BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP

advertisement
28
BAB II
PENGATURAN
HUKUM
INTERNASIONAL
TERHADAP
PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL
A. Sejarah Perkembangan Penyelesaian Sengketa Internasional
Dalam realita, hubungan-hubungan internasional yang dilakukan antar
negara, negara dengan individu, maupun negara dengan organisasi internasional
tak selamanya terjalin dengan baik. Sengketa dapat bermula dari berbagai sumber
potensi. Adapun sumber potensi tersebut diantaranya dapat berupa perbatasan,
sumber daya alam, kerusakan lingkungan, perdagangan, dan lainnya.
Usaha-usaha penyelesaian sengketa telah menjadi perhatian bahkan sejak
awal abad ke-20 dimana usaha-usaha tersebut dilakukan untuk menciptakan
hubungan antar negara yang lebih baik berdasarkan prinsip keamanan
internasional.
Adapaun yang dilakukan hukum internasional dalam menyelesaikan
sengketa internasional yaitu dengan memberikan cara agar para pihak
menyelesaikan sengketa tersebut sesuai dengan aturan hukum internasional.
Hukum internasional pada awalnya mengenal penyelesaian sengketa secara damai
dan penyelesaian sengketa secara perang.
Cara perang merupakan cara yang telah dipraktikkan sejak lama bahkan
telah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri. Dengan adanya perang, bahkan
dapat dilihat menjadi suatu tindakan dari negara yang berdaulat sebagaimana yang
dikatakan oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Robert Lansing.
Universitas Sumatera Utara
29
Semakin
perkembangan
berkembanganya
teknologi
zaman,
persenjataan
maka
pemusnah
kekuatan
massal
militer
juga
dan
semakin
berkembang. Sehingga masyarakat internasional menyadari akan dampak dan
bahaya dari perang tersebut dan berusaha agar cara penyelesaian sengketa dengan
perang ini dapat dihentikan.
Awal perkembangan lahirnya cara penyelesaian sengketa secara damai
secara formal bermula dengan lahirnya the Hague Peace Conference (Konferensi
Perdamaian Den Haag) pada tahun 1899 dan 1907 yang menghasilkan the
Convention on Pacific Settlement of International Disputes pada tahun 1907.16
Inisiatif dilaksanakannya konferensi tersebut dilakukan oleh Tsar Rusia
Nicholas II tahun 1898 yang mengusulkan diperlukannya sutau konferensi untuk
mengurangi gencatan senjata dan kemungkinan penghentiaan perkembangan
persenjataan. Inisiatif ini kemudian disambut oleh Ratu Belanda, dimana mereka
mengundang negara-negara lain dalam membahas usulan konferensi tersebut.17
Adanya Konferensi Perdamaian Den Haag memiliki arti penting
diantaranya:
1.
Memberikan sumbangan penting bagi hukum humaniter;
2.
Memberikan sumbangan penting bagi aturan penyelesaian sengketa secara
damai.
Dengan lahirnya konvensi perdamaian tersebut, maka para negara anggota
telah sepakat bahwa penyelesaian sengketa dengan cara-cara seperti jasa-jasa
baik, mediasi, komisi penyelidik, jika dimungkinkan, akan lebih diutamakan. Jika
16
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika,
2012) hlm. 8
17
Ibid hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
30
cara-cara tersebut gagal, maka penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase
dimungkinkan.
Perkembangan lebih lanjut mengenai penyelesaian sengketa secara damai
dapat dilihat dari pengesahan perjanjian-perjanjian internasional berikut:18
1.
The Convention for the Pacific Covenant of the League of Nations 1919;
2.
Statuta Mahkamah Internasional Permanen 1921;
3.
The General Treaty for the Renunciation of War 1928;
4.
The General Act for the Pacific Settlement of International Disputes 1928;
5.
Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional 1945;
6.
Deklarasi Bandung 1955;
7.
The Declaration of the United Nations on Principle of International Law
concerning Friendly Relations and Cooperation among States in
Accordance with the Charter of the United Nations 1970;
8.
The Manila Declaration on Peaceful Settlement of Disputes between
States 1982.
Deklarasi Manila memiliki arti penting karenanya sebagai inisiatif dan
upaya dari Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penyelesaian sengketa secara
damai. Dalam deklarasi tersebut, telah dinyatakan bahwa wajib bagi negaranegara yang bersengketa untuk mencari jalan dalam penyelesaian sengketanya
dengan secepat mungkin dan seadil-adilnya. Negara juga diharapkan untuk
mempertimbangkan Majelis Umum, Dewan Keamanan, Mahkamah Internasional
dan Sekretaris Jenderal PBB dalam menyelesaikan sengketa tersebut.
18
Ibid hlm. 9
Universitas Sumatera Utara
31
Sekarang ini, hukum internasional telah mewajibkan kepada semua negara
(khususnya negara anggota PBB) untuk menyelesaikan sengketa internasional
melalui cara damai yang termuat dalam pasal 1, 2, dan 33 Piagam PBB. Dalam
ketiga pasal tersebut menyebutkan bahwa sebagai bagian dari tujuan PBB untuk
menjaga perdamaian dan keamanan inetrnasional maka setiap perselisihan harus
menyelesaikan sengketa dengan cara-cara damai dengan mengedepankan
perdamaian dan keadilan serta menahan diri dari ancaman atau penggunaan
kekerasan.
B. Prinsip dalam Penyelesaian Sengketa
Perkembangan Majelis Umum PBB dalam menggiatkan penggunaan cara
damai dalam penyelesaian sengketa menjadi dasar bagi lahirnya Manila
Declaration atau Deklarasi Manila. Sehingga dalam inti sari dari Deklarasi
tersebut ditemukan esensi yang mendasari penyelesaian sengketa untuk
menemukan solusi. Adapun prinsip-prinsip dalam penyelesaian sengketa tersebut
diantaranya:
1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith)
Dalam hukum keperdataan, maka tak asing bahwa salah satu unsur dari
adanya sebuah perikatan yaitu itikad baik.19 Prinsip tersebut melandasi perikatan
yang terjadi dalam keperdataan. Prinsip ini sangat diperlukan dalam penyelesaian
19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 1320 BW
Universitas Sumatera Utara
32
sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para
pihak untuk menyelesaian sengketa yang terjadi. 20
Sebagai tonggak dari lahirnya prinsip tersebut, dalam Section 1 paragraph
1 Deklarasi Manila telah mencantumkan prinsip itikad baik ini sebagai prinsip
awal yang menyebutkan:
... all states shall act in good faith and in conformity with the purposes and
principles enshrined in the Charter of the United Nations with a view to
avoiding disputes among themselves likely to affect friendly relations
among States, thus contributing to the maintenance of international peace
and security. They shall live together in peace with one another as good
neighbours and strive for the adoption of meaningful measures for
strenghtening international peace and security...
Prinsip itikad baik dalam kutipan Deklarasi tersebut menyebutkan bahwa
negara-negara wajib dengan itikad baik sejalan dengan prinsip-prinsip Piagam
PBB untuk menghindari terjadinya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan
antarnegara. Sehingga itikad baik dipandang sebagai suatu sikap negara untuk
menjaga perdamaian dengan mengedepankan cara-cara bersahabat dengan tujuan
untuk menyelesaikan perselisihan dan juga menjaga perdamaian.
Dan dalam pasal 13 Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia /
TAC (Bali Concord 1976) menyebutkan:
20
Huala Adolf, Hukum......, Op.Cit. hlm. 15
Universitas Sumatera Utara
33
...The high contracting parties shall have the determination and good faith
to prevent disputes from arising.
Terjemahan:
Pihak-pihak yang terkait wajib memiliki tekad dan itikad baik dalam
mencegah timbulnya perselisihan.
Dengan adanya prinsip ini dapat mencegah terjadinya sengketa yang dapat
mengakibatkan renggangnya hubungan antarnegara dan dapat menyelesaikan
sengketa secara lebih dini serta mensyaratkan bahwa sengketa yang terjadi
hendaknya diselesaikan melalui cara-cara penyelesaian yang dikenal dalam
hukum internasional (negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan) atau
cara-cara yang dipilih oleh para pihak.21
2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana dalam pasal 13 TAC yang memuat prinsip ini, menyatakan:
... In case of disputes on matters directly affecting them, they shall refrain
from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes
among themselves through friendly negotiations.
Atau dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dalam hal
perselisihan yang menyangkut langsung para pihak, wajib menahan diri dari
ancaman atau penggunaan kekerasan dan setiap saat menyelesaikan perselisihan
antara para pihak melalui negosiasi yang ramah.
21
Ibid, hlm.16
Universitas Sumatera Utara
34
Prinsip ini juga dapat ditemui di Pembukaan ke-4 Deklarasi Manila. Dan
dalam perjanjian internasional lainnya dapat dilihat dalam Pasal 5 Pakta Liga
Negara-Negara Arab 1945 (Pact of the League of Arab States), Pasal 1 dan 2 the
Inter-American Treaty of Reciprocal Assistance (1947), dan lain-lain.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini memberikan para pihak untuk memiliki kebebasan dalam
memilih cara penyelesaian sengketa yang mereka sepakati (principle of free
choice means).
Prinsip ini juga dapat ditemukan dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan
Section 1 Paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5 dari Friendly
Declaration. Dengan adanya pengaturan tersebut mejadikan prosedur penyelesaian
sengketa harus didasarkan kepada pihak yang bersengketa dimana hal ini berlaku
bagi sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.
4. Prinisp Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap Pokok
Sengketa
Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah prinsip
kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan
bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk
menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan
Universitas Sumatera Utara
35
kelayakan (ex aequo et bono).22 Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan
untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan, atau kelayakan.
5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa internasional. Prinsip inilah yang menjadi dasar bagi
pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya
akan bisa dilakukan atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak.
Sebaliknya. prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin berjalan
apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau bahkan tidak ada
kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.
6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi Manila.
Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan
internasional maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau
diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.
7. Prinsip-prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan,
dan Integritas Wilayah Negara-Negara
Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1 Paragraph 1.
Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus menaati dan
22
Ibid hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
36
melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya
berdasarkan prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.
Adapun prinsip yang terdapat di Office of the Legal Affairs PBB memuat
diantaranya:
a. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri
para pihak;
b. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
c. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional, yang semata-mata
merupakan penjelmaan lebih lanjut dari prinsip ke-7, yaitu prinsip hukum
internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah
negara-negara.
C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa
Menurut J.G. Starke, bentuk- bentuk dalam penyelesaian sengketa dapat
digolongkan menjadi 2 bentuk23;
1. Penyelesaian secara damai, yaitu apabila para pihak telah dapat
menyepakati untuk menemukan solusi yang bersahabat.
2. Penyelesaian secara paksa atau dengan kekerasan, yaitu apabila solusi
yang dipakai atau diterapkan adalah melalui kekerasan.
23
J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 2 , (Jakarta:Sinar Grafika, 2004) hlm.
651
Universitas Sumatera Utara
37
1.
Penyelesaian Sengketa Secara Damai
1. Negosiasi
Merupakan cara penyelesaian sengketa yang banyak ditempuh serta efektif
dalam menyelesaikan sengketa internasional. Negosiasi adalah
perundingan yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan
tujuan untuk mencari penyelesaian melalui perundingan tanpa melibatkan
pihak ketiga. Penyelesaian sengketa dengan cara ini meskipun terlihat
mudah namun juga sering mengalami kegagalan seperti adanya penolakan
salah satu pihak untuk melakukan negosiasi.
Beberapa kelemahan menggunakan cara negosiasi:
a. Bila kedudukan pihak-pihak yang bernegosiasi tidak seimbang;
b. Kadang-kadang sangat memerlukan waktu yang lama untuk
mengajak pihak lain mau bernegosiasi;
c. Jika salah satu pihak kontra produktif.
Dalam hal telah disepakatinya suatu hal oleh para pihak dalam negosiasi,
maka hal tersebut dituangkan dalam dokumen atau perjanjian antara pihak,
yang berkekuatan hukum. Dan dalam hal kesepakatan tersebut gagal
dipenuhi para pihak, secara tertulis juga, maka akan ditempuh cara lainnya
seperti arbitrase, konsiliasi, mediasi, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
38
Dalam penyelesaian cara ini sering ditemui bahwa inilah satu-satunya cara
yang dipakai karena negara sering merasakan keuntungannya meskipun
sengketa itu rumit dan sulit untuk didamaikan.24
2. Jasa Baik (Good Offices)
Dalam hal negosiasi tidak berjalan, maka pada umumnya dibutuhkan
pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa. Dalam Jasa Baik ini, pihak
ketiga tersebut berusaha mengupayakan pertemuan para pihak-pihak
bersengketa untuk berunding, tanpa adanya keterlibatan dalam
perundingan tersebut.
Tujuan dari jasa baik ini agar kontak antar pihak tetap terjamin dengan
mempertemukan para pihak agar mau berunding melalui keikutsertaan
pihak ke-3. Setiap pihak dapat meminta kehadiran jasa baik meskipun
tidak ada kewajiban bagi pihak lainnya untuk menerima hal tersebut. Hal
tersebut tidak dapat dipandang sebagai tindakan yang tidak bersahabat.25
Sebagai contoh Finlandia sebagai good offices terhadap Indonesia dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Dan PBB dalam
mempertemukan Indonesia dengan Belanda pada tahun 1947. Indikator
keberhasilan dari good offices dapat dilihat melalui kemampuan untuk
dapat mempertemukan para pihak yang bersengketa.
3. Mediasi
24
25
Huala Adolf, Hukum..., Op.Cit, hlm. 27
Ibid hlm.31
Universitas Sumatera Utara
39
Keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih kuat dimana mediator
berperan aktif dalam mendamaikan pihak yang bersengketa dan dapat
memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan
menciptakan hubungan langsung antara pihak yang bersengketa. Para
pihak yang bersengketa dapat mengurangi ketegangan antara pihak
bersengketa dan menjadi saluran informasi bagi pihak yang bersengketa
serta dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa yang dapat
memuaskan pihak yang bersengketa.
Negara, NGO, individu atau organisasi regional maupun internasional
yang dianggap netral dan bisa diterima oleh pihak yang bersengketa.
Penetapan mediator dapat dipilih langsung oleh pihak yang bersengketa
ataupun atas usul masyarakat internasional, adapun yang menawarkan
jasanya untuk menjadi mediator dalam sebuah sengketa. Dalam mediasi
harus dilakukan atas persetujuan para pihak yang bersengketa.
Seorang mediator diberikan kebebasan dalam menentukan proses
penyelesaian sengketanya dengan memberikan saran maupun usulan yang
diperolehnya dari hasil laporan para pihak terhadap sengketa tersebut.
Mediator juga dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan
kelayakan) sehingga tidak terbatas oleh hukum yang ada.
4. Pencari Fakta (Fact Finding/ Inquiry)
Fungsi dari inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa
dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi
Universitas Sumatera Utara
40
secara terus menerus sampai fakta yang disampaikan salah satu pihak
dapat diterima oleh pihak lain. Negara dan organisasi sering kali
menggunakan inquiry.
Inquiry dapat dilaksanakan oleh suatu komisi yang permanen. Individu
maupun organisasi terpilih untuk memberikan expert opinion-nya. Tugas
komisi pencari fakta terbatas hanya untuk memberikan pernyataan
menyangkut kebenaran fakta, tidak berwenang memberikan suatu putusan
(award). Pemilihan penyelesaian sengketa dengan cara inquiry harus
dilakukan atas kesepakatan para pihak untuk memilih cara tersebut.
Meskipun di lapangan, tim pencari fakta sering menemui kesulitan jika
negara teritorial tempat penyelidikan diadakan kurang kooperatif. Maka
dengan adanya ketentuan Pasal 39 Piagam PBB, Dewan Keamanan PBB
dapat mengirimkan komisi pencari fakta atas nama PBB tanpa persetujuan
negara teritorial bila menurut Dewan Keamanan sengketa yang muncul
sudah termasuk kategori mengancam atau melanggar perdamaian
keamanan internasional atau juga tindakan agresi.
Pasal 39 Piagam PBB:
Dewan Keamanan PBB akan menentukan ada atau tidaknya suatu
ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian atau
tindakan agresi dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa
Universitas Sumatera Utara
41
yang harus diambil sesuai dengan pasal 41 dan 42, untuk memelihara atau
memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.
5. Konsiliasi (Conciliation)
Merupakan metode penyelesaian sengketa secara politik yang
menggabungkan cara-cara inquiry dengan mediasi. Dalam cara ini, juga
menggunakan pihak ketiga dalam menyelesaiakan sengketa. Melalui cara
ini, pihak ketiga melakukan penyelidikan terhadap sengketa yang
dipermasalahkan lalu memberikan usulan-usulan formal mengenai
penyelesaian sengketanya. Usulan ini tidak mengikat para pihak yang
bersengketa. Konsiliasi dapat dilakukan oleh lembaga atau komisi yang
permanen maupun ad hoc. 26
Yang membedakan konsiliasi dengan mediasi adalah konsiliasi memiliki
hukum acara yang lebih formal yang dapat diterapkan dalam perjanjian
atau diterapkan oleh badan konsiliasi sedangkan mediasi tidak ada hukum
acara formal yang mengaturnya.
2.
Penyelesaian Sengketa Secara Kekerasan
Dalam penyelesaian sengketa juga dimungkinkan untuk dilakukan dengan
cara kekerasan apabila penyelesaian sengketa dengan cara damai tak tercapai.
26
Sefriani, Hukum... Op.Cit hlm. 322
Universitas Sumatera Utara
42
Penyelesaian ini sering juga disebut dengan penyelesaian secara tidak damai,
diantaranya berupa:
a. Perang
Bertujuan untuk menaklukan negara lawan dimana negara yang
dikalahkan tersebut akan menerima syarat penyelesaian-penyelesaian dan tidak
memiliki alternatif lain selain mematuhi hal tersebut.
Yang disebut dengan perang adil pada awal perkembangan hukum
internasional adalah perang yang dilakukan dengan penggunaan senjata yang
sederhana yang disertai pernyataan perang oleh satu pihak kepada pihak yang lain
dan pihak lain tersebut akan bersiap untuk membela dirinya.
27
Pada abad ke-18,
hak berdaulat untuk menyelesaikan sengketa dengan perang lebih ditekankan dan
tidak mempermasalahkan parameter hak negara dalam menggunakan kekerasan.
b. Retorsi
Merupakan istilah pembalasan dendam oleh suatu negara atas tindakan
kurang bersahabat dari negara lain. Bentuk retorsi dapat dicontohkan diantaranya:
pemutusan hubungan diplomatik; pencabutan privilege-privilege diplomatik;
deportasi dibalas deportasi; persona non grata dibalas persona non grata; dan lain
sebagainya. Retorsi sah dan dibenarkan asalkan tidak membahayakan perdamaian
dan keamanan internasional serta keadilan.
c. Reprisal
Merupakan metode oleh negara-negara untuk mengupayakan ganti rugi
dari negara lain dengan melakukan tindakan yang sifatnya pembalasan. Pada
27
Ibid hlm. 354
Universitas Sumatera Utara
43
zaman dahulu, reprisal ini merupakan penyitaan harta benda maupun penahanan
orang. Namun pada zaman sekarang ini, tindakan reprisal merujuk pada tindakan
pemaksaan oleh satu negara kepada negara lain bertujuan menyelesaikan sengketa
yang diakibatkan tindakan tidak sah negara tersebut.
Perbedaan antara reprisal dengan retorsi menurut Starke adalah bahwa
reprisal adalah pembalasan yang meliputi tindakan yang boleh dikatakan
merupakan perbuatan ilegal sedangkan dalam retorsi tindakan balas dendam
tersebut dibenarkan oleh hukum.28
Reprisal dapat berupa suatu pemboikotan berang terhadap suatu negara
tertentu; embargo; demonstrasi angkatan laut; atau pemboman. Dalam
perkembangan praktek internasional, reprisal dibenarkan dalam hal negara lawan
tersebut bersalah atas tindakan suatu pelanggaran internasional. Reprisal tidak
dibenarkan dalam hal negara pelanggar tanpa diminta memberikan ganti rugi atas
kesalahannya atau tindakan reprisal itu melebihi proporsi atas kerugian yang
diderita.
d. Blokade secara damai
Merupakan blokade yang dilakukan pada waktu damai untuk memaksa
negara yang di blokade tersebut agar memenuhi ganti rugi yang diderita negara
yang memblokade. Dapat dikatakan bahwa blokade damai ini dalam tahapan
melebihi reprisal namun masih di bawah perang. Beberapa penulis telah
meragukan legalitas tindakan ini, dan keabsahan blokade damai masih
dipertanyakan ditinjau dari Piagam PBB.
28
J.G.Starke, Pengantar..., Op.Cit hlm. 680
Universitas Sumatera Utara
44
e. Embargo
Merupakan larangan ekspor barang ke negara yang dikenai embargo.
Embargo juga ditetapkan sebagai sanksi bagi negara pelanggar hukum
internasional.
f. Intervensi
Menurut Starke, intervensi termasuk dalam cara penyelesaian sengketa
dengan kekerasan.29 Intervensi yang dalam kaitan ini berarti suatu
tindakan yang melebihi campur tangan saja, yang lebih kuat daripada
mediasi atau usulan diplomatik. 30Campur tangan yang bertentangan
dengan kepentingan negara tersebut dilarang dan sudah termasuk kategori
intervensi. Adapun bentuk intervensi yang dibenarkan dalam hukum
internasional yaitu:31
1) Intervensi kolektif, merupakan intervensi dibawah kewenangan
Dewan Keamanan PBB sesuai dengan bab VIII Piagam PBB;
2) Intervensi untuk melindungi hak dan kepentingan serta jiwa
warga negara di luar negeri;
3) Intervensi
untuk
pertahanan
diri,
diperlukan
untuk
menghilangkan bahaya serangan bersenjata;
4) Intervensi dalam urusan protektorat yang berada di bawah
kekuasaan negara tersebut;
29
30
JG Starke, Pengantar...., Op.Cit., hlm. 679
JG Starke, Pengantar Hukum Internasional Jilid 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm.
135
31
Ibid, hlm. 137
Universitas Sumatera Utara
45
5) Intervensi dalam hal negara pengintervensi telah melakukan
pelanggaran
berat
dalam
hukum
internasional
dalam
melakukan operasi intervensinya.
3.
Penyelesaian Sengketa Secara Hukum
a. Melalui Jalur Arbitrase
Menurut Komisi Hukum Internasional, penyelesaian sengketa melalui
Arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa antar negara yang bersifat
mengikat berdasar hukum dan hasilnya dapat diterima secara sukarela.
Prinisip kesukarelaan terlihat dalam Arbitrase, yaitu para pihak sepakat untuk
membawa sengketanya ke arbitrase.
Permanent Court of Arbitration (PCA) dibentuk melalui Konvensi Den
Haag 1899 dan 1907 yang mengatur proses beracara di PCA. Kompetensi PCA
juga meliputi sengketa yang terjadi antara negara dengan subjek hukum
internasional non negara yang mana tidak dapat ditangani oleh Mahkamah
Internasional.
Arbitrase berfokus pada masalah hak dan kewajiban para pihak yang
bersengketa dilihat dari hukum internasional. Dengan penerapan hukum sesuai
dengan fakta yang ada, maka diharapkan penyelesaian sengketa akan tercapai.
Putusan Arbitrase bersifat mengikat secara hukum bagi para pihak yang
terkait. Mayoritas putusan arbitrase dipatuhi oleh para pihak meskipun belum ada
perangkat untuk menjamin penguatan hukum akan itu.
Universitas Sumatera Utara
46
Para pihak dalam proses arbitrase dapat memilih atbitrator nya sendiri.
Serta juga dapat memasukkan ahli-ahli teknis yang diperlukan dan menentukan
sendiri prosedur yang harus dijalani seperti untuk tidak mempublikasi putusan
arbitrase.
b. Melalui Pengadilan Internasional
Ada beberapa pengadilan internasional, diantaranya:
1) International Court of Justice (ICJ)
Adalah pengadilan yang mengadili sengketa antar negara di
bidang hukum internasional;
2) International Tribunal for the Law of the Sea
Khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum laut
internasional;
3) International Criminal Court (ICC) dan Ad Hoc Tribunal
Mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan
kejahatan internasional.
ICJ merupakan salah satu organ penting PBB yang diatur oleh Statuta
Mahkamah Internasional. Meskipun negara anggota PBB juga merupakan anggota
statuta tapi tidak ada kewajiban negara anggota untuk membawa sengketanya ke
hadapan ICJ.
ICJ dianggap cara utama penyelesaian sengketa meskipun statistik
menunjukkan hanya 4-5 perkara saja yang diajukan ke ICJ setiap tahunnya.
Universitas Sumatera Utara
47
Adapun alasan mengapa masyarakat internasional jarang menyelesaikan sengketa
melalui ICJ dipengaruhi beberapa faktor:
1) Proses
ICJ
dianggap
sebagai
jalan
terakhir
untuk
menyelesaikan masalah;
2) Proses melalui ICJ memakan waktu yang lama dan biaya yang
cukup tinggi;
3) ICJ tidak memiliki yurisdiksi wajib (compulsory jurisdiction)
Adapun sengketa hukum yang dapat diajukan ke ICJ diantaranya menyangkut:

Penafsiran suatu perjanjian;

Setiap masalah hukum internasional;

Eksistensi suatu fakta yang jika terjadi akan merupakan suatu
pelanggaran kewajiban hukum internasional;

Sifat dan ruang lingkup ganti rugi yang dibuat atas pelanggaran
kewajiban hukum internasional.
ICJ terdiri dari 15 hakim dengan kewarganegaraan berbeda yang dipilih
berdasarkan suara mayoritas mutlak oleh Majelis Umum dengan rekomendasi
Dewan Keamanan. Komposisi ini termasuk satu hakim dari masing-masing
negara anggota tetap Dewan Keamanan (Hak Veto tidak berlaku). Lima orang
dari negara-negara barat, tiga dari Afrika (1 orang dari negara berbahasa Prancis
yang menganut Civil Law, 1 orang dari negara berbahasa Inggris yang menganut
Common Law, dan 1 orang dari Arab), tiga orang dari Asia, dua orang dari Eropa
Timur, dan dua orang dari Amerika Latin. Adapun hakim-hakim dalam ICJ ini
tidak bertindak mewakili negaranya.
Universitas Sumatera Utara
48
Universitas Sumatera Utara
Download