknya persoalan itu berkaitan dengan latar-belakang Ali
yang
167
tidak hanya bukan orang Jawa Timur (dari mana kebanyakan Rais
Aam
berasal), tapi juga seorang 'seberang' (Sulawesi) yang tidak memiliki
rantai intelektual terhadap tokoh-tokoh referensi utama NU, KH
Hasyim Asy'ari dan KH Cholil (Bangkalan). Kapasitas keulamaannya
dengan demikian terasa kurang maksimal dalam pandangan kebanyakan orang NU. Selain itu, siapapun akan ingat bahwa Ali Yafie
yang
pada dasarnya kurang serasi dengan Abdurrahman Wahid ini menduduki kursi Wakil Rais Aam kurang lebih sebagai kompensasi gagalnya Idham Chalid menjadi Rais Aam. Nama Idham serta-merta akan
mengingatkan orang pada sayap politisi NU yang terpolarisasikan
dengan sayap ulama. Boleh jadi Ali sendiri rikuh ketika harus berada
pada posisi tertinggi kepemimpinan formal NU, meskipun sekadar
sebagai pelaksana kewenangan. Dugaan ini ditopang oleh kenyataan
bahwa hanya dalam Tempo enam bulan sejak dikukuhkan, Ali segera
menemukan momentum untuk mengundurkan diri dari posisinya
Sekarang. Pada bulan Nopember, NU diributkan telah menerima
Sumbangan sebesar 50 juta rupiah dari Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang mengelola SDSB. Sebenarnya sumbangan itu diberikan kepada Yayasan Hasyimiyah sebuah yayasan
pendidikan yang berafiliasi ke NU di Tuban, Jawa Timur. PB NU
hanya
Sebatas memberikan surat rekomendasi yang dibuat oleh Sekjen
Ghaffar Rahman dan ditandatangani oleh Ketua Umum. Masalahnya,
penerimaan dana itu pada 2 Nopember diekspos oleh media massa,
termasuk TVRI, dan dikesankan bahwa seolah-olah NU menerima
bantuan dari YDBKS.25 Maka protes berdatangan dari segala
penjuru,
intern dan ekstern NU.26
Ali Yafie yang tengah menghadiri pelantikan ICMI di Bali banyak
mendapat pertanyaan tentang NU menerima sumbangan dari SDSB,
keesokan harinya. Ali yang sangat terkejut dengan pertanyaanpertanyaan itu segera kembali ke PB NU di Jakarta dan mencari penjelasan. Rupanya di situ ia menemukan bukti penting bahwa, menurutnya, surat yang ditandatangani Gus Dur bukan sekadar surat
rekomendasi, tapi sudah berupa permintaan bantuan. Maka esoknya, 5
Nopember, Rapat Gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah, yang tidak
168
dihadiri Gus Dur karena ia berada di luar negeri sejak dua hari setelah
penandatanganan surat rekomendasi itu, dikejutkan oleh ketidakhadiran
Ali. Yang datang adalah utusan Ali yang membawa surat
pengunduran
dirinya, hingga semua yang terlibat dalam penerimaan dana itu ditindak, dan dana tersebut dikembalikan.27
Ali Yafie memang terasa berlebih-lebihan Sebenarnya, dalam kapasitasnya sebagai pelaksana kewenangan Rais Aam, Ali bisa berbuat
banyak dan tidak perlu sampai mengundurkan diri. Pasal 70 ayat (3)
Anggaran Rumah Tangga NU 1989 menugaskan Syuriyah untuk "mengendalikan, mengawasi dan memberikan koreksi terhadap semua perangkat NU..' Sementara ayat (5) menjamin hak Syuriyah untuk memveto keputusan suatu perangkat NU jika keputusan itu "dinilai bertentangan dengan ajaran Islam menurut paham ahlussunna wal
jamaah." Jadi, Ali sesungguhnya berhak untuk membatalkan
rekomendasi yang dibuat Ghaffar, dan bahkan menjatuhkan sangsi kepada
siapapun yang dianggap terlibat, termasuk Abdurrahman Wahid.
Sikap
naif Ali yang membawa NU kembali kepada nuansa konflik SyuriyahTanfidziyah ini belakangan dikritik oleh Abdurrahman Wahid. Dalam
sebuah surat pribadi yang ditujukan kepada PB NU, Abdurrahman
mengecam sikap Ali yang dinilainya "meninggalkan tanggungjawab
ketika NU terkena guncangan."28 Namun sebelum konflik terlanjur
merebak, langkah-angkah rekonsiliasi segera diambil. Tanggal 12 Nopember diadakan silaturrahmi Abdurrahman-Ali yang diprakarsai
Yusuf Hasyim yang bertujuan untuk merujukkan kedua pihak yang
agak memanas itu. Di sini Abdurrahman minta maaf dan mengajukan
tiga usulan untuk menyelesaikan kemelut di NU. Pertama, menolak
permintaan Ali Yafie untuk mengundurkan diri. Sebab sebagai Wakil
Rais Aam yang menjalankan fungsi Rais Aam, ia dipilih oleh
muktamar
sehingga pengunduran dirinya hanya bisa diterima melalui forum
yang
sama. Kedua, menerima pengunduran diri Ghaffar Rahman dari
jabatan Sekjen PB NU. Dan ketiga, kesalahan Ketua Umum cukup
diberi peringatan keras, tidak perlu pemecatan. Silaturrahmi ini
169
tampaknya cukup efektif, sebab Ali sendiri menyatakan merasa cukup
puas, sekalipun masih tetap menunggu kelanjutannya.29 Lalu pada 28
sebuah rapat gabungan Syuriyah dan Tanfidziyah di PB NU, yang
membahas ketiga usulan Abdurrahman di atas, membuat keputusan
Ghaffar dibebaskan untuk sementara dari tugasnya, dan Abdurrahman
diberi peringatan. Ali yang tidak hadir dalam rapat itu ternyata merasa
kurang puas. Ia menganggap vonis bebas tugas sementara terlalu
ringan, sebab baginya Ghaffar harus dipecat. Ali juga mempersoalkan
tidak ditindaknya pimpinan Yayasan Hasyimiyah yang jelas-jelas
terlibat.30 Namun langkah rekonsiliasi untuk sementara dapat dianggap tuntas, ketika pada 6 Desember Ali Yafie, Abdurrahman Wahid,
Ma'ruf Amin, dan Ihwan Sam (Wakil Sekjen PB NU) menandatangani
"Maklumat Pengurus Besar Nahdhatul Ulama", sebuah surat terbuka
yang menyatakan bahwa persoalan penerimaan bantuan dari YDBKS
telah dianggap selesai, dan "... tetap mengakui kedudukan KH Ali
Yafie
sebagai Wakil Rais Aam PB NU." Sementara itu Junaidi Abdullah,
Ketua Yayasan Hasyimiyah, dipecat dari jabatannya sebagai Katib
Syuriyah PC NU Tuban.31
Namun maklumat itu ternyata tidak berarti banyak ketika Ali Yafie
kembali mempergunakan masalah SDSB sebagai alasan untuk
menolak
hadir dalam Konperensi Besar dan Musyawarah Nasional NU di
Bandarlampung 12-26 Januari 1992. Rupanya, Ali beranggapan
bahwa
persoalan SDSB itu sah saja dibicarakan kembali dalam Konbes,
sebab
maklumat tentang itu hanya diputuskan dalam sebuah rapat gabungan
yang tingkatannya di bawah Konbes.32 Ketidakhadiran Ali dalam
konbes ini tak urung mengundang banyak spekulasi. Karena itu,
panitia
konbes lalu mengutus KH Wahid Zaini, yang saat itu adalah Ketua
Rabithatul Ma'ahadil Islamiyah (RMI) untuk menemui Ali di Jakarta.
Namun Ali tetap menolak untuk berangkat dan hanya menitipkan
surat
yang harus disampaikan Wahid pada forum Konbes dan Munas. Surat
Ali inilah yang kemudian memberi Konbes Bandarlampung bobot
170
tersendiri. Dalam surat itu Ali mengulangi pernyataan pengunduran
dirinya dengan disertai 3 syarat yang jika dipenuhi ia bersedia tetap
pada posisinya. Pertama, Sekjen Ghaffar Rahman diberhentikan
secara
penuh. Kedua, harus ada bukti tertulis pengembalian dana YDBKS
yang sebesar 50 juta rupiah. Dan ketiga, Abdurrahman Wahid mesti
diskors selama masa satu tahun.-33 Jika syarat pertama dan kedua
cukup mudah untuk dipenuhi, maka tidak demikian halnya dengan
syarat ketiga. Rupanya hampir tidak ada seorang pun yang menginginkan dijatuhkannya vonis seperti itu kepada Abdurrahman Wahid.
Maka tampaknya harus ditafsirkan bahwa dengan ketiga syarat itu KH
Ali Yafie sebenarnya sedang memfait-accompli pengunduran dirinya
pada Konbes.
Maka tidak ada pilihan lain, pada 25 Januari sebuah rapat pleno
diadakan untuk mencari siapa yang akan menjadi pengganti Ali.34
Dalam rapat yang dihadiri oleh 6 anggota PB dan 24 wakil PW ini
semula muncul nama Yusuf Hasyim dan Sahal Mahfudz sebagai Rais
Aam dan Wakilnya. Namun datanglah manuver dari Abdurrahman
Wahid yang menilai bahwa Yusuf Hasyim bukan ulama melainkan
zuama (pemimpin, administrator), sedangkan kriteria Rais Aam
haruslah ulama. Kejadian ini akhirnya memaksa Yusuf untuk mundur
dari pencalonan. Lalu setelah melalui serentetan perdebatan, naiklah
nama KH. Ilyas Ruchiyat sebagai calon Rais Aam, sebab KH Sahal
hanya bersedia dipilih sebagai Wakil Rais Aam. Sebuah voting yang
dilakukan kemudian memberikan 7 suara untuk Ilyas 1 suara untuk
Sahal, dan masing-masing 1 suara untuk Yusuf, Fuad Hasyim, dan
Usman Abidin.35 Selain itu, Konbes juga menaikkan Ichwan Sam
pada
kursi Sekjen menggantikan Ghaffar. Tidak ada perubahan yang terlalu
prinsipil dengan naiknya Ichwan menggantikan Ghaffar, sebab keduanya sama-sama pendukung Abdurrahman Wahid. Yang perlu dicatat
khusus adalah bahwa dengan mundurnya Ali Yafie maka inner circle
NU mulai bersih dari kubu Idham. KH Ilyas sendiri dikenal sebagai
seorang yang, sebagaimana Abdurrahman, netral dari tarik menarik
konflik ulama-politisi. Ia banyak digambarkan sebagai seorang yang
low profile dan selalu berpikir husnuddzan (positive thinking). Sehingga kalaupun ia tidak bisa mendampingi dan mendukung Abdurrahman Wahid sebagaimana KH Achmad Siddiq, setidaknya ia tidak
171
akan menghalangi langkahnya. Sementara orang kedua di Syuriyah,
KH Sahal Mahfudz pada umumnya memiliki cara berpikir yang sama
seperti Gus Dur. Dukungan Sahal kepadanya dirumuskan dalam sebuah penilaian bahwa ia adalah seorang "eksponen yang punya komitmen tinggi terhadap Khittah 1926 dan juga memiliki wawasan
luas."36
________________________________________________________
______________
________________________________________________________
______________
1. Lihat Bab II di muka, khususnya sub bab "Selangkah ke Era NU
Baru:
Situbondo 1981."
2. Ia adalah salah seorang anggota Majelis 24 yang pada Mei 1984
telah
membentuk sebuah "Tim Tujuh Untuk Pemulihan Khittah." Tim ini
diketuai
oleh Abdurrahman Wahid. Lihat ibid.
3. Lihat Tempo, 21 Nopember 1987, h. 25-26.
4. Ibid.
5. Lihat Khairul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah:
Prospek
dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 140144.
6. Lihat Suara Karya, 14 Nopember 1989. Penjelasan "ekonomi
politik" tentang
kejengkelan Kiai As'ad terhadap Gus Dur, lihat Martin van
Bruinessen, NU
Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS,
1994).
172
7. Tempo, 3 September 1988, h. 27.
8. Ibid
itu berhak untuk mengundurkan diri dari jamaah dan meneruskan
shalatnya
Sendirian. Tindakan makmum ini disebut mufaraqah.
9. Lihat Tempo, 11 Nopember 1989, h. 25.
21. Lihat ibid., h. 160f.
10. Tempo 25 Nopember 1989, h. 23.
22. Ibid., h. 163.
11. Ibid., h. 30-32.
23. Lihat Tempo, 2 Pebruari 1991, h. 23.
12. Lihat Soara Pembaharuan, 22 Nopember 1989.
24. Lihat Tempo, 25 Juni 1991, h. 23.
13. Lihat Pelita, 24 Nopember 1989.
25. Tempo, 16 Nopember 1991.
14. Lihat Suara Karya, 25 Nopember 1989.
26. Reaksi paling keras, uniknya, datang dari Wilayah NU Jawa
Timur. Bahkan
salah satu kepengurusan cabang di wilayah itu, PC NU Sumenep,
menya
takan membekukan diri dari segala kegiatan, sampai persoalan
"dana haram
SDSB" itu diselesaikan hingga tuntas.
15. Tempo, 2 Desember 1989.
16. Ibid., h. 24.
17. Lihat Kacung Marijan, Quo Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga,
1992), h.
184.
27. Ibid.
18. Tempo, 2 Desember 1989, h. 24.
28. Lihat Jawa Pos, 22 Januari 1942.
19. Lihat wawancara dengan Abdurrahman Wahid dalam Editor, 2
Desemher
1989.
29. Tempo, 23 Nopember 1991.
20. Fathoni dan Zen, op. cit, h. 170-173. Mufaraqah adalah sebuah
istilah dalam
fiqh shalat berjamaah. Jika dalam shalat berjamaah seorang
makmum
melihat imamnya, karena satu dan lain hal, shalatnya batal sehingga
tidak
layak lagi menjadi imam, namun ia tetap melanjutkannya, maka
makmum
31. Tempo, 14 Desember 1991.
30. Tempo, 7 Desember 1991.
173
32. Jawa Pos, 23 Januari 1992.
33. Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 23.
34. Ibid., h. 25.
174
35. Ibid., h. 26.
Uji Coba Khittah
36. Lihat Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 24.
Sebagai catatan akhir untuk bagian ini, pada pertengahan 1993
sejumlah tokoh muda NU melemparkan otokritik bahwa NU dinilai
semakin cenderung elitis dan kian jauh dari massanya. Lontaran
pendapat dari antara lain MM Billah ini lalu mengundang serangkaian
tanggapan. Sunyoto Usman,37 misalnya, menganggap penilaian itu
terlalu tergesa-gesa. Sunyoto, dengan menunjuk beberapa program
NU
yang jelas-jelas diorientasikan pada kepentingan warga seperti
koperasi
dan BPR-BPR, yakin bahwa NU masih memikirkan kepentingan
umat.
Bahwa ada di antara program-program itu yang tersendat bahkan
stagnan, itu lain soal. Sementara Kacung Marijan (38 menilai bahwa
anggapan NU elitis ada benarnya juga. Ia mengingatkan bahwa pemilihan
nama Nahdhatul Ulama --bukan Nahdhatul Ummah, misalnya-- menunjukkan bahwa elitisme adalah realitas yang diharuskan oleh ajaran
yang dianut NU, di mana ulama memperoleh kedudukan yang penting
dan khas. Namun dalam gerakan-gerakannya, NU sudah pasti populis.
Karena itu Kacung menyebutkan kecenderungan NU sebagai Elitisme
populic. Arief Affandi (39 menilai senada dengan Kacung. Hanya saja
elitisme NU juga dilihatnya muncul dalam perilaku politiknya. Bagi
Arief, persoalannya adalah karena pada saat ini NU masih berada
pada
masa transisi dalam sebuah transformasi yang belum usai dari
orientasi
dan peran politik ke nonpolitik. Terlepas dari penilaian para pengamat
ini, maka otokritik tokoh-tokoh muda NU itu mestinya dapat
dipandang sebagai pertanda semakin matangnya komitmen terhadap
khittah. Sebab salah satu pertimbangan NU kembali ke khittah adalah
bahwa orientasi politik yang berlebihan ternyata telah membuat NU
mengabaikan kepentingan warganya. Dan selama sepuluh tahun ini
hal
tersebut coba dikoreksi.
175
Bahwa setelah kembali ke khittah, NU menanggalkan baju politik
prakfis, dapat segera dipahami warga NU, namun tidak demikian
halnya dengan netralitas NU terhadap ketiga orpol dan membebaskan
warga untuk menentukan orientasi politiknya sendiri. Kesulitan itu
muncul di kalangan massa NU. Massa NU yang paternalistik telah
terkondisikan untuk selalu meminta fatwa dan petunjuk dari ulama
dalam menghadapi persoalan hidup mereka, termasuk saat menentukan pilihan politik. Mereka cenderung seialu berbuat dan bertindak
secara kolektif dalam sebuah arahan yang jelas. Maka, pemberian
kebebasan kepada warga untuk menentukan pilikan politiknya sendiri
adalah bertentangan dengan pola pikir mereka yang paling esensial.
Dan inilah yang terjadi setelah khittah.
Persoalannya terasa lebih sulit karena kurang dari tiga tahun
setelah keputusan kembali ke khittah, warga NU sudah harus mengujicobakan "kebebasan" yang didapatnya dalam Pemilu 1987. Sebagian
warga NU justru merasa asing dalam suasana yang tanpa arahan
kolektif itu, sehingga mereka terdorong untuk terus mencarinya.
Dalam
konteks ini secara kebetulan sekelompok politisi NU melakukan
kampanye penggembosan PPP sambil, langsung maupun tidak langsung. menyerukan warga menyeberang ke Golkar. Bagi warga yang
kebingungan, tak pelak inilah arahan yang mereka cari. Dan efek
"arahan"
yang menyimpang dari garis netralitas yang telah dirumuskan itu
ternyata tidak bisa dikatakan singkat. Sekjen PB NU Ichwan Sam
mengeluh bahwa hingga saat ini masih banyak warga awam NU di
daerah-daerah yang memiliki tafsir hitam-putih terhadap khittah,
bahwa "sudah khittah berarti meninggalkan PPP, masuk Golkar."40
Sebuah penelitian yang dilakukan Bambang Santoso Haryono di daerah-daerah basis NU di Malang (1989) menyimpulkan bahwa masih
banyak warga NU yang memiliki persepsi negatif terhadap keputusan
politik Muktamar 1984.41 Hal ini tidak terlepas dari banyaknya kyai
NU
yang masih enggan meninggalkan aktivitas politik praktis dan yang-176
menggunakan wibawanya sebagai ulama-- masih mencoba
menggiring
warga NU untuk mengikuti sikap dan perilaku politiknya.
Haryono mengukur persepsi warga NU berdasarkan tiga variabel:
orientasi nilai-nilai keislaman, militansi organisasi, dan pendidikan.
Dua
variabel pertama dibagi dalam kategori kuat, sedang, dan lemah. Lain
variabel ketiga dibagi dalam kategori pesantren dan non-pesantren.
Salah satu temuannya tentang persepsi ke mana orientasi politik NU
menurut warga adalah seperti terangkum dalam label berikut.
Tabel 1. Persepsi Warga tentang Orientasi Politik NU
===============!!===========!!=====================
=========
Latar Belakang !! Kategori !! Persepsi
===============!!===========!!=====================
=========
!!
!! Bebas Golkar PPP PDl
!!
!!==============================
Orientasi
!! K !! 21,62 45,21
32,43 1,35
Nilai
!! S
!! 22,58 48,39
29,03 0,00
Islam
!! L !! 42,50 45,00
4,00 2,50
Militansi
!! K
!! 72,58 11,29 10,48 5,64
Organisasi !! S
!! 77,53 6,74 15,73 0,00
!! L !! 13,15 29,73 56,76 0,00
Pendidikan
!! Pst !! 24,56 40,95 34,49 0,00
!! Non-Pst !! 36,70 25,32 31,65 6,30
==================================================
==========
Sumber: Disederhanakan dari Bambang Santoso Haryono, 1990.
Tabel di atas menunjukkan bahwa sedikit sekali warga yang
memiliki persepsi bahwa NU membebaskan warganya untuk memilih
177
sendiri orientasi politik mereka. Hanya di kalangan mereka yang
memiliki militansi organisasi pada kategori kuat dan sedang, yang
berarti mereka yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang
tinggi terhadap program-program NU, terdapat mayoritas warga yang
memiliki persepsi sesuai dengan yang diinginkan yaitu dengan angka
72,58 % dan 77,53 %. Sementara di kalangan warga yang
berpendidikan
non-pesantren, mereka yang memiliki persepsi benar menunjukkan
angka 36,70 %. Terbanyak dibandingkan dengan persepsi lain pada
kalangan NU, namun bukan mayoritas. Kelompok-kelompok lain
kebanyakan memiliki persepsi orientasi ke Golkar. Seperti mereka
yang
mempunyai orientasi nilai-nilai keislaman kuat, 45,21 % menunjuk ke
Golkar, disusul PDI, 32,43 %, lalu disalurkan bebas sebanyak 21,62
%,
dan pada urutan terakhir, seperti pada semua kelompok kategori lain,
menunjuk pada PDI sebanyak 1,35 %. Uniknya, justru di kalangan
warga yang mempunyai kategori militansi organisasi rendah persepsi
bahwa warga NU sebaiknya meyalurkan aspirasi politiknya kepada
PPP menunjukkan angka cukup tinggi, yaitu sebanyak 56,76 %.
Banyaknnya warga yang condong ke Golkar untuk sebagian dapat
dipandang sebagai indikator akan signifikannya pengaruh aksi
eksodus
sejumlah tokoh-tokoh NU di PPP ke Golkar di tahun 1987 terhadap
pola pikir dan persepsi warga NU. Mereka yang memiliki
kecondongan
ke Golkar ini pada umumnya memberikan alasan bahwa memilih
Golkar adalah lebih realistis dan lebih obyektif. Di samping bahwa
"memilih Golkar adalah lebih bermanfaat, dan dengan memilih
Golkar
kita tidak akan banyak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pelayanan dari aparat pemerintah. Sementara tentang PPP, kebanyakan
(47 %) ternyata menilainya bukan iagi partai Islam. Sedangkan 46 %
memiliki persepsi bahwa PPP masih merupakan partai Islam, dan
sisanya 7 % menyatakan ragu-ragu.43 Selanjutnya, meskipun pada
umumnya warga NU dapat segera memahami keputusan untuk
meninggalkan kepolitikan praktis, namun penilaian mereka terhadap
keputusan tersebut masih agak negatif, setidaknya sampai tahun 1989,
178
saat berakhirnya periode sosialisasi khittah. Haryono menemukan
bahwa hanya 53,5 % warga yang menyatakan penilaian bahwa
keputusan NU untuk meninggalkan politik praktis adalah keputusan
yang tepat. 34,4 % menilai keputusan tersebut sama sekali tidak tepat,
dan sisanya 12,1 % menyatakan masih ragu-ragu.44 Angka 53,5 %
yang
menilai tepat memang adalah yang terbesar dibandingkan dengan
kedua angka lainnya. Namun jika diasumsikan bahwa semestinya NU
mampu menyamakan persepsi seluruh warganya untuk menerima
secara baik keputusan meninggalkan politik praktis itu, maka angka
tersebut masih dapat dikatakan kecil. Alasan yang dikemukakan oleh
mereka yang menilai bahwa keputusan itu tepat adalah:45
1. Karena sebagai organisasi yang tejun dalam kegiatan politik
praktis, di mana tokoh-tokoh NU terlalu lama bergaul dengan politik
dan berpola hidup serba politik, tugas-tugas NU di bidang
kemasyarakatan dan keagamaan banyak terkesampingkan.
2. Seringnya tejadi kemelut dalam tubuh NU yang disebabkan
oleh persaingan untuk menjadi pimpinan dengan tujuan mendapatkan
fasilitas dari pemerintah atau untuk mengarahkan jalan ke kursi
DPR/MPR maupun, dahulu, eksekutif.
3. NU sebenarnya kekurangan kader-kader profesional sehingga
tidak dapat mempertahankan kekuasaan politik yang diperolehnya.
Hal
ini membuat kedudukan NU menjadi lemah sekaligus menjadikannya
sebagai permainan dalam arena politik praktis.
Sementara mereka yang menilai tidak tepat agaknya didasari oleh
pemikiran bahwa banyak keuntungan yang terpaksa ditinggalkan NU
setelah tidak lagi berpolitik. Itu berarti, bagi mereka khittah
sebenarnya
membawa kerugian terhadap NU. Pola pikir semacam ini dikritik oleh
Ichwan. Menurut Ichwan, adanya sementara kalangan, bahkan di
dalam NU sendiri, yang menilai NU mengalami kerugian setelah
khittah adalah karena mereka melihat kondisi NU setelah kembali ke
khittah dengan "kacamata non-khittah."46
Angka-angka di atas menggambarkan masih banyaknya warga
yang mempunyai persepsi cenderung negatif ternyata kian
menguatkan
asumsi bahwa masa yang telah berjalan sebenarnya masih belum
179
memadai bagi sosialisasi khittah di kalangan mereka.
Konsekuensi Internal Khittah
Keputusan Muktamar 1984 tentang Khittah NU dalam salah satu
bagiannya menyebutkan bahwa,
Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah yang mambawakan faham keagamaan, maka Ulama
sebagai
matarantai pembawa faham Islam Ahlussunnah Wal Jamaah
selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas
dan
pembimbing utama jalannya organisasi.47
Nama organisasi yang secara harfiah berarti kebangkitan ulama
menggambarkan bahwa ulama mempunyai kedudukan sentral. Namun Muktamar 1984 merasa perlu secara eksplisit membuat
penegasan
tentang hal itu, adalah didasari tujuan yang cukup jelas pula. Sejak
peran ulama dalam NU sedikit demi sedikit tersisih oleh peran kelompok politisi. Maka ketika NU kembali ke khittah dan memutuskan
ditinggalkannya politik praktis, pengembalian otoritas ulama dalam
kepemimpinan NU menjadi salah satu konsekuensinya. Konsekuensi
ini memberi Muktamar 1982 sebuah sebutan retoris sebagai suatu
"kebangkitan kembali ulama. Sebuah retorika bersirat harapan yang
hingga sekarang belum terwujud. Ketidak-berhasilan itu untuk
sebaagian dapat dijelaskan karena di dalam NU saat ini ternyata
sedang
berlangsung dua macam proses yang satu sama lain sebenarnya agak
berlawanan. Di Satu sisi, NU ingin mengembalikan otoritas ulama
dalam teras kepemimpinannya, yang berarti bahwa ulama sebagai
kelompok elit kembali menjadi pembuat kebijakan utama yang nyaris
tidak dapat dibantah seperti lazim terjadi pada akar budaya NU.
Sementara pada sisi lain NU juga menunjukkan keinginan untuk
mewujudkan kehendak demokratisasi masyarakat yang akan dimulai
dari konteks mikro NU. Kosern pada demokratisasi yang men180
seyogyakan mekarusme bottom-up decission making itu tentu tidak
dapat dikatakan sejalan dengan upaya pemberian otoritas penuh
kepada ulama yang menjadikan keputusan organisasi selain mengalir
dari atas ke bawah. Yang diperlukan NU akhirnya adalah membuat
pola yang tepat agar kedua proses itu bisa berjalan sekaligus dengan
selaras. Namun yang selama ini terjadi, keduanya selalu bejalan susulmenyusul.
Proses pengembalian otoritas ulama dimulai di Muktamar Situbondo, 1984. Tujuan ini diamankan dengan dibuatnya tata cara baru
dalam pemilihan pengurus dengan model Ahlulhalli wal 'Aqdi. Model
pemilihan yang barasal dari ide Achmad Siddiq ini semula tidak
begitu
disukai oleh kelompok muda NU, yang menginginkan tata cara lama
berupa pemilihan formatur dan selanjutnya memilih pengurus satu
persatu tetap digunakan.48 Dalam tata cara baru itu ditunjuk KH As'ad
Syamsul Arifin sebagai ketua, dan ia selanjutnya menunjuk enam
orang
kiai senior lainnya.49 Ketua dan para anggota Ahlulhalli wal 'Aqdi
inilah yang kemudian menyusun kepengurusan NU. Bahwa kemudian
ada politicking yang diwarnai vested interest tertentu dalam mekanisme semacam itu agaknya sudah dapat diduga. Komposisi pengurus
baru, khususnya Tanfidziyah, yang dibentuk ternyata tidak sesuai
dengan aspirasi kelompok muda NU, yang sebelumnya telah mengajukan usulan formasi kepengurusan pada Ahlulhalli wal 'Aqdi.
Beberapa figur yang diharapkan duduk dalam pengurus harian turun
ke pengurus pleno, atau sebaliknya.50 Yang paling mengejutkan, pada
jabatan Sekjen diletakkan Anwar Nurris, orang dekat As'ad. Ia adalah
seorang yang kurang begitu dikenal dalam arus baru kelompok muda
NU, dan kurang dapat digolongkan sebagai eksponen khittah.51
Namun kendati Anwar dinilai bukan orang yang tepat untuk menduduki salah satu posisi kunci di Tanfidziyah, keputusan itu mesti
diterima. Sebuah gambaran betapa upaya yang agak ekstrem bagi
pengembalian otoritas ulama sebenarnya berimplikasikan kurang terartikulasikannya aspirasi yang datang dari bawah.
Jika komitmen untuk mengembalikan peran ulama pada porsi yang
semestinya lalu dimanifestasikan sebagai dibukanya kesempatan bagi
kelompok ulama untuk menguasai semua struktur kepengurusan NU,
181
hal itu sudah pasti akan mendatangkan reaksi-balik yang menghambatnya. Upaya yang terlalu ekstrem ke arah itu lalu, oleh arus baru
NU,
mulai di bawa ke titik moderat, sekaligus dalam alur demokratisasi
NU. Pada Muktamar 1989, Abdurrahman Wahid berhasil mendesakkan dua usulan perubahan yang cukup penting. Pertama, dirubahnya
mekanisme pemilihan pengurus baru. Sistem Ahlulhalli wal 'Aqdi
ditinggalkan dan digunakan model formatur terpilih. Dalam cara ini,
wewenang tokoh seperti KH As'ad untuk mengendalikan sendiri proses pemilihan pengurus jadi berkurang, dan dialihkan kepada utusan
wilayah-wilayah dan cabang-cabang secara keseluruhan.52 Kedua,
dilakukan perombakan terhadap AD/ART NU, di mana Mustasyar
yang sebelumnya merupakan lembaga tersendiri disubordinasikan ke
dalam lembaga Syuriyah. Rupanya, anggota Mustasyar banyak dinilai
melakukan tindakan yang berada di luar kewenangannya, sehingga
dengan diletakkan di bawah Syuriyah, pelaksanaan tugas mereka akan
selalu berada di bawah koordinasi Rais Aam. Perombakan itu praktis
membawa hubungan antar struktur dalam NU semakin mendekati
bentuk ideal. Pada prinsipnya, secara formal lembaga tempat kiprah
ulama di NU adalah Syuriyah, yang merupakan pimpinan tertinggi.
Jadi sebenarnya upaya yang paling tepat dalam rangka
mengembalikan
peran ulama adalah dengan jalan mengefektifkan fungsi Syuriyah
yang
terjadi selama ini, pelaksanaan peran Syuriyah sangat jauh dari
apa yang diatur secara mentereng dalam pasal 30 ART NU bahwa
Syuriyah
adalah "pimpinan tertinggi yang berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas, dan penentu kebijaksanaan Nahdlatul Ulama. Dalam
kenyataannya, Syuriyah lebih sering tampak tenggelam di balik dominasi Tanfidziyah, yang mestinya tidak lebih dari pelaksana garis kebijaksanaan Syuriyah. Dominasi Tanfidziyah ini sebenarnya bukan sesuatu yang terlalu mengherankan, mengingat lembaga ini sebagai
pelaksana harian jalannya organisasi sudah tentu adalah yang pertama
bersinggungan dengan persoalan ekstern, dan karenanya memberikan
respons yang lebih awal daripada Syuriyah. Itulah sebabnya Tanfidziyah selalu tampak lebih menonjol. Namun kelemahan pada sisi
Syu182
riyah sendiri bukannya tidak menjadi penyebab bagi persoalan disfungsi itu. Yang paling sering dikritik oleh kalangan ulama NU
sendiri
adalah, orang-orang di Syuriyah pada umumnya kurang mampu
mengantisipasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat
antara lain akibat penafsiran yang terlalu tekstual terhadap kitab-kitab
kuning yang menjadi acuan mereka. Ketidak-mampuan ini sedikit
banyak akhirnya menimbulkan rasa inferior Syuriyah berhadapan
dengan Tanfidziyah. Dengan demikian persoalannya adalah berkaitan
dengan kualitas personel Syuriyah. Hal ini rupanya disadari betul oleh
NU, sehingga perbaikan lalu diarahkan untuk mencapai kondisi
"Syuriyah yang percaya diri, dan Tanfidziyah yang tahu diri."53
Artinya
peningkatan kualitas personal Syuriyah dilakukan simultan dengan
penumbuhan kesadaran pada sisi Tanfidziyah untuk, dengan kelebihan
yang mereka miliki, mengendalikan diri agar tidak berbuat di luar
batas
wewenangnya sebagai pelaksana kebijaksanaan.
Empat bulan sebelum Muktamar Krapyak, kelemahan-kelemahan
Syuriyah itu dibicarakan dalam sebuah halaqah Syuriyah saat berlangsung Konperensi Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang. Halaqah
ini menghasilkan sebuah rekomendasi penting bagi muktamar yang
setelah menganalisis kelemahan-kelemahan Syuriyah dalam tiga
point:
wawasan dan pengetahuan, sikap, dan kemampuan berorganisasi,
merumuskan kriteria kapasitas yang harus dimiliki oleh Syuriyah.
Kriteria itu meliputi:54
1. Bidang keilmuan: a. ILmu Naqliyah, meliputi aqidah, syari'ah,
dan akhlaq. b. Ilmu Kauniyah, meliputi ilmu kemasyarakatan (politik,
ekonomi dan budaya), ilmu sejarah, dan ilmu manajemen.
2. Sikap yang perlu dimiliki Syuriyah: Berwawasan rahmatan lil
'alamin sesuai dengan risalah Rasul; Tasamuh, Tawazun, dan
tawasuth, sesuai dengan Khittah 1926; Mempunyai keperdulian
terhadap perkembangan masyarakat dan lingkungan hidupnya; Tangkap dan mampu merespons setiap tantangan yang ada di masyarakat.
Memiliki sikap kepeloporan, berani melakukan hal-hal baru yang
lebih
maslahat.
183
3. Kemampuan berorganisasi Syuriyah: Memiliki kemampuan
memimpin dan mengelola organisasi sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita jam'iyah; Mampu memberikan pemecahan praktis terhadap masalah yang timbul dalam masyarakat; Mampu menjabarkan dan
mewujudkan tanggung-jawab agama dalam sefiap perkembangan
yang
terjadi; Memiliki kemampuan membaca perubahan dan
kecenderungan
yang tejadi dalam organisasi maupun masyarakat; Mampu membina
hubungan dengan berbagai pihak, ke dalam maupun ke luar.
Akan tetapi setelah hampir lima tahun bejalan, rumusan itu ter
nyata tidak berhasil memberi perubahan yang terlalu berarti. Terlebih
setelah meninggalnya KH Achmad Siddiq, Syuriyah jadi terasa
kembali
sulit meletakkan diri pada superioritas yang semestinya. Sepeninggal
Achmad, praktis tidak ada figur ulama Syuriyah yang memiliki
kualitas
pribadi cukup untuk mampu setidaknya mengimbangi Abdurrahman
Wahid di Tanfidziyah. Di samping masalah kualitas personel di atas,
mekanisme pemilihan anggota inti PB agaknya dapat dipandang sebagai penyebab lain sulitnya pengembalian supremasi Syuriyah, walaupun tidak terlalu menentukan proses pemilihan Rais Aam dan Ketua
Umum Tanfidziyah yang sama-sama dilakukan secara langsunt;
sedikit
banyak tentu menimbulkan efek rasa kesepadanan antara keduanya
Karena itu lalu muncul pemikiran tentang perubahan tata cara pemilihan pengurus. Pilihannya pasti bukan kembali pada konsep Ahluhalli
wal 'Aqdi yang mengandalkan otoritas elit kyai senior dan terkesan
kurang demokratis itu. Gagasan yang muncul belakangan tampaknya
adalah jalan tengah antara mekanisme Ahlulhalli dan pemilihan
langsung. Yakni, cukup para pengurus Syuriyah saja yang dipilih
secara
langsung dalam muktamar. Lalu Syuriyah yang telah terbentuk ini
bersidang untuk memilih Ketua Umum Tanfidziyah, atau menunjuk
formatur yang akan menyusun kepengurusan Tanfidziyah.55 Gagasan
ini memang tampak cukup menarik, tapi rupanya masih belum bisa
diterapkan ketika hendak diuji-cobakan dalam Konperensi Wilayah
NU Jawa Tengah pada bulan April 1994, konsep itu ditolak oleh
184
sebagian besar peserta konperensi yang justru masih menginginkan
Ketua Tanfidziyah PW NU juga dipilih langsung.56 Sementara itu
sebuah gagasan lain yang cukup mengejutkan datang dari Abdurrahman Wahid. Dalam sebuah seminar tentang peranan pesantren dalam
meningkatkan etos kerja di Cirebon tanggal 18 Juni 1993, ia mengemukakan pemikiran tentang perampingan organisasi NU. Salah satu
bagian dari gagasan perampingan itu adalah penghapusan jabatan
Ketua Umum. Perubahan semacam ini dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan antara Syuriyah dan Tanfidziyah.57
Gambaran umum gagasan Abdurrahman ini adalah, Syuriyah di
bawah pimpinan Rais Aam benar-benar diefektifkan sebagai pembuat
keputusan tertinggi organisasi. Dan dibawahnya, Tanfidziyah yang
dipimpin oleh seorang Ketua dan beberapa wakilnya berfungsi semacam sebuah sekretariat yang menjalankan keputusan-keputusan Syuriyah serta fungsi-fungsi administratif organisasi.
Pemikiran Abdurrahman Wahid yang memperoleh tanggapan
positif dari intern NU ini memang masih berada pada tataran konseptual yang harus diterjemahkan dalam rumus-rumus operasional. Namun kalau gagasan itu memang hendak diterapkan, ia tentu memerlukan perubahan AD/ART NU, yang hanya dapat dilakukan dalam
forum muktamar mendatang. Dan jika ini benar akan dilakukan, maka
persoalan lain yang juga perlu dipikirkan kembali adalah mekanisme
pertanggung-jawaban dalam tubuh NU. Selama ini Ketua Umum
Tanfidziyah menyampaikan laporan pertanggungjawabannya langsung di hadapan forum muktamar. Ini tentu konsekuensi dari pemilihan Ketua Umum yang langsung oleh muktamar. Akan tetapi
sebagai
pelaksana kebijaksanaan Syuriyah, adalah keharusan Tanfidziyah, semestinya, untuk mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya di
depan sidang Syuriyah yang memang khusus membahas tentang hal
itu. Pola semacam inilah yang belum ada dalam NU. Pasal 31 ART
NU
hanya mewajibkan Tanfidziyah menyampaikan laporan secara
periodik
kepada Syuriyah tentang pelaksanaan tugasnya. Di sinilah perubahan
agaknya perlu dilakukan. Yang dibutuhkan adalah pengaturan secara
eksplisit bahwa Tanfidziyah (dalam hal ini Ketua Umumnya) bertanggung jawab kepada Syuriyah atas pelaksanaan tugasnya. Tumbuhnya
185
kondisi seperti ini tentu akan menjadi katalisator bagi proses pengembalian supremasi Syuriyah, yang berarti penuujudan kembali otoritas
ulama dalam kepemimpinan NU tanpa berimplikasikan perbenturan
dengan upaya demokratisasi.
Kesimpulan
Dilihat dalam dinamika internalnya, perjalanan NU selama satu
dasawarsa ini adalah sebuah pencaharian kapasitas diri yang paling
tepat menurut semangat khittahnya. Bahwa pencarian itu hingga saat
ini belum juga menemukan hasil yang diharapkan, adalah banyaknya
permasalahan yang penyelesaiannya perlu diprioritaskan yang
menjadi
penyebabnya. Salah satu permasalahan itu adalah masih belum adanya
kesamaan persepsi yang utuh dalam tubuh NU sendiri tentang konsep
khittah, sekalipun rumusan tekstualnya sudah sangat jelas. Ketidakseragaman persepsi ini disebabkan sekaligus oleh heterogenitas yang
cukup tinggi dalam tubuh NU di satu bagian, serta banyaknya pergulatan kepentingan antara elit NU sendiri pada bagian lain.
Pergulatan kepentingan di kalangan elit itu seringkali membawa
NU pada kondisi tarik-menarik antara dua kelompok yang berseberangan: sayap politisi dan sayap ulama.
Sementara kelompok pembaharu NU yang moderat selalu berusaha agar NU tetap berada pada posisi tengah antara tarik-menarik
itu, maka polarisasi itu sendiri akhirnya membawa imbas lain pada
warga NU. Mereka hingga saat ini ternyata masih belum memiliki
persepsi yang tepat terhadap khittah sebagaimana mestinya.
Sosialisasi
khittah yang secara serius dilakukan oleh inti kekuatan NU saat ini sedipahami dengan tidak pas oleh warga, karena sementara kalangan politisi NU, dalam kepentingannya masing-masing, kerap
melakukan distorsi informasi yang membelokkan persepsi mereka.
Namun tidak diragukan lagi, yang paling sulit adalah pencarian
bentuk yang paling tepat bagi pengembalian otoritas ulama dalam
kepemimpian NU. Persoalannya tentu ialah: bagaimana bentuk supremasi ulama itu? Sebab pemberian otoritas penuh yang menyebabkan
kekuasaan tersentralisir pada elit ulama, sementara pada saat yang
186
sama NU berkomitmen pada demokratisasi, sudah pasti akan terasa
sebagai ambivalensi. Selanjutnya, supremasi ulama tentulah berindikasikan pengurangan yang cukup signifikan terhadap otonomi yang
terlalu besar, untuk tidak menyebutnya dominasi, di pihak
Tanfidziyah.
Ini pun bukan urusan mudah. Sebab di samping karena berbagai kelebihan yang ada pada Tanfidziyah, pemekaran otonomi itu telah
berjalan
sangat panjang sejak, sebagaimana telah dibingkai dalam Bab II,
Muktamar Banyuwangi 1934 yang diawali oleh prakarsa tokoh seperti
KH Wahid Hasyim.
Akhirya, segala kesulitan dalam pergulatan internal itu menjadi
lebih rumit akibat NU tidak pernah benar-benar dapat mengkonsentrasikan perhatian semata-mata di situ. Sebab pada lingkup eksternal,
perhatian itu juga dibutuhkan bagi upaya pembuktian NU akan
komitmen barunya, yang sudah pasti inheren dengan permasalahanpermasalahan. Bab V berikut akan membahas dinamika eksternal itu.
________________________________________________________
__________________
________________________________________________________
__________________
37. Sunyoto Usman, "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam Jawa
Pos, 7 Juni
1993.
38. Kacung Marijan, "NU: Antara ElitiS dan Populis," dalam Jawa
Pos 8 Juni
1993.
40. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Drs. HM Ichwan Sam
di Kantor
PB NU Jakarta, 13 April 1994.
41. Lihat Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU Terhadap
Keputusan
Politik (Thesis S-2 Fakultas Pasca Sajana UGM, 1990).
42. Ibid., h. 102f.
43. Ibid., h. 107.
44. Ibid., h. 113.
45. Ibid., h. 113f.
46. Wawara Penulis dengan Ichwan Sam, op cit.
47. Lihat Keputusan Muktamar XVII NU No. 02/MNU-27/1984
Tentang
Khitthah Nahdlatul Ulama, Butir 7.
48. Lihat Arief Mudatsir, "Dari Situbondu Menuju NU Baru: Sebuah
Catatan
Awal," dalam Prisma Nomor Ekstra, 1984, h. 140.
49. Waktu itu, KH As'ad menunjuk KH Ali Maksum, KH Masykur,
KH Sjansuri,
KH Ali Hasan Ahmad, KH Romli, dan KH Roffi Mahfudz sebagai
anggota.
50. Ibid.
39. Arief Affandi, "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam jawa
Pos, 9 Juni
1993.
187
51. Bandingkan dengan Ghafar Rahman dan Ichwan Sam, dua orang
yang
berturut-turut memegang jabatan Sekjen setelah Anwar Nurris,
yang pada
tahun 1984 turut ambil bagian dalam Majelis 24.
188
52. Lihat Tempo, 2 Desember 1989.
53. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU, op. cit.
54. Lihat Aula No. 7 Tahun 1989, h. 20-22.
55. Wawancara Penulis dengan Wakil Sekjen PB NU Ir. H Musthafa
Zuhad di
Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
56. Ibid.
57. Lihat Aula, Juli 1993.
BAB V
IMPLEMENTASI KHITTAH:
DINAMIKA EKSTERNAL
BAB ini akan melihat bagaimana dinamika eksternal NU dalam
implementasi keputusan kembali ke Khittah 1926. Pertama akan didiskusikan tentang reorientasi politik yang membawa NU pada dimensi baru gerakan politiknya, dengan dua makna penting: meninggalkan politik praktis, dan melepaskan keterikatan dengan organisasi politik manapun. Akan dilihat pula posisi NU dalam dua
pemilu, 1987 dan 1992. Selanjutnya, aktivitas bidang garapan NU
setelah tidak lagi terkonsentrasi pada politik praktis akan menjadi
topik bahasan, sebelum bab ini ditutup dengan tinjauan mengenai
untung dan rugi NU pasca khittah.
Dari Kuantitas ke Kualitas: Reorientasi Politik NU
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi yang
189
aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan
kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945
dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara.
Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan
diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya untuk senantiasa aktif mengambil
bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil
dan makmur yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD
1945.
Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan
bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (alukhuwah), toleransi (al-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan
sesama warganegara yang mempunyai keyakinan/agama lain
untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan,
Nahdlatul Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warganegara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara.
Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak terikat dengan
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun
juga.
Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warganegara yang
mempunyai hak-hak politik yang dilindungi dengan Undang
undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan
hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab,
sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup
yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.1
Kutipan panjang di atas adalah sebuah blueprint kepolitikan
NU pasca khittah yang dirumuskan dalam Muktamar 1984. Ada
dua hal penting yang dipancangkan dalam rumusan itu. Pertama,
penegasan tentang dimensi baru gerakan politik NU, yang tidak lagi
190
bermuatan politik praktis kelembagaan. Dan kedua, penegasan
netralitas NU terhadap setiap organisasi politik.
Dimensi baru kepolitikan NU adalah resultansi dilakukannya
reorientasi dari kuantitas politik menuju kualitas politik.2 Makna
reorientasi itu ialah, NU meninggalkan politik praktis dan politik
kelembagaan yang berkutat pada perhitungan berapa banyak perolehan suara dalam pemilu, berapa banyak orang-orang NU yang
duduk dalam suprastruktur politik, dan seterusnya. Ukuran "sukses
politik" NU kini bukan lagi segi kuantitatif semacam itu, tetapi lebih
pada sejauh mana pikiran-pikiran, konsep-konsep NU, serta para
warga NU di lembaga-lembaga politik yang ada bisa memberikan
kontribusi positif dalam meningkatkan kualitas kehidupan bangsa
dan negara. Tujuan NU kini adalah memiliki nilai komplementer
bagi usaha pembangunan bangsa.3 Lalu netralitas politik, artinya
NU melepaskan afiliasinya terhadap PPP untuk selanjutnya menjaga jarak yang sama terhadap ketiga OPP. Komitmen itu secara
konseptual sudah sangat jelas. Tapi implementasinya sudah pasti
tidak akan semudah ia dirumuskan. Seperti diakui oleh Abdurrahman Wahid, "merupakan statemen yang kompleks,... (meskipun)
kelihatannya sederhana."4 Kompleksitas persoalannya segera mern
bayang secepat hal itu diputuskan. Naro, rupanya menyadari bahwa keluarnya NU dari PPP berarti hilangnya sumber massa terbesar
partai itu, di Pontianak 9 Januari 1985 menyatakan bahwa organisasi yang turut menandatangani deklarasi pembentukan PPP secara yuridis formal tetap mempunyai hubungan dengan PPP.5 Yang
dimaksud Naro tidak lain tentu NU.
Maka Gus Dur merasa perlu menanggapi ucapan Naro itu. Seusai Rapat Gabungan pengurus harian PB NU di Jombang, 11 Januari, ia menyatakan bahwa warga NU tidak otomatis menjadi
anggota PPP, sambil merujuk pernyataan Naro sendiri bahwa keanggotaan PPP adalah stelsel aktif.6 Sementara Rapat Gabungan itu
sendiri menghasilkan sebuah keputusan yang menegaskan netralitas
NU. SK PB NU No. 01/PBNU/I-1985 tentang Pelarangan Perangkapan Jabatan mengatur bahwa semua pengurus harian NU di semua tingkatan tidak boleh merangkap menjadi pengurus harian
orpol manapun. Batas waktu pelaksanaan larangan itu adalah satu
tahun untuk tingkat wilayah, dan dua tahun untuk cabang. Keputusan itu belakangan dikukuhkan lagi dengan SK PB NU No. 72/A191
II/04-d/ XI/1985.
Pada bulan berikutnya, delapan orang pengurus Harian PB NU
menemui Presiden Suharto di Bina Graha (7 untuk melaporkan hasilhasil Muktamar 1984, termasuk penerimaan asas tunggal yang dinyatakan semata-mata karena motivasi agama dan bukan politik.
Pembicaraan lain yang memperoleh aksentuasi dalam pertemuan
itu adalah pandangan NU bahwa Negara Republik Indonesia merupakan bentuk final bagi keseluruhan bangsa, terutama umat Islam.
Tentang netralitas NU, dikabarkan bahwa Suharto memberikan
tanggapan sangat positif, dan menyatakan harapanya agar sebagai
perorangan warga NU benar-benar bisa memasuki semua kekuatan
sosial politik lain.8 Pertemuan itu setidaknya dapat dipandang
sebagi langkah pertama bagi rekonsiliasi dengan pemerintah yang
merupakan salah satu sub-tema khittah. Bagi NU, perjalanan selama
lebih sepuluh tahun dalam PPP yang kadangkala menempatkannya
sebagai oposan pemerintah, sedikit-banyak tentu terasa sebagai deviasi dari pola pandangannya tentang hubungan dengan penguasa. Di
sisi pemerintah sendiri, pada saat yang nyaris bersamaan dengan
retrospeksi politik NU, mulai muncul kecenderungan politik yang
akomodatif terhadap umat Islam, setelah sebelumnya antara kedua
pihak terdapat hubungan yang antagonistis bahkan menjurus ke
arah konflik. Rupanya, pemerintah menyadari bahwa umat Islam
merupakan kekuatan politik yang potensial jika mereka dapat
mengorganisir diri sedemikian rupa. Sehingga pemerintah akhirnya
dihadapkan pada dua pilihan: mengadakan akomodasi terhadap
Islam, atau menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di
luar sama sekali. Pemerintah mengambil pilihan pertama, sebab
kalau yang kedua yang dipilih konflik akan sulit dihindari, yang
pada akhirnya membawa dampak yang besar dalam proses pemeliharaan negara kesatuan.4 NU pastilah menyedari perkembangan
itu, dan segera mendapat bahwa retrospeksi dan reorientasi politiknya sedang memperoleh iklim makro yang tepat (l0 Maka rekonsolidasi dengan pemerintah pun diakselerasi penuh. Di hadapan sekitar 10.000 warga NU pada HUT ke-61 nya di Surabaya 28 April.
Abdurrahman Wahid mengingatkan bahwa masih banyak kaum
muslim yang belum memahami masalah hubungan negara dan agama secara benar. Mereka masih mempertentangkan Islam dengan
negara. Maka adalah tugas warga NU untuk mengoreksi kesalah192
pahaman itu.11 Lalu sambil terus mengulang-ulang bahwa NU secara kelembagaan telah meninggalkan kegiatan politik praktis. Gus
Dur menyatakan bahwa operasionalisasi keputusan itu adalah netralitas NU terhadap orpol yang ada. Repetisi terhadap penegasan
itu barangkali memang diperlukan, karena sejumlah tokoh-tokoh
NU seperti Mahbub, KH As'ad, dan Anwar Nurris masih melaku
kan campur tangan dalam persoalan PPP. Antara Maret dan Juni
mereka melakukan serangkaian usaha untuk mendepak Naro dari
kepemimpinan PPP, atau minimal menggesernya dari posisi dominan, sambil berusaha menempatkan orang-orang NU pada jabatanjabatan kunci partai. As'ad bahkan mengancam bahwa jika tidak
ada perbaikan dalam kepemimpinan PPP, ia akan melarang ulama
NU berkampanye bagi partai itu dalam Pemilu 1987 kelak.l2 Ketika
semua usaha ini gagal, Mahbub yang mewakili As'ad mengeluarkan
pernyataan bahwa dalam pemilu nanti warga NU "tidak wajib
berkampanye untuk PPP dan tidak pula wajib mencoblos ppp."13
Melihat gerak maju-mundur ini, Abdurrahman secara implisit
memperingatkan para elit NU agar membiarkan warga bebas menentukan pilihan politiknya sendiri, dan untuk menjaga NU murni
dalam netralitasnya. Ia juga mengingatkan bahwa KH As'ad sendiri
yang sejak sebelum Muktamar 1984 telah berbicara tentang netralitas NU.14 Tapi Mahbub lalu menjawab bahwa NU tidak bisa
begitu saja netral terhadap kebaikan dan keburukan. NU --yang ia
maksud sebagai lembaga-- harus mempunyai pilihan, karena NU
memiliki nilai-nilai yang jadi patokan. Menurut Mahbub, "netralitas
itu mengesankan kelemahan dan cenderung mau enak-enakan,...
melayang-layang, tidak punya pijakan baik di bumi maupun di
langit." Mahbub lebih menyukai istilah "bebas aktif (yang) punya
pijakan, punya hitungan dan punya risiko."15 Lalu tentang implikasi
politik khittah, Mahbub dengan illustratif menggambarkan bahwa
yang ditinggalkan NU dari dunia politik adalah "perolehan minimal" untuk menuju "perolehan maksimal".16 Itu berarti NU mesti
melakukan apapun yang diharuskan oleh upaya untuk mencapai
perolehan maksimal itu. Dan akhirnya, jalan pikiran di atas kemudian mengantarkan Mahbub dan kelompoknya pada apa yang kelak
dikenal sebagai aksi "penggembosan PPP", tanpa mengabaikan faktor determinan lain berupa kekecewaan terhadap pimpinan PPP saat
itu, khususnya Naro. Kekecewaan terhadap PPP inilah yang me193
masuki tahun 1986 mulai disebut-sebut sebagai alasan utama ketika
terjadi hijrah warga NU ke Golkar secara demonstratif, terutama di
Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di Jawa Tengah, misalnya, dari 77
cabang NU yang ada, sampai bulan Mei tinggal 8 cabang saja yang
masih jelas-jelas mendukung PPP.l7 Pada umumnya mereka meng
anggap bahwa kemenangan PPP di suatu daerah selama ini tidak
membawa perbaikan apapun, termasuk sarana keagamaan. Yang
banyak mengembangkan sarana itu justru adalah Golkar. Sedang
KH Ilyas Ruhiyat (yang sejak 1992 menjadi Pelaksana Rais Aam
NU) memberikan alasan bahwa yang selama ini menguntungkan
NU adalah kerja sama dengan umara (pemerintah), dan sekarang
umara adalah identik dengan Golkar.18 Sebenarnya, tanpa manuver
politik yang tendensius dari kelompok tertentu di NU sekalipun,
langkah-langkah politik obyektif NU pada umumnya memang lebih
banyak berimplikasi negatif terhadap PPP. Di Jawa Timur, SK PB
NU No. 72 tahun 1985 tentang pelarangan perangkapan jabatan
banyak ditafsirkan sebagai 'perceraian' NU dari PPP. Lalu di tahun
1986, PB NU mengeluarkan SK No. 92/1986 yang melarang pengurus harian NU serta pengurus lembaga, lajnah, dan badan
otonom di tingkat MWC dan Ranting untuk menjadi komisaris
orpol, maupun mewakilinya dalam berbagai tingkat aparatur pemilu. Akibat SK ini, PPP Jawa Timur menjadi kedodoran. Hampir semua DPC PPP mengeluhkan sulitnya mencari tenaga pengawas
Pemungutan Suara dan Panwaslakcam. Di Bondowoso bahkan terjadi kesulitan untuk mendapatkan orang bagi jabatan komisaris
partai baik di tingkat kecamatan maupun desa. Kesulitannya adalah
karena di Jawa Timur pengurus harian PPP lazimnya adalah orangorang NU. Dan meskipun tentu tidak setiap orang adalah pengurus
harian NU, sehingga pasti ada yang bisa tetap aktif di PPP, namun
di kalangan warga NU ternyata berkembang kebencian terhadap
Naro Akibatnya, ulama NU yang diketahui menjadi pengurus PPP
langsung dicap sebagai antek Naro dan dijauhi masyarakat. Dalam
konteks inilah KH Syansuri Badawi (Tebuireng) menyalahkan PB
NU, yang menurutnya telah menyesatkan umat dengan segala
macam larangan yang diberlakukan. Ia juga menyerukan warga NU
tetap di PPP, sebab rumah Islam adalah di PPP, yang meskipun
asasnya adalah Pancasila, namun AD/ART-nya masih menyebutkan untuk mempejuangkan Islam.19
194
Untuk menetralisir suasana, KH Achmad di bulan Juni mengumpulkan 250 ulama se-Jawa Timur, dan dalam kapasitasnya sebagai Rais Aam, ia membuat fatwa tentang pemilu. Fatwa itu berisikan dua hal pokok: Pertama, warga NU tidak lagi wajib memilih
PPP, dan tidak dilarang memilih Golkar atau PDI. Kedua, mereka
wajib menggunakan hak suaranya dalam pemilu, dan diharamkan
menjadi Golput.20 Di bulan Oktober, fatwa itu dipublikasikan sebagai sebuah buku "NU dan Pemilu," yang di samping diedarkan
kepada warga NU juga dikirimkan kepada 200 bupati di Jawa, Su
matera, Sulawesi dan Kalimantan, yang wilayahnya adalah basis
NU.21
Implikasi-implikasi negatif terhadap PPP itu sebenarnya juga
diperuncing oleh sikap Naro. Semakin mendekati pemilu, ia kian
sering berbicara bahwa NU tetap di PPP, dan umat NU adalah
umat PPP. Bagi mereka yang kerap merasakan kekecewaan saat NU
masih berada di PPP, yang untuk sebagian besar adalah akibat
tindakan Naro, maka ucapan-ucapannya belakangan jadi terasa hipokrit dan berkesan hendak memperalat NU untuk menjamin perolehan suara PPP. Barangkali jika Naro bersikap wajar dan menghargai keputusan NU, maka NU pun akan bersikap wajar. Sebab
ikatan historis mereka pastilah tidak begitu saja dapat diputuskan.
Namun semua perkembangan yang terjadi mendorong kelompok
tertentu dalam NU untuk membuktikan bahwa PPP akan sangat
berbeda setelah ia ditinggalkan NU.
Bahkan Abdurrahman Wahid pun akhirnya melihat bahwa aksi
penggembosan terhadap PPP pada satu segi akan menguntungkan
NU dalam usaha menegaskan eksistensi dirinya. Sehingga ketika intensitas penggembosan itu meninggi, ia sama sekali tidak berusaha
lagi untuk mencegahnya, dan hanya sesekali, dengan tidak bersungguh-sungguh, membuat pernyataan yang tidak terlalu berarti
seperti bahwa aksi penggembosan itu adalah tindakan individual
orang-orang NU yang tidak puas dengan kepemimpinan PPP, dan
bukan tindakan NU.
Memasuki 1987, di Jawa Timur dan Jawa Tengah kampanye
penggembosan mulai dilakukan secara terkoordinir,22 Yang dilaksanakan dengan intensif melalui pengajian-pengajian dan ceramah
ceramah. Di Jawa Tengah, Ketua PW NU Buchori Masruri bersama
tokoh-tokoh berpengaruh antara lain KH Hamid Baidhowi aktif me195
lakukan penggembosan. KH Hamid bahkan memperluas cakupan
nya ke Jawa Timur. Di sini banyak ulama yang juga pernah berguru
kepada ayahnya, KH Baidhowi, sehingga ia cukup disegani. Di Ja
wa Timur sendiri, kampanye penggembosan malahan bernada sa
ngat retoris. Wakil Ketua GP Ansor Jawa Timur, HM Shohib, berbicara bahwa "bukan NU yang keluar dari PPP. Tapi PPP yang
mencelat --terlempar-- dari NU. Biarlah dia tahu rasa. Biar jadi bonsai."23 Dan PPP dengan sia-sia masih mencoba untuk unjuk gigi. Kehadiran KH Hamid yang membawa kharisma ayahnya dianggap
bukan persoalan bagi mereka. Ahadin Mintarwin, Sekretaris DPW
PPP Jawa Timur, mengacungkan apa yang dianggapnya sebagai
kartu truf PPP: KH Amin Imron yang adalah cucu KH Cholil (Bangkalan) kini tetap di PPP bahkan namanya masuk dalam DCT. KH
Cholil adalah guru sebagian besar ulama-ulama terkemuka di Jawa
Timur dan Jawa Tengah, termasuk KH Hasyim Asy'ari. Tapi upaya
PPP sama sekali tidak berarti. Dan di tengah keputus-asaannya,
Naro jadi seperti lepas kendali. Ia menantang NU: "Biar saja telur
busuk itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang yang
baik ini malahan akan merusakkan telur-telur lain yang masih
baik."24 Maka kampanye penggembosan lalu kian tidak terbendung.
Di Jawa Timur, mendekati pemilu tidak kurang dari 900 pengajian
yang dilakukan ulama-ulama NU menyerukan penggembosan. PPP
yang merasa sangat tersudut terpaksa mengeluhkan hal ini kepada
Laksusda. Buntutnya, Kantor Sospol Kotamadya Surabaya melarang 88 orang tokoh NU untuk berbicara di forum pengajian, dan
Laksusda meminta agar PW NU Jatim menghentikan penggembosan. Namun dengan segera tampak bahwa larangan itu tidak ber
sungguh-sungguh. Atas rekomendasi Ditsosopol Jawa Timur, beberapa waktu kemudian semua larangan itu dicabut kembali.25
Sementara itu di Jawa Barat 23 cabang NU bersepakat menyalurkan aspirasi lewat Golkar, dan di Yogyakarta Ketua DPW
PPP DIY Attabik Ali (putra KH Ali Maksum), menyeberang ke Golkar. Tanggal 28 Maret di kota ini diadakan "Bahtsul Masail" tentang
pemilu oleh 11 orang kyai dari 11 pesantren terkemuka se-DIY.26
Hasil keputusan forum ini antara lain mengajak warga NU untuk
menjatuhkan pilihan dengan pertimbangan yang matang dan kritis.
Jangan sampai mereka terkecoh oleh kontestan yang membawabawa nama Islam, serta harus memperhatikan mana kepemimpinan
196
yang dapat membawa stabilitas dan mana yang hanya membuat
kemelut saja. Segala pertimbangan itu, bagi para kyai tersebut,
mengarah pada kesimpulan bahwa Golkar-lah yang pantas dipilih
dalam pemilu. Pada skala nasional, tokoh-tokoh teras PB NU
yang paling intens melakukan penggembosan selain Mahbub, yang
tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi adalah metode penggembosan yang paling luas cakupannya, ialah Saiful Mujab, salah seorang Wakil Ketua Tanfidziyah, dan KH Yusuf Hasyim, Rais Syu
riyah.
Efek penggembosan sebenarnya sudah mulai terasa sejak masa
kampanye pemilu. Suasana kampanye PPP pada umumnya jauh lebih sepi jika dibandingkan dengan Pemilu 1982.28 Ini dapat dijelaskan karena sebagian besar massa yang mengikuti kampanye PPP
adalah warga NU yang dikerahkan oleh para kyai, dan pengerahan
semacam itu hampir tidak ada lagi dalam Pemilu 1987.
Sedang kampanye PPP sendiri dapat dikatakan kurang efektif.
Di daerah seperti Jawa Timur, hampir separuh waktu kampanye digunakan oleh para jurkam untuk meng-counfer penggembosan terhadap partai mereka.29 Selanjutnya, kampanye-kampanye mereka
pada umunya kesulitan mencari tema, setelah asas Islam yang dahulu menjadi andalan tidak lagi dapat dipergunakan. Kunci persoalan akhimya adalah pada program-program yang ditawarkan.
Namun di sini pun PPP kedodoran Mereka jadi tampak mengndaada tatkala, misalnya, menyatakan hendak menghapus SPP. Atau
seperti di Jawa Barat, PPP berkampanye anti pengiriman TKW ke
Arab Saudi. Padahal di sana terdapat kurang-lebih dua juta orang
yang memiliki hidup dari keluarganya yang menjadi TKW.30
Dengan kedua persoalan di atas, penggembosan oleh NU serta
hilangnya tema ideologis srbagai akibat diterapkannya asas tunggal
Pancasila, ditambah lagi dengan kepemimpinan partai yang terusmenerus dilanda kemelut dan konflik sehingga mengakibatkan berpalingnya para pemilih rasional, maka kemerosotan perolehan suara PPP dalam Pemilu 1987 bukan suatu yang luar biasa untuk
diramalkan. Perhitungan akhir hasil pemilu ini menunjukkan turunnya perolehan suara PPP di hampir semua daerah pemilihan. Sedang total secara nasional, PPP memperoleh 15,96 % suara, merosot
tajam dari perolehan di tahun 1982 yang sebesar 27,78 %. Perolehan
kursi di DPR pun merosot dari 94 di tahun 1982 menjadi 61 di tahun
197
1987. Penurunan ini akan tampak semakin parah jika dilihat bahwa
jumlah kursi di DPR telah dieskalasi dari 364 menjadi 400 kursi.31
Jika dapat disepakati bahwa kemerosotan itu adalah karena PPP
ditinggalkan oleh warga NU untuk sebagian besar, dan pemilih rasional yang beralih akibat kemelut internal partai itu pada bagian
yang lebih kecil, pertanyaan selanjutnya tentu ialah, ke mana penyebaran pemilih-pemilih yang berpaling itu? Jawaban bagi pertanyaan
ini agaknya harus tetap jadi spekulasi. Namun adalah kenyataan
bahwa Golkar mencatatkan kenaikan perolehan suara yang cukup
berarti, dari 64,34 % di tahun 1982 menjadi 72,99 % di tahun ini;
sedangkan PDI menunjukkan sedikit kenaikan dari 7,8 % menjadi
11,01 %.
Sebagai contoh di Jawa Timur, di mana PPP menunjukkan penurunan sebesar 15,15 % dan sebelumnya kampanye penggembosan
berjalan dalam intensitas paling tinggi. Perubahan perolehan suara
di propinsi ini, yang jumlah 19,1 juta orang pemilihnya adalah tertinggi dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain, untuk setiap
Daerah-daerah Tingkat II adalah seperti ditunjukkan dalam tabel
berikut.
________________________________________________________
_____________
________________________________________________________
_____________
1. Keputusan Muktamar XXVII Nahdlatul Ulama No. OZ/MNU-27/
19&1
tentang Khittah Nahdlatul Ulama, Butir 8.
2. Sementara pengamat dengan terburu-buru menafsirkan bahwa
reorientasi
Yang dilakukan NU adalah reorientasi dari peran politik menuju
peran non198
politik. Meskipun sampai batas tertentu ada benamya, namun
penafsiran
sepcrti itu akan menyulitkan untuk menemukan eksplanasi paling
tepat
manakala mereka menemukan masih adanya bobot politik dalam
gerakan
NU kini.
3. Wawancara Penulis dengan Sekjen PB NU Urs. HM Ichwan Sam di
Kantor
PB NU Jakarta, 13 April 1994.
4. Lihat Abdurrahman Wahid,'T\Jahdlatul Ulama dan Khiththah
1926," dalam
Masyhur i\min dan Ismail Ahmad (eds.), Dialog Pemikirar, Islam
ddn
Realitas Empirik (Yogyakarta: I,KPSM, 1993), h. 152.
5. Lihat Kompas, 10 januari 1985.
9. Lihat Afan Gaffar, "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di
Indonesia,
dalam M Imam Aziz, et.al(eds.), Agama, Demokrasi Jan Keadilan
(Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 105.
10. Kesesuaian langkah politik NU dengan rekayasa politik
pemerintah kian
terasa dengan ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi
Kemasyarakatan pada tanggal 17 Juni, yang dalam pasal 2
menyebutkan
bahwa "Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai
satusatunya asas," walaupun tetap dibebaskan unluk merumuskan
tujuan khas
masing-masing. Lihat antara lain, 5 Undang-undang Baru di Bidang
Politik
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985).
6. Kompas 12 Januari 1985.
11. Kompas, 29 April 1985.
7. Kedelapan pengurus harian yang pada tanggal 14 Pebruari diterima
Presiden
itu adalah KH As'ad Syamsul Arifin (Mustasyar Aam), KH Achmad
Siddiq
(Rais Aam), KH Abdurrahman Wahid (Ketua Tanfidziyah -menurut ART
1984, Tanfidziyah dipimpin oleh seorang Ketua, dan baru dalam
ART 1989
disebut-sebut tentang Ketua Umum), HM Anwar Nurris (Sekjen), H
Mahbub
Djunaedi (Wakil Ketua Tanfidziyah), KH Rodli Saleh (Wakil Rais
Aam), KH
Nadjib Wahab (Rais Syuriyah), dan KH Hamid Widjaja (Katib
Syuriyah).
12. Tentang campur tangan sejumlah tokoh NU ini lihat antara lain
Tempo 30
Maret 1985 dan 22 Juni 1985.
13. Pelita, 31 Oktober 1985, sebagaimana dikutip dalam Kacung
Marijan, Quo
Vadis NU (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 160.
14. Kompas, 4 Nopember 1985.
15. Lihat Mahbub Djunaedi,.'Mubalig Dadap Tentang Netralitas NU,"
dalam
Kompas, 20 Desember 1985.
8. Kompas, 15 Pebruari 1985.
199
200
16. Mahbub Djunaedi, "Khittah," dalam Tempo 25 Januari 1986, h.
76. Mahbub
mengingatkan generasi baru NU agar tidak lagi seperti generasi
pendahulunya yang "... turun dari laut dengan biduk kecil seraya menenteng
seikat ikan,
cukup untuk makan sehari semalam tapi tidak cukup untuk
menambal bilik
rumah yang rombeng. Anak-anak ini tidak bisa dibiarkan sama
seperti
orang-tuanya. Mereka mesti memandang laut dengan sinar mata
yang baru,
membawa pulang berton-ton ikan yang sehat, mencegah binatang
itu mati
tua karena tidak ada tangan yang kuasa menangkapnya." Ibid.
23. Tempo, 7 Maret 1987.
24. Tempo, 21 Maret 1987.
25. Lihat Kacung Marijan, op. cit., h. 168.
26. Kesebalas kyai yang mendandatangani Bahtsul Masail itu adalah
KH Attabik
Ali, KH Nawawi, KH Masykur, KH Hasan Tholabi, KH Humam,
KH Barmawi,
KH Zamrudin, KH Qathrul Azis, KH Muhasin Ihya, KH Mujab
Mahalli, dan KH Jakfar. Sebetulnya "Bahtsul Masail Masail" itu
tidak pernah terjadi.
Karena naskah "rumusan" itu hanya dimintakan tanda tangan kiaikiai di
rumahnya masmg-masing. Lihat Suara Karya, 2 April 1987.
17. Lihat Tempo, 31 Mei 1986.
27. Ibid.
18. Ibid.
28. Syamsuddin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta PT
Grassindo, 1992)
h.119.
19. Lihat Tempo, 15 Pebruari 1986, h. 12.
20. Tempo, 19 Juli 1986.
29. Ibid.
21. Buku itu dikenal dengan 'buku kuning', diterbitkan di Yogyakarta.
Lihat
Tempo, 1 Nopember 1986.
30. Lihat Tempo, 5 Mei 1987.
31. Untuk angka-angka ini lihat Haris, op. cit, h. 120f.
22. Di dua daerah itu penggembosan bejalan dalam intensitas yang
sangat
tinggi. Boleh jadi karena keduanya dalah daerah- daerah basis
utama NU. Ini
tercermin dalam ucapan Mahbub bahwa NU yang dalam dua
pemilu telah
memompa PPP pasti tahu persis di mana katup untuk
menggemboskannya
Lihat Suara Pembaharuan, 1 April 1987.
Tabel 2. Perubahan Perolehan Suara di Jawa Timur
Naik/Turun 1987 dari 1982
================================================
Kabupaten/Kodya
PPP Golkar PDI
================================================
Kodya Surabaya
8,75 2,39
Kodya Mojokerto
12,57 9,38 3,19
Kodya Malang
-13,39 8,00 5,39
201
202
Kodya Pasuruan
-18,45 12,42 6,03
Kodya Probolinggo
-6,81 8,04 -1,24
Kodya Madiun
-4,60 9,43 -4,83
Kodya Kediri
-13,01 13,59 -0,58
Kodya Blitar
-4,41 6,29 -1,88
Kab Gresik
-24,06 24,30 -0,24
Kab Sidoarjo
-26,25 21,87 4,38
Kab Mojokerto
-13,95 11,34 2,61
Kab Jombang
-15,33 13,18 2,15
Kab Lamongan
-21,39 19,79 1,60
Kab Tuban
-8,30 4,28 4,02
Kab Bojonegoro
-11,94 11,05
Kab Madiun
-13.81 16.01 -2,20
Kab Ngawi
-5,43 6,80 -1,38
Kab Magetan
-6,33 8,11 1,78
Kab Ponorogo
-10,60 9,73 0,86
Kab Pacitan
-4,85 6,34 -1,49
Kab Kediri
-14,88 12,73 2,14
Kab Nganjuk
-14,35 15,24 -0,86
Kab Blitar
-11,02 10,20 0,82
Kab Tulungagung
-10,76 12,06
Kab Trenggalek
-18,51 16,64
Kab Malang
-11,78 10,46 1,32
Kab Pasuruan
-18,96 15,81 3,15
Kab Probolinggo
-19,40 20,01
Kab Lumajang
-14,45 13,89 0,56
Kab Jember
-22,79 19,06 3,15
Kab Bondowoso
-24,33 23,67
Kab Situbondo
-17,82 17,00
Kab Banyuwangi
-15,23 12,57
Kab Pamekasan
-29,83 29,16
Kab Bangkalan
-21,26 20,58
Kab Sampa
-16,82 16,50 0,32
Kab Sumenep
-31,70 30,03 0,07
Tabel ini memberikan beberapa gambaran. Pertama adalah kecilnya kemungkinan warga NU menyeberang ke PDI. Asumsi dasarnya ialah, sekalipun ada peluang bagi PDI untuk menggaet NU
namun terdapat hambatan psikis bagi warga NU untuk begitu saja
beralih menerima PDI. Citra PDI belum bisa lepas sama sekali dari
PNI. Dan bagi kaum santri di NU, citra PNI adalah citra abangan.
Apalagi, dalam PDI terdapat unsur-unsur Parkindo dan Partai Katolik. Di Jawa Timur, PDI menunjukkan kenaikan di 25 dari 36
Daerah Tingkat II. Yang terbesar terjadi di Kotamadya-kotamadya
Surabaya, Mojokerto, Malang, dan Probolinggo. Berarti, kenaikan
suara PDI kebanyakan diperoleh dari masyarakat pemilih perkotaan
yang relatif rasional, yang tidak mengaitkan pilihan politiknya dengan pertimbangan-pertimbangan primordial. Indikasi ini diperkuat pula oleh kenyataan bahwa di daerah-daerah etnik Madura,
yang tidak diragukan lagi adalah massa NU, yakni Bondowoso,
Situbondo, Pamekasan, Bangkalan, Sampang, dan Sumenep, kenaikan suara PDI berada pada angka di bawah 1 %.
Sebaliknya, di daerah-daerah etnik Madura itu pada umumnya
PPP menunjukkan kemerosotan terbesar, dan pada saat yang sama
Golkar mencatat kenaikan terbesar. Misalnya di Sumenep, yang menunjukkan angka prosentase pergeseran terbesar di Jawa Timur,
PPP menurun sebesar 31,70 % dan Golkar naik 30,03 %. Sementara
di Kotamadya-kotamadya, Golkar justru mengalami kenaikan yang
relatif kecil antara 6,29 % hingga 13,59 %. Sehingga gambaran kedua
yang dapat dibuat ialah, mungkin sekali, yang untuk sebagian besar
adalah akibat aksi penggembosan, banyak warga NU yang telah
mengalihkan suaranya dari PPP ke Golkar.32
Boleh jadi mereka yang melakukan penggembosan sendiri tidak
mengira bahwa manuver politiknya akan membawa hasil sedemikian rupa. Dan sebentuk "balas jasa" rupanya telah dipersiapkan
untuk NU. Beberapa tokoh NU diangkat menjadi anggota MPK
utusan Daerah, selain Abdurrahman Wahid yang diangkat sebagai
anggota dari utusan golongan. Mereka ndalah Syaiful Mujab (DIY),
yang sebelumnya adalah anggota MPR mewakili PPP dan mantan
Ketua DPW PPP DIY, KH Imron Hamzah (Jawa Timur), Wakil
Ketua DPRD Jawa Timur dari PPP pada periode lalu, dan HM Syah
Manaf (DKI), Ketua Koordinator PPP DKI sampai tahun 1985.33
0,89
1,30
1,88
-0,61
0,67
0,83
2,66
0,67
0,68
===============================================
Sumber : Kompas 6 Juni 1987
203
204
Ketiganya memiliki kesamaan: tidak serasi dengan Naro, dan turut
dalam aksi penggembosan.
Sementara itu, segera setelah pemilu NU mengupayakan rekonsiliasi internal. Tanggal 4 Juni KH Achmad mengundang semua tokoh NU yang menyebar di setiap 0PP dalam sebuah acara halal bi
halal di Surabaya. Termasuk yang diundang adalah para aktivis
penggembosnya seperti Yusuf Hasyim dan Mahbub Djunaedi. Namun tokoh-tokoh NU di PPP, seperti KH Syansuri Badawi dan Ketua DPW PPP Jawa Timur Sulaeman Fadeli menolak hadir dalam
pertemuan yang diwarnai dengan acara saling memaafkan ini.34
Selanjutnya, hasil-hasil pemilu rupa-rupanya kian meyakinkan
kelompok politisi NU akan potensi politik organisasinya. Bagi mereka sudah terbayang bahwa potensi itu akan membuat NU selalu
diperebutkan oleh setiap kontestan dalam pemilu-pemilu selanjutnya. Maka lalu muncul gagasan tentang "Khittah Plus", yang merupakan buah pikiran Mahbub yang paling kontroversial tentang
NU. Dalam gagasannya ini, Mahbub mengajak warga NU untuk
memikirkan kemungkinan NU kembali menjadi partai politik. Menurutnya, apa yang obyektif benar ditentukan di Situbondo dahulu
belum tentu benar selamanya. Sah saja NU melakukan think and
rethink, agar tetap dinamis. Tentang hambatan berupa struktur
politik yang hanya memperkenankan tiga kekuatan politik, ia berargumen: "Bukankan negeri ini sudah berulangkali mengalami penyempurnaan sistem politik yang tunduk pada perkembangan dinamisasi masyarakat? Bukankan pernah ada pikiran multipartai,
pernah ada pikiran satu partai, pernah ada pikiran dwipartai, dan
akhirnya sistem sekarang?35 Meskipun tampaknya tidak ada yang
tak masuk akal dalam argumen Mahbub itu, namun setidaknya ter
dapat dua persoalan yang membuat gagasan itu tidak populer. Pertama, ia herhadapan dengan hambatan obyektif makro seperti yang
telah disebutkan sendiri oleh Mahbub, yang sulit untuk berubah dalam waktu dekat. Kedua, gagasan itu diartikulasikan terlalu pagi,
ketika NU masih sedang didominasi oleh semangat reorientasi politik yang mengharuskan NU meninggalkan kegiatan politik praktis.
Serangkaian upaya lobying Mahbub untuk meyakinkan gagasannya praktis tidak berhasil. Bahkan Munas Alim Ulama NU di
Cilacap, 15-18 Nopember, sekalipun sempat diwarnai perdebatan
tentang itu, sama sekali tidak mencantumkan masalah Khittah Plus
205
Mahbub dalam agendanya. Dalam waktu singkat, gagasan Mahbub
itu dengan segala variannya, termasuk untuk menggeser Abdurrahman Wahid, segera terabaikan, setidaknya untuk sementara.
Sedang Mahbub rupanya harus memikul resiko lain. Dalam
Muktamar 1989 ia termasuk orang yang oleh Abdurrahman dising
kirkan dari pos-pos kunci dalam kepengurusan harian PB NU. Na
mun berbeda dengan Anwar Nurris yang sama sekali terlempar,
Mahbub masih ditempatkan pada posisi yang tidak begitu menen
tukan sebagai anggota Mustasyar. Rupanya, aksi penggembosan
yang pada sisi tertentu berimplikasi positif bagi pembuktian eksistensi diri NU masih dipandang sebagai jasa Mahbub yang untuk itu
ia harus dihargai semestinya.
Muktamar ini juga, mengambil pelajaran dari perjalanan selama
lima tahun, akhirnya merasa perlu memberikan pedoman bagi warga NU dalam menggunakan hak-hak politiknya. Pedoman itu di
akumulasikan dalam sembilan rumusan politik NU:
1. Berpolitik Bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga ncgara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945.
2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan
langkah- langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu
terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin,
dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di
dunia dan kehidupan di akhirat.
3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilainilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik
kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan
tanggungjawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab,
menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh
206
rakyat Indonesia.
5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran murni dan moral agama, konstitusional,
adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus nasional, dan dilakukan sesuai dengan
akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.
7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalil apapun,
tidak bolth dilakukan dengan mengorbankan kepentingan
bersama dan memecah-belah persatuan.
8. Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik
warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan
an, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri
dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.36
bangsa Indonesia. Tapi peran politik setelah khittah tidak lagi
identik dengan kekuasaan atau jabatan publik.37
Tentu lalu dapat dipertanyakan, dengan cara apa NU kini memainkan peran politiknya? Khittah tidak diragukan lagi telah membawa NU pada kedudukan di luar politik praktis yang tidak memungkinkannya terlibat dalam powerpolitics. Tetapi, bahwasanya
proses politik memiliki sekaligus sisi formal dan informal masih
membuka celah bagi peran NU. Jika diamati, kepolitikan NU kini
tampaknya mengambil model beyond politics yang aksentuasinya
bukan pada mekanisme formal. Cara yang dipakai untuk mempengaruhi kebijakan publik, lepas dari persoalan efektifitas, sering
disebut-sebut oleh Abdurrahman sebagai "negosiasi di balik layar."
Kecenderungan inilah yang diamati Arbi Sanit.38 Ia melihat
bahwa NU tetap hadir dalam proses politik nasional dan lokal secara tidak resmi, melalui peran warganya yang menjadi pengurus
atau bukan, yang secara umum dapat disebut tokoh. Dengan
menggunakan lobi sebagai teknik utamanya, tokoh NU memperjuangkan aspirasi dan kepentingan warganya secara pragmatis dalam arti mengupayakan seoptimal mungkin diperolehnya konsesi
politis dari pihak-pihak dengan siapa tokoh tersebut melakukan
interaksi, sehingga kepentingan keagamaan dan kemasyarakatan
yang menjadi pusat perhatian NU tetap terlindungi. Dengan inilah
agaknya dapat dijelaskan mengapa ketika menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya tidak lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif
berupa jabatan-jabatan publik, pada saat yang sama ternyata NU
masih terus memetik manfaat dari kehadiran warganya dalam
struktur politik, yang sebagian bahkan secara informal sengaja diperjuangkan. Contoh yang paling jelas adalah ketika NU mendukung warga-nya untuk dapat menempati posisi-posisi strategis di
PPP ketika partai ini melaksanakan muktamar keduanya, Agustus
1989. Ketika itu NU memperjuangkan Chalid Mawardi dan Karmani sebagai calon pengganti Naro. Sekalipun usaha ini gagal, dan
pengganti Naro tetap orang MI, tapi NU berhasil menempatkan tiga
orangnya (Sulaeman Fadeli, Karmani, dan Imam Sofwan) sebagai
anggota formatur di antara tujuh orang yang terpilih. Selanjutnya
enam orang NU berhasil duduk dalam kepengurusan harian PPP,
termasuk Matori Abdul Jalil sebagai Sekjen. Jumlah ini meningkat
dibandingkan dengan kepengurusan Naro yang hanya mencantum-
Sebenarnya tidak ada yang baru dalam sembilan rumusan politik itu. Pada dasarnya ia adalah penegasan kembali dalam detail
terhadap blueprint kepolitikan NU yang diputuskan di Situbondo
Untuk sebagian, rumusan politik itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa dengan khittah tidak lalu berarti NU menjadi pasif
dan tidak terlibat dalam proses politik. Pada bulan Agustus, tiga
bulan sebelum muktamar, di depan program pelatihan kader NU
yang diadakan oleh Lakpesdam, Abdurrahman Wahid berbicara
tentang peran politik NU. Ia memastikan, sekalipun bukan orpol,
NU bisa saja punya peran politik sebagaimana organisasi politik
maupun organisasi profesional lainnya, sebab NU selalu merasa
terpanggil dalam proses transformasi sosial yang tengah dialami
207
208
kan lima orang dari unsur NU. Sebaliknya, unsur MI dalam kepengurusan harian turun dari sembilan menjadi tujuh. Diberitakan
bahwa calon-calon NU telah memperoleh semangat dan motivasi
dari tiga orang kyai yang terus-menerus mendampingi selama
muktamar.39 Kejadian ini mendorong Syamsuddin Haris (40 untuk
menyimpulkan bahwa NU sedang mengalami godaan untuk kembali berpolitik, sehingga ia mengajukan hipotesis bahwa keputusan
NU untuk menarik diri dari kegiatan politik adalah keputusan sementara, yang cepat atau lambat akan mengalami pengkajian ulang.
Sekalipun sampai tingkat tertentu sinyalemen ini ada benarnya, namun beberapa keberatan dapat diajukan kepadanya. Pertama, seperti yang menjadi salah satu tesis kajian ini, NU tidak pernah
memutuskan untuk membuang sama sekali dimensi politik dalam
aktivitasnya, dan karena itu frasa "godaan untuk kembali berpolitik"
masih dapat dipertanyakan relevansinya. Selanjutnya, kalaupun
yang dimaksud adalah godaan untuk kembali berpolitik praktis,
maka asumsi Haris di atas pasti akan segera dicounter oleh NU
bahwa persoalan dalam muktamar PPP itu adalah keterlibatan
individual orang-orang NU, dan bukan NU sebagai organisasi. Kasus di atas agaknya lebih tepat jika dipahami sebagai bagian dari
mekanisme informal NU saat hendak turut ambil bagian dalam
proses politik yang sedang berjalan. Dan akhirnya, penyimpulan itu
agaknya dibuat setelah keterlibatan tokoh NU dalam PPP diamati di
bawah lensa pengamatan yang membuatnya tampak lebih besar
dari makna riilnya. Sebenarnya, bukan hanya di PPP NU menunjukkan keterlibatan, namun juga di Golkar seperti yang tercermin dari
masuknya Slamet Effendy Yusuf, Ketua GP Ansor, dalam jajaran
DPP-nya, dan belakangan di PDI ketika di tahun 1993 seorang kyai
NU tercantum dalam formasi pengurus pusat partai ini.41 Bahwa di
PPP keterlibatan NU jauh lebih besar jika dibandingkan terhadap
kedua OPP lainnya, tentu karena masih adanya ikatan historis dan
kesamaan tujuan tertentu yang tidak dapat begitu saja dinihilkan
antara NU dan PPP.
Dan siapapun tidak akan meragukan bahwa PPP sebenarnya
tahu persis arti penting massa NU baginya. Karena itu, segera setelah perombakan formasi kepemimpinan partai, yang nyaris menghapus sama sekali kubu Naro, PPP memulai langkah untuk kembali
merangkul pemilih potensialnya itu. Dalam mana kemudian PPP
209
menemukan bahwa ia tidak sendirian, sebab PDI dan terlebih lagi
Golkar ternyata sedang melakukan hal yang sama. Kunjungan Ismail Hasan Metareum, pengganti Naro, bersama sejumlah anggota
DPP PPP terutama yang dari NU seperti Matori dan Hamzah Haz,
ke Muktamar Krapyak dapat dipandang sebat;ai awal rekonsiliasi
PPP dengan NU. Dalam dialognya dengan tokoh-tokoh dan warga
NU, Ismail mengatakan bahwa jika NU akan kembali mendukung
PPP sepenuhnya, maka pengurus dan seluruh keluarga besar PPP
akan berterima kasih kepada NU, sebab kelahiran PPP tidak terlepas dari dukungan warga NU. Ia menilai keputusan kembali ke
khittah yang membawa konsekuensi ditinggalkannya kepolitikan
prakfis sebagai keputusan yang tepat. fetapi bagaimanapun NU tetap merupakan kekuatan politik, dan kekuatan itu diharapkannya
bisa digunakan untuk mendukung ppp.42 Ismail ketika itu juga
menyerahkan bantuan dari DPP untuk muktamar. Namun sebelum
DIY kabarnya telah membantu membangun saluran air sekaligus
memasang blok beton di halaman kompleks pesantren Krapyak. Sementara DPP Golkar memberikan bantuan keuangan.43 Lontaran
kekhawatiran Mahbub di tahun 1987 bahwa NU hanya akan seperti
perawan yang ditarik kian kemari oleh para kontestan" di setiap
pemilu,44 dengan segera terasa sangat beralasan. Maka mengantisipasi diincarnya tokoh-tokoh NU oleh ketiga OPP, entah sebagai
vote getter maupun calon di lembaga legislatif, dalam Rapat Pleno
PB NU, 18-29 Mei 1991, dibahas rancangan SK PB NU tentang petunjuk menghadapi pemilu.45 Rancangan itu mengatur antara lain
bahwa warga NU, termasuk pengurus harian, boleh dicalonkan
oleh orsospol sebagai anggota MPR/DPR maupun DPRD. Namun
begitu namanya tercantum sebagai calon tetap, ia harus meninggalkan jabatannya di NU. Setelah pemungutan suara selesai dan
masuk ke lembaga legislatif, ia kembali memegang jabatannya. Lalu
utusan PW NU Jawa Timur mengusulkan agar begitu terpilih sebagai anggota badan legislatif sebaiknva yang bersangkutan dibebaskan dari jabatannya. Akhirnya rapat memutuskan sebuah jalan
tengah: mereka yang menjabat sebagai pengurus harian dan terpilih
dalam pemilu, dialihkan ke jabatan yang tidak terlalu menentukan.
Ketetapan ini juga berlaku bagi pengurus badan otonom, lembaga,
dan lajnah di lingkungan NU.
Dalam rapat pleno ini pula, Ketua PW NU Jawa Timur Moham210
mad Thohir dikabarkan telah melobi peserta lain agar kasus keterlibatan Abdurrakman dalam Forum Demokrasi dimasukkan dalam
agenda sidang. Namun lobi ini tidak berhasil. Rupanya, kebanyakan
peserta sidang merasa khawatir jika persoalan FD dibicarakan, bisa
saja keterlibatan pengurus NU lainnya di ICMI dan MUI juga dipermasalahkan. Seperti kebanyakan usaha untuk menyerang Abdurrahman Wahid dalam periode ini, keinginan untuk mempersoalkan
keterlibatannya dalam FD pun sebenarnya akan merikuhkan pengkritik itu sendiri, dan cenderung akan gagal. Sebabnya adalah karena Abdurrahman Wahid sendiri selalu konsisten akan kebebasan
setiap warga NU untuk memilih saluran aspirasi politiknya masing
masing. Sikap ini sulit diragukan bahkan oleh penentangnya yang
paling keras sekalipun. Ia, misalnya, tidak pernah mempersoalkan
keterlibatan anggota PB dalam ICMI, sekalipun ia pribadi menolak
karena menilai ICMI mewakili pandangan bahwa untuk dapat melakukan perubahan adalah sangat penting untuk masuk ke dalam
sistem kekuasaan, baik sebagai pelaku langsung maupun hanya sebagai perumus kebijaksanaan dan/atau jalur penetapan bagi personalia yang bergerak dalam pemerintahan. Pandangan ini terlalu
mementingkan keharmonisan hubungan dengan pemerintah, sehingga dikritiknya telah menomorduakan segala hal, termasuk proses demokratisasi politik yang berintikan perjuangan membangun
struktur masyarakat yang lebih adi1.46 I, sendiri lebih mengutamakan pegembangan kemampuan melakukan perubahan, tanpa harus
masuk ke dalam sistem kekuasaan. Dan inilah dasar pemikirannya
tentang FD. Konsistensi sikap di atas juga ditunjukkan oleh Abdurrahman berkaitan dengan Pemilu 1992. Ia tidak bereaksi apapun
ketika di tahun 1990 sejumlah kecil tokoh PPP asal NU meyeberang
ke PDI, yang dalam pernyataan mereka dikatakan bahwa eksodus
itu membawa keinginan untuk memberi warna Islam, NU khususnya, pada PDI.47 Ia juga membiarkan Chalid Mawardi, salah
seorang Ketua Tanfidziyah, berkampanye untuk Golkar di tahun
1992. Ketika Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah, Ircham AR, menyatakan bahwa beberapa kyai NU yang pada Pemilu 1987 meninggalkan PPP dalam pemilu mendatang akan pulang kandang",
Abdurrahman Wahid tidak mempersoalkannya. Ia mempersilahkan
warga NU yang ingin pulang kandang untuk memilih PPP kembali.48
211
Tampaknya, Gus Dur meyakini bahwa kadar heterogenitas
warga NU yang tinggi membuat tidak mungkin untuk menyeragamkan hitungan dan cara langkah politik mereka secara keseluruhan. Akan tetapi, bahwasanya sebagai apa yang disebut suatu jamaah dan telah terformalisasi dalam sebuah jam'iyah, adalah keharusan bagi warga NU, di tengah heterogenitas cara langkahnya,
untuk tetap berada dalam satu arah langkah yang sama. Sebab jika
kesamaan arah itu tidak dimiliki NU, warga dan tokohnya yang menyebar di berbagai orpol sulit untuk diidentifikasikan sebagai orang
NU, yang akibat selanjutnya adalah lemahnya solidaritas antar warga yang telah menyebar itu. Cara pandang inilah yang menjadi
alasan obyektif ketika Gus Dur pada 1 Maret 1992 melakukan apa
yang oleh sebagian pengamat disebut-sebut sebagai uyaya political
realignment NU, dan oleh mereka yang skeptis dinilai tidak lebih
dari sekadar show of force seorang Abdurahman Wahid, sementara
oleh NU sendiri dinamakan sebagai Rapat Akbar 1992. Rapat akbar
ini berasal dari gagasan Gus Dur yang justru disampaikannya pertama kali kepada Presiden saat diadakan pertemuan empat mata di Jl.
Cendana, 17 Oktober 1991. Berbekal lampu hijau dari Presiden, Gus
Dur segera mengatur langkah persiapan, yang dimulainya dengan
menawarkan rencana rapat akbar itu kepada sebuah Rapat Pleno PB
NU, pertengahan Desember. Tetapi sebagian besar peserta rapat
yang dipimpin oleh Yusuf Hasyim itu ternyata menolak. Akibatnya,
rencana itu gagal dimasukkan sebagai program PB melalui Munas
dan Konbes di Bandarlampung. Tapi Gus Dur lalu membuat ancaman: jika PB NU tidak menyetujui gagasannya, ia akan berjalan
sendiri bersama para santri alumni Tebuireng serta sebagian warga
NU.49 Rupanya ia sadar betul akan kapasitasnya. Kalaupun ia melaksanakan gagasannya itu sendirian, orang pasti akan tetap menganggapnya sebagai preyek NU dan bukan Abdurrahman Wahid
pribadi. jadi baginya sendiri tidak ada bedanya baik PB NU menerima gagasan itu atau tidak, dan karena itu PB NU tidak punya
pilihan lain kecuali menerimanya. Jika tidak, PB nantinya hanya
akan menanggung akibat dari apa yang tidak dilakukannya, jika
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Lalu atas usulan Hasyim
Latief, salah seorang Rais Syuriyah, PB NU mengadakan rapat pada
9 Pebruari, yang akhirnya memutuskan untuk menerima rencana
Gus Dur itu. Keputusan rapat ini jelas bukan merupakan peneri212
maan aklamatif terhadap gagasan rapat akbar, sebab beberapa
tokoh PB seperti Yusuf Hasyim dan Chalid Mawardi tetap menolak.
Rasanya lebih tepat untuk menyebut PB telah dihadapkan pada
sebuah faith accompli yang sampai kadar tertentu juga dilakukan
Gus Dur terhadap pembantu-pembantu Presiden yang bertanggung-jawab atas politik dalam negeri. Andalannya tentu adalah ijin
dari Presiden, meskipun hanya lisan.50 Namun rekomendasi dan
ijin resmi dari pejabat yang berkompeten ternyata tidak begitu saja
mudah didapat. Mendagri Rudini, Menko Polkam Sudomo, dan
dengan cara lebih lunak Mensesneg Murdiono, semula berkeberatan
dengan rencana rapat akbar itu. Alasan mereka adalah faktor pengamanan massa peserta rapat yang semula direncanakan sejumlah
dua juta orang, meskipun Pangab, Kassospol ABRI, dan Pangdam
Jaya telah menyanggupi pengamanan itu. Gus Dur mesti menunggu
selama sembilan hari dari 19 hingga 28 Pebruari, sejak ia mengajukan surat permohonan rekomendasi untuk memperoleh ijin, hingga
keluarnya ijin yang dimaksud dari Mabes Polri.51 Di tengah penantian itu Gus Dur suatu ketika membuat pernyataan yang agak konfrontatif bahwa jika sampai 26 pemerintah tidak memberi ijin, ia
akan menganggap pemerintah memang melarang, sambil memperingatkan bahwa jika rapat akbar dilarang maka yang rugi adalah
pemerintah sebab "rapat akbar ini lebih efektif daripada 1.000 kali
penataran P-4."52 Namun deadline ini tidak terlewati, karena pada
tanggal 25 malam rekomendasi lisan dari Rudini diperoleh, setelah
lewat pertemuan segitiga Gus Dur, Rudini, dan Murdiono dibuat
kompromi mengenai jumlah peserta rapat akbar menjadi hanya 200
ribu orang.
Berbeda dengan proses perijinannya yang berbelit-belit, maka
acara rapat akbar dalam praktek, yang tidak dihadiri oleh Yusuf
Hasyim dan tokoh-tokoh NU lain seperti Anwar Musaddad, Usman
Abidin dan Ali Yafie, sebenarnya berlangsung biasa-biasa saja. Ra
pat Akbar NU '92 dimulai dengan pembacaan Al-Qur'an bersama
sama, dan diakhiri dengan parade dakwah dari beberapa mubalig
NU seperti KH Zainuddin MZ, serta tampilnya beberapa penyair.
Namun di sela-sela setiap acara, massa terus dipimpin untuk ber
sama-sama membaca shalawat badar (pujian kepada Nabi yang
khas NU). Dalam tradisi NU, shalawat ini biasanya juga digunakan
sebagai penegasan solidaritas dan rasa persatuan antar warga. Se213
hingga tidak diragukan lagi, selama acara rapat akbar emosi warga
telah digiring pada suasana yang kondusif bagi penyatuan pandangan. Dan ketika titik kulminasi dicapai, sebagai acara puncak
rapat akbar ini, KH Buchori Masruri, Ketua PW NU Jawa Tengah,
tampil membacakan 5 pasal ikrar NU.53 Ikrar ini pada umumnya
adalah penegasan terhadap keputusan Situbondo, terutama sekali
pandangan tentang hubungan Islam dan negara yang dahulu oleh
NU telah dirumuskan dengan sangat mengesankan bahwa, dalam
bahasa KH Achmad Siddiq ketika itu, Negara RI adalah bentuk
final. Kedua, NU menegaskan kesetiaannya kepada Pancasila dan
UUD 1945 dan bertekad untuk bersungguh-sungguh mengamalkan
dan mengamankannya. Lalu ikrar itu juga membuat pernyataan
kesiapan NU untuk memasuki pembangunan nasional tahap kedua,
sambil menyampaikan rasa syukur atas hasil-hasil pembangunan
selama ini. Selanjutnya NU juga menyatakan kesiapan untuk mengikuti Pemilu 1992. Dan akhirnya ditutup dengan tekad NU untuk
mengamankan SU MPR 1993. Jelas ikrar itu, yang pada 26 Maret
diserahkan kepada Presiden oleh sembilan orang anggota teras PB
NU, sama sekali tidak menyebut-nyebut soal dukungan terhadap
pencalonan kembali Suharto. Makna terpenting Rapat Akbar '92
pastilah sebagai peneguhan solidaritas baru dan pencarian identifikasi diri NU yang juga baru, ketika warganya telah semakin banyak menyebar dalam setiap orpol. Hal ini dapat menjelaskan, setidaknya untuk sebagian, mengapa NU dapat melewati masa Pemilu
1992 tanpa gejolak apapun dan tanpa perlu ada rekonsiliasi pasca
pemilu seperti yang dilakukan pada bulan Juni 1987.
Manfaat lain yang dapat diambil bagi Abdurrahman sendiri
adalah pembuktian akan masih besarnya dukungan dalam tubuh
NU terhadapnya, sekalipun tidak dapat dibuktikan bahwa ia memang sejak awal telah menjadikan manfaat ini sebagai bagian dari
tujuan Rapat Akbar. Besarnya antusiasme warga terhadap event ini,
baik yang dibuktikan dengan kehadiran mereka di Parkir Timur Senayan tempat acara itu dilaksanakan maupun, terlebih lagi, yang
ditunjukkan dengan banyaknya warga yang kecewa karena tidak
dapat mengikuti rapat akbar akibat pembatasan yang dilakukan,54
akan memaksa para penentang Abdurrahman Wahid dalam NU
untuk berpikir dua kali sebelum menunjukkan perlawanan secara
terbuka terhadapnya.
214
Dan akhirnya, Rapat Akbar '92 juga telah menjadi indikator
semakin akomodatifnya inner circle kekuasaan Indonesia terhadap
umat Islam. Adalah untuk pertama kalinya sejak kebijaksanaan
massa mengambang pemerintah mengijinkan sebuah ormas melakukan pengerahan massa besar-besaran dalam suatu acara. Yang
terjadi biasanya, pengerahan massa semacam itu hanya diijinkan
bagi OPP saat masa kampanye pemilu. Bahkan, Rapat Akbar diselenggarakan tepat di hari pertama pelarangan yang diberlakukan
Depdagri karena sudah mendekati pemilu. Selanjutnya, bahwa rapat akbar ini berintikan pemberian legitimasi terhadap kekuasaan
negara, meskipun tanpa menyebut nama tertentu, telah menunjukkan terjadinya proses saling memberi konsesi antara NU dan pemerintah. Dan melihat begitu mudahnya Gus Dur memperoleh ijin
dari Suharto, tidak diragukan lagi bahwa, seperti disinyalir oleh
Feillard, ada harapan tertentu yang sedang diletakkan di pundak
NU, dan,
jelas akan merupakan bunuh diri bagi NU untuk berpaling ..
Satu-satunya langkah yang bisa dilakukan adalah mengakomodasi, berkompromi, dan bersikap sebagai pemain yang
baik. Kalau dilihat dari "kesehatan" NU yang kian membaik,
sang Pemain, sejauh ini terbukti telah berlaku sangat cerdik.55
Tetapi masalah pembatasan jumlah peserta Rapat Akbar rupanya masih mejadi ganjalan bagi Gus Dur. Meskipun kompromi yang
dibuat telah menetapkan jumlah peserta hanya 200 ribu orang, pada
awalnya Abdurrahman tetap memperkirakan rapat itu akan dihadiri 700 ribu warga NU. Dan ketika, akibat pembatasan yang dilakukan secara konsisten oleh aparat pemerintah sampai level terendah, jumlah peserta benar-benar hanya 200 ribu orang atau bahkan
sedikit di bawah itu, tak urung Gus Dur merasa kecewa. Setidaknya
itu tercermin dalam sebuah memo pribadi yang disampaikannya
kepada Presiden.56 Dalam memo ini Gus Dur mengulangi bahwa
Rapat Akbar semula --dengan dua juta peserta-- diharapkan sebagai
pemberi legitimasi kepada NU untuk menata orientasi keagamaan
kaum muslimin Indonesia serta pemahaman mereka akan hubungan agama (Islam) dan negara. Namun karena jumlah peserta Rapat
215
Akbar jauh di bawah target semula, maka sasaran utama NU untuk
memperoleh legitimasi dari umat Islam tidak tercapai. Kegagalan
legitimasi untuk penataan orientasi keagamaan itu bisa mengakibatkan tanggung jawab akan pindah semata-mata ke pundak pemerintah, tidak lagi menjadi beban NU. Bila pemerintah juga gagal
melakukan penataan itu --yang ditujukan untuk mengatasi isu sektarianisme yang mengakibatkan munculnya sikap tertutup dan menekankan perbedaan yang membahayakan persatuan-- Gus Dur
mengkhawatirkan dalam tempo sepuluh tahun Pancasila akan kembali terancam.
Bahwa memo itu akan mendatangkan tanggapan yang skeptis
boleh jadi sudah dapat diduga. Yusuf Hasyim, yang sejak semula
tidak menyetujui Rapat Akbar, menuduh Gus Dur telah "jalan sendiri" dengan membuat memo kepada Presiden. Karena isinya merupakan evaluasi langkah NU, memo itu seharusnya dibicarakan
dulu dalam rapat PB NU. Lalu Amien Rais, Wakil Ketua PP Muhammadiyah, secara kurang tepat menilai memo itu insinuatif, provokatif, dan tendensius, sebab hal itu bisa ditafsirkan seolah-olah
umat Islam mempunyai kecenderungan sektarianisme dan eksklusivisme yang bisa memecah persatuan bangsa.57 Penilaian ini terasa
agak tergesa-gesa. Sudah tentu Gus Dur tidak hendak mengatakan
bahwa umat Islam memiliki kecenderungan demikian. Namun bahwa dalam setiap kelompok masyarakat pasti ada sayap-sayap ekstrem yang mempunyai kecenderungan negatif tertentu, yang juga
terjadi dalam tubuh umat Islam Indonesia, adalah hal yang tidak
dapat dipungkiri dan ditutup-tutupi.58
Terlepas dari kekecewaan Abdurrahman itu, Rapat Akbar sesungguknya telah cukup efektif bagi konsolidasi internal warga NU.
Sehingga perbedaan aspirasi politik mereka yang kian menyebar
tidak menjadikan Pemilu 1992 sebagai suatu yang krusial bagi NU
sebagaimana yang terjadi dengan Pemilu 1987. Tapi itu juga membawa implikasi eksternal lain: PPP masih sulit untuk mengembalikan massa NU yang dahulu telah meninggalkannya. Pemilu 1992
tidak menunjukkan perubahan distribusi hasil yang terlalu besar
dari Pemilu 1987. Di sini, PPP memang mencatat kenaikan prosentase perolehan suara, namun itu hanya cukup untuk menambah
satu kursi di DPR dari 61 kursi di tahun 1987 menjadi 62 kursi di
tahun 1992. Sementara itu secara total dalam DPR dan MPR hasil
216
Pemilu 1992 terdapat sejumlah 76 orang tokoh NU yang duduk di
kursi anggota. Mereka menyebar sebagai wakil dari PPP, Golkar,
PDI, dan Utusan Daerah.59 Dalam perkembangan selanjutnya, penyebaran warga NU semakin nyata ketika KLB PDI mencantumkan
nama KH Khaliq Murad, seorang tokoh NU yang cukup berpengaruh dari pesantren Mranggen Semarang, sebagai salah seorang
Ketua DPP PDI. Hal ini tentu lalu dapat ditafsirkan bahwa hambatan psikologis antara NU dan PDI sebagai akibat adanya sekatsekat aliran santri-abangan-priyayi telah mulai mencair. Namun da
lam pada itu tidak sedikit pemerhati yang menangkap isyarat akan
menguatnya kembali politik aliran dalam pentas politik Indonesia.
Mereka sepakat bahwa terbentuknya ICMI serta naiknya Megawati,
yang sulit disangkal telah membawa citra Sukarnno bahkan Sukarnoisme, ke puncak pimpinan PDI adalah indikator ke arah itu. Lalu
bagaimanakah seharusnya fenomena-fenomena yang tampaknya
berlawanan ini ditafsirkan? Adalah kompetensi kajian lain yang lebih spesifik untuk menjawabnya.
Lapangan Baru Pasca Khittah
Kalau ada kekeliruan terbesar yang telah dilakukan NU selama
periode aktualisasi peran politiknya, itu pastilah terabaikannya begitu banyak bidang garapan akibat aktivitas yang terkonsentrasi
pada politik semata-mata. Sehingga meskipun NU telah membu
kukan catatan-catatan gemilang tentang prestasi politiknya, dalam
banyak hal lain NU sesungguhnya menyimpan sejumlah kelemahan. Masalah taraf perekonomian kebanyakan warga yang masih lemah, atau masalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia NU,
adalah contoh kelemahan itu. Kekeliruan ini mulai diperbaiki ketika
politik tidak lagi menyita habis perhatian NU. Cukup banyak
sebenarnya bidang-bidang yang dibenahi NU sejak 1984. Namun di
sini hanya akan dilihat beberapa bidang garapan terpenting, seperti
pengembangan sumberdaya manusia, penataan perekonomian warga, dan pendidikan. Pembahasan dalam bagian ini sangat bersifat
teknis dan terasa kurang menarik, namun maksud utamanya adalah
untuk membuat gambaran betapa NU telah mengambil manfaat
yang cukup besar dari ditinggalkannya kegiatan politik praktis yang
217
memungkinkannya untuk juga memperhatikan bidang-bidang lain.
Bidang yang nampaknya menjadi perhatian pertama dalam
pembenahan NU adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Boleh jadi sebabnya adalah karena setelah khittah kelompok cendekiawan mengorbit ke puncak struktur kewenangan NU, sehingga
wajar jika concern pada masalah sumberdaya manusia terasa sekali.
Hanya empat bulan setelah Muktamar Situbondo, berdasarkan SK
PB NU No. 16/A-V/04/IV/1985 pada tanggal 6 April 1985 di Jakarta didirikan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), yang berada langsung di bawah PB NU. Lalu
pada 30 Nopember tahun berikutnya, dalam acara Lokakarya
Penataan Program NU DIY, berdiri badan dengan nama yang sama
tetapi akronimnya berbeda, LKPSM, di bawah PW NU DIY. Kedua
badan ini pada dataran konseptual melakukan kajian, penelitian,
dan penerbitan yang mengarah pada tujuan gerakan transformatif.
Sedang pada dataran aksi, secara simultan, dilakukan pelatihan dan
pengembangan masyarakat. Lakpesdam misalnya, di mana saat ini
bekerja sebelas orang sarjana sebagai tenaga profesional yang bekerja penuh, telah merintis pembuatan Pusat Dokumentasi NU.
Arsip-arsip lama NU, termasuk kitab-kitab klasik yang menjadi
acuan utama NU, di samping dikirim ke LIPI juga dikirim ke
Lakpesdam. Di LIPI bahkan, bekerja sama dengan Monash University, arsip-arsip itu telah disimpan dalam bentuk microfilm. Lakpesdam juga telah ratusan kali melakukan fasilitasi dan pelatihan, dari
tingkat pusat sampai ke tingkat terbawah, terutama untuk mencetak
kader-kader organisasi NU. Di samping itu juga pelatihan ketrampilan dan tenaga profesi yang dikaitkan dengan pilot project tertentu seperti peternakan, pertanian, dan sebagainya.
________________________________________________________
____________________
________________________________________________________
___________________
32. Polling pendapat yang dilakukan terhadap warga NU oleh
mingguan Editor
218
di tahun 1988 dan 1992 sedikit banyak mendukung sinyalemen itu.
Polling
tentang pilihan warga NU ini pada tahun 1988 menunjukkan bahwa
dalam
Pemilu 1982, 80 % warga NU memilih PPP, 13 % Golkar, dan 0 %
PDI. lalu
pada Pemilu 1987, yang memilih PPP turun menjadi 56 %, Golkar
naik
menjadi 71 %, dan PDI menjadi 3 %. Lihat Editor, 2 Desember
1988. Sedang
Polling 1992 menunjukkan angka yang hampir sama. 84,10 %
warga NU
dalam Pemilu 1982 memilih PPP, 12,13 % memilih Golkar, dan 0
% PDI. Dan
pada Pemilu 1987 bergeser, PPP menjadi 42,34 %, Golkar menjadi
51,35 %.
dan PD11.8 Y. Lihat Editor, 7 Maret 1442 Selanjutnya taktor
pemilih muda
agaknya juga menentukan. Potting Tempo menunjukkan bahwa
warga NU
yang baru memilih dalam Pemilu 1987 sebanyak 54,22 % memilih
Golkar,
32,53 % PPP, dan 4,82 % PDI. Lihat Tempo,2 Mei 1987.
33. Lihat Tempo, 15 Agustus 1987.
34. Lihat Tempo, 13 Juni 1987.
35. Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," dalam Tempo, 7 Nopember
1987.
36. Keputusan Muktamar NU No. 06/MNU-28/1989 Tentang
Masalah-masalah
Kemasyarakatan (Pesan-pesan Muktamar), Bab VI.
38. Arbi Sanit, "Politik NU Sebagai Organisasi Massa,'. dalam S
Sinansari ecip
(eds.), NU dalam Tanfangan (Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989).
39. Lihat Editor, 9 September 1989.
4O. Syamsuddin Haris, "NU dan Godaan Politik Menjelang
Muktamar ke-28,
dalam Kompas, 2 Oktober 1989.
41. Menjelang I'emilu 1987, Abdurrahman di depan massa PDI
mengatakan
bahava jika ada warga NU yang aktif di PDI, ia akan mendukung.
Sebab
PDI 'kan kecil, kayak anak yatim. Wajar kalau mengharap warga
NU
mendukung PDI." Lihat Tempo, 21 Maret 1987.
42. Lihat Surabaya Post, 24 Nopember 1989.
43. Tempu menyebutkan jumlah bantuan itu adalah sama seperti yang
diberikan
oleh PPP, yakni sebasar 5 juta rupiah. Lihat Tempo, 2 Desember
1989
Namun Surabaya Post menyebutkan jumlah 25 juta. op. cit. Sulit
dilakukan
konfirmasi. Akan tetapi mengingat kemampuan finansial Golkar
yang jauh
di atas PPP dan membandingkan dengan bantuan-bantuan Golkar
ke
berbagai pesantren yang biasanya selalu dalam jumlah besar, maka
angka
yang disebutkan oleh Surabaya Post rasanya lebih dapat diterima.
44. Mahbub Djunaedi, Khittah Plus, op. cit.
37. Lihat Kompas, 8 Agustus 1989.
45. Tempo, 25 Mei 1991.
219
220
46. Tentang penilaian Abdurrahman Wahid yang cukup seimbang
terhadap
ICMI ini, lihat tulisannya, "NU, Pluralisme dan Demokratisasi
langkah
Panjang," dalam M Imam Aziz, et. al., op. cit., h. 221.
55. Andree Feillard, "Isyarat Politik Setelah Situbondo," dalam Editor,
7 Maret
1992, h. 31. Cetak miring dari Penulis, kalau "sang Pemain" di situ
dapat
ditafsirkan sebagai Abdurrahman Wahid.
47. Lihat Tempo, 26 Mei 1990.
56. Memo ini untuk sebagian dapat ditafsirkan sebagai keluhan
kepada Suharto
tentang pembantu-pembantu dan aparat-aparatnya, yang tidak bisa
mengikuti secara persis irama politik akomodatif Suharto.
48. Lihat Kedaulatan Rakyat, 11 Januari 1992.
49. Lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 26.
57. Lihat Tempo, 4 April 1992.
50. Tidak begitu jelas mengapa Suharto dapat dengan mudah memberi
ijin.
Namun sangat boleh jadi ia mengharapkan bahwa Rapat Akbar NU
akan
membuat semacam pernyataan kebulatan tekad untuk mendukung
pencalonannya kembali sebagai presiden. Jika dugaan ini benar,
Suharto
mungkin kecewa, sebab rapat akbar ternyata tidak mengeluarkan
pernyataan
semacam itu.
51. Tentang kronologis sulitnya rekomendasi dan ijin pelaksanaan
rapat akbar
itu, lihat Editor, 7 Maret 1992, h. 18.
52. Ibid.
53. Tempo, 7 Maret 1992.
54. Diberitahukan bahwa pemerintah-pemerintah daerah telah secara
ketat
melakukan pembatasan terhadap warga NU di daerahnya yang
hendak
mengikuti rapat akbar. Lihat antara lain ibid., h. 23-24.
221
58. Belakangan masalah Memo ini diramaikan kembali karena tulisan
Adam
Swadrz. dalam buku A Nation in Waiting (1994).
59. Lihat Editor, 17 Oktober 1992.
BAB VI
PROSPEK NU
PERTANYAAN yang kiranya paling relevan saat orang berbicara
tentang prospek
NU adalah, mungkinkah NU kembali menjadi poiitik? atau setidaknya
mungkinkah
NU kembali mempunyai afiliasi formal terhadap salah satu partai
politik?
jawaban yang paling mendekati kemungkinan sebenarnya bagi
pertanyaan-pertanyaan itu, maupun pertanyaan-pertanyaan lain berkaitan dengan
prospek NU,
hanya dapat ditemukan melalui pengamatan yang sekaligus
menggunakan lensa
kultural dan lensa struktural.
Dalam perspektif kultural, satu hal yang mesti memperoleh
aksentuasi ialah
222
bahwa NU adalah organisasi yang tidak dapat diharapkan konsisten
dalam sikap-sikap,
keputusan-keputusan, dan pilihan politiknya, selama hal itu tidak
berimpit
dengan sejumlah ajaran agama yang dianutnya.1 Ajaran agama itu
adalah Islam
menurut paham Ahlussunnah Waljamaah. Dengan pemahaman ini
maka setiap keputusan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan ajaran keagamaan
itu baik
tentang bentuk organisasi, afiliasi dengan parpol tertentu, dan
sebagainya,
atau bahkan tentatif. terutama sekali haruslah dipandang sebagai
keputusan
yang temporer.Artinya, keputusan-keputusan itu diambil karena
dipandang
paling menguntungkan menurut konteks makro yang ada. Jadi
pertimbangannya
sangatlah pragmatis, dan sejauh tidak bertentangan dengan kaidah
keagamaan
yang diyakini dan yang penegakannya dijadikan tujuan terawal NU.
Itulah
sebabnya, melihat ke masa lain, NU dapat menerima konsep Nasakom
sambil pada
saat yang sama tetap meneriakkan penentangannya terhadap
komunisme. Sikap NU
terhadap komunisme adalah sikap politik yang berimpit dengan
pandangan keagamaan, dan karenanya NU tetap konsisten menolak ideologi ateistik
itu. Akan
tetapi mengenai sikap terhadap konsep yang mengharuskannya berada
dalam
proses politik yang di dalamnya dilibatkan pula orang-orang komunis,
persoalannya bukan lagi tentang sikap keagamaan namun semata-mata
pertimbangan
politik murni. Di sini ada persoalan survival. Sebab jika NU menolak
konsep
223
Nasakom, pastilah sebagai parpol ia akan merasakan implikasi negatif
penyederhanaan kepartaian yang dilakukan Sukarno. Namun yang lebih
penting, NU
tentu tidak ingin melihat pentas politik nasional didominasi oleh
orangorang komunis yang selamanya dianggaap sebagai lawan, kalau bukan
musuh.
Karena itu NU memilih untuk melibatkan diri di sana. Dengan
pemahaman yang
sama dapat dijelaskan bahwa keputusan tentang bentuk organisasi NU
bukanlah
hal yang berimpit dengan pandangan keagamaan dan oleh sebab itu
tidak bisa
diharapkan adanya konsistensi yang membuat keputusan itu
permanen. Bentuk
organisasi bagi NU seperti sering dikemukakan dalam bab-bab
terdahulu, tidak
pernah dijadikan sebagai tujuan, apalagi tujuan akhir. Ia lebih
merupakan
alat pencapaian tujuan, di mana secara kontekstual alat yang efektif
untuk
hari ini belum tentu efektif hari esok, dan seterusnya. Sehingga bisa
di
pahami bahwa perspektif kultural kemungkinan NU menjadi parpol
kembali se
lalu ada. Tapi pertanyaan selanjutnya tentu, seberapa besar
kemungkinan itu?
Di sinilah lensa struktural harus mulai digunakan. Jika diamati,
perubahanperubahan penting yang terjadi pada lingkup mikro NU sebagian
besar, kalau
bukan semuanya, sampai tingkat tertentu sebenarnya adalah resonansi
dari
perubahan yang terjadi pada konteks makro sistem politik Indonesia.
Begitu
pula keputusan untuk mengubah bentuk organisasinya kembali
menjadi jam'iyah
224
diniyah. Setidaknya ada dua hal penting yang terjadi pada kepolitikan
nasional yang mendorong lahirnya keputusan itu. Satu yang akan disebut
pertama
telah disadari betul oleh semua pemerhati politik Indonesia, bukan
hanya NU,
oleh karena hal itu sudah berlangsung sejak Orde Baru lahir; sedang
yang
lain secara mengesankan telah berhasil diantisipasi oleh NU sebelum
dijadikan kebijaksanaan resmi. Dua hal itu adalah, pertama, peran partaipartai
politik telah diredusir sedemikian rupa sehingga aksesnya terhadap
proses
pembuatan kebijaksanaan nasional menjadi sangat minim. Sementara
jabatan
publik yang dapat dijangkau oleh parpol selain Golkar maksimal
hanyalah
kursi di lembaga legislatif. Sehingga wujud sebagai parpol dipandang
bukan
lagi sebagai alat yang paling efektif untuk mencapai tujuan bagi NU.
Itulah
sebabnya, sekalipun awalnya sedikit menolak, NU dapat menerima
kebijaksanaan
fusi partai yang menempatkannya sebagai salah satu unsur dalam PPP.
Apalagi
akhirnya rekayasa politik pemerintah hanya memperkenankan adanya
tiga OPP di
Indonesia.
Kedua, yang muncul belakangan, pemerintah membuat kebijakan
yang memisahkan
parpol dari ormas underbouw-nya, dan hanya memperkenankan
parpol memiliki
keanggotaan perorangan.Itu berarti partai-partai hasil fusi 1973 tidak
lagi
relevan berbicara tentang unsur dalam hal, misalnya, distribusi
kepemimpinan
225
internalnya maupun distribusi hasil perolehan kursi di DPR. Hal itu
hampir
sepenuhnya berarti kerugian bagi NU sebagai unsur terbesar dalam
PPP. Maka
pilihan terbaik bagi NU adalah keluar dari 0PP, dan ini dilakukan
beberapa
bulan sebelum pemerintah memberlakukan UU No.3 tahun 1985 yang
memuat aturan
di atas. Jika asumsi di atas ini dapat disetujui, maka persoalan sejauh
mana
kemungkinan NU kembali menjadi parpol atau secara formal
berafiliasi ke parpol tertentu adalah ditentukan oleh dinamika sistem politik Indonesia.
Artinya, jika memang garis politik pemerintah yang dimanifestasikan
dalam undangundang memperkenankan lahirnya partai politik baru, maka sangat
dimungkinkan
NU akan tampil kembali sebagai parpol. Tentu saja jika itu didorong
oleh faktor determinan lain yakni jika pencapaian tujuan awal tentang
penegakan
Islam dalam paham Ahlussunnah Wal Jamaah dipandang lebih efektif
dengan
kapasitas NU sebagai parpol. Ketika semua faktor ini telah ada,
muktamar
tinggal lagi menjadi forum konstitusional untuk memberikan
legitimasi. Akan
tetapi masalahnya, mungkinkah terjadi perubahan dalam sistem
kepartaian Indonesia, dan kalaupun terjadi perubahan mungkinkah itu mengarah pada
sistem
yang memperkenankan lahirnya partai baru selain tiga yang telah ada?
Sebuah
teori tentang sistem kepartaian yang dikemukakan oleh Giovanni
Sartori agaknya dapat menjadi landasan bagi prediksi tentang itu. Sartori
berpendapat
226
bahwa sistem kepartaian sebenarnya berjalan melalui tujuh tahap
perkembangan, dengan gerak alamiah seperti ayunan sebuah pendulum. Jika
tidak ada
faktor-faktor lain, suatu negara akan mengikuti perkembangan itu.2
Ketujuh
tahap perkembangan yang berjalan secara linear itu adalah atomized
party
system, polarized-pluralism party system, moderate-pluralism party
system,
two-party system, pre-dominant party system, hegemonic party
system, dan
single-party system. Definisi masing-masing sistem ini secara singkat
adalah
sebagai berikut:
Atomized party system: terdapat banyak parpol tapi tak satupun yang
punya
pengaruh terhadap atau hubungan dengan parpol lain. Masing-masing
hanya terikat pada satu atau sekelompok orang pemimpin, sehingga hidupmatinya partai
tergantung kepada pemimpinnya.
Polarized-pluralism party system: terdapat lima atau enam parpol
yang
secara efektif pada tingkat nasional membentuk struktur yang bipolar,
yaitu
sebagian parpol itu membentuk koalisi pemerintahan, sementara
sisanya membentuk koalisi oposisi.
Moderate-pluralism party system: terdapat maksimal lima parpol
yang masingmasing berkesempatan sama untuk memerintah (atau membentuk
koalisi pemerintahan). Tiap parpol menjadi elemen alternatif bagi pembentukan
koalisi dan
dalam tahap ini tak satupun partai bisa memperoleh suara mayoritas
dalam
pemilu.
227
Two-party system: sebenarnya bisa saja ada lebih dari dua parpol,
tapi partai ketiga dan seterusnya tidak cukup kuat untuk menantang salah satu
atau
kedua parpol besar yang ada.
Pre-dominant party system: mulai tampak satu parpol yang terusmenerus memenangkan mayoritas suara, sekalipun sudah mulai muncul open-market
system
yang dengan itu sebenarnya suara-suara pemilih akan terdistribusi
merata.
Tapi suara itu justru terpusat, sebab mulai muncul kesamaankesamaan kepentingan dalam masyarakat.
Hegemonic party system: terdapat kompetisi antar parpol secara
formal, tapi
hanya ada satu parpol yang menguasai tidak hanya pemilu tapi juga
areal
pembuatan keputusan. Partai-partai lain berkedudukan sebagai partai
kelas
dua.
Single party system: di sini dikenal close-market system di mana
satu partai memonopoli sistem politik yang ada, dengan fungsi utama
melaksanakan
kebijaksanaan yang dibuat pemerintah. Perkembangan jumlah parpol,
yang
antara lain menentukan gerak dari satu bentuk kepartaian ke bentuk
kepartaian lain itu, adalah berbanding lurus dengan heterogenitas
masyarakat
serta berbanding terbalik dengan faktor ideologi nasional. Artinya,
semakin heterogen masyarakat dan semakin lemah ideologi nasional maka
parpol
cenderung banyak. Demikian sebaliknya. Heterogenitas masyarakat
yang di228
maksud adalah dari segi kultur dan etnik. Akan tetapi ketika
kepentingan
kian beragam sehingga diperlukan semakin banyak asosiasi
kepentingan dan
muncul kondisi cross cutting interest dan cross-cutting affiliation,
maka
heterogenitas kultur dan etnik itu terabaikan, dan dalam hal ini masyarakat menjadi homogen.
Secara alamiah, gerak pendulum akhirnya akan berhenti pada posisi
menggantung (vertikal), dan menunjuk pada two-party system. Sebab
setelah
pendulum sampai pada tahap perkembangan single party system, arus
balik
modernisasi akan mendorongnya kembali ke tengah. Dalam
masyarakat yang kian
modern single-party system sangat tidak ideal, oleh karena kesadaran
untuk
memilih telah semakin besar.
Namun bagi Riswanda Imawan, gerak alamiah semacam itu sulit
terjadi di
Indonesia. Sebab selain kedua faktor ideologi nasional dan
heterogenitas
masyarakat di atas, di Indonesia terdapat faktor ketiga berupa
govenunenfal intervention terhadap
parpol yang akan menihilkan arus balik modernisasi yang membawa
pendulum ketengah, sehingga ia tertahan pada posisi single-party system.3 Jika
Afan
Gaffar sebagaimana dikemukakan daiam Bab I di depan
mengidentifikasikan sistem kepartaian di Indonesia saat ini sebagai hegemonic party system,
maka
berdasarkan teori di atas perkembangan selanjutnya adalah menuju
single party system. Dan jika asumsi Riswanda bisa diterima, maka sistem ini
akan relatif permanen di Indonesia, setidaknya dilihat dari kondisi saat ini. Itu
229
berarti akan segera muncul di Indonesia apa yang oleh Sartori disebut
sebagai croos-market system di mana satu partai tunggal memonopoli
proses politik yang sedang berlangsung, sementara partai lain kalaupun diijinkan
ada
akan sangat tidak berarti apa-apa.
Dalam kondisi seperti ini, sudah pasti NU tidak akan berpikir untuk
merubah
diri menjadi partai politik. Keseluruhan diskusi di atas akhirnya
mengarah
pada satu kesimpulan bahwa adalah sangat kecil kemungkinan NU
kembali menjadi partai politik di masa mendatang. Sementara kemungkinan untuk
memiliki
afiliasi ke parpol masih sedikit ada, itupun kalau afiliasi terhadap
partai
tunggal yang memonopoli sistem politik dibenarkan. Namun hal ini
juga tidak begitu dapat diharapkan. Lebih mungkin NU tetap dalam keadaannya
saat ini,
dan memaksimalkan pemanfaatan keuntungan yang dapat diambilnya
sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang berdiri di atas garis netralitas.
Akan
tetapi prediksi ini rasanya mesti diikuti oleh pengakuan bahwa realitas
politik sudah pasti tidaklah sesederhana kalkulasi di atas kertas.
NU dan Muhammadiyah: Konvergensi Baru
Setelah terhadap pertanyaan tentang kemungkinan NU kembali
menjadi parpol
ditawarkan jawaban, maka pertanyaan berikutnya yang juga memiliki
relevansi
dengan prediksi tentang prospek NU, meskipun sedikit sekali atau
bahkan
230
mungkin sama sekali tidak bermuatan politik, adalah bagaimana
prospek
hubungan NU dengan Muhammadiyah. Hubungan yang selama
berpuluh tahun telah
menjadi persoalan krusial inilah yang selalu menjadi tema sentral
setiap
kali baik NU maupun Muhammadiyah, ataupun pengamat-pengamat
netral yang
berada di luar keduanya, berbicara tentang ukhuwah Islamiyah.
Kajian itu sulit, sebenarnya, untuk menemukan bangunan analisis
yang kukuh
untuk membuat prediksi tentang hubungan NU dan Muhammadiyah.
Akan tetapi
perkembangan sejak 1984 memberikan gambaran bahwa hubungan itu
cenderung
membaik. Baik NU ataupun Muhammadiyah, setidaknya pada tingkat
elit, tampaknya sama-sama berusaha secara terus-menerus untuk menekan
semakin banyak
titik-titik kesamaan di mana mereka dapat melakukan konvergensi,
sambil secara simultan mencoba menafikan ganjalan berupa dilatasi perbedaanperbedaan
yang selama ini telah menciptakan gap antara mereka. Kecenderungan
membaiknya hubungan ini boleh jadi adalah karena keduanya kini bergerak
dalam dimensi aktifitas yang sama. Jika dahulu perbedaannya sangat jelas
ketika NU
lebih banyak bergerak di bidang politik praktis dan Muhammadiyah di
bidang
sosial-keagamaan, maka kini keduanya sama-sama memiliki
aksentuasi kegiatan
dalam bidang yang disebut terakhir. Dengan dimensi aktifitas yang
kongruen
itu NU dan Muhammadiyah memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing di
231
mana mereka dapat saling mengisi. Dalam pengamatan Nurcholish
Madjid, kelemahan Muhammadiyah selama ini adalah keterlepasan dari tradisi
intelektual
Islam yang menyebabkan terjadi "pemiskinan intelektualisme
beragama."4 Ini
disebabkan oleh semangat kembali ke Al-Qur'an dan Hadits yang oleh
Muhammadiyah serta-merta diimpitkan dengan penolakan terhadap mazhabmazhab, yang
sebenarnya adalah kristalisasi khazanah intelektual Islam yang sangat
kaya
di masa silam. Sedangkan kelemahan NU adalah dalam hal
metodologi. NU kalah
dalam pemikiran rasional dan dalam mengenali masalah aktual dalam
masyarakat. Secara karikaturis Nurcholish menggambarkan bahwa NU
memiliki gudang
dengan buku yang sangat lengkap, tapi tanpa katalog sehingga bukubuku itu
tidak dapat efisien penggunaannya. Sedangkan Muhammadiyah
mempunyai katalog
yang baik dan sistematis, tapi tidak ada buku. Di sinilah terbuka luas
celah
bagi kerja sama Muhammadiyah dan NU. Oleh NU sendiri, langkah
pendekatan
dengan Muhammadiyah segera dimulai setelah digariskannya
perwajahan baru
dalam muktamarnya yang ke-27. Sesaat setelah terpilih sebagai Rais
Aam,
KH Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu niatan NU dalam
semangat barunya
adalah untuk "menggandeng Muhammadiyah". Pernyataan ini tak
lama kemudian mulai dicarikan rumusan operasionalnya. Bulan Januari 1985, rapat
pertama kepengurusan baru PB NU menggariskan perlunya langkah-langkah untuk
mengakrabkan
232
hubungan dengan berbagai organisasi keagamaan Islam yang lain,
khususnya dengan kelompok terbesar di luar NU, yaitu Muhammadiyah. Selama ini
ada gambaran yang bersekat kaku antara NU dan Muhammadiyah, suatu
gambaran stereotip
yang berkaitan dengan kultur dan gaya hidup maing-masing.
Akibatnya, seolah
ada dua sosok yang sangat berbeda. Sebenarnya, dalam perbedaan itu
pun terdapat manfaat yang bisa diambil. Perbedaan yang berakar pada
respons berlainan terhadap gerakan pembaharuan yang berusaha melakukan
purifikasi ajaran
Islam itu sesungguhnya telah memberi NU dan Muhammadiyah
masing-masing pengalaman yang berbeda-beda, dan dengannya mereka dapat saling
melengkapi ketika menghadapi problematika yang sama. Dalam alur logika ini
Abdurrahman
Wahid berbicara tentang pengembangan pemikiran mengenai "Islam
pasca NU dan
Muhammadiyah". Yakni suatu cara pandang kosmopolit yang tidak
berangkat dari
sekat-sekat kelompok ketika melihat bangunan Islam secara utuh.
Lalu sebuah
gagasan penting, yang meskipun tidak pernah terealisir tapi
setidaknya dapat
menjadi shock therapy yang efektif, datang dari Yusuf Hasyim.
Dalam seminar
"Menuju Satu Umat: Potensi dan Kendalanya" di Surabaya pada bulan
Juli 1989,
Yusuf berbicara tentang gagasan keaggotaan ganda bagi warga NU
dan Muhammadiyah, jika persatuan kedua kelompok ini ingin direalisir secara lebih
konkret.6 Sambil mengatakan bahwa jika gagasan itu bisa diterima ia
akan menj233
adi orang pertama yang menjadi anggota NU sekaligus anggota
Muhammadiyah,
Yusuf berpendapat bahwa apabila persatuan NU dan Muhammadiyah
dapat terwujud,
maka separuh dari persoalan umat Islam Indonesia telah terelesaikan.
Selama
ini antara NU dan Muhanunadiyah tampaknya hanya dipisahkan oleh
masalah administratif dan organisasi semata-mata, yang sebenarnya tidak berkaitan
dengan
persoalan aqidah. Untuk bisa menyatukan umat Islam, memang tidak
perlu membubarkan NU dan Muhammadiyah, sebab yang diperlukan adalah
suatu forum bersama yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai
problema yang
mengganjal laju perjalanan umat Islam. Amien Rais dalam seminar itu
menyatakan persetujuannya terhadap usulan Yusuf tersebut. Hanya saja
sebelum
sampai pada langkah keanggotaan ganda, perlu dipecahkan terlebih
dahulu berbagai hambatan yang selama ini menjadi halangan bagi ukhuwah NU
dan Muhammadiyah, misalnya perbedaan pandangan keagamaan dalam hal furu'iyah
(permasalahan cabang yang bukan permasalahan pokok). Secara teoritis kata
Amien,
masalah-masalah furu'iyah memang tidak usah menjadi penghambat,
namun dalam
realisasi praktisnya masih sering menjadi sekat yang amat kaku
terutama di
kalangan bawah pada masing-masing warga.7 Tapi rupanya bagi
kelompok moderat
yang kini dominan dalam tubuh NU, gagasan keanggotaan ganda itu
terlalu berlebihan. Mereka seperti biasanya tidak ingin NU berjalan dari satu
titik eks234
trem ke titik ekstrem lainnya: divergensi yang parah antara NU dan
Muhammadiyah tidak perlu diatasi dengan kedekatan yang nyaris tanpa batas.
Musthafa
Zuhad, misalnya, menilai bahwa gagasan keanggotaan ganda itu tidak
realistis
untuk dilaksanakan, lepas dari persoalan perlu atau tidak perlu.8
Sementara
dari Abdurrahman Wahid jelas tidak akan bisa diperoleh persetujuan
terhadap
gagasan itu. Sekali tempo ia pernah mengkritik usaha untuk menyusun
kepemimpinan tunggal bagi umat Islam, baik dalam bentuk langsung
maupun tidak,
yang dinilainya selalu membawa implikasi negatif bagi umat.
Implikasi negatif yang dimaksudkan boleh jadi adalah semacam legalisasi konflik,
perebutan
hegemoni, dan seterusnya, seperti yang dicontohkan oleh kasus
Masyumi ketika
ia dimaksudkan sebagai partai tunggal bagi umat Islam Indonesia.
Menurut
Abdurrahman Wahid, yang diperlukan oleh umat adalah "upaya yang
terus-menerus
untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam."9 Itu
berarti, NU
dan Muhammadiyah tidak perlu sampai berpikiran tentang kondisi
organisasional
yang cross-cutted, dan lebih baik mencari pola kerjasama dengan tetap
mengindahkan, tanpa membesar-besarkan, keragaman yang ada. Dalam
sebuah seminar
nasional "Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman"
di Yogyakarta
pada Januari 1993 Abdurrahman memberikan gambaran alternatif
pola kerja sama
yang dapat digunakan oleh NU dan Muhammadiyah.10 Ia melihat
bahwa baik dalam
235
Muhammadiyah maupun NU selalu ada polarisasi, kali ini dalam
konotasi positif,
yang seringkali terjadi kekembaran antara polarisasi di NU dengan
polarisasi
di Muhammadiyah. Misalnya pandangan tentang hubungan antara
agama dan negara
yang secara umum memiliki dua cabang. Pertama, ada yang
beranggapan bahwa
Islam harus diperankan secara eksplisit dalam kehidupan bernegara.
Berarti sebagai kekuatan formal Islam harus lahir, untuk selanjutnya
dikembangkan dalam pemerintahan. Yang menjadi motif dalam hal ini
adalah pelaksanaan syari'ah sebagai undang-undang. Jadi pendekatan yang
digunakan adalah
legal formalistik, di mana Islam harus diberlakukan sebagai hukum
karena ia
memang adalah agama hukum.
Kedua, ada anggapan bahwa hukum itu adalah fiqh yang merupakan
bagian
dari syari'ah. Karena itu syari'ah tidak boleh direduksi menjadi hukum
sebab ia adalah way of life yang memiliki sisi formal dan sisi nonformal
(moral, etika, dan lain-iain). Sehingga walaupun tidak diundangundangkan,
ajaran Islam akan dilaksanakan oleh pengikutnya melalui syari'ah
dalam
arti totalitas tersebut, bukan dalam arti legalisasi ajaran Islam dalam
undang-undang negara.
Polarisai semacam itu selalu ada dalam NU dan Muhammadiyah.
Dengan demikian
dalam NU ada dua pandangan, dan dalam Muhammadiyah juga ada
dua pandangan
yang harus melakukan konvergensi adalah pandangan A di NU
dengan pandangan A
di Muhammadiyah, serta pandangan B di NU dengan pandangan B di
Muhammadiyah.
236
Jadi poros kerja samanya adalah A-A dan B-B, dan karenanya tidak
perlu dan
memang tidak mungkin terjadi entitas antara NU dan
Muhammadiyah. Dialognya
pun menjadi bagaimana pandangan A dengan A dan B dengan B bisa
sering bertemu.11
________________________________________________
________________________________________________________
_____________
1. Lihat uraian selengkapnya tentang hal ini dalam Abdurrahman
Wahid,
"Pendekatan NU Selalu Kultural," dalam Pelifa, 10 Nopember 19K4.
2. Teori Sartori ini adalah sebagaimana yang diikhtisarkan oleh Dr
Riswanda
Imawan, MA dalam kuliah "Sistem Kepartaian dan Pemilu di
Indonesia" di
FISIPOI,-UGM, tanggal 24 Pebruari 1992. Pembahasan selanjutnya
mengacu
ke sini.
3. Governmental intervention terhadap partai politik muncul di
Indonesia
menurut Riswandha adalah karena sekaligus dua hal: pembangunan
ekonomi yang bertitik berat pada model-model teknokratik dan
peminjaman
modal dari luar negeri yang menuntut jaminan stabilitas politik
dalam
negeri serta kondisi partai-partai politik yang sedemikian rupa
tergantung kepada pemerintah.
4. Lihat Tempo, 25 Nopember 1989, h. 30.
6. Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah. Prospek
Ukhuwah
Dengan Muhammadiyah (Yogyakarta: MW Mandala, 1992), h. 187.
7. Ibid., h. 188.
8. Wawancara Penulis dengan Ir. H Musthafa Zuhad, Wakil Sekjen
PB NU, di
Kantor PB NU Jakarta, 13 April 1994.
9. Lihat Bab II, halaman 90, catatan kaki no. 24.
10. Makalah-makalah dan diskusi-diskusi dalam seminar yang
menjadi
momentum tersendiri bagi hubungan Muhammadiyah dan NU ini,
yang
menampilkan 17 orang tokoh dan pakar dari kalangan NU dan Muhammadiyah serta dari kalangan yang dianggap sebagai pengamat
netral
(sayangnya tidak menyertakan pula pengamat dari kalangan nonmuslim),
telah didokumentasikan dalam sebuah buku. Lihat Yunahar Ilyas, et
al.,
(eds.), Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman
(Yogyakarta: LPPI UMY, 1993).
11. Lihat Ibid., h. 116-121, passim.
Sebenarnya, ketika Yusuf Hasyim berbicara bahwa permasalahan
NU dan Muhammadiyah hanyalah pada hal administratif dan organisasi semata-mata, ia
telah
terlalu menyederhanakan persoalan. Kalau saja masalahnya memang
demikian
5. Lihat Tempo, 22 Juni 1985.
237
238
sederhana, maka ketika NU kembali ke wujud sebagai organisasi
sosial-keagamaan, praktis hilanglah penyebab kesenjangan antara kedua sayap
utama umat
Islam Indonesia itu. Berarti pula, bukan hanya gagasan keanggotaan
ganda,
bahkan pemikiran untuk peleburan kedua organisasi pun cukup
relevan. Akan
tetapi persoalannya tidak sesederhana itu. Perbedaan antara NU dan
Muhammadiyah mencakup pula perbedaan kultural, karena basis massanya yang
berbeda.
Muhammadiyah mewakili kultur masyarakat kota, dan NU mewakili
kultur masyarakat pedesaan. Solusi bagi kesenjangan akibat perbedaan kultural itu
sudah
pasti bukan peleburan, namun toleransi. Dan ini berpulang pada
kedewasaan
berpikir dan bersikap masing-masing.
Lalu perbedaan lain, yang jauh lebih signifikan daripada perbedaan
furu'iyah yang sebenarnya tidak cukup berarti untuk menyebabkan
disharmoni,
adalah berkaitan dengan metode pengambilan keputusan hukum
Islam. Muhammadiyah dengan ijtihadnya lebih suka mencari rujukan langsung ke AlQur'an
dan Hadits untuk itu. Sementara bagi NU, ijtihad hanya boleh
dilakukan oleh
mereka yang memiliki kapasitas sebagai mujtahid yang tidak setiap
orang
bisa sampai ke situ meski ia adalah ulama sekalipun. Oleh karena itu
para
ulama NU lebih suka merujuk pada pendapat ulama terdahulu yang
tercantum
dalam kitab-kitab yang diakui sah sebagai referensi dalam ilmu fiqh
mazhab
239
Syafi'i ketika memutuskan hukum atas suatu kasus. Perbedaan itulah
yang
menimbulkan kelemahan pada masing-masing kelompok sebagaimana
dalam
penilaian Nurcholish Madjid yang dikutip di muka. Tidak jarang NU
gagal
membuat keputusan atas kasus tertentu hanya karena tidak ada
satupun kitab
rujukan yang mengatur tentang hal itu, sementara mereka kurang
berani untuk
melangkahi para mujtahid dengan merujuk langsung ke Al-Qur'an dan
Hadits.
Jika kegagalan membuat keputusan hukum ini terjadi, maka kasus itu
lalu
diputuskan berada dalam status mauquf (ditunda pemutusannya).
Masalahnya,
NU tentu tidak bisa terus-menerus menyikapi begitu banyak masalah
aktual
hanya dengan memberinya status mauquf, sehingga misalnya karena
hukum bunga
bank ditetapkan mauquf maka BPR Nusumma akhirnya semata-mata
bejalan di
atas legitimasi fiqh bahwa itu adalah pilihan yang lebih baik di antara
dua pilihan yang sama-sama buruk: menerapkan bunga bank atau
membiarkan
warga dalam jerat praktek rentenir. Hal ini tentu tidak lagi memadai
untuk
mengantisipasi dinamika zaman. Oleh karena itu dalam Munas Alim
Ulama NU
di Bandarlampung, Januari 1992, diputuskan untuk membuka kembali
kemungkinan
dilakukannya istinbath.12 Secara leksikal, istinbath mempunyai
makna yang
kurang lebih sama dengan ijtihad. Keputusan ini merupakan sebuah
lompatan
besar, di mana NU memulai tradisi baru penggunaan metode
kontekstual yang
240
disebut manhaji. Metode ini berpedoman pada metode pemutusan
hukum (manhaj
yang digunakan para mujtahid yang menjadi referensi NU. Artinya,
dengan
metode itu para ulama NU dimungkinkan mengambil keputusan
hukum dengan
merujuk langsung ke Al-Qur'an dan Hadits. Tentu saja ini bukan
persoalan
sepele. Karena itu NU tetap membuat batasan bahwa metode manhaji
hanya boleh
dilakukan secara kolektif, tidak boleh perorangan, serta
mengikutsertakan
para pakar yang berkompeten dengan kasus yang dihadapi. Di
samping itu,
setiap keputusan hukum harus mengandung diktum yang mudah
dipahami oleh
orang awam, serta dilengkapi analisis masalah yang menerangkan
rincian
persoalan dan pemecahannya dengan bobot ilmiah yang memadai.
Selanjutnya,
keputusan itu harus disertai pula dengan rumusan tindak lanjut dan
jalan
keluarnya. Batasan lain, pembakuan metode ini tidak berarti
ditinggalkannya
metode qauli atau tekstual yang selama ini digunakan NU. Itu berarti
NU
menggunakan cara pengambilan keputusan hukum yang merupakan
sintesa metode
tekstual dengan metode kontekstual, atau metode qauli dengan
manhaji.
Prosedur pengambilan keputusan hukum itu digambarkan secara
ringkas dan
sederhana oleh KH Ma'ruf Amin (Katib Syuriyah NU) meliputi empat
tahap.13
Pertama, dilihat apakah ada pendapat ulama terdahulu mengenai kasus
yang
dibahas. Ini disebut qaul. Kalau ada, dan jumlah qaul itu hanya satu,
241
maka pendapat satu-satunya itu yang dijadikan keputusan. Kedua, bila
jumlah
qaul dalam kasus itu lebih dari satu, dan ada perbedaan pendapat,
maka
dilakukan kompromi. Jika terpaksa, dilakukan apa yang disebut taqrir
ijma'i; yaitu upaya secara kolektif dalam menetapkan pilihan terhadap
satu
di antara beberapa pendapat. Di sini yang diutamakan adalah pendapat
dua
ulama mazhab Syafii yang terkenal, yaitu Imam Nawawi dan Imam
Rafi'i.
Pilihan dalam prioritas selanjutnya adalah pendapat yang didukung
oleh
mayoritas ulama. Ketiga, bila tidak ada qaul mengenai kasus yang
sedang
dibahas, dilakukanlah ilhaq atau qiyas, yaitu menganalogikan masalah itu dengan masalah serupa yang telah terjawab dalam salah satu
kitab. Dan keempat, kalau ilhaq atau qiyas itu tidak dapat dilakukan, barulah digunakan metode istinbath ijma'i, yaitu secara kolektif, dengan merujuk langsung pada Al-Qur'an dan Hadits, menetapkan hukum di luar pendapat-pendapat yang sudah ada. Dengan
dimulainya
tradisi baru itu tidak bisa tidak NU telah melakukan reduksi dalam
prosentase yang cukup besar terhadap kesenjangan antara ia dengan
Muhammadiyah. Sehingga secara sederhana dapat diprediksikan
bahwa sangat
boleh jadi di masa-masa mendatang akan semakin banyak penemuan
titik-titik
kesamaan yang sedikit demi sedikit akan meminimalkan atau bahkan
akhirnya
mengeliminir disharmoni hubungan kedua pihak. Dan akhirnya,
dorongan ke
arah konvergensi antara NU dan Muhammadiyah semakin diperkuat
oleh faktor
eksternal berupa berkembangnya paham Syi'ah di Indonesia. Hal ini
sering
disebut-sebut sebagai imbas suksesnya revolusi di Iran saat Khomeini
242
berhasil menjatuhkan Pahlevi. Akibatnya, paham Syi'ah yang
menyemangati
revolusi tersebut berhasil mengembangkan daya tariknya di kalangan
masyarakat Islam seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sejak dekade
delapanpuluhan, buku-buku karya ulama dan cendekiawan Syi'ah
banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga pemikiran-pemikiran
mereka banyak mempengaruhi generasi baru umat Islam Indonesia,
terutama di kalangan terpelajar. Persoalan ini pastilah memiliki implikasi tersendiri bagi hubungan NU dan Muhammadiyah. Apapun
perbedaan yang ada di antara mereka, keduanya tetaplah sama-sama penganut paham Sunni. Dan masuknya paham Syi'ah akan
memberi mereka sebuah common problem. Tentu saja, kondisi ini
hanya akan bermakna positif, selama hal itu tidak membawa ekses
munculnya kesenjangan baru antara kelompok Sunni dan kelompok
Syiah dalam tubuh umat Islam Indonesia.
Hendak Kemana NU?
Sekalipun pertanyan di atas memaknakan perkiraan ke depan,
akan tetapi jelas di dalamnya secara substitutif terangkum satu pertanyaan: Apa yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid terhadap
NU? Dengan lebih dahulu menjawab pertanyaan ini, outline bagi
gambaran prediktif hendak dibawa ke mana NU oleh Abdurrahman
Wahid akan segera terbentuk.
Apa yang telah dilakukan Abdurrahman Wahid? Pertanyaan
retoris bernada sinisme ini kerap dilontarkan oleh para pengritiknya
sambil mereka menilai bahwa ia lebih banyak berbicara daripada
berbuat. Boleh jadi hal itu tidak terlalu salah, sebab selama dua
periode kepemimpinannya, Abdurrahman Wahid memang belum
terlalu banyak menghasilkan sesuatu yang tangible, yang antara lain
sebenarnya disebabkan karena tidak banyak pembantu-pembantunya yang mampu mengoperasionalkan konsep-konsepnya ke dalam tataran aksi. Akan tetapi jika dibandingkan dengan kondisi NU
semasih dipimpin oleh kalangan politisi, tuduhan ini terasa kurang
relevan. Dan kalau diamati dengan jujur, akan terlibat bahwa
Abdurrahman Wahid telah banyak melakukan sesuatu yang esen243
sial bagi NU. Dialah yag telah mendorong NU untuk melakukan
lompatan-lompatan transformatif yang cukup berarti. Pada sisi
ia jelas tidak tertandingi oleh pemimpin-pemimpin NU sebelumnya,
pasca KH Wahid Hasyim. Sebagian dari transformasi yang dilakukannya telah sedikit membuahkan hasil yang dapat terlihat, seperti
kerjasama dengan pengusaha non-pri yang menghasilkan BPR-BPR
Nusuma, namun sebagian besar lainnya lebih bersifat transformasi karakter NU yang karenanya tidak dapat membuahkan hasil
yang begitu saja kasat mata. Satu yang terpenting adalah bahwa
Abdurrahman Wahid telah mengeluarkan NU dari jerat eksklusifitas politiknya sendiri yang sektarian dalam segala konotasinya.
Hal itu bukan sekadar sesuatu yang kebetulan untuk menyebutnya
semata-mata "manfaat positif khittah", tapi lebih merupakan bagian
dari grand planning yang disusun bagi NU.14 Runtuhnya sekat
politik yang sempit itu telah membawa NU pada cakrawala yang
lebih luas untuk lebih mendahulukan penyelesaian persoalan bersama yang dihadapi seluruh bangsa daripada sekadar berkutat
dengan isu-isu yang spesifik Islam saja, meskipun yang disebut
belakangan ini tentu tidak bisa diabaikan pula. Dengan menyingkirkan cara pandang bahwa suatu masalah tidak perlu turut dipikirkan NU hanya karena masalah itu tidak secara denotatif "khas
Islam" --tentang proyek industrialisasi Madura dan PLTN Muria
misalnya-- Abdurrahman Wahid telah sepenuhnya meletakkan NU
secara integratif dalam wadah bangsa,15 sebagaimana karakteristik
yang ditunjukkannya di bawah kepemimpinan KH Hasyim Asy'ari.
Hal itu selanjutnya menghapuskan NU dari file "oposan" dalam
format politik nasional. Selain itu, Abdurrahman Wahid telah memperbaharui runusan hubungan antara tradisionalitas yang dipegang
NU dengan modernitas yang berada di hadapannya. Dalam momentum Muktamar Siotubondo ia berucap bahwa NU tidak pernah
akan melepaskan jati dirinya. Ia menggambarkan cita-citanya bagi
NU: "Dalam intinya, saya ingin NU tetap yang tradisional, tapi bisa
memasakinikan dirinya sendiri."16 Dalam bahasa yang lebih ringkas
ia sedang merancang NU yang tradisional-kontekstual· Dengan demikian yang dibutuhkan adalah kemampuan antisipatif yang optimal, dan di sinilah Abdurrahman Wahid mengkontribusir perannya. Ia selama ini telah merubah aktualisasi kemampuan antisipatif
yang pada dasarnya sudah dimiliki NU dari sikap reaktif menjadi
244
sikap responsif. Keduanya tentu berbeda, sebab sikap reakfif mengesankan perilaku yang insidental dan mencakup sesuatu hal secara parsial, sementara sikap responsif lebih didasari pertimbangan
yang matang dengan konsep yang jelas, meliputi hal yang lebih luas
dan berjangka panjang. Langkah NU untuk setahap demi setahap
menampilkan diri sebagai kekuatan kultural yang melakukan transformasi sosial tanpa merombak strukturnya, adalah contoh terpenting respons positif NU terhadap ambivalensi kebijakan pemerintah
Orde Baru terhadap umat Islam yang menjadikan golongan ini tetap
dibutuhkan sebagai kekuatan politik pada saat mereka ditabukan
sebagai gerakan politik formal.l7
Dan yang tak kalah pentingnya, Abdurrahman Wahid telah
merubah secara mendasar perlakuan NU terhadap warganya. Jika
dahulu warga diperlakukan lebih sebagai obyek, maka di tangannya,
NU mulai memandang warganya sebagai subyek. Semasa menjadi
parpol maupun ketika berfusi dalam PPP, NU seringkali hanya
memperlakukan warganya sebagai basis politik semata-mata. Sementara kepentingan umat ini, yang sedemikian rupa paternalistiknya sehingga tidak memandang perlakuan NU yang pincang terhadap mereka itu sebagai suatu yang perlu dipersoalkan, lebih banyak terabaikan. Lalu, hanya butuh waktu empat bulan dari Muktamar 1984 bagi munculnya bukti bahwa di bawah kendali Abdurrahman Wahid NU akan merubah caranya dalam meletakkan
warga pada proporsi yang semestinya, ketika di Jakarta dibentuk
Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam). Senada dengan LKPSM yang didirikan di Yogyakarta setahun
kemudian, lajnah ini telah melakukan serangkaian upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di lingkungan warga NU untuk
mengejar ketertinggalan kualitiatif mereka dari warga negara lainnya, yang selama ini seolah menjadi citra abadi para nahdhiyyin.
Jadi, setidaknya dalam ketiga hal mendasar di atas Abdurrahman Wahid telah membawa NU kepada perwajahan baru. Pertama, tumbuhnya karakter inklusifistik NU sambil pada saat yang
sama meneguhkan kembali integralisasinya dalam kancah bangsa.
Kedua, Aktualisasi kemampuan antisipatif NU ke dalam sikap responsif yang lebih bermakna positif daripada sikap reaktif NU sebelumnya. Dan ketiga, perubahan cara pandang untuk memperlakukan
warga sebagai subyek dan tidak hanya obyek.
245
Dan sebagaimana lazimnya bahwa setiap proses selalu membutuhkan waktu, maka begitu pulalah ketiga macam proses transformatif di atas. Kemudian karena sifatnya yang mencakup hal-hal
mendasar, waktu sepuluh tahun yang telah berjalan boleh jadi hanya bisa dipandang sebagai tahapan awal bagi proses tersebut, dan
karena itu, di sini dapat diajukan hipotesis bahwa: Abdurrahman
Wahid sedang membawa NU ke arah pematangan ketiga perwatakan di atas.
Lalu tentang gagasan Abdurrahman mengenai perubahan
struktural dalam tubuh NU di mana Tanfidziyah difungsikan sebagai sebuah kesekretariatan yang semata-mata melaksanakan kebijakan Syuriyah, serta dihapusnya jabatan ketua umum struktur itu,
menjadi menarik perhatian, apalagi hal itu dilontarkan menjelang
Muktamar 1994. Hal itu memunculkan berbagai spekulasi, bahwa
itu merupakan isyarat Abdurrahman bahwa ia hendak mengundurkan diri dari Tanfidziyah. Apalagi ia pernah mengatakan: "saya
tidak tertarik lagi menangani masalah-masalah administratif."18 Persoalannya tentu adalah "posisi apa yang sedang dipersiapkan
Abdurrahman Wahid bagi dirinya dalam NU?" dan bukan "apakah
Abdurrahman Wahid akan keluar dari struktur kewenangan NU?".
Sebab siapapun tahu bahwa kehadiran tokoh ini di inner circle NU
adalah sebuah conditio sie qua non. Apalagi sudah terlanjur ada
citra bahwa Abdurrahman Wahid adalah NU dan NU adalah
Abdurrahman Wahid. Dan jika restrukturisasi yang direncanakan
itu dimaksudkan untuk menghilangkan dualisme kepemimpinan di
NU, maka mestinya hal itu dapat diletakkan pada alur tujuan
mengefektifkan otoritas Syuriyah dan memfaktualkan Rais Aam
sebagai pimpinan tertinggi. Lalu berangkat dari dua asumsi bahwa, pertama, Abdurrahman lebih dari sekadar primus inferpares di
NU, dan kedua, kesulitan teewujudnya Syuriyah yang berotoritas
selama ini antara lain adalah karena keberadaan dia di Tanfidziyah,
maka kiranya dapat dibuat praduga bahwa sedang ada usaha dalam NU untuk mewujudkan Syuriyah dengan wewenang yang efektif di bawah pimpinan Rais Aam KH Abdurrahman Wahid. Namun
spekulasi ini pupus, ketika gagasan itu tidak diagendakan dalam
Muktamar Cipasung Desember 1994, dan Abdurrahman Wahid sendiri akhirnya bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Umum Tanfidziyah untuk yang ketigakalinya.
246
BAB VII
POSKRIPSI
________________________________________________________
__________
________________________________________________________
__________
12. Lihat Tempo, 1 Pebruari 1992, h. 30-31.
13. Ibid., h. 31.
14. Menjelang Pemilu 1987 Abdurrahman Wahid menegaskan
tujuannya ini,
bahwa ia ingin NU meningalkan masa lalu yang sektarian dan
bersisi
untuk Islam saja, sementara sisi nasionalnya kurang dikembangkan
"Warga NU harus memandang lebih luas, harus menjadi warga
negara
yang dinamis." Lihat Suara Pembaruan, 1 April 1987.
15. Cf: Seorang pengamat dari FISIP Unair, Dr Ramlan Surbakti,
memberikan penilaiannya bahwa "Gus Dur inilah yang membawa NU
kembali ke arus bangsa." Lihat wawancara dengannya dalam Surabaya
Post,
30 Januari 1994.
16. Lihat Tempo, 15 Desember 1994.
17. Mengenai pemikiran Abdurrahman Wahid tentang ambivalensi
ini, lihat lagi bab
III di muka, h. 178f.
18. Lihat Aula, Juli 1993, h. 14.
247
NU: Proses Metamorfosis Jangka Panjang
"Kembali ke Khittah 1926" adalah sebuah titik kulminasi dalam
sejarah NU, yang nilainya barangkali hanya bisa ditandingi oleh
peristiwa kelahirannya dahulu. Sementara kontroversinya jelas
tidak tertandingi oleh titik sejarah NU manapun. Sedemikian rupa,
sehingga kontradiksi dalam tubuh organisasi ini selalu dibangun
atas dasar semangat Khittah 1926. Itulah sebabnya ketika semua
tokoh NU merujuk pada khittah, mereka bisa saja mempunyai sikap
yang berbeda, bahkan terkadang saling bertentangan, terhadap
suatu hal tertentu. Ini bisa sekaligus bermakna positif maupun
negatif. Positif, sejauh perbedaan itu menjamin kontinyuitas dinamika NU. Dan negatif karena bisa saja orang luar menilai NU tidak
pernah benar-benar memiliki persamaan visi dan persepsi. Kendati
demikian, khittah tidak diragukan lagi telah mendorong NU untuk
melakukan serangkaian transformasi, yang sebagian telah menunjukkan hasil yang signifikan, sementara sebagian lainnya masih berjalan tersendat-sendat.
Pada lingkup internal, transformasi diarahkan pada tujuan untuk menemukan pola distribusi kewenangan yang tepat untuk menjamin kembalinya supremasi ulama dalam NU sebagaimana diseyogyakan oleh khittah. Proses ini hmgga sekarang belum juga mencapai hasil yang berarti, kecuali gambaran yang samar-samar tentang Syuriyah yang lebih berotoritas serta Tanfidziyah dengan otonomi yang terkendali. Akan tetapi bagaimana otoritas Syuriyah itu
diwujudkan dan bagaimana otonomi Tanfidziyah dikendalikan, masih belum ditemukan rumusan yang tepat, meskipun berbagai solusi alternafif telah ditawarkan dan diujicobakan. Kegagalan menemukan runusan Yang tepat itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal.
Pertama, upaya pengembalian supremasi dan otoritas ulama tidak
pernah benar-benar dapat diakselerasi penuh, oleh karena adanya
kekhawatiran bahwa ekses upaya itu akan berbenturan dengan kehendak akan demokratisasi dalam tubuh NU.
Kedua, berkaitan dengan adanya kelemahan-kelemahan di ka248
langan ulama NU sendiri. Sedikit sekali di antara mereka yang benar-benar memiliki kapasitas untuk menegakkan supremasi ulama.
Kebanyakan mereka masih terperangkap dalam pemahaman yang
tekstual terhadap kitab-kitab klasik acuan NU, sehingga sulit untuk
bergerak lincah mengikuti dinamika jaman tanpa berkesan reaktif
dan oportunistis. Kelangkaan ulama yang kapabel ini kian terasa
sepeninggal KH Achmad Siddiq di tahun 1991. Barangkali KH
Sahal Mahfudz cukup mendekati kualitas KH Achmad, tapi semuanya menjadi tidak berarti ketika ia berhadapan dengan KH
Abdurrahman Wahid. Begitu pula KH ilyas Ruchiyat, meskipun
sebenarnya cukup kapabel, namun tokoh ini terlalu lowprofile serta
lebih banyak menahan diri dan menghindari manuver-manuver
yang mengejutkan. Dan ketiga, pengembalian supremasi ulama,
yang semestinya berarti pembesaran otoritas Syuriyah, haruslah
berimplikasikan pengurangan otonomi Tanfidziyah secara cukup
besar. Dan persoalan ini tidak pernah cukup sederhana sehingga
dapat diselesaikan dengan segera. Masalahnya adalah karena otonomi Tanfidziyah telah mengalami pemekaran selama kurun waktu
yang cukup lama, sehingga tidak mudah untuk begitu saja mengecilkannya kembali. Terlebih lagi, Tanfidziyah yang merupakan pelaksana sehari-hari roda organisasi NU selalu lebih awal bersinggungan dengan persoalan-persoalan pada konteks eksternal, sehingga oleh karenanya mereka memiliki pemahaman yang lebih baik
daripada Syuriyah tentang persoalan eksternal itu. Dan akhirnya,
pengurangan otonomi Tanfidziyah itu kian dipersulit oleh keberadaan Abdurrahman Wahid di sana. Ia bukan saja mewarisi "darah
biru NU", namun juga kapasitasnya yang multidimensional telah
menjadikan tokoh ini nyaris tak tersaingi dalam bursa hegemoni
NU.
Dengan ini agaknya mulai dapat dibuat simplifikasi jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan dalam buku ini:
Pertama, bagaimanakah dinamika NU dalam implementasi
keputusasn untuk kembali ke Khittah 1926? Ke arah manakah dinamika itu berjalan?
Dalam lingkup internal, inti dinamika NU adalah transformasi
ke arah pengembalian supremasi ulama yang, seperti disebutkan di
atas, hingga saat ini belum juga berhasil menemukan formula terbaiknya. Selanjutnya pada lingkup eksternal, dinamika NU berkait249
an dengan reorientasi dari kuantitas menuju kualitas politik. Dan ini
akan sekaligus menjawab pertanyaan kedua: Bagaimanakah model
kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi di atas?
Tentang reorientasi politik NU, rupa-rupanya para pengamat
mempunyai penilaian yang berbeda-beda. Sebagian menilai bahwa
NU pasca khittah adalah NU yang sama sekali tidak berpolitik,
sementara sebagian yang lainnya meyakini bahwa hanya aktifitas
politik praktis yang kini ditinggalkan NU, dan sisanya beranggapan
bahwa NU pasca khittah masih membingungkan: berpolitik atau
tidak, dan bagaimana.
Kajian ini hendak menyimpulkan bahwa kepolitikan NU pasca
khittah sebenarnya telah cukup jelas. Sederhana saja, setelah kembali ke khittah, NU sebagai organisasi melepaskan concernnya terhadap politik praktis dan kelembagaan yang didasarkan pada kalkulasi kuantitatif. Persoalan itu diserahkan sepenuhnya kepada warga
secara individual, dan sebagai lembaga, NU berpolitik dalam arti
yang lebih luas di dalam konteks sebuah komitmen: bagaimana NU
bisa menjadi kekuatan komplementer yang mampu memberikan
kontribusi yang optimal terhadap usaha peningkatan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian NU memandang bahwa keterkaitan organisasional dengan orsospol manapun
menjadi tidak lagi relevan, kalau bukan malah membawa kerugian.
Karena itulah hubungan kelembagaanya dengan PPP lalu dilepaskan, dan NU mencoba menjaga jarak yang sama terhadap ketiga
OPP. Secara mengesankan hal ini ternyata selaras dengan rekayasa
politik Orde Baru. Sudah barang tentu "memberikan kontribusi
yang optimal" juga berarti NU berkehendak untuk memiliki pengaruh dalam proses pembuatan keputusan baik pada tingkat nasional
maupun tingkat lokal. Apalagi jika disetujui bahwa sebagai kelompok kepentingan NU haruslah mampu mengartikulasikan kepentingan warganya. Akses terhadap pembuatan kebijaksanaan publik
ini ditempuh NU melalui mekanisme informal dengan menggunakan lobbying sebagai teknik utamanya. "Beyond politics", "politik
tanpa panggung", "politik di balik layar", "politik makrifat", atau
apapun namanya, yang pasti mekanisme formal tidak lagi menjadi
bagian dari kepolitikan NU. Hanya saja, kepolitikan semacam itu
menyebabkan efektifitas pengaruh NU terhadap proses politik yang
sedang berjalan menjadi sulit diukur. Yang jelas, NU teryata ba250
nyak memanfaatkan peran warganya untuk tetap hadir dalam proses politik lokal maupun nasional secara tidak resmi. Itulah sebabnya, meskipun menyatakan bahwa ukuran sukses politiknya tidak
lagi didasarkan pada kalkulasi kuantitatif, namun temyata NU masih terus memetik manfaat dari kehadiran serta aktifitas politik warganya dalam struktur poiitik. Tentang aktifitas politik praktis warga
NU ini, orang rupanya masih kerap mempersoalkannya. Bahwa NU
menyerahkan politik sebagai hak individual warganya, dengan mudah dapat dipahami orang. Tapi bukankah itu juga berarti warga
NU tidak dibenarkkan lagi melakukan tindakan politik praktis apa
pun dengan diatasnamakan NU? Kenyataannya, tidak pernah benar-benar dapat ditiadakan keterkaitan antara manuver-manuver
politik tokoh-tokoh NU dengan NU sendiri. Sebut saja usaha-usaha
tokoh NU untuk merombak struktur kepemimpinan PPP, atau ba
gaimana mereka terwakili dalam legislatif entah melalui ketiga OPP
maupun sebagai utusan golongan --semua ini dimungkinkan karena
mereka adalah "orang NU", yang dengan demikian berbuat atas
nama NU. Tentu sulit disangkal bahwa NU jadi terasa hipokrit
dalam hal ini. Akan tetapi penilaian ini sebenarnya tidaklah tepat.
Hipokrisi terkesan ada dalam kepolitikan NU tidak lain adalah karena "NU" memiliki dua dimensi, di mana seringkali terjadi kesalahan: orang menilai penampakan NU dalam salah satu dimensi dengan ukuran yang seharusnya berlaku untuk dimensi lainnya. Kedua dimensi itu iaiah apa yang dalam bahasa NU disebut sebagai
jam'iyah dan jamaah. Jadi, "NU" bisa suatu ketika berarti "jam'iyah
NU" dan pada ketika yang lain berarti "jamaah NU". Dan inilah
refute explanalion terhadap tuduhan hipokrisi NU. Dalam Bab II
disebutkan bahwa kelahiran NU di tahun 1926 sebenarnya
lebih dari sekadar penegasan formal terhadap mekanisme informal
suatu komunitas yang berada dalam suatu subkultur bernama Islam
menurut kaidah ahlussunnah wal jamaah. Jauh sebelum dimensi
sebagai jam'iyah tampak, "NU" telah terlebih dahulu muncul dalam
dimensi sebagai jamaah. Kedua dimensi ini menjadikan NU sangat
unik. Dalam dimensi sebagai jam'iyah, NU adalah seperti lazimnya
suatu organisasi formal di mana saat ini ia memiliki cara pandang
yang sangat jelas untuk tidak melakukan aktifitas politik praktis
secara kelembagaan. Kalaupun berpolitik, hal itu dilakukan dalam
bingkai yang sangat lebar sebagai kekuatan sosial yang komple251
menter dalam kehidupan kenegaraan. Mengacu pada dimensi ini,
warga dan tokoh NU tidaklah dibenarkan untuk menamakan dirinya orang NU", atau untuk dinamakan demikian. saat berpolitik
praktis. Akan tetapi dalam dimensi sebagai jamaah, NU tidaklah
dicover dalam suatu kerangka formal melainkan dalam sebuah
nilai kultural yang dianutnya. Berdasarkan dimensi kedua ini, sebenarnya terdapat suatu "komunitas NU" yang tidak mesti selalu ter
kait dengan NU sebagai organisasi resmi. Mereka adalah suatu kelompok masyarakat kultural yang diikat oleh satu tradisi keagama
an yang sama, dengan kepentingan-kepentingannya sendiri, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh ulama yang dalam banyak hal menjadi
panutan mereka. Tokoh-tokoh ulama tersebut tentu bisa, bahkan
terkadang harus, berbuat atas nama komunitas kultural yang mereka pimpin, tanpa terkait dengan organisasi formal NU. Dengan
kata lain, tokoh-tokoh NU tetap dibenarkan melakukan aktifitas kepolitikan praktis atas nama jamaah NU, meski pada saat yang sama
NU menyatakan bahwa hal itu sama sekali tidak berhubungan
dengan organisasinya dan semata-mata tindakan individual tokohtokoh yang bersangkutan. Dimungkinkannya warga dan tokoh NU
untuk berbuat di luar bingkai kelembagaan formalnya, namun secara
kultural tetap menamakan dirinya orang NU" memang secara
skeptis bisa tampak sebagai hipokrisi politik. Itulah persoalannya.
Selanjutnya, bagi jam'iyah NU, ditinggalkannya aktifitas politik
praktis yang selama berpuluh tahun nyaris menyita habis seluruh
perhatiannya, telah membuka kemungkinan dirambahnya berbagai
aktifitas baru dalam banyak bidang sambil secara simultan melaku
kan perbaikan terhadap bidang-bidang garapan lamanya yang sempat agak terbengkalai. Sudah barang tentu hasil yang dicapai NU
dalam bidang-bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan pengembangan sumberdaya manusia sampai sejauh ini masih belum memuaskan, apabila dibandingkan dengan Muhammadiyah misalnya.
Namun sebagai langkah awal, berapa pun kecilnya hasil yang dicapai tentu bukannya tidak bernilai. Apalagi jika diperhatikan
bahwa NU sampai tingkat tertentu telah melakukan terobosan dengan menempuh strategi baru yang menghubungkan potensi umatnya dengan kekuatan strategis yang sebelumya tidak pernah dilirik
oleh ormas Islam lain termasuk Muhammadiyah. Dari terobosan ini
antara iain lahirlah BPR-BPR Nusumma. Langkah serupa juga dila252
kukan NU saat ia mengembangkan jaringan hubungan yang luas
dengan LSM-LSM, berbagai kelompok masyarakat di luar Islam,
serta kedekatan politik dengan militer yang tak kurang telah memberi NU keuntungan yang cukup berarti. Terobosan lain dilakukan
dalam bidang syari'ah ketika NU melakukan switch dari pandangan bahwa pemikiran keagamaan diterima sebagai konsumsi hasil
menuju pandangan yang menilainya sebagai suatu proses keilmuan.
Ini adalah sebuah perubahan besar setidaknya dilihat dari sudut
pandang NU. Jika sebelumnya ijtihad dipandang telah ditutup oleh
kristalisasi pemikiran ulama-ulama terdahulu dalam mazhab-mazhab, maka sejak 1992, akibat meningkatnya kompleksitas problema
sosial, ulama NU mulai menerima penggunaan metode kontekstual
manhaji untuk melengkapi metode tekstual dalam memahami kitabkitab klasik dan untuk menjawab persoalan-persoalan aktual. Dilakukannya perubahan mendasar yang telah menambah titik konvergensi NU dengan Muhammadiyah ini antara lain dimungkinkan
karena waktu dan pikiran yang dimiliki NU tidak lagi tersita oleh
kegiatan politik praktis. Dengan demikian perkembangannya selama ini telah memberikan gambaran membaiknya prospek NU sebagai sebuah kelompok kepentingan. Secara konseptual kemungkinan
ini didukung oleh keyakinan Almond, yang dikutip dalam Bab I,
bahwa perubahan sosial dan ekonomi yang merupakan salah satu
elemen penting pembangunan politik akan sangat bermakna positif
bagi kelompok-kelompok kepentingan, khususnya kelompok asosiasional seperti NU. Pasalnya adalah karena di samping merombak
struktur dan kultur suatu sistem politik, perubahan sosial dan ekonomi juga akan meningkatkan arus informasi dan kontak antara setiap bagian masyarakat, serta meningkatkan level pendidikan, kesehatan, dan status anggota masyarakat. Peningkatan level pendidikan dan status sosioekonomik selanjutnya berkaitan erat dengan
tingkat kesadaran politik, partisipasi, dan perasaan kompetensi politik. Di sinilah peran kelompok-kelompok kepentingan menjadi lebih signifikan.
Bagi NU sendiri, signifikansi perannya di masa mendatang lebih dimungkinkan pula oleh besarnya massa yang dimiliki. Proses
politik dan aktifitas pembangunan yang sedang berjalan tentu tidak
akan mengabaikan massa NU ini, apalagi dengan mulai bergesernya
strategi pembangunan ke arah bentuk people centered develop253
ment. Terlebih lagi jika diakui bahwa sebagian besar massa NU dengan taraf perekonomian yang masih rendah dan tingkat pendidikan formal yang relatif adalah mereka yang secara kualitatif masih
sangat perlu diperbaiki. Tentu adalah termasuk beban NU untuk
mengoreksi kelemahan-kelemahan warganya itu serta untuk menghela mereka agar lebih cepat mengejar ketertinggalan dari warga
negara pada umumnya. Namun dengan itu pula NU mestilah bersiap-siap terhadap kemungkinan bahwa ia akan menjadi salah satu
kelompok subjek pembangunan yang terpenting jika kelak pembangunan nasional jangka panjang tahap kedua benar-benar menuliskan "pengembangan sumberdaya manusia" sebagai tema sentralnya.
Agenda terpenting selanjutnya bagi NU nantinya adalah menetapkan sasaran paripurna kiprah NU yang terletak pada kaitan sasaran
itu sendiri dengan jenis masyarakat/bangsa yang diinginkan. Apakah jenisnya? Kalau masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila, di manakah letak peranan Islam di dalamnya? Kalau sasarannya masyarakat Islam, lalu bagaimanakah halnya dengan Pancasila sebagai ideologi nasional dan falsafah hidup bangsa, yang
mengikat semua warga negara tanpa memandang asal-usul etnis,
bahasa ibu, agama dan budaya masing-masing?
NU Dalam Peta Politisasi Islam Indonesia
Kiranya sampailah saatnya untuk mencoba meletakkan NU dalam konteks arus politisasi Islam di Indonesia merebak dalam beberapa tahun belakangan ini --sebuah politisasi yang tak jelas arahnya,
dan nyaris sama tak jelasnya siapa memanfaatkan siapa di situ.
Kajian ini berusaha untuk konsisten dengan rentangan yang telah
ditetapkan sejak awal untuk menjangkau periode 1984/1983 dalam
perjalanan NU. Kendati begitu, discourse yang menghangat
justru diluar skope tersebut agaknya memang tidak semestinya terlupakan dalam diskusi ini.
Kekhawatiran tentang politisasi Islam sebenarnya bukan barang
baru, sebab hal itu secara sporadis sudah mulai terlontarkan sejak
awal pembentukan ICMI beberapa tahun lalu. Hanya saja, kekhawatiran tersebut pada awalnya terasa kurang begitu relevan, dan
orang lebih suka memberi perhatian pada sinyalemen Abdurrah254
man Wahid bahwa ICMI akan menyuburkan kembali sektarianisme
politik di negeri ini, dan oleh karena itu ia menolak untuk bergabung di sana --sesuatu yang dengan alasan berbeda juga dilakukan
oleh Emha Ainun Nadjib, misalnya. Akan tetapi di belakang hari
kegelisahan dan kritik-kritik terhadap politisasi Islam itu kian bermunculan, dan mulai diformat dalam argumentasi yang sistematis,
logis, dan, karena itu, tidak bernuansa agitatif dan memihak. Sehingga, sulit disangkal bahwa tema tersebut memang merupakan
salah satu persoalan krusial dalam wacana politik Indonesia dewasa
ini. Memang, akan tampak begitu tendensius sebab ketika orang
berbicara tentang politisasi Islam hampir dengan serta merta ICMI
turut tertunjuk. Akan tetapi ini bukannya tidak beralasan, sebab
ICMI nyaris dimainkan sebagai manifestasi paling konkrit dari fenomena politisasi Islam itu, meski di sisi lain kehadiran organisasi ini
memang bisa di anggap sebagai salah satu indikasi bagaimana pola
hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah.
Ketika mengamati ICMI, ketika melihat gelagat organisasi ini
serta caranya turut ambil bagian dalam persaingan hegemoni pada
anak tangga kedua (sebab sementara ini hegemoni pada anak tangga teratas belum terbuka bagi persaingan) bersama kekuatan-kekuatan politik terpenting lainnya, terutama Golkar dan Angkatan
Darat, orang dapat menemukan sekali lagi penampakan pola patron-klien dalam sebuah proses politik. ICMI dalam satu segi, diakui atau tidak, telah menjadi sebuah political vehicle yang
mengantarkan orang-orangnya ke kursi-kursi jabatan publik terutama di tingkat pusat. Sehingga, sejumlah jabatan menteri dalam
kabinet saat ini pun dipegang "orang ICMI", disamping muncul isu
"penghijauan" lembaga MPR/DPR. kedekatan Habibie sebagai Ketua dengan innest circle kekuasaan negeri adalah faktor utama
yang memungkinkan hal itu. Dengan demikian, tidak diragukan lagi
bahwa ICMI, disamping Golkar dan Angkatan Darat, memang telah
menjadi pilihan terbaik ketika orang mencari akses ke jajaran elit
kekuasaan. Dan, selanjutnya, tokoh-tokoh puncak ketiga kekuatan
ini tampil sebagai penentu terpenting di bawah presiden Soeharto
terhadap hitam putihnya wajah politik saat ini.1 Kesemua ini turut
dimungkinkan pula oleh karena dipihak lain pemerintah rupa-rupa
nya sedang membutuhkan suatu sumber legitimasi baru bagi kekuasaannya, denga alasan apapun. Tapi pertanyaannya tentu ialah,
255
mengapa ICMI? Atau dengan kata lain, mengapa Islam yang harus
menjadi legitimasi baru itu?
Adalah sebuah paradoks, kata Schwarz,2 bahwa ketika usaha
pemerintah untuk mengebiri umat Islam sebagai suatu kekuatan
politik mulai membuahkan hasil di akhir 1970-an dan awal 1980-an,
maka popularitas Islam sebagai pranata sosial, etika dan spiritual
ternyata justru mulai meningkat. Sebab yang mendasarinya bisa
bersifat keagamaan semata-mata, dan bisa pula karena alasan yang
bersifat poljtis. Sebab yang pertama berkaitan denjian keingnan
banyak kalangan masyarakat Islam Indonesia untuk menemukan
dalam agama ini suatu tempat pijakan yang kokoh di dalam sebuah
dunia yang sedang mengalami modernisasi dan perubahan secara
pesat dan membingungkan ini. Mereka mencari cara untuk mewujudkan Islam yang lebih relevan untuk mewujudkan Islam yang
lebih relevan bagi kehidupan dunia modern. Baik paham Islam tradisional maupun modernis segera menunjukkan daya tarik khasnya
masing-masing dalam alur kecenderungan ini.
Sementara itu pemerintah untuk melakukan depolitisasi di Indonesia telah mendorong banyak orang untuk berpaling ke Islam.
sebagai sebuah arena politik alternatif. Trend ini, diamati oleh
Adam Schwarz, tanpa terkecuali muncul pula di lingkungan kampus, di mana aktifitas politik telah dibatasi sangat ketat sejak akhir
1970-an. Aktifitas politik mahasiswa yang semula sangat marak
tiba-tiba menjadi mati ketika pemerintah melakukan restriksi terhadap kepolitikan kampus. Akibatnya, sebagian besar aktifitas mahasiswa bergeser ke lingkungan masjid kampus, sebab bagaimana
pun mereka membutuhkan saluran bagi aspirasi politiknya dan selalu akan mencari saluran itu di manapun mereka bisa. Masjid
kampus nyaris menjadi pilihan satu-satunya bagi kebutuhan itu,
setidaknya dalam kurun waktu tertentu. Dan yang lebih esensial,
kecenderungan ini telah mendorong berkembang-pesatnya kelompok-kelommpok studi Islam di kampus, dan resultansinya yang paling
kasat mata antara lain adalah semakin banyaknya mahasiswi yang
mengenakan jilbab.
Islam telah merambah jauh ke dalam kalangan elit terpelajar,
suatu kelas yang secara tradisional dikenal sebagai priyayi, yang
mengingatkan orang pada trikotomi santri-abangan-priyayi dalam
karya klasik C. Geertz. Di sinilah muncul pembicaraan tentang
256
santrinisasi priyayi. Resultansi lebih jauh dari revivalisme Islam itu
dengan demikian ialah munculnya suatu kebanggaan untuk menonjolkan identitas keislaman di kalangan menengah ke atas, kalangan
yang dalam era sebelumnya hampir-hampir bersikap 'dingin' terhadap persoalan-persoalan keagamaan. Dengan segera menjadi jelaslah bahwa telah terjadi perubahan komposisi sosial dalam komunitas Islam, dan ini menjadikan Islam tidak lagi bisa diabaikan oleh
penguasa. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah
terasa begitu responsif dan akomodatif terhadap umat Islam.3 Dan
akhirnya, perkembangan yang paling bermakna bagi Islam di Indonesia, dan juga yang paling kontroversial, adalah dukungan kuat
dari Presiden Suharto terhadap pembentukan ICMI, yang di akhir
1990-an menyeruak dari kerumunan hingar-bingar revivalisme
Islam, dan yang oleh Schwarz disebutkan sebagai usaha serius yang
pertama sejak jatuhnya Masyumi untuk menyatukan kelompok
kelompok Muslim Indonesia yang beraneka ragam di bawah satu
bendera.4 Dan inilah sebenarnya salah satu inti persoalan yang
akan didiskusikan di bawah.
ICMI, meskipun di satu sisi adalah "a natural product of the
process of Islamic revivalism"5 rupanya telah menjadi suatu pilihan
ketika sebuah sumber dukungan baru perlu dicari saat pendukung
terpenting Presiden Suharto, yakni militer, mulai tidak lagi dapat
diandalkan sebagai sandaran tunggal. ICMI dengan demikian ditempatkan sebagai sebuah kekuatan penyeimbang, dan yang terjadi
adalah penggalangan dukungan dari kalangan umat Islam. Frase
politisasi Islam adalah menunjuk ke sini.
Yang sangat menarik adalah, meskipun ICMI menawarkan
banyak keuntungan bagi siapa saja yang bergabung di dalamnya -tawaran yang memang banyak terbukti--, akan tetapi ternyata tetap
ada kalangan yang dengan eksplisit menolak untuk bergabung di
sana, seperi Abdurrahman Wahid. Latar belakang pemikiran tokoh
ini menolak dalam ICMI telah didiskusikan dalam Bab III dan V buku ini, dan karena itu yang perlu diulas lagi adalah implikasi obyektif dari apa yang akan dibawa oleh penolakan itu. Satu hal yang
jelas, penolakan itu telah menimbulkan kesan (atau barangkali yang
lebih tepat mengkondisikan ini:) NU telah menarik garis batas yang
jelas dengan ICMI. Sekalipun beberapa tokoh NU, seperti KH Ali
Yafie, tidak menolak untuk masuk ICMI, namun figur sentral dalam
257
komunitas NU itu telah berbuat lain. Dan tak seorang pun yang
akan menyangkal adanya image bahwa Abdurrahman Wahid
adalah NU dan NU adalah Abdurrahman Wahid.6 Jadi faktanya
sekarang ialah, sebagian besar komunitas NU, kalau bukan malah
seluruhnya, berada di luar ICMI.7 Dan itu di satu sisi bisa berarti
NU cukup selamat dari tarikan arus politisasi Islam. Pertanyaannya
tentu, mengapa?
________________________________________________________
________________
________________________________________________________
________________
1. Currently, in Indonesia," kata Dr Afan Gaffar, there is a common
perception regarding the growing influence of "the 3H", that is
Habibie,
Hartono and Harmoko." Lihat Afan Gaffar, "Indonesia set for
1988," dalam
Business Times, Week End, March 25-26, 1995.
March 25-26, 1995.
2. Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s
(Sidney:
Allen & Unwin Pty Ltd. 1994), khususnya bab "Islam: Coming in
From
The Cold?", h. 162ff. Uraian dalam beberapa paragraf berikut akan
mengacu ke sini.
3. Lihat pengantar buku ini dari Afan Gaffar di muka, atau lihat
"Politik
Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia" dalam M Imam Aziz,
et. al.
(eds.) Agama, Dmokrasi dan Keadilan (Jakarta: PT Gramedia,
1993).
4. Schwarz, op. cit., h. 176
258
5. Ibid
6. But dispite cracks in his NU support base, Wahid remains a very
influental figure. He is widely respected not only within the broad
santri
community but also by many non-santris and non-Muslims ...
Wahid's
view art worth spelling out". Schwarz, op., cit., h. 185.
7. Lihat Syafii Anwar, "ICMI dam Politik: Optimisme dan
Kekhawatiran",
dalam Ulumul Quran, No.1, Vol. V1, tahun 1995, h. 7.
Untuk sebagian dapat dijelaskan bahwa sikap NU yang tak lagi
menekankan pada pendekatan legal-formalistik telah cukup efektif
untuk menjaganya dari efek politisasi Islam itu. Douglas Ramage,8
suatu saat mengelaborasi pemikiran Gus Dur, bahwa "kalau NU
terus membiarkan dirinya terperangkap di dalam struktur politik
formal yang secara ketat dikendalikan oleh pemerintah, ia harus
tergiring untuk melakukan penyesuaian dengan keinginan
penguasa". Dengan secara luwes menempatkan diri sebagai
komplementer dengan aksentuasi gerakan moral untuk aktualisasi
sebuah masyarakat dengan "wawasan Islam" dan bukan "struktur
Islam", NU praktis berada di luar segmen "godaan ICMI". Dari
sudut tinjauan ini maka ICMI hanya menjadi hiburan" bagi mereka
yang memiliki kecenderungan legal-formalistik di kalangan umat
Islam. Dengan adanya ICMI, mereka yang dicekam oleh obsesi
kelembagaan dalam aktualisasi Islam akan merasa bahwa Islam
sudah berperan penting dalam proses politik negeri ini, dan karena
itu mereka tidak perlu lagi berpikir macam-macam. Persoalannya,
orang-orang dengan kecenderungan seperti itu masih belum bisa
dibilang sedikit hingga saat ini. Sehingga ICMI sedikit demi sedikit
akan muncul sebagai sebuah wajah tunggal gerakan politik umat
Islam Indonesia. Dan ini, dilihat dari kacamata tertentu, bisa
membawa implikasi negatif di belakang hari.
Berangkat dari fakta bahwa lifebold ICMI yang terutama adalah
patronase dari penguasa, maka orang mesti mengambil asumsi bahwa patronase semacam ini sangatlah tidak permanen. Ia berbeda
259
dengan akar yang dibangun di bawah, yang lebih permanen dibandingkan dengan tempat bergantung di atas. Ketika berbicara
tentang suksesi kepemimpinan nasional, orang sebenarnya juga
sedang memperbincangkan patronase yang selama ini menjadi andalan ICMI. Jika suksesi kepemimpinan itu terjadi, dengan kata lain
jika terjadi perubahan politik yang sedemikian rupa sehingga menyebabkan ICMI kehilangan patronnya, maka tak hanya ICMI, namun
boleh jadi umat Islam Indonesia keseluruhan akan merasakan dampak negatifnya. Momentum itu sangat boleh jadi begitu dinantinantikan oleh saingan-saingan politik ICMI, dan segera akan dimanfaatkan oleh mereka untuk dengan senang hati menghantamnya.9
Dan jika ICMI benar menjadi wajah tunggal gerakan politik Islam
Indonesia, kejadian itu akan menyebabkan keseluruhan umat Islam
sangat terugikan. Tidak boleh tidak, harus ada sekelompok umat
Islam yang tetap berada di luar ICMI. Kelompok ini akan menjadi
cadangan bagi kaum muslimin di Indonesia, jika sebuah tragedi (semoga saja kalkulasi ini salah) terjadi menimpa gerakan politik mereka. Sejauh ini, NU dapat diharapkan memenuhi kriteria kelompok
dimaksud.
NU hingga saat ini tetaplah perwujudan paling riil dari apa
yang secara nominal disebut umat Islam di Indonesia, selain Mu
hammadiyah. Dan NU menjadi siginifikan bagi pembicaraan tentang politisasi Islam seperti diuraikan di atas, oleh karena ia memiliki beberapa karakteristik yang tidak dimiliki secara sekaligus
oleh organisasi Islam mana pun. Karakteristik itu meliputi hal-hal
berikut: pertama, NU memiliki akar kuat sampai ke lapisan masyarakat terbawah. Kaum muslimin di pedesaan yang pada umumnya
bekerja sebagai petani, nelayan atau pedagang retail kecil, dengan
tingkat pendidikan dan penghasilan relatif, serta merupakan kalangan mayoritas dibandingkan dengan kaum muslimin di perkotaan yang berpendidikan dan berpenghasilan cukup dari pekerjaan
mereka sebagai pegawai pemerintah atau pedagang/pengusaha,
masihlah memiliki identifikasi diri dan alamat kultural NU. Kebanyakan mereka masih berpayung budaya paternalistik dengan figur
sentral para kiyai dan ulama pada level lokalnya masing-masing,
dan dalam pola ketaatan santri-kyai yang sampai tingkat tertentu
masih cukup kental. Para kyai lokal itu untuk sebagian besar tetap
merupakan pendukung NU yang kuat.
260
Kedua, NU adalah satu-satunya organisasi yang memiliki massa besar riil yang terbukti siap setiap saat untuk dimobilisasi. Bukti
paling konkrit dari sinyalemen ini adalah ketika NU menyelenggarakan Rapat Akbar 1992. Siapapun akan mengakui, betapa antusiasnya warga NU terhadap acara itu, baik yang ditunjukkan dengan kehadiran mereka ke sana, maupun dengan kekecewaan sebagai warga NU yang, oleh karena pembatasan yang dilakukan pemerintah sampai pada aparat terbawahnya, tidak dapat menghadirinya. Di segi ini, NU bahkan tak tertandingi oleh Golkar sekali
pun. Sebab, meski Golkar terkadang menunjukkan kemampuan memobilisasi massa, tetapi itu tidaklah memiliki korelasi positif dengan loyalitas massa itu dengan Golkar. Jika sesekali dicoba diinventarisasi data-data dari hadirin dalam pertemuan Golkar, dalam rangka apapun, akan jelaslah bahwa sebagian besar mereka
adalah pegawai negeri, termasuk para guru. Mereka hadir bukan
terutama karena merasa ada "kewajiban moral" yang dilandasi loyalitas, tetapi lebih karena kehadiran karena sedikit banyak berkaitan
dengan kondite mereka. Ini tentu bagian dari sebuah rasionalitas
politik, yang lepas dari pertanyaan tentang baik dan buruk. Tetapi
setidaknya itu menunjukkan bahwa NU mesti diletakkan pada
peringkat teratas ketika orang berbicara tentang kemampuan sebuah organisasi memobilisasi massa tanpa paksa.
Dan ketiga, NU adalah sebuah organisasi yang relatif mandiri
dibandingkan organisasi-organisasi lain. Jika disimak lagi kronologis lahirnya sebuah keputusan kembali ke khittah di tahun 1984,
akan tampak bahwa keputusan itu dibuat setelah melalui perdebatan dan polemik yang panjang. Dan jika hal itu diletakkan dalam
konteks perkembangan situasi politik pada masanya, maka keputusan itu sesungguhnya adalah sebuah mandat bagi perubahan
sangat signifikan bagi intern-ekstern NU. Adalah sebuah prestasi
yang sangat khas bahwa NU dapat tetap tampil utuh setelah keputusan itu diambil, meski barangkali keutuhan yang relatif dan tetap membutuhkan "rekonsiliasi" yang cukup melelahkan. Akan tetapi ini menunjukkan bahwa NU menyimpan potensi kemandirian
yang cukup besar, ketika kebanyakan orsospol di Indonesia meng
alami kemacetan-kemacetan, tak berkutik dalam lingkaran kooptasi
dan sangat bergantung pada negara. Dengan potensi ini, maka untuk tetap berada di luar ICMI, dan juga setiap pilihan lain apapun
261
yang bermakna tidak mendekat-mendekati patronase politik adalah
yang terbaik bagi NU. Dengan cara inilah NU bisa tetap menjaga
kemandiriannya, dan dengan demikian ia semakin mampu mengaktualisasikan komitmen kebangsaannya.
________________________________________________________
____________
________________________________________________________
____________
8. Douglas E. Ramage, "Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang
Pancasila
dan Penerapannya dalam Era Paska Asas Tunggal", dalam Ellyasa
KH
Darwis (ed.) Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta:
LKiS,
1994), h. 105
9. Siapa saja yang potensial sebagai pesaing ICMI? inilah notasi
Schwarz
"Non-Santri Muslim, still a sizeable faction do not support the effort
to
raise Islam's political profile. The military, distrustful right from the
beginning of ICMI aims, will surely attempt to thwart any effort by
modernists to transform the organization into the political antity.
NonMuslim, of course, and especially the powerful ethnic-Chinese
business
community, also can be expected to oppse the broadening of ICMI
powers. But to date, all these groups have adopted a quiet, wait-andsee
approach to ICMI." Lihat Schwarz, op. cil, h. 185
262
ma. Sala: Jatayu, 1985.
BIODATA
---------: "Bandar Lampung: Puncak Ujian Khittah NU", dalam Jawa
Pos, 28 Januari 1992.
A.Gaffar Karim.
Lahir di Sumenep, Madura: 19 Juni
1970, dalam sebuah lingkungan yang
sangat NU oriented. Menempuh
pendidikan dasar serta menengah
di kota kelahirannya: dan selepas
SMA tahun 1988 melanjutkan pendidikan
diJurusan Sastra Inggris Unair,
Surabaya. selama setahun.
Tahun 1989 memasuki Jurusan Ilmu
Pemerintahan Fisipol UGM dan
menyelesaikan S-l pada tahun 1994.
Saat ini adalah staf pengajar di
jurusan tersebut.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Jakarta:
CV Rajawali, 1986.
Anderson, Benedict R.O'G. "The Idea of Power in Javanese Culture,
dalam Claire Holt (ed.), Culture and politics in Indonesia.
Ithaca: Comell University Press, 1972.
Anwar, M Syafi'i. "ICMI dan Politik: Optimisme dan Kekhawatiran," dalam Ulumul Qur'an, No. 1 Vol. VI, Tahun 1995.
Arikunto, Suharsimi. ýProsedur Penelitian. Jakarta: PT Bineka Cipta,
1991.
Benda, Harry J. Bulan Sabit dan Matahari Terbit, alih bahasa Daniel
Dakhidae. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
KEPUSTAKAAN
Afandi, Arief. "NU: Transformasi yang Belum Usai," dalam Jawa
Pos, 9 Juni 1993.
Budiarjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia,
1983.
All, Fachry. "Abdurrahman Wahid dan Kiai Ali Yafie," dalam Edifor, 7 Maret 1992.
Collier, David. "Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model," dalam David Collier (ed.), The New Authoritarianism
in Latin Aolerica. Princeton: Princeton University Press
1979.
---------: Refleksi Paham "Kekuasaan jawa" dalam Indonesia Modern. Jakarta: PT Gramedia, 1986.
---------: "Seorang Asing di Tengah NU," dalam Tempo 25 Nopember 1989.
Crouch, Harold. Militer dan Politik di Indonesia, alihbahasa TH
Sumartana. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986.
Dharwis, Elyasa KH (ed.). Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil.
Yogyakarta, LKiS, 1994.
Almond, Gabriel A. "interest Group and Interest Articulation," dalam Gabriel A. Almond (ed:), Comparative Politics Today:
A World View. Boston: Little, Brown and Company, 1974.
Dhofier, Zamakhsyari. "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari ecip (ed.),
Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ula263
264
NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit Al Kautsar, 1989.
lam M Imam Aziz, et. al. (eds.), Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
alihbahasa Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.
---------- "KH A Wahid Hasyim Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", dalam Prisma, Agustus 1982.
Hagopian, Mark N. Regimes, Movements, and Ideologies. New York
& London:
Longman Inc., 1978.
---------: Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES, 1982.
Djunaedi, Mahbub. "Khittah", daiam Tempo, 25 Januari 1986.
----------. "Khittah Plus", dalam Tempo, 7 Nopember 1987.
Haidar, Ali. "NU dan Tantangan Keulamaan", dalam Aula, Juli
1993.
----------. "Muballig Dadap Tentang Netralitas NU", dalam Kompas,
20 Desember 1985.
__________ NU dan Islam di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1994.
Fathoni, Khoirul dan Muhammad Zen. NU Pasca Khittah: Prospek
Ukhuwah dengan Muhammadiyah. Yogyakarta: MW Mandala, 1992.
Haris, Syamsudin. "NU dan Godaan Politik Menjelang Muktamar ke28", dalam
Kompas, 2 Oktober 1989. PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta:
PT Grasindo, 1991.
Feillard, Andree. "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam Editor
No. 25, 7 Maret 1992.
Haryono, Bambang Santoso. Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar Situbondo 1984. Thesis S-2 Fakultas
Pasca Sarjana UGM, 1990.
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1966.
Ilyas, Yunahar, et. al. (eds.). Muhammadiyah dan NU: Reorientasi
Wawasan Ketclaman. Yogyakarta: LPPI UMY, 1993.
Gaffar, Afan. "Indonesia Sets Tone For 1998", dalam Business Times, Weekend Edition, March 25-26 1995.
----------. Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1992.
----------. "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Politik
Indonesia," dalam 4. Zaini Abar (ed.), Beberapa Aspek
Pembangunan
Orde Baru. Solo: CV Ramadhani, 1990.
Jenkins, David. Suharto and Hic Generals: (ndonesian Military Politics 1975-1983. Ithaca: Cornell Modem Indonesia Pro)ect,
1984.
Karim, M. Kusli. Perjalanan I'artai Po/itik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Kajawali, 1983.
Kuntowijoyo. Paradign,a Islam. Jakarta: Penerbit Mizan, 1997.
Lubis, Nuddin. "Jangan Berlarut-larut Warga NU Mengambang,
dalam S. Sinansari ecip (ed.), NUdalam TantanKan. ]akarta:
----------. "Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia", da265
266
Penerbit Al Kautsar, 1989.
Moertono, Soemarsaid. Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa
Masa Lampau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
Maarif, A Syafii. Dinamika Islam: Potret Perkembangan Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1983.
----------. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Mudatsir, Arief. "Dari Situbondo Menuju NU Baru: Sebuah Catatan
Awal", dalam Prisma, Nomor Ekstra 1984.
Madjid, Nurcholish. "Aktualisasi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah",
dalam Muntaha Azhari dan AM Saieh (eds.) Islam Indonesia
Menatap Masa Depan. Jakarta: P3M, 1989.
Muhaimin, Yahya A. Perkembangan Militer dalarn polifik di (ndonesia 1945-1966. Yogyakarta: Cadjah Mada University
Press, 1982.
----------. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Mulkhan, A. Munir. Runhlhnya Mites PoLifik Sanlri. Yoi;yakarta:
Sipress, 1992.
Malloy, James M. "Authoritarianism and Corporatism in Latin
America: The Case of Bolivia," dalam James M. Malloy
(ed.), Authoritarianism in Latin America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1977.
Nawawi, Hadari. Metode Penelifian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
---------: "Authoritarianism in Latin America: The Model Pattem,"
dalam James M. Malloy (ed.).
Marijan, Kacung. "NU: Antara Elitis dan Populis", dalam /awa Pos,
8 Juni 1993.
---------: Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: PT Pustaka Utama
Graffiti, 1987.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES,
1980.
----------- Quo Vadis NU Setelah Kembali ke Khittah 1926. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1992.
---------: "Respons NU Terhadap Pembangunan Politik Orde Baru,
dalam jurnal Ilmu Politik No. 9.
Maschab, Mashuri. Kekuasaan Ekskutif di Indonesia. Jakarta: PT
Bina Aksara, 1983.
Mas'oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru. Jakarta:
LP3ES, 1989.
Milne, R.S. "Teknokrat dan Politik di Negara-negara Asia Tenggara," dalam Prisma No. 3, 1984.
267
O'Donnel, Guillermo. "Corporatism and The Question of The State,
dalam James M. Malloy (ed.), Authoritarianism in Latin
America. Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 1977.
----------· Modernizafion and Bureaucratic Aufhoritarianism. Berkeley: Institute of International Science, University of Califomia, 1979.
Perlmutter, Amos. Modern Authoritarianism. New Havens & London: Yale University Press, 1981.
Purwoko, Bambang. Perkembangan Partai Persatuan Pembangunan
(1973-1986). Skripsi FISIPOL-UGM, 1987.
268
Salisbury, Robert H. "Interest Groups," dalam Fred I. Greenstein
dan Nelson W. Polsby (eds.), Nongovemrnental Polilics,
Handbook of Political Science, Vol L Massachussets: Addison Wesley Publishing Company, 1975.
Usman, Sunyoto. "Masihkah NU Potensial Populis?" dalam jawa
Pos, 7 Juni 1993.
Wafi, All Abdul Wahid. PerkembanRan Mazhab dalarn Islam, alihbahasa Rifyal Ka'bah. Jakarta: Minaret, 1987.
Sanit, Arbi. "Politik NU Sebagai Organisasi Masyarakat", dalam S
Sinansari ecip (ed.), NU dalam Tantangan. Jakarta: Penerbit
Al Kautsar, 1989.
Wahid, Abdurrahman. "Ada Kasus Gila dan Ada yang Gila Kasus,
dalam A u/a, November 1990.
Schwarz, Adam. A Nation in Waiting:lndonesia in The 1990s.
Sidney: Alien & Unwin Pty Ltd, 1994
---------: "Agama dan Demokrasi," dalam Th. Sumartana, et. al.
(eds.), Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Penerbitlnterfidei, 1994.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (eds.). Metode Penelitian
Survey. Jakarta: L1)3ES, 1989.
Sitompul, Einar Martahan. NU dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan,l989.
--------- ."Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam," makalah yang disampaikan pada acara Dies Natalis XX/Lustrum IV Universitas Islam Tribakti (UIT) Ke-
Subono, Nur Imam. Sebuah Studi Rcnfilk Pemerintahan Korporatisme. Skripsi FISIP-UI, 1988.
---------. "Gerakan Sempalan dan Proyek Rintisan," dalam Denny JA,
et. al. (eds.), Agama dan Kekerasan. Takarta: Kelompok Studi Proklamasi, 1985.
Suharto. "Mengakhiri Tiga Penyelewengan", dalam Herbert Feith
dan Lance Castles (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 19451995, alihbahasa Min Yubhar. Jakarta: LP3ES, 1988.
---------· "Individu, Negara dan Ideologi," makalah yang disampaikan pada acara Sudjatmiko Memorial Lecture, Jakarta 2
Pebruari 1994.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia I945-1967 alihbahasa
Hasan Dasari. Jakarta: LI3ES, 1988.
---------· "Kehidupan Beragama, Rekayasa Sosial dan Kemantapan
Kehidupan Beragama," makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
Surachmad, Winamo. Dasar dan Teknik Xesrarch. Bandung: CV
Tarsito, 1975.
---------. "Massa Islam dalam Kehidupan Berbangsa dan Bemegara,
dalam P17sma Nomor Ekstra, 1984.
Suswanta. Masyumi dan PRRI: Analisis tentang Keterlibatan Heberapa rokoh Masyumi dalarn Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia. Skripsi Fisipol-UCM, 1993.
---------."Mencari Nilai-nilai Baru Dalam Paham Kebangsaan," makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
Thahir, H Anas, el. a]. (eds.). Kebangkitan Umat Islam dan Peranan
NU di Indonesia. Surabaya: PC NU Kodya Surabaya, 1980.
---------."Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama,
makalah, tempat dan tahun tak terlacak.
269
270
---------· "Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini," dalam Prisma No. 4, April 1984.
---------· "Nahdlatul Ulama dan Khiththah 1926", dalam Masyhur
Amin dan Ismail Ahmad (eds.), Dialog Pemikiran (s/am dan
Realitas Empirik Yogyakarta: LKPSM, 1993.
---------. "NU, Pluralisme dan Demokratisasi Jangka Panjang",
dalam M Imam Aziz (ed.), Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
---------· "Pesantren Sebagai Subkultur", dalam M Dawam Kahardjo
(ed.), Pesantren dan Pernbaharuan. Jakarta: P3M, 1988.
1. Aula (PW NU Jawa Timur).
2. Bangkit (LKPSM NU DIY).
3. Editor.
4. Forum Keadilan.
5. Jawa Pos.
6. Kedaulatan Rakyat.
7. Kompas.
8. Pelita.
9. Suara Karya.
10. Suara Merdeka.
77. Suara Pembaharuan.
12. Surabaya Post.
13. Tempo.
---------· "Pribumisasi Islam," dalam Muntaha Azhari dan Abdul
Mun'im Saleh (eds.), /slam (ndonesia Menafap Masa Depan.
Jakarta: P3M, 1989.
---------· "Sejarah Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Sejarah," makalah yang disampaikan pada acara seminar sehari Peringatan 30 Tahun Dekrit Presiden, Jakarta, 5 Juli
1989.
---------. "Upaya Bersama Menanggulangi Kemiskinan," naskah pidato di depan Sidang Raya PGI XI, Surabaya, Oktober 1989.
---------Wasito, Heri. NUdalarn Pemilu 1971. Skripsi Fisipol-UGM,
1989.
---------Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial,
alihbahasa
B.B. Soendjojo. Jakarta: P3PM, 1986.
KORAN DAN MAJALAH:
271
272
273
Download