BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian ini mengkaji tentang konstruksi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di salah satu kawasan pulau terdepan di kepulauan Indonesia. Wacana nasionalisme kerap kali menjadi isu yang rentan dimainkan, dinegosiasikan, dan dibicarakan di kawasan perbatasan. Hal ini dikarenakan masyarakat di kawasan perbatasan memiliki karakteristik yang berbeda serta khas jika dibandingkan dengan masyarakat yang tidak berasal dan tinggal di kawasan perbatasan. Masyarakat perbatasan cenderung memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi untuk berinteraksi dan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat lain yang berbeda latar belakang dan kewarganegaraan. Mereka berinteraksi secara sosiobudaya, ekonomi, hingga persoalan-persoalan politik. Interaksi yang cukup intens ini melahirkan kecenderungan-kecenderungan yang berbeda dengan masyarakat non-perbatasan. Misalnya, mulai dari penggunaan bahasa asing (bilingual atau multilingual), menggunakan mata uang negara sendiri sekaligus dari negara lain, mengkonsumsi produk-produk negeri luar, keluar-masuk tinggal dan bekerja di negara tetangga, dan sebagainya. Berbagai aktivitas tersebut sudah menjadi kegiatan keseharian pada masyarakat perbatasan yang memang tak bisa ditampik dan sudah dilakukan sejak lama, turun temurun oleh masyarakat lokal. 1 Di Indonesia, problema masyarakat perbatasan hadir dengan beragam bentuk. Mulai dari persoalan kriminalitas seperti perdagangan manusia (human trafficking), perdagangan narkoba (drugs trafficking), pencurian pasir laut (illegal mining), penyelundupan senjata (arms smuggling), perambahan hutan secara ilegal (illegal logging), penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing), dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan karena kondisi geografis, khususnya daerah perbatasan negara yang berbatasan dengan laut, sangat sulit dilacak atau dipantau, dan tidak jarang transaksi dilakukan oleh para pelaku kejahatan di laut lepas (Tim Penyusun, 2009). Selain itu, masyarakat perbatasan juga mengalami persoalanpersoalan yang sifatnya abstrak seperti aspek sosial-budaya antara dua dan berbagai pihak yang berbeda negara. Hal ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebijakan negara terhadap kawasan dan masyarakat perbatasan. Syamsuddin Haris (2014) mengatakan bahwa kontestasi juga terjadi antara negara yang mengkonstruksi institusi dan kebijakan serta kepentingan elit politik, dengan masyarakat yang mengkonstruksi berbagai kepentingan mereka yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kekinian. Daerah perbatasan Indonesia yang bersangkut paut dengan negara lain di dunia tak lepas dari problematika perbatasan. Terlebih lagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Terletak pada dua benua besar dan dua samudera besar (Marsetio, 2012). Pun, juga Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tetangga, seperti berbatasan darat dengan tiga (3) negara: Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sementara untuk perbatasan laut, berbatasan dengan sepuluh negara: India, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, 2 Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Singapura. Posisi geopolitik Indonesia yang berbatasan laut dengan sepuluh (10) negara asing menegaskan adanya faktor eksternal sebagai pemicu berbagai persoalan yang memiliki implikasi luas. Pendayagunaan daerah perbatasan khususnya laut memiliki arti penting terhadap kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara geopolitik dan geostrategis Indonesia merupakan kunci dalam transportasi dan komunikasi maritim internasional sebagai Sea Lanes of Communication (SLOC) dan Sea Lanes of Transportation (SLOT) yang merupakan aspek dinamis yang perlu terus menerus dikelola berdasarkan perkembangan konstelasi politik. Dari perspektif dalam negeri, ada tantangan yang harus dihadapi, misalnya isu-isu peningkatan nasionalisme masyarakat perbatasan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM), perbaikan infrastruktur, serta perbaikan kualitas hidup menjadi fokus perdebatan yang tidak kunjung selesai. Sementara itu, keberadaan daerah perbatasan menjadi beban tersendiri di dalam perdebatan pembangunan yang diakibatkan oleh rentannya posisi daerah perbatasan dalam berbagai dimensi. Tingkat migrasi ke luar negeri di daerah-daerah perbatasan sangat tinggi, bahkan mengkhawatirkan jika melihat fakta banyaknya masyarakat daerah perbatasan yang bekerja di luar negeri, ke negara berbatasan. Loyalitas masyarakat terhadap negaranya selalu menjadi pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban kebijakan substansial. Masyarakat daerah perbatasan dinilai sangat rentan untuk „melarikan diri‟ menjadi masyarakat negara tetangga. Di sisi lain, daerah perbatasan dinilai sebagai garda depan yang menjadi wajah Indonesia. Daerah perbatasan merupakan benteng 3 pertahanan yang sangat menentukan, karena berhadapan langsung dengan negara tetangga. Posisinya kemudian menjadi sentral, karena menentukan diplomasi antara kedua negara, Indonesia dengan negara tetangga yang ditentukan oleh keberadaan suatu daerah perbatasan. Namun demikian, wacana tampak berkembang sepihak, karena pada tataran praktis daerah perbatasan merupakan obyek yang tidak dimintai pendapat, sebaliknya menjadi arena perebutan kekuasaan. Negara, dalam hal ini, tidak hanya sebagai fasilitator bagi pengadaan dan perbaikan fasilitas publik, tetapi menjadi faktor dalam menempatkan rakyat sebagai komoditi di dalam pembangunan daerah perbatasan. Tidak banyak diketahui bagaimana daerah perbatasan dan masyarakat daerah perbatasan telah mengalami berbagai „guncangan‟ dan bernegosiasi dengan semua itu. Masyarakat daerah perbatasan bisa bangkit dan menjadi kekuatan yang penting dalam wacana daerah perbatasan. Mereka bisa melakukan serangkaian tindakan negosiasi dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak-hak mereka sebagai bagian dari masyarakat negara. Tuntutan atas equality of citizenship merupakan suatu yang nyata dengan menggugat keberadaan mereka bukan sebagai masyarakat pinggiran, tetapi sebagai masyarakat paling depan yang berada di pintu gerbang negara. Perhatian dan komitmen pemerintah sangat menunjang eksistensi daerah perbatasan yang menghadapi persoalan yang multidimensi. Satu hal yang harus diakui adalah bahwa posisi daerah perbatasan dan pulau terdepan secara geografis jauh dari pusat pemerintahan, walaupun kedudukannya sangat strategis. Daerah perbatasan merupakan daerah penyangga (safety belt) 4 diharapkan mampu menangkal infiltrasi pengaruh dari luar, dalam berbagai aspek kehidupan (Djafar dan Fadila, 2008: 107). Di sepanjang garis batas darat atau laut daerah suatu negara, kerap terjadi asimilasi di daerah yang dikenal dengan frontier, daerah perbatasan yang mendapat lebih banyak pengaruh negara asing dari seberang batas negara. Interaksi dinamis antara dua budaya atau lebih dapat membentuk satu batas semu dan cenderung abstrak yang berbeda letaknya secara geografis dengan batas aslinya. Frontier ini bersifat sangat dinamis, dalam arti dapat bergeser-geser, dan dapat dikatakan bahwa efektivitas pemerintah pusat tidak lagi mencakup seluruh daerah kedaulatan secara penuh, melainkan dikurangi luar daerah yang sudah dipengaruhi oleh kekuatan „asing‟ dari seberang, entah melalui politik, ekonomi, dan sosial budaya (Sunardi, 2004). Beberapa ciri khas dari masyarakat perbatasan di Pulau Batam yakni: masyarakatnya heterogen, tuntutan kehidupan yang lebih keras, dan hidup di pemukiman terpencil. Implikasinya kerap terjadi kontestasi dalam mengkonstruksi identitas mereka. Joel Migdal (2004) mengatakan bahwa manusia mengkonstruksi dan memelihara daerah perbatasan secara abstrak, yang membedakan antara daerah sendiri atau asing, yang termasuk kelompok atau bukan, yang dikenal atau tidak. Abstraksi manusia menyusun keterikatan dengan konfigurasi daerah, loyalitas yang dimiliki, dan emosi serta nafsu kelompok yang muncul. Semua hal tersebut, selain membentuk dan memelihara keterikatan identitas satu orang dengan yang lain, juga memisahkan keterikatan identitas orang dalam kelompok. Berbagai bentuk daerah perbatasan dapat dikonstruksi atau terkonstruksi oleh negara. Pada saat yang sama kelompok-kelompok sosial 5 atau masyarakat juga bisa mempunyai daerah perbatasannya sendiri, yang berbeda dengan kelompok lain. Daerah perbatasan kelompok sosial mempunyai logika dan identitasnya sendiri. Mereka juga mempunyai dimensi ke-identitas-an sendiri yang berbeda dengan definisi negara. Penelitian ini akan mengkaji konstruksi bayangan nasionalisme masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Pulau Batam. Adapun alasan memilih Pulau Penawar Rindu sebagai studi kajian, yakni (1) Pulau Penawar Rindu yang menjadi bagian dari Pulau Batam ialah sebagai daerah perbatasan yang saat ini paling maju di Indonesia meski cukup jauh dari Jakarta; (2) Pulau Penawar Rindu terletak pada posisi strategis: berhadapan langsung dengan jalur pelayaran laut internasional dan berinteraksi langsung dengan dua negara gigih macam Singapura dan Malaysia; (3) Pulau Penawar Rindu dan Pulau Batam semakin pesat dengan perkembangan industrinya, sebagai kawasan penyangga industri dari beberapa negara baik bagi Singapura yang dominan maupun bagi negara lain di Eropa dan Amerika; (4) Pulau Batam sejak era reformasi menjadi daerah pemekaran –salah satu daerah dengan kebijakan desentralisasi asimetris1- yang statusnya berubah menjadi kabupaten di bawah naungan Provinsi Kepulauan Riau dengan ibukota Tanjung Pinang, sehingga 1 Desain desentralisasi yang dibangun dalam logika bahwa hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah tidak bisa dirumuskan secara seragam, namun harus memperhatikan masing-masing karakteristik daerah. Bentuk umum dari desain asimetris adalah kawasan-kawasan dengan status khusus, meskipun asimetris bermakna lebih luas dari sekedar otonomi khusus. Dengan nalar semacam itu, sejumlah daerah menjadi „sampel‟, yaitu Aceh, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Batam, DI Yogyakarta, dan Papua. Lihat Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi. Laporan Akhir Penelitian dari Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Yayasan Tifa. 2010. 6 memiliki perubahan sosial politik dan budaya secara signifikan yang menarik untuk dilihat kedalamannya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang itulah riset ini dibangun dengan rumusan penelitian sebagai berikut. 1.2.1 Bagaimana konstruksi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam? 1.2.2 Faktor-faktor sosial-budaya dan ekonomi-politik seperti apa yang dipakai oleh masyarakat perbatasan dalam proses konstruksi identitas nasionalisme di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini untuk menjelaskan hal-hal sebagai berikut. 1.3.1 Menjelaskan mendefinisikan bagaimana identitas masyarakat nasionalisme perbatasan memaknai di Penawar Pulau dan Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. 1.3.2 Menjelaskan bagaimana masyarakat perbatasan menggunakan identitas kedaerahan (Melayu) dalam proses pemaknaan dan pendefinisian nasionalisme tersebut di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. 7 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. 1.4.1 Manfaat secara teoritis, penelitian ini menerapkan teori-teori dalam studi identitas kedaerahan dan nasional, studi tentang masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. 1.4.2 Manfaat secara praktis, penelitian ini dapat menambah referensi pembaca tentang konstruksi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. 1.5 Kajian Pustaka Isu-isu yang berkaitan dengan permasalahan daerah perbatasan entah itu dari permasalahan klasik tentang ketimpangan yang dirasakan oleh komunitas perbatasan yang menyebabkan kecemburuan sosial di antara mereka –yang masih satu suku bangsa tetapi dipisahkan oleh batas teritorial. Kecemburuan ini pada akhirnya memaksa mereka untuk memerikasa kembali identitas diri mereka yang juga berkaitan dengan identitas kebangsaan mereka yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam diri manusia. Dalam studinya, Anthony Smith (1986) menggambarkan identitas budaya sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang merekatkan sebuah komunitas yang mendiami suatu daerah tertentu. Pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa, menurut Smith, identik dengan „negara etnis‟. Pada awalnya, batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi 8 dari batas-batas geografis sebuah etnis tertentu. Perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa memperlihatkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas-etnis, lebih mengemuka sebagai dasar dari eksistensi sebuah negara-bangsa. Perbatasan sebuah negara dalam konteks semacam itu menunjukkan kompleksitas tersendiri yang memperlihatkan bahwa batas negara tidak hanya membelah etnisitas yang berbeda. Ia bahkan membelah etnisitas yang sama. Oleh karena itu, identitas bukan hanya merupakan masalah deskripsi diri, tetapi juga merupakan askripsi sosial (social ascription), karakteristik sosial. Identitas adalah masalah tentang kesamaan dan perbedaan, tentang personal dan sosial, tentang apa yang dimiliki bersama dengan seseorang dan tentang apa yang membedakannya dengan lainnya (Nicholson, 2008). Studi tentang identitas memiliki akar sejarah yang panjang pada pendekatan interaksionisme simbolik yang didasarkan pada pemikir-pemikir awal (Foote, 1951; Stryker, 1987). Pada saat itu diyakini bahwa suatu fenomena lebih bisa dipahami melalui definisi individu atau interpretasi diri sendiri, orang lain, dan bahkan situasi melalui identifikasi makna-makna yang diberikan aktor pada lingkungannya, memahami isi kepalanya atau melihat dunia dari perspektif mereka, untuk memahami mengapa mereka melakukan sesuatu dengan cara mereka sendiri (Meltzer, Petras dan Reynolds, 1977). Pendekatan ini membawa pemahaman bahwa terjadinya suatu tingkah laku ditentukan oleh seberapa besar sesuatu itu bermakna untuk mereka. Dalam kerangka ini struktur sosial tidak memainkan peran dalam pembentukan identitas karena dianggap kenyataan sosial 9 tidak memiliki pola sehingga tidak dapat dipetakan apalagi diprediksi. Di sini juga diyakni bahwa itu sendiri berubah karena selalu dibentuk melalui interpretasi dan tindakan dalam suatu struktur. Pandangan kaum tradisionalis ini masih sangat terpengaruh walaupun kemudian lahir pemikir-pemikir modern. Nelson Foote (1951) sebagai tokoh pertama sekali menggunakan istilah identitas telah mencoba untuk memberikan pengayaan atas pemahaman konseptual ketika ia mengatakan bahwa tujuan-tujuan telah menentukan bagaimana seorang individu melakukan sesuatu. Ketika seseorang ingin memiliki identitas, misalnya sebagai polisi, maka sesungguhnya telah ada suatu struktur yang menentukan mengapa menjadi polisi itu sesuatu yang membanggakan. Hal ini memperlihatkan bahwa keberadaan seorang individu tidak dapat dilepaskan dari suatu struktur yang turut mendefinisikan identitasnya. Demikian pula proses identifikasi berlangsung dalam suatu struktur yang memiliki serangkaian nilai dan persyaratan yang harus dipenuhi walaupun seorang individu dapat melakukan tawar-menawar dalam hubungannya dengan stuktur di mana ia menjadi bagian. Para ahli mengikuti pandangan ini yang melihat identitas tidak bisa dipisahkan dari struktur yang melingkupinya. Sejalan dengan ini Peter Burke juga mengatakan bahwa identitas diri manusia itu tidak dipandang sebatas siapa dia tetapi identitas diri hanya bisa dijelaskan melalui relasi-relasi sosial yang berada di sekitar aktor. Adanya relasi sosial di dalam masyarakat pada akhisnya membentuk suatu struktur sosial yang berlaku di dalam masyarakat (Burke, 2001). 10 Dimensi lain yang mendapatkan perhatian dalam berbagai studi identitas adalah kebudayaan yang, seperti dikatakan Nicola Pratt, merupakan faktor penting dalam pembentukan identitas yang selanjutnya menjadi dasar di dalam pembedaan sekelompok orang dengan orang lain (Pratt, 2005). Pembeda ini dapat bersumber pada keadaan sekitar, lingkungan dan masyarakat yang mempengaruhi bagaimana suatu dipersepsikan dan dijadikan dasar dalam pembentukan identitas sekelompok orang. Kebudayaan dapat diwakili oleh perbedaan etnis yang ada dalam suatu masyarakat yang memperlihatkan adanya latar belakang kebudayaan tertentu yang menentukan sikap dan perilaku. Arena kebudayaan pun menjadi faktor yang menentukan bagaimana kebudayaan mengejawantah. Suatu arena dapat menjadi basis di mana negosiasi atas suatu kebudayaan dapat terjadi, seperti halnya daerah perbatasan yang memungkinkan ditemukannya dua kebudayaan atau lebih yang dapat dipilih oleh suatu komunitas. Studi-studi terdahulu ini memberi pengaruh pada kajian-kajian daerah perbatasan, seperti yang dilakukan oleh Rikwanto Tirtosudarmo (2005) yang dalam penelitiannya Daerah Perbatasan dan Tantangan Abad 21: Sebuah Pengantar, melihat persoalan manusia yang bermukim di daerah perbatasan dalam konteks transformasi sosial yang berlangsung di mana peran eksternal menjadi faktor dalam banyak persoalan yang dihadapi masyarakat daerah perbatasan. Selain itu studi yang menarik juga dilakukan oleh I Ketut Ardhana (2006) yang mengangkat isu migrasi, ketertinggalan, problematika pusat dan daerah, dan perubahanperubahan pendekatan dalam pertahanan keamanan. Daerah perbatasan selalu diposisikan sebagai daerah tertinggal dan jauh dari pengaruh modernisasi. 11 Sementara itu, pihak-pihak lain mulai memandang penting untuk mengubah pola pikir seperti itu, dengan mengelola daerah perbatasan tersebut dengan sebaikbaiknya sebagai daerah garda depan suatu negara, Indonesia. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Yohanes Sanak dalam Human Security & Politik Perbatasan (2011). Kajian ini difokuskan pada strategi politik pemerintah daerah Kabupaten Timor Tengah Utara untuk membangun human security di perbatasan Indonesia dan Timor Leste sebagai suatu keniscayaan dalam pengelolaan perbatasan negara. Strategi pemerintah tersebut menjadi penting dan menarik untuk dicermati lebih mendalam karena keamanan insani, terutama kualitas hidup manusia di sepanjang garis perbatasan negara mengindikasikan performance Indonesia di mata asing, mencerminkan kuat lemahnya governance dan peningkatan kesejahteraan dimaksud akan berdampak pada menguatnya rasa identitas kebangsaan dan semangat nasionalisme warga untuk menjaga perbatasan. Karena itu, pemerintah memiliki kepentingan nasional yang cukup besar di wilayah tersebut sebab perbatasan negara memiliki peran yang besar terhadap keamanan dan kedaulatan negara. Dengan melihat secara histografis ketimpangan sosial atau kemiskinan warga di kawasan perbatasan dan jarak konsepsi perbatasan antara persepsi pengambil kebijakan dan persepsi warga di perbatasan penulis mengajukan argumentasi untuk mengedepankan pendekatan human-security sebagai pendekatan alternatif untuk pengelolaan wilayah perbatasan untuk secara lebih komprehensif membawa tata kelola perbatasan ke arah kesetimbangan hard-soft border regime. Patut dicatat bahwa dalam argumentasinya yang dituangkan dalam buku ini, penulis 12 sama sekali tidak berpretensi untuk mengabaikan elemen wilayah sama sekali, namun yang menjadi salah satu poin penting dalam buku ini adalah keniscayaan pengelolaan wilayah perbatasan dengan memperhatikan elemen wilayah dan penduduk secara berimbang di mana ketimpangan dalam pengelolaan malah akan menimbulkan potensi ancaman terhadap kedaulatan negara yang lebih serius. Sementara itu, penelitian ini akan memperhatikan aspek identitas diri dan juga identitas nasional masyarakat perbatasan. Lokus kajian penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yakni mengambil tempat di Pulau Batam yang langsung berhadapan dengan dua negara yakni Singapura dan Malaysia. Aspek modernitas, gaya hidup dari masyarakat yang cenderung kelas menengah-bawah, serta menguatnya aspek ke-Melayu-an manjadi sisi menarik dalam penelitian ini ketika membahas identitas diri masyarakat perbatasan di Pulau Batam. 1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Negara, Kebangsaan, dan Nasionalisme Konsep negara-bangsa (nation-state) modern adalah temuan yang relatif baru, karena sebagian besar spesies manusia belum pernah berpartisipasi dalam suatu negara ataupun mengindetifikasi diri dengannya. Negara-bangsa, nasionalisme, dan identitas nasional sebagai bentuk organisasi kolektif dan mengidentifikasinya bukanlah fenomena yang terjadi „secara alamiah‟, melainkan formasi kulturalhistoris yang dinamik. Negara-bangsa adalah konsep politis yang mengacu pada administrative apparatus yang dipercaya memiliki kedaulatan atas daerah atau daerah tertentu dalam sistem negara-bangsa. Identitas nasional adalah bentuk identifikasi imajinatif terhadap simbol dan diskursus negara-bangsa. Jadi, bangsa 13 bukan hanya sekadar formasi politis, melainkan sistem representasi kultural di mana identitas nasional terus menerus direproduksi sebagai tindakan diskursif (Barker, 2000: 207). Demikian pula yang dikatakan oleh Bennedict Anderson ketika menjelaskan identitas kebangsaan. Dengan menggunakan cara berpikir antropologis, ia mengusulkan definisi tentang bangsa (nation), yaitu komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan (Anderson, 2001: 8). Lebih lanjut ia menjelaskan, bangsa adalah sesuatu yang terbayang, karena para anggota bangsa sekecil apa pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka. Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakikatnya bersifat terbatas, karena bahkan bangsa-bangsa yang paling besar pun, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Tak satu bangsa pun membayangkan dirinya meliputi seluruh umat manusia di bumi. Bangsa dibayangkan pula sebagai sesuatu yang berdaulat, lantaran konsep itu lahir dalam kurun waktu pencerahan dan revolusi memporakporandakan keabsahan ranah dinasti berjenjang yang berkaitan dengan kuasa Tuhan. Panji-panji kebebasan ini adalah negara berdaulat. Akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa. Bahkan 14 bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia -jangankan melenyapkan nyawa orang lain- merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu. Misal saja, fenomena semakin banyak pejuang (jihadis) yang membantu pembangunan dan berperang demi terwujudunya Islamic States (IS atau ISIS) di muka bumi, sehingga dengan mudah bahkan keji membunuh, mengeksekusi, memenggal, bahkan membakar manusia hidup-hidup dari negara-bangsa yang bukan berbeda -secara ras, agama, atau etnis- tapi kontra pendapat atau ideologi dengan mereka. Kemanusiaan pun menjadi taruhannya. Dengan memahami identitas kebangsaan seperti itu, Anderson menggarisbawahi, bahwa bangsa menjadi proyek untuk dikerjakan, diolah, sehingga bangsa menjadi suatu mode of existence. Bangsa menjadi suatu proyeksi ke depan dan sekaligus ke belakang. Oleh karena itu tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa “lahir”, namun bangsa itu “hadir” dalam proses formasi sebagai suatu historical being sebagaimana dikatakan “komunitas-komunitas terbayang”. Jadi, menurut Anderson bangsa bukan suatu political community, akan tetapi imagined political community, dan semakin ditekankan lagi ketika dikatakan sebagai imagined as sovereign, dan imagined as limited, dan imagined as community. Konsep identitas kebangsaan ini agaknya mirip dengan konsep identitas kebudayaan yang tidak hanya dibentuk oleh suatu yang statis, melainkan senantiasa berproses dan dinamis dalam diskursus sosial. 15 1.6.2 Identitas dan Diri Isu identitas dan subyektivitas telah menjadi tema utama dalam studi kebudayaan di Barat selama dekade 1990-an, terutama oleh kalangan “rezim tentang diri” (regime of the self). Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai hubungan yang erat dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Berbicara tentang subyektivitas, pertanyaannya akan berada seputar apakah pribadi itu? Sementara mengeksplorasi tentang identitas adalah menanyakan: Bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan bagaimana orang lain melihat kita? (Barker, 2000: 173). Subyektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Yang dimaksud dengan seorang pribadi adalah seluruh aspek sosial dan kultural. Jadi, identitas sepernuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak mungkin eksis di luar representasi kultural dan akulturalisasi. Kita memandang identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan kita sendiri. Jadi, identitas adalah suatu „esensi‟ yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. Sejak pasca Perang Dingin, terdapat pergeseran yang cukup signifikan tentang karakter konflik internasional, dari konflik yang bersifat ideologis (ideological conflict) bergeser menjadi konflik identitas (identity conflict) yang terjadi dalam daerah yang makin sempit dan menembus ke mana-mana ke berbagai sudut kehidupan: sosial, politik, budaya, bahkan agama. Menurut Anthony Giddens (1991), identitas diri dipahami sebagai keahlian menarasikan tentang diri, dengan 16 demikian menceritakan perasaan yang konsisten tentang kontinuitas biografi. Cerita identitas berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis: Apa yang dikerjakan? Bagaimana melakukannya? Siapa yang menjadi? Seseorang berusaha mengkontruksikan cerita identitas yang saling bertalian di mana diri membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu menuju masa depan (1991: 75). Oleh karena itu, identitas diri bukan sifat yang distingtif, atau merupakan kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh individu. Identitas diri adalah diri sebagai pengertian secara refleksi oleh seorang dalam biografi. Anthony Ginddens melanjutkan bahwa identitas diri adalah apa yang kita pikirkan tentang diri tersebut dalam kapasitas sebagai person. Namun, ia juga berargumen bahwa identitas bukan sekumpulan sifat-sifat yang kita miliki; bukan sesuatu yang kita miliki. Dengan demikian, identitas adalah sarana berpikir tentang diri kita sendiri. Hanya saja apa yang kita pikirkan itu senantiasa berubah dari lingkungan satu ke lingkungan lain menurut daerah dan waktu. Inilah sebabnya, mengapa Giddens mendeskripsikan identitas sebagai suatu proyek. Dengan argumen ini ia mengartikan bahwa identitas adalah sesuatu yang kita ciptakan, sesuatu yang senantiasa berproses, yang terus maju ke depan daripada tetap. Konsep identitas diri selanjutnya juga dipahami dalam memahami fenomena sosial, yang kemudian melahirkan istilah identitas sosial. Asumsinya, bahwa pada prinsipnya hidup manusia senantiasa berada dalam konteks hubungan sosial dengan yang lain. Sebagai individu dalam proses sosial senantiasa saling menggunakan barang-barang kebutuhan secara sosial. Ini yang sering dipahami bersama sebagai sosialisasi dan akulturalisasi. Tanpa akulturalisasi orang tidak 17 akan dapat menjadi pribadi sebagaimana yang dikenal dalam hidup sehari-hari. Tanpa bahasa setiap konsep tentang kepribadian dan identitas kita tidak akan dipahami. Menurut Barker (2000: 176) tidak ada elemen-elemen yang transendental atau ahistoris dalam proses menjadi pribadi. Identitas merupakan gejala kultural dan sosial secara keseluruhan, karena alasan-alasan sebagai berikut: a. Setiap gagasan tentang bagaimana menjadi pribadi adalah pertanyaan kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah label masyarakat modern secara spesifik. b. Sumber-sumber yang membentuk materi proyek identitas, misalnya bahasa dan praktek kebudayaan, adalah sesuai dengan watak sosialnya. Akibatnya, apa yang kita artikan sebagai perempuan, anak-anak, bangsa Asia atau orang tua dibentuk secara berbeda menurut konteks kebudayaan yang berbeda pula. Dalam pada itu, identitas bukan hanya merupakan masalah deskripsi diri, tetapi juga merupakan askripsi sosial. Identitas adalah masalah tentang kesamaan dan perbedaan, tentang personal dan sosial, tentang apa yang anda miliki bersama dengan seseorang dan tentang apa yang membedakan anda dengan lainnya (Weeks, 1990: 89). Sementara itu, Stuart Hall dalam artikelnya yang berjudul The Question of Cultural Identity (1992), mengidentifikasi tiga perbedaan cara yang mengkonseptualisasikan identitas, yaitu (a) subyek pencerahan, ialah subyek yang 18 berkaitan dengan gagasan bahwa rasio dan rasionalitas merupakan basis bagi kemajuan manusia. Subyek juga dikenal dengan istilah subyek Cartesian; (b) subyek sosiologi, ialah subyek yang tidak bersifat otonom maupun berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam kaitannya dengan „orang lain yang berpengaruh‟ (significant others), yang jadi perantara subyek dengan nilai, makna dan simbol kebudayaan dalam dunia tempat ia hidup; dan (c) subyek pascamodernisme, ialah subyek yang secara reflektif mampu mengkoordinasikan dirinya menjadi satu kesatuan, subyek yang juga terfragmentasi dan beragam. Subyek yang memiliki identitas yang berlainan pada kurun waktu berbeda. Yang ada dalam diri kita adalah identitas-identitas yang kontradiktif, mengarah kepada titik yang berbeda, sehingga identifikasi akan diri terus-menerus berubah. Jika kita merasa bahwa kita memiliki suatu identitas terpadu sejak lahir hingga mati, itu semua hanya karena kita mengkonstruksi suatu cerita yang melenakan atau „narasi diri‟ tentang kita sendiri (1992: 277). Dalam perspektif era pencerahan berkembang gagasan bahwa pribadi dipandang sebagai agen kesatuan yang unik dan bersekutu terhadap pencerahan (englightenment). Pandangan ini dipengaruhi oleh filsafat rasionalisme Descartes (1596-1650). Filsafat yang berdiri di atas adagium: cogito, ergosum (I think, therefore I am), „Saya berpikir, karena itu Saya ada‟. Di sini unsur cogito (berpikir) menjadi demikian penting dan mendapat kedudukan yang sangat tinggi. Descartes membedakan dua bidang penyelidikan utama untuk filsafat, yaitu psikologi yang mencakup segala sesuatu yang berada dalam diri manusia, dan kosmologi yang mencakup segala sesuatu yang berada di luar diri manusia. 19 Psikologi dinamakan res cogitans dan kosmologi dinamakannya res extensa. Hanya saja, kepentingan kosmologi sangat rendah dibandingkan dengan kepentingan psikologi karena segala sesuatu yang lain yang berada di luar diri manusia baru ada kalau sudah diketahui oleh manusia atas cara yang “jelas dan pasti” (clear and distinct). Konsekuensi dari pandangan seperti itu adalah unsur ego menjadi sangat dominan. Dalam perspektif subyek sebagai gejala sosiologis, identitas self generating atau situasi internal tentang diri, tetapi sepenuhnya merupakan kebudayaan sebab terbentuk melalui proses akulturalisasi. Sebagai diri sosial dan subjek sosiologi, self bukan terbentuk secara otomatis melalui proses yang terjadi dalam diri orang, tetapi diri dibentuk dalam relasinya dengan yang lain. Dalam proses interaksi itu terinternalisasi nilai-nilai, makna-makna, dan simbol-simbol kebudayaan. Proses interaksi dengan yang lain itu pertama kali terjadi dalam lingkungan keluarga, seperti belajar mulai dari soal harga, hukuman, tiruan, dan bahasa, bagaimana masuk dalam kehidupan sosial. Asumsi dasar subyek sosiologi bahwa subyek adalah orang pencipta sosial di mana sosial dan individual mempunyai perbedaan masing-masing. Sementara konsepsi identitas menurut pandangan pascamodernisme pada pokoknya mengoreksi pandangan deterministik, bahwa diri tidak selalu tetap merupakan entitas tersendiri yang terpisah dengan lingkungan sosialnya sebagaimana asumsi Cartesian, atau diri dibentuk oleh lingkungan sosialnya sebagaimana asumsi kulturalis sosiologis. Akan tetapi menurut subyek pascamodernisme, subyek dilihat sebagai yang tidak memiliki inti diri (core self) 20 yang mampu mengkoordinasikan diri sendiri secara reflektif ke dalam kesatuan. Menurut Hall, desentralisasi diri atau diri pascamodernisme termasuk subyek yang terus bergeser, terpecah, dan memiliki identitas ganda. Pribadi dibentuk oleh tidak hanya satu, tetapi oleh beberapa identitas yang kadang-kadang saling bertentangan. Hall juga menganjurkan bahwa untuk memhami konsep identitas kebudayaan juga erat kaitannya dengan asumsi-asumsi yang berkembang dalam aliran pemikiran esensialisme dan anti-esensialisme kebudayaan. Dalam pandangan kaum esensialis, bahwa pribadi-pribadi mempunyai hakikat tentang diri yang disebut identitas. Kaum esensialis berasumsi bahwa deksripsi diri kita mencerminkan hakikat yang didasari identitas. Dengan demikian, akan bisa ditetapkan apa itu hakikat femininitas, maskulinitas, orang Asia, remaja dan semua kategori sosial yang lain. Sebaliknya, terdapat pula pandangan bahwa identitas sepenuhnya merupakan kebudayaan, yang dibentuk berdasarkan ruang dan waktu. Ini merupakan pandangan kaum anti-esensialis yang menjelaskan bahwa bentuk-bentuk identitas senantiasa berubah dan berkaitan dengan kondisi sosial dan kebudayaan. Identitas adalah konstruksi-konstruksi yang tidak saling berkaitan, makna-maknanya senantiasai berubah mengikuti ruang dan waktu, serta penggunaannya. Guna mengetahui bagaimana masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam membayangkan identitas ke-Indonesiaan mereka yakni dengan sejauh mana mereka kerap terlibat dengan urusan-urusan administrasi kenegaraan, sejauh mana negara hadir bagi kehidupan sehari-hari mereka, dan bagaimana mereka membayangkan ke-Indonesia-an dengan konteks 21 masyarakat yang heterogen di sana –berbagai suku bangsa dari pelosok Indonesia. Sejauh mana negara-bangsa itu terbayangkan, tergambarkan, dan terpikirkan oleh masyarakat perbatasan yang setiap hari mereka berinteraksi dengan berbagai masyarakat dari berbagai negara, setidaknya dari etnis Cina dan etnis Melayu. Pun, dengan memakai bahasa yang tidak tunggal, bilingual: Bahasa MelayuBahasa Indonesia; Bahasa Melayu-Bahasa Inggris; Bahasa Melayu-Bahasa Mandarin. Sementara itu, untuk mengetahui bagaimana masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam mengindetifikasi identiats diri mereka yakni dengan bagaimana mereka memandang diri yang berelasi dengan sosio-kultural (bahasa, suku bangsa) di tempat mereka berada, diri yang berelasi dengan agama yang dianut, diri yang berelasi dengan kelas sosial serta pekerjaan, diri yang setiap hari memandang kemegahan Singapura dari seberang pulau. Semua tentang diri yang setiap waktu berbaur, bercampur, berjalin-berkelindan penuh dengan tuntutan, entah tuntutan ekonomi entah tuntutan politik (pengakuan) dari pihak lain. Identitas kedirian ini pada beberapa kondisi bisa begitu menggema gaungnya sekaligus pada beberapa situasi tidak menjadi persoalan. Identitas diri kemudian menjadi semacam instrumen atau alat strategis yang berguna jika itu berkaitan dengan kepentingan atau ancaman akan diri atau kelompok. 22 Kerangka Pikir Konsturksi Identitas Nasionalisme Masyarakat Perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam Instrumen Ekonomi-Politik: praktik ekonomi keseharian masyarakat perbatasan yang berelasi dengan Singapura dan Malaysia 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Instrumen Sosial-Budaya: kajian historis tentang masyarakat Melayu di kawasan perbatasan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Pulau Penawar Rindu dihuni oleh masyarakat heterogen dari berbagai suku bangsa dan dengan berbagai latar belakang pekerjaan. Pulau ini merupakan daerah perbatasan yang didiami oleh masyarakat setempat dan kerap dikunjungi atau disinggahi oleh masyarakat dari Singapura dan Malaysia. 1.7.2 Jenis Penelitian Dari beberapa metode penelitian yang ada, studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif-interpretatif untuk menjelaskan konstruksi identitas keIndonesia-an masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Penelitian ini berusaha mengidentifikasi, mendeskripsikan, memahami, dan menginterpretasikan pola-pola umum, kecenderungan-kecenderungan, dan tema-tema dari data yang diperoleh. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan 23 maupun tulisan, dan tingkah laku yang dapat diamati dari wawancara dan pengamatan dengan informan-informan dari berbagai suku bangsa yang tinggal dan menetap di sana. 1.7.3 Unit Analisa Unit analisa dari penelitian ini adalah ungkapan-ungkapan dan pernyataanpernyataan tentang identitas ke-Indonesia-an yang dibayangkan oleh informan penelitian. Hasil wawancara dan pengamatan dengan informan dari berbagai profesi, pendidikan, jenis kelamin, dan latar belakang budaya tersebut menjadi bahan analisis dalam penelitian ini. 1.7.4 Informan Penelitian Informan penelitian ini adalah masyarakat setempat dari berbagai latar belakang budaya dan etnis, pejabat daerah, warga negara asing (Singapura dan Malaysia) yang masih serumpun Melayu, dan sebagainya. Peneliti memilih teknik purposive sampling yakni menekankan kedalaman argumen atau pernyataan dari informan yang berkaitan dengan identitas ke-Indonesia-an ataupun identitas kedirian informan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Penelitian ini tidak menekankan pada banyaknya informan secara kuantitatif, tetapi lebih menekankan pada pernyataan yang mendalam tentang tema penelitian. 1.7.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, studi pustaka, dan wawancara mendalam (depth interview). Langkah pertama dalam penelitian ini adalah observasi dengan melakukan pengamatan terhadap perilaku, aktivitas 24 individu-individu, dan fenomena-fenomena yang terjadi di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam yang berkaitan dengan isu identitas diri masyarakat di sana. Kemudian langkah kedua, melakukan studi pustaka melalui buku-buku teks, jurnal, surat kabar, dan lain-lain guna mendapatkan informasi mengenai identitas diri atau identitas ke-Indonesia-an masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Langkah selanjutnya yakni turun ke lapangan melakukan pengamatan langsung diikuti wawancara dengan informan. Pengamatan langsung mengenai aktivitas dan pekerjaan sehari-hari informan dan wawancara untuk menggali informasi berkaitan dengan identitas diri dan ke-Indonesia-an masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Wawancara dilakukan dengan mendalam dan intensif secara terbuka dan fleksibel. Dalam wawancara peneliti mengajuka pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan penyelidikan informal untuk memfasilitasi diskusi-diskusi antara peneliti dengan informan. Guna memenuhi semua data yang diperlukan dalam mengungkap hal tersebut, maka data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yakni dua data: data primer dan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat perekam dan alat tulis. Beberapa temuan dari hasil wawancara menjadi data primer. Sedangkan sebagai data sekundernya temuan dari hasil observasi dan studi pustaka yang berupa catatan, buku-buku, media massa, jurnal, laporan penelitian, dan sebagainya. 25 1.7.6 Teknik Analisis Data Data-data yang sudah didapatkan dari lapangan akan dianalisis secara interpretatif dan dijabarkan secara kualitatif yakni dengan mengumpulkan data, menganalisa data, kemudian menafsirkan data, kemudian membuat kesimpulan dari data tersebut. Semua data akan dianalisis dengan menguraikan dan mengonsepkan sesuai dengan kerangka teori yang ada. Data dipilah dan dipilih untuk menentukan kesesuaian data dengan fokus penelitian tanpa meninggalkan data sekunder tertulis dari berbagai sumber terkait. Penulis juga mengidentifikasi kata-kata kunci yang diperoleh dari informan. 1.8 Sistematika Penulisan Bab I: Pemaparan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II: Pemaparan tentang mobilitas masyarakat perbatasan, profil daerah, dan kondisi sosial-budaya serta ekonomi-politik masyarakat di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Bab III: Pemaparan tentang pertalian dan kedekatan budaya serta relasi ekonomi masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. 26 Bab IV: Pemaparan tentang ekspresi identitas nasionalisme masyarakat perbatasan di Pulau Penawar Rindu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Bab V: Kesimpulan, saran, dan rekomendasi penelitian. 27