BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Sapi Bali Sapi Bali

advertisement
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Sapi Bali
Sapi Bali termasuk famili Bovidae, genus Bos, sub genus Bovine
(Hardjosubroto, 1994). Sapi Bali memiliki ukuran badan yang termasuk kategori
sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat, bertanduk
kepala agak pendek dan dahi yang datar dan warna bulu sapi Bali jantan dewasa
berwarna hitam (Bandini, 1997). Siregar (2006) menyatakan bahwa sapi Bali
dewasa dapat mencapai tinggi badan 130 cm dengan bobot badan jantan dewasa
berkisar 350-400 kg, sedangkan betina dewasa berkisar 250-300 kg.
Sapi Bali mudah dikenal dengan warnanya yang khas, bulunya halus,
pendek-pendek dan mengkilap. Pada usia muda (pedet), sapi Bali baik jantan
maupun betina memiliki bulu berwarna merah bata. Kemudian setelah dewasa
kelamin, warna bulu sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena adanya
pengaruh hormon testosteron. Hal ini terbukti, apabila sapi Bali jantan dikebiri
warna bulunya yang hitam akan berubah menjadi putih (Guntoro, 2006). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa sapi Bali jantan dan betina, pada kedua paha belakangnya
terdapat bulu putih (white mirror), warna bulu di bawah persendian dari keempat
kaki berwarna putih pula (white stocking). Pada jalur garis punggung terdapat
garis hitam (ale stripe) dan bulu ujung ekor berwarna hitam.
Sapi Bali mempunyai keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan sapisapi lokal lainnya. Handiwirawan dan Subandriyo (2004) menyatakan bahwa sapi
Bali memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap jenis pakan kasar
5
dengan kadar serat yang tinggi dan pakan yang berbeda-beda jika dibandingkan
dengan jenis sapi lainnya; memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan
baru baik terhadap suhu udara, kelembaban dan angin, maupun terhadap kondisi
lahan dan penyakit; memiliki fertilitas yang tinggi yaitu 83 %; dan produksi
karkas yang tinggi yaitu 56%. Payne dan Williamson (1978) menyatakan bahwa
sapi bali memiliki ciri-ciri sapi potong terbaik di Indonesia dibandingkan dengan
sapi potong lainnya, yaitu kaki pendek, badan panjang, ukuran lingkar dada yang
cukup besar, fertilitas tinggi, kadar lemak karkas rendah dan persentase karkas
relatif tinggi.
2.2.
Rumput Raja
Rumput raja (Pennisetum purpuphoides) berasal dari daerah tropis ,
sebagai hasil persilangan antara rumput gajah (pennisetum purpureum) dengan
pennisetum inypoides. Hibrida dari persilangan kedua rumput tersebut memiliki
nama beragam di berbagai negara, diantaranya Bana Grass (Afrika Selatan), Pusat
Giant Napiar (New Delhi), dan Taiwan Napier (Taiwan).
Rumput raja merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak hidup
membentuk rumpun dan setiap rumpun terdiri dari 20 sampai 45 batang. Tinggi
dari tanaman rumput raja bisa mencapai 5 meter, dengan helaian daun selebar 3
sampai 6 cm dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Warna daunnya hijau tua,
dengan bagian permukaan maupun bagian dalam daun yang kasar, tulang daun
berwarna lebih putih dari pada tulang daun rumput gajah. Batangnya bulat dengan
lingkaran batang lebih kurang berdiameter 2,55 cm. Rumput ini jarang berbunga
sehingga perbanyakannya lebih banyak digunakan dengan stek atau anaknya
(Isworo dkk... 1989). Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi
6
Bogor, produksi rumput raja 2-3 kali lipat lebih tinggi di bandingkan dengan 2
cultivar rumput gajah lainnya yaitu rumput gajah cv. Hawai dan rumput gajah cv.
Afrika. Produksinya lebih kurang 1.079 ton hijauan segar/ha/tahun sedangkan
produksi rumput gajah cv. Hawai 525 ton hijauan segar/ha/tahun dan rumput
gajah cv. Afrika 376 ton hijauan segar/ha/tahun (Susila, 1990). Dilaporkan juga
oleh susila (1990) kandungan zat-zat makanan yang dimiliki oleh rumput raja juga
tinggi yaitu protein kasar (13,5%), abu (18,6%), Ca (0,37%) dan P (0,35%).
Rumput raja mudah ditanam, dapat tumbuh dari dataran rendah hingga
dataran tinggi, menyukai tanah subur dan curah hujan yang merata sepanjang
tahun. Produksi rumput ini jauh lebih tinggi dibandingkan rumput lainnya. Sinar
matahari juga sangat dibutuhkan oleh rumput raja dan pertumbuhannya akan
terganggu apabila ditanam dibawah naungan. Rumput raja dapat beradaptasi
dengan baik mulai dari dataran rendah sampai 2.000 meter di atas permukaan laut,
terutama di daerah tropis. Kelembaban yang tinggi sangat mengganggu
pertumbuhan pada banyak jenis tanaman makanan ternak tropis, tetapi berlainan
dengan rumput raja yang memerlukan kelembaban yang relatif tinggi yaitu 90%
untuk tumbuh dengan baik (Isworo dkk, 1989).
2.3.
Konsentrat
Pakan konsentrat atau penguat yang berbentuk tepung adalah sejenis pakan
jadi yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai
penguat. Kecernaan akan lebih baik, karena pakan dibuat dari campuran beberapa
bahan pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil, kacangkacangan, vitamin, dan mineral). Tujuan dari suplementasi konsentrat adalah
meningkatkan daya cerna pakan, menambah nilai gizi pakan mengurangi zat-zat
7
pakan yang difisiensi serta meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan
(Murtidjo, 1993). Adanya suplementasi pakan konsentrat, dapat meningkatkan
kecernaan bahan kering, bahan organik, dan energi lebih tinggi daripada tanpa
suplementasi. Pembarian konsentrat yang kaya akan protein penting bagi ternak
ruminansia sebagai penyedia amonia yang akan digunakan bakteri dalam
mensintesis protein mikroba, sedangkan konsentrat yang kekurangan kandungan
protein, menyebabkan konsentrasi amonia rumen akan turun sehingga
pertumbuhan mikroorganisme rumen menjadi lambat akibatnya pemecahan
karbohidrat akan terhambat (Tillman et al.. 1991).
Pemberian pakan mengandung serat kasar bersamaan konsentrat dapat
saling melengkapi. Menurut Parakkasi (1999) pemberian konsentrat terlebih
dahulu sebelum pemberian hijauan (serat) memberikan kecenderungan mikroba
rumen dapat memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber
energi. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dalam rumen lebih mudah dan
cepat berkembang populasinya, sehingga semakin banyak pakan yang dikonsumsi
oleh ternak. Selain itu, protein mikroba yang tersedia juga bertambah. Hal ini
penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak. Menurut Putra dan
Puger (1995) nisbah hijauan yang ideal adalah 50:50, karena menciptakan
ekosistem mikroba rumen yang layak untuk aktivitas fisiologinya, terutama
ditinjau dari aspek keseimbangan zat-zat makanan.
2.4.
Sistem dan Proses Pencernaan Ruminansia
Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran
pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggungjawab atas
pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya
8
melalui saluran pencernaan mulai dari rongga mulut sampai ke anus (Sutardi,
1977). Di samping itu, sistem pencernaan bertanggungjawab pula pada proses
pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan makanan yang tidak terserap atau yang tidak
dapat diserap kembali. Sedangkan proses pencernaan adalah proses perubahan
fisik maupun kimia yang dialami bahan makanan menjadi partikel yang lebih
kecil dan terjadi penguraian molekul kompleks menjadi molekul sederhana
(Tillman et al., 1984).
Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks
dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Pada dasarnya
pencernaan pada ruminansia dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pencernaan di
dalam rumen dan pencernaan pasca rumen. Proses pencernaannya terjadi secara:
mekanis (di dalam mulut); fermentatif (oleh mikroba rumen); dan hidrolitis (oleh
enzim pencernaan hewan induk semang). Adanya pencernaan fermentatif pakan
yang dikonsumsi ternak memberikan keuntungan – keuntungan yaitu dapat
mencerna dinding sel tanaman yang pada akhirnya dapat digunakan oleh ternak
ruminansia sebagai sumber nutrisi (Parakkasi, 1999).
Pada sistem pencernaan ternak ruminansia terdapat suatu proses yang
disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan
untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah
berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi) untuk dikunyah
kembali (remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi).
Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim – enzim mikroba rumen.
Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut
bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien.
9
Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta
meninggalkan retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tillman et al.,
1984).
Lambung ruminansia terdiri dari dari empat bagian yaitu : rumen,
retikulum, omasum dan abomasum. Bagian – bagian ini berkembang dari
lambung embrional dan relatif sangat kecil waktu hewan dilahirkan. Di antara
empat lambung ruminansia tersebut. Rumen dan retikulum mempunyai fungsi
istimewa yaitu tempat terjadinya proses degradasi secara fermentatif atau
pencernaan microbial pada pakan yang sebagian besar terjadi di dalam rumen.
Proses pencernaan di dalam rumen terjadi dalam suasana anaerob dan pH rumen
relatif konstan yaitu sekitar antara 6,0 sampai 6,7. Hal ini disebabkan adanya
saliva yang pada proses pengunyahan terus menerus diproduksi dan bersifat
sebagai penyangga. Rumen merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan bakteri, protozoa maupun jamur an aerob, disamping itu juga terjadi
proses penyerapan asam lemak volatile (Sutardi, 1977).
Mikroba rumen selain berfungsi melaksanakan pencernaan fermentatif
juga berfungsi sebagai sumber makanan bagi induk semang dan dapat
memproduksi vitamin B kompleks dan vitamin K. Kehadiran fungi di dalam
rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat, karena fungi dapat
membentuk koloni pada jaringan selelusa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh
menembus dinding sel tanaman sehingga pakan terbuka untuk dicerna oleh enzim
bakteri rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama
yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya.
Beberapa jenis bakteri rumen yaitu: (a) bakteri pencerna selulosa (Bakterioides
10
succinogenes, Ruminoccus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrivibrio
fibrisolvens); (b) bakteri pencerna hemiselulosa
(Butyrivibrio fibrisolvens,
Bakterioides ruminocola, Ruminoccus sp); (c) bakteri pencerna pati (Bakterioides
ammylophilus, Streptoccus bovis, Succinnimonas amylolytica); (d) bakteri
pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus); (e) bakteri pencerna
protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Sedangkan protozoa
rumen diklasifikasikan menurut morfologisnya yaitu : Holotrichs yang
mempunyai silia hamper diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang
fermentable, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulut
umumnya merombak karbohidrat yang sulit dicerna (Arora, 1995).
2.5.
Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen
Karbohidrat
merupakan
sumber
energi
utama
dalam
kehidupan
mikroorganisme rumen dan hewan ruminansia itu sendiri. Jaringan tanaman
merupakan bahan makanan utama ruminansia yang rata-rata mengandung 75%
karbohidrat (Arora, 1995). Karbohidrat dihasilkan oleh tanaman melalui proses
fotosintesis. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa sifat karbohidrat yang utama
adalah dalam bentuk karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa dan yang
serupa lainnya) di samping yang mudah larut (pati, gula dan sejenisnya). Selulosa
dan hemiselulosa tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh
ternak ruminansia, tetapi dapat dicerna oleh oleh enzim-enzim yang dihasilkan
oleh mikroba rumen (Tillman et al., 1984). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa
karbohirat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural
(fraksi serat) dan karbohirat non struktural (fraksi yang mudah tersedia). Selulosa
dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) yang
11
merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman dan sering berikatan
dengan lignin sehingga menjadi sulit dicerna oleh mikroba rumen. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa lignifikasi meningkat seiring dengan meningkatnya umur
tanaman. Untuk itu penggunaannya dalam ransum ternak ruminansia memerlukan
pengolahan terlebih dahulu untuk merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga
lebih fermentabel dalam rumen.
Produk hidrolisis utama dari karbohidrat di dalam rumen adalah glukosa.
Selanjutnya glukosa terus menerus difermentasi menjadi asam lemak volatile
(VFA) dengan komponen utama terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam
butirat yang merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Sutardi (1977)
menyatakan bahwa pencernaan karbohidrat dari bahan mudah terdegradasi akan
menghasilkan VFA yang digunakan oleh mikroba rumen pada awal fermentasi
untuk membentuk kerangka karbon yang diperlukan dalam mensintesis protein
tubuhnya dan pada akhir fermentasi digunakan sebagai sumber energi. Di samping
itu dihasilkan pula asam
n-valerat, asam iso-butirat, asam iso-valerat dan asam
laktat dalam jumlah sedikit (McDonald et al., 1988). Menurut Sutardi (1980)
perbandingan secara umum VFA yang dihasilkan dalam rumen berkisar 70%
asetat, 20% propionat dan 10% butirat dengan kandungan energi masing-masing
209,4; 367,2 dan 524,3 kkal/g molekul jika proporsi serat dalam ransum lebih
tinggi. Menurut Preston dan Leng (1987) bahwa perbandingan tersebut akan
berubah menjadi 60% : 30%: 10% jika proporsi konsentrat dalam ransum lebih
tinggi. Konversi glukosa menjadi asam asetat, asam propionat dan asam butirat
berakhir dengan pembebasan hydrogen (H2) dan karbondioksida (CO2). H2 dan
sebagian CO2 tersebut oleh bakteri yang menghasilkan metan dikonversi menjadi
12
gas metan (CH4). Gas CO2, H2 dan CH4 merupakan bentuk energi yang tidak
dimanfaatkan oleh ternak yang akan dikeluarkan dari rumen melalui proses
eruktasi (Arora, 1995).
McDonald et al., (1988) menyatakan bahwa produksi dan perbandingan
VFA yang dihasilkan (VFA ratio ) dipengaruhi oleh berbagai factor : 1). Tipe
pakan (komposisi ransum, perbandingan hijauan dan konsentrat, tingkat protein);
2). Pengolahan (bentuk pellet); 3) frekuensi pemberian pakan. Indikator yang
sering digunakan
adalah perbandingan antara asam asetat (C2) dengan asam
propionat (C3), karena dengan mengetahui perbandingan C2/C3 akan dapat
diketahui efisiensi penggunaan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. Asam
asetat dan butirat merupakan nutrisi ketogenik adalah prekusor bagi pembentukan
lemak susu maupun tubuh, sehingga jika perbandingan C2/C3 rendah, maka kadar
lemak air susu menurun. Sebaliknya jika perbandingan C2/C3 tinggi, kadar lamak
air susu akan naik. Bagi pembentukan lemak tubuh, perbandingan C2/C3 yang
rendah akan merangsang penggemukan. VFA yang dihasilkan diserap menuju
darah melalui dinding rumen, sisanya diserap di dalam omasum dan abomasum
sekitar 30 %. Setelah penyerapan, sebagian besar VFA digunakan sebagai sumber
energi bagi induk semang.
2.6.
Metabolisme Protein dalam Rumen
Protein kasar yang masuk ke rumen berasal dari pakan dan saliva yang
dapat berupa protein murni (terdiri dari asam – asam amino yang diikat dengan
ikatan peptida) dan nitrogen non protein (Tillman et al., 1984). Protein ini
sebagaian besar akan dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh
mikroba rumen menjadi peptide. Peptida atau oligopeptida yang terbentuk ini
13
sebagian digunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuhnya dan
sebagian lagi diproses lebih lanjut menjadi asam amino. Sebagian besar asam
amino tersebut didegradasi lebih lanjut dan dideaminasi menjadi asam – asam
organik yaitu asam lemak volatile (VFA), ammonia dan karbon dioksida. Menurut
Sutardi (1977) kegiatan deaminasi diasumsikan bersifat konstitutif dalam arti
mikroba rumen terus melakukan deaminasi terhadap asam amino, walaupun
dalam rumen telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi.
Amonia yang terbentuk dari proses deaminasi tersebut dikombinasikan
dengan asam organik alfa-keton menjadi asam amino baru yang dapat dipakai
untuk sintesis protein mikroba. Sebagian amonia dapat diserap oleh darah melalui
dinding rumen dan dibawa ke dalam hati. Di dalam hati amonia dikonversi
menjadi urea, yang dapat masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva dan
dinding rumen atau akan dikeluarkan melalui urine (McDonald et al., 1988).
Kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen
yang maksimal adalah 4-12 mM (Sutardi, 1977) Kekurangan amonia akan
menghambat aktivitas mikroba untuk mensintesis protein tubuhnya dan
menghambat kecepatan pencernaaan sehingga akan menurunkan ketersediaan
energi, sedangkan kelebihan amonia juga tidak baik bagi ternak ruminansia karena
mengakibatkan keracunan sebagai akibat terbentuknya ammonium karbonat
(Arora, 1995). Mikroba rumen menyediakan sebagian besar protein yang
dibutuhkan oleh induk semangnya. Sintesa protein mikroba berbeda sepanjang
waktu dipengaruhi pada kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan
absorpsi amonia dan asam – asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen,
14
kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan
jenis makanan (Arora, 1995).
2.7.
Suplementasi
Vitamin
dan Mineral dalam Ransum Ternak
Ruminansia
Pasokan makro dan mikro nutrien yang cukup dan seimbang mutlak
penting untuk diperhatikan dalam upaya meningkatkan penampilan sapi Bali
penggemukan. Pemberian ransum berbasis rumput raja diharapkan mampu
memberikan pasokan makro nutrien yang cukup tinggi, namun pasokan mikro
nutrien khususnya kebutuhan mineral dan vitamin disinyalir masih belum
terpenuhi bagi mikroba rumen untuk menghasilkan mikrobial protein yang tinggi
dan efisien. Sehingga upaya suplementasi berbagai mineral dan vitamin sangat
penting untuk dilakukan. Hasil penelitian Partama (2006) menunjukkan
suplementasi 0,2% pignox yang merupakan suplemen kaya vitamin dan mineral
pada sapi Bali penggemukan yang diberikan pakan dasar jerami padi (ad libitum)
dan pakan komersial sebanyak 2,5% dari bobot badan menunjukkan peningkatan
pertambahan bobot badan hingga 20%, namun peningkatan suplementasi menjadi
0,3% dan 0,4% menghasilkan PBB berbeda tidak nyata dengan kontrol.
Mineral Sulfur (S) dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis asam amino
bersulfur seperti methionin, sistin dan sistein dan derivat-derivat asam amino
bersulfur seperti cysthatione, taurin dan cysteic acid (Arora, 1995). Metabolisme S
oleh mikroba rumen dapat dilakukan menggunakan sulfur dalam bentuk organik
(asam amino bersulfur) maupun anorganik (sulfat aktif). Sulfida merupakan
bentuk intermediate antara pemecahan S yang dicerna dan S yang didaur ulang
(Arora, 1995). Perbandingan kebutuhan N dan S untuk ruminansia dalam
15
meningkatkan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan serat tinggi
adalah 15 : 1 (Arora, 1995). Meningkatnya mikroba rumen berarti dapat
meningkatkan kecernaan zat-zat makanan, sehingga hasil akhir fermentasi dapat
diserap di pasca rumen untuk memenuhi kebutuhan ternak yang nantinya akan
memperbaiki produktivitas ternak (Erwanto, 1995). Mineral S penting dalam
menyusun asam amino yang mengandung S (methionin, sistin dan sistein) bagi
ternak ruminansia serta dalam proses metabolisme protein, lemak dan karbohidrat,
keseimbangan asam basa cairan intra atau ekstra seluler (Parakkasi, 1999).
Partama (2002) melaporkan bahwa suplementasi S dalam bentuk amonium sulfat
(0,05%) dan Zn dalam bentuk mineral komplek Pignox (0,03%) dalam ransum
berbasis jerami padi amoniasi urea belum mampu untuk memberikan pengaruh
yang nyata terhadap peningkatan nilai koefisien cerna nutrien tetapi nyata dapat
meningkatkan pertambahan bobot hidup sapi Bali penggemukan hingga 80% (0,5
vs 0,9 kg/hari) dari ransum kontrol yang terdiri atas 60% jerami padi tanpa
fermentasi dan 40% konsentrat.
Mineral Zn merupakan salah satu mineral mikro yang aktivitasnya sangat
luas dari mengaktivasi enzim-enzim pencernaan baik yang dihasilkan oleh
mikroba rumen maupun hewan inang sampai mampu mengaktivasi DNA dan
RNA polimerase (Tillman et al., 1984). Aktivasi Zn yang berhubungan langsung
terhadap kecernaan ternak salah satu di antaranya adalah karboksi peptidase dan
sintesis asam nukleat (Church and Pond, 1982). Fungsi lain Zn yang tak kalah
pentingnya adalah keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A. Zn
berperan mempercepat sintesis protein oleh mikroba melalui pengaktifan enzimenzim
mikroba
(Arora,
1995).
Suplementasi
50
mg
Zn-asetat
dapat
16
meningkatkann ekologi rumen dan sintesis protein mikroba, sehingga dapat
meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen dan produk-produk metabolisme
tersebut dapat dimanfaatkan oleh hewan inang, baik secara fungsional maupun
struktural terutama dalam pertumbuhan (Putra, 1999). Kebutuhan Zn bagi
mikroba rumen cukup tinggi, yaitu 130-220 mg/kg (Hungate, 1966). Defisiensi Zn
dapat
menyebabkan
pertumbuhan
terhambat
akibat
kurangnya
efisiensi
pemanfaatan protein (Tillman et al., 1984).
Mineral Co (Cobalt) dibutuhkan untuk sintesis vitamin B12 yang penting
bagi mikroba rumen untuk sintesis protein, menjaga fungsi sel serta aktivitasnya
dalam proses degradasi pakan. Kebutuhan Co adalah 0,1 ppm dari DM pakan
(Parakkasi, 1999). Namun pemberian Co ≥ 3,5 mg/kg bobot badan mengakibatkan
penurunan bobot badan, feed intake bahkan kematian (Becker dan Smith, 1951
dalam Parakkasi, 1999).
Phosfor (P) merupakan mineral yang berperanan dalam sistesis ATP,
sintesis protein mikroba rumen, komponen fosfolipid yang mempengaruhi
permeabilitas sel, komponen DNA dan RNA mikroba rumen. Phosfor juga
berperanan dalam mengaktifkan beberapa vitamin B ( tiamin, niasin, piridoksin,
riboflavin, biotin dan asam pantotenat) untuk membentuk koenzim yang
berperanan dalam sintesis protein mikroba. Monokalsium fosfat merupakan
sumber P yang baik bagi ruminan. P dalam bentuk fitat juga dapat dimanfaatkan
dalam jumlah yang relatif banyak oleh mikroba rumen mengingat mikroba
mampu membentuk phytase (Roun et al., 1956 dalam Parakkasi, 1999).
17
Mineral lain seperti Ca, Mn, Fe maupun Cu juga penting dalam sintesis
protein mikroba, sintesis ATP, sintesis vitamin B, efektivitas kerja sel mikroba
dan proses degradasi nutrien (Parakkasi, 1999).
Ketersediaan vitamin dalam rumen terutama vitamin A dan E cukup besar
pengaruhnya terhadap penampilan sapi Bali penggemukan. Sedangkan vitamin
B kompleks dan K tidak terlalu bermasalah bagi ruminansia karena dapat
disintesis oleh mikroba rumen. Tetapi ketersediaan vitamin B kompleks dalam
rumen juga dipengaruhi kondisi rumen dan jenis pakan yang dikonsumsi. Pada
kondisi tertentu seperti peningkatan pemberian konsentrat pada ternak atau
pengolahan bahan pakan sebelum diberikan pada ternak, perhatian terhadap
konsentrasi vitamin B kompleks cukup penting untuk dilakukan (Parakkasi,
1999). Vitamin-vitamin B dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan
dan proses degradasi pakan, seperti Pyridoxin dibutuhkan dalam proses degradasi
selulosa oleh Ruminococcus albus, Biotin dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
meningkatkan kecernaan selulosa oleh Ruminococcus, Bacteroides succinogenes
(Bryan dan Robinson, 1961 dalam Parakkasi, 1999). Vitamin B kompleks juga
penting dalam pengaturan metabolisme energi dalam sel karena vitamin B
merupakan bagian sistem koenzim dalam siklus asam sitrat dan glikolisis serta
berperanan dalam pembentukan ATP (Parakkasi, 1999).
Vitamin A memegang peranan penting dalam pembentukan protein
melalui stimulasi aliran energi yang efisien melalui mitokondria. Sapi dewasa
membutuhkan ketersediaan vitamin A sebesar 20 – 25 g/g, namun tingkat
ketersediaan vitamin A bagi mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh sumber dan
beberapa faktor lain penghambat ketersediaannya seperti adanya etanol (dalam
18
silase), nitrat, defisiensi energi dan mineral serta perlakuan bahan pakan sebelum
diberikan pada ternak (Parakkasi, 1999). Kebutuhan vitamin A dapat juga
meningkat apabila ransum yang diberikan berprotein rendah/tinggi, defisiensi P,
pemberian lemak yang kurang tercerna, maupun akibat pemberian ransum
berenergi tinggi (Hale et al., 1961 dalam Parakkasi, 1999). Suplementasi vitamin
A juga sangat penting pada saat pemberian pakan hijauan kering dan atau aplikasi
teknologi pakan yang melibatkan temperatur tinggi. Hasil penelitian Susila (1994)
menunjukkan bahwa pemberian jerami padi amoniasi urea pada sapi perah laktasi
menghasilkan susu dengan kadar vitamin A yang lebih rendah daripada pemberian
rumput gajah ((7,07 Vs 9,35 g/100 ml).
Vitamin D pada ternak ruminansia tidak dapat disintesis oleh mikroba
rumen, tetapi vitamin ini dapat rusak oleh mikroba rumen. Vitamin D bersamasama dengan mineral Ca dan P berperan dalam proses pertumbuhan tulang.
Defisiensi vitamin D mempengaruhi sistem pertulangan hewan muda, akan tetapi
tidak mempengaruhi proses mineralisasi tulang (Parakkasi, 1999).
Vitamin E memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel mikroba
melalui pencegahan peroksidasi asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid) pada dinding sel mikroba rumen (Parakkasi, 1999).
Konsentrasi vitamin E yang optimal dalam rumen akan dapat mendukung
pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang maksimal.
Vitamin K dikenal sebagai antihemoragi karena dibutuhkan oleh hati
untuk membentuk protombin yang penting dalam pembekuan darah. Secara
normal, vitamin K dapat disintesis dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang
cukup untuk kebutuhan ternak ruminansia (Parakkasi, 1999
Download