PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP STABILITAS

advertisement
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
STABILITAS
HEMODINAMIK ASUHAN KEPERAWATAN Tn. E DENGAN
CEDERA KEPALA RINGAN DI RUANG IGD
RUMAH SAKIT SALATIGA
DISUSUN OLEH :
LILIS SURYANI
NIM. P13.095
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN POSISI SEMI FOWLER TERHADAP
STABILITAS
HEMODINAMIK ASUHAN KEPERAWATAN Tn. E DENGAN
CEDERA KEPALA RINGAN DI RUANG IGD
RUMAH SAKIT SALATIGA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
LILIS SURYANI
NIM. P13.095
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan Judul “Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap Stabilitas
Hemodinamik Asuhan Keperawatan Tn. E Dengan Cedera Kepala Ringan Di
Ruang IGD Rumah Sakit Salatiga”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penilis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Prodi Studi DIII Keperawtan
yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes
Kusuma Husada Surakarta.
2. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII
Keperawtan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Anissa Cindy NA., M. Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus
sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan
masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta
memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
4. Ns. Amalia Senja, M. Kep , selaku dosen penguji I yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
iv
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
5. Ns. Annisa Cindy NA., M. Kep, selaku dosen penguji II yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
studi kasus ini.
6. Semua dosen Progran Studi DIII Keperawtan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memeberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasanya serta ilmu yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 10 Mei 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................x
BAB I.
PENDAHULUAN .................................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................1
B. Tujuan penulisan ...............................................................................6
C. Manfaat Penulisan .............................................................................6
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................8
A.Tinjauan Teori ....................................................................................8
1. Cedera Kepala................................................................................8
2. Posisi Semi Fowler ......................................................................15
3. Stabilitas Hemodinamik ..............................................................17
B. Kerangka Teori ............................................................................ ..32
C. Kerangka Konsep.......................................................................... .33
BAB III. METODE PENYUSUNAN APLIKASI RISET..................................34
1. Subjek Aplikasi Riset .......................................................................34
2. Tempat Dan Waktu ..........................................................................34
vi
3. Media Alat Yang Digunakan ...........................................................34
4. Prosedur Berdasarkan Aplikasi Riset ...............................................35
5. Alat Ukur Evaluasi Tindakanaplikasi Riset .....................................35
BAB IV LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien................................................................................37
B. Pengkajian .......................................................................................37
C. Perumusan Masalah Keperawatan ...................................................42
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan .....................................................43
E. Perencanaan Keperawatan ...............................................................43
F. Implementasi ....................................................................................45
G. Evaluasi ...........................................................................................47
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ......................................................................................48
B. Diagnosa Keperawatan ....................................................................57
C. Interfrensi ........................................................................................60
D. Imflementasi ....................................................................................63
E. Evaluasi............................................................................................67
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .....................................................................................70
B. Saran ...............................................................................................75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Prosedur Tindakan ......................................................................... 35
Tabel 3.3 Tanda Tanda Vital .......................................................................... 36
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Posisi Semi Fowler ................................................................................17
Gambar 3.1 Skala Nyeri .............................................................................................36
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Usulan Aplikasi Jurnal
Lampiran 2 Lembar Pendelegasian Pasien
Lampiran 3 Prosedur Pemberian Posisi Semi Fowler
Lampiran 4 Lembar Observasi
Lampiran 5 Log Book
Lampiran 6 Lembar Konsultasi
Lampiran 7 Asuhan Keperawatan
Lampiran 8 Jurnal
Lampiran 9 Daftar Riwayat Hidup
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu trauma mekanik pada kepala baik
secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial, baik
temporer maupun permanen (Damanik, 2011).
Berdasarkan laporan World Helth Organization (WHO), setiap
tahunnya sekitar 1,2 juta orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan
jutaan lainnya terluka atau cacat. Di Amerika Serikat dilaporkan kejadian
cedera kepala 200 per 100.000 penduduk per tahun. Proporsi disabilitas
dan (Cas Fatality Rate) CFR cedera akibat kecelakaan lalu lintas masih
tinggi. Cedera kepala tertinggi dijumpai di beberapa negara Amerika Latin
(41,7 per 100.000 penduduk), Asia 41,9 dan 21,0 per 100.000 penduduk di
Korea selatan dan Thailand (Damanik, 2011).
Indonesia adalah negara bekembang yang masih memiliki angka
kejadian kecelakaan yang tinggi. Cedera kepala menempati peringkat
tertinggi yang di rawat di bagian bedah saraf RS. M Djamil Padang. Data
yang didapat dari instalasi rekam medik, pasien cedera kepala yang
berobat ke IGD tahun 2011 sebesar 2106 pasien dan tahun 2012 sebesar
2162 pasien, dimana menjalani operasi pembedahan darurat sebanyak 46
pasien tahun 2022 dan 52 pasien di tahun 2012. Dari 98 pasien diantaranya
1
2
Hematoma Epidural (Arnold, 2012). Sedangkan di Rumah sakit Cipto
Mangun Kusumo Jakarta pada tahun 2005 terjadi 750 kasus trauma kepala
dengan presentase Cedera Kepala Ringan (CKR) 80%, Cedera Kepala
Sedang
(CKB) 10% dan Cedera Kepala Berat (CKB) 10%. Angka
kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat Cedera Kepala Berat (CKB)
5%, 10% Cedera Kepala Sedang
(CKS) dan Cedera Kepala Ringan
(CKR) tidak ada yang meninggal dunia (Krisandi, 2013).
Cedera kepala dikategorikan menjadi 3 berdasarkan Glasgow coma
scale nilai (GCS), yaitu: cedera kepala ringan apabila Glasgow coma
scale (GCS)13-15, cidera kepala sedang jika skor Glasgow coma scale
(GCS) 9-12, dan cidera kepala berat apabila skor Glaslow Coma Scale
(GCS) kurang dari 8 (Krisnadi, 2013).
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien cedera kepala adalah
perdarahan di otak, penurunan kesadaran, perubahan perilaku yang tidak
begitu terlihat dan defisit kognitif yang dapat terjadi dan tetap ada. Defisit
kognitif yang sering muncul setelah cedera kepala adalah gangguan
memori, konsentrasi, dan pemusatan perhatian (Krisandi, 2013).
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa masalah neurologis yang
terjadi pada pasien cedera kepala yaitu peningkatan tekanan intrakranial.
Gejala peningkatan tekanan intrakranial berupa adanya bradikardi, dan
kondisi inilah yang menyebabkan kematian pada pasien cedera kepala.
Hasil penelitian Mir, dkk (2015) angka kematian pasien cedera kepala dan
Intrakranial Pressure (ICP) yaitu 93%.
3
Untuk mengurangi angka kematian pada cedera kepala dibutuhkan
pengelolaan yang cepat dan tepat. Pengelolaaan cedera kepala yang baik
harus dimulai dari tempat kejadian selama transpotasi, di instalasi gawat
darurat, hingga dilakukannya terapi definitif. Pengolaan yang tepat dan
benar akan mempengaruhi outcome pasien. Tujuan utama pengelolaan
cedera kepala adalah mengoptimalkan pemulihan dari cedera kepala
primer dan mencegah cedera kepala sekunder. Proteksi otak adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi
kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan oleh keadaan iskemia. Metode
dasar dalam melakukan proteksi otak adalah dengan cara membebaskan
jalan nafas dan oksigenasi yang adekuat (Safrizal, 2013).
Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya telah secara konsisten
menunjukkan bahwa kegiatan perawatan rutin dan positioning, memiliki
dampak yang signifikan terhadap Intracranial Pressure (ICP) dan
stabilitas hemodinamik pada pasien dengan cidera kepala. Adapun
tindakan untuk penanganan cedara kepala salah satunya adalah
menyeimbangkan atau mengontrol tekanan darah dalam batas normal
dengan cara pemberian posisi tidur. Ada beberapa posisi tidur untuk
mengontrol tekanan darah pada pasien dengan cedera kepala yaitu posisi
supine atau telentang dan posisi semi fowler atau setengah duduk dengan
kemiringan 30 derajat.
Dari beberapa peneliti berpendapat bahwa pasien dengan
Intracranial hypertention harus ditempatkan dalam posisi horizontal,
4
alasan di lakukan posisi tersebut adalah bahwa ini akan meningkatkan
Cerebral Perfusion Pressure (CPP) dan dengan demikian meningkatkan
aliran darah di otak, namun Intracranial hypertention, umumnya secara
signifikan lebih tinggi ketika pasien dalam posisi horizontal. Sedangkan
posisi semi fowler yaitu posisi mengangkat kepala untuk menurunkan
tekanan intracranial.
Dari hasil penelitian bahwa posisi semi fowler dapat memperbaiki
dari parameter hemodinamik, seperti tekanan darah sistolik kembali ke
kisaran normal, tekanan nadi menurun normal dibandingkan sebelum
diberikan posisi semi fowler, tingkat kesadaran meningkat di ukur dengan
Glasgow Coma Scale (GCS), dan tekanan darah diastolik dapat
dipertahankan dalam batas normal dapat disimpulkan bahwa posisi semi
fowler lebih efektif dari posisi supine atau telentang dalam stabilitas
hemodinamik pasien dengan cedera kepala (Mir, 2015).
Stabilitas hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran
tubuh kita baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi
parva (sirkulasi dalam paru-paru). Hemodinamik monitoring adalah
pemantauan dari hemodinamik status. Pentingnya pemantauan terus
menerus terhadap status hemodinamik, respirasi, dan tanda-tanda vital lain
akan menjamin early detection bisa dilaksanakan dengan baik sehingga
dapat mecegah pasien jatuh kepada kondisi lebih parah. Hemodinamik
status adalah indeks dari tekanan dan kecepatan aliran darah dalam paru
dan sirkulasi sistemik. Pasien dengan gagal jantung, overload cairan,
5
shock, hipertensi pulmonal dan banyak kasus lain adalah pasien dengan
masalah perubahan status hemodinamik (Crwin, 2009).
Dalam stabilitas hemodinamik tanda vital sangat penting untuk
observasi pasien cedera kepala karena dapat memberikan informasi
mengenai keadaan intrakranial. Perubahan intrakranial biasanya akan
didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda vital
tersebut mencangkup tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu , MAP
(Japardi, 2010).
Penelitian yang dilakukan (Mir,2015), menunjukkan bahwa
pemberian posisi semi fowler pada pasien cedera kepala dapat dilakukan
dengan cara minimal dua jam pemberian posisi semi fowler dan
membutuhkan pemantauan yang ketat terhadap adanya peningkatan
tekanan darah, pemantauan sebelum dan setelah dilakukan tindakan perlu
diperhatikan, serta pemantauan tekanan darah, suhu, denyut nadi,
pernafasan, dan tingkat kesadaran pasien juga perlu dilakukan untuk
mengetahui perkembangan pasien.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk
mengaplikasikan pemberian tindakan posisi semi fowler untuk stabilitas
hemodinamik pasien cedera kepala.
6
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mengaplikasikan tindakan pemberian dan posisi semi fowler pada
stabilitas hemodinamik pada pasien dengan cidera kepala.
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien cedera kepala
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala
c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada
pasien cedera kepala
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien cedera
kepala
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien cedera kepala
f. Mampu menganalisis hasil pemberian posisi semi fowler pada
pasien dengan cedera kepala.
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Menambah wawasan dan pengalaman tentang konsep penyakit cedera
kepala
penatalaksanaannya
dan
aplikasi
riset
melalui
proses
keperawatan memberikan posisi semi fowler pada pasien dengan
cedera kepala.
7
2. Bagi pendidikan
Sebagai referensi dan wacana dalam perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam bidang keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan cedera kepala dimasa yang akan datang dan acuan bagi
pengembangan laporan kasus sejenis.
3. Bagi profesi keperawatan
Memberikan kontribusi terbaru pengembangan pada pasien khusunya
keperawatan gawat darurat pada pasien cedera kepala.
4. Bagi rumah sakit
Sebagai evaluasi peningkatan mutu pelayanan dalam memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensif terutama pada pasien dengan
cedera kepala.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Cedera kepala
a. Pengertian
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Rendy, 2012).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Kerusakan neurologis yang diakibatkan oleh suatu benda atau
serpihan tulang yang menembus atau merobek suatu jaringan otak oleh
suatu pengarauh kekuatan atau energi yang di teruskan ke otak yang
akhirnya efek percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada
kompartemen yang kaku ( Wijaya&Putri, 2013).
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung
atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan
tengkorak dan otak (Grace, 2007).
8
9
b. Etiologi
Penyebab cedera kepala menurut (Wijaya & Putri, 2013) meliputi:
1) Kecelakaan lalu lintas
2) Jatuh
3) Pukulan
4) Kejatuhan benda
5) Cedera lahir
6) Luka tembak
c.
Klasifikasi
1) Berdasarkan keparahan cedera kepala meliputi :
a) Cedera kepala ringan (CKR)
(1) Tidak ada fraktur tengkorak
(2) Tidak ada kontusio serebri, hematoma
(3) Glasgow coma scale (GCS) 13 -15
(4) Dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi kurang dari 30
menit
b) Cedera kepala sedang (CKS)
(1)
Kehilangan kesadaran (amnesia) lebih dari 30 menit
tapi kurang dari 24 jam
(2) Muntah
(3) Glasgow coma scale (GCS) 9 -12
(4) Dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientrasi ringan
(bingung )
10
c)
Cedera kepala berat (CKB)
(1) Glasgow coma scale (GCS) 3 – 8
(2) Hilang kesadaran lebih dari 24 jam
(3)
Adanya
kontusio
serebri,
laserasi
atau
hematoma
intrakranial
2) Menurut jenis cedera :
a) Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur pada tulang
tegkorak dan jaringan otak
b) Cedera kepala tertutup dapat disamakan dengan keluhan gagar
otak ringan dan oedm serebral yang luas
d. Manifestasi klinis
Yang sering terjadi pada kejadian cedera kepala perdarahan yang
sering ditemukan pada pasien dengan cedera kepala, perdarahan yang
sering ditemukan yaitu (Wijaya & Putri, 2013)
1) Epidural hematoma
Terdapat penggumpalan darah diantara tulang tengkorak dan
durameter akibat pecahnya pembuluh darah/cabang-cabang arteri
meningeal media yang terdapat durameter, pembuluh darah ini
tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya.
Gejala yang terjadi :
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, muntah, hemiparesis,
dilatasi pupil, penurunan nadi, peningkatan suhu.
11
2)
Subdural hematoma
Terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, dapat
terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah
vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara durameter,
perdarahan lambat dan sedikit.
Gejala yang terjadi :
nyeri kepala, bingung, mengantuk berikir lambat, kejang udem
pupil.
3) Perdarahan subarachnoid
Perdarahan
didalam
rongga
subarachnoid
akibat
robeknya
pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada
cedera kepala hebat.
Gejala yang terjadi :
nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemipaparese, dilatasi pupil
dan kaku kuduk (Rendy, 2012).
e. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen , jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
12
glukosa sebanyak 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga
bila kadar glukosa plasma turun sampai 70% akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral (Musliha, 2010).
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi
kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia
atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat
metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal Cerebral Blod Flow (CBF) adalah 50-60
ml/menit/100gram. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari Cardiac
Output (Musliha, 2010).
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup
aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan distrimia, fibrasi atrium dan vebtrikel,
takikardia. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi.
Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik padapembuluh darah
arteri dan arteri otak tidak begitu besar (Musliha, 2010).
f.
Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan
diagnosis (casual) yang tepat sehingga kita dapat memberikan obat yang
13
tepat pula. Adapun pemeriksaan yang perlu dikerjaan berdasarkan
diagnosa NANDA (2013-2015) adalah :
1) Foto polos tengkorak (skull X- ray)
2) Angiografi serebral
3) Pemeriksaan MRI
4) CT scan : indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah – muntah,
penurunan Glasgow coma scale (GCS) lebih 1 poin, adanya
leteralisasi, bradikardi
(nadi kurang dari 60 X/ menit), fraktur
impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan
selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau
peluru.
g.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada cedera kepala meliputi (Setiawan & Intan,
2010):
1)
Non medis
a) Resusitasi airway (jalan nafas), breathing (pernafasan), circulasi
(sirkulasi).
b) Tirah baring
c) Observasi kesadaran
d) Perawatan luka
e) Posisi semi fowler 30 derajat
2) Medis
a) Terapi deuretik (hiperosmoler): manitol atau cairan yang osmotic
14
b) Terapi Nacl 0.9 atau RL untuk keseimbangan ciran dan elektrolit.
c) Terapi barbiturat: diberikan pada pasien dengen peningkatan
tekanan intracranial yang refrakter tanpa cedera difusi.
d) Pasien kejang: berikan diazepam 10 mg IV, dilanjutkan fenitoin
200 mg per oral, selanjutnya diberikan fenitoin 3x100 mg/hari.
e) Demam: diberikan antipiretika.
h.
Komplikasi
Menurut Wijaya & Putri (2013) cedera kepala dapat terjadi berbagai
macam komplikasi seperti :
1) Epilepsi pasca trauma
Adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu
setelah otak mengalami cedera karena benturan dikepala. Kejang
biasa saja terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya
cedera.
2) Afasia
Adalah hilangnya kemampuan untuk mengunakan bahasa karena
terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata- kata.
3) Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan
ingatan atau serangkaian gerakan.Kelainan ini jarang terjadi dan
biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau
lobus frontalis.
15
4) Agnosia
Agnosia merupakan kelainan dimana penderita dapat melihat dan
merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkanya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut. Penderita
tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan
baik atau benda-benda umum (misalnya : sendok atau pensil).
5) Amnesia
Adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk
mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama berlalu penyebabnya masih belum dapat dimengerti.
Cedera otak biasanya menyebabkan hilang ingatan.
6) Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu) kejang tidak merupakan
predisposisi untuk krjang lanjut kejang dini menunjukkan resiko
yang meningkat utuk kejang lanjut, dan pasien ini harus
diprtahankan dengan antikonvulsan (Wijaya & Putri, 2013).
2. Posisi semi fowler
Posisi semi fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien
dengan kepala dan dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan kaki.
Pada posisi semi fowler kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30-45
derajat sedangkan pada posisi higt fowler, posisi kepala dan dada
16
dinaikkan 45-80 derajat. Tujuan posisi ini digunakan untuk pasien yang
mengalami masalah pernafasan dan pasien dengan gangguan jantung.
Posisi ini untuk mempertahankan kenyamanan dan menfasilitasi fungsi
pernafasan membuat oksigen didalam paru-paru semakin meningkat
sehingga memperingan kesukaran napas dan menurunkan tekanan darah
(Potter & Perry, 2006).
Posisi
pasien
memiliki
efek
mendalam
pada
stabilitas
hemodinamik pasien cedera kepala. Beberapa peneliti berpendapat bahwa
pasien dengan cedera kepala harus ditempatkan pada posisi semi fowler,
membuktikan tekanan darah sistolik kembali ke kisaran normal, tekanan
nadi menurun menjadi normal, tingkat kesadaran pasien meningkat di ukur
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) (Mir, 2015). Teori yang mendasari
elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh diatas jantung dengan
vertical axis, akan menyebabkan cairan cerebral spinal terdistribusi dari
kranial keruang subaranoid spinal dan menfasilitasi venus return serebral
(Sunardi, 2011).
Standart Oprasional prosedur mengatur dalam memberikan posisi
klien menurut Potter & Perry (2006) yaitu, pemberian posisi pasien di
tempat tidur
memerlukan persiapan terlebih dahulu. Perawat perlu
mengkaji kesejajaran tubuh dan tingkat kenyamanan, perawat harus
menyiapkan alat bahan (bantal, papan kaki, pagar tempat tidur),
menginformasikan tindakan kepada pasien dan memberikan privasi pada
pasien. Tujuan untuk mempertahankan kenyamanan dan menfasilitasi
17
fungsi pernafasan. Melakukan persiapan seperti yang telah disebutkan
diatas, tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat, topangkan kepala
diatas tempat tidur atau menggunakan bantal, gunakan bantal untuk
menyokong lengan dan tangan bila pasien tidak dapat mengontrolnya
secara sadar atau tidak dapat menggunakan tangan dan lengan, tempakan
bantal tipis di punggung bawah, tempatkan bantal kecil atau gulungan
handuk dibawah paha, tempatkan bantal kecil atau gulungan handuk di
pergelangan kaki, tempatkan bantal atau papan kaki didasar telapak kaki,
turunkan tempat tidur, observasi posisi kesejajaran tubuh, tingkat
kenyamanan, dan titik potensi tekan, cuci tangan setelah prosedur
dilakukan.
Gambar 2.1 posisi semi fowler
3. Stability Hemodynamic
Hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran tubuh
kita baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva
(sirkulasi dalam paru-paru). Hemodinamik monitoring adalah pemantauan
dari hemodinamik status. Pentingnya pemantauan terus menerus terhadap
status hemodinamik, respirasi, dan tanda-tanda vital lain akan menjamin
18
early detection bisa dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mecegah
pasien jatuh kepada kondisi lebih parah. Hemodinamik status adalah
indeks dari tekanan dan kecepatan aliran darah dalam paru dan sirkulasi
sistemik. Pasien dengan gagal jantung, overload cairan, shock, hipertensi
pulmonal dan banyak kasus lain adalah pasien dengan masalah perubahan
status hemodinamik (Crwin, 2009).
Dalam stabilitas hemodinamik tanda vital sangat penting untuk
observasi pasien cedera kepala karena dapat memberikan informasi
mengenai keadaan intrakranial. Perubahan tekanan intrakranial biasanya
akan didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda
vital tersebut mencangkup tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu , MAP
(Japardi, 2010).
a. Tekanan darah
Dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang
kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara
menyeluruh. Jika hal ini terjadi, maka otak akan mengalami
swelling (pembengkakan secara menyeluruh), dengan hasil
peningkatan tekanan intrakranial.
b. Nadi
Bradikardi dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai
dengan cedera spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap
akhir dari peningkatan tekanan intrakranial. Takikardi sebagai
respon autonom terhadap kerusakan hipotalamus juga dapat
19
dijumpai
pada tahap
akhir dari
peningkatan tekanan
intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah
dalam lessi fossa posterior.
c. Pernafasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran
tentang keadaan intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat
(>28 kali permenit) dan tidak teratur, merupakan kadaan
emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter. Tidak
selamanya keadaan ini disebabkan oleh masalah dalam paruparu. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera dinaikkan
jumlah oksigen yang diberikan.
d. Suhu
Pada cedera kepala biasanya akan terjadi gangguan
pengaturan suhu tubuh karena kerusakan pusat pengaturan
suhu di hipotalamus. Metabolism meningkat sekitar 10%
untuk setiap derajat peningkatan suhu tubuh. Hal ini sangat
berdampak buruk tehadap pasien tersebut yang memang
sudah mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa.
Salah satu hasil metabolism tubuh adalah CO2 yang
merupakan
vasodilator
tekanan intrakranial.
dan
menyebabkan
peningkatan
20
e. MAP (Mean Arteri Pressure)
Pengukuran darah arteri , didapatkan dari dua hasi (Sistolik
dan Diastolik) maka perlu mencari tekanan arteri yang
sebenarnya. Tekanan arteri rata-rata bias di dapatkan dengan
rumus. MAP (Mean Arteri Pressure) = (S+2D)/3 jadi
perhitungannya, nilai MAP (Mean Arteri Pressure) rata-rata
<140 mmHg. Hal ini penting diketahui oleh dokter dan
perawat, karena tekanan darah arteri mengambarkan kondisi
tekanan darah yang ada pada darah saat keluar dari jantung.
Tekanan darah yang rendah mengakibatkan suplai darah
kurang ke jaringan, sehingga oksigen dan sari-sari makanan
tidak tersampaikan dan akhirnya dapat terjadi penurunan
metabolisme tubuh. Kondisi ini yang dinamakan hipoksia
(Japardi, 2010).
4. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas pasien
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang
kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah klien
(Dermawan, 2012). Pengkajian yang di lakukan pada pasien
Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat :
21
1) Pengkajian Primer
a) Airway (A)
Berisi pengkajian terkait kepatenan jalan nafas,
observasi adanya lidah jatuh, adanya benda asing
pada jalan nafas (bekas muntah, darah, secret yang
tertahan), adanya edema pada mulut, faring, laring,
disfagia, suara stridor, gurgling atau wheezing yang
menandakan adanya masalah pada jalan nafas.
b) Breathing (B)
Berisi
pengkajian
keefektifan
pola
nafas,
Respiratory Rate, abnormalitas pernafasan, pola
nafas, bunyi nafas tambahan, penggunaan otot bantu
nafas, adanya nafas cuping hidung, saturasi oksigen.
c) Circulation (C)
Berisi pengkajian
heart
rate, tekanan darah,
kekuatan nadi, capillary refill, akral, suhu tubuh,
warna kulit, kelembaban kulit, kelembaban kulit,
pendarahan ekternal jika ada.
d) Disability (D)
Berisi pengkajian kesadaran (GCS), ukuran dan
reaksi pupil.
22
e) Exposure (E)
Berisi pengkajian terhadap suhu serta adanya injury
atau kelainan yang lain. Atau kondisi lingkungan
yang ada di sekitar klien.
2) Pengkajian Sekunder
a)
Keadaan umum / Penampilan umum
Berisi
pengkajian Kesadaran, Tanda-Tanda
Vital
(tekanan darah, nadi, suhu, respirasi, dan saturasi
oksigen).
b) History (SAMPLE)
S : Subyektif (keluhan utama yang di rasakan pasien)
A : Alergi (adakah alergi terhadap makanan atau obat
obatan tertentu)
M : Medikasi (penggunaan obat yang sedang atau
pernah di konsumsi)
P : Past Medical History (riwayat penyakit
sebelumnya yang brthubungan dengan sekarang)
L : Last Meal (berisi hasil pengkajian makan atau
minum terakhir yang dikonsumsi oleh pasien
sebelum datang ke IGD atau kejadian)
E : Event Leading (Berisi kronologi kejadian,
Lamanya gejala yang di rasakan, Penanganan yang
23
yang telah dilakukan, Gejala lain yang dirasakan,
Lokasi nyeri atau keluhan lain yang di rasakan)
c) Pemeriksaan Fisik
(a) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu normo cephalik,
simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada
nyeri kepala.
(b) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
(c) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun batuk, tak ada
lesi, simetris, tak oedema.
(d) Mata
Terdapat
gangguan
seperti
konjungtiva
anemis (jika terjadi perdarahan)
(e) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(f) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan
cuping hidung.
24
(g) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(h) Thorak
Pemendekan tulang.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase
analis atau sintesis data dasar menjadi pola yang bemakna dan
menuliskan pernyataan diagnosa keperawatan (Dermawan, 2012).
Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul diagnosa
keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa
keperawatan
menurut
kebutuhan dasar manusia. Manusia
mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara
memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun
psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat
penting, bermaanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis
dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis dan
fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari
berbagi segi. Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika
mengembangkan teori
tentang Kebutuhan Dasar Manusia
Maslow. Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan dasar,
yakni:
25
a. Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki prioritas
tetinggi
dalam
hierarki
maslow,
kebutuhan
fisiologis
merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan
hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan,yaitu:
kebutuhan oksigen dan petukaran gas, kebutuhan caian dan
elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan
alvi, kebutuhan istirahat dan tidur, kebutuhan aktivitas,
kebutuhan kesehatan temperatur tubuh, kebutuhan seksual.
b. Kebutuhan keselamatan dan rasa aman
c. Kebutuhan rasa cinta.
d. Kebutuhan harga diri.
e. Kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien Cedera kepala
menurut Wijaya & Putri, ( 2013 ) dapat mencakup yang berikut
ini:
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
akumulasi cairan.
b. Perubahan perfunsi jaringan serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragic,hematoma),
edema serebral, penurunan TD sistemik atau hipoksia.
26
c. Perubahan presepsi sensori berhubungan dengan perubahan
presepsi sensori, transmisi, dan integritas (trauma atau defisit
neurologis).
d. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
e. Hambatan moblitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot.
3.
Intervensi keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan,
menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi
tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional
ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan,
diagnosa
diprioritaskan
sesuai
dengan
keseriusan
atau
mengancam jiwa. (Dermawan, 2012).
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
akumulasi cairan.
Intervensi keperawatan:
(1) Kaji kepatenan jalan nafas.
Rasional : ronki menunjukkan aktivitas sekret yang
dapat menimbulkan penggunaan otot-otot asesoris dan
meningkatkan kerja pernafasan.
27
(2) Beri posisi semi fowler
Rasional : Membantu memaksimalkan ekspansi paru
dan menurunkan upaya pernafasan.
(3) Lakukan penghisapan lendir dengan hati-hati selama
10-20 menit. Catat sifat –sifat , warna dan bau sekret.
Lakukan bila tidak ada retak pada tulang.
Raional : Pengisapan dan membersihan jalan nafas dan
akumulasi dari sekret. Dilakukan dengan hati-hati untuk
menghindari terjadinya iritasi saluran dan reflek vegal..
(4) Berikan posisi semi lateral telentang atau miring setiap
2 jam.
Rasional : Dapat membantukeluarnya sekret dan
mencegah iritasi dan aspirasi
(5) Kolaborasi pemberian bronkodilator
Rasional : meningkatkan ventilasi dan membuang secret
(wijaya & putri, 2013)
b) Perubahan perfunsi jaringan serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah oleh SOL (hemoragic,hematoma),
edema serebral, penurunan TD sistemik atau hipoksia
Intevensi keperawatan:
28
(1) Monitor TTV setiap jam sampai klien stabil
Rasional : Dapat mendeteksi secara dini tanda- tanda
peningkatan TIK, misalnya hilangnya autoregulasi
dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi selenral local.
(2) Kajji status neurologis yang berhubungan dengan tandatanda peningkatan TIK, terutama GCS
Rasional: hasil pengkajian dapat diketahui secara dini
adanya tanda-tanda peningkatan TIK sehingga dapat
menetukan arah tindakan selanjutnya serta manfaat
untuk menetukan lokasi, perluasan dan perkembangan
kerusakan system saraf pusat SSP.
(3) Tingkatkan posisi kepala dengan sudut 15 – 45 derajat
tanpa bantal dan psoisi netral.
Rasional : posisi kepala dengan sudut 15- 45 derajat
dari kaki akan meningkatan dan memperlncar aliran
balik
venakepala
sehingga
mengurangi
kongesti
cerebrum dan mencegah penekanan pada saraf medul
spinalis yang menambah TIK.
(4) Monitor suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi.
Batasi pemakaian selimut dan kompres bila demam.
Rasional : demam menandakan adanya gangguan
hipotalamus
29
(5) Monitor asupan dan keluaran setiap delapan jam sekali
Rasionnal : mencegah kelebihan cairan yang dapat
menambah edema serebri sehingga terjadi peningkatan
TIK (Muttaqin, 2008).
c. Perubahan presepsi sensori berhubungan dengan perubahan
presepsi sensori, transmisi, dan integritas (trauma atau
defisit neurologis).
Intervensi keperawatan :
(1) Kaji respon sensori terhadappanas atau dingin,raba, atau
sentuhan.
Rasional : informasi yang penting untuk keamanan
klien, semua sistem sensori dapat terpengaruh dengan
adanya perubahn yang melibatkan kemampuan untuk
menerima dan berespon sesuai stimulus.
(2) Berikan keamanan klien dengan pengamanan sisi
tempat tidur, bantu latihan jalan dan lindungi dari
cedera.
Rasional : gangguan presepsi sensori dan buuknya
keseimbangan dapat meningkatkan resiko terjadinya
injury.
(3) Berikan stimulus yang berarti saat penurunan kesadran.
Rasional : meragsang kembali presepsi sensori
30
(4) Kolaborasi dengan fisioterapi
Rasional : pendekatan disiplin dapat menciptakan
rencana penatalaksanaan terintregasi yang berfokus
padapeningkatan evaluasi, dan fungsi fisik, kognitif dan
keterampilan perceptual.
d. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
(1) Kaji nyeri, lokasi, intensitas, keluhan dan durasi
Rasional : informasi akan memberikan data dasar untuk
membantu dalam menentukan pilihan atau keefektifan
intervensi
(2) Monitor TTV
Rasional : perubahan TTV merupakan indicator nyeri.
(3) Berikan posisi kepala lebih tinggi ( 15-45derajat)
Rasional : meningkatkan dan melancarkan aliran balik
darah vena dari kepala sehinggadapat mengurangi
edema dan TIK
(4) Ajarkan latihan tehnik relaksasi seperti latihan napas
dalam.
Rasional : latihan napas dalam membantu pemasukan
O2 lebih banyak terutama untuk oksigenasi otot.
e Hambatan moblitas fisik berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot.
31
Intervensi keperawatan :
(1) Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara
fungsional kerusakan yang terjadi.
Rasional
:
kerusakannyang
mengidentifikasi
terjadi
secara
kemungkinan
fungsional
dan
mempengaruhi pilihan intervensi yang akan dilakukan.
(2) Kaji tingakat kemampuan mobilitas dengan skala 0-4.
0 : klien tidak bergantung pada orang lain
1 : klien butuh sedikit bantuan
2 : klien butuh bantuan sederhana
3 : klien butuh bantuan atau peralatan yang banyak
4 : klien butuh atau sangat tergantung dengan orang lain
Rasional ; seseorang dalam setiap kategori mempunyai
resiko kecelakaan namun dengan kategori nilai 2 – 4
mempunyai resiko yang terbesar untuk terjadi bahaya
(3) Atur posisi klien dan ubah posisi secara teratur tiap 2
jam sekali bila tidak ada kejang atau setelah 4 jam
pertama
Rasional ; dapat meningkatkan sirkulasi seluruh tubuh
dan mencegah adanya tekanan pada organ yang
menonjol.
32
(4) Bantu klien melakukan gerakan sendi dengan teratur
Rasional : mempertahankan fungsi sendi dan mencegah
resiko tromboplebitis.
B. KERANGKA TEORI
Penyebab atau etiologi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kecelakaan Lalulintas
Jatuh
Kejatuhan Benda
Luka Tembak
Pukulan
Cedera Lahir
CEDERA KEPALA
Klasifikasi :
1. Cedera Kepala Ringan ( CKR )
Glasgow Coma Scale (GCS ) 13-15
2. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Glasgow Coma Scale (GCS ) 9-12
3. Cedera Kepala Berat (CKB)
Glasgow Coma Scale (GCS ) 3-8
Perubahan Hemodinamik
1.
2.
3.
4.
5.
Perubahan tekanan darah
Perubahan pola napas
Perubahan frekuensi nadi
Perubahan suhu badan
Perubahan Mean Arterial
Pressure (MAP)
Penatalaksanaan
Medis
a) Terapi deuretik (hiperosmoler):
b) Terapi Nacl 0.9 atau RL
c) Pasien kejang: berikan diazepam 10
mg IV, dilanjutkan fenitoin 200 mg
per oral, selanjutnya diberikan
fenitoin 3x100 mg/hari.
Non Medis
a) Mengatur posisi semi fowler 30O
b) Mengusahakan tekanan darah yang
optimal
c) Menghilangkan rasa cemas dan
nyeri
d) Menjaga suhu tubuh
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
1. Subyek Aplikasi Riset
Subyek aplikasi ini adalah pasien dengan cedera kepala ringan Glasgow
coma scale (GCS) 13-15 untuk meningkatkan stabilitas hemodinamik.
2. Tempat dan Waktu
a. Waktu
Aplikasi riset ini dilakukan tanggal 12 Januari 2016. Aplikasi tindakan
posisi semi fowler ini dilakukan selama 2 jam posisi supine dan 2 jam
pertama posisi semi fowler 2 jam kedua posisi semi fowler 2 jam ketiga
posisi semi fowler untuk mengetahui stabilitas hemodinamik pada pasien
cedera kepala ringan secara bergantian.
b. Tempat
Pemberian posisi semi fowler dilakukan di ruang instalasi gawat darurat
IGD RSUD Salatiga.
3. Media dan Alat yang digunakan
Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan yaitu
a. Handscoon.
b. 2-5 Bantal.
c. Termometer.
d. Tensimeter.
e. Stetoskop.
33
34
4. Prosedur tindakan berdasarkan aplikasi riset
Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi riset tentang
pemberian posisi semi fowler:
Tabel 3.1 Prosedur Tindakan
Prosedur Pelaksanaan
1. FASE ORIENTASI
a. Mengucapkan salam
b. Memperkenalkan diri
c. Menjelaskan tujuan
d. Menjelaskan prosedur
e. Menanyakan kesiapan pasien dan keluarga
2. FASE KERJA
a. Mencuci tangan
b. Menutup sampiran / jendela
c. Perawat membantu pasien dalam posisi setengah
duduk.
d. Menyusun bantal (2-5 bantal) di belakang
punggung pasien
e. Membiarkan kepala menyandar pada bantal dengan
nyaman.
f. Merapikan kembali alat-alat
g. Melepas sarung tangan
h. Merapikan pasien
i. Menanyakan kenyamanan pasien
j. Mencuci tangan
3. FASE TERMINASI
a. Melakukan evaluasi
b. Menyampaykan rencana tindak lanjut
c. Berpamitan
5. Alat ukur
Menurut Wijaya & Putri (2013) Alat ukur yang digunakan penulis dalam
pengamplikasian tindakan posisi semi fowler di Instalasi gawat darurat IGD
RSUD Salatiga adalah lembar TTV, MAP (Mean arteri pressure atau nilai
rata-rata arteri).
35
a. Skala Nyeri
Gambar 3.1. Skala nyeri
b. Tanda-tanda Vital
Tabel 3. 3. Tanda-tanda vital
Jenis Pengukuran
Tekanan Darah
Nadi
Respirasi
Nilai Normal
120/180 mmHg
60-100 kali/menit
12 sampai 20 kali/menit
Suhu
MAP
36º sampai 38º C
Sistole + 2 diastole : 3
Normal < 140 mmHg
36
BAB IV
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Pasien merupakan seorang laki-laki berusia 24 tahun dengan inisial
Tn. E beragama Islam dan bertempat tinggal di Getasan Semarang
berpendidikan SMA , pekerjaan buruh pabrik dengan diagnosa medis
Cedera Kepala Ringan, pasien masuk rumah sakit pada tanggal 12 Januari
2016, selama di rumah sakit yang bertanggung jawab atas nama Tn. S
berusia 24 tahun pekerjaan Wiraswasta bertempat tinggal di Getesan
Semarang, hubungan dengan pasien adalah ayah.
B. Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 jam 08.30
WIB dengan metode Autoanamnesa dan Alloanamnesa. Pola pengkajian
primer didapatkan Airway jalan nafas pasien paten, Breathing pasien
mengatakan dada terasa sakit, sulit bernafas, terlihat ekspirasi memanjang,
nafas 28 kali/permenit, SPO2 95 %,Circulation nadi 105 kali/permenit,
tekanan darah 185/100 mmHg, MAP 128 mmHg, suhu 37 derajat celcius,
capillary refill kurang dari 2 detik, akral hangat, kulit sawo matang,
Disabilitiy kesadaran pasien didapatkan hasil respon mata 4, respon
motorik 6, respon verbal 5 di dapatkan nilai Glasgow coma scale (GCS)
adalah 15, Exposure adanya cedera pada area dahi dekat pelipis, leher dan
36
37
kepala dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri diameter
luka area pelipis panjang ± 3cm, lebar ± 0,5 cm, kedalaman ± 0,2 cm, area
kepala panjang luka ± 4 cm, lebar ± 2 cm, kedalaman ± 0,1 cm, area luka
pada leher panjang ± 2 cm, lebar ± 0,1 cm, kedalaman ± 0,1 cm.
Pengkajian sekunder di dapatkan hasil keadaan umum atau
penampilan umum kesadaran klien composmetis, tanda-tanda vital TD
185/100 mmHg, frekuensi nadi 105 kali/menit, irama teratur, frekuensi
pernafasan 28 kali/menit, irama tidak teratur, suhu badan 37°C.
Pemeriksaan History (SAMPLE) didapatkan hasil subyektif P: Pasien
mengatakan nyeri saat bergerak dan saat luka tergesek, Q: nyeri seperti
tersayat atau perih, R: nyeri pada area dahi dekat pelipis, leher, kepala dan
terdapat luka lecet pada tangan, kaki sebelah kiri, tengkuk terasa sakit
pusing, dada terasa sakit dan sesak, S: skala nyeri 7, T: nyeri terus
menerus. Alergi keluarga pasien mengatakan tidak ada alergi makanan
atau obat. Medikasi keluarga mengatakan tidak mengkonsumsi obatobatan. Riwayat penyakit sebelumnya keluarga pasien mengatakan dulu
pasien pernah di rawat di Rumah Sakit kota SALATIGA dengan riwayat
DB (Demam Berdarah). Last Meal pasien mengatakan sebelum jatuh dari
sepeda motor pasien makan nasi sayur dan minum es teh. Event leading
pasien datang ke IGD RSUD kota Salatiga dibawa oleh teman kerjannya
karena terjatuh dari sepeda motor, terdapat cedera pada area dahi dekat
pelipis, leher, kepala, dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah
kiri. Diameter luka area pelipis panjang ± 3cm, lebar ± 0,5 cm, kedalaman
38
± 0,2 cm, area kepala panjang luka ± 4 cm, lebar ± 2 cm, kedalaman ± 0,1
cm, area luka pada leher panjang ± 2 cm, lebar ± 0,1 cm, kedalaman ±
0,1 cm
Pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan hasil dari keadaan atau
penampilan umum dengan kesadaran Composmetis. Bentuk kepala
masochepal, kulit kepala tampak bersih tidak ada ketombe, rambut tampak
bersih. Hasil pemeriksaan muka terdapat hematoma di dahi, palpebra tidak
edema, konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor,
diameter kanan dan kiri simetris, reflek terhadap cahaya positif dan tidak
menggunaan alat bantu penggelihatan. Pemeriksaan hidung tampak bersih
tidak ada secret dan tidak ada polip, pemeriksaan mulut membran mukosa
kering. Hasil pemeriksaan gigi tampak bersih. Pemeriksaan telinga
didapatkan hasil bentuk simetris dan tidak ada serumen yang keluar dari
telinga, pemeriksaan leher didapatkan hasil terdapat jejas atau luka dengan
panjang luka ± 2cm, lebar ± 0,1 cm, kedalaman ± 0,1 cm.
Pemeriksaan dada paru : didapatkan hasil dari inspeksi bentuk dada
simetris, palpasi vocal premitus kanan dan kiri sama, perkusi vesikuler di
seluruh lapang paru dan auskultasi tidak ada suara nafas tambahan dan
vesikuler di seluruh lapang paru.
Pemeriksaan dada jantung : didapatkan hasil inspeksi ictus cordis
tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba di intercosta 3, perkusi pekak di
seluruh lapang dada, auskultasi bunyi jantung I-II murni, regular dan lupdup.
39
Pemeriksaan abdomen didapatkan hasil tidak ada jejas atau luka,
bentuk atar dan umbilikus bersih pada saat di inspeksi, pada saat di
auskultasi bising usus terdengar 20 kali permenit, perkusi bunyi tympani
di kuadaran 3, dan tidak ada nyeri tekan pada saat di palpasi.
Pada pemeriksaan genetalia, bersih dan tidak terpasang kateter.
Pada saat pemeriksaan ekstermitas atas dan kanan dan kiri maupun
melawan gravitasi, kekuatan otot penuh, capillary refille kurang dari 2
detik dan pada saat ekstermitas bawah kanan dan kiri maupun melawan
gravitasi, kekuatan otot penuh, capillary refille kurang dari 2 detik.
Riwayat penyakit keluarga, pasien merupakan anak ke dua dari tiga
bersaudara.
Genogram :
Keterangan
= Laki-Laki
= Perempuan
= Meninggal
40
= Pasien
= Tinggal Satu Rumah
= Garis Keturunan
Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 12 Januari 2016 di
dapatkan hasil hemoglobin 14,2 g/dl normal (14-18), hematokrit 42,8%
normal (3800-4700) leukosit 13,26 ribu/uL normal (4,5-11), trombosit 259
ribu/uL normal (150-450), eritrosit 4,64 ribu/uL normal (4-5), SGOT 118
u/L normal (<31), SGPT 84 u/L normal (<32), creatinin 0,9 mg/dl normal
(0,6-1,1), ureum 39 mg/dl normal (10-50), Gula Darah Sewaktu GDS 149
mg/dal normal (80-144).
Pemeriksaan Thorak AP pada tanggal 12 Januari 2016 hasil Cor:CTR < 50 %. Pulmo corakan bronchovaskuler dengan batas normal, tidak
tampak bercak-bercak kesuraman di pulmo dextra et sinistra, tidak tampak
massa pada paru dextra et sinistra, tidak tampak pleura line dihemi thorax
dextra et sinistra, tidak tampak gambaran multiple coms lesions di pulmo
dextra et sinistra, sinus castro frenicus dextra et sinistra lancip, sinus
cardiofrenicus dextra et sinistra tumpul, tidak tampak diskontinuitas
dinding thorax.
Kesan yang didapat dari pemeriksaan, yaitu: Cor dalam batas
normal, pulmo aspek normal, tidak tampak tulang-tulang dinding thorax.
Program terapi yang didapatkan klien, infus RL 20 tpm yaitu golongan
cairan elektrolit dengan indikasi menmbahkan cairan tubuh atau dehidrasi
41
isotonik
dengan
asidosis
akibat
kehilangan
bikarbonat,
injeksi
ondansentron 1 X 4mg yaitu golongan saluran cerna dengan indikasi obat
untuk mual dan muntah, injeksi citicoline 2 X 500mg yaitu golongan
vasodilator dengan indikasi obat untuk memperbaiki hilangnya kesadaran
atau trauma kepala, injeksi ketorolac 3 X 30mg yaitu golongan analgetik
dan narkotik dengan indikasi obat untuk nyeri akut derajat berat sampai
sedang, injeksi ranitidine 25 mg yaitu golongan anasida dengan indikasi
obat jangka pendek tukak duodenum aktif.
C. Perumusaan Masalah Keperawatan
Setelah dilakukan analisa terhadap data pengkajian diperoleh data
subyektif pasien mengatakan dada terasa sakit, sesak dan sulit bernafas.
Data obyektif pasien terlihat sesak nafas, terlihat ekspirasi memanjang, RR
28 kali / menit , SPO2 95 %. Berdasarkan analisa data menunjukkan data
bahwa ketidakefektifan pola nafas adalah masalah utama, sehingga dapat
ditegakkan
diagnosa
keperawatan
sesuai
batasan
karakteristik
ketidakefektifan pola nafas menurut NANDA tahun 2012-2014 yaitu
penuruna
tekanan
memanjang,
ekspirasi,
pernafasaan
penurunan
bibir.
ventilasi,
Diagnose
fase
ekspirasi
keperawatan
yaitu
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan.
Setelah dilakukan analisa terhadap data pengkajian diperoleh data
subyektif antara lain pasien mengatakan nyeri saat bergerak dan saat luka
tergesek, nyeri seperti trsayat atau perih, nyeri pada area dahi dekat
42
pelipis, leher, kepala, dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah
kiri, skala nyeri 7, nyeri terus menerus. Data obyektif pasien terlihat
merintih kesakitan, Diameter luka area pelipis panjang ± 3cm, lebar ± 0,5
cm, kedalaman ± 0,2 cm, area kepala panjang luka ± 4 cm, lebar ± 2 cm,
kedalaman ± 0,1 cm, area luka pada leher panjang ± 2 cm, lebar ± 0,1 cm,
kedalaman ± 0,1 cm. Berdasarkan analisa data menunjukkan data bahwa
nyeri akut merupakan prioritas masalah ke dua, sehingga dapat di tegakkan
diagnosa keperawatan sesuai batasan karakteristik nyeri akut menurut
NANDA tahun 2012-2014 yaitu perubahan tekanan darah, perubahan
frekuensi jantung, perubahan frekuensi pernafasan, dan meningkatnya
tekanan intra kranial. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri dan
stabilitas
hemodinamik.
Diagnosa
keperawatan
yaitu
nyeri
akut
berhubungan dengan agen cedera fisik, ada luka jahitan dan peningkatan
tekanan darah.
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot
pernafasan
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik
E. Perencanaan keperawatan
Perencanaan dari masalah keperawatan pada tanggal 12 Januari
2016 penulis menyusun suatu intervensi sebagai tindak lanjut pelaksanaan
43
asuhan keperawatan ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
keletihan otot pernafasan dengan tujuan dan kriteria hasil setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 30 menit diharapkan pola nafas
efektif, normal 16 sampai 24 kali permenit, Glasgow coma scale GCS
normal 15 E5M6V5.
Intervensi yang dilakukan yaitu posisikan pasien posisi semi fowler
membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya
pernafasan, memberikan terapi O2 sesuai indikasi dokter untuk
memaksimalkan O2 pada darah arteri dan membantu dalam mencegah
hipoksia,
Perencanaan dari masalah keperawatan tanggal 12 Januari 2016
penulis menyusun suatu intervensi sebagai tindak lanjut pelaksanaan
asuhan keperawatan Tn.E dengan diagnosa nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik dengan tujuan dan kriteria hasil setelah dilakukan
tindakkan keperawatan selama 1 X 8 jam nyeri berkurang menjadi 3,
ekspresi wajah rileks, tekanan darah normal 130/80 mmHg, frekuensi nadi
menjadi 80 sampai 100 kali permenit, frekuensi pernafasan menjadi 16
sampai 24 kali permenit, suhu menjadi 36,5 sampai 37 derajat celcius,
MAP kurang dari 140, Glasgow coma scale GCS 15 E4M6V5.
Intervensi yang di lakukan yaitu posisikan pasien supine atau
telentang dan posisi semi fowler setiap 2 jam secara bergantian untuk
memberikan kenyamanan pada pasien dan mengurangi peningkatan
tekanan intra kranial, ajarkan relaksasi nafas dalam untuk mengurangi
44
nyeri, kolaborasi pemberian obat dengan dokter infuse RL 20 tpm, injeksi
ondansentron 1x4 mg, injeksi citicoline 2x50 mg, injeksi ketorolac
3x30mg, injeksi ranitidine 25 mg, untuk memberikan terapi yang tepat
kepada pasien dan mempercepat proses penyembuhan.
F. Implementasi
Tindakan keperawatan dilakukan untuk mengatasi masalah
keperawatan utama berdasarkan rencana tindakan tersebut maka dilakukan
tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 sebagai tindak lanjut
pelaksanaan asuhan keperawatan pada Tn.E di diagnosa keperawatan
ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan
dan
nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik dilakukan
implementasi yaitu pengkajian pada pasien kelolaan, jam 10.00
memberikan posisi semi fowler. Respon subyektif : pasien mengatakan
bersedia. Respon obyektif : pasien dengan posisi semi fowler. Pukul 10.15
memantau TD, nadi, suhu, pernafasan, MAP, GCS. Respon subyektif :
pasien mengatakan bersedia di ukur tanda-tanda vital. Respon obyektif :
TD : 185/100 mmHg, nadi 105 kali permenit, pernafasan 28 kali permenit,
MAP 128 mmHg, suhu 37 derajat celcius, SPO2 95%, GCS 15 E4M6V5.
Pukul 10.20 mengajarkan tehnik relaksasi nafas dalam. Respon subyektif :
pasien mengatakan bersedia. Respon obyektif: pasien tampak kooperatif
melakukan tehnik relaksasi nafas dalam. Pukul 10.35 pemberian terapi
oksigen nasal kanul. Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia dan
45
mengatakan dada tersa sakit dan sesak untuk bernafas. Respon obyektif:
pasien terpasang oksigen dengan nasal kanul 3 liter/ menit. Pukul 12.00
memberikan posisi semi fowler. Respon subyektif: pasien mengtakan
bersedia. Respon obyektif: pasien tidur dengan posisi semi fowler. Pukul
12.25 memntau TD, nadi, suhu, pernafasan, GCS, MAP. Respon
subyektif: pasien mengatakan bersedia di ukut tanda-tanda vital. Respon
obyektif: TD 180/100 mmHg. Nadi 100 kali permenit, pernafasan 27 kali
permenit, MAP 126 mmHg, GCS 15 E4M6V5, SPO2 96%. Pukul 13.00
pemberian terapi injeksi ondansentron 1x4 mg, injeksi citicoline 2x50 mg,
injeksi ketorolac 3x30 mg, injeksi ranitidine 25 mg. Respon subyektif:
pasien mengatakan bersedia di berikan suntikan Intra vena melalui selang
infuse. Respon obyektif: obat masuk melalui selang infuse. Pukul 14.05
memberikan posisi semi fowler. Respon subyektif: pasien mengatakan
bersedia di posisikan semi fowler. Respon obyektif: pasien dengan posisi
semi fowler. Pukul 14.25 memntau TD, nadi, suhu, pernafasan SPO2,
GCS, MAP. Respon subyektif; pasien mengtakan bersedia di ukur
tanda-tanda vital. Respon obyektif: TD 170/ 90 mmHg, nadi 96 kali
permenit, pernafasan 27 kali permenit, suhu 36,5 derajat celcius, SPO2
98%, MAP 116 mmHg, GCS 15 E4M6V5. Pukul 16.00 memberikan
posisi semi fowler. Respon subyektif: pasien mengatakan bersedia. Respon
obyektif: pasien tampak posisi semi fowler dan tampak rileks. Pukul 16:15
memantau tanda-tanda vital. Respon subyektif: pasien mengtakan
bersedia. Respon obyektif : TD 165/90 mmHg, nadi 90 kali permenit,
46
pernafasan 26 kali permenit, SPO2 98%, suhu 36,5 derajat celcius, MAP
115 mmHg, GCS 15 E4M6V5.
G. Evaluasi
Evaluasi di lakukan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 16.20
untuk diagnose pertama ketidak efektifan pola nafas berhubungan
keletihan otot pernafasan pasien mengatakan sesak sudah berkurang,
pasien tampak rileks pernafasan 26 kali permenit, SPO2 98%, tingkat
kesadran normal. Masalah teratasi sebagian, intervensi di lanjutkan
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat.
Untuk diagnose kedua nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik pasien mengatakan nyeri saat bergerak dan saat luka tergesek, nyeri
seperti tersayat-sayat atau perih, nyeri pada area dahi dekat pelipis,
leher,dan kepala, dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri,
skala nyeri menjadi 4, nyeri hilang timbul, pasien tampak sedikit rileks
dengan tekanan darah 165/90 mmHg. Frekuensi nadai 90 kali permenit,
frekuensi pernafasan 26 kali permenit, suhu 36,5 derajat celcius, GCS 15
E4M6V5, MAP 15
mmHg, masalah teratasi sebagian skala nyeri
berkurang, pasien tampak rileks, lanjutkan intervensi berikan posisi semi
fowler.
BAB V
PEMBAHASAN
A. Pengkajian
Pengkajian adalah proses pengumpulan data relevan yang kontinue
tentang respon manusia, kekuatan, dan masalah klien (Dermawan,
2012). Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis
yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional pada
saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respon
klien saat ini dan waktu sebelumnya (Andamoyo,2013).
Pengkajian yang dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul
08.30 WIB. Pengkajian yang dilakukan penulis pada kasus ini
merupakan pengkajian Autoanamnesa dan Alloanmnesa. Pengkajian
Autoanamnesa adalah sumber informasi didapatkan dari klien sendiri
dan pengkajian Alloanamnesa juga dilakukan penulis karena informasi
yang didapatkan melalui keluarga dan petugas kesehatan lainnya,
dimulai dari biodata pasien, riwayat kesehatan, pengkajian fisik, dan
didukung dengan hasil laboratorium dan hasil pemeriksaan penunjang.
Metode dalam pegumpulan data adalah observasi yaitu, dengan
mngamati perilaku dan keadaan pasien untuk memperoleh data dasar
tersebut digunakan untuk menentukan diangnosa keperawatan guna
mengatasi masalah-masalah pasien (Rendy, 2012).
47
48
Untuk pasien di IGD dikaji menggunakan pengkajian primer dan
pengkajian sekunder. Pengkajian primary survey ABCD pada pasien
dalam kondisi gawat darurat sangat diperlukan untuk memutuskan
prioritas tindakan terutama pada pasien cedera kepala yang pada
umumnya mengalami penurunan kesadaran yang dapat berpengaruh
pada kepatenan jalan nafas akibat lidah jatuh gangguan sirkulasi, status
kesadaran yang dilakukan dalam hitungan menit sejak pasien datang di
instalasi Gawat Darurat (Kartikawati,2011).
Pengkajian primer survey ABCD pasien adalah pengkajian Airway
(A) pengkajian terkait kepatenan jalan nafas, observasi adanya lidah
jatuh, adanya benda asing pada jalan nafas (bekas muntah, darah, secret
yang tertahan), adanya edema dalam mulut, faring, laring, disfasgia,
suara stridor, gurgling atau wheezing yang menandakan adanya
masalah pada jalan nafas. Breathing (B) pengkajian keefektifan pola
nafas, Respiratory Rate, abnormalitas pernafasan, pola nafas, bunyi
nafas tambahan, penggunaan otot bantu nafas, adanya nafas cuping
hidung, saturasi oksigen. Circulation (C) pengkajian
heart
rate,
tekanan darah, kekuatan nadi, capillary refill, akral, suhu tubuh, warna
kulit, kelembaban kulit, kelembaban kulit, pendarahan ekternal jika ada.
Disability (D) pengkajian kesadaran (GCS), ukuran dan reaksi pupil
(Dermawan, 2012).
Hasil pengkajian Tn.E umur 24 tahun dirawat di IGD post
kecelakaan lalu lintas, dan diagnosa CKR. Berdasarkan laporan World
49
Helth Organization (WHO), setiap tahunnya sekitar 1,2 juta orang
meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dan jutaan lainnya terluka atau
cacat. Di Amerika Serikat dilaporkan kejadian cedera kepala 200 per
100.000 penduduk per tahun (Damanik, 2011).
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan (accelerasi-decelerasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan (Rendy, 2012). Penyebab cedera kepala menurut
(Wijaya & Putri, 2013) meliputi kecelakaan lalu lintas, jatuh, pukulan,
kejatuhan benda, cedera lahir, dan luka tembak.
Hasil pengkajian Primery Survey ABCD menunjukkan Airway (A)
jalan nafas paten. Breathing (B) pasien mengatakan dada terasa sesak
atau sakit, sulit bernafas, terlihat ekspirasi memanjang, pernafasan 28
kali/menit adanya ketidakefektifan pola nafas, SPO2 90%. Circulation
(C) nadi 105 x/menit, tekanan darah 185/100 mmHg, Mean Arteri
Pressur (MAP) 128 mmHg, suhu 37 derajat celcius, capillary refill
kurang dari 2 detik, akral hangar, kulit sawo matang. Disability (D)
kesadaran pasien didapatkan respon mata 4, respon motorik 6, respon
verbal 5 didaptkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) adalah 15
E4M6V5.
50
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk
menetukan atau menilai tingkat kesadaran pasien mulai sadar
sepenuhnya sampai keadaan koma. Berdasarkan keparahan cedera
kepala meliputi Cedera kepala ringan (CKR) Glasgow coma scale
(GCS) 13-15 dapat terjadi kehilangan kesadaran tapi kurang dari 30
menit, Cedera kepala sedang (CKS) Glasgow coma scale (GCS) 9-12
kehilangan kesadaran (amnesia) lebih dari 30 menit tapi kurang dari 24
jam , Cedera kepala berat (CKB) Glasgow coma scale (GCS) 3–8
hilang kesadaran lebih dari 24 jam (Wijaya & Putri, 2013). Pada Tn.E
nilai Glasgow coma scale (GCS) 15 E4M5V6 jadi Tn.E masuk dalam
kategori pasien cedera kepala ringan (CKR).
Pada pasien cedera kepala biasanya mengalami tanda seperti
perubahan tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan, suhu
tubuh, Glasgow Coma Scale (GCS), Mean Arteri Pressure (MAP),
nyeri kepala, mual dan muntah (Wijaya & Putri, 2013). Sedangkan pada
Tn.E dengan cerdera kepala ringan, saat dilakukan pengkajian
didapatkan data pasien mengatakan pasien mengatakan nyeri saat
bergerak dan saat luka tergesek, nyeri seperti tersayat atau perih, nyeri
pada area dahi dekat pelipis, leher, dan kepala, terdapat luka lecet pada
tangan dan kaki sebelah kiri, tengkuk terasa sakit, pusing, dada terasa
sakit dan sesak, nyeri terus-menerus.
Dalam
pengkajian
Sekunder
berupa
keadaan
umum
atau
penampilan umum pasien, dan History (SAMPLE). Keadaan umum
51
pasien berupa perubahan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
respirasi, saturasi oksigen, dan (MAP) Mean Arteri Pressure). Tekanan
darah yang mengalami hipotensis dapat memperburuk keadaan cedera
kepala. Perfusi otak yang kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel
otak secara menyeluruh. Jika hal ini terjadi, maka otak akan mengalami
swelling (pembengkakan secara menyeluruh), dengan hasil peningkatan
tekanan intrakranial. Nadi bradikardi dapat ditemukan pada cedera
kepala yang disertai dengan cedera spinal, atau dapat juga dijumpai
pada tahap akhir dari peningkatan tekanan intracranial (Japardi, 2010).
Takikardi sebagai respon autonom terhadap kerusakan hipotalamus
juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan tekanan
intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat darah dalam lessi
fossa posterior. Pernafasan pola dan frekwensi pernafasan dapat
memberikan gambaran tentang keadaan intrakranial. Jika frekwensi
nafasnya cepat (>28 kali permenit) dan tidak teratur, merupakan kadaan
emergensi yang harus segera dilaporkan kepada dokter. Tidak
selamanya keadaan ini disebabkan oleh masalah dalam paru-paru.
Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera dinaikkan jumlah oksigen
yang diberikan (Japardi, 2010).
Suhu pada cedera kepala biasanya akan terjadi gangguan
pengaturan suhu tubuh karena kerusakan pusat pengaturan suhu di
hipotalamus. Metabolisme meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat
peningkatan suhu tubuh. Hal ini sangat berdampak buruk tehadap
52
pasien tersebut yang memang sudah mengalami gangguan suplai
oksigen dan glukosa. Salah satu hasil metabolisme tubuh adalah CO2
yang merupakan vasodilator dan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial (Japardi, 2010).
MAP (Mean Arteri Pressure) pengukuran darah arteri , didapatkan
dari dua hasi (Sistolik dan Diastolik) maka perlu mencari tekanan arteri
yang sebenarnya. Tekanan arteri rata-rata bias di dapatkan dengan
rumus. MAP (Mean Arteri Pressure) = (S+2D)/3 jadi perhitungannya,
nilai MAP (Mean Arteri Pressure) rata-rata <140 mmHg. Hal ini
penting diketahui oleh dokter dan perawat, karena tekanan darah arteri
mengambarkan kondisi tekanan darah yang ada pada darah saat keluar
dari jantung. Tekanan darah yang rendah mengakibatkan suplai darah
kurang ke jaringan, sehingga oksigen dan sari-sari makanan tidak
tersampaikan dan akhirnya dapat terjadi penurunan metabolisme tubuh.
Kondisi ini yang dinamakan hipoksia (Japardi, 2010).
Hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital
Tn.E
saat
dilakukan
pengkajian tekanan darah 185/100 mmHg, nadi 105 x/menit, Mean
Arteri Pressure (MAP) 128 mmHg, Glasgow Coma Scale (GCS) 15
E4M6V5, pernafasan 28x/menit, suhu 37 derajat celcius. Pengkajian
History SAMPLE meliputi Subyektif (keluhan utama yang di rasakan
pasien), Alergi (adakah alergi terhadap makanan atau obat obatan
tertentu), Medikasi
(penggunaan obat yang sedang atau pernah di
konsumsi), Past Medical History (riwayat penyakit sebelumnya yang
53
brthubungan dengan sekarang), Last Meal (berisi hasil pengkajian
makan atau minum terakhir yang dikonsumsi oleh pasien sebelum
datang ke IGD atau kejadian), event leading (berisi kronologi kejadian,
lamanya gejala yang di rasakan, penanganan yang yang telah dilakukan,
gejala lain yang dirasakan, lokasi nyeri atau keluhan lain yang di
rasakan)
Hasil pemeriksaan History (SAMPLE) pada Tn.E didaptkan hasil
subyektif P: Pasien mengatakan nyeri saat bergerak dan saat luka tergesek,
Q: nyeri seperti tersayat atau perih, R: nyeri pada area dahi dekat pelipis,
leher, kepala dan terdapat luka lecet pada tangan, kaki sebelah kiri,
tengkuk terasa sakit pusing, dada terasa sakit dan sesak, S: skala nyeri 7,
T: nyeri terus menerus. Alergi keluarga pasien mengatakan tidak ada alergi
makanan atau obat. Medikasi keluarga mengatakan tidak mengkonsumsi
obat-obatan. Riwayat penyakit sebelumnya keluarga pasien mengatakan
dulu pasien pernah di rawat di Rumah Sakit kota Salatiga dengan riwayat
DB (Demam Berdarah). Last Meal pasien mengatakan sebelum jatuh dari
sepeda motor pasien makan nasi sayur dan minum es teh. Event leading
pasien datang ke IGD RSUD Salatiga
dibawa oleh teman kerjannya
karena terjatuh dari sepeda motor, terdapat cedera pada area dahi dekat
pelipis, leher, kepala, dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah
kiri. Diameter luka area pelipis panjang ± 3cm, lebar ± 0,5 cm, kedalaman
± 0,2 cm, area kepala panjang luka ± 4 cm, lebar ± 2 cm, kedalaman ± 0,1
54
cm, area luka pada leher panjang ± 2 cm, lebar ± 0,1 cm, kedalaman ± 0,1
cm.
Keluhan utama pada Tn.E dengan cedera kepala ringan adalah rasa
nyeri. Pada pengkajian nyeri didapatkan bahwa Provoking/Palliative nyeri
pada area dahi dekat pelipis karena benturan saat kecelakaan. Quality
seperti tersayat sayat atau perih. Region pada area dahi dekat pelipis, leher,
kepala, terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri Scale nyeri 7,
Time nyeri terus menerus.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial. nyeri sangat menganggu dan menyulitkan dibandingkan suatu
penyakit manapun (Brunner & Suddart, 2002). Nyeri adalah perasaan
yang tidak nyaman dan sangat subyektif dan hanya orang yang
mengalaminya yang dapat menjelaskan perasaan tersebut (Mubarak,
2008).
Pengkajian
nyeri
yang digunakan
penulis
adalah
dengan
pendekatan PQRST. Dimana P: Provoking/Palliative adalah merupakan
penyebab nyeri dan upaya untuk mengurangi nyeri yang telah dilakukan
pasien. Q: Quality merupakan karakter nyeri yang seperti apa yang
dirasakan oleh pasien misal seperti ditusuk, tersayat, terkena api,
tertindih benda berat. R: Region adalah daerah yang terjadi nyeri. S:
Scale merupakan tingkat keparahan nyeri. T: Time adalah waktu dan
55
penyebab nyeri ketika nyeri itu muncul dan berapa durasi nyeri yang
dialami oleh pasien (Kartikawati, 2011).
Pasien dengan cedera kepala selain mengeluh nyeri, pasien juga
mengeluh mual dan muntah. Hal ini diakibatkan karena adanya tekanan
intracranial yang sebelumnya pernah terjadi benturan sehingga
mendorong saraf yang mengakibatkan pasien menjadi penurunan
kesadaran sementara dan setelah sadar pasien muntah proyektil yang
kemudian menjadi pasien gelisah atau ansietas (Padila,2012).
Keluhan lain yang dirasakan oleh Tn.E adalah sesak nafas. Dalam
pengkajian pasien mengatakan sesak nafas dengan data obyektif tingkat
respirasi 28 kali /menit dengan saturasi oksigen 95%, serta tampak
penggunaan otot bantu pernafasan, pasien tampak gelisah dan khawatir.
Terjadinya sesak nafas pada pasien cedera kepala ringan adalah akibat
adanya peningkatan tekanan intrakranialyang menyebabkan sistem
pernafasan yang membawa O2 dari alveoli menjadi difusi yang masuk
kedalam darah dan menembus membran alveoli kapiler. Oksigen yang
diberikan dengan hemoglobin menjadi semakin kecil sehingga larut
dalam plasma darah. Gangguan oksigenasi dalam darah (hioksemia)
yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya kadar oksigen
dalam jaringan (hipoksia) (Padila, 2012).
56
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase analis
atau sintesis data dasar menjadi pola yang bemakna dan menuliskan
pernyataan
diagnosa
keperawatan
(Dermawan,
2012).
Setelah
melakukan analisis atau sintesis dan muncul diagnosa keperawatan,
maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa keperawatan menurut
kebutuhan dasar manusia. Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang
harus dipenuhi. Pada pasien dengan cedera kepala ringan diagnosa yang
sering muncul adalah ketidakefektifan pola nafas dan nyeri akut.
Berdasarkan diagnosa keperawatan Nanda NIC-NOC (2012-2014)
untuk menegakkan diangnosa keperawatan ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan keletihan otot pernafasan. Ketidakefektifan pola
nafas merupakan inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi
ventilasi
yang
adekuat
(Nanda,
2014).
Batasan
karakteristik
ketidakefektifan pola nafas yaitu perubahan kedalaman pernafasan,
perubahan ekskrursi dada, mengambil tiga titik, bradipnea, perubahan
tekanan ekspirasi, perubahan tekanan inspirasi, perubahan ventilasi
semenit, perubahan kapasitas vital, dispnea, pernafasan cuping hidung,
(Nanda, 2014).
Berdasarakan data yang diperoleh pada saat pengkajian didapatkan
bahwa pasien mengatakan sesak nafas dengan data obyektif tingkat
respirasi 28 kali/menit saturasi oksigen 95% serta tampak menggunakan
otot bantu pernafasan, pasien tampak gelisah, khawatir. Masalah
57
keperawatan
yang
utama
adalah
ketidakefektifan
pola
nafas
berhubungan dengan keletihan otot pernafasan. Terjadinya sesak nafas
pada pasien cedera kepala ringan adalah akibat peningkatan tekanan
intrakranial yang menyebabkan sistem pernafasan yang membawa O2
dari alveoli menjadi difusi yang masuk ke dalam darah dan menembus
membran alveolokapiler. Oksigen yang berikatan dengan hemoglobin
menjadi semakin kecil sehingga larut dalam plasma. Gangguan
oksigenasi atau pernafasan disebabkan karena berkurangnya kadar
oksigen dalam darah (hipoksemia)yang selanjutnya akan menyebabkan
berkurangnya kadar oksigen dalam jaringan (hipoksia) sehingga untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh pasien berupaya dan
menggunakan otot bantu pernafasan untuk mencapai oksigenasi, pasien
merasakan khawatir yang berlebihan akibat berkurangnya asupan
oksigen dalam tubuh (Padila, 2012).
Penulis mendapatkan data yang kedua yaitu Tn.E mengalami nyeri
akut berhubungan dengan agen cedera fisi. Nyeri pada area dahi dekat
pelipis, leher, dan kepala karena terjatuh dari sepeda motor. Data
obyektif yang kedua didaptkan penulis saat pengkajian yaitu pasien
meringis kesakitan dengan tekanan darah 185/100 mmHg, nadi 105
x/menit, Mean Arteri Pressure (MAP) 128 mmHg, Glasgow Coma
Scale (GCS) 15 E4M6V5, pernafasan 28x/menit, suhu 37 derajat
celcius, saturasi oksigen 95%.
58
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial. nyeri sangat menganggu dan menyulitkan dibandingkan suatu
penyakit manapun (Brunner & Suddart, 2002). Nyeri adalah perasaan
yang tidak nyaman dan sangat subyektif dan hanya orang yang
mengalaminya yang dapat menjelaskan perasaan tersebut (Mubarak,
2008). Pada mekanisme nyeri yang dialami pasien cedera kepala ringan,
rangsangan nyeri dihantarkan melalui serabut saraf kecil. Rangsangan
pada serabut saraf kecil tersebut dapat menghambat substansi gelatinosa
sehingga membuat mekanisme yang mengaktivitaskan sel T yang
selanjutnya menghantarkan rangsangan nyeri (Lyndon, 2013). Batasan
karakteristik nyeri akut yaitu perubahan selera makan, perubahan
tekana darah, perubahan frewkuensi nadi, perubahan frewkuensi
pernafasan,
perilaku
distraksi
atau
berjalan
momdar-mandir,
megekspresikan perilaku, atau gelisah, menangis, perilaku berjaga-jaga
melindungi area nyeri, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap
tubuh melindungi area nyeri, melaporkan nyeri secara verbal (Mubarak,
2008)
Pengkajian
nyeri
yang digunakan
penulis
adalah
dengan
pendekatan PQRST. Dimana P: Provoking/Palliative adalah merupakan
penyebab nyeri dan upaya untuk mengurangi nyeri yang telah dilakukan
pasien. Q: Quality merupakan karakter nyeri yang seperti apa yang
dirasakan oleh pasien misal seperti ditusuk, tersayat, terkena api,
59
tertindih benda berat. R: Region adalah daerah yang terjadi nyeri. S:
Scale merupakan tingkat keparahan nyeri. T: Time adalah waktu dan
penyebab nyeriketika nyeri itu muncul dan berapa durasi nyeri yang
dialami oleh pasien (Kartikawati, 2011).
Maka dapat dilihat dari hasil pengkajian pada Tn.E nyeri yaitu
Provoking/Palliative nyeri pada luka dahi dekat pelipis, leher, kepala
karena terjatuh dari sepeda motor. Quality nyeri seperti tersayat atau
perih. Region nyeri pada area dahi dekat pelipis, leher, dan terdapat luka
lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri, tengkuk terasa sakit. Scale nyeri
7, Time nyeri terus menerus.
C. Intervensi
Intervensi adalah merupakan rencana tindakan yang utama dalam
keputusan awal yang akan dilakukan yang menyangkut siapa, kapan,
dan bagaimana untuk melakukan tindakan keperawatan (Dermawan,
2012). Dalam pengambilan keputusan pemecahan masalah keperawatan
hendaknya sesuai dengan NIC (Nursing Intervensions Clasificaton)
dan NOC (Nursing Outcomes Clasifications) sehingga tindakan yang
dilakukan dapat
sesuai
dengan jelas
(spesific), dapat
diukur
(measurebel), acceptance, rasional, dan timming (Perry & Potter,
2005). Australasian College for Emergency Medicine (ACEM) pada
tahun 1993 menformulasikan skala triage menjadi 5 kategori yaitu
resuscitation 10 menit (merah), emergency 10 menit (orange), urgent
60
30 menit (hijau), semi urgent 60 menit (biru), non urgent 120 menit
(putih).
Prioritas masalah keperawatan yang utama adalah ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernafasan pada Tn E,
maka penulis membahas rencana dan tujuan kriteria hasil yang mana
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X 10 menit, pasien
menunjukkan pola nafas yang efektif, menunjukkan tidak adanya
gangguan status pernafasan, tidak menggunakan otot bantu pernafasan,
serta menunjukkan adanya kepatenan jalan nafas
Intervensi atau rencana keperawatan yang dilakukan yaitu fasilitasi
kepatenan jalan nafas dan pantau tingkat pernafasan, rasionalnya agar
pasien dapat bernafas dengan nyaman dan transportasi oksigen
keseluruh tubuh dapat lancar. Berikan terapi O2 melalui nasal kanul 3-4
liter/menit. Posisikan pasien semi fowler 30 derajat,dan konsultasi
dengan dokter untuk memastikan kepatenan jalan nafas, rasionalnya
agar paru-paru dapat mengembang dengan maksimal. Posisi semi
fowler (setengah duduk) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan
dada lebih tinggi dari pada posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi
fowler kepala dan dada dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat
sedangkan pada posisi higt fowler, posisi kepala dan dada dinaikkan 4580 derajat. Tujuan posisi ini digunakan untuk pasien yang mengalami
masalah pernafasan dan pasien dengan gangguan jantung. Posisi ini
untuk
mempertahankan
kenyamanan
dan
menfasilitasi
fungsi
61
pernafasan membuat oksigen didalam paru-paru semakin meningkat
sehingga memperingan kesukaran napas dan menurunkan tekanan darah
(Potter & Perry, 2006).
Standart Oprasional prosedur mengatur dalam memberikan posisi
klien menurut Potter & Perry (2006) yaitu, pemberian posisi pasien di
tempat tidur
memerlukan persiapan terlebih dahulu. Perawat perlu
mengkaji kesejajaran tubuh dan tingkat kenyamanan, perawat harus
menyiapkan alat bahan (bantal, papan kaki, pagar tempat tidur),
menginformasikan tindakan kepada pasien dan memberikan privasi
pada pasien. Tujuan untuk mempertahankan kenyamanan dan
menfasilitasi fungsi pernafasan. Melakukan persiapan seperti yang telah
disebutkan diatas, tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat,
topangkan kepala diatas tempat tidur atau menggunakan bantal,
gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan bila pasien tidak
dapat mengontrolnya secara sadar atau tidak dapat menggunakan tangan
dan lengan, tempakan bantal tipis di punggung bawah, tempatkan bantal
kecil atau gulungan handuk dibawah paha, tempatkan bantal kecil atau
gulungan handuk di pergelangan kaki, tempatkan bantal atau papan kaki
didasar telapak kaki, turunkan tempat tidur, observasi posisi kesejajaran
tubuh, tingkat kenyamanan, dan titik potensi tekan, cuci tangan setelah
prosedur dilakukan.
Masalah keperawatan yang kedua adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik, maka penulis akan membahas rencan dan
62
tujuan kriteria hasil yang mana setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1X 8 jam, pasien tidak merasakan nyeri atau skala nyeri
berkurang, pasien melaporkan bahwa dapat beristirahat dengan baik dan
efektif.
Intervensi atau rencana keperawatan yang kedua yaitu kaji pola
nyeri, dengan PQRST dan observasi tanda-tanda vital vital rasionalnya
untuk mengetahui tingkat nyeri pasien dan keadaan umum pasien.
Ajarkan relaksasi nafas dalam kemudian posisikan semi fowler 30
derajat. Posisi pasien memiliki efek mendalam pada stabilitas
hemodinaik pasien cedera kepala. Beberapa peneliti berpendapat bahwa
pasien dengan cedera kepala harus di tempatkan pada posisi semi
fowler, membuktikan tekanan darah sistolik kembali ke kisaran normal,
tekanan nadi menurun menjadi normal, tingkat kesadaran pasien
meningkat diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) (Mir, 2015).
Posisi ini untuk pempertahankan kenyamanan dan menfasilitasi
pernafasan dan penurunan tekanan darah (Potter & Perry, 2006).
D. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan untuk
pasien yang bertujuan agar masalah keperawatan pada pasien dapat
teratasi.
Dengan
masalah
keperawatan
yang
utama
adalah
ketidakefektifan pola nafas dan pada saat pasien datang pasien
menunjukkan tingkt respirasi rspirasi 28 x/menit dengan saturasi
63
oksigen 95% serta tampak adanya otot bantu pernafasan. Maka tindakan
keperawatan yang pertama dilakukan penulis adalah menfasilitasi
kepatenan jalan nafas dengan cara memberikan oksigen tambahan
melalui selang nasal kanul karena berkurangnya kadar oksigen dalam
darah (hipoksemia) yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya
kadar oksigen dalam jaringan (hipoksia) bahkan dapat menyebabkan
kematian jaringan pada otak (Padila, 2012).
Tindakan keperawatan yang kedua yang dilakukan penulis adalah
mekaji pola nyeri dengan PQRST didaptkan hasil provoking/palliative
bahwa nyeri yang dirasakn pasien karena benturan kecelakaan, quality
tersayat atau perih, region di area dahi dekat pelipis leher dn kepala,
scale nyer 7, time terus menerus nyeri tibul jika bergerak atau tergesek.
Data obyektif didapatkan pasien meringis menahan sakit, GCS
(Glasgow coma scale) 15 dengan E4M6V5, tekanan darah 185/100
mmHg, nadi 105X/menit, suhu 37 derajat celcius, pernafasan
28X/menit, MAP (mean arteri pressure) 128 mmHg. Dengan
pendekatan PQRST maka pasien dapat mengutarakan keluhan nyeri
yang dirasakan pasien.
Tindakan keperawatan yang ketiga dilakukan pemantauan tandatanda vital. Di dapatkan hasil tekanan darah 185/100 mmHg, nadi
105X/menit, suhu 37 derajat celcius, pernafasan 28X/menit, MAP
(mean arteri pressure) 128 mmHg, pernafasan 28X/menit, saturasi
oksigen 95%. Dalam stabilitas hemodinamik tanda vital sangat penting
64
untuk observasi pasien cedera kepala karena dapat memberikan
informasi
mengenai
keadaan
tekanan
intrakranial.
Perubahan
intrakranial meliputi tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu, mean arteri
pressure (MAP) (Japardi, 2010).
Kemudian penulis memposisikan
pasien pada posisi yang nyaman agar ekspansi paru dapat mengembang
secara maksimal, yaitu dengan posisi semi fowler 30 derajat menaikan
penyangga pada bed pasien.
Setelah mengetahui gambaran nyeri pada pasien maka tindakan
keperawatan yang keempat adalah penulis mengajarkan tehnik relaksasi
nafas dalam kepada pasien. Pada saat pasien mampu mengikuti aba-aba
dan saat dilakukan relaksasi pasien tampak lebih tenang serta nyaman.
Maka penulis melanjutkan tindakan dengan memberikan posisi semi
fowler 30 derajat mempunyai mekanisme yang efektif dalam
menurunkan intensitas nyeri. Dimana posisi semi fowler ini memiliki
efek mendalam pada stability hemodinamik pada pasien cedera kepala
(Mir, 2015). Hemodinamik adalah aliran darah dalam sistem peredaran
tubuh kita baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun
sirkulasi parva (sirkulasi dalam paru-paru).
Hemodinamik monitoring adalah pemantauan dari hemodinamik
status.
Pentingnya
pemantauan
terus
menerus
terhadap
status
hemodinamik, respirasi, dan tanda-tanda vital lain akan menjamin early
detection bisa dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mecegah pasien
jatuh kepada kondisi lebih parah. Hemodinamik status adalah indeks
65
dari tekanan dan kecepatan aliran darah dalam paru dan sirkulasi
sistemik. Pasien dengan gagal jantung, overload cairan, shock,
hipertensi pulmonal dan banyak kasus lain adalah pasien dengan
masalah perubahan status hemodinamik (Crwin, 2009).
Dalam stabilitas hemodinamik tanda vital sangat penting untuk
observasi pasien cedera kepala karena dapat memberikan informasi
mengenai keadaan intrakranial. Perubahan intrakranial biasanya akan
didahului dengan perubahan tanda-tanda vital terlebih dahulu. Tanda
vital tersebut mencangkup tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu , MAP
(Japardi, 2010).
Penulis kembali mengkaji nyeri yang dialami pasien dan stability
hemodinamik setelah memposisikan pasien semi fowler 30 derajat dan
memposisikan supine (telentang) di lakukan secara bergantian. Penulis
melakukan pengkajian kembali tentang pola nyeri dan stability
hemodinamik
dengan
PQRST,
Provoking/Palliative
pasien
mengatakan nyeri saat bergerak nyeri berkurang dengan memposisikan
semi fowler 30 derajat, Quality masih terus menerus, Region di area
dahi dekat pelipis, leher dan kepala,dan terdapat luka lecet pada tangan
dan kaki sebelah kiri Scale berkurang menjadi 5, Time nyeri terus
menerus dan pada saat bergerak. Data obyektif dari pemeriksaan
tekanan darah pasien 165/90 mmHg, nadi 90X/menit, pernafasan
26X/menit, suhu 36,5 derajat celcius, saturasi oksigen 98%, MAP
(Mean Arteri Pressure) 115 mmHg.
66
Maka didaptakan hasil bahwa posisi semi fowler 30 derajat dapat
menurunkan intensitas nyeri kepala dan dapat digunakan untuk
mengontrol nyeri dan untuk satility hemodinamik. Untuk membantu
pasien dalam mual dan muntah pasien mendaptkan terapi ranitidine 25
mg , ketorolac 30 mg, ondansentron 40 mg, citicoline 500mg, obat
injeksi ranitidine berfungsi untuk mengobati tukak lambung dan
duodenum akut, refleks esofagitis dan keadaan hipersekresi patologis
(Kasim, 2013). Obat injeksi ketorlac berfungsi untuk pengobatan
intramuscular jangka pendek, obat injeksi ondansentron berfungsi
untuk pengobatan mencegah dan mengobati mual dan muntah, obat
injeksi citicoline berfungsi untuk memperbaiki hilangnya kesadaran
atau trauma kepala.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tujuan akhir dari asuhan keperawatan yang
telah dilaksanakan dalam tindakan keperawatan yang mana menyangkut
perkembangan pasien dan nilai efektifita dalam tindakan keperawatan
(Dermawan, 2012).
Evaluasi yang digunakan sesuai teori yaitu SOAP (Subyektif, Obyektif,
Assessment, Planning) yang mana terdiri dari subyektif adalah
pernyataan dari pasien atau keluarga pasien tentang perkembangan
kesehatan pasien, Obyektif adalah data yang didapat dari pemberian
tindakan keperwatan pada masalah kesehatan pasien, Assessment adalah
67
kesimpulan dari tindakan keperawatan yan dilakukan, Planning adalah
rencan selanjutnya untuk meningkatakan derajat kesehatan pasien
(Dermawan, 2012).
Hasil perkembangan dari diagnosa yang pertama adalah Subyektif
pasien mengatakan sesak berkurang, Obyektif pasien tampak nyaman
dan rileks tingkat respirasi 26X/menit, saturasi oksigen 98%, dan
penggunaan
otot
bantu
pernafasan
nampak
sudah
berkurang,
Assessment masalah telah teratasi sebagian, Planning yaitu untuk
melnjutkan intervensiyang diantaranya yaitu fasilitasi kepatenan jalan
nafas, pantau tingkat pernafasan pasien, berikan posisi semi fowler 30
derajat, kemudian edukasi pada keluarga pasien agar segera
memberitahu perawat jika terjadi ketidakefektifan pola nafas.
Catatan perkembangan pada masalah keperawatan yang kedua
adalah hasil pengkajian nyeri setelah pasien di beriakan posisi semi
fowler 30 derajat. Maka didaptkan hasil bahwa Provoking/Palliative
bahwa nyeri pada area dahi, leher dan kepala sudah berkurang, Quality
nyeri seperti tersayat atau perih, Region pada area dahi dekat pelipis,
leher dan kepala dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah
kiri, Scale nyeri 7 berkurang menjadi 4, Time Nyeri muncul ketika
pasien bergerak. Data Obyekti dari hasil pemeriksaan 2 jam pertama
tekanan darah 180/100 mmHg, nadi 100x/menit, pernafasan 27x/menit,
suhu 37 derajat celcius, saturasi oksigen 96%, MAP (Mean Atreri
Pressure) 126 mmHg, dari pemeriksaan 2 jam kedua dari tekanan
68
darah 170/90 mmHg, nadi 96x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 36,5
derajat celcius, saturasi oksigen 98%, MAP (Mean Arteri Pressure) 116
mmHg, pemeriksaan 2 jam ketiga tekanan darah pasien 165/90 mmHg,
nadi 90X/menit, pernafasan 26X/menit, suhu 36,5 derajat celcius,
saturasi oksigen 98%, MAP (mean arteri pressure) 115 mmHg,
Assessment dari masalah keperawatan nyeri telah teratasi sebagian,
Planning lanjutkan untuk masalah keperawatan nyeri yaitu kaji nyeri
dengan PQRST, observasi tanda-tanda vital pasien, ajarkan kembali
tehnik relaksasi nafas dalam, berikan posisi semi fowler 30 derajat, dan
berkolaborasi dengan tenaga medis lainya seperti dokter dalam
pemberian anti nyeri analgesik. Masalah keperawatan nyeri pada cedera
kepala yang di alami oleh Tn.E belum teratasi karena waktu yang
kurang pada saat Tn.E di IGD maka rencan tindak lanjut untuk
melaksanakan proses keperawatan khususnya pada implementasi untuk
mengontrol dan mengurangi nyeri pasien secara non farmakologi dapat
dilaksanakan di ruangan atau kamar bangsal yang Tn.E tempati.
Hasil evaluasi terakhir status hemodinamik pada pasien di IGD
selama 10 jam pengelolaan pemberian posisi semi fowler efektif untuk
menstabilkan status hemodinamik Tn.E dilihat dari perubahan tekanan
darah, nadi, suhu, pernafasan, mean arteri pressure (MAP), saturasi
oksigen. Hal ini dapat dilihat pada lembar observasi.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pengkajian
Hasil pengkajian yang dilakukan terhadap Tn.E dengan CKR
didapatkan pasien mengatakan sesak nafas dengan data obyektif tingkat
respirasi 28 kali /menit dengan saturasi oksigen 95%, serta tampak
penggunaan otot bantu pernafasan, pasien tampak gelisah dan khawatir.
Data yang kedua didapatkan hasil Provoking/Palliative nyeri pada area
dahi dekat pelipis karena benturan saat kecelakaan. Quality seperti
tersayat sayat atau perih. Region pada area dahi dekat pelipis, leher,
kepala, terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri Scale nyeri
7, Time nyeri terus menerus. Data obyektif
yang kedua yang
didapatkan penulis saat pengkajian yaitu pasien tampak meringis
kesakitan tekanan darah 185/100 mmHg, suhu 37 derajat celcius, nadi
105 x/menit, Mean Arteri Pressure (MAP) 128 mmHg, Glasgow Coma
Scale (GCS) 15 E4M6V5.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang muncul pada Tn.E dengan CKR yang didapat saat
pengkajian adalah ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
keletihan otot pernafasan dan nyeri akut berhubungan dengan agen
cedera fisik
69
70
3. Intervensi keperawatan
Intervensi yang sesuai dengan Tn.E dengan cedera kepala adalah
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X 10 menit, pasien
menunjukkan pola nafas yang efektif, menunjukkan tidak adanya
gangguan status pernafasan, tidak menggunakan otot bantu pernafasan,
serta menunjukkan adanya kepatenan jalan nafas. Intervensi atau
rencana keperawatan yang dilakukan yaitu fasilitasi kepatenan jalan
nafas dan pantau tingkat pernafasan, rasionalnya agar pasien dapat
bernafas dengan nyaman dan transportasi oksigen keseluruh tubuh
dapat lancar. Berikan terapi O2 melalui nasal kanul 3-4 liter/menit,
Posisikan pasien semi fowler 30 derajat,dan konsultasi dengan dokter
untuk memastikan kepatenan jalan nafas, rasionalnya agar paru-paru
dapat mengembang dengan maksimal. . Posisi semi fowler (setengah
duduk) adalah posisi tidur pasien dengan kepala dan dada lebih tinggi
dari pada posisi panggul dan kaki. Pada posisi semi fowler kepala dan
dada dinaikkan dengan sudut 30-45 derajat sedangkan pada posisi higt
fowler, posisi kepala dan dada dinaikkan 45-80 derajat. Tujuan posisi
ini digunakan untuk pasien yang mengalami masalah pernafasan dan
pasien dengan gangguan jantung. Posisi ini untuk mempertahankan
kenyamanan dan menfasilitasi fungsi pernafasan membuat oksigen
didalam
paru-paru
semakin
meningkat
sehingga
kesukaran napas dan menurunkan tekanan darah.
memperingan
71
Masalah keperawatan yang kedua adalah nyeri akut berhubungan
dengan agen cedera fisik, maka rencana dan tujuan kriteria hasil yang
mana setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1X 8 jam, pasien
tidak merasakan nyeri atau skala nyeri berkurang, pasien melaporkan
bahwa dapat beristirahat dengan baik dan efektif. Intervensi atau
rencana keperawatan yang kedua yaitu kaji pola nyeri, dengan PQRST
dan observasi tanda-tanda vital vital rasionalnya untuk mengetahui
tingkat nyeri pasien dan keadaan umum pasien. Ajarkan relaksasi nafas
dalam kemudian posisikan semi fowler 30 derajat. Posisi pasien
memiliki efek mendalam pada stabilitas hemodinaik pasien cedera
kepala. Beberapa peneliti berpendapat bahwa pasien dengan cedera
kepala harus di tempatkan pada posisi semi fowler, membuktikan
tekanan darah sistolik kembali ke kisaran normal, tekanan nadi
menurun menjadi normal, tingkat kesadaran pasien meningkat diukur
dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Posisi ini untuk pempertahankan
kenyamanan dan menfasilitasi pernafasan dan penurunan tekanan darah.
4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan penulis pada Tn.E pada tanggal 12
Januari 2016 adalah menfasilitasi jalan nafas, memberikan terapi O2
melalui nasal kanul, memantau tanda-tanda vital, mengkaji pola nyeri
dengan PQRST, memberikan posisi Semi Fowler. Posisi ini untuk
mempertahankan kenyamanan dan menfasilitasi fungsi pernafasan
72
membuat oksigen didalam paru-paru semakin meningkat sehingga
memperingan kesukaran napas dan menurunkan tekanan darah.
5. Evaluasi
Evaluasi yang didapatkan penulis pada tanggal 12 Januari 2016,
Subyektif
pasien mengatakan sesak berkurang, Obyektif pasien
tampak nyaman dan rileks tingkat respirasi 26X/menit, saturasi
oksigen 98%, dan penggunaan otot bantu pernafasan nampak sudah
berkurang, Assessment masalah telah teratasi sebagian, Planning yaitu
untuk melnjutkan intervensi yang diantaranya yaitu fasilitasi
kepatenan jalan nafas, pantau tingkat pernafasan pasien, berikan posisi
semi fowler 30 derajat, kemudian edukasi pada keluarga pasien agar
segera memberitahu perawat jika terjadi ketidakefektifan pola nafas.
Catatan perkembangan pada masalah yang kedua adalah hasil
pengkajian nyeri setelah pasien diposisikan semi fowler 30 derajat
maka didapatkan hasil bahwa Provoking/Palliative bahwa nyeri pada
area dahi, leher dan kepala sudah berkurang, Quality nyeri seperti
tersayat atau perih, Region pada area dahi dekat pelipis, leher dan
kepala dan terdapat luka lecet pada tangan dan kaki sebelah kiri, Scale
nyeri brkurang menjadi 4, Time Nyeri muncul ketika pasien bergerak.
Data Obyekti dari hasil pemeriksaan 2 jam pertama tekanan darah
180/100 mmHg, nadi 100x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 37
derajat celcius, saturasi oksigen 96%, MAP (Mean Atreri Pressure)
126 mmHg, dari pemeriksaan 2 jam kedua dari tekanan darah 170/90
73
mmHg, nadi 96x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 36,5 derajat
celcius, saturasi oksigen 98%, MAP (Mean Arteri Pressure) 116
mmHg, pemeriksaan 2 jam ketiga tekanan darah pasien 165/90
mmHg, nadi 90X/menit, pernafasan 26X/menit, suhu 36,5 derajat
celcius, saturasi oksigen 98%, MAP (mean arteri pressure) 115
mmHg, Assessment dari masalah keperawatan nyeri telah teratasi
sebagian, Planning lanjutkan untuk masalah keperawatan nyeri yaitu
kaji nyeri dengan PQRST, observasi tanda-tanda vital pasien, ajarkan
kembali tehnik relaksasi nafas dalam, berikan posisi semi fowler 30
derajat, dan berkolaborasi dengan tenaga medis lainya seperti dokter
dalam pemberian anti nyeri analgesik.
6. Analisa tindakan
Analisa pemberian posisi semi fowler untuk stabilitas hemodinamik
pasien dengan cedera kepala sudah berkurang Obyektif pasien tampak
tenang dan rileks, Respirasi pasien 26 x/menit, saturasi oksigen 98%.
Analisa pemeberian posisi semi fowler 30 derajat terhadap stability
hemodinamik
pasien
cedera
kepala
ringan
menunjukkan
Provoking/Palliative bahwa nyeri pada area dahi, leher dan kepala
sudah berkurang, Quality nyeri seperti tersayat atau perih, Region pada
area dahi dekat pelipis, leher dan kepala dan terdapat luka lecet pada
tangan dan kaki sebelah kiri, Scale nyeri 7 berkurang menjadi 4, Time
Nyeri muncul ketika pasien bergerak. Data Obyekti dari hasil
pemeriksaan 2 jam pertama tekanan darah 180/100 mmHg, nadi
74
100x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 37 derajat celcius, saturasi
oksigen 96%, MAP (Mean Atreri Pressure) 126 mmHg, dari
pemeriksaan 2 jam kedua
dari tekanan darah 170/90 mmHg, nadi
96x/menit, pernafasan 27x/menit, suhu 36,5 derajat celcius, saturasi
oksigen 98%, MAP (Mean Arteri Pressure) 116 mmHg, pemeriksaan 2
jam ketiga tekanan darah pasien 165/90 mmHg, nadi 90X/menit,
pernafasan 26X/menit, suhu 36,5 derajat celcius, saturasi oksigen 98%,
MAP (mean arteri pressure) 115 mmHg. Maka penulis melanjutkan
tindakan dengan memberikan posisi semi fowler 30 derajat mempunyai
mekanisme yang efektif dalam menurunkan intensitas nyeri. Dimana
posisi semi fowler ini memiliki efek mendalam pada stability
hemodinamik pada pasien cedera kepala (Mir, 2015).
B. SARAN
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala ringan, penulis memberikan saran antara lain:
1. Bagi Pasien
Saran bagi pasien cedera kepala ringan untuk melakukan perawatan
dan pengobatan yang tepat dan secara continue dalam mencegah
terjadinya komplikasi penyakit akibat dari cedera kepala ringan.
Untuk Stability Hemodinamik dapat diberikan posisi semi fowler 30
derajat.
75
2. Bagi Rumah Sakit
Peningkatan tekanan intrakkranial sangant rentan terjadi pada pasien
cedera kepala, sehingga perawat perlu mengindentifikasi dini untuk
mencegah terjadinya
peningkatan tekanan intracranial
maka
mengaplikasikan tindakan non farmakologi pemberian Posisi Semi
Fowler di IGD dapat dilakukan untuk stability hemodinamik pada
pasien cedera kepala.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Aplikasi ini dapat menjadi bahan referensi bagi institusi pendidikan
tentang pemberian Posisi Semi Fowler pada pasien cedera kepala
untuk stability hemodinamik
4. Bagi penulis
Setelah dilakukan pemeberian Posisi Semi Fowler
pada pasien
cedera kepala penulis dapat lebih mengetahui cara mengontrol
tekanan intakranial dan Satability Hemodinamik.
76
DAFTAR PUSTAKA
Andi Ebiet Krisnandi, Wasisto Utomo, Ganis Idrianti. 2013. Dalam Jurnal “
Gambaran Status Kognitif Pada Pasien Cedera Kepala Yang Telah
Diizinkan Pulang Di RSUD ARIFIN ACHMAD PEKANBARU ”.Program
Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Riau
Brunner & suddarth. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 3.
Terjemah; Agung Wahyu. Buku Kedokteran . Edisi. 8. EGC. Jakarta.
Corwin E. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Alih Bahasa Egi Komaria Yudha.
Jilid 3. EGC. Jakarta.
Damanik R. P. 2011. Karakteristik Penderita Cedera Kepala Akibat Kecelakaan
Lalu Lintas Darat. Sumatra Utara.
Dermawan, D. 2012. Proses Keperawatan Penerapan Konsep Dan Kerangka
Kerja. Edisi Pertama. Goyen Publishing. Yogyakarta
Dewi Kartikawati. 2013. Dasar-Dasar Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta:
Salemba Medika
Grace, Price. A. 2006. Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga
Lydon, Helms. 2013. Physiology And Treatment Of Pain. Critical Care Nurse
Mazor A Mir, Amal A Alotaibi, Rasid S Albaradie, Jehan Y Errazkey. 2015.
Dalam Jurnal “ Effect Of Supine Versus Semi Fowler Positions On
Hemodynamic Stability Of Patients With Head Injury” Department Of
Medical Surgical Nursing, Alexandria University
77
Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarata: Nuha Medika
Muttaqin, A 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
System Persarafan Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika
NANDA dan NIC – NOC. 2013. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawat
Profesional Jilid 2. Jogjakarta
Ns Padila. 2012. Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika Potter & Perry, (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Vol
1 Edisi 4. EGC. Jakarta
Rendy, Clevo M. 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Sunardi. Nelly. 2011. Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Terhadap Tekanan
Intracranial Pasien Cedera Kepala, Jurnal Publikasi Dan Komunikasi
56
Karya Ilmiah Bidang Kesehatan. 0216. 7042 :1-5. Di akses pada tanggal 5
maret 2015.
Wijaya & Putri. 2013. Buku Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. Yogyakarta:
Nuha Medika
Download