issn 1410-1939 metilasi dna dan genomic imprinting

advertisement
ISSN 1410-1939
METILASI DNA DAN GENOMIC IMPRINTING (SUATU TINJAUAN
TENTANG MEKANISME EPIGENETIK)
[DNA METHYLATION AND GENOMIC IMPRINTING (A REVIEW ON
EPIGENETIC MECHANISMS)]
Sosiawan Nusifera
Fakultas Pertanian Universitas Jambi
Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361
Abstract
New facts about regulation mechanisms of genomic expression seemed to cause a shift of understanding gene
determination in phenotypic expressions. Facts that the identity of gene structure was established based on the
mechanisms of gene regulation and its environment, had finally blurred limitations between gene and
environment in genetic expressions. This reality had led to a new understanding that characters expressions
was an epigenetic process rather than gene deterministic. Mechanisms of epigenetic process was concerned
with gene activation and inactivation by which its processes were the responsibility of chromatin structure
dynamics (histone modification) and DNA methylation, or combination of both. Genomic imprinting as an
epigenetic process was also accounted by DNA methylation.
Key words: plant genetic, plant breeding, genetic expression, phenotypic expression.
PENDAHULUAN
Perkembangan pemahaman tentang kompleksitas sel baik secara struktural maupun mekanisme
regulasinya telah bermuara pada suatu perdebatan
antara kelompok performasionis-reduksionis dan
epigenetik-holis tentang bagaimana mekanisme
ekspresi genomik dalam menampilkan suatu fenotipe (Stotz, 2005). Gen sebagai elemen penyusun
genom merupakan merupakan sekuens kode yang
menunjukkan spesifikasi sekuens linier asam-asam
amino dalam suatu rantai polipeptida (central dogma theory). Oleh karena itu, kelompok performasionis-reduksionis meyakini bahwa sekuens kode
dari suatu gen adalah faktor deterministik terhadap
ekspresi suatu fenotipe.
Pada era pascagenomik, debat historis ini telah
muncul kembali ke permukaan seiring dengan penemuan fakta-fakta baru pada level molekuler suatu sel. Meskipun reduksionisme molekuler abad20 telah memperlihatkan keberhasilan yang spektakuler, penemuan-penemuan tentang gen, protein,
dan metabolit saja belum cukup untuk memahami
kompleksitas sel. Penemuan fakta-fakta bahwa
faktor-faktor penting seperti sekuens kode (informasi genetik) melakukan regulasi ekspresi genomik secara interaktif dengan elemen-elemen lingkungan ekstra organisme terutama sekali intra organisme (selama ini belum menjadi perhatian) merupakan kritik terhadap pemahaman genetik deterministik dalam ekspresi genomik. Bahkan seca-
ra ekstrim Stotz et al. (in press) sebagaimana dikutip oleh Stotz (2005) menyatakan bahwa gen bukan hanya merupakan kesatuan yang telah ditentukan sebelumnya (diwariskan) yang tersusun secara
linier pada suatu genom seperti halnya manik-manik pada tali/benang, tapi mereka lebih merupakan
“things an organism can do with its genome” (sesuatu yang suatu organisme dapat lakukan dengan
genomnya) dan di tempat itu membuat cetakan untuk suatu produk yang dibutuhkan sel pada waktu
tertentu. Sekuens DNA yang sama secara potensial
dapat menghasilkan berbagai produk gen yang
berbeda. Sebaliknya, sekuens DNA yang berbeda
dapat mengkode produk-produk gen yang identik.
Oleh karen itu, informasi genetik untuk suatu produk tidak cukup hanya dengan pengkodean dalam
sekuens DNA target saja tapi harus ”diinterpretasikan” bersama elemen lain di luar sekuens kode tersebut. Elemen-elemen selain sekuens kode merupakan lingkungan bagi gen. Lingkungan intra organisme dalam konteks gen terdiri atas regulasi
dan sekuens intronik yang menjadi target pengikatan oleh faktor transkripsi dan splicing factors (protein dan non-coding RNAs), dan sinyal-sinyal lingkung-an spesifik yang memberikan isyarat pada
faktor-faktor tersebut sehingga mempengaruhi ekspresi gen.
Realitas pascagenomik ini berimplikasi pada
pemahaman kita bahwa perkembangan (development) tidaklah gen deterministik tapi sebuah
proses epigenetik (Muller dan Olson, 2003 seba-
51
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007
gaimana dikuti oleh Stotz, 2005). Terminologi epigenetik digunakan untuk menyatakan adanya pengaruh pada aktivitas gen yang diwariskan dimana
pengaruh tersebut ti-dak melibatkan perubahan pada DNA (Gehring et al., 2004). Terjadinya proses
epigenetik (epigenesis) merupakan konsekuensi
adanya interaksi antara gen dan lingkungannya dan
dapat terjadi akibat tidak terekspresinya informasi
genomik (silenced genes). Peristiwa-peristiwa molekuler seperti metilasi DNA, modifikasi histon,
dan lain-lain dapat menyebabkan tidak tercetaknya
informasi pada genom (genomic imprinting)
(Holliday, 2005).
METILASI DNA DAN GENOMIC
IMPRINTING
Epigenotipe dan epigenetik
Dalam suatu organisme kompleks dengan selsel yang terdiferensiasi, sel-selnya memiliki berbagai fenotipe yang berbeda. Meskipun demikian,
genotipe-genotipe sel-sel tersebut adalah sama.
Perbedaan fenotipe-fenotipe tersebut disebabkan
oleh suatu mekanisme yang menetapkan sekelompok gen menjadi aktif pada sel-sel tertentu sementara sekelompok gen lainnya inaktif. Mekanisme
ini merupakan mekanisme epigenetik yang menentukan epigenotipe dari sel-sel tersebut (Holliday,
2005). Dengan demikian, suatu organisme kompleks memiliki ba-nyak epigenotipe sel.
Istilah epigenotipe diperkenalkan oleh Waddington (1939) sebagaimana dikutip oleh Holliday
(2005) dan didefinisikan sebagai ”total sistem perkembangan yang terdiri atas lintasan-lintasan perkembangan yang saling berhubungan di mana melalui interelasi lintasan-lintasan tersebut bentuk dewasa suatu organisme terlihat”. Holliday (2005)
secara lebih spesifik mendeskripsikan pengertian
epigenotipe sebagai berikut: meskipun seluruh
gen-gen yang diwariskan pada semua sel-sel zigot
sama, produk gen-gen tersebut berbeda pada tiap
tipe sel yang berbeda. Misalnya, pada embrio yang
sedang berkembang terdapat sel otot, saraf, sel-sel
jaringan penghubung dan lain-lain. Ini terjadi karena adanya perbedaan ekspresi gen.
Setiap sel memiliki set gen aktif standar yang
diperlukan untuk metabolisme normal. Produk gen
tersebut umumnya merupakan enzim atau protein
housekeeping. Ketika sel-sel tertentu terdiferensiasi, set protein lainnya juga dibentuk. Protein tersebut umumnya dikenal dengan protein mewah (luxury protein). Dengan demikian tipe sel A memiliki
satu set protein mewah A’, dan tipe sel B memiliki
set protein B’ di mana keduanya memiliki protein
housekeeping yang mirip atau sama. Sel A tidak
52
mensintesis protein B’ dan sel B tidak mensintesis
protein A’. Pada beberapa kasus, keduanya dapat
mensintesis protein mewah C’, atau bisa jadi sama
sekali tidak ada protein yang dibentuk oleh kedua
tipe sel. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
perbedaan fenotipe sel tipe A dan B disebabkan
oleh berbedanya epigenotipe sel-sel tersebut.
Epigenesis mencakup seluruh mekanisme yang
menyebabkan perbedaan ekspresi gen pada sel-sel
tertentu. Mekanisme tersebut mencakup metilasi
DNA, konfigurasi kromatin, atau kombinasi keduanya. Konsekuensi dari mekanisme tersebut adalah
sebuah spektrum gen-gen yang aktif dan gen-gen
yang tidak aktif (silent) pada setiap tipe sel yang
ada. Epigenesis juga meliputi mekanisme yang
bertanggung jawab menentukan program genetik
untuk perkembangan (development) di mana mekanisme ini bergantung pada proses-proses seperti
pensinyalan sel dan berbagai interaksi seluler lainnya. Proses tersebut juga mencakup perilaku sel
batang (stem line cell) yang membelah untuk
menghasilkan dua sel anak yang identik, dan sel
lainnya yang menghasilkan satu atau lebih tipe sel
yang terdiferensiasi. Misalnya, sel batang tulang
sum-sum menghasilkan seluruh tipe sel dalam darah, tetapi sel batang kulit hanya memproduksi keratinocytes. Epigenesis juga bertanggung jawab
atas terjadinya genomic imprinting di mana beberapa gen yang berasal dari gamet jantan dan betina
memiliki ekspresi yang berbeda.
Metilasi DNA dan inaktivasi gen (gene
silencing)
Kontrol ekspresi gen merupakan faktor utama
dalam mekanisme epigenetik. Struktur kromatin
sangat menentukan aksesibilitas DNA yang pada
akhirnya menentukan proses transkripsi. Faktorfaktor yang mempengaruhi struktur kromatin adalah kompleks remodeling yang bergantung pada
ATP (ATP-dependent remo-delling complex), modifikasi histon (histon modification), group Polycomb dan Trithorax, Metilasi DNA, varian histon,
dan inaktivasi gen yang diinduksi RNA (RNAinduced gene silencing) (Hsieh dan Fischer, 2005).
Metilasi DNA adalah salah satu modifikasi epigenetik yang paling banyak terjadi pada tanaman
dan hewan. Modifikasi tersebut tidak mengubah
sekuens utama DNA namun merupakan faktor kritis bagi perkembangan yang normal, pola ekspresi
gen, dan stabilitas genomik. Metilasi DNA merupakan reaksi penambahan kovalen gugus metil pada ujung 5’ sitosin (Gambar 1) dalam dinukleotida
CpG dan trinukleotida CpNpG yang difasilitasi
oleh enzim DNA metiltransferase (Plass dan
Soloway, 2002; Hsieh dan Fischer, 2005). Karena
Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.
5’CG3’ adalah palindromik, metilasi dapat terjadi
hanya pada satu rantai (hemi-methylated) ataupun
kedua rantai DNA (homo-methylated) (Plass dan
Soloway, 2002). Metilasi DNA dalam konteks dinukleotida CpG yang simetrik (homomethylated)
ini merupakan modifikasi yang dipertahankan. Pola metilasi simetrik ini dipertahankan setelah replikasi DNA di mana setiap setiap rantai DNA tetua
menyimpan setengah dari informasi metilasi. Pemeliharaan (maintenance) DNA metil transferase,
seperti DNMT1 pada hewan dan MET1 pada tanaman, terjadi dengan cara mengkopi tanda (area)
metilasi pada rantai DNA anak. Dengan cara tersebut, metilasi DNA memperlihatkan mekanisme
yang efisien dalam menyimpan informasi epigenetik yang dengan stabil dapat diwariskan melalui
pembelahan sel (Hsieh dan Fischer, 2005).
Gambar 1. Metilasi yang terjadi pada ujung 5sitosin.
Replikasi DNA homometilasi menghasilkan
DNA hemimetilasi dimana satu rantai DNA tetap
termetilasi dan rantai yang baru terbentuk tidak
termetilasi. DNA yang hemimetilasi dapat menjadi
homometilasi dengan enzim metiltransferase pemeliharaan (maintenance) yang meletakkan grup
metil pada komplementer 5’-CG-3’ ke 5’-CG-3’
yang termetilasi. Metiltransferase yang pertama
kali diidentifikasi, DNMT1, diketahui memiliki
baik aktivitas metilasi de novo dan aktivitas pemeliharaan (activity maintenance), meskipun aktivitas
de novo jauh lebih lemah dibandingkan aktivitas
pemeliharaan. Hasil penelitian memperlihatkan
pentingnya metilasi DNA dalam perkembangan
yang normal.
Demetilasi DNA dapat terjadi secara aktif oleh
suatu enzim dengan aktivitas demetilasi, atau secara pasif melalui beberapa kali replikasi pada saat
tidak terdapat aktivitas metiltransferase pemeliharaan. Terdapat bukti-bukti bahwa kedua proses ini
terjadi. Demetilasi aktif terjadi secara predominan
pada kromosom dalam zigot yang diwariskan secara paternal sedangkan kromosom yang diwaris-
kan secara maternal mengalami demetilasi pasif
pada tahap pembelahan berikutnya.
Dalam konteks epigenetik, konsekuensi penting dari metilasi DNA adalah inaktivasi gen (gen
silencing/inactivity). Seperti diketahui bahwa regulasi ekspresi gen memerlukan faktor transkripsi
yaitu protein spesifik yang mengikat DNA promotor. Inaktivasi terjadi ketika faktor transkripsi tidak
dapat mengikat DNA yang termetilasi. Inaktivasi
akibat metilasi bahkan dapat terjadi pada keseluruhan kromosom (Gambar 2 dan 3). Meskipun metilasi DNA memiliki peran penting dalam inaktivasi gen, mekanismenya tidak terlepas dari adanya
peran modifikasi histon ataupun varian histon
(Hsieh dan Fischer, 2005). Secara umum, regulasi
ekspresi gen melibatkan asetilasi histon oleh HATs
(histon acetyl transferases) yaitu penambahan grup
COCH3 pada histon. Asetilasi berfungsi menguraikan struktur kromosom yang padat sehingga kodekode pada rantai DNA dapat ditranskripsikan. Sebaliknya, terjadinya deasetilasi histon oleh deasetilase (protein yang membuang gugus metil dari
histon) atau HDACs (histone deacetylases) akan
memadatkan kromosom kembali. Dengan demikian, bagian-bagian DNA yang terkait dengan wilayah histon yang terdeasetilasi tidak dapat ditranskripsikan (silent) (Hsieh dan Fischer, 2005). Ilustrasi asetilasi tersaji pada Gambar 4.
Mekanisme inaktivasi gen lainnya melibatkan
adanya non-coding RNA. Akhir-akhir ini, para
peeliti telah mengalihkan perhatian mereka pada
98% DNA sampah (junk DNA) pada organisme
tingkat tinggi yang memiliki mekanisme genomik
baru dalam mengeset gen untuk ’on’dan ’off’ selama perkembangan normal dan regulasi pemrosesan
mRNA. Mekanisme kontrol tersebut adalah nonprotein-coding RNAs (ncRNAs) yang secara
umum berfungsi dalam dua cara yaitu:
1. terlipat dalam cara 2- dan 3-dimensional, RNA
tersebut menunjukkan fungsi yang sama dan
analog sebagai faktor protein seperti mengkatalisis reaksi kimia (ribozim) atau membentuk
kantong pengikat untuk molekul (riboswitches),
2. Sebagai sinyal digital untuk DNA, RNA dan
protein melalui kapasitas perpasangan basa
komplementernya (Mattick, 2004).
Lima dari sembilan ribozim alami yang telah
dikenal mengkatalisis pemotongan sendiri (selfcleavage) dengan menggunakan suatu reaksi transfer fosforester internal. Selfsplicing in-trons membantu proses mRNA matang (mature) dengan cara
mengaktifkan baik sambung-an cis- dan trans- pada bakteri, virus, kloroplas tanaman, dan mitokon-
53
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007
dria pada eukariot (Sturm dan Campbell, 1999).
Riboswitches adalah porsi non-coding yang panjang dari ber-bagai mRNAs yang mengkontrol
ekspresi gen dengan cara melipat ke reseptor pada
molekul lingkungan spesifik. Mereka terlibat da-
lam mekanisme regulasi yang berbeda seperti inhibisi inisiasi translasi dan atenuasi (mengurangi)
ba-ik transkripsi ataupun translasi. Hal ini mengakibatkan aktivasi ataupun represi dari ekspresi
gen.
Gambar 2. Metilasi pada CG island.
Gambar 3. Inaktivasi keseluruhan kromosom (inactivation of entire chromosom)
Gambar 4. Asetilasi histon.
54
Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.
Terdapat diversitas non-coding RNAs yang luas dengan fungsi digital. Grup yang terbesar adalah
kisaran RNAs kecil yang menginaktifkan ekspresi
berbagai gen dengan cara menghancurkan mRNA
ataupun dengan mempengaruhi translasinya. RNA
interference (RNAi) melalui small interfering
RNAs (siRNAs) rantai ganda telah terimplikasi pada berbagai proses berbeda yang mencakup regulasi temporal ekspresi gen perkembangan, pencegahan mobilisasi transposon, dan suatu mekanisme
ketahanan terhadap infeksi virus (Novina dan
Sharp, 2004). Ribuan RNA mikro (miRNA) telah
diidentifikasi baik pada vertebrata maupun invertebrata. RNA tersebut mengikat faktor transkripsi
spesifik mRNAs untuk menghambat translasi.
RNAmikro tersebut meregulasi sedikitnya sepertiga gen-gen manusia yang terlibat dalam proliferasi dan kematian sel, waktu perkembangan, atau pemolaan sistem saraf (Ambros, 2004).
Secara umum, regulasi yang dimediasi oleh
RNA terlibat dalam berbagai proses-proses yang
berbeda seperti replikasi kromosom, regulasi transkripsi (berkaitan dengan inaktivasi gen), pemrosesan mRNA, penyambungan (splicing) dan modifikasi, transpor dan stabilitas mRNA, translasi, degradasi dan translokasi protein, sistem imunitas
genom, remodelling kromatin, DNA dan histon
metilasi, yang secara bersama-sama fungsi-fungsi
tersebut membenarkan pernyataan bahwa regulasi
yang dimediasi RNA adalah ”sistem regulasi digital yang paralel” (Mattick, 2004).
Dalam konteks mekanisme inaktivasi gen (silencing gene), terdapat hasil-hasil penelitian yang
menyatakan bahwa metilasi DNA dan histon bergantung pada aktivitas RNAi. Lippman et al.
(2004) sebagaimana dikutip oleh Hsieh dan
Fischer (2005) melaporkan bahwa pada knob hk4s
pada Arabidopsis terdapat level dimetilasi H3K9
dan metilasi DNA yang tinggi. Distribusi metilasi
H3K9 berkorelasi signifikan dengan lokasi elemen
transposabel di mana ini menunjukkan bahwa formasi heterokromatin ditentukan oleh adanya elemen transposabel elemen. DDM1 memiliki peran
krusial dalam mengkontrol inaktivasi heterokromatin karena pada mutan ddm1 tidak terdapat metilasi
DNA dan H3K9. Metilasi DNA dan H3K9 digantikan dengan metilasi H3K4 yang seragam dengan
reaktivasi yang bersamaan dengan beberapa elemen transposabel. Melalui hipotesis bahwa siRNA
(small interfering RNA) memiliki target elemen
transposabel untuk metilasi H3K9, Hsieh dan
Fischer (2005) mengidentifikasi bahwa sumber
utama siRNAs yang komplementer terhadap wilayah hk4s berasal dari elemen transposabel. Oleh
karena itu, tanskripsi elemen transposabel memi-
liki target untuk metilasi histon dan DNA dan formasi kromatin. Lebih jauh lagi, elemen transposabel dengan siRNAs yang sesuai adalah elemen
yang secara khusus direaktivasi dengan latar belakang ddm1. Hal ini menyatakan bahwa DDM1 dipandu oleh siRNAs (Lippman et al., 2004 sebagaimana dikutip oleh Hsieh dan Fischer, 2005).
Genomic imprinting
Imprinting adalah mekanisme regulasi ekspresi
gen epigenetik di mana satu dari dua kopi gamet
tetua terekspresi sedangkan yang lainnya tidak
(Plass dan Soloway, 2002; Holliday, 2005). Dengan kata lain, aktivitas suatu gen dimodifikasi
dengan bergantung pada jenis kelamin tetua yang
mentransmisikannya dan dalam hal ini gamet jantan dan betina memiliki epigenotipe yang berbeda
(Holliday, 2005). Gen-gen imprinted saling melengkapi satu sama lain dalam zigot, sehingga perkembangan menjadi normal. Sebaliknya, dua genom yang berasal dari jantan, atau dua genom
yang berasal dari betina akan menghasilkan embrio
yang abnormal. Gambar 5 mengilustrasikan bahwa
imprinting ekpresi genom pada progeni merupakan
ekspresi monoalelik sedangkan Gambar 6 mengilustrasikan maternal imprinting.
Pada mamalia, gen-gen imprinted biasanya dijumpai pada klaster kromosom dan mungkin berkaitan dengan metilasi DNA pada area kontrol
yang bertindak sebagai cis (cis acting control regions). Karena metilasi DNA dan metilasi histon
terkait erat, dapat dikatakan bahwa struktur kromatinlah yang pada akhirnya menentukan kondisi
”on” dan ”off” suatu gen imprinted (Hsieh dan
Fischer, 2005).
Gambar 5. Gen imprinted berasal dari salah sa-tu
tetua.
Terdapat bukti bahwa metilasi DNA berperan
dalam gen mprinting pada angiosperm. Tanaman
mengandung de novo dan gen-gen pemeliharaan
metiltransferase. Pada Arabidopsis, terdapat tiga
kelas metil transferase yaitu famili MET1 (metiltransferase), famili CMT (chromo-metilase), dan
famili DRM (domain rearrange metiltransferase)
(Gehring et al., 2004). MET1, atau Dnmt1 (homolog pada mamalia) adalah metiltransferase peme-
55
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007
liharaan yang predominan. Mutan met1 telah mereduksi metilasi CpG dan CpNpG pada ulangan
sentromerik (centro-meric repeats), ulangan gen
rDNA, dan sekuen gen kopi tunggal (single-copy
sequence gene) (Kankel et al., 2003).
Studi-studi terakhir mengenai hubungan antara
metilasi DNA pada dua gen Arabidopsis yang imprinted menunjukkan bahwa pada kedua gen MEA
(MEDEA) dan FWA yang imprinted di endosperm,
hanya alel maternal yang aktif sedangkan alel paternalnya inaktif (Kinoshita et al., 1999). Gen
FWA yang pada mulanya diidentifikasi dari mutan
epigenetik yang berhubungan dengan ulangan hipometilasi yang diwariskan yang berada di situs
transkripsi awal (faktor transkripsi) (Kinoshita et
al., 1999; Hsieh dan Fischer, 2005). Sedangkan
gen MEA adalah gen grup polycomb yang mengkode protein polycomb SET pada Arabidopsis
(Kinoshita et al., 1999; Choi et al., 2004). SET
adalah singkatan yang berasal dari tiga nama gen
yang berbagi (share) 130 motif asam amino. Gengen tersebut adalah Suppressor of position effect
variegation gen Su(var)3-9, Enhancer of zeste
polycomb group gen E(z), dan Trithorax gene trxG (Jenuwein et al., 1998 sebagaimana dikutip oleh
Kinoshita et al., 1999). Pada mamalia, serangga
dan fungi, protein domain polycomb SET telah
terbukti meregulasi transkripsi gen dengan berpartisipasi dalam pembentukan kompleks pada situs
spesifik dalam genom. Pada Arabidopsis, MEA
berfungsi sebagai supressor bagi perkembangan
endosperm (Kiyosue et al., 1999).
Gambar 6. Maternal imprinting.
Gambar 7. Modifikasi histon dalam kromatin
56
Sosiawan: Metilasi DNA dan Genomic Imprinting.
Ekspresi alel MEA dan FWA endosperm dikontrol oleh gen DEMETER (DME), gen yang memegang peran penting dalam regulasi gen imprinting
pada Arabidopsis (Kinoshita et al., 1999; Choi et
al., 2004). DME mengaktifkan ekspresi alel MEA
maternal yang imprinted dengan mengkode suatu
protein baru yang besar dengan suatu domain
DNA glycosylase. DNA glycosylase adalah enzim
khusus dengan berat molekul rendah (200-300 aa)
yang bertanggung jawab untuk mengenali kerusakan basa (base lesion) di genom dan juga bertanggung jawab untuk menginisiasi penghilangan basa.
Setelah penghilangan basa, DNA lebih lanjut diproses melalui aksi endonuclease, DNA polimerase, dan DNA ligase (Choi et al., 2004). DME beraksi secara langsung pada promoter MEA di mana
ekspresi DME menghasilkan nick pada promoter
MEA. Nick memperlihatkan terjadi-nya proses
penghilangan basa (base excision). Mutasi pada
DME disupresikan oleh mutasi pada MET1. Supresi ini beraksi pada lokus MEA secara spesifik pada
gametofit betina, menghubungkan antara metilasi
DNA dan regulasi imprinting MEA oleh DME. Tiga wilayah dari promoter MEA mengalami metilasi
DNA, dan metilasi ini direduksi pada biji mutan
met1 (Hsieh dan Fischer, 2005). Namun demikian,
masih belum diketahui apakah metilasi promoter
MEA meregulasi ekspresi MEA secara langsung.
Bagaimana DME mengatasi supresi MEA yang
dimediasi oleh MET1 juga masih belum diketahui.
Salah satu kemungkinannya adalah bahwa DME
bisa mengaktifkan MEA dengan membuang residu
C sitosin yang termetilasi, seperti yang diperlihatkan oleh gen semacam DME (DME-like gene),
Repressor of Silencing 1 (ROS1), yang dapat
menghilangkan 5’-metilsitosin secara in vitro
(Gong et al., 2002).Perbedaan struktur kromatin
antara alel paternal dan maternal telah menjadi fokus dalam penelitian imprinting pada mamalia dan
begitu pula pada tanaman. Dalam mekanisme imprinting metilasi DNA dan struktur kromatin sangat berhubungan. Metilasi histon pada histon
H3Lys 9 berhubungan dengan kromatin inaktif.
Pada Neurospora, metilasi sitosin DNA ditiadakan/dihapuskan dalam mutan metiltransferase H3
histon (Tamaru dan Selker, 2001). Pada Arabidopsis, KRYPTONITE/KYP (metiltransferase H3 histon spesifik untuk Lys 9) (Gambar 7), diperlukan
untuk metilasi CpNpG oleh CMT3 (Jackson et al.,
2002). Decrease in DNA Methylation (DDM1) dan
KYP dibutuhkan untuk metilasi H3 K9 pada ulangan sentromerik, retrotransposons (Johnson et al.,
2002) dan knob heterokromatin (Gendrel et al.,
2002). DDM1 mengkode protein remodelling kromatin yang bergantung pada ATP (ATP-dependent
chromatin-remodelling protein) yaitu famili yang
sama dengan SWI2/SNF2 (Hsieh dan Fischer,
2005). DDM1 rekombinan dapat berikatan dengan
DNA bebas dan nukleosom, yang merangsang aktivitas ATPase, dan juga dapat menginduksi perpindahan oktamer histon di sepanjang DNA melalui suatu ca-ra yang bergantung dengan ATP.
DDM1 diidentifikasi sebagai suatu mutasi yang
mereduksi 5-metilsitosisn pada level hingga 70%
(Vongs, 1993) di mana hal ini disebabkan oleh pengaruh enzim remodelling kromatin pada DNA
metilasi.
KESIMPULAN
Pada level molekuler yang paling kecil, fenotipe yang berasal dari hasil interpretasi tertentu dari suatu genotipe, dibangun melalui proses-proses
epigenetik. Mekanisme terjadinya proses epigenetik melibatkan dinamika struktur kromatin (seperti
metilasi histon, deasetilasi histon, dll.), metilasi
DNA, ataupun kombinasi keduanya. Terjadinya
proses epigenetik tidak lepas dari proses aktivasi
(enhancing) dan ianktivasi (silencing) gen yang
mekanismenya melibatkan proses-proses seperti
metilasi DNA dan histon, modifikasi histon (histon varian), non-coding RNAs. Proses-proses tersebut juga mengakibatkan terjadinya genomik imprinting yaitu regulasi ekspresi gen epigenetik di
mana modifikasi aktivitas gen bergantung pada
jenis kelamin parentalnya. Mekanisme pewarisan
epigenetik adalah transmisi interpretasi informasi
DNA dan bukan sekuens DNA itu sendiri, sehingga yang diwariskan adalah lebih merupakan fenotipenya daripada genotipnya. Dari sisi fenotipe, suatu organisme tidak hanya mewariskan sumberdaya seperti sekuens DNA tetapi lebih cenderung
mewariskan ’hubungan tertentu’ sumberdaya tersebut dengan lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ambros, V. 2004. The function of animal microRNAs.
Nature: 350-355.
Choi, Y., J. J. Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer.
2004. An invariant aspartic acid in the DNA
Glycosylase domain of DEMETER is necessary for
transcriptional activation of the imprinted MEDEA
gene. PNAS 101: 7481-7486.
Gehring, M., Y. Choi dan R. L. Fischer. 2004.
Imprinting and seed development. The Plant Cell 16:
203-213.
57
Jurnal Agronomi Vol. 11 No. 1, Januari – Juni 2007
Gendrel, A.-V., Z. Lippman, C.Yordan, V. Colot dan R.
A.
Martienssen.
2002.
Dependence
of
heterochromatic histone H3 methylation patterns on
the Arabidopsis gene DDM1. Science 297: 18711873.
Gong, Z., T. Morales-Ruiz, R. R. Ariza, T. Rolda´nArjona, L. David dan J. K. Zhu. 2002. ROS1, a
repressor of transcriptional gene silencing in
Arabidopsis, encodes a DNA glycosylase/lyase. Cell
111: 803-814.
Holliday, R. 2005. DNA methylation and epigenotypes.
Biochemistry 70: 500-504.
polycomb gene in the Arabidopsis endosperm. The
Plant Cell 11: 1945-1952.
Kiyosue, T., N. Ohad, R. Yadegari, M. Hannon, J.
Dinneny, D. Wells, A. Katz, L. Margossian, J. J.
Harada, R. B. Goldberg dan R. L. Fischer. 1999.
Control of fertilization-independent endosperm
development by the MEDEA Polycomb gene in
Arabidopsis. Proceedings of National Academy of
Science, USA 96: 4186-4191.
Mattick, J. S. 2004. RNA regulation: a new genetics?
Nature Reviews Genetics 5: 316-323.
Hsieh, T. F. dan R. L. Fischer. 2005. Biology of
chromatin dynamics. Annual Review of Plant
Biology 56: 327-351.
Plass, C. dan P. D. Soloway. 2002. DNA methylation,
imprinting, and cancer. European Journal of Human
Genetics 10: 6-16.
Johnson, L. M., X. Cao dan S. E. Jacobsen. 2002.
Interplay between two epigenetic marks: DNA
methylation and histone H3 lysine 9 methylation.
Current Biology 12: 1360-1367.
Stotz, K. 2005. With 'genes' like that, who needs an
environment? Postgenomic argument for the
'ontogeny of information'. Philosophy of Science -: -
Kankel, M. W., D. E. Ramsey, T. L. Stokes, S. K.
Flowers, J. R. Haag, J. A. Jeddeloh, N. C. Riddle, M.
L. Verbsky dan E. J. Richards. 2003. Arabidopsis
MET1 cytosine methyltransferase mutants. Genetics
163: 1109-1122.
Kinoshita, T., R. Yadegari, J. J. Harada, R. B. Goldberg
dan R. L. Fischer. 1999. Imprinting of MEDEA
58
Tamaru, H. dan E. Selker. 2001. A histone H3
methyltransferase controls DNA methylation in
Neurospora crasse. Nature 414: 277-283.
Vongs, A., Kakutani, T., Martienssen, R.A.,and
Richards, E.J. 1993. Arabidopsis thaliana DNA
methylation mutants. Science 260:1926-1928. 1993.
Arabidopsis thaliana DNA methylation mutants.
Science 260: 1926-1928.
Download