BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Pengelolaan Konflik 2.1.1 Pengertian Pengelolaan Konflik Dalam sebuah organisasi apapun bentuk dan jenisnya merupakan himpunan sejumlah manusia (dua atau lebih) yang bekerja sama selalu terjadi benturan-benturan, baik antar individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan yang disebut konflik dalam bekerja. Dengan kata lain dalam kehidupan organisasi yang didalamnya terlibat interaksi sejumlah manusia sebagai karyawan/anggota organisasi, terjadi konflik merupakan fakta yang tak dapat dihindari. (Nawawi, 2006: 332) Oleh karena itu apapun bentuk konflik yang terjadi di dalam suau organisasi, secara pasti berakibat pada pelaksanaan pekerjaan yang tidak efektif dan tidak efesien. Untuk itulah setiap pemimpin harus mampu menyelesaikan atau sekurang-kurangnya membantu penyelesaian konflik yang terjadi dalam organisasi. Dengan bentuk manajemen konflik secara maksimal. Konflik menurut kartini kartono (dalam Nawawi, 2006: 333) mengatakan bahwa konflik adalah oposisi interaktif berupa antagonisme (pertentangan), benturan paham, perselisihan, kurang mufakat, pergeseran, perkelahian, tawuran, benturan senjata dan perang. 9 10 Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsikan adanya intervensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan. Menurut Robins dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses dimana A melakukan usaha yang sengaja dibuat untuk menghalangi sehingga mengakibatkan frustasi pada B dalam usahanya untuk mencapai tujuan atau meneruskan kepentingannya. Menurut Digilamo dalam Wirawan (2009:5) “Konflik adalah suatu proses yang dimulai ketika individu atau kelompok merasa ada perbedaan dan oposisi antara dirinya sendiri dan orang lain atau kelompok tentang kepentingannya dan sumber daya, kepercayaan, nilai-nilai, atau kebiasaan itu berarti bagi mereka”. Sedarmayanti (2000:137) mengemukakan “konflik merupakan perjuangan antara kebutuhan, keinginan, gagasan, kepentingan atau pihak saling bertentangan, sebagai akibat dari adanya perbedaan sasaran (goals); nilai (values); pikiran (cognition); perasaan (affect); dan perilaku (behavior)”. Beberapa defenisi tentang konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses yang terjadi antara manusia dalam interaksinya dengan orang lain disebabkan perbedaan kebutuhan, perbedaan aktivitas dan perbedaaan pandangan dalam suatu masalah. 11 Berkaitan dengan pengertian konflik di atas maka dapat diartikan bahwa konflik diawali dengan persaingan, sehingga selama ada individu maupun kelompok yang dinamis dan memiliki vitalitas besar untuk mengembangkan diri, kelompok atau organisasi, maka selama itu pula terdapat potensi konflik di lingkungan sebuah organisasi. Menurut Fren Luthans konflik berarti suatu kondisi pertentangan antar tujuan berdasarkan nilai-nilai dan sasaran-sasaran di dalamnya, yang berdampak timbulnya perilaku dan emosi yang tidak sama dan mengarah pada permusuhan dan pertikaian. (dalam Nawawi, 2006: 333) Istilah konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan keinginan. Oleh karena konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya dengan konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama dengan konflik namun mudah menjurus ke arah konflik, terutuma bila ada persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentengan dengan aturan yang disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. 12 Dengan demikian manajemen konflik merupakan serangkaian aksi dan reaksi antara pelaku maupun pihak luar dalam suatu konflik. Manajemen konflik termasuk pada suatu pendekatan yang berorientasi pada proses yang mengarahkan pada bentuk komunikasi (termasuk tingkah laku) dari pelaku maupun pihak luar dan bagaimana mereka mempengaruhi kepentingan (interests) dan interpretasi. Bagi pihak luar (di luar yang berkonflik) sebagai pihak ketiga, yang diperlukannya adalah informasi yang akurat tentang situasi konflik. Hal ini karena komunikasi efektif di antara pelaku dapat terjadi jika ada kepercayaan terhadap pihak ketiga (Ardi Maulidy Navastara, 2007). Menurut James A.F.Stoner dan Charles Wankel (dalam Goleman, 2002: 98) mengemukakan bahwa ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal, konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antar kelompok dan konflik antar organisasi. Jenis-jenis konflik ini juga terjadi dalam dunia pendidikan. Secara detailnya dapat diuraikan seperti dibawah ini : a. Konflik Intrapersonal Konflik intrapersonal adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi sekaligus. Ada tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu: 1. Konflik pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik. 13 2. Konflik pendekatan – penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang sama menyulitkan. 3. Konflik penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. b. Konflik Interpersonal Konflik Interpersonal adalah pertentangan antar seseorang dengan orang lain karena pertentengan kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. c. Konflik antar individu-individu dan kelompok-kelompok (Intergroub) Hal ini seringkali berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan oleh kelompok kerja mereka. d. Konflik antara kelompok dalam organisasi yang sama (Intraorganisasi) Konflik ini merupakan tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakandua macam bidang konflik antar kelompok. e. Konflik antara organisasi (Interorganisasi) Dalam pendidikan konflik semacam ini dapat terjadi seperti konflik antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Semua bentuk-bentuk konflik tersebut dapat menimbulkan konsekuensi, baik positif maupun negatif. Menurut Veithzal Rivai (2004: 174175) ada tiga faktor yang menentukan apakah suatu konflik akan berimbang, 14 bermanfaat atau merusak:, yaitu: (a) tingkat pertikaian/konflik; (b) susunan dan iklim dalam organisasi; dan (c) cara mengelola konflik. 2.1.2. Konflik-Konflik di Kelas Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi pendidikan antara lain adalah: berbagai sumber daya yang langka ditemukan disekolah, perbedaan dalam tujuan antara manager dengan guru, saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan, perbedaan dalam nilai atau persepsi. Selain sebab-sebab di atas, ada juga sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam pendidikan misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi (terutama lembaga swasta) dan masalahmasalah komunikasi yang tidak terarah. Konflik-konflik yang terjadi di sekolah, seperti juga konflik-konflik yang terjadi di masyarakat atau organisasi yang lain, menyangkut manusia dalam organisasi. Seluruh masalah yang menyangkut segi manusia adalah rumit dan apabila tidak dibina dengan baik, akan merusak organisasi. Sebaliknya bila ditangani secara seksama, akan merupakan faktor yang esensial bagi pencapaian efektivitas dan tujuan organisasi. Konflik-konflik yang terjadi di Kelas dapat dibedakan menjadi: (1) konflik internal individu; (2) konflik antarpribadi; (3) konflik antarkelompok; (4) konflik antarorganisasi. 15 Konflik internal individu, terjadi pada siswa yang seringkali mendapatkan tugas tambahan dari guru padahal banyak tuntutan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Apabila siswa tersebut tidak dapat menghadapinya, maka akan terjadi stres. Stres merupakan suatu produk tambahan yang kerap kali muncul pada konflik di dalam individu sendiri (Goleman, 1987). Konflik internal siswa ini, tidak hanya meresahkan individu siswa itu sendiri, melainkan juga dapat meresah kan para guru yang berhubungan dengannya di sekolah. Konflik antarpribadi, terjadi antar siswa atau antara siswa dan guru. Sifatnya bisa substantif atau emosional. Konflik substantif, berupa perbedaan atau pertentangan tentang aspek-aspek akademik sekolah, seperti ketidakseimbangan distribusi beban tugas atau kerja di antara siswa. Konflik emosional, berupa perbedaan atau pertentangan kepentingan, kebutuhan antarsiswa yang bersifat individual.. Konflik antarpribadi ini merupakan jenis konflik yang sering dihadapi oleh para siswa. Konflik antar kelompok, terjadi antara kelompok-kelompok siswa di sekolah. Konflik antarkelompok siswa atau antara kelas ini bisa terjadi karena perbedaan atau pertentangan usia atau senioritas, idealisme, kepentingan, kebutuhandan sebagainya dari masing-masing kelas antara siswa. Sedangkan konflik antarorganisasi, terjadi antarorganisasi intra sekolah, seperti antara OSIS dengan Pramuka atau organisasi siswa yang lain, 16 antara siswa dengan Komite Sekolah, dll. Pada umumnya konflik antarorganisasi ini karena adanya perbedaan atau persaingan antarorganisasi dalam mencapai tujuannya masing-masing. Konflik-konflik karena faktor emosional bisa disebabkan oleh perasaan-perasaan marah, ketidakpercayaan, ketidak senangan, takut dan sikap menentang, maupun bentrokan-bentrokan kepribadian antarpribadi di sekolah, seperti guru sering datang terlambat dan pulang sebelum waktunya, sering tidak masuk dengan berbagai macam alasan, acuh tak acuh terhadap lingkungan belajar, suka mengasingkan diri dari pergaulan, suka membuat masalah dengan sesama siswa, berpikir agresif, pemogokan, merusak peralatan sekolah, dan atau melakukan pencurian secara kecil-kecilan, merupakan persoalan-persoalan di kelas yang mengarah pada terjadinya situasi konflik dan harus dihadapi oleh guru. Seperti konflik umumnya, konflik-konflik yang terjadi di kelas juga dapat disebabkan karena faktor suasana kelas yang membosankan, persaingan, tuntutan yang berlebiham, atau variasi aktivitas. 2.2.1. Faktor-Faktor yang menimbulkan Konflik Persepsi seseorang mengenai penyebab konflik akan memengaruhi gaya manajemen konfliknya. Persepsi seseorang yang menganggap penyebab konflik menentukan kehidupan atau harga dirinya akan berupaya berkompetisi dan memenangkan konflik. Sebaliknya, jika orang menganggap penyebab konflik tidak 17 penting bagi kehidupan dan harga dirinya, ia akan menggunakan pola perilaku menghindar dalam menghadapi konflik. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik yaitu sebagai berikut: 1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur. 2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 18 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbedabeda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda. 4. Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilainilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak, 19 akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan masyarakat yang telah ada. Menurut Mulyasa (2003:241-242) konflik dapat terjadi karena setiap pihak atau salah satu pihak merasa dirugikan, baik secara material maupun nonmaterial. Untuk mencegahnya harus dipelajari peneyababnya, antara lain: a) Perbedaan pendapat. Konflik dapat terjadi karena perbedaan pendapat dan masing-masing merasa paling benar. Jika perbedaan pendapat ini meruncing dan mencuat ke permukaan, maka akan menimbulkan ketegangan. b) Salah paham. Konflik dapat terjadi karena salah paham (mis understanding), misalnya tindakan seseorang mungkin tujuannya baik, tetapi dianggap merugikan oleh pihak lain. Kesalahpahaman ini akan menimbulkan rasa kurang nyaman, kurang simpati dan kebencian. c) Salah satu atau kedua pihak merasa dirugikan. Konflik dapat terjadi karena tindakan salah satu pihak mungkin dianggap merugikan yang lain atau masingmasing pihak merasa dirugikan. Pihak yang dirugikan merasa kesal, kurang nyaman, kurang simpati atau benci. Perasaan-perasaan ini dapat menimbulkan konflik yang mengakibatkan kerugian baik secara materi, moral, maupun sosial. d) Terlalu sensitif. Konflik dapat terjadi karena terlalu sensitif, mungkin tindakan seseorang adalah wajar, tetapi karena pihak lain terlalu sensitive maka dianggap merugikan, dan menimbulkan konflik, walapun secara etika tindakan ini tidak termasuk perbuatan yang salah. 20 Sehingga dapat disimpulkan bahwa konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaanperbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap siswa dan tidak satu siswa pun yang tidak pernah mengalami konflik antar temannya atau dengan kelompok kelas lainnya. 2.2. Hakikat Kecerdasan Emosional 2.2.1. Pengertian Emosi Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi 21 dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia. (Prawitasari,1995) Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman (2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu : a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, putus asa c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga e. Cinta : penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih f. Terkejut : terkesiap, terkejut g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak suka h. malu : malu hati, kesal 22 Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi). Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. 23 2.2.2. Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional (Emotional Intellegence) terdiri dari dua perkataan yakni perkataan Kecerdasan dan Emosional yang mengandung satu pengertian, namun untuk memahaminya harus diawali dengan menjelaskannya pengertiannya satu per satu. Kecerdasan berasal dari bahasa latin “ intellegere “ yang berati mengerti. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan intelektual individu. Sehubungan dengan itu secara lebih terurai kecerdasan diartikan sebagai kemampuan individu untuk memahami secara cepat esensi suatu keadaan baru yang dihadapi, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru tersebut. Kecerdasan juga diartikan sebagai kemampuan berfikir atau kemampuan memecahkan masalah, sebagai penggunaan intelektual individu secara kongkrit (nyata). Di samping itu kecerdasan juga diartikan sebagai kualitas mental secara umum yang mencakup kemampuan belajar dari pengalaman, kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi baru dan kemampuan memahami konsepkonsep yang abstrak dan komplek. Beberapa pengertian kecerdasan tersebut di atas, secara sederhana dapat diidentifikasikan sebagai kemampuan memecahkan masalah. (Nawawi, 2006: 231) Martin L Barbara dan Leslie J Briggs (dalam, Nawawi 2006:238) mengatakan bahwa emosi adalah perasaan dan pikiran yang khas, suatu kondisi biologis dan psikologis, serta kecenderungan untuk bertindak. Pengertian ini 24 menitikberatkan emosi pada hubungan pikiran dan perasaan sebagai kondisi khas berbeda dari kondisi normal, yang berarti juga emosi dapat dikendalikan pikiran, sebaliknya pikiran dapat dipengaruhi emosi. Kecerdasan emosional adalah kemampuan (Abality), mengindera, memahami dan secara efektif menerapkan daya kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Artinya kemampuan menerapkan daya daya kepekaan emosi untuk mencapai keberhasilan dalam kehidupan bersama orang lain. Kecerdasan emosional tidak muncul dari pemikiran intelektual, tetapi pekerjaan hati manusia, sebaliknya manusia tidak cukup hanya memiliki perasaan tanpa kecerdasan. Oleh karena itulah dengan memiliki kedua kemampuan itu manusia dapat belajar mengakui, memahami dan menghargai perasaan dirinya sendiri dan perasaan orang lain agar dapat menaggapinya secara tepat. Demikian pula mampu mendayagunakan secara efektif informasi dan energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Kondisi individu seperti diuraikan di atas, sangat penting bagi seseorang yang berperan sebagai pemimpin yang dibutuhkannya dalam Kepemimpinan dengan Pendekatan Kecerdasan Emosional merupakan Kepemimpinan yang Berdasarkan pada upaya maksimalisasi kemampuan interpersonal dan intrapersonal pemimpin. Kemampuan interpersonal merupakan kemampuan untuk membangun hubungan sosial yang efektif dalam 25 organisasi meliputi : megelola kritik yang membangun, mengelola keragaman, megelola kecerdasan kelompok (Goleman, 2011). Kepemimpinan berdasar kecerdasan emosional merupakan pendekatan baru dalam ilmu manajemen (Goleman,2001; Goleman, 1995;Cooper Dan Sawaf, 1999). Goleman (1995) ahli Psikologi dari Harvard University, meluncurkan hasil sejumlah penelitian, membuktikan pengaruh kecerdasan emosi pemimpin untuk mencapai puncak karir. Ia menjelaskan ruang lingkup kecerdasan emosi yaitu kecakapan pribadi meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi, dan kecakapan sosial meliputi empati, kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, dan keterampilan sosial yaitu kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain (Goleman, 2001). Kepemimpinan ini menekankan fungsi kemampuan emosional dalam melakukan komunikasi organisas, dimana berangkat dari asumsi bahwa kepemimpinan merupakan hubungan manusiawi yang secara intensif melibatkan aspek-aspek manusiawi, baik bersifat intrapersonal atau interpersonal. Kecerdasan emosional (emotional intelligence) dapat diartikan sebagai kemampuan merasakan dan memahami kepekaan emosi diri maupun emosi orang lain, pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebihlebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, mampu membaca dan memahami perasaan terdalam orang 26 lain (empati) dan berdoa, memelihara hubungan baik, menyelesaikan konflik, serta mampu memimpin. Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan KE bukanlah lawan keterampilan KI atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, KE tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10). Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180). Gardner (dalam Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal. Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut emosional. sebagai kecerdasan 27 Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (dalam Goleman, 2002 : 52). Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan kemampuan “akses untuk menuju perasaan-perasaan membedakan diri perasaan-perasaan seseorang tersebut dan serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”. (dalam Goleman, 2002 : 53). Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh Gardner tersebut, Salovey (dalam Goleman, 2002:57) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. 28 Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. 2.2.3. Faktor Kecerdasan Emosional Nawawi (2006:249) dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu : a. Mengenali Emosi Diri (Kecerdasan Diri) Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka 29 individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. b. Mengelola Emosi (Pengaturan Diri) Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002: 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan. c. Memotivasi Diri Sendiri (Motivasi) Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri. d. Mengenali Emosi Orang Lain (empati) Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk mengenali orang 30 lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul, dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain. e. Membina Hubungan (Keterampilan Sosial) Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. 31 Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis mengambil komponenkomponen utama dan prinsip-prinsip dasar dari kecerdasan emosional sebagai faktor untuk mengembangkan instrumen kecerdasan emosional 2.3. Kerangka Pikir Dalam melaksanakan tugasnya, guru yang memiliki pemahaman kecerdasan emosional berarti memiliki cara yang efektif untuk mengembangkan hubungan antar pribadi karena dapat mngendalikan emosinya untuk kepentingan tersebut. Kecerdasan emosional merupakan unsur yang penting dalam kehidupan manusia, karena terbentuk dari pengalaman hidup dan akan berkembang sepanjang waktu. Menurut tinjauan teori kepemimpinan, kecerdasan emosional merupakan salah satu kriteria keberhasilan pemimpin dalam mengelola organisasinya. Namun organisasi tidak akan berjalan dengan baik kalau didalamnya tidak ada pemimpin sebagai orang yang bertanggung jawab atas organisasi tersebut, dan pemimpin itu 32 tidak akan maksimal dalam melaksanakan tugasnya tampa adanya bawahan (karyawan) yang selalu berintraksi dan membantunya. Adanya pemimpin dan bawahan (karyawan) tersebut adalah suatu bukti bahwa organisasi dan struktur saling berkaitan. Oleh karena itu, istilah struktur digunakan dalam artian yang mencakup: ukuran (organisasi), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kepada organisasi, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan organisasi, gaya kepemimpinan, dan sistem imbalan. Dan sebagai tolak ukur, dalam penelitian menunjukkan bahwa ukuran organisasi dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik struktur. Makin besar organisasi, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik. Konflik dapat berupa emosi maupun nilai-nilai dalam kehidupan. Dan kecerdasan mengelola emosi merupakan kunci mengelola konflik. Untuk memberikan gambaran jelas tentang kerangka berpikir antara kecerdasan emosional (x) dengan pengelolaan konflik (y), dapat di lihat dalam pada skema berikut ini : 33 Gambar I : Skema Kerangka Berpikir KECERDASAN EMOSIONAL Mengenali Emosi Diri (Kecerdasan Diri) Mengelola Emosi (Pengaturan Diri) Memotivasi Diri Sendiri (Motivasi) Mengenali Emosi Orang Lain (empati) Membina Hubungan (Keterampilan Sosial) Nawawi (2006:249) PENGELOLAAN KONFLIK Konflik intrapersonal Konflik interpersonal Konflik intragroup Konflik intergroup Konflik intraorganisasi Konflik interorganisasi James A.F.Stoner dan Charles Wankel (dalam Goleman, 2003: 53) 2.4. Hipotesis Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka hipotesis kerja yang diangkat dalam penelitian ini adalah : ”Terdapat pengaruh antara kecerdasan emosional guru dengan pengelolaan konflik siswa di Kelas Se Kecamatan Bilato Kabupaten Gorontalo.”