BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini mengkaji

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Penelitian ini mengkaji tentang konstruksi identitas nasionalisme masyarakat
perbatasan di salah satu kawasan pulau terdepan di kepulauan Indonesia. Wacana
nasionalisme kerap kali menjadi isu yang rentan dimainkan, dinegosiasikan, dan
dibicarakan di kawasan perbatasan. Hal ini dikarenakan masyarakat di kawasan
perbatasan memiliki karakteristik yang berbeda serta khas jika dibandingkan
dengan masyarakat yang tidak berasal dan tinggal di kawasan perbatasan.
Masyarakat perbatasan cenderung memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi
untuk berinteraksi dan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat lain yang
berbeda latar belakang dan kewarganegaraan. Mereka berinteraksi secara sosiobudaya, ekonomi, hingga persoalan-persoalan politik. Interaksi yang cukup intens
ini melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dengan masyarakat
non-perbatasan. Misalnya, mulai dari penggunaan bahasa asing (bilingual atau
multilingual), menggunakan mata uang negara sendiri sekaligus dari negara lain,
mengkonsumsi produk-produk negeri luar, keluar-masuk tinggal dan bekerja di
negara tetangga, dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut sudah menjadi
kegiatan keseharian pada masyarakat perbatasan yang memang tak bisa ditampik
dan sudah dilakukan sejak lama, turun temurun oleh masyarakat lokal.
1
Di Indonesia, problema masyarakat perbatasan hadir dengan beragam bentuk.
Mulai dari persoalan kriminalitas seperti perdagangan manusia (human
trafficking), perdagangan narkoba (drugs trafficking), pencurian pasir laut (illegal
mining), penyelundupan senjata (arms smuggling), perambahan hutan secara
ilegal (illegal logging), penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), dan
sebagainya. Hal ini dimungkinkan karena kondisi geografis, khususnya daerah
perbatasan negara yang berbatasan dengan laut, sangat sulit dilacak atau dipantau,
dan tidak jarang transaksi dilakukan oleh para pelaku kejahatan di laut lepas (Tim
Penyusun, 2009). Selain itu, masyarakat perbatasan juga mengalami persoalanpersoalan yang sifatnya abstrak seperti aspek sosial-budaya antara dua dan
berbagai pihak yang berbeda negara. Hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari
kebijakan negara terhadap kawasan dan masyarakat perbatasan. Syamsuddin Haris
(2014) mengatakan bahwa kontestasi juga terjadi antara negara yang
mengkonstruksi institusi dan kebijakan serta kepentingan elit politik, dengan
masyarakat yang mengkonstruksi berbagai kepentingan mereka yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat kekinian.
Daerah perbatasan Indonesia yang bersangkut paut dengan negara lain di dunia
tak lepas dari problematika perbatasan. Terlebih lagi Indonesia yang merupakan
negara kepulauan terbesar di dunia. Terletak pada dua benua besar dan dua
samudera besar (Marsetio, 2012). Pun, juga Indonesia yang berbatasan dengan
negara-negara tetangga, seperti berbatasan darat dengan tiga (3) negara: Malaysia,
Timor Leste, dan Papua Nugini. Sementara untuk perbatasan laut, berbatasan
dengan sepuluh negara: India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia,
2
Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Singapura. Posisi geopolitik Indonesia
yang berbatasan laut dengan sepuluh (10) negara asing menegaskan adanya faktor
eksternal sebagai pemicu berbagai persoalan yang memiliki implikasi luas.
Pendayagunaan daerah perbatasan khususnya laut memiliki arti penting terhadap
kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara geopolitik
dan geostrategis Indonesia merupakan kunci dalam transportasi dan komunikasi
maritim internasional sebagai Sea Lanes of Communication (SLOC) dan Sea
Lanes of Transportation (SLOT) yang merupakan aspek dinamis yang perlu terus
menerus dikelola berdasarkan perkembangan konstelasi politik. Dari perspektif
dalam negeri, ada tantangan yang harus dihadapi, misalnya isu-isu peningkatan
nasionalisme masyarakat perbatasan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(SDM), perbaikan infrastruktur, serta perbaikan kualitas hidup menjadi fokus
perdebatan yang tidak kunjung selesai. Sementara itu, keberadaan daerah
perbatasan menjadi beban tersendiri di dalam perdebatan pembangunan yang
diakibatkan oleh rentannya posisi daerah perbatasan dalam berbagai dimensi.
Tingkat migrasi ke luar negeri di daerah-daerah perbatasan sangat tinggi, bahkan
mengkhawatirkan jika melihat fakta banyaknya masyarakat daerah perbatasan
yang bekerja di luar negeri, ke negara berbatasan. Loyalitas masyarakat terhadap
negaranya selalu menjadi pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban
kebijakan substansial.
Masyarakat daerah perbatasan dinilai sangat rentan untuk „melarikan diri‟ menjadi
masyarakat negara tetangga. Di sisi lain, daerah perbatasan dinilai sebagai garda
depan yang menjadi wajah Indonesia. Daerah perbatasan merupakan benteng
3
pertahanan yang sangat menentukan, karena berhadapan langsung dengan negara
tetangga. Posisinya kemudian menjadi sentral, karena menentukan diplomasi
antara kedua negara, Indonesia dengan negara tetangga yang ditentukan oleh
keberadaan suatu daerah perbatasan. Namun demikian, wacana tampak
berkembang sepihak, karena pada tataran praktis daerah perbatasan merupakan
obyek yang tidak dimintai pendapat, sebaliknya menjadi arena perebutan
kekuasaan. Negara, dalam hal ini, tidak hanya sebagai fasilitator bagi pengadaan
dan perbaikan fasilitas publik, tetapi menjadi faktor dalam menempatkan rakyat
sebagai komoditi di dalam pembangunan daerah perbatasan. Tidak banyak
diketahui bagaimana daerah perbatasan dan masyarakat daerah perbatasan telah
mengalami berbagai „guncangan‟ dan bernegosiasi dengan semua itu.
Masyarakat daerah perbatasan bisa bangkit dan menjadi kekuatan yang penting
dalam wacana daerah perbatasan. Mereka bisa melakukan serangkaian tindakan
negosiasi dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai
bagian dari masyarakat negara. Tuntutan atas equality of citizenship merupakan
suatu yang nyata dengan menggugat keberadaan mereka bukan sebagai
masyarakat pinggiran, tetapi sebagai masyarakat paling depan yang berada di
pintu gerbang negara. Perhatian dan komitmen pemerintah sangat menunjang
eksistensi daerah perbatasan yang menghadapi persoalan yang multidimensi. Satu
hal yang harus diakui adalah bahwa posisi daerah perbatasan dan pulau terdepan
secara geografis jauh dari pusat pemerintahan, walaupun kedudukannya sangat
strategis. Daerah perbatasan merupakan daerah penyangga (safety belt)
4
diharapkan mampu menangkal infiltrasi pengaruh dari luar, dalam berbagai aspek
kehidupan (Djafar dan Fadila, 2008: 107).
Di sepanjang garis batas darat atau laut daerah suatu negara, kerap terjadi
asimilasi di daerah yang dikenal dengan frontier, daerah perbatasan yang
mendapat lebih banyak pengaruh negara asing dari seberang batas negara.
Interaksi dinamis antara dua budaya atau lebih dapat membentuk satu batas semu
dan cenderung abstrak yang berbeda letaknya secara geografis dengan batas
aslinya. Frontier ini bersifat sangat dinamis, dalam arti dapat bergeser-geser, dan
dapat dikatakan bahwa efektivitas pemerintah pusat tidak lagi mencakup seluruh
daerah kedaulatan secara penuh, melainkan dikurangi luar daerah yang sudah
dipengaruhi oleh kekuatan „asing‟ dari seberang, entah melalui politik, ekonomi,
dan sosial budaya (Sunardi, 2004). Beberapa ciri khas dari masyarakat perbatasan
di Pulau Batam yakni: masyarakatnya heterogen, tuntutan kehidupan yang lebih
keras, dan hidup di pemukiman terpencil. Implikasinya kerap terjadi kontestasi
dalam mengkonstruksi identitas mereka. Joel Migdal (2004) mengatakan bahwa
manusia mengkonstruksi dan memelihara daerah perbatasan secara abstrak, yang
membedakan antara daerah sendiri atau asing, yang termasuk kelompok atau
bukan, yang dikenal atau tidak. Abstraksi manusia menyusun keterikatan dengan
konfigurasi daerah, loyalitas yang dimiliki, dan emosi serta nafsu kelompok yang
muncul. Semua hal tersebut, selain membentuk dan memelihara keterikatan
identitas satu orang dengan yang lain, juga memisahkan keterikatan identitas
orang dalam kelompok. Berbagai bentuk daerah perbatasan dapat dikonstruksi
atau terkonstruksi oleh negara. Pada saat yang sama kelompok-kelompok sosial
5
atau masyarakat juga bisa mempunyai daerah perbatasannya sendiri, yang berbeda
dengan kelompok lain. Daerah perbatasan kelompok sosial mempunyai logika dan
identitasnya sendiri. Mereka juga mempunyai dimensi ke-identitas-an sendiri
yang berbeda dengan definisi negara.
Penelitian ini akan mengkaji konstruksi bayangan nasionalisme masyarakat
perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Pulau Batam.
Adapun alasan memilih Pulau Penawar Rindu sebagai studi kajian, yakni (1)
Pulau Penawar Rindu yang menjadi bagian dari Pulau Batam ialah sebagai daerah
perbatasan yang saat ini paling maju di Indonesia meski cukup jauh dari Jakarta;
(2) Pulau Penawar Rindu terletak pada posisi strategis: berhadapan langsung
dengan jalur pelayaran laut internasional dan berinteraksi langsung dengan dua
negara gigih macam Singapura dan Malaysia; (3) Pulau Penawar Rindu dan Pulau
Batam semakin pesat dengan perkembangan industrinya, sebagai kawasan
penyangga industri dari beberapa negara baik bagi Singapura yang dominan
maupun bagi negara lain di Eropa dan Amerika; (4) Pulau Batam sejak era
reformasi menjadi daerah pemekaran –salah satu daerah dengan kebijakan
desentralisasi asimetris1- yang statusnya berubah menjadi kabupaten di bawah
naungan Provinsi Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, sehingga
1
Desain desentralisasi yang dibangun dalam logika bahwa hubungan antara pemerintah pusat
dengan daerah tidak bisa dirumuskan secara seragam, namun harus memperhatikan masing-masing
karakteristik daerah. Bentuk umum dari desain asimetris adalah kawasan-kawasan dengan status
khusus, meskipun asimetris bermakna lebih luas dari sekedar otonomi khusus. Dengan nalar
semacam itu, sejumlah daerah menjadi „sampel‟, yaitu Aceh, DKI Jakarta, Kalimantan Barat,
Batam, DI Yogyakarta, dan Papua. Lihat Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan
Proyeksi. Laporan Akhir Penelitian dari Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL Universitas
Gadjah Mada bekerja sama dengan Yayasan Tifa. 2010.
6
memiliki perubahan sosial politik dan budaya secara signifikan yang menarik
untuk dilihat kedalamannya.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang itulah riset ini dibangun dengan rumusan penelitian
sebagai berikut.
1.2.1
Bagaimana konstruksi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di
Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam?
1.2.2
Faktor-faktor sosial-budaya dan ekonomi-politik seperti apa yang dipakai
oleh
masyarakat
perbatasan
dalam
proses
konstruksi
identitas
nasionalisme di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota
Batam?
1.3
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hal-hal sebagai berikut.
1.3.1 Menjelaskan
mendefinisikan
bagaimana
identitas
masyarakat
nasionalisme
perbatasan
memaknai
di
Penawar
Pulau
dan
Rindu,
Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
1.3.2 Menjelaskan bagaimana masyarakat perbatasan menggunakan identitas
kedaerahan (Melayu) dalam proses pemaknaan dan pendefinisian
nasionalisme tersebut di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang
Padang, Kota Batam.
7
1.4
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1.4.1 Manfaat secara teoritis, penelitian ini menerapkan teori-teori dalam studi
identitas kedaerahan dan nasional, studi tentang masyarakat perbatasan di
Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
1.4.2 Manfaat secara praktis, penelitian ini dapat menambah referensi pembaca
tentang konstruksi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di Pulau
Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
1.5
Kajian Pustaka
Isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan daerah perbatasan entah itu dari
permasalahan klasik tentang ketimpangan yang dirasakan oleh komunitas
perbatasan yang menyebabkan kecemburuan sosial di antara mereka –yang masih
satu suku bangsa tetapi dipisahkan oleh batas teritorial. Kecemburuan ini pada
akhirnya memaksa mereka untuk memerikasa kembali identitas diri mereka yang
juga berkaitan dengan identitas kebangsaan mereka yang merupakan salah satu
bagian terpenting dalam diri manusia.
Dalam studinya, Anthony Smith (1986) menggambarkan identitas budaya sebagai
a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen dasar,
seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang
merekatkan sebuah komunitas yang mendiami suatu daerah tertentu. Pada awal
sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan „negara
etnis‟. Pada awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi
8
dari batas-batas geografis sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari
negara-bangsa memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang
bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka sebagai dasar dari eksistensi sebuah
negara-bangsa.
Perbatasan sebuah negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas
tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah
etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnisitas yang sama. Oleh karena itu,
identitas bukan hanya merupakan masalah deskripsi diri, tetapi juga merupakan
askripsi sosial (social ascription), karakteristik sosial. Identitas adalah masalah
tentang kesamaan dan perbedaan, tentang personal dan sosial, tentang apa yang
dimiliki bersama dengan seseorang dan tentang apa yang membedakannya dengan
lainnya (Nicholson, 2008).
Studi tentang identitas memiliki akar sejarah yang panjang pada pendekatan
interaksionisme simbolik yang didasarkan pada pemikir-pemikir awal (Foote,
1951; Stryker, 1987). Pada saat itu diyakini bahwa suatu fenomena lebih bisa
dipahami melalui definisi individu atau interpretasi diri sendiri, orang lain, dan
bahkan situasi melalui identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada
lingkungannya, memahami isi kepalanya atau melihat dunia dari perspektif
mereka, untuk memahami mengapa mereka melakukan sesuatu dengan cara
mereka sendiri (Meltzer, Petras dan Reynolds, 1977). Pendekatan ini membawa
pemahaman bahwa terjadinya suatu tingkah laku ditentukan oleh seberapa besar
sesuatu itu bermakna untuk mereka. Dalam kerangka ini struktur sosial tidak
memainkan peran dalam pembentukan identitas karena dianggap kenyataan sosial
9
tidak memiliki pola sehingga tidak dapat dipetakan apalagi diprediksi. Di sini juga
diyakni bahwa itu sendiri berubah karena selalu dibentuk melalui interpretasi dan
tindakan dalam suatu struktur.
Pandangan kaum tradisionalis ini masih sangat terpengaruh walaupun kemudian
lahir pemikir-pemikir modern. Nelson Foote (1951) sebagai tokoh pertama sekali
menggunakan istilah identitas telah mencoba untuk memberikan pengayaan atas
pemahaman konseptual ketika ia mengatakan bahwa tujuan-tujuan telah
menentukan bagaimana seorang individu melakukan sesuatu. Ketika seseorang
ingin memiliki identitas, misalnya sebagai polisi, maka sesungguhnya telah ada
suatu struktur yang menentukan mengapa menjadi polisi itu sesuatu yang
membanggakan. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan seorang individu
tidak dapat dilepaskan dari suatu struktur yang turut mendefinisikan identitasnya.
Demikian pula proses identifikasi berlangsung dalam suatu struktur yang
memiliki serangkaian nilai dan persyaratan yang harus dipenuhi walaupun
seorang individu dapat melakukan tawar-menawar dalam hubungannya dengan
stuktur di mana ia menjadi bagian. Para ahli mengikuti pandangan ini yang
melihat identitas tidak bisa dipisahkan dari struktur yang melingkupinya. Sejalan
dengan ini Peter Burke juga mengatakan bahwa identitas diri manusia itu tidak
dipandang sebatas siapa dia tetapi identitas diri hanya bisa dijelaskan melalui
relasi-relasi sosial yang berada di sekitar aktor. Adanya relasi sosial di dalam
masyarakat pada akhisnya membentuk suatu struktur sosial yang berlaku di dalam
masyarakat (Burke, 2001).
10
Dimensi lain yang mendapatkan perhatian dalam berbagai studi identitas adalah
kebudayaan yang, seperti dikatakan Nicola Pratt, merupakan faktor penting dalam
pembentukan identitas yang selanjutnya menjadi dasar di dalam pembedaan
sekelompok orang dengan orang lain (Pratt, 2005). Pembeda ini dapat bersumber
pada keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana
suatu dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan identitas sekelompok
orang. Kebudayaan dapat diwakili oleh perbedaan etnis yang ada dalam suatu
masyarakat yang memperlihatkan adanya latar belakang kebudayaan tertentu yang
menentukan sikap dan perilaku. Arena kebudayaan pun menjadi faktor yang
menentukan bagaimana kebudayaan mengejawantah. Suatu arena dapat menjadi
basis di mana negosiasi atas suatu kebudayaan dapat terjadi, seperti halnya daerah
perbatasan yang memungkinkan ditemukannya dua kebudayaan atau lebih yang
dapat dipilih oleh suatu komunitas.
Studi-studi terdahulu ini memberi pengaruh pada kajian-kajian daerah perbatasan,
seperti yang dilakukan oleh Rikwanto Tirtosudarmo (2005) yang dalam
penelitiannya Daerah Perbatasan dan Tantangan Abad 21: Sebuah Pengantar,
melihat persoalan manusia yang bermukim di daerah perbatasan dalam konteks
transformasi sosial yang berlangsung di mana peran eksternal menjadi faktor
dalam banyak persoalan yang dihadapi masyarakat daerah perbatasan. Selain itu
studi yang menarik juga dilakukan oleh I Ketut Ardhana (2006) yang mengangkat
isu migrasi, ketertinggalan, problematika pusat dan daerah, dan perubahanperubahan pendekatan dalam pertahanan keamanan. Daerah perbatasan selalu
diposisikan sebagai daerah tertinggal dan jauh dari pengaruh modernisasi.
11
Sementara itu, pihak-pihak lain mulai memandang penting untuk mengubah pola
pikir seperti itu, dengan mengelola daerah perbatasan tersebut dengan sebaikbaiknya sebagai daerah garda depan suatu negara, Indonesia.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Sanak dalam Human Security
& Politik Perbatasan (2011). Kajian ini difokuskan pada strategi politik
pemerintah daerah Kabupaten Timor Tengah Utara untuk membangun human
security di perbatasan Indonesia dan Timor Leste sebagai suatu keniscayaan
dalam pengelolaan perbatasan negara. Strategi pemerintah tersebut menjadi
penting dan menarik untuk dicermati lebih mendalam karena keamanan insani,
terutama kualitas hidup manusia di sepanjang garis perbatasan negara
mengindikasikan performance Indonesia di mata asing, mencerminkan kuat
lemahnya governance dan peningkatan kesejahteraan dimaksud akan berdampak
pada menguatnya rasa identitas kebangsaan dan semangat nasionalisme warga
untuk menjaga perbatasan. Karena itu, pemerintah memiliki kepentingan nasional
yang cukup besar di wilayah tersebut sebab perbatasan negara memiliki peran
yang besar terhadap keamanan dan kedaulatan negara.
Dengan melihat secara histografis ketimpangan sosial atau kemiskinan warga di
kawasan perbatasan dan jarak konsepsi perbatasan antara persepsi pengambil
kebijakan dan persepsi warga di perbatasan penulis mengajukan argumentasi
untuk mengedepankan pendekatan human-security sebagai pendekatan alternatif
untuk pengelolaan wilayah perbatasan untuk secara lebih komprehensif membawa
tata kelola perbatasan ke arah kesetimbangan hard-soft border regime. Patut
dicatat bahwa dalam argumentasinya yang dituangkan dalam buku ini, penulis
12
sama sekali tidak berpretensi untuk mengabaikan elemen wilayah sama sekali,
namun yang menjadi salah satu poin penting dalam buku ini adalah keniscayaan
pengelolaan wilayah perbatasan dengan memperhatikan elemen wilayah dan
penduduk secara berimbang di mana ketimpangan dalam pengelolaan malah akan
menimbulkan potensi ancaman terhadap kedaulatan negara yang lebih serius.
Sementara itu, penelitian ini akan memperhatikan aspek identitas diri dan juga
identitas nasional masyarakat perbatasan. Lokus kajian penelitian ini berbeda
dengan penelitian sebelumnya yakni mengambil tempat di Pulau Batam yang
langsung berhadapan dengan dua negara yakni Singapura dan Malaysia. Aspek
modernitas, gaya hidup dari masyarakat yang cenderung kelas menengah-bawah,
serta menguatnya aspek ke-Melayu-an manjadi sisi menarik dalam penelitian ini
ketika membahas identitas diri masyarakat perbatasan di Pulau Batam.
1.6
Kerangka Teori
1.6.1
Negara, Kebangsaan, dan Nasionalisme
Konsep negara-bangsa (nation-state) modern adalah temuan yang relatif baru,
karena sebagian besar spesies manusia belum pernah berpartisipasi dalam suatu
negara ataupun mengindetifikasi diri dengannya. Negara-bangsa, nasionalisme,
dan identitas nasional sebagai bentuk organisasi kolektif dan mengidentifikasinya
bukanlah fenomena yang terjadi „secara alamiah‟, melainkan formasi kulturalhistoris yang dinamik. Negara-bangsa adalah konsep politis yang mengacu pada
administrative apparatus yang dipercaya memiliki kedaulatan atas daerah atau
daerah tertentu dalam sistem negara-bangsa. Identitas nasional adalah bentuk
identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus negara-bangsa. Jadi, bangsa
13
bukan hanya sekadar formasi politis, melainkan sistem representasi kultural di
mana identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif
(Barker, 2000: 207).
Demikian pula yang dikatakan oleh Bennedict Anderson ketika menjelaskan
identitas kebangsaan. Dengan menggunakan cara berpikir antropologis, ia
mengusulkan definisi tentang bangsa (nation), yaitu komunitas politis dan
dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus
berkedaulatan (Anderson, 2001: 8). Lebih lanjut ia menjelaskan, bangsa adalah
sesuatu yang terbayang, karena para anggota bangsa sekecil apa pun tidak bakal
tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka
dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang
mereka. Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup
sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka.
Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas,
karena bahkan bangsa-bangsa yang paling besar pun, memiliki garis-garis
perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa
lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia
di bumi. Bangsa dibayangkan pula sebagai sesuatu yang berdaulat, lantaran
konsep itu lahir dalam kurun waktu pencerahan dan revolusi memporakporandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang yang berkaitan dengan kuasa
Tuhan. Panji-panji kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa
dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang
ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa. Bahkan
14
bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam
dan melebar-mendatar. Selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang
memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia -jangankan
melenyapkan nyawa orang lain- merenggut nyawa sendiri pun rela demi
pembayangan tentang yang terbatas itu. Misal saja, fenomena semakin banyak
pejuang
(jihadis)
yang
membantu
pembangunan
dan
berperang
demi
terwujudunya Islamic States (IS atau ISIS) di muka bumi, sehingga dengan mudah
bahkan keji membunuh, mengeksekusi, memenggal, bahkan membakar manusia
hidup-hidup dari negara-bangsa yang bukan berbeda -secara ras, agama, atau
etnis- tapi kontra pendapat atau ideologi dengan mereka. Kemanusiaan pun
menjadi taruhannya.
Dengan memahami identitas kebangsaan seperti itu, Anderson menggarisbawahi,
bahwa bangsa menjadi proyek untuk dikerjakan, diolah, sehingga bangsa menjadi
suatu mode of existence. Bangsa menjadi suatu proyeksi ke depan dan sekaligus
ke belakang. Oleh karena itu tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa “lahir”,
namun bangsa itu “hadir” dalam proses formasi sebagai suatu historical being
sebagaimana
dikatakan
“komunitas-komunitas
terbayang”.
Jadi,
menurut
Anderson bangsa bukan suatu political community, akan tetapi imagined political
community, dan semakin ditekankan lagi ketika dikatakan sebagai imagined as
sovereign, dan imagined as limited, dan imagined as community. Konsep identitas
kebangsaan ini agaknya mirip dengan konsep identitas kebudayaan yang tidak
hanya dibentuk oleh suatu yang statis, melainkan senantiasa berproses dan
dinamis dalam diskursus sosial.
15
1.6.2
Identitas dan Diri
Isu identitas dan subyektivitas telah menjadi tema utama dalam studi kebudayaan
di Barat selama dekade 1990-an, terutama oleh kalangan “rezim tentang diri”
(regime of the self). Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai
hubungan yang erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang
subyektivitas, pertanyaannya akan berada seputar apakah pribadi itu? Sementara
mengeksplorasi tentang identitas adalah menanyakan: Bagaimana kita melihat diri
kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita? (Barker, 2000: 173).
Subyektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi.
Yang dimaksud dengan seorang pribadi adalah seluruh aspek sosial dan kultural.
Jadi, identitas sepernuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis
di luar representasi kultural dan akulturalisasi. Kita memandang identitas
diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang
lain dan kita sendiri. Jadi, identitas adalah suatu „esensi‟ yang dapat dimaknai
melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap
personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan
orang lain.
Sejak pasca Perang Dingin, terdapat pergeseran yang cukup signifikan tentang
karakter konflik internasional, dari konflik yang bersifat ideologis (ideological
conflict) bergeser menjadi konflik identitas (identity conflict) yang terjadi dalam
daerah yang makin sempit dan menembus ke mana-mana ke berbagai sudut
kehidupan: sosial, politik, budaya, bahkan agama. Menurut Anthony Giddens
(1991), identitas diri dipahami sebagai keahlian menarasikan tentang diri, dengan
16
demikian menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinuitas biografi.
Cerita identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang
dikerjakan? Bagaimana melakukannya? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha
mengkontruksikan cerita identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk
lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (1991:
75). Oleh karena itu, identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan
kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Identitas diri adalah diri sebagai
pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografi.
Anthony Ginddens melanjutkan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan
tentang diri tersebut dalam kapasitas sebagai person. Namun, ia juga berargumen
bahwa identitas bukan sekumpulan sifat-sifat yang kita miliki; bukan sesuatu yang
kita miliki. Dengan demikian, identitas adalah sarana berpikir tentang diri kita
sendiri. Hanya saja apa yang kita pikirkan itu senantiasa berubah dari lingkungan
satu ke lingkungan lain menurut daerah dan waktu. Inilah sebabnya, mengapa
Giddens mendeskripsikan identitas sebagai suatu proyek. Dengan argumen ini ia
mengartikan bahwa identitas adalah sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang
senantiasa berproses, yang terus maju ke depan daripada tetap.
Konsep identitas diri selanjutnya juga dipahami dalam memahami fenomena
sosial, yang kemudian melahirkan istilah identitas sosial. Asumsinya, bahwa pada
prinsipnya hidup manusia senantiasa berada dalam konteks hubungan sosial
dengan yang lain. Sebagai individu dalam proses sosial senantiasa saling
menggunakan barang-barang kebutuhan secara sosial. Ini yang sering dipahami
bersama sebagai sosialisasi dan akulturalisasi. Tanpa akulturalisasi orang tidak
17
akan dapat menjadi pribadi sebagaimana yang dikenal dalam hidup sehari-hari.
Tanpa bahasa setiap konsep tentang kepribadian dan identitas kita tidak akan
dipahami.
Menurut Barker (2000: 176) tidak ada elemen-elemen yang transendental atau
ahistoris dalam proses menjadi pribadi. Identitas merupakan gejala kultural dan
sosial secara keseluruhan, karena alasan-alasan sebagai berikut:
a.
Setiap gagasan tentang bagaimana menjadi pribadi adalah pertanyaan
kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah label masyarakat modern
secara spesifik.
b.
Sumber-sumber yang membentuk materi proyek identitas, misalnya
bahasa dan praktek kebudayaan, adalah sesuai dengan watak sosialnya.
Akibatnya, apa yang kita artikan sebagai perempuan, anak-anak, bangsa
Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda menurut konteks kebudayaan
yang berbeda pula.
Dalam pada itu, identitas bukan hanya merupakan masalah deskripsi diri, tetapi
juga merupakan askripsi sosial. Identitas adalah masalah tentang kesamaan dan
perbedaan, tentang personal dan sosial, tentang apa yang anda miliki bersama
dengan seseorang dan tentang apa yang membedakan anda dengan lainnya
(Weeks, 1990: 89).
Sementara itu, Stuart Hall dalam artikelnya yang berjudul The Question of
Cultural
Identity
(1992),
mengidentifikasi
tiga
perbedaan
cara
yang
mengkonseptualisasikan identitas, yaitu (a) subyek pencerahan, ialah subyek yang
18
berkaitan dengan gagasan bahwa rasio dan rasionalitas merupakan basis bagi
kemajuan manusia. Subyek juga dikenal dengan istilah subyek Cartesian; (b)
subyek sosiologi, ialah subyek yang tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri,
melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan „orang lain yang berpengaruh‟
(significant others), yang jadi perantara subyek dengan nilai, makna dan simbol
kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup; dan (c) subyek pascamodernisme, ialah
subyek yang secara reflektif mampu mengkoordinasikan dirinya menjadi satu
kesatuan, subyek yang juga terfragmentasi dan beragam. Subyek yang memiliki
identitas yang berlainan pada kurun waktu berbeda. Yang ada dalam diri kita
adalah identitas-identitas yang kontradiktif, mengarah kepada titik yang berbeda,
sehingga identifikasi akan diri terus-menerus berubah. Jika kita merasa bahwa kita
memiliki suatu identitas terpadu sejak lahir hingga mati, itu semua hanya karena
kita mengkonstruksi suatu cerita yang melenakan atau „narasi diri‟ tentang kita
sendiri (1992: 277).
Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang
sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap pencerahan
(englightenment). Pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme Descartes
(1596-1650). Filsafat yang berdiri di atas adagium: cogito, ergosum (I think,
therefore I am), „Saya berpikir, karena itu Saya ada‟. Di sini unsur cogito
(berpikir) menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan yang sangat tinggi.
Descartes membedakan dua bidang penyelidikan utama untuk filsafat, yaitu
psikologi yang mencakup segala sesuatu yang berada dalam diri manusia, dan
kosmologi yang mencakup segala sesuatu yang berada di luar diri manusia.
19
Psikologi dinamakan res cogitans dan kosmologi dinamakannya res extensa.
Hanya saja, kepentingan kosmologi sangat rendah dibandingkan dengan
kepentingan psikologi karena segala sesuatu yang lain yang berada di luar diri
manusia baru ada kalau sudah diketahui oleh manusia atas cara yang “jelas dan
pasti” (clear and distinct). Konsekuensi dari pandangan seperti itu adalah unsur
ego menjadi sangat dominan.
Dalam perspektif subyek sebagai gejala sosiologis, identitas self generating atau
situasi internal tentang diri, tetapi sepenuhnya merupakan kebudayaan sebab
terbentuk melalui proses akulturalisasi. Sebagai diri sosial dan subjek sosiologi,
self bukan terbentuk secara otomatis melalui proses yang terjadi dalam diri orang,
tetapi diri dibentuk dalam relasinya dengan yang lain. Dalam proses interaksi itu
terinternalisasi nilai-nilai, makna-makna, dan simbol-simbol kebudayaan. Proses
interaksi dengan yang lain itu pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga,
seperti belajar mulai dari soal harga, hukuman, tiruan, dan bahasa, bagaimana
masuk dalam kehidupan sosial. Asumsi dasar subyek sosiologi bahwa subyek
adalah orang pencipta sosial di mana sosial dan individual mempunyai perbedaan
masing-masing.
Sementara konsepsi identitas menurut pandangan pascamodernisme pada
pokoknya mengoreksi pandangan deterministik, bahwa diri tidak selalu tetap
merupakan entitas tersendiri yang terpisah dengan lingkungan sosialnya
sebagaimana asumsi Cartesian, atau diri dibentuk oleh lingkungan sosialnya
sebagaimana asumsi kulturalis sosiologis. Akan tetapi menurut subyek
pascamodernisme, subyek dilihat sebagai yang tidak memiliki inti diri (core self)
20
yang mampu mengkoordinasikan diri sendiri secara reflektif ke dalam kesatuan.
Menurut Hall, desentralisasi diri atau diri pascamodernisme termasuk subyek
yang terus bergeser, terpecah, dan memiliki identitas ganda. Pribadi dibentuk oleh
tidak hanya satu, tetapi oleh beberapa identitas yang kadang-kadang saling
bertentangan. Hall juga menganjurkan bahwa untuk memhami konsep identitas
kebudayaan juga erat kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam
aliran pemikiran esensialisme dan anti-esensialisme kebudayaan. Dalam
pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakikat tentang
diri yang disebut identitas. Kaum esensialis berasumsi bahwa deksripsi diri kita
mencerminkan hakikat yang didasari identitas. Dengan demikian, akan bisa
ditetapkan apa itu hakikat femininitas, maskulinitas, orang Asia, remaja dan
semua kategori sosial yang lain. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa
identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang
dan waktu. Ini merupakan pandangan kaum anti-esensialis yang menjelaskan
bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi
sosial dan kebudayaan. Identitas adalah konstruksi-konstruksi yang tidak saling
berkaitan, makna-maknanya senantiasai berubah mengikuti ruang dan waktu, serta
penggunaannya.
Guna mengetahui bagaimana masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu,
Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam membayangkan identitas ke-Indonesiaan mereka yakni dengan sejauh mana mereka kerap terlibat dengan urusan-urusan
administrasi kenegaraan, sejauh mana negara hadir bagi kehidupan sehari-hari
mereka, dan bagaimana mereka membayangkan ke-Indonesia-an dengan konteks
21
masyarakat yang heterogen di sana –berbagai suku bangsa dari pelosok Indonesia.
Sejauh mana negara-bangsa itu terbayangkan, tergambarkan, dan terpikirkan oleh
masyarakat perbatasan yang setiap hari mereka berinteraksi dengan berbagai
masyarakat dari berbagai negara, setidaknya dari etnis Cina dan etnis Melayu.
Pun, dengan memakai bahasa yang tidak tunggal, bilingual: Bahasa MelayuBahasa Indonesia; Bahasa Melayu-Bahasa Inggris; Bahasa Melayu-Bahasa
Mandarin.
Sementara itu, untuk mengetahui bagaimana masyarakat perbatasan di Pulau
Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam mengindetifikasi
identiats diri mereka yakni dengan bagaimana mereka memandang diri yang
berelasi dengan sosio-kultural (bahasa, suku bangsa) di tempat mereka berada, diri
yang berelasi dengan agama yang dianut, diri yang berelasi dengan kelas sosial
serta pekerjaan, diri yang setiap hari memandang kemegahan Singapura dari
seberang pulau. Semua tentang diri yang setiap waktu berbaur, bercampur,
berjalin-berkelindan penuh dengan tuntutan, entah tuntutan ekonomi entah
tuntutan politik (pengakuan) dari pihak lain. Identitas kedirian ini pada beberapa
kondisi bisa begitu menggema gaungnya sekaligus pada beberapa situasi tidak
menjadi persoalan. Identitas diri kemudian menjadi semacam instrumen atau alat
strategis yang berguna jika itu berkaitan dengan kepentingan atau ancaman akan
diri atau kelompok.
22
Kerangka Pikir
Konsturksi Identitas Nasionalisme Masyarakat
Perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan
Belakang Padang, Kota Batam
Instrumen Ekonomi-Politik: praktik
ekonomi keseharian masyarakat
perbatasan yang berelasi dengan
Singapura dan Malaysia
1.7
Metodologi Penelitian
1.7.1
Instrumen Sosial-Budaya:
kajian historis tentang
masyarakat Melayu di
kawasan perbatasan
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang,
Kota Batam. Pulau Penawar Rindu dihuni oleh masyarakat heterogen dari
berbagai suku bangsa dan dengan berbagai latar belakang pekerjaan. Pulau ini
merupakan daerah perbatasan yang didiami oleh masyarakat setempat dan kerap
dikunjungi atau disinggahi oleh masyarakat dari Singapura dan Malaysia.
1.7.2
Jenis Penelitian
Dari beberapa metode penelitian yang ada, studi ini menggunakan metode
penelitian kualitatif-interpretatif untuk menjelaskan konstruksi identitas keIndonesia-an masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan
Belakang Padang, Kota Batam. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi,
mendeskripsikan,
memahami,
dan
menginterpretasikan
pola-pola
umum,
kecenderungan-kecenderungan, dan tema-tema dari data yang diperoleh. Metode
ini digunakan agar dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan
23
maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari wawancara dan
pengamatan dengan informan-informan dari berbagai suku bangsa yang tinggal
dan menetap di sana.
1.7.3
Unit Analisa
Unit analisa dari penelitian ini adalah ungkapan-ungkapan dan pernyataanpernyataan tentang identitas ke-Indonesia-an yang dibayangkan oleh informan
penelitian. Hasil wawancara dan pengamatan dengan informan dari berbagai
profesi, pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang budaya tersebut menjadi
bahan analisis dalam penelitian ini.
1.7.4
Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah masyarakat setempat dari berbagai latar belakang
budaya dan etnis, pejabat daerah, warga negara asing (Singapura dan Malaysia)
yang masih serumpun Melayu, dan sebagainya. Peneliti memilih teknik purposive
sampling yakni menekankan kedalaman argumen atau pernyataan dari informan
yang berkaitan dengan identitas ke-Indonesia-an ataupun identitas kedirian
informan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
Penelitian ini tidak menekankan pada banyaknya informan secara kuantitatif,
tetapi lebih menekankan pada pernyataan yang mendalam tentang tema penelitian.
1.7.5
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, studi pustaka, dan
wawancara mendalam (depth interview). Langkah pertama dalam penelitian ini
adalah observasi dengan melakukan pengamatan terhadap perilaku, aktivitas
24
individu-individu, dan fenomena-fenomena yang terjadi di Pulau Penawar Rindu,
Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam yang berkaitan dengan isu identitas diri
masyarakat di sana. Kemudian langkah kedua, melakukan studi pustaka melalui
buku-buku teks, jurnal, surat kabar, dan lain-lain guna mendapatkan informasi
mengenai identitas diri atau identitas ke-Indonesia-an masyarakat perbatasan di
Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Langkah
selanjutnya yakni turun ke lapangan melakukan pengamatan langsung diikuti
wawancara dengan informan. Pengamatan langsung mengenai aktivitas dan
pekerjaan sehari-hari informan dan wawancara untuk menggali informasi
berkaitan dengan identitas diri dan ke-Indonesia-an masyarakat perbatasan di
Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Wawancara
dilakukan dengan mendalam dan intensif secara terbuka dan fleksibel. Dalam
wawancara peneliti mengajuka pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan penyelidikan
informal untuk memfasilitasi diskusi-diskusi antara peneliti dengan informan.
Guna memenuhi semua data yang diperlukan dalam mengungkap hal tersebut,
maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni dua data: data primer dan
data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat perekam
dan alat tulis. Beberapa temuan dari hasil wawancara menjadi data primer.
Sedangkan sebagai data sekundernya temuan dari hasil observasi dan studi
pustaka yang berupa catatan, buku-buku, media massa, jurnal, laporan penelitian,
dan sebagainya.
25
1.7.6
Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah didapatkan dari lapangan akan dianalisis secara interpretatif
dan dijabarkan secara kualitatif yakni dengan mengumpulkan data, menganalisa
data, kemudian menafsirkan data, kemudian membuat kesimpulan dari data
tersebut. Semua data akan dianalisis dengan menguraikan dan mengonsepkan
sesuai dengan kerangka teori yang ada. Data dipilah dan dipilih untuk menentukan
kesesuaian data dengan fokus penelitian tanpa meninggalkan data sekunder
tertulis dari berbagai sumber terkait. Penulis juga mengidentifikasi kata-kata kunci
yang diperoleh dari informan.
1.8
Sistematika Penulisan
Bab I:
Pemaparan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan.
Bab II:
Pemaparan tentang mobilitas masyarakat perbatasan, profil daerah, dan
kondisi sosial-budaya serta ekonomi-politik masyarakat di Pulau
Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.
Bab III:
Pemaparan tentang pertalian dan kedekatan budaya serta relasi ekonomi
masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang
Padang, Kota Batam.
26
Bab IV: Pemaparan
tentang
ekspresi
identitas
nasionalisme
masyarakat
perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota
Batam.
Bab V:
Kesimpulan, saran, dan rekomendasi penelitian.
27
Download