BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan hasil ekspresi jiwa pengarang. Dengan menggunakan bahasa, pengarang menuangkan imajinasi dan hasil pikirannya menjadi sebuah karya yang dapat dinikmati pembaca. Pengalaman dan imajinasi merupakan dua elemen pokok dalam sastra (Hardjana, 1985: 45). Pengarang dapat menuangkan isi pikirannya dengan imajinasi dan pengalaman hidupnya dalam bentuk karya sastra. Dari situlah karya sastra disebut sebagai hasil ekspresi pengalaman pengarang. Karya sastra pun sangat banyak, seperti karya sastra dewasa dan sastra anak. Nurgiyantoro (2010:6) berpendapat bahwa sastra anak merupakan jenis bacaan anak yang ditulis untuk dikonsumsi anak-anak. Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak. Sastra anak berangkat dari fakta yang kongkret dan mudah diimajinasikan (Nurgiyantoro, 2010: 6). Sastra anak merupakan hasil kreasi imajinatif yang mampu menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman keindahan tertentu. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, tetapi isi ceritanya sesuai dengan jangkauan emosi dan psikologi anak-anak. Dalam sastra anak, tokoh utamanya kebanyakan anak-anak, tetapi penulisnya juga berasal dari orang dewasa (Bunanta, 1998:69). Sastra anak terkategori ke dalam cerita nonfiksi dan fiksi. 1 2 Cerita fiksi anak menampilkan tokoh-tokoh cerita anak. Namun, tidak semua tokoh cerita fiksi menampilkan tokoh anak, tetapi juga tokoh dewasa. Isi cerita dalam cerita fiksi anak dijalin dalam sebuah rangkaian alur yang menampilkan peristiwa dan tokoh. Cerita fiksi anak merupakan interpretasi terhadap kehidupan. Berbagai tokoh dan peristiwa yang dikisahkan dalam cerita fiksi secara logis memiliki potensi untuk dapat terjadi pada kehidupan masyarakat walau secara faktual-kongkret tidak pernah ada (Nurgiyantoro, 2010: 219). Cerita fiksi anak dapat dibedakan ke dalam dua kategori. Jika dilihat berdasarkan panjang pendeknya ceritanya, cerita fiksi anak dibedakan dalam novel dan cerita pendek. Jika dilihat berdasar isi ceritanya, dapat dikelompokkan ke dalam fiksi realistik, fiksi formula, fiksi historis, fiksi biogratif, dan fiksi fantasi (Nurgiyantoro, 2010: 286). Dalam penelitian ini yang menjadi fokus perhatian adalah novel untuk kategori anak sehingga disebut novel anak. Novel anak merupakan kategori fiksi dilihat dari panjang-pendeknya cerita. Novel anak mengandung cerita yang dibangun oleh unsur intrinsik yang terdiri dari fakta-fakta cerita, misalnya karakter, alur dan latar. Novel anak menghadirkan banyak tokoh lengkap dengan karakternya, baik yang bersifat statis maupun berkembang (Nurgiyantoro, 2010: 288). Novel anak tidak membatasi jumlah halaman sehingga memberikan berbagai kemungkinan penafsiran pembaca. Bagi pembaca anak yang dibutuhkan ialah berbagai cerita fiksi yang sesuai, baik berupa novel, cerpen, maupun genre yang lain. 3 Di antara berbagai jenis cerita fiksi anak sering ada yang begitu menarik dan menampilkan sesuatu yang fantastik. Artinya, cerita yang dikisahkan amat menarik dengan tokoh-tokoh yang mampu melakukan sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia biasa, bahkan juga tidak jarang muncul tokoh-tokoh lain yang bukan manusia yang dapat berinteraksi dengan tokoh manusia secara wajar dan lain-lain yang serba luar biasa (Nurgiyantoro, 2010: 294—295). Cerita fiksi fantasi membantu anak untuk mengembangkan daya fantasinya. Lewat berbagai kisah fantasinya, anak dapat mengembangkan berbagai potensi kediriannya. Rumah 1000 Dongeng termasuk dalam kelompok novel anak fiksi fantasi yang pupuler di kalangan anak-anak pada tahun 2014. Ide cerita pengarang yang ada dalam novel anak Rumah 1000 Dongeng menuangkan kisah hidup Drs. Suyadi, tokoh Pak Raden dalam cerita Si Unyil yang terkenal di dunia anak pada tahun 1980an. Suyadi merupakan pendongeng dengan gaya cerita yang khas bermediumkan boneka. Ia menjadi salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh terhadap sejarah perkembangan awal animasi Indonesia hingga sekarang. Pengarang mengaplikasikan tokoh Pak Raden dalam cerita sebagai Pak Jenaka. Rumah 1000 Dongeng ditulis oleh Viana dan Mell Shaliha. Keduanya tergabung dalam Organisasi Kepenulisan Be a Writer Indonesia. Viana bernama lengkap Noviana Wahyu Widayanti. Perempuan yang lahir pada 25 Juli 1985 ini meninggalkan pekerjaan di bidang medis karena mencintai dunia anak dan tulismenulis. Karya-karya Viana yang lain antara lain adalah Baby Traveler, Balita Hebat, 4 Ya Allah, Beri Aku Satu Saja, A Sweet Candy for Teens, dan Anak Nakal atau Banyak Akal. Penulis lain dari Rumah 1000 Dongeng ialah Mell Shaliha, yang bernama asli Ermawati. Karyanya juga banyak. Alumni siswa SMKN 4 Yogyakarta ini telah banyak menghasilkan karya, di antaranya, ialah Xie Xie Ni De Ai (2011), Chying Winter (2012), Love’s Direction (2012), Ekspedisi Cinta Gokil (2013), Big Time Passion (2013), Rumah 1000 Dongeng (2014), dan The Dream in Taipei City (2014). Cerpen, artikel, dan puisinya sudah banyak terbit di tabloid Apa Kabar Indonesia dan koran lokal Yogyakarta, seperti Minggu Pagi. Rumah 1000 Dongeng merupakan cerita yang mengisahkan Azzam, Gina, Rafi, dan teman-temannya. Mereka rajin belajar dan mendengarkan dongeng di rumah Pak Jenaka. Namun, hadirnya kemajuan teknologi seperti handphone, games online dan televisi membuat mereka lupa waktu dan sulit mengontrol diri sehingga prestasi sekolah mereka turun. Pak Jenaka selalu menghibur kesedihan mereka. Sebagai orang tua, Pak Jenaka berupaya agar mereka sadar akan kesalahannya dan kembali belajar dan mendengarkan dongeng di rumahnya kembali. Rumah 1000 Dongeng menarik diteliti dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra karena beberapa hal. Dalam sosiologi sastra terdapat tiga klasifikasi permasalahan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dengan karya yang dihasilkan. Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial dan ideologi yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Penulis novel anak Rumah 1000 Dongeng yang berprofesi sebagai guru PAUD dan menekuni bidang 5 yang berhubungan dengan anak-anak menjadi faktor tersendiri atas terciptanya novel tersebut. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ide cerita pengarang yang terinspirasi dari Pak Raden sebagai tokoh Pak Jenaka dalam cerita menjadi media tujuan pengarang untuk mengekspresikan keprihatinan pengarang terhadap tipisnya apresiasi anak atas budaya bercerita. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, rumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut. 1. Sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial dan ideologi sosial terhadap terciptanya novel anak Rumah 1000 Dongeng. 2. Sosiologi novel anak Rumah 1000 Dongeng Dongeng dalam tokoh Pak Jenaka untuk mengekspresikan keprihatinan pengarang terhadap tipisnya apresiasi anak terhadap budaya bercerita. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan terhadap novel anak Rumah 1000 Dongeng memiliki tujuan teoretis dan praktis. Secara teoretis penelitian ini bertujuan untuk menerapkan teori sosiologi sastra dalam menganalisis novel anak Rumah 1000 Dongeng. Novel anak ini yang terdapat nilai-nilai yang dapat memengaruhi karakter anak. Pertama, untuk mengetahui sosiologi pengarang yang mempermasalahkan 6 status sosial dan ideologi sosial terhadap terciptanya novel anak Rumah 1000 Dongeng karya Viana dan Mell Shaliha. Kedua, untuk mengetahui sosiologi novel anak Rumah 1000 Dongeng dari tokoh Pak Jenaka untuk mengekspresikan keprihatinan pengarang akan tipisnya apresiasi anak terhadap budaya bercerita. Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk pertama, memaknai novel anak Rumah 1000 Dongeng dengan teori sosiologi sastra. Kedua, meningkatkan apresiasi pembaca terhadap novel anak, khususnya novel anak Rumah 1000 Dongeng. Ketiga, menambah referensi hasil penelitian terhadap novel anak Rumah 1000 Dongeng dengan menggunakan teori sosiologi sastra. Keempat, menunjukkan pentingnya sastra anak terhadap pembentukan karakter anak. 1.4 Tinjauan Pustaka Sampai laporan penelitian ini ditulis, penelitian novel anak Rumah 1000 Dongeng yang menggunakan teori sosiologi sastra belum pernah dilakukan. Namun, ada beberapa penelitian yang menggunakan teori yang sama dengan objek kajian yang berbeda. Ada pula beberapa penelitian yang meneliti novel fiksi fantasi selain Rumah 1000 Dongeng dan menggunakan teori yang berbeda dengan penelitian ini. Pertama, skripsi yang ditulis oleh Zinatut Tamyizah (1995) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta ini mengandung nilai moral dalam drama yang ditampilkan dalam dialog dan monolog para tokohnya. Penelitian tersebut berjudul “Nilai-Nilai Moral dalam Drama Agnes Bernauer”. 7 Penelitian ini mengkaji nilai moral yang ada dalam naskah drama Agnes Bernauer yang ditampilkan dalam dialog dan monolog para tokohnya. Kedua, tesis berjudul “Posisi Anak dalam Novel Oliver Twist Karya Chairlrs Dickens: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra” yang ditulis oleh Siti Hafsah, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, UGM pada tahun 2005. Tesis ini mengungkapkan gelaja-gejala sosial serta reaksi anak sebagai masyarakat kecil dilihat dari posisi anak dalam novel Oliver Twist. Ketiga, tesis berjudul “Citra dan Pencitraan Anak dalam Novel Negeri Awan Merah Karya Fahri Tsiza telaah Fokalisasi Mieke Bal” yang ditulis oleh U‟um Qomariyah mahasiswa Prodi Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universiras Gadjah Mada pada tahun 2007 ini mengkaji bagaimana orang dewasa memandang anak dalam sebuah sastra ber-genre fantasi. Kajian ini berfokus pada penokohan anak. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, penelitian dengan menggunakan analisis sosiologi sastra pada karya sastra anak Rumah 1000 Dongeng belum pernah dilakukan. 1.5 Landasan Teori Menurut beberapa ahli, sastra berarti mengarahkan, mengajar, memberikan petunjuk atau intruksi. Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta. Akar kata sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran tran- biasanya menunjukkan alat, sarana (Sugihastuti, 2013: 14). Jadi, sastra merupakan alat mengajar, mengarahkan, dan 8 memberikan petunjuk. Karya sastra merupakan hasil dari arahan, petunjuk atau instruksi berupa ekspresi isi jiwa seorang pengarang. Pengarang menuangkan imajinasi dan hasil pikirannya ke dalam tulisan yang bermediumkan bahasa kepada pembaca. Anak (anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak adalah praremaja yang dalam perkembangan fisik dan kepribadiannya diperlukan aneka hal agar kelak menjadi insan dewasa yang tangguh dan bertanggung jawab demi masyarakatnya (Sugihastuti, 2013:1). Anak menjadi investasi dan harapan masa depan bangsa serta penerus generasi pada masa mendatang. Sastra anak ialah sastra terbaik yang dibaca anak-anak dengan karakteristik berbagai ragam, tema, dan format (Sarumpaet, 2010:2). Sastra anak berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir, dan berperasaan layaknya manusia. Sastra anak mengandung nilai pendidikan karakter yang bersifat luhur, bernilai hiburan, dan dapat mengembangkan cipta, rasa, dan karsa. Berhadapan dengan karya sastra anak berarti berhadapan dengan persoalan isi cerita dari karya sastra yang di dalamnya terdapat ideologi, nilai moral, dan karakter yang dianggap baik dalam masyarakat. Sastra anak tidak harus berkisah tentang anak, dunia anak, dan berbagai peristiwa yang melibatkan anak. Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut kehidupan, baik kehidupan manusia, binatang, tumbuhan, maupun kehidupan yang temasuk makhluk dari dunia lain. Namun, apa 9 pun isi kandungan cerita yang dikisahkan harus berangkat dari sudut pandang anak. Sudut pandang anak haruslah berada dalam jangkauan pemahaman emosional dan pikiran anak (Nurgiyantoro, 2010: 8). Kata fiksi dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari kata Inggris fiction. Kata fiction dalam bahasa Inggris merupakan serapan dari bahasa Latin fictio. Kata fictio berasal dari kata kerja fingere, ficrum yang dalam bahasa Inggris diartikan dengan to fashion, to form dan figh (Pujiharto, 2010: 4). Jadi, kata fictio berarti sesuatu yang diciptakan, dibentuk, dikonstuksikan, ditemukan, atau dikarang-karang. Kata “fiksi” berarti “sesuatu yang tidak nyata”. Arti kata tersebut menunjuk pada “cerita” yang tidak nyata atau dibuat-buat (Pujiharto, 2010: 7). Oleh karena itu, cerita dalam cerita fiksi tidak sungguh-sungguh terjadi. Dalam cerita fiksi terdapat cerpen dan novel. Jika dilihat berdasarkan panjang pendeknya cerita, cerita fiksi dibedakan dalam novel dan cerita pendek. Novel merupakan cerita yang berisi secara panjanglebar mengenai berbagai peristiwa, dan tokoh yang tidak dibatasi oleh jumlah halaman. Novel dapat menghadirkan banyak tokoh lengkap dengan karakternya, baik yang bersifat statis maupun berkembang. Demikian juga halnya dengan aspekaspek lain yang dapat diungkapkan secara lebih detail sehingga terlihat lebih realistik, meyakinkan, dan mampu memberikan gambaran yang lebih utuh tentang kehidupan (Nurgiyantoro, 2010: 288). Cerita yang panjang mampu memberikan berbagai kemungkinan penafsiran pembaca. Isi dalam novel anak tentu saja beragam. 10 Anak berhak memperoleh cerita fiksi yang mengandung berbagai informasi tentang pengalaman kehidupan untuk mengembangkan daya fantasinya. Cerita fiksi fantasi merupakan cerita yang memiliki makna yang dikisahkan karena menghadirkan sebuah dunia lain (other world) di samping dunia realitas (Nurgiyantoro, 2010: 295). Cerita fantasi dikembangkan lewat imajinasi yang lazim dan dapat diterima sehingga sebagai sebuah cerita dapat diterima oleh pembaca. Cerita fiksi fantasi membantu anak mengembangkan daya fantasi. Banyak orang tua memberikan bacaan cerita anak untuk membangun imajinasi anak dengan cara melihat ilustrasi dalam cerita anak tersebut. Seorang anak membutuhkan bimbingan orang dewasa untuk memilihkan bacaan yang terbaik sesuai dengan usianya. Anak belum dapat memilih bacaan yang tepat untuk dirinya. Peran orang dewasa sangat penting untuk menyesuaikan bacaan anak dengan perkembangan intelektual, moral, emosional dan personal, perkembangan bahasa, dan pertumbuhan konsep cerita anak. Melalui cerita fiksi fantasi ini anak mendapatkan manfaat yang besar, antara lain, ialah sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Hal ini karena dalam cerita anak terkandung ideologi dan nilai moral yang dapat membentuk karakter positif pada anak. Dalam novel anak terdapat berbagai nilai moral positif yang dapat membentuk karakter anak. Kata moral berasal dari bahasa Latin mores dari suku kata ms yang berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak (Soenarjati dan Cholisin, 1989:25). Dalam perkembangan selanjutnya moral diartikan sebagai kebiasaan dalam 11 bertingkah laku yang baik, yang susila (Soenarjati dan Cholisin, 1989:25). Pengertian moral dalam Webster’s New World Dictionary adalah moral yaitu: (1) berkenaan dengan norma benar atau salah, (2) baik dan jujur, adil atau pantas; bermoral. Morals bermakna: (1) pelajaran tentang benar dan salah yang diperoleh dari sebuah cerita atau peristiwa (2) norma perilaku yang berhubungan dengan salah. Morality berarti sifat benar atau salah (moralitas) dan tingkah laku yang baik dan kebajikan (Salim, 1993:366). Kemudian dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, moral mengandung maksud (1) ajaran atau pendidikan mengenai baik buruknya perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya, (2) keadaan atau kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, dan sebagainya, (3) ajaran atau pendidikan kesusilaan, budi pekerti yang baik, adat sopan-santun, dan sebagainya yang dapat diambil dari berbagai macam cerita atau sejarah. Kata moral sebagai kata sifat memiliki makna: (1) memiliki pertimbangan baik buruk, akhlak yang baik, tingkah laku yang baik, kepribadian baik atau mempunyai moral yang tinggi, (2) sesuai dengan moral, perbuatan tingkah laku atau budi pekerti yang baik (Salim dan Yenny, 1991:995). Moral adalah ajaran baik buruk yang diterima oleh umum mengenai suatu perbuatan sikap, kewajiban, dan sebagainya: akhlak, budi pekerti. Moral yang terdapat dalam cerita anak dapat membentuk karakter anak. Pendidikan karakter menjadi bekal anak dalam suatu tatanan yang mengatur perbuatan, tingkah laku, dan kebiasaan anak dalam bermasyarakat nanti. 12 Pendidikan karakter merupakan moral luhur yang ditanamkan kepada anakanak sejak dini, misalnya tanggung jawab, kedisiplinan, kemandirian, amanah, hormat, dan santun. Menurut Udasmoro.,dkk (2012: 3--4) pendidikan karakter menekankan nilai moral baik (moral knowing), merasakan nilai-nilai luhur sampai ke lubuk hati yang paling dalam (moral feeling) dan memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan hal-hal yang diketahui dan dirasakan dalam tindakan nyata (moral action). Anak-anak memiliki tahap perkembangan yang berbeda dengan orang dewasa. Hal ini berpengaruh pada cerita anak yang layak dikonsumsi anak-anak. Pembentukan karakter terhadap anak merupakan bagian dari proses pengonstruksian identitas anak. Karakter sebagai bagian dari identitas merupakan proyek individual maupun sosial yang keduanya merupakan konstruksi (Udasmoro, dkk., 2012: 39). Pengonstruksian tersebut dilakukan melalui sebuah proses yakni proses pembiasaan yang mengalami mekanisme yang panjang dan melibatkan berbagai macam institusi dalam pelaksanaannya, seperti keluarga, sekolah, lingkungan bermain dan lingkungan pendidikan nonformalnya. Dalam pengonstruksian karakter lewat cerita anak, anak membaca sebuah cerita dan dilakukan secara terus-menerus dalam waktu yang lama, tanpa sadar mereka memiliki prefensi akan suatu hal sesuai dengan bacaan yang dia baca. Teori yang akan digunakan untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini adalah teori sosiologi sastra. Sosiologi adalah telaah lembaga dan proses sosial yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat (Damono, 2002: 8). 13 Sehingga mendapat gambaran cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing. Sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003: 1--2). Sosiologi sastra merupakan pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatan. Sosiologi sastra terdapat tiga paradigma dasar, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Paradigma pertama, yang ditentukan sebagai pokok persoalan sosiologi adalah fakta-fakta sosial berupa lembaga-lembaga dan struktur-struktur sosial. Fakta sosial itu sendiri dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan berada di luar individu. Paradigma kedua, pokok permasalahan sosiologi bukanlah fakta-fakta sosial yang “objektif”, melainkan cara subjektif individu menghayati fakta-fakta sosial tersebut. Paradigma ketiga, perilaku manusia sebagai subjek nyata menjadi pokok permasalahannya (Faruk, 2003: 2—3). Sosiologi sastra didefinisikan sebagai pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Dalam pendekatan sosiologi sastra terdapat dua kecenderungan 14 utama yang saling memengaruhi. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses-ekonomis. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Kedua, pendekatan yang menggunakan teks sastra sebagai bahan penelaahan (Damono, 2002: 2--3). Pendekatan sosiologi sastra saat ini menaruh perhatian besar terhadap aspek dokumenter sastra yang beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, dan pertentangan kelas. Oleh karena itu, tugas sosiologi sastra ialah menghubungan pengalaman-pengalaman tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaan sejarah yang merupakan asalasulnya (Damono, 2002:11). Dari Ian Watt, Sapardi Djoko Damono menemukan tiga macam pendekatan yang berbeda. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-hal utama yang mendapat perhatian ialah: (a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu karya sastra itu ditulis; (b) sejauh mana sifat pribadi pengarang memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang dianggap mewaliki seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian: (a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakat; (b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai 15 penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi sintesis antara kemungkinan (a) dengan (b) di atas (Faruk, 2012: 5--6). Penjelasan mengenai teori sosiologi sastra pernah juga dikemukaan Wallek dan Warren yang menawarkan pendekatan teori sosiologi sastra menjadi tiga kelompok. Pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Dalam banyak penelitian, pengarang bisa diperlakukan sebagai individu maupun sebagai suatu sistem. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaah yaitu apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Dalam hal ini peneliti dapat memusatkan perhatian penelitian pada sebuah atau beberapa buku novel yang ditulis oleh seorang pengarang untuk kemudian mengajukan pertanyaan mengenai tujuan pengarangnya seperti yang tersurat di dalam karya-karya itu dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya yang telah menghasilkannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Karya sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan, dan perkembangan sosial merupakan pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan tersebut. Sastra ditulis untuk dibaca. Pembaca karya sastra berasal dari bermacam-macam golongan, kelompok, agama, pendidikan, umur, dan sebagainya 16 (Damono, 2002: 3--4). Pertanyaan penelitian bisa diajukan terhadap pengaruh karya sastra itu terhadap sekelompok pembaca dan jika pengaruh itu dianggap buruk oleh masyarakat umum atau pemerintah, misalnya, bisa saja karya sastra itu dilarang beredar. Dalam penelitian ini untuk pengamplikasian teori sosiologi sastra yang berkaitan dengan sosiologi novel anak Rumah 1000 Dongeng diperlukan teori penokohan dan latar. Menurut Sumardjo dan Saini (1997:145) “tingkah-laku dan perbuatan tokoh cerita akan membangkitkan perhatian pembaca dalam memahami, menghayati, dan menyimpulkan buah pikiran pengarang”. Oleh sebab itu, pembaca dalam memahami watak para tokoh lebih ditentukan oleh ucapan dan perbuatan tokoh daripada melihat secara fisik. Tokoh yang ditampilkan pengarang dalam sebuah cerita memiliki watakwatak tertentu. Sehubungan dengan itu, dalam cerita ada yang disebut dengan tokoh protagonis dan tokoh yang antagonis. Aminuddin (2004:80) mengemukakan bahwa “tokoh protagonis adalah tokoh yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh antagonis adalah tokoh yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca”. Istilah karakter menurut Stanton (2007:33) merujuk pada dua pengertian. Pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang mencul dalam cerita. Kedua, karakter merunjuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut. 17 Menurut Nurgiyantoro (2013: 278), penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan parah tokoh cerita saja, tetapi juga melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik cerita fiksi. Pelukisan wujud fisik tokoh berfungsi untuk lebih mengintensifkan sifat kedirian tokoh. Dimensi fisilogis yang dimaksud adalah dalam menentukan karakter tokoh, keadaan fisik tokoh perlu dilukiskan, terutama jika tokoh tersebut memiliki bentuk fisik yang khas. Tujuannya agar pembaca dapat menggambarkan wujud tokoh secara imajinatif. Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Kehidupan sosial masyarakat tokoh mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, bersikap, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2013: 322). Masalah sosial yang mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial tokoh di suatu tempat dalam suatu karya fiksi digolongkan dalam dimensi sosiologis. Keadaan fisik tokoh sering berkaitan dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak pengarang sengaja mencari dan memperhubungkan adanya keterkaitan itu. Misalnya, bibir tipis menyarankan pada sifat suka berbicara, rambut lurus merujuk pada sifat tidak mau mengalah, dahi yang lebar merujuk pada sifat pemikir, dan lain-lain yang dapat merunjuk pada sifat tertentu. 18 Pada KBBI (2013:501) istilah latar berarti keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan. Latar suatu cerita adalah lingkungan dan peristiwa yang ada dalam cerita. Latar dapat disebut sebagai tempat dengan lingkungan tertentu dan waktu tertentu terjadinya sebuah cerita rekaan. Dalam latar dijumpai unsur tempat, sosial, dan waktu. Deskripsi tempat secara teliti dan realistis penting untuk mengesankan pembaca seolah-olah hal yang diceritakan sungguh-sungguh terjadi (Nurgiyantoro, 2013: 314—315). Latar tempat merunjuk pada lokasi terjadinya suatu peristiwa yang terdapat dalam cerita. Tempat yang dijelaskan pada cerita dapat berupa nama tempat maupun penggambaran melalui inisial tertentu. Penggunaaan latar tempat harus menggunakan istilah nama-nama tertentu yang menggambarkan keadaan geografis tokoh yang bersangkutan. Deskripsi latar tempat dijelaskan secara rinci agar peristiwa tampak nyata bagi pembaca. Terjadinya suatu peristiwa sering ditunjukkan dengan adanya waktu. Latar waktu dijelaskan „kapan‟ peristiwa tersebut terjadi dan menunjukkan gambaran masa lalu atau masa dengan tokoh pada suatu cerita. Masalah „kapan‟ tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitan dengan peristiwa sejarah (Nurgiyantoro, 2013:318). Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang direncanakan dalam karya 19 fiksi (Nurgiyantoro, 2013: 322). Kehidupan masyarakat, kebiasaan pola pikir, dan cara pandang merupakan hal-hal yang membentuk karakter tokoh dalam novel. Latar sosial- budaya dapat membentuk pola pikir dan cara pandang tokoh dalam novel. Latar sosial-budaya dalam novel dijelaskan melalui deskripsi kehidupan lingkungan sekitar, kebiasaan, dan cara pikir tokoh dalam memutuskan jalan keluar terhadap suatu masalah. Kekhasan suatu cerita ditunjukkan melalui penggambaran latar sosialbudaya. Nurgiyantoro (2013:323) mengatakan bahwa latar sosial-budaya memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local colour, warna daerah setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial-budaya masyarakat. Adanya kekhasan nama tokoh, dan dialek yang digunakan juga menunjukkan adanya kondisi sosial-budaya. Karakter yang ditonjolkan antara tokoh satu dengan yang lainnya perlu dideskipsikan secara jelas untuk memahami perbedaan kondisi sosialbudaya antartokoh. Suasana tertentu yang tercipta itu tidak dideskrispikan secara langsung melainkan suatu yang tersarankan. Hal ini berfungsi mendukung elemen-elemen cerita. Suasana menjadi cermin yang merefleksikan keadaan jiwa sang karakter (Stanton, 2007: 36). Suasana dapat berupa deskripsi keadaan sekitar, misalnya suasana mencekam, romantis, duka, dan lain sebagainya. Suasana yang dijelaskan dalam cerita dapat menjelaskan kondisi jiwa seorang tokoh. Kondisi jiwa seorang tokoh dipengaruhi oleh keadaan atau suasana lingkungan sekitar. 20 1.6 Metode Penelitian Metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna tujuan yang ditentukan (KBBI, 2013: 910). Sejalan dengan KBBI, Ratna (2013: 34) menyatakan metode berfungsi untuk menyederhanakan permasalahan sehingga lebih mudah dipecahkan dan dipahami. Secara umum, metode serta langkah-langkah yang signifikan dalam proses penelitian ilmiah meliputi; (a) identifikasi masalah, (b) perumusan masalah; (c) penyusun kerangka konseptual atau teoretik; (d) perumusan hipotesis; (e) metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan dan analisis data; dan (f) penarikan kesimpulan hasil penelitian (Faruk, 2012:13). Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskriptifkan fakta-fakta yang kemudian dianalisis (Ratna, 2013:53). Melalui metode ini dihasilkan data-data deskriptif yang tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Berikut ini adalah langkah-langkah penelitian terhadap novel anak Rumah 1000 Dongeng. 1. Menentukan karya sastra yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu novel anak Rumah 1000 Dongeng dan melakukan pembacaan terhadap novel tersebut. 2. Merumuskan dan menetapkan masalah pokok penelitian. 21 3. Melakukan studi pustaka dengan mencari referensi yang mendukung penelitian. 4. Menganalisis novel anak Rumah 1000 Dongeng berdasarkan teori sosiologi sastra. 5. Menarik kesimpulan. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab. Adapun pembagian setiap bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua berisi biografi Viana dan Mell Shaliha untuk menjawab sosiologi pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel anak Rumah 1000 Dongeng. Bab dua memuat tiga subbab, biografi Viana dan Shaliha, profesionalisme Viana dan Mell Shaliha, dan masyarakat yang dituju oleh Viana dan Mell Shaliha. Bab ketiga berisi sosiologi novel Rumah 1000 Dongeng dari tokoh Pak Jenaka untuk mengekspresikan keprihatinan pengarang terhadap tipisnya apresiasi anak terhadap budaya bercerita. Bab tiga memuat dua subbab, sosiologi novel anak Rumah 1000 Dongeng dilihat dari penokohan dan sosiologi novel anak Rumah 1000 Dongeng dilihat dari latar. Bab keempat, berisi kesimpulan.