Skripsi Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar

advertisement
SKRIPSI
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana
Keperawatan ( S.Kep )
Oleh
Rohmatika
NIM : 105104003482
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009
Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 26 Oktober 2009
Pembimbing I
Pembimbing II
Jamaludin, S.Kep, M.Kep
Bambang P. Cadrana, SKM, M.KM
NIP. 150409469
NIP. 19690205199403 1 003
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,
Nopember 2009
Penguji I
NIP.
Penguji II
NIP.
Penguji III
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rohmatika
Tempat / tanggal lahir
: Serang, 5 februari 1987
Agama
: Islam
Alamat
: Jl.raya Serang-Pandeglang, kp. Warung, Ds. Panyirapan
Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173
Telp
: (0254) 250 125
Riwayat pendidikan
: MI Nurul Huda Baros (1993-1999)
MTS Nurul Huda Baros (2000-2002)
MAN 2 Model Serang (2003-2005)
Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1430 H/2009
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama
: Rohmatika
NIM
: 105104003482
Mahasiswa program
: Ilmu keperawatan
Tahun akademik
: 2005
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan skripsi saya yang
berjudul :
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI,
TANGERANG TAHUN 2009.
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima
sangsi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta,
Nopember 2009
(Rohmatika)
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, 28 Oktober 2009
Rohmatika
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009.
xxi + 136 halaman, 4 tabel, 6 gambar, 12 lampiran
ABSTRAK
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang belum dapat diatasi secara tuntas,
salahsatu kendalanya adalah adanya anggapan yang keliru dari masyarkat yang menganggap
penyakit kusta adalah penyakit kutukan, keturunan dan menimbulkan kecacatan yang menetap.
Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa putus asa dan tidak tekun berobat. Pasien
kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial dan ekonomi
sehingga masalah tersebut beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Laporan WHO
(1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3 dunia sebagai Negara yang
memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia. Berdasarkan data tahun 20062007 menurut Kepala Bagian Perencanaan Rekam Medik Rumah Sakit Kusta Sintanala,
Tangerang, tercatat 279 penderita pada tahun 2006 meningkat menjadi 296 orang sampai pada
tahun 2007. Penyakit infeksi ini masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti,
terbukti dengan adanya kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 20002007. Konsep diri klien kusta terbentuk dari penerimaan masyarakat terhadap penderita kusta.
Namun sampai saat ini sangat sedikit penelitian yang menggali masalah konsep diri panderita
cacat kusta. Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga
menimbulkan keresahan yang mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri, tetapi pada
keluarga, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita
terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih banyak menganggap bahwa
penyakit kusta merupakan penyakit menular, dan tidak dapat diobati.
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada klien
dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW13, kecamatan Neglasari, Tangerang. Tujuan
khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang pengetahuan,
persepsi konsep diri, sikap masyarakat terhadap penderita kusta yang berhubungan dengan
terjadinya Leprofobia. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Karangsari RW13, Kodya
Tangerang dengan menggunakan metode kualitatif, dimana pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara mendalam dan observasi. Informan kunci adalah klien cacat kusta tingkat II
sebanyak 5 orang dan informan terdiri dari petugas puskesmas Neglasari dan kelurahan
Karangsari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa konsep diri klien cacat kusta terjadi karena persepsi
masyarakat tentang kusta dan sikap masyarakat yang takut tertular ketika melihat kecacatan
yang ditimbulkan oleh penyakit kusta. Ditemukan juga bahwa sikap negatif terhadap kehadiran
penderita kusta adalah pernikahan dengan keluarga penderita kusta, namun dalam kegiatan sosial
seperti syukuran dan kegiatan agama umumnya menunjukan sikap positif dari masyarakat.
Umumnya informan memiliki konsep diri positif, mereka menerima kecacatannya dan mampu
mengungkapkan kepribadiannya melalui wawancara. Dengan demikian disarankan untuk
Melakukan promosi kesehatan dan upaya preventif secara terpadu melalui program pelatihan
khusus perawatan cacat kusta bagi petugas puskesmas dengan pemeriksaan kecacatan tingkat II
atau POD (Prevention Of dissability). Meningkatkan pengetahuan melalui penyuluhan serta
melibatkan penderita cacat kusta sebagai role model dalam pendidikan kesehatan. Sebaiknya
dibuat data surveilance untuk memudahkan puskesmas dalam menemukan kasus secara dini bagi
pasien terdaftar dan baru segera ditulis dalam sensus data pasien terdaftar dan baru karena dapat
mempermudah telaah dokumen. Serta penyuluhan imunisasi BCG. Lebih lanjut, pencegahan dan
perawatan cacat kusta secara dini oleh petugas kesehatan dan peran serta masyarakat merupakan
hal yang terpenting.
Daftar bacaan: 26 (1974-2008)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
NURSING PROGRAM STUDY
STATE ISLAMIC
JAKARTA
UNIVERSITY
(UIN)
OF
SYARIF
HIDAYATULLAH
Undergraduate Thesis, October 28th 2009
Rohmatika
SELF-IMAGE CONCEPTS TO CLIENTS WITH DISABILITIES OF LEPROSY
IN THE VILLAGE DISTRICT KARANGSARI, NEGLASARI RW 13,
TANGERANG 2009
xxi+136 pages, 4 tables, 6 picture, 12 appendixes
ABSTRACT
In Indonesia leprosy is a disease that can not completely resolve yet, one of the main
problems is the mistaken assumption that the community thinks of leprosy is a disease of
heredity and permanent disability. As a result of this erroneous assumption lepers feel desperate
and do not diligently seek treatment. Leprosy patients will experience some physical problems,
psychological, social and economic change so that the issue of health issues to social issues.
WHO report (1997) showed that Indonesia was on the order of the 3rd world as a country that
had the most leprosy patients after India and Brazil. Based on data from 2006-2007 according to
the Planning Section Chief Medical Record Sintanala Leprosy Hospital, Tangerang, 279 patients
were recording in 2006 increased to 296 people until the year 2007. This infectious disease is
still a public health problem which means, as evidenced by the trend of increased prevalence rate
of leprosy during the period 2000-2007. Self-concept is formed from leprosy client community
acceptance of people with leprosy. However, there is very little research that explores the
concept of sufferer self problem leprosy disability. Social impact of leprosy is so great, causing
deep anxiety. Not only the patient themselves, but on families, communities and countries. This
is the underlying concept of patient acceptance behavior of the disease, which for this condition
is still a lot of people think that leprosy is a contagious disease, and can not be treated.
The general objective of this research is to determine the concept of self-image of clients
with disabilities in leprosy in Karangsari RW13, Neglasari district, Tangerang. Specific
objectives of this research is to obtain in-depth information about the knowledge, perception of
self concept, attitudes toward leprosy patients associated with the occurrence Leprofobia. This
research was conducted in Karangsari RW13, Tangerang municipality using qualitative methods,
where data collection is done by in-depth interviews and observation. Key informants are
disabled leprosy client level II were 5 people and informants consisted of health workers and
Karangsari Neglasari village.
The results showed that the concept of self-leprosy disabled clients because the public
perception of leprosy and attitudes are afraid of contracting when he saw the disability caused by
leprosy. Also found that negative attitudes toward the presence of leprosy patients is the family
wedding with lepers, but in social activities such as Thanksgiving and religious activity generally
showed a positive attitude from the community. Generally informants have a positive selfconcept, they receive a disability and able to express her personality through interviews. Thus
advisable to conduct health promotion and preventive efforts in an integrated manner through a
special training program for the treatment of leprosy disability health officers with inspection
level II disability or POD (Prevention Of disability). Increased knowledge through counseling
and involve people with disabilities of leprosy as a role model in health education. Surveillance
data should be made to facilitate the clinic in early case finding for patients newly registered and
immediately recorded in the census data and newly registered patient as it can facilitate the study
of documents. BCG immunization and counseling. Furthermore, the prevention and treatment of
leprosy disabilities at an early stage by health workers and community participation is the most
important thing.
Reference : 26 (1974-2008)
SKRIPSI
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana
Keperawatan ( S.Kep )
Oleh
Rohmatika
NIM : 105104003482
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA 2009
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
GAMBARAN KONSEP DIRI PADA KLIEN DENGAN CACAT KUSTA DI
KELURAHAN KARANGSARI RW 13, KECAMATAN NEGLASARI, TANGERANG
TAHUN 2009
Telah disetujui dan diperiksa oleh pembimbing skripsi
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 26 Oktober 2009
Pembimbing I
Jamaludin, S.Kep, M.Kep
NIP. 150409469
Pembimbing II
Bambang P. Cadrana, SKM, M.KM
NIP. 19690205199403 1 003
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,
Nopember 2009
Penguji I
NIP.
Penguji II
NIP.
Penguji III
NIP.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Rohmatika
Tempat / tanggal lahir
: Serang, 5 februari 1987
Agama
: Islam
Alamat
: Jl.raya Serang-Pandeglang, kp. Warung, Ds. Panyirapan
Kecamatan Baros, Serang-Banten 42173
Telp
: (0254) 250 125
Riwayat pendidikan
: MI Nurul Huda Baros (1993-1999)
MTS Nurul Huda Baros (2000-2002)
MAN 2 Model Serang (2003-2005)
Program S1 Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2005-2009)
PERSEMBAHAN
Tentang Waktu
Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan.
Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahsia dari masa muda yang abadi.
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan.
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan.
Ambillah waktu untuk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang diberikan
Tuhan.
Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan.
Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah musik yang menggetarkan hati.
Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah membuat hidup terasa bererti.
Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan.
Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju syurga.
Harta yang paling menguntungkan ialah SABAR. Teman yang paling akrab adalah
AMAL. Pengawal peribadi yang paling waspada DIAM. Bahasa yang paling manis
SENYUM. Dan ibadah yang paling indah tentunya KHUSYUK.
Wanita yang cantik tanpa peribadi yang mulia ,umpama kaca mata yang bersinarbersinar, tetapi tidak melihat apa-apa
Jangan sekali-kali kita meremehkan sesuatu perbuatan baik walaupun hanya sekadar
senyuman.
Anda bukan apa yang anda fikirkan tentang anda, tetapi apa yang anda fikirkan itulah
anda
Hidup tak selalunya indah tapi yang indah itu tetap hidup dalam kenangan.
Hidup memerlukan pengorbananan. Pengorbanan memerlukan perjuangan. Perjuangan
memerlukan ketabahan.
Ketabahan memerlukan keyakinan. Keyakinan pula menentukan kejayaan. Kejayaan
pula akan menentukan kebahagiaan.
Kekayaan bukanlah satu dosa dan kecantikan bukanlah satu kesalahan.
Oleh itu jika anda memiliki kedua-duanya janganlah anda lupa pada Yang Maha
Berkuasa.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Inayah-Nya saya dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Gambaran Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat
Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009”.
Shalawat dan salam senantiasa kita junjungkan kehadirat Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Adapun skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Keperawatan (S.Kep).
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan demi kesempurnaan
skripsi ini. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak dan ibu saya yang selalu mendoakan dan memberi semangat dalam setiap
waktunya.
2. Terimakasih untuk bapak dekan FKIK Prof.DR.Dr.MK Tadjudin, Sp. And
3. Pak Bambang, yang dengan sabar membimbing, memotivasi dan memberi masukan
untuk proses pengerjaan skripsi ini.
4. Pak jamaludin, terimakasih telah bersedia membimbing dan memberikan masukan
untuk skripsi ini.
5. Terimakasihku yang tak terhingga untuk ibu Tien Gartinah dan seluruh dosen program
studi ilmu keperawatan yang telah mentransfer ilmunya dan membimbing kami dalam
segala hal.
6. Terimakasih buat ibu Sri Dian (Kasi kemasyarakatan kelurahan Karangsari), ibu Alin
(Surveilance TB, kusta Puskesmas Neglasari), ibu Sri dan pak RW 13 sebagai
pembimbing lapangan, yang telah bersedia memberikan data-data untuk kelancaran
penelitian.
7. Terimakasihku buat pak W, D, M, S, Su, yang telah memberikan waktunya untuk
wawancara demi kelancaran penelitian ini.
8. Adek saya satu-satunya Mubdi Hasan yang selalu memotivasi saya, semangat ya dek
lanjutkan sampai kuliah.
9. Terimakasih juga buat Edi yang telah meminjamkan buku dan memberikan semangat
dalam menyusun skripsi.
10. Teman-teman sekelasku PSIK angkatan 2005 yang kompak yang memberikan warna
warni kehidupan dan banyak memberi inspirasi.
11. Teman sekosanku yang baik dan care Neneng, Herna, Fauziah, Intan, Nisa, Ipa, Pipit,
Solehah, ka Hasni, Lita terimakasih sudah memberikan tumpangan ngprintnya, jaga
kebersamaan kita, I Love You Full…..
Demikian yang dapat penulis sampaikan, insya Allah skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis yang sedang menempuh skripsi dan dapat dijadikan pelajaran bagi adikadik kami selanjutnya.
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Maka bila kamu telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada
tuhanmulah hendaknya kamu berharap. (Q.S. Al Insyirah:6-7).”
Tim Penyusun
Rohmatika
DAFTAR ISI
ABSTRAK
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………….iii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………………………...viii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………….................ix
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………………………x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………………xii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang…………………………………………………………….1
1.2
Identifikasi masalah……………………………………………………….8
1.3
Perumusan masalah………………………………………………………..8
1.4
Tujuan dan manfaat penelitian…………………………………………….9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengertian konsep diri atau citra diri……………………………………..11
a. Dimensi-dimensi citra diri………………………………………..12
b. Peranan citra diri………………………………………………….13
2.2
Pembentukan konsep diri…………………………………………………14
2.3
Komponen konsep diri……………………………………………………20
1. Citra tubuh (Body image)…………………………………………20
2. Ideal diri (Self ideal)………………………………………………23
3. Harga diri (Self esteem)……………………………………….......24
4. Peran diri (Self role)………………………………………………27
5. Identitas diri (Self identity)……………………………………….30
2.4
Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri…………………………...31
2.5
Tindakan pada gangguan konsep diri……………………………………33
2.6
Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan……………………..34
2.7
Pengertian cacat tubuh…………………………………………………..38
a. Jenis-jenis cacat tubuh…………………………………………..39
b. Derajat kelainan fisik……………………………………………40
c. Cacat tubuh pada penderita kusta……………………………….41
d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta…………....43
2.8
Pengertian penyakit kusta……………………………………………….43
a. Jenis-jenis penyakit kusta……………………………………….44
b. Penyebab penyakit kusta………………………………………..45
c. Tanda dan gejala penyakit kusta………………………………..47
d. Pengobatan……………………………………………………..51
e. Pencegahan cacat kusta dan perawatannya……………………..59
f. Pelayanan rehabilitasi…………………………………………...61
2.9
Aspek sosial pada penyakit kusta………………………………………63
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1
Kerangka konsep………………………………………………………..64
3.2
Pertanyaan penelitian……………………………………………………65
3.3
Definisi istilah…………………………………………………………..66
BAB IV METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
4.1
Desain penelitian………………………………………………………68
4.2
Lokasi penelitian………………………………………………………68
4.3
Populasi……………………………………………………………….68
4.4
Sampel………………………………………………………………...69
4.5
Prosedur pengumpul data……………………………………………...71
4.6
Instrumen data………………………………………………………....72
4.7
Pengolahan dan analisis data…………………………………………..74
4.8
Validasi data……………………………………………………………74
4.9
Sarana penelitian……………………………………………………….75
4.10
Etika penelitian…………………………………………………………75
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran umum wilayah penelitian……………………………..76
5.2 Gambaran penederita penyakit kusta…………………………….76
5.3 Karakteristik sosio demografi informan………………………….77
5.4 Pengetahuan tentang penyakit kusta……………………………..78
5.5 Persepsi klien kusta tentang konsep diri…………………………89
5.6 Persepsi tentang bahaya kusta………………………………….119
5.7 Sikap masyarakat terhadap klien kusta…………………………119
5.8 Penyuluhan tentang kusta………………………………………123
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan penelitian……………………………………………………. 126
6.2 Pengetahuan tentang penyakit kusta………………………………………..126
6.3 Persepsi konsep diri klien kusta…………………………………………….127
6.4 Persepsi tentang bahaya kusta………………………………………………128
6.5 Sikap masyarakat terhadap kusta……………………………………………129
6.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada klien kusta……………129
6.7 Hasil observasi terhadap informan selama wawancara……………………...131
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan………………………………………………………………….134
7.2 Saran-saran…………………………………………………………………..136
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
1.1
Halaman
Jumlah penderita cacat kusta menurut tipe dan angka penemuan penderita
(NCDR) per 100.000 penduduk tahun 2000-2007 di kota Tangerang ……….3
2.1
Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya……………………58
4.1
Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria, dan tempat…………70
5.1
Frekuensi penderita cacat kusta di RW 13 kelurahan karangsari tahun 2009...77
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
1.1
Halaman
Grafik 1 : Prevalensi dan angka penemuan penderita baru di Indonesia tahun
2007……………………………………………………………………..2
1.2
Angka penemuan penderita baru (NCDR) di Idonesia tahun 2007……..2
1.3
Grafik 2 : Proporsi cacat tingkat II dan proporsi anak diantara kasus baru di
Indonesia tahun 2007……………………………………………………...3
2.1
Diagram 1 : Hirarki Maslow tentang kebutuhan…………………………32
2.2
Diagram 2 : Variabel dalam Health Belief Model (HBM)………………..62
3.1
Diagram 3 : Kerangka konsep…………………………………………….65
DAFTAR SINGKATAN
3M
: Melindungi mata, Melindungi tangan, Melindungi kaki
BB
: Borderline-Borderline
BL
: Borderline Lepromatous
BT
: Borderline Tuberkuloid
BTA
: Bakteri Tahan Asam
COT
: Completion Of Treatment
DADDS
: Diasetil-Diamino-Difenil-Sulfon
DDS
: Diamino Difenil Sulfon
DNA
: Deoxyribonucleic acid
Depkes RI
: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Dinkes
: Dinas Kesehatan
Ditjen
: Direktur Jendral
FK UI
: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
I
: Indeterminate
LL
: Lepromatous-Lepromatous
LI
: Lepromatosa Indefinite
M.Leprae
: Myobacterium Leprae
MB
: Multi Basiler
MDT
: Multi Drug Therapy
NCDR
: New Case Detection Rate
p
: Proporsi
PB
: Pauci Bacillary
PABA
: Para Amino Benzoic Acid
PPM & PL
: Pemberantasan Penyakit Menular dan Pengendalian Lingkungan
Puskesmas
: Pusat Kesehatan Masyarakat
r
: Rasio
RFT
: Release From Treatment
RFC
: Release From Control
RNA
: Ribonucleic acid
RW
: Rukun Warga
TEN
: Toksik Epidermal Nekrolisis
TI
: Tuberkuloid Indefinitif
TT
: Tuberkuloid-Tuberkuloid
SD
: Sekolah Dasar
SLTP
: Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTA
: Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
WHO
: World Health Organization
WM
: Wawancara Mendalam
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor lampiran
1. Lembar chek list
2. Pedoman wawancara mendalam informan petugas puskesmas
3. Pedoman wawancara mendalam informan petugas kelurahan Karangsari
4. Pedoman wawancara mendalam informan klien cacat kusta
5. Lembar persetujuan responden
6. Lampiran 6
7. Matriks pengetahuan informan tentang penyakit kusta
8. Matriks persepsi informan tentang penyakit kusta
9. Matriks persepsi konsep diri klien kusta, petugas puskesmas dan kelurahan
10. Matriks sikap masyarakat terhadap penderita kusta
11. Matriks penyuluhan penyakit kusta
12. Kesimpulan matriks
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi banyak terjadi di Negara berkembang yang mempunyai kondisi sosial
ekonomi rendah. Salah satu penyakit infeksi tersebut adalah penyakit kusta. Penyakit kusta pada
umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan
kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih
ditakuti masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan, pengertian, dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya. Laporan WHO (1997) menunjukan bahwa Indonesia berada pada urutan ke-3
dunia sebagai Negara yang memiliki penderita kusta terbanyak setelah India dan Brazilia, namun
pada tahun 2001 kondisi Indonesia dalam penanggulangan kusta sudah lebih baik, hal ini
ditunjukan dengan Indonesia menduduki peringkat ke-4 dunia setelah India, Brazilia, dan Nepal.
Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (sampai bulan desember 2001) telah
berhasil menunjukan angka kesakitan kusta sekitar 85 % yaitu dari 107,271 orang menjadi
17,137 orang (Kompas, 2003 dan Swaranet, 2003).
Berdasarkan data tahun 2006-2007 menurut Kepala Bagian Perencanaan Rekam Medik
Rumah Sakit Kusta Sintanala, Tangerang, tercatat 279 penderita pada tahun 2006 meningkat
menjadi 296 orang sampai pada tahun 2007(Koran Tempo, 26 Juni 2008). Indonesia telah
mencapai eliminasi penyakit kusta sejak bulan juni tahun 2000. Namun penyakit infeksi ini
masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang berarti, terbukti dengan adanya
kecenderungan peningkatan angka prevalensi kusta selama periode 2000-2007. Bahkan pada
tatanan global, Indonesia menjadi Negara penyumbang kusta terbesar setelah India dan Brasil.
Strategi global WHO menetapkan indikator eliminasi kusta yaitu angka penemuan
penderita (NCDR) yang menggantikan indicator utama sebelumnya yaitu angka penemuan
penderita terdaftar (prevalensi rate <1/10.000 penduduk). (Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008) Pada
tahun 2000 NCDR menampilkan tren yang meningkat. Namun sejak tahun 2005, NCDR turun
dari 0,9 menjadi 0,83 pada tahun 2006 kembali turun, pada tahun 2007 menjadi 0,78 per 10.000
penduduk. Jumlah penderita baru yang ditemukan sepanjang tahun 2007 sebesar 17.726 dengan
rincian Pausi Basiler (PB) sebanyak 3.643 penderita dan Multi Basiler (MB) sebanyak 14.083
penderita. Sedangkan prevalensi kusta menunjukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun
2000 prevalensi sebesar 0,86 per 10.000 penduduk menjadi 1,05 per 10.000 penduduk pada
tahun 2007. Berdasarkan distribusi per provinsi, prevalensi kusta tertinggi terdapat di provinsi
Papua Barat sebesar 9,69 diikuti oleh Maluku Utara sebesar 6,66 dan Papua sebesar 4,42 per
10.000 penduduk.
Dalam upaya penanggulangan penyakit kusta di Indonesia digunakan angka proporsi
cacat tingkat II (kecacatan yang dapat dilihat dengan mata) dan proporsi anak diantara kasus
baru, angka proporsi cacat tingkat II digunakan untuk menilai kinerja petugas dalam upaya
penemuan kasus. Angka proporsi cacat tingkat II yang tinggi mengindikasikan adanya
keterlambatan dalam penemuan penderita yang dapat diakibatkan oleh rendahnya kinerja petugas
dan rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai tanda-tanda dini penyakit kusta. Sedangkan
indikator proporsi anak diantara kasus baru mampu mempresentasikan penularan kusta yang
masih terjadi di masyrakat.
Pada tahun 2007 kecacatan tingkat II di Indonesia mencapai 8,8%. Angka ini masih
berada diatas indikator program sebesar 5%. Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan
presentasi kecacatan tingkat II tertinggi sebesar 19,3% yang diikuti oleh Riau sebesar 18,7% dan
Sumatera Utara sebesar 17,8%. Masih adanya penularan kusta pada masyrakat di Indonesia yang
yang tercermin oleh proporsi penderita berumur 0-14 tahun menunjukan angka 10,2%.
Presentase ini juga masih diatas indicator program sebesar 5%. Presentase tertinggi berada pada
provinsi Riau sebesar 40%. Diikuti oleh Maluku Utara sebesar 20% dan Papua Barat 16,3%.
Angka penemuan penderita baru, kecacatan dan proporsi pada umur 0-14 tahun menurut provinsi
di Indonesia tahun 2007 (Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008).
Menurut Ditjen PP-PL, Depkes RI, 2008 bagian Subdit Kusta bahwa pada tahun 2007 di
kota Tangerang provinsi Banten terdapat penderita cacat kusta tingkat II yang terdaftar dengan
tipe MB sebanyak 26 orang dari 1.412.539 penduduk dan penderita baru dengan tipe MB
sebanyak 15 orang dari 1.412.539 penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3%, antara usia 0-<15
tahun.
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2007, tentang status disabilitas penduduk provinsi
Banten yang berumur 15 tahun keatas tampak secara garis besar status disabilitas pada penduduk
di provinsi Banten sangat baik (>80%), meliputi kondisi penglihatan, pendengaran, emosi,
mobilitas dan kondisi kesehatannya. Di provinsi Banten rata-rata status disabilitas dengan
kriteria “sangat bermasalah” adalah sebesar 2,1% dan “bermasalah” 21,5%. (Riskesdas, 2007).
Prevalensi disabilitas “sangat bemasalah” tertinggi terdapat di kota Cilegon (2,8%), sedangkan
kota Tangerang dengan prevalensi disabilitas “sangat bermasalah” terendah. Prevalensi
disabilitas “bermasalah” tertinggi ditemukan di kabupaten Pandeglang (28,5%), sedangkan
prevalensi disabilitas “bermasalah” terendah adalah kota Serang.
Sementara itu berdasarkan umur tampak bahwa status disabilitas yang merupakan sangat
masalah presentasinya meningkat sesuai dengan pertambahan umur. Status disabilitas “sangat
masalah” dan menjadi “masalah” lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Sebaliknya presentasi “tidak masalah” pada laki-laki lebih tinggi. Status disabilitas di pedesaan
lebih tinggi dari pada di perkotaan.
Berdasarkan tingkat pendidikan, presentasi status disabilitas “sangat masalah” yang
paling tinggi tampak pada penduduk dengan pendidikan terendah kemudian menurun sesuai
dengan bertambahnya tingkat pendidikan. Berdasarkan pekerjaan, status disabilitas “sangat
masalah” persentase tertinggi tampak pada penduduk yang tidak bekerja, jenis pekerjaan lainnya,
dan ibu rumah tangga. Persentase tertinggi status disabilitas “sangat masalah” dirasakan oleh
penduduk dengan status ekonomi pada kuintil 1, yaitu rumah tangga dengan tingkat pengeluaran
perkapita terkecil, dan menurun dengan bertambah meningkatnya status ekonomi. (Riskesdas
Provinsi Banten, 2007)
Peneliti belum mendapatkan penelitian yang khusus meneliti tentang gambaran konsep
diri pada klien dengan cacat kusta. Adapun penelitian yang yang berkaitan dengan penyakit kusta
disampaikan oleh Tarusaraya dan Halim (1996) dengan judul penelitian kecacatan pasien kusta
di RSK Sitanala Tangerang. Hasil penelitian dari 1153 penderita kusta di unit rawat jalan RSK
Sitanala Tangerang selama bulan maret 1996 adalah sebagai berikut : pasien baru yang cacat
adalah 84 dari 113 orang (74,34 %), pasien lama yang cacat adalah 761 dari 1040 orang (73,17
%), laki-laki lebih banyak cacat 618 dari 809 orang (76,39 %) dan wanita 227 dari 344 orang
(65,99 %). Hasil yang didapatkan menurut klasifikasi cacat WHO (1988) adalah cacat mata:
tingkat 0 (95,32 %), tingkat I (3,56 %), tingkat II (1,12 %), cacat tangan: tingkat 0 (54,90 %),
tingkat I (12,58 %), tingkat II (32,53 %) dan cacat kaki: tingkat 0 (50,99 %), tingkat I (30,36 %),
tingkat II (18,65 %).
Selain itu juga berdasarkan abstrak penelitian yang disampaikan oleh Unarat (2000)
dengan judul Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra pada daerah pusat lepra lima Nakhon
Ratchasima di daerah pusat lepra lima provinsi Nakhon Ratchasima. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dari jumlah responden yang berjumlah 54 orang terdapat sekitar 98,18 %
pasien lepra mempunyai hal konsep diri positif dan 72,2 % tingkat mutu hidup lemah atau miskin
dalam hal hubungan sosial. Wawancara yang mendalam mengungkapkan tekanan pada pasien
akibat dari kelainan bentuk fisik akibat penyakit dan cacat diri pasien lepra akan mengakibatkan
kekurangan dalam berinteraksi sosial. Korelasi antara konsep diri dan mutu hidup kuat dan
positif yaitu dengan nilai r = 0,30 dan p = 0,028. Rehabilitasi mental dan pendidikan kesehatan
dapat mempromosikan mutu hidup.
Penelitian di Madura tahun 2001 menunjukan seorang penderita kusta sub klinik manifes
menjadi kusta baru pada tahun ke 4, latihan dapat memperbaiki fungsi anggota gerak yang
mengalami deformitas. Penelitian di Liponsos tahun 1977 mengungkapkan bahwa senam
pernafasan Satria Nusantara memperbaiki fungsi saraf perifer sehingga mengurangi hipoanestesi
dan titik luka. Di indonesia studi penderita kusta dengan kecacatan masih kurang. (Buletin
penelitian kesehatan, 2006)
Kusta di Indonesia merupakan suatu penyakit yang masih belum dapat diatasi secara
tuntas, salah satu kendalanya adalah masih adanya anggapan yang keliru dari masyarakat yang
menganggap penyakit kusta sebagai kutukan Tuhan, penyakit keturunan akibat guna-guna,
sangat menular, dan tidak dapat disembuhkan sehingga banyak penderita kusta tidak mau
melakukan pengobatan atau apabila sudah pernah berobat penderita kurang disiplin dalam
menjalani perawatan dan pengobatannya (Kompas, 2003).
Pasien kusta akan mengalami beberapa masalah baik secara fisik, psikologi, sosial, dan
ekonomi. Hal ini biasanya timbul akibat pasien kusta tidak ingin berobat dan terlambat berobat
sehingga menimbulkan cacat yang menetap dan mengerikan. Hal ini disebabkan karena biasanya
manifestasi klinis yang terlihat pada kulit pasien adalah bercak-bercak putih kemerahan,
benjolan-benjolan, hidung pelana, telinga memanjang, jari tangan dan jari kaki terputus, terdapat
luka-luka, dan adanya bekas amputasi, sehingga memberikan gambaran yang menakutkan,
manifestasi klinis tersebut akan menimbulkan perasaan malu, rendah diri, depresi, menyendiri,
atau menolak diri, serta masyarakat akan mengucilkan pasien kusta sehingga sulit mencari
pekerjaan akhirnya akan menimbulkan masalah psikologis, sosial, dan ekonomi.
Dampak sosial terhadap penyakit kusta ini sedemikian besarnya, sehingga
menimbulkan keresahan yang sangat mendalam. Tidak hanya pada penderita sendiri,
tetapi pada keluarganya, masyarakat dan negara. Hal ini yang mendasari konsep
perilaku penerimaan periderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini
penderita masih banyak menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit
menular, tidak dapat diobati, penyakit keturunan, kutukan Tuhan, najis dan
menyebabkan kecacatan. Akibat anggapan yang salah ini penderita kusta merasa
putus asa sehingga tidak tekun untuk berobat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
kenyataan bahwa penyakit kusta mempunyai kedudukan yang khusus diantara
penyakit-penyakit lain. Hal ini disebabkan oleh karena adanya leprophobia (rasa takut
yang berlebihan terhadap kusta). Leprophobia ini timbul karena pengertian penyebab
penyakit kusta yang salah dan cacat yang ditimbulkan sangat menakutkan. Dari sudut
pengalaman nilai budaya sehubungan dengan upaya pengendalian leprophobia yang
bermanifestasi sebagai rasa jijik dan tidak rasional. Terdapat kecenderungan bahwa
masalah kusta telah beralih dari masalah kesehatan ke masalah sosial. Leprophobia
masih tetap berurat akar dalam seleruh lapisan masyarakat karena dipengaruhi oleh
segi agama, sosial, budaya dan dihantui dengan kepercayaan takhyul. Fhobia kusta
tidak hanya ada di kalangan masyarakat jelata, tetapi tidak sedikit dokter-dokter yang
belum mempunyai pendidikan objektif terhadap penyakit kusta dan masih takut
terhadap penyakit kusta. Selama masyarakat kita menjauhkan penderita kusta, sudah
tentu hal ini akan merupakan hambatan terhadap usaha penanggulangan penyakit
kusta. Akibat adanya phobia ini, maka tidak mengherankan apabila penderita
diperlakukan secara tidak manusiawi di kalangan masyarakat.
Dengan kemajuan teknologi dibidang promotif, pencegahan, pengobatan serta
pemulihan kesehatan dibidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi
dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi
mengingat
kompleksnya
penanggulangan
secara
masalah
terpadu
penyakit
dan
kusta,
maka
diperlukan
menyeluruh
dalam
hal
program
pemberantasan,
rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan kemasyarakatan bagi pederita kusta.
Untuk
itu
Departemen
Kesehatan
Republik
Indonesia
membuat
Program
Pemberantasan Penyakit Menular yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit
kusta, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk
lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Pasien kusta yang tinggal di komplek Sitanala kelurahan Karangsari RW 13,
umumnya mereka adalah mantan penderita kusta yang pernah di rawat di Rumah Sakit
Kusta Sitanala Tangerang, mereka membentuk komunitas kusta yang dapat
menjalankan kegiatan sehari-hari walaupun dengan kondisi cacat akibat kusta. Melihat
kondisi tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Gambaran
Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13,
Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.”
1.2 IDENTIFIKASI MASALAH
1. Jelaskan gambaran karakteristik demografi pada klien dengan cacat kusta di kelurahan
Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang, meliputi: umur, pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan
2. Jelaskan gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
3. Jelaskan gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan
Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
4. Jelaskan gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta di kelurahan
Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
5. Jelaskan gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
6. Jelaskan gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
7. Jelaskan gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
1.3 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan Gambaran Konsep Diri
pada Klien dengan Cacat Kusta di Kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.
1.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
a. Tujuan
1. Tujuan Umum:
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada klien
dengan cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari,
Tangerang Tahun 2009.
2. Tujuan Khusus:
a) Mengidentifikasi gambaran karakteristik demografi pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang. Meliputi: umur,
pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan
b) Mengidentifikasi gambaran karakteristik gambar diri (Body Image) pada klien dengan
cacat kusta di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun
2009.
c) Mengidentifikasi gambaran karakteristik ideal diri pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
d) Mengidentifikasi gambaran karakteristik harga diri pada klien dengan cacat kusta di
kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
e) Mengidentifikasi gambaran karakteristik penampilan peran pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
f) Mengidentifikasi gambaran karakteristik identitas personal pada klien dengan cacat kusta
di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang Tahun 2009.
g) Mengidentifikasi gambaran aspek positif konsep diri yang dimiliki klien dengan cacat
kusta dikelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari Tangerang Tahun 2009.
b. Manfaat Penelitian
1) Untuk klien :
Penelitian ini dapat memberikan dorongan dan masukan kepada pasien kusta
untuk meningakatkan konsep diri dan mengatahui aspek positif yang dimilikinya
2) Untuk institusi :
Hasil penelitian yang dilakukan ini dapat memberikan gambaran konsep diri pada
pasien cacat kusta di dikelurahan Karang Sari RW 13, Neglasari Tanggerang.
3) Untuk peneliti :
Penelitian ini dapat memberikan pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk
melakukan penelitian lain pada masa yang akan datang.
4) Untuk penelitian akan datang :
Hasil penelitian dapat dijadikan data dasar dalam pengembangan penelitian lain
dengan ruang lingkup yang sama.
5) Untuk program
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Dinkes kota Tangerang dalam
upaya menanggulangi dan mengurangi masalah cacat kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian konsep diri atau citra diri
“Citra diri” berasal dari istilah self-concept, atau kadang-kadang disebut self-
iamage, menunjuk pada pandangan atau pengertian seseorang terhadap dirinya
sendiri. Pietrofesa dalam setiap tulisannya secara konsisten menerangkan bahwa citradiri meliputi semua nilai, sikap dan keyakinan terhadap diri seseorang dalam
berhubungan dengan lingkungan, dan merupakan paduan dari sejumlah persepsi diri
yang mempengaruhi dan bahkan menentukan persepsi dan tingkah laku. Pietrofesa,
dkk., secara singkat menulis,”the self-concept includes feeling about self-both physical
self and psychological self-in relation to the environment.” Atas tinjauan pelbagai
sumber lain, tampak para pakar sepakat bahwa citra diri itu berkenaan dengan
pandangan seseorang terhadap diri baik tentang fisik maupun psikisnya, dan
pandangan terhadap diri ini adalah unik sifatnya. Dengan kata lain ada kekhasan dari
orang ke orang dalam citra dirinya secara fisik dan citra dirinya secara psikologis, dan
hal demikian ini tidak lepas dari pandangan lingkungan terhadap diri seseorang.
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang
diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan
dengan orang lain (Stuart dan Sudeen, 2006). Hal ini temasuk persepsi individu akan
sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang
berkaitan dengan pengalaman dan objek,tujuan serta keinginannya. Sedangkan
menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah cara
individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal emosional intelektual, sosial dan
spiritual
Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (psikologi keperawatan,
2004). Beberapa hal yang perlu dipahami dalam konsep diri yaitu: dipelajari melalui
pengalaman dan interaksi individu dengan orang lain, berkembang secara bertahap,
diawali pada waktu bayi mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain,
positif ditandai dengan kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan, negativ
ditandai dengan hubungan induvidu dan hubungan social yang maladaptiv, merupakan
aspek kritikal dan dasar dari pembentukan perilaku idividu, berkembang dengan cepat
bersama-sama dengan perkembangan bicara, terbentuk karena peran keluarga
khususnya pada masa anak-anak yang mendasari dan membantu perkembangannya
a. Dimensi-dimensi citra diri
Dimensi pertama citra diri, yaitu diri sebagai dilihat oleh diri sendiri, dapat
diwujudkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan berikut: “saya baik hati”, “saya
agresif”.sudah barang tentu, perasaan dan keyakinan seperti itu mempunyai dampak
besar terhadap apa yang diperbuat individu. Seseorang yang underachieved (hasil
rendah dibanding kemampuan) di sekolah ataupun orang yang tidak cermat memilih
karier akan memandang diri sangat tidak adekuat dan beraksi secara tidak tepat dalam
bidang-bidang tersebut.
Dimensi kedua citra diri, yaitu diri sebagai dilihat oleh orang lain atau “beginilah
saya kira orang lain memandang saya,”seperti dalam ungkapan “kakak memandang
saya sebagai seorang yang percaya diri.” Setiap individu juga mengembangkan sikap-
sikap menuntut bagaimana orang lain memandang atau menganggap dirinya, lalu dia
cenderung berbuat sesuai dengan anggapan dan persepsi yang diterimanya.
Dimensi ketiga citra diri, yaitu diri-idaman, mengacu pada “tipe orang yang saya
kehendaki tentang diri saya.” Aspirasi-aspirasi, tujuan dan angan-angan semuanya
tercermin melalui diri idaman, ini agaknya terungkap dalam pertanyaan”saya
sepertinya akan menjadi orang kaya”. Diri idaman adalah perlu dalam penentuan citacita hidup, sudah tentu tujuan atau ideal yang terlalu jauh atau tidak mungkin
terjangkau merupakan citra diri yang tidak sehat.
Bagian yang lebih spesifik dari citra diri menurut Eisenberg dan Delaney berkenaan
dengan apa yang diketahui dan diyakini individu. Pandangan khusus seseorang
berkenaan dengan diri meliputi penilaian deskriptif mengenai kemampuan dan
keterbatasan, minat dan bukan minat, dan pola tingkah laku dominan. Ini mencakup
pandangan terhadap diri sekarang dan harapan serta anggapan bagi masa depan.
b. Peranan citra diri
Citra diri secara umum memberikan gambaran tentang siapa seseorang itu, ini
tidak hanya meliputi perasaan terhadap diri seseorang melainkan mencakup tatanan moral
dan sikap idea dan nilai-nilai yang mendorong orang bertindak atau sebaliknya tidak
bertindak. Oleh karena citra diri itu berebeda dari orang ke orang maka citra diri dapat
dianggap sebagai penunjuk pokok keunikan individu dalam bertingkah laku. Citra diri
sebagai system sikap pandang terhadap diri seseorang dan merupakan dasar bagi semua
tingkah laku, dijelaskan secara langsung oleh Ariety (1967) bahwa”the self-concept is
basic in all behavior.”bahwa citra diri juga menentukan tingkah laku untuk masa depan
seseorang terungkap dalam pernyataan Eisenberg dan Delaney.
Kaitannya dengan hubungan antar pribadi, Ariety menjelaskan lebih lanjut bahwa
perasaan, ide, pilihan-pilihan, tindakan manusia, mencapai perkembangan setinggitingginya dalam suasana hubungan sosial tetapi kuncinya terletak pada kedalaman
hubungan pribadi, jika hendak ditemukan bentuk-bentuk sehat mental dan sakit mental
dalam dialog antarpribadi yang baik maka yang terdapat dalam diri individu yang sudah
lama terbentuk itulah yang terpenting guna memulai dialog. Dalam uraian Ariety ini
terungkap kesan bahwa peranan khusus citra diri adalah menunjukan gambaran mental
individu yang sehat dan yang sakit dan dapat diketahui melalui dialog antarpribadi.
2.2 Pembentukan konsep diri
Konsep diri belum ada saat bayi dilahirkan, tetapi berkembang secara bertahap,
saat bayi dapat membedakan dirinya dari orang lain, mempunyai nama sendiri, pakaian
sendiri. Anak mulai dapat mempelajari dirinya, yang mana kaki, tangan, mata dan
sebagainya serta kemampuan berbahasa akan memperlancar proses tumbuh kembang
anak.
Konsep diri merupakan hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalaman
dengan tubuhnya sendiri. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap
individu, hubungan dengan orang lain dan interaksi dengan dunia diluar dirinya.
Konsep diri berkembang terus mulai dari bayi hingga usia tua. Pengalaman dalam
keluarga merupakan dasar pembentukan konsep diri karena keluarga dapat
memberikan perasaan mampu dan tidak mampu, perasaan diterima atau ditolak dan
dalam keluarga individu mempunyai kesempatan untuk mengidentifikasi dan meniru
perilaku orang lain yang diinginkannya serta merupakan pendorong yang kuat agar
individu mencapai tujuan yang sesuai atau pengharapan yang pantas. Dengan demikian
jelas bahwa kebudayaan dan sosialisasi mempengaruhi konsep diri dan perkembangan
kepribadian seseorang.
Seseorang dengan konsep diri positif dapat mengeksplorasi dunianya secara
terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri yang positif
berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada kemampuan pemahaman.
Karakter individu dengan konsep diri yang positif:
1. Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang bersahabat.
2. Mampu berfikir dan membuat keputusan
3. Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan
Konsep diri negativ dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang
maladaptiv. Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai stressor,
dengan adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri.
Dalam usaha mengatasi ketidakseimbangan tersebut individu menggunakan koping
yang bersifat membangun ataupun koping yang bersifat merusak. Koping yang
konstruktif akan menghasilkan respon yang adaptif yaitu aktualisasi diri dan konsep diri
yang positif.
Adapun faktor-faktor yang memepengaruhi pembentukan dan perkembangan
konsep diri seseorang, antara lain:
a. Usia
Konsep diri terbentuk seiring dengan bertambahnya usia dimana
perbedaan ini lebih banyak berhubungan dengan tugas-tugas perkembangan. Pada
masa kanak-kanak, konsep diri seseorang menyangkut hal-hal disekitar diri dan
keluarganya. Pada masa remaja, konsep diri sangat dipengaruhi oleh teman
sebaya dan orang yang dipujanya, sedangkan remaja dan kematangannya
terlambat yang diperlakukan seperti kanak-kanak merasa tidak dipahami sehingga
cenderung berperilaku kurang dapat menyesuaikan diri, sedangkan masa dewasa
konsep dirinya sangat dipengaruhi oleh status sosial dan pekerjaan dan pada usia
tua konsep dirinya lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan fisik, perubahan mental
maupun sosial (Febri, 1994:66)
b. Pendidikan
Seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi akan
meningkatkan prestasinya. Jika prestasinya meningkat maka konsep dirinya akan
berubah (Febri, 1994:66)
c. Status sosial ekonomi
Status sosial seseorang memengaruhi bagaimana penerimaan orang lain
terhadap dirinya. Penerimaan lingkungan dapat memengaruhi konsep diri
seseorang, penerimaan lingkungan terhadap seseorang cenderung didasarkan pada
status sosial ekonominya. Maka dapat dikatakan individu yang status sosialnya
tinggi akan mempunyai konsep diri yang lebih positif dibandingkan individu yang
status sosialnya rendah. Hal ini didukung oleh penelitian Rosenberg terhadap
anak-anak dari ekonomi sosial tinggi menunjukan bahwa mereka memiliki konsep
diri yang tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang berasal dari status ekonomi
rendah. Hasilnya adalah 51% anak dari ekonomi tinggi mempunyai konsep diri
yang tinggi, dan hanya 38% anak dari tingkat ekonomi rendah memiliki tingkat
konsep diri rendah (Pudjijogyanti, 1988:41)
d. Hubungan keluarga
Seseorang yang mempunyai hubungan yang erat dengan anggota
keluarganya akan mengidentifikasikan diri dengan orang lain dan ingin
mengembangkan pola kepribadian yang sama, bila tokoh ini sesama jenis maka
akan mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis seksnya
e. Orang lain
Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu,
bagaimana anda mengenal diri saya akan membentuk konsep diri saya, Sullivan
(dalam Rakhmat, 2005:101) menjelaskan bahwa individu diterima orang lain,
dihormati dan disenangi karena keadaan dirinya, individu akan cenderung
bersikap menghormati dan menerima dirinya. Sebaliknya bila orang lain selalu
meremehkan dirinya, menyalahkan, dan menolaknya ia akan cenderung tidak
menyenangi dirinya. Miyamoto dan Dornbusch (dalam Rakhmat, 2005:101)
mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan
skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik. Yang dinilai
adalah kecerdasan, kepercayaan diri, daya tarik fisik, dan kesukaan orang lain
terhadap dirinya. Dengan skala yang sama mereka juga menilai orang lain,
ternyata orang-orang yang dinilai baik oleh orang lain cenderung memberikan
skor yang tinggi juga dalam menilai dirinya. Artinya harga diri sesuai dengan
penilaian orang lain terhadap dirinya.
f. Kelompok rujukan (Reference group)
Yaitu kelompok yang secara emosional mengikat individu, dan berpengaruh
terhadap perkembangan konsep dirinya. Menurut Brooks dan Emmert (dalam
Rakhmat, 2005:105) cirri orang yang memiliki konsep diri negative ialah peka
terhadap kritik, responsive sekali terhadap pujian, mempunyai sikap hiperkritis,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak diperhatikan, dan
bersikap psimis terhadap kompetisi, sebaliknya orang yang memiliki konsep diri
positif ditandai dengan lima hal:
1. Kemampuan mengatasi masalah
2. Merasa setara dengan orang lain
3. Menerima pujian tanpa rasa malu
4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan
dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat
5. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspekaspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Hamachek (dalam Rakhmat, 2000:106) menyebutkan 11 karakteristik orang yang
mempunyai konsep diri positif:
1. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya.
Walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tapi ia juga merasa dirinya cukup
tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru
menujukan ia salah.
2. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihlebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya.
3. Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi
besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu
sekarang.
4. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia
menghadapi kegagalan atau kemunduran.
5. Merasa sama dengan orang lain sebagai manusia tidak tinggi atau rendah. Walaupun
terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang
lain terhadapnya.
6. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain,
paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya.
7. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa
merasa bersalah.
8. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
9. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan
keinginan dari perasaan marah, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang
mendalam sampai kepuasan yang mendalam juga.
10. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan,
permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu.
11. Peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama
sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang
lain.
Fitts juga mengemukakan (dalam Agustiani, 2006:134) bahwa konsep diri
seseorang dapat dipengaruhi oleh:
1. Pengalaman, terutama pengalaman interpersonal yang memunculkan perasaan positif dan
perasaan berharga.
2. Kompetensi, dalam area yang dihargai oleh individu dan orang lain
Aktualisasi diri merupakan respon adaptif yang tertinggi karena individu dapat
mengekspresikan kemampuan yang dimilikinya. Konsep diri yang positif adalah individu
dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara jujur dan dalam menilai
suatu masalah individu berfikir secara positif dan realistik. Apabila individu
menggunakan koping yang destruktif
ia akan mengalami kecemasan, sehingga
menimbulkan rasa bermusuhan yang dilanjutkan dengan individu menilai dirinya
rendah, tidak berguna, tidak berdaya, tidak berarti, takut dan mengakibatkan perasaan
bersalah. Rasa bersalah ini akan mengakibatkan kecemasan yang meningkat, proses
ini akan berlangsung terus menerus dan dapat menimbulkan respon yang maladaptiv
berupa kekacauan identitas, harga diri yang rendah, dan depersonalisasi.
2.3 Komponen konsep diri
diri
1. Gambaran diri atau citra tubuh (body image)
Gambaran diri adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik disadri atau tidak
disadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran dan bentuk, fungsi
dan penampilan serta potensi tubuh (Suliswati, 2005)
Factor-faktor predisposisi klien dengan gangguan citra tubuh antara lain:
kehilangan atau kerusakan bagian tubuh, perubahan ukuran, bentuk dan penampilan
tubuh (akibat pertumbuhan dan perkembangan atau penyakit), proses patologik
penyakit dan dampaknya terhadap struktur maupun fungsi tubuh, prosedur pengobatan
seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti,
munculnya stresor yang dapat menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor
tersebut dapat berupa :
1) Operasi.
mastektomi, amputsi ,luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri.
Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, dan lain –lain.
2) Kegagalan fungsi tubuh.
Seperti hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu tadak
mengkui atau asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi saraf.
3) Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh
Seperti sering terjadi pada klien gangguan jiwa , klien mempersiapkan
penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.
4) Tergantung pada mesin.
Seperti : klien intensif care yang memandang imobilisasi sebagai tantangan,
akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik yang enggan menggunakan
intensif care dipandang sebagai gangguan.
5) Perubahan tubuh
Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan
perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang
seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan
juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan tubuh yang tidak ideal.
6) Umpan balik interpersonal yang negatif
Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian
sehingga dapat membuat seseorang menarik diri.
7) Standar sosial budaya.
Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-beda pada setiap
orang dan keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut
menyebabkan pengaruh pada gambaran diri individu, seperti adanya perasaan
minder.
Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan
gejala, seperti :
1) Shock psikologis
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan
dapat terjadi pada saat pertama tindakan. Syok psikologis digunakan sebagai reaksi
terhadap ansietas. Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh
membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari,
menolak dan proyeksi. Untuk mempertahankan keseimbangan diri.
2) Menarik diri
Klien menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi karena
tidak mungkin maka klien lari atau menghindar secara emosional. Klien menjadi
pasif, tergantung , tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam
perawatannya.
3) Penerimaan atau pengakuan secara bertahap
Setelah klien sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka
muncul. Setelah fase ini klien mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri
yang baru.
Perubahan perilaku pada gangguan citra tubuh antara lain: menolak menyentuh
atau melihat bagian tubuh tertentu, menolak bercermin, tidak mau mendiskusikan
keterbatasan atau cacat tubuh, menolak usaha rehabilitasi, usaha pengobatan
mandiri yang tidak tepat, dan menyangkal cacat tubuh
Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran diri sebagai berikut:
a. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol pada usia remaja
b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin
sekunder (mamae, menstruasi, perubahan suara, pertumbuhan bulu), menjadi gambaran
diri.
c. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis
d. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh, akan memberi
rasa aman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan harga diri.
e. Individu yang stabil, realistik, dan konsisten terhadap gambaran dirinya, dapat
mendorong sukses dalam kehidupan.
Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi tubuhnya,
menerima stimulus orang lain. Persepsi dan pengalaman individu terhadap tubuhnya
dapat mengubah citra tubuh secara dinamis, persepsi orang lain di lingkungan klien
terhadap tubuh klien turut mempengaruhi penerimaan klien pada dirinya.
2. Ideal diri (self ideal)
Ideal diri adalah persepsi individu tentang perilakunya, disesuaikan dengan
standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, dan keinginan, tipe orang yang
diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai. Pembentukan ideal diri dimulai pada masa
anak-anak dipengaruhi oleh orang yang penting pada dirinya yang memberikan
harapan
atau
tuntutan
tertentu.
Seiring
dengan
berjalannya
waktu
individu
menginternalisasikan harapan tersebut dan akan membentuk dasar-dasar ideal diri.
Pada usia remaja, ideal diri akan membentuk melalui proses identifikasi pada orang tua,
guru, dan teman. Pada usia yang lebih tua dilakukan penyesuaian yang merefleksikan
berkurangnya kekuatan fisik dan perubahan peran serta tanggung jawab.
Individu cenderung menetapkan tujuan yang sesuai dengan kemampuannya,
kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas. Ideal diri harus cukup tinggi
supaya mendukung respek terhadap diri, tetapi tidak terlalu tinggi, terlalu menuntut,
samar-samar. Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu
mempertahankan kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat
bingung. Ideal diri penting untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan
mental.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi ideal diri sebagai berikut:
a. Menetapkan ideal diri sebatas kemampuan
b. Faktor kultur dibandingkan dengan standar orang lain
c. Hasrat melebihi orang lain
d. Hasrat untuk berhasil
e. Hasrat untuk memenuhi kebutuhan realistis
f. Hasrat untuk menghindari kegagalan
g. Adanya perasaan cemas dan rendah diri
3. Harga diri (self esteem)
Harga diri adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai dengan cara
menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal diri. Harga
diri dapat diperoleh melalui orang lain dan diri sendiri yaitu dicintai, dihormati dan
dihargai. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan,
sebaliknya individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami
kegagalan, tidak dicintai atau tidak diterima di lingkungannya.
Menurut
beberapa
ahli
dikemukakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
gangguan harga diri, seperti :
1) Perkembangan individu
Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua
menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal
mencintai dirinya dan akan gagal untuk mencintai orang lain. Pada saat anak
berkembang lebih besar, anak mengalami kurangnya
pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting
baginya. Ia merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri,
memutuskan sendiri akan bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang
tua yang terlalu mengatur dan mengontrol, membuat anak merasa tidak
berguna.
2) Ideal Diri tidak realistis
Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk
gagal dan berbuat kesalahan. Ia membuat standar yang tidak dapat dicapai,
seperti cita-cita yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan
tidak dapat dicapai membuat individu menghukum diri sendiri dan akhirnya
percaya diri akan hilang.
3) Gangguan fisik dan mental
Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri
4) Sistem keluarga yang tidak berfungsi
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun
harga diri anak dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan
berulang-ulang akan merusak harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu
jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak adekuat. Akhirnya anak
memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di lingkungannya.
5) Pengalaman traumatik yang berulang, misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual.
Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi,
peperangan, bencana alam, kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak
mampu mengontrol lingkungan. Respon atau strategi untuk menghadapi trauma
umumnya mengingkari trauma, mengubah arti trauma, respon yang biasa efektif
terganggu, akibatnya koping yang biasa berkembang adalah depresi dan denial
pada trauma.
Faktor predisposisi ganguan harga diri antara lain: penolakan dari orang lain,
kurang penghargaan, pola asuh yang salah yang terlalu dilarang, terlalu dikontrol,
terlalu dituruti, terlalu dituntut dan tidak konsisten, persaingan antar saudara,
kesalahan dan kegagalan yang berulang dan tidak mampu mencapai standar yang
ditentukan. Perubahan perilaku yang berhubungan dengan harga diri rendah antara
lain: mengkritik diri sendiri, merasa bersalah dan khawatir, merasa tidak mampu,
menunda keputusan, gangguan berhubungan, menarik diri dari realita, merusak diri,
membesar-besarkan diri sebagai orang penting, perasaan negative terhadap tubuh,
ketegangan peran, psimis menghadapi hidup, keluhan fisik, dan penyalahgunaan zat
Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri
akan meningkat sesuai meningkatnya usia. Untuk meningkatkan harga diri anak diberi
kesempatan untuk sukses, beri penguatan atau pujian bila sukses, tanamkan “ideal”
atau harapan jangan terlalu tinggi dan sesuaikan dengan budaya, berikan dorongan
untuk aspirasi atau cita-citanya dan membantu membentuk pertahanan diri untuk halhal yang menggangu persepsinya.
Harga diri sangat mengancam pada masa pubertas, karena pada saat ini harga
diri mengalami perubahan, karena banyak keputusan yang harus dibuat menyangkut
dirinya sendiri. Remaja dituntut untuk menentukan pilihan, posisi peran dan
memutuskan apakah mampu meraih sukses dari suatu bidang tertentu, apakah dapat
berpartisipasi atau diterima diberbagi macam aktivitas sosial. Pada usia dewasa harga
diri menjadi stabil dan memberikan gambaran yang jelas tentang dirinya dan cenderung
lebih mampu menerima keberadaan dirinya. Hal ini didapatkan dari pengalaman
menghadapi kekurangan diri dan meningkatkan kemampuan secara maksimal
kelebihan dirinya. Pada masa dewasa akhir timbul masalah harga diri karena adanya
tantangan baru sehubungan dengan ketidakmampuan fisik, berpisah dari anak, dan
kehilangan pasangan.
Adapun cara untuk meningkatkan harga diri adalah sebagai berikut:
a. Memberikan kesempatan untuk berhasil
b. Memberikan pengakuan dan pujian
c. Mananamkan gagasan yang dapat memotivasi kreativitas seseorang untuk berkembang
d. Mendorong aspirasi atau cita-citanya
e. Menanggapi pertanyaan dan pendapa tdengan cara member penjelasan yang sesuai
f. Memberikan dukungan untuk aspirasi yang positif sehingga seorang memandang dirinya
diterima dan bermakna
g. Membantu pembentukan koping.
4. Peran diri (self role)
Peran diri adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan oleh
masyarakat dihubungakan dengan fungsi individu di dalam kelompok sosialnya. Peran
memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk
menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Setiap orang disibukkan oleh
beberapa peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap waktu sepanjang daur kehidupan.
Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan
ideal diri.
Faktor predisposisi gangguan peran meliputi: transisi peran yang sering terjadi pada
proses perkembangan, perubahan situasi dan keadaan sehat-sakit, ketegangan peran ketika
individu menghadapi dua harapan yang bertentangan secara terus menerus yang tidak terpenuhi,
keraguan peran ketika individu kurang pengetahuannya harapan peran yang spesifik dan bingung
tentang tingkah laku peran yang sesuai dan peran yang terlau banyak
Konflik peran terjadi apabila peran yang diinginkan individu sedang diduduki individu
lain. Peran yang tidak jelas terjadi apabila individu diberikan peran yang tidak jelas, sesuai
perilaku yang diharapkan. Peran yang tidak sesuai terjadi apabila individu dalam proses
peralihan mengubah nilai dan sikap. Peran berlebih terjadi jika seorang individu memiliki
banyak peran dalam kehidupannya.
Menurut Stuart dan Sundeen (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri
individu terhadap peran, sebagai berikut:
a. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran
b. Tanggapan yang konsisten dari orang-orang yang berarti terhadap perannya
c. Kecocokan dan keseimbangan antar peran yang diembannya
d. Keselarasan norma budaya dan harapan individu terhadap perilaku
e. Pemisahan situasi yang akan menciptakan penampilan peran yang tidak sesuai
Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik
yang sifatnya menetap atau sementara karena situasional. Hal ini, biasanya disebut
dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa
bagian, seperti :
1) Transisi Perkembangan
Setiap perkembangan dapat
menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap
perkembangan harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang
berbeda-beda. Hal ini dapat merupakan stresor bagi konsep diri.
2) Transisi Situasi
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang
yang berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua
atau menjadi orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat
menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau pera
berlebihan
3) Transisi sehat sakit
Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan
berakibat diri dan berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat
mempengaruhi semua komponen konsep diri yaitu gambaran diri, identitas
diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat dicetuskan oleh faktor
psikologis, sosiologi atau fisiologi namun yang penting adalah persepsi klien
terhadap ancaman. (Salbiah. dunia psikologi, 2008).
5. Identitas diri (self identity)
Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat diperoleh individu
dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, individu menyadari bahwa dirinya
berbeda dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari semua aspek
konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian
tujuan, atribut atau jabatan dan peran. Seseorang yang mempunyai perasaan
identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain dan
tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada diri
sendiri), kemampuan dan penguasaan diri.
Perubahan perilaku yang berhubungan dengan kerancuan identitas antara lain:
tidak
melakukan
kode
moral,
kepribadian
yang
bertentangan,
hubungan
interpersonal yang eksploitatif, perasaan hampa, perasaan mengambang tentang
diri, kekacauan identitas seksual, ideal diri tidak realistis, tidak mampu berempati
terhadap orang lain.
Faktor predisposisi gangguan identitas diri meliputi: ketidakpercayaan terhadap
orang lain, tekanan dari teman sebaya, dan perubahan struktur sosial.
Identitas berkembang sejak masa anak-anak bersamaan dengan perkembangan
konsep diri. Dalam identitas diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri,
respek terhadap diri, mampu menguasai diri, mengatur diri dan menerima diri. Ciriciri individu yang mempunyai identitas diri positif antara lain:
a. Mengenal diri sebagai organisme yang utuh terpisah dari orang lain
b. Mengakui jenis kelamin sendiri
c. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan
d. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
e. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang, dan yang akan datang
f. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan
2.4 Teori faktor yang mempengaruhi konsep diri
Menurut Stuart dan Sundeen (2006) ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan,
Orang yang terpenting atau yang terdekat (Significant Other) dan persepsi diri sendiri
(Self Perception)
1. Pengaruh perkembangan
Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak
lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan
kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui
kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama
panggilan, pangalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area
tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan
merealisasi potensi yang nyata.
2. Orang yang terpenting atau terdekat (Significant Other)
Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain,
belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri
merupakan interprestasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi
orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya,
pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan
sosialisasi
3. Persepsi diri sendiri (Self Perception)
Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi
individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk
melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek
yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif
dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal,
kemampuan intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif
dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. (Salbiah. dunia psikologi,
2008).
Berdasarkan hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow ada 5 tingkatan
kebutuhan dasar manusia, yaitu :
Diagram 2.1
Hirarki kebetuhan dasar menurut Maslow
Hirarki Maslow tentang kebutuhan (Perry & Potter, 2005)
Teori Maslow yang berhubungan dengan konsep diri seseorang adalah
kebutuhan cinta dan rasa memiliki termasuk persahabatan, hubungan sosial.
Kebutuhan rasa berharga dan harga diri yang melibatkan percaya diri, merasa
berguna, penerimaan dan kepuasan diri. Kebutuhan aktualisasi diri yaitu pernyataan
dari penerimaan yang penuh potensi dan memiliki kemampuan untuk memecahkan
masalah dan mengatasinya dengan cara realistis dan berhubungan dengan situasi
hidup. (Perry & Potter, 2005).
2.5 Tindakan pada gangguan konep
konep diri
Fokus tindakan adalah pada tingkat penilaian kognitif terhadap kehidupan yang
terdiri dari persepsi, keyakinan, dan pendirian. Kesadaran klien akan emosi dan
perasaannya juga hal yang penting, setelah mengevaluasi hal kognitif dan kesadaran
perasaan, klien mulai menyadari masalah dan kemudian merubah perilaku, prinsip
asuhan keperawatan yang diberikan adalah pemecahan masalah yang terlihat dari
kemajuan klien yang meningkat dari satu tingkat ke tingkat berikutnya. Tindakan
keperawatan dibagi lima tingkat (Stuart dan Sundeen, 1991)
1. Memperluas kesadaran diri (ekspanded self-awareness)
2. Menyelidiki atau eksplorasi diri (self-eksploration)
3. Mengevaluasi diri (self-evaluation)
4. Perencanaan realistis (realistic planning)
5. Tanggung jawab bertindak (commitment to action)
2.6 Pengaruh self concept terhadap perilaku kesehatan
Self concept kita ditentukan oleh tingkat kepuasan diri kita sendiri, terutama
bagaimana kita ingin memperlihatkan diri kita kepada orang lain, apabila orang lain
melihat diri kita positif dan menerima apa yang kita lakukan kita akan meneruskan
perilaku kita. Tetapi apabila orang lain berpandangan negative terhadap perilaku kita
dalam jangka waktu yang lama, kita akan melakukan suatu perubahan perilaku. Oleh
karena itu secara tidak langsung self concept kita cenderung menetukan apakah kita
akan menerima keadaan diri kita seperti adanya atau berusaha untuk mengubahnya.
Self concept adalah faktor yang penting dalam kesehatan, karena mempengaruhi
perilaku masyarakat dan perilaku petugas kesehatan.
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan
praktis, dikembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku sebagai berikut:
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu sesorang terhadap
objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Secara
garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya
setelah mengamati sesuatu
b. Memahami (comprehension)
Memahami sesuatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar
menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar
tentang objek yang diketahuinya.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat
menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya pada situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu
masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah
sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut sudah bisa membedakan,
mengelompokkan, membuat diagram terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan
dalam suatu hubungan yang logis dari komponen pengetahuan yang dimiliki.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu objek tertentu
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang
sudah melibatkan pendapat atau emosi yang bersangkutan. Newcomb, salah seorang ahli
psikologi sosial menyatakan, bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk
bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Komponen pokok sikap
menurut Allport (1954) sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana
keyakinan dan pendapat seseorang terhadap objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana
penilaian orang tersebut terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak, artinya sikap adalah merupakan komponen yang
mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap mempunyai tingkatan berdasarkan
intensitasnya, sebagai berikut :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang
diberikan (objek)
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi disini adalah memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi
c. Menghargai (valuing)
Manghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus dalam arti membahasnya dengan orang lain dan
mengajak, mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons
d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa
yang telah diyakininya
3. Praktik (practice)
Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya,
yaitu:
a. Praktik terpimpin (guided response)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi tergantung pada
tuntutan.
b. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek telah melakukan sesuatu hal secara otomatis maka disebut tindakan
mekanis.
c. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tidakan yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan
tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja tetapi sudah dilakukan modifikasi
perilaku yang berkualitas. (Notoatmodjo, 2005).
2.7 Pengertian cacat tubuh
Ada tiga definisi cacat dari WHO (1980) yang perlu dketahui yaitu impairment,
disability, dan handicap.
Impairment: any loss or abnormality of psychological, physiological, or anatomical
structure or function.
Disability: any restriction or lack (resulting from an impairmet) of ability to perform an
activity in the manner or within the range considered normal for human
being.
Handicap: a disadvantage for a given individual, resulting from an impairment or a
disability, that limits or prevents the fulfillment of a role that is normal
(depending on age, sex, and social and culture factors) for that individual.”
(A Journal concerned with children, 1980:49-50)
impairment dapat berupa kehilangan atau rusaknya bagian tubuh, anggota tubuh
yang di amputasi, kelumpuhan yang disebabkan oleh polio, terbatasnya kapasitas paruparu, diabetes, keterbelakangan mental, bentuk muka yang tidak normal atau kondisi
abnormal lainnya.
Disability sebagai akibat dari impairment dapat menyebabkan seseorang
mengalami kesulitan dalam berjalan, melihat, berbicara, mendengar, membaca,
menulis, menghitung, mengangkat atau kesulitan dalam berhubungan dengan
sekitarnya.
Disability akan menjadi handicap bila mengganggu kemampuan seseorang untuk
melakukan hal-hal yang diharapkan dirinya dalam kehidupan. Orang yang mengalami
cacat fisik dapat menjadi handicap dalam hal interaksi sosialnya dengan orang lain,
menolong diri sendiri, mengkomunikasikan pikiran-pikiran dan perasaan mereka,
proses belajarnya baik didalam maupun diluar lingkungan dan dalam mengembangkan
aktivitas-aktivitas ekonominya yang mandiri.
Isherwood (1986:1) mendefinisikan cacat (disability) :”it is a weakness or filure of
some working part of the body or head.” Sehubungan dengan kelemahannya tersebut
maka menurut Isherwood seseorang penyandang cacat memerlukan usaha yang keras
untuk melakukan kegiatan penting yang kebanyakan orang dapat melakukannya
dengan mudah. Hal ini disebabkan karena tidak bekerjanya salah satu bagian dari
tubuh yang cacat.
Kessler (dalam Adi, 2003) menggunakan istilah physically handicapped atau
cacat tubuh, yang dimaksud dengan kecacatan adalah kerusakan bagian tubuh baik
tersembunyi atau terlihat yang menyebabkan keterbatasan tubuh individu untuk
bekerja, dan menimbulkan sikap negative dari lingkungan sosialnya. Cacat tubuh atau
cacat fisik menurut departemen kesehatan RI adalah orang yang menderita
kekurangan yang sifatnya menetap pada alat gerak (tulang, sendi, otot) sedemikian
rupa sehingga untuk keberhasilan pendidikan mereka perlu perlakuan khusus (Sumiati,
2000).
Cacat tubuh atau tunadaksa menurut Hallahan (dalam Dahlan, 1999) yaitu
seseorang yang mengalami kelainan atau kecacatan pada bentuk, fungsi, system otot,
tulang dan persendian, yang bersifat primer atau sekunder yang mengakibatkan
gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan
pribadi.
a. Jenis-jenis cacat tubuh
Di Indonesia dikenal ada dua jenis penderita cacat tubuh , yaitu yang biasa
disebut tunadaksa D dan tunadaksa D1 (Sumiati, 2000) :
1. Penderita tunadaksa D ialah orang yang menderita cacat polio atau lainnya, sehingga
mengalami tidak normalnya fungsi tulang, otot-otot atau kerjasama fungsi otot-otot. Pada
umumnya penderita ini mempunyai kemampuan kecerdasan yang normal.
2. Penderita tunadaksa D1 ialah orang yang menderita cacat akibat kerusakan otak karena
tidak berfungsinya otak, seperti penderita cerebral palsy yang mengakibatkan
kelumpuhan, kekakuan dan kurangya koordinasi motorik. Karena ada gangguan pada
otak, maka sebagian besar dari penderita ini mempunyai kemampuan kecerdasan yang
tidak normal (dibawah rata-rata atau terbelakang). Dalam sampel penelitian ini penulis
mengkhususkan pada penderita tunadaksa D.
b. Derajat kelainan fisik
Penderita tunadaksa D secara fisik dapat dibedakan antara lain:
1. Kelainan pada separuh badan: tangan kanan dan kaki kanan, atau tangan kiri dan
kaki kiri
2. Kelainan pada kedua buah tangannya
3. Kelainan pada kedua buah kakinya
4. Kelainan pada tangan kanan dan kaki kiri
5. Kelainan pada tangan kiri dan kaki kanan
6. Kelainan pada ketiga anggota badan (kedua tangan dan sebuah kaki, atau kedua
kaki dan sebuah tangan
Cacat tubuh atau tunadaksa dapat digolongkan menjadi beberapa macam, yaitu
(Dahlan, 1999) :
1. Menurut sebab cacatnya :
1) Cacat sejak lahir
2) Cacat disebabkan penyakit
3) Cacat disebabkan kecelakaan
4) Cacat disebabkan perang
2. Menurut jenis cacatnya :
1) Putus (amputasi tungkai dan lengan)
2) Cacat tulang sendi dan otot pada tungkai/lengan
3) Cacat tulang punggung
4) Cerebral palsy
5) Dan lain-lain termasuk pada cacat tubuh orthopedic
3. Menurut berat ringannya cacat :
1.) Cacat ringan adalah mereka yang dapat melakukan seluruh kegiatan hidup seharihari
2.) Cacat sedang adalah mereka yang dapat melakukan sebagian besar kegiatan hidup
sehari-hari
3.) Cacat berat adalah mereka yang tidak dapat melakukan sebagian besar atau
seluruh kegiatan sehari-hari
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penderita
cacat tubuh pada penelitian ini ialah penderita cacat tubuh yang disebabkan penyakit
kusta
c. Cacat tubuh pada penderita kusta
Yawalkar, 1988 dikutip dari Tarusuraya dan Halim, 1996 mengemukakan bahwa
klien kusta sering mengalami deformitas sebagai komplikasi yang berupa kecacatan
pada bagian-bagian tubuh klien, seperti:
1) Pada wajah berupa muka seperti topeng (mask face) kelopak mata tidak menutup
sempurna (lagopthalmus), alis mata tidak ada (madarosis), kulit wajah keriput seperti
orang tua (wrinkling/sagging face), pangkal hidung cekung (saddle hole), daun telinga
membesar (megalobule), ulkus kornea, kekerutan kornea, gangguan penglihatan atau
penurunan visus, fotofobia pada kasus iritis atau iridociclitis.
2) Pada tangan berupa jari-jari tangan kontraktur (claw hand), jari-jari tangan hilang
(mutilasi), jari-jari tangan memendek tetapi masih tampak sisa kuku (absorpsi), ibu jari
tidak dapat diluruskan (claw thumb), otot-otot di dorsum manus antara jari satu dan dua
terlihat kolong (athrophy web), gerakan dorsofleksi pergelangan tangan tidak ada (drop
hand), kekakuan pergelangan tangan sehingga tidak dapat digerakan (wrist drop).
3) Pada kaki berupa kaki tidak dapat dorsofleksi (foot drop), jari-jari kaki menekuk ke
bawah (claw toes), tampak luka pada kaki (ulkus plantaris), bentuk kaki pendek
(absorpsi), luka pada daerah tungkai bawah akibat vaskularisasi kurang (static ulcer)
WHO 1988 dikutip dari tarusuraya dan halim, 1996 mengemukakan tentang
klasifikasi kecacatan pada kusta adalah :
1. Tangan dan kaki
1) Tingkat 0 : tidak ada anestesi, tidak tampak deformitas dan kerusakan
2) Tingkat I : terdapat anestesi tetapi tidak tampak, Deformitas dan kerusakan
3) Tingkat II : tampak deformitas/kerusakan (adanya ulkus, absorpsi, disorganisasi,
kekakuan sendi dan mobilisasi
2. Mata
1) Tingkat 0 : tidak ada masalah dengan mata akibat kusta dan tidak ada kelainan
visus
2) Tingkat I : adanya problem mata akibat kusta tetapi visus tidak terlalu buruk,
masih lebih dari 6/60
3) Tingkat II : adanya problem mata akibat kusta dan visus kurang dari 6/60, tidak
dapat menghitung jari pemeriksa dari jarak enam meter.
d. Konsep diri pada penderita cacat tubuh akibat kusta
Menurut
Adler
(dalam
Suryabrata,
2001),
manusia
cenderung
untuk
mengimbangi kekurangan yang dimilikinya dengan sesuatu yang lebih (kompensasi).
Selanjutnya Adler (dalam Suryabrata, 2001) menemukan bahwa orang yang mempunyai
organ
yang
kurang
baik itu
berusaha mengkompensasikannya dengan jalan
memperkuat organ tersebut melalui latihan-latihan yang intensif. Hubungannya dengan
rasa rendah diri, Adler memperluas pendapatnya tentang rasa rendah diri itu
mencakup segala rasa kurang berharga yang timbul karena ketidakmampuan
psikologis atau sosial yang dirasa scara subjektif, ataupun karena keadaan jasmani
yang kurang sempurna (Suryabrata, 2001). Perasaan rendah diri yang timbul karena
perasaan
kurang
berharga
atau
kurang
mampu
bukanlah
suatu
pertanda
ketidaknormalan, melainkan justru sebagai pendorong bagi segala perbaikan dalam
kehidupan manusia.
2.8 Pengertian Penyakit kusta
Kusta (lepra atau Morbus Hensen) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh
infeksi Myobacterium Leprae(kapita selekta kedokteran UI, 2000). Penyakit kusta
adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang
menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya (Departemen Kesehatan, Dit.
Jen PPM & PL,2002).
a.
Jenis-jenis penyakit kusta
Ridley dan Joping (1960) dalam buku Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, tahun 2001 memperkenalkan istilah determina
spectrum pada penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:
1. TT: tuberkuloid polar, merupakan bentuk yang stabil tidak mungkin berubah
2. Ti: Tuberkoloid indefinitif, bentuk yang labil
3. Borderline tuberculoid, bentuk yang labil
4. BB: Mid borderline, bentuk yang labil
5. BL: Borderline lepromatous, bentuk yang labil
6. Li: Lepromatosa indefinite, bentuk yang labil
7. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, yang berarti campuran
antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri dari 50%
tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan
BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil,
yang dapat dengan bebas beralih tipe, baik kearah TT maupun LL. Tuberkuloid polar
(TT) terjadi pada penderita dengan resistensi tubuh cukup tinggi. Tipe TT adalah bentuk
yang stabil. Gambaran histopatologisnya menunjukan granuloma epiteloid dengan
banyak sel limfosit dan sel raksasa, zona epidermal yang bebas, erosi epidermis karena
gangguan pada saraf kulit yang sering disertai penebalan serabut saraf. Karena
resistensi tubuh cukup tinggi, maka infiltrasi kuman akan terbatas dan lesi yang muncul
terlokalisasi dibawah kulit dengan gejala:
1. Hipopigmentasi karena stratum basal yang mengandung pigmen rusak
2. Hipoanestesi karena ujung-ujung saraf rusak, adanya anhidrase karena kelenjar-kelenjar
keringat rusak, kadang rambut rontok karena kerusakan dipangkal rambut
3. Batas tegas karena kerusakan terbatas (Marwali Harahap, 1990).
Lepromatosa klasik (LL) terjadi pada penderita dengan imunitas tubuh lemah.
Tipe ini mudah dikenali pada penderita: lesi biasanya bilateral dengan jumlah yang
banyak, permukaan lesi halus, cerah kemerahan (eritematosus), menebal dan tersebar
hampir keseluruh tubuh, tidak anestetik, tidak anhidrotik (bentuk infiltrative), dapat
berbentuk macula yang difus juga noduler yang batasnya tidak jelas. Saraf jarang
terganggu, selaput lendir hidung sering terserang. Infiltrasi di cuping telinga dan wajah
menyebabkan garis wajah menjadi kasar sehingga wajah tampak seperti singa (leonine
face). Alis dan bulu mata sering lepas, terdapat perubahan anatomis pada hidung
(hidung pelana), kadang ditemukan pembesaran kelenjar limfe dan infiltrasi pada testis.
Menurut WHO kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler, multibasiler
berarti mengandung banyak basil, tipenya adalah BB, BL, dan LL. Pausibasiler (PB)
berarti mengandung sedikit basil, tipenya adalah TT, BT, I
b. Penyebab penyakit kusta
Penyebab penyakit kusta adalah Myobacterium Leprae yang merupakan bakteri
tahan asam, bersifat obligat intraseluler, yang ditemukan oleh G.A Hansen. Masa
membelah diri M. Leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
kuman lain yaitu 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun.
Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga tidak perlu ditakuti.
Kira-kira 5-15% dari semua penderita kusta dapat menularkan M. leprae, sebagian
besar 95% manusia kebal terhadap kusta hanya sebagian kecil yang dapat ditulari
(5%), dari sebagian kecil ini 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat
menjadi sakit kusta (Depkes RI, 2005). Hal ini bergantung pada faktor antara lain:
1. Patogenitas kuman penyabab
2. Cara penularan
3. Hygiene dan sanitasi
4. Varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Sumber penularan
7. Daya tahan tubuh
Sumber dan cara penularan penyakit kusta saat ini adalah manusia walaupun
kuman kusta dapat hidup pada hewan seperti Armadillo, Simpanse, dan telapak kaki
tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus. Penyakit kusta paling banyak terdapat di
daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembap, kemungkinan karena
perkembangbiakan bakteri sesuai dengan iklim tersebut. Disamping itu, faktor
kebersihan individu sangat berpengaruh terhadap penyakit.
Kusta bukan penyakit keturunan, kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut,
kelenjar keringat, dan air susu ibu. Jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung M. Leprae yang berasal dari saluran napas atas, tidak semua kuman kusta
dapat menularkan penyakit. Hal ini terkait dengan resistensi tubuh penderita kusta,
keteraturan pengobatan dan jenis obat yang dipakai, serta keutuhan kuman kusta (solid
basillus). Kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh melalui beberapa cara diantaranya
melalui kulit yang tidak utuh, saluran napas, atau saluran pencernaan. Setelah masuk
kedalam tubuh kuman menuju tempat predileksinya, yaitu sel Schwann pada saraf tepi,
didalam sel inilah kuman berkembangbiak. Sel tersebut pecah dan kemudian
menginfeksi sel Schwann yang lain atau ke kulit. Perkembangan penyakit kusta ini
bergantung pada kerentanan seseorang, respon tubuh setelah masa tunas bergantung
pada derajat system imunitas seluler (celluler mediated immune) pasien, jika system
imun seluler tinggi
penyakit berkembang kearah tipe tuberkuloid dan bila rendah
berkembang kearah tipe lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di daerah yang relative
lebih dingin yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
c.
Tanda dan gejala penyakit kusta
Manifestasi klinik penyakit kusta biasanya menunjukan gambaran yang jelas pada
stadium yang lanjut dan diagnosis cukup ditegakkan dengan pemeriksaan fisik saja.
Penderita kusta adalah seseorang yang menunjukan gejala klinis kusta dengan atau
tanpa pemeriksaan bakteriologik dan memerlukan pengobatan. Gejala dan keluhan
penyakit bergantung pada multiplikasi dan desiminasi kuman M. Leprae, respon imun
penderita terhadap kuman M. Leprae, komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan
saraf perifer. Ada tiga tanda pasti kusta yaitu:
1) Kulit dengan bercak putih kemerahan dengan mati rasa
2) Penebalan pada saraf tepi disertai kelainan fungsinya berupa mati rasa dan kelemahan
pada otot tangan, kaki, dan mata
3) Adanya kuman tahan asam pada pemeriksaan kerokan kulit BTA positif
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi
lima kelompok berdasarkan gambaran klinik, bakteriologik, histopatologik, dan
imunologik yaitu:
1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit maupun saraf, lesi kulit bias satu atau beberapa, dapat
berupa macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang mengalami regresi atau penyembuhan ditengah. Permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis, gejala ini
dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan
sedikit rasa gatal.
2. Tipe borderline tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa macula anestesi atau plak
yang sering disertai lesi satelit dipinggirnya, jumlah lesi satu atau beberapa, tepi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe
tuberkuloid, gangguan saraf tidak seberat pada tipe tuberkuloid dan biasanya
asimetrik, biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe borderline-borderline (BB)
Tipe BB merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua spectrum penyakit
kusta. Tipe ini disebut juga sebagai bentuk diformik dan jarang dijumpai. Lesi dapat
berbentuk macula infiltrate, permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi kurang jelas
dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung simetrik.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang
merupakan ciri khas tipe ini.
4.
Tipe borderline lepromatous (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan macula, awalnya hanya dalam jumlah sedikit,
kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Macula disini lebih jelas dan
lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil, papel dan nodus lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian
tengah, lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir didalam infiltrate
lebih jelas dibanding pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out.
Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya
keringat, dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe
lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi di
kulit.
5. Tipe lepromatous-lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,
berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada
stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga, sedangkan di badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi
kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan
keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai
pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atropi testis.
Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.
Bila penyakit ini menjadi progresif, macula dan papula baru muncul, sedangkan
lesi yang lama menjadi plak dan nodul. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan
pengecilan otot pada tangan dan kaki. Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak
termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling tetapi diterima secara luas oleh para
ahli kusta adalah tipe indeterminate (I), tipe ini ditandai dengan jumlah lesi sedikit,
asimetrik, macula hipopigmentasi dengan sisik yang sedikit, kulit sekitar normal,
lokalisasi biasanya dibagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadangkadang dapat ditemukan bentuk macula hipestesi atau sedikit penebalan saraf.
Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan bila dengan pemeriksaan histopatologik
didapatkan basil atau terdapat infiltrat di sekitar saraf. Pada 20-80% kasus penderita
kusta didapatkan tipe ini merupakan tanda pertama dan sebagian besar akan sembuh
spontan.
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:
1. Mata: iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
2. Tulang rawan: epistaksis, hidung pelana
3. Tulang dan sendi: absorbsi, mutilasi arthritis
4. Lidah: ulkus, nodus
5. Laring: suara parau
6. Testis: epididimitis akut, orkitis, atrofi
7. Kelenjar limfe: limfadenitis
8. Rambut: alopesia, madarosis
9. Ginjal: glomerulonefritis, amiloidosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial
Tempat predileksi lesi kulit yaitu di bagian tubuh yang relative
lebih dingin
misalnya muka, hidung (mukosa), telinga anggota tubuh dan bagian tubuh yang
terbuka. Predileksi kerusakan saraf tepi karena Myobacterium Leprae lebih sering
menyerang saraf tepi yang terletak di superfisial yang suhunya relative lebih dingin.
Saraf tepi yang diserang dengan berbagai kelainannya yaitu:
1. Nervus auricularis magnus
2. Nervus ulnaris: anestesi dan paresis atau paralisis otot tangan jari V dan sebagian jari IV
3. Nervus peroneus komunis: kaki semper (drop foot)
4. Nervus medianus: anestesi dan paresisn atau paralisis otot tangan jari I, II, III dan
sebagian jari IV. Kerusakan Nervus Ulnaris dan Nervus Medianus menyebabkan jari
tangan keriting (claw finger), tangan cakar (claw hand)
5. Nervus radialis: tangan lunglai (drop wrist)
6. Nervus tibialis posterior: mati rasa telapak kaki, jari kaki keriting (claw toes)
7. Nervus facialis: lagoftalmus, mulut mencong
8. Nervus trigeminus: anestesi kornea
d. Pengobatan
Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan
rantai penularan untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita serta mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai
sekarang strategi pokok yang dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita, yang tampaknya masih tetap diperlukan walaupun nanti vaksin
kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan adanya resistensi terhadap depson
baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO memperkenalkan pengobatan
kombinasi yang terdiri dari paling tidak dua obat antikusta yang efektif. Sayangnya
anjuran ini tidak diikuti di lapangan dengan beberapa alasan. Oleh karena itu, pada
tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy of
Leprosy secara resmi
mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT (Multi Drug
Therapy).
Seajak januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO
Expert Committee Meeting di Geneva (oktober 1981), yaitu dengan pengobatan
kombinasi DDS, Lampren dan Rifampisin.
A. Obat-obat antikusta
1. Sulfon
a. Dapson (4,4’-diamino difenil sulfon, DDS).
Hal-hal yang penting mengenai dapson adalah sebagai berikut:
1) Merupakan dasar terapi untuk kusta
2) Bersifat bakteriostatik, terapi cara kerjanya tidak diketahui. Dosis 100
mg bersifat bakterisidal lemah. Merupakan suatu inhibitor kompetitif
PABA dan berhubungan dengan metabolisme asam folat tetapi
sensitivitas M. Leprae yang unik terhadap depson menimbulkan
perkiraan adanya mekanisme lain yang terlibat.
3) Aman, mudah didapat dan harganya murah
4) Efek samping depson sebagai berikut: dapat timbul anemia, obat harus
dihentikan bila hitung total sel darah merah kurang dari 3,5 juta /mm3.
Jarang timbul anemia setelah terapi 4 bulan, dapat terjadi sianosis,
gangguan gastrointestinal yang rendah dan hepatitis yang ditandai oleh
anoreksia dan vomitus. Dalam hal ini obat dapat dihentikan sementara,
psikotik merupakan komplikasi yang serius tetapi jarang ditandai oleh
insomnia, mudah terangsang dan irritable. Dalam hal ini obat perlu
dihentikan, keterlibatan ginjal ditandai dengan albuminuria, erupsi
kulit bervariasi dari ras morbiliformis sampai pemfigoid berat, fixed
drug eruption, dermatitis eksfoliativa, eritema multiforme, toksik
epidermal nekrolisis (TEN).
b. DADDS (diasetil-diamino-difenil-sulfon)
Merupakan depot sulfon, penggunaan intramuscular 225 mg dapat aktif
sampai lebih dari 2 bulan. Dapat digunakan di lapangan, titer plasma dengan
suntikan lebih rendah daripada dapson oral dan terapi yang lama dapat
menimbulkan resistensi, karenanya obat ini tidak boleh digunakan sebagai
obat tunggal. Sebagai tambahan untuk terapi oral, diberikan satu injeksi tiap
8-10 minggu. DADDS sering digunakan oleh leprolog Amerika Latin,
terutama pada penderita yang diragukan kepatuhannya dalam meminum obat.
Profilaksis DADDS ini efektif bila disupervisi dengan baik.
2. Rifampisin
Hal-hal yang penting mengenai rifampisin: suatu derivate semisintetik
produk fermentasi Streptomyces mediterranei, kerjanya melalui inhibisi
sintesis RNA bakteri, merupakan antikusta yang paling potensi menurunkan
indeks morfologi pada kusta lepromatosa menjadi 0 dalam 5 minggu bersifat
bakterisidal, dosis tungggal rifampisin 600 mg akan membunuh 99,9 % M.
Leprae dalam beberapa hari sehingga penderita menjadi tidak infeksius lagi,
rifampisin harus diminum sebelum makan, umumnya obat dapat ditoleransi
dengan baik, berbagai kasus resisten telah dilaporkan karenanya obat ini tidak
boleh diberikan secara tunggal, tidak direkomendasikan pada kehamilan
trisemester I, hambatan bagi negara-negara berkembang adalah harganya
mahal. Efek samping terdiri dari: hematuria, erupsi kulit umumnya berupa
papula-papula eritematosa dan kadang-kadang sindrom Steven Johnson,
pusing lemah, gangguan gastrointestinal, pruritus, flu like syndrome, gagal
ginjal, nafas pendek, syok, dan purpura
3. Klofazimin (B663, Lampren)
Bahan aktif adalah turunan zat warna iminofenazin, kerjanya melalui
interaksi dengan DNA mikobakteria, bersifat bakteriostatik dan bakterisidal
lemah, sifat antikustanya mirip dengan dapson tetapi sedikit lebih lambat,
menghambat pertumbuhan dan menekan efek bakteri yang perlahan pada M.
Leprae dengan berikatan pada DNA bakteri, harus diminum pada waktu
makan atau dengan segelas susu, penting bagi penderita dengan resistensi
terhadap dapson. Efek samping terdiri dari: terjadi diskolorisasi yang
reversible dari ungu sampai coklat kehitaman pada kulit, efek ini berhubungan
dengan dosis , pigmen pada lesi kusta berwarna keabu-abuan sampai hitam,
nyeri abdominal, mual, diare, dapat dikurangi dengan minum obat saat makan,
kekeringan kulit, fisura terutama pada tulang kering, dapat dikontrol dengan
minyak, dapat menyebabkan eksaserbasi pada permulaan terapi.
4. Protionamide dan Etionamide
Keduanya mempunyai efek bakterisidal, efek keduanya hamper sama dan
dapat dipertukarkan, resistensi silang sering terjadi, digunakan bila klofazimin
tidak dapat diberikan, dosis etionamide 250-500 mg/hari, protionamide 250375/hari. Efek samping terdiri dari: hepatitis 40%, tetapi protionamide lebih
kurang toksik diantara kedua obat tersebut, intoleransi terhadap obat ini tinggi
pada orang-orang Asia terutama pada orang Cina, oleh karena dapat
menyebabkan hepatotoksik terutama bila dikombinasi dengan rifampisin,
WHO Expert Committee on Leprosy merekomendasikan bahwa kedua obat
tersebut sebaiknya tidak dipakai sebagai komponen MDT di lapangan kecuali
terpaksa.
B. Prinsip MDT (Multi Drug Therapy = pengobatan kombinasi)
Manajemen penyakit kusta yang tepat memerlukan pengetahuan tentang tujuan terapi,
sifat-sifat obat yang digunakan dan perjalanan alamiah penyakit. Yang penting,
diperlukan kesabaran dan pengertian akan keadaan psikologik penderita. Regimen
rekomendasi MDT adalah suatu kompromi antara ide teori dan suksesnya tujuan pada
kondisi lapangan di negara miskin.
1. Keuntungan MDT
a. Mencegah resistensi obat
b. Mengobati penderita dengan resistensi terhadap dapson
c. Menghapus keperluan mengidentifikasi sensitivitas terhadap M. Leprae sebelum
terapi
d. Mengubah konsep diri terapi jangka panjang yang hanya mencegah perluasan
penyakit ke terapi jangka pendek yang menyembuhkan penyakit
e. Meningkatkan ketaatan berobat dari 50% ke 95%
f. Mencegah deformitas secara lebih efisien
g. Menurunkan jumlah kasus-kasus setiap tahunnya
h. Cepat membuat penderita menjadi tidak infeksius
i.
Mengurangi biaya jangka panjang pada program control kusta
2. Regimen MDT-Standar WHO
Regimen MDT pausibasiler yang diobati dengan regimen ini adalah penderita
yang termasuk dalam klasifikasi TT, BT menurut Ridley Jopling atau I dan T menurut
klasifikasi Madrid yang bakterioskopik negative sedang apabila bakterioskopik positif
digolongkan ke dalam multibasiler
Setelah pengobatan dihentikan (Release From Treatment/RFT atau Completion Of
Treatment/COT), penderita masuk dalam masa pengamatan yaitu penderita dikontrol
secara klinik dan bakterioskopik minimal sekali setahun selama 5 tahun untuk
penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik sekali setahun selama 2 tahun
untuk penderita kusta pausibasiler. Bila selama masa tersebut tidak ada keaktifan,
maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release From Control/RFC)
C. Obat-obat baru
Dalam 5 tahun terakhir terdapat perkembangan obat-obat antikusta yang baru.
Obat-obat ini termasuk 4 fluoroquinolones tertentu, minocycline, clarithromycin.
Percobaan klinis pada penderita kusta lepromatos telah dilakukan dan ditegaskan bahwa
obat-obat baru ini sangat efektif baik secara klinik maupun mikrobiologik. Penggunaan
obat-obat baru (ofloxacin, pefloxacin, siprofloxacin, minocycline dan claritromycine)
harus digunakan dengan hati-hati dan tidak boleh digunakan sebagai monoterapi. Dalam
waktu dekat obat-obat ini mungkin dapat terbukti penting pada terapi penderita yang
intoleran terhadap satu atau lebih obat dari regimen MDT standard atau pada mereka
yang terbukti resisten terutama terhadap rifampisin atau karena penyakit lain yang
bersamaan timbul yang menghalangi pengguanaan obat.
D. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
Pada pengobatan MDT (WHO) selama 2 tahun untuk penderita kusta tipe
multibasiler (terutama BL/LL), telah dilaporkan beberapa masalah sehubungan dengan
adanya persistensi, angka relaps yang agak tinggi, dan sisa-sisa basil lepra yang mati.
Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah tersebut mungkin disebabkan oleh tidak
adanya atau kurangnya system imunitas seluler yang efektif. Oleh karena itu telah dicoba
untuk mengembangkan imunoterapi bersama MDT. Dalam salah satu hasil penelitian
tersebut, dilaporkan oleh Katoch et al bahwa jika dibandingkan dengan pengobatan MDT
saja, pengobatan kombinasi MDT dan BCG intradermal atau MDT dan suntikan
mikobakterium yang cepat tumbuh, yaitu Myobacterium intradermal menunjukan bahwa
pengobatan tersebut dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita, tidak meningkatkan
terjadinya reaksi serta membantu mempercepat terbunuhnya basil yang hidup dan
membersihkan basil yang mati dari penderita kusta tipe BL/LL yang sebelumnya tidak
pernah diobati.
Tabel 2.1
2.1
Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya
penanganannya
Efek samping
Nama obat
Penanganan
Ringan :
a) Air
seni
berwarna Rifampisin
Reassurance
(menenangkan
merah
penderita
dengan penjelasan yang
benar)
b) Perubahan
warna
Konseling
kulit menjadi coklat
Clofazimin
c) Masalah
Obat
gastrointestinal
diminum
dengan
Semua obat (3 obat dalam
d) Anemia
bersama
makanan
atau
setelah makan
MDT)
Berikan
tablet
Fe
dan
asam folat
Serius :
Dapson
a) Ruam kulit yang gatal
b) Alergi, urtikaria
Hentikan dapson, rujuk
c) Ikterus (kuning)
Dapson
d) Shock, purpura, gagal
ginjal
Hentikan keduanya, rujuk
Hentikan rifampisin, rujuk
Dapson atau rifampisin
Rifampisin
Rifampisin
Hentikan rifampisin, rujuk
e. Pencegahan cacat kusta dan perawatannya
Borok yang besar dan hilangnya tangan serta kaki secara perlahan-lahan yang
begitu sering terlihat pada penderita lepra, sebenarnya bukan disebabkan oleh
penyakit lepra sendiri dan hal ini dapat dicegah. Cacat ini melindungi tubuhnya
terhadap luka, karena daya rasanya telah hilang. Misalnya jika seseorang yang sehat
dengan daya tahan tubuhnya yang normal, berjalan jauh sehingga kedua belah kakinya
mulai melepuh, maka lepuhan ini menimbulkan sakit sehingga ia berhenti berjalan atau
berdiam diri. Perbuatannya ini melindungi kakinya terhadap kerusakan yang lebih
parah. Akan tetapi, pada penderita lepra yang tidak merasakan sakit, ia akan terus
berjalan sehingga lepuhan tersebut menjadi luka yang terbuka, luka ini akan mengalami
peradangan dan tidak terasa sakit, penderita tidak melindunginya atau tidak
memberikan kesempatan bagi kesembuhan lukanya. Akibatnya, infeksi secara
perlahan-lahan menjalar ke tulang dan mulai menghancurkan tulang. Terjadilah cacat
yang khas. Namun cacat ini dapat dicegah dengan:
1) Melindungi tangan dan kaki dari benda-benda yang dapat menimbulkan luka tajam, luka
memar, lepuh dan luka bakar : jangan berjalan tanpa alas sepatu atau alas kaki terutama
di tempat yang penuh kerikil atau duri, kenakan sepatu atau sandal, taruh bantalan yang
lunak di dalam sepatu dan di bawah tali sandal yang dapat menimbulkan gesekan. Jika
anda bekerja dengan menggunakan tangan atau memasak, gunakanlah sarung tangan,
jangan sekali-kali mengangkat panic atau barang-barang lain yang panas tanpa pertamatama melindungi tangan anda dengan sarung tangan yang tebal atau dengan lipatan kain,
hindarkan pekerjaan yang menggunakan benda-benda tajam atau panas, jangan merokok
2) Pada malam hari (atau lebih sering lagi jika anda bekerja keras atau berjalan jauh),
periksalah tangan dan kaki anda dengan cermat atau suruh orang lain memeriksanya.
Tindakan ini harus dilakukan setiap hari, carilah luka-luka karena terpotong, luka karena
duri, luka memar juga periksalah daerah pada lengan dan kaki yang kemerahan, panas,
bengkak, atau memperlihatkan tanda-tanda melepuh. Jika anda menemukan gejala
tersebut, istirahatkan tangan dan kaki anda sampai kulitnya benar-benar pulih kembali,
dengan cara ini kulit akan menebal (kapalan) dan menjadi lebih kuat, tidak terjadi lepuh
serta luka terbuka. Luka-luka pada penderita lepra dapat dicegah.
3) Jika anda menderita borok yang terbuka atau akan menjadi borok jagalah agar bagian
tersebut selalu bersih dan istirahatkan sampai boroknya benat-benar telah sembuh
kembali. Kemudian, berhati-hatilah agar tidak terjadi luka lagi pada daerah tersebut.
Penderita yang mempunyai risiko mendapat cacat adalah :
a. Penderita yang terlambat ditemukan dan diobati dengan MDT
b. Penderita dengan reaksi terutama reaksi reversal
c. Penderita dengan banyak bercak di kulit yang terletak dekat saraf
Pencegahan cacat sebenarnya sudah dimulai sejak dari penemuan dini penderita,
dengan komponen kegiatan berikut : penemuan dini penderita sebelum cacat,
mengobati penderita dengan MDT sampai RFT, deteksi dini adanya reaksi kusta dengan
pemeriksaan fungsi saraf secara rutin, menangani reaksi, penyuluhan, perawatan diri,
menggunakan alat bantu untuk mencegah bertambahnya kecacatan yang terlanjur
diderita, dan rehabilitasi medis. Dengan dilakukannya diagnosis dan penanganan
penyakit kusta . secara dini kecacatan dapat diegah sehingga tidak menimbulkan cacat
tubuh yang tampak menyeramkan dan cacat tidak kambuh lagi. (FK-UI, 2003). Pada
penderita yang telah mengalami kecacatan tetap dilakukan tindakan perawatan diri
dengan
tujuan
agar
cacatnya
tidak
bertambah
berat.
Prinsip
pencegahan
bertambahnya cacat pada dasarnya adalah 3M, yaitu melindungi mata, tangan, dan kaki
dari trauma fisik, memerikasa mata, tangan, dan kaki secara teratur, dan melakukan
perawatan diri. Pada beberapa daerah telah terbentuk adanya kelompok perawatan diri
dimana petugas kusta memperagakan tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan
membantu penderita untuk dapat melakukannya sendiri. (Depkes RI, 2005)
f. Pelayanan rehabilitasi
Pelayanan rehabilitasi diberikan dalam bentuk alat bantu bagi para penderita
dengan tujuan untuk mencegah kecacatan lebih parah dan memudahkan penderita
yang cacat dalam melakukan aktivitasnya. Selain itu penderita kusta yang sudah cacat
juga diberikan latihan fisioterapi untuk dapat mengembalikan fungsi gerak bagian tubuh
yang cacat (Depkes RI, 2005), kelangsungan terapi dan rehabilitasi tidak tergantung di
tangan petugas kesehatan saja, tetapi juga pada penderita itu sendiri, keluarga dan
lingkungannya, selain rehabilitasi fisik juga diperlukan rehabilitasi mental penderita
kusta sehingga penderita berperan aktif dalam pengobatan secara teratur dana dapat
menyelesaikan program pengobatan secara tuntas (FK-UI, 2003).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Ranjit Kumar dan Abraham Verghase
mengenai stress dan depresi dikalangan penderita kusta di Haragiri India, dalam
Rentanilawati Sibagariang (2007) menyimpulkan bahwa:
1. Citra tubuh pada penderita kusta dengan cacat lebih terganggu daripada penderita kusta
tanpa cacat
2. Derajat depresi pada penderita kusta dengan cacat lebih besar dibandingkan tanpa cacat
3. Penderita yang semakin terganggu citranya akan semakin tinggi derajat depresinya.
Berdasarkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive
health behaviour), Becker (1974) mengembangkan teori tersebut menjadi model
kepercayaan kesehatan (health belief model). Model ini diilustrasikan seperti diagram
berikut:
Gambar 2.2
2.2
Variabel dalam health belief model
Variabel demografis (umur,
jenis kelamin, bangsa,
kelompok etnis)
Variabel sosial psikologis
(kepribadian, kelas social,
tekanan kelompok)
Variabel struktur
Persepsi terhadap
manfaat
pencegahan
Kurang
Persepsi tentang
kerentanan
terhadap penyakit
Persepsi
Persepsi
terhadap
ancaman
dari
penyakit
Kemungkinan
mengambil
tindakan
pencegahan
Isarat untuk
bertindak
(kampanye media
massa, dorongan
dari orang lain)
Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974
Dalam model ini dijelaskan apabila individu bertindak untuk mencegah penyakit,
ada empat variabel kunci yang terlibat didalam tindakan tersebut yaitu persepsi
terhadap kerentanan yang dirasakan terhadap suatu penyakit, persepsi terhadap
keseriusan
yang dirasakan dari penyakit, persepsi manfaat yang dirasakan dan
hambatan yang dirasakan dalam merubah perilaku, dan isyarat untuk bertindak.
2.9 Aspek sosial pada penyakit kusta
Dari segala jenis penyakit di dunia ini, tidak ada satu pun yang mengungguli penyakit
kusta dalam hal aspek sosialnya. Dampak sosial akibat penyakit kusta sedemikian besarnya,
sehingga menimbulkan keresahan yang sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri,
tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan negara. Beberapa akibat yang dialami oleh penderita
kusta karena anggapan masyarakat yang takut akan penularan kusta sehingga diperlakukan tidak
manusiawi antara lain:
a. Ditolak atau ditinggalkan oleh keluarganya
b. Dipaksa bersembunyi
c. Dikucilkan atau dipasung oleh keluarganya
d. Dibuang secara paksa
e. Dikejar-kejar atau diusir dari desa
f. Dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerjanya
g. Ditolak bekerja dalam suatu lingkukngan pekerjaan dengan berbagai macam alasan
h. Sukar menjual barang-barang dagangan atau hasil produksi mereka
i.
Mendapat perlakuan kasar, bahkan kadang-kadang dihina
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraikan diatas dan teori-teori yang
menentukan terbentuknya konsep diri penderita cacat kusta serta faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan konsep diri seseorang yaitu : usia,
pendidikan, status social ekonomi, hubungan keluarga, orang lain, dan kelompok
rujukan (reference group). Dan hirarki kebutuhan dasar manusia menurut Maslow (teori
kebutuhan) yaitu kebutuhan cinta dan rasa memiliki, kebutuhan penghargaan dan
harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri. Untuk itu peneliti mengembangkan teoriteori tersebut kedalam kerangka konsep sebagai berikut :
Gambar 3.1
kerangka konsep
Karakteristik : umur,
pendidikan, pekerjaan,
pendapatan
Pengetahuan sikap,
dan persepsi tentang
konsep diri
Persepsi
tentang
kerentanan
penyakit
Persepsi tentang
konsep diri klien
dengan cacat
kusta
Persepsi
terhadap
Perlakuan
petugas
kelurahan dan
petugas
Persepsi
terhadap
manfaat
pencegahan
dikurang
persepsi
Gambaran
konsep diri
pada
penyandang
cacat kusta
Sumber : Becker, Health Belief Model and Personal Health Behaviour, 1974.
3.2 Pertanyaan
Pertanyaan penelitian
Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana konsep diri pada klien dengan cacat
kusta di kelurahan Karangsari RW 13, kecamatan Neglasari, Tangerang?
3.3 Definisi istilah
Definisi istilah kerangka konsep diatas adalah sebagai berikut :
1. Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan). Seseorang
yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi
kedewasaannya, hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwanya (Hurlock, 1998 dalam
Nursalam 2001)
2. Pendidikan merupakan sebuah proses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. (Meliono, irmayanti, 2007)
3. Pekerjaan merupakan cara mencari nafkah bukan sumber dari segala keuangan (Erich
dalam Nursalam, 2001)
4. Pendapatan merupakan nilai maksimum yang dapat dikonsumsi oleh seseorang dalam
suatu periode dengan mengharapkan keadaan yang sama pada akhir periode seperti
keadaan semula. (Rustam, 2002)
5. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek
melalui indera yang dimilikinya seperti : mata, hidung, telinga, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2005)
6. Sikap adalah pendapat, kecenderungan, kesiapan atau kesediaan yang mempengaruhi
tingkah laku (Ahmadi, 2002)
7. Persepsi tentang kerentanan penyakit adalah apa yang dirasakan tentang mudahnya
terkena (tertular) penyakit.
8. Persepsi terhadap keseriusan penyakit adalah apa yang dirasakan terhadap keseriusan
atau kegawatan penyakit.
9. Persepsi tentang konsep diri klien dengan cacat kusta adalah persepsi individu akan sifat
dan kemampuannya dalam berinteraksi dengan orang lain, nilai yang berkaitan dengan
pengalaman, tujuan serta keinginannya.
10. Persepsi terhadap manfaat dan hambatan pencegahan adalah pertimbangan tentang
manfaat dan hambatan dalam mengambil suatu tindakan pencegahan.
11. Perlakuan petugas kelurahan adalah perlakuan atau tindakan yang dilakukan petugas
kelurahan dalam mengenali sifat dan konsep diri klien dalam melayani masyarakatnya.
12. Perlakuan petugas kesehatan adalah perlakuan atau tindakan petugas kesehatan dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan pada penderita cacat kusta.
13. Gambaran konsep diri pada penderita cacat kusta adalah gamabaran yang menjelaskan
semua hasil dari aktivitas pengeksplorasian dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri
yang berkaitan dengan konsep diri (Suliswati, 2005)
BAB IV
METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN
4.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
dengan desain penelitian yang
digunakan adalah deskriptif sederhana (Dempsey, 2002) yaitu menggambarkan apa
yang ada sekarang atau untuk menyebutkan pertanyaan riset yang didasarkan pada
status keadaan sekarang dan menghasilkan data kualitatif yang berupaya untuk
memperoleh informasi yang mendalam tentang pengetahuan, kepercayaan, persepsi
dan sikap penderita cacat kusta tentang konsep diri. Pengumpulan data primer
dilakukan dengan telaah dokumen dan wawancara mendalam.
4.2 Lokasi penelitian
Sebelum melaksanakan penelitian yang sebenarnya, peneliti akan melakukan uji
coba wawancara mendalam terhadap dua orang informan di Padarincang, Serang pada
bulan juni tahun 2009. Dan penelitian yang sebenarnya akan dilaksanakan di kota
Tangerang, provinsi Banten, kecamatan Neglasari, desa Karangsari RW 13 yang
memiliki kriteria : jumlah penderita cacat kusta terbanyak dan penemuan penderita
secara aktif lebih banyak daripada penemuan penderita secara pasif.
4.3 Populasi
Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan
diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang
dimiliki subjek atau objek tersebut (Aziz alimul hidayat, 2003). Adapun karakteristik populasi
dalam penelitian ini adalah klien dengan cacat kusta tingkat II, tipe MB dan PB, usia 40 tahun
keatas, di kelurahan Karangsari RW 13, Kecamatan Neglasari, Tangerang.
4.4 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah informan yang dipilih dengan cara ditetapkan
secara langsung (purposive sampling technique) yaitu cara pengambilan sampel untuk
tujuan tertentu. Pemilihan sampel penelitian berdasarkan atas prinsip kesesuaian dan
kecukupan. Kesesuaian artinya sampel dipilih berdasarkan pengetahuan yang dimiliki
yang berkaitan dengan penyakit kusta, dan kecukupan artinya sampel dipilih dengan
berbagai variasi kategori yang terkait dengan penelitian seperti umur, pendidikan,
pendapatan dan pekerjaan. Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka ditetapkan 2
kelompok informan, yaitu :
1. Kelompok informan kunci (informan yang mengetahui banyak tentang konsep diri
cacat kusta) yang berjumlah 5 orang klien yang cacat kusta.
2. Kelompok informan pendukung yang berjumlah 2 orang terdiri dari 1 orang petugas
puskesmas dan 1 orang petugas kelurahan.
Pada tabel berikut dapat dilihat sumber informasi, metode, jumlah informan,
kriteria pemilihan informan, dan tempat pengumpulan data
Tabel 4.1
4.1
Sumber informasi, metode, jumlah informan, kriteria dan tempat
Sumber
Metode
Jumlah
Kriteria
Tempat WM
Pengelola
Puskesmas
informasi
Informan
pendukung :
1. Petugas
WM
1
puskesma
program
s
kusta Neglasari
di puskesmas
Pengelola
2. Petugas
WM
1
Kasi
kemasyarakatan
kelurahan
Kantor
kelurahan
Karangsari
Karang
Sari
Informan kunci:
Klien
dengan
cacat kusta
WM
5
Klien
dengan Kantor RW 13
cacat
kusta(dalam
tahap
pengobatan dan
RFT)
Karangsari
4.5 Prosedur pengumpul data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan lues. Metode dan teknik
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam disesuaikan dengan
masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti (Poerwandari, 1998).
1. Pengumpul data
Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan juni 2009, pengumpulan data dilakukan oleh
peneliti sendiri dengan metode wawancara mendalam dan observasi. Sebelum melakukan
pengumpulan data dilakukan pertemuan untuk membekali dan mendiskusikan tujuan
penelitian, menyamakan persepsi tentang pedoman wawancara mendalam, rancangan
penelitian, metode kualitatif dan materi tentang penyakit kusta.
2. Tahap pengumpulan data
1) Tahap persiapan pengumpulan data
Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti mengurus ijin penelitian ke pihakpihak terkait, selanjutnya akan mengadakan pertemuan dengan informan kunci dan
informan pendukung untuk menjelaskan tujuan penelitian, kriteria, jumlah informan
yang dipilih, dan menyesuaikan jadwal.
2) Tahap pelaksanaan pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan secara bertahap yaitu : Pertama, akan dilakukan uji coba
pedoman wawancara mendalam, dari hasil uji coba dilakukan beberapa perbaikan
untuk menyempurnakan pedoman wawancara dalam hal : bahasa yang digunakan,
tingkat pemahaman informan terhadap pertanyaan, pendalaman dan penggalian
terhadap isi pertanyaan. Kedua, akan melakukan wawancara dan telaah dokumen
monitoring pengobatan kombinasi (MDT) di puskesmas untuk menentukan informan
penderita kusta yang cacat baik dalam tahap pengobatan maupun lepas pengobatan
yang akan di wawancarai. Ketiga, melakukan wawancara mendalam dengan petugas
kelurahan bagian Kasi kemasyarakatan. Keempat melakukan wawancara mendalam
dengan klien cacat kusta, disediakan tempat tersendiri dalam proses wawancara untuk
menghindari petugas dan warga lain yang ingin menyaksikan proses wawancara
tersebut.
4.6 Instrumen data
1) Observasi
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah lembar observasi yang dibuat dalam
bentuk catatan lapangan yang berfungsi untuk mencatat hal-hal penting yang relevan
dengan permasalahan penelitian yang tidak didapatkan dalam wawancara. Catatan ini
berisi kondisi fisik subjek, penampilan subjek, sikap subjek selama proses wawancara
berlangsung, ekspresi verbal dan non verbal, hambatan yang muncul dan kejadiankejadian penting yang mungkin terjadi selama wawancara berlangsung. Proses observasi
ini dilakukan peneliti bersamaan dengan wawancara yang sudah direncanakan.
2) Wawancara
Wawancara mendalam merupakan salah satu instrumen yang digunakan peneliti dalam
melakukan teknik pengumpulan data kualitatif, wawancara dilakukan oleh
peneliti
dengan informan kunci dan informan pendukung. Kerangka pedoman wawancara yang
digunakan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek yang mempengaruhi peningkatan dan
perkembangan konsep diri yang terdiri dari :
1. Citra tubuh
a. Fokus individu terhadap fisik lebih menonjol
b. Bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin
sekunder
c. Cara individu memandang diri berdampak penting terhadap aspek psikologis
d. Gambaran yang realistik terhadap menerima dan menyukai bagian tubuh
2. Citra diri
a. Cita-cita
b. Harapan,
c. Tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai
3. Harga diri
a. Kemampuan kognitif
b. Penerimaan sosial
c. Kemampuan fisik
d. Nilai diri secara global
4. Penampilan peran
a. Penerimaan individu dalam kelompok sosial
b. Peran serta individu dalam masyarakat
5. Identitas diri
a. Mengakui jenis kelamin sendiri
b. Memandang berbagai aspek dalam dirinya sebagai suatu keselarasan
c. Menilai diri sendiri sesuai dengan penilaian masyarakat
d. Mempunyai tujuan hidup yang bernilai dan dapat direalisasikan.
4.7 Pengolahan dan analisis data
Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan tahap berikut : mengumpulkan
semua data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara mendalam dalam bentuk
catatan dan dilengkapi dengan informasi yang diperoleh dari rekaman kaset, data yang sudah
dikumpulkan segera dianalisis, tidak menunggu sampai semua pengumpulan data selesai.
Terlebih dahulu dibuat transkripnya. Untuk memudahkan pengkategorian data, selanjutnya
melakukan kategorisasi data yaitu mengelompokkan data dengan memberikan tanda pada
data yang memiliki karakteristik atau pola yang sama. Hasil pengkategorian kemudian dibuat
dalam bentuk matrik atau diagram. Proses pengolahan data akan menggunakan program EZText untuk membantu proses analisis data, analisis data yang digunakan adalah analisis isi
atau content analysis.
4.8 validasi data
Untuk mendapatkan data yang valid dilakukan triangulasi. Pada penelitian ini
akan dilakukan triangulasi sumber dan metode. Triangulasi sumber yaitu melakukan
cross check data yang diperoleh dari beberapa sumber informasi (informan). Dan
triangulasi metode yaitu penelitian dilakukan dengan menggunakan wawancara
mendalam. Untuk uji validitas, peneliti melakukan wawancara mendalam dengan
informan yang memiliki kriteria sama namun di tempat yang berbeda. (Sudarti
Kresno, 1999)
4.9 Sarana penelitian
Sarana yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat-alat tulis, lembar observasi dan
tape recorder untuk pedoman wawancara. Selain itu juga diperlukan surat ijin penelitian.
4.10
Etika penelitian
Penelitian yang dilakukan telah mendapat ijin dari ketua RW 13 kelurahan Karang Sari,
Neglasari, Tangerang melalui surat pengantar dari kepala Dinkes kota Tangerang. Sebelum
melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan pendekatan terhadap informan berupa
wawancara sesuai dengan kriteria dan aspek pedoman wawancara, peneliti menjelaskan hakhak klien dalam penelitian meliputi : tujuan penelitian, manfaat penelitian, jaminan
kerahasiaan informan, dan terbebas dari bahaya seperti rasa nyeri, peneliti selanjutnya
meminta kerelaan informan penelitian untuk menandatangani lembar informed consent
sebagai bukti kesediaan informan. Kerahasiaan data dan informasi informan dijamin
sepenuhnya oleh peneliti. Semua berkas yang mencantumkan identitas informan dan tempat
penelitian hanya untuk pengolahan data. Data akan disimpan dalam lemari terkunci dan
dijaga kerahasiaannya.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran umum wilayah penelitian
Kelurahan Karangsari merupakan salah satu dari 7 kelurahan yang berada di
kecamatan Neglasari kota Tangerang, yang memiliki luas wilayah 240,81 Hektar terdiri
dari 15 RW dan 52 RT dengan jumlah penduduk sebanyak 19.726 jiwa terdiri dari lakilaki 10.729 jiwa dan perempuan 9.447 jiwa, meliputi laki-laki 10.040 jiwa dan
perempuan 9.330 jiwa artinya terdapat kenaikan sebesar 356 jiwa atau 1,84%. Batas
wilayah kelurahan Karangsari adalah sebelah utara berbatasan dengan kelurahan
Karangsari, sebelah selatan dengan sungai Cisadane, sebelah timur dengan kelurahan
Karanganyar, sebelah barat dengan kelurahan Mekarsari. Di karangsari RW 13
merupakan komunitas kusta terbanyak jumlah penderitanya yang biasa disebut kampung
pengemis, mereka tinggal di area komplek Sitanala, dengan jumlah penduduk antara lain:
yatim piatu sebanyak 31 orang, jompo 149 orang, Ex kusta 985 orang dan pra-KS 127
orang.
5.2 Gambaran penderita penyakit kusta
Pada tahun 2007 di kota Tangerang provinsi Banten terdapat penderita cacat kusta tingkat
II yang terdaftar dengan tipe MB sebanyak 26 orang dari 1.412.539 penduduk dan penderita baru
dengan tipe MB sebanyak 15 orang dari 1.412.539 penduduk, cacat tingkat II sebanyak 13,3%,
antara usia 0-<15 tahun. Di kelurahan Karangsari RW 13 terdapat penderita cacat kusta tingkat II
sebanyak 443 orang yang tersebar di 5 RT. Distribusi dan jumlah penderita cacat kusta menurut
RW 13 di wilayah kelurahan Karangsari pada tahun 2009, sedangkan jumlah penderita cacat
kusta paling banyak adalah di RT 05.
RT
Jumlah penderita cacat kusta
01
103 orang
02
68 orang
03
55 orang
04
105 orang
05
112 orang
(Data PMKS wilayah kelurahan karangsari tahun 2008)
5.3 Karakteristik sosio demografi informan
Dalam penelitian ini, seluruh informan berjumlah 7 orang yang terdiri dari 5 orang
cacat kusta yang sedang pengobatan dan RFT (informan kunci), 1 orang petugas
puskesmas Neglasari, dan 1 orang petugas kelurahan Karangsari (informan pendukung).
5.3.1 Umur
Umur informan kunci berkisar antara 40-60 tahun dengan rata-rata umur 50 tahun.
Sedangkan umur informan di kalangan petugas puskesmas berkisar antara 25-46
tahun, dengan rata-rata berumur 35 tahun. Dan umur dikalangan petugas kelurahan
berkisar antara 40-50 tahun, dengan rata-rata umur 40 tahun.
5.3.2 Pendidikan
Sebagian besar informan kunci berpendidikan SD dan selebihnya berpendidikan
SLTA, pendidikan dikalangan petugas puskesmas lebih tinggi yaitu D3 keperawatan
dan S1 kesehatan masyarakat. Dan pendidikan dikalangan petugas kelurahan lebih
tinggi yaitu S1 sosial.
5.3.3 Pekerjaan
Pekerjaan informan kunci (klien cacat kusta) sebagian besar adalah tukang sapu,
tukang parkiran, dagang, buruh, pengemis, dan tukang becak. Sedangkan pekerjaan
petugas puskesmas adalah sebagai petugas kusta, TB dan surveilans di puskesmas.
Petugas kulurahan bekerja di bagian Kasi Kemasyarakatan.
5.3.4 Pendapatan
Pada umumnya pendapatan informan kunci (klien cacat kusta) sebagian besar ratarata dibawah 500.000/bulan, sedangkan dikalangan petugas puskesmas dan kelurahan
rata-rata pendapatan diatas 1 juta/bulan.
5.4 Pengetahuan tentang penyakit kusta
5.4.1 Pengetahuan tentang penyebab penyakit kusta
Dari hasil penelitian diketahui bahwa semua informan baik penderita kusta maupun
petugas kesehatan dan kelurahan mengetahui bahwa penyebab kusta yaitu kuman
Mycobacterium Leprae. Sebagian besar informan berpendapat bahwa lingkungan
kotor, kebersihan diri kurang terjaga dan kontak langsung dengan penderita. Seperti
ungkapan berikut:
Ny. A (petugas kusta di puskesmas)
“penyebab yang pasti sich adalah Mycobacterium Leprae, jadi pemeriksaannya juga
di laboratorium, diambil dari kerokan kulit belakang telinga, itu dilakukan oleh
orang yang sudah dilatih tentang kusta.”
Kasus Tn.D (45 tahun)
“Saya dulu kena tahun 1971, dari rumah emang udah cacat tapi kaki masih normal.
Karena saya kurang hati-hati, ga jaga kebersihan, jorok lah trus dilingkungan saya
juga waktu itu ada yang kusta sampe kaki saya semper atau kalau di medis namanya
dropfoot yah, makanya sampe sekarang kena ke urat syaraf.”
Kasus Tn.S (41 tahun)
“Saya menderita kusta SD kelas 5, waktu itu saya berobat ke RSCM tapi karena kerja
di batik, cape, lama kelamaan tangan mati rasa jadi kiting sampe sekarang.
Penyebabnya mungkin saya ketularan sama temen, waktu itu maen bareng, pake alat
mandi bareng, biasa lah anak kecil.temen saya dulunya kusta tipe L makanya jadi
ketularan.”
Kasus Tn.Su (55 tahun)
“dulu kena kusta tahun 1966, waktu itu kelas 6 SD saya ketularan temen yang lagi
reaksi dan kurang merawat diri.”
Sedangkan selebihnya tidak tau penyebab secara pasti. Seperti ungkapan berikut:
Kasus Tn.W
”saya ga tau penyebab pastinya, di keluarga saya juga ga ada yang kusta. Ya nasib
kali terima ja lah keadaannya udah begini, mau di apain lagi.”
“penyebab secara awam saya ga tau karena timbulnya juga lama.”
Umumnya mereka mengetahui penyebab kusta dari teman dan petugas
kesehatan. Karena kekurangtahuan informan terhadap penyebab dan pengobatan yang
tidak teratur maka timbulah kecacatan yang menetap. Beberapa informan mengatakan
awalnya badan panas, pegal-pegal, keram, kesemutan, dan kemungkinan tertular dari
penderita yang pernah sakit. Seperti ungkapan: ” dulunya muka jadi panas, merah-
merah terus pake lengkuas di gososk-gosok. Tangan kaya kesemutan, mati rasa gitu.”
Umumnya mereka mengetahui adanya kusta setelah diperiksa oleh petugas
kesehatan dan mereka berobat ke sitanala dengan kondisi sudah cacat. Mereka malu
dengan penyakitnya dan cacat yang ada di kaki, jari tangan terputus-putus serta hidung
pelana kemudian mengasingkan diri dari keluarga. Karena kebanyakan dari mereka
adalah pendatang. Setelah berobat di sitanala dan dinyatakan sembuh, mereka
menetap di kampung kusta sampai sekarang. Seperti ungkapan:
“pertama kali tau waktu itu saya baca koran tentang kusta dan operasi gratis untuk
cacat kusta, setelah saya baca tanda-tanda cacat kusta ko ada kemiripan. Saya suruh
datang ke sitanala terus dioperasi cabut tulang kaki.”
5.4.2 Pengetahuan tentang tanda dan gejala kusta
Bercak putih, mati rasa, merah seperti panu dan mutilasi (tangan kiting) adalah tandatanda kusta yang diketahui oleh semua informan. Gambaran ini menjelaskan bahwa
pengetahuan informan tntang tanda-tanda kusta sudah sangat baik, sesuai tanda utama
penyakit kusta dan tanda lanjut kecacatan. Seperti beberapa kutipan:
Ny. A (petugas puskesmas
“pertama kali adanya bintik putih di lipatan paha, tangan. Kalo ga kerasa waktu
di periksa berarti kusta.”
Kasus Tn.D (45 tahun)
“saya tau ada kaya panu ditangan, hilang rasa, adanya dipaha.lama kelamaan jadi
banyak dan ahirnya cacat, ini udah susah disembuhkan. Beban juga sih, sampe
tangan saya diumpetin karena malu.”
Kasus Tn.W
“tandanya kaya panu gitu, mati rasa, Cuma bedanya ga berkeringat aja jadi kaya
pulau.”
Kasus Tn.S
“gejalanya seperti panu, bercak-bercak putih adanya di punggung, pas diperiksa
pake kapas itu malah ga kerasa.”
Kasus Tn.M
“gejalanya sama kaya ada panu, bercak putih tapi ga gatal, semuanya sama sich
gejalanya.”
Kasus Tn.Su
“gejalanya merah-merah, kaya panu, trus saya pake lengkuas supaya sembuh tapi
makin melebar bercaknya. Saya kan tipe L, MB itu gejalanya meriang, keriput, alis
hilang, bulu mata ilang, kuping melebar, mata ga bisa menutup.”
Pengetahuan ini sebagian besar diperoleh informan dari pengalaman dan penyluhan
petugas kesehatan. Sebagian kecil informan mengetahui adanya tanda kusta dari
penderita yang sudah meninggal. Seperti ungkapan: ”dulu ada penderita kusta yang
pernah dirawat di sitanala terus meninggal, tanda gejalanya sama persis kaya gitu.”
5.4.3 Pengetahuan tentang cara penularan
Pengetahuan tentang cara penularan penyakit kusta dikalangan informan kusta
cukup baik. Sebagian informan kusta mengetahui bahwa penyakit kusta menular
melalui kontak langsung dan lama dengan penderita, jika mereka sedang reaksi dan
ketahanan tubuh kita sedang tidak baik maka kusta itu akan menular. Mereka
berpendapat bahwa kusta dapat menular dengan bersalaman, bersentuhan kulit dalam,
minum bekas penderita kusta. Seperti ungkapan:
Ny. A (petugas puskesmas)
“cara penularannya adalah kontak langsung dengan penderita selama 5-10 tahun,
jadi kontak langsung dan lama. Cara penularan sendiri belum tentu secara geografis,
karena tangerang banyak pendatang ada yang dari pesisir. Atau belum tentu daerah
tropis bisa potensial kusta, faktor kebersihan diri juga suatu cara penularan yang
resisten seperti droplet , jadi udah kaya TBC ja, bedanya kalau TBC cepet
penularannya.”
Kasus Tn.Su
“cara penularannya dari persentuhan kulit pas lagi reaksi, apa lagi tipe L kaya saya
itu penularannya tinggi.”
Kasus Tn. D
“kalau kita ga berobat secara teratur pasti kusta menular, supaya ga menular ke
orang lain saya minum obat DDS.”
Sebagian kecil informan kusta tidak mengetahui cara penularan penyakit, mereka
menganggap bahwa ada hubungannya dengan penyakit keturunan. Seperti ungkapan
berikut:
Kasus Tn. W
” saya ga tau cara penularannya dari mana, dikeluarga saya juga ga ada. Heran
saya juga.”
Kasus Tn. S
“kalo saya ga tau cara penularannya, tiba-tiba udah sakit ja makanya sampe terjadi
cacat seperti sekarang. Mungkin dari temen kenanya karena waktu itu temen saya
tipe L dan bapaknya juga kena dan dijauhi katanya penyakit besar.”
Kasus Tn. M
“sebenernya kusta itu tidak menular kalo kitanya berobat, kaya gini ja ngobrol belum
tentu ketularan, Cuma orang kesehatan ja yang tau penularannya.”
Pengetahuan yang kurang juga didapatkan dari informan petugas kelurahan,
semua berpendapat penyakit kusta dapat menular melalui bersalaman, bedekatan
dengan penderita. Seperti ungkapan: ”kalau habis bersalaman sama mereka cuci
tangan atau pake pembersih antikuman supaya kumannya ga nempel.”
Lain halnya dengan petugas puskesmas, mereka mengetahui cara penularan kusta
dengan pasti. Hanya fobia terhadap kusta lah yang sulit teratasi sehingga mereka
dikucilkan. Seperti ungkapan:
“ketika datang ke kampung kusta, tetap ada stigma bahwa jika kita bersalaman
dengan penderita pasti menular padahal kalau mereka berobat rutin kuman kusta
ga akan menular, kita jaga ketahanan tubuh.ok lah kusta sekarang bisa tertular
melalui droplet.kita harus proteksi diri, kusta menular ketika lagi reaksi, tidak
berobat, itu yang gampang tertular pada orang lain.”
5.4.4 Pengetahuan tentang cara mencegah penularan kusta
Pengetahuan informan tentang cara mencegah kecacatan kusta cukup baik. Mereka
berpendapat bahwa kusta dapat dicegah dengan minum obat secara teratur dan jika
ada luka maka ada perawatan diri untuk luka kusta. Mereka juga sudah faham dan
menerapkannya di rumah tentang cara perawatan diri untuk mencegah cacat
selanjutnya. Seperti ungkapan:
Kasus Tn. D
“mencegahnya dengan minum obat MDT dan penyuluhan itu yang penting, karena
selama ini orang ga tau banyak kusta makanya saya sering penyuluhan kalau lagi
ngamen di bis.”
Kasus Tn.W
“cara mencegahnya yaitu dengan menjaga kebersihan diri, dan minum obat secara
teratur.”
Kasus Tn.Su
“tangan, kaki saya kan kena juga dropfoot dan pernah dirawat. Dan sekarang saya
punya bengkel las.kan kalau kita ngelas, pegang besi panas kan ga kerasa jadi saya
pake sarung tangan khusus, kaca mata supaya ga kebakar, namanya juga mati rasa
kesundut rokok aja kita ga kerasa.”
Kasus Tn. S
“kalau udah cacat kaya gini cara mencegahnya ya pake alat pelindung, misal pake
sarung tangan khusus supaya ga kena panas, kan kita mati rasa.”
Petugas puskesmas juga mengetahui benar tentang cara pencegahan kusta dan
cacat yang ditimbulkannya, mereka sering mengadakan penyuluhan tentang perawatan
diri untuk cacat kusta dan latihan fisioterapi seperti menggerakkan jari-jari tangan,
membuka menutup syaraf mata. Untuk pencegahan secara dini terhadap anak kecil,
pihak puskesmas menganjurkan agar balitanya di imunisasi BCG, karena kuman kusta
tipenya sama dengan kuman TBC. Seperti ungkapan:
“kalau ada penyuluhan kita sering informasikan bagaimana perawatan luka dan cacat,
mereka kita mandirikan supaya bias melakukannya di rumah, pertama sediakan air
sedeng di Waskom, trus rendam kaki dan gosok pake batu apung, kemudian usap pake
handuk terus keringkan dan pakein lotion atau minyak. Kalau ada borok dan mati rasa
maka petugas menyarankan kalau masak pake sarung tangan atau ceumpal. Dan kalau
dimata ga bisa merem, melotot terus kalau tidur maka pakai kaca mata hitam. Ada juga
pelatihan untuk pemeriksaan kecacatan namanya POD (Prevention Of Disability).”
Lain halnya dengan petugas kelurahan, mereka belum faham betul tentang
pencegahan kusta. Petugas kelurahan lebih memfokuskan bagaimana mereka bisa
berjalan dengan kaki yang cacat. Dan pihak kelurahan memfasilitasi pembuatan kaki
palsu supaya mereka hidup mandiri tanpa harus memanfaatkan kecacatannya dengan
menjadi pengemis. Seperti unkapan:
“untuk bantuan intern agar mereka bisa berjalan adalah pembuatan kaki palsu, kita
punya posyandu barangkali pihak puskesmas dan PKK sudah memberikan
penyuluhan kusta, kita disini hanya memfasilitasi warga kusta untuk hidup
bersosialisasi dan mandiri.”
5.4.5 Pengetahuan tentang cara pengobatan
Pengetahuan tentang cara pengobatan kusta dikalangan petugas kesehatan masih
belum bisa disembuhkan karena mereka yakin walaupun sudah tidak mendapatkan
obat lagi, mereka akan mengalami kecacatan, hal ini terjadi karena penderita merasa
sudah sembuh dan tidak perlu berobat lagi walaupun cacatnya masih ada. Selain itu
persediaan obat di puskesmas terbatas karena biasanya penderita berobat langsung ke
sitanala. Seperti ungkapan:
“pengobatannya itu selama 9 bulan sampai 1 tahun, relative yah, kalau PB
pengobatannya sebentar tapi kalau MB lama. Untuk cacatnya mungkin hanya
bisa dengan perawatan saja, kan kalau sudah cacat ga bisa seperti semula lagi
paling dengan operasi. Kebetulan di puskesmas ini pasien kustanya sedikit,
biasanya mereka langsung berobat ke sitanala.”
Pengetahuan tentang pengobatan dikalangan informan kusta sangat baik,
karena mereka rutin berobat dan jarak pelayanan ke tempat mereka dekat. Seperti
ungkapan:
Kasus Tn. D
“kalau dulu caranya minum obat DDS tapi kan sekarang udah bagus yah ada MDT,
dulu tuh kalau minum lampren jadi hitam mukanya. MDT biasanya 6 bulan
pengobatan. Dari situ kita ga khawatir bakal tertular.”
Kasus Tn. W
“cara pengobatannya ya langsung berobat dengan rutin, apa lagi sitanala kan deket
sama tempat tinggal kita.”
Kasus Tn. S
“waktu itu saya berobat ke RSCM, karena saya telat berobat jadi kaya gini,
tangan jadi kiting dan sampai sekarang sudah 20 tahun ga berobat.”
Kasus Tn. Su
“pertama kali saya berobat di puskesmas, waktu itu dikasih tau sama temen katanya
ada rumah sakit kusta di mojokerto, karena waktu itu saya masih disana,6 bulan saya
berobat di mojokerto sampai perawatnya takut ngasih obat ke saya. Mulai
pengobatan di sitanala tahun 1981 krena kaki saya luka, itu juga saran dari temen.
Kebetulan pas mau berobat dokternya ga ada lagi misi. Saya dirawat selama 10
bulan karena kaki saya dropfoot dan 3 kali di operasi.”
Awalnya penderita kusta datang ke sitanala hanya untuk berobat saja, tapi lama
kelamaan setelah mereka sembuh, mereka menetap disana sampai beranak pinak.
Seperti ungkapan:
Ny. S (Petugas kelurahan)
“awalnya mereka datang ke sitanala untuk berobat, dan tinggal di RS untuk
bertahun-tahun. Kalau yang sudah sembuh tapi cacat, mereka tinggal di kampung
kusta dan mengurus surat pindah .”
5.5 Persepsi klien kusta tentang konsep diri
Kasus Tn. D
5.5.1 Citra diri
Untuk gambaran diri secara fisik, mereka belum menerima secara utuh keadaan
fisiknya, karena mereka tau pasti orang akan mengasingkan kusta karena fobia kusta
yang sampai sekarang di takuti masyarakat, ada kalanya cacat kusta belum diakui
betul dalam peranannya di masyarakat seperti mengikutsertakan mereka dalam
olahraga cacat seindonesia. Seperti ungkapan:
“saya pernah waktu itu mengikuti kegiatan olahraga cacat se Indonesia,
keikutsertaan kami tidak diakui dalam acara itu, jadi kita Cuma mengikuti tapi tidak
dinilai. Malahan yang ikut orang tuna netra, yang cacat kakinya tapi kami kenapa
tidak diakui, mungkin karena kami cacat kusta dan mereka cacat karena bawaan.”
Karena keterbatasan fisik, banyak diantara mereka yang memanfaatkan
kecacatannya dengan meminta-minta. Itu semua umtuk memenuhi kebutuhan setiap
hari. Masalah kusta bukan hanya masalah kesehatan saja tetapi sudah menjadi masalah
sosial dan ekonomi.
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita cacat
kusta?
“setelah saya tau ini kusta pa lagi sekarang sudah cacat dan susah disembuhkan
maka saya umpetin tangan saya kalau keluar karena malu diliatain orang, tapi
sekarang mah ga malu, tangan juga ga di kantongin lagi.”
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita cacat
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“saya malu, awalnya ini beban yang harus saya terima tapi sekarang mah
nerima ja keadaannya, mungkin takdir.”
Bagaimana orang lain memandang diri bapak/ibu dengan kondisi cacat kusta?
“kalau temen-temen disini sih karena sama-sama kusta jadi nerima ja, kalau
di luar pasti orang lain takut sama kita karena cacatnya kecuali orang yang
sudah faham mereka nerima, ya kaya neng gini bisa ngobrol.”
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki bapak/ibu sekarang, menurut bapak/ibu
bagaimana penerimaan diri terhadap kondisi sekarang?
“saya mah ikhlas aja, karena udah nasibnya kaya gini. Cuma yang saya sering
sampaikan pas penyuluhan jangan sampai keluarga bapak terkena kusta,
untuk itu pencegahan lebih penting karena kalau uadah cacat ga bisa
sembuh lagi.”
Bagaimana pendapat bapak/ibu, tentang gambaran diri secara fisik?
“keadaan saya yang cacat, ya harus saya terima. Memang dulu fisik saya ga
kaya gini tapi ini juga kesalahan saya dan orang tua juga ga tau makanya
berobat telat dan dianggap enteng jadinya cacat.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah cacat selanjutnya?
“supaya masyarakat tau cara mencegahnya jadi penkes penting dan
perawatan diri untuk cacat kan harus pake pelindung supaya terhindar dari
panas.”
5.5.2 Ideal diri
Siapa yang pertama kali bapak/ibu beritahu tentang keadaan tersebut? Alasannya?
“pertama kali yang saya kasih tau oarang tua.”
Dengan keadaan seperti sekarang, apa pekerjaan yang bapak/ibu lakukan? Alasannya:
“saya ngamen di bis kalideres dan sering penyuluhan juga, karena itu yang bisa saya
lakukan sekarang, mau kerja juga ga bakal diterima lah karena kusta.”
Dengan keterbatasan fisik sekarang, bagaimana upaya bapak/ibu untuk mencapai citacita?
“ya kerja apa ja, paling ngamen. Emang dulu saya frustasi jadinya mabokmabokan karena ga kerja, minder, malu tapi sekarang saya harus menghidupi
keluarga ya walaupun ngamen.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah?
“paling nonton tv.”
Menurut bapak/ibu, bagaimana bapak/ibu memandang masa depan?
“saya optimis aja, karena tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga. Saya
ga mau anak saya kena kusta makanya kalau ada borok sedikit, saya langsung
periksakan.”
Apa harapan bapak/ibu tentang masa depan?
“harapan saya semoga anak cucu kita tidak terkena kusta.”
Dengan kondisi seperti sekarang, prestasi apa yang pernah bapak/ibu raih?
“kalau prestasi sebenarnya sih blm pernah Cuma saya pernah diundang untuk
penyuluhan di leprosi kaya perhimpunan lepra.”
Seperti apa sebenarnya sosok diri ideal yang bapak/ibu harapkan?
seperti orang tua saya yang bertanggung jawab sama keluarga.”
5.5.3 Harga diri
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita penyakit
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“awalnya saya malu, minder dan ga terima karena ini beban, kalau ketemu orang
lain saya umpetin tangannya.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasi rasa malu?
“pernah frustasi sampai mabok-mabokan dulu karena malu tapi sekarang untuk
mengatasi itu saya ngamen dan penyuluhan. Percaya diri saja lah.”
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita penyakit
kusta? (probing : menjauh dari keluarga, mengurung diri di rumah, mengasingkan diri)
“saya kan dari cianjur, disana juga ga da kusta makanya saya bingung ini ketularan
dimana. Pas tau ini kusta saya pergi ke tangerang sama istri sampai sekarang saya
pisah dari orang tua.”
Bagaimana bapk/ibu dalam menyikapi dan menerima keadaan ini dengan tidak melihat
keatas tetapi kebawah?
“terima aja lah, saya ikhlas.”
Dengan kondisi seperti sekarang, bagaimana perasaan bapak/ibu jika orang lain
memperhatikan bapak/ibu ketika dilingkungan ramai?
“sebenarnya malu dengan kondisi kaya gini, tapi kan orang lain juga tau kita orang
kusta jadi biasa-biasa saja.”
5.5.4 Penampilan peran
Bagaimana perlakuan keluarga terhadap bapak/ibu? (probing : mengasingkan alat
makanan, alat mandi, tidur di kamar, tidak didengarkan pendapatnya, tidak boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perkawinan terganggu)
“karena tau saya kusta, jadi keluarga memisahkan barang yang saya pakai supaya
ga ketularan, saya juga ngerti sih itu untuk pencegahan juga.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga terhadap bapak/ibu dalam kegiatan sehari-hari?
“teman atau tetangga sih kalau di sitanala sendiri perlakuannya baik, karena kan
mereka juga sama-sama kusta, kalau diluar orang lain mungkin ga bakal nerima kita
pa lagi kerja.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga/masyarakat terhadap bapak/ibu dalam kegiatan
sosial dan agama? (probing : tidak diundang dalam pesta, tidak boleh ikut dalam
kegiatan keagamaan, tidak pernah dikunjungi, tidak boleh membantu orang lain yang
sedang hajatan, tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mau membeli barang hasil kerja
penderita)
“kita kan disini juga ada kegiatan seperti ada hajatan kita bantuin, tapi kalau di luar
tidak boleh kerja seperti yang lain paling jadi tukang kebersihan atau parkir.”
Menurut bapak/ibu, apa yang menyebabkan tetangga/masyarakat melakukan itu?
“menurut saya karena cacat kustanya yang buat mereka mengasingkan kita,
ditakuti karena penyakit menularnya. Karena orang kesehatan ja masih takut sama
kusta.”
Bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat?
“alhamdulillah isteri dan kedua anak saya yang selalu memberikan semangat untuk
bisa bekerja.”
Bagaimana perlakuan orang lain terhadap diri bapak/ibu?
“mereka biasa-biasa ja yah, tapi ada juga yang takut. Kalau yang faham mereka
menerima kita dengan baik.”
Ketika suatu masalah menimpa keluarga bapak/ibu, kemudian bapak/ibu memberikan
solusi dari masalah tersebut, apa yang dilakukan oleh keluarga?
“selagi pendapat kita bisa diterima ya ga apa-apa, mereka nerima ko pendapat kita.”
5.5.5 Identitas diri
Apa pekerjaan bapak/ibu sebelum menderita cacat kusta?
“buruh, waktu itu saya masih tinggal di cianjur.”
Bagaimana bapak/ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari?
“kalau sekarang dengan kondisi cacat kerjaan saya tiap hari ya ngamen di bis, ya
mau gimana lagi namanya juga cacat kusta.”
Apa tujuan hidup bapak/ibu?
“tujuan hidup saya sekarang supaya keluarga dan anak saya jangan sampe terkena
kusta, sebisa mungkin mencegah secara dini, makanya kalau anak saya borokan
sedikit aja langsung di periksa, takutnya kusta.”
Sebagai pemimpin keluarga, menurut bapak apa peran bapak dalam keluarga dan
masyarakat?
“kalau di keluarga saya kan sebagai kepala keluarga jadi harus menapkahi dan
mendidik anak. Kalau di masyarakat saya kan ngajarin anak-anak kusta itu da misi
dari belanda.”
Jika ada kegiatan di desa, apa peran serta bapak dalam kegiatan tersebut?
“ya ikut bantuin misal jadi panitia acara, ya kita sich ikut serta dalam kegiatan disinisini aja.”
5.5.6 Konsep diri positif
Jika ada masalah, apa upaya bapak/ibu dalam mengatasi masalah tersebut?
“ya saya mencoba untuk besabar dan menerima, karena dulu saya ga terima saya
kusta, hampir frustasi lah, kaya orang dibuang gitu aja, rasanya pingin kabur aja
karena ditempat kaya gini.”
Menurut bapak/ibu, apa kelebihan dan kekurangan yang di miliki bapak/ibu?
“kalau kelebihan mungkin dari cara komunikasi sehingga saya suka ngajarin ke
orang lain tentang kusta kaya penyuluhan lah. Kalau kekurangan mungkin saya
orangnya tidak percaya diri.”
Jika bapak/ibu mengeluarkan pendapat dalam setiap acara kemudian tidak disepakati,
apa penilaian bapak/ibu dalam menyikapi hal tersebut?
“ya saya sich nerima aja pendapat orang, mungkin pendapat orang lain lebih baik
dari saya.”
Jika ada orang lain yang membeda-bedakan status sosial, apa tanggapan bapak/ibu
terhadap masalah tersebut?
“biasa saja, karena kita emang hidup di lingkungan orang kusta dan kita juga tau
diri, terima kenyataan saja.”
Jika ada tetangga/masyarakat yang memerlukan bantuan bapak ibu, apa yang
bapak/ibu lakukan?
“ya membantunya, seperti waktu itu saya membantu anak-anak kusta tapi misi dari
dokter india.”
Uapaya apa saja yang bapak/ibu lakukan untuk meningkatkan konsep diri positif?
“ya mungkin kalau sekarang dengan cara mendekatkan diri pada tuhan, kita juga
menjaga lingkungan jangan sampai terjerumus kedua kalinya, memandang hidup ini
kalau dikatakan berat emang berat tapi harus dijalanin, intuk itu saya harus percaya
diri, optimis dan mampu membesarkan anak-anak saya, tidak mudah frustasi.”
Kasus Tn. W
5.5.1 Citara diri
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita cacat
kusta?
“waktu itu saya berobat kampung, terus ke sitanala dinyatakan kusta.”
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita cacat
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“awalnya malu tapi sekarang terima saja, kita ambil hikmahnya saja.”
Bagaimana orang lain memandang diri bapak/ibu dengan kondisi cacat kusta?
“bagi saya ga jadi masalah orang lain mau memandang apa terserah, itu hak
mereka. Wajar-wajar aja mereka takut ga apa-apa. Hanya itu kita harus percaya
diri. Kebanyakan mereka kan ga tau jadi kita harus beri penjelasan.”
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki bapak/ibu sekarang, menurut bapak/ibu
bagaimana penerimaan diri terhadap kondisi sekarang?
“oh, saya menerima karena ini ada hikamhnya yaitu saya bisa bebas berinteraksi
dengan orang lain, mungkin kalau saya tidak disini orang lain akan menjauhi
saya.”
Menurut bapak/ibu, bagian tubuh mana yang paling bapak/ibu sukai? Apa lasannya?
“sebenarnya keadaan cacat seperti inipun saya menyukai saja karena ini tubuh
saya sendiri yang harus dijaga.”
Bagaimana pendapat bapak/ibu, tentang gambaran diri secara fisik?
“oh, bagi saya itu ga jadi masalah. Ya itu lah kita harus percaya diri, kita ambil
sisi positifnya.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah cacat selanjutnya?
“kalau penderita kusta sendiri maunya dari fikiran sendiri maksudnya apa yang
membahayakan diri ya kita harus waspada, karena kita megang yang panas ga
kerasa.”
5.5.2 Ideal diri
Siapa yang pertama kali bapak/ibu beritahu tentang keadaan tersebut?
“keluarga saya dan isteri.”
Dengan keadaan seperti sekarang, apa pekerjaan yang bapak/ibu lakukan? Alasannya:
“pekerjaan setiap hari pedagang buah keliling di sekitar sini sudah 20 tahun,
kalau diluar ga bebas.”
Dengan keterbatasan fisik sekarang, bagaimana upaya bapak/ibu untuk mencapai citacita?
“ya optimis dan bekerja untuk orang lain.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah?
“paling nonton tv lah.”
Menurut bapak/ibu, bagaimana bapak/ibu memandang masa depan?
“masa depan ya harus dicapai sekarang, mungkin masa depan saya adalah
anak-anak saya dan harus optimis.”
Apa harapan bapak/ibu tentang masa depan?
“pertama, harapan saya terutama pada penderita kusta yang lain harus jaga
nama baik jangan sampai berbuat onar. Kedua harus percaya diri.”
Dengan kondisi seperti sekarang, prestasi apa yang pernah bapak/ibu raih?
“saya sampai sekarang mengelola raskin selama 6 tahun karena dipercaya
kelurahan, membantu masyarakat dalam membuat akte, KTP.”
Seperti apa sebenarnya sosok diri ideal yang bapak/ibu harapkan?
“yang saya kagumin banyak sekali, terutama pemimpin yamg mengabdi ke
masyarakat.”
5.5.3 Harga diri
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita penyakit
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“saya menerimanya dengan lapang dada.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasi rasa malu?
“ya saya optimis bahwa saya mampu, jadi nagapain harus malu, kita terima
kondisi kaya gini.”
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita penyakit
kusta? (probing : menjauh dari keluarga, mengurung diri di rumah, mengasingkan diri)
“mengasingkan diri dari keluarga karena asli saya dari palembang jadi saya
pergi ke sitanala untuk berobat.”
Bagaimana bapk/ibu dalam menyikapi dan menerima keadaan ini dengan tidak melihat
keatas tetapi kebawah?
“ya kita bersifat lapang dada, keadaannya udah kaya gini mau diapain lagi, yang
pasti optimis dan mampu.”
Dengan kondisi seperti sekarang, bagaimana perasaan bapak/ibu jika orang lain
memperhatikan bapak/ibu ketika dilingkungan ramai?
“biasa saja, itu hak mereka, mau liat kita kaya gimana saya percaya diri saja,
selama mereka tidak mengganggu.”
5.5.4 Penampilan peran
Bagaimana perlakuan keluarga terhadap bapak/ibu? (probing : mengasingkan alat
makanan, alat mandi, tidur di kamar, tidak didengarkan pendapatnya, tidak boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perkawinan terganggu)
“kalau mereka tidak memisahkan barang yang saya pakai, mau itu tempat makan
atau alat mandi karena mungkin orang tua saya belum tau kusta.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga terhadap bapak/ibu dalam kegiatan sehari-hari?
“kalau disini ga masalah tetapi di kampung saya juga ga masalah, mereka baikbaik dan emang kita sama-sama kusta jadi kalau ada yang memerlukan bantuan
ya saya tolongin, kebetulan saya juga bantu warga untuk jamkesmas.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga/masyarakat terhadap bapak/ibu dalam kegiatan
sosial dan agama? (probing : tidak diundang dalam pesta, tidak boleh ikut dalam
kegiatan keagamaan, tidak pernah dikunjungi, tidak boleh membantu orang lain yang
sedang hajatan, tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mau membeli barang hasil kerja
penderita)
“dalam kegiatan agama saya diikut seratakan, misalnya ada panitia keagamaan
kita ikut serta.”
Menurut bapak/ibu, apa yang menyebabkan tetangga/masyarakat melakukan itu?
“ya itu lah kejujuran dan peran aktif, contoh saya kan ikut membantu mereka
dalam jamkesmas karena mereka punya tapi ga tau cara menggunakannya, jadi
bukan masyarakat sini saja tapi yang lain juga saya bantu.”
Bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat?
“mereka mendukung apa yang saya lakukan dan memberi solusi karena mereka
mengerti kondisi saya.”
Bagaimana perlakuan orang lain terhadap diri bapak/ibu?
“ga masalah, saya anggap itu hak mereka.”
Ketika suatu masalah menimpa keluarga bapak/ibu, kemudian bapak/ibu memberikan
solusi dari masalah tersebut, apa yang dilakukan oleh keluarga?
“selama itu baik mereka menerima solusi saya karena sebagai orang tua kita
juga menasihati anak dan kalau ada kritikan ya kita terima.”
5.5.5 Identitas diri
Apa pekerjaan bapak/ibu sebelum menderita cacat kusta?
“dulu saya kerja di konveksi di yayasan permata.”
Bagaimana bapak/ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari?
“ya kalau tiap hari saya jualan buah-buahan di sekitar sini untuk mencukupi
kebutuhan setiap hari.”
Apa tujuan hidup bapak/ibu?
“tujuan hidup saya bagaimana kita berbuat baik pada orang lain dan optimis
menjalani hidup untuk mengabdikan diri di masyarakat.”
Sebagai pemimpin keluarga, menurut bapak apa peran bapak dalam keluarga dan
masyarakat?
“sebagai orang tua ya kita memberikan nasihat pada anak.”
Jika ada kegiatan di desa, apa peran serta bapak dalam kegiatan tersebut?
“ngurus akte, jamkesmas. Dan kalau ada kegiatan ikut serta misal jadi panitia
acara.”
5.5.6 Konsep diri positif
Jika ada masalah, apa upaya bapak/ibu dalam mengatasi masalah tersebut?
“ya kita diskusikan masalah tersebut, dan hak mereka untuk berpendapat jadi
kita terima.”
Menurut bapak/ibu, apa kelebihan dan kekurangan yang di miliki bapak/ibu?
“saya hanya bisa membantu masyarakat dengan semampunya dan kita
dipercayai oleh masyarakat ya harus kita jalani, mungkin kekurangan saya
banyak, sebagai manusia ada salah dan lupa.”
Jika bapak/ibu mengeluarkan pendapat dalam setiap acara kemudian tidak disepakati,
apa penilaian bapak/ibu dalam menyikapi hal tersebut?
“saya terima saja mungkin pendapat saya kurang baik, dan saya terima kritikan.”
Jika ada orang lain yang membeda-bedakan status sosial, apa tanggapan bapak/ibu
terhadap masalah tersebut?
“bagi saya ga apa-apa, itu hak mereka, paling menghindar.”
Jika ada tetangga/masyarakat yang memerlukan bantuan bapak ibu, apa yang
bapak/ibu lakukan?
“ya kita bantu mereka dan tidak membedakan itu kusta atau bukan, karena saya
sendiri ngurus jamkesmas tidak orang kusta saja tapi orang luar juga saya
bantuin.”
Uapaya apa saja yang bapak/ibu lakukan untuk meningkatkan konsep diri positif?
“mengabdi kepada masyarakat, percaya diri dan optimis.”
Kasus Tn. S
5.5.1 Citra diri
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita cacat
kusta?
“saya menderita kusta sejak kelas 5 SD, pertamanya berobat tapi ga sembuhsembuh sampai cacat terus dibawa ke orang pintar tapi tangan malah kiting.
Akhirnya saya berobat ke RSCM, tapi karena kitingngya sudah keras, saya ke
sitanala.”
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita cacat
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“saya sich ga nyalahin nasib, ya terima saja walaupun malu, waktu SMA saya
dikatain sama teman-teman sampai berantem, lulus SMA saya kerja di batik karena
ga kuat, kecapean, terus cacatnya makin parah ahirnya saya berhenti.”
Bagaimana orang lain memandang diri bapak/ibu dengan kondisi cacat kusta?
“kalau di sitanala ga ada masalah tapi diluar bermasalah karena orang lain liat saya
ya kusta, pandangannya negatif. saya juga minder kalau orang ngeliatin. Jalannya
juga ga gagah. Kita punya keahlian juga orang lain tetep mandang kita sebagai
cacat kusta yang menular gitu.”
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki bapak/ibu sekarang, menurut bapak/ibu
bagaimana penerimaan diri terhadap kondisi sekarang?
“kalau disini saya sehat, nerima keadaan seperti ini tapi kalau diluar tetap saja hati
kecil saya malu karena walaupun saya sudah percaya diri tetap saja mereka
menjauhi kita, jadi kalau diluar saya belum bisa menerima cacat saya, karena cacat
kusta beda sama cacat polio.”
Menurut bapak/ibu, bagian tubuh mana yang paling bapak/ibu sukai? Apa lasannya?
“kalau sekarang cacat apa yang di sukai, ga ada. Karena kaya gini jadi terima saja
lah, mau suka atau ga terpaksa kita suka toh ini badan kita sendiri, kita sakit karena
disayang Tuhan.”
Bagaimana pendapat bapak/ibu, tentang gambaran diri secara fisik?
“kalau disini saya sehat tapi kalau diluar saya sakit. fisik saya ya cacat, tangan pada
kiting, ga bagus lah. Walaupun saya punya keahlian juga percuma karena orang lain
tetep saja malihat fisik saya cacat kusta.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah cacat selanjutnya?
“ya perlindungan diri saja supaya ga kena panas karena kita kan mati rasa.”
5.5.2 Ideal diri
Siapa yang pertama kali bapak/ibu beritahu tentang keadaan tersebut? Alasannya?
“yang pertama kali tau saya sendiri dan orang tua, karena masih tinggal serumah
tapi orang tua ga tau ini penyakit apa.”
Dengan keadaan seperti sekarang, apa pekerjaan yang bapak/ibu lakukan?
“sekarang ya buruh, jadi tukang sapu.”
Dengan keterbatasan fisik sekarang, bagaimana upaya bapak/ibu untuk mencapai citacita?
“saya kan punya keahlian mba, dipercaya rumah sakit ikut kursus keterampilan.
Saya bisa ngotak-ngatik elektronik, komputer. Kalau diluar ya sia-sia walaupun
punya keahlian tapi ga di pakai jadi kita pabriknya tapi ga bisa memproduksi hasil
dari kemampuan kita, karena fobia kusta.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah?
“selain nonton tv, saya juga ngurus koperasi masjid jadi bendahara. Karena bagi
saya masjid bukan hanya tempat ibadah tapi sebagai pusat kegiatan sosial.”
Menurut bapak/ibu, bagaimana bapak/ibu memandang masa depan?
“masa depan ya harus dijalani sekarang caranya kita bekerja dan bisa menghidupi
keluarga.”
Apa harapan bapak/ibu tentang masa depan?
“harapan saya bagi pemerintah, tolonglah karyakan kami untuk kerja di mana saja.
Ya walaupun kita disini bisa kerja jadi tukang sapu, parkir. Jangan memandang kita
kusta sebelah mata.”
Dengan kondisi seperti sekarang, prestasi apa yang pernah bapak/ibu raih?
“mungkin kalau prestasi yang ada penghargaan seperti piala, medali saya belum
pernah tapi kalau dari segi yang lain saya dipercaya sebagai sekertaris RT, pernah
dipercaya sebagai kepengurusan lingkungan RW, bendahara, pembayaran listrik,
koperasi masjid.”
Seperti apa sebenarnya sosok diri ideal yang bapak/ibu harapkan?
“sosok pemimpin yang baik dan bertanggung jawab.”
5.5.3 Harga diri
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita penyakit
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“minder sama temen-temen karena dikatain terus.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasi rasa malu?
“ya menghindar palagi orang lain memandang kita negatif.”
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita penyakit
kusta? (probing : menjauh dari keluarga, mengurung diri di rumah, mengasingkan diri)
“menjauh dari keluarga, karena takut tertular.”
Bagaimana bapak/ibu dalam menyikapi dan menerima keadaan ini dengan tidak melihat
keatas tetapi kebawah?
“ya saya terima saja, sudah nasibnya kaya gini. Walaupun kita sudah percaya diri
tapi tetap saja orang takut tertular.”
Dengan kondisi seperti sekarang, bagaimana perasaan bapak/ibu jika orang lain
memperhatikan bapak/ibu ketika dilingkungan ramai?
“dalam hati kecil saya malu, tapi sekarang biarin saja lah orang ngeliatin juga biasabiasa saja.”
5.5.4 Penampilan peran
Bagaimana perlakuan keluarga terhadap bapak/ibu? (probing : mengasingkan alat
makanan, alat mandi, tidur di kamar, tidak didengarkan pendapatnya, tidak boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perkawinan terganggu)
“orang tua ya biasa ja memperlakukan anaknya, karena saya cacatnya sedari kecil
jadi orang tua belum tau kusta itu menular.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga terhadap bapak/ibu dalam kegiatan sehari-hari?
“temen waktu kecil ada yang baik dan ada juga yang iseng ngatain saya kusta,
makanya suka berantem sama temen. Tapi kalau untuk sekarang karena tinggal
dilingkungan orang kusta jadi perlakuan mereka baik, tolong menolong, dan kalau
diluar mungkin perlakuan mereka agak riskan gitu deketin kusta.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga/masyarakat terhadap bapak/ibu dalam kegiatan
sosial dan agama? (probing : tidak diundang dalam pesta, tidak boleh ikut dalam
kegiatan keagamaan, tidak pernah dikunjungi, tidak boleh membantu orang lain yang
sedang hajatan, tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mau membeli barang hasil kerja
penderita)
“kalau dilingkungan kita sendiri perlakuan mereka baik Cuma kita kadang bersaing
dengan teman sendiri dalam berdagang, kalau diluar sitanala kita tidak mendapat
pekerjaan, kerja kita terbatas seperti jadi tukang sapu, parkir, itu emang sudah
ketentuan wali kota Tangerang.”
Menurut bapak/ibu, apa yang menyebabkan tetangga/masyarakat melakukan itu?
“fobia terhadap kusta itu yang menyebabkan perlakuan selama ini, dan mungkin
orang yang tau kusta juga masih takut sehingga mereka enggan mengkaryakan
kita.”
Bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat?
“alhamdulillah istri dan keluarga menerima keadaan saya dan mereka mendukung
saya.”
Bagaimana perlakuan orang lain terhadap diri bapak/ibu?
“ya kalau orang lain diluar sitanala sebenarnya perlakuannnya biasa saja Cuma
mereka masih takut sama kusta.”
Ketika suatu masalah menimpa keluarga bapak/ibu, kemudian bapak/ibu memberikan
solusi dari masalah tersebut, apa yang dilakukan oleh keluarga?
“keluarga memberikan peluang untuk kita berpendapat, mereka menghargai
pendapat saya.”
5.5.5 Identitas diri
Apa pekerjaan bapak/ibu sebelum menderita cacat kusta?
“belum kerja kan masih kecil waktu itu.”
Bagaimana bapak/ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari?
“setiap hari saya jadi petugas kebersihan kota, kaya nyapu. Dan selebihnya saya
juga mba punya keahlian benerin elektronik jadi ada penghasilan tambahan untuk
biaya hidup tiap hari.”
Apa tujuan hidup bapak/ibu?
“tujuan saya sekarang menjaga anak-anak saya supaya tidak kena kusta, saya suka
ingetin istri untuk imunisasi. Biar saya saja yang kena, usaha untuk bekal hidup,
sudah deh tinggal siap mati.”
Sebagai pemimpin keluarga, menurut bapak apa peran bapak dalam keluarga dan
masyarakat?
“sebagai kepala keluarga dan kalau dimasyarakat ikut peran serta dalam
masyarakat seperti saya jadi pengurus masjid.”
Jika ada kegiatan di desa, apa peran serta bapak dalam kegiatan tersebut?
“ikut membantu, kaya panitia paguyuban kematian, pernikahan.”
5.5.6 Konsep diri positif
Jika ada masalah, apa upaya bapak/ibu dalam mengatasi masalah tersebut?
“ya kita diskusikan supaya kelar masalahnya.”
Menurut bapak/ibu, apa kelebihan dan kekurangan yang di miliki bapak/ibu?
“dari sisi fisik saya banyak kekurangan, kalau kelebihannya mungkin bisa benerin
elektronik, komputer juga saya bisa benerin.”
Jika bapak/ibu mengeluarkan pendapat dalam setiap acara kemudian tidak disepakati,
apa penilaian bapak/ibu dalam menyikapi hal tersebut?
. “ya kita terima saja, itu hak mereka mau nerima atau ga.”
Jika ada orang lain yang membeda-bedakan status sosial, apa tanggapan bapak/ibu
terhadap masalah tersebut?
“ya saya ngerti dan tau diri bahwa ga bakalan orang lain nerima kita karena kita
kusta. Pasti perbedaan status itu ada di masyarakat.”
Jika ada tetangga/masyarakat yang memerlukan bantuan bapak ibu, apa yang
bapak/ibu lakukan?
“saya bantuin lah.”
Uapaya apa saja yang bapak/ibu lakukan untuk meningkatkan konsep diri positif?
diri.”
“saya tetap optimis dan percaya diri
.”
Kasus Tn. M
5.5.1 Citra diri
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita cacat
kusta?
“awalnya kan saya ga tau ini kusta, waktu itu saya suruh periksa ke sitanala tapi pas
lama ga berobat lukanya makin parah dan saya mengasingkan diri ke tangerang sampai
sekarang.”
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita cacat
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“ya malu, ga nyaman saja kalau ketemu orang lain, tapi sekarang mah saya biasa-biasa
saja, mau diliatin terserah.”
Bagaimana orang lain memandang diri bapak/ibu dengan kondisi cacat kusta?
“biasa-biasa saja, malahan saya kasih tau kalau saya ini cacat kusta. Waktu itu
pernah ngamen di bis, saya tunjukin ciri-ciri kusta sama oarang yang ada di bis,
dan alhamdulillah mereka mau mendengarkan dam menghargai saya.”
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki bapak/ibu sekarang, menurut bapak/ibu
bagaimana penerimaan diri terhadap kondisi sekarang?
“saya nerima saja keadaannya begini, walaupun sudah berobat tapi kan cacatnya
ga ilang. Kita juga mencari uang dengan meminta-minta bukan karena malas tapi
karena keterpaksaan dengan keadaan kaya gini.”
Menurut bapak/ibu, bagian tubuh mana yang paling bapak/ibu sukai?
“apa yang mau disukai, orang cacat kaya gini, kusta pula.”
Bagaimana pendapat bapak/ibu, tentang gambaran diri secara fisik?
“ini kan tubuh saya, kalau secara fisik mungkin banyak kekurangan, mati rasa lah,
megang panas ga kerasa, jari kaki pada kiting sehingga jalan juga ga gagah gitu.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah cacat selanjutnya?
“kalau sekarang kan lama ga minum obat lagi, paling kalau untuk cacatnya saya
pake sarung tangan kulit.”
5.5.2 Ideal diri
Siapa yang pertama kali bapak/ibu beritahu tentang keadaan tersebut? Alasannya?
“orang tua, karena waktu itu masih tinggal sama orang tua.”
Dengan keadaan seperti sekarang, apa pekerjaan yang bapak/ibu lakukan? Alasannya:
“dulu saya berjualan ikan basah, tapi ga ada yang mau beli karena mungkin
pedagangya kusta ahirnya jualan saya ga habis, sekarang saya ngamen di bis
kalideres, lumayan buat kebutuhan sehari-hari mah cukup.”
Dengan keterbatasan fisik sekarang, bagaimana upaya bapak/ibu untuk mencapai citacita?
“cita-cita apa, saya cacat gini. Paling sekarang mah ngamen saja. Kalau keinginan
semua orang juga pingin tapi saya mah tau diri.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah?
“paling nonton tv, nongkrong di warung.”
Menurut bapak/ibu, bagaimana bapak/ibu memandang masa depan?
“masa depan saya sekarang adalah anak isteri, anak saya jangan sampai nasibnya
kaya saya, alhamdulillah anak ga kusta.”
Apa harapan bapak/ibu tentang masa depan?
“harapan saya bagi pemerintah khususnya, tolonglah karyakan kami misalnya
kerja di pabrik korek asal jangan pabrik makanan saja. Harapan saya bagi petugas
kesehatan coba ada imunisasi kusta, kan anak cucu kita bisa di imunisasi supaya
ga nular.”
Dengan kondisi seperti sekarang, prestasi apa yang pernah bapak/ibu raih?
“kalau prestasi dengan penghargaan piala atau piagam belum pernah, tapi saya
pernah ikut lomba catur se RW, pernah ikut seminar kusta Se-ASEAN, olah raga
YPAC Indonesia, saya ngurusin beasiswa pendidikan.”
Seperti apa sebenarnya sosok diri ideal yang bapak/ibu harapkan?
“pemimpin yang mau dekat dengan rakyat seperti kita-kita ini.”
5.5.3 Harga diri
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita penyakit
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“malu, dan masyarakat ga nerima kita.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasi rasa malu?
“kalau saya sih cuek saja, paling nundukin kepala.”
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita penyakit
kusta? (probing : menjauh dari keluarga, mengurung diri di rumah, mengasingkan diri)
“berobat dan ahirnya mengasingkan diri dari keluarga, karena disini kan tementemennya kusta semua.”
Bagaimana bapk/ibu dalam menyikapi dan menerima keadaan ini dengan tidak melihat
keatas tetapi kebawah?
“saya terima saja, orang mau bilang apa saya anggap wajar, toh hidup juga kan ada pro
dan kontra.”
Dengan kondisi seperti sekarang, bagaimana perasaan bapak/ibu jika orang lain
memperhatikan bapak/ibu ketika dilingkungan ramai?
“cuek saja, yang penting kita ga mengganggu mereka.”
5.5.4 Penampilan peran
Bagaimana perlakuan keluarga terhadap bapak/ibu? (probing : mengasingkan alat
makanan, alat mandi, tidur di kamar, tidak didengarkan pendapatnya, tidak boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perkawinan terganggu)
“keluarga sih sejauh ini masih menghargai saya, tidak ada perlakuan khusus atau
dijauhi, biasa saja kaya yang lain.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga terhadap bapak/ibu dalam kegiatan sehari-hari?
“kalau di sitanala sendiri teman atau tetangga baik-baik saja, tapi kalau di luar itu
yang jadi beban, istilahnya kita belum berani diluar kecuali jadi pengemis di lampu
merah.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga/masyarakat terhadap bapak/ibu dalam kegiatan
sosial dan agama? (probing : tidak diundang dalam pesta, tidak boleh ikut dalam
kegiatan keagamaan, tidak pernah dikunjungi, tidak boleh membantu orang lain yang
sedang hajatan, tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mau membeli barang hasil kerja
penderita)
“kalau disini kita sosialnya baik dengan yang lain, ada kegiatan agama, hajatan ya
saling membantu tapi kalau diluar orang belum menerima kita, mereka masih takut
kusta, jadi sosialnya yang bermasalah.”
Menurut bapak/ibu, apa yang menyebabkan tetangga/masyarakat melakukan itu?
“fobia masyarakat terhadap kusta itu yang sulit dihindari.”
Bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat?
“mereka mendukung dan menerima saya apa adanya.”
Bagaimana perlakuan orang lain terhadap diri bapak/ibu?
“mereka memperlakukan orang kusta dipandang rendah karena penyakitnya itu,
kan beda dengan cacat karena bawaan atau polio, mereka banyak yang orang
kaya, dihargai seperti tuna rungu itu kan orang kaya semua.”
Ketika suatu masalah menimpa keluarga bapak/ibu, kemudian bapak/ibu memberikan
solusi dari masalah tersebut, apa yang dilakukan oleh keluarga?
“kita diskusikan masalahnya, kalau pendapat kita ga diterima ya ga apa-apa.”
5.5.5 Identitas diri
Apa pekerjaan bapak/ibu sebelum menderita cacat kusta?
“karena kena kustanya waktu kecil jadi belum kerja.”
Bagaimana bapak/ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari?
“dengan ngamen, dikit-dikit jualan, bantuin RW.”
Apa tujuan hidup bapak/ibu?
“membesarkan anak, menjadi lebih baik, siap mati deh.”
Sebagai pemimpin keluarga, menurut bapak apa peran bapak dalam keluarga dan
masyarakat?
“sebagai kepala keluarga yang mencari uang buat anak isteri, kalau di masyarakat
ya bantuin warga kalau membutuhkan, ikut peran serta di kantor RW.”
Jika ada kegiatan di desa, apa peran serta bapak dalam kegiatan tersebut?
“missal ada kawinan kita jadi panitianya atau ngurusin bayaran paguyuban
kematian.”
5.5.6 Konsep diri positif
Jika ada masalah, apa upaya bapak/ibu dalam mengatasi masalah tersebut?
“masalah dalam kehidupan kan wajar, kita harus terima caranya kita omongin baikbaik supaya tau inti masalahnya.”
Menurut bapak/ibu, apa kelebihan dan kekurangan yang di miliki bapak/ibu?
“banyak kekurangan apa lagi cacat, tangan saja ga bias megang, nulis. Kalau
kelebihan saya paling bisa maen catur.”
Jika bapak/ibu mengeluarkan pendapat dalam setiap acara kemudian tidak disepakati,
apa penilaian bapak/ibu dalam menyikapi hal tersebut?
“terserah mereka, mau menerima atau menolak kita terima saja.”
Jika ada orang lain yang membeda-bedakan status sosial, apa tanggapan bapak/ibu
terhadap masalah tersebut?
“status sosial kan ada di masyarakat jadi wajar lah kalau mereka memandang kita
jijik, jadi mau ngomong apa juga saya anggap wajar.”
Jika ada tetangga/masyarakat yang memerlukan bantuan bapak ibu, apa yang
bapak/ibu lakukan?
“ya kita bantuin, saya juga membantu masyarakat dalam hal beasiswa pendidikan.”
Uapaya apa saja yang bapak/ibu lakukan untuk meningkatkan konsep diri positif?
“untuk hidup lebih baik, supaya ekonomi baik juga dan bisa membantu orang
lain, jadi kalau sekarang saya ga punya materi, yah dijalanin saja lah.”
Kasus Tn. Su
5.5.1 Citra diri
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita cacat
kusta?
“awalnya kan masih luka, bercak kemerahan gitu terus di gosok pake lengkuas,
malah tambah merah, kan saya kustanya tipe L, saya ke puskesmas. lama
kelamaan kuping jadi melebar, saya berobat ke RS Mojokerto setengah tahun,
terus dioperasi.”
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita cacat
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“ya malu mba, alis mata sudah botak, bulu mata ilang, mata kaya katarak, kuping
ewer-eweran karena sudah beberapa kali dioperasi, Cuma tangan saja yang ga
kiting. Kan yang diserang saraf tepi.”
Bagaimana orang lain memandang diri bapak/ibu dengan kondisi cacat kusta?
“alhamdulillah orang ga pada takut sama saya malah kasian sama saya, dan saya
disarankan berobat, malahan waktu saya dirawat di sitanala itu perawatnya yang
takut, sampai ngasih obat saja dari atas.”
Dengan keterbatasan fisik yang dimiliki bapak/ibu sekarang, menurut bapak/ibu
bagaimana penerimaan diri terhadap kondisi sekarang?
“ Kalau teman disini menerima dengan baik karena senasib sepenanggungan.
Kalau orang luar ngerti berarti mereka menerima kita, dilingkungan sendiri ga
masalah tapi diluar kan ada, ga nerima kita.”
Menurut bapak/ibu, bagian tubuh mana yang paling bapak/ibu sukai? Alasannya?
“semua saya suka karena ini tubuh saya, saya nerima apa adanya dengan fisik
saya toh anak saya ganteng berarti kan bapaknya ganteng.”
Bagaimana pendapat bapak/ibu, tentang gambaran diri secara fisik?
“fisik saya sudah ga kuat karena sudah tua, muka peot, alis mata ga ada, bulu
mata ilang, kuping ewer-eweran, tangan kiting. Ya itu kalau tipe L.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mencegah cacat selanjutnya?
“saya kan buka bengkel las, pasti nyentuh ma yang panas-panas jadi saya pake
kaca mata las, sarung tangan supaya ga kena tangan yang mati rasa.”
5.5.2 Ideal diri
Siapa yang pertama kali bapak/ibu beritahu tentang keadaan tersebut? Alasannya?
“pertamanya saya ga tau, pas tau langsung saya kasih tau orang tua bahwa ini
penyakit besar(kusta). Kebetulan isteri saya Ex Kusta juga tapi tipe BL, yang
tangnnya pada kiting.”
Dengan keadaan seperti sekarang, apa pekerjaan yang bapak/ibu lakukan? Alasannya:
“sekarang ngewarung, dulu
saya buka bengkel las karena ga kuat jadi
ngewarung saja di rumah.”
Dengan keterbatasan fisik sekarang, bagaimana upaya bapak/ibu untuk mencapai citacita?
“ya saya berusaha semampunya, saya tertarik dengan pribahasa’banyaklah
sudah yang hilang dari hidup ini tapi satu yang tidak akan hilang yaitu harapan,
karena walaupun saya cacat masih punya harapan atau cita-cita.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengisi waktu luang di rumah?
“jaga warung, nonton tv.”
Menurut bapak/ibu, bagaimana bapak/ibu memandang masa depan?
“masa depan saya adalah anak, anak saya kuliah jadi pandangan saya dengan
masa depan sewaktu-waktu anak saya sukses, dan kita harus optimis.”
Apa harapan bapak/ibu tentang masa depan?
“supaya lebih baik karena harapan itu ga akan hilang, semoga anak saya jadi
sarjana kesehatan, sukses. Orang tua Cuma berdoa saja buat anak.”
Dengan kondisi seperti sekarang, prestasi apa yang pernah bapak/ibu raih?
“kalau prestasi yang diukur dengan piala ga pernah tapi kalau kemampuan saya
senang hitung-hitungan.”
Seperti apa sebenarnya sosok diri ideal yang bapak/ibu harapkan?
“banyak figur dalam hidup saya, yang saya harapkan adalah sosok isteri saya
yang sabar dan semangat.”
5.5.3 Harga diri
Bagaimana perasaan bapak/ibu, ketika pertama kali mengetahui menderita penyakit
kusta? (probing : malu, cemas, takut, depresi, merasa tidak akan nyaman bertemu
orang lain)
“malu, tapi sekarang saya nerima.”
Apa yang bapak/ibu lakukan untuk mengatasi rasa malu?
“nutupin muka saya, karena kan lukanya lebar terus kebanyakan di muka kaya
pulau gitu makanya saya gosok paksa pake lengkuas.”
Apa yang bapak/ibu lakukan, ketika mengetahui bahwa bapak/ibu menderita penyakit
kusta? (probing : menjauh dari keluarga, mengurung diri di rumah, mengasingkan diri)
“mengasingkan diri dari keluarga di mojokerto dan sampai sekarang tinggal di
sitanala tangerang.”
Bagaimana bapk/ibu dalam menyikapi dan menerima keadaan ini dengan tidak melihat
keatas tetapi kebawah?
“saya terima saja, walaupun orang lain takut sama kusta yang pasti ga saling
ganggu.”
Dengan kondisi seperti sekarang, bagaimana perasaan bapak/ibu jika orang lain
memperhatikan bapak/ibu ketika dilingkungan ramai?
“wajar saja mereka ngeliatin kita atau jijik, tapi kalau yang sudah tau dan kenal
kita mereka biasa saja tuh. Kita harus terima bahwa fobia kusta sulit dihindari.”
5.5.4 Penampilan peran
Bagaimana perlakuan keluarga terhadap bapak/ibu? (probing : mengasingkan alat
makanan, alat mandi, tidur di kamar, tidak didengarkan pendapatnya, tidak boleh
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, perkawinan terganggu)
“semua barang yang habis saya pakai itu dipisahkan, dicuci terutama buat anak,
karena anak saya sehat jadi saya harus jaga supaya ga ketularan. Anak saya kan
sudah punya pacar dan rencananya mau nikah tapi karena cewe itu bukan orang
kusta jadi saya khawatir dengan penerimaan keluarga si cewe, saya ga setuju.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga terhadap bapak/ibu dalam kegiatan sehari-hari?
“mereka baik, karena kita senasib sepenanggungan. Kalau diluar orang takut
sama kita kecuali yang sudah ngerti, mereka baik sama kita.”
Bagaimana perlakuan teman/tetangga/masyarakat terhadap bapak/ibu dalam kegiatan
sosial dan agama? (probing : tidak diundang dalam pesta, tidak boleh ikut dalam
kegiatan keagamaan, tidak pernah dikunjungi, tidak boleh membantu orang lain yang
sedang hajatan, tidak mendapatkan pekerjaan, tidak mau membeli barang hasil kerja
penderita)
“sampai saat ini mereka menerima kita, missal ada acara dikelurahan kita ikut
serta, ada hajatan kita bantuin. Tapi kalau diluar saja kita tidak mendapatkan
pekerjaan.”
Menurut bapak/ibu, apa yang menyebabkan tetangga/masyarakat melakukan itu?
“penyebabnya karena kita punya penyakit besar/kusta, orang kan cara
memandangnya karena faktor fobia yang dusah ilang sampai sekarang itu hak
mereka untuk takut, wajar lah.”
Bagaimana dukungan keluarga dan orang terdekat?
“mereka mendukung saya sepenuhnya, anal dan isteri juga itu harapan saya.”
Bagaimana perlakuan orang lain terhadap diri bapak/ibu?
“seperti dikelurahan mereka menerima saya seperti orang sehat biasa, baik lah.”
Ketika suatu masalah menimpa keluarga bapak/ibu, kemudian bapak/ibu memberikan
solusi dari masalah tersebut, apa yang dilakukan oleh keluarga?
“kita diskusikan, nasehatin anak. Dulu saya pernah bilang sama anak kalau mau
menikahi cewe itu kamu harus siap resiko penolakan dari keluarganya.”
5.5.5 Identitas diri
Apa pekerjaan bapak/ibu sebelum menderita cacat kusta?
“ga kerja, karena masih sekolah.”
Bagaimana bapak/ibu mencukupi kebutuhan sehari-hari?
“kalau kebutuhan seharinya ya dari warungan, kalau buat biayain anak kuliah ya
dari gaji isteri sebagai PNS di gizi sitanala.”
Apa tujuan hidup bapak/ibu?
“membesarkan anak, membiayai anak kuliah supaya sukses dan siap mati deh.”
Sebagai pemimpin keluarga, menurut bapak apa peran bapak dalam keluarga dan
masyarakat?
“di keluarga sebagai kepala keluarga yang nasihatin anaknya, nyemangatin
isteri. Di masyarakat saya dipercaya kelurahan untuk ngurusin Raskin,
mengurus
kartu multi guna ke puskesmas, membantu RW, ngurus iuran
paguyuban kematian.”
Jika ada kegiatan di desa, apa peran serta bapak dalam kegiatan tersebut?
“ikut membantu acara, seperti panitia hajatan, ketua bengkel las.”
5.5.6 Konsep diri positif
Jika ada masalah, apa upaya bapak/ibu dalam mengatasi masalah tersebut?
“kita diskusikan, beri saran. Saya sih demokratis saja terserah selagi itu baik
kenapa ga.”
Menurut bapak/ibu, apa kelebihan dan kekurangan yang di miliki bapak/ibu?
“banyak kekurangan, tapi saya cepet dalam menghitung matematika, saya pingin
jadi guru matematika.”
Jika bapak/ibu mengeluarkan pendapat dalam setiap acara kemudian tidak disepakati,
apa penilaian bapak/ibu dalam menyikapi hal tersebut?
“kalau ada pendapat dan saran saya terima, masalah tidak diterima itu resiko.
saya pro aktif saja.”
Jika ada orang lain yang membeda-bedakan status sosial, apa tanggapan bapak/ibu
terhadap masalah tersebut?
“saya menerima perbedaan itu, keadaannya sudah kaya gini kita akui kita cacat.
Kalau ga nerima mau ngadu kesiapa coba, kan ga ada pengadilan kusta.”
Jika ada tetangga/masyarakat yang memerlukan bantuan bapak ibu, apa yang
bapak/ibu lakukan?
“kita bantu, saya juga bantu ngurusin Raskin untuk warga lain yang bukan
kusta.”
Uapaya apa saja yang bapak/ibu lakukan untuk meningkatkan konsep diri positif?
“selalu optimis menjalani hidup dan punya harapan yang ga akan hilang.”
Menurut pandangan petugas puskesmas, konsep diri penderita kusta masih
tetap pada stigma masyarakat yang takut kusta, sampai sekarang untuk bekerja di luar
mereka kesulitan, akhirnya kecacatan itu dimanfaatkan untuk menjadi pengemis. Hal
itu yang meyebabkan konsep diri mereka negatif karena adanya leprofobia. Seperti
ungkapan berikut:
“ketika kita datang ke RW 13, pasti kan orang akan enggan bersalaman atau
mendekatinya, artinya bahwa stigma terhadap kusta itu ada karena mereka takut
tertular, padahal kalau sudah berobat maka kuman kusta ga nular asalkan
imunitas kita baik.”
Tidak semua orang takut kusta dan menjauhinya, berbeda dengan petugas
puskesmas. Pada saat pemerikasaan fisik, mereka melakukan pemeriksaan seperti
biasa, pada pasien kusta disebut POD (prevention of disability). Seperti ungkapan:
“untuk petugas puskesmas sendiri, kalau ada pasien kusta datang kita tanya
riwayatnya kemudian periksa ada bercak atau tidak, mati rasa ga pas disentuhin
kapas. Itu deteksi kustanya, atau potensial kusta. Kalau kecacatan periksanya
pakai POD caranya pasien mengadahkan tangannya untuk menjepit kertas,
kemudian kita tarik kalau misal lunglai, lepas pas ditarik berarti cacat.
Pemeriksaan ini juga dimulai dari mata, kaki. Terutama persendian.”
Perlakuan berbeda terlihat pada petugas kelurahan dan tokoh masyarakat,
mereka hidup dan berinteraksi seperti orang sehat, tidak memandang itu kusta.
Diantara penderita kusta ada yang bekerja di kelurahan. Hal inilah yang membuat
penderita kusta tidak dikucilkan lagi sehingga konsep diri yang dibangun mereka
terbentuk dengan baik tanpa harus memanfaatkan kecacatan. Seperti ungkapan:
“kan di kelurahan juga ada penderita cacat kusta yang sudah sembuh dan
mereka berbaur dengan yang lain, mereka sudah diterima dimasyarakat, kalau
kelurahan sendiri mereka membina kader PKK dari warga kusta, kita ikutin
mereka untuk jadi kader penjaringan.”
Banyak peneyebab dari perlakuan masyarakat itu sendiri, mereka yang sudah
sembuh dan tidak menular lagi di beri pekerjaan sebagai tukang sapu atau becak. Hal
ini salahsatu program kota tangerang dalam upayanya menangani warga kusta untuk
bekerja. Seperti ungkapan:
“ada
juga
yang
dipekerjakan
untuk
jadi
petugas
kebersihan,
becak,
perbengkelan, tukang jahit. Ada juga yang berhasil, dia jadi kepala sekolah
khusus kusta, jadi pendapat saya tentang perlakuan tersebut kalau sesuatu yang
negatif harus dirubah image nya supaya orang lain tau dan tidak mengucilkan
kusta, jangan menyinggung perasaan, kita merubah suatu dari yang tidak tau
menjadi tau. Jagan jadi provokator untuk menjauhi kusta. Salah satu upaya kita
terhadap pengaruh perlakuan itu adalah merubah stigma itu dengan penyuluhan.
5.6 Persepsi tentang bahaya kusta
Kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta yang
menyerang saraf tepi, kulit, dan jaringan tubuh lainnya. Akibat dari penyakit kusta yang
ditimbulkan tidak hanya menjadi masalah kesehatan saja tetapi sudah menjadi masalah
sosial dan ekonomi. Dampak sosial akibat penyakit kusta sedemikian besarnya sehingga
menimbulkan keresahan mendalam bagi masyarakat. Seperti ungkapan: “saya jualan ikan
basah tapi orang tetep saja ga mau beli produk kita, jijik katanya. Waktu itu saya ikut olah
raga
yang diadakan YPAC, karena terbentur masalah fobia jadi kita hadir tapi ga
dianggap jadi peserta katanya cacat kusta.” Sebagian orang berpendapat bahwa kusta
menular dan berbahaya apabila dalam keadaan reaksi dan tidak minum obat, serta anakanak yang tidak di imunisasi BCG akan tertular. Berbeda dengan yang diungkapkan oleh
petugas puskesmas bahwa: “sekarang kusta bisa nular lewat udara atau droplet, jadi kita
harus memakai masker pada saat periksa supaya ga bahaya.”
5.7 Sikap masyarakat terhadap penderita kusta
5.7.1 Sikap dalam kehidupan seharisehari-hari
Dalam hal pergaulan setiap hari, warga kusta yang terdapat di lima RT mereka hidup
bertetangga seperti biasa, karena daerah tersebut adalah komunitas kusta. Hampir sebagian
informan bersikap setuju, karena di RT 01 dan 02 merupakan warga non kusta sehingga
dalam kehidupan sehari-hari, mereka bergabung seperti biasa, hidup bermasyarakat, tidak
ada perbedaan status sosial. Seperti ungkapan berikut: “kita tidak punya hak untuk
membedakan tempat tinggal warga kusta dengan yang non kusta, kalau mereka sudah
tinggal di karangsari hak mereka menggunakan fasilitas adalah sama, mereka hidup
bergabung seperti biasa.” Dan banyak masyarakat luar karangsari yang tidak setuju, karena
mereka takut tertular kusta. Seperti ungkapan: “datangnya saja ke karangsari ga mau takut
ketularan apa lagi ngedeketin atau salaman kan nyentuh kulit, bagus sih mereka dilokalisir
supaya ga nularin juga.”
5.7.2 Sikap dalam pernikahan anggota keluarga dengan keluarga penderita kusta
Sebagian informan tidak setuju anaknya dinikahkan dengan keluarga penderita
kusta, hal ini disebabkan oleh fobia masyarakat terhadap kusta. Mereka melarang
anaknya berhubungan dengan keluarga penderita. Seperti pernyataan berikut: “anak saya
kan cowo punya pacar anak dari keluarga non kusta, mereka mau menikah tapi saya ga
setuju karena ga mungkin keluarga cewenya mau nerima kita, harus tau resikonya.
Sampai sekarang hubungan mereka tidak diketahui keluarga si cewe. Saya nyaranin
sama anak meningan kamu jangan nikah sama dia, nanti kita ditolak.”
Ada juga pendapat informan yang menyetujui adanya pernikahan dengan penderita kusta.
Seperti pernyataan petugas kelurahan: “warga kita juga ada yang nikah dengan
penderita, mereka tinggal di luar sitanala dan beranak pinak, alhamdulillah anaknya
juga sehat.”
5.7.3 Sikap terhadap partisipasi penderita kusta dalam kehidupan sosial
Sebagian besar informan bersikap setuju dan mendukung peran serta penderita
kusta dalam perannya di masyarakat. Jika penderita kusta ikut berpartisipasi dalam
kegiatan sosial misal kerja bakti lingkungan dan membangun kantor RW, mereka juga
membantu kelurahan dalam mengurus Raskin, KTP, akte, kartu multiguna, dan iuran
paguyuban kematian. Hal ini mendorong penderita kusta diakui keberadaannya di
masyarakat.” Seperti pernyataan: “ kalau dari pihak kelurahan lebih memfokuskan pada
kehidupan sosial, misal memfasilitasi penderita untuk membuat kaki palsu, menyediakan
keterampilan supaya mereka mandiri. Dan ada juga yang ikut membantu kelurahan
dalam mengurus raskin, kartu multi guna.”
Diantara mereka ada yang dipercaya menjadi kader posyandu untuk membantu
puskesmas dalam penjaringan penyakit, mereka juga di ikutsertakan sebagai PKK.
Pernyataan sikap dikalangan petugas kesehatan dan kelurahan mayoritas menunjukan
sikap setuju.
5.7.4 Sikap terhadap keikutsertaan penderita kusta dalam kegiatan agama
Tidak hanya kegiatan sosial saja mereka dilibatkan, namun dalam kegiatan agama
mereka juga ikut terlibat. Misal menjadi panitia dalam acara isra miraj, maulid nabi yang
diadakan di kelurahan. Seperti pernyataan: “kita juga libatkan panitia dari penderita
kusta, mereka ada yang kerja disni.”
Mayoritas petugas kelurahan dan masyarakat setuju jika mereka dilibatkan, dalam
masyarakat juga ketika ada riungan di RT lain mereka di undang. Mayoritas penduduk
kusta beragama islam, selebihnya beragama kristen, budha. Mereka hidup berdampingan,
jika ada kegiatan agama mereka ikut membantu, misalnya ada misi berupa donatur dari
komunitas budha. Seperti ungkapan: “walaupun mereka beragama islam, ketika ada misi
keagamaan seperti membangun sekolah, kantor RW dari donatur komunitas agama lain,
mereka ikut membantu.”
5.7.5 Sikap dalam pelayanan kesehatan di puskesmas
Petugas puskesmas menunjukan sikap ramah pada semua penderita kusta, tidak
ada perlakuan yang membedakan dengan penderita penyakit lain. Pada saat pemeriksaan
fisik mereka menggunakan alat pelindung diri, seperti ungkapan: “pas kita lagi meriksa
ya seperti biasa, kita jalani sesuai prosedur POD tapi ini hanya bisa dilakukan oleh
wasor kusta yang sudah terlatih. Jadi ga ada perlakuan khusus.”
Sebagian petugas kesehatan juga ada yang fobia kusta, ketika mereka memberikan obat
dan enggan memeriksa penderita kusta. Seperti ungkapan: “saya pernah dirawat
setengah tahun di rumah sakit kusta Mojokerto, waktu itu perawatnya mau ngasih obat
lewat atas jadi tangan ga mau nyentuh karena takut.”
5.7.6 Sikap tokoh masyarakat terhadap perlakuan masyarakat
Tokoh masyarakat merupakan orang yang paling berpengaruh di masyarakat.
Mereka menunjukan sikap setuju dan membantu penderita kusta. Tokoh masyarakat
diberikan penyuluhan tentang kusta supaya tidak ada stigma negatif
dimasyarakat
tentang kusta. Seperti ungkapan: “seorang kepala sekolah, beliau bertekad untuk
membantu orang kusta dan menerima ex kusta untuk sekolah seperti anak lainnya.”
Perlakuan tokoh masyarakat tersebut menunjukan bahwa dalam status sosialnya tidak ada
yang dibedakan, karena itu hak manusia untuk mendapatkan pendidikan.
5.8 Penyuluhan tentang kusta
5.8.1 Informasi
Informasi tentang penyakit kusta yang pernah diberikan melalui penyuluhan
Kepada informan petugas puskesmas ditanyakan tentang informasi yang
sering disampaikan dalam penyuluhan, penyuluhan biasanya diadakan pada saat
posyandu atau pada saat
penjaringan, pihak puskesmas mengadakan
penyuluhan khusus kusta. Biasanya informasi yang disampaikan adalah tanda
gejala kusta, cara penularan, dan pengobatan. Jika penyuluhan untuk cacat
kusta pihak puskesmas menginformasikan tentang cara perawatan diri. Seperti
ungkapan: “kebanyakan mereka, sudah pada tau tanda gejalanya. Kita juga
penkes tentang perawatan diri misalnya terus ngingetin suruh pakai sarung
tangan kalau lagi megang yang panas-panas, pakai kacamata kalau lagi
bepergian. Banyak yang kesunut rokok, katanya tau-tau sudah kena jari, ga ada
rasa.” Mereka juga melaporkan jika ada anggota keluarganya yang mnederita
kusta sesuai tanda gejala kusta harus segera dilaporkan ke puskesmas. Tidak
hanya penderita yang diinformasikan tentang kusta, kader juga ikut dilibatkan,
mereka diberi penjelasan oleh petugas puskesmas.
5.8.2 Metode dan media penyuluhan
Pada umumnya media yang biasa dipakai oleh petugas puskesmas adalah lembar
balik, poster bergambar, dan contoh penderitanya. Metode yang dipakai dalam
penyuluhan adalah metode tanya jawab atau diskusi dengan melihat gambar, pakai LCD,
karena itu metode yang efektif. Seperti ungkapan: “kalau penyuluhan biasanya pakai
poster atau lembar balik terus kita suruh pasien menunjukan bercak, karena kan ada
gambarnya jadi mereka langsung tau. Metodenya juga biasanya tanya jawab supaya
gampang diingat saja. Ada juga penyuluhan secara individu, itu dilakukan kalau lagi
pemeriksaan fisik saja.”
Penyuluhan kusta biasanya diadakan dua bulan sekali baik oleh petugas puskesmas
maupun wasor kusta, jika ada posyandu atau pengajian biasanya diadakan penyuluhan.
5.8.3 Tempat dan petugas penyuluhan
Pada umumnya semua informan mendapatkan penyuluhan di posyandu atau pada
saat penjaringan, biasanya diadakan di paguyuban atau kantor kelurahan. Yang
menyampaikan penyuluhan adalah petugas puskesmas, wasor kusta, dan promkes. Bagi
pemegang progaram pemberantasan penyakit menular itu dapat memberikan penyuluhan.
Seperti ungkapan: “terakhir bulan januari kita penyluhan khusus kusta, yang diadakan di
karang sari, pada saat itu ada penjaringan penyakit kulit pada anak sekolah sekalian kita
penyuluhan kusta.”
Semua petugas kesehatan harus memberikan penyuluhan, kadangkala terhambat oleh
jadwal penyuluhan yang tidak tetap. Untuk itu dibuat jadwal penyuluhan dimasingmasing kelurahan agar informasi mengenai kusta tersampaikan kepada masyarakat.
Petugas kusta sebelmnya mendapatkan pelatihan kusta dari depkes, banyak diantara
petugas kusta yang sudah memiliki keterampilan dalam hal mendeteksi tingkat kecacatan
sesuai prosedur POD (Prevention Of Dissability)
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 keterbatasan penelitian
beberapa keterbatasan yang tidak dapat dihindarkan dalam penelitian ini, antara
lain :
1. Tidak ada penderita dengan cacat tingkat II yang sedang menjalani
pengobatan sehingga informasi ini digali dari informan dengan cacat tingkat II
yang sudah tidak dalam pengobatan lagi atau RFT (Release From Treatment)
2. Data penderita kusta dari puskesmas tidak ada sehingga monitoring data nihil,
karena puskesmas hanya membuat rujukan ke rumah sakit kusta sitanala
3. Berdasarkan rencana penelitian, wawancara untuk klien kusta akan dilakukan
di rumah tapi karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan kondisi maka
wawancara dilakukan di kantor RW dengan di bimbing oleh ketua RW 13
4. Peneliti belum menemukan Riskesdas tentang konsep diri penderita cacat
kusta, adapun Riskesdas yang berkaitan dengan judul tersebut adalah status
disabilitas atau ketidakmampuan dalam fungsi tubuh, individu, sosial di
provinsi Banten tahun 2007.
5. Walaupun jumlah kusta terbanyak dari 33 provinsi adalah di jawa timur,
namun karena kondisi tempat yang tidak memungkinkan maka penelitian
dilakukan di Tangerang.
6.2 Pengetahuan tentang penyakit kusta
Dalam penelitian ini, semua informan baik petugas puskesmas, maupun
penderita cacat kusta mengetahui penyebab kusta yaitu Mycobacterium Leprae.
Sebagian informan juga mengetahui tanda utama pada kusta, mereka mengenali
gejala tersebut dari petugas kesehatan atau media masa. Berdasarkan hasil
evaluasi model penanggulangan penyakit kusta di daerah endemis dengan
pendekatan sosial budaya di Banyusangkah kabupaten Bangkalan Madura oleh
Sunanti Zalbawi bahwa Terjadi kenaikan pengetahuan tentang penyakit kusta,
semua masyarakat yang tidak tahu tentang penyebab penyakit tersebut 48,5%
menjadi 12,7%. Kepercayaan masyarakat bahwa kusta merupakan penyakit
karena kutukan Tuhan masih ada, namun sebagian besar keperyaan tersebut mulai
hilang dari 10,6% menjadi hanya 2,7%. Demikian pula pengetahuan penyebab
kusta, semula masyarakat yang mengetehui bahwa penyakit tersebut karena
kuman 24,2% menjadi 43,7%.
6.3 Persepsi konsep diri klien kusta
6.4 Persepsi tentang bahaya kusta
6.5 Sikap masyarakat terhadap kusta
6.6 Penyuluhan tentang kusta
6.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri positif pada klien kusta
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu . Psikologi Sosial cetakan kedua. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2002
Bagian ilmu penyakit kulit dan kelamin FKUI. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 4.
Jakarta: FKUI.
Becker, Marshall H . The Health Belief Model and Personal Health Behaviour.
New Jersey : Charles B.Slack. 1974
Buletin penelitian kesehatan. Faktor Sosioekonomi dan Kegiatan Tertentu Yang Berhubungan
dengan Derajat Kecacatan dan Kadar Imunoglobulin Penderita Cacat Kusta Bebas Obat di
Liponsos Benowo, Surabaya Tahun 2006. Jakarta: Depkes RI
Damayekti, Nurika. Gambaran Konsep Diri Pada Remaja Penyandang Cacat,
Skripsi FPsi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2006
Departemen Kesehatan R. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Banten Tahun 2007.
Jakarta. 2008
Ditjen PP&PL. Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas 2007.
Jakarta : Depkes RI. 2007
Ditjen PP&PL. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta 2002. Jakarta: Depkes RI. 2002
Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Depkes RI. 2007
Harahap, Marwali. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 2002
Hidayat, Aziz alimul. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah edisi 1.
Jakarta : Salemba Medika. 2003
Hidayatullah, Sayful. Gambaran Konsep Diri Waria,
Skripsi Fpsi-UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008
Katagori, Yusnita. Gambaran Self-Esteem Remaja Yang Berperilaku Konsumtif
Pembelian Aksesoris, Skripsi Fpsi-UIN Syarif Hidayatullah. 2006
Keliat, Budi anna. Gangguan Koping, Citra Tubuh, dan Seksual Pada Klien Kanker.
Dalam
Jakarta : EGC. 1998
Keliat, Budi anna. Gangguan Konsep Diri. Jakarta : EGC. 1992
Mappiare, Andi. Pengantar Konseling dan Psikoterapi edisi 1. 2006
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Notoatmodjo, Sokidjo. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta. 2005
Rakhmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. 2000
Rahariyani, Dwi luthfia. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen.
Jakarta : EGC. 2007
Raymond. Kualitatif.
Diunduh dari http://rumahbelajarpsikologi.com. Diakses tanggal 25 november 2009 jam
06:47,
Rusmianingsih, Nining. Gambaran Tingkat Harga Diri Klien Kusta di RSK Sitanala Tangerang
Tahun 2003, 2003
Proposal Penelitian FIK-Universitas Indonesia
Sibagariang, Renta nilawati. Stigma Masyarakat Terhadap Penderita Kusta.
Tesis FKM-Universitas Indonesia. 2007
Suliswati. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC. 2005
Sunaryo. Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta : EGC. 2004
Stuart, W. Gail. Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta : EGC. 2006
Unarat. Konsep Diri dan Mutu Hidup Pasien Lepra Pada Daerah Pusat Lepra 5, Nakhon
Ratchasima.
Diunduh dari http://www.grad.cmu.ac.th/abstract/2000/95/abstract/9505023.htm. Diakses
tanggal 21 Februari 2009 jam 15.00, 2000.
Worner, David. Apa Yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter.
Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica. 2000
PROGRESS REPORT
BIMBINGAN SKRIPSI
Nama
NIM
Program Studi
Judul Skripsi
Dosen Pembimbing
: Rohmatika
: 105104003482
: Ilmu Keperawatan
: Gambaran Konsep Diri Pada Klien Dengan Cacat Kusta di
Kelurahan Karangsari RW13, Tangerang 2009
: 1. Jamaludin, S.Kep, M.Kep
2. Bambang P. Cadrana, S.KM, MKM
No
1.
Hari/Tanggal
Selasa, 10-03-2009
2.
Selasa, 17-03-2009
3.
Jumat, 20-03-2009
4.
Jumat, 03-04-2009
5.
6.
Minggu, 19-04-2009
Minggu, 03-05-2009
7.
Kamis, 14-05-2009
8.
Sabtu, 13-06-2009
9.
Minggu, 14-06-2009
Kegiatan
Judul sudah
disetujui
Bab I dan bab II di
revisi, membuat
kerangka teori
Bab III perlu
diperbaiki, konsul
dengan
pembimbing 2
Bab I-III perlu
diperbaiki,
penggantian
metode jadi
penelitian kualitatif
Bab III diperbaiki
Perbaiki pedoman
wawancara, bab IV
direvisi
Melengkapi daftar
isi, tabel dan
gambar
ACC untuk
persiapan seminar
proposal
Konsul power point
Paraf
10.
Selasa, 16-06-2009
11.
Minggu, 19-07-2009
12.
Kamis, 10-09-2009
13.
Senin, 05-10-2009
14.
Minggu, 18-10-2009
15
Minggu, 25-10-2009
16..
Jumat, 06-11-2009
seminar proposal
ACC untuk maju
seminar proposal
Pengetikan hasil
rekaman cetak
miring, Konsul
hasil uji validitas
Pembahasan,
gabungan hasil
penelitian dikaitkan
dengan teori,
informasi yang
diperoleh
dicantumkan,
pengetikan katakata salah dan
kurang diperbaiki
Perbaikan hasil
penelitian,
pembahasan dan
saran
Perbaikan BAB
VII, ACC maju
sidang
Revisi abstrak,
tanda tangan ACC
sidang
ACC untuk sidang
skripsi
Mengetahui,
Pembimbing I
Jamaludin, S.Kep, M.Kep
Pembimbing II
Bambang P.Cadrana,SKM,MKM
Download