Updated: Minggu, 28 November 2004, 13:35 WIB Tempat Bekerja yang Ramah Ibu ... Jakarta, Kompas MENJADI seorang ibu merupakan anugerah tersendiri bagi perempuan. Sementara menjadi ibu bekerja juga kebutuhan hidup sekaligus keasyikan tersendiri. Saat keduanya harus bersinergi, realisasinya tidaklah mudah. Namun, ketika kantor atau perusahaan merupakan tempat bekerja yang ramah kepada para ibu, ah... itu seperti menemukan oasis di padang pasir. MENYUSUI kerap menjadi masalah klasik yang dilematis bagi ibu bekerja seusai melahirkan. Seorang ibu tentunya ingin memberi yang terbaik bagi bayinya, yaitu ASI (air susu ibu). Namun, sering kali "aktivitas mewah" ini menjadi sulit ketika cuti melahirkan selama tiga bulan habis. Terlebih jika pekerjaan sang ibu tidak jelas waktu dan tempatnya. "Habis cuti melahirkan, aku diharuskan liputan ke lapangan, ke mana-mana. Mau memompa ASI di mana? Aku enggak mau kasih ASI hasil mompa di toilet. Mana bos nyuruh liputannya sampai malam. Di kantor pun enggak ada tempat buat perah ASI," ungkap Ina (29), reporter sebuah televisi swasta di kawasan Jakarta Pusat. Masalah payudara bengkak karena penuh dengan ASI merupakan persoalan umum ibu bekerja yang masih menyusui. Maka, memerah atau memompa ASI di toilet kantor pun menjadi fenomena umum yang dianggap lumrah. Mereka sering kali terpaksa membuang ASI perahan itu karena khawatir dengan faktor higienitasnya. Akhirnya, sang ibu tak bisa membawa pulang dari kantor oleh-oleh ASI perahan untuk bayinya. Sebagian orang masih beranggapan, itulah risiko perempuan kalau memilih tetap bekerja, harus ada yang dikorbankan. Jadi, harus pilih salah satu, bekerja atau mengurus anak. Memilih keduanya dianggap berlebihan. Namun, bagi penyaji berita televisi Metro, Sandrina Malakiano (33), kedua kepentingan itu-bekerja dan mengurus anak-harus diperjuangkan. Jauh hari sebelum melahirkan putri pertamanya, Sandrina meminta pihak PT Media Televisi Indonesia untuk menyediakan ruang khusus menyusui (nursery room). Dengan demikian, dia bisa membawa bayinya ke kantor dan tetap menyusui setiap saat. "Bayi saya berhak mendapatkan yang terbaik, yaitu ASI saya. Itu hak asasi dia. Saya bersyukur kantor mengabulkan permohonan itu. Dan ternyata banyak ibu menyusui lainnya yang juga butuh ruangan itu untuk menyusui atau memerah ASI," cerita ibu dari Keysha Alea Malakiano Safinka (2) ini. Sandrina bahkan juga memperoleh kemudahan waktu bekerja yang fleksibel. Setelah cuti melahirkannya habis, dia diperbolehkan bekerja paruh waktu sehingga dapat mengurus bayinya lebih maksimal. Sandrina diizinkan bekerja sebagai part timer ditambah cuti di luar tanggungan, hingga usia Keysha hampir setahun. Sebab itu, dia pun sukses menyusui eksklusif Keysha selama enam bulan. KETUA Sentra Laktasi Indonesia dr Utami Roesli SpA mengatakan, sebuah perusahaan yang ramah ibu (mother friendly) setidaknya telah menunjukkan dukungannya kepada sebagian karyawan yang harus memberi ASI eksklusif bagi bayinya. Disebut eksklusif karena bayi hanya mengonsumsi ASI saja tanpa tambahan apa punsekalipun setetes air putih-selama empat atau enam bulan pertama kehidupannya. Setelah itu, bayi baru boleh mengonsumsi makanan lain seperti bubur buah, dan ASI dilanjutkan hingga dua tahun. Artinya, masa enam bulan pertama itu menjadi "waktu emas" bagi sang bayi. "Banyak penelitian sudah membuktikan, ASI eksklusif membuat bayi jauh lebih sehat, tidak mudah alergi, kecerdasan emosional dan spiritual lebih baik. IQ pun bisa 12,9 poin lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif. ASI eksklusif merupakan gerbang pertama untuk membangun sumber daya manusia yang berkualitas. Menyusui adalah hak asasi," tandas Utami. Sebab itu, menurut Utami, sebuah perusahaan yang ramah ibu harus memahami betapa berharganya ASI bagi bayi. Adanya fasilitas ruang menyusui dan fleksibilitas waktu bekerja bagi ibu seusai cuti melahirkan merupakan keputusan perusahaan yang bijak. Kualitas SDM itulah yang juga menjadi titik tolak PT Unilever Indonesia ketika memutuskan menyediakan ruang menyusui bagi karyawan perempuannya sejak tiga tahun lalu. "Ini soal membangun manusia seutuhnya. Salah satunya membantu karyawan untuk hidup seimbang. Kita tidak bisa hanya peras otak karyawan dan tidak peduli dengan segala permasalahan keluarganya. Apalagi karyawan yang berperan ganda, harus menyusui dan bekerja juga. Tidak fair jika kantor cuek akan peran tersebut. Sementara perempuan pekerja banyak dibutuhkan," tutur Josef Bataona, Direktur Sumber Daya Manusia PT Unilever. Kantor Graha Unilever di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, bahkan memiliki child day care gratis selama masa menjelang dan sesudah Lebaran, ketika para pembantu dan baby sitter mudik. Menurut Utami, idealnya perusahaan yang ramah ibu memang harus mampu dan bersedia menyediakan fasilitas tersebut. Perusahaan seperti itu bisa disebut ramah keluarga (family friendly) dan ini sudah menjadi kecenderungan di sejumlah negara. "Kalau hati karyawan dan keluarganya bahagia, sebenarnya perusahaan juga yang diuntungkan. Selain loyal, kerja mereka justru makin berkualitas. Karyawati yang minta cuti di luar tanggungan hingga setahun demi mengurus anak pun diperbolehkan," tutur Josef, sambil menambahkan bahwa tunjangan kesehatan untuk karyawan dan keluarga juga ditanggung perusahaan seratus persen. Tutut (31), salah seorang karyawan Unilever, mengaku sangat bersyukur perusahaan menyediakan ruang menyusui dan penitipan anak di kantor. "Saya kerja jadi happy, tenang, dan konsentrasi," ujar Tutut, yang juga sukses menyusui bayinya secara eksklusif selama enam bulan. Nolly dan Novi (keduanya 30-an), karyawati Unilever lainnya, mengungkapkan hal serupa. "Hal-hal kecil seperti ruang menyusui itu sangat membahagiakan ibu-ibu karyawan seperti kami. Kebahagiaan itu tidak selalu sekadar kenaikan gaji saja kok," ujar Nolly. Utami Roesli menambahkan, dukungan lingkungan tempat bekerja yang ramah ibu berpengaruh sangat positif terhadap keberhasilan realisasi ASI eksklusif bagi bayi-bayi Indonesia. Perusahaan hendaknya juga memberi keleluasaan bagi para karyawati untuk menyusui bayi atau memerah ASI-nya di luar waktu istirahat. "Di Kanada dan Swedia misalnya, lamanya cuti melahirkan itu satu tahun, dan karyawati tetap dapat gaji dengan potongan tertentu. Mungkin ada baiknya juga di Indonesia lamanya cuti melahirkan bisa lebih mendukung realisasi ASI eksklusif paling tidak empat bulan. Perlu juga dipikirkan formulasi cuti khusus bagi buruh perempuan pabrik harian," kata Utami menambahkan. Menurut Utami, tidak ada salahnya para ibu bekerja mulai memperjuangkan kepentingannya untuk menyusui eksklusif. Paling tidak memohon penyediaan ruang menyusui yang higienis kepada pihak perusahaan. Sebab, wajah bangsa ini suatu saat akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang tak hanya cerdas otak, namun juga cerdas emosional dan spiritual. Dan itu dimulai dari komunitas terkecil, yaitu keluarga. (SF)