1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peranan pertanian dan industri dalam pembangunan selalu menjadi topik diskusi politik dan kebijakan pembangunan yang hangat di negara berkembang, bahkan di negara maju. Sektor pertanian yang kokoh adalah syarat perlu (necessary condition) bagi keberhasilan transformasi struktural perekonomian menuju ke industrialisasi terutama pada negara berkembang. Sedangkan untuk negara maju menganggap sektor industri merupakan motor penggerak bagi pertumbuhan perekonomian karena mampu memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor lain seperti pertanian (Priyarsono, 2011). Namun, hal yang sering terlupakan dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian dari beberapa sektor tersebut, nilai lingkungan hidup tidak diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan sehingga pembangunan sektor pertanian dan sektor industri tidak lagi memperhatikan opportunity cost. Akibatnya, pada tahun-tahun belakangan ini, terjadi peningkatan konsentrasi polutan atmosfir global yaitu emisi gas rumah kaca, mengancam kerusakan lingkungan yang parah pada lapisan ozon. Gas rumah kaca (GRK) menjadi salah satu topik lingkungan yang amat penting akhir-akhir ini. Dampaknya pada perubahan iklim menjadikannya salah satu isu permasalahan lingkungan di dunia. Sifat gas rumah kaca adalah menaikkan suhu bumi dengan cara menangkap radiasi gelombang pendek dari matahari dan memantulkannya ke bumi. Gas rumah kaca juga memantulkan radiasi gelombang panjang ke bumi, sehingga bumi seakan-akan mendapatkan pemanasan dua kali. Dampak dari gas rumah kaca adalah pemanasan global dan 2 efek rumah kaca. Sedangkan dampak turunan dari pemanasan global salah satunya adalah perubahan iklim. Naiknya suhu rata-rata bumi adalah salah satu bukti telah terjadi perubahan iklim. Pemanasan global ini pun mendapatkan radiasi matahari tambahan lagi karena terdapatnya lubang ozon. Penipisan ozon mengakibatkan radiasi sinar ultraviolet dari matahari yang masuk ke bumi semakin besar intensitasnya (Trismidianto, et al , 2008). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (2007), volume emisi gas rumah kaca antropogenik di lingkungan global dari yang terbesar sampai yang terkecil yaitu emisi karbondioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan gas lainnya. Gas lainnya yang mempunyai sifat rumah kaca yaitu sulfurheksaflorida (SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidroflorokarbon (HFCs). 7.90% 1% 14.30% Karbondioksida Metana Nitrogen Oksida Gas Lainnya 76.70% Sumber: Intergovernmental Panel on Climate Change (IIPC), 2007 Gambar 1.1. Persentase Volume Gas Rumah Kaca Antropogenik Global Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan memang telah menjadi sumber kontroversi yang cukup besar dalam waktu yang cukup lama. Sejumlah penelitian telah menganalisis hubungan antara pendapatan per kapita yang mencerminkan kesejahteraan masyarakat di negara tertentu dengan 3 beberapa indikator lingkungan dan berbagai hasil telah diperoleh, termasuk dalam beberapa kasus bukti dari hubungan terbalik-U yang dikenal dengan konsep Environmental Kuznets Curve (EKC). Sebuah konsep yang diciptakan oleh Kuznets dengan suatu hipotesisnya mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dengan lingkungan. Dalam hipotesisnya dikatakan bahwa pada awal perkembangan ekonomi, industri banyak melepaskan bahan polutan ke udara. Industri di negara-negara miskin dan berkembang yang berpenghasilan per kapita rendah atau pada fase awal pertumbuhan industrialisasi sangat besar fokusnya pada bagaimana ekonomi berkembang pesat dan banyak menyerap tenaga kerja. Namun, pada tingkat pendapatan tertentu terjadi titik balik. Pada fase ini kesadaran pentingnya kualitas lingkungan sudah mulai berkembang dan terdapat income yang cukup untuk melakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan. Pada bulan Juni 1992, Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Converence on Environment and Development/ UNCED) yang dikenal dengan Earth Summit yang diadakan di Rio de Jenairo, Brasil, mempertemukan 118 pemimpin negara-negara industri dan negara berkembang. Pertemuan tersebut menghasilkan Agenda 21, sebuah cetak biru 800 halaman untuk membersihkan lingkungan global dan mendorong pembangunan yang ramah lingkungan. Pertemuan selanjutnya diadakan pada bulan Desember 1997 di Kyoto, Jepang, yang menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenal dengan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, dibuka untuk penandatanganan perjanjian pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 4 2004. Persetujuan ini menghasilkan komitmen oleh 141 negara pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005 untuk mengurangi emisi karbon dan lima gas rumah kaca lainnya atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Menurut Todaro (2000), secara keseluruhan penduduk di negara-negara berkembang yang merupakan tiga perempat populasi dunia hanya menghasilkan sepertiga emisi CO2 yang berasal dari industri. Tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi negara-negara maju yang jauh lebih tinggi menyebabkan emisi CO2 yang mereka hasilkan jauh lebih tinggi daripada yang ada di negara-negara berkembang. Meskipun negara-negara berkembang relatif lebih sedikit menimbulkan emisi CO2 dari produksi industri, akan tetapi negara-negara berkembanglah yang paling bertanggung jawab atas adanya emisi CO2 dalam kategori yang kedua. Pembakaran hutan-hutan untuk membuka lahan-lahan pertanian baru, yang tentu saja menimbulkan emisi gas rumah kaca, hampir seluruhnya terjadi di negara-negara berkembang. Berdasarkan Tabel 1.1, GDP Cina sebesar 4,521.8 US$ milyar dan apabila dibandingkan dengan emisi gas rumah kacanya, Cina merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar dibanding 9 negara berkembang lainnya yang ditinjau dari emisi CO2, CH4, dan N2O yang dihasilkan negara tersebut. Cina merupakan negara dengan pertumbuhan industrinya sangat pesat dan memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia menjadi konsumen energi kedua terbesar setelah Amerika Serikat dengan konsumsi sebesar setara 1,386.2 juta ton minyak atau sekitar 13,6 persen dari total energi dunia (International Energy Agency, 2011). 5 Sektor energi, khususnya dengan kegiatan pembakaran bahan bakar fosil terutama batubara, minyak bumi dan gas bumi adalah penyebab utama emisi CO2. Sumber utama penghasil emisi CO2 di Cina berasal dari kegiatan pembakaran bahan bakar batubara. Produksi batu bara di Cina merupakan yang terbesar di dunia yang merupakan 36.2 persen dari total produksi batubara di seluruh dunia (International Energy Agency, 2011). Sumber utama penghasil emisi CH4 dan N2O di Cina dapat dihasilkan oleh sektor pertanian melalui sawah-sawah tergenang, pemanfaatan pupuk, pembakaran sisa-sisa tanaman, dan pembusukan kotoran ternak. Sama halnya dengan Cina yaitu Indonesia, India, dan Brasil yang memiliki jumlah penduduk yang besar, konsumsi energi yang cukup besar serta kontribusi sektor pertanian dan industri terhadap GDP yang cukup tinggi menghasilkan emisi gas rumah kaca yang relatif tinggi pula. Tabel 1.1. Indikator Makroekonomi dan Perbandingan Emisi Total Gas Rumah Kaca di 10 Negara Berkembang, Tahun 2008 Negara Indonesia Thailand Cina India Brasil Argentina Meksiko Mesir Afrika Selatan Turki GDP (US$ milyar) 510.2 272.6 4521.8 1215.9 1652.6 326.6 1094.4 162.8 275.2 730.3 CO2 (Kt) CH4 (Kt) N2O (Kt) 406029 285733 7031916 1742698 393220 192378 475834 210321 435878 283980 10282.7 4650.5 73200.9 28874.5 20069.5 4661.7 5505.2 2476.3 3201.6 3602.4 328.6 68.7 1764.4 763.6 618.9 174.9 142.3 88.4 75.9 110.9 Share Sektor Industri pada GDP 48.0 44.0 47.4 28.2 27.9 32.2 36.7 37.5 32.6 27.6 Share Sektor Pertanian pada GDP 14.4 11.5 10.7 17.5 5.9 9.8 3.6 13.2 3.2 8.6 Sumber: World Development indicator, EDGAR, 2011 Berdasarkan Tabel 1.2, GDP yang dihasilkan Amerika Serikat sebesar 14,296.9 US$ milyar apabila dibandingkan dengan jumlah emisi GRK yang 6 dihasilkan, Amerika Serikat merupakan negara penghasil emisi GRK terbesar dibanding 9 negara maju lainnya yang ditinjau dari emisi CO2, N2O, dan CH4 yang dihasilkan negara tersebut. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar energi dunia yang mencapai setara 2,331.6 juta ton minyak atau memakan lebih dari 22.8 persen dari seluruh konsumsi energi dunia. Sama halnya dengan Amerika Serikat yaitu Jepang dan Kanada sebagai konsumen terbesar energi dunia yang keempat dan ketujuh yang memakan lebih dari 5 persen dan 3 persen secara berturut-turut dari seluruh konsumsi energi dunia (International Energy Agency, 2011). Sumber utama penghasil emisi CO2 dan CH4 di Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada berasal dari proses produksi dan hasil pembakaran minyak bumi dan gas alam yang digunakan oleh sektor industri. Tabel 1.2. Indikator Makroekonomi dan Perbandingan Emisi Total Gas Rumah Kaca di 10 Negara Maju, Tahun 2008 Negara AS Kanada Jepang Korea Selatan Australia Selandia Baru Spanyol UK Italia Perancis GDP (US$ milyar) 14296.9 1502.6 4879.8 931.4 1039.4 117.8 1593.9 2657.5 2296.5 2831.8 CO2 (Kt) CH4 (Kt) N2O (Kt) 5461014 544091 1208163 509170 399219 33094 329286 522855 445119 376986 26085.6 5135.7 1951.9 1479.7 5821.1 1313.1 1737.3 2913.1 1780.5 3947.2 1036.1 137.9 91.0 1841.5 186.0 43.1 82.5 94.4 71.5 153.6 Share Sektor Industri pada GDP 21.3 29.8 28.3 36.4 29.1 22.9 28.4 22.6 26.9 20.4 Share Sektor Pertanian pada GDP 1.2 1.8 1.4 2.6 2.5 4.5 2.6 0.8 2.0 2.0 Sumber: World Development indicator, EDGAR, 2011 Berdasarkan Tabel 1.2, Australia menghasilkan emisi CH4 kedua terbesar setelah Amerika Serikat dibandingkan negara maju lainnya. Australia yang merupakan negara dengan pertumbuhan pertanian terutama peternakan sebagai 7 komoditas unggulannya sehingga memungkinkan sebagai sumber penghasil emisi CH4. Sumber utama emisi CH4 di Australia dapat dihasilkan melalui hewanhewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. Berdasarkan Tabel 1.1 dan 1.2, dapat kita lihat bahwa dengan semakin tingginya GDP bisa saja membuat terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang ditinjau dari meningkatnya tingkat emisi gas rumah kaca yaitu CO2, CH4, dan N2O. Akan tetapi, faktor yang mempengaruhi peningkatan emisi GRK tidak datang dari sektor industri dan pertanian saja. Sektor lain juga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya sumbangan emisi GRK suatu negara. Seperti contohnya peningkatan jumlah kendaraan dan pemakaian listrik yang bisa menyebabkan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Meskipun biaya lingkungan yang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan ekonomi sekarang ini masih ramai diperdebatkan, namun semakin banyak ahli ekonomi pembangunan yang sepakat bahwa pertimbangan dan perhitungan lingkungan harus dijadikan sebagai bagian integral dari setiap ini inisiatif kebijakan. Tidak dimasukkannya biaya-biaya lingkungan pada kalkulasi GNI merupakan salah satu penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan. Secara sadar dapat dikatakan modernisasi dan pembangunan telah banyak membawa bencana bagi lingkungan hidup dan kemanusiaan, dimana dalam hal ini lingkungan hidup ditafsirkan secara konvensional. Lingkungan hidup harus dipandang dan diperlakukan sebagai subyek, dikelola untuk kehidupan berkelanjutan bukan semata-mata untuk pertumbuhan pembangunan tetapi juga harus memperhatikan kualitas hidup manusia. 8 Berdasarkan pada apa yang telah dipaparkan sebelumnya, dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca global, analisis mengenai dampak pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan industri negara berkembang dan negara maju terhadap emisi gas rumah kaca dirasakan cukup penting agar dapat mengurangi emisi gas rumah kaca global. Oleh karena itu relevan dilakukan penelitian dengan judul “Dampak Pertumbuhan Ekonomi di Sektor Pertanian dan Industri terhadap Degradasi Lingkungan (Studi Kasus: Negara Berkembang dan Maju)” mengingat semakin meningkatnya kerusakan lingkungan global yang ditimbulkan akibat emisi gas rumah kaca. 1.2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa terdapat permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan degradasi lingkungan ditinjau dengan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Besarnya emisi gas rumah kaca di dunia terutama di negara-negara berkembang dan negara-negara maju merupakan isu yang penting akhir-akhir ini mengingat semakin banyaknya protes terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Pembangunan yang sejatinya hanya untuk mengejar angka PDB saja kurang memperhatikan dampak dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Akibat yang ditimbulkan oleh sektor industri dan pertanian yang menghasilkan polutan yang jumlahnya sangat besar tentunya akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Tidak semua sektor industri dan pertanian yang memiliki rasa kepedulian terhadap kualitas lingkungan terkait emisi gas rumah kaca. Namun, apabila sektor industri dan pertanian tersebut mulai beralih pada industri dan pertanian yang ramah 9 lingkungan, bukan tidak mungkin akan menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga tercipta kualitas lingkungan yang lebih baik di masa-masa yang akan datang. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Apakah hubungan pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju signifikan dengan konsep Environmental Kuznets Curve? 2. Bagaimana dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju? 3. Bagaimana perbandingan besaran nilai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di Negara Berkembang dan Negara Maju? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengestimasi signifikansi dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju dengan konsep Environmental Kuznets Curve. 2. Menganalisis dampak pertumbuhan ekonomi di sektor industri dan pertanian terhadap degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca di Negara Berkembang dan Negara Maju. 10 3. Mengestimasi perbandingan besaran nilai emisi gas rumah kaca yang dihasilkan di Negara Berkembang dan Negara Maju. 1.4. Manfaat Penelitian Skripsi ini bermanfaat bagi pemerintah, ekonom, masyarakat, dan bagi kalangan akademisi. Manfaat-manfaat tersebut diantaranya: 1. Pemerintah akan semakin mendorong kebijakan yang tepat dalam membangun kondisi makroekonomi dengan mempertimbangkan kualitas lingkungan. 2. Membantu para ekonom untuk bersikap lebih kritis terhadap permasalahan yang ada, umumnya terkait dengan pembangunan industri dan pertanian di negara-negara berkembang dan maju, dan khususnya yang terkait dengan isu lingkungan yaitu emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang dan maju dalam pembuatan kebijakan nasional. 3. Masyarakat dapat mengetahui dan menyadari mengenai permasalahan lingkungan yaitu emisi gas rumah kaca terutama di kawasan negara-negara berkembang dan negara maju. 4. Kalangan akademisi dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan menjadikan skripsi ini sebagai rujukan terwujudnya penelitian selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis dampak pertumbuhan sektor pertanian dan industri pada negara berkembang dan maju terhadap emisi gas rumah kaca. Pertumbuhan sektor pertanian dan industri dilihat dengan menggunakan data GDP 11 riil (harga konstan tahun dasar 2000) yaitu GDP riil pertanian dan GDP riil industri, sedangkan degradasi lingkungan yang diukur dengan emisi gas rumah kaca dilihat dengan menggunakan data emisi karbondioksida (CO2) , emisi metana (CH4), dan emisi nitrogen oksida (N2O) pada tiap-tiap negara berkembang dan maju. Data yang digunakan merupakan data tahunan dan sekunder pada rentang waktu antara tahun 1980-2008. Data dalam kajian penelitian ini adalah data dari negara-negara berkembang dan maju. Negara-negara yang merepresentasikan sebagai negara berkembang adalah Indonesia, Thailand, Cina, India, Brasil, Argentina, Meksiko, Mesir, Afrika Selatan, dan Turki. Sedangkan, negara-negara yang merepresentasikan sebagai negara maju adalah Amerika Serikat, United Kingdom, Kanada, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, Spanyol, Italia, dan Perancis. Pemilihan sampel data tersebut sebanyak 10 negara dari negara-negara berkembang dan 10 negara dari negara-negara maju karena adanya keterbatasan data yang tersedia.