1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit diare masih

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit diare masih menjadi masalah global dengan derajat kesakitan dan
kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan juga
sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di
dunia. Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 5 tahun
meninggal setiap tahunnya di dunia dimana sekitar 20% meninggal karena infeksi
diare (Hardi, 2012).
Secara global kematian yang disebabkan diare di antara anak-anak terlihat
menurun dalam kurun waktu lebih dari 50 tahun, namun angka kesakitannya masih
tetap tinggi. Jumlah kematian anak pada tahun 1990 di dunia adalah sebesar 12.4 juta
orang, menurun menjadi sebesar 8,8 juta kasus pada tahun 2008, tetapi tetap saja
diare dan pneumonia masih membunuh sekitar 3 juta anak pertahun. Saat ini angka
kematian yang disebabkan diare adalah 3,8 per 1000 per tahun, median insidens
secara keseluruhan pada anak usia dibawah 5 tahun adalah 3,2 episode anak per tahun
(Parashar, 1993).
Penyakit diare juga masih merupakan masalah kesehatan bagi masyarakat
Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas
yang dilakukan oleh Subdin Diare. Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010
terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 insiden rate penyakit diare
2
301/ 1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik
menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Berdasarkan data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)3, tahun
2012 bahwa dari jumlah sampel sebanyak 16.380 orang, jumlah balita yang
menderita diare dari sebanyak 2,293 balita (14%). Balita yang dibawa ke fasilitas atau
petugas kesehatan sebanyak 64,6%, yang menerima oralit sebanyak 38,8% dan yang
membuat oralit sendiri sebanyak 46,8%.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara bahwa jumlah
penderita diare tahun 2011 sebanyak 549.147 kasus, sedangkan jumlah yang
ditangani sebanyak 243.214 kasus (44,29%). Jumlah kasus diare tertinggi berasal di
Kota Medan yaitu sebanyak 88.729 kasus, di Deli Serdang sebanyak 75.735 kasus,
sedangkan di Kabupaten Langkat
sebanyak 40.927 kasus. Jumlah kasus yang
ditangani di Kabupaten Langkat sebanyak 18.025 kasus (44,04%) (Dinas Kesehatan
Sumut, 2012).
Diare yang terjadi pada masyarakat sering menimbulkan keresahan terutama
apabila terjadi kejadian luar biasa. Hal ini karena mayoritas penderita adalah anak
berusia di bawah lima tahun atau terjadi 40 juta kasus/tahun. Sebenarnya diare
merupakan penyakit yang akan sembuh dengan sendirinya (self limited). Namun pada
sisi lain, diare dapat menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah banyak, yang
akan memicu kondisi dehidrasi yang dapat mengancam jiwa (Wijoyo Y, 2013).
3
Menurut Soegijanto (2002), banyak faktor yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat menjadi faktor pendorong terjadinya diare. Penyebab tidak langsung
atau faktor-faktor yang mempermudah atau mempercepat terjadinya diare seperti :
status gizi, pemberian ASI eksklusif, lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), dan sosial ekonomi. Penyebab langsung antara lain infeksi bakteri virus dan
parasit, malabsorbsi, alergi, keracunan bahan kimia maupun keracunan oleh racun
yang diproduksi oleh jasad renik, ikan, buah dan sayur-sayuran. Keadaan gizi anak
juga berpengaruh terhadap diare. Pada anak yang kurang gizi karena pemberian
makanan yang kurang mengakibatkan diare akut yang lebih berat, yang berakhir lebih
lama dan lebih sering terjadi pada diare persisten dan disentri lebih berat. Risiko
meninggal akibat diare persisten atau disentri sangat meningkat, apabila anak sudah
kurang gizi (DepKes RI, 2007).
Angka kejadian dan kematian diare pada anak-anak di negara-negara yang sedang
berkembang masih tinggi. Lebih-lebih pada anak yang mendapat susu formula, angka
tersebut lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan anak-anak yang mendapat
ASI. Hal ini disebabkan karena nilai gizi ASI yang tinggi, adanya antibodi pada ASI, selsel lekosit, enzim, hormon dan lain-lainnya yang melindungi bayi terhadap berbagai
infeksi (Dinas Kesehatan Sumut, 2012).
Tidak disangsikan lagi Air Susu Ibu (ASI) sebagai makanan terbaik untuk bayi
merupakan pemberian Allah SWT yang tidak akan dapat ditiru oleh para ahli di bidang
makanan bayi dimanapun. ASI mengandung nutrient (zat gizi) yang cukup dan bernilai
biologi tinggi. Disamping itu juga mengandung zat kekebalan (imunologi) yang sangat
4
dibutuhkan bayi untuk melawan beberapa penyakit (Dinas Kesehatan Kabupaten
Langkat, 2012).
Pada waktu lahir sampai beberapa bulan sesudahnya, bayi belum dapat
membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI merupakan substansi bahan yang
hidup dengan kompleksitas biologis yang luas yang mampu memberikan daya
perlindungan, baik secara aktif maupun melalui pengaturan imunologis. ASI tidak hanya
menyediakan perlindungan yang untuh terhadap infeksi dan alergi, tetapi juga menstimuli
perkembangan yang memadai dari sistem imunology bayi sendiri. ASI memberikan zatzat kekebalan yang belum dibuat oleh bayi tersebut. Selain itu ASI juga mengandung
beberapa komponen anti inflamasi, yang fungsinya belum banyak yang diketahui,
sehingga bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal kehidupannya
(Dinas Kesehatan Sumut, 2012).
ASI selalu mudah tersedia pada suhu yang sesuai dan tidak memerlukan waktu
untuk persiapannya. Susunya segar dan bebas dari kontaminasi bakteri, yang akan
mengurangi peluang gangguan gastrointestinal. Walaupun hanya ada perbedaan kecil
dalam angka mortalitas bayi peminum susu formula dan bayi peminum air susu ibu (ASI)
yang mendapat perawatan baik, pada kelompok sosial ekonomi rendah dan mereka yang
hidup pada keadaan yang sehat, bayi peminum ASI lebih mungkin untuk bertahan hidup.
Kemungkinan pengaruh penyelamat jiwa protektif ASI terhadap patogen usus yang
disertai dengan diare berat tampak paling jelas di Negara sedang berkembang atau
dimana tidak ada persediaan air minum yang aman dan tidak ada tempat pembuangan
kotoran manusia yang efektif (Wijoyo Y, 2013).
5
Susu formula bayi dimaksudkan sebagai pengganti ASI bila ibu tidak menyusui.
Nutrisi yang baik semasa hamil sangat penting sebagai persiapan dan perawatan
menyusui. Memberikan susu-formula secara parsial dapat berpengaruh negatif pada
pemberian ASI, dan mengubah keputusan untuk tidak menyusui sulit dilakukan. Saran
para ahli kesehatan harus diikuti dalam pemberian makanan bayi. Susu formula bayi
harus disiapkan dan digunakan sesuai petunjuk. Penggunaan susu formula bayi secara
tidak benar atau tidak tepat dapat menimbulkan bahaya kesehatan.terutama terserang
diare. Pengaruh sosial dan finansial harus dipertimbangkan pada saat memilih cara
member makanan bayi.
Susu formula merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri,
sehingga kontaminasi mudah terjadi terutama jika persiapan dan pemberian kurang
memperhatikan segi antiseptik.3 Pemberian susu formula yang tidak baik dapat
meningkatkan risiko terjadinya diare pada bayi.4 Penyakit diare masih menjadi
penyebab kematian balita (bayi dibawah lima tahun) terbesar di dunia yaitu nomor
dua pada balita dan nomor tiga bagi bayi serta nomor lima bagi semua umur (Dinas
Kesehatan Kabupaten Langkat, 2012).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa
banyak faktor yang mempengaruhi kejadian diare. Faktor penyebab diare tidak
berdiri sendiri akan tetapi saling terkait dan sangat kompleks. Susu formula sebagai
salah satu makanan pengganti ASI pada anak yang penggunaannya semakin
meningkat. Adanya cara pemberian susu formula yang benar merupakan salah satu
6
faktor yang dapat menurunkan angka kejadian diare pada anak akibat minum susu
formula (Wijoyo Y, 2013).
Kemudian diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aniqoh
(2006) di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo, menunjukkan bahwa
penggunaan air, cara penyimpanan setelah pengenceran, cara membersihkan botol
susu dan kebiasaan mencuci tangan mempunyai hubungan dengan kejadian diare.
Sedangkan menurut Moehji (1985), penyebab lain diare pada pemberian susu
formula, karena proses penyeduhan yang terlalu kental dan cara penyimpanan susu
formula yang salah (Soegijanto S, 2002).
Survei pendahuluan yang penulis lakukan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil kejadian diare pada bayi 0-6 bulan setiap bulan terus
mengalami peningkatan. Data yang diperoleh selama 3 bulan (bulan Mei-Juli 2015)
bahwa jumlah anak yang menderita diare pada bulan Mei 2015 sebanyak 8 kasus,
pada bulan Juni 2015 sebanyak 12 kasus, dan pada bulan Juli 2015 sebanyak 14
kasus. Faktor penyebab diare tidak berdiri sendiri akan tetapi saling terkait dan sangat
kompleks seperti akibat pemberian susu formula yang tidak benar.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan judul Hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6
bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
7
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah bagaimana hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada
bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk melihat secara umum hubungan pemberian susu formula dengan
kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh
Singkil.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk melihat pemberian susu formula pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru
Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
2. Untuk melihat kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil.
3. Untuk melihat hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada
bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Mengembangkan khasanah ilmu pengetahuan berkaitan dengan kejadian diare
pada balita.
8
2) Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Singkil, hasil penelitian ini dapat
dijadikan masukan data awal penanggulangan diare pada bayi 0-6 bulan.
3) Puskesmas memberikan masukan bagi puskesmas untuk meningkatkan upaya
promosi kesehatan yang tepat pada masyarakat mengenai pemberian susu formula
dan penyakitdiare pada bayi 0-6 bulan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Susu formula
2.1.1. Pengertian Susu formula
Susu formula menurut WHO (2004) yaitu susu yang diproduksi oleh industri
untuk keperluan asupan gizi yang diperlukan bayi. Susu formula kebanyakan tersedia
dalam bentuk bubuk. Perlu dipahami susu cair steril sedangkan susu formula tidak
steril. Pemberian susu formula diindikasikan untuk bayi yang karena sesuatu hal tidak
mendapatkan ASI atau sebagai tambahan jika produksi ASI tidak mencukupi
kebutuhan bayi. Penggunaan susu formula ini sebaiknya meminta nasehat kepada
petugas kesehatan agar penggunaannya tepat (Nasar, dkk, 2005).
Walaupun memiliki susunan nutrisi yang baik, tetapi susu sapi sangat baik
hanya untuk anak sapi, bukan untuk bayi. Oleh karena itu, sebelum dipergunakan
untuk makanan bayi, susunan nutrisi susu formula harus diubah hingga cocok untuk
bayi. Sebab, ASI merupakan makanan bayi yang ideal sehingga perubahan yang
dilakukan pada komposisi nutrisi susu sapi harus sedemikian rupa hingga mendekati
susunan nutrisi ASI (Khasanah, 2011).
2.1.2. Jenis Susu Formula
Ada beberapa jenis susu formula menurut Khasanah (2011), yaitu:
1. Susu Formula Adaptasi atau Pemula
10
Susu formula adaptasi (adapted) atau pemula adalah susu formula yang biasa
digunakan sebagai pengganti ASI oleh bayi baru lahir sampai umur 6 bulan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya (Kodrat, 2010). Susu formula adaptasi ini
disesuaikan dengan keadaan fisiologis bayi. Komposisinya hampir mendekati
komposisis ASI sehingga cocok diberikan kepada bayi yang baru lahir hingga
berusia 4 bulan (Bambang, 2011).
Tabel 2.1 Perbandingan Komposisi Susu Formula dengan Komposisi ASI
Zat Gizi
Lemak (g) 3,4
Protein (g)
Whey (g)
Kasein (g)
Karbohidrat (g)
Energi (kkal)
Mineral (g)
Natrium (g)
Kalium (mg)
Kalsium (mg)
Fosfor (mg)
Klorida (mg)
Magnesium (mg)
Zat besi (mg)
Sumber: Pudjiadi, 2001
Formula Adaptasi
3,4-3,64
1,5-1,6
0,9-0,96
0,6-0,64
7,2-7,4
67-67,4
0,25-0,3
15-24
55-72
44,4-60
28,3-34
37-41
4,6-5,3
0,5-0,2
ASI
3,0-5,5
1,1-1,4
0,7-0,9
0,4-0,5
6,6-7,1
65-70
0,2
10
40
30
30
30
4
0,2
Untuk bayi yang lahir dengan pertimbangan khusus untuk fisiologisnya
dengan syarat rendah mineral, digunakan lemak tumbuhan sebagai sumber energi
dan susunan zat gizi yang mendekati ASI. Susu jenis ini merupakan jenis yang
paling banyak mengalami penyesuaian dan banyak beredar di pasaran (Febry,
2008).
11
2. Susu Formula Awal Lengkap
Formula awal lengkap (complete starting formula) yaitu susunan zat gizinya
lengkap dan dapat diberikan setelah bayi lahir. Keuntungan dari formula bayi ini
terletak pada harganya. Pembuatannya sangat mudah maka ongkos pembuatan
juga lebih murah hingga dapat dipasarkan dengan harga lebih rendah. Susu
formula ini dibuat dengan bahan dasar susu sapi dan komposisi zat gizinya dibuat
mendekati komposisi ASI (Nasar, dkk, 2005). Komposisi zat gizi yang dikandung
sangat lengkap, sehingga diberikan kepada bayi sebagai formula permulaan
(Bambang, 2011).
3. Susu Formula Follow-Up (lanjutan)
Susu formula lanjutan yaitu susu formula yang menggantikan kedua susu formula
yang digunakan sebelumnya dan untuk bayi yang berusia 6 bulan ke atas,
sehingga disebut susu formula lanjutan (Bambang, 2011). Susu formula ini dibuat
dari susu sapi yang sedikit dimodifikasi dan telah ditambah vitamin D dan zat
besi (Praptiani, 2012). Susu formula ini dibuat untuk bayi yang berumur sampai 1
tahun meskipun ada juga yang menyebutkan sampai umur 3 tahun (Nasar, dkk
2005). Febry (2008), juga menjelaskan susu formula ini dibuat untuk bayi usia 612 bulan.
4. Susu Formula Prematur
Bayi yang lahir prematur atau belum cukup bulan belum tumbuh dengan
sempurna. Menjelang dilahirkan cukup bulan, bayi mengalami pertumbuhan fisik
12
yang pesat. Sehingga dibuat susu formula prematur untuk mengejar tertinggalnya
berat badan prematurnya (Nadesul, 2008). Susu formula ini harus dengan
petunjuk dokter karena fungsi saluran cerna bayi belum sempurna, maka susu
formula ini dibuat dengan merubah bentuk karbohidrat, protein dan lemak
sehingga mudah dicerna oleh bayi (Nasar, dkk, 2005).
5. Susu Hipoalergenik (Hidrolisat)
Susu formula hidrolisat digunakan apabila tidak memungkinkan ibu menyusui
bayinya karena mengalami gangguan pencernaan protein. Susu formula ini
dirancang untuk mengatasi alergi dan ada beberapa yang disusun untuk mencegah
alergi. Susu formula ini hanya diberikan berdasarkan resep dari dokter (Praptiani,
2012).
6. Susu Soya (kedelai)
Department of Health merekomendasikan agar susu soya hanya diberikan jika
bayi tidak toleran terhadap susu sapi atau laktosa karena terdapat kekhawatiran
tentang kemungkinan efek senyawa yang diproduksi oleh kacang kedelai dan
tingkat mangan sera alumunium yang tidak dapat diterima dalam formula tersebut
(Praptiani, 2012). Bayi yang terganggu penyerapan protein maupun gula susunya
membutuhkan susu yang terbuat dari kacang kedelai. Gangguan metabolisme
protein juga sering bersamaan dengan gangguan penyerapan gula susu (Nadesul,
2008).
13
7. Susu Rendah Laktosa atau Tanpa Laktosa
Apabila usus bayi tidak memproduksi lactase gula susu akan utuh tidak dipecah
menjadi glukosa dan galaktosa sehingga menyebabkan bayi mencret, kembung,
mulas dan pertumbuhan bayi tidak optimal. Selama mengalami gangguan
pencernaan gula susu, bayi perlu diberikan formula rendah laktosa (LLM) agar
pertumbuhannya optimal (Nadesul, 2008).
8. Susu Formula dengan Asam Lemak MCT (Lemak Rantai Sedang) yang Tinggi
Susu formula dengan lemak MCT tinggi untuk bayi yang menderita kesulitan
dalam menyerap lemak. Sehingga, lemak yang diberikaan harus banyak
mengandung MCT (Lemak Rantai Sedang) tinggi agar mudah dicerna dan diserap
oleh tubuhnya (Khasanah, 2011).
9. Susu Formula Semierlementer
Untuk bayi yang mengalami gangguan pencernaan yakni gula susu, protein dan
lemak sehingga membutuhkan formula khusus yang dapat ditoleransi oleh
ususnya (Nadesul, 2008).
2.1.3. Kandungan Susu Formula
Susu formula yang dibuat dari susu sapi telah diproses dan diubah kandungan
komposisinya sebaik mungkin agar kandungannya sama dengan ASI tetapi tidak
100% sama. Proses pembuatan susu formula, kandungan karbohidrat, protein dan
mineral dari susu sapi telah diubah kemudian ditambah vitamin serta mineral
14
sehingga mengikuti komposisi yang dibutuhkan sesuai untuk bayi berdasarkan
usianya (Suririnah, 2009).
Menurut Khasanah (2011) ada beberapa kandungan gizi dalam susu formula
yaitu, lemak disarankan antara 2,7-4,1 g tiap 100 ml, protein berkisar antara 1,2-1,9 g
tiap 100 ml dan karbohidrat berkisar antara 5,4-8,2 g tiap 100 ml.
2.1.4. Kelemahan Susu Formula
Praptiani (2012) menjelaskan telah teridentifikasi adanya kerugian berikut ini
untuk bayi yang diberikan susu formula yaitu:
1. Susu formula kurang mengandung beberapa senyawa nutrien.
2. Sel-sel yang penting dalam melindungi bayi dari berbagi jenis patogen.
3. Faktor antibodi, antibakteri dan antivirus (misalnya IgA, IgG, IgM dan
laktoferin).
4. Hormon (misalnya hormon prolaktin dan hormon tiroid).
5. Enzim dan prostaglandin.
Sutomo dan Anggraini (2010) menjelaskan susu formula mempunyai
beberapa kelemahan, antara lain; kurang praktis karena harus dipersiapkan terlebih
dahulu, tidak dapat bertahan lama, mahal dan tidak selalu tersedia, cara penyajian
harus tepat dapat menyebabkan alergi. Susu formula banyak kelemahannya karena
terbuat dari susu sapi sehingga dijelaskan Khasanah (2011) antara lain; kandungan
susu formula tidak selengkap ASI, pengenceran yang salah, kontaminasi
mikroorganisme, menyebabkan alergi, bayi bisa diare dan sering muntah,
15
menyebabkan bayi terkena infeksi, obesitas atau kegemukan, pemborosan,
kekurangan zat besi dan vitamin, mengandung banyak garam.
2.1.5. Efek atau Dampak Negatif Pemberian Susu Formula
Roesli (2008) menjelaskan berbagai dampak negatif yang terjadi pada bayi
akibat dari pemberian susu formula, antara lain:
1. Gangguan saluran pencernaan (muntah, diare)
Judarwanto (2007) menjelaskan bahwa anak yang diberi susu formula lebih sering
muntah/gumoh, kembung, “cegukan”, sering buang angin, sering rewel, susah
tidur terutama malam hari. Saluran pencernaan bayi dapat terganggu akibat dari
pengenceran susu formula yang kurang tepat, sedangkan susu yang terlalu kental
dapat membuat usus bayi susah mencerna, sehingga sebelum susu dicerna oleh
usus akan dikeluarkan kembali melalui anus yang mengakibatkan bayi mengalami
diare (Khasanah, 2011).
2. Infeksi saluran pernapasan
Gangguan saluran pencernaan yang terjadi dalam jangka panjang dapat
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang sehingga mudah terserang infeksi
terutama ISPA (Judarwanto, 2007). Susu sapi tidak mengandung sel darah putih
hidup dan antibiotik sebagai perlindungan tubuh dari infeksi. Proses penyiapan
susu formula yang kurang steril dapat menyebabkan bakteri mudah masuk
(Khasanah, 2011).
16
3. Meningkatkan resiko serangan asma
ASI dapat melindungi bayi dari penyakit langka botulism, penyakit ini merusak
fungsi saraf, menimbulkan berbagai penyakit pernapasan dan kelumpuhan otot
(Nasir, 2011). Peneliti sudah mengevaluasi efek perlindungan dari pemberian
ASI, bahwa pemberian ASI melindungi terhadap asma dan penyakit alergi lain.
Sebaliknya, pemberian susu formula dapat meningkatkan resiko tersebut (Oddy,
dkk, 2003) dalam (Roesli, 2008).
4. Meningkatkan kejadian karies gigi susu
Kebiasaan bayi minum susu formula dengan botol saat menjelang tidur dapat
menyebabkan karies gigi (Retno, 2001). ASI mengurangi penyakit gigi berlubang
pada anak (tidak berlaku pada ASI dengan botol), karena menyusui lewat
payudara ada seperti keran, jika bayi berhenti menghisap, otomatis ASI juga akan
berhenti dan tidak seperti susu botol. Sehingga ASI tidak akan mengumpul pada
gigi da menyebabkan karies gigi (Nasir, 2011).
5. Menurunkan perkembangan kecerdasan kognitif
Susu formula mengandung glutamate (MSG-Asam amino) yang merusak fungsi
hypothalamus pada otak-glutamate adalah salah satu zat yang dicurigai menjadi
penyebab autis (Nasir, 2011). Penelitian Smith, dkk (2003) dalam Roesli (2008),
bayi yang tidak diberi ASI mempunyai nilai lebih rendah dalam semua fungsi
intelektual, kemampuan verbal dan kemampuan visual motorik dibandingkan
dengan bayi yang diberi ASI.
17
6. Meningkatkan resiko kegemukan (obesitas)
Kelebihan berat badan pada bayi yang mendapatkan susu formula diperkirakan
karena kelebihan air dan komposisi lemak tubuh yang berbeda dibandingkan bayi
yang mendapatkan ASI (Khasanah, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh
Amstrong, dkk (2002) dalam Roesli (2008) membuktikan bahwa kegemukan jauh
lebih tinggi pada anak-anak yang diberi susu formula. Kries dalam Roesli (2008)
menambahkan bahwa kejadian obesitas mencapai 4,5-40% lebih tinggi pada anak
yang tidak pernah diberikan ASI.
7. Meningkatkan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah
ASI membantu tubuh bayi untuk mendapat kolesterol baik, artinya melindungi
bayi dari penyakit jantung pada saat sudah dewasa. ASI mengandung kolesterol
tinggi (fatty acid) yang bermanfaat untuk bayi dalam membangun jaringanjaringan saraf dan otak. Susu yang berasal dari sapi tidak mengandung kolesterol
ini (Nasir, 2011). Hasil penelitian Singhal, dkk (2001) dalam Roesli, 2008;
menyimpulkan bahwa pemberian ASI pada anak yang lahir prematur dapat
menurunkan darah pada tahun berikutnya.
8. Meningkatkan resiko infeksi yang berasal dari susu formula yang tercemar
Pembuatan susu formula di rumah tidak menjamin bebas dari kontaminasi
mikroorganisme patogen. Penelitian menunjukkan bahwa banyak susu formula
yang terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen (Sidi, et al. 2004). Kasus
wabah Enterobacteri zakazakii di Amerika Serikat, dilaporkan kematian bayi
18
berusia 20 hari yang mengalami demam, takikardia, menurunnya aliran darah dan
kejang pada usia 11 hari (Weir (2002) dalam Roesli, 2008).
9. Meningkatkan kurang gizi
Pemberian susu formula yang encer untuk menghemat pengeluaran dapat
mengakibatkan kekurangan gizi karena asupan kurang pada bayi secara tidak
langsung. Kurang gizi juga akan terjadi jika anak sering sakit, terutama diare dan
radang pernafasan (Roesli, 2008).
10. Meningkatkan resiko kematian
Chen dkk (2004) dalam Roesli (2008), bayi yang tidak pernah diberi ASI berisiko
meninggal 25% lebih tinggi dalam periode sesudah kelahiran daripada bayi yang
mendapat ASI. Pemberian ASI yang lebih lama akan menurunkan resiko
kematian bayi. Praptiani (2012), menyusui adalah tindakan terbaik karena
memberikan susu melalui botol dapat meningkatkan resiko kesehatan yang
berhubungan dengan pemberian susu formula diantaranya yaitu; Peningkatan
infeksi lambung, infeksi otitis media, infeksi perkemihan, resiko penyakit atopik
pada keluarga yang mengalami riwayat penyakit ini, resiko kematian bayi secara
mendadak, resiko diabetes melitus bergantung insulin, Penyakit kanker dimasa
kanak-kanak.
2.1.6. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian Susu Formula
Arifin (2004), menjelaskan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pemberian susu formula pada bayi usia 0-6 bulan yaitu:
19
1. Faktor pendidikan
Seseorang yang berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas akan lebih bisa
menerima alasan untuk memberikan ASI eksklusif karena pola pikirnya yang
lebih realistis dibandingkan yang tingkat pendidikan rendah (Arifin, 2004).
2. Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif adalah hal yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang, salah satunya kurang memadainya pengetahuan ibu mengenai
pentingnya ASI yang menjadikan penyebab atau masalah dalam peningkatan
pemberian ASI (Roesli, 2008).
3. Pekerjaan
Bertambahnya pendapatan keluarga atau status ekonomi yang tinggi serta
lapangan pekerjaan bagi perempuan berhubungan dengan cepatnya pemberian
susu botol. Artinya mengurangi kemungkinan untuk menyusui bayi dalam waktu
yang lama (Amirudin, 2006). Penelitian Erfiana (2012), ibu yang tidak
memberikan susu formula sebagian besar oleh ibu yang tidak bekerja yaitu
4. Ekonomi
Hubungan antara pemberian ASI dengan ekonomi/penghasilan ibu dimana ibu
yang mempunyai ekonomi rendah mempunyai peluang lebih memilih untuk
memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi kerena ibu yang
ekonominya rendah akan berfikir jika ASI nya keluar maka tidak perlu diberikan
susu formula karena pemborosan (Arifin, 2004).
20
5. Budaya
Budaya modern dan perilaku masyarakat yang meniru negara barat mendesak
para ibu untuk segera menyapih anaknya dan memilih air susu buatan atau susu
formula sebagai jalan keluarnya (Arifin, 2004).
6. Psikologis
Ibu yang mengalami stres dapat menghambat produksi ASI sehingga ibu kurang
percaya diri untuk menyusui bayinya (Kurniasih, 2008).
7. Kesehatan
Ibu yang menderita sakit tertentu seperti ginjal atau jantung sehingga harus
mengkonsumsi obat-obatan yang dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan
sel-sel bayi, bagi ibu yang sakit tetapi masih bisa menyusui maka diperbolehkan
untuk menyusui bayinya (Kurniasih, 2008).
8. Takut kehilangan daya tarik sebagai seorang wanita
Terdapat anggapan bahwa ibu yang menyusui akan merusak penampilan. Padahal
setiap ibu yang mempunyai bayi selalu mengalami perubahan payudara,
walaupun menyusui atau tidak menyusui (Arifin, 2004).
9. Ketidaktahuan ibu tentang pentingnya ASI
Cara menyusui yang benar dan pemasaran yang dilancarkan secara agresif oleh
para produsen susu formula merupakan factor penghambat terbentuknya
kesadaran orang tua dalam memberikan ASI eksklusif (Nuryati, 2007).
21
10. Meniru teman, tetangga atau orang terkemuka yang memberikan susu botol
Persepsi masyarakat gaya hidup mewah membawa dampak menurutnya kesediaan
menyusui. Bahkan adanya pandangan bagi kalangan tertentu bahwa susu botol
sangat cocok untuk bayi dan dipengaruhi oleh gaya hidup yang selalu ingin
meniru orang lain (Khasanah, 2011).
11. Peran petugas kesehatan
Masyarakat kurang mendapat penerangan atau dorongan tentang manfaat
pemberian ASI (Roesli, 2008).
2.2. Diare
2.2.1. Pengertian Diare
Secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air
besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan
konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga
macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten.12
Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi
buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari.13
Diare adalah tinja encer keluar lebih sering, diare bukan merupakan suatu
penyakit tetapi kelihatan dalam keadaan seperti enteritis regionalis, sprue, colitis
ulcerosa, berbagai infeksi usus dan kebanyakan karena jenis radang lambung dan
usus.14
22
2.2.2. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.
Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan
hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit
melampaui 15%.7
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali
atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas,
tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah
dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tibatiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan
atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta
gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit
kepala.
Gangguan
bakteri
dan
parasit
kadang-kadang
menyebabkan
tinja
mengandung darah atau demam tinggi.15
Menurut Ngastisyah16, gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien
cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin
disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila
penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak,
23
yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Dehidrasi merupakan gejala yang segera terjadi akibat pengeluaran cairan
tinja yang berulang-ulang. Dehidrasi terjadi akibat kehilangan air dan elektrolit yang
melebihi pemasukannya.17 Kehilangan cairan akibat diare menyebabkan dehidrasi
yang dapat bersifat ringan, sedang atau berat.
2.2.3 Fatofisiologi
Proses terjadinya diare dapat disebabkan oleh berbagai kemungkinan faktor
diantaranya: 18
1. Faktor infeksi
Faktor ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang masuk dalam
saluran pencernaan yang kemudian berkembang dalam usus dan merusak sel
mukosa usus yang dapat menurunkan daerah permukaan usus. Selanjutnya terjadi
perubahan kapasitas usus yang akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi usus
dalam absorbs cairan dan elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri
akan menyebabkan sistem transport aktif dalam usus sehingga sel mukosa
mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan meningkat.
2. Faktor malabsorbsi
Merupakan kegagalan dalam melakukan absorbsi yang mengakibatkan tekanan
osmotik meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus
yang dapat meningkatkan isi rongga usus sehingga terjadilah diare.
24
3. Faktor makanan
Dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu diserap dengan baik. Sehingga
terjadi peningkatan peristaltik usus yang mengakibatkan penurunan kesempatan
untuk menyerap makanan yang kemudian menyebabkan diare.
4. Faktor psikologis
Dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan pristaltik usus yang akhirnya
mempengaruhi proses penyerapan makanan yang dapat menyebabkan diare.20
2.2.4. Pencegahan Penyakit Diare
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.19
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar
mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi
lingkungan,
perbaikan
lingkungan
biologis
dilakukan
untuk
memodifikasi
lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat
dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi.
25
.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada sianak yang telah menderita
diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping
dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan
pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan
oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan
yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi
tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau
parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang
membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan
mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. Dokter akan
menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit.
Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai
petunjuk dokter.31
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare
diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat
ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari
penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi
26
makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan
terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut
memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain
diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan
kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman
sepermainan.
2.2.5. Penanggulangan Diare Berdasarkan Tingkat Dehidrasi
1. Tanpa Dehidrasi
Tanda dan gejala :Tidak terdapat cukup tanda untuk diklasifikasikan sebagai
dehidrasi ringan atau berat.32
Anak-anak yang berumur bawah dari 2 tahun boleh diberikan larutan
oralit 50-100ml/kali dan untuk usia lebih dari 2 tahun diberikan larutan yang sama
dengan dosis 100-200ml/kali diare. Bagi mengelakkan dehidrasi ibu-ibu harus
meningkatkan pemberian minuman dan makanan dari biasa pada anak mereka.
Selain itu dapat juga diberikan zink (10-20mg/hari) sebagai makanan tambahan.
2. Dehidrasi Ringan dan Sedang
Tanda dan gejala :
a. Rewel, gelisah
b. Mata cekung
c. Minum dengan lahap, haus
d. Cubitan kulit kembali lambat.32
27
Keadaan ini diperlukan oralit secara oral bersama larutan kristaloid Ringer
Laktat ataupun Ringer Asetat dengan formula lengkap yang mengandung glukosa
dan elektrolit dan diberikan sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan anak
serta dianjurkan ibu untuk meneruskan pemberian ASI dan masih dapat ditangani
sendiri oleh keluarga di rumah. Berdasarkan WHO, larutan oralit seharusnya
mengandung 90mEq/L natrium, 20mEq/L kalium klorida dan 111mEq/L glukosa.
3. Dehidrasi berat
Tanda dan gejala :
a. Letargis/tidak sadar
b. Mata cekung
c. Tidak bias minum atau malas minum
d. Cubitan kulit perut kembali sangat lambat (≥ 2 detik)32
Keadaan ini pasien akan diberikan larutan hidrasi secara intravena
(intravenous hydration) dengan kadar 100ml/kgBB/3-6 jam. Dosis pemberian cairan
untuk umur kurang dari 1 tahun adalah 30ml/kgBB untuk 1 jam yang pertama dan
seterusnya diberikan 75ml/kgBB setiap 5 jam. Dosis pemberian cairan untuk anak 1-4
tahun adalah 30ml/kgBB untuk ½ jam yang pertama dan seterusnya diberikan
70ml/kgBB setiap 2 ½ jam.
2.2.6. Komplikasi
Komplikasi utama akibat penyakit gastroenteritis ini adalah dehidrasi dan
masalah kardiovaskular akibat hipovolemia dengan derajat berat. Apabila diare itu
28
disebabkan oleh Shigella, demam tinggi dan kejang bisa timbul. Abses pada saluran
usus juga dapat timbul akibat infeksi shigella dan salmonella terutama pada demam
tifoid yang dapat menyebabkan perforasi pada saluran usus. Hal ini sangat berbahaya
dan mengancam nyawa. Muntah yang berat dapat menyebabkan aspirasi dan robekan
pada esofagus.33
2.2.7. Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Diare
2.2.7.1 Faktor gizi
Menurut Sutoto34, bahwa interaksi diare dan gizi kurang merupakan
“lingkaran setan”. Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh
karena itu, pengobatan dengan makan yang tepat dan cukup merupakan komponen
utama pengelolaan klinis diare dan juga pengelolaan di rumah.
Berat dan lamanya diare sangat dipengaruhi oleh status gizi penderita dan
diare yang diderita oleh anak dengan status gizi kurang lebih berat dibandingkan
dengan anak yang status anak yang status gizinya baik karena anak dengan status gizi
kurang keluaran cairan dan tinja lebih banyak sehingga anak akan menderita
dehidrasi berat. Menurut Suharyno17, bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian
besar meninggal karena diare.
2.2.7.2 Faktor Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi juga mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor
penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar
dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai
29
penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan orangtuanya
yang rendah dan sikap serta kebiasaan yang tidak menguntungkan. Karena itu faktor
edukasi dan perbaikan ekonomi sangat berperan dalam pencegahan dan
penanggulangan diare.35
2.2.7.3 Faktor Pendidikan
Tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia
disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi,
kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi dan perilaku masyarakat yang
secara langsung ataupun tidak langsung memengaruhi keadaan penyakit diare.36
Penelitian Erial37, bahwa kelompok ibu dangan status pendidikan SLTP ke
atas mempunyai kemungkinan 1,6 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik
pada balita disbanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah.
2.2.7.4 Faktor Pekerjaan
Ayah dan ibu yang bekerja sebagai pegawai negeri atau swasta rata-rata
mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja
sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat
pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya
diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terpapar dengan
penyakit diare.38
30
2.2.7.5 Faktor Umur Balita
Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Hasil analisis
lanjut SDKI didapatkan bahwa umur balita 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi
diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan.39
2.2.7.6 Faktor ASI
Asi eksklusif adalah pemberian air susu ibu bayi baru lahir sampai usia 4
bulan, tanpa diberikan makanan tambahan lainnya kecuali suplemen vitamin, mineral,
obat dalam bentuk tetes dan sirup.
Brotowasisto40, menyebutkan bahwa insiden diare meningkat pada saat anak
untuk pertama kali mengenal makanan tambahan dan makin lama makin meningkat
dan mencapai puncaknya pada saat anak betul-betul disapi oleh ibunya.
Pemberian ASI penuh akan memberikan perlindungan diare 4 kali dari pada
bayi dengan ASI disertai susu botol. Bayi dengan susu botol saja akan mempunyai
risiko diare lebih berat dan bahkan 30 kali lebih banyak dari pada bayi dengan ASI
penuh.41
2.2.7.7 Faktor Jamban
Erfandy42, menemukan bahwa risiko kejadian diare lebih besar dari pada
keluarga yang tidak mempunyai jamban fasilitas jamban keluarga dan penyediaan
sarana jamban dapat menurunkan resiko kemungkinan terjadinya diare.
Berkaitan dengan personal hygiene dari masyarakat yang ditunjang dengan
situasi kebiasaan yang menimbulkan pencemaran lingkungan sekitarnya dan terutama
31
di daerah-daerah dimana air merupakan masalah dan kebiasaan buang besar yang
tidak sehat.39
2.2.7.8 Faktor SPAL
Erfandy42, SPAL merupakan saluran yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan air buangan kamar mandi tempat cuci, dapur (bukan dari
peturasan/jamban), sehingga air limbah tersebut dapat meresap ke dalam tanah dan
tidak menjadi penyebab penyebaran penyakit serta tidak mengotori lingkungan
permukiman.
Air Limbah yang berserakan kemana-mana, dapat menimbulkan genangan
air/becek, pandangan kotor, bau busuk yang dapat mengganggu kesehatandan dapat
menimbulkan berbagai penyakit salah satunya penyakit diare.
2.2.7.9 Faktor Sampah
Sampah adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi
atau sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan
sendirinya.Sampah dalam ilmu kesehatan lingkungan sebenarnya hanya sebagian dari
benda atau hal-hal yang dipandang tidak digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi,
atau harus dibuang, sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengganggu
kelangsungan hidup. Dari segi ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, disenangi atau sesuatu yang
harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia
(termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis (karena human waste tidak
32
termasuk didalamnya) dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk
didalamnya).38
2.2.7.10 Faktor Sumber Air
Sumber air adalah tempat mendapatkan air yang digunakan. Air baku tersebut
sebelum digunakan adalah yang diolah dulu, namun ada pula yang langsung
digunakan oleh masyarakat. Kualitas air baku pada umumnya tergabung dari mana
sumber air tersebut didapat.
Ada beberapa macam sumber air misalnya : air hujan, air tanah sumur gali,
sumur pompa tangan dangkal dan sumur pompa tangan dalam), air permukaan
(sungai, kolam, danau) dan mata air. Apabila kualitas air dari sumber air tersebut
telah memenuhi syarat kesehatan sesuai dengan peraturan yang berlaku, dapat
langsung dipergunakan tetapi apabila belum memenuhi syarat, harus melalui proses
pengelolaan air terlebih dahulu.
Berdasarkan data survey demografi dan kesehatan tahun 1997, kelompok
anak-anak dibawah 5 tahun yang keluarganya menggunakan sarana sumur gali
mempunyai risiko terkena diare 1,2 dibandingkan dengan kelompok anak yang
keluarganya menggunakan sumber sumur pompa.39
2.2.7.11 Perilaku
Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai jiwa (berpendapat, berfikir,
bersikap dan bertindak) untuk memberikan respon terhadap situasi diluar subjek
tersebut.24
33
Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan) dan dapat juga bersifat aktif
(dengan tindakan). Bentuk operasional dari perilaku ini dapat dikelompokkan dalam
3 jenis, yakni :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu dengan rangsangan dari luar.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri subjek
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit, yang berupa perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
4. Untuk menjelaskan perilaku seseorang termasuk perilaku kesehatan, terlebih
dahulu harus dibuat suatu batasan. Perilaku dari pandangan biologis merupakan
suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi hakekatnya
perilaku adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri.
2.3. Kerangka Konsep
Pemberian Susu Formula
Kejadian Diare
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
2.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6
bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat deskripsi analitik
yaitu hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di
desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilakukan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten
Aceh Singkil tahun 2015.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2015.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh ibu yang memiliki bai 0-6 bulan di Kuala Baru Sungai Kabupaten
Aceh Singkil berjumlah 60 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan menjadi sampel
(total Sampling) yaitu sebesar 60 orang.
33
35
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan
kuesioner.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data-data dari
dokumen atau catatan yang diperoleh dari desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh
Singkil.
3.5. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Definisi, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur
Definisi Operasional
Cara dan
Skala
Hasil Ukur
Alat Ukur
Ukur
1. Pemberian susu formula Wawancara Ordinal
0. Diberikan
adalah
pemberian
susu
1. Tidak diberikan
formula kepada bayi sebagai
pendamping ASI
2. Kejaian
diare
adalah Wawancara Ordinal
0. Diare
bertambahnya
defekasi
1. Tidak diare
(buang air besar) lebih dari
biasanya/lebih dari tiga kali
sehari,
disertai
dengan
perubahan konsisten tinja
(menjadi cair) dengan atau
tanpa darah.
36
3.5. Metode Pengolahan dan Analisa data
3.5.1. Pengolahan Data
Setelah data penelitian terkumpul maka dilakukan proses pengolahan data
meliputi tahap-tahap berikut ini :
1. Editing
Editing dalam penelitian ini berupa kegiatan pengecekan data apakah sudah
lengkap.
2. Coding
Coding adalah
mengklasifikasikan data-data yang telah
dikumpulkan menurut
macamnya.
3. Data Entry
Data rntry yaitu proses memasukkan data ke dalam kategori tertentu untuk
dilakukan analisis data dengan menggunakan bantuan komputer.
4. Tabulating
Tabulating adalah langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan (Riyanto, 2009).
3.5.2. Analisa Data
3.5.2.1. Analisis Univariat
Analisis data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
variabel independen yaitu pendidikan dan variabel dependen yaitu anemia.
37
3.5.2.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan pemberian
susu formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil dengan menggunakan statistik uji chi-square kemudian
hasilnya dinarasikan.
38
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil. Wilayah ini merupakan
salah satu wilayah yang terletak di daerah dataran rendah. Secara geografis desa
Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil mempunyai luas wilayah 16.213 km2.
4.2. Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: umur, dan
pekerjaan.
4.2.1. Umur Responden
Untuk melihat umur responden di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh
Singkil dapat dilihat pada Tabel 4.1 :
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Umur Responden di Desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
3
Umur
> 20 tahun
20-35 tahun
> 35 tahun
Jumlah
f
2
18
13
33
%
6,1
54,5
39,4
100,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa umur responden lebih banyak
dengan umur 20-35 tahun sebanyak 18 orang (54,5%), umur > 35 tahun sebanyak 13
orang (39,4%) dan lebih sedikit dengan umur < 20 tahun sebanyak 2 orang (6,1%).
39
4.2.2. Pendidikan Responden
Untuk melihat pendidikan responden di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten
Aceh Singkil dapat dilihat pada Tabel 4.2 :
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Pendidikan Responden di Desa Kuala Baru
Sungai Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
3
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Jumlah
f
4
10
19
33
%
12,1
30.3
57,6
100,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pendidikan responden lebih
banyak dengan pendidikan SMA sebanyak 19 orang (57,6%), pendidikan SMP
sebanyak 10 orang (30,3%) dan lebih sedikit dengan pendidikan SD sebanyak 4
orang (12,1%).
4.2.3. Pekerjaan Responden
Untuk melihat pekerjaan responden di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten
Aceh Singkil dapat dilihat pada Tabel 4.3 :
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden di Desa Kuala Baru
Sungai Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
3
Pekerjaan
IRT
Petani
Pedagang
Jumlah
f
2
16
15
33
%
6,1
48,5
45,5
100,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pekerjaan responden lebih
banyak dengan petani sebanyak 16 orang (48,5%), pedagang sebanyak 15 orang
(45,5%) dan lebih sedikit dengan IRT 4 orang (6,1%).
40
4.3. Analisis Univariat
Analisis univariat yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: pemberian susu
formula dan kejadian diare.
4.3.1. Pemberian Susu Formula
Untuk melihat pemberian susu formula pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala
Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil dapat dilihat pada Tabel 4.4 :
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Pemberian Susu Formula pada bayi 0-6 Bulan
di Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
Pemberian Susu Formula
Diberikan
Tidak Diberikan
Jumlah
f
13
20
33
%
39,4
60,6
100,0
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian susu formula lebih
banyak dengan tidak diberikan sebanyak 20 orang (60,6%) dan lebih sedikit dengan
diberikan sebanyak 13 orang (39,4%).
4.3.3. Kejadian Diare
Untuk melihat kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil dapat dilihat pada Tabel 4.5 :
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Kejadian Diare pada bayi 0-6 Bulan di Desa
Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
Kejadian Diare
Diare
Tidak Diare
Jumlah
f
14
19
33
%
42,2
57,6
100,0
41
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kejadian diare lebih banyak
dengan tidak diare sebanyak 19 orang (57,6%) dan lebih sedikit dengan
diaresebanyak 14 orang (42,2%).
4.4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan pemberian susu
formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil.
4.4.1. Hubungan Pemberian Susu Formula dengan Kejadian Diare pada Bayi
0-6 Bulan di Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
Untuk melihat hubungan hubungan pemberian susu formula dengan kejadian
diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil dapat
dilihat pada Tabel 4.6:
Tabel 4.6. Hubungan Pemberian Susu Formula dengan Kejadian Diare pada
Bayi 0-6 Bulan di Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
No
1
2
Pemberian Susu
Formula
Diberikan
Tidak Diberikan
Diare
Diare
Tidak Diare
n
%
n
%
11 84,6
2
15,4
3
15,0
17
85,0
Total
N
%
13
100,0
20
100,0
Nilai
p
0,000
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 13 orang dengan bayi
diberikan susu formula terdapat diare sebanyak 11 orang (84,6%) dan tidak diare
sebanyak 2 orang (15,4%). Kemudian dari 20 orang dengan tidak diberikan susu
formula terdapat diare sebanyak 3 orang (15,0%) dan tidak diare sebanyak 17 orang
(85,0%).
42
Hasil uji statistik chi square diperoleh nilai p=0,000 < 0,05 maka dapat
disimpulkan ada hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada bayi
0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil (ada hubungan yang
signifikan antara pemberian susu formula dengan diare).
43
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Pemberian Susu Formula
Hasil penelitian tentang variabel pemberian susu formula ditemukan bahwa
ibu memberikan susu formula kepada bayi 0-6 bulan dengan persentase sebesar
39,4%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian susu formula tergolong tinggi.
Keadan ini perlu mendapat perhatian agar ibu mendapatkan informasi bahwa bayi 0-6
bulan tidak perlu diberikan susu formula.
Makanan utama bayi 0-6 bulan adalah ASI eksklusif, artinya pemberian ASI
selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh,
dan air putih, serta tanpa tambahan makanan padat, seperti pisang, bubur susu,
biskuit, bubur nasi, dan nasi tim, kecuali vitamin dan mineral dan obat (Roesli, 2000).
Selain itu, pemberian ASI eksklusif juga berhubungan dengan tindakan memberikan
ASI kepada bayi hingga berusia 6 bulan tanpa makanan dan minuman lain, kecuali
sirup obat. Setelah usia bayi 6 bulan, barulah bayi mulai diberikan makanan
pendamping ASI, sedangkan ASI dapat diberikan sampai 2 tahun atau lebih
(Prasetyono, 2005).
ASI adalah satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi
baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. ASI mengandung nutrisi, hormon, unsur
kekebalan pertumbuhan, anti alergi, serta anti inflamasi. Nutrisi dalam ASI mencakup
hampir 200 unsur zat makanan (Hubertin, 2004).
44
Hal ini sesuai dengan Danuatmaja (2003) bahwa manfaat ASI bagi bayi
adalah sebagai nutrisi. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan
komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan pertumbuhan bayi. ASI adalah
makanan bayi yang paling sempurna, baik kualitas dan kuantitasnya. Dengan tata
laksana menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi
kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan. Setelah usia 6 bulan, bayi harus
mulai diberikan makanan padat, tetapi ASI dapat diteruskan sampai usia 2 tahun atau
lebih.
5.2. Kejadian Diare
Hasil penelitian tentang variabel kejadian diare ditemukan bayi 0-6 bulan
mengalami diare dengan persentase sebesar 42,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
kejadian diare pada bayi desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil tergolong
tinggi. Keadan ini perlu mendapat perhatian agar ibu lebih memperhatian bayi dan
mencegah terjadinya diare, karena diare pada bayi 0-6 bulan bukan tanpa resiko.
Terjadinya diare pada bayi dikarekan usia dibawah 6 bulan sistem pencernaannya
belum sempurna, dan umur bayi berperan terhadap berkurangnya frekuensi defekasi,
dimana hal ini merupakan petunjuk dari semakin matangnya kapasitas “waterconserving” pada usus.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
Hertina (2012) menunjukkan
bahwa yang persentase kejadian diare dalam tiga bulan terakhir pada bayi usia 0-6
bulan yaitu sebesar 41,6%.
45
Diare menyebabkan kehilangan garam (natrium) dan air secara cepat, yang
sangat penting untuk hidup. Jika air dan garam tidak digantikan cepat, tubuh akan
mengalami dehidrasi. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh
maka hal ini dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi dan anak-anak usia
dibawah lima tahun. Kematian terjadi jika kehilangan sampai 10% cairan tubuh
(Sudarmoko, 2011).
5.3. Hubungan Pemberian Susu Formula gengan Kejadian Diare pada Bayi 0-6
Bulan di Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil
Hasil penelitian tentang variabel pemberian susu formula ditemukan dengan
dengan kejadian diare sebesar 84,6%. Ujji statistik Chi Square menunjukkan variabel
pemberian susu formula nilai p < 0,05 berhubungan dengan kejadian diare. Mengacu
pada hasil uji tersebut dapat dijelaskan semakin tinggi pemberian susu formula pada
bayi 0-6 bulan akan meningkat kejadian diare. Pada penelitian ini perlu pelaksanaan
penyuluhan kepada ibu bahwa tidak perlu pemberian susu formula pada bayi 0-6
bulan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hertina (2012) menunjukkan
bahwa hubungan antara tindakan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada
bayi usia 0-6 bulan di wilayah kerja puskesmas Ranotana Weru kota Manado.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriya (2010)
yang menunjukkan bahwa ada hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare
pada bayi 0 - 6 bulan, dimana p value = 0,001.15
46
Susu formula merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri,
sehingga kontaminasi mudah terjadi terutama jika persiapan dan pemberian kurang
memperhatikan segi antiseptik.3 Pemberian susu formula yang tidak baik dapat
meningkatkan risiko terjadinya diare pada bayi.4 Penyakit diare masih menjadi
penyebab kematian balita (bayi dibawah lima tahun) terbesar di dunia yaitu nomor
dua pada balita dan nomor tiga bagi bayi serta nomor lima bagi semua umur.5
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa banyak faktor
yang mempengaruhi kejadian diare. Faktor penyebab diare tidak berdiri sendiri akan
tetapi saling terkait dan sangat kompleks. Susu formula sebagai salah satu makanan
pengganti ASI pada anak yang penggunaannya semakin meningkat. Adanya cara
pemberian susu formula yang benar merupakan salah satu faktor yang dapat
menurunkan angka kejadian diare pada anak akibat minum susu formula.6
Kemudian diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aniqoh
(2006) di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo, menunjukkan bahwa
penggunaan air, cara penyimpanan setelah pengenceran, cara membersihkan botol
susu dan kebiasaan mencuci tangan mempunyai hubungan dengan kejadian diare.
Sedangkan menurut Moehji (1985), penyebab lain diare pada pemberian susu
formula, karena proses penyeduhan yang terlalu kental dan cara penyimpanan susu
formula yang salah.7
47
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Pemberian susu formula pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai
Kabupaten Aceh Singkil sebesar 39,4%.
2. Kejadian diare pada bayi 0-6 bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh
Singkil sebesar 42,2%.
3. Terdapat hubungan pemberian susu formula dengan kejadian diare pada bayi 0-6
bulan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil.
6.2. Saran
1. Bagi petugas kesehatan di desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil agar
memberikan penyuluhan kesehatan pada ibu untuk mengurangi kejadian diare.
2. Bagi ibu di Desa Kuala Baru Sungai Kabupaten Aceh Singkil agar tidak
memberikan susu formula pada bayi 0-6 bulan.
48
DAFTAR PUSTAKA
1. Hardi Rahman A. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada batita di
Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo Kecamatan Ujung Tanah Tahun 2012.
Makassar: FKM UNHAS; 2012.
2. Parashar DC. Methane emission estimate from Indian paddy fields. Presented at
the International Workshop Methane and Nitrous Oxide, Amersfoort. The
Netherlands, 3-5 February 1993
3. Kementerian Kesehatan RI. Buletin jendela data dan informasi kesehatan, situasi
diare di Indonesia. Jakarta; 2011.
4. Dinas Kesehatan Sumut.Profil kesehatan sumatera utara tahun 2012. Sumatera
Utara. Medan; 2012.
5. Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, Profil kesehatan kabupaten langkat, Dinas
Kesehatan Kabupaten Langkat. Stabat; 2012.
6. Wijoyo Y. Diare pahami penyakit dan obatnya. Yogyakarta: PT Citra Aji
Parama; 2013.
7. Soegijanto S. Ilmu penyakit anak. Edisi I. Jakarta: Medika; 2002.
8. DepKes RI.Pedoman pemberantasan penyakit diare. Edisi ke 5. Jakarta: Dep.Kes.
R.I; 2007.
9. Wangohara. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Tana Rara Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat
Provinsi NTT; 2008.
10. Umiati. Hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian diare pada balita
di puskesmas Nogosari kabupaten Byolali: Tesis; 2010.
11. Sinthamurniwaty.Faktor-faktor risiko kejadian diare akut pada balita (Studi
Kasus di Kabupaten Semarang). Semarang: Program Studi Epidemiologi
Pascasarjana, Universitas Diponegoro; 2006.
12. WHO.WHO recommended surveillance standards, second edition. Genewa;
1999.
13. DepKes RI. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Jakarta; 2005.
14. Sasongko. Rahadiyan.Petunjuk modern kesehatan keluarga. Yogyakarta: Panji
Pustaka; 2009.
15. Wulandari AP. Hubungan antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi
dengan kejadian diare pada balita di desa Blimbing Kecamatan Sambirejo
Kabupaten Sragen Tahun 2009 (Skripsi). Surakarta:Universitas Muhammadiyah;
2009.
16. Ngastiyah. Perawatan anak sakit. Edisi 2. Jakarta: EGC Kedokteran; 2005.
17. Suharyono.Diare akut. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia; 1986.
18. Hidayat. Pengantar ilmu keperawatan anak. Jakarta: Salemba Medika; 2006.
49
19. Nasry N. N.Pengantar epidemiologi penyakit menular. Jakarta: Rineka Cipta;
1997.
20. Sanropie D. AR, Sumini, Margono, Sugiharto, Purwanto S. Ristanto, B.Pedoman
bidang studi penyediaan air bersih APK-TS. Jakarta: Pusdiklat Depkes RI; 1984.
21. Soemirat. J.Kesehatan lingkungan. Yogyakarta:UGM; 1996.
22. Andrianto P.Penatalaksanaan dan pencegahan diare akut. Jakarta: EGC; 1995.
23. Haryoto K.Kesehatan lingkungan. Jakarta: Depkes RI; 1983.
24. Notoatmodjo S.Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Renika Cipta; 2003.
25. Wibowo TA Sunarto S.S., Pramono D., Faktor-faktor resiko kejadian diare
berdarah pada balita di Kabupaten Sleman. BKM/XX/01/1-48. Sleman; 2004.
26. Entjang Indan.Ilmu kesehatan masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti;
2000.
27. Notoatmodjo S.Ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta; 2003.
28. Irianto J. Dkk.Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada anak
balita.Buletin Penelitian Kesehatan. No. 24: 494-499. Jakarta; 1996.
29. Gibson RS. 1990. Principles of nutritional assessment. New York: Oxford
University Press; 1990.
30. Howard G. & Bartram J.Domestic water quantity, service level and health. 2003
[diunduh 3 April 2011]. Tersedia dari: http://www.who.int/water
sanitation_health/document.pdf, 2003.
31. Fahrial Syam A, Pengobatan diare yang tepat. [diunduh 13 April 2010]. Tersedia
dari http: //www. Medicastore.Com. 2006.
32. WHO. Pelayanan kesehatan anak di Rumah Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta; 2009.
33. Kliegman R.M. Marcdante K.J., and Behrman R.E., Nelson essentials
ofpediatric. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006.
34. Sutoto. Pemberantasan penyakit diare dalam Repelita V. Jakarta: DepKes; 1992.
35. Suharyono. Diare akut klinik dan laboratorik. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
36. Suriadi.Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta; 2001.
37. Erial B, Rusdi I. Hubungan antara penanganan feses anak dan kejadian diare
pada anak balita di pedesaan dataran rendah berawa Kecamatan Rambutan
Sumatera Selatan. Jakarta: Pusaka UI; 1994.
38. Giyantini T. Faktor-faktor yang berhubungan dengan diare pada balita. Depok:
IKM UI; 2000.
39. Simatupang M. Analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare
pada balita Di Kota Sibolga Tahun 2003. Medan; Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara; 2004.
40. Brotowasisto. Diare, Penanggulangan dan hasil-hasilnya. Seminar Dehidrasi II.
Jakarta: Dirjen P3M DepKes; 1997.
41. Kamalia D. Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi
usia 1-6 bulan di wilayah kerja puskesmas Kedungwuni I.[Skripsi]. Semarang:
Fakultas Kesehatan Masyarakat UNS; 2005.
50
42. Erfandy M. Hasil penyelidikan lapangan KLB penyakit diare di Kelurahan Pulau
Panggang Kecamatan Seribu. DKI Jakarta; 1990.
43. Notoatmodjo S. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.
44. Gunawan I. Metodologi penelitian kualitatif. Jakarta: Bumi Aksara; 2013.
45. Notoatmodjo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta;
2007.
46. Syuraidah. Hubungan penggunaan jamban terhadap kejadian diare di Wilayah
Kerja Puskesmas Balang Lompo Kabupaten Pangkep: Journal from e-library
STIKES Nani Hasanuddin; 2013.
47. Dya Candra M. Hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian diare di
desa
Karangagung
Kecamatan
palang
Kabupaten
Tuban
tahun
2009.[Tesis].Surabaya: FKM Unair; 2009.
48. Avicena. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian diare pada anak usia
< 1 tahun di wilayah kerja Puskesmas Kedungmudi Kota Semarang; 2013.
49. Sulistyowati Anggraeni. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian
diare pada anak balita di RS Griya Bukateja Baru Kabupaten Purbalingga Tahun
2004. [Undergraduate thesis]. Semarang: Diponegoro University; 2004.
51
DAFTAR PUSTAKA
Hardi Rahman A.2012. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare pada batita
di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo Kecamatan Ujung Tanah Tahun
2012. Makassar: FKM UNHAS.
Parashar DC. 1993. Methane emission estimate from Indian paddy fields. Presented
at the International Workshop Methane and Nitrous Oxide, Amersfoort. The
Netherlands.
Kementerian Kesehatan RI. 2011. Buletin jendela data dan informasi kesehatan,
situasi diare di Indonesia. Jakarta.
Dinas Kesehatan Sumut. 2012. Profil kesehatan sumatera utara tahun 2012. Sumatera
Utara. Medan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, 2012. Profil kesehatan kabupaten langkat,
Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat. Stabat.
Wijoyo Y. 2013. Diare pahami penyakit dan obatnya. Yogyakarta: PT Citra Aji
Parama.
Soegijanto S. 2002. Ilmu penyakit anak. Edisi I. Jakarta: Medika.
DepKes RI.2007. Pedoman pemberantasan penyakit diare. Edisi ke 5. Jakarta:
Dep.Kes. R.I.
Sudarmoko. 2011. Mengenal, Mencegah, dan Mengobati Gangguan Kesehatan pada
Balita. Yogyakarta: Titano
Hertina Kalay, 2012. Hubungan antara Tindakan Pemberian Susu Formula dengan
Kejadian Diare Pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Ranotana Weru Kota Manado, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sam Ratulangi.
Irawati F. 2013. Hubungan Pemberian Susu Formula dengan Pertahanan Tubuh
terhadap Kejadian Diare pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Desa Punggung
Kecamatan Punggung Mojokerto. Unimus.
52
Lampiran 1
DAFTAR PERTANYAAN/PEDOMAN WAWANCARA
HUBUNGAN PEMBERIAN SUSU FORMULA DENGAN KEJADIAN DIARE
PADA BAYI 0-6 BULAN DI DESA KUALA BARU SUNGAI
KABUPATEN ACEH SINGKIL
A. Indentitas Informan
1.
2.
3.
4.
No
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
B. Indentitas Balita
0. No
1. Tgl lahir/Umur
2. Jenis Kelamin
: …………….
: …………….
: ……………..
: 1. PNS
2. Pegawai Swasta
3. Wirasasta
4. IRT
5. Petani
: ……………..
: ……………..
: ……………..
C. Pemberian Susu Formula
1. Apakah ibu memberikan susu formula pada bayi 0-6 bulan?
a. Ya
b. Tidak
D. Kejadian diare
1. Apakah anak ibu mengalami diare?
a. Ya
b. Tidak
MASTER DATA PENELITIAN
53
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Umur
1
2
0
2
1
1
1
2
1
2
2
2
1
2
2
2
1
2
2
0
1
1
1
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
Frequencies
Pendidikan
2
0
2
2
2
2
1
2
2
1
0
1
2
1
2
2
2
2
2
1
0
1
2
2
1
2
2
1
2
1
1
2
0
Pekerjaan
1
2
2
1
2
2
2
1
2
2
2
1
0
1
2
1
2
2
1
1
1
1
2
2
1
0
1
2
2
1
1
1
1
Susu
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
1
1
Diare
0
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
0
1
1
1
1
0
0
0
1
1
1
0
1
1
1
0
0
0
1
54
Umur
Frequency
Valid
> 20 tahun
20-35 tahun
> 35 tahun
Total
Percent
6.1
54.5
39.4
100.0
2
18
13
33
Cumulative
Percent
Valid Percent
6.1
54.5
39.4
100.0
6.1
60.6
100.0
pendidikan
Frequency
Valid
SD
SMP
SMA
Total
Percent
12.1
30.3
57.6
100.0
4
10
19
33
Valid Percent
12.1
30.3
57.6
100.0
Cumulative Percent
12.1
42.4
100.0
pekerjaan
Frequency
Valid
IRT
Petani
Berdagang
Total
2
16
15
33
Percent
6.1
48.5
45.5
100.0
Valid Percent
6.1
48.5
45.5
100.0
Cumulative
Percent
6.1
54.5
100.0
Pemberian Susu Formula
Valid
Diberikan
Tidak Diberikan
Total
Frequency
13
20
33
Percent
39.4
60.6
100.0
Valid Percent
39.4
60.6
100.0
Cumulative
Percent
39.4
100.0
Diare
Valid
Diare
Tidak Diare
Total
Crosstabs
Frequency
14
19
33
Percent
42.4
57.6
100.0
Valid Percent
42.4
57.6
100.0
Cumulative
Percent
42.4
100.0
55
Pemberian Susu Formula * Diare Crosstabulation
Diare
Tidak
Diare
Diare
Diberikan
Count
11
2
Expected Count
5.5
7.5
% within Pemberian
84.6%
15.4%
Susu Formula
Tidak
Count
3
17
Diberikan
Expected Count
8.5
11.5
% within Pemberian
15.0%
85.0%
Susu Formula
Count
14
19
Expected Count
14.0
19.0
% within Pemberian
42.4%
57.6%
Susu Formula
Pemberian Susu
Formula
Total
Value
a
15.632
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
df
(2-sided)
1
.000
12.912
1
.000
16.916
1
.000
15.158
1
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
N of Valid Cases
Exact Sig. (2sided)
.000
33
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.52.
b. Computed only for a 2x2 table
Total
13
13.0
100.0%
20
20.0
100.0%
33
33.0
100.0%
Exact Sig. (1sided)
.000
56
1. UNICEF, WHO dan IDAI. 2005. Rekomendasi tentang Pemberian Makan Bayi Pada Situasi
Darurat. Dari: http:www.who.or.id. [23 Mei 2009].
2.Destriatania, Suci. 2007, Gambaran Pola Konsumsi Susu Formula pada Anak Usia 0-24 Bulan di
Kelurahan 2 Ilir Kecamatan Ilir Timur II Palembang Tahun 2007. [Skripsi]. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sriwijaya.
3. Puspitaningrum, Citra, Yuni Sapto Edhy Rahayu dan Rusana. 2006. Perbedaan Frekuensi Diare
antara Bayi yang Diberi ASI
Eksklusif Dengan Bayi yang Diberi Susu Formula Di Wilayah Kerja Puskesmas Gandrungmangu I
Kabupaten Cilacap Tahun 2006. Dari: http://litbangstikesalirsyad.files.wordpress.com. [11 Mei
2009].
4. Aniqoh Machwijatul. 2006, Hubungan Antara Pemberian Susu Formula Dengan Kejadian Diare
pada Bayi Umur 0- 12 Bulan (Studi di Puskesmas Sekardangan Kabupaten Sidoarjo).
Dari:[email protected] [13 Mei 2009].
5. Amiruddin, Ridwan. 2007, Current Issue Kematian Anak( Penyakit Diare ). Jurnal Epidemiologi
Universitas Hasanuddin Makassar, [Online]. Dari http://ridwanamiruddin.wordpress. [23 Mei 2009].
6. Andreyani, Dian. 2000, Hubungan Pengetahuan, Sikap, Praktik Ibu Mengenai Cara Penyiapan
Susu Botol dengan Kejadian Diare pada Anak Umur 0-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Genuk dan Bangetayu Kota Semarang Tahun 2000, [Skripsi]. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponogoro.
7. Moehji, Sjahmin. 1985, Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
8. Suharyono. 1985, Diare Akut. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Depkes RI. 2005, Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005. Dari: www.menlh.go.id [ 30 Juli 2009
10. Arnita, Danda. 2009, Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Usia 04 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Pembina Palembang Tahun 2008, Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sriwijaya.
11. Baqi, Daniar.N.A. 2008, Tips Mengurangi Resiko Kontaminasi Bakteri pada Susu Formula Bayi.
Dari: http:.wordpress.com. [ 7 Juni 2009].
12. Moore, Mary Courtney. 1997, Buku Pedoman Terapi Diet dan Nutrisi. Hipokrates, Jakarta.
13. Depkes RI. 2007, Pedoman Pemberian Makanan Bayi dan Anak dalam Situasi Darurat. Dari:
http:depkes.go.id [ 28 Juli 2009].
14. Judarwanto, Widodo. 2008, Enterobacter sakazakii, Bakteri Pencemar Susu. RS Bunda Jakarta &
Picky Eaters Clinic. Dari: http://medicastore.com. [7 juni 2009].
Sudarmoko. 2011. Mengenal, Mencegah, dan Mengobati Gangguan Kesehatan pada
Balita. Yogyakarta: Titano
HUBUNGAN ANTARA TINDAKAN PEMBERIAN SUSU FORMULA DENGAN KEJADIAN
DIARE
57
PADA BAYI USIA 0-6 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANOTANA WERU
KOTA
MANADO
Hertina Kalay*
*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
15. Irawati F. Hubungan Pemberian Susu Formula dengan Pertahanan Tubuh terhadap
Kejadian Diare pada Bayi Usia 0-6 Bulan di Desa Punggung Kecamatan Punggung
Mojokerto. Unimus. 2013
Download