AKUNTABILITAS ANGGARAN “Anggaran yang akuntabel” sudah menjadi jargon yang terus dibicarakan oleh banyak kalangan. Jangankan media massa dan elit, istilah ini bahkan sudah mulai digunakan oleh komunitas terpinggirkan. Umumnya dalam bentuk kritik atas praktek penganggaran baik APBN maupun APBD. Persoalan akuntabilitas bukan lagi wacana, tapi anggaran tidak akuntabel mulai disadari bahkan oleh kelompok masyarakat sebagai salah satu problem mendasar di ranah pengambilan keputusan publik kita. Tidak hanya di kalangan nonpemerintah, aparatus birokrasi dan lembaga-lembaga politik juga kerap menggunakan istilah ini sebagai bagian dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan politik. Sayangnya, meskipun telah sering digunakan sebagai salah satu istilah baku di dalam konteks kenegaraan di Indonesia, prakteknya masih jauh panggang dari api. Proses penganggaran masih sangat jauh atas penampakan substansial dari istilah akuntabilitas. Dari tahapan perencanaan hingga implementasi, kata akuntabilitas lebih mendeskripsikan kegagahan birokrasi dengan angka-angka teknokratis dibandingkan aroma perubahan untuk mencapai tujuan anggaran dan pemerintahan itu sendiri. Rumusan program anggaran yang jauh dari kebutuhan, tingginya tingkat pemborosan anggaran serta maraknya korupsi anggaran adalah fakta-fakta yang menunjukan akuntabilitas anggaran negara kita rendah. Akuntabilitas Apa sebenarnya makna substansial dari akuntabilitas? Pertanyaan ini sebenarnya sulit dijawab dengan terminologi sederhana. Definisi akuntabilitas dapat berada pada rentang yang luas di antara berbagai ekstrem pandangan. Dari tradisional ke modern, konservatif ke liberal, atau bahkan kapitalis ke sosialis. Terma ini sungguh bergantung pada kondisi sosio-historik dimana digunakan (Haque:1994). Tapi definisi ini kemudian menjadi seragam mengikuti arus besar demokrasi liberal, baik dilihat dari sisi ide, prinsip maupun institusi yang diperlukan di dalam membangun akuntabilitas publik. Terma yang diadopsi dari rezim demokrasi liberal ini, meskipun banyak kekurangannya disebabkan oleh sentralisasi dan kerumitan birokrasi, kepemimpinan politik yang tidak layak bahkan ketertutupan di dalam kebijakan publik, tetap saja terma yang diambil dari definisi demokrasi liberal tetap penting. Setidaknya dapat digunakan untuk mengukur dan memastikan akuntabilitas pemerintahan dalam bentuk pemberian pelayanan, menentukan tingkat kebutuhan publik, mendorong representasi politik, mendorong kebebasan individu, dan keadilan umum. Di Indonesia, sebagai negara berkembang, terma akuntabilitas mulai diperkenalkan oleh agen-agen keuangan global, terutama Bank Dunia. Dengan pendekatan neoliberal, terma akuntabilitas masuk bersama terma lain seperti transparansi, partisipasi, penegakan hukum dan lain sebagainya. Pendekatan baru ini kemudian merubah norma, tujuan, struktur, aturan dan paradigma pelayanan publik. Usuranukuran baku terkait akuntabilitas publik pun ditawarkan, seperti; efisiensi, pengaruh (outcome), kompetisi, nilai ekonomi (value for money), aturan-aturan pendorong (catalytic role), otonomi, kemitraan dan pelayanan berbasis konsumen. Dalam kacamata neoliberal, dikenal standar-standar yang dipercaya dapat mendorong adanya kemajuan. Neoliberal mengklaim bahwa pendekatan ini telah mendorong terciptanya kemajuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, perbaikan sistem hukum dan politik, pengurangan kemiskinan, pertumbuhan kesempatan kerja serta memelihara nilai-nilai baru di masyarakat seperti; persamaan, keadilan, representasi, integritas, fairness, kewargaan dan kesejahteraan. Akuntabilitas seharusnya dapat tercermin dari dua aspek besar yaitu proses dan hasil. Jika perumusan anggaran masih oligharkis dan monopolistik, maka prosesnya dapat dipandang tidak akuntabel. Jika tidak ada dampak terukur dari implementasi anggaran sesuai dengan dokumen perencanaan dan sasarannya pada rakyat miskin, maka dari sisi hasil atau produk kebijakan, dapat dikatakan tidak akuntabel. EFISIENSI INPUT PROSES EKONOMI OUTPUT OUTCOME EFEKTIVITAS Luasnya ruang interpretasi atas makna substansial dari kata akuntabilitas, menimbulkan konsekuensi pada tingginya harapan publik atas anggaran yang akuntabel. Jika dirumuskan secara sederhana, anggaran yang berakuntabilitas adalah anggaran yang direncanakan sesuai dengan kebutuhan. Di sisi proses, pencapaiannya dilakukan dengan pelibatan seluas-luasnya dari elemen pemangku kepentingan terutama kelompok sasaran, yaitu masyarakat. Anggaran akuntabel dirumuskan dengan pertimbangan indikatorindikator kinerja. Harus efektif, efisien dan tidak memunculkan ruang-ruang korupsi. Dari sisi hasil, anggaran akuntabel harus diimplementasikan dengan cara-cara yang transparan dan kompetitif. Jauh dari praktek menguntungkan kelompok bisnis kroni atau kepentingan politik tertentu. Dapat dipertanggungjawabkan dengan sistem administrasi keuangan negara yang berlaku. Serta yang terpenting adalah dapat mencapai pencapaian atas anggaran, yaitu perbaikan fasilitas publik, menurunkan angka kemiskinan, meningkatkan perekonomian serta perbaikan kualitas pelayanan publik. Akuntabilitas Anggaran Proses anggaran publik dapat dilihat dari proses-proses yang terjadi di birokrasi dan lembaga politik termasuk representasi warga. Bagaimana mengatakan sebuah alur anggaran akuntabel sama saja dengan memotret bagaimana mekanisme teknokratis di birokrasi dapat dilakukan sesuai dengan standar alokasi dan akuntansi yang berlaku di satu sisi. Sementara di sisi yang lain, proses teknis dan teknokratis dapat dijamin tetap berdiri di atas semua kepentingan politik, aspirasi publik serta mampu dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun secara ekonomi dan politik. Dengan demikian anggaran akan dapat dengan mudah diklaim telah dilakukan melalui mekanisme perencanaan yang partisipatif, akomodatif, adil dan representatif secara politik. Akan tetapi dengan tetap memperhatikan terpenuhinya aspek-aspek administrasi keuangan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan standar akuntansi keuangan negara dan mendukung pertanggungjawaban aspek-aspek kinerja anggaran publik. Akuntabilitas Administratif Anggaran Sejauh ini akuntabilitas dari sistem administrasi keuangan ditopang oleh eksistensi lembaga pengawasan keuangan yang bersifat internal (Bawasda, Inspektorat, BPKP) dan pengawasan eksternal (BPK). Skema pengawasan ini dapat dilihat sebagai berikut: :: Sistem Pengawasan Keuangan Negara PRESIDEN MPR WAPRES DPR/DPD BPK Feed back MENDAGRI MENEG PAN BPKP APBD APBN GUBERNUR BUPATI / WALIKOTA Unsur Pelaksana Bawasda KAB/KO TA Feed back Feed back ESELON I ITJEN / Unit Was LPND Unsur Pelaksana BAWASDA PROP MENTERI/ Pimp. LPND Unsur Pelaksana Direksi BUMN/D KAB/KOTA DEP/LPND PROPINSI PEMERINTAH KAP NEGARA Sejauh ini institusi yang diserahi tanggungjawab atas pemeriksaan keuangan negara dinilai belum berfungsi maksimal. Instansi pengawasan internal masih bersifat tertutup terkait hasil pemeriksaannya. Beberapa kasus pemeriksaan keuangan bahkan menunjukan bahwa pengawas internal tidak berfungsi untuk penguatan akuntabilitas internal instansi akan tetapi lebih sebagai alat justifikasi bagi praktekpraktek distorsif termasuk korupsi di internal instansi. Di beberapa daerah, persoalan indikasi penyalahgunaan wewenang dan dugaan kerugian negara yang ditemukan oleh instansi pengawas eksternal sering berbeda dengan temuan instansi pengawas internal. Hal ini dipandang fenomena yang aneh karena masing-masing institusi ini menggunakan standar akuntansi keuangan negara yang sama. Seperti halnya instansi pengawas internal, persoalan juga dirasakan terkait kinerja dan eksistensi hasil pemeriksaan keuangan BPK sebagai pemeriksa keuangan secara eksternal. Sejauh ini, hasil-hasil pemeriksaan BPK belum dapat secara maksimal ditindaklanjuti oleh DPRD di tingkat daerah dan DPR di tingkat pusat. Kelemahan dalam mendorong hasil pemeriksaan BPK ini kemudian melemahkan fungsi pengawasan parlemen atas akuntabilitas administrasi keuangan. Akuntabilitas Politik Anggaran Selama ini, proses politik anggaran di Indonesia tidak pernah dianggap penting. Lembaga politik maupun birokrasi umumnya menerima proses perencanaan anggaran yang sudah mengadopsi sistem perencanaan pembangunan bertingkat (Musrenbang). Sayangnya proses ini belum dapat dikatakan telah mewakili aspirasi politik warga. Dari berbagai riset disebutkan bahwa Musrenbang tidak lagi efektif untuk dijadikan sebagai sarana penyerapan aspirasi masyarakat. Karena proses Musrenbang ini sering tidak membuahkan hasil yang dapat menjawab kebutuhan dan usulan masyarakat langsung di tingkat desa, komunitas, sektor atau kawasan. Ini karena proses Musrenbang sebenarnya bukan sebuah representasi kepentingan berbasis warga akan tetapi hanya alat justifikasi proses penganggaran untuk dapat disebut telah dilakukan secara aspiratif dan partisipastif. Proses Musrenbang sendiri tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari proses teknokrasi anggaran yang dilakukan oleh birokrasi. Hilangnya usulan masyarakat dari proses Musrenbang disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah faktor alokasi dan distribusi anggaran yang terbatas untuk memenuhi semua tuntutan warga. Karena terlihat besar dan tidak realistis, maka pihak Panitia Anggaran Eksekutif cenderung menggunakan dokumen perencanaan yang top down sebagai alternatif kebijakan. Karena dari tingkatan desa proses ini telah terputus, sistem perencanaan pembangunan nasional yang dikoordinasikan oleh Bappenas tidak dapat dianggap sebagai mekanisme yang dilakukan secara bottom up. Untuk menjembatani kebuntuan jalur aspirasi masyarakat terkait dengan anggaran, aspirasi ini perlu didorong secara politis lewat lembaga parlemen baik di pusat maupun di daerah. Upaya mendorong politik anggaran ini secara politis dapat diupayakan dengan mendorong efektifitas proses reses DPRD dan DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat. Aspirasi yang tertampung kemudian dapat dibawa di dalam pembahasan panitia anggaran legislatif sebagai usulan daerah pemilihan (dapil). Proses ini tentu saja dapat dilakukan secara paralel dengan fasilitasi atau pendampingan hasil-hasil Musrenbang yang dihasilkan dari komunitas. Pengerucutan dari aspirasi lewat proses penyerapan reses dapat dirumuskan menjadi program unggulan dari masing-masing daerah pemilihan baik di skala kabupaten/kota, provinsi atau di tingkat nasional oleh DPRRI dan DPD. Jika DPR/DPRD dapat mengefektifkan proses reses untuk membangun usulan-usulan prioritas program, di dalam dokumen APBD/APBN, persoalan menjawab kebutuhan konstituen cukup dilakukan lewat perencanaan instansi teknis baik Dinas di tingkat daerah atau Departemen di tingkat pusat. Dengan demikian, dana aspirasi tidak perlu dianggarkan sendiri untuk dibelanjakan oleh anggota DPR melainkan dapat dialokasikan langsung lewat mekanisme politik ke dalam program-program instansi pemerintah. Proses ini akan lebih ideal lagi jika Partai Politik dan Politisi dapat membangun kekuatan pemilih sedemikian rupa sehingga dapat mendorong akuntabilitas dan kemandirian Partai Politik di setiap tingkatan. Banyaknya usulan yang dapat dijawab akan semakin meningkatkan popularitas politik partai di mata konstituen. Tingkat Korupsi Korupsi adalah penyakit di ranah kebijakan publik Indonesia. Korupsi tidak hanya semata fenomena maladministrasi yang biasanya menjangkiti birokrasi. Korupsi di Indonesia juga menjadi penyakit di dunia politik. Survey Indeks Persepsi Korupsi (CPI) meskipun menunjukan trend meningkat, namun skor Indonesia tetap berada di skala di bawah 3. Tahun 2009, skor Indonesia tertinggi, yaitu 2,8 bersama 9 negara lain di peringkat 145. Menurut Tranparency International, negara dengan skor di bawah 3 dikategorikan negara yang memiliki problem korupsi serius (severe corruption problem) yang ditandai dengan tingginya tingkat korupsi politik yang mempengaruhi anggaran sehingga sangat mengancam terutama terhadap alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan dasar. Yang mengherankan, negara yang bertengger pada posisi yang sama, biasanya adalah negara yang sedang mengalami konflik sosial atau konflik politik sehingga secara umum administrasi dan birokrasi termasuk pelayanan memang terganggu oleh krisis politik. Indonesia yang secara keamanan tidak memiliki masalah justru tingkat korupsinya tinggi. Atau persepsi ini jika diartikan terbalik bisa dikatakan bahwa krisis sosial dan politik yang terjadi, misalnya dengan banyaknya aksi massa disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi. Korupsi anggaran, secara mudah dapat dilihat dari tingginya kebocoran di sisi penerimaan dan di sisi belanja. Korupsi di sektor penerimaan banyak menggerogoti sektor perpajakan dan penerimaan dari sumber daya alam, terutama sektor ekstraktif. Tingginya tingkat korupsi di sektor perpajakan, bisanya tergambar dari rasio pajak (tax ratio). Rasio pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia hingga saat ini masih terlalu kecil bila dibandingan dengan negara lain. Rasio pajak (tax ratio) Indonesia dalam APBN 2009 baru mencapai 12% dan 12,1 % di dalam RAPBN 2010 (Antara, 3 Agustus 2009). Angka ini masih terpaut jauh dengan negara tetangga seperti malaysia yang pada periode yang sama mencapai 25%. Dan sangat jauh di bawah negara-negara maju seperti Uni-Eropa (EU27) yang mencapai 40%. Penelitian Transparency International menyebutkan adanya hubungan yang berbanding lurus antara peringkat korupsi dengan rasio pajak, dimana dalam rasio pajak Indonesia menduduki urutan 145 di tahun 2009 dan Indeks Persepsi Korupsi 2009 yang berada di urutan 111 dengan skor 2.8 bersama 9 negara lain dengan skor yang sama. Dari angka kecenderungan ini, rasio pajak dapat menjadi faktor indikatif untuk melihat adanya hubungan antara tingkat kepatuhan pembayar pajak di satu sisi dengan kinerja pemungut pajak di sisi yang lain. Di sektor ekstraktif, tingkat kebocoran anggaran sangat tinggi. Hasil kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2008 menyebutkan terdapat kebocoran pendapatan di sektor ekstraktif dari hulu hingga hilir. Indikasi Kebocoran Sektor Ekstraktif Indonesia Hulu : Berdasarkan audit BPK (s/d audit Sms II 2007), terdapat kelebihan pembayaran Cost Recovery dari Minyak senilai Rp. 39,999 triliun. Berdampak pada berkurangnya penerimaan negara senilai Rp.34 triliun, Berdasarkan perhitungan ICW, terjadi Kekurangan Penerimaan Negara dari Minyak Mentah selama tahun 2000 – 2007 senilai Rp.194,095 triliun, Berdasarkan perhitungan ICW, terjadi Kekurangan Penerimaan Negara dari Gas selama tahun 2000 – 2008 senilai Rp.74,595 triliun, Berdasarkan perhitungan ICW, terjadi Kekurangan Penerimaan Negara dari Royalti Minerba (batubara, emas, perak, tembaga, nikel dan timah) selama tahun 2000 – 2007 senilai Rp.26,651 triliun. Hilir : Berdasarkan Hasil Audit BPK terhadap LKPP TA 2007 dan Belanja Subsdi Transfer Pemerintah TA 2007, ditemukan penyimpangan PPN BBM bersubsidi oleh PT. Pertamina TA 2006-2007 senilai Rp.31,950 triliun, dengan rincian ; PT Pertamina tidak/belum menyetorkan Penerimaan Negara dari Pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) BBM bersubsidi untuk Tahun 2006-2007 sebesar Rp.15,975 triliun. PT Pertamina, berdasarkan hasil audit BPK terhadap Belanja Anggaran 062 (subsidi dan transfer) ternyata juga mendapat subsidi PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk TA 2006 – 2007 senilai Rp.15,975 triliun (anggaran ganda). Sumber: Divisi Pusat Data dan Analisis ICW, 2009 Korupsi Politik Korupsi politik memang menjadi salah satu faktor yang sangat mendistorsi kebijakan anggaran. Pembagian dan distribusi kekuasaan di era reformasi yang ditandai dengan efektifnya peran parlemen dalam keputusan publik memang disinyalir oleh banyak kalangan justru memindahkan korupsi dari kekuasaan yang awalnya terpusat di Istana (di zaman orde-baru) ke parlemen. Era reformasi kemudian banyak diwarnai oleh berita korupsi yang melibatkan anggota parlemen. Era selanjutnya, yang masih terus berlanjut hingga hampir satu dasawarsa reformasi adalah era desentralisasi. Distribusi kekuasaan dari pusat ke daerah-daerah lewat dekonsentrasi dan desentralisasi juga memindahkan korupsi seiring perpindahan palu kekuasaan. Tingkat korupsi politik, mengikuti alur lingkaran setan korupsi kebijakan yang terjadi di ranah administrasi lewat kekuasaan birokrasi. Di ranah politik lewat kekuasaan parlemen, partai politik dan kroni kapitalis yang menjadi sumber utama penerimaan politik. Korupsi politik kemudian menjadi langgeng seperti sebuah lingkaran setan karena Partai Politik sebagai satu-satunya sarana mencapai kekuasaan politik menjadikan birokrasi sebagai penghasil kekuatan politik dengan penempatan orang-orang yang dapat memuluskan kepentingan elit Parpol. 6 Partai Politik Kroni Bisnis 5 1 4 7 Proyek, Konsesi, Lisensi 2 Politisi Birokrasi Keterangan: 1. Nominasi 2. Politisasi Birokrasi 3. Kontrak, konsesi, lisensi 4. Suap, kickback 5. Sumbangan Pemilu, Suap 6. Sumbangan Pemilu, candidacy buying 7. Setoran ke Partai 3 :: Lingkaran Setan Korupsi Politik Hal ini ditempuh dengan mempengaruhi aktor dan kebijakan di birokrasi pemerintahan agar memberikan alokasi anggaran untuk kepentingan parpol dan elit partai politik. Birokrasi sebagai sebuah kekuatan administrasi pemerintahan sulit untuk menjadi efisien karena terus mengalami intervensi. Intervensi kekuasaan ini dapat dilihat dari tender-tender proyek di Pemerintahan yang diarahkan untuk kepentingan kroni politik, juga adanya alokasi anggaran dari rekening liar (rekening yang tidak dilaporkan) untuk kepentingan politik. Tingkat korupsi politik secara indikatif juga dapat ditunjukan oleh maraknya korupsi di parlemen yang dapat dikaitkan dengan upaya untuk memuluskan bisnis kroni atau bisnis perusahaan sendiri. Data hasil pemetaan terhadap komposisi pengusaha dan non pengusaha di DPR juga meningkat di antara periode hasil pemilu 1999 dan hasil pemilu 2004 (table bawah). Komposisi Pengusaha di DPR-RI Periode Pengusaha/Non Pengusaha 1999-2004 2004-2009 Pengusaha 33.6 % (168) 39.09 % (215) Non Pengusaha 66.4 % (332) 60.91 % (335) Total 100.0 % (500) 100.0 % (550) Sumber: riset mapping parlemen ICW, 2004 Penyebaran Korupsi Sumber: Trend Korupsi Sem I tahun 2009, ICW Korupsi anggaran terdistribusi hingga ke daerah-daerah. Jika dilihat dari frekuensi kasus korupsi yang terungkap, korupsi di sektor anggaran daerah (APBD) menempati jumlah yang terbanyak. Jika dilihat dari sisi aktor, korupsi di Indonesia juga masih dimonopoli oleh aktor daerah. Aktor korupsi beragam dari pembuat kebijakan hingga pelaksana proyek. J abatan T ers ang ka K as us K orups i 217 T otal T idak Ada D ata C amat Mantan Menteri G uru K abag perbankan K ades Mantan D irjen AH U K epala c abang Mandiri P ejabat P artai P olitik Mantan K epala D aerah Akademis i D irjen AH U K aryawan B ank D irektur P erus ahaan D aerah P ejabat bank P ejabat B UMN P impro K epala D aerah S was ta P ejabat Meneng ah P emda Ang g ota D P R /D P R D 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 3 3 5 5 6 16 46 54 63 0 50 100 150 200 250 Sumber: Trend Korupsi Sem I tahun 2009, ICW Korupsi di daerah lebih banyak yang merupakan fenomena korupsi politik. Jika dipetakan di dalam lingkaran setan korupsi politik, modus-modus kasus korupsi di daerah mengkonfirmasi terjadinya dominasi kebijakan politik elitis (oligarkhis) yang lebih banyak menguntungkan elit daerah. Partai Politik/ kandidat Kroni Kapitalis 6 5 Dana siluman di dalam Pilkada 1 Dana Departemen untuk Parpol dan elit Parpol Tiket pencalonan Pilkada Transfer ke rekening pribadi bendahara Pemda 7 Kredit Bank Daerah untuk proyek fiktif Proyek Mark Up Penggunaan dana untuk bisnis saham komoditas Jaminan Pinjaman Dana Investasi yang gagal (high risk) 4 Proteksi Politik 2 Politisi Birokrasi dan Birokrat Politisi (appointed official) 3 Transfer ke rekening pribadi Bupati. Alokasi untuk peningkatan penghasilan anggota DPR RI Anggaran departemen untuk proses legislasi ( Kasus DKP dan BI) Anggaran Departemen untuk Dana Kampanye Pilpres Pengalihan anggaran daerah ke rekening pribadi ketua BPKD Dana Daerah untuk kampanye calon incumbent di dalam Pilkada Buruk Pengelolaan Anggaran Selain karena faktor dorongan politik untuk korupsi, pengelolaan anggaran negara juga masih dinilai buruk. Selama 3 tahun berturut-turut, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tidak bisa diberikan pendapat oleh auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hal ini berarti, pengelolaan anggaran mash jauh dari prinsip-prinsip pengelolaan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah. Status disclaimer juga diberikan untuk pengelolaan keuangan yang masih bertentangan dengan aturan perundangan yang ada (kepatuhan) dan kelayakan presentasi laporan (kepatutan). Laporan BPK terhadap LKPP juga menunjukan masih tingginya indikasi praktek-praktek yang dapat merugikan keuangan negara. Rekapitulasi penerapan opini atas realisasi belanja kementerian/lembaga pemerintah pusat di tahun 2007 menunjukan jumlah lembaga yang diclaimer atau tidak bisa diberikan opini masih tertinggi (85,6%), sementara yang sudah wajar tanpa pengecualian baru mencapai 11,79%. Total Belanja K/L (juta Persentase Belanja K/L Berdasarkan rupiah) Kelompok Opini WTP 17 89,373,031.22 11.79% WDP 31 18,279,991.67 2.41% TMP 37 649,066,668.52 85.66% TW 1 1,016,011.82 0.13% Total 86 757,735,703.23 100% Sumber : BPK, Daftar Rekapitulasi Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2008 Keterangan : WTP : Wajar Tanpa Pengecualian TMP : Tidak Memberikan Pendapat WDP : Wajar Dengan Pengecualian TW : Tidak Wajar Opini Jumlah Entitas Hal senada juga direpresentasikan oleh laporan audit BPK untuk pengelolaan keuangan daerah. Akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah justru menunjukan penurunan. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya prosentase laporan yang tidak wajar (TW). 100% 87% 85% 80% 70% 63% 60% 40% 20% 23% 7% 5% 1% 1% 2% 19% 17% 7% 3% 3% 6% 0% WTP WDP 2004 TMP 2005 2006 TW 2007 OPINI Tahun 2004 2005 2006 2007 WTP WDP JUMLAH (%) 21 17 3 3 7% 5% 1% 1% JUMLAH 249 308 326 173 TOTAL TMP (%) 87% 85% 70% 63% JUMLAH 7 25 106 48 TW (%) JUMLAH 2% 7% 23% 17% 10 12 28 51 (%) 3% 3% 6% 19% JUMLAH 287 362 463 275 (%) 100% 100% 100% 100% Sumber : Badan Pemeriksa Keuangan, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2008 Mendorong Akuntabilitas Anggaran Akuntabilitas anggaran negara harus terus ditingkatkan hingga ke tahap penerapan secara substansial. Hal ini dapat dicapai dengan penciptaan proses perencanaan anggaran yang lebih terbuka dan partisipatif. Pelibatan masyarakat harus dilakukan pada taraf mendekatkan kepentingan sektoral dan spasial terkait kebutuhan atas anggaran. Di sisi yang lain, masyarakat harus dapat terakumulasi kepentingannya sedemikian rupa dengan model-model pengorganisasian yang terintegrasi dengan proses perencanaan anggaran. Penciptaan ruang partisipasi yang diakui secara kebijakan merupakan kebutuhan mendesak bagi terciptanya akuntabilitas dan partisipasi substansial terhadap anggaran. Persoalan korupsi dengan sendirinya akan dapat diminimalisir jika tingkat tekanan politik dapat diimbangi lewat partisipasi aktif warga di dalam mengontrol dan mengawal anggaran. Seorang sosiolog korupsi, Robert Klitgaard percaya, bahwa korupsi dapat diselesaikan dengan peningkatan akuntabilitas. Dalam hasil risetnya di banyak negara Asia Tenggara, terutama di Filipina, Rober Klitgaard sampai pada kesimpulan bahwa persoalan akuntabilitas publik adalah persoalan utama yang menyebabkan korupsi merajalela. Rumusan Klitgaard masih valid dan sangat cocok diterapkan di negaranegara transisi demokrasi seperti Indonesia. C=D+M–A Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability Selain rumusan Klitgaard, langkah-langkah penting dalam penguatan representasi politik di parlemen pusat dan daerah juga harus diciptakan. Ruang kontrol terhadap wakil rakyat, mekanisme pertanggungjawaban publik atas laku kebijakan politik serta sinergi dengan wakil rakyat di dalam mendorong rumusan anggaran yang lebih solutif atas permasalahan kemungkinan perlu didorong. Proyek rumah aspirasi harus dapat diefektifkan hingga dapat berdampak terhadap peran wakil rakyat dalam mempengaruhi kebijakan. Untuk persoalan integritas, mekanisme internal parlemen dan lembaga penegak hukum perlu terus didorong untuk mengawasi dan menindak politisi-politisi nakal yang kerap ‘mengganggu’ alokasi anggaran hanya untuk kepentingan segelintir elit politik dan aktor bisnis. Dalam konteks perbaikan pengelolaan keuangan, beberapa resep sebenarnya telah coba dirumuskan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Perbaikan ini harus sejalan dengan perubahan sistem administrasi keuangan, mekanisme tender dan peningkatan kapasitas birokrasi. BPK memiliki rumusan yang lebih teknis terkait dengan hal ini, seperti dijabarkan di dalam tabel berikut. LANGKAH-LANGKAH MENUJU OPINI WAJAR TANPA PENGECUALIAN NO 1. 2. 3. Bidang-bidang yang perlu perhatian Sistem Pembukuan dan Perencanaan Anggaran Sistem Aplikasi Teknologi Komputer ( IT related) Inventarisasi Aset dan Hutang 4. Jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban anggaran 5. Quality Assurance yang dilakukan oleh pengawas intern 6. Sumber Daya Manusia Uraian Penyusunan pertanggungjawaban keuangan negara berupa laporan keuangan yang mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Tahun 2005. Laporan Keuangan Pemerintah itu terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA), Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan BUMN/BUMD dan badan lainnya. Secara bertahap sistem pembukuan berdasarkan kas beralih pada pembukuan akrual dan perencanaan berbasis kinerja. Penggunaan Sistem Perbendaharaan Tunggal (Single Treasury Account). Sistem Aplikasi Teknologi Komputer yang terintegrasi. Aset dan hutang Negara perlu diinventarisasi sesuai peraturan perundangan-undangan dan disertai dengan bukti kepemilikan yang sah dan dicatat serta dipertanggungjawabkan dalam neraca. Laporan Keuangan disampaikan untuk diperiksa kepada BPK paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pada gilirannya, BPK menyampaikan laporan hasil pemeriksaannya, dengan opini, kepada DPR/DPD/DPRD dan auditee dua bulan kemudian. Pengawas internal (BPKP, Irjen, SPI, dan Bawasda Provinsi serta Kabupaten/Kota) bertugas untuk mengawasi mutu laporan pertanggungjawaban keuangan yang disusun oleh departemen/ instansi pemerintah/ Pemda. Penetapan status bendahara sebagai jabatan fungsional. Bendahara atau pegawai yang menangani pembukuan dan pengawasan seyogyanua memiliki pengetahuan dasar ilmu akuntansi. SDM dapat diperoleh dengan merekrut tenaga BPKP atau dengan memberikan pelatihan kepada pegawai mengenai akuntansi keuangan Negara/ daerah. (Berdasarkan Paket Tiga UU di Bidang Keuangan Negara Tahun 2003 – 2004) Kesimpulan Akuntabilitas anggaran bukanlah jargon birokrasi dan jargon politik akan tetapi memiliki konsekuensi dalam pemaknaan substansial atas laku pengelolaan kebijakan publik termasuk anggaran. Rumusan akuntabilitas tidak dapat dipisahkan dari rumusan tentang keterbukaan publik dan partisipasi konkrit masyarkat di dalam mengawasi, dan memberikan masukan atas kebijakan. Anggaran tidak akuntabel tercermin dari tingginya tingkat korupsi baik di sisi penerimaan maupun di sisi belanja. Tingkat korupsi di Indonesia sudah sangat tinggi, dengan keterlibatan tidak hanya aktor birokrasi akan tetapi juga aktor politik membentuk jaringan setan korupsi politik. Buruk akuntabilitas pengelolaan anggaran juga tercermin dari hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Mendorong peningkatan akuntabilitas dapat ditempuh dengan mendorong keterbukaan atas proses dan dokumen anggaran, serta mendorong partisipasi substansial dari warga negara di dalam mengontrol dan memberikan masukan atas anggaran. ***