0--joniasandr-708-1 - Digital Library UWP

advertisement
TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN
SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM
TERDAFTAR MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR
POKOK-POKOK AGRARIA DI INDONESIA
SKRIPSI
OLEH :
JONIAS ANDREAS SABAAT
NPM : 11120003
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2015
TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN
SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM
TERDAFTAR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR
POKOK – POKOK AGRARIA DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya
OLEH :
JONIAS ANDREAS SABAAT
NPM : 11120003
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
SURABAYA
2015
i
TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN
SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM
TERDAFTAR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR
POKOK – POKOK AGRARIA DI INDONESIA
NAMA
: JONIAS ANDREAS SABAAT
FAKULTAS
: HUKUM
JURUSAN
: ILMU HUKUM
NPM
: 11120003
DISETUJUI dan DITERIMA OLEH :
DOSEN PEMBIMBING
Dr. H. TAUFIQURAHMAN, S.H.,M.Hum
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan
LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi
syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
Surabaya, 1 Agustus 2015
Tim Penguji Skripsi Ini :
1. Ketua
: Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,MH
(
)
2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman, S.H.,M.Hum
(
)
3. Anggota
: 1. Andy Usmina Wijaya, S.H.,M.H
(
)
2. Febria Nur Kasimon, S.H.,M.H
(
)
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Baik.
Ayahanda Ibrahim Sabaat dan Ibunda Naomi Tanaeleli Sabaat.
Istriku Tercinta,
Devi Ariani.
Kedua Anakku Tersayang,
Jofanes De Jesus Sabaat Dan Krisna Ibrahim Sabaat.
iv
MOTTO :
“APAPUN HARUS KITA LAKUKAN DEMI TANAH MAGADHA“
RAJA ASHOKA INDIA
269 -232SM
v
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan dan melimpahkan segala sesuatunya kepada penulis
sehingga penulisan Skripsi dengan judul : “Tinjauan Hukum Penyelesaian
Sengketa Hak Milik Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Di Indonesia ” dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa
tanpa bantuan dari semua pihak, baik dalam bentuk bantuan moril spritual
maupun materiil, penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik
dan sempurna.
Dalam
kesempatan
ini,
dengan
segala
kerendahan
hati,
penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak H. Budi Endarto, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya
Putra Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya ;
2. Bapak
Dr. H. Taufiqqurahman, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Rektor
Universitas Wijaya Putra Surabayasekaligus sebagai Dosen Pembimbing,
atas bantuan dan jasanya memberikan banyak Ilmu Pengetahuan dengan
penuh kesabaran membimbing penulis melakukan penulisan skripsi ini
sehingga penulis bisa memahami Ilmu Hukum ;
vi
3. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya. Kritik dan saran serta pelayanan
akademik di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya dapat
terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya ;
4. Ibu Ani Purwati, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum
Universitas Wijaya Putra Surabaya atas segala nasehat dan kritik yang
diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas
Wijaya Putra Surabaya ;
5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum dan segenap staf pengajar di lingkungan
Universitas Wijaya Putra Surabaya atas waktu dan kesempatan yang telah
diberikan kepada penulis selama ini dalam bentuk sarana dan prasarana di
Universitas Wijaya Putra Surabaya ;
6. Ayahanda Ibrahim Sabaat dan Ibunda Naomi Tanaeleli Sabaat. Atas
semua doa dan cinta kasih sayang kalian berdua, penulis selalu bersemangat
untuk terus menimba Ilmu pengetahuan hingga saat ini ;
7. Pamanda Nitanel Tanaeleliatas dukungan dan doa yang telah diberikan
kepada penulis selama ini ;
8. Istri Devi Ariani dan kedua anak-anak ku tersayang Jofanes De Jesus
Sabaat,
Krisna
Ibrahim
Sabaatyang
telah
mencintai,
mengasihi,
menyayangi dan menemani penulis dalam suka maupun duka dalam
menempuh kehidupan selama ini dan menjadi kebanggaan penulis ;
9. Adik-adikku Markus Melkianus Sabaat, Melkiur SabaatdanOrpa Sabaat ;
10. Bapak Semi Toto, S.Hatas segala bentuk bantuan saran dan kritik yang
sifatnya membangun hingga penulisan skripsi ini bisa selesai tepat waktu ;
vii
11. Kakak Sepupu Erni Saluk, Nimrot Saluk, Yermias Saluk, Yuliana Saluk,
Simeon Saluk, Milkha Sabaat, Michael Sabaat, Yacob Sabaat, S.H,
Yuliana Sabaat, Maghdalena SabaatdanEklopas Sabaatatas dukungan
doa dan perhatian kepada penulis selama ini ;
12. Kakak Alumni Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya Ridwan
Obet Pandjaitan, S.H, Sulton Sulaiman, S.H, Husni, S.H dan Achmad
Soim, S.H. Kalian menginspirasi penulis untuk selalu menimba Ilmu
pengetahuan di bidang hukum ;
13. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra
Surabaya yang telah berjuang bersama dalam menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ;
14. Kepada pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah mendukung penulis dalam bentuk dukungan moril dan materiil
hingga penulisan skripsi ini bisa selesai ;
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu, segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat di harapkan sebagai bahan penelitian di masa yang akan
datang nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi
semua pihak khususnya kepada penulis dalam pengembangan ilmu hukum.
Surabaya, 10 Juli 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN .............................................................................
ii
HALAMAN TIM PENGUJI ............................................................................
iii
LEMBAR PERSEMBAHAN ..........................................................................
iv
MOTTO .........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
1.
Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
2.
Rumusan Masalah ...................................................................
15
3.
Penjelasan Judul ......................................................................
16
4.
Alasan Pemilihan Judul ............................................................
18
5.
Tujuan Penelitian .....................................................................
21
6.
Manfaat Penelitian ...................................................................
22
7.
Metode Penelitian ....................................................................
12
8.
Sistematika Pertanggungjawaban ............................................
23
BAB II PENGATURAN HUKUM WARIS TERHADAPHAK ATAS
TANAH WARISAN DI INDONESIA ...............................................
24
1.
Pengaturan Umum Tentang Hukum Waris Di Indonesia .......
24
2.
Pengertian Hukum Waris .........................................................
27
3.
Unsur-Unsur Dan Syarat Pewarisan ........................................
31
4.
Pengolongan Ahli Waris ............................... ..........................
31
ix
5.
Sebab Tidak Patut Menerima Warisan Dan Sikap Ahli
Waris Terhadap Harta Warisan ................................................
36
Upaya Peralihan Hak Atas Tanah Warisan Kepada Ahli
WarisMelalui Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah .................
39
7.
Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah ..........................................
41
8.
Prosedur Pendaftaran Hak Atas Tanah....................................
45
9.
Peralihan Hak Atas Tanah Akibat Pewarisan Kepada Ahli
Waris Atau Pihak Lainnya .......................................................
47
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN
YANG BELUM TERDAFTAR DALAM SISTEM HUKUM
DI INDONESIA ................................................................................
56
6.
1.
Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan
Yang Belum Terdaftar Di Indonesia .........................................
56
2.
3.
Tinjauan Hukum Pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum
Terdaftar...................................................................................
58
4.
Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan
Yang Belum Terdaftar...............................................................
62
Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar ....................................
69
Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Melalui Mediasi
/AlternatifPenyelesaian Sengketa (Non Litigasi) .....................
72
Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas
TanahWarisan Yang Belum Terdaftar Melalui Pengadilan
(Litigasi) ...................................................................................
82
BAB IV PENUTUP .......................................................................................
96
5.
6.
7.
1.
Kesimpulan ..............................................................................
96
2.
Saran .......................................................................................
98
DAFTAR BACAAN ......................................................................................
99
x
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mendapatkan pengakuan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah merupakan Negara
yang merdeka dan berdaulat penuh dari segala bentuk penjajahan yang ada.
Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, Indonesia
adalah merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari berbagai pulau-pulau
yang membentang dari Sabang hingga Merauke di mana susunan kehidupan
rakyatnya termasuk perekenomiannya hingga saat ini masih tetap lah
bercorak agraris dan masih tergantung pada penguasaan, pengolahan dan
pemanfaatan tanah di berbagai wilayah di Indonesia. Bumi, air dan ruang
angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi dan
peran yang sangat penting untuk membentuk dan membangun masyarakat
yang adil dan makmur sebagaimana yang di cita-citakan selama ini dan
merupakan sumber kekayaan nasional yang tidak ternilai harganya dan perlu
untuk di kembangkan pengolahan dan pemanfaatannya guna mewujudkan
kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jika hal ini di tinjau secara aklamasi, maka berarti bumi, air dan ruang
angkasa
dalam
wilayah
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
yang
kemerdekaannya di perjuangkan selama ini oleh bangsa sebagai keseluruhan
tanpa terkecuali menjadi hak mutlak pula dari Negara Indonesia. Jadi, tidak
semata-mata menjadi hak dan dari pemiliknya saja, dan tentunya hal-hal yang
menyangkut kebendaan yang di miliki oleh perorangan maupun badan hukum
yang sifatnya tidak bergerak (tanah) adalah merupakan salah satu bagian
1
yang tidak terpisahkan dalam setiap tata cara perolehannya serta pengaturan
hukumnya tetap berdasarkan kepada keputusan pemerintah/negara yang
sedang memerintah sebagai pemegang kekuasaan.
Kita ketahui bersama, bahwa tanah adalah merupakan tempat kita
berpijak dan menopang sebagian besar kehidupan kita. Bahkan bagi sebagian
rakyat Indonesia, tanah merupakan sumber hidup dan sering kali disebut
sebagai harta satu-satunya. Ungkapan “tanah saya“, bukan sekedar
bermakna sebagai arti kata-kata itu saja, tetapi seringkali berarti juga “nyawa
saya atau mungkin kebahagian saya“. Hal ini bisa di buktikan bahwa banyak
kita lihat dan dengar kisah-kisah sedih karena orang-orang kehilangan tanah
atau
tanahnya
terlibat
dalam
sengketa.
Banyak
macam-macam
hal
permasalahan yang terjadi dan menyangkut tanah mereka alami, bahkan ada
yang menjadi gila karena tanah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memberikan perbedaan
pengertian antara ”bumi” dan ”tanah”. Pengertian “bumi” dalam ketentuan
UUPA mendapat pengaturan dalam Pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa :
“dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air”. Ketentuan pasal tersebut di atas,
memberikan penjelasan tentang apa yang di maksud dengan istilah “bumi”,
yaitu meliputi permukaan bumi (yang kemudian di sebut dengan tanah) berikut
apa yang ada di bawahnya (tubuh bumi) serta yang berada di bawah air.
Selanjutnya pengertian “tanah” mendapat penjelasan dalam ketentuan Pasal
4 ayat (1) bahwa :
“atas dasar hak menguasai dari Negara, di tentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat di
2
berikan dan di punyai oleh orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama
dengan orang lain atau badan hukum”.
Dari ketentuan ini, yang di sebut tanah adalah permukaan bumi. Hak atas
tanah adalah hak atas permukaan bumi, sedangkan bumi meliputi tanah,
tubuh bumi dan berikut apa yang ada di bawahnya serta di bawah air.
Sejalan dengan itu semua, di Indonesia sendiri hingga saat ini, tanah
juga selalu berhubungan dan tidak terlepas dari adat kebiasaan yang di
terapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan,
bahwa hubungan yang terjalin selama ini selalu tergantung pada hubungan
manusia dengan tanah dalam hukum adat pula yang mempunyai hubungan
(kosmis magis-religius), artinya hubungan ini bukan antara individu dengan
tanah saja tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu
persekutuan hukum adat (rechtsgemeentschap) di dalam hubungan yang
menyangkut kepemilikan baik itu tanah milik negara, badan hukum, tanah
ulayat maupun dengan tanah perorangan tetap tidak bisa terlepas dari
ketentuan hukum adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakatnya
yang
di
harapkan
tidak menimbulkan
adanya
suatu
permasalahan/sengketa yang merugikan berbagai pihak yang berkepentingan
akan kepemilikan suatu hak atas tanah.
Terlepas dari semua yang telah di sebutkan di atas, ternyata
permasalahan-permasalahan/sengketa yang menyangkut tanah di tengahtengah masyarakat tetap saja banyak terjadi hingga saat ini. Sengketa tanah
yang sering timbul dalam kehidupan masyarakat antara lain disebabkan
adanya
perebutan
hak
atas
tanah
yang
mengakibatkan
rusaknya
keharmonisan hubungan sosial dan kasus-kasus yang menyangkut sengketa
di bidang pertanahan dapat dikatakan bahkan tidak pernah surut, malah justru
3
mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat di dalam kompleksitasnya
maupun kuantitasnya sesuai adanya dinamika di bidang ekonomi, sosial,
hukum dan politik.
Manusia sebagai mahkluk sosial, di dalam kehidupan bermasyarakat
sangat memerlukan adanya suatu interaksi antara satu dengan yang lain.
Interaksi-interaksi tersebut di wujudkan dalam bentuk komunikasi dan salah
satu maksud dan tujuannya adalah agar dapat terpenuhinya kebutuhan
masing-masing individu/orang. Ketika komunikasi terjadi di dalam kehidupan
masyarakat maka akan timbul suatu dampak positif maupun negatif. Dampak
positif terjadinya komunikasi adalah adanya persamaan persepsi/pandangan
sehingga dapat mewujudkan keinginan serta kebutuhan antar individu
tersebut sedangkan dampak negatifnya adalah ketika terjadi suatu perbedaan
persepsi/pandangan
maka
yang
muncul
adalah
suatu
perbenturan
persepsi/pandangan dan perbenturan persepsi/pandangan ini akan memicu
terjadinya sengketa dan hal ini juga berlaku dalam pemicu sengketa hak milik
atas tanah warisan di Indonesia.
Secara umum, harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan
aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh “Pewaris” dan berpindah kepada
para “Ahli Waris”. Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dapat berupa
2 (dua) hal yaitu harta benda (materiil) dan harta cita (non materiil). Harta
benda (materiil) merupakan harta peninggalan yang nyata ada yaitu berupa
hak-hak kebendaan, tagihan-tagihan, piutang-piutang, atau bahkan juga
utang-utang yang harus dibayarkan. Hak-hak kebendaan yang dimaksud
salah satu contohnya adalah hak milik atas tanah sedangkan harta cita
misalnya berupa jabatan atau hak cipta. Tanah warisan sendiri secara garis
4
besar adalah merupakan tanah yang hanya diperoleh melalui proses
pewarisan atau adanya kematian seseorang (pewaris) dan meninggalkan
sebidang tanah dari apa yang diperoleh dan dimilikinya semasa hidupnya
untuk diberikan kepada anak-anak, isteri dan keluarganya (ahli waris) yang
proses pemberiannya ditetapkan baik secara hukum nasional, hukum islam
maupun menggunakan hukum adat istiadat yang dianutnya. Pemberian
secara hukum tersebut dilandaskan berdasar adanya ketentuan sistem hukum
yang ada dan berlaku di Indonesia yaitu Hukum Nasional yang menggunakan
sistem Hukum Waris Perdata, Hukum Islam berdasarkan ketentuan Syariat
Islam sedangkan pemberian dengan menggunakan hukum adat istiadat di
dasarkan
pada
norma-norma
adat dan
kebiasaan
di
tengah-tengah
masyarakat di mana ia tinggal maupun berdasarkan norma-norma adat
kesukuan/budaya dari pada si pewaris maupun ahli waris.
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta akibatnya
bagi para ahli warisnya. Pewaris sendiri memiliki pengertian yaitu orang yang
meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan sedangkan ahli waris
adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan
kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya
Pewaris. Menurut pendapat yang di sampaikan oleh Effendi Perangin1 dalam
bukunya, hukum waris berlaku asas bahwa apabila seseorang meninggal
dunia, maka pada saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada
para ahli warisnya.
1
Effendi Perangin, Hukum Waris, Cetakan Kedua Belas, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, Hal.
8
5
Akan tetapi, walaupun telah ada hukum yang mengatur tentang masalah
pewarisan yang menyangkut tanah warisan sebagaimana yang disebutkan
dari ketiga sistem hukum tersebut di atas, tetap saja permasalahan tanah
warisan selalu ada dan hukum itu sendiri tidak kunjung bisa diterapkan
dengan maksimal di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya
dan khususnya oleh ahli waris. Berbagai macam permasalahan-permasalahan
hukum yang berkaitan dengan tanah warisan yang sering terjadi dari dahulu
hingga saat ini tidak terlepas dari penerapan dan pelaksaanaan hukum itu
sendiri. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat
tentang UUPA dan peraturan-peraturan sejenisnya yang mengatur tentang
tanah di Indonesia.
Di samping itu juga, permasalahan tanah warisan juga banyak terjadi
disebabkan karena terlalu banyak hukum adat istiadat yang diakui dan berlaku
di masyarakat, hal ini tentunya turut serta dan berperan penting menimbulkan
kebingungan hukum di tengah-tengah masyarakat karna hukum adat juga
memiliki kekuatan mendasar dalam hal menyangkut tanah dan salah satunya
adalah sistem hukum waris yang berlaku di sebagian daerah masih
berdasarkan pada ketentuan hukum adat istiadat yang hidup dan berkembang
di masyarakatnya.
Akan tetapi dari semua itu, akar permasalahan mendasar mengenai
tanah warisan yang lebih khusus lagi adalah disebabkan oleh adanya
pertikaian dan perselisihan di antara para ahli waris sendiri. Misalnya saja,
salah satu dari ahli waris melakukan perbuatan hukum yaitu telah menguasai
secara
sepihak,
mengalihkan,
menjaminkan,
menggadaikan
dan/atau
memperjual-belikan tanah warisan yang diperoleh dari pewaris tanpa
6
sepengetahuan dan persetujuan dari para ahli waris lainnya kepada pihak lain
dengan cara melakukan upaya rekayasa bohong dan mengaku akan
bertanggung jawab penuh dan bahkan ada pula yang sampai dialihkan
kepemilikannya kepada pemerintah karna adanya suatu program pemerintah
dalam hal pengadaan/pelepasan hak atas tanah dengan mendapatkan
sejumlah uang ganti rugi dari pemerintah dan uang tersebut dinikmati hanya
sendiri (salah satu ahli waris) saja. Hal ini tentunya menimbulkan kerugian
bagi para ahli waris lainnya dan juga bagi pihak yang telah membeli tanah
warisan tersebut di kemudian hari dan jika seandainya ahli waris lainnya
keberatan, pastinya akan menimbulkan tuntutan hukum bagi para pihak yang
telah menguasai tanah tersebut.
Tindakan-tindakan di luar kewenangan salah satu ahli waris tanpa
sepengetahuan dan persetujuan dari para ahli waris lainnya bisa saja
menimbulkan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku baik secara Pidana
maupun secara Perdata. Memang, sampai saat ini sebagian masyarakat
hanya mengenal hukum waris, yang mana pengertian hukum waris itu sendiri
hingga saat ini belum bisa diterima penuh oleh adat istiadat. Akan tetapi pada
prinsipnya, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan
harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat
bagi para ahli warisnya. Di Indonesia sendiri pada asasnya, menyangkut
mengenai pewarisan telah ditentukan bahwa hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat di
waris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal
sahnya seorang anak untuk menuntut supaya di nyatakan sebagai anak sah
7
dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum
kekeluargaan), di nyatakan oleh undang-undang di warisi oleh ahli warisnya.
Hal
ini
sebagaimana
disebutkan
dalam
ketentuan
Pasal
830
KUHPerdata, menyebutkan bahwa : “pewarisan hanya berlangsung karena
kematian“. Jadi, harta peninggalan baru terbuka bila si pewaris telah
meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.
Akan tetapi, hukum waris ini tetap saja berkaitan dengan hukum adat
sebagaimana adat dan kebiasaan si pewaris. Jika hal ini di cermati, maka hal
ini lah salah satu contoh yang menjadi masalah dalam sistem hukum
pertanahan dan pewarisan di Indonesia.
Kaitan hukum adat pada permasalahan-permasalahan tanah warisan
yang ada Indonesia sangat sering terjadi ketika status tanah di peroleh dan di
dapatkan dengan cara waris adat. Padahal kita mengerti bahwasannya,
hukum adat yang ada di Indonesia sangat banyak jenis dan berbeda-beda
pula satu sama lainnya di masing-masing daerah. Soerojo Wignjodipoero2,
dalam bukunya mengemukakan bahwa adat merupakan pencerminan dari
pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari
pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu,
maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang
satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru ketidak-samaan ini lah, kita akan
dapat mengatakan bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang
memberikan indentitas kepada bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban maupun cara penghidupan yang modern, ternyata
tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat,
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Keempat Belas,
Gunung Agung, Jakarta, 1995, Hal. 13
8
paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah bahwa
adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman,
sehingga adat itu menjadi kekal dan tetap segar. Oleh karena itu lah, hukum
adat merupakan salah satu sumber yang sangat penting untuk memperoleh
bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang nantinya di harapkan
dapat menuju unifikasi hukum yang terutama di laksanakan melalui perbuatan
peraturan perundang-undangan khususnya yang menyangkut tanah warisan.
Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa
Indonesia, perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga hukum baru agar
hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum
masyarakat karena di dalam Negara Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh
daerah-daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda, meski pun dasar
serta sifatnya adalah satu yaitu Ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, maka adat
bangsa Indonesia itu di katakan “Bhinneka” (berbeda-beda di daerah sukusuku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat
Keindonesiaannya). Jika hal ini dipahami lebih mendalam lagi, adat bangsa
Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” ini tidak pernah mati, melainkan selalu
berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam
evolusi mengikuti proses perkembangan peradaban bangsanya serta adat
istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat yang
merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita termasuk juga
dalam hal hukum waris yang objeknya adalah tanah warisan.
Sejalan dengan itu, kesadaran hukum nasional yang menyangkut
hukum warisan tanah adalah pada tempatnya yaitu hak-hak kebendaan
(warisan tanah) seharusnya tidak lagi di beda-bedakan antara hak pria dan
9
wanita dalam arti harus diperlakukan asas kesamaan hak. Akan tetapi,
apakah pemikiran demikian sudah dapat diterima oleh kerukunan hidup
masyarakat bangsa Indonesia yang sebagian besar berkediaman di desadesa. Selama kita masih dapat menerima pendapat bahwa hukum adalah
pencerminan dari alam pikiran masyarakat dan keadaan masyarakat itu
sendiri berbeda-beda alam pikiran dan kemasyarakatannya, maka untuk
dapat mewujudkan kesamaan hak dalam kebendaan di antara pria dan wanita
terkesan sukar diterapkan hingga sekarang ini.
Setiap manusia, bukan lah ibarat benda yang dapat diperbuat
sekehendak hati. Manusia tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya di
mana dia tinggal dan akan selalu berusaha untuk bisa menyesuaikan diri
dengan alam sekitarnya. Di samping itu, manusia adalah budak keyakinannya
dan manusia di Indonesia adalah diliputi oleh ajaran Ketuhanan Yang Maha
Esa. Jika dilakukan telaah lebih mendalam lagi mengenai hukum warisan
tanah, maka akan memerlukan suatu jawaban dari keyakinan sejauh mana
seseorang itu menjadi abdi dari Tuhannya. Sebagai contoh misalnya, yaitu
bila seseorang beragama Islam apa bila ia akan tergolong orang-orang yang
bertaqwa sebenar-benarnya taqwa, maka ia akan mematuhi ketentuan dari
Tuhannya. Di dalam hal pembagian warisan tanah adat bagi seorang Mu’min,
maka ia akan melaksanakan pembagian dengan berpatokan dua bagian untuk
pria dan sebagian untuk wanita.
Untuk sebagian besar masyarakat di Indonesia dalam hal ini, pada saat
ini berada pada garis demarkasi antara hukum Islam dan hukum adat, yang
mana hukum Islam itu pada sebagaian besar masyarakat Islam belum berlaku
sebagaimana mestinya. Di sebagian besar masyarakat kecuali di beberapa
10
daerah atau pada kelompok-kelompok terbatas, masih tetap berpegang pada
hukum waris tanah adat. Kemudian mengenai hukum waris tanah adat itu
sendiri terdapat sistem dan asas-asas hukum yang berbeda-beda pula.
Secara rinci, akar permasalahan hukum tanah warisan di Indonesia
sebenarnya tidak terlepas dari sistem hukum adat yang dianut oleh masingmasing masyarakat yang tersebar luas di wilayah Indonesia.
Dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan
kekeluargaan tidak menutup kemungkinan terjadi juga permasalahanpermasalahan yang berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri di
lingkungan hukum Perdata seperti masalah pembagian tanah warisan dan
pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan
keluarga mereka sendiri. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh
kekeluargaan tidak akan dapat memberikan jaminan dalam lingkungan
tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan suasana nyaman dan
tenteram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin
hari, semakin menuntut bagi siapa pun di tengah-tengah masyarakat untuk
selalu siap berkompetisi dalam meningkatkan taraf hidup rumah tangganya
sendiri.
Khusus mengenai sengketa tanah warisan, pada saat ini merupakan
masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih sudah menyangkut tentang
pembagian warisan tanah maupun pertikaian sengketa tanah warisan yang
belum terdaftar, karena umumnya warisan tanah mempunyai nilai ekonomis
dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan tanah dapat menimbulkan
kebahagian satu pihak dan di pihak lain dapat menimbulkan kesengsaran, apa
bila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan ketentuan yang
11
seharusnya di ikuti bersama. Kita ketahui bahwa hukum waris suatu golongan
masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu
sendiri, yaitu bahwa setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem
hukum waris sendiri-sendiri.
Sebagaimana dikemukan oleh Hilman Hadikusuma3, masyarakat
bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan
yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak
zaman dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Budha, Kristen
maupun
Islam.
Sistem
keturunan
yang
berbeda-beda
ini
nampak
pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem
keturunan itu dapat dibedakan dalam 3 (tiga) corak, yaitu sebagai berikut :
a.
SISTEM PATRILINIAL, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis
bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias,
Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian).
b.
SISTEM MATRILINIAL, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis
ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari
kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor).
c.
SISTEM PARENTAL atau BILATERAL, yaitu sistem keturunan yang di
tarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), di
mana kedudukan pria dan wanita tidak di bedakan di dalam pewarisan
(Aceh, Sumatra Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cetakan Ketujuh, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, Hal. 23
12
Dari hal ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, antara sistem keturunan
yang satu dengan yang lain di karenakan hubungan perkawinan dapat berlaku
bentuk campuran atau berganti-ganti diantara sistem Patrilinial dan Matrilinial
alternerend. Dengan catatan bahwa, di dalam perkembangannya di Indonesia
sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu
(Parental) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal
yang menyangkut kebendaan dan pewarisan.
Namun demikian, di sana sini terutama di kalangan masyarakat di
pedesaan masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan
dan kekerabatannya yang lama. Sistem keturunan ini berpengaruh dan
sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan. Di samping itu juga,
antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan.
Hukum warisan tanah mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas
Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa
Indonesia yang murni dalam berpikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan
hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan
mementingkan diri sendiri.
Akan tetapi dari itu semua, harta warisan menurut hukum adat tidak
merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan
yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan
kepentingan para warisnya. Harta warisan tidak boleh di jual sebagai
kesatuan dan uang penjualan itu lalu di bagi-bagikan kepada para waris
menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam Hukum Islam atau
Hukum Waris Barat. Melihat hal ini, maka sering terjadi ketidak-tahuan
masyarakat di berbagai daerah yang menyangkut tentang hak milik atas tanah
13
warisan karena hukum nasional sebagaimana yang telah ada yaitu UUPA dan
peraturan lainnya belum dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas
sepenuhnya di berbagai wilayah Indonesia yang menyangkut tentang hak
milik atas tanah warisan khususnya mengenai tanah warisan yang belum di
daftarkan.
Padahal, dalam penjelasan UUPA telah disebutkan pada pokoknya
tujuannya adalah :
1.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang
akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur ;
2. Meletakkan
dasar-dasar
untuk
mengadakan
kesatuan
dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan ;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya ;
Tetapi pada kenyataannya, telah terlihat dengan jelas bahwa tujuan-tujuan
peraturan perundang-undangan yang ada di Negara Kesatuan Republik
Indonesia hingga saat ini sebagaimana yang disebutkan di atas, masih belum
tercapai dengan baik dan memenuhi rasa keadilan serta adanya suatu
kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat khususnya yang menyangkut
tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar.
Jika diperhatikan dengan seksama, di Negara Indonesia pada
kenyataannya masih ditemukan bahwa pewaris biasanya lebih banyak
meninggalkan harta warisan berupa harta benda (materiil) dan harta tersebut
bisa berupa rumah, tanah, mobil, perhiasan dan lain sebagainya. Setiap
14
manusia pasti membeli suatu barang yang bersifat penting dan diantara
sejumlah harta benda yang didapatkan, rumah dan tanah adalah jauh lebih
penting dan berharga di bandingkan perhiasan, mobil maupun harta materiil
lainnya karena tanah memiliki hak yang jauh lebih sempurna.
Tanah sendiri memiliki tingkatan hak yang menentukan batas seseorang
mengelola dan memilikinya, tingkatan tersebut antara lain yaitu : Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Lahan, Hak Memungut Hasil
Hutan dan Hak-hak lainnya dan untuk mendapatkan hak-hak sebagaimana
yang disebutkan di atas, perlu adanya suatu proses pendaftaran hak
kepemilikan atas tanah yang di peroleh melalui pewarisan tersebut dan harus
sesuai dengan ketentuan UUPA yang salah satu aturannya adalah bahwa
pengaturan penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih di
arahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan,
administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah
dan lingkungan hidup sehingga ada kepastian hukum di bidang pertanahan
pada umumnya dapat tercapai dan terwujud di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia tanpa ada pengecualian sama sekali.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan kondisi obyektif sebagaimana telah diuraikan dalam latar
belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai berikut :
a. Bagaimana pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum
terdaftar sesuai dengan kebijakan hukum pertanahan di Indonesia ?
b. Bagaimanakah proses dan upaya penyelesaian sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan Undang-Undang Republik
15
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria di Indonesia ?
3. Penjelasan Judul
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk
kelangsungan hidup umat manusia dan hubungan manusia dengan tanah
bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan
sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Bagi bangsa Indonesia
tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan
nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat
abadi, maka dalam hal ini harus di kelola secara cermat pada masa sekarang
maupun untuk masa yang akan datang.
Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan
manusia, karena pastinya semua orang memerlukan tanah semasa hidup
sampai dengan meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola
perekonomian sebagian besar yang masih bercorak agraria. Tanah bagi
kehidupan manusia mengandung makna yang multi dimensional. Pertama,
adalah dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat
mendatangkan kesejahteraan. Kedua, adalah secara politis tanah dapat
menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan di masyarakat.
Ketiga adalah sebagai kapital budaya dapat menentukan tinggi rendahnya
status sosial pemiliknya dan yang Keempat adalah bahwa tanah bermakna
sakral karena pada akhir hayat semua orang akan kembali kepada tanah.
Adapun makna yang multi dimensional tersebut, ada kecenderungan
bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya melalui
cara apa pun apa bila hak-haknya telah di langgar oleh orang lain. Di samping
16
makna yang tersebut di atas, kenyataannya manusia pada zaman sekarang,
memiliki kecenderungan sifat “materialistis” (lebih mengutamakan kekayaan),
sehingga saling berebutan harta kekayaan sudah menjadi hal yang biasa dan
lazim untuk temukan di tengah-tengah masyarakat pada saat ini termasuk
yang berkaitan dengan pewarisan ditemukan bahwa setiap orang yang
merasa dekat dengan si pewaris akan mengklaim dan merasa mempunyai
bagian dari harta warisan walau pun telah jelas-jelas diatur mengenai siapa
saja orang-orang yang berhak mendapatkan bagian waris akan tetapi tetap
saja diupayakan berbagai cara agar dapat memperoleh harta warisan
tersebut.
Adanya sifat materialistis ini akan menutupi mata hati seseorang, maka
dari itu tak jarang seseorang/sebagian orang tidak lagi memperdulikan siapa
teman, kawan, musuh atau keluarga sekali pun demi mendapatkan bagian
dari harta warisan. Adanya tindakan salah atu ahli waris dengan cara
menguasai
secara
sepihak,
mengalihkan,
menggadaikan
dan/atau
memperjual-belikan tanah warisan yang di peroleh tanpa sepengetahuan dan
persetujuan dari ahli waris lainnya adalah merupakan salah satu pemicu dan
penyebab timbulnya sengketa tanah di Indonesia dan ini jelas-jelas
merupakan suatu momok tertentu yang menimbulkan banyak dampak negatif
yang sangat jelas-jelas akan merugikan banyak pihak tanpa terkecuali.
Hukum waris telah memuat peraturan hukum yang mengatur tentang
benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia untuk
dapat di terapkan dan di laksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku di
Indonesia serta di dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 dan 41 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah telah
17
disebutkan dengan jelas bahwa, di wajibkan kepada pemegang hak atas
tanah untuk mendaftarkan haknya (minta sertifikat) apabila terjadi atau akan
dilakukan peristiwa tertentu dan seseorang meninggal dunia, kalau ada yang
di tinggalkannya sebagai warisan maka ahli warisnya wajib meminta sertifikat
dalam waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya itu. Kalau ahli waris tidak
meminta sertifikat dalam tenggang waktu itu maka menurut ketentuan Pasal
41 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah,
maka ia (ahli waris) akan di ancam denda dan tentunya tidak bisa di alihkan
kepada pihak lain.
4. Alasan Pemilihan Judul
Sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan bagi suatu Negara
di Indonesia dibuktikan dengan telah diaturnya secara konstitusional dalam
ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Walaupun demikian, hak milik atas
tanah warisan yang belum terdaftar haruslah perlu dipertimbangkan dengan
seksama pengaturannya agar tidak terjadi sengketa tanah warisan pada di
masa kini, nanti dan yang akan datang. Adanya adat istiadat di setiap daerah
Indonesia, harus lah tetap di jaga dan di lestarikan sebagai bagian dari
kekayaan nasional yang tidak bisa di campur adukkan dengan Hukum Waris
menurut Hukum Islam maupun Hukum Waris Barat sebagaimana yang telah
terjadi selama ini akibat dari kurangnya pengaturan yang detail dan memiliki
kepastian dan keadilan bagi masyarakat yang lebih menggunakan hukum
Adat dalam masalah penyelesaian sengketa hak milik atas tanah warisan
yang belum terdaftar di Indonesia.
18
Hukum tentang pewarisan merupakan salah satu bagian yang paling
penting di antara seluruh hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini di
Indonesia di samping hukum perkawinan dan keluarga, karena hukum
pewarisan akan dapat menentukan dan mencerminkan bentuk hukum yang
berlaku dalam masyarakat luas dab hal ini disebabkan karena hukum
kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia
yaitu bahwa setiap manusia akan mengakhiri peristiwa hukum yang lazim dan
sudah menjadi kodrat hakiki setiap manusia yaitu meninggal dunia dan
dengan peristiwa meninggal dunia itu akan timbul hubungan hukum di
masyarakat yaitu masalah kewarisan yang di anut dan diterapkan.
Selama ini kita ketahui dengan jelas bahwa, harta warisan yang tidak
terbagi dapat di gadaikan jika keadaan sangat mendesak berdasarkan
persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat yang bersangkutan.
Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan di alihkan (di jual) oleh
waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat di antara para anggota
kerabat, agar tidak melanggar hak dalam kerukunan kekerabatan. Hukum
waris adat tidak mengenal asas “legitieme portie” atau bagian mutlak
sebagaimana Hukum Waris Barat di mana untuk para waris, telah ditentukan
hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al’quran Surah
An’Nisa.
Menurut Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagi-bagikan kepada
para waris sebagaimana disebutkan dalam alinea kedua dari ketentuan Pasal
1066 KUHPerdata atau juga menurut Hukum Islam. Akan tetapi, jika si waris
19
mempunyai kebutuhan atau kepentingan sedangkan ia berhak untuk
mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk
dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan
bermufakat dengan para ahli waris lainnya.
Masalah-masalah sengketa tanah khususnya tanah yang diperoleh dari
warisan di daerah-daerah di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak dan
sering terjadi hingga menimbulkan permusuhan, pertumpahan darah, dendam
pribadi dan keluarga antar ahli waris dengan ahli waris lainnya serta tidak
tertutup kemungkinan tanah warisan sebagaimana yang dimaksud juga belum
pernah di daftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional akan tetapi telah
dikuasai secara sepihak, dialihkan, digadaikan/dijaminkan bahkan telah
diperjual-belikan kepada pihak lain yang akhirnya pihak pembeli (atas nama di
surat-surat) juga mengalami kerugian karena objek tanah sengketa yang
jelas-jelas telah beralih nama menjadi miliknya selaku pembeli akhirnya di
gugat oleh ahli waris lainnya sewaktu-waktu di Pengadilan dan tidak tertutup
kemungkinan juga bahwa proses jual beli yang dilakukan selama ini
merupakan perbuatan melawan hukum karena proses peralihan kepemilikan
baik secara dijaminkan, digadaikan maupun jual beli yang pernah terjadi
sebelumnya, bisa dapat dibatalkan maupun mengandung rekayasa semata
antara penjual (ahli waris) dengan pihak ketiga (pembeli).
Maka berangkat dari sini lah, penulis mengambil penelitian yang di beri
judul yaitu : “Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah
Warisan Yang Belum Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria Di Indonesia”.
20
5. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu :
a. Untuk mengetahui pengertian dan pengaturan hukum tentang hak atas
tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan hukum yang
berlaku di Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum bagi seorang/sebagian
ahli waris yang menguasai secara sepihak, mengalihkan, menjaminkan,
mengadaikan dan/atau memperjual-belikan hak atas tanah warisan tanpa
persetujuan para ahli waris lainnya kepada pihak lainnya dan mengetahui
upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang
belum terdaftar menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia.
6. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Manfaat secara Teoritis, yakni untuk memenuhi salah satu persyaratan
pada studi tahap akhir guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Universitas Wijaya Putra Surabaya.
b. Manfaat secara Praktis, yakni penulis berupaya untuk menggali dan
menjelaskan mengenai perlindungan dan kepastian hukum terhadap
pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum dilakukan
pendaftaran, upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan hukum yang berIaku di
Indonesia dan untuk bahan masukan bagi mahasiswa/peneliti yang ingin
melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama serta
sebagai pelengkap informasi dan/atau bahan acuan maupun referensi bagi
21
semua pihak termasuk Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara yang berkaitan dengan permasalahan yang timbul sehubungan
dengan penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan di berbagai daerah
di Indonesia.
7. Metode Penelitian
Ilmu Hukum merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan yang
mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat perspektif dan terapan.
Sifat–sifat perspektif Ilmu Hukum merupakan suatu yang substansial dalam
ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh ilmu–ilmu yang
bukan ilmu hukum. Oleh sebab itu, jenis penelitian hukum pun jelas sangat
berbeda dengan penelitian non–hukum lainnya.
a. Tipe Penelitian
Pemilihan metode penelitian di sesuaikan dengan batasan ilmu hukum
yang akan di cari jawabannya tentang pengertian hak atas tanah warisan,
pengaturan tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar serta
upaya dan proses penyelesaian sengketa hak tanah warisan yang belum
terdaftar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Untuk dapat memberikan jawaban dan mentelaah isu hukum
tersebut, maka digunakan tipe “Penelitian Hukum Normatif”, yakni suatu
penelitian yang bertumpu pada telaah penelitian yuridis normatif atas
hukum positif dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam
penulisan penelitian ini.
b. Pendekatan Masalah
22
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang–undang,
yakni
pendekatan
dengan
melakukan
kajian
terhadap
peraturan
perundang–undangan yang berlaku dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pokok masalah yang di bahas. Di samping itu, dalam penelitian ini
juga
menggunakan
pendekatan
doktrin/konsep
yakni
dengan
memperhatikan, mempelajari dan memahami pendapat para ahli hukum
dalam karya–karya tulis ilmiah, misalnya buku–buku literatur, jurnal hukum,
makalah–makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet yang
berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam memberikan analisa
atas peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut.
c. Bahan Hukum
Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas
peraturan perundang–undangan dan peraturan–peraturan hukum lainnya
yang berlaku (Hukum Positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok
masalah yang dibahas, dengan tidak membatasi peraturan hukum yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karya-karya tulis ilmiah
para ahli hukum, makalah, jurnal hukum, internet dan sebagainya yang
berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
d. Langkah-langkah Penelitian
Adapun langkah–langkah penelitian ini, melalui beberapa tahap yaitu
sebagai berikut :
23
1. Tahap Pertama
Pada tahap pertama ini penulis memulai penelitian dengan mulai
menggumpulkan bahan–bahan hukum dan mengiventarisasi bahan
hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan dan media
lainnya seperti internet dan lain–lain. Kemudian bahan hukum di
klasifikasikan dengan cara memilih bahan hukum, dan di susun secara
sistematis agar mudah dibaca dan dipahami yang kemudian di lanjutkan
dengan berbagai penyempurnaan.
2. Tahap Kedua
Dalam tahap kedua ini dilakukan pemahaman dan mempelajari bahanbahan hukum dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu
metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiranpemikiran atau ketentuan yang bersifat umum untuk diterapkan pada
pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus.
3. Tahap Ketiga
Untuk sampai pada jawaban permasalahan, maka digunakan penafsiran
sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara
peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya, pasal
yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan.
8. Sistematika Pertanggung Jawaban
Untuk dapat memberikan gambaran secara garis besar masalah–
masalah dan penelitian, memudahkan pembahasan dan dapat memahami
permasalahan secara jelas, maka skripsi ini ditulis secara sistematis yakni di
bagi dalam 4 (empat) Bab dan Sub–Sub Bab yaitu sebagai berikut :
24
Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran tentang mengapa,
bagaimana dan untuk apa penelitian ini disusun. Oleh karena itu, dalam Bab
ini akan dipaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan
penting mengapa kajian ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan
merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, penjelasan
judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, uraian
tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah–langkah
dalam penelitian ini dapat dan bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya.
Sistematika pertanggungjawaban memberikan gambaran secara utuh tentang
penelitian.
Bab II Pengaturan Hukum Waris Terhadap Hak Atas Tanah Warisan Yang
Belum Terdaftar Dan Kaitannya Dengan Sistem Pewarisan Di Indonesia.
Dalam Bab ini membahas tentang pengaturan hukum waris pada umumnya,
pengertian hak atas tanah warisan, pengaturan hukum terhadap hak atas
tanah warisan yang belum terdaftar serta kaitannya dengan sistem hukum
pewarisan di Indonesia.
Bab III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Pada Bab ini membahas apa
itu hukum, fungsi hukum, tujuan hukum serta bagaimana fungsi dan tujuan
hukum dalam hal upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria di Indonesia.
Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas
bagian kesimpulan, kritik dan saran sebagai jawaban singkat dan lengkap
25
atas rumusan masalah serta bagian saran sebagai suatu sumbangan
pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan ke depan
atau wacana yang positif terhadap penjelasan tentang penyelesaian sengketa
hak atas tanah warisan yang belum terdaftar di Indonesia.
26
BAB II
PENGATURAN HUKUM WARIS TERHADAP HAK ATAS
TANAH WARISAN DI INDONESIA
1. Pengaturan Umum Tentang Hukum Waris Di Indonesia
Dari zaman dahulu hingga saat ini, hukum di Indonesia telah
menempatkan dirinya sebagai forum mendasar dan alat/instrumen untuk
menyelesaikan konflik-konflik yang ada yang mana konflik-konflik tersebut
sebagian besar masih selalu di dominasi oleh kepentingan-kepentingan yang
muncul di tengah-tengah masyarakat. Sebuah konflik yang terjadi, tidak dapat
di pisahkan dari masyarakat dan konflik akan selalu terjadi selama orangorang masih hidup di dunia serta akan selalu berkembang di tengah-tengah
masyarakat mengikuti zamannya khususnya yang menyangkut mengenai
konflik atau permasalahan harta peninggalan/pewarisan.
Untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia di masa
kini dan masa yang akan datang, dalam rangka membangun masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan dan berpedoman pada Pancasila dan UUD
1945, maka penyusunan hukum nasional diperlukan konsepsi-konsepsi dan
asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat di setiap daerah di Indonesia
juga dan hal ini bertujuan pada umumnya dalam rangka mengatasi
permasalahan-permasalahan yang menyangkut tanah di Indonesia khususnya
yang menyangkut tanah warisan. Adapun mengenai masalah yang berkaitan
dengan tanah warisan, merupakan sesuatu hal yang sangat aktual bagi
manusia di mana saja terutama dalam masa pembangunan saat ini.
Melihat hal ini, pengaturan mengenai hukum waris merupakan salah
satu pengaturan yang cukup rumit dan sering kita jumpai menjadi masalah
27
dalam kehidupan sehari-hari dalam struktur masyarakat dan sosial yang
majemuk di Indonesia, salah satu contohnya adalah mengenai pembagian
harta warisan seringkali menimbulkan konflik antara sanak saudara dan
keluarga yang kemudian berujung pada sengketa di Pengadilan. Nasikun4
mengemukakan dalam bukunya, bahwa struktur masyarakat Indonesia di
tandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh
kenyataan
adanya
perbedaan
suku
kesatuan-kesatuan
bangsa,
sosial
berdasarkan
perbedaan-perbedaan
agama,
perbedaanadat
serta
perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat
Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan
atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Hal ini tentunya memiliki dampak
yang secara langsung turut mempengaruhi hukum waris yang akan berlaku
dan menjadi acuan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia dalam hal
pewarisan.
Hukum yang menyangkut pewarisan adalah merupakan bagian dari
hukum keluarga yang pastinya akan memegang peranan sangat penting
dalam upaya menghindari konflik-konflik di tengah-tengah masyarakat dan
bahkan menentukan dan mencerminkan sistem maupun bentuk hukum yang
berlaku dalam suatu masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan
manusia karena kepastian yang pasti dihadapi oleh setiap manusia di dunia
ini, adalah adanya kepastian yang menyatakan bahwa semua manusia akan
meninggal dunia. Sewaktu ia hidup sebagai anggota masyarakat di sertai hak
4
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Cetakan Kesembilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Hal. 28
28
dan kewajiban terhadap orang, misalnya terhadap sanak saudara maupun
kepada orang lain yang ditinggalkan.
Apa bila terjadi suatu peristiwa yaitu meninggalnya seseorang, hal ini
merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban
seseorang yang meninggal dunia itu. Oleh karena itu, masalah pewarisan juga
akan menyangkut persoalan peralihan harta kekayaan dan ketentuanketentuan hukumnya sangat lah penting untuk bisa dimengerti dan dipahami
oleh setiap anggota masyarakat di Indonesia agar tercapai suatu ketertiban
dan kepastian di tengah-tengah masyarakat atau paling tidak dapat
mencengah terjadinya konflik yang menyangkut tentang harta peninggalan
atau pewarisan nantinya.
2. Pengertian Hukum Waris
Secara umum dapat di katakan bahwa, hukum waris adalah hukum
yang mengatur mengenai kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah
ia meninggal dunia dan mengatur mengenai tata cara berpindahnya harta
kekayaan tersebut kepada orang lain. Kematian seseorang sudah jelas tidak
melenyapkan perhubungan hukum tersebut sehingga dalam kenyataannya di
perlukan cara dan bagaimana hak dan kewajiban yang menyangkut harta
benda saat yang bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada
orang yang masih hidup. Karena itu lah, pada umumnya masyarakat
menghendaki adanya suatu peraturan yang menyangkut harta benda yang di
tinggalkan setelah ia meninggal dunia.
Adanya
keanekaragaman
mengenai
hukum
waris
di
Indonesia
sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat ditemukan pada ketentuan
29
hukum yang berlaku dan diterapkan oleh masyarakat mengenai hukum waris
di Indonesia yaitu antara lain :
1) Hukum Waris menurut ketentuan Waris Islam ;
2) Hukum Waris menurut ketentuan Perdata Barat ;
3) Hukum Adat menurut ketentuan Adat Istiadat ;
Melihat hal ini, tentunya pengertian hukum waris dari ketiganya pasti akan
berbeda-beda pula. Menurut Hukum Islam, pengertian hukum waris dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 171 hurut a Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam, yaitu
disebutkan bahwa :
“hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
kepemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian
masing-masing”.
Sedangkan dalam Hukum Perdata Barat, dijumpai mengenai Hukum Waris
merujuk pada ketentuan yang diatur dalam ketentuan KUHPerdata dan
pengaturannya dapat dijumpai dalam Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan
Pasal 1130 KUHPerdata.
Meski demikian, pengertian mengenai hukum waris itu sendiri tidak
dapat
di
jumpai pada
bunyi pasal-pasal yang mengaturnya
dalam
KUHPerdata tersebut. Akan tetapi, berbicara mengenai ketentuan Hukum
Waris Barat yang dimaksud adalah sebagaimana yang diatur dalam
KUHPerdata (BW) yang menganut sistem individual, bahwa harta peninggalan
pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Sedangkan menurut
ketentuan Hukum Adat, pengertian hukum waris sesungguhnya adalah hukum
penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.
30
3. Unsur-Unsur dan Syarat Pewarisan
Dalam ketentuan hukum di Indonesia, untuk terlaksananya proses
pewarisan yaitu beralihnya harta kekayaan (tanah warisan) orang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya, yang masih hidup diperlukan adanya 3
(tiga) unsur dan syarat pewarisan, yaitu sebagai berikut :
1) Pewaris yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta
peninggalan. Untuk dapat di kategorikan sebagai pewaris dia harus sudah
meninggal dunia dan kematiannya alamiah/wajar ;
2) Ahli waris yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya pewaris dan
ada hubungan kekerabatan atau ikatan perkawinan dan ahli waris harus
lah masih dalam keadaan hidup ;
3) Harta warisan/harta peninggalan yaitu apa-apa saja yang ditinggalkan oleh
pewaris dalam bentuk benda berwujud (yang bergerak maupun tidak
bergerak) maupun hak-hak (piutang, status, jabatan dan lain sebagainya).
Apabila salah satu unsur-unsur/syarat yang telah disebutkan di atas tidak
terpenuhi, maka tidak akan ada pewarisan seperti ada yang mempunyai harta
kekayaan cukup banyak, tetapi ia belum meninggal dunia, maka hartanya
belum bisa diwarisi oleh siapa pun atau dia sudah meninggal dunia, tetapi
tidak memiliki ahli waris seorang pun, maka pada dasarnya tidak akan terjadi
pewarisan.
4. Penggolongan Ahli Waris
Pada asasnya, yang dapat beralih pada ahli waris hanya hak dan
kewajiban di bidang hukum kekayaan saja yaitu bahwa ada hak dan
kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang atau tidak terletak di bidang
hukum kekayaan ternyata dapat diwariskan. Sebaliknya, ada hak dan
31
kewajiban yang termasuk dalam bidang hukum kekayaan, ternyata tidak dapat
diwariskan. Dalam hal ini, yang berhak mewaris pada dasarnya adalah
keluarga sedarah dengan pewaris mengingat pentingnya melindungi hak-hak
dari pada para ahli waris dari pihak lain yang mencoba menuntut dan
mengklaim mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan si pewaris.
Menurut ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata, harta peninggalan tidak boleh di
biarkan dalam keadaan terbagi dan setiap orang termasuk bayi yang baru
lahir, cakap untuk mewaris kecuali mereka yang dinyatakan tak patut mewaris
(Pasal 838 KUHPerdata). Sebelum terjadi penggolongan ahli waris, ada 2
(dua) cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :
1) Pewarisan secara Ab Intestato, yaitu Pewarisan menurut Undang-Undang ;
2) Pewarisan secara Testamentair, yaitu Pewarisan karena di tunjuk dalam
Surat Wasiat atau Testament ;
Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan di
mana hubungan daerah merupakan faktor penentu dalam hubungan
pewarisan antara pewaris dan ahli waris. Ada 2 (dua) cara mewaris
berdasarkan undang-undang (Ab Intestato) yaitu mewaris berdasarkan
Kedudukan Sendiri (Uit Eigen Hoofde) dan berdasarkan Penggantian (Bij
Plaatsverpulling).
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 5, menyatakan bahwa mewaris
berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde) disebut juga dengan
mewaris langsung. Ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk
mewaris berdasarkan haknya/kedudukannya sendiri. Dalam pewarisan
berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi
5
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan
Menurut Undang-Undang, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, Hal. 18
32
kepala. Mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan di mana ahli
waris mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang
telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan
penggantian, tempat ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan
penggantian tempat, mewaris pancang demi pancang (Pasal 852 ayat 2
KUHPerdata). Mewaris karena penggantian tempat diatur dalam ketentuan
Pasal 841 sampai dengan pasal 848 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal
841 KUHPerdata, disebutkan bahwa :
“Penggantian memberi hak kepada seseorang yang mengganti, untuk
bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang
yang diganti“.
Dalam ketentuan Pasal 841 KUHPerdata ini, dengan jelas mengatakan bahwa
memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak dari orang yang
meninggal dunia dan orang yang menggantikan tempat tersebut memperoleh
hak dari orang yang digantikannya.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, jika berbicara mengenai
hukum waris di Indonesia, maka sebenarnya akan berhadapan dengan 3
(tiga) macam sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini
yaitu :
1) Sistem Hukum Waris Perdata Barat yang diatur dalam KUHPerdata dan
berlaku untuk golongan keturunan Tionghoa dan Timur Asing ;
2) Sistem Hukum Waris Adat yang diatur berdasarkan pada hukum adat
masing-masing daerah dan berlaku bagi masyarakat pribumi yang berdiam
dan menundukkan diri diwilayah hukum adat tersebut ;
33
3) Sistem Hukum Waris Islam yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia
berdasarkan “mashab-mashab” yang terdapat dalam Hukum Islam dan
Komplikasi Hukum Islam ;
Sesuai ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris
adalah keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui serta
suami istri yang hidup terlama. Akan tetapi, penggolongan ahli waris
sebagaimana di kemukakan oleh Effendi Perangin6 dalam bukunya,
penggolongan ahli waris itu dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Golongan I meliputi :
a. Suami/Isteri yang hidup terlama ;
b. Anak ;
c. Keturunan anak ;
2) Golongan II meliputi :
a. Ayah dan Ibu ;
b. Saudara ;
c. Keturunan ;
3) Golongan III meliputi :
a. Kakek dan Nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu ;
b. Orang tua kakek dan nenek itu dan seterusnya ke atas ;
4) Golongan IV meliputi :
a. Paman dan Bibi dari pihak bapak maupun ibu ;
b. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam di hitung dari si
meninggal ;
6
Effendi Perangin, Op .Cit., Hal. 35
34
c. Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat
keenam dihitung dari si meninggal ;
Dari penggolongan waris diatas, ada beberapa ketentuan yang perlu di
perhatikan sehubungan penggolongan waris tersebut yaitu :
1) Jika tidak ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh
pada Negara ;
2) Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada
ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III, dan IV tidak menjadi
ahli waris ;
3) Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV
tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris
bersama-sama kalau mereka berlainan garis ;
4) Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui
sah dengan tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur ;
5) Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau
isteri, atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi
ketentuan dalam Pasal 859, warisan harus di bagi dalam 2 (dua) bagian
yang sama pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga
sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas dan satu bagian lagi sekalian
keluarga yang sama dalam garis ibu ;
Dari ketentuan ini, terlepas atau tidaknya penerapan penggolongan waris
yang berlaku di Indonesia tersebut, dalam hukum waris juga terdapat istilah
yang dikenal yaitu mewaris berdasarkan Wasiat.
Adapun mengenai pengertian wasiat sendiri diatur dalam ketentuan
Pasal 875 KUHPerdata yaitu :
35
“adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang
memuat pernyataan seorang tentang apa yang di kehendakinya akan
terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali
lagi”.
Hal ini terjadi disebabkan karena adanya kemungkinan bahwa suatu harta
peninggalan misalnya tanah, diwaris berdasarkan wasiat dan berdasar
undang-undang. Dengan surat wasiat, maka si pewaris dapat mengangkat
seseorang atau beberapa orang ahli waris dan pewaris dapat memberikan
sesuatu kepada seseorang atau beberapa orang ahli waris tersebut.
Melihat hal ini, pada praktek dan pelaksanaan dari wasiat di Indonesia
saat ini, tentu lah ada hal-hal yang menyimpang dan diabaikan dalam
prakteknya. Pewaris dengan surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuanketentuan yang termuat dalam undang-undang. Akan tetapi, para ahli waris
dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali di
kecualikan. Menurut ketentuan undang-undang, mereka dijamin dengan
adanya suatu “legitieme portie” (bagian mutlak). Pihak yang berhak atas
legitieme portie disebut dengan legitimaris.
5. Sebab Tidak Patut Menerima Warisan Dan Sikap Ahli Waris Terhadap
Harta Warisan
Dalam sistem hukum waris di Indonesia, baik itu yang menggunakan
Hukum Waris Perdata Barat, Hukum Islam maupun Hukum Waris Adat tidak
terlepas dari pilihan hukum (choice of law) atas persoalan kewarisan di
Indonesia proses pewarisan harus lah dengan menggunakan cara-cara yang
patut dalam hal menerima warisan maupun penentuan mengenai terhalang
untuk menjadi ahli waris. Dalam Hukum Islam, tidak patut menerima waris di
kenal dengan istilah “terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”.
Adapun yang dimaksud terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris
36
sebagaimana bunyi dalam ketentuan Pasal 171 huruf c Komplikasi Hukum
Islam (KHI), yaitu :
1) Ahli waris tidak beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
171 huruf c KHI yang menyatakan bahwa yang dapat menjadi ahli waris
adalah yang beragama Islam ;
2) Terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum
ahli waris tersebut karena di persalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat para pewaris (Pasal 173 huruf a KHI) ;
3) Terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum
ahli waris tersebut karena di persalahkan memfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (Pasal 173
huruf b KHI) ;
Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 838 KUHPerdata, mengatur tentang
orang-orang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig) sebagai berikut :
1) Orang yang telah di hukum karena membunuh atau mencoba membunuh
pewaris. Dalam hal ini, sudah ada keputusan Hakim, akan tetapi jika
sebelum keputusan hakim itu dijatuhkan, si pembunuh telah meninggal
dunia,
maka
ahli
warisnya
dapat
menggantikan
kedudukannya.
Pengampunan (grasi) tidak menghapuskan keadaan tidak patut mewaris ;
2) Orang yang dengan keputusan Hakim pernah di persalahkan memfitnah si
pewaris, berupa fitnah dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau
berat. Dalam hal ini, harus ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan bersalah karena memfitnah ;
37
3) Orang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk
membuat atau mencabut surat wasiatnya ;
4) Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat
si pewaris ;
Perlu di ketahui, bahwa apa yang disebutkan dalam nomor 3 (tiga) dan 4
(empat) jarang terjadi sebab surat wasiat di buat di depan Notaris dan akibat
dari tidak patut mewaris, maka warisan jatuh kepada ahli waris lainnya hal ini
sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 839 KUHPerdata bahwa :
“tiap-tiap waris yang tidak patut menjadi ahli waris wajib mengembalikan
segala hasil pendapatan yang dinikmatinya semenjak warisan terbuka”.
Hal ini berbeda dengan sistem Hukum Adat yang secara umum bahwa
seorang ahli waris dapat kehilangan hak mewaris jika ia :
1) Membunuh atau berusaha membunuh pewaris ;
2) Melakukan penganiayaan atau merugikan kehidupan pewaris ;
3) Menjatuhkan nama baik pewaris atau kerabat pewaris atau melakukan
perbuatan tercela ;
4) Murtad atau berpindah agama ;
Hak-hak ahli waris hanya dapat di pulihkan, jika pewaris atau ahli waris yang
lain memaafkannya sebelum atau pada waktu pelaksanaan pembagian waris.
Harta warisan seseorang yang meninggal dunia, menurut Hukum Adat
dan Hukum Islam yang beralih pada hakikatnya hanya sisa dari harta warisan
setelah dikurangi dengan utang-utang dari si peninggal warisan. Hal ini
berbeda dengan pengaturan menurut KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook), yang
beralih pada hakikatnya adalah semua harta warisan yang meliputi juga
utang-utang dari si peninggal warisan. Hukum waris menurut KUHPerdata
38
mempunyai sifat individual dan bilateral dan dasar pokok hukumnya adalah
dengan menggunakan pandangan individualistis.
Ketentuan
hukum
yang
bernafaskan
semangat
mengutamakan
kepentingan perorangan atas benda itu mudah menimbulkan sengketa antara
para ahli waris sepeninggal si pewaris, sebab pada hakikatnya peninggalan,
baik aktiva maupun pasiva beralih kepada ahli waris. Menurut ketentuan
dalam KUHPerdata yang diwarisi adalah aktiva dan pasiva sedangkan
menurut Hukum Islam dan Hukum Adat yang di warisi dikenal dengan isitilah
“Budel”. Budel adalah merupakan saldo atau apa dari kekayaan si meninggal
tersisa setelah dibayar semua utang dari si meninggal dan semua hibah
wasiat diberikan kepada yang berhak, jadi tidak mungkin yang diwaris itu
suatu minus.
Dengan adanya ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka para
waris itu dapat memilih satu di antara 3 (tiga) sikap terhadap harta warisan
yaitu sebagai berikut :
1) Menerima secara keseluruhan, jadi inklusif utang pewaris ;
2) Menerima dengan syarat : warisan diterima secara terperinci sedangkan
utangnya si pewaris akan dibayar berdasarkan harta benda yang di terima
si ahli waris ;
3) Menolak si waris atau tidak mau tahu tentang pengurusan/penyelesaian
warisan tersebut ;
6. Upaya Peralihan Hak Atas Tanah Warisan Kepada Ahli Waris Melalui
Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah
Adanya hak menguasai Negara, yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia
selaku pemegang kekuasaan sebagai landasan dasar dalam rangka untuk
39
mengatur, menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, maka disusun lah UUPA, yang
salah satu tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum berkaitan
dengan hak-hak atas tanah yang dipegang dan dikuasai oleh setiap
masyarakat di wilayah Indonesia. Hal ini secara tegas telah diatur dalam
ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa :
“untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.
Mengingat akan hal ini, sebagaimana diketahui bahwa tanah mempunyai ciri
khusus yang bersegi 2(dua) yaitu sebagai benda dan sumber daya alam.
Seperti halnya air dan udara, yang merupakan sumber daya alam karena
tidak dapat diciptakan oleh manusia.
Tanah akan menjadi benda berharga bila telah diusahakan manusia,
misalnya tanah pertanian atau dapat pula dikembangkan menjadi tanah
perkotaan yang pengembangannya dilakukan oleh pemerintah melalui
penyediaan prasarana yang akan meningkatkan nilai tanah. Menurut
pendapat yang dikemukakan oleh Djamanat Samosir7, tanah adalah
kebutuhan setiap manusia dan selalu berusaha untuk memilikinya, merupakan
kenyataan sekalipun ada juga yang tidak memiliki tanah. Setelah itu akan
tetap mempertahankannya apapun yang terjadi. Tanah dapat dimiliki siapa
saja, individu, masyarakat sebagai kelompok, atau badan hukum. Suatu ketika
tanah akan menjadi warisan atau aset perusahaan bahkan menjadi benda
keramat. Maka jelas lah, tanah mempunyai nilai ekonomi dan semakin banyak
7
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksitensi Dalam Dinamika Perkembangan
Hukum Di Indonesia, Cetakan Pertama, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, Hal. 98
40
permintaan dan kebutuhan akan tanah, maka semakin tinggi nilai tanah, juga
tidak dapat terhindar yang berakibat pada semakin tinggi konflik tanah.
Kebutuhan tanah yang bersifat pokok adalah tanah mempunyai
kedudukan yang tinggi bagi kehidupan manusia, sebagai tempat dilahirkan,
dibesarkan, membangun kehidupannya sebagai tempat tinggal, sebagai
sumber nafkah dan juga kalau sudah meninggal kemudian sebagai tempat
pemakaman (kuburan) dirinya. Hubungan yang bersifat ekonomi tersebut
ditunjukkan dalam semboyan orang Jawa yang mengatakan “sedhunuk
bathuk senyari bumi” (satu jengkal tanah pun akan tetap diperjuangkan meski
mengorbankan nyawa). Dari kenyataan ini, telah menunjukkan bahwa
kedudukan dan peranan tanah sangat lah berharga bagi setiap manusia
karena ketersediaan tanah yang ada terbatas sementara jumlah penduduk
yang semakin bertambah yang akhirnya mengakibatkan harga tanah
meningkat dengan cepat seiring perkembangan zaman.
Akan tetapi, kebutuhan pokok akan tanah tidak diimbangi dengan
adanya suatu bukti kepemilikan hak atas tanah yanhg diperoleh dan dikuasai
oleh setiap pemilik dan hal ini terlihat bahwa masih banyak masyarakat di
Indonesia yang tidak sama sekali/belum memiliki surat (bukti kepemilikan),
adanya surat kepemilikan (sertifikat ganda) dan perebutan tanah warisan oleh
para ahli waris. Maka untuk itu, diperlukan suatu upaya dalam mengatasi halhal ini, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam
bidang pertanahan/agraria di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
7. Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah
Seseorang yang memperoleh sebidang tanah, tentunya semasa ia
hidupnya telah memiliki dokumen (surat bukti kepemilikan tanah) mengenai
41
status kepemilikan tanahnya. Atau jika tidak, maka ia harus melakukan
permohonan kepada Negara melalui Pejabat Negara atau Kepala Adat. Pada
umumnya, jika tanah tersebut belum di lakukan pencatatan/pendaftaran sama
sekali, maka tanah tersebut mungkin berstatus Tanah Negara atau Tanah Hak
Pengelolaan. Tanah Negara ialah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.
Langsung dikuasai artinya, tidak ada hak pihak lain di atas tanah itu. Hal ini
berarti bahwa, jika di atas tanah itu tidak ada pihak tertentu (orang atau badan
hukum), maka tanah itu disebut tanah yang langsung dikuasai Negara. Kalau
di atas tanah itu ada pihak tertentu, maka tanah itu disebut sebagai tanah hak.
Hal ini menunjukkan bahwa, bukti kepemilikan memiliki kekuatan hukum
bagi Negara maupun kepada Orang ataupun Badan Hukum yang menguasai
tanah sebagaimana yang dimaksud di setiap wilayah daerah Indonesia.
Effendi Perangin8 menyebutkan bahwa, tanah hak itu juga dapat dikuasai
oleh Negara, tetapi penggunaannya tidak langsung sebab ada hak pihak
tertentu di atasnya. Bila hak tertentu itu kemudian hapus, maka tanah itu
menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara. Tanah yang ada sekarang ini
mungkin :
1) Sejak semula tanah Negara ;
2) Bekas tanah Partikelir ;
3) Bekas tanah Hak Barat ;
4) Bekas tanah Hak ;
Hak atas tanah memberi wewenang (hak) kepada setiap pemilik untuk
mempergunakan tanah sesuai dengan macam haknya. Akan tetapi,
8
Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Cetakan Kesatu, Rajawali Pers,
Jakarta, 1987, Hal. 4
42
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Terkait akan hal ini, hak-hak atas tanah yang terdapat di Indonesia
hingga saat ini pengaturannya masih diatur dalam ketentuan UUPA yang
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah yang dapat diberikan oleh Negara kepada setiap orang baik sendirisendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Hal ini sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 16 ayat 1 UUPA yang
menyebutkan bahwa :
”hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 4
ayat 1 ialah :
a. hak milik
b. hak guna usaha
c. hak guna bangunan
d. hak pakai
e. hak sewa
f. hak membuka tanah
g. hak memungut hasil hutan
h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan di tetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53”.
Adapun mengenai pengertian dari masing-masing hak tersebut di atas, jika
diuraikan, yaitu sebagai berikut :
1) Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah. (Pasal 20 ayat 1 UUPA) ;
2) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara, dalam jangka waktu guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan. (Pasal 28 ayat 1 UUPA) ;
3) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. (Pasal 35 ayat 1 UUPA) ;
43
4) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau pengolahan tanah segala sesuatu asal
tidak bertentangan dengan ketentuan UUPA. (Pasal 41 ayat 1 UUPA) ;
5) Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak seseorang atau badan hukum
apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai
sewa. (Pasal 44 ayat 1 UUPA) ;
6) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan adalah hak untuk
membuka tanah dan memungut hasil hutan yang hanya dapat dipunyai
oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dalam peraturan pemerintah dan
secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.
(Pasal 46 ayat 1 dan 2 UUPA) ;
7) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementara adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan
Hak Sewa Tanah Pertanian serta yang menyangkut tentang hak guna air,
pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa, hak-hak
tanah untuk keperluan suci dan sosial yang diatur dalam peraturan
pemerintah. (Pasal 47 – 49 UUPA ) ;
Dengan demikian, maka dengan adanya hak-hak sebagaimana disebutkan di
atas secara umum bertujuan untuk mempertegas bahwa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah
44
dan Hak Memungut Hasil Hutan adalah merupakan hak atas tanah yang
bersifat tetap sedangkan selain dari itu sifatnya adalah sementara serta untuk
mengetahui siapa sebenarnya yang sah berhak untuk memperoleh dan
menguasai sebidang tanah secara hukum.
8. Prosedur Pendaftaran Hak Atas Tanah
Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia menganut sistem pendaftaran
akta (registration of deeds) yang ketentuannya diatur dalam ketentuan
Overschrijvings Ordonnantie 1834-27. Akta atau surat perjanjian peralihan hak
atas tanah dilakukan di hadapan Overschrijvings Ambtenaar yang merupakan
pejabat pendaftaran tanah pada masa itu. Sebagai hasil dari pendaftaran
tersebut, kepada penerima hak di berikan “grosse akta” sebagai bukti
terjadinya peralihan hak tersebut. Setelah berlakunya UUPA, Indonesia
menganut sistem pendaftaran hak (registration of titles). Sistem pendaftaran
ini digunakan karena peralihan hak atas tanah di Indonesia sesuai dengan
hukum adat adalah bersifat nyata, terang dan tunai (kontant, concreet,
belevend en participarend denken).
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pendaftaran” berasal dari
suku kata “daftar” yang mendapat awalan pe-, sisipan –n dan akhiran –an
adalah pencatatan nama, alamat sebagainya dalam daftar : perihal mendaftar
mendaftarakan.
Rumusan
mengenai pendaftaran
tanah
diatur
dalam
ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa :
“Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
45
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya”.
Pendaftaran tanah merupakan persyaratan dalam upaya menata dan
mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah
termasuk untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan yang mungkin
terjadi
di
kemudian
hari
nantinya
yang
mana
pendaftaran
tanah
diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Adapun mengenai kegiatan pendaftaran tanah meliputi hal-hal yaitu
sebagai berikut :
1) Bidang fisik, yaitu termasuk pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang
menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat ukur ;
2) Bidang yuridis, yaitu termasuk pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan
hak dan pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain yaitu baik hak atas
tanah maupun jaminan serta beban-beban lainnya ;
3) Penerbitan surat tanda bukti hak yaitu Sertipikat ;
Sedangkan tujuan utama adanya ketentuan tentang pendaftaran tanah yang
penyelenggaraanya diperintahkan oleh ketentuan Pasal 19 UUPA dan
kemudian ditegaskan kembali dalam ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan suatu bentuk jaminan
kepastian hukum di bidang pertanahan. Kepastian hukum yang dapat dijamin
tersebut meliputi kepastian mengenai letak batas dan luas tanah, status tanah
dan orang yang berhak atas tanah dan pemberian surat berupa Sertipikat.
Secara garis besar, adapun mengenai tujuan pendaftaran tanah di tegaskan
dalam ketentuan Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
46
Tanah ada 3 (tiga) tujuan dari diadakannya pendaftaran tanah yaitu sebagai
berikut :
1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu, para pemegang hak di
berikan sertipikat hak atas tanah sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4
ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah).
2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk
menyajikan data tersebut, diselenggarakan oleh Kantor Badan Pertanahan
di masing-masing Kabupaten maupun Kotamadya.
3) Untuk terselenggaranya tata tertib administrasi pertanahan. Tata kelola
pendaftaran
tanah
dimaksudkan
untuk
adanya
penyelenggaraan
pendaftaran tanah secara baik dalam tata tertib administrasi di bidang
pertanahan sebagai daftar umum yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar
tanah, surat ukur buku tanah dan daftar nama pemilik hak atas tanah.
Dalam sistem pendaftaran hak atas tanah, setiap penciptaan Hak Baru dan
perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan, kemudian juga
harus dibuktikan dengan suatu Akta. Tetapi dalam penyelenggaraan
pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftarkan melainkan haknya yang
diciptakan dan perubahan-perubahannya yang terjadi kemudian. Akta hanya
merupakan sumber datanya dan sistem pendaftaran hak atas tanah tampak
47
dengan adanya dibuat suatu Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat
data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya
sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar.
Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali (Initial registration) dan pemeliharaan dalam pendaftaran tanah
(maintenance). Dalam prosedur pendaftaran tanah, sesuai ketentuan Pasal 9
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa :
“Obyek pendaftaran tanah meliputi :
a. bidang bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan dan hak pakai ;
b. tanah hak pengelolaan ;
c. tanah wakaf ;
d. hak milik atas satuan rumah susun ;
e. hak tanggungan ;
f. tanah Negara ;
Berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui 2(dua)
cara, yaitu pertama secara Sistematik dan yang kedua secara Sporadik.
1) Pendaftaran Tanah Secara Sistematik
Pendaftaran tanah secara sistematik dalam ketentuan Pasal 1 Angka 10
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang
meliputi semua obyek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah atau
bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara
sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada
suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di
wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria atau Kepala
Badan Pertanahan. Jika diuraikan, maka Pendaftaran Tanah Secara
48
Sistematik berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yaitu sebagai berikut :
a) Adanya rencana kerja oleh Menteri (Pasal 13 Ayat 2) ;
b) Pembentukan Panitia Ajudikasi (Pasal 8) ;
c) Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah secara Sporadik (Pasal 15
dan Pasal 16) ;
d) Penetapan batas bidang-bidang tanah (Pasal 17 dan Pasal19) ;
e) Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah (Pasal 20) ;
f) Pembuatan daftar tanah (Pasal 21) ;
g) Pembuatan surat ukur tanah (Pasal 22) ;
h) Pengumpulan dan penelitian data yuridis tentang tanah (Pasal 24 dan
Pasal 25) ;
i) Pengumuman hasil penelitian data yuridis dan hasil pengukuran tanah
(Pasal 26 dan Pasal 27) ;
j) Pengesahan hasil pengumuman (Pasal 28) ;
k) Pembukuan hak atas tanah dalam Buku Tanah (Pasal 29) ;
l) Penerbitan Sertipikat (Pasal 31) ;
Adapun mengenai tata cara dan prosedur Pendaftaran Tanah Secara
Sistematik dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, yaitu sebagai berikut :
a) Penetapan lokasi (Pasal 46) ;
b) Persiapan (Pasal 47) ;
c) Pembentukan Panitia Ajudikasi (Pasal 48 dan Pasal 51) ;
49
d) Penyelesaian permohonan yang ada saat dimulainya pendaftaran tanah
secara Sistematik (Pasal 55) ;
e) Penyuluhan (Pasal 56) ;
f) Pengumpulan data fisik (Pasal 57 dan Pasal 58) ;
g) Pengumpulan dan penelitian data yuridis (Pasal 59 dan Pasal 62) ;
h) Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis dan Pengesahannya (Pasal 63
dan Pasal 64) ;
i) Penegasan Konversi, Pengakuan Hak dan Pemberian Hak (Pasal 65 dan
Pasal 66) ;
j) Pembukuan Hak (Pasal 67) ;
k) Penerbitan Sertipikat (Pasal 69 dan Pasal 71) ;
2) Pendaftaran Tanah Secara Sporadik
Pengertian pendaftaran tanah secara Sporadik dalam ketentuan Pasal 1
angka 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah
kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau
beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah
suatu desa atau kelurahan secara Individual atau Massal. Pendaftaran
tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang
berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah
yang bersangkutan atau kuasanya. Prosedur Pendaftaran Tanah secara
Sporadik berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yaitu sebagai berikut :
a) Diajukan secara individual atau massal oleh pihak yang berkepentingan
(Pasal 13 ayat 4) ;
b) Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (Pasal 15 dan Pasal 16) ;
50
c) Penetapan Batas Bidang-Bidang Tanah (Pasal 17 dan Pasal 19) ;
d) Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dan Pembuatan Peta
Pendaftaran (Pasal 20) ;
e) Pembuatan Daftar Tanah (Pasal 21) ;
f) Pembuatan Surat Ukur (Pasal 22) ;
g) Pembuktian Hak Baru (Pasal 23) ;
h) Pembuktian Hak Lama (Pasal 24 dan Pasal 25) ;
i) Pengumuman Hasil Penelitian Yuridis dan Hasil Pengukuran (Pasal 26
dan Pasal 27) ;
j) Pengesahan Hasil Pengumuman (Pasal 28) ;
k) Pembukuan Hak (Pasal 29 dan Pasal 30) ;
l) Penerbitan Sertipikat (Pasal 31) ;
Sedangkan tata cara dan prosedur mengenai Pendaftaran Tanah Secara
Sporadik diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu
sebagai berikut :
a) Permohonan untuk dilakukan pengukuran bidang tanah ;
b) Pengukuran (Pasal 77 dan Pasal 81) ;
c) Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah (Pasal 82 dan Pasal
85) ;
d) Pengumuman data fisik serta data yuridis untuk 60 Hari (Pasal 86 dan
Pasal 87) ;
e) Penegasan Konversi dan Pengakuan Hak (Pasal 88) ;
f) Pembukuan Hak (Pasal 89 dan Pasal 90) ;
51
g) Penerbitan Sertipikat (Pasal 91 dan Pasal 93) ;
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan Sertipikat adalah merupakan surat
tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai
data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan
data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku
tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah).
9.
Peralihan Hak Atas Tanah Akibat Pewarisan Kepada Ahli Waris Atau
Pihak Lainnya
Pentingnya suatu jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau
peralihan hak atas tanah oleh seseorang yang diperoleh dari warisan
merupakan perpindahan suatu hak atas tanah dari pewaris (seseorang yang
telah meninggal dunia) kepada para ahli waris (masih hidup) yang sah dan
sesuai dengan ketentuan hukum yang dipergunakan baik itu menggunakan
sistem secara Hukum Islam, Hukum Perdata Barat maupun Hukum Adat.
Perpindahan hak atas tanah berarti subjek hak yaitu pewaris dan ahli waris,
sehingga perlu di laksanakan pendaftaran peralihan hak untuk mendapatkan
jaminan kepastian hukum tentang kepemilikan hak atas tanah yang menjadi
harta warisan yang didapatkan oleh para ahli waris.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, baik itu mengenai pendaftaran
hak atas tanah dan proses pelaksanaannya dalam hal ini khususnya
menyangkut mengenai pendaftaran hak atas tanah akibat pewarisan memiliki
kekhususan tersendiri dibandingkan pendaftaran hak atas tanah lainnya,
karena ketentuannya terdapat hal-hal yang mengatur tentang syarat-syarat
yang bisa secara sah menjadi ahli waris, hak dan kewajiban bagi para ahli
52
waris serta sanksi hukumnya bila perolehan harta warisan tidak didaftarkan
kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional. Peralihan hak atas tanah karena
pewarisan terjadi karena “Demi Hukum” yang artinya dengan telah
meninggalnya pewaris maka ahli waris yang sah memperoleh hak kepemilikan
atas harta dan kekayaan pewaris.
Pada umumnya, peralihan hak atas tanah warisan harus lah dibuktikan
terlebih dahulu melalui Surat Silsilah Keluarga, Data-data Kependudukan dan
Catatan Sipil (KTP/KK Pewaris dan Ahli Waris), Surat Kematian Pewaris,
Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Surat Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
Surat Keterangan Ganti Rugi, Surat Leter C, Petok D dan surat sejenis
lainnya) dan disertai dengan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh para
ahli waris dan diketahui atau disahkan oleh pejabat yang berwenang. Dengan
surat keterangan waris tersebut, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor
Badan Pertanahan Nasional setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang
pemegang hak yang baru yaitu atas nama ahli waris dan hal ini sangat
penting dilakukan agar ahli warisnya mempunyai kekuatan hukum dalam
bentuk permohonan.
Pemeliharan
data
pendaftaran
tanah
dilakukan
apabila
terjadi
perubahan pada data fisik dan data yuridis objek pendaftaran tanah yang
telah terdaftar dan pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan
perubahan sebagaimana dimaksud kepada Kantor Pertanahan (Pasal 36 PP
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). Hal ini dimaksudkan
untuk membedakan peralihan hak atas tanah yang telah terdaftar maupun
yang belum terdaftar di Kantor Pertanahan. Adapun mengenai peralihan hak
53
karena pewarisan, diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 PP Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa :
“untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang
tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun
sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah
warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan,
surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya
dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 42 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa :
“jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib
diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal
39 ayat 1 huruf (b)”.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan sangat penting dilakukan
karena bisa saja hak-hak yang dimiliki sebelumnya telah dihapus oleh Kepala
Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat
ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan (pewaris)
berdasarkan :
1) Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika
mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya ;
2) Salinan surat keputusan Pejabat yang berwenang, bahwa hak yang
bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut ;
3) Akta
yang menyatakan bahwa
hak-hak
yang bersangkutan
telah
dilepaskan oleh pemegang haknya ;
Hal ini sebagaimana menurut pendapat yang dikemukakan oleh Effendi
Perangin9, bahwa dalam sertifikat itu akan ditulis lebih dulu si pewaris
9
Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, Membeli, Mewarisi, Menyewakan Dan
Menjaminkan Tanah Secara Aman, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 39
54
pemegang hak. Setelah itu, baru lah nama-nama yang memperoleh tanah itu
dicantumkan sebagai pemegang hak setelah nama si pewaris dicoret.
Adapun mengenai peralihan hak atas tanah warisan setelah didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan, maka barulah kemudian dapat dilakukan
peralihan hak selanjutnya kepada pihak lain yaitu dengan cara dibagi terlebih
dahulu sebagai proses pembagian harta waris oleh para ahli waris baik
dengan cara menggunakan sistem pembagian waris Hukum Adat, Hukum
Islam maupun secara Hukum Perdata Barat atau langsung dilakukan proses
jual beli, ditukarkan, disewakan, digadaikan ataupun dijaminkan sebagai hak
tanggungan kepada pihak lain (Pembeli/Bank) dengan catatan dan syarat
bahwa, para ahli waris yang sah secara hukum harus mengetahui dan
menandatangani perbuatan hukum tersebut. Jika tidak, maka peralihan hak
atas tanah warisan yang dilakukan oleh 1 (satu) orang ahli waris saja tanpa
ada persetujuan dan sepengetahuan ahli waris lainnya yang sah kepada pihak
lain maka akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan secara hukum melalui
gugatan di Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya
peralihan hak kepada pihak ketiga lainnya tersebut.
55
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA
HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
1. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar Di Indonesia
Harta warisan merupakan bentuk harta yang dapat saja membuat orang
(ahli waris) menjadi kaya raya karena hal tersebut. Sebaliknya, orang atau
setiap manusia dapat menjadi miskin karena tidak mendapatkan harta warisan
tersebut dan bahkan dapat saja membuat setiap orang menjadi stres,
mengalami gangguan kejiwaan (gila) sampai meninggal dunia akibat tidak
mendapatkan harta warisan. Dalam hukum waris, pembagian harta warisan
yang di berikan kepada ahli waris dalam prosesnya dapat berlangsung tanpa
sengketa atau dengan sengketa. Pada prinsipnya setelah pelaksanaan
pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah. Musyawarah
dilakukan oleh keluarga secara internal untuk menentukan bagian masingmasing ahli waris atau melibatkan pihak ketiga sebagai pihak penengah
(mediator). Apabila secara musyawarah internal dan melalui pihak ketiga tidak
dapat menyelesaikan sengketa tersebut, maka sengketa akan dapat
diselesaikan melalui jalur Pengadilan (Litigasi).
Sejalan dengan itu, pada suatu tempat di mana terdapat masyarakat,
pasti terdapat suatu peradaban yang menggambarkan keadaan masyarakat
tertentu sehingga, di tempat tersebut akan berpotensi menimbulkan suatu
konflik. Konflik yang terjadi di suatu daerah akan memunculkan hukum untuk
menawarkan suatu penyelesaian atas sengketa tersebut. Salah satu sumber
obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia satu dengan
56
manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu
kemudian bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak
proporsional sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Sengketa menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau
konflik. Konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Pertentangan atau konflik
tersebut terjadi karena adanya suatu hubungan atau kepentingan yang sama
atas suatu objek kepemilikan (tanah warisan) yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lainnya dan tujuan seseorang (ahli waris)
dalam memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah yang
konkret dan memuaskan baginya.
Dalam ketentuan Pasal 19 UUPA, telah termuat dengan jelas bahwa
pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum
menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Kepastian hukum yang di
maksud tersebut adalah memberikan kepastian hak-hak atas tanah dengan
cara melakukan pendaftaran tanah. Seperti yang dikemukakan oleh Arie
Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D. Kolkman dan
Rafael Edy Bosko10 dalam bukunya, bahwa penyelenggaraan pendaftaran
tanah dapat menjamin kepastian hukum apabila memenuhi syarat ;
1) Peta-peta
kadastral
dapat
dipakai
rekonstruksi
dilapangan
dan
digambarkan batas yang sah ;
2) Menurut hak ;
3) Daftar ukur membuktikan pemegang hak terdaftar didalamnya sebagai
pemegang hak yang sah menurut hukum ;
10
Arie Sukanti Hutagalung., Dkk, Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia, Edisi
Pertama, Pustaka Larasan, Jakarta, 2012, Hal. 236
57
4) Setiap hak dan peralihannya harus didaftar ;
Setelah dilakukan proses pendaftaran tanah, maka akan diperoleh Sertipikat
yang merupakan salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu
yang mana didalamnya disebutkan dengan lengkap indentitas subjek pajak
yang bersangkutan dan keterangan secara rinci obyek haknya. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang namanya tercantum didalam
sertipikat adalah pemilik sah hak atas tanah yang bersangkutan.
2. Tinjauan Hukum Pengertian Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar
Di antara sekian banyaknya hak atas status kepemilikan tanah yang
dikenal di Indonesia baik berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil
Hutan dan hak-hak lainnya, maka Hak Milik adalah merupakan hak turun
temurun dan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling
kuat dibandingkan hak-hak atas tanah lainnya serta memiliki tanda bukti
berupa sertipikat atas hak milik tersebut. Untuk itu, diperlukan pemeliharaan
data oleh para ahli waris dan Kantor Pertanahan untuk menjaga hak tersebut
agar jangan sampai keliru dan dikuasai oleh pihak lain.
Pemeliharaan data tersebut karena hukum pada saat pemegang hak
sebelumnya meninggal dunia (pewaris) dan pada saat itu, para ahli waris
akan menjadi pemegang hak yang baru. Pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan diwajibkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada
para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah agar data
yang tersimpan dan disajikan kepada publik selalu menunjukkan keadaan
yang baru dan muktahir. Adapun mengenai surat tanda bukti sebagai ahli
58
waris yang sah secara hukum dapat berupa akta keterangan hak waris atau
surat penetapan ahli waris atau surat keterangan waris.
Mengenai tanda bukti peralihan hak karena pewarisan, di atur dalam
ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa :
“surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :
1) wasiat dari pewaris, atau
2) putusan pengadilan, atau
3) penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
4) - Bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli
waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan di saksikan 2 (dua) orang
saksi dan dikuatkan dengan Kepala Desa dan Camat dari tempat tinggal
pewaris pada waktu meninggal dunia ;
- Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa : akta keterangan
mewaris dari Notaris,
- Bagi warga negara Indonesia Timur Asing : surat keterangan ahli waris
dari Balai Harta Peninggalan”.
Dalam hal ini, pendaftaran hak karena pewarisan adalah merupakan suatu
bentuk peralihan hak yang harus kembali didaftarkan untuk membuktikan
bahwa ahli waris memiliki hak atas tanah pewaris sebagaimana disebutkan
dalam ketentuan Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Peralihan hak atas tanah karena pewarisan mengenai bidang tanah di
bagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu yang pertama adalah untuk pendaftaran
peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah
didaftarkan dan hak milik atas satuan rumah susun wajib diserahkan oleh
yang menerima hak sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan yaitu
sertipikat yang bersangkutan (pewaris), surat kematian orang pewaris, dan
surat tanda bukti keterangan waris (Pasal 42 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997
59
Tentang Pendaftaran Tanah). Sedangkan yang kedua adalah jika bidang
tanah yang merupakan ahli waris belum didaftarkan, wajib diserahkan juga
dokumen-dokumen (Pasal 42 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah).
Adapun yang dimaksud dokumen-dokumen tersebut adalah dokumen
yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang diwariskan itu
diperlukan karena pendaftaran peralihan haknya baru dapat dilakukan setelah
dilaksanakannya
proses
pendaftaran
untuk
pertama
kali
hak
yang
bersangkutan atas nama yang mewariskan dan Kantor Pertanahan akan
menerbitkan Sertipikat yang merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Untuk itu, sejak pewaris meninggal dunia, harus lah kemudian dilakukan
proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diperoleh para ahli waris
tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional baik itu Kantor Pertanahan
Kabupaten maupun Kotamadya untuk di lakukan pencatatan sebagai bentuk
upaya pemeliharaan data baik data fisik maupun data yuridis dalam rangka
mendapatkan kepastian hukum atas hak atas tanah yang diperoleh para ahli
waris dari pewaris sebagaimana yang dimaksud. Dengan demikian jika di
cermati, maka hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya hal ini adalah
merupakan kewajiban para ahli waris untuk melaksanakan peraturanperaturan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah sebelum melakukan
pembagian atau peralihan hak selanjutnya kepada pihak lain sebagaimana
yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 20 PP Nomor 10 Tahun 1961
60
Tentang Pendaftaran Tanah Juncto PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa 6 (enam) bulan setelah seseorang
meninggal (pewaris) para ahli warisnya wajib mendaftarkan terjadinya
peralihan hak atas tanah yang dipunyai oleh si meninggal (pewaris).
Selain itu juga, hal ini akan menunjukkan dengan jelas dan tegas bahwa
apapun status hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh pewaris semasa
hidupnya, baik itu berupa stasus hak atas tanah dalam bentuk Hak Milik, Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka
Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lainnya harus lah wajib untuk
di daftarkan peralihannya kepada Kantor Pertanahan dan hal ini dipertegas
sebagaimana dengan adanya ketentuan Pasal 61 ayat 3 PP Nomor 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa untuk
pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6
(enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya
pendaftaran.
Oleh karena itu, kelalaian yang dilakukan oleh para ahli waris jika tidak
melakukan pendaftaran hak atas tanah pewarisan, maka sanksinya adalah
denda terhitung sejak terlewatinya 6 (enam) bulan meninggalnya si pewaris
dan yang parahnya lagi, jika tidak didaftarkan maka bisa saja hak tersebut
dihapus misalnya karena adanya kesalahan dan kekeliruan dari Kantor
Pertanahan sewaktu pencatatan pendaftaran tanah dan untuk mencegah
adanya tindakan-tindakan salah satu ahli waris yang ingin menguasai secara
sepihak atau bisa saja tindakan-tindakan lain dari pihak ketiga lainnya yang
ingin menguasai tanah peninggalan si pewaris dengan alasan-alasan dan
bukti-bukti tertentu.
61
3. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar
Sengketa dalam pengertian yang luas adalah merupakan suatu hal yang
lumrah dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat terjadi pada saat dua
orang atau lebih berinteraksi pada suatu peristiwa/situasi dan mereka memiliki
persepsi,
kepentingan,
dan
keinginan
yang
berbeda
pada
setiap
peristiwa/situasi tersebut. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan
apabila dirasakan telah merugikan salah satu pihak dan terjadi konflik yang
berkepanjangan tanpa ada suatu penyelesaian. Pihak yang merasa dirugikan
akan menyampaikan rasa ketidak-puasannya kepada pihak kedua atau
kepada pihak ketiga lainnya. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan
memuaskan pihak pertama, maka selesai lah konflik tersebut. Tetapi, apabila
reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai
yang berbeda, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa.
Pengertian sengketa tanah termuat secara jelas diatur dalam ketentuan
yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999
Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan yang menyebutkan
bahwa :
1) “sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai :
a) keabsahan suatu hak ;
b) pemberian hak atas tanah ;
c) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan
tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan
instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional ;
2) pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa
mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu dan pihak
lain yang kepentingannya terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut
;”.
62
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh G. Kartasapoetra11, khusus bagi
pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai tanah yang telah
dibukukan, kepada Kantor Pendaftaran tanah oleh penerima waris harus
diserahkan Sertipikat hak atas tanah itu beserta surat wasiat atau kalau surat
itu tidak ada, maka cukup lah surat keterangan warisan dari Instansi yang
berwenang. Sertipikat tanah ini akan dikembalikan kepada pewaris atau ahli
waris, yaitu :
1) Di mana peralihan haknya telah dicatat dalam daftar Buku Tanah yang
bersangkutan dan pada Sertipikatnya ;
2) Setelah kepada Kantor Pendaftaran Tanah, disampaikan Surat Keterangan
tentang pelunasan pajak tanah sampai pada saat yang mewariskan itu
meninggal dunia ;
Dalam rangka penyelesaian sengketa tanah, pada umumnya terlebih
dahulu harus mengetahui penyebab-penyebab terjadinya masalah sengketa
pertanahan. Sengketa pertanahan disebabkan oleh :
1) Kepemilikan hak atas tanah atau penguasaan tanah yang tidak seimbang
dan tidak merata ;
2) Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non pertanian ;
3) Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah ;
4) Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas
tanah (hak ulayat) ;
5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah ;
11
G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan Di Indonesia, Cetakan Kedua, Rineka Cipta,
Jakarta, 1992, Hal. 96
63
Jika dilakukan suatu kesimpulan, maka sumber yang melakukan dan
penyebab sengketa tanah warisan yang belum terdaftar, antara lain yaitu
sebagai berikut :
1) Masyarakat (ahli waris) yaitu : Adanya perbuatan melawan hukum berupa
pemalsuan keterangan, salah lokasi, bukti kepemilikan tidak jelas dan
tanda batas tidak jelas ;
2) Kepala Desa : Adanya pemalsuan keterangan, keterangan waris keliru dan
keterangan kepemilikan salah ;
3) PPAT : Adanya pemalsuan Akta Jual Beli, luas bidang tanah salah, status
tanah tidak jelas dan batas kepemilikan keliru ;
4) Kantor Pelayanan Pajak : adanya penyimpangan wajib pajak, penetapan
wajib pajak keliru dan penetapan NJOP salah ;
5) Kantor Badan Pertanahan : Tidak tertibnya administrasi pertanahan,
kurang cermat dalam mengindentifikasi letak, batas dan tanda bukti alas
hak tanah ;
Sementara itu, khusus mengenai sengketa tanah warisan yang belum
terdaftar disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum, terdapat 2 (dua) hal
yang menjadi faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa hak atas
tanah warisan yang belum terdaftar yaitu sebagai berikut :
1) Faktor Hukum
a. Ahli waris belum cukup umur (belum cakap) untuk melakukan perbuatan
hukum, sehingga tanah warisan yang diterimanya harus dikuasakan
dulu sampai ahli waris cakap/mampu dalam melakukan perbuatan
hukum ;
64
b. Berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat dalam pendaftaran peralihan
hak atas tanah warisan tidak lengkap ;
c. Tanah warisan masih dalam sengketa atau sedang diperebutkan oleh
para ahli waris sehingga dalam jangka 6 (enam) bulan proses
pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan sama sekali tidak diurus
pendaftarannya ke Kantor Pertanahan ;
d. Tanah telah di kuasai oleh pihak ketiga lainnya dengan alasan bahwa
semasa
hidupnya
telah
dijual-belikan
oleh
pewaris
tanpa
sepengetahuan istri, anak-anak dan ahli waris lainnya ;
2) Faktor Non Hukum
a. Ekonomi atau Biaya
Keadaan ekonomi ahli waris yang masih di bawah garis kemiskinan dan
untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan
pandangan masyarakat (ahli waris) akan tertuju pada sejumlah biaya
yang akan dikeluarkan, biaya pendaftaran tanah di rasakan relatif
sangat mahal dan dalam hal ini biaya pendaftaran peralihan hak atas
tanah warisan tersebut mahal karena tergantung pada luas dan letak
atau lokasi tanahnya serta jumlah pajak yang harus dibayarkan ;
b. Pendidikan dan Ketidak-tahuan
Tingkat pendidikan dan ketidak-tahuan masyarakat akan pentingnya
pendaftaran tanah pada umumnya dan khususnya para ahli waris yang
masih rendah. Sehingga, mereka tidak mengetahui bagaimana besar
fungsi dan mamfaat mendaftarkan peralihan hak atas tanah warisannya
;
65
c. Sikap apatis dan menganggap remeh (tidak penting dan nanti saja) dari
pihak para ahli waris dalam melakukan proses pendaftaran peralihan
hak atas tanah warisan ke Kantor Pertanahan sehingga kepastian
hukum atas tanah warisan yang diperoleh tersebut menjadi tidak jelas
dan tidak diakui secara hukum.
Menurut pendapat yang disampaikan oleh Effendi Perangin12 dalam
bukunya, apabila hak atas tanah sudah pernah didaftarkan (dibukukan)
menurut peraturan lama yaitu sebelum PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah, maka kalau pemegang haknya hendak mengalihkan atau
membebani haknya, sertipikat hak itu harus keluar terlebih dahulu. Hal ini
timbul dari ketentuan Pasal 22 ayat 1 a PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa, PPAT wajib menolak membuat
akta bila kepadanya tidak diserahkan sertipikat. Kalau tidak diurus, akibat
praktisnya ialah bahwa tanah itu belum bisa dijual-belikan atau dibebani
hipotik/credietverband dan keadaannya sama dengan hak eigendom.
Di samping itu, proses transaksi tanah yang terjadi misalnya saja dalam
hal Jual Beli harus lah dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) untuk dibuatkan Akta Jual Beli agar bisa didaftarkan peralihan haknya
dari pihak Penjual kepada pihak pembeli dalam rangka untuk proses Balik
Nama status kepemilikan tanah dan perubahan data fisik dan data yuridis. Hal
ini bertujuan, agar ada suatu bentuk kepastian bukti kepemilikan hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dan salah satu contohnya adalah adanya
proses Jual Beli. Persetujuan Jual Beli sendiri menurut ketentuan UUPA,
12
Effendi Perangin, Praktek Pengurusan Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan Pertama,
Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 10
66
merupakan persetujuan konsensuil yang sama halnya dengan dalam
ketentuan pada KUHPerdata.
Sejak berlakunya UUPA, jual-beli benda tak bergerak (tanah) sudah
merupakan perbuatan hukum konsensuil yang telah sesuai dengan keputusan
Mahkamah Agung Tertanggal 8 Juni 1963 Nomor : 1001K/Sip/1963 yang
memberikan putusan dengan mendalilkan bahwa penyetoran uang harga
pembelian kepada suatu bank belum berarti bahwa pabrik yang dibeli,
seketika itu juga menjadi milik si Pembeli. Hal ini berdasarkan ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
yang menyebutkan bahwa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan
hak atas tanah harus dibuktikan dengan Akta yang dibuat oleh PPAT.
Secara umum, sifat permasalahan dari suatu sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar ada beberapa macam, yaitu antara lain sebagai
berikut :
1) Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang
belum ada haknya ;
2) Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan
sebagai dasar pemberian hak ;
3) Kekeliruan/kesalahan
pemberian
hak
yang
disebabkan
penerapan
peraturan yang kurang/tidak benar ;
4) Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis
(bersifat strategis) ;
67
Jadi jika dilihat dari substansinya, maka sengketa hak atas tanah warisan
yang belum terdaftar meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan hal-hal
yaitu :
1) Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah ;
2) Keabsahan suatu hak atas tanah ;
3) Prosedur pemberian hak atas tanah ; dan
4) Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya ;
Sedangkan secara khusus, masalah yang akan terjadi jika hak atas
tanah warisan yang diperoleh ahli waris dari pewaris apabila tidak didaftarkan
dapat menimbulkan masalah baru, yaitu antara lain sebagai berikut :
1) Terbitnya Sertipikat Ganda ;
Sertipikat Ganda yaitu 2 (dua) buah sertipikat atau lebih di mana obyek
tanahnya sebagian atau seluruhnya sama, tetapi data subyeknya bisa
sama atau bisa juga berlainan.
2) Munculnya Sertifikat Palsu ;
Sertipikat Palsu yaitu sertipikat yang data pembuatan sertipikatnya palsu
atau dipalsukan atau tanda tangan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten/Kotamadya dipalsukan maupun “blangko” yang dipergunakan
pada sertipikat adalah blangko palsu dan bukan “blangko” yang dikeluarkan
Badan Pertanahan Nasional.
3) Konversi Hak Cacat Hukum ;
Konversi Hak Cacat Hukum yaitu perubahan hak dari yang lama kepada
penerima hak yang baru tidak sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu
perubahan hak sebagaimana aturan hukum yang berlaku.
68
4) Peralihan Hak Pewarisan Cacat Hukum dan Cacat Administrasi ;
Peralihan Hak Pewarisan Cacat Hukum dan Cacat Administrasi yaitu
peralihan hak atas tanah warisan tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan
hukum yang berlaku serta dokumen-dokumen sebagai syarat yang
diperlukan dalam proses peralihan hak tersebut tidak sah dalam
administrasi pemerintahan.
5) Permohonan Pemblokiran/Skorsing ;
Permohonan pemblokiran/skorsing yaitu adanya permohonan yang di
lakukan oleh salah satu ahli waris atau pihak lain (Bank) kepada Kantor
Pertanahan agar sertipikat untuk sementara di blokir/skors karena masih
dalam sengketa dengan para ahli waris atau pihak ketiga lainnya maupun
dalam hak atas tanah warisan tersebut terikat Hak Tanggungan dengan
pihak Bank.
4. Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan
Yang Belum Terdaftar
Tak dapat di pungkiri, konflik yang menyangkut tanah di Indonesia
selama ini amat lah tinggi intensitasnya. Ini bisa terlihat dari banyaknya
perkara sengketa tanah yang ada di Pengadilan maupun yang diselesaikan di
luar Pengadilan khususnya menyangkut tanah warisan yang belum terdaftar
pada Kantor Pertanahan. Bahkan, ada pula yang tidak diselesaikan sama
sekali atau penyelesaiannya lewat tindakan anarkis berunsur tindak pidana.
Sengketa tanah itu tak hanya menyangkut soal sebagai harta kekayaan saja,
melainkan juga tanah sebagai objek hukum dan fungsi sosial yang memiliki
nilai-nilai yang sangat dihormati oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia.
69
Adanya tindakan-tindakan dari salah satu ahli waris yang telah
melakukan suatu perbuatan hukum dengan cara telah menguasai secara
sepihak, memperjual belikan, menukarkan dan menjaminkan hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar tanpa persetujuan dan sepengetahuan ahli waris
lainnya sangat dimungkinkan sering terjadi karena adanya kepentingankepentingan
pribadi
yang
sifatnya
mendasar
sehingga
akhirnya
melakukannya. Padahal sebenarnya, harta peninggalan pewaris tersebut
seharusnya terlebih dahulu dilakukan pendaftaran peralihan hak karena
pewarisan kepada semua ahli waris dan baru lah dapat dijual, ditukar atau
dijaminkan kepada pihak lainnya atau dilakukan pembagian bersama antara
para ahli waris lalu bisa kemudian dapat dilakukan perbuatan hukum lainnya.
Hal ini sangat penting dan berkaitan sebagaimana pendapat yang
dikemukakan oleh John Salindeho13 dalam bukunya bahwa, beralihnya suatu
hak dapat terjadi “bukan” karena suatu “perbuatan hukum”, melainkan sebagai
suatu “peristiwa hukum” atau “akibat hukum”. Di sini tidak ada unsur “sengaja”
didalam hubungan dengan suatu perbuatan. Misalnya seseorang yang
meninggal dunia, maka sebagai “peristiwa hukum” almarhum meninggalkan
warisan yang tanpa suatu perbuatan hukum, mengakibatkan “haknya beralih”
atas suatu bidang tanah yang dihinggapi misalnya Hak Milik kepada isteri dan
anaknya. Meninggalnya seseorang itu adalah suatu peristiwa hukum, bahkan
suatu hal yang berada di luar kuasa manusia. Jadi tidak ada unsur “sengaja”
di dalamnya. Apa yang ada padanya “beralih” kepada yang berhak memiliki
sebagai waris, bukan “dialihkan”.
13
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,
Jakarta, 1987, Hal. 38
70
Namun terkait hal ini, mengingat sistem pendaftaran peralihan hak atas
tanah pewarisan yang digunakan selama ini di Indonesia adalah sistem
negatif, yaitu dengan berdasarkan bukti-bukti kepemilikan tanah tanpa ada
pengujian secara materiil, maka hak kepemilikannya masih mengandung
ketidak-pastian hukum karena kebenaran datanya tidak dijamin sepenuhnya
oleh pemerintah sehingga sewaktu-waktu bisa saja dapat dipersoalkan oleh
orang lain bahkan dapat diperkarakan pada lembaga-lembaga peradilan
dengan hasil kesimpulannya adalah bahwa sengketa tanah warisan yang
belum terdaftar yang merupakan produk pendaftaran tanah akan mempunyai
kepastian dan kekuatan hukum setelah memperoleh putusan hakim pada
Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkcraht).
Adapun putusan umumnya menyatakan bahwa, hak atas tanah warisan
haruslah dilakukan pendaftaran peralihan hak oleh para ahli waris terlebih
dahulu dan kemudian diterbitkan sertipikat atas nama ahli waris secara sah
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh Kantor
pertanahan kemudian baru lah bisa dilakukan peralihan hak (dijual) kepada
pihak ketiga lainnya dengan catatan harus mendapatkan persetujuan dan
sepengetahuan semua para ahli waris lainnya yang sah. Dengan demikian,
maka pada hakikatnya kasus sengketa tanah warisan yang belum terdaftar
merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan
antara ahli waris dengan ahli waris lainnya, ahli waris dengan perorangan
(pihak pembeli), ahli waris dengan Badan Hukum dan ahli waris dengan
Lembaga Instansi Pemerintahan dalam hal status hak atas tanah warisan
yang belum terdaftar di mana sesuai ketentuan peraturan yang ada di
71
Indonesia, apapun bentuk status kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan
pendaftaran peralihan hak dari pewaris kepada ahli warisnya di Kantor
Pertanahan terlebih dahulu untuk adanya kepastian hukum bagi para pihak
yang berhak mendapatkan harta warisan tersebut.
Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa adalah
bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang
disengketakan tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum
terhadap sengketa tanah warisan yang belum terdaftar tersebut tergantung
dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan
beberapa tahap tertentu dan pilihan hukum dalam proses penyelesaiannya
baik menggunakan melalui cara Litigasi (pengadilan) maupun Non Litigasi (di
luar pengadilan) sebelum di peroleh suatu keputusan atas penyelesaian
sengketa tanah warisan yang belum terdaftar tersebut.
5. Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang
Belum Terdaftar Melalui Mediasi/Alternatif Penyelesaian Sengketa (Non
Litigasi)
Setelah terjadinya proses reformasi di segala bidang yang di kehendaki
oleh rakyat, ada kecenderungan masyarakat semakin menyadari hak dan
kewajibannya. Salah satu akibatnya ialah tuntutan masyarakat yang merasa
hak keperdataannya di abaikan selama ini dan hal ini secara signifikan
berpengaruh terhadap peningkatan masalah pertanahan di Indonesia diajukan
oleh masyarakat dengan kata lain bahwa penyelesaian sengketa tanah yang
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya yang menyangkut
sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar, hingga saat ini masih
menjadi dilema di tengah-tengah masyarakat karena penyelesaian yang tepat
72
dan bisa memberikan suatu bentuk kepastian hukum belum bisa diupayakan
dan diwujudkan dengan maksimal.
Salah satu contoh nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah
mengenai tindakan salah satu ahli waris yang telah melakukan perbuatan
hukum yang sifatnya perdata dan pidana yang merugikan pihak ahli waris
lainnya di mana salah satu/sebagian ahli waris telah menjual, menukar dan
bahkan menjaminkan tanah warisan yang belum didaftarkan peralihan haknya
kepada
pihak
ketiga
lainnya
(Pembeli/Bank) tanpa
persetujuan
dan
sepengetahuan ahli waris lainnya dan kemudian ahli waris lainnya keberatan
dan melakukan tuntutan hukum baik kepada salah satu/sebagian ahli waris
yang telah menjual, menukar dan menjaminkan tanah warisan tersebut serta
pihak ketiga lainnya juga turut ikut serta terlibat dan dituntut secara hukum
baik secara pidana maupun perdata.
Penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar
memang bisa diselesaikan melalui Pengadilan (Litigasi). Namun, pada saat ini
melihat fenomena yang ada, upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan
oleh masyarakat dirasakan masih banyak sekali mengandung kekurangankekurangan antara lain sebagai berikut :
1)
Pengadilan sudah sarat beban ;
2)
Prosedur dan proses sangat birokratis ;
3)
Butuh waktu yang lama dan panjang ;
4)
Biaya cenderung relatif mahal ;
5)
Posisi para pihak saling bermusuhan ;
6)
Sidang terbuka untuk umum ;
73
7)
Pada umumnya pengetahuan Hakim bersifat masih terbatas generalis
bukan spesialis ;
8)
Indikasi praktek Money Game (Oknum Advokat dan Hakim) ;
9)
Putusan : kalah – menang (win – lose) ;
10) Putusan : sering kali tidak masuk akal dan tidak melihat pada fakta
sebenarnya (unreasonable & unpredictable) ;
11) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam Putusan Hakim ;
12) Hambatan pelaksanaan putusan pengadilan (Eksekusi) :
Hal ini tentunya sangatlah beralasan, karena penyelesaian sengketa melalui
pengadilan justru dirasakan tidak cukup efektif karena selama ini masyarakat
(pemilik tanah) cenderung tidak memiliki alat bukti tertulis kepemilikan atas
tanahnya. Hal ini yang menyebabkan mereka sulit menang saat berada di
pengadilan, padahal kenyataannya justru mereka lah sebenarnya di pihak
yang benar dan dirugikan.
Hak atas tanah akan jatuh pada pihak yang memiliki alat bukti secara
tertulis misalnya sertipikat. Hal ini karena hukum acara di pengadilan lebih
mementingkan pada pembuktian yaitu alat bukti otentik secara tertulis
sementara masyarakat (ahli waris) pada umumnya lebih mengutamakan alat
bukti secara lisan, pengakuan dan saksi-saksi saja. Dengan melihat
kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam penyelesaian
sengketa pertanahan melalui pengadilan (litigasi) sebagaimana disebutkan di
atas, maka timbul upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non
litigasi). Jika hal ini dikaitkan dengan tugas, fungsi dan wewenang BPN, dalam
literatur pasal-pasal dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun
2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional dan Peraturan Menteri Negara
74
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang
Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, maka sebenarnya banyak
ditemukan berbagai istilah berupa ketentuan yang pada intinya mempunyai
maksud yang sama yakni Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA), Pilihan
Penyelesaian Sengketa (PPS) maupun Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa (MAPS) dan hal ini sangat berkaitan dengan ketentuan yang ada
pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS).
Sebenarnya, dengan pertimbangan banyaknya jumlah sengketa yang
berkaitan dengan tanah yang terjadi di Indonesia, pihak Badan Pertanahan
Nasional sebagai pihak penyelenggara yang mengurusi bidang pertanahan di
Indonesia kini telah berupaya agar kasus sengketa tanah tidak diselesaikan di
pengadilan lagi melainkan dengan cara damai dan sesuai dengan aturan
agraria yang berlaku karna proses di pengadilan justru memakan waktu dan
biaya yang justru sangat memberatkan para pihak terlebih lagi pihak
Penggugat. Hal ini juga terlihat pada adanya kenyataannya bahwa
penyelesaian sengketa tanah tidak selamanya harus dilakukan dengan caracara sesuai aturan hukum.
Dalam bukunya, Bernhard Limbong14 mengemukakan bahwa, aturan
hukum akan menjadi nilai dalam masyarakat ketika menjadi suatu kaidah atau
norma yang di jadikan tata hukum. Hal ini pun berlaku bagi keseluruhan
kaidah–kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
agraria atau hukum agraria. Dalam tata hukum Indonesia, lapangan hukum
agraria
mendapat
tempat
sebagai lapangan
hukum
tersendiri sejak
14
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cetakan Pertama, Margaretha Pustaka,
Jakarta, 2012, Hal. 82
75
berlakunya UUPA. Akan tetapi, penyelesaian sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar bisa juga diselesaikan dengan cara musyawarah
dengan melibatkan pihak ketiga misalnya tokoh masyarakat, kepala desa atau
pihak yang ditunjuk dan dipercaya oleh para pihak terkadang cukup efektif
dalam menyelesaikan sengketa tanah yang ada dan hal ini di kategorikan
sebagai bentuk penyelesaian melalui Mediasi Tradisional. Akan tetapi, jika hal
ini tidak bisa dilakukan dan mengalami kebuntuan, maka para pihak yang
bersengketa bisa mau tidak mau harus melakukan penyelesaian dengan caracara lainnya.
Tidak terlepas dari hal ini, sejak diterbitkannya Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional dalam
menjalankan
fungsi,
tugas
dan
wewenangnya
dapat
melaksanakan
penanganan sengketa dan konflik pertanahan yaitu dengan adanya Deputi
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang
mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan (Pasal 22
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang BPN). Hal ini di tegaskan
dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang
BPN yaitu :
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan menyelenggarakan fungsi yaitu :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan
sengketa dan konflik pertanahan ;
b. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah,
sengketa, dan konflik pertanahan ;
c. Penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum
dan non hukum ;
d. Penanganan perkara pertanahan ;
76
e. Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik
pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya ;
f. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan
dengan pertanahan ;
g. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang,
dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku :”
Di samping itu, dengan adanya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara
Penanganan Sengketa Pertanahan, turut memperkuat dan memperjelas
bahwa sengketa tanah dapat diselesaikan dengan cara melalui Mediasi dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hal ini, Istilah ketentuan “alternatif”
mengandung pengertian bahwa suatu cara penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah merupakan bentuk “privatisasi”
penyelesaian sengketa dengan mengurangi campur tangan Negara melalui
lembaga pengadilan yang ada selama ini. Alternatif Penyelesaian Sengketa
bukanlah merupakan bentuk rasa tidak percaya pada lembaga peradilan.
Namun, lebih bertujuan menghindari perselisihan yang berkepanjangan antar
pihak serta membantu peran lembaga peradilan dalam menyelesaikan
sengketa-sengketa di tengah-tengah masyarakat. Alternatif Penyelesaian
Sengketa lebih mengutamakan cara-cara kooperatif sesuai pilihan mereka
sendiri, melalui inisiatif dan kemauan bersama para pihak sebagai wujud
aktualisasi peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan
penyelesaian sengketa khususnya di bidang sengketa tanah warisan yang
belum terdaftar.
Jika dikaitkan dan di tinjauan lebih jauh lagi secara hukum, maka dalam
hal ini penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar
77
sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara menggunakan penyelesaian
sengketa menurut ketentuan UU Arbitrase dan APS. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS, menyebutkan bahwa :
“Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik
dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan
Negeri”.
Artinya, dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan
satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan
sarana akhir (ultimum remidium) setelah proses alternatif penyelesaian
sengketa lain tidak membuahkan hasil. Penyelesaian sengketa yang di
selesaikan di luar pengadilan (non litigasi) lazim dinamakan dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Dengan adanya UU Arbitrase dan APS sebagaimana yang di maksud,
maka penyelesaian sengketa tanah khususnya hak atas tanah warisan yang
belum terdaftar dapat diselesaikan dengan patokan bahwa para pihak adalah
subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik (Pasal 1
ayat 2 UU Arbitrase dan APS) dan yang digunakan adalah Alternatif
Penyelesaian Sengketa yaitu Lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau
Penilaian Ahli (Pasal 1 ayat 10 UU Arbitrase dan APS) bukan menggunakan
Arbitrase karena Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata
di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa dan perjanjian arbitrase
tersebut sebelum ada sengketa yaitu klausulanya sudah ditentukan terlebih
78
dahulu tentang adanya sengketa di kemudian hari dalam perjanjian tertulis
dan biasanya arbitrase hanya menyangkut perjanjian bisnis saja.
Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian
sengketa menurut ketentuan UU Arbitrase dan APS adalah dengan
menggunakan cara-cara sebagai berikut :
1) Konsultasi, yaitu suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, di
mana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai
dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
2) Negosiasi, yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa
melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama
atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.
3) Mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
4) Konsiliasi, yaitu adanya pihak penengah akan bertindak menjadi konsiliator
dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat
diterima.
5) Penilaian Ahli, yaitu pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis
dan sesuai dengan bidang keahliannya
Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar
pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang
dilakukan di dalam pengadilan (litigasi) yaitu Mediasi. Hal ini terjadi karena
dengan telah diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, maka setiap perkara perdata
tertentu yang akan di adili oleh Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan
79
umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh
prosedur mediasi di pengadilan.
Sebenarnya, mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi,
di mana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun
sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah
pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain : Amerika,
Jepang, Australia, Singapura mempunyai lembaga mediasi baik yang berada
di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court
Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution,
Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain. Dalam ketentuan
Pasal 1 ayat 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan, disebutkan bahwa :
“Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator”.
Sedangkan pengertian Mediator adalah pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa (Pasal 1 ayat 6 Pasal 1 ayat 7 Perma Nomor 1 Tahun
2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan) dan proses mediasi pada
asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain dan hasil akhir yang di
capai adalah kesepakatan para pihak.
Sebagaimana kesepakatan pada umumnya, kesepakatan yang di
hasilkan dalam proses mediasi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Oleh
karena itu, untuk dapat melaksanakan hasil mediasi tersebut tergantung dari
itikad baik dari para pihak yang bersengketa. Apabila salah satu pihak dengan
sengaja tidak mau melaksanakan hasil akhir mediasi, maka hasil kesepakatan
tersebut tidak dapat dipaksakan untuk selalu harus dilaksanakan. Dengan
80
demikian, penyelesaian sengketa tanah khususnya tanah warisan yang belum
terdaftar dengan cara melalui mediasi mempunyai keuntungan yaitu sebagai
berikut :
1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan
relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan
atau arbitrase ;
2) Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara
nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya
pada hak-hak hukumnya ;
3) Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka ;
4) Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap proses dan hasilnya ;
5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit di
prediksi, dengan suatu kepastian melalui consensus ;
6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa
karena mereka sendiri yang memutuskannya ;
7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir
selalu mengiring setiap putusan yang bersifat memaksa yang di jatuhkan
oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase ;
Oleh karena itu, khusus yang menyangkut penyelesaian sengketa hak atas
tanah warisan yang belum terdaftar dapat dilakukan dengan cara Mediasi
karena dalam aspek perdata dan pidana, sengketa pertanahan merupakan
kompetensi peradilan umum, sedang dalam aspek administrasi merupakan
81
kompetensi
Pengadilan
Tata
Usaha
Negara
(PTUN),
sehingga
ada
kemungkinan kasus-kasus yang sudah diputuskan dalam PTUN dapat
kembali di gugat di Peradilan Umum (PN) demikian pula sebaliknya.
6. Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar Melalui Penyelesaian Di Pengadilan (Litigasi)
Sengketa tanah merupakan salah satu masalah yang amat sulit
penyelesaiannya, karena ada kaitannya dengan selisih hak antara dua pihak
atau lebih di sana. Dalam menyelesaikan sengketa tanah, pihak penegak
hukum harus seksama meneliti berkas pihak masing-masing, karena dalam
sengketa tanah, potensi terjadinya perselisihan yang berujung pada
kekerasan dan pertikaian yang berlarut-larut begitu besar disebabkan adanya
kekeliruan dalam hal pemeriksaan bukti-bukti yang di ajukan oleh para pihak
yang
bersengketa.
Sebenarnya,
berbagai
upaya
penyelesaian
telah
ditawarkan baik melalui cara musyawarah atau mediasi tradisional maupun
cara mediasi dengan melibatkan kantor pertanahan yang di bentuk di
lingkungan instansi BPN.
Pada hakikatnya, penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi tidak
selamanya memberikan penyelesaian yang memuaskan dan memberi suatu
penyelesaian yang tuntas. Dalam suatu sengketa tanah khususnya pada
sengketa tanah warisan yang belum terdaftar, tidak selamanya berpangkal
pada tuntutan ahli waris bahwa tanah warisan miliknya telah diambil alih oleh
orang lain saja, tetapi juga menyangkut karena adanya transaksi-transaksi
yang telah terjadi atas tanah warisan tersebut sehingga pihak ahli waris
melakukan suatu tuntutan hukum kepada pihak yang telah menguasai dan
82
kepada ahli waris yang telah mengalihkan kepemilikan tanah warisan
sebagaimana yang dimaksud.
Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan para ahli waris
mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa
hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 (tiga) tahap. Tahap
permulaan dengan mengajukan gugatan oleh ahli waris, proses mediasi
sesuai ketentuan Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan sampai dengan jawab jinawab (Replik/Duplik) para pihak.
Kemudian adalah Tahap penentuan yang dimulai dari kesaksian dan
pembebanan pembuktian alat-alat bukti berupa surat sampai dengan
kesimpulan dan tahap putusan. Tahap putusan majelis hakim kemudian
menjadi dasar permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi). Dalam banyak
perkara yang masuk ke Pengadilan yang sering dirasakan tidak memuaskan
adalah karena banyak Pengadilan yang memutus dengan menyatakan
gugatan tidak dapat diterima atau Niet Van Ontvankelijke Verklaard yang
lazim dikenal dengan sebutan “NO” oleh karena pihak ahli waris selaku pihak
Penggugat dalam mengajukan gugatannya tidak sempurna dengan alasan
bahwa batas, letak dan luas ukuran tanah yang digugat masih kabur atau
tidak jelas.
Alasan ini adalah alasan klasik yang artinya bahwa masih banyak
majelis hakim di pengadilan yang kurang bisa memahami sengketa tanah
warisan tersebut dengan baik karena telah mengabaikan fakta-fakta dan
kenyataan yang sebenarnya dan lebih melakukan prosedur hukum acara
belaka dan harus lebih dipertimbangkan sebelum memutus perkara sengketa
tanah warisan tersebut. Di sisi lain, gugatan juga dinyatakan oleh majelis
83
hakim di pengadilan bahwa gugatan tidak dapat diterima apabila penggugat
(ahli waris) hanya menggugat mereka yang menguasai tanah saja, sedangkan
jelas dan diketahui bahwa pihak Tergugat mendapatkan tanah dari orangorang tertentu sedangkan orang tersebut tidak digugat dalam perkara yang
bersangkutan. Langkah yang bisa ditempuh oleh ahli waris sebagai
penggugat selanjutnya mungkin bisa saja dengan mengajukan gugatan baru
kembali karena “NO” atau melakukan upaya hukum Banding, Kasasi bahkan
hingga Peninjauan Kembali. Tentu saja, hal ini mengakibatkan perkara tanah
warisan yang belum terdaftar tersebut akan berlangsung berlarut-larut sampai
bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.
Pilihan masyarakat untuk membawa permasalahan sengketa ke
pengadilan pada umumnya adalah karena pengadilan merupakan lembaga
yang berkompeten untuk menangani sengketa, memberikan solusi atau
putusan yang tepat serta berkeadilan dan berkepastian hukum yang ditunjuk
oleh Negara. Di samping itu, tak lupa pula bahwa proses penyelesaian
sengketa pada hakikatnya sesuai amanat undang-undang di pengadilan
(litigasi) harus bertumpu pada suatu mekanisme yang cepat, murah, dan
sederhana, terutama untuk sengketa hak atas tanah warisan yang belum
terdaftar yang diselesaikan baik itu melalui Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama maupun di Peradilan Umum (PN).
Terkait hal ini, adapun yang menjadi dasar hukum peradilan-peradilan
sebagaimana yang dimaksud di atas, maka apa bila diuraikan yaitu sebagai
berikut :
1) Peradilan Tata Usaha Negara, dasar hukumnya adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
84
Negara dan kemudian dilakukan perubahan dan diterbitkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 selanjutnya dilakukan
perubahan kedua yaitu diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun 2009.
2) Peradilan Agama, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama dan kemudian
dilakukan perubahan dan diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya dilakukan perubahan kedua yaitu
diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009.
3) Peradilan Umum, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama dan kemudian
dilakukan perubahan dan diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2004 selanjutnya dilakukan perubahan kedua yaitu
diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009.
Melihat hal ini, maka perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut sangat
dimungkinkan karena adanya kebijakan lain dari pihak Lembaga Eksekutif
(Pemerintah) dan Lembaga Legislatif (DPR) dalam hal perlu adanya
perubahan-perubahan dengan ketentuan dan alasan yang mendasar pada
klausula pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana dimaksud.
Sejalan dengan itu, jika diperhatikan yang terjadi selama ini dalam hal
penyelesaian sengketa tanah pada umumnya, khususnya yang menyangkut
sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar maka penyelesaiannya
dapat diajukan dan dilaksanakan berdasarkan Kompentensi Absolut dan
Kompetensi Relatif dari setiap peradilan yang ada di Indonesia yaitu
mengenai
kewenangan
(kekuasaan)
untuk
menentukan
(memutuskan
85
sengketa). Mengenai Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara
adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata
dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu
keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat
4 UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang PTUN). Kompetensi Absolut Peradilan
Agama adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara orang
Islam dalam bidang kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah (Pasal 49
UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama) dan Kompetensi
Absolut Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan
perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata,
kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU
Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum).
Sedangkan mengenai Kompetensi Relatif peradilan-peradilan tersebut di
atas,
adalah
berdasarkan
merupakan
yurisdiksi
kewenangan
wilayahnya.
lingkungan
Kewenangan
peradilan
PTUN
tertentu
dalam
hal
penyelesaian sengketa atas tanah dapat dilihat dalam Yurispudensi Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor : 84 K/TUN/1999 Tertanggal 14 Desember 2000
dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1687 K/Pdt/1998 Tertanggal 29
September
1999
sedangkan
kewenangan
Peradilan
Umum
dalam
menyelesaikan sengketa tanah dapat dilihat dari adanya Yurispudensi
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 701 K/Pdt/1997
Tertanggal 24 maret 1999 serta Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1816
K/Pdt/1989 Tertanggal 22 Oktober 1992.
86
Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan Kompetensi Absolut
maupun Kompetensi Relatif pada setiap peradilan yang ada tersebut serta
melihat bentuk dan sifat sengketa yang dipersoalkan, maka penyelesaian
sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar dapat dibagi menjadi 3
(tiga) macam cara dan proses untuk menyelesaikannya yaitu sebagai berikut :
1) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Khusus Sengketa Hak
Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Administrasi
Dalam hal ini, timbulnya suatu sengketa hak atas tanah warisan yang
belum terdaftar dikarenakan adanya masalah dalam bidang pertanahan
yang bersifat administrasi yaitu bermula dari adanya pengaduan pihak
(orang/badan/ahli waris) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya
misalnya dikarenakan adanya Sertipikat Ganda, Sertipikat Palsu atau
terdapat kesalahan dan kekeliruan dari Pejabat BPN dalam penerbitan
Sertipikat.
Adapun bentuk penyelesaiannya adalah dengan cara pihak ahli waris
mengajukan Gugatan ataupun Class Action ke PTUN. Namun, apabila
kepada PTUN tidak dapat dimintakan penyelesaian sengketa tersebut,
maka ahli waris yang bersangkutan dapat menggugat pemerintah atau
pejabatnya (BPN) ke Pengadilan Negeri karena dalam hal ini karena
dimungkinkan pemerintah (BPN) di kategorikan telah melakukan suatu
tindakan perbuatan melanggar/melawan hukum atas keputusan tata usaha
negara yang dibuat dengan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi atau bisa
juga meminta putusan berupa pembatalan Sertipikat.
87
Khusus untuk tuntutan ganti rugi dalam ketentuan PTUN, ada
batasan maksimalnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 Tentang
Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha
Negara. Di dalam ketentuan Pasal 1 PP tersebut, dinyatakan bahwa ganti
rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum
perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang
diderita oleh Penggugat. Lebih lanjut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3
peraturan pemerintah tersebut bahwa, besarnya ganti rugi yang dapat
diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan
memperhatikan keadaan yang nyata.
2) Melalui Pengadilan Umum (PN) Khusus Sengketa Hak Atas Tanah
Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Perdata
Berdasarkan asas bahwa Hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa/memutus perkara dengan alasan bahwa ia tidak mengetahui
peraturannya, maka dimungkinkan penyelesaian sengketa hak atas tanah
warisan yang belum terdaftar mempergunakan proses di Pengadilan
Negeri. Dalam hal apa bila terdapat adanya suatu perbuatan melawan
hukum, yang dilakukan oleh salah satu ahli waris dan pihak ketiga lainnya
(pembeli) baik itu berupa adanya pemalsuan, menguasai secara sepihak,
jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat dan tindakan lainnya yang dirasakan
merugikan para ahli waris maka turut serta pihak BPN turut serta yaitu
telah menerbitkan suatu keputusan administrasi (beshikking) dan hal ini
88
dapat dinyatakan sebagai suatu tindakan perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatigedaad) oleh Hakim.
Sedangkan prosesnya adalah tentu mengikuti Hukum Acara Perdata
sebagaimana yang diatur dalam hukum acaranya yaitu ketentuan Pasal
164 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), yang menyebutkan ada 5 (lima)
alat bukti yang sah yaitu :
a. Surat ;
b. Saksi ;
c. Persangkaan ;
d. Pengakuan ;
e. Sumpah ;
Sehingga dalam menghadapi atau melakukan gugatan perdata, maka alat
bukti yang diutamakan adalah berupa surat. Siapa pun yang bisa
menunjukkan sahnya surat atau alas hak kepemilikan atas tanah di
persidangan maka dia lah yang seharusnya paling berhak menjadi
pemiliknya. Hal ini juga sesuai dengan regulasi di bidang pertanahan, yakni
ketentuan dalam Pasal 32 PP Nomor 24 tahun 1997, yang menyatakan
bahwa tanda bukti hak atas tanah yang paling kuat adalah serpifikat tanah.
Selain itu, perlu juga dipersiapkan adanya saksi-saksi yang mengetahui
riwayat kepemilikan tanah, dari orang-orang sekitar lingkungan di mana
tanah warisan berada, Kepala Desa maupun pihak Badan Pertanahan
Nasional sehingga dengan adanya kesesuaian antara alat bukti surat
(sertipikat) dan keterangan dari saksi-saksi akan menguatkan dasar
kepemilikan yang tentunya akan menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis
Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
89
3) Melalui Kepolisian Dan Pengadilan Umum (PN) Khusus Sengketa Hak Atas
Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Pidana
Tindakan seseorang atau badan hukum tanpa izin atas pemakaian,
penyerobotan dan penguasaan atas sebidang tanah warisan yang belum
terdaftar adalah merupakan tindakan melanggar hukum. Hal ini sesuai
dengan adanya ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian
Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya.yang menyebutkan bahwa :
“dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan
5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3
(tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu
rupiah) ;
a. Barang siapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya
yang sah, dengan ketentuan bahwa jika mengenai tanah-tanah
perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan
menurut Pasal 5 ayat 1 ;
b. Barang siapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di
dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah ;
c. Barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan
dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud
dalam Pasal 2 atau sub dari ayat 1 pasal ini ;
d. Barang siapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk
melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b dari ayat 1
pasal ini ;
Selain hal ini, dengan adanya ketentuan pidana yang terdapat pada
ketentuan Pasal 385 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
menyebutkan bahwa :
“diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, barang
siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan
creditverband sesuatu hak atas tanah yang telah bersertifikat, sesuatu
gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang
belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut
mempunyai hak di atasnya adalah orang lain”.
Dengan adanya ketentuan pidana sebagaimana yang disebutkan di atas,
maka hal ini dapat menjadi dasar dan pedoman bagi pihak ahli waris untuk
90
mendapatkan haknya dengan cara mengajukan Laporan Polisi kepada
Pihak Kepolisian Republik Indonesia baik itu di tingkat Kantor Kepolisian
Resort (Polres) maupun pada tingkat Kantor Kepolisan Daerah (Polda) dan
posisi ahli waris adalah sebagai Pelapor dengan alasan dan bukti yang
ada. Untuk selanjutnya, pihak kepolisan yang akan melakukan penyidikan
dan penyelidikan sesuai tupoksi dan wewenangnya dalam peraturan
perundang-undangan dan menentukan apakah terdapat tindak pidana
terhadap sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar tersebut
misalnya, pihak Terlapor telah melanggar ketentuan Pasal 6 ayat 1
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya,
ketentuan Pasal 385 ayat 1 KUHP maupun ketentuan Pasal 263 KUHP
(Pemalsuan Surat).
Jika terdapat adanya tindak pidana, maka pihak
Kepolisian
menetapkan pihak Terlapor menjadi Tersangka dan akan mengajukan
berkas penyidikan kepada pihak Kejaksaan dan kemudian pihak Kejaksaan
akan membawa sengketa ini kepada pihak pengadilan untuk diperiksa,
diadili dan diberikan putusan yang bersifat tindak pidana. Akan tetapi,
walaupun sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pihak
Terlapor tersebut telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana,
pihak Pelapor harus juga melakukan upaya hukum baik itu berupa gugatan
kepada pihak Terlapor melalui PTUN maupun Peradilan Umum (PN) untuk
dilakukan penyelesaian secara Perdata dalam rangka kepastian hukum
hak atas tanah warisan yang belum terdaftar tersebut.
91
Jika di tinjau secara hukum, maka setiap putusan hakim dalam
penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar adalah
suatu pernyataan yang oleh hakim, di mana hakim adalah sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang oleh Negara untuk itu dan tetap berpedoman
pada ketentuan hukum yang ada dalam UUPA, diucapkan dimuka
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa
antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan,
melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
kemudian diucapkan oleh hakim di muka persidangan pengadilan.
Dengan demikian maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa
karakteristik dari pada penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang
belum terdaftar jika melalui pengadilan baik melalui PTUN maupun Peradilan
Umum (PN) yaitu sebagai berikut :
1) Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara) ;
2) Para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi, dan
pengajuan alat bukti ;
3) Pihak ketiga netralnya (hakim) tidak di tentukan para pihak dan
keahliannya bersifat umum ;
4) Prosesnya bersifat terbuka/transparan ;
5) Hasil akhir berupa putusan yang didukung oleh pertimbangan/pandangan
hakim ;
Sukarno
Aburaera,
Muhadar
dan
Maskun15
dalam
bukunya
mengemukakan bahwa, pada prinsipnya hakim hanya lah menerima setiap
perkara yang diajukan kepadanya untuk diselesaikan dan hal ini berarti telah
15
Sukarno Aburaera, Dkk, Filsafat Hukum Teori Dan Praktek, Cetakan Kesatu, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hal. 228
92
ada suatu peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang timbul,
kemudian peristiwa, kejadian dan persengketaan itu dibawa ke hadapan
hakim agar supaya hakim menentukan hukum yang berlaku atas peristiwa
dan persengketaan itu. Hakim harus pasti akan konstatering-nya (penemuan,
mencari tahu dan penyelidikan), sehingga konstatering tersebut tidak sekedar
dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Putusan yang
diucapkan di muka persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang
tertulis (vonnis).
Dari hal-hal tersebuti, jika dilakukan peninjauan kembali secara hukum,
maka di dalam teori hukum materiil yang berlaku di Indonesia saat ini,
kekuatan mengikat dari pada setiap putusan yang lazimnya disebut “gezag
van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil karena mengadakan
perubahan
terhadap
wewenang
dan
kewajiban
yang
sifatnya
lebih
keperdataan yaitu : menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Padahal,
mengingat bahwa putusan hakim itu hanya mengikat para pihak dan tidak
mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidak lah tepat. Sedangkan menurut
teori hukum acara putusan bukan lah sumber hukum materiil, melainkan
sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum
acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban
prosesuil. Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan hakim merupakan
bukti tentang apa yang ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai
kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap
isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak
diperkenankan lagi.
93
Khusus untuk penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang
belum terdaftar, suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau
tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia
dan termasuk upaya hukum biasa lainnya yaitu banding, dan kasasi. Dengan
memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka putusan itu tidak lagi dapat
diubah sekali pun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya
hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga
sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1917 ayat 1
KUHPerdata, menyebutkan bahwa :
”kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak
tidak lah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya”
Artinya, putusan hakim tidak mengikat dari pada putusan dan hanya terbatas
pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis). Kekuatan mengikat dari
putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila
hakim dalam suatu putusan telah mengkonstair suatu peristiwa tertentu
berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa
tersebut masih dapat disengketakan.
Selain itu dalam ketentuan KUHPerdata, suatu perbuatan melanggar
hukum dan ganti rugi diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang
berbunyi :
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian adalah merupakan
sebagai konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum
sebagaimana yang dimaksud, maka ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ini
94
erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa :
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu
perikatan, baru lah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah
dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”.
Sedangkan dalam kaitannya dengan pembuktian, perlu dikemukakan sesuai
ketentuan dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :
”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau,
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut”.
Dari pengertian ketiga pasal tersebut, dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa
penggugat (ahli waris), baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia
berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Unsur
kesalahan
yang
ditemukan
merupakan
hal
yang
akan
menentukan
pertanggungjawaban secara hukum yang berarti bila tidak terbukti adanya
kesalahan, tidak ada kewajiban ganti kerugian.
95
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari adanya hasil analisa, uraian dan pembahasan mengenai Tinjauan
Hukuman Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum
Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Di Indonesia yang telah
dilakukan, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut :
a. Pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar
sesuai kebijakan hukum yang berlaku di Indonesia adalah merupakan
pengaturan hukum mengenai ahli waris sebagai pihak yang berhak atas
harta peninggalan (tanah) pewaris, dalam arti bahwa di satu sisi memiliki
hak atas tanah yang ditinggalkan oleh pewaris, akan tetapi sisi lain juga
harus melakukan dan melaksanakan kewajibannya juga dengan cara
melakukan proses pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terlebih
dahulu ke Kantor Badan Pertanahan Nasional atau pada Kantor
Pertanahan di wilayah Kabupaten/Kotamadya sesuai domisili hukumnya.
Kemudian setelah itu, maka ahli waris dapat melakukan perbuatan hukum
lainnya seperti : menguasai, menjual-belikan, menukar, membagi atau
menjaminkan hak atas tanah kepada pihak lainnya dengan sepengetahuan
dan mendapat persetujuan ahli waris lainnya (jika ahli waris lebih dari satu
orang) sesuai ketentuan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah.
96
b. Akibat hukum yang terjadi apabila salah satu/sebagian ahli waris tanpa
melakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan karena
pewarisan, terlebih dahulu kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional atau
kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sesuai domisilinya
seperti menguasai, menjual-belikan, menukar, membagi atau menjaminkan
hak atas tanah kepada pihak lainnya tanpa sepengetahuan dan mendapat
persetujuan ahli waris lainnya (jika ahli waris lebih dari satu orang), maka
akan bisa dipastikan akan terjadi sengketa atau konflik hak atas tanah baik
antara sesama ahli waris dan pihak ketiga lainnya.
Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu/sebagian ahli
waris menyangkut menguasai secara sepihak, menjual-belikan, menukar,
membagi atau menjaminkan hak atas tanah warisan tersebut, tanpa
melakukan proses pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terlebih
dahulu dan tanpa sepengetahuan atau mendapat persetujuan ahli waris
lainnya, maka bisa dikatakan sebagai batal demi hukum atau dapat
dibatalkan dan akan menjadi sumber terjadinya sengketa hak atas tanah
yang bisa merugikan banyak pihak baik. Proses dan upaya penyelesaian
sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar yang dapat
dilakukan sesuai kebijakan hukum pertanahan yaitu ketentuan yang
terdapat
dalam
UUPA
dan
ketentuan
Peraturan
Menteri
Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang
Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, dapat diselesaikan dengan
cara Non Litigasi (Musyawarah, Mediasi dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa) dan Litigasi (Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama
dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri).
97
2. Saran
Bertolak belakang dari kesimpulan yang telah disebutkan di atas, maka
dalam kesempatan ini, penulis merumuskan saran-saran yang berhubungan
dengan pokok permasalahan tersebut yaitu sebagai berikut :
a. Pemerintah perlu segera melakukan revisi dan pembaharuan terhadap
UUPA dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan
tanah dan Kantor Badan Pertanahan Nasional harus melakukan pendataan
ulang terhadap sertipikat-sertipikat tanah yang ada di Indonesia untuk
mendapatkan data fisik maupun data yuridis yang pasti tentang tanah dan
melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya
pendaftaran peralihan hak karena pewarisan agar ahli waris yang
mendapatkan warisan berupa tanah melakukan proses pendaftaran
peralihan hak atas tanah yang diperoleh dari pewaris ;
b. Pemerintah perlu sekali membentuk suatu lembaga peradilan di bidang
pertanahan dan melakukan rekrutmen dan seleksi Hakim yang memiliki
sertifikasi keahlian pada bidangnya (spesialis tanah). Hal ini sangat penting
dilakukan, karena mengingat sengketa hak atas tanah yang terjadi di
Indonesia hingga saat ini cenderung jumlahnya sangat banyak sekali yang
belum diselesaikan baik itu pada Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan
Agama dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri. Dengan adanya suatu
lembaga peradilan di bidang pertanahan, maka setiap sengketa hak atas
tanah tidak lagi diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri lagi tetapi cukup
menjadi Kompetensi Absolut Peradilan Pertanahan ;
98
DAFTAR BACAAN
Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan Di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D. Kolkman dan Rafael
Edy Bosko, Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia, Pustaka
Larasan, Denpasar, 2012.
Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta,
2012.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2008.
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika
Perkembangan Hukum Di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013.
Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Pers,
Jakarta, 1987.
Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014.
Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah Membeli, Mewarisi,
Menyewakan Dan Menjaminkan Tanah Secara Aman, Rajawali, Jakarta,
1986.
Effendi Perangin, Praktek Pengurusan Sertifikat Hak Atas Tanah, Rajawali,
Jakarta, 1986.
G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1982.
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta,
1988.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung,
Alumni, Bandung, 1983.
Sukarno Aburaera, Muhadar dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013.
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung
Agung, Jakarta, 1995.
99
Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat
Kewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana Renada Group, Jakarta,
2006.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang
Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Undang Undang Republik Indonesia Nomor UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
PTUN
Undang Undang Republik Indonesia Nomor UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 50 UU Nomor 49 Tahun 2009
Tentang Peradilan Umum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti
Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan
Pertanahan Nasional
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di
Pengadilan
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1001K/Sip/1963 Tertanggal 8
Juni 1963
Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 84 K/TUN/1999 Tertanggal
14 Desember 2000
100
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1687 K/Pdt/1998
Tertanggal 29 September 1999
Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 701
K/Pdt/1997 Tertanggal 24 Maret 1999
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1816 K/Pdt/1989
Tertanggal 22 Oktober 1992
Internet :
www.legalitas.com
www.hukumonline.com
101
Download