KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA MUHAMMAD GIRI WIBISONO A14060397 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Kajian Keterkaitan antara Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia. Dibimbing oleh DARMAWAN dan DWI PUTRO TEJO BASKORO. Survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas, karena antara lain masalah tenaga dan biaya yang sangat besar. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Konsep ini didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform, masih terdapat variasi karakteristik yang berimplikasi pada klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1:50.000 LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut pada tingkat dan intensitas keragamannya untuk dijadikan sebagai dasar dalam penentuan pendekatan / metode survei yang digunakan selanjutnya. Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis konsistensi hubungan klasifikasi tanah dengan landform, mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu satuan landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000, dan mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga dari unsur-unsur landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000. Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian ini menggunakan Uji Tabular dan Analisis Koefisien Keragaman (KK) internal karakteristik tanah penciri landform dan KK karakteristik tanah penciri antar landform. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis tanah yang terdapat pada suatu landform masih sangat tinggi walaupun pada landform tersebut mempunyai faktor pembentuk tanah yang dianggap homogen. Keragaman yang tinggi juga terjadi pada karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalamnya. Kedua hal tersebut, menunjukkan bahwa sistem pendekatan landform (fisiografi) dalam pemetaan tanah tidak berarti dapat sertamerta mendelineasi satuan tanah pada suatu landform. SUMMARY MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Study of Relevance between Soil Characteristic and Clasification with Landform, as an Evaluation for soil Mapping in Indonesia. Supervised by DARMAWAN and DWI PUTRO TEJO BASKORO. Main problem of soil mapping in Indonesia are limitation of cost and man power. Landform approach is used as an aprroach to accelerate the soil mapping. The principle of landform approach is based on correlation between landform unit and soil unit. This approach has been used in Land Resource Evaluation Planning Project (LREPP) I & II semi-detailed soil mapping project in Indonesia. The result showed that a landform unit consists of several characteristics implicating, different soil classifications. This fact must be studied further to determine the level and intensity of diversity for a reference to developing of mapping in the future. The study aims to analyze the consistency of correlation of soil clasification with the landform, description of homogeneity and heterogeneity of soil characteristics and classifications within a landform unit from previous mapping of 1:50,000 scale, and identify unpredictable soil characteristics from landform elements. This research is a literature study of LREPP II survey and soil mapping data avaliable data base in Research Center for Agricultural Land Resources (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. This research used Tabular Test and Internal Variability Coefficient (CV) analisys of soil characteristics as key of landform characteristics and variability coefficient characteristics as key of soil characteristic inter landforms. The results showed that the diversity of soil taxa on the landform is very high, despite the landform has by definition homogeneous soil-forming factors. High diversity also occurs in key of soil characteristics contained inside a landform. Both of cases showed that the approach of landform system in soil mapping can not use to delineate soil unit boundary. KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KERAGAMAN KARAKTERISTIK DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH DI INDONESIA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor MUHAMMAD GIRI WIBISONO A14060397 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Judul Penelitian : Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia Nama : MUHAMMAD GIRI WIBISONO NRP : A14060397 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr Ir Darmawan, M.Sc NIP. 19631103 199002 1 001 Dr Ir D.P.T. Baskoro, M.Sc NIP. 19630126 198703 1 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003 Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 31 Oktober 1987 dari pasangan H. Suharsono, S.Pd dan Dra. Hj. Liplip Mukhalipah. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis memulai studi di Taman Kanak-Kanak (TK) Perwari tahun 1992 dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Ciherang, Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Cipanas, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Sukaresmi, Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun pertama di IPB, penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam berbagai organisasi, baik organisasi kemahasiswaan maupun organisasi nonkemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti di antaranya Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB sebagai Ketua pada masa kepengurusan tahun 2009-2010, Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI) sebagai Koordinator Badan Eksekutif Wilayah II Fokushimiti priode 2008-2010, dan Scooter IPB Club (SIC) sebagai anggota sekaligus salah satu pendiri SIC tahun 2010. Selama itu juga penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Survei dan Evaluasi Lahan serta mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah tahun 2010-2011. KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan serta doa dari berbagai pihak maka penyelesaian tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada : 1. Dr Ir Darmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik. 2. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik. 3. Dr Ir Dyah Tjahyandari, M.appl.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini. 4. Ir Chendy Tafakresnanto, MP selaku peneliti Balai Besar Litbang Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah memberikan waktu, arahan, bantuan serta fasilitas selama penyusunan skripsi. 5. Keluarga tersayang Mamah, Bapak, Teteh dan segenap keluarga besar H. Ahmad Furqon yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada penulis. 6. Teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan angkatan 43 serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penelitian serta penulisan skripsi ini. Penulis sangat berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak yang membacanya. Bogor, Desember 2011 Penulis DAFTAR ISI DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Tujuan ................................................................................................... 2 1.3. Hipotesis ............................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4 2.1. Konsep dan Definisi Tanah .................................................................. 4 2.2. Proses Pembentukan Tanah .................................................................. 5 2.3. Klasifikasi Tanah .................................................................................. 6 2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia ....................................... 7 2.4. Karakteristik Tanah Untuk Klasifikasi ................................................. 10 2.5. Kaidah Pemetaan Tanah ....................................................................... 12 2.5.1. Pengertian Peta Tanah ................................................................ 12 2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan .................................................... 13 2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah .............................................. 14 2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform ................................... 15 2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform) ........................................ 16 2.6.2. Faktor dan Proses landform........................................................ 16 2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia ................................. 17 2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I .................................................. 17 2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II ................................................. 20 2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II ........................................................ 22 III. BAHAN DAN METODE ........................................................................ 23 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 23 3.2. Metode Penelitian ................................................................................. 23 3.2.1. Tahap Kompilasi Data ................................................................ 23 3.2.2. Analisis Data .............................................................................. 24 vi IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 28 4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah .......... 28 4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform ............................... 30 4.2.1. Grup Landform Aluvial (A) ....................................................... 32 4.2.2. Grup Landform Fluvio-Marin (B) .............................................. 45 4.2.3. Grup Landform Karst (K) ........................................................... 51 4.2.4. Grup Landform Marin (M) ......................................................... 54 4.2.5. Grup Landform Tektonik dan Struktural (T).............................. 60 4.2.6. Grup Landform Volkanik (V) .................................................... 68 4.3 Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari Landform .............................................................................................. 74 4.4 Keragaman Karkteristik Tanah Pada Suatu Unit Landform Berdasarkan Data Lapang dan Laboratorium ....................................... 79 4.4.1. Landform Dataran Aluvial (A.1.3) ............................................. 80 4.4.2. Landform Dataran Fluvio-Marin (B.3)....................................... 80 4.4.3. Landform Perbukitan Karst (K.3)............................................... 81 4.4.4. Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2) .................... 81 4.4.5. Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1) .................................... 82 4.4.6. Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3) ............................ 82 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 83 5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 83 5.2. Saran ..................................................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 84 DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Parameter Bahan Induk ............................................................................. 26 2. Parameter Iklim ......................................................................................... 26 3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman................................................................................ 27 4. Data Landform LREEP II yang Dianalisis ................................................ 29 5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai Pada Grup Landform LREPP II .......... 30 6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II ................................ 31 7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........ 33 8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim Pada Landform A.1.3 ................................................................................ 36 Klasifikasi pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat .............................................................................................. 38 10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur ........................................................................... 39 11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim ............................................................................................ 42 12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........... 46 13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform B.3 ................................................................................... 47 14. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar ...................................................................................... 49 15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........... 52 16. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform K.3 ......................................................................... 54 17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya.......... 55 18. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform M.22 ....................................................................... 56 19. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang – Jabar ...................................................................................... 58 9. 20. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao – NTT ........................................................................................................ 60 21. Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ...... 62 viii 22. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform T.1.2.1 .................................................................... 64 23. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan ......................................................................... 66 24. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.1.2.1 Oesao – NTT ............................................................................................. 67 25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ......... 69 26. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform V.33 ...................................................................... 71 27. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3 Pacitan – Jatim .......................................................................................... 73 28. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ..................... 75 29. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 ................... 77 30. Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga Landform Berdasarkan Klasifikasi ................................................................................................. 78 31. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ......................... 80 Lampiran 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88 Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88 Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88 Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88 Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 89 Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform V.33 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 89 ix 7. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ......................... 90 8. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ..................... 93 9. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K.3 ........................ 93 10. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B.3 ........................ 94 11. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M.2.2 .................... 94 12. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V.3.3 ..................... 94 13. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 ................... 95 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman Teks 1. Diagram alir proses pemetaan tanah LREPP II ........................................ 22 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian ............................................ 24 3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat .......................... 37 4. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ................ 37 5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ................ 39 6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur.............................. 40 7. Sebaran Pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur ............ 41 8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat KarawangJabar .......................................................................................................... 9. 43 Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang Jabar .......................................................................................................... 43 10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim ................. 44 11. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar..................... 48 12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar (Perbesaran pada Gambar 11) ....................................................................................... 48 13. Sketsa sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang ............... 50 14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang – Jabar .................................. 57 15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang - Jabar ................. 57 16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ......................................... 59 17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ......................................... 59 18. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Karawang – Jabar ................................ 65 19. Sebaran pedon tanah pada landform Karawang – Jabar ........................... 65 20. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Oesao - NTT ........................................ 66 21. Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan – Jatim .......... 72 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemenuhan kebutuhan akan peta sumberdaya alam pada saat ini masih belum memadai, termasuk peta tanah (soil map) di dalamnya. Survei dan peta tanah merupakan sarana penting dalam mempersiapkan rencana pemanfaatan lahan dan pengembangan pertanian, antara lain; perencanaan-perencanaan pengembangan komoditas pertanian, irigasi, transmigrasi, rekomendasi pemupukan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta monitoring kualitas lahan, degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan (Hikmatullah dan Hidayat, 2007). Peta tanah juga bermanfaat untuk perencanaan di bidang non-pertanian. Survei dan pemetaan tanah di Indonesia dimulai sejak diperkenalkan sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo. Sampai saat ini, survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas. Hasil inventarisasi sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 menunjukkan bahwa wilayah yang sesuai untuk pertanian dan perlu dilakukan pemetaan tanah lebih detil (> semi detil) ialah seluas 100,7 juta ha (Badan Litbang Pertanian, 2005), termasuk di dalamnya yang sudah terpetakan pada tingkat semi detil seluas 36.7 juta ha, (Hikmatullah dan Hidayat, 2007). Tantangan serta permasalahan pemetaan tanah di Indonesia saat ini adalah bagaimana supaya wilayah yang belum terpetakan pada skala semi detil tersebut dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah. Guna mengatasi tantangan pemetaan tanah di Indonesia, kajian-kajian teknik pemetaan tanah perlu terus dikembangkan. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik Unit). Metode ini merupakan substitusi seluruh atau sebagian terhadap metode pemetaan tanah Grid System yang memerlukan waktu lama dan intensif tenaga sehingga menjadi mahal. Pendekatan landform dalam pemetaan pada dasarnya terletak pada konsep bahwa landform adalah sebagai dasar delineasi satuan pemetaan pada daerah survei sehingga dapat mengurangi intensitas pengamatan di lapangan. Konsep ini 2 didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Survei pemetaan tanah dengan pendekatan landform telah dilakukan pada survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1:250.000 LREPP I (Buurman, 1987) dan LREPP II dengan Skala 1:50.000. Dari hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform masih terdapat variasi karakteristik tanah yang berimplikasi pada klasifikasi tanah yang berbeda. Sehingga menyulitkan dalam menyajikan satuan peta dengan heterogenitas yang rendah padahal seharusnya dalam satu satuan peta mencerminkan satu tingkat manajemen yang sama. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala 1:50.000 LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut terutama mengenai tingkat dan intensitas keragamannya yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penentuan pendekatan / metode survei selanjutnya. Database hasil survei terdahulu cukup banyak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar kajian ini. 1.2. Tujuan 1. Melakukan analisis keterkaitan hubungan karakteristik dan satuan klasifikasi tanah dengan unit landform. 2. Mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform dari hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000. 3. Mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga landform berdasarkan klasifikasi. 1.3. Hipotesis 1. Karakteristik tanah yang dicerminkan dalam satuan klasifikasi tanah merupakan hasil dari proses pembentukan dan perkembangan tanah yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk tanah, di mana faktor-faktor pembentuk tanah tersebut terdapat dalam unsur-unsur satuan landform. 3 2. Pendekatan analisis spasial faktor-faktor pembentuk tanah yang didelineasi secara homogen menghasilkan karakteristik tanah yang homogen. 3. Klasifikasi tanah yang dijumpai pada suatu satuan landform menunjukkan karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalam satuan landform tersebut. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep dan Definisi Tanah Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu: s = f (cl, o, p) t0 Di mana s = tanah, cl = iklim, o = organisme, dan t0 yang merepresentasikan waktu relatif. Meskipun relief atau topografi tidak termasuk sebagai salah satu faktor pembentuk tanah pada persamaan tersebut, Dokuchaev mengakui bahwa relief sebagai salah satu faktor yang penting. Para ahli selanjutnya memodifikasi proses tersebut dan menambahkan relief sebagai faktor pembentuk tanah. Sehingga prosesnya menjadi : s = f (cl, o,r, p, t) Di mana s adalah tanah, cl adalah iklim lingkungan, o adalah organisme, r adalah relief, p adalah bahan induk, dan t adalah waktu terbentuknya tanah. Dengan demikian, proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa faktor yang saling beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor tersebut adalah iklim, organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu. Kelima faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah, akan tetapi kelima faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam proses pembentukan tanah (Gerrard, 1980). Para ahli mendefinisikan tanah sesuai dengan cara pandang dan penekanan yang digunakan oleh masing-masing ahli tersebut (Tan, 1994). Buol et al. (1980) mendefinisikan tanah sebagai suatu tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau horizon-horizon dari komponen mineral atau organik dengan ketebalan yang bervariasi. Sedangkan Tan (1994) menyebutkan bahwa tanah merupakan tubuh alam, penutup permukaan bumi yang mendukung pertumbuhan tanaman, dan terintegrasi akibat adanya pengaruh aktivitas iklim dan organisme terhadap bahan induk. 5 Selain para ahli secara individual, Soil Survey Staff (1975) mendefiniskan bahwa tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi bahan organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman. Di bagian atas dibatasi oleh oleh udara atau air yang dangkal, ke samping dapat dibatasi oleh air yang dalam atau bahkan hamparan es atau batuan, sedangkan bagian bawah dibatasi oleh suatu materi yang tidak dapat disebut sebagai tanah, yang sulit didefinisikan, ukuran terkecilnya 1 – 10 m2 tergantung pada keragaman horisonnya. 2.2. Proses Pembentukan Tanah Buol et al. (1980) menjelaskan bahwa setiap faktor mempunyai peran masing-masing dalam proses pembentukan tanah. Iklim merupakan faktor yang sangat penting dari proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Selain itu, iklim berperan dalam proses erosi dan pengendapan tanah yang mengakibatkan terjadi pergerakan materi tanah termasuk bahan organik dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini terjadi akibat adanya interaksi antara iklim (curah hujan) dengan faktor kemiringan lereng (relief). Organisme merupakan faktor pembentuk tanah yang tergolong aktif. Proses pelapukan mineral dan pencampuran merupakan salah satu tugas dari organisme makro dan mikro. Organisme ini mempengaruhi pembentukan humus, pembentukan profil tanah, dan sifat fisika-kimia tanah. Di samping itu organisme hidup memperlancar peredaran unsur hara dan membina struktur tanah yang baik. Di antara berbagai organisme, vegetasi (makroflora) merupakan yang paling berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan pekembangan profil tanah, karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (Hanafiah, 2007). Bahan Induk menentukan sifat fisik maupun kimiawi tanah yang terbentuk secara endodinamomorf, tetapi pengaruhnya menjadi tidak jelas terhadap tanah- 6 tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Sifat dari bahan induk dengan nyata dapat mempengaruhi ciri-ciri dari tanah, muda maupun dewasa, namun dalam perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut bahkan mengalami pencucian atau erosi, maka pengaruh ini makin tidak jelas bahkan hilang sama sekali (Hanafiah, 2007). Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang meresap atau ditahan masa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah, mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno, 2003). Waktu, berapa lamanya suatu bahan mengalami hancuran memegang peranan penting dalam pembentukan tanah. Peranan waktu dalam perkembangan tanah sangat tergantung pada faktor pembentuk tanah lainnya. Semakin lambat faktor pembentuk tanah bekerja, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk tanah tersebut mengalami perkembangan (weathering), begitu juga sebaliknya (Soepardi, 1983). 2.3. Klasifikasi tanah Klasifikasi merupakan alat penata atau pengorganisasian pengetahuan suatu objek yang diklasifikasikan, sehingga manusia mudah untuk mengingatnya. Melalui klasifikasi tanah, manusia akan lebih mudah untuk memahami sifat-sifat tanah baik secara umum maupun khusus. Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokan tubuh-tubuh tanah yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri tertentu (Rachim & Suwardi, 2002). Buol et al. (1980) mengemukakan lima tujuan klasifikasi tanah, yaitu : 1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah. 2. Memudahkan dalam mengingat sifat-sifat dan perilaku tanah. 3. Mengetahui hubungan antar individu tanah. 4. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru. 5. Mengelompokan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain: menaksir sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan lahan yang buruk, 7 baik, atau terbaik, menentukan areal untuk pertanian, atau kemungkinan hasil ekstrapolasi penelitian di tempat lain. 2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia Terdapat 3 sistem klasifikasi tanah yang pernah dan atau masih digunakan di Indonesia saat ini. Sistem klasifikasi itu adalah sistem klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1983), sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO (1974), dan sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA). Sistem klasifikasi tanah PPT (1983) merupakan penyempurnaan dari sistem Dudal dan Soepraptohardjo (1957, 1961). Perbaikan didasarkan atas pengalaman para Staf Pusat Penelitian Tanah dan dari hasil evaluasi pemetaan yang telah dilakukan. Sistem klasifikasi PPT ini menggunakan enam kategori yaitu Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri. Kelebihan dari sistem ini yaitu: dasar klasifikasinya menggunakan bahan induk sehingga memudahkan dalam klasifikasi, dan sudah banyak dikenal oleh para ahli di Indonesia sehingga memudahkan dalam berkomunikasi. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil dari berbagai kriteria sistem klasifikasi, dan dari 6 kategori yang telah disusun, hanya 2 kategori yang berkembang yaitu Jenis dan Macam. Sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974) merupakan sistem klasifikasi yang dibuat berdasarkan rekomendasi International Society of Soil Science. Dalam sistem ini hanya dikenal nama tanah yang setara dengan greatgroup dan subgroup dalam sistem Taksonomi Tanah. Kelebihan dari sistem klasifikasi ini yaitu: sistematikanya sederhana, hanya terdiri dari 2 kategori sehingga mudah untuk diingat, dan dilengkapi dengan peta tanah dunia sehingga dapat mengetahui penyebaran setiap nama tanah di dunia. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini mengambil nama tanah dari berbagai negara sehingga kriterianya tidak begitu baik, dan didominasi nama-nama yang berasal dari negara pembuat sistem ini. Sistem Klasifikasi Tanah USDA, yaitu sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy) yang dikembangkan oleh United State Departement of Agriculture (USDA) mulai 1975 telah dipakai secara luas di dunia. Sistem ini telah beberapa kali mengalami perbaikan baik definisi maupun nama-nama tanah 8 pada setiap kategori. Taksonomi tanah terus dikembangkan sehingga selalu mengalami perubahan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Adapun kelebihan dari sistem Taksonomi Tanah ini ialah: Pertama, sistematikanya sangat baik, berjenjang seperti piramida dan setiap kategori berkembang proporsional. Kedua, nama pada setiap kategori memiliki arti khusus sehingga dari namanya dapat diketahui sifat-sifat tanahnya. Ketiga, sistem ini telah digunakan di seluruh dunia minimal untuk komunikasi ilmiah. Sedangkan kelemahannya, pertama, sistem ini belum banyak dikenal di Indonesia sehingga agak sulit untuk komunikasi selain ahli tanah. Kedua, untuk dapat mengklasifikasikan dengan sistem ini memerlukan data yang cukup detil dan akurat. Ketiga, pengembangan sistem ini sebagian besar berdasar tanah-tanah di Amerika sehingga tidak seluruh nama tanah yang ada di dalam sistem ini terdapat di Indonesia (Suwardi & Hidayat, 2000). Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem Taksonomi Tanah dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah sejak Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989 (Hardjowigeno, 1993). Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibandingkan dengan sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun FAO/UNESCO (1974) (Suwardi & Hidayat, 2000). Kategori Sistem Taksonomi Tanah adalah sekumpulan kelas yang ditentukan kira-kira pada tingkat keumuman (generalisasi) atau abstraksi yang sama dan mencakup semua tanah. Dalam taksonomi tanah ada enam kategori, menurut urutan penggolongan dan peningkatan jumlah pembeda dan kelas-kelas, kategori tersebut adalah order, suborder, greatgroup, subgroup, family, dan serie. Kategori order adalah tingkat pengelompokan tanah tertinggi. Order dibedakan oleh kehadiran dan ketidakhadiran horison penciri atau sifat yang menjadi pembeda tanah dalam derajat dan jenis sekumpulan proses pembentukan tanah yang dominan yang telah berjalan. Kategori suborder adalah kategori satu tingkat di bawah order. Suatu order dapat dipilah-pilah lagi untuk mengurangi keragaman sifat ke dalam kelaskelas pada tingkat suborder. Alasan pembedaan utamanya adalah ketidakhadiran diferensiasi horison. 9 Kategori greatgroup adalah kategori di bawah suborder, yang menunjukan sifat-sifat taksa lebih homogen dari pada sifat-sifat taksa pada suborder. Pembeda dalam kategori ini menempatkan tanah bersama-sama yang memiliki sifat-sifat umum berikut : 1. Kesamaan yang erat dalam jenis, pengaturan, dan derajat ekspresi horison. 2. Kesamaan yang erat dalam regim kelembaban dan temperatur. 3. Kesamaan status basa. Kategori subgroup adalah kategori satu tingkat di bawah greatgroup. Kategori ini mempunyai tujuan dalam mengelompokan tanah sebagai tanda pada sekumpulan proses yang dominan atau penting pada kategori greatgroup, suborder, atau order. Kategori Family adalah kategori yang tujuannya dalam mengelompokan tanah dalam subgroup yang memiliki sifat fisik dan kimia yang sama, yang mempengaruhi tanggapan terhadap pengolahan atau manipulasi dalam penggunaannya. Family ditentukan terutama untuk mengelompokan tanah dengan tekanan : 1. Distribusi ukuran butir dalam horison-horison aktivitas biologi utama di bawah kedalaman lapisan olah. 2. Mineralogi horison-horison yang sama diperhatikan dalam penamaan kelas-kelas ukuran butir. 3. Regim temperatur. 4. Ketebalan tanah yang dapat dipenetrasi akar. 5. Beberapa sifat lain yang digunakan dalam penentuan beberapa family untuk menghasilkan homogenitas yang diperlukan. Kategori serie adalah kategori terendah dalam taksonomi tanah. Ada dua jenis pembeda yang ditetapkan untuk serie, yaitu: 1. Pembeda antara family dan antara kelas-kelas dari semua kategori yang lebih tinggi adalah sebagai pembeda antar serie. Suatu serie tidak dapat melewati selang batas dua family atau dua kelas dari kategori lebih tinggi. 2. Pembeda antar serie di dalam family yang sama adalah ditekankan pada satu atau lebih selang sifat dari family (Rachim, 2001). 10 2.4. Karakteristik Tanah untuk Klasifikasi Sejumlah sifat tanah merupakan kunci dalam pengklasifikasian tanah. Sifat-sifat tanah tersebut dapat dikelompokan ke dalam sifat morfologi yang dapat diamati di lapangan dan sifat-sifat kimia yang dapat diketahui melalui analisis laboratorium. Sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan diantaranya horison tanah, warna tanah, tekstur lapang, dan kedalaman efektif tanah. Sedangkan sifat-sifat kimia tanah yang diketahui melalui analisis laboratorium diantaranya adalah tekstur tanah, pH tanah, dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah. Horison tanah adalah lapisan tanah yang hampir sejajar dengan permukaan tanah yang terbentuk karena proses pembentukan tanah (Suwardi & Hidayat, 2000). Ada 6 horison utama yang menyusun profil tanah berturut-turut dari atas ke bawah yaitu horison O, A, E, B, C, dan R. Sedang horison yang menyusun solum tanah adalah hanya horison A, E, dan B. Horison O merupakan horison organik yang terbentuk di atas lapisan tanah mineral. Di daerah rawa-rawa horison O merupakan horison utama pada tanah gambut (Histosol). Horison A merupakan horison di permukaan tanah yang terdiri dari campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada horison di bawahnya. Horison E merupakan horison di mana terjadi pencucian (eluviasi) maksimum terhadap liat, Fe, Al, bahan organik, serta berwarna pucat. Horison B dalah horison utama, yang terdiri dari bahan-bahan telah diubah secara kimia dan fisik, telah kehilangan hampir seluruhnya atau semua struktur batuan asal, dan telah terbentuk di bawah horison A, E, dan O. Horison C merupakan bahan induk, sedikit terlapuk, sehingga lunak dan dapat ditembus oleh akar tanaman. Horison R merupakan batuan keras yang belum dilapuk, horison ini tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman di mana perakaran tanaman masih bisa masuk ke dalam tanah dan berkembang dengan baik. Kedalaman tersebut umumnya dibatasi oleh suatu lapisan penghambat, misalnya berupa batu keras (bedrock), padas atau lapisan lain yang menganggu atau menghambat perkembangan perakaran. Kedalaman efektif tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: dangkal (<25 cm), sedang (25-75 cm), dan dalam 11 (>75 cm) (Soepraptohardjo, 1970; Pusat Penelitian Tanah, 1983; Direktorat Konservasi Tanah Dephut, 1984). Tekstur tanah, biasanya juga disebut besar butir tanah merupakan karakteristik tanah yang berhubungan erat dengan pergerakan air, zat terlarut, dan luas permukaan spesifik (specifik surface) yang mempengaruhi potensi tanah (Hilel, 1982). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu, dan liat, yaitu partikel tanah yang berdiameter efektif < 2 mm. Berbagai lembaga penelitian atau institut mempunyai kriteria sendiri untuk membagi fraksi partikel tanah. Dalam bidang pertanian umumnya menggunakan klasifikasi menurut United State Departement of Agriculture (USDA). Berdasarkan perbandingan ke3 fraksi tanah, terkstur tanah di bagi menjadi 12 (dua belas) tekstur tanah (Soil Survei Manual, 1993), yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Direktorat Konservasi Tanah Dephut (1984) untuk keperluan evaluasi potensi atau kemampuan lahan telah melakukan penyederhanan kelas tekstur tanah menjadi 3 (tiga), yaitu: kasar, sedang, dan halus. Kemasaman tanah atau pH tanah merupakan jumlah log [H+] dalam larutan tanah. pH tanah dapat memperkirakan keadaan hara tanah, jumlah basabasa, tingkat pelapukan tanah, derajat pencucian tanah. pH tanah menurut Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Pusat Penelitian Tanah (1983) dikelompokan menjadi 5 (lima) klas, yaitu: sangat masam (pH <4,5), masam (pH 4,5-5,6), agak masam (pH 5,6-6,5), netral (pH 6,6-7,5), dan alkalis (pH >7,5). Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan kemampuan tanah untuk menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa. KTK yang tinggi merupakan petunjuk bahwa tanah mempunyai kemampuan untuk menahan unsur hara yang besar. KTK tanah antara lain dipengaruhi oleh kadar liat dan C-organik tanah (Tisdale dan Nelson, 1975; Tan, 1991), pH tanah untuk muatan terubahkan (Juo dan Adams, 1986), kandungan oksida besi (Rachim, 1994; Hidayat, 1996). Kondisi tersebut terkait dengan jenis bahan induk tanah dan kondisi iklim di mana tanah tersebut terbentuk. KTK tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: 12 rendah (<16 me/100 g tanah), sedang (16-24 me/100 g tanah), tinggi (>24 me/100 g tanah) (Pusat Penelitian Tanah, 1983). 2.5. Kaidah Pemetaan Tanah 2.5.1. Pengertian Peta Tanah Data tanah dapat disajikan secara spasial dengan berbagai teknik tergantung tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik pelaksanaannya yang kesemuanya dapat dipandang sebagai peta tanah. Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps), yaitu peta yang menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya dilakukan, disertai nama taksa (kelas) tanah atau satu atau lebih sifat-sifat tanah. 2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atau beberapa poligon dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-masing poligon diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap kelas dijelaskan dalam legenda. 3. Peta lapangan kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi. Peta ini umumnya disajikan dengan isoline atau pada grid halus. Peta ini memperlihatkan kontinuitas sebaran sifat sifat tanah yang diduga dengan jalan interpolasi. 4. Peta lapangan kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung di seluruh daerah survei. Peta ini umunya disajikan dengan peta grid. Peta ini memperlihatkan sebaran sifat tanah kontinyu yang diukur. Dari semua jenis peta tanah tersebut, peta tanah poligon kelas-areal merupakan peta yang paling umum dibuat (Rayes, 2006). Peta tanah jenis ini merupakan peta yang dibuat untuk memperlihatkan sebaran taksa tanah dalam hubungannya dalam kenampakan fisik dari permukaan bumi (Soil Survei Staff, 1975). Pada setiap peta tanah digambarkan garis-garis batas (delineasi) tanahtanah yang dijumpai di lapangan. Garis batas tersebut membentuk poligonpoligon yang digambarkan pada peta tanah yang disebut satuan peta tanah (SPT), 13 yang merupakan gambar sebaran tubuh tanah di lapangan (serupa dengan polipedon). Dalam setiap peta tanah umumnya selalu berisikan lebih dari satu satuan peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan (taksa) tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa tanah, baik itu berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan dalam istilah taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya. 2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan Berdasarkan teknik pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan yang ditempuh oleh pemeta, yaitu: 1. Pendekatan sintetik (synthetic approach), mengamati, mendeskripsi dan mengklasifikasikan profil tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah survei kemudian membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang mempunyai profil tanah serupa, sesuai dengan klasifikasi yang digunakan. 2. Pendekatan analitik (analytical approach), membagi ‘kontinum’ atas persil-persil atau satuan-satuan berdasarkan dalam pengamatan perubahan dalam sifat-sifat tanah eksternal (sifat bentang lahan), melalui interpretasi foto udara, yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat tersebut. Berdasarkan tingkatannya, survei tanah dibedakan atas enam macam, yaitu peta tanah bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detil, detil dan sangat detil. Masingmasing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda. Peta tanah bagan, peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi peta-peta tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan untuk memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara nasional. Dalam pembuatannya tidak dilakukan pengamatan lapangan. Skala peta sama atau lebih kecil dari 1:2.500.000. Peta tanah eksplorasi, peta ini menyajikan keterangan yang sangat umum tentang keadaan tanah dari suatu daerah. Biasanya peta ini dibuat dengan survei yang dilakukan sepanjang jalan atau menggunakan helikopter pada tempat-tempat tertentu yang dianggap mempunyai perbedaan jenis tanah, yang ditunjukkan oleh 14 bentang alam yang berbeda. Survei ini juga dapat dilakukan dengan bantuan interpretasi foto udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan yang sangat rendah. Skala bervariasi dari 1:500.000 hingga 1:1.000.000. Peta tanah tinjau, umumnya peta ini dibuat pada skala 1:250.000. Satuan peta didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang didelineasi melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit. Pengamatan di lapangan kurang lebih 1 untuk 12,5 km2. Peta tanah semi-detil, peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000, dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistem grid yang dibantu oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Peta ini memberi gambaran tentang potensi daerah secara lebih terperinci serta dapat menunjukkan lokasi proyek yang akan dilaksanakan. Peta tanah detil, peta ini biasanya dibuat dengan skala 1:25.000 dan 1:10.000 serta ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek termasuk proyek konservasi tanah sehingga informasi sifat dan ciri tanah diuraikan sedetil mungkin. Jumlah pengamatan untuk tanah adalah sekitar 1 untuk setiap 2 ha sampai 12,5 ha. Peta tanah sangat detil, peta tanah ini mempunyai skala > 1:10.000. Pengamatannya 2 atau lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk penelitian khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna mempelajari variabilitas respons tanaman terhadap pemupukan atau perlakuan tertentu dan lain-lain (Rayes, 2006). 2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah Terdapat 3 macam pendekatan metode survei tanah, yaitu metode grid, sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara, dan grid bebas yang merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Metode survei grid biasa disebut juga metode grid kaku. Skema pengambilan contoh tanah secara sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi yang diharapkan. Jarak pengamatan dibuat secara teratur pada jarak tertentu untuk seluruh daerah survei. Pengamatan tanah dilakukan dengan pola teratur dan jarak 15 pengamatan tergantung dari skala peta. Survei grid ini sangat cocok diterapkan pada daerah yang posisi pemetanya sukar ditentukan dengan pasti. Keuntungan dari metode survei grid ini diantaranya tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman karena lokasi titik-titik pengamatan sudah diplot pada peta rencana pengamatan, sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang memerlukan penyurvei dalam jumlah besar, cukup teliti dalam menentukan batas satuan peta tanah pada daerah survei yang relatif datar, dan dapat mengurangi sejumlah sifat tanah pada suatu variasi yang menggambarkan proporsi yang besar dari data yang tersedia. Kerugian dari metode survei grid ini antara lain memerlukan waktu yang lama, pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan sehingga tidak efektif, sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta yang dikehendaki. Metode selanjutnya adalah metode survei fisiografi. Survei ini diawali dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk mendelineasi landform yang terdapat di daerah survei, diikuti dengan pengecekan lapangan terhadap komposisi satuan peta, biasanya hanya di daerah pewakil. Survei ini umumnya diterapkan skala 1:50.000 - 1:200.000. Metode ini hanya dapat diterapkan jika tersedia foto udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau seluruhnya didelineasi dari hasil IFU. Metode yang terakhir adalah metode grid bebas (fleksibel). Metode ini merupakan perpaduan metode grid kaku dan metode fisiografi. Metode ini diterapkan pada survei detil hingga semi-detil, foto udara berkemampuan terbatas dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan cukup sulit dilakukan. Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi jarak pengamatan tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei. Dengan demikian kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah di lapangan (Rayes, 2006). 2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (flora, fauna, tanah, dan lain-lain) yang mempunyai dasar-dasar dan sistematik tertentu, klasifikasi landform juga harus ada dasar yang jelas dan disusun secara sistematik 16 berdasarkan kategori-kategori dari golongan atau kelompok yang besar menjadi kelompok yang kecil (hirarki). Mengingat bahwa landform merupakan bentukan alam yang terjadi melalui serangkaian proses geomorfik dan evolusi, maka klasifikasi landform didasarkan kepada kedua hal tersebut. 2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform) Bentuk lahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi, khususnya di daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui serangkaian evolusi tertentu pula, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng tunggal (Marsoedi et al., 1997). Sedangkan Bloom (1979) mendefinisikan landform adalah setiap elemen dari bentang lahan (lanskap) yang dapat diamati secara keseluruhan, dan mempunyai bentuk yang konsisten atau perubahan bentuk yang teratur. 2.6.2. Faktor dan Proses Landform Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada di muka bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi. Tenaga tersebut antara lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya (gelombang laut, pasang surut, dan tsunami). Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik (hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah, gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan 17 gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme, sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor. Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975). 2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia Christian & Steward (1968) menggunakan pendekatan Landsystem. Pendekatan ini dikembangkan di Australia dan di Indonesia pernah digunakan oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1989 dalam proyek RePPProT. Sistem klasifikasi ini menggunakan aspek geomorfologi, iklim dan penutupan lahan. Desaunnetes (1977), dengan “Catalogue Landform for Indonesia” yang menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Katalog ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I tahun 1985-1990. Zuidam (1979) & Zuidam and Cancelado (1978) dengan metode “Terrain Analysis” nya, menggunakan dasar geomorfologi disertai keadaan bentuk wilayah, stratigrafi dan keadaan medan. Buurman dan Balsem (1990) menggunakan pendekatan satuan lahan. Sistem ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I di Pulau Sumatra tahun 1985-1990. Marsoedi, et.al. (1997) menggunakan pendekatan proses geomorfik. Sistem ini merupakan perbaikan sistem Desaunnetes dan Buurman & Balsem dengan memperhatikan kondisi di Indonesia. 2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP I) adalah kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau dengan skala 1 : 250.000 di Pulau Sumatera. Pembagian landform dalam LREPP I ini, kategori paling tinggi berupa grup-grup fisiografi yang pada dasarnya berdasarkan proses geomorfik. 18 Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam penamaannya, yaitu grup perbukitan, grup pegunungan, dan grup dataran, yang menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem ini digunakan khusus untuk Pulau Sumatera, maka muncul grup-grup fisiografi khusus karena kekhasannya, yaitu: Grup dataran Tuff masam dan grup Tuff Toba masam. 2.6.4.1. Landform Utama LREPP I Grup Kubah Gambut (D), gambut ombrogen yang luas di daerah dataran pantai, membentuk kubah setinggi 10 m atau lebih (di atas level batas permukaan air sungai tertinggi), pada umumnya dipengaruhi oleh air dengan salinitas tinggi. Bagian ini tidak termasuk kedalam bagian gambut topogen dengan level permukaan hampir tidak cembung yang terjadi pada bagian rawa belakang. Grup Aluvial dan daerah tersebut merupakan daerah yang mengalami banjir musiman akibat posisi topografi daerah tersebut. Vegetasi khusus : hutan gambut. Grup Aluvial (A), landform lain yang terkait dengan aktivitas danau muda/recent, meandering dan sungai braiding, dan proses pengendapan akibat kemiringan lereng (koluvium), tidak termasuk bagian-bagian di mana marin berpengaruh dominan (tidak salin). Landform ini sebagian besar terdiri dari dataran aluvial yang luas pada daerah pantai, lembah sungai pada daerah dataran tinggi, endapan koluvial pada kipas aluvium dan foot slopes, endapan lakustrin, dan teras sungai. Grup Marin (B), landform recent dan subrecent lainnya yang terkait dengan proses marin dan perimarin; lingkungan payau dan salin: punggung pesisir, cekungan pesisir, rawa air asin, dataran lumpur, mangrove, endapan delta, endapan estuarin, bukit pasir, terumbu karang. Grup ini bukan termasuk landform yang berumur lebih tua, daerah dataran angkatan atau teras marin (pencucian garam). Grup Teras Marin (T), dataran pantai dan teras abrasi yang terangkat, tererosi, dan tertoreh. Torehan landform, datar, horisontal, atau mempunyai permukaan lereng yang halus. Landform ini mempunyai luas yang besar, pada umumnya subsoil terdiri atas stratifikasi endapan marin atau hasil erosi batuan 19 yang lebih tua. Teras sungai dan teras lakustrin tidak termasuk ke dalam satuan landform ini, akan tetapi termasuk ke dalam grup landform Aluvial. Grup Dataran Tuff Masam (I), dataran luas yang terdiri atas akumulasi tuff volkan masam dengan karakteristiknya, landform, dan tanah. Tuf masam utama yang tergolong pada grup ini adalah formasi Palembang (QTpv, Tpp, Tmp) pembentuk tuff Lampung (Qhv), tuff Ranau (Qrv), dan lain-lain. Tuff masam ini juga dikenal dengan istilah “ Ignimbrites”, bagian dari tuff yang telah mengendap di dalam lingkungan cekungan marin. Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Dataran (P), dataran lain yang tidak terbentuk dari bahan volkan masam. Daerah-daerah yang mempunyai keseragaman lereng dengan kemiringan kurang dari 16% dan amplitudo kurang dari 50 m, serta cakupannya sangat luas. Bentang lahan tua; yang telah tererosi dan terpotong. Volkan muda, marin, dataran aluvial, dan dataran karst tidak termasuk ke dalam grup landform ini. Grup Tuff Toba Masam (Q), tuff masam yang berasal dari erupsi Toba (Toba Rhyolite), mencakup ketinggian 0 – 2000 m. Pada umumnya panjang, mempunyai derajat kemiringan lereng yang homogen, terdapat pada lembahlembah sungai, plateau. Akumulasi endapan tuff masam, kadang terlihat. Grup Volkanik (V), landform lain yang berumur recent dan subrecent, secara umum intermedier sampai mafik, aktivitas volkan. Stratovolkan dan hasil erosi stratovolkan, aliran lava, plateau lava, lahar. Blok patahan volkan tidak termasuk di dalamnya, dan subgrup ini tidak mencakup Rhyolit Toba. Grup Karst (K), landform yang sebagian besar terbentuk oleh bahan berkapur. Bentuknya secara umum tidak beraturan, pelarutan bahan kapur lunak menimbulkan munculnya batu gamping yang keras yang tahan terhadap pelarutan ke permukaan. Berlereng curam dan bentuknya berombak tidak beraturan dibandingkan dengan bahan yang muncul secara horisontal. Pada batu gamping yang keras, tanah pada umumnya tidak memiliki solum yang dalam, kecuali terjadi pada lekukan-lekukan daerah tersebut. Pada umumnya tanah yang terdapat pada landform ini mempunyai solum yang dangkal dengan ketebalan yang beragam. Pada umumya terdapat jalur drainase yang tampak jelas. 20 Grup Perbukitan (H), landform yang terbentuk oleh proses erosi dan orogenesa, terdiri dari bukit kecil dan perbukitan dengan amplitudo relief 10 – 50 m atau 50 – 300 m, dengan bahan induk yang bervariasi. Termasuk di dalamnya yang diakibatkan oleh proses struktural. Grup Pegunungan dan Plateau (M), gunung : area yang sangat luas dengan amplitudo relief lebih dari 300 m. Rangkaian pegunungan, blok pegunungan. Daerah ketinggian yang relatif datar, sedikit atau banyak tertoreh, dibatasi oleh tebing yang terjal menuju daerah yang lebih rendah. Landform pegunungan akibat proses volkanik baru dan Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini. Grup Aneka, landform lain yang tidak termasuk ke dalam salah satu grup landform, dan bukan lahan pertanian atau pengaruh aktivitas manusia. Termasuk ke dalam landform ini adalah lembah curam, kota, danau, tempat pembuangan sampah akhir, dan lain-lain (Buurman dan Balsem, 1990). 2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II Second Land Resource Evaluation and Planning Project (LREPP II) adalah proyek kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detil dengan skala 1:50.000 pada tahun 1992-1997 pada beberapa wilayah di Indonesia. Kegiatan LREPP II ini merupakan lanjutan kegiatan LREPP I yang telah melaksanakan kegiatan survei sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 di Pulau Sumatera. Sistem pambagian landform yang diterapkan oleh LREPP II ini merupakan hasil perbaikan dari sistem landform LREPP I yang dinilai masih kurang konsisten antara proses geomorfik dan relief. Kategori paling tinggi dalam sistem landform LREPP II didasarkan pada proses geomorfik utama, yaitu proses geomorfik karena gaya endogen/hipogen, gaya eksogen/epigen, dan gaya ekstraterestrial. Kategori-kategori selanjutnya didasarkan atas bentukan landformnya sendiri, relief, litologi, tingkat erosi atau torehan, dan sebagainya (Marsoedi et al., 1997). 21 2.6.5.1. Landform Utama LREPP II Grup Aluvial (A), landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Grup Marin (M), landform yang terbentuk dari proses marin, baik yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruksi (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah pasang-surut tergolong dalam landform marin. Grup Fluvio-Marin (B), landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut. Grup Gambut (G), landform yang terbentuk di daerah rawa (baik rawa pedalaman maupun maupun di daerah dataran pantai) dengan akumulasi bahan organik yang cukup tebal. Landform ini dapat berupa kubah (dome) maupun bukan kubah. Grup Eolin (E), landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan halus (pasir, debu) yang terbawa angin. Grup Karst (K), landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst. Grup Volkanik (V), landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bantukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Grup Tektonik dan Struktural (T), landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan, dan atau patahan. Umumnya Landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural). 22 Grup Aneka (X), bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya : lahan rusak, singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu, dan lain-lain (Marsoedi et al., 1997). 2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II Tujuan utama dari kegiatan proyek LREPP II ini adalah pengembangan kemampuan institusional dalam hal pengumpulan, penelitian, evaluasi, penyajian, dan pengelolaan data sumberdaya lahan serta penggunaannya dalam proses perencanaan fisik (Marsoedi et al., 1997). Secara garis besar kerangka acuan pelaksanaan proyek LREPP II adalah sebagai berikut : Pengumpulan dan Evaluasi Data Interpretasi Foto Udara - Peta Rupa Bumi 1: 50.000 - Delineasi Landform - FU dan Citra Satelit - Delineasi Land use & - Data Iklim Vegetasi - Data Pendukung Persiapan Prasurvei Laporan Persiapan Pengamatan sifat dan penyebaran Survei Tanah Utama tanah Analisa Tanah - Fisik & Kimia - Korelasi Tanah Digitasi & Pencetakan Peta Tanah Gambar 1. Diagram alir proses pemetaan LREPP II III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2010 hingga Januari 2011. 3.2. Metode Penelitian Secara garis besar penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu: tahap kompilasi dan tahap analisis data, dengan rincian masing-masing disajikan pada Gambar 2. 3.2.1. Tahap Kompilasi Data Kompilasi data dilakukan dari data base Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Data yang dikompilasi berasal dari hasil survei dan pemetaan Second Land Resource Evaluaton And Planning Project (LREPP II) yang terdiri dari 4 jenis data, yaitu data site dan horizon (SH), data soil sample analysis (SSA), plotting pengamatan lapang, peta tanah dan legenda (MU). Data LREPP II yang digunakan meliputi 8 lokasi, yaitu: daerah Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data SH terdiri atas: nama pemeta, nomor observasi, data iklim, landform, bahan induk, elevasi, relief, kedalaman efektif, drainase, dan klasifikasi tanah sampai kategori serie tanah menurut sistem USDA 2003. Data SSA terdiri atas: nama pemeta, nomor observasi, kedalaman, simbol lapisan, warna tanah, tekstur struktur, konsistensi, pH, KTK tanah, KTK liat, kejenuhan basa, kadar Ca, Mg, K, Na, N, dan kadar C. Plotting pengamatan terdiri atas data yang mempunyai referensi geografis. Sedangkan peta tanah berupa data spasial dan legenda. Legenda peta terdiri atas: No SPT, klasifikasi tanah pada kategori seri & famili, persen kemiringan lereng, bentuk wilayah, landform, bahan induk, dan luas. 24 Database Tanah LREPP II Seleksi Database Daerah Terpilih Data Pedon Terpilih Terkoreksi Klasifikasi Karakteristik Landform Analisa - Uji Tabular - Analisis Statistik Hasil Interpretasi Data - Konsistensi Landform Terhadap Jenis Tanah - Gambaran Keragaman Karakteristik & Klasifikasi Tanah - Pendugaan Karakteristik Tanah Penciri yang Sulit Diduga Oleh Landform Gambar 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian Seleksi data dilakukan untuk memilih daerah lokasi survei LREPP II yang memiliki data lengkap, yaitu data pedon yang mempunyai data SH, SSA, dan plotting pengamatan lapang. Sedangkan data yang tidak lengkap dipisahkan dari data yang akan dianalisis. 25 Koreksi data dilakukan untuk memeriksa unsur-unsur data yang sudah terpilih melalui proses seleksi, untuk meminimalisir adanya kesalahan data yang dapat diakibatkan oleh manusia ataupun akibat kesalahan pada tahap proses data. Proses ini dilakukan terhadap data SH. Setelah melakukan over lay data plotting pengamatan dengan data MU maka perlu koreksi terhadap landform dan bahan induk tanah. Hal ini perlu dilakukan supaya data tersebut valid atau layak digunakan sebagai bahan penelitian. Setelah melalui tahap seleksi dan koreksi, tahap selanjutnya adalah tahap crosschek data. Tahap ini bertujuan agar data tabular (SH & SSA) memiliki hubungan data yang sinkron dengan data spasial (plotting pengamatan lapang) sehingga kedua jenis data tersebut sudah benar-benar berada dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait, pedon terpilih untuk tahap ini merupakan pedon yang sudah siap untuk dianalisis pada tahap selanjutnya. Jumlah pedon terpilih adalah sebanyak 475 pedon. 3.2.2. Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu: uji tabular dan analisis statistik. 3.2.2.1. Uji Tabular Uji tabular dilakukan dengan mensortir pedon berdasarkan satuan landform sehingga dapat diketahui sebaran jenis tanah (Subgroup) pada suatu landform beserta faktor-faktor pembedanya. Satuan unit landform adalah satuan terendah dalam klasifikasi landform LREPP II yang tidak dapat dipisahkan lagi. Faktor pembeda yang digunakan adalah bahan induk dan iklim. Uji tabular bertujuan untuk mencari hubungan klasifikasi tanah (Subgroup) dengan landform, dan analisisnya secara deskriptif. Parameter bahan induk dibedakan berdasarkan jenis bahan induk dan umur geologi pembentukannya yang mengacu pada kriteria bahan induk yang digunakan dalam pemetaan LREPP I. Parameter bahan induk selengkapnya tersaji pada Tabel 1. 26 Tabel 1. Parameter Bahan Induk No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 simbol aK akT aT bK bT cT dK dkT dT fK fkT fqK fqT fT gT kT oK qK qkT qT tT yT Rincian Kuarter andesit Tersier andesit berkapur Tersier andesit Kuarter Basal Tersier Basal Tersier batu gamping Kuarter liparit Tersier dasit berkapur Tersier dasit Kuarter endapan liat Tersier batu liat berkapur Kuarter endapan liat dan pasir Tersier batu liat dan batu pasir Tersier batuliat Tersier granit Tersier batu kapur Kuarter organik Kuarter endapan pasit Tersier batu pasir berkapur Tersier batupasir Tersier skis Tersier batu sabak Parameter yang kedua adalah iklim, parameter iklim digunakan untuk membedakan dan mengetahui sejauh mana proses perkembangan tanah kaitannya terhadap iklim setempat. Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai-nilai unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu tempat atau pada suatu wilayah. Parameter iklim yang digunakan adalah curah hujan pertahun. Data iklim (curah hujan) tersebut digolongkan kedalam 3 tipe iklim (Tabel 2). Dasar dari pembeda iklim tersebut adalah perubahan sifat-sifat tanah terkait dengan dengan kelembaban tanah (regim kelembaban tanah). Tabel 2. Parameter Iklim Tipe Iklim A B C CH (mm/th) ≥ 2000 ≥ 1500 - 2000 < 1500 3.2.2.2 Analisis Statistik Untuk membandingkan keragaman antar karakteristik tanah penciri pada masing-masing satuan landform serta untuk membandingkan keragaman internal antar satuan landform dari satu karakteristik tanah penciri digunakan nilai koefisien keragaman (KK) yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut : 27 KK = ( s ) × 100% Ížx Adapun Ížx merupakan nilai rata-rata dari suatu karakteristik tanah penciri, sedangkan s adalah simpangan baku yang dapat diperoleh dengan rumus : S = √ ( xi2 – (xi2) ) n n-1 Di mana, x : nilai setiap contoh tanah dari suatu karakteristik tanah penciri n : jumlah contoh/populasi setiap karakteristik tanah penciri i : contoh ke-i (Steel dan Torris, 1982 dalam Baskoro, 1986) Di bawah ini tabel kriteria pengklasifikasian keragaman tanah berdasarkan nilai koefisien keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986). Tabel 3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Koefisien Keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986) Kelas Keragaman Koefisian Keragaman (%) Sangat rendah < 15 Rendah 16 – 33 Sedang 33 – 66 Tinggi > 66 Nilai Karakteristik tanah penciri yang dianalisis dengan menggunakan koefisien keragaman (KK) adalah ketebalan solum, rasio perbandingan tekstur liat horison A dan B, derajat kemasaman tanah (pH), C-organik, Kapasitas Tukar Kation (KTK), KTK liat, dan Kejenuhan Basa (KB). 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah Data yang digunakan berasal dari 475 pedon yang tersebar di 8 lokasi, yaitu: Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data pedon tersebut tersebar ke dalam 6 landform utama menurut LREPP II, yaitu Aluvial (A), Fluvio-marin (B), Karst (K), Marin (M), Tektonik (T), dan Volkan (V). Jumlah landform yang dijumpai dari 6 landform utama tersebut sebanyak 64 landform (Tabel 4). Landform merupakan suatu bentuk lahan yang disebabkan oleh proses geomorfik tertentu. Oleh karena itu, setiap landform diharapkan memiliki suatu hubungan keterkaitan dengan klasifikasi tanah yang terdapat di dalamnya. Keterkaitan ini dapat ditinjau dengan melihat klasifikasi tanah pada masingmasing kategori order yang dijumpai pada suatu delineasi landform utama menurut LREPP II (Tabel 5). Tabel 5, menunjukkan bahwa tanah yang terdapat dalam Landform utama yang memiliki klasifikasi tanah paling beragam pada kategori order adalah adalah landform tektonik & struktural, landform ini mempunyai jumlah kelas tanah yang paling banyak. Dari semua kelas tanah yang dijumpai, hanya satu order tanah saja tanah saja yang tidak dijumpai dalam landform ini yaitu order Andisol. Landform tektonik & struktural merupakan landform dengan bahan induk yang sangat beragam sehingga berimplikasi terhadap keberagaman klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform tersebut. Landform aluvial mempunyai tanah yang lebih beragam dibandingkan dengan landform lainnya yang dipengaruhi oleh air (fluvio-marin & marin). Hal ini menunjukkan pada landform yang dipengaruhi oleh air, bahan endapan yang diendapkan pada landform aluvial lebih beragam dibandingkan pada landform fluvio-marin dan marin. Order Ultisol dan Oxisol yang memiliki tingkat perkembangan tanah lanjut, tidak dijumpai pada landform utama yang dipengaruhi oleh air (aluvial, 29 Tabel 4. Data Landform LREPP II yang Dianalisis No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 Landform Utama Aluvial (A) Landform A.1.1.1 A.1.1.2.1 A.1.1.2.2 A.1.1.2.6 A.1.1.2.7 A.1.1.2.8 A.1.1.3 A.1.2 A.1.2.1 A.1.2.3 A.1.3 A.1.4 A.1.5 A.2 A.2.1.1 A.2.1.3 A.2.2 A.2.2.1 A.2.2.2 Fluvio-Marin (B) B.1.2 B.3 Karst (K) K.1.1 K.1.2 K.1.3 K.2 K.2.1 K.3 K.3.1 K.5 Marin (M) M.1.1 M.1.1.2 M.1.2 M.1.3 M.1.7 M.2.2 M.3 M.3.2 M.3.3 Tektonik & Struktural T.10.2 T.10.3 T.11.1 T.11.2 T.11.3 T.1.2 T.12.1 T.12.2 T.5.5 T.6.1 T.6.2 T.6.4 T.6.5 T.8 T.9.2.1 Volkanik (V) V.1.1.3 V.1.1.4 V.1.1.5 V.1.3 V.1.6 V.2.2 V.3.1 V.3.2 V.3.3 V.4 V.ngarai Total Pedon Jumlah pedon 4 5 18 2 4 2 2 7 6 1 64 5 5 4 1 3 2 6 1 2 25 1 2 1 2 2 4 1 1 2 1 2 2 4 10 1 3 1 1 7 8 26 13 1 42 8 2 6 2 2 5 33 6 7 3 6 2 4 12 3 24 40 2 1 475 *Warna berbeda menunjukan perbedaan pada tingkat grup landform Cetak tebal merupakan jumlah pedon pewakil terbanyak pada setiap grup landform 30 Tabel 5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai pada Grup Landform LREPP II Klasifikasi Tanah Landform Aluvial (A) Fluvio-Marin (B) Marin (M) Entisol √ √ √ Inceptisol √ √ √ Karst (K) Tektonik & Struktural (T) Volkanik (V) √ √ √ √ √ √ √ Ultisol Vertisol √ Alfisol √ Mollisol √ √ √ √ √ √ √ √ √ Andisol Oxisol √ Spodosol √ √ fluvio-marin, & marin) dan pada landform karst. Kedua order tersebut hanya dijumpai pada landform utama tektonik & struktural dan landform volkanik. Secara umum order tanah yang paling banyak dijumpai pada setiap landform utama adalah Inceptisol, diikuti oleh Entisol dan Vertisol. Banyaknya Vertisol yang dijumpai pada penelitian ini adalah karena data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari database LREPP II yang merupakan proyek pemetaan pengembangan sumberdaya lahan di daerah Indonesia timur yang memiliki perbedaan iklim basah dan iklim kering yang tegas. Sementara itu, order lain yang paling sedikit dijumpai adalah order Andisol yang hanya dijumpai pada landform volkanik dan order Spodosol yang hanya dijumpai pada landform tektonik & struktural. 4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform Landform yang dibahas pada subbab ini, adalah landform yang memiliki jumlah data pedon paling banyak pada masing-masing landform utamanya (Tabel 4). Selain itu juga data spasial pedon tersebut diambil dari peta plotting titik pengamatan tanah LREPP II Skala 1: 50.000 (Tabel 6). Pada subbab pembahasan ini, klasifikasi tanah yang digunakan berasal dari klasifikasi pedon tanah pewakil yang memiliki kelengkapan data lapang dan data laboratorium, sehingga pada tampilan spasialnya, titik pengamatan tanah tersebut 31 Tabel 6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II Lokasi Luas (ha) Nama Lembar Peta Nomor Peta Besikama 58.650 Sukabisikun 2406-51&23 Besikama 2406-13&14 Bena Oesao Semarang Pacitan 64.300 132.550 74.420 Anametan 2406-42 Nauleu 2406-11&12 Tanjung Ela 2305-64 Tanjung Ela 2405-43 Panite 2305-63 Oesao 2305-53&54 Oesao 2306-21&22 Tugu 1409-221 Semarang Utara 1409-222 Wedung 1409-313 Sayung 1409-311 Boja 1408-543 Tegal Ombo 1507-44 Pacitan 1507-43 Klesem 1507-41 Sudimoro 1507-42 Gresik 166.992 Paciran 1509-32 Karawang 132.450 Sukatani 1209-53 Jatisari 1209-61 Pangkalan Bun 73.703 Pedes 1209-54 Cikarang 1209-51 Pangkalan Banteng 1513-52 Mulyajadi 1513-24 Pangkalan Bun 1513-23 terlihat tidak sesuai dengan kerapatan yang seharusnya ditampilkan pada skala tertentu. Tampilan spasial titik pengamatan sebenarnya menampilkan seluruh titik pengamatan baik itu pengamatan pedon maupun pengamatan boring tanah. Oleh karena itu, posisi titik pengamatan tanah (klasifikasi) pada tampilan spasial subbab ini apabila dikaitkan dengan prinsip Satuan Peta Tanah, masih belum dapat disimpulkan secara pasti. 32 4.2.1. Grup Landform Aluvial (A) Bloom (1979) mendefinisikan bahwa aluvial adalah sedimen yang diendapkan melalui aliran air dan mempunyai umur geologi yang relatif muda. Sementara itu definisi landform aluvial menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial. Menurut Gerrard (1980), tanah-tanah yang terdapat pada daerah aluvial seringkali tergenang akibat terjadinya banjir berkala. Hal ini menyebabkan terjadinya keberagaman tanah pada daerah aluvial ini. Akibat adanya genangan air yang berkala terjadilah proses gleisasi pada tanah-tanah di daerah aluvial. Tanah-tanah yang terdapat di daerah aluvial, pada umumnya memiliki tingkat perkembangan dari fase tanah belum berkembang hingga fase tanah muda. Pada daerah aluvial, akumulasi bahan organik sangatlah wajar, terutama pada bagian backswamp yang merupakan daerah limpasan banjir sungai yang membawa bahan material endapan. Terdapat 19 landform yang termasuk dalam landform utama aluvial (Tabel 4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada landform utama aluvial ini adalah landform A.1.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 64 pedon. Atas dasar hal tersebut, landform A.1.3 akan dibahas sebagai contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform aluvial. Landform A.1.3 merupakan landform dataran aluvial. Dataran aluvial adalah dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air, terdiri lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subrecent) dan sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi (Marsoedi et al., 1997). Tabel 7 menunjukkan sebaran landform A.1.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II. Lokasi tersebut adalah Karawang (Jabar), Pacitan & Gresik (Jatim), dan Besikama, Bena, Oesao (NTT). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH≥2000 mm/th), tipe B (CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 33 Tabel 7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya lokasi Jabar Jabar Jabar Jateng Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Oesao Oesao Gresik Bena Besi Gresik Gresik Gresik Gresik Gresik Besi Oesao Oesao Gresik Gresik Gresik Gresik Gresik Besi Oesao Besi ID HS-219 HS-112 AY-179 DK-147 HJ-206 HJ-259 HJ-275 HS-126 HS-157 HS-187 HP-001 EA-062 EA-063 HP-002 SY-056 SY-121 SY-126 AK-054 AK-220 HI-076 AK-222 CB-016 BJ-125 EA-090 SL-211 TB-040 AD-156 CB-030 TB-073 TB-186 SL-173 HP-083 MS-133 SM-070 TN-046 AK-087 TB-023 CB-010 Iklim A A A A A A A A A A B B B B B B B C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C C Data Site BI+U Subgrup fK Aquic Eutrudepts fK Plinthic Endoaquepts fK Typic Endoaquepts fK Typic Ustorthents fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Chromic Endoaquerts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Aeric Endoaquepts fK Aeric Endoaquepts fK Aquic Eutrudepts fK Aquic Haplustepts fK Aquic Haplustepts fK Chromic Endoaquerts fK Chromic Haplusterts fK Chromic Haplusterts fK Chromic Haplusterts fK Fluventic Eutrudepts fK Fluventic Haplustepts fK Fluventic Haplustepts fK Fluventic Haplustepts fK Oxyaquic Haplustepts fK Typic Endoaquerts fK Typic Endoaquerts fK fK Typic Endoaquerts fK Typic Endoaquerts fK Typic Haplustepts fK Typic Haplustepts fK Typic Haplusterts Relief n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n (m dpl) 22 14 12 50 7 13 27 16 6 19 7 7 7 6 8 6 6 10 20 28 10 5 10 15 10 20 20 10 25 13 10 30 52 10 52 20 25 20 Tebal solum 170 140 79 16 130 140 160 150 130 170 16 150 140 160 138 135 160 155 155 140 115 100 20 135 175 100 155 62 92 67 99 130 110 160 120 100 150 55 A 54,00 39,00 50,00 47,00 53,00 70,00 66,00 49,00 62,00 69,00 79,00 76,00 85,00 67,00 60,00 82,00 82,00 13,50 49,60 53,00 64,00 18,00 81,00 84,00 77,00 56,00 73,00 49,00 71,00 35,70 70,00 78,00 86,00 70,50 79,00 51,00 66,00 55,00 avr clay B 57,25 50,25 45,50 50,00 60,75 65,25 59,67 62,50 69,75 63,75 A/B 0,94 0,78 1,10 0,94 0,87 1,07 1,11 0,78 0,89 1,08 70,20 66,40 61,20 53,25 72,60 68,75 34,90 53,46 79,25 74,40 39,33 75,80 77,80 77,67 72,25 73,33 31,50 63,22 12,80 73,00 77,00 84,75 71,00 81,33 52,80 58,00 49,00 1,08 1,28 1,09 1,13 1,13 1,19 0,39 0,93 0,67 0,86 0,46 1,07 1,08 0,99 0,78 1,00 1,56 1,12 2,79 0,96 1,01 1,01 0,99 0,97 0,97 1,14 1,12 Avr pH A B 6,00 6,78 5,00 4,85 5,00 5,13 7,70 6,90 5,00 5,05 5,30 5,58 6,00 6,57 6,70 6,73 5,40 5,55 5,20 6,18 6,00 5,30 6,22 5,10 5,10 5,30 6,28 5,20 6,68 5,30 5,84 5,80 6,45 7,80 8,08 7,80 8,06 7,70 7,30 7,80 8,24 8,70 8,63 7,50 7,48 7,30 7,52 7,50 7,77 8,00 8,20 7,60 7,67 7,80 8,05 8,10 8,20 7,90 8,20 8,00 7,83 7,60 7,45 7,50 7,43 7,30 7,78 7,30 7,63 8,20 8,20 7,80 8,22 8,00 8,15 Avr C A B 1,68 0,63 1,15 0,41 1,42 0,41 1,41 0,53 2,02 0,47 1,77 0,52 0,86 1,01 0,68 0,81 2,36 0,76 0,89 0,79 1,17 2,08 0,63 2,99 1,01 1,55 0,36 1,70 0,38 2,20 0,76 1,58 0,45 3,57 1,07 1,95 0,92 0,78 0,83 2,91 0,63 0,80 0,70 1,04 0,57 0,78 0,35 0,57 0,59 0,74 0,17 0,71 0,68 1,60 0,68 2,08 0,69 2,40 0,75 2,36 1,07 1,17 0,58 3,54 0,88 0,71 0,33 3,75 0,81 1,36 0,77 1,77 0,75 1,53 0,64 Avr KTK A B 34,59 33,85 24,65 18,75 28,79 25,88 33,49 41,52 32,72 24,62 35,74 33,61 34,42 37,39 39,72 37,28 40,93 42,70 38,05 36,29 55,09 49,00 45,09 50,17 44,95 26,46 33,63 33,69 38,86 44,51 39,33 43,60 44,04 24,14 24,13 19,44 21,19 31,36 50,20 36,19 29,93 20,83 24,46 49,35 46,89 47,80 43,29 56,20 46,09 39,36 45,94 46,14 48,29 30,73 22,12 33,95 32,23 23,93 11,88 46,65 48,28 66,55 63,82 65,65 63,28 47,52 47,86 64,54 64,16 29,04 26,06 43,93 40,19 51,73 39,24 Avr KTK liat A B 64,06 59,24 63,21 37,43 57,58 56,91 71,26 83,04 61,74 40,99 51,06 51,63 52,15 62,62 81,06 59,95 66,02 61,15 55,14 56,96 69,73 64,47 66,85 59,02 68,89 39,49 55,27 56,15 73,51 54,28 55,23 53,17 64,54 178,81 73,51 39,19 39,27 59,17 63,28 56,55 40,13 115,72 63,18 60,93 61,76 56,90 55,53 72,77 59,91 70,29 63,78 63,23 65,67 62,71 75,64 47,82 58,73 67,03 197,01 66,64 65,92 85,32 82,91 76,34 74,83 67,40 67,50 81,70 78,91 56,94 49,53 66,56 71,38 94,05 79,83 Avr KB A B 86,00 96,75 73,00 48,00 70,00 69,25 5,00 79,00 85,00 85,00 81,00 90,50 82,00 83,00 75,00 90,00 85,00 91,50 63,00 82,50 87,00 76,00 89,20 80,00 109,80 99,00 104,20 76,00 97,25 79,00 115,00 89,00 106,00 100,00 100,00 100,00 100,00 106,00 98,75 156,00 185,00 259,00 231,33 107,00 119,00 94,00 91,00 112,00 132,33 108,00 109,75 156,00 133,00 184,00 256,50 100,00 100,00 100,00 100,00 152,00 98,50 113,00 123,25 106,00 108,50 95,50 100,50 125,00 113,67 181,00 213,20 100,00 100,00 96,00 145,50 34 Lanjutan Tabel 7 lokasi Gresik Oesao Gresik Gresik Gresik Gresik Gresik Oesao Oesao Gresik Gresik Gresik Oesao pacitan Oesao Oesao Besi Besi Gresik Oesao Besi Gresik Gresik Gresik Gresik Oesao ID MK-050 TB-056 AD-130 HI-041 HI-092 HP-037 MK-046 BP-030 TB-022 AR-054 AR-153 SL-172 HN-005 HR-257 BP-220 TB-185 UY-097 YS-116 HI-083 AK-213 AK-013 AR-150 SG-087 MS-100 TN-071 BP-029 Iklim C C C C C C C C C C C C C B C C C C C C C C C C C C Data Site BI+U Subgrup fK Typic Haplusterts fK Typic Haplusterts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Endoaquepts fK Vertic Haplustepts fK Vertic Haplustepts fK Vertic Haplustepts fK Vertic Haplustepts fqK Typic Endoaquepts fqK Aeric Endoaquepts fqK Aeric Endoaquepts fqK Fluventic Haplustepts fqK Fluventic Haplustepts fqK Fluventic Haplustepts fqK Fluventic Haplustepts fqK Typic Haplustepts fqK Typic Haplusterts fqK Typic Haplusterts fqK Vertic Endoaquepts fqK Vertic Endoaquepts fqK Vertic Endoaquepts Relief n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n (m dpl) 20 25 100 30 30 17 10 12 26 10 20 15 20 10 5 14 6 10 30 60 20 52 20 52 30 12 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B Tebal solum 115 170 69 88 145 95 91 100 156 157 150 165 160 125 99 56 100 97 74 160 100 60 103 150 125 150 A 85,00 82,00 67,00 56,00 72,00 81,00 75,00 84,00 59,00 64,00 67,00 71,00 46,00 59,00 67,30 37,90 37,00 49,00 17,00 63,50 12,00 80,50 55,50 86,00 92,00 79,00 avr clay B 86,50 82,40 69,50 61,00 77,00 73,25 66,80 64,60 59,67 61,00 67,60 70,50 68,00 59,00 42,77 17,05 34,00 48,67 31,25 59,32 21,25 83,00 67,50 70,60 94,00 76,80 A/B 0,98 1,00 0,96 0,92 0,94 1,11 1,12 1,30 0,99 1,05 0,99 1,01 0,68 1,00 1,57 2,22 1,09 1,01 0,54 1,07 0,56 0,97 0,82 1,22 0,98 1,03 Avr pH A B 7,40 7,18 8,30 8,92 5,80 6,55 7,80 7,08 6,00 7,06 7,20 7,40 5,10 5,12 7,80 8,10 7,80 7,97 7,30 8,03 7,70 7,96 7,70 7,78 8,00 8,48 6,00 5,70 7,80 8,23 8,00 8,20 7,90 8,08 7,30 7,67 5,50 6,70 8,00 8,23 7,80 8,10 7,45 7,53 7,40 6,95 7,10 7,04 7,00 7,27 8,00 8,24 Avr C A B 1,42 0,87 0,87 0,75 0,97 0,35 0,64 0,42 0,88 0,57 1,12 1,25 1,46 0,55 1,88 0,75 2,64 0,83 0,55 0,30 1,87 0,86 0,91 0,88 1,79 0,53 0,66 0,50 1,76 0,44 2,18 0,59 0,82 0,46 2,23 0,54 0,54 0,16 1,69 0,74 1,85 0,51 0,66 0,33 0,64 0,41 1,23 0,70 1,02 2,14 1,69 0,60 Avr KTK A B 54,18 50,83 53,40 52,67 36,05 34,14 39,07 39,73 60,99 63,42 51,03 45,01 39,09 39,95 52,65 42,68 45,81 42,34 26,58 32,77 38,83 34,16 45,03 43,24 41,36 31,96 37,77 41,17 28,50 19,01 24,92 12,95 23,28 21,69 35,65 24,79 11,75 20,20 30,59 33,80 24,23 17,24 49,67 48,47 37,08 39,87 60,95 54,13 45,33 56,20 47,60 47,80 Avr KTK liat A B 63,74 58,71 65,12 63,95 53,81 49,13 69,77 65,39 84,71 84,95 63,00 63,38 52,12 63,52 62,68 65,63 77,64 71,11 41,53 54,01 57,96 50,50 63,42 61,50 89,91 47,05 64,02 69,69 42,35 44,67 65,75 77,08 62,92 69,26 72,76 52,06 69,12 89,54 48,17 57,18 201,92 81,23 61,69 58,36 66,79 59,52 70,87 82,71 49,27 60,04 60,25 62,34 Avr KB A B 107,00 107,50 100,00 100,00 83,00 98,50 104,00 92,50 113,00 112,80 160,00 166,75 70,00 86,80 100,00 100,00 100,00 100,00 130,00 110,75 118,00 67,20 123,00 137,50 100,00 100,00 93,00 96,50 100,00 100,00 100,00 100,00 212,00 254,25 137,00 213,00 57,00 76,75 100,00 93,41 154,00 211,50 97,50 102,33 94,00 98,50 104,00 102,20 160,00 142,33 100,00 100,00 35 mm/th), dengan 2 bahan induk penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk endapan liat kuarter (fK) yang bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter (fqK) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform A.1.3 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %. Secara umum landform A.1.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian <700 m dpl (dataran rendah). Karakteristik tanah yang dijumpai pada landform ini, secara umum memiliki kedalaman solum di atas 85 cm tergolong tebal (dalam). Tanah yang memiliki sifat vertic dan fluventic pada landform ini cenderung memiliki kandungan liat pada horison A lebih besar daripada horison B, sedangkan tanah yang bersifat aquic kandungan liat pada horison A cenderung lebih kecil dibanding pada horison B. Kondisi pH sangat berbeda terjadi pada tanah-tanah yang beriklim basah dengan kering, pH 5-6 dapat dijumpai pada tanah-tanah yang beriklim basah sedangkan tanah dengan pH 7-8 dijumpai di daerah yang beriklim kering. Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 7 masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, keberagaman tanah juga dapat terjadi pada kategori order dalam Landform A.1.3 ini. Hal ini dikarenakan di dalam landform A.1.3 ini unsur-unsur pembentuk landform yang telah diuraikan sebelumnya (iklim & bahan induk) masih beragam. Sehubungan dengan masih adanya perbedaan unsur pembentuk landform A.1.3, selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang terdapat pada landform A.1.3 ini (Tabel 8). Apabila dikelompokan berdasarkan kategori Taksonomi, diketahui bahwa dalam delineasi landform A.1.3 setelah dipisahkan lagi berdasarkan bahan induk dan iklimnya masih dijumpai tanah dengan taksonomi yang sangat berbeda. Dengan demikian, walaupun landform sudah dianggap homogen bahkan bahan induknya pun sudah dianggap homogen pada kenyataanya klasifikasi tanah yang dijumpai masih beragam. 36 Tabel 8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim pada Landform A.1.3 BI+Umur fK Iklim A Order Entisol Inceptisol Suborder Orthent Udept Aquept Great Grup Usthorthent Eutrudept Endoaquept B Inceptisol Vertisol Inceptisol Aquept Aquert Aquept Endoaquept Endoaquert Endoaquept Udept Eutrudept Ustep Haplustept Vertisol Aquert Ustert Endoaquert Haplustert Inceptisol Inceptisol Aquept Aquept Endoaquept Endoaquept Ustep Haplustept Ustert Haplustert C fqK B C Vertisol Subgrup Typic Ustorthents Aquic Eutrudepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Plinthic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Chromic Endoaquerts Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Aquic Eutrudepts Fluventic Eutrudepts Aquic Haplustepts Oxyaquic Haplustepts Vertic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Chromic Endoaquerts Typic Endoaquerts Chromic Haplusterts Typic Haplusterts Typic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplusterts Gambar 3 memperlihatkan sebaran landform A.1.3 di daerah Karawang. Pedon pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian barat (kotak merah) dan timur (kotak biru). Kotak merah memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian barat daerah Karawang (Gambar 4), sedangkan kotak biru memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian timur daerah Karawang (Gambar 5). Gambar 4 memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada landform A.1.3 daerah Karawang bagian barat. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya (Tabel 9), tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh greatgroup Endoaquept, walaupun keragaman klasifikasi tanah pada kategori subgrup masih terlihat tinggi. 37 Gambar 3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat Gambar 4. Sebaran pedon tanah pewakil pada landform A.1.3 Karawang – Jabar (Kotak Merah) 38 Tabel 9. Klasifikasi Tanah pada Masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat Pedon HP 001 HS 112 AY 179 SY 121 SY 126 EA 063 EA 062 HP 002 SY 056 Order Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Subgrup Chromic Endoaquerts Plinthic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Kode * *** **** * * * * * ** Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 9 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Karawang bagian barat didominasi oleh order Inceptisol. Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon yang memiliki order Vertisol (HP 001). Pedon HP 001 yang memiliki order Vertisol letaknya berada pada poligon landform yang sama dengan 5 pedon lain yang memiliki order Inceptisol dengan subgrup Vertic Endoaquepts (SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002). Hal tersebut menunjukkan bahwa order berbeda bisa berada pada poligon yang sama (HP 001 yang merupakan order Vertisol dengan SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002 yang merupakan order Inceptisol). Sebaliknya pada order yang sama dengan subgroup yang sama bisa berada pada poligon yang berbeda. Dilihat dari posisinya pedon HP 001 dengan order Vertisol terletak satu poligon dengan 5 poligon lain yang memiliki order Inceptisol. Untuk menyimpulkan dalam penarikan batas SPT diperlukan delineasi lebih lanjut dengan data-data boring yang mendukung guna menentukan apakah pedon tersebut merupakan SPT asosiasi ataukah SPT inklusi. Gambar 5 memperlihatkan sejumlah pedon yang bergerombol pada daerah Karawang bagian timur. Klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai di daerah ini seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol (Tabel 10). Tabel 10 menunjukkan bahwa terdapat 2 subgroup tanah yang dijumpai yaitu Vertic Endoaquepts dan Aquic Eutrudepts, semua pedonnya berada dalam satu poligon yang sama (Gambar 5). 39 Gambar 5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar (Kotak Biru) Tabel 10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur Pedon HS 157 HJ 206 HJ 259 HS 126 HS 187 HJ 275 HS 219 Order Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Subgrup Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Aquic Eutrudepts Kode * * * * * * * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Subgroup Vertic Endoaquepts sangat dominan pada poligon ini. Menurut prinsip SPT dalam kasus ini, pedon dengan subgroup Aquic Eutrudepts dapat dikatakan sebagai tanah inklusi. Hal ini karena posisi pedon tersebut terletak diantara pedon-pedon lain dengan subgroup yang relatif seragam (Vertic Endoaquepts). Meskipun demikian, di daerah ini regim kelembaban aquic muncul pada kategori pembentuk suborder dan subgroup yang menandakan pengaruh air yang cukup dominan terjadi pada intensitas yang berbeda sehingga menghasilkan klasifikasi tanah yang berbeda pada landform ini. Hal ini berarti pada landform 40 yang telah didelineasi homogen masih dapat dijumpai proses pembentukan tanah dengan intensitas yang tidak homogen. Selain di daerah Karawang, landform A.1.3 dengan jumlah pedon yang banyak dijumpai di daerah Gresik Jawa Timur. Sebaran pedon yang terlihat menggerombol dijumpai di daerah Gresik bagian barat (Gambar 6). Jumlah pedon yang dijumpai dalam delineasi landform A.1.3 di daerah Gresik bagian barat berjumlah 16 pedon yang didominasi oleh 2 order tanah yaitu order Inceptisol dan order Vertisol (Tabel 11). Gambar 6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur Gambar 7 memperlihatkan pedon-pedon yang dijumpai pada daerah tersebut posisinya tersebar pada beberapa poligon landform yang berbeda, walaupun ada beberapa pedon yang berada dalam satu poligon landform. Pada suatu poligon landform A.1.3 yang di dalamnya terdapat pedon HI 092, HI 083, 41 HI 076, & MS 100 seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol walaupun masih terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya. Pada poligon lain yang didalamnya terdapat pedon AR 153, MK 050, MS 133, HP 083, EA 090, & AR 150 hampir seluruhnya didominasi oleh order Vertisol walaupun masih terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya. pedon AR 153 merupakan subgroup Vertic Haplustepts (order Inceptisol) yang berada pada satu poligon dengan MK 050 yang merupakan subgroup Typic Haplusterts (order Vertisol). Jadi di dalam satu poligon, masih dijumpai kelas tanah yang berbeda pada tingkat order (Vertisol dan Inceptisol) walaupun keduanya memiliki karakteristik yang berdekatan (sama-sama memiliki sifat vertic). Namun demikian, sifat vertic yang terdapat pada pedon AR 153 tidak terlalu kuat sehingga masih belum termasuk ke dalam order Vertisol. Gambar 7. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur (Kotak Merah) Daerah di mana pedon AD 130 dengan subgroup Vertic Endoaquepts ditemukan menandakan bahwa terdapat sifat aquic yang dominan pada daerah tersebut. Sementara pada daerah di mana ditemukannya pedon AR 153 dan MK 050 cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah di mana pedon pertama 42 dijumpai. Walaupun demikian, terdapat juga pedon dengan klasifikasi yang sama tetapi berada pada poligon yang berbeda. Tabel 11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim Pedon HI 076 HI 083 SL 173 AD 130 HI 092 MS 100 MK 046 TN 071 SL 172 AR 153 EA 090 MS 133 HP 083 TN 046 AR 150 MK 050 Order Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Vertisol Vertisol Vertisol Vertisol Subgrup Aquic Eutrudepts Fluventic Haplustepts Oxyaquic Haplustepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Haplustepts Vertic Haplustepts Chromic Haplusterts Typic Endoaquerts Typic Endoaquerts Typic Endoaquerts Typic Haplusterts Typic Haplusterts Kode 1* 1* 8* 9* 1* 1* 5* 4* 7* 2* 3* 2* 2* 6* 3* 2* Angka bertanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Untuk lebih memperjelas kondisi landform A.1.3 yang sebelumnya telah diuraikan, Gambar 8, 9, dan 10 menyajikan sebaran klasifikasi yang terdapat pada landform A.1.3 ini. Gambar 8 memperlihatkan bahwa pedon yang dijumpai didominasi oleh order Inceptisol yang memiliki kelembaban aquik di mana letak pedon tersebut dapat dijumpai dalam poligon yang sama maupun poligon yang berbeda, meskipun pada daerah ini terdapat satu pedon Vertisol dengan regim kelembaban aquic juga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu poligon masih terdapat perbedaan klasifikasi tanah. Intensitas kerapatan posisi pedon tampak masih belum dapat memutuskan apakah SPT di mana terdapatnya tanah dengan order Vertisol termasuk kedalam SPT inklusi ataukah SPT asosiasi. Dengan demikian, besar kemungkinan poligon tersebut masih dapat didelineasi kembali dengan menambah titik-titik pengamatan sebagai dasar acuan pengambilan keputusan. 43 Gambar 8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang – Jabar Gambar 9. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang - Jabar 44 Gambar 9 memperlihatkan bahwa pedon yang terdapat pada daerah tersebut sudah relatif homogen meskipun letaknya tidak berada dalam satu poligon yang sama, di daerah ini juga muncul satu pedon yang karakteristiknya berbeda walaupun berada dalam order tanah yang sama yaitu Vertic Endoaquepts dengan Aquic Eutrudepts. Gambar 10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim Gambar 10 memperlihatkan bahwa dalam suatu delineasi landform A.1.3 (warna hijau tua) terdapat beberapa keragaman klasifikasi tanah. Keragaman klasifikasi tanah tersebut meskipun terjadi perbedaan pada tingkat order, jika dilihat dari sifat-sifatnya tidak jauh berbeda. Order tanah yang dimaksud adalah Vertisol dan Inceptisol yang memiliki sifat vertik. Uraian diatas menunjukkan bahwa delineasi landform ke dalam A.1.3 tidak berarti mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam delineasi landform A.1.3 tersebut. Berdasarkan prinsip SPT, pada kasus landform A.1.3 ini masih belum dapat menyatakan bahwa perbedaan klasifikasi tanah dapat dinyatakan sebagai 45 suatu asosiasi, konsosiasi, ataupun inklusi, karena jika diamati dari segi intensitas titik pengamatannya masih sangat sedikit dan tidak cukup mewakili. Hal ini menunjukkan bahwa pada landform aluvial A.1.3 ini jika pengamatan kurang maka dapat dijumpai keragaman klasifikasi tanah seperti ini. 4.2.2. Grup Landform Fluvio-Marin (B) Landform fluvio-marin adalah landform yang terbentuk oleh gabungan dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada lingkungan laut (delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh aktivitas laut (Marsoedi et al., 1997). Terdapat 2 landform yang termasuk dalam landform utama fluvio-marin (Tabel 4). Satuan landform B.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 25 pedon merupakan unit landform yang memilki pedon pewakil terbanyak pada landform fluvio-marin ini. Atas dasar tersebut, landform B.3 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform fluvio-marin. Landform B.3 merupakan landform “dataran fluvio-marin”. Dataran fluvio-marin adalah wilayah yang berasal dari endapan marin yang saat ini terletak/posisinya relatif sudah jauh dari asal pembentukannya dan sudah banyak dipengaruhi oleh bahan fluvial (Marsoedi et al., 1997). Tabel 12 menunjukkan sebaran landform B.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama, Bena, & Oesao (NTT), serta daerah Karawang (Jabar). Landform B.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH≥2000 mm/th), tipe B (CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 2 bahan induk penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk endapan liat kuarter (fK) yang bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter (fqK) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform B.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %. Berdasarkan karakteristik kimia tanah-tanah yang dijumpai tebal solum yang sangat bervariasi mulai dari ketebalan 15 - 165 cm (dangkal-sangat dalam). 46 Tabel 12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Jabar Oesao Besi Oesao Besi Besi Bena Bena Besi Besi Jabar Oesao Oesao Jabar Besi Bena BK 006 ER 345 SY 060 HJ 020 SY 118 EA 041 EA 052 ER 002 ER 106 HJ 057 AK 101 US 087 HN 004 CB 006 HN 003 RR 280 RR 214 MY 006 UY 115 AY 021 AK 017 AK 019 HS 101 AK 091 US 215 A B B B B B B B B B C C C C C C C C C C C C B C C fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fqK fqK fqK Vertic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Typic Endoaquepts Typic Endofluvents Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Sodic Endoaquerts Sodic Haplusterts Sodic Haplusterts Typic Endoaquepts Typic Haplustepts Typic Haplusterts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Typic Endoaquents Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n n 4 5 5 3 6 5 5 4 3 6 10 3 5 10 15 10 10 4 4 6 10 5 3 3 5 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B Solum 165 102 113 150 75 17 150 95 72 147 160 100 165 125 68 160 53 150 89 36 155 156 15 100 100 avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB A B A/B A B A B A B A B A B 69,00 66,00 84,00 50,00 45,00 28,00 66,00 57,00 70,00 42,00 48,10 40,00 59,00 32,00 69,00 89,00 64,00 35,50 63,00 82,00 65,00 83,00 40,00 30,00 28,00 61,80 55,25 70,25 50,00 28,33 1,12 1,19 1,20 1,00 1,59 5,06 6,33 4,30 6,78 7,63 76,00 88,00 82,00 59,00 94,00 93,00 82,00 70,00 97,00 96,00 100,00 238,00 100,00 161,00 118,00 175,00 199,00 161,50 186,00 90,00 100,00 100,00 129,00 111,00 223,00 79,80 92,25 84,75 83,50 104,67 1,29 1,40 57,58 57,45 62,36 65,26 79,42 105,61 60,48 73,79 66,43 92,67 62,02 63,03 69,80 99,91 66,64 44,16 46,13 83,37 57,41 59,07 68,52 63,10 91,90 116,13 65,97 67,42 68,15 65,34 74,94 128,38 23,20 20,00 39,73 37,92 52,38 32,63 35,74 29,57 39,92 42,06 46,50 38,92 29,83 25,21 41,18 31,97 45,98 39,30 29,52 29,56 36,17 48,44 44,54 52,37 36,76 34,84 18,47 38,64 36,93 44,51 37,26 34,70 1,01 0,99 1,20 0,88 1,14 1,14 1,02 0,79 1,03 0,98 1,11 0,79 1,17 1,04 0,94 1,00 1,99 1,76 2,52 1,57 1,64 0,53 1,96 1,74 1,30 1,98 1,62 1,83 1,71 1,05 2,38 1,76 1,10 0,98 1,22 0,46 1,62 1,01 5,13 1,34 1,67 0,58 0,91 1,32 0,44 0,33 65,60 57,75 58,33 47,50 42,20 35,00 57,75 40,50 67,00 90,75 57,50 44,75 53,67 79,00 69,50 83,25 4,80 6,10 5,30 5,60 6,20 6,50 5,40 6,40 6,20 5,10 8,90 7,40 7,90 9,40 8,00 7,80 8,00 7,80 7,50 6,40 8,10 8,60 5,70 6,80 7,85 5,72 7,38 7,17 5,95 8,75 9,37 8,25 9,68 8,40 7,98 8,15 8,15 7,77 5,50 8,18 8,30 7,54 8,17 0,54 0,36 0,56 0,50 0,85 0,34 0,39 0,29 0,61 0,77 0,77 0,40 0,76 1,21 0,78 0,62 0,27 0,70 40,95 42,46 48,09 40,37 26,22 19,17 26,64 37,06 30,50 41,83 24,84 29,34 36,99 46,56 45,73 50,02 17,59 13,56 62,68 77,14 83,13 86,37 63,07 57,04 47,27 97,38 45,52 46,17 44,00 65,75 87,25 58,94 65,81 60,04 91,08 72,89 99,60 81,00 107,00 90,50 100,00 278,33 100,00 179,50 213,00 203,00 222,50 202,50 179,33 84,00 100,00 100,00 305,80 319,00 47 Perbandingan liat antara horison A dan B menunjukkan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini merupakan tanah pada tingkat perkembangan muda dan baru berkembang. Hal ini disebabkan karena hampir semua kelas tanah mempunyai nilai rasio liat >1 yang menandakan bahwa kadar liat pada horison A lebih besar daripada horison B. Kandungan C-organik pada kelas tanah yang dijumpai secara umum pada horison A memiliki nilai < 2% sedangkan pada horison B < 1%. Sementara itu, nilai kejenuhan basa secara umum > 35% yang menandakan tanah-tanah pada landform B.3 ini memiliki nilai KB yang tinggi. Secara umum landform B.3 yang dijumpai berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl). Tingkat keragaman klasifikasi tanah yang ditunjukkan dalam Tabel 12 masih sangat tinggi, selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang terdapat dalam delineasi landform B.3 ini (Tabel 13). Tabel 13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform B.3 BI+Umur fK fqK Iklim A B Order Inceptisol Entisol Inceptisol Suborder Aquept Fluvent Aquept Great Grup Endoaquept Endofluvent Endoaquept C Inceptisol Aquept Endoaquept Ustept Haplustept Vertisol Aquert Ustert Endoaquert Haplustert Entisol Inceptisol Aquent Ustept Endoaquent Haplustept B C Subgrup Vertic Endoaquepts Typic Endofluvents Aeric Endoaquepts Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts Sodic Endoaquerts Sodic Haplusterts Typic Haplusterts Typic Endoaquents Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Setelah dikelompokan, terdapat 3 order tanah yang dijumpai, yaitu Entisol, Inceptisol, dan Vertisol, sehingga diketahui bahwa dalam delineasi landform B.3 yang dipisahkan kembali berdasarkan bahan induk dan iklim yang homogen, masih dijumpai klasifikasi tanah yang sangat berbeda. 48 Gambar 11. Sebaran landform B.3 daerah Karawang – Jabar Gambar 12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar (Perbesaran pada Gambar 11) 49 Gambar 11 memperlihatkan sebaran landform B.3 di daerah Karawang. Sebaran pedon tanah pewakil pada landform ini terpusat di bagian utara daerah lokasi survei (kotak merah). Kotak merah memperlihatkan sebaran pedon (klasifikasi) tanah pada bagian utara Karawang (Gambar 12). Gambar 12, memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada landform B.3 daerah Karawang sebelah utara. Dari gambar tersebut terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Inceptisol dengan greatgroup Endoaquept, walaupun keragaman klasifikasi tanah pada tingkat subgroup masih terlihat beragam (Tabel 14). Tabel 14. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar Pedon ER 345 SY 060 HJ 020 SY 118 BK 006 EA 052 ER 002 ER 106 HJ 057 AY 021 HS 101 EA 041 Order Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Entisol Entisol Subgrup Aeric Endoaquepts Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Typic Endoaquents Typic Endofluvents Kode * ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** ** Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 14 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform B.3 daerah Karawang utara termasuk dalam kategori tanah muda (Entisol) dan tanah baru berkembang (Inceptisol). Sekitar 80% tanah yang dijumpai di daerah ini didominasi order Inceptisol dengan greatgroup Endoaquepts. Kondisi tanah pada landform B.3 di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan munculnya regim kelembaban aquic dan fluventic pada kategori pembentuk greatgroup. Hampir semua pedon yang dijumpai di daerah ini letaknya berada dalam satu poligon landform yang sama, walaupun terdapat beberapa pedon yang letaknya tidak berada dalam satu poligon. Pedon-pedon yang dijumpai dalam delineasi landform B.3 daerah ini hampir semua klasifikasinya menunjukkan sifat- 50 sifat aquic pada kategori greatgroup. Kemungkinan dijumpainya pedon dengan order Entisol jika merujuk pada definisi landform B.3 dapat saja dijumpai. Akan tetapi kondisi seperti ini yang dijumpai hanya sebagian kecil. Sehingga dalam landform B.3 ini masih terdapat keragaman terutama pada karakteristik bahan yang diendapkan. Keragaman bahan yang diendapkan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi pula pada tingkat perkembangan tanah yang dijumpai pada landform ini. Pada daerah tertentu yang iklimnya sedikit kering dan perbedaan iklimnya tegas dapat dijumpai juga pedon-pedon tanah yang tidak dipengaruhi oleh air. Karakteristik tanahnya memiliki sifat rekahan seperti jenis tanah dengan order Vertisol. Pedon-pedon tanah yang dijumpai dalam delineasi landform B.3 hampir seluruhnya dipengaruhi oleh regim kelembaban aquic, walaupun dari segi klasifikasinya sifat tersebut muncul pada kategori greatgroup dan ada juga yang Gambar 13. Sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar 51 muncul pada kategori subgroup. Hal ini tidak dapat diprediksi dari homogenitas landform. Gambar 13 menyajikan sebaran pedon berikut klasifikasi yang terdapat pada landform B.3 (warna biru kelabu). Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pedon yang dijumpai di bagian utara Karawang didominasi oleh order Inceptisol yang memiliki kelembaban aquic dan letak pedonnya dijumpai dalam poligon yang berbeda. Meskipun demikian, pada daerah ini terdapat 2 pedon dengan order Entisol yang hanya dijumpai pada sebagian kecil saja landform B.3 daerah Karawang bagian utara. Hasil uraian tersebut, dapat diketahui bahwa delineasi landform kedalam landform B.3 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam satuan landform B.3. 4.2.3. Grup Landform Karst (K) Menurut Bloom (1979) karst adalah bentuk permukaan bumi yang terbentuk akibat adanya proses pelarutan batuan yang melibatkan air sebagai pelarut alaminya. Karst juga didefinisikan sebagai bentang lahan yang kering, di mana proses drainase lebih dominan terjadi di bawah permukaan tanah dari pada terjadi pada permukaan bumi. Landform karst menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst. Terdapat 8 satuan landform yang termasuk ke dalam landform karst (Tabel 4). Landform K.3 merupakan unit landform karst yang memiliki pedon pewakil terbanyak dengan jumlah pedon sebanyak 4 pedon. Atas dasar tersebut, landform K.3 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada landform karst. 52 Tabel 15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Besi AK 088 C cT Lithic Argiustolls Oesao TB 201 C cT Lithic Haplustolls Besi UY 015 C cT Typic Haplusterts Oesao TB 120 C cT Typic Haplustolls Tebal Relief m dpl Solum r 15 c 350 r c avr clay Avr pH Avr C A/B A B 42 82,00 76,00 1,08 7,50 7,50 22 12,20 110 76 65,00 73,00 0,89 7,80 7,97 3,78 1,91 50,78 51,46 78,12 70,58 95,00 121,33 350 38 42,90 16,80 2,55 7,60 7,80 11,24 7,29 47,13 45,70 109,86 272,02 100,00 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B 4,71 0,98 A B 72,24 61,87 Avr KB B 7,30 B Avr KTK liat A 7,50 A Avr KTK 66,22 A B A B 88,10 81,41 109,00 110,00 542,79 100,00 53 Landform K.3 adalah landform perbukitan karst. Landform K.3 ini merupakan wilayah karst dengan relief perbukitan. Tabel 15 menunjukkan sebaran landform K.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada 2 lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama dan Oesao (NTT). Landform K.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe C (CH<1500 mm/th). Bahan induk penyusun tanah yang dijumpai berbahan induk batu gamping tersier (cT). Landform K.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief r (bergelombang/rolling) dengan slope 8-15 % dan bentuk relief c (berbukit kecil/hillocky) dengan slope 15-30 %. Secara umum landform K.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian dataran rendah (<700 m dpl). Tebal solum pada tanah-tanah yang dijumpai tergolong tipis dan bervariasi mulai dari ketebalan 22 cm sampai 76 cm. Kandungan liat pada tanah-tanah yang dijumpai menunjukkan keragaman pada sifat tekstur tanahnya. Selain itu pengaruh bahan induk berkapur sangat mempengaruhi pada karakteristik pH didalamnya, nilai pH berkisar antara 7,50 sampai 7,80 yang menandakan pH cukup tinggi. Selain itu juga untuk nilai KTK dan KB pada tanah-tanah yang dijumpai tergolong tinggi. Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 15 masih cukup beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, bahkan keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih dijumpai pada Landform ini. Unsur pembentuk landform K.3 sudah dapat dikatakan homogen, faktor perbedaan relief pada landform inilah yang menjadi salah satu faktor yang masih belum homogen, sehingga masih terdapat keragaman klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini. Keragaman yang terjadi dapat diduga dari teori pembentuk tanah melalui faktor lereng, sehingga apabila landform K.3 didelineasi lagi berdasarkan lereng, maka tidak menutup kemungkinan perbedaan klasifikasi dapat didelineasi. Tabel 16, menunjukkan ringkasan klasifikasi tanah pada landform K.3 yang sudah dikelompokan berdasarkan iklim dan bahan induk yang sama. Terdapat dua order klasifikasi tanah yang dijumpai yaitu order Mollisol dan 54 Tabel 16. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform K.3 BI+U cT Iklim C Order Vertisol Mollisol Suborder Ustert Ustoll Great Grup Haplustert Argiustoll Haplustoll Subgrup Typic Haplusterts Lithic Argiustolls Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Vertisol. Kedua order tersebut mempunyai kesamaan pada kategori suborder yaitu munculnya regim kelembaban ustic pada kategori suborder. Dari nama klasifikasi tanah pembentuk subgroup, dapat diperkirakan bahwa tanah yang dijumpai pada landform ini mempunyai kedalaman solum yang beragam. Terbukti dengan munculnya nama Lithic dan Typic sebagai unsur pembentuk subgroup. Hal ini menggambarkan bahwa tanah pada daerah tersebut ada yang memiliki solum dangkal dan ada juga yang memiliki solum yang dalam, sehingga untuk kedalaman solum ini sulit untuk diprediksi. Adanya keragaman tersebut diduga terjadi akibat proses pelarutan pada bahan induk kapur. Semakin murni bahan induk kapur maka semakin tipis solum tanah yang dapat terbentuk begitu pula sebaliknya. Tanah-tanah yang dijumpai pada landform K.3 ini umumnya sangat dipengaruhi oleh bahan induk batu gamping (Vertisol & Mollisol). Sehingga tanah yang muncul mempunyai pH yang basa akibat adanya pengaruh kandungan Ca tinggi yang terdapat dalam bahan induk batu gamping (Tabel 16). Delineasi landform ke dalam landform K.3 masih belum dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat dalam satuan landform K.3. Walaupun dari segi bahan induk dan iklim sudah homogen, diduga faktor relief lerenglah yang mengakibatkan masih tetap dijumpainya klasifikasi tanah yang beragam pada landform ini. 4.2.4. Grup Landform Marin (M) Landform marin adalah landform yang terbentuk oleh proses marin, baik proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi). Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun bersifat pasang surut tergolong dalam landform marin (Marsoedi et al., 1997). 55 Tabel 17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Subgrup Tebal lokasi ID Iklim Bi+umur Relief m dpl Jabar AY 010 A fK Typic Endoaquents n 2 Solum 15 Jabar AY 062 A fK Typic Endoaquents n 4 Jabar SY 022 B fK Typic Endoaquents n Oesao AK 024 C fK Aeric Endoaquepts Oesao AK 035 C fK Aeric Endoaquepts avr clay A B Avr pH A/B A B Avr C A B Avr KTK A B Avr KTK liat A B Avr KB A 62,59 364,00 48,74 61,70 204,00 41,57 101,39 B 74,00 6,00 8,54 46,32 18 79,00 6,50 8,30 1 15 41,00 7,00 6,97 n 3 160 45,00 57,25 0,79 7,80 8,05 1,02 0,85 39,21 43,08 87,13 76,92 100,00 100,00 n 1 87 30,00 69,67 0,43 8,20 8,27 0,92 1,22 37,67 40,64 125,57 58,46 100,00 100,00 59,95 0,87 8,20 8,35 1,26 1,19 37,09 39,07 71,05 83,32 100,00 100,00 389,00 Oesao BP 048 C fK Aeric Endoaquepts n 1 AY 040 C fK Sulfic Endoaquents n 3 100 20 52,20 Jabar 71,00 6,00 13,49 45,95 64,72 290,00 Oesao BP 042 C fK Typic Endoaquents n 1 20 72,00 8,30 1,66 40,94 56,86 100,00 Besi CB 127 C fK Typic Endoaquepts n 10 100 42,00 Besi AK 052 C fK Typic Fluvaquents n 1 15 27,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B 46,67 0,90 7,70 7,20 7,90 2,25 4,48 1,20 28,80 26,03 29,66 68,57 96,41 63,67 221,00 333,00 195,00 56 Terdapat 9 unit landform yang termasuk dalam landform Marin (Tabel 4). Dari 9 unit landform tersebut landform dengan pedon pewakil terbanyak pada unit landform marin adalah landform M.2.2 dengan pedon sebanyak 10 pedon. Atas dasar tersebut, subgrup landform M.2.2 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform marin. Landform M.2.2 adalah landform untuk dataran pasang surut lumpur. Dataran pasang surut lumpur adalah wilayah pesisir yang terdiri dari bahan berlumpur dan dipengaruhi pasang surut air laut (Marsoedi et al., 1997). Tabel 17, menunjukkan sebaran landform M.2.2 beserta karakteristik tanah di dalamnya yang dijumpai pada 3 lokasi survei LREPP II yaitu Karawang (Jabar), Besikama, dan Oesao (NTT). Landform M.2.2 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe A (CH≥2000 mm/th), tipe B (CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan satu bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Nilai KB tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini memiliki nilai KB yang tergolong sangat tinggi (>100). Klasifikasi tanah pada landform ini, tingkat keragamannya masih tinggi. Keragaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgrup dalam order yang sama, keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih dijumpai pada Landform ini. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama pada landform ini (Tabel 18). Setelah dikelompokan berdasarkan kategori taksonomi, diketahui bahwa pada landform M.2.2 yang telah dipisahkan berdasarkan bahan induk dan iklimnya masih dijumpai tanah dengan klasifikasi yang sangat berbeda. Tabel 18. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform M.22 BI+U fK Iklim A B C Order Entisol Entisol Inceptisol Suborder Aquent Aquent Aquept Great Grup Endoaquent Endoaquent Endoaquept Entisol Aquent Endoaquent Fluvaquent Subgrup Typic Endoaquents Typic Endoaquents Aeric Endoaquepts Typic Endoaquepts Sulfic Endoaquents Typic Endoaquents Typic Fluvaquents 57 Gambar 14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang – Jabar Gambar 15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang – Jabar (Kotak Merah) 58 Gambar 14 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah Karawang. Sebaran pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini terpusat di bagian utara daerah Karawang (kotak merah). Dari kotak tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol (Gambar 15). Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Entisol dengan greatgroup Endoaquent, walaupun pada tingkat subgroup masih terlihat beragam (Tabel 19). Tabel 19. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang - Jabar Pedon AY 062 AY 040 SY 022 Order Entisol Entisol Entisol Subgrup Typic Endoaquents Sulfic Endoaquents Typic Endoaquents Kode * * * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 19 menunjukkan keragaman tanah pada kategori subgroup yang tergolong tanah dengan tahap perkembangan baru (Entisol). Pedon AY 062 dengan pedon AY 040 yang letaknya berdekatan memiliki perbedaan unsur pembentuk pada kategori subgroup. Pedon AY 062 memiliki subgrup Typic Endoaquents sedangkan pedon AY 040 memiliki subgroup Sulfic Endoaquents. Berdasarkan prinsip SPT dalam kasus ini, penentuan SPT masih bisa ditelusuri batas-batasnya. Hal ini karena jarak antara satu titik pengamatan dengan pengamatan yang lainnya saling berjauhan sehingga masih bisa ditelusuri batasbatasnya dengan menambah jumlah titik pengamatan. Secara umum tanah yang dijumpai pada daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan munculnya regim kelembaban aquic sebagai unsur pembentuk klasifikasi pada kategori suborder. Selain daerah Karawang, sebaran landform M.2.2 juga dijumpai di daerah Oesao (NTT). Gambar 15 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah Oesao yang terpusat di bagian barat Oesao. Sebaran landform M.2.2 di daerah ini tidak begitu luas, sehingga pedon yang dijumpai jumlahnya sedikit. Sebaran pedon pada kotak pengamatan (kotak merah) tersusun atas 4 pedon pewakil yang dijumpai (Gambar 16). Letak keempat pedon tersebut berada pada satu poligon dan jarak antara satu pedon dengan pedon lainnya saling berjauhan. 59 Gambar 16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT Gambar 17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT (Kotak Pengamatan) 60 Tabel 20. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao - NTT Pedon BP 042 BP 048 AK 024 AK 035 Order Entisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Subgrup Typic Endoaquents Aeric Endoaquepts Aeric Endoaquepts Aeric Endoaquepts Kode * * * * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 20 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai pada daerah Oesao sebelah barat didominasi oleh order Inceptisol. Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon dengan order Entisol (BP 042). Keragaman pada tingkat order masih terjadi, pedon BP 042 yang memiliki order Entisol letaknya tidak jauh dari pedon BP 048 yang memiliki order Inceptisol. Dari kondisi lingkungannya dapat diperkirakan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, hal ini ditandai dengan munculnya regim kelembaban aquic pada unsur pembentuk suborder baik pada order Inceptisol maupun Entisol. Pedon dengan dengan order Inceptisol mempunyai kategori subgroup tanah yang homogen yaitu Aeric Endoaquepts. Dengan komposisi pedon seperti diperjelas pada Gambar 19 maka pedon Typic Endoaquents yang dijumpai pada daerah ini belum dapat dianggap sebagai tanah inklusi pada landform tersebut karena berdasarkan prinsip SPT jumlah pengamatannya masih belum memenuhi syarat untuk menentukan jenis SPT. 4.2.5. Grup Landform Tektonik dan Strultural (T) Landform tektonik dan struktural adalah landform yang terbentuk sebagai akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan, lipatan, dan atau patahan. Umumnya landform ini mempunyai bentukan yang ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural) (Marsoedi et al., 1997). Terdapat 15 landform yang termasuk dalam grup landform utama tektonik dan struktural (Tabel 4). Unit landform tektonik dan struktural yang memiliki pedon pewakil terbanyak adalah landform T.12.1 dengan pedon sebanyak 42 pedon. Atas dasar tersebut, landform T.12.1 dijadikan sebagai contoh studi kasus 61 gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform tektonik dan struktural. Landform T.12.1 adalah landform perbukitan tektonik. Perbukitan tektonik adalah landform dengan relief perbukitan (lereng dominan >15% dan perbedaan tinggi >300m) terbentuk karena proses tektonik, tetapi tidak atau sedikit menunjukkan adanya indikasi struktural dan mempunyai variasi perbedaan intensitas relief, kecuraman lereng, bentuk lereng, pola puncak, kerapatan dan pola drainase serta pola diseksinya. Pembentukan landform ini dipengaruhi oleh tipe batuan (litologi) dan struktur tektonik dalam kaitannya dengan proses pelapukan dan erosi (Marsoedi et al., 1997). Tabel 21 menunjukkan sebaran landform T.12.1 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai di beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Karawang (Jabar), Gresik (Jatim), Pangkalan Bun (Kalteng) dan Besikama, Bena, serta Oesao (NTT). Landform T.12.1 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH≥2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 8 jenis bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Bahan induk yang dijumpai adalah bahan induk batu gamping tersier (cT), batu liat berkapur tersier (fkT), batu liat dan batu pasir berkapur (fqT), batu liat tersier (fT), batu kapur tersier (kT), batu pasir berkapur tersier (qkT), dan batu pasir tersier (qT). Ketebalan solum pada tanah yang berbahan induk cT <100 cm, fkT bervariasi (13-150 cm), fqT <40 cm, fT <70 cm, kT bervariasi (31-130 cm), qkT <50 cm, dan qT bervariasi (14-90 cm). Tanah-tanah yang berbahan induk cT dan fkT memiliki kandungan liat horison B yang lebih tinggi daripada horison A, sedangkan tanah-tanah dengan bahan induk fqT, fT, kT, qkT, dan qT memiliki kandungan liat yang bervariasi. Derajat kemasaman (pH) tanah pada tanah-tanah berbahan induk cT, fkT, & fT berada pada kisaran agak masam-alkalis, tanah-tanah berbahan induk fqT sangat masam, kT netral-alkalis, qkT alkalis, dan qT berada pada kisaran sangat masam sampai agak masam. Kandungan C-organik yang tedapat pada tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini berada pada kisaran < 3%. Tanah-tanah dengan bahan induk fqT merupakan tanah-tanah yang mempunyai nilai KTK yang paling rendah dibandingkan dengan tanah-tanah yang berbahan induk lain pada landform ini. 62 Tabel 21. Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Tebal Relief avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B Avr KB A B Jabar AY 011 A cT Lithic Hapludolls h 40 28 52,00 51,00 1,02 6,10 6,20 2,70 1,75 57,21 55,63 110,02 109,08 95,00 97,00 Jabar HS 250 A cT Lithic Hapludolls h 75 50 85,00 91,50 0,93 7,40 7,40 3,16 2,37 47,44 48,24 55,81 52,70 111,00 109,00 Jabar SY 180 A cT Lithic Hapludolls h 63 25 95,00 97,00 0,98 6,10 6,15 3,12 2,32 69,51 66,01 73,17 68,05 102,00 102,00 Gresik AR 112 C cT Calcic Hasplusterts u 52 55 71,00 75,75 0,94 7,20 7,88 1,52 0,31 37,21 30,84 52,41 40,69 90,00 209,25 Besi AK 090 C cT Lithic Rodustalfs u 90 44 28,00 54,00 0,52 7,20 7,70 3,89 2,25 46,88 40,23 167,43 74,50 122,00 135,00 Besi CB 111 C cT Typic Haplusterts r 100 55 71,00 66,50 1,07 8,10 8,25 2,36 1,06 41,62 35,69 58,62 53,50 159,00 184,50 Oesao TB 202 C cT Vertic Haplustepts c 200 14,42 0,64 8,10 8,16 2,29 0,41 32,36 31,57 351,74 595,37 100,00 100,00 WG 134 A fkT Typic Eutrudepts h 95 87 124 9,20 Jabar 88,50 92,50 0,96 6,65 7,78 1,30 0,49 49,72 40,72 56,19 44,06 101,50 159,50 Jabar WG 169 A fkT Typic Eutrudepts h 80 130 91,00 94,75 0,96 6,40 6,83 2,44 1,14 66,97 65,98 73,59 69,63 105,00 120,25 Oesao AK 120 C fkT Lithic Haplustepts c 75 39 97,50 30,50 3,20 6,80 6,80 2,80 1,09 38,09 32,06 39,07 105,11 86,14 86,06 Oesao BP 153 C fkT Lithic Haplustolls m 400 32 49,30 52,30 0,94 7,90 8,25 2,88 0,98 31,85 22,91 64,60 43,89 100,00 100,00 Oesao BP 101 C fkT Lithic Usthortents h 300 13 75,40 Oesao AK 185 C fkT Typic Argiustolls c 100 42 19,60 65,15 0,30 7,40 7,45 2,27 0,99 43,74 42,29 223,16 61,65 100,00 96,53 Oesao AK 203 C fkT Typic Argiustolls c 220 19 18,20 41,85 0,43 7,90 7,95 5,10 1,79 35,06 23,66 192,64 56,52 100,00 100,00 Oesao UY 111 C fkT Typic Haplustepts c 250 33 88,20 96,95 0,91 7,80 7,95 1,75 1,15 38,18 34,85 43,29 35,93 100,00 100,00 7,70 3,82 7,70 63,05 1,32 83,62 16,55 100,00 Oesao SM 004 C fkT Typic Ustorthents c 300 20 35,00 Oesao AK 175 C fkT Vertic Haplustepts c 125 150 72,90 57,75 1,26 7,70 8,48 1,23 0,47 51,87 34,50 71,15 47,29 60,16 100,00 100,00 100,00 Oesao AK 195 C fkT Vertic Haplustepts c 120 92 77,00 76,58 1,01 8,00 8,58 1,22 0,35 29,23 28,63 37,96 37,46 100,00 100,00 Oesao BP 222 C fkT Vertic Haplustolls h 300 76,90 0,90 6,50 7,08 2,23 1,02 38,56 39,62 55,64 51,56 83,92 92,23 KK 086 A fqT Lithic Hapludults h 105 99 34 69,30 P.bun 27,00 33,00 0,82 4,00 4,40 2,48 0,95 13,91 10,30 51,52 31,21 6,00 5,00 P.bun AI 152 A fqT Typic Udorthents u 30 11 6,00 4,60 2,59 3,06 51,00 35,00 63 Lanjutan Tabel 21 Data Site lokasi ID Iklim Bi+umur Besi UY 060 C fT Oesao BP 111 C fT Oesao UY 152 C Besi YS 118 Besi AK 030 Besi Subgrup Tebal avr clay Relief m dpl Solum A Lithic Ustorthents c 275 10 35,00 Typic Haplustalfs c 30 62 fT Typic Haplustepts m 110 C kT Lithic Haplustepts c C kT Typic Haplustepts r US 097 C kT Typic Haplustepts Avr pH B A/B A 15,20 11,83 1,28 47 41,90 56,10 140 43 28,00 180 52 25,00 c 200 75 68,00 63,67 Avr C B A 6,50 6,70 0,75 6,50 30,00 0,93 64,50 0,39 1,07 Avr KTK B A 0,52 0,30 6,70 3,28 7,40 7,70 8,10 7,95 8,20 8,33 7,80 Avr KTK liat B A 23,59 17,43 155,20 147,68 94,02 100,00 1,30 39,82 41,48 95,04 73,94 90,46 100,00 4,73 1,76 30,27 20,81 108,11 69,37 127,00 159,00 0,70 1,43 20,27 32,53 81,08 50,50 266,00 175,00 1,15 0,73 31,37 33,35 46,13 53,07 155,00 186,67 2,50 27,48 B Avr KB 78,51 A B 190,00 Besi UY 078 C kT Typic Haplustepts r 200 53 68,00 54,00 1,26 7,80 8,05 1,93 0,88 39,39 26,99 57,93 49,98 146,00 201,50 Bena UY 227 C kT Typic Haplustepts r 140 31 43,00 44,50 0,97 7,90 8,15 1,74 0,64 20,10 13,89 46,74 31,17 252,00 373,50 Besi YS 011 C kT Typic Haplustepts h 140 41 83,00 70,50 1,18 7,80 8,05 2,68 1,17 53,21 39,19 64,11 54,60 137,00 189,50 Oesao SM 012 C kT Typic Haplustepts c 250 46 55,00 36,00 1,53 7,80 7,95 2,49 0,68 37,18 22,04 67,60 61,27 100,00 100,00 Bena YS 279 C kT Typic Haplustolls u 90 100 80,00 52,60 1,52 7,90 8,18 2,61 0,74 45,11 15,07 56,39 31,96 153,00 462,80 Oesao UY 125 C kT Typic Haplustolls h 75 55 67,50 62,37 1,08 7,90 7,73 1,19 1,83 32,88 37,89 48,71 59,05 100,00 99,72 Besi AK 036 C kT Vertic Haplustepts r 200 42 46,00 53,50 0,86 6,90 8,00 2,20 0,90 24,43 21,51 53,11 39,59 90,00 157,50 Bena CB 256 C kT Vertic Haplustepts n 39 130 70,00 72,50 0,97 7,90 8,00 1,75 0,77 35,73 33,59 51,04 46,47 185,00 196,25 Besi UY 051 C kT Vertic Haplustepts r 120 45 92,00 70,00 1,31 8,00 8,00 1,46 0,68 36,90 34,02 40,11 48,98 188,00 201,00 Bena UY 223 C qkT Lithic Haplustolls u 200 45 43,50 34,00 1,28 7,90 7,70 3,05 1,51 25,95 15,24 59,65 44,82 199,00 331,00 Besi AK 047 C qkT Typic Haplustolls c 260 32 67,00 70,00 0,96 7,00 7,40 3,72 2,10 54,65 53,69 81,57 76,70 92,00 100,00 Bena YS 232 C qkT Typic Ustorthents c 20 20,00 P.bun TB 127 A qT Typic Hapluhumults r 40 10 90 Oesao AK 138 C qT Lithic Usthortents m 300 14 20,30 6,60 1,44 36,18 178,23 100,00 Oesao BP 140 C qT Typic Ustipsamments m 350 16 15,80 6,90 1,38 11,79 74,62 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B 49,00 7,90 32,00 1,53 4,00 2,54 4,40 1,80 15,55 0,76 12,22 77,75 9,11 24,94 352,00 28,47 8,00 7,00 64 Sedangkan dari nilai KB, hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini tergolong tinggi. Seluruh landform T.12.1 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief yang sangat beragam. Landform T.12.1 yang dijumpai berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl). Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 21, masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, akan tetapi keberagaman juga terjadi pada tingkat order pada Landform T.12.1. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama (Tabel 22). Setelah dikelompokan, diketahui pada landform T.12.1 masih dapat dijumpai klasifikasi tanah yang sangat beragam. Tabel 22. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform T.1.2.1 BI+U cT Iklim A C fkT A C Order Mollisol Inceptisol Vertisol Suborder Udoll Ustept Ustert Great Grup Hapludoll Haplustept Haplustert Alfisol Inceptisol Inceptisol Ustalf Udept Ustept Haplustalf Eutrudept Haplustept Mollisol Ustoll Entisol Orthent Haplustoll Argiustoll Ustorthent Orthent Udult Orthent Ustalf Ustept Ustept Udorthent Hapludult Ustorthent Haplustalf Haplustept Haplustept fqT A fT C kT C Entisol Ultisol Entisol Alfisol Inceptisol Inceptisol qkT C Mollisol Mollisol Ustoll Ustoll Haplustoll Haplustoll qT A C Entisol Ultisol Entisol Orthent Humult Orthent Psamment Ustorthent Haplohumult Ustorthent Ustipsamment Subgrup Lithic Hapludolls Vertic Haplustepts Calcic Haplusterts Typic Haplusterts Lithic Rodustalfs Typic Eutrudepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Lithic Haplustolls Typic Argiustolls Lithic Ustorthents Typic Ustorthents Typic Udorthents Lithic Hapludults Lithic Ustorthents Typic Haplustalfs Typic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Typic Haplustolls Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Typic Ustorthents Typic Haplohumults Lithic Usthortents Typic Ustipsamments Gambar 18 memperlihatkan sebaran landform T.12.1 di daerah Karawang yang beriklim tipe A. Pedon tanah pewakil yang dijumpai pada landform ini sebarannya terpusat di bagian selatan (kotak merah) daerah lokasi survei (Gambar 19). 65 Gambar 18. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Karawang – Jabar (Kotak Merah) Gambar 19. Sebaran pedon tanah pada landform T.12.1 Karawang – Jabar 66 Tabel 23. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan Pedon AY 011 HS 250 SY 180 WG 134 WG 169 BI+Umur cT cT cT kT kT Order Mollisol Mollisol Mollisol Inceptisol Inceptisol Subgrup Lithic Hapludolls Lithic Hapludolls Lithic Hapludolls Typic Eutrudepts Typic Eutrudepts Kode * * ** * * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 23 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di bagian selatan Karawang sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Pedon AY 011, HS 250, dan SY 180 terletak pada poligon yang sama dengan bahan induk batu gamping tersier (cT). Ketiga pedon tersebut memiliki klasifikasi tanah yang sama yaitu Lithic Hapludolls. Selain ketiga pedon tersebut, terdapat 2 pedon dengan bahan induk batu kapur tersier dengan klasifikasi Typic Eutrudepts. Dengan demikian pedon yang dijumpai pada daerah ini sangat tergantung dari jenis bahan induknya. Selain di daerah Karawang, sebaran landform T.12.1 dengan pedon yang banyak dijumpai berada di daerah Oesao (Gambar 20). Gambar 20. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Oesao – NTT 67 Tabel 24. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.1.2.1 Oesao – NTT Pedon BP 101 AK 175 AK 120 UY 111 AK 195 BP 222 BP 153 AK 185 AK 203 AK 138 BP 140 BP 111 UY 152 UY 125 SM 004 SM 012 TB 202 BI+Umur fkT fkT fkT fkT fkT fkT fkT fkT fkT qT qT fT fT kT kT kT cT Order Entisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Molisoll Molisoll Molisoll Molisoll Entisol Entisol Alfisol Inceptisol Molisoll Entisol Inceptisol Inceptisol Subgrup Lithic Usthortents Vertic Haplustepts Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Vertic Haplustolls Lithic Haplustolls Typic Argiustolls Typic Argiustolls Lithic Usthortents Typic Ustipsamments Typic Haplustalfs Typic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Usthorthents Typic Haplustepts Vertic Haplustepts Kode *** * *** ** * * * * * * * *** ** ** **** ***** * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Tabel 24 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Oesao sangat beragam. Posisi beberapa pedon yang dijumpai berada pada satu poligon dan ada pula berada pada poligon yang berbeda. Setelah dikelompokan berdasarkan bahan induk yang homogen, klasifikasi tanah yang dijumpai pada daerah ini masih tetap beragam. Namun pengaruh iklim sangat berpengaruh pada klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai, ditanadai dengan munculnya regim kelembaban ustik pada unsur pembentuk klasifikasi subgroup dan greatgroup. Banyak pedon tanah pewakil yang berada dalam satu poligon yang berasal dari bahan induk yang berbeda. Sebagai contoh, terdapat 2 pedon yang letaknya berada satu poligon yaitu pedon UY 152 dan UY 125 yang letak kedua pedon tersebut berjarak cukup dekat, akan tetapi memiliki klasifikasi yang berbeda, pedon UY 152 termasuk ke dalam order Inceptisol sedangkan Pedon 125 termasuk ke dalam order Mollisol. Perbedaan tersebut terjadi karena bahan induk yang terdapat pada kedua pedon tersebut berbeda pedon UY 152 berbahan induk batu liat tersier (fT) sedangkan pedon UY 125 berbahan induk batu kapur tersier (kT) (poligon sebelah kanan). Dari hasil yang telah diuraikan dapat diketahui bahwa landform T.12.1 merupakan satuan landform yang paling banyak memiliki keragaman bahan induk yang terdapat dalam satu delineasi (poligon yang sama) dengan tingkat keragaman klasifikasi tanah yang dijumpai sangat tinggi. Sehingga delineasi landform ke 68 dalam landform T.12.1 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat pada landform T.12.1 tersebut. 4.2.6. Grup Landform Volkanik (V) Aktivitas volkan menurut Bloom (1979) didefinisikan sebagai hasil dari erupsi letusan gunung berapi, cikal bakal terjadi proses perkembangan dan struktur dari landform volkanik. Beberapa buku menerangkan bahwa gunung api sebagai celah dimana material panas perut bumi keluar menuju dasar permukaan bumi. Secara umum, aktivitas erupsi merupakan karakteristik dari gunung berapi, di mana gas panas, cairan, batuan cair, dan fragmen-fragment hancuran batuan keluar dari celah permukaan bumi yang terbuka. Landform volkanik menurut definisi Marsoedi et al. (1997) adalah landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Terdapat 11 landform yang termasuk dalam landform volkanik (Tabel 4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada unit landform volkanik ini adalah landform V.3.3 dengan jumlah sebanyak 40 pedon. Atas dasar tersebut, landform V.3.3 dijadikan sebagai contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada grup landform volkanik. Landform V.33 merupakan landform “pegunungan volkanik tua”. Landform pegunungan volkanik tua berupa wilayah dari bahan volkanik yang telah mengalami proses lebih lanjut antara lain: erosi, denudasi, angkatan, lipatan, dan patahan, sehingga asal-usulnya dari pusat erupsi tidak jelas lagi, umumnya termasuk volkan tua. Landform ini memiliki lereng >15% dan perbedaan tinggi lebih dari 300m (Marsoedi et al., 1997). Tabel 25 menunjukkan sebaran landform V.3.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai hanya pada satu lokasi survei LREPP II, yaitu daerah Pacitan (Jatim). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH≥2000 mm/th) dan tipe B (CH≥1500-2000 mm/th), dengan empat 69 Tabel 25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site lokasi ID Iklim Bi+umur pacitan CD 239 A aT Subgrup Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B Lithic Hapludolls m 624 29 26,00 25,50 1,02 5,30 6,05 0,73 0,54 29,31 27,22 112,73 106,96 85,00 85,50 pacitan AR 254 A aT Typic Hapludolls m 820 80 24,00 50,33 0,48 5,80 5,73 0,31 1,17 14,21 16,54 59,21 33,18 77,00 50,67 pacitan CD 282 A aT Typic Hapludolls h 820 109 35,00 37,00 0,95 5,00 5,03 2,01 1,68 21,60 23,49 61,71 63,77 76,00 59,25 pacitan AR 253 A aT Typic Haplustepts m 720 109 64,00 58,33 1,10 5,60 5,97 0,34 0,32 36,09 41,09 56,39 70,79 62,00 68,00 pacitan AR 240 A aT Ustic Dystrudepts c 950 84 74,00 76,33 0,97 5,50 5,53 0,78 0,53 28,46 24,69 38,46 32,44 29,00 43,67 pacitan CD 276 A aT Ustic Dystrudepts r 800 154 67,00 72,50 0,92 5,30 5,63 1,63 0,65 28,46 27,51 42,48 38,15 27,00 24,25 pacitan CD 283 A aT Ustic Dystrudepts h 600 41 56,00 60,50 0,93 5,60 5,60 1,49 0,46 21,63 23,01 38,63 38,05 51,00 54,00 pacitan CD 312 B aT Lithic Haplustepts m 525 27 26,00 28,00 0,93 5,90 5,60 0,54 0,76 14,24 14,00 54,77 50,00 109,00 99,00 pacitan AR 259 B aT Oxiaquic Haplustalfs m 500 105 31,00 40,33 0,77 5,00 5,97 0,78 0,54 17,09 18,45 55,13 46,06 80,00 92,67 pacitan WS 198 B aT Oxiaquic Haplustepts m 600 10 41,00 41,50 0,99 4,70 5,70 0,77 0,60 14,38 13,29 35,07 32,02 59,00 86,50 pacitan AR 201 B aT Oxic Haplustepts m 700 57 50,00 57,00 0,88 5,40 5,67 0,97 0,65 11,44 11,12 22,88 19,49 96,00 92,67 pacitan AR 248 B aT Typic Argiustolls h 800 155 43,00 52,00 0,83 5,40 5,50 1,17 2,61 16,65 22,13 38,72 42,84 66,00 44,00 pacitan AR 202 B aT Typic Haplustepts m 475 38 40,00 39,00 1,03 6,10 6,20 0,68 0,64 18,82 20,85 47,05 53,46 103,00 103,00 pacitan AR 203 B aT Typic Haplustepts m 425 97 24,00 29,00 0,83 6,00 6,20 0,86 0,76 21,83 21,70 90,96 75,23 102,00 100,67 pacitan AR 217 B aT Typic Haplustepts m 200 85 28,00 29,67 0,94 5,40 5,87 0,67 0,46 17,59 17,17 62,82 58,19 98,00 104,00 pacitan AR 219 B aT Typic Haplustepts c 550 60 56,00 62,00 0,90 5,70 5,65 0,59 0,60 22,83 24,99 40,77 41,03 74,00 65,50 pacitan AR 220 B aT Typic Haplustepts c 510 57 55,00 49,00 1,12 4,80 5,10 1,27 0,97 17,78 15,91 32,33 32,47 61,00 66,00 pacitan AR 231 B aT Typic Haplustepts m 260 120 53,00 48,75 1,09 5,50 5,83 1,01 0,41 14,95 16,30 28,21 33,88 57,00 69,25 pacitan AR 243 B aT Typic Haplustepts c 790 98 51,00 52,00 0,98 5,30 5,80 0,56 0,38 30,75 30,53 60,29 58,77 62,00 63,67 pacitan AR 247 B aT Typic Haplustepts m 790 155 46,00 44,33 1,04 5,00 5,70 0,85 0,29 14,32 12,09 31,13 27,47 63,00 64,00 70 Lanjutan Tabel 25 Data Site lokasi pacitan ID CD 274 Iklim B Bi+umur aT Subgrup Typic Haplustepts Tebal Relief m avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B 650 92 54,00 50,75 1,06 5,40 5,65 0,81 0,35 14,00 12,07 25,93 23,79 46,00 62,50 pacitan CD 298 B aT Typic Haplustepts c 400 41 45,00 46,67 0,96 5,40 5,53 1,66 0,84 13,88 14,23 30,84 30,56 55,00 64,00 pacitan CD 304 B aT Typic Haplustepts m 720 75 51,00 51,67 0,99 5,40 5,80 1,91 1,04 35,22 34,38 69,06 66,75 79,00 72,67 pacitan HI 167 B aT Typic Haplustepts m 420 120 39,00 42,00 0,93 6,00 6,07 0,68 0,48 24,76 25,20 63,49 60,09 81,00 80,67 pacitan HR 176 B aT Typic Haplustepts m 230 115 52,00 61,00 0,85 6,00 5,25 0,91 0,44 17,24 17,01 33,15 27,92 74,00 49,25 380 80 26,00 26,33 0,99 5,60 6,63 0,70 0,22 23,61 35,08 90,81 152,31 62,00 83,67 25,00 23,00 1,09 6,00 5,90 0,46 0,18 12,27 14,44 49,08 64,34 70,00 74,00 39,00 38,00 1,03 5,60 5,50 0,65 0,34 32,78 33,82 84,05 89,00 85,00 80,00 pacitan HR 184 B aT Typic Haplustepts m pacitan MK 082 B aT Typic Haplustepts m 420 53 pacitan MK 094 B aT Typic Haplustepts m 400 140 pacitan MK 114 B aT Typic Haplustepts m 36 41 40,00 40,00 1,00 6,10 6,00 0,70 0,68 27,78 25,91 69,45 64,78 91,00 93,00 pacitan MK 117 B aT Typic Haplustepts m 530 34 29,00 39,00 0,74 5,50 5,60 0,46 0,31 20,24 18,35 69,79 47,05 83,00 73,00 pacitan MK 118 B aT Typic Haplustepts m 450 105 35,00 40,67 0,86 5,80 6,27 0,51 0,31 15,61 15,55 44,60 38,23 83,00 83,67 36,00 35,00 1,03 5,10 5,50 1,25 0,66 14,03 10,92 38,97 31,20 39,00 66,00 20,00 28,00 0,71 5,50 5,20 1,26 0,74 10,01 10,83 50,05 38,68 70,00 63,50 pacitan TB 222 B aT Typic Haplustepts m 600 31 pacitan AR 270 B aT Ultic Haplustalfs m 425 48 pacitan CD 258 B aT Ultic Haplustalfs m 450 65 56,00 64,50 0,87 5,70 5,75 0,75 0,51 15,55 16,98 27,77 26,34 70,50 68,50 pacitan CD 261 B aT Ultic Haplustalfs m 450 45 48,00 52,67 0,91 6,20 6,33 1,44 0,40 13,46 12,14 28,04 23,24 72,00 74,00 pacitan HR 195 B aT Ultic Haplustalfs m 525 170 50,00 69,75 0,72 5,20 5,58 1,68 0,68 19,28 23,31 38,56 33,52 43,00 43,75 pacitan MS 250 B aT Ultic Haplustalfs m 340 90 35,00 47,33 0,74 6,30 6,03 0,76 0,34 17,40 26,73 49,71 63,20 108,00 80,33 pacitan AR 244 A dT Typic Eutrudepts c 850 175 75,00 84,25 0,89 5,20 5,45 1,14 0,41 23,35 30,62 31,13 36,56 35,00 32,00 25,00 23,00 1,09 5,70 6,20 0,70 0,41 53,48 50,05 213,92 217,61 91,00 97,00 9,00 10,00 0,90 5,20 5,35 0,83 0,60 14,76 14,71 164,00 151,50 107,00 95,50 pacitan AR 221 B gT Typic Haplustepts m 660 60 pacitan CD 244 B qT Typic Haplustepts m 325 74 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B 71 jenis bahan induk penyusun tanah yang dijumpai, bahan induk tersebut adalah bahan induk andesit tersier (aT), dasit tersier (dT), dan granit tersier (gT). Bentuk relief yang terdapat pada landform V.3.3 di daerah Pacitan sangat beragam. Secara umum landform V.3.3 yang dijumpai pada lokasi tersebut berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Ketebalan solum dari tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini sangat bervariasi dari yang dangkal sampai sangat dalam. Tanah-tanah yang dijumpai memiliki kadar liat pada horison B lebih tinggi daripada horison A, dan kandungan C-organiknya yang berkisar dibawah 2 %. Karakteristik pH yang dijumpai relatif merata dan tergolong pada kisaran pH agak masam. Nilai KTK yang dijumpai cukup bervariasi mulai dari KTK rendah sampai tinggi sedang pada nilai KB relatif tinggi. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama (Tabel 26). Tabel 26. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform V.3.3 BI+U aT Iklim A B dT gT A B Order Mollisol Suborder Udoll Great Grup Hapludoll Inceptisol Inceptisol Ustept Udept Ustept Haplustept Dystrudept Haplustept Alfisol Ustalf Haplustalf Mollisol Inceptisol Inceptisol Ustoll Udept Ustept Argiustoll Eutrudept Haplustept Subgrup Lithic Hapludolls Typic Hapludolls Typic Haplustepts Ustic Dystrudepts Lithic Haplustepts Oxiaquic Haplustepts Oxic Haplustepts Typic Haplustepts Oxiaquic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Typic Argiustolls Typic Eutrudepts Typic Haplustepts Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa pedon pewakil yang sudah dianggap homogen faktor pembentuknya menunjukkan bahwa klasifikasi tanah yang dijumpai masih beragam. Keberagaman klasifikasi tanah masih terjadi walaupun berada pada daerah yang sama. Selain itu, pada landform ini tidak dijumpai tanah dengan order Andisol, hal ini terjadi karena landform ini merupakan landform volkanik tua dan kondisi ketinggiannya hampir semua pengamatan pedon pewakil berada di bawah 700 m dpl. 72 Gambar 21. Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan – Jatim Gambar 21 memperlihatkan sebaran landform V.3.3 di daerah Pacitan. Pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian utara daerah lokasi survei. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa pedon yang menggerombol. Letak pedon yang dijumpai di daerah tersebut berada dalam satu poligon. Tabel 27 menunjukkan bahwa bahan induk tanah yang terdapat dalam delineasi landform V.3.3 daerah Pacitan utara didominasi oleh bahan induk andesit tersier (aT). Namun demikian, walaupun telah dipisahkan berdasarkan bahan induk yang sama, masih tetap terjadi perbedaan klasifikasi tanah. Pada bahan induk andesit tersier yang mendominasi hampir seluruh pedon yang terdapat di daerah ini, perbedaan klasifikasi tanah pada tingkat order masih dapat dijumpai. Terdapat tiga order tanah dengan bahan induk andesit tersier (aT) tersebut, yaitu Inceptisol, Mollisol, dan Alfisol. Dari ketiga order tersebut order Inceptisol merupakan order yang paling banyak mendominasi pada di daerah tersebut. 73 Tabel 27. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3 Pacitan – Jatim Pedon AR 259 CD 258 HR 195 AR 270 CD 261 MS 250 CD 312 WS 198 AR 201 AR 202 AR 203 TB 222 CD 304 CD 298 AR 219 AR 220 AR 253 AR 243 AR 217 AR 247 HI 167 AR 231 CD 274 CD 244 CD 276 CD 283 AR 240 CD 239 AR 248 AR 254 CD 282 AR 244 AR 221 BI+Umur aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT aT qT aT aT aT aT aT aT aT dT gT Order Alfisol Alfisol Alfisol Alfisol Alfisol Alfisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Molisoll Molisoll Molisoll Molisoll Inceptisol Inceptisol Subgrup Oxiaquic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Ultic Haplustalfs Lithic Haplustepts Oxiaquic Haplustepts Oxic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustepts Ustic Dystrudepts Ustic Dystrudepts Ustic Dystrudepts Lithic Hapludolls Typic Argiustolls Typic Hapludolls Typic Hapludolls Typic Eutrudepts Typic Haplustepts Kode * * ** * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama Dari hasil uraian tersebut menunjukkan bahwa landform V.3.3 merupakan satuan landform yang masih memiliki keragaman klasifikasi tanah yang tinggi, walaupun landform, bahan induk, serta unsur-unsur pembentuk landform tersebut telah dianggap homogen. Sehingga delineasi landform ke dalam landform V.3.3, tidak dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat pada landform V.3.3 tersebut. Dari seluruh pembahasan dapat diketahui bahwa tingkat keragaman karakteristik tanah pada masing-masing landform tersebut tingkat keragamannya masih tinggi walaupun faktor-faktor pembentuk tanahnya sudah dikelompokan secara homogen. Selain itu, dalam setiap delineasi landform tidak dapat diprediksi 74 kondisi karagaman tanah yang terdapat dalam suatu poligon landform pada suatu delineasi landform yang sama. 4.3. Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari Landform Landform pada dasarnya memiliki hubungan erat terkait dengan sifat-sifat tanah. Hal ini dikarenakan landform merupakan tempat di mana terdapatnya tanah. Delineasi landform merupakan suatu pendekatan analisis spasial faktorfaktor pembentuk tanah yang dianggap secara homogen. Diharapkan dengan homogennya faktor-faktor pembentuk tanah, karakteristik tanah yang dijumpai akan homogen pula. Karakteristik tanah dalam hal ini dapat dicerminkan dari nama klasifikasi tanah yang dihasilkan. Akan tetapi, hasil kajian pada subbab sebelumnya menunjukkan bahwa dalam suatu unit landform yang faktor-faktor pembentuk tanahnya sudah dikelompokkan secara homogen masih dapat dijumpai keragaman karakteristik tanah. Keragaman karakteristik tanah tersebut tercermin dalam perbedaan klasifikasi tanah yang dijumpai. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi mengenai karakteristik tanah penciri klasifikasi tanah yang sulit diduga oleh landform berdasarkan nama klasifikasi tanah yang dijumpai. Setelah dilakukan identifikasi karakteristik tanah berdasarkan nama klasifikasi pada seluruh landform yang terdapat dalam penelitian ini, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa karakteristik penciri tanah yang sulit diduga dari suatu landform berbeda-beda antara satu landform dengan landform yang lainnya. Perbedaan ini tergantung dari jenis karakteristik landform, seperti pada landform yang dipengaruhi oleh daerah air (grup landform aluvial, fluvio-marin, dan marin) tentunya memiliki karakteristik tanah penciri klasifikasi yang berbeda dengan dengan jenis landform yang tidak dipengaruhi air (grup landform karst, tektonik, dan volkanik). Tabel 28 dan 29, menunjukkan contoh identifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga dari landform A.1.3 dan T.12.1. Setiap pedon 75 tanah yang dijumpai pada landform tersebut kemudian dikelompokan berdasarkan poligon dimana pedon tersebut dijumpai. Tabel 28. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 Poligon Iklim BI 1 B 2 3 4 5 A B A A 6 7 8 9 10 A C C C C 11 C 12 C 13 14 15 C C C 16 17 18 C C C 19 20 21 22 C C B C 23 C 24 C 25 C 26 27 28 29 30 31 C C C C C C fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fqK fqK fK fqK fK fK fK fK fK fK fqK fK fK fK fK fqK fK fK fK fK fK fK fK fqK fK fK fqK fK fK fqK fqK fK fqK fK fK fK fqK fqK fK Order Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Entisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Subgrup Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustept Haplustept Oxyaquic Haplustepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Typic Haplusterts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Fluventic Eutrudepts Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Typic Haplusteps Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Vertic Haplustepts Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Typic Haplustepts Fluventic Haplustepts Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Sifat Penciri Taksa Vertic, Aquic, Chroma Aquic, Vertic Aquic Aquic, Vertic Aquic, Plinthic KB tinggi, Aquic Aquic, Plinthic Ustic Ustic, Vertic Aquic Aquic, Vertic KB tinggi, Aquic Aquic, Vertic Ustic, Fluvial Aquic, Vertic Vertic, Ustic, Chroma Vertic, Ustic Vertic, Aquic Vertic, Ustic Ustic, Vertic Aquic, Vertic Vertic, Aquic Vertic, Aquic Aquic, Vertic KB tinggi, Fluvial Vertic, Aquic, Chroma Vertic, Aquic, Chroma Aquic, Vertic Vertic, ustic Aquic, Vertic Ustic, Aquic Aquic Aquic, dangkal Aquic, Vertic Ustic, Fluvial Ustic Aquic, dangkal Ustic, Fluvial Ustic, Vertic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic Aquic, Vertic Aquic, dangkal Aquic, Vertic Ustic Ustic, Fluvial Ustic, Aquic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic Ustic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic, Chroma Jml 1 5 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 76 Tabel 28 menunjukkan bahwa terdapat 31 poligon yang dijumpai pada satuan landform A.1.3 beserta pedon-pedon pengamatan di dalamnya. Berbagai keragaman karakteristik yang dicirikan oleh klasifikasi terjadi baik dalam internal poligon maupun antar poligon dalam satu landform. Dalam satu poligon landform A.1.3 terjadi keragaman klasifikasi tanah yang sudah terjadi pada kategori order dengan bahan induk yang sama seperti yang terjadi pada poligon 1 dan 23 (Tabel 28). Keragaman lain yang terjadi dalam satu poligon ialah terjadinya keragaman klasifikasi pada kategori suborder, greatgroup, atau subgroup dalam order yang sama dengan bahan induk yang sama seperti ditunjukkan oleh poligon 5, 10, dan 12 (Tabel 28). Keragaman klasifikasi yang terjadi akibat perbedaan bahan induk yang dijumpai di lapangan dalam satu poligon landform A.1.3 dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan klasifikasi pada kategori order sepeti yang terjadi pada poligon 15 (Tabel 28). Selain itu, tidak semua perbedaan bahan induk mengakibatkan terjadinya perbedaan klasifikasi pada tingkat order, akan tetapi hanya mengakibatkan terjadinya perbedaan klasifikasi pada kategori suborder, greatgroup, atau subgroup yang masih berada dalam satu order seperti yang terjadi pada poligon 10, 22, 24, dan 25 (Tabel 28). Secara keseluruhan keragaman yang terjadi dalam satuan landform A.1.3 masih sangat tinggi. Selain karena setiap poligon dalam landform ini berbeda antara satu dengan yang lainnya, ditambah dengan terjadinya keragaman klasifikasi yang terjadi dalam internal poligon itu sendiri. Selain itu karakteristik tanah yang secara umum dapat dijumpai pada satuan landform A.1.3 ini adalah sifat aquik dan sifat vertik, walaupun tidak semua tanah yang dijumpai pada landform tersebut memiliki kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut merupakan sifat penciri yang paling utama karena muncul pada kategori unsur pembentuk klasifikasi tanah yang paling tinggi, semakin karakteristik unsur pembentuk klasifikasi muncul pada kategori taksonomi yang lebih rendah semakin lemah pula pengaruh sifat karakteristik tersebut dalam klasifikasi tanah. Selain itu, walaupun terdapat karakteristik penciri klasifikasi yang muncul pada unsur pembentuk subgroup, delineasi 77 landform A.1.3 ini masih belum dapat menduga tanah-tanah yang bersifat vertic, memiliki solum dalam atau dangkal, mempunyai warna dengan chroma tertentu, dan sebagainya. Tabel 29. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 C C C C C C C C C C C C C C C C C C C fT kT cT fkT fkT fkT fkT qT qT fkT fT kT fkT kT fT kT kT qkT kT kT cT Order Mollisol Inceptisol Mollisol Vertisol Inceptisol Entisol Alfisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Mollisol Inceptisol Mollisol Entisol Entisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Entisol Inceptisol Entisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Inceptisol Inceptisol Alfisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Udoll Hapludoll Udept Eutrudept Udoll Hapludoll Ustert Haplustert Ustept Haplustept Orthent Ustorthent Ustalf Haplustalf Ustept Haplustept Ustept Haplustept Ustol Haplustoll Ustol Argiustoll Ustept Haplustept Ustol Haplustoll Orthent Ustorthent Psamment Ustipsamment Ustept Haplustept Ustept Haplustept Ustoll Haplustoll Orthent Ustorthent Ustept Haplustept Orthent Ustorthent Ustept Haplustept Ustept Haplustept Ustoll Haplustoll Ustept Haplustept Ustept Haplustept Ustalf Rodustalf Subgrup Lithic Hapludolls Typic Eutrudepts Lithic Hapludolls Calcic Hasplusterts Lithic Haplustepts Lithic Usthortents Typic Haplustalfs Vertic Haplustepts Vertic Haplustepts Lithic Haplustolls Typic Argiustolls Vertic Haplustepts Vertic Haplustolls Lithic Usthortents Typic Ustipsamments Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Ustorthents Typic Haplustepts Lithic Ustorthents Lithic Haplustepts Vertic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Rodustalfs C C A A A C C C C C cT kT fqT fqT qT kT qkT kT qkT kT Vertisol Inceptisol Ultisol Entisol Ultisol Inceptisol Mollisol Mollisol Entisol Inceptisol Ustert Ustept Udults Orthent Humult Ustept Ustoll Ustoll Orthent Ustept Typic Haplusterts Typic Haplustepts Lithic Hapludults Typic Udorthents Typic Haplohumults Typic Haplustepts Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Typic Ustorthents Vertic Haplustepts Poligon Iklim BI 1 A 2 3 4 A C C cT fkT cT cT fkT 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 15 16 17 18 19 Haplustert Haplustept Hapludult Udoerthent Haplohumult Haplustept Haplustoll Haplustoll Ustorthent Haplustept Sifat Penciri Taksa Jml Mollic, Udic, Lithic Udic, KB tinggi Mollic, Udic, Lithic Vertic, Ustic, Calcic Ustic, Lithic Recent, Lithic KB tinggi, Ustic Ustic, vertic Ustic, vertic Mollic, Ustic, Lithic Mollic, Argilik Ustic, vertic Mollic, ustic, vertic Recent, Ustic, Lithic Recent, Pasir, Ustic Ustic Ustic Mollic, ustic Recent, ustic Ustic Recent, Ustic, Lithic Ustic, Lithic Ustic, vertic Mollic, ustic Ustic Ustic KB tinggi, Ustic, Rodic, Lithic Vertic, Ustic Ustic Argilik, Udic, Lithic Recent, Udik Argilik, BO tinggi Ustic Mollic, Ustic, Lithic Mollic, ustic Recent, ustic Ustic, vertic 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 Tabel 29 memperlihatkan 19 poligon landform yang dijumpai pada landform T.12.1 beserta pedon-pedon pengamatan di dalamnya. Perbedaan bahan induk yang terdapat dalam satu poligon landform T.12.1 membawa perbedaan klasifikasi pada kategori order. Sehingga dalam satuan landform T.12.1 peran bahan induk tanah akan sangat menentukan jenis tanah yang kemudian akan dihasilkan. Selain itu Tabel 29 memuat contoh identifikasi karakteristik yang sulit diduga oleh landform T.12.1 menunjukkan bahwa pada kategori suborder, unsur 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 78 pembentuk klasifikasinya hampir seluruhnya didominasi oleh regim kelembaban iklim. Dengan demikian delineasi landform T.12.1 hanya dapat menduga tanahtanah yang dijumpai pada landform ini tidak bersifat aquic. Pada kategori subgroup, karakteristik penciri tanah yang mayoritas muncul dalam delineasi landform T.12.1 adalah sifat kedalaman solum dan sifat vertik. Dengan demikian delineasi landform T.12.1 ini masih belum dapat menduga apakah tanah-tanah yang terdapat dalam landform tersebut memiliki ketebalan solum yang dalam atau dangkal dan menduga tanah-tanah yang memiliki sifat vertic atau tidak. Tidak semua identifikasi karaktersitik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga landform ditampilkan seluruhnya, hanya landform yang sebelumnya menjadi pewakil dalam setiap landform utama yang akan ditampilkan. Tabel 30 memperlihatkan karakteristik tanah yang sulit diduga oleh landform pada landform A.1.3, B.3, K.3, M.2.2, T.12.1, & V.3.3. Tabel 30 menunjukkan bahwa karakteristik tanah yang sulit diduga oleh landform berbeda antara satu landform dengan landform yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang dijumpai dalam suatu unit landform berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok landform yang termasuk landform yang dipengaruhi oleh air, hanya landform M.2.2 yang dapat menduga tanahnya bersifat aquic berdasarkan data klasifikasi tanah yang dijumpai. Sedangkan landform lain yang juga termasuk ke dalam landform yang secara umum bersifat aquic yaitu landform A.1.3 dan B.3 tidak dapat menduga apakah tanahnya bersifat aquic atau tidak. Tabel 30. Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga dari Landform Landform A.1.3 (Dataran Aluvial) Karakteristik penciri tanah Kejenuhan Air; Kedalaman solum; Sifat vertic; C-organik; Warna chroma; Sifat plinthic. B.3 (Dataran Fluvio-Marin) Kejenuhan Air; Kedalaman solum; Sifat vertic; C-organik; Natrium; Bahan sulfidik. Kedalaman solum; Sifat Vertic; Tekstur. Kedalaman solum; Bahan sulfidik. Kedalaman solum; Sifat Vertic; Tekstur, Corganik; Sifat Calcic. Kedalaman solum; Kejenuhan air; Tekstur; KB; KTK liat. K.3 (Perbukitan Karst) M.2.2 (Dataran Pasang Surut Lumpur) T.12.1 (Perbukitan Tektonik) V.3.3 (Pengunungan Volkanik Tua) 79 Sementara itu, landform-landform yang berada pada daerah kering (K.3, T.1.2.1, & V.3.3) hampir semuanya tidak bisa menduga karakteristik kedalaman solum tanah, apakah kedalaman tanah yang terdapat dalam delineasi landform tersebut memiliki ketebalan solum yang dangkal ataukah dalam. Hal ini ditandai dengan munculnya unsur pembentuk klasifikasi Lithic dan Typic pada klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform tersebut. Dengan demikian, hasil identifikasi karakteristik tanah penciri yang sulit diduga oleh landform tidak dapat menyimpulkan suatu karakteristik penciri yang sulit diduga oleh landform yang berlaku untuk semua landform. 4.4. Keragaman Karakteristik Tanah pada Suatu Unit Landform berdasarkan Data lapang dan Laboratorium Setelah diketahui bahwa karakteristik tanah yang dicerminkan oleh klasifikasi dalam delineasi landform menurut LREPP II masih sangat beragam. Dalam subbab ini akan diamati tingkat keragaman karakteristik tanah penciri berdasarkan sifat kimianya tanpa melihat klasifikasi tanah yang dijumpai pada suatu unit landform. Untuk mengetahui hal tersebut, digunakan analisis statistik koefisien keragaman untuk mengetahui sejauh mana tingkat keragaman karakteristik tanah dilihat dari data morfologi lapang dan analisis laboratorium dalam suatu landform. Diperlukan adanya analisis perbandingan antara nilai koefisien keragaman (KK) sifat-sifat tanah penciri pada setiap unit landform dengan nilai koefisien keragaman (KK) sifat tanah penciri antar landform. Nilai koefisien Keragaman (KK) sifat tanah penciri antar landform berasal dari seluruh nilai sifat-sifat tanah yang terdapat pada 64 landform yang dianalisis dalam penelitian ini (Tabel 4). Sifat-sifat tanah penciri yang akan dibandingkan nilai koefisien keragamannya (KK) antara lain tebal solum, rasio perbandingan persentase liat horison A dan B, derajat kemasaman tanah (pH), kandungan C-organik tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), KTK liat, dan Kejenuhan Basa (KB). Tidak semua landform nilai koefisien keragaman sifat-sifat tanah pencirinya akan 80 dibahas, hanya landform yang memiliki pedon terbanyak pada masing-masing grup landform LREPP II yang telah dibahas pada subbab sebelumnya. Tabel 31. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LREPP Tebal Liat pH C KTK II Solum A/B A B A B A B A.1.3 32,84 15,78 14,06 50,99 44,70 30,34 32,73 33,52 B.3 43,39 16,80 18,33 18,52 52,26 44,55 22,02 28,71 K.3 51,03 3,05 76,23 58,03 20,40 15,46 60,41 1,86 M.2.2 28,96 12,23 95,28 2,52 87,51 15,82 18,70 15,40 T.12.1 67,33 45,54 14,43 13,14 43,45 53,13 42,31 42,74 V.3.3 51,56 6,98 6,01 45,84 68,67 41,31 41,22 14,06 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B KTK Liat A B 37,96 31,44 27,72 25,24 80,17 110,28 28,00 16,30 73,31 128,60 65,04 71,07 71,77 77,27 KB A 35,51 40,85 5,77 53,51 51,77 29,88 70,99 B 37,66 52,21 9,66 38,38 62,19 27,41 56,27 4.4.1. Landform Dataran Aluvial (A.1.3) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran aluvial ini tergolong dalam kelas kelas keragaman rendah – sedang. Walaupun apabila dilihat dari segi klasifikasinya cukup beragam. Pada landform ini, karakteristik tanah penciri internal landform A.1.3 nilai koefisien keragamannya tidak ada yang melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31). 4.4.2. Landform Fluvio-Marin (B.3) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran fluviomarin ini tergolong dalam kelas kelas keragaman rendah – sedang. Walaupun apabila dilihat dari segi klasifikasinya cukup beragam. Pada landform ini, karakteristik tanah penciri internal landform B.3 nilai koefisien keragamannya ada yang melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal yaitu pada karakteristik pH tanah (Tabel 31). Karakteristik pH tanah pada horison A maupun pada horison B apabila dilihat dari nilai KK pada karakteristik pH tanah yang terdapat dalam landform B.3 ini termasuk kedalam kelas keragaman rendah lebih tinggi daripada nilai KK pada karakteristik pH antar landformnya. Sehingga pada landform ini karakteristik pH tanah tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini. 81 4.4.3. Landform Perbukitan Karst (K.3) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform perbukitan karst ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi. Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat rendah adalah pada pH tanah, sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah karakteristik KTK liat. Pada landform ini, Terdapat 2 karakteristik tanah penciri internal landform K.3 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31). Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan KTK liat baik itu KTK liat pada horison A maupun pada horison B. Kelas keragaman untuk nilai koefisien keragaman (KK) untuk karakteristik KTK liat tergolong ke dalam kelas keragaman tinggi. Sehingga karakteristik tebal solum dengan KTK liat tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini. 4.4.4. Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran pasang surut lumpur ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi. Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat rendah adalah pada pH tanah, kadar C-organik pada horison B, dan KTK pada horison B. Sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah karakteristik tebal solum, kadar C-organik pada horison A, dan KB pada Horison B. Pada landform ini, Terdapat 2 karakteristik tanah penciri internal landform M.2.2 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31). Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan C-organik pada horison A. Kelas keragaman untuk nilai koefisien keragaman (KK) untuk tebal solum dan Corganik pada horison A tergolong ke dalam kelas keragaman tinggi. Sehingga karakteristik tebal solum dan C-organik pada horison A tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini. 82 4.4.5. Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform perbukitan tektonik ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi. Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat rendah adalah pada pH tanah, sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah karakteristik tebal solum dan KTK liat. Pada landform ini, Terdapat 4 karakteristik tanah penciri internal landform T.12.1 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31). Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan C-organik pada horison A. Sehingga karakteristik tersebut tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini. 4.4.6. Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3) Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform pegunungan volkanik tua tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi. Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat rendah adalah pada rasio pebandingan liat horison A & B dan pH tanah. Sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah karakteristik C-organik dan KTK liat pada horison B. Pada landform ini, Terdapat 2 karakteristik tanah penciri internal landform V.3.3 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31). Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan KTK tanah horison A dan B. Kelas keragaman pada 2 karakteristik tanah tersebut tergolong ke dalam kelas keragaman sedang. Sehingga karakteristik tersebut tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Keragaman karakteristik tanah pada suatu satuan landform yang didefinisikan LREPP II masih tinggi dan dapat menyebabkan keragaman klasifikasi tanah pada satuan hierarki klasifikasi tanah dari tingkat subgroup hingga tingkat order. Landform tidak serta merta dapat dijadikan batas delineasi satuan peta tanah, walaupun berdasarkan konsep klasifikasi landform yang digunakan, satuan tersebut diasumsikan sudah sangat homogen dilihat dari faktorfaktor pembentuk tanahnya. Karakteristik penciri klasifikasi tanah yang sulit diduga oleh landform berdasarkan klasifikasi tanahnya tergantung dari satuan landform masing-masing, hal ini dikarenakan setiap landform memiliki faktor lingkungan dan karakteristik tanahnya masing-masing sehingga karakteristik tanah penciri yang sulit diduga landform berbeda satu sama lainnya. 5.2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan database pemetaan tanah tingkat semidetil menggunakan sistem landform lain (non LREPP II). Selain itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor penyebab karakteristik tanah yang sulit diduga oleh landform pada masing- masing satuan landform berbeda antara satu dengan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA Baskoro, D.P.T. 1986. Keragaman Lateral Hantaran Hidrolik Jenuh, Stabilitas Agregat, dan Air tersedia Lapisan Atas Pada Suatu Profil Lereng Di Daerah Ciapus-Bogor [skirpsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bloom, A. L. 1979. Geomorphology. Depatement of Geological Science. Cornel University. New Delhi. Buol, S. W., E. D. Hole, R. J. McCracken. 1980. Soil Genesis and Classification Second Edition. Ames: The Lowa University Press. Buurman, P. dan T. Balsem. 1990. Land Unit Classification the Reconaissance Soil. Survey of Sumatera Tech. Rep no 3. Center for Soil and Agroclimat Research. [CSAR] Center For Soil And Agroclimate Research. 1996. Kerangka Acuan Survei Tanah Semi-Detail Daerah Prioritas. LREPP II. Bogor. Desaunettes, J. R. Catalogue of Landform for Indonesia. Working Paper No. 13. AGL/TF/INS/44. Bogor: SRI Gerrard, A. J. 1980. Soils and Landform. Departement of Geography. University of Birmingham. Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hikmatulah dan A. Hidayat. 2007. Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Lahan Di Indonesia: strategi penyelesaian dan alternatif teknologinya. Jurnal Sumberdaya Lahan 1 (3): 43-56. Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah DAS Citarum Bawah Provinsi Jawa Barat. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah DAS Grindulu Provinsi Jawa Timur. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Pantai Timur Laut (TubanGresik) Provinsi Jawa Timur. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Semarang Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Puslitanak. 85 Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Dataran Bena Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Dataran Besikama Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Oesao Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak. Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Pangkalan Bun Provinsi Kalimatan Tengah. Bogor: Puslitanak. Marsoedi et al. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform. LREPP II. Center For Soil And Agroclimate Research. Bogor. Rachim, D. A. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rachim, D. A. dan Suwardi. 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rayes, M. L. 2006. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Sitorus, S. R. P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. Soil Survey Staff. 1951. Soil Survey Manual. Washington: USDA. Suwardi dan Hidayat W. 2000. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tafakresnanto, Chendy. 2009. Proposal Penelitian Pengembangan Metodolologi Identifikasi dan Evaluasi Potensi Sumberdaya Lahan melalui Analisis Data Base Tanah dengan memanfaatkan Citra Satelit dan DEM. Program Study Ilmu Tanah. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. The University of Georgia. Athens, Georgia. Thornbury, W.D. 1969. Principles of Geomorfologi Second Edition. Departement of Geologi. Indiana University. 86 Wiradisastra, U.S., dkk. 1999. Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. IPB. Bogor Young, Anthony. 1976. Tropical Soil And Soil Survey. Cambridge: Cambridge University Press. LAMPIRAN 88 Tabel Lampiran 1. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim A.13/fK/A A.13/fK/B A.13/fK/C A.13/fK A.13/fqK/B A.13/fqK/C A.13/fqK A.13 Antar LF KS 36,94 39,41 32,20 33,75 32,38 30,97 33,52 44,19 Liat A/B 13,34 6,42 36,55 30,96 41,16 39,73 32,84 63,59 pH A 15,55 6,18 9,20 16,82 9,51 10,73 15,78 16,55 B 13,32 9,19 8,69 14,89 7,47 10,33 14,06 15,09 C A 38,10 31,27 57,87 50,99 45,31 47,54 50,99 64,58 B 31,64 42,71 34,16 34,34 78,93 77,10 44,70 75,08 KTK A B 14,29 23,34 23,06 11,09 29,73 31,44 28,23 29,44 39,67 47,43 37,81 45,07 30,34 32,73 37,01 35,56 KTK Liat A B 14,68 21,95 16,92 11,60 34,69 37,87 31,57 34,08 57,56 20,76 55,72 19,85 37,96 31,44 71,77 77,27 KB A B 34,34 17,24 10,08 8,87 30,27 34,64 35,90 34,81 34,73 44,49 34,33 44,20 35,51 37,66 70,99 56,27 Tabel Lampiran 2. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim B.3/fK/A B.3/fK/B B.3/fK/C B.3/fk B.3/fqK/B B.3/fqK/C B.3/fqK B.3 Antar LF KS 43,23 39,75 40,20 0,00 68,48 43,39 44,19 Liat A/B 19,37 12,46 16,05 5,61 5,61 16,80 63,59 pH A 8,86 9,55 18,92 10,14 15,85 18,33 16,55 B 16,98 12,42 19,39 5,64 5,64 18,52 15,09 C A 32,61 37,00 34,55 15,50 77,37 52,26 64,58 B 53,85 40,77 43,95 62,27 62,27 44,55 75,08 KTK A B 17,54 10,78 23,18 28,66 19,96 22,52 43,44 18,32 33,49 18,32 22,02 28,71 37,01 35,56 KTK Liat A B 21,99 25,95 23,07 26,92 22,76 28,70 38,96 15,69 27,47 15,69 25,24 27,72 71,77 77,27 KB A 15,28 34,09 40,90 47,42 38,97 40,85 70,99 B 10,65 39,18 45,46 2,99 2,99 52,21 56,27 Tabel Lampiran 3. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim K.3/cT/C Antar LF KS 51,03 44,19 Liat A/B 60,41 63,59 pH A 1,86 16,55 B 3,05 15,09 C A 76,23 64,58 B 58,03 75,08 KTK A B 20,40 15,46 37,01 35,56 KTK Liat A B 110,28 80,17 71,77 77,27 KB A B 5,77 9,66 70,99 56,27 Tabel Lampiran 4. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim M.2.2/fK/A M.2.2/fK/B M.2.2/fK/C M.2.2 Antar LF KS 12,86 76,78 95,28 44,19 Liat A/B 28,96 28,96 63,59 pH A 5,66 10,67 12,23 16,55 B 2,52 2,52 15,09 C A 2,02 126,62 87,51 64,58 KTK B 15,82 15,82 75,08 A 3,60 18,93 18,70 37,01 B 15,40 15,40 35,56 KTK Liat A 1,02 29,05 28,00 71,77 B 16,30 16,30 77,27 KB A 39,84 57,55 53,51 70,99 B 38,38 38,38 56,27 89 Tabel Lampiran 5. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim KS Liat pH A 11,49 C KTK KTK Liat KB T.1.2.1/cT/A 39,76 A/B 4,65 B 10,75 A 8,51 B 16,04 A 19,05 B 15,77 A 34,75 B 38,05 A 7,81 B 5,87 T.1.2.1/cT/C 30,82 32,31 6,79 3,18 39,46 88,92 15,68 12,51 88,75 141,31 25,97 T.1.2.1/cT 42,02 23,87 11,49 11,87 27,99 60,26 26,50 30,02 87,35 141,66 21,15 31,21 33,95 T.1.2.1/fkT/A 3,34 0,27 2,71 9,20 43,35 56,40 20,91 33,48 18,96 31,82 2,40 19,84 T.1.2.1/fkT/C 83,07 79,99 6,65 8,31 50,76 45,03 32,67 21,60 77,30 38,83 6,53 5,34 T.1.2.1/fkT 74,92 72,89 8,19 8,45 49,91 44,75 33,98 33,76 73,69 35,82 6,39 19,79 T.1.2.1/fqT/A 72,28 - 9,87 - 3,07 - 90,42 - 0,72 - 100,03 T.1.2.1/fqT 72,28 - 9,87 - 3,07 - 90,42 - 0,72 - 100,03 - T.1.2.1/fT/C 67,47 37,43 10,83 0,00 67,75 88,87 27,97 57,74 36,83 47,06 45,24 0,00 - T.1.2.1/fT 67,47 37,43 10,83 0,00 67,75 88,87 27,97 57,74 36,83 47,06 45,24 0,00 T.1.2.1/kT/C 48,39 28,60 4,41 2,18 50,95 42,44 28,66 31,58 31,21 22,84 35,68 50,66 T.1.2.1/kT 48,39 28,60 4,41 2,18 50,95 42,44 28,66 31,58 31,21 22,84 35,68 50,66 T.1.2.1/qkT/C 61,01 20,38 6,84 2,81 19,09 23,11 63,19 78,89 16,04 37,10 60,97 75,80 T.1.2.1/qkT 61,01 20,38 6,84 2,81 19,09 23,11 63,19 78,89 16,04 37,10 60,97 75,80 T.1.2.1/qT/A - - - - - - - - - - - - T.1.2.1/qT/C 9,43 - 3,14 - 3,01 - 71,90 - 57,95 - 0,00 - T.1.2.1/qT 108,28 - 27,34 - 14,75 - 69,58 - 84,46 - 76,61 - T.121 Antar LF 67,33 44,19 45,54 63,59 14,43 16,55 13,14 15,09 43,45 64,58 53,13 75,08 42,31 37,01 42,74 35,56 73,31 71,77 128,60 77,27 51,77 70,99 62,19 56,27 Tabel Lampiran 6. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform V.33 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) LF/BI/Iklim V.3.3/aT/A V.3.3/aT/B V.3.3/aT V.3.3/dT/A V.3.3/gT/B V.33 Antar LF KS 49,44 52,34 51,11 51,56 44,19 Liat A/B 22,01 12,53 14,36 14,06 63,59 pH A 4,84 7,49 7,08 6,98 16,55 B 5,94 5,94 5,93 6,01 15,09 C A 64,15 41,96 47,18 45,84 64,58 B 63,47 71,86 69,62 68,67 75,08 KTK A B 27,61 28,60 33,86 37,34 34,77 37,03 41,31 41,22 37,01 35,56 KTK Liat A B 44,18 50,46 39,75 54,11 40,92 52,81 65,04 71,07 71,77 77,27 KB A B 40,22 34,87 25,18 21,69 28,62 25,86 29,88 27,41 70,99 56,27 90 Tabel Lampiran 7. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform KK (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 LREPP II A.111 A.1121 A.1122 A.1126 A.1127 A.1128* A.113 A.12 A.121 A.123** A.13 A.14 A.15 A.2 A.211** A.213 A.22 A.221 A.222 B.12* B.3 K.11** K.12 K.13** K.2 K.21* Tebal Solum 81,22 31,62 30,01 1,99 71,02 84,16 4,22 37,09 60,99 33,52 36,67 44,01 41,08 43,64 2,81 48,35 99,52 43,39 108,15 9,32 28,28 Liat A/B 8,25 47,35 8,13 24,73 41,52 5,60 54,81 26,05 32,84 15,17 19,45 35,88 34,34 17,43 17,31 16,80 6,24 7,96 - pH A 5,34 18,08 9,73 3,82 19,46 4,45 3,07 17,63 14,50 15,78 14,37 14,52 11,72 22,91 4,75 9,28 2,85 18,33 3,93 1,81 5,51 C B 6,45 14,40 4,55 0,30 19,79 4,22 13,36 13,11 14,06 14,72 17,58 10,10 14,99 2,30 4,85 18,52 13,73 1,61 - A 28,83 37,30 67,14 20,04 62,28 17,37 52,19 26,04 48,65 50,99 126,06 32,24 27,21 42,54 40,87 30,65 66,27 52,26 26,26 38,57 63,08 KTK B 34,68 40,58 60,97 38,44 29,97 54,04 56,02 22,72 44,70 69,92 44,62 39,26 37,11 12,25 40,30 44,55 18,42 18,48 - A 40,72 31,13 12,29 17,79 16,76 44,72 21,66 29,63 50,26 30,34 34,80 26,73 44,07 53,53 22,94 53,15 12,75 22,02 2,83 24,26 4,67 B 36,82 41,57 11,06 13,14 27,17 18,77 40,21 11,27 32,73 42,93 27,21 28,52 24,70 10,60 62,15 28,71 12,19 37,65 - KTK Liat A B 70,28 74,33 56,11 41,78 11,23 21,30 20,79 41,21 22,60 8,51 25,67 15,95 8,38 34,99 45,60 26,29 16,61 37,96 31,44 21,98 40,55 15,69 19,32 18,81 27,20 7,44 7,01 6,45 2,42 27,68 34,66 36,13 25,24 27,72 5,67 23,99 29,61 32,79 4,67 - KB A 15,31 58,66 15,84 36,82 75,91 32,21 5,24 44,68 66,15 35,51 57,42 10,29 27,48 67,06 9,81 43,52 50,89 40,85 14,57 14,75 24,89 B 12,96 76,05 47,66 32,61 47,22 40,41 31,56 58,85 37,66 60,53 1,56 22,77 57,27 3,68 63,79 52,21 48,24 25,01 - 91 Lanjutan Tabel Lampiran 7 KK (%) No. 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 LREPP II K.3 K.31** K.5** M.11* M.112** M.12* M.13* M.17 M.22 M.3** M.32 M.33** T.102** T.103 T.111 T.112 T.113 T.12** T.121 T.122 T.55 T.61 T.62 T.64 T.65 T.8 T.921 Tebal Solum 51,03 21,21 35,36 35,36 59,82 95,28 33,29 64,32 26,82 38,99 40,27 67,33 41,14 96,17 64,59 24,07 6,43 41,02 54,68 33,88 Liat A/B 60,41 9,62 28,96 3,54 26,56 41,93 19,87 40,57 45,54 33,80 32,45 36,24 39,58 32,37 26,66 pH A 1,86 1,29 15,71 1,75 3,91 12,23 5,97 16,78 20,67 22,71 28,48 14,43 2,15 2,93 11,29 0,92 3,93 4,79 12,69 3,55 C B 3,05 5,47 2,52 6,77 19,17 20,29 20,59 26,03 13,14 3,28 17,10 0,96 2,97 13,98 8,83 A 76,23 62,85 101,02 82,72 50,35 87,51 31,56 117,21 53,18 52,73 43,54 43,45 31,45 39,22 29,82 4,33 51,07 28,97 117,51 97,33 KTK B 58,03 12,24 15,82 50,21 25,40 52,33 87,23 56,77 53,13 29,57 37,32 15,46 28,91 74,13 40,40 A 20,40 59,53 35,15 54,36 51,08 18,70 20,11 37,92 87,84 80,36 63,38 42,31 24,76 75,23 45,19 0,74 35,83 34,89 40,87 29,33 B 15,46 7,17 15,40 19,87 25,67 119,20 97,45 57,54 42,74 24,07 48,66 45,34 44,74 34,66 34,40 KTK Liat A B 110,28 80,17 60,64 13,07 96,14 78,20 40,92 28,00 16,30 7,22 5,40 7,93 17,86 63,96 55,06 82,60 95,68 48,36 42,90 73,31 128,60 33,89 30,19 2,17 50,89 68,44 83,96 105,84 79,30 29,33 34,21 167,04 72,71 62,37 31,80 KB A 5,77 96,70 19,84 85,18 48,29 53,51 69,55 58,70 126,97 82,35 64,98 51,77 35,00 20,98 33,60 4,03 5,95 18,66 28,53 10,99 B 9,66 12,81 38,38 50,57 54,88 124,72 83,49 76,26 62,19 48,67 66,98 2,09 45,58 42,69 16,90 92 Lanjutan Tabel Lampiran 7 KK (%) No. LREPP Tebal Liat II Solum A/B A B A B A B A B A B pH C KTK KTK Liat KB 54 V.113 44,74 37,68 5,74 10,44 49,12 105,51 19,63 36,53 52,90 79,20 84,84 82,92 55 V.114 15,85 76,28 11,71 16,18 86,02 48,51 32,86 16,99 56,67 111,27 37,01 53,01 56 V.115 32,92 39,75 9,67 12,29 62,24 146,21 21,85 23,15 41,26 87,99 28,90 55,99 57 V.13 31,86 38,10 4,12 2,06 89,93 115,16 8,26 31,00 88,95 121,79 103,71 32,68 58 V.16 75,71 19,28 13,56 18,02 22,90 32,65 39,09 38,42 53,73 33,64 45,86 75,94 59 V.22 30,98 29,31 11,20 10,69 34,78 112,50 50,59 54,38 120,98 104,45 50,22 59,12 60 V.31 57,46 77,71 22,46 21,44 44,51 19,22 50,50 57,32 98,17 64,29 86,10 111,00 61 V.32 54,72 26,56 18,47 6,24 30,67 34,44 53,02 63,04 56,48 68,73 26,13 32,28 62 V.33 51,56 14,06 6,98 6,01 45,84 68,67 41,31 41,22 65,04 71,07 29,88 27,41 63 V.4 15,71 0,75 10,10 7,44 58,12 26,60 11,98 4,88 42,61 27,48 10,71 9,92 64 V.ngarai** - - - - - - - - - - - - 65 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27 Tanda (*) Menandakan landform tersebut hanya memiliki horison A pada pedon tanah pewakilnya Tanda (**) Menandakan landform tersebut hanya memiliki 1 pedon pewakil 93 Tabel Lampiran 8. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 Poligon Iklim BI 1 B 2 3 4 5 A B A A 6 7 8 9 10 A C C C C 11 C 12 C 13 14 15 C C C 16 17 18 C C C 19 20 21 22 C C B C 23 C 24 C 25 C 26 27 28 29 30 31 C C C C C C fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fK fqK fqK fK fqK fK fK fK fK fK fK fqK fK fK fK fK fqK fK fK fK fK fK fK fK fqK fK fK fqK fK fK fqK fqK fK fqK fK fK fK fqK fqK fK Order Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Entisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Vertisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol Vertisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Subgrup Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustept Haplustept Oxyaquic Haplustepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Typic Haplusterts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Fluventic Eutrudepts Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Typic Haplusteps Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Vertic Haplustepts Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustept Typic Haplustepts Fluventic Haplustepts Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Typic Haplusterts Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Sifat Penciri Taksa Jml Vertic, Aquic, Chroma Aquic, Vertic Aquic Aquic, Vertic Aquic, Plinthic KB tinggi, Aquic Aquic, Plinthic Ustic Ustic, Vertic Aquic Aquic, Vertic KB tinggi, Aquic Aquic, Vertic Ustic, Fluvial Aquic, Vertic Vertic, Ustic, Chroma Vertic, Ustic Vertic, Aquic Vertic, Ustic Ustic, Vertic Aquic, Vertic Vertic, Aquic Vertic, Aquic Aquic, Vertic KB tinggi, Fluvial Vertic, Aquic, Chroma Vertic, Aquic, Chroma Aquic, Vertic Vertic, ustic Aquic, Vertic Ustic, Aquic Aquic Aquic, dangkal Aquic, Vertic Ustic, Fluvial Ustic Aquic, dangkal Ustic, Fluvial Ustic, Vertic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic Aquic, Vertic Aquic, dangkal Aquic, Vertic Ustic Ustic, Fluvial Ustic, Aquic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic Ustic Ustic, Fluvial Vertic, Ustic, Chroma 1 5 1 1 1 1 6 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Tabel Lampiran 9. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K.3 Poligon Iklim BI 1 2 3 4 C C C C cT cT cT cT Order Mollisol Vetisol Mollisol Mollisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Subgrup Ustoll Argiustoll Lithic Argiustolls Ustert Haplustert Typic Haplusterts Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Sifat Penciri Taksa Mollic, Argirlik, Lithic Vertic, Ustic Mollic, Ustic, Lithic Mollic, Ustic Jml 1 1 1 1 94 Tabel Lampiran 10. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B.3 Poligon Iklim BI 1 A B fK fK Order Inceptisol Inceptisol 2 3 B C fqK fK fK Entisol Inceptisol Entisol Inceptisol Inceptisol 4 5 C C fK fK Inceptisol Vertisol 6 7 8 9 10 C C C C C fK fqK fK fK fqK Inceptisol Vertisol Inceptisol Vertisol Inceptisol Inceptisol C Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Subgrup Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquept Endoaquept Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts Fluvent Endofluvent Typic endofluvents Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts Ustept Haplustepts Fluventic haplustepts Ustept Haplustepts Aquic Haplustepts Aquert Endoaquert Sodic Endoaquerts Usterts Haplusterts Sodic Haplusterts Ustept Haplustepts Typic Haplustepts Usterts Haplusterts Typic Haplusterts Ustept Haplustepts Aquic Haplustepts Usterts Haplusterts Sodic Endoaquerts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Ustept Haplustepts Fluventic haplustepts Sifat Penciri Taksa Jml Aquic, Vertic Aquic, Sulfic Aquic Aquic, Vertic Recent, Fluvial Aquic, Vertic Aquic, Recent Aquic, Dangkal Aquic, Dangkal Aquic, Vertic Ustic, Fluvial Ustic, Aquic Vertic, Aquic, Sodic Vertic, Ustic, Sodic Ustic Vertic, Ustic Ustic, Aquic Vertic, Ustic, Sodic Aquic Ustic, Fluvial 1 1 2 4 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Tabel Lampiran 11. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M.2.2 Poligon Iklim BI 1 2 3 A A B C C fK fK fK fK fK 4 5 C C fK fK Order Entisol Entisol Entisol Entisol Inceptisol Entisol Inceptisol Entisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Aquent Endoaquent Aquent Endoaquent Aquent Endoaquent Aquent Endoaquent Aquepts Endoaquepts Aquent Endoaquent Aquepts Endoaquepts Aquent Fluvaquent Subgrup Typic Endoaquents Typic Endoaquents Typic Endoaquents Sulfic Endoaquents Aeric Endoaquepts Typic Endoaquents Typic Endoaquepts Typic Fluvaquents Sifat Penciri Taksa Jml Recent, Aquic Recent, Aquic Recent, Aquic Recent, Aquic, Sulfic Aquic, Dangkal Recent, Aquic Aquic Recent, Fluvial 1 1 1 1 3 1 1 1 Tabel Lampiran 12. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V.3.3 Poligon Iklim BI 1 A aT Order Mollisol A aT Inceptisol B B B B B B B A B B aT aT aT aT aT aT aT dT gT aT Inceptisol 2 Alfisol Inceptisol Inceptisol Alfisol Taksa yang berbeda Suborder Greatgroup Subgrup Udol Hapludoll Lithic Hapludolls Typic Hapludolls Ustept Haplustept Typic Haplustepts Udept Dystrudept Ustic Dystrudepts Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Oxiaquic Haplustepts Oxic Haplustepts Typic Haplustepts Ustalf Haplustalf Ultic Haplustalfs Oxiaquic Haplustalfs Typic Argiustolls Udept Eutrudept Typic Eutrudepts Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustalf Haplustalf Ultic Haplustalfs Sifat Penciri Taksa Jml Mollic, Udic, Lithic Mollic, Udic Ustic Udic, KB rendah Ustic, lithic Ustic, aquic Ustic, Oxic Ustic Argilik, KB tinggi, Ustic, Ultic Argilik, KB tinggi, Aquic Mollic, Ustic, Argilik Udic, KB tinggi Ustic Argilik, KB tinggi, Ustic, Ultic 1 2 1 3 1 1 1 21 4 1 1 1 1 1 95 Tabel Lampiran 13. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 Poligon Iklim BI 1 A 2 3 4 A C C cT fkT cT cT fkT 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 14 15 16 17 18 19 C C C C C C C C C C C C C C C C C C C fT kT cT fkT fkT fkT fkT qT qT fkT fT kT fkT kT fT kT kT qkT kT kT cT Order Mollisol Inceptisol Mollisol Vertisol Inceptisol Entisol Alfisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Mollisol Inceptisol Mollisol Entisol Entisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Entisol Inceptisol Entisol Inceptisol Inceptisol Mollisol Inceptisol Inceptisol Alfisol Suborder Udoll Udept Udoll Ustert Ustept Orthent Ustalf Ustept Ustept Ustol Ustol Ustept Ustol Orthent Psamment Ustept Ustept Ustoll Orthent Ustept Orthent Ustept Ustept Ustoll Ustept Ustept Ustalf C C A A A C C C C C cT kT fqT fqT qT kT qkT kT qkT kT Vertisol Inceptisol Ultisol Entisol Ultisol Inceptisol Mollisol Mollisol Entisol Inceptisol Ustert Ustept Udults Orthent Humult Ustept Ustoll Ustoll Orthent Ustept Taksa yang berbeda Greatgroup Hapludoll Eutrudept Hapludoll Haplustert Haplustept Ustorthent Haplustalf Haplustept Haplustept Haplustoll Argiustoll Haplustept Haplustoll Ustorthent Ustipsamment Haplustept Haplustept Haplustoll Ustorthent Haplustept Ustorthent Haplustept Haplustept Haplustoll Haplustept Haplustept Rodustalf Subgrup Lithic Hapludolls Typic Eutrudepts Lithic Hapludolls Calcic Hasplusterts Lithic Haplustepts Lithic Usthortents Typic Haplustalfs Vertic Haplustepts Vertic Haplustepts Lithic Haplustolls Typic Argiustolls Vertic Haplustepts Vertic Haplustolls Lithic Usthortents Typic Ustipsamments Typic Haplustepts Typic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Ustorthents Typic Haplustepts Lithic Ustorthents Lithic Haplustepts Vertic Haplustepts Typic Haplustolls Typic Haplustepts Typic Haplustepts Lithic Rodustalfs Haplustert Haplustept Hapludult Udoerthent Haplohumult Haplustept Haplustoll Haplustoll Ustorthent Haplustept Typic Haplusterts Typic Haplustepts Lithic Hapludults Typic Udorthents Typic Haplohumults Typic Haplustepts Lithic Haplustolls Typic Haplustolls Typic Ustorthents Vertic Haplustepts Sifat Penciri Taksa Jml Mollic, Udic, Lithic Udic, KB tinggi Mollic, Udic, Lithic Vertic, Ustic, Calcic Ustic, Lithic Recent, Lithic KB tinggi, Ustic Ustic, vertic Ustic, vertic Mollic, Ustic, Lithic Mollic, Argilik Ustic, vertic Mollic, ustic, vertic Recent, Ustic, Lithic Recent, Pasir, Ustic Ustic Ustic Mollic, ustic Recent, ustic Ustic Recent, Ustic, Lithic Ustic, Lithic Ustic, vertic Mollic, ustic Ustic Ustic KB tinggi, Ustic, Rodic, Lithic Vertic, Ustic Ustic Argilik, Udic, Lithic Recent, Udik Argilik, BO tinggi Ustic Mollic, Ustic, Lithic Mollic, ustic Recent, ustic Ustic, vertic 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1