Dimensi Etik dalam Pengembangan dan

advertisement
Dimensi Etik dalam Pengembangan dan Pemanfaatan
Ilmu Pengetahuan
Oleh: Nurul Huda
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan
Email: [email protected]
Abstract
The development of science and technology today, especially the case in many
developed countries in western civilization has awakened awareness about the
importance and urgency of ethics as a basis the progress made by science and
technology. By the nature of science is not value-free, but must be directed to the
human kemaslahan. For Indonesia basis of spiritual values and ideology of the
nation should be a guideline for the development and utilization of science and
technology. Therefore, the human factor vital role that these values can be
embodied in life.
Keywords: Dimensions of ethics, science and technology and the base value
Abstrak
Perkembangan iptek dewasa ini terutama yang terjadi di banyak negara maju pada
peradaban barat telah menggugah kesadaran tentang penting dan urgensi dari etika
sebagai basis kemajuan yang telah dicapai oleh iptek. Secara hakikat iptek
tidaklah bebas nilai, tetapi harus diarahkan kepada kemaslahan manusia. Bagi
Indonesia basis nilai-nilai spiritual dan ideologi bangsa harus menjadi pedoman
bagi pengembangan dan pemanfaatan Ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh
karenanya faktor manusia memegang peran vital agar nilai-nilai tersebut dapat
diejawantahkan dalam kehidupan.
Kata kunci: Dimensi etik, iptek dan basis nilai
Pendahuluan
Persoalan etika dalam dinamika kehidupan manusia khususnya di bidang
keilmuan akhir-akhir ini mulai disadari oleh manusia terutama ketika kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi justru menimbulkan persoalan baru, bukannya
menciptakan
kesejahteraan
dan
kenyamanan,
tetapi
justru
sebaliknya,
memunculkan ketidaknyamanan yang mengancam eksistensi kehidupan manusia.
Sebagai contoh aktual adalah munculnya fenomen global warming yang antara
lain dipicu oleh industrialisasi yang mengabaikan harmoni lingkungan, sehingga
berbagai macam kampanye untuk membatasi penggunaan energi dan efek rumah
kaca serta ajakan penanaman pohon secara massal didengungkan oleh banyak
negara di dunia, termasuk di Indonesia.
30
Jauh sebelum fenomena global warming yang menjadi isu dunia sekarang
ini, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dalam bentuk beragam
temuan di bidang teknologi ternyata telah menciptakan alienasi dan bencana bagi
kehidupan manusia. Musibah yang terjadi akibat penggunaan energi nuklir
sebagai energi alternatif bagi kehidupan manusia, sebagaimana pernah terjadi
pada pembangkit nuklir di Chernobyl Rusia dan Three Mile Island di AS, adalah
salah satu contohnya. Padahal mereka yang gemar tenaga nuklir selalu
mengatakan, seandainya dilakukan dengan cermat maka orang tidak perlu
khawatir sedikitpun atas bahaya besar yang mengancamnya, kenyataannya yang
terjadi adalah sebaliknya, di banyak negara yang sangat cermat dan memiliki
teknologi canggih untuk mengelola tenaga nuklir (seperti AS, Rusia dan Jepang),
bencana tetap terjadi.
Sebuah keprihatinan mengenai penggunaan energi nuklir ini, ditulis oleh
seorang ibu dari Jepang, Taeko Kansha, menolak secara keras penggunaan dan
pemanfaatan energi nuklir sebagai energi alternatif
yang dikembangkan oleh
pemerintah Jepang. Dalam tulisannya yang kemudian dikirim ke banyak negara
dan diberi judul “sudahkah terlambat”, dia menyatakan, bila dipandang sebagai
sesuatu kemajuan, manusia telah menciptakan teknologi yang maju untuk
membuat hidup lebih mudah dan nyaman, saya sendiri dulu berpendapat bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan telah memperbaiki kehidupan kita, tetapi
lihatlah, kemana kita dibawa oleh perkembangan ini? Kita semua berada di
persimpangan jalan dan masa depan manusia akan ditentukan oleh jalan yang
akan kita tempuh, kita juga berada di atas kapal yang sedang menuju ke arah
kehancuran. Demikian keprihatinan yang dia lontarkan sehubungan dengan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cenderung berpotensi
membawa kehancuran masyarakat dunia.1
Peristiwa lain dalam dimensi yang berbeda terjadi pada tahun 2002
tepatnya tanggal 26 Desember, lahir bayi pertama hasil klonimg di Amerika
Serikat yang menggegerkan dunia sekaligus memunculkan kontroversi yang tiada
henti. Melalui teknologi kloning ini siapapun bisa diduplikasi, bahkan terdapat
1
Taeko Kansha, Sudahkah Terlambat?Kami tidak butuh tenaga nuklir!, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1990, halaman 12
31
wacana untuk untuk “menghidupkan kembali” Michael Jackson atau Jacko
melalui teknologi kedokteran ini.
Demikian juga yang pernah terjadi pada penggunaan senjata biologi pada
masa perang Vietnam pada tahun 1960-an, semuanya menunjukkan tarik menarik
dua
kutub
yang
berlawanan,
antara
kemanfaatan
dan
kemudharatan
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai
oleh kemampuan manusia.
Dalam perspektif yang demikian, Teuku Jacob menyebut setidaknya
terdapat 5 (lima) hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam konteks
persoalan ini yaitu resiko percobaan dan penggunaan iptek, kemungkinan
penyalahgunaannya, kompatibilitas dengan moral yang berlaku, terganggunya
sumber daya dan pemerataannya serta hak individu untuk memilih sesuatu yang
sesuai dengan dirinya.2
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas dapat
dirumuskan rumusan masalah yang terkait dengan persoalan etika dalam
pengembangan dan pemanfaatan teknologi (aspek aksiologi dari ilmu) yaitu:
bagaimana urgensi etika dan tanggung jawab manusia dalam konteks tersebut?
Urgensi Etika
Pertumbuhan etika dalam kehidupan bermasyarakat, dimulai dari
pemahaman bahwa
pergaulan hidup
dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga
internasional, di perlukan suatu sistem yang mengatur
bagaimana seharusnya manusia bergaul dan berbuat sama sama lain. Sistem
pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan
sebutan sopan santun, tata krama, dan lain sebagainya. Maksud pedoman
pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar
mereka merasa, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta
terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan
yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia pada
umumnya.
2
Teuku Jacob, Manusia Ilmu dan Teknologi, Pergumulan Abadi dalam Perang dan Damai,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993, hal 42.
32
Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar
dan mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari
kata Yunani “ethos” yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan
ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Secara terminologi etika
adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik buruk, yang dapat dinilai baik dan buruk adalah
sikap manusia yang menyangkut perbuatan, tingkah laku dan sebagainya. Etika
dibagi menjadi etika deskiptif dan etika normatif, deksriptif hanya melukiskan,
menggambarkan, menceritakan apa adanya tidak memberikan penilaian, tidak
mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, sedangkan etika normatif sudah
memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang
tidak.3
Terkait dengan soal etika, Fazlur Rahman, seorang pemikir Islam modern,
ketika melihat fenomena melencengnya perkembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan berikut teknologi yang berhasil dicapai oleh masyarakat modern,
menyatakan:
“adalah suatu hal yang patut disayangkan bahwa kandungan etika di masyarakat
sedang disapu habis karena adanya pemberontakan umum terhadap dogmadogma. Dogma-dogma sekali lagi, tidaklah memiliki peringkat-peringkat yang
sama karena ada juga dogma-dogma yang relatif rasional, artinya yang terikat
dengan kandungan etis dari suatu sistem. Bagaimanapun juga nilai-nilai etika
yang universal adalah tulang punggung dari suatu masyarakat, perdebatan tentang
relativitas nilai-nilai moral di masyarakat lahir dari suatu liberalisme yang dalam
proses libaralisasi telah menjadi demikian menyimpang hingga merusak nilai-nilai
moral yang dicobanya untuk dibebaskannya dari kendala-kendala dogma, Karena
itu, yang diakui dan dengan sendirinya bersifat normatif, sains yang terbaik adalah
apabila dikerjakan dengan baik dan obyektif 4
Dari pernyataan tersebut, tersirat sebuah kekhawatiran yang luar biasa
dengan makin lunturnya etika dalam sendi-sendi kehidupan manusia padahal
3
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 2010, hal 147.
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, tentang Transformasi Intelektual, Bandung: Pustaka,
1985, halaman 193
4
33
sebagaimana dinyatakannya, nilai-nilai etika yang universal adalah tulang
punggung kehidupan suatu masyarakat. Oleh karenanya, ketika tulung punggung
kehidupan masyarakat runtuh, maka runtuh pula masyarakatnya.
Sebuah peristiwa yang cukup mengerikan mengenai lepasnya etika dalam
kegiatan ilmiah pernah terjadi di berbagai belahan dunia, salah satunya yang
pernah terjadi di Perancis. Dalam sebuah berita yang berjudul: Abortion: A
thriving industry in America’s Celebrated way of Life, dimuat foto-foto
mengerikan, janin-janin yang beku disimpan dalam kantung-kantung plastik, yang
didapatkan dari truk menuju Perancis, yang menurut berita, janin-janin itu dikirim
untuk penelitian pengembangan beauty creams di laboratorium kosmetik di
Perancis.5
Disinilah urgensi etika, dimana penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan. Tanggung jawab etis
merupakan sesuatu yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, ilmuwan dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat manusia, martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada kepentingan
umum, kepentingan generasi mendatang dan bersifat universal, karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia.6
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut juga
tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah diakibatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi di masa-masa lalu, sekarang maupun apa akibatnya
bagi masa depan berdasar putusan bebas manusia dalam kegiatannya. Penemuanpenemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan, baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
5
Jalaludin Rakhmat, Islam Alternatif, Ceramah-ceramah di Kampus, Bandung: Mizan, hal 164.
Diceritakan pula kisah seperempat abad lalu, ketika ratusan orang hitam di Alabama menderita
siphyllis, dimana ilmuwan ingin meneliti efek antibiotic. Mereka dibagi menjadi 2 kelompok,
kelompok pertama diberikan suntikan bohongan (phony shots) dan kelompok kedua diberikan
perawatan sebaik-baiknya, pada akhirnya penelitian ini memberi hasil yang memuaskan, pada
kelompok yang tidak diberi antibiotic terjadi 2 kali lebih banyak kematian dibanding dengan
kelompok yang kedua.
6
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hal 148
34
tanggung jawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkannya dalam
perubahan tersebut akan merupakan perubahan yang terbaik bagi perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri maupun bagi perkembangan eksistensi
manusia secara utuh.7
Masih terkait dengan persoalan etika keilmuan ini, Van Melsen
mengemukakan bahwa dalam kaitan dengan otonomi ilmu pengetahuan, masih
ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Otonomi ilmu pengetahuan tentu tidak
bisa dan tidak boleh berarti bahwa penelitian ilmiah tidak perlu menghiraukan
nilai luar ilmiah apapun. Misalkan saja tidak dapat diragukan bahwa jawaban atas
pertanyaan apakah suatu penelitian medis tertentu boleh dilakukan, tidak sematamata bergantung pada pertimbangan-pertimbangan ilmiah saja. Bisa terjadi,
pertimbangan-pertimbangan etis melarang dilakukannya eksperimen-eksperimen
terhadap manusia, berapapun banyaknya informasi ilmiah yang dapat diperoleh
dengan ekperimen-eksperimen tersebut. Dan hal yang sama tentu berlaku juga
untuk banyak ilmu yang lain, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu
pengetahuan tidak pernah bebas nilai sebab ia sendiri mengejawantahkan suatu
nilai etis, bertambah relevansi etisnya karena semakin erat kaitannya dengan
praksis.8
Tanggung Jawab Manusia
Dalam perspektif Islam, sebagaimana dalam wahyu pertama yang
diturunkan, Alqur’an menghendaki umatnya membaca apa saja, tetapi ada
syaratnya, pembacaan terhadap apa yang kita baca harus sesuai dengan bismi
Rabbik, dalam arti bermanfaat bagi tujuan kemasalahatan manusia dan hal ini
merupakan semangat tauhid. Karena hakikat manusia tidak terpisah dari
kemampuannya untuk mngembangkan ilmu pengetahuan, maka ilmu yang disertai
iman adalah ukuran derajat manusia, dan manusia ideal dalam Alqur’an adalah
manusia yang mencapai ketinggian iman dan ilmu.9
7
Ibid, hal 149
A.G.M Van Melsen, terj. K. Bertens, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal 92
9
Abdullah Aly, dkk (ed), Panduan Ceramah Ramadhan, Surakarta: Lembaga Studi Islam dan
LPM Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2000, hal 160
8
35
Sebagai ajaran agama yang sangat rasional, Islam telah menempatkan
manusia sebagai makhluk termulia dibandingkan dengan makhluk atau wujud lain
yang terdapat di jagad raya ini. Allah mengkaruniakan suatu kualitas keutamaan
kepada manusia sebagai pembedanya dengan makhluk lain, dengan keutamaan
itulah manusia berhak mendapatkan penghormatan daripada makhluk lainnya.
Sebagai makhluk utama dan ciptaan Tuhan yang terbaik, manusia diberi tugas
menjadi khalifah atau wakil Tuhan dimuka bumi, manusia ditumbuhkan dari bumi
dan diserahi tugas untuk memakmurkannya.10
Dari dua pemahaman sebagaimana disebutkan di atas, nampak jelas bahwa
dalam perspektif Islam, kedudukan manusia dengan ilmu yang dimilikinya,
merupakan hubungan timbal balik yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain
dalam kerangka menjalankankan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi, untuk
memakmurkannya dan bukan untuk membuat kerusakan. Dengan demikian,
persoalan etika keilmuan menjadi tanggung jawab manusia sepenuhnya.
Menurut penelitian Muhammad Ijaz al Khatib dari Universitas Damaskus
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, di dalam alqur’an, paling tidak
hampir seperdelapan dari seluruh isinya menegur orang-orang beriman untuk
menatap dan mempelajari kreasi semesta, dan mendasarkan kegiatan ilmiah ini
sebagai perwujudan iman. Prof. A. Baiquni berkali-kali menghimbau kita agar
bersikap apresiatif terhadap pengembangan ilmu dan teknologi, dengan
mengatakan: Ilmu pengetahuan alam dan teknologi, harus kita kembangkan dan
kita budayakan di lingkungan umat Islam seperti sediakala dengan pengarahan
dan pembinaan yang sesuai dengan ajaran agama. Atribut yang sesuai dengan
ajaran agama adalah peringatan Baiquni agar aspek moral dari penggunaan ilmu
dan teknologi wajib senantiasa dipertimbangkan. Dengan pengarahan semacam
itu maka kita tidak akan khawatir bahwa para ilmuwan kita akan terjerumus dalam
pelanggaran aqidah, karena akal selalu akan berkembang dalam keseimbangan
dengan iman. Akal tidak akan dilepas tanpa pegangan, sehingga dalam penerapan
sains menjadi teknologi pun cendekiawan kita akan tetap mempunyai penglihatan
yang jelas
untuk
tidak
menyalahgunakannya,
10
melainkan
mereka
akan
M. Dawam Rahardjo (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, Jakarta: Grafiti Pers,
1985, halaman 29
36
mengembangkan
teknologi
bagi
kesejahteraan
umat
manusia,
dan
menggunakannya sesuai dengan norma-norma agama.11
Jadi konsep etika keilmuan dalam Islam diukur dari sejauh mana
pengembangan ilmu digunakan bagi kesejahteraan umat manusia, sebagaimana
yang pernah dikemukakan Van Melsen, bahwa proses kemajuan ilmu
pengetahuan tidak merupakan suatu hal yang netral, kemajuan itu meminta agar
ilmu pengetahuan diikutsertakan dalam kehidupan sosial, agar ilmu pengetahuan
digunakan demi kesejahteraan semua manusia.12
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia, akan
tetapi harus juga menyadari apa seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk
memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam
hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan lingkungannya
maupun sebagai makhluk yang bertanggungjawab terhadap Khaliknya.
Dalam hubungannya dengan soal etika keilmuan menurut Islam ini,
setidaknya terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi tuntunan pengembangan ilmu
pengetahuan menurut Alqur’an, meliputi:
Pertama, ilmu pengetahuan harus berusaha menemukan keteraturan (sistem);
hubungan sebab akibat dan tujuan di alam semesta. Dalam banyak ayat Alquran
dijelaskan bahwa alam ini diurus oleh Pengurus dan Pencipta yang tunggal,
karena itu tidak akan pernah ada kerancuan (tafawut) di dalamnya (Q.S 67:3).
Alam ini bergerak menuju tujuan tertentu, karena Allah tidak menciptakannya
untuk bermain-main dan bukan merupakan perbuatan yang sia-sia; keteraturan
dalam ilmu biasanya disebut sebagai hukum-hukum yang terdapat dalam afaq
disebut Alquran sebagai qadar atau takdir sedangkan keteraturan dalam anfus dan
tarikh disebut sebagai sunatullah; Kedua; ilmu harus dikembangkan untuk
mengambil manfaat dalam rangka mengabdi kepada Allah, sebab Allah telah
menundukkan matahari, bulan, bintang dan segala yang di langit dan di bumi buat
11
Ahmad Syafii Maarif, Al-Qur’an Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi),
Bandung: Pustaka, 1985, hal 151
12
Van Melsen, Op.cit, hal 150.
37
manusia dan ketiga; ilmu harus dikembangkan dengan tidak menimbulkan
kerusakan di bumi, baik kerusakan afaq maupun anfus.13
Pemikiran yang sama sekalipun perspektifnya agak berbeda disampaikan
oleh Franz Magnis Suseno. Menurutnya, untuk menghadapi fenomena dimana
teknologi seakan-akan mau lepas dari norma-norma moral dan sosial dan malah
menjadi norma pengembangan masyarakat, maka refleksi dan teologis serta
usaha-usaha politis untuk menentangnya perlu dikembangkan. Kita harus
menentukan kriteria etika pengembangan teknologi, khususnya dalam bidangbidang yang sarat dengan problematika seperti energi atom, penelitian biogenetis
dan teknologi lainnya yang merugikan manusia.14
Dalam perspektif Pancasila yang telah dipilih dan ditempatkan sebagai
ideologi negara maka Pancasila seharusnya dapat membantu bahkan dipakai
sebagai dasar etika ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia dengan
mengolahnya lebih lanjut dan khusus untuk maksud tersebut, sehingga
dikembangkan secara ilmiah menjadi sistem etika ilmiah dan teknologi nilai yang
meliputi: monoteisme, humanitarianisme / humanisme, nasionalisme dan
solidaritas warga Negara, demokrasi dan perwakilan serta keadilan sosial dengan
interpretasi Indonesia dewasa ini (kontemporer).15
Pada tataran implementasinya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa melengkapi
ilmu pengetahuan, menciptakan perimbangan antara yang irrasional dan yang
rasional, antara rasa dan akal, dan berdasarkan sila pertama ini ilmu pengetahuan
tidak hanya memikirkan apa yang dapat ditemukan, dibuktikan dan diciptakan,
tetapi juga dipertimbangkan maksud dan akibatnya, apakah merugikan manusia
dan alam sekitarnya. Sedangkan sila kemanusiaan memberi arah dan
mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dikembalikan kepada
fungsinya yang semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok,
lapisan atau sektor tertentu atau anti manusia.16
Pada
sila
persatuan,
mengkomplementasikan
universalisme
dan
internasionalisme dalam sila-sila yang lain sehingga suprasistem tidak
13
Jallaludin Rakhmat, Op.cit, hal 206
Franz Magnis Suseno, Pijar – Pijar Filsafat, dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam
Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisisus, 2005
15
Teuku Jacob, Op.cit, halaman 43.
16
Loc.cit.
14
38
mengabaikan sistem dan sub-sistem, yang universal dan yang lokal harus dapat
hidup secara harmonis dengan tidak saling merugikan. Sila kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
mengimbangi dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi serta mencegah teknologi
berevolusi
sendiri
dengan
leluasa
dan
perwakilan
rakyat
harus
bisa
memusyawarahkan kebijakan penelitian sampai ke penerapan hasil-hasilnya,
sedangkan sila keadilan sosial memberikan penekanan ketiga keadilan Aristoteles
dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.17
Lebih jauh dikemukakan oleh Kaelan bahwa pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi haruslah berlandaskan moral atau
etika ilmiah karena manusia secara kodratinya harus memenuhi hak dan
kewajibannya baik terhadap diri sendiri, terhadap Tuhannya dan juga terhadap
sesama manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan hanya untuk ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri, melainkan demi kesejahteraan serta
peningkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh karenanya, nilai-nilai
Pancasila yang secara ontologi bersumber pada hakikat manusia monopluralis
harus merupakan sumber moral bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.18
Bilamana dirinci, nilai-nilai Pancasila yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi dapat diuraikan sebagai berikut:
(1) Hormat terhadap hayat, karena semua makhluk hidup yang ada di alam
semesta ini adalah makhluk Tuhan yang Maha Esa;
(2) Persetujuan sukarela untuk ekspreriman dengan penerangan yang cukup dan
benar tentang guna akibatnya karena ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
adalah demi kemanusiaan;
(3) Tanggung jawab sosial ilmu pengetahuan dan teknologi harus lebih penting
daripada mengejar pemecahan persoalan ilmiah namun mengorbankan
kemanusiaan;
(4) Sumber ilmiah sebagai sumber nasional bagi warga negara seluruhnya,
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi harus mendahulukan
kepentingan bangsa dan negara;
17
18
Ibid, halaman 44.
Kaelan, Filsafat Pancasila; Yogyakarta: Paradima, 1996, hal 195
39
(5) Alokasi pemerataan sumber dan hasilnya;
(6) Pelestarian lingkungan dengan memperhitungkan generasi mendatang;
(7) Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berakibat terpisahnya
jasmani dan rokhani bagi hayar dan
(8) Hak untuk berbeda dan kewajiban untuk bersatu.19
Simpulan
Persoalan lunturnya etika dan semakin mengglobalnya paham tentang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bebas nilai merupakan ancaman bagi kehidupan
kemanusiaan dewasa ini sehingga pemahaman tentang urgensi etika khususnya
terkait dengan iptek perlu dikumandangkan dan digelorakan agar perkembangan
dan pemanfaatannya tidak salah arah dan menyimpang dari nilai-nilai
kemanusiaan. Manusia sebagai pengemban kebijakan memiliki titik sentral
sebagai khalifah di bumi yang memili tujuan mensejahterakan ummat manusia
melalui pengembangan dan pemanfaatan iptek yang diharapkan mampu mengabdi
kepada kepentingan kemanusiaan tersebut.
Persoalan etika dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan
dewasa ini sudah mendesak mendapatkan perhatian yang lebih serius dan konkrit,
termasuk di Indonesia, sekalipun di negeri ini pengembangan dan pemanfaatan
ilmu masih sangat terbatas, tetapi harus diingat bahwa intervensi dari luar sebagai
implikasi globalisasi bisa saja terjadi. Paling tidak terdapat 2 (dua) konsep etika
keilmuan yang perlu terus digali dan dikembangkan yaitu konsep etika keilmuan
menurut Islam dan agama-agama lainnya (dimensi religiusitas) dan etika
keilmuan menurut Pancasila (dimensi ideologis).
Saran
Proses internalisasi terhadap pemahaman tentang urgensi etika yang
berbasis pada nilai-nilai religius dan ideologi bangsa harus senantiasa ditanamkan
sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaan. Ilmu pengetahuan dan
teknologi harus ditempatkan pada posisinya yang tidak bebas nilai tetapi
19
Ibid, hal 196
40
mengabdi pada kepentingan kemanusiaan demi kesejahteraan manusia, bukan
sebaliknya, malah mengancam dan tidak mensejahterakan.
Daftar Pustaka
Aly, Abdullah (ed), 2000, Panduan Ceramah Ramadhan, Surakarta: Lembaga
Studi Islam dan LPM UMS
Jacob, Teuku, 1993, Manusia, Ilmu dan Teknologi, Yogyakarta: Tiara Wacana
Kaelan, 1996, Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Paradigma
Kansha, Taeko, 1990, Sudahkah Terlambat?, Kami Tidak Butuh Tenaga Nuklir,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Maarif, Ahmad Syafii, 1988, Alqur’an, Realitas Sosial dan Limbo Sejarah
(Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka
Melsen, A.G.M. van, (terj. K. Bertens), 1992, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung
Jawab Kita, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Musbikin, Imam,
2010, Manusia Kloning yang Pertama Telah Lahir,
Yogyakarta: Diva Press
Rahardjo, M. Dawam (ed), 1985, Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut
Islam, Jakarta: Grafiti Pers
Rakhmat, Jalaludin, 1998, Islam Alternatif, Ceramah-Ceramah di Kampus,
Bandung: Mizan
Surajiyo, 2010, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta:
Bumi Aksara
Suseno, Franz Magnis, 2005, Pijar-pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisiun
41
Download