PENINGKATAN KAPASITAS MASYARAKAT PERBATASAN SEBAGAI STRATEGI INTEGRATIF PENGELOLAAN KONFLIK (STUDI KASUS DINAMIKA MASYARAKAT DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS) Siti Arieta, M.A Dosen Tetap Sosiologi FISIP UMRAH Sekretaris Pusat Kajian Kebijaka Strategis (PKKS) FISIP UMRAH ABSTRAK Ketidaksetaraan akses kesejahteraan pada masyarakat perbatasan di Kabupaten Kepulauan Anambas telah menumbuhkan konflik laten yang berpotensi disintegrasi dan kerentanan ketahanan sosial masyarakat. Kondisi sosial budaya yang sangat dinamis menyebabkan perubahan sosial yang tidak sepenuhnya diikuti oleh penerimaan masyarakat yang menyebabkan semakin melebarnya konfik laten tersebut. Sebagai alternatif solusi, peningkatan kapasitas masyarakat dilakukan untuk memberikan kesadaran yang utuh atas pentingnya menjaga wilayah perbatasan secara integratif melalui partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat, pemerintah, pendamping dan pemangku kepentingan lainnya. Kata kuci: peningkatan kapasitas, integrasi, konflik laten, partisipasi. I. LATAR BELAKANG MASALAH Dilihat dari aspek sosial dan budaya, Provinsi Kepulauan Riau dapat disebut sebagai miniatur Indonesia, karena terdiri dari ribuan pulau dan didalamnya hidup dan berkembang penduduk dengan pluralitas agama, suku dan budaya dengan tetap dipayungi oleh budaya Melayu guna mendukung kebudayaan nasional. Hampir semua suku bangsa dari seluruh provinsi dan berbagai pemeluk agama ada di Kepulauan Riau. Keanekaragaman sosial serta aneka ragam suku dan agama dengan menjunjung tinggi kerukunan dan persatuan yang kuat merupakan modal sosial baik dalam pembangunan daerah maupun untuk ketahanan nasional (Fukuyama:2010). Potensi ini merupakan kekuatan yang sangat penting jika dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi pelaksanaan pembangunan maupun dalam rangka menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Namun demikian, Propinsi Kepulauan Riau sebagai satusatunya propinsi dengan batas lautan di wilayah perbatasan Indonesia memiliki karakteristik dan permasalahan yang berbeda di tiap kabupaten atau kota. Pembangunan di tingkat ini tidak sepenuhnya merata, dimana hal ini menimbulkan dinamika sosial dan potensi konflik yang berbeda. Kajian ini dilakukan dalam rangkaian kegiatan penyusuanan model pengelolaan daerah perbatasan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kabupaten Natuna dan Karimun sejak Agustus 2010 (PKKS FISIP UMRAH dan Partnership for Governance Reform in Indonesia) dimana tulisan ini dikhususkan untuk mengkaji dinamika masyarakat perbatasan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Kabupaten Kepulauan Anambas dapat digambarkan memiliki potensi sumberdaya yang sangat melimpah yakni dari sektor kelautan dan perikanan, minyak bumi dan hutan. Namun pengelolaan sektor-sektor ini masih belum maksimal ditandai dengan maraknya kegiatan yang sifatnya illegal, antara lain illegal fisihing dan logging serta kekuasaan mutlak pelaku usaha tambang minyak. Pencurian kekayaan alam laut cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan para pencuripun semakin banyak jumlahnya, mereka mengunakan wahana dan sarana penangkapan ikan yang semakin canggih dan modern. Disisi lain aparat keamanan laut tidak mengalami kemajuaan yang signifikan. Kondisi ini diperparah dengan keterlibatan masyarakat yang turut serta menjadi aktor dalam kegiatan-kegiatan tersebut dan tidak adanya kapasitas untuk membuka jalur komunikasi perihal tanggung jawab sosial perusahaan tambang yang idealnya dilakukan sebagai sarana perwujudan hak dan kewajiban antara pelaku usaha tambang minyak dan masyarakat lokal. Untuk itu diperlukan strategi penanggulangan meliputi pencegahan, penangkalan dan pemberantasan. Keterlibatan masyarakat menjadi aktor kegiatan illegal antara lain diakibatkan oleh ketidakmampuan dan ketiaadan akses kesejahteraan, sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Kondisi ini menggambarkan adanya konflik laten yang tertanam pada mayoritas masyarakat perbatasan, dimana tidak dapat dipungkiri bahwasanya keberadaan konflik laten ini merupakan ancaman bagi ketahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik laten yang dialami oleh masyarakat perbatasan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Kepulauan Anambas dapat mengakibatkan hilangnya rasa nasionalisme dan kecintaan masyarakat terhadap negara. Hal terburuk yang seharusnya tidak boleh terjadi adalah keberpihakan masyarakat perbatasan kepada negara tetangga yang lebih pro aktif dalam melakukan upaya pemenuhan kesejahteraan mereka. Kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Anambas sangat memungkinkan hal ini terjadi, dimana terdapat beberapa pulau terluar yang lebih dekat dengan negara tetangga bila dibandingkan dengan jarak tempuh pusat pemerintahan kabupaten yang terletak di Tarempa. Tulisan ini akan mengakaji upaya yang dapat dilakukan untuk menghilangkan konflik laten sebagai prevensi hilangnya nasionalime masyarakat perbatasan Anambas. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan masukan atas rasa apatisme dan pesimisme masyarakat terhadap pemerintah yang cenderung semakin besar, sebagai akibat krisis kepemimpinan, krisis kepercayaan dan krisis keteladanan. II. METODE PENELITIAN Kajian ini dilakukan secara kualitatif dengan metode deskriptif analisis terhadap situasi yang terjadi di kawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Anambas meliputi wilayah Tarempa, Siantan, Antang, Matak. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui teknik pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam, dan focus grup discussion (FGD) digunakan untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi ulang kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan dan penanganan pulau-pulau terluar, serta kaitannya dengan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat pada unit-unit instansi horizontal pemerintah daearah dan instansi vertikal dalam kaitannya penegakan hukum dan pertahanan wilayah sebagai upaya zero latent conflict. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara dan FGD. Observasi dilakukan dengan teknik pengamat sebagai pemeran serta (the observer as participant). Peranan pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam informasi dapat dengan mudah diperoleh. Wawancara dengan panduan interview guide. Penggalian informasi kepada orang-orang kunci atau key person melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah trianggulasi dengan sumber (Patton dalam Moleong, 2005:178). Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi dengan waktu dan alat. Adapun teknik trianggulasi dengan sumber yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: a. Perbandingan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara; b. Membandingkan perspektif informan dengan pandangan orang seperti pegawai pemerintah, swasta, nelayan, pekerja kemasyarakatan, dan lain sebagainya; c. Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen inventarisasi dan identifikasi yang berkaitan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Sosial di perbatasan Propinsi Kepulauan Riau tergambarkan dari potret sosial yang melingkupi interaksi antar kelompok sosial dan kompleksitasnya. Kesatuan masyarakat perbatasan di Kabupaten Kepulauan Anambas melingkupi beragam kelompok sosial antara lain yang terkategori dalam bidang pekerjaan, keorganisasian, tingkat usia, etnis dan agama. Dinamika Sosial Kelompok sosial yang terbentuk dari bidang pekerjaan antara lain adalah kelompok pekerja pemerintah (lingkungan pegawai negeri dan honorer), pedagang, nelayan, dan wiraswasta walaupun jumlahnya sangatlah sedikit. Kelompok sosial yang terlihat dari keorganisasian antara lain keterlibatan masyarakat dalam lembaga swadaya, organisasi formal (RT dan RW), organisasi kepemudaan, Lembaga Pemberdayaan masyarakat Kelurahan (LPMK), serta Pemberdayaan Kesejahteraan keluarga (PKK). Kelompok etnis yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Anambas sangatlah beragam. Mulai dari etnis Melayu baik asli Anambas maupun dari daerah lain yang terdapat di Kepri, Tionghoa, Minang, Batak, Jawa, Sunda, Flores, Papua dan sebagainya. Stratifikasi Sosial yang terjadi pada masyarakat perbatasan dapat digambarkan terutama melalui stratifikasi status, yakni sampai saat ini keturunan Raja-raja Melayu masih memiliki status yang terhormat di mata masyarakat. Sedangkan stratifikasi kelas dimana ekonomi adalah indikator utama menggambarkan bahwasanya masyarakat perbatasan didominasi oleh kelas bawah atau yang dikatergorikan sebagai si miskin. Adapun kelas atas terdiri dari keluarga pejabat pemerintahan terutama dari generasi terdahulu sebelum Propinsi Kepulauan Riau terbentuk. Pada umumnya tanah adalah aset utama kekayaan dari kalangan ini, karena pada kurun waktu terdahulu mereka sangat memiliki kekuasaan untuk mengklaim kepemilikan atas aset tersebut. Berkaitan erat dengan stratifikasi kelas dan status adalah perihal aksesibilitas dan gaya hidup. Tak berbeda jauh dengan gambaran akses pada staratifikasi secara umumnya, masyarakat perbatasan Kepulauan Riau dapat dikatakan minim aksebilitas antara lain pendidikan, pekerjaan, kesehatan, transportasi. Berkaitan dengan gaya hidup, ciri khas budaya Melayu masih sangat kental di daerah perbatasan. Adapun gaya hidup yang dimaksud adalah masih memprioritaskan status kehormatan atau yang biasa dikenal dengan sebutan gengsi. Sebagai contoh, mereka lebih baik miskin sebagai nelayan daripada harus bekerja menjadi buruh, pembantu rumah tangga dan berbagai pekerjaan lain yang statusnya dinilai tidak terhormat oleh masyarakat. Dinamika Perubahan Sosial Budaya dan Potensi Konflik Perwujudan budaya (Setiadi dkk:2009) melalui interaksi dalam sebuah sistem sosial (perilaku yang berpola dari masyarakat) tergambarkan dalam kerangka yang mengarah lebih kepada jenis asosiatif daripada disosiatif. Meskipun terjadi berbagai kompetisi di tengah masyarakat (biasanya menjelang pemilihan Kepala Daerah), namun hal tersebut masih dalam penilaian yang sehat dimana tidak berpotensi untuk menjadi sebuah kontroversi maupun konflik. Adapun penangangan sengketa akibat konflik laten yang tercipta dari terbatasnya akses kesejahteraan masyarakat (mayoritas perkara pencurian ikan) diselesaikan melalui mekanisme asosiasi yakni ajudikasi, dikarenakan kewenangan untuk penyelesaian perkara berada di tangan para penegak hukum. Substansi Budaya masyarakat perbatasan Kepulauan Riau tercermin antara lain melalui sistem ilmu pengetahuan yang kompleks dimana berbagai macam aplikasi ilmu di tengah sistem sosial yang terbentuk. Adapun substansi nilai didominasi oleh nilai etika dan estetika, yakni budaya Melayu termasuk di daerah perbatasan memaknai etika kehalusan dan sopan santun sebagai dasar atau motivasi setiap orang untuk mencapai tujuan hidupnya. Nilai estetika amat jelas terlihat sebagai alat penunjang implementasi nilai etika, yakni ketika etikaetika kehidupan dijabarkan dalam bentuk unggahan puisi yang dikenal sebagai Gurindam Duabelas. Kepercayaan masyarakat Melayu perbatasan tercermin sangat jelas dalam sistem religi yang ada, karena mayoritas masyarakat perbatasan Kepulauan Riau telah menganut agama tertentu dan masih didominasi oleh agama Islam. Namun terlepas dari sisi religi, kepercayaan akan mitos-mitos masih terdapat di berbagai daerah perbatasan, namun mitos yang masih berlaku terbukti efektif sebagai alat kontrol sosial. Persepsi masyarakat perbatasan terutama terkait dengan kasus-kasus sengketa kedaulatan dan perikanan dapat dikatakan sangat beragam. Ada pihak-pihak tertentu yang terkesan membela pemerintah negara tetangga, ada pula yang sebaliknya. Hal ini dikarenakan ada basis historis yang berbeda-beda setiap orangnya. Perlu diketahui banyak masyarakat perbatasan yang memiliki sanak keluarga di berbagai negara tetangga, dan oleh karena itu akan sangat mungkin yang bersangkutan memiliki penilaian yang tidak objektif karena pengalaman berbagi cerita diantara keluarga tersebut. Pandangan hidup masyarakat perbatasan didominasi oleh keinginan mereka untuk hidup sejahtera, layak dan lebih diperhatikan. Selama ini mereka dianggap sebagai masyarakat terluar dari Indonesia dan bukan prioritas utama. Harapan yang tercermin dalam pandangan hidup mereka ini sering dimanfaatkan oleh pemerintah negara tetangga untuk memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan hidup mereka agar lebih sejahtera. Hal ini sangat berbahaya dan lebih mengancam bagi pemerintah Indonesia, karena seyogyanya masalah kebutuhan dasar lebih esensial daripada pandangan hidup berwawasan nusantara. Jika kebutuhan dasar masyarakat perbatasan Kepulauan Riau telah terpenuhi dan lebih diperhatikan perihal infrastruktur ataupun pendidikan, tanpa dimintapun pasti mereka akan memiliki wawasan nusantara dan berjiwa patriotisme terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Etos kerja masyarakat pesisir dapat dikatakan masih harus ditingkatkan, karena baik yang bekerja di sektor formal maupun informal belum menggambarkan suatu semangat kerja yang bisa dijadikan panutan ataupun kebanggaan bagi wilayahnya sendiri. Komitmen yang tinggi terhadap pekerjaan belum terlihat, perasaan cepat puas dan kebiasaan menunda juga masih tergambarkan. Etos budaya masih berpedoman kepada budaya Melayu secara umum, yakni etos metaforik dalam berpikir yakni menggunakan perlambangan sebagai ungkapan pikiran dan tidak langsung menyebutkan sasaran dari pikiran tersebut. Ini ada hubungannya dengan sifat pemalu serta ragam emosi yang suka menghindar dari pertikaian. Jika diutarakan langsung, dikuatirkan akan menyinggung perasaan. Hal inilah yang menjadi dasar dari keberadaan konflik laten pada masyarakat perbatasan Kepulauaan Riau pada umumnya dan masyarakat perbatasan Anambas pada khususnya. Gambaran dinamika sosial dan budaya yang terjadi pada masyarakat perbatasan dtelah membawa kepada suatu perubahan sosial akibat masuknya budaya-budaya baru. Setiap perubahan dan perkembangan sebuah nilai akan memberikan pengaruh atau perbenturan dan dikotomi implementasi dari pemahaman antara Iman dan Taqwa (Imtaq) dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Sering terlihat adanya fenomena terjadinya pergeseran nilai-nilai agama, sosial dan budaya, dengan indikasi antara lain maraknya pergaulan bebas bahkan sejak kehidupan remaja, penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya (narkoba), penjualan manusia (wanita dan anak), penyelundupan, pembunuhan, serta penyalahgunaan kewenangan kekuasaan. Kondisi sosial budaya masyarakat perbatasan yang sangatlah dinamis dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan negara tetangga. Perhatian yang lebih dari mereka kepada masyarakat perbatasan Indonesia dapat membuka konflik laten yang sampai saat ini solusi pemecahannya belum direalisasikan menjadi pandangan-pandangan disintegrasi. Penyelesaian terhadap konflik yang tak kunjung selesai dapat digunakan teori integrasi. Integrasi digunakan untuk menunjukkan adanya konsensus nilai, yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial. Ini berupa nilai-nilai tujuan, seperti keinginan akan pembangunan ekonomi dan umumnya merupakan persetujuan masyarakat mengenai berbagai hal, termasuk juga nilai sarana dan prasarana serta prosesnya (Susan:2009) Penyelesaian konflik bila dapat dicapai, maka harus disosialisasikan melalui nilainilai tingkahlaku integratif, yaitu kapasitas orang-orang didalam masyarakat untuk berorganisasi demi untuk mencapai tujuan bersama, seperti dalam kehidupan keluarga (Kinship). Yaitu suatu alat untuk mengembangkan diri dan memelihara serta mensosialisasikan nilai-nilai integratif kepada generasi muda (Taneko dalam Susan:2009) Proses integrasi ini diimplementasikan melalui peningkatan kapasitas masyarakat perbatasan khususnya di Kabupaten Kepulauan Anambas yang digambarkan oleh tahapan sebagai berikut: Peningkatan pengetahuan masyarakat adalah konsep utama sebuah proses capacity building. Aspek teknis yang sangat esensial untuk ditingkatkan kualitasnya pada masyarakat perbatasan adalah penerapan teknologi bagi nelayan dalam mendukung aktivitas-aktivitas mereka mencari ikan. Idealnya, ketika mereka akan pergi melaut seharusnya mereka sudah mengetahui lokasi perairan perikanan. Namun selama ini tidak seperti itu, karena tidak pernah ada potret potensi laut di perbatasan Kepulauan Riau. Ini sangat berbeda dengan nelayan asing, dengan teknologi UPS mereka dapat berangkat kepada derah yang dituju, melabuh jangkar dan menangkap ikan. Sedangkan nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas saat mereka baru berlabuh langsung terhanyut gelombang dan hal ini sangatlah tidak efektif. Sementara kapal Thailand dengan peta yang lebih canggih mereka sudah menguasai titik-titik koordinat bawah laut yang kaya akan ikan, alhasil ketika mereka berlabuh langsung bisa memperoleh ikan yang maksimal. Itulah kondisi dan dinamika nelayan Anambas yang sangat memprihatinkan, sudah berhari-hari di laut tanpa hasil yang berarti karena tidak mengetahui ‘rumah’ ikan. Dengan demikian, penyediaan infrastuktur wilayah perairan yang terkait langsung dengan kehidupan nelayan adalah adanya pemetaan dasar laut. Dengan tersedianya fasilitas tersebut ditambah dengan kemampuan masyarakat dalam mengoperasikan teknologi UPS, maka dampak peningkatan ekonomi akan dirasakan oleh nelayan-nelayan di perbatasan. Meningkatnya pendapatan masyarakat akan berdampak pula pada peningkatan kesejahteraan. Hal yang kerap terjadi adalah negara tetangga memanfaatkan kondisi-kondisi tidak sejahtera ini untuk memberikan bantuan yang bersifat karitatif, dan tidak jarang dari masyarakat perbatasan yang pada akhirnya menjadi seolah-olah memihak kepada negara tetangga. Hal inilah yang harus dicegah melalui komitmen Indonesia terhadap peningkatan kualitas masyarakat dan pemenuhan fasilitas infrastuktur. Tahapan yang juga dilalui dalam peningkatan kapasitas (capacity building) adalah leadership atau kepemimpinan dan atau proses kaderisasi. Dalam peningkatan kapasitas masyarakat, kemampuan untuk memimpin ataupun sekedar memiliki jiwa kepemimpinan untuk diri sendiri sangatlah mempenagaruhi pembentukan karakter masyarakat. Adanya jiwa kepemimpinan berarti memiliki kulitas diri antara lain pemahaman komprehensif atas kelebihan dan kekurangan diri, pemahaman esensi makhluk pribadi dan sosial, organizing skill sebagai modal awal dalam pendampingan dan pengorganisiran masyarakat, kemampuan dalam menganalisa dan berpihak pada keadilan dalam kasus-kasus yang terjadi di masyarakat (antara lain kasus pelanggaran HAM, ketidakadilan gender, masalah lingkungan), kemampuan melibatkan media dalam kampanye keadilan sosial dan kesetaraan akses, melakukan kontrol, evaluasi dan masukan terhadap pemerintahan yang sedang berlangsung, dan mekanisme penyelesaian sengketa (problem solving). Dengan dimilikinya kapasitas kepemimpinan dalam setiap diri masyarakat perbatasan, maka kestabilan fungsi dan partisipasi masyarakat akan terlaksanakan secara maksimal. Masyarakat yang memiliki kapasitas tercermin melalui partisipasinya dalam keseluruhan proses pembangunan. Adapun kunci dari partisipasi aktif adalah kondisi-kondisi yang antara lain tergambarkan sebagai berikut (Ife dan Tesoriro:2008) 1. Perbedaan sosial tanpa eksklusi yakni anggota komunitas yang berbeda dalam sisi SARA, ideologi politik dan lainnya dapat datang berkumpul dan bercampur, berbagi dan saling memperkaya; 2. Keragaman yakni struktur mendukung keanekaragaman dan hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda; 3. Erotisisme yakni perbedaan menggembirakan dan menjadi daya tarik, ketimbang menciptakan ketakutan dan ketidakpercayaan; 4. Publisitas yakni perbedaan dapat terjadi dalam masyarakat dan semua orang dapat berinteraksi dengan orang yang berbeda untuk mendengarkan dan belajar. Namun belum semua komponen masyarakat,terlebih lagi ketika kita berbicara masyarakat perbatasan Kepulauan Riau mampu menciptakan kondisi-kondisi tersebut. Dengan demikian dibutuhkan strategi untuk mewujudkan peningkatan kapasitas masyarakat dan organisasi, yakni : a. Advokasi atau pembelaan yang berbasiskan hak-hak masyarakat. Dengan dilakukannya advokasi pada komunitas perbatasan, diharapkan masyarakat mampu berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan, implementasi maupun evaluasi terkait dengan isu-isu pertahanan dan kesejahteraan masyarakat. b. Advokasi yang dilakukan antara lain adalah melalui konsultasi publik atas kebijakan perbatasan, dimana masyarakat diharapkan mampu memberikan masukan dan kontribusi nyata terhadap pengelolaan perbatasan. Aktivitas Focus Group Discussion juga dapat terklasifikasi dalam kerangka advokasi, karena aktivitas ini sangat erat kaitannya dengan penggalian dan pemaknaan lebih dalam dari suatu isu tertentu. Masyarakat yang berkapasitas tinggi juga akan melakukan hearing dan lobby yang berguna untuk mendorong perumusan kebijakan terkait perihal perbatasan untuk menjadi program legislasi di daerah masing-masing kabupaten. c. Aktivitas advokasi akan lebih maksimal dengan turut memperkuat instrumen kampanye publik, guna menjaring perhatian masyarakat setempat terhadap krusialnya permasalahan yang terjadi di kawasan perbatasan Kepulauan Riau. Selama ini, keterlibatan media melalu tulisan-tulisannya lebih berorientasi menarik perhatian pemerintah Propinsi, ketimbang masyarakat perbatasan sendiri. Untuk dapat menarik partisipasi masyarakat dalam penguatan instrumen kampanye publik, strategi penguatan kapasitas antara lain skill menulis, berpendapat dalam koridor etika, membuat film-film dokumenter dan instrumen kampanye seperti poster, kaos, website yang terkait dengan isu perbatasan sangatlah dibutuhkan. Partisipasi aktif masyarakat perbatasan akan menggambarkan suatu masyarakat mandiri yang peduli akan keamanan, pertahanan dan kesejahteraaan wilayahnya. IV. • KESIMPULAN Belum optimalnya pemerataan akses kesejahteraan bagi masyarakat perbatasan di Kabupaten Kepulauan Anambas menimbulkan konflik laten yang memiliki potensi disintegrasi dan lemahnya ketahanan sosial masyarakat. Masyarakat ini memiliki keberpihakan yang besar kepada negara-negara tetangga dikarenakan upaya pihak ketiga ini dirasakan lebih memberikan dukungan dalam peningkatan kesejahteraan. Hal ini telah terjadi sekian lama dan peningkatan kapasitas masyarakat perbatasan diajukan sebagai strategi baru dalam membangun ketahanan sosial dan mengembalikan rasa nasionalisme dan patriotisme masyarakat perbatasan • Berdasarkan kondisi sosial budaya yang telah diuraikan, maka dibutuhkan langkahlangkah untuk membentuk suatu entitas masyarakat perbatasan yang berkualitas melalui proses integrasi yang ditengarai efektif untuk menghilangkan konflik laten: ➢ Revitalisasi sistem pembelajaran yang dimulai dari tingkatan keluarga sebagai pihak significant others yang berperan besar dalam penanaman nilai dan konsep diri. Penguatan kembali sistem pendidikan dalam masyarakat termasuk didalamnya kurikulum pengajaran, tenaga pengajar, pengawasan lembaga pendidikan dan transparansi pengelolaan anggaran pendidikan merupakan salah satu upaya dalam memperbaiki kualitas pendidikan. Dengan kembalinya kekuatan vital dari keluarga dan lembaga pendidikan, berarti modal awal masyarakat yang berkualitas sudah muai terbentuk. ➢ Peningkatan kualitas dari komponen masyarakat yang juga dibutuhkan antara lain dari tokoh-tokoh masyarakatnya. Mereka adalah panutan masyarakat dimana perkataan atau pandangannya sangat dihormati. Dengan demikian, pemahaman dari tokoh masyarakat mengenai identitas diri, nilai-nilai yang dianut, ketahanan, perlindungan dan kesejahteraan akan menjadi panutan dan akan sangat mungkin juga dimiliki oleh masyarakat di daerah perbatasan. Proses revitalisasi pembelajaran baik melalui institusi keluarga, pendidikan dan tokoh masyarakat akan sangat mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, kontrol dan evaluasi yang memang seyogyanya dimiliki oleh setiap orang pada tahap generalized others. V. SARAN Strategi penanggulangan kejahatan maritim di perbatasan Kepulauan Anambas dapat dibangun dengan melibatkan banyak pihak yang terkait dalam suatu kerjasama yang sinegis, dirancang secara konsepsional, terpadu melibatkan instansi/lembaga departeman/nondepartemen, perguruaan tinggi (yang akan memberikan analisa sosial dan valuasi lingkungan atas taksiran biaya kerugian kegiatan illegal), serta LSM yang terkait. VI. DAFTAR PUSTAKA Fukuyama, F.(2010), Guncangan Besar, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ife, J. dan Tesoriero, F. (2008), Community Development, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Moleong, L.J. (2005), Metode Penelitian Kualitatif, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Setiadi, E.M. , Hakam, K.A. dan Effendi, R (2009), Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Kencana, Jakarta. Susan, N.(2009), Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Kencana, Jakarta.