KAJIAN PARASITEMIA DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) AKIBAT PARASIT DARAH DI PULAU ROTAN KABUPATEN BANYUASIN PALEMBANG SUMATERA SELATAN ALDILA NURTRIANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus Bubalis) Akibat Parasit Darah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang Sumatera Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir VNULSVL ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Aldila Nurtriana NIM B04120021 *Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait. ABSTRAK ALDILA NURTRIANA. Kajian Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus Bubalis) Akibat Parasit Darah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan HERA MAHESHWARI. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi jenis parasit darah yang menginfeksi kerbau perah (Bubalus bubalis), untuk mengetahui tingkat parasitemia, dan leukosit diferensial kerbau perah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang, Sumatera Selatan. Sampel darah dikumpulkan dari 10 kerbau perah menggunakan metode ulas darah. Sampel diolah di kaca slide, diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x. Parasitemia dihitung untuk setiap 500 sel darah merah. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 70% kerbau perah yang terinfeksi oleh Anaplasma sp. dan 30% terinfeksi oleh Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.). Tingkat parasitemia tertinggi disebabkan oleh Anaplasma sp. sebesar 0,63 ± 0,24% dan diikuti oleh infeksi Coinfection 0,83 ± 0,11% (P>0,05). Kerbau masih dalam tingkat keparahan penyakit ringan dan fase inkubasi/kronis. Hasil leukosit diferensial tidak berbeda (P>0,05). Kerbau perah terinfeksi oleh Anaplasma sp. memiliki neutrofil dan monosit lebih rendah dari referensi yang normal tapi eosinofil lebih tinggi dari normal. Sementara kerbau perah yang terinfeksi oleh Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.) memiliki neutrofil sedikit lebih rendah dan limfosit, monosit, eosinofil lebih tinggi dari normal. Kata Kunci : Anaplasma sp., Coinfection, differential leukosit, kerbau perah, parasitemia. ABSTRACT ALDILA NURTRIANA. The study of parasitaemia and differential leucocyte consequence of blood parasite in dairy buffaloes (Bubalus bubalis) in Rotan Island Banyuasin Palembang, South Sumatera. Supervised by UMI CAHYANINGSIH and HERA MAHESHWARI. The aims of this research were to identify the type of blood parasites that attack in dairy buffaloes naturally (Bubalus bubalis), to find out parasitemia rate, and differential leukocyte dairy buffaloes on Rotan Island Banyuasin district Palembang, South Sumatera. The blood samples were collected from 10 dairy buffaloes using blood smear method. Samples were processed in glass slide, stained with Giemsa 10% and were observed using a microscope with 1000x magnification. The parasitaemia were counted for every 500 red blood cells . The results showed dairy buffaloes were infected by Anaplasma sp. which was 70% and 30% less infected by Coinfection (Anaplasma sp. and Theileria sp.). The highest parasitaemia rate was caused by Anaplasma sp. which was 0,63±0,24% and followed by infection of Coinfection 0,83±0,11% (P>0,05). The buffaloes were still in the severity of mild diseases and incubation/chronic phase. The results of differential leukocyte were not different (P>0,05). The dairy buffaloes were infected by Anaplasma sp. had neutrophils and monocytes were lower than normal reference but the eosinophils were higher than normal. While the dairy buffaloes were infected by Coinfection (Anaplasma sp. and Theileria sp.) had neutrophils were slightly lower and the lymphocytes, monocytes, eosinophils were higher than normal. Keywords: Anaplasma sp., Coinfection, dairy buffalo, differential leucocyte, parasitaemia. KAJIAN PARASITEMIA DAN DIFERENSIAL LEUKOSIT KERBAU PERAH (Bubalus bubalis) AKIBAT PARASIT DARAH DI PULAU ROTAN KABUPATEN BANYUASIN PALEMBANG SUMATERA SELATAN ALDILA NURTRIANA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PRAKATA Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta`ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Skripsi dengan judul Kajian Parasitemia dan Diferensial Leukosit Kerbau Perah (Bubalus Bubalis) Akibat Parasit Darah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang Sumatera Selatan merupakan salah satu syarat kelulusan studi program sarjana di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Drh Hj Umi Cahyaningsih, MS dan Dr Drh Hera Maheswari, Msc selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Wasmen Manalu selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Achmad Juhana, Ibu Nurtyah, Kakak Silvia Herlina dan Anita Novianti serta seluruh keluarga atas segala dukungan dan doa yang diberikan. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Ali Husein selaku ketua kelompok tani di Pulau Rotan yang telah membantu dan mendukung dalam penulisan skripsi ini. Diucapkan terimakasih juga kepada Ibu Nani dan Bapak Saan selaku staf Laboratorium Protozoologi, Ibu Ida dan Ibu Sri selaku staf Laboratorium Fisiologi yang telah membantu penulis saat pemeriksaan sampel. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Neni Eviyanti Togatorop, Nina Herlina, Dian Anggraeni, Nurul Annisa Tuliman, Fitria Wulandari, Denty Saraswati, Muhammad Tasnim, Arie Muhammad dan Muhammad Prajantio Praceka yang selalu membantu dan mendukung penulis untuk bersemangat. Kepada para sahabat seangkatan Astrocyte 49 dan teman-teman lainnya penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca. Bogor, Agustus 2016 Aldila Nurtriana DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Kerbau Perah Parasit Darah Anaplasma sp. Theileria sp. Darah Eritrosit Leukosit Tipe Leukosit Limfosit Monosit Neutrofil Eosinofil Basofil 2 3 3 4 6 6 6 7 7 7 8 9 10 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan Coba Metode Pengambilan Darah Pewarnaan Preparat Ulas Darah Pemeriksaan Parasit Darah dan Perhitungan Diferensial Leukosit Pengolahan Data HASIL DAN PEMBAHASAN 11 11 11 11 11 11 12 12 Persentase dan Tingkat Parasitemia Parasit Darah 12 Diferensial Leukosit 14 SIMPULAN DAN SARAN 15 Simpulan 15 Saran 16 DAFTAR PUSTAKA 16 RIWAYAT HIDUP 20 DAFTAR TABEL 1. Tingkat Persentase dan Parasitemia Parasit Darah 2. Rataan Jenis Leukosit pada Kerbau yang Terinfeksi Anaplasma sp. dan Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.). 12 14 DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kerbau Perah di Pulau Rotan Anapalasma sp. (Ashuma et al. 2013) Theileria sp. (Cufos 2012) Limfosit (Hoffman et al. 2000) Monosit (Hoffman et al. 2000) Neutrofil (Hoffman et al. 2000) Eosinofil (Hoffman et al. 2000) Basofil (Hoffman et al. 2000) Parasit Darah pada Kerbau Perah 2 3 4 7 8 9 10 10 13 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu komoditi ternak besar di Indonesia yang susu dan dagingnya dikonsumsi masyarakat. Populasi kerbau tersebar di seluruh wilayah Indonesia diantaranya Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Jumlah populasi kerbau di Indonesia semakin lama mengalami penurunan, berdasarkan Pendataan Sapi Potong dan Kerbau (PSPK) oleh Kementan dan BPS tahun 2011 populasi kerbau di Indonesia mencapai 1,3 juta ekor dengan rata-rata pertumbuhan -0,58%. Meskipun secara nasional angka populasi kerbau menurun, namun Pulau Sumatera justru mengalami peningkatan secara absolut sebanyak 6,1 ribu ekor per tahun (Kementan dan BPS 2012). Adanya peningkatan populasi kerbau menjadikan kerbau sebagai potensi pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia. Salah satu kebutuhan protein hewani ialah susu. Kebutuhan konsumsi susu semakin meningkat 14,01% selama tahun 2002 sampai 2007 (Farid dan Sukesi 2011). Kerbau perah memiliki potensi yang cukup tinggi untuk dijadikan bagian dari pemenuhan produksi susu, tetapi potensi ini terhalang dengan penyakit parasit yang tinggi sehingga menurunkan jumlah produksi susu (Zesfin et al. 2007). Maka dari itu, pemeriksaan kesehatan hewan terhadap infeksi parasit darah menjadi penting untuk peningkatan performa, produksi susu kerbau perah, dan menambah nilai ekonomis produk hasil kerbau. Pulau Rotan termasuk ke dalam Kecamatan Rambutan Kabupaten Banyuasin yang merupakan sebuah pulau yang berfungsi sebagai kandang kerbau dan sekretariat kelompok tani sinar rambutan. Kerbau perah milik kelompok tani tersebut setiap harinya diumbar ke sebrang pulau untuk mencari makan sendiri dari pagi hari dan kembali dikandangkan sore hari. Pemeliharaan kerbau perah oleh kelompok tani tersebut sebagai pengisi waktu luang dan diperah susunya sehari dua kali. Sumber pakan kerbau perah berasal dari rerumputan disebrang pulau yang seadanya, rerumputan di lahan yang gersang dan daerah lembab menjadi habitat yang baik bagi pertumbuhan caplak yang menjadi vektor berbagai agen penyakit dari jenis protozoa/parasit darah (Suhardono 2000). Sumber pakan kerbau perah yang berasal dari rerumputan di lahan yang gersang dan daerah lembab juga menjadi habitat yang baik bagi pertumbuhan caplak yang menjadi vektor biologis jenis parasit darah (Suhardono 2000). Penyakit yang disebabkan parasit darah umumnya menyerang ternak kerbau adalah Babesiosis, Anaplasmosis, Theileriosis, dan Surra. Penyakit akibat parasit darah seringkali tidak menimbulkan gejala klinis, maka dari itu pemeriksaan darah penting dilakukan terutama pemeriksaan leukosit yang bertanggung jawab dalam sistem kekebalan tubuh ketika diserang agen 2 penyakit. Pemeriksaan leukosit meliputi setiap jenis leukosit (neutrofil, limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil). Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan mengidentifikasi jenis parasit darah yang menginfeksi kerbau perah, tingkat parasitemia, dan diferensial leukosit pada kerbau perah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang, Sumatera Selatan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan ilmiah untuk penyusunan program pengendalian parasit darah pada kerbau perah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang, Sumatera Selatan. TINJAUAN PUSTAKA Kerbau Perah Gambar 1 Kerbau Perah (Bubalus bubalis) Sumber: Dokumentasi Pribadi Kerbau termasuk dalam Kingdom: Animalia; Phylum: Chordata; Class: Mammalia; Order: Artiodactyla; Family: Bovidae. Kerbau di Indonesia dibudidayakan sebagai kerbau perah dan kerbau pedaging. Kerbau perah biasanya didominasi oleh kerbau sungai (Bubalus bubalis) (Talib et al. 2014). Kerbau mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan sapi, karena mampu hidup dalam kawasan yang relatif sulit terutama bila pakan yang tersedia berkualitas sangat rendah. Oleh sebab itu, peternak pada umumnya memelihara ternak kerbaunya dengan cara tradisional yaitu tidak mengandangkannya sehingga kerbau dapat bebas mencari makan dan berkubang, seringkali kerbau bernaung di bawah pohon, dipinggir hutan atau di lapangan terbuka (Bamualim et al. 2008). 3 Kerbau perah (Bubalus bubalis) merupakan kerbau domestikasi yang banyak ditemukan di daerah Sumatera, salah satunya Sumatera Selatan karena masih banyak daerah sungai. Kerbau perah menjadi ternak penghasil susu yang sangat adaptif dengan kondisi di Indonesia sehingga cukup banyak diternakkan, produksi susu kerbau perah 9-14 liter/ekor/hari dengan masa Iaktasi 240-300 hari dan memiliki keunggulan kadar lemak 6-10% dan protein 4-6% yang lebih tinggi daripada sapi (Singh dan Praharani 2014). Kerbau perah jarang dikandangkan kecuali saat masuk musim penghujan, di beberapa lokasi kandang kerbau perah terletak diatas sungai atau sungai berupa rakit atau kandang terapung (Suhardono 2000), ada pula kandang sederhana beratapkan alang-alang atau daun kelapa, ada pun yang mengandangkannya di kolong rumah (Bamualim et al. 2008). Kerbau perah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) berwarna hitam legam atau kecoklatan, 2) tanduk mengarah ke belakang, berbentuk setengah lingkaran dengan bagian ujung meruncing, 3) kerbau sungai tidak memiliki warna putih pada leher seperti yang terdapat pada kerbau lumpur, 4) ambing yang lebih besar dibandingkan kerbau lumpur, dan 5) bentuk badan kerbau sungai kurang kompak dan pendek (Singh dan Praharani 2014). Kerbau perah aktif pada senja dan malam hari, menghabiskan istirahat siang hari di sungai atau beristirahat di tanah yang dinaungi pepohonan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor anatomi tubuhnya yang memiliki kelenjar keringat yang terlalu rapat dibandingkan sapi dan suhu lingkungan yang panas (Talib et al. 2008). Aktivitas makan kerbau perah tinggi dan memakan segala jenis rerumputan sehingga mengonsumsi dalam jumlah besar (Surbakti et al. 2013). Kerbau hasil domestikasi lebih rentan terhadap penyakit, stres akibat panas, penyakit menular yang menimbulkan gejala serupa pada sapi (Wahid et al. 2011). Parasit Darah Parasit darah merupakan salah satu penyebab kematian ternak dengan gejala penurunan berat badan hingga kematian sehingga menimbulkan kerugian ekonomi. Perjalanan penyakit parasit darah dapat bersifat akut hingga kronis penyakit yang disebabkan oleh parasit darah umumnya berjalan kronis, semua tahap pada usia hewan sangat rentan terinfeksi parasit darah (Solihat 2002). Parasit darah terbagi menjadi dua bagian yaitu parasit intraseluler obligat dan parasit ekstraseluler obligat. Parasit intraseluler obligat diantaranya Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp., sedangkan parasit ekstraseluler obligat adalah Trypanosoma sp. Berikut spesies-spesies parasit darah: Anaplasma sp. Anaplasma sp. merupakan riketsia intraseluler obligat yang hidup dalam sel darah merah mamalia (Vatsya et al. 2013). Taksonomi Anaplasma sp. menurut Grenda et al. (2008) sebagai berikut: Filum : Protobacteri Kelas : Alpha Protobacteria Ordo : Rickettsiales Famili : Anaplasmataceae Genus : Anaplasma 4 Anaplasma sp. berukuran kecil 0.3 sampai 1 µm, berbentuk bulat dan padat (OIE 2015). Vektor biologis Anaplasma sp. adalah caplak Boophilus, Rhipicephalus, Hyaloma, Dermacentor dan Ixodes (Aubry et al. 2010). Lalat penghisap darah genus Tabanus, Stomoxys dan beberapa spesies nyamuk juga sebagai vektor mekanik Anaplasma sp. Organisme ini dapat pula ditransmisikan melalui jarum dan operasi kecil seperti dehorning (Vatsya et al. 2013). Anaplasmosis merupakan penyakit endemik di daerah tropis dan subtropis (Torina et al. 2008). Anaplasma sp. umumnya menyerang ruminansia seperti kerbau, bison, sapi, hingga antelope afrika. Spesies yang bersifat patogen adalah A. marginale., sedangkan A. central. tidak bersifat patogen. Eritrosit merupakan satu-satunya tempat yang dapat terinfeksi Anaplasma sp. dengan masa inkubasi bervariasi tergantung jumlah organisme dan dosis infektif yang berkisar 7-60 hari dengan rata-rata 28 hari. Eritrosit yang telah terinfeksi, jumlahnya akan meningkat dua kali lipat setiap 24 jam (Kocan et al. 2010). Eritrosit yang mengandung Anaplasma sp. akan ikut bersama darah yang dihisap caplak ke sel-sel usus, selanjutnya Anaplasma sp. akan berkembang di banyak jaringan termasuk kelenjar saliva caplak sehingga dapat menyebar ke hewan lainnya. Anaplasma sp. memiliki dua bentuk yaitu bentuk vegetatif dan bentuk padat yang ditemukan di dalam sel caplak yang terinfeksi. Bentuk vegetatif terjadi akibat pembelahan biner, kemudian berubah menjadi bentuk padat yang merupakan bentuk infektif (Kocan et al. 2004). Penyakit yang disebabkan oleh Anaplasma sp. disebut Anaplasmosis yang memiliki gejala klinis yang ditimbulkan antara lain ternak mengalami anemia, ikterus tanpa adanya hemoglobinemia dan hemoglobinuria akibat fagositosis oleh sistem retikuloendotial. Gejala lainnya adanya demam, kehilangan bobot badan, aborsi pada kerbau, kelelahan dan kematian. Tingkat keparahan Anaplasmosis bergantung pada usia ternak. Ternak dengan usia dibawah 6 bulan jarang menimbulkan gejala klinis yang signifikan, usia 6 bulan sampai 1 tahun timbul kesakitan ringan, usia 1-2 tahun penyakit berjalan akut tetapi jarang berakibat fatal, tetapi pada ternak usia 2 tahun keatas penyakit bersifat akut dan fatal dengan risiko kematian (Kocan et al. 2003). Kerbau yang bertahan akan mengubah infeksi akut menjadi infeksi persisten ditandai dengan siklik tingkat rendah rickettsemia, kerbau secara terus-menerus terinfeksi dan menjadi carrier yang memiliki kekebalan seumur hidup dan tahan terhadap penyakit. Kerbau yang terinfeksi terus-menerus dapat menjadi reservoir A.marginale karena terdapat sumber darah infektif untuk transmisi mekanik dan biologis oleh caplak (Kocan et al. 2010) Gambar 2 Anaplasma sp. Sumber: Ashuma et al. 2013 5 Theileria sp. Theileria sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan Theileriosis pada hewan ternak maupun liar di daerah tropis dan subtropis di dunia (Abdullah et al. 2008) tetapi umumnya Theileriosis menyerang ruminansia antara lain kerbau, sapi, bison, domba, dan kambing. Taksonomi Theileria sp berdasarkan Liu (2010) sebagai berikut: Filum : Apicomplexa Kelas : Sporozoea Subkelas : Coccidia Superordo : Eucoccidea Ordo : Haemosporidia Subordo : Aconoidia Famili : Piroplasmidae Genus : Theileria Morfologi Theileria sp. berbentuk bulat, koma dan berbentuk kumparan dengan ukuran 0.5 sampai 1 µm. Mikroorganisme ini terdapat pada sel darah merah dan limfosit (Watts et al. 2015) Spesies Theileria sp. yang patogen adalah T. parva. dan T. annulata., sedangkan spesies yang tidak patogen adalah T. mutans. Vektor parasit ini adalah Rhipichepalus, Hyalomma, Amblomma, dan Haemaphysalis (Mans et al. 2015). Gambar 3 Theileria sp. Sumber: Cufos 2012 Siklus hidup Theileria sp. fase aseksual terjadi di tubuh inang. Fase aseksual terdiri atas stadium skizogoni dan merogoni. Stadium skizogoni dan merogoni terjadi di limfosit, setelah stadium merogoni akan menjadi piroplasma-piroplasma yang dapat menginfeksi sel darah merah. Fase seksual terjadi di dalam tubuh caplak yang terdiri atas stadium gametogoni dan sporogoni (Mans et al. 2015). Sporozoit yang terbentuk di dalam tubuh caplak akan berpindah ke tubuh ruminan melalui saliva caplak saat menghisap darah, sporozoit akan menyerang limfosit inang. Sporozoit memiliki siklus hidup yang kompleks dalam tubuh inang melibatkan replikasi skizon dalam leukosit dan piroplasma di eritrosit, proses ini membutuhkan waktu 3-4 hari. Hewan yang bertahan dari infeksi Theileria sp. umumnya menjadi carrier untuk beberapa bulan atau tahun. Selain itu, Theileria sp. dapat ditransmisikan 6 melalui darah pada penggunaan jarum suntik berulang (Zhijie 2010).Gejala klinis yang tampak akibat theileriosis setelah 2 minggu masa inkubasi antara lain demam tinggi, pembengkakan limfonodus, udema pulmonum yang parah (seringkali ternak sulit bernafas) dan kelelahan, dan berakhir kematian yang fatal. Sedikit ternak yang pulih, proses pulihnya pun lama dan ternak akan berada dalam kondisi mengkhawatirkan dan tidak berproduksi selama beberapa bulan (Stoltsz 2005). Darah Darah adalah cairan tubuh yang diproduksi melalui proses hemopoiesis pada sumsum tulang. Sel induk pluripoten akan berdiferensiasi menjadi sel darah merah, megakaryosit, granulosit, dan agranulosit. Perkembangan tersebut akan berakhir membentuk sel darah merah (erythrocyte), sel darah putih (Leukocyte), dan kepingan darah (Thrombocytes atau platelets) (Reagan et al. 2013). Darah terbagi atas 3 komponen yaitu plasma, buffy coat, dan benda darah. Darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan nutrisi, membawa produkproduk yang tidak berguna, hormon, serta sebagai pengangkut O2 dan CO2 (Guyton dan Hall 2010). Eritrosit Sel darah merah/eritrosit dihasilkan melalui proses eritropoiesis. Eritropoiesis pada mamalia terjadi di sumsum tulang (Reagan et al. 2013). Proses pembentukan eritrosit dapat dipengaruhi oleh hormon yang dihasilkan di ginjal, yaitu hormon ertripoietin. Eritrosit normal berbentuk bikonkaf, berdiamter 7,8 µm dan ketebalan 2,5 µm pada bagian yang tebal dan 1µm pada bagian tengah. Rata-rata volume eritrosit sebanyak 90 sampai 95 mm3. Fungsi utama sel darah merah ialah mengandung hemoglobin, yang membawa oksigen dari paru-paru menuju jaringan, sedangkan pada beberapa hewan tingkat rendah, eritrosit sebagai protein bebas di dalam plasma. Eritrosit dapat menampung hemoglobin dalam cairan sel sampai 34 gram setiap 100 mm sel. Fungsi eritrosit yang lain adalah sebagai katalisator dalam mengubah reaksi reversible antara karbondioksida dan air yang bergabung menjadi bentuk asam karbonat, sehingga eritrosit bertanggung jawab dalam pengaturan asam-basa di darah. Sekitar 3% eritrosit masuk ke dalam membran kapiler atau membran gromelular dari ginjal untuk difiltrasi setiap waktunya. Eritroit memiliki masa hidup selama 120 hari, apabila masa hidup eritrosit habis maka akan didestruksi di dalam hati sehingga menghasilkan pigmen bilirubin yang mewarnai urin (Guyton et al. 2010). Leukosit Sel darah putih yang biasa disebut leukosit adalah unit sel yang bersirkulasi membentuk sistem kekebalan tubuh. Sel darah putih berasal dari sel pluripoten pada proses hematopoiesis dibawah pengaruh berbagai rangsangan eksternal (sitokin, protein matriks, dan sel aksesori) (Hoffman et al. 2000). Jumlah total leukosit kerbau betina normal sebanyak 9,0±0,28×103/µL (Sabasthin et al. 2012). 7 Sel darah putih sebagian besar dibentuk di sumsum tulang (granulosit, monosit, dan beberapa limfosit) dan sebagian kecil di jaringan limfe (limfosit dan sel plasma). Sel darah putih disimpan di sumsum tulang dan bersirkulasi saat dibutuhkan. Sel darah putih terbagi menjadi sel agranulosit dan granulosit. Sel agranulosit terdiri dari sel-sel yang tidak memiliki granul seperti limfosit dan monosit, sedangkan sel granulosit atau sel bergranul terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan basofil. Masa hidup sel granulosit normalnya 4-8 jam setelah dilepaskan dari sumsum tulang dan 4-5 hari di dalam jaringan yang membutuhkannya. Jumlah leukosit terbanyak ditransportasikan ke area yang mengalami peradangan dan infeksi serius, leukosit secara cepat dan potensial bertahan melawan agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit (Hoffman et al. 2000). Sel-sel granulosit dan monosit melindungi tubuh dari agen penyakit dengan cara memfagositnya sedangkan limfosit dan sel plasma memiliki fungsi penting yang berhubungan dengan sistem kekebalan. Tipe Leukosit Limfosit Limfosit merupakan salah satu tipe sel darah putih yang bersirkulasi hingga ke perifer dan paling banyak disimpan dalam jaringan limfe. Kadar limfosit kerbau dalam keadaan normal sebanyak 4.79–11.05x109/L dengan rataan limfosit sebesar 54.0±1.8% (Sabasthin et al. 2012). Morfologi limfosit berbentuk bundar dengan inti jelas serta sitoplasma yang tidak bergranular. Sel limfoit berkembang menjadi sel T dan sel B yang bertanggung jawab dalam sistem imunitas inang. Sel B berfungsi menghasilkan antibodi. Sel B dan sel T sulit dibedakan secara morfologi (Hoffman et al. 2000). Limfosit secara terus-menerus disirkulasikan melalui cairan limfe dan setelah beberapa jam keluar dari darah dan masuk ke dalam jaringan dengan cara diapedesis, kemudian masuk kembali ke jaringan limfe dan darah terus-menerus membentuk siklus. Limfosit memiliki masa hidup minggu atau bulan, tergantung dari kebutuhan tubuh terhadap sel ini (Guyton et al. 2010). Gambar 4 Limfosit Sumber: Hoffman et al. 2000 8 Monosit Sejumlah 0.00–0.90x109/L dalam sel darah putih kerbau diisi oleh monosit (Hoffman et al. 2000) dengan rataan monosit sebanyak 2.5±0.22% (Sabasthin et al. 2012). Monosit memiliki sitoplasma yang paling besar dibandingkan tipe sel darah putih lainnya. Setelah bermigrasi ke jaringan ekstravaskular, ukuran monosit akan berkembang dan karakteristik morfologi menjadi makrofag jaringan. Keduanya berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh (Hoffman et al. 2000). Masa hidup monosit di dalam sirkulasi hanya 10 sampai 20 jam sebelum masuk ke dalam jaringan dan menjadi makrofag, namun melekat ke jaringan hingga berbulan-bulan atau bahkan tahun sampai mereka dibutuhkan sebagai pelindung lokal yang spesifik. Keduanya memiliki fungsi yang sama untuk memfagositosis sejumlah bakteri, virus, jaringan nekrotik, atau benda asing dalam jaringan. Saat terdapat rangsangan seperti peradangan, mereka terlepas dari perlekatan dan makrofag akan bereaksi sebagai makrofag mobile dengaan respon kemotaksis. Dengan demikian, tubuh memiliki sistem monosit-makrofag di hampir seluruh jaringan. Hal tersebut serupa dengan sistem retikuloendotelial yang lebih umum dikenal di daerah jaringan terinfeksi partikel, racun, dan zat-zat lainnya yang harus hancur. Makrofag dapat hidup sampai hitungan bulan jika tidak hancur dalam proses fagositosis. Makrofag jaringan bertahan melawan infeksi (Guyton et al. 2010). Peningkatan jumlah monosit hingga 2 kali lipat dari jumlah normal menandakan adanya peradangan kronis di dalam tubuh (Fernyhough et al. 2008). Gambar 5 Monosit Sumber: Hoffman et al. 2000 Neutrofil Neutrofil memenuhi 70% jumlah sel darah putih dan sebagai fagosit yang dominan dalam sirkulasi. Kerbau dalam kondisi normal memiliki jumlah neutrofil 1.39–6.78x109/L (Hoffman et al. 2000) dengan rataan sebesar 45.0±1.7% (Sabasthin et al. 2012). Masa hidup neutrofil inaktif di dalam sirkulasi berkisar 4 sampai 10 jam, sedangkan diluar sirkulasi mencapai 1 sampai 2 hari (Fernyhough et al. 2008). Neutrofil terbagi menjadi dua bentuk yaitu neutrofil band/muda dan neutrofil bersegmen. Neutrofil berukuran 10-12 µm dan memiliki satu inti yang berlobus 3-5 lobus dalam satu sel. Sitoplasma dipenuhi granul berwarna biru hingga merah muda tergantung dari pewarnaan yang digunakan. Neutrofil memiliki fungsi utama sebagai pertahanan pertama melawan agen infeksius, ia dapat bermigrasi hanya saat terjadinya kontak pada permukaan. 9 Umumnya neutrofil merespon stimulus infeksi dengan cara melekat pada sel-sel darah atau benda asing, seperti bakteri dan biomaterial lainnya. Tahapan pertama saat neutrofil menerima stimulus peradangan ialah melekat pada dinding pembuluh darah, biasanya terjadi di postcapillary venule. Setelah terjadi perlekatan pada permukaan endotel, neutrofil mengikuti faktor kemotaksis gradien menuju bagian infeksi dan berinteraksi dengan organisme dengan menghancurkannya. Penghancuran yang dilakukan merupakan hasil interaksii fagositosis dengan melepaskan granul-granulnya ke dalam gelembung fagositik. Fenomena yang terjadi sangat kompleks. Jumlah neutrofil yang bersirkulasi di pembuluh darah menuju perifer sama (Greer et al. 2014). Neutrofil yang mati ketika melawan agen infeksius bersama dengan makrofag yang mati serta jaringan nekrosa dan cairan jaringan akan membentuk massa putih yang disebut nanah/pus yang akan autolisis pada beberapa hari dan produk akhir tersebut akan diabsorpsi oleh jaringan sekitar dan limfe hingga semua jaringan yang rusak hilang (Guyton & Hall 2010). Gambar 6 Neutrofil Sumber: Hoffman et al. 2000 Eosinofil Eosinofil merupakan sel darah putih bergranul, apabila diwarnai dengan pewarnaan giemsa akan terlihat granul merah muda menutupi sitoplasmanya. Kadar eosinofil pada kondisi normal hanya 2% dari total sel darah putih dengan rataan eosinofil 4.5±1.7% (Sabasthin et al. 2012). Ukuran eosinofil hampir sama dengan neutrofil atau lebih besar, dengan inti sama dengan neutrofil berlobus, tetapi dengan lobulasi yang tidak begitu jelas. Sitoplasmanya biru dengan granul jingga-kemerahan, ukuran granul berbeda tiap spesies, pada ruminansia nampak seragam dan memenuhi sitoplasma (Reagan et al. 2013). Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah, umumnya diproduksi dalam jumlah banyak (eosinofilia) saat inang terinfeksi parasit. Eosinofil melekat pada parasit muda dan membunuhnya, dengan cara 1) melepaskan enzim hidrolitik dari granul-granulnya yang dimodifikasi lisosom; 2) dapat juga dengan melepaskan bentuk oksigen reaktif yang tinggi bersifat letal terhadap parasit; 3) melepaskan dosis tinggi polipeptida larvasidal yang disebut utama dari dasar protein. Eosinofil juga memiliki kecenderungan berkumpul di jaringan apabila terjadi reaksi alergi, seperti pada penderita asma dan reaksi alergi 10 kulit. Hal tersebut disebabkan oleh fakta bahwa banyak sel mast dan basofil yang dihasilkan saat terjadi reaksi alergi, karena sel mast dan basofil melepaskan eosinophil chemotactic factor yang menyebabkan eosinofil bermigrasi ke jaringan radang aibat alergi tersebut. Eosinofil berfungsi mendetoksifikasi peradangan yang diinduksi oleh sel mast dan basofil serta memfagosit kompleks alergenantibodi., sehingga mencegah penyebaran lebih dari proses peradangan lokal (Guyton & Hall 2010). Gambar 7 Eosinofil Sumber: Hoffman et al. 2000 Basofil Basofil merupakan tipe leukosit yang jarang ditemui di darah perifer seluruh hewan domestik sekitar 0.01%-0.3% dari seluruh leukosit dan konsentrasi normal sekitar 0-0.2x109/L (Fernyhough et al. 2008). Basofil memiliki ukuran yang sama atau lebih besar dari neutrofil, dan sitoplasma tertutupi warna ungu. Inti basofil berlobus tetapi tidak sebanyak neutrofil dewasa (Reagan et al. 2013). Basofil bersirkulasi di dalam darah dari jaringan yang besar menuju perifer. Basofil umumnya bersamaan dengan sel mast membentuk heparin yaitu substansi antikoagulan. Basofil dan sel mast juga mengeluarkan histamin yang terdiri dari komponen bradikinin dan serotonin yang diproduksi saat tubuh mengalami inflamasi. Basofil bersama sel mast menjadi indikator adanya reaksi alergi dalam tubuh. Sel mast dan basofil memiliki peran penting dalam berbagai reaksi alergi karena antibodi alergi yaitu imunoglobulin E (IgE) cenderung melekat ke basofil dan sel mast, ketika antigen alergi dan antibodi berikatan maka sel mast dan basofil akan ruptur dan melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis, dan enzim lisosim dalam jumlah banyak (Guyton & Hall 2010). Gambar 8 Basofil Sumber: Hoffman et al. 2000 11 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Sampel darah diambil dari kerbau perah yang berasal dari Pulau Rotan di Kabupaten Banyuasin. Pengamatan sampel dilaksanakan pada bulan November 2015 sampai Februari 2016 di Laboratorium Protozologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hewan Coba Sampel yang diambil berasal dari 10 ekor kerbau perah dewasa (Bubalus bubalis) di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin Palembang, Sumatera Selatan. Metode Pengambilan Darah Pengambilan darah dilakukan menggunakan disposable syringe 10 ml dan jarum ukuran 18G sebanyak kurang lebih 3 ml darah dari vena jugularis, kemudian disimpan di dalam tabung darah bervolume 3 ml yang mengandung Etilen Diamino Tetraacetic Acid (EDTA). Pewarnaan Preparat Ulas Darah Menurut CDC (2013) pembuatan dan pewarnaan preparat ulas darah menggunakan sampel darah yang akan diperiksa, metanol, larutan pewarna Giemsa, aquades, kaca preparat dan timer. Pembuatan preparat ulas diawali dengan membersihkan kaca preparat (obyek gelas) kemudian sampel darah diteteskan pada satu sisi obyek gelas. Satu obyek gelas ditempatkan di sisi ujung obyek gelas yang ditetesi sampel dengan membentuk sudut 45º, kemudian ditarik horisontal supaya ulasan darah pada gelas obyek terbentuk rata. Preparat selanjutnya dikeringkan di udara untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam metil alkohol selama 5 menit dan diwarnai dengan Giemsa 10% selama 30 menit. Kemudian preparat dicuci dengan air dan dikeringkan di udara. Pemeriksaan Parasit Darah dan Perhitungan Diferensial Leukosit Preparat ulas darah kemudian diamati terhadap keberadaan parasit darah dibawah mikroskop dengan perbesaran 1000X. Persentase parasit darah dihitung dengan membagi jumlah sel yang terdapat parasit darah (Anaplasma sp., Theileria sp., dan Babesia sp.) dengan 500 butir sel darah merah dalam 2-3 lapang pandang (Alamzan et al. 2008). Diferensial leukosit relatif diperoleh dengan cara sel leukosit dalam sampel darah tersebut dihitung hingga jumlah total yang teramati mencapai 100 sel leukosit. 12 Pengolahan Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif. Tingkat parasitemia dan diferensial leukosit dihitung rataan dan simpangan baku, selanjutnya data dianalisis menggunakan uji t (t-test) dengan taraf uji 5% menggunakan program IBM SPSS Statistics 22.0. HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase dan Tingkat Parasitemia Parasit Darah Berdasarkan pengamatan ulas darah dari 10 ekor kerbau perah (Bubalus bubalis) didapatkan dua jenis parasit darah intraseluler obligat antara lain Anaplasma sp. dan Theileria sp. Infeksi Anaplasma sp. terdapat pada 7 ekor Tabel 1 Tingkat Persentase dan Parasitemia Parasit Darah Jenis parasit darah Jumlah sampel kerbau A AT Total 10 10 10 Jumlah sampel kerbau terinfeksi 7 3 10 Persentase kerbau terinfeksi (%) 70 30 100 Rata-rata tingkat parasitemia dari kerbau terinfeksi (%) 0,63±0,24a 0,83±0,11a Keterangan : A: Anaplasma sp. dan AT: Anaplasma sp. dan Theileria sp. a Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). kerbau perah dengan persentase 70% dari total sampel, serta infeksi Anaplasma sp. dan Theileria sp. atau menurut Renneker (2013) disebut Coinfection terdapat pada 3 ekor kerbau perah dengan persentase 30% dari total sampel. Persentase parasit darah dan rata-rata tingkat parasitemia disajikan pada Tabel 1. Identifikasi parasit ini berdasarkan pada morfologi dari masing-masing jenis. Anaplasma sp. memiliki morfologi bulat padat, berwarna merah muda, serta dapat dibedakan spesiesnya berdasarkan posisinya yaitu Anaplasma marginale terletak di tepi eritrosit, sedangkan Anaplasma centrale terletak ditengah-tengah eritrosit. Menurut Kocan et al. (2010) Anaplasma centrale bersifat kurang patogen dibandingkan dengan A. marginale namun, A. centrale saat ini dikembangkan sebagai vaksin hidup di Negara Australia, Afrika, Amerika Selatan dan Israel. Adapun identifikasi Theileria sp. juga berdasarkan morfologinya yang berbentuk batang berukuran 0.5 sampai 1 µm di bawah mikroskop. Persentase tertinggi terjadi pada infeksi Anaplasma sp. yang dapat disebabkan oleh faktor status vaksinasi, musim, instrumentasi bedah/alat suntik dan kondisi kandang. Hal tersebut terjadi di lapangan, kerbau perah hanya divaksinasi dan diberi vitamin menggunakan satu syringe. Saat pengambilan sampel, Pulau Rotan sedang berada di musim kemarau dengan curah hujan rendah 13 dan kondisi kandang yang kotor. Kondisi tersebut merupakan habitat yang baik bagi vektor Anaplasma sp. dan Theileria sp. untuk berkembang. Faktor-faktor tersebut sesuai dengan faktor yang dikemukakan oleh Sajid et al. (2014) antara lain faktor penggunaan alat suntik bergantian, musim yang memiliki tingkat suhu dan kelembaban yang tinggi, dan rendahnya tingkat sanitasi kandang. Saat pemeriksaan dengan metode ulas darah, tidak ditemukan infeksi tunggal Theileria sp. hal ini dapat disebabkan oleh infeksi laten atau kerbau bersifat carrier yang piroplasmanya dapat bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun dan mungkin tidak ditemukan pada pemeriksaan subsequent (OIE 2014). Rata-rata tingkat parasitemia atau persentase eritrosit terinfeksi parasit darah yang ditimbulkan oleh Anaplasma sp. dan Coinfection ini tergolong ringan, berdasarkan pengelompokkan tingkat parasitemia oleh Ndungu et al. (2005) dan infeksi tersebut termasuk dalam fase awal paparan atau kronis/hewan carrier, karena persentasenya di bawah 1% dan tidak menimbulkan gejala klinis (Sainz et al. 2015). 1 µm Anaplasma sp. 1 µm Theileria sp. Gambar 9 Parasit Darah pada Kerbau Perah Kejadian Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.) juga terjadi pada penelitian yang dilakukan Kubelova et al. (2012) dan Tefi et al. (2015) dengan nilai persentasenya juga rendah dibandingkan dengan infeksi tunggal, Coinfection merupakan kejadian yang sering terjadi pada ruminansia domestik dan liar. Diferensial Leukosit Pemeriksaan diferensial leukosit dilakukan untuk melihat pengaruh infeksi parasit darah terhadap jumlah masing-masing bagian dari leukosit (neutrofil, limfosit, basofil, eosinofil, dan monosit) sehingga didapatkan total keseluruhan 100 sel darah putih. Tabel 2 menyajikan diferensial leukosit pada kerbau perah. 14 Tabel 2 Rataan Jenis Leukosit pada Kerbau yang Terinfeksi Anaplasma sp. dan Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.). Kasus Infeksi N A AT Nilai Normal Rataan Leukosit (%) Neutrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil 7 39±8,08a 54±10,6a 2±1,27a 7±2,75a 0a 3 36±8,14a 58±10,0a 3±1,00a 5±4,00a 0a 45,0±1,7 54,0±1,8 2,5±0,22 4,5±0,89 0±0,00 A: Anaplasma sp., AT: Anaplasma sp. dan Theileria sp., Nilai normal (Sabasthin et al. 2012) dan N: Jumlah sampel. a Huruf superscript yang sama pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Hasil pemeriksaan diferensial leukosit menghasilkan tidak ada perbedaan nyata antara infeksi tunggal Anaplasma sp. dengan Coinfection. Hal ini sesuai dengan teori Eshetu (2015) bahwa fase awal paparan parasit tidak menimbulkan perubahan leukogram yang signifikan dan dapat bersifat subklinis, serta sama dengan hasil penelitian Felsheim et al. (2010) bahwa fase kronis/hewan telah carrier dapat terjadi pada sapi perah berumur lebih dari 2 tahun dengan tidak ada perubahan leukogram yang signifikan. Infeksi tunggal Anaplasma sp. dan Coinfection menghasilkan neutrofil dengan jumlah persentase yang berbeda, hasil keduanya cenderung lebih rendah dari rataan neutrofil kerbau perah dalam kondisi normal. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh Anaplasma sp. yang merupakan rikettsia intrasitoplasmik sehingga tidak merangsang produksi/migrasi neutrofil. Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian Yasini et al. (2012) yang menyatakan penurunan neutrofil bukan merupakan kejadian yang signifikan pada kasus anaplasmosis yang disebabkan Anaplasma ovis. Menurut Ganguly et al. (2015), persentase neutrofil pada infeksi Theileria sp. dapat disebabkan oleh adanya efek persisten yang berbahaya akibat metabolit beracun dari Theileria sp. sehingga mengganggu organ hemopoietik terutama sumsum tulang dalam proses leukogenesis. Limfosit merupakan tipe sel darah putih yang umumnya menjadi indikator patogenitas Theileria sp. karena kemampuannya menginduksi proliferasi limfosit (Ndungu et al. 2005). Infeksi tunggal Anaplasma sp. menghasilkan persentase yang sama dengan rataan limfosit pada kerbau perah normal, hal ini dapat disebabkan oleh periode infeksi Anaplasma sp. yang masih dalam tahap awal paparan atau fase kronis dengan tingkat parasitemia rendah (<1%). Keadaan tersebut juga ditemukan pada hasil penelitian Ravnik et al. (2011) tentang infeksi Anaplasma sp. pada anjing. Adapun rataan limfosit pada Coinfection lebih tinggi dari rataan limfosit kerbau normal, hal tersebut dapat diakibatkan infeksi Theileria sp. yang masih awal infeksi, menyebabkan rataan limfosit meningkat. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Emarah et al. (2012) pada sapi yang terinfeksi Theileria annulata dengan peningkatan dari rataan limfosit normal disebabkan infeksi awal dari Theileria sp. dan proses perbanyakan oleh Theileria sp. di limfosit (Ganguly et al. 2015). 15 Monosit merupakan tipe sel darah putih yang hanya hidup 10-20 jam di sirkulasi darah. Rataan monosit pada infeksi Anaplasma sp. cenderung lebih rendah dari rataan monosit pada kerbau perah normal, hal tersebut dapat disebabkan oleh respon sumsum tulang yang lambat dalam memproduksi monosit dan hewan telah carrier. Rataan monosit justru lebih tinggi pada Coinfection, hal tersebut dapat terjadi akibat respon tubuh kerbau terhadap invasi Theileria sp. ke sel darah putih. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Ganguly et al. (2015) ia menyebutkan bahwa rataan monosit lebih tinggi dari normal dapat diakibatkan oleh respon tubuh terhadap infeksi Theileria sp. dan aktivasi monosit menjadi makrofag untuk membunuh Theileria sp. (Tehrani et al. 2013). Tipe sel darah putih lainnya yang jumlahnya lebih tinggi dari rataan normalnya ialah eosinofil yang bertanggung jawab pada infeksi parasit. Rataan eosinofil pada infeksi Anaplasma sp. dan Coinfection lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan normal. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh sifat penyakit yang subklinis. Hasil yang sama juga didapatkan pada penelitian Ganguly et al. (2015) bahwa nilai rataan eosinofil yang lebih tinggi dapat diakibatkan oleh gangguan produksi leukosit akibat metabolit beracun Theileria sp. sedangkan untuk infeksi Anaplasma sp. sama dengan hasil Yasini et al. (2012) bahwa peningkatan eosinofil dapat terjadi akibat sifat penyakit yang subklinis. Selain itu, jumlah rataan eosinofil lebih tinggi dari rataan normal dapat disebabkan oleh adanya infeksi dari parasit lain seperti cacing Fasciola gigantica dan Paramphistomum sp. yang sering menginfeksi kerbau perah (Suhardono 2000). Tipe sel darah putih lainnya ialah basofil yang umumnya menjadi indikator adanya reaksi alergi. Setelah adanya infeksi Anaplasma sp. maupun Coinfection tidak ada perubahan terhadap jumlah rataan basofil. Hal tersebut dapat disebabkan oleh infeksi parasit darah keduanya masih dalam tahap awal infeksi atau telah fase kronis. Perjalanan penyakit yang sudah kronis membuat tubuh kerbau sudah memiliki kekebalan terhadap infeksi parasit darah. Hasil yang sama juga di dapatkan oleh Kumar et al. (2015) dalam penelitiannya pada tiap sapi berbeda umur yang terinfeksi Anaplasma sp. dan hasil yang sama ditemukan oleh Tehrani et al. (2013) rataan basofil 0% pada infeksi Theileria annulata. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pemeriksaan mikroskopis pada 10 ekor kerbau perah dewasa (Bubalus bubalis) didapatkan infeksi Anaplasma sp. dan Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.) dengan tingkat parasitemia masing-masing sebesar 0,63±0,24% dan 0,83±0,11% yang termasuk dalam tingkat keparahan penyakit ringan dengan infeksi awal atau fase kronis. Diferensial leukosit pada infeksi Anaplasma sp. dihasilkan nilai rataan neutrofil dan monosit lebih rendah serta nilai rataan eosinofil lebih tinggi dari rataan normal. Sedangkan Coinfection (Anaplasma sp. dan Theileria sp.) menunjukkan nilai rataan neutrofil lebih rendah sedangkan nilai rataan limfosit, monosit, dan eosinofil sedikit lebih tinggi dari rataan normal. 16 Saran Program pencegahan dan pengendalian parasit darah pada kerbau perah di Pulau Rotan Kabupaten Banyuasin, Palembang diperlukan untuk menghentikan rantai penularan parasit darah dari caplak dan lalat ke kerbau dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil lebih banyak sampel untuk mengetahui prevalensi parasit darah dan pemeriksaan darah keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah , Yildirim A, Vatansever Z, Çakmak A, Albasan H, Yücel ÇAM, Atasever A, Düzlü O. 2008. Epidemiology of Tropical Theileriosis in the Cappadocia Region. Turkey Journal Veterinary Animal Science. 32(1): 5764. Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale stains from an outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Veterinary Parasitology. 158: 101–109. Ashuma, Sharma A, Singla LD, Kaur P, Bal MS, Batth BK, Juyal PD. 2013. Prevalence and haemato-biochemical profile of Anaplasma marginale infection in dairy animals of Punjab (India). Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. (2013): 139-144 Aubry P dan Geale DW. 2010. A review of bovine anaplasmosis. Transboundary and Emerging Diseases. 58 (2011): 1–30. Bamualim A, Muhammad Z, Talib B. 2008. Peran dan ketersediaan teknologi pengembangan kerbau di Indonesia. Di dalam: Bamualim A, Talib C, Hesungaiti T, editor. Peningkatan Peran Kerbau dalam Mendukung Kebutuhan Daging Nasional. Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau; 2008 Okt 24-26; Tana Toraja, Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Hlm 1-8. [CDC] Centers for Diseases Control. 2013. Laboratory identification of parasitic diseases of public health concern. [Internet]. [diunduh pada 2015 Jan 18]. Tersedia pada: http://www.cdc.gov/dpdx/diagnosticProcedures/blood/staining.html. Cufos NSSS. 2012. Genetic Analysis of Theileria Orientalis Population in Cattle Following a Theileriosis Outbreak in Victoria, Australia. [Disertasi]. Melbourne (AUS): University of Melbourne. Emarah GYA, Khudor MH, Daham HR. 2012. Clinical, haematological and biochemical study to cattle naturally infected with Theileria annulata in north of Basrah province. Veterinary Medicine Science. 11(1): 1-9. Eshetu E. 2015. A Review on the Diagnostic and Control Challenges of Major Tick-Borne Haemoparasite Diseases of Cattle. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare. 5(11): 160-172. Farid M, Sukesi Heny. 2011. Pengembangan Susu Segar dalam Negeri untuk Pemenuhan Kebutuhan Susu Nasional. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. 5(2): 196-221. Felsheim RF, Cha´vez ASO, Palmer GH, Crosby L, Barbet AF, Kurtti TJ, Munderloh UG. 2010. Transformation of Anaplasma marginale. Veterinary 17 Parasitology. 167 (2010): 167–174. Fernyhough L, Leathart C, Theakston E. 2008. Complete Blood Count in Primary Care. Dunedin (NZ): bpaz. Ganguly A, Bhanot V, Bisla RS, Ganguly I, Singh H, Chaudhri SS. 2015. Hematobiochemical alterations and direct blood polymerase chain reaction detection of Theileria annulata in naturally infected crossbred cows. Veterinary World. 8(1): 24-28. Greer JP, Arber DA, Rodgers GM. 2014. Wintrobe’s Clinical Hematology. Philadelphia (USA): Wolters Kluwer. Grenda S dan Rymaszewska A. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma – characteristics of Anaplasma and their vectors: a review. Veterinary Medicina. (11): 573–584. Guyton AC dan Hall JE. 2010. Textbook of Medical Physiology 12th Ed. Philadelphia (USA): Elsevier. Hoffman R dan Stock W. 2000. White blood cells 1: non-malignant disorders. Lancet. 355: 1351–1357. [Kementan-BPS] Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik. 2012. Rilis hasil akhir PSPK 2011. [Internet]. [diunduh pada 2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://ditjennak.pertanian.go.id/download.php?.rilis%20akhir%20PSPK2011 Kocan KM, Fuente JDL, Guglielmone AA, Mele´ndez RD. 2003. Antigens and Alternatives for Control of Anaplasma marginale Infection in Cattle. Clinical Microbiology Reviews. 16(4):698–712. Kocan KM., Fuente JDL, Blouin EF, Garcia JC. 2004. Anaplasma marginale (Rickettsiales:Anaplasmataceae) recent advances in defining host-pathogen adaptations of a tick-borne rickettsia. Parasitology. 129(2004):285–300. Kocan KM, Fuente JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Ewing SA. 2010. The natural history of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167 (2010): 95– 107. Kubelová M, Mazancová J, Široký P. 2012. Theileria, Babesia, and Anaplasma detected by PCR in ruminant herds at Bié Province, Angola. Parasite. 2012. 19(2012): 417-422. Kumar T, Sindhu N, Charaya G, Kumar A, Kumar P, Chandratere G, Agnihotri D, Khurana R. 2015. Emerging status of anaplasmosis in cattle in Hisar. Veterinary World. 8(6):768-771. Liu Z. 2010. Diagnostic Test for Theileria uilenbergi Infection by Screening of a Merozoite cDNA Library [disertasi]. Munchen (GER): Universität München. Mans BJ, Ronel PA, dan Latif AA. 2014. A review of Theileria diagnostics and epidemiology. International Journal for Parasitology: Parasites and Wildlife. 4 (2015): 104–118. [OIE] Office International des Epizootis. 2014. Theileriosis. [Internet]. [diunduh 2015 Jan 18]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Animal_Health_in_the_World/docs/ pdf/Disease_cards/THEILERIOSIS.pdf [OIE] Office International des Epizootis. 2015. Bovine anaplasmosis. [Internet]. [diunduh 2015 Jan 18]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/Home/fr/Health_standards/tahm/2.04.01_ANA 18 PLASMOSIS. Ravnik U, Tozon N, Smrdel KS, Zupanc TA. Anaplasmosis in dogs: The relation of haematological, biochemical and clinical alterations to antibody titre and PCR confirmed infection. Veterinary Microbiology. 149 (2011) 172–176. Reagan WJ, Roveira ARI, DeNicola DB. 2013. Veterinary Hematology: Atlas of Common Domestic an Non-Domestic Species 2nd Ed. State Avenue (USA): WiIley-Blackwell. Renneker S, Abdo J, Bakheit MA, Kullmann B, Beyer D, Ahmed J, Seitzer U. 2013. Coinfection of Sheep with Anaplasma , Theileria and Babesia Species in the Kurdistan Region, Iraq. Transboundary and Emerging Diseases. 2(2013) 113–118. Sabasthin A, Kumar VG, Nandi S, Murthy VC. 2012. Blood haematological and biochemical parameters in normal cycling, pregnant and repeat breeding buffaloes (Bubalus bubalis) maintained in isothermic and isonutritional conditions. Asian Pacific Journal of Reproduction. 1(2): 117-119. Sainz A, Roura X, Miró G, Estrada-Peña A, Kohn B, Harrus S, Solano-Gallego L. Guideline for veterinary practitioners on canine ehrlichiosis and anaplasmosis in Europe. Parasites & Vectors. 8 (2015):75. Sajid MS, Siddique RM, Khan SA, Iqbal Z, Khan MN. 2014. Prevalence and Risk Factors of Anaplasmosis in Cattle and Buffalo Populations of District Khanewal, Punjab, Pakistan. Global Veterinaria. 12(1): 146-153. Singh B, Praharani L. 2014. Usaha Ternak Kerbau Perm D1 Propinsi Sumatera Utara (Buffalo River Farm in North Sumatera Province). [Internet]. [diunduh 2016 Feb 22]. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/booklet/percepatan_produk si_susu_2012/Dddug_12.pdf?secure=1. Solihat L. 2002. Proses pemeriksaan sampel penyakit-penyakit parasit darah di laboratorium parasitologi BALITVET. [Internet]. [diunduh 2015 Des 18]. Tersedia pada:http://balitnak.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_phocado wnload&view=category&id=67:3&download=1065:3&Itemid=1. Stoltsz H. 2005. Theileria parva infections. [Internet]. [diunduh 2015 Des 18]. Tersedia pada: http://www.afrivip.org/sites/default/files/Theileria_fs_0. Suhardono. 2000. Beberapa masalah kesehatan ternak kerbau yang dipelihara di lahan sungai kalimantan selatan. WARTAZOA. 10 (2): 64-69. Surbakti BR, Hamdan, dan Budi U. 2013. Studi perilaku makan dan berkubang kerbau perah (B. Bubalis carabenesis) di kecamatan munte, kecamatan kabanjahe, dan kecamatan mardingding kabupaten karo. Jurnal Peternakan Integratif. 2(1): 13-21. Talib C, Suryana, dan Handiwisungain E. 2008. Karakteristik tingkah laku kerbau untuk manajemen produksi yang optimal [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. [diunduh 2015 Jan 10]. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkbo0812.pdf?secure=1. Talib C, Hesungaiti T, dan Hastono. 2014. Peningkatan Produktivitas Kerbau melalui Perbaikan Pakan dan Genetik. WARTAZOA. 24(2): 83-96. Tefi IK, Satrija F, Cahyaningsih U. 2015. Study the Existence of Blood Parasites 19 (Anaplasma, Babesia, Theileria) and Physiological Profiles of Australian Imported Feeder Cattle. Acta Parasitologica Globalis. 6(1): 55-59. Tehrani AA, Hosseini E, Bahram AM. 2013. Biochemical, Hematological studies in cattle naturally infected with Theileria annulata. Bulletin of Environment, Pharmacology and Life Sciences. 2(9): 07-10. Torina A, Alongi A, Naranjo V, Estrada-Peña A, Vicente J, Scimeca S, et al. 2008. Prevalence and genotypes of Anaplasma species and habitat suitability for ticks in a Mediterranean ecosystem. Applied Environmental Microbiology. 74(24): 7578-7584. Vatsya S, Kumar RR. Singh SS, dan Arunraj MR. 2013. Anaplasma marginale infection in a buffalo: A case report. Veterinary Research International.1(2): 51-53. Wahid H dan Rosnina Y. 2011. Husbandry of dairy animals: buffalo. Elsevier Ltd. 1: 186–193. Watts JG, Playaford MC, dan Hickey KL. 2015. Theileria orientalis: a review. New Zealand Veterinary Journal. 64(1): 3-9. Yasini SP, Khaki Z, Rahbari S, Kazemi B, Amoli JS, Gharabaghi A, Jalali SM. 2012. Hematologic and Clinical Aspects of Experimental Ovine Anaplasmosis Caused by Anaplasma ovis in Iran. Iranian Journal Parasitology. 7(4): 91-98. Zesfin BPI dan Zulbardi M. 2007. Potensi, Kemampuan Produksi dan Reproduksi Kerbau sebagai Penunjang Ketahanan Pangan Masyarakat Sumatera Barat [Internet]. [Waktu dan Tempat tidak diketahui]. [diunduh 2016 Mar 25]. Tersedia pada: http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/pbadan0738.pdf?secure=1. 20 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Aldila Nurtriana. Penulis lahir di Bogor pada tanggal 07 November 1994 dari pasangan Bapak Achmad Juhana dan Ibu Nurtyah. Penulis merupakan anak ketiga di dalam keluarga tersebut. Jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis di antaranya adalah lulusan SDN SEMERU 1 Bogor pada tahun 2006, lulusan SMPN 6 Bogor pada tahun 2009, dan lulusan SMAN 9 Bogor pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan, yaitu anggota Himpunan Minat dan Profesi Satwaliar (2014–2016) dan pernah menjadi Ketua Divisi Kaderisasi Pengurus Cabang Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) Fakultas kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (2014–2015). Bogor, Agustus 2016 Aldila Nurtriana