BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil penelitian

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hasil penelitian yang dipublikasikan oleh International Whaling Comission
(IWC) menunjukkan populasi paus kian menurun sampai 12,5 % dari tahun 1985
sampai 2010 yang dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan lingkungan laut.
Penyebab penurunan populasi paus ialah maraknya perburuan paus untuk kepentingan
komersial (comercial whaling) dan perburuan masyarakat lokal (aboriginal subsistence
whaling) (Sandra Altherr, 2011 : 7). Perburuan paus untuk kepentingan komersial
(Comercial Whaling) ialah perburuan paus yang mengambil keuntungan dari penjualan
hasil perburuan. Selain atas dasar kebutuhan pangan, perburuan paus juga didasarkan
tradisi budaya tertentu atau disebut aboriginal subsitence whaling (ASW) juga
memberikan sumbangsih terhadap penurunan populasi paus. Salah satu perburuan yang
dilakukan masyarakat lokal ialah perburuan tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh
masyarakat Suku Adat Norse di Kepulauan Faroe, Atlantik Utara yang mana
merupakan wilayah otoritas negara Denmark. Faktanya, Denmark pada tanggal 23 Mei
1950 telah meratifikasi konvensi perlindungan hukum terhadap paus yakni
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) (Robert White, 2010 :
8). Selain itu, pada tahun 1977 Denmark juga telah meratifikasi Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
Walaupun demikian, pemerintah Kepulauan Faroe tetap melegalkan tradisi tersebut
sebagai bentuk pelestarian budaya yang telah berlangsung secara turun temurun (Rob
van Ginkel, 2005: 5). Ketidaksesuaian diatas menimbulkan permasalahan terkait
perlindungan hukum terhadap paus dan pengaturan pada Hukum Internasional pada
tradisi Grindadrap yang menjadi isu penting dalam penegakan Hukum Internasional
saat ini.
Penurunan populasi paus ditakutkan dapat mengancam keseimbangan ekosistem
laut. Menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) paus merupakan
salah satu jenis hewan yang dikategorikan sebagai endangered species atau terancam
punah yang wajib dilestarikan keberadaanya (Jean Fresko, 2014 :14). Data yang dirilis
2
oleh International Whaling Commission (IWC) menunjukkan adanya penurunan
populasi beberapa jenis paus yang terjadi di perairan seluruh dunia paus seperti Minke
Whales, Blue Whales, Fin Whales, Gray Whales, Bowhead Whales, Humpback Whales,
Right Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales, Balin Whales dan Sei Whales yang terjadi
di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus tersebut populasinya telah mengalami
penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per tahunnya sejak tahun 1985 sampai tahun 2010.
Dari kesepuluh jenis paus tersebut yang mengalami jumlah penurunan paling banyak
adalah jenis Paus Pilot (Globicephala Melena) atau Paus Sirip Panjang dan jenis Paus
Balin (Balaenoptera Physalus) atau Paus sirip pendek. Paus Pilot memiliki indeks
penurunan sebesar 12, 5% per tahunnya dan Paus Balin memiliki indeks penurunan
sebesar 8, 9 % per tahunnya. Kedua jenis paus ini secara spesifik tersebar di perairan
Central dan Eastern North Atlantic (https://iwc.int/estimate#table diakses pada tanggal
29 April 2015 Pukul 1.29 WIB). Kepulauan Faroe memanfaatkan paus sebagai
kebutuhan pangan nasional dan juga diperdagangkan secara bebas di Kepulauan Faroe
untuk konsumsi masyarakat yang diatur dalam peraturan Whaling In the Faroe Island
yang dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe (Rob van Ginkel, 2005:
14).
International Whaling Commision (IWC) sebagai badan yang menegakkan
perlindungan hukum berdasarkan ICRW kenyatannya telah memberikan status
pelarangan terhadap segala tindakan perburuan terhadap paus secara liar yang
berlebihan (illegal whale over fishing) di wilayah Atlantik Utara (North Atlantic) sejak
tahun 1950 (Rob van Ginkel, 2005 :5).
Penelitian sebelumnya berkaitan dengan tradisi Grindadrap telah dilakukan
oleh Rob van Ginkel dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Killing Giants of The Sea:
Contentious Heritage and The politics of Culture mengulas bahwa penurunan populasi
Paus Pilot dan Paus Balin yang cukup signifikan setiap tahunnya
salah satunya
dipengaruhi oleh tradisi Grindadrap oleh masyarakat Kepulauan Faroe. Hasil
penelitian menyebutkan setidaknya setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam
tradisi ini. Tradisi Grindadrap dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang
merupakan nenek moyang masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin
setiap tahunnya melakukan migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan
September yang biasanya bertepatan dengan musim panas.
Tradisi Grindadrap
3
biasanya dilaksanakan di salah satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus
paling banyak yang datang di perairan tersebut. Keberlangsungan tradisi Grindadrap
didasarkan pada adat yang telah berlangsung turun temurun dan kebijakan nasional
pemerintah Kepulauan Faroe melalui peraturan Whaling In the Faroe Island yang
dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan dimana Kepulauan Faroe merupakan wilayah
otoritas Denmark. Selain tradisi Grindadrap penurunan populasi Paus Pilot juga
disebabkan karena perdagangan daging-daging hasil perburuan. Berdasarkan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith Sloth pada jurnal ilmiah Ocean Care, yang
berjudul The Faroe Islands Support Commercial Whaling ditemukan fakta terjadinya
perdagangan hasil perburuan. Pada tahun 2008 disebutkan adanya pengiriman daging
Paus Pilot seberat 11.516 kg atau setara dengan 160 ekor paus dari Kepulauan Faroe ke
Norwegia. Kemudian pada tahun yang sama terdapat pengiriman sebanyak 500 kg
daging atau setara dengan 10 ekor Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith
Sloth, 2009 : 4). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sea Shepherd Global salah
satu organisasi yang melakukan tindakan konservasi terhadap spesies Cetacean
menyebutkan bahwa daging Paus Pilot juga dijual kepada para wisatawan di beberapa
restauran
yang
menghidangkan
makanan
khas
Kepulauan
Faroe
(https://www.seashepherdglobal.org/news-and-commentary/commentary/the-faroeislands-support-commercial-whaling.html diakses pada tanggal 6 April 2016 pada
pukul 22.45 WIB). Diketahui Denmark merupakan salah satu negara dari 16 negara
yang telah meratifikasi ICRW pada tahun 1950 (Sandra Altherr, 2011 : 8). International
Convention for Regulation of Whaling (ICRW) memuat peraturan khusus yang
membolehkan negara untuk membunuh paus untuk alasan ilmiah, seperti yang
tercantum pada Article VIII (1):
“Notwithstanding anything contained in this convention any
Contracting Government may grant to any of its nationals a special
permit authorizing that national to kill, take, and treat whales or
purposes of scientific research subject to such restrictions as to number
and to such other conditions as the Contracting Government thinks fit,
and the killing, taking, and treating of whales in accordance with the
provisions of this article shall be exempt from the operation of this
convention.”
4
Hal tersebut menjelaskan bahwa selain ketentuan-ketentuan yang terkandung di
konvensi terkait perlindungan paus, konvensi ini membolehkan membunuh paus hanya
untuk kegiatan penelitian dan harus mendapatkan ijin khusus dari pemerintahan yang
berwenang di suatu negara yang telah menyepakati konvensi ini. Pada Article III (1)
ICRW menegaskan perlindungan paus dilaksanakan lebih lanjut oleh IWC dijelaskan
sebagai berikut :
“The Contracting Governments agree to establish an International Whaling
Commission, hereinafter referred to as the Commission, to be composed of
one member from each Contracting Government. Each member shall have
one vote and may be accompanied by one or more experts and advisers”.
Negara yang telah menyetujui konvensi ini telah setuju untuk membentuk
International Whaling Comission (IWC) yang selanjutnya dalam konvensi ini disebut
sebagai komisi yang terdiri dari satu anggota dari masing-masing Negara pihak. Salah
satu bentuk perlindungan hukum terhadap paus yang dilakukan oleh IWC ialah dengan
memberikan kebijakan seperti moratorium perburuan paus untuk kepentingan komersil
(Comercial Whaling). Kebijakan tersebut juga berdasarkan Article II (1)
yakni
fundamental principle pada CITES yang menyebutkan bahwa :
“Appendix I shall include all species threatened with extinction which are or
may be affected by trade. Trade in specimens of these species must be subject
to particularly strict regulation in order not to endanger further their survival
and must only be authorized in exceptional circumstances.”
Kovensi ini menjelaskan bahwa segala spesies yang terancam punah yang
dipengaruhi oleh kegiatan perdagangan termasuk paus, memberikan konsekuensi setiap
negara peratifikasi harus tunduk pada kentutuan yang ada agar kegiatan tersebut tidak
membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut. Artinya, Denmark sebagai negara
peratifikasi harus menindaklanjuti permasalahan ini. Kenyataannya Kepulauan Faroe
tidak mengikuti moratorium tersebut. Hal itulah yang dijadikan alasan khusus bagi
pemerintah Kepulauan Faroe untuk tetap melegalkan tradisi Grindadrap. Upaya lain
untuk mencegah keberlangungan tradisi ini dilakukan oleh IWC yang menetapkan kuota
pembatasan perburuan paus untuk indigenous people (ASW) dalam pemenuhan
kebutuhan pangan dan keberlangsungan budaya. Pembatasan tersebut tidak termasuk di
5
wilayah Kepulauan Faroe tetapi dilakukan di wilayah Greenland, Chukotka (Russian
Federation), Alaska dan Grenadies. Atas dasar itulah pemerintah Kepulauan Faroe tetap
melakukan perburuan paus dikarenakan kedua bentuk kebijakan IWC tersebut tidak
terkait pada tradisi Grindadrap (Jennifer Lonsdale, 2011 : 9). Hal ini tidak sesuai dengan
ketentuan ICRW yang melarang segala tindakan perburuan paus secara ilegal yang
berlebihan ( illegal whale over fishing ).
Penelitian lain berkaitan dengan perburuan ASW yang dilakukan oleh Chris
Wold pada jurnal American University International Law menjelaskan
bahwa
perburuan paus ASW juga menjadi salah satu bagian penting dari keberadaan
indigineous people. Hasil penelitian menyebutkan IWC harus memperbaharui
kebijakannya dalam penerapan ASW. Pada penelitian disebutkan bahwa perburuan
ASW berhubungan dengan keberlangsungan budaya yang menjadi konsumsi lokal
masyarakat Faroe ( Chris Wold, 2015 : 576) :
“Aboriginal subsistence whaling means whaling for purposes of local
consumption carried out by or on behalf of aboriginal, indigenous, or native
peoples who share strong community, familial, social, and culturalties
related to a continuing traditional dependence on whaling and on the use of
whales”.
Pengakuan Hukum Internasional terhadap indigenous people telah diatur dalam
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) yang
menegaskan pada Article III, bahwa indigenous people memiliki hak untuk selfdetermination atau hak untuk menentukan nasib sendiri dalam hal pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga tradisi Grindadrap yang dilakukan terus menerus
sebagai adalah bagian dari budaya Suku Adat Norse ialah merupakan hak masyarakat
Kepulauan Faroe untuk tetap melakukannya. Disisi lain terdapat penelitian sebelumnya
berkaitan dengan tanggung jawab negara terhadap perburuan paus secara berlebihan
yang dilakukan oleh Dwi Arum Ariani dari Universitas Brawijaya. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa IWC telah melakukan berbagai macam program perlindungan untuk
mencegah penurunan populasi paus dan negara-negara anggota IWC juga mengawasi
dan melaporkan negara lain yang melakukan pelanggaran terhadap IWC. Namun, ada
pula
negara-negara anggota IWC yang masih secara kontroversial melakukan
perburuan dan pembunuhan paus dibawah nama ijin khusus (special permit). Pada
6
penelitian tersebut menjelaskan bahwa Denmark harus bertanggung jawab berdasarkan
Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif
(subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on
fault). Teori Kesalahan dapat diterapkan dalam kasus budaya perburuan paus di
Denmark, karena terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Denmark. Denmark telah
melanggar peraturan yang telah diterapkan oleh ICRW. ICRW melarang memburu paus
jika tujuannya untuk dikomersialisasikan bukan untuk tujuan penelitian ilmiah (Dwi
Ariani, 2013 : 10).
Berdasarkan uraian permasalahan sebelumnya terdapat adanya ancaman
penurunan populasi Paus Pilot yang salah satunya disebabkan oleh tradisi Grindadrap
yang merupakan bagian dari budaya masyarakat Kepulauan Faroe. Namun, tradisi ini
secara tegas juga termasuk bentuk budaya indigeneous people yang mana diatur
keberadaannya dalam Hukum Internasional. Disisi lain Kepulauan Faroe nyatanya juga
tetap melegalkan perdagangan daging paus untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional walaupun Denmark telah meratifikasi ICRW dan CITES. Maka selanjutnya
akan dilakukan penelitian lebih lanjut terkait bentuk-bentuk perlindungan paus
berdasarkan Hukum Internasional dan menganalisis apakah tradisi Grindadrap
bertentangan dengan aturan yang terdapat pada Hukum Internasional atau tidak.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perlindungan terhadap paus dari tindakan Illegal Whale Over Fishing
berdasarkan Hukum Internasional?
2.
Apakah tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe
bertentangan dengan Hukum Internasional ? Dalam hal ini perburuan paus diatur di
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) dan Convention
on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat berupa tujuan secara objektif dan subjektif. Adapun tujuan
penelitian ini adalah:
1.
Tujuan Objektif
7
a. Untuk mengetahui dasar dan bentuk perlindungan hukum terhadap paus dari
tindakan Illegal Whale Over Fishing berdasarkan Hukum Internasional.
b. Untuk mengetahui lebih lanjut apakah tradisi bertentangan dengan Hukum
Internasional atau tidak.
2.
Tujuan Subjektif
a. Bertambahnya wawasan pengetahuan dan pemahaman di bidang hukum
lingkungan internasional khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap
paus.
b. Berkembangnya penalaran dan terbentuknya pola piker dinamis peneliti serta
mengetahui kemampuan peneliti terhadap penerapan ilmu yang diperoleh
selama masa perkuliahan dan sebagai persyaratan akademis guna
memperoleh gelar Strata 1 (Sarjana) dalam bidang Ilmu Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Seelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
landasan teoritis bagi pengembangan disiplin Ilmu Hukum Internasional
pada umumnya dan bagi Hukum Lingkungan Internasional pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan tentang telaah ilmiah serta menambah literatur atau bahanbahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan
penulisan ilmiah di bidang hukum selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjawab serta memberikan solusi
terhadap penelitian yang sama yang pernah diteliti sebelumnya.
b. Hasil penelitian ini untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah yang
sedang ditelitii.
8
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan
tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum
pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut
mencakup (Soerjono Soekanto, 2006 : 13):
1) Penelitian terhadap asas-asas hukum
2) Penelitian terhadap sistematika hukum
3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal
4) Penelitian terhadap perbandingan hukum
5) Penelitian terhadap Sejarah Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian mengharmonisasikan antara peraturan
nasional dengan peraturan internasional yaitu penelitian dilakukan terhadap kebijakan
tradisi Grindadrap sebagai bagian dari peraturan nasional negara Denmark dan
Kepulauan Faroe terhadap konvensi-konvensi yang mengatur perburuan paus dan
perdagangan paus dalam hal ini International Convention For Regulation of Whaling
(ICRW) dan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES) yang merupakan peraturan internasional terkait perburuan paus
serta peraturan internasional terkait indigineous people. Sehingga apabila dikaitkan
dalam tujuan penelitian dari Soerjono Soekanto maka, penelitian termasuk dalam
penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi
vertikal merupakan penelitian terhadap suatu peraturan yang berbeda derajat yang
mengatur bidang kehidupan tertentu (yang sama) (Soerjono Soekanto dan Sri
Mamudji, 2011 : 74). Dalam hal ini, kebijakan nasional Denmark dan Kepulauan Faroe
disesuaikan atau diharmonisasikan dengan peraturan internasional yaitu konvensi
9
perburuan paus dan perdagangan paus serta peraturan internasional terkait indigenous
people.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang memberikan
data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Menurut
Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat deskriptif ini adalah untuk
mempertegas hipotesa, agar dapat membantu dalam memperkuat teori dalam
kerangka menyusun teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
2.
Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data.
Data sekunder yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa
yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur,
koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian
yang dibahas. Pada penelitian hukum ini, bahan hukum yang digunakan adalah
sebagai berikut:
1) Bahan Hukum Primer
(a) International Convention for the Regulation of Whaling 1946
(b) United Nations Convention on the Law of the Sea
(c) Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora
(d) United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People
(e) Code of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF)
(f) Whaling In the Faroe Island Brief
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder digunakan untuk memberikan petunjuk maupun
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang,
hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. Dalam
penulisan skripsi ini menggunakan bahan sekunder berupa, jurnal nasional maupun
internasional, research paper, skripsi, tesis, disertasi dan makalah.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti:
10
kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. Dalam penulisan skripsi menggunakan bahan
hukum tersier yang berupa Black Law Dictionary dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan dipergunakan dalam
penelitian ini adalah studi pustaka. Studi kepustakaan (library research) adalah
penelitian yang datanya diambil terutama atau seluruhnya dari kepustakaan (buku,
dokumen, artikel, laporan, koran dan lain-lain sebagainya) (Irawan Soehartono,
2000 : 65). Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian
diinventarisir dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan
kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar pertimbangan untuk menjawab
permasalahan hukum yang sedang dihadapi (F. Sugeng Istanto, 2007 : 56). Dalam
hal ini akan dianalisis tentang apakah tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh
masyarakat Kepulauan Faroe bertentangan dengan Hukum Internasional atau tidak.
4. Teknik Pengolahan Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan dilakukan dengan
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Dalam hal ini
pengolahan bahan dilakukan dengan cara melakukan seleksi data sekunder atau
bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan
hukum dan menyusun data hasil penelitian tersebut secara sistematis, tentu saja hal
tersebut dilakukan secara logis, artinya ada hubungan dan keterkaitan antara bahan
hukum satu dengan bahan hukum lainnya untuk mendapatkan gambaran umum dari
hasil penelitian (Mukti Fajar, 2010 : 181). Pada penelitian ini dikumpulkan bahanbahan hukum yang mendukung penelitian terkait perburuan paus dan perdagangan
paus.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan Mengenai Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut
Berdasarkan UNCLOS 1982
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut saat ini merupakan isu penting
dalam Hukum Internasional. Menurut Burhenne lingkungan laut merupakan kesatuan
keanekaragaman hayati dan non hayati yang menjadi satu membentuk ekosistem bagi
unsur biotik ( makhluk hidup) dan abiotik (lingkungan sekitar) atau disebut dengan
ecosystem diversity. Salah satu parameter seimbangnya suatu ekosistem apabila
teraturnya rantai makanan (food chain) dengan baik di lingkungan laut (Burhenne
Guilminn, 1996 : 87).
Mengingat begitu pentingnya pelindungan terhadap lingkungan laut secara
umum, maka di dalam United Nations Convention on The Law of the Sea (selanjutnya
disebut UNCLOS) 1982 atau disebut Konvesi Hukum Laut 1982, terdapat bagian
tersendiri yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan
lingkungan laut terdapat dalam Bab XII (dua belas) UNCLOS 1982, yang pada intinya
memuat
mengenai
perlindungan,
pelestarian
lingkungan
laut,
pencegahan,
pengurangan, dan penguasaan pencemaran laut (Adji Samekto, 2009: 8). Pada pasal
192 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa “Negara-negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut”. Kemudian pada pasal 193 UNCLOS
1982 lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa “Negara-negara mempunyai hak kedaulatan
untuk mengeksploitasikan kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan
lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan
melestarikan lingkungan laut”. Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara
untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan
mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran,
12
seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari
sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan
eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian
pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja
sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi
Hukum Laut 1982. Negara Peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban
untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
a. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk
penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran,
seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses
pengadilannya ;
b. Kewajiban melaukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut ;
c. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global ;
d. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency
plan ;
e. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme
pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat
terjadinya pencemaran laut.
Salah satu kegiatan yang membahayakan lingkungan laut dan mengancam
keseimbangan ecosystem diversity ialah tindakan manusia mengeksploitasi sumber daya
laut secara berlebihan. Artinya, manusia memanfaatkan secara berlebihan keberadaan
sumber daya laut dengan tidak mempertimbangkan kelangsungan keseimbangan
ekosistem. Misalnya, penangkapan biota laut seperti ikan, udang, tumbuhan laut secara
berlebihan dengan tidak mempertimbangkan regenerasi dari biota laut yang terus
menerus dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia. Salah satu biota laut yang patut
dilindungi keberadayaannya dikarenakan sebagai bagian dari ecosystem diversity ialah
13
paus. Paus juga merupakan mamalia laut yang berada pada puncak rantai makanan (food
chain). Dengan begitu wacana perlindungan paus yang jumlah populasinya kian
menurut menjadi salah satu topik utama dalam Hukum Internasional. Pentingnya
menjaga keseimbangan populasi paus merupakan langkah mencegah laju kepunahan
paus, menjaga keseimbangan ekosistem laut serta menjaga keseimbangan alam.
Mamalia laut seperti paus memiliki tingkat reproduksi yang relatif rendah. Oleh karena
itu berburu paus secara intensif membawa resiko tinggi yakni kepunaahan. Pada akhir
tahun 1970 banyak terjadi kekhawatiran di banyak negara dikarenakan beberapa spesis
paus yang diambang kepunahan (R.R Churchill, 1999 :8).
Wacana perlindungan paus ialah sebagai bagian dari upaya perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut dapat diwujudkan ke dalam peraturan-peraturan serta
penegakannya melalui sanksi-sanksinya, selain itu prakteknya upaya-upaya lain juga
dilakukan seperti konservasi habitat hewan laut, moratorium atas tindakan yang
melanggar hukum dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan
internasional yang berkembang. Adapun prinsip-prinsip tersebut yang berkaitan
dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan antara lain :
a. Sustainable Development, Integration and Interdependence Principle
Prinsip ini pertama kali dibahas dalam Report Brundtland Commission on
Environmet and Development pada tahun 1987 menyatakan bahwa Sustainable
Development adalah “development that meets the needs of the present without
compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Parameter
mengenai Sustainable Development diklarifikasi pada Agenda 21 and The Rio
Declaration dan diadaptasikan ke dalam United Nations Conference on
Environment and Development dan dianjurkan ke dalam peraturan regional
maupun nasion al di setiap negara (Klaus Topfer, 2002 : 25). Pada hasil The Rio
Declaration menegaskan bahwa :
“Principle 4 of the Rio Declaration provides: “In order to
achieve sustainable development, environmental protection
shall constitute an integral part of the development process
and cannot be considered in isolation from it.” Principle 25
states that “Peace, development and environmental
protection are interdependent and indivisible.” Principles 4
and 25 make clear thatpolicies and activities in various
14
spheres, including environmental protection, must be
integrated inorder to achieve sustainable development. They
also make clear that the efforts to improve society, including
those to protect the environment, achieve peace, and
accomplish economic development, are interdependent.
Principles 4 and 25 thus embody the concepts of integration
andinterdependence”. (United Nations Environment
Programme Training Manual on International Environmental
Law, 2000 : 23)
Hasil The Rio Declaration diatas menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
prinsip Sustainable Development yakni dalam rangka mencapai pembangunan
berkelanjutan, perlindungan lingkungan adalah bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari suatu proses pembangunan. Ketiga komponen penting yakni
perdamaian , pembangunan dan perlindungan lingkungan saling bergantungan
dan tak terpisahkan. Setiap pembangunan dan segala aktivitas di berbagai bidang
harus terintegrasi dengan perlindungan lingkungan. Upaya perlindungan
lingkungan dilakukan untuk memperbaiki masyarakat, perlindungan lingkungan,
ketergantungan yang harmonis antara lingkungan hidup dan manusia. Kemudian
mengenai prinsip Integration and Interdependence principle ada pada salah satu
komitmen Millenium Developmet Goal poin ke 7 yakni “Mengintegrasikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dalam
kebijakan negara dengan program-program baik ditingkat regional, nasional dan
internasional yang saling terintegarasi dan ketergantungan satu dengan yang
lainnya” (Klaus Topfer, 2002 : 25). Jadi, perlindungan hukum terhadap paus
dapat berjalan secara optimal apabila disertai peran negara-negara dalam
membuat peraturan-peraturan baik regional, nasional maupun internasional
sebagai payung hukum dengan tetap mengintegrasikan segala kepentingan
disertai upaya perlindungan lingkungan hidup.
1)
Responsibility for Transboundary Harm Principle
Prinsip Responsibilty for Transboundary Harm terkandung di dalam prinsip ke
21 pada Stockholm Declaration tahun 1972 yang menyatakan bahwa:
15
“States have, in accordance with the Charter of the
United Nations and the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own resources pursuant to
their own environmental policies, and the responsibility to
ensure that activities within their jurisdiction or control do
not cause damage to the environment of other States or of
areas beyond the limits of national jurisdiction.” (United
Nations Environment Programme Training Manual on
International Environmental Law, 2000 : 30)
Prinsip tersebut juga ada pada Rio Declaration pada tahun 1992 yang
menegaskan bahwa:
“States have, in accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the
sovereign right to exploit their own resources pursuant to
their own environmental and developmental policies, and
the responsibility to ensure that activities within their
jurisdiction or control do not cause damage to the
environment of other States or of areas beyond the limits of
national jurisdiction.” (United Nations Environment
Programme
Training
Manual
on
International
Environmental Law, 2000 : 30)
Kedua deklarasi tersebut sama-sama menegaskan hal yang sama bahwa
Negara memiliki kewenangan yang ada pada Piagam PBB dan prinsip-prinsip
hukum internasional yakni hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya
di setiap negara masing-masing disertai pelaksanaan kebijakan lingkungan dan
pembangunan serta tanggung jawab untuk memastikan bahwa segala kegiatan
sesuai dengan yurisdiksi dengan disertai kontrol untuk tidak menyebabkan
kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau daerah di luar batas yurisdiksi
nasional. Maka, perlindungan paus sudah menjadi tanggung jawab setiap
Negara, dikarenakan paus merupakan salah satu sumber daya laut yang patut
dilindungi keberadaannya.
2) Foreseeability Of Harm And The “Preacutinary Principle
Berdasarkan prinsip ini, maka negara diharuskan untuk menghitung setiap
kebijakannya yang berkenaan dengan lingkungan. Negara wajib untuk
mencegah atau melarang tindakan yang sebelumnya telah dapat diduga akan
dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Pasal 206 dari Konvensi Hukum
Laut 1982 telah menegaskan bahwa “when states have reasonable grounds for
16
believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause
substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine
environment, they shall, as far as practicable assess the potential effects of
such activities on the marine environment and shall communicate reports of
the
result
of
such
assessment.Precautionary
principle
telah
juga
diinterpretasikan oleh the 1990 Bergen Ministerial Declaration On
Sustainable Development bahwa “environmental measures must anticipate,
prevent and attack the causes of environmental degradation. Where there are
threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainly
should not be used as a reason of postponing measures to prevent
environmental degradation.” ( Ludwik A. Teclaff, 1974 : 20).
2.
Tinjauan Mengenai Pengelolaan Perikanan yang Bertanggung Jawab
Berdasarkan Code of Conduct For Responsible Fisheries
Kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan satu aktivitas manajemen teknis
dan administrasi yang komplek dan tidak dapat terlepas satu sama lainnya. Manajemen
perikanan tangkap sendiri berada dalam satu koridor lintas batas antar negara dan
berlaku secara internasional. Ini dikarenakan, laut dan isinya sudah dinyatakan sebagai
warisan dunia yang harus dijaga keberlangsungannya.
Food and Agricultural
Organization (FAO), sebuah badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
membawahi masalah pangan dunia, menetapkan laut sebagai warisan dunia yang harus
dijaga keberlangsungan stok sumber daya yang ada didalamnya, terutama sumber daya
perikanan. Melalui program aktivitas perikanan yang berkelanjutan (sustainability
fisheries),
diharapkan
kecukupan
masyarakat
sekarang
dalam
memenuhi
kebutuhanannya tidak dengan mengorbankan kebutuhan masyarakat pada generasi yang
akan datang ( Imam Subekti, 2013 : 2). Kemudian FAO mengeluarkan sebuah
tatalaksana yang mengatur penangkapan ikan disertai tanggungjawab agar tidak
mengancam keseimbangan ekosistem laut. Dalam pengelolaan sumberdaya kelautan
mempunyai tantangan berbagai aspek, antara lain pengembangan kelembagaan,
sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, penerapan perencanaan
17
pengelolaan terpadu, pemanfaatan sistem informasi dan teknologi, serta pengembangan
ilmu kelautan, yang semua ditunjukan untuk memanfaatan sumberdaya kelautan secara
optimal dan berkesinambungan. Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan
pengembangan konsep-konsep pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat
diimplementasikan di lapang berdasarkan suatu pengaturan tata ruang wilayah laut yang
ramah lingkungan. Tuntutan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut
secara lestari serta pemberdayaan masyarakat lokal yang berhubungan langsung dengan
sumberdaya tersebut merupakan bagian dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang telah menjadi agenda internasional. Hal itu antara lain ditandai dengan
disetujuinya berbagai konvensi atau deklarasi internasional, seperti Agenda 21 dan
Declaration of the Right of Indigeneous Peoples. Khusus untuk pengelolaan
sumberdaya alam perikanan, Food and Agriculture Organization of the United Nation
(FAO-UN) telah mendapatkan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1995 (CCRF)
(Saad Sudirman, 2000 : 30). Tatalaksana tersebut disebut Code Of Conduct For
Responsible Fisheries (CCRF). Tatalaksana ini merupakan kesepakatan dalam
konferensi Committee on Fisheries (COFI) ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31
Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995. Resolusi yang sama juga
meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk
menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari CCRF ( Imam
Subekti, 2013 : 3).
Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku
bagi praktek yang bertanggung jawab, dalam pengusahaan sumberdaya perikanan
dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan
pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian
ekosistem dan keanekaragaman hayati. Tatalaksana ini mengakui arti penting aspek
gizi, ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya yang menyangkut kegiatan perikanan dan
terkait dengan semua pihak yang berkepertingan yang peduli terhadap sektor perikanan.
Tatalaksana ini memperhatikan karakteristik biologi sumberdaya perikanan yang terkait
dengan lingkungan/habitatnya serta menjaga terwujudnya secara adil dan berkelanjutan
kepentingan para konsumen maupun pengguna hasil pengusahaan perikanan lainnya.
18
Pelaksanaan konvensi ini bersifat sukarela. Namun beberapa bagian dari pola perilaku
tersebut disusun dengan merujuk pada UNCLOS 1982 ( Imam Subekti, 2013 : 3).
Beberapa faktor dibentuknya CCRF ialah adanya keprihatinan para pakar
perikanan dunia terhadap ancaman terhadap sumber daya ikan, adanya isu kerusakan
isu lingkungan, terdapat praktek illegal, unreported dan unregulated (IUU) fishing, dan
diperlukan aturan terkait pengelolaan sumberdaya ikan yang berbasis masyarakat.
Sehingga pelaksanaan CCRF bertujuan sebagai berikut (Imam Subekti, 2013 : 5) :
a.
Menetapkan azas sesuai dengan hukum (adat, nasional, dan international), bagi
penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggung jawab ;
b.
Menetapkan azas dan kriteria kebijakan;
c.
Bersifat sebagai rujukan (himbauan);
d.
Menjadikan tuntunan dalam setiap menghadapi permasalahan;
e.
Memberi kemudahan dalam kerjasama teknis dan pembiayaan;
f.
Meningkatkan kontribusi pangan;
g.
Meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya ikan;
h.
Menggalakan bisnis Perikanan sesuai dengan hukum;
i.
Memajukan penelitian.
Kemudian yang menjadi topik utama dalam CCFR antara lain mengenai
pengelolaan perikanan, operasi penangkapan, pengembangan akuakultur, integrasi
perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir, penanganan pasca panen dan
perdagangan serta mengenai penelitian perikanan. Dibuatnya CCFR ini juga mendasari
metode-metode yang dikembangkan oleh para pakar untuk
menilai kondisi
keberlanjutan perikanan tangkap di semua area penangkapan . Semua metode
pendugaan stok sumber adaya ikan dikembangkan bertujuan membantu mencegah
terjadinya fully dan over fishing aktivitas perikanan tangkap di area sebuah fishing
ground ( area tangkapan ikan) (Saad Sudirman, 2000 : 25). Aturan CCRF ini dapat
diterapkan selanjutnya oleh setiap negara dengan penerapan prinsip-prinsip umum
dalam Article VI CCRF antara lain (Saad Sudirman, 2000 : 31) :
a.
Pelaksanaan hak untuk menangkap ikan bersamaan dengan kewajiban untuk
melaksanakan hak tersebut secara berkelanjutan dan lestari agar dapat menjamin
keberhasilan upaya konservasi dan pengelolaannya;
19
b.
Pengelolaan sumber-sumber perikanan harus menggalakkan upaya untuk
mempertahankan
kualitas,
keanekaragaman
hayati,
dan
ketersediaan
sumbersumber perikanan dalam jumlah yang mencukupi untuk kepentingan
generasi sekarang dan yang akan datang;
c.
Pengembangan armada perikanan harus mempertimbangkan ketersediaan
sumberdaya sesuai dengan kemampuan reproduksi demi keberlanjutan
pemanfaatannya;
d.
Perumusan kebijakan dalam pengelolaan perikanan harus didasarkan pada buktibukti ilmiah yang terbaik, dengan memperhatikan pengetahuan tradisional
tentang pengelolaan sumber-sumber perikanan serta habitatnya;
e.
Dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan, setiap
negara dan organisasi perikanan regional harus menerapkan prinsip kehatihatian (precautionary approach) seluas-luasnya;
f.
Alat-alat penangkapan harus dikembangkan sedemikian rupa agar semakin
selektif dan aman terhadap kelestarian lingkungan hidup sehingga dapat
mempertahankan keanekaragaman jenis dan populasinya;
g.
Cara penangkapan ikan, penanganan, pemrosesan, dan pendistribusiannya harus
dilakukan sedemikian rupa agar dapat mempertahankan nilai kandungan
nutrisinya;
h.
Habitat sumber-sumber perikanan yang kritis sedapat mungkin harus dilindungi
dan direhabilitasi;
i.
Setiap
negara
harus
mengintegrasikan
pengelolaan
sumber-sumber
perikanannya ke dalam kebijakan pengelolaan wilayah pesisir;
j.
Setiap negara harus mentaati dan melaksanakan mekanisme Monitoring,
Controlling and Surveillance (MCS) yang diarahkan pada penataan dan
penegakan hukum di bidang konservasi sumber-sumber perikanan;
k.
Negara bendera harus mampu melaksanakan pengendalian secara efektif
terhadap kapal-kapal perikanan yang mengibarkan benderanya guna menjamin
pelaksanaan tata laksana ini secara efektif;
20
l.
Setiap
negara
harus
bekerjasama
melalui
organisasi regional untuk
mengembangkan cara penangkapan ikan secara bertanggungjawab, baik di
dalam maupun di luar wilayah yurisdiksinya;
m. Setiap negara harus mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan secara
transparan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap
pengembangan peraturan dan kebijakan pengelolaan di bidang perikanan;
n.
Perdagangan perikanan harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip,
hak, dan kewajiban sebagaimana diatur dalam persetujuan World Trade
Organization;
o.
Apabila terjadi sengketa, setiap negara harus bekerjasama secara damai untuk
mencapai penyelesaian sementara sesuai dengan persetujuan internasional yang
relevan;
p.
Setiap negara harus mengembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
konservasi melalui pendidikan dan latihan, serta melibatkan mereka di dalam
proses pengambilan keputusan;
q.
Setiap negara harus menjamin bahwa segala fasilitas dan peralatan perikanan
serta lingkungan kerjanya memenuhi standar keselamatan internasional;
r.
Setiap negara harus memberikan perlindungan terhadap lahan kehidupan
nelayan kecil dengan mengingat kontribusinya yang besar terhadap penyediaan
kesempatan kerja, sumber penghasilan, dan keamanan pangan;
s.
Setiap negara harus mempertimbangkan pengembangan budidaya perikanan
untuk menciptakan keragaman sumber penghasilan dan bahan makanan
Bersinggungan dengan penelitian ini yang menelti terkait persoalan perburuan
paus, CCRF menegaskan pada Article III (2) bahwa tatalaksana ini berhubungan
utamanya terhadap tujuan UNCLOS 1982 dalam upaya pelestarian lingkungan laut
dan juga berhubungan dengan perlindungan terhadap straddlig fish stocks dan highly
migratory fish stocks. Menurut FAO, highly migratory fish ialah spesies ikan yang
beruaya secara jelas didefinisikan pada Lampiran 1 UNCLOS. Yang termasuk highly
migratory fish antara lain seperti tuna, hiu laut, pomfrets, sauries, cetaceans dan
dolphinfish (http://www.fao.org/3/a-v9878o.pdf diakses pada tanggal 11 April 2016).
21
Salah satunya spesies cetaceans ialah spesies mamalia paus yang menjadi fokus utama
dalam penelitian ini.
Pada Article VII (1) CCRF mengenai pengelolaan perikanan ini menjelaskan
bahwa negara-negara dan semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan perikanan
melalui suatu kerangka kebijakan hukum dan kelembagaan yang tepat, harus
mengadopsi langkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya
perikanan yang berkelanjutan. Langkah-langkah konservasi dan pengelolaan, baik
pada tingkat lokal, nasional, subregional atau regional, harus didasarkan pada bukti
ilmiah terbaik yang tersedia dan dirancang untuk menjamin kelestarian jangka panjang
sumber daya perikanan pada tingkat yang dapat mendukung pencapaian tujuan dari
pemanfaatan yang optimum, dan mempertahankan ketersediaan untuk generasi kini
dan mendatang; pertimbangan jangka pendek tidak boleh mengabaikan tujuan ini
(http://www.fao.org/3/a-v9878o.pdf diakses pada tanggal 11 April 2016 pada pukul
11.07 WIB).
Persoalan ancaman lingkungan laut menjadi fokus dari pembuatan tatalaksana
ini. Penangkapan ikan yang berlebihan (overfishing) yang tidak disertai kebijakan
konservasi yang tepat dapat membahayakan populasi ikan di laut. Penurunan populasi
ikan akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia di masa berikutnya.
Tatalaksana ini memberikan ketegasan bagi beberapa pihak untuk mentaati dan
mengimplementasikan peraturan ini, yaitu (Siombo, 2010 : 13) :
a. Semua Negara yang memanfaatkan sumberdya ikan dan lingkungannya;
b. Semua Pelaku Perikanan (baik penangkap dan prosesing);
c. Pelabuhan-Pelabuhan
Perikanan
(kontruksi,
pelayanan,
inspeksi,
dan
pelaporan);
d. Industri disamping harus menggunakan alat tangkap yang sesuai;
e. Peneliti untuk pengembangan alat tangkap yang selektif;
f. Observer program (pendataan diatas kapal);
g. Perikanan rakyat, perlu mengantisipasi dampak terhadap lingkungan dan
penggunaan energi yang efisien.
22
Negara memiliki peranan penting agar CCRF ini dapat terlaksana dengan baik.
Kewajiban harus dilakukan oleh negara untuk dipenuhi yaitu mengambil langkah
precautionary (hati-hati) dalam rangka melindungi atau membatasi penangkapan ikan
sesuai dengan daya dukung sumber, menegakkan mekanisme yang efektif untuk
monitoring, control, surveillance dan law enforcement dan mengambil langkahlangkah konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumberdaya ikan yang lestari.
Selain negara yang memiliki peranan penting terhadap pemberlakukan CCRF,
pengusaha juga diharus mentaati peraturan ini agar keberlangsungan sektor industri
perikanan tetap pada koridornya tidak membayakan ekosistem laut dan memelihara
keleastarian lingkungan. Beberapa upaya penting yang harus dipenuhi oleh pengusaha
yakni
turut
berperan serta
dalam
upaya-upaya
konservasi,
ikut
dalam
pertemuanpertemuan yang diselenggarakan oleh organisasi pengelolaan perikanan, ikut
serta
mensosialisasi dan
mempublikasikan
langkah-langkah konservasi dan
pengelolaan serta menjamin pelaksanaan peraturan, membantu mengembangkan
kerjasama (lokal, regional) dan koordinasi dalam segala hal yang berkaitan dengan
perikanan, misalnya menyediakan kesempatan dan fasilitas diatas kapal untuk para
peneliti (Siombo, 2010 : 24).
3.
Tinjauan Mengenai International Convention For Regulation of Whaling
(ICRW)
Praktek perburuan paus masih terjadi di beberapa negara seperti Jepang,
Norwegia, pulau-pulau kecil di Atlantik Utara dan Islandia. Beberapa upaya telah
dilakukan guna mengurangi kegiatan perburuan paus yang mengancam populasi paus,
seperti
pembuatan
peraturan-peraturan,
berkembangnya
organisasi-organisasi
internasional yang memiliki misi penyelamatan paus dan gerakan-gerakan peduli paus,
upaya penangkaran paus serta pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar.
Salah satu peraturan internasional yang disepakati oleh banyak negara untuk
melindungi paus adalah International Convention for Regulation of Whaling tahun
1946. Konvensi ini memberikan perlindungan hukum terhadap paus, dengan
23
dibentuknya suatu komisi khusus yang menangani upaya penyelamatan populasi paus
yaitu International Whaling Commission (Sebastian Oberthur, 1998: 2).
Pembuatan konvensi ini mendahului pembuatan UNCLOS, oleh karena itu
dalam ICRW tidak dipengaruhi dengan substansi pembagian lautan di zona maritim
dan hak-hak negara bagian dan negara bendera pesisir seperti yang diatur dalam
UNCLOS. ICRW mengatur regulasi terkait kapal-kapal penangkap ikan (factory
ships) , land stations, dan yurisdiki penangkapan paus serta persetujuan pemerintah
(Contracting Governments) hal ini terdapat pada Article II ICRW. Konvensi ini tidak
mempengaruhi hak berdaulat negara pantai atas mamalia laut seperti paus di Zona
Ekslusif Ekonomi (ZEE) yang ada pada pasal 65 UNCLOS. ICRW memiliki hak
dibawah UNCLOS. Misalnya penangkapan paus komersial di Samudera Hindia, sebuah
pantai di India tetap bisa melarang semua penangkapan paus di wilayah ZEE nya.
Sebaliknya ICRW tidak dapat mengotorisasi pengangkapan paus di wilayah ZEE
berdasarkan pasal 65 UNCLOS. Saat ini penangkapan paus masih terus berlangsung
walaupun terdapat moratorium penangkapan paus untuk kepentingan komersial.
Beberapa penangkapan paus diperbolehkan untuk tujuan penelitian seperti di
Greenland dan Amerika Serikat. Selain itu Norwegia juga masih melakukan perburuan
paus komersial pada North Atlantic yang memburu paus Minke. Islandia dan Jepang
pun masih terlibat dalam penangkapan paus atas dasar tujuan ilmiah (E.J. Molenaar,
2001 : 561). Berikut status-status negara-negara atas konvensi tersebut berdasarkan data
United Nations (PBB) :
Tabel 3.1 : Anggota IWC dan Status-Statusnya
Participant
Argentina
Australia
Brazil
Brazil
Brazil
Canada
Denmark
France
Iceland
Japan
Mexico
Action
Ratification
Ratification
Adherence
Ratification
Withdrawal
Ratification
Ratification
Ratification
Adherence
Adherence
Adherence
Date of
Notification/Deposit
18/05/1960
01/12/1947
04/01/1974
09/05/1950
28/12/1965
25/02/1949
23/05/1950
03/12/1948
10/03/1947
21/04/1951
30/06/1949
Date of
Effect
10/11/1948
04/01/1974
09/05/1950
30/06/1966
25/02/1949
23/05/1950
03/12/1948
10/11/1948
21/04/1951
30/06/1949
24
Netherlands
Netherlands
Netherlands
Netherlands
Netherlands
New Zealand
New Zealand
New Zealand
Norway
Norway
Norway
Panama
Republic of Korea
Seychelles
Spain
Sweden
Sweden
Sweden
Union of South Africa
Union of Soviet Socialist
Republics
United Kingdom of Great
Britain
and
Northern
Ireland
United Kingdom of Great
Britain
and
Northern
Ireland
United States of America
United States of America
United States of America
Adherence
Ratification
Adherence
Withdrawal
Withdrawal
Ratification
Adherence
Withdrawal
Adherence
Ratification
Withdrawal
Adherence
Adherence
Adherence
Adherence
Adherence
Adherence
Withdrawal
Ratification
Ratification
04/05/1962
10/11/1948
14/06/1977
31/12/1958
24/12/1969
02/08/1949
15/06/1976
03/10/1968
23/09/1960
03/03/1948
29/12/1958
30/09/1948
29/12/1978
19/03/1979
06/07/1979
15/06/1979
28/01/1949
18/12/1963
05/05/1948
11/09/1948
Declaration
12/08/1960
10/11/1948
14/06/1977
30/06/1959
30/06/1970
02/08/1949
15/06/1976
30/06/1969
10/11/1948
30/06/1959
10/11/1948
29/12/1978
19/03/1979
06/07/1979
15/06/1979
28/01/1949
30/06/1964
10/11/1948
10/11/1948
Ratification 17/06/1947
10/11/1948
Declaration 06/10/1960
Declaration 14/09/1960
Ratification 18/07/1947
10/11/1948
International Convention for Regulation of Whaling (ICRW) memuat peraturan
khusus yang membolehkan negara untuk membunuh paus untuk alasan ilmiah, seperti
yang tercantum pada Article VIII (1):
“Notwithstanding anything contained in this convention any
Contracting Government may grant to any of its nationals a special
permit authorizing that national to kill, take, and treat whales or
purposes of scientific research subject to such restrictions as to
number and to such other conditions as the Contracting
Government thinks fit, and the killing, taking, and treating of whales
in accordance with the provisions of this article shall be exempt
from the operation of this convention.”
25
Hal tersebut menjelaskan bahwa selain ketentuan-ketentuan yang terkandung di
konvensi terkait perlindungan paus, konvensi ini membolehkan membunuh paus hanya
untuk kegiatan penelitian dan harus mendapatkan ijin khusus dari pemerintahan yang
berwenang di suatu negara yang telah menyepakati konvensi ini. Tanggal 2 Desember
1946, 16 negara telah sepakat untuk membuat dan menandatangani konvensi ini. Sampai
dengan tanggal 22 Maret 2011 terdapat terdapat 63 negara yang telah menyetujui dan
menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW),
Jepang termasuk negara yang telah menyetujui terikat secara hukum dan menandatangani
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) pada tanggal 21 April
1951, Sedangkan Denmark menandatangani International Convention for the Regulation
of Whaling (ICRW) pada tanggal 23 Mei 1950, dengan tindakan Jepang dan Denmark
menandatangani International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) berarti
Jepang dan Denmark menyetujui untuk melindungi dan melestarikan populasi paus (Dwi
Ariani, 2013 :3 ).
Guna menjalankan apa yang diamanatkan dalam International Convention for the
Regulation of Whaling ( ICRW) dibentuklah suatu komisi khusus yang menangani
perlindungan terhadap paus yakni International Whaling Comission ( IWC). Bentuk dari
pertanggungjawaban dari IWC untuk menjaga keberlangsungan perlindungan dari paus
dan juga menjaga komitmen tiap negara anggota, IWC selalu mengadakan pertemuan
rutin setiap tahun. Komisi biasanya mengadakan pertemuan tahunan di bulan Juni atau
Juli. Lokasi dari pertemuan tahunan diputuskan melalui undangan dari pemerintah negara
anggota atau ketika tidak ada negara anggota yang mengajukan undangan, maka biasanya
pertemuan tahunan akan di adakan di City of Cambridge, United Kingdom dimana pusat
Kesekretariatan berada. (Dwi Ariani, 2013:7). IWC didirikan berdasarkan ICRW yang
ada pada Article III di Washington DC pada tanggal 2 Desember 1946. Article III (1)
Konvensi menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menyediakan konservasi yang
tepat untuk populasi paus yakni sebagai berikut:
“The Contracting Governments agree to establish an International
Whaling Commission, hereinafter referred to as the Commission, to be
composed of one member from each Contracting Government. Each
26
member shall have one vote and may be accompanied by one or more
experts and advisers”.
Pada Article III (1) tersebut dijelaskan bahwa Negara yang telah menyetujui
konvensi ini telah setujun untuk membentuk International Whaling Comission yang
selanjutnya dalam konvensi ini disebut sebagai komisi yang terdiri dari satu anggota
dari masing-masing Negara pihak. Komisi ini melakukan studi ekstensif dan penelitian
pada populasi paus, mengembangkan dan memelihara database ilmiah, dan
menerbitkan ulasannya laporannya ke masyarakat luas melalui Journal of Cetacean
Research and Management. Beberapa upaya yang telah dilakukan IWC selama ini
dalam menyelamatkan populasi paus yang kian menurut antara lain:
a. Memberikan kebijakan seperti ketentuan pelarangan mengambil dan membunuh
gray whales , kecuali ketika dagingnya hanya akan dikonsumsi dan digunakan
secara ekslusif oleh masyarakat lokal ( The Aborigines); Memberikan kebijakan
seperti dilarang membunuh atau mengambil calves atau suckling whales atau paus
betina yang sedang bersama-sama calves atau suckling whales ; Melarang
menggunakan kapal pemburu paus
yang
berttujuan mengambil atau
memperlakukan paus Balin di daerah Laut Atlantik, Laut Pasifik dan Indian
Ocean (Annual Report of International Whaling Comission 1949).
b. IWC menerapkan
pembatasan kuota penangkapan paus untuk melindungi
populasi Paus. Seperti hanya membolehkan menangkap paus hanya pada saat
Pelagic Season ( 22 Desember – 7 April ) yakni waktu dimana setiap negara
dibolehkan untuk memburu paus. Upaya ini dilakukan untuk tetap
mempertahapkan populasi paus dan memberikan waktu khusus untuk paus dalam
bereproduksi . (Annual Report of International Whaling Comission 1951).
c. Pertemuan terakhir IWC dilaksanakan pada tahun 2014 di Slovenia. Berdasarkan
hasil Annual Report pertemuan tersebut menunjukkan moratorium penangkapan
paus untuk kepentingan komersil yang dilaksanakan sejak tahun 1985 sudah
menujukkan angka penurunan menurun perburuan paus di tahun 2010 sebesar
75% (http://us.whales.org/wdc-in-action/whaling, diakses pada tanggal 28
Agustus 2015 pada pukul 2.33 WIB).
27
Pada tahun 1982 IWC telah menyetujui pelarangan kegiatan perburuan paus
yang bersifat komersil. IWC mengkategorikan perburuan paus menjadi dua yakni
Comercial Whaling dan Aboriginal Subsistence Whaling. Comercial Whaling ialah
perburuan paus yang didasarkan untuk kepenting komersil atau diperjualbelikan
sebagai komoditi ekspor dan impor suatu negara. IWC melarang negara yang telah
meratifikasi dan sebagai negara peserta ICRW dalam melaksanakan kegiatan ekspor
impor paus. Kemudian Aboriginal Subsistence Whaling (ASW) ialah kegiatan
perburuan paus yang dilakukan oleh masyarakat tertentu ( Indigineous People) suatu
wilayah dikarenakan kegiatan tradisi budaya yang turun menurun dan paus merupakan
kebutuhan pangan nasional suatu wilayah tersebut. Dalam hal ini IWC hanya
memberikan pembatasan wilayah penangkapan paus yakni Greenland, Chukotka,
Alaska, Bequia dan Grenadies. Hal ini dilakukan guna melindungi populasi paus agar
tidak kian menurun ( Sandra Altherr, 2011 : 7-8). Dalam hal ini Kepulauan Faroe yang
merupakan wilayah otoritas Denmark tidak termasuk ke dalam wilayah penangkapan
ASW.
Perburuan paus yang berlebihan (whale over fishing)
menjadi ancaman
terhadap pemeiliharaan lingkungan laut. Istillah Over Fishing ada pada International
Convention For Regulation of Whaling (ICRW) yakni :
“Considering that the history of whaling has seen overfishing of one area
after another and of one species of whale after another to such a degree
that it is essential to protect all species of whales from further over
fishing;”
Kemudian lebih jelas lagi menurut Ocean National Geographic istilah Over Fishing
ialah :
“Simply the taking of wildlife from the sea at rates too high for fished
species to replace themselves. The earliest overfishing occurred in the
early 1800s when humans, seeking blubber for lamp oil, decimated the
whale population. Some fish that we eat, including Atlantic cod and
herring and California's sardines, were also harvested to the brink of
extinction by the mid-1900s”
28
Over Fishing ialah pengambilan sumber daya laut secara berlebihan seperti
spesies ikan dan hewan laut lainnya untuk keperluan manusia. Awal mula Over Fishing
terjadi pada tahun sekitar tahun 1800 dimana manusia mencari lemak sebagai bahan
lampu minyak sehingga menurunkan populasi paus, ikan sarden dan ikan herring.
Sehingga mengakibatkan penuruan populasi hingga pertengahan tahun 1900.
(http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine-seas/critical
issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53 WIB). Menurut
Greenpeace aktivitas Over Fishing mengganggu rantai makanan dan dikhawatirkan
menjadi
bencana
alam
global
pada
akhir
abad
ke
20.
(http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/oceans/fit-for-thefuture/overfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pada pukul 22.07 WIB). Hal
ini diperparah dengan adanya tindakan Over Fishing yang tidak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku atau illegal. Untuk over fishing sendiri terdapat perbedaan bentuk
dan jenisnya antara lain ( Widodo, 2007 : 26) :
No.
Bentuk Over Fishing
Pengertian
1. Growth Over Fishing
Ini terjadi saat ikan ditangkap sebelum
mereka tumbuh mencapai ukuran dimana
peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan
akan mampu membuat seimbang dengan
penyusutan stok yang diakibatkan oleh
mortalitas alami (misalnya pemangsaan).
Pencegahan Growth over fishing meliputi
pembatasan
upaya
penangkapan,
pengaturan ukuran mata jaring dan
penutupan
musim
atau
daerah
penangkapan.
2. Recruitment Ove Fishing
Pengurangan
melalui
penangkapan
terhadap suatu stok sedemikian rupa
sehingga jumlah stok induk tidak cukup
banyak untuk memproduksi telur yang
kemudian menghasilkan rekrut terhadap
stok yang sama. Pencegahan terhadap
Recruitment overfishing meliputi proteksi
(misalnya melalui reservasi) terhadap
29
sejumlah stok induk (parental
broodstock) yang memadai.
stock
3. Biological Over Fishing
Kombinasi dari growth overfishing dan
recruitment overfishing akan terjadi
manakala tingkat upaya penangkapan
dalam suatu perikanan tertentu melampaui
tingkat
yang
diperlukan
untuk
menghasilkan MSY. Pencegahan terhadap
biological overfishing meliputi pengaturan
upaya
penangkapan
dan
pola
penangkapannya (fishing pattern).
4. Economic Over Fishing
Kondisi ini dapat terjadi sebagai hasil dari
suatu perubahan komposisi jenis dari suatu
stok sebagai akibat dari upaya penangkapan
yang berlebihan, dimana spesies target
menghilang dan tidak digantikan secara
penuh oleh jenis “pengganti”. Biasanya
overfishing jenis ini mengakibatkan transisi
dari ikan bernilai ekonomi tinggi berukuran
besar kepada ikan kurang bernilai ekonomi
berukuran kecil, dan akhirnya kepada ikan
rucah (trash fish) dan atau invertebrata non
komersial seperti ubur-ubur.
5. Malthusian Over Fishing
Yaitu suatu istilah untuk mengungkapkan
masuknya tenaga kerja yang tergusur dari
berbagai aktivitas berbasis datarat (land
based activities) ke dalam perikanan dalam
jumlah yang berlebihan, yang berkompetisi
dengan nelayan tradisional yang telah ada
dan yang cenderung menggunakan caracara penangkapan yang bersifat merusak,
seperti dinamit untuk ikan-ikan pelagis,
sianida untuk ikan-ikan diterumbu karang
dan/ atau insektisida dibeberapa perikanan
laguna dan estuarina.
Tabel 3.2 : Bentuk- Bentuk Over Fishing
30
Over Fishing atau penangkapan berlebihan terhadap
paus terjadi
untuk
kepentingan komersil yang dilakukan secara rutin seperti tradisi Grindadrap yang
dilakukan masyarakat kepualaun Faroe. Menurut Whale and Dolphin Conservation
yang dimaksud dengan Illegal Whale Over Fishing atau Illegal Whaling aktivitas
perburuan paus secara berlebihan tanpa didasari aturan hukum yang jelas. Aktivitas ini
bisa bersifat komersial dan non komersial.
Semenjak tahun 1958 IWC telah
mengeluarkan moratorium kepada beberapa negara seperti Norwegia dan Islandia
untuk menghentikan kegiatan perburuan paus untuk kepentingan komersil (Comercial
Whaling Ban) . Berdasarkan Article VIII (1) ICRW penangkapan paus diperbolehkan
untuk kepentingan penelitian ilmiah. Moratorium tersebut telah efektif menekan
kegiatan perburuan paus untuk kepentingan komersil (http://us.whales.org/wdc-inaction/whaling diakses pada tanggal 29 Agustus 2015 pada pukul 2.14 WIB).
Kegiatan Illegal Whale Over Fishing yang bersifat non komersial seperti atas
dasar budaya dan kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara rutin sampai saat ini
belum mendapatkan larangan yang cukup jelas. Sampai saat ini salah satu contoh
bentuk pelarangan aktivitas perburuan paus yang bersifat illegal yakni dikabulkannya
gugatan Australia kepada Jepang oleh Mahkamah Internasional (The International
Court of Justice)pada tanggal 31 Maret 2014 terkait program penangkapan paus Jepang
di Antartika (JARPA II). Program JARPA II dinilai telah melanggar Article VIII (I) di
dalam ICRW. Program JAPRA II dilakukan atas dasar penelitian ilmiah, namun pada
kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan pausdengan jumlah yang
berlebihan. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa program JAPRA II adalah
program yang illegal. Mahkamah Internasional tidak secara langsung melarang
program ini namun meminta Jepang menghentikan program tersebut dan pemerintah
Jepang harus berhenti megeluarkan ijin untuk penyelenggaraannya.
“The judges of the International Court of Justice
handed down its long anticipated decision on whether
Japan's government-subsidised whaling programme in the
Southern Ocean should be allowed to continue.While
today's ruling did not outlaw the killing of whales for
scientific research per se, it categorically stated that Japan's
whaling programme in the Southern Ocean was not for
31
scientific purposes, and the amount of whales being killed
was not justifiable in the name of science. The court went
on to say that Japan must stop issuing permits for this
whaling”.
Mahkamah Internasional menilai bahwa program ini tidak sesuai dengan tujuan suatu
penelitian ilmiah karena jumlah paus yang dibunuh tidak dibenarkan dalam ilmu
pengetahuan dan termasuk tindakan penangkapan yang membahayakan keseimbangan
ekosistem
laut
(http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/japanresearchwhaling-ruled-illegal-International-Court-of-Justice/blog/48725/ diakses pada tanggal
8 Mei 2015 pada pukul 22.30 WIB).
4.
Tinjauan Mengenai Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora (CITES)
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) atau konvensi perdagangan internasional untuk spesies-spesies
tumbuhan dan satwa liar, adalah merupakan kesepakatan internasional antar negara
dengan tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional tumbuhan dan satwa
liar tidak mengancam keberadaan hidup tumbuhan dan satwa liar. CITES menetapkan
Tumbuhan dan Satwa Liar berdasarkan 3 (tiga) kategori perlakuan perlindungan dari
eksploitasi perdagangan yaitu Appendix I, Appendix II, dan Appendix
III
(https://www.cites.org/eng/disc/text.php diakses pada tanggal 11 Desember 2015 pada
pukul 1.30 WIB) :
a. Appendix I , memuat lampiran daftar dan melindungi seluruh spesies
tumbuhan dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan
internasional secara komersial,
b. Appendix II , memuat Lampiran daftar dari spesies yang tidak terancam
kepunahan, tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan
terus berlanjut tanpa adanya pengaturan,
32
c. Appendix III, memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah
dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan
habitatnya, dan memberikan pilihan (option) bagi negara-negara
anggota CITES bila suatu saat akan dipertimbangkan untuk dimasukkan
ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I .
CITES merupakan sebuah jawaban atas dua buah usaha yang dilakukan secara
internasional untuk mengutuk manajemen kehidupan margasatwa di antara kekuasaan
negara-negara kolonial, yaitu Konvensi London tahun 1900 yang dirancang untuk
memastikan konservasi dari seluruh spesies dan hewan liar di Afrika yang kegunaannya
ditujukan untuk manusia, yang kedua adalah Konvensi London tahun 1933 berkenaan
dengan preservasi flora dan fauna di masing-masing negaranya. Selanjutnya Konferensi
Stockholm 1972 merupakan titik balik dari perkembangan pembentukan CITES.
Konferensi Stockholm juga menghasilkan terbentuknya United Nations Environment
Programme (UNEP) yang kemudian mendorong pembentukan CITES Akhirnya pada
pertemuan delegasi yang jumlahnya sekitar 80 negara di Washington D.C. Amerika
Serikat pada tanggal 3 Maret 1973, terbentuklah CITES, dan mulai berlaku sejak 1 Juli
1975. Tujuan dan sasaran CITES sendiri adalah untuk memantau perkembangan dan
memastikan bahwa perdagangan internasional satwa tidak akan mengancam satwa dari
kepunahan ( CITES, 1973 : 4). Regulasi CITES ini diformulasikan pada tingkat
internasional, tetapi implementasinya pada tingkat nasional.Jika diuraikan, maka
didapati ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES yaitu :
a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dan satwa liar
bagi manusia;
b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan dan
satwa liar sangat tinggi;
d. Makin mendesaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk
melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol
perdagangan internasional
33
Jika dilihat dari 80 negara yang menghadiri konvensi di Washington, 21 negara
pada saat itu langsung menandatangani Konvensi CITES. Negara-negara tersebut
adalah Argentina, Belgia, Brazil, Kosta Rika, Cyprus, Denmark, Perancis, Guatemala,
Jerman Barat, Iran, Italia, Luxemburg, Mauritius, Panama, Filipina, Vietnam, Afrika
Selatan, Thailand, Inggris, Amerika Serikat dan Venezuela.
Negara-negara yang
menandatangani Konvensi disebut sebagai Parties dengan meratifikasi, menerima dan
menerapkan Konvensi CITES. Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan
menjadi Parties. Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat
menjadi Parties dengan acceding Konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara
telah bergabung menjadi anggota Konvensi dimana Bosnia dan Herzegovina sebagai
negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak menjadi
anggota CITES, yaitu: Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti, Irak, Kiribati,
Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Koreaa Utara, Sudan Selatan,
Tajikistan, Tonga, Turkmenistan dan Tuvalu. Konvensi CITES tidak berlaku di Pulau
Faroe ( Tonny Soehartono, 2003 : 9). Mekanisme pengendalian perdagangan spesies
yang terancam punah yang digunakan oleh CITES adalah mekanisme regulasi
appendiks. Satwa dan tumbuhan yang dianggap harus dilindungi dan diatur dimasukkan
ke dalam tiga jenis appendix (https://www.cites.org/eng/disc/parties/chronolo.php
diakses pada tanggal 15 November 2015 pukul 11.31 WIB).
a. Apendix I CITES
Appendix I yang memuat daftar dan melindungi seluruh spesies tumbuhan
dan satwa liar yang terancam dari segala bentuk perdagangan internasional
secara komersial. Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila
perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang
termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya
diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan
penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I,
namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen
dari Apendix II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara
pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor
34
spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap
perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas
pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang
dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara
spesimen tersebut dengan layak.
b. Apendix II CITES
Appendix II yang memuat daftar dari spesies yang tidak terancam kepunahan,
tetapi mungkin akan terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa
adanya pengaturan. Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Selain itu, Apendiks II
juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang
didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus
melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan
populasi di alam bebas
b. Apendix III CITES
Appendix III yang memuat daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang telah
dilindungi di suatu negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan
memberikan pilihan (option) bagi negara-negara anggota CITES bila suatu saat akan
dipertimbangkan untuk dimasukkan ke Appendix II, bahkan mungkin ke Appendix I.
Jumlah yang masuk dalam Appendix II sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan
ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah
satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur
perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota
CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan
Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO).Selain daripada
appendiks yang menjadi mekanisme utama CITES dalam melindungi satwa dan
tumbuhan yang terancam punah, ada beberapa pengaturan lainnya yang juga
mendukung tujuan CITES dalam melindungi spesies-spesies yang terancam punah
seperti berikut ini:
35
1). Pelaksanaan perdagangan internasional melalui sistem permit yang
dikeluarkan oleh CITES management authority;
2) Appendix I dilarang diperdagangkan, sementara Appendix II dan III dapat
diperdagangkan tetapi dengan kontrol yang ketat;
a) Representative negara anggota CITES bertemu secara reguler (2-3 tahun
sekali) dalam Conference of The Parties (COP) untuk melakukan
review pelaksanaan CITES, prosedur dan amandemen Appendix
CITES ;
b) Operasional pelaksanaan CITES dikoordinasikan oleh Sekretariat
CITES yang bernaung di bawah UNEP;
c) Government of Switzerland bertindak sebagai depository for convention
(negara penampung).
5. Tinjauan Mengenai Pengakuan Hukum Internasional
Terhadap
Masyarakat Hukum Adat ( Indigenous People)
Hak asasi manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan, pengakuan
dan pengukuhan negara hukum salah satu tujuannya melindungi hak asasi manusia,
berarti hak dan sekaligus kebebasan perorangan diakui, di hormati dan di junjung tinggi.
Hak asasi manusia merupakan bagian integral dari hukum internasional, sehingga
dikenal Hukum Hak Asai Manusia (Human Rights Law). Sebuah resolusi PBB
No.1514-XV, December 1960 menegaskan “all peoples have the right to free
determination “.Resolusi tersebut merupakan penegasan atas pengakuan individu
(perseorangan) sebagai subjek hukum internasional. Namun, hak persorangan tersebut
diharapkan tidak akan menggoyahkan integritas dan persatuan nasional oleh karena itu,
hak perseorangan (hak individu) tetap diakui yang berarti hak asasi individu
(perseorangan) maupun hak etnik (kelompok) dalam batas-batas tertentu tetap diakui
(Mansyur Efendi, 1993 : 54).
Permasalahan pengakuan Masyarakat Hukum Adat (yang oleh dunia
Internasional diterjemahkan dengan istilah Indigenous Peoples merupakan masalah
36
yang sudah berkembang sejak abad Ke – XIV. Saat itu Bartolomeo de Las Casas dan
Francisco de vitoria mengkritik dan membuat antitesis atas Doktrin Terra Nullius yaitu
Doktrin Klasik yang mengatakan bahwa daerah-daerah yang disinggahi oleh para
bangsa penakluk adalah tanah tak bertuan yang dapat dimiliki, sedangkan manusiamanusia yang terlebih dahulu menempati daerah tersebut tidak dianggap sebagai
manusia karena belum beradab (Uncivilized peoples). Didalam Deklarasi Universal
tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak
Masyarakat Adat (UNDRIP) Deklarasi ini menetapkan hak mereka atas budaya,
identitas, bahasa, ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan hal-hal lainnya.
Deklarasi ini melarang diskriminasi terhadap masyarakat adat dan mendorong agar hakhak mereka tetap jelas dan agar mereka meraih visi mereka mengenai pembangunan
ekonomi dan sosial mereka sendiri. Deklarasi itu menegaskan konsep “persetujuan atas
dasar informasi awal tanpa tekanan” terkait dengan perlindungan lahan dan sumber
daya adat. Rekomendasi yang dibuat Komisi PBB untuk Eliminasi Diskriminasi Rasial
dan Rekomendasi tentang Penduduk Asli, mewajibkan kepada seluruh pihak untuk
mengakui dan melindungi Masyarakat Hukum Adat dengan segala hak-hak dan wilayah
tradisionalnya dan larangan perampasan hak-hak dan wilayah Masyarakat Hukum Adat
dengan alasan apapun kecuali disetujui oleh Masyarakat Hukum Adat tersebut dan
disertai kompensasi yang pantas, adil dan tepat (Anaya, 2004 : 10).
UNDRIP telah diadopsi oleh General Assembly Resolution 61/295 (Resolusi
Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007. UNDRIP mensyaratkan ada
komunitas masyarakat adat dengan hak kolektif. Berpijak atas asumsi dasar bahwa ada
hak Negara dan ada hak masyarakat Selain itu UNDRIP mengangkat hak masyarakat
sebagai satu satuan sosial, ekonomi, budaya, & politik. UNDRIP menguraikan tentang
hak-hak individual dan kolektif dari suatu komunitas tradisional-lokal mengenai
budaya, tanah leluhur atau ulayat (ancestral domain), bahasa, pendidikan, identitas,
pekerjaan dan kesehatan. Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempertahankan,
memperkuat dan mendorong pertumbuhan adat, institusi-institusi budaya tradisional
dan tradisi. UNDRIP memberikan perlindungan yang kuat teerhadap hak masyarakat
adat atas sumber daya alam meskipun masih berupa instrument yang soft law, yaitu
tidak mengikat secara hukum (Sandra Moniaga, 2005 : 8).
37
Masyarakat adat sebagai bagian dari rakyat secara keseluruhan suatu bangsa atau
negara, memiliki kepentingan yang harus dihormati oleh pemerintah atau negara,
terutama berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam (Nyoman Nurjaya, 2008 :
15). Pemerintah berkewajiban memenuhi kepentingan pembangunan dan kesejahteraan
rakyat, termasuk indigenous peoples, dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
alam. Kewajiban tersebut diatur dalam beberapa ketentuan hukum internasional,
misalnya Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 41/128
tentang Declaraton on The Right to Development. Pasal 1 ayat (1) butir 2 deklarasi
menyatakan bahwa:
”The right to development is an inalienable right by virtue of which
every human person and all peoples are entitled to participate in, contribute
to, and enjoy economic, social, cultural, and political development, in which
all human rights and fundamental freedom can be fully realized.”
Dalam Pasal 2 ayat (1) deklarasi tersebut, dinyatakan: ”The human person is the central
subject of development and should be the active participant and beneficiary of the right
to development.” Demikian juga dalam Pasal 2 Ayat (3) dinyatakan bahwa:
”States have the right and duty to formulate the appropriate natonal
development policies that aim at the constant improvement of the well-being
of the entire population and of all individuals, on the basis of their active,
free, and meaningfully participation in development, and in the fair
distribution of the benefits resulting there from.”
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi
kebutuhan pembangunan rakyat di segala bidang, baik sebagai individu, maupun
kelompok. Selain itu, negara berkewajiban mengikutsertakan rakyat dalam proses
pembangunan, serta secara adil mendistribusikan hasil-hasil pembangunan kepada
seluruh rakyat, dak terkecuali terhadap penduduk asli. Meskipun Majelis Umum PBB
telah mengadopsi UNDRIP, perdebatan tentang ruang lingkup hak menentukan nasib
sendiri (self-determination) masyarakat hukum adat masih terus berlangsung hingga
sekarang. Dalam Pasal 3 UNDRIP, dinyatakan :
38
“Indigenous peoples have the right to self-determinaton. By virtue of that right
they freely determine their political status and freely pursue their economic,
social and cultural development”.
Berdasarkan Pasal 3 ini, diatur sangat jelas tentang pengakuan hak untuk
menentukan nasib sendiri. Hak tersebut termasuk hak dalam bidang politik, hak
untuk mengembangkan ekonomi, dan hak untuk pembangunan dalam bidang
sosial dan budaya. Hak untuk menentukan nasib sendiri sudah diterima dalam
hukum internasional. Pada tahun 1996, Internatonal Court of Justice (ICJ) dalam
Kasus Portugal v. Australia (East Timor Case), mendefinisikan hak untuk
menentukan nasib sendiri sebagai “erga omnes”. Anaya menyatakan bahwa hak
untuk menentukan nasib sendiri ditetapkan sebagai bagian dari jus cogens dan
secara umum diterima dalam hukum internasional. Dalam kaitannya dengan
masyarakat hukum adat, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan
representasi dari kebebasan untuk membuat keputusan terkait dengan hal-hal yang
berpengaruh terhadap mereka, untuk hidup sesuai dengan cara hidup mereka yang
tradisional, nilai dan keyakinan mereka, dan mendapatkan perlakuan yang sama
dalam negara. Hak untuk menentukan nasib sendiri juga sangat berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya alam ( Anaya, 2004 : 13) . Pada UNDRIP diatur dengan
lebih jelas ketentuan tentang hak-hak masyarakat hukum adat terhadap sumber
daya alam. Pasal 26 ayat (2) UNDRIP secara khusus telah menetapkan bahwa:
“Indigenous peoples have the right to own, use, develop and
control the lands, territories and resources that they possess by
reason of traditonal ownership or other traditonal occupaton or use,
as well as those which they have otherwise acquired”.
Masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk memiliki dan mengelola
tanah dan sumber daya alam dengan alasan kepemilikan tradisional. Dalam kasus
Delgamuukw v. British Colombia, Ketua Mahkamah Agung memutuskan bahwa
label indigeneous adalah sui generis, yaitu label tersebut diperoleh atas dasar
kehidupan dan penghidupan mereka di wilayah tersebut sejak lama. Di samping itu,
dalam kasus The Mayagna (Sumo) Awas Tingi Community v. Nicaragua, the InterAmerican Court of Human Right diakui hak atas harta dari masyarakat hukum adat
dengan memperhatikan instrumen internasional, seperti Pasal 14 ayat (2) Konvensi
ILO 169 dan perjanjian internasional tentang Hak Asasi Manusia Amerika Serikat.
39
Sebagaimana Konvensi ILO 169, UNDRIP kembali menegaskan kewajiban negara
melaksanakan prinsip the free, prior and informed consent dari masyarakat adat
sebelum menyetujui dan melaksanakan proyek yang dapat memengaruhi tanah mereka
(Anaya, 2004 : 15). Dalam Pasal 32 ayat (2) deklarasi ini dinyatakan sebagai berikut:
“States shall consult and cooperate in good faith with the indigenous
peoples concerned through their own representative instituons in order to
obtain their free and informed consent prior to the approval of any project
affecting their lands or territories and other resources, particularly in
connection with the development, utilization or exploitation of mineral, water
or other resources”.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa hukum internasional mengakui hak
masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri. Dalam bidang tanah dan sumber daya
alam, hak tersebut diatur dengan jelas dalam UNDRIP meskipun masih berupa
instrument yang soft law, yaitu tidak mengikat secara hukum. Paling tidak, hal ini harus
ditafsirkan sebagai sebuah standar yang baik dan merupakan pengakuan atas semua hak
masyarakat hukum adat di seluruh dunia untuk dapat berdiri sejajar dengan masyarakat
yang lainnya. Berhubungan dengan penelitian ini yang mengkaji persoalan perburuan
paus pada tradisi Grindadrap, masyarakat Kepulauan Faroe memiliki sebuah tradisi
yang disebut Grindadrap. Setidaknya setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam
tradisi ini. Tradisi Grindadrap dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang
merupakan nenek moyang masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin
setiap tahunnya melakukan migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan
September yang biasanya bertepatan dengan musim panas.
Tradisi Grindadrap
biasanya dilaksanakan di salah satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus
paling banyak yang datang di perairan tersebut. Tradisi Grindarap dilakukan dengan
cara menggiring paus Pilot dan paus Balin ke teluk yang lebih dangkal dengan perahu
kecil oleh beberapa pelaut khusus yang disebut Rakstrarmenn dan kemudian
ditancapkan beberapa tombak ke tubuh paus, selanjutnya paus di bawa sampai ke tepi
pantai kemudian diangkut ke daratan. Kemudian paus dibunuh dengan pisau panjang
khusus yang disebut Grindaknivur. Hukum adat Norse (Old Norse) mengatur segala
aspek tata cara tradisi Grindadrap seperti prosedur pengemudian perahu, prosedur
40
penggiringan paus ke tepi pantai, prosedur penyembelihan, pendistribusian daging paus
dan pembersihan pantai.
Tradisi Grindarap dilakukan di 6 (enam) wilayah pantai di Kepulauan Faroe.
Setiap penyembelihan satu ekor paus harus diawasi oleh seorang Grindformenn
(pengawas terpilih). Setelah penyembelihan selesai, daging-daging dibagikan ke
masyarakat sekitar secara gratis dan sebagian disalurkan ke beberapa pemasok daging
paus yang nantinya akan dijual ke wilayah lain. Pengolahan daging biasanya dilakukan
bersama-sama di tepi pantai dengan diiringi tarian adat khusus yang disebut
Grindadansur (Rob van Ginkel, 2005: 15-16).Tradisi ini merupakan kebiasan
masyarakat Kepulauan Faroe secara turun-temurun sebagai perayaan besar bahkan
menjadi hari libur bersama. Daging paus merupakan makanan khas masyarakat Faroe
yang diolah menjadi berbagai macam jenis masakan dan lemaknya diolah menjadi
minyak yang memiliki kandungan protein tinggi sebagai bahan tambahan obat-obatan,
pangan dan kosmetik (Kate Sanderson, 1994: 197). Kepulauan Faroe di Atlantik Utara,
yang masih dibawah otoritas Kerajaan Denmark telah mempratekkan tradisi ini sejak
tahun 1584. (Robert White, 2010: 8).
Tabel 2. 2 : Jumlah Paus Pilot yang diburu di Kepulauan Faroe setiap
tahunnya
41
Data yang dirilis oleh Whaling and Dolphin Conservation diatas
menunjukkan bahwa aktivitas perburuan dari tahun 2000-2014 terhadap paus jenis
Pilot terbanyak terjadi pada tahun 2010 sebanyak 1107 ekor dan perburuan paus
Pilot terendah terjadi pada tahun 2008 sebanyak 0 ekor. Sementara di tahun 2014
perburuan paus Pilot masih terjadi sebanyak 48 ekor. Hal tersebut dapat menjadi
interpretasi bahwa tradisi Grindadrap sudah menjadi budaya turun temurun.
Menurut Faroese Prime Minister, Kaj Leo Holm Johannesen mengatakan bahwa :
“Whaling in the islands is "sustainable and fully-regulated"
in a statement issued in response to recent criticism of the
continued hunting of pilot whales. He goes on to say that
the hunt is a natural part of Faroes life that has being going
on for hundreds of years, providing meat and blubber to
supplement the diet|”.
Pernyataan Perdana Menteri Kepulauan Faroe tersebut menjelaskan bahwa
tradisi Grindadrap telah menjadi budaya masyarakat sejak beratus-ratus tahun dan
telah menjadi konsumsi kebutuhan daging masyarakat Kepulauan Faroe. Walaupun
banyak sekali protes dan kritik dari masyarakat internasional akan tindakan tersebut
yang dinilai mengancam keanekaragaman hayati namun Johannesen memberikan
pernyataan bahwa:
“I went on to ask Faroese to respect the right of visitors to
lawfully protest against the hunts stating that "...freedom of
expression and the right to peaceful protest, which are
fundamental parts of any democracy."
Keterangan Johannesen tersebut meminta masyarakat Faroe untuk menghargai
hak-hak pengunjung yang protes terhadap kegiatan perburuan tersebut. Sebab, hal
tersebut
merupakan
hak
kebebasan
sebagai
dasar
(http://uk.whales.org/issues/whale-and-dolphin-hunts-in-faroe-islands
demokrasi
diakses
pada
tanggal 29 Agustus 2015 pada pukul 10/18 WIB). Whale and Doplhine Conservation
(WDC) menegaskan bahwa:
“Every year in the Faroe Islands, a territory of Denmark,
hundreds of pilot whales and other species including
bottlenose dolphins, Atlantic white-sided dolphins and
northern bottlenose whales, are hunted for their meat. The
techniques used are intensely stressful and cruel. Entire
42
family groups are rounded up out at sea by small motor boats
and driven to the shore. Typically, once they are stranded in
shallow water, blunt-ended metal hooks are inserted into
their blowholes and used to drag the whales up the beach,
where they are killed with a knife cut to their major blood
vessels.
Kepulauan Faroe yang merupakan bagian dari Denmark dan pada tahun 1950
Denmark telah meratifikasi ICRW namun tetap melakukan tradisi tersebut dikarenakan
sebagai sumber pangan dan protein bagi masyarakat Faroe. Namun demikian menurut
Chief Medical Officer and Chief Physician of Faroe Island menyatakan dan telah
memberikan surat kepada pemerintah Kepulauan Faroe bahwa:
|”Pilot whales today contain contaminants to a degree that neither meat
nor blubber would comply with current limits for acceptable
concentrations of toxic contaminants….” They further stated, “[I]t is
recommended that pilot whale is no longer used for human
consumption.” (Whale and Dolphin Conservation Society Report,
2013: 2).
Pemerintah Kepualauan Faroe telah gagal mengadopsi rekomendasi diatas.
Padahal mengonsumsi daging paus akan memberikan efek negatif dikarenakan daging
paus yang telah banyak terkontaminasi dengan racun zat-zat kimia seperti merkuri yang
dapat mengakibatkan penghambatan perkembangan otak ( Neurological Delays) ,
Cardiovascular Problem dan Parkinsons Disease bagi anak dan ibu hamil. (Pal Weihe,
2012: 3). Mengacu kondisi demikian tradisi tersebut tradisi Grindadrap masih
berlangsung sampai sekarang bahwa Pemerintah Kepulauan Faroe memberikan
peraturan khusus untuk perburuan yakni Whaling in the Faroe Island yang disahkan
pada bulan Desember tahun 2011. Peraturan tersebut dibuat bukan mengenai pelarangan
namun
mengenai
tata
cara
perburuan
dan
metode
pembunuhan
http://www.ascobans.org/sites/default/files/document/AC19_501_FaroeIslandsGrind_
1.pdf diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pukul 21. 14 WIB).
43
B.
Kerangka Pemikiran
Tradisi Grindadrap Kepulauan Faroe di
Atlantik Utara
Perburuan Paus Pilot
Denmark telah meratifikasi ICRW dan
CITES
Kepulauan Faroe tetap
melegalkan melalui peraturan
Whaling in the Faroe
Kewajiban untuk melakukan perlindungan
dan pelestarian terhadap paus
Tradisi Grindadrap
Menurut Hukum
Internasional
44
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Terhadap Paus Dari Tindakan Illegal Whale Over Fishing
Berdasarkan International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) Dan
Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And
Flora (CITES)
Perlindungan paus dari tindakan perburuan paus secara ilegal yang berlebihan
diwujudkan dengan berbagai macam upaya perlindungan eperti yang diatur oleh
International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW) dan Convention On
International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES).
Kedua konvensi ini mengatur berbagai macam penanggulangan tindakan perburuan
terhadap paus dengan tujuan utama yakni melindungi dan melestarikan ekosistem
laut. Secara rinci, ICRW mengatur adanya larangan perburuan paus secara komersial
dan menugaskan International Whaling Commission (IWC) sebagai komisi yang
secara khusus melakukan berbagai macam kegiatan untuk mencegah kepunahan
populasi paus, kemudian CITES mengatur secara jelas melalui mekanisme tertentu
untuk mencegah perburuan hewan terancam punah termasuk beberapa spesies paus
menjadi komoditi perdagangan internasional. Beberapa upaya yang dilakukan seperti
misalnya moratorium perburuan paus komersial setidaknya terbukti secara efektif
pelan-pelan mengurangi krisis populasi beberapa spesies paus. Walaupun masih
banyak tindakan yang memanfaatkan celah kedua konvensi ini untuk tetap
melaksanakan perburuan paus. Berikut adalah berbagai macam upaya perlindungan
yang dilaksanakan berdasarkan kedua konvensi tersebut :
1.
Perlindungan Terhadap Paus Berdasarkan International Convention For
Regulation Of Whaling (ICRW)
Penegakan hukum internasional menunjukkan bahwa kebebasan di laut lepas
(high seas) sebagai perwujudan doktrin “mare liberium” telah diakui sejak lama dan
diakomodasi oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Sebagaimana diatur dalam pasal 87
Konvensi Hukum Laut 1982, semua negara, baik negara pantai ( coastal state)
45
maupun negara tak berpantai ( land-locked State) mempunyai hak untuk
memanfaatkan laut lepas dan memiliki kebebasan secara universal. Menurut pasal 87
ini kebebasan di laut lepas mencakup kebebasan berlayar (freedom of navigation),
kebebasan penerbangan ( freedom of overflight), kebebasan memasang pipa dan
kabel bawah laut (freedom to lay submarine cables and pipelines), kebebasan
membangun pulau buatan dan instalasi lain (freedom to construct artifical islands
and other installations permitted under international law), kebebasan menangkap
ikan (freedom of fishing) dan kebebasan melakukan riset ilmiah (freedom of scientific
research). Semua kebebasan ini harus dilakukan oleh setiap negara dengan
mengindahkan kepentingan negara lain dalam melaksanakan hak yang sama dan
ketentuan hukum internasional yang berlaku di atasnya. Khusus untuk menangkap
ikan, Pasal 116 Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak kepada suatu negara
untuk mengirimkan armada perikanan nasionalnya ke laut lepas (Melda Kamil, 2005
: 504). Lebih lanjut lagi kebebasan menangkap ikan dibatasi dengan pelbagai
kewajiban yang ditetapkan dalam ketentuan Bagian 2 mengenai langkah-langkah
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati laut lepas. Pengaturan mengenai
pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas ini menyangkut pula
jenis ikan yang beruaya terbatas (stradling fish stocks) dan beruaya jauh (highly
migratory species). Dengan kurang diaturnya secara spesfik terkait kewajiban
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut menunjukkan bahwa Konvensi Hukum
Laut 1982 kurang efektif.
Ketidakefektifan
ketentuan-ketentuan
Konvensi
Hukum
Laut
1982
mengakibatkan persediaan sumber daya ikan di laut lepas, khususnya jenis ikan yang
beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, terus mengalami penurunan yang
drastis. Hal ini mendorong masyarakat internasional mencari solusi guna mengatasi
persoalan tersebut. Permasalahan yang timbul adalah karena keten tuan-ketentuan
Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai pengelolaan sumber daya ikan dan biota laut
lainnya kurang memadai lagi dalam mengatur langkah-langkah pemantauan dan
penegakan hukum guna melindungi sumber daya ikan yang berkenaan dengan
konservasi dan pengelolaan sumber daya laut yang bertanggung jawab, termasuk
masalah-masalah yang berkaitan dengan ( E.D Brown, 1994 : 321):
46
a. Kegiatan penangkapan ikan dan biota laut yang belum diatur;
b. Jumlah kapal perikanan yang berlebihan ;
c. Pembenderaan semu untuk menghindari pengawasan dari negara
bendera kapal;
c. Data perikanan yang tidak memadai ;
d. Kurang kerja sama antar negara
Solusi atas permasalahan tersebut ialah terletak pada Paragraf 17.49 Agenda
21 yang dihasilkan pada penyelenggaraan KTT Bumi pada tahun 1992 yakni
meminta negara-negara untuk mengambil langkah-langkah baik di tingkat regional
maupun global untuk menjamin segala pemberdayaan sumber daya laut sesuai
dengan Konvensi Hukum Laut 1982 dengan menyusun peraturan pelaksanaanya (
Dikdik Mohamad, 2011: 141). Selain Konvensi Hukum Laut 1982, instrumeninstrumen nasional berkaitan dengan kegiatan perikanan dan sumber daya hayati laut
telah berkembang baik berupa hard laws maupun soft laws. Pada umumnya hard
laws sebagai sumber hukum berupa perjanjian internasional, yang meliputi:
treaties,coventions, agreements, dan lain-lain. ( Dikdik Mohamad, 2011 : 139). Salah
satu permasalahan yang menjadi fokus utama penelitian ini ialah mengenai
perlindungan terhadap paus sebagai biota laut yang keberadaannya sudah terancam
punah. Data yang dirilis oleh International Whaling Commission (IWC)
menunjukkan adanya penurunan populasi beberapa jenis paus yang terjadi di perairan
seluruh dunia paus seperti Minke Whales, Blue Whales, Fin Whales, Gray Whales,
Bowhead Whales, Humpback Whales, Right Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales,
Balin Whales dan Sei Whales yang terjadi di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus
tersebut populasinya telah mengalami penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per
tahunnya sejak tahun 1985 sampai tahun 2010 (https://iwc.int/estimate#table diakses
pada tanggal 29 April 2015 Pukul 1.29 WIB). Data lain ditemukan oleh World
Wildlife
Fund (WWF) bahwa keberadaan populasi paus yang kian menurun
mengancam
keseimbangan
ekosistem
laut.
(http://www.worldwildlife.org/species/whale diakses pada tanggal 11 Desember
2015 pada pukul 1.45 WIB).
47
“Whales are at the top of the food chain and have an
important role in the overall health of the marine
environment. Unfortunately their large size and mythical
aura does not protect them; seven out of the 14 great whale
species are classified as endangered or vulnerable, even
after decades of protection”.
Menurut WWF juga terdapat 14 spesies paus yang statusnya telah terancam
punah yaitu North Atlantic Whale, Gray Whale, Bowhead Whale, Fin Whale, Sei
Whale,
Blue
Whale,
Narwhal,
Beluga
dan
Pilot
Whale.
(http://www.worldwildlife.org/species/whale diakses pada tanggal 11 Desember
2015 pada pukul 1.49 WIB) .Seperti yang telah diulas dalam bab sebelumnya bahwa
paus merupakan jenis biota laut yang menjadi bagian dari sumber keanekaragaman
hayati (biodiversity) yang wajib dilindungi serta dilesterikan keberadaannya.
Mengingat bahwa populasi paus yang kian menurun akibat perburuan secara illegal
yang berlebihan ( Illegal Whale Overfishing ) yang diklasifikasikan menurut
International Whalling Comission (IWC) menjadi perburuan yang bersifat komersil
(Comercial Whalling) dan perburuan yang bersifat tradisi masyarakat tertentu
(Aboriginal Subsitence Whaling) maka diperlukaan beberapa upaya perlindungan
lebih lanjut menangani hal tersebut. Istilah Over Fishing tercantum dalam
International Convention For Regulation of Whaling (ICRW) yakni :
“Considering that the history of whaling has seen overfishing of one area
after another and of one species of whale after another to such a degree
that it is essential to protect all species of whales from further over
fishing;”
Kemudian lebih jelas lagi menurut Ocean National Geographic istilah Over
Fishing
ialah
(http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine-
seas/critical issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53
WIB) :
“Simply the taking of wildlife from the sea at rates too high for fished
species to replace themselves. The earliest overfishing occurred in the
early 1800s when humans, seeking blubber for lamp oil, decimated the
whale population. Some fish that we eat, including Atlantic cod and
herring and California's sardines, were also harvested to the brink of
extinction by the mid-1900s”
48
Over Fishing ialah pengambilan sumber daya laut secara berlebihan seperti
spesies ikan dan hewan laut lainnya untuk keperluan manusia. Awal mula Over
Fishing terjadi pada tahun sekitar tahun 1800 dimana manusia mencari lemak
sebagai bahan lampu minyak sehingga menurunkan populasi paus, ikan sarden
dan ikan herring. Sehingga mengakibatkan penuruan populasi hingga pertengahan
tahun
1900.
(http://ocean.nationalgeographic.com/ocean/explore/pristine-
seas/critical issuesoverfishing/ diakses pada tanggal 27 Agustus 2015 pukul 21.53
WIB). Sementara itu, menurut Black’s Law Dictionary istillah illegal berarti :
“Not authorized by law; Illicit ; unlawful; contrary to
law.Sometimes this term means merely that which lacks authority of
or support from law;but more frequently it imports a violation.
Etymo- logicaily, the word seems to conveythe negative meaning
only. But in ordinary use it has a severer, stronger signification;the
idea of censure or condemnation for breaking law is usually
presented. But the lawimplied in illegal is not necessarily an express
statute. Tilings are called "illegal" for aviolation of common-law
principles. And the term does not imply that the act spoken ofis
immoral or wicked; it implies only a breach of the law”
(http://thelawdictionary.org/letter/i/page/3/ diakses pada tanggal 11
Desember 2015 , Pukul 1.13 WIB).
Menurut penjelasan diatas menunjukkan bahwa kata illegal merupakan tindakan
ataupun perbuatan yang tidak diizinkan oleh hukum, melanggar hukum, dan
bertentangan dengan hukum. Secara etimologi penggunaan kata illegal menunjukkan
tindakan yang dikecam karena melanggar hukum yang berlaku dan melanggar
batasan-batasan moral atau amoral atau bisa disebut pelanggaran hukum. Illegal
Whale Over Fishing adalah tindakan menangkap atau berburu paus secara berlebihan
yang melanggar instrumen-instrumen hukum yang berlaku. Penurunan populasi paus
yang mengancam keseimbangan lingkungan laut saat ini menjadi konsentrasi
masyarakat internasional. Berbagai upaya dilakukan seperti pembuatan dan
penegakan regulasi baik regional maupun internasional, upaya konservasi dan
perlindungan, pembatasan dan pelararangan (moratorium) dan sebagainya.
Sebelum terbentuknya Konvensi Hukum Laut 1982, permasalahan
perburuan terhadap paus sudah menjadi permasalahan di lingkup internasional. Hal
tersebut ditunjukkan dengan adanya pembentukan sebuah konvensi yang khusus
49
membahas perburuan paus yakni International Convention for the Regulation of
Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Pembuatan konvensi ini mendahului pembuatan
Konvensi Hukum Laut atau UNCLOS, oleh karena itu dalam ICRW tidak
dipengaruhi dengan substansi pembagian lautan di zona maritim dan hak-hak negara
bagian dan negara bendera pesisir seperti yang diatur dalam UNCLOS. ICRW
mengatur regulasi terkait kapal-kapal penangkap ikan (factory ships) , land stations,
dan yurisdiki penangkapan paus serta persetujuan pemerintah (Contracting
Governments) hal ini terdapat pada Article II ICRW.
Konvensi ini tidak
mempengaruhi hak berdaulat negara pantai atas mamalialaut seperti paus di Zona
Ekslusif Ekonomi (ZEE) yang ada pada pasal 65 UNCLOS. ICRW memiliki hak
dibawah UNCLOS. Misalnya penangkapan paus komersial di Samudera Hindia,
sebuah pantai di India tetap bisa melarang semua penangkapan paus di wilayah ZEE
nya. Sebaliknya ICRW tidak dapat mengotorisasi pengangkapan paus di wilayah
ZEE berdasarkan pasal 65 UNCLOS. Saat ini penangkapan paus masih terus
berlangsung walaupun terdapat moratorium penangkapan paus untuk kepentingan
komersial. Beberapa penangkapan paus diperbolehkan untuk tujuan penelitian
seperti di Greenland dan Amerika Serikat. Selain itu Norwegia juga masih
melakukan perburuan paus komersial pada North Atlantic yang memburu paus
Minke. Islandia dan Jepang pun masih terlibat dalam penangkapan paus atas dasar
tujuan ilmiah (E.J. Molenaar, 2001 : 561).
International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW)
merupakan konvensi yang fokus terhadap perlindungan populasi paus di seluruh
dunia yang telah diratifikasi oleh beberapa negara. Sebelum mengejawantahkan
seperti apa bentuk perlindungan paus berdasarkan konvensi ini maka diperlukan
penjelasan secara rinci apa saja yang dimuat dalam ICRW. Konvensi ini memiliki 11
(sebelas) Article dan dilengkapi protokol tambahan sebagai aturan pelengkapnya.
Kesebelas Article tersebut memuat perihal penting terkait perlindungan terhadap
paus antara lain:
a. Article I
: Artikel ini menjelaskan bahwa konvensi ini memuat pula
beberapa agenda tertentu yang menjadi bagian integral didalamnya dan juga
dijelaskan bahwa diberlakukan untuk pemilik kapal (factory ship),
50
pengumpul ( dermaga) dan penangkap paus yang harus tunduk pada
yurisdiksi pemerintahan setiap negara peserta konvensi ini (ICRW, 1946 :
4);
b. Article II : Artikel ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan kapal
(factory ship), stasiun dermaga ( land station) , penangkap paus (whale
catcher), negara peserta yang telah meratifikasi atau mematuhi konvensi ini
(contracting government) (ICRW, 1946 :4) ;
c. Article III : Artikel ini menjelaskan bahwa negara peserta bersepakat untuk
membentuk International Whaling Commission (IWC). Dan setiap hak pilih.
Dalam artikel ini menjelaskan pula struktur organisasi ( Ketua, Wakil Ketua,
Sekretaris dan staf). Kemudian dijelaska pula 2 (dua) tahun setelah
diberlakukannya konvensi ini, diperlukan koordinasi dengan badan-badan
khusus yang berada di naungan PBB dalam mewujudukan tujuan yang sama
yakni perihal konservasi dan pelestarian lingkungan (ICRW, 1946 :4) ;
d. Article IV : Artikel ini menjelaskan bahwa IWC dapat bekerja sama dengan
lembaga independen baik dari pihak pemerintah atau lembaga publik atau
swasta dan organisasi-organisasi lain yang bersifat independen. Hal tersebut
berkaitan dengan tugas-tugas IWC lebih lanjut seperti (ICRW, 1946 : 5) :
1)
Mendorong, merekomendasikan, atau jika perlu, mengatur penelitian
dan investigasi yang berkaitan dengan paus;
2)
Mengumpulkan dan menganalisis informasi statistik mengenai kondisi
saat ini dan jumlah populasi paus dan efek kegiatan penangkapan ikan
paus;
3)
Studi, menilai, dan menyebarluaskan informasi mengenai metode
melestarikan dan meningkatkan populasi paus.
IWC mengatur publikasi laporan kegiatan dan dapat melakukan publikasi
secara mandiri atau bekerja sama dengan organisasi lain misalnya terkait
data statisik populasi paus ataupun organisasi serta lembaga lain yang
dianggap dapat memberikan data statistik jumlah paus yang sesuai dan
bersifat ilmiah.
51
e. Article V : Artikel ini menjelaskan bahwa komisi ini (IWC) dapat
mengadopsi peraturan sehubungan degan konservasi dan pemanfaatan serta
perbaikan sumber daya paus . Maka diaturlah ketentuan batas-batas tertentu
mengenai ( ICRW , 1946 : 5) :
1) Dilindungi dan tidak dilindungi spesies
2) Musim terbuka dan tertutup
3) Perairan terbuka dan tertutub dan penunjukkan daerah khusus
4) Batas ukuran untuk setiap spesies
5) Waktu, metode dan intensitas perburuan paus (termasuk hasil tangkapan
maksimum paus yang aka diambil dalam satu musim)
6) Jenis dan spesifikasi peralatan dan alat-alat yang digunakan, metode
pengukuran dan catatan statistik biologi lainnya.
Dalam artikel ini juga menjelaskan bahwa IWC memiliki beberapa
ketentuan penting lainnya seperti :
1) Segala agenda yang dijalankan oleh IWC diperuntukkan untuk
melaksanakan tujuan utama konvensi yakni menyediakan sarana untuk
konservasi,
pengembangan
dan
pemanfaatan
secara
optimal
perlindungan sumber daya paus;
2) Segala aktivitas pelestarian harus berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah;
3) Konvensi ini tidak melibatkan pembatasan jumlah atau kebangsaan
kapal, dermaga dan mempertimbangkan kepetingan konsumen produk
paus dan industri penangkapan paus;
4) Amandemen terhadap konvensi ini berlaku setelah 90 (sembilan puluh)
hari saja setelah amandemen oleh masing-masing pemerintah negara
peserta,
dan apabila terdapat keberatan lagi dan mempengaruhi
efektivitas di setiap negara maka dapat dilakukan tinjauan ulang dengan
tambahan waktu 90 (sembilan puluh) hari;
5) Apabila terdapat keberatan pemerintah negara-negara anggota harus
memberitahukan kepada negara anggota lainnya dan IWC harus
menerima setiap keberatan dan negara anggota lainnya harus mengakui
serta menerima semua pemberitahuan dari adanya amandemen,
52
keberatan, dan penarikan. Tidak ada amandemen yang berlaku sebelum
1 Juli 1949.
f. Article VI : Artikel ini menjelaskan bahwa IWC dapat melakukan tahapan
membuat rekomendasi secara bertahap kepada beberapa negara peserta
konvensi atau apapun persoalan yang memiliki hubungan dengan paus atau
perburuan paus yang bersesuaian dengan fakta-fakta dan tujuan dari ICRW
(ICRW, 1946 : 6) ;
g. Article VII : Artikel ini
menjelaskan bahwa negara peserta harus
memastikan data-data lebih lanjut mengenai data statistik populasi paus ke
International Bureau for Whaling Statistics di Norwegia ataupun badan lain
yang ditunjuk oleh IWC yang dapat memberitahukan informasi statistik dan
lainnya yag diperlukan sesuai dengan ICRW (ICRW, 1946 : 7);
h. Article VIII : Artikel ini menjelaskan bahwa meskipun terkandung dalam
konvensi ini (ICRW) setiap negara peserta yang telah meratifikasi ICRW
dapat memberikan ijin khusus kepada setiap warga negaranya (Special
Permit) kepada otoritas yang berwenang di negara masing-masing untuk
membunuh, mengambil dan mengobati paus hanya untuk tujuan riset ilmiah,
dan apabila pemerintahan suatu negara memberikan ijin maka segala
konsekuensi akan dibebaskan dari tindak operasi berdasarkan konvensi ini
(ICRW). Dengan demikian setiap otoritas yang berwenang dalam negara
tersebut wajib untuk melaporkan kepada IWC dan setiap otoritas yang
berwenang di suatu negara dapat setiap saat mencabut ijin khusu yang telah
diberikan.Setiap paus yag diambil harus sesuai ijin khusus dalam hal proses
dan operasionalnya searah dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
yang berwenang. Kemudian setiap negara yang memberikan ijin khusus
tersebut harus mengirimkan laporan praktis dan informasi hasil riset pada
interval waktu tidak lebih dari satu tahun mengenai kepada IWC dan berlaku
hal yang sama pada Article IV untuk setiap lembaga independen lain yang
memiliki kerja sama denga IWC. Selanjutnya dalam Artikel ini diterangkan
pula IWC berhak untuk melakukan tindakan praktis apapun untuk
53
mendapatkan data dan infomasi biologis ke setiap kapal penangkap ( Factory
Ship) dan dermaga pengelelola ( Land Station) (ICRW, 1946 : 7);
i. Article IX : Artikel ini menjelaskan bahwa setiap negara peserta wajib
mengambil tindakan yang tepat untuk dapat memastikan penerapan
ketentuan konvensi (ICRW) dan hukuman atas suatu pelanggaran terhadap
ketentuan terkait kegiatan operasional yang dilakukan oleh individu maupun
kapal-kapal. Dijelaska pula bahwa, tidak ada imbalan lainnya atas hasil kerja
para penangkap/awak penangkap paus (Whale Catcher) sehubungan dengan
kegiatan komersial yang dilarang dalam konvensi ini. Kemudian mengenai
penuntutan untuk pelanggaran terhadap ketidaksetujuan atas konvensi ini
(ICRW) harus diproses sesuai yurisdiksi suatu negara yang memiliki
pelanggaran itu. Setiap pemerintaha suatu negara yang telah menyepakati
akan mengirimkan secara rinci informasi setiap pelanggaran yag dilakukan
oleh individu maupun kapal-kapal dari ketentuan-ketentuan dalam ICRW
kepada IWC dan langkah-langkah penentua hukuman atas pelanggaran
tersebut ditentukan oleh yurisdiksi di dalam suatu negara (ICRW, 1946 : 7);
j.
Article X : Artikel ini menjelaskan bahwa konvensi ini (ICRW) akan
diratfikasi dan instrumen hasil ratifikasi akan disimpan oleh Pemerintah
negara Amerika Serikat. Setiap negara yang belum menandatangani ICRW
dapat mematuhi hal tersebut setelah adanya pemberitahuan secara tertulis
kepada pemerintah Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat juga harus
mendapatkan
informasi
atas
semua
negara-negara
yang
telah
menandatangani ICRW dan semua negara yang telah meratifikasi.
Kemudian ICRW menegaskan jika konvensi ini setidaknya telah diratifikasi
maka instrumen hasil ratifikasi baiknya disimpan oleh setidaknya enam
negara penandatangan, yang meliputi Belanda, Norwegia, Uni Soviet,
Inggris, Irlandia Utara dan Amerika Serikat. Ketentuan-ketentuan ini
semuanya tidak berlaku sebelum 1 Juli 1948. Amandemen atas ketentuanketentua ini yang diadopsi sesuai dengan Pasal V tidak berlaku sebelum 1
Juli 1949 (ICRW, 1946 : 8);
54
k. Article XI : Artikel ini menjelaskan bahwa setiap negara yang telah
menyetujui ICRW dapat menarik diri dari Konvensi ini pada tanggal 30 Juni,
setiap tahunnya dengan memberikan pemberitahuan pada atau sebelum 1
Januari, pada tahun yang sama pula kepada negara penyimpan instrumen.
Setiap negara yang telah menyetujui lainnya juga mendapatkan informasi
tersebut dalam waktu satu bulan sejak diterimanya salinan pemberitahuan
tersebut dari negara penyimpana atas ajuan pengunduran diri, sehingga
ICRW ini akan berhenti berlaku pada tanggal 30 Juni di tahun yang sama.
Konvensi ini (ICRW) akan menentukan tanggal dibukanya untuk
ditandatangani lagi dan akan tetap terbuka untuk penandatanganan untuk
jangka waktu empat belas hari sesudahnya (ICRW, 1946 : 8).
Pengaturan perlindungan terhadap paus dimanifestasikan kedalam ICRW
merupakan salah satu bentuk pengaturan perlindungan lingkungan secara global
menggunakan pendekatan global (global approach), yaitu suatu pendekatan yang
mengutamakan kepentingan bersama (common interest) ( Stewart M, 1991 : 819).
Menurut Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa (Mochtar Kusumaatmadja,
1982 : 12) :
“..........masyarakat internasional merupakan kehidupan bersama
daripada negara-negara yang merdeka dan sederajat, .....
kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubunganhubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu
kepentingan bersama”.
Atas dasar kepentingan bersama maka pentingnya perlindungan paus
merupakan salah satu upaya memelihara kepentingan bersama serta mengatasi
permasalahan yang berdampak masif dan global seperti perburuan paus secara illegal
dan berlebihan (Illegal Whale Over Fishing). Berdasarkan klasifikasi yang
ditentukan oleh IWC, perburuan paus dikategorikan menjadi dua yakni Commercial
Whaling dan Aboriginal Subsitence Whaling (Sandra Altherr, 2011 :7). Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandra Altherr dan Jennifer Londsale terdapat
perbedaan yang cukup signifikan antara Commercial Whaling dan Aboriginal
Substience Whaling pada fakta dan prakteknya selama ini :
55
a.
Perburuan Paus Komersial (Commercial Whaling)
Ketidakjelasan yang terkandung dalam Article VIII ICRW yang
dijelaskan pada uraian sebelumnya membolehkan perburuan paus apabila
terdapat ijin khusus (Special Permit) atas ijin otoritas yang berwenang di setiap
negara untuk kegiatan penelitian ataupun riset ilmiah. Hal ini yang banyak
digunakan beberapa negara seperti Jepang, Islandia dan Norwegia sebagai dasar
untuk melakukan tindakan perburuan paus. Seperti yang dilakukan oleh Jepang
dalam proyek penelitian ilmiahnya. Pelarangan aktivitas perburuan paus yang
bersifat illegal yang dilakukan oleh Jepang yakni dikabulkannya gugatan
Australia kepada Jepang oleh Mahkamah Internasional (The International Court
of Justice)pada tanggal 31 Maret 2014 terkait program penangkapan paus Jepang
di Antartika (JARPA II). Program JARPA II dinilai telah melanggar Article VIII
(I) di dalam ICRW. Program JAPRA II dilakukan atas dasar penelitian ilmiah,
namun pada kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan pausdengan
jumlah yang berlebihan dan daging hasil perburuan diperdagangkan untuk
memperoleh profit. Mahkamah Internasional menyatakan bahwa program
JAPRA II adalah program yang illegal. Mahkamah Internasional tidak secara
langsung melarang program ini namun meminta Jepang menghentikan program
tersebut dan pemerintah Jepang harus berhenti megeluarkan ijin untuk
penyelenggaraannya. Mahkamah Internasional menilai bahwa program ini tidak
sesuai dengan tujuan suatu penelitian ilmiah karena jumlah paus yang dibunuh
tidak dibenarkan dalam ilmu pengetahuan dan termasuk tindakan penangkapan
yang
membahayakan
keseimbangan
ekosistem
laut
(http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/japanres
earch-whaling-ruled-illegal-International-Court-of-Justice/blog/48725/
pada tanggal 8 Mei 2015 pada pukul 22.30 WIB).
“The judges of the International Court of Justice
handed down its long anticipated decision on whether Japan's
government-subsidised whaling programme in the Southern
Ocean should be allowed to continue.While today's ruling did not
outlaw the killing of whales for scientific research per se, it
categorically stated that Japan's whaling programme in the
Southern Ocean was not for scientific purposes, and the amount
diakses
56
of whales being killed was not justifiable in the name of science.
The court went on to say that Japan must stop issuing permits for
this whaling”.
Selain Jepang negara lain yang memanfaatkan celah Article VIII
misalnya seperti Islandia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh International
Whaling Comission (IWC) menyebutkan bahwa Islandia adalah salah satu negara
yang aktif melakukan perburuan yang bersifat komersil (Commercial Whaling) .
Perburuan paus di Islandia sudah menjadi komoditi perdagangan. Spesies paus
yang diburu ialah paus Fin dan paus Minke yang tergolong langka. IWC
memberikan bentuk pencegahan seperti memberikan moratorium penangkapan
paus dengan menerapkan batas jumlah paus yang ditangkap untuk kepentinga
komersil. Namun pada prakteknya pemerintah Islandia tetap memegang ketentuan
yang diatur pada Article VIII yakni berlakunya ijin khusus yang diberikan
pemerintah Islandia. Sehingga pemberian moratorium penangkapan paus (19851986) ditolak oleh Islandia dengan lebih lanjut meninggalkan keanggotaan pada
IWC, walaupun pada akhirnya bergabung lagi dalam keanggotaan IWC
(https://iwc.int/iceland diakses pada tanggal 16 Desember 2015, pada Pukul 11.06
WIB). Namun pernyataan berbeda diberikan oleh pemerintah Islandia bahwa
Islandia buka satu-satunya negara yang memburu paus dalam skala besar. Bahkan
perburuan terbesar dilakukan oleh negara anggota IWC lain seperti, Amerika
Serikat, Rusia, Norwegia, Jepang dan Greenland. Pemerintah Islandia mengklaim
bahwa pihaknya tetap menghargai kebutuhah untuk konservasi sumber daya laut.
Islandia adalah negara yang perolehan ekonominya bergantung pada sumber daya
laut. Walaupun demikian, Islandia tetap mentaati peraturan yang diberikan IWC.
Pada tahun 2006 perburuan paus secara komersil telah menangkap 7 (tujuh) paus
sirip (paus Fin) dan 1(satu) paus Minke serta 60 paus Minke lainnya tertangkap
untuk rencana penelitian. Kemudian pada setiap tahunnya dengan menangkap
kurang lebih 40 ekor paus untuk kepentingan ilmiah. Pemerintah Islandia
melakukan penangkapan untuk proyek penelitian dan memahami peran hewan
paus
dan
bagaimana
paus
memangsa
spesies
lain
di
habitatnya
57
(http://www.fisheries.is/management/government-policy/whaling/ diakses pada
tanggal 16 Desember 2015 pada Pukul 11.21 WIB).
Selain Jepang dan Islandia perburuan paus yang bersifat komersil juga
dilakukan oleh negara Norwegia. Norwegia adalah salah satu negara yang aktif
melakukan perburuan paus yang bersifat komersil. Menurut pengamatan yang
dilakukan oleh IWC, Norwegia memburu cukup banyak daripada negara lainnya.
Norwegia berburu paus minke di bawah 'keberatan' moratorium yang ditetapkan
oleh IWC namun Norwegia tetap mempertahankan haknya untuk berburu paus.
Pada tahun 2015 Norwegia membunuh beberapa 660 paus minke. Pada tahun
2014
Norwegia
dilaporkan
729
paus
(http://us.whales.org/issues/whaling-in-norway
minke
diakses
tewas
pada
diburu
tanggal
16
Desember 2015 pada pukul 13.45 WIB).
Gambar 3.1.1 : Jumlah Perburuan paus di Norwegia dan Kuota yang
ditetapkan IWC
Pada Tabel 3.1.1 yang dirilis oleh Whale and Dolphine Conservation diatas
menunjukkan perburuan paus di Norwegia dari tahun 2002 sampai 2013
mengalami kondisi fluktuatif dari tahun ke tahun. Larangan IWC terkait
58
penangkapan paus secara komersil yang mulai berlaku sejak 1986 mendapatkan
respon persetujuan pada awalnya oleh Norwegia. Menurut sebuah laporan oleh
Dewan Ekspor Makanan Laut Norwegia, ketidakmampuan perusahaan
penangkapan ikan paus Norwegia untuk mengekspor produk paus ke Jepang
menyebabkan perusahaan mendapatkan kerugian hingga sekitar 9,8 juta kroner
Norwegia, atau US $ 1,12 juta. Pada tahun 2001, pemerintah Norwegia
memutuskan untuk melanjutkan ekspor daging dan lemak ke Jepang, meskipun
IWC dan CITES tetap memberikan larangan (http://us.whales.org/issues/whalingin-norway diakses pada tanggal 16 Desember 2015 pada Pukul 14.03 WIB).
b.
Perburuan Paus ASW (Aboriginal Subsitence Whaling)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sandra Altherr dan Jennifer,
berdasarkan peraturan yang dibuat oleh IWC yang dimaksud dengan Aboriginal
Subsitence Whaling (ASW) merupakan perburan paus untuk kepentingan budaya
ataupun tradisi masyarakat lokal di suatu negara. IWC mengklasifikasikan negara
yang diakui olehnya untuk melakukan kegiatan IWC yaitu Greenland, Alaska,
Chukotka (bagian dari federasi Rusia) dan Grenadies. Pada prakteknya IWC
memberikan jadwal yang ketentuan yang jelas yakni hanya membolehkan
perburuan paus untuk diambil lemak dan dagingnya yang digunakan ekslusif
untuk konsumsi lokal. Sepenuhnya ASW merupakan tanggung jawab pemerintah
nasional setiap negara dengan tetap memberikan bukti dan informasi kepada IWC
terkait kebutuhan gizi, latar belakang budaya dan kepentingan masyarakat adat.
Greenland adalah salah satu wilayah yang masih melakukan perburuan paus atas
tradisi ( Sandra Altherr, 2011l : 7).
Gambar 3.1.2 : Perburuan Paus di Greenland
59
Greenland secara historis diberi kuota perburuan paus oleh IWC untuk
kegiatan tradisi guna kepentingan pemenuha kebutuha pangan masyarakat
Greenland. Menurut data pada Tabel 3.1.2 yang dirilis oleh Whale and Dolphine
Conservation menujukkan perburuan paus di Greenland dari tahun 1987 sampai
2013 mengalami kondisi fluktuatif dari tahun ke tahun walaupun secara
keseluruhan mengalami peningkatan, dimana perburuan terendah ada pada tahun
1989 dan perburuan terbanyak ada pada tahun 2011. Spesies paus yang diburu
yakni paus Minke, paus Sei , paus Bowhead, paus Humpback, dan paus Fin.
Tuntutan situasi pasar modern membuat keistimewaan perburuan ASW
disalahgunakan sehingga pemberlakukan ASW dikomersialisasi menjadi
komoditi pangan yang dijualbelikan. Menurut survei yang dilakukan oleh Whale
and Dolphine Conservation yakni adanya kekhawatiran bahwa alasan kebutuhan
pemenuhan gizi hanyalah bentuk laindari penangkapan paus secara komersial
(http://us.whales.org/issues/whaling-in-norway
diakses
pada
tanggal
17
Desember 2015 pada pukul 12.38 WIB). Pada dasarnya masyarakat internasional
mengakui hak-hak penduduk asli tertentu untuk memburu paus guna memenuhi
kebutuhan gizi dan budaya. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Whale and
Dolphine Conservation fakta baru menujukkan bahwa selama beberapa tahun
terakhir definisi ASW disalahgunakan, dimana daging paus di jual kepada para
wisatawan yang berkunjung. Hal ini secara tidak langsung telah mengaburkan
makna dan deifinisi ASW dan bukan tidak mungkin kegiatan ASW akan terus
berlangsung
melanjutka
perburuan
paus
komersial
(http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal
17 Desember 2015 pada pukul 12.58 WIB).
Tindakan perburuan ASW memungkinkan untuk berburu satwa langka.
Walaupun IWC telah memberikan moratorium penangkapan paus secara
komersial pada tahun 1986. Namun, masyarakat internasional memiliki kebijakan
yang memungkinkan masyarakat adat tertentu untuk berburu paus yang
dinyatakan dilindungi untuk memenuhi kepentingan budaya. Dalam ICRW tidak
menerangkan secara jelas terkait hal ini. Sehingga pelaksanaan ASW di beberapa
daerah atau negara masih menjadi isu-isu kontroversial bagi IWC dan masyarakat
60
internasional (http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses
pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 13.05 WIB). Suatu negara dalam
mengajukan hak untuk menjalankan ASW terhadap IWC harus dimulai dengan
tahap pernyataan namun tidak ada spesifikasi atau kerangka acuan dokumen
seperti apa yang dibutuhkan. Kemudian selanjutnya IWC akan menetapkan kuota
pembolehan berburu paus dengan didahului riset untuk menyeimbangkan
terhadap kelangsungan kehidupan alam. Pada tataran ini IWC lebih meringankan
prosedural perburuan ASW daripada perburuan komersial . Oleh karena itu
penting untuk paus yang penangkapan ikan paus asli dikelola dengan baik oleh
IWC
untuk
menghindari
penyalahgunaan
kategori
ini
(http://us.whales.org/issues/aboriginal-subsistence-whaling diakses pada tanggal
17 Desember 2015 pada pukul 16.07 WIB).
c.
Perburuan Paus Ilmiah atau Special Permit Whaling ( Scientific
Whaling )
Special Permit Whaling atau Scientific Whaling adalah perburuan paus
yang memiliki ijin khusus untuk membunuh, mengambil, dan mengobati paus
untuk penelitian ilmiah. Hal ini diatur pada Article VIII ICRW yang menyatakan
bahwa negara-negara diijinkan untuk membuhuh guna penelitian ilmiah. Article
VIII memberikan tanggung jawab untuk menetapkan dan mengatur regulasi lebih
lanjut tersebut kepada pemerintah masing-masing, bukan IWC. Meskipun IWC
tidak mengatur secara rinci dan memberikan ijin untuk penangkapan, namun
setiap negara yang ingin melakukan Special Permit harus melaporkan kepada
IWC dalam bentuk laporan ilmiah setidaknya setiap tahun. Informasi yang
diterima oleh IWC akan digunakan untuk meninjau kegiatan Special Permit
Whaling . IWC nantinya akan membuat komentar ataupun ulasan dari laporan
tersebut dari pihak pemerintah setiap negara. Komentar ataupun ulasan tersebut
diberikan dalam bentuk resolusi. Resolusi yang diberikan oleh IWC secara hukum
tidak mengikat dan setiap negara masih berhak bertindak dengan tidak
menjalankan resolusi tersebut. (https://iwc.int/permits diakses pada tanggal 17
Desember 2015 pada pukul 22.58 WIB). Secara historis IWC pun telah mampu
61
mencapai kesepakatan tentang izin penangkapan paus (Special Permit) seperti
pada tahun 2010, IWC bersama pemerintah Australia ( dengan intervensi Selandi
Baru) membawa kasus perburuan paus di Jepang ke Mahkamah Internasional.
Kasus tersebut mempersoalkan tentang program ijin khusus Jepang guna
melakukan proyek penelitian di Antartika (Jarpa II). Namun pada tahun 2014
Mahkamah Internasional menyampaikan putusannya bahwa tindakan penelitian
tersebut disalahgunakan dengan penemuan beberapa fakta daging paus yang telah
dibunuh untuk penelitian diperdagangkan dan digunakan sebagai komoditi
pangan. Implikasi daripada putusan tersebut, IWC mengadakan pertemuan besar
pada bulan September 2014 untuk memberikan resolusi dengan mengadopsi kasus
tersebut sebagai wujud perkembangan perburuan paus yakni saat ini
(https://iwc.int/permits diakses pada tanggal 17 Desember 2015 pada pukul 23.06
WIB).
Memahami fakta-fakta yang telah diuraikan sebelumnya mengenai
perkembangan perburuan paus selama ini yang telah melanggar peraturan atau
illegal secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi kewajiban
International Whaling Comission (IWC) sebagai badan yang ditugaskan secara
langsung menjalankan serta melaksankan ketentuan-ketentuan yang diatur pada
ICRW. Beberapa ketentuan pelaksanaan diatur lebih lanjut di dalam Protocol to
the International Convention For The Regulation of Whaling tahun 1946 yang
dilengkapi pula dengan penjelasan-penjelasan lebih lanjut dengan Schedule yang
memberikan detail secara rinci terkait :
t. Interpretation : Membahas klasifikasi paus yang di atur dalan ICRW;
u. Seasons
: Membahas mengenai Factory Ship Operations, Land
Station Operations, dan Other Operations;
v. Capture
: Membahas mengenai pengaturan Area Limits For
Factory Ships, Classifications of Areas and
Divisions, Whales
Stocks,Classifications of Stocks dan Whale Catch Limits.
62
Adapun pengaturan-pengaturan tersebut diatas pada dasarnya menjadi landasan
dan dasar yang jelas untuk IWC dalam melaksanakan tugas-tugasnya
dalam
melindungi populasi paus dari tindaka perburuan illegal berdasarkan ICRW. Upayaupaya yang dilakukan IWC tersebut antara lain :
a. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan
Perlindungan Paus Dari Tindakan Aboriginal Subsitence Whaling
Adapun tujuan pengelolaan ASW yang diadopsi oleh IWC pada tahun 1981
yaitu (https://iwc.int/aboriginal diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul
14.14 WIB) :
1) Untuk memastikan bahwa resiko kepunahan populasi paus tidak meningkat
akibat pelaksanaan ASW oleh masyarakat tertentu;
2) Untuk memungkinkan masyarakat dalam menjalankan tradisinya berburu
paus didasarkan untuk pemenuhan kebutuhan gizi dan kepentingan budaya;
3) Untuk mempertahankan populasi paus tetap pada standar tingkatan tertinggi
agar terdapat kepastian populasi paus tiap tahunnya guna melestarikan
lingkungan hidup
Dalam memastikan tujuan tersebut terwujud, IWC membentuk Ad Hoc ASW
Work Group ( Kelompok Kerja Ad Hoc ) yang tugasnya mengidentifikasi dan
mempertimbangkan problema-problema ASW yang belum terselesaikan yang
nantinya akan diidentifikasikan ke dalam laporan dan diwujudkan lebih lanjut ke
dalam rekomendasi yang berisi langkah-langkah ke depan yang dapat dijadikan
pertimbangan. Berbagai problema yang kompleks yang dipertimbangkan meliputi:
1) Laporan standarisasi keperluan
2) Diskusi mengenai penghapusan istilah “Aborigin” dalam ASW yang
menjadi isu kontroversial;
3) Memperoleh informasi yang memadai terkait batasan tangkapan paus dalam
kegiatan ASW;
63
4) Masalah terkait komersialisme pengonsumsian daging paus yang dijual ke
wisatawan;
5) Meningkatkan efisiensi operasional dan mengawal perburuan sesuai dengan
peraturan
Kelompok ini terdiri dari empat negara anggota ASW (Denmark, Rusia, St
Vincent dan Grenadines dan Amerika Serikat, dan empat negara anggota IWC
lainnya (Argentina, Austria, Jepang, dan Swiss). Dua anggota Komite Ilmiah IWC
(
dari
Australia
dan
Norwegia)
juga
sebagai
anggota
kelompok
(https://iwc.int/private/downloads/6tHTVDkxoYwGaRhtHlXm8Q/64ASW%205%20Rev1%20-%20with%20Appendices.pdf diakses pada tanggal 18
Desember 2015 pada pukul 14.52 WIB).
Selain itu IWC juga mengadakan
lokakarya dengan para pakar lingjungan hidup, antropologi budaya dan gizi, ilmu
sosial, biologi dan hukum hak asasi manusia, perwakilan pemburu paus dan
perwakilan IWC serta stakeholders lainnya guna membahas praktik manajemen
ASW dalam konteks yang lebih global dan lebih luas. Rekomendasi dari hasil
lokakarya ini nantinya akan diserahkan ke Sub-Komite ASW untuk dijadikan
penemuan baru sebagai dasar pembuatan peraturan baru yang bersifat lebih visioner
(https://iwc.int/voluntary-fund-for-aboriginal-subsistence-whaling diakses pada
tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 15.10 WIB).
Upaya lain yang dilakukan oleh IWC ialah menetapkan batasan kuota
penangkapan paus ASW (Catch Limits) yang ditentukan berdasarkan wilayahwilayah suatu negara yang telah diakui IWC memiliki hak untuk melakukan
perburuan paus atas dasar kepentingan budaya. IWC membentuk skema
pelaksanaan ASW, kemudian dengan perhitungan secara ilmiah ditentukan batasbatas perairan yang dibolehkan untuk dilakukan suatu perburuan yang selanjutnya
IWC menentukan batas kuota penangkapan paus untuk setiap wilayah ASW
sepanjang tahun (https://iwc.int/table_aboriginal# diakses pada tanggal 18
Desember 2015 pada pukul 15.38 WIB). (Lihat Lampiran 3.1 : Tabel Kuota
ASW Dari Tahun 1985 – 2013) . Kebijakan pembatasan kuota yang diterapkan
64
oleh IWC untuk daerah ASW seperti berikut
(https://iwc.int/catches#aborig
diakses pada tanggal 18 Desember 2015 pada pukul 16.01 WIB) :
1) Perairan Bering-Chukchi-Beaufort populasi paus kepala busur (diambil oleh
orang-orang asli Alaska dan Chukotka). Total populasi yang diburu hingga 336
paus kepala busur di periode 2013-2018. Pembatasan yang diberikan ialah tidak
lebih dari 67 di setiap tahun ;
2) Perairan Timur Pasifik Utara yang mana paus abu-abu diambil oleh orang-orang
asli Chukotka dan Washington State - Penangkapan total sebayak 744 paus
diperbolehkan untuk tahun 2013-2018 dengan maksimal 140 dalam satu tahun ;
3) Perairan East Greenland yang umumnya paus Minke (diambil oleh Greenland)
– Perburuan paus diperbolehkan untuk tahun 2005-2018 ;
4) Perairan Greenland Barat yang mana paus kepala busur diambil oleh Greenland
– Batas. Pembatasan perburuan tiap tahunnya yakni 2 ekor paus pada tahun
2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh Komite Ilmiah ;
5) Perairan Greenland Barat (diambil oleh Greenland) - Sebuah batas pemogokan
tahunan 19 paus diperbolehkan untuk tahun 2015-2018 ;
6) Perairan Greenland Barat umumnya terdapat perburuan paus minke (diambil
oleh Greenland) – Pembatasan kuota sebanyak 164 ekor paus diperbolehkan
untuk tahun 2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh Komite Ilmiah ;
7) Perairan Greenland Barat (diambil oleh Greenland) – Terdapat pembatasan 10
paus diperbolehkan untuk tahun 2015-2018 dengan tinjauan tahunan oleh
Komite Ilmiah ;
8) Paus bungkuk diburu oleh oleh St Vincent dan Grenadines - Untuk musim 20132018 jumlah paus bungkuk yang diambil tidak melebihi 24.
Beberapa upaya sebagai bentuk penyelamatan dan perlindungan populasi paus
yang dilakukan IWC seperti data di atas yakni dengan cara pembatasan kuota di setiap
wilayah perairan. Langkah lebih nyata yang diterapkam oleh IWC ialah dengan
memberikan Scientific Advice atau Saran Ilmiah yang memuat tentang perburuan yang
berkelanjutan. Saran ilmiah ini diusulkan oleh Ad Hoc Working Group pada ASW yang
65
ada di setiap wilayah perairan. Selanjutnya kelompok kerja akan memberikan laporan
yang berisi pertimbangan ilmiah yang akan diberikan kepada Komite Ilmiah IWC.
Sebagai contoh ialah diberlakukannya saran ilmiah pada kelompok kerja di perairan
Greenland yang melaporkan pelaksanaan ASW disana. Dan pada tahun 2008, Komisi
Ilmiah IWC mengembangkan saran ilmiah tersebut didalam prosedur jangka panjang
selanjutnya. Dalam pembuatan saran ilmiah membutuhkan pengetahuan yang cukup
tentang populasi paus yang bersangkutan. Materi yang terkandung dalam saran ilmiah
misalnya tentang bagaimana cara pemburu ASW membunuh paus dan membawanya ke
daratan, sehingga dapat diteliti lebih lanjut apakah prosedur perburuan tersebut dapat
mengancam keseimbangan lingkungan laut atau prosedur dalam perburuan dilakukan
kurang manusiawi dan menyakiti atau menyiksa hewan secara berlebihan
(https://iwc.int/scientific-advice-on-aboriginal-subsistence-whalin diakses pada tanggal
22 Desember 2015 pada pukul 1.53 WIB).
IWC juga memiliki langkah perlindungan dengan melakukan tindakan
konservasi. Tindakan konservasi dilakukan oleh Komite Konservasi yang bertugas
melakukan penelitian sekaligus melaksanakan program konservasi berbagai macam
spesies Cetacean termasuk paus. Pada pelaksanaanya Komite Konservasi bekerja sama
erat dengan Komite Ilmiah untuk memahami dan mengatasi berbagai ancaman terhadap
habitat spesies Cetacean termasuk habitat paus. Beberapa program konservasi yang
dilakukan
meliputi
(https://iwc.int/aboriginal-subsistence-whaling-sub-committee
diakses pada tanggal 22 Desember 2015 pada pukul 22.57 WIB) :
1) Strategi untuk menyediakan sebuah forum internasional yang menjadi
wadah penampung saran yang direalisasikan ke dalam program Whalewatch,
yang dikembangkan baik berupa online maupun offline;
2) Program pemberhentian operasi jalan kapal-kapal yang digunakan untuk
perburuan paus;
3) Pengembangan konsep Rencana Pengelolaan Konservasi yang bersifat
fleksibel dan kolaboratif yang diwujudkan ke dalam bentuk Blueprint yang
berisi pengembangan langkah-langkah mitigasi bekerjasama dengan
66
masyarakat lokal, pemerintah regional, nasional maupun masyarakat
internasional;
4) Bersama Komite Ilmiah, terdapat program lokakarya yang memiliki agenda
yang membahas polutan-polutan yang mengancam ekosistem laut dan isu
isu perburuan Cetacean secara khusus dan umum. Hasil lokakarya akan
disampaikan saat Rapat Laporan Tahunan yang diselanggarakan IWC setiap
tahunnya.
Pada pelaksanaan ASW dinilai mengandung unsur kontroversial sehingga IWC
sulit untuk meminimalisir tingkat perburuan yang mengancam habitat paus dan
keseimbangan lingkungan laut. Setiap generasi tentu ingin mewarisi bumi dalam kondisi
yang tetap baik. Menurut Weiss, terdapar prinsip intergenerational equity yang harus
dipertimbangkan dalam hal ini. Prinsip ini mengandung penjelasan bahwa setiap
generasi harus melindungi keanekaragaman hayati berdasarkan prinsip-prinsip
kebudayaan dan lingkungan ( Weiss Brown, 1990 : 199). Namun fakta yang ditemukan
oleh IWC menunjukkan seringkali pelaksanaan ASW yang legal diperbolehkan atas
dasar budaya, disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Seperti, daging paus hasil
perburuan masyarakat adat dalam tradisi yang telah dilaksanakan, sering kali dijual
kepada wisatawan asing yang sedang berkunjung dan berwisata ke tempat tersebut dan
daging paus banyak diperjualbelikan ke toko-toko yang tersebar di wilayah tersebut. Hal
ini terjadi pada ketidaksesuaian tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat
Kepulauan Faroe. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jennifer Londsale,
tradisi Grindadrap mengandung unsur perburuan komersil (Commercial Whaling) yang
dilarang oleh IWC. Pada kasus ini, upaya yang telah dilakukan oleh IWC ialah
menurunkan Work Group untuk melakukan kegiatan penelitian di wilayah Kepulauan
Faroe. Namun untuk mencegah tindakan ini terus dilakukan, pihak IWC telah
berkoordinasi dengan pemerintah Denmark dan pemerintah Kepulauan Faroe.
Walaupun pada kenyataannya, tidak tercapai kesepakatan antara Denmark dan
Kepualauan Faroe. Hal ini nampak pada kekukuhan pemerintah Kepulauan Faroe yang
menjelaskan bahwa praktek perburuan ini didasarkan atas tradisi yang sudah
berlangsung sejak lama dan diperkuat dengan adanya peraturan dari Kementerian Luar
67
Negeri Kepulauan Faroe “Whaling in The Faroe Island” pada tahun 2013 (Jennifer
Londsale, 2011 : 11).
b. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan
Perlindungan Paus Dari Tindakan Commercial Whaling
International
Whaling Commission
(IWC)
bertanggung
jawab untuk
menetapkan batas penangkapan perburuan paus secara komersial. Hal ini dilakukan
dengan cara menyesuaikan batas numerik sebagaimana tercantum dalam Lampiran
ICRW. Sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap populasi paus yang lebih nyata,
pada tahun 1982 IWC memutuskan bahwa harus ada jeda waktu dalam perburuan
paus komersial pada tahun 1985, 1986 sampai seteursnya. Jeda waktu inilah yang
disebut sebagai moratorium penangkapan dan perburuan paus secara komersial.
Pada tahun 1982 IWC memutuskan bahwa harus ada jeda dalam perburuan paus
komersial pada. Pelaksanaan moratorium ini masih berlangsung sampai sekarang.
Norwegia dan Islandia telah acap kali melanggar moratorium ini. Norwegia dan
Islandia memutuskan keberatan atas moratorium tersebut dengan menetapkan batas
tangkapan sendiri dan tetap memberikan informasi berupa data ilmiah terkait kepada
IWC. Walaupun seharusnya pelaksanaan moratorium ini mengikat ke semua
anggota IWC, faktanya Norwegia masih sering melakukan perburan di perairan
Atlantik Utara (Lihat Lampiran 3.2 : Data Batas Tangkapan Paus Komersial
Oleh IWC). Umumnya paus yang diburu ialah paus Minke pada Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) wilayah perairan Norwegia. Islandia juga masih melakukan
perburuan paus Fin atau paus sirip pada Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) wilayah
perairan Islandia yang masuk kedalam kawasan perairan Atlantik Utara
(https://iwc.int/commercial diakses pada tanggal 23 Desember 2015 pada pukul 2.25
WIB) .
c. Upaya International Whaling Commission (IWC) dalam Pengelolaan
Perlindungan Paus Dari Tindakan Special Permit Whaling
Special Permit Whaling atau yang biasa disebut Perburuan Ilmiah dilegalkan
berdasarkan Article VIII yang terkandung pada ICRW. Pada implementasinya IWC
juga tetap memberikan upaya pengawasan dalam rangka perlindungan paus
68
terhadap kegiatan ini. Walaupun berdasarkan Article VIII, terkait praktek dan segala
peraturan lebih lanjut dilimpahkan oleh pemerintah negara masing-masing, tetapi
IWC berhak memberikan rekomendasinya apabila dibutuhkan jika terjadi
pelanggaran terhadap ICRW. Hal ini nampak pada peran IWC dalam penyelesaian
kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Jepang ( https://iwc.int/permits diakses
pada tanggal 23 Desember 2015 pada pukul 2.49 WIB). Pada bulan Maret 2014
lebih dari 16.000 paus Sperma, paus Sei, paus Minke dan paus Sirip telah dibunuh
dengan menggunakan izin ilmiah sejak moratorium penangkapan paus komersial
yang mulai berlaku pada tahun 1986. Salah satu negara yang menggunakan izin
tersebut ialah Jepang. Sebagai negara yang memiliki industri perikanan yang
unggul, para pelaku industri melakukan upaya permohonan izin ke pemerintah
Jepang untuk mempertahankan dan mendukung perburuan paus dengan dalih
pemasukan penjualan hasil perburuan paus memberikan sumbangsih terhadap
pendapatan nasional (http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling
diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 16.54 WIB). Menurut
pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh Australian Whale Conservation
bahwa terdapat kritik keras terhadap penangkapan paus secara ilmiah oleh Komite
Ilmiah IWC.
Komite Ilmiah telah meminta Jepang berkali-kali untuk menghentikan program
penelitian. Ditemukan pula data bahwa program penangkapan paus ilmiah yang
dilakukan Jepang di Samudera Pasifik (JARPN II) telah menangkap setidaknya 340
paus Minke 100 paus Sei, 50 paus Bryde, dan 10 paus Sperm setiap tahun. Dan pada
tahun 2013, 95 paus Minke, 100 paus Sei, 28 paus Bryde dan 1 paus Sperm tewas.
Pada program JARPA II yang dilakukan di Samudera Antartika merupakan
program pengambilan 935 paus Minke, 50 paus Sirip dan beberapa paus
Humpback. Sebagai bentuk kecaman atas tindakan ini ialah diajukannya gugatan
terhadap program ini (Jepang) ke Mahkamah Internasional oleh Australia dan
beberapa organisasi lingkungan. Dengan dikabulkannya oleh Mahkamah
Internasional, Jepang dituntut untuk menghentikan program perburuan tersebut.
Selain Jepang yang melakukan kegiatan perburua ilmiah, pada bulan Juli 2012,
Korea Selatan mengumumkan akan melakukan penangkapan paus secara ilmiah
69
untuk sebuah proyek penelitian dalam memahami populasi paus dan kebiasaan
paus. Hal ini dikarenakan munculnya fenomena makin menipisnya populasi paus
Minke di perairan sekitar Korea Selatan(http://www.awcs.org.au/articles/scientificpermit-whaling diakses pada tanggal 24 Desember 2015 pada pukul 18.22 WIB).
Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Australian Whale Conservation bahwa
satu minggu kemudian setelah pernyataan Korea Selatan tersebut telah diadakan
diskusi diplomatik dengan pihak Australia da negara-negara lain. Salah satu upaya
yang dilakuka oleh IWC dalam penyelesaian masalah ini ialah memberikan nasehat
(Scientific Advice). Atas tekanan dari berbagai macam organisasi internasional,
negara-negara lain dan IWC, Korea Selatan akhirnya membatalkan wacana tersebut
(http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling diakses pada tanggal 24
Desember 2015 pada pukul 16.54 WIB).
Upaya yang dipaparkan diatas setidaknya menunjukkan bahwa peran IWC
cukup vital dalam hal dalam perlindungan populasi paus. Berbagai upaya dilakukan
demi menekan dan meminalisir tindak perburuan ilegal. Denga didukung partisipasi
dan inisiati dari negara-negara lain seperti Australia, organisasi internasional seperti
Southern Ocean Research Partnership (SORP). Namun kendala-kendala masih
ditemukan seperti masih banyak negara yang memiliki undang-undang nasional
yang memungkinkan para peneliti untuk dapat sesekali membunuh spesies yang
terancam punah guna keperluan analisis dan studi ilmiah. Kendala tersebut dapat
diminimalisir dengan pembatasan dan pengawasan sangat ketat oleh kelembagaan
pada IWC, pemerintah dan tekanan masyarakat internasional. Pada kasus
penangkapan paus atas dasar ijin ilmiah yang dilakukan oleh Jepang, Jepang dinilai
menyetujui ijin tersendiri melalui pemerintah Jepang dengan mengabaikan segala
bentuk pengawasan secara eksternal. Komite Ilmiah IWC memberikan saran
kepada Jepang untuk menggunakan sampel DNA dan pemantauan jarak jauh, agar
pembunuhaan paus tidak perluk dilakukan. Sampel dapat dikumpulkan dari lemak,
kotoran dan kulit paus yang ditumpahkan. Ataupun dapat mengumpulkan sampel
ketika paus menghembuskan nafas melalui lubang sembur mereka. Sementara
untuk mendeteksi perkiraan populasi paus secara akurat dapat menggunakan survei
penampakan dengan teknik pengeinderaan jauh seperti identifikasi foto serta survei
70
akustik. Saat ini IWC sedang bekerja sama dengan ilmuwan dari International
Fund for Animal Welfare dalam merintis teknologi dan teknik untuk mempelajari
paus
tanpa
merugikan
bahkan
membunuh
(http://www.awcs.org.au/articles/scientific-permit-whaling diakses pada tanggal 24
Desember 2015 pada pukul 18.22 WIB).
2.
Perlindungan Terhadap Paus Berdasarkan Convention On International
Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES)
Permasalahan perburuan paus yang berlebihan dan cukup kompleks menjadi
isu penting dalam penegakan hukum lingkungan internasional. Salah satu prinsip
penting dalam hukum lingkungan internasional ialah The Duty to Inform Principle
yakni suatu prinsip yang menegaskan bahwa setiap negara harus melakukan kerja
sama internasional dalam mengatasi kerusakan lingkungan global dimana melalui
kerjasama internasional dapat saling memberikan informasi tentang penyebab
kerusakan dan cara menanggulangi kerusakan lingkungan global ( F. Maes, 2002 :
13). Dalam bukunya yang berjudul Environmental Law Principles, The Nature and
The Law of The Sea : A Challenge to Legislators, Enviromental Law Principles ini
Practice, Maes berpendapat bahwa prinsip hukum lingkungan internasional seperti
prinsip The Duty to Inform menjadi landasan bagi semua stakeholder untuk
mengembangkan regulasi dan target yang lebih jelas dan telah diterima dalam
perjanjian atau konvensi ( F. Maes, 2002 : 14).
Mencermati hal demikian, persoalan perburuan paus lebih utama telah diatur
dalam International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Pada
pembahasan sebelumnya ditegaskan bahwa pada ICRW mengatur larangan
perburuan paus untuk diperdagangkan atau dikomersilkan dan hanya dibolehkam
untuk kegiatan perburuan dalam rangka penelitian ilmiah. Selain ICRW, perburuan
paus juga mendapatkan perhatian khusus. Dalam Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) paus merupakan spesimen
satwa yang dilindungi. Konvensi ini lebih lanjut melarang adanya segala bentuk
perburuan hewan langka dan dilindungi yang dijadikan komoditi perdagangan.
Konvensi ini memiliki tujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional
71
hewan langka dan tumbuhan langka tidak mengancam kelangsungan hidup mereka.
Konvensi ini dibuat dikarenakan makin banyaknya perdagangan hewan dan
tumbuhan langka dimana perdagangan tersebut telah melewati batas negara atau
menjadi rezim internasional. Maka dari itu kerja sama internasional atau antar negara
dibutuhkan dalam menanggulangi persoalan ini. Selain itu konvensi ini bertujuan
melindungi kelestarian hewan dan tumbuhan untuk menjamin keberlanjutan alam di
masa depan (https://www.cites.org/eng/disc/what.php diakses pada tanggal 25
Desember 2015 pada pukul 16.48 WIB).
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES) bekerja dengan membagi status-staus hewan dan tumbuhan menjadi
beberapa kategori yang disesuai berdasarkan keadaan eksistensinya. Pada buku yang
ditulis oleh Elli Louka berjudul International Environmental Law : Fairness,
Effectiveness, and World Order menjelaskan bahwa :
The CITES list species in three annexes. Appendix I includes the
most endangered species. Appendix II includes the species threatened
to become endangered. Appendix III includes endangered species in
territory of state parties to the tourist-souvenir exception and the
transshipment exception and state reservations, have hampered
monitoring and enforcement. Exceptions have been used to smuggle
species under the pretense that the exeptions apply. Reservations have
allowed states to opt out of the provisions of the convention and have
legitimized trade otherwise considered illegal under the convention
(Elli Louka, 2006 : 314).
Menurut penjelasan bahwa hewan dan tumbuhan dalam daftar Appendix I
meliputi spesies yang paling terancam punah. Appendix II meliputi hewan dan
tumbuhan yang akan menjadi terancam punah apabila terus dilakukan eksploitasi
tanpa batas. Appendix III meliputi hewan dan tumbuhan yang terancam punah di
wilayah negara pihak. Dalam hal ini kepunahan tersebut diakibatkan penyelendupan
perdagangan menjadi komoditi wisata dalam bentuk souvenir. Suatu negara dapat
menggunakan dalih eksploitasi berlaku dan dibolehkan, sehingga negara
memungkinkan berhak untuk memilih keluar dari ketentuan konvensi apabila telah
melegitimasi perdagangan tersebut dinggap ilegal berdasarkan konvensi. Konvensi
72
ini memiliki 25 Article yang menjelaskan berbegai macam pengaturan dan
penejelasan perlindungan terhadap kelestarian hewan dan tumbuhan.
Mencermati demikian bahwa perlindungan hewan amatlah penting kiranya
untuk dilaksanakan. Termasuk perlindungan spesies paus yang sering menjadi
komoditi yang diperjualbelikan ( Commercial Whaling ). Pada tahun 1981 CITES
melarang perdagangan international terhadap segala produk dari beberapa spesies
paus yang ada pada daftar Appendix I dan Appendix II (Jennifer Londsale, 2011 : 7).
Spesies paus yang masuk ke dalam daftar Appendix I antara lain paus Balin, paus
Sei, paus Gray, paus Bowhead, paus Humpback, paus Minke dan paus Bryde’s. Dan
beberapa paus Minke di wilayah perairan Greenland Barat dan paus Pilot masuk ke
dalam daftar Appendix II ( Ellie Louka, 2006 : 315). Dalam buku yang berjudul
Conflicting Integration : The Environmental Law of The European Union, dijelaskan
bahwa perlindungan yang dilakukan oleh CITES terhadap populasi hewan yang
terancam punah ialah degan cara mengklasifikasikan spesies kedalam jenis-jenis
Appendix. Kemudian pengawasan dan penegakan melibatkan negara-negara anggota
konvensi.
States are required to take measures to punish those who violate the
convention and to confiscate items that illegally traded or possessed.
States must maintain detailed records on the convention through
annual reports that summarize the trade. States meet every two to
three years as Conference of Parties to review the implementatio of
the convention and examine proposals to amend the lists of species in
Appendix I and Appendix II. The work of the Conferenceof Parties is
facilitated by four permanent committees and the Nomenclature
Committee. The purpose of the Standing Committee is to provide
assistance in implementing the convention and in overseeing the
Secretariat’s budget. One of the major issues that the Standing
Committee has dealt with was wheter tore-open trade in animal
products. (E.Louka , 2004 : 295).
Hal diatas menjelaskan bahwa setiap negara anggota diminta untuk
mengambil langkah-langkah untuk menghukum bagi yang melanggar konvensi
dan menyita barang-barang yang diperdagangkan secara ilegal atau dimiliki.
Negara harus menjaga catatan secara rinci tentang konvensi melalui laporan
tahunan yang mendata secara detail soal perdagangan. Negara melakukan
73
pertemuan setiap dua sampai tiga tahun dalam konferensi untuk meninjau
implemetasi konvensi dan memeriksa proposal untuk mengubah daftar spesies
dalam daftar Appendix I dan Appendix II. Penegakan yang dilakukan oleh
CITES difasilitasi oleh 4 (empat) komite permanen dan 1 (satu) komite
nomenklatur. Tujuan dari komite tetap adalah untuk memberikan bantuan dalam
pelaksanaan konvensi dan dalam mengawasi anggaran Sekretariat. Salah satu isu
utama yang dikerjakan oleh komite tetap ialah persoalan perdagangan terbuka
produk-produk hewan langka. Namun sering kali pelaksanaan konvensi tidak
sesuai sebagaimana mestinya. Penegakan Konvensi CITES telah mengalami
banyak masalah. Banyak pengecualian untuk konvensi, misalnya, pengecualian
wisata-souvenir dan pengecualian dan negara pemesanan trans-shipment telah
menghambat pemantauan dan penegakannya. Pengecualian telah digunakan
untuk menyelundupkan spesies dengan dalih bahwa pengecualian berlaku.
Reservasi telah memungkinkan negara untuk memilih keluar ketentuan konvensi
dan telah melegitimasi perdagangan dinyatakan dianggap ilegal berdasarkan
konvensi. Celah berupa kepercayaan budaya terus melakukan permintaan dan
menyebar antar jaringan masyarakat seperti masyarakat miskin di negara
berkembang faktanya telah merusak efektivitas konvensi. CITES juga telah
memberikan alasan untuk menganiaya orang-orang yang disebut “pemburu”
dalam kenyataannya masyarakat miskin yang turut dalam tindakan perburuan
(Ellie Louka, 2004 : 296).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perburuan paus yang
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis perburuan oleh IWC antara lain
Commercial Whaling, Aboriginal Subsitence Whaling (ASW) dan Special
Permit Whaling. ICRW melarang secara jelas perburuan paus yang bersifat
komersial dan membolehkan perburuan untuk kepentinga ilmiah. Untuk CITES,
penekanan pelarangan lebih kepada pelarangan penjualan produk-produk hasil
perburuan hewan-hewan yang terancam punah yang acap kali menjadi komoditi
perdagangan internasional. Larangan tersebut ada pada Article II mengenai
fundamental principle yang ada pada CITES sebagai berikut (CITES, 1973 : 4):
74
a. Appendix I shall include all species threatened with extinction
which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these
species must be subject to particularly strict regulation in order
not to endanger further their survival and must only be authorized
in exceptional circumstances.
b. Appendix II shall include: (a) all species which although not
necessarily now threatened with extinction may become sounless
trade in specimens of such species is subject to strict regulation in
order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b)
other species which must be subject to regulation in order that
trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph
(a) of this paragraph may be brought under effective control.
c. Appendix III shall include all species which any Party identifies
as being subject to regulation within its jurisdiction for the
purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing
the co-operation of other Parties in the control of trade.
d. The Parties shall not allow trade in specimens of species included
in Appendices I, II and III except in accordance with the
provisions of the present Convention.
Adapun fundamental principle CITES diatas menegaskan bahwa Appendix
I mencakup semua spesies yang terancam punah akibat dipengaruhi oleh
perdagangan. Dalam hal ini beberapa spesies paus diperdagangkan secara
komersial yang akhirnya mengakibatkan penurunan populasinya. Perdagangan
spesimen dari spesies yang tergolong Appendix I harus dilindungi agar tidak
membahayakan kelangsungan hidup. Appendix II meliputi spesies yang
meskipun saat ini belum terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah
akibat perdagangan dan eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan
kelangsungan hidup mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas
manusia yang mengekploitasi secara berlebihan dapat mengancam keberadaan
spesies Appendix II. Beberapa paus juga kerap diburu manusia untuk
kepentingan tertentu seperti kegiatan penelitian maupun perburuan yang
didasarkan atas budaya masyarakat tertentu. Appendix III mencakup semua
spesies yang diidentifikasikan oleh negara anggota yang sebagaimana
mengetahui lebih jaus keberadaan populasi spesies tertentu yang selanjutnya
diaturan ke dalam yuridiksi nasional masing-masing bertujua untuk mencegah
dan membatasi eksploitasi. Penegakan dilakukan oleh setiap negara tetapi tetap
75
membutuhkan kerja sama dari negara dan pihak lainnya. Setiap negara anggota
CITES dan negara pihak yang telah menyepakati konvensi ini lebih lajut tidak
mengizinkan perdagangan spesimen spesies-spesies yang ada pada daftar
Appendix I, Appendix II maupun Appendix III.
Penjelasan
CITES
Article I
Definitions
Article II
Fundamental priciples
Article III
Regulation of trade ( Appendix I)
Article IV
Regulation of trade ( Appendix II)
Article V
Regulation of trade ( Appendix III)
Article VI
Permits and certificates
Article VII
Exemptions
and
other
special
provisions relating to trade
Article VIII
Measures to be taken by the Parties
Article IX
Management and Scietific Autorithies
Article X
Trade with States not party to the
Convention
Article XI
Conference of the Parties
Article XII
The Secretariat
Article XIII
International measures
Article XIV
Effect on domestic legislation and
international conventions
Article XV
Amendments to Appendices I and II
Article XVI
Appendix III and amendments thereto
Article XVII
Amendment of the Convention
Article XVIII
Resolution of disputes
Article XIX
Signature
Article XX
Ratification, acceptance, approval
76
Article XXI
Accession
Article XXII
Entry into force
Article XXIII
Reservations
Article XXIV
Denunciation
Article XXV
Depositary
Tabel 3.1.3 : Isi Convention on International Trade in Endangered Species of
Wild Fauna and Flora
Upaya yang dilakukan sebagai bentuk penegakan CITES terkandung dalam
CITES Strategic Vision yang dihasilkan sebagai resolusi pada The Conference of
The Parties to The Convention pada tahun 2008-2020. Pada Konferensi kesembilan
di Fort Lauderdale pada thun 1994 menghasilkan wacana mengevaluasi konvensi
lebih jauh lagi. Pada pertemuan kesepuluh pada tahun 1997 di Harare, para peserta
sepakat untuk menerapkan temuan-temuan dan rekomendasi. Kemudian pada
pertemuan kesebelas di Gigiri pada tahun 2000, para peserta sepakat adanya
pembuatan rencana strategis.
Setelah pertemenuan ketigabelas di Bangkok pada tahun 2004 para peserta
sepakat mengembagkan visi strategis disesuaikan dengan target KTT Dunia tentang
Pembangunan Berkelanjutan (WSSD). Tujuan utama Strategic Vision ialah
mengurangi laju kehilanga keanekaragaman hayati. Kemudian pada pertemuan
keenambelas di Bangkok tahun 2013, para pihak memperpanjang validitas visi
strategis dan rencana aksi sampai tahun 2020 yang relevan dengan Konferensi PBB
tentang Pembangunan Berkelanjutan. Dengan penyesuaian baru tersebut maka
tujuan-tujuan utama CITES ialah berkontribusi terhadap tujuan pembangunan
milenium PBB dam berkontribusi terhadap konservasi satwa liar sebagai bagian
integral dari ekosistem dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut disusulah The
Strategic Goals antara lain :
77
Goals
Ensure
Compliance
Objective Plan
with
and
ï‚·
Parties
comply
with
their
Implementation and Enforcement of
obligations
The Convention
Convention through approriate
policies,
under
legislation
the
and
procedures;
ï‚·
Parties
have
in
place
administrative procudures that
are
transparent,
practical,
coherent and user-friendly and
reduce
unnecessary
administrative burdens;
ï‚·
Implementation
of
the
Convention at the national level
is consistent with decisions
adopted by the Conference of
the Parties;
ï‚·
The
Appendices
correctly
reflect the conservation needs
of species;
ï‚·
Best
avalaible
scientific
information is the basic for
non-detriment findings;
ï‚·
Parties cooperate in managing
shared wildlife resources;
ï‚·
Parties
are
enforcing
the
Convention to reduce illegal
wildlife trade;
ï‚·
Parties and the Secretariat
have
adequate
capacity-
building programmes in place.
78
Secure
The
Resources
Necessary
and
Means
Financial
for
ï‚·
The
resources
are
sufficient to ensure operation of
Operation and Implementation of The
the Convention;
ï‚·
Convention
Financial
Sufficient
resources
are
secured at the national and
international levels to ensure
compliance
with
and
implementation
and
enforcement of the Convention;
ï‚·
Sufficient
resources
are
secured at the national and
international
implement
levels
to
capacity-building
programmes.
Contribute to Significantly Reducing
ï‚·
Cooperation between CITES
The Rate of Biodiversity Loss and to
and
Achieving Relevant Globally- Agreed
mechanisms and other related
Goals and Targets by Ensuring that
institutions is enhanced in
Cities
order to support CITES-related
and
Instruments
Other
and
Multilateral
Processes
are
international
financial
conservation and sustainable
Coherent and Mutually Supportive
development projects, without
diminishing
funding
for
currently prioritized activities;
ï‚·
Awareness of the role and
purposes of CITES is increased
globally;
ï‚·
Cooperation
with
international
environmental,
trade
and
relevant
development
organizations is enhanced;
79
ï‚·
The contribution of CITES to
the
relevant
Development
Millennium
Goals,
the
sustainable development goals
set at WSSD, the Strategic Plan
for Biodiversity 2011-2020 and
the relevant Aichi Biodiversity
Targets,
and
the
relevant
outcomes of the UN Conference
on Sustainable Development is
strenghthened by ensuring that
international trade in wild
fauna and flora is conducted at
sustainable levels;
ï‚·
Parties and the Secretariat
cooperate with other relevant
international organizations and
agreements
natural
dealing
with
resources,
as
approriate in order to achieve a
coherent
and
collaborative
approach to species which can
be
endangered
by
unsustainable trade, including
those which are commercially
exploited.
80
Pada tabel tersebut menjelaskan beberapa rencana khusus startegis yang
diterapkan untuk mengoptimalkan penegakan CITES agar sesuai sebagaimana
semestinya. Beberapa poin utama dari rencana strategis tersebut ialah memastikan
setiap negara yang telah menyepakati konvensi ini benar menerapkan pelaksanaan
konvensi dan diatur lebih lanjut di dalam peraturan nasional setiap negara dan untuk
mewujudkan tujuan dibutuhkan kerjasama degan organisasi internasional,
perusahaan-perusahaan, pemerintah dan stakeholder lain untuk mencegan tindak
perburuan hewan dan tumbuha yang terancam punah tidak merajalela ( CITES
Strategic Vision, 2008 : 1). Namun tetap ada beberapa kendala dalam penegakan
konvensi ini sehingga konvensi CITES belum mampu mencegah hilangnya spesiesspesies akibat eksploitasi secara berlebihan oleh manusia. Pelanggaran-pelanggaran
memungkinkah masih bisa terjadi dengan banyaknya pasar gelap ( Black Market)
yang mencari keuntungan dari perdagangan spesies hewan yang terancam punah.
Seperti misalnya perdagangan daging paus hasil perburuan ASW yang dijual
kepada para wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke masyarakat wilayah
tertentu. Ada 2 (dua) alasan dasar mengapa konvensi ini masih belum bisa
ditegakkan secara optimal ( E. Louka, 2004 : 296):
a. Negara belum bisa berkomitmen secara penuh dalam pengawasan dan
pemantauan penegakan konvensi. Mengingat terlalu besar jumlah spesies
yang harus dilindungi, namun sumber daya manusia, metode pencegahan
dan beberapa hal yang diperlukan belum terlalu optimal untuk menangkap
dan menghukum para pemburu lokal yang memiliki jaringan yang
teroganisir baik di tingkat nasional maupun tingkat internasional ;
b. Kurangnya kesadaran masyarakat yang tidak peduli akan perlindungan
hewan dan tumbuhan. Hal ini diakibatkan oleh sikap budaya dan kultur
yang resisten terhadap perubahan. Banyak beberapa negara di Asia dan
Eropa yang gemar menjadi importir bagian tubuh spesies-spesies hewan
yang terancam punah misalnya seperti harimau dan badak. Pengaruh
kepercayaan terhadap pengobatan tradisional yang menggunakan bagian
tubuh tertentu seperti sirip hiu, lemak atau daging paus dan lain-lain. Serta
banyak negara-negara di Eropa yang menggemari benda perabotan antik
81
dari kayu-kayu yang didapatkan dari tumbuhan langka. Misalnya di
Indonesia, banyak ulah masyarakat yang menebang pohon dan tumbuhan
langka secara ilegal untuk memenuhi tingginya permintaan pasar atas
benda-benda antik.
Kendala kurang optimalnya penegakan CITES juga diakibatkan oleh negara
yang walaupun telah menyepakati CITES namun dalam prakteknya tetap kurang
optimal dalam mencegah pelanggaran-pelanggaran. Misalnya negara Denmark,
Denmark menjadi anggota yang menyepakati CITES pada tahun 1977 dan setelah
itu terdapat pemberitahuan yang menegasjan bahwa CITES tidak berlaku di
Kepulauan Faroe ( wilayah dibawah otoritas Denmark) sampai Denmark
menerapkan instrumen hukum yang sesuai. Faktanya, meskipun permintaan lebih
dari tiga dekade dari Kementerian Lingkungan Hidup Denmark terhadap
pemerintahan Kepulauan Faroe untuk mengimplementasikan ke dalam undangundang, namun hingga saat ini Kepulauan Faroe tidak terikat dengan aturan CITES
termasuk Norwegia dan Islandia. Hal tersebut mengakibatkan di ketiga negara ini
tetap melegalkan perdagangan produk paus. Misalnya saja pada tahun 2003 dan
2011 ada beberapa pengiriman daging dan lemak paus Minje dari Norwegia dan
Islandia sebesar 23 ton yang diimpor dari Kepulauan Faroe ( Sandra Altherr, 2011
: 9).
Adapun dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Londsale terdapat
kurangnya koordinasi antara Denmark dan Kepulauan Faroe dimana, Kepulauan
Faroe tetap berpendapat tidak tercakup dalam CITES. Departemen Luar Negeri
pada Juni 2003 menerbitkan deklarasi panjang yang membenarkan bahwa jika
Kepulauan Faroe akan mengimplementasikan CITES, maka diperlukannya
pendampingan dan keterangan lebih jelas terkait daftar spesies paus yang masuk
kedalam Appendix I. Denmark telah gagal untuk bekerja dengan Kepulauan Faroe
untuk kemajuan pelaksanaan CITES. Posisi Denmark sehubungan dengan CITES
pada hal ini juga melanggar peraturan Uni Eropa dan menyebabkan masalah untuk
anggota Uni Eropa dalam negosiasi yang dilakukan saat konferensi CITES (
Jennifer Londsale, 2011 : 9). Secara lebih khusus CITES melakukan berbagai
82
macam upaya dan langkah-langkah untuk menegakkan aturan-aturan yang terdapat
dalam konvensi yakni :
a. CITES Conferences of the Parties (CoPs)
“At CITES CoPs, Parties consider proposals to amend the
Appendices, review the implementation of CITES and progress made,
and recommend measures to improve the effectiveness of the
Convention. Changes to the CITES Appendices, Resolutions and
Decisions enter into force 90 days after the CoP. In some cases a
delay of the entry into force can be decided, to allow Parties to better
and efficiently address implementation and enforcement matters. In
order to become legally binding in the European Union, such
amendments are incorporated into Commission Regulations. For
current regulations in force in the EU to implement CITES, see below
under “CITES and the European Union” (EU, 2010 : 8).
Penegakan CITES dilakukan dengan mempertimbangkan usulan-usulan
dari pihak-pihak untuk mengamandemen Appendix, meninjau pelaksanaan
CITES , rekomendasi langkah-langkah untuk meningkatkan efektivitas dari
konvensi. Perubahan Appendix pada CITES, dilakukan saat setelah 90 hari
pengambilan keputusan saat konferensi. Amandemen daftar spesies Appendix
dapat diubah dengan rekomendasi yang sebelunya melalui beberapa tahap
peninjauan ilmiah secara teliti.
b. CITES Resolutions and Decisions
“At each CoP, CITES Parties consider issues with regard to the
implementation, interpretation and enforcement of the Convention
and its effectiveness, which may result in the adoption or revision of
Resolutions or Decisions of the CoP. Resolutions are generally
intended to provide long-standing guidance, while Decisions are
mostly directed to a specific body of CITES (e.g. Animals Committee,
CITES Secretariat) and are designed to be implemented by a specified
deadline. Both instruments are important tools for the development of
the Convention, but are not legally binding so Parties may choose not
to implement them” (EU, 2010 : 9).
Setiap konferensi, pihak-pihak mempertimbangkan masalah yang berkaitan
dengan pelaksanaa, interpretasi dan penegakan efektivitas konvensi. Resolusi
yang dihasilkan oleh CITES diarahkan ke bagian tertentu CITES (misalnya
Komite Hewan atau Komite Tumbuhan). Hasil resolusi nantinya akan dijalankan
83
oleh Komite dan para pihak. Namun hasil resolusi belum mengikat, pihak-pihak
dapat memilih untuk menjalankannya ataupun tidak.
c. CITES Export Quotas
“There is no specific requirement within the text of the Convention to
establish quotas that limit the trade in listed species. However, the use
of export quotas has become an effective regulatory tool for
international trade in wild fauna and flora. Export quotas are usually
established individually by a Party on a voluntary basis, but they can
also be set by the CoP. In most cases, export quotas relate to the
calendar year (1 January to 31 December). Before any Party can
issue a permit to allow export of specimens of species in Appendix I
or II, the Scientific Authority of the State must advise that the
proposed export will not be detrimental to the survival of the species
(the so-called “non-detriment finding”). The setting of an export
quota by a Party should in effect meet this requirement by establishing
the maximum number of specimens of a species that can be exported
over the course of a year without having a detrimental effect on the
survival of the species in the wild. According to the EU legislation,
when a quota is published on the Secretariat web-site, export permits
shall be accepted by EU Member States only if they specify the total
number already exported in the current year, including those covered
by the permit in question, and the quota for the species concerned” (
EU, 2010 : 9).
Tidak ada persyaratan khusus yang dalam konvensi dalam penetapan kuota
yang dapat membatasi perdagangan spesies yang terdaftar dalam Appendix.
Namun penggunaan kuota ekspor telah menjadi alat regulasi yang efektif untuk
mencegah perdagangan spesies. Kuota ekspor biasaya ditetapkan secara
individual oleh negara anggota CITES secara sukarela namun tetap
dipertimbangkan dan diatur lebih lanjut oleh peserta konferensi CITES. Dalam
kebanyakan kasus, kuota ekspor disesuaikan dengan pertanggalan dan kondisi
geografis ekosistem laut. Sebelum pihak CITES dapat mengeluarkan izin untuk
memungkinkan ekspor spesies dalam Appendix I atau II, otoritas yang
bertanggung jawab dalam suatu negara harus memberi tahu bahwa ekspor yang
diusulkan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies . Dalam kasus
lebih lanjut CITES biasanya bekerja sama dengan organisasi internasional
84
maupun perkumpulan regional di suatu benua, misalnya seperti Uni Eropa ,
ASEAN dan lain-lain. Dalam kasus perburuan paus yang terjadi di Denmark,
misalnya CITES bekerja sama dengan Europe Commission untuk menindak
dan menegakkan regulasi agar tujuan daripada konvensi berjalan efektif.
B. Tradisi Grindadrap Masyarakat Kepulauan Faroe Berdasarkan Hukum
Internasional
Prinsip 21 Deklrasi Stockholm 1972 ( Declaration of the United Nations
Conference on the Human Environment) membenarkan penempatan lingkungan hidup
sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara, dan karenanya lingkungan hidup
dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan
ketentuan bahwa demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk
memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak
menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain ( Ida Bagus, 2003 : 7). Mengacu
pada pembahasan sebelumnya terkait upaya perlindungan paus berdasarkan ICRW dan
CITES, terdapat permasalahan yang perlu dikaji lebih jauh yakni praktek perburuan
paus
yang
dilakukan
masyarakat
Kepulauan
Faroe
bernama
Grindadrap.
Ketidakkonsistenan ICRW dalam mengatur larangan segala jenis perburuan, masih
banyaknya celah penegakan ICRW, kontradiksi sebuah budaya dan perlindungan
lingkungan serta dominansi perdagangan hewan terancam punah sebagai komoditi
perdagangan internasional yang diatur oleh CITES menyebabkan praktek tradisi
Grindadrap masih berlangsung sehingga terjadi penurunan populasi paus Pilot secara
siginifikan. Beberapa kendala dan hambatan terjadi seperti misalnya kurang
koordinasinya Denmark dan Kepulauan Faroe dan kurang jelasnya peraturan yang ada
menyebabkan tradisi Grindadrap ini masih berlangsung hingga saat ini. Hukum
Internasional memberikan ketegasan terhadap perlindungan dan pelestarian lingkungan
hidup baik unsur abiotik maupun biotik, melalui peraturan-peraturan yang dibuat. Disisi
lain tradisi Grindadrap merupakan bagian dari masyarakat asli Kepulauan Faroe yang
diakui eksistensinya di dalam Hukum Internasional.
85
1.
Tradisi Grindadrap Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Kepulauan Faroe
Berdasarkan International Convention For Regulation Of Whaling (ICRW)
Pada bab sebelumnya telah dipaparkan bahwa terdapat perbedaan dan
klasifikasi jenis perburuan paus menurut IWC menjadi 3 (tiga) jenis yaitu
Commercial Whaling (CW), Aboriginal Subsistence Whaling (ASW) dan Scientific
Whaling (SW). Ketiganya memiliki karateristik dan pembedaan masing-masing
yakni berdasarkan alasan dibalik perburuan tersebut. Fokus yang menjadi penelitian
dalam penulisan ini ialah terkait tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat
Kepulauan Faroe di Atlantik Utara. Mengulas penelitian yang dilakukan oleh Rob
Van Ginkel yang didokumentasikan kedalam tulisannya yang berjudul Killing
Giants of The Sea: Contentious Heritage and The politics of Culture bahwa
penurunan populasi paus Pilot dan paus Balin yang cukup signifikan setiap tahunnya
dipengaruhi oleh tradisi Grindadrap oleh massyarakat Kepulauan Faroe. Setidaknya
setiap tahunnya 950 ekor paus dibunuh dalam tradisi ini. Tradisi Grindadrap
dilaksanakan berdasarkan hukum adat suku Norse yang merupakan nenek moyang
masyarakat Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus Balin setiap tahunnya melakukan
migrasi ke perairan Faroe sekitar bulan Juli, Agustus dan September yang biasanya
bertepatan dengan musim panas. Tradisi Grindadrap biasanya dilaksanakan di salah
satu dari ketiga bulan tersebut berdasarkan jumlah paus paling banyak yang datang
di perairan tersebut. Keberlangsungan tradisi Grindadrap didasarkan pada adat yang
telah berlangsung turun temurun dan kebijakan nasional pemerintah Kepulauan
Faroe melalui peraturan Whaling In the Faroe Island yang dikeluarkan oleh
Kementerian Luar Negeri dimana Kepulauan Faroe merupakan wilayah otoritas
Denmark. Masyarakat Kepulauan Faroe memiliki sebuah tradisi yang disebut
Grindadrap.. Tradisi Grindarap dilakukan dengan cara menggiring paus Pilot dan
paus Balin ke teluk yang lebih dangkal dengan perahu kecil oleh beberapa pelaut
khusus yang disebut Rakstrarmenn dan kemudian ditancapkan beberapa tombak ke
tubuh paus, selanjutnya paus di bawa sampai ke tepi pantai kemudian diangkut ke
daratan. Kemudian paus dibunuh dengan pisau panjang khusus yang disebut
Grindaknivur. Hukum adat Norse (Old Norse) mengatur segala aspek tata cara
86
tradisi Grindadrap seperti prosedur pengemudian perahu, prosedur penggiringan
paus ke tepi pantai, prosedur penyembelihan, pendistribusian daging paus dan
pembersihan pantai. Tradisi Grindarap dilakukan di 6 (enam) wilayah pantai di
Kepulauan Faroe. Setiap penyembelihan satu ekor paus harus diawasi oleh seorang
Grindformenn (pengawas terpilih). Setelah penyembelihan selesai, daging-daging
dibagikan ke masyarakat sekitar secara gratis dan sebagian disalurkan ke beberapa
pemasok daging paus yang nantinya akan dijual ke wilayah lain. Pengolahan daging
biasanya dilakukan bersama-sama di tepi pantai dengan diiringi tarian adat khusus
yang disebut Grindadansur (Rob van Ginkel, 2005: 15-16).
Paus Pilot jantan rata-rata tumbuh sebesar 4,94 – 5, 19 m dan berat 1, 275 –
2,320 kg per tahunnya. Sementara untuk betina tumbuh sekitar 3,78 m dan berat
600 – 1000 kg. Paus Pilot jantan memiliki waktu hidup maksimal 49 tahun dan Paus
Pilot betina 59 tahun. Usia reproduksi aktif Paus Pilot jantan berumur 14 – 16 tahun
dan Paus Pilot betina mulai 8, 7 tahun. Musim kawin terjadi pada bulan April dan
Mei hingga Juli dan Agustus. Ketika Paus Pilot lahir rata-raya memiliki panjang
badan 1,78 m dan berat 75 kg. Pada publikasi yang berjudul Færøernes Grindefangst
oleh Dorete Bloch, Færoya Natturugripasavn mencatat bahwa tanggal 28 Juli – 26
Agustus setiap tahunnya merupakan aktivitas perburua paus tertinggi di Faroe,
dimana pada bulan tersebut Paus Pilot datang ke perairan dangkal yang tenang pada
saat laut surut untuk berkembang biak dengan pasangan. Maka, perburuan yang
dilakukan pada tradisi Grindadrap di Juli dan Agustus dengan cara menggiring paus
ke tepi pantai, bertepataan saat musim kawin Paus Pilot ( Birgith Sloth, 2009 : 3).
Tradisi ini merupakan kebiasan masyarakat Kepulauan Faroe secara turuntemurun sebagai perayaan besar bahkan menjadi hari libur bersama. Daging paus
merupakan makanan khas masyarakat Faroe yang diolah menjadi berbagai macam
jenis masakan dan lemaknya diolah menjadi minyak yang memiliki kandungan
protein tinggi sebagai bahan tambahan obat-obatan, pangan dan kosmetik (Kate
Sanderson, 1994: 197). Kepulauan Faroe di Atlantik Utara, yang masih dibawah
otoritas Kerajaan Denmark telah mempratekkan tradisi ini sejak tahun 1584. (Robert
White, 2010: 8). Guna menjawab persoalan mengenai kebolehan tradisi ini, benar
87
dan tidaknya tradisi ini maka perlunya penjabaran lebih lanjut terkait fakta-fakta
yang ada yakni :
a. Denmark dan Commercial Whaling
Sejak tahun 1994 sampai 2005 pihak IWC telah melakukan Revised
Management Scheme (RMS) yakni skema yang berisi pengelolaan penangkapan
paus secara komersial. Skema pengelolaan itu berisi batas penangkapan paus,
pengawasan secara independen dan mekanisme penaatan peraturan. Pihak-pihak
yang tidak setuju akan skema ini beralasan bahwa tindakan tersebut terlalu berat.
Denmark memberikan pernyataan saat pertemuan IWC yang ke 51 pada tahun
1999 tidak sepakat akan adanya pelaksanaan RMS. Akibat adanya RMS, IWC
menetapkan moratorium penghentian perburuan paus secara komersial. Denmark
aktif mengejar pencabutan moratorium, dan disahkannya kembali penangkapan
paus secara komersial. Hal ini bertentangan dengan ketatapan dari IWC dan
undang-undang Uni Eropa. Denmark adalah sponsor saat penetapan resolusi pada
tahun 2004, namun pada tahun 2005 Menteri Luar Negeri Demark mengumumkan
kepada publik bahwa Denmark akan mendorong dan mendukung larangan
penangkapan paus yang diangkat pada pertemuan IWC selanjutnya di Korea
Selatan. Mengingat sejarah perburuan paus secara ilegal, salah satu bentuk
pelaksanaan RMS ialah dengan diusulkannya Register DA yang efektif bisa
melacak paus dari beberapa titik. Hal ini juga ditentang oleh pihak-pihak yang
setuju akan perburuan, termasuk Denmark. Denmark juga menentang hasil
resolusi pada tahun 1999 dimana Komite Ilmiah IWC memberikan saran kepada
Komisi Pengembagan IWC untuk melakukan sistem identfiikasi dan pelacakan
produk yang dihasilan dari perburuan paus. Di tahun 2000, Denmark dan negaranegara yang setuju perburuan paus menentang resolusi tersebut. Denmark
berpendapat bahwa kontrol sistem identifikasi tersebut dapat dilaksanakan dengan
kewenangan nasional tiap negara. Pada tahun 2001, Denmark juga menentang
resolusi tahun 2001 yakni terkait Registrasi Diagnostik yang dapat menelaah dan
meninjau populasi paus. Denmark berpendapat bahwa hal tersebut sulit dilakukan
dan diterapkan di Greenland dengan berbagai alasan.
88
Pada tahun 2004, di saat pertemuan IWC ke 56, Komite Ilmiah menyatakan
kekecawaannya terhadap
kurangnya sampel DNA dari Greenland, IWC
mendesak untuk mendorong Pemerintah Denmark dan Greenland membantu
secara logistik dan bantuan untuk para ilmuwan di Greenland. Selama diskusi
tentang
permasalahan
ini,
beberapa
anggota
IWC
menekankan
dan
mempertanyakan ketidakseriusan Denmark dalam upaya perlindungan paus. Pada
Februari tahun 2007, Denmark menghadiri konferensi IWC yang dipimpin oleh
Amerika Serikat yang bertujuan melegitimasi penangkapan paus secara
komersialyang dilakukan oleh Jepang, Islandia dan Norwegia yang secara luasi
banyak dikritik akibat kurangnya transparasi . Pada pertemuan IWC ke 57 yang
diselenggarakan di Jepang, sebagian besar negara menetang untuk penagkapan
paus komersial. Denmark mengkritik pertemuan ini dengan meminta Uni Eropa
harus mendukung perburuan komersial tetap dilakukan namun terbatas. Denmark
berpendapat bahwa hal ini dapat berimplikasi negatif untuk pelaksanaan ASW di
Greenland dan Kepulauan Faroe. Beberapa upaya Denmarj yang dilakukan setiap
pertemuan IWC menunjukkan Denmark secara tidak langsung memberikan
dukungan atas perburuan paus secara komersial (Commercial Whaling) (Sandra
Altherr, 2011 : 14).
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith Sloth pada
jurnal ilmiah Ocean Care, yang berjudul The Faroe Islands Support Commercial
Whaling ditemukan fakta terjadinya perdagangan hasil perburuan. Pada tahun
2008 disebutkan adanya pengiriman daging Paus Pilot seberat 11.516 kg atau
setara dengan 160 ekor paus dari Kepulauan Faroe ke Norwegia. Kemudian pada
tahun yang sama terdapat pengiriman sebanyak 500 kg daging atau setara dengan
10 ekor Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith Sloth, 2009 : 4).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sea Shepherd Global salah satu
organisasi yang melakukan tindakan konservasi terhadap spesies Cetacean
menyebutkan bahwa daging Paus Pilot juga dijual kepada para wisatawan di
beberapa restauran yang menghidangkan makanan khas Kepulauan Faroe
(https://www.seashepherdglobal.org/news-and-commentary/commentary/the-
89
faroe-islands-support-commercial-whaling.html diakses pada tanggal 6 April
2016 pada pukul 22.45 WIB).
Penelitian yang dilakuka oleh IWC menyebutkan dari tahun 1584 sampai
2009 terdapat total sebayak 256, 912 Paus Pilot telah diambil. Rata-rata 54% dari
paus dapat dimakan sebagai daging dan lemak dan ikan paus terbesar ini dapat
hingga 60% dari total berat badan. Pada tanggal 25 Februari 2009 Parlemen
Denmark meminta Menteri Luar Negeri Kepulauan Faroe untuk memiliko
konsekuensi dari IWC untuk mengatur semua pengaturan penangkapan paus
sesuai IWC di negaranya. Menurut Jonas K. Thomsen sebagai perwakilan dari
Kementerian Luar Negeri Faroe sebagai balasan kepada parlemen Denmark, pada
surat tertanggal 26 Maret 2009 pemerintah Faroe menjelaskan bahwa
perekonomuan Kepulauan Faroe sangat bergatung pada pemanfaatan sumber daya
laut yang berkelanjutan. Kegiatan perikanan komersial menjadi industri utama di
Kepulauan Faroe. Paus Pilot dan paus kecil lainnya digunakan untuk kebutuhan
pangan sebagai sumber daging lokal. Hasil tangkapan rata-rata 900 ekor paus
kira-kira setara dengan 500 ton daging dan lemak yang merupakan 30 % dari
semua daging yang diproduksi secara lokal di Kepulauan Faroe. Menteri Luar
Negeri Denmark menulis surat kepada IWC mengenai otoritas Kepulauan Faroe
bahwa kegiatan tradisi Grindadrap hanya memburu jenis Cetacean kecil dalam
hal ini Paus Pilot merupakan jenis paus kecil yang diatur oleh IWC hanya
diberikan moratorium untuk wilayah tertentu, kecuali Kepulauan Faroe (Birgith
Sloth, 2009 : 7).
Pada penelitian yang dilakukan Birgith Sloth mengenai perburuan paus
komersil di Faroe, peraturan yang diterapkan Denmark bersama Kepulauan Faroe
yakni impor daging dan lemak boleh dilakukan tetapi hanya dilakukan untuk
kepentingan perayaan masyarakat saja dan tidak diperbolehkan untuk tujuan
komersial. Namun data yang dihasilkan oleh IWC memberikan bukti bahwa
terdapat ekspor daging Paus Pilot dari Kepulauan Faroe ke Norwegia pada tahun
2004- 2008 sebanyak 811 kg dengan 4 kali transaksi per tahunnya (Birgith Sloth,
2009 : 7).
90
b. Denmark dan Scientifc Whaling
Pada tahun 1987 setalah pelaksanaan moratorium terhadap perburuan paus
komersial , Jepang mulai mengeluarikan izin khusus meminta kuota penangkapan
paus berdasarkan Article VIII ICRW. Jepang mengambil tindakan penangkapan
paus atas dasar penelitian ilmiah melalui program JARPA I di Antartika dan
diperluas pada tahun 1994 menjadi program JARPN I di Pasifik Utara. Awalnya
program ini ditargerkan untuk menangkap paus Minke namun dilakukan
perluasan untuk menagkap paus Sirip, paus Sperma, paus Sei dan paus Bryde.
Meskipun penangkapan paus Jepang yakni penangkapan ilmiah dan dikritik oleh
banyaj pihak, Denmark tidak konsisten menanggapi upaya yang dilakukan oleh
Jepang. Pada tahun 2000, Denmark mendesak Jepang untuk tidak mengeluarka
izin khusus program JARP, kemudian pada tahun 2001 Denmark tidak sejutu
program JARPN dan JARPA. Denmark menegaskan terdapat pembedaan
penangkapan paus secara ilmiah di Antartika dan penangkapan paus ilmiah di
Pasifik Utara. Pada tahun 2011, Denmark meminta Uni Eropa untuk menghapus
wacana penghapusan penangkapan secara ilmiah di luar kendali IWC. Hal ini
menunjukkan Jepang secara tidak langsung berkeinginan mempertahankan
perburuan paus secara komersial ( Sandra Altherr, 2011 : 16).
c. Denmark dan Aboriginal Subsistence Whaling (ASW)
Seluruh paus berukuran besar kecuali di Greenland Barat termasuk paus Minke
termasuk kedalam daftar Appendix I dan paus Pilot masuk kedalam Appendix II.
Pada pertemuan IWC yang ke 51 di tahun 1999, Denmark menyatakan tidak setuju
terhadap moratorium Commercial Whaling. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Sandra Altherr, Denmark memiliki posisi yang tidak stabil, dimana terkadang
menentang perburuan paus namun juga membolehkan perburuan paus
dikarenakan budaya dari negara yang menjadi otoritasnya. Seperti di Greenland
dan Kepulauan Faroe. Denmark adalah negara yang menjadi anggota Uni Eropa,
tetapi Kepulauan Faroe dan Greenland tidak menjadi anggota Uni Eropa.
Kepulauan Faroe mematuhi moratorium , tetapi memungkinkan tidak tunduk
dengan perburuan cetacean kecil lainnua. Sementara, untuk masyarakat di
91
Greenland diberikan kuota ASW oleh IWC dengan tunduk terhadap sistem kuota
penangkapan oleh ASW dan mengambil sebagian cetacean kecil yang tidak diatur
oleh IWC speerti lumba-lumba. Aturan ASW oleh IWC tidak mengizinkan adanya
perdagangan internaisonal dari hasil perburuan ASW. Menurut jajak pendapat
pada Februari tahun 2012, hanya 5% penduduk Denmark yang mendukung
penangkapan paus secara komersial. Sementara 72% penduduk Denmark
menginginkan agar pemerintah Denmark menentang dengan jelas perburuan paus
secara komersial (Sandra Altherr, 2011 : 9). Mengacu kondisi demikian tradisi
tersebut tradisi Grindadrap masih berlangsung sampai sekarang bahwa
Pemerintah Kepulauan Faroe memberikan peraturan khusus untuk perburuan
yakni Whaling in the Faroe Island yang disahkan pada bulan Desember tahun
2011. Peraturan tersebut dibuat bukan mengenai pelarangan namun mengenai tata
cara
perburuan
dan
metode
pembunuhan
(http://www.ascobans.org/sites/default/files/document/AC19_501_FaroeIslands
Grind_1.pdf diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pukul 21. 14 WIB).
Greenland
Kepulauan Faroe
56.900
49,267
GDP 2009
USD 1,27 billion
USD 2.20 billiom
Natural
Rich in minerals, oil and gas, Hydropower, possibly oil and
Resources
increasingly accesisible due gas; however,oil reserves of a
Human
Population
to effects of climate change commercial scale have not yet
including melting ice. Almost been confirmed
50 billion barrels of oil are
estimated to be present off
Greenland ; oil exploration
presently expanding
92
Status
1979 : Granted Home Rule
1948 : Granted Home Rule,
2009 : Granted Self Rule
but DK retains responsibility
(including control of its
for Foreign Affairs
energy resources) but DK
retains responsibility for
Annual
subsidies
from
Foreign Affairs
Denmark : about 8,3 Million
Euro
Annual subsidies from
Denmark : about 413 Million
Further independence from
Euro
Denmark is under discussion
Independence from Denmark
Future status as state in free
is being sought
association
with
Denmark
seems to be the most likely
option
IWC
Catch limits for ASW
Commercial whaling catch
authorised by the IWC
limits set at zero by the IWC
Hunting of large Minke whales, fin whales,
whales
Hunting of fin whales ended
bowhead whales, humpback
in 1984; however interest in
whales
resuming commercial
whaling has been repeatedly
expressed
Hunting of small Almost 4000 small cetaceans
cetaceans
Mostly long finned pilot
are killed annually including
whales ( on average 630 pear
beluga whales, narwhals,
year), also occasionally white
orcas, pilot whales and
sided dolphins, bottlenose
harbour porpoises
Occasionally bottlenose
Permitted catch limits for
whales killed after apparently
belugas and narhwhals were
stranding
93
for several years ignoring
warnings of scientists
Status at CITES
A dependent territory to
On CITES website listed as
which CITES applies.
non party, authority
Denmark has no reservation
competent to issue
againts the CITES Appendix I
comparable documentation
listing of large whales and
Greenland is therefore bound
by it; own contacts for CITES
authorities in Greenland
since 2004
Relationship
EU
to Joined EU as part of
Declined EU membership in
Denmark, but in 1985 altered
1974, but has favourable
its link with the EU to that of
bilateral trade and fisheries
an overseas territory; Has
agreements with the EU; It
bilateral trade and fisheris
fears restrictions including
agreements with the EU;
with respect to whaling and
Greenland annually receives
bird hunting under full EU
68 million Euro from the EU
membership.
Tabel 3.2.1 : Greenland and Faroe Island in Brief ( Sandra Altherr, 2011 : 11)
Pada tabel 3.2.1 diatas menunjukkan bahwa Kepulauan Faroe dan
Greenland memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut misalnya,
Greenland bergabung dengan Uni Eropa sebagai bagian dari Denmark, tetapi
pada tahun 1985 terpisah dengan Denmark dalam keanggotaan di Uni Eropa.
Sementara Kepulauan Faroe, menolak sejak awal bergabung dengan Uni Eropa
di tahun 1974, namun memiliki perjanjian bilateral mengenai perikanan yang
menguntungka Uni Eropa. Kepulauan Faroe tidak memiliki pembatasan terkait
penangkapan paus dan perburuan buruh oleh Uni Eropa. Greenland memiliki
kuota khusus ASW oleh ICW untuk melakukan perburuan berdasarkan budaya
masyarakat Greenland, namun Kepulauan Faroe tidak memiliki kuota khusus
ASW dan tidak dibolehkan melakukan perburuan komersial ( batas 0 kuota oleh
94
IWC). Melihat kondisi ini terjadi ketidaksesuaian dengan pelaksanaan tradisi
Grindadrap di Kepulauan Faroe. Secara jelas bahwa tradisi Grindadrap
merupakan perburuan paus dalam kategori ASW. Walaupun sampai saat ini
IWC belum memberikan kuota ASW kepada Kepulauan Faroe. Tradisi
Grindadrap di Kepulauan Faroe diatur dalam peraturan Whaling in Faroe Island
yang dikeluarkan oleh Ministry of Fisheries Kepulauan Faroe pada tahun 2013.
Beberapa hal utama dala tradisi Grindadrap yang diatur ialah (Rob van Ginkel,
2005 : 24) :
1) Sebagai negara yang memiliki pemerintahan sendiri dibawah kedaulatan
Kerajaan Denmark, pemerintah Kepulauan Faroe mengelola secara mandiri
di bidang pemerintahan yang diamanatkan kedalam undang-undag nasional
termasuk konservasi dan pengelolaan populasi paus dalam batas 200 mil
dari wilayah teritorial Kepulauan Faroe. Kepulauan Faroe telah memilih
untuk tidak menjadi bagian dari Uni Eropa, tetapi mempertahankan
perjanjian dan perdagangan bilateral mengenai perikanan dengan Uni Eropa
serta negara lainnya ;
2) Perekonomian Kepulauan Faroe sebagian besar didapatkan dari sektor
perikanan dan budidaya industri modern yang menghasilkan produk ikan
berkualitas tinggi yang siap di ekspor. Aktivitas produksi secara tradisional
merupaka sumber makanan lokal yang menjadi suplemen penting untuk
masyarakat, misalnya peternakan domba, aktivitas nelayan di pesisir,
tangkapan burung laut dan perburuan paus pilot. Pemenuhan sumber daya
makanan secara mandiri ini dapat meningkatkan kebutuhan ekonomi
masyarakat ;
3) Sebagai negara yang bergatung pada sumber daya laut, Kepulauan Faroe
berkomitemen untuk menjaga ekosistem laut dan menjunjung tinggi
prinsip-prinsip internasional ;
4) Paus Pilot yang diburu di ambil daging dan lemaknya dan diatur oleh
undang-undang dan peraturan nasional. Bentuk perburuan tradisional dan
unik ini telah berjalan selama bertahun-tahun dan terus disesuaikan dengan
95
standar modern manajemen sumber daya dan kesejahteraan hewan di masa
ini ;
5) Daging dan lemak dari paus pilot menjadi pangan nasional. Tangkapan
nelayan dibagikan kepada para penduduk lokal tanpa pertukaran uang.
Daging paus dan lemak disimpan dan disiapkan untuk dimakan dengan
berbagai cara dan disajikan menjadi makanan khas Kepulauan Faroe;
6) Tangkapan paus pilot di dokumentasikan setiap tahun untuk menelaah
populasi paus pilot dalam jangka panjang . Kepulauan Faroe berpatisipasi
aktif dalam survey ilmiah internasional di Atlantik Utara sejak tahun 1987;
7) Kepulauan Faroe berkoordinasi dengan T-NASS dan NAMMCO untuk
menelaah dan memantau keberadaan populasi paus Pilot ;
8) Perburuan paus pilot dilakukan dengan menyesuaikan pasang surut air laut
untuk mendapatka paus yang terdampar. Undang-undang kesejahteraan
hewan Kepulauan Faroe mengatur pembunuhan hewan dilakukan secepat
mungkin untuk mengurangi penderitaan pada hewan, sehingga paus tidak
mengalami cedera sebelum dibunuh. Penggunaan tombak khusus yang
disasarkan pada tulang belakang paus pilot digunaka untuk memutus suplai
darah ke otak, sehingga paus mengalami kehilangan kesadaran dalam
hitungan detik paus mati. Terdapat inovasi dan perbaikan alat yag
digunakan untuk penangkapan paus seperti pembuatan lubang sembur
untuk menampung paus yang terdampar di pantai. Pemerintah Kepulauan
Faroe menerapkan aturan sejak 1 Mei 2015, bahwa yang menghadiri dan
dapat melakukan penagkapan harus bersertifikat telah lulus dalam kursus
penangkapan paus dan mengetahui metode membunuh paus yang diizinkan
oleh pemerintah ;
9) Kepulauan Faroe bekerja sama dengan NAMMCO sebagai komisi yang
menangani pengelolaan dan konservasi mamalia di wilayah Atlantik Utara
Seperti yang diketahui bahwa data yang dirilis oleh International Whaling
Commission (IWC) menunjukkan adanya penurunan populasi beberapa jenis
paus yang terjadi di perairan seluruh dunia paus seperti Minke Whales, Blue
96
Whales, Fin Whales, Gray Whales, Bowhead Whales, Humpback Whales, Right
Whales, Bryde’s Whales, Pilot Whales, Balin Whales dan Sei Whales yang
terjadi di perairan seluruh dunia. Jenis paus-paus tersebut populasinya telah
mengalami penurunan sekitar 3, 2 % - 12, 5 % per tahunnya sejak tahun 1985
sampai tahun 2010. Dari kesepuluh jenis paus tersebut yang mengalami jumlah
penurunan paling banyak adalah jenis paus Pilot (Globicephala Melena) atau
paus sirip panjang dan jenis paus Balin (Balaenoptera Physalus) atau paus sirip
pendek. Paus Pilot memiliki indeks penurunan sebesar 12, 5% per tahunnya dan
Paus Balin memiliki indeks penurunan sebesar 8, 9 % per tahunnya. Kedua jenis
paus ini secara spesifik tersebar di perairan Central dan Eastern North Atlantic
(https://iwc.int/estimate#table diakses pada tanggal 29 April 2015 Pukul 1.29
WIB). Fakta menunjukkan bahwa populasi paus Pilot semakin menurun akibat
adanya perburuan yang dilakukan secara rutin di Kepulanan Faroe. Apabila
permasalahan ini dihubungkan dengan Sustainable Development, Integration
and Interdependence Principle yang menegaskan bahwa segala kepentingan
harus disesuaikan dengan perlindungan lingkungan hidup, maka sudah menjadi
kewajiban suatu negara untuk mempertimbangkan segala sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara beroritenasi terhadap perlindungan lingkungan. Namun
melihat kondisi ini, untuk menentukan bertentangan atau tidaknya tradisi
Grindadrap ini berdasarkan ICRW dapat ditinjau lagi bahwa pengaturan pada
ICRW tidak mengatur secara rinci larangan seperti apa terhadap kegiatan
perburuan paus yang berdasar pada budaya.
Mengacu demikian bahywa, Article VIII ICRW hanya mengatur dan
menjelaskan boleh dilakukanya penangkapan dan pembunuhan paus untuk
kegiatan penelitian ilmiah. Selain itu, IWC yang disepakati oleh negara pihak
dalam ICRW, sebagai komisi yang menangani khusus upaya pengawasan dan
pengelolaan paus, tidak mengikutsertakan Kepulauan Faroe dalam ketentuan
kuota ASW. Hanya Greenland sebagai wilayah otoritas dari Denmark memiliki
kuota khusus dari IWC untuk melakukan perburuan berdarkan kebiasaan
masyarakat lokal. Menurut Stewart, pengaturan perlindungan lingkungan secara
global menggunakan pendekatan (global approah), yaitu suatu pendekatan yang
97
mengutamakan kepentingan bersama (common interest) (Ida Bagus, 2003 :71).
Melihat kondisi demikian, Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa dibalik
kepentingan nasional setiap negara, setiap negara juga mempunyai kepentingan
yang bersifat “bersama”, yaitu kepentingan yang muncul dari setiap masyarakat
( Mochtar Kusumaatmadja, 1982 : 12). Dalam hal ini kepentingan budaya
masyarakat asli Kepulauan Faroe telah menjalankan tradisi Grindadrap sejak
lama. Perkembangan masyarakat internasional saat ini menunjukkan bahwa
sebelum bangkitnya kesadaran tentang sifat global lingkungan hidup, nilai
kebersamaan hanyalah unsur implist dari masyarakat internasional. Di luar itu
setiap
negara
mengutamakan kepentingan
nasionalnya
dan
berusaha
memecahkan sendiri setiap masalah yang dihadapi ( Macdonald, 1983 : 583).
Sehingga dalam hal ini dapat diketahui bahwa pemerintah Kepulauam Faroe
lebih
memilih
untuk
mempertahakan
tradisi
Grindadrap
daripada
memperhatikan reaksi negatif dari masyarakat global. Walaupun secara regulasi,
tradisi ini belum mendapatkan legitimasi yang jelas, pemerintah Kepulauan
Faroe menitikberatkan aspek kesejahteraan masyarakatnya dengan terus
melegalkan tradisi ini di negaranya.
Fakta lain yang dijelaskan sebelumnya dimana terdapat penyimpanganpenyimpangan tradisi ini, yakni masyarakat lokal banyak yang memperjual
belikan daging dan lemak hasil perburuan kepada para wisatawan bahkan
sebagian diawetkan untuk diekspor ke negara lain. Hal ini tentu sudah menjadi
bagian integral secara tidak langsung dari praktek perburuan paus secara
komersil walaupun tidak langsung dilakukan. IWC telah melakukan moratorium
hingga saat ini untuk melarang segala perburuan paus komersial kepada seluruh
negara anggota. Menurut Gundling masalah terpenting dalam pembicaraan hak
dan kewajiban yang erat dalam suatu regulasi atau peraturan terhadap generasi
masa depan adalah masalah pengkonkretan kewajiban itu melalui usaha untuk
mengtasi masalah-masalah lingkungan yang dihadapi saat ini, dalam hal ini (
Gundling, 2000 : 210). Denmark sebagai negara yang telah meratifikasi ICRW
sudah
melakulan koordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe untuk
mengadopsi peraturan ICRW ke dalam aturan nasional. Namun dalam
98
prakteknya Kepulauan Faroe menolak rekomendasi tersebut dikarenakan
perburuan paus Pilot dalam tradisi Grindadrap dianggap tidak mengancam
ekosistem laut, karena pemerintah telah berkoordinasi dengan banyak pihak
seperti NAMMCO untuk menelaah populasi paus Pilot secara rutin. Pemerintah
Kepulauan Faroe beranggapan bahwa, tradisi ini sudah berjalan sejak lama dan
menjadi tradisi yang tidak mudah begitu saja dihilangkan. Nampak adanya
ketidakharmonisan antara Denmark, Kepulauan Faroe dan IWC dalam
menanggapi permasalahan ini. Dengan melihat kondisi demikian, terdapat celah
hukum yang menjadi suatu pembenaran tradisi ini tetap. Hal tersebut
dikarenakan beberapa faktor sebagi berikut (Sandra Altherr , 2011 : 23) :
a. Kurang jelasnya ICRW dalam mengatur perburuan paus ASW ;
b. IWC belum menetapkan kuota ASW untuk Kepulauan Faroe, maka hal ini
dapat dijadikan pembenaran pemerintah Kepulauan Faroe beranggapan
tradisi ini tetap legal untuk dilaksanakan ;
c. Terdapat kegagalan pemerintah Denmark, dimana pemerintah Denmark
tidak dapat memfasilitasi Kepulauan Faroe dan IWC. Walaupun dijelaskan
sebelumnya bahwa pemerintah Kepulauan Faroe berkedaulatan atas
Kerajaan Denmark, namun terkait urusan pengelolaan konservasi dan
perikanan diatur lebih lanjut secara mandiri oleh aturan nasional Kepulauan
Faroe ;
d. Mencermati bahwa spesies paus Pilot yang tergolong spesies terancam
punah, pemerintah Kepulauan Faroe berupaya melakukan konservasi dan
tetap memperhatikan ekosistem laut dengan upaya perburuan yang diatur
secara rinci ;
e. Pengaturan yang terdapat dalam peraturan Whaling in the Faroe Island yang
dikeluarkan oleh pemerintah Kepulauan Faroe menegaskan bahwa segala
metode perburuan dan pembunuhan paus dalam tradisi Grindadrap diatur
sedemikian rupa terkait alat, cara dan spesifikasi pemburu dan petugas
pembagi daging yang terlatih agar tidak memberikan rasa sakit berlebih
pada paus yang dibunuh;
99
f. Pemerintah Kepulauan Faroe mempertahankan tradisi ini atas dasar sebuah
upaya pelestarian budaya masyarakatnya. Walaupun demikian, pemerintah
berupaya melakukan upaya-upaya preventif dengan menciptkan regulasi
tata cara perburuan, upaya koordinasi dengan pihak lain untuk kegiatan
konservasi paus dan tanggung jawab pemerintah Kepulauan Faroe yang
melaporkan kegiatannya dalam laporan tahunan kepada IWC.
Apabila dikaitkan dengan perkembangan hukum lingkungan internasional
sejauh ini, seperti sebuah kasus antara Kanada dan Uni Soviet atau biasa disebut
Kasus Cosmos-954 yang diselesaikan dengan ketentuan Pasal IX Konvensi
Liability Convention 1992, menunjukkan bahwa walaupun suatu kegiatan yang
berada dibawah pengawasan negara tertentu tetap sebagai kegiatan yang
potensial memberikan dampak lingkungan hidup secara global ( Ida Bagus,
2003 : 9). Kegiatan perburuan dalam tradisi ini yang berlangsung terus menerus
akan memberikan efek negatif jangka panjang terhadap keseimbangan
ekosistem laut. Ancanam penuruan populasi paus dan spesies Cetacean lainnya
akan mempengaruhi ketidakstabilan rantai makanan (Food Chain) dan
berpengaruh terhadap populasi spesies lainnya. Namun demikian, dikarenakan
kendala peraturan ICRW yang belum secara jelas mengatur hal ini,
menyebabkan sampai saat ini pelaksanaan tradisi Grindarap belum
mendapatkan tekanan dari masyarakat internasional secara serius apabila
dibandingkan dengan kasus Jepang
sebuah perburuan ilmiah yang
disalahgunakan menjadi perburuan komersial secara jelas tidak dibolehkan
dalam ICRW. Telah diuraikan sebelumnya pada kasus yang dilakukan oleh
Jepang sangat jelas mendapat tekanan dari masyarakat internasional, dimana
Jepang yang telah meratifikasi ICRW dan sekaligus menyepakati dilarangnya
perburuan komersial, namun faktanya dengan menggunakan celah pada Article
VIII ICRW yang membolehkan perburuan untuk tujuan ilmiah, Jepang
menggunakan ijin khusus tersebut untuk melakukan proyek penelitian akan
tetapi hal tersebut disalahgunakan. Paus yang diburu untuk proyek penelitian
dimanfaatkan untuk diambil daging dan lemaknya diperdagangkan untuk
100
konsumsi masyarakat. Atas laporan dari Australia, Mahkamah Internasional
menjatuhkan putusan bersalah pada negara Jepang sehingga wajib
menghentikan proyek penelitian tersebut. Apabila dibandingkan dengan
permasalahan pada penelitia ini, tradisi Grindadrap yang dilakukan masyarakat
Faroe juga disalahgunakan dengan adanya fakta penjualan daging paus ke para
wisatawan serta secara diam-diam diperdagangkan ke negara lain. Walaupun
aktivitas seperti tidak cukup signifikan dibanding kasus Jepang, tetapi bukan
tidak mungkin hal ini akan menjadi cikal bakal penyimpangan tradisi tersebut.
Sekalipun pemerintah Kepulauan Faroe sangat berorientasi kepada
perlindungan kepentingan negara, namun hukum yang telah dibuat (dalam hal
ini ICRW) jauh mempertimbangkan perlindungan lingkungan yang bersinergi
dengan aktivitas atau kegiatan manusia. Dalam kasus ini hal yang
dipertimbangkan ialah prioritas kebijakan suatu negara dalam memilih
keberlangsungan adat budaya masyarakat tertentu atau kewajiban negara dan
masyarakatnya yang seharusnya turut berpartisipasi menjaga dan melestarikan
lingkungan. Sementara dalam hal ini pemerintah Kepulauan Faroe lebih
memilih untuk mempertahankan tradisi Grindadrap yang dilakukan sejak lama
oleh suku asli di Kepulauan Faroe yakni suku Norse. Sebagian suku Norse yang
menjadi penduduk asli Kepulauan Faroe terus melestarikan budaya ini sampai
sekarang. Suku Norse tersebut dapat disebut sebagai Indigenous People. Istilah
indigenous peoples biasanya digunakan untuk merujuk pada orang-orang
kelompok yang merupakan keturunan populasi asli yang tinggal disebuah
negara. Istilah Inggris “indigenous” berasal dari bahasa Latin “indigenae” yang
digunakan untuk membedakan antara orang-orang yang dilahirkan di sebuah
tempat dan mereka yang datang dari tempat lain (advanae) (Eddie Riyadi, 2002
: 2). Jose Martinez Cobo, seorang Reporter Khusus PBB menyusun definisi
tentang indigenous peoples sebagai berikut ( Eddie Riyadi, 2002 : 9) :
“… are those which, having a historical continuity with pre-invasion
and pre colonial societies that developed on thbeir territories,
consider themselves distinct from other sectors of societies now
prevailing on those territories, or parts of them. They from at present
non-dominant sectors of society and are determined to preserve,
develop and transmit to future generations their ancestral territories,
101
and their ethnic identity, as the basis of their continued existence as
peoples, in accordance with their own cultural patterns, social
institutions and legal system”.
Artinya: mereka yang memiliki kontinuitas sejarah dengan masyarakat sebelum
invasi dan sebelum kolonial yang telah mengembangkan wilayah mereka,
memandang diri mereka berbeda dari sektor lain masyarakat yang ada sekarang di
dalam wilyah yang sama atau bagian dari mereka. Mereka saat ini membentuk
sektor yang non-dominan dari masyarakat dan bertekad untuk mempertahankan,
mengembangkan dan meneruskan ke generasi-generasi berikut wilayah leluhur
mereka, dan identitas etnik mereka, sebagai dasar untuk kelanjutan hidup mereka
sebagai manusia, sesuai dengan pola budaya mereka sendiri, lembaga sosial mereka
dan sistem hukum mereka. Perkembangan hukum internasional tak dapat lepas dari
pengakuan secara utuh terhadap hak-hak dan kedudukan untuk Indigenous People.
Dalam dunia internasional, PBB , UNDRIP dan Organisasi Buruh Internasional
atau ILO (International Labour Organization) mengakui bahwa penetapan dan
perlindungan hak indigenous peoples merupakan bagian yang penting dari hak
asasi manusia, dan layak diperhatikan masyarakat internasional. Kedua
organisasi ini aktif dalam menyusun dan menerapkan standar yang dirancang
untuk menjamin penghargaan atas hak indigenous peoples yang telah ada dan
menetapkan hak tambahan ( Palantunan Lande, 2015 : 50). Kemudian pada
konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang diadakan
di Rio de Janeiro pada Juni 1992, menghasilkan sebuah perkembangan baru
bagi indigenous peoples tentang hubungan mereka dengan PBB. Konferensi
tersebut mengakui bahwa indigenous peoples dan komunitasnya memiliki peran
yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan dan pembangunan,
berdasarkan ilmu yang dimiliki dan praktik-praktik tradisional mereka.
Ditekankan bahwa usaha dalam lingkup nasional dan internasional untuk
menerapkan
pembangunan
yang
berkesinambungan
dan
berorientasi
lingkungan harus mengakui, mengakomodasi, memajukan dan memperkuat
peran indigenous peoples dan komunitasnya (Palantunan Lande, 2015 : 51).
Kemudian pada Maret 1996 diadakan Seminar Ahli tentang Pengalaman Praktis
sehubungan dengan Hak atas Tanah dan Tuntutan-tuntutan Masyarakat Adat
102
diselenggarakan di Whitehorse, Kanada. Seminar ini merupakan bagian dari
Program Aksi Dekade Internasional Masyarakat Adat Dunia. David Keenan
dari Yukon Council of First Nations, mengetuai seminar, dan José Aylwin
Oyarzon dari pemerintah Cili ditunjuk sebagai pelapor. Seminar ini menetapkan
kesimpulan dan rekomendasi akhir mengenai hak atas tanah dan tuntutan dari
masyarakat adat. Seminar ini menekankan bahwa pemajuan dan perlindungan
hak atas tanah dan sumber daya alam masyarakat adat merupakan hal yang
penting bagi perkembangan masyarakat dan perjuangan budaya. Lebih lanjut
ditegaskan
tentang
pentingnya
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
pengambilan keputusan. Seminar ini menyimpulkan bahwa kemauan politik
dalam bentuk komitmen yang sungguh-sungguh dari pemerintah sebagai mitra
dalam pengambilan keputusan, merupakan hal yang sangat penting untuk
keberhasilan pengelolaan, dan untuk menghindari terjadinya pertentangan
antara berbagai pihak (Palantunan Lande, 2015 : 53). Pada tanggal 29 Juni 2006
disepakati lah United Nation Declaration of Rights on the Indigenous Peoples
(UNDRIP). Deklarasi ini dirumuskan dan disahkan oleh para ahli independen,
utusan-utusan negara anggota PBB serta berbagai organisasi-organisasi serta
aktivis-aktivis yang memperjuang indigenous peoples. Namun deklarasi ini
bersifat tidak mengikat (not legally binding). Sehingga negara boleh melakukan
atau tidak (Yance Arizona , 2008 : 6). Sampai saat ini hanya satu konvensi
internasional yang mengatur secara khusus mengenai indigenous peoples yaitu
Indigenous and Tribal Peoples Convention, 1989. Bersama dengan UNDRIP,
konvensi ini saling melengkapi mengenai aturan indigenous peoples. Tetapi
UNDRIP hanya bersifat deklaratif yang tidak memberikan keterikatan bagi
setiap negara untuk harus melaksanakannya (Palantunan Lande, 2015 : 54).
Ada 2 hal yang menjadi prinsip didalam Indigenous And Tribal Peoples
Convention 1989 yaitu melakukan perundingan dan berpartisipasi dalam
membuat keputusan di seluruh tingkat perundingan yang berpengaruh terhadap
kehidupan
dan
kelompok
masyarakat
adat
(http://www.ilo.org/indigenous/Aboutus/HistoryofILOswork/langen/index.ht
m diakses pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 20.35 WIIB). Sampai pada Maret
103
2012, konvensi ini telah diratifikasi sebanyak 22 negara dan akan terus
bertambah. Negara-negara yang telah meratifikasi antara lain; Argentina,
Bolivia, Brasil, Afrika Selatan, Cili, Kolombia, Kosta Rica, Denmark,
Dominika, Ekuador, Fiji, Guatemala, Honduras, Mexico, Nepal, Belanda,
Nigeria,
Norwegia,
Paraguay,
Peru,
Spanyol,
Venezuela
(https://intercontinentalcry.org/the-history-of-ilo-conventions-on-indigenouspeoples/ diakses pada tanggal 8 Januari 2016 , pukul 20.50 WIB). Article II of
Indigenous And Tribal Peoples Convention 1989 menjelaskan bahwa
pemerintah berkewajiban melindungi hak-hak sosial masyarakat adat di
negaranya yang ditegaskan sebagai berikut :
a. Governments shall have the responsibility for developing, with the
participation of the peoples concerned, co-ordinated and systematic action
to protect the rights of these peoples and to guarantee respect for their
integrity;
b. Such action shall include measures for: (1) ensuring that members of these
peoples benefit on an equal footing from the rights and opportunities which
national laws and regulations grant to other members of the population; (2)
promoting the full realisation of the social, economic and cultural rights of
these peoples with respect for their social and cultural identity, their
customs and traditions and their institutions; (c) assisting the members of
the peoples concerned to eliminate socioeconomic gaps that may exist
between indigenous and other members of the national community, in a
manner compatible with their aspirations and ways of life.
Hal diatas menjelaskan bahwa pemerintah masing-masing dari setiap negara
harus memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan, dengan partisipasi dari
masyarakat terkait, tindakan terkoordinasi dan sistematis untuk melindungi
hak-hak masyarakat ini dan untuk menjamin penghormatan terhadap integritas
mereka. Tindakan tersebut harus mencakup langkah-langkah untuk : (a)
memastikan bahwa anggota masyarakat ini manfaat pada pijakan yang sama
dari hak dan kesempatan yang undang-undang dan peraturan nasional
memberikan kepada anggota lain dari populasi; (b) mempromosikan realisasi
penuh hak-hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat tersebut dengan
menghormati identitas sosial dan budaya mereka, adat istiadat dan tradisi dan
institusi mereka; (c) membantu para anggota masyarakat yang bersangkutan
104
untuk menghilangkan kesenjangan sosial-ekonomi yang mungkin ada di antara
anggota masyarakat adat dan lain dari komunitas nasional, dengan cara yang
sesuai dengan aspirasi dan cara hidup mereka. Denmark adalah salah satu
negara yag telah meratifikasi konvensi ini. Menurut penulis, ini merupakan
salah
satu
pertimbangan
dari
negara
Denmark
pula
untuk
tetap
mempertahankan tradisi Grindadrap di Kepulauan Faroe. Diketahui bahwa
Denmark sering mendapatkan tekanan dari Europe Union, namun yang menjadi
kendala ialah Kepulauan Faroe tidak memiliki keanggotaan dalam masyarakat
Uni Eropa.
Selain itu berdasarkan Pasal 3 UNDRIP diatur sangat jelas tentang
pengakuan hak untuk menentukan nasib sendiri. Hak tersebut termasuk hak
dalam bidang politik, hak untuk mengembangkan ekonomi, dan hak untuk
pembangunan dalam bidang sosial dan budaya. Hak untuk menentukan nasib
sendiri sudah diterima dalam hukum internasional.
Pada tahun 1996,
Internatonal Court of Justice (ICJ) dalam Kasus Portugal v. Australia (East
Timor Case), mendefinisikan hak untuk menentukan nasib sendiri sebagai “erga
omnes”. Anaya menyatakan bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri
ditetapkan sebagai bagian dari jus cogens dan secara umum diterima dalam
hukum internasional. Dalam kaitannya dengan masyarakat hukum adat, hak
untuk menentukan nasib sendiri merupakan representasi dari kebebasan untuk
membuat keputusan terkait dengan hal-hal yang berpengaruh terhadap mereka,
untuk hidup sesuai dengan cara hidup mereka yang tradisional, nilai dan
keyakinan mereka, dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam negara. Hak
untuk menentukan nasib sendiri juga sangat berkaitan dengan pemanfaatan
sumber daya alam ( Anaya, 2004 : 13) . Pada UNDRIP diatur dengan lebih jelas
ketentuan tentang hak-hak masyarakat hukum adat terhadap sumber daya alam.
Pasal 26 ayat (2) UNDRIP secara khusus telah menetapkan bahwa:
“Indigenous peoples have the right to own, use, develop and
control the lands, territories and resources that they possess by
reason of traditonal ownership or other traditonal occupaton or use,
as well as those which they have otherwise acquired”.
105
Pada pasal 32 (3) lebih lanjut UNDRIP menetapkan bahwa negara-negara akan
menyediakan mekanisme yang efektif untuk melakukan ganti rugi yang adil dan
pantas untuk aktivitas apapun dan langkah yang tepat akan diambil untuk
mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, sosial dan budaya
ataupun spiritual.
“ State shall provide effective mechanisms for just for just and fair
redress for any such activities, and approriate measures shall be taken to
mitigate adverse environmental, economic, social, cultural or spiritual
impact”.
Pasal tersebut setidaknya memberikan penjelasan bahwa selain negara
memberikan pengakuan untuk kegiatan masyarakat adat baik sosial dan budaya,
negara juga perlu mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa hubungan antara eksistensi dan pengakuan masyarakat adat
dengan pelaksanaan perlindungan terhadap lingkungan harus berjalan harmonis.
Sementara itu, keberlangsungan tradisi Grindadrap yang memburu Paus Pilot
selama bertahun-tahun ditakutkan mengancam penurunan populasi Paus Pilot.
Menurut Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe populasi Paus Pilot di
Atlantik Utara sekitar 778.000 paus, dengan jumlah 100.000 di sekitar
Kepulauan Faroe. Kementerian Perikanan Kepulauan Faroe menyatakan bahwa
populasi Paus Pilot melimpah di Atlantik Utara. Kementerian Perikanan
Kepulauan Faroe mengupayakan
dan memastikan metode berburu secara
berkelanjutan dengan tetap melindungi dan melestarikan lingkungan alam
(http://www.government.fo/the-government/ diakes pada tanggal 14 April
2016).
Kepulauan Faroe memiliki hak dibawah hukum internasional untuk
menggunakan sumber daya alam yang dimiliki termasuk Paus Pilot. Daging dan
lemak paus dimanfaatkan secara berdampingan untuk konsumsi lokal. Hukum
Internasional mengatur bahwa masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk
memiliki dan mengelola tanah dan sumber daya alam dengan alasan kepemilikan
tradisional. Pada tulisan Sandra Altherr menjelaskan jika memang sudah
menjadi kewajiban pemerintah Denmark wajib untuk mewakili kepentingan
106
Kepulauan Faroe dalam semua forum internasional. Kepulauan Faroe adalah
bagian dari Denmark Raya namun bukan anggota Uni Eropa. Pada tahun 2008
dibentuklah suatu Komisi oleh Uni Eropa yang beranggotakan anggota IWC
yang bertugas melaporkan dan mengungkapkan bagaimana kebijakan Denmark
di tiga bidang utama yang dinilai tidak konsisten dengan peraturan yang
disepakati oleh Uni Eropa. Ketidakkonsistenan Denmark tampak dalam hal
sebagai berikut :
a. Dukungan secara langsung terhadap penangkapan paus komersial yang
menjadi komoditi perdagangan internasional;
b. Berkontribusi untuk menghilangkan batas-batas pelaksanaan ASW dan
penangkapan paus komersial;
c. Keengganan untuk mendukung konservasi secara proaktif, inisiatif yang
diprakarsai oleh Komite Konservasi dari IWC, dan pemetaan tempattempat terlindungi untuk paus.
Dilihat dari faktor histori bahwa Denmark memegang posisi Kepresidenan
Uni Eropa dari 1 Januari sampai 30 Juni 2012. Posisinya dengan sehubungan
dengan IWC dan konservasi terhadap spesies Cetacean sangat penting terutama
dikarenakan hasil dari Pertemuan Tahunan IWC ke 64 pada tanggal 25 Juni
sampai 6 Juli 2012. Walaupun sampai saat ini Denmark sudah tidak memegang
kedudukan tersebut, tetapi penting peran Denmark di setiap masa transisi posisi
kepresidenan untuk IWC memiliki pengaruh yang cukup besar ( Sandra Altherr,
2011 : 5) . Ketidakkonsistenan Denmark dan ambiguitas peraturan yang ada
inilah yang menjadi faktor penting keberlangsungan tradisi Grindadrap ini
masih berlangsung sampai sekarang. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa Paus
Pilot adalah spesies hewan highly migratory yang melakukan perpindahan
habitat dari perairan satu ke perairan lainnya. Paus Pilot akan berenang ke
perairan tenang dan dangkal untuk berkembang baik, seperti mendekat ke
perairan sekitar Kepulauan Faroe. Populasi Paus Pilot memang cukup banyak di
perairan Atlantik Utara sekitar lebih dari 700.000, dan kurang lebih 100.000
Paus Pilot ada di perairan sekitar Faroe. Tradisi Grindadrap hanya memburu
107
paus sekitar 950 paus setiap tahunnya walaupun tidak terlalu besar dibandingkan
dengan populasi paus secara keseluruhan di perairan Atlantik Utara. Namun
tradisi Grindadrap yang dilakukan setiap bulan Juli, Agustus, September adalah
bulan dimana musim kawin Paus Pilot biasanya dilakukan. Pada pemamparan
sebelumnya diketahui bahwa Paus Pilot yang berkembang biak adalah paus yang
berusia produktif . Hal tersebut berarti sebagian besar paus yang diburu dalam
tradisi Grindadrap adalah paus dalam usia produktif yang akan berkembang baik
di perairan sekitar Kepulauan Faroe. Dan jika dibandingkan dengan perburuan
paus komersial di negara-negara lain seperti Jepang, Norwegia dan Islandia yang
memburu paus untuk kepentingan komersial sebanyak 24, 381 ekor paus setiap
tahunnya, jumlah paus yang diburu dalam tradisi ini memang tidak terlalu
banyak. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ocean Care paus memiliki
peran penting dalam rantai makanan
yang mempengaruhi keseimbangan
lingkungan laut. Intergenerational Equity Principle menekankan bahwa
lingkungan hidup yang lestari dan baik juga juga merupakan hak generasi yang
akan datang. Meskipun jumlah populasi paus yang diburu dalam tradisi ini tidak
sebanding dengan jumlah paus yang diburu untuk kepentingan komersial dan
juga memang belum mengancam keseimbangan laut secara keseluruhan, bukan
tidak mungkin ancaman terhadap keseimbangan lingkungan laut dan ancaman
terhadap keberadaan populasi paus akan mengancam generasi yang akan datang.
Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum adalah sebagian
kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal
lainnya (Philipus Hadjon, 1987 : 38). Dalam penelitian ini, perlindungan hukum
terhadap paus berdasarkan hukum internasional penulis artikan bahwa hukum
internasional pun juga melindungi keberadaan paus dari tindakan atau hal-hal
yang dapat merugikan dan mengancam keberadaan paus. Hukum Internasional
melindungi paus secara hukum melalui ICRW memberikan konsekueni kepada
setiap negara yang telah meratifikasinya untuk menegakkan peraturan dan
menjalanka peraturan yang tercantum dalam konvensi. Denmark sebagai negara
peratifikasi ICRW memiliki kewajiban untuk menetapkan peraturan nasional
yang berlaku baik di negaranya maupun wilayah lain yang menjadi otoroitasnya
108
seperti halnya Kepulauan Faroe. Pada pemamparan sebelumnya disebutkan
bahwa berbagai upaya telah diupayaka untuk membuat kesepakatan antara
pemerintah Denmark dan Kepulauan Faroe untuk membuat perjajnjian tertulis
lebih lanjut yang mengatur persoalan perburuan paus dalam tradisi Grindadrap
sebagai bagian dari desakan dari IWC dan Europe Union, namun sampai saat ini
belum terlaksana. Pemerintah Kepulauan Faroe beralasan bahwa kegiatan
tersebut tidak melanggar aturan yang terdapat dalam ICRW dikarenakan belum
ada pengaturan lebih lanjut mengenai spesifikasi perburuan berdasarkan
keberlangsungan adat dan budaya di ICRW. Dalam hal ini pemerintah
Kepulauan Faroe mengatur keberlangsungan tradisi Grindadrap sendiri yang
dikeluarkan oleh Kementerian Perikanan yakni Whaling in the Faroe Island.
Pada pemamparan sebelumnya, pemeruintah Kepulauan Faroe beralasan bahwa
pihak lain tidak berhak mencampuri tradisi di Faroe. Hal tersebut sangat
beralasan dengan Hukum Internasional yang mengakui keberadaan tradisi
masyarakat adat sebagai bagian dari pengakuan Hukum Internasional terhadap
indigenous people dan juga berlaku self – determenation didalamnya. Seperti
yang diketahui sebelumnya tradisi Grindadrap merupakan tradisi yang turun
temurun berlangsung berabad-abad sebelumnya merupaka warisan adat dan
budaya dari suku Norse yang merupakan penduduk asli yang mendiami
Kepulauan Faroe sejak dulu. Dengan demikian, dalam hal ini keberlangsungan
tradisi Grindadrap tidak dapat dihentikan dan ditiadakan begitu saja sebab,
masyarakat Kepulauan Faroe berhak untuk terus melangsungkan tradisi tersebut
yang jelas dilindungi oleh Hukum Internasional.
Kemudian, diatur pula secara jelas pada pasal 32 (3) UNDRIP menegaskan
bahwa negara juga harus menyediakan mekanisme perlindungan terhadap
lingkungan. Hal demikian menjadi jelas jika sebuah tradisi yang berjalan juga
harus berlangsung selaras dengan perlindungan lingkungan. Pemerintah
Kepulauan Faroe menerapkan praktek tradisi Grindadrap dengan metode yang
meminimalisir kerusakan habitat Paus Pilot. Namun, kenyataanya pratek tradisi
Grindadrap belum sesuai sepenuhnya dengan pasal tersebut. Tradisi tersebut
sering dilakukan saat musim kawin dengan memburu paus berusia produktif,
109
dengan demikian akan mengancam kelestarian jenis daripada Paus Pilot apabila
perburuan dilakukan terus menerus dengan tidak memperhatikan siklus
reproduksi dari salah satu spesies highly migratory tersebut. Walaupun
demikian, pemerintah Kepualauan Faroe telah berupaya melakukan konservasi
Paus Pilot dan ekosistem laut di sekitar Kepulauan Faroe dengan bekerja sama
dengan organisasi internasional yang memiliki fokus terhadap konservasi
ekosistem laut, seperti NAMMO. Menjawab permasalahan pertama ini apakah
tradisi ini bertentangan dengan ICRW, maka penulis bersimpulan tradisi
Grindadrap telah melanggar ketentuan ICRW dikarenakan perburuan selain
untuk kepentingan ilmiah tidak dibolehkan. Tetapi secara universal , keberadaan
tradisi Grindadrap dan prakteknya memang tidak dapat disalahkan begitu saja
karena eksistensi indigenous people berserta budayanya tetap dilindungi oleh
UNDRIP.
Berdasarkan Pasal IX Konvensi Liability Convention 1992, yang diterapkan
pada kasus Cosmos 954 menunjukkan bahwa walaupun suatu kegiatan yang
berada dibawah pengawasan negara tertentu tetap sebagai kegiatan yang
potensial memberikan dampak lingkungan hidup secara global ( Ida Bagus, 2003
: 9). Maka dari itu Denmark secara jelas haruslah bertanggung jawab atas
pelaksanaan tradisi Grindadrap yang dilakukan. Kegiatan perburuan dalam
tradisi ini yang berlangsung terus menerus akan memberikan efek negatif jangka
panjang terhadap keseimbangan ekosistem laut. Tanggung jawab Denmark
diwujudkan dengan pembuatan peraturan lebih tegas dengan berkoordinasi
lanjut bersama pemerintah Kepulauan Faroe. Pemerintah Denmark lebih lanjut
harus mengatur secara jelas dalam peraturan nasionalnya dan berkoordinasi
dengan pemerintah Kepulauan Faroe untuk membuat peraturan jelas terkait
tradisi Grindadrap disertai upaya dan tindakan jelas terhadap perlindungan
populasi Paus Pilot dengan tetap tidak mengabaikan pengakuan hak-hak
masyarakat adat Faroe untuk tetap melangsungkan tradisi tersebut sebagai
bagian dari hak asasi manusia. Denmark dalam hal ini memberikan perlindungan
hukum terhadap paus dengan dua hal baik secara preventif yakni dengan cara
berhati-hati dalam mengaambil setiap keputusan dan secara represif yakni degan
110
cara membuat produk hukum nasional yang tegas agar dapat ditaati bersama oleh
masyarakat Denmark dan juga masyarakat Kepulauan Faroe.
2.
Tradisi Grindadrap Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Kepulauan Faroe
Berdasarkan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild
Fauna And Flora (CITES)
Pada dasarnya efektivitas hukum lingkungan internasional dapat dilihat dari
terlaksananya perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat soft (
declarations, resolutions), maupun bersifat hard (treaties dan agreements), yang
dibentuk melalui konferensi atau pertemuan-pertemuan internasional lainnya, baik
yang digerakkan atas inisiatif negara atau kelompok negara tertentu maupun oleh
UNEP ( United Nations Environmental Program) dan organisasi internasional
lainnya ( Ida Bagus, 2003 : 1).
Tabel 3.2.2 : The Structure of CITES
Pada tabel 3.2.2 diatas menunjukkan bahwa CITES memiliki hubungan dengan
UNEP. Sekretariat CITES diadministrasikan oleh UNEP dan terletak di Jenewa,
Swiss. Hal ini memiliki peran penting dan mendasar untuk pelaksanaan konvensi
dan fungsinya yang ditetapkan dalam Artcile XII di teks konvensi CITES . UNEP
memiliki peran dalam hal koordinasi sebagai penasehat, membantu komunikasi,
memantau pelaksanaan konvensi, mengatur pertemuan konferensi para pihak dan
komite permanen secara berkala dan mempersiapkan segala dokumen yag diperlukan
111
untuk pertemuan (https://www.cites.org/eng/disc/org.php diakses pada tanggal 10
Januari 2016 pada pukul 13.10 WIB. Denmark menjadi negara pihak konvensi
CITES pada tahun 1988 dan tak lama setelah itu, disampaikan pemberitahuan bahwa
peraturan CITES tidak akan berlaku di Kepulauan Faroe sampai Denmark
menerapkan instrumen yang sesuai untuk Kepulaua Faroe. Namun setelah lebih dari
tiga dekade, tidak ada implementasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup Denmark.
Kepulauan Faroe tidak terikat oleh peraturan CITES, maka dari itu bebas
memperdagangkan produk paus dengan ke negara lain bahkan negara yang
bergabung juga dengan CITES termasuk Islandia dan Norwegia. Denmark telah
gagal untuk bekerja dengan Kepulauan Faroe untuk kemajuan pelaksanaan peraturan
CITES. Sebaliknya, Denmark telah berulang kali menentang Resolusi IWC yang
mengkritik penangkapan paus komersial yang dilakukam oleh Norwegia ( Sandra
Altherr, 2011 : 11).
Pada bab sebelumnya dijelaskan bahwa CITES melarang segala bentuk
perdagangan spesies hewan dan tumbuhan yang masuk ke dalam daftar Appendix I
dan Appendix II. Salah satu paus yang menjadi objek perburuan utama dalam tradisi
Grindadrap adalah paus Pilot. Paus Pilot merupakan spesies hewan yang masuk ke
dalam daftar Appendix II. Appendix II meliputi spesies yang meskipun saat ini belum
terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah akibat perdagangan dan
eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan kelangsungan hidup mereka.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas manusia yang mengekploitasi
secara berlebihan dapat mengancam keberadaan spesies Appendix II. Paus Pilot
diburu setiap tahunnya secara rutin dalam tradisi ini, sehingga memungkinkan
terjadinya penurunan populasi paus Pilot kedepannya. Jika diuraikan, maka didapati
ada empat hal pokok yang menjadi dasar terbentuknya konvensi CITES, yaitu
(CITES,
KONVENSI
INTERNASIONAL
PERDAGANGAN
TSL,
http://www.ksda-bali.go.id/?P=314 diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 12.
17 WIB ) :
a. Perlunya perlindungan jangka panjang terhadap tumbuhan dam satwa
liar bagi manusia;
b. Meningkatnya nilai sumber tumbuhan dan satwa liar bagi manusia;
112
c. Peran dari masyarakat dan negara dalam usaha perlindungan tumbuhan
dan satwa liar sangat tinggi;
d. Makin mendsaknya kebutuhan suatu kerjasama internasional untuk
melindungi jenis-jenis tersebut dari over eksploitasi melalui kontrol
perdagangan internasional.
Negara-negara anggota Konvensi CITES (Parties) melakukan sidang setiap
dua setengah tahun dalam acara yang disebut Conference of the Parties (COP).
Keputusan yang dikeluarkan dalam sidang COP tersebut disebut sebagai
Resolution dan Decision dari Conference of the Parties, masing-masing
disingkat menjadi Res. Conf. dan Decision. Sejalan dengan pelaksanaan COP
dari tahun ke tahun, beberapa Resolution masih berlaku dan beberapa lainnya
ada yang tidak relevan lagi untuk diterapkan, sehingga dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Sampai COP ke-8 pada tahun 1992 telah dikeluarkan sebanyak 173
resolusi. Melihat jumlah tersebut tidaklah mengejutkan jika banyak negara
anggota dan pakar yang terlibat dalam perdagangan internasional dipusingkan
dengan peraturan apa yang dapat diberlakukan untuk suatu kasus tertentu. Pada
COP ke-10, sidang telah mereduksi jumlah resolusi menjadi 82 melalui proses
penggabungan beberapa resolusi yang mengatur masalah yang sama. Namun
demikian, jumlah Decision CITES pada COP ke-11 masih sebanyak 144.
Negara-negara yang menandatangani Konvensi disebut sebagai Parties dengan
meratifikasi, menerima dan menerapkan Konvensi CITES.
Pada akhir tahun 2003, semua negara penandatangan menjadi Parties.
Negara-negara yang tidak menandatangani Konvensi tersebut dapat menjadi
Parties dengan acceding Konvensi. Pada tanggal 21 Januari 2009, 175 negara
telah bergabung menjadi anggota Konvensi dimana Bosnia dan Herzegovina
sebagai negara terakhir yang bergabung. Sebanyak 18 negara anggota PBB tidak
menjadi anggota CITES, yaitu: Andorra, Angola, Bahrain, East Timor, Haiti,
Irak, Kiribati, Lebanon, Maldives, Pulau Marshall, Micronesia, Nauru, Koreaa
Utara, Sudan Selatan, Tajikistan, Tonga, Turkmenistan dan Tuvalu. Konvensi
CITES tidak berlaku di Kepulauan Faroe ( Tonny Soehartono, 2003 : 9 ).
113
Walaupun diketahui bahwa pada tahun 1977 Denmark juga telah meratifikasi
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora (CITES). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perburuan paus
yang diklasifikasikan menjadi beberapa jenis perburuan oleh IWC antara lain
Commercial Whaling, Aboriginal Subsitence Whaling (ASW) dan Special
Permit Whaling. ICRW melarang secara jelas perburuan paus yang bersifat
komersial dan membolehkan perburuan untuk kepentinga ilmiah. Untuk CITES,
penekanan pelarangan lebih kepada pelarangan penjualan produk-produk hasil
perburuan hewan-hewan yang terancam punah yang acap kali menjadi komoditi
perdagangan internasional. Larangan tersebut ada pada Article II mengenai
fundamental principle yang ada pada CITES sebagai berikut (CITES, 1973 : 4):
1. Appendix I shall include all species threatened with extinction
which are or may be affected by trade. Trade in specimens of these
species must be subject to particularly strict regulation in order
not to endanger further their survival and must only be authorized
in exceptional circumstances.
2. Appendix II shall include: (a) all species which although not
necessarily now threatened with extinction may become sounless
trade in specimens of such species is subject to strict regulation in
order to avoid utilization incompatible with their survival; and (b)
other species which must be subject to regulation in order that
trade in specimens of certain species referred to in sub-paragraph
(a) of this paragraph may be brought under effective control.
3. Appendix III shall include all species which any Party identifies
as being subject to regulation within its jurisdiction for the
purpose of preventing or restricting exploitation, and as needing
the co-operation of other Parties in the control of trade.
4. The Parties shall not allow trade in specimens of species included
in Appendices I, II and III except in accordance with the
provisions of the present Convention.
Adapun fundamental principle CITES diatas menegaskan bahwa Appendix
I mencakup semua spesies yang terancam punah akibat dipengaruhi oleh
perdagangan. Dalam hal ini beberapa spesies paus diperdagangkan secara
komersial yang akhirnya mengakibatkan penurunan populasinya. Perdagangan
spesimen dari spesies yang tergolong Appendix I harus dilindungi agar tidak
membahayakan kelangsungan hidup. Appendix II meliputi spesies yang
114
meskipun saat ini belum terancam punah tetapi suatu saat dapat menjadi punah
akibat perdagangan dan eksploitasi secara berlebihan yang membahayakan
kelangsungan hidup mereka. Dalam hal ini menunjukkan bahwa segala aktivitas
manusia yang mengekploitasi secara berlebihan dapat mengancam keberadaan
spesies Appendix II. Beberapa paus juga kerap diburu manusia untuk
kepentingan tertentu seperti kegiatan penelitian maupun perburuan yang
didasarkan atas budaya masyarakat tertentu. Appendix III mencakup semua
spesies yang diidentifikasikan oleh negara anggota yang sebagaimana
mengetahui lebih jaus keberadaan populasi spesies tertentu yang selanjutnya
diaturan ke dalam yuridiksi nasional masing-masing bertujua untuk mencegah
dan membatasi eksploitasi. Penegakan dilakukan oleh setiap negara tetapi tetap
membutuhkan kerja sama dari negara dan pihak lainnya. Setiap negara anggota
CITES dan negara pihak yang telah menyepakati konvensi ini lebih lajut tidak
mengizinkan perdagangan spesimen spesies-spesies yang ada pada daftar
Appendix I, Appendix II maupun Appendix III.
Buku yang berjudul Whales and Elephants in International Conservation
Law and Politics : A Comparative Study oleh Ed Couzens menjelaskan bahwa
pada pertemuan IWC yang ke 46, terdapat usulan terkait produk-produk daging
paus yang dianggap dan seharusnya dibolehkan. Proposal tersebut diajukan oleh
Argentina, Australia, Brasil, India, Monaco, Selandia Baru dan Amerika Serikat.
Denmark mendukung usulan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Denmark
secarara tidak langsung mendukung perdagangan produk paus diperjelas dengan
spesifikasi yang jelas. Namun pada pertemuan ini usulan tersebut ditolak,
dikarenakan CITES konsisten membendung segala bentuk segala jenis produk
perdagangan paus yang terancam punah, terutama yang masuk kedalam daftar
Appendix I dan Appendix II ( Ed Couzens , 2009: 54 ). Perburuan paus saat ini
menjadi isu yang kontroversial. Menurut Ian Hurd, 3 (tiga) hal yang harus
ditelaah dalam isu perburuan paus ialah norma-norma internasional, peraturan
internasional dan pasar internasional. Rezim hukum internasional tentang
perburuan paus dibentuk oleh CITES dan ICRW 1946. ICRW yang lebih lanjut
menciptakan IWC yang bertugas menetapkan kuota tangkapan paus bagi para
115
anggotanya. Efek keseluruhan dari rezim ini adalah saat ini perburuan paus yang
bersifat komersial dilarang oleh IWC dan perdagangan internasional produk
paus yang spesiesnya terancam punah dilarang oleh CITES. Namun, perjajian
ini hanya berlaku sebatas pemerintah negara anggota telah setuju dan membuat
instrumen hukum nasional lebih lanjut. Empat entitas di Eropa yang saat ini
terlibat dalam perburuan paus ialah Islandia, Norwegia, Greenland, dan
Kepulauan Faroe. Semua nya adalah anggota Komisi Penangkapan Ikan Paus
Internasional (IWC) dan tidak merupakan anggota Uni Eropa. Keempatnya
memiliki struktur industri dan pengaturan hukum bagi penangkapan paus yang
berbeda. Norwegia melaporkan kepada IWC telah memburu paus sebayak 533
paus pada 2011, meskipun pemerintah mengeluarkan izin tangkapan paus untuk
sekitar 1.200 paus. Paus yang diburu adalah paus minke, yang diburu di musim
panas di pantai lepas utara Norwegia. Mereka diburu dari perahu kecil
menggunakan granat yang melekat tombak, yang ditembak dari meriam ke dada
paus. Daging hampir semua dijual dan dikonsumsi secara lokal, dengan jumlah
kecil diekspor ke Kepulauan Faroe dan (dalam beberapa tahun terakhir) ke
Jepang. Sementara Islandia berburu paus minke (sekitar 215 tahun 2012) di
Atlantik Utara, serta paus sirip. Paus Minke dikonsumsi secara lokal di Islandia,
sementara paus sirip diekspor ke Jepang.
Paus sirip diklasifikasikan sebagai spesies yang terancam punah oleh
konvensi CITES yang masuk kedalam Appendix I atau "terancam punah"
sehingga perdagangan internasional dalam produk ini dianggap ilegal.
Greenland dan Kepulauan Faroe keduanya bagian dari Kerajaan Denmark, tetapi
untuk hal-hal penangkapan paus (dan banyak lagi) secara otonom bukan menjadi
urusan dari pemerintah Denmark.
Greenland dan Kepulauan Faroe
memungkinkan berburu paus meskipun Denmark tidak melakukannya. Menurut
Ian, hal ini membuat posisi perwakilan Denmark menjadi sulit dalam setiap
pertemuan IWC. Greenland memiliki budaya beburu paus secara musiman yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok aborigin dengan menangkap sekitar 100
paus minke dan 10 paus sirip per tahun, serta beberapa paus bungkuk dan paus
kepala busur. Kepulauan Faroe berburu paus pilot dalam suatu tradisi
116
Grindadrap atau sejenis festival rakyat. Daging paus dibawa pulang oleh para
peserta festival. Daging paus dikonsumsi dan diperdagangkan ke wisatawan dan
secara diam-diam diperdagangkan ke negara lain seperti Islandia, Norwegia,
Greenland dan Jepang (http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whalingeurope-eu-norway-iceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whalingcommission/ diakses pada tanggal 11 Januari 2016, pada pukul 13.55 WIB).
Masuknya paus Minke dan paus besar lainnya ke dalam daftar Appendix I
yang terancam punah, membuat Kepulauan Faroe mengambil celah dengan
menargetkan memburu paus Pilot dan beberapa cetacean kecil lain seperti
lumba-lumba yang hanya masuk ke dalam Appendix II dengan status belum
terancam punah tetapi berpotensi terancam punah apabila di perdagangkan dan
dieksploitasi secara berlebihan. Perdangan internasional produk paus dibatasi
lebih lanjut oleh CITES dan aturan Uni Eropa. Konvensi CITES melarang
ekspor dan impor produk dari spesies paus yang masuk ke dalam Appendix I dan
Appendix II. Jika direlevansikan maka paus Pilot tercakup dalam aturan ini. Hal
ini juga diatur oleh IWC yang mengatur beberapa aspek terkait perdagangan
internasional segala produk hasil perburuan paus untuk negara IWC dan negara
non-IWC
(http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whaling-europe-eu-
norway-iceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whalingcommission/ diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul 14.07 WIB).
Kemudian dilihat dari sisi keanggotaan Kepulauan Faroe di Uni Eropa,
diketahui Kepulauan Faroe tidak menjadi anggota Uni Eropa walaupun
Denmark menjadi anggota Uni Eropa. Uni Eropa memiliki pengaruh terhadap
perburuan paus dalam 2 (dua) hal yakni : Pertama, Uni Eropa melarang
perburuan paus komersial dan kegiatan impor paus oleh anggotanya. Dengan
demikian, pasar internasional di Eropa tidak bersedia bila Islandi dan Norwegia
ingin mengekspor produk paus. Tetapi tidak untuk Kepulauan Faroe yang bukan
menjadi anggota Uni Eropa. Kedua, Uni Eropa menutup entitas yang selama ini
menjadi pemburu paus, seperti Kepulauan Faroe. Menurut Ian, secara mutlak
Uni Eropa melarang perburuan paus secara komersial dan perburuan paus non
komersial
yang
dikomersialkan
secara
sengaja
117
(http://blogs.lse.ac.uk/europpblog/2013/02/18/whaling-europe-eu-norwayiceland-greenland-faroe-islands-cites-international-whaling-commission/
diakses pada tanggal 11 Januari 2016 pada pukul 14.14 WIB). Melihat kondisi
demikian, menunjukkan bahwa hasil perburuan paus tradisi Grindadrap yang
diperjualbelikan ke wisatawan dan diekspor ke negara lain, padahal tradisi
tersebut pada dasarnya adalah perburuan yang menjadi bagian dari budaya
masyarakat
Faroe,
dimungkinkan
akan
tidak
diperbolehkan
dengan
pertimbangan terhadap aturan yang ada pada IWC dan CITES.
Menurut Ian Hurd, pasar internasional dalam hal penjualan produk paus
tercatat bahwa konsumsi produk paus rata-rata terhubung oleh perburuan paus.
Biasanya masyarakat yang berburu paus juga ikut mengonsumsinya. Peran
pemerintah di setiap negara akan dapat membantu mengurangi perburuan paus
di masa depan. Seperti permasalahan antara Kepulauan Faroe dan Denmark yang
kurang terkoordinasi mengakibatkan praktek perburuan paus masih saja
dilakukan. Walaupun saat ini paus Pilot hanya sebagai spesies dalam daftar
Appendix II, keberedaannya sudah dilindungi menjadi komoditi perdagangan
internasional. Walaupun kenyataannya Kepulauan Faroe bukan merupakan
anggota CITES dan juga bukan merupakan anggota Uni Eropa, tetapi
keberadaan paus Pilot tetap dilindungi oleh konvensi ini. Mengenai masalah
bertentangan atau tidaknya tradisi ini berdasarkan CITES akan lebih mudah
memahaminya dengan The Principle of Pacta Sunt Servanda. Istliah Pacta Sunt
Servanda berasal dari bahasa latin sejak zaman romawi yang berarti kesepakatan
harus tetap. Istilah ini diadopsi sebagai prinsip dasar untuk mengatur perjanjian
dalam hukum internasional. Article 26 Konvensi Wina tetang Hukum Perjanjian
mengatakan bahwa : "Every treaty in force is binding upon the parties to it and
must be performed by them in good faith";.. Artinya bahwa setiap perjanjian
yang berlaku adalah mengikat bagi para pihak untuk itu dan harus dilakukan oleh
para pembuat perjanjian dengan itikad baik. Selanjutnya prinsip ini banyak
digunakan untuk pengaturan hukum internasional di negara-negara dan
kesepakatan internasional lainnya. Prinsip ini juga merupakan dasar penegakan
hukum internasional yang mengikat (Yusuf Caliskan, 2008 : 12).
118
Denmark telah meratifikasi CITES, sehingga sudah menjadi kewajiban
Denmark unttuk mengimplementasikan di negaranya dan berkewajiban
melakukan koordinasi secara optimal dengan pemerintah Kepulauan Faroe.
Kepulauan Faroe bukanlah anggota CITES sehingga pelaksanaan CITES tidak
terikat untuk Kepulauan Faroe. Walaupun persoalan perikanan menjadi hak
otonom dari Kepulauan Faroe, menurut teori Kesalahan (Fault Theory) yang
melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau
tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa
tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat
dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu relevan atas permasalahan
ini. Teori Kesalahan juga dapat diterpakan dalam kasus budaya perburuan paus
di Kepulauan Faroe sebagai bagian dari Kerajaan Denmark, karena terdapat
kesalahan yang dilakukan oleh Denmark. Denmark telah melanggar peraturan
yang telah diterapkan oleh CITES. Kesalahan tersebut ada pada posisi Denmark
yang kurang dapat mengoptimalkan pelaksanaan koordinasi dengan Kepulauan
Faroe. Posisi Kepulauan Faroe yang bukan menjadi anggota CITES, telah
merugikan Denmark, Kerugian tersebut ada pada seringnya ketidakkonsistenan
pernyataan dan sikap Denmark dalam setiap pertemuan IWC, CITES dan Uni
Eropa yang lebih cenderung mencari celah untuk melegalkan perburuan paus di
wilayah yang menjadi bagiannya seperti Norwega, Islandia, Greenland dan
Kepulauan Faroe. Sehingga sering menimbulkan kritikan dari negara lainnya
(Dwi Ariani, 2013 : 10). Dengan demikian, penulis bersimpulan bahwa tradisi
Grindadrap bertentangan dengan CITES. Perburuan paus yang berlebihan
secara ilegal mengatasnamakan tradisi Grindadrap ini telah jelas melanggar
aturan CITES yang telah diratifikasi oleh Denmark.
Mekanisme perlindungan terhadap paus pilot yang diberikan oleh CITES
dengan mengategorikan ke dalam Appendix II, sudah menjadi tuntutan Denmark
untuk memberikan pengawasan dan pemantauan tradisi Grindadrap di
Kepulauan Faroe. Dengan ditemukannya fakta-fakta bahwa terjadi pelanggaran
dengan dijualnya sebagian daging paus kepada wisatawan dan negara lain.
Aktivitas tersebut apabila direlevansikan ke dalam CITES tentu merupakan
119
aktivitas yang dilarang dan ilegal yang tidak dapat dibenarkan oleh konvensi
CITES. Selama ini CITES tidak bisa memberikan sanksi terhadap hal ini akibat
status keanggotaan Kepulauan Faroe. Sehingga, tradisi Grindadrap berdasarkan
CITES bertentangan karena ditemukan fakta tradisi tersebut melenceng dari
kegiatan aslinya. Namun, Kepulauan Faroe atas tradisi ini tidak dapat
disalahkan, karena tidak terikat dengan konvensi ini. Mochtar menunjukan
bahwa dibalik kepentingan nasional setiap negara, setiap negara juga
mempunyai kepentingan yang
bersifat
“kepentingan bersama”,
yaitu
kepentingan yang muncul dari sifat-sifat dasar setiap masyarakat. Menurut
Fergus Watt :
“It is axiomatic that we as individuals or groups of individuals
share territory in resources. We need to define common norms of
behaviour. This is true wether we are speaking of a family, small
town, a province of country , of the world community”
Baik terikat maupun tidak terikat pada CITES, Denmark dan Kepulauan
Faroe sama-sama memiliki tanggung jawab yang sama untuk pelestarian
lingkungan hidup. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 ( Declaration of the
United Nations Conference on the Human Environment) menyatakan (Ida
Bagus, 2003 : 7) :
“States have, ini accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the sovereign
right to exploit their own resources pursuant to their own
environmental policies “.
Prinsip tersebut membenarkan penempatan lingkungan hidup sebagai objek
kekuasaan dan hukum suatu negara, dan karenanya lingkungan hidup dalam
status demikian tunduk kepada hukum nasional tertentu, terutama dengan
ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk
memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak
menimbulkan kerugian terhadap atau pihak lain. Prinsip 21 Deklarasi Stockholm
1972 lebih jauh menyatakan ( Ida Bagus, 2003 : 7) :
“States have, in accordancewith the Charter of the United Nations
and the principle of international law, ..... responsibility to ensure
that activities within their jurisdiction or control do not cause
120
damage to the environment of other States or of areas beyond the
limits of national jurisdiction”.
Sejatinya walaupun Kepulauan Faroe bukan merupakan anggota CITES
tetap seharusnya dapat meninjau segala aktivitas masyarakatnya dan instrumen
hukum nasionalnya agar sinergis dengan kebijakan lingkungan global dan tidak
merugikan banyak pihak. Menyikapi persoalan ini, pihak CITES belum dapat
memberikan resolusi, sanksi ataupun sikap terhadap Kepulauan Faroe. Sejauh
ini upaya yang telah dilakukan pihak CITES untuk menekan laju perdagangan
internasional hewan dan tumbuhan yang teracam punah termasuk paus adalah
dengan melakukan tindakan konservasi. Sejauh ini CITES hanya dapat
memberikan tekanan terhadap Denmark yang merupakan anggota CITES agar
bersikap objektif dan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Kepulauan
Faroe. Belum ada pula teguran ataupun sanksi untuk Denmark sendiri,
dikarenakan secara objektif memang Denmark tidak melakukan perdagangan
paus. Namun, dikatakan relevan bahwa perdagangan daging paus tidak sesuai
dengan aturan CITES dan memungkinkan apabila terdapat desakan yang lebih
kuat dari masyarakat internasional bukan tidak mungkin pelaksanaan tradisi ini
akan diberhentikan apabila benar ditemukan fakta adanya penyimpangan seperti
dijualnya daging paus sebagai komoditi perdagangan dengan telah dijelaskan
sebelumnya berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Birgith
Sloth pada jurnal ilmiah Ocean Care, yang berjudul The Faroe Islands Support
Commercial Whaling ditemukan fakta terjadinya perdagangan hasil perburuann
dalam tradisi Grindadrap. Bahwa pada tahun 2008 disebutkan adanya
pengiriman daging Paus Pilot seberat 11.516 kg atau setara dengan 160 ekor
paus dari Kepulauan Faroe ke Norwegia. Kemudian pada tahun yang sama
terdapat pengiriman sebanyak 500 kg daging atau setara dengan 10 ekor Paus
Pilot dari Kepulauan Faroe ke Islandia (Birgith Sloth, 2009 : 4).
121
BAB IV
PENUTUP
.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Perlindungan terhadap paus dari tindakan illegal whale over fishing atau
perburuan paus secara illegal yang berlebihan berdasarkan International
Convention For Regulation of Whaling (ICRW) dilakukan oleh International
Whaling Commission (IWC) dengan melakukan beberapa upaya sepeti memberikan
moratorium
terhadap
jenis
perburuan
paus
komersial
(Commercial
Whaling),menetapkan kuota tangkapan perburuan untuk beberapa wilayah tertentu
yang melakukan perburuan berdasarkan budaya atau kebiasaan masyarakat yakni
Aboriginal Subsitence Whaling (ASW), memantau dan memberikan pengawasan
ketat terhadap kegiatan perburuan untuk kegiatan penelitian (Scientific Whaling),
memberikan rekomendasi terhadap organisasi-organisasi internasional, Mahkamah
Internasional, dan melakukan program konservasi paus. Selanjutnya perlindungan
terhadap paus dari tindakan illegal whale over fishing atau perburuan paus secara
illegal yang berlebihan berdasarkan Convention On International Trade In
Endangered Species Of Wild Fauna And Flora (CITES) ialah dengan melakukan
upaya pelarangan segala aktivitas perdagangan internasional yang menggunakan
hewan dan tumbuhan yang terancam punah dari hasil perburuan termasuk beberapa
spesies paus sebagai komoditinya. Mekanisme perlindungan yang dilakukan ialah
dengan menetapkan beberapa kategori spesies ke dalam Appendix I, Appendix II,
dan Appendix III. Pertemuan CITES
meminta negara anggota untuk
mengimplementasikan upaya lebih lanjut menggunakan hukum nasional masingmasing. Komite CITES melakukan bermacam-macam program konservasi yang
diawasi dan dipantau langsung oleh United Nations Environment Programme
dibawah naungan United Nations (UN) ;
122
2. Tradisi Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe
berdasarkan International Convention For Regulation of Whaling (ICRW)
bertentangan dengan ICRW. Hal tersebut dikarenakan International Convention
For Regulation of Whaling (ICRW) hanya membolehkan perburuan untuk kegiatan
penelitian ilmiah. Walaupun International Whaling Commission (IWC) belum
menetapkan wilayah Kepulauan Faroe ke dalam kuota tangkapan Aboriginal
Subsitence Whaling (ASW), tetapi Kepulauan Faroe tterikat dengan Kerajaan
Denmark yang telah meratifikasi International Convention For Regulation of
Whaling (ICRW), walaupun untuk urusan perikanan dan sumber daya alam,
pemerintah Kepulauan Faroe menanganinya secara mandiri. Sementara itu, tradisi
Grindadrap yang dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Faroe bertentangan
dengan Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna
And Flora (CITES). Hal tersebut dikarenakan, hasil perburuan paus dalam tradisi
ini khususnya paus Pilot yang mana terdaftar ke dalam Appendix II tidak lagi
dikonsumsi masyarakat lokal saja. Namun daging dan lemak paus Pilot sebagian
diperdagangkan kepada para wisatawan dan sebagian lagi dijual ke negara lain
seperti Islandia dan Norwegia. Denmark harus bertanggung jawab atas persoalan
ini dikarenakan Denmark telah meratifikasi CITES. Selama ini Denmark telah
gagal melakukan koordinasi dengan pemerintah Kepulauan Faroe, sehingga
menyulitkan posisi Denmark dalam keanggotaan CITES.
B. Saran
1. Kepada pemerintah Denmark, harus lebih mengoptimalkan penegakan hukum
dan perlindungan hukum terhadap paus dengan cara berkoordinasi dengan
pemerintah Kepulauan Faroe untuk membentuk produk hukum nasional secara jelas
dalam mengatur pelaksanaan tradisi Grindadrap agar tidak bertentangan dengan
ICRW maupun CITES, namun dengan tetap tidak mengabaikan hak-hak
masyarakat Kepualauan Faroe sebagai indigineous people yang diakui hak dan
keberadaanya oleh Hukum Internasional ;
123
2. Kepada pemerintah Denmark, seharusnya mengadakan pengawasan lebih ketat
dan mengadakan berbagai macam program konservasi bersama pemerintah
Kepulauan Faroe untuk meningkatkan jumlah populasi Paus Pilot. ;
3. Kepada International Whaling Comission dan CITES Organization harus dapat
mengoptimalkan koordinasi terhadap pemerintah Denmark , agar pemerintah
Denmark bertindak lebih tegas terhadap pemerintah Kepulauan Faroe ;
Download