Gerakan Perempuan dan Representasi Perempuan di Kota Tasikmalaya Fitriyani Yuliawati, Noneng Masitoh Universitas Siliwangi [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana Gerakan Perempuan dan Representasi Perempuan di Kota Tasikmalaya. Penelitian ini didasari dari berbagai problem lemahnya peran perempuan di yang berdampak pada diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan yang diterima oleh perempuan. Penelitian yang dilakukan di Kota Tasikmalaya ini diharapkan mampu menggambarkan gerakan perempuan mulai dari akar rumput dan bagaimana aktor aktor gerakan perempuan merepresentasikan kepentingan perempuan, baik gerakan perempuan yang berasal dari akar rumput maupun yang muncul karena bentukan negara. Gerakan Perempuan yang dikaji dalam penelitian ini adalah organisasi-organisasi yang konsentrasinya pada kepentingan perempuan di Tasikmalaya. Organisasi yang dimaksudkan harus merupakan organisasi yang dapat mewujudkan keterwakilan ide, gagasan dan emosional yang mampu merubah dan memberdayakan perempuan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian Kualitatif deskriptif. Paradigma ilmu politik yang digunakan menggunakan teori kritik sosial menggunakan feminisme sebagai pendekatan penelitian. Sedangkan tekhik analisis menggunakan metode interaktif dan data digali secara mendalam lewat syarat utama pengetahuan informan akan fokus penelitian (purpose methode). Penelitian ini menemukan organisasi perempuan di Kota Tasikmalaya sebagai motor gerakan perempuan sekaligus sebagai wadah representasi perempuan dalam berbagai aspek terutama representasi politik. Aisyiyah, Persistri, Muslimat NU, Fatayat, Wanita Katolik dan Wanita PUI merupakan organisasi perempuan yang cukup aktif menyuarakan kepentingan perempuan dan mampu memberdayakan perempuan meskipun masih terbatas pada komunitasnya. Diharapkan akan muncul gerakan perempuan yang efektif menyuarakan suara perempuan dan mampu merevitalisasi peran -peran perempuan dalam ranah publik. Kata Kunci: Gerakan Perempuan, Representasi Perempuan. ABSTRACT This study aims to determine how the Women's Movement and Women's Representation in Tasikmalaya. This research is based on the various problems of the weak role of women in the impact on discrimination in many aspects of life that is acceptable to women. Research conducted in Tasikmalaya is expected to describe the women's movement from the grassroots and the women's movement how actors represent women's interests, women's movement that comes from the grass roots as well as appearing for the formation of the state. Movement of Women examined in this study are organizations whose concentration in the interests of women in Tasikmalaya. Organizations that are intended to be an organization that can realize the representation of ideas, ideas and emotionally able to transform and empower women. The method used in this research is descriptive qualitative research methods. The paradigm of political science who used to use the theory of social critique use feminism as a research approach. While technique analysis using interactive methods and data be explored in depth through the main requirement of knowledge of informants will be the focus of research (purpose method). The research found women's organization in the city of Tasikmalaya as the motor of the women's movement as well as a forum for the representation of women in various 1 aspects, especially political representation. Aisyiyah, Persistri, NU's Women, Fatayat, Catholic Women and Women PUI is a women's organization that was active voice the interests of women and able to empower women, though still limited to the community. Is expected to emerge the women's movement that effectively amplifying the voices of women and is able to revitalize the roles of women in the public sphere. Keywords: Women's Movement, Women's Representation. PENDAHULUAN Women Movement atau sering disebut sebagai gerakan perempuan pada sejarahnya di Indonesia lahir untuk merepresentasikan kepentingan perempuan dan meningkatkan derajat perempuan Indonesia yang terpuruk karena budaya patriarki yang melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia telah membuat perempuan Indonesia banyak sekali yang terpinggirkan dan hanya menjadi subordinasi dari laki-laki, peran kaum perempuan dalam segala bidang masih sangat kurang bahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri. Kendala utama disebabkan oleh laki-laki dan perempuan dalam memandang dan memperlakukan perempuan. Budaya patriarkhi di kalangan masyarakat mengakar dan mendominasi dalam kehidupan. Bahkan dalam lingkungan terkecil seperti keluarga, nuansa dominasi laki-laki sangat kuat. Hal ini telah terjadi pada wilayah pedesaan maupun perkotaan, label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai orang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun temurun. Sebagai kota yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, Tasikmalaya sejak dahulu sangat memuliakan kedudukan perempuan di masyarakat. Ruang publik sangat perempuan. terbuka lebar dalam memperjuangkan Gerakan perempuan yang berwujud hak-hak dan suara dalam Ormas-ormas dan Lembaga swadaya perempuan cukup menjamur, seperti Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPPNU), Aisyiah, Institut Perempuan, Persatuan Islam Istri Cabang Tasikmalaya, Jamiyyatul Wasliyah, Muslimat NU, Fatayat, Korps HMIWati Kota Tasikmalaya, Perwari dan lainnya. Diantara organisasi-organisasi tersebut ada yang berbasiskan agama, perjuangan identitas, perkumpulan, dan lainnya. Organisasi-organisasi tersebut dapat dikategorikan sebagai gerakan 2 perempuan yang memainkan peran-peran politik, baik sebagai interest groups, maupun pressure groups. Selain lembaga-lembaga politik informal, tidak kalah pentingnya representasi perempuan dalam lembaga politik formal seperti pejabat publik dan lembaga pemerintah lainnya. Namun di Tasikmalaya kondisi tersebut masih belum terasa sangat signifikan. Selain secara kuantitas perempuan masih sangat terbatas dalam lembaga legislatif, juga posisinya di Kota Tasikmalaya masih dianggap hanya sebagai “penghias”. Kesiapan perempuan untuk maju secara berani mengambil inisiatif dalam segala kebijakan menyangkut hidupnya dan kebaikan masyarakatnya penting diartikulasikan, penguatan hak sipil sebagai bangunan kokoh suatu tatanan negara selayaknya menjadi konsentrasi para aktivis perempuan yang tergabung dalam gerakan perempuan untuk mendampingi kalangan perempuan yang tertinggal, karena kita tidak mungkin maju sendirian, sementara para perempuan yang lain masih tertinggal pengetahuannya dan terbelenggu oleh mitosnya sendiri yang membelenggu kiprahnya dalam berbagai bidang. Hasilnya saat ini, masih kita saksikan masih banyak perempuan terpuruk karena pencapaian mereka dalam bidang pendidikan masih sangat kecil. Terbatasnya modal pendidikan itu membuat terbatasnya lapangan kerja bagi mereka dan ini menimbulkan rentannya wanita terhadap kekerasan dan penindasan, Fenomena tersebut terjadi Kota Tasikmalaya sebagai kota yang terkenal dengan sebutan Kota „santri‟ karena terkenal dengan keteguhan masyarakatnya dalam memegang teguh nilai-nilai keagamaan menjadi sangat menarik apabila diteliti bagaimana agar Pemerintah KotaTasikmalaya dapat lebih memperhatikan kepentinagn perempuan melalui gerakan perempuan sehingga dapat dibuat suatu formulasi kebijakan yang berkeadilan gender sehingga dengan sendirinya akan menghapus perempuan dari keadaan yang terpinggirkan dan perempuan maupun laki-laki dapat bekerja/berkarya tanpa adanya sekat-sekat baik itu ruang privat maupun ruang publik. Berangkat dari latar belakang penelitian di atas, peneliti menganggap pentingnya untuk mengetahui dan mengkaji kembali gerakan 3 perempuan yang ada di kota Tasikmalaya bagaimana gerakan perempuan tersebut berfungsi untuk memberdayakan perempuan itu sendiri. Penelitian ini menekankn beberapa hal, Pertama, pentingnya gerakan perempuan untuk merepresentasikan Kepentingan perempuan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan, sehingga gerakan perempuan tidak hanya sebatas dijadikan komoditas jargon-jargon kepentingan kampanye semata, tetapi ada capaian-capaian yang akan diraih, yakni membangun dan memberdayakan perempuan agar mandiri, dan sejahtera. Kedua, Gerakan perempuan dengan semua kekuatannya dapat meminimalisir diskriminasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, salah atunya meminmalisir kekerasan terhadap perempuan yang marak terjadi di Kota Tasikmalaya. KAJIAN PUSTAKA Gerakan Perempuan dan Representasi Kepentingan Perempuan Dalam wacana gerakan sosial, gerakan perempuan dikategorikan sebagai Gerakan Sosial Baru. Gerakan perempuan merupakan gerakan kebudayaan yang ditandai oleh sebuah kritik dan transformasi citra perempuan dalam masyarakat dan oleh lahirnya nilai-nilai etis baru. Menurut de Beaucoir dalam perjalanan sejarah panjangumat manusia, perempuan dicitrakan sebagai sosok yang lain, menjadi the second sex. Dan kekuasaan laki laki terhadap perempuan ini telah diterima sebagai ideology yang hegemonis. Oleh karena itu pendidikan,kultur dan kesadaran perempuan sebagai bagian Bari masyarakat sipil model Gramsci menjadi sangat panting dalam memperjuangkan identitas dan hak hak azasi mereka. Dengan kesadaran kritis ini pula gerakan perempuan terhindar dari pengaruh dominasi Negara dan ekonomi pasar yang bisa dilihat dariberbagai indicator yang muncul dalam berbagai interkasi dan hubungan yang dijalin para aktor gerakan perempuan. Secara konseptual terdapat empat model representasi yang paling sering dipraktekan dalam politik yakni : pertama trusteeship, maksudnya model representasi yang lebih menekankan pada pemahaman masalah kelompok tertentu. 4 Jadi siapapun dia, jika dianggap memahami persoalan A bisa dikategorikan merepresentasikan si A. Kedua, delegation, model representasi yang formal dan sudah ada panduan-panduan rinci dalam melakukan perwakilannya, contohnya Duta Besar. Ketiga mandate model, yakni model representasi yang lebih pada political will yang dianggap mampu merepresentasikan kelompok tertentu, misalnya Parpol yang dipilih konstituennya karena programnya yang mengena kelompok tertentu. Keempat, resemblance model, yakni model perwakilan yang hanya bisa dilakukan hanya oleh satu kepentingan yang sama, kelompok yang sama, agama yang sama, budaya yang sama atau lainnya, misalnya hanya buruh yang bisa mewakili buruh, hanya perempuan yang bisa mewakili perempuan. (Heywood, 2002 : 224-229). Demokrasi Indonesia selama ini hanya mengedepankan aspek sangat procedural bagaimana dan bersifat keterwakilan umum keterwakilan kepentingan dan masyarakat, tidak berupaya golongan-golongan minoritas terakomodasi salah satunya kepentingan perempuan, meskipun dari segi kuantitas perempuan lebih banyak jumlahnya dibandingkan laki-laki akan tetapi sedikit sekali kebijakan yang menyuarakan kepentingan perempuan. Inilah yang menyebabkan demokrasi di Indonesia belum berhasil, karena belum mampu mewakili individu maupun kelompok yang memiliki perbedaan karakter social. Undang-undang baru tersebut menjadi babak baru mulai diakomodasinya entitas individu maupun kelompok dalam masyarakat, terutama perempuan. Salah satu perwujudan dari demokratisasi pada tingkat lokal diperlukan adanya wadah bagi gerakan perempuan untuk merepresentasikan kepentingan perempuan, yaitu dengan dibuatnya Pusat Kajian dan Pemberdayaan Perempuan yang di dukung oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya. Sehingga, dapat menampung kepentingan perempuan. Konsep Gender Diskursus gender mempersoalkan terutama, hubungan sosial, kultural, hukum dan politik antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, satu hal yang harus ditegaskan bahwa pemikiran tentang gender, pada intinya hanya ingin memahami, mendudukkan dan menyikapi relasi laki-laki dan perempuan secara lebih 5 proporsional dan lebih berkeadilan dalam relasi antara keduanya sebagai hamba tuhan. Seperti dalam hal berpartisipasi Politik dimana menurut Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30%, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Bahkan dalam Pasal 8 Butir d Undang-Undang No. 10 tahun 2008, disebutkan bahwa penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan kaum perempuan pada kepengurusan partai politik pada tingkat pusat sebagai salah satu persyaratan partai politik untuk selanjutnya dapat menjadi peserta pemilu. Konsep gender sendiri sebenarnya sangat sederhana walau ia sering dikaburkan dengan pengertian jenis kelamin. Masyarakat umumnya mengidentifikasikan gender dengan jenis kelamin (sex). Sebagai langkah awal perlu ditegaskan bahwa isu gender tidak dapat dipisahkan dari variabel jenis kelamin; bahkan gender secara sosiologis berawal dari perbedaan jenis kelamin. Jenis kelamin adalah konsep biologis sebagai identitas kategorial yang membedakan laki-laki (jantan) dan perempuan (betina). METODE PENELITIAN DAN ANALISIS Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bertujuan mendapatkan data berupa deskripsi ucapan, tulisan, dan perilaku, serta penekanan pada aspek subjektif yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri, ketika temuantemuannya tidak bisa diperoleh dari statistik (kuantitatif). Alasan lain dengan metode ini adalah kemantapan peneliti berdasarkan pengalaman penelitian sebelumnya. Pendekatan yang dilakukan menggunakan pendekatan feminisme. Metode ini berangkat dari teori Kritik Sosial yang mengkritik pandangan ilmu sosial yang seksis dan pada akhirnya melahirkan penelitian yang bias gender. Rosalind Sydie merumuskan agenda besar metodologi feminis sebagai cara untuk mencari dasar-dasar keabsahan bagi pengalaman perempuan, dan merumuskan jalan-jalan untuk mengkonstitusikan pengalaman ini kedalam proses “penemuan” dan “pendefinisian” realitas (Sydie Rosalind, 1987) 6 Metode ini mengijinkan perempuan mempelajari perempuan dalam proses interaktif tanpa ada kesenjangan subjek/objek yang dimunculkan antara peneliti dan yang diteliti.Judith Lorber menekankan bahwa satu-satunya cara untuk masuk dan memahami kenyataan yang dialami perempuan adalah dengan peneliti feminis harus mampu menjadi sahabat dan bukan orang asing bagi informan perempuan. Agar peneltian yang bersifat sensitif dapat tergali dan mendapatkan jawaban untuk penelitian. 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Sejarah Gerakan Perempuan Gerakan perempuan di Indonesia dalam sejarahnya telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka, pada fase awal gerakan perempuan lebih bersifat individual dan lokal. Kartini, Dewi Sartika, Nyi Ageng Serang dan Cut Nyak Dien merupakan tokoh-tokoh perempuan yang menjadi pionir gerakan perempuan Indonesia yang melakukan gerakan sosial dan politik melawan penindasan, diskriminasi, keterbelakangan dan kolonialisme. Selain itu, para tokoh perempuan tersebut berusaha melawan monopoli penafsiran laki-laki tentang kekuasaan. Mewakili sebuah generasi yang terkungkung oleh feodalisme jawa (adat) dan kolonialisme, kartini mampu melakukan teriakan pertamanya untuk melawan rasialisme, ekploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Dewi Sartika melalui Kautamaan Perempuan pun melakukan gerakan perempuan untuk melawan kebodohan, dan keterbelakangan perempuan dalam pendidikan, poligami, pernikahan tidak sederajat yang menimbulkan penindasan terhadap perempuan padaa saat itu. Setelah fase awal tersebut muncullah kesadaran kaum perempuan untuk berorganisasi dan berkoalisi pada era kebangkitan nasional, organisai perempuan pada masa ini awalnya masih bersifat primordial dan sangat kental dengan aroma lokal, pada fase ini organisasi perempuan dapat dikategorikan ke dalam beberapa kelompok, pertama, gerakan perempuan berbasis keagamaan (islam) seperti kewanitaan sarekat islam di Garut di bawah pimpinan Siti Fatimah, Wanodyo Oetomo di Yogyakarta dan Aisyiyah di bawah pimpinan Nyi Ahmad Dahlan, Kedua, gerakan perempuan berideologi sosialis seperti sarekat rakyat yang melahirkan tokoh terkemuka seperti Raden Sukaesih dan Munapsih. Yang terakhir, gerakan perempuan di luar dua gerakan perempuan tersebut yaitu, wanita Katolik yang didirikan oleh Maria Soelastri Soejadi Darmasepoetra Sasraningrat di Yogyakarta. Pada masa Orde Baru, satu-satunya kepentingan negara itu adalah “pembangunan. Sambil terus menerus mengecam rejim Orde Lama dan idiologi anti komunisme, Orba mengkonstruksikan sebuah idiologi gender 8 yang mendasarka diri pada ibusime, sebuah paham yang melihat kegiatan ekonomi perempuan sebagai bagian dari peranannya sebagi ibu dan partisipasi perempuan dalam politik sebagai tak layak. Politik gender ini termanifestasikan dalam dokumen-dokumen negara, seperti GBHN, UU Perkawinan No.1/1974 dan Pnca Dharma Wanita. Organisasi-organisasi peremepuan baru (Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK) adalah partner pemerintah dalam menyebarluaskan ideologi gender ala Orba. Politik gender orde baru berhasil menghomogenkan perempuan dalam sebuah komunitas apolitis. Namun demikian gerakan-gerakan bawah tanah mulai muncul dimasamasa akhir pemerintahan Orba. Krisis ekonomi yang akut, memberikan tekanan yang semakin berat bagi kehidupan soial-ekonomi masyarakat. Gerakan perempuan mulai muncul dijalan dalam bentuk aksi dan demonstrasi. Perempuan semakin memperkokoh diri dalam sebuah organisasi sosial-politik, dari organisasi buruh hingga LSM. Jatuhnya rejim Orba membawa harapan baru bagi pergerakan perempuan Indonesia. Sistem pemerintahan yang demokratis dianggap dapat memberikan iklim baru yang lebih bebas bagi perjuangan perempuan. Di era Reformasi, kwantitas dan kualitas organisasi perempuan mulai meningkat, demikian juga dengan agenda dan wacana yang diusungnya. Organisasi perempuan tidak hanya menyuarakan hak-hak perempuan tetapi bentuk-bentuk advokasi terhadap perempuan yang mengalami permasalahan sosial mulai dilakukan. Di era ini, gerakan perempuan tak hanya menyuarakan agendanya sendiri seperti kesataraan gender, poligami, kekerasan terhadap perempuan di dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, kesehatan reproduksi tetapi juga mulai meneriakan kepentingan yang lebih umum dari isu-isu aktual yang muncul di dunia. Isu-isu seperti HAM, lingkungan atau Global Warming, dan penyebaran virus HIV Aids telah menjadi agenda pokok gerakan perempuan Indonesia. Gerakan perempuan pada lingkup internasional juga telah memberikan perubahan paradigma gerakan perempuan di Indonesia. Hal ini, terjadi tidak hanya secara nasional namun juga sampai pada daerah-daerah di Indonesia. Perempuan (terutama yang berpendidikan sampai dengan Perguruan Tinggi) 9 saat ini semakin sadar dan terbuka matanya bahwa perempuan pun mempunyai bargaining power untuk menyuarakan hak-haknya di hadapan pemerintah. Gerakan perempuan tersebut dapat mendorong pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang pro dengan kaum perempuan terutama pada masalah kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Studi Gerakan Perempuan di Kota Tasikmalaya Organisasi Perempuan Gerakan perempuan dikategorikan sebagai gerakan sosial baru, gerakan sosial baru pada tahun 1970-an menampilkan sejumlah ciri dengan kadar yang baru. Berbeda dengan „politik lama‟ yang didominasi oleh isu kelas dan isu distribusional, gerakan sosial baru menyoroti isu gender, seksualitas, ras, alam, dan keamanan (Gaus. F Gerad dalam Handbook Teori Politik, 2012:608). Isu mengenai gender sampai saat ini masih menjadi isu yang diperjuangkan oleh perempuan di belahan dunia manapun, masih banyak terjadi ketimpangan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketimpangan dan diskriminasi terhadap perempuan berwujud dalam banyak bentuk dan dalam hampir semua aspek kehidupan. Bentuk diskriminasi yang paling sering terjadi adalah pembagian peran perempuan yang hanya sebatas peran domestik, dikenal dengan peran „dapur, sumur dan kasur‟. Pembagian peran yang diskriminatif tersebut telah membuat perempuan termarjinalkan dalam hampir semua aspek kehidupan, yaitu, sosial, ekonomi dan politik. Sejarah berdirinya organisasi perempuan di Indonesia diawali oleh munculnya kesadaran perempuan untuk tidak lagi berada dalam diskriminasi dan intimidasi yang seringkali didapat oleh perempuan terutama pada era penjajahan di Indonesia. Aisyiyah merupakan organisasi perempuan tertua di Indonesia, organisasi ini didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 19 Mei 1917 bertepatan dengan peringatan hari Isra Mi‟raj Nabi Muhammad SAW. Kyai Haji Ahmad dahlan dan istrinya merupakan penanam karakter dasar gerakan „Aisyiyah‟. Anakanak gadis yang baru berusia belasan dididik untuk tidak hanya paham pengetahuan religius tetapi juga bagaimana peduli dan mengabdi kepada 10 masyarakat luas. Mereka juga dipersiapkan untuk menjadi para pengurus awal organisasi (2010:18). Aisyiyah di Kota Tasikmalaya memiliki Visi berikut ini: 1. Berkembangnya islam berkemajuan dalam kehidupan masyarakat khususnya lingkungan umat islam dimana Aisyiyah berada. 2. Berkembanganya gerakan pencerahan yang membaawa proses pembebasan, pemberdayaan, dan pemajuan dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan. 3. Berkembangnya perempuan berkemajuan di lingkungan umat islam dan bangsa Indonesia maupun ranah global sebagai insan pelaku perubahan menuju peradaban utama yang cerah dan mencerahkan. Islam yang berkemajuan menurut Aisyiyah dalam Visi yang pertama adalah jalan islam yang membebaskan, memberdayakan dan memajukan kehidupan dari segala bentuk keterbelakangan, ketertindasan, kejumudan dan ketidakadilan hidup manusia. Aisyiyah di Kota Tasikmalaya melakukan gerakan sesuai dengan visi yang telah ditetapkan oleh Aisyiyah Pusat, akan tetapi kegiatan yang dilakukan oleh Aisyiah Kota Tasikmalaya disesuaikan dengan peramasalahan yang terjadi di Kota Tasikamalaya, hal ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan dengan Hj. Suniawati Kartini, S.IP di bawah ini, “Aisyiyah di Kota Tasikmalaya memiliki gerakan organisasi perempuan yang sesuai dengan amanat Aisyiyah pusat kami melakukan gerakan untuk pemberdayaan perempuan, salah satunya melakukan pelatihan-pelatihan keahlian bagi para ibu-ibu rumah tangga, baik itu anggota Aisyiyah maupun bukan, kami juga bekerja sama dengan BKKBN Provinsi dengan membuat layanan konseling bagi keluarga yang memerlukan untuk meminimalisir terjadinya KDRT” Hal ini sesuai dengan gerakan pencerah Aisyiyah dan gerakan perempuan berkemajuan dari Aisyiyah, bahwwa yang dilakukan oleh Aisyiyah harus berguna untuk manusia secara keseluruhan. 11 Selain Aisyiyah, terdapat Organisasi Perempuan yang cukup besar di Kota Tasikmalaya, yaitu Muslimat NU. Muslimat NU di Kota Tasikmalaya diketuai oleh Hj. Ai Muhamad. Muslimat NU memiliki Visi dam Misi di bawah ini: Visi Muslimat NU Terwujudnya masyarakat sejahtera yang dijiwai ajaran Islam Ahlusunnah wal jamaah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkemakmuran dan berkeadilan yang diridloi Allah SWT. Misi Muslimat NU 1. Mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan, yang sadar beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 2. Mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan, yang berkualitas, mandiri dan bertaqwa kepada Allah SWT. 3. Mewujudkan masyarakat Indonesia khususnya perempuan, yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran Islam baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. 4. Melaksanakan tujuan Jam‟iyyah NU sehingga terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang merata dan diridhoi Allah SWT. Sejarah pergerakan wanita NU memiliki akar kesejarahan panjang dengan pergunulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita baik Muslimat, fatayat hingga Ikatan pelajar putri NU. Dalam kongres itu, untuk pertama kalinya tampil seorang muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag kongres NU XIII mencatat : “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe, …Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain poetih.” Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa 12 diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya tahun 1940. Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan. Kemudian salah satu organisasi perempuan yang cukup Aktif dalam gerakan perempuan di Kota Tasikmalaya terdapat Wanita Katolik Republik Indonesia Cabang Kota Tasikmalaya, Organisasi yang bersifat sosial aktif, mandiri, memiliki kekuatan moral dan kemampuan yang handal dalam menjalankan karya-karya pengabdian untuk mewujudkan kesejahteraan bersama serta menegakkan harkat dan martabat manusia. sebagai salah satu golongan minoritas di Kota Tasikmalaya hal ini tidak menyurutkan para anggota Wanita Khatolik RI untuk menjalankan Visi dan Misi organisasinya, yaitu berikut ini: Visi Wanita Katolik RI adalah: Organisasi yang bersifat sosial aktif, mandiri, memiliki kekuatan moral dan kemampuan yang handal dalam menjalankan karya-karya pengabdian untuk mewujudkan kesejahteraan bersama serta menegakkan harkat dan martabat manusia Misi Wanita Katolik RI adalah: a. Mengembangkan kemampuan serta memberdayakan seluruh jajaran Wanita Katolik RI, guna meningkatkan kualitas pengabdian dalam masyarakat. b. Menghimpun aspirasi dan mengaktualisasikan potensi Wanita Katolik RI agar karya pengabdian terwujud secara optimal dan berkesinambungan, 13 c. Memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh dimensi kehidupan d. Mengupayakan lingkungan hidup yang seimbang. Sejarah Wanita Katholik RI diawali oleh perjuangan ibu-ibu pada zaman Belanda di tahun 1924. Pada waktu itu sekelompok Ibu, yang bukan perempuan biasa tapi perempuan-perempuan alumni Sekolah Mendut, memperjuangkan harkat dan martabatnya dengan menunjukkan kepedulian dan bela rasa terhadap nasib para perempuan buruh pabrik rokok – pabrik cerutu di wilayah Yogyakarta. Zaman itu perempuan „priyayi‟ dipingit pada usia sangat muda – tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi apalagi melakukan tindakan-tindakan di luar batas-batas kesopanan menurut zaman itu. Akan tetapi Ibu-ibu kita sudah sangat menyadari pentingnya memperjuangkan nasib para buruh (perempuan). Mereka berjuang dengan mengacu pada Rerum Novarum, Ensiklik pertama Ajaran Sosial Gereja yang diterbitkan oleh Paus Leo XIII pada 15 Mei 1891. Ensiklik ini adalah surat terbuka kepada semua uskup yang diantaranya membahas kondisi kelas pekerja dengan mendukung hak-hak buruh untuk membentuk serikat buruh, kesejahteraan umum, persaudaraan antara yang kaya dan miskin, serta tugas Gereja dalam membangun keadilan sosial. Demikianlah awal perjuangan dan terbentuknya Organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia dengan misi yang jelas yaitu memperjuangkan harkat dan martabat manusia, persis seperti Ajaran Sosial Gereja pertama tersebut. Wanita Katholik RI di Kota Tasikmalaya sering melakukan kegiatankegiatan yang bersifat pemberdayaan perempuan, seperti yang diungkapkan oleh ibu Dewi Untari selaku Ketua Wanita Katholik RI pada tanggal 9 Agustus 2016: “kami sering melakukan pelatihan-pelatihan keahlian bagi anggota Wanita Katholik RI agar lebih mandiri, terutama dapat menghasilkan atau 14 menambah penghasilan keluarga. Selain itu, kami sering mengadakan bakti sosial baik itu yang dilakukan di Panti-Panti Sosial maupun Gereja” Pernyataan Ketua Wanita Katholik RI tersebut sesuai dengan visi dan misi dari organisasi Wanita Katholik RI. Persatuan Islam Istri atau biasa disebut Persistri merupakan organisasi perempuan selanjutnya di Kota Tasikmalaya yang tidak tegabung dalam Gabungan Organisasi Wanita Kota Tasikmalaya, Persistri memiliki Visi dan Misi berikut ini, Visi Terciptanya masyarakat perempuan yang berpegang teguh pada syariat islam berlandaskan Al-Qur‟an dan Assunah. Misi Mendidik muslimah hidup berjama‟ah, berimamah, berimarah, tunduk dan taat kepada nizham jam’iyyah yang sejalan dengan Al-Qur‟an dan Assunah. Persistri tidak mengikuti Gabungan Orgnisasi Wanita Kota Tasikmalaya karena menurut Ketua Persistri, yaitu Hj. Ai Kurniasih paada tanggal 7 Agustus 2016: “kami tidak mengikuti GOW karena kami merasa ada yang tidak sesuai dengan visi dan misi kami sebgai organisasi perempuan, akan tetapi, hal tersebut bukan berarti kami mengabaikan gerakan perempuan yang ada di Kota Tasikmlaya, kami pun sering melakukan kegiatan dan bek erja sama dengan organisasi perempuang yang lainnya seperti, Aisyiyah kami pun sering mengadakan kegiatan yang bersifat pemberdayaan perempuan” Hal ini mempelihatkan gerakan perempuan di Kota Tasikmalaya masih belum mempunyai arah dan tujuan yang merngkul semua golongan, bahkan penolakan datang dari bagian golongan yang cukup berpengaruh di Kota Tasikmalaya. 15 2.2 Representasi Perempuan di Kota Tasikmalaya Persoalan representasi bukanlah persoalan yang sederhana, karena tentu banyak pertanyaan kemudian yang terkait dengan kepentingan apa yang direpresentasikan, siapa yang merepsentasikan dan siapa yang direpresentasikan. Dalam konteks politik negara-bangsa (nation-state), akan menjadi tidak sederhana, bahkan mungkin problematik membicarakan 3 unsur dalam representasi tadi, karena akan terkait dengan kontestasi kepentingan, pergulatan politik antara yang diwakili dengan yang mewakili dan seterusnya. Kajian penelitian ini akan banyak membahas tentang keterwakilan perempuan, baik secara kuantitas pelakunya maupun secara substansi lewat keterwakilan isu, gagasan, perubahan cara fikir, dalam kerangka untuk memperjuangkan aspirasi, problematika secara utuh tentang keperempuanan dalam lembagalembaga politik, baik formal maupun informal di Kota Tasikmalaya. Representasi perempuan dalam lembaga politik formal seperti pejabat public dan lembaga pemerintah lainnya. Berbagai upaya untuk “melecut” partisipasi perempuan dalam lembaga politik formal telah ditempuh oleh pemerintahan seperti melalui upaya kuota 30 % perempuan di kepengurusan Parpol, dan lembaga politik lainnya. Namun di Tasikmalaya kondisi tersebut masih belum terasa sangat signifikan. Selain secara kuantitas perempuan masih sangat terbatas dalam lembaga legislatif, juga posisinya di Kota Tasikmalaya masih dianggap hanya sebagai “penghias”. Saat ini di legislatif terdapat 5 anggota dewan periode 2014-2015 yang merupakan representasi perempuan yakni : Hj, Yoke Yulianti, Eti Guspitawati, Imas Farmawati, Sri Puspitawati, dan Sindi Wijayanti. Namun dari 5 anggota dewan tersebut suaranya dianggap banyak kalangan kurang intens dalam memperjuangkan isu-isu keperempuanan di level Tasikmalaya. Budaya politik masyarakat Tasikmalaya memang belum percaya penuh kepada kepemimpinan perempuan. Walaupun keinginan dan kemampuan perempuan dalam politik sudah terpenuhi, jika tidak adanya dukungan dari masyarakat untuk memilihnya pasti tidak akan berhasil. Dukungan dari 16 keluarga, masyarakat dan partai politik bagi perempuan sangat berpengaruh. Apalagi banyak masyarakat memandang sebelah mata pada kaum perempuan, perempuan selalu dinomorduakan baik dari segi kemampuan ataupun dari segi posisi. Hal ini, menjadi tugas gerakan perempuan di Kota Tasikmalaya agar lebih berperan aktif. Banyak para caleg perempuan berpendapat bahwa tidak ada kendala dalam pencalonan, partai politik mereka sangat memudahkan dan mendukung. Tapi ada juga salah satu caleg perempuan yang mempunyai kendala dari keluarga dan masyarakat. Sementara dari partai sendiri sangat mendukung sekali, namun hambatan justru berasal dari keluarga dan masyarakat, karena berprofesi sebagai mubaligoh jadi banyak masyarakat kurang setuju mencalonkan diri jadi anggota dewan katanya lebih baik berdakwah saja. Keterwakilan dalam konteks kajian ini didalamnya menyangkut dua hal penting, yakni : pertama, keterwakilan secara kuantitas dan kedua, keterwakilan secara substantif. Keterwakilan secara kuantitas dimaknai bahwa ada pihak dari perempuan yang secara langsung terlibat dalam lembaga politik dan menjadi bagian dalam pembuatan kebijakaan. Sedangkan secara substantive, bagaimana isu-isu permpuan dapat mengemuka, bahkan menjadi isu utama yang dibicarakan dalam setiap pengambilan kebijakan, baik itu disuarakan oleh perempuan itu sendiri, mapun laki-laki yang sensitive terhadap isu-isu kesetaraan gender. Meskipun demikin secara garis besar, majunaya lima anggota dewan perempuan daerah Kota Tasikamalaya di atas dalam kancah politik pada dasarnya ada yang memang sudah dirintis dari organisasi perempuan yang pernah dijabat hal ini terlihat bahwa munculnya sosok perempuan maju menjadi anggota dewan karena para anggota dewan tersebutmemiliki kesadaran bahwa seorang perempuan pun dapat untuk ikut aktif ambil bagian berkecimpung dalam bidang politik. Meskipun ada dikotomi antara ruang privat dan ruang publik bagi kaum perempun yang membuat mereka terpaksa memilih ruang pivat sebagi pilihan utama karena beranggapan sudah menjadi kodratnya. Akan tetapi tidak berlaku bagi para anggota dewan perempuan 17 tersebut. Sebagai peremuan mereka tetap dapat eksis membina karir politiknya demi ikut menjadi pembuat keputusan politik. Mengapa? Karena baginya perempuan memiliki kebutuhan– kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan – kebutuhan ini meliputi: a. Isu-isu kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman. b. Isu-isu kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau, masalah kesehatan dan pendidikan anak. c. Isu-isu kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa ( cacat tidak bekerja) d. Isu-isu kekerasan seksual. Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat, seperti: a. Diskriminasi di tempat kerja yang menganggap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan. Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama. b. Diskriminasi di hadapan hukum yang merugikan posisi perempuan misalnya : kasus perceraian. Budaya patriarki yang melekat pada sebagian besar masyarakat Kota Tasikmalaya pada gilirannya telah membuat peran perempuan cenderung terpinggirkan. Hal ini banyak disebabkan oleh konstruksi sosial yang sangat kuat seperti halnya masyarakat di Indonesia pada umumnya. Konstruksi yang membentuk perempuan ada di bawah kontrol laki-laki dengan segala kelemahan yang ditonjolkan. Label dan cap yang diberikan pada sosok perempuan sangat kental sebagai sosok yang lemah, tidak bermanfaat dan terbelenggu ketergantungan telah di doktrin secara turun-temurun sebagai kebiasaan masyarakat Sunda, khususnya Kota Tasikmalaya. Dari data di atas dapat dilihat bahwa banyak faktor mengapa kaum perempuan tertinggal sekali dalam kepengurusan Parpol di Kota Tasikmalaya : pertama, dalam kancah perpolitikan dalam partai, kaum pria memang jauh lebih banyak memiliki pilihan untuk menjadi SDM yang bermutu, ketimbang 18 kaum perempuan. Kultur sosial kita masyarakat Kota Tasikmalaya yang memang masih patriarki dikuatkan dengan kultur pesantren yang lebih mengangkat posisi laki-laki. Kedua, kaum perempuan dengan perannya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga, dianggap tidak selalu “siap pakai” dalam mengurusi organisasi, apalgi lembaga-lembaga politik, seperti LSM yang concern dengan peran-peran Negara, legislative, Parpol dan lembaga politik lainnya. Adanya orientasi pemikiran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, perempuan pola pikirnya lebih internal-eksklusif, sedangkan lakilaki eksternal-inklusif1 . Ketiga, sifat nature dari perempuan dianggap kurang mendukung dalam urusan politik dan pemerintahan seperti hamil, menyusui, mengurus anak, menstruasi sehingga harus pikir-pikir dahulu bagi perempuan masuk dalam institusi politik yang “serba keras”. Keempat, direduksinya isu nurture sebagai isu nature, artinya masih adanya pandangan bahwa perempuan berpolitik praktis sebagai sesuatu yang janggal dan diluar kebiasaan, sehingga tidak jarang menimbulkan minder dan menurunkan semangat kaum perempuan. Kelima, superioritas laki-laki yang dalam dataran tertentu akan merasa tidak nyaman jika istrinya berperan di luar rumah tangga, atau dalam hal tertentu merasa tersaingi. Menurut kami sebagai peneliti hak perempuan adalah hak asasi manusia, karena itu perempuan memiliki hak dan akses yang tidak boleh diperkecil dan dipinggirkan dari segala hak yang telah ada, terutama dalam berperan di masyarakat. Affirmatif action jangan dipahami sebagai merendahkan perempuan, atau menganggap kaum perempuan harus “diberi sesuatu” baru bisa maju. Pemberian perlakuan khusus tersebut adalah sebagai bentuk upaya keadilan dan pemberian proporsi pembagian peran, demi kebersamaan dan kebahagiaan manusia. Perempuan dan laki-laki memang memiliki perbedaan fisik, di mana laki-laki memiliki fisik yang cenderung lebih kuat, dan wanita cenderung lebih lemah, namun semua itu diciptakan untuk saling melengkapi 1Internal ekslusif maksudnya orientasi perempuan setelah menikah lebih cenderung bercita -bcita jadi istri yang baik, mengurusi rumah tangga, anak, tanpa ada orientasi lebih seperti berkiprah dalam social-kemasyarakatan. Sedangakan eksternal-inklusif, maksudnya orientasi laki-laki yang biasanya lebih punya keinginan memiliki peran dan berguna di masyarakat. 19 dan membahagiakan keduanya. Namun kemudian kelemahan fisik wanita tidak bisa direduksi lewat pengekangan di bidang sosial-kemasyarakatan. Ada kesan keterwakilan perempuan dalam politik adalah pemberian. Menurut penulis, istilah “pemberian kesempatan” dan kedudukan yang sama seperti pada penjelasan Pasal 46 UU No. 39 tahun 1999 tidak pantas dalam koridor hak asasi manusia. Istilah pemberian berkonotasi tidak natural dan hakiki terhadap pengertian utuh dari hak asasi manusia. Hak perempuan bukanlah pemberian atau hadiah dari kaum laki-laki. Hak perempuan bersumber dari Tuhan. Hak perempuan ada dan tumbuh ketika ia dilahirkan ke dunia sama dengan laki-laki. ``Dalam realitas politik lokal Tasikmalaya, kehidupan kepartaian dan politik praktis bukanlah sesuatu yang sederhana, membutuhkan kecerdasan dan ketajaman pemikiran, juga kemahiran berorganisasi yang dipadu dengan kebijakan dalam menyikapi segala dinamika yang terjadi dalam partai dan parlemen (DPRD Kota Tasikmalaya). Konstruksi sosial memang diasosiasikan perempuan terlalu beresiko jika berkiprah dalam institusi politik yang sarat dengan kontestasi dan benturan yang terkadang keras. Namun, inilah kesempatan sekaligus tantangan untuk mampu membijaki tantangan yang ada tersebut. Satu hal penting yang secepatnya harus dilakukan perempuan Indonesia saat ini adalah “bersekolah”. “Bersekolah” sambil berkarya, berperan menjadi aktor politik dalam partai dan parlemen. “Bersekolah” dengan pelajaran memasuki persaingan (competitive prosess) yang ekstra. Demokrasi Indonesia selama ini hanya mengedepankan aspek sangat prosedural dan bersifat keterwakilan umum masyarakat, tidak berupaya bagaimana keterwakilan terakomodasi2 .Inilah yang kepentingan menyebabkan dan golongan-golongan demokrasi minoritas di Indonesia belum 2 Sebenarnya terkait asal usul perwakilan seperti disebut di atas, ada yang disebut Demokrasi Mayoritarian dan Demokrasi Konsosiasional. Model mayoritarian diberlakukan di hampir keseluruhan negara dunia. Model ini berasumsi masyarakat plural dan beragam, sehingga harus mampu terepresentasi, maka dibentuklah partai, yang menang dalam persaingan mengelola kebijakan dengan mutlak (the winner take all). Model ini pada banyak kasus melahirkan Tirani Mayoritas . Model Konsosiasional merupakan respon terhadap model mayoritarian yang cenderung tidak ‘merangkul’ golongan-golongan lainnya. Diaplikasikan di negara seperti Australia dan Swedia. Menurutnya ada jumlah -jumlah dan perwakilan-perwakilan dalam anggota parlemen sesuai dengan sosio-kultural negara tersebut (representasi berdasarkan proporsi), Pemilu adalah cara menetapkan representasi proporsi. Kalah atau tidaknya partai tertentu tetap akan 20 berhasil, karena tidak mampu mewakili individu maupun kelompok yang memiliki perbedaan karakter sosial. Undang-undang baru tersebut menjadi babak baru mulai diakomodasinya entitas individu maupun kelompok dalam masyarakat, terutama perempuan. KESIMPULAN Dari kajian-kajian di atas terlihat untuk sementara bahwa : Pertama, Organisaasi-organisasi sepenuhnya perempuan memiliki wadah yang yang ada dapat di Kota Tasikmalaya belum mempersatukan semua golongan, sehingga gerakan masih dilakukan sendiri-sendiri oleh organisasi perempuan masing-masing. secara kuantitas keterwakilan perempuan dalam lembaga politik formal cukup terwakili dengan munculnya tokoh-tokoh yang menjadi representasi perempuan dalam lembag politik vital seperti DPRD, lembaga pemerintahan, beberapa menjadi pemimpin partai politik, baik ketua maupun top leader lainnya, belum mereka yang aktif di LSM dan Ormas dengan posisi yang strategis, walaupun secara kuantitas belum mencapai target 30 persen sebagaimana upaya diskriminasi substantif, positif yang keberadaan selama mereka ini digembar-gemborkan. dalam lembaga-lembaga Kedua, secara tersebut belum memberikan implikasi positif yang sangat signifikan. Isu-isu kesetaraan general mudah menguap dengan mudah. Secara isu, belum mampu menandingi isu kesetaraan secara umum. Ketiga, keberadaaan GOW Kota Tasikmalaya sebagai salah satu wadah bersatunya organisasi-organisasi perempuan di Kota Tasikmalaya belum maksimal dalam mengkoordinir gerakan perempuan di Kota Tasikmalaya. terepresentasi, walau proporsinya beda dengan yang menang, Kritik terhadap model ini melahirkan Tirani Minoritas, hal ini terjadi keterwakilan ternyata tidak menyangkut keseluruhan dari semua konteks sosial -politik yang ada. 21 DAFTAR PUSTAKA Anugerah, Astrid, 2009, Keterwakilan Perempuan dalam Politik, Penerbit Pancuran Alam, Cet II, Jakarta. Andrew Heywood, 2002, Politics : Second Edition, Palgrave, NY. Fakih, Mansour. 2010, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Fauzia, Amelia, dkk. 2004, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia Pustaka Utama dan PPIM UIN, Jakarta. Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta. Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Sen, Amartya, 1999, Development as Freedom, Oxford University Press, United States Of America. Sutopo, Heribertus, 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, UNS, Surakarta. Sydie, Rosalind, 1987, Natural Women, Culture Men A Feminist Perspective on Sociological Theory, Ontario Methanen Publications Wolf, Naomi, 1993, Fire With Fire : The New Female Power and How to Use It, Oxford University 22 Sumber Lain : Agung, Subhan, Yuliawati, Fitriyani, 2013, Representasi Perempuan dalam Lembaga Politik di Kota Tasikmalaya, Hasil Penelitian Dosen Pemula, Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. Yuliawati, Fitriyani, Widiastuti, Wiwi, 2014, Gender dan Politik: Analisis Kemenangan Ade UU Sukaesih dalam Pilkada Banjar 2013, Laporan Penelitian Universitas Siliwangi, Tasikmalaya. 23