10 PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH Assessment of the Below Ground Carbon Ashabul Anhar Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Darussalam–Banda Aceh Indonesia. I. LATAR BELAKANG S ebagian besar lahan gambut tropis (62%) ditemukan di daerah Indo-Malayan (80% di Indonesia, 11% di Malaysia, 6% di Papua New Guinea, dan sebagian kecil di Brunei, Vietnam, Filipina dan Thailand (Rieley et al., 1996; Page et al., 2006). Gambut daerah tropis adalah hasil akumulasi dari bahan organik yang melapuk dan telah terbentuk lebih dari ribuan tahun dalam lingkungan yang tergenang dan kekurangan oksigen. Di Indonesia gambut disimpan hingga ketebalan 20 m dan mengandung carbon dalam jumlah yang sangat besar (Whitten et al., 1987; Jaenicke et al., 2008). Pada kondisi alaminya, lahan gambut daerah tropis umumnya ditutupi oleh hutan rawa gambut yang meliputi ekosistem yang kaya dengan species endemik dan keragaman hayati. Hutan rawa gambut yang tersisa di Indonesia kurang dari 3% dan umumnya berada di hutan lindung (tapi masih mendapat ancaman dari pembalakan liar, pengeringan dan konversi pertanian), sementara sisanya tersedia untuk penebangan dan konversi menjadi lahan lain (MacDicken 2001). Hutan Rawa Gambut Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) adalah salah satu dari tiga hutan gambut rawa daerah pesisir yang berada di Pesisir Barat Sumatera (Tripa, Kluet dan Trumon-Singkil). Hutan Gambut Rawa Kluet dan Trumon-Singkil berada dalam status lindung, sehinga dalam kondisi ini hanya TPSF yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan. TPSF terletak di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya pada Pesisir Bagian Barat Provinsi Aceh. TPSF meliputi wilayah seluas hampir 60.657,29 ha dengan 60% berada di Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan 40% berada di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya. TPSF telah berjasa sebagai ekosistem alam yang efisien yang melindungi dan memitigasi berbagai bencana alam. Sebagai contoh TPSF berfungsi dengan baik dalam melindungi bencana seperti Tsunami, selain itu juga melindungi masyarakat dari banjir dan 1 kebakaran serta bencana badai . Selain itu TPSF juga memiliki fungsi penting lainnya seperti 2 fungsi ekologi, sumberdaya hayati, sumber air, habitat bagi hewan, atau kombinasinya . 1 2 Value of Tripapeatswamp forest, op. cit. Adapted from the HCV definition of 'biodiversity' in ibid. 373 374 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Namun sayang keberadaannya mengalami penurunan yang sangat cepat akibat konversi menjadi lahan pertanian (umumnya kelapa sawit), pembalakan liar, pengeringan dan kebakaran. Hasil kajian menunjukkan bahwa kerusakan gambut dan hutan Indonesia berkontribusi hingga 45% dari total emisi gas rumah Kaca (GRK –Ridlo, 1997). Pengelolaan gambut di Indonesia telah dijadikan sebagai target untuk menurunkan emisi GRK 9.5-13% pada tahun 2020 (Las dan Surmaini, 2010). Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia telah menghentikan pengembangan kelapa sawit pada daerah gambut yang dalam serta akan membuat Rencana Aksi Nasional untuk mengurangi emisi GRK pada Gambut (Noor, 2010). Gambut memilikikandungan kabon dan nitrogen yang cukup tinggi yang dapat menjadi sumber GRK sepertikarbon dioksida (CO2), methan (CH4) dan nitrous dioksida (N2O). Hal ini jelas menunjukkan bahwa hutan gambut memegang peranan yang sangat penting dalam mengurangi emisi GRK dan memitigasi perubahan iklim. Kajian yang dilakukan di daerah TPSF menunjukkan bahwa TPSF memiliki kandungan karbon 3 tersimpan 50 hingga 100 juta Mg karbon. Hasil pemantauan satellite menunjukkan bahwa pembukaan lahan di TPSF terus berlanjut dengan hampir 80% dari wilayah hutan telah berubah fungsi4. Widayati et al. (2012) dalam kajian terhadap dinamika penggunaan lahan yang didasarkan pada analisis dari waktu “time-series” terhadap peta tutupan lahan di Tripa dan sekitarnya selama hampir dua dekade (1990-2009) melaporkan bahwa, tahun 1990, 67,000ha atau 65% dari luas wilayah, yang sebagian besar adalah hutan rawa gambut,umumnya masih tertutup oleh hutan, namun pada tahun 2009 tutupan hutan hanya tinggal 19,000 hektar (18%). Konversi hutan terbesar berlangsung dari tahun 2005 hingga 2009 dengan kehilangan sekitar 4.000 ha/thn. Perubahan tutupan lahan terbesar adalah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2009 perkebunan kelapa sawit telah tumbuh menjadi 39.000 ha dari 19.000 ha tahun2005 dan 5.800 ha tahun 1995.Angka ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut mengindikasikan pertumbuhan rata-rata 4.900 ha/thn dan sekitar 1.700 ha/thn merupakan konversi dari hutan. Hilangnya hutan secara langsung menyiratkan hilangnya karbon di atas permukaan tanah akibat hilangnya biomassa dari vegetasi akibat penebangan. Karena hilangnya biomasa tersebut, kerapatan karbon tersimpan atas permukaan tanah di daerah Tripa menurun dari 158 Mg/ha pada tahun 1990 menjadi 67 Mg/ha pada tahun 2009 (Widyawati et al., 2012). Berdasarkan hasil pemantauan satelit terbaru pada bulan Desember 2012, hanya 12.267 ha yang masih berada pada tutupan hutan dan berada dalam kondisi tersebar, dengan blok terluas sekitar 8.400 ha dan lainnya sekitar 1.000 ha. Pengalihan fungsi lahan ditambah dengan penurunan fungsi lahan yang sangat cepat mengakibatkan kondisi yang serius terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat lokal dan hancurnya habitat bagi hewan yang dilindungi. Mudiyarso et al. (2011) menyatakan bahwa kebijakan REDD+ memiliki potensi yang cukup tinggi untuk mendukung konservasi ekosistem lahan gambut. Hal ini didukung dengan kandungan karbon yang tinggi di lahan gambut. Insentif harus dibuat untuk mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan sehingga mereka bersedia mengkonservasi karbon pada wilayah yang sama untuk penebangan atau perkebunan khususnya sawit. 3 4 Tripapeatswamp forest ecological situation, trends and feasibility of restoration, op. cit. Current Status of Tripa Peat Swamp Destruction and Fires: An Emergency Report prepared for the Coalition to Save Tripa and Partners. YayasanEkosistem Lestari, Medan, Sumatera Utara, 27 March 2012. LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 375 Berdasarkan kondisi di atas, Pemerintah Indonesia, Gugus Tugas REDD+, Pemerintah Aceh, dengan dukungan dari UNDP dan Universitas Syiah Kuala melakukan langkah-langkah untuk melaksanakan program rehabilitasi dan manajemen ke depan untuk TPSF. Sebagai langkah awal sejumlah kajian dilaksanakan untuk mendapatkan informasi dasar untuk kegiatan tersebut. Kajian kandungan karbon di bawah permukaan tanah di wilayah TPSF merupakan salah satu dari kajian-kajian tersebut. II. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP STUDI Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kandungan karbon di atas dan bawah permukan tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Adapun ruang lingkup dari kajian yang dilaksanakan adalah: (1) Menghitung dan memonitor kandungan karbon di bawah permukaan di TPSF; (2) Memberikan informasi tentang karbon dinamik di TPSF kepada para pemangku kepentingan; (3) Memberikan opsi untuk pengelolaan kandungan karbon di TPSF; (4) Menghasilkan informasi penting bagi untuk pengembangan kebijakan REDD+ untuk mitigasi perubahan iklim dan strategi adaptasi untuk perubahan iklim ke depan. Luaran dari kajian ini adalah informasi kandungan karbon di bawah permukaan tanah di areal TPSF. III. STUDI PUSTAKA A. Review Luas, Distribusi, dan Kedalaman Gambut di TPSF Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) meliputi wilayah seluas 60.657,29 ha dengan 60% berada di Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan 40% berada di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya.Kajian yang dilakukan oleh Puslitanak, ICRAF, PanEco, Sustainable Ecosystem Foundation (SEF) dan Universitas Syiah Kuala pada tahun 1997 menunjukkan bahwa, hanya 31.410 ha (sekitar 51%) wilayah TPSF yang masih memiliki tutupan hutan. Berdasarkan hasil pemantauan satelit terbaru pada bulan Desember 2012, hanya 12.267 ha yang masih berada pada tutupan hutan dan berada dalam kondisi tersebar, dengan blok terluas sekitar 8.400 ha dan lainnya sekitar 1.000 ha. Pengalihan fungsi lahan ditambah dengan penurunan fungsi lahan yang sangat cepat mengakibatkan kondisi yang serius terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat lokal dan hancurnya habitat bagi hewan yang dilindungi. Gambut daerah tropis umumnya berkembang antara 2 dan 5 mm/thn (Pahang Forestry Department, 2005; Central Kalimantan Peatlands Project, 2007). Ketebalan gambut bervariasi dari <1 m hingga >25 m (tercatat di Kalimantan), tergantung pada lokasi (Whitten et al., 2000; Hooijer, 2006). Mereka mewakili proses pembentukan hutan yang unik, dengan pohon yang memiliki sistem perakaran yang unik, tinggi 50–70 m atau lebih (Hooijer, 2006), tumbuh pada kondisi asam (pH umumnya2,9–4,5), kenyal, dan hamparan gambut yang tergenang. Rawa gambut tumbuh pada tanah yang miskin akan nutrisi karena biomas ditimbun dalam bentuk gambut, dan tidak didekompisisi dengan cepat seperti pada hutan-hutan kering yang ada di daerah tropis (seperti hutan dipterocarp), sementara hampir tidak ada asupan nutrisi baru dari sungai (hanya mengalir keluar dari rawa dan tidak ke dalam rawa; MacKinnon et al., 1996). Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 376 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Agus dan Wahdini (2008) melaporkan kedalaman gambut di Tripa berkisar antara 130-505 cm. Mereka mengkatagorikan kedalaman gambut Tripa pada tiga katagori, yaitu: moderat (100– 200 cm), dalam (200–400 cm) dan sangat dalam (>400 cm). Kandungan karbon pada kedalaman moderat adalah 382 Mg/ha, dalam adalah 1,368 Mg/ha, dansangat dalam pada 1,621 Mg/ha. Kerapatan gambut sangat rendah berkisar antara 0,01–0,03 g/cm3 dan kandungan karbon 12–63%, menghasilkan rata-rata 4,19 Mg C/ha/thn dan cadangan karbon antara 382 Mg/hapada profil kedalaman 130 cm hingga 2.240 Mg/hapada lokasi dengan kedalaman 390 cm. B. Review Bentang Darat dan Fungsi Hidrologi TPSF Rawa Gambut mendukung pertumbuhan dari kayu-kayu yang besar dan memiliki biodiversitas tanaman yang tinggi (lebih dari 900 species tanaman berbunga dilaporkan pada hutan rawa gambut di Borneo: Anderson, 1963 dan 200-300 species ikan dilaporkan dari rawa gambut Indo-Malayan: Dennis dan Aldhous 2004), walaupun produktivitas lingkungan yang rendah masih merupakan sebuah teka-teki. Di TPSF, 92 species tanaman kayu telah diindentifikasi dari 23 plot (4,6 ha). Pada hutan rawa primer yang belum terganggu (primer, 4 plot), sejumlah 20 species ditemukan, dengan ratarata 8 species setiap plotnya. Hutan rawa gambut sekunder memiliki species yang lebih kecil yaitu 11 species dengan rata-rata 5 species per plot (5 plot). Eugenia jambos, Eugenia curtisii, Litsea cubeba and Laurus nobilisadalah species yang umum di Tripa dan mendominasi hampir seluruh tipe hutan (Rahayuet al., 2011) Rahayu et al. (2011) pada seluruh stadia pertumbuhan tanaman yang diamati (anakan ‘sapling’ 5–10 cm diameter, tiang ‘pole’ 10–20 cm diameter danpohon>20 cm diameter), melaporkan bahwa delapan species seperti Campnosperma auriculatum, Hopea sp., Laurus nobilis, Litsea sp., Macaranga triloba, Myristica sp., Phylanthus emblica and Shorea sp ditemukan pada setiap plot menunjukkanregenerasi secara lokal, namun 30 species (79%) yang ditemukan pada hutan primer TPSF hanya ditemukan pada stadia pohon>20 cm diameter. Sebagian besar dikatagorikan dalam famili Dipterocarpaceae, Lauraceae, Ebenaceae, Anacardiaceae, Annonaceae and Leguminosae. Hal ini menunjukkan bahwa species ini tidak beregenerasi secara baik yang dapat diakibatkan oleh tidak adanya musim berbunga dalam waktu yang lama, dan atau tidak adanya polinator atau media penyebar ‘diapersal agent’. Jika ini terus terjadi dikuatirkan habitat orang hutan di Tripa akan hilang dengan cepat. Penurunan level permukaan air tanah akan meningkatkan oksidasi dan subsidence dari gambut. Dengan kata lain, level permukaan air tanah adalah kontrol utama dari emisi CO2 dari lahan rawa. Ketika gambut dikeringkan, aktivitas mikroba akan mengoksidasi dan melepaskan karbon tersimpan ke atmosfir dalam bentuk CO2. Dekomposisi dari gambut ini merupakan proses yang tidak dapat dibalik. Pada gambut yang sudah berkembang, kedalaman pengeringan berhubungan erat dengan kecepatan oksidasi bahan organik gambut dan bahan pembentuk gambut (Wösten et al., 1997; Furukawa et al., 2005).Couwenberg et al., (2009), menduga dengan peningkan kedalaman pengeringan 10 cm akan mengakibatkan emisi CO2sebesar 9 Mg/ha/thn. C. Kandungan Karbon dan Ekonomi Karbon di TPSF Rawa gambut di daerah tropis Asia Tenggara memegang peranan yang sangat penting dalam siklus carbon dunia (Maltby dan Immirzi, 1993; Page et al., 2004; Takashi et al., 2007), LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 377 mengingat ekosistem rawa gambut merupakan bagian dari penyimpan carbon terbesar di alam (Jauhiainen et al., 2005; Rydin dan Jeglum, 2006) sehingga mereka memainkan peran yang sangat besar dalam menyimpan karbon (Bellamy 1991; Parish 2002; Chimner and Ewel, 2005). Rieley et al. (2008) melaporkan bahwa: (1) Jumlah karbon yang disimpan di gambut tropis berkisar antara 59-145 g/m2/thn, atau menyimpan karbon antara 0,06–0,093 Pg/thn; (2) Gambut di Kalimantan mewakili cadangan karbon tersimpan sekitar 13 Pg, Indonesia mengadung 35 Pg dan total dunia untuk wilayah tropis diduga 54 Pg; (3) Kandungan gambut di atas permukaan tanah berkisar antara 150 - 250 Mg/ha; (4) Kandungan gambut di bawah permukaan tanah berkisar antara 250- >5.000 Mg/ha. Karbon tersimpan di tanah gambut tropis seperti yang ditemukan di Indonesia dapat melebihi 18 kali kandungan karbon pada lapisan atas hutan primer rawa gambut (Jaenicke et al.,2008). Kandungan karbon di atas permukaan yang diukur pada daerah agroforestri dan tiga jenis hutan yaitu hutan primer tidak terganggu, hutan primer terganggu, dan hutan skunder dengan menggunakan protokol standar berkisar antara 28.5 Mg C/ha hingga 193 Mg C/ha, pada agroforest dan hutan primer tidak terganggu secara berurutan (Rahayu et al., 2010). Tomich (1999) menyatakan bahwa tanaman kelapa sawit dewasa mengandung sekitar 100 Mg C/ha. Tingginya nilai ekonomi dari perkebunan kelapa sawit mengakibatkan tingginya biaya kemungkinan‘opportunity cost’untuk melakukan konversi hutan. Biaya kemungkinan ‘Opportunity cost’adalah salah satu dari tiga katagori biaya untuk skema REDD+, yaitu rasio dari perubahan keuntungan (USD/ha) dan perubahan kandungan karbon, yang diekspresikan dalam bentuk emisi (setara karbon dioksida dalan Mg/ha atau tCO2e/ha; White dan Minang, 2010). Namun demikian masih terdapat ketidakpastian yang sangat besar dalam menentukan emisi dan faktor lainnya yang dibutuhkan dalam menduga emisi dari sistem yang luas dari lahan gambut. Faktor-faktor tersebut dibutuhkan untuk menghitung nilai karbon ketika keuntungan dari konservasi karbon dinegosiasikan dalam mekanisme pendanaan dan pemasaran karbon. Pengurangan ketidakpastian dalam pengembangan referensi untuk projek emisi/penyerapan masa depan akan menghasilkan perdagangan karbon daerah gambut lebih menarik (Murdiyarso et al., 2012). Tata et al. (2012) melaporkan bahwa total emisi di TPSF pada periode pengamatan 1990– 2009rata-rata sekitar 5.7 MgCO2-e/ha/thn. Jika emisi kandungan C bagian bawah permukaan tanah turut dihitung, maka rata-rata emisi meningkat menjadi 20 MgCO2e/ha/thn yang merupakan 25% lebih tinggi dibandingkan jika hanya emisi bagian atas permukaan tanah yang dihitung. Total karbon yang dapat dikompensasi cukup tinggi yaitu 7,02 MgCO2e/ha/thn dibandingkan dengan emisi yang hanya 3.7 MgCO2e/ha/thn. Sebagai fraksi dari total emisi, bagian atas permukaan tanah gambut adalah kecil (hanya 35% dari 20 MgCO2e/ha/thn) dibandingkan dengan “hanya bagian atas” (yaitu 65% dari 5.7 MgCO2e/ha/thn). Dengan total biaya pada USD 5–15 per MgCO2e, tergantung pada tipe intervensi, maka skema REDD+ adalah memungkinkan, namun membutuhkan komitmen untuk memenuhi harga dasar karbon yang efisien. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 378 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST IV. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Kajian dilakukan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF), yang meliputi wilayah seluas hampir 60,657,29 ha dengan 60% berada di Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan 40% berada di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, Pesisir Barat Provinsi Aceh. Secara geografi, TPSF terlatak pada 030 44’-030 56’ LUdan 960 23’ - 960 46’ LT. Kelapa sawit telah berkembang hingga 23,600 ha (39%) tahun 2009. Berdasarkan analisa peta tutupan lahan tahun 2013, tutupan hutan tersisa hanya 12.455,45 ha (Peta Lampiran 1). Kajian dilaksanakan dari bulan Juni hingga Agustus 2013. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam kajian ini adalah: (1) Peta lokasi TPSF skala 1:250.000, (2) Peta Penggunaan Lahan TPSF skala 1:250.000 (3) Peta Titik Sampling (Observation Point) di TPSF skala1: 50.000 (4) Peta Spatial PlanningKabupaten dan Provinsi di TPSF skala 1: 250,000 (5) Peta Konsesi dan Hak Guna Usaha untuk Perkebunan Kelapa Sawit di TPSF skala 1:50,000 (6) Bahan kimia untuk analisa tanah. Peralatan yang digunakan adalah GPS, Water Proof Digital Camera,meteran survei 100m (1-2), meteran survei 15m (4), Compass (2), bor gambut Gouge/Peat auger (1). Parang,Pisau pemotong tanah Serrated knife/multi tools,Auger extensions (hingga 10 m),Dutch auger (1), Kunci inggeris (2),kantung plastic,timbangan digital, Metal soil cans. Dan lain-lain seperti tas, Pincil/Pulpen/Spidol,Kertas data/komputer,penyimpan kertas data, Clipboards Flagging, dan Cloth Cleaning Rags. C. Metode Penelitian Kajian cadangan karbon di bawah permukaan tanah dilakukan berdasarkanpada: 1) Tiga kubah bentukan gambut yaitu: kubah A, B, and C (Lampiran 2); dan (2) Empat tipe penggunaan lahan, yaitu:hutan primer (primary forest), hutan sekunder (degraded forest), kebun kelapa sawit/kebun campuran, dan lahan terbuka. Untuk setiap kombinasi perlakuan diulang tiga kali, sehingga secara keseluruhan terdapat 27 (3x3x3) plot/transect. Untuk setiap transect, sampel diambil dari 3-6 sub-plot yang mewakili luas 0,5-1 ha.Sesuai dengan dinamika di lapangan, pada kajian ini pengambilan sampel hanya berhasil dilakukan pada 16 transect yang terdiri dari 4 hutan primer (14 sub-plot), 3 hutan sekunder (14 sub-plot), 2 lahan terbuka (bekas pembakaran, 4 sub-plot), dan 9 Kebun kelapa sawit/kebun campuran (39 sub-plot) seperti yang tertera pada Tabel 1 dan Gambar 1. Tabel 1. Titik Pengamatan berdasarkan Kubah dan Penggunaan Lahan No Kubah Plot Sub-Plot Koordinate Penggunaan Lahan 1 A 1 1 N 03.52.034; E 096.23.586 Hutan Primer 2 N 03.52.008; E 096.23.611 Hutan Primer 3 N 03.52.001; E 096.23.633 Hutan Primer 4 N 03.51.975; E 096.23.661 Hutan Primer 5 N 03.51.955; E 096.23.685 Hutan Primer LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 379 2 A 2 3 A 3 4 A 4 5 A 5 6 B 6 7 B 6+ 8 B 7+ 9 B 8 10 B 8+ 11 B 9 12 B 10 13 B 11 14 C 13 6 N 03.51.926; E 096.23.704 1 N 03.57.239; E 096.31.350 Sawit rakyat umur 4 thn 2 N 03.57.476; E 096.31.539 Sawit rakyat umur 4 thn 3 N 03.57.488; E 096.31.530 Sawit rakyat umur 4 thn 1 2 3 1 2 3 1 2 3 4 5 6 1 2 1 2 1 N 03.55.861; E 096.27.202 N 03.55.108; E 096.27.197 N 03.55.127; E 096.27.195 N 03.56.619; E 096.29.156 N 03.56.499; E 096.29.153 N 03.56.369; E 096.29.147 N 03.55.657; E 096.30.690 N 03.55.653; E 096.30.718 N 03.55.642; E 096.30.744 N 03.55.592; E 096.30.783 N 03.55.567; E 096.30.818 N 03.55.517; E 096.30.829 N 03. 49.167 E 96.29.637 N 03. 49.191 E 96.29.624 N 03. 51.712 E 96.30.044 N 03. 51.718 E 96.30.068 N03.52.737 E096.31.643 Sawit 15 thn+hutan skunder Sawit 15 thn+hutan skunder Sawit 15 thn+hutan skunder Sawit Rakyat Umur 5 thn Sawit Rakyat Umur 5 thn Sawit Rakyat Umur 5 thn Kebun campuran rakyat Kebun campuran rakyat Kebun campuran rakyat Kebun campuran rakyat Kebun campuran rakyat Kebun campuran rakyat Lahan terbuka Lahan terbuka Kebun Sawit Rakyat Kebun Sawit Rakyat Hutan Skunder 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 1 2 3 1 2 1 2 1 2 1 2 3 4 5 N03.52.719 E096.31.644 N03.52.702 E096.31.666 N03.52.681 E096.31.680 N03.52.670 E096.31.684 N03.52.644 E096.31.689 N 03.52.581; E 096.31.241 N 03.52.602; E 096.31.230 N 03.52.618; E 096.31.212 N 03.52.629; E 096.31.188 N 03.52.641; E 096.31.160 N 03.52.665; E 096.31.148 N03.52.965 E096.29.487 N03.52.993 E096.29.480 N03.53.017 E096.29.475 N03.49.606 E096.28.956 N03.49.606 E096.30.956 N03.49.608 E096.33.466 N03.49.644 E096.33.462 N03.47.954 E096.31.081 N03.47.955 E096.31.057 N 03.53.739; E 096.37.570 N 03.53.753; E 096.37.571 N 03.53.769; E 096.37.581 N 03.53.785; E 096.37.589 N 03.53.816; E 096.37.602 Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Kebun Sawit umur 15 thn Kebun Sawit umur 15 thn Kebun Sawit umur 15 thn Hutan skunder Hutan skunder Hutan Primer Hutan Primer Lahan Bukaan Lahan Bukaan Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Hutan Primer Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala Hutan Primer 380 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST 15 C 14 16 C 15 17 C 16 18 C 17 6 1 2 N 03.53.843; E 096.37.605 N 03.54.993; E 096.38.280 N 03.54.978; E 096.38.313 Hutan Primer Sawit rakyat umur 1 thn Sawit rakyat umur 1 thn 3 4 N 03.54.916; E 096.38.344 N 03.54.933; E 096.38.386 Sawit rakyat umur 1 thn Sawit rakyat umur 1 thn 5 N 03.54.925; E 096.38.414 Sawit rakyat umur 1 thn 6 N 03.54.920; E 096.38.441 Sawit rakyat umur 1 thn 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 N 03.48.292; E 096.41.654 N 03.48.343; E 096.41.627 N 03.48.374; E 096.41.608 N 03.48.398; E 096.41.599 N 03.46.797; E 096.42.422 N 03.46.820; E 096.42.419 N 03.46.843; E 096.42.413 N 03.46.868; E 096.42.414 N 03.46.893; E 096.42.420 N 03.46.918; E 096.42.426 N 03.45.250; E 096.39.478 N 03.45.265; E 096.39.481 N 03.45.275; E 096.39.480 N 03.45.287; E 096.39.475 N 03.45.308; E 096.39.467 Sawit rakyat umur 3 thn Sawit rakyat umur 3 thn Sawit rakyat umur 3 thn Sawit rakyat umur 3 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Sawit rakyat umur 5 thn Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Hutan Skunder Gambar 1. Titik Sampel (observation point) Kajian Cadangan Karbon bagian bawah Permukaan Tanah di Kawasan Ekosistem Hutan Gambut Rawa Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 381 D. Pelaksanaan Penelitian (1) Pengambilan Sampel Pada setiap unit penggunaan lahan yang telah ditentukan, sebuah transect/plot dibuat tegak lurus bentang sungai atau garis pantai. 3-6 sub-plot dibuat sepanjang transect dengan jarak interval 50 m (Gambar 2). Gambar 2. Diagram plot/transect, arah dan jumlah sub-plot per transect Pengukuran dan pengambilan sampel tanah dilakukan sebagai berikut (Kaufman dan Donato, 2012; Murdiyarso et al., 2012; Gambar 3). Tanah Satu lubang sampel tanah dibuat dengan menggunakan bor gambut/peat auger pada setiap sub-plot (dekat dengan pusat sub-plot). 5 cm sampel gambut dikumpulkan dari bagian tengah pada setiap interval kedalaman 0-15cm, 15-30cm,30-50cm, 50-100cm, 100-300cm, dan pada selang 150cm untuk kedalaman melebihi 300cm, hingga mencapai subtract mineral. Kedalaman Gambut Pengukuran kedalaman gambut dilakukan antara 1-3 kedalaman gambut secara acak pada lingkaran sub-plot. (2) Analisis Sampel Sampel tanah dikeringkan hingga berat konstan pada 60 °C, dan berat akhir digunakan untuk menentukan berat jenis dengan membagi dengan volume sampel. Sampel kemudian dianalisis di Universitas Tadulako Palu untuk organik karbon dan nitrogen menggunakan CN analyser. Organik karbon (%) dan N (%) kemudian dikalikan dengan berat isi tanah dan kedalaman tanah untuk mendapatkan cadangan C dan N tanah per unit area. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kedalaman Gambut Kedalaman gambut dari 16 plot dan 65 titik sampel pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman gambut adalah 361,28 (SEM= 26,48) cm. Tingginya standar deviasi (sd = 213,47) menunjukkan bahwa kedalaman gambut yang sangat beragam mulai dari kedalaman minimum 50 cm hingga maksimum mencapai 840 cm. Umumnya gambut di kubah B memiliki kedalaman yang lebih tinggi dibandingan kubah C dan kubah A, 455,65 (±53,43), 367,38 (±38,91) dan 251,81 (±30,02) cm.Hutan primer,hutan sekunder, kebun kelapa sawit, dan lahan terbuka Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 382 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST berada pada kedalaman lebih dari 300 cm yaitu 342 (±65,16), 497,00 (±67,31),304,55 (±24,80), dan 340,00 (±10,00)cm, secara beurutan(Gambar 3). Agus dan Wahdini (2008) pada pengamatan yang dilaksanakan umumnya pada B melaporkan kedalaman gambut di Tripa berkisar antara 130-505 cm, dikatagorikan sebagai moderat (100–200cm), dalam (200–400cm) dan sangat dalam (>400cm). Gambar 3. Kedalaman Gambut pada Berbagai Kubah dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Komposisi kedalaman gambut berdasarkan kubah dan penggunaan lahan sangat bervariasi. Hutan primer di kubah C memiliki rata-rata kedalaman gambut terdalam yaitu>600cm, sedangkan di kubah A dan b umumnya berada pada kedalaman gambut antara 50-250cm. Pada hutan sekunder, kedalaman gambut terdalam dijumpai pada kubah B yang memiliki kedalaman >800 cm. Penggunaan lahan untuk kebun kelapa sawit/kebun campuran umumya pada kedalaman gambut >400 cm di kubah B dibandingkan dengan Kubah A dan C < 300cm. Sementaralahan terbuka di kubah B berada pada kedalaman gambut > 300cm (Gambar 4). Gambar 4. Kedalaman Gambut pada Berbagai Kombinasi Kubah dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 383 B. Karakteristik Lahan Gambut (1). Kadar Air dan Berat Isi Tanah Rata-rata kadar air (Water Content) dan berat isi tanah (SoilBulk Density) adalah 72,96% (±0,85) dan 0,174 g/cm3 (±0,07). Kadar air tanah berkisar antara 24,67% sampai dengan 99,92%; dan berat isi tanah berkisar antara 0,01g/cm3 hingga 0,75 g/cm3. Besarnya rentang kadar air dan berat isitanah diakibatkan oleh beragamnya jenis tanah/jenis gambut, lokasi, serta penggunaan lahan di TPSF. Agus dan Wahdini (2008) melaporkan berat isi tanah/gambut TPSF yang lebih rendah berkisar antara 0,01–0,03 g/cm3. Wahyunto et al. (2003 dan 2004) melaporkan bahwa berat isi gambut rata-rata adalah 0,10 hingga 0,34 g/cm3 dengan kandungan bahan organik antara 0,3 hingga 0,5% (w/w). Rata-rata kadar air tanah pada kubah A lebih rendah dibandingkan dengan kubah B dan C, sebaliknya berat isi tanah pada kubah A lebih tinggi dibandingkan dengan kubah B dan C. Berdasarkan penggunaan lahan terlihat bahwa lahan kebun kelapa sawit/kebun campuran memiliki kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan primer dan hutan sekunder, sebaliknya berat isi tanah pada kebun kelapa sawit/kebun campuran lebih tinggi dibandingkan dengan hutan primer dan sekunder. Hal ini diakibatkan oleh pengeringan air tanah pada perkebunan kelapa sawit/kebun campuran melalui kanal-kanal mengakibatkan kadar air yang lebih rendah, sekaligus meningkatkan tingkat dekomposisi gambut oleh mikroorganisme tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya berat isi tanah/gambut. Kondisi kadar air dan berat isi tanah di TPSF berdasarkan lokasi dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Gambar 5. Kadar Air dan Berat Isi Tanah pada berbagai Lokasi dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Rawa Gambut Tripa Dilihat pada berbagai kedalaman tanah, kadar air umumnya berada antara 65-80% dengan kadar air tertinggi didapati pada kedalaman 50-100 cm dan 100-300 cm. Berat isi tanah/gambut sangat bervariasi tergantung pada kedalaman tanah, walaupun hal ini secara nyata diakibatkan oleh jenis tanah/gambut. Umumnya kedalaman tanah 0-15 cm, 5-100 cm dan 100-300 cm memiliki berat isi yang lebih rendah jika dibandingkan kedalaman lainnya. Rendahnya berat isi di kedalaman 0-15 cm umumnya akibat pelapukan gambut yang lebih intensif dibandingkan kedalaman lainnya akibat pengeringan lahan, sementara pada kedalaman 50-100 cm dan 100-300 cm karena pada kedalaman tersebut sebagian besar sampel poin yang dilakukan sudah mencapai lapisan mineral tanah (Gambar 6) Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 384 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Gambar 6. Kadar Air dan Berat Isi Tanah pada berbagai Kedalaman Tanah di Ekosistem Rawa Gambut Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 385 Gambar 7. Karakteristik Gambut pada Berbagai Kedalaman Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (2). Kemasaman Tanah Rata-rata kemasaman tanah (pH) di TPSF sangat bervariasi, tergantung lokasi, penggunaan lahan dan jenis tanah/gambut.Rata-rata kemasaman tanah di TPSF adalah 6,02 (±0,16) dengan nilai pH berkisar antara 3,58 sampai dengan 8,30. Rata-rata kemasaman tanah di kubah Aberada pada kondisi netral (7,10±0,11), sementara kubah B (5,56±0,25) dan kubah C (5,44±0,23) berada pada kondisi masam. Rata-rata kemasaman tanah pada hutan sekunder dan kebun kelapa sawit/kebun campuran adalah 6,34 (±0,21) dan 6,10 (±0,20), sementara pada hutan primer dan lahan bukaan baru adalah 5,78 (±0,44) dan 3,71±0,30, secara berurutan berada pada kondisi yang jauh lebih masam (Gambar 8). Detail kemasaman tanah (pH) pada berbagai lokasi dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 8. Kemasaman Tanah (pH) pada Berbagai Lokasi dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 386 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Gambar 9. Kemasaman Tanah (pH) pada Berbagai Lokasi dan Penggunaan Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (3). Konsentrasi Karbon dan Nitrogen Rata-rata konsentrasi karbon (C) dan nitrogen (N) adalah 29,36% (±0,91) dan 1,47% (±0,12), dengan konsentrasi berkisar antara 1,09-62,77 dan 0,04-30,04 untuk C dan N secara berurutan (Tabel 2). Agus dan Wahdini (2008) melaporkan kandungan karbon Rawa Tripa berkisar antara 12–63%. Tabel 2. Konsentrasi C, N dan rasio C/N di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Parameter Nitrogen (%) Karbon (%) Rasio C/N Jumlah Sampel 377 377 377 Nilai Minimum .04 1.09 4.93 Nilai Std. Kesalahan 1.47 0.12 29.36 0.91 22.70 0.43 Maksimum Rata-rata 30.04 62.77 56.43 Std. Deviasi 2.38 17.69 8.33 Konsentrasi C dan N tidak menunjukkan tren yang linier pada berbagai kedalaman tanah (Gambar 10). Pada kedalaman 0-15 cm, 15-30 cm, 30-50 cm dan 50-100 cm konsentrasi C meningkat dengan kedalaman tanah yaitu 27,496% (±1,95), 28,18 (±2,40), 29,89 (±2,19) dan 39,24% (±2,06) berturut-turut, namun menurun pada kedalaman 100-300 cm, 300-500cm, 500-700 cm dan >700 cm, yaitu 32,96% (±2,03), 18,66% (±2,92), 24,91% (±4,92), dan 19,33% (±7,08) berturut-turut. Sebaliknya konsentrasi N menurun dari 1,96% (±044) pada kedalaman 0-15 cm hingga 0,87% (±0,28) pada kedalaman >700 cm. Agus dan Wahdini (2008) melaporkan kandungan karbon di TPSF berkisar antara 12–63%. Detail konsentrasi C dan N pada berbagai lokasi dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 11. LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 387 Gambar 10. Konsentrasi C dan N pada Berbagai Kedalaman Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Gambar 11. Konsentrasi C dan N Tanah pada berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 388 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST (4). Kerapatan Karbon Bawah Permukaan Tanah Kerapatan karbon adalah rata-rata kandungan karbon tanah persatuan luas, umumnya dinyatakan dengan satuan kg/m3. Namun berhubung pengambilan sampel pada berbagai kedalaman tanah tidak pada rentang kedalaman yang sama, maka tanah yang memiliki kerapatan karbon yang tinggi pada suatu lapisan tidak otomatis memiliki total cadangan karbon pada lapisan tersebut karena sangat tergantung pada rentang pengambilan sampel. Rata-rata kerapatan karbon di kubah C (74,22±2,68 Mg/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan kubah B (59,10±8,60 Mg/ha) dan A (48,04 Mg/ha). Berdasarkan penggunaan lahan, rata-rata kerapatan karbon pada hutan primer (36,86±2,68Mg/ha) dan kebun kelapa sawit/kebun campuran (39,33±2,04 Mg/ha) lebih tinggi dibandingkan dengan hutan sekunder (26,68±1,95Mg/ha) dan Lahan bukaan (12,06±1,89). Rata-rata kerapatan karbon karbon pada berbagai kubah dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 12. Detail. Detail kerapatan karbon bawah permukaan tanah pada berbagai lokasi dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 12. Rata-rata Kerapatan karbon pada berbagai kubah dan penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa. Gambar 13. Rata-rata kerapatankarbon pada berbagai kubah dan kedalaman Tanah Di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 389 Gambar 13 menunjukkan bahwa dalam penghitungan cadangan karbon pada suatu wilayah sangat perlu diperhatikan kedalaman gambut dimana kerapatan karbon dihitung. Mengkonversi hasil pengamatan kerapatan karbon dalam kg/m3 langsung ke Mg/ha tanpa melihat kedalaman gambut pada lokasi tersebut akan menghasilkan cadangan karbon yang lebih rendah atau lebih tinggi dari kondisi yang sebenarnya. Contoh pada Kubah B, kerapatan karbon pada hutan primer dalam kg/cm3 yang lebih tinggi menghasilkan kerapatan karbon dalam Mg/ha yang lebih rendah dibandingkan dibandingkan dengan kubah A. Hal yang sama perlu diperhatikan dengan kedalaman gambut itu sendiri. Kondisi kerapatan karbon pada berbagai kedalaman tanah dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14. Rata-rata Kerapatan Karbon dan Cadangan Karbon/Lapisan Tanah pada berbagai Penggunaan Lahan dan Kedalaman Tanah di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa B. Cadangan Karbon di Bawah Permukaan Tanah Rata-rata cadangan karbon bawah permukaan tanah di TPSF adalah 1.261(±117,07) Mg/ha. Cadangan karbon di bawah permukaan tanah sangat bervariasi tergantung lokasi kubah (Jenis tanah/jenis gambut, berat isi dan konsentrasi C) dan penggunaan lahan, yaitu mulai dari 124,53 Mg/ha hingga 4.047 Mg/ha. Umumnya kubah B 1.419,15 (±207,06) Mg/ha dan C 1.625,80 (±218,67) Mg/ha memiliki rata-rata cadangan karbon lebih dari 2 kali lipat dibandingkan kubah A 724,44 (±117,69) cm. Hutan primer memiliki rata-rata cadangan karbon terbaik 1.449,75 (±392,70) dibandingkan hutan skunder 1.233,96 (±123,71), kebun kelapa sawit/kebun campuran 1.242,85 (±149,18) dan lahan bukaan 470,94 (±14,41) Mg/ha (Tabel 3 dan Gambar 15).Agus and Wahdini (2008) melaporkan kedalaman gambut di Tripa berkisar antara 130-505 cm, dikatagorikan sebagai moderat (100–200 cm), dalam (200–400 cm) dan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 390 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST sangat dalam (>400 cm). Cadangan karbon pada kedalaman moderat adalah 382 Mg/ha, dalam 1368 Mg/ha sangat dalam 1621 Mg/ha. Cadangan karbon antara 382 Mg/ha pada profil kedalaman 130 cm hingga 2.240 Mg/ha pada lokasi dengan kedalaman 390 cm. Pada penelitian lain Rahayu et al. (2005) melaporkan bahwa hutan gambut primer mengandung 200 Mg C/ha. Detail rata-rata cadangan C di bawah permukaan pada berbagai kombinasi lokasi dan penggunaan lahan tertera pada Gambar 16. Tabel 3. Rata-rata Cadangan C di Bawah Permukaan Tanah pada Berbagai Lokasi dan Penggunaan Lahan Sumber Data Lokasi Kubah A Kubah B Kubah C Penggunaan Lahan Hutan Primer Hutan Skunder Kebun Kelapa Sawit/Kebun Campuran Lahan bukaan Cadangan Karbon Rata-rata St. Kesalahan (SEM) 724,44 117,69 1419,15 207,06 1625,80 218,67 1449,75 1233,96 392.70 123.71 1242,85 149.18 470,94 14.41 Gambar 15. Rata-rata Total Cadangan Karbon Bawah Permukaan Tanah pada berbagai Kubah dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 391 Gambar 16. Rata-rata Cadangan C di bawah Permukaan pada Berbagai Kombinasi Lokasi dan Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Kondisi hutan primer sebagai penggunaan lahan yang masih memiliki cadangan karbon tertinggi di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Kondisi Hutan Primer di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa C. Cadangan Karbon di Bawah PermukaanTanah Berdasarkan Luas dan Kedalaman Gambut Perhitungan cadangan C di bawah permukaan pada suatu wilayah memerlukan pengumpulan data yang lengkap, baik terhadap kedalaman gambut, jenis gambut, berat isi, maupun konsentrasi C. Data yang tidak akurat akan menghasilkan perhitungan yang jauh dibawah atau diatas potensi cadangan C yang ada. Sebagai perbandingan, pada kasus data set yang ada pada penelitian ini dari 13 plot (berbagai penggunaan lahan) dan 65 titik sampel dengan Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 392 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST mengambil sampel pada kedalaman 0-15, 15-30, 30-50, 50-100, 100-300, 300-500, 500-700, dan 700-900 cm. Dengan luas total areal TPSF adalah 60.657,29 ha, dan rata-rata cadangan C pada berbagai kedalaman tanah adalah 1.261 Mg/ha, maka total cadangan C di bawah permukaan tanah adalah 76.466.119 Mg (Tabel 4). Tabel 4. Total Cadangan C di bawah Permukaan Tanah TPSF berdasarkan Luas dan rata-rata cadangan C Luas HGRT (ha) 60639.27 (%) 100 Rata-rata Cadangan C Total Cadangan C (Mg/ha) 1261 Mg 76,466,119 Hasil penghitungan luas areal TPSF berdasarkan kedalaman tanah menghasilkan 4 klas kedalaman tanah, yaitu 0-100, 100-300, 300-500, dan 500-700cm, dengan luas 22,768.14, 21.400,51, 15.761,42 dan 709,20 ha. Dengan menggunakan nilai rata-rata cadangan C pada berbagai kelas kedalaman tanah tersebut, total cadangan C di bawah permukaan tanah adalah 44.506.708 (Tabel 5). Pendugaan total cadangan korbon di TPSF dengan menggunakan luas penggunaan lahan menghasilkan nilai 76.206.098 Mg (Tabel 6). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai cadangan karbon dengan mengunakan metode perkalian langsung antara total luas lahan dan rata-rata cadangan karbon di bawah permukaan tanah pada keseluruhan kedalaman tanah.Kandungan gambut di bawah permukaan tanah berkisar antara 250 - >5.000 Mg/ha (Tommic, 1999). Tabel 5. Total Cadangan C di bawah Permukaan Tanah HGRT berdasarkan Kedalaman Gambut, luas, dan rata-rata Cadangan C pada berbagai Kedalam Tanah No 1 2 3 4 Kedalaman Gambut (cm) 0-100 100-300 300-500 500-700 Total Luas (ha) 22.768,14 21.400,51 15.761,42 709,20 60.639.27 Persen (%) 37,55 35,29 25,99 1.17 100 Rata-rata cadangan C/kedalaman tanah (Mg/ha) 253,64 696,54 1395,45 2581,96 Total Cadangan C (Mg) 5.775.008 14.906.224 21.994.348 1.831.128 44,506,708 Tabel 4, 5 dan 6 menunjukkan bahwa pendugaan cadangan karbon di bawah permukaan tanah akan sangat jauh berbeda tergantung metode pendugaan yang digunakan. Pendugaan cadangan C dengan menggunakan luas areal pada berbagai kedalaman gambut yang berbeda seharusnya menghasilkan pendugaan yang jauh lebih akurat.Idealnya pendugaan harus didasarkan dengan kondisi kedalaman gambut berdasarkan luas dan lokasi (kubah yang ada) yang lebih detail. Untuk memperbaiki pendugaan tersebut diperlukan informasi kedalaman gambut yang lebih detail pada berbagai kubah yang ada, jenis tanah/gambut (kematangan gambut, luas wilayah berdasarkan kedalaman tanah dan penggunaan lahan. LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 393 Tabel 6. No Total Cadangan Karbon berdasarkan Luas Penggunaan Lahan 2013 dan Rata-rata Cadangan Karbon pada Berbagai Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Luas Persen ha 1 Hutan 2 (%) Rata-rata cadangan C/tutupan lahan Total cadangan C (Mg/ha) 12.455,45 20,53 1.449,75 18.057,289 Hutan semak / sekunder 992,36 1,64 1.233,96 1.224.533 3 Perkebunan kelapa sawit 32.484,96 53,55 1.242,85 40.373.933 4 Kebun campuran 10.842,71 17,88 1.242,85 13.475.862 5 Pertanian tanah kering 1.614,68 2,66 1.242,85 2.006.805 6 Lahan terbuka 2.267,12 3,74 470,94 1.067.677 60.657,28 100 Total 76,206,098 D. Nilai Ekonomi Karbon Bawah Permukaan Berdasarkan analisis tutupan lahan dari tahun 2007 hingga 2013 telah terjadi perubahan penggunaan lahan, luas hutan menurun dari 25.993,76 ha menjadi 12.455,45 ha, hutan sekunder menurun dari 6.475,03 ha menjadi 992.36 ha, sementara kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian tanah kering meningkat dari 27.851,02 ha menjadi 44.942,35 ha dan lahan terbuka dari 337,49 ha menjadi 2.267,12 ha (Tabel 7). Total cadangan C di bawah permukaan tanah berubah dengan perubahan penggunaan lahan. Cadangan C di bawah permukaan tanah pada hutan primer menurun sangat tajam hampir 19,627,165 Mg yaitu dari 37,684,454 tahun 2007 hingga 18.057.289 tahun 2013. Kondisi yang sama juga pada hutan sekunder, cadangan C menurun hingga 6,765,395 Mg dari 7,989,928 Mg hingga 1,224,533 Mg. Perubahan penggunaan lahan dari hutan primer dan hutan sekunder menjadi kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering meningkatkan cadangan C di bawah permukaan tanah hingga -21,241,959 Mg. Kondisi perkebunan sawit juga sebagian besar dilakukan pada daerah gambut dengan kedalaman lebih dari 3m. Hal ini jelas seperti kondisi pertanaman kelapa sawit yang miring seperti terlihat pada Gambar 18. Gambar 18. Kondisi Perkebunan Kelapa Sawit di areal Hutan Rawa Gambut Tripa Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 394 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Tabel 7. No Hutan 2 Hutan semak/ sekunder Perkebunan kelapa sawit 4 Kebun campuran 5 Pertanian tanah kering Lahan terbuka 6 Total 1 Hutan 2 Hutan semak / sekunder Perkebunan kelapa sawit 3 4 Kebun campuran 5 Pertanian tanah kering Lahan terbuka 6 Total Rata-rata cadangan C Luas (ha) Tutupan lahan 1 3 Perubahan Cadangan Karbon berdasarkan Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007-2013 (Mg/ha) 2007 25.993,76 2008 18.584,70 2009 15.362,86 2013 12.455,45 6.475,03 6.863,53 2.037,53 992,36 1.233,96 19.367,69 30.064,48 30.534,36 32.484,96 1.242,85 7.968,80 4.167,89 6.907,30 10.842,71 1.242,85 514,53 262,75 4.970,03 1.614,68 1.242,85 470.94 337,49 713,95 845,21 2.267,12 60.657,30 60.657,30 60.657,29 60.657,28 37.684.454 Total cadangan C (Mg) 26.943.169 22.272.306 1.449,75 18.057.289 Kehilangan C (Mg) 19.627.165 7.989.928 8.469.321 2.514.231 1.224.533 6.765.395 24.071.134 37.365.639 37.949.629 40.373.933 -16.302.799 9.904.023 5.180.062 8.584.738 13.475.862 -3.571.839 639.484 326.559 6.177.002 2.006.805 -1.367.321 158.938 336.228 80.447.959 78.620.978 398.043 1.067.677 -908.740 77.895.949 76.206.098 4,241,861 Namun penambahan cadangan C di bawah permukaan tanah diakibatkan oleh penambahan luas lahan untuk kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering hampir 17,091.33 ha. Bertambahnya luas lahan terbuka dari 337,49 ha tahun 2007 menjadi 2.267,12 ha juga merupakan penyebab naiknya cadangan C di bawah permukaan tanah pada lahan terbuka menjadi 908.740 Mg dari 158.938 Mg tahun 2007 menjadi 1.067.677 Mg. Kondisi bukaan lahan barus di TPSF dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Kondisi Bukaan Lahan Baru di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 395 Penurunan cadangan C di bawah permukaan tanah pada perubahan penggunaan lahan seperti dari hutan menjadi perkebunan diakibatkan oleh pembuatan drainase untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman perkebunan. Level permukaan air tanah adalah kontrol utama dari emisi CO2 dari lahan rawa. Ketika gambut dikeringkan, aktivitas mikroba akan mengoksidasi dan melepaskan karbon tersimpan ke atmosfir dalam bentuk CO2. Dekomposisi dari gambut ini merupakan proses yang tidak dapat dibalik. Pada gambut yang sudah berkembang, kedalaman pengeringan berhubungan erat dengan kecepatan oksidasi bahan organik gambut dan bahan pembentuk gambut (Wösten et al. 1997; Furukawa et al., 2005). Couwenberg et al. (2009), menduga dengan peningkatan kedalaman pengeringan 10 cm akan mengakibatkan emisi CO2 sebesar 9 Mg/ha/thn. Tata et al. (2012) melaporkan bahwa total emisi di TPSF pada periode pengamatan 1990–2009 rata-rata sekitar 5.7 MgCO2e/ha/thn. Jika emisi kandungan bawah tanah turut dihitung, maka rata-rata emisi meningkat menjadi 20 MgCO2e/ha/thn yang merupakan 25% lebih tinggi dibandingkan jika hanya emisi bagian atas permukaan tanah yang dihitung. Total karbon yang dapat dikompensasi cukup tinggi yaitu 7.02 MgCO2e/ha/thn dibandingkan dengan emisi yang hanya MgCO2e/ha/thn. Sebagai fraksi dari total emisi, bagian atas permukaan tanah gambut adalah kecil (hanya 35% dari 20 tCO2e/ha/thn) dibandingkan dengan “hanya bagian atas” (yaitu 65% dari 5.7 MgCO2e/ha/thn). Dengan total biaya pada USD 5–15 per MgCO2e, tergantung pada tipe intervensi, maka skema REDD+ adalah memungkinkan, namun membutuhkan komitmen untuk memenuhi harga dasar karbon yang efisien. Gambar 20. Kondisi Hutan sekunder di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Mudiyarso et al. (2011) menyatakan bahwa kebijakan REDD+ memiliki potensi yang cukup tinggi untuk mendukung konservasi ekosistem lahan gambut. Hal ini didukung dengan kandungan karbon yang tinggi di lahan gambut. Insentif harus dibuat untuk mendapatkan dukungan dari pemangku kepentingan sehingga mereka bersedia mengkonservasi karbon pada wilayah yang sama untuk penebangan atau perkebunan khususnya sawit. Tingginya nilai ekonomi dari perkebunan kelapa sawit mengakibatkan tingginya biaya kemungkinan ‘opportunity cost’ untuk melakukan konversi hutan. Biaya kemungkinan ‘Opportunity cost’ adalah salah satu dari tiga katagori biaya untuk skema REDD+, yaitu rasio dari perubahan keuntungan (USD/ha) dan perubahan kandungan karbon, yang diekspresikan dalam bentuk emisi (setara karbon dioksida dalan Mg/ha atau MgCO2e/ha) (White dan Minang, 2010). Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 396 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan penting, yaitu : 1. Rata-rata kedalaman gambut dari 16plot dan 65 titik sampel adalah 361,28 (SEM= 26,48) cm. Kedalaman beragam mulai dari kedalaman minimum 50 cm hingga maksimum mencapai 840 cm; 2. Rata-rata kadar air dan berat isi tanah adalah 72,96% (±0,85) dan 0,174 g/cm3 (±0,07). Kadar air tanah berkisar antara 24,67% sampai dengan 99,92%; dan berat isi tanah berkisar antara 0,01 g/cm3 hingga 0,75 g/cm3; 3. Rata-rata kemasaman tanah (pH) bervariasi, tergantung lokasi, penggunaan lahan dan jenis tanah/gambut. Rata-rata kemasaman tanah adalah 0,62 (±0,16) dengan nilai pH berkisar antara 3,58 sampai dengan 8,30; 4. Rata-rata konsentrasi karbon (C) dan nitrogen (N) adalah 29,36% (±0,91) dan 1,47% (±0,12), dengan konsentrasi berkisar antara 1,09-62,77 dan 0,04-30,04 untuk C dan N secara berurutan; 5. Rata-rata kerapatan karbon pada hutan primer (36,86±2,68 Mg/ha), kebun kelapa sawit/kebun campuran (39,33±2,04 Mg/ha), hutan sekunder (26,68±1,95 Mg/ha), dan Lahan bukaan (12,06±1,89); 6. Total cadangan korbon di TPSF dengan menggunakan luas penggunaan lahan menghasilkan nilai 76.206.098 Mg; 7. Total cadangan C di bawah permukaan tanah pada hutan primer menurun hampir 19.627.165 Mg, pada hutan sekunder C menurun hingga 6.765.395 Mg, pada kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering meningkat hingga 21,241,959 Mg, dan lahan terbuka menjadi 908.740 Mg dari tahun 2007 hingga 2013; 8. Penambahan cadangan C di bawah permukaan tanah untuk kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering diakibatkan oleh penambahan luas lahan hampir 17,091.33 ha; 9. Total cadangan C di bawah permukaan tanah yang hilang dari seluruh ekosistem TPSF dari tahun 2007-2013 adalah 4,241,861. B. Rekomendasi Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil studi ini adalah : 1. Hutan primer dan sekunder yang ada perlu dijaga dan dipertahankan karena umumnya berada pada kedalaman gambut >300cm mengingat cadangan karbon, keanekaragaman hayati, serta jasa ekologi yang terkandung di dalamnya; 2. Perlu kajian yang lebih detail, khususnya di lahan HGU Perusahaan SPS dan PT. Kalista Alam, untuk mendapatkan model kedalaman yang lebih rinci, sehingga cadangan C yang ada dapat diduga dengan lebih akurat. LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 397 DAFTAR PUSTAKA Agus, F. and Wahdini, W. 2008. Assessment of carbon stock of peatland at Tripa, Nagan Raya District, Nanggroe Aceh Darussalam Province of Indonesia. Bogor, Indonesia: Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and Development, World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Program, PanEco, YEL, Unsyiah. Internal report. Anderson, J.A.R. 1963. The flora of the peat swamp forests of Sarawak and Brunei. Including a catalogue of all recorded species of flowering plants, ferns and fern allies. Garden’s Bull Singapore 29:131–228 Bellamy, D. 1991. Wetlands: draining the world dry. In: Poritt J (ed) Save the earth. Angus and Robertson, Australia Cairns, M. A., Brown, S., Helmer, E. H. and Baumgardner, G. A. 1997.Rootbiomassallocation intheworld’suplandforests. Oecologia 111:1–11. Central Kalimantan Peatlands Project. 2007.Geology and Hydrology. Wetl http://www.wetlands.org/ckpp/articlemenu.aspx?id=f186758f-a379-4d22-9d19f8cd62b 34b8e. Cited 7 Dec 2007 Int. Chave, J., Andalo, C., Brown, S., Cairns, M.A., Chambers, J. Q., Eamus, D., Folster, H., Fromard, F., Higuchi, N., Kira, T., Lescure, J. P., Nelson, B. W., Ogawa, H., Puig, H., Riera, B., and Yamakura,T. 2005. Tree allometry and improved estimation of carbon stocks and balance in tropical forests. Oecologia 145: 87–99. Chimner, R.A. and Ewel, K.C. 2005. A tropical freshwater wetland: II. Production, decomposition, and peat formation. Wetl Ecol Manage 13:671–684 Couwenberg, J., Dommain, R. and Joosten, H. 2009. Greenhouse gas fluxes from tropical peatlands in Southeast Asia. Global Change Biol. doi:10.1111/j.365-2486.2009.02016. Dennis, C. and Aldhous, P. 2004.A tragedy with many players. Nature 430:396–398 Furukawa, Y., Inubushi, K., Ali, M., Itang, A.M., Tsuruta, H. 2005. Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. Nutr Cycl Agroecosyst 71:81–91 Harmon, M.E. and SexMg, J. 1996 Guidelines for measurements of woody detritus in forest ecosystems. US LTER Publication No. 20. US LTER Network Office, University of WashingMg, College of Forest Resources, Seattle, USA. 73p. Hooijer, A. 2006.Tropical peatlands in Southeast Asia. In: Rydin, H.and Jeglum, J.K. (eds).The biology of peatlands. Oxford University Press, pp 233–239 Jaenicke, J., Rieley, J.O., Mott, C., Kimman, P. and Siegert, F. 2008.Determination of the amount of carbon stored in Indonesian peatlands. Geoderma 147:151–158 Jauhiainen, J., Takahashi, H., Heikkinen, J.E.P., Martikainen, P.J., and Vasanderet, H. 2005. Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. Glob Change Biol 11:1788–1797 Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 398 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Kauffman, J. B., Warren, M., Donato, D., Mudiyarso, D. and Kurnianto, S. 2011. Protocols for the Measurement, Monitoring, & Reporting of Structure, Biomass and Carbon Stocks in Tropical Peat Swamp Forest: Field Handbook. Kauffman, J.B. and Donato, D.C. 2011 Protocols for the measurement, monitoring, and reporting of structure, biomass, and carbon stocks in mangrove forests. Working Paper No.86. CIFOR, Bogor 40p. Las, I. and Surmaini, W. 2010. Perlunya Pengembangan Teknologi Pertanian untuk Menekan Pemanasan Global. Paper on One Day Seminar for Alumni Gathering of Agricultural Faculty of Lambung Mangkurat University, Banjarbaru, March 11, 2010 MacDicken, K.G. 2001. Cash for tropical peat: land use change and forestry projects for climate change mitigation. In: Rieley, J.O., Page, S.E., and Setiadi, B. (eds.) Peatlands for people: natural resource functions and sustainable management. Proceedings of the International Symposium on Tropical Peatland, 22–23 August 2001, Jakarta, Indonesia. BPPT and Indonesian Peat association, 272 pp. MacKinnon, K., Hatta, G., Halim, H.and Mangalik, A. 1996. The ecology of Kalimantan. The ecology of Indonesia series. Periplus Editions (HK) Ltd Maltby, E.and Immirzi, C.P. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetland soils— regional and global perspectives. Chemosphere 27:999–1023 Murdiyarso, D., Donato, D., Kauffman, J. B., Kurnianto, S., Stidham, M. and Kanninen, M. 2009.Carbon storage in mangrove and peatland ecosystems. Working Paper No.48. CIFOR, Bogor 35p. Murdiyarso, D., Kauffman, J. B., Warren, M., Pramova, E., and Hergoualch, K. (2012). Tropical wetlands for climate change adaptation and mitigation Science and policy imperatives with special reference. Working Paper No.91. CIFOR, Bogor. 54p Noor, M. 2010. Peatland productivity improvement and work opportunity enlargement. Proceeding Seminar Lokakarya Nasional Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan untuk Pengurangan Kemiskinan dan Percepatan Pembangunan Daerah. Bogor, 28 October, 2010, pp. III-1-III-20 (in Indonesian) Page,S.E.,Rieley, J.O., andWuest, R. 2006. Lowlandtropicalpeatlands ofSoutheast Asia.In Martini, P.Martinez-Cortizas, A. andChesworth, W.(Eds.). Peatlands: BasinEvolution andDepository of Records on Global Environmental and Climatic Changes. Elsevier, Amsterdam. Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.D.V., Jaya, A. and Limin, S. 2002 The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61– 65. Pahang Forestry Department (2005) Pekan peat swamp forest, Pahang, Malaysia.The role of water in conserving peat Swamp Forests. Pahang Forestry Department, DANIDA, UNDP/GEF LAPORAN UTAMA PENDUGAAN KARBON BAWAH TANAH| 399 Parish, F. 2002. Overview on peat, biodiversity, climate change and fire. In: Parish, F., Padmanabhan, E., Lee, C.L. and Thang, H.C. (eds). Prevention and control of fire in peatlands. Proc of workshop on prevention and control of fire in peatlands, 19–21 March 2002, Kuala Lumpur. Global Environment Centre & Forestry Department Peninsular Malaysia. Cetaktama, Kuala Lumpur, pp 51–56 Rahayu, S., Oktaviani, R., Tata, H.L.and van Noordwijk, M. 2010. Carbon Stock and Tree Diversity in Tripa Peat Swamp Forest. The 2nd International Symposium of IWoRS, 1213 November 2010. Bali, Indonesia Rieley,J.O.,Ahmad-Shah, A.andBrady, M.A.1996.Theextentandnature oftropical peat swamps.InMaltby, E.Immirzi, C.P. and Safford, R.J.(Eds.),TheIntegrated Planningand Management ofTropicalLowlandPeatlands. IUCN, Gland, Switzerland. Rieley, J.O., Wüst, R.A.J., Jauhiainen, J., Page, S.E., Wösten, H., Hooijer, A., Siegert, F., Limin, S.H.,Vasander, H. and Stahlhut, M. 2008 Tropical peatlands: Carbon stores, carbon gas emissions and contribution to climate change processes. In: Strack, M. (ed.) Peatlands and climate change, 148-181. International Peat Society, Jyväskylä, Finland. Rydin, H.and Jeglum, J.K. (eds). 2006. The biology of peatlands. Oxford University Press, p 360 Takashi, H., Segah, H., Harada, T., Limin, S., June, T., Biotrop, S., Hirata, R. and Osaki, M, 2007. Carbon dioxide balance of a tropical peat swamp forest in Kalimantan, Indonesia. Global Change Biol 13(2):412–425 Tata, H.L., van Noordwijk, M., Mulyoutami, E. and Widayati, A. 2012. Economics versus conservation: a case study of Tripa peatland. Brief no. 34, Tripa series. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF)-Southeast Asia Regional Program Tomich, T.P. 1999.Agricultural intensification, deforestation, and the environment: assessing trade offs in Sumatra, Indonesia. Proceedings of the International Symposium “Land Use Change and Forest Management for Mitigation of Disaster and Impact of Climate Change”, Bogor, 19-20 October, 1999. pp. 1-27. White, D. and Minang, P. 2010. Estimating the opportunity costs of REDD+: a training manual. WashingMg, DC: The World Bank. Whitten, A.J., Damanik, S.J., Anwar, J. and Hisam, N. 1987. The ecology of Sumatra. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Widayati, A., Tata, H.L., Rahayu, S. and Said Z. 2012. Conversions of Tripa peatswamp forest and the consequences on the loss of Sumatran Orangutan (Pongo abelii) habitat and on aboveground CO2 emissions. Brief No. 33: Tripa series. Bogor, Indonesia. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Program. Wösten, J.H.M., Ismail, A.B.and vanWijk, A.L.M. 1997. Peat subsidence and its practical implications: a case study in Malaysia. Geoderma 78:25–36. Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala 400 | SCIENTIFIC STUDIESFOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Tahun 2013 Lampiran 2. Distribusi Kedalaman Gambut di Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa Tahun 2007 LAPORAN UTAMA