TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR MENURUT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA DI INDONESIA SKRIPSI OLEH : JONIAS ANDREAS SABAAT NPM : 11120003 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015 TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK – POKOK AGRARIA DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya OLEH : JONIAS ANDREAS SABAAT NPM : 11120003 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA SURABAYA 2015 i TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR MENURUT UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK – POKOK AGRARIA DI INDONESIA NAMA : JONIAS ANDREAS SABAAT FAKULTAS : HUKUM JURUSAN : ILMU HUKUM NPM : 11120003 DISETUJUI dan DITERIMA OLEH : DOSEN PEMBIMBING Dr. H. TAUFIQURAHMAN, S.H.,M.Hum ii HALAMAN PENGESAHAN Telah diterima dan disetujui oleh Tim Penguji Skripsi serta dinyatakan LULUS. Dengan demikian skripsi ini dinyatakan sah untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Surabaya, 1 Agustus 2015 Tim Penguji Skripsi Ini : 1. Ketua : Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,MH ( ) 2. Sekretaris : Dr. H. Taufiqurrahman, S.H.,M.Hum ( ) 3. Anggota : 1. Andy Usmina Wijaya, S.H.,M.H ( ) 2. Febria Nur Kasimon, S.H.,M.H ( ) iii LEMBAR PERSEMBAHAN Skripsi ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus Yang Maha Baik. Ayahanda Ibrahim Sabaat dan Ibunda Naomi Tanaeleli Sabaat. Istriku Tercinta, Devi Ariani. Kedua Anakku Tersayang, Jofanes De Jesus Sabaat Dan Krisna Ibrahim Sabaat. iv MOTTO : “APAPUN HARUS KITA LAKUKAN DEMI TANAH MAGADHA“ RAJA ASHOKA INDIA 269 -232SM v KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan dan melimpahkan segala sesuatunya kepada penulis sehingga penulisan Skripsi dengan judul : “Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Milik Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Di Indonesia ” dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa tanpa bantuan dari semua pihak, baik dalam bentuk bantuan moril spritual maupun materiil, penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik dan sempurna. Dalam kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak H. Budi Endarto, S.H.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 2. Bapak Dr. H. Taufiqqurahman, S.H.,M.Hum, selaku Wakil Rektor Universitas Wijaya Putra Surabayasekaligus sebagai Dosen Pembimbing, atas bantuan dan jasanya memberikan banyak Ilmu Pengetahuan dengan penuh kesabaran membimbing penulis melakukan penulisan skripsi ini sehingga penulis bisa memahami Ilmu Hukum ; vi 3. Ibu Tri Wahyu Andayani, S.H.,C.N.,M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya. Kritik dan saran serta pelayanan akademik di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya ; 4. Ibu Ani Purwati, S.H.,M.H, selaku Ketua Program Studi Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya atas segala nasehat dan kritik yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 5. Seluruh Dosen Fakultas Hukum dan segenap staf pengajar di lingkungan Universitas Wijaya Putra Surabaya atas waktu dan kesempatan yang telah diberikan kepada penulis selama ini dalam bentuk sarana dan prasarana di Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 6. Ayahanda Ibrahim Sabaat dan Ibunda Naomi Tanaeleli Sabaat. Atas semua doa dan cinta kasih sayang kalian berdua, penulis selalu bersemangat untuk terus menimba Ilmu pengetahuan hingga saat ini ; 7. Pamanda Nitanel Tanaeleliatas dukungan dan doa yang telah diberikan kepada penulis selama ini ; 8. Istri Devi Ariani dan kedua anak-anak ku tersayang Jofanes De Jesus Sabaat, Krisna Ibrahim Sabaatyang telah mencintai, mengasihi, menyayangi dan menemani penulis dalam suka maupun duka dalam menempuh kehidupan selama ini dan menjadi kebanggaan penulis ; 9. Adik-adikku Markus Melkianus Sabaat, Melkiur SabaatdanOrpa Sabaat ; 10. Bapak Semi Toto, S.Hatas segala bentuk bantuan saran dan kritik yang sifatnya membangun hingga penulisan skripsi ini bisa selesai tepat waktu ; vii 11. Kakak Sepupu Erni Saluk, Nimrot Saluk, Yermias Saluk, Yuliana Saluk, Simeon Saluk, Milkha Sabaat, Michael Sabaat, Yacob Sabaat, S.H, Yuliana Sabaat, Maghdalena SabaatdanEklopas Sabaatatas dukungan doa dan perhatian kepada penulis selama ini ; 12. Kakak Alumni Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya Ridwan Obet Pandjaitan, S.H, Sulton Sulaiman, S.H, Husni, S.H dan Achmad Soim, S.H. Kalian menginspirasi penulis untuk selalu menimba Ilmu pengetahuan di bidang hukum ; 13. Seluruh kawan-kawan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya yang telah berjuang bersama dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra Surabaya ; 14. Kepada pihak-pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung penulis dalam bentuk dukungan moril dan materiil hingga penulisan skripsi ini bisa selesai ; Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, segala bentuk kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat di harapkan sebagai bahan penelitian di masa yang akan datang nantinya. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya kepada penulis dalam pengembangan ilmu hukum. Surabaya, 10 Juli 2015 Penulis viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................. ii HALAMAN TIM PENGUJI ............................................................................ iii LEMBAR PERSEMBAHAN .......................................................................... iv MOTTO ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 2. Rumusan Masalah ................................................................... 15 3. Penjelasan Judul ...................................................................... 16 4. Alasan Pemilihan Judul ............................................................ 18 5. Tujuan Penelitian ..................................................................... 21 6. Manfaat Penelitian ................................................................... 22 7. Metode Penelitian .................................................................... 12 8. Sistematika Pertanggungjawaban ............................................ 23 BAB II PENGATURAN HUKUM WARIS TERHADAPHAK ATAS TANAH WARISAN DI INDONESIA ............................................... 24 1. Pengaturan Umum Tentang Hukum Waris Di Indonesia ....... 24 2. Pengertian Hukum Waris ......................................................... 27 3. Unsur-Unsur Dan Syarat Pewarisan ........................................ 31 4. Pengolongan Ahli Waris ............................... .......................... 31 ix 5. Sebab Tidak Patut Menerima Warisan Dan Sikap Ahli Waris Terhadap Harta Warisan ................................................ 36 Upaya Peralihan Hak Atas Tanah Warisan Kepada Ahli WarisMelalui Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah ................. 39 7. Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah .......................................... 41 8. Prosedur Pendaftaran Hak Atas Tanah.................................... 45 9. Peralihan Hak Atas Tanah Akibat Pewarisan Kepada Ahli Waris Atau Pihak Lainnya ....................................................... 47 BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ................................................................................ 56 6. 1. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Di Indonesia ......................................... 56 2. 3. Tinjauan Hukum Pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum Terdaftar................................................................................... 58 4. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar............................................................... 62 Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar .................................... 69 Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Melalui Mediasi /AlternatifPenyelesaian Sengketa (Non Litigasi) ..................... 72 Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas TanahWarisan Yang Belum Terdaftar Melalui Pengadilan (Litigasi) ................................................................................... 82 BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 96 5. 6. 7. 1. Kesimpulan .............................................................................. 96 2. Saran ....................................................................................... 98 DAFTAR BACAAN ...................................................................................... 99 x BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak mendapatkan pengakuan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah merupakan Negara yang merdeka dan berdaulat penuh dari segala bentuk penjajahan yang ada. Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, Indonesia adalah merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari berbagai pulau-pulau yang membentang dari Sabang hingga Merauke di mana susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekenomiannya hingga saat ini masih tetap lah bercorak agraris dan masih tergantung pada penguasaan, pengolahan dan pemanfaatan tanah di berbagai wilayah di Indonesia. Bumi, air dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting untuk membentuk dan membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana yang di cita-citakan selama ini dan merupakan sumber kekayaan nasional yang tidak ternilai harganya dan perlu untuk di kembangkan pengolahan dan pemanfaatannya guna mewujudkan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika hal ini di tinjau secara aklamasi, maka berarti bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya di perjuangkan selama ini oleh bangsa sebagai keseluruhan tanpa terkecuali menjadi hak mutlak pula dari Negara Indonesia. Jadi, tidak semata-mata menjadi hak dan dari pemiliknya saja, dan tentunya hal-hal yang menyangkut kebendaan yang di miliki oleh perorangan maupun badan hukum yang sifatnya tidak bergerak (tanah) adalah merupakan salah satu bagian 1 yang tidak terpisahkan dalam setiap tata cara perolehannya serta pengaturan hukumnya tetap berdasarkan kepada keputusan pemerintah/negara yang sedang memerintah sebagai pemegang kekuasaan. Kita ketahui bersama, bahwa tanah adalah merupakan tempat kita berpijak dan menopang sebagian besar kehidupan kita. Bahkan bagi sebagian rakyat Indonesia, tanah merupakan sumber hidup dan sering kali disebut sebagai harta satu-satunya. Ungkapan “tanah saya“, bukan sekedar bermakna sebagai arti kata-kata itu saja, tetapi seringkali berarti juga “nyawa saya atau mungkin kebahagian saya“. Hal ini bisa di buktikan bahwa banyak kita lihat dan dengar kisah-kisah sedih karena orang-orang kehilangan tanah atau tanahnya terlibat dalam sengketa. Banyak macam-macam hal permasalahan yang terjadi dan menyangkut tanah mereka alami, bahkan ada yang menjadi gila karena tanah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memberikan perbedaan pengertian antara ”bumi” dan ”tanah”. Pengertian “bumi” dalam ketentuan UUPA mendapat pengaturan dalam Pasal 1 ayat 4 yang menyatakan bahwa : “dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air”. Ketentuan pasal tersebut di atas, memberikan penjelasan tentang apa yang di maksud dengan istilah “bumi”, yaitu meliputi permukaan bumi (yang kemudian di sebut dengan tanah) berikut apa yang ada di bawahnya (tubuh bumi) serta yang berada di bawah air. Selanjutnya pengertian “tanah” mendapat penjelasan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) bahwa : “atas dasar hak menguasai dari Negara, di tentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah yang dapat di 2 berikan dan di punyai oleh orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama dengan orang lain atau badan hukum”. Dari ketentuan ini, yang di sebut tanah adalah permukaan bumi. Hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, sedangkan bumi meliputi tanah, tubuh bumi dan berikut apa yang ada di bawahnya serta di bawah air. Sejalan dengan itu semua, di Indonesia sendiri hingga saat ini, tanah juga selalu berhubungan dan tidak terlepas dari adat kebiasaan yang di terapkan di masing-masing daerah di wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan, bahwa hubungan yang terjalin selama ini selalu tergantung pada hubungan manusia dengan tanah dalam hukum adat pula yang mempunyai hubungan (kosmis magis-religius), artinya hubungan ini bukan antara individu dengan tanah saja tetapi juga antar sekelompok anggota masyarakat suatu persekutuan hukum adat (rechtsgemeentschap) di dalam hubungan yang menyangkut kepemilikan baik itu tanah milik negara, badan hukum, tanah ulayat maupun dengan tanah perorangan tetap tidak bisa terlepas dari ketentuan hukum adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakatnya yang di harapkan tidak menimbulkan adanya suatu permasalahan/sengketa yang merugikan berbagai pihak yang berkepentingan akan kepemilikan suatu hak atas tanah. Terlepas dari semua yang telah di sebutkan di atas, ternyata permasalahan-permasalahan/sengketa yang menyangkut tanah di tengahtengah masyarakat tetap saja banyak terjadi hingga saat ini. Sengketa tanah yang sering timbul dalam kehidupan masyarakat antara lain disebabkan adanya perebutan hak atas tanah yang mengakibatkan rusaknya keharmonisan hubungan sosial dan kasus-kasus yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan bahkan tidak pernah surut, malah justru 3 mempunyai kecenderungan untuk terus meningkat di dalam kompleksitasnya maupun kuantitasnya sesuai adanya dinamika di bidang ekonomi, sosial, hukum dan politik. Manusia sebagai mahkluk sosial, di dalam kehidupan bermasyarakat sangat memerlukan adanya suatu interaksi antara satu dengan yang lain. Interaksi-interaksi tersebut di wujudkan dalam bentuk komunikasi dan salah satu maksud dan tujuannya adalah agar dapat terpenuhinya kebutuhan masing-masing individu/orang. Ketika komunikasi terjadi di dalam kehidupan masyarakat maka akan timbul suatu dampak positif maupun negatif. Dampak positif terjadinya komunikasi adalah adanya persamaan persepsi/pandangan sehingga dapat mewujudkan keinginan serta kebutuhan antar individu tersebut sedangkan dampak negatifnya adalah ketika terjadi suatu perbedaan persepsi/pandangan maka yang muncul adalah suatu perbenturan persepsi/pandangan dan perbenturan persepsi/pandangan ini akan memicu terjadinya sengketa dan hal ini juga berlaku dalam pemicu sengketa hak milik atas tanah warisan di Indonesia. Secara umum, harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh “Pewaris” dan berpindah kepada para “Ahli Waris”. Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris dapat berupa 2 (dua) hal yaitu harta benda (materiil) dan harta cita (non materiil). Harta benda (materiil) merupakan harta peninggalan yang nyata ada yaitu berupa hak-hak kebendaan, tagihan-tagihan, piutang-piutang, atau bahkan juga utang-utang yang harus dibayarkan. Hak-hak kebendaan yang dimaksud salah satu contohnya adalah hak milik atas tanah sedangkan harta cita misalnya berupa jabatan atau hak cipta. Tanah warisan sendiri secara garis 4 besar adalah merupakan tanah yang hanya diperoleh melalui proses pewarisan atau adanya kematian seseorang (pewaris) dan meninggalkan sebidang tanah dari apa yang diperoleh dan dimilikinya semasa hidupnya untuk diberikan kepada anak-anak, isteri dan keluarganya (ahli waris) yang proses pemberiannya ditetapkan baik secara hukum nasional, hukum islam maupun menggunakan hukum adat istiadat yang dianutnya. Pemberian secara hukum tersebut dilandaskan berdasar adanya ketentuan sistem hukum yang ada dan berlaku di Indonesia yaitu Hukum Nasional yang menggunakan sistem Hukum Waris Perdata, Hukum Islam berdasarkan ketentuan Syariat Islam sedangkan pemberian dengan menggunakan hukum adat istiadat di dasarkan pada norma-norma adat dan kebiasaan di tengah-tengah masyarakat di mana ia tinggal maupun berdasarkan norma-norma adat kesukuan/budaya dari pada si pewaris maupun ahli waris. Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pewaris sendiri memiliki pengertian yaitu orang yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan sedangkan ahli waris adalah anggota keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya Pewaris. Menurut pendapat yang di sampaikan oleh Effendi Perangin1 dalam bukunya, hukum waris berlaku asas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, maka pada saat itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada para ahli warisnya. 1 Effendi Perangin, Hukum Waris, Cetakan Kedua Belas, Rajawali Pers, Jakarta, 2014, Hal. 8 5 Akan tetapi, walaupun telah ada hukum yang mengatur tentang masalah pewarisan yang menyangkut tanah warisan sebagaimana yang disebutkan dari ketiga sistem hukum tersebut di atas, tetap saja permasalahan tanah warisan selalu ada dan hukum itu sendiri tidak kunjung bisa diterapkan dengan maksimal di tengah-tengah kehidupan masyarakat pada umumnya dan khususnya oleh ahli waris. Berbagai macam permasalahan-permasalahan hukum yang berkaitan dengan tanah warisan yang sering terjadi dari dahulu hingga saat ini tidak terlepas dari penerapan dan pelaksaanaan hukum itu sendiri. Salah satunya adalah kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat tentang UUPA dan peraturan-peraturan sejenisnya yang mengatur tentang tanah di Indonesia. Di samping itu juga, permasalahan tanah warisan juga banyak terjadi disebabkan karena terlalu banyak hukum adat istiadat yang diakui dan berlaku di masyarakat, hal ini tentunya turut serta dan berperan penting menimbulkan kebingungan hukum di tengah-tengah masyarakat karna hukum adat juga memiliki kekuatan mendasar dalam hal menyangkut tanah dan salah satunya adalah sistem hukum waris yang berlaku di sebagian daerah masih berdasarkan pada ketentuan hukum adat istiadat yang hidup dan berkembang di masyarakatnya. Akan tetapi dari semua itu, akar permasalahan mendasar mengenai tanah warisan yang lebih khusus lagi adalah disebabkan oleh adanya pertikaian dan perselisihan di antara para ahli waris sendiri. Misalnya saja, salah satu dari ahli waris melakukan perbuatan hukum yaitu telah menguasai secara sepihak, mengalihkan, menjaminkan, menggadaikan dan/atau memperjual-belikan tanah warisan yang diperoleh dari pewaris tanpa 6 sepengetahuan dan persetujuan dari para ahli waris lainnya kepada pihak lain dengan cara melakukan upaya rekayasa bohong dan mengaku akan bertanggung jawab penuh dan bahkan ada pula yang sampai dialihkan kepemilikannya kepada pemerintah karna adanya suatu program pemerintah dalam hal pengadaan/pelepasan hak atas tanah dengan mendapatkan sejumlah uang ganti rugi dari pemerintah dan uang tersebut dinikmati hanya sendiri (salah satu ahli waris) saja. Hal ini tentunya menimbulkan kerugian bagi para ahli waris lainnya dan juga bagi pihak yang telah membeli tanah warisan tersebut di kemudian hari dan jika seandainya ahli waris lainnya keberatan, pastinya akan menimbulkan tuntutan hukum bagi para pihak yang telah menguasai tanah tersebut. Tindakan-tindakan di luar kewenangan salah satu ahli waris tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari para ahli waris lainnya bisa saja menimbulkan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku baik secara Pidana maupun secara Perdata. Memang, sampai saat ini sebagian masyarakat hanya mengenal hukum waris, yang mana pengertian hukum waris itu sendiri hingga saat ini belum bisa diterima penuh oleh adat istiadat. Akan tetapi pada prinsipnya, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibat bagi para ahli warisnya. Di Indonesia sendiri pada asasnya, menyangkut mengenai pewarisan telah ditentukan bahwa hanya hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat di waris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak untuk menuntut supaya di nyatakan sebagai anak sah 7 dari bapak atau ibunya (kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), di nyatakan oleh undang-undang di warisi oleh ahli warisnya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 830 KUHPerdata, menyebutkan bahwa : “pewarisan hanya berlangsung karena kematian“. Jadi, harta peninggalan baru terbuka bila si pewaris telah meninggal dunia saat ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka. Akan tetapi, hukum waris ini tetap saja berkaitan dengan hukum adat sebagaimana adat dan kebiasaan si pewaris. Jika hal ini di cermati, maka hal ini lah salah satu contoh yang menjadi masalah dalam sistem hukum pertanahan dan pewarisan di Indonesia. Kaitan hukum adat pada permasalahan-permasalahan tanah warisan yang ada Indonesia sangat sering terjadi ketika status tanah di peroleh dan di dapatkan dengan cara waris adat. Padahal kita mengerti bahwasannya, hukum adat yang ada di Indonesia sangat banyak jenis dan berbeda-beda pula satu sama lainnya di masing-masing daerah. Soerojo Wignjodipoero2, dalam bukunya mengemukakan bahwa adat merupakan pencerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru ketidak-samaan ini lah, kita akan dapat mengatakan bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan indentitas kepada bangsa yang bersangkutan. Tingkatan peradaban maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, 2 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Cetakan Keempat Belas, Gunung Agung, Jakarta, 1995, Hal. 13 8 paling-paling yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi kekal dan tetap segar. Oleh karena itu lah, hukum adat merupakan salah satu sumber yang sangat penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang nantinya di harapkan dapat menuju unifikasi hukum yang terutama di laksanakan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan khususnya yang menyangkut tanah warisan. Unsur-unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia, perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat karena di dalam Negara Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah suku-suku bangsa adalah berbeda-beda, meski pun dasar serta sifatnya adalah satu yaitu Ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia itu di katakan “Bhinneka” (berbeda-beda di daerah sukusuku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu dasar dan sifat Keindonesiaannya). Jika hal ini dipahami lebih mendalam lagi, adat bangsa Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika” ini tidak pernah mati, melainkan selalu berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam evolusi mengikuti proses perkembangan peradaban bangsanya serta adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat yang merupakan sumber yang mengagumkan bagi hukum adat kita termasuk juga dalam hal hukum waris yang objeknya adalah tanah warisan. Sejalan dengan itu, kesadaran hukum nasional yang menyangkut hukum warisan tanah adalah pada tempatnya yaitu hak-hak kebendaan (warisan tanah) seharusnya tidak lagi di beda-bedakan antara hak pria dan 9 wanita dalam arti harus diperlakukan asas kesamaan hak. Akan tetapi, apakah pemikiran demikian sudah dapat diterima oleh kerukunan hidup masyarakat bangsa Indonesia yang sebagian besar berkediaman di desadesa. Selama kita masih dapat menerima pendapat bahwa hukum adalah pencerminan dari alam pikiran masyarakat dan keadaan masyarakat itu sendiri berbeda-beda alam pikiran dan kemasyarakatannya, maka untuk dapat mewujudkan kesamaan hak dalam kebendaan di antara pria dan wanita terkesan sukar diterapkan hingga sekarang ini. Setiap manusia, bukan lah ibarat benda yang dapat diperbuat sekehendak hati. Manusia tidak terlepas dari pengaruh alam sekitarnya di mana dia tinggal dan akan selalu berusaha untuk bisa menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya. Di samping itu, manusia adalah budak keyakinannya dan manusia di Indonesia adalah diliputi oleh ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika dilakukan telaah lebih mendalam lagi mengenai hukum warisan tanah, maka akan memerlukan suatu jawaban dari keyakinan sejauh mana seseorang itu menjadi abdi dari Tuhannya. Sebagai contoh misalnya, yaitu bila seseorang beragama Islam apa bila ia akan tergolong orang-orang yang bertaqwa sebenar-benarnya taqwa, maka ia akan mematuhi ketentuan dari Tuhannya. Di dalam hal pembagian warisan tanah adat bagi seorang Mu’min, maka ia akan melaksanakan pembagian dengan berpatokan dua bagian untuk pria dan sebagian untuk wanita. Untuk sebagian besar masyarakat di Indonesia dalam hal ini, pada saat ini berada pada garis demarkasi antara hukum Islam dan hukum adat, yang mana hukum Islam itu pada sebagaian besar masyarakat Islam belum berlaku sebagaimana mestinya. Di sebagian besar masyarakat kecuali di beberapa 10 daerah atau pada kelompok-kelompok terbatas, masih tetap berpegang pada hukum waris tanah adat. Kemudian mengenai hukum waris tanah adat itu sendiri terdapat sistem dan asas-asas hukum yang berbeda-beda pula. Secara rinci, akar permasalahan hukum tanah warisan di Indonesia sebenarnya tidak terlepas dari sistem hukum adat yang dianut oleh masingmasing masyarakat yang tersebar luas di wilayah Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan kekeluargaan tidak menutup kemungkinan terjadi juga permasalahanpermasalahan yang berhubungan dengan kepentingan mereka sendiri di lingkungan hukum Perdata seperti masalah pembagian tanah warisan dan pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat memberikan jaminan dalam lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan suasana nyaman dan tenteram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin hari, semakin menuntut bagi siapa pun di tengah-tengah masyarakat untuk selalu siap berkompetisi dalam meningkatkan taraf hidup rumah tangganya sendiri. Khusus mengenai sengketa tanah warisan, pada saat ini merupakan masalah yang menarik untuk dikaji, lebih-lebih sudah menyangkut tentang pembagian warisan tanah maupun pertikaian sengketa tanah warisan yang belum terdaftar, karena umumnya warisan tanah mempunyai nilai ekonomis dan religius yang tinggi. Dengan kata lain warisan tanah dapat menimbulkan kebahagian satu pihak dan di pihak lain dapat menimbulkan kesengsaran, apa bila dalam pengaturan dan pembagian tidak sesuai dengan ketentuan yang 11 seharusnya di ikuti bersama. Kita ketahui bahwa hukum waris suatu golongan masyarakat sangat dipengaruhi oleh bentuk kekerabatan dari masyarakat itu sendiri, yaitu bahwa setiap kekerabatan atau kekeluargaan memiliki sistem hukum waris sendiri-sendiri. Sebagaimana dikemukan oleh Hilman Hadikusuma3, masyarakat bangsa Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak zaman dahulu kala sebelum masuknya ajaran agama Hindu, Budha, Kristen maupun Islam. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini nampak pengaruhnya dalam sistem pewarisan hukum adat. Secara teoritis sistem keturunan itu dapat dibedakan dalam 3 (tiga) corak, yaitu sebagai berikut : a. SISTEM PATRILINIAL, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis bapak, di mana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara dan Irian). b. SISTEM MATRILINIAL, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis ibu, di mana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano, Timor). c. SISTEM PARENTAL atau BILATERAL, yaitu sistem keturunan yang di tarik menurut garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), di mana kedudukan pria dan wanita tidak di bedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatra Timur, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain). 3 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cetakan Ketujuh, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal. 23 12 Dari hal ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, antara sistem keturunan yang satu dengan yang lain di karenakan hubungan perkawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti diantara sistem Patrilinial dan Matrilinial alternerend. Dengan catatan bahwa, di dalam perkembangannya di Indonesia sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh kekuasaan bapak-ibu (Parental) dan bertambah surutnya pengaruh kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan pewarisan. Namun demikian, di sana sini terutama di kalangan masyarakat di pedesaan masih banyak juga yang masih bertahan pada sistem keturunan dan kekerabatannya yang lama. Sistem keturunan ini berpengaruh dan sekaligus membedakan masalah hukum kewarisan. Di samping itu juga, antara sistem kekerabatan yang satu dengan yang lain dalam hal perkawinan. Hukum warisan tanah mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum Barat. Bangsa Indonesia yang murni dalam berpikir berasas kekeluargaan, yaitu kepentingan hidup yang rukun damai lebih diutamakan dari pada sifat-sifat kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Akan tetapi dari itu semua, harta warisan menurut hukum adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan tidak boleh di jual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu di bagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana di dalam Hukum Islam atau Hukum Waris Barat. Melihat hal ini, maka sering terjadi ketidak-tahuan masyarakat di berbagai daerah yang menyangkut tentang hak milik atas tanah 13 warisan karena hukum nasional sebagaimana yang telah ada yaitu UUPA dan peraturan lainnya belum dapat dipahami dan diterima oleh masyarakat luas sepenuhnya di berbagai wilayah Indonesia yang menyangkut tentang hak milik atas tanah warisan khususnya mengenai tanah warisan yang belum di daftarkan. Padahal, dalam penjelasan UUPA telah disebutkan pada pokoknya tujuannya adalah : 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur ; 2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan ; 3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya ; Tetapi pada kenyataannya, telah terlihat dengan jelas bahwa tujuan-tujuan peraturan perundang-undangan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga saat ini sebagaimana yang disebutkan di atas, masih belum tercapai dengan baik dan memenuhi rasa keadilan serta adanya suatu kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat khususnya yang menyangkut tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar. Jika diperhatikan dengan seksama, di Negara Indonesia pada kenyataannya masih ditemukan bahwa pewaris biasanya lebih banyak meninggalkan harta warisan berupa harta benda (materiil) dan harta tersebut bisa berupa rumah, tanah, mobil, perhiasan dan lain sebagainya. Setiap 14 manusia pasti membeli suatu barang yang bersifat penting dan diantara sejumlah harta benda yang didapatkan, rumah dan tanah adalah jauh lebih penting dan berharga di bandingkan perhiasan, mobil maupun harta materiil lainnya karena tanah memiliki hak yang jauh lebih sempurna. Tanah sendiri memiliki tingkatan hak yang menentukan batas seseorang mengelola dan memilikinya, tingkatan tersebut antara lain yaitu : Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Membuka Lahan, Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak-hak lainnya dan untuk mendapatkan hak-hak sebagaimana yang disebutkan di atas, perlu adanya suatu proses pendaftaran hak kepemilikan atas tanah yang di peroleh melalui pewarisan tersebut dan harus sesuai dengan ketentuan UUPA yang salah satu aturannya adalah bahwa pengaturan penguasaan, kepemilikan dan penggunaan tanah perlu lebih di arahkan bagi semakin terjaminnya tertib di bidang hukum pertanahan, administrasi pertanahan, penggunaan tanah, ataupun pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup sehingga ada kepastian hukum di bidang pertanahan pada umumnya dapat tercapai dan terwujud di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa ada pengecualian sama sekali. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan kondisi obyektif sebagaimana telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah yaitu sebagai berikut : a. Bagaimana pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar sesuai dengan kebijakan hukum pertanahan di Indonesia ? b. Bagaimanakah proses dan upaya penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan Undang-Undang Republik 15 Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Indonesia ? 3. Penjelasan Judul Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia dan hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, maka dalam hal ini harus di kelola secara cermat pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang. Tanah mempunyai arti dan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, karena pastinya semua orang memerlukan tanah semasa hidup sampai dengan meninggal dunia dan mengingat susunan kehidupan dan pola perekonomian sebagian besar yang masih bercorak agraria. Tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna yang multi dimensional. Pertama, adalah dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, adalah secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan di masyarakat. Ketiga adalah sebagai kapital budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya dan yang Keempat adalah bahwa tanah bermakna sakral karena pada akhir hayat semua orang akan kembali kepada tanah. Adapun makna yang multi dimensional tersebut, ada kecenderungan bahwa orang yang memiliki tanah akan mempertahankan tanahnya melalui cara apa pun apa bila hak-haknya telah di langgar oleh orang lain. Di samping 16 makna yang tersebut di atas, kenyataannya manusia pada zaman sekarang, memiliki kecenderungan sifat “materialistis” (lebih mengutamakan kekayaan), sehingga saling berebutan harta kekayaan sudah menjadi hal yang biasa dan lazim untuk temukan di tengah-tengah masyarakat pada saat ini termasuk yang berkaitan dengan pewarisan ditemukan bahwa setiap orang yang merasa dekat dengan si pewaris akan mengklaim dan merasa mempunyai bagian dari harta warisan walau pun telah jelas-jelas diatur mengenai siapa saja orang-orang yang berhak mendapatkan bagian waris akan tetapi tetap saja diupayakan berbagai cara agar dapat memperoleh harta warisan tersebut. Adanya sifat materialistis ini akan menutupi mata hati seseorang, maka dari itu tak jarang seseorang/sebagian orang tidak lagi memperdulikan siapa teman, kawan, musuh atau keluarga sekali pun demi mendapatkan bagian dari harta warisan. Adanya tindakan salah atu ahli waris dengan cara menguasai secara sepihak, mengalihkan, menggadaikan dan/atau memperjual-belikan tanah warisan yang di peroleh tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari ahli waris lainnya adalah merupakan salah satu pemicu dan penyebab timbulnya sengketa tanah di Indonesia dan ini jelas-jelas merupakan suatu momok tertentu yang menimbulkan banyak dampak negatif yang sangat jelas-jelas akan merugikan banyak pihak tanpa terkecuali. Hukum waris telah memuat peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia untuk dapat di terapkan dan di laksanakan dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia serta di dalam ketentuan Pasal 20 ayat 1 dan 41 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah telah 17 disebutkan dengan jelas bahwa, di wajibkan kepada pemegang hak atas tanah untuk mendaftarkan haknya (minta sertifikat) apabila terjadi atau akan dilakukan peristiwa tertentu dan seseorang meninggal dunia, kalau ada yang di tinggalkannya sebagai warisan maka ahli warisnya wajib meminta sertifikat dalam waktu 6 (enam) bulan sejak meninggalnya itu. Kalau ahli waris tidak meminta sertifikat dalam tenggang waktu itu maka menurut ketentuan Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, maka ia (ahli waris) akan di ancam denda dan tentunya tidak bisa di alihkan kepada pihak lain. 4. Alasan Pemilihan Judul Sangat berartinya tanah bagi kehidupan manusia dan bagi suatu Negara di Indonesia dibuktikan dengan telah diaturnya secara konstitusional dalam ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Walaupun demikian, hak milik atas tanah warisan yang belum terdaftar haruslah perlu dipertimbangkan dengan seksama pengaturannya agar tidak terjadi sengketa tanah warisan pada di masa kini, nanti dan yang akan datang. Adanya adat istiadat di setiap daerah Indonesia, harus lah tetap di jaga dan di lestarikan sebagai bagian dari kekayaan nasional yang tidak bisa di campur adukkan dengan Hukum Waris menurut Hukum Islam maupun Hukum Waris Barat sebagaimana yang telah terjadi selama ini akibat dari kurangnya pengaturan yang detail dan memiliki kepastian dan keadilan bagi masyarakat yang lebih menggunakan hukum Adat dalam masalah penyelesaian sengketa hak milik atas tanah warisan yang belum terdaftar di Indonesia. 18 Hukum tentang pewarisan merupakan salah satu bagian yang paling penting di antara seluruh hukum yang telah ada dan berlaku dewasa ini di Indonesia di samping hukum perkawinan dan keluarga, karena hukum pewarisan akan dapat menentukan dan mencerminkan bentuk hukum yang berlaku dalam masyarakat luas dab hal ini disebabkan karena hukum kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia yaitu bahwa setiap manusia akan mengakhiri peristiwa hukum yang lazim dan sudah menjadi kodrat hakiki setiap manusia yaitu meninggal dunia dan dengan peristiwa meninggal dunia itu akan timbul hubungan hukum di masyarakat yaitu masalah kewarisan yang di anut dan diterapkan. Selama ini kita ketahui dengan jelas bahwa, harta warisan yang tidak terbagi dapat di gadaikan jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tua-tua adat dan para anggota kerabat yang bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi kalau akan di alihkan (di jual) oleh waris kepada orang lain harus dimintakan pendapat di antara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak dalam kerukunan kekerabatan. Hukum waris adat tidak mengenal asas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana Hukum Waris Barat di mana untuk para waris, telah ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al’quran Surah An’Nisa. Menurut Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagi-bagikan kepada para waris sebagaimana disebutkan dalam alinea kedua dari ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata atau juga menurut Hukum Islam. Akan tetapi, jika si waris 19 mempunyai kebutuhan atau kepentingan sedangkan ia berhak untuk mendapat warisan, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para ahli waris lainnya. Masalah-masalah sengketa tanah khususnya tanah yang diperoleh dari warisan di daerah-daerah di Indonesia hingga sekarang ini masih banyak dan sering terjadi hingga menimbulkan permusuhan, pertumpahan darah, dendam pribadi dan keluarga antar ahli waris dengan ahli waris lainnya serta tidak tertutup kemungkinan tanah warisan sebagaimana yang dimaksud juga belum pernah di daftarkan di Kantor Badan Pertanahan Nasional akan tetapi telah dikuasai secara sepihak, dialihkan, digadaikan/dijaminkan bahkan telah diperjual-belikan kepada pihak lain yang akhirnya pihak pembeli (atas nama di surat-surat) juga mengalami kerugian karena objek tanah sengketa yang jelas-jelas telah beralih nama menjadi miliknya selaku pembeli akhirnya di gugat oleh ahli waris lainnya sewaktu-waktu di Pengadilan dan tidak tertutup kemungkinan juga bahwa proses jual beli yang dilakukan selama ini merupakan perbuatan melawan hukum karena proses peralihan kepemilikan baik secara dijaminkan, digadaikan maupun jual beli yang pernah terjadi sebelumnya, bisa dapat dibatalkan maupun mengandung rekayasa semata antara penjual (ahli waris) dengan pihak ketiga (pembeli). Maka berangkat dari sini lah, penulis mengambil penelitian yang di beri judul yaitu : “Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Di Indonesia”. 20 5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini yaitu : a. Untuk mengetahui pengertian dan pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. b. Untuk mengetahui dan menjelaskan akibat hukum bagi seorang/sebagian ahli waris yang menguasai secara sepihak, mengalihkan, menjaminkan, mengadaikan dan/atau memperjual-belikan hak atas tanah warisan tanpa persetujuan para ahli waris lainnya kepada pihak lainnya dan mengetahui upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 6. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini, adalah sebagai berikut : a. Manfaat secara Teoritis, yakni untuk memenuhi salah satu persyaratan pada studi tahap akhir guna untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Wijaya Putra Surabaya. b. Manfaat secara Praktis, yakni penulis berupaya untuk menggali dan menjelaskan mengenai perlindungan dan kepastian hukum terhadap pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum dilakukan pendaftaran, upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan hukum yang berIaku di Indonesia dan untuk bahan masukan bagi mahasiswa/peneliti yang ingin melakukan penelitian yang berhubungan dengan masalah yang sama serta sebagai pelengkap informasi dan/atau bahan acuan maupun referensi bagi 21 semua pihak termasuk Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan permasalahan yang timbul sehubungan dengan penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan di berbagai daerah di Indonesia. 7. Metode Penelitian Ilmu Hukum merupakan salah satu cabang Ilmu Pengetahuan yang mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat perspektif dan terapan. Sifat–sifat perspektif Ilmu Hukum merupakan suatu yang substansial dalam ilmu hukum. Hal ini tidak akan mungkin dapat dipelajari oleh ilmu–ilmu yang bukan ilmu hukum. Oleh sebab itu, jenis penelitian hukum pun jelas sangat berbeda dengan penelitian non–hukum lainnya. a. Tipe Penelitian Pemilihan metode penelitian di sesuaikan dengan batasan ilmu hukum yang akan di cari jawabannya tentang pengertian hak atas tanah warisan, pengaturan tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar serta upaya dan proses penyelesaian sengketa hak tanah warisan yang belum terdaftar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Untuk dapat memberikan jawaban dan mentelaah isu hukum tersebut, maka digunakan tipe “Penelitian Hukum Normatif”, yakni suatu penelitian yang bertumpu pada telaah penelitian yuridis normatif atas hukum positif dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penulisan penelitian ini. b. Pendekatan Masalah 22 Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan undang–undang, yakni pendekatan dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku dan peraturan lain yang berkaitan dengan pokok masalah yang di bahas. Di samping itu, dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan doktrin/konsep yakni dengan memperhatikan, mempelajari dan memahami pendapat para ahli hukum dalam karya–karya tulis ilmiah, misalnya buku–buku literatur, jurnal hukum, makalah–makalah dalam seminar dan sebagainya serta internet yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam memberikan analisa atas peraturan perundang-undangan yang berlaku tersebut. c. Bahan Hukum Sebagai sumber dalam penelitian hukum normatif terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang–undangan dan peraturan–peraturan hukum lainnya yang berlaku (Hukum Positif) yang pembahasannya terkait dengan pokok masalah yang dibahas, dengan tidak membatasi peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku literatur, karya-karya tulis ilmiah para ahli hukum, makalah, jurnal hukum, internet dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok masalah yang dibahas dalam penelitian ini. d. Langkah-langkah Penelitian Adapun langkah–langkah penelitian ini, melalui beberapa tahap yaitu sebagai berikut : 23 1. Tahap Pertama Pada tahap pertama ini penulis memulai penelitian dengan mulai menggumpulkan bahan–bahan hukum dan mengiventarisasi bahan hukum yang terkait dengan menggunakan studi kepustakaan dan media lainnya seperti internet dan lain–lain. Kemudian bahan hukum di klasifikasikan dengan cara memilih bahan hukum, dan di susun secara sistematis agar mudah dibaca dan dipahami yang kemudian di lanjutkan dengan berbagai penyempurnaan. 2. Tahap Kedua Dalam tahap kedua ini dilakukan pemahaman dan mempelajari bahanbahan hukum dengan menggunakan metode deduksi yaitu suatu metode penelitian yang diawali dengan menemukan pemikiranpemikiran atau ketentuan yang bersifat umum untuk diterapkan pada pokok masalah yang dibahas yang lebih bersifat khusus. 3. Tahap Ketiga Untuk sampai pada jawaban permasalahan, maka digunakan penafsiran sistematis yaitu penafsiran yang mendasarkan hubungan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainya, pasal yang satu dengan pasal yang lainnya dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pokok bahasan. 8. Sistematika Pertanggung Jawaban Untuk dapat memberikan gambaran secara garis besar masalah– masalah dan penelitian, memudahkan pembahasan dan dapat memahami permasalahan secara jelas, maka skripsi ini ditulis secara sistematis yakni di bagi dalam 4 (empat) Bab dan Sub–Sub Bab yaitu sebagai berikut : 24 Bab I Pendahuluan. Bab ini merupakan gambaran tentang mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini disusun. Oleh karena itu, dalam Bab ini akan dipaparkan tentang latar belakang masalah yang menjadi alasan penting mengapa kajian ini dilakukan. Kemudian dilanjutkan dengan merumuskan permasalahan sebagai titik tolak kajian hukum ini, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, uraian tentang metode penelitian sebagai instrument kajian apakah langkah–langkah dalam penelitian ini dapat dan bisa di pertanggungjawabkan kebenarannya. Sistematika pertanggungjawaban memberikan gambaran secara utuh tentang penelitian. Bab II Pengaturan Hukum Waris Terhadap Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Dan Kaitannya Dengan Sistem Pewarisan Di Indonesia. Dalam Bab ini membahas tentang pengaturan hukum waris pada umumnya, pengertian hak atas tanah warisan, pengaturan hukum terhadap hak atas tanah warisan yang belum terdaftar serta kaitannya dengan sistem hukum pewarisan di Indonesia. Bab III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Dalam Sistem Hukum Di Indonesia. Pada Bab ini membahas apa itu hukum, fungsi hukum, tujuan hukum serta bagaimana fungsi dan tujuan hukum dalam hal upaya dan proses penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar menurut ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di Indonesia. Bab IV Penutup. Merupakan bagian akhir dari penelitian yang terdiri atas bagian kesimpulan, kritik dan saran sebagai jawaban singkat dan lengkap 25 atas rumusan masalah serta bagian saran sebagai suatu sumbangan pemikiran sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan ke depan atau wacana yang positif terhadap penjelasan tentang penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar di Indonesia. 26 BAB II PENGATURAN HUKUM WARIS TERHADAP HAK ATAS TANAH WARISAN DI INDONESIA 1. Pengaturan Umum Tentang Hukum Waris Di Indonesia Dari zaman dahulu hingga saat ini, hukum di Indonesia telah menempatkan dirinya sebagai forum mendasar dan alat/instrumen untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada yang mana konflik-konflik tersebut sebagian besar masih selalu di dominasi oleh kepentingan-kepentingan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sebuah konflik yang terjadi, tidak dapat di pisahkan dari masyarakat dan konflik akan selalu terjadi selama orangorang masih hidup di dunia serta akan selalu berkembang di tengah-tengah masyarakat mengikuti zamannya khususnya yang menyangkut mengenai konflik atau permasalahan harta peninggalan/pewarisan. Untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia di masa kini dan masa yang akan datang, dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan dan berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945, maka penyusunan hukum nasional diperlukan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum yang berasal dari hukum adat di setiap daerah di Indonesia juga dan hal ini bertujuan pada umumnya dalam rangka mengatasi permasalahan-permasalahan yang menyangkut tanah di Indonesia khususnya yang menyangkut tanah warisan. Adapun mengenai masalah yang berkaitan dengan tanah warisan, merupakan sesuatu hal yang sangat aktual bagi manusia di mana saja terutama dalam masa pembangunan saat ini. Melihat hal ini, pengaturan mengenai hukum waris merupakan salah satu pengaturan yang cukup rumit dan sering kita jumpai menjadi masalah 27 dalam kehidupan sehari-hari dalam struktur masyarakat dan sosial yang majemuk di Indonesia, salah satu contohnya adalah mengenai pembagian harta warisan seringkali menimbulkan konflik antara sanak saudara dan keluarga yang kemudian berujung pada sengketa di Pengadilan. Nasikun4 mengemukakan dalam bukunya, bahwa struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya perbedaan suku kesatuan-kesatuan bangsa, sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan agama, perbedaanadat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia di tandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Hal ini tentunya memiliki dampak yang secara langsung turut mempengaruhi hukum waris yang akan berlaku dan menjadi acuan masyarakat di daerah-daerah di Indonesia dalam hal pewarisan. Hukum yang menyangkut pewarisan adalah merupakan bagian dari hukum keluarga yang pastinya akan memegang peranan sangat penting dalam upaya menghindari konflik-konflik di tengah-tengah masyarakat dan bahkan menentukan dan mencerminkan sistem maupun bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia karena kepastian yang pasti dihadapi oleh setiap manusia di dunia ini, adalah adanya kepastian yang menyatakan bahwa semua manusia akan meninggal dunia. Sewaktu ia hidup sebagai anggota masyarakat di sertai hak 4 Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Cetakan Kesembilan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 28 28 dan kewajiban terhadap orang, misalnya terhadap sanak saudara maupun kepada orang lain yang ditinggalkan. Apa bila terjadi suatu peristiwa yaitu meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Oleh karena itu, masalah pewarisan juga akan menyangkut persoalan peralihan harta kekayaan dan ketentuanketentuan hukumnya sangat lah penting untuk bisa dimengerti dan dipahami oleh setiap anggota masyarakat di Indonesia agar tercapai suatu ketertiban dan kepastian di tengah-tengah masyarakat atau paling tidak dapat mencengah terjadinya konflik yang menyangkut tentang harta peninggalan atau pewarisan nantinya. 2. Pengertian Hukum Waris Secara umum dapat di katakan bahwa, hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kedudukan harta dan kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan mengatur mengenai tata cara berpindahnya harta kekayaan tersebut kepada orang lain. Kematian seseorang sudah jelas tidak melenyapkan perhubungan hukum tersebut sehingga dalam kenyataannya di perlukan cara dan bagaimana hak dan kewajiban yang menyangkut harta benda saat yang bersangkutan meninggal dunia akan berpindah kepada orang yang masih hidup. Karena itu lah, pada umumnya masyarakat menghendaki adanya suatu peraturan yang menyangkut harta benda yang di tinggalkan setelah ia meninggal dunia. Adanya keanekaragaman mengenai hukum waris di Indonesia sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat ditemukan pada ketentuan 29 hukum yang berlaku dan diterapkan oleh masyarakat mengenai hukum waris di Indonesia yaitu antara lain : 1) Hukum Waris menurut ketentuan Waris Islam ; 2) Hukum Waris menurut ketentuan Perdata Barat ; 3) Hukum Adat menurut ketentuan Adat Istiadat ; Melihat hal ini, tentunya pengertian hukum waris dari ketiganya pasti akan berbeda-beda pula. Menurut Hukum Islam, pengertian hukum waris dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 171 hurut a Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam, yaitu disebutkan bahwa : “hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan atas harta peninggalan pewaris kemudian menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan menentukan berapa bagian masing-masing”. Sedangkan dalam Hukum Perdata Barat, dijumpai mengenai Hukum Waris merujuk pada ketentuan yang diatur dalam ketentuan KUHPerdata dan pengaturannya dapat dijumpai dalam Pasal 830 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1130 KUHPerdata. Meski demikian, pengertian mengenai hukum waris itu sendiri tidak dapat di jumpai pada bunyi pasal-pasal yang mengaturnya dalam KUHPerdata tersebut. Akan tetapi, berbicara mengenai ketentuan Hukum Waris Barat yang dimaksud adalah sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata (BW) yang menganut sistem individual, bahwa harta peninggalan pewaris yang telah wafat diadakan pembagian. Sedangkan menurut ketentuan Hukum Adat, pengertian hukum waris sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. 30 3. Unsur-Unsur dan Syarat Pewarisan Dalam ketentuan hukum di Indonesia, untuk terlaksananya proses pewarisan yaitu beralihnya harta kekayaan (tanah warisan) orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, yang masih hidup diperlukan adanya 3 (tiga) unsur dan syarat pewarisan, yaitu sebagai berikut : 1) Pewaris yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Untuk dapat di kategorikan sebagai pewaris dia harus sudah meninggal dunia dan kematiannya alamiah/wajar ; 2) Ahli waris yaitu orang yang berhak atas harta peninggalannya pewaris dan ada hubungan kekerabatan atau ikatan perkawinan dan ahli waris harus lah masih dalam keadaan hidup ; 3) Harta warisan/harta peninggalan yaitu apa-apa saja yang ditinggalkan oleh pewaris dalam bentuk benda berwujud (yang bergerak maupun tidak bergerak) maupun hak-hak (piutang, status, jabatan dan lain sebagainya). Apabila salah satu unsur-unsur/syarat yang telah disebutkan di atas tidak terpenuhi, maka tidak akan ada pewarisan seperti ada yang mempunyai harta kekayaan cukup banyak, tetapi ia belum meninggal dunia, maka hartanya belum bisa diwarisi oleh siapa pun atau dia sudah meninggal dunia, tetapi tidak memiliki ahli waris seorang pun, maka pada dasarnya tidak akan terjadi pewarisan. 4. Penggolongan Ahli Waris Pada asasnya, yang dapat beralih pada ahli waris hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja yaitu bahwa ada hak dan kewajiban yang tidak dapat dinilai dengan uang atau tidak terletak di bidang hukum kekayaan ternyata dapat diwariskan. Sebaliknya, ada hak dan 31 kewajiban yang termasuk dalam bidang hukum kekayaan, ternyata tidak dapat diwariskan. Dalam hal ini, yang berhak mewaris pada dasarnya adalah keluarga sedarah dengan pewaris mengingat pentingnya melindungi hak-hak dari pada para ahli waris dari pihak lain yang mencoba menuntut dan mengklaim mendapatkan bagian warisan dari harta peninggalan si pewaris. Menurut ketentuan Pasal 1066 KUHPerdata, harta peninggalan tidak boleh di biarkan dalam keadaan terbagi dan setiap orang termasuk bayi yang baru lahir, cakap untuk mewaris kecuali mereka yang dinyatakan tak patut mewaris (Pasal 838 KUHPerdata). Sebelum terjadi penggolongan ahli waris, ada 2 (dua) cara untuk mendapatkan warisan, yaitu : 1) Pewarisan secara Ab Intestato, yaitu Pewarisan menurut Undang-Undang ; 2) Pewarisan secara Testamentair, yaitu Pewarisan karena di tunjuk dalam Surat Wasiat atau Testament ; Pewarisan berdasarkan undang-undang adalah suatu bentuk pewarisan di mana hubungan daerah merupakan faktor penentu dalam hubungan pewarisan antara pewaris dan ahli waris. Ada 2 (dua) cara mewaris berdasarkan undang-undang (Ab Intestato) yaitu mewaris berdasarkan Kedudukan Sendiri (Uit Eigen Hoofde) dan berdasarkan Penggantian (Bij Plaatsverpulling). Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah 5, menyatakan bahwa mewaris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde) disebut juga dengan mewaris langsung. Ahli warisnya adalah mereka yang terpanggil untuk mewaris berdasarkan haknya/kedudukannya sendiri. Dalam pewarisan berdasarkan kedudukan sendiri pada asasnya ahli waris mewaris kepala demi 5 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, Hal. 18 32 kepala. Mewaris berdasarkan penggantian, yakni pewarisan di mana ahli waris mewaris menggantikan ahli waris yang berhak menerima warisan yang telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris. Dalam mewaris berdasarkan penggantian, tempat ahli waris artinya mereka yang mewaris berdasarkan penggantian tempat, mewaris pancang demi pancang (Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata). Mewaris karena penggantian tempat diatur dalam ketentuan Pasal 841 sampai dengan pasal 848 KUHPerdata. Dalam ketentuan Pasal 841 KUHPerdata, disebutkan bahwa : “Penggantian memberi hak kepada seseorang yang mengganti, untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti“. Dalam ketentuan Pasal 841 KUHPerdata ini, dengan jelas mengatakan bahwa memberi hak kepada seseorang untuk menggantikan hak-hak dari orang yang meninggal dunia dan orang yang menggantikan tempat tersebut memperoleh hak dari orang yang digantikannya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, jika berbicara mengenai hukum waris di Indonesia, maka sebenarnya akan berhadapan dengan 3 (tiga) macam sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia hingga saat ini yaitu : 1) Sistem Hukum Waris Perdata Barat yang diatur dalam KUHPerdata dan berlaku untuk golongan keturunan Tionghoa dan Timur Asing ; 2) Sistem Hukum Waris Adat yang diatur berdasarkan pada hukum adat masing-masing daerah dan berlaku bagi masyarakat pribumi yang berdiam dan menundukkan diri diwilayah hukum adat tersebut ; 33 3) Sistem Hukum Waris Islam yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia berdasarkan “mashab-mashab” yang terdapat dalam Hukum Islam dan Komplikasi Hukum Islam ; Sesuai ketentuan Pasal 832 KUHPerdata, yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sederajat baik sah maupun luar kawin yang diakui serta suami istri yang hidup terlama. Akan tetapi, penggolongan ahli waris sebagaimana di kemukakan oleh Effendi Perangin6 dalam bukunya, penggolongan ahli waris itu dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Golongan I meliputi : a. Suami/Isteri yang hidup terlama ; b. Anak ; c. Keturunan anak ; 2) Golongan II meliputi : a. Ayah dan Ibu ; b. Saudara ; c. Keturunan ; 3) Golongan III meliputi : a. Kakek dan Nenek, baik dari pihak bapak maupun ibu ; b. Orang tua kakek dan nenek itu dan seterusnya ke atas ; 4) Golongan IV meliputi : a. Paman dan Bibi dari pihak bapak maupun ibu ; b. Keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam di hitung dari si meninggal ; 6 Effendi Perangin, Op .Cit., Hal. 35 34 c. Saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari si meninggal ; Dari penggolongan waris diatas, ada beberapa ketentuan yang perlu di perhatikan sehubungan penggolongan waris tersebut yaitu : 1) Jika tidak ada keempat golongan tersebut, maka harta peninggalan jatuh pada Negara ; 2) Golongan yang terdahulu menutup golongan yang kemudian. Jadi jika ada ahli waris golongan I, maka ahli waris golongan II, III, dan IV tidak menjadi ahli waris ; 3) Jika golongan I tidak ada, golongan II yang mewaris. Golongan III dan IV tidak mewaris. Akan tetapi, golongan III dan IV adalah mungkin mewaris bersama-sama kalau mereka berlainan garis ; 4) Dalam golongan I termasuk anak-anak sah maupun luar kawin yang diakui sah dengan tidak membedakan laki-laki/perempuan dan perbedaan umur ; 5) Apabila si meninggal tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri, atau juga saudara-saudara, maka dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 859, warisan harus di bagi dalam 2 (dua) bagian yang sama pembagian itu berupa satu bagian untuk sekalian keluarga sedarah dalam garis si bapak lurus ke atas dan satu bagian lagi sekalian keluarga yang sama dalam garis ibu ; Dari ketentuan ini, terlepas atau tidaknya penerapan penggolongan waris yang berlaku di Indonesia tersebut, dalam hukum waris juga terdapat istilah yang dikenal yaitu mewaris berdasarkan Wasiat. Adapun mengenai pengertian wasiat sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 875 KUHPerdata yaitu : 35 “adapun yang dinamakan surat wasiat atau testamen ialah suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang di kehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi”. Hal ini terjadi disebabkan karena adanya kemungkinan bahwa suatu harta peninggalan misalnya tanah, diwaris berdasarkan wasiat dan berdasar undang-undang. Dengan surat wasiat, maka si pewaris dapat mengangkat seseorang atau beberapa orang ahli waris dan pewaris dapat memberikan sesuatu kepada seseorang atau beberapa orang ahli waris tersebut. Melihat hal ini, pada praktek dan pelaksanaan dari wasiat di Indonesia saat ini, tentu lah ada hal-hal yang menyimpang dan diabaikan dalam prakteknya. Pewaris dengan surat wasiat dapat menyimpang dari ketentuanketentuan yang termuat dalam undang-undang. Akan tetapi, para ahli waris dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah tidak dapat sama sekali di kecualikan. Menurut ketentuan undang-undang, mereka dijamin dengan adanya suatu “legitieme portie” (bagian mutlak). Pihak yang berhak atas legitieme portie disebut dengan legitimaris. 5. Sebab Tidak Patut Menerima Warisan Dan Sikap Ahli Waris Terhadap Harta Warisan Dalam sistem hukum waris di Indonesia, baik itu yang menggunakan Hukum Waris Perdata Barat, Hukum Islam maupun Hukum Waris Adat tidak terlepas dari pilihan hukum (choice of law) atas persoalan kewarisan di Indonesia proses pewarisan harus lah dengan menggunakan cara-cara yang patut dalam hal menerima warisan maupun penentuan mengenai terhalang untuk menjadi ahli waris. Dalam Hukum Islam, tidak patut menerima waris di kenal dengan istilah “terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Adapun yang dimaksud terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris 36 sebagaimana bunyi dalam ketentuan Pasal 171 huruf c Komplikasi Hukum Islam (KHI), yaitu : 1) Ahli waris tidak beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 171 huruf c KHI yang menyatakan bahwa yang dapat menjadi ahli waris adalah yang beragama Islam ; 2) Terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum ahli waris tersebut karena di persalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris (Pasal 173 huruf a KHI) ; 3) Terdapat putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap yang menghukum ahli waris tersebut karena di persalahkan memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun penjara atau hukuman yang lebih berat (Pasal 173 huruf b KHI) ; Sementara itu, dalam ketentuan Pasal 838 KUHPerdata, mengatur tentang orang-orang yang tidak patut menjadi ahli waris (onwaardig) sebagai berikut : 1) Orang yang telah di hukum karena membunuh atau mencoba membunuh pewaris. Dalam hal ini, sudah ada keputusan Hakim, akan tetapi jika sebelum keputusan hakim itu dijatuhkan, si pembunuh telah meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat menggantikan kedudukannya. Pengampunan (grasi) tidak menghapuskan keadaan tidak patut mewaris ; 2) Orang yang dengan keputusan Hakim pernah di persalahkan memfitnah si pewaris, berupa fitnah dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun atau berat. Dalam hal ini, harus ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bersalah karena memfitnah ; 37 3) Orang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya ; 4) Orang yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si pewaris ; Perlu di ketahui, bahwa apa yang disebutkan dalam nomor 3 (tiga) dan 4 (empat) jarang terjadi sebab surat wasiat di buat di depan Notaris dan akibat dari tidak patut mewaris, maka warisan jatuh kepada ahli waris lainnya hal ini sesuai dengan ketentuan hukum sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 839 KUHPerdata bahwa : “tiap-tiap waris yang tidak patut menjadi ahli waris wajib mengembalikan segala hasil pendapatan yang dinikmatinya semenjak warisan terbuka”. Hal ini berbeda dengan sistem Hukum Adat yang secara umum bahwa seorang ahli waris dapat kehilangan hak mewaris jika ia : 1) Membunuh atau berusaha membunuh pewaris ; 2) Melakukan penganiayaan atau merugikan kehidupan pewaris ; 3) Menjatuhkan nama baik pewaris atau kerabat pewaris atau melakukan perbuatan tercela ; 4) Murtad atau berpindah agama ; Hak-hak ahli waris hanya dapat di pulihkan, jika pewaris atau ahli waris yang lain memaafkannya sebelum atau pada waktu pelaksanaan pembagian waris. Harta warisan seseorang yang meninggal dunia, menurut Hukum Adat dan Hukum Islam yang beralih pada hakikatnya hanya sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan utang-utang dari si peninggal warisan. Hal ini berbeda dengan pengaturan menurut KUHPerdata (Burgerlijk Wetbook), yang beralih pada hakikatnya adalah semua harta warisan yang meliputi juga utang-utang dari si peninggal warisan. Hukum waris menurut KUHPerdata 38 mempunyai sifat individual dan bilateral dan dasar pokok hukumnya adalah dengan menggunakan pandangan individualistis. Ketentuan hukum yang bernafaskan semangat mengutamakan kepentingan perorangan atas benda itu mudah menimbulkan sengketa antara para ahli waris sepeninggal si pewaris, sebab pada hakikatnya peninggalan, baik aktiva maupun pasiva beralih kepada ahli waris. Menurut ketentuan dalam KUHPerdata yang diwarisi adalah aktiva dan pasiva sedangkan menurut Hukum Islam dan Hukum Adat yang di warisi dikenal dengan isitilah “Budel”. Budel adalah merupakan saldo atau apa dari kekayaan si meninggal tersisa setelah dibayar semua utang dari si meninggal dan semua hibah wasiat diberikan kepada yang berhak, jadi tidak mungkin yang diwaris itu suatu minus. Dengan adanya ketentuan sebagaimana tersebut di atas, maka para waris itu dapat memilih satu di antara 3 (tiga) sikap terhadap harta warisan yaitu sebagai berikut : 1) Menerima secara keseluruhan, jadi inklusif utang pewaris ; 2) Menerima dengan syarat : warisan diterima secara terperinci sedangkan utangnya si pewaris akan dibayar berdasarkan harta benda yang di terima si ahli waris ; 3) Menolak si waris atau tidak mau tahu tentang pengurusan/penyelesaian warisan tersebut ; 6. Upaya Peralihan Hak Atas Tanah Warisan Kepada Ahli Waris Melalui Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah Adanya hak menguasai Negara, yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia selaku pemegang kekuasaan sebagai landasan dasar dalam rangka untuk 39 mengatur, menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, maka disusun lah UUPA, yang salah satu tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum berkaitan dengan hak-hak atas tanah yang dipegang dan dikuasai oleh setiap masyarakat di wilayah Indonesia. Hal ini secara tegas telah diatur dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang menyatakan bahwa : “untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Mengingat akan hal ini, sebagaimana diketahui bahwa tanah mempunyai ciri khusus yang bersegi 2(dua) yaitu sebagai benda dan sumber daya alam. Seperti halnya air dan udara, yang merupakan sumber daya alam karena tidak dapat diciptakan oleh manusia. Tanah akan menjadi benda berharga bila telah diusahakan manusia, misalnya tanah pertanian atau dapat pula dikembangkan menjadi tanah perkotaan yang pengembangannya dilakukan oleh pemerintah melalui penyediaan prasarana yang akan meningkatkan nilai tanah. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Djamanat Samosir7, tanah adalah kebutuhan setiap manusia dan selalu berusaha untuk memilikinya, merupakan kenyataan sekalipun ada juga yang tidak memiliki tanah. Setelah itu akan tetap mempertahankannya apapun yang terjadi. Tanah dapat dimiliki siapa saja, individu, masyarakat sebagai kelompok, atau badan hukum. Suatu ketika tanah akan menjadi warisan atau aset perusahaan bahkan menjadi benda keramat. Maka jelas lah, tanah mempunyai nilai ekonomi dan semakin banyak 7 Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksitensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Di Indonesia, Cetakan Pertama, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, Hal. 98 40 permintaan dan kebutuhan akan tanah, maka semakin tinggi nilai tanah, juga tidak dapat terhindar yang berakibat pada semakin tinggi konflik tanah. Kebutuhan tanah yang bersifat pokok adalah tanah mempunyai kedudukan yang tinggi bagi kehidupan manusia, sebagai tempat dilahirkan, dibesarkan, membangun kehidupannya sebagai tempat tinggal, sebagai sumber nafkah dan juga kalau sudah meninggal kemudian sebagai tempat pemakaman (kuburan) dirinya. Hubungan yang bersifat ekonomi tersebut ditunjukkan dalam semboyan orang Jawa yang mengatakan “sedhunuk bathuk senyari bumi” (satu jengkal tanah pun akan tetap diperjuangkan meski mengorbankan nyawa). Dari kenyataan ini, telah menunjukkan bahwa kedudukan dan peranan tanah sangat lah berharga bagi setiap manusia karena ketersediaan tanah yang ada terbatas sementara jumlah penduduk yang semakin bertambah yang akhirnya mengakibatkan harga tanah meningkat dengan cepat seiring perkembangan zaman. Akan tetapi, kebutuhan pokok akan tanah tidak diimbangi dengan adanya suatu bukti kepemilikan hak atas tanah yanhg diperoleh dan dikuasai oleh setiap pemilik dan hal ini terlihat bahwa masih banyak masyarakat di Indonesia yang tidak sama sekali/belum memiliki surat (bukti kepemilikan), adanya surat kepemilikan (sertifikat ganda) dan perebutan tanah warisan oleh para ahli waris. Maka untuk itu, diperlukan suatu upaya dalam mengatasi halhal ini, untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum dalam bidang pertanahan/agraria di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 7. Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah Seseorang yang memperoleh sebidang tanah, tentunya semasa ia hidupnya telah memiliki dokumen (surat bukti kepemilikan tanah) mengenai 41 status kepemilikan tanahnya. Atau jika tidak, maka ia harus melakukan permohonan kepada Negara melalui Pejabat Negara atau Kepala Adat. Pada umumnya, jika tanah tersebut belum di lakukan pencatatan/pendaftaran sama sekali, maka tanah tersebut mungkin berstatus Tanah Negara atau Tanah Hak Pengelolaan. Tanah Negara ialah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Langsung dikuasai artinya, tidak ada hak pihak lain di atas tanah itu. Hal ini berarti bahwa, jika di atas tanah itu tidak ada pihak tertentu (orang atau badan hukum), maka tanah itu disebut tanah yang langsung dikuasai Negara. Kalau di atas tanah itu ada pihak tertentu, maka tanah itu disebut sebagai tanah hak. Hal ini menunjukkan bahwa, bukti kepemilikan memiliki kekuatan hukum bagi Negara maupun kepada Orang ataupun Badan Hukum yang menguasai tanah sebagaimana yang dimaksud di setiap wilayah daerah Indonesia. Effendi Perangin8 menyebutkan bahwa, tanah hak itu juga dapat dikuasai oleh Negara, tetapi penggunaannya tidak langsung sebab ada hak pihak tertentu di atasnya. Bila hak tertentu itu kemudian hapus, maka tanah itu menjadi tanah yang langsung dikuasai Negara. Tanah yang ada sekarang ini mungkin : 1) Sejak semula tanah Negara ; 2) Bekas tanah Partikelir ; 3) Bekas tanah Hak Barat ; 4) Bekas tanah Hak ; Hak atas tanah memberi wewenang (hak) kepada setiap pemilik untuk mempergunakan tanah sesuai dengan macam haknya. Akan tetapi, 8 Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Cetakan Kesatu, Rajawali Pers, Jakarta, 1987, Hal. 4 42 sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 6 UUPA, bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Terkait akan hal ini, hak-hak atas tanah yang terdapat di Indonesia hingga saat ini pengaturannya masih diatur dalam ketentuan UUPA yang ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan oleh Negara kepada setiap orang baik sendirisendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Hal ini sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 16 ayat 1 UUPA yang menyebutkan bahwa : ”hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik b. hak guna usaha c. hak guna bangunan d. hak pakai e. hak sewa f. hak membuka tanah g. hak memungut hasil hutan h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan di tetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53”. Adapun mengenai pengertian dari masing-masing hak tersebut di atas, jika diuraikan, yaitu sebagai berikut : 1) Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. (Pasal 20 ayat 1 UUPA) ; 2) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. (Pasal 28 ayat 1 UUPA) ; 3) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. (Pasal 35 ayat 1 UUPA) ; 43 4) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan ketentuan UUPA. (Pasal 41 ayat 1 UUPA) ; 5) Hak Sewa Untuk Bangunan adalah hak seseorang atau badan hukum apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (Pasal 44 ayat 1 UUPA) ; 6) Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan adalah hak untuk membuka tanah dan memungut hasil hutan yang hanya dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan diatur dalam peraturan pemerintah dan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu. (Pasal 46 ayat 1 dan 2 UUPA) ; 7) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara adalah Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian serta yang menyangkut tentang hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan, hak guna ruang angkasa, hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial yang diatur dalam peraturan pemerintah. (Pasal 47 – 49 UUPA ) ; Dengan demikian, maka dengan adanya hak-hak sebagaimana disebutkan di atas secara umum bertujuan untuk mempertegas bahwa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah 44 dan Hak Memungut Hasil Hutan adalah merupakan hak atas tanah yang bersifat tetap sedangkan selain dari itu sifatnya adalah sementara serta untuk mengetahui siapa sebenarnya yang sah berhak untuk memperoleh dan menguasai sebidang tanah secara hukum. 8. Prosedur Pendaftaran Hak Atas Tanah Sebelum berlakunya UUPA, Indonesia menganut sistem pendaftaran akta (registration of deeds) yang ketentuannya diatur dalam ketentuan Overschrijvings Ordonnantie 1834-27. Akta atau surat perjanjian peralihan hak atas tanah dilakukan di hadapan Overschrijvings Ambtenaar yang merupakan pejabat pendaftaran tanah pada masa itu. Sebagai hasil dari pendaftaran tersebut, kepada penerima hak di berikan “grosse akta” sebagai bukti terjadinya peralihan hak tersebut. Setelah berlakunya UUPA, Indonesia menganut sistem pendaftaran hak (registration of titles). Sistem pendaftaran ini digunakan karena peralihan hak atas tanah di Indonesia sesuai dengan hukum adat adalah bersifat nyata, terang dan tunai (kontant, concreet, belevend en participarend denken). Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia kata “pendaftaran” berasal dari suku kata “daftar” yang mendapat awalan pe-, sisipan –n dan akhiran –an adalah pencatatan nama, alamat sebagainya dalam daftar : perihal mendaftar mendaftarakan. Rumusan mengenai pendaftaran tanah diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa : “Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat 45 tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Pendaftaran tanah merupakan persyaratan dalam upaya menata dan mengatur peruntukan, penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah termasuk untuk mengatasi berbagai masalah pertanahan yang mungkin terjadi di kemudian hari nantinya yang mana pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Adapun mengenai kegiatan pendaftaran tanah meliputi hal-hal yaitu sebagai berikut : 1) Bidang fisik, yaitu termasuk pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan peta-peta pendaftaran dan surat ukur ; 2) Bidang yuridis, yaitu termasuk pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak dan pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain yaitu baik hak atas tanah maupun jaminan serta beban-beban lainnya ; 3) Penerbitan surat tanda bukti hak yaitu Sertipikat ; Sedangkan tujuan utama adanya ketentuan tentang pendaftaran tanah yang penyelenggaraanya diperintahkan oleh ketentuan Pasal 19 UUPA dan kemudian ditegaskan kembali dalam ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah untuk memberikan suatu bentuk jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Kepastian hukum yang dapat dijamin tersebut meliputi kepastian mengenai letak batas dan luas tanah, status tanah dan orang yang berhak atas tanah dan pemberian surat berupa Sertipikat. Secara garis besar, adapun mengenai tujuan pendaftaran tanah di tegaskan dalam ketentuan Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran 46 Tanah ada 3 (tiga) tujuan dari diadakannya pendaftaran tanah yaitu sebagai berikut : 1) Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu, para pemegang hak di berikan sertipikat hak atas tanah sebagai surat tanda buktinya (Pasal 4 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 2) Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Untuk menyajikan data tersebut, diselenggarakan oleh Kantor Badan Pertanahan di masing-masing Kabupaten maupun Kotamadya. 3) Untuk terselenggaranya tata tertib administrasi pertanahan. Tata kelola pendaftaran tanah dimaksudkan untuk adanya penyelenggaraan pendaftaran tanah secara baik dalam tata tertib administrasi di bidang pertanahan sebagai daftar umum yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur buku tanah dan daftar nama pemilik hak atas tanah. Dalam sistem pendaftaran hak atas tanah, setiap penciptaan Hak Baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan perubahan, kemudian juga harus dibuktikan dengan suatu Akta. Tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya, bukan aktanya yang didaftarkan melainkan haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya yang terjadi kemudian. Akta hanya merupakan sumber datanya dan sistem pendaftaran hak atas tanah tampak 47 dengan adanya dibuat suatu Buku Tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun dan disajikan serta diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak atas tanah yang didaftar. Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (Initial registration) dan pemeliharaan dalam pendaftaran tanah (maintenance). Dalam prosedur pendaftaran tanah, sesuai ketentuan Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa : “Obyek pendaftaran tanah meliputi : a. bidang bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai ; b. tanah hak pengelolaan ; c. tanah wakaf ; d. hak milik atas satuan rumah susun ; e. hak tanggungan ; f. tanah Negara ; Berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui 2(dua) cara, yaitu pertama secara Sistematik dan yang kedua secara Sporadik. 1) Pendaftaran Tanah Secara Sistematik Pendaftaran tanah secara sistematik dalam ketentuan Pasal 1 Angka 10 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan. Jika diuraikan, maka Pendaftaran Tanah Secara 48 Sistematik berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sebagai berikut : a) Adanya rencana kerja oleh Menteri (Pasal 13 Ayat 2) ; b) Pembentukan Panitia Ajudikasi (Pasal 8) ; c) Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah secara Sporadik (Pasal 15 dan Pasal 16) ; d) Penetapan batas bidang-bidang tanah (Pasal 17 dan Pasal19) ; e) Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah (Pasal 20) ; f) Pembuatan daftar tanah (Pasal 21) ; g) Pembuatan surat ukur tanah (Pasal 22) ; h) Pengumpulan dan penelitian data yuridis tentang tanah (Pasal 24 dan Pasal 25) ; i) Pengumuman hasil penelitian data yuridis dan hasil pengukuran tanah (Pasal 26 dan Pasal 27) ; j) Pengesahan hasil pengumuman (Pasal 28) ; k) Pembukuan hak atas tanah dalam Buku Tanah (Pasal 29) ; l) Penerbitan Sertipikat (Pasal 31) ; Adapun mengenai tata cara dan prosedur Pendaftaran Tanah Secara Sistematik dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu sebagai berikut : a) Penetapan lokasi (Pasal 46) ; b) Persiapan (Pasal 47) ; c) Pembentukan Panitia Ajudikasi (Pasal 48 dan Pasal 51) ; 49 d) Penyelesaian permohonan yang ada saat dimulainya pendaftaran tanah secara Sistematik (Pasal 55) ; e) Penyuluhan (Pasal 56) ; f) Pengumpulan data fisik (Pasal 57 dan Pasal 58) ; g) Pengumpulan dan penelitian data yuridis (Pasal 59 dan Pasal 62) ; h) Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis dan Pengesahannya (Pasal 63 dan Pasal 64) ; i) Penegasan Konversi, Pengakuan Hak dan Pemberian Hak (Pasal 65 dan Pasal 66) ; j) Pembukuan Hak (Pasal 67) ; k) Penerbitan Sertipikat (Pasal 69 dan Pasal 71) ; 2) Pendaftaran Tanah Secara Sporadik Pengertian pendaftaran tanah secara Sporadik dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara Individual atau Massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan atau kuasanya. Prosedur Pendaftaran Tanah secara Sporadik berdasarkan ketentuan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sebagai berikut : a) Diajukan secara individual atau massal oleh pihak yang berkepentingan (Pasal 13 ayat 4) ; b) Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (Pasal 15 dan Pasal 16) ; 50 c) Penetapan Batas Bidang-Bidang Tanah (Pasal 17 dan Pasal 19) ; d) Pengukuran dan Pemetaan Bidang Tanah dan Pembuatan Peta Pendaftaran (Pasal 20) ; e) Pembuatan Daftar Tanah (Pasal 21) ; f) Pembuatan Surat Ukur (Pasal 22) ; g) Pembuktian Hak Baru (Pasal 23) ; h) Pembuktian Hak Lama (Pasal 24 dan Pasal 25) ; i) Pengumuman Hasil Penelitian Yuridis dan Hasil Pengukuran (Pasal 26 dan Pasal 27) ; j) Pengesahan Hasil Pengumuman (Pasal 28) ; k) Pembukuan Hak (Pasal 29 dan Pasal 30) ; l) Penerbitan Sertipikat (Pasal 31) ; Sedangkan tata cara dan prosedur mengenai Pendaftaran Tanah Secara Sporadik diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu sebagai berikut : a) Permohonan untuk dilakukan pengukuran bidang tanah ; b) Pengukuran (Pasal 77 dan Pasal 81) ; c) Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah (Pasal 82 dan Pasal 85) ; d) Pengumuman data fisik serta data yuridis untuk 60 Hari (Pasal 86 dan Pasal 87) ; e) Penegasan Konversi dan Pengakuan Hak (Pasal 88) ; f) Pembukuan Hak (Pasal 89 dan Pasal 90) ; 51 g) Penerbitan Sertipikat (Pasal 91 dan Pasal 93) ; Dalam hal ini, yang dimaksud dengan Sertipikat adalah merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan (Pasal 32 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). 9. Peralihan Hak Atas Tanah Akibat Pewarisan Kepada Ahli Waris Atau Pihak Lainnya Pentingnya suatu jaminan kepastian hukum mengenai penguasaan atau peralihan hak atas tanah oleh seseorang yang diperoleh dari warisan merupakan perpindahan suatu hak atas tanah dari pewaris (seseorang yang telah meninggal dunia) kepada para ahli waris (masih hidup) yang sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang dipergunakan baik itu menggunakan sistem secara Hukum Islam, Hukum Perdata Barat maupun Hukum Adat. Perpindahan hak atas tanah berarti subjek hak yaitu pewaris dan ahli waris, sehingga perlu di laksanakan pendaftaran peralihan hak untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum tentang kepemilikan hak atas tanah yang menjadi harta warisan yang didapatkan oleh para ahli waris. Sebagaimana telah disebutkan di atas, baik itu mengenai pendaftaran hak atas tanah dan proses pelaksanaannya dalam hal ini khususnya menyangkut mengenai pendaftaran hak atas tanah akibat pewarisan memiliki kekhususan tersendiri dibandingkan pendaftaran hak atas tanah lainnya, karena ketentuannya terdapat hal-hal yang mengatur tentang syarat-syarat yang bisa secara sah menjadi ahli waris, hak dan kewajiban bagi para ahli 52 waris serta sanksi hukumnya bila perolehan harta warisan tidak didaftarkan kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan terjadi karena “Demi Hukum” yang artinya dengan telah meninggalnya pewaris maka ahli waris yang sah memperoleh hak kepemilikan atas harta dan kekayaan pewaris. Pada umumnya, peralihan hak atas tanah warisan harus lah dibuktikan terlebih dahulu melalui Surat Silsilah Keluarga, Data-data Kependudukan dan Catatan Sipil (KTP/KK Pewaris dan Ahli Waris), Surat Kematian Pewaris, Bukti Kepemilikan Hak Atas Tanah (Surat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Surat Keterangan Ganti Rugi, Surat Leter C, Petok D dan surat sejenis lainnya) dan disertai dengan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh para ahli waris dan diketahui atau disahkan oleh pejabat yang berwenang. Dengan surat keterangan waris tersebut, kemudian dilakukan pendaftaran pada Kantor Badan Pertanahan Nasional setempat agar dicatat dalam buku tanah tentang pemegang hak yang baru yaitu atas nama ahli waris dan hal ini sangat penting dilakukan agar ahli warisnya mempunyai kekuatan hukum dalam bentuk permohonan. Pemeliharan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis objek pendaftaran tanah yang telah terdaftar dan pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud kepada Kantor Pertanahan (Pasal 36 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). Hal ini dimaksudkan untuk membedakan peralihan hak atas tanah yang telah terdaftar maupun yang belum terdaftar di Kantor Pertanahan. Adapun mengenai peralihan hak 53 karena pewarisan, diatur dalam ketentuan Pasal 42 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa : “untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 42 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa : “jika bidang tanah yang merupakan warisan belum didaftar, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 ayat 1 huruf (b)”. Pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan sangat penting dilakukan karena bisa saja hak-hak yang dimiliki sebelumnya telah dihapus oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan sertipikat hak yang bersangkutan (pewaris) berdasarkan : 1) Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya ; 2) Salinan surat keputusan Pejabat yang berwenang, bahwa hak yang bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut ; 3) Akta yang menyatakan bahwa hak-hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya ; Hal ini sebagaimana menurut pendapat yang dikemukakan oleh Effendi Perangin9, bahwa dalam sertifikat itu akan ditulis lebih dulu si pewaris 9 Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, Membeli, Mewarisi, Menyewakan Dan Menjaminkan Tanah Secara Aman, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 39 54 pemegang hak. Setelah itu, baru lah nama-nama yang memperoleh tanah itu dicantumkan sebagai pemegang hak setelah nama si pewaris dicoret. Adapun mengenai peralihan hak atas tanah warisan setelah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan, maka barulah kemudian dapat dilakukan peralihan hak selanjutnya kepada pihak lain yaitu dengan cara dibagi terlebih dahulu sebagai proses pembagian harta waris oleh para ahli waris baik dengan cara menggunakan sistem pembagian waris Hukum Adat, Hukum Islam maupun secara Hukum Perdata Barat atau langsung dilakukan proses jual beli, ditukarkan, disewakan, digadaikan ataupun dijaminkan sebagai hak tanggungan kepada pihak lain (Pembeli/Bank) dengan catatan dan syarat bahwa, para ahli waris yang sah secara hukum harus mengetahui dan menandatangani perbuatan hukum tersebut. Jika tidak, maka peralihan hak atas tanah warisan yang dilakukan oleh 1 (satu) orang ahli waris saja tanpa ada persetujuan dan sepengetahuan ahli waris lainnya yang sah kepada pihak lain maka akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan secara hukum melalui gugatan di Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan atas terjadinya peralihan hak kepada pihak ketiga lainnya tersebut. 55 BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK ATAS TANAH WARISAN YANG BELUM TERDAFTAR DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA 1. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Di Indonesia Harta warisan merupakan bentuk harta yang dapat saja membuat orang (ahli waris) menjadi kaya raya karena hal tersebut. Sebaliknya, orang atau setiap manusia dapat menjadi miskin karena tidak mendapatkan harta warisan tersebut dan bahkan dapat saja membuat setiap orang menjadi stres, mengalami gangguan kejiwaan (gila) sampai meninggal dunia akibat tidak mendapatkan harta warisan. Dalam hukum waris, pembagian harta warisan yang di berikan kepada ahli waris dalam prosesnya dapat berlangsung tanpa sengketa atau dengan sengketa. Pada prinsipnya setelah pelaksanaan pembagian harta warisan berlangsung secara musyawarah. Musyawarah dilakukan oleh keluarga secara internal untuk menentukan bagian masingmasing ahli waris atau melibatkan pihak ketiga sebagai pihak penengah (mediator). Apabila secara musyawarah internal dan melalui pihak ketiga tidak dapat menyelesaikan sengketa tersebut, maka sengketa akan dapat diselesaikan melalui jalur Pengadilan (Litigasi). Sejalan dengan itu, pada suatu tempat di mana terdapat masyarakat, pasti terdapat suatu peradaban yang menggambarkan keadaan masyarakat tertentu sehingga, di tempat tersebut akan berpotensi menimbulkan suatu konflik. Konflik yang terjadi di suatu daerah akan memunculkan hukum untuk menawarkan suatu penyelesaian atas sengketa tersebut. Salah satu sumber obyek sengketa dalam kehidupan sehari-hari antar manusia satu dengan 56 manusia yang lain, terutama dalam suatu keluarga yang dulunya bersatu kemudian bercerai-berai adalah persoalan pembagian warisan yang tidak proporsional sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Sengketa menurut Kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik. Konflik dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok ataupun organisasi-organisasi. Pertentangan atau konflik tersebut terjadi karena adanya suatu hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan (tanah warisan) yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lainnya dan tujuan seseorang (ahli waris) dalam memperkarakan sengketa adalah untuk menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan baginya. Dalam ketentuan Pasal 19 UUPA, telah termuat dengan jelas bahwa pendaftaran tanah dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Kepastian hukum yang di maksud tersebut adalah memberikan kepastian hak-hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah. Seperti yang dikemukakan oleh Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D. Kolkman dan Rafael Edy Bosko10 dalam bukunya, bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah dapat menjamin kepastian hukum apabila memenuhi syarat ; 1) Peta-peta kadastral dapat dipakai rekonstruksi dilapangan dan digambarkan batas yang sah ; 2) Menurut hak ; 3) Daftar ukur membuktikan pemegang hak terdaftar didalamnya sebagai pemegang hak yang sah menurut hukum ; 10 Arie Sukanti Hutagalung., Dkk, Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia, Edisi Pertama, Pustaka Larasan, Jakarta, 2012, Hal. 236 57 4) Setiap hak dan peralihannya harus didaftar ; Setelah dilakukan proses pendaftaran tanah, maka akan diperoleh Sertipikat yang merupakan salinan buku tanah dan surat ukur yang dijahit menjadi satu yang mana didalamnya disebutkan dengan lengkap indentitas subjek pajak yang bersangkutan dan keterangan secara rinci obyek haknya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa orang yang namanya tercantum didalam sertipikat adalah pemilik sah hak atas tanah yang bersangkutan. 2. Tinjauan Hukum Pengertian Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Di antara sekian banyaknya hak atas status kepemilikan tanah yang dikenal di Indonesia baik berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lainnya, maka Hak Milik adalah merupakan hak turun temurun dan satu-satunya hak primer yang mempunyai kedudukan paling kuat dibandingkan hak-hak atas tanah lainnya serta memiliki tanda bukti berupa sertipikat atas hak milik tersebut. Untuk itu, diperlukan pemeliharaan data oleh para ahli waris dan Kantor Pertanahan untuk menjaga hak tersebut agar jangan sampai keliru dan dikuasai oleh pihak lain. Pemeliharaan data tersebut karena hukum pada saat pemegang hak sebelumnya meninggal dunia (pewaris) dan pada saat itu, para ahli waris akan menjadi pemegang hak yang baru. Pendaftaran peralihan hak karena pewarisan diwajibkan dalam rangka memberikan perlindungan hukum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah agar data yang tersimpan dan disajikan kepada publik selalu menunjukkan keadaan yang baru dan muktahir. Adapun mengenai surat tanda bukti sebagai ahli 58 waris yang sah secara hukum dapat berupa akta keterangan hak waris atau surat penetapan ahli waris atau surat keterangan waris. Mengenai tanda bukti peralihan hak karena pewarisan, di atur dalam ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa : “surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa : 1) wasiat dari pewaris, atau 2) putusan pengadilan, atau 3) penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau 4) - Bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan di saksikan 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan dengan Kepala Desa dan Camat dari tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia ; - Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa : akta keterangan mewaris dari Notaris, - Bagi warga negara Indonesia Timur Asing : surat keterangan ahli waris dari Balai Harta Peninggalan”. Dalam hal ini, pendaftaran hak karena pewarisan adalah merupakan suatu bentuk peralihan hak yang harus kembali didaftarkan untuk membuktikan bahwa ahli waris memiliki hak atas tanah pewaris sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 111 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan mengenai bidang tanah di bagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu yang pertama adalah untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftarkan dan hak milik atas satuan rumah susun wajib diserahkan oleh yang menerima hak sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan yaitu sertipikat yang bersangkutan (pewaris), surat kematian orang pewaris, dan surat tanda bukti keterangan waris (Pasal 42 ayat 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 59 Tentang Pendaftaran Tanah). Sedangkan yang kedua adalah jika bidang tanah yang merupakan ahli waris belum didaftarkan, wajib diserahkan juga dokumen-dokumen (Pasal 42 ayat 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah). Adapun yang dimaksud dokumen-dokumen tersebut adalah dokumen yang membuktikan adanya hak atas tanah pada yang diwariskan itu diperlukan karena pendaftaran peralihan haknya baru dapat dilakukan setelah dilaksanakannya proses pendaftaran untuk pertama kali hak yang bersangkutan atas nama yang mewariskan dan Kantor Pertanahan akan menerbitkan Sertipikat yang merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Untuk itu, sejak pewaris meninggal dunia, harus lah kemudian dilakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diperoleh para ahli waris tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional baik itu Kantor Pertanahan Kabupaten maupun Kotamadya untuk di lakukan pencatatan sebagai bentuk upaya pemeliharaan data baik data fisik maupun data yuridis dalam rangka mendapatkan kepastian hukum atas hak atas tanah yang diperoleh para ahli waris dari pewaris sebagaimana yang dimaksud. Dengan demikian jika di cermati, maka hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya hal ini adalah merupakan kewajiban para ahli waris untuk melaksanakan peraturanperaturan yang berkaitan dengan pendaftaran tanah sebelum melakukan pembagian atau peralihan hak selanjutnya kepada pihak lain sebagaimana yang dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 20 PP Nomor 10 Tahun 1961 60 Tentang Pendaftaran Tanah Juncto PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa 6 (enam) bulan setelah seseorang meninggal (pewaris) para ahli warisnya wajib mendaftarkan terjadinya peralihan hak atas tanah yang dipunyai oleh si meninggal (pewaris). Selain itu juga, hal ini akan menunjukkan dengan jelas dan tegas bahwa apapun status hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh pewaris semasa hidupnya, baik itu berupa stasus hak atas tanah dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan dan hak-hak lainnya harus lah wajib untuk di daftarkan peralihannya kepada Kantor Pertanahan dan hal ini dipertegas sebagaimana dengan adanya ketentuan Pasal 61 ayat 3 PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang menyebutkan bahwa untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. Oleh karena itu, kelalaian yang dilakukan oleh para ahli waris jika tidak melakukan pendaftaran hak atas tanah pewarisan, maka sanksinya adalah denda terhitung sejak terlewatinya 6 (enam) bulan meninggalnya si pewaris dan yang parahnya lagi, jika tidak didaftarkan maka bisa saja hak tersebut dihapus misalnya karena adanya kesalahan dan kekeliruan dari Kantor Pertanahan sewaktu pencatatan pendaftaran tanah dan untuk mencegah adanya tindakan-tindakan salah satu ahli waris yang ingin menguasai secara sepihak atau bisa saja tindakan-tindakan lain dari pihak ketiga lainnya yang ingin menguasai tanah peninggalan si pewaris dengan alasan-alasan dan bukti-bukti tertentu. 61 3. Tinjauan Hukum Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Sengketa dalam pengertian yang luas adalah merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan bermasyarakat yang dapat terjadi pada saat dua orang atau lebih berinteraksi pada suatu peristiwa/situasi dan mereka memiliki persepsi, kepentingan, dan keinginan yang berbeda pada setiap peristiwa/situasi tersebut. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila dirasakan telah merugikan salah satu pihak dan terjadi konflik yang berkepanjangan tanpa ada suatu penyelesaian. Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan rasa ketidak-puasannya kepada pihak kedua atau kepada pihak ketiga lainnya. Apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesai lah konflik tersebut. Tetapi, apabila reaksi dari pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai yang berbeda, maka terjadi lah apa yang dinamakan dengan sengketa. Pengertian sengketa tanah termuat secara jelas diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan yang menyebutkan bahwa : 1) “sengketa pertanahan adalah perbedaan pendapat mengenai : a) keabsahan suatu hak ; b) pemberian hak atas tanah ; c) pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihannya dan penerbitan tanda bukti haknya, antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan instansi di lingkungan Badan Pertanahan Nasional ; 2) pihak-pihak yang berkepentingan adalah pihak-pihak yang merasa mempunyai hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu dan pihak lain yang kepentingannya terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut ;”. 62 Menurut pendapat yang dikemukakan oleh G. Kartasapoetra11, khusus bagi pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai tanah yang telah dibukukan, kepada Kantor Pendaftaran tanah oleh penerima waris harus diserahkan Sertipikat hak atas tanah itu beserta surat wasiat atau kalau surat itu tidak ada, maka cukup lah surat keterangan warisan dari Instansi yang berwenang. Sertipikat tanah ini akan dikembalikan kepada pewaris atau ahli waris, yaitu : 1) Di mana peralihan haknya telah dicatat dalam daftar Buku Tanah yang bersangkutan dan pada Sertipikatnya ; 2) Setelah kepada Kantor Pendaftaran Tanah, disampaikan Surat Keterangan tentang pelunasan pajak tanah sampai pada saat yang mewariskan itu meninggal dunia ; Dalam rangka penyelesaian sengketa tanah, pada umumnya terlebih dahulu harus mengetahui penyebab-penyebab terjadinya masalah sengketa pertanahan. Sengketa pertanahan disebabkan oleh : 1) Kepemilikan hak atas tanah atau penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata ; 2) Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan non pertanian ; 3) Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah ; 4) Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas tanah (hak ulayat) ; 5) Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam pembebasan tanah ; 11 G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan Di Indonesia, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, Hal. 96 63 Jika dilakukan suatu kesimpulan, maka sumber yang melakukan dan penyebab sengketa tanah warisan yang belum terdaftar, antara lain yaitu sebagai berikut : 1) Masyarakat (ahli waris) yaitu : Adanya perbuatan melawan hukum berupa pemalsuan keterangan, salah lokasi, bukti kepemilikan tidak jelas dan tanda batas tidak jelas ; 2) Kepala Desa : Adanya pemalsuan keterangan, keterangan waris keliru dan keterangan kepemilikan salah ; 3) PPAT : Adanya pemalsuan Akta Jual Beli, luas bidang tanah salah, status tanah tidak jelas dan batas kepemilikan keliru ; 4) Kantor Pelayanan Pajak : adanya penyimpangan wajib pajak, penetapan wajib pajak keliru dan penetapan NJOP salah ; 5) Kantor Badan Pertanahan : Tidak tertibnya administrasi pertanahan, kurang cermat dalam mengindentifikasi letak, batas dan tanda bukti alas hak tanah ; Sementara itu, khusus mengenai sengketa tanah warisan yang belum terdaftar disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum, terdapat 2 (dua) hal yang menjadi faktor yang menjadi penyebab terjadinya sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar yaitu sebagai berikut : 1) Faktor Hukum a. Ahli waris belum cukup umur (belum cakap) untuk melakukan perbuatan hukum, sehingga tanah warisan yang diterimanya harus dikuasakan dulu sampai ahli waris cakap/mampu dalam melakukan perbuatan hukum ; 64 b. Berkas-berkas yang menjadi syarat-syarat dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan tidak lengkap ; c. Tanah warisan masih dalam sengketa atau sedang diperebutkan oleh para ahli waris sehingga dalam jangka 6 (enam) bulan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan sama sekali tidak diurus pendaftarannya ke Kantor Pertanahan ; d. Tanah telah di kuasai oleh pihak ketiga lainnya dengan alasan bahwa semasa hidupnya telah dijual-belikan oleh pewaris tanpa sepengetahuan istri, anak-anak dan ahli waris lainnya ; 2) Faktor Non Hukum a. Ekonomi atau Biaya Keadaan ekonomi ahli waris yang masih di bawah garis kemiskinan dan untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan pandangan masyarakat (ahli waris) akan tertuju pada sejumlah biaya yang akan dikeluarkan, biaya pendaftaran tanah di rasakan relatif sangat mahal dan dalam hal ini biaya pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan tersebut mahal karena tergantung pada luas dan letak atau lokasi tanahnya serta jumlah pajak yang harus dibayarkan ; b. Pendidikan dan Ketidak-tahuan Tingkat pendidikan dan ketidak-tahuan masyarakat akan pentingnya pendaftaran tanah pada umumnya dan khususnya para ahli waris yang masih rendah. Sehingga, mereka tidak mengetahui bagaimana besar fungsi dan mamfaat mendaftarkan peralihan hak atas tanah warisannya ; 65 c. Sikap apatis dan menganggap remeh (tidak penting dan nanti saja) dari pihak para ahli waris dalam melakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan ke Kantor Pertanahan sehingga kepastian hukum atas tanah warisan yang diperoleh tersebut menjadi tidak jelas dan tidak diakui secara hukum. Menurut pendapat yang disampaikan oleh Effendi Perangin12 dalam bukunya, apabila hak atas tanah sudah pernah didaftarkan (dibukukan) menurut peraturan lama yaitu sebelum PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah, maka kalau pemegang haknya hendak mengalihkan atau membebani haknya, sertipikat hak itu harus keluar terlebih dahulu. Hal ini timbul dari ketentuan Pasal 22 ayat 1 a PP Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa, PPAT wajib menolak membuat akta bila kepadanya tidak diserahkan sertipikat. Kalau tidak diurus, akibat praktisnya ialah bahwa tanah itu belum bisa dijual-belikan atau dibebani hipotik/credietverband dan keadaannya sama dengan hak eigendom. Di samping itu, proses transaksi tanah yang terjadi misalnya saja dalam hal Jual Beli harus lah dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk dibuatkan Akta Jual Beli agar bisa didaftarkan peralihan haknya dari pihak Penjual kepada pihak pembeli dalam rangka untuk proses Balik Nama status kepemilikan tanah dan perubahan data fisik dan data yuridis. Hal ini bertujuan, agar ada suatu bentuk kepastian bukti kepemilikan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dan salah satu contohnya adalah adanya proses Jual Beli. Persetujuan Jual Beli sendiri menurut ketentuan UUPA, 12 Effendi Perangin, Praktek Pengurusan Sertifikat Hak Atas Tanah, Cetakan Pertama, Rajawali, Jakarta, 1986, Hal. 10 66 merupakan persetujuan konsensuil yang sama halnya dengan dalam ketentuan pada KUHPerdata. Sejak berlakunya UUPA, jual-beli benda tak bergerak (tanah) sudah merupakan perbuatan hukum konsensuil yang telah sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung Tertanggal 8 Juni 1963 Nomor : 1001K/Sip/1963 yang memberikan putusan dengan mendalilkan bahwa penyetoran uang harga pembelian kepada suatu bank belum berarti bahwa pabrik yang dibeli, seketika itu juga menjadi milik si Pembeli. Hal ini berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyebutkan bahwa perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan Akta yang dibuat oleh PPAT. Secara umum, sifat permasalahan dari suatu sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar ada beberapa macam, yaitu antara lain sebagai berikut : 1) Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum ada haknya ; 2) Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak ; 3) Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang/tidak benar ; 4) Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat strategis) ; 67 Jadi jika dilihat dari substansinya, maka sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar meliputi pokok persoalan yang berkaitan dengan hal-hal yaitu : 1) Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah ; 2) Keabsahan suatu hak atas tanah ; 3) Prosedur pemberian hak atas tanah ; dan 4) Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya ; Sedangkan secara khusus, masalah yang akan terjadi jika hak atas tanah warisan yang diperoleh ahli waris dari pewaris apabila tidak didaftarkan dapat menimbulkan masalah baru, yaitu antara lain sebagai berikut : 1) Terbitnya Sertipikat Ganda ; Sertipikat Ganda yaitu 2 (dua) buah sertipikat atau lebih di mana obyek tanahnya sebagian atau seluruhnya sama, tetapi data subyeknya bisa sama atau bisa juga berlainan. 2) Munculnya Sertifikat Palsu ; Sertipikat Palsu yaitu sertipikat yang data pembuatan sertipikatnya palsu atau dipalsukan atau tanda tangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/Kotamadya dipalsukan maupun “blangko” yang dipergunakan pada sertipikat adalah blangko palsu dan bukan “blangko” yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. 3) Konversi Hak Cacat Hukum ; Konversi Hak Cacat Hukum yaitu perubahan hak dari yang lama kepada penerima hak yang baru tidak sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu perubahan hak sebagaimana aturan hukum yang berlaku. 68 4) Peralihan Hak Pewarisan Cacat Hukum dan Cacat Administrasi ; Peralihan Hak Pewarisan Cacat Hukum dan Cacat Administrasi yaitu peralihan hak atas tanah warisan tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan hukum yang berlaku serta dokumen-dokumen sebagai syarat yang diperlukan dalam proses peralihan hak tersebut tidak sah dalam administrasi pemerintahan. 5) Permohonan Pemblokiran/Skorsing ; Permohonan pemblokiran/skorsing yaitu adanya permohonan yang di lakukan oleh salah satu ahli waris atau pihak lain (Bank) kepada Kantor Pertanahan agar sertipikat untuk sementara di blokir/skors karena masih dalam sengketa dengan para ahli waris atau pihak ketiga lainnya maupun dalam hak atas tanah warisan tersebut terikat Hak Tanggungan dengan pihak Bank. 4. Tinjauan Hukum Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Tak dapat di pungkiri, konflik yang menyangkut tanah di Indonesia selama ini amat lah tinggi intensitasnya. Ini bisa terlihat dari banyaknya perkara sengketa tanah yang ada di Pengadilan maupun yang diselesaikan di luar Pengadilan khususnya menyangkut tanah warisan yang belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Bahkan, ada pula yang tidak diselesaikan sama sekali atau penyelesaiannya lewat tindakan anarkis berunsur tindak pidana. Sengketa tanah itu tak hanya menyangkut soal sebagai harta kekayaan saja, melainkan juga tanah sebagai objek hukum dan fungsi sosial yang memiliki nilai-nilai yang sangat dihormati oleh semua lapisan masyarakat di Indonesia. 69 Adanya tindakan-tindakan dari salah satu ahli waris yang telah melakukan suatu perbuatan hukum dengan cara telah menguasai secara sepihak, memperjual belikan, menukarkan dan menjaminkan hak atas tanah warisan yang belum terdaftar tanpa persetujuan dan sepengetahuan ahli waris lainnya sangat dimungkinkan sering terjadi karena adanya kepentingankepentingan pribadi yang sifatnya mendasar sehingga akhirnya melakukannya. Padahal sebenarnya, harta peninggalan pewaris tersebut seharusnya terlebih dahulu dilakukan pendaftaran peralihan hak karena pewarisan kepada semua ahli waris dan baru lah dapat dijual, ditukar atau dijaminkan kepada pihak lainnya atau dilakukan pembagian bersama antara para ahli waris lalu bisa kemudian dapat dilakukan perbuatan hukum lainnya. Hal ini sangat penting dan berkaitan sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh John Salindeho13 dalam bukunya bahwa, beralihnya suatu hak dapat terjadi “bukan” karena suatu “perbuatan hukum”, melainkan sebagai suatu “peristiwa hukum” atau “akibat hukum”. Di sini tidak ada unsur “sengaja” didalam hubungan dengan suatu perbuatan. Misalnya seseorang yang meninggal dunia, maka sebagai “peristiwa hukum” almarhum meninggalkan warisan yang tanpa suatu perbuatan hukum, mengakibatkan “haknya beralih” atas suatu bidang tanah yang dihinggapi misalnya Hak Milik kepada isteri dan anaknya. Meninggalnya seseorang itu adalah suatu peristiwa hukum, bahkan suatu hal yang berada di luar kuasa manusia. Jadi tidak ada unsur “sengaja” di dalamnya. Apa yang ada padanya “beralih” kepada yang berhak memiliki sebagai waris, bukan “dialihkan”. 13 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1987, Hal. 38 70 Namun terkait hal ini, mengingat sistem pendaftaran peralihan hak atas tanah pewarisan yang digunakan selama ini di Indonesia adalah sistem negatif, yaitu dengan berdasarkan bukti-bukti kepemilikan tanah tanpa ada pengujian secara materiil, maka hak kepemilikannya masih mengandung ketidak-pastian hukum karena kebenaran datanya tidak dijamin sepenuhnya oleh pemerintah sehingga sewaktu-waktu bisa saja dapat dipersoalkan oleh orang lain bahkan dapat diperkarakan pada lembaga-lembaga peradilan dengan hasil kesimpulannya adalah bahwa sengketa tanah warisan yang belum terdaftar yang merupakan produk pendaftaran tanah akan mempunyai kepastian dan kekuatan hukum setelah memperoleh putusan hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Pengadilan Negeri yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkcraht). Adapun putusan umumnya menyatakan bahwa, hak atas tanah warisan haruslah dilakukan pendaftaran peralihan hak oleh para ahli waris terlebih dahulu dan kemudian diterbitkan sertipikat atas nama ahli waris secara sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku oleh Kantor pertanahan kemudian baru lah bisa dilakukan peralihan hak (dijual) kepada pihak ketiga lainnya dengan catatan harus mendapatkan persetujuan dan sepengetahuan semua para ahli waris lainnya yang sah. Dengan demikian, maka pada hakikatnya kasus sengketa tanah warisan yang belum terdaftar merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara ahli waris dengan ahli waris lainnya, ahli waris dengan perorangan (pihak pembeli), ahli waris dengan Badan Hukum dan ahli waris dengan Lembaga Instansi Pemerintahan dalam hal status hak atas tanah warisan yang belum terdaftar di mana sesuai ketentuan peraturan yang ada di 71 Indonesia, apapun bentuk status kepemilikan hak atas tanah harus dilakukan pendaftaran peralihan hak dari pewaris kepada ahli warisnya di Kantor Pertanahan terlebih dahulu untuk adanya kepastian hukum bagi para pihak yang berhak mendapatkan harta warisan tersebut. Alasan sebenarnya yang menjadi tujuan akhir dari sengketa adalah bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas tanah yang disengketakan tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tanah warisan yang belum terdaftar tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu dan pilihan hukum dalam proses penyelesaiannya baik menggunakan melalui cara Litigasi (pengadilan) maupun Non Litigasi (di luar pengadilan) sebelum di peroleh suatu keputusan atas penyelesaian sengketa tanah warisan yang belum terdaftar tersebut. 5. Tinjauan Hukum Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Melalui Mediasi/Alternatif Penyelesaian Sengketa (Non Litigasi) Setelah terjadinya proses reformasi di segala bidang yang di kehendaki oleh rakyat, ada kecenderungan masyarakat semakin menyadari hak dan kewajibannya. Salah satu akibatnya ialah tuntutan masyarakat yang merasa hak keperdataannya di abaikan selama ini dan hal ini secara signifikan berpengaruh terhadap peningkatan masalah pertanahan di Indonesia diajukan oleh masyarakat dengan kata lain bahwa penyelesaian sengketa tanah yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya yang menyangkut sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar, hingga saat ini masih menjadi dilema di tengah-tengah masyarakat karena penyelesaian yang tepat 72 dan bisa memberikan suatu bentuk kepastian hukum belum bisa diupayakan dan diwujudkan dengan maksimal. Salah satu contoh nyata yang sering terjadi di Indonesia adalah mengenai tindakan salah satu ahli waris yang telah melakukan perbuatan hukum yang sifatnya perdata dan pidana yang merugikan pihak ahli waris lainnya di mana salah satu/sebagian ahli waris telah menjual, menukar dan bahkan menjaminkan tanah warisan yang belum didaftarkan peralihan haknya kepada pihak ketiga lainnya (Pembeli/Bank) tanpa persetujuan dan sepengetahuan ahli waris lainnya dan kemudian ahli waris lainnya keberatan dan melakukan tuntutan hukum baik kepada salah satu/sebagian ahli waris yang telah menjual, menukar dan menjaminkan tanah warisan tersebut serta pihak ketiga lainnya juga turut ikut serta terlibat dan dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar memang bisa diselesaikan melalui Pengadilan (Litigasi). Namun, pada saat ini melihat fenomena yang ada, upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan oleh masyarakat dirasakan masih banyak sekali mengandung kekurangankekurangan antara lain sebagai berikut : 1) Pengadilan sudah sarat beban ; 2) Prosedur dan proses sangat birokratis ; 3) Butuh waktu yang lama dan panjang ; 4) Biaya cenderung relatif mahal ; 5) Posisi para pihak saling bermusuhan ; 6) Sidang terbuka untuk umum ; 73 7) Pada umumnya pengetahuan Hakim bersifat masih terbatas generalis bukan spesialis ; 8) Indikasi praktek Money Game (Oknum Advokat dan Hakim) ; 9) Putusan : kalah – menang (win – lose) ; 10) Putusan : sering kali tidak masuk akal dan tidak melihat pada fakta sebenarnya (unreasonable & unpredictable) ; 11) Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam Putusan Hakim ; 12) Hambatan pelaksanaan putusan pengadilan (Eksekusi) : Hal ini tentunya sangatlah beralasan, karena penyelesaian sengketa melalui pengadilan justru dirasakan tidak cukup efektif karena selama ini masyarakat (pemilik tanah) cenderung tidak memiliki alat bukti tertulis kepemilikan atas tanahnya. Hal ini yang menyebabkan mereka sulit menang saat berada di pengadilan, padahal kenyataannya justru mereka lah sebenarnya di pihak yang benar dan dirugikan. Hak atas tanah akan jatuh pada pihak yang memiliki alat bukti secara tertulis misalnya sertipikat. Hal ini karena hukum acara di pengadilan lebih mementingkan pada pembuktian yaitu alat bukti otentik secara tertulis sementara masyarakat (ahli waris) pada umumnya lebih mengutamakan alat bukti secara lisan, pengakuan dan saksi-saksi saja. Dengan melihat kelemahan-kelemahan atau kekurangan yang ada dalam penyelesaian sengketa pertanahan melalui pengadilan (litigasi) sebagaimana disebutkan di atas, maka timbul upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). Jika hal ini dikaitkan dengan tugas, fungsi dan wewenang BPN, dalam literatur pasal-pasal dalam ketentuan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional dan Peraturan Menteri Negara 74 Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, maka sebenarnya banyak ditemukan berbagai istilah berupa ketentuan yang pada intinya mempunyai maksud yang sama yakni Penyelesaian Sengketa Alternatif (PSA), Pilihan Penyelesaian Sengketa (PPS) maupun Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa (MAPS) dan hal ini sangat berkaitan dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS). Sebenarnya, dengan pertimbangan banyaknya jumlah sengketa yang berkaitan dengan tanah yang terjadi di Indonesia, pihak Badan Pertanahan Nasional sebagai pihak penyelenggara yang mengurusi bidang pertanahan di Indonesia kini telah berupaya agar kasus sengketa tanah tidak diselesaikan di pengadilan lagi melainkan dengan cara damai dan sesuai dengan aturan agraria yang berlaku karna proses di pengadilan justru memakan waktu dan biaya yang justru sangat memberatkan para pihak terlebih lagi pihak Penggugat. Hal ini juga terlihat pada adanya kenyataannya bahwa penyelesaian sengketa tanah tidak selamanya harus dilakukan dengan caracara sesuai aturan hukum. Dalam bukunya, Bernhard Limbong14 mengemukakan bahwa, aturan hukum akan menjadi nilai dalam masyarakat ketika menjadi suatu kaidah atau norma yang di jadikan tata hukum. Hal ini pun berlaku bagi keseluruhan kaidah–kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria atau hukum agraria. Dalam tata hukum Indonesia, lapangan hukum agraria mendapat tempat sebagai lapangan hukum tersendiri sejak 14 Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Cetakan Pertama, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, Hal. 82 75 berlakunya UUPA. Akan tetapi, penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar bisa juga diselesaikan dengan cara musyawarah dengan melibatkan pihak ketiga misalnya tokoh masyarakat, kepala desa atau pihak yang ditunjuk dan dipercaya oleh para pihak terkadang cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa tanah yang ada dan hal ini di kategorikan sebagai bentuk penyelesaian melalui Mediasi Tradisional. Akan tetapi, jika hal ini tidak bisa dilakukan dan mengalami kebuntuan, maka para pihak yang bersengketa bisa mau tidak mau harus melakukan penyelesaian dengan caracara lainnya. Tidak terlepas dari hal ini, sejak diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya dapat melaksanakan penanganan sengketa dan konflik pertanahan yaitu dengan adanya Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan yang mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan (Pasal 22 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang BPN). Hal ini di tegaskan dalam ketentuan Pasal 23 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang BPN yaitu : “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan menyelenggarakan fungsi yaitu : a. Perumusan kebijakan teknis di bidang pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan ; b. Pengkajian dan pemetaan secara sistematis berbagai masalah, sengketa, dan konflik pertanahan ; c. Penanganan masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara hukum dan non hukum ; d. Penanganan perkara pertanahan ; 76 e. Pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi dan lainnya ; f. Pelaksanaan putusan-putusan lembaga peradilan yang berkaitan dengan pertanahan ; g. Penyiapan pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku :” Di samping itu, dengan adanya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, turut memperkuat dan memperjelas bahwa sengketa tanah dapat diselesaikan dengan cara melalui Mediasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam hal ini, Istilah ketentuan “alternatif” mengandung pengertian bahwa suatu cara penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah merupakan bentuk “privatisasi” penyelesaian sengketa dengan mengurangi campur tangan Negara melalui lembaga pengadilan yang ada selama ini. Alternatif Penyelesaian Sengketa bukanlah merupakan bentuk rasa tidak percaya pada lembaga peradilan. Namun, lebih bertujuan menghindari perselisihan yang berkepanjangan antar pihak serta membantu peran lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di tengah-tengah masyarakat. Alternatif Penyelesaian Sengketa lebih mengutamakan cara-cara kooperatif sesuai pilihan mereka sendiri, melalui inisiatif dan kemauan bersama para pihak sebagai wujud aktualisasi peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa khususnya di bidang sengketa tanah warisan yang belum terdaftar. Jika dikaitkan dan di tinjauan lebih jauh lagi secara hukum, maka dalam hal ini penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar 77 sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara menggunakan penyelesaian sengketa menurut ketentuan UU Arbitrase dan APS. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS, menyebutkan bahwa : “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. Artinya, dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah proses alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil. Penyelesaian sengketa yang di selesaikan di luar pengadilan (non litigasi) lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya UU Arbitrase dan APS sebagaimana yang di maksud, maka penyelesaian sengketa tanah khususnya hak atas tanah warisan yang belum terdaftar dapat diselesaikan dengan patokan bahwa para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata maupun hukum publik (Pasal 1 ayat 2 UU Arbitrase dan APS) dan yang digunakan adalah Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu Lembaga Penyelesaian Sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara Konsultasi, Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, atau Penilaian Ahli (Pasal 1 ayat 10 UU Arbitrase dan APS) bukan menggunakan Arbitrase karena Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa dan perjanjian arbitrase tersebut sebelum ada sengketa yaitu klausulanya sudah ditentukan terlebih 78 dahulu tentang adanya sengketa di kemudian hari dalam perjanjian tertulis dan biasanya arbitrase hanya menyangkut perjanjian bisnis saja. Adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian sengketa menurut ketentuan UU Arbitrase dan APS adalah dengan menggunakan cara-cara sebagai berikut : 1) Konsultasi, yaitu suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, di mana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya. 2) Negosiasi, yaitu suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. 3) Mediasi, yaitu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. 4) Konsiliasi, yaitu adanya pihak penengah akan bertindak menjadi konsiliator dengan kesepakatan para pihak dengan mengusahakan solusi yang dapat diterima. 5) Penilaian Ahli, yaitu pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya Akan tetapi dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam pengadilan (litigasi) yaitu Mediasi. Hal ini terjadi karena dengan telah diberlakukannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan di adili oleh Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan 79 umum dan peradilan agama diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan. Sebenarnya, mediasi bukanlah merupakan bagian dari lembaga litigasi, di mana pada mulanya lembaga mediasi berada di luar pengadilan. Namun sekarang ini lembaga mediasi sudah menyeberang memasuki wilayah pengadilan. Negara-negara maju pada umumnya antara lain : Amerika, Jepang, Australia, Singapura mempunyai lembaga mediasi baik yang berada di luar maupun di dalam pengadilan dengan berbagai istilah antara lain: Court Integrated Mediation, Court Annexed Mediation, Court Dispute Resolution, Court Connected ADR, Court Based ADR, dan lain-lain. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, disebutkan bahwa : “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh Mediator”. Sedangkan pengertian Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa (Pasal 1 ayat 6 Pasal 1 ayat 7 Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan) dan proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain dan hasil akhir yang di capai adalah kesepakatan para pihak. Sebagaimana kesepakatan pada umumnya, kesepakatan yang di hasilkan dalam proses mediasi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Oleh karena itu, untuk dapat melaksanakan hasil mediasi tersebut tergantung dari itikad baik dari para pihak yang bersengketa. Apabila salah satu pihak dengan sengaja tidak mau melaksanakan hasil akhir mediasi, maka hasil kesepakatan tersebut tidak dapat dipaksakan untuk selalu harus dilaksanakan. Dengan 80 demikian, penyelesaian sengketa tanah khususnya tanah warisan yang belum terdaftar dengan cara melalui mediasi mempunyai keuntungan yaitu sebagai berikut : 1) Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah dibandingkan membawa perselisihan tersebut ke pengadilan atau arbitrase ; 2) Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka, jadi bukan hanya pada hak-hak hukumnya ; 3) Mediasi memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka ; 4) Mediasi memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses dan hasilnya ; 5) Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit di prediksi, dengan suatu kepastian melalui consensus ; 6) Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri yang memutuskannya ; 7) Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu mengiring setiap putusan yang bersifat memaksa yang di jatuhkan oleh hakim di pengadilan atau arbiter pada arbitrase ; Oleh karena itu, khusus yang menyangkut penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar dapat dilakukan dengan cara Mediasi karena dalam aspek perdata dan pidana, sengketa pertanahan merupakan kompetensi peradilan umum, sedang dalam aspek administrasi merupakan 81 kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sehingga ada kemungkinan kasus-kasus yang sudah diputuskan dalam PTUN dapat kembali di gugat di Peradilan Umum (PN) demikian pula sebaliknya. 6. Proses Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Melalui Penyelesaian Di Pengadilan (Litigasi) Sengketa tanah merupakan salah satu masalah yang amat sulit penyelesaiannya, karena ada kaitannya dengan selisih hak antara dua pihak atau lebih di sana. Dalam menyelesaikan sengketa tanah, pihak penegak hukum harus seksama meneliti berkas pihak masing-masing, karena dalam sengketa tanah, potensi terjadinya perselisihan yang berujung pada kekerasan dan pertikaian yang berlarut-larut begitu besar disebabkan adanya kekeliruan dalam hal pemeriksaan bukti-bukti yang di ajukan oleh para pihak yang bersengketa. Sebenarnya, berbagai upaya penyelesaian telah ditawarkan baik melalui cara musyawarah atau mediasi tradisional maupun cara mediasi dengan melibatkan kantor pertanahan yang di bentuk di lingkungan instansi BPN. Pada hakikatnya, penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi tidak selamanya memberikan penyelesaian yang memuaskan dan memberi suatu penyelesaian yang tuntas. Dalam suatu sengketa tanah khususnya pada sengketa tanah warisan yang belum terdaftar, tidak selamanya berpangkal pada tuntutan ahli waris bahwa tanah warisan miliknya telah diambil alih oleh orang lain saja, tetapi juga menyangkut karena adanya transaksi-transaksi yang telah terjadi atas tanah warisan tersebut sehingga pihak ahli waris melakukan suatu tuntutan hukum kepada pihak yang telah menguasai dan 82 kepada ahli waris yang telah mengalihkan kepemilikan tanah warisan sebagaimana yang dimaksud. Di pengadilan, penyelesaian perkara dimulai dengan para ahli waris mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang. Penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan ini dilakukan dengan 3 (tiga) tahap. Tahap permulaan dengan mengajukan gugatan oleh ahli waris, proses mediasi sesuai ketentuan Perma Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan sampai dengan jawab jinawab (Replik/Duplik) para pihak. Kemudian adalah Tahap penentuan yang dimulai dari kesaksian dan pembebanan pembuktian alat-alat bukti berupa surat sampai dengan kesimpulan dan tahap putusan. Tahap putusan majelis hakim kemudian menjadi dasar permohonan pelaksanaan putusan (eksekusi). Dalam banyak perkara yang masuk ke Pengadilan yang sering dirasakan tidak memuaskan adalah karena banyak Pengadilan yang memutus dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau Niet Van Ontvankelijke Verklaard yang lazim dikenal dengan sebutan “NO” oleh karena pihak ahli waris selaku pihak Penggugat dalam mengajukan gugatannya tidak sempurna dengan alasan bahwa batas, letak dan luas ukuran tanah yang digugat masih kabur atau tidak jelas. Alasan ini adalah alasan klasik yang artinya bahwa masih banyak majelis hakim di pengadilan yang kurang bisa memahami sengketa tanah warisan tersebut dengan baik karena telah mengabaikan fakta-fakta dan kenyataan yang sebenarnya dan lebih melakukan prosedur hukum acara belaka dan harus lebih dipertimbangkan sebelum memutus perkara sengketa tanah warisan tersebut. Di sisi lain, gugatan juga dinyatakan oleh majelis 83 hakim di pengadilan bahwa gugatan tidak dapat diterima apabila penggugat (ahli waris) hanya menggugat mereka yang menguasai tanah saja, sedangkan jelas dan diketahui bahwa pihak Tergugat mendapatkan tanah dari orangorang tertentu sedangkan orang tersebut tidak digugat dalam perkara yang bersangkutan. Langkah yang bisa ditempuh oleh ahli waris sebagai penggugat selanjutnya mungkin bisa saja dengan mengajukan gugatan baru kembali karena “NO” atau melakukan upaya hukum Banding, Kasasi bahkan hingga Peninjauan Kembali. Tentu saja, hal ini mengakibatkan perkara tanah warisan yang belum terdaftar tersebut akan berlangsung berlarut-larut sampai bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Pilihan masyarakat untuk membawa permasalahan sengketa ke pengadilan pada umumnya adalah karena pengadilan merupakan lembaga yang berkompeten untuk menangani sengketa, memberikan solusi atau putusan yang tepat serta berkeadilan dan berkepastian hukum yang ditunjuk oleh Negara. Di samping itu, tak lupa pula bahwa proses penyelesaian sengketa pada hakikatnya sesuai amanat undang-undang di pengadilan (litigasi) harus bertumpu pada suatu mekanisme yang cepat, murah, dan sederhana, terutama untuk sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar yang diselesaikan baik itu melalui Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama maupun di Peradilan Umum (PN). Terkait hal ini, adapun yang menjadi dasar hukum peradilan-peradilan sebagaimana yang dimaksud di atas, maka apa bila diuraikan yaitu sebagai berikut : 1) Peradilan Tata Usaha Negara, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha 84 Negara dan kemudian dilakukan perubahan dan diterbitkan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 selanjutnya dilakukan perubahan kedua yaitu diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009. 2) Peradilan Agama, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama dan kemudian dilakukan perubahan dan diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 selanjutnya dilakukan perubahan kedua yaitu diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009. 3) Peradilan Umum, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Agama dan kemudian dilakukan perubahan dan diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 selanjutnya dilakukan perubahan kedua yaitu diterbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009. Melihat hal ini, maka perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut sangat dimungkinkan karena adanya kebijakan lain dari pihak Lembaga Eksekutif (Pemerintah) dan Lembaga Legislatif (DPR) dalam hal perlu adanya perubahan-perubahan dengan ketentuan dan alasan yang mendasar pada klausula pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana dimaksud. Sejalan dengan itu, jika diperhatikan yang terjadi selama ini dalam hal penyelesaian sengketa tanah pada umumnya, khususnya yang menyangkut sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar maka penyelesaiannya dapat diajukan dan dilaksanakan berdasarkan Kompentensi Absolut dan Kompetensi Relatif dari setiap peradilan yang ada di Indonesia yaitu mengenai kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan 85 sengketa). Mengenai Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seseorang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara akibat dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian (Pasal 1 ayat 4 UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang PTUN). Kompetensi Absolut Peradilan Agama adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara-perkara orang Islam dalam bidang kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah (Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama) dan Kompetensi Absolut Peradilan Umum adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain (Pasal 50 UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum). Sedangkan mengenai Kompetensi Relatif peradilan-peradilan tersebut di atas, adalah berdasarkan merupakan yurisdiksi kewenangan wilayahnya. lingkungan Kewenangan peradilan PTUN tertentu dalam hal penyelesaian sengketa atas tanah dapat dilihat dalam Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 84 K/TUN/1999 Tertanggal 14 Desember 2000 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1687 K/Pdt/1998 Tertanggal 29 September 1999 sedangkan kewenangan Peradilan Umum dalam menyelesaikan sengketa tanah dapat dilihat dari adanya Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 701 K/Pdt/1997 Tertanggal 24 maret 1999 serta Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1816 K/Pdt/1989 Tertanggal 22 Oktober 1992. 86 Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan Kompetensi Absolut maupun Kompetensi Relatif pada setiap peradilan yang ada tersebut serta melihat bentuk dan sifat sengketa yang dipersoalkan, maka penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam cara dan proses untuk menyelesaikannya yaitu sebagai berikut : 1) Melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Khusus Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Administrasi Dalam hal ini, timbulnya suatu sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar dikarenakan adanya masalah dalam bidang pertanahan yang bersifat administrasi yaitu bermula dari adanya pengaduan pihak (orang/badan/ahli waris) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya misalnya dikarenakan adanya Sertipikat Ganda, Sertipikat Palsu atau terdapat kesalahan dan kekeliruan dari Pejabat BPN dalam penerbitan Sertipikat. Adapun bentuk penyelesaiannya adalah dengan cara pihak ahli waris mengajukan Gugatan ataupun Class Action ke PTUN. Namun, apabila kepada PTUN tidak dapat dimintakan penyelesaian sengketa tersebut, maka ahli waris yang bersangkutan dapat menggugat pemerintah atau pejabatnya (BPN) ke Pengadilan Negeri karena dalam hal ini karena dimungkinkan pemerintah (BPN) di kategorikan telah melakukan suatu tindakan perbuatan melanggar/melawan hukum atas keputusan tata usaha negara yang dibuat dengan tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi atau bisa juga meminta putusan berupa pembatalan Sertipikat. 87 Khusus untuk tuntutan ganti rugi dalam ketentuan PTUN, ada batasan maksimalnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara. Di dalam ketentuan Pasal 1 PP tersebut, dinyatakan bahwa ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat. Lebih lanjut dinyatakan dalam ketentuan Pasal 3 peraturan pemerintah tersebut bahwa, besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh penggugat paling sedikit Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), dengan memperhatikan keadaan yang nyata. 2) Melalui Pengadilan Umum (PN) Khusus Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Perdata Berdasarkan asas bahwa Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa/memutus perkara dengan alasan bahwa ia tidak mengetahui peraturannya, maka dimungkinkan penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar mempergunakan proses di Pengadilan Negeri. Dalam hal apa bila terdapat adanya suatu perbuatan melawan hukum, yang dilakukan oleh salah satu ahli waris dan pihak ketiga lainnya (pembeli) baik itu berupa adanya pemalsuan, menguasai secara sepihak, jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat dan tindakan lainnya yang dirasakan merugikan para ahli waris maka turut serta pihak BPN turut serta yaitu telah menerbitkan suatu keputusan administrasi (beshikking) dan hal ini 88 dapat dinyatakan sebagai suatu tindakan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) oleh Hakim. Sedangkan prosesnya adalah tentu mengikuti Hukum Acara Perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum acaranya yaitu ketentuan Pasal 164 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), yang menyebutkan ada 5 (lima) alat bukti yang sah yaitu : a. Surat ; b. Saksi ; c. Persangkaan ; d. Pengakuan ; e. Sumpah ; Sehingga dalam menghadapi atau melakukan gugatan perdata, maka alat bukti yang diutamakan adalah berupa surat. Siapa pun yang bisa menunjukkan sahnya surat atau alas hak kepemilikan atas tanah di persidangan maka dia lah yang seharusnya paling berhak menjadi pemiliknya. Hal ini juga sesuai dengan regulasi di bidang pertanahan, yakni ketentuan dalam Pasal 32 PP Nomor 24 tahun 1997, yang menyatakan bahwa tanda bukti hak atas tanah yang paling kuat adalah serpifikat tanah. Selain itu, perlu juga dipersiapkan adanya saksi-saksi yang mengetahui riwayat kepemilikan tanah, dari orang-orang sekitar lingkungan di mana tanah warisan berada, Kepala Desa maupun pihak Badan Pertanahan Nasional sehingga dengan adanya kesesuaian antara alat bukti surat (sertipikat) dan keterangan dari saksi-saksi akan menguatkan dasar kepemilikan yang tentunya akan menjadi bahan pertimbangan oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut. 89 3) Melalui Kepolisian Dan Pengadilan Umum (PN) Khusus Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Bersifat Pidana Tindakan seseorang atau badan hukum tanpa izin atas pemakaian, penyerobotan dan penguasaan atas sebidang tanah warisan yang belum terdaftar adalah merupakan tindakan melanggar hukum. Hal ini sesuai dengan adanya ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya.yang menyebutkan bahwa : “dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 3, 4 dan 5, maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah) ; a. Barang siapa memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, dengan ketentuan bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut Pasal 5 ayat 1 ; b. Barang siapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah ; c. Barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 atau sub dari ayat 1 pasal ini ; d. Barang siapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada Pasal 2 atau huruf b dari ayat 1 pasal ini ; Selain hal ini, dengan adanya ketentuan pidana yang terdapat pada ketentuan Pasal 385 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyebutkan bahwa : “diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan creditverband sesuatu hak atas tanah yang telah bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain”. Dengan adanya ketentuan pidana sebagaimana yang disebutkan di atas, maka hal ini dapat menjadi dasar dan pedoman bagi pihak ahli waris untuk 90 mendapatkan haknya dengan cara mengajukan Laporan Polisi kepada Pihak Kepolisian Republik Indonesia baik itu di tingkat Kantor Kepolisian Resort (Polres) maupun pada tingkat Kantor Kepolisan Daerah (Polda) dan posisi ahli waris adalah sebagai Pelapor dengan alasan dan bukti yang ada. Untuk selanjutnya, pihak kepolisan yang akan melakukan penyidikan dan penyelidikan sesuai tupoksi dan wewenangnya dalam peraturan perundang-undangan dan menentukan apakah terdapat tindak pidana terhadap sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar tersebut misalnya, pihak Terlapor telah melanggar ketentuan Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya, ketentuan Pasal 385 ayat 1 KUHP maupun ketentuan Pasal 263 KUHP (Pemalsuan Surat). Jika terdapat adanya tindak pidana, maka pihak Kepolisian menetapkan pihak Terlapor menjadi Tersangka dan akan mengajukan berkas penyidikan kepada pihak Kejaksaan dan kemudian pihak Kejaksaan akan membawa sengketa ini kepada pihak pengadilan untuk diperiksa, diadili dan diberikan putusan yang bersifat tindak pidana. Akan tetapi, walaupun sudah ada putusan pengadilan yang menyatakan bahwa pihak Terlapor tersebut telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana, pihak Pelapor harus juga melakukan upaya hukum baik itu berupa gugatan kepada pihak Terlapor melalui PTUN maupun Peradilan Umum (PN) untuk dilakukan penyelesaian secara Perdata dalam rangka kepastian hukum hak atas tanah warisan yang belum terdaftar tersebut. 91 Jika di tinjau secara hukum, maka setiap putusan hakim dalam penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, di mana hakim adalah sebagai pejabat negara yang diberi wewenang oleh Negara untuk itu dan tetap berpedoman pada ketentuan hukum yang ada dalam UUPA, diucapkan dimuka persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antara para pihak. Bukan hanya diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di muka persidangan pengadilan. Dengan demikian maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa karakteristik dari pada penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar jika melalui pengadilan baik melalui PTUN maupun Peradilan Umum (PN) yaitu sebagai berikut : 1) Prosesnya sangat formal (terikat pada hukum acara) ; 2) Para pihak berhadapan untuk saling melawan, adu argumentasi, dan pengajuan alat bukti ; 3) Pihak ketiga netralnya (hakim) tidak di tentukan para pihak dan keahliannya bersifat umum ; 4) Prosesnya bersifat terbuka/transparan ; 5) Hasil akhir berupa putusan yang didukung oleh pertimbangan/pandangan hakim ; Sukarno Aburaera, Muhadar dan Maskun15 dalam bukunya mengemukakan bahwa, pada prinsipnya hakim hanya lah menerima setiap perkara yang diajukan kepadanya untuk diselesaikan dan hal ini berarti telah 15 Sukarno Aburaera, Dkk, Filsafat Hukum Teori Dan Praktek, Cetakan Kesatu, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013, Hal. 228 92 ada suatu peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang timbul, kemudian peristiwa, kejadian dan persengketaan itu dibawa ke hadapan hakim agar supaya hakim menentukan hukum yang berlaku atas peristiwa dan persengketaan itu. Hakim harus pasti akan konstatering-nya (penemuan, mencari tahu dan penyelidikan), sehingga konstatering tersebut tidak sekedar dugaan atau kesimpulan yang dangkal atau gegabah saja. Putusan yang diucapkan di muka persidangan (uitspraak) tidak boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis). Dari hal-hal tersebuti, jika dilakukan peninjauan kembali secara hukum, maka di dalam teori hukum materiil yang berlaku di Indonesia saat ini, kekuatan mengikat dari pada setiap putusan yang lazimnya disebut “gezag van gewijsde” mempunyai sifat hukum materiil karena mengadakan perubahan terhadap wewenang dan kewajiban yang sifatnya lebih keperdataan yaitu : menetapkan, menghapuskan atau mengubah. Padahal, mengingat bahwa putusan hakim itu hanya mengikat para pihak dan tidak mengikat pihak ketiga, kiranya teori ini tidak lah tepat. Sedangkan menurut teori hukum acara putusan bukan lah sumber hukum materiil, melainkan sumber dari pada wewenang prosesuil. Akibat putusan ini bersifat hukum acara, yaitu diciptakannya atau dihapuskannya wewenang dan kewajiban prosesuil. Berdasarkan teori hukum pembuktian, putusan hakim merupakan bukti tentang apa yang ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan mengikat oleh karena menurut teori ini pembuktian lawan terhadap isi suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti tidak diperkenankan lagi. 93 Khusus untuk penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar, suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (krach van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya hukum biasa tersedia dan termasuk upaya hukum biasa lainnya yaitu banding, dan kasasi. Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti, maka putusan itu tidak lagi dapat diubah sekali pun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan oleh pihak ketiga sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1917 ayat 1 KUHPerdata, menyebutkan bahwa : ”kekuatan sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidak lah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya” Artinya, putusan hakim tidak mengikat dari pada putusan dan hanya terbatas pada pokok putusan (onderwerp van het vonnis). Kekuatan mengikat dari putusan itu tidak meliputi penetapan-penetapan mengenai peristiwa. Apabila hakim dalam suatu putusan telah mengkonstair suatu peristiwa tertentu berdasarkan alat-alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan. Selain itu dalam ketentuan KUHPerdata, suatu perbuatan melanggar hukum dan ganti rugi diatur dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang berbunyi : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dalam hubungannya dengan penyelesaian ganti kerugian adalah merupakan sebagai konsekuensi tanggung jawab atas perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dimaksud, maka ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata ini 94 erat kaitannya dengan ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, baru lah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Sedangkan dalam kaitannya dengan pembuktian, perlu dikemukakan sesuai ketentuan dalam Pasal 1865 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa : ”setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Dari pengertian ketiga pasal tersebut, dapat di ambil suatu kesimpulan bahwa penggugat (ahli waris), baru akan memperoleh ganti kerugian apabila ia berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan pada pihak tergugat. Unsur kesalahan yang ditemukan merupakan hal yang akan menentukan pertanggungjawaban secara hukum yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan, tidak ada kewajiban ganti kerugian. 95 BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan Dari adanya hasil analisa, uraian dan pembahasan mengenai Tinjauan Hukuman Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Warisan Yang Belum Terdaftar Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Di Indonesia yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan yaitu sebagai berikut : a. Pengaturan hukum tentang hak atas tanah warisan yang belum terdaftar sesuai kebijakan hukum yang berlaku di Indonesia adalah merupakan pengaturan hukum mengenai ahli waris sebagai pihak yang berhak atas harta peninggalan (tanah) pewaris, dalam arti bahwa di satu sisi memiliki hak atas tanah yang ditinggalkan oleh pewaris, akan tetapi sisi lain juga harus melakukan dan melaksanakan kewajibannya juga dengan cara melakukan proses pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terlebih dahulu ke Kantor Badan Pertanahan Nasional atau pada Kantor Pertanahan di wilayah Kabupaten/Kotamadya sesuai domisili hukumnya. Kemudian setelah itu, maka ahli waris dapat melakukan perbuatan hukum lainnya seperti : menguasai, menjual-belikan, menukar, membagi atau menjaminkan hak atas tanah kepada pihak lainnya dengan sepengetahuan dan mendapat persetujuan ahli waris lainnya (jika ahli waris lebih dari satu orang) sesuai ketentuan UUPA dan PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. 96 b. Akibat hukum yang terjadi apabila salah satu/sebagian ahli waris tanpa melakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah warisan karena pewarisan, terlebih dahulu kepada Kantor Badan Pertanahan Nasional atau kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya sesuai domisilinya seperti menguasai, menjual-belikan, menukar, membagi atau menjaminkan hak atas tanah kepada pihak lainnya tanpa sepengetahuan dan mendapat persetujuan ahli waris lainnya (jika ahli waris lebih dari satu orang), maka akan bisa dipastikan akan terjadi sengketa atau konflik hak atas tanah baik antara sesama ahli waris dan pihak ketiga lainnya. Setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh salah satu/sebagian ahli waris menyangkut menguasai secara sepihak, menjual-belikan, menukar, membagi atau menjaminkan hak atas tanah warisan tersebut, tanpa melakukan proses pendaftaran peralihan hak karena pewarisan terlebih dahulu dan tanpa sepengetahuan atau mendapat persetujuan ahli waris lainnya, maka bisa dikatakan sebagai batal demi hukum atau dapat dibatalkan dan akan menjadi sumber terjadinya sengketa hak atas tanah yang bisa merugikan banyak pihak baik. Proses dan upaya penyelesaian sengketa hak atas tanah warisan yang belum terdaftar yang dapat dilakukan sesuai kebijakan hukum pertanahan yaitu ketentuan yang terdapat dalam UUPA dan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, dapat diselesaikan dengan cara Non Litigasi (Musyawarah, Mediasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) dan Litigasi (Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri). 97 2. Saran Bertolak belakang dari kesimpulan yang telah disebutkan di atas, maka dalam kesempatan ini, penulis merumuskan saran-saran yang berhubungan dengan pokok permasalahan tersebut yaitu sebagai berikut : a. Pemerintah perlu segera melakukan revisi dan pembaharuan terhadap UUPA dan peraturan-peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan tanah dan Kantor Badan Pertanahan Nasional harus melakukan pendataan ulang terhadap sertipikat-sertipikat tanah yang ada di Indonesia untuk mendapatkan data fisik maupun data yuridis yang pasti tentang tanah dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang pentingnya pendaftaran peralihan hak karena pewarisan agar ahli waris yang mendapatkan warisan berupa tanah melakukan proses pendaftaran peralihan hak atas tanah yang diperoleh dari pewaris ; b. Pemerintah perlu sekali membentuk suatu lembaga peradilan di bidang pertanahan dan melakukan rekrutmen dan seleksi Hakim yang memiliki sertifikasi keahlian pada bidangnya (spesialis tanah). Hal ini sangat penting dilakukan, karena mengingat sengketa hak atas tanah yang terjadi di Indonesia hingga saat ini cenderung jumlahnya sangat banyak sekali yang belum diselesaikan baik itu pada Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri. Dengan adanya suatu lembaga peradilan di bidang pertanahan, maka setiap sengketa hak atas tanah tidak lagi diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama dan Peradilan Umum/Pengadilan Negeri lagi tetapi cukup menjadi Kompetensi Absolut Peradilan Pertanahan ; 98 DAFTAR BACAAN Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983. Arie Sukanti Hutagalung, Leon C.A. Verstappen, Wilbert D. Kolkman dan Rafael Edy Bosko, Hukum Pertanahan Di Belanda Dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012. Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2008. Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika Perkembangan Hukum Di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013. Effendi Perangin, Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Pers, Jakarta, 1987. Effendi Perangin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014. Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah Membeli, Mewarisi, Menyewakan Dan Menjaminkan Tanah Secara Aman, Rajawali, Jakarta, 1986. Effendi Perangin, Praktek Pengurusan Sertifikat Hak Atas Tanah, Rajawali, Jakarta, 1986. G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan Di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1982. Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 1988. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995. R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983. Sukarno Aburaera, Muhadar dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktek, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta, 1995. 99 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Kewarisan Menurut Undang-Undang, Kencana Renada Group, Jakarta, 2006. Peraturan Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 PRP Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang Undang Republik Indonesia Nomor UU Nomor 9 Tahun 2004 Tentang PTUN Undang Undang Republik Indonesia Nomor UU Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Undang Undang Republik Indonesia Nomor 50 UU Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1001K/Sip/1963 Tertanggal 8 Juni 1963 Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 84 K/TUN/1999 Tertanggal 14 Desember 2000 100 Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1687 K/Pdt/1998 Tertanggal 29 September 1999 Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 701 K/Pdt/1997 Tertanggal 24 Maret 1999 Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1816 K/Pdt/1989 Tertanggal 22 Oktober 1992 Internet : www.legalitas.com www.hukumonline.com 101