4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Sapi Bali Sapi Bali termasuk famili Bovidae, genus Bos, sub genus Bovine (Hardjosubroto, 1994). Sapi Bali memiliki ukuran badan yang termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat, bertanduk kepala agak pendek dan dahi yang datar dan warna bulu sapi Bali jantan dewasa berwarna hitam (Bandini, 1997). Siregar (2006) menyatakan bahwa sapi Bali dewasa dapat mencapai tinggi badan 130 cm dengan bobot badan jantan dewasa berkisar 350-400 kg, sedangkan betina dewasa berkisar 250-300 kg. Sapi Bali mudah dikenal dengan warnanya yang khas, bulunya halus, pendek-pendek dan mengkilap. Pada usia muda (pedet), sapi Bali baik jantan maupun betina memiliki bulu berwarna merah bata. Kemudian setelah dewasa kelamin, warna bulu sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena adanya pengaruh hormon testosteron. Hal ini terbukti, apabila sapi Bali jantan dikebiri warna bulunya yang hitam akan berubah menjadi putih (Guntoro, 2006). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sapi Bali jantan dan betina, pada kedua paha belakangnya terdapat bulu putih (white mirror), warna bulu di bawah persendian dari keempat kaki berwarna putih pula (white stocking). Pada jalur garis punggung terdapat garis hitam (ale stripe) dan bulu ujung ekor berwarna hitam. Sapi Bali mempunyai keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan sapisapi lokal lainnya. Handiwirawan dan Subandriyo (2004) menyatakan bahwa sapi Bali memiliki kemampuan beradaptasi yang baik terhadap jenis pakan kasar 5 dengan kadar serat yang tinggi dan pakan yang berbeda-beda jika dibandingkan dengan jenis sapi lainnya; memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan baru baik terhadap suhu udara, kelembaban dan angin, maupun terhadap kondisi lahan dan penyakit; memiliki fertilitas yang tinggi yaitu 83 %; dan produksi karkas yang tinggi yaitu 56%. Payne dan Williamson (1978) menyatakan bahwa sapi bali memiliki ciri-ciri sapi potong terbaik di Indonesia dibandingkan dengan sapi potong lainnya, yaitu kaki pendek, badan panjang, ukuran lingkar dada yang cukup besar, fertilitas tinggi, kadar lemak karkas rendah dan persentase karkas relatif tinggi. 2.2. Rumput Raja Rumput raja (Pennisetum purpuphoides) berasal dari daerah tropis , sebagai hasil persilangan antara rumput gajah (pennisetum purpureum) dengan pennisetum inypoides. Hibrida dari persilangan kedua rumput tersebut memiliki nama beragam di berbagai negara, diantaranya Bana Grass (Afrika Selatan), Pusat Giant Napiar (New Delhi), dan Taiwan Napier (Taiwan). Rumput raja merupakan tanaman tahunan yang tumbuh tegak hidup membentuk rumpun dan setiap rumpun terdiri dari 20 sampai 45 batang. Tinggi dari tanaman rumput raja bisa mencapai 5 meter, dengan helaian daun selebar 3 sampai 6 cm dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Warna daunnya hijau tua, dengan bagian permukaan maupun bagian dalam daun yang kasar, tulang daun berwarna lebih putih dari pada tulang daun rumput gajah. Batangnya bulat dengan lingkaran batang lebih kurang berdiameter 2,55 cm. Rumput ini jarang berbunga sehingga perbanyakannya lebih banyak digunakan dengan stek atau anaknya (Isworo dkk... 1989). Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Ternak Ciawi 6 Bogor, produksi rumput raja 2-3 kali lipat lebih tinggi di bandingkan dengan 2 cultivar rumput gajah lainnya yaitu rumput gajah cv. Hawai dan rumput gajah cv. Afrika. Produksinya lebih kurang 1.079 ton hijauan segar/ha/tahun sedangkan produksi rumput gajah cv. Hawai 525 ton hijauan segar/ha/tahun dan rumput gajah cv. Afrika 376 ton hijauan segar/ha/tahun (Susila, 1990). Dilaporkan juga oleh susila (1990) kandungan zat-zat makanan yang dimiliki oleh rumput raja juga tinggi yaitu protein kasar (13,5%), abu (18,6%), Ca (0,37%) dan P (0,35%). Rumput raja mudah ditanam, dapat tumbuh dari dataran rendah hingga dataran tinggi, menyukai tanah subur dan curah hujan yang merata sepanjang tahun. Produksi rumput ini jauh lebih tinggi dibandingkan rumput lainnya. Sinar matahari juga sangat dibutuhkan oleh rumput raja dan pertumbuhannya akan terganggu apabila ditanam dibawah naungan. Rumput raja dapat beradaptasi dengan baik mulai dari dataran rendah sampai 2.000 meter di atas permukaan laut, terutama di daerah tropis. Kelembaban yang tinggi sangat mengganggu pertumbuhan pada banyak jenis tanaman makanan ternak tropis, tetapi berlainan dengan rumput raja yang memerlukan kelembaban yang relatif tinggi yaitu 90% untuk tumbuh dengan baik (Isworo dkk, 1989). 2.3. Konsentrat Pakan konsentrat atau penguat yang berbentuk tepung adalah sejenis pakan jadi yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai penguat. Kecernaan akan lebih baik, karena pakan dibuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber energi (biji-bijian, sumber protein jenis bungkil, kacangkacangan, vitamin, dan mineral). Tujuan dari suplementasi konsentrat adalah meningkatkan daya cerna pakan, menambah nilai gizi pakan mengurangi zat-zat 7 pakan yang difisiensi serta meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan (Murtidjo, 1993). Adanya suplementasi pakan konsentrat, dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik, dan energi lebih tinggi daripada tanpa suplementasi. Pembarian konsentrat yang kaya akan protein penting bagi ternak ruminansia sebagai penyedia amonia yang akan digunakan bakteri dalam mensintesis protein mikroba, sedangkan konsentrat yang kekurangan kandungan protein, menyebabkan konsentrasi amonia rumen akan turun sehingga pertumbuhan mikroorganisme rumen menjadi lambat akibatnya pemecahan karbohidrat akan terhambat (Tillman et al.. 1991). Pemberian pakan mengandung serat kasar bersamaan konsentrat dapat saling melengkapi. Menurut Parakkasi (1999) pemberian konsentrat terlebih dahulu sebelum pemberian hijauan (serat) memberikan kecenderungan mikroba rumen dapat memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi. Hal ini menyebabkan mikroorganisme dalam rumen lebih mudah dan cepat berkembang populasinya, sehingga semakin banyak pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Selain itu, protein mikroba yang tersedia juga bertambah. Hal ini penting artinya bagi pertumbuhan dan perkembangan ternak. Menurut Putra dan Puger (1995) nisbah hijauan yang ideal adalah 50:50, karena menciptakan ekosistem mikroba rumen yang layak untuk aktivitas fisiologinya, terutama ditinjau dari aspek keseimbangan zat-zat makanan. 2.4. Sistem dan Proses Pencernaan Ruminansia Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggungjawab atas pengambilan, penerimaan dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya 8 melalui saluran pencernaan mulai dari rongga mulut sampai ke anus (Sutardi, 1977). Di samping itu, sistem pencernaan bertanggungjawab pula pada proses pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan makanan yang tidak terserap atau yang tidak dapat diserap kembali. Sedangkan proses pencernaan adalah proses perubahan fisik maupun kimia yang dialami bahan makanan menjadi partikel yang lebih kecil dan terjadi penguraian molekul kompleks menjadi molekul sederhana (Tillman et al., 1984). Proses pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Pada dasarnya pencernaan pada ruminansia dibedakan menjadi dua bagian, yaitu pencernaan di dalam rumen dan pencernaan pasca rumen. Proses pencernaannya terjadi secara: mekanis (di dalam mulut); fermentatif (oleh mikroba rumen); dan hidrolitis (oleh enzim pencernaan hewan induk semang). Adanya pencernaan fermentatif pakan yang dikonsumsi ternak memberikan keuntungan – keuntungan yaitu dapat mencerna dinding sel tanaman yang pada akhirnya dapat digunakan oleh ternak ruminansia sebagai sumber nutrisi (Parakkasi, 1999). Pada sistem pencernaan ternak ruminansia terdapat suatu proses yang disebut memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi), kemudian pakan ditelan kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi oleh enzim – enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang terkoordinasi dalam rangkaian proses tersebut bermanfaat pula untuk pengadukan digesta inokulasi dan penyerapan nutrien. 9 Selain itu kontraksi retikulorumen juga bermanfaat untuk pergerakan digesta meninggalkan retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tillman et al., 1984). Lambung ruminansia terdiri dari dari empat bagian yaitu : rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Bagian – bagian ini berkembang dari lambung embrional dan relatif sangat kecil waktu hewan dilahirkan. Di antara empat lambung ruminansia tersebut. Rumen dan retikulum mempunyai fungsi istimewa yaitu tempat terjadinya proses degradasi secara fermentatif atau pencernaan microbial pada pakan yang sebagian besar terjadi di dalam rumen. Proses pencernaan di dalam rumen terjadi dalam suasana anaerob dan pH rumen relatif konstan yaitu sekitar antara 6,0 sampai 6,7. Hal ini disebabkan adanya saliva yang pada proses pengunyahan terus menerus diproduksi dan bersifat sebagai penyangga. Rumen merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri, protozoa maupun jamur an aerob, disamping itu juga terjadi proses penyerapan asam lemak volatile (Sutardi, 1977). Mikroba rumen selain berfungsi melaksanakan pencernaan fermentatif juga berfungsi sebagai sumber makanan bagi induk semang dan dapat memproduksi vitamin B kompleks dan vitamin K. Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat, karena fungi dapat membentuk koloni pada jaringan selelusa pakan. Rizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya. Beberapa jenis bakteri rumen yaitu: (a) bakteri pencerna selulosa (Bakterioides 10 succinogenes, Ruminoccus flavafaciens, Ruminococcus albus, Butyrivibrio fibrisolvens); (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens, Bakterioides ruminocola, Ruminoccus sp); (c) bakteri pencerna pati (Bakterioides ammylophilus, Streptoccus bovis, Succinnimonas amylolytica); (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii, Lactobasilus ruminus); (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus, Bacillus licheniformis). Sedangkan protozoa rumen diklasifikasikan menurut morfologisnya yaitu : Holotrichs yang mempunyai silia hamper diseluruh tubuhnya dan mencerna karbohidrat yang fermentable, sedangkan Oligotrichs yang mempunyai silia sekitar mulut umumnya merombak karbohidrat yang sulit dicerna (Arora, 1995). 2.5. Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Karbohidrat merupakan sumber energi utama dalam kehidupan mikroorganisme rumen dan hewan ruminansia itu sendiri. Jaringan tanaman merupakan bahan makanan utama ruminansia yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat (Arora, 1995). Karbohidrat dihasilkan oleh tanaman melalui proses fotosintesis. Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa sifat karbohidrat yang utama adalah dalam bentuk karbohidrat kompleks (selulosa, hemiselulosa dan yang serupa lainnya) di samping yang mudah larut (pati, gula dan sejenisnya). Selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh ternak ruminansia, tetapi dapat dicerna oleh oleh enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen (Tillman et al., 1984). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa karbohirat dalam pakan dapat dikelompokkan menjadi karbohidrat struktural (fraksi serat) dan karbohirat non struktural (fraksi yang mudah tersedia). Selulosa dan hemiselulosa termasuk dalam fraksi karbohidrat struktural (fraksi serat) yang 11 merupakan komponen utama dari dinding sel tanaman dan sering berikatan dengan lignin sehingga menjadi sulit dicerna oleh mikroba rumen. Lebih lanjut dijelaskan bahwa lignifikasi meningkat seiring dengan meningkatnya umur tanaman. Untuk itu penggunaannya dalam ransum ternak ruminansia memerlukan pengolahan terlebih dahulu untuk merenggangkan ikatan lignoselulosa sehingga lebih fermentabel dalam rumen. Produk hidrolisis utama dari karbohidrat di dalam rumen adalah glukosa. Selanjutnya glukosa terus menerus difermentasi menjadi asam lemak volatile (VFA) dengan komponen utama terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat yang merupakan sumber energi utama bagi ruminansia. Sutardi (1977) menyatakan bahwa pencernaan karbohidrat dari bahan mudah terdegradasi akan menghasilkan VFA yang digunakan oleh mikroba rumen pada awal fermentasi untuk membentuk kerangka karbon yang diperlukan dalam mensintesis protein tubuhnya dan pada akhir fermentasi digunakan sebagai sumber energi. Di samping itu dihasilkan pula asam n-valerat, asam iso-butirat, asam iso-valerat dan asam laktat dalam jumlah sedikit (McDonald et al., 1988). Menurut Sutardi (1980) perbandingan secara umum VFA yang dihasilkan dalam rumen berkisar 70% asetat, 20% propionat dan 10% butirat dengan kandungan energi masing-masing 209,4; 367,2 dan 524,3 kkal/g molekul jika proporsi serat dalam ransum lebih tinggi. Menurut Preston dan Leng (1987) bahwa perbandingan tersebut akan berubah menjadi 60% : 30%: 10% jika proporsi konsentrat dalam ransum lebih tinggi. Konversi glukosa menjadi asam asetat, asam propionat dan asam butirat berakhir dengan pembebasan hydrogen (H2) dan karbondioksida (CO2). H2 dan sebagian CO2 tersebut oleh bakteri yang menghasilkan metan dikonversi menjadi 12 gas metan (CH4). Gas CO2, H2 dan CH4 merupakan bentuk energi yang tidak dimanfaatkan oleh ternak yang akan dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Arora, 1995). McDonald et al., (1988) menyatakan bahwa produksi dan perbandingan VFA yang dihasilkan (VFA ratio ) dipengaruhi oleh berbagai factor : 1). Tipe pakan (komposisi ransum, perbandingan hijauan dan konsentrat, tingkat protein); 2). Pengolahan (bentuk pellet); 3) frekuensi pemberian pakan. Indikator yang sering digunakan adalah perbandingan antara asam asetat (C2) dengan asam propionat (C3), karena dengan mengetahui perbandingan C2/C3 akan dapat diketahui efisiensi penggunaan energi dan kualitas produk yang dihasilkan. Asam asetat dan butirat merupakan nutrisi ketogenik adalah prekusor bagi pembentukan lemak susu maupun tubuh, sehingga jika perbandingan C2/C3 rendah, maka kadar lemak air susu menurun. Sebaliknya jika perbandingan C2/C3 tinggi, kadar lamak air susu akan naik. Bagi pembentukan lemak tubuh, perbandingan C2/C3 yang rendah akan merangsang penggemukan. VFA yang dihasilkan diserap menuju darah melalui dinding rumen, sisanya diserap di dalam omasum dan abomasum sekitar 30 %. Setelah penyerapan, sebagian besar VFA digunakan sebagai sumber energi bagi induk semang. 2.6. Metabolisme Protein dalam Rumen Protein kasar yang masuk ke rumen berasal dari pakan dan saliva yang dapat berupa protein murni (terdiri dari asam – asam amino yang diikat dengan ikatan peptida) dan nitrogen non protein (Tillman et al., 1984). Protein ini sebagaian besar akan dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen menjadi peptide. Peptida atau oligopeptida yang terbentuk ini 13 sebagian digunakan oleh mikroba untuk membentuk protein tubuhnya dan sebagian lagi diproses lebih lanjut menjadi asam amino. Sebagian besar asam amino tersebut didegradasi lebih lanjut dan dideaminasi menjadi asam – asam organik yaitu asam lemak volatile (VFA), ammonia dan karbon dioksida. Menurut Sutardi (1977) kegiatan deaminasi diasumsikan bersifat konstitutif dalam arti mikroba rumen terus melakukan deaminasi terhadap asam amino, walaupun dalam rumen telah terjadi akumulasi amonia yang cukup tinggi. Amonia yang terbentuk dari proses deaminasi tersebut dikombinasikan dengan asam organik alfa-keton menjadi asam amino baru yang dapat dipakai untuk sintesis protein mikroba. Sebagian amonia dapat diserap oleh darah melalui dinding rumen dan dibawa ke dalam hati. Di dalam hati amonia dikonversi menjadi urea, yang dapat masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva dan dinding rumen atau akan dikeluarkan melalui urine (McDonald et al., 1988). Kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal adalah 4-12 mM (Sutardi, 1977) Kekurangan amonia akan menghambat aktivitas mikroba untuk mensintesis protein tubuhnya dan menghambat kecepatan pencernaaan sehingga akan menurunkan ketersediaan energi, sedangkan kelebihan amonia juga tidak baik bagi ternak ruminansia karena mengakibatkan keracunan sebagai akibat terbentuknya ammonium karbonat (Arora, 1995). Mikroba rumen menyediakan sebagian besar protein yang dibutuhkan oleh induk semangnya. Sintesa protein mikroba berbeda sepanjang waktu dipengaruhi pada kecepatan pemecahan nitrogen makanan, kecepatan absorpsi amonia dan asam – asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen, 14 kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis makanan (Arora, 1995). 2.7. Suplementasi Vitamin dan Mineral dalam Ransum Ternak Ruminansia Pasokan makro dan mikro nutrien yang cukup dan seimbang mutlak penting untuk diperhatikan dalam upaya meningkatkan penampilan sapi Bali penggemukan. Pemberian ransum berbasis rumput raja diharapkan mampu memberikan pasokan makro nutrien yang cukup tinggi, namun pasokan mikro nutrien khususnya kebutuhan mineral dan vitamin disinyalir masih belum terpenuhi bagi mikroba rumen untuk menghasilkan mikrobial protein yang tinggi dan efisien. Sehingga upaya suplementasi berbagai mineral dan vitamin sangat penting untuk dilakukan. Hasil penelitian Partama (2006) menunjukkan suplementasi 0,2% pignox yang merupakan suplemen kaya vitamin dan mineral pada sapi Bali penggemukan yang diberikan pakan dasar jerami padi (ad libitum) dan pakan komersial sebanyak 2,5% dari bobot badan menunjukkan peningkatan pertambahan bobot badan hingga 20%, namun peningkatan suplementasi menjadi 0,3% dan 0,4% menghasilkan PBB berbeda tidak nyata dengan kontrol. Mineral Sulfur (S) dibutuhkan mikroba rumen untuk sintesis asam amino bersulfur seperti methionin, sistin dan sistein dan derivat-derivat asam amino bersulfur seperti cysthatione, taurin dan cysteic acid (Arora, 1995). Metabolisme S oleh mikroba rumen dapat dilakukan menggunakan sulfur dalam bentuk organik (asam amino bersulfur) maupun anorganik (sulfat aktif). Sulfida merupakan bentuk intermediate antara pemecahan S yang dicerna dan S yang didaur ulang (Arora, 1995). Perbandingan kebutuhan N dan S untuk ruminansia dalam 15 meningkatkan aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan serat tinggi adalah 15 : 1 (Arora, 1995). Meningkatnya mikroba rumen berarti dapat meningkatkan kecernaan zat-zat makanan, sehingga hasil akhir fermentasi dapat diserap di pasca rumen untuk memenuhi kebutuhan ternak yang nantinya akan memperbaiki produktivitas ternak (Erwanto, 1995). Mineral S penting dalam menyusun asam amino yang mengandung S (methionin, sistin dan sistein) bagi ternak ruminansia serta dalam proses metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, keseimbangan asam basa cairan intra atau ekstra seluler (Parakkasi, 1999). Partama (2002) melaporkan bahwa suplementasi S dalam bentuk amonium sulfat (0,05%) dan Zn dalam bentuk mineral komplek Pignox (0,03%) dalam ransum berbasis jerami padi amoniasi urea belum mampu untuk memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai koefisien cerna nutrien tetapi nyata dapat meningkatkan pertambahan bobot hidup sapi Bali penggemukan hingga 80% (0,5 vs 0,9 kg/hari) dari ransum kontrol yang terdiri atas 60% jerami padi tanpa fermentasi dan 40% konsentrat. Mineral Zn merupakan salah satu mineral mikro yang aktivitasnya sangat luas dari mengaktivasi enzim-enzim pencernaan baik yang dihasilkan oleh mikroba rumen maupun hewan inang sampai mampu mengaktivasi DNA dan RNA polimerase (Tillman et al., 1984). Aktivasi Zn yang berhubungan langsung terhadap kecernaan ternak salah satu di antaranya adalah karboksi peptidase dan sintesis asam nukleat (Church and Pond, 1982). Fungsi lain Zn yang tak kalah pentingnya adalah keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A. Zn berperan mempercepat sintesis protein oleh mikroba melalui pengaktifan enzimenzim mikroba (Arora, 1995). Suplementasi 50 mg Zn-asetat dapat 16 meningkatkann ekologi rumen dan sintesis protein mikroba, sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan dalam rumen dan produk-produk metabolisme tersebut dapat dimanfaatkan oleh hewan inang, baik secara fungsional maupun struktural terutama dalam pertumbuhan (Putra, 1999). Kebutuhan Zn bagi mikroba rumen cukup tinggi, yaitu 130-220 mg/kg (Hungate, 1966). Defisiensi Zn dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat akibat kurangnya efisiensi pemanfaatan protein (Tillman et al., 1984). Mineral Co (Cobalt) dibutuhkan untuk sintesis vitamin B12 yang penting bagi mikroba rumen untuk sintesis protein, menjaga fungsi sel serta aktivitasnya dalam proses degradasi pakan. Kebutuhan Co adalah 0,1 ppm dari DM pakan (Parakkasi, 1999). Namun pemberian Co ≥ 3,5 mg/kg bobot badan mengakibatkan penurunan bobot badan, feed intake bahkan kematian (Becker dan Smith, 1951 dalam Parakkasi, 1999). Phosfor (P) merupakan mineral yang berperanan dalam sistesis ATP, sintesis protein mikroba rumen, komponen fosfolipid yang mempengaruhi permeabilitas sel, komponen DNA dan RNA mikroba rumen. Phosfor juga berperanan dalam mengaktifkan beberapa vitamin B ( tiamin, niasin, piridoksin, riboflavin, biotin dan asam pantotenat) untuk membentuk koenzim yang berperanan dalam sintesis protein mikroba. Monokalsium fosfat merupakan sumber P yang baik bagi ruminan. P dalam bentuk fitat juga dapat dimanfaatkan dalam jumlah yang relatif banyak oleh mikroba rumen mengingat mikroba mampu membentuk phytase (Roun et al., 1956 dalam Parakkasi, 1999). 17 Mineral lain seperti Ca, Mn, Fe maupun Cu juga penting dalam sintesis protein mikroba, sintesis ATP, sintesis vitamin B, efektivitas kerja sel mikroba dan proses degradasi nutrien (Parakkasi, 1999). Ketersediaan vitamin dalam rumen terutama vitamin A dan E cukup besar pengaruhnya terhadap penampilan sapi Bali penggemukan. Sedangkan vitamin B kompleks dan K tidak terlalu bermasalah bagi ruminansia karena dapat disintesis oleh mikroba rumen. Tetapi ketersediaan vitamin B kompleks dalam rumen juga dipengaruhi kondisi rumen dan jenis pakan yang dikonsumsi. Pada kondisi tertentu seperti peningkatan pemberian konsentrat pada ternak atau pengolahan bahan pakan sebelum diberikan pada ternak, perhatian terhadap konsentrasi vitamin B kompleks cukup penting untuk dilakukan (Parakkasi, 1999). Vitamin-vitamin B dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhan dan proses degradasi pakan, seperti Pyridoxin dibutuhkan dalam proses degradasi selulosa oleh Ruminococcus albus, Biotin dibutuhkan untuk pertumbuhan dan meningkatkan kecernaan selulosa oleh Ruminococcus, Bacteroides succinogenes (Bryan dan Robinson, 1961 dalam Parakkasi, 1999). Vitamin B kompleks juga penting dalam pengaturan metabolisme energi dalam sel karena vitamin B merupakan bagian sistem koenzim dalam siklus asam sitrat dan glikolisis serta berperanan dalam pembentukan ATP (Parakkasi, 1999). Vitamin A memegang peranan penting dalam pembentukan protein melalui stimulasi aliran energi yang efisien melalui mitokondria. Sapi dewasa membutuhkan ketersediaan vitamin A sebesar 20 – 25 g/g, namun tingkat ketersediaan vitamin A bagi mikroba rumen sangat dipengaruhi oleh sumber dan beberapa faktor lain penghambat ketersediaannya seperti adanya etanol (dalam 18 silase), nitrat, defisiensi energi dan mineral serta perlakuan bahan pakan sebelum diberikan pada ternak (Parakkasi, 1999). Kebutuhan vitamin A dapat juga meningkat apabila ransum yang diberikan berprotein rendah/tinggi, defisiensi P, pemberian lemak yang kurang tercerna, maupun akibat pemberian ransum berenergi tinggi (Hale et al., 1961 dalam Parakkasi, 1999). Suplementasi vitamin A juga sangat penting pada saat pemberian pakan hijauan kering dan atau aplikasi teknologi pakan yang melibatkan temperatur tinggi. Hasil penelitian Susila (1994) menunjukkan bahwa pemberian jerami padi amoniasi urea pada sapi perah laktasi menghasilkan susu dengan kadar vitamin A yang lebih rendah daripada pemberian rumput gajah ((7,07 Vs 9,35 g/100 ml). Vitamin D pada ternak ruminansia tidak dapat disintesis oleh mikroba rumen, tetapi vitamin ini dapat rusak oleh mikroba rumen. Vitamin D bersamasama dengan mineral Ca dan P berperan dalam proses pertumbuhan tulang. Defisiensi vitamin D mempengaruhi sistem pertulangan hewan muda, akan tetapi tidak mempengaruhi proses mineralisasi tulang (Parakkasi, 1999). Vitamin E memegang peranan penting dalam pertumbuhan sel mikroba melalui pencegahan peroksidasi asam lemak tak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid) pada dinding sel mikroba rumen (Parakkasi, 1999). Konsentrasi vitamin E yang optimal dalam rumen akan dapat mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen yang maksimal. Vitamin K dikenal sebagai antihemoragi karena dibutuhkan oleh hati untuk membentuk protombin yang penting dalam pembekuan darah. Secara normal, vitamin K dapat disintesis dalam saluran pencernaan dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan ternak ruminansia (Parakkasi, 1999