Dasar Misi dan Kontekstualisasi Oleh Soegianto 1. Misi dalam Alkitab Sekarang adalah pembahasan misi yang terdapat dalam Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. a. Misi dalam Perjanjian Lama Beberapa sarjana teologi menyatakan bahwa mereka menemukan tujuan, berita dan kegiatan misi di dalam Perjanjian Lama. Sedangkan sarjana -sarjana teologi yang lain gagal untuk mendapatkan berita tentang misi di dalam Perjanjian Lama. Hal ini bergantung pada definisi seseorang, tentang misi. Bila misi dimaksudkan sebagai lintasan dari batasan politik dan budaya untuk membawa berita dari Allah kepada mereka yang tidak mengenal tentang Allah yang benar maka dengan pengecualian cerita Yunus, kita tidak akan menemukan banyak tentang misi di dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama belum terdapat penugasan yang tegas untuk melakukan pekabaran keluar terhadap segala bangsa atau bangsa-bangsa lain. Tetapi penulis mempunyai keyakinan yang kuat bahwa di dalam kitab Perjanjian Lama banyak termuat tentang misi yang akan dijelaskan di bawah ini. Dalam kitab Kejadian 12:1-3 menceritakan panggilan Tuhan kepada Abraham. Tiga kata penting yang perlu diperhatikan adalah : tinggalkan, pergi dan menjadi berkat. Dari studi kata tinggalkan, pergi dan menjadi berkat ada pe san misi di dalamnya yaitu Abraham dipanggil untuk keluar dan pergi ke tempat bangsa lain dan melalui Abraham semua kaum, dimuka bumi akan mendapat berkat. Berkat yang dimaksud tentulah berkat rohani yaitu mengenal Allah Abraham. Panggilan Abraham menandai titik balik dalam hubungan Allah dengan dunia. Abraham dan Israel tidak dipilih oleh Allah bagi kepentingan mereka sendiri, namun bagi maksud yang jauh lebih luas yaitu keselamatan dunia. Kejadian 3:15 merupakan protoevangelium yaitu janji keselamatan yang disampaikan oleh Allah sendiri. Sejarah penebusan tidak dimulai dengan Adam atau Nuh atau Musa melainkan dimulai oleh Allah sendiri dan puncaknya melalui 58 Abraham dan keturunannya secara khusus bangsa, Israel. Misi dalam Perjanjian Lama memiliki sifat Centripetal yang berarti bangsa-bangsa harus datang kepada bangsa Israel untuk memperoleh berita misi dan keselamatan. Hal ini berbeda dengan sifat misi dalam Perjanjian Baru yaitu Centrifugal yang berarti gereja dan orang Kristen harus pergi kepada bangsa-bangsa untuk menyampaikan berita misi keselamatan. Pembebasan umat Israel dari perbudakan di tanah Mesir adalah gambaran misi Allah yang terbesar dalam Perjanjian Lama (Kel. 19:4). Dalam Keluaran 12:38 dijelaskan bahwa banyak orang dari berbagai bangsa keluar dari Mesir dan turut mengikuti bangsa Israel. Ini berarti keselamatan bukan hanya untuk bangsa Israel tetapi berlaku untuk bangsa-bangsa yang lain juga. Dapat disimpulkan bahwa misi menerobos dan melampaui: ras bangsa, kebudayaan, batas Negara, batasan umur dan golongan. Misi Israel adalah misi yang ditetapkan dan berpusat pada Allah dan misi tersebut kepada bangsa-bangsa yang lain. Bangsa Israel mempunyai fungsi perantara di dalam rencana Allah, ia harus menerima dengan taat keselamatan dari Allah supaya dapat memperlihatkan kepada bangsa-bangsa lain siapa Allah Israel. Fungsi perantara itu mempunyai aspek kerajaan, keimaman dan kenabian.28 Tujuan misi Allah terhadap bangsa-bangsa:29 Para bangsa tidak ditolak karena Israel dipilih (Yes. 19:24-25) 1. Mereka dapat bergabung dengan Israel (Kel. 12:48). 2. Bangsa-bangsa dapat menyaksikan perbuatan-perbuatan Allah didalam Israel (Mzm. 67:2). Maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Lama tidak berisi misi tetapi Perjanjian Lama itu sendiri misi di dalam dunia. 30 b. Misi dalam Perjanjian Baru Perintah misi yang agung adalah kata pergi 31 28 De Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK, 1988), 26 29 Army Humble, Introduksi Misi Sedunia, (Yogyakarta: STII, 2003), 15 30 Parlaungan Gultom, Teologi Misi Dalam Perjanjian Lama, (Yogyakarta: STII, 2003), 29 59 Matius 28:18-20 : Pergi, jadikan murid, ajarlah .... Markus 16:15 : Pergi, beritakan kabar baik.... Lukas 24:47 : Pergi, beritakan pertobatan, pengampunan dosa.... Yohanes 20:21 : Seperti Bapa sudah mengutus Ku, Ku utus kau!..... Kisah Para Rasul 1:8 : Kamu akan menjadi saksi-Ku. Puncak kerinduan Allah untuk berkomunikasi dengan manusia diwujudkan dalam kehadiran-Nya sendiri diantara manusia. Ia hadir di dalam inkarnasi Allah menjadi manusia yaitu dalam pribadi Yesus Kristus, Juruselamat dunia. 32 Di dalam doa Tuhan Yesus yang terdapat di dalam Yohanes 15:1-27 mengungkapkan tanggungjawab misi sedunia yang didasarkan pada tiga hubungan: Satu, hubungan orang percaya dengan Yesus (Yoh. 15:1-10) kata kunci: tinggal. Komitmen kepada Ketuhanan Kristus ( penyembahan ). Dua, hubungan orang percaya dengan sesama orang percaya (Yoh. 15:1117), kata kunci: saling mengasihi. Komitmen kepada tubuh Kristus ( pembangunan ). Tiga, hubungan orang percaya dengan dunia ( Yoh. 15:18-27 ), kata kunci bersaksi. Komitmen terhadap misi Kristus, bagi dunia ( misi sedunia ). Dalam Perjanjian Baru, misi berpusat pada diri Yesus Kristus dan dilanjutkan kepada murid-murid dan para rasul seperti Paulus dalam kitab Kisah Para Rasul yang adalah buku perjalanan misi. Perintah amanat agung adalah perintah Yesus sendiri sejak jaman gereja mula-mula sampai gereja saat ini, bahkan sampai kedatangan Kristus yang kedua kalinya. 2. Kontekstualisasi dalam Alkitab Kontekstualisasi dalam Alkitab dan prinsip-prinsipnya dijelaskan dan diberikan contoh baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. a. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama Kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama merupakan dasar penting bagi kontekstualisasi Alkitab secara menyeluruh. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru adalah kontinuitas kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama. 31 32 John Dekker, Pelayanan Lintas Budaya, (Surabaya: STII, 2002), 10 Petrus Oktavianus, Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah, (Malang: YPPII, 1985), 17 60 Penyataan diri Allah dalam penciptaan adalah dasar kontekstualisasi. 33 Kejadian satu dimulai dengan Allah yang menyatakan diri sebagai pencipta. Allah mengambil inisisatif pertama dalam penyataan diri-Nya kepada dunia. Penyataan diri Allah sebagai pencipta menunjukkan kehendak-Nya untuk membuka tabir diri-Nya yang adalah pencipta kepada manusia. Disini terdapat tekanan utama yaitu bahwa Allahlah penggerak utama kontekstualisasi. Proses kontekstualisasi itu dimulai dari Allah yang menyatakan diri kepada manusia. Dengan kata lain kontekstualisasi yang benar dimulai dengan Allah. Mandat budaya adalah pengejawantahan kontekstualisasi. 34 Kejadian 1:28-30 disebut mandat budaya yang memberi kewenangan bagi manusia untuk berbudaya, memenuhi dan menguasai dunia. Manusia dapat mendayagunakan kreatifitasnya, kemampuan budidaya untuk menjalankan mandat budaya ini, sehingga keputusan moral sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa maupun sesudahnya merupakan faktor penentu berteologi dalam konteks. Dalam hubungan dengan mandat budaya tersebut terdapat gambaran berteologi dalam konteks hanya dapat terjadi bila ada hubungan intim Allah dengan manusia (pengertian sekarang manusia yang telah ditebus). Berteologi dalam konteks menjadi seimbang karena Kejadian 3 memberikan gambaran akibat ketidaktaatan Adam yang membawa putusan moral yang salah dalam upaya berteologi. Jelas bahwa tidak ada putusan moral yang bertanggungjawab bila tidak dimulai dengan Allah (Yoh. 6:44). Perjanjian berkat Allah adalah dinamika kontekstualisasi 35 Allah mengukuhkan semua hasil ciptaan-Nya dengan berkat-Nya (Kej. 1:28; 2:3). Semua hasil ciptaan Allah melukiskan kemuliaan-Nya (Mzm. 8:2-10). Melihat uraian ini, dapat dikatakan bahwa segala ciptaan Allah dalam setiap konteks sejarah budaya suatu masyarakat dapat merupakan jalan masuk bagi proses kontekstualisasi karena berkat Allah kepada ciptaan-Nya secara umum tetap berlaku (Mat. 5:45). Kejadian 3:15, sebagai Protevangelium (janji keselamatan Allah yang pertama) memberikan jaminan 33 Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 12 lbid., 14 35 Ibid., 16 34 61 bahwa Allah sendiri secara khusus menyiapkan penyataan diri-Nya yang baru kepada manusia berdosa. Interaksi Allah dengan Habel, Zet, Henokh, Nuh, Abraham dan tokoh saleh lainnya dalam Perjanjian Lama menekankan keajegan dinamika kontekstualisasi Allah. b. Prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama Prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Lama diuraikan sebagai berikut: Kontekstualisasi dimulai dari Allah yang berinkanasi lewat Firman-Nya. 1. Kontekstualisasi dinyatakan dalam konteks budaya total dari suatu masyarakat yang berkembang oleh kreatifitas manusia. 2. Refleksi teologis dinyatakan lewat filter budaya dan akan seimbang dengan pemahaman atau penerimaan yang dalam kenyataan terbungkus oleh kebudayaan. 3. Bentuk, arti dan fungsi dari elemen budaya digunakan secara selektif untuk mengekspresikan Firman yang berinkarnasi dan refleksi penghayatan Firman dari orang dalam. 4. Bentuk, arti dan fungsi elemen budaya yang digunakan selalu bersifat kontemporer, actual dan familier dalam suatu konteks budaya pada suatu era sejarah tertentu. 5. Kontekstualisasi yang benar akan membawa perubahan yang seimbang, dimana Firman yang berinkarnasi itu menjadi bagian budaya dan secara mekanis beroperasi dalam kerangka hidup budaya tersebut. 6. Unsur-unsur yang selalu tampak dalam kontekstualisasi ialah penyataan diri Allah, transformasi dan penghayatan perjanjian berkat Allah. c. Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru Penjelmaan atau inkarnasi Yesus Kristus merupakan puncak penyataan Allah kepada umat manusia.36 Dalam inkarnasi Yesus Kristus, Allah melintasi jurang pemisah antara surga dan dunia ini. Di sini kita melihat cara Allah sendiri untuk mengkontekstualisasikan Firman-Nya. Yang Maha Mulia menjadi sama dengan kita. Pribadi kedua Tritunggal mengambil rupa manusia bagi diri -Nya 36 Budiman R.L, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, (t.k: t.p, t.t), 14 62 sendiri, mengambil segala sesuatu berhubungan dengan kemanusiaan yang sempurna, sehakikat dengan kita sebagai manusia (Ibr. 2:14). Sebenarnya tujuan kontekstualisasi sama dengan tujuan inkarnasi Yesus. Sama seperti Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui kebudayaan Yahudi, demikian juga kita ingin menyatakan Allah kepada suku-suku yang belum mengenal Yesus melalui kebudayaan mereka. Inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia dalam konteks budaya Hebraic yang utuh merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia.37 Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat dan berjumpa dengan Allah (Yoh. 1:14, 18). Inkarnasi Yesus Kristus menjadi daging sebagai puncak kontekstualisasi Allah di dalam dunia, keabsahan inkarnasi Allah melalui Firman Nya ke dalam konteks sejarah budaya manusia seperti yang telah diuraikan sebelumnya dalam Perjanjian Lama. Ini adalah penekanan kepada ketotalan kontekstualisasi Allah dan merupakan tonggak bagi kontekstualisasi selanjutnya dalam pekerjaan misi mulai era Perjanjian Baru sampai masa kini. Salah satu tokoh Perjanjian Baru yang sangat kontekstual adalah Rasul Paulus, seperti yang tertulis di dalam 1 Korintus 9:19-23 yang mengandung 3 pokok penting:38 Tujuan kontekstualisasi ialah memenangkan sebanyak mungkin orang (supaya penginjilan lebih berhasil). 1. Pendekatan kontekstualisasi ialah menyesuaikan diri dengan adat setempat (supaya Injil lebih relevan). 2. Tolak ukur kontekstualisasi ialah Firman Allah (supaya Injil tetap murni). d. Prinsip Kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru Beberapa prinsip kontekstualisasi dalam Perjanjian Baru dapat dijelaskan sebagai berikut:39 37 Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 22 38 Budiman R.L, Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, (t.k: t.p, t.t), 6,9 39 Y.Tomatala, Teologi Kontekstualisasi, (Malang: Gandum Mas, 2001), 31 63 Inkarnasi Yesus dalam konteks Hebraic yang utuh menjelaskan bahwa inkarnasi Injil ke dalam konteks suatu budaya haruslah penuh, sebagai dasar kontekstualisasi. 1. Inkarnasi Injil dalam konteks haruslah membawa transformasi sebagai dasar penting keabsahan kontekstualisasi. 2. Konsep kenosis Yesus Kristus memberi dasar moral bagi setiap pemberita Injil untuk mengambil sikap hamba atau mengosongkan diri agar dapat berkontekstualisasi 3. Setiap determinasi kontekstualisasi yang dengan baik. kontekstual harus didukung oleh sikap etika people oriented untuk menciptakan pendekatan yang alkitabiah kepada konteks dan refleksi iman yang kontekstual alkitabiah. 4. Sikap determinasi pendekatan kontekstual memberi peluang kepada usaha pendekatan diri kepada konteks yang kontekstual yang akhirn ya mencipta transformasi dan refleksi yang kontekstual pula dari dalam konteks di mana Injil diberitakan. 3. Eksposisi kontekstualisasi pelayanan Yesus dan Paulus Di bawah ini diuraikan mengenai contoh-contoh kontekstualisasi yang dilakukan oleh Tuhan Yesus dan Paulus. a. Pelayanan penjelmaan Yesus Beberapa ayat di bawah ini menjelaskan keadaan Yesus dan bagaimana Ia menyesuaikan diri : 1. Ibrani 2:14. Ia Allah dan manusia sejati: menjadi anak manusia dari darah dan daging sama dengan manusia. 2. Ibrani 4:15. Imam besar yang suci tidak berdosa: Ia turut merasakan kelemahan dan dicobai seperti kita tetapi tidak berbuat dosa. 3. Filipi 2:5-11. Ia setara dengan Allah: Ia mengosongkan diri dan mengambil rupa sebagai hamba bahkan merendahkan diri sampai mati di salib. 4. Markus 10:45. Anak manusia: datang untuk melayani, bukan dilayani dan 64 memberikan nyawa-Nya. 5. Lukas 2:42. Pada waktu berumur 12 tahun seorang laki-laki dianggap dewasa dan boleh ikut upacara agama Yahudi: la memakai kesempatan untuk mengikuti hari raya dan bersoal jawab dengan alim ulama. 6. Matius 26:39. Pada waktu berdoa orang Yahudi bersujud dengan dahi di lantai: Yesus memakai cara tersebut dalam doa-Nya saat Ia bergumul. 7. Lukas 4:16. Orang Yahudi beribadah di hari sabat: Yesus memakai kebiasaan hari sabat ke rumah ibadah. 8. Lukas 5:13. Seorang yang sakit kusta dianggap najis dan siapa yang menjamahnya mengikuti kenajisannya: Yesus mengubah aspek budaya itu dengan menjamah orang kusta untuk disembuhkan. 9. Lukas 5:14. Seorang yang sembuh dari kusta diwajibkan memperlihatkan diri kepada Imam: Yesus memakai kebiasaan itu dan menyuruh-Nya melakukan hal tersebut. 10. Lukas 5:33. Orang Farisi berpuasa dan sembahyang supaya dilihat orang lain: Yesus mengubah kebiasaan itu bahwa berdoa dan berpuasa cukup diketahui oleh Tuhan dan tidak perlu munafik. b. Kasus sidang di Yerusalem Latar belakang masalah yang dihadapi oleh orang Kristen di Antiokhia dan Yerusalem: 1. Orang Yahudi yang telah percaya tercengang karena karunia Roh Kudus dicurahkan kepada bangsa-bangsa lain (Kis. 10:45). 2. Pengikut Petrus yang adalah orang Yahudi berselisih pendapat karena Petrus masuk ke rumah orang yang tidak bersunat (Kis. 11:2). 3. Orang Yahudi memaksakan adat mereka bahwa orang yang diselamatkan harus disunat sesuai hukum Musa (Kis. 15:1-5). Keputusan yang diambil oleh sidang di Yerusalem (Kis. 15) adalah masalah yang terjadi dari orang Antiokhia yang percaya dengan latar belakang non Yahudi dipaksa untuk mengikuti adat Yahudi (sunat). Paulus dan Barnabas membantah dengan keras keharusan tersebut, dibawalah masalah itu ke sidang di Yerusalem 65 berdasarkan kesaksian Paulus dan Barnabas serta perkataan Petrus maka mereka mengutus Yudas dan Silas untuk memberi jawab kepada jemaat Antiokhia, bahwa mereka tidak dipersulit dengan aturan-aturan, budaya tetapi diharapkan menjauhkan diri dari percabulan, makanan berhala dan lain-lain. Dalam Kisah Para Rasul 16:3 Paulus memakai adat sunat untuk Timotius karena bapak dari Timotius adalah orang Yunani dan ibunya orang Yahudi. Pelayanan Timotius kepada orang Yahudi yang bersunat sehingga Timotius dapat masuk ke Sinagoge. Galatia 2:3 Paulus mengubah adat sunat terhadap Titus yang adalah orang Yunani. Paulus tidak menyunatkan Titus karena Paulus ingin menunjukkan bahwa orang dibenarkan bukan karena disunat tetapi karena Kristus. Kisah Para Rasul 21:21 Paulus membuang adat sunat untuk anak-anak orang Yahudi yang percaya di negeri asing. Kolose 2:11 Paulus mengubah arti sunat bukan sunat fisik tetapi sunat rohani. 1 Korintus 8:13 jika makan daging menjadi batu sandungan maka Paulus tidak mau makan lagi selamanya, sekalipun makan daging itu tidak berdosa. Menurut 1 Korintus 9:19-23 Paulus menentukan pengukur apa yang harus dilakukan di dalam pelayanannya dalam konteks budaya: 1. Paulus adalah orang yang bebas/merdeka dan memiliki hak (kedudukan). 2. Ia menjadi hamba dari semua orang untuk memenangkan mereka (tujuan dan penyesuaian). 3. Ia tetap hidup dalam hukum Kristus (standart). 4. Budaya bagi Paulus adalah relatif. c. Pelayanan Paulus di Athena Dalam Kisah Para Rasul 17:16-34 Rasul Paulus waktu itu menginjili orang terpelajar di Athena yang merupakan pusat bagi para sarjana, cendekiawan dan filsuf. Rasul Paulus mulai menginjili orang Athena di rumah ibadat Yahudi serta di pasar dengan cara bertukar pikiran dan bersoal jawab secara terbuka. Akhirnya Paulus diundang ke Areopagus (Badan Cendekiawan yang berfungsi seperti ICMI / MUI di Indonesia). Paulus memulai memberitakan Injil dengan cara memuji mereka atas kesungguhan mereka dalam beribadah. Ia mulai mendekati mereka dengan cara yang positif dan menghindari konfrontasi. 66 Setelah menguji mereka, Paulus menemukan suatu jembatan yang relevan bagi pendengarnya yaitu sebuah mezbah dengan tulisan “Kepada Allah yang Tidak Dikenal.” Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya itulah yang aku beritakan kepada kamu (ayat 23). Paulus menyatakan bahwa tegas dan tujuannya ialah memperkenalkan Allah yang tidak dikenal oleh mereka. Kemudian dalam ayat 28 Paulus memakai jembatan lain yaitu sajak dari pujangga Yunani. Dalam kotbahnya Paulus mengutip 2 sajak yang bisa dianggap sebagai kitab suci ahli filsafat Yunani. Sajak pertama digubah Epimenides dari pulau Kreta yang berbunyi “sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak kita ada ........”. sajak kedua ialah baris yang kelima Fainomena, sajak yang digubah oleh Aratus dari Kilikia yang berbunyi “sebab kita ini dari keturunan Allah kita juga”. Konteks dari nats yang dikutip diatas adalah: “Jangan tidak menyebut namanya, hai manusia”. Segala jalan hidup dan segala tempat perkumpulan manusia penuh dengan Zeus; laut-laut dan pelabuhan-pelabuhan penuh dengan dia. Dari arah mana saja ada kaitannya dengan Zeus; sebab kita ini dari keturunannya juga”. 40 Paulus mengutip supaya berita yang disampaikan itu dapat diterima dan dipahami sehingga Injil yang disampaikan menjadi relevan. Paulus percaya bahwa setiap kebudayaan atau agama mempunyai unsur-unsur kebenaran sehingga ia berani mengutip puisi tersebut dalam penginjilannya. Pendekatan kontekstual ini bukan saja untuk menyesuaikan diri melainkan juga untuk hidup di bawah hukum Kristus yaitu menentang hal-hal yang tidak sesuai dengan Firman Allah supaya Injil tetap murni. Akhirnya Paulus mengakhiri dengan tantangan pertobatan, penghakiman dan kebangkitan Yesus (Kis. 17:3031). 40 Todd Elefson, Komunikasi Injil Lintas Budaya, (Yogyakarta: STII, 2003), 15 67 KEPUSTAKAAN Budiman,R.L. Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi. t.k: t.p., t.t. Dekker, John. 2002 Diktat Kuliah. Pelayanan Lintas Budaya. Surabaya: STII. Elefson, Todd. 2003 Diktat Kuliah. Komunikasi Injil Lintas Budaya. Yogyakarta: STII. Gultom, Parlaungan 2003 Diktat Kuliah. Teologi Misi Perjanjian Lama. Yogyakarta: STII. Hesselgrave,David J. 1978 Communicating Christ Cross Culturally. Grand Rapids: Zondervan Publishing House. Humble, Arny. 2003 Diktat Kuliah. Introduksi Misi Sedunia. Yogyakarta: STII. Kuiper,DE. 1988 Misiologia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Octavianus,P. 1985 Identitas Kebudayaan Asia dalam Terang Firman Allah. Batu: YPPII. Tomatala, Yakob. 2001 Teologi Kontekstualisasi. Malang: Gandum Mas. 68