BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengelolaan Konflik 2.1.1 Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Pengelolaan Konflik
2.1.1 Pengertian Pengelolaan Konflik
Dalam sebuah organisasi apapun bentuk dan jenisnya merupakan
himpunan sejumlah manusia (dua atau lebih) yang bekerja sama selalu terjadi
benturan-benturan, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok
dengan yang disebut konflik dalam bekerja. Dengan kata lain dalam kehidupan
organisasi yang didalamnya terlibat interaksi sejumlah manusia sebagai
karyawan/anggota organisasi, terjadi konflik merupakan fakta yang tak dapat
dihindari. (Nawawi, 2006: 332)
Oleh karena itu apapun bentuk konflik yang terjadi di dalam suau
organisasi, secara pasti berakibat pada pelaksanaan pekerjaan yang tidak efektif
dan tidak efesien. Untuk itulah setiap pemimpin harus mampu menyelesaikan atau
sekurang-kurangnya membantu penyelesaian konflik yang terjadi dalam
organisasi. Dengan bentuk manajemen konflik secara maksimal.
Konflik menurut kartini kartono (dalam Nawawi, 2006: 333)
mengatakan bahwa konflik adalah oposisi interaktif berupa antagonisme
(pertentangan), benturan paham, perselisihan, kurang mufakat, pergeseran,
perkelahian, tawuran, benturan senjata dan perang.
9
10
Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua
pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsikan adanya intervensi
dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran.
Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya
ketidaksepakatan. Menurut Robins dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah
suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk
menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk
mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Digilamo dalam
Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses yang dimulai ketika individu
atau kelompok merasa ada perbedaan dan oposisi antara dirinya sendiri dan
orang lain atau kelompok tentang kepentingannya dan sumber daya,
kepercayaan, nilai-nilai, atau kebiasaan itu berarti bagi mereka”.
Sedarmayanti
(2000:137)
mengemukakan
“konflik
merupakan
perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan atau pihak
saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai
(values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior)”.
Beberapa defenisi tentang konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik
adalah suatu proses yang terjadi antara manusia dalam interaksinya dengan
orang lain disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan
perbedaaan pandangan dalam suatu masalah.
11
Berkaitan dengan pengertian konflik di atas maka dapat diartikan bahwa
konflik diawali dengan persaingan, sehingga selama ada individu maupun
kelompok yang dinamis dan memiliki vitalitas besar untuk mengembangkan
diri, kelompok atau organisasi, maka selama itu pula terdapat potensi konflik di
lingkungan sebuah organisasi.
Menurut Fren Luthans konflik berarti suatu kondisi pertentangan antar
tujuan berdasarkan nilai-nilai dan sasaran-sasaran di dalamnya, yang
berdampak timbulnya perilaku dan emosi yang tidak sama dan mengarah pada
permusuhan dan pertikaian. (dalam Nawawi, 2006: 333)
Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu
perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak
selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada
keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan
sangat erat hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan beberapa
pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin
mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah
menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan
cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan
bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki
rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak
berada dalam keadaan konflik.
12
Dengan demikian manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan
reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen
konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang
mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku
maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan
(interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai
pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi
konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada
kepercayaan terhadap pihak ketiga (Ardi Maulidy Navastara, 2007).
Menurut James A.F.Stoner dan Charles Wankel (dalam Goleman, 2002:
98) mengemukakan bahwa ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar
kelompok dan konflik antar organisasi. Jenis-jenis konflik ini juga terjadi dalam
dunia pendidikan. Secara detailnya dapat diuraikan seperti dibawah ini :
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri.
Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan
yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik
intrapersonal yaitu:
1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada
dua pilihan yang sama-sama menarik.
13
2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan
pada dua pilihan yang sama menyulitkan.
3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan
pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
b. Konflik Interpersonal
Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang
lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi
antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain.
c. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok (Intergroub)
Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi
tekanan-tekanan oleh kelompok kerja mereka.
d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama (Intraorganisasi)
Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam
organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja –
manajemen merupakandua macam bidang konflik antar kelompok.
e. Konflik antara organisasi (Interorganisasi)
Dalam pendidikan konflik semacam ini dapat terjadi seperti konflik
antara satu sekolah dengan sekolah lainnya.
Semua
bentuk-bentuk
konflik
tersebut
dapat
menimbulkan
konsekuensi, baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2004: 174175) ada tiga faktor yang menentukan apakah suatu konflik akan berimbang,
14
bermanfaat atau merusak:, yaitu: (a) tingkat pertikaian/konflik; (b) susunan dan
iklim dalam organisasi; dan (c) cara mengelola konflik.
2.1.2. Konflik-Konflik di Kelas
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu
organisasi pendidikan antara lain adalah: berbagai sumber daya yang langka
ditemukan disekolah, perbedaan dalam tujuan antara manager dengan guru,
saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan, perbedaan dalam nilai
atau persepsi. Selain sebab-sebab di atas, ada juga sebab lain yang mungkin
dapat menimbulkan konflik dalam pendidikan misalnya gaya seseorang dalam
bekerja, ketidakjelasan organisasi (terutama lembaga swasta) dan masalahmasalah komunikasi yang tidak terarah.
Konflik-konflik yang terjadi di sekolah, seperti juga konflik-konflik yang
terjadi di masyarakat atau organisasi yang lain, menyangkut manusia dalam
organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut segi manusia adalah rumit dan
apabila tidak dibina dengan baik, akan merusak organisasi. Sebaliknya bila
ditangani secara seksama, akan merupakan faktor yang esensial bagi
pencapaian efektivitas dan tujuan organisasi.
Konflik-konflik yang terjadi di Kelas dapat dibedakan menjadi: (1)
konflik internal individu; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok;
(4) konflik antarorganisasi.
15
Konflik internal individu, terjadi pada siswa yang seringkali mendapatkan
tugas tambahan dari guru padahal banyak tuntutan pekerjaan rumah yang harus
diselesaikan.
Apabila siswa tersebut tidak dapat menghadapinya, maka akan terjadi
stres. Stres merupakan suatu produk tambahan yang kerap kali muncul pada
konflik di dalam individu sendiri (Goleman, 1987). Konflik internal siswa ini,
tidak hanya meresahkan individu siswa itu sendiri, melainkan juga dapat
meresah kan para guru yang berhubungan dengannya di sekolah.
Konflik antarpribadi, terjadi antar siswa atau antara siswa dan guru.
Sifatnya bisa substantif atau emosional. Konflik substantif, berupa perbedaan
atau
pertentangan
tentang
aspek-aspek
akademik
sekolah,
seperti
ketidakseimbangan distribusi beban tugas atau kerja di antara siswa. Konflik
emosional, berupa perbedaan atau pertentangan kepentingan, kebutuhan
antarsiswa yang bersifat individual.. Konflik antarpribadi ini merupakan jenis
konflik yang sering dihadapi oleh para siswa.
Konflik antar kelompok, terjadi antara kelompok-kelompok siswa di
sekolah. Konflik antarkelompok siswa atau antara kelas ini bisa terjadi karena
perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme, kepentingan,
kebutuhandan sebagainya dari masing-masing kelas antara siswa.
Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antarorganisasi intra
sekolah, seperti antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain,
16
antara siswa dengan Komite
Sekolah, dll. Pada umumnya
konflik
antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi
dalam mencapai tujuannya masing-masing.
Konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh
perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap
menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi di sekolah,
seperti guru sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, sering tidak
masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan
belajar, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan
sesama siswa, berpikir agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah, dan
atau melakukan pencurian secara kecil-kecilan, merupakan persoalan-persoalan
di kelas yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh
guru.
Seperti konflik umumnya, konflik-konflik yang terjadi di kelas juga
dapat disebabkan karena faktor suasana kelas yang membosankan, persaingan,
tuntutan yang berlebiham, atau variasi aktivitas.
2.2.1. Faktor-Faktor yang menimbulkan Konflik
Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya
manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik
menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan
memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak
17
penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku
menghindar dalam menghadapi konflik.
Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik yaitu
sebagai berikut:
1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki
pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan
pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat
menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan
sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika
berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik,
tetapi ada pula yang merasa terhibur.
2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi
yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola
pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda
itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu
konflik.
18
3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan,
masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbedabeda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk
tujuan yang berbeda-beda.
4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut
dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan
yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan
konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang
biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai
masyarakat
industri.
Nilai-nilai
yang
berubah
itu
seperti
nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal
perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilainilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia
industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
19
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan
terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap
mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada.
Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap
pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun
nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain:
a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan
masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan
mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan.
b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding),
misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan
oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman,
kurang simpati dan kebencian.
c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena
tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masingmasing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang
nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan
konflik yang mengakibatkan kerugian baik secara materi, moral, maupun sosial.
d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan
seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitive maka dianggap
merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak
termasuk perbuatan yang salah.
20
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaanperbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian,
pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan
situasi yang wajar dalam setiap siswa dan tidak satu siswa pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar temannya atau dengan kelompok kelas
lainnya.
2.2. Hakikat Kecerdasan Emosional
2.2.1. Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak
menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal
mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada
suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan
untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan
dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana
hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong
seseorang berperilaku menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi,
emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi
21
dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat
mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain
Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci),
Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan).
Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta).
Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan
beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :
a. Amarah
: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan
: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi
diri,
putus asa
c. Rasa takut
: cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali,
waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan
: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta
: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut
: terkesiap, terkejut
g. Jengkel
: hina, jijik, muak, mual, tidak suka
h. malu
: malu hati, kesal
22
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman
pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu
mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap
stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara
filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah
menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih
dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan
kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak
terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya
bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan
cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya
khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam
dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi
setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih
bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku
terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
23
2.2.2. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (Emotional Intellegence) terdiri dari dua
perkataan yakni perkataan Kecerdasan dan Emosional yang mengandung satu
pengertian, namun untuk memahaminya harus diawali dengan menjelaskannya
pengertiannya satu per satu.
Kecerdasan berasal dari bahasa latin “ intellegere “ yang berati mengerti.
Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual individu. Sehubungan
dengan itu secara lebih terurai kecerdasan diartikan sebagai kemampuan
individu untuk memahami secara cepat esensi suatu keadaan baru yang
dihadapi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut.
Kecerdasan juga diartikan sebagai kemampuan berfikir atau kemampuan
memecahkan masalah, sebagai penggunaan intelektual individu secara kongkrit
(nyata). Di samping itu kecerdasan juga diartikan sebagai kualitas mental secara
umum yang mencakup kemampuan belajar dari pengalaman, kemampuan
menyesuaikan diri dengan situasi baru dan kemampuan memahami konsepkonsep yang abstrak dan komplek. Beberapa pengertian kecerdasan tersebut di
atas, secara sederhana dapat diidentifikasikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah. (Nawawi, 2006: 231)
Martin L Barbara dan Leslie J Briggs (dalam, Nawawi 2006:238)
mengatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran yang khas, suatu kondisi
biologis dan psikologis, serta kecenderungan untuk bertindak. Pengertian ini
24
menitikberatkan emosi pada hubungan pikiran dan perasaan sebagai kondisi
khas berbeda dari kondisi normal, yang berarti juga emosi dapat dikendalikan
pikiran, sebaliknya pikiran dapat dipengaruhi emosi.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan (Abality), mengindera,
memahami dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai sumber
energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Artinya kemampuan
menerapkan daya daya kepekaan emosi untuk mencapai keberhasilan dalam
kehidupan bersama orang lain.
Kecerdasan emosional tidak muncul dari pemikiran intelektual, tetapi
pekerjaan hati manusia, sebaliknya manusia tidak cukup hanya memiliki
perasaan tanpa kecerdasan. Oleh karena itulah dengan memiliki kedua
kemampuan itu manusia dapat belajar mengakui, memahami dan menghargai
perasaan dirinya sendiri dan perasaan orang lain agar dapat menaggapinya
secara tepat. Demikian pula mampu mendayagunakan secara efektif informasi
dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kondisi individu
seperti diuraikan di atas, sangat penting bagi seseorang yang berperan sebagai
pemimpin yang dibutuhkannya dalam
Kepemimpinan dengan Pendekatan Kecerdasan Emosional merupakan
Kepemimpinan yang Berdasarkan pada upaya maksimalisasi kemampuan
interpersonal
dan
intrapersonal
pemimpin.
Kemampuan
interpersonal
merupakan kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang efektif dalam
25
organisasi meliputi : megelola kritik yang membangun, mengelola keragaman,
megelola kecerdasan kelompok (Goleman, 2011).
Kepemimpinan berdasar kecerdasan emosional merupakan pendekatan
baru dalam ilmu manajemen (Goleman,2001; Goleman, 1995;Cooper Dan
Sawaf, 1999). Goleman (1995) ahli Psikologi dari Harvard University,
meluncurkan hasil sejumlah penelitian, membuktikan pengaruh kecerdasan
emosi pemimpin untuk mencapai puncak karir. Ia menjelaskan ruang lingkup
kecerdasan emosi yaitu kecakapan pribadi meliputi kesadaran diri, pengaturan
diri, dan motivasi, dan kecakapan sosial meliputi empati, kesadaran terhadap
perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, dan keterampilan sosial yaitu
kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain (Goleman,
2001). Kepemimpinan ini menekankan fungsi kemampuan emosional dalam
melakukan komunikasi organisas, dimana berangkat dari asumsi bahwa
kepemimpinan merupakan hubungan manusiawi yang secara intensif melibatkan
aspek-aspek manusiawi, baik bersifat intrapersonal atau interpersonal.
Kecerdasan emosional (emotional intelligence) dapat diartikan sebagai
kemampuan merasakan dan memahami kepekaan emosi diri maupun emosi
orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk
mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan,
mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir, mampu membaca dan memahami perasaan terdalam orang
26
lain (empati) dan berdoa, memelihara hubungan baik, menyelesaikan konflik,
serta mampu memimpin.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat
menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan
terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam
pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan KE bukanlah lawan keterampilan KI atau keterampilan
kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, KE tidak begitu dipengaruhi oleh
faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh
Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan
sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner (dalam Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan
hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses
dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh
varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik,
interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai
kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut
emosional.
sebagai kecerdasan
27
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar
pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi
mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan
kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang
korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan
membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta
kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh
kehidupan secara efektif.” (dalam Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar
pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan
tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam
kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia
mencantumkan
kemampuan
“akses
untuk
menuju
perasaan-perasaan
membedakan
diri
perasaan-perasaan
seseorang
tersebut
dan
serta
memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (dalam Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey
(dalam Goleman, 2002:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan
intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan
emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
28
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to
manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan
pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional
adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
2.2.3. Faktor Kecerdasan Emosional
Nawawi (2006:249) dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional
yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima
kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri (Kecerdasan Diri)
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan
dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran
diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap
suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka
29
individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan
salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu
mudah menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi (Pengaturan Diri)
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan,
yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan
kita (Goleman, 2002: 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur
diri
sendiri,
melepaskan
kecemasan,
kemurungan
atau
ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan
untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri (Motivasi)
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan
motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain (empati)
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati.
Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang
30
lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang
memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang
mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan
diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka
(Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak
yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan
terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin
mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui
emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk
membaca perasaan orang lain.
e. Membina Hubungan (Keterampilan Sosial)
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan
yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi
(Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan
kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta
kemauan orang lain.
31
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini
akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena
mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer
dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati,
hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa
mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa
berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponenkomponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai
faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional
2.3. Kerangka Pikir
Dalam melaksanakan tugasnya, guru yang memiliki pemahaman kecerdasan
emosional berarti memiliki cara yang efektif untuk mengembangkan hubungan antar
pribadi karena dapat mngendalikan emosinya untuk kepentingan tersebut.
Kecerdasan emosional merupakan unsur yang penting dalam kehidupan
manusia, karena terbentuk dari pengalaman hidup dan akan berkembang sepanjang
waktu. Menurut tinjauan teori kepemimpinan, kecerdasan emosional merupakan salah
satu kriteria keberhasilan pemimpin dalam mengelola organisasinya. Namun
organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin
sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu
32
tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tampa adanya bawahan
(karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan
bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling
berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang mencakup:
ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada
organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota
dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak
ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi
merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar
organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula
kemungkinan terjadinya konflik.
Konflik dapat berupa emosi maupun nilai-nilai dalam kehidupan. Dan
kecerdasan mengelola emosi merupakan kunci mengelola konflik. Untuk memberikan
gambaran jelas tentang kerangka berpikir antara kecerdasan emosional (x) dengan
pengelolaan konflik (y), dapat di lihat dalam pada skema berikut ini :
33
Gambar I :
Skema Kerangka Berpikir
KECERDASAN EMOSIONAL
 Mengenali Emosi Diri
(Kecerdasan Diri)
 Mengelola Emosi (Pengaturan
Diri)
 Memotivasi Diri Sendiri
(Motivasi)
 Mengenali Emosi Orang Lain
(empati)
 Membina Hubungan
(Keterampilan Sosial)
Nawawi (2006:249)
PENGELOLAAN KONFLIK

Konflik intrapersonal

Konflik interpersonal

Konflik intragroup

Konflik intergroup

Konflik intraorganisasi

Konflik interorganisasi
James A.F.Stoner dan Charles
Wankel (dalam Goleman, 2003:
53)
2.4. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka
hipotesis kerja yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
”Terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional guru dengan pengelolaan konflik
siswa di Kelas Se Kecamatan Bilato Kabupaten Gorontalo.”
Download