MODEL PENGGUNAAN RUANG KAWASAN

advertisement
MODEL PENGGUNAAN RUANG KAWASAN WISATA KUTA – BALI
M.H. Dewi Susilowati, Djamang Ludiro, Tito Latif Indra, Aditya Putra
PPGT – Departemen Geografi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia
E-Mail : [email protected]
ABSTRAK
Tulisan ini menggunakan pendekatan topikal, dengan menjelaskan model penggunaan ruang Kawasan
Kuta-Bali. Pembahasan model, mengacu pada model yang dikemukakan oleh Barrett, Stansfield &
Rickert, Lavery. Proses yang dilakukan mulai dari identifikasi, klasifikasi hingga analisis, didapatkan
hasil bahwa penggunaan ruang Kawasan Kuta-Bali terbagi menjadi 3 region yaitu; (1) region hotel
berbintang, yang terletak dibagian barat, sebaran hotel cendererung linier sepanjang garis pantai; (2)
region hotel melati dan pondok wisata tersebar ke arah timur menjauhi pantai dan lokasinya tersebar
diantara perumahan penduduk; (3) region perbelanjaan, cenderung disepanjang jalan lokal dan
mengelompok diantara usaha sejenis. Apabila dilihat tahap perkembangan penggunaan ruang, maka
daerah ini telah mencapai tahap akhir, dimana kegiatan kepariwisataan telah menggantikan fungsi daerah
setempat yang merupakan permukiman ( Intensive tourism – consolidation).
PENDAHULUAN
Keberhasilan suatu kawasan wisata adalah apabila memiliki tiga unsur, yaitu atraksi,
aksesibilitas dan fasilitas sebagai sumberdaya pariwisata, serta unsur manusia yang akan
mengelolanya (Mclntosh & Goeldner, 1986). Menurut Page (1995), wisatawan tertarik
mengunjungi kota karena adanya berbagai fungsi khusus yang dimiliki suatu kota dan
serangkaian pelayanan yang diberikan. Fasilitas wisata umum cenderung mengelompok
di bagian wilayah yang ramai dengan aksesibilitas yang baik , sedangkan fasilitas wisata
pribadi/ khusus cenderung mengelompok dan berlokasi di sekitar obyek wisata
(Lovingwood & Mitchell (dalam Hall, 2002). Menurut Inskeep (1990), jenis fasilitas
yang terdapat di kawasan meliputi akomodasi, fasilitas komersial, fasilitas rekreasi dan
budaya, fasilitas kesehatan, fasilitas pertemuan, fasilitas hiburan khusus, obyek wisata
arkeologi, wilayah konservasi air tanah, administrasi pariwisata, zone penyangga,
perumahan pegawai dan fasilitas lain yang terkait.
Gambaran umum dari model penggunaan tanah kawasan pantai yang dikemukakan oleh
Barrett, Stansfield & Rickert, Lavery (dalam Burton, 1995) adalah dibentuk dari 3 zone
penggunaan tanah : (1) Zone pertokoan dan hotel besar. Pertokoan hanya buka pada saat
musim wisatawan datang dan semata-mata hanya menyediakan untuk shopping pada
waktu senggang. Zone perdagangan pantai ini biasa disebut sebagai Recreational
Business District (RBD). (2) Pusat perdagangan (commercial core), situasinya
tergantung pada RBD, terdiri dari penggunaan tanah pusat kota, seperti pertokoan,
perkantoran, jasa (bank). Zone ini dinamakan Central Business District (CBD). (3) Zone
akomodasi wisatawan dan tempat tinggal wisatawan, daerahnya semakin menjauhi
pantai, kepadatan bangunan dan harga semakin berkurang. Selanjutnya dikemukakan
pula mengenai; (a) Zone perluasan RBD, daerah ini harga-harga sangat mahal,
akomodasi pelayanannya lengkap, seperti lokasi hotel mewah dengan pemandangan
pantai yang indah. Fasilitas didirikan di atas bidang tanah yang sangat mahal dan
perkembangannya intensif; (b) Zone pedalaman, harga tanah sedikit murah, kepadatan
dan perkembangannya lebih rendah. Zone ini didominasi oleh rumah pondokan dan
guest house; (c) Zone berikutnya ditempati akomodasi yang lebih murah (tempat tidur
& makan pagi), kepadatan lebih rendah; (d) Zone tempat tinggal.
Kemudian Barret & Lavery (dalam Burton, 1995), membuat suatu pola perkembangan
penggunaan tanah kawasan wisata, yang terdiri dari 6 tahap : Tahap 1, Masih tradisional
(Early traditional); tahap ini masih dihuni oleh masyarakat petani/ nelayan, wisatawan
masih jarang; Tahap 2, Pasca tradisional (Late traditional); desa telah menjadi sebuah
kawasan kecil (minor resort); Tahap 3, Eksplorasi awal wisatawan (Initial tourist –
exploration), Wisatawan asing sudah mulai ada, dengan jumlah sedikit, perluasan
akomodasi dengan gaya guest house; Tahap 4, Keterlibatan awal kepariwisataan (Early
tourism – involvement), kawasan menjadi suatu model yang mutakhir dengan kenaikan
jumlah pengunjung. Mulai dibangun hotel mewah yang pertama kalinya; Tahap 5,
Pengembangan kepariwisataan (Expanding tourism – development), kawasan telah
dipromosikan oleh industri swasta dan pemerintah; Tahap 6, Konsolidasi intensif
kepariwisataan (Intensive tourism – consolidation), kegiatan pariwisata menggantikan
fungsi desa asli.
Dalam tulisan ini akan membahas model penggunaan ruang kawasan wisata Kuta-Bali
pada tahun 2005, yang mengacu pada model Barrett, Stansfield & Rickert, Lavery
(dalam Burton, 1995).
METODOLOGI
Analisis spasial yang digunakan dalam tulisan ini adalah dengan pendekatan topikal.
Jenis data dan informasi yang dikumpulkan meliputi; (1) penggunaan tanah dan jaringan
jalan tahun 2004; (2) Jumlah, jenis dan sebaran akomodasi wisata, fasilitas belanja,
fasilitas restoran. Data yang didapat, diidentifikasi, diklasifikasi untuk mendapatkan
gambaran sebaran lokasi fasilitas wisata dalam ruang, kemudian akan dibuat model
penggunaan ruangnya. Analisis diskriptif digunakan dalam mendiskripsikan berbagai
data dan lebih menekankan pada model keruangan dari lokasi fasilitas pariwisata.
Didiskripsikan pula adanya perbedaan dan persamaan fasilitas pariwisata, sehingga
dapat memberikan gambaran region fasilitas wisata. Pengregionan ini untuk
memperoleh model penggunaan ruang kawasan wisata Kuta-Bali.
PEMBAHASAN
Model kawasan wisata digambarkan berdasarkan kenampakan ruang permukaan bumi
yang disederhanakan dengan mempertegas bentuk dari kenampakan yang sesungguhnya
(lihat gambar 1). Pariwisata di kecamatan Kuta dimulai dari ketersediaan akomodasi
bagi wisatawan yang terkonsentrasi di sepanjang pantai Kuta yang merupakan obyek
wisata utama. Pada awalnya, fasilitas akomodasi berupa home stay (rumah-rumah
penduduk sebagai akomodasi wisata), yang berada di sebelah timur Pantai Kuta, yang
sekarang dikenal dengan jl. Benesari, jl. Poppies I, jl. Poppies II dan jl. Pantai Kuta.
2
Bangunan fasilitas wisata di kecamatan Kuta berkembang ke arah utara (pantai Legian
dan pantai Seminyak), ke timur (jl. Raya Legian) dan selatan (pantai Tuban dan Pantai
Kedonganan). Kawasan ini dalam dua dekade terakhir telah berkembang dan penuh
dengan kesibukan pariwisata serta menjadi pusat kehidupan malam yang utama di Bali.
Pantai landai berpasir putih terbentang lebar dan memanjang dari Kuta hingga
Seminyak memenuhi syarat untuk tujuan berbagai rekreasi pantai.
Jumlah akomodasi yang terdapat di kecamatan Kuta 328 unit, yang terdiri dari hotel
berbintang 57 hotel, hotel melati 233 dan pondok wisata 38. Posisi dari sebuah hotel
tergantung pada lokasi pasar, dan seharusnya hotel terletak di dalam atau di sekitar
pusat wisata.(Foster,1985). Lokasi hotel berbintang di Kuta, terkonsentrasi di bagian
barat, sekitar obyek wisata utama yaitu sepanjang pantai Kuta, pantai Legian, pantai
Seminyak dan pantai Tuban. Sebaran hotel berbintang cendererung linier sepanjang
jalan utama tepian pantai. Lokasi hotel melati dan pondok wisata tersebar ke arah timur
menjauhi pantai dan lokasinya tersebar diantara perumahan penduduk. Sebaran hotel
melati dan pondok wisata cenderung mengelompok di koridor jalan lingkungan,
terutama terkonsentrasi di jl. Poppies I, jl Poppies II dan jl. Benesari.
Jumlah fasilitas belanja yang ada di kecamatan Kuta 1907 unit, terdiri dari 919 unit
penjualan kerajinan dan 988 unit penjualan pakaian. Sebaran fasilitas belanja cenderung
disepanjang jalan lokal dan mengelompok diantara usaha sejenis. Lokasi belanja barang
kerajinan terkonsentrasi di sepanjang jalan lokal yaitu jl. Legian, jl. Dhyana Pura, jl.
Double Six, jl. Pura Bagus Taruna, jl. Padma dan jl. Kartika Plaza. Lokasi belanja
barang pakaian relatif sama dengan lokasi kerajinan, terkonsentrasi di jalan lokal yaitu
jl. Legian, jl. Pantai Kuta, jl. Kartika Plaza, jl. Melasti, jl. Dhyana Pura, jl. Double Six,
jl. Pura Bagus Taruna dan jl. Padma. Selain di jalan lokal, belanja pakaian juga terdapat
di jalan lingkungan seperti jl. Poppies I, jl. Poppies II dan jl. Benesari.
Restoran merupakan fasilitas kedua yang paling sering digunakan oleh wisatawan
setelah fasilitas akonodasi (Ashworth dan Tunbridge, 2002). Wisatawan dalam memilih
sebuah restoran dapat berdasarkan pada menu atau pelayanan spesifik yang mereka
tawarkan dan lokasi fasilitas restoran tersebut, bahkan seringkali wisatan memilih
fasilitas konsumsi karena keterkaitan dengan fasilitas wisata lainnya (Smith, 2002).
Fasilitas konsumsi barang dan jasa memiliki dua karakteristik lokasi yang sangat
penting yaitu kecenderungan mengelompok diantara usaha sejenis disatu wilayah
ataupun ruas jalan dan kecenderungan untuk berada di lokasi yang sama dengan fasilitas
wisata yang lain termasuk hotel yang juga menawarkan restoran untuk umum. Restoranrestoran dan hotel-hotel di kecamatan Kuta menawarkan berbagai menu internasional
dan menu Indonesia yang dapat menjadi pilihan guna memenuhi selera masing-masing,
baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Jumlah restoran di
kecamatan Kuta 498 restoran, yang terdiri dari masakan daerah 4 restoran, masakan
Indonesia 169 restoran, masakan non Indonesia 325 restoran. Sebaran lokasi restoran
berada di koridor jalan utama dan lokasinya mengelompok dalam kelompok kecil
diantara fasilitas belanja maupun di sekitar fasilitas akomodasi. Restoran masakan non
Indonesia tersebar linier mengikuti pola jaringan jalan lokal, yang berfungsi sebagai
jalur-jalur perbelanjaan, terutama berada di jl. Legian, jl. Pantai Kuta, jl. Melati, jl.
Dhyana Pura, jl. Bakung Sari, jl. Double Six, jl. Raya Seminyak, jl.Pantai Tuban, jl.
Kartika Plaza dan jl. Padma. Sedangkan restoran masakan Indonesia terletak di
3
sepanjang koridor dan jalan-jalan lingkungan seperi di jl. Raya Tuban, jl. Poppies I, jl.
Poppies II dan jl. Benesari.
Apabila mengacu pada pola perkembangan penggunaan tanah yang dikemukakan oleh
Burrett dan Lavery, maka terlihat bahwa kawasan wisata pantai kecamatan Kuta-Bali
perkembangannya sudah pada tahap Intensive tourism – consolidation, keberadaan
usaha-usaha pariwisata telah menggantikan fungsi permukiman desa pantai..
KESIMPULAN
Kawasan wisata pantai kecamatan Kuta – Bali, menggambarkan model penggunaan
ruang sesuai dengan model Barrett, Stansfield & Rickert, Lavery, yatitu region hotel
berbintang, yang terletak di bagian barat, sebaran hotel cendererung linier sepanjang
jalur jalan utama tepian pantai; (2) region hotel melati dan pondok wisata tersebar ke
arah timur menjauhi pantai dan lokasinya tersebar diantara perumahan penduduk; (3)
region perbelanjaan, cenderung disepanjang jalan lokal dan mengelompok diantara
usaha sejenis, seperti pakaian, kerajinan, restoran. Apabila dilihat tahap perkembangan
penggunaan ruang kawasan wisata, maka model perkembangan kawasan ini telah
mencapai tahap akhir yaitu Intensive tourism – consolidation.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, R. 1995. Travel Geography, 2nd ed. Pitman Publishing, London.
Hall, Michael C. and Page, Stephen J, 2002. The Geography of Touristm and
Recreation
Enviroment, Place and Space; 2nd ed. Routledge, London and New York
Page, S. 1995. Urban Tourism. Routledge, Landon and New York
Putra, Aditya. 2005. Fungsi Ruang Pariwisata di Kecamatan Kuta – Bali Tahun 2005.
Skripsi Sarjana Geografi FMIPA UI, Jakarta
Mclntosh, R.W. & Goeldner, Charles R. 1986. Tourism Principles,
PracticesPhilosophies.
5th ed. John Wiley and Sons, Inc. New York
Inskeep, Edward. 1990. Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development
Approach. Van Nostrand Reinhold, New York.
Foster, Douglas. 1985. Travel and Tourism Management. The MacMillan LTD,
London.
4
Keterangan
Pantai/Beach
Hotel Berbintang
CBD
Pertokoan
Jalan
Jalan Kereta
Permukiman
Sarana Wisata
Outdoor
Stasiun KA
Stasiun Bus
Small Hotel
RBD
Gambar 1. Model Penggunaan Tanah Pariwisata Pantai
Keterangan
Gambar 2. Model Penggunaan Ruang Kawasan Pantai
Pantai/Beach
Hotel Berbintang
Hotel Melati dan Pondok Wisata
Jalan
Perbelanjaan
Gambar 2. Model Penggunaan Ruang Pariwisata Pantai Bali
5
Download