PENGEMBANGAN PARIWISATA YANG BERORIENTASI PADA PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN A. Reni Widyastuti Fakultas Hukum Universitas Katolik St.Thomas Sumatera Utara Medan Abstrak Pengembangan pariwisata harus selalu memperhatikan pelestarian fungsi lingkungan, jika tidak dilakukan akan menimbulkan dampak yang justru mendatangkan kerugian bagi kawasan wisata tersebut, yaitu berupa kerusakan lingkungan kawasan wisata tersebut yang dapat menyebabkan tidak adanya wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata tersebut. Pengembangan pariwisata dapat membawa dampak positif dan negatif. Dampak positif dapat terlihat dalam peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan wisata dan juga memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan asli daerah. Sedangkan dampak negatif, antara lain: polusi udara, polusi air, polusi suara, polusi sampah, rusaknya situs arkeologi dan sejarah, dan masalah penggunaan tanah. Perlu juga mendapat perhatian Pendahuluan Dalam rangka pendayagunaan bahwa dalam upaya pengembangan parisumber daya alam untuk memajukan kes- wisata di samping dampak positif bagi ejahteraan umum seperti termuat dalam masyarakat sekitar objek juga menimUUD 1945 dan untuk mencapai keba- bulkan dampak negatif bagi masyarakat hagian hidup berdasarkan Pancasila, perlu sekitar. Sehubungan dengan hal tersebut diusahakan pelestarian fungsi lingkungan dalam upaya pengembangan objek wisata hidup yang serasi dan seimbang untuk perlu diperhitungkan dampak negatif yang menunjang pembangunan yang berorien- ditimbulkan demi kelestarian objek wisata tasi pada kesejahteraan rakyat. Urgensi pe- tersebut maupun kelestarian fungsi linglestarian fungsi lingkungan dalam rangka kungan sekitar kawasan wisata. Pelaksanpembangunan dalam hal ini upaya pening- aan pembangunan yang berorientasi pada katan kesejahteraan masyarakat khusus- peningkatan kesejahteraan masyarakat nya pengembangan pariwisata, juga perlu ternyata mempunyai dampak terhadap mendapat perhatian serius. Hal ini perlu lingkungan sekitar baik langsung maupun mengingat terjadi kecenderungan dalam tidak langsung, baik dalam jangka pendek pengembangan kepariwisataan dimana maupun dalam jangka panjang. Hal yang kita bisa membangun dan mengembang- sama juga terjadi dalam pengembangan kan objek wisata, tetapi kurang memperha- pariwisata, dimana disamping pengembantikan bagaimana kelestarian objek wisata gan pariwisata itu sendiri menimbulkan tersebut dalam jangka panjang termasuk di dampak negatif terhadap lingkungan sekidalamnya dalam pengelolaan lingkungan tar objek wisata, pengelolaan lingkungan sekitar objek wisata bahkan terhadap objek dan pengelolaan objek wisata itu sangat mempengaruhi kelestarian fungsi lingkunwisata itu sendiri. 69 Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan gan dan objek wisata itu sendiri. Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan yang utama yang perlu mendapatkan jawaban tuntas adalah bagaimana pengembangan pariwisata dan pelestarian fungsi lingkungan sekitar kawasan wisata ini dapat dilaksanakan dengan baik dalam arti berorientasi pada upaya pelestarian objek wisata dan pelestarian fungsi lingkungan sekitar. Terminologi. Kata pariwisata secara umum telah diterima sebagai terjemahan dari kata tourism (Inggris), atau toerisme (Belanda). Pemaknaan yang demikian sebenarnya rancu. Kerancuan ini terjadi karena kata pariwisata berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “pari” yang berarti seluruh, semua dan penuh dan “wisata” yang berarti perjalanan. Jadi pariwisata berarti perjalanan penuh, yaitu berangkat dari sesuatu tempat, menuju dan singgah di suatu atau beberapa tempat dan kembali ke tempat asal. Dalam bahasa Inggris dikenal kata travel, tour dan tourism. Kata travel dapat diterjemahkan dan mempunyai arti yang sama dengan kata perjalanan atau wisata. Kata tour berarti perjalanan keliling yang sebenarnya sama artinya dengan kata pariwisata. Istilah ism yang melekat pada tour mengacu pada paham dan fenomena yang terkait dengan pengertian tour. Disamping itu kata tourism sering diartikan sebagai tour yang terorganisir. Pakar pariwisata dari Swiss yaitu Hunziker dan Krapt menyatakan bahwa : “Tourism is the sum of the phenomena and relationships arising from the travel and stay of non residents, in so far they do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity” (H.Kodyat, 1996: 3). (Pariwisata adalah keseluruhan fenomena (gejala) dan hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya, dengan maksud bukan untuk tinggal menetap di tempat 70 A. Reni Widyastuti yang disinggahinya dan tidak berkaitan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah). Pelestarian berasal dari kata “lestari” yang mempunyai makna langgeng, tidak berubah. Apabila kata lestari ini dikaitkan kepada lingkungan, maka berarti bahwa lingkungan itu tidak boleh berubah, tetap dalam keadaan aslinya. (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 89). Padahal pembangunan berarti selalu perobahan, membangun adalah merobah sesuatu untuk mencapai taraf yang lebih baik. Apabila dalam proses pembangunan itu terjadi dampak yang kurang baik terhadap lingkungan, maka haruslah dilakukan upaya untuk meniadakan atau mengurangi dampak negatif tersebut, sehingga keadaan lingkungan menjadi serasi dan seimbang lagi (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 90). Indonesia telah mencanangkan untuk menggalakkan pariwisata sebagai salah satu sumber devisa non migas, maka untuk menjual pariwisata harus memperhatikan beberapa masalah. Terutama bila yang ingin dijual itu bukan hanya untuk memperoleh manfaat sesaat tetapi juga manfaat di masa yang akan datang, maka pengembangan industri pariwisata harus juga memperhatikan masalah lingkungan. Dengan demikian pengembangan daerah wisata harus pula memperhatikan kesinambungan pemanfaatan alam dan lingkungan yang ada di kawasan daerah wisata tersebut. Hubungan Antara Pariwisata Dengan Lingkungan Memasuki era pembangunan di milenium ke tiga (pasca tahun 2000), banyak perubahan besar akan dialami dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Jumlah penduduk yang membesar dan makin padat, intensifnya transisi budaya agraris ke budaya industri, globalisasi kehidupan yang meluas dan kompleknya pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masalah-masalah Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan kemasyarakatan dan lain-lain. Kompleksitas permasalahan ini akan berdampak pada permasalahan lingkungan. Pemberdayaan potensi wisata alam selalu terkait erat dengan permasalahan lingkungan, sehubungan dengan hal tersebut perlu penanganan yang benar-benar berorientasi pada pelestarian fungsi lingkungan. Industri pariwisata yang oleh G.A Schmoll dalam bukunya Tourism Promotion dideinisikan sebagai:“Tourism is a hightly decentralized industry consisting of enterprises different in size, location, function, type organization, range of service provided and method used to market and sell them” (G.A.Schmoll,1977: 30). Dengan demikian pariwisata bukan merupakan industri yang berdiri sendiri, tetapi merupakan industri yang terdiri dari serangkaian perusahaan yang menghasilkan jasa atau produk yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan itu tidak hanya dalam jasa yang dihasilkan, tetapi juga dalam besarnya perusahaan, lokasi tempat kedudukan, letak geograis, fungsi, bentuk organisasi yang mengelola dan metode atau cara pemasarannya. Deinisi lain yang lebih representatif adalah dikemukakan oleh Krippenddorf: “To be considered as tourist enterprice are all business entities which provide goods and services of wahtever kind which directly satisfy tourist needs and doing so have contact with tourists in the normal cource of their activities. It is irrelevant wheter these enterprises provide their services exclusively, predominantly or only occasionally to tourist” (G.A.Schmoll,1977: 31). Kompleksitas masalah industri pariwisata juga berhubungan erat dengan upaya pengembangan pariwisata yang ternyata juga mempunyai dampak terhadap lingkungan. Sehubungan dengan hal itu perlu upaya pelestarian fungsi lingkungan. Dengan demikian terdapat dua aspek penting yaitu masalah industri pariwisata yang berorientasi pada lingkungan dan pengembangan pariwisata yang berorientasi pada A. Reni Widyastuti pelestarian fungsi lingkungan. Pengembangan pariwisata harus mengacu dan memperhatikan ketentuan Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai berikut: Pasal 12: (1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). (2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan: a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. (3) Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh: a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan; b. Gubernur untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas kabupaten/kota; atau c. Bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di wilayah kabupaten/kota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah. Pasal 13: (1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkun- Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 71 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan gan hidup. (2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pencegahan; b. penanggulangan; dan c. pemulihan. (3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Pasal 14: Instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: KLHS; tata ruang; baku mutu lingkungan hidup; kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; amdal; UKL-UPL; perizinan; instrumen ekonomi lingkungan hidup; peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan hidup; analisis risiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup; dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/ atau perkembangan ilmu pengetahuan Pengembangan pariwisata pada umumnya bertujuan untuk memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata, dalam pembangunan objek wisata dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup serta kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri. Dengan demikian antara pariwisata dan masalah lingkungan mempunyai kedekatan yang tidak dapat dipisahkan, karena: (1) Many features of the physical environment are attractions for tourists; (2) Tourist facilities and infrastructure constitute one aspect of the built environment. (3) Tourism development and tourist use of an area generate environmental impacts. (Invironmental 72 A. Reni Widyastuti Impact: 117) Pentingnya perhatian terhadap lingkungan dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata ini dapat dilihat di daerah Karibia dalam suatu organisasi yang disebut dengan Caribbean Tourism Organization yang awalnya disebut Caribbean Tourism Research and Development Centre sebagaimana dikemukakan oleh Holder : 1. The environment is tourism’s source. It is our environment or rather the experience or enjoyment of it, that the tourism industry promotes and sells. 2. A proper understanding of tourism and commitment to a lasting and healthy tourism is possibly the best method of ensuring the preservation of the Caribbean environment. 3. Tourism is critical to the economic survival of the Caribbean. 4. The long-term commitment to tourism required to ensure the careful planning necessary for minimizing negative environmental effects was absent in the early stages of Caribbean tourism development. 5. It is necessary that we thoroughly assess the costs and beneits of tourism development in Caribbean states. Successful remedial action will however require a vastly changed attitude to tourism it self. 6. Because of Caribbean economic realities and increasing dependency on tourism, the reion has no option but to devise sophisticated system of management, deducation, research and monitoring with respect to its environmental resources (Invironmental Impact: 119). Pengembangan pariwisata terutama yang berobyek wisata keindahan alam dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, bahkan terhadap obyek wisata itu sendiri, berupa : 1. Water Pollution. 2. Air Pollution. 3. Noice Pollution Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan 4. Visual Pollution. 5. Waste Disposal Problems. 6. Ecological Disruption. 7. Environmental Hazards. 8. Damage to Archaeological and Historic Sites. 9. Land Use Problems (Invironmental Impact: 344). Sehubungan dengan dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh pengembangan pariwisata tersebut maka pariwisata harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan fungsi lingkungan antara lain sebagai berikut: 1. Conservation of Important Natural Areas. 2. Conservation of Archeological and Historic Sites and Architectural Character. 3. Improvement of Environmental Quality. 4. Enhancement of the Environment. 5. Improvement of Infrastucture. 6. Increasing Environmental Awareness (Invironmental Impact: 342). Pengembangan industrI pariwisata nasional (Indonesia) tidak dapat berdiri sendiri, karena industri pariwisata nasional merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa subsistem. Subsistem-subsistem yang membentuk sistem pariwisata nasional tadi adalah subsistem permintaan (demand), penawaran (supply) dan lingkungan atau konigurasi. Subsistem permintaan dipengaruhi oleh faktor individual yaitu sosok wisatawan (umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi, pendidikan dan sebagainya), maupun kualitas psikograi, (seperti sikap, gaya hidup, motivasi bepergian, preferensi dan minat wisatawan) dan dipengaruhi oleh faktor struktural (seperti geopolitik, sekurity dan sebagainya). Sosok subsistem permintaan akan ditentukan oleh karakteristik sociograi dan psikograi A. Reni Widyastuti dan letaknya berada di luar jangkauan intervensi perumus kebijakan. Subsistem penawaran terdiri dari sejumlah faktor seperti atraksi, akomodasi, transportasi, SDM, kelembagaan dan sebagainya. Subsistem ini sepenuhnya berada dalam jangkauan perumus kebijakan. Pembangunan pariwisata pada hakekatnya merupakan upaya untuk membawa state of the art sistem kepariwisataan yang satu menuju state of the art sistem kepariwisataan yang lain yang dipandang lebih mampu atau lebih baik melalui perencanaan dengan memperhatikan perubahan konigurasi yang terjadi. Proses perencanaan dilakukan dengan merubah variabel subsistem-subsistem untuk disesuaikan dengan visi yang menjadi referensi pembangunan suatu negara (Moeljarto Tjokrowinoto, 1999: 2). Visi pembangunan nasional tidaklah statis, akan tetapi mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan tahapan pembangunan serta perubahan konigurasi pembangunan itu sendiri. Di dalam konigurasi normatif visi dan misi pembangunan nasional visi pariwisata adalah pariwisata yang diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam perolehan sumber pembangunan dalam bentuk devisa dan pendapatan nasional maupun pendapatan regional. Maka pembangunan pariwisata cenderung berorientasi pada pasar atau market-driven tourism development. Apabila industri kepariwisataan ingin berhasil dalam mengemban misinya sebagai wacana pemerataan pendapatan melalui perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, maka pembangunan kepariwisataan harus memberi perhartian pada alternative tourism (pariwisata alternatif). Secara umum pariwisata alternatif dapat dideinisikan sebagai: “Berbagai bentuk pariwisata yang sesuai dengan nilainilai alami, sosial dan komunitas dan yang memungkinkan baik wisatawan maupun masyarakat setempat menikmati interaksi Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 73 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan yang positif dan bermanfaat dan bertukar pengalaman” (Moeljarto Tjokrowinoto, 1999: 8). Karena sifatnya yang demikian maka berbagai variant dari pariwisata alternatif ini seperti pariwisata minat khusus (special interes tourism) dan pariwisata yang berbasis komunitas (communitybased tourism) dan sebagainya lebih memberi kemungkinan bagi terwujudnya misi pariwisata sebagai wacana pemerataan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja serta kesempatan berusaha. Adapun sifat-sifat yang mendasari esensi pariwisata yang berbasis komunitas adalah: 1. Berskala kecil sehingga bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif. 2. Memiliki peluang yang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil dan oleh karena itu dapat dikelola oleh komuitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal serta menimbulkan dampak sosial kultural yang minimal, dan dengan demikian mempunyai peluang yang lebih besar untuk diterima masyarakat. 3. Memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusan di dalam menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh industri pariwisata dan karenanya lebih memberdayakan masyarakat. 4. Mendorong cultural sustainability dan membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal (Moeljarto Tjokrowinoto, 1999: 8). Pariwisata dan Dampaknya terhadap Lingkungan 1. Hubungan manusia dengan alam. Masalah pencemaran lingkungan dalam pengembangan obyek wisata adalah 74 A. Reni Widyastuti masalah yang paling rentan terjadi, karena dalam penyelenggaraan pariwisata khususnya pariwisata dengan objek keindahan alam, yang dijual atau yang menjadi produk pariwisata adalah keindahan alam. Sementara itu masyarakat maupun wisatawan sangat potensial menjadi penyebab terjadinya pencemaran lingkungan tersebut. Itulah sebabnya peningkatan kualitas lingkungan sangat penting untuk dikedepankan dalam perencanaan pengembangan pariwisata. Bahkan banyak ahli menyebut bahwa keberhasilan pariwisata sangat ditentukan oleh tingkat kualitas dari lingkungan. Juga dapat dikatakan bahwa kualitas lingkungan akan sangat menentukan kenyamanan wisatawan untuk tinggal lebih lama di objek wisata. Dengan demikian tingkat keserasian hubungan antara pengembangan kepariwisataan dengan lingkungan sangat menentukan keberhasilan pengembangan pariwisata itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa segala sesuatu di dunia ini erat hubungannya antara satu dengan yang lain. Antara manusia dengan hewan, antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan dan antara manusia dengan benda-benda mati sekalipun. Begitupun antara hewan dengan hewan, antara hewan dengan tumbuh-tumbuhan, antara hewan dengan manusia dan antara hewan dengan benda-benda mati di sekelilingnya. Akhirnya tidak terlepas pula pengaruh mempengaruhi antara tumbuhtumbuhan yang satu dengan dengan yang lainnya, antara tumbuh-tumbuhan dengan hewan, antara tumbuh-tumbuhan dengan manusia dan antara tumbuh-tumbuhan dengan benda mati di sekelilingnya. Pengaruh antara satu komponen dengan lain komponen ini bermacam-macam bentuk dan sifatnya. Begitu pula reaksi sesuatu golongan atas pengaruh dari yang lainnya juga berbeda-beda (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 1). Dengan demikian terdapat suatu keterjalinan antara yang satu dengan yang Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan lain. Oleh sebab itu suatu peristiwa yang terjadi dapat menjadi resultante terhadap sesuatu yang lain di sekitarnya. Gambaran menyeluruh kehidupan yang ada pada suatu lingkungan tertentu dan pada saat tertentu disebut sebagai biotic community atau masyarakat organisme hidup (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 2). Sementara di dalam biotic community ini terdapat fenomena khusus yang sering dinamakan piramida kehidupan, yakni suatu piramida yang menggambarkan komposisi kehidupan organisme-organisme di dalamnya. Masing-masing organisme dalam biotic community dalam hidupnya saling mengadakan interaksi, dalam pengertian masing-masing mengambil manfaat terhadap yang lain dalam suatu harmoni yang tidak merugikan. Putaran atau siklus dalam suatu harmoni ini akan menghasilkan kehidupan yang mempertahankan eksistensi mereka. Sementara itu dalam biotic community akan berada dalam suatu kawasan atau daerah yang penghuninya atau masyarakatnya tidak selamanya berupa biotic, tetapi terdapat “biotic community “. Biotic community ini tidak akan bisa melepaskan diri atau tanpa mengadakan interaksi dengan abiotik community. Oleh sebab itu peristiwa-peristiwa isik yang terjadi di lingkungan tersebut akan banyak berpengaruh pada organisme-organisme yang tinggal di wilayahnya, sedangkan organisme-organisme hidup itu sendiri juga sedikit banyak akan berubah atau berpengaruh terhadap daerah yang bersangkutan. Dengan demikian kejadian suatu daerah tertentu (abiotik community) dimana di dalamnya tinggal suatu komposisi organisme hidup (biotic community) yang diantara keduanya terjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil, terutama dalam jalinan bentuk-bentuk sumber energi kehidupan. Kesatuan ini dinamakan suatu “ekosistem “ (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 3). Pada prinsipnya terdapat dua kategori ekosistem yang utama, yaitu eko- A. Reni Widyastuti sistem alamiah (natural ecosystem) dan yang berikutnya adalah berupa ekosistem buatan atau dikenal dengan istilah (artiicial ecosystem) yaitu hasil kerja atau budi daya manusia terhadap ekosistemnya. Kedua ekosistem tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Pada ekosistem alamiah biasanya memiliki tingkat heteroginitas yang sangat tinggi. Tingkat heteroginitas organisme hidupnya mempertahankan siklus kehidupan dialaminya secara alami atau dengan sendirinya. Sementara dalam ekosistem buatan tingkat maupun kadar heteroginitasnya relatif lebih sedikit. Sehingga dengan sendirinya mempunyai sifat labil, dalam upaya melestarikan heteroginitas ini perlu upaya tersendiri dari luar (manusia) sehingga bentuk maintenance atau perawatan uang memadahi hingga ekosistem buatan ini dapat terpelihara dan bertahan. Terlepas dari kedua jenis ekosistem tersebut, hal utama yang perlu diperhatikan adalah upaya bagaimana menjaga agar ekosistem tersebut tetap stabil, sehingga manusia tetap hidup teratur demi generasi ke generasi selama dan sesejahtera mungkin. Disamping hal tersebut di atas perlu pula disadari bahwa manusia harus berfungsi sebagai subyek dari ekosistemnya, sehingga tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjaga kestabilan ekosistemnya sendiri. Perubahanperubahan yang terjadi di dalam lingkungan hidupnya mau tidak mau akan mempengaruhi ekosistem manusianya, karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 4). Kerusakan lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai tujuannya, dimana dalam upaya tersebut mengandung konsekuensi terhadap lingkungan. Pencemaran lingkungan adalah akibat dari ambiquitas tindakan manusia. Manusia telah memasukkan alam dalam kehidupan bu- Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 75 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan dayanya, akan tetapi ia nyaris lupa bahwa ia sendiri sekaligus merupakan bagian dari alam dimana ia hidup. Oleh sebab itu manusia bukan saja berarti sebagai penguasa atas alam ini, tetapi manusia juga sekaligus sebagai pengabdi. Maka dapat dikatakan bahwa manusia adalah tuan sekaligus pelayan. Hal ini penting ditandaskan karena dengan kekuasaannya atas alam tersebut, manusia tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungannya kepada alam. Dengan demikian, kehidupan manusia memuat dalam dirinya sebagian alam dan ketergantungan kepada lingkungan materiil. Sehingga alam merupakan wajah manusiawi dan tidak hanya sebagai tempat pengurasan oleh homo faber (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 4). Manusia mempengaruhi alam dan alam mempengaruhi manusia. Sehingga alam dimasukkan dalam evolusi manusia dan sebaliknya. Manusia dan alam dalam hubungan satu dengan yang lain terkait pada sejarah. Di dalam permasalahan lingkungan, manusia akhirnya berhadapan dengan dirinya sendiri. Ini berarti bahwa dalam hubungannya dengan alam, ia harus memperhitungkan nilai-nilai lain, disamping nilai-nilai teknis dan ekonomis. Ini berarti pula, bahwa ancaman terhadap alam tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada pihak lain, akan tetapi pada sikap manusia itu sendiri, baik sebagai diri pribadi secara mandiri, maupun sebagai anggota masyarakat (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 5). 2. Perkembangan Pariwisata Dunia. Pada awal dekade delapan puluhan, bersaman dengan adanya Rio Summit, mulai terjadi pergeseran pada pariwisata global. Pergeseran ini terjadi seiring dengan adanya kekhawatiran penduduk planet bumi ini akan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan. Keingintahuan penduduk di negara-negara industri terhadap bangsabangsa di selatan yang kaya akan bahan baku industri mendorong mereka melaku76 A. Reni Widyastuti kan perjalanan ke benua Afrika, Asia, dan Amerika latin. Indonesia yang merupakan salah satu diantara banyak negara yang memiliki kekayaan budaya dan sumber daya alam memiliki keuntungan komparatif dan kompetitif sebagai daerah tujuan wisata utama di Asia Tenggara dan Asia Pasiik. Kekayaan dan keragaman hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan secara arif dan bijaksana. Pemanfaatan yang konservatif pada keragaman hayati dan ekosistemnya dapat dilaksanakan dengan pengembangan sebagai obyek dan daya tarik wisata. Pariwisata sebagai green industry akan dapat mengerem laju perusakan sumber daya alam dan lingkungan. Namun demikian apabila tidak direncanakan dengan konsep pembangunan pariwisata berwawasan lingkungan, kerusakan lingkungan akan terjadi. Kebijakan, strategi dan program pembangunan pariwisata alam ditetapkan dengan rambu-rambu konservasi. Sementara itu kegagalan dalam pengembangan kepariwisataan alam dapat terjadi bila tidak memperhatikan daya dukung dan adanya pergeseran paradigma. Paradigma baru di bidang pariwisata akan dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna bagi masyarakat dan pemerintah daerah setempat. Mill and Morrison menyatakan: “It’s recognized that tourism may be one of several development options open to a location. Although tourism can bring economic advantages to a destination country, it can also bring economic advantages to destination country, it can also bring social achange and environmental deterioration” (Chaid Fandeli, 1999: 4). Kepariwisataan alam sangat ditentukan oleh keberadaan perilaku dan sifat dari obyek dan daya tarik alam. Atraksi alam berupa gunung, pantai sungai, hutan, lembah, ngarai, goa, dan hutan mempunyai kondisi, sifat dan perilaku yang harus Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan diperhatikan dalam perencanaan pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam. Menurut Fandeli, sifat dan karakter kepariwisataan alam sebagai berikut: a. In Situ. Objek dan daya tarik wisata alam hanya dapat dinikmati secara utuh dan sempurna di ekosistemnya. Pemindahan objek ke ex situ akan menyebabkan terjadinya perubahan objek dan atraksinya. Pada umumnya wisatawan kurang puas apabila tidak mendapatkan sesuatu secara utuh dan apa adanya. b. Perishable. Suatu gejala atau proses ekosistem hanya dapat terjadi pada waktu tertentu. Gejala atau proses alam ini berulang dalam kurun waktu tertentu. Kadang siklusnya beberapa tahun, bahkan ada yang puluhan tahun atau ratusan tahun. Objek dan daya tarik wisata alam yang demikian membutuhkan pengkajian dan pencermatan secara mendalam untuk dipasarkan. c. Non Recoverable. Suatu ekosistem alam mempunyai sifat dan perilaku pemulihan yang tidak sama. Pemulihan secara alami sangat tergantung dari faktor dalam (genotype) dan faktor luar (phenotype). Pada umumnya pemulihan secara alami terjadi dalam waktu yang panjang. Bahkan ada suatu objek yang hampir tak terpulihkan bila ada perubahan. d. Non Substituable. Objek dan daya tarik wisata alam tidak mungkin diganti dengan objek lain, karena tidak mungkin memiliki kesamaan (Chaid Fandeli, 1999: 4). Memperhatikan karakteristik objek wisata alam tersebut, maka dalam pengembangan pariwisata alam memerlukan perencanaan yang matang dengan mengacu pada pelestarian fungsi lingkungan dan ekosistemnya. World Tourism Organization, suatu badan yang berailiasi dengan PBB menyatakan bahwa kepariwisataan merupakan industri terbesar di dunia. World Travel and Tourism Council, A. Reni Widyastuti sebuah organisasi yang bermarkas di Brussel yang terdiri atas pimpinan eksekutif dari perusahaan- perusahaan dunia membiayai suatu penelitian yang dibuat oleh Wharton Economic Forecasting Association yang memperkirakan jumlah produksi bruto perjalanan dan pariwisata dalam tahun 1993 mendekati US $ 3,2 triliun, atau sekitar 6 % dari produksi Nasional Dunia Bruto (World’s Gross National Produst) (Donald E. Lundberg, 1997: 3). Untuk setiap US $ 1 juta penerimaan yang dari industri pariwisata ini tercipta 20.000 pekerjaan baru. Sekitar 31 % dari pengeluaran total dunia dalam industri ini terjadi dalam masyarakat Eropa; Amerika Serikat dan Canada menyumbang sekitar 30% dari pengeluaran total (The WTTC Report, 1992: 4). Pendapatan perkapita dan jumlah perjalanan yang dilakukan dalam suatu negara dan perjalanan ke luar negeri berkorelasi dengan PNB (Produksi Nasional Bruto). Penerimaan perjalanan sama dengan pembelanjaan wisatawan manca negara di Amerika serikat untuk pengeluaran jasa-jasa terkait. Korelasi ini selamanya sempurna, oleh karena kecenderungan berwisata untuk sebagian bersifat kultural, sebagian lagi adalah hasil dari letak suatu negara dan sebagian lagi berdasarkan kesejahteraannya. Atas dasar PNB perkapita, perjalanan orang-orang Skandinavia, Inggris dan Belanda jauh lebih tinggi dari pada orang Amerika Utara. Orang-orang New Zeland dan Australia melakukan perjalanan internasional jauh lebih sering dari pada yang diperkirakan atas dasar PNB per kapita. Pariwisata, sebagaimana ditentukan semata-mata oleh jumlah pelintas batas, adalah jauh lebih tinggi di Eropa (dengan begitu banyak negaranya). Apa yang dikemukakan di atas adalah gambaran kepariwisataan yang terjadi di negara-negara maju, sementara prospek pariwisata di negara-negara berkembang juga akan mengarah ke hal yang sama Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 77 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan seperti apa yang telah dialami oleh negara maju. Menurut pendapat para pakar kepariwisataan prospek paling cerah dalam menjelang abad 21 dan pasca tahun 2000 berada di negara-negara berkembang. Sehubungan dengan hal tersebut jaringan hotel internasional telah mulai mengoperasikan pelayanan hotel kelas satunya di negaranegara berkembang. Namun demikian bagi negara-negara berkembang untuk dapat sampai pada prospek sebagaimana digambarkan oleh para pakar pariwisata tersebut, perlu perencanaan yang memadahi. Perencanaan wisata alam mempunyai hierarkhi secara makro, meso dan mikro. Perencanaan ini dapat berada pada dimensi wilayah, atau resort. Sementara perencanaan meso merupakan perencanaan kawasan dan perencanaan mikro pada tapak atau obyek dan daya tarik wisata. Dalam perencanaan pengembangan wilayah/resort/kawasan/ daerah tujuan wisata alam harus memperhatikan beberapa prinsip: a. Pengembangan wisata alam harus sesuai dengan perencanaan tata ruang. b. Menyesuaikan antara potensi alam dengan tujuan pengembangan c. Sedapat mungkin diusahakan agar pengembangan yang dilakukan mempunyai fungsi ganda. d. Sejauh mungkin mengalokasikan tetap adanya areal alami yang tidak dikembangkan (Douglass,1978: 6) 3. Perkembangan Pariwisata Nasional. Sebelum membahas lebih jauh perkembangan pariwisata nasional, maka perlu pemahaman yang lebih komprehensip terhadap pengertian wisatawan. Menurut IUOTO (International Union of Oficial Travel Organization), wisatawan adalah pengunjung sementara yang tinggal sekurang-kurangnya 24 jam di negara yang dikunjungi, dengan maksud dan tujuan perjalanannya dapat digolongkan sebagai berikut : a. Pesiar (leisure) yaitu untuk keper78 A. Reni Widyastuti luan liburan, kesehatan, studi, agama dan olah raga. b. Hubungan dagang (bussiness) kunjungan keluarga/handai taulan, konferensi, missi. Mengingat kegiatan wisata tidak hanya mencakup kegiatan yang bersifat rekreatif, maka yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang mendorong orang untuk berkunjung dan singgah di Daerah Tujuan Wisata (DTW) yang bersangkutan, misalnya: obyek wisata seni budaya, ziarah, lembaga pendidikan, bisnis, keramahan penduduk, keamanan, kebersihan dan sebagainya (H. Kodhyat.,1996: 5) Sedangkan daerah tujuan wisata (DTW) atau tourist destination itu sendiri ditentukan oleh beberapa faktor yaitu: a. Daya tarik wisata (tourist attractions) b. Kemudahan perjalanan atau accesibilitas ke daerah tujuan wisata yang bersangkutan. c. Sarana, prasarana dan fasilitas yang diperlukan (H. Kodhyat.,1996: 5). Sedangkan perjalanan (aksesibilitas) terutama ditentukan oleh dua faktor yaitu : a. Transportasi. b. Bea cukai, keimigrasian, pengkarantinaan (custom, imigration, quaratine) disingkat CIQ. Sedangkan sarana dan fasilitas yang diperlukan berupa sarana akomodasi, restoran, transportasi lokal, hiburan dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan daya tarik wisata, aksesibilitas; pesona dan fasilitas yang diperlukan, secara keseluruhan disebut Produk Pariwisata. Produk Pariwisata yang kasat mata (tangible) seperti obyek wisata, hotel, restoran dan yang tidak kelihatan (intangible) seperti keramahan, keamanan dan kenyamanan. Semakin banyak dan beragam serta berkualitas daya tarik wisata yang terdapat pada suatu daerah tujuan wisata, maka semakin besar pula minat orang Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan untuk berkunjung di suatu daerah tujuan wisata. Semakin banyak, lengkap dan berkualitas sarana dan fasilitas yang terdapat di daerah tujuan wisata maka semakin lama wisatawan singgah. Semakin luas jaringan prasarana transportasi yang tersedia maka semakin banyak wisatawan yang berkunjung ke daerah tujuan wisata. Demikian pula prosedur CIQ yang tak berbelit. Ditinjau dari aspek kesejahteraan masyarakat, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat kemungkinan akan timbulnya dorongan untuk memenuhi kebutuhan kesenangan yang termasuk di dalamnya kepariwisataan semakin tinggi. Ternyata orang-orang yang mengadakan perjalanan dalam rangka usahanya untuk memenuhi kebutuhan yang baru, guna mencapai kemakmuran lebih dari keadaan semula, memberi pengaruh dalam kehidupan perekonomian, tidak saja bagi kehidupan perekonomian suatu negara/bangsa, tetapi juga secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan perekonomian dunia. Secara umum keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dalam pengembangan industri pariwisata adalah: a. Bertambahnya kesempatan kerja b. Meningkatnya income perkapita. c. Meningkatnya tax revenue. d. Menguatkan neraca perdagangan luar negeri (Oka A.Youti, 1999: 22). Sehubungan dampak positif perekonomian yang dapat dirasakan dengan perkembangan pariwisata, maka peran pemerintah sangat dominan dalam usaha pariwisata, dalam hal ini Direktorat Jendral Pariwisata harus mengambil peran: a. Melengkapi, mengadakan sarana dan prasarana yang baik bagi pelayanan wisatawan; b. Membuat peraturan Prundangundangan yang berkenaan dengan kepariwisataan. c. Mendidik tenaga terampil di bi- A. Reni Widyastuti dang pariwisata. d. Mengeluarkan ijin usaha kepariwisataan. e. Menguasai dan menertibkan pendirian travel agent. f. Merencanakan dan mengembangkan serta membina obyek wisata. g. Membentuk tourist information centre (Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II, 1999). Pariwisata pada prinsipnya merupakan fenomena yang komplek. Kompleksitas ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Pariwisata merupakan suatu media atau instrumen bagi terjadinya berbagai interaksi (baik interaksi antara manusia dengan manusia, antara manusia dengan latar belakang yang berbeda, maupun antara manusia dengan lingkungan lama). b. Pariwisata menyentuh segala aspek kehidupan manusia: ekonomi, pendidikan, sosial budaya, lingkungan alam dan bersifat lintas sektoral (Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II, 1999). Oleh sebab itu pariwisata dapat menimbulkan dampak yang positif dan negatif sekaligus. Dampak positif secara ekonomis, dan negatif secara sosial budaya dan lingkungan alam sekitar (economical beneits vs social, cultural and environmental cost). Sehubungan dengan hal tersebut maka berkembang pola-pola baru dalam kepariwisataan, misalnya pariwisata alternatif (alternative tourism), pariwisata eko (eco tourism), acceptable tourism, sustainable tourisme, responsible tourism dan sebagainya. Dampak pariwisata menurut para antropolog diantaranya dikemukakan sebagai berikut; sampai beberapa waktu lalu, orang masih menganggap bahwa pariwisata sebagai industri yang tidak menimbulkan pencemaran (a smokeless industry), ”… but the nature of tourism and its effects on the people involved- those in tourist areas who become the hasts, and the tourists who Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 79 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan become their temporary quests – remains there to fore essensially unstudied” (..... tetapi, sifat dari pariwisata dan dampaknya terhadap manusia-manusia yang terlibat – mereka yang berada di daerah wisata, yang menjadi tuan rumah, dan para wisatawan yang menjadi tamu-tamu sementara mereka – pada hakekatnya belum dipelajari secara mendalam). (Kepala Dinas Pariwisata Tk. II, 1999). Dampak ini belum dipelajari menurut Valene L. Smithe dalam bukunya Hosts and Guests : makalah yang disampaikan dalam American Anthropological Association di Mexico tahun 1974 karena: “… an anthropologist have observed the growing impact of tourism throughout the woried but buries their data in ield notes and only accasionally published perpheral articles, as it tourism were not a scientiic or scholarly subject”. (… para ahli antropolog telah memperhatikan dampak pariwisata yang makin berkembang di seluruh dunia, tetapi mengubur data-data mereka dalam catatan-catatan lapangan. Hanya sekali-kali mereka menulis artikel yang tidak terlalu mendalam, seolah-olah pariwisata bukan merupakan subyek ilmiah/akademik) (Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II, 1999). Lebih lanjut dikatakan bahwa pariwisata adalah fenomena lokal, dan senantiasa cenderung untuk terkonsentrasikan di tempat-tempat tertentu yang mempunyai luas areal yang terbatas dan mempunyai dampak lokal (local impact of tourism). Ambang batas/titik jenuh ditentukan oleh beberapa faktor yaitu jumlah tenaga kerja, prasarana, lalu lintas, tanah untuk bangunan hotel dsb, bila tidak imbang maka akan menyebabkan dampak langsung yang sangat besar bagi masyarakat. Sebagai contoh keterbatasan tanah atau areal mengakibatkan terjadinya konversi tanah lahan pertanian, perumahan, pendidikan menjadi bangunan-bangunan hotel, restoran diskotik dan sebagainya. 80 A. Reni Widyastuti Penutup Kesimpulan: 1. Peran serta masyarakat sekitar kawasan wisata dalam rangka mempertahankan keseimbangan ekosistem dan fungsi lingkungan dalam pengembangan pariwisata adalah sangat besar, hal ini dapat terlihat dari sarana dan prasarana yang terdapat di kawasan wisata yang meliputi : a. Sarana pendidikan, yang dapat mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia. b. Sarana kesehatan, yang berperan dalam peningkatan kualitas isik sumber daya manusia, sebagai pelaku pembangunan yang bermutu. c. Sarana penunjang pariwisata yang antara lain dapat dilihat dengan jumlah hotel dan restoran yang ada di kawasan wisata, tanpa hotel dan restoran pariwisata tidak mungkin dapat berkembang. d. Sarana perekonomian antara lain Koperasi, Pasar, Toko, Kios, Warung dan Bank yang menggambarkan kegiatan ekonomi kawasan yang dilakukan oleh penduduk. e. Jaringan jalan sebagai sarana perhubungan mempunyai peranan penting dalam rangka ikut menunjang pembangunan. f. Sarana angkutan umum dan komunikasi sangat menunjang aksebilitas dan akses informasi yang menjadi salah satu faktor penggerak dalam pembangunan, sehingga jalannya pembangunan lebih cepat dan dapat menjangkau seluruh kawasan wisata. g. Sarana peribadatan seperti Masjid, Mushola, Gereja, Kuil/ Pura, merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pembangunan kualitas sumber daya manusia. 2. Kebijakan pemerintah daerah dalam rangka pengembangan Pariwisata sekitar kawasan wisata yang berwawasan lingkungan dilakukan dengan cara : a. Menyusun strategi pengembangan, yaitu menghubungkan objek wisata Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan yang ada di sebelah Selatan dengan Utara dan Barat; mengembangkan aktiitas wisata atau objek baru untuk memperkaya khasanah objek wisata; mengenali tradisi dan kesenian daerah setempat. b. Membuat konsep dasar rencana pengembangan kawasan wisata yang didasarkan pada pendekatan perilaku, lingkungan serta budaya manusia. c. Membuat rencana penggunaan tanah/lahan di sekitar kawasan wisata sebagai berikut : Kawasan untuk pengembangan objek wisata budaya dan alam; Kawasan untuk sarana rekreasi yang bersifat olah raga dan perjalanan; dan Kawasan untuk sarana rekreasi pasif yaitu rumah makan, tempat duduk, melihat pemandangan dan sejenisnya. d. Membuat rencana pengaturan ruang, karena kawasan wisata bukan hanya dipakai untuk objek wisata saja, tetapi juga menjadi lahan hidup masyarakat setempat. 3. Dampak yang dapat timbul sehubungan dengan pengembangan pariwisata antara lain: a. Dampak positif, yaitu dapat terlihat dalam peningkatan perekonomian masyarakat sekitar kawasan wisata dan juga memberikan kontribusi terhadap perolehan pendapatan asli daerah. b. Dampak negatif, yaitu terhadap lingkungan, bahkan terhadap obyek wisata tersebut antara lain: polusi udara, polusi air, polusi suara, polusi sampah, rusaknya situs arkeologi dan sejarah, dan masalah penggunaan tanah. Saran 1. Agar tercipta masyarakat yang berperan aktif dan berkesinambungan dalam rangka pengembangan pariwisata dan pelestarian fungsi lingkungan, maka penting dilakukan pemantauan tentang pelaksanaan program-program pendidikan lingkungan oleh setiap SMTP dan SMU terutama yang berada di dekat kawasan wisata. 2. Peran Pemerintah perlu diopti- A. Reni Widyastuti malkan dalam mengadakan pengawasan dan pembinaan terhadap pengusaha jasa pariwisata yang ada dengan menitikberatkan pada upaya menjaga kelestarian fungsi lingkungan dan objek wisata tersebut. 3. Perlu promosi yang terus menerus dan kerjasama dengan pihak swasta/ investor sebagai mitra usaha wisata demi kesinambungan dan keberhasilan pembangunan pariwisata tersebut. 4. Produk negatif yang selalu muncul dari berbagai proses, seperti proses industri, limbah pasar, limbah kota, limbah bangunan dan yang sejenisnya, perlu ditangani dengan seksama agar berbagai limbah tersebut tidak dibuang ke dalam sumber alam yang harus kita jaga kelestariannya tersebut. Daftar Pustaka: Fandeli, Chaid, 1999, “Perencanaan Kepariwisataan Alam”, Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan, Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II. Hardjasoemantri, Koesnadi, 1999, “Hu kum Tata Lingkungan”, Edisi ketujuh, Cetakan keempatbelas, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Kodhyat, H., 1996, “Sejarah Pariwisata dan Perkembangannya di Indonesia”, P.T. Grasindo, Jakarta. Lundberg, Donald E., Mink H.Staunga, M.Krishnamoorthy, 1997, “Ekonomi Pariwisata”, Gramedia, Jakarta. Schmoll, G.A., 1977, “Tourism Promo tion”, Tourism International Press, London. Soekanto, Soerjono, 1986, “Pengantar Pe nelitian Hukum”, UI Press, Jakarta. Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010 81 Pengembangan Pariwisata yang berorientasi pada Pelestarian Fungsi Lingkungan A. Reni Widyastuti Tjokrowinoto, Moeljarto, 1999, “Isu-isu Strategis Pengembangan Pari wisata”, Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepari wisataan, Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II. Yoeti, Oka A., 1999, “Pemasaran Pari wisata”, Edisi Revisi, Penerbit Angkasa, Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2000, “Penyusunan Rencana Pengelo laan Kawasan Rawapening Propinsi Jawa Tengah”. Kepala Dinas Pariwisata Tingkat II, 1999, “Bimbingan Teknis Perencanaan Program Kepariwisataan”. Undang-undang Nomor 32 tahun 2009, tentang “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. Environmental Impacts, “Relationship Between Tourism and Environment”, Published by Van Nost rand Reinhold, 115 Fifth Avenue, New York, New York 10003. The WTTC Report, 1992, “Travel and Tourism”, Complete Edition, London, United Kingdom. 82 Jurnal EKOSAINS | Vol. II | No. 3 | Oktober 2010