1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanasan global telah menjadi isu yang menghangat beberapa dekade belakangan ini, hal ini tidak terlepas semakin terasanya dampak negatif dari pemanasan global tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari pemansasan global dirasakan oleh negara maju maupun negara berkembang. Akibat dampak yang ditimbulkan dari pemanasan global, maka seluruh negara di dunia sepakat untuk mengusahakan pencegahan pemanasan global tersebut. Salah satu usaha pencegahan pemanasan global tersebut adalah penerapan Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) yaitu mekanisme pencegahan pemanasan global melalui penyerapan karbon hutan dengan mencegah deforestasidan degradasi hutan. REDD lahir atas prakarsa Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 yang menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung dalam REDD. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. REDD kemudian berkembang menjadi REDD-Pluss atau ditulis REDD+ yang menyertakan tiga peran hutan lainnya dalam penyerapan dan penyimpanan karbon. Sejak Cop13 di Bali, Indonesia telah mendukung konsep REDD+, utamanya karena ruang lingkupnya lebih luas dan peluangnya lebih besar dengan memasukkan tiga kegiatan lainnya, yaitu konservasi karbon (conservation of carbon stock), pengelolaan yang lestari dalam pengurusan hutan (suistanable management of forest), dan peningkatan daya simpan karbon (enhanchment of carbon stock). Dengan tiga tambahan kegiatan tersebut, maka kegiatan REDD+ meliputi kegiatan utama yang perlu diterjemahkan ke dalam program dan proyek penurunan emsisi GRK di sekitar hutan. Penerapan REDD+ dilakukan di beberapa negara yang ditunjuk sebagai negara percontohan seperi Indonesia, Bolivia, Brazil, Paraguay, Mizambieq, Kongo, Panama, Papua Nugini, Vietnam dan Zambia. Pelaksanaan REDD di beberapa Negara mengalami berbagai kendala terutama dalam soal penghargaan atas hak komunitas local/adat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan tempat REDD+ akan diimplementasikan. Keberhasilan penerapan REDD+ memerlukan dukungan seperti tata kelola hutan (governance), aspek biofisik hutan serta aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan. Mengapa penerapan REDD+ dianggap menjadi program yang penting dalam pengurangan GRK? Karena sejauh ini perubahan iklim telah banyak menimbulkan kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan dalam konteks ini 2 perubahan iklim, menyimpan bahaya laten bagi keberlangsungan hidup suatu negara (Barnett, 2003). Ketika isu ini sudah masuk dalam domain publik, maka upaya selanjutnya adalah menerimakan isu ini untuk dijadikan kajian politik dan keamanan. Dalam beberapa negara, proses politisasi sudah berjalan dengan sangat baik. Colin MacAndrews (1994:380) mencatat bahwa isu lingkungan mampu membangun dua kemajuan penting. Pertama, karakter isu lingkungan yang tidak sensitif membuat pembahasan ini bisa dijadikan alternatif untuk membuka tatanan yang tertutup atau elitis. Kedua, pembahasan masalah lingkungan tidak hanya berkisar pada bagaimana permasalahan - permasalahan yang ada dapat diselesaikan, namun juga bagaimana kapasitas tatanan yang ada harus beradaptasi dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Artinya, dibutuhkan kelenturan lembaga untuk bisa berdialog dengan –dan mengakomodasi kepentingan para pemangku kepentingan masalah lingkungan. Dua kemajuan ini membuat isu lingkungan secara publik equal dengan isu-isu tradisional lain, seperti keamanan, integritas wilayah, dll. Berangkat dari isu lingkungan dan keamanan tersebut, maka program REDD menjadi agenda yang marak untuk diterapkan di banyak negara terutama negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dalam penelitian ini merupakan studi perbandingan implementasi REDD+ di Indonesia dan Brazil. Kedua negara tersebut menurut FAO merupakan negara dengan hutan tropis terbesar (International Tropical Timber Organization). Maka, menjadi peluang yang paling efektif untuk bisa 3 menjadi negara percontohan diterapkannya REDD+. Implementasi penerapan REDD di Indonesia dimulai dengan pembentukan IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) pada tahun 2007. Setelah itu Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Kehutanan mengeluarkan tiga peraturan yang berkaitan langsung dengan REDD yaitu: Permenhut No P.68/Menhut-II/2008, Permenhut NO. P.30/Menhutt-II/2009, dan Permenhut No P. 36/MenhutII/2009.Isu lingkungan sudah melibatkan empat aktor utama dalam perdebatan kebijakan publik, yaitu: pemerintah, partai politik, LSM, termasuk media dan pelajar, dan kalangan bisnis (MacAndrews: 1994: 374). Di Indonesia sendiri penerapan REDD masih memunculkan perdebatan di kalangan masyarakat terutama yang tinggal di sekitar kawasan hutan. REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) sebagai mekanisme internasional yang bertujuan dapat memberi insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang serta upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga berdampak negatif pada masyakarat lokal. Kekhawatiran ini diakibatkan minimnya informasi pemerintah dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, minimnya keterlibatan masyarakat lokal dalam penerapan REDD berpotensi menimbulkan konflik. Berbeda di Brazil yang memiliki kemajuan besar dalam penerapan REDD. Brazil menjadi contoh yang menarik karena membuat kemajuan besar dalam membangun kerangka Undang-undang REDD. Selain itu, dengan mempertimbangkan keterlibatan masyarakat adat dan beberapa NGO menjadi salah satu pendukung implementasi REDD (Virgilio : 2010). Dua inisiatif 4 REDD telah diluncurkan oleh Pemerintah Nasional Brazil, yaitu: 1) Rencana Aksi Nasional untuk Mencegah dan Kontrol Deforestasi di Amazon (PPCDAM), yang meliputi peraturan teritorial dan pemantauan lingkungan, serta mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan ini. 2) Rencana Nasional Perubahan Iklim (2008), yang menetapkan target nasional untuk pengurangan emisi di beberapa sektor dan termasuk Amazon. Tujuannya adalah untuk mencapai pengurangan 80 persen pada tahun 2020. Sejalan dengan aksi-aksi politik ini, Brazil telah mendirikan Dana Amazon, dikelola oleh Bank Nasional Brasil untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial (BNDES). Dibuat pada tahun 2008, (Cerbu, 2009) ini adalah mekanisme pembiayaan non-penggantian yang membantu untuk mendorong pelestarian hutan Amazon, memberikan kontribusi untuk mencegah dan memerangi deforestasi, serta mempromosikan inisiatif pembangunan berkelanjutan. Melihat dua Negara yang menerapkan REDD+ tersebut, saya kira isu ini menjadi penting untuk dibahas karena REDD+ berhubungan dengan wilayah tertentu yang dikhawatirkan memendam bara konflik. Terlebih karena hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, yaitu sebagai paru-paru dunia, dimana keseimbangan hutan di suatu wilayah saja mampu membawa implikasi secara besar di tingkatan dunia. Maka tak heran banyak kalangan 5 yang memperdebatkan bagaimana REDD+ diterapkan di Negara yang bersangkutan, dalam konteks penelitian ini yaitu Indonesia dan Brazil. Dengan berbagai perdebatan maka menggunakan landasan human security. REDD+ harus diterapkan Sejauh mana penerapan REDD+ dalam melihat keamanan manusia yang di dalamnya terdapat keamanan lingkungan, personal dan keamanan komunitas. Kebijakan human security (Zaini, 2003) merupakan sebuah integrasi, kesinambungan dan keamanan yang menyeluruh dari rasa takut, konflik, kebodohan, kemiskinan,perampasan sosial dan budaya dan kelaparan yang berpijak pada kebebasan positif dan negatif. (“In policy terms, human security is an integrated, sustainable, comprehensivesecurity from fear, conflict, ignorance, poverty, social and cultural deprivation, and hunger, resting upon positive and negative freedoms”). Dalam beberapa perkembangan selanjutnya timbul kesadaraan bahwa keamanan negara dan terpeliharanya perdamaian dan keamanan yang ditentukan oleh terwujudnya suatu masyarakat yang sejahtera dan terlindungi. Sehingga perwujudan keamanan manusia diperlukan untuk melengkapi pendekatan konvensional keamanan yang dianut ini sehingga lebih kompehensif (Van Ginkel). Salah satu agendanya adalah menempatkan human security pada isu keamanan lingkungan hidup. Berangkat dari beberapa argumen tersebut, menjadi dasar alasan saya untuk mengambil topik penelitian ini karena isu lingkungan terutama pengelolaan hutan yang tidak mendasarkan basis kemanusiaan dengan 6 penerapan human security. REDD+ secara keseluruhan merupakan kerangka kerja yang mencakup upaya untuk mengurangi penebangan hutan, degradasi hutan, konservasi, pengelolaan hutan lestari dan peningkatan stok karbon hutan. Maka, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan melihat persoalan REDD+ yang diterapkan di Brazil dan Indonesia masih banyak perdebatan. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakangnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana REDD+ diterapkan di Brazil dan Indonesia dalam perspective human security? 2) Apa saja perbedaan antara Brazil dan Indonesia dalam menerapkan REDD+? Apakah sudah berlandaskan human security? 1.3. Pembatasan Masalah Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini akan dibatasi pada analisisi REDD+ di Brazil dan Indonesia dengan menggunakan perspektif human security. Sertamelihat bagaimana tantangan dan harapan yang dihadapi dalam proses implementasi REDD+ di Brazil dan Indonesia. 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarakan pembatasan masalahnya, maka tujuan penelitian ini adalah: 7 1) Memahami dan mendeskripsikan penerapan REDD+ di Brazil dan Indonesia dalam perspektif human security. 2) Mengetahui dan membandingkan perbedaan antara penerapan REDD+ di Brazil dan Indonesia dalam perspektif human security. 1.5. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan kajian Hubungan Internasional, khususnya tentang kajian human security. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat pula dijadikan sebagai referensi bagi mahasiswa lainnya yang ingin melakukan penelitian sejenis. 2) Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, kontribusi serta menjadi acuan kepada beberapa pihak yang berkepentingan dalam kajian dan pengembangan terkait isu human security khususnya isu lingkungan . Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pertimbangan dalam penerapan REDD+ di beberapa Negara lainnya. 8 2. Kajian Teoritik 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu dilakukan oleh Hendrik Manulang dengan judul “Politik Lingkungan: Analisis Reducing Emission From Deforestation Degradation (REDD) Sebagai Program Penyelamatan Hutan Indonesia”. Penelitian tersebut dilakukan melalui studi pustaka, wawancara dan diskusi dengan ahli. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui siapa saja aktor-aktor serta kepentingan dari aktor-aktor yang terlibat dalam program REDD. Selain itu bertujuan untuk menggambarkan secara objektif analisa dampak mekanisme REDD bagi bidang sosial, politik, dan lingkungan hidup Indonesia. Hal ini berkaitan dengan adanya inisiatif pemerintah Indonesia untuk melaksanakan mekanisme REDD dikawasan wilayah kedaulatannya. Penelitian lain dilakukan oleh Jovanka Spiric, 2009 “Investigating the Socio-Economic Impact of REDD scheme implemented In the Nhambita Community Carbon Proect, Mozambique”. Penelitian yang dilakukan oleh Spiric berfokus pada dampak perkembangan ekonomi bagi masyarakat Nhambita atas penerapan REDD. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana pengaruh dan dampak bagi kemajuan ekonomi di Nhambita pasca diterapkannya program REDD. Penelitian yang saya lakukan merupakan studi perbandingan antara REDD+ yang diterapkan di Indonesia dan Brazil dalam perspective human security. Penelitian ini ingin melihat apakah penerapan REDD+ di Indonesia dan Brazil sudah memenuhi standar human security dimana penerapan REDD+ 9 tersebut tidak mengancam kerusakan lingkungan, ketersediaan pangan dan kemanan masyarakat adat setempat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Selain itu, posisi penelitian ini juga sebagai kajian perbandingan untuk melihat perbedaan antara kedua Negara tersebut yaitu Brazil dan Indonesia. Dari beberapa perbedaan tersebut dapat dilihat negara mana yang sudah terbilang berhasil dalam menerapkan REDD+ sesuai landasan human security. Kontribusi atau manfaat dalam penelitian ini dapat menjadi refrensi bagi penerapan REDD+ di Negara-negara lainnya terutama Negara-negara berkembang. Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan memanfaatkan beberapa referensi yang ada. 2.2. Konsep Teori Sesuai dengan penelitian tersebut, maka perlu diuraikan beberapa teori yang relevan untuk mendukung dan mempermudah proses penelitian. Beberapa teori yang mendukungan yaitu human security, Sovereignity as Responsibility dan Kyoto Protokol. Landasan teori tersebut relevan digunakan terutama dalam melihat rumusan masalah yang berkaitan dengan penerapan REDD+ di Indonesia dan Brazil. Konsep human security dapat digunakan untuk melihat apakah skema REDD+ yang diterapkan di kedua Negara terebut sudah memprioritaskan keamanan manusia dan lingkungan. Konsep Sovereignity and Responsibility melihat sejauh mana peran Negara dalam menerapkan REDD+ di kedua Negara tersebut. Konsep 10 mengenai Kyoto Protokol adalah konsep yang menjadi landasan diterapkannnya program REDD+ di Indonesia dan Brazil. Melalui Kyoto Protokol sebagai dokumen yang bertujuan untuk merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim terutama bagi Negara berkembang. Selain itu, konsep community security juga menjadi relevan untuk melihat bagaimana respon dan kesiapan masyarakat adat di Indonesia dan Brazil. 2.2.1. Human Security Konsep Human Security merupakan Perubahan pandangan dunia tentang arti atau makna keamanan, dari keamanan tradisional/militer menjadi Non – tradisional atau dikenal dengan istilahHuman Security. Perubahan Perspektif tentang keamanan ini terjadi dalam pemikiran ilmuwan atau akademis seperti Barry Buzan, Ole Weaver dan Jaap de Wilde yang terangkum dalam mahzab Kopenhagen (the Copenhagen School). Menurut the Copenhagen School, (Floyd: 2007) sejak berakhirnya Perang Dingin (yang di warnai menurunya hakikat ancaman militer), maka disiplin Hubungan Internasional dituntut untuk memperluas obyek rujukan (reference object)-nya dengan tidak lagi melulu berbicara “keamanan negara‟, tetapi juga menyangkut “keamanan manusia. Human security memusatkan kepada manusia (people-centered) dan bukan negara (state-centered). Berdasarkan laporan tersebut juga terdapat 11 pembagian berbagai aspek yang melihat bahwa keamanan bisa dilihat dengan berbagai pandangan: keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security), kesehatan (health security), lingkungan (environtmental security), pribadi /individu (personal security), komunitas (community security), dan politik (politic security). Lebih jauh bahwa human security bukan hanya persoalan „tiadanya konflik dengan kekerasan‟, tetapi juga meliputi jaminan terhadap Hak Asasi Manusia, good governace, akses pendidikan dan layanan kesehatan, serta jaminan bahwa setiap individu memiliki kesempatan dan peluang untuk memenuhi potensinya. Argumen lain diperkuat oleh An Sen (1998) menyatakan keamanan manusia berhubungan dengan berkurangnya atau mungkin hilangnya ketidakamanan yang mengganggu kehidupan manusia “Human security is concerned with reducing and when possible-removing the insecurities that plague human lives”. Penjelasan ini searah dengan apa yang dijelaskan oleh Komisi Keamanan Manusia, yaitu: “Human security in its broadest sense embraces for more than the absence of violent conflict. It encompasses human right, good governance access to education and health care and ensuring that each individual has opportunities and choices to fulfill his or her own potential… freedom from want, freedom from fear and the freedom of the future generations to inherit a healthy natural environment-these are interrelated building blocks of human and therefore national, security (Commission of Human Security:2003.p.4). Makna keamanan dapat dipahami sebagai freedom from fear yang memberi makna lebih kepada keamanan nasional, yakni tidak adanya ancaman terhadap kedaulatan negara. Sedangkan makna freedom from want lebih kepada pertumbuhan ekonomi atau pembangunan untuk memenuhi keperluan 12 asas hidup manusia. Dalam pernyataan ini penulis tambahkan kepada freedom from dehumanization yakni adanya kebebasan dari perlakuan yang tidak berprikemanusiaan atau dehumanisasi serta adanya jaminan dalam memenuhi keperluan hidup mereka, kepastian untuk menjalani identitas budaya kelompok suatu atau etnik serta kebebasan dalam mengekspresikannya. Karena, sejauh ini kebanyakan konflik dan kekerasan yang terjadi disebabkan oleh rendahnya pemahaman dan penghayatan keanekaragaman yang ada, perbedaan agama, etnik, gender, serta akses terhadap sumber daya alam. Tabel 1 Perubahan Paradigmatik State Security Menuju Human Security State Security Human Security Individu, Rumah Tangga, Masyarakat Ancaman Ancaman terhadap batas Ancaman tanpa garis batas, teritorial seperti: pencemaran lingkungan, infeksi penyakit dan terorisme Aktor Negara (tokoh politik, Cakupan lebih luas seperti militer) NGO Tujuan Melindungi Negara Melindungi dan memberdayakan manusia Sumber: Bishop Antonio. J. Ladesma, SJ. 2005. Local Perspective in Peacebuilding, GZOPJ, Quezon City, hal: 14 Fokus Negara Tujuan utama keamanan masyarakat adalah bebas dari ketakutan, keinginan, serta bebas untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat, serta bebas untuk mengekspresikan identitas budaya yang ada. Dengan demikian dalam kajian ini konsep keamanan yang penulis maksud adalah pembangunan ekonomi maupun sosial hendaknya dapat menjadikan faktor keamanan manusia (human security) sebagai prioritas. Maka, keamanan manusia perlu 13 dikaitkan dengan pembangunan masyarakat karena keamanan manusia merupakan pra-syarat tercapainya pembangunan masyarakat yakni mencapai kesejahteraan masyarakat dengan menekankan kepada aspek perlindungan, partisipasi dan pemberdayaan. Isu lingkungan merupakan bagian dari konsep studi keamanan modern, isu tersebut dijadikan sebagai faktor-faktor pendukung ketika berbicara pada konsep keamanan yang lebih khusus, yaitu manusia. Konsep keamanan manusia inilah yang membuat konsep keamanan tradisional (negara) mengalami perubahan, seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap isu lingkungan hidup dan semakin berkurangnya peristiwaperistiwa kedaulatan, militer dan perdamaian. Hal ini yang menjadi dasar mengapa isu lingkungan hidup menjadi bagian dari studi keamanan dalam ilmu hubungan internasional. Robert Kaplan (2008:6) menjelaskan bagaimana kehidupan masyarakat ataupun negara tidak lagi menjadi hal yang penting dalam dunia saat ini, ketika individu atau manusia menjadi pembahasan yang mengemuka. Kaplan dapat memaparkan apa saja yang kemudian menjadikan keamanan manusia dapat terancam dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataannya, sebagai berikut: “Disease, overpopulation, unprovoked crime, scarcity of resources, refugee imigrations, the increasing erosion of nation state independence and international borders and the empowerment of private armies and drug cartels.” Pada tahap selanjutnya, teori ini yang kemudian mendorong isu selain militer-strategis menjadi diskusi penting dalam kaitannya studi keamanan 14 lingkungan. Bertambahnya jumlah penduduk akan memiliki dampak langsung terhadap kebutuhan akan hutan, daratan, dan air sebagai kebutuhan energi. Meningkatnya konsumsi energi juga membutuhkan lebih banyak bahan bakar minyak, dimana juga akan meningkatkan efek rumah kaca yang berujung pada Global Warming (Sinha, 2006:602). UNDP merilis bahwa pemanasan global merupakan isu besar dalam keamanan lingkungan hidup. Persoalan utamanya adalah terkait kelangkaan sumber daya alam, penyakit dan ledakan jumlah penduduk. 2.2.1. Sovereignity as Responsibility Kedaulatan telah menjadi sebuah prinsip utama yang mendalangi interaksi sistem internasional selama lebih dari 350 tahun, tepatnya sejak Peace of Westphalia. Kedaulatan telah dianggap sesbagai prinsip tertinggi yang mempengaruhi tindakan dan sikap setiap negara. Kedaulatan dalam arti yang konvensional didefinisikan sebagai hak yang dimiliki negara untuk menentukan segala urusan domestiknya dan bahwa pihak atau negara asing tidak diperbolehkan untuk mengintervensi urusan domestik tersebut. Definisi ini identik dengan prinsip non intervensi. Dalam perkembangannya, prinsip kedaulatan menjadi lebih komprehensif dimana kedaulatan juga tidak dapat dilepaskan dari prinsip responsibility atau tanggung jawab. State responsibility secara detail didefinisikan sebagai tanggung jawab negara untuk mengurusi dan memenuhi kebutuhan dasar bagi warga negaranya dalam bidang keamanan, kesehatan, 15 pendidikan, ekonomi, hukum, infrastruktur dan good governance. Dalam upaya pemenuhan tanggung jawabnya, negara harus mengelola dengan baik berbagai sumber daya alam termasuk sumber daya hutan. Idealnya, pengelolaan harus dilakukan secara proporsional dengan mengedepankan hajat hidup orang banyak dan tidak menimbulkan kekerasan dalam bentuk apapun. 2.2.2. Protokol Kyoto Protokol Kyoto adalah dokumen utama yang dibuat dalam perjanjian perubahan iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC). Protokol ini bertujuan untuk merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yakni “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”. Protokol Kyoto, diadopsi pada pertemuan ketiga Conference of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang dan mengikat secara hukum negara yang menandatangani dan meratifikasinya. Sejauh ini, 187 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Protokol Kyoto mewajibkan bahwa 37 negara industri (disebut negara-negara Annex I) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990.Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto pada tanggal 23 Juni 2004. Dalam konteks penelitian ini inisiatif 16 Negara Indonesia dan Brazil untuk menerapkan REDD merupakan kelanjutan dari penandatanganan Protokol Kyoto. 3. Metode Penelitian 3.1. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, di mana penelitian ini menggunakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1995). Pendekatan yang saya lakukan pada penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus. Studi kasus merupakan tipe dalam penelitian yang penelaahannya pada suatu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu peneliti berkenaan dengan how atau why, dan studi kasus bertujuan untuk mempelajari secara intensif mengenai unit sosial tertentu yang meliputi individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat. 3.2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai bahan untuk dikaji dan ditelaah dalam memperoleh hipotesis dan konsepsi untuk mendapatkan hasil yang obyektif. 17 Selain melakukan kajian pustaka, dalam penelitian ini juga melalui tahap wawancara dan diskusi dengan para ahli untuk menambah wawasan terkait penelitian. 3.3. Fokus Penelitian Fokus penelitian ini analisa REDD+ yang diterapkan di Indonesia dan Brazil dalam perspektif human security. 3.4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menganalisis secara kualitatif, sedangkan angka-angka maupun tabel yang bersifat kuantitatif berfungsi memperjelas dan memperkuat analisis kualitatif. 3.5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah kajian pustaka (Library Research), yaitu penghimpunan data dengan menelaah sejumlah literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik berupa buku, jurnal, dokumen, surat kabar, maupun artikel-artikel internet yang relevan. Selain memanfaatkan sejumlah literature, penelitian ini juga melakukan pengumpulan data sebagai dokumen-dokumen pendukung dari beberapa instansti seperti Central International Forestry of Research (CIFOR), UN-REDD Indonesia, UNEP Indonesia, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Kementrian Kehutanan Indonesia. 18 Argumen Utama 3.6. Penulisan tesis ini menyimpulkan tiga hal sebagai berikut; Pertama, penerapan REDD+ di Brazil dna Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan. Keduanya merupakan negara berkembang yang mendukung REDD+ sebagai komitmen politik internasional dimaan skema ini menawarkan insentif atas usaha pengurangan emisi yang ditimbulkan oleh deforestrasi dan degradasi hutan di Brazil dan Indonesia. Implikasinya, dengan mengambil komitmen tersebut, Brazil dan Indonesia dapat mencegah, mengurangi emisi deforestrasi dan degradasi hutan serta menjaga kelestarian hutannya. Kedua, terdapat perbedaan antara Brazil dan Indonesia atas peranan dalam menerapkan REDD+ dengan menggunakan perspektive human security. Perbedaan yang muncul di Brazil dan Indonesia dikarenakan keduanya memiliki karaskteristik masyarakat yang berbeda. Berbagai aspek yang terdiri dari kelembagaan, sistem jasa lingkungan, pendekatan human security menjadi faktor yang mendorong perbedaan dalam pelaksanaan REDD+ di Brazil dan Indonesia. Peranan kelembagaan di Brazil sudah jauh lebih optimal dibandingkan di Indonesia. Pemerintah Brazil memiliki sistem distribusi pembayaran jasa lingkungan yang dapat memeberi intensif pada waraganya yang menjaga hutan. Ketiga, berdasarkan studi perbandingan tersebut, Brazil yang mendapatkan support pemerintah dan masyarakat menjadi negara pilot percontohan bagi negara lainnya termasuk Indonesia. Keunggulan lainnya 19 bahwa Brazil telah berhasil menempatkan human secuirty dalam penerapan REDD+ di negaranya. Dalam menempatkan human security pada REDD+ di Brazil dan Indonesia terdapat perbedaan yang cukup krusial dimana Brazil telah berhasil melibatkan masyarakat adat lokal dan NGO, sementara di Indonesia sebatas kebijakan atau peraturan Nasional. 3.7. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini akan disususn dalam lima bab secara komprehensif. Pada bab I tesis berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitia, tinjauan pustaka, relevansi penelitian, metode penelitian, argumen utama, dan sistematika penelitian. Pada bab II membahas mengenai isu perubahan iklim global yang dimulai dari Perdebatan Politik Isu Perubahan Iklim, Mekanisme Kebijakan Konvensi Perubahan Iklim, UNFCCC sebagai Rezim Internasional Perubahan Iklim, Kyoto Protokol, REDD hingga REDD+ (Plus) , dan bagaimana human security dalam penerapan REDD+. Pada bab III akan mendeskripsikan penerapan REDD+ di Brazil dan Indonesia dimana kedua negara tersebut sama-sama mendukung REDD+ sebagai bagian dari komitmen internasional dalam upaya pengurangan gas rumah kaca. Kemudian membandingkan perbedaan dan persamaan kedua negara tersebut dalam mengimplementasikan program REDD+ berdasarkan inisatif pemerintah dalam mengambil komitmen pelaksanaan REDD+ dan pendanaan tata kelola hutan di Brazil dan Indonesia. Selain itu, di bab ini mebandingkan REDD+ Brazil dan Indonesia serta menganalisis tiga aspek 20 human security yang terdiri dari environment security, food security dan community security yang menjadi landasan penerapan REDD+ di kedua negara tersebut. Bab IV akan menjawab rumusan masalah terkait perbedaan REDD+ Brazil dan Indonesia dalam perspektive human security. Selanjutnya, aspekaspek human security di masing-masing negara tersebut akan diperbandingkan dan menganalisis perbedaan yang muncul serta alasan mengapa Brazil menjadi negara yang lebih unggul dalam proyek percontohan REDD+. Bab V merupakan bab kesimpulan. 21