1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh International Whaling Comission (IWC) menunjukkan populasi paus kian menurun sampai 12,5 % dari tahun 1985 sampai 2010 yang dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan laut. Penyebab penurunan populasi paus ialah maraknya perburuan paus untuk kepentingan komersial (comercial whaling) dan perburuan masyarakat lokal (aboriginal subsistence whaling) (Sandra Altherr, 2011 : 7). Perburuan paus untuk kepentingan komersial (Comercial Whaling) ialah perburuan paus yang mengambil keuntungan dari penjualan hasil perburuan. Selain atas dasar kebutuhan pangan, perburuan paus juga didasarkan tradisi budaya tertentu atau disebut aboriginal subsitence whaling (ASW) juga memberikan sumbangsih terhadap penurunan populasi paus. Salah satu perburuan yang dilakukan masyarakat lokal ialah perburuan tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Suku Adat Norse di Kepulauan Faroe, Atlantik Utara yang mana merupakan wilayah otoritas negara Denmark. Faktanya, Denmark pada tanggal 23 Mei 1950 telah meratifikasi konvensi perlindungan hukum terhadap paus yakni International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) (Robert White, 2010 : 8). Selain itu, pada tahun 1977 Denmark juga telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Walaupun demikian, pemerintah Kepulauan Faroe tetap melegalkan tradisi tersebut sebagai bentuk pelestarian budaya yang telah berlangsung secara turun temurun (Rob van Ginkel, 2005: 5). Ketidaksesuaian diatas menimbulkan permasalahan terkait perlindungan hukum terhadap paus dan pengaturan pada Hukum Internasional pada tradisi Grindadrap yang menjadi isu penting dalam penegakan Hukum Internasional saat ini. Penurunan populasi paus ditakutkan dapat mengancam keseimbangan ekosistem laut. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) paus merupakan salah satu jenis hewan yang dikategorikan sebagai endangered species atau terancam punah yang wajib dilestarikan keberadaanya (Jean Fresko, 2014 :14). Data yang dirilis 2 oleh International Whaling Commission (IWC) menunjukkan adanya penurunan populasi beberapa jenis paus yang terjadi di perairan seluruh dunia paus seperti Minke Whales, Blue Whales, Fin Whales, Gray Whales, Bowhead Whales, Humpback Whales, Right Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales, Balin Whales dan Sei Whales yang terjadi di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus tersebut populasinya telah mengalami penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per tahunnya sejak tahun 1985 sampai tahun 2010. Dari kesepuluh jenis paus tersebut yang mengalami jumlah penurunan paling banyak adalah jenis Paus Pilot (Globicephala Melena) atau Paus Sirip Panjang dan jenis Paus Balin (Balaenoptera Physalus) atau Paus sirip pendek. Paus Pilot memiliki indeks penurunan sebesar 12, 5% per tahunnya dan Paus Balin memiliki indeks penurunan sebesar 8, 9 % per tahunnya. Kedua jenis paus ini secara spesifik tersebar di perairan Central dan Eastern North Atlantic (https://iwc.int/estimate#table diakses pada tanggal 29 April 2015 Pukul 1.29 WIB). Kepulauan Faroe memanfaatkan paus sebagai kebutuhan pangan nasional dan juga diperdagangkan secara bebas di Kepulauan Faroe untuk konsumsi masyarakat yang diatur dalam peraturan Whaling In the Faroe Island yang dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe (Rob van Ginkel, 2005: 14). International Whaling Commision (IWC) sebagai badan yang menegakkan perlindungan hukum berdasarkan ICRW kenyatannya telah memberikan status pelarangan terhadap segala tindakan perburuan terhadap paus secara liar yang berlebihan (illegal whale over fishing) di wilayah Atlantik Utara (North Atlantic) sejak tahun 1950 (Rob van Ginkel, 2005 :5). Penelitian sebelumnya berkaitan dengan tradisi Grindadrap telah dilakukan oleh Rob van Ginkel dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Killing Giants of The Sea: Contentious Heritage and The politics of Culture mengulas bahwa penurunan populasi Paus Pilot dan Paus Balin yang cukup signifikan setiap tahunnya salah satunya dipengaruhi oleh tradisi Grindadrap oleh masyarakat Kepulauan Faroe. Hasil penelitian menyebutkan setidaknya setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam tradisi ini. Tradisi Grindadrap dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang merupakan nenek moyang masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin setiap tahunnya melakukan migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan September yang biasanya bertepatan dengan musim panas. Tradisi Grindadrap 3 biasanya dilaksanakan di salah satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus paling banyak yang datang di perairan tersebut. Keberlangsungan tradisi Grindadrap didasarkan pada adat yang telah berlangsung turun temurun dan kebijakan nasional pemerintah Kepulauan Faroe melalui peraturan Whaling In the Faroe Island yang dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan dimana Kepulauan Faroe merupakan wilayah otoritas Denmark. Selain tradisi Grindadrap penurunan populasi Paus Pilot juga disebabkan karena perdagangan daging-daging hasil perburuan. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith Sloth pada jurnal ilmiah Ocean Care, yang berjudul The Faroe Islands Support Commercial Whaling ditemukan fakta terjadinya perdagangan hasil perburuan. Pada tahun 2008 disebutkan adanya pengiriman daging Paus Pilot seberat 11.516 kg atau setara dengan 160 ekor paus dari Kepulauan Faroe ke Norwegia. Kemudian pada tahun yang sama terdapat pengiriman sebanyak 500 kg daging atau setara dengan 10 ekor Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith Sloth, 2009 : 4). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sea Shepherd Global salah satu organisasi yang melakukan tindakan konservasi terhadap spesies Cetacean menyebutkan bahwa daging Paus Pilot juga dijual kepada para wisatawan di beberapa restauran yang menghidangkan makanan khas Kepulauan Faroe (https://www.seashepherdglobal.org/news-and-commentary/commentary/the-faroeislands-support-commercial-whaling.html diakses pada tanggal 6 April 2016 pada pukul 22.45 WIB). Diketahui Denmark merupakan salah satu negara dari 16 negara yang telah meratifikasi ICRW pada tahun 1950 (Sandra Altherr, 2011 : 8). International Convention for Regulation of Whaling (ICRW) memuat peraturan khusus yang membolehkan negara untuk membunuh paus untuk alasan ilmiah, seperti yang tercantum pada Article VIII (1): “Notwithstanding anything contained in this convention any Contracting Government may grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take, and treat whales or purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing, taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this article shall be exempt from the operation of this convention.” 4 Hal tersebut menjelaskan bahwa selain ketentuan-ketentuan yang terkandung di konvensi terkait perlindungan paus, konvensi ini membolehkan membunuh paus hanya untuk kegiatan penelitian dan harus mendapatkan ijin khusus dari pemerintahan yang berwenang di suatu negara yang telah menyepakati konvensi ini. Pada Article III (1) ICRW menegaskan perlindungan paus dilaksanakan lebih lanjut oleh IWC dijelaskan sebagai berikut : “The Contracting Governments agree to establish an International Whaling Commission, hereinafter referred to as the Commission, to be composed of one member from each Contracting Government. Each member shall have one vote and may be accompanied by one or more experts and advisers”. Negara yang telah menyetujui konvensi ini telah setuju untuk membentuk International Whaling Comission (IWC) yang selanjutnya dalam konvensi ini disebut sebagai komisi yang terdiri dari satu anggota dari masing-masing Negara pihak. Salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap paus yang dilakukan oleh IWC ialah dengan memberikan kebijakan seperti moratorium perburuan paus untuk kepentingan komersil (Comercial Whaling). Kebijakan tersebut juga berdasarkan Article II (1) yakni fundamental principle pada CITES yang menyebutkan bahwa : “Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival and must only be authorized in exceptional circumstances.” Kovensi ini menjelaskan bahwa segala spesies yang terancam punah yang dipengaruhi oleh kegiatan perdagangan termasuk paus, memberikan konsekuensi setiap negara peratifikasi harus tunduk pada kentutuan yang ada agar kegiatan tersebut tidak membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut. Artinya, Denmark sebagai negara peratifikasi harus menindaklanjuti permasalahan ini. Kenyataannya Kepulauan Faroe tidak mengikuti moratorium tersebut. Hal itulah yang dijadikan alasan khusus bagi pemerintah Kepulauan Faroe untuk tetap melegalkan tradisi Grindadrap. Upaya lain untuk mencegah keberlangungan tradisi ini dilakukan oleh IWC yang menetapkan kuota pembatasan perburuan paus untuk indigenous people (ASW) dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan keberlangsungan budaya. Pembatasan tersebut tidak termasuk di 5 wilayah Kepulauan Faroe tetapi dilakukan di wilayah Greenland, Chukotka (Russian Federation), Alaska dan Grenadies. Atas dasar itulah pemerintah Kepulauan Faroe tetap melakukan perburuan paus dikarenakan kedua bentuk kebijakan IWC tersebut tidak terkait pada tradisi Grindadrap (Jennifer Lonsdale, 2011 : 9). Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan ICRW yang melarang segala tindakan perburuan paus secara ilegal yang berlebihan ( illegal whale over fishing ). Penelitian lain berkaitan dengan perburuan ASW yang dilakukan oleh Chris Wold pada jurnal American University International Law menjelaskan bahwa perburuan paus ASW juga menjadi salah satu bagian penting dari keberadaan indigineous people. Hasil penelitian menyebutkan IWC harus memperbaharui kebijakannya dalam penerapan ASW. Pada penelitian disebutkan bahwa perburuan ASW berhubungan dengan keberlangsungan budaya yang menjadi konsumsi lokal masyarakat Faroe ( Chris Wold, 2015 : 576) : “Aboriginal subsistence whaling means whaling for purposes of local consumption carried out by or on behalf of aboriginal, indigenous, or native peoples who share strong community, familial, social, and culturalties related to a continuing traditional dependence on whaling and on the use of whales”. Pengakuan Hukum Internasional terhadap indigenous people telah diatur dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) yang menegaskan pada Article III, bahwa indigenous people memiliki hak untuk selfdetermination atau hak untuk menentukan nasib sendiri dalam hal pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga tradisi Grindadrap yang dilakukan terus menerus sebagai adalah bagian dari budaya Suku Adat Norse ialah merupakan hak masyarakat Kepulauan Faroe untuk tetap melakukannya. Disisi lain terdapat penelitian sebelumnya berkaitan dengan tanggung jawab negara terhadap perburuan paus secara berlebihan yang dilakukan oleh Dwi Arum Ariani dari Universitas Brawijaya. Hasil penelitian menjelaskan bahwa IWC telah melakukan berbagai macam program perlindungan untuk mencegah penurunan populasi paus dan negara-negara anggota IWC juga mengawasi dan melaporkan negara lain yang melakukan pelanggaran terhadap IWC. Namun, ada pula negara-negara anggota IWC yang masih secara kontroversial melakukan perburuan dan pembunuhan paus dibawah nama ijin khusus (special permit). Pada 6 penelitian tersebut menjelaskan bahwa Denmark harus bertanggung jawab berdasarkan Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault). Teori Kesalahan dapat diterapkan dalam kasus budaya perburuan paus di Denmark, karena terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Denmark. Denmark telah melanggar peraturan yang telah diterapkan oleh ICRW. ICRW melarang memburu paus jika tujuannya untuk dikomersialisasikan bukan untuk tujuan penelitian ilmiah (Dwi Ariani, 2013 : 10). Berdasarkan uraian permasalahan sebelumnya terdapat adanya ancaman penurunan populasi Paus Pilot yang salah satunya disebabkan oleh tradisi Grindadrap yang merupakan bagian dari budaya masyarakat Kepulauan Faroe. Namun, tradisi ini secara tegas juga termasuk bentuk budaya indigeneous people yang mana diatur keberadaannya dalam Hukum Internasional. Disisi lain Kepulauan Faroe nyatanya juga tetap melegalkan perdagangan daging paus untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional walaupun Denmark telah meratifikasi ICRW dan CITES. Maka selanjutnya akan dilakukan penelitian lebih lanjut terkait bentuk-bentuk perlindungan paus berdasarkan Hukum Internasional dan menganalisis apakah tradisi Grindadrap bertentangan dengan aturan yang terdapat pada Hukum Internasional atau tidak. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perlindungan terhadap paus dari tindakan Illegal Whale Over Fishing berdasarkan Hukum Internasional? 2. Apakah tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe bertentangan dengan Hukum Internasional ? Dalam hal ini perburuan paus diatur di International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat berupa tujuan secara objektif dan subjektif. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Tujuan Objektif 7 a. Untuk mengetahui dasar dan bentuk perlindungan hukum terhadap paus dari tindakan Illegal Whale Over Fishing berdasarkan Hukum Internasional. b. Untuk mengetahui lebih lanjut apakah tradisi bertentangan dengan Hukum Internasional atau tidak. 2. Tujuan Subjektif a. Bertambahnya wawasan pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum lingkungan internasional khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap paus. b. Berkembangnya penalaran dan terbentuknya pola piker dinamis peneliti serta mengetahui kemampuan peneliti terhadap penerapan ilmu yang diperoleh selama masa perkuliahan dan sebagai persyaratan akademis guna memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Seelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin Ilmu Hukum Internasional pada umumnya dan bagi Hukum Lingkungan Internasional pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang telaah ilmiah serta menambah literatur atau bahanbahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan ilmiah di bidang hukum selanjutnya. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab serta memberikan solusi terhadap penelitian yang sama yang pernah diteliti sebelumnya. b. Hasil penelitian ini untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang ditelitii. 8 E. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono Soekanto, 2006 : 13): 1) Penelitian terhadap asas-asas hukum 2) Penelitian terhadap sistematika hukum 3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal 4) Penelitian terhadap perbandingan hukum 5) Penelitian terhadap Sejarah Hukum Penelitian ini merupakan penelitian mengharmonisasikan antara peraturan nasional dengan peraturan internasional yaitu penelitian dilakukan terhadap kebijakan tradisi Grindadrap sebagai bagian dari peraturan nasional negara Denmark dan Kepulauan Faroe terhadap konvensi-konvensi yang mengatur perburuan paus dan perdagangan paus dalam hal ini International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang merupakan peraturan internasional terkait perburuan paus serta peraturan internasional terkait indigineous people. Sehingga apabila dikaitkan dalam tujuan penelitian dari Soerjono Soekanto maka, penelitian termasuk dalam penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal merupakan penelitian terhadap suatu peraturan yang berbeda derajat yang mengatur bidang kehidupan tertentu (yang sama) (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011 : 74). Dalam hal ini, kebijakan nasional Denmark dan Kepulauan Faroe disesuaikan atau diharmonisasikan dengan peraturan internasional yaitu konvensi 9 perburuan paus dan perdagangan paus serta peraturan internasional terkait indigenous people. Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat deskriptif ini adalah untuk mempertegas hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori dalam kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10). 2. Jenis Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data. Data sekunder yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas. Pada penelitian hukum ini, bahan hukum yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Bahan Hukum Primer (a) International Convention for the Regulation of Whaling 1946 (b) United Nations Convention on the Law of the Sea (c) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (d) United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (e) Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) (f) Whaling In the Faroe Island Brief 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam penulisan skripsi ini menggunakan bahan sekunder berupa, jurnal nasional maupun internasional, research paper, skripsi, tesis, disertasi dan makalah. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti: 10 kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam penulisan skripsi menggunakan bahan hukum tersier yang berupa Black Law Dictionary dan Kamus Besar Bahasa Indonesia 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Studi kepustakaan (library research) adalah penelitian yang datanya diambil terutama atau seluruhnya dari kepustakaan (buku, dokumen, artikel, laporan, koran dan lain-lain sebagainya) (Irawan Soehartono, 2000 : 65). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian diinventarisir dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar pertimbangan untuk menjawab permasalahan hukum yang sedang dihadapi (F. Sugeng Istanto, 2007 : 56). Dalam hal ini akan dianalisis tentang apakah tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe bertentangan dengan Hukum Internasional atau tidak. 4. Teknik Pengolahan Data Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan dilakukan dengan mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal tersebut dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari hasil penelitian (Mukti Fajar, 2010 : 181). Pada penelitian ini dikumpulkan bahanbahan hukum yang mendukung penelitian terkait perburuan paus dan perdagangan paus. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut Berdasarkan UNCLOS 1982 Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut saat ini merupakan isu penting dalam Hukum Internasional. Menurut Burhenne lingkungan laut merupakan kesatuan keanekaragaman hayati dan non hayati yang menjadi satu membentuk ekosistem bagi unsur biotik ( makhluk hidup) dan abiotik (lingkungan sekitar) atau disebut dengan ecosystem diversity. Salah satu parameter seimbangnya suatu ekosistem apabila teraturnya rantai makanan (food chain) dengan baik di lingkungan laut (Burhenne Guilminn, 1996 : 87). Mengingat begitu pentingnya pelindungan terhadap lingkungan laut secara umum, maka di dalam United Nations Convention on The Law of the Sea (selanjutnya disebut UNCLOS) 1982 atau disebut Konvesi Hukum Laut 1982, terdapat bagian tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan lingkungan laut terdapat dalam Bab XII (dua belas) UNCLOS 1982, yang pada intinya memuat mengenai perlindungan, pelestarian lingkungan laut, pencegahan, pengurangan, dan penguasaan pencemaran laut (Adji Samekto, 2009: 8). Pada pasal 192 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa “Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut”. Kemudian pada pasal 193 UNCLOS 1982 lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa “Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut”. Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, 12 seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara Peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut : a. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya ; b. Kewajiban melaukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut ; c. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global ; d. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan ; e. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut. Salah satu kegiatan yang membahayakan lingkungan laut dan mengancam keseimbangan ecosystem diversity ialah tindakan manusia mengeksploitasi sumber daya laut secara berlebihan. Artinya, manusia memanfaatkan secara berlebihan keberadaan sumber daya laut dengan tidak mempertimbangkan kelangsungan keseimbangan ekosistem. Misalnya, penangkapan biota laut seperti ikan, udang, tumbuhan laut secara berlebihan dengan tidak mempertimbangkan regenerasi dari biota laut yang terus menerus dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Salah satu biota laut yang patut dilindungi keberadayaannya dikarenakan sebagai bagian dari ecosystem diversity ialah 13 paus. Paus juga merupakan mamalia laut yang berada pada puncak rantai makanan (food chain). Dengan begitu wacana perlindungan paus yang jumlah populasinya kian menurut menjadi salah satu topik utama dalam Hukum Internasional. Pentingnya menjaga keseimbangan populasi paus merupakan langkah mencegah laju kepunahan paus, menjaga keseimbangan ekosistem laut serta menjaga keseimbangan alam. Mamalia laut seperti paus memiliki tingkat reproduksi yang relatif rendah. Oleh karena itu berburu paus secara intensif membawa resiko tinggi yakni kepunaahan. Pada akhir tahun 1970 banyak terjadi kekhawatiran di banyak negara dikarenakan beberapa spesis paus yang diambang kepunahan (R.R Churchill, 1999 :8). Wacana perlindungan paus ialah sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dapat diwujudkan ke dalam peraturan-peraturan serta penegakannya melalui sanksi-sanksinya, selain itu prakteknya upaya-upaya lain juga dilakukan seperti konservasi habitat hewan laut, moratorium atas tindakan yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional yang berkembang. Adapun prinsip-prinsip tersebut yang berkaitan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan antara lain : a. Sustainable Development, Integration and Interdependence Principle Prinsip ini pertama kali dibahas dalam Report Brundtland Commission on Environmet and Development pada tahun 1987 menyatakan bahwa Sustainable Development adalah “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Parameter mengenai Sustainable Development diklarifikasi pada Agenda 21 and The Rio Declaration dan diadaptasikan ke dalam United Nations Conference on Environment and Development dan dianjurkan ke dalam peraturan regional maupun nasion al di setiap negara (Klaus Topfer, 2002 : 25). Pada hasil The Rio Declaration menegaskan bahwa : “Principle 4 of the Rio Declaration provides: “In order to achieve sustainable development, environmental protection shall constitute an integral part of the development process and cannot be considered in isolation from it.” Principle 25 states that “Peace, development and environmental protection are interdependent and indivisible.” Principles 4 and 25 make clear thatpolicies and activities in various 14 spheres, including environmental protection, must be integrated inorder to achieve sustainable development. They also make clear that the efforts to improve society, including those to protect the environment, achieve peace, and accomplish economic development, are interdependent. Principles 4 and 25 thus embody the concepts of integration andinterdependence”. (United Nations Environment Programme Training Manual on International Environmental Law, 2000 : 23) Hasil The Rio Declaration diatas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan prinsip Sustainable Development yakni dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, perlindungan lingkungan adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari suatu proses pembangunan. Ketiga komponen penting yakni perdamaian , pembangunan dan perlindungan lingkungan saling bergantungan dan tak terpisahkan. Setiap pembangunan dan segala aktivitas di berbagai bidang harus terintegrasi dengan perlindungan lingkungan. Upaya perlindungan lingkungan dilakukan untuk memperbaiki masyarakat, perlindungan lingkungan, ketergantungan yang harmonis antara lingkungan hidup dan manusia. Kemudian mengenai prinsip Integration and Interdependence principle ada pada salah satu komitmen Millenium Developmet Goal poin ke 7 yakni “Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dalam kebijakan negara dengan program-program baik ditingkat regional, nasional dan internasional yang saling terintegarasi dan ketergantungan satu dengan yang lainnya” (Klaus Topfer, 2002 : 25). Jadi, perlindungan hukum terhadap paus dapat berjalan secara optimal apabila disertai peran negara-negara dalam membuat peraturan-peraturan baik regional, nasional maupun internasional sebagai payung hukum dengan tetap mengintegrasikan segala kepentingan disertai upaya perlindungan lingkungan hidup. 1) Responsibility for Transboundary Harm Principle Prinsip Responsibilty for Transboundary Harm terkandung di dalam prinsip ke 21 pada Stockholm Declaration tahun 1972 yang menyatakan bahwa: 15 “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.” (United Nations Environment Programme Training Manual on International Environmental Law, 2000 : 30) Prinsip tersebut juga ada pada Rio Declaration pada tahun 1992 yang menegaskan bahwa: “States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.” (United Nations Environment Programme Training Manual on International Environmental Law, 2000 : 30) Kedua deklarasi tersebut sama-sama menegaskan hal yang sama bahwa Negara memiliki kewenangan yang ada pada Piagam PBB dan prinsip-prinsip hukum internasional yakni hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya di setiap negara masing-masing disertai pelaksanaan kebijakan lingkungan dan pembangunan serta tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala kegiatan sesuai dengan yurisdiksi dengan disertai kontrol untuk tidak menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau daerah di luar batas yurisdiksi nasional. Maka, perlindungan paus sudah menjadi tanggung jawab setiap Negara, dikarenakan paus merupakan salah satu sumber daya laut yang patut dilindungi keberadaannya. 2) Foreseeability Of Harm And The “Preacutinary Principle Berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk menghitung setiap kebijakannya yang berkenaan dengan lingkungan. Negara wajib untuk mencegah atau melarang tindakan yang sebelumnya telah dapat diduga akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pasal 206 dari Konvensi Hukum Laut 1982 telah menegaskan bahwa “when states have reasonable grounds for 16 believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine environment, they shall, as far as practicable assess the potential effects of such activities on the marine environment and shall communicate reports of the result of such assessment.Precautionary principle telah juga diinterpretasikan oleh the 1990 Bergen Ministerial Declaration On Sustainable Development bahwa “environmental measures must anticipate, prevent and attack the causes of environmental degradation. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainly should not be used as a reason of postponing measures to prevent environmental degradation.” ( Ludwik A. Teclaff, 1974 : 20). 2. Tinjauan Mengenai Pengelolaan Perikanan yang Bertanggung Jawab Berdasarkan Code of Conduct For Responsible Fisheries Kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan satu aktivitas manajemen teknis dan administrasi yang komplek dan tidak dapat terlepas satu sama lainnya. Manajemen perikanan tangkap sendiri berada dalam satu koridor lintas batas antar negara dan berlaku secara internasional. Ini dikarenakan, laut dan isinya sudah dinyatakan sebagai warisan dunia yang harus dijaga keberlangsungannya. Food and Agricultural Organization (FAO), sebuah badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi masalah pangan dunia, menetapkan laut sebagai warisan dunia yang harus dijaga keberlangsungan stok sumber daya yang ada didalamnya, terutama sumber daya perikanan. Melalui program aktivitas perikanan yang berkelanjutan (sustainability fisheries), diharapkan kecukupan masyarakat sekarang dalam memenuhi kebutuhanannya tidak dengan mengorbankan kebutuhan masyarakat pada generasi yang akan datang ( Imam Subekti, 2013 : 2). Kemudian FAO mengeluarkan sebuah tatalaksana yang mengatur penangkapan ikan disertai tanggungjawab agar tidak mengancam keseimbangan ekosistem laut. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan mempunyai tantangan berbagai aspek, antara lain pengembangan kelembagaan, sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, penerapan perencanaan 17 pengelolaan terpadu, pemanfaatan sistem informasi dan teknologi, serta pengembangan ilmu kelautan, yang semua ditunjukan untuk memanfaatan sumberdaya kelautan secara optimal dan berkesinambungan. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan pengembangan konsep-konsep pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat diimplementasikan di lapang berdasarkan suatu pengaturan tata ruang wilayah laut yang ramah lingkungan. Tuntutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut secara lestari serta pemberdayaan masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan sumberdaya tersebut merupakan bagian dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah menjadi agenda internasional. Hal itu antara lain ditandai dengan disetujuinya berbagai konvensi atau deklarasi internasional, seperti Agenda 21 dan Declaration of the Right of Indigeneous Peoples. Khusus untuk pengelolaan sumberdaya alam perikanan, Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO-UN) telah mendapatkan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 (CCRF) (Saad Sudirman, 2000 : 30). Tatalaksana tersebut disebut Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF). Tatalaksana ini merupakan kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari CCRF ( Imam Subekti, 2013 : 3). Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini mengakui arti penting aspek gizi, ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang menyangkut kegiatan perikanan dan terkait dengan semua pihak yang berkepertingan yang peduli terhadap sektor perikanan. Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi sumberdaya perikanan yang terkait dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya. 18 Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela. Namun beberapa bagian dari pola perilaku tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982 ( Imam Subekti, 2013 : 3). Beberapa faktor dibentuknya CCRF ialah adanya keprihatinan para pakar perikanan dunia terhadap ancaman terhadap sumber daya ikan, adanya isu kerusakan isu lingkungan, terdapat praktek illegal, unreported dan unregulated (IUU) fishing, dan diperlukan aturan terkait pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis masyarakat. Sehingga pelaksanaan CCRF bertujuan sebagai berikut (Imam Subekti, 2013 : 5) : a. Menetapkan azas sesuai dengan hukum (adat, nasional, dan international), bagi penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab ; b. Menetapkan azas dan kriteria kebijakan; c. Bersifat sebagai rujukan (himbauan); d. Menjadikan tuntunan dalam setiap menghadapi permasalahan; e. Memberi kemudahan dalam kerjasama teknis dan pembiayaan; f. Meningkatkan kontribusi pangan; g. Meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya ikan; h. Menggalakan bisnis Perikanan sesuai dengan hukum; i. Memajukan penelitian. Kemudian yang menjadi topik utama dalam CCFR antara lain mengenai pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, pengembangan akuakultur, integrasi perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir, penanganan pasca panen dan perdagangan serta mengenai penelitian perikanan. Dibuatnya CCFR ini juga mendasari metode-metode yang dikembangkan oleh para pakar untuk menilai kondisi keberlanjutan perikanan tangkap di semua area penangkapan . Semua metode pendugaan stok sumber adaya ikan dikembangkan bertujuan membantu mencegah terjadinya fully dan over fishing aktivitas perikanan tangkap di area sebuah fishing ground ( area tangkapan ikan) (Saad Sudirman, 2000 : 25). Aturan CCRF ini dapat diterapkan selanjutnya oleh setiap negara dengan penerapan prinsip-prinsip umum dalam Article VI CCRF antara lain (Saad Sudirman, 2000 : 31) : a. Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin keberhasilan upaya konservasi dan pengelolaannya; 19 b. Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk mempertahankan kualitas, keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumbersumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang; c. Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan pemanfaatannya; d. Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada buktibukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional tentang pengelolaan sumber-sumber perikanan serta habitatnya; e. Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary approach) seluas-luasnya; f. Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat mempertahankan keanekaragaman jenis dan populasinya; g. Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya harus dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan nutrisinya; h. Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi dan direhabilitasi; i. Setiap negara harus mengintegrasikan pengelolaan sumber-sumber perikanannya ke dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir; j. Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring, Controlling and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan penegakan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan; k. Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin pelaksanaan tata laksana ini secara efektif; 20 l. Setiap negara harus bekerjasama melalui organisasi regional untuk mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di dalam maupun di luar wilayah yurisdiksinya; m. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan; n. Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip, hak, dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade Organization; o. Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang relevan; p. Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam proses pengambilan keputusan; q. Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional; r. Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan nelayan kecil dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan kesempatan kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan; s. Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan Bersinggungan dengan penelitian ini yang menelti terkait persoalan perburuan paus, CCRF menegaskan pada Article III (2) bahwa tatalaksana ini berhubungan utamanya terhadap tujuan UNCLOS 1982 dalam upaya pelestarian lingkungan laut dan juga berhubungan dengan perlindungan terhadap straddlig fish stocks dan highly migratory fish stocks. Menurut FAO, highly migratory fish ialah spesies ikan yang beruaya secara jelas didefinisikan pada Lampiran 1 UNCLOS. Yang termasuk highly migratory fish antara lain seperti tuna, hiu laut, pomfrets, sauries, cetaceans dan dolphinfish (http://www.fao.org/3/a-v9878o.pdf diakses pada tanggal 11 April 2016). 21 Salah satunya spesies cetaceans ialah spesies mamalia paus yang menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Pada Article VII (1) CCRF mengenai pengelolaan perikanan ini menjelaskan bahwa negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, baik pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang sumber daya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini dan mendatang; pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini (http://www.fao.org/3/a-v9878o.pdf diakses pada tanggal 11 April 2016 pada pukul 11.07 WIB). Persoalan ancaman lingkungan laut menjadi fokus dari pembuatan tatalaksana ini. Penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) yang tidak disertai kebijakan konservasi yang tepat dapat membahayakan populasi ikan di laut. Penurunan populasi ikan akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia di masa berikutnya. Tatalaksana ini memberikan ketegasan bagi beberapa pihak untuk mentaati dan mengimplementasikan peraturan ini, yaitu (Siombo, 2010 : 13) : a. Semua Negara yang memanfaatkan sumberdya ikan dan lingkungannya; b. Semua Pelaku Perikanan (baik penangkap dan prosesing); c. Pelabuhan-Pelabuhan Perikanan (kontruksi, pelayanan, inspeksi, dan pelaporan); d. Industri disamping harus menggunakan alat tangkap yang sesuai; e. Peneliti untuk pengembangan alat tangkap yang selektif; f. Observer program (pendataan diatas kapal); g. Perikanan rakyat, perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan penggunaan energi yang efisien. 22 Negara memiliki peranan penting agar CCRF ini dapat terlaksana dengan baik. Kewajiban harus dilakukan oleh negara untuk dipenuhi yaitu mengambil langkah precautionary (hati-hati) dalam rangka melindungi atau membatasi penangkapan ikan sesuai dengan daya dukung sumber, menegakkan mekanisme yang efektif untuk monitoring, control, surveillance dan law enforcement dan mengambil langkahlangkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari. Selain negara yang memiliki peranan penting terhadap pemberlakukan CCRF, pengusaha juga diharus mentaati peraturan ini agar keberlangsungan sektor industri perikanan tetap pada koridornya tidak membayakan ekosistem laut dan memelihara keleastarian lingkungan. Beberapa upaya penting yang harus dipenuhi oleh pengusaha yakni turut berperan serta dalam upaya-upaya konservasi, ikut dalam pertemuanpertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi pengelolaan perikanan, ikut serta mensosialisasi dan mempublikasikan langkah-langkah konservasi dan pengelolaan serta menjamin pelaksanaan peraturan, membantu mengembangkan kerjasama (lokal, regional) dan koordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan perikanan, misalnya menyediakan kesempatan dan fasilitas diatas kapal untuk para peneliti (Siombo, 2010 : 24). 3. Tinjauan Mengenai International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) Praktek perburuan paus masih terjadi di beberapa negara seperti Jepang, Norwegia, pulau-pulau kecil di Atlantik Utara dan Islandia. Beberapa upaya telah dilakukan guna mengurangi kegiatan perburuan paus yang mengancam populasi paus, seperti pembuatan peraturan-peraturan, berkembangnya organisasi-organisasi internasional yang memiliki misi penyelamatan paus dan gerakan-gerakan peduli paus, upaya penangkaran paus serta pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar. Salah satu peraturan internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk melindungi paus adalah International Convention for Regulation of Whaling tahun 1946. Konvensi ini memberikan perlindungan hukum terhadap paus, dengan 23 dibentuknya suatu komisi khusus yang menangani upaya penyelamatan populasi paus yaitu International Whaling Commission (Sebastian Oberthur, 1998: 2). Pembuatan konvensi ini mendahului pembuatan UNCLOS, oleh karena itu dalam ICRW tidak dipengaruhi dengan substansi pembagian lautan di zona maritim dan hak-hak negara bagian dan negara bendera pesisir seperti yang diatur dalam UNCLOS. ICRW mengatur regulasi terkait kapal-kapal penangkap ikan (factory ships) , land stations, dan yurisdiki penangkapan paus serta persetujuan pemerintah (Contracting Governments) hal ini terdapat pada Article II ICRW. Konvensi ini tidak mempengaruhi hak berdaulat negara pantai atas mamalia laut seperti paus di Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) yang ada pada pasal 65 UNCLOS. ICRW memiliki hak dibawah UNCLOS. Misalnya penangkapan paus komersial di Samudera Hindia, sebuah pantai di India tetap bisa melarang semua penangkapan paus di wilayah ZEE nya. Sebaliknya ICRW tidak dapat mengotorisasi pengangkapan paus di wilayah ZEE berdasarkan pasal 65 UNCLOS. Saat ini penangkapan paus masih terus berlangsung walaupun terdapat moratorium penangkapan paus untuk kepentingan komersial. Beberapa penangkapan paus diperbolehkan untuk tujuan penelitian seperti di Greenland dan Amerika Serikat. Selain itu Norwegia juga masih melakukan perburuan paus komersial pada North Atlantic yang memburu paus Minke. Islandia dan Jepang pun masih terlibat dalam penangkapan paus atas dasar tujuan ilmiah (E.J. Molenaar, 2001 : 561). Berikut status-status negara-negara atas konvensi tersebut berdasarkan data United Nations (PBB) : Tabel 3.1 : Anggota IWC dan Status-Statusnya Participant Argentina Australia Brazil Brazil Brazil Canada Denmark France Iceland Japan Mexico Action Ratification Ratification Adherence Ratification Withdrawal Ratification Ratification Ratification Adherence Adherence Adherence Date of Notification/Deposit 18/05/1960 01/12/1947 04/01/1974 09/05/1950 28/12/1965 25/02/1949 23/05/1950 03/12/1948 10/03/1947 21/04/1951 30/06/1949 Date of Effect 10/11/1948 04/01/1974 09/05/1950 30/06/1966 25/02/1949 23/05/1950 03/12/1948 10/11/1948 21/04/1951 30/06/1949 24 Netherlands Netherlands Netherlands Netherlands Netherlands New Zealand New Zealand New Zealand Norway Norway Norway Panama Republic of Korea Seychelles Spain Sweden Sweden Sweden Union of South Africa Union of Soviet Socialist Republics United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland United States of America United States of America United States of America Adherence Ratification Adherence Withdrawal Withdrawal Ratification Adherence Withdrawal Adherence Ratification Withdrawal Adherence Adherence Adherence Adherence Adherence Adherence Withdrawal Ratification Ratification 04/05/1962 10/11/1948 14/06/1977 31/12/1958 24/12/1969 02/08/1949 15/06/1976 03/10/1968 23/09/1960 03/03/1948 29/12/1958 30/09/1948 29/12/1978 19/03/1979 06/07/1979 15/06/1979 28/01/1949 18/12/1963 05/05/1948 11/09/1948 Declaration 12/08/1960 10/11/1948 14/06/1977 30/06/1959 30/06/1970 02/08/1949 15/06/1976 30/06/1969 10/11/1948 30/06/1959 10/11/1948 29/12/1978 19/03/1979 06/07/1979 15/06/1979 28/01/1949 30/06/1964 10/11/1948 10/11/1948 Ratification 17/06/1947 10/11/1948 Declaration 06/10/1960 Declaration 14/09/1960 Ratification 18/07/1947 10/11/1948 International Convention for Regulation of Whaling (ICRW) memuat peraturan khusus yang membolehkan negara untuk membunuh paus untuk alasan ilmiah, seperti yang tercantum pada Article VIII (1): “Notwithstanding anything contained in this convention any Contracting Government may grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take, and treat whales or purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing, taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this article shall be exempt from the operation of this convention.” 25 Hal tersebut menjelaskan bahwa selain ketentuan-ketentuan yang terkandung di konvensi terkait perlindungan paus, konvensi ini membolehkan membunuh paus hanya untuk kegiatan penelitian dan harus mendapatkan ijin khusus dari pemerintahan yang berwenang di suatu negara yang telah menyepakati konvensi ini. Tanggal 2 Desember 1946, 16 negara telah sepakat untuk membuat dan menandatangani konvensi ini. Sampai dengan tanggal 22 Maret 2011 terdapat terdapat 63 negara yang telah menyetujui dan menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW), Jepang termasuk negara yang telah menyetujui terikat secara hukum dan menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tanggal 21 April 1951, Sedangkan Denmark menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tanggal 23 Mei 1950, dengan tindakan Jepang dan Denmark menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) berarti Jepang dan Denmark menyetujui untuk melindungi dan melestarikan populasi paus (Dwi Ariani, 2013 :3 ). Guna menjalankan apa yang diamanatkan dalam International Convention for the Regulation of Whaling ( ICRW) dibentuklah suatu komisi khusus yang menangani perlindungan terhadap paus yakni International Whaling Comission ( IWC). Bentuk dari pertanggungjawaban dari IWC untuk menjaga keberlangsungan perlindungan dari paus dan juga menjaga komitmen tiap negara anggota, IWC selalu mengadakan pertemuan rutin setiap tahun. Komisi biasanya mengadakan pertemuan tahunan di bulan Juni atau Juli. Lokasi dari pertemuan tahunan diputuskan melalui undangan dari pemerintah negara anggota atau ketika tidak ada negara anggota yang mengajukan undangan, maka biasanya pertemuan tahunan akan di adakan di City of Cambridge, United Kingdom dimana pusat Kesekretariatan berada. (Dwi Ariani, 2013:7). IWC didirikan berdasarkan ICRW yang ada pada Article III di Washington DC pada tanggal 2 Desember 1946. Article III (1) Konvensi menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menyediakan konservasi yang tepat untuk populasi paus yakni sebagai berikut: “The Contracting Governments agree to establish an International Whaling Commission, hereinafter referred to as the Commission, to be composed of one member from each Contracting Government. Each 26 member shall have one vote and may be accompanied by one or more experts and advisers”. Pada Article III (1) tersebut dijelaskan bahwa Negara yang telah menyetujui konvensi ini telah setujun untuk membentuk International Whaling Comission yang selanjutnya dalam konvensi ini disebut sebagai komisi yang terdiri dari satu anggota dari masing-masing Negara pihak. Komisi ini melakukan studi ekstensif dan penelitian pada populasi paus, mengembangkan dan memelihara database ilmiah, dan menerbitkan ulasannya laporannya ke masyarakat luas melalui Journal of Cetacean Research and Management. Beberapa upaya yang telah dilakukan IWC selama ini dalam menyelamatkan populasi paus yang kian menurut antara lain: a. Memberikan kebijakan seperti ketentuan pelarangan mengambil dan membunuh gray whales , kecuali ketika dagingnya hanya akan dikonsumsi dan digunakan secara ekslusif oleh masyarakat lokal ( The Aborigines); Memberikan kebijakan seperti dilarang membunuh atau mengambil calves atau suckling whales atau paus betina yang sedang bersama-sama calves atau suckling whales ; Melarang menggunakan kapal pemburu paus yang berttujuan mengambil atau memperlakukan paus Balin di daerah Laut Atlantik, Laut Pasifik dan Indian Ocean (Annual Report of International Whaling Comission 1949). b. IWC menerapkan pembatasan kuota penangkapan paus untuk melindungi populasi Paus. Seperti hanya membolehkan menangkap paus hanya pada saat Pelagic Season ( 22 Desember – 7 April ) yakni waktu dimana setiap negara dibolehkan untuk memburu paus. Upaya ini dilakukan untuk tetap mempertahapkan populasi paus dan memberikan waktu khusus untuk paus dalam bereproduksi . (Annual Report of International Whaling Comission 1951). c. Pertemuan terakhir IWC dilaksanakan pada tahun 2014 di Slovenia. Berdasarkan hasil Annual Report pertemuan tersebut menunjukkan moratorium penangkapan paus untuk kepentingan komersil yang dilaksanakan sejak tahun 1985 sudah menujukkan angka penurunan menurun perburuan paus di tahun 2010 sebesar 75% (http://us.whales.org/wdc-in-action/whaling, diakses pada tanggal 28 Agustus 2015 pada pukul 2.33 WIB). 27 Pada tahun 1982 IWC telah menyetujui pelarangan kegiatan perburuan paus yang bersifat komersil. IWC mengkategorikan perburuan paus menjadi dua yakni Comercial Whaling dan Aboriginal Subsistence Whaling. Comercial Whaling ialah perburuan paus yang didasarkan untuk kepenting komersil atau diperjualbelikan sebagai komoditi ekspor dan impor suatu negara. IWC melarang negara yang telah meratifikasi dan sebagai negara peserta ICRW dalam melaksanakan kegiatan ekspor impor paus. Kemudian Aboriginal Subsistence Whaling (ASW) ialah kegiatan perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat tertentu ( Indigineous People) suatu wilayah dikarenakan kegiatan tradisi budaya yang turun menurun dan paus merupakan kebutuhan pangan nasional suatu wilayah tersebut. Dalam hal ini IWC hanya memberikan pembatasan wilayah penangkapan paus yakni Greenland, Chukotka, Alaska, Bequia dan Grenadies. Hal ini dilakukan guna melindungi populasi paus agar tidak kian menurun ( Sandra Altherr, 2011 : 7-8). Dalam hal ini Kepulauan Faroe yang merupakan wilayah otoritas Denmark tidak termasuk ke dalam wilayah penangkapan ASW. Perburuan paus yang berlebihan (whale over fishing) menjadi ancaman terhadap pemeiliharaan lingkungan laut. Istillah Over Fishing ada pada International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) yakni : “Considering that the history of whaling has seen overfishing of one area after another and of one species of whale after another to such a degree that it is essential to protect all species of whales from further over fishing;” Kemudian lebih jelas lagi menurut Ocean National Geographic istilah Over Fishing ialah : “Simply the taking of wildlife from the sea at rates too high for fished species to replace themselves. The earliest overfishing occurred in the early 1800s when humans, seeking blubber for lamp oil, decimated the whale population. Some fish that we eat, including Atlantic cod and herring and California's sardines, were also harvested to the brink of extinction by the mid-1900s” 28 Over Fishing ialah pengambilan sumber daya laut secara berlebihan seperti spesies ikan dan hewan laut lainnya untuk keperluan manusia. Awal mula Over Fishing terjadi pada tahun sekitar tahun 1800 dimana manusia mencari lemak sebagai bahan lampu minyak sehingga menurunkan populasi paus, ikan sarden dan ikan herring. Sehingga mengakibatkan penuruan populasi hingga pertengahan tahun 1900. (http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine-seas/critical issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53 WIB). Menurut Greenpeace aktivitas Over Fishing mengganggu rantai makanan dan dikhawatirkan menjadi bencana alam global pada akhir abad ke 20. (http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/oceans/fit-for-thefuture/overfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pada pukul 22.07 WIB). Hal ini diperparah dengan adanya tindakan Over Fishing yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atau illegal. Untuk over fishing sendiri terdapat perbedaan bentuk dan jenisnya antara lain ( Widodo, 2007 : 26) : No. Bentuk Over Fishing Pengertian 1. Growth Over Fishing Ini terjadi saat ikan ditangkap sebelum mereka tumbuh mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami (misalnya pemangsaan). Pencegahan Growth over fishing meliputi pembatasan upaya penangkapan, pengaturan ukuran mata jaring dan penutupan musim atau daerah penangkapan. 2. Recruitment Ove Fishing Pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama. Pencegahan terhadap Recruitment overfishing meliputi proteksi (misalnya melalui reservasi) terhadap 29 sejumlah stok induk (parental broodstock) yang memadai. stock 3. Biological Over Fishing Kombinasi dari growth overfishing dan recruitment overfishing akan terjadi manakala tingkat upaya penangkapan dalam suatu perikanan tertentu melampaui tingkat yang diperlukan untuk menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap biological overfishing meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapannya (fishing pattern). 4. Economic Over Fishing Kondisi ini dapat terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan, dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya overfishing jenis ini mengakibatkan transisi dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan rucah (trash fish) dan atau invertebrata non komersial seperti ubur-ubur. 5. Malthusian Over Fishing Yaitu suatu istilah untuk mengungkapkan masuknya tenaga kerja yang tergusur dari berbagai aktivitas berbasis datarat (land based activities) ke dalam perikanan dalam jumlah yang berlebihan, yang berkompetisi dengan nelayan tradisional yang telah ada dan yang cenderung menggunakan caracara penangkapan yang bersifat merusak, seperti dinamit untuk ikan-ikan pelagis, sianida untuk ikan-ikan diterumbu karang dan/ atau insektisida dibeberapa perikanan laguna dan estuarina. Tabel 3.2 : Bentuk- Bentuk Over Fishing 30 Over Fishing atau penangkapan berlebihan terhadap paus terjadi untuk kepentingan komersil yang dilakukan secara rutin seperti tradisi Grindadrap yang dilakukan masyarakat kepualaun Faroe. Menurut Whale and Dolphin Conservation yang dimaksud dengan Illegal Whale Over Fishing atau Illegal Whaling aktivitas perburuan paus secara berlebihan tanpa didasari aturan hukum yang jelas. Aktivitas ini bisa bersifat komersial dan non komersial. Semenjak tahun 1958 IWC telah mengeluarkan moratorium kepada beberapa negara seperti Norwegia dan Islandia untuk menghentikan kegiatan perburuan paus untuk kepentingan komersil (Comercial Whaling Ban) . Berdasarkan Article VIII (1) ICRW penangkapan paus diperbolehkan untuk kepentingan penelitian ilmiah. Moratorium tersebut telah efektif menekan kegiatan perburuan paus untuk kepentingan komersil (http://us.whales.org/wdc-inaction/whaling diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 pada pukul 2.14 WIB). Kegiatan Illegal Whale Over Fishing yang bersifat non komersial seperti atas dasar budaya dan kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara rutin sampai saat ini belum mendapatkan larangan yang cukup jelas. Sampai saat ini salah satu contoh bentuk pelarangan aktivitas perburuan paus yang bersifat illegal yakni dikabulkannya gugatan Australia kepada Jepang oleh Mahkamah Internasional (The International Court of Justice)pada tanggal 31 Maret 2014 terkait program penangkapan paus Jepang di Antartika (JARPA II). Program JARPA II dinilai telah melanggar Article VIII (I) di dalam ICRW. Program JAPRA II dilakukan atas dasar penelitian ilmiah, namun pada kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan pausdengan jumlah yang berlebihan. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa program JAPRA II adalah program yang illegal. Mahkamah Internasional tidak secara langsung melarang program ini namun meminta Jepang menghentikan program tersebut dan pemerintah Jepang harus berhenti megeluarkan ijin untuk penyelenggaraannya. “The judges of the International Court of Justice handed down its long anticipated decision on whether Japan's government-subsidised whaling programme in the Southern Ocean should be allowed to continue.While today's ruling did not outlaw the killing of whales for scientific research per se, it categorically stated that Japan's whaling programme in the Southern Ocean was not for 31 scientific purposes, and the amount of whales being killed was not justifiable in the name of science. The court went on to say that Japan must stop issuing permits for this whaling”. Mahkamah Internasional menilai bahwa program ini tidak sesuai dengan tujuan suatu penelitian ilmiah karena jumlah paus yang dibunuh tidak dibenarkan dalam ilmu pengetahuan dan termasuk tindakan penangkapan yang membahayakan keseimbangan ekosistem laut (http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/japanresearchwhaling-ruled-illegal-International-Court-of-Justice/blog/48725/ diakses pada tanggal 8 Mei 2015 pada pukul 22.30 WIB). 4. Tinjauan Mengenai Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies tumbuhan dan satwa liar, adalah merupakan kesepakatan internasional antar negara dengan tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam keberadaan hidup tumbuhan dan satwa liar. CITES menetapkan Tumbuhan dan Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori perlakuan perlindungan dari eksploitasi perdagangan yaitu Appendix I, Appendix II, dan Appendix III (https://www.cites.org/eng/disc/text.php diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pada pukul 1.30 WIB) : a. Appendix I , memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial, b. Appendix II , memuat Lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan, 32 c. Appendix III, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I . CITES merupakan sebuah jawaban atas dua buah usaha yang dilakukan secara internasional untuk mengutuk manajemen kehidupan margasatwa di antara kekuasaan negara-negara kolonial, yaitu Konvensi London tahun 1900 yang dirancang untuk memastikan konservasi dari seluruh spesies dan hewan liar di Afrika yang kegunaannya ditujukan untuk manusia, yang kedua adalah Konvensi London tahun 1933 berkenaan dengan preservasi flora dan fauna di masing-masing negaranya. Selanjutnya Konferensi Stockholm 1972 merupakan titik balik dari perkembangan pembentukan CITES. Konferensi Stockholm juga menghasilkan terbentuknya United Nations Environment Programme (UNEP) yang kemudian mendorong pembentukan CITES Akhirnya pada pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah CITES, dan mulai berlaku sejak 1 Juli 1975. Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari kepunahan ( CITES, 1973 : 4). Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional.Jika diuraikan, maka didapati ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES yaitu : a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi; d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional 33 Jika dilihat dari 80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala, Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela. Negara-negara yang menandatangani Konvensi disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding Konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara telah bergabung menjadi anggota Konvensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi anggota CITES, yaitu: Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Koreaa Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Pulau Faroe ( Tonny Soehartono, 2003 : 9). Mekanisme pengendalian perdagangan spesies yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme regulasi appendiks. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan ke dalam tiga jenis appendix (https://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.php diakses pada tanggal 15 November 2015 pukul 11.31 WIB). a. Apendix I CITES Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendix II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor 34 spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak. b. Apendix II CITES Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas b. Apendix III CITES Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I. Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).Selain daripada appendiks yang menjadi mekanisme utama CITES dalam melindungi satwa dan tumbuhan yang terancam punah, ada beberapa pengaturan lainnya yang juga mendukung tujuan CITES dalam melindungi spesies-spesies yang terancam punah seperti berikut ini: 35 1). Pelaksanaan perdagangan internasional melalui sistem permit yang dikeluarkan oleh CITES management authority; 2) Appendix I dilarang diperdagangkan, sementara Appendix II dan III dapat diperdagangkan tetapi dengan kontrol yang ketat; a) Representative negara anggota CITES bertemu secara reguler (2-3 tahun sekali) dalam Conference of The Parties (COP) untuk melakukan review pelaksanaan CITES, prosedur dan amandemen Appendix CITES ; b) Operasional pelaksanaan CITES dikoordinasikan oleh Sekretariat CITES yang bernaung di bawah UNEP; c) Government of Switzerland bertindak sebagai depository for convention (negara penampung). 5. Tinjauan Mengenai Pengakuan Hukum Internasional Terhadap Masyarakat Hukum Adat ( Indigenous People) Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, pengakuan dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia, berarti hak dan sekaligus kebebasan perorangan diakui, di hormati dan di junjung tinggi. Hak asasi manusia merupakan bagian integral dari hukum internasional, sehingga dikenal Hukum Hak Asai Manusia (Human Rights Law). Sebuah resolusi PBB No.1514-XV, December 1960 menegaskan “all peoples have the right to free determination “.Resolusi tersebut merupakan penegasan atas pengakuan individu (perseorangan) sebagai subjek hukum internasional. Namun, hak persorangan tersebut diharapkan tidak akan menggoyahkan integritas dan persatuan nasional oleh karena itu, hak perseorangan (hak individu) tetap diakui yang berarti hak asasi individu (perseorangan) maupun hak etnik (kelompok) dalam batas-batas tertentu tetap diakui (Mansyur Efendi, 1993 : 54). Permasalahan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (yang oleh dunia Internasional diterjemahkan dengan istilah Indigenous Peoples merupakan masalah 36 yang sudah berkembang sejak abad Ke – XIV. Saat itu Bartolomeo de Las Casas dan Francisco de vitoria mengkritik dan membuat antitesis atas Doktrin Terra Nullius yaitu Doktrin Klasik yang mengatakan bahwa daerah-daerah yang disinggahi oleh para bangsa penakluk adalah tanah tak bertuan yang dapat dimiliki, sedangkan manusiamanusia yang terlebih dahulu menempati daerah tersebut tidak dianggap sebagai manusia karena belum beradab (Uncivilized peoples). Didalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) Deklarasi ini menetapkan hak mereka atas budaya, identitas, bahasa, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan hal-hal lainnya. Deklarasi ini melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat dan mendorong agar hakhak mereka tetap jelas dan agar mereka meraih visi mereka mengenai pembangunan ekonomi dan sosial mereka sendiri. Deklarasi itu menegaskan konsep “persetujuan atas dasar informasi awal tanpa tekanan” terkait dengan perlindungan lahan dan sumber daya adat. Rekomendasi yang dibuat Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi Rasial dan Rekomendasi tentang Penduduk Asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah tradisionalnya dan larangan perampasan hak-hak dan wilayah Masyarakat Hukum Adat dengan alasan apapun kecuali disetujui oleh Masyarakat Hukum Adat tersebut dan disertai kompensasi yang pantas, adil dan tepat (Anaya, 2004 : 10). UNDRIP telah diadopsi oleh General Assembly Resolution 61/295 (Resolusi Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007. UNDRIP mensyaratkan ada komunitas masyarakat adat dengan hak kolektif. Berpijak atas asumsi dasar bahwa ada hak Negara dan ada hak masyarakat Selain itu UNDRIP mengangkat hak masyarakat sebagai satu satuan sosial, ekonomi, budaya, & politik. UNDRIP menguraikan tentang hak-hak individual dan kolektif dari suatu komunitas tradisional-lokal mengenai budaya, tanah leluhur atau ulayat (ancestral domain), bahasa, pendidikan, identitas, pekerjaan dan kesehatan. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan, memperkuat dan mendorong pertumbuhan adat, institusi-institusi budaya tradisional dan tradisi. UNDRIP memberikan perlindungan yang kuat teerhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam meskipun masih berupa instrument yang soft law, yaitu tidak mengikat secara hukum (Sandra Moniaga, 2005 : 8). 37 Masyarakat adat sebagai bagian dari rakyat secara keseluruhan suatu bangsa atau negara, memiliki kepentingan yang harus dihormati oleh pemerintah atau negara, terutama berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (Nyoman Nurjaya, 2008 : 15). Pemerintah berkewajiban memenuhi kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, termasuk indigenous peoples, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Kewajiban tersebut diatur dalam beberapa ketentuan hukum internasional, misalnya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 41/128 tentang Declaraton on The Right to Development. Pasal 1 ayat (1) butir 2 deklarasi menyatakan bahwa: ”The right to development is an inalienable right by virtue of which every human person and all peoples are entitled to participate in, contribute to, and enjoy economic, social, cultural, and political development, in which all human rights and fundamental freedom can be fully realized.” Dalam Pasal 2 ayat (1) deklarasi tersebut, dinyatakan: ”The human person is the central subject of development and should be the active participant and beneficiary of the right to development.” Demikian juga dalam Pasal 2 Ayat (3) dinyatakan bahwa: ”States have the right and duty to formulate the appropriate natonal development policies that aim at the constant improvement of the well-being of the entire population and of all individuals, on the basis of their active, free, and meaningfully participation in development, and in the fair distribution of the benefits resulting there from.” Ketentuan di atas menunjukkan bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat di segala bidang, baik sebagai individu, maupun kelompok. Selain itu, negara berkewajiban mengikutsertakan rakyat dalam proses pembangunan, serta secara adil mendistribusikan hasil-hasil pembangunan kepada seluruh rakyat, dak terkecuali terhadap penduduk asli. Meskipun Majelis Umum PBB telah mengadopsi UNDRIP, perdebatan tentang ruang lingkup hak menentukan nasib sendiri (self-determination) masyarakat hukum adat masih terus berlangsung hingga sekarang. Dalam Pasal 3 UNDRIP, dinyatakan : 38 “Indigenous peoples have the right to self-determinaton. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”. Berdasarkan Pasal 3 ini, diatur sangat jelas tentang pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak tersebut termasuk hak dalam bidang politik, hak untuk mengembangkan ekonomi, dan hak untuk pembangunan dalam bidang sosial dan budaya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sudah diterima dalam hukum internasional. Pada tahun 1996, Internatonal Court of Justice (ICJ) dalam Kasus Portugal v. Australia (East Timor Case), mendefinisikan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai “erga omnes”. Anaya menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri ditetapkan sebagai bagian dari jus cogens dan secara umum diterima dalam hukum internasional. Dalam kaitannya dengan masyarakat hukum adat, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan representasi dari kebebasan untuk membuat keputusan terkait dengan hal-hal yang berpengaruh terhadap mereka, untuk hidup sesuai dengan cara hidup mereka yang tradisional, nilai dan keyakinan mereka, dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam negara. Hak untuk menentukan nasib sendiri juga sangat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam ( Anaya, 2004 : 13) . Pada UNDRIP diatur dengan lebih jelas ketentuan tentang hak-hak masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam. Pasal 26 ayat (2) UNDRIP secara khusus telah menetapkan bahwa: “Indigenous peoples have the right to own, use, develop and control the lands, territories and resources that they possess by reason of traditonal ownership or other traditonal occupaton or use, as well as those which they have otherwise acquired”. Masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk memiliki dan mengelola tanah dan sumber daya alam dengan alasan kepemilikan tradisional. Dalam kasus Delgamuukw v. British Colombia, Ketua Mahkamah Agung memutuskan bahwa label indigeneous adalah sui generis, yaitu label tersebut diperoleh atas dasar kehidupan dan penghidupan mereka di wilayah tersebut sejak lama. Di samping itu, dalam kasus The Mayagna (Sumo) Awas Tingi Community v. Nicaragua, the InterAmerican Court of Human Right diakui hak atas harta dari masyarakat hukum adat dengan memperhatikan instrumen internasional, seperti Pasal 14 ayat (2) Konvensi ILO 169 dan perjanjian internasional tentang Hak Asasi Manusia Amerika Serikat. 39 Sebagaimana Konvensi ILO 169, UNDRIP kembali menegaskan kewajiban negara melaksanakan prinsip the free, prior and informed consent dari masyarakat adat sebelum menyetujui dan melaksanakan proyek yang dapat memengaruhi tanah mereka (Anaya, 2004 : 15). Dalam Pasal 32 ayat (2) deklarasi ini dinyatakan sebagai berikut: “States shall consult and cooperate in good faith with the indigenous peoples concerned through their own representative instituons in order to obtain their free and informed consent prior to the approval of any project affecting their lands or territories and other resources, particularly in connection with the development, utilization or exploitation of mineral, water or other resources”. Uraian tersebut menunjukkan bahwa hukum internasional mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri. Dalam bidang tanah dan sumber daya alam, hak tersebut diatur dengan jelas dalam UNDRIP meskipun masih berupa instrument yang soft law, yaitu tidak mengikat secara hukum. Paling tidak, hal ini harus ditafsirkan sebagai sebuah standar yang baik dan merupakan pengakuan atas semua hak masyarakat hukum adat di seluruh dunia untuk dapat berdiri sejajar dengan masyarakat yang lainnya. Berhubungan dengan penelitian ini yang mengkaji persoalan perburuan paus pada tradisi Grindadrap, masyarakat Kepulauan Faroe memiliki sebuah tradisi yang disebut Grindadrap. Setidaknya setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam tradisi ini. Tradisi Grindadrap dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang merupakan nenek moyang masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin setiap tahunnya melakukan migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan September yang biasanya bertepatan dengan musim panas. Tradisi Grindadrap biasanya dilaksanakan di salah satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus paling banyak yang datang di perairan tersebut. Tradisi Grindarap dilakukan dengan cara menggiring paus Pilot dan paus Balin ke teluk yang lebih dangkal dengan perahu kecil oleh beberapa pelaut khusus yang disebut Rakstrarmenn dan kemudian ditancapkan beberapa tombak ke tubuh paus, selanjutnya paus di bawa sampai ke tepi pantai kemudian diangkut ke daratan. Kemudian paus dibunuh dengan pisau panjang khusus yang disebut Grindaknivur. Hukum adat Norse (Old Norse) mengatur segala aspek tata cara tradisi Grindadrap seperti prosedur pengemudian perahu, prosedur 40 penggiringan paus ke tepi pantai, prosedur penyembelihan, pendistribusian daging paus dan pembersihan pantai. Tradisi Grindarap dilakukan di 6 (enam) wilayah pantai di Kepulauan Faroe. Setiap penyembelihan satu ekor paus harus diawasi oleh seorang Grindformenn (pengawas terpilih). Setelah penyembelihan selesai, daging-daging dibagikan ke masyarakat sekitar secara gratis dan sebagian disalurkan ke beberapa pemasok daging paus yang nantinya akan dijual ke wilayah lain. Pengolahan daging biasanya dilakukan bersama-sama di tepi pantai dengan diiringi tarian adat khusus yang disebut Grindadansur (Rob van Ginkel, 2005: 15-16).Tradisi ini merupakan kebiasan masyarakat Kepulauan Faroe secara turun-temurun sebagai perayaan besar bahkan menjadi hari libur bersama. Daging paus merupakan makanan khas masyarakat Faroe yang diolah menjadi berbagai macam jenis masakan dan lemaknya diolah menjadi minyak yang memiliki kandungan protein tinggi sebagai bahan tambahan obat-obatan, pangan dan kosmetik (Kate Sanderson, 1994: 197). Kepulauan Faroe di Atlantik Utara, yang masih dibawah otoritas Kerajaan Denmark telah mempratekkan tradisi ini sejak tahun 1584. (Robert White, 2010: 8). Tabel 2. 2 : Jumlah Paus Pilot yang diburu di Kepulauan Faroe setiap tahunnya 41 Data yang dirilis oleh Whaling and Dolphin Conservation diatas menunjukkan bahwa aktivitas perburuan dari tahun 2000-2014 terhadap paus jenis Pilot terbanyak terjadi pada tahun 2010 sebanyak 1107 ekor dan perburuan paus Pilot terendah terjadi pada tahun 2008 sebanyak 0 ekor. Sementara di tahun 2014 perburuan paus Pilot masih terjadi sebanyak 48 ekor. Hal tersebut dapat menjadi interpretasi bahwa tradisi Grindadrap sudah menjadi budaya turun temurun. Menurut Faroese Prime Minister, Kaj Leo Holm Johannesen mengatakan bahwa : “Whaling in the islands is "sustainable and fully-regulated" in a statement issued in response to recent criticism of the continued hunting of pilot whales. He goes on to say that the hunt is a natural part of Faroes life that has being going on for hundreds of years, providing meat and blubber to supplement the diet|”. Pernyataan Perdana Menteri Kepulauan Faroe tersebut menjelaskan bahwa tradisi Grindadrap telah menjadi budaya masyarakat sejak beratus-ratus tahun dan telah menjadi konsumsi kebutuhan daging masyarakat Kepulauan Faroe. Walaupun banyak sekali protes dan kritik dari masyarakat internasional akan tindakan tersebut yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati namun Johannesen memberikan pernyataan bahwa: “I went on to ask Faroese to respect the right of visitors to lawfully protest against the hunts stating that "...freedom of expression and the right to peaceful protest, which are fundamental parts of any democracy." Keterangan Johannesen tersebut meminta masyarakat Faroe untuk menghargai hak-hak pengunjung yang protes terhadap kegiatan perburuan tersebut. Sebab, hal tersebut merupakan hak kebebasan sebagai dasar (http://uk.whales.org/issues/whale-and-dolphin-hunts-in-faroe-islands demokrasi diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 pada pukul 10/18 WIB). Whale and Doplhine Conservation (WDC) menegaskan bahwa: “Every year in the Faroe Islands, a territory of Denmark, hundreds of pilot whales and other species including bottlenose dolphins, Atlantic white-sided dolphins and northern bottlenose whales, are hunted for their meat. The techniques used are intensely stressful and cruel. Entire 42 family groups are rounded up out at sea by small motor boats and driven to the shore. Typically, once they are stranded in shallow water, blunt-ended metal hooks are inserted into their blowholes and used to drag the whales up the beach, where they are killed with a knife cut to their major blood vessels. Kepulauan Faroe yang merupakan bagian dari Denmark dan pada tahun 1950 Denmark telah meratifikasi ICRW namun tetap melakukan tradisi tersebut dikarenakan sebagai sumber pangan dan protein bagi masyarakat Faroe. Namun demikian menurut Chief Medical Officer and Chief Physician of Faroe Island menyatakan dan telah memberikan surat kepada pemerintah Kepulauan Faroe bahwa: |”Pilot whales today contain contaminants to a degree that neither meat nor blubber would comply with current limits for acceptable concentrations of toxic contaminants….” They further stated, “[I]t is recommended that pilot whale is no longer used for human consumption.” (Whale and Dolphin Conservation Society Report, 2013: 2). Pemerintah Kepualauan Faroe telah gagal mengadopsi rekomendasi diatas. Padahal mengonsumsi daging paus akan memberikan efek negatif dikarenakan daging paus yang telah banyak terkontaminasi dengan racun zat-zat kimia seperti merkuri yang dapat mengakibatkan penghambatan perkembangan otak ( Neurological Delays) , Cardiovascular Problem dan Parkinsons Disease bagi anak dan ibu hamil. (Pal Weihe, 2012: 3). Mengacu kondisi demikian tradisi tersebut tradisi Grindadrap masih berlangsung sampai sekarang bahwa Pemerintah Kepulauan Faroe memberikan peraturan khusus untuk perburuan yakni Whaling in the Faroe Island yang disahkan pada bulan Desember tahun 2011. Peraturan tersebut dibuat bukan mengenai pelarangan namun mengenai tata cara perburuan dan metode pembunuhan http://www.ascobans.org/sites/default/files/document/AC19_501_FaroeIslandsGrind_ 1.pdf diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pukul 21. 14 WIB). 43 B. Kerangka Pemikiran Tradisi Grindadrap Kepulauan Faroe di Atlantik Utara Perburuan Paus Pilot Denmark telah meratifikasi ICRW dan CITES Kepulauan Faroe tetap melegalkan melalui peraturan Whaling in the Faroe Kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap paus Tradisi Grindadrap Menurut Hukum Internasional 44 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perlindungan Terhadap Paus Dari Tindakan Illegal Whale Over Fishing Berdasarkan International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) Dan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) Perlindungan paus dari tindakan perburuan paus secara ilegal yang berlebihan diwujudkan dengan berbagai macam upaya perlindungan eperti yang diatur oleh International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) dan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES). Kedua konvensi ini mengatur berbagai macam penanggulangan tindakan perburuan terhadap paus dengan tujuan utama yakni melindungi dan melestarikan ekosistem laut. Secara rinci, ICRW mengatur adanya larangan perburuan paus secara komersial dan menugaskan International Whaling Commission (IWC) sebagai komisi yang secara khusus melakukan berbagai macam kegiatan untuk mencegah kepunahan populasi paus, kemudian CITES mengatur secara jelas melalui mekanisme tertentu untuk mencegah perburuan hewan terancam punah termasuk beberapa spesies paus menjadi komoditi perdagangan internasional. Beberapa upaya yang dilakukan seperti misalnya moratorium perburuan paus komersial setidaknya terbukti secara efektif pelan-pelan mengurangi krisis populasi beberapa spesies paus. Walaupun masih banyak tindakan yang memanfaatkan celah kedua konvensi ini untuk tetap melaksanakan perburuan paus. Berikut adalah berbagai macam upaya perlindungan yang dilaksanakan berdasarkan kedua konvensi tersebut : 1. Perlindungan Terhadap Paus Berdasarkan International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) Penegakan hukum internasional menunjukkan bahwa kebebasan di laut lepas (high seas) sebagai perwujudan doktrin “mare liberium” telah diakui sejak lama dan diakomodasi oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Sebagaimana diatur dalam pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982, semua negara, baik negara pantai ( coastal state) 45 maupun negara tak berpantai ( land-locked State) mempunyai hak untuk memanfaatkan laut lepas dan memiliki kebebasan secara universal. Menurut pasal 87 ini kebebasan di laut lepas mencakup kebebasan berlayar (freedom of navigation), kebebasan penerbangan ( freedom of overflight), kebebasan memasang pipa dan kabel bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines), kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lain (freedom to construct artifical islands and other installations permitted under international law), kebebasan menangkap ikan (freedom of fishing) dan kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific research). Semua kebebasan ini harus dilakukan oleh setiap negara dengan mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan ketentuan hukum internasional yang berlaku di atasnya. Khusus untuk menangkap ikan, Pasal 116 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak kepada suatu negara untuk mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut lepas (Melda Kamil, 2005 : 504). Lebih lanjut lagi kebebasan menangkap ikan dibatasi dengan pelbagai kewajiban yang ditetapkan dalam ketentuan Bagian 2 mengenai langkah-langkah pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati laut lepas. Pengaturan mengenai pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas ini menyangkut pula jenis ikan yang beruaya terbatas (stradling fish stocks) dan beruaya jauh (highly migratory species). Dengan kurang diaturnya secara spesfik terkait kewajiban perlindungan dan pelestarian lingkungan laut menunjukkan bahwa Konvensi Hukum Laut 1982 kurang efektif. Ketidakefektifan ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengakibatkan persediaan sumber daya ikan di laut lepas, khususnya jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan yang drastis. Hal ini mendorong masyarakat internasional mencari solusi guna mengatasi persoalan tersebut. Permasalahan yang timbul adalah karena keten tuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai pengelolaan sumber daya ikan dan biota laut lainnya kurang memadai lagi dalam mengatur langkah-langkah pemantauan dan penegakan hukum guna melindungi sumber daya ikan yang berkenaan dengan konservasi dan pengelolaan sumber daya laut yang bertanggung jawab, termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ( E.D Brown, 1994 : 321): 46 a. Kegiatan penangkapan ikan dan biota laut yang belum diatur; b. Jumlah kapal perikanan yang berlebihan ; c. Pembenderaan semu untuk menghindari pengawasan dari negara bendera kapal; c. Data perikanan yang tidak memadai ; d. Kurang kerja sama antar negara Solusi atas permasalahan tersebut ialah terletak pada Paragraf 17.49 Agenda 21 yang dihasilkan pada penyelenggaraan KTT Bumi pada tahun 1992 yakni meminta negara-negara untuk mengambil langkah-langkah baik di tingkat regional maupun global untuk menjamin segala pemberdayaan sumber daya laut sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982 dengan menyusun peraturan pelaksanaanya ( Dikdik Mohamad, 2011: 141). Selain Konvensi Hukum Laut 1982, instrumeninstrumen nasional berkaitan dengan kegiatan perikanan dan sumber daya hayati laut telah berkembang baik berupa hard laws maupun soft laws. Pada umumnya hard laws sebagai sumber hukum berupa perjanjian internasional, yang meliputi: treaties,coventions, agreements, dan lain-lain. ( Dikdik Mohamad, 2011 : 139). Salah satu permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian ini ialah mengenai perlindungan terhadap paus sebagai biota laut yang keberadaannya sudah terancam punah. Data yang dirilis oleh International Whaling Commission (IWC) menunjukkan adanya penurunan populasi beberapa jenis paus yang terjadi di perairan seluruh dunia paus seperti Minke Whales, Blue Whales, Fin Whales, Gray Whales, Bowhead Whales, Humpback Whales, Right Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales, Balin Whales dan Sei Whales yang terjadi di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus tersebut populasinya telah mengalami penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per tahunnya sejak tahun 1985 sampai tahun 2010 (https://iwc.int/estimate#table diakses pada tanggal 29 April 2015 Pukul 1.29 WIB). Data lain ditemukan oleh World Wildlife Fund (WWF) bahwa keberadaan populasi paus yang kian menurun mengancam keseimbangan ekosistem laut. (http://www.worldwildlife.org/species/whale diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pada pukul 1.45 WIB). 47 “Whales are at the top of the food chain and have an important role in the overall health of the marine environment. Unfortunately their large size and mythical aura does not protect them; seven out of the 14 great whale species are classified as endangered or vulnerable, even after decades of protection”. Menurut WWF juga terdapat 14 spesies paus yang statusnya telah terancam punah yaitu North Atlantic Whale, Gray Whale, Bowhead Whale, Fin Whale, Sei Whale, Blue Whale, Narwhal, Beluga dan Pilot Whale. (http://www.worldwildlife.org/species/whale diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pada pukul 1.49 WIB) .Seperti yang telah diulas dalam bab sebelumnya bahwa paus merupakan jenis biota laut yang menjadi bagian dari sumber keanekaragaman hayati (biodiversity) yang wajib dilindungi serta dilesterikan keberadaannya. Mengingat bahwa populasi paus yang kian menurun akibat perburuan secara illegal yang berlebihan ( Illegal Whale Overfishing ) yang diklasifikasikan menurut International Whalling Comission (IWC) menjadi perburuan yang bersifat komersil (Comercial Whalling) dan perburuan yang bersifat tradisi masyarakat tertentu (Aboriginal Subsitence Whaling) maka diperlukaan beberapa upaya perlindungan lebih lanjut menangani hal tersebut. Istilah Over Fishing tercantum dalam International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) yakni : “Considering that the history of whaling has seen overfishing of one area after another and of one species of whale after another to such a degree that it is essential to protect all species of whales from further over fishing;” Kemudian lebih jelas lagi menurut Ocean National Geographic istilah Over Fishing ialah (http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine- seas/critical issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53 WIB) : “Simply the taking of wildlife from the sea at rates too high for fished species to replace themselves. The earliest overfishing occurred in the early 1800s when humans, seeking blubber for lamp oil, decimated the whale population. Some fish that we eat, including Atlantic cod and herring and California's sardines, were also harvested to the brink of extinction by the mid-1900s” 48 Over Fishing ialah pengambilan sumber daya laut secara berlebihan seperti spesies ikan dan hewan laut lainnya untuk keperluan manusia. Awal mula Over Fishing terjadi pada tahun sekitar tahun 1800 dimana manusia mencari lemak sebagai bahan lampu minyak sehingga menurunkan populasi paus, ikan sarden dan ikan herring. Sehingga mengakibatkan penuruan populasi hingga pertengahan tahun 1900. (http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine- seas/critical issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53 WIB). Sementara itu, menurut Black’s Law Dictionary istillah illegal berarti : “Not authorized by law; Illicit ; unlawful; contrary to law.Sometimes this term means merely that which lacks authority of or support from law;but more frequently it imports a violation. Etymo- logicaily, the word seems to conveythe negative meaning only. But in ordinary use it has a severer, stronger signification;the idea of censure or condemnation for breaking law is usually presented. But the lawimplied in illegal is not necessarily an express statute. Tilings are called "illegal" for aviolation of common-law principles. And the term does not imply that the act spoken ofis immoral or wicked; it implies only a breach of the law” (http://thelawdictionary.org/letter/i/page/3/ diakses pada tanggal 11 Desember 2015 , Pukul 1.13 WIB). Menurut penjelasan diatas menunjukkan bahwa kata illegal merupakan tindakan ataupun perbuatan yang tidak diizinkan oleh hukum, melanggar hukum, dan bertentangan dengan hukum. Secara etimologi penggunaan kata illegal menunjukkan tindakan yang dikecam karena melanggar hukum yang berlaku dan melanggar batasan-batasan moral atau amoral atau bisa disebut pelanggaran hukum. Illegal Whale Over Fishing adalah tindakan menangkap atau berburu paus secara berlebihan yang melanggar instrumen-instrumen hukum yang berlaku. Penurunan populasi paus yang mengancam keseimbangan lingkungan laut saat ini menjadi konsentrasi masyarakat internasional. Berbagai upaya dilakukan seperti pembuatan dan penegakan regulasi baik regional maupun internasional, upaya konservasi dan perlindungan, pembatasan dan pelararangan (moratorium) dan sebagainya. Sebelum terbentuknya Konvensi Hukum Laut 1982, permasalahan perburuan terhadap paus sudah menjadi permasalahan di lingkup internasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pembentukan sebuah konvensi yang khusus 49 membahas perburuan paus yakni International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Pembuatan konvensi ini mendahului pembuatan Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS, oleh karena itu dalam ICRW tidak dipengaruhi dengan substansi pembagian lautan di zona maritim dan hak-hak negara bagian dan negara bendera pesisir seperti yang diatur dalam UNCLOS. ICRW mengatur regulasi terkait kapal-kapal penangkap ikan (factory ships) , land stations, dan yurisdiki penangkapan paus serta persetujuan pemerintah (Contracting Governments) hal ini terdapat pada Article II ICRW. Konvensi ini tidak mempengaruhi hak berdaulat negara pantai atas mamalialaut seperti paus di Zona Ekslusif Ekonomi (ZEE) yang ada pada pasal 65 UNCLOS. ICRW memiliki hak dibawah UNCLOS. Misalnya penangkapan paus komersial di Samudera Hindia, sebuah pantai di India tetap bisa melarang semua penangkapan paus di wilayah ZEE nya. Sebaliknya ICRW tidak dapat mengotorisasi pengangkapan paus di wilayah ZEE berdasarkan pasal 65 UNCLOS. Saat ini penangkapan paus masih terus berlangsung walaupun terdapat moratorium penangkapan paus untuk kepentingan komersial. Beberapa penangkapan paus diperbolehkan untuk tujuan penelitian seperti di Greenland dan Amerika Serikat. Selain itu Norwegia juga masih melakukan perburuan paus komersial pada North Atlantic yang memburu paus Minke. Islandia dan Jepang pun masih terlibat dalam penangkapan paus atas dasar tujuan ilmiah (E.J. Molenaar, 2001 : 561). International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) merupakan konvensi yang fokus terhadap perlindungan populasi paus di seluruh dunia yang telah diratifikasi oleh beberapa negara. Sebelum mengejawantahkan seperti apa bentuk perlindungan paus berdasarkan konvensi ini maka diperlukan penjelasan secara rinci apa saja yang dimuat dalam ICRW. Konvensi ini memiliki 11 (sebelas) Article dan dilengkapi protokol tambahan sebagai aturan pelengkapnya. Kesebelas Article tersebut memuat perihal penting terkait perlindungan terhadap paus antara lain: a. Article I : Artikel ini menjelaskan bahwa konvensi ini memuat pula beberapa agenda tertentu yang menjadi bagian integral didalamnya dan juga dijelaskan bahwa diberlakukan untuk pemilik kapal (factory ship), 50 pengumpul ( dermaga) dan penangkap paus yang harus tunduk pada yurisdiksi pemerintahan setiap negara peserta konvensi ini (ICRW, 1946 : 4); b. Article II : Artikel ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kapal (factory ship), stasiun dermaga ( land station) , penangkap paus (whale catcher), negara peserta yang telah meratifikasi atau mematuhi konvensi ini (contracting government) (ICRW, 1946 :4) ; c. Article III : Artikel ini menjelaskan bahwa negara peserta bersepakat untuk membentuk International Whaling Commission (IWC). Dan setiap hak pilih. Dalam artikel ini menjelaskan pula struktur organisasi ( Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan staf). Kemudian dijelaska pula 2 (dua) tahun setelah diberlakukannya konvensi ini, diperlukan koordinasi dengan badan-badan khusus yang berada di naungan PBB dalam mewujudukan tujuan yang sama yakni perihal konservasi dan pelestarian lingkungan (ICRW, 1946 :4) ; d. Article IV : Artikel ini menjelaskan bahwa IWC dapat bekerja sama dengan lembaga independen baik dari pihak pemerintah atau lembaga publik atau swasta dan organisasi-organisasi lain yang bersifat independen. Hal tersebut berkaitan dengan tugas-tugas IWC lebih lanjut seperti (ICRW, 1946 : 5) : 1) Mendorong, merekomendasikan, atau jika perlu, mengatur penelitian dan investigasi yang berkaitan dengan paus; 2) Mengumpulkan dan menganalisis informasi statistik mengenai kondisi saat ini dan jumlah populasi paus dan efek kegiatan penangkapan ikan paus; 3) Studi, menilai, dan menyebarluaskan informasi mengenai metode melestarikan dan meningkatkan populasi paus. IWC mengatur publikasi laporan kegiatan dan dapat melakukan publikasi secara mandiri atau bekerja sama dengan organisasi lain misalnya terkait data statisik populasi paus ataupun organisasi serta lembaga lain yang dianggap dapat memberikan data statistik jumlah paus yang sesuai dan bersifat ilmiah. 51 e. Article V : Artikel ini menjelaskan bahwa komisi ini (IWC) dapat mengadopsi peraturan sehubungan degan konservasi dan pemanfaatan serta perbaikan sumber daya paus . Maka diaturlah ketentuan batas-batas tertentu mengenai ( ICRW , 1946 : 5) : 1) Dilindungi dan tidak dilindungi spesies 2) Musim terbuka dan tertutup 3) Perairan terbuka dan tertutub dan penunjukkan daerah khusus 4) Batas ukuran untuk setiap spesies 5) Waktu, metode dan intensitas perburuan paus (termasuk hasil tangkapan maksimum paus yang aka diambil dalam satu musim) 6) Jenis dan spesifikasi peralatan dan alat-alat yang digunakan, metode pengukuran dan catatan statistik biologi lainnya. Dalam artikel ini juga menjelaskan bahwa IWC memiliki beberapa ketentuan penting lainnya seperti : 1) Segala agenda yang dijalankan oleh IWC diperuntukkan untuk melaksanakan tujuan utama konvensi yakni menyediakan sarana untuk konservasi, pengembangan dan pemanfaatan secara optimal perlindungan sumber daya paus; 2) Segala aktivitas pelestarian harus berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah; 3) Konvensi ini tidak melibatkan pembatasan jumlah atau kebangsaan kapal, dermaga dan mempertimbangkan kepetingan konsumen produk paus dan industri penangkapan paus; 4) Amandemen terhadap konvensi ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari saja setelah amandemen oleh masing-masing pemerintah negara peserta, dan apabila terdapat keberatan lagi dan mempengaruhi efektivitas di setiap negara maka dapat dilakukan tinjauan ulang dengan tambahan waktu 90 (sembilan puluh) hari; 5) Apabila terdapat keberatan pemerintah negara-negara anggota harus memberitahukan kepada negara anggota lainnya dan IWC harus menerima setiap keberatan dan negara anggota lainnya harus mengakui serta menerima semua pemberitahuan dari adanya amandemen, 52 keberatan, dan penarikan. Tidak ada amandemen yang berlaku sebelum 1 Juli 1949. f. Article VI : Artikel ini menjelaskan bahwa IWC dapat melakukan tahapan membuat rekomendasi secara bertahap kepada beberapa negara peserta konvensi atau apapun persoalan yang memiliki hubungan dengan paus atau perburuan paus yang bersesuaian dengan fakta-fakta dan tujuan dari ICRW (ICRW, 1946 : 6) ; g. Article VII : Artikel ini menjelaskan bahwa negara peserta harus memastikan data-data lebih lanjut mengenai data statistik populasi paus ke International Bureau for Whaling Statistics di Norwegia ataupun badan lain yang ditunjuk oleh IWC yang dapat memberitahukan informasi statistik dan lainnya yag diperlukan sesuai dengan ICRW (ICRW, 1946 : 7); h. Article VIII : Artikel ini menjelaskan bahwa meskipun terkandung dalam konvensi ini (ICRW) setiap negara peserta yang telah meratifikasi ICRW dapat memberikan ijin khusus kepada setiap warga negaranya (Special Permit) kepada otoritas yang berwenang di negara masing-masing untuk membunuh, mengambil dan mengobati paus hanya untuk tujuan riset ilmiah, dan apabila pemerintahan suatu negara memberikan ijin maka segala konsekuensi akan dibebaskan dari tindak operasi berdasarkan konvensi ini (ICRW). Dengan demikian setiap otoritas yang berwenang dalam negara tersebut wajib untuk melaporkan kepada IWC dan setiap otoritas yang berwenang di suatu negara dapat setiap saat mencabut ijin khusu yang telah diberikan.Setiap paus yag diambil harus sesuai ijin khusus dalam hal proses dan operasionalnya searah dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berwenang. Kemudian setiap negara yang memberikan ijin khusus tersebut harus mengirimkan laporan praktis dan informasi hasil riset pada interval waktu tidak lebih dari satu tahun mengenai kepada IWC dan berlaku hal yang sama pada Article IV untuk setiap lembaga independen lain yang memiliki kerja sama denga IWC. Selanjutnya dalam Artikel ini diterangkan pula IWC berhak untuk melakukan tindakan praktis apapun untuk 53 mendapatkan data dan infomasi biologis ke setiap kapal penangkap ( Factory Ship) dan dermaga pengelelola ( Land Station) (ICRW, 1946 : 7); i. Article IX : Artikel ini menjelaskan bahwa setiap negara peserta wajib mengambil tindakan yang tepat untuk dapat memastikan penerapan ketentuan konvensi (ICRW) dan hukuman atas suatu pelanggaran terhadap ketentuan terkait kegiatan operasional yang dilakukan oleh individu maupun kapal-kapal. Dijelaska pula bahwa, tidak ada imbalan lainnya atas hasil kerja para penangkap/awak penangkap paus (Whale Catcher) sehubungan dengan kegiatan komersial yang dilarang dalam konvensi ini. Kemudian mengenai penuntutan untuk pelanggaran terhadap ketidaksetujuan atas konvensi ini (ICRW) harus diproses sesuai yurisdiksi suatu negara yang memiliki pelanggaran itu. Setiap pemerintaha suatu negara yang telah menyepakati akan mengirimkan secara rinci informasi setiap pelanggaran yag dilakukan oleh individu maupun kapal-kapal dari ketentuan-ketentuan dalam ICRW kepada IWC dan langkah-langkah penentua hukuman atas pelanggaran tersebut ditentukan oleh yurisdiksi di dalam suatu negara (ICRW, 1946 : 7); j. Article X : Artikel ini menjelaskan bahwa konvensi ini (ICRW) akan diratfikasi dan instrumen hasil ratifikasi akan disimpan oleh Pemerintah negara Amerika Serikat. Setiap negara yang belum menandatangani ICRW dapat mematuhi hal tersebut setelah adanya pemberitahuan secara tertulis kepada pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat juga harus mendapatkan informasi atas semua negara-negara yang telah menandatangani ICRW dan semua negara yang telah meratifikasi. Kemudian ICRW menegaskan jika konvensi ini setidaknya telah diratifikasi maka instrumen hasil ratifikasi baiknya disimpan oleh setidaknya enam negara penandatangan, yang meliputi Belanda, Norwegia, Uni Soviet, Inggris, Irlandia Utara dan Amerika Serikat. Ketentuan-ketentuan ini semuanya tidak berlaku sebelum 1 Juli 1948. Amandemen atas ketentuanketentua ini yang diadopsi sesuai dengan Pasal V tidak berlaku sebelum 1 Juli 1949 (ICRW, 1946 : 8); 54 k. Article XI : Artikel ini menjelaskan bahwa setiap negara yang telah menyetujui ICRW dapat menarik diri dari Konvensi ini pada tanggal 30 Juni, setiap tahunnya dengan memberikan pemberitahuan pada atau sebelum 1 Januari, pada tahun yang sama pula kepada negara penyimpan instrumen. Setiap negara yang telah menyetujui lainnya juga mendapatkan informasi tersebut dalam waktu satu bulan sejak diterimanya salinan pemberitahuan tersebut dari negara penyimpana atas ajuan pengunduran diri, sehingga ICRW ini akan berhenti berlaku pada tanggal 30 Juni di tahun yang sama. Konvensi ini (ICRW) akan menentukan tanggal dibukanya untuk ditandatangani lagi dan akan tetap terbuka untuk penandatanganan untuk jangka waktu empat belas hari sesudahnya (ICRW, 1946 : 8). Pengaturan perlindungan terhadap paus dimanifestasikan kedalam ICRW merupakan salah satu bentuk pengaturan perlindungan lingkungan secara global menggunakan pendekatan global (global approach), yaitu suatu pendekatan yang mengutamakan kepentingan bersama (common interest) ( Stewart M, 1991 : 819). Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa (Mochtar Kusumaatmadja, 1982 : 12) : “..........masyarakat internasional merupakan kehidupan bersama daripada negara-negara yang merdeka dan sederajat, ..... kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubunganhubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama”. Atas dasar kepentingan bersama maka pentingnya perlindungan paus merupakan salah satu upaya memelihara kepentingan bersama serta mengatasi permasalahan yang berdampak masif dan global seperti perburuan paus secara illegal dan berlebihan (Illegal Whale Over Fishing). Berdasarkan klasifikasi yang ditentukan oleh IWC, perburuan paus dikategorikan menjadi dua yakni Commercial Whaling dan Aboriginal Subsitence Whaling (Sandra Altherr, 2011 :7). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandra Altherr dan Jennifer Londsale terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara Commercial Whaling dan Aboriginal Substience Whaling pada fakta dan prakteknya selama ini : 55 a. Perburuan Paus Komersial (Commercial Whaling) Ketidakjelasan yang terkandung dalam Article VIII ICRW yang dijelaskan pada uraian sebelumnya membolehkan perburuan paus apabila terdapat ijin khusus (Special Permit) atas ijin otoritas yang berwenang di setiap negara untuk kegiatan penelitian ataupun riset ilmiah. Hal ini yang banyak digunakan beberapa negara seperti Jepang, Islandia dan Norwegia sebagai dasar untuk melakukan tindakan perburuan paus. Seperti yang dilakukan oleh Jepang dalam proyek penelitian ilmiahnya. Pelarangan aktivitas perburuan paus yang bersifat illegal yang dilakukan oleh Jepang yakni dikabulkannya gugatan Australia kepada Jepang oleh Mahkamah Internasional (The International Court of Justice)pada tanggal 31 Maret 2014 terkait program penangkapan paus Jepang di Antartika (JARPA II). Program JARPA II dinilai telah melanggar Article VIII (I) di dalam ICRW. Program JAPRA II dilakukan atas dasar penelitian ilmiah, namun pada kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan pausdengan jumlah yang berlebihan dan daging hasil perburuan diperdagangkan untuk memperoleh profit. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa program JAPRA II adalah program yang illegal. Mahkamah Internasional tidak secara langsung melarang program ini namun meminta Jepang menghentikan program tersebut dan pemerintah Jepang harus berhenti megeluarkan ijin untuk penyelenggaraannya. Mahkamah Internasional menilai bahwa program ini tidak sesuai dengan tujuan suatu penelitian ilmiah karena jumlah paus yang dibunuh tidak dibenarkan dalam ilmu pengetahuan dan termasuk tindakan penangkapan yang membahayakan keseimbangan ekosistem laut (http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/japanres earch-whaling-ruled-illegal-International-Court-of-Justice/blog/48725/ pada tanggal 8 Mei 2015 pada pukul 22.30 WIB). “The judges of the International Court of Justice handed down its long anticipated decision on whether Japan's government-subsidised whaling programme in the Southern Ocean should be allowed to continue.While today's ruling did not outlaw the killing of whales for scientific research per se, it categorically stated that Japan's whaling programme in the Southern Ocean was not for scientific purposes, and the amount diakses 56 of whales being killed was not justifiable in the name of science. The court went on to say that Japan must stop issuing permits for this whaling”. Selain Jepang negara lain yang memanfaatkan celah Article VIII misalnya seperti Islandia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh International Whaling Comission (IWC) menyebutkan bahwa Islandia adalah salah satu negara yang aktif melakukan perburuan yang bersifat komersil (Commercial Whaling) . Perburuan paus di Islandia sudah menjadi komoditi perdagangan. Spesies paus yang diburu ialah paus Fin dan paus Minke yang tergolong langka. IWC memberikan bentuk pencegahan seperti memberikan moratorium penangkapan paus dengan menerapkan batas jumlah paus yang ditangkap untuk kepentinga komersil. Namun pada prakteknya pemerintah Islandia tetap memegang ketentuan yang diatur pada Article VIII yakni berlakunya ijin khusus yang diberikan pemerintah Islandia. Sehingga pemberian moratorium penangkapan paus (19851986) ditolak oleh Islandia dengan lebih lanjut meninggalkan keanggotaan pada IWC, walaupun pada akhirnya bergabung lagi dalam keanggotaan IWC (https://iwc.int/iceland diakses pada tanggal 16 Desember 2015, pada Pukul 11.06 WIB). Namun pernyataan berbeda diberikan oleh pemerintah Islandia bahwa Islandia buka satu-satunya negara yang memburu paus dalam skala besar. Bahkan perburuan terbesar dilakukan oleh negara anggota IWC lain seperti, Amerika Serikat, Rusia, Norwegia, Jepang dan Greenland. Pemerintah Islandia mengklaim bahwa pihaknya tetap menghargai kebutuhah untuk konservasi sumber daya laut. Islandia adalah negara yang perolehan ekonominya bergantung pada sumber daya laut. Walaupun demikian, Islandia tetap mentaati peraturan yang diberikan IWC. Pada tahun 2006 perburuan paus secara komersil telah menangkap 7 (tujuh) paus sirip (paus Fin) dan 1(satu) paus Minke serta 60 paus Minke lainnya tertangkap untuk rencana penelitian. Kemudian pada setiap tahunnya dengan menangkap kurang lebih 40 ekor paus untuk kepentingan ilmiah. Pemerintah Islandia melakukan penangkapan untuk proyek penelitian dan memahami peran hewan paus dan bagaimana paus memangsa spesies lain di habitatnya 57 (http://www.fisheries.is/management/government-policy/whaling/ diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada Pukul 11.21 WIB). Selain Jepang dan Islandia perburuan paus yang bersifat komersil juga dilakukan oleh negara Norwegia. Norwegia adalah salah satu negara yang aktif melakukan perburuan paus yang bersifat komersil. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh IWC, Norwegia memburu cukup banyak daripada negara lainnya. Norwegia berburu paus minke di bawah 'keberatan' moratorium yang ditetapkan oleh IWC namun Norwegia tetap mempertahankan haknya untuk berburu paus. Pada tahun 2015 Norwegia membunuh beberapa 660 paus minke. Pada tahun 2014 Norwegia dilaporkan 729 paus (http://us.whales.org/issues/whaling-in-norway minke diakses tewas pada diburu tanggal 16 Desember 2015 pada pukul 13.45 WIB). Gambar 3.1.1 : Jumlah Perburuan paus di Norwegia dan Kuota yang ditetapkan IWC Pada Tabel 3.1.1 yang dirilis oleh Whale and Dolphine Conservation diatas menunjukkan perburuan paus di Norwegia dari tahun 2002 sampai 2013 mengalami kondisi fluktuatif dari tahun ke tahun. Larangan IWC terkait 58 penangkapan paus secara komersil yang mulai berlaku sejak 1986 mendapatkan respon persetujuan pada awalnya oleh Norwegia. Menurut sebuah laporan oleh Dewan Ekspor Makanan Laut Norwegia, ketidakmampuan perusahaan penangkapan ikan paus Norwegia untuk mengekspor produk paus ke Jepang menyebabkan perusahaan mendapatkan kerugian hingga sekitar 9,8 juta kroner Norwegia, atau US $ 1,12 juta. Pada tahun 2001, pemerintah Norwegia memutuskan untuk melanjutkan ekspor daging dan lemak ke Jepang, meskipun IWC dan CITES tetap memberikan larangan (http://us.whales.org/issues/whalingin-norway diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada Pukul 14.03 WIB). b. Perburuan Paus ASW (Aboriginal Subsitence Whaling) Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sandra Altherr dan Jennifer, berdasarkan peraturan yang dibuat oleh IWC yang dimaksud dengan Aboriginal Subsitence Whaling (ASW) merupakan perburan paus untuk kepentingan budaya ataupun tradisi masyarakat lokal di suatu negara. IWC mengklasifikasikan negara yang diakui olehnya untuk melakukan kegiatan IWC yaitu Greenland, Alaska, Chukotka (bagian dari federasi Rusia) dan Grenadies. Pada prakteknya IWC memberikan jadwal yang ketentuan yang jelas yakni hanya membolehkan perburuan paus untuk diambil lemak dan dagingnya yang digunakan ekslusif untuk konsumsi lokal. Sepenuhnya ASW merupakan tanggung jawab pemerintah nasional setiap negara dengan tetap memberikan bukti dan informasi kepada IWC terkait kebutuhan gizi, latar belakang budaya dan kepentingan masyarakat adat. Greenland adalah salah satu wilayah yang masih melakukan perburuan paus atas tradisi ( Sandra Altherr, 2011l : 7). Gambar 3.1.2 : Perburuan Paus di Greenland 59 Greenland secara historis diberi kuota perburuan paus oleh IWC untuk kegiatan tradisi guna kepentingan pemenuha kebutuha pangan masyarakat Greenland. Menurut data pada Tabel 3.1.2 yang dirilis oleh Whale and Dolphine Conservation menujukkan perburuan paus di Greenland dari tahun 1987 sampai 2013 mengalami kondisi fluktuatif dari tahun ke tahun walaupun secara keseluruhan mengalami peningkatan, dimana perburuan terendah ada pada tahun 1989 dan perburuan terbanyak ada pada tahun 2011. Spesies paus yang diburu yakni paus Minke, paus Sei , paus Bowhead, paus Humpback, dan paus Fin. Tuntutan situasi pasar modern membuat keistimewaan perburuan ASW disalahgunakan sehingga pemberlakukan ASW dikomersialisasi menjadi komoditi pangan yang dijualbelikan. Menurut survei yang dilakukan oleh Whale and Dolphine Conservation yakni adanya kekhawatiran bahwa alasan kebutuhan pemenuhan gizi hanyalah bentuk laindari penangkapan paus secara komersial (http://us.whales.org/issues/whaling-in-norway diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 12.38 WIB). Pada dasarnya masyarakat internasional mengakui hak-hak penduduk asli tertentu untuk memburu paus guna memenuhi kebutuhan gizi dan budaya. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Whale and Dolphine Conservation fakta baru menujukkan bahwa selama beberapa tahun terakhir definisi ASW disalahgunakan, dimana daging paus di jual kepada para wisatawan yang berkunjung. Hal ini secara tidak langsung telah mengaburkan makna dan deifinisi ASW dan bukan tidak mungkin kegiatan ASW akan terus berlangsung melanjutka perburuan paus komersial (http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 12.58 WIB). Tindakan perburuan ASW memungkinkan untuk berburu satwa langka. Walaupun IWC telah memberikan moratorium penangkapan paus secara komersial pada tahun 1986. Namun, masyarakat internasional memiliki kebijakan yang memungkinkan masyarakat adat tertentu untuk berburu paus yang dinyatakan dilindungi untuk memenuhi kepentingan budaya. Dalam ICRW tidak menerangkan secara jelas terkait hal ini. Sehingga pelaksanaan ASW di beberapa daerah atau negara masih menjadi isu-isu kontroversial bagi IWC dan masyarakat 60 internasional (http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 13.05 WIB). Suatu negara dalam mengajukan hak untuk menjalankan ASW terhadap IWC harus dimulai dengan tahap pernyataan namun tidak ada spesifikasi atau kerangka acuan dokumen seperti apa yang dibutuhkan. Kemudian selanjutnya IWC akan menetapkan kuota pembolehan berburu paus dengan didahului riset untuk menyeimbangkan terhadap kelangsungan kehidupan alam. Pada tataran ini IWC lebih meringankan prosedural perburuan ASW daripada perburuan komersial . Oleh karena itu penting untuk paus yang penangkapan ikan paus asli dikelola dengan baik oleh IWC untuk menghindari penyalahgunaan kategori ini (http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 16.07 WIB). c. Perburuan Paus Ilmiah atau Special Permit Whaling ( Scientific Whaling ) Special Permit Whaling atau Scientific Whaling adalah perburuan paus yang memiliki ijin khusus untuk membunuh, mengambil, dan mengobati paus untuk penelitian ilmiah. Hal ini diatur pada Article VIII ICRW yang menyatakan bahwa negara-negara diijinkan untuk membuhuh guna penelitian ilmiah. Article VIII memberikan tanggung jawab untuk menetapkan dan mengatur regulasi lebih lanjut tersebut kepada pemerintah masing-masing, bukan IWC. Meskipun IWC tidak mengatur secara rinci dan memberikan ijin untuk penangkapan, namun setiap negara yang ingin melakukan Special Permit harus melaporkan kepada IWC dalam bentuk laporan ilmiah setidaknya setiap tahun. Informasi yang diterima oleh IWC akan digunakan untuk meninjau kegiatan Special Permit Whaling . IWC nantinya akan membuat komentar ataupun ulasan dari laporan tersebut dari pihak pemerintah setiap negara. Komentar ataupun ulasan tersebut diberikan dalam bentuk resolusi. Resolusi yang diberikan oleh IWC secara hukum tidak mengikat dan setiap negara masih berhak bertindak dengan tidak menjalankan resolusi tersebut. (https://iwc.int/permits diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 22.58 WIB). Secara historis IWC pun telah mampu 61 mencapai kesepakatan tentang izin penangkapan paus (Special Permit) seperti pada tahun 2010, IWC bersama pemerintah Australia ( dengan intervensi Selandi Baru) membawa kasus perburuan paus di Jepang ke Mahkamah Internasional. Kasus tersebut mempersoalkan tentang program ijin khusus Jepang guna melakukan proyek penelitian di Antartika (Jarpa II). Namun pada tahun 2014 Mahkamah Internasional menyampaikan putusannya bahwa tindakan penelitian tersebut disalahgunakan dengan penemuan beberapa fakta daging paus yang telah dibunuh untuk penelitian diperdagangkan dan digunakan sebagai komoditi pangan. Implikasi daripada putusan tersebut, IWC mengadakan pertemuan besar pada bulan September 2014 untuk memberikan resolusi dengan mengadopsi kasus tersebut sebagai wujud perkembangan perburuan paus yakni saat ini (https://iwc.int/permits diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 23.06 WIB). Memahami fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya mengenai perkembangan perburuan paus selama ini yang telah melanggar peraturan atau illegal secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi kewajiban International Whaling Comission (IWC) sebagai badan yang ditugaskan secara langsung menjalankan serta melaksankan ketentuan-ketentuan yang diatur pada ICRW. Beberapa ketentuan pelaksanaan diatur lebih lanjut di dalam Protocol to the International Convention For The Regulation of Whaling tahun 1946 yang dilengkapi pula dengan penjelasan-penjelasan lebih lanjut dengan Schedule yang memberikan detail secara rinci terkait : t. Interpretation : Membahas klasifikasi paus yang di atur dalan ICRW; u. Seasons : Membahas mengenai Factory Ship Operations, Land Station Operations, dan Other Operations; v. Capture : Membahas mengenai pengaturan Area Limits For Factory Ships, Classifications of Areas and Divisions, Whales Stocks,Classifications of Stocks dan Whale Catch Limits. 62 Adapun pengaturan-pengaturan tersebut diatas pada dasarnya menjadi landasan dan dasar yang jelas untuk IWC dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam melindungi populasi paus dari tindaka perburuan illegal berdasarkan ICRW. Upayaupaya yang dilakukan IWC tersebut antara lain : a. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan Perlindungan Paus Dari Tindakan Aboriginal Subsitence Whaling Adapun tujuan pengelolaan ASW yang diadopsi oleh IWC pada tahun 1981 yaitu (https://iwc.int/aboriginal diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 14.14 WIB) : 1) Untuk memastikan bahwa resiko kepunahan populasi paus tidak meningkat akibat pelaksanaan ASW oleh masyarakat tertentu; 2) Untuk memungkinkan masyarakat dalam menjalankan tradisinya berburu paus didasarkan untuk pemenuhan kebutuhan gizi dan kepentingan budaya; 3) Untuk mempertahankan populasi paus tetap pada standar tingkatan tertinggi agar terdapat kepastian populasi paus tiap tahunnya guna melestarikan lingkungan hidup Dalam memastikan tujuan tersebut terwujud, IWC membentuk Ad Hoc ASW Work Group ( Kelompok Kerja Ad Hoc ) yang tugasnya mengidentifikasi dan mempertimbangkan problema-problema ASW yang belum terselesaikan yang nantinya akan diidentifikasikan ke dalam laporan dan diwujudkan lebih lanjut ke dalam rekomendasi yang berisi langkah-langkah ke depan yang dapat dijadikan pertimbangan. Berbagai problema yang kompleks yang dipertimbangkan meliputi: 1) Laporan standarisasi keperluan 2) Diskusi mengenai penghapusan istilah “Aborigin” dalam ASW yang menjadi isu kontroversial; 3) Memperoleh informasi yang memadai terkait batasan tangkapan paus dalam kegiatan ASW; 63 4) Masalah terkait komersialisme pengonsumsian daging paus yang dijual ke wisatawan; 5) Meningkatkan efisiensi operasional dan mengawal perburuan sesuai dengan peraturan Kelompok ini terdiri dari empat negara anggota ASW (Denmark, Rusia, St Vincent dan Grenadines dan Amerika Serikat, dan empat negara anggota IWC lainnya (Argentina, Austria, Jepang, dan Swiss). Dua anggota Komite Ilmiah IWC ( dari Australia dan Norwegia) juga sebagai anggota kelompok (https://iwc.int/private/downloads/6tHTVDkxoYwGaRhtHlXm8Q/64ASW%205%20Rev1%20-%20with%20Appendices.pdf diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 14.52 WIB). Selain itu IWC juga mengadakan lokakarya dengan para pakar lingjungan hidup, antropologi budaya dan gizi, ilmu sosial, biologi dan hukum hak asasi manusia, perwakilan pemburu paus dan perwakilan IWC serta stakeholders lainnya guna membahas praktik manajemen ASW dalam konteks yang lebih global dan lebih luas. Rekomendasi dari hasil lokakarya ini nantinya akan diserahkan ke Sub-Komite ASW untuk dijadikan penemuan baru sebagai dasar pembuatan peraturan baru yang bersifat lebih visioner (https://iwc.int/voluntary-fund-for-aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 15.10 WIB). Upaya lain yang dilakukan oleh IWC ialah menetapkan batasan kuota penangkapan paus ASW (Catch Limits) yang ditentukan berdasarkan wilayahwilayah suatu negara yang telah diakui IWC memiliki hak untuk melakukan perburuan paus atas dasar kepentingan budaya. IWC membentuk skema pelaksanaan ASW, kemudian dengan perhitungan secara ilmiah ditentukan batasbatas perairan yang dibolehkan untuk dilakukan suatu perburuan yang selanjutnya IWC menentukan batas kuota penangkapan paus untuk setiap wilayah ASW sepanjang tahun (https://iwc.int/table_aboriginal# diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 15.38 WIB). (Lihat Lampiran 3.1 : Tabel Kuota ASW Dari Tahun 1985 – 2013) . Kebijakan pembatasan kuota yang diterapkan 64 oleh IWC untuk daerah ASW seperti berikut (https://iwc.int/catches#aborig diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 16.01 WIB) : 1) Perairan Bering-Chukchi-Beaufort populasi paus kepala busur (diambil oleh orang-orang asli Alaska dan Chukotka). Total populasi yang diburu hingga 336 paus kepala busur di periode 2013-2018. Pembatasan yang diberikan ialah tidak lebih dari 67 di setiap tahun ; 2) Perairan Timur Pasifik Utara yang mana paus abu-abu diambil oleh orang-orang asli Chukotka dan Washington State - Penangkapan total sebayak 744 paus diperbolehkan untuk tahun 2013-2018 dengan maksimal 140 dalam satu tahun ; 3) Perairan East Greenland yang umumnya paus Minke (diambil oleh Greenland) – Perburuan paus diperbolehkan untuk tahun 2005-2018 ; 4) Perairan Greenland Barat yang mana paus kepala busur diambil oleh Greenland – Batas. Pembatasan perburuan tiap tahunnya yakni 2 ekor paus pada tahun 2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh Komite Ilmiah ; 5) Perairan Greenland Barat (diambil oleh Greenland) - Sebuah batas pemogokan tahunan 19 paus diperbolehkan untuk tahun 2015-2018 ; 6) Perairan Greenland Barat umumnya terdapat perburuan paus minke (diambil oleh Greenland) – Pembatasan kuota sebanyak 164 ekor paus diperbolehkan untuk tahun 2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh Komite Ilmiah ; 7) Perairan Greenland Barat (diambil oleh Greenland) – Terdapat pembatasan 10 paus diperbolehkan untuk tahun 2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh Komite Ilmiah ; 8) Paus bungkuk diburu oleh oleh St Vincent dan Grenadines - Untuk musim 20132018 jumlah paus bungkuk yang diambil tidak melebihi 24. Beberapa upaya sebagai bentuk penyelamatan dan perlindungan populasi paus yang dilakukan IWC seperti data di atas yakni dengan cara pembatasan kuota di setiap wilayah perairan. Langkah lebih nyata yang diterapkam oleh IWC ialah dengan memberikan Scientific Advice atau Saran Ilmiah yang memuat tentang perburuan yang berkelanjutan. Saran ilmiah ini diusulkan oleh Ad Hoc Working Group pada ASW yang 65 ada di setiap wilayah perairan. Selanjutnya kelompok kerja akan memberikan laporan yang berisi pertimbangan ilmiah yang akan diberikan kepada Komite Ilmiah IWC. Sebagai contoh ialah diberlakukannya saran ilmiah pada kelompok kerja di perairan Greenland yang melaporkan pelaksanaan ASW disana. Dan pada tahun 2008, Komisi Ilmiah IWC mengembangkan saran ilmiah tersebut didalam prosedur jangka panjang selanjutnya. Dalam pembuatan saran ilmiah membutuhkan pengetahuan yang cukup tentang populasi paus yang bersangkutan. Materi yang terkandung dalam saran ilmiah misalnya tentang bagaimana cara pemburu ASW membunuh paus dan membawanya ke daratan, sehingga dapat diteliti lebih lanjut apakah prosedur perburuan tersebut dapat mengancam keseimbangan lingkungan laut atau prosedur dalam perburuan dilakukan kurang manusiawi dan menyakiti atau menyiksa hewan secara berlebihan (https://iwc.int/scientific-advice-on-aboriginal-subsistence-whalin diakses pada tanggal 22 Desember 2015 pada pukul 1.53 WIB). IWC juga memiliki langkah perlindungan dengan melakukan tindakan konservasi. Tindakan konservasi dilakukan oleh Komite Konservasi yang bertugas melakukan penelitian sekaligus melaksanakan program konservasi berbagai macam spesies Cetacean termasuk paus. Pada pelaksanaanya Komite Konservasi bekerja sama erat dengan Komite Ilmiah untuk memahami dan mengatasi berbagai ancaman terhadap habitat spesies Cetacean termasuk habitat paus. Beberapa program konservasi yang dilakukan meliputi (https://iwc.int/aboriginal-subsistence-whaling-sub-committee diakses pada tanggal 22 Desember 2015 pada pukul 22.57 WIB) : 1) Strategi untuk menyediakan sebuah forum internasional yang menjadi wadah penampung saran yang direalisasikan ke dalam program Whalewatch, yang dikembangkan baik berupa online maupun offline; 2) Program pemberhentian operasi jalan kapal-kapal yang digunakan untuk perburuan paus; 3) Pengembangan konsep Rencana Pengelolaan Konservasi yang bersifat fleksibel dan kolaboratif yang diwujudkan ke dalam bentuk Blueprint yang berisi pengembangan langkah-langkah mitigasi bekerjasama dengan 66 masyarakat lokal, pemerintah regional, nasional maupun masyarakat internasional; 4) Bersama Komite Ilmiah, terdapat program lokakarya yang memiliki agenda yang membahas polutan-polutan yang mengancam ekosistem laut dan isu isu perburuan Cetacean secara khusus dan umum. Hasil lokakarya akan disampaikan saat Rapat Laporan Tahunan yang diselanggarakan IWC setiap tahunnya. Pada pelaksanaan ASW dinilai mengandung unsur kontroversial sehingga IWC sulit untuk meminimalisir tingkat perburuan yang mengancam habitat paus dan keseimbangan lingkungan laut. Setiap generasi tentu ingin mewarisi bumi dalam kondisi yang tetap baik. Menurut Weiss, terdapar prinsip intergenerational equity yang harus dipertimbangkan dalam hal ini. Prinsip ini mengandung penjelasan bahwa setiap generasi harus melindungi keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip kebudayaan dan lingkungan ( Weiss Brown, 1990 : 199). Namun fakta yang ditemukan oleh IWC menunjukkan seringkali pelaksanaan ASW yang legal diperbolehkan atas dasar budaya, disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Seperti, daging paus hasil perburuan masyarakat adat dalam tradisi yang telah dilaksanakan, sering kali dijual kepada wisatawan asing yang sedang berkunjung dan berwisata ke tempat tersebut dan daging paus banyak diperjualbelikan ke toko-toko yang tersebar di wilayah tersebut. Hal ini terjadi pada ketidaksesuaian tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jennifer Londsale, tradisi Grindadrap mengandung unsur perburuan komersil (Commercial Whaling) yang dilarang oleh IWC. Pada kasus ini, upaya yang telah dilakukan oleh IWC ialah menurunkan Work Group untuk melakukan kegiatan penelitian di wilayah Kepulauan Faroe. Namun untuk mencegah tindakan ini terus dilakukan, pihak IWC telah berkoordinasi dengan pemerintah Denmark dan pemerintah Kepulauan Faroe. Walaupun pada kenyataannya, tidak tercapai kesepakatan antara Denmark dan Kepualauan Faroe. Hal ini nampak pada kekukuhan pemerintah Kepulauan Faroe yang menjelaskan bahwa praktek perburuan ini didasarkan atas tradisi yang sudah berlangsung sejak lama dan diperkuat dengan adanya peraturan dari Kementerian Luar 67 Negeri Kepulauan Faroe “Whaling in The Faroe Island” pada tahun 2013 (Jennifer Londsale, 2011 : 11). b. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan Perlindungan Paus Dari Tindakan Commercial Whaling International Whaling Commission (IWC) bertanggung jawab untuk menetapkan batas penangkapan perburuan paus secara komersial. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan batas numerik sebagaimana tercantum dalam Lampiran ICRW. Sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap populasi paus yang lebih nyata, pada tahun 1982 IWC memutuskan bahwa harus ada jeda waktu dalam perburuan paus komersial pada tahun 1985, 1986 sampai seteursnya. Jeda waktu inilah yang disebut sebagai moratorium penangkapan dan perburuan paus secara komersial. Pada tahun 1982 IWC memutuskan bahwa harus ada jeda dalam perburuan paus komersial pada. Pelaksanaan moratorium ini masih berlangsung sampai sekarang. Norwegia dan Islandia telah acap kali melanggar moratorium ini. Norwegia dan Islandia memutuskan keberatan atas moratorium tersebut dengan menetapkan batas tangkapan sendiri dan tetap memberikan informasi berupa data ilmiah terkait kepada IWC. Walaupun seharusnya pelaksanaan moratorium ini mengikat ke semua anggota IWC, faktanya Norwegia masih sering melakukan perburan di perairan Atlantik Utara (Lihat Lampiran 3.2 : Data Batas Tangkapan Paus Komersial Oleh IWC). Umumnya paus yang diburu ialah paus Minke pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) wilayah perairan Norwegia. Islandia juga masih melakukan perburuan paus Fin atau paus sirip pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) wilayah perairan Islandia yang masuk kedalam kawasan perairan Atlantik Utara (https://iwc.int/commercial diakses pada tanggal 23 Desember 2015 pada pukul 2.25 WIB) . c. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan Perlindungan Paus Dari Tindakan Special Permit Whaling Special Permit Whaling atau yang biasa disebut Perburuan Ilmiah dilegalkan berdasarkan Article VIII yang terkandung pada ICRW. Pada implementasinya IWC juga tetap memberikan upaya pengawasan dalam rangka perlindungan paus 68 terhadap kegiatan ini. Walaupun berdasarkan Article VIII, terkait praktek dan segala peraturan lebih lanjut dilimpahkan oleh pemerintah negara masing-masing, tetapi IWC berhak memberikan rekomendasinya apabila dibutuhkan jika terjadi pelanggaran terhadap ICRW. Hal ini nampak pada peran IWC dalam penyelesaian kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Jepang ( https://iwc.int/permits diakses pada tanggal 23 Desember 2015 pada pukul 2.49 WIB). Pada bulan Maret 2014 lebih dari 16.000 paus Sperma, paus Sei, paus Minke dan paus Sirip telah dibunuh dengan menggunakan izin ilmiah sejak moratorium penangkapan paus komersial yang mulai berlaku pada tahun 1986. Salah satu negara yang menggunakan izin tersebut ialah Jepang. Sebagai negara yang memiliki industri perikanan yang unggul, para pelaku industri melakukan upaya permohonan izin ke pemerintah Jepang untuk mempertahankan dan mendukung perburuan paus dengan dalih pemasukan penjualan hasil perburuan paus memberikan sumbangsih terhadap pendapatan nasional (http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 16.54 WIB). Menurut pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh Australian Whale Conservation bahwa terdapat kritik keras terhadap penangkapan paus secara ilmiah oleh Komite Ilmiah IWC. Komite Ilmiah telah meminta Jepang berkali-kali untuk menghentikan program penelitian. Ditemukan pula data bahwa program penangkapan paus ilmiah yang dilakukan Jepang di Samudera Pasifik (JARPN II) telah menangkap setidaknya 340 paus Minke 100 paus Sei, 50 paus Bryde, dan 10 paus Sperm setiap tahun. Dan pada tahun 2013, 95 paus Minke, 100 paus Sei, 28 paus Bryde dan 1 paus Sperm tewas. Pada program JARPA II yang dilakukan di Samudera Antartika merupakan program pengambilan 935 paus Minke, 50 paus Sirip dan beberapa paus Humpback. Sebagai bentuk kecaman atas tindakan ini ialah diajukannya gugatan terhadap program ini (Jepang) ke Mahkamah Internasional oleh Australia dan beberapa organisasi lingkungan. Dengan dikabulkannya oleh Mahkamah Internasional, Jepang dituntut untuk menghentikan program perburuan tersebut. Selain Jepang yang melakukan kegiatan perburua ilmiah, pada bulan Juli 2012, Korea Selatan mengumumkan akan melakukan penangkapan paus secara ilmiah 69 untuk sebuah proyek penelitian dalam memahami populasi paus dan kebiasaan paus. Hal ini dikarenakan munculnya fenomena makin menipisnya populasi paus Minke di perairan sekitar Korea Selatan(http://www.awcs.org.au/articles/scientificpermit-whaling diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 18.22 WIB). Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Australian Whale Conservation bahwa satu minggu kemudian setelah pernyataan Korea Selatan tersebut telah diadakan diskusi diplomatik dengan pihak Australia da negara-negara lain. Salah satu upaya yang dilakuka oleh IWC dalam penyelesaian masalah ini ialah memberikan nasehat (Scientific Advice). Atas tekanan dari berbagai macam organisasi internasional, negara-negara lain dan IWC, Korea Selatan akhirnya membatalkan wacana tersebut (http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 16.54 WIB). Upaya yang dipaparkan diatas setidaknya menunjukkan bahwa peran IWC cukup vital dalam hal dalam perlindungan populasi paus. Berbagai upaya dilakukan demi menekan dan meminalisir tindak perburuan ilegal. Denga didukung partisipasi dan inisiati dari negara-negara lain seperti Australia, organisasi internasional seperti Southern Ocean Research Partnership (SORP). Namun kendala-kendala masih ditemukan seperti masih banyak negara yang memiliki undang-undang nasional yang memungkinkan para peneliti untuk dapat sesekali membunuh spesies yang terancam punah guna keperluan analisis dan studi ilmiah. Kendala tersebut dapat diminimalisir dengan pembatasan dan pengawasan sangat ketat oleh kelembagaan pada IWC, pemerintah dan tekanan masyarakat internasional. Pada kasus penangkapan paus atas dasar ijin ilmiah yang dilakukan oleh Jepang, Jepang dinilai menyetujui ijin tersendiri melalui pemerintah Jepang dengan mengabaikan segala bentuk pengawasan secara eksternal. Komite Ilmiah IWC memberikan saran kepada Jepang untuk menggunakan sampel DNA dan pemantauan jarak jauh, agar pembunuhaan paus tidak perluk dilakukan. Sampel dapat dikumpulkan dari lemak, kotoran dan kulit paus yang ditumpahkan. Ataupun dapat mengumpulkan sampel ketika paus menghembuskan nafas melalui lubang sembur mereka. Sementara untuk mendeteksi perkiraan populasi paus secara akurat dapat menggunakan survei penampakan dengan teknik pengeinderaan jauh seperti identifikasi foto serta survei 70 akustik. Saat ini IWC sedang bekerja sama dengan ilmuwan dari International Fund for Animal Welfare dalam merintis teknologi dan teknik untuk mempelajari paus tanpa merugikan bahkan membunuh (http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 18.22 WIB). 2. Perlindungan Terhadap Paus Berdasarkan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) Permasalahan perburuan paus yang berlebihan dan cukup kompleks menjadi isu penting dalam penegakan hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip penting dalam hukum lingkungan internasional ialah The Duty to Inform Principle yakni suatu prinsip yang menegaskan bahwa setiap negara harus melakukan kerja sama internasional dalam mengatasi kerusakan lingkungan global dimana melalui kerjasama internasional dapat saling memberikan informasi tentang penyebab kerusakan dan cara menanggulangi kerusakan lingkungan global ( F. Maes, 2002 : 13). Dalam bukunya yang berjudul Environmental Law Principles, The Nature and The Law of The Sea : A Challenge to Legislators, Enviromental Law Principles ini Practice, Maes berpendapat bahwa prinsip hukum lingkungan internasional seperti prinsip The Duty to Inform menjadi landasan bagi semua stakeholder untuk mengembangkan regulasi dan target yang lebih jelas dan telah diterima dalam perjanjian atau konvensi ( F. Maes, 2002 : 14). Mencermati hal demikian, persoalan perburuan paus lebih utama telah diatur dalam International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Pada pembahasan sebelumnya ditegaskan bahwa pada ICRW mengatur larangan perburuan paus untuk diperdagangkan atau dikomersilkan dan hanya dibolehkam untuk kegiatan perburuan dalam rangka penelitian ilmiah. Selain ICRW, perburuan paus juga mendapatkan perhatian khusus. Dalam Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) paus merupakan spesimen satwa yang dilindungi. Konvensi ini lebih lanjut melarang adanya segala bentuk perburuan hewan langka dan dilindungi yang dijadikan komoditi perdagangan. Konvensi ini memiliki tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional 71 hewan langka dan tumbuhan langka tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. Konvensi ini dibuat dikarenakan makin banyaknya perdagangan hewan dan tumbuhan langka dimana perdagangan tersebut telah melewati batas negara atau menjadi rezim internasional. Maka dari itu kerja sama internasional atau antar negara dibutuhkan dalam menanggulangi persoalan ini. Selain itu konvensi ini bertujuan melindungi kelestarian hewan dan tumbuhan untuk menjamin keberlanjutan alam di masa depan (https://www.cites.org/eng/disc/what.php diakses pada tanggal 25 Desember 2015 pada pukul 16.48 WIB). Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) bekerja dengan membagi status-staus hewan dan tumbuhan menjadi beberapa kategori yang disesuai berdasarkan keadaan eksistensinya. Pada buku yang ditulis oleh Elli Louka berjudul International Environmental Law : Fairness, Effectiveness, and World Order menjelaskan bahwa : The CITES list species in three annexes. Appendix I includes the most endangered species. Appendix II includes the species threatened to become endangered. Appendix III includes endangered species in territory of state parties to the tourist-souvenir exception and the transshipment exception and state reservations, have hampered monitoring and enforcement. Exceptions have been used to smuggle species under the pretense that the exeptions apply. Reservations have allowed states to opt out of the provisions of the convention and have legitimized trade otherwise considered illegal under the convention (Elli Louka, 2006 : 314). Menurut penjelasan bahwa hewan dan tumbuhan dalam daftar Appendix I meliputi spesies yang paling terancam punah. Appendix II meliputi hewan dan tumbuhan yang akan menjadi terancam punah apabila terus dilakukan eksploitasi tanpa batas. Appendix III meliputi hewan dan tumbuhan yang terancam punah di wilayah negara pihak. Dalam hal ini kepunahan tersebut diakibatkan penyelendupan perdagangan menjadi komoditi wisata dalam bentuk souvenir. Suatu negara dapat menggunakan dalih eksploitasi berlaku dan dibolehkan, sehingga negara memungkinkan berhak untuk memilih keluar dari ketentuan konvensi apabila telah melegitimasi perdagangan tersebut dinggap ilegal berdasarkan konvensi. Konvensi 72 ini memiliki 25 Article yang menjelaskan berbegai macam pengaturan dan penejelasan perlindungan terhadap kelestarian hewan dan tumbuhan. Mencermati demikian bahwa perlindungan hewan amatlah penting kiranya untuk dilaksanakan. Termasuk perlindungan spesies paus yang sering menjadi komoditi yang diperjualbelikan ( Commercial Whaling ). Pada tahun 1981 CITES melarang perdagangan international terhadap segala produk dari beberapa spesies paus yang ada pada daftar Appendix I dan Appendix II (Jennifer Londsale, 2011 : 7). Spesies paus yang masuk ke dalam daftar Appendix I antara lain paus Balin, paus Sei, paus Gray, paus Bowhead, paus Humpback, paus Minke dan paus Bryde’s. Dan beberapa paus Minke di wilayah perairan Greenland Barat dan paus Pilot masuk ke dalam daftar Appendix II ( Ellie Louka, 2006 : 315). Dalam buku yang berjudul Conflicting Integration : The Environmental Law of The European Union, dijelaskan bahwa perlindungan yang dilakukan oleh CITES terhadap populasi hewan yang terancam punah ialah degan cara mengklasifikasikan spesies kedalam jenis-jenis Appendix. Kemudian pengawasan dan penegakan melibatkan negara-negara anggota konvensi. States are required to take measures to punish those who violate the convention and to confiscate items that illegally traded or possessed. States must maintain detailed records on the convention through annual reports that summarize the trade. States meet every two to three years as Conference of Parties to review the implementatio of the convention and examine proposals to amend the lists of species in Appendix I and Appendix II. The work of the Conferenceof Parties is facilitated by four permanent committees and the Nomenclature Committee. The purpose of the Standing Committee is to provide assistance in implementing the convention and in overseeing the Secretariat’s budget. One of the major issues that the Standing Committee has dealt with was wheter tore-open trade in animal products. (E.Louka , 2004 : 295). Hal diatas menjelaskan bahwa setiap negara anggota diminta untuk mengambil langkah-langkah untuk menghukum bagi yang melanggar konvensi dan menyita barang-barang yang diperdagangkan secara ilegal atau dimiliki. Negara harus menjaga catatan secara rinci tentang konvensi melalui laporan tahunan yang mendata secara detail soal perdagangan. Negara melakukan 73 pertemuan setiap dua sampai tiga tahun dalam konferensi untuk meninjau implemetasi konvensi dan memeriksa proposal untuk mengubah daftar spesies dalam daftar Appendix I dan Appendix II. Penegakan yang dilakukan oleh CITES difasilitasi oleh 4 (empat) komite permanen dan 1 (satu) komite nomenklatur. Tujuan dari komite tetap adalah untuk memberikan bantuan dalam pelaksanaan konvensi dan dalam mengawasi anggaran Sekretariat. Salah satu isu utama yang dikerjakan oleh komite tetap ialah persoalan perdagangan terbuka produk-produk hewan langka. Namun sering kali pelaksanaan konvensi tidak sesuai sebagaimana mestinya. Penegakan Konvensi CITES telah mengalami banyak masalah. Banyak pengecualian untuk konvensi, misalnya, pengecualian wisata-souvenir dan pengecualian dan negara pemesanan trans-shipment telah menghambat pemantauan dan penegakannya. Pengecualian telah digunakan untuk menyelundupkan spesies dengan dalih bahwa pengecualian berlaku. Reservasi telah memungkinkan negara untuk memilih keluar ketentuan konvensi dan telah melegitimasi perdagangan dinyatakan dianggap ilegal berdasarkan konvensi. Celah berupa kepercayaan budaya terus melakukan permintaan dan menyebar antar jaringan masyarakat seperti masyarakat miskin di negara berkembang faktanya telah merusak efektivitas konvensi. CITES juga telah memberikan alasan untuk menganiaya orang-orang yang disebut “pemburu” dalam kenyataannya masyarakat miskin yang turut dalam tindakan perburuan (Ellie Louka, 2004 : 296). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perburuan paus yang diklasifikasikan menjadi beberapa jenis perburuan oleh IWC antara lain Commercial Whaling, Aboriginal Subsitence Whaling (ASW) dan Special Permit Whaling. ICRW melarang secara jelas perburuan paus yang bersifat komersial dan membolehkan perburuan untuk kepentinga ilmiah. Untuk CITES, penekanan pelarangan lebih kepada pelarangan penjualan produk-produk hasil perburuan hewan-hewan yang terancam punah yang acap kali menjadi komoditi perdagangan internasional. Larangan tersebut ada pada Article II mengenai fundamental principle yang ada pada CITES sebagai berikut (CITES, 1973 : 4): 74 a. Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival and must only be authorized in exceptional circumstances. b. Appendix II shall include: (a) all species which although not necessarily now threatened with extinction may become sounless trade in specimens of such species is subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b) other species which must be subject to regulation in order that trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph (a) of this paragraph may be brought under effective control. c. Appendix III shall include all species which any Party identifies as being subject to regulation within its jurisdiction for the purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing the co-operation of other Parties in the control of trade. d. The Parties shall not allow trade in specimens of species included in Appendices I, II and III except in accordance with the provisions of the present Convention. Adapun fundamental principle CITES diatas menegaskan bahwa Appendix I mencakup semua spesies yang terancam punah akibat dipengaruhi oleh perdagangan. Dalam hal ini beberapa spesies paus diperdagangkan secara komersial yang akhirnya mengakibatkan penurunan populasinya. Perdagangan spesimen dari spesies yang tergolong Appendix I harus dilindungi agar tidak membahayakan kelangsungan hidup. Appendix II meliputi spesies yang meskipun saat ini belum terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah akibat perdagangan dan eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan kelangsungan hidup mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas manusia yang mengekploitasi secara berlebihan dapat mengancam keberadaan spesies Appendix II. Beberapa paus juga kerap diburu manusia untuk kepentingan tertentu seperti kegiatan penelitian maupun perburuan yang didasarkan atas budaya masyarakat tertentu. Appendix III mencakup semua spesies yang diidentifikasikan oleh negara anggota yang sebagaimana mengetahui lebih jaus keberadaan populasi spesies tertentu yang selanjutnya diaturan ke dalam yuridiksi nasional masing-masing bertujua untuk mencegah dan membatasi eksploitasi. Penegakan dilakukan oleh setiap negara tetapi tetap 75 membutuhkan kerja sama dari negara dan pihak lainnya. Setiap negara anggota CITES dan negara pihak yang telah menyepakati konvensi ini lebih lajut tidak mengizinkan perdagangan spesimen spesies-spesies yang ada pada daftar Appendix I, Appendix II maupun Appendix III. Penjelasan CITES Article I Definitions Article II Fundamental priciples Article III Regulation of trade ( Appendix I) Article IV Regulation of trade ( Appendix II) Article V Regulation of trade ( Appendix III) Article VI Permits and certificates Article VII Exemptions and other special provisions relating to trade Article VIII Measures to be taken by the Parties Article IX Management and Scietific Autorithies Article X Trade with States not party to the Convention Article XI Conference of the Parties Article XII The Secretariat Article XIII International measures Article XIV Effect on domestic legislation and international conventions Article XV Amendments to Appendices I and II Article XVI Appendix III and amendments thereto Article XVII Amendment of the Convention Article XVIII Resolution of disputes Article XIX Signature Article XX Ratification, acceptance, approval 76 Article XXI Accession Article XXII Entry into force Article XXIII Reservations Article XXIV Denunciation Article XXV Depositary Tabel 3.1.3 : Isi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora Upaya yang dilakukan sebagai bentuk penegakan CITES terkandung dalam CITES Strategic Vision yang dihasilkan sebagai resolusi pada The Conference of The Parties to The Convention pada tahun 2008-2020. Pada Konferensi kesembilan di Fort Lauderdale pada thun 1994 menghasilkan wacana mengevaluasi konvensi lebih jauh lagi. Pada pertemuan kesepuluh pada tahun 1997 di Harare, para peserta sepakat untuk menerapkan temuan-temuan dan rekomendasi. Kemudian pada pertemuan kesebelas di Gigiri pada tahun 2000, para peserta sepakat adanya pembuatan rencana strategis. Setelah pertemenuan ketigabelas di Bangkok pada tahun 2004 para peserta sepakat mengembagkan visi strategis disesuaikan dengan target KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (WSSD). Tujuan utama Strategic Vision ialah mengurangi laju kehilanga keanekaragaman hayati. Kemudian pada pertemuan keenambelas di Bangkok tahun 2013, para pihak memperpanjang validitas visi strategis dan rencana aksi sampai tahun 2020 yang relevan dengan Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan. Dengan penyesuaian baru tersebut maka tujuan-tujuan utama CITES ialah berkontribusi terhadap tujuan pembangunan milenium PBB dam berkontribusi terhadap konservasi satwa liar sebagai bagian integral dari ekosistem dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut disusulah The Strategic Goals antara lain : 77 Goals Ensure Compliance Objective Plan with and ï‚· Parties comply with their Implementation and Enforcement of obligations The Convention Convention through approriate policies, under legislation the and procedures; ï‚· Parties have in place administrative procudures that are transparent, practical, coherent and user-friendly and reduce unnecessary administrative burdens; ï‚· Implementation of the Convention at the national level is consistent with decisions adopted by the Conference of the Parties; ï‚· The Appendices correctly reflect the conservation needs of species; ï‚· Best avalaible scientific information is the basic for non-detriment findings; ï‚· Parties cooperate in managing shared wildlife resources; ï‚· Parties are enforcing the Convention to reduce illegal wildlife trade; ï‚· Parties and the Secretariat have adequate capacity- building programmes in place. 78 Secure The Resources Necessary and Means Financial for ï‚· The resources are sufficient to ensure operation of Operation and Implementation of The the Convention; ï‚· Convention Financial Sufficient resources are secured at the national and international levels to ensure compliance with and implementation and enforcement of the Convention; ï‚· Sufficient resources are secured at the national and international implement levels to capacity-building programmes. Contribute to Significantly Reducing ï‚· Cooperation between CITES The Rate of Biodiversity Loss and to and Achieving Relevant Globally- Agreed mechanisms and other related Goals and Targets by Ensuring that institutions is enhanced in Cities order to support CITES-related and Instruments Other and Multilateral Processes are international financial conservation and sustainable Coherent and Mutually Supportive development projects, without diminishing funding for currently prioritized activities; ï‚· Awareness of the role and purposes of CITES is increased globally; ï‚· Cooperation with international environmental, trade and relevant development organizations is enhanced; 79 ï‚· The contribution of CITES to the relevant Development Millennium Goals, the sustainable development goals set at WSSD, the Strategic Plan for Biodiversity 2011-2020 and the relevant Aichi Biodiversity Targets, and the relevant outcomes of the UN Conference on Sustainable Development is strenghthened by ensuring that international trade in wild fauna and flora is conducted at sustainable levels; ï‚· Parties and the Secretariat cooperate with other relevant international organizations and agreements natural dealing with resources, as approriate in order to achieve a coherent and collaborative approach to species which can be endangered by unsustainable trade, including those which are commercially exploited. 80 Pada tabel tersebut menjelaskan beberapa rencana khusus startegis yang diterapkan untuk mengoptimalkan penegakan CITES agar sesuai sebagaimana semestinya. Beberapa poin utama dari rencana strategis tersebut ialah memastikan setiap negara yang telah menyepakati konvensi ini benar menerapkan pelaksanaan konvensi dan diatur lebih lanjut di dalam peraturan nasional setiap negara dan untuk mewujudkan tujuan dibutuhkan kerjasama degan organisasi internasional, perusahaan-perusahaan, pemerintah dan stakeholder lain untuk mencegan tindak perburuan hewan dan tumbuha yang terancam punah tidak merajalela ( CITES Strategic Vision, 2008 : 1). Namun tetap ada beberapa kendala dalam penegakan konvensi ini sehingga konvensi CITES belum mampu mencegah hilangnya spesiesspesies akibat eksploitasi secara berlebihan oleh manusia. Pelanggaran-pelanggaran memungkinkah masih bisa terjadi dengan banyaknya pasar gelap ( Black Market) yang mencari keuntungan dari perdagangan spesies hewan yang terancam punah. Seperti misalnya perdagangan daging paus hasil perburuan ASW yang dijual kepada para wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke masyarakat wilayah tertentu. Ada 2 (dua) alasan dasar mengapa konvensi ini masih belum bisa ditegakkan secara optimal ( E. Louka, 2004 : 296): a. Negara belum bisa berkomitmen secara penuh dalam pengawasan dan pemantauan penegakan konvensi. Mengingat terlalu besar jumlah spesies yang harus dilindungi, namun sumber daya manusia, metode pencegahan dan beberapa hal yang diperlukan belum terlalu optimal untuk menangkap dan menghukum para pemburu lokal yang memiliki jaringan yang teroganisir baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional ; b. Kurangnya kesadaran masyarakat yang tidak peduli akan perlindungan hewan dan tumbuhan. Hal ini diakibatkan oleh sikap budaya dan kultur yang resisten terhadap perubahan. Banyak beberapa negara di Asia dan Eropa yang gemar menjadi importir bagian tubuh spesies-spesies hewan yang terancam punah misalnya seperti harimau dan badak. Pengaruh kepercayaan terhadap pengobatan tradisional yang menggunakan bagian tubuh tertentu seperti sirip hiu, lemak atau daging paus dan lain-lain. Serta banyak negara-negara di Eropa yang menggemari benda perabotan antik 81 dari kayu-kayu yang didapatkan dari tumbuhan langka. Misalnya di Indonesia, banyak ulah masyarakat yang menebang pohon dan tumbuhan langka secara ilegal untuk memenuhi tingginya permintaan pasar atas benda-benda antik. Kendala kurang optimalnya penegakan CITES juga diakibatkan oleh negara yang walaupun telah menyepakati CITES namun dalam prakteknya tetap kurang optimal dalam mencegah pelanggaran-pelanggaran. Misalnya negara Denmark, Denmark menjadi anggota yang menyepakati CITES pada tahun 1977 dan setelah itu terdapat pemberitahuan yang menegasjan bahwa CITES tidak berlaku di Kepulauan Faroe ( wilayah dibawah otoritas Denmark) sampai Denmark menerapkan instrumen hukum yang sesuai. Faktanya, meskipun permintaan lebih dari tiga dekade dari Kementerian Lingkungan Hidup Denmark terhadap pemerintahan Kepulauan Faroe untuk mengimplementasikan ke dalam undangundang, namun hingga saat ini Kepulauan Faroe tidak terikat dengan aturan CITES termasuk Norwegia dan Islandia. Hal tersebut mengakibatkan di ketiga negara ini tetap melegalkan perdagangan produk paus. Misalnya saja pada tahun 2003 dan 2011 ada beberapa pengiriman daging dan lemak paus Minje dari Norwegia dan Islandia sebesar 23 ton yang diimpor dari Kepulauan Faroe ( Sandra Altherr, 2011 : 9). Adapun dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Londsale terdapat kurangnya koordinasi antara Denmark dan Kepulauan Faroe dimana, Kepulauan Faroe tetap berpendapat tidak tercakup dalam CITES. Departemen Luar Negeri pada Juni 2003 menerbitkan deklarasi panjang yang membenarkan bahwa jika Kepulauan Faroe akan mengimplementasikan CITES, maka diperlukannya pendampingan dan keterangan lebih jelas terkait daftar spesies paus yang masuk kedalam Appendix I. Denmark telah gagal untuk bekerja dengan Kepulauan Faroe untuk kemajuan pelaksanaan CITES. Posisi Denmark sehubungan dengan CITES pada hal ini juga melanggar peraturan Uni Eropa dan menyebabkan masalah untuk anggota Uni Eropa dalam negosiasi yang dilakukan saat konferensi CITES ( Jennifer Londsale, 2011 : 9). Secara lebih khusus CITES melakukan berbagai 82 macam upaya dan langkah-langkah untuk menegakkan aturan-aturan yang terdapat dalam konvensi yakni : a. CITES Conferences of the Parties (CoPs) “At CITES CoPs, Parties consider proposals to amend the Appendices, review the implementation of CITES and progress made, and recommend measures to improve the effectiveness of the Convention. Changes to the CITES Appendices, Resolutions and Decisions enter into force 90 days after the CoP. In some cases a delay of the entry into force can be decided, to allow Parties to better and efficiently address implementation and enforcement matters. In order to become legally binding in the European Union, such amendments are incorporated into Commission Regulations. For current regulations in force in the EU to implement CITES, see below under “CITES and the European Union” (EU, 2010 : 8). Penegakan CITES dilakukan dengan mempertimbangkan usulan-usulan dari pihak-pihak untuk mengamandemen Appendix, meninjau pelaksanaan CITES , rekomendasi langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas dari konvensi. Perubahan Appendix pada CITES, dilakukan saat setelah 90 hari pengambilan keputusan saat konferensi. Amandemen daftar spesies Appendix dapat diubah dengan rekomendasi yang sebelunya melalui beberapa tahap peninjauan ilmiah secara teliti. b. CITES Resolutions and Decisions “At each CoP, CITES Parties consider issues with regard to the implementation, interpretation and enforcement of the Convention and its effectiveness, which may result in the adoption or revision of Resolutions or Decisions of the CoP. Resolutions are generally intended to provide long-standing guidance, while Decisions are mostly directed to a specific body of CITES (e.g. Animals Committee, CITES Secretariat) and are designed to be implemented by a specified deadline. Both instruments are important tools for the development of the Convention, but are not legally binding so Parties may choose not to implement them” (EU, 2010 : 9). Setiap konferensi, pihak-pihak mempertimbangkan masalah yang berkaitan dengan pelaksanaa, interpretasi dan penegakan efektivitas konvensi. Resolusi yang dihasilkan oleh CITES diarahkan ke bagian tertentu CITES (misalnya Komite Hewan atau Komite Tumbuhan). Hasil resolusi nantinya akan dijalankan 83 oleh Komite dan para pihak. Namun hasil resolusi belum mengikat, pihak-pihak dapat memilih untuk menjalankannya ataupun tidak. c. CITES Export Quotas “There is no specific requirement within the text of the Convention to establish quotas that limit the trade in listed species. However, the use of export quotas has become an effective regulatory tool for international trade in wild fauna and flora. Export quotas are usually established individually by a Party on a voluntary basis, but they can also be set by the CoP. In most cases, export quotas relate to the calendar year (1 January to 31 December). Before any Party can issue a permit to allow export of specimens of species in Appendix I or II, the Scientific Authority of the State must advise that the proposed export will not be detrimental to the survival of the species (the so-called “non-detriment finding”). The setting of an export quota by a Party should in effect meet this requirement by establishing the maximum number of specimens of a species that can be exported over the course of a year without having a detrimental effect on the survival of the species in the wild. According to the EU legislation, when a quota is published on the Secretariat web-site, export permits shall be accepted by EU Member States only if they specify the total number already exported in the current year, including those covered by the permit in question, and the quota for the species concerned” ( EU, 2010 : 9). Tidak ada persyaratan khusus yang dalam konvensi dalam penetapan kuota yang dapat membatasi perdagangan spesies yang terdaftar dalam Appendix. Namun penggunaan kuota ekspor telah menjadi alat regulasi yang efektif untuk mencegah perdagangan spesies. Kuota ekspor biasaya ditetapkan secara individual oleh negara anggota CITES secara sukarela namun tetap dipertimbangkan dan diatur lebih lanjut oleh peserta konferensi CITES. Dalam kebanyakan kasus, kuota ekspor disesuaikan dengan pertanggalan dan kondisi geografis ekosistem laut. Sebelum pihak CITES dapat mengeluarkan izin untuk memungkinkan ekspor spesies dalam Appendix I atau II, otoritas yang bertanggung jawab dalam suatu negara harus memberi tahu bahwa ekspor yang diusulkan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies . Dalam kasus lebih lanjut CITES biasanya bekerja sama dengan organisasi internasional 84 maupun perkumpulan regional di suatu benua, misalnya seperti Uni Eropa , ASEAN dan lain-lain. Dalam kasus perburuan paus yang terjadi di Denmark, misalnya CITES bekerja sama dengan Europe Commission untuk menindak dan menegakkan regulasi agar tujuan daripada konvensi berjalan efektif. B. Tradisi Grindadrap Masyarakat Kepulauan Faroe Berdasarkan Hukum Internasional Prinsip 21 Deklrasi Stockholm 1972 ( Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment) membenarkan penempatan lingkungan hidup sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara, dan karenanya lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain ( Ida Bagus, 2003 : 7). Mengacu pada pembahasan sebelumnya terkait upaya perlindungan paus berdasarkan ICRW dan CITES, terdapat permasalahan yang perlu dikaji lebih jauh yakni praktek perburuan paus yang dilakukan masyarakat Kepulauan Faroe bernama Grindadrap. Ketidakkonsistenan ICRW dalam mengatur larangan segala jenis perburuan, masih banyaknya celah penegakan ICRW, kontradiksi sebuah budaya dan perlindungan lingkungan serta dominansi perdagangan hewan terancam punah sebagai komoditi perdagangan internasional yang diatur oleh CITES menyebabkan praktek tradisi Grindadrap masih berlangsung sehingga terjadi penurunan populasi paus Pilot secara siginifikan. Beberapa kendala dan hambatan terjadi seperti misalnya kurang koordinasinya Denmark dan Kepulauan Faroe dan kurang jelasnya peraturan yang ada menyebabkan tradisi Grindadrap ini masih berlangsung hingga saat ini. Hukum Internasional memberikan ketegasan terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup baik unsur abiotik maupun biotik, melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Disisi lain tradisi Grindadrap merupakan bagian dari masyarakat asli Kepulauan Faroe yang diakui eksistensinya di dalam Hukum Internasional. 85 1. Tradisi Grindadrap Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Kepulauan Faroe Berdasarkan International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa terdapat perbedaan dan klasifikasi jenis perburuan paus menurut IWC menjadi 3 (tiga) jenis yaitu Commercial Whaling (CW), Aboriginal Subsistence Whaling (ASW) dan Scientific Whaling (SW). Ketiganya memiliki karateristik dan pembedaan masing-masing yakni berdasarkan alasan dibalik perburuan tersebut. Fokus yang menjadi penelitian dalam penulisan ini ialah terkait tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe di Atlantik Utara. Mengulas penelitian yang dilakukan oleh Rob Van Ginkel yang didokumentasikan kedalam tulisannya yang berjudul Killing Giants of The Sea: Contentious Heritage and The politics of Culture bahwa penurunan populasi paus Pilot dan paus Balin yang cukup signifikan setiap tahunnya dipengaruhi oleh tradisi Grindadrap oleh massyarakat Kepulauan Faroe. Setidaknya setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam tradisi ini. Tradisi Grindadrap dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang merupakan nenek moyang masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin setiap tahunnya melakukan migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan September yang biasanya bertepatan dengan musim panas. Tradisi Grindadrap biasanya dilaksanakan di salah satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus paling banyak yang datang di perairan tersebut. Keberlangsungan tradisi Grindadrap didasarkan pada adat yang telah berlangsung turun temurun dan kebijakan nasional pemerintah Kepulauan Faroe melalui peraturan Whaling In the Faroe Island yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri dimana Kepulauan Faroe merupakan wilayah otoritas Denmark. Masyarakat Kepulauan Faroe memiliki sebuah tradisi yang disebut Grindadrap.. Tradisi Grindarap dilakukan dengan cara menggiring paus Pilot dan paus Balin ke teluk yang lebih dangkal dengan perahu kecil oleh beberapa pelaut khusus yang disebut Rakstrarmenn dan kemudian ditancapkan beberapa tombak ke tubuh paus, selanjutnya paus di bawa sampai ke tepi pantai kemudian diangkut ke daratan. Kemudian paus dibunuh dengan pisau panjang khusus yang disebut Grindaknivur. Hukum adat Norse (Old Norse) mengatur segala aspek tata cara 86 tradisi Grindadrap seperti prosedur pengemudian perahu, prosedur penggiringan paus ke tepi pantai, prosedur penyembelihan, pendistribusian daging paus dan pembersihan pantai. Tradisi Grindarap dilakukan di 6 (enam) wilayah pantai di Kepulauan Faroe. Setiap penyembelihan satu ekor paus harus diawasi oleh seorang Grindformenn (pengawas terpilih). Setelah penyembelihan selesai, daging-daging dibagikan ke masyarakat sekitar secara gratis dan sebagian disalurkan ke beberapa pemasok daging paus yang nantinya akan dijual ke wilayah lain. Pengolahan daging biasanya dilakukan bersama-sama di tepi pantai dengan diiringi tarian adat khusus yang disebut Grindadansur (Rob van Ginkel, 2005: 15-16). Paus Pilot jantan rata-rata tumbuh sebesar 4,94 – 5, 19 m dan berat 1, 275 – 2,320 kg per tahunnya. Sementara untuk betina tumbuh sekitar 3,78 m dan berat 600 – 1000 kg. Paus Pilot jantan memiliki waktu hidup maksimal 49 tahun dan Paus Pilot betina 59 tahun. Usia reproduksi aktif Paus Pilot jantan berumur 14 – 16 tahun dan Paus Pilot betina mulai 8, 7 tahun. Musim kawin terjadi pada bulan April dan Mei hingga Juli dan Agustus. Ketika Paus Pilot lahir rata-raya memiliki panjang badan 1,78 m dan berat 75 kg. Pada publikasi yang berjudul Færøernes Grindefangst oleh Dorete Bloch, Færoya Natturugripasavn mencatat bahwa tanggal 28 Juli – 26 Agustus setiap tahunnya merupakan aktivitas perburua paus tertinggi di Faroe, dimana pada bulan tersebut Paus Pilot datang ke perairan dangkal yang tenang pada saat laut surut untuk berkembang biak dengan pasangan. Maka, perburuan yang dilakukan pada tradisi Grindadrap di Juli dan Agustus dengan cara menggiring paus ke tepi pantai, bertepataan saat musim kawin Paus Pilot ( Birgith Sloth, 2009 : 3). Tradisi ini merupakan kebiasan masyarakat Kepulauan Faroe secara turuntemurun sebagai perayaan besar bahkan menjadi hari libur bersama. Daging paus merupakan makanan khas masyarakat Faroe yang diolah menjadi berbagai macam jenis masakan dan lemaknya diolah menjadi minyak yang memiliki kandungan protein tinggi sebagai bahan tambahan obat-obatan, pangan dan kosmetik (Kate Sanderson, 1994: 197). Kepulauan Faroe di Atlantik Utara, yang masih dibawah otoritas Kerajaan Denmark telah mempratekkan tradisi ini sejak tahun 1584. (Robert White, 2010: 8). Guna menjawab persoalan mengenai kebolehan tradisi ini, benar 87 dan tidaknya tradisi ini maka perlunya penjabaran lebih lanjut terkait fakta-fakta yang ada yakni : a. Denmark dan Commercial Whaling Sejak tahun 1994 sampai 2005 pihak IWC telah melakukan Revised Management Scheme (RMS) yakni skema yang berisi pengelolaan penangkapan paus secara komersial. Skema pengelolaan itu berisi batas penangkapan paus, pengawasan secara independen dan mekanisme penaatan peraturan. Pihak-pihak yang tidak setuju akan skema ini beralasan bahwa tindakan tersebut terlalu berat. Denmark memberikan pernyataan saat pertemuan IWC yang ke 51 pada tahun 1999 tidak sepakat akan adanya pelaksanaan RMS. Akibat adanya RMS, IWC menetapkan moratorium penghentian perburuan paus secara komersial. Denmark aktif mengejar pencabutan moratorium, dan disahkannya kembali penangkapan paus secara komersial. Hal ini bertentangan dengan ketatapan dari IWC dan undang-undang Uni Eropa. Denmark adalah sponsor saat penetapan resolusi pada tahun 2004, namun pada tahun 2005 Menteri Luar Negeri Demark mengumumkan kepada publik bahwa Denmark akan mendorong dan mendukung larangan penangkapan paus yang diangkat pada pertemuan IWC selanjutnya di Korea Selatan. Mengingat sejarah perburuan paus secara ilegal, salah satu bentuk pelaksanaan RMS ialah dengan diusulkannya Register DA yang efektif bisa melacak paus dari beberapa titik. Hal ini juga ditentang oleh pihak-pihak yang setuju akan perburuan, termasuk Denmark. Denmark juga menentang hasil resolusi pada tahun 1999 dimana Komite Ilmiah IWC memberikan saran kepada Komisi Pengembagan IWC untuk melakukan sistem identfiikasi dan pelacakan produk yang dihasilan dari perburuan paus. Di tahun 2000, Denmark dan negaranegara yang setuju perburuan paus menentang resolusi tersebut. Denmark berpendapat bahwa kontrol sistem identifikasi tersebut dapat dilaksanakan dengan kewenangan nasional tiap negara. Pada tahun 2001, Denmark juga menentang resolusi tahun 2001 yakni terkait Registrasi Diagnostik yang dapat menelaah dan meninjau populasi paus. Denmark berpendapat bahwa hal tersebut sulit dilakukan dan diterapkan di Greenland dengan berbagai alasan. 88 Pada tahun 2004, di saat pertemuan IWC ke 56, Komite Ilmiah menyatakan kekecawaannya terhadap kurangnya sampel DNA dari Greenland, IWC mendesak untuk mendorong Pemerintah Denmark dan Greenland membantu secara logistik dan bantuan untuk para ilmuwan di Greenland. Selama diskusi tentang permasalahan ini, beberapa anggota IWC menekankan dan mempertanyakan ketidakseriusan Denmark dalam upaya perlindungan paus. Pada Februari tahun 2007, Denmark menghadiri konferensi IWC yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang bertujuan melegitimasi penangkapan paus secara komersialyang dilakukan oleh Jepang, Islandia dan Norwegia yang secara luasi banyak dikritik akibat kurangnya transparasi . Pada pertemuan IWC ke 57 yang diselenggarakan di Jepang, sebagian besar negara menetang untuk penagkapan paus komersial. Denmark mengkritik pertemuan ini dengan meminta Uni Eropa harus mendukung perburuan komersial tetap dilakukan namun terbatas. Denmark berpendapat bahwa hal ini dapat berimplikasi negatif untuk pelaksanaan ASW di Greenland dan Kepulauan Faroe. Beberapa upaya Denmarj yang dilakukan setiap pertemuan IWC menunjukkan Denmark secara tidak langsung memberikan dukungan atas perburuan paus secara komersial (Commercial Whaling) (Sandra Altherr, 2011 : 14). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith Sloth pada jurnal ilmiah Ocean Care, yang berjudul The Faroe Islands Support Commercial Whaling ditemukan fakta terjadinya perdagangan hasil perburuan. Pada tahun 2008 disebutkan adanya pengiriman daging Paus Pilot seberat 11.516 kg atau setara dengan 160 ekor paus dari Kepulauan Faroe ke Norwegia. Kemudian pada tahun yang sama terdapat pengiriman sebanyak 500 kg daging atau setara dengan 10 ekor Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith Sloth, 2009 : 4). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sea Shepherd Global salah satu organisasi yang melakukan tindakan konservasi terhadap spesies Cetacean menyebutkan bahwa daging Paus Pilot juga dijual kepada para wisatawan di beberapa restauran yang menghidangkan makanan khas Kepulauan Faroe (https://www.seashepherdglobal.org/news-and-commentary/commentary/the- 89 faroe-islands-support-commercial-whaling.html diakses pada tanggal 6 April 2016 pada pukul 22.45 WIB). Penelitian yang dilakuka oleh IWC menyebutkan dari tahun 1584 sampai 2009 terdapat total sebayak 256, 912 Paus Pilot telah diambil. Rata-rata 54% dari paus dapat dimakan sebagai daging dan lemak dan ikan paus terbesar ini dapat hingga 60% dari total berat badan. Pada tanggal 25 Februari 2009 Parlemen Denmark meminta Menteri Luar Negeri Kepulauan Faroe untuk memiliko konsekuensi dari IWC untuk mengatur semua pengaturan penangkapan paus sesuai IWC di negaranya. Menurut Jonas K. Thomsen sebagai perwakilan dari Kementerian Luar Negeri Faroe sebagai balasan kepada parlemen Denmark, pada surat tertanggal 26 Maret 2009 pemerintah Faroe menjelaskan bahwa perekonomuan Kepulauan Faroe sangat bergatung pada pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kegiatan perikanan komersial menjadi industri utama di Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus kecil lainnya digunakan untuk kebutuhan pangan sebagai sumber daging lokal. Hasil tangkapan rata-rata 900 ekor paus kira-kira setara dengan 500 ton daging dan lemak yang merupakan 30 % dari semua daging yang diproduksi secara lokal di Kepulauan Faroe. Menteri Luar Negeri Denmark menulis surat kepada IWC mengenai otoritas Kepulauan Faroe bahwa kegiatan tradisi Grindadrap hanya memburu jenis Cetacean kecil dalam hal ini Paus Pilot merupakan jenis paus kecil yang diatur oleh IWC hanya diberikan moratorium untuk wilayah tertentu, kecuali Kepulauan Faroe (Birgith Sloth, 2009 : 7). Pada penelitian yang dilakukan Birgith Sloth mengenai perburuan paus komersil di Faroe, peraturan yang diterapkan Denmark bersama Kepulauan Faroe yakni impor daging dan lemak boleh dilakukan tetapi hanya dilakukan untuk kepentingan perayaan masyarakat saja dan tidak diperbolehkan untuk tujuan komersial. Namun data yang dihasilkan oleh IWC memberikan bukti bahwa terdapat ekspor daging Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Norwegia pada tahun 2004- 2008 sebanyak 811 kg dengan 4 kali transaksi per tahunnya (Birgith Sloth, 2009 : 7). 90 b. Denmark dan Scientifc Whaling Pada tahun 1987 setalah pelaksanaan moratorium terhadap perburuan paus komersial , Jepang mulai mengeluarikan izin khusus meminta kuota penangkapan paus berdasarkan Article VIII ICRW. Jepang mengambil tindakan penangkapan paus atas dasar penelitian ilmiah melalui program JARPA I di Antartika dan diperluas pada tahun 1994 menjadi program JARPN I di Pasifik Utara. Awalnya program ini ditargerkan untuk menangkap paus Minke namun dilakukan perluasan untuk menagkap paus Sirip, paus Sperma, paus Sei dan paus Bryde. Meskipun penangkapan paus Jepang yakni penangkapan ilmiah dan dikritik oleh banyaj pihak, Denmark tidak konsisten menanggapi upaya yang dilakukan oleh Jepang. Pada tahun 2000, Denmark mendesak Jepang untuk tidak mengeluarka izin khusus program JARP, kemudian pada tahun 2001 Denmark tidak sejutu program JARPN dan JARPA. Denmark menegaskan terdapat pembedaan penangkapan paus secara ilmiah di Antartika dan penangkapan paus ilmiah di Pasifik Utara. Pada tahun 2011, Denmark meminta Uni Eropa untuk menghapus wacana penghapusan penangkapan secara ilmiah di luar kendali IWC. Hal ini menunjukkan Jepang secara tidak langsung berkeinginan mempertahankan perburuan paus secara komersial ( Sandra Altherr, 2011 : 16). c. Denmark dan Aboriginal Subsistence Whaling (ASW) Seluruh paus berukuran besar kecuali di Greenland Barat termasuk paus Minke termasuk kedalam daftar Appendix I dan paus Pilot masuk kedalam Appendix II. Pada pertemuan IWC yang ke 51 di tahun 1999, Denmark menyatakan tidak setuju terhadap moratorium Commercial Whaling. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sandra Altherr, Denmark memiliki posisi yang tidak stabil, dimana terkadang menentang perburuan paus namun juga membolehkan perburuan paus dikarenakan budaya dari negara yang menjadi otoritasnya. Seperti di Greenland dan Kepulauan Faroe. Denmark adalah negara yang menjadi anggota Uni Eropa, tetapi Kepulauan Faroe dan Greenland tidak menjadi anggota Uni Eropa. Kepulauan Faroe mematuhi moratorium , tetapi memungkinkan tidak tunduk dengan perburuan cetacean kecil lainnua. Sementara, untuk masyarakat di 91 Greenland diberikan kuota ASW oleh IWC dengan tunduk terhadap sistem kuota penangkapan oleh ASW dan mengambil sebagian cetacean kecil yang tidak diatur oleh IWC speerti lumba-lumba. Aturan ASW oleh IWC tidak mengizinkan adanya perdagangan internaisonal dari hasil perburuan ASW. Menurut jajak pendapat pada Februari tahun 2012, hanya 5% penduduk Denmark yang mendukung penangkapan paus secara komersial. Sementara 72% penduduk Denmark menginginkan agar pemerintah Denmark menentang dengan jelas perburuan paus secara komersial (Sandra Altherr, 2011 : 9). Mengacu kondisi demikian tradisi tersebut tradisi Grindadrap masih berlangsung sampai sekarang bahwa Pemerintah Kepulauan Faroe memberikan peraturan khusus untuk perburuan yakni Whaling in the Faroe Island yang disahkan pada bulan Desember tahun 2011. Peraturan tersebut dibuat bukan mengenai pelarangan namun mengenai tata cara perburuan dan metode pembunuhan (http://www.ascobans.org/sites/default/files/document/AC19_501_FaroeIslands Grind_1.pdf diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pukul 21. 14 WIB). Greenland Kepulauan Faroe 56.900 49,267 GDP 2009 USD 1,27 billion USD 2.20 billiom Natural Rich in minerals, oil and gas, Hydropower, possibly oil and Resources increasingly accesisible due gas; however,oil reserves of a Human Population to effects of climate change commercial scale have not yet including melting ice. Almost been confirmed 50 billion barrels of oil are estimated to be present off Greenland ; oil exploration presently expanding 92 Status 1979 : Granted Home Rule 1948 : Granted Home Rule, 2009 : Granted Self Rule but DK retains responsibility (including control of its for Foreign Affairs energy resources) but DK retains responsibility for Annual subsidies from Foreign Affairs Denmark : about 8,3 Million Euro Annual subsidies from Denmark : about 413 Million Further independence from Euro Denmark is under discussion Independence from Denmark Future status as state in free is being sought association with Denmark seems to be the most likely option IWC Catch limits for ASW Commercial whaling catch authorised by the IWC limits set at zero by the IWC Hunting of large Minke whales, fin whales, whales Hunting of fin whales ended bowhead whales, humpback in 1984; however interest in whales resuming commercial whaling has been repeatedly expressed Hunting of small Almost 4000 small cetaceans cetaceans Mostly long finned pilot are killed annually including whales ( on average 630 pear beluga whales, narwhals, year), also occasionally white orcas, pilot whales and sided dolphins, bottlenose harbour porpoises Occasionally bottlenose Permitted catch limits for whales killed after apparently belugas and narhwhals were stranding 93 for several years ignoring warnings of scientists Status at CITES A dependent territory to On CITES website listed as which CITES applies. non party, authority Denmark has no reservation competent to issue againts the CITES Appendix I comparable documentation listing of large whales and Greenland is therefore bound by it; own contacts for CITES authorities in Greenland since 2004 Relationship EU to Joined EU as part of Declined EU membership in Denmark, but in 1985 altered 1974, but has favourable its link with the EU to that of bilateral trade and fisheries an overseas territory; Has agreements with the EU; It bilateral trade and fisheris fears restrictions including agreements with the EU; with respect to whaling and Greenland annually receives bird hunting under full EU 68 million Euro from the EU membership. Tabel 3.2.1 : Greenland and Faroe Island in Brief ( Sandra Altherr, 2011 : 11) Pada tabel 3.2.1 diatas menunjukkan bahwa Kepulauan Faroe dan Greenland memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut misalnya, Greenland bergabung dengan Uni Eropa sebagai bagian dari Denmark, tetapi pada tahun 1985 terpisah dengan Denmark dalam keanggotaan di Uni Eropa. Sementara Kepulauan Faroe, menolak sejak awal bergabung dengan Uni Eropa di tahun 1974, namun memiliki perjanjian bilateral mengenai perikanan yang menguntungka Uni Eropa. Kepulauan Faroe tidak memiliki pembatasan terkait penangkapan paus dan perburuan buruh oleh Uni Eropa. Greenland memiliki kuota khusus ASW oleh ICW untuk melakukan perburuan berdasarkan budaya masyarakat Greenland, namun Kepulauan Faroe tidak memiliki kuota khusus ASW dan tidak dibolehkan melakukan perburuan komersial ( batas 0 kuota oleh 94 IWC). Melihat kondisi ini terjadi ketidaksesuaian dengan pelaksanaan tradisi Grindadrap di Kepulauan Faroe. Secara jelas bahwa tradisi Grindadrap merupakan perburuan paus dalam kategori ASW. Walaupun sampai saat ini IWC belum memberikan kuota ASW kepada Kepulauan Faroe. Tradisi Grindadrap di Kepulauan Faroe diatur dalam peraturan Whaling in Faroe Island yang dikeluarkan oleh Ministry of Fisheries Kepulauan Faroe pada tahun 2013. Beberapa hal utama dala tradisi Grindadrap yang diatur ialah (Rob van Ginkel, 2005 : 24) : 1) Sebagai negara yang memiliki pemerintahan sendiri dibawah kedaulatan Kerajaan Denmark, pemerintah Kepulauan Faroe mengelola secara mandiri di bidang pemerintahan yang diamanatkan kedalam undang-undag nasional termasuk konservasi dan pengelolaan populasi paus dalam batas 200 mil dari wilayah teritorial Kepulauan Faroe. Kepulauan Faroe telah memilih untuk tidak menjadi bagian dari Uni Eropa, tetapi mempertahankan perjanjian dan perdagangan bilateral mengenai perikanan dengan Uni Eropa serta negara lainnya ; 2) Perekonomian Kepulauan Faroe sebagian besar didapatkan dari sektor perikanan dan budidaya industri modern yang menghasilkan produk ikan berkualitas tinggi yang siap di ekspor. Aktivitas produksi secara tradisional merupaka sumber makanan lokal yang menjadi suplemen penting untuk masyarakat, misalnya peternakan domba, aktivitas nelayan di pesisir, tangkapan burung laut dan perburuan paus pilot. Pemenuhan sumber daya makanan secara mandiri ini dapat meningkatkan kebutuhan ekonomi masyarakat ; 3) Sebagai negara yang bergatung pada sumber daya laut, Kepulauan Faroe berkomitemen untuk menjaga ekosistem laut dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip internasional ; 4) Paus Pilot yang diburu di ambil daging dan lemaknya dan diatur oleh undang-undang dan peraturan nasional. Bentuk perburuan tradisional dan unik ini telah berjalan selama bertahun-tahun dan terus disesuaikan dengan 95 standar modern manajemen sumber daya dan kesejahteraan hewan di masa ini ; 5) Daging dan lemak dari paus pilot menjadi pangan nasional. Tangkapan nelayan dibagikan kepada para penduduk lokal tanpa pertukaran uang. Daging paus dan lemak disimpan dan disiapkan untuk dimakan dengan berbagai cara dan disajikan menjadi makanan khas Kepulauan Faroe; 6) Tangkapan paus pilot di dokumentasikan setiap tahun untuk menelaah populasi paus pilot dalam jangka panjang . Kepulauan Faroe berpatisipasi aktif dalam survey ilmiah internasional di Atlantik Utara sejak tahun 1987; 7) Kepulauan Faroe berkoordinasi dengan T-NASS dan NAMMCO untuk menelaah dan memantau keberadaan populasi paus Pilot ; 8) Perburuan paus pilot dilakukan dengan menyesuaikan pasang surut air laut untuk mendapatka paus yang terdampar. Undang-undang kesejahteraan hewan Kepulauan Faroe mengatur pembunuhan hewan dilakukan secepat mungkin untuk mengurangi penderitaan pada hewan, sehingga paus tidak mengalami cedera sebelum dibunuh. Penggunaan tombak khusus yang disasarkan pada tulang belakang paus pilot digunaka untuk memutus suplai darah ke otak, sehingga paus mengalami kehilangan kesadaran dalam hitungan detik paus mati. Terdapat inovasi dan perbaikan alat yag digunakan untuk penangkapan paus seperti pembuatan lubang sembur untuk menampung paus yang terdampar di pantai. Pemerintah Kepulauan Faroe menerapkan aturan sejak 1 Mei 2015, bahwa yang menghadiri dan dapat melakukan penagkapan harus bersertifikat telah lulus dalam kursus penangkapan paus dan mengetahui metode membunuh paus yang diizinkan oleh pemerintah ; 9) Kepulauan Faroe bekerja sama dengan NAMMCO sebagai komisi yang menangani pengelolaan dan konservasi mamalia di wilayah Atlantik Utara Seperti yang diketahui bahwa data yang dirilis oleh International Whaling Commission (IWC) menunjukkan adanya penurunan populasi beberapa jenis paus yang terjadi di perairan seluruh dunia paus seperti Minke Whales, Blue 96 Whales, Fin Whales, Gray Whales, Bowhead Whales, Humpback Whales, Right Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales, Balin Whales dan Sei Whales yang terjadi di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus tersebut populasinya telah mengalami penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per tahunnya sejak tahun 1985 sampai tahun 2010. Dari kesepuluh jenis paus tersebut yang mengalami jumlah penurunan paling banyak adalah jenis paus Pilot (Globicephala Melena) atau paus sirip panjang dan jenis paus Balin (Balaenoptera Physalus) atau paus sirip pendek. Paus Pilot memiliki indeks penurunan sebesar 12, 5% per tahunnya dan Paus Balin memiliki indeks penurunan sebesar 8, 9 % per tahunnya. Kedua jenis paus ini secara spesifik tersebar di perairan Central dan Eastern North Atlantic (https://iwc.int/estimate#table diakses pada tanggal 29 April 2015 Pukul 1.29 WIB). Fakta menunjukkan bahwa populasi paus Pilot semakin menurun akibat adanya perburuan yang dilakukan secara rutin di Kepulanan Faroe. Apabila permasalahan ini dihubungkan dengan Sustainable Development, Integration and Interdependence Principle yang menegaskan bahwa segala kepentingan harus disesuaikan dengan perlindungan lingkungan hidup, maka sudah menjadi kewajiban suatu negara untuk mempertimbangkan segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara beroritenasi terhadap perlindungan lingkungan. Namun melihat kondisi ini, untuk menentukan bertentangan atau tidaknya tradisi Grindadrap ini berdasarkan ICRW dapat ditinjau lagi bahwa pengaturan pada ICRW tidak mengatur secara rinci larangan seperti apa terhadap kegiatan perburuan paus yang berdasar pada budaya. Mengacu demikian bahywa, Article VIII ICRW hanya mengatur dan menjelaskan boleh dilakukanya penangkapan dan pembunuhan paus untuk kegiatan penelitian ilmiah. Selain itu, IWC yang disepakati oleh negara pihak dalam ICRW, sebagai komisi yang menangani khusus upaya pengawasan dan pengelolaan paus, tidak mengikutsertakan Kepulauan Faroe dalam ketentuan kuota ASW. Hanya Greenland sebagai wilayah otoritas dari Denmark memiliki kuota khusus dari IWC untuk melakukan perburuan berdarkan kebiasaan masyarakat lokal. Menurut Stewart, pengaturan perlindungan lingkungan secara global menggunakan pendekatan (global approah), yaitu suatu pendekatan yang 97 mengutamakan kepentingan bersama (common interest) (Ida Bagus, 2003 :71). Melihat kondisi demikian, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dibalik kepentingan nasional setiap negara, setiap negara juga mempunyai kepentingan yang bersifat “bersama”, yaitu kepentingan yang muncul dari setiap masyarakat ( Mochtar Kusumaatmadja, 1982 : 12). Dalam hal ini kepentingan budaya masyarakat asli Kepulauan Faroe telah menjalankan tradisi Grindadrap sejak lama. Perkembangan masyarakat internasional saat ini menunjukkan bahwa sebelum bangkitnya kesadaran tentang sifat global lingkungan hidup, nilai kebersamaan hanyalah unsur implist dari masyarakat internasional. Di luar itu setiap negara mengutamakan kepentingan nasionalnya dan berusaha memecahkan sendiri setiap masalah yang dihadapi ( Macdonald, 1983 : 583). Sehingga dalam hal ini dapat diketahui bahwa pemerintah Kepulauam Faroe lebih memilih untuk mempertahakan tradisi Grindadrap daripada memperhatikan reaksi negatif dari masyarakat global. Walaupun secara regulasi, tradisi ini belum mendapatkan legitimasi yang jelas, pemerintah Kepulauan Faroe menitikberatkan aspek kesejahteraan masyarakatnya dengan terus melegalkan tradisi ini di negaranya. Fakta lain yang dijelaskan sebelumnya dimana terdapat penyimpanganpenyimpangan tradisi ini, yakni masyarakat lokal banyak yang memperjual belikan daging dan lemak hasil perburuan kepada para wisatawan bahkan sebagian diawetkan untuk diekspor ke negara lain. Hal ini tentu sudah menjadi bagian integral secara tidak langsung dari praktek perburuan paus secara komersil walaupun tidak langsung dilakukan. IWC telah melakukan moratorium hingga saat ini untuk melarang segala perburuan paus komersial kepada seluruh negara anggota. Menurut Gundling masalah terpenting dalam pembicaraan hak dan kewajiban yang erat dalam suatu regulasi atau peraturan terhadap generasi masa depan adalah masalah pengkonkretan kewajiban itu melalui usaha untuk mengtasi masalah-masalah lingkungan yang dihadapi saat ini, dalam hal ini ( Gundling, 2000 : 210). Denmark sebagai negara yang telah meratifikasi ICRW sudah melakulan koordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe untuk mengadopsi peraturan ICRW ke dalam aturan nasional. Namun dalam 98 prakteknya Kepulauan Faroe menolak rekomendasi tersebut dikarenakan perburuan paus Pilot dalam tradisi Grindadrap dianggap tidak mengancam ekosistem laut, karena pemerintah telah berkoordinasi dengan banyak pihak seperti NAMMCO untuk menelaah populasi paus Pilot secara rutin. Pemerintah Kepulauan Faroe beranggapan bahwa, tradisi ini sudah berjalan sejak lama dan menjadi tradisi yang tidak mudah begitu saja dihilangkan. Nampak adanya ketidakharmonisan antara Denmark, Kepulauan Faroe dan IWC dalam menanggapi permasalahan ini. Dengan melihat kondisi demikian, terdapat celah hukum yang menjadi suatu pembenaran tradisi ini tetap. Hal tersebut dikarenakan beberapa faktor sebagi berikut (Sandra Altherr , 2011 : 23) : a. Kurang jelasnya ICRW dalam mengatur perburuan paus ASW ; b. IWC belum menetapkan kuota ASW untuk Kepulauan Faroe, maka hal ini dapat dijadikan pembenaran pemerintah Kepulauan Faroe beranggapan tradisi ini tetap legal untuk dilaksanakan ; c. Terdapat kegagalan pemerintah Denmark, dimana pemerintah Denmark tidak dapat memfasilitasi Kepulauan Faroe dan IWC. Walaupun dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah Kepulauan Faroe berkedaulatan atas Kerajaan Denmark, namun terkait urusan pengelolaan konservasi dan perikanan diatur lebih lanjut secara mandiri oleh aturan nasional Kepulauan Faroe ; d. Mencermati bahwa spesies paus Pilot yang tergolong spesies terancam punah, pemerintah Kepulauan Faroe berupaya melakukan konservasi dan tetap memperhatikan ekosistem laut dengan upaya perburuan yang diatur secara rinci ; e. Pengaturan yang terdapat dalam peraturan Whaling in the Faroe Island yang dikeluarkan oleh pemerintah Kepulauan Faroe menegaskan bahwa segala metode perburuan dan pembunuhan paus dalam tradisi Grindadrap diatur sedemikian rupa terkait alat, cara dan spesifikasi pemburu dan petugas pembagi daging yang terlatih agar tidak memberikan rasa sakit berlebih pada paus yang dibunuh; 99 f. Pemerintah Kepulauan Faroe mempertahankan tradisi ini atas dasar sebuah upaya pelestarian budaya masyarakatnya. Walaupun demikian, pemerintah berupaya melakukan upaya-upaya preventif dengan menciptkan regulasi tata cara perburuan, upaya koordinasi dengan pihak lain untuk kegiatan konservasi paus dan tanggung jawab pemerintah Kepulauan Faroe yang melaporkan kegiatannya dalam laporan tahunan kepada IWC. Apabila dikaitkan dengan perkembangan hukum lingkungan internasional sejauh ini, seperti sebuah kasus antara Kanada dan Uni Soviet atau biasa disebut Kasus Cosmos-954 yang diselesaikan dengan ketentuan Pasal IX Konvensi Liability Convention 1992, menunjukkan bahwa walaupun suatu kegiatan yang berada dibawah pengawasan negara tertentu tetap sebagai kegiatan yang potensial memberikan dampak lingkungan hidup secara global ( Ida Bagus, 2003 : 9). Kegiatan perburuan dalam tradisi ini yang berlangsung terus menerus akan memberikan efek negatif jangka panjang terhadap keseimbangan ekosistem laut. Ancanam penuruan populasi paus dan spesies Cetacean lainnya akan mempengaruhi ketidakstabilan rantai makanan (Food Chain) dan berpengaruh terhadap populasi spesies lainnya. Namun demikian, dikarenakan kendala peraturan ICRW yang belum secara jelas mengatur hal ini, menyebabkan sampai saat ini pelaksanaan tradisi Grindarap belum mendapatkan tekanan dari masyarakat internasional secara serius apabila dibandingkan dengan kasus Jepang sebuah perburuan ilmiah yang disalahgunakan menjadi perburuan komersial secara jelas tidak dibolehkan dalam ICRW. Telah diuraikan sebelumnya pada kasus yang dilakukan oleh Jepang sangat jelas mendapat tekanan dari masyarakat internasional, dimana Jepang yang telah meratifikasi ICRW dan sekaligus menyepakati dilarangnya perburuan komersial, namun faktanya dengan menggunakan celah pada Article VIII ICRW yang membolehkan perburuan untuk tujuan ilmiah, Jepang menggunakan ijin khusus tersebut untuk melakukan proyek penelitian akan tetapi hal tersebut disalahgunakan. Paus yang diburu untuk proyek penelitian dimanfaatkan untuk diambil daging dan lemaknya diperdagangkan untuk 100 konsumsi masyarakat. Atas laporan dari Australia, Mahkamah Internasional menjatuhkan putusan bersalah pada negara Jepang sehingga wajib menghentikan proyek penelitian tersebut. Apabila dibandingkan dengan permasalahan pada penelitia ini, tradisi Grindadrap yang dilakukan masyarakat Faroe juga disalahgunakan dengan adanya fakta penjualan daging paus ke para wisatawan serta secara diam-diam diperdagangkan ke negara lain. Walaupun aktivitas seperti tidak cukup signifikan dibanding kasus Jepang, tetapi bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi cikal bakal penyimpangan tradisi tersebut. Sekalipun pemerintah Kepulauan Faroe sangat berorientasi kepada perlindungan kepentingan negara, namun hukum yang telah dibuat (dalam hal ini ICRW) jauh mempertimbangkan perlindungan lingkungan yang bersinergi dengan aktivitas atau kegiatan manusia. Dalam kasus ini hal yang dipertimbangkan ialah prioritas kebijakan suatu negara dalam memilih keberlangsungan adat budaya masyarakat tertentu atau kewajiban negara dan masyarakatnya yang seharusnya turut berpartisipasi menjaga dan melestarikan lingkungan. Sementara dalam hal ini pemerintah Kepulauan Faroe lebih memilih untuk mempertahankan tradisi Grindadrap yang dilakukan sejak lama oleh suku asli di Kepulauan Faroe yakni suku Norse. Sebagian suku Norse yang menjadi penduduk asli Kepulauan Faroe terus melestarikan budaya ini sampai sekarang. Suku Norse tersebut dapat disebut sebagai Indigenous People. Istilah indigenous peoples biasanya digunakan untuk merujuk pada orang-orang kelompok yang merupakan keturunan populasi asli yang tinggal disebuah negara. Istilah Inggris “indigenous” berasal dari bahasa Latin “indigenae” yang digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan di sebuah tempat dan mereka yang datang dari tempat lain (advanae) (Eddie Riyadi, 2002 : 2). Jose Martinez Cobo, seorang Reporter Khusus PBB menyusun definisi tentang indigenous peoples sebagai berikut ( Eddie Riyadi, 2002 : 9) : “… are those which, having a historical continuity with pre-invasion and pre colonial societies that developed on thbeir territories, consider themselves distinct from other sectors of societies now prevailing on those territories, or parts of them. They from at present non-dominant sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future generations their ancestral territories, 101 and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as peoples, in accordance with their own cultural patterns, social institutions and legal system”. Artinya: mereka yang memiliki kontinuitas sejarah dengan masyarakat sebelum invasi dan sebelum kolonial yang telah mengembangkan wilayah mereka, memandang diri mereka berbeda dari sektor lain masyarakat yang ada sekarang di dalam wilyah yang sama atau bagian dari mereka. Mereka saat ini membentuk sektor yang non-dominan dari masyarakat dan bertekad untuk mempertahankan, mengembangkan dan meneruskan ke generasi-generasi berikut wilayah leluhur mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai dasar untuk kelanjutan hidup mereka sebagai manusia, sesuai dengan pola budaya mereka sendiri, lembaga sosial mereka dan sistem hukum mereka. Perkembangan hukum internasional tak dapat lepas dari pengakuan secara utuh terhadap hak-hak dan kedudukan untuk Indigenous People. Dalam dunia internasional, PBB , UNDRIP dan Organisasi Buruh Internasional atau ILO (International Labour Organization) mengakui bahwa penetapan dan perlindungan hak indigenous peoples merupakan bagian yang penting dari hak asasi manusia, dan layak diperhatikan masyarakat internasional. Kedua organisasi ini aktif dalam menyusun dan menerapkan standar yang dirancang untuk menjamin penghargaan atas hak indigenous peoples yang telah ada dan menetapkan hak tambahan ( Palantunan Lande, 2015 : 50). Kemudian pada konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diadakan di Rio de Janeiro pada Juni 1992, menghasilkan sebuah perkembangan baru bagi indigenous peoples tentang hubungan mereka dengan PBB. Konferensi tersebut mengakui bahwa indigenous peoples dan komunitasnya memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan, berdasarkan ilmu yang dimiliki dan praktik-praktik tradisional mereka. Ditekankan bahwa usaha dalam lingkup nasional dan internasional untuk menerapkan pembangunan yang berkesinambungan dan berorientasi lingkungan harus mengakui, mengakomodasi, memajukan dan memperkuat peran indigenous peoples dan komunitasnya (Palantunan Lande, 2015 : 51). Kemudian pada Maret 1996 diadakan Seminar Ahli tentang Pengalaman Praktis sehubungan dengan Hak atas Tanah dan Tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat 102 diselenggarakan di Whitehorse, Kanada. Seminar ini merupakan bagian dari Program Aksi Dekade Internasional Masyarakat Adat Dunia. David Keenan dari Yukon Council of First Nations, mengetuai seminar, dan José Aylwin Oyarzon dari pemerintah Cili ditunjuk sebagai pelapor. Seminar ini menetapkan kesimpulan dan rekomendasi akhir mengenai hak atas tanah dan tuntutan dari masyarakat adat. Seminar ini menekankan bahwa pemajuan dan perlindungan hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat merupakan hal yang penting bagi perkembangan masyarakat dan perjuangan budaya. Lebih lanjut ditegaskan tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Seminar ini menyimpulkan bahwa kemauan politik dalam bentuk komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah sebagai mitra dalam pengambilan keputusan, merupakan hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengelolaan, dan untuk menghindari terjadinya pertentangan antara berbagai pihak (Palantunan Lande, 2015 : 53). Pada tanggal 29 Juni 2006 disepakati lah United Nation Declaration of Rights on the Indigenous Peoples (UNDRIP). Deklarasi ini dirumuskan dan disahkan oleh para ahli independen, utusan-utusan negara anggota PBB serta berbagai organisasi-organisasi serta aktivis-aktivis yang memperjuang indigenous peoples. Namun deklarasi ini bersifat tidak mengikat (not legally binding). Sehingga negara boleh melakukan atau tidak (Yance Arizona , 2008 : 6). Sampai saat ini hanya satu konvensi internasional yang mengatur secara khusus mengenai indigenous peoples yaitu Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989. Bersama dengan UNDRIP, konvensi ini saling melengkapi mengenai aturan indigenous peoples. Tetapi UNDRIP hanya bersifat deklaratif yang tidak memberikan keterikatan bagi setiap negara untuk harus melaksanakannya (Palantunan Lande, 2015 : 54). Ada 2 hal yang menjadi prinsip didalam Indigenous And Tribal Peoples Convention 1989 yaitu melakukan perundingan dan berpartisipasi dalam membuat keputusan di seluruh tingkat perundingan yang berpengaruh terhadap kehidupan dan kelompok masyarakat adat (http://www.ilo.org/indigenous/Aboutus/HistoryofILOswork/langen/index.ht m diakses pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 20.35 WIIB). Sampai pada Maret 103 2012, konvensi ini telah diratifikasi sebanyak 22 negara dan akan terus bertambah. Negara-negara yang telah meratifikasi antara lain; Argentina, Bolivia, Brasil, Afrika Selatan, Cili, Kolombia, Kosta Rica, Denmark, Dominika, Ekuador, Fiji, Guatemala, Honduras, Mexico, Nepal, Belanda, Nigeria, Norwegia, Paraguay, Peru, Spanyol, Venezuela (https://intercontinentalcry.org/the-history-of-ilo-conventions-on-indigenouspeoples/ diakses pada tanggal 8 Januari 2016 , pukul 20.50 WIB). Article II of Indigenous And Tribal Peoples Convention 1989 menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban melindungi hak-hak sosial masyarakat adat di negaranya yang ditegaskan sebagai berikut : a. Governments shall have the responsibility for developing, with the participation of the peoples concerned, co-ordinated and systematic action to protect the rights of these peoples and to guarantee respect for their integrity; b. Such action shall include measures for: (1) ensuring that members of these peoples benefit on an equal footing from the rights and opportunities which national laws and regulations grant to other members of the population; (2) promoting the full realisation of the social, economic and cultural rights of these peoples with respect for their social and cultural identity, their customs and traditions and their institutions; (c) assisting the members of the peoples concerned to eliminate socioeconomic gaps that may exist between indigenous and other members of the national community, in a manner compatible with their aspirations and ways of life. Hal diatas menjelaskan bahwa pemerintah masing-masing dari setiap negara harus memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan, dengan partisipasi dari masyarakat terkait, tindakan terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi hak-hak masyarakat ini dan untuk menjamin penghormatan terhadap integritas mereka. Tindakan tersebut harus mencakup langkah-langkah untuk : (a) memastikan bahwa anggota masyarakat ini manfaat pada pijakan yang sama dari hak dan kesempatan yang undang-undang dan peraturan nasional memberikan kepada anggota lain dari populasi; (b) mempromosikan realisasi penuh hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat tersebut dengan menghormati identitas sosial dan budaya mereka, adat istiadat dan tradisi dan institusi mereka; (c) membantu para anggota masyarakat yang bersangkutan 104 untuk menghilangkan kesenjangan sosial-ekonomi yang mungkin ada di antara anggota masyarakat adat dan lain dari komunitas nasional, dengan cara yang sesuai dengan aspirasi dan cara hidup mereka. Denmark adalah salah satu negara yag telah meratifikasi konvensi ini. Menurut penulis, ini merupakan salah satu pertimbangan dari negara Denmark pula untuk tetap mempertahankan tradisi Grindadrap di Kepulauan Faroe. Diketahui bahwa Denmark sering mendapatkan tekanan dari Europe Union, namun yang menjadi kendala ialah Kepulauan Faroe tidak memiliki keanggotaan dalam masyarakat Uni Eropa. Selain itu berdasarkan Pasal 3 UNDRIP diatur sangat jelas tentang pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak tersebut termasuk hak dalam bidang politik, hak untuk mengembangkan ekonomi, dan hak untuk pembangunan dalam bidang sosial dan budaya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sudah diterima dalam hukum internasional. Pada tahun 1996, Internatonal Court of Justice (ICJ) dalam Kasus Portugal v. Australia (East Timor Case), mendefinisikan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai “erga omnes”. Anaya menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri ditetapkan sebagai bagian dari jus cogens dan secara umum diterima dalam hukum internasional. Dalam kaitannya dengan masyarakat hukum adat, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan representasi dari kebebasan untuk membuat keputusan terkait dengan hal-hal yang berpengaruh terhadap mereka, untuk hidup sesuai dengan cara hidup mereka yang tradisional, nilai dan keyakinan mereka, dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam negara. Hak untuk menentukan nasib sendiri juga sangat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam ( Anaya, 2004 : 13) . Pada UNDRIP diatur dengan lebih jelas ketentuan tentang hak-hak masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam. Pasal 26 ayat (2) UNDRIP secara khusus telah menetapkan bahwa: “Indigenous peoples have the right to own, use, develop and control the lands, territories and resources that they possess by reason of traditonal ownership or other traditonal occupaton or use, as well as those which they have otherwise acquired”. 105 Pada pasal 32 (3) lebih lanjut UNDRIP menetapkan bahwa negara-negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk melakukan ganti rugi yang adil dan pantas untuk aktivitas apapun dan langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya ataupun spiritual. “ State shall provide effective mechanisms for just for just and fair redress for any such activities, and approriate measures shall be taken to mitigate adverse environmental, economic, social, cultural or spiritual impact”. Pasal tersebut setidaknya memberikan penjelasan bahwa selain negara memberikan pengakuan untuk kegiatan masyarakat adat baik sosial dan budaya, negara juga perlu mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara eksistensi dan pengakuan masyarakat adat dengan pelaksanaan perlindungan terhadap lingkungan harus berjalan harmonis. Sementara itu, keberlangsungan tradisi Grindadrap yang memburu Paus Pilot selama bertahun-tahun ditakutkan mengancam penurunan populasi Paus Pilot. Menurut Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe populasi Paus Pilot di Atlantik Utara sekitar 778.000 paus, dengan jumlah 100.000 di sekitar Kepulauan Faroe. Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe menyatakan bahwa populasi Paus Pilot melimpah di Atlantik Utara. Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe mengupayakan dan memastikan metode berburu secara berkelanjutan dengan tetap melindungi dan melestarikan lingkungan alam (http://www.government.fo/the-government/ diakes pada tanggal 14 April 2016). Kepulauan Faroe memiliki hak dibawah hukum internasional untuk menggunakan sumber daya alam yang dimiliki termasuk Paus Pilot. Daging dan lemak paus dimanfaatkan secara berdampingan untuk konsumsi lokal. Hukum Internasional mengatur bahwa masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk memiliki dan mengelola tanah dan sumber daya alam dengan alasan kepemilikan tradisional. Pada tulisan Sandra Altherr menjelaskan jika memang sudah menjadi kewajiban pemerintah Denmark wajib untuk mewakili kepentingan 106 Kepulauan Faroe dalam semua forum internasional. Kepulauan Faroe adalah bagian dari Denmark Raya namun bukan anggota Uni Eropa. Pada tahun 2008 dibentuklah suatu Komisi oleh Uni Eropa yang beranggotakan anggota IWC yang bertugas melaporkan dan mengungkapkan bagaimana kebijakan Denmark di tiga bidang utama yang dinilai tidak konsisten dengan peraturan yang disepakati oleh Uni Eropa. Ketidakkonsistenan Denmark tampak dalam hal sebagai berikut : a. Dukungan secara langsung terhadap penangkapan paus komersial yang menjadi komoditi perdagangan internasional; b. Berkontribusi untuk menghilangkan batas-batas pelaksanaan ASW dan penangkapan paus komersial; c. Keengganan untuk mendukung konservasi secara proaktif, inisiatif yang diprakarsai oleh Komite Konservasi dari IWC, dan pemetaan tempattempat terlindungi untuk paus. Dilihat dari faktor histori bahwa Denmark memegang posisi Kepresidenan Uni Eropa dari 1 Januari sampai 30 Juni 2012. Posisinya dengan sehubungan dengan IWC dan konservasi terhadap spesies Cetacean sangat penting terutama dikarenakan hasil dari Pertemuan Tahunan IWC ke 64 pada tanggal 25 Juni sampai 6 Juli 2012. Walaupun sampai saat ini Denmark sudah tidak memegang kedudukan tersebut, tetapi penting peran Denmark di setiap masa transisi posisi kepresidenan untuk IWC memiliki pengaruh yang cukup besar ( Sandra Altherr, 2011 : 5) . Ketidakkonsistenan Denmark dan ambiguitas peraturan yang ada inilah yang menjadi faktor penting keberlangsungan tradisi Grindadrap ini masih berlangsung sampai sekarang. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa Paus Pilot adalah spesies hewan highly migratory yang melakukan perpindahan habitat dari perairan satu ke perairan lainnya. Paus Pilot akan berenang ke perairan tenang dan dangkal untuk berkembang baik, seperti mendekat ke perairan sekitar Kepulauan Faroe. Populasi Paus Pilot memang cukup banyak di perairan Atlantik Utara sekitar lebih dari 700.000, dan kurang lebih 100.000 Paus Pilot ada di perairan sekitar Faroe. Tradisi Grindadrap hanya memburu 107 paus sekitar 950 paus setiap tahunnya walaupun tidak terlalu besar dibandingkan dengan populasi paus secara keseluruhan di perairan Atlantik Utara. Namun tradisi Grindadrap yang dilakukan setiap bulan Juli, Agustus, September adalah bulan dimana musim kawin Paus Pilot biasanya dilakukan. Pada pemamparan sebelumnya diketahui bahwa Paus Pilot yang berkembang biak adalah paus yang berusia produktif . Hal tersebut berarti sebagian besar paus yang diburu dalam tradisi Grindadrap adalah paus dalam usia produktif yang akan berkembang baik di perairan sekitar Kepulauan Faroe. Dan jika dibandingkan dengan perburuan paus komersial di negara-negara lain seperti Jepang, Norwegia dan Islandia yang memburu paus untuk kepentingan komersial sebanyak 24, 381 ekor paus setiap tahunnya, jumlah paus yang diburu dalam tradisi ini memang tidak terlalu banyak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ocean Care paus memiliki peran penting dalam rantai makanan yang mempengaruhi keseimbangan lingkungan laut. Intergenerational Equity Principle menekankan bahwa lingkungan hidup yang lestari dan baik juga juga merupakan hak generasi yang akan datang. Meskipun jumlah populasi paus yang diburu dalam tradisi ini tidak sebanding dengan jumlah paus yang diburu untuk kepentingan komersial dan juga memang belum mengancam keseimbangan laut secara keseluruhan, bukan tidak mungkin ancaman terhadap keseimbangan lingkungan laut dan ancaman terhadap keberadaan populasi paus akan mengancam generasi yang akan datang. Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah sebagian kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Philipus Hadjon, 1987 : 38). Dalam penelitian ini, perlindungan hukum terhadap paus berdasarkan hukum internasional penulis artikan bahwa hukum internasional pun juga melindungi keberadaan paus dari tindakan atau hal-hal yang dapat merugikan dan mengancam keberadaan paus. Hukum Internasional melindungi paus secara hukum melalui ICRW memberikan konsekueni kepada setiap negara yang telah meratifikasinya untuk menegakkan peraturan dan menjalanka peraturan yang tercantum dalam konvensi. Denmark sebagai negara peratifikasi ICRW memiliki kewajiban untuk menetapkan peraturan nasional yang berlaku baik di negaranya maupun wilayah lain yang menjadi otoroitasnya 108 seperti halnya Kepulauan Faroe. Pada pemamparan sebelumnya disebutkan bahwa berbagai upaya telah diupayaka untuk membuat kesepakatan antara pemerintah Denmark dan Kepulauan Faroe untuk membuat perjajnjian tertulis lebih lanjut yang mengatur persoalan perburuan paus dalam tradisi Grindadrap sebagai bagian dari desakan dari IWC dan Europe Union, namun sampai saat ini belum terlaksana. Pemerintah Kepulauan Faroe beralasan bahwa kegiatan tersebut tidak melanggar aturan yang terdapat dalam ICRW dikarenakan belum ada pengaturan lebih lanjut mengenai spesifikasi perburuan berdasarkan keberlangsungan adat dan budaya di ICRW. Dalam hal ini pemerintah Kepulauan Faroe mengatur keberlangsungan tradisi Grindadrap sendiri yang dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan yakni Whaling in the Faroe Island. Pada pemamparan sebelumnya, pemeruintah Kepulauan Faroe beralasan bahwa pihak lain tidak berhak mencampuri tradisi di Faroe. Hal tersebut sangat beralasan dengan Hukum Internasional yang mengakui keberadaan tradisi masyarakat adat sebagai bagian dari pengakuan Hukum Internasional terhadap indigenous people dan juga berlaku self – determenation didalamnya. Seperti yang diketahui sebelumnya tradisi Grindadrap merupakan tradisi yang turun temurun berlangsung berabad-abad sebelumnya merupaka warisan adat dan budaya dari suku Norse yang merupakan penduduk asli yang mendiami Kepulauan Faroe sejak dulu. Dengan demikian, dalam hal ini keberlangsungan tradisi Grindadrap tidak dapat dihentikan dan ditiadakan begitu saja sebab, masyarakat Kepulauan Faroe berhak untuk terus melangsungkan tradisi tersebut yang jelas dilindungi oleh Hukum Internasional. Kemudian, diatur pula secara jelas pada pasal 32 (3) UNDRIP menegaskan bahwa negara juga harus menyediakan mekanisme perlindungan terhadap lingkungan. Hal demikian menjadi jelas jika sebuah tradisi yang berjalan juga harus berlangsung selaras dengan perlindungan lingkungan. Pemerintah Kepulauan Faroe menerapkan praktek tradisi Grindadrap dengan metode yang meminimalisir kerusakan habitat Paus Pilot. Namun, kenyataanya pratek tradisi Grindadrap belum sesuai sepenuhnya dengan pasal tersebut. Tradisi tersebut sering dilakukan saat musim kawin dengan memburu paus berusia produktif, 109 dengan demikian akan mengancam kelestarian jenis daripada Paus Pilot apabila perburuan dilakukan terus menerus dengan tidak memperhatikan siklus reproduksi dari salah satu spesies highly migratory tersebut. Walaupun demikian, pemerintah Kepualauan Faroe telah berupaya melakukan konservasi Paus Pilot dan ekosistem laut di sekitar Kepulauan Faroe dengan bekerja sama dengan organisasi internasional yang memiliki fokus terhadap konservasi ekosistem laut, seperti NAMMO. Menjawab permasalahan pertama ini apakah tradisi ini bertentangan dengan ICRW, maka penulis bersimpulan tradisi Grindadrap telah melanggar ketentuan ICRW dikarenakan perburuan selain untuk kepentingan ilmiah tidak dibolehkan. Tetapi secara universal , keberadaan tradisi Grindadrap dan prakteknya memang tidak dapat disalahkan begitu saja karena eksistensi indigenous people berserta budayanya tetap dilindungi oleh UNDRIP. Berdasarkan Pasal IX Konvensi Liability Convention 1992, yang diterapkan pada kasus Cosmos 954 menunjukkan bahwa walaupun suatu kegiatan yang berada dibawah pengawasan negara tertentu tetap sebagai kegiatan yang potensial memberikan dampak lingkungan hidup secara global ( Ida Bagus, 2003 : 9). Maka dari itu Denmark secara jelas haruslah bertanggung jawab atas pelaksanaan tradisi Grindadrap yang dilakukan. Kegiatan perburuan dalam tradisi ini yang berlangsung terus menerus akan memberikan efek negatif jangka panjang terhadap keseimbangan ekosistem laut. Tanggung jawab Denmark diwujudkan dengan pembuatan peraturan lebih tegas dengan berkoordinasi lanjut bersama pemerintah Kepulauan Faroe. Pemerintah Denmark lebih lanjut harus mengatur secara jelas dalam peraturan nasionalnya dan berkoordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe untuk membuat peraturan jelas terkait tradisi Grindadrap disertai upaya dan tindakan jelas terhadap perlindungan populasi Paus Pilot dengan tetap tidak mengabaikan pengakuan hak-hak masyarakat adat Faroe untuk tetap melangsungkan tradisi tersebut sebagai bagian dari hak asasi manusia. Denmark dalam hal ini memberikan perlindungan hukum terhadap paus dengan dua hal baik secara preventif yakni dengan cara berhati-hati dalam mengaambil setiap keputusan dan secara represif yakni degan 110 cara membuat produk hukum nasional yang tegas agar dapat ditaati bersama oleh masyarakat Denmark dan juga masyarakat Kepulauan Faroe. 2. Tradisi Grindadrap Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Kepulauan Faroe Berdasarkan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) Pada dasarnya efektivitas hukum lingkungan internasional dapat dilihat dari terlaksananya perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat soft ( declarations, resolutions), maupun bersifat hard (treaties dan agreements), yang dibentuk melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan internasional lainnya, baik yang digerakkan atas inisiatif negara atau kelompok negara tertentu maupun oleh UNEP ( United Nations Environmental Program) dan organisasi internasional lainnya ( Ida Bagus, 2003 : 1). Tabel 3.2.2 : The Structure of CITES Pada tabel 3.2.2 diatas menunjukkan bahwa CITES memiliki hubungan dengan UNEP. Sekretariat CITES diadministrasikan oleh UNEP dan terletak di Jenewa, Swiss. Hal ini memiliki peran penting dan mendasar untuk pelaksanaan konvensi dan fungsinya yang ditetapkan dalam Artcile XII di teks konvensi CITES . UNEP memiliki peran dalam hal koordinasi sebagai penasehat, membantu komunikasi, memantau pelaksanaan konvensi, mengatur pertemuan konferensi para pihak dan komite permanen secara berkala dan mempersiapkan segala dokumen yag diperlukan 111 untuk pertemuan (https://www.cites.org/eng/disc/org.php diakses pada tanggal 10 Januari 2016 pada pukul 13.10 WIB. Denmark menjadi negara pihak konvensi CITES pada tahun 1988 dan tak lama setelah itu, disampaikan pemberitahuan bahwa peraturan CITES tidak akan berlaku di Kepulauan Faroe sampai Denmark menerapkan instrumen yang sesuai untuk Kepulaua Faroe. Namun setelah lebih dari tiga dekade, tidak ada implementasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup Denmark. Kepulauan Faroe tidak terikat oleh peraturan CITES, maka dari itu bebas memperdagangkan produk paus dengan ke negara lain bahkan negara yang bergabung juga dengan CITES termasuk Islandia dan Norwegia. Denmark telah gagal untuk bekerja dengan Kepulauan Faroe untuk kemajuan pelaksanaan peraturan CITES. Sebaliknya, Denmark telah berulang kali menentang Resolusi IWC yang mengkritik penangkapan paus komersial yang dilakukam oleh Norwegia ( Sandra Altherr, 2011 : 11). Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa CITES melarang segala bentuk perdagangan spesies hewan dan tumbuhan yang masuk ke dalam daftar Appendix I dan Appendix II. Salah satu paus yang menjadi objek perburuan utama dalam tradisi Grindadrap adalah paus Pilot. Paus Pilot merupakan spesies hewan yang masuk ke dalam daftar Appendix II. Appendix II meliputi spesies yang meskipun saat ini belum terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah akibat perdagangan dan eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan kelangsungan hidup mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas manusia yang mengekploitasi secara berlebihan dapat mengancam keberadaan spesies Appendix II. Paus Pilot diburu setiap tahunnya secara rutin dalam tradisi ini, sehingga memungkinkan terjadinya penurunan populasi paus Pilot kedepannya. Jika diuraikan, maka didapati ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu (CITES, KONVENSI INTERNASIONAL PERDAGANGAN TSL, http://www.ksda-bali.go.id/?P=314 diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 12. 17 WIB ) : a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dam satwa liar bagi manusia; b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia; 112 c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan satwa liar sangat tinggi; d. Makin mendsaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol perdagangan internasional. Negara-negara anggota Konvensi CITES (Parties) melakukan sidang setiap dua setengah tahun dalam acara yang disebut Conference of the Parties (COP). Keputusan yang dikeluarkan dalam sidang COP tersebut disebut sebagai Resolution dan Decision dari Conference of the Parties, masing-masing disingkat menjadi Res. Conf. dan Decision. Sejalan dengan pelaksanaan COP dari tahun ke tahun, beberapa Resolution masih berlaku dan beberapa lainnya ada yang tidak relevan lagi untuk diterapkan, sehingga dinyatakan tidak berlaku lagi. Sampai COP ke-8 pada tahun 1992 telah dikeluarkan sebanyak 173 resolusi. Melihat jumlah tersebut tidaklah mengejutkan jika banyak negara anggota dan pakar yang terlibat dalam perdagangan internasional dipusingkan dengan peraturan apa yang dapat diberlakukan untuk suatu kasus tertentu. Pada COP ke-10, sidang telah mereduksi jumlah resolusi menjadi 82 melalui proses penggabungan beberapa resolusi yang mengatur masalah yang sama. Namun demikian, jumlah Decision CITES pada COP ke-11 masih sebanyak 144. Negara-negara yang menandatangani Konvensi disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima dan menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi Parties dengan acceding Konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara telah bergabung menjadi anggota Konvensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi anggota CITES, yaitu: Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Koreaa Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Kepulauan Faroe ( Tonny Soehartono, 2003 : 9 ). 113 Walaupun diketahui bahwa pada tahun 1977 Denmark juga telah meratifikasi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perburuan paus yang diklasifikasikan menjadi beberapa jenis perburuan oleh IWC antara lain Commercial Whaling, Aboriginal Subsitence Whaling (ASW) dan Special Permit Whaling. ICRW melarang secara jelas perburuan paus yang bersifat komersial dan membolehkan perburuan untuk kepentinga ilmiah. Untuk CITES, penekanan pelarangan lebih kepada pelarangan penjualan produk-produk hasil perburuan hewan-hewan yang terancam punah yang acap kali menjadi komoditi perdagangan internasional. Larangan tersebut ada pada Article II mengenai fundamental principle yang ada pada CITES sebagai berikut (CITES, 1973 : 4): 1. Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival and must only be authorized in exceptional circumstances. 2. Appendix II shall include: (a) all species which although not necessarily now threatened with extinction may become sounless trade in specimens of such species is subject to strict regulation in order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b) other species which must be subject to regulation in order that trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph (a) of this paragraph may be brought under effective control. 3. Appendix III shall include all species which any Party identifies as being subject to regulation within its jurisdiction for the purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing the co-operation of other Parties in the control of trade. 4. The Parties shall not allow trade in specimens of species included in Appendices I, II and III except in accordance with the provisions of the present Convention. Adapun fundamental principle CITES diatas menegaskan bahwa Appendix I mencakup semua spesies yang terancam punah akibat dipengaruhi oleh perdagangan. Dalam hal ini beberapa spesies paus diperdagangkan secara komersial yang akhirnya mengakibatkan penurunan populasinya. Perdagangan spesimen dari spesies yang tergolong Appendix I harus dilindungi agar tidak membahayakan kelangsungan hidup. Appendix II meliputi spesies yang 114 meskipun saat ini belum terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah akibat perdagangan dan eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan kelangsungan hidup mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas manusia yang mengekploitasi secara berlebihan dapat mengancam keberadaan spesies Appendix II. Beberapa paus juga kerap diburu manusia untuk kepentingan tertentu seperti kegiatan penelitian maupun perburuan yang didasarkan atas budaya masyarakat tertentu. Appendix III mencakup semua spesies yang diidentifikasikan oleh negara anggota yang sebagaimana mengetahui lebih jaus keberadaan populasi spesies tertentu yang selanjutnya diaturan ke dalam yuridiksi nasional masing-masing bertujua untuk mencegah dan membatasi eksploitasi. Penegakan dilakukan oleh setiap negara tetapi tetap membutuhkan kerja sama dari negara dan pihak lainnya. Setiap negara anggota CITES dan negara pihak yang telah menyepakati konvensi ini lebih lajut tidak mengizinkan perdagangan spesimen spesies-spesies yang ada pada daftar Appendix I, Appendix II maupun Appendix III. Buku yang berjudul Whales and Elephants in International Conservation Law and Politics : A Comparative Study oleh Ed Couzens menjelaskan bahwa pada pertemuan IWC yang ke 46, terdapat usulan terkait produk-produk daging paus yang dianggap dan seharusnya dibolehkan. Proposal tersebut diajukan oleh Argentina, Australia, Brasil, India, Monaco, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Denmark mendukung usulan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Denmark secarara tidak langsung mendukung perdagangan produk paus diperjelas dengan spesifikasi yang jelas. Namun pada pertemuan ini usulan tersebut ditolak, dikarenakan CITES konsisten membendung segala bentuk segala jenis produk perdagangan paus yang terancam punah, terutama yang masuk kedalam daftar Appendix I dan Appendix II ( Ed Couzens , 2009: 54 ). Perburuan paus saat ini menjadi isu yang kontroversial. Menurut Ian Hurd, 3 (tiga) hal yang harus ditelaah dalam isu perburuan paus ialah norma-norma internasional, peraturan internasional dan pasar internasional. Rezim hukum internasional tentang perburuan paus dibentuk oleh CITES dan ICRW 1946. ICRW yang lebih lanjut menciptakan IWC yang bertugas menetapkan kuota tangkapan paus bagi para 115 anggotanya. Efek keseluruhan dari rezim ini adalah saat ini perburuan paus yang bersifat komersial dilarang oleh IWC dan perdagangan internasional produk paus yang spesiesnya terancam punah dilarang oleh CITES. Namun, perjajian ini hanya berlaku sebatas pemerintah negara anggota telah setuju dan membuat instrumen hukum nasional lebih lanjut. Empat entitas di Eropa yang saat ini terlibat dalam perburuan paus ialah Islandia, Norwegia, Greenland, dan Kepulauan Faroe. Semua nya adalah anggota Komisi Penangkapan Ikan Paus Internasional (IWC) dan tidak merupakan anggota Uni Eropa. Keempatnya memiliki struktur industri dan pengaturan hukum bagi penangkapan paus yang berbeda. Norwegia melaporkan kepada IWC telah memburu paus sebayak 533 paus pada 2011, meskipun pemerintah mengeluarkan izin tangkapan paus untuk sekitar 1.200 paus. Paus yang diburu adalah paus minke, yang diburu di musim panas di pantai lepas utara Norwegia. Mereka diburu dari perahu kecil menggunakan granat yang melekat tombak, yang ditembak dari meriam ke dada paus. Daging hampir semua dijual dan dikonsumsi secara lokal, dengan jumlah kecil diekspor ke Kepulauan Faroe dan (dalam beberapa tahun terakhir) ke Jepang. Sementara Islandia berburu paus minke (sekitar 215 tahun 2012) di Atlantik Utara, serta paus sirip. Paus Minke dikonsumsi secara lokal di Islandia, sementara paus sirip diekspor ke Jepang. Paus sirip diklasifikasikan sebagai spesies yang terancam punah oleh konvensi CITES yang masuk kedalam Appendix I atau "terancam punah" sehingga perdagangan internasional dalam produk ini dianggap ilegal. Greenland dan Kepulauan Faroe keduanya bagian dari Kerajaan Denmark, tetapi untuk hal-hal penangkapan paus (dan banyak lagi) secara otonom bukan menjadi urusan dari pemerintah Denmark. Greenland dan Kepulauan Faroe memungkinkan berburu paus meskipun Denmark tidak melakukannya. Menurut Ian, hal ini membuat posisi perwakilan Denmark menjadi sulit dalam setiap pertemuan IWC. Greenland memiliki budaya beburu paus secara musiman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok aborigin dengan menangkap sekitar 100 paus minke dan 10 paus sirip per tahun, serta beberapa paus bungkuk dan paus kepala busur. Kepulauan Faroe berburu paus pilot dalam suatu tradisi 116 Grindadrap atau sejenis festival rakyat. Daging paus dibawa pulang oleh para peserta festival. Daging paus dikonsumsi dan diperdagangkan ke wisatawan dan secara diam-diam diperdagangkan ke negara lain seperti Islandia, Norwegia, Greenland dan Jepang (http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whalingeurope-eu-norway-iceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whalingcommission/ diakses pada tanggal 11 Januari 2016, pada pukul 13.55 WIB). Masuknya paus Minke dan paus besar lainnya ke dalam daftar Appendix I yang terancam punah, membuat Kepulauan Faroe mengambil celah dengan menargetkan memburu paus Pilot dan beberapa cetacean kecil lain seperti lumba-lumba yang hanya masuk ke dalam Appendix II dengan status belum terancam punah tetapi berpotensi terancam punah apabila di perdagangkan dan dieksploitasi secara berlebihan. Perdangan internasional produk paus dibatasi lebih lanjut oleh CITES dan aturan Uni Eropa. Konvensi CITES melarang ekspor dan impor produk dari spesies paus yang masuk ke dalam Appendix I dan Appendix II. Jika direlevansikan maka paus Pilot tercakup dalam aturan ini. Hal ini juga diatur oleh IWC yang mengatur beberapa aspek terkait perdagangan internasional segala produk hasil perburuan paus untuk negara IWC dan negara non-IWC (http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whaling-europe-eu- norway-iceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whalingcommission/ diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul 14.07 WIB). Kemudian dilihat dari sisi keanggotaan Kepulauan Faroe di Uni Eropa, diketahui Kepulauan Faroe tidak menjadi anggota Uni Eropa walaupun Denmark menjadi anggota Uni Eropa. Uni Eropa memiliki pengaruh terhadap perburuan paus dalam 2 (dua) hal yakni : Pertama, Uni Eropa melarang perburuan paus komersial dan kegiatan impor paus oleh anggotanya. Dengan demikian, pasar internasional di Eropa tidak bersedia bila Islandi dan Norwegia ingin mengekspor produk paus. Tetapi tidak untuk Kepulauan Faroe yang bukan menjadi anggota Uni Eropa. Kedua, Uni Eropa menutup entitas yang selama ini menjadi pemburu paus, seperti Kepulauan Faroe. Menurut Ian, secara mutlak Uni Eropa melarang perburuan paus secara komersial dan perburuan paus non komersial yang dikomersialkan secara sengaja 117 (http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whaling-europe-eu-norwayiceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whaling-commission/ diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul 14.14 WIB). Melihat kondisi demikian, menunjukkan bahwa hasil perburuan paus tradisi Grindadrap yang diperjualbelikan ke wisatawan dan diekspor ke negara lain, padahal tradisi tersebut pada dasarnya adalah perburuan yang menjadi bagian dari budaya masyarakat Faroe, dimungkinkan akan tidak diperbolehkan dengan pertimbangan terhadap aturan yang ada pada IWC dan CITES. Menurut Ian Hurd, pasar internasional dalam hal penjualan produk paus tercatat bahwa konsumsi produk paus rata-rata terhubung oleh perburuan paus. Biasanya masyarakat yang berburu paus juga ikut mengonsumsinya. Peran pemerintah di setiap negara akan dapat membantu mengurangi perburuan paus di masa depan. Seperti permasalahan antara Kepulauan Faroe dan Denmark yang kurang terkoordinasi mengakibatkan praktek perburuan paus masih saja dilakukan. Walaupun saat ini paus Pilot hanya sebagai spesies dalam daftar Appendix II, keberedaannya sudah dilindungi menjadi komoditi perdagangan internasional. Walaupun kenyataannya Kepulauan Faroe bukan merupakan anggota CITES dan juga bukan merupakan anggota Uni Eropa, tetapi keberadaan paus Pilot tetap dilindungi oleh konvensi ini. Mengenai masalah bertentangan atau tidaknya tradisi ini berdasarkan CITES akan lebih mudah memahaminya dengan The Principle of Pacta Sunt Servanda. Istliah Pacta Sunt Servanda berasal dari bahasa latin sejak zaman romawi yang berarti kesepakatan harus tetap. Istilah ini diadopsi sebagai prinsip dasar untuk mengatur perjanjian dalam hukum internasional. Article 26 Konvensi Wina tetang Hukum Perjanjian mengatakan bahwa : "Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith";.. Artinya bahwa setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat bagi para pihak untuk itu dan harus dilakukan oleh para pembuat perjanjian dengan itikad baik. Selanjutnya prinsip ini banyak digunakan untuk pengaturan hukum internasional di negara-negara dan kesepakatan internasional lainnya. Prinsip ini juga merupakan dasar penegakan hukum internasional yang mengikat (Yusuf Caliskan, 2008 : 12). 118 Denmark telah meratifikasi CITES, sehingga sudah menjadi kewajiban Denmark unttuk mengimplementasikan di negaranya dan berkewajiban melakukan koordinasi secara optimal dengan pemerintah Kepulauan Faroe. Kepulauan Faroe bukanlah anggota CITES sehingga pelaksanaan CITES tidak terikat untuk Kepulauan Faroe. Walaupun persoalan perikanan menjadi hak otonom dari Kepulauan Faroe, menurut teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu relevan atas permasalahan ini. Teori Kesalahan juga dapat diterpakan dalam kasus budaya perburuan paus di Kepulauan Faroe sebagai bagian dari Kerajaan Denmark, karena terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Denmark. Denmark telah melanggar peraturan yang telah diterapkan oleh CITES. Kesalahan tersebut ada pada posisi Denmark yang kurang dapat mengoptimalkan pelaksanaan koordinasi dengan Kepulauan Faroe. Posisi Kepulauan Faroe yang bukan menjadi anggota CITES, telah merugikan Denmark, Kerugian tersebut ada pada seringnya ketidakkonsistenan pernyataan dan sikap Denmark dalam setiap pertemuan IWC, CITES dan Uni Eropa yang lebih cenderung mencari celah untuk melegalkan perburuan paus di wilayah yang menjadi bagiannya seperti Norwega, Islandia, Greenland dan Kepulauan Faroe. Sehingga sering menimbulkan kritikan dari negara lainnya (Dwi Ariani, 2013 : 10). Dengan demikian, penulis bersimpulan bahwa tradisi Grindadrap bertentangan dengan CITES. Perburuan paus yang berlebihan secara ilegal mengatasnamakan tradisi Grindadrap ini telah jelas melanggar aturan CITES yang telah diratifikasi oleh Denmark. Mekanisme perlindungan terhadap paus pilot yang diberikan oleh CITES dengan mengategorikan ke dalam Appendix II, sudah menjadi tuntutan Denmark untuk memberikan pengawasan dan pemantauan tradisi Grindadrap di Kepulauan Faroe. Dengan ditemukannya fakta-fakta bahwa terjadi pelanggaran dengan dijualnya sebagian daging paus kepada wisatawan dan negara lain. Aktivitas tersebut apabila direlevansikan ke dalam CITES tentu merupakan 119 aktivitas yang dilarang dan ilegal yang tidak dapat dibenarkan oleh konvensi CITES. Selama ini CITES tidak bisa memberikan sanksi terhadap hal ini akibat status keanggotaan Kepulauan Faroe. Sehingga, tradisi Grindadrap berdasarkan CITES bertentangan karena ditemukan fakta tradisi tersebut melenceng dari kegiatan aslinya. Namun, Kepulauan Faroe atas tradisi ini tidak dapat disalahkan, karena tidak terikat dengan konvensi ini. Mochtar menunjukan bahwa dibalik kepentingan nasional setiap negara, setiap negara juga mempunyai kepentingan yang bersifat “kepentingan bersama”, yaitu kepentingan yang muncul dari sifat-sifat dasar setiap masyarakat. Menurut Fergus Watt : “It is axiomatic that we as individuals or groups of individuals share territory in resources. We need to define common norms of behaviour. This is true wether we are speaking of a family, small town, a province of country , of the world community” Baik terikat maupun tidak terikat pada CITES, Denmark dan Kepulauan Faroe sama-sama memiliki tanggung jawab yang sama untuk pelestarian lingkungan hidup. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 ( Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment) menyatakan (Ida Bagus, 2003 : 7) : “States have, ini accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies “. Prinsip tersebut membenarkan penempatan lingkungan hidup sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara, dan karenanya lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap atau pihak lain. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 lebih jauh menyatakan ( Ida Bagus, 2003 : 7) : “States have, in accordancewith the Charter of the United Nations and the principle of international law, ..... responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause 120 damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction”. Sejatinya walaupun Kepulauan Faroe bukan merupakan anggota CITES tetap seharusnya dapat meninjau segala aktivitas masyarakatnya dan instrumen hukum nasionalnya agar sinergis dengan kebijakan lingkungan global dan tidak merugikan banyak pihak. Menyikapi persoalan ini, pihak CITES belum dapat memberikan resolusi, sanksi ataupun sikap terhadap Kepulauan Faroe. Sejauh ini upaya yang telah dilakukan pihak CITES untuk menekan laju perdagangan internasional hewan dan tumbuhan yang teracam punah termasuk paus adalah dengan melakukan tindakan konservasi. Sejauh ini CITES hanya dapat memberikan tekanan terhadap Denmark yang merupakan anggota CITES agar bersikap objektif dan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Kepulauan Faroe. Belum ada pula teguran ataupun sanksi untuk Denmark sendiri, dikarenakan secara objektif memang Denmark tidak melakukan perdagangan paus. Namun, dikatakan relevan bahwa perdagangan daging paus tidak sesuai dengan aturan CITES dan memungkinkan apabila terdapat desakan yang lebih kuat dari masyarakat internasional bukan tidak mungkin pelaksanaan tradisi ini akan diberhentikan apabila benar ditemukan fakta adanya penyimpangan seperti dijualnya daging paus sebagai komoditi perdagangan dengan telah dijelaskan sebelumnya berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith Sloth pada jurnal ilmiah Ocean Care, yang berjudul The Faroe Islands Support Commercial Whaling ditemukan fakta terjadinya perdagangan hasil perburuann dalam tradisi Grindadrap. Bahwa pada tahun 2008 disebutkan adanya pengiriman daging Paus Pilot seberat 11.516 kg atau setara dengan 160 ekor paus dari Kepulauan Faroe ke Norwegia. Kemudian pada tahun yang sama terdapat pengiriman sebanyak 500 kg daging atau setara dengan 10 ekor Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith Sloth, 2009 : 4). 121 BAB IV PENUTUP . A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam berhubungan dengan permasalahan yang diteliti diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perlindungan terhadap paus dari tindakan illegal whale over fishing atau perburuan paus secara illegal yang berlebihan berdasarkan International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) dilakukan oleh International Whaling Commission (IWC) dengan melakukan beberapa upaya sepeti memberikan moratorium terhadap jenis perburuan paus komersial (Commercial Whaling),menetapkan kuota tangkapan perburuan untuk beberapa wilayah tertentu yang melakukan perburuan berdasarkan budaya atau kebiasaan masyarakat yakni Aboriginal Subsitence Whaling (ASW), memantau dan memberikan pengawasan ketat terhadap kegiatan perburuan untuk kegiatan penelitian (Scientific Whaling), memberikan rekomendasi terhadap organisasi-organisasi internasional, Mahkamah Internasional, dan melakukan program konservasi paus. Selanjutnya perlindungan terhadap paus dari tindakan illegal whale over fishing atau perburuan paus secara illegal yang berlebihan berdasarkan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) ialah dengan melakukan upaya pelarangan segala aktivitas perdagangan internasional yang menggunakan hewan dan tumbuhan yang terancam punah dari hasil perburuan termasuk beberapa spesies paus sebagai komoditinya. Mekanisme perlindungan yang dilakukan ialah dengan menetapkan beberapa kategori spesies ke dalam Appendix I, Appendix II, dan Appendix III. Pertemuan CITES meminta negara anggota untuk mengimplementasikan upaya lebih lanjut menggunakan hukum nasional masingmasing. Komite CITES melakukan bermacam-macam program konservasi yang diawasi dan dipantau langsung oleh United Nations Environment Programme dibawah naungan United Nations (UN) ; 122 2. Tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe berdasarkan International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) bertentangan dengan ICRW. Hal tersebut dikarenakan International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) hanya membolehkan perburuan untuk kegiatan penelitian ilmiah. Walaupun International Whaling Commission (IWC) belum menetapkan wilayah Kepulauan Faroe ke dalam kuota tangkapan Aboriginal Subsitence Whaling (ASW), tetapi Kepulauan Faroe tterikat dengan Kerajaan Denmark yang telah meratifikasi International Convention For Regulation of Whaling (ICRW), walaupun untuk urusan perikanan dan sumber daya alam, pemerintah Kepulauan Faroe menanganinya secara mandiri. Sementara itu, tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe bertentangan dengan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES). Hal tersebut dikarenakan, hasil perburuan paus dalam tradisi ini khususnya paus Pilot yang mana terdaftar ke dalam Appendix II tidak lagi dikonsumsi masyarakat lokal saja. Namun daging dan lemak paus Pilot sebagian diperdagangkan kepada para wisatawan dan sebagian lagi dijual ke negara lain seperti Islandia dan Norwegia. Denmark harus bertanggung jawab atas persoalan ini dikarenakan Denmark telah meratifikasi CITES. Selama ini Denmark telah gagal melakukan koordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe, sehingga menyulitkan posisi Denmark dalam keanggotaan CITES. B. Saran 1. Kepada pemerintah Denmark, harus lebih mengoptimalkan penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap paus dengan cara berkoordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe untuk membentuk produk hukum nasional secara jelas dalam mengatur pelaksanaan tradisi Grindadrap agar tidak bertentangan dengan ICRW maupun CITES, namun dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak masyarakat Kepualauan Faroe sebagai indigineous people yang diakui hak dan keberadaanya oleh Hukum Internasional ; 123 2. Kepada pemerintah Denmark, seharusnya mengadakan pengawasan lebih ketat dan mengadakan berbagai macam program konservasi bersama pemerintah Kepulauan Faroe untuk meningkatkan jumlah populasi Paus Pilot. ; 3. Kepada International Whaling Comission dan CITES Organization harus dapat mengoptimalkan koordinasi terhadap pemerintah Denmark , agar pemerintah Denmark bertindak lebih tegas terhadap pemerintah Kepulauan Faroe ;