58 Dasar Misi dan Kontekstualisasi Oleh Soegianto 1. Misi dalam

advertisement
Dasar Misi dan Kontekstualisasi
Oleh
Soegianto
1. Misi dalam Alkitab
Sekarang adalah pembahasan misi yang terdapat dalam Alkitab baik dalam
Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
a. Misi dalam Perjanjian Lama
Beberapa sarjana teologi menyatakan bahwa mereka menemukan tujuan,
berita dan kegiatan misi di dalam Perjanjian Lama. Sedangkan sarjana -sarjana
teologi yang lain gagal untuk mendapatkan berita tentang misi di dalam Perjanjian
Lama. Hal ini bergantung pada definisi seseorang, tentang misi. Bila misi
dimaksudkan sebagai lintasan dari batasan politik dan budaya untuk membawa
berita dari Allah kepada mereka yang tidak mengenal tentang Allah yang benar
maka dengan pengecualian cerita Yunus, kita tidak akan menemukan banyak
tentang misi di dalam Perjanjian Lama.
Dalam Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk
melakukan pekabaran keluar terhadap segala bangsa atau bangsa-bangsa lain.
Tetapi penulis mempunyai keyakinan yang kuat bahwa di dalam kitab Perjanjian
Lama banyak termuat tentang misi yang akan dijelaskan di bawah ini.
Dalam kitab Kejadian 12:1-3 menceritakan panggilan Tuhan kepada
Abraham. Tiga kata penting yang perlu diperhatikan adalah : tinggalkan, pergi dan
menjadi berkat. Dari studi kata tinggalkan, pergi dan menjadi berkat ada pe san
misi di dalamnya yaitu Abraham dipanggil untuk keluar dan pergi ke tempat
bangsa lain dan melalui Abraham semua kaum, dimuka bumi akan mendapat
berkat. Berkat yang dimaksud tentulah berkat rohani yaitu mengenal Allah
Abraham. Panggilan Abraham menandai titik balik dalam hubungan Allah dengan
dunia. Abraham dan Israel tidak dipilih oleh Allah bagi kepentingan mereka
sendiri, namun bagi maksud yang jauh lebih luas yaitu keselamatan dunia.
Kejadian 3:15 merupakan protoevangelium
yaitu janji keselamatan
yang
disampaikan oleh Allah sendiri. Sejarah penebusan tidak dimulai dengan Adam
atau Nuh atau Musa melainkan dimulai oleh Allah sendiri dan puncaknya melalui
58
Abraham dan keturunannya secara khusus bangsa, Israel. Misi dalam Perjanjian
Lama memiliki sifat Centripetal yang berarti bangsa-bangsa harus datang kepada
bangsa Israel untuk memperoleh berita misi dan keselamatan. Hal ini berbeda
dengan sifat misi dalam Perjanjian Baru yaitu Centrifugal yang berarti gereja dan
orang Kristen harus pergi kepada bangsa-bangsa untuk menyampaikan berita misi
keselamatan.
Pembebasan umat Israel dari perbudakan di tanah Mesir adalah gambaran
misi Allah yang terbesar dalam Perjanjian Lama (Kel. 19:4). Dalam Keluaran
12:38 dijelaskan bahwa banyak orang dari berbagai bangsa keluar dari Mesir dan
turut mengikuti bangsa Israel. Ini berarti keselamatan bukan hanya untuk bangsa
Israel tetapi berlaku untuk bangsa-bangsa yang lain juga. Dapat disimpulkan
bahwa misi menerobos dan melampaui: ras bangsa, kebudayaan, batas Negara,
batasan umur dan golongan. Misi Israel adalah misi yang ditetapkan dan berpusat
pada Allah dan misi tersebut kepada bangsa-bangsa yang lain. Bangsa Israel
mempunyai fungsi perantara di dalam rencana Allah, ia harus menerima dengan
taat keselamatan dari Allah supaya dapat memperlihatkan kepada bangsa-bangsa
lain siapa Allah Israel. Fungsi perantara itu mempunyai aspek kerajaan, keimaman
dan kenabian.28 Tujuan misi Allah terhadap bangsa-bangsa:29 Para bangsa tidak
ditolak karena Israel dipilih (Yes. 19:24-25)
1. Mereka dapat bergabung dengan Israel (Kel. 12:48).
2. Bangsa-bangsa dapat menyaksikan perbuatan-perbuatan Allah didalam
Israel (Mzm. 67:2).
Maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Lama tidak berisi misi tetapi Perjanjian
Lama itu sendiri misi di dalam dunia. 30
b. Misi dalam Perjanjian Baru
Perintah misi yang agung adalah kata pergi 31
28
De Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK, 1988), 26
29 Army Humble, Introduksi Misi Sedunia, (Yogyakarta: STII, 2003), 15
30 Parlaungan Gultom, Teologi Misi Dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: STII, 2003),
29
59
Matius 28:18-20 : Pergi, jadikan murid, ajarlah ....
Markus 16:15 : Pergi, beritakan kabar baik....
Lukas 24:47 : Pergi, beritakan pertobatan, pengampunan dosa....
Yohanes 20:21 : Seperti Bapa sudah mengutus Ku, Ku utus kau!.....
Kisah Para Rasul 1:8 : Kamu akan menjadi saksi-Ku.
Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan dalam
kehadiran-Nya sendiri diantara manusia. Ia hadir di dalam inkarnasi Allah
menjadi manusia yaitu dalam pribadi Yesus Kristus, Juruselamat dunia. 32 Di
dalam doa Tuhan Yesus yang terdapat di dalam Yohanes 15:1-27 mengungkapkan
tanggungjawab misi sedunia yang didasarkan pada tiga hubungan:
Satu, hubungan orang percaya dengan Yesus (Yoh. 15:1-10) kata kunci:
tinggal. Komitmen kepada Ketuhanan Kristus ( penyembahan ).
Dua, hubungan orang percaya dengan sesama orang percaya (Yoh. 15:1117),
kata
kunci:
saling
mengasihi.
Komitmen
kepada
tubuh
Kristus
( pembangunan ).
Tiga, hubungan orang percaya dengan dunia ( Yoh. 15:18-27 ), kata kunci
bersaksi. Komitmen terhadap misi Kristus, bagi dunia ( misi sedunia ).
Dalam Perjanjian Baru, misi berpusat pada diri Yesus Kristus dan
dilanjutkan kepada murid-murid dan para rasul seperti Paulus dalam kitab Kisah
Para Rasul yang adalah buku perjalanan misi. Perintah amanat agung adalah
perintah Yesus sendiri sejak jaman gereja mula-mula sampai gereja saat ini,
bahkan sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
2. Kontekstualisasi dalam Alkitab
Kontekstualisasi dalam Alkitab dan prinsip-prinsipnya dijelaskan dan
diberikan contoh baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.
a. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama
Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi
kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh. Kontekstualisasi dalam Perjanjian
Baru adalah kontinuitas kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama.
31
32
John Dekker, Pelayanan Lintas Budaya, (Surabaya: STII, 2002), 10
Petrus Oktavianus, Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, (Malang: YPPII,
1985), 17
60
Penyataan diri Allah dalam penciptaan adalah dasar kontekstualisasi. 33
Kejadian satu dimulai dengan Allah yang menyatakan diri sebagai pencipta. Allah
mengambil inisisatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia. Penyataan
diri Allah sebagai
pencipta menunjukkan kehendak-Nya untuk membuka tabir diri-Nya yang adalah
pencipta kepada manusia. Disini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allahlah
penggerak utama kontekstualisasi. Proses kontekstualisasi itu dimulai dari Allah
yang menyatakan diri kepada manusia. Dengan kata lain kontekstualisasi yang
benar dimulai dengan Allah.
Mandat budaya adalah pengejawantahan kontekstualisasi. 34
Kejadian
1:28-30 disebut mandat budaya yang memberi kewenangan bagi manusia untuk
berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Manusia dapat mendayagunakan
kreatifitasnya, kemampuan budidaya untuk menjalankan mandat budaya ini,
sehingga keputusan moral sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa maupun
sesudahnya merupakan faktor penentu berteologi dalam konteks. Dalam hubungan
dengan mandat budaya tersebut terdapat gambaran berteologi dalam konteks
hanya dapat terjadi bila ada hubungan intim Allah dengan manusia (pengertian
sekarang manusia yang telah ditebus). Berteologi dalam konteks menjadi
seimbang karena Kejadian 3 memberikan gambaran akibat ketidaktaatan Adam
yang membawa putusan moral yang salah dalam upaya berteologi. Jelas bahwa
tidak ada putusan moral yang bertanggungjawab bila tidak dimulai dengan Allah
(Yoh. 6:44).
Perjanjian berkat Allah adalah dinamika kontekstualisasi
35
Allah
mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (Kej. 1:28; 2:3).
Semua hasil ciptaan Allah melukiskan kemuliaan-Nya (Mzm. 8:2-10). Melihat
uraian ini, dapat dikatakan bahwa segala ciptaan Allah dalam setiap konteks
sejarah budaya suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses
kontekstualisasi karena berkat Allah kepada
ciptaan-Nya secara umum tetap berlaku (Mat. 5:45). Kejadian 3:15, sebagai
Protevangelium (janji keselamatan Allah yang pertama) memberikan jaminan
33
Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 12
lbid., 14
35 Ibid., 16
34
61
bahwa Allah sendiri secara khusus menyiapkan penyataan diri-Nya yang baru
kepada manusia berdosa. Interaksi Allah dengan Habel, Zet, Henokh, Nuh,
Abraham dan tokoh saleh lainnya dalam Perjanjian Lama menekankan keajegan
dinamika kontekstualisasi Allah.
b. Prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama
Prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama diuraikan sebagai berikut:
Kontekstualisasi dimulai dari Allah yang berinkanasi lewat Firman-Nya.
1. Kontekstualisasi
dinyatakan
dalam
konteks
budaya
total
dari
suatu
masyarakat yang berkembang oleh kreatifitas manusia.
2. Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan
pemahaman atau penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh
kebudayaan.
3. Bentuk, arti dan fungsi dari elemen budaya digunakan secara selektif untuk
mengekspresikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman
dari orang dalam.
4. Bentuk, arti dan fungsi elemen budaya yang digunakan selalu bersifat
kontemporer, actual dan familier dalam suatu konteks budaya pada suatu era
sejarah tertentu.
5. Kontekstualisasi yang benar akan membawa perubahan yang seimbang,
dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dan secara
mekanis beroperasi dalam kerangka hidup budaya tersebut.
6. Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan diri
Allah, transformasi dan penghayatan perjanjian berkat Allah.
c. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru
Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan
Allah kepada umat manusia.36
Dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah melintasi
jurang pemisah antara surga dan dunia ini. Di sini kita melihat cara Allah sendiri
untuk mengkontekstualisasikan Firman-Nya. Yang Maha Mulia menjadi sama
dengan kita. Pribadi kedua Tritunggal mengambil rupa manusia bagi diri -Nya
36 Budiman R.L, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, (t.k: t.p, t.t), 14
62
sendiri, mengambil segala sesuatu berhubungan dengan kemanusiaan yang
sempurna, sehakikat dengan kita sebagai manusia (Ibr. 2:14).
Sebenarnya tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi Yesus.
Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan
Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada suku-suku yang
belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka.
Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia dalam konteks budaya Hebraic
yang utuh merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya
manusia.37 Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat dan berjumpa dengan
Allah (Yoh. 1:14, 18). Inkarnasi Yesus Kristus
menjadi daging sebagai puncak
kontekstualisasi Allah di dalam dunia, keabsahan inkarnasi Allah melalui Firman Nya ke dalam konteks sejarah budaya manusia seperti yang telah diuraikan
sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Ini adalah
penekanan kepada ketotalan kontekstualisasi Allah dan merupakan tonggak bagi
kontekstualisasi selanjutnya dalam pekerjaan misi mulai era Perjanjian Baru
sampai masa kini.
Salah satu tokoh Perjanjian Baru yang sangat kontekstual adalah Rasul
Paulus, seperti yang tertulis di dalam 1 Korintus 9:19-23 yang mengandung 3
pokok penting:38
Tujuan kontekstualisasi ialah memenangkan sebanyak mungkin
orang (supaya penginjilan lebih berhasil).
1. Pendekatan kontekstualisasi ialah menyesuaikan diri dengan adat setempat
(supaya Injil lebih relevan).
2. Tolak ukur kontekstualisasi ialah Firman Allah (supaya Injil tetap murni).
d. Prinsip Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru
Beberapa prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru dapat dijelaskan sebagai
berikut:39
37
Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 22
38 Budiman R.L, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, (t.k: t.p, t.t), 6,9
39 Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 31
63
Inkarnasi Yesus dalam konteks Hebraic yang utuh menjelaskan bahwa inkarnasi
Injil
ke
dalam
konteks
suatu
budaya
haruslah
penuh,
sebagai
dasar
kontekstualisasi.
1. Inkarnasi Injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar
penting keabsahan kontekstualisasi.
2. Konsep kenosis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberita
Injil untuk mengambil sikap hamba atau mengosongkan diri agar dapat
berkontekstualisasi
3. Setiap
determinasi
kontekstualisasi yang
dengan baik.
kontekstual
harus
didukung
oleh
sikap
etika
people oriented untuk menciptakan pendekatan yang
alkitabiah kepada konteks dan refleksi iman yang kontekstual alkitabiah.
4. Sikap determinasi pendekatan kontekstual memberi peluang kepada usaha
pendekatan diri kepada konteks yang kontekstual yang akhirn ya mencipta
transformasi dan refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks di mana
Injil diberitakan.
3. Eksposisi kontekstualisasi pelayanan Yesus dan Paulus
Di bawah ini diuraikan mengenai contoh-contoh kontekstualisasi yang
dilakukan oleh Tuhan Yesus dan Paulus.
a. Pelayanan penjelmaan Yesus
Beberapa ayat di bawah ini menjelaskan keadaan Yesus dan bagaimana Ia
menyesuaikan diri :
1. Ibrani 2:14. Ia Allah dan manusia sejati: menjadi anak manusia dari darah dan
daging sama dengan manusia.
2. Ibrani 4:15. Imam besar yang suci tidak berdosa: Ia turut merasakan
kelemahan dan dicobai seperti kita tetapi tidak berbuat dosa.
3. Filipi 2:5-11. Ia setara dengan Allah: Ia mengosongkan diri dan mengambil
rupa sebagai hamba bahkan merendahkan diri sampai mati di salib.
4. Markus 10:45. Anak manusia: datang untuk melayani, bukan dilayani dan
64
memberikan nyawa-Nya.
5. Lukas 2:42. Pada waktu berumur 12 tahun seorang laki-laki dianggap dewasa
dan boleh ikut upacara agama Yahudi: la memakai kesempatan untuk
mengikuti hari raya dan bersoal jawab dengan alim ulama.
6. Matius 26:39. Pada waktu berdoa orang Yahudi bersujud dengan dahi di
lantai: Yesus memakai cara tersebut dalam doa-Nya saat Ia bergumul.
7. Lukas 4:16. Orang Yahudi beribadah di hari sabat: Yesus memakai kebiasaan
hari sabat ke rumah ibadah.
8. Lukas 5:13. Seorang yang sakit kusta dianggap najis dan siapa yang
menjamahnya mengikuti kenajisannya: Yesus mengubah aspek budaya itu
dengan menjamah orang kusta untuk disembuhkan.
9. Lukas 5:14. Seorang yang sembuh dari kusta diwajibkan memperlihatkan diri
kepada
Imam: Yesus memakai kebiasaan itu dan menyuruh-Nya melakukan hal
tersebut.
10. Lukas 5:33. Orang Farisi berpuasa dan sembahyang supaya dilihat orang lain:
Yesus mengubah kebiasaan itu bahwa berdoa dan berpuasa cukup diketahui
oleh Tuhan dan tidak perlu munafik.
b. Kasus sidang di Yerusalem
Latar belakang masalah yang dihadapi oleh orang Kristen di Antiokhia dan
Yerusalem:
1. Orang Yahudi yang telah percaya tercengang karena karunia Roh Kudus
dicurahkan kepada bangsa-bangsa lain (Kis. 10:45).
2. Pengikut Petrus yang adalah orang Yahudi berselisih pendapat karena Petrus
masuk ke rumah orang yang tidak bersunat (Kis. 11:2).
3. Orang Yahudi memaksakan adat mereka bahwa orang yang diselamatkan
harus disunat sesuai hukum Musa (Kis. 15:1-5).
Keputusan yang diambil oleh sidang di Yerusalem (Kis. 15) adalah masalah yang
terjadi dari orang Antiokhia yang percaya dengan latar belakang non Yahudi
dipaksa untuk mengikuti adat Yahudi (sunat). Paulus dan Barnabas membantah
dengan keras keharusan tersebut, dibawalah masalah itu ke sidang di Yerusalem
65
berdasarkan kesaksian Paulus dan Barnabas serta perkataan Petrus maka mereka
mengutus Yudas dan Silas untuk memberi jawab kepada jemaat Antiokhia, bahwa
mereka
tidak dipersulit
dengan
aturan-aturan,
budaya
tetapi
diharapkan
menjauhkan diri dari percabulan, makanan berhala dan lain-lain.
Dalam Kisah Para Rasul 16:3 Paulus memakai adat sunat untuk Timotius
karena bapak dari Timotius adalah orang Yunani dan ibunya orang Yahudi.
Pelayanan Timotius kepada orang Yahudi yang bersunat sehingga Timotius dapat
masuk ke Sinagoge. Galatia 2:3 Paulus mengubah adat sunat terhadap Titus yang
adalah orang Yunani. Paulus tidak menyunatkan Titus karena Paulus ingin
menunjukkan bahwa orang dibenarkan bukan karena disunat tetapi karena Kristus.
Kisah Para Rasul 21:21 Paulus membuang adat sunat untuk anak-anak orang
Yahudi yang percaya di negeri asing. Kolose 2:11 Paulus mengubah arti sunat
bukan sunat fisik tetapi sunat rohani. 1 Korintus 8:13 jika makan daging menjadi
batu sandungan maka Paulus tidak mau makan lagi selamanya, sekalipun makan
daging itu tidak berdosa.
Menurut 1 Korintus 9:19-23 Paulus menentukan pengukur apa yang harus
dilakukan di dalam pelayanannya dalam konteks budaya:
1. Paulus adalah orang yang bebas/merdeka dan memiliki hak (kedudukan).
2. Ia menjadi hamba dari semua orang untuk memenangkan mereka (tujuan dan
penyesuaian).
3. Ia tetap hidup dalam hukum Kristus (standart).
4. Budaya bagi Paulus adalah relatif.
c. Pelayanan Paulus di Athena
Dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 Rasul Paulus waktu itu menginjili orang
terpelajar di Athena yang merupakan pusat bagi para sarjana, cendekiawan dan
filsuf. Rasul Paulus mulai menginjili orang Athena di rumah ibadat Yahudi serta
di pasar dengan cara bertukar pikiran dan bersoal jawab secara terbuka. Akhirnya
Paulus diundang ke Areopagus (Badan Cendekiawan yang berfungsi seperti ICMI
/ MUI di Indonesia). Paulus memulai memberitakan Injil dengan cara memuji
mereka atas kesungguhan mereka dalam beribadah. Ia mulai mendekati mereka
dengan
cara
yang
positif
dan
menghindari
konfrontasi.
66
Setelah menguji mereka, Paulus menemukan suatu jembatan yang relevan
bagi pendengarnya yaitu sebuah mezbah dengan tulisan “Kepada Allah yang
Tidak Dikenal.” Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya itulah yang aku
beritakan kepada kamu (ayat 23). Paulus menyatakan bahwa tegas dan tujuannya
ialah memperkenalkan Allah yang tidak dikenal oleh mereka. Kemudian dalam
ayat 28 Paulus memakai jembatan lain yaitu sajak dari pujangga Yunani. Dalam
kotbahnya Paulus mengutip 2 sajak yang bisa dianggap sebagai kitab suci ahli
filsafat Yunani. Sajak pertama digubah Epimenides dari pulau Kreta yang
berbunyi “sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak kita ada ........”. sajak
kedua ialah baris yang kelima Fainomena, sajak yang digubah oleh Aratus dari
Kilikia yang berbunyi “sebab kita ini dari keturunan Allah kita juga”. Konteks
dari nats yang dikutip diatas adalah: “Jangan tidak menyebut namanya, hai
manusia”. Segala jalan hidup dan segala tempat perkumpulan manusia penuh
dengan Zeus; laut-laut dan pelabuhan-pelabuhan penuh dengan dia. Dari arah
mana saja ada kaitannya dengan Zeus; sebab kita ini dari keturunannya juga”. 40
Paulus mengutip supaya berita yang disampaikan itu dapat diterima dan dipahami
sehingga Injil yang disampaikan menjadi relevan. Paulus percaya bahwa setiap
kebudayaan atau agama mempunyai unsur-unsur kebenaran sehingga ia berani
mengutip puisi tersebut dalam penginjilannya.
Pendekatan kontekstual ini bukan saja untuk menyesuaikan diri melainkan
juga untuk hidup di bawah hukum Kristus yaitu menentang hal-hal yang tidak
sesuai dengan Firman Allah supaya Injil tetap murni. Akhirnya Paulus mengakhiri
dengan tantangan pertobatan, penghakiman dan kebangkitan Yesus (Kis. 17:3031).
40
Todd Elefson, Komunikasi Injil Lintas Budaya, (Yogyakarta: STII, 2003), 15
67
KEPUSTAKAAN
Budiman,R.L. Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi. t.k: t.p., t.t.
Dekker, John. 2002 Diktat Kuliah. Pelayanan Lintas Budaya. Surabaya: STII.
Elefson, Todd. 2003 Diktat Kuliah. Komunikasi Injil Lintas Budaya.
Yogyakarta: STII.
Gultom, Parlaungan 2003 Diktat Kuliah. Teologi Misi Perjanjian Lama.
Yogyakarta: STII.
Hesselgrave,David J. 1978
Communicating Christ Cross Culturally. Grand
Rapids: Zondervan Publishing House.
Humble, Arny. 2003 Diktat Kuliah. Introduksi Misi Sedunia. Yogyakarta: STII.
Kuiper,DE. 1988
Misiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Octavianus,P. 1985
Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah.
Batu: YPPII.
Tomatala, Yakob. 2001
Teologi Kontekstualisasi. Malang: Gandum Mas.
68
Download