BINGKAI KHITTAH DI TENGAH PERUBAHAN POLITIK PERLU AKTUALISASI BARU? (BAGIAN 5: PEMAKNAAN DAN KOMITMEN) DR. H HAEDAR NASHIR, M.SI. w. pd fsp litm erg er. co m) akhir ada kalimat kunci atau simpulan sebagai berikut: “Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa suatu gerakan Islam yang bersifat sosial keagamaan, tidak boleh alergi terhadap politik. Wawasan keagamaannya harus menyatu dengan wawasan kekuasaan. Yang perlu dijaga adalah agar tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan. Berfikir strategis dalam rangka menatap masa depan yang agak jauh dituntut dari kita sekarang ini.”. Bagian anak kalimat “Yang perlu dijaga adalah agar tidak terjebak oleh isu-isu politik praktis yang tidak menguntungkan” penting untuk dicermati, yang mengandung tandatanya sekaligus isyarat. Kenapa tidak boleh terjebak pada isuisu politik praktis? Terkandung isyarat bahwa politik praktis itu banyak jebakannya, bahkan sebatas isu pun, apalagi tindakannya. Isyarat lain pernyataan tersebut juga mengandung makna bahwa yang digarap Muhammadiyah ialah politik strategis, yang dalam bahasa Khittah 2002 maksudnya politik kebangsaan non-politik-praktis. Jadi tidak ada pertentangan antara produk Majelis Tabligh dan Khittah Muhammadiyah. Khittah Muhammadiyah tahun 2002 bahkan lahir 14 tahun setelah produk Tabligh dan dihasilkan dari Tanwir, sehingga memiliki keabsahan yang lebih kuat sebagai pedoman. Apalagi kedua produk tersebut sebenarnya sejalan dalam dasar dan semangat pemikirannya, yang intinya politik tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam dan perjuangan Islam, tetapi dapat dibedakan dan dilakukan strategi tertentu yang tidak harus sama dan sebangun karena politik merupakan ranah mu’amalah dunyawiyah. Karena itu politik praktis dapat dibenarkan apabila dipisahkan dari gerak dakwah kemasyarakatan sebagaimana yang dilakukan Muhammadiyah, yang areanya dapat digarap oleh perseorangan melalui jalur sendiri. Jadi Muhammadiyah tidak alergi apalagi anti politik, tetapi lebih pada pemisahan dan pembagian kerja secara strategis. Adapun kekuatan Islam lain ada yang menghimpitkannya dipersilakan sebagai ijtihad masing-masing, yang penting dapat saling meng- J De mo (V isi t htt p:/ /w w Pandangan Majelis Tabligh tersebut benar adanya, bahkan pandangan tersebut substansinya sama dengan pandangan dalam Khittah Denpasar tahun 2002 yang menempatkan politik sebagai bagian dari aspek ajaran Islam yang termasuk dalam urusan alumur al-dunyawiyyah. Tidak ada masalah dengan pandangan tersebut bahkan benar adanya. Namun pandangan tersebut posisinya umum dan Muhammadiyah menentukan kaifiyah atau caranya melalui sistem pembagian kerja, yakni di satu pihak dakwah langsung dilakukan oleh Muhammadiyah secara kelembagaan, sedangkan politik digarap oleh anggota melalui partai politik yang sah dan berlaku sesuai dengan aspirasinya. ika Muhammadiyah tidak mendirikan partai politik lebih karena pengalaman berkali-kali yang berujung pahit atau gagal sehingga melakukan ijtihad mempersilakan anggotanya berkiprah di partai politik yang sejalan dengan idealisme dan aspirasinya sehingga kader Muhammadiyah tersebar di berbagai partai politik. Jadi bukan karena anti atau alergi politik. Pandangan Muhammadiyah dengan menempatkan politik sebagai urusan dunia yang ijtihadiyah, sehingga tidak menghimpitkan dirinya dengan partai politik sebagaimana pandangan politik madzhab Islamisme atau integralisme, seperti halnya partai dakwah. Pandangan Majelis Tabligh era kepemimpinan Prof. DR. M. Amien Rais tersebut juga tidak bersifat absolut sebagaimana pandangan kaum integralisme karena di bagian 12 20 SYAKBAN - 5 RAMADLAN 1431 H m) co pd fsp litm erg er. anggota, aktivis, dan elit pimpinan Muhammadiyah pun tidak terus disibukkan dengan persentuhan politik, yang membuat posisi gerakan Islam ini menjadi kuat kecenderungan sikapnya yang lebih memusatkan perhatian pada isu-isu politik praktis. Di sinilah pentingnya khittah sebagai bingkai pembatas, kendati sekali lagi jangan terlalu dicari-cari batas yang serba instrumental seperti mematok sebidang tanah. Sebaik apa pun rumusan dan pagar khittah akan selalu ada celah karena ranah politik sangatlah pragmatis dan sarat area abu-abu. Di luar urusan politik-praktis sesungguhnya Muhammadiyah juga memiliki agenda sendiri yang tidak kalah pentingnya untuk dihadapi dan dicarikan jalan perbaikan, peningkatan, dan penyempurnaan. Perbaikan fungsi pemahaman keagamaan, tabligh, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, dan fungsi-fungsi gerakan dakwah dan tajdid lainnya menghadang di hadapan Muhammadiyah. Kerja-kerja dakwah dan tajdid yang sarat agenda tersebut sungguh nyata untuk dihadapi dan dijadikan rancang-bangun gerakan yang lebih bersifat transformatif, yang memerlukan komitmen dan kesungguhan optimal dari para ektivis, kader, dan elit pimpinan Muhammadiyah secara luas. Kerja-kerja dakwah kemasyarakatan seperti itu, yang selama ini justru terbukti menjadi modal sosial dan kekuatan besar yang luar biasa yang menjadikan gerakan Islam ini mampu bertahan hingga usianya satu abad. Kerja-kerja dakwah semacam itu mungkin kelihatan kalah pamor oleh kerja-kerja politik, bahkan oleh sebagian pihak dipandang tidak seberapa manakala dibandingkan dengan hasil kerja politik, tetapi percayalah bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa eksistensi dan kelangsungan Muhammadiyah hingga melintasi dua zaman justru karena pekerjaan dakwah kemasyarakatan yang telah digoreskannya di panggung sejarah Indonesia.l Habis De mo (V isi t htt p:/ /w w w. hormati, toleransi, tidak saling mengganggu dan bahkan harus saling melengkapi dan bekerjasama. Adapun anggota Muhammadiyah tentu harus mengikuti pandangan dan Khittah Muhammadiyah tentang politik. Sesungguhnya jika menghayati benar prinsip-prinsip yang berlaku dalam Muhammadiyah dan pengalaman sejarah yang dilakukan para tokoh gerakan Islam ini tidak terlalu menjadi kesulitan an dilema besar membangun hubungan berbasis Khittah dan kepercayaan moral dengan kekuatan-kekuatan politik di negeri ini. Demikian juga batas-batas kenetralan politik yang digariskan Muhammadiyah melalui khittah tidaklah menjadikan gerakan Islam ini jatuh diri dan terisolasi untuk berkiprah dalam peran-peran politik kebangsaan, termasuk menjalin hubungan dengan partai politik dan mentransformasikan kadernya ke ranah publik. Seberapa jauh pun formulasi kenetralan itu ditarik-ulur sesungguhnya penghadapan Muhammadiyah dengan dunia politik tidaklah akan tuntas. Lebih-lebih dunia politik itu kompleks sifatnya, bahkan di sana sini sarat konflik dan pertarungan yang keras. Dengan demikian aktualisasi apapun baik untuk kepentingan membangun hubungan positif dengan partai politik dan mendukung kader politik Muhammadiyah di berbagai lembaga pemerintahan yang berurusan dengan politik, maka memposisikan dan memerankan diri sebagai organisasi kemasyarakatan dan bukan sebagai organisasi politik bagi Muhammadiyah merupakan suatu keniscayaan. Netralitas khittah perlu dipahami dalam konteks posisi dan fungsi atau peran Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam dakwah membangun masyarakat dan tidak melakukan aktivitas partai politik, bukan dalam makna lain. Sikap aktif jangan sampai membawa Muhammadiyah pada percaturan politik sebagaimana yang dilakukan oleh partai politik. Para SUARA MUHAMMADIYAH 15 / 95 | 1 - 15 AGUSTUS 2010 13