1 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Tinjauan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Kompetensi Pedagogik Kompetensi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh suatu jabatan profesionalisme tertentu, tidak terkecuali profesi guru. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Frinch & Crunkilton mengartikan kompetensi sebagai penguasaan terhadap suatu tugas, ketrampilan, sikap dan apresiasi yang diperlukan untuk menunjang keberhasilan (Ngainun Naim, 2011: 109). Sementara Mc Ahsan dalam E Mulyasa mengartikan kompetensi adalah: “...is a knowledge, skills, and abilities or capabilities that a person achives, which become part of his or her being to the action he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psycomotor behaviors”. (Ngainun Naim, 2011: 109) Pendapat di atas dapat diartikan bahwa, kompetensi adalah pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya. Kata kompetensi secara harfiah dapat diartikan sebagai kemampuan. Kata ini sekarang menjadi kunci dalam dunia pendidikan. Dalam kurikulum misalnya, kita mengenal KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dengan memiliki kompetensi yang memadai, seseorang, 2 khususnya guru, dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. (Ngainun Naim, 2011: 56). Lebih lanjut Ngainun mengemukakan bahwa, “makna penting kompetensi dalam dunia pendidikan didasarkan atas pertimbangan rasional bawasannya proses pembelajaran merupakan proses yang rumit dan kompleks”. Johnshon dalam Wina Sanjaya (2014: 17) menyatakan, “competency as rational performance which satisfactority meets the objective for a desired condisition”. Pendapat tersesebut dapat dimaknai bahwa kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian, seuatu kompetensi ditunjukkan oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat dipertanggungjawabkan (rasional) dakam upaya mencapai suatu tujuan. Menurut Broke dan Stone (dalam Mulyasa, 2008: 25) mengemukakan bahwa kompetensi guru sebagai ...”descriptive of qualitative nature of teacher behavior appears to be entirely meaningful. ...”. kompetensi guru merupakan gambaran kualitatif tentang hakikat perilaku guru yang penuh arti. Sedangkan Charles dalam Mulyasa, 2008: 25) menyatakan bahwa “competency as rational performance which satisfactorily meets the objective for a desired condition” pernyataan tersebut dapat maknai bahwa kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Salah satu syarat profesi guru adalah masalah kompetensi. Winarno (2013: 44) menyatakan bahwa, Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Kompetensi diartikan kemampuan yang dapat ditunjukkan atau ditampilkan. Kompetensi tidak hanya berarti menguasai, tetapi juga mampu menampilkan hasil penguasaan itu dalam suatu unjuk kinerja atau tampilan kerja. Pendapat diatas menjelaskan bahwa kompetensi tidak hanya menguasai secara kognitif, melainkan juga harus diwujudkan dalam 3 bentuk perilaku atau kinerja suatu profesi. Hal serupa juga diungkapkan oleh Asep dan Subhan, (2012: 10-11) yang menyatakan bahwa, “kompetensi diartikan sebagai seperangakat kemampuan dan kecakapan yang terukur setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran secara keseluruhan yang meliputi kemampuan akademik, sikap dan ketrampilan”. Sejalan dengan pendapat di atas Cowell dalam Winarno (2013: 44) mengungkapkan bahwa: Kompetensi diartikan sebagai suatu ketrampilan atau kemahiran bersifat aktif. Kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar, yang lazimnya terdiri dari: (1) penguasaan minimal kompetensi dasar, (2) praktik kompetensi dasar, dan (3) pemahaman penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi atau ketrampilan. Ketiga proses tersebut dapat terus berlanjut selama masih ada kesempatan untuk melanjutkan penyempurnaan atau pengembangan kompetensinya. Pengertian kompetensi juga di jelaskan oleh Menurut Mulyasa (2008: 26) yang mendefinisikan bahwa, Kompetensi diartikan dan dimaknai sebagai perangkat perilaku yang efektif terkait dengan eksplorasi dan investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian, dan mempersepsi yang mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien Lebih lanjut Mulyasa menyatakan bahwa, “Kompetensi guru merupakan perpaduan antar kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, spiritual, yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme”. Istilah kompetensi menurut Mahmud (2011), gambaran tentang apa yang seyogianya dapat dilakukan seorang guru dalam melaksanakan pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku 4 maupun hasil yang dapat ditunjukkan. (Murip Yahya, 2013: 31). Penjelasan ini mengandung arti bahwa kompetensi merupakan kemampuan yang menuntut tanggungjawab yang harus dimiliki sebagai guru profesional. Menurut Usman dalam Kusnandar (2010), kompetensi adalah sesuatu yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik kualitatif maupun kuantitatif. Lebih lanjut Kusnandar mengutip pendapat Gordon memrinci beberapa aspek atau ranah yang ada dalam kompetensi sebagai berikut: Pertama, pengetahuan (knowledge), yaitu kesadaran dalam bidang kognitif. Kedua, pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu. Ketiga, ketrampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya. Keempat, nilai, yaitu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologi telah menyatu pada diri seseorang. Kelima sikap, yaitu perasaan. Keenam, minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. (Murip Yahya, 2013: 31) Kemudian Winarno (2013: 44-45) menyimpulkan bahwa, “Kompetensi merupakan satu kesatuan yang utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dinilai, yang terkait dengan profesi tertentu, berkenaan dengan bagianbagian yang dapat diaktualisasikan, dan diwujudkan dalam bentuk tindakan atau kinerja untuk menjalankan profesi tersebut”. Kompetensi diartikan sebagai “seperangkat tindakan cerdas dan penuh rasa tanggungjawab yang harus dimiliki oleh seseorang agar ia mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu”. (Heri dan Jumanta 2010: 4). Lebih lanjut Ngainun Naim (2011: 60-61) mengemukakan bahwa, Guru yang memiliki kompetensi akan dapat melaksanakan tugasnya secara profesional. Secara lebih terperinci bentuk-bentuk kompetensi seorang guru adalah: 1) Menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum maupun bahan pengayaan/penunjang bidang studi 5 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) Mengelola program belajar mengajar Mengelola kelas Penggunaan media atau sumber Menguasai landasan-landasan pendidikan Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran Mengenal dan menyelenggarakan fungsi layanan dan program bimbingan dan penyuluhan 9) Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah 10) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 menyebutkan empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yakni (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial dan (4) kompetensi profesional. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan, maupun sikap profesionla dalam menjalankan fungsi sebagai guru. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa, kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Winarno (2013: 45) yang menyatakan bahwa, “menurut ketentuan dalam undang-undang, kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik”. Penjabaran kompetensi terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Menurut 6 peraturan ini, jabaran kompetensi pedagogik guru adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Standar kompetensi Kompetensi pedagogik Kompetensi Inti a. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual b. Menguasai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik c. Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu d. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik e. Memanfaatkan teknologi informasai dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik f. Memfasilitasi pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki g. Berkomunikasi secara efektif, empati, dan santun degan peserta didik h. Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar i. Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran j. Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran Sumber : Permendiknas No. 16 tahun 2007 Penjabaran mengenai kompetensi guru juga dikemukakan oleh Sudarwan Danin (2010: 25-26) dalam rambu-rambu umum standar kompetensi guru, sebagai berikut: Tabel 2.2 Rambu-Rambu Umum Standar Kompetensi Guru Kompetens i Kompetensi Pedagogik Sub Kompetensi Memahami didik mendalam Indikator Peserta Memahami peserta didik secara dengan memanfaatkan prinsipprinsip perkembangan kognitif Memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsipprinsip kepribadian 7 Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran Melaksanakan pembelajaran Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensinya Mengidentifikasikan bekalajar awal peserta didik Memahami landasan kependidikan Menerapkan teori belajar dan pembelajaran Menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar. Menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih Menata latar (Setting) pembelajaran Melaksankan pembelajaran yang kondusif Merancang dan melaksanakan evaluasi (assesment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode Menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning) Memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum Memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik Memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan pelbagai potensi nonakademik Mulyasa (2010: 31) kompetensi guru diperlukan dalam rangka mengembangkan dan mendemonstrasikan perilaku pendidikan, bukan sekedar mempelajari ketrampilan-ketrampilan mengajar tertentu, tetapi merupakan penggabungan dan aplikasi suatu ketrampilan dan pengetahuan yang saling bertautuan dalam bentuk perilaku nyata. 8 Lebih lanjut, dalam RPP tentang Guru dikemukakan bahwa Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. Pemahaman wawasan atau landasan kependidikan Pemahaman terhadap peserta didik; Pengembangan kurikulum/silabus; Perancangan pembelajaran; Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; Pemanfaatan teknologi pembelajaran; Evaluasi hasil belajar (EHB); Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. (Mulyasa, 2010: 31) Pendapat di atas selaras dengan pendapat Sudarwan Danin (2010: 22) yang menyebutkan bahwa, “kompetensi pedagogik terdiri atas lima sub kompetensi, yaitu: memahami peserta didik secara mendalam; merancang pembelajaran; termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran; melaksanakan pembelajaran; merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran; dan mengembangkan pesera didik untuk megaktualisasikan berbagai potensinya”. Senada dengan pendapat di atas Direktorat Jendral Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (2006) menjabarkan kompetensi pedagogis ke dalam sub kompetensi sebagai berikut: a. b. c. d. e. Memahami peserta didik Merancang pembelajaran Melaksanakan pembelajaran Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. (Aunurrahman, 2012: 192) Pendapat lain juga diungkapkan oleh Arif Rohman (2009: 152) yang menyatakan bahwa, “Kompetensi pedagogik adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pendidik di sekolah dalam mengelola interaksi pembelajaran bagi peserta didik. Kompetensi pedagogik ini 9 mencakup pemahaman dan pengembangan potensi peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, serta sistem evaluasi pembelajaran”. Penjelasan tentang sub kompetensi dalam kompetensi pedagogik guru di atas sesuai dengan pendapat Slamet PH (2006) menyatakan bahwa: Kompetensi pedagogik terdiri dari sub kompetensi (1) berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan mata pelajaran yang diajarkan; (2) mengembangkan silabus mata pelajaran berdasarkan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD); (3) merencanakan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berdasarkan silabus yang telah dikembangkan; (4) merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (5) melaksanakan pembelajaran yang pro perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif dan menyenangkan); (6) menilai hasil belajar peserta didik secara otentik (7) membimbing peserta didik dalam berbagai aspek, misalnya pelajaran, kepribadian, bakat, minat dan karir, dan (8) mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru. (Syaiful Sagala, 2009: 31-32) Berdasarkan uraian beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik memiliki beberapa sub kompetensi yang harus dipenuhi mulai dari sebelum pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan setelah proses pembelajaran. b. Pengertian Guru Guru merupakan komponen yang penting dalam pendidikan, guru bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Seperti pendapat Saiful Bahri Djamarah (2010: 34) yang menyatakan bahwa, “guru adalah orang yang bertanggungjawab mencerdaskan kehidupan peserta didik”. Lebih lanjut “guru adalah figur seorang pemimpin. Guru adalah sosok arsitektur yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik. Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk 10 dan membangun kepribadian anak didik menjadi seorang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa” (Saiful Bahri Djamarah, 2010: 34) Secara etimologi, istilah guru dalam bahasa Inggris disebut “teacher”, sedangkan dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah “mu’alim, mudaris, muhadzib, mu’adib” uang berarti orang yang menyampaikan ilmu, pengetahuan, akhlak, dan pendidikan. (Murip Yahya, 2013: 24). Kemudian dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, guru diartikan orang yang mengajari orang lain, di sekolah atau mengajari ilmu pengetahuan atau ketrampilan. Daryanto (2013: 42) menyatakan bahwa, “Guru adalah jabatan profesi, untuk itu guru harus mampu melaksanakan tugasnya secara profesional”. “Guru adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis” (Mohammad Surya, 2013: 354). Lebih lanjut Ngainun Naim (2011: 58-59) mengemukakan bahwa: Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip tersebut tidak boleh berhenti sebatas prinsip, tetapi juga harus diimplementasikan dalam aktivitas sehari-hari. Wujudnya berupa rasa tanggungjawab sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning), pengarah belajar (director of learning), dan perencana masa depan masyarakat (planner of the future society)”. Pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa guru tidak hanya bertugas sebagai pengelola kelas dalam kegiatan belajar mengajar tetapi, jauh ke depan sebagai perencana masa depan peserta didik ketika terjun ke masyarakat. Pendapat lain tentang guru juga diungkapakan oleh Piet dalam Ngainun Naim (2011: 5) yang menyatakan bahwa: Dalam konsep pendidikan tradisional Islam, posisi guru begitu terhormat. Guru diposisikan sebagai orang yang ‘alim, wara’, 11 shahih, dan sebagai uswah sehingga guru dituntut juga beramal saleh sebagai aktualisasi dari keilmuan yang dimilikinya. Sebagai guru, ia juga dianggap bertanggung jawab kepada para siswanya, tidak saja ketika dalam proses pembelajaran berlangsung, tetapi juga ketika proses pembelajaran berakhir, bahkan sampai akhirat. Oleh karena itu, wajar jika mereka diposisikan sebagai orang-orang penting dan mempunyai pengaruh besar pada masanya, dan seolah-olah memegang kunci keselamatan rohani dalam masyarakat. (Piet A. Sahertian, 1998) Menurut E. Mulyasa (2008: 5), “Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama”. Lebih lanjut E Mulyasa menyatakan bahwa. “Guru memegang peran utama dalam bangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar”. (2010: 5) Pendapat di atas menjelaskan bahwa guru sangat berpengaruh pada keberhasilan peserta didik terutama dalam proses kegiatan belajar mengajar. Oleh karena itu, ada beberapa aspek yang harus dipertimbangkan guru dalam melaksanakan dan mencapai hasil pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh Ngainun Naim (2011: 11), beberapa aspek tersebut sebagai berikut: 1) guru harus mempunyai pegangan asasi tentang mengajar dan dasar-dasar teori belajar. 2) guru harus dapat mengembangkan sistem pengajaran 3) guru harus mampu melakukan proses pembelajaran efektif 4) guru harus mampu melakukan penilaian hasil belajar sebagai umpan balik bagi seluruh proses yang ditempuh. Menurut Muhibin Syah (2003), guru yang dikenal dengan istilah teacher memiliki arti “A person whose occupation is teaching others” yaitu orang yang pekerjaanya mengajar orang lain. Pengertian lebih khusus dijelaskan A.Tafsir, yaitu guru adalah pendidik yang memegang mata pelajaran di sekolah. Pengertian ini lebih 12 memfokuskan bahwa guru adalah pemegang bidang studi di sekolah atau madrasah. (Murip Yahya, 2013: 24). Sementara itu, Abdul Hamid Al Hasyimi (2001) menjelaskan bahwa pendidik adalah orang yang sengaja mengasuh individu atau beberapa individu lainnya agar di bawah pengasuhannya, individu individu tersebut dapat berhasil tumbuh dan berhasil dalam menjalnkan kehidupannya. (Murip Yahya, 2013: 24) Pengertian guru secara sederhana diungkapkan oleh Saiful Bahri Djamarah (2010: 31) menyatakan bahwa, “guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di mesjid, di surau/mushola, di rumah dan sebagainya”. Lebih lanjut (Sembiring, 2009: 34) mengemukakan bahwa guru merupakan pendidik professional yang tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, dan juga melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta yang dididik pada pendidikan formal di jenjang usia dini, pendidik dasar, dan menengah. Sembiring (2009: 35) menambahkan bahwa, guru pula yang mengembangkan kemampuan sekaligus membentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat. Sudarwan Danim (2010: 17) menyatakan bahwa, “Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal. Lebih lanjut Sudarman mengemukakan bahwa, “ Kata guru (bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata teacher (bahasa inggris). Di dalam Kamus Webster, kata teacher bermakna sebagai “the person who teach, especially in school” atau guru adalah seseorang yang mengajar khusunya di sekolah. Guru memiliki peranan yang penting dalam dunia pendidikan, karena guru yang akan dijadikan teladan oleh peserta didik dalam 13 berperilaku di kehidupan sehari-hari. Syaiful Bahri Djamarah (2010: 1) menyatakan bahwa, “guru adalah unsur manusiawi dalam pendidikan”. Lebih lanjut Syaiful menyatakan bahwa, “guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Rohman dan Amri, (2013: 4) yang mengemukakan bahwa, guru adalah komponen yang sangat menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya berperan sebagai model/teladan bagi siswa yang diajarnya, tetapi juga sebagai pengelola pembelajaran (manager of learning). Negara juga memiliki atauran mengenai profesi guru seperti halnya profesi lain. Peraturan Pemerintah (PP) No 74 tahun 2008 tentang guru dalam Sudarman Danim (2010: 18), “sebutan guru mencakup: (1) guru itu sendiri, baik guru kelas, guru bidang studi, maupun guru bimbingan konseling atau guru bimbingan karir; (2) guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah; (3) guru dalam jabatan pengawas”. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 menetapkan bahwa, “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pemdidikan menengah”. Guru sebagai pendidik dipandang suatu profesi diawali dengan pengakuannya pada Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 ayat 2 yang berbunyi: Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pebimbingan dan pelatihan, seta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama pendidik di perguruan tinggi. 14 Lebih lanjut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menetapkan tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat dalam pasal 40 ayat (2), yaitu pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: 1) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyennagkan, kreatif, dinamis, dan dialogis 2) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan 3) memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ketentuan di atas menjelaskan bahwa guru merupakan tenaga profesional yang memiliki ilmu pengetahuan serta mempunyai tugas untuk mengajarkan ilmu kepada orang lain dengan tujuan orang tersebut mempunyai peningkatan dalam kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, guru merupakan salah satu faktor penetu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Dalam Standar nasional Pendidikan (SNP) pasal 28, dikemukakan bahwa: Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, sertamemiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Selanjutnya dalam penjelasannya dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan pendidik sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran pendidik antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. (E. Mulyasa, 2008: 53) Guru memiliki beberapa peranan dalam proses pembelajarn. Dalam peranannya guru sebagai pengelola kelas, Ngainun Naim (2011: 28) menyatakan bahwa, Dalam peranannya sebagai pengelola kelas, guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serata merupakan aspek dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisasi. Ligkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatankegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan 15 mengggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa untuk bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Guru juga memiliki kriteria agar dapat dikatakan menjadi guru yang baik. Teori Peter G. Beidler, dalam buku Inspiring Teaching yang diedit oleh John K. Roth, terdapat sepuluh kriteria guru yang baik (Beindler, 1997: 3-10), yaitu: 1) harus benar-benar berkeinginan untuk menjadi guru yang baik 2) berani mengambil resiko, mereka berani menyusun tujuan yang sangat muluk, lalu mereka berjuang untuk mencapainya 3) memiliki sikap positif 4) selalu tidak pernah punya waktu yang cukup 5) berpikir bahwa mnegajar adalah sebuah tugas menjadi orang tua siswa 6) harus selalu mencoba membuat siswanya percaya diri 7) selalu membuat posisi tidak seimbang antara siswa dan dirinya 8) memotivasi siswa-siswanya untuk hidup mandiri 9) tidak percaya penuh terhadap evaluasi yang diberikan siswanya 10) senantiasa mendengarkan terhadap penyataan-pernyataan siswanya (Dede Rosyada, 2007: 113-115) Kriteria guru yang baik juga diungkapkan oleh Gilbert H. Hunt (1999) yang menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria: 1) sikap positif dalam membimbing siswa; 2) pengetahuan yang memadai dalam mata pelajaran yang dibina; 3) mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap; 4) mampu menguasai metodologi pembelajaran; 5) mampu memberikan harapan riil terhadap siswa; 6) mampu mereaksi kebutuhan siswa, dan 7) mampu menguasai manajemen kelas. (Winarno, 2013: 42) 16 Dari kedua pendapat di atas semakin menjelaskan bahwa profesi guru selalu berkaitan dengan hal yang positif. Hal tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan guru yang berkualitas serta mampu membentuk generasi bangsa yang berkualitas pula sesuai dengan tujuan negara yang diamanatkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. c. Tugas Guru Sebagai pendidik, kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana diamanatkan Konstitusi bertujuan mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Secara umum Uzer Usman, tugas guru dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1) profesi. Tugas profesi ini meliputi mendidik, mengajar, dan melatih; 2) kemanusiaan. Salah satu tugas ini adalah menjadi orangtua kedua. 3) kemasyarakatan. Salah satu tugas ini ikut mencerdaskan bangsa dan ikut membantu menciptakan dan membentuk warga Indonesia yang bermoral Pancasila. (Murip Yahya, 2013: 25) Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa, tugas guru tidak hanya sebagai suatu profesi, lebih dari itu tugas guru juga bertanggungjawab dalam keberlangsungan suatu negara khusunya dalam mencerdaskan warga negara yang bermoral Pancasila yang merupakkan dasar negara Indonesia. Senada dengan pendapat di atas Mulyasa (2013) menyatakan bahwa “Tugas utama guru adalah mengajar, dalam pengertian menata lingkungan agar terjadi kegiatan belajar mengajar pada peserta didik”. Artinya, guru dalam kegiatan nelajar mengajar di kelas berperan dalam mendampingi kedewasaan. peserta didik menuju kesuksesan belajar dan 17 Pendapat lain juga diungkapkan oleh Wina Sanjaya (2014: 17) yang mengemukakan bahwa, “Tugas guru adalah mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan aktif di masyarakat”. Lebih lanjut Murip Yahya, (2013: 25) mengemukakan bahwa perincian kegiatan yang menjadi tugas pokok guru sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) menyusun kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan menyusun silabus pembelajaran menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran melaksanakan kegiatan pembelajaran menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran dikelasnya 7) menganalisis hasil penilaian pembelajaran 8) melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi 9) melaksanakan bimbingan dan konseling di kelas yang menjadi tanggung jawabnya 10) menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional 11) membimbing guru pemula dalam proses induksi 12) membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran 13) melaksanakan pengembangan diri 14) melaksanakan publikasi ilmiah, dan 15) membuat karya inovatif Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tugas guru tidak hanya dalam hal pembelajaran dari mulai perencanaan sampai pelaksanaan pembelajaran melainkan tugas guru yang terpenting adalah membimbing dan membentuk keribadian peserta didik yang sesuai dengan amanat konstitusi. d. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Menurut Asep Sahid G dan Subhan Sofhian, dalam bukunya Pendidikan Kewarganegaraan, menyebutkan bahwa, “Pendidikan Kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai proses pendewasaan bagi warga negara dengan usaha sadar dan terencana melalui pengajaran dan pelatihan sehingga terjadi perubahan pada warga 18 negara tersebut dalam hal pengetahuan, sikap dan perilaku yang bersifat kritis dan emansipatoris”. (2012 : 6). Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan menurut Somantri menyatakan bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 (Arwiyah, Triyanto, dan Machfiroh (2013: 21). Batasan lain yang disampaikan oleh Edmonson, yaitu “civics is usually defined as the study of government and of citizenship, that is, of the duties, right and privileges of citizenship”. Disini civics didefinisikan sebagai studi pemerintahan dan kewarganegraan, khususnya terkait dengan kewajiban, hak, dan hak istimewa antara keduanya. (Asep Sahid G dan Subhan Sofhian, 2012 : 7) Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) juga secara sekilas telah dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan perluasa dari civics yang lebih menekankan pada aspekaspek praktik kewarganegaraan. Oleh sebab itu, maka Pendidikan Kewarganegaraan juga disebut sebagai pendidikan orang dewasa (adulct education) yang mempersiapkan siswa menjadi calon warga neagara yang memahami perannya sebagai warga negara. (Abdul Aziz Wahab dan Sapriya, 2011: 29) Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan lebih lanjut dingkapkan oleh Zamroni dalam Asep Sahid G dan Subhan Sofhian, yang menyatakan bahwa : Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa 19 demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak – hak warga masyarakat. (2012: 9) Hal serupa juga diungkapakan oleh Winarno (2013 : 8) yang menyatakan bahwa: Secara paradigmatik Pendidikan Kewarganegaraan memilki tiga komponen atau domain, yakni (a) sebagai kajian ilmiah ilmu kewarganegaraan; (b) sebagai program kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan; dan (c) sebagai gerakan sosial kultural kewarganegaraan, yang secara koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan pengetahuan kewarganegaraan, nilai dan sikap kewarganegaraan, dan ketrampilan kewarganegaraan. Pernyataan tersebut dapat dimaknai, bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan kajian yang luas. Hal ini tercermin dari ketiga komponen dalam pendidikan kewarganegaraan baik dari kajian ilmu kewarganegaraan, program kurikuler di lingkungan pendidikan maupun di masyarakat yang pada intinya akan bermuara pada kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap warga negara yakni, pengetahuan warga negara (civic knowledge), ketrampilan warga negara (civic skills) dan sikap warga negara (civic disposition). Asep Sahid G dan Subhan Sofhian (2012 : 9) mengungkapkan definisi Pendidikan Kewarganegaraan dari Merphin Panjaitan, Soedijarto dan Civitas Internasional, sebagai berikut : (1) Merphin Panjaitan: “Pendidikan kewarganegraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial”. (2) Soedijarto: “Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang secara politik dewasa dan ikut serta membangun sistem politik yang demokratis”. (3) Civitas Internasional: “Civic education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga – lembaganya, pemahaman tentang rule of law, Hak Asasi Manusia, penguatan 20 ketrampilan partisipatif yang demokratis, pemgembangan budaya dan perdamaian”. Dari beragam definisi di atas, terlepas dari perbedaan istilah yang digunakan, pada intinya substansi pendidikan kewarganegaraan meliputi pendidikan nasionalisme dan pendidikan demokrasi. Selanjutnya Winataputra, menyatakan bahwa, “ontologi Pendidikan Kewarganegaraan ada dua objek, yaitu objek telaah dan objek pengembangan” (Winarno, 2013 : 9). Sedangkan menurut Supriya dalam Winarno berpendapat bahwa, “Secara fungsional, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki dua tugas, yaitu tugas dalam bidang telah membangun body of knowledge dan tugas dalam bidang pengembangan untuk transformasi konsep, nilai dan ketrampilan hidup kewarganegaraan (2013 :9) Lebih lanjut, Winarno berpendapat bahwa, “Dalam bagian penjelasan undang-undang dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. (2013: 15). Selain itu Udin S Winataputra, “Pendidikan Kewarganegaraan sudah dibagi menjadi bagian inheren dari intrumentasi serta praksis pendidikan nasional Indonesia dalam lima status” (Winarno, 2013: 16). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan terjemahan dari Civic education. Winarno dan Wijianto (2010: 3) menyatakan bahwa, Pendidikan Kewarganegaran (civic education) dinyatakan sebagai upaya menerapkan civics (ilmu kewarganegaraan) dalam proses pendidikan. Jadi apabila civics (ilmu kewarganegaraan) merupakan bentuk dari disiplin ilmu, maka civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan merupakan program pendidikan yang materi pokoknya adalah demokrasi politik yang ditujukan kepada peserta didik atau warga negara yang bersangkutan. Istilah pendidikan kewarganegaraan apabila dikaji secara mendalam berasal dari kepustakaan asing, yang memiliki dua istilah, 21 yakni civic education dan citizenship education. Cogan (1999) menjelaskan kedua istilah tersebut sebagai berikut: 1) Civic education, diartikan sebagai: the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives (suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat). 2) Citizenship education atau education for citizenship, diartikan sebagai: the more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-of-school or ‘non-formal/informal’ learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media etc., which help to shape the totality of the citizen (merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi kemasyarakatan, dan dalam media yang membantunya untuk menjadi warga negara seutuhnya). (Susanto, 2013: 224-225) Berdasarkan kedua istilah tersebut, civic education ternyata lebih cenderung digunakan dalam makna yang serupa untuk mata pelajaran di sekolah yaitu pendidikan kewarganegaraan, yang memiliki tujuan untuk membentuk siswa yang cerdas dan baik. Cholisin dalam Winarno dan Wijianto (2010: 4) Secara terminologis, “Pendidikan Kewarganegaraan diartikan sebagai pendidikan politik yang fokus materinya peranan warga negara dala kehidupan berbangsa dan bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.” Menurut Susanto menyatakan bahwa “Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang digunakan sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia” (2013: 225). Memegang teguh nilai luhur dan moral diharapkan dapat diwujudkan 22 dalam bentuk perilaku kehidupan siswa sehari-hari, baik secara individu maupun ketika sedang berada pada lingkungan masyarakat dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan Kewarganegaraan yang kiranya cocok dengan Indonesia adalah sebagai program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berfikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 (Numan Somantri dalam Winarno dan Wijianto (2010: 4) Udin S Winataputra dalam Winarno dan Wijianto (2010: 4-5) mennyatakan bahwa, Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu bidang kajian yang mempunyai objek telaah kebajikan dan budaya kewarganegaraan, menggunakan disiplin ilmu pendidikan dan ilmu politik sebagai kerangka kerja keilmuan pokok serta disiplin ilmu lain yang relevan, yang secara koheren diorganisasikan dalam bentuk program kurikuler kewarganegaraan, aktivitas sosial-kultural kewarganegaraan, dan kajian ilmiah kewarganegaraan. Winarno dan Wijianto menyimpulkan bahwa pendidikan kewarganegaran adalah: 1. Suatu program pendidikan 2. Yang menfokuskan pada demokrasi politik dengan didukung oleh ilmu lain 3. Memiliki obyek telaah pada warga negara 4. Diorganisasikan dalam dimensi: program kurikuler, sosio kulturan dan kajian akademik 5. Bertujuan mengembangkan karakter positif sebagai warga negara. (2010: 5) Gross dan Zeleny dalam Abdul dan Sapriya (2011: 30) menyatakan pengertian civic, yaitu: “Civic lebih menekankan pada teori dan praktik pemerintahan demokrasi sedangkan dalam arti luas lebih diorientasikan pada citizenship education yang lebih 23 menekankan pada keterlibatan dan partisipasi warga negara dalam permasalahan-permasalahan kemasyarakatan”. Cogan dan Derricott (1998) menyatakan bahwa, “Civics education, juga dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah perluasan dari civics yang lebih menekankan pada aspek-aspek praktik kewareganegaraan. Oleh sebab itu, pendidikan kewarganegraan juga disebut sebagai pendidikan orang dewasa (adult education) yang mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang memahami perannya sebagai warga negara. (Abdul dan Sapriya, 2011: 32) Hendry Randall Waite dalam majalah citizen dan Civic, merumuskan pengertian Civics dengan “The science of citizenship, the relation of man, the individual, to man in organized collections, the individual in his relation to the state”. Pandapat tersebut dapat didefinisikan bahwa Civics dapat diterjemahkan sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan manusia dengan manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi. (M. Erwin, 2013: 2) Menurut Somantri, Pendidikan Kewarganegaraan ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut: (a) civic education adalah kegiatan yang meliputi seluruh program sekolah; (b) civic education meliputi berbagai macam kegiatan mengajar yang dapat menumbuhkan hidup dan perilaku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis; (c) civic education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi, dan syarat-syarat objektif untuk hidup bernegara. (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 7) Azis Wahab dalam Arwiyah, Triyanto, dan Machfiroh (2013: 21) mengungkapkan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) ialah media pengajaran yang akan meng-indonesiakan para siswa secara sadar, cerdas, dan penuh tanggung jawab. Pendidikan Kewarganegaraan memuat konsep-konsep umum 24 ketatanegaraan, politik, hukum, negara serta teori umum yang lain yang cocok dengan target tersebut”. Secara yuridis pendidikan kewarganegaraan di Indonesia termuat dalam pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ayat 1 sebagai berikut: Pasal 37 1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan sosial; g) seni dan budaya; h) pendidikan jasmani dan olahraga; i) ketrampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal. Bagian penjelasan pasal 37 ayat 1 di atas, disebutkan bahwa, “Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. e. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk membentuk warga negara yang baik, seperti yang dikemukan oleh Abdul dan Sapriya (2011: 29), “Civics selain bertujuan membentuk warga negara yang baik yaitu warga negara yang tahu dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara”, Sedangkan menurut Ubaedillah dan Rozak (2013: 18) mengemukakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bnagsa Indonesia antara lain: 1) membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggungjawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara 25 2) menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif, kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjada persatuan dan integritas bangsa, dan 3) mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban, yaitu kebebasan, persamaan, toleransi dan tanggung jawab. Pendapat mengenai tujuan Pendidikan Kewarganegaraan juga diungkapkan oleh Kalidjernih dalam Winarno dan Wijianto (2010: 6) yang menyatakan bahwa,”Tujuan utama Pendidikan Kewarganegaraan dalam bentuk apapun adalah mempersipakan seorang warga negara yang baik”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Wuryan dan Syaifullah (2008: 77) yang menyatakan bahwa: Baik civic atau ilmu kewarganegaran maupun ilmu pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, warga negara yang kreatif, warga negara yang bertanggungjawab (civic responsibilities), warga negara yang cerdas, warga negara yang kritis, dan warga negara yang partisipatif. Sejalan dengan hal ini, John J. Cogan (dalam Winarno dan Wijianto, 2010: 6-7) menyatakan bahwa: Pendidikan Kewarganegaraan lazimnya dilukiskan sebagai “kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristikkarakteristik dari seorang warga negara”. Bahkan sekarang ini istilah warga negara yang baik mendapat tambahan warga negara yang cerdas. Jadi tujuan pendidikan kewarganegraan adalah terbentuknya warga negara yang cerdas dan baik (smart and god citizen). Pernyataan di atas dapat dimaknai, bahwa tujuan dari pendidikan kewarganegaraan adalah membentuk warga negara yang cerdas dan baik dalam mepersiapkan kualitas sumber daya mausia yang optimal. “Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara yang cerdas dan baik serta mampu mendukung keberlangsungan bangsa dan negara”. (Komaruddin dan Azyumardi, 2010: 3). Sedangkan menurut Wahab dan Sapriya (2011: 314) menyatakan bahwa, tujuan PKn hendaknya disesuaikan dengan 26 tuntutan dan perkembangan zaman, tidak hanya membangun warga negara yang baik melainkan membangun warga negara yang memiliki kecerdasan untuk menghadapi tantangan kehifupan saat ini. Lebih lanjut Wahab dan Sapriya mengemukakan bahwa: Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara adalah kecerdasan dalam berbagai aspek , yakni kecerdasan dalam intelektual, emosional, sosial dan bahkan spiritual. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang warga negara diharapkan dapa dimanfaatkan untuk berpikir dalam menganalisis berbagai masalah. Dalam hal ini, seorang warga negara harus memiliki sejumlah ketrampilan/kecakapan (skills), meliputi ketrampilan berpikir, berkomunikasi, berpartisipasi bahwakn ketrampilan meneliti untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Semua kecerdasan yang dimiliki dan ketrampilan yang dikuasainya diharapkan dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan tindakan yang dilakukan baik terhadap anggota masyarakat lain sesama warga negara dab bangsa bahkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (2011: 314-315) Pendapat lain diungkapkan oleh Zamroni yang berpendapat bahwa, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakt yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat; demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 7) Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang merujuk pada mata pelajaran Pendidikan kewarganegaran di sekolah ada beberapa hal. Dalam Lampiran Peratiran Menteri Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakn bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 27 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggungjawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta anti korupsi 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsabangsa lainnya 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Pendidikan Kewarganegaraan sudah menjadi bagian inhern dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor, “valuebased education”. Budimansyah (2010: 141-142) mengemukakan Konfigurasi atau kerangka sistematik Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut: Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif dan bertanggungjawab. Kedua, PKn secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi salam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan, yang demokrastis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembeajran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (contentembedding values) dan pengalaman beajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyaraat, berbangsa dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan moral Pancaasila, kewarganegaraan yang demokratis dan bela negara. 28 Maftuh (2008: 6) menyatakan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan mengembangkan kemampuan kritis dan reflektif, kemerdekaan fikiran tentang isu-isu sosial, dan kemampuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses sosial dan politik”. Lebih lanjut “Civics juga bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang mampu membudayakan lingkungannya serta mampu memecahkan masalah-masalah individu warga negara yang mampu memecahkan masalahnya secara individual maupun masyarakat di sekitarnya”. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada intinya adalah untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia dan membentuk warga negara yang baik (good citizen). Dengan demikian melalui Pendidikan Kewarganegaraan atau Civic Education menurut Arwiyah, Triyanto, dan Machfiroh (2013: 22) mengungkapkan bahwa, Pendidikan kewarganegaraan diharapkan mampu melahirkan warga negara yang baik sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian sebagai citizenship education, secara substantif dan pedagogis didesain untuk mengembangkan warga negara yang cerdas dan baik untuk seluruh jalur dan jenjang pendidikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik dan cerdas (smart and good citizen). Sebagai warga negara yang cerdas (civic intelegence) dalam arti cerdas moral, cerdas spiritual dan cerdas emosional diharapkan dapat mendorong peserta didik mempunyai kemampuan berpikir kritis, rasional, demokratis dan tanggung jawab sehingga mampu memenuhi komponen dalam pendidikan kewarganegaraan yaitu civic knowledge, civic disposition dan civic skills. 29 f. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan menurut Winarno, (2013: 38) meliputi: 1) Pancasila, sebagai dasar negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika dalam pergaulan Internasional 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan kostitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara 3) Bhineka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antar bangsa; dan 4) Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia. Berdasarkan pendapat di atas ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan sesuai dengan 4 (empat) pilar kebangsaan yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus diketahui oleh seluruh warga Indonesia. Menurut Asep Sahid dan Subhan (2012: 10) mengemukakan bahwa, “setiap pengetahuan ilmiah memiliki objek kajian, Hal demikian juga melekat pada Pendidikan Kewarganegaraan. Objek Kajian atau sering disepadankan denganistilah ruang lingkup”. Lebih lanjut ruang lingkup pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut: Pendidikan Kewarganegaraan, apabila menyimak batasanbatasan pendidikan kewarganegaraan yang disampaikan para ahli, kita bisa melihat bahwa materi pokok (core materials) dari pendidikan kewarganegaraan meliputi Nasionalisme (Bangsa dan identitas nasional); Pancasila; Negara; kewarganegaraan; konstitusi; good governance; pemerintah dan pemerintahan; hubungan sipil-militer; hubungan Agama dan Negara; Masyarakat Madani; demokrasi dan Hak Asasi Manusia. 30 Hal serupa mengenai ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan juga diungkapkan oleh Budimansyah (2010: 122123) bahwa, ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada kurikulum KTSP (2006) meliputi aspek-aspek sebagai berikut: 1) Persatuan dan kesatuan bangsa, 2) Norma, 3) Hak Asasi Manusia, 4) Kebutuhan warga negara, 5) Konstitusi negara, 6) Kekuasaan dan Politik, 7) Pancasila, 8) Globalisasi. g. Komponen Pendidikan Kewarganegaraan Menurut Margaret Stimman Branson (1998) terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam Pendidikan Kewarganegaraan. Dikatakan sebagai berikut, “what are essential component: civic konowledge, civic skills, and civic disposition”. (Winarno, 2013: 26). Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa, komponen pengetahuan utama dalam Pendidikan kewarganegaraan (civic kewarganegaraan knowledge), adalah ketrampilan kewarganegaraan (civic skills), dan sikap kewarganegaraan (civic disposition). Lebih lanjut Winarno (2013: 26) juga menjelaskan komponen Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut: Civic knowledge berkaitan dengan isi atau apa yang harus warga negara ketahui. Civic skills merupakan ketrampilan apa yang seharusnya dimiliki oleh warga negara yang mencakup; ketampilan intelektual dan ketrampilan partisipasi. Sedangkan civic disposition berkaitan dengan karakter privat dan publik dari warga negara yang perlu dipelihara dan tingkatkan dalam demokrasi konstitusi. Hal serupa juga diungkapkan oleh S.Pingul (2015: 61) yang mengemukakan bahwa, “Civic education is generally understood as the formation of civic knowledge, skills, and dispositions for effective democratic participation”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan kewarganegaraan secara umum dipahami sebagai pembentukan pengetahuan, ketrampilan dan sikap kewarganegaraan yang efektif dalam partisipasi demokrasi. 31 Sejalan dengan pendapat di atas Budimansyah (2010: 21) mengemukakan bahwa, “berdasarkan prespektif kewarganegaraan yang perlu dimiliki seorang warga negara yang baik, yaitu pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills) dan watak kewarganegaraan (civic disposition). Lebih lanjut budimansyah menjelaskan ketiga komponen tersebut sebagai berikut: Pengetahuan kewargaraan berkaiatan dengan kandungan apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara, misalnya pengetahuan tentang kehidupan politik dan pemerintahan yang mencakup dasar-dasar pembentukannnya, bagaimana konstitusi mengaturnya, bagaimana hubunga negara dengan negara lain, dan tentang peran warga negara dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Kecakapan kewarganegaraan meliputi kecakapan intelektual dan kecakapan-kecakapan lain yang dibutuhkan untuk partisipasi dan bertangguung jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses polotik dan dalam civil society, Watak kewarganegaraan mengisyaratkan pada karakter yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Terdapat beberapa istilah yang digunakan yang berkaitan dengan konsep karakte misalnya karakter individual, karakter privat dan publik, karakter cerdas, karakter baik, dan karakter bangsa. (Budimansyah, 2010: 21) Hal serupa mengenai komponen kewarganegaraan juga diungkapkan oleh udin S. Winataputra (2001) yang menyatakan bahwa: yang menjadi jantungnya dan benang emas yang mengikat unsur-unsur dalam membangun tatanan yang koheren dari semua sub sistem pendidikan kewarganegaraan adalah civic knowledge,yakni pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan, civic disposition; yakni nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan dan civic skills, yakni perangkat ketrampilan intelektual, sosial, personal kewarganegaraan yang seyogiyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara. (Winarno, 2013: 26) Lebih lanjut Winarno menjelaskan bahwa, ketiga komponen pendidikan kewarganegaraan berkaitan erat dengan sasaran pembentukan pribadi warga negara. Warga negara yang memiliki 32 pengetahuan dan sikap kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang pecaya diri (civic confidence), warga negara yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang mampu (civic competence), warga negara yang memiliki sikap dan ketrampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang memiliki komitmen (civic commitment), dan pada akhirnya warga negara yang memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan kewarganegaraan akan menjadi warga negara yang cerdas dan baik. (smart and good citizenship). (2013: 26-27) Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, komponen pendidikan kewarganegaraan ketiganya saling berkaitan dan harus dimiliki oleh setiap warga negara guna menjadi warga negara yang baik (good citizen). h. Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 menyebutkan empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yakni (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial dan (4) kompetensi profesional. Sama halnya dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh guru mata pelajaran lainnya, guru Pendidikan Kewarganegaraan juga harus mempunyai kompetensi tersebut. Kompetensi yang memiliki perbedaan antara guru Pendidikan kewarganegaraan dengan guru mata pelajaran lainnya salah satunya terletak pada kompetensi pedagogik. Hal tersebut seperti pendapat Winarno (2013: 58) mengemukakan bahwa, “yang membedakan adalah dalam hal kompetensi pedagogik, seorang guru PKn harus mampu mengelola pembelajaran peserta didik sesuatu dengan karakteristik mata pelajaran PKn”. Lebih lanjut dalam hal kompetensi pedagogik, secara khusus guru PKn perlu memiliki: 33 1) pemahaman mengenai berbagai teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran PKn 2) pengetahuan dan ketrampilan yang memadai mengenai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif dalam mata pelajaran PKn 3) pemahaman yang baik mengenai tujuan pembelajaran PKn 4) pengetahuan dan ketrampilan yang benar dalam hal pemilihan dan penataan materi PKn di sekolah 5) pemahaman yang baik mengenai media pembelajaran dan sumber belajar yang relevan untuk PKn 6) pemahaman yang baik tentang prinsip-prinsip penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar bidang PKn, dan 7) pengetahuan dan ketrampilan dalam penelitian tindakan kelas bidang PKn (Winarno, 2013: 59) Uraian di atas memberikan gambaran bahwa kompetensi pedagogik guru PKn meliputi pemahaman mengenai teori belajar, ketrampilan menggunakan strategi maupun metode, pemahaman mengenai tujuan pembelajaran, pemilihan materi, penggunaan media, pemahaman tentang evaluasi, dan penelitian tindakan kelas yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran PKn. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik guru PKn sangat penting karena tidak sekedar memberikan materi PKn, juga harus diimplementasikan dalam kegiatan belajar mengajar yang sesuai dengan karakterisik mata pelajaran PKn yang sesuai dengan komponen civic knowledge, civic skills, dan civic disposition. Budimansyah (2010: 142-143) tentang pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang salah arah, yaitu: (1) Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instriksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (contents mastery). atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitif saja. (2) Pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar pada siswa melalui perlibatan secara proaktif dan interaktif dalam proses belajar di kelas atau di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman 34 belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa. (3) Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experiences” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan ketrampilan dalam kehidupan yang demokratis dan sadar hukum. 2. Tinjauan Tentang Pembelajaran a. Pengertian Proses Pembelajaran Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek, yaitu : belajar tertuju pada apa yang harus dilakukan oleh siswa, mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antara siswa dengan siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. (Jihad & Haris, 2013 : 11) Gagne dalam Khanifatul (2013 :14) “instruction atau pembelajaran adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat internal”. Pembelajaran menurut Pasal 1 Ayat (20) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas adalah “proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Khanifatul (2013 :14) menyatakan “pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru atau pendidik untuk membuat siswa atau peserta didik belajar (mengubah tingkah laku untuk mendapatkan kemampuan baru) yang berisi suatu sistem atau rancangan untuk mencapai suatu tujuan”. Lebih lanjut Khanifatul (2013 : 15) menyatakan “pembelajaran yang efekif adalah proses mengajar yang bukan saja terfokus pada 35 hasil yang dicapai peserta, melainkan bagaimana poses pembelajaan yang efektif mampu memberikan pemahaman yang baik, kecerdasan, ketekunan, kesempatan dan mutu serta dapat memberikan perilaku yang diaplikasikan dalam kehidupan”. Kemudian menurut Rusman (2013: 134), pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu proses interaksi antara guru dan siswa, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yaitu menggunakan berbagai media pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran dapat diartikan sebagau suatu proses interaksi antara guru dan siswa. Senada dengan pendapat Rusman, menurut Wina Sanjaya (2013: 26) pembelajaran diartikan sebagai sutu proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar uang dimiliki termasuk haya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber jelajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Kemudian menurut Bambang Warsita (2008: 266) “pembelajaran merupakan segala upaya untuk menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan pembelajaran dapat tercapai”. Berdasarkan dua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses atau interaksi antara guru dan siswa yang memanfaatkan segala potensi baik dari dalam dirinya maupun dari luar yang dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran merupakan proses belajar mengajar dan dari proses tersebut munculah suatu perubahan dalam diri siswa yang bisa dilihat dari aspek kognitif, afektif maupun psikomotor pembelajaran bukan sekedar transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik tetapi juga suatu interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa. Karena pembelajaran tidak harus semuanya berasal dari pendidik tetapi 36 pembelajaran juga bisa berasal dari lingkungan teman sebaya untuk membelajarkan siswa itu sendiri. Wina Sanjaya (2014: 162) menyatakan, “proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Dalam suatu proses komunikasi selalu melibatkan tiga komponen pokok, yaitu komponen pengirim pesan (guru), komponen penerima pesan (siswa), dan komponen pesan itu sendiri yang biasanya berupa materi pelajaran. Beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran terjadi apabila ada interaksi antara guru dengan peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Usman (2005) yang memaparkan bahwa: Proses interaksi semua komponen atau unsur yang terdapat dalam belajar mengajar yang satu sama lainnya saling berhungungan (interdependent) dalam ikatan untuk mencapai tujuan. Yang termasuk komponen belajar mengajar anatara lain tujuan intruksional yang hendak dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai tidaknya tujuan. Berdasarkan pendapat Usman tersebut di atas dapat dimaknai bahwa proses pembelajaran dapat terjadi apabila ada interaksi antara komponen yang mendukung proses pembelajaran. Materi, metode, alat peraga dan evaluasi merupakan satu kesatuan dan tolok ukur untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan pembelajaran. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Proses Pembelajaran Muhibbin Syah (2006: 144) menyatakan bahwa secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar siswa antara lain: 1) Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan atau kondisi siswa 2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. 3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan mempelajari materi-materi pelajaran. 37 Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran dipengaruhi oleh berbagai komponen yakni, peserta didik, guru dan pendekatan belajar yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran. Sedangkan menurut Wina Sanjaya (2014: 52-56) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) Faktor guru Faktor Siswa Faktor sarana dan prasarana Faktor lingkungan 3. Tinjauan Kecerdasan Berdemokrasi Warganegara a. Pengertian Kecerdasan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kecerdasan berasal dari kata dasar “cerdas” yang artinya sempurna perkembangan akal budinya (untuk berfikir, mengerti dan sebagainya). Kecerdasan sendiri artinya, perbuatan mencerdaskan, kesempuranan perkembangan akal budi (seperti kepandaian, ketajaman pikiran). Kecerdasan atau yang sering disebut dengan intelegensi dapat terlihat dari orang dalam berperilaku, sebagaimana pengertian intelegensi yang dikemukakan oleh Mohammad Surya (2013: 95) bahwa, “Pengertian intelegensi menunjukkana kepada bagaimana cara individu berperilaku atau, cara bagaimana individu bertindak, apakah individu bertindak secara inteligen atau atau tidak inteligen”. Lebih lanjut Mohammad Surya menjelaskan, “Intelegensi bukan sesuatu benda atau kekuatan yang dimiliki dalam dimensi sedikit atau banyak. Intelegensi berkenaan dengan fungsi mental yang kompleks sebagaimana dimanifestasikan dalam perilaku”. Pendapat tentang kecerdasan juga diungkapkan oleh Saiful Bahri Djamarah (2010: 57), “Kecerdasan atau inteligensi adalah kemampuan untuk memahami dan beradabtasi dengan situasi yang baru dengan cepat dan efektif, kemmapuan untuk menggunakan 38 konsep yang abstrak secara efektif, dan kemampuan untuk memahami hubungan dan mempelajarinya dengan cepat”. Wiliam Stern dalam Mohammad Surya (2013: 96) menyatakan bahwa, “Intelegensi merupakan kapasitas kecakapan umum pada individu secara sadar untuk menyesuaikan fikirannya pada asesuatu yang dihadapinya”. Lewis M. Terman, mengemukakan, bahwa “intelegensi adalah kecakapan untuk berpikir abstrak”. Lebih lanjut pengertian intelegensi dikemukakan oleh David Wecchler adalah bahwa intelegensi merupakan kecakapan (kapasitas) umum dari individu dalam bertindak, berpikir rasional dan berhubungan dalam lingkungan secara efektif”. (Mohammad Surya, 2013: 96) Kecerdasan diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik dalam mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui cara yang tepat. Dengan demikian, kecerdasan bukan hanya berkaitan dengan kualitas otak saja, tetapi juga oragan-organ tubuh yang lain. Namun bila dikaitkan dengan kecerdasan, tentu otak merupakan organ yang penting dibandingkan organ yang lain, karena fungsi otak itu sendiri sebagai pengendali tertinggi (excecutive control) dan hampir seluruh aktivitas manusia (Baharuddin dan Esa Nuw Wahyuni, 2009: 20) Kecerdasan tidak hanya kecerdasan intelektual saja melainkan ada kecerdasan yang lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Mohammad Surya (2013:76) bahwa, “Kecerdasan itu tidak hanya terbatas pada keunggulan intelektual akan tetapi pada aspek non intelektual seperti emosi, sosial, spritual, dsb”. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Muhamad Irham dan Novan (2013: 53) bahwa, “Hasil yang paling menonjol adalah inteligensia juga terkait dengan kemapuan-kemampuan lain dalam berbagai hal. Maka mucullah teori-teori emotional intelligence, moral intelligence, social intellegence, dan spiritual intelligence” 39 Kecerdasan emosional merupakan keterpaduan antara unsur emosi dan rasio dalam keseluruhan perilaku individu yang akan mengendalikannya ke arah yang lebih bermakna dalam kelangsungan hidup. Dalam proses pendidikan, kecerdasan emosional mempuyai peranan yang besar dalam mencapai hasil pendidikan secara lebih bermakna. Hal ini mengandung makna bahwa kecerdasan intelektual saja belum memberikan jaminan penuh bagi pencapaian sukses pendidikan, akan tetapi perlu didukung oleh kecerdasan emosional secara lebih optimal. Dengan kecerdasan emosional yang tinggi seseorang akan mampu mengendalikan potensi intelektualnya dalam pendidikan sehingga terwujud dalam sukses yang bermakna. (Mohammad Surya, 2013: 76) Menurut Goleman dalam Mohammad Surya, 2013: 79 mengemukakan bahwa, “Kecerdasan emosional seseorang didukung oleh lima kemampuan yaitu: (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi orang lain, (5) membina hubungan dengan orang lain”. Menurut Alfred Binet, “kecerdasan adalah kecenderungan untuk mengambil dan mempertahankan pilihan yang tetap, kapasitas untuk beradabtasi dengan maksud memperoleh tujuan yang diinginkan dan kekautan untuk autokratik”. (Prawira, 2014: 10). Sedangkan menurut G. Stoddard pengertian kecerdasan sebagai berikut: kecerdasan yaitu kemampuan untuk melaksanakan aktivitas dengan ciri-ciri kesukaran, kompleksitas, abstraksi, ekonomis, penyesuaian dengan tujuan, nilai sosial, dan sifatnya yang asli, dan mempertahankan kegiatan-kegiatan di bawah kondisikondisi yang menuntut konsentrasi energi dan menghindari kekuatan-kekuatan emosional dan gejolak emosi (Prawira, 2014: 10). Menurut Gardner, “Kecerdasan adalah kapasitas yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah dan membuat cara penyelesaiannya dalam konteks yang beragam dan wajar”. (Susilo dan Gudnanto, 2013: 136). Horward Gardner menemukan bukti adanya 40 delapan bentuk kecerdasan manusia diantaranya keerdasan verbal linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan jasmani kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan naturalis, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Kecerdasan verbal-linguistik adalah kecerdasan yang melibatkan bahasa. Kecerdasan ini digunakan untuk memahami bahasa lisan dan tulisan, serta untuk berkomunikasi secara lisan dan tulisan. 2) Kecerdasan logika-matematika melibatkan angka dan logika. Kita mengandalkan kecerdasan logika-matematika ketika kita menalarkan, mengurutkan, dan mengidentifikasikan pola konseptual dan pola numerik 3) kecerdasan spasial berfokus pada gambar dan cerita. Mensketsa, memvisualisasikan, dan menghasilakan karya seni grafis, semuanya menuntut kecerdasan spasial 4) kecerdasan musikal melibatkan sensitivitas kita terhadap suara dan irama, serta kemampuan kita mengekspresikan diri kita melalui musik 5) kecerdasan jasmani-kinestetik melibatkan gerakan tubuh. Atletik tari dan pekerjaan fisik merupakan ekspresiekspresi dari kecerdasan ini 6) kecerdasan interpersonal/antar pribadi merupakan inti hubungan manusia termasuk kemampuan kita memahami, berempati dan menaggapi orang lain. 7) kecerdasan intrapersonal berlaitan dengan pengetahuan diri. Setiap kali kita berusaha mengakses dan memahami perasaan dan keadaan emosional kita sendiri, kita sedang menggunakan kecerdasan intrapersonal 8) kecerdasan naturalis digunakan untuk memahami dunia alam kecerdasan ini mencakup kemampuan kita mengenali, membedakan antara dan menklasifikasikan makluk-makluk hidup dan benda-benda alam. (Harvey dkk, 2012: 264) Berdasarkan pengertian dari kecerdasan di atas peneliti menggunakan kecerdasan interpersonal, karena fokus peneliti pada kecerdasan dimana peserta didik mampu bekerjasama, mengemukakan pendapat, berani bertanya dan sebagainya sesuai dengan nilai-nilai demokrasi sesuai pembentukan salah satu komponen Pendidikan Kewarganegaraan yaitu civic skill (ketrampilan kewarganegaraan). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Chasiyah dkk 41 (2009:115) yang dapat diusahakan pendidik untuk mengembangkan kecerdasan interpersonal sebagai berikut: 1) kembangkan kerjasama diantara murid 2) lakukan pengelompokan secara acak maupun dengan kriteria tertentu 3) jelasakan cara anda melakukan pengelompokkan dan ragam dari metode pembelajaran yang anda gunakan 4) ajarkan pada murid bagaimana bersikap dan bermain dengan rekayasa 5) tetapkan aturan kelas bersama dengan murid 6) tetapkan tujuan pembelajaran dan bekerja bersama mencapai tujuan itu. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan yang dimiliki peserta didik untuk mempresepsikan dan menangkap perbedaan- perbedaan mood, tujuan, motivasi dan perasaan orang lain. Inti dari kecerdasan jenis ini adalah kemampuan untuk peka terhadap perasaaan orang lain, kemampuan memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya, kemampuan menjain persahabatan yang akrab dengan teman, kemampuan memimpin kelompok, mengorganisir, menangani perselisihan antar teman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain. Kecerdasan semacam ini sering juga disebit dengan kecerdasan sosial (social intelligence). (Susilo dan Gudnanto, 2013: 139- 140). Kecerdasan sosial (social intelligence) berkaitan dengan kecerdasan emosi. Seperti yang dikemukakan oleh Thordike dalam Prawira, 2014: 159 yang menyatakan bahwa, “kecerdasan emosi berakar dari konsep social intelligence, yaitu suatu kemampuan memahami dan mengatur untuk bertindak secara bijak dalam hubungan antar manusia”. Lebih lanjut Hutch dan Gardner dalam Goleman (1995) mengatakan bahwa, “dasar-dasar kecerdasan sosial merupakan komponen dasar kecerdasan antar pribadi”. (Prawira, 2014: 162). Kecerdasan merupakan sebuah karakter, karakter cerdas digagas dan dipopulerkan oleh Prayitno (2010). Gagasan ini diawali 42 oleh suatu pandangan bahawa setiap individu memiliki kecerdasan dalam taraf tertentu yang tercermin dari perilakunya yang aktif, objektif, analitis, kreatif, aspiratif, dinamis dan antisipatif, pikiran terbuka dan maju serta mencari solusi. kecerdasan sendiri didefinisikan sebagai kemampuan memanipulasi unsur-unsur kondisi yang dihadapi untuk sukses mencapai tujuan (Prayitno dalam Budimansyah, 2010: 33) b. Hakekat Demokrasi Demokrasi sudah bergulir selama berpuluh-puluh tahun di Indonesia, seperti yang dikemukakan oleh Miriam Budiardjo yang menyatakan bahwa, Sejak digulirkannya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan demokrasi terjadi secara masif dan luas di Indonesia. Demokrasi yang sejak awal telah dicitakan oleh para pendiri negara (the founding fathers) memperoleh momentum kebangkitannya di akhir abad ke-20. Hasil penelitian UNESCO tahun 1949 menyatakan mungkin untuk pertama kalid alam sejarah demokrasi dinyatakan sebgai nama yang paling bak dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh para pendukungnya yang berpengaruh. (Winarno, 2013: 97) Demokrasi berasal dari kata Yunani, yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan Kratos artinya pemerintahan. Jadi demokrasi artinya pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang rakyatnya memegang peranan yang sangat menentukan (Heri dan Jumanta 2010: 80). Pengertian demokrasi yang terkenal yang dikemuakn oleh Abraham Lincoln dalam Winarno (2013: 101) yang mengatakan, “demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dana untuk rakyat (goverment of the people, by the people and for the people)”. Definsi tentang demokrasi memiliki banyak terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Paul Borker yang menyatakan bahwa, “definisi tentang demokrasi memiliki banyak terminologi, antara lain 43 menyangkut aturan manusia, aturan majelis, aturan partai, aturan umum, kediktatoran kaum proletar, partisipasi politik maksimal, kompetisi para elit dalam meraih suara, multipartai, pluralisme, sosial dan politik, persamaan hak, kebebasan berpolitik dan sipil, sebuah masyarakat yang bebas, ekonomi pasar bebas, dan lain-lain”. (Muslim Mufti dan Didah D, 2013: 21) Di dalam The Advanced Learners Dictionary of Current English (Hornby dkk: 261) dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan demokrasi adalah: (1) country with principles of goverment in which all adult citizen share through their ellected representatives; (2) country with government which encourages and allows right of citizenship such as freedom of speech, religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule, accompanied by respect for tje rights of minorities, (3) society in which there is treatment of each other by citizens as equals”. (Heri dan Jumanta, 2010: 80) Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang dipilih: pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya pemerintah mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas; dan masyarakat yang warga negaranya saling memberi peluang yang sama. Pengertian demokrasi juga diungkapkan oleh Harris Soche yang menyatakan bahwa, Demokrasi adalah bentuk pemerintahan rakyat, karena itu kekuasaan pemerintahan itu melekat pada diri rakyat, diri orang banyak, dan merupakan hak bagi rakyat atau orang banyak untuk mengatur, mempertahankan, dan melindungi dirinya dari paksaan dan perkosaan orang lain atau badan yang diserahi untuk memerintan (Winarno, 2013: 100). 44 David Beethnam dan Kevin Boyle dalam Mufti dan Didah D (2013: 21) mengemukakan bahwa, demokrasi merupakan bagian dari khazanah dalam membuat keputusan secara kolektif. Demokrasi berusaha untuk mewujudkan keinginan bahwa keputusan yang mempengaruhi perkumpulan secara keseluruhan harus diambil oleh semua anggota dan masing-masing anggota mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan. Pengertian demokrasi juga menekankan pada partisipasi, seperti yang dikemukakan oleh Kovacs (2008) menguraikan bahwa, Demokrasi merupakan suatu bentuk kehidupan bersama yang mengembangkan individu melalui partisipasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Partisipasi mereka lakukan berdasarkan kebebasan, pandangan kritis dan reflektif yang ditujukan untuk membangun kebersamaan dan kesejahteraan masyarakat. (Zamroni, 2013: 13) Pendefinisian demokrasi juga datang dari Lyman T.Sargent (1987: 29-50) yang menyatakan bahwa demokrasi sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) adanya keterlibatan masyarakat adanya persamaan hak diantara warga negara adanya kebebasan dan kemerdekaan adanya sistem perwakilan yang efektif adanya sistem pemilihan yang terjamin dihormatinya prisip-prinsip dituntutan bersama (Hadiwijoyo, 2012: 34) Menurut Henry B Mayo, “Sistem politik demokratis adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasai secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasrkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggrakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik” (Winarno, 2013: 100) Menurut International Commission of Jurist, “Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negar melalui wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang 45 bertanggungjawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas”. (Winarno, 2013: 100) Pengertian demokrasi juga diungkapkan oleh Dalton, Shin dkk (2007: 144) yang mengemukakan bahwa, “Democracy emphasizes freedom and liberty as its essential goals, with democratic institutions as the means to achieve them.”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa demokrasi menekankan pada kebebasan dan kemerdekaan sebagai tujuan penting, dengan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana untuk mencapainya. C.F. Strong mendefinisikan demokrasi sebagai, “Suatu sistem pemerintahan dimana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistem perwakilan yang menjamin bahwa pemerintah akhirnya mempertanggngjawabkan tindakan-tindakan kepada mayoritas itu” (Winarno, 2013: 100). Samuel Huntington menyatakan, “Demokrasi terjadi sejauh para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem yang dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala dan di dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk mmeperoleh suara dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.” (Winarno, 2013: 100) Joseph Schumpeter mengatakan bahwa, “demokrasi adaah kehendak rakyat dan kebaikan bersama (the will of the people and common good)”. Lebih lanjut pandangan tersut dimaknai dalam dua pengertian, pertama demokrasi sebagai kehendak rakyat berwujud manakala kehendak mayoritas rakyat dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa, dan kedua demokrasi adalah sebagi kebaikan bersama merujuk pada ide awal pembentukan negara dikatakan bahwa kebaikan bersama merupakan ujung dari kehendak bersama kolektif warga masyarakat. (Hadiwijoyo, 2012: 33) Menurut Robert A. Dahl dalam Zamroni (2013: 12) “terdapat dua dimensi utama demokrasi, yakni a) contestation, kompetisi yang 46 bebas di antara para kandidat; dan b) participation, mereka yang telah dewasa memiliki hak untuk memilih. Demokrasi akan berjalan dengan baik manakala kebebasan untuk: a) berpendapat, b) berserikat, dan c) menjalankan kegiatan politiknya”. Lebih lanjut berkaitan dengan pendapat Dahl diatas Zamroni menyebutkan bahwa “Secara umum demokrasi memiliki dua ciri utama. yakni, keadilan (equality) dan kebebasan (freedom). Dalam demokrasi juga terdapat nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri, seperti yang dikemukakn oleh Henry B mayo dalam Miriam Budiardjo (1977) menyebutkan adanya delapan nilai demokrasi, yaitu: 1.) Menyelesaikan pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela 2.) Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah 3.) Pergantian penguasa dengan teratur 4.) Penggunaan paksaan sesedikit mungkin 5.) Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman 6.) Menegakkan keadilan 7.) Memajukan Ilmu pengetahuan 8.) pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan (Winarno. 2013: 111) Nilai- nilai demokrasi merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Nilai-nilai tersebut antara lain kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. (Asykuri Ibn Chamim, dkk dalam Winarno, 2013: 112). Pendapat yang sama tentang nilai demokrasi juga dikemukakan oleh Zamroni dalam Winarno (2013: 111) yang menyebutkan antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) Toleransi Kebebasan mengemukakan pendapat Menghormati perbedaan pendapat memahami keanekaragaman dalam masyarakat terbuka dan demokratis 47 6) menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan 7) percaya diri 8) tidak menggantungkan pada orang lain 9) saling menghargai 10) mampu mengekang diri 11) kebersamaan, dan 12) keseimbangan Nurcholish Madjid dalam Tim ICCE UIN Jakarta (2003) menyatakan adanya 7 norma atau pandangan hidup demokratis sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Kesadaran akan pluralisme Prinsip Musyawarah Adanya pertimbangan moral permufakatan yang jujur dan adil pemenuhan segi-segi ekonomi kerjasama antar warga pandangan hidup demokrasi sebagai unsur yang menyatu dengan sistem pendidikan. (Winarno, 2013: 111-112) Nilai-nilai demokrasi berdasarkan pendapat di atas berkaitan dengan salah satu komponen pendidikan kewarganegaraan yaitu civic skills karena mengajarkan siswa berinterasi, bekerjasama, terbuka dan demokratis. c. Pendidikan Demokrasi Pada prinsipnya, pendidikan demokrasi adalah suatu proses dimana siswa berpartisipasi dalam penngambilan keputuasan yang akan mempengaruhi kehidupan sekolah. Lewat partisipasi ini, para siswa akan berinteraksi dengan guru dan pendidik yang lain untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang lebih baik. (Zamroni, 2013: 20-21) Pendidikan demokrasi secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan yang meliputi unsur-unsur hak, kewajiban, dan tanggungjawab warga negara dalam suatu negara (Komaruddin dan Azyumardi, 2010: 5) 48 Megan Howey (2006) menyatakan bahwa: Pendidikan demokrasi merupakan suatu cara yang jitu untuk memeperkuat kebersamaan dan kerja sama dari seluruh komponen sekolah, khususnya guru, siswa dan orang tua siswa. Hal ini penting karena suara, pandangan dan pendapat siswa meruapakan indikator penting bagi guru untuk memahami sesunggguhnya yang dibutuhkan oleh para siswa dari kacamata siswa sendiri (Zamroni, 2013: 21). Lebih lanjut Megan Howey menyatakan bahwa, “Kalau direnungkan secara mendalam, pendidikan demokrasi yang dilaksanakan tidak hanya berdampak pada kehidupan kelas dan sekolah yang lebih kondusif bagi terlaksananya pembelajaran yang bermakna, namun juga merupakan wahana dimana para siswa mempraktikkan kehidupan yang demokratis” Sebagaimana John Dewey menyatakan bahwa, “sekolah bukanlah untuk mempersiapkan siswa bagi kehidupan, melainkan sekolah adalah merupakan kehidupan siswa itu sendiri. Dengan kata lain, sekolah yang demokratis adalah sekolah yang membiasakan siswa hidup dalam alam kelas dan sekolah yang demokratis. Diharapkan dari proses pendidikan yang demokratis ini, akan melahirkan warga negara yang produktif dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. (Zamroni, 2013: 21). Winarno (2013: 131) menyatakan bahwa, “Pendidikan demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi agar dapat diterima dan dijalankan oleh warga negara”. Pendapat lain tentang pendidikan demokrasi juga dikemukakan oleh Udin S. Winataputra dalam Winarno (2013: 131) bahwa, “Pendidikan demokrasi adalah upaya sistematis yang dilakukan oleh negara dan masyarakat untuk memfasilitasi individu warga negara agar memahami, menghayati, mengamalkan, dan mengembangkan konsep, prinsip, dan nilai demokraasi sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. 49 Zamroni (2013: 8) menyatakan bahwa, “pendidikan demokrasi merupakan suatu proses untuk mengembangkan pada diri peserta didik berupa pengetahuan, kesadaran, sikap, ketrampilan, kemauan, serta kemampuan, untuk berpartisipasi dalam proses politik”. Lebih lanjut, Pendidikan sebagaimana demokrasi diungkapkan oleh memiliki tujuan dan fungsi, (2013, 23) bahwa, Zamroni “pendidikan demokrasi juga memiliki tujuan untuk memberikan kesempatan kepada para siswa mengembangkan ketrampilan dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik, baik pada level lokal, daerah kabupaten/kota, provinsi, nasional maupun level pada global”. Demikian pula dengan, dengan pendidikan demokrasi diharapkan para siswa memahami bagaimana dampak dan implikasi dari suatu keputusan politik, di berbagai level kehidupan politik. Pendidikan demokrasi secara substantif menyangkut sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi konsep, sistem, nilai, budaya dan praktik demokrasi melalui pendidikan yang meliputi unsur-unsur hak, kewaiban, dan tanggung jawab warga negara dalam suatu negara. (Komarudin dan Azyumardi, 2010: 5) Apabila fungsi dan tujuan diatas dapat dilaksanakan maka kecerdasan berdemokrasi siswa akan terbentuk, seperti yang dikemuakan oleh Zamroni (2013: 23) bahwa, “siswa memiliki pemahaman dan kesadaran akan kehidupan yang demokratis, memiliki sikap mendukung proses kehidupan yang demokratis, memiliki ketrampilan untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang demokratis. Oleh karena itu pendidikan demokrasi tidak lain dari suatu proses untuk memahami struktur kehidupan sistem demokrasi dan meninternalisasi kultur demokrasi pada dirinya”. Berdasarkan makna dan tujuan diwujudkannya pendidikan demokratis, maka dapat diidentifikasi bahwa pendidikan demokrasi menekankan pada beberapa aspek, yaitu: 50 1) kurikulum dan pembelajaran pendidikan demokrasi harus menyampaikan pesan-pesan atau isi yang penting dan bermakna 2) berkaitan dengan karakteristik pertama, maka materi pendidikan demokrasi yang dibawa ke ruang-ruang kelas tidak hanya bersifat pengetahuan teoritis murni melainkan dipadukan controversial issues yang tengah merebak di masyarakat. 3) pendidikan demokrasi memberikan pelayanan pembelajaran optimal kepada para siswa 4) dilaksanakannya pendidikan ekstra kurikuler yang merupakan kegiatan dengan tujuan yang jelas, tidak sekedar pelengkap dalam kegiatan sekolah 5) dikembangkannya partisipasi dalam pengelolaan sekolah 6) dilaksanakannya simulasi proses demokrasi di sekolah. (Zamroni, 2013: 23-26) Pendidikan tentu berkaitan dengan sekolah, sama halnya dengan pendidikan demokratis, James A. Beane dan Micahel W. Apple mendefinisikan bahwa, “sekolah demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/ madrasah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni struktur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa mengantarkan anak-anak didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis”. (Rosyada, 2007: 16-17) Lebih lanjut Beane dan Apple menjelaskan berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane dan Apple, 1995: 7) adalah: 1) Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin 2) memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah 3) menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem-problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah 4) memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik 51 5) ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak minoritas 6) pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia 7) terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis (Dede rosyada, 2007: 15-16) Hasil analisis terhadap perkembangan pendidikan demokrasi melalui pendidikan kewarganegaraan di Indonesia diungkapkan oleh Winataputra dalam Wahab dan Sapriya (2011: 43-44) menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan yang mendasar pada tingkatan paradigma sehingga mengakibatka ketidakjelasan, baik dalam tataran maupun dalam tataran praksis. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain sebagai berikut: 1) kelemahan dalam konseptualisasi pendidikan kewarganegaraan 2) penekanan yang sangat berlebihan pada proses pendidikan moral behavioristik, terperangkap pada proses penanaman nilai yang cenderung indoktrinatif 3) ketidak konsistenan penjabaran berbagai dimensi tujuan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan, dan 4) keterisolasian proses pembelajaran dari konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budaya. d. Hakekat Warga Negara Warga negara merupakan terjemahan kata citizen (Inggris), kata citizen secara etimologis berasal dari masa Romawi yang pada waktu itu berbahasa Latin, yaitu kata “civics” atau “civitas” yang berarti anggota atau warga dari city-state. Selanjutnya kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan “citoyen” yang bermakna warga dalam “cite” (kota) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen atau citizen dengan demikian bermakna warga atau penghuni kota. (Winarno, 2013: 32) 52 Asep dan Subhan (2012: 42) mengungkapkan bahwa, “Warga negara diartikan sebagai anggota dari unsur negara berati bagian dari rakyat. Sebagai bagian dari rakyat, warga negara merupakan pengkategorian lain dari rakyat secara keseluruhan”. Lebih lanjut Asep dan Subhan menyatakan, “pengertian warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota suatu negara”. Winarno, 2013: 33 mengemukakan bahwa, “citizen adalah warga dari suatu komunitas yang dilekati dengan sejumlah keistimewaan, memiliki kedudukan yang sederajat, memiliki loyalitas, berpartisipasi, dan mendapat perlindungan dari komunitasnya”. Lebih lanjut Winarno menjelaskan, Istilah citizen lebih tepat sebagai warga, tidak hanya melulu warga sesuah negara, tetapi lebih luas pada komunitas lain di samping negara. Meskipun demikian, dalam perkembangannya sekarang dimana negara merupakan komunitas politik yang dianggap paling absah naka citizen merujuk pada warga dari sebuah negara atau disingkat warga negara. Istilah warga negara (bahasa indonesia) kiranya telah menjadi konsep yang lazim sebagai terjemahan dari kata citizen. Aristoteles menyatakan, “different constitutions require different types of good citizen”. (Abdul Aziz dan Sapriya, 2011: 213) Pernyataan ini memberikan indikasi bahwa untuk mengetahui pengertian warga negara serta siapa saja warga negara suatu negara tergantung pada konstitusi yang berlaku di negara tersebut. Cholisin, (2013: 1) menyatakan bahwa, pengertian warga negara menunjukkan keanggotaan seseorang dari institusi politik yang namanya negara. Ia sebagai subjek sekaligus objek dalam kehidupan negaranya. Oleh karena itu seorang warga negara senantiasa akan berinteraksi dengan negara, dan bertanggung jawab atas keberlangsungan kehidupan negaranya. Di Indonesia secara yuridis warga negara juga diatur dalam beberapa ketentuan yakni Undang-Undang Dasar 1945 dan UndangUndang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Undang- 53 Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis di Indonesia pasal 26 ayat (1) yang berbunyi, “Yang menjadi warga negara Indonesia ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai warga negara”. Warga negara mempunyai kedudukan khusus dalam negaranya, Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Hak-hak warga negara diungkapkan oleh Asep dan Subhan (2012: 46) sebagai berikut: 1) Hak kebebasan beragama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya 2) Bebas untuk berserikat dan berkumpul 3) Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil 4) hak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja 5) hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan 6) hak atas status kewarganegaraan Sedangkan kewajiban bagi setiap warga negara misalnya sebagai berikut: 1) membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dengan warga 2) membela tanah air 3) membela pertahanan dan keamanan negara 4) menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang tertunag dalam peraturan (Asep dan Subhan, 2012: 4647) Berdasarkan pendapat di atas mengeani hak dan kewajiban warga negara juga diatur jelas dalam konstitusi yaitu dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. e. Kecerdasan Demokrasi Warga Negara Di masyarakat dalam memudahkan membuat keputuasan dan pemecahan masalah baik sebagai individu, anggota masyarakat ataupun sebagai warga negara harus dilandasi kecerdasan sebagai warga negara, sesuai yang dikemukakan oleh Abdul Aziz dan Sapriya bahwa, “...guna memudahkan dalam kehidupan di masyarakat 54 terutama di dalam membuat keputusan serta di dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya baik individu, anggota masyarakat maupun warga negara. Tentu saja semua harus dilandasi oleh kepekaannya, tanggung jawab dan kecerdasannya sebagai warga negara yang semakin dituntut untuk berfikir, bertindak kritis kreatif dan efektif. (2011: 31) Patrick dalam M. Fachri Adnan mengemukakan 4 komponen dasar pendidikan efektif untuk mempersiapkan warganegara demokratis sebagai berikut: 1) Pengetahuan kewarganegaraan dan pemerintahan demokrasi. Melalui komponen pertama ini diajarkan konsep-konsep dan implementasi demokrasi yang mencakup konsep demokrasi (minimal), konstitusionalisme, hak-hak warga negara, kewarganegaraan, civil society (masyarakat madani) dan ekonomi pasar 2) Ketrampilan kognitif warga negara yang demokratis (cognitive skills) yang ditujukan agar dapat memberdayakan warga negara supaya memiliki kemampuan mengidentifikasikan, mendeskripsikan, menjelaskan informasi dan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan masalah publik dan menentukan dan mempertahankan keputusan tentang masalah-masalah tersebut. 3) Ketrampilan partisipatori warga negara yang demokratis dimaksudkan untuk dapat memberdayakan warga negara agar mampu mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik dan memiliki tanggungjawab terhadap wakil-wakilnya di pemerintahan. Kombinasi ketrampilan kognitif dan partisipatori dapat dijadikan sarana bagi warga negara berpartisipasi secara efektif untuk memajukan kepentingan umum dan personal serta mempertahankan hak-hak mereka. Pengembangan ketrampilan kognitif dan partisipatori membutuhkan agar siswa belajar secara intelektual di dalam maupun di luar kelas. 4) Kebaikan dan disposisi warga negara demokratis yang berkaitan dengan kebaikan-kebaikan dan disposisi terhadap demokrasi. Komponen ini menunjukkan sifat dan karakter yang diperlukan untuk mendukung dan mengembangkan demokrasi. Komponen yang kedua dan ketiga di atas berkaitan dengan kecerdasan demokrasi, karena dalam penjelasannya menunjukkan 55 bahwa ketrampilan kognitif dan partisipatori warga negara yang demokratis membutuhkan agar siswa belajar secara intelektual di dalam maupun di luar kelas. Ketrampilan tersebut diantaranya kemampuan mengidentifikasikan, mendeskripsikan, menjelaskan informasi dan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan masalah publik; menentukan dan mempertahankan keputusan dan mampu mempengaruhi kebijakan dan keputusan publik Abdul Aziz dan Sapriya (2011: 35) menyatakan bahwa, “Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang demokratis yaitu warga negara yang cerdas dan memanfaatkan kecerdasannya sebagai warga negara untuk kemajuan diri dan lingkungannya”. Enam pilar karakter bagi warga negara yang demokratis, yaitu (1) trustworthiness (rasa percaya), (2) respect (rasa hormat), (3) Responsibility (tanggung jawab), (4) fairness (kejujuran). (5) caring (kepedulian), (6) citizenship (kewarganegaraan). (Winarno, 2009: 13) Lebih lanjut menurut Winarno dan Wijianto (2010: 81) menyatakan bahwa, “Warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter pada dasarnya adalah warga negara yang memiliki pengetahuan kewarganegaraan, ketrampilan kewarganegaraan dan karakter kewarganegaraan (civic knowledge, civic skill dan civic dispositions)” Ahmad Sanusi dalam tulisannya yang berjudul Memberdayakan Masyarakat dalam Pelaksanaan 10 Pilar Demokrasi (2006: 193-205), mengutarakan 10 pilar demokrasi konstitusional Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 salah satunya yaitu Demokrasi dengan kecerdasan demokrasi menurut artinya, mengatur Undang-Undang dan Dasar menyelenggarakan Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu bukan dengan kekuatan naluri, kekuatan otot, atau kekuatan massa semata-mata. Pelaksanaan demokrasi itu 56 justru lebih menuntut kecerdasan rohaniah, kecerdasan aqliyah, kecerdasan rasional, dan kecerdasan emosional. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Demokrasi yang didukung oleh kecerdasan warga negara, maksudnya bahwa dalam demokrasi Pancasila didukung oleh warga negara yang mengerti akan hak dan kewajibannya serta dapat melakukan peranannya dalam demokrasi serta menanamkan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran maupun di lingkungan sekolah. Kecerdasan demokrasi warga negara dapat dibangun dari sekolah yang demokratis, Beane dan Apple dalam Dede Rosyada (2007: 15) upaya membangun sekolah yang demokratis adalah sebagai berikut: 1) Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga semua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin 2) memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah 3) menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problemproblem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah 4) memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik 5) ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak minoritas 6) pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing keseluruhan hidup manusia 7) terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengembangkan cara-cara hidup demokratis (Dede rosyada, 2007: 15-16) Dadang Sundawa (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, Kecerdasan demokrasi dibangun dari kelas yang dibiasakan dengan nilai-nilai demokrasi. Nilai demokrasi dikemukakan oleh Zamroni dalam Winarno (2013: 111) yang menyebutkan antara lain: 1) Toleransi 2) Kebebasan mengemukakan pendapat 57 3) Menghormati perbedaan pendapat 4) memahami keanekaragaman dalam masyarakat terbuka dan demokratis 5) menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan 6) percaya diri 7) tidak menggantungkan pada orang lain 8) saling menghargai 9) mampu mengekang diri 10) kebersamaan, dan 11) keseimbangan Dari pendapat di atas dapat dirumuskan bahwa seseorang memiliki kecerdasan demokrasi warga negara apabila menerapkan nilai-nilai kebebasan demokrasi dalam mengemukakan kehidupannnya pendapat, seperti menghormati toleransi, perbedaan pendapat, memahami keanekaragaman dalam masyarakat terbuka dan demokratis, menjunjung nilai dan martabat kemanusiaan, percaya diri, tidak menggantungkan pada orang lain, saling menghargai, kebersamaan dan keseimbangan dan berpartisipasi aktif. 4. Hubungan Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Kewarganegaraan Dalam membangun Kecerdasan berdemokrasi warga negara Keterkaitan antara Kompetensi Pedagogik guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam membangun kecerdasan berdemokrasi tersebut, terletak pada komponen pedagogik guru dalam pelaksanaan dan pengelolaan pembelajaran di kelas. Ketrampilan guru dalam mengelola kelas yang demokratis dengan menggunakan metode dan media yang mendukung pembelajaran dapat membangun kecerdasan berdemokrasi. Seperti yang dikemukakan oleh Wahab dan Sapriya, (2011: 17) yang mengemukakan bahwa: Proses pembelajaran merupakan bagian dan kesatuan dari proses demokrasi. Mengajar demokrasi tanpa mempraktikannya di dalam kelas adalah hal yang sia-sia, Itu berarti bahwa kelas civics harus menjadi laboratorium demokrasi, yang mempelajari pertumbuhan dan mempraktikkan dasar-dasarnya. 58 Pendapat di atas dapat dimaknai bahwa kompetensi pedagogik guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengelola kelas mempunyai peran dan fungsi yang sangat strategis dalam membangun kecerdasan berdemokrasi dan sekaligus menanamkan nilai-nilai demokrasi di kelas. Prinsip berani bertanya, berpendapat, berargumentasi, toleransi, belajar menghargai dan menghormati pendapat orang lain, tanggung jawab, jujur, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara peserta didik dengan peserta didik, antara peserta didik dengan pendidik dan antara peserta didik dengan lingkungan belajar serta antara peserta didik dengan bahan ajar harus menjadi “roh” dalam pembelajaran di kelas PKn. Kompetensi pedagogik guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam mengelola kelas, dapat terlihat dari cara guru mengajar dengan melakukan variasi dalam setiap kegiatan belajar, ketrampilan yang berhubungan dengan upaya untuk menciptakan dan mengendalikan kelas. Lebih lanjut kreatifitas guru dalam pengelolaan kelas dan menciptakan suasana yang kondusif serta demokratis sehingga dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Interaksi guru dan peserta didik, peserta didik dan peserta didik dalam pembelajaran merupakan langkah yang tepat untuk mebangun kecerdasan berdemokrasi peserta didik. Kompetensi guru PKn yang demokratis tidak dapat terwujud dengan sendirinya, melainkan membutuhkan proses pembelajaran dan pembiasaan. Guru PKn dan peserta didik sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi berada di kelas. Hal tersebut bermakna, guru PKn dalam melaksanakan proses pembelajaran harus menanamkan nilai-nilai demokrasi melalui penciptaan kelas sebagai laboratorium demokrasi. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan seperti pendapat Cogan yang menyatkan bahwa, “Pendidikan Kewarganegaraan lazimnya dilukiskan sebagai kontribusi pendidikan untuk pengembangan karakteristikkarakteristik dari seorang warga negara”. Bahkan sekarang ini istilah warga negara yang baik mendapat tambahan warga negara yang cerdas. 59 Jadi tujuan pendidikan kewarganegraan adalah terbentuknya warga negara yang cerdas dan baik (smart and good citizen) (Winarno dan Wijianto, 2010”: 6-7). Pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa warga negara yang cerdas baik kecerdasan moral, spiritual, emosional maupun sosial. Pendapat lain diungkapkan oleh Zamroni yang berpendapat bahwa, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat cerdas, berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakt yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat; demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 7) Beberapa Pendidikan pendapat di Kewarganegaraan atas adalah semakin mempertegas pendidikan demokrasi bahwa yang bertujuan mempersiapkan warga negara yang cerdas. Kaitannya dengan kompetensi guru, guru merupakan komponen penting dalam pendidikan, sehingga perlu adanya salah satu kompetensi guru, yakni kompetensi pedagogik yang merupakan kemampuan guru dalam mengelola kelas yang demokratis. 5. Penelitian yang relevan dengan Kompetensi Pedagogik Guru dan Kecerdasan berdemokrasi Berbicara mengenai kompetensi pedagogik guru dalam proses pembelajaran bukan hal yang baru lagi. Sebelumnya telah banyak penelitian terkait kompetensi pedagogik guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain: a. Penelitian yang dilakukan oleh Anang Bodro Wicaksono, Mahasiswa FKIP UNS Surakarta pada tahun 2014 dengan judul “Optimalisasi Kompetensi Pedagogik Guru Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan (PPKn) Dalam Implementasi Kurikulum 2013 Berbasis Karakter Di SMP Kabupaten Sragen”. 60 Hasil penelitian dapat disimpulkan: Hasil penelitian, bahwa (1) optimalisasi implementasi kompetensi pedagogik dalam pelaksanaan kurikulum 2013 di SMP Kabupaten Sragen, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan sekolah yang di jadikan implementasi kurikulum 2013, dilakukan dengan mengadakan program In House Training (IHT) kompetensi pedagogik guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, (2) kendala yang dihadapi dalam implementasi kurikulum 2013 kendala yang dihadapi guru diterbebani dengan sistem penilaian siswa dalam kurikulum 2013 yang mencakup aspek sikap, aspek pengetahuan, dan aspek keterampilan guru harus melihat kemampuan masing- masing siswa secara teliti, format rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang berubah- ubah, serta masih terbatasnya fasilitas LCD proyektor yang dimiliki sekolah seperti di SMP Negeri 1 Karangmalang dan SMP Negeri 2 Sidoharjo. b. Penelitian yang dilakukan oleh Dadang Sundawa. Mahasiswa program doktor Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pada tahun 2010 dengan judul “Membangun Kecerdasan Berdemokrasi Warganegara Melalui Perwujudan Kelas Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Laboratorium Demokrasi”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keberadaan laboratorium demokrasi merupakan suatu miniatur demokrasi yang ideal sebagai wahana pengembangan nalar kritis siswa terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia agar tidak mengalami berbagai penyimpangan ke arah demokrasi yang anarkis. Prinsip kebebasan berpendapat, kesamaan hak dan kewajiban, tumbuhnya semangat persaudaraan antara siswa dan guru harus menjadi “roh pembelajaran di kelas pada mata pelajaran PKn. Interaksi guru dan siswa bukanlah sebagai subjekobjek, melainkan sebagai subjek-subjek yang sama-sama belajar membangun karakter, jatidiri, dan kepribadian. Profil guru yang demokratis tidak bisa terwujud dengan sendirinya, tetapi membutuhkan proses pembelajaran. Kelas merupakan forum yang 61 strategis bagi guru dan murid untuk sama-sama belajar menegakkan pilar-pilar demokrasi. Selain itu untuk meng-action-kan PKn dalam kehidupan sehari-hari guru dapat melakukan program pembiasaan, seperti membuat program bulan kejujuran, bulan tanggungjawab, bulan disiplin, bulan kreativitas, bulan demokrasi dsb. Dengan demikian siswa sebagai warganegara akan dibiasakan dengan nilainilai demokrasi yang kelak akan diterapkan dalam kehidupan di masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu disaranakan agar lebih mengoptimalkan peran guru dalam pengembangan kecerdasan demokrasi guru harus memperkuat dalam pengembangan materi, metode, media, sumber, dan alat evaluasi yang terukur bagi siswa. Begitu juga pengembangan kelas sebagai laboratorium demokrasi harus sering melakukan kegiatan simulasi berbagai proses demokratisasi baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. c. Penelitian yang dilakukan oleh Setyowati, Mahasiswa FKIP UNS Surakarta pada tahun 2014 dengan judul “Analisis Kompetensi Pedagogik Guru Dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 Pada Mata Pelajaran Produktif Kelompok Keahlian Akuntansi Di Smk Negeri 6 Surakarta”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (A) Kompetensi pedagogik guru dalam pelaksanaan kurikulum 2013 kurang baik. Dilihat dari tiga aspek, yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. (1) Guru melaksanakan perencanaan pembelajaran dengan cukup baik, hal tersebut dilihat dari tiga indikator. Pertama, pemahaman wawasan atau landasan kependidikan guru kurang baik; Kedua, pengembangan kurikulum, guru telah mengembangkan silabus cukup baik sesuai dengan kemampuan peserta didik; dan Ketiga, perancangan pembelajaran yang telah dibuat dengan baik sesuai dengan format yang telah ditetapkan. (2) Dalam pelaksanaan pembelajaran, guru melaksanakan pembelajaran kurang 62 baik, dilihat dari tiga indikator. Pertama, pemahaman terhadap peserta didik yang masih kurang baik; Kedua, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis yang masih kurang baik; dan Ketiga, pemanfaatan teknologi pembelajaran guru baik. (3) Evaluasi pembelajaran guru cukup baik, dilihat dari dua indikator. Pertama, evaluasi hasil belajar kurang baik; dan Kedua, pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya telah baik. (B) Kendala yang dihadapi guru dalam pelaksanaan kurikulum 2013 dilihat dari tiga aspek, yaitu perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. (1) Kendala dalam perencanaan adalah a) guru hanya memahami kurikulum 2013 sebatas pada kurikulum berbasis kompetensi dan karakter; b) belum adanya silabus resmi yang dikeluar¬kan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; c) terdapat satu mata pelajaran yang belum memiliki silabus; d) struktur kurikulum yang berubah-ubah; e) pelatihan guru mata pelajaran produktif belum ada; f) belum adanya buku pedoman bagi guru; dan g) guru belum memahami metode yang tepat untuk diterapkan saat mengajar. (2) Kendala dalam pelaksanaan pembelajaran adalah a) guru mengalami kesulitan dalam penerapan kurikulum 2013 dikarenakan belum lengkapnya dokumen dari pemerintah; b) terdapatnya ketimpalan mata pelajaran dalam struktur kurikulum. (3) Kendala yang dihadapi guru dalam evaluasi pem-belajaran adalah guru mengalami kesulitan dalam penilaian kurikulum 2013 dikarenakan format penilaian yang rumit. Upaya yang dilakukan guru mata pelajaran produktif akuntansi SMK Negeri 6 Surakarta dalam mengatasi kendala dalam pelaksanaan kurikulum 2013 sebagai berikut: menyesuaikan tingkat pemahaman peserta didik dengan materi yang disampaikan, melakukan koordinasi dengan guru sekolah lain terkait dengan struktur kurikulum yang belum jelas, melakukan diskusi dengan guru mata pelajaran lain yang saling berkaitan, guru aktif mencari informasi mengenai kurikulum 2013 di 63 internet dan media lainnya, dan membuat modul/buku pegangan sendiri berupa hand-out. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara umum kompetensi pedagogik guru mata pelajaran produktif akuntansi SMK Negeri 6 Surakarta kurang baik karena adanya beberapa kendala yang akan terus diatasi agar implementasi kurikulum 2013 menjadi lebih baik. Penelitian ini mempunyai persamaan dengan kedua penelitian Mahasiswa FKIP di atas, yaitu pada sisi kompetensi pedagogik guru dalam implementasinya pada proses pembelajaran di sekolah. Sedangkan perbedaannya, dalam penelitian ini lebih memfokuskan kompetensi pedagodik guru dalam membangun kecerdasan berdemokrasi warga negara pada peserta didik. Sementara persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan penelitian Dadang Sundawa terletak pada konsep kajiannya, kalau dalam penelitian Dadang Sundawa lebih menekankan pada kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi jadi di dalamnya membutuhkan peran guru dan siswa yang seimbang, kalau pada penelitian ini lebih menekankan pada kompetensi guru dalam mengelola kelas, sehingga peserta didik aktif sesuai arahan guru. B. Kerangka Berfikir Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir a dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran pesera didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Dalam peranannya guru sebagai pengelola kelas, Ngainun Naim (2011: 28) menyatakan bahwa, “Tujuan umum pengelolaan kelas adalah menyediakan dan mengggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar dan mengajar agar mencapai hasil yang baik. Sedangkan tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa menggunakan alat- 64 alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa untuk bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan”. Pendidikan Kewarganegaraan sudah menjadi bagian inhern dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor, “value-based education”. Budimansyah (2010: 141-142) mengemukakan Konfigurasi atau kerangka sistematik Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut: Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif dan bertanggungjawab. Kedua, PKn secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi salam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan, yang demokrastis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembeajran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content-embedding values) dan pengalaman beajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyaraat, berbangsa dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan moral Pancaasila, kewarganegaraan yang demokratis dan bela negara. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) sangat penting untuk mepertahankan kelangsungan demokrasi konstitusional. Sebagimana yang selama ini dipahami bahwa ethos demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami. sebagaimana ditegaskan oleh Alexis de Toquvellie (Branson, 1998: 2) yang menyatakan bahwa: “...each new generation is a new people that must acquire the knowledge, learn the skills, and develop the dispositions or traits of 65 private and public character that undergird a cobstitutional deocracy. Those dispositions must be fortered and nurtured by word and study and by the power of example. Democracy is not a machine that would go of itself, but must be consciously reproduced, one generation after another. (Budimansyah, 2010: 140) Kutipan tersebut di atas menegaskan bahwa setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan. mempelajari keahlian, dan megembangkan karakter atau watak publik maupun privat yang sejalan denga demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pengajaran serta kekuatan keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”. tetapi harus secara sadar direproduksi daru suatu generasi ke generasi berikutnya. Oleh karena itu, PKn seharusnya menjadi perhatian utama tidak ada tugas yang lebih penting dari pengembangan warga negara yang bertanggungjawab, efektif dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warga negara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa danya komitmen yang benar dari warga negara tehadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu tugas bagi pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnnya adalah mengkampanyekan pentingnya PKn kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua instansi dan jajaran pemerintah, Megan Howey menyatakan bahwa, “Kalau direnungkan secara mendalam, pendidikan demokrasi yang dilaksanakan tidak hanya berdampak pada kehidupan kelas dan sekolah yang lebih kondusif bagi terlaksananya pembelajaran yang bermakna, namun juga merupakan wahana dimana para siswa mempraktikkan kehidupan yang demokratis. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang dan jenis sekolah memiliki visi yaitu 66 membina warga negara yang demokratis dalam ruang lingkup pendididikan di lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Hal ini sesuai tugas PKn dengan paradigma baru sebagaimana dijelaskan oleh Winarno (2013 : 27), bahwa paradigma baru PKn dalah mengembangkan tiga kompetensi warga negara yaitu kecerdasan warga negara (civic intellegence), tanggung jawab warga negara (civic responsibility), dan partisipasi warga negara (civic partisipation). Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menamkan kesadaran kepada generasi baru tentang kesadaran bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakt yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat; demokrasi adalah suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain; kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. (Komaruddin dan Azyumardi, 2008: 7) “Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga negara yang cerdas dan baik serta mampu mendukung keberlangsungan bangsa dan negara”. (Komaruddin dan Azyumardi, 2010: 3). Sedangkan menurut Wahab dan Sapriya (2011: 314) menyatakan bahwa, tujuan PKn hendaknya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, tidak hanya membangun warga negara yang baik melainkan membangun warga negara yang memiliki kecerdasan untuk menghadapi tantangan kehifupan saat ini. Lebih lanjut Wahab dan Sapriya mengemukakan bahwa: Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara adalah kecerdasan dalam berbagai aspek , yakni kecerdasan dalam intelektual, emosional, sosial dan bahkan spiritual. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang warga negara diharapkan dapa dimanfaatkan untuk berpikir dalam menganalisis berbagai masalah. Dalam hal ini, seorang warga negara harus memiliki sejumlah ketrampilan/kecakapan (skills), meliputi ketrampilan berpikir, berkomunikasi, berpartisipasi bahwakn ketrampilan meneliti untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Semua 67 kecerdasan yang dimiliki dan ketrampilan yang dikuasainya diharapkan dapat digunakan untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan dan tindakan yang dilakukan baik terhadap anggota masyarakat lain sesama warga negara dab bangsa bahkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. (2011: 314-315) Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksankan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamnatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini pembentukan warga negara yang dimaksud sesuai dengan ketiga komponen, yakni pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), ketrampilan kewarganegaraan (civic skill) dan sikap kewarganegaraan (civic disposition) Ketiga komponen Pendidikan Kewarganegaraan tersebut berkaitan erat dengan sasaran pebentukan karakter pribadi warga negara. Warga negara yang memiliki pengetahuan akan menjadi warga negara yang cerdas, warga negara yang memiliki ketrampilan kewarganegaraan dan menjadi warga negara yang partisipatif dan bertanggungjawab. Kecerdasan demokrasi yang dimaksud peneliti berkaitan dengan civic skills (ketrampilan kewarganegaraan) dimana nantinya peserta didik mampu mempunyai ketrampilan diantaranya berani mengemukaan pendapat, berani bertanya dan berpartisipasi aktif dalam pembelajara maupun di lingkungan sekolah. Richard Gross dan Zeleny dalam bukinya “Teaching Civics for Democracy”. menyatakan bahwa, “mendidik warga negara yang demokratis melalui mata pelajaran civics dan PKn dapat berhasil dengan baik dalam menghasilkan warga negra yang demokratis karena bahanbahan, metode mengajarnya yang demokratis namun penilaian dann lingkungan serta seluruh perangkat hukum yang mendukungnya pun telah mengandung nilai-nilai demokrasi”. (Abdul Aziz dan Sapriya, 2011: 35) 68 Nilai- nilai demokrasi merupakan nilai yang diperlukan untuk mengembangkan pemerintahan yang demokratis. Nilai-nilai tersebut antara lain kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan dan kepercayaan. (Asykuri Ibn Chamim, dkk dalam Winarno, 2013: 112). Kerangka berfikir yang peneliti kembangkan adalah bagaimana kompetensi guru dalam mengelola kelas sesuai dengan paradigma pendidikan demokratis, yakni mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi dalam pembelajaran maupun di luar pembelajaran sehingga mampu membangun kecerdasan demokrasi peserta didik sebagai warga negara. Kecerdasan demokrasi yang tidak hanya terlihat dalam proses pembelajaran di kelas, melainkan diwujudkan dalam bentuk perilaku di lingkungan sekolah Kewarganegaran. yang sesuai dengan tujuan Pendidikan 69 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat digambarkan kerangka berfikir sebagai berikut: Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir